Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 5

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 5


perasaan jang sukar dilukiskan, ia mengawasi kedua saudara Tiangsoen itu jang
semakin lama djadi semakin djauh. Dilain saat, ia ingat Tiangsoen Koen Liang,
seorang menteri tua jang sangat setia kepada kakeknja, dan dari Tiangsoen Koen
Liang, ia ingat pula Siangkoan Wan Djie. Ia menghela napas pandjang dan
perasaannja sangat tertindih.
Melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, Hian Song segera menjanjikan
sebuah sadjak kuno, dengan perlahan :
Mengapa tuan termenung, diliputi kedukaan " Ada hal apa jang dibuat pikiran "
Apakah sedang memikirkan seorang gadis rupawan " Djika benar, buatlah perahu
untuk mengadakan pertemuan ".
Mendengar njanjian madjikannja, si budak tjilik tertawa dan berkata : "Ma
Toasiok, hajolah kita berangkat ".
Lie It agak terkedjut. Ia merasa kagum akan kepintarannja kedua gadis itu, jang
se-olah2 sudah dapat menebak djalan pikirannja. Kereta lantas sadja didjalankan
per-lahan2. Lie It terus duduk termenung dan makin lama pikirannja djadi makin
kusut. Rupa2 pikiran keluar-masuk dalam otaknja, "Mana khim-ku ?", tanjanja
achirnja. "Djangan kuatir, khim dan pedang semua berada disini ", djawab Hian
Song jang lalu menjerahkan tabuh2-an itu kepadanja.
Sesudah mengakurkan tali2-nja, Lie It segera memetik tabuh2-an itu sambil
menjanji: "Sesudah menanja rembulan, lalu menanja sang matahari, Mereka sebenarnja
bersinar, tapi mengapa diliputi kegelapan " Hati jang duka tak dapat ditjutji
bersih, bagaikan pakaian kotor jang bertumpukan. Kurenungkan nasib sambil
menekap dada, bagaimana kubisa mementang sajap terbang ke angkasa ".
Njanjian diatas adalah petikan dari Sie-keng jang mengutarakan keluhan seorang
gagah jang ber-angan2 tinggi, tapi tidak dapat bergerak karena ditindih oleh
kawanan manusia rendah. Njanjian itu merupakan djawaban terhadap pertanjaan Hian Song dan ia
mengumpamakan dirinja "sebagai seorang gagah jang tidak bisa terbang ke
angkasa". "Apa hanja itu jang dipikiri olehmu ?", tanja nona Boe sambil
tersenjum. "Kongtjoe, aku rasa masih ada lain hal jang belum diutarakan olehmu.
Ajolah, aku ingin dengar pula njanjianmu ".
Memang benar, pada saat itu, tanpa merasa, djari2 tangannja kembali memetik khim
dan mulutnja menjanjikan lagu jang seperti berikut :
"Kun kuning, badju hidjau. Hatiku menderita, tak dapat melupakannja. Sutera nan
hidjau, kaulah jang mengerdjakannja. Kuingat mendiang kawanku, ingin memperbaiki
banjak kesalahan ". Sjair itu adalah gubahan seorang penjair didjaman dulu, jang karena melihat
pakaian isterinja, djadi ingat kepada isteri itu jang sudah tidak ada lagi
didalam dunia. Dengan mengetahui, bahwa Siangkoan Wan Djie bermaksud untuk membunuh Boe Tjek
Thian, sehingga dengan demikian nona itu menghadapi bahaja jang sangat besar,
maka Lie It sangat berkuatir kalau2 ia tidak bisa bertemu muka lagi dengannja.
Karena adanja kekuatiran dan kedukaan itu, maka suara khim dan njanjian Lie It
sangat menjajat hati. Sesudah pemuda itu berhenti menjanji, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Hian Song
lalu mengambil khim itu jang lalu dipetiknja sambil menjanji :
"Harum dan busuk bertjampuran. Harum jang tulen selalu menondjol kedepan.
Wanginja dapat diendus dari kedjauhan. Sesudah memenuhi ruangan didalam,
merembes sampai diluaran. Barang baik selalu dapat mempertahankan diri. Suara
merdu dapat didengar djauh sekali ".
Dengan sjair Soe-bie-djin (Ingat wanita tjantik) itu, Hian Song ingin mengatakan
bahwa seperti harum dan busuk jang bertjampuran, manusia utama dan manusia
rendah sama2 bekerdja dalam suatu keradjaan. Tapi walaupun bertjampuran, manusia
utama, seperti harum jang tulen, selalu bisa menondjol kedepan. Selandjutnja, ia
mem-perumpama-kan Wan Djie sebagai "barang baik jang selalu dapat mempertahankan
diri". Ia ingin mengundjuk, bahwa Boe Tjek Thian tentu bisa melihat ,barang
baik' itu, sehingga Wan Djie pasti tidak akan diganggu selembar rambutnja.
Mendengar njanjian itu, Lie It kaget tertjampur kagum. Biar bagaimanapun djua,
ia sekarang harus mengakui kepintarannja nona itu. Ia mendongak dan apa mau,
sorot matanja kebentrok, dengan sorot mata Hian Song, sehingga tjepat2 ia
menunduk kembali dengan paras muka ke-malu2-an. Sesaat kemudian, barulah ia
berkata dengan suara perlahan: "Mengapa kau sudah menolong aku ?". Hian Song
tertawa. "Aku menolong seorang pandai untuk kepentingan negara ", djawabnja.
"Djuga supaja kau mempunjai kesempatan untuk mementang sajap dan terbang ke
angkasa ". "Hal itu baru bisa kedjadian djika langit berubah ", kata Lie It
dengan suara tawar. Dengan berkata begitu, terang2-an ia mengaku, bahwa sebelum
Boe Tjek Thian dirubuhkan, ia tak akan bisa bergerak. Hian Song mengawasi dan
berkata: "Hanja sajang kawanmu tidak berada disini. Hmm ...! Aku ingat seorang
kawan, ingin memperbaiki banjak kesalahan ". Dengan mengutip sjair jang barusan
dinjanjikan Lie It, si nona ingin mengatakan, bahwa djika Wan Djie berada
disitu, ia tentu bisa memperbaiki kesalahan2 jang dibuat oleh pemuda itu. Lie it
mendongkol. "Belum tentu Wan Djie berbuat seperti apa jang diduga olehmu ",
pikirnja. "Tak mungkin ia melupakan sakit hati kakek dan ajahandanja. Andaikata
benar ia berubah pikiran, aku sendiri sudah pasti tak akan membungkuk dihadapan
Boe Tjek Thian ". Melihat perubahan paras muka pemuda itu, Hian Song bertanja:
"Apakah aku menjinggung perasaanmu ?". "Terima kasih atas petundjukmu ",
djawabnja dengan dingin. "Tapi aku bukan seorang kanak2. Aku pertjaja, bahwa aku
masih dapat membedakan apa jang harum dan apa jang busuk ". Hian Song menghela
napas. "Harap sadja benar begitu ", katanja.
---oo0oo--WAKTU itu kereta sudah mulai masuk kedalam sebuah selat jang diapit oleh dua
puntjak gunung. Wanginja bunga2 hutan dan njanjian burung2 jang se-olah2
menjambut mereka, menghibur hati Lie It jang sedang berduka. "Ma Toasiok, ada
orang mendahului kita ", tiba2 terdengar suara Beng Tjoe. "Tjoba lihat tapak2
kaki kuda. Apakah mereka kedua bersaudara Tiangsoen ?".
---oo0oo--MEMANG benar Tiangsoen Thay dan adiknja sudah berada digunung Khong-lay-san
karena setjara tidak di-duga2, mereka bertemu dengan seorang jang berkepandaian
tinggi. Sebagaimana diketahui, sesudah pedangnja dipapas putus oleh Boe Hian
Song, dengan gusar dan malu Tiangsoen Thay mengaburkan tunggangannja untuk
menjusul si adik jang sudah lari lebih dulu. Sesudah membedal kuda beberapa
lama, barulah ia dapat menjusulnja. Begitu bertemu Tiangsoen Pek jang merasa
sangat penasaran karena kekalahan itu, lantas sadja menjesalkan kakaknja jang
dikatakan kurang tjermat dalam perkelahian tadi. "Ja ...!, akupun merasa sangat
tidak mengerti dan mungkin sekali, perempuan itu mempunjai ilmu siluman ", kata
Tiangsoen Thay sambil meng-garuk2 kepala. "Serangan2 kita jang paling hebat
selalu dapat dipunahkan dengan mudah sadja ". "Ilmu siluman apa ?", bentak si
adik sambil mendjebi. "Sebab-musabab kekalahan kita jalah karena kau tidak bisa
bekerdja sama denganku ". "Ja ...! bisa djadi karena kita kurang pengalaman ",
kata sang kakak jang tidak berani membantah pendapat adiknja. Tiangsoen Pek
tidak mengomel lagi, tapi ia mendjalankan kudanja sambil menunduk, seperti orang
jang sedang mengasah otak. Sesudah beberapa djauh, ia menengok kepada kakaknja
seraja berkata : "Aku sudah me-nimbang2 kiam-hoat perempuan siluman itu dan
menurut pendapatku, djika kita bisa bekerdja sama dengan se-erat2-nja, kita
masih dapat merubuhkannja. Mari kita berlatih dan besok kita tjoba mendjadjal
lagi kepandainnja ". Tiangsoen Thay sebenarnja tidak begitu setudju, tapi ia
sungkan bertengkar dan kedua saudara itu lantas sadja mulai serang-menjerang.
Dalam pertandingan itu, sang kakak lebih kuat dalam hal tenaga, sedang si adik
lebih unggul dalam kiam-hoat dan lebih gesit gerakan2-nja, sehingga pertempuran
itu berlangsung seru sekali. Sesudah lewat belasan djurus, tiba2 Tiangsoen Thay
membungkuk dan sesudah menotol tanah dengan udjung pedang, ia berbalik dan
menjabet kebelakang. Sambil menangkis, si adik berkata : "In-kie-Boe-san (Awannaik-digunung-Boe-san) tidak begitu tepat. Lihat pukulanku !". Ia menikam dan
menjontek seraja membentak : "Lepaskan pedangmu !". "Trang ...!", Tiangsoen Thay
terhujung kebelakang beberapa tindak, telapak tangannja sakit bukan main, tapi
ia masih dapat mentjekel pedangnja. Melihat kegagalannja dalam usaha melepaskan
sendjata kakaknja, si adik djadi malu dan paras mukanja berubah merah.
"Pedangku tidak terlepas karena tenagaku lebih besar daripada tenagamu ", kata
Tiangsoen Thay dengan suara membudjuk. "Bahwa dengan memindjam tenaga, kau sudah
membuat aku sempojongan, merupakan bukti, bahwa ilmu pedangmu banjak lebih
unggul dari pada aku. Djika tadi kita menjerang dengan menggunakan pukulan itu,
mungkin sekali si memedi perempuan sudah dapat dirubuhkan ". Mendadak sadja
terdengar suaranja seorang tua: "Hmmm ...! Enak sadja orang muda bitjara !,
kekurangan Ngo-bie Kiam-hoat ternjata sampai sekarang masih belum diperbaiki ".
Kedua saudara itu kaget tak kepalang, dengan serentak mereka melompat mundur dan
mengawasi kedjurusan dari mana suara itu datang. Ternjata, dipinggir djalan
sedang berdiri seorang tua jang tengah mengawasi mereka sambil tersenjum.
Tiangsoen Thay djadi semakin kaget dan berkata dalam hatinja: "Ajah sering
mengatakan, bahwa selagi bertempur, seorang ahli silat selalu harus berwaspada,
harus memasang mata keempat pendjuru dan memasang kuping kedelapan djurusan,
untuk mendjaga setiap serangan membokong. Tjara bagaimana dia bisa datang tanpa
diketahui olehku ?". Ia mengerti, bahwa orang tua itu mempunjai kepandaian jang
sangat tinggi, tapi perkataannja, jang mentjela Ngo-bie kiam-hoat, sudah
membangkitkan kegusaran didalam hatinja. "Baiklah !", katanja sambil menahan
napsu amarah. "Dengan mengundjuk kekurangan dalam Ngo-bie kiam-hoat kami, kau
tentu mempunjai kepandaian tinggi. Sekarang aku ingin meminta pengadjaran untuk
menjelidiki kekurangan itu. Moay-moay, berikan pedangmu kepadanja !". Orang itu
meng-geleng2-kan kepala dan berkata: "Aku sudah bersumpah untuk tidak
menggunakan pedang lagi. Tapi permintaanmu untuk mendapat petundjuk2 aku tidak
dapat menolak ". "Baiklah ", kata Tiangsoen Thay sambil memasang kuda2. Tapi
sebelum mereka bergebrak, Tiangsoen Pek sudah mendahului berkata dengan suara
menghormat : "Lootjianpwee, bolehkah aku mendapat tahu siapa adanja kau ?". Si
tua tersenjum. "Hajolah, kau berdua boleh bertanding pula dan djika ada bagian2
jang kurang tepat, aku akan memberi petundjuk ", katanja. "Dengan petundjukku
itu, mungkin sekali kau akan bisa menebak siapa adanja aku ". Tiangsoen Thay
djadi semakin mendongkol, tapi adiknja sudah lantas berkata: "Koko, marilah kita
berlatih lagi. Awas! Sambut seranganku ". Melihat sambaran pedang, Tiangsoen
Thay tidak dapat membantah dan mereka lalu bertanding pula. Sesudah lewat
belasan djurus, orang itu masih belum bergerak, sehingga Tiangsoen Thay merasa
sangat tidak sabaran. Tiba2 Tiangsoen Pek mendapat suatu ingatan dan ia
menjerang dengan In-kie-Boe-san. Pada saat itu, se-konjong2 si tua tertawa terbahak2, tahu2 ia sudah menjelak diantara kedua saudara itu dan dengan sekali
bergerak, kedua tangannja sudah berhasil merampas pedang kakak-beradik itu. "Aha
... ! Liap-in Kiam-hoat! Kalau begitu, Lootjianpwee adalah Kok Sin Ong Loopehpeh !", teriak Tiangsoen Pek. Liap-in Kiam-hoat adalah serupa ilmu pedang
jang terkenal tjepat sekali gerakannja dan Liap-in Po-hoat (Tindakan Liap-in)
jang barusan digunakan oleh orang tua itu, sudah segera dikenali si nona.
Sedjenak kemudian, Tiangsoen Thay jang otaknja lebih tumpul, baru ingat
perkataan ajahnja, jang pernah memberitahukan mereka, bahwa jang dapat mematikan
Ngo-bie Kiam-hoat adalah Liap-in Kiam-hoat, dengan po-hoat-nja jang luar biasa
tjepat, dimiliki oleh Kok Sin Ong. Buru2 ia merangkapkan kedua tangannja dan
berkata sambil membungkuk : "Kok Lotjianpwee, mohon Lootjianpwee suka memberi
maaf untuk kekurang-adjaranku ". Kok Sin Ong tertawa lebar. "Bagus ...!
Bagus ...!", katanja. "Tak dapat mentjari sang ajah, bertemu dengan puteraputerinja ". "Apakah Loo-pehpeh pergi ke Kiamkok untuk mentjari ajah kami ?",
tanja Tiangsoen Pek. "Benar ...", djawabnja. "Sebagaimana kau tahu, aku adalah
sahabat karib ajahmu. Pada dua puluh lima tahun berselang, waktu kau berdua
belum dilahirkan, diatas gunung Ngo-bie, kami pernah merundingkan ilmu pedang
jang baru sadja digubah oleh ajahmu. In-kie-boe-san adalah pukulan luar biasa,
jang hanja digunakan waktu sudah terdesak, untuk merebut kemenangan dalam
kekalahan. Aku sendiri merasa sangat kagum, hanja sajang, dalam pukulan itu
terdapat satu kelemahan. Karena digunakan pada detik berbahaja, maka sifat
pukulan itu nekat2-an, jaitu menjerang tanpa memperdulikan bahaja, sehingga oleh
karenanja, tidak terluput dari kelemahan. Waktu itu, aku sudah menundjuk
kelemahannja kepada ajahmu. Ajahmu sendiri mengakui adanja kelemahan itu, tapi
ia berpendapat, bahwa dengan diserang hebat dan mendadak, pihak lawan belum
tentu bisa melihatnja. Belakangan, waktu bertemu dengan Oet-tie Tjiong, kami
merundingkan pukulan tersebut dan telah mendapatkan suatu djalan untuk
memunahkannja. Itulah sebabnja, mengapa barusan, dengan sekali bergerak sadja,
aku sudah berhasil merampas pedangmu. Beberapa hari berselang, karena serupa
urusan, aku pergi ke Soetjoan dan mendengar, bahwa ajahmu berada di Kiamkok, aku
sudah lantas datang kesitu untuk menjambanginja. Hanja sajang, ajahmu katanja
sudah pindah ketempat lain jang tidak diketahui orang ". "Benar, kami telah
pindah ke kelenteng Hianhoa Hweeshio digunung Tjeng-shia-san, untuk menjingkir
dari intjaran musuh ", menerangkan Tiangsoen Thay. "Menjingkikan diri dari musuh
" Siapa musuh itu ?", tanja Kok Sin Ong. Tiangsoen Pek lantas sadja
mentjeriterakan pertempuran antara ajahnja dengan Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie,
sehingga, karena kena ratjun, ilmu silat ajahnja telah mendjadi musnah. "Betul2
kurang adjar ", kata Kok Sin Ong. "Kedua memedi itu ternjata tidak bisa mengubah
adat djahatnja. Untung djuga, mereka tidak datang dalam Eng-hiong Tay-hwee.
Didengar dari keteranganmu, ajahmu harus berlatih lagi sedikitnja sepuluh tahun
untuk memulihkan kepandaiannja. Tapi setjara kebetulan aku mempunjai seorang
sahabat jang mungkin dapat memulihkan kepandaiannja dalam tempo jang lebih
tjepat ". Sebelum kedua saudara itu keburu menanja, Kok Sin Ong sudah berkata
pula: "Ada suatu hal jang tidak dimengerti olehku. Barusan sebelum bertanding,
kau telah me-njebut2 musuh. Siapa adanja musuh itu ?". Kedua saudara itu
sebenarnja sangat ingin minta bantuan Kok Sin Ong untuk menghadapi Hian Song.
Tapi mengingat tjeritera orang jang mengatakan, bahwa Eng-hiong Tay-hwee telah
diubrak-abrik oleh seorang wanita muda, mereka tidak berani lantas membuka mulut
karena kuatir menjinggung orang tua itu, djika wanita tersebut Hian Song adanja.
Sekarang, sesudah ditanja, mereka terpaksa menuturkan segala kedjadian dengan
terus-terang. Kok Sin Ong menghela napas pandjang dan berkata dengan suara putus
harapan : "Sudahlah ...! Segala urusan sudah mendjadi hantjur ". Sedjenak
kemudian, ia bertanja dengan suara bingung : "Apa benar2 kalian lihat Lie It
berada dalam tangannja ?". "Mengapa tidak benar ?", kata Tiangsoen Thay. "Aku
malah dengar suara merintihnja Thianhee. Mungkin sekali ia telah mendapat luka
berat dan tidak bisa bangun ". "Perempuan siluman itu pasti mau membawanja ke
Tiang-an untuk mendapat pahala ", menjelak Tiangsoen Pek. "Kita harus berdaja
untuk menolongnja ". "Siapa lagi jang berada dikereta itu ?", tanja Kok Sin Ong.
"Seorang budak ketjil dan seorang lelaki jang mengenakan pakaian seperti petani
", djawab nona Tiangsoen. Kok Sin Ong berdiri bengong. Ia seperti sedang
memikirkan sesuatu jang sukar diutarakan. ,Kok Lootjianpwee ...", kata Tiangsoen
Thay dengan tidak sabaran. "Adikku bisa mengalahkan budak itu, sedang aku
sendiri dapat merubuhkan lelaki jang mendjadi kusir.
Asal sadja Kok Lootjianpwee bisa melajani perempuan siluman itu kira2 seratus
djurus, kami bisa membantu sesudah merubuhkan kedua lawan kami. Dengan madju
bertiga, kita boleh tak usah merasa takut ". Kok Sin Ong tertawa ter-bahak2.
"Selama hidupku, aku telah malang-melintang dari selatan sampai ke utara dan
dalam melawan musuh, belum pernah aku minta bantuan orang lain ", katanja dengan
suara angkuh. "Perempuan itu memang lihay sekali dan didalam seribu djurus,
belum tentu aku dapat merubuhkannja. Tapi sesudah seribu djurus, kurasa aku
masih dapat menaklukkannja ". "Kalau begitu lebih baik lagi ", kata Tiangsoen
Thay. "Mengapa Lootjianpwee masih kelihatan bersangsi ?". Kok Sin Ong menghela
napas. ,Karena aku sudah berdjandji kepada seorang sahabat, bahwa aku tak akan
menggunakan pedang lagi ", djawabnja dengan suara masgul. Sahabat jang
dimaksudkan jalah Hoe Poet Gie. Hari itu, Hoe Poet Gie telah memantjingnja
sampai di Tjian-hoed-teng dan mereka berdua lantas sadja mengadu ilmu pedang.
Sesudah bertanding sehari semalam, Hoe Poet Gie mendapat kemenangan. "Bagaimana
sekarang ?", tanja Hoe Poet Gie dangan suara mengedjek. "Diatas puntjak Kimteng, kau tidak bisa mengalahkan seorang gadis muda-belia dan sekarang kau
kembali kalah dalam tanganku ". Mendengar itu, Kok Sin Ong jang sudah dingin
hatinja, lantas sadja mematahkan pedangnja sendiri dan bersumpah untuk tidak
menggunakan lagi pedangnja selama hidupnja. Kedua saudara itu saling mengawasi
tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Mereka mengerti, bahwa seorang seperti Kok
Sin Ong sudah pasti tak akan menarik pulang djandjinja sendiri. Sebelum
mendengar keterangan orang tua itu, Tiangsoen Pek masih mempunjai harapan. Tapi
sesudah mendengar pengakuan Kok Sin Ong, bahwa Hian Song haru dapat dirubuhkan
sesudah lewat seribu djurus, harapannja musnah. Ia sekarang tahu, bahwa ia bukan
tandingan nona Boe. Sesudah berpikir beberapa saat, kedua mata orang tua itu
tiba2 bersinar terang dan ia berkata dengan suara girang : "Lie It keluar karena
gara2-ku dan biar bagaimana djuga, tak dapat kita membiarkan ia djatuh kedalam
tangan Boe Tjek Thian. Sudahlah ! Aku sendiri tidak bisa turun tangan, tapi aku
bisa minta bantuan seorang sahabat. Mari, ikutlah aku !".
---oo0oo--"LOO-pehpeh, siapa jang mau diminta bantuannja ?", tanja Tiangsoen Pek. "Apa
keburu ?". "Kim-tjiam Kok-tjhioe (si-Tabib-djarum-emas) Heehouw Kian berada
digunung Kiong-lay-san ini ", djawabnja. Kedua saudara itu kaget tertjampur
girang. Mereka tahu, bahwa Heehouw Kian, ahli pengobatan dan ahli silat jang
namanja sangat harum, adalah salah seorang sahabat dari ajah mereka sendiri.
Tapi sebagai seorang jang sikapnja tawar terhadap segala keduniawian dan sungkan
mengedjar nama atau kekajaan, Heehouw Kian selalu menjingkirkan diri dari dunia
pergaulan dan tidak ketentuan tempat tinggalnja. Sudah dua puluh tahun, ia dan
Tiangsoen Koen Liang tidak pernah berhubungan lagi satu sama lain. Pada waktu
baru terluka, Tiangsoen Koen Liang pernah mengatakan kepada kedua anaknja, bahwa
orang satu2-nja jang dapat menolong dirinja adalah Heehouw Kian jang tidak


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diketahui dimana tempat tinggalnja. Siapa njana, orang berilmu itu sekarang
berada didepan mata!. Tak usah dikatakan lagi, kedua saudara itu girang tak
kepalang, karena bukan sadja Lie It akan dapat ditolong, tapi ajah merekapun ada
harapan dapat pulang ilmu silatnja jang sudah musnah dalam tempo tjepat. Mereka
bertiga lantas sadja mulai mendaki gunung. Sesudah berdjalan beberapa djam
sambil menikmati pemandangan alam jang sangat indah, djauh2, diatas sebidang
tanah datar, mereka melihat beberapa buah rumah jang dikurung dengan tembok
merah. Sesudah melewati dua baris pohon2 jang rindang daunnja, tibalah mereka
didepan pintu pekarangan. Tanpa mengetuk lagi, Kok Sin Ong menolak pintu itu
jang tidak terkuntji, lalu bertindak masuk, dengan diikuti oleh dua orang muda
itu. Begitu masuk, hidung mereka mengendus harumnja ratusan bunga dan dalam
sebuah kebun, mereka lihat seorang kakek jang berambut dan berdjenggot putih,
sedang menjiram rumput2 obat dan pohon2 bunga, dengan dibantu oleh seorang
katjung. Begitu melihat Kok Sin Ong, si kakek berseru dengan suara girang :
"Hola, Loo-kok, urusan apa lagi jang dibawa olehmu ?". "Tiangsoen Sieheng
sengadja datang kemari untuk mengundang tabib ", djawabnja sambil tertawa.
Tiangsoen Thay dan adiknja buru2 menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua
itu. Sesudah mengetahui, bahwa kedua orang muda itu adalah anak2 sahabatnja, si
kakek jadi girang dan tertawa ter-bahak2. "Kalau begitu, Koen Liang-heng dan aku
sama2 menjembunjikan diri dipropinsi Soetjoan ", katanja. "Djika kalian tidak
datang kesini, sampai sekarang aku masih belum tahu. Ada apa sehingga kau perlu
mengundang tabib ?". Tiangsoen Thay lantas sadja mentjeriterakan luka jang
diderita ajahnja. Sesudah mengadjukan beberapa pertanjaan, Heehouw Kian menghela
napas dan berkata: "Kalau baru terluka, masih gampang diobati. Tapi sekarang
agak sukar ". "Apa Loopeh tidak mempunjai daja ?", tanja Tiangsoen Pek dengan
suara berkuatir. "Kalau baru terluka, dengan mengandalkan lweekang ajahmu,
didalam tempo sepuluh hari, ia akan sembuh kembali ", djawabnja. "Tapi sekarang
sedikitnja harus menggunakan tempo setahun ". Mendengar keterangan itu,
Tiangsoen Thay dan adiknja djadi sangat girang, sebab, biar bagaimanapun djua,
ajahnja bakal sembuh seperti sediakala. "Tiangsoen Koen Liang sebenarnja sudah
meng-hitung2 untuk menggunakan tempo sepuluh tahun guna memulihkan ilmu silatnja
", kata Kok Sin Ong sambil tertawa. "Baiklah, dua hari lagi aku akan pergi ke
Kiamkok guna menjambutnja ". "Bagus! Aku akan mempunjai seorang sahabat untuk
mengawani aku ", kata Heehouw Kian dengan girang. "Sesudah satu beres, aku masih
mempunjai lain urusan jang memerlukan bantuanmu ", kata pula Kok Sin Ong. "Apa
itu " Tjeriterakanlah ". "Aku ingin minta bantuanmu untuk menolong murid Oet-tie
Tjiong ". "Murid Oet-tie Tjiong " Dia kena penjakit apa ?". "Bukan sakit, tapi
djatuh kedalam tangan musuh ". Sesudah berkata begitu, Kok Sin Ong segera
menuturkan duduknja persoalan. "Mengapa kau tidak menolong sendiri ?", tanja
Heehouw Kian. Kok Sin Ong menghela napas. "Aku sudah berdjandji kepada Thian-san
Loo-hoe untuk tidak menggunakan sendjata lagi ", djawabnja dengan suara
menjesal. Sahabat itu tertawa ter-bahak2. "Kau sungguh litjik !", katanja. "Kau
sendiri sungkan bertanggung-djawab dan lalu mendorongnja kepadaku. Kau
mengatakan, bahwa kau sudah mengundurkan diri dari dunia Kang-ouw, tapi
sebagaimana kau tahu, aku sendiri sudah mundur semendjak dua puluh tahun
berselang ". Kok Sin Ong djadi bingung. "Murid Oet-tie Tjiong itu bernama Lie It
dan dia itu adalah tjutju kaisar Tong ", katanja dengan suara memohon. "Bagiku
tak ada perbedaannja ", kata Heehouw Kian dengan suara tawar. "Aku tidak perduli
apa negara ini dikuasai oleh seorang she Lie atau oleh seorang she Boe. Aku
tidak perduli apa dia tjutju kaisar atau rakjat djelata. Aku tak mau tjampur
segala hal jang bersangkut-paut dengan perkelahian. Loo-kok, biarpun sudah
banjak umurmu kau masih sadja suka tjari urusan. Kudengar kau telah
menghimpunkan apa jang dinamakan Eng-hiong Tay-hwee. Aku sebenarnja sangat tidak
setudju. Dengan muntjulnja banjak eng-hiong, muntjul djuga banjak kekatjauan
didalam dunia. Bagiku, tudjuanku jang satu2-nja jalah hidup tenteram dalam dunia
ini ". Kok Sin Ong djadi makin bingung dan se-bisa2 ia tjoba membudjuk
sahabatnja. Tiba2, diluar pekarangan terdengar suara kereta. "Tjelaka ! Tak bisa
salah lagi Boe Hian Song sudah menguber sampai disini ", kata Tiangsoen Pek. Kok
Sin Ong tertawa lebar. "Nah ! Kau tidak mau tjari urusan, tapi orang lain jang
datang untuk tjari urusan denganmu ", katanja. "Sekarang aku mau lihat,
bagaimana sikapmu ". Sehabis berkata begitu, ia menarik tangan tuan rumah dan
mengadjaknja keluar. ---oo0oo--DARI sebelah kedjauhan kelihatan mendatangi sebuah kereta keledai dan kusir jang
duduk didepan sudah terlihat njata. "Benar sadja dia !", Tiangsoen Thay
mengeluarkan seruan tertahan. "Heehouw-heng, bagaimana sekarang ?", tanja Kok
Sin Ong. "Ja ! Apa boleh buat ", djawabnja sambil menghela napas. "Aku tidak
dapat membiarkan Tiangsoen bie-heng dihinakan didepan rumahku ". Beberapa saat
kemudian, kereta itu sudah tiba dan berhenti didepan pintu. Dengan ter-senjum2
seorang gadis djelita melompat turun dan nona itu memang bukan lain daripada
Hian Song. Bagi Lie It, begitu kereta masuk diselat Kiong-lay-san, hatinja
berdebaran dan diliputi dengan perasaan sangsi. Hian Song telah
memberitahukannja, bahwa ia bakal diantar kepada seorang tabib jang bukan sadja
akan dapat mengobati lukanja, tapi djuga dapat memulihkan ilmu silatnja jang
sudah musnah. Siapa tabib itu " Kalau benar perkataan si nona, maka tabib
tersebut bukan sadja seorang ahli pengobatan, tapi djuga seorang ahli silat jang
memiliki lweekang jang tinggi. Apa dia gurunja nona Boe " Selagi ia me-nebak2,
kereta berhenti dan Hian Song berkata sambil tersenjum: "Sudah tiba ! Kebetulan
sungguh, kau akan bertemu dengan beberapa sahabat lama ". Lie It segera bangun
dan duduk menjender dibelakang kereta, akan kemudian menjingkap tirai. Begitu
melongok keluar, ia mengawasi orang2 jang menjambutnja dengan mata membelalak
dan mulut ternganga, se-olah2 ia tidak pertjaja matanja sendiri. Orang jang
menghampiri paling dulu adalah Kok Sin Ong, diikuti oleh dua orang muda jang
tadi telah dipukul mundur oleh Boe Hian Song. Dibelakang mereka terdapat seorang
kakek jang mukanja seperti sudah tidak asing lagi baginja. Dilain pihak, Heehouw
Kian mengawasi Hian Song dengan rasa terkedjut. Dari Kok Sin Ong, ia telah
mendengar peristiwa dalam Eng-hiong Tay-hwee. Apa bisa djadi seorang gadis jang
begitu tjantik dan muda-belia telah merubuhkan djago2 kenamaan dalam perhimpunan
itu " Lain saat, nona Boe sudah menjodja seraja berkata : "Boanpwee Boe Hian
Song memberi hormat kepada Heehouw Lootjianpwee ". Heehouw Kian djadi lebih
kaget lagi. "Bagaimana ia bisa mengenal aku ?", tanjanja didalam hati. Walaupun
memiliki kepandaian tinggi, sudah puluhan tahun orang tua itu tidak pernah
muntjul dalam dunia Kang-ouw dan namanja hanja dikenal oleh beberapa orang jang
djumlahnja sangat terbatas. Bagaimana seorang wanita jang usianja belum tjukup
dua puluh tahun bisa mengenalnja ". "Apakah kau sengadja datang kesini hanja
untuk menemui aku ?", tanja Heehouw Kian. "Kalau tak ada urusan penting,
boanpwee tentu tidak berani mengganggu ketenteraman Lootjianpwee ", djawabnja.
"Sebagai seorang jang bergelar Kim-tjiam Kok-tjhioe, Lootjianpwee tentu sudah
bisa menebak maksud kedatangan kami ". Sekali lagi si kakek terkesiap. Meskipun
ia sering menolong djiwa manusia dengan kepandaian pengobatannja, tapi ia hampir
tidak pernah memperkenalkan diri kepada orang2 jang ditolongnja. Gelaran Kimtjiam Kok-tjhioe telah diberikan oleh beberapa orang sahabatnja. Heran sungguh
si nona bisa mengetahuinja. "Kau ingin minta pertolonganku untuk mengobati orang
?", tanja Hehouw Kian. "Benar ...", djawabnja. "Seorang sahabat kena Swee-koettjhie-piauw dari Ok-heng-tjia dan Touw-hiat-sin-tjiam dari Tok-sian-lie. Didalam
dunia, ketjuali Lootjianpwee, tak ada lain orang jang dapat menjembuhkannja ".
Djawaban itu diluar dugaan semua orang. Kedua saudara Tiangsoen semula menduga,
bahwa kedatangan Hian Song adalah untuk menguber mereka, sedang Kok Sin Ong
menaksir nona Boe mau membawa Lie It ke Tiang-an untuk diserahkan kepada Boe
Tjek Thian. "Tapi bagaimana Lie It bisa dilukakan oleh kedua memedi itu ?",
tanjanja didalam hati. "Bukankah mereka datang atas undangan Pwee Yam ?". Tapi
jang paling besar rasa herannja adalah Lie It sendiri. Disepandjang djalan, ia
telah menarik kesimpulan, bahwa Hian Song bakal membawanja ke Tiang-an untuk
mendapat pahala. Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa nona itu akan
menjerahkannja kepada Heehouw Kian untuk diobati. Ia tahu, bahwa kakek itu
adalah salah seorang sahabat gurunja. Walaupun belum pernah bertemu muka, sang
guru sering sekali mentjeriterakan kepandaian dan roman Heehouw Kian, sehingga
tidaklah heran, waktu baru melihat kakek itu, ia seperti djuga sudah
mengenalnja. "Beng Tjoe ", demikian terdengar suara Hian Song, "turunkan Lie
Kontjoe ". Ia menengok kepada Lie It dan berkata pula sambil tersenjum :
"Sekarang aku menjerahkan kau kepada Heehouw Lootjianpwee dan kau boleh tak usah
kuatir apapun djua ". Lie It merasa sangat berterima kasih lagi malu. Ia sangat
menjesal, bahwa disepandjang djalan ia sudah menganggap Hian Song sebagai
manusia rendah jang ingin menarik keuntungan guna diri sendiri. Ia mengawasi si
nona dengan perasaan jang sukar dilukiskan dan dalam djengahnja, ia tak dapat
mengeluarkan sepatah katapun. "Tahan !", tiba2 si kakek berkata dengan suara
tawar. "Meskipun aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, tapi aku tak pernah
memasang merek sebagai tabib. Aku merdeka untuk menerima atau menolak orang jang
minta pertolongan ". Hian Song tertawa. "Lain orang kau boleh tolak, tapi orang
ini tak akan dapat ditolak olehmu ", katanja. "Djika kau menolak, sahabatmu
tentu akan mendjadi gusar. Kok Loo-bengtjoe, sungguh untung kaupun berada
disini, sehingga aku boleh tak usah memberi keterangan pandjang lebar ", Kok Sin
Ong djadi bingung, karena ia belum bisa menebak maksud perkataan Heehouw Kian.
Sebelum ia keburu membuka mulut, si kakek sudah berkata pula : "Nona, bukankah
kau jang ingin minta pertolonganku ?". "Benar ", djawabnja. "Kalau begitu, aku
hanja berurusan denganmu ", katanja pula. "Sekarang djawablah lebih dulu
pertanjaanku : Siapa gurumu ?". Pertanjaan itu adalah pertanjaan jang dikandung
oleh semua orang jang lantas sadja memasang kuping sambil mengawasi muka si
nona. Hian Song tidak lantas mendjawab, tapi lebih dulu menjapu semua orang
dengan matanja jang sangat tadjam. Sesudah itu, ia tersenjum seraja berkata
dengan suara perlahan : "Heehouw Sianseng adalah seorang berilmu tinggi telah
menjingkirkan diri dari dunia pergaulan. Apakah Lootjianpwee tidak berbeda
dengan tabib2 rendah jang hanja mau menolong orang jang berpengaruh atau beruang ?". Untuk sedjenak Heehouw Kian tidak dapat meluarkan sepatah kata. Sesaat
kemudian, sambil mengurut djenggotnja, ia berkata : "Aku tak pernah mengobati
orang dengan tjuma2. Kau tahu ?". "Seorang tabib menerima uang untuk
pengobatannja, adalah kedjadian lumrah ", kata si nona. "Lootjianpwee boleh
menjebutkan sadja berapa djumlah jang diinginkan ". Si kakek tersenjum. "Aku
tidak memerlukan uang ", katanja. "Tapi akupun tidak dapat menjimpang dari
kebiasaan. Setiap kali mengobati orang, aku selalu menerima, dan hadiah itu
harus lebih dulu disetudjui olehku . Hadiah apakah jang dipunjai olehmu ?". Si
nona membungkuk sambil merangkap kedua tangannja. "Lootjianpwee adalah seorang,
berilmu jang telah menjingkir dari pergaulan umum, sehingga aku tidak berani
mempersembahkan hadiah jang biasa. Aku ingin mempersembahkan bunga untuk
memperlihatkan rasa hormat dan terima kasih ". Sehabis berkata begitu, ia
membuka ikat pinggangnja dan dengan sekali mengedut, ikat-pinggang itu menjambar
satu pohon bunga. Hampir berbareng puluhan kuntum bunga "tergunting" putus.
Sekali lagi ia menjentak ikat pinggangnja dan daun2 bunga jang memenuhi udara
menjambar kearah Heehouw Kian. Kedua saudara Tiangsoen mengawasi pertundjukan
itu dengan mulut ternganga. Sekarang baru mereka mengakui, bahwa lweekang Hian
Song banjak lebih tinggi daripada mereka. Kok Sin Ong dan Lie It jang bermata
tadjam lantas sadja melihat, bahwa daun2 bunga itu merupakan sebaris huruf
tjodjie (huruf rumput) jang berbunji: "Poet-ko-swee, poet-ko-swee" (Tak dapat
diberitahukan, tak dapat diberitahukan). Selagi semua orang mengawasi dengan
hati ber-debar2, tiba2 Heehouw Kian membentak keras seraja mengebas dengan kedua
lengan djubahnja. Dikebas begitu, daun2 bunga itu serentak terbang balik kearah
nona Boe dan huruf2 itupun berubah. Sekarang Tiangsoen Thay dan adiknja djuga
bisa melihat enam huruf tjodjie jang berbunji : "Djie-tjie-ho ", djie-tjie-ho ?"
(Sebab apa ", sebab apa "). Kok Sin Ong jang sedari tadi tjoba memetjahkan
maksud huruf2 itu, mendadak tarsadar. Sekarang ia tahu, bahwa perkataan "poetko-swee, poet-ko-swee," merupakan djawaban terhadap pertanjaan Heehouw Kian
mengenai nama gurunja. Tapi mengapa si nona menolak untuk memberitahukan siapa
gurunja" Itulah teka-teki jang hanja dapat didjawab oleh Hian Song sendiri.
Beberapa saat kemudian, daun2 bunga djatuh ditanah sesudah me-lajang2 ditengah
udara. "Aku suka menerima si sakit, kau boleh pulang ", kata Heehouw Kian dengan
suara perlahan. Sesudah berdiam sedjenak, ia berkata pula : "Tolong sampaikan
hormatku kepada gurumu. Hmmm ... djika kau tak mau, djuga tak apa ". Hian Song
segera mengangkat Lie It dari kereta dan mendukungnja untuk diserahkan kepada
Heehouw Kian. Si kakek menggapai Tiangsoen Thay jang lantas sadja menjambuti si
sakit dan menggendongnja. Sesaat itu, Lie It menengok kearah Hian Song dan
matanja kebentrok dengan sinar mata si nona. Baru sadja Tiangsoen Thay berdjalan
beberapa tindak, mendadak terdengar suara tindakan Hian Song jang mengubar dari
belakang. Lie It menengok dan melihat si nona mendatangi dengan membawa khim dan
pedangnja. "Aku hampir lupa ", kata Hian Song dengan tertawa sedih. "Khim dan
pedangmu ketinggalan di kereta ". Pemuda itu ingin mengutjapkan terima kasih,
tapi mulutnja terkantjing. Achirnja, sambil mengawasi si nona dengan sorot mata
jang sukar dilukiskan, ia mengangguk beberapa kali. Tiangsoen Pek buru2
menghampiri dan menjambut tabuh2-an dan sendjata itu dengan mata mendelik, tapi
Hian Song sendiri menjerahkannja dengan tenang, se-olah2 ia tak lihat sikap
bermusuhan itu. Beberapa saat kemudian, kereta berlalu. Hati Lie It mentjelos,
ia merasa seperti djuga baru tersadar dari impian
sedap, ia merasa se-akan2 kehilangan sesuatu dan alangkah beruntungnja, djika
impian itu dapat disambung pula. Ia menghela napas dan berkata dalam
hatinja : ,Apakah aku masih bisa bertemu lagi dengannja ?". Perginja Hian Song
diawasi oleh semua orang dengan perasaan heran. Tak ada jang menghaturkan terima
kasih kepadanja. Selang beberapa saat barulah Kok Sin Ong berkata dengan suara
perlahan : "Wanita itu sungguh aneh. Aku tak pernah menduga, bahwa ia akan
menjerahkan Lie Kongtjoe kepada kita ".
---oo0oo--SEMENTARA itu, Tiangsoen Thay sudah membawa Lie It masuk kedalam rumah Heehouw
Kian dan menaruhnja dalam sebuah kamar jang bersih. Semua orang berdiri
disekitar pembaringan untuk menjaksikan pengobatan jang akan diberikan oleh si
kakek. Sambil meramkan kedua matanja, Heehouw Kian menempelkan tiga djari
tangannja pada nadi pemuda itu. Selang beberapa saat, ia bertanja dengan suara
heran: "Lagi kapan kau kena sendjata beratjun itu ?". "Sudah tudjuh hari ",
djawab Lie It. "Apakah terlambat ?", menjelak Tiangsoen Pek dengan suara
berkuatir. "Bukan," djawab si kakak. "Aku merasa heran, karena hawanja mengalir
dengan leluasa didalam tubuhnja, sehingga, biarpun tidak diobati olehku,
djiwanja sudah tertolong, hanja ilmu silatnja tak bisa pulih kembali ". Kok Sin
Ong djuga merasa heran. Ia mengenal baik isi lweekang pemuda itu dan ia tahu,
bahwa tanpa bantuan, Lie It tak akan mampu menjembuhkan dirinja sendiri.
"Mungkin sekali karena aku telah dibantu oleh Boe Hian Song ", katanja dengan
suara tawar. Ia tjoba mengambil sikap atjuh tak atjuh, tapi didalam hati, ia
merasa berterima kasih bukan main terhadap nona jang tjantik itu. Dilain saat,
Heehouw Kian sudah menantjapkan djarum emas didjalan darah Kian-keng-hiat,
Thian-kie-hiat dan Hong-hoe-hiat. "Dengan tiga djarum emas ini aku akan
mengeluarkan sisa ratjun jang masih mengeram dalam tubuhmu ", katanja. "Dalam
tempo kira2 setengah bulan, kau bukan sadja akan sembuh, tapi djuga akan dapat
pulang semua kepandaianmu ". "Apa aku boleh bitjara dengannja?", tanja Kok Sin
Ong. "Tak halangan, karena bahaja sudah lewat ", djawab si kakek. Sesudah
mengawasi pemuda itu, Kok Sin Ong berkata dengan suara perlahan: "Lie Hiantit,
aku sungguh merasa sangat malu terhadapmu ". "Loopeh tak usah mengatakan begitu
", kata Lie It. "Urusan didalam dunia ber-ubah2 dan tak ada manusia jang dapat
menduga lebih dulu, apa jang akan terdjadi ". Ia mendjawab begitu, karena
menganggap bahwa orang tua itu merasa malu sebab kegagalan Eng-hiong Tay-hwee.
Tapi apa jang dimaksudkan Kok Sin Ong sebenarnja bukan begitu. Sesudah, bengong
sedjenak. orang tua itu bertanja pula : "Tjara bagaimana kau sampai dilukakan
oleh kedua memedi itu ?". Lie It lantas sadja menuturkan segala kedjadian pada
hari itu. Kok Sin Ong kelihatan berduka sekali dan ia berkata dengan suara parau
: "Aku tahu, bahwa sifat2 djahat dari kedua memedi itu sukar dapat diubah. Hanja
aku tak njana, mereka berani mentjelakakan Thaytjoe dan kemudian melukakan kau.
Malam itu, waktu kita berada di Pa-tjioe, aku tidak memberitahukan kau tentang
kedatangan mereka, sebab ... sebab ... ". "Aku mengerti maksud Loopeh ",
memotong Lie It. "Mungkin sekali Loopeh menganggap, bahwa paling banjak mereka
akan mentjulik Thaytjoe dan tak akan berani turunkan tangan djahat terhadap
putera kaisar itu. Pwee Yam Taydjin djuga bisa djadi hanja memikir sampai
disitu. Ia ingin menggunakan nama Thaytjoe untuk merubuhkan Boe Tjek Thian. Aku
mengerti, bahwa sebab-musabab mengapa Loopeh sudah tidak memberitahukan hal itu
kepadaku, jalah karena Loopeh kuatir aku tidak setudju dan djadi kebentrok
dengan kedua memedi itu ". Tapi se-benar2-nja, dibinasakannja Thaytjoe Lie Hian
adalah atas perintah Pwee Yam. Sampai waktu itu, Kok Sin Ong dan Lie It samasekali tidak menduga, bahwa Pwee Yam begitu busuk. Kok Sin Ong menghela napas
ber-ulang2. "Tapi biar bagaimanapun djua, dari sini kita dapat melihat, bahwa
Pwee Yam bukan seorang baik ", katanja dengan suara berduka. "Djika dibandingkan
setjara djudjur, merekalah jang lebih bersih daripada Pwee Yam ". Dengan
"mereka", orang tua itu maksudkan Boe Tjek Thian dan Boe Hian Song. Lie It pun
turut berduka. Untuk beberapa saat, mereka tidak ber-kata2. "Tapi aku tetap
berpendapat, bahwa Boe Tjek Thian adalah dorna pentjuri negara ", katanja.
"Memang tidak dapat disangkal, dia telah melakukan beberapa perbuatan baik. Akan
tetapi, itu semua adalah untuk mendapat nama, untuk kepentingan diri sendiri,
supaja rakjat menakluk terhadapnja. Mengenai Boe Hian Song, akupun berpendapat,
bahwa dia seorang baik, seorang pendekar wanita ". Mendengar pudjian pemuda itu
terhadap Hian Song, orang jang merasa tersinggung adalah Tiangsoen Pek. Tapi ia
tidak mengatakan suatu apa, karena ia baru sadja mengenal pemuda itu. "Masih
untung sepak-terdjang Gouw-kok-kong Tjie Keng dapat dipertanggung-djawabkan ",
kata pula Lie It. "Makin tua aku djadi makin tolol ", kata Kok Sin Ong.
"Terang2-an aku mengakui, bahwa sekarang aku sudah tak tahu apa jang benar dan


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa jang salah. Beruntung sekali aku sudah bersumpah untuk tidak menggunakan
lagi pedang, sehingga aku boleh tak usah memperdulikan lagi, apa jang benar atau
apa jang salah. Aku dan Sie-heng masih tetap bersahabat, tapi soal negeri tak
dapat aku mentjampuri lagi. Harap Sie-heng bisa mengerti dan suka memaafkannja
". Lie It kaget. Ia tak njana Kok Sin Ong sudah djadi begitu tawar terhadap
urusan dunia. "Aku dengar, pada waktu Eng-hiong Tay-hwee hampir bubar, seorang
wanita kena dipukul oleh Hiong Kie Teng ", kata Tiangsoen Thay. "Didengar dari
lukisan wadjahnja, wanita itu seperti djuga Soemoayku ". "Benar, ia memang
Siangkoan Wan Djie ", kata Lie It. Mendengar djawaban itu, Tiangsoen Thay djadi
girang. "Apakah Thianhee mengenal ia ?", tanjanja pula. "Semendjak ia berusia
enam tudjuh tahun, kami sudah saling mengenal ", djawab Lie It. Sehabis berkata
begitu, didepan matanja kembali terbajang saat2 kapan ia berada ber-sama2 nona
itu. Akan tetapi, bajangan Boe Hian Song tetap tidak menjingkir dari alam
pikirannja: Tiangsoen Thay jang tidak setjerdas adiknja, tidak memperhatikan
perubahan pada paras muka Lie It. Ia madju setindak dan bertanja pula : "Habis
bagaimana ?". "Dalam keadaan kalut, ia telah menghilang ", djawabnja. Tiangsoen
Thay kaget dan ketjewa. "Apakah Thianhee tidak pernah menerima warta lagi
tentang ia ?", tanjanja pula dengan suara berkuatir. "Aku dengar ia pergi untuk
membunuh Boe Tjek Thian ", djawab Lie It dengan suara perlahan. Tiangsoen Thay
terkesiap, paras mukanja lantas sadja berubah putjat. "Benarkah ?", ia menegas.
"Orang jang membawa warta itu adalah seorang sahabat jang boleh dipertjaja ",
menerangkan Lie It. "Sahabat itu mengatakan, bahwa kita tak usah terlalu
berkuatir karena ia pertjaja Wan Djie tidak akan mendapat bahaja apapun djua ".
"Benar, Wan Djie sangat ber-hati2 dan ia tentu akan bertindak dengan mengimbangi
selatan ", kata Tiangsoen Pek. Lie It sengadja tidak mau memberitahukan terang2an, bahwa orang jang membawai warta adalah Boe Hian Song. Sesudah berdiam
sedjenak ia berkata lagi : "Sahabat itu menduga, bahwa Wan Djie akan menakluk
kepada Boe Tjek Thian. Djika benar dugaan itu, bagiku Wan Djie seperti sudah
meninggal dunia. Kalau benar ia menekuk lutut kepada musuh, perbuatannja sama
mendukakannja seperti djuga ia terbinasa didalam tangan musuh !". Tiangsoen Thay
tidak mengatakan suatu apa lagi, ia hanja menunduk sambil menghela napas. "Lie
Hiantit ", kata Kok Sin Ong, "kau belum sembuh dan tak boleh kau terlalu banjak
menggunakan tenaga. Mengasolah. Segala urusan bisa dibitjarakan belakangan.
Heehouw-heng, aku akan berangkat sekarang djuga untuk menjambut Tiangsoen Koen
Liang ". "Moay-moay, kau berdiam disini untuk bantu merawat Thianhee ", kata
Tiangsoen Thay. "Aku sendiri akan mengikut Kok Pehpeh guna menjambut ajah ".
"Sekalian djalan, kau harus dengar2 halnja Wan Djie ", kata si adik seraja
mengangguk. Mulai hari itu Lie It diobati oleh Heehouw Kian dengan tusukan
djarum emas dan dirawat oleh Tiangsoen Pek dengan teliti. Sesudah berselang
setengah bulan, ia bukan sadja sudah bisa bergerak dengan leluasa, tapi sebagian
besar ilmu silatnja pun sudah pulih kembali. Hari itu, seorang diri ia duduk
termenung dalam kamarnja. Dengan perasaan duka, pikirannja melajang ketempat
djauh. Ia ingat Hian Song jang gagah dan kemudian ingat Wan Djie jang lemahlembut. Ia melongok keluar djendela dan melihat daun2 kuning jang berhamburan
diselebar pekarangan, karena waktu itu sudah masuk permulaan musim rontok.
Sesudah termenung beberapa saat, mulutnja ber-kemik2, menghafal sjair jang dulu
diberikan oleh Wan Djie kepadanja :
"Di telaga Tong-teng, daun2 baru rontok ditiup angin, Kuingat ia jang terpisah
djauh berlaksa Ii, Kabut tebal, memakai selimut, masih terasa dingin, Bulan
dojong, dibelakang sekosol tiada bajangannja lagi. Kuingin menabuh lagu dari
Kanglam, Kuingin membatja sjair Hopak utara, Kitab sjair bebas dari maksud lain
jang mendalam, Ku hanja bersadih karena sudah lama berpisah ".
Ia menghela napas dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Ja. Aku hanja
bersedih karena sudah lama berpisah. Apa benar kau memikirkan aku sampai begitu
rupa" Aih ! ...". Ia mengambil khim, mengakurkan tali2-nja dan kemudian memetik
lagu "kun kuning, badju hidjau". Mendadak, diantara suara tabuh2-an jang
menjajat hati, terdengar teriakan njaring: "Merdu ... Sungguh merdu suara khim
itu ...!". Ia menengok dan melihat si nona tengah mengawasinja dengan alis
berkerut, seperti djuga ada sesuatu jang kurang enak. "Apa ada warta djelek ?",
tanjanja dengan hati berdebar. Selama belasan hari itu, biarpun masih sakit, Lie
It sangat ingin tahu hasilnja gerakan Tjie Keng. Maka itu, untuk menghiburnja,
setiap hari Tiangsoen Pek menjamar sebagai lelaki dan pergi ke warung teh atau
warung arak untuk men-dengar2 warta atau desas-desus jang tersiar di-tempat2
itu. "Tak ada warta djelek ", djawabnja. "Aku hanja mendengar sebuah lelutjon
atau teka-teki jang tidak dapat dipetjahkan olehku dan aku ingin meminta
petundjuk Thian-hee ". "Apakah itu ?", tanja Lie It sambil tersenjum. "Kau
begitu pintar, tak mungkin ada sesuatu jang tidak dapat ditembus olehmu ".
"Kalau mau bitjara tentang kepintaran, Wan Djie Moay-moay barulah seorang pintar
", kata si nona seraja tertawa. "Djika di rendengkan dengannja, sedikitpun aku
tidak nempil ". "Pek-moay, kalau kau terus bitjara begitu sungkan, aku tak akan
berani bitjara dengan kau lagi ", kata Lie It. "Ja, sudahlah !", kata si nona.
"Barusan, mendadak aku ingat sebuah teka-teki jang agak sulit dan djika kau
tidak mentertawai, aku akan memberitahukannja kepadamu ". "Bagus! Katakanlah ",
kata Lie It. "Tadi aku telah mendengar sebuah lelutjon jang menjerupai teka-teki
", kata si-nona. "Seorang badjak telah mendapat hukuman mati. Algodjo jang
mendjalankan hukuman mati mempunjai kepandaian tinggi dan dengan sekali menjabet
dengan goloknja, kepala badjak itu djatuh ditanah. Mendadak kepala itu berkata :
Bagus ! Bagus sekali sebetan golokmu itu ! Sekarang, pertanjaannja adalah begini
: Apakah orang jang mendapat hukuman mati itu, manusia pintar atau manusia tolol
?". Lie It tertegun, tapi sesaat kemudian, ia mendjawab sambil tertawa :
"Tolol ! manusia tolol ! Tapi aku tak pertjaja, bahwa dalam dunia ada manusia
jang setolol dia, sesudah dibinasakan, dia masih memudji jang membinasakannja ".
"Tapi aku berpendapat lain ", kata nona Tiangsoen. "Aku merasa, didalam dunia
memang terdapat banjak manusia jang sama tololnja seperti dia. Perbedaannja
jalah, tidak semua orang dibinasakan dengan golok ". Tiba2 ia menutup mulutnja
dengan tangan dan berkata pula sesudah tertawa ketjil : "Ada jang dibinasakan
dengan omongan manis, ada jang dibinasakan dengan tjinta palsu, dan tjelakanja,
sesudah mati, orang jang mendjadi korban masih tak dapat melupakan ,si algodjo'
". Sebagai seorang jang otaknja tjerdas, Lie It lantas sadja mengerti maksud
nona Tiangsoen. "Biarpun ia menjindir aku, tapi sindirannja bukan tidak
beralasan ", katanja didalam hati. "Biar bagaimanapun djua, Boe Hian Song adalah
seorang musuh atau sedikitnja berdiri dipihak musuh. Pek-moay sungguh pintar.
Dengan mendengar suara khim, ia lantas bisa menebak apa jang dipikir olehku ".
Sesudah dapat menenteramkan hatinja jang bergontjang keras, ia berkata dengan
suara perlahan, "Pek-moay, terima kasih atas petundjukmu. Kau ternjata banjak
lebih pintar daripada aku, Hmmm ... apakah hari ini tidak ada lain warta ?".
"Jang djelek tak ada, tapi ada jang luar biasa ", djawabnja. "Apa ?". "Menurut
katanja beberapa orang jang sedang minum teh, Boe Tjek Than ingin membuka udjian
untuk kaum wanita ". "Itu tidak luar biasa. Boe Tjek Thian seorang wanita,
sehingga dapatlah dimengerti, djika ia ingin memilih beberapa wanita pintar
untuk didjadikan pembesar negeri ". "Tapi dalam pada itu terselip sesuatu jang
luar biasa. Menurut katanja orang, firman pengumuman mengenai udjian itu ditulis
oleh Siangkoan Wan Djie. Lebih dari itu, orang mengatakan bahwa Wan Djie telah
mendjadi pembesar wanita tingkat keempat ! Itulah benar2 warta luar biasa ". Lie
It terkesiap dan buru2 menanjakan pula : "Apa benar mereka mengatakan begitu ".
"Orang jang bitjara, jang duduk dimedja dekat medjaku, adalah dua orang Sioetjay
", menerangkan Tiangsoen Pek. "Mereka baru sadja kembali dari Tiang-an dan apa
jang mereka bitjarakan sebagian besar mengenai Wan Djie. Boe Tjek Thian katanja,
telah mengangkat Wan Djie mendjadi pembesar tingkat keempat jang ditugaskan
untuk mengurus surat2 resmi. Selandjutnja mereka mengatakan, bahwa Boe Tjek
Thian telah mengadakan perdjamuan didalam istana untuk kehormatan Wan Djie dan
mengundang djuga para sastrawan untuk menggubah sjair. Katanja, dalam tempo
sepasangan hio, Wan Djie telah merampungkan sepuluh sjair jang sangat bagus,
sehingga semua sastrawan telah dikalahkan. Sesudah itu, barulah Boe Tjek Thian
memberitahukan, bahwa Wan Dje adalah tjutju Siangkoan Gie, sehingga semua orang
djadi kaget bukan main. Kedjadian itu terdjadi pada bulan jang lalu dan nama Wan
Djie katanja sudah menggetarkan seluruh kota Tiang-an dan rakjat sudah
mengetahui bahwa didalam istana terdapat seorang Tjay-lie (wanita pintar).
Menurut kata kedua Sioetjay itu, banjak pembesar pendjilat telah menulis surat
untuk memberi selamat kepada Boe Tjek Thian dan banjak orang me-mudji2
keberanian kaisar itu jang sudah menggunakan puteri dari musuhnja ". Paras muka
Lie It lantas sadja berubah putjat. Biarpun ia pernah mendengar dugaan Hian
Song, sedikitpun ia tidak pertjaja, bahwa Wan Djie jang mempunjai sakit hati
begitu besar, bisa menekuk lutut dan rela mendjadi pembantu dari kaisar Boe Tjek
Than. Ia bengong seperti patung dan keringat dingin mengutjur dari dahinja.
"Thianhee, mengapa kau ?", tanja nona Tiangsoen dengan perasaan kuatir. Ia tidak
mendjawab dan tetap bengong. "Thianhee, akupun tidak pertjaja tjeritera itu ",
kata Tiangsoen Pek dengan suara membudjuk. "Nanti sesudah kau sembuh, kita boleh
pergi ke Tiang-an untuk menjelidiki terlebih landjut. Apa kau setudju ?". "Aku
lebih suka tidak tjoba memetjahkan teka-teki ini ", djawab Lie It dengan suara
parau. "Sebab, andaikata benar, bagaimana " Bagaimana andai kata tjerita itu
benar ?". Melihat kedukaan pemuda itu, Tiangsoen Pek turut berduka, kedua
matanja merah, hampir2 ia mengutjurkan air mata. "Wan Djie dan aku adalah
seperti saudara sendiri ", katanja dengan suara perlahan. "Kalau benar, biar
bagaimanapun djua, aku akan membudjuk supaja ia meninggalkan musuh besar itu ".
"Kalau tidak berhasil?", tanja Lie It. "Kalau tidak berhasil, aku akan anggap ia
sudah mati ", djawabnja. "Thianhee, aku merasakan apa jang dirasakan olehmu.
Kedukaanku tidak lebih enteng dari pada kedukaanmu. Tapi kau seorang turunan
kaisar dan djuga seorang gagah, sehingga kau harus bersikap sesuai dengan
sikapnja laki2 sedjati. Dunia ini sangat lebar. Apakah dalam dunia ini tidak
terdapat lain orang jang seperti Wan Djie ?". Lie It terkedjut. Ia menengok dan
apa mau, sorot matanja kebentrok dengan sorot mata nona Tiangsoen, jang, karena
malu, lantas sadja menundukkan kepalanja. Hati pemuda itu bergontjang. Apakah,
disamping Wan Djie dan Hian Song, ia bakal menerbitkan lagi salah mengerti dalam
lubuk hatinja Tiangsoen Pek ".
---oo0oo--MENDADAK sadja, kesunjian dipetjahkan oleh bentakan orang : "Siapa kau " Hei !
Mau apa kau ?". Dengan serentak Lie It dan Tiangsoen Pek melongok keluar
djendela. Seorang Toosoe sedang mendatangi kearah kamar mereka dan dibelakang
imam itu mengubar dua katjungnja Heehouw Kian jang ber-teriak2 dengan penuh
kegusaran. Toosoe itu, jang berusia kira2 lima puluh tahun, mengenakan djubah
pertapaan warna hidjau dan dengan djenggotnja jang bertjabang tiga, ia
kelihatannja bukan sembarang orang. Sementara itu, tanpa memperdulikan bentakan
orang, Toosoe itu madju terus sambil mengebas pohon bunga dan pohon obat jang
menghadang didepannja. "Thianhee, lihat !", tiba2 Tiangsoen Pek berteriak sambil
menuding Toosoe itu. Lie It djuga sudah melihat, bahwa setiap pohon jang
tersentuh tangan si imam lantas sadja mendjadi laju !. Hatinja mentjelos, karena
ilmu itu bukan main hebatnja. Tanpa meladeni teriakan orang, dia madju terus.
"Hai ! Kalau kau tidak berhenti, kami akan tidak sungkan2 lagi !", teriak pula
salah seorang katjung. Tapi si imam tetap tidak menggubris. Seorang katjung
segera mematahkan setjabang pohon dan dengan sekali mengajun tangan, tudjuh
potong tjabang menjambar kearah djalan darah imam itu. "Bagus !", memudji Lie
It. Tapi di lain detik, Lie It terkesiap, sebab, begitu menjentuh pakaian si
Toosoe, potongan2 tjabang itu djatuh meluruk ditanah. "Itulah Tjiam-ie Sip-pattiat !", ia mengeluh. Ilmu Tjiam-ie Sip-pat-tiat (Merubuhkan musuh jang
menjentuh pakaian) adalah salah satu matjam ilmu silat jang paling tinggi. Untuk
memiliki ilmu itu seseorang harus mempunjai lweekang jang sangat kuat, sehingga
setiap bagian tubuhnja dapat memukul musuh dengan menggunakan ilmu "memindjam
tenaga, memukul tenaga". Itulah sebabnja mengapa, seorang musuh bisa lantas
rubuh begitu lekas ia menjentuh pakaian orang jang memiliki ilmu tersebut dan
tudjuh potong tjabang pohon itu telah dipukul djatuh dengan Tjiam-ie Sip-pattiat. Melihat kawannja gagal, katjung jang satunja lagi lantas sadja mendjemput
sebuah batu besar, jang beratnja kira2 seratus kati, dan sesudah mengerahkan
tenaganja, ia menimpuk. Imam itu tertawa besar, "Bagus ! Aku boleh tak usah
menghantam pintu !". Seraja berkata begitu, ia menjambut batu itu dengan dua
djeridjinja dan kemudian mendorongnja kearah pintu. Dengan satu suara
gedubrakan, pintu kamar itu hantjur. Sambil menarik tangan Tiangsoen Pek dan
mengambil pedang, Lie It mundur kepodjok kamar. Dilain saat, si imam sudah
menerobos masuk dan mengawasi kedua orang muda itu dengan mata jang bersorot
ungu. Mendadak, seraja menuding Lie It, ia berkata : "Heran ! Sungguh heran !
Kau kena Swee-koet-tjhie-piauw dan Touw-hiat-sin-tjiam dari kedua muridku tjara
bagaimana kau masih bisa hidup sampai sekarang !". Lie It terkesiap, sekarang
baru mereka tahu, bahwa Toosoe itu adalah guru Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie.
Sesudah menenteramkan hatinja, sambil membungkuk Lie It bertanja : "Bolehkah aku
mendapat tahu, untuk apa Lootjianpwee datang kemari ?". "Aku sengadja datang
untuk melihat kepandaian Heehouw Kian dalam menggunakan djarum emas ", djawabnja
dengan suara menjeramkan. "Eh, buka badjumu !". "Yauw-to (imam siluman) !",
bentak Lie It dengan gusar. "Kau sungguh kurang adjar. Djika kau ingin
menjaksikan ilmu mengusir ratjun dengan djarum emas, kau harus menemui Kim-tjiam
Kok-tjhioe sendiri ". Sebaliknja daripada gusar, dia tertawa ter-bahak2. "Tentu
sadja aku akan menemui Heehouw Kian ", katanja. "Tapi aku seorang jang tidak
sabaran. Sekarang lebih dulu aku ingin lihat, tjara bagaimana kau masih bisa
hidup sampai sekarang. Kalau kau tidak menurut, akulah jang akan membuka badjumu
". Darah Lie it meluap. Sambil melompat, ia mengajun pedangnja dan menikam
djalan darah Sin-teng-hiat, dipergelangan tangan Toosoe itu. Si imam tersenjum
dan dengan sekali menggeser kaki, ia sudah menjelamatkan diri dari tikaman jang
hebat itu. Hati Lie It mentjelos, ia sekarang sudah berhadapan dengan imam itu
dan tidak bisa lari lagi. Tanpa memikir lagi, dengan pukulan Giok-lie-touw-so
(Dewi menenun), ia menikam tenggorokan orang. Ia menganggap, bahwa dengan
tikaman itu, biarpun tidak bisa melukakan, ia sedikitnja akan dapat mengundurkan
musuh. Tapi diluar dugaan, toosoe aneh itu tidak bergerak. Tiba2 ia mengangkat
tangannja dan tjoba mendorong udjung pedang dengan dua djeridjinja. Lie It kaget
dan berkata dalam hatinja : "Biarpun dia berkepandaian tinggi, tapi sebagai
manusia jang terdiri dari darah-daging, tak dapat ia menahan pedang mustika-ku.
Walaupun dia kurang adjar, aku tidak boleh sembarangan membunuh orang ". Selagi
ia bersangsi, mendadak terdengar suara "tring" dan pedangnja disentil, akan
kemudian didjepit oleh kedua djeridji imam itu. Hampir berbareng ia merasakan
telapak tangannja kesemutan dan sendjatanja sudah pindah ketangan musuh. Si imam
tertawa dengan sikap sombong dan sesudah melontarkan pedang itu ke lantai, ia
berkata : "Hmmm ... Kalau begitu kau murid Oet-tie Tjiong. Ilmu pedangmu boleh
djuga, tapi kau tak akan bisa berbuat banjak dihadapanku ". Seraja berkata
begitu, ia mendesak. Buru2 Lie It mengerahkan seluruh lweekangnja dan mendorong
dengan menggunakan pukulan Im-yang-tjiang. Tapi sebelum tangannja menjentuh
djubah musuh, terdengar suara "bret", dan badjunja dibagian dada, sudah mendjadi
robek. Si Toosoe mengawasi dada pemuda itu. "Benar2 heran ", katanja. "Heehouw
Kian sudah berhasil menjembuhkan kau ! Tapi aku ingin menjaksikan sendiri
kepandaiannja. Sekarang aku akan memukul kau dan aku mau melihat, apakah ia
masih mampu mengobati ". Lie It gusar bukan main. Tanpa memperdulikan bahaja, ia
menghantam dengan kedua tangannja. Sambil tersenjum si toosoe mengebutkan lengan
djubah kiri jang sudah lantas menggulung kedua tangan pemuda itu sehingga tidak
dapat bergerak lagi. Dilain saat, Toosoe itu mengangkat telapak tangan kanannja
jang berwarna hitam dan per-lahan2 menurunkannja kedada Lie It. Lie It tidak
berdaja lagi. Ia meramkan kedua matanja untuk menerima kebinasaan. Tiba2, pada
detik jang sangat berbahaja, kesunjian dalam kamar itu dipetjahkan oleh teriakan
jang menjajat hati : "Tahan !". Satu bajangan berkelebat, seorang wanita memeluk
Lie It dan memasang punggungnja untuk menerima pukulan. Wanita itu bukan lain
daripada Tiangsoen Pek. Si imam kaget dan menahan turunnja tangan.
"Minggir ...!", bentaknja. "Apakah kau mau tjari mampus ?". Si nona tetap
memeluk pemuda itu. "Toosoe bau ! Biar mampus aku tak akan minggir !",
teriaknja. Sesaat itu si imam mengendus bau wangi. Se-konjong2 ia menjeringai.
"Benar ", katanja. "Aku Toosoe bau, kau nona wangi. Aku sungguh tak tega turuntangan terhadap wanita jang setjantik kau ". Untuk sedjenak ia bersangsi. Ia
sudah mengerahkan hawa beratjun dikedua tangannja, sehingga, siapapun jang
tersentuh akan segera binasa. Tiba2 ia mentjabut tusuk kondenja untuk menotok
djalanan darah Tiangsoen Pek dan sesudah nona itu rubuh, barulah ia akan
menghantam Lie It. Tapi, sebelum maksudnja tertjapai, sehelai sinar perak
menjambar dan "tring !", tusuk konde itu terpukul miring. Si imam tertawa terbahak2. "Ha ... ha ... ha ...! Heehouw Lauwtee !", serunja. "Achirnja kau keluar
djuga ". "Hidung kerbau !", bentak Heehouw Kian. "Sebagai tetua sebuah tjabang
persilatan, apakah kau tak malu melakukan perbuatan serendah itu ?". "Ah ....!
Mengapa begitu membuka mulut, kau lantas mentjatji orang ?", kata si imam.
"Bukankah kesajanganku terhadap nona jang tjantik ini, sama sadja seperti
kesajanganmu terhadap pohon bunga atau pohon obat " Mengapa kau mentjatji aku
sebagai manusia rendah ?". "Sebagai seorang tua kau telah menghina seorang muda
", kata Heehouw Kian. "Apakah itu bukan perbuatan rendah ?". "Tidak, aku tidak
bermaksud untuk menghina orang ", membantah si Toosoe. Aku hanja ingin mentjoba2 kepandaianmu dalam menggunakan djarum emas ". "Apa maksudmu " Aku tak
mengerti ". "Aku selamanja menganggap, bahwa ratjunku tidak dapat dipunahkan
oleh siapapun djua dalam dunia. Tapi diluar dugaan, kau sudah berhasil
memunahkannja. Mungkin sekali hal itu disebabkan karena lweekang kedua muridku
masih belum tjukup tinggi atau ratjunnja tidak tjukup hebat. Maka itu, aku ingin
menghadjar dia lagi. Djika didalam tiga bulan kau dapat menjembuhkannja lagi,
barulah aku merasa takluk ". Heehouw Kian mengerutkan alisnja. "Gila kau !",
bentaknja. "Mana boleh kau main2 dengan djiwa manusia " Apakah kau tidak tahu,
bahwa membinasakan manusia adalah perbuatan jang berdosa terhadap langit ?". Si
imam kembali tertawa ter-bahak2. "Kau sungguh mulia ", katanja dengan suara
menjindir. "Apakah aku berdosa " Menurut pendapatku, tindakanku adalah untuk
kepentingan kita berdua. Aku menggunakan dia untuk mendjadjal Tok-tjiang


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(pukulan beratjun). Kalau kau berhasil menjembuhkannja, maka kita bisa menarik
kesimpulan, bahwa ilmu pengobatanmu sudah sempurna. Djika kau gagal, dapatlah
dikatakan, bahwa didalam Rimba Persilatan telah muntjul suatu ilmu jang
istimewa. Maka itu, pertjobaanku ini akan banjak faedahnja untuk ilmu silat.
Mengenai djiwa manusia, kurasa tak perlu kau menghiraukan djiwa hanja satu
manusia demi kepentingan Rimba Persilatan ". Dengan mendongkol Heehouw Kian
mengawasi Toosoe aneh itu jang djalan pikirannja berbeda dengan manusia biasa.
Sudah tiga puluh tahun ia mengenal imam itu jang bergelar Thian-ok Toodjin,
djago terutama dalam kalangan ilmu silat jang menjeleweng. Puluhan tahun, Thianok selalu menganggap, bahwa pukulan Tok-tjiang dan sendjata beratjunnja tiada
keduanja didalam dunia dan tidak akan dapat dipunahkan oleh siapapun djua.
Sebagai tetua, djarang sekali ia muntjul didalam kalangan Kang-ouw. Kali ini ia
menjateroni rumah Heehouw Kian karena ia dengar, bahwa orang berilmu itu sudah
berhasil menjembuhkan Lie It jang dilukakan oleh kedua muridnja. Sebagai "biang
ratjun", ia merasa sangat penasaran kalau benar ratjunnja dipunahkan orang.
Heehouw Kian mengerti, bahwa terhadap manusia aneh itu, tak
guna ia bertengkar. "Ilmu manusia ini agaknja hebat sekali ", pikirnja. "Dia
masih tetap sama gagahnja seperti tiga puluh tahun berselang, waktu aku pertama
bertemu dengannja ". Ia mengawasi kedua tangan si imam jang berwarna hitam dan
meskipun ia dikenal sebagai Kim-tjiam Kok-tjhioe, tak urung ia merasa kaget.
"Heehouw Lauwtee, apakah kau membawa djarum emas ?", tanja si imam. "Aku akan
segera turun tangan ". Seraja berkata begitu, ia bergerak untuk menubruk Lie It.
Heehouw Kian melompat dan menghadang didepannja. "Tahan !", katanja. "Aku mau
bitjara dulu ". "Apa kau mau membudjuk aku ?", tanja Thian-ok. "Djika benar, tak
guna kau menggojang lidah ". "Bukan, aku bukan mau membudjuk kau ", djawabnja.
"Akupun ingin sekali menjaksikan kelihayan Tok-tjiangmu. Aku hanja ingin
mengundjuk, bahwa Lie Kongtjoe belum sembuh dari lukanja, sehingga, andai-kata
kau berhasil membinasakannja, tak dapat kau mengatakan, bahwa pukulanmu itu
tiada bandingannja didalam dunia ". Si imam berdiam sedjenak. "Benar djuga kau
", katanja. "Tapi siapa jang boleh didjadjal olehku ?". Heehouw Kian tersenjum.
"Aku bukan seorang pandai, tapi biarlah aku sadja jang tjoba menjambut pukulanmu
", djawabnja. "Apakah kau setudju ?". Mendengar itu, Lie It terkedjut dan sambil
melompat madju ia berseru : "Tidak boleh ! Heehouw Loopeh, kau tidak boleh madju
sendiri. Biarlah aku sadja jang mendjadjal kepandaiannja. Djika aku terluka,
Loopeh masih bisa mengobati. Tapi djika Loopeh jang terluka, didalam dunia tidak
ada lain Kim-tjiam kok-tjhioe ". "Botjah ! Djangan rewel !", bentak Thian-ok.
"Sekarang aku tak sudi turunkan tangan atas tubuh botjah sematjam kau ". Seraja
berkata begitu, ia mengebas dengan tangan djubahnja dan Lie It lantas sadja
terpental dan djatuh di pembaringan. Ia menengok kearah Heehouw Kian dan berkata
pula : "Benar, memang kau jang berhak untuk menerima pukulanku. Sebagai seorang
berilmu, kau sangat tjotjok untuk mendjadi sasaran Tok-tjiang ". Ia segera
mengangkat tangannja untuk memukul. "Tunggu dulu ", kata Heehouw Kian.
"Bagaimana djika aku berhasil menerima pukulanmu ?". "Bagaimana ?", menegas
Thian-ok. "Kalau aku berhasil, apakah kau bersedia untuk berdjandji, bahwa kau
tidak akan menggunakan lagi Tok-tjiang terhadap orang lain ?". "Aku tidak begitu
tolol ! Kalau kau berhasil, kau hanja membuktikan, bahwa ilmuku belum sempurna.
Aku akan berlatih lagi dan sesudah sempurna, aku akan datang kembali untuk
mendjadjal pula ". "Dan selama kau berlatih ?". "Selama aku berlatih, aku tentu
tak akan menggunakan Tok-tjiang terhadap siapapun djua ". Heehouw Kian
mengerutkan alisnja dan berpikir sedjenak. Ia merasa, bahwa meskipun tidak dapat
melarangnja untuk se-lama2-nja, sedikitnja ia bisa membatasi penggunaan Toktjiang selama beberapa tahun. Maka itu, ia lantas sadja berkata : "Baiklah, kau
boleh segera turun tangan ". Thian-ok Toodjin lantas sadja meng-gosok2 kedua
telapak tangannja jang segera mengeluarkan warna hitam. Lie It dan Tiangsoen Pek
mengawasi dengan djantung berdebar keras. Untuk beberapa saat, mereka berdiri
tegak sambil mendjalankan pernapasan. "Bagaimana ?", tanja Thian-ok sesudah
djalan pernapasannja pulih kembali. Heehouw Kian tersenjum. ,Terima kasih,
untung djuga tulang2 tuaku masih dapat menahan pukulanmu ", djawabnja. "Dan
bagaimana dengan kau sendiri ?". Mendengar suara si kakek, barulah Lie It dan
nona Tiangsoen bisa bernapas lega. Dilain pihak, Thian-ok mengawasi Heehouw Kian
dengan perasaan heran. Bahwa si kakek dapat menerima tenaga pukulannja, berarti
bahwa tenaga lweekangnja sudah mentjapai puntjak jang paling tinggi. Tapi hal
jang sangat mengherankannja, jalah kemampuan Heehouw Kian untuk menahan ratjun
Tok-tjiang. Ia mengawasi beberapa lama dan mendapat kenjataan, bahwa paras muka
kakek itu sedikitpun tidak berubah. Ia sungguh tidak pertjaja, bahwa ratjunnja
tidak mempan pada tubuh Heehouw Kian. Sementara itu, tanpa mengeluarkan sepatah
kata, Heehouw Kian sendiri terus mengerahkan seluruh lweekangnja untuk menolak
ratjun jang masuk kedalam badannja. Se-konjong2 Thian-ok tertawa ter-bahak2.
"Heehouw Lauwtee, kau sungguh lihay ", katanja. "Tapi aku masih belum mengaku
kalah ". "Bukankah aku sudah menjambut pukulanmu ?", tanja Heehouw Kian. "Aku
tidak pertjaja kau tidak mendapat luka didalam ", kata si imam. "Mungkin sekali
kau hanja dapat mempertahankan diri untuk sementara waktu. Aku akan berdiam
terus disini guna melihat kesudahannja ". Lie It dan Tiangsoen Pek terkedjut.
Dari perkataannja itu, Thian-ok ternjata masih belum puas dan mau bertanding
pula. "Aku tidak mempunjai tempo untuk menemani kau ", kata Heehouw Kian dengan
suara mendongkol. "Katakan sadja : Tjara bagaimana baru kau pertjaja ". "Mari
kita berkelahi dengan menggunakan ilmu silat ", djawabnja. "Djika kau mampu
melajani aku dalam seratus djurus, aku akan segera berlalu ". Si kakek tertawa
dingin. "Berkelahi adalah kebiasaan orang di-pasar2 ", katanja dengan sikap
angkuh. "Kalau mau mengukur kepandaian, tak perlu menggunakan tjara itu ".
Mendengar nada suara si kakek, Lie It djadi berkuatir, karena nada itu
mengandung perasaan djeri. Untung djuga Thian-ok tidak mendapat kesan seperti
Lie It. Ia menganggap, bahwa perkataan si kakek ada benarnja djuga, karena
sebagai pentolan2 dalam Rimba Persilatan, suatu perkelahian biasa memang agak
menurunkan deradjat. Sesudah memikir sedjenak, ia berkata : "Tjara apa jang mau
diusulkan olehmu " Baiklah, kau boleh mengadjukan usulmu ". Heehouw Kian segera
mengambil seutas tambang jang tergantung di pembaringan Lie it dan sambil
melontarkannja, ia berkata : "Sambutlah ...". Thian-ok menjambuti udjung tambang
itu. "Tjara bagaimana kita harus mendjadjal kepandaian ?", tanjanja. "Akupun
tidak pertjaja kau tidak mendapat luka didalam ", djawabnja. "Dengan perantaraan
tambang ini, aku akan mendengar ketukan nadimu. Sebagai seorang pandai, kurasa
kau djuga mengerti ilmu ini ". "Bagus !", kata Thian-ok. "Aku mengerti maksudmu.
Dengan tambang ini, kita bukan sadja bisa saling mendengar ketukan nadi, tapi
djuga bisa mendjadjal lweekang. Aku setudju !". Pembitjaraan kedua orang itu
mengingatkan Tiangsoen Pek akan tjeritera ajahnja. Sang ajah pernah menuturkan,
tjara bagaimana tabib istana memeriksa penjakit permaisuri atau selir kaisar.
Tabib itu tidak menjentuh nadi si-njonja, tapi hanja memegang udjung tali sutera
jang di-ikatkan ke pergelangan tangan si sakit. Dengan pertolongan tali itu, sitabib jang berdiri diluar tirai, dapat memeriksa penjakit itu. Pertandingan jang
bakal dilakukan oleh Heehouw Kian dan Thian-ok Toodjin djuga rupanja seperti
itu. Dilain saat Heehouw Kian dan Thian-ok sudah bersila dengan membelakangi
tembok sambil menarik tambang itu jang mendjadi tegang-lurus. Mereka meramkan
mata dengan tubuh tidak bergerak, se-olah2 sedang bersemedhi. Sesudah selang
kira2 setengah djam, tambang itu tergetar dengan perlahan dan djenggot Heehouw
Kian djuga ber-gojang2 tak hentinja. Tiangsoen Pek mengawasi pertandingan itu
dengan hati ber-debar2 sebab ia merasa, bahwa Heehouw Kian mulai djatuh dibawah
angin. Lewat beberapa saat, getaran tambang itu menghebat, sedang djubah
pertapaan Thian-ok mulai ber-gerak2. Lie It tahu, bahwa pertarungan lweekang itu
mendekati puntjaknja. Sesaat itu, si imam sedang ter-girang2, karena detak nadi
Heehouw Kian makin lama djadi makin lemah dan achirnja hilang sama-sekali.
Menurut pantas, orang jang nadinja tidak mengetuk lagi, sudah putus djiwanja.
Tapi heran sungguh, lweekang si kakek masih terus menjerang dengan perantaraan
tambang itu, sehingga Thian-ok djadi kaget bukan main. Dalam pertandingan antara
djago dan djago, pantangan jang terutama adalah perasaan kaget, karena hal itu
memetjah pemusatan semangat. Maka itulah, dalam sekedjap, keadaan berubah dan
Heehouw Kian sudah berada diatas angin. Buru2 Thian-ok mengempos semangatnja
untuk mempertahankan diri dari serangan si kakek jang me-njambar2 bagaikan
gelombang. Sekarang tambang me-lompat2 dan keringat membasahi pakaian kedua
orang tua itu. Tiba2, tambang itu bertambah tegang, seperti tali busur dan
"tesss ...!" putus. "Bagus ! Aku takluk akan kepandaianmu !", kata Thian-ok
sambil bangun berdiri. "Kau bukan sadja sudah bisa menerima Tok-tjiang, tapi
djuga masih dapat mempertahankan diri dari serangan lweekangku. Aku mengaku
kalah !". Ia melemparkan potongan tambang itu dilantai dam segera berdjalan
keluar. Heehouw Kian sendiri masih tetap bersila dan mengatur djalan
pernapasannja. ---oo0oo--"IH ...! Mengapa berbau amis ?", kata Tiangsoen Pek. Mendadak diluar terdengar
suara tindakan, sehingga Lie It jang kuatir musuh datang lagi, lantas sadja
menghunus pedang. Tapi jang datang adalah kedua katjungnja Heehouw Kian, jang
satu mambawa anglo (perapian), sedang jang lain memegang botol. Di anglo itu
dibakarlah sesuatu jang menjiarkan bau sangat harum. Selang beberapa saat
barulah Heehouw Kian membuka kedua matanja. "Sungguh berbahaja ! Sungguh
berbahaja ...!", katanja. Ia lalu mengeluarkan sebatang djarum emas jang lalu
digunakan untuk menusuk djeridji tengah tangan kirinja dan dari lubang tusukan
itu lantas sadja mengalir keluar darah hitam jang lalu dimasukkan kedalam botol
jang di bawa oleh si katjung. Sekarang Lie It baru tahu, bahwa ditembok terpeta
warna hitam dalam bentuk punggung Heehouw Kian dan bau amis keluar dari hawa
beratjun itu. Sesudah menaruh anglo dilantai, si katjung lalu mengeluarkan pahat
untuk mentjopot batu2 bata jang kena ratjun. "Pendam dalam2 batu2 dan botol itu
dibelakang gunung ", kata Heehouw Kian kepada katjungnja. "Kau harus mendjaga
supaja tidak dipendam didekat mata air !". Lie It terkedjut. "Apakah ratjun
Thian-ok Toodjin begitu hebat ?", tanjanja. "Djika tidak ber-djaga2, hari ini
djiwaku sudah melajang ", djawabnja si kakek, sambil mengangguk. "Bukankah
Loopeh jang mendapat kemenangan ?", tanja Tiangsoen Pek. ,Tidak dapat dikatakan
menang ", djawabnja. "Aku hanja berhasil me-nakut2-inja. ". "Aku agak kurang
mengerti ", kata pula si nona. "Sesudah menerima pukulannja, Loopeh masih dapat
mempertahankan diri dalam tempo lebih dari satu djam. Dia tidak bisa merubuhkan
Loopeh dan menurut peraturan, Loopehlah jang memperoleh kemenangan ". "Andaikata
benar menang, kemenangan itu didapat setjara kebetulan sekali ", kata Heehouw
Kian. Lie It dan si nona jang masih belum dapat menangkap maksud si kakek,
lantas sadja minta pendjelasan. "Begitu lantas aku tahu, bahwa jang datang
adalah Thian-ok, aku segera menelan setengah peles Leng-tan pemunah ratjun dan
mengenakan Kim-sie Djoan-ka (badju mustika jang terbuat daripada benang emas)
dan sesudah itu, barulah aku keluar untuk menemuinja ", menerangkan Heehouw
Kian. "Tapi tak dinjana, pukulan Tok-tjiang djauh lebih hebat daripada dugaanku
sehingga hampir2 aku kena dirubuhkan. Belakangan, waktu ia menantang untuk
bertanding pula, aku mendapat djalan untuk menipunja. Dia memiliki lweekang jang
sangat lihay dan djika aku meladeni tantangannja untuk bertempur, mungkin sekali
aku tak akan dapat melajaninja dalam seratus djurus. Tapi aku mengerti, bahwa
dalam pertandingan 'lembek', lweekangku lebih unggul setingkat daripadanja. Maka
itu, aku segera mengusulkan untuk mendjadjal tenaga dengan menggunakan tambang.
Sebagai hasilnja, dengan memindjam lweekangnja, aku dapat mengusir ratjun jang
mengeram dalam tubuhku dan tanda hitam ditembok adalah ratjun jang keluar dari
badanku. Sebagaimana dilihat kalian, aku mengeluarkan sisa ratjun jang masih
ketinggalan dengan mendorongnja ke djeridji jang lalu kulubangkan ". Sesudah
berdiam sedjenak, ia berkata pula sambil tersenjum : "Karena pertandingan tadi,
bukan sadja aku kehilangan lweekang jang didapat dengan latihan tiga tahun, tapi
kepalaku djuga mendjadi botak ". Seraja berkata begitu, ia membuka ikat
kepalanja dan ternjata, semua rambutnja telah hantjur. Dengan rasa terharu,
buru2 Lie It berlutut dan berkata : "Untuk menolong djiwa siauwtit, Lootjianpwee
telah berkorban begitu besar. Budi ini tak akan dilupakan siauwtit ". "Djangan
kau mengatakan begitu ", kata si kakek sambil membangunkan pemuda itu. "Selama
beberapa tahun aku berlatih dengan giat karena aku tahu, dia pasti akan
menjatroni aku ". Melihat sikap pemuda itu, ia sungkan memberitahukan, bahwa
badju mustikanja pun telah mendjadi rusak karena serangan lweekang Thian-ok
Toodjin. "Aku sungguh tak pernah mimpi, bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat
manusia jang begitu lihay ", kata Tiangsoen Pek dengan suara kagum. "Diluar
langit masih ada langit, diatas manusia masih ada manusia ", kata si kakek.
"Dalam hal menggunakan ratjun, memang Thian-ok paling lihay didalam dunia. Tapi
dalam ilmu silat, dia belum menduduki kursi pertama ". "Lain musuh masih tak apa
", kata Tiangsoen Pek. "Jang paling harus ditakuti adalah kedua memedi murid
Thian-ok, terutama Tok-sian-lie jang bisa membokong orang sambil ter-senjum2.
Ajah dan Thianhee hampir2 binasa dalam tangan mereka ". "Benar ", kata si kakek.
"Sekarang kalian sudah bermusuh dengan murid2 Thian-ok Toodjin dan kalian
haruslah ber-hati2 ". "Tapi aku djusteru tak tahu bagaimana harus ber-djaga2,
karena mereka sudah mengenal kami ", kata nona Tiangsoen. "Begini sadja ", kata
pula Heehouw Kian. "Nanti, djika kalian mau berlalu dari sini, aku akan
memberikan Ek-yong-tan (obat untuk mengubah paras muka) supaja kalian dapat
mengubah wadjah ". "Bagus !", seru Tiangsoen Pek dengan girang. "Tapi lebih baik
diberikan sekarang, karena setiap hari aku harus pergi ke warung2 teh untuk mendengar2 warta-berita ". "Kalau begitu, sebentar aku akan memerintahkan katjung
untuk meanberikannja kepada kau dan mengadjarkan tjara memakainja ", kata
Heehouw Kian. Si nona tertawa dan menghaturkan terima kasih. Sebelum berlalu,
Heehouw Kian memegang nadi Lie It. "Besok kau akan sudah sembuh seluruhnja ",
katanja. Ia berpaling kepada nona Tiangsoen dan berkata pula : "Menurut
perhitunganku, besok ajahmu pun akan sudah tiba disini ". Sesudah orang tua itu
berlalu, sambil mengawasi Lie It, Tiangsoen Pek berkata : "Idam2-an ajah jang
paling besar adalah melihat bangunnja kembali keradjaan Tong. Besok, djika
bertemu dengan Thianhee, ajah tentu akan merasa girang sekali ". Lie It menghela
napas. "Tapi aku kuatir, aku tak akan mampu memikul tanggungan jang sedemikian
berat ", katanja. Untuk beberapa saat si nona berdiri bengong. "Djika ajah
mendengar tjeritera mengenai Wan Djie, ia tentu akan berduka sekali ", katanja
dengan suara perlahan. Mendengar itu, pikiran Lie It djadi kusut. Ia tidak
menjahut, hanja paras mukanja berubah putjat. Tiangsoen Pek merasa sangat
menjesal dan berkata pula dengan suara berbisik : "Aku sabenarnja tidak boleh
me-njebut2 lagi Wan Djie dihadapan Thianhee ...". Ia tak dapat meneruskan
perkataannja dan kedua matanja berubah merah. Sesaat itu, katjung Heehouw Kian
datang dengan membawa Ek-yong-tan, sehingga perhatian kedua orang muda itu dapat
disalurkan kelain tempat. Sesudah si katjung mengadjarkan tjara memakai obat itu
dan berlalu dari kamar tersebut, Tiangsoen Pek berkata sambil tertawa :
"Thianhee, kau harus menukar pakaian ". Ditegur begitu, barulah Lie It ingat,
bahwa pakaiannja telah robek karena pukulan Thian-ok Toodjin. Mengingat
pertolongan si nona jang tadi sudah memeluknja, tanpa merasa mukanja berubah
merah. "Terima kasih ", katanja dengan suara djengah. Sesaat kemudian, nona
Tiangsoen minta permisi dan meninggalkan kamar itu. Tapi baru berdjalan,
beberapa tindak, ia balik kembali sambil mengangsurkan sebuah kotak Ek-yong-tan.
"Aku tinggalkan satu kotak ", katanja. "Mungkin sekali, kau djuga akan
memerlukannja ". Malam itu Lie It tak bisa pulas. Kira2 tengah malam, ia bangun
dari pembaringan, menukar pakaian dan lalu menulis seputjuk surat untuk
Tiangsoen Pek. Sesudah me-nimbang2 setengah malam, ia telah mengambil keputusan
untuk pergi ke Tiang-an guna menemui Siangkoan Wan Djie. Sesudah mendengar,
bahwa nona itu menakluk kepada Boe Tjek Thian, dalam otaknja muntjul dua rupa
pikiran jang bertentangan. Kalau benar, ia merasa putus harapan dan tidak ingin
menemui nona itu lagi. Ia akan menganggap sadja, bahwa Wan Djie sudah meninggal
dunia. Dilain pihak, masih terdapat kemungkinan, bahwa apa jang didengarnja
hanja desas-desus jang tidak berdasar. Mengingat begitu, ia berkuatir sangat
akan keselamatan Wan Djie. Maka itu, disatu pihak ia takut menemui Wan Djie,
dilain pihak, ia sangat ingin menemuinja. Sesudah memikir bolak-balik, achirnja
ia mengambil keputusan untuk pergi ke Tiang-an dengan tidak memperdulikan bahaja
jang sangat besar, guna menjelidiki dan menjaksikan dengan mata sendiri benartidaknja berita itu. Disamping itu, ia djuga mempunjai sebuah alasan lain untuk
pergi dengan diam2. Ia kuatir, bahwa djika pergi ke Tiang-an ber-sama2 Tiangsoen
Pek, ia tak akan dapat mempertahankan diri dan sekali lagi terlibat dalam
tjinta. Pada hakekatnja, terhadap nona Tiangsoen jang sudah membuang budi dengan
merawatnja selama ia sakit, ia tidak mempunjai rasa tjinta dalam arti tjinta
jang menudju ke pintu perkawinan. Rasa tjintanja terhadap Tiangsoen Pek adalah
tjinta dari seorang kakak terhadap adiknja. Maka itulah, ia kuatir, djika
bergaul terlalu rapat dengan nona itu, ia akan menimbulkan salah mengerti jang
dapat berakibat djelek. Dalam suratnja, ia menghaturkan terima kasih dan minta
maaf, bahwa ia pergi tanpa berpamitan. Sebagai alasan, ia mengatakan, bahwa ia
tak mau si nona menempuh bahaja jang tidak mestinja. Ia memohon supaja nona itu
berdiam terus dirumah Heehouw Kian dan merawat ajahnja jang masih sakit. Sesudah
selesai menulis, ia melongok keluar djendela. Hawa sangat dingin dan rembulan
berada di-tengah2 langit, sedang setiap kali angin meniup, beberapa lembar daun
jang sudah merah me-lajang2 djatuh ditanah. Melihat pemandangan malam itu,
hatinja djadi lebih berduka. Ia ingat, bahwa ia bertemu dengan Wan Djie dimusim
semi jang riang-gembira dan pada waktu itu, didalam hatinja terdapat sebuah
angan2 jang sangat besar. Tapi dalam sekedjap, segala apa sudah berubah. Nasib
Wan Djie masih merupakan sebuah teka-teki, sedang hatinja sendiri se-olah2 daun
laju jang rontok karena ditiup angin. Sesudah menghela napas ber-ulang2, ia
membuka kotaknja Ek-yong-tan. Ia mengambil serupa obat jang lalu ditjairkan
dengan air teh dan kemudian melaburnja diatas mukanja. Tak lama kemudian,
wadjahnja sudah berubah. Ia seperti lebih tua dua puluh tahun, kulit mukanja
kelihatan berkerut, sedang sebagian
rambutnja berubah putih. Ia segera mengenakan djubah pandjang warna biru jang
agak tua dan lalu berdjalan mondar-mandir dalam kamarnja dengan tindakan seorang


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua. Ia berkatja didepan sebuah katja tembaga dan ia merasa sangat girang,
karena ia sendiri tidak mengenali wadjahnja. Sesudah mengambil khim dan
pedangnja, per-lahan2 ia membuka pintu kamar dan keluar dengan tindakan indap2.
Ia pergi kekamar Tiangsoen Pek jang terletak dipodjok timur taman bunga dan
melemparkan suratnja kedalam kamar dari tjelah djendela. Sesudah berdiri bengong
beberapa saat, ia segera meninggalkan rumah Heehouw Kian. la turun gunung dengan
menggunakan djalanan ketjil jang telah digunakan Hian Song waktu mengantarkannja
kerumah Heehouw Kian. ---oo0oo--DENGAN perasaan tertindih, diantara tiupan angin, sajup2 ia seperti masih
mendengar suara roda kereta. Tak lama kemudian, disebelah timur terlihat sinar
merah dan fadjar mulai menjingsing. Sesudah melewati gunung, dusun, kota2 dan
sungai2, sambil melawan hawa dingin, hari itu Lie It tiba di Gok-koan dan tiga
atau empat hari lagi, ia akan sampai pada tudjuannja, jaitu kota Tiang-an.
Karena sudah mendekati kotaradja, djalanan sudah agak ramai dan sepandjang
djalan terdapat warung arak. Kira2 tengah hari, karena haus dan lapar, ia turun
dari tunggangannja dan masuk kedalam sebuah warung arak untuk menangsal perut
dengan arak dan daging kerbau. Ia adalah tamu satu2-nja dan si pemilik warung
arak menjambutnja dengan hormat dan ramah-tamah. Mendengar Lie It ingin pergi ke
kotaradja, si pemilik warung arak tersenjum seraja bertanja : "Apakah
Loosianseng pergi ke Tiang-an untuk memegang pangkat ?". "Bukan ", djawabnja.
"Aku sudah tidak mempunjai kegembiraan lagi, karena setiap tahun gagal dalam
udjian ". "Loosianseng djangan berkata begitu ", kata si pemilik warung arak
dengan suara membudjuk. "Dulu, sesudah berusia delapan puluh tahun, barulah
Tjioe Kong bertemu dengan Boen Ong. Orang tidak boleh merasa ketjewa karena
menghadapi kegagalan untuk sementara waktu ". Lie It tertawa. "Pada djaman ini,
didalam dunia tidak ada Boen Ong dan akupun bukannja Tjioe Kong ", katanja.
"Disamping itu, djika bisa mendapat penghidupan jang sederhana, aku sudah merasa
puas ". "Untuk itu kurasa Loosianseng boleh tak usah kuatir ", kata pula si
pemilik warung arak dengan paras sungguh2. "Orang2 terpeladjar dalam kampung ini
sering mengatakan, bahwa meskipun kaisar sekarang hanjalah seorang wanita, tapi
beliau sangat bidjaksana dan pandai sekali menggunakan orang2 jang sungguh2
berkepandaian. Hanja sajang, Loosianseng tidak ingin mendjadi pembesar negeri ".
Ia berdiam sedjenak dan kemudian berkata pula : "Sekarang Tiang-an lebih ramai
daripada dulu dan rakjat mudah mentjari makan ". Mendengar keterangan itu. Lie
it lantas sadja ingat edjekan Hian Song jang mengatakan mau ke Tiang-an untuk
melihat apakah ibukota itu sudah mendjadi "kebun djagung" atau "tanah sawah".
Sesudah bengong beberapa lama, barulah ia bisa berkata : "Terima kasih atas
keteranganmu ...". Sehabis berkata begitu, dengan tangan mentjekel tjawan arak,
ia mengawasi gunung2 jang berbaris disebelah kedjauhan. Melihat tamunja
mengawasi gunung, pemilik warung arak itu berkata lagi sambil tertawa: "Djika
ingin, Loosianseng boleh mendaki gunung itu untuk me-lihat2 peninggalan djaman
dulu ". ,Ada apa jang menarik hati ?", tanja Lie It. "Gunung ini adalah Sioeyang-san jang tersohor dan sampai beberapa tahun jang lalu, para pelantjong
sering sekali naik keatas untuk me-lihat2 peninggalan Pek Ie dan Siok Tjee ",
djawabnja. ,Tapi selama satu-dua tahun ini, djarang ada jang naik keatas ".
Menurut sedjarah, Pek Ie dan Siok Tjee adalah sastrawan ternama pada djaman
permulaan keradjaan Tjioe. Waktu Tjioe Boe Ong menggerakkan tentara untuk
menjerang negara Siang, mereka pernah tjoba mentjegah niatan kaisar Tjioe itu.
Belakangan, sesudah Siang dimusnakah oleh Tjioe, mereka sungkan makan nasi
keradjaan Tjioe dan menjembunjikan diri di Sioe-yang-san. Mereka hanja makan
daun2 dan achirnja mereka mati kelaparan. Mendengar keterangan itu, Lie It
berkata dalam hatinja : "Pada djaman ini manusia jang seperti Pek Ie dan Siok
Tjee sudah tidak ada lagi dalam dunia. Tidak heran, bahwa makin lama makin
djarang jang menengok peninggalannja. Tapi, meskipun didalam hati ia memikir
begitu, terhadap si pemilik warung arak ia berkata : "Sebenarnja aku ingin
sekali naik keatas, tapi karena bekal sudah hampir habis dan perlu buru2 tiba di
Tiang-an, aku tak dapat mewdjudkan niatan itu ". Selagi omong2, datang seorang
tamu lain, seorang boesoe (ahli silat) jang, masih muda. Lie It agak terkedjut
karena muka orang itu seperti djuga tidak asing baginja. "Dimana aku pernah
bertemu dengannja ?", tanjanja didalam hati. Dilain saat, ia tersenjum sebab
baru mendusin, bahwa potongan badan dan roman orang itu agak mirip dengan
dirinja sendiri. Orang2 itu mengenakan pakaian mewah dan menunggang seekor kuda
jang sangat bagus, hanja badannja kurus dan parasnja putjat, seperti orang lagi
sakit. Begitu masuk, ia minta tiga kati arak putih dan dua kati daging kerbau.
Didengar dari suaranja jang njaring dan penuh, ia bukan seorang sakit. "Orang
ini kelihatannja memiliki ilmu silat jang tjukup baik ", pikir Lie It. "Mungkin
sekali, putjatnja adalah putjat jang wadjar ". Sesudah pemuda itu mentjeguk
satu-dua tjawan arak, si pemilik warung arak, jang ramah-tamah, mendekati dan
bertanja : "Apakah Siangkong mau pergi ke Tiang-an ?". "Benar ", djawabnja
sambil mengangguk. "Kebetulan sekali, Loosianseng ini pun ingin pergi ke Tiangan ", katanja pula seraja menundjuk Lie It. "Kalian boleh djalan ber-sama2 ".
Pemuda itu berpaling kearah Lie It dan menjodja sambil bangun berdiri. "Bolehkah
aku mendapat tahu she dan nama Loosianseng jang mulia ?", tanjanja. Lie It
lantas sadja memberikan nama samaran dan balas menanjakan nama pemuda itu.
"Siauwtee she Thio, bernama Tjie Kie ", djawabnja. "Aku kelahiran Soetjoan
barat, kampung Bie-san. Apakah Loosianseng datang di kotaradja atas panggilan
kaisar ?". ,Atas panggilan kaisar ?", menegas Lie It. "Belum lama berselang,
kaisar telah mengeluarkan firman dan memerintahkan pembesar2 setempat mentjari
orang2 pandai dan mengirim mereka ke kotaradja untuk diberi pangkat ",
menerangken Thio Tjie Kie. "Apakah Loosianseng masih belum tahu ?". Lie It
tertawa. "Aku seorang bodoh, mana bisa aku mendapat panggilan kaisar ?",
katanja. "Aku datang di Tiang-an untuk mentjari sesuap nasi. Apakah kedatangan
Thio-heng atas panggilan kaisar ?". Tjie Kie tertawa ter-bahak2. "Aku pergi ke
Tiang-an untuk mendjadjal peruntungan ", katanja. "Tjie Keng memberontak di
Yang-tjioe. Djika setjara kebetulan aku dapat membuat pahala dimedan perang,
anak-isteriku akan turut mudjur ". "Kalau begitu, Thio-heng ingin bekerdja dalam
ketentaraan ", kata Lie It. "Angan2 Thio-heng sangat besar dan aku merasa kagum
". Perkataan itu mengandung nada sindiran, tapi Tjie Kie agaknja tidak
merasakannja. Lie It jang sangat ingin mendengar keadaan peperangan, lantas
sadja berkata "Aku dengar Gouw-kok-kong Tjie Keng adalah seorang djenderal jang
pandai menggunakan tentara. Sekarang kaisar mengumpulkan serdadu. Apakah keadaan
dimedan perang sudah sangat genting ?". Thio Tjie Kie tertawa besar. "Tentara
Tjie Keng tidak seberapa besar djumlahnja dan iapun tak punja panglima pandai,
mana bisa ia berhasil ?", katanja dengan suara menghina. "Kudengar, Thian-houw
Piehee telah mengangkat Lie Hauw It Tjiangkoen sebagai Toa-tjongkoan didjalanan
Yang-tjioe dan dengan membawa tiga puluh laksa serdadu, Lie Tjiangkoen sudah
bergerak kedjurusan selatan. Disamping itu, beliau djuga sudah mengangkat Yo
Taytjiangkoen sebagai Toa-tjongkoan didjalanan ke Kanglam dan Yo Tjiangkoen
sekarang sudah memusatkan bala tentaranja didaerah Kang-hoay. Achirnja Thianhouw Piehee sudah menarik pulang Thia Boe Teng Taytjiangkoen dari Sian-ie dan
Thia Tjiangkoen sudah menerdjang keselatan dengan sepuluh laksa tentara.
Digentjet oleh tiga pasukan jang berdjumlah begitu besar, andai-kata Tjie Keng
mempunjai sajap, ia tak akan bisa terbang lagi. Sekarang kaisar mengumpulkan
tentara untuk menghadapi lain kemungkinan dan sama-sekali bukan untuk melawan
Tjie Keng ". Mendengar keterangan itu, bukan main rasa duka dan ketjewanja Lie
It. Lie Hauw It adalah bujut Tong-koo-tjouw (Lie Yan) dan saudara sepupunja
sendiri. Bahwa Lie Houw It rela mendjadi panglima besar untuk menindas
pemberontakan Tjie Keng, adalah kedjadian jang sungguh diluar dugaannja. Karena
mendongkol, paras muka Lie It lantas sadja berubah dan sikapnja tawar. Perubahan
itu telah dilihat oleh Thio Tjie Kie jang djuga djadi merasa tidak enak untuk
ber-omong2 terus. Sesudah makan kenjang, ia lantas sadja bangun berdiri dan
berkata seraja menjodja : "Sebab ingin buru2, siauwtee mau djalan duluan. Djika
ada djodoh, kita akan bertemu pula di Tiang-an ". Sesudah Tjie Kie berlalu,
barulah Lie It membajar uang arak dan daging dan lalu meneruskan perdjalanannja.
Sesudah berdjalan beberapa lama, tiba2 ia dengar suara "uuuh ...! uuuh ...!" di
sebelah kedjauhan. Ia lantas sadja melompat turun dari tunggangannja dan
memasang kuping. Biarpun suara itu kedengarannja tidak djauh, tapi sebab djalan
gunung itu ber-belit2, ia tak dapat melihat apa jang terdjadi. Dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan, ia segera ber-lari2 kearah suara itu,
suara panah pertandaan, dan naik ketempat jang tinggi. Ia, memandjat sebuah batu
raksasa dan lalu memandang ke bawah. Dilain saat, ia lihat Thio Tjie Kie sedang
membelok disebuah lembah dan dari sebelah depan mendatangi beberapa belas orang
jang mengaburkan tunggangan mereka dengan ketjepatan luar biasa. "Heran ...",
katanja didalam hati. "Siapa sebenarnja Thio Tjie Kie, sehingga sahabat2
"djalanan hitam" (perampok) menggunakan begitu banjak orang untuk mentjegatnja
". Sementara itu, Thio Tjie Kie sudah menahan kudanja dan dilain saat, belasan
orang itu sudah berhadapan dengannja. "Dalam dunia jang aman, berani sungguh
kamu mentjegat aku !", bentaknja dengan suara gusar. Dua lelaki jang rupanja
mendjadi kepala, lantas sadja melompat turun dari tunggangan mereka dan berkata
dengan suara hormat : "Mohon Kongtjoe tidak mendjadi gusar. Kami bukan perampok
". "Kalau bukan perampok, mengapa kamu mentjegat aku ?", tanja pula Tjie Kie.
"Madjikanku mengundang Kongtjoe ", djawab satu diantaranja sambil membungkuk.
"Siapa madjikanmu ?", tanja Tjie Kie, Kedua orang itu kelihatan heran dan untuk
sedjenak, mereka saling mengawasi. "Apakah Kongtjoe sudah lupa pertemuan
dipuntjak Kim-teng ?", tanja jang berdiri disebelah kiri. "Aku Thia Thong !".
"Aku tak kenal kau !", bentak Tjie Kie. "Kau salah mengenali orang ".
Thia Thong kelihatan bingung. "Dalam pertemuan di Kim-teng terdapat banjak
sekali orang, sehingga memang mungkin Kongtjoe tidak mengenali kami ", kata jang
berdiri disebelah kanan, "Sesudah bertemu dengan madjikan kami, Kongtjoe tentu
akan ingat segala apa ". "Pertemuan di Kim-teng ?", menegas Tjie Kie, "Ngatjo
kau ! Hajo minggir ...! Aku ingin buru2 meneruskan perdjalanan ". "Apa ?", kata
orang jang berdiri disebelah kanan. "Kau ! Kau bukan Lie Kongtjoe ?". Sehabis
berkata begitu, ia mengawasi Tjie Kie dengan mata membelalak. Thia Thong
tersenjum, "Jang tulen tidak memperkenalkan diri, jang memperkenalkan diri,
bukan jang tulen ", katanja. "Baiklah, Kami menganggap sadja Kongtjoe sebagai
seorang she Thio ". "Thio Toaya, madjikan kami mengundang Toaya ". "Gila
kau ...!", bentak Tjie Kie dengan gusar. "Menganggap aku sebagai orang she
Thio " Aku memang she Thio ! Kalau kau masih rewel, rasakan tjambukku !".
Mendengar sampai disitu, Lie It mendusin. Mereka ternjata menganggap Thio Tjie
Kie sebagai dirinja sendiri, sebab dandanan dan paras muka orang she Thio itu
agak mirip dengan dirinja. Ia lantas sadja ingat, bahwa memang benar ia pernah
bertemu dengan Thia Thong dipuntjak Kim-teng. "Siapa madjikan mereka ?",
tanjanja didalam hati. Ditjatji begitu, sikap kedua orang itu lantas sadja agak
berubah, mereka tidak begitu hormat lagi seperti tadi. "Lie Kongtjoe ", kata
jang berdiri disebelah kanan, "Siauwdjin rela ditjambuk, tapi biar bagaimanapun
djuga, kami mesti mengadjak Kongtjoe pergi menemui madjikan kami. Madjikan kami
telah memesan, bahwa biar apapun djua jang terdjadi, Kongtjoe harus diundang !".
Thio Tjie Kie meluap darahnja. "Kurang adjar !", teriaknja "Siapa madjikanmu"
Apakah dia kaisar ?". Tiba2 Thia Thong berteriak : "Tjoen-loei-tong-tee (Geledek
musim semi menggetarkan bumi) !". "Hoei-liong-tjay-thian (Naga terbang dilangit)
!", menjambungi kawannja. Tjie Kie heran bukan main. "Benar2 gila !", katanja.
"Siapa perduli Tjoen-loei-tong-tee Hoei-liong-tjay-thian-mu !". Tapi Lie It-lah
jang kaget bukan main. Mengapa ", Karena delapan perkataan itu merupakan kata2
rahasia (kode rahasia) jang digunakan oleh pihak pemberontak jang menentang Boe
Tjek Thian. Siapa jang mengenal delapan perkataan itu, dianggap sebagai ,orang
sendiri' ". "Siapa jang memerintahkan mereka untuk menjambut aku ?", tanja Lie
It didalam hati. "Kok Sin Ong sedang pergi menjambut Tiangsoen Koen Liang,
guruku tidak bisa djadi, sedang Pwee Yam, sebagai seorang perdana menteri, tak
mungkin mengetahui gerak-gerikku didalam kalangan Kang-ouw. Tjie Keng berada di
Yang-tjioe dan Thia Boe Teng tengah memimpin tentara. Heran sungguh ! Siapa
madjikan mereka ?". Thio Tjie Kie jang tidak mengerti delapan perkataan itu
djadi semakin gusar dan lalu mentjatji mereka dengan ber-teriak2. "Dengan
setulus hati madjikanku mengundang Kongtjoe untuk mampir dirumahnja, tapi maksud
jang baik itu disambut Kongtjoe setjara kurang pantas ", kata Thia Thong dengan
suara tawar. "Kongtjoe, sekali lagi aku ingin menanja : Apakah benar kau tidak
mau mengikut kami ?". "Tak ada waktu!", bentak Thio Tjie Kie. "Aku perlu buru2
ke Tiang-an ". Tiba2 orang jang berdiri disebelah kanan tertawa dingin. "Kalau
begitu, desas-desus jang tersiar merupakan suatu kenjataan ", katanja. "Lie
Kongtjoe, kau ternjata sudah melanggar sumpahmu dan mengkhianati perserikatan.
Bukankah kau mau pergi ke Tiang-an untuk mengedjar pangkat dan kemewahan ?".
Sampai disitu, Thio Tjie Kie tak dapat menahan sabar lagi. "Binatang ! Kau
sungguh kurang adjar !", teriaknja seraja menjabet dengan tjambuknja. Untuk
menjingkirkan diri dari sambaran tjambuk, Thia Thong melompat kebelakang, tapi
sebelum melompat, lebih dulu ia mendorong kuda Tjie Kie, sehingga binatang itu
terhujung kebelakang beberapa tindak. Sambil membentak keras, Tjie Kie melontjat
turun dan waktu kedua kakinja hinggap ditanah, tangan kanannja mentjekel
tjambuk, sedang tangan kirinja sudah memegang sebatang pedang pendek. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata lagi, ia segera menjerang kedua lawannja. Thia Thong
segera melajani dengan Lo-han Sin-koen, sedang kawannja mengeluarkan ilmu silat
Kin-na Tjhioe-hoat. Mereka itu lihay sekali dan tanpa bersendjata, mereka masih
bisa mengirim serangan2 jang sangat hebat. Thio Tjie Kie djuga memiliki ilmu
silat jang tjukup tinggi, akan tetapi, karena harus melawan musuh, per-lahan2 ia
djatuh dibawah angin. Sesudah bertempur kurang-lebih tiga puluh djurus, sambil
membentak, kawan Thia Thong menghantam pergelangan tangan Tjie Kie dengan
pukulan Keng-tek-toh-pian (Keng Tek merampas pian). Hampir berbareng, Thia Thong
menindju dan tindjunja tepat menghadjar lengan lawan, sehingga pedang pendek itu
lantas sadja djatuh ditanah. Sesaat itu, kawan Thia Thong bukan sadja sudah
merebut tjambuk Tjie Kie, tapi djuga sudah berhasil menotok djalan darah pemuda
itu jang lantas sadja tidak dapat bergerak lagi. Sesudah tertawa ter-bahak2,
mereka membelenggu kedua tangan Tjie Kie jang lalu diikat diatas punggung
kudanja. Sambil ber-teriak2 kegirangan, dengan kawan2-nja, mereka lalu membawa
pemuda she Thio itu jang sudah mendjadi orang tawanan. Lie It terkedjut. "Mereka
menganggap Thio Tjie Kie sebagai aku, sehingga kekurang-adjaran mereka
ditudjukan terhadap aku ", pikirnja dengan perasaan mendongkol. "Mengapa mereka
mengatakan aku melanggar sumpah dan mengkhianati perserikatan ?". Ia sebenarnja
tidak menjukai pemuda itu, tapi sekarang, sesudah Thio Tjie Kie dipersakiti dan
ditawan sebagai penggantinja, ia djadi gusar dan segera mengambil keputusan
untuk menjelidiki soal itu sampai se-terang2-nja.
---oo0oo--BURU2 ia turun kebawah, kedjalan dimana tadi ia meninggalkan kudanja. Tapi
tunggangan itu sudah menghilang. Kuda itu, jang dibelinja didjalan, hanja seekor
kuda biasa dan hilangnja tidak mendjadi soal. Maka itu, ia segera mengempos
semangatnja dan menguber dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Biarpun
memiliki ilmu ringan badan jang sangat tinggi, Lie It tidak dapat menjandak
larinja kuda2 pilihan itu. Ketika ia tiba dimulut selat gunung, orang2 jang
dikedjar sudah pergi djauh sekali. Apa jang masih bisa dilihat hanja beberapa
titik hitam jang kemudian menghilang dari pemandangan. Ketika itu sudah sendja
dan sambil memanggul tjangkul, para petani sudah mulai pulang dari sawah dan
kebun mereka. Lie It mentjegat seorang petani tua dan dengan berlagak seperti
seorang pelantjong jang kesasar, ia menanjakan rumah penginapan. ,Djika
Loosianseng (tuan) berdjalan kira2 sepuluh li lagi, kau akan bertemu dengan
sebuah kota ketjil dan disitu kau bisa mentjari rumah penginapan ", menerangkan
si petani. Dia berhati baik dan sesudah mengawasi Lie It beberapa saat, ia
berkata pula : "Loosianseng kelihatannja seperti seorang sastrawan dan mungkin
sekali kau sudah tjapai dan lelah. Djika kau tidak mentjela, kau boleh menginap
digubukku ". Lie It menghaturkan terima kasih dan berkata : "Kalau hanja sepuluh
li aku masih kuat. Tapi aku merasa sedikit takut ". "Takut apa ?", tanja si
petani. "Takut bertemu dengan pendjahat ", djawabnja. Si petani tersenjum. "Pada
waktu ini keadaan banjak lebih aman daripada dulu ", katanja. "Apa-pula tempat
ini berdekatan dengan ibukota dan kurasa Loosianseng tak akan bertemu dengan
pendjahat ". "Benar ", kata Lie It, "selama beberapa hari, aku memang tidak
pernah bertemu degan pendjahat. Tapi anehnja, makin mendekati Tiang-an, aku
makin merasa tidak aman ". "Mengapa begitu ?". Barusan aku bertemu dengan
serombongan pendjahat jang telah mentjulik seorang pemuda jang ingin pergi ke
Tiang-an untuk masuk dalam tentara ". "Benarkah ?", menegas si petani dengan
suara heran. "Apakah kau tidak melihatnja ?". Lie It balas menanja. "Tadi,
mereka malah lewat disini ". "Oh, sekarang aku mengerti ", kata si petani.
"Mereka itu adalah kaki-tangan keluarga Pwee. Sebab tunggangan mereka lari
keras, aku tak melihat tawanan itu. Hmmm ...! Mereka memang sering menghina
orang. Mungkin sekali pemuda itu bersalah terhadap keluarga Pwee. Loosianseng,
djika kau tidak bermusuhan dengan mereka, kau tak usah takut ". "Siapa itu
keluarga Pwee ?". "Kampung kelahiran perdana menteri jang sekarang jalah kampung
kami ini ". "Bukankah Pwee Yam sendiri berada di kotaradja ?". "Sinsiang sendiri
memang berada di kotaradja, tapi ia mempunjai seorang adik lelaki jang berdiam
disini, menunggu rumah ". "Kudengar kaisar perempuan telah mengeluarkan firman
jang melarang orang berbuat se-wenang2 terhadap rakjat ", kata Lie It dengan
suara mendongkol, "Dilihat begini, firman itu hanja selembar kertas belaka untuk
menipu rakjat ". Si petani meng-geleng2-kan kepala. "Kau salah, Loosianseng, kau
salah ", katanja. "Dulu, djangankan saudara seorang perdana menteri, sedangkan
seorang tiekoan pun bisa berbuat seperti kaisar2-an. Keluarga Pwee memang kurang
adjar, tapi baru kali ini, mereka berani mentjulik orang. Biasanja dalam urusan
ketjil, biarpun menderita, dimana masih bisa ditelan, kami selalu menelannja.
Bukan se-kali2 karena kami takut pergi ke kotaradja untuk mengadu, tapi sebab


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami tak mau memusingkan Thian-houw untuk segala urusan tektek-bengek ". Lie It
kaget dan mendongkol. Sebenarnja ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk
mentjatji Boe Tjek Thian, tapi diluar dugaan, si petani malah membela kaisar
perempuan itu. Sambil mengawasi langit, si petani berkata pula : "Loosianseng,
sekarang sudah hampir malam. Djika kau tidak mentjela, lebih baik menginap sadja
dirumahku ". "Terima kasih ", kata Lie It. "Djika aman, aku ingin meneruskan
perdjalanan dan menginap dikota ketjil itu ". Melihat dia mau berdjalan djuga,
si petani pun tidak menahan lagi. Lie It berdjalan keluar kampung dan sesudah
gelap, ia balik kembali. Ia telah mengambil keputusan untuk menjelidiki
penangkapan atas diri Thio Tjie Kie. Gedung keluarga Pwee terletak disebelah
timur kampung dan berdiri dengan membelakangi sebuah tandjakan gunung. Melihat
gedung itu didjaga oleh sedjumlah boesoe (pengawal), Lie It sengadja
mengeluarkan suara aneh didalam hutan jang berdampingan dengan gedung tersebut
dan kemudian menimpuk sebuah sarang burung dengan sebutir batu, sehingga
beberapa ekor burung terbang keluar sambil berbunji keras. Beberapa boesoe
memburu kepinggir hutan. "Fui ! Gangguan burung malam !", kata seorang. "Memang
tak mungkin ada orang jang bernjali begitu besar, berani tjoba2 mengganggu Wangwee ", menjambung kawannja (Wan-gwee = Orang hartawan). "Tapi kita tetap harus
berwaspada ", kata boesoe jang ketiga. "Kudengar Sinsiang telah dimarahi Thianhouw. Bukan tidak bisa djadi Thian-houw memerintahkan beberapa pengawal istana
datang kemari ". Lie It tertawa geli didalam hatinja. Dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan Pat-po Kan-sian (Delapan tindak memburu tonggeret), ia
melompat keluar dari dalam hutan dan pada waktu beberapa boesoe itu menengok, ia
sudah melompati tembok gedung keluarga Pwee. Sesudah menunggu beberapa lama
disatu sudut, ia melihat seorang boesoe mendatangi dengan menenteng teng-loleng.
Dengan sekali melompat, ia sudah merobohkan pengawal itu. "Djangan bersuara !",
bentaknja dengan suara perlahan sambil menempelkan udjung pedangnja
ditenggorokan orang itu. Melihat lihaynja Lie It, si boesoe tidak berani
bergerak. Sesudah memadamkan lilin teng-loleng, Lie It berbisik : "Dimana
madjikanmu " Antar aku kepadanja ". Si boesoe tidak berani membantah. Sesudah
melewati dua buah pintu, ia menundjuk sebuah gedung didalam taman seraja berkata
: "Wan-gwee berada disitu. Kau pergi sadja sendiri !". "Aku terpaksa harus
membuat kau menderita sedikit ", kata Lie It "Sesudah bertemu dengan Pwee Wangwee, aku akan memerdekakan kau ". Ia segera menotok djalan darah Ma-ah-hiat
orang itu, jang lalu tidak dapat bergerak atau bersuara lagi.
Sesudah itu, ia melompat keatas genteng dan mengintip kebawah. Dalam sebuah
ruangan jang terang-benderang, ia melihat dua orang lelaki jang dandanannja
seperti pembesar negeri dan dikiri-kanan mereka berdiri beberapa orang boesoe.
"Kalau begitu, warta tentang penangkapan atas diri kakakku bukan dusta ", kata
salah seorang. "Ong Taydjin, apakah kau tahu, sebab apa kakakku ditangkap ?".
Lie It segera mengetahui, bahwa orang jang bitjara itu adalah adiknja Pwee Yam
jang bernama Pwee Tjiang. Orang jang dipanggil "Ong Taydjin" dan mengenakan
pakaian kebesaran tingkat ketiga, menghela napas pandjang. "Pwee Taydjin setjara
mendadak telah ditangkap oleh Liong-kie Touw-wie dan dimasukkan kedalam pendjara
istana ", katanja. "Begitu mendengar, buru2 aku datang kemari, sehingga aku
tidak keburu menjelidiki terlebih djelas ". "Selang berapa lama sesudah
penangkapan itu baru Taydjin mendapat warta ?", tanja Pwee Tjiang.
"Pwee Taydjin ditangkap tengah malam, besok paginja aku sudah tahu ", djawabnja.
Amarah Pedang Bunga Iblis 5 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 4

Cari Blog Ini