Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 7

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 7


dulu !. Kamu tidak dapat mentjegah tubuhku terbinasa !". Mukanja Wan Djie
mendjadi putjat, air matanja pun mengembeng. "Engko Lie It, kenapa kau berbuat
begini ?", katanja perlahan. "Kau tahu, aku mengerti kau. Maukah kau mendengar
perkataanku ?". Sekian lama Lie It berdahaga menemui Siangkoan Wan Djie, untuk
ber-sama2 mengutarakan rasa-hati mereka, akan tetapi sekarang, sesudah tadi ia
mendengar si nona membatjakan maklumatnja Lok Pin Ong, ia merasa Wan Djie
seperti telah berpisah sangat djauh darinja, demikian djauh hingga mereka
bagaikan orang asing satu dari lain. Ia seperti mengerti si nona tetapi
berbareng seperti tidak mengerti djuga. Maka sekarang, biarnja ia mempunjai
ribuan kata2, tidak dapat ia mengeluarkannja. "Engko Lie It, sebenarnja Thianhouw tidak bermaksud djahat terhadap dirimu ", kata pula Wan Djie. Mendadak mata
Lie It mendelik. "Djangan bitjara pula !", ia berseru. "Pergi kau mendjadi
menteri wanita !. Djangan kau pedulikan aku lagi. Aku tidak sudi melihat kau
datang kepadaku sebagai si orang perantara tukang membudjuk !". Mukanja Wan Djie
dari putjat mendjadi guram, ia merapatkan kedua bibirnja, air matanja mengembeng
terus. la seperti tidak dapat membuka mulutnja. Lantas Boe Hian Song datang sama
tengah. "Kau telah tiba di kotaradja ", katanja, tenang. "Segala keadaan di sini
kau telah melihat dengan matamu sendiri. Apakah kau masih tetap tidak puas ?".
Sakit rasa hatinja Lie It. Ia memandangi kedua nona itu. Mereka pun mengawasi
padanja. Dengan menguati hati, ia melengos, untuk menjingkir dari pandangan mata
mereka itu. "Sekarang ini aku telah berada di dalam tangan kamu ", ia berkata
dingin. "Baiklah, ke mari kamu ! Bukankah kamu hendak menawan aku untuk
dihadapkan kepada Thian-houw kamu ?". Siangkoan Wan Djie menghela napas.
"Djikalau kau tidak sudi berdiam di sini, kau pergilah ", katanja perlahan.
"Semoga di lain waktu kita dapat bertemu muka pula ". Boe Hian Song mengibaskan
tangannja. Tjin Tam dan Thio Teng mundur ke kiri dan kanan, untuk membuka
djalan. Lie It mentjoba menahan gontjangnja hatinja. "Hian Song, aku
menghaturkan banjak terima kasih jang kali ini kau melepaskan pula padaku ",
katanja tawar. "Tapi aku tidak dapat membalas budimu. Wan Djie, aku menjesal
jang aku telah bertemu denganmu. Mulai hari ini, aku harap kau menganggap sadja
bahwa di dalam dunia ini,tidak ada orang sematjam aku, dan aku pun akan
memandang kau seperti sudah mati. Dalam hidup kita sekarang ini, di ini djaman,
aku dan kau berpisah djalan, bagaikan mega dan lumpur, dan kau djuga djangan kau
mengharap untuk bertemu pula denganku ". Siangkoan Wan Djie memutar mukanja,
mendadak ia mendjerit, menangis dengan perlahan. Ia tahu, ketjuali ia turut
pergi bersama, tidak nanti ia dapat bertemu pula sama Lie It itu. Maka itu, ia
mendjadi bingung sekali. Di ackhirnja, ia mengambil putusan akan tidak mengikut.
Ketika ia memutar pula tubuhnja, Lie It sudah tidak ada. Djusteru itu waktu, di
udara nampak tjahaja api berkelebat. Menampak itu, Hian Song melengak, hingga ia
meraba gagang pedangnja. Tjin Tam bersama Thio Teng sudah lantas lari pergi.
"Wan Djie, pergi kau beristirahat ", ia kata pada kawannja. "Aku hendak pergi
tetapi aku akan segera kembali ". Api itu berkelebat sebentar, lantas lenjap.
Wan Djie pun tidak memperhatikan itu, tetapi melihat Hian Song mau lari dengan
tangannja mentjabut pedang, ia menarik udjung tangan badju orang, katanja :
"Entjie, bukankah Thian-how telah bilang, dia mau pergi atau berdiam di sini,
kita tidak dapat memaksa dia " Aku tahu tabiatnja, maka itu djangan kau memaksa
dia. Biarlah dia dikasi hidup !". Boe Hian Song tertawa, ia mengibas tangan
badjunja. "Aku bukan hendak mengedjar dia, aku hendak mengantar dan melindungi
dia pergi barang selintasan ", katanja. "Pergilah kau pulang ". Wan Djie heran.
Ia menganggapnja Hian Song aneh sekali. Tertawanja si nona bukan seperti tertawa
bikinan. Pada saat tertawa itu seperti tersimpan rasa sepi dan kuatir. Tengah ia
men-duga2, si nona sudah berlari pergi, menjusul Tjin Tam dan Thio Teng ke
belakang gunung. ---oo0oo--BAGIAN belakang dari istana kaisar jalah gunung Lie San. Pada masanja Kaisar
Tjin Sie Hong, di sana pernah dibangun A Pong Kiong, atau istana A Pong.
Kemudian istana itu dibakar ludas oleh Hang Ie. Ketika keradjaan Tong membangun
kotaradja di kota Tiang-an, di atas gunung Lie San itu didirikan djuga beberapa
istana, hanja djauh beda daripada istana A Pong itu, banjak tempat di sekitarnja
jang masih kosong. Lie It djusteru lari ke gunung itu, untuk kabur dari bagian
belakangnja. Ketika ia tiba di tempat di mana istana A Pong, pernah berdiri,
hatinja berduka sekali. Ia melihat kelilingan, ia mendapatkan tjuma rembulan
sisir jang kesepian. Karena ia menjingkir terus, ia sekarang tak melihat lagi
istana, jang telah ditinggal pergi djauh di sebelah belakangnja. Ia menghela
napas, lantas ia bertindak per-lahan2 turun dan gunung itu. Ia berdjalan belum
djauh atau kupingnja lantas mendengar suara bentrokan sendjata, tanda dari
pertempuran. Ia mendjadi terkedjut. Ia pun segera melihat dua orang bagaikan
bajangan jang lagi ber-lari2 seperti terbang mendatangi kearahnja. Lantas djuga
tampak njata, orang jang berada di sebelah depan itu tubuhnja kekar, tangannja
memainkan sebatang tjambuk jang pandjang. Terpisahnja mereka masih ada belasan
tombak tetapi suara tjambuknja itu sudah men-deru2. Jang heran, melihat gerakgeriknja, dia bagaikan binatang liar jang terluka dan mogok. Sembari menggeraki
tjambuknja itu, dia djuga mengasi dengar seruan2 dahsjat. Sekarang Lie It
mengenali orang itu, orang lihay nomor satu dalam Sin Boe Eng. Dialah See-boen
Pa. Hanja di waktu udjian tjalon wiesoe Sin Boe Eng, dia tidak muntjul. Dialah
jang bersama Tjin Tam dan Thio Teng jang disebut "Sin Boe Eng Sam Toa-kho-tjioe"
atau tiga orang liehay dari tangsi Sin Boe Eng. Bahkan Tjin Tam dan Thio Teng
termasuk sebawahannja. Kalau diingat ia sama tangguhnja dengan Tjin Tam, bisa
dimengerti liehaynja orang she See-boen ini. Lantas Lie It berpikir pula :
"Rupanja orang telah mengatur rentjana, untuk menawan aku. Mereka melepaskannja
dulu, lantas di sini mereka menjembunjikan orang mereka jang terliehay. Hm....!
Hm....! Boe Tjek Thian sangat litjik, sampaipun Siangkoan Wan Djie kena dia
kelabui ! Mungkin Boe Tjek Thian menghendaki Siangkoan Wan Djie terus bersetia
kepadanja, untuk membikin Wan Djie tidak bersusah hati, dia sengadja tidak mau
mentjelakai aku di depan nona itu ...". Oleh karena memikir begitu, Lie It
mendjadi nekat, maka bukan dia lantas lari menjingkir, dia sengadja madju untuk
memapaki djago Sin Boe Eng itu. Tepat di saat ia madju, di belakangnja ia
mendengar teriakan Boe Hian Song: "Lie Kongtjoe, lekas balik !". Suara itu
seperti mengambang di tengah udara, nadanja menggetar, tanda dari hati tak
tenang atau berkuatir sangat. Ia mendjadi terkesiap hatinja. Segera ia memikir :
"Mereka menggunai siasat lunak dan keras terhadap aku, maksudnja tak lain tak
bukan, untuk aku dapat dipaksa kembali. Akulah seorang laki2 sedjati, mana dapat
aku bertekuk-lutut kepada musuh hingga aku mesti menerima penghinaan ?". Ia
mendjadi nekat. Belum ia berhenti berpikir, ia sudah lantas mendengar tindakan
kaki ber-lari2 dari Boe Hian Song. Di lain pihak lagi, tjambuknja See-boen Pa
sudah sampai di depannja. "Tahan !", Hian Song berteriak di saat Lie It berdiri
di atas djurang. Sia2 belaka tjegahan itu, tubuhnja Lie It sudah bergerak
bagaikan terbang ke dalam djurang jang dalamnja seratus tombak itu. Bukan main
kagetnja Boe Hian Song. Inilah ia tidak menjangka. Ia pun hampir sadja terguling
kedalam djurang karena mendadak ia merasakan kepalanja pusing, dunia seperti
berputar. Masih terdjadi peristiwa lainnja jang hebat. Dalam Hian Song katjau
pikirannja itu, ada bajangan jang lompat melewati atasan kepalanja See-boen Pa,
lalu sebuah sendjata jang hitam menimpa ke arah kepalanja si nona. See-boen Pa
melihat itu, ia mentjoba-menangkis dengan tjambuknja seraja ia berseru: "Nona
Boe, lekas membantui aku !". Hian Song bagaikan sadar. Ia melihat seorang
toosoe, atau imam, berdjubah hidjau, jang tangannja mentjekal hoed-tim, atau
kebutan. Dengan kebutannja itu, imam itu dengan gampang menangkis tjambuk Seeboen Pa. Samberan angin tjambuk itu rasanja tadjam. Tjambuk itu terus menjamber
ke arah si nona. Walaupun pikirannja tengah terganggu, sebab kaget berduka dan
berkuatir, Hian Song dapat seperti wadjar sadja menghindari diri dari bahajanja
sendjata si imam. Habis menjerang itu, si imam tertawa terbahak. "Apakah kau si
budak Boe Hian Song ?", dia menegur. "Ha, ha. Aku djusteru lagi metjari kau !.
Kau mempunjai kepandaian apa maka kau berani mentjelakai muridku ?". Njata
sekarang imam ini jalah Thian Ok Toodjin. Ketika itu hari dia dikalahkan Kim
Tjian Kok-tjioe Heehouw Kian dalam satu pertandingan, dia berniat pulang ke
gunung Koen-loen-san untuk mejakinkan lebih djauh ilmu silatnja, tetapi dia kena
dibudjuki dan dibikin panas hatinja oleh kedua muridnja, Ok-heng-tjia dan Toksian-lie hingga bersama kedua murid itu dia pergi ke kota Tiang-an untuk
menolongi Pwee Yam dari dalam pendjara sekalian untuk mentjari Boe Hian Song
guna mentjoba kepandaiannja si nona. Guru dan murid2-nja itu, bertiga, mendaki
gunung dari arah-utara. Mereka ingin dengan diam2 masuk ke dalam istana dari
selatan gunung Lie San itu, untuk menjelundup lebih djauh ke dalam istana, ke
keratonnja kaisar. Apamau dikata, di gunung itu ada See-boen Pa jang mendjaga,
imam itu kena dipergoki. Dengan lantas keduanja bertempur. See-boen Pa gagah
tetapi dia kalah, dari itu dia lantas melepaskan sebatang tjoa-yam-tjian, jalah
panah-ular-berapi, hingga tjahaja apinja berkelebat di udara. Itulah tanda atau
isjarat ada bahaja, untuk minta bantuan. Hian Song mengenali isjarat dari Seeboen Pa itu, maka ia kaget dan lantas pergi menjusul. Karena ia melihat Lie It,
ia teriaki pemuda itu. Sebaliknja Lie It menjangka si nona dititahkan Boe Tjek
Thian untuk menawan dia, karena malu dan mendongkol, dia membuang diri ke dalam
djurang. Di dalam kalangan sesat, Thian Ok Toodjin mendjadi salah satu orang
jang terliehay, jang djarang tandingannja. Hian Song belum pernah bertemu imam
itu tetapi dari gurunja pernah ia mendengarnja, sekarang terpaksa ia melajani
bertempur. Tentu sekali maksudnja mentjari Lie It mendjadi terhalang. Ia tidak
tahu Lie It mati atau hidup, hatinja tidak tenang. Sebab itu, beberapa kali ia
hampir terkebut hoed-tim si imam. Selang sesaat barulah ia bertempur dengan
sungguh2, karena ia mengerti ia terantjam bahaja. See-boen Pa madju, untuk
membantu mengepung. Thian Ok Toodjin tertawa berkakakan. "Kau tahu, kau telah
terkena pukulanku Hoe-koet Sin-tjiang !", kata imam itu. "Dengan kekuatan
tubuhmu, djikalau kau lekas2 pulang untuk mengobatinja, mungkin kau bakal dapat
menolong djiwamu, maka itu, kenapa kau djusteru mengantarkan diri ?". See-boen
Pa gusar.Dia berteriak : "Lihat sadja, lain tahun dihari seperti ini, hari itu
hari satu tahun siapakah ?". Seumurnja See-boen Pa belum pernah dikalahkan
orang, kali ini dia telah terkena pukulan tangan beratjun dari si imam. Dia
pertjaja, dengan bantuan tenaga dalamnja dengan telah menutup diri, di dalam
tempo satu djam, dia tidak bakal mendapat bahaja, maka menuruti hawa amarahnja,
hendak dia menuntut balas terlebih dahulu. Akan tetapi Thian Ok Toodjin benar2
liehay, dikepung berdua, dia dapat berkelahi dengan leluasa. Tjambuk Hong-liongpian dari See-boen Pa liehay, tetapi kalau dia diserang tjambuk, dia dapat
menjingkir terlebih dulu, atau tjukup dengan mendak, pundaknja bebas dari
tjambukan. Benar tjambuk itu pandjangnja satu tombak lebih toh tubuh si imam
seperti tak dapat ditjapai. Berkelahi terlebih djauh, kebutannja Thian Ok
menjamber ke walikat See-boen Pa ke djalan darah hong-hoe-hiat. Selagi si imam
menjerang, si nona membarengi menjerang padanja. Dengan djurus "Giok-lie tjoan
tjiam" atau "Bidadari menusuk djarum", Boe Hian Song mengarah djalan darah djiekhie-hiat imam itu. Karena dia lagi menjerang djago Sin Boe Eng, iga Thian Ok
terbuka. Seharusnja pedang si nona mengenai sasarannja. Gurunja Ok-heng-tjia dan
Tok-sian-lie ini benar2 liehay. Dia masih sempat mengegos tubuh, tjuma sedikit,
toh dia bebas. Di lain pihak, dengan kebutannja, dia menangkis, menangkis sambil
terus menjerang. Hian Song terkedjut. Pedangnja tersamber, hendak dililit. Untuk
menolong pedangnja itu, ia teruskan meluntjurkan ke depan, guna mengikuti ketika
si imam menarik tjambuknja. Dengan begitu, ia seperti memindjam tenaga si imam.
Ketika itu See-boen Pa, jang ketolongan, telah membalas menjerang djuga,
tjambuknja menjabet saling-susul tiga kali. Untuk menolong diri, Thian Ok, jang
telah melepaskan pedang si nona, lompat berdjumpalitan dalam djurusnja "Yan-tjee
tjoan-in" atau "Burung walet menembuskan mega". Ia lompat tinggi. Ketika ia mau
turun, kebutannja menjabet menghalau tjambuk dan pedang lawannja. Gebrakan kali
ini membuatnja mereka bertiga sama2 kaget. Serangan mereka sama2 berbahaja, diri
mereka pun sama2 terantjam bahaja hebat. Thian Ok heran atas kegagahan si nona,
jang ia terka umurnja baru lebih-kurang dua puluh tahun. Tapi jang membuatnja
djeri jalah apabila ia sudah mengenali ilmu silat pedang nona itu. Ia ingat
kepada ilmu silatnja seorang tetua Rimba Persilatan jang ia kenal. Ia berkepala
besar, ia tidak takuti siapa djuga ketjuali tetua itu. Tengah hebatnja mereka
bertiga mengadu djiwa, Boe Hian Song menangkap djeritan tadjam dan menjajatkan
dari dalam lembah. Ia kaget, ia menjangka djeritan putus djiwa dari Lie It. Tapi
ia pun melihat Thian Ok Toodjin turut kaget, bahkan si imam lantas menahan
kebutannja di depan dadanja, bukannja dia bersiap untuk menjerang, hanja dia mau
bersiaga, seperti dia takut diserang si nona. Sekejap itu, Hian Song ingat
kebalikannja. Lie It sudah djatuh sekian lama, tak mungkin dia baru bersuara
andaikata dia djatuh ke djurang dengan tidak lantas mati. Thian Ok Toodjin
sebaliknja terkedjut lantaran ia mengenali suara muridnja,
Ok-heng-tjia, sebab ia tahu betul, muridnja itu bersama Tok-sian-lie berada di
lembah sebagai mata2. Ia mendjadi bingung. Ia men-duga2 : "Apa mungkin mereka
bertemu sama orang liehay ?". Karena pikirannja katjau, meski ia lebih tangguh,
Thian Ok kena didesak Boe Hian Song dan See-boen Pa. Beberapa kali ia terantjam
tjambukan atau tikaman pedang, hingga suasana mendjadi berubah, si imam mendjadi
djatuh di bawah angin. Adalah di saat seperti itu, Tjin Tam bersama Thio Teng
dapat menjandak. Thio Teng bangsa sembrono, segera dia madju lebih djauh, untuk
menjerang dengan toja kuningannja seraja mulutnja mendamprat : "Imam busuk dari
mana berani datang ke gunung Lie San untuk berlaku kurang adjar ?". Dengan
djurus "Kim-kong hang-mo" atau "Kimkong menaklukan siluman", dia menjerang ke
dada. Thian Ok Toodjin menutup diri dengan sebelah tangannja, ketika toja
sampai, ia menjambuti dengan tangan kiri, ia menjamber udjung toja, untuk
ditjekal keras. Thio Teng kaget, dia mengerahkan tenaganja jang kuat, guna
menarik pulang tojanja tetapi dia tidak berdaja. Si imam sebaliknja bekerdja
terus, tangan kirinja diputar, maka toja kuningan itu, jang dipertahankan
pemiliknja, mendjadi melengkung. See-boen Pa lantas menjerang. "Baik, kau
hadjarlah !", berseru Thian Ok, jang lantas mengerahkan tenaganja, menjambar
toja musuh, hingga tubuh Thio Teng kena terbawa, terlempar kearah kawannja. Seeboen Pa kaget, dia berkelit sambil menarik pulang tjambuknja, kalau tidak, pasti
dia bakal menghadjar kawannja sendiri. Ia mau menjamber tetapi tidak keburu.
Karena tidak ada jang menghalangi, tubuh Thio Teng terlempar terus hingga
membentur batu gunung di dekat mereka, hingga kepalanja petjah terbelah, hantjur
berantakan. Boe Hian Song kaget berbareng gusar sekali, ia menjerang dengan
hebat, dua kali beruntun, masing2 dengan djurus2-nja "Bintang terbang" dan "Kuda
liar kabur di sawah". Sasarannja jalah mata dan pusar si imam. Djuga See-boen Pa
madju menggentjet, menjamber ke bawah. Thian Ok Toodjin membebaskan diri. Ia
melihat orang mendjadi nekat, ia tidak berani memandang enteng. Ia lantas
menutup diri dengan saban2 mengebut setiap serangan. Ia menggunai tipu silatnja,
"In-heng Tjin Nia" jalah "Mega melintang di atas gunung Tjin Nia". Ia bagaikan
telah membeber djaring. Tetapi mendadak ia kaget. Tahu2 kebutannja kena
tersampok, hingga ia membuka lowongan tanpa di sengadja. Boe Hian Song
penasaran, ia menjerang dengan djurus "Pek-hong-koan-djit" atau "Bianglala putih
menutup langit". Mendadak sadja pedangnja meluntjur masuk. Si imam kaget, dia
lantas berkelit. Sjukur untuknja, tjuma udjung tangan badju dari djubahnja jang
kena terpapas. Tapi kegagalannja Thian Ok ini pun disebabkan Tjin Tam jang madju
untuk membantui See-boen Pa. Di dalam ilmu silat, Tjin Tam tjuma kalah sedikit
dari See-boen Pa. Disamping itu, dia tjerdik sekali, matanja tadjam. Begitulah
dia bisa melihat pembelaan diri dari Thian Ok Toodjin. Dia bersendjatakan
bendera, jang terbuat dari kawat. Itulah sendjata peranti menunduki sendjata
lunak seperti kebutan. Dia menunggu ketika, lantas dia menjerang setjara tiba2.
Thian Ok menangkis, ia bebas, tapi ia membuat lowongan, maka ia kena dibarengi
Nona Boe! Selandjutnja, nona itu bertiga mengepung imam liehay itu. Hebat
djalannja pertempuran. Bendera ber-kibar2, pedang berkelebatan sinarnja, tjambuk
pun bagaikan me-lilit2. Walaupun dia liehay, Thian Ok toh kena dibikin tidak
dapat berbuat banjak dengan kebutannja itu. Di saat pertempuran berlangsung itu,
disana tampak satu bajangan lain mendatangi. Dengan tjepat bajangan itu
mendekati, lalu terdengar suaranja jang tadjam: "Entjie Hian Song ! Entjie Hian
Song, kau lagi bertempur sama siapa ?". Suara itu tidak lantjar dan sedikit bergetar djuga. Itulah suaranja Siangkoan Wan Djie, jang hatinja berdebaran, tanda
dari kegelisahan atau kekuatirannja. Thian Ok Toodjin mendengar suara orang itu,
dia mendjadi bergelisah sendirinja. Terutama dia heran kenapa dua muridnja masih
djuga belum muntjul, hingga dia berpikir: "Aku tidak menjangka di dalam istana
ada begini banjak orang liehay. Djikalau aku tidak mengangkat kaki siang2,
mungkin aku akan susah ...". Maka lantas ia menjerang Hian Song, sambil
menjerang ia melompat madju. Si nona menangkis sambil berkelit. Tapi si imam
hanja menggertak. Begitu nona itu berkelit, ia berlompat ke arah Tjin Tam, untuk
menjerang djalan darah wiasoe itu. Tjin Tam pun berkelit seraja dia mengibas
dengan benderanja, untuk menghalau serangan, lalu dia meneruskan merabu ke kaki.
Thian Ok menggunai siasat, maka itu djusteru ia diserang lagi terus merlompat,
dan belum lagi Tjin Tam atau lainnja menjerang pula, ia sudah melompat terus,
untuk kabur dari hadapannja ketiga musuh itu. Hanja selagi mau kabur, ia
menjerang See-boen Pa jang menghadang di depannja. See-boen Pa menangkis dengan
tjambuknja, maka tjambuk dan kebutan kebentrok, terus tjambuk itu menjambar,
hingga tubuhnja si imam terlempar ke bawah gunung. Dan itu artinja, dia lolos
dari kepungan. See-boen Pa tertawa bergelak. "Biarnja aku mengorbankan sebelah
lenganku, aku toh berhasil menghadjar kau dengan tjambukku !", katanja, tetapi
suara tertawanja jalah tertawa jang menjedihkan. Boe Hian Song terkedjut, ia
lantas memandang wiesoe itu, maka ia mendapat lihat sebelah tangan orang hitamlegam bagaikan arang. Dan belum lagi Tjin Tam dapat menghalangi, dengan golok di
pinggangnja, See-boen pa telah membabat kutung lengannja itu !. See-boen Pa
terhadjar tangan liehay dari Thian Ok Toodjin, berkat kekuatan tenaga-dalamnja,
dia mempertahankan diri hingga ratjun tidak mendjalar ke tubuhnja, bahkan dia
menolaknja itu hingga ratjun berkumpul di telapakan tangannja. Barusan dia
berkelahi hebat, ratjun itu mengalir naik pula, tenaganja jang berkurang tidak
dapat mentjegah lagi, dari itu, insaf bahwa dia tidak bakal ketolongan, dia
nekat mengutungi tangannja itu, guna menolong djiwanja. Siangkoan Wan Djie tiba,
ia terkedjut melihat keadaannja See-boen Pa itu. See-boen Pa lantas memondong
majatnja Thio Teng, sembari tertawa sedih dia berkata : "Nona Boe, untuk sakit
hatinja saudara-angkatku ini, selandjutnja aku tjuma mengandal kepada bantuanmu.


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjin Tam, pergi kau menemani Nona Boe mentjari orang djahat itu !". "Pergi kau
pulang dengan tenang, untuk mengobati lukamu ", kata Hian Song. "Andaikata aku
tidak dapat membalaskan untukmu, lain kali mesti ada lain orang jang
membalaskannja !". "Asal gurumu suka datang, nona, aku tentu merasa lega sekali
", kata See-boen Pa. Lantas dia bertindak pergi bersama majatnja Thio Teng.
Dengan muka putjat, Siangkoan Wan Djie mengawasi kepergiannja wiesoe liehay itu,
jang hatinja keras dan tubuhnja tangguh. "Dia sudah pergi, Thio Teng bukanlah ia
jang membinasakannja ", Boe Hian Song berkata perlahan pada kawannja. Mendengar
itu, lega hati Wan Djie. "Dia telah pergi ?", achirnja dia tanja. "Kau tidak
menjusul dia " Dia ada meninggalkan apakah ?". "Mungkin dia belum pergi djauh.
Nanti aku turun ke bawah gunung untuk melihat dia ". Hian Song kuatir si nona
kaget dan berduka, ia tidak mau membilangi jang Lie It sudah terdjun ke djurang.
Tetapi Siangkoan Wan Djie tjerdik sekali, dari paras orang ia menduga sesuatu,
ia merasakan suatu alamat buruk, hingga hatinja ber-debaran. Ia dapat menguatkan
hati, ia tidak mau menanja lagi, dengan membungkam dia ikut nona she Boe itu
djalan turun ke lembah guna mentjari Lie It.
---oo0oo--DJALANAN menuruni djurang litjin dengan lumut, beberapa kali Wan Djie hampir
terpeleset djatuh. Sjukur Hian Song mengulur tangan, mendjambret padanja. "Adik
Wan Djie, kau tenangi dirimu," Hian Song kata perlahan. Ilmu ringan tubuh dari
Wan Djie tidak lemah tetapi karena hatinja katjau, ia tidak dapat menguasai
dirinja. Tidak lama maka hidung mereka terhembuskan bau batjin dari darah. "Hai,
di sini ada satu majat !", tiba2 terdengar Tjin Tam berseru. Dia djalan
berpisahan. Siangkoan Wan Djie merasakan dirinja seperti ditimpa guntur,
kagetnja bukan main, kepalanja pusing, tubuhnja bergemetar, maka Hian Song
lantas merangkulnja. Di sana terdengar pula suaranja Tjin Tam: "Ah, inilah majat
seorang tauwto jang memelihara rambut !". Kata2 itu membantu banjak akan
ketenangan hati Wan Djie, jang dengan dipeluki Boe Hian Song pergi menghampirkan
wiesoe itu. Tjin Tam sudah lantas menjalakan api, hingga mereka dapat melihat
tegas. "Inilah Ok-heng-tjia !", Hian Song berseru tertahan, karena ia heran. Ia
lantas membungkuk, untuk melihat lebih tegas, hingga ia mendapatkan tubuh si
tauwto, jalah pendeta jang memelihara rambut, terlukakan lima atau enam lubang,
semua bukan di bagian tubuh jang berbahaja, ketjuali luka di pundaknja, jang
dalam, tetapi itu bukan luka disebabkan sendjata tadjam, di situ ada bekas2
gigi, suatu tanda itulah luka gigitan. Tentu sekali ia mendjadi heran, hingga ia
berkata di dalam hatinja : "Seorang jang liehay ilmu silatnja tidak nanti
berkelahi dengan menggigit. Siapakah jang membinasakan tauwto ini ?". "Ok-hengtjia senantiasa berada bersama Tok-sian-lie ", kata Siangkoan Wan Djie, "maka
itu Tok-sian-lie harus diperhatikan. Mungkin dia terluka dan belum mati dan
sekarang lagi bersembunji di dekat2 sini. Awas untuk djarumnja jang beratjun
jang berbahaja sekali !". Tjin Tam lantas berdjalan seraja memutar benderanja,
matanja dipasang tadjam. Tidak djauh diri situ, mereka mendapatkan lagi satu
majat. "Ah, inilah majatnja seorang muda jang tubuhnja kekar...! ", katanja
heran. Siangkoan Wan Djie ketahui, Lie It itu gagah tetapi tubuhnja nampak
lemah, maka ia tidak mendjadi kaget hatinja, baru ia merasa sedikit lega, tiba2
ia mendengar suaranja Boe Hian Song: "Adik Wan Djie, mari, lekas lihat !.
Dia ..., dia bukankah si anak muda jang dipanggil Tiangsoen Tay ?". Wan Djie
menghampiri, hatinja kembali berdebaran. Baru ia merasa sedikit lega atau
sekarang ada lagi lain urusan. Ketika ia telah datang dekat dan melihat tubuh
orang itu, ia kaget bukan main. Sebab terlentang di depannja, dengan alis
gompjok dan mata besar, benarlah si anak muda dengan siapa mereka berdua, ia dan
anak muda itu, pernah hidup bersama dari ketjil hingga dewasa, hingga mereka
mirip kakak dan adik, ialah Tiangsoen Tay. Ia mendjerit perlahan, hingga untuk
sesaat ia tak dapat menangis. Tjin Tam sudah lantas memondong bangun anak muda
itu, sedang Boe Hian Song, jang merobek udjung badjunja, memegang lengannja
seraja terus berkata: "Nadinja masih belum berhenti berdjalan ...". Dia merobek
pula badju si anak muda, setelah mana ia menambahkan "Dia terkena dua batang
djarum beratjun serta satu serangan tangan kosong ". Tanpa ajal lagi, Hian Song
menghunus pedangnja untuk membelek daging orang di tempat jang luka, guna
mengeluarkan dua potong djarum berbisa itu. Tiangsoen Tay seperti tidak
merasakan apa2, dia berdiam sadja. "Masih ada harapan ?", Wan Djie tanja,
hatinja terus memukul. Hian Song tidak menjahuti hanja ia menotok ke pinggang
dan iga si anak muda, guna membebaskan perbatasan djalan darah thiat-hay-hiat,
atas mana Tiangsoen Tay lantas memuntahkan reak jang bertjampur darah, jang
kental, setelah mana dia membuka kedua matanja. Ketika dia melihat Siangkoan Wan
Djie, dia rupanja mengenali si nona, alisnja lantas bergerak, dia tesenjum. Tapi
lekas djuga dia merapatkan pula kedua matanja itu. "Tjin Tam ", kata Boe Hian
Song, "lekas kau bawa dia pulang ke istana, dan lekas kau mengundang thay-ie
untuk menolongi dia !". 'Thay-ie' jalah tabib istana. Di dalam halnja ilmudalam, lweekang atau lay-kang, Tiangsoen Tay kalah djauh dari Lie It, maka itu
dia tidak dapat dibawa ke gunung Kong Lay San untuk dimintai pertolongannja
Heehouw Kian, sedang dari Tiang-an ke gunung itu di propinsi Soe-tjoan,
djaraknja lebih djauh dari pada tempat terlukanja Lie It dulu hari itu.
Siangkoan Wan Djie tahu baik liehaynja djarum Tok-sian-lie, dengan dibawa kepada
tabib istana, Tiangsoen Tay terserah kepada nasibnja. Tjin Tam sudah lantas
bekerdja, dengan memanggul tubuh Tiangsoen Tay, ia berlalu dari lembah itu. Wan
Djie mengawasi sampai orang lenjap di antara pepohonan. Ia ingat budikebaikannja Tiangsoen Koen Liang serta Tiangsoen Tay dan Tiangsoen Pek kakakberadik, tanpa merasa ia mengalirkan air mata. Kemudian ia ingat : "Majatnja Okheng-tjia kedapatan di sini, engko Tay itu terlukakan djarumnja Tok-sian-lie,
maka itu pastilah engko Lie It telah bertemu sama ini dua iblis ...". Maka ia
mau menduga, Lie It tentulah terantjam bahaja. Boe Hian Song terus mentjari,
sampai tjuatja berubah mendjadi terang tanah, ia masih mentjari terus di sekitar
lembah itu, hasilnja kosong. Lie It tidak tampak. "Dia tidak ada, mari kita
pulang ...", katanja kemudian, lesu. "Tidakkah terdjadi sesuatu atas dirinja ?".
Wan Djie bertanja. "Entjie, mengapa kau mendapat pikiran ia di lembah ini "
Menurut suaranja kemarin, bukankah dia mau pergi djauh sekali dan tidak bakal
balik kembali ?". "Lebih baik lagi dia pergi semakin djauh !", kata Hian Song
berduka. Ia menjahut bukan seperti menjahut, karena ia djuga mesti menguatkan
hatinja, tidak berani ia memberitahukan hal-nja Lie It terdjun ke djurang, hal
mana pasti akan menghantjurkan hatinja Wan Djie. Di dalam hatinja ia mengharap
Lie It selamat ditolong orang. Sebab, dengan terdjun ke djurang, kalau orang
tidak lantas mati, sedikitnja dia mesti terluka parah, dan adalah harapan tipis
jang dia kebetulan sadja dapat ditolong orang selagi keadaannja setengah mati
itu. Sama sekali Hian Song tidak pernah menduga bahwa benar2 sudah terdjadi hal
kebetulan. Hanja Lie It bukan orang tolongi dengan menanggapi dia selagi dia
djatuh tetapi dia njangkut di pepohonan, pohon tjemara, jang tumbuh di pinggir2an djurang. Sebagai seorang jang liehay ilmu silatnja, lantas dia dapat
mendjambret, memegang tjabang2 pohon, hingga dia tidak djatuh langsung ke
lembah. Dengan berdjumpalitan, dia achirnja tiba di lembah setjara perlahan.
Tjuma meski demikian, dia toh terbanting djuga dan pingsan karenanja.
---oo0oo--SATU hari penuh Lie It tak sadarkan diri, hingga ia tidak tahu apa jang sudah
terdjadi atas dirinja, ketika kemudian ia mulai mendusin, ia mendengar suara
orang di kupingnja, suara menghela napas. Ia lantas memusatkan perhatian, ia
memasang kupingnja. Lantas ia mendengar suaranja roda2 kereta, terasa tubuhnja
memain di antara gontjangan kereta itu. Ia pun lantas ingat kedjadian dulu
ketika Boe Hian Song menolongi padanja. Ketika ia membuka matanja, ia
mendapatkan di dalam kereta itu, bersamanja, ada bajangannja seorang nona.
Sebelum sadar seluruhnja, ia lantas mendjerit memanggil : "Hian Song ...! Hian
Song ...!". Tapi sekarang ia sekalian mementang matanja, hingga ia segera
melihat, wanita itu bukannja si nona she Boe. Sebab orang bukannja Hian Song, ia
lantas menduga lain. Maka ia me-manggil2 pula: "Wan Djie ...! Wan Djie ...!". Ia
pertjaja, kalau orang bukannja Boe Hian Song, tentulah Siangkoan Wan Djie.
Djusteru itu ia merasakan mukanja kedjatuhan tetesan air mata, hingga ia
terkedjut dan tertjengang. Ia membuka mata lebih lebar, hingga ia memperoleh
kepastian benar2 si nona bukan Hian Song, bukan pula Wan Djie, hanjalah
Tiangsoen Pek! "Engko It, Thianhee ...", ia mendengar suara si nona she
Tiangsoen itu, "Kenapa kau masih sadja ingat mereka itu ?". Habis mengutjap,
nona itu mengulur tangannja jang halus, memegangi tangan si pemuda, mulutnja
mengeluarkan pula : "Engkau, engkau sadarlah ...!. Sjukurlah, kau tidak terluka
parah !". Biar bagaimana, Lie It girang berbareng berduka. Ia pun bergelisah dan
malu sendirinja. Dari rebah, ia mentjoba bangun untuk berduduk. "Ah, adik Pek,
mengapa kau ada di sini ?", tanjanja kemudian. Ia sekarang dapat melihat tegas,
nona itu kutjal dan perok, air matanja masih belum kering. Tentulah tanda bahwa
dia baru menderita kedukaan hebat. Tiangsoen Pek menjingkap tenda kereta di
depannja. "Aku bersama ajah ", ia menjahut, suaranja perlahan dan berduka, dan
air matanja mengalir pula. Di bagian depan dari kereta itu berduduk seorang tua.
Dia itu menoleh ke belakang, sembari tersenjum dia menanja : "Apakah Tianhee
masih mengenali loosin ?". Dia tesenjum tetapi senjumnja senjuman kesedihan. Dia
memanggil "tianhee" atau "jang mulia" dan menjebut dirinja "loo sin", menteri
jang tua. Sebab dialah Tiangsoen Koen Liang, ajahnja Tiangsoen Pek. "Tidak ku
sangka di sini aku dapat bertemu sama pehpeh ", kata Lie It, jang mengenali
orang tua itu, jang ia panggil pehpeh atau paman. "Aku mengutjap terima kasih
jang pehpeh telah menolongi aku. Maaf, di atas kereta ini tidak dapat aku
mendjalankan kehormatan ". Inilah untuk pertama kali semendjak ia ketolongan,
Lie It melihat pula menteri setia dari Keradjaan Tong itu, maka kegirangannja
bukan main besarnja. Ia merasa heran kenapa orang berada di kotaradja. Ia tahu
walaupun Tiangsoen Koen Liang telah diobati sembuh oleh Heehouw Kian, ilmu
silatnja pasti belum pulih kembali. Kemana dia sekarang menjelusup ke kotaradja
dan djusteru dapat menolonginja ". "Apakah kau telah bertemu sama Wan Djie ?",
tanja Tiangsoen Koen Liang. Lie It merasakan hatinja sakit. Ia mendengar suara
orang tua itu menggetar. "Ja ...", sahutnja perlahan. "Apa jang dia bikin di
dalam keraton ?", Koen Liang tanja pula. "Dia membantu Boe Tjek Thian menulis
rentjana, dia menemani membuat sjair ", sahut si pemuda. "Atau dia melukis
gambar ". "Djikalau begitu, benarlah Wan Djie telah mendjadi menteri wanita dari
Boe Tjek Thian ", kata Tiangsoen Koen Liang. "Benarkah dia telah melupai
kakeknja, ajahnja dan djuga ibunja jang masih hidup ?". "Aku mendapatkan dia
melupakan segala apa ...". "Ketika kau bertemu dengannja, dia sedang membuat apa
?". "Dia sedang membatjakan maklumatnja Lok Pin Ong ", Lie It mendjawab. "Untuk
siapakah dia membatjakannja?". "Untuk Boe Tjek Thian ". "Ah ...!", kata
Tiangsoen Pek, suaranja lemah. "Boe Tjek Thian sendiri jang menjuruhnja membatja
". Se-konjong2 sadja Tiangsoen Koen Liang tertawa terbahak. Dia seperti
merasakan dadanja lapang setjara tiba2, seperti dia dapat melampiaskan apa jang
sekian lama menekan hatinja itu. "Bagus ! bagus ...!", katanja. "Hebat dia
mempunjai njali untuk membatjakannja dan Boe Tjek Thian djuga mempunjai njali
untuk mendengarkannja ...!. Bagaimana Boe Tjek Thian setelah mendengar
itu ...?". "Boe Tjek Thian tidak memperhatikan, dia biasa sadja ". "Dia biasa
sadja ?", Koen Liang heran. "Apa dia tidak mengatakan apa2 ?". Tiangsoen Koen
Liang menjatakan demikian karena ketika Lok Pin Ong habis mengarang maklumat
itu, semua menteri keradjaan Tong, jang menentang Boe Tjek Thian, pada menundjuk
kepuasan mereka. Ia menduga sedikitnja Boe Tjek Thian bakal mendjadi setengah
mati karena mendongkol dan gusarnja. Siapa tahu, Boe Tjek Thian tidak
menghiraukan maklumat jang tadjam bunjinja itu. "Setelah dia mendengarnja ",
menerangkan Lie It pula, "jang pertama dia katakan jalah ia menjesal perdana
menteri tidak dapat mengerdjakan orang jang pandai ". Tiangsoen Koen Liang
mengangguk. "Lok Pin Ong memang pintar sekali ", katanja. "Nah, apalagi
katanja " Tjoba kau menjebutkannja padaku ...". "Boe Tjek Thian bilang maklumat
itu bagus hanja tidak berpengaruh, tiada tenaganja. Satu demi satu dia
membantahnja, dia membantah semuanja ... ". Mendengar itu, lenjap senjuman pada
mukanja Tiangsoen Koen Liang, parasnja lantas mendjadi putjat. Kalau tadi dia
bersemangat, sekarang dia mendjadi lesu sekali, hingga dia nampak seperti djadi
tua mendadak. "Dia bilang bahwa Tjie Keng telah kena dikurung, dan bahwa paling
banjak tak lebih dalam tempo setengah bulan bakal kena dibasmi habis ?", dia
tanja kemudian. "Ja, dan mungkin itulah benar !". "Kau sendiri, Tianhee,
bagaimana dengan kau ?". Lie It tunduk. "Aku sendiri bingung, tidak tahu aku
mesti bikin apa ", ia menjahut, lesu. "Aku djusteru mau menanjakan petundjuk
pehpeh ...". Tiangsoen Koen Liang berdiam sekian lama, lalu ia menarik napas
pandjang. "Kalau demikian, dia benar musuh jang liehay sekali ", katanja.
"Mungkin loo-sin tidak bakal melihat pula bangunnja Keradjaan Tong. Oh, Wan Djie
! Wan Djie !. Kau baik ...! kau bagus !, bagus sekali ....!". Lantas orang tua
ini muntah darah dan tubuhnja terdjungkal dari tempat duduknja di kereta itu.
Tjita2 Tiangsoen Koen Liang jalah membangun pula Ahala Tong sekalian membangun
djuga rumah-tangganja. Sekarang dia mendjadi putus harapan. Jang membuatnja
paling berduka jalah orang jang dia rawat dan didik dari ketjil, Siangkoan Wan
Djie, jang dia tjintai seperti anak kandung, jang dia harap nanti membunuh Boe
Tjek Thian, sekarang orang jang dibuat andalan itu djusteru berpihak kepada ratu
itu dan mendjadi orang kepertjajaannja. Dia sudah tua, mana sanggup dia menerima
pukulan hebat ini ". Maka itu, napasnja mendjadi sesak, lantas dia roboh
sendirinja. Lie It kaget bukan main. Dia melompat turun dari kereta, untuk
mengasi bangun. Dia melihat muka orang putjat-pasi dan napasnja empas-empis.
Tiangsoen Koen Liang sadar tjepat, lantas dia kata perlahan : "Aku telah
kehilangan anak laki2-ku, sekarang tinggal ini, satu anak perempuan, maka itu,
Tianhee, setelah aku menutup mata, sudikah kau me-lihat2 dia ?". Dengan air mata
mengutjur deras, Tiangsoen Pek memegangi kedua tangan ajahnja. "Ajah, kau tidak
dapat mati ! tidak dapat mati ...!", katanja. "Setelah kau berobat sembuh, kita
nanti pergi mentjari engko Tay !". Tiangsoen Koen Liang tertawa pedih. "Dapatkah
aku bertahan sampai sekian lama lagi ?", katanja. "Kau, kau ...". Suaranja orang
tua ini lantas mendjadi lemah, hingga tidak terdengar tegas. Lie It meraba ke
nadi, jang djalannja tidak ketentuan, sebentar tjepat, sebentar perlahan,
kadang2 melondjak, lalu berdiam. Ia tidak mengerti ilmu tabib tetapi ia
mengetahui djuga sedikit. Itulah tanda buruk. Pula Heehouw Kian terpisah sangat
djauh. Mana bisa Tiangsoen Koen Liang keburu pergi kepada tabib itu ". Dengan
sinar mata guram, Tiangsoen Pek mengawasi Lie It. Ia seperti meletaki semua
pengharapannja di bahu pemuda ini. Dalam keadaan seperti itu, Lie It lantas
bekerdja. Ia melakukan apa jang ia bisa. Lebih dulu ia menotok tiga djalan darah
thian-kie, tjiang-tay dan leng-hoe, untuk menutup, guna mentjegah si orang tua
pingsan, terutama untuk mentjegah dia tersiksa. Dengan begitu djuga darahnja,
jang keratjunan, tidak usah menjerang ke djantung. "Bagaimana sekarang "
Bagaimana sekarang ?", tanja Tiangsoen Pek ber-ulang2. "Ditempat belukar seperti
ini, ke mana kita bisa pergi mengundang tabib ?". Lie It memandang ke sebelah
depan. "Di depan sana ada rumah berhala ", katanja. "Mari kita pergi dulu ke
sana, untuk menumpang singgah. Kita boleh minta sebuah kamar guna pehpeh
beristirahat, nanti kita berdaja pula ...". Nona Tiangsoen sudah kehilangan
akal, ia menurut sadja. Segera tubuh si orang tua dipondong gadisnja, buat
dikasi naik ke atas kereta, untuk direbahkan. Sekarang Lie It duduk di depan,
memegang kendali kereta. ---oo0oo--"BAGAIMANA sebenarnja maka kamu beramai tiba di sini ?", tanja Lie It selagi
roda2 kereta menggelinding. Tiangsoen Pek suka memberi keterangan. Ia menutur
sembari menangis, dengan kadang2 ter-putus2, walaupun demikian, si pemuda dapat
mengerti. Ternjata, dua hari seperginja Lie It dari rumahnja Heehouw Kian, Kok
Sin Ong bersama Tiangsoen Tay menjambut Tiangsoen Koen Liang. Hatinja Kok Sin
Ong telah mendjadi tawar, sesudah dia mengantarkan Tiangsoen Koen Liang ke rumah
Heehouw Kian, dia lantas meninggalkan sahabatnja itu. Ketika Tiangsoen Koen
Liang mendengar halnja Lie It seorang diri pergi ke Tiang-an, hatinja mendjadi
tidak tenteram, hingga ia mau lantas menjusul. Ia pikir, di kotaradja masih ada
beberapa bekas rekannja, andai-kata apa latjur Lie It kena ditawan Boe Tjek
Thian, ia mau berdaja menolongi. Tapi ia telah kehilangan ilmu silatnja, Heehouw
Kian tidak mengijinkan ia pergi. Masih ia memaksa. Achirnja Heehouw Kian kalah
desak. Lantas dia menggunai dajanja jang terachir, jalah dia membekalkan
sematjam obat makan kepada orang tua jang hatinja kuat itu. Khasiat obat itu
dapat membikin pulih tenaganja Tiangsoen Koen Liang untuk sementara waktu,
tetapi kalau nanti tenaga obat sudah habis, umpama kata ia harus sembuh dalam
waktu satu tahun, waktu itu mesti terlambat hingga tiga tahun. Maka ketika ia
mau berangkat, Heehouw Kian memesan wanti2, djikalau bukan menghadapi musuh
tangguh, djangan ia makan obat itu. Tidak lama setibanja di kotaradja, Tiangsoen
Koen Liang lantas mendengar kabar tentang Lie It. Ini terdjadi lantaran
Siangkoan Siang, si tjalon wiesoe jang berewokan itu. Dia sebenarnja keponakan
si orang tua. Keponakan disebabkan ajahnja adalah orang sebawahan jang
dipertjaja dari Koen Liang. Semasa Kaisar Thay Tjong (Lie Sie Bin), Tiangsoen
Koen Liang mendjadi Tian-tjian Kiam-tiam, dan ajahnja Siangkoan Siang bekerdja
di bawah perintahnja. Lie It telah memakai namanja Thio Tjie Kie, kulit mukanja
pun dipakaikan obat hingga mendjadi bersemu kuning, tidak urung dia mendatangkan
ketjurigaannja Siangkoan Siang itu. Lalu di hari dia diharuskan mengantar tjalon
pembunuh ke keraton, kebetulan sekali Siangkoan Siang bertemu sama Tiangsoen
Koen Liang dan ia membitjarakan tentang ketjurigaannja itu mengenai dia.
Tiangsoen Koen Liang lantas merasa pasti Thio Tjie Kie jalah Lie It. Ia djuga
berkuatir, mungkin Lie It masuk ke keraton untuk menghadapi bahaja. Dari itu,
setelah mereka berdua berdamai, Siangkoan Siang ditugaskan turut masuk ke dalam
keraton guna membunuh ratu, lalu untuk bersama Lie It lari menjingkir. Telah
ditetapkan, Tiangsoen Koen Liang akan menantikan di belakang gunung Lie San. Di
luar dugaan, di belakang gunung Lie San itu, Tiangsoen Koen Liang dan dua
anaknja, Tay dan Pek, bertemu sama Ok-heng-tjia dan Tok-sian-lie, kedua muridnja
Thian Ok Toodjin, jang berada di situ menemani guru mereka. Karena musuh liehay
sekali, dengan terpaksa Tiangsoen Koen Liang menelan obat bekalannja Heehouw
Kian, hingga tenaganja pulih, lalu dia menempur kedua hantu itu. Tiangsoen Tay
membantui ajahnja, dia menubruk Ok-heng-tjia, untuk dipeluki, karena sambil
memeluk sukar menjerang, dia menjeret pundak si tauwto. Maka keduanja sama2


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terluka parah. Tok-sian-lie tertikam Tiangsoen Koen Liang hingga tudjuh kali,
dia kabur. Ketika Lie It djatuh itu, orang lagi bertempur mati2-an. Tiangsoen
Pek jang menolongnja. Tepat di saat Tiangsoen Koen Liang membikin Tok-sian-lie
kabur, mereka mendengar suaranja Boe Hian Song. Mereka kuatir Boe Hian Song
nanti datang bersama rombongan wiesoe, dengan terpaksa mereka menjingkir membawa
Lie It dengan kesusu, mereka meninggalkan Tiangsoen Tay, jang mereka tidak tahu
masih hidup atau sudah mati. Tjuma sang ajah itu melihat tegas anaknja kena
dihadjar tangan beratjunnja Ok-heng-tjia serta terkena djuga djarumnja Tok-sianlie, djarum beratjun jang liehay itu, hingga ia mau menganggap sadja anaknja itu
sudah mati. Selagi Tiangsoen Pek mandi air mata karena penuturannja itu, Lie It
djuga berduka bukan main. Ia ingat budi besarnja Tiangsoen Koen Liang, jang
membela mati2-an padanja hingga orang kehilangan putera, anak jang akan
menjambung turunan she Tiangsoen. Ia tidak tahu, tjara bagaimana harus membalas
budi itu. ---oo0oo--TIDAK lama kemudian kereta telah sampai dikaki bukit di depan itu. Di situ
mereka berhenti. Lie It lantas menggendong Tiangsoen Koen Liang, untuk diadjak
mendaki bukit. Tiangsoen Pek mengikuti tanpa ber-kata2. Mereka berkuatir
djiwanja orang tua itu dapat hilang dalam sekedjap. Maka hati Lie It berat
seperti ditindih gunung. Beberapa kali, di waktu berpaling, ia menjingkir dari
sinar matanja si nona, karena ia kuatir tidak dapat mendjawab andaikata nona itu
menanjanja. Di lereng bukit itu ada sebuah kuil tua, jang ditempati seorang
pendeta tua bersama katjung hweeshio tukang masaknja. Pendeta itu menjambut
tetamunja dengan baik, bahkan dia memberikan kamarnja ketika ia mendapat tahu
ada seorang tetamunja jang sakit. Dia lantas menjuruh muridnja masak air. Manis
pelajanannja. Tiangsoen Pek merebahkan ajahnja di atas pembaringan kaju. Ketika
ia memegang nadi ajahnja, hatinja mendjadi semakin ketjil. Nadi itu makin lemah
denjutannja. Lie It menotok, membuka djalan darah jang tadi dia tutup, habis itu
dia mentjoba menjalurkan hawa tenaga-dalamnja, guna menjambung tenaga. Selang
sesaat, Tiangsoen Koen Liang membuka kedua matanja. "Anak Pek, mari ...", ia
memanggil puterinia, suaranja sangat perlahan. "Kau mewakilkan aku berlutut dan
mengangguk kepada Tianhee !". Nona itu menurut. Lie It terkedjut, dia mendjadi
bingung. Dengan ter-sipu2 dia memimpin bangun nona itu. "Sekarang aku
ketinggalan hanja ini seorang anak perempuan ", kata Tiangsoen Koen Liang pada
Lie It, suaranja serak, "maka itu aku hendak menjerahkan dia untuk kau jang melihat2-nja. Tianhee, sudikah kau menolongi aku bertanggung-djawab untuk seumur
hidup dari anakku ini ?". Inilah buat jang kedua kali Tiangsoen Koen Liang
menjerahkan puterinja kepada Lie It. Sekarang dia omong dengan terlebih djelas.
Namanja menjerahkan untuk tolong ditilik, sebenarnja djodoh si nona dirangkap
dengan djodohnja. Hati Lie It gontjang. Ia bingung sekali. Sedjenak itu
bergantian di depan matanja seperti tampak bajangannja Siangkoan Wan Djie dan
Boe Hian Song. Wan Djie si nona jang tabiatnja paling tjotjok dengannja, dan
Hian Song si nona jang ia paling kagumi. Dua2 nona itu menjintainja, tetapi ada
sekian banjak sebab diantara kedua pihak, ada keruwetan jang tidak bisa
diputuskan dengan gunting jang tadjam. Hingga ia sudah mengambil keputusan buat
hidup dalam perantauan, hidup menjendiri, sedang hatinja sudah mirip dengan kaju
kering, pikirannja bagaikan arang di musim dingin. Tegasnja, ia tidak dapat main
tjinta lagi. Maka di luar dugaannja, mimpi pun tidak, ia boleh bertemu sama
Tiangsoen Koen Liang dalam keadaan serupa ini, hingga di saat hampir putus
djiwanja, menteri tua itu dapat menjerahkan peruntungan puterinja kepadanja.
Pula, tjintanja Tiangsoen Pek terhadapnja tak kalah dengan tjintanja Wan Djie
atau Hian Song. Jang paling sukar jalah tidak dapat ia menampik permohonan dari
seorang jang menantikan saat kematiannja, sedang orang tua itu pernah menolong
djiwanja, untuk itu si orang tua sampai mengurbankan puteranja. Lebih lagi,
orang tua itu jalah menteri jang setia kepada keradjaan kaum keluarga Lie. Hati
Lie It bagaikan di-iris2 dengan pisau. Terima atau tolak ". Tiangsoen Koen Liang
mengawasinja, menanti djawaban. Tiangsoen Pek memalingkan muka, supaja tidak
melihat si anak muda. Tapi Lie It mengerti bahwa ia malu-hati, dan sebenarnja
sering melirik kepadanja. Sekian lama ia berdiri membisu. Achirnja ia
mendjatuhkan diri didepan pembaringan, untuk berlutut dan mengangguk tiga kali,
sedang dari mulutnja keluar kata2 perlahan: "Pehpeh tidak mentjela aku, baiklah,
aku sudi, aku sudi mendjadi anakmu, akan kuperlakukan adik Pek seperti adik
kandungku sendiri ...". Tiangsoen Koen Liang menggojang kepala, sinar matanja
mentjerminkan putus asa. Beratlah Lie It untuk menjaksikan keadaan orang tua itu
demikian matjam, selagi napasnja akan berhenti untuk se-lama2-nja. Tak tega Lie
It melihat sinar mata itu. Didalam hatinja ia berkata: "Apakah aku tega
membuatnja meninggal dunia dengan mata tak tertutup rapat ?". Hanja sedetik
pemuda ini ragu2, lalu ia mengambil keputusan. Tanpa menanti Tiangsoen Koen
Liang berbitjara pula, ia mendahului : "Aku hendak mengambil adik Pek sebagai
adikku. Djikalau dia tidak menampik, aku djuga suka andai-kata dia sudi mendjadi
isteriku ". Mata Koen Liang terbuka lebar2. "Anak Pek, bagaimana kau ?",
tanjanja pada puterinja. Nona itu berdiam, air matanja turun deras2. Tapi
sebentar pula, ia menjahut : "Aku menurut kepada ajah ...". "Baiklah ...", kata
Koen Liang. "Sekarang aku menjerahkan anak Pek kepadamu. Dia bertabiat buruk,
tetapi aku harap kau suka memaafkannja ...". Lie It paykoei pula hingga tiga
kali, seraja memanggil : "Gakhoe ". Koen Liang tesenjum, lalu kedua matanja,
jang tadi dibuka lebar, mulai tertutup dengan per-lahan2. "Ajah ...!", panggil
Tiangsoen Pek sambil menangis. Ia mendekat, lalu merangkul ajahnja. "Kamu
djangan membentji Wan Djie ", kata Koen Liang, sangat perlahan. "Kamu berdua
harus saling membantu, sampai kamu sama2 tua ...". Orang tua ini menjatakan bawa
ia tidak membentji Siangkoan Wan Djie, bahkan ia tetap menjintainja. Lie It
mendekam didada orang. "Djangan kuatir, gakhoe ", ia berkata. "Aku pasti akan
memperlakukan adik Pek dengan baik ...". Mendengar djandji itu, kedua mata
Tiangsoen Koen Liang rapat seluruhnja, wadjahnja tersungging senjum, hanja
setelah itu, kedua kakinja mengedjang dan napasnja berhenti. Tiangsoen Pek
menangis sedu-sedan tetapi tangannja menggenggam kedua tangan Lie It erat2. Lama
nona itu menangis, baru kemudian ia berkata dengan perlahan: "Untuk mengurus
djenazah ajah, sekarang aku mengandal kepadamu. Kau baik sekali terhadap ajah
dan aku sangat bersjukur kepadamu ". "Djangan begitu ", kata Lie It. "Sekarang
kita sudah mendjadi orang sendiri. Dengan berbijara demikian, kau se-akan2
memandang aku sebagai orang lain ". Djawab Tiangsoen Pek dengan perlahan :
"Engko It, djangan kau berdusta. Aku tahu hatimu. Untuk menenangkan hati ajah,
kau menentang hatimu sendiri dan menjatakan suka mengambil aku mendjadi
isterimu. Engko It, kau djangan kuatir. Aku tidak nanti menganggap kedjadian ini
setjara sungguh2. Aku hanja minta kau tolong mengurus djenazah ajahku, setelah
beres, selandjutnja aku tidak akan menjusahkan kau lagi ". Lie It djuga memegang
tangan si nona erat2. Ia merasakan tangan orang panas dan denjut nadinja tidak
lurus. Ia djuga melihat muka si nona merah seperti lagi sakit. Gontjangan
hatinja, ia berkasihan. Tanpa merasa ia merangkul tubuh orang. Katanja : "Adik
Pek, djanganlah berpikir jang tidak2. Sekarang dan selandjutnja, mari kita hidup
dengan saling mengandalkan. Bumi boleh hantjur, langit boleh ambruk, tetapi kita
berdua, kita tidak dapat berpisah lagi. Kau harus mendjaga dirimu baik2,
djanganlah kau membikin arwah ajahmu di alam-baka mendjadi gelisah ". Itulah
kata2 jang tulus. Tiangsoen Pek menjusut air matanja, ia tidak mengutjapkan apa2
lagi. Pendeta tua dari kuil itu baik hatinja. Mengetahui tamunja meninggal
karena sakitnja, ia lantas datang mendjenguk, untuk menghibur dan membantu
mengurus djenazah. Ia menjuruh katjungnja pergi ke kota ketjil jang terdekat,
membeli peti mati, bahkan tanpa diminta ia mengatur sembahjang untuk arwah
Tiangsoen Koen Liang. Untuk ini ia menanjakan she dan nama orang jang telah
menutup mata itu. Lie It bersangsi untuk memberitahukannja, tetapi nona
Tiangsoen sudah mendahului, maka ia hanja mengangguk sadja. Ia melegakan hati
mengingat roman si pendeta djudjur. Ia pertjaja, bahwa pendeta itu tidak tahu
siapa mertuanja, terutama bahwa ia bekas menteri setia.
---oo0oo--APA latjur kalau aral melintang. Sebelum djenazah Tiangsoen Koen Liang selesai
terurus, mendadak Tiangsoen Pek djatuh sakit. Si pendeta, jang mendengar itu,
menjerahkan kamarnja sendiri kepada si nona, karena disitu tidak ada kamar lain
lagi. Atas budi itu Lie It memberikan uang seratus tail perak pada pendeta itu.
Mulanja si pendeta menolak, tetapi setelah diberitahukan bahwa mereka masih
mempunjai sedikit bekal, baru ia mau menerima. Kota ketjil dimana peti mati itu
dibeli hanja belasan lie djauhnja, diwaktu sendja si katjung kembali dengan peti
mati. Lie It bekerdja sendiri mengurus djenazah Koen Liang. Ia menatap wadjah
bekas menteri itu ketika ia mau menutup peti itu. Ia berduka bukan main
mengingat budi Koen Liang dan puterinja. Berdjandjilah ia didalam hati untuk
menjintai si gadis dengan sungguh2, untuk membalas budi mereka itu. Ketika Lie
It masuk kekamar Tiangsoen Pek, si nona djusteru tengah mengigau. Ber-ulang2 ia
me-manggil2 ajahnja dan menjebut nama Lie It djuga. Lie It duduk disamping sinona itu. "Adik Pek, aku disini, disisimu ", katanja dengan lembut. "Djangan
takut ". "Siapa ?", tanja si nona. "Aku !". Diluar pun terdengar suara :
"Aku !". Lie It terperandjat. Ia melihat katjung si hweeshio masuk dengan
semangkok obat jang masih panas. Dia menjingkap tirai pintu dan bertindak masuk.
Lie It memusatkan perhatiannja kepada Tiangsoen Pek, ia tidak mendengar tindakan
kaki orang diluar kamar, sampai si nona jang mendengarnja dan menjapa. "Inilah
air teh untuk menjegarkan tubuh ", kata katjung si hweeshio. "Kalau orang sakit
minum ini, dia mendjadi tenang, sedang orang sehat akan tambah semangatnja.
Djie-wie berkundjung kemari, kita tidak mempunjai apa2 untuk menjambut, maka
guruku mendjadi kurang enak hati, ia minta agar djie-wie minum teh kam-louw ini.
Besok barulah kita mengundang tabib untuk mengobati si nona ". Lie It menganggap
bahwa katjung ini berbitjara terlalu manis, beda sekali dari si hweeshio tua
jang romannja djudjur, akan tetapi ia pertjaja bahwa memang demikian sifat
katjung itu. Ia menghaturkan terima kasih, dan mengangkat tangannja, guna
menerima teh itu. Tepat pada waktu itu, dari luar terdengar derap orang berlari2. Segera tampak si hweeshio tua berlari masuk, napasnja memburu. "Hai,
binatang, sedang mengapa kau disini ?", hweeshio itu membentak dengan bengisnja.
Berbareng dengan itu ia menjampok djatuh mangkok itu, hingga petjah-hantjur dan
tehnja berhamburan dilantai. Si katjung kaget. Mendadak dia menggerakkan kedua
tangannja, menolak kearah si pendeta tua. Itulah gerakan dari djurus "Liok tee
heng tjouw" atau "Menolak perahu didarat". Lie It kaget bukan main. Itulah
kedjadian jang sangat diluar dugaannja. Ia heran bahwa si katjung mengerti
silat, bahkan ilmu silat Hok Houw Pang, partai "Penakluk Harimau" dari Siam-pak,
Siamsay Utara, sedang djurus "Liok-tee-heng-tjouw" itu jalah djurus simpanan
dari partai tersebut. Pang-tjoe Hok Houw Pang adalah seorang pendjahat besar
jang liehay dan ilmu silatnja hanja diturunkan kepada murid2-nja, anggauta2
partai, tidak pada orang luar. Mungkinkah botjah ini murid Hok Houw Pang ".
Walaupun menghadapi soal itu, Lie It tidak mendjadi bingung. Tidak dapat ia
membiarkan si pendeta tua mendjadi kurban pukulan berbahaja itu. Dengan wadjar
ia bergerak, mendahului menjerang dengan pukulannja, djurus "Menarik busur
memanah harimau" dan si katjung hweeshio segera sudah dapat dirobohkan sebelum
serangannja mengenai dada hweeshio tua itu. Katjung itu liehay, seketika roboh
ia melompat bangun dengan gerakan "Kim-lee-tjoan-po" atau "Gabus emas menembusi
gelombang". Lalu dengan berdjumpalitan dia melompat keluar pintu dan kabur. Lie
It kagum. Ia menjerang dengan lima bagian tenaganja. Biasanja tidak sembarang
orang dapat bertahan terhadap serangan itu, tetapi katjung itu tidak terluka,
bahkan dia dapat menjingkir setjara demikian litjin. Djelaslah sudah bahwa
kepandaian silatnja tidak rendah. Muka si pendeta tua mendjadi putjat, tetapi
berulangkali ia masih mentjatji katjungnja itu. "Kiesoe, silakan kau lekas2
berangkat !", katanja kemudian kepada Lie It. "Muridku itu tidak dapat merubah
sifatnja jang buruk, aku kuatir kalau ia sebentar datang pula untuk
mentjelakakan kalian ...". "Sebenarnja bagaimana duduknja hal ini ?", tanja Lie
It dengan heran. Pendeta itu menghela napas. "Lima tahun jang lalu ", katanja,
"pada suatu malam diwaktu saldju turun, aku mendengar suara rintihan diluar
kuil. Aku lekas2 membukakan pintu. Aku melihat seorang anak umur lima atau enam
belas tahun rebah disaldju. Ia ternjata terluka parah. Aku membawa masuk dan
mengobtinja. Dia mengaku bahwa dia baru sadja ketemu begal. Katanja, ajah dan
ibunja sudah menutup mata. Oleh karena merasa kasihan, aku menerimanja mendjadi
muridku sekalian menujadi tukang masak. Kemudian ketika aku pergi keluar dan
men-dengar2 kabar, aku mendapat keterangan bahwa disekitar sini tidak pernah
terdjadi pembegalan. Setibaku dirumah, aku mendesaknja untuk memberikan
keterangan sedjudjurnja. Sekarang baru dia mengaku bahwa djusteru dia sendiri
salah seorang pembegal. Menurut dia, rombongannja pernah membegal dan membunuh
piauwsoe kepala dari Tjhin Yang Piauw-kiok, karena mana keluarga piauwsoe itu
mengundang orang liehay untuk menuntut balas, dari sepuluh anggautanja, tudjuh
atau delapan telah terbinasakan, dia sendiri lolos dengan terluka. Karena dia
mengaku terus-terang dan dia bertobat, dia berdjandji mau merobah kelakuannja,
aku menerimanja sebagai murid. Siapa tahu sekarang dia kembali kepada sifatnja
jang lama itu. Sjukur aku lekas mengetahui niatnja jang busuk, djikalau tidak,
pastilah djie-wie tjelaka ditangannja. Kiesoe, sekarang baiklah kiesoe berdua
lekas2 menjingkir ". "Tidak apa djikalau orang datang untuk merampas uang sadja.
Djikalau orang mengetahui asal-usul mertuaku dan melaporkannja kepada pembesar
negeri, itulah baru berbahaja ", pikir Lie It. "Engko It, marilah kita pergi ",
kata Tiangsoen Pek perlahan. "Kita baik djangan mengganggu kepada soehoe ini ".
Lie It masih berpikir. Ia bimbang. Si hweeshio tjoba menerka hati si anak muda.
"Apakah kiesoe kuatir muridku datang pula dan mentjelakai aku ?", katanja. "Hal
itu tak usahlah kiesoe kuatirkan. Untuk beberapa tahun aku telah menolong dia,
dia tentu ingat akan budiku, tidak nanti dia membunuh aku. Jang hebat jalah
kalau sampai terdjadi perkara djiwa didalam kuilku ini. Aku lemah, aku tidak
dapat melindungi kiesoe berdua. Aku malu, tetapi aku minta supaja kiesoe
berangkat sadja ". Lie It menganggap kata2 hweeshio ini benar. Kalau pendjahat
datang, kemudian mereka bertempur dan pendjahat itu dapat dibunuh, achirnja yang
sulit jalah si hweeshio. Djuga dibelakang hari, nama si hweeshio dan kuilnja
akan tertjemar apabila orang banjak tahu bahwa muridnja itu bekas pendjahat.
Maka achirnja ia menaikkan lajon Tiangsoen Koen Liang keatas kereta, dan
memernahkan Tiangsoen Pek dikereta itu. Kemudian ia berpamit dari si hweeshio
sambil ber-ulang2 menghaturkan terima kasih.
---oo0oo--HEBAT penderitaan Lie It ketika itu. Hari sudah larut-malam, sudah djam tiga.
Malam sunji, rembulan suram, dan bintangpun sedikit jang tampak. Ia tidak takut
kepada orang djahat, hanja. ia menguatirkan keselamatan Tiangsoen Pek. Selama
perdjalanan itu, beberapa kali si nona merintih, ketika ia meraba dahinja.
terasalah dahi itu panas sekali. Ia gagah tetapi ia habis daja. Disamping orang
sakit itu, ada djenazah jang harus didjaganja pula. "Engko It, aku membikin kau
sangat letih ", kata si nona selagi tubuhnja ter-gojang2 dan ter-banting2
didalam keretanja, jang berdjalan ditanah pegunungan jang sukar itu. Lie It
merangkul tubuh si nona, ia berkata perlahan : "Kita senasib, mati atau hidup,
kita harus bersama. Djangan kau pikir jang tidak2 ". Ia bersjukur kepada nona
ini, jang masih memperhatikannja meskipun si nona sendiri lagi sakit dan hatinja
terluka karena kematian ajahnja serta kehilangan saudaranja. Saat itu, hilanglah
bajangan Wan Djie dan Hian Song, hilang teraling oleh Tiangsoen Pek. Pemuda ini
meng-harap2 lekas2 datangnja sang pagi. Ingin ia mendapatkan tempat untuk
beristirahat, guna mendapatkan air teh buat tunangannja.
---oo0oo--LAMA sang pagi di-harap2, achirnja lewat djuga sang waktu. Sang fadjar tiba,
sang pagi muntjul. Di timur, tjahaja matahari nampak. Lalu djagat mendjadi
terang. Mereka sekarang berada dipinggir sebuah rimba. Baru Lie It menghela
napas lega, atau mendadak terdengar sorak berisik dari dalam rimba dari mana
segera muntjul tiga orang, satu diantaranja seorang pendeta. Ia terkedjut. Ia
tahu apa artinja itu. Untuk mendjaga keselamatannja Tiangsoen Pek, ia tidak
menanti orang datang dekat, ia melompat turun dari atas kereta, untuk lari
menghampirkan mereka itu. Segera ia tiba didepannja dua orang, jang tubuhnja
besar. Kaget mereka itu melihat tjara lompatnja anak muda ini. Itulah tanda dari
ilmu ringan tubuh, atau ilmu silat, jang liehay. "Kau pernah apa dengan
Tiangsoen Koen Liang ?", tanja jang satu. Dia bertubuh besar dan bentuk
kepalanja adalah jang dinamakan kepala "matjan tutul". "Kau anaknja ataukah
muridnja ?". Lie It mengangkat kedua tangannja, untuk dirangkapnja, untuk
memberi hormat. "Tuan, adakah kau Thia Siauw-pang-tjoe dari Hok Houw Pang ?",
dia bertanja, hormat. "Aku tengah mengantarkan lajon mertuaku pulang ke kampung
halamannja. Entah ada urusan apakah jang membuat kami bersalah terhadap partai
kamu jang agung ?". Lie It tidak kenal ini hoe-pang-tjoe, atau ketua muda, dari
Hok Houw Pang. Ia tjuma menduga dengan melihat sadja sendjata orang, jalah tiamhiat-koat, sendjata peranti menotok djalan darah, sendjata mana beda daripada
jang umum dipunjai kaum Rimba Persilatan. Tiam-hiat-koat jang umum pandjangnja
hanja dua kaki tetapi kepunjaan Hok Houw Pang sampai tiga kaki dan kedua
belahnja pun tadjam. Ketua Hok Houw Pang, Thia Tat Souw, sudah berumur enam
puluh lebih sedang begal ini belum landjut usianja, dari itu ia lantas menduga
kepada anaknja Tat Souw. Orang itu terkedjut. Ia memang Thia Kian Lam, pang-tjoe
muda dari Hok Houw Pang. Ia mendjadi menduga, Lie It bukanlah seorang muda jang
masih hidjau. Maka ia lekas2 membalas hormat. "Djadi tuan adalah baba mantu
Tiangsoen Koen Liang ", katanja. "Aku merasa beruntung sekali dengan pertemuan
kita ini !". "Mertuaku itu ", kata Lie It, "separuh hidupnja mendjadi pembesar
negeri, separuhnja lagi dipakai tinggal menjendiri dipegunungan, dia tidak
mempunjai hubungan dengan kaum Kang-ouw, maka aku pertjaja, dia tidak mempunjai
urusan dengan partai tuan, karena itu, mengapa siauw-pang-tjoe memegat kereta
kami ini ?". "Tuan benar ", berkata Kian Lam. "Tiangsoen Taydjin tidak
bermusuhan dengan partai kami dan kami djuga tidak berani memegat dia, hanja kau
sendiri, tuan, aku ingin memindjam suatu barang dari tuan. Djikalau tuan sudi
mengasi pindjam itu, maka kami djuga hendak memberi hormat kepada djenazahnja
Tiangsoen Taydjin ". "Mertuaku orang putih-bersih, kedua tangan badjunja bersih
bagaikan angin ", berkata Lie It. "Akan tetapi apabila siauw-pangtjoe
membutuhkannja, baru tiga atau lima ratus tail perak, aku masih dapat


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikannja ". Thia Kian Lam tertawa. "Meskipun pekerdjaan kami jalah
pekerdjaan tanpa modal tetapi kami masih belum berani memindjam uang dari kau,
tuan ", katanja, "tuan memandang terlalu ketjil kepada kami ". "Djikalau begitu,
aku mohon tanja, apakah itu jang siauw-pang-tjoe hendak pindjam ?", tegaskan Lie
It. "Tiangsoen Taydjin mendjadi ahli ilmu silat pedang dari suatu djaman,
mestinja dia mempunjai warisan kitab ilmu silat dan ilmu pedang ", kata Kian Lam
mendjelaskan. "Karena kepandaian tuan sendiri telah tjukup untuk mendjaga diri
serta tuan tidak perlu hidup dalam dunia Kang-ouw, maka aku mengharapi kitab
pedang itu jang untuk kami kaum Kang-ouw berarti penting sekali ". "Menjesal,
siauw-pan-gtjoe, tentang kitab itu, aku tidak tahu apa2 ", kata Lie It. "Semasa
hidupnja mertuaku, ia tidak pernah men-njebut2 itu dan djuga tidak
menjerahkannja ". Mendengar djawaban itu, Thia Kian Lam tertawa dingin.
"Djikalau demikian, sukalah tuan mengalah untuk aku mentjarinja sendiri !",
katanja. Dan ia madju, niatnja menghampirkan kereta. Lie It bergerak, untuk
menghadang. "Tubuh mertuaku masih belum kering, aku tidak ingin dia terganggu ",
katanja. "Baikiah !", kata Kian Lam bengis. "Kau tidak mau mengidjinkan kami
menggeledah, terpaksa kami mesti memindjamnja dengan kekerasan. Kongtjoe,
djangan kau mengatakan kami tidak tahu aturan !". Belum berhenti kata2 itu atau
pangtjoe muda dari Hok Houw Pang sudah lantas menjerang dengan sendjatanja jang
liehay itu, menotok djalan darah kie-boen-hiat. Lie it terpaksa menghunus
pedangnja untuk menangkis. Maka mereka lantas mendjadi bertempur. Thia Kian Lam
benar2 liehay. Dia pun dibantu banjak oleh sendjatanja jang pandjang, beda
daripada umumnja. Terus dia mengintjar djalan darah, seperti kwan-goan-hiat dan
soan-kie-hiat, ataupun hoan-tiauw-hiat dibetis kaki. Ringkasnja, dia menjerang
kesemua tiga djalan darah atas, tengah dan bawah. Menghadapi lawan jang liehay,
Lie It berlaku tenang. Selama ia masih asing akan ilmu totok lawannja itu, ia
bersiasat mendjaga diri. Ia bersendjatakan pedang dari istana, pedang mustika,
dalam hal sendjata, ia memang unggul, tetapi ia berlaku sabar. Maka dengan ilmu
pedangnja, ia menutup dirinja. Sia2 belaka Thia Kian Lam mendesak dan menjerang
ber-ulang2, tidak pernah ia menemui lowongan, sedang untuk menerobos, ia tidak
sanggup. Tengah mereka bertarung seru itu, tiba2 Lie It berseru : "Kena ...!".
Dengan tjara se-konjong2 sadja pemuda ini membalas menjerang, pedangnja
meluntjur kearah lutut. Dengan djurus "Bwee-hoa-lok-tee" atau "Bunga bwee rontok
ke tanah", Thia Kian Lam membawa sendjatanja ke bawah, guna menangkis serangan,
buat melindungi dengkulnja itu. Tapi ia tidak tjuma membela diri, ia membarengi
menjerang. Dengan tangan kiri ia menangkis, dengan tangan kanan ia menjerang ke
betis, mentjari djalan darah tiauw-hoan-hiat. Ketika Lie It membalas menjerang,
ia sudah ber-djaga2, maka itu, tempo pedangnja ditangkis dan betisnja ditotok,
ia membuat dua gerakan berbareng. Pedangnja jang mental diputar terus, sedang
kakinja jang diserang ia singkirkan. Pedangnja itu diteruskan meluntjur ketubuh
orang, menikam badju lapis dibahu Kian Lam. Oleh karena ia tidak ingin menanam
bibit permusuhan, ia tidak berlaku kedjam. Djikalau tikaman ditembuskan ke
tulang piepee, pasti ketua muda dari Hek Houw Pang itu bakal ludas ilmu
silatnja. "Maaf kau suka mengalah, siauw-pang-tjoe !", ia lantas berkata.
"Apakah sekarang kau sudi memberi lewat kereta djenazahnja mertuaku ini ?".
Menurut aturan Kang-ouw, Kian Lam mesti mengaku kalah, dia telah tidak sudi
mengindahkan aturan umum itu. Dia tertawa dingin. "Ilmu pedang kongtjoe benar
lihay ", katanja. "Bukankah itu ada buah adjarannja Tiangsoen Taydjin " Kau
membikin aku mendjadi semakin kagum. Tjioe Toako, mari kita madju bersama !.
Maaf, kongtjoe, telah bulat tekad kita untuk mendapatkan kitab pedang, maka itu
tidak dapat kita memakai aturan Kang-ouw lagi, bahkan kita hendak merebut
kemenangan dengan mengandakan djumlah jang banjak !". Atas seruan si ketua muda,
kawannja, jang bersendjatakan tjambuk pandjang, lantas madju seraja menggeraki
tjambuknja itu. Lie It mendiadi gusar. "Bagus, kawanan berandal tidak mempunjai
muka !", ia berseru. Ia menggeraki tangannja, untuk menangkis tjambuk, untuk
terus membuat perlawanan. Orang she Tjioe itu murid kesajangannja Thia Tat Souw
si ketua Hek Houw Pang, karena tubuhnja besar, ilmu ringankan tubuhnja kurang
mahir. sebab dia tidak dapat mewariskan ilmu totok tiam-hiat-koat, dia djadi
diadjari ilmu tjambuknja itu, Hing-Liong Pian-hoat, ilmu "Tjambuk Menakluki
Naga". Dia bertenaga besar, tjambuknja itu pandjang, dia mendjadi liehay. Thia
Tat Souw memang tersohor untuk tiga matjam ilmu silatnja, ialah ilmu totokan,
tjambuk dan Hok Houw Tjiang, "Tangan Menaklukkan Naga". Maka itu, meskipun Lie
It tidak kena dikalahkan, ia repot juga dikepung dua musuh ini. Djusteru itu si
hweeshio, ialah si katjung hweeshio, lari kearah kereta. Dia diberi nama sutji
Tjoei Giat oleh si pendeta tua, maksudnja untuk dia "menjingkirkan segala
dosanja", supaja dia seterusnja mendjadi orang baik hati, tetapi dia tidak
mentjutji hati. Ketika dia mulanja diterima didalam Hok Houw Pang pun disebabkan
ketjerdikan dan keberaniannja itu, hingga dia sangat disajangi ketuanja. Dia
terpaksa berdiam di kuil dimana dia hidup tersiksa batinnja. Kebetulan sekali,
selagi dia pergi kekota untuk membeli peti mati, dia bertemu Thia Kian Lam, si
ketua muda. Dia ditanja hal-ichwalnja, kemudian dia menuturkan halnja Tiangsoen
Koen Liang mati di kuilnja. Lantas Kian Lam ingat kitab pedang dan ingin
mendapatkan itu. Maka ia menjuruh Tjoei Giat menggunai bong-han-yoh, obat bius,
untuk membikin pulas pada Tiangsoen Pek. Sjukur si pendeta tua kebetulan sadja
mengetahui niat djahat itu dan lantas menghalanginja. Ketika dia kabur, Tjoei
Giat pergi mentjari ketua mudanja, dari itu, Kian Lam lantas mengadjak si orang
she Tjioe untuk memegat bersama. Dia tahu di kereta tjuma ada seorang nona lagi
sakit, dia mendjadi tidak takut dan hendak menghampirkan kereta, guna menghina
si nona. Lie It kaget dan gusar sekali. "Bangsat gundul tjilik, awas !", ia
membentak, mengantjam. "Asal kau mengganggu orang jang lagi sakit, akan aku
tidak memberi ampun padamu, nanti aku rampas djiwamu !". Thia Kian Lam tertawa
bergelak. "Djiwamu sendiri sudah berada dalam tangan kami, kau masih omong besar
!", katanja mengedjek. "Yo Tjiauw, djangan takut! Kau geledah keretanja !". Yo
Tjiauw jalah nama benar dari Tjoei Giat. Dengan lekas Tjoei Giat telah sampai di
kereta, sebelah kakinja sudah lantas mengindjak kereta itu. Hatinja Lie It
mendjadi panas, kuatirnja djuga bukan main. Dengan satu gerakan "Naga sakti
menggojang ekor", ia menangkis totokan Kian Lam, lantas ia mau melompat keluar
kalangan, guna menghampirkan si katjung, atau si orang she Tjioe menjamber ia
dengan tjambuknja. Mau atau tidak, ia mesti berkelit. Di saat itu, totokannja
Kian Lam datang pula. Ketua muda ini sangat sebat,
kedua sendjatanja mengarah dua djalan darah kie-boen-hiat dan tjeng-pek-hiat.
Oleh karena sangat terpaksa, Lie It mesti melajani terus dua musuh ini, jang
melibat padanja, hingga ia tidak berkesempatan menjusul Tjoei Giat, guna
melindungi Tiangsoen Pek. Tjoei Giat girang sekali. Dia telah memikir, besar
djasanja kalau dia berhasil mendapatkan kitab ilmu pedang. Dia sudah mengharap
kedudukan sebagai to-tjoe, atau ketua tjabang dari partainja itu. Maka dia
lantas mengulur tangannja, untuk menjingkap tenda kereta. "Serrr !", demikian
satu suara, jang membarengi tersingkapnja tenda itu, lalu sebatang panah
menjamber ke tangannja, mengenai tepat, hingga dia kaget dan kesakitan, tubuhnja
lantas roboh terguling. Ketika itu Lie It telah berhasil melukai lengannja Kian
Lam, tetapi dilain pihak, udjung kakinja sendiri tersampok tjambuk, djusteru
itu, ia mendengar djeritannja Tjoei Giat, maka ia lantas menoleh. Karena itu, ia
lantas melihat muntjulnja seorang nona umur lima atau enam-belas tahun, jang
lari mendatangi, nona mana mengenakan badju kuning. Ia mengenali nona itu, ia
mendjadi girang sekali, hingga hampir ia lupa menggeraki pedangnja untuk
menangkis serangan. Nona itu jalah Djie Ie, salah satu dari budaknja Hian Song.
Selama Hian Song "mengatjau" dalam rapat besar di Ngo-bie-san, nona ketjil ini
turut memegang peranan. Kian Lam djuga melihat muntjulnja si nona, ia tidak
memperhatikan. Ia pikir, apa bisanja botjah tjilik itu ". Ia bahkan terus
mendesak Lie It. Dengan totokan beruntun ia mengarah pula tiga djalan darah sintoo, tjiang-tay dan leng-kie. Djie Ie itu tidak naik ke kereta, ia djuga tidak
menjusuli Yo Tjiauw, hanja ia madju terus kepada Lie It, untuk menjerang Kian
Lam. Ketua muda Hok Houw Pang memandang enteng kepada si nona, barulah dia kaget
ketika tahu2 pedang nona ketjil itu menjamber ke punggungnja, ke djalan darah
kwie-tjhong. Pedang itu menjamber keras, anginnja menghembus. "Hebat !", pikir
Kian Lam, heran. Terpaksa ia menangkis. Lie It mendjadi ringan, tapi ia tidak
berhenti, ia menjerang pula. Kalau tadi dengan mengepung dia dapat mendesak,
sekarang Kian Lam merasakan kebalikannja. Begitu didesak, dalam repotnja
menangkis, tiam-hiat-koat-nja kena tertabas pedang Lie It hingga putus mendjadi
dua potong, hingga ia kaget tidak terkira. Si orang she Tjioe penasaran, dengan
satu gerakan "Naga sakti menjabet", ia menjerang saling susul tiga kali dibawah,
udjung tjambuknja menjerang pergi dan pulang. 1a mengharap bisa merobohkan Djie
Ie. Nona itu benar ilmu silatnja tidak seperti kepandaiannja Lie It akan tetapi
dia mahir dalam ilmu ringan tubuh, gerakannja sangat enteng dan gesit, djusteru
dia dirabu, dia mengasi lihat kelintjahannja. Dengan satu djedjakan kaki, dengan
djurusnja "Burung walet terbang ke mega", tubuhnja mentjelat tinggi. Maka
bebaslah dia dari serangan tjambuk. Sebaliknja, selagi turun, dia menabas dengan
bengis. Kawannja Kian Lam itu kaget bukan main. Karena ia lagi menjerang hebat,
tidak sempat ia berdaja lagi, tabasan pedang tidak dapat dihindarkan pula.
Tjelaka untuknja, karena ia berkelit, lima djeridji tangannja kena terbabat
kutung semuanja, hingga ia mesti melepaskan tjambuknja. Dengan ketakutan, ia
lari tunggang-langgang. Kian Lam menginsjafi bahaja, terpaksa dia pun turut
kabur. ---oo0oo--LIE It, dan si nona tidak mengedjar. Lie It lantas memasang mata. Ia mau tjari
si katjung hweeshio jang djahat, tetapi dia itu tidak nampak mata hidungnja.
Sebab dia litjik, setelah terpanah oleh Djie Ie, dia mengerti bahwa harapan
untuk berhasil sudah lenjap, dari itu dia menjingkir lebih dulu setjara diam2,
untuk bersembunji, didalam rimba. Djie Ie berdiri diam, matanja mengawasi si
anak muda. Dia bermuka merah, napasnja sedikit memburu. Sepasang matanja itu
tadjam sekali. Dia bagaikan hendak menegur si anak muda, jang telah meninggalkan
nonanja. Selang sedjenak, barulah nona itu berkata, suaranja tawar : "Lie
Kongtjoe, kau meninggalkan kota Tiang-an setjara kesusu sekali sampai ada serupa
barangmu jang kau lupa bawa. Sekarang nonaku menitahkan aku memulangkannja ".
Lie It memandang nona itu ditangan siapa sekarang nampak sebuah khim ketjil,
jalah Hong-bwee-khim, alat musik jang ia sajang. Itulah khim kuno. Ketika ia
diperintah Lie Beng Tjie mengantarkan orang tawanan ke keraton, ia tinggal khim
itu di tangsi Sin Boe Eng. Ia tidak menjangka bahwa sekarang Hian Song
menitahkan Djie Ie mengantarkannja. Diam2 ia merasa hatinja tidak tenteram. Ia
mendjadi ingat saatnja ia bersama Wan Djie dan Hian Song menabuh khim dan
bernjanji. Sekarang khim-nja ada, orangnja tidak, bahkan hubungan mereka
terputus "Hian Song, Hian Song ! Apa perlunja kau mengirimkan khim-ku ini ?",
katanja didalam hati. Ia berduka sekali. Ia memandangi alat tetabuhan ditangan
Djie Ie itu, ia berpikir pula : "Mulai sekarang aku bakal pergi djauh sekali,
khim dan pedang bakal berpisahan, ada siapakah lagi jang mengenal lagu ". Hian
Song, Hian Song, mengapa bukannja kau sendiri jang mengantarkannja ?". Lie It
berpikir demikian tanpa ia mengetahui si nona Boe djusteru memikirkan dia,
semalam suntuk nona itu tidak pernah tidur sekedjap djua, karena si nona menduga
ia tidak bakal kembali, maka dia menitahkan Djie Ie jang pergi mentjari, untuk
menjerahkan khim itu. Dengan begitu, kalau nanti dia bertemu sama Lie It, tak
usahlah dia sangat berduka hingga tak tahu mesti berbuat apa. Sikapnja ini
diketahui Lie It setelah berselang banjak tahun kemudian. Mengawasi kepada Djie
Ie, Lie It melihat air mata orang mengembeng. "Lie Kongtjoe, kau terimalah khim
ini ", kata pula budak itu. "Aku mau lekas2 pulang untuk memberi kabar kepada
nonaku ". Lie It menahan turunnja air matanja. "Terima kasih ...", katanja
perlahan. Ia menjambuti khim itu. Lantas ia melihat sepotong saputangan terselip
didalam khim, hatinja tergerak. Ia mengeluarkan saputangan itu, untuk dibeber
dengan per-lahan2, hingga ia melihat sulaman seekor burung belibis tunggal,
dibawah itu ada sulaman pula empat baris sjair dengan apa ia dinasehati djangan
menelad "Koet Goan", sebab suasananja lain. Dulu hari itu Koet Goan, negaranja
lemah, radjanja tolol, dirinja sendiri dikurung dorna hingga dia putus asa. Maka
sia2 belaka kalau ia hidup merantau. Lie It berdiam, berdiri mendjublak. Halus
nasihat itu. Tapi ia tidak bisa berdiam lama, ia menghela napas, lantas ia kata
kepada budak itu : "Pergi kau pulang. Tolong kau sampaikan kepada nonamu bahwa
aku berterima kasih untuk kebaikannja, sajang didjaman ini tidak dapat aku
membalas budinja !". Dia dapat menahan air matanja, tidak demikian dengan si
budak. Djie Ie lekas2 berpaling, untuk berlalu. Tiba2 Lie It menjusul dua
tindak, menanja : "Apakah Nona Siangkoan ada memesan sesuatu untukku ?". "Tidak,
tidak ada pesannja ", menjahut Djie Ie. Hanja sedjenak, dia menambahkan : "Nona
Siangkoan sama pikirannja seperti nonaku. Lie Kongtjoe, kau rawatlah dirimu
baik2. Nah, aku pergi ...". Lie It membiarkan orang pergi, ia lantas lari ke
kereta, untuk melompat naik keatasnja. Ketika ia menoleh pula kepada Djie Ie,
budak itu sudah pergi djauh. Ia lantas menjingkap tenda kereta. "Apakah
pendjahat telah dihadjar kabur ?", mendadak Tiangsoen Pek menanja. Dia tesenjum.
Kelihatannja dia seperti baru mendusin dari tidurnja. Nona ini pertjaja
kegagahannja Lie It, dilain pihak, ia pertjaja djuga pembegal ada begal2 tidak
berarti. Ia mendengar suara beradunja sendjata2, ia tidak menghiraukannja, ia
tidak berkuatir. "Ja, semua telah dihadjar pergi ", menjahut Lie It lega.
Sebenarnja, didalam hatinja, ia mengatakan : "Mana kau tahu, dari antjaman
bentjana ini kembali Hian Song jang menolongi ...". Ia merasa malu sendirinja,
ia tidak mau mengatakan demikian. Tapi Tiangsoen Pek lantas melihat Hong-bweekhim, ia mendjadi heran. "Apakah ada begal wanitanja ?", ia tanja. "Tidak ", Lie
It mendjawab. "Tadi aku seperti mendengar suara wanita bitjara denganmu ". Hati
Lie It bertjekat. Tjepat ia memikir : "Kita bakal djadi suami-isteri, buat apa
aku mendustainja ?". Tapi ia kuatir, karena lagi sakit, nona itu mendjadi
berpikir jang tidak2. Maka ia mendjadi tidak dapat lantas mendjawab. "Wanita itu
orang matjam apa, engko It ?", Tiangsoen Pek tanja pula. "Kau bilanglah ! Urusan
apa djuga tidak nanti aku sesalkan atau menggusari kau ". "Dialah budaknja Boe
Hian Song, jang mengantarkan khim ", sahut Lie It kemudian. Tidak dapat ia
mendusta. Mendadak mukanja si nona lebih putjat. Ia menarik napas. "Engko It,
omonglah terus-terang ", katanja. "Kau sebenarnja menjesal atau tidak ?". Lie It
merangkul erat tunangannja itu. "Adik Pek, apakah sampai waktu ini kau masih
tidak pertjaja aku ?", dia balik menanja. "Aku telah mempunjai kau, kenapa aku
mesti menjesal ?". "Boe Hian Song jalah si nona gagah jang kau paling kagumi ",
kata nona itu perlahan, suaranja berduka. "Aku sebaliknja, akulah seorang wanita
biasa. Engko It umpama kata kau menjesal, sekarang masih belum kasip. Biarlah
aku mengganggu kau lagi beberapa hari, setelah kesehatanku pulih, dapat aku
mengurus sendiri djenazah ajahku, kau sendiri, kau boleh kembali ke Tiang-an ".
Lie It tertunduk, hingga muka mereka berdua hampir beradu. "Adik Pek, ingin aku
omong terus-terang ", ia berkata, perlahan. "Sampai sekarang ini aku masih
mengagumi Hian Song. Seperti kau terhadap Boe Tjek Thian, meskipun kau musuhnja,
kau toh tidak dapat tidak mengagumi kepintarannja, bukan " Meskipun demikian,
mana dapat kekaguman itu menjebabkan tawarnja permusuhan kita, permusuhan urusan
negara " Kita berdua telah terikat mendjadi satu, nasib kita sama, kita tidak
dapat berpisah pula !". Ia hening sedjenak, lantas ia menambahkan : "Untuk apa
aku kembali ke Tiang-an " Ketjuali negara telah bertukar djundjungan dan
Keradjaan Tong bangun pula. Tapi itulah pengharapan sangat ketjil. Omong
sebenarnja, hatiku sudah tawar. Adik Pek, djangan kau sesalkan aku, mulai hari
ini aku tidak memikir lagi untuk menuntut balas, maka kalau nanti djenazah
ajahmu sudah dikubur, mari kita pergi merantau, untuk melewatkan hari2
penghidupan kita. Ajahmu jalah menteri setia Keradjaan Tong, dia menutup mata
karena kesetiaannja, tetapi kita bakal hidup menjembunjikan diri, aku malu
sekali, aku malu terhadapnja. Hanja, apa daja " Oleh karena itu, adik Pek, kau
maafkanlah aku !". Air matanja anak muda ini lantas turun mengetel, djatuh
dimukanja si pemudi. Tiangsoen Pek sangat berduka, tetapi berbareng ia pun lega
hatinja, ia terhibur. Baginja, omongan Lie It djelas sekali. Boe Hian Song boleh
gagah-perkasa, dia tetap keponakannja Boe Tjek Thian, dia berdiri disisinja ratu
itu, tidak dapat dia merampas Lie It. "Habis, kau pikir niat pergi kemana, engko
?", kemudian ia tanja. "Guruku berada dikaki gunung Thian-san, aku berniat pergi
kesana untuk sementara waktu menumpang padanja ", sahut Lie It. "Kita tunggu
sampai lain tahun, setelah dia melepas putih, lantas kita mintai tolong mengurus
pernikahan kita. Ketika gakhoe hendak melepaskan napasnja jang terahir, dia
menjerahkan kau padaku. Aku dapat menjelami hatinja, maka aku pikir djangan
kukuhi aturan kuno ialah berkabung sampai tiga tahun ". Tiangsoen Pek berduka
berbareng girang, ia pun djengah, mukanja mendjadi merah. "Sekarang kaulah orang
satu2-nja jang terdekat padaku, maka didalam segala apa aku menurut kepada kau
", bilangnja, perlahan. Ia malu, ia toh tersenjum, lalu ia merapatkan matanja.
Dengan begitu hatinja mendjadi lega maka tanpa merasa ia ketiduran. Lie It
sebaliknja, hatinja tidak tenang. Ia sudah mengambil putusan akan tidak
memikirkan Hian Song dan Wan Djie, bahkan ia sudah berketetapan untuk tidak
menikah dengan mereka itu, toh bajangan mereka tidak dapat lenjap selamanja.
Makin djauh ia terpisah dari Tiang-an, makin keras ia memikirkan mereka.
---oo0oo--SATU bulan kemudian, kereta keledai Lie It dan Tiangsoen Pek sudah keluar dari
kota Gan-boen-kwan. Sekarang sudah bulan ke-sembilan, awal musim rontok. Di
wilajah perbatasan, rumput2 tiba pada saatnja termusnah, disana nampak pasir
kuning, suasana sunji. Melihat pemandangan itu, Lie It mendadak ingat sjairnja
Wan Djie jang dihaturkan kepadanja, jalah : "Di telaga Tong Teng daun2 baru
rontok ditiup angin. Kuingat ia jang terpisah djauh laksaan lie. Kabut tebal,
memakai selimut masih terasa dingin. Rembulan dojong, dibelakang sekosol tiada
bajangannja lagi ...". Pastilah, selandjutnja, sukar untuk ia menerima pula
sjair dari nona itu. Kemudian Lie It mengeluarkan sapu tangannja Hian Song,
diam2 ia memakai itu untuk menjusut air matanja. Lalu ia memetik khim-nja, untuk
bernjanji, guna melegakan hati. Bersama Tiangsoen Pek, Lie It meninggalkan kota


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gan-boen kwan, berdjalan diantara pasir kuning. Sama2 mereka berpikir lain,
mereka hendak menjambut peruntungan mereka jang bakal datang, tak dapat mereka
menduga, apa jang akan terdjadi nanti.
---oo0oo--MUSIM semi telah pergi, musim semi telah datang, bunga2 sudah mekar, bunga2
sudah rontok, binatang2 telah ber-pindah2, benda2 telah bertukar, segala
peristiwa telah bersalin rupa. Dan semendjak Lie It berdua Tiangsoen Pek keluar
dari kota Gan-boen-kwan itu, bagaikan hanja sekedjab, delapan tahun telah lewat.
Sesudah delapan tahun itu maka datanglah pula bulan kesembilan awal musim rontok
jang sama, saat dari musnanja rumput2 di tanah perbatasan. Ketika itu di dataran
berumput di selatan gunung Thian-san tertampak mendatangi seorang penunggang
kuda, dengan kudanja berbulu putih mulus. Jalah seorang nona bangsa Han. Ia
djustru mengambil djalan jang diambil Lie It dulu hari itu, ia menerdjang angin
dan pasir, ia mengajun tjambuknja mengaburkan binatang tunggangannja itu. Ia
tampak lintjah, pandai tjaranja menunggang kuda, tetapi pada parasnja nampak
tjahaja suram, tanda dari kedukaan. Maka diantara suara sang tjambuk, sering
terdengar helaan napasnja Dengan tiba2 sadja terdengar seorang berseru njaring :
"Hai, wanita, hentikan kudamu !". Disana debu pasir mengepul, disana terdengar
tindakan kaki dari banjak kuda, jang lari bagaikan larat, atau segera tibalah
empat penunggang kuda, tiba didepan si wanita. Maka terdengarlah bentakannja
jang bengis itu. Si nona menghentikan kudanja, lantas dengan sinar matanja ia
menjapu keempat orang itu. la melihat empat boesoe bangsa Turki (suatu suku
bangsa Hsiungnu). Seorang diantara mereka itu sudah lantas membeber sehelai
gambar dari kulit kambing, dia memandang ke gambarnja itu dan kepada si nona
bergantian. Ketika itu wilajah barat-daja dari Tiongkok, termasuk selatan dan
utara gunung Thian-san, berada dibawah pemerintahannja keradjaan Turki jang kuat
dan makmur, hingga kegarangan serdadunja tersohor sekali. Maka adalah lumrah
sadja jang empat serdadu Turki tertampak mengedjar seorang nona dipadang rumput
ini. Selagi si nona ke-heran2-an, salah seorang serdadu, jang berewokan, menanja
padanja : "Apakah kau datang dari wilajah keradjaan Tong jang agung ?". Ditanja
begitu, si nona tesenjum. "Sekarang ini Tiongkok bukan lagi negaranja Keradjaan
Tong jang agung !", sahutnja. "Dan aku datang dari negaranja Keradjaan Tjioe
jang besar !". Boe Tjek Thian merampas keradjaan Tong dan menukarnja itu dengan
merek keradjaan Tjioe, hanja karena dia membangun keradjaannja belum lama, maka
wilajah2 asing diluar perbatasan belum mengetahuinja dan mereka tetap menjebut
Keradjaan Tong seperti biasanja. "Aku tidak perduli keradjaan Tong atau
keradjaan Tjioe !", kata boesoe itu. "Aku tjuma tahu kau datang dari Tiongkok !
Benarkah ?". "Tidak salah !", si nona menjahut. "Kamu mempunjai urusan apa "
Lekas bitjara ! Aku hendak lekas2 melandjuti perdjalananku !". "Hmmm ...! Tidak
dapat kau pergi lebih djauh. Mari lekas turut kami menghadap Khan kami jang
agung !". "Apakah aku melanggar undang2 negaramu " Apakah siapa datang dari
keradjaan Tong, dia mesti ditangkap ?". "Kau tanjakan itu kepada Khan kami jang
agung nanti !",kata pula si boesoe. "Aku tidak mau ", menjawab si nona. "Bagus,
ja ! Kau berani melawan " Kau mau turut atau tidak ?". Sepasang alisnja si nona
terbangun, lalu dia tertawa lebar. "Katanja rakjat negaramu sopan-santun, kamu
djusteru tidak memakai aturan !", dia membentak. "Djikalau mau bitjara tentang
aturan, pergi bitjara sama Khan kami jang agung !", kata pula si berewokan, jang
tertawa dingin. "Hm ...! Apakah kau masih tidak mau turun dari kudamu ?". "Aku
tidak mau turut kau !", si nona membelar. "Djikalau Khan kamu hendak menemui
aku, mintalah dia datang sendiri kemari !". Boesoe itu mendjadi gusar. "Bekuk
dia !", serunja, "Lebih dulu rangket padanja !". Lantas mereka berempat
menggeraki kuda mereka untuk mengurung, mereka menggeraki djuga tjambuk mereka
untuk menghadjar si nona. Nona itu sebaliknja tertawa. "Kamu bukan
tandinganku !", katanja tenang. "Lekas kamu pergi !". Kata2 ini dibarengi sama
djepitan kedua kakinja kepada perut kudanja dan tangannja jang sebelah
menggentak les kuda, atas mana kuda putihnja, bagaikan kaget, lantas
berdjingkrak, melompat menerdjang kedepan. Seorang musuh, jang bakal kena
keterdjang, lekas menjingkir, sambil menjingkir ia menjambuk. "Tarrr...!",
demikian bunji tjambuknja. Akan tetapi si nona mendadak lenjap seketika dari
punggung kudanja, sebaliknja, kudanja si boesoe sendiri lantas mengasi dengar
ringkikan sedih dan keempat kakinja terus tertekuk ke tanah. Karena nona itu
telah berkelit kebawah perut kudanja, sambil berkelit dengan tjambuknja ia
menghadjar keempat kakinja kuda boesoe itu, hingga tak ampun lagi, keempat kaki
kuda itu patah dan penunggangnja roboh terdjungkal ke tanah. Tiga boesoe jang
lain mendjadi terkedjut, tetapi mereka toh lantas bertindak, guna memegat nona
itu. Nona Han itu berlaku sangat sebat. Dengan lekas ia sudah bertjokol pula
diatas kudanja, tjambuknja pun diajun, atas mana seorang boesoe terguling dari
punggung kudanja. Boesoe jang kedua mendengar suara tjambuk mendjeter, hendak
dia menangkis, atau punggungnja sudah kena disabet si nona, jang tjambuknja
mendjeter pula. Boesoe jang ketiga, atau jang keempat, hendak berkelit, akan
tetapi dia terlalu ajal. Dia bukan kena dihadjar, hanja terlilit tjambuk, ketika
tjambuk itu diajun terus, tubuhnja terangkat naik dari punggung kudanja, hingga
kudanja itu kabur terus, mungkin tanpa mengetahui penunggangnja sudah tidak ada.
Si nona menarik kaget tjambuknja, maka robohlah si boesoe jang penghabisan itu.
Lantas semua mereka itu dibikin tidak berdaja dengan totokan djalan darahnja.
Setelah lompat turun dari kudanja, si nona mengambil itu gambar kulit kambing.
Untuk herannja, ia mendapatkan gambar itu jalah gambarnja sendiri. "Siapa jang
memberikan kau gambar ini ?", ia tanja si berewokan. Boesoe bangsa Turki itu
paling mengagumi orang jang kosen, melihat mereka dirobohkan dengan tjepat dan
gampang, mereka mana berani mensusta. "Kami mendapatkan ini dari Khan kami jang
agung ", sahutnja. "Khan kami menitahkan dua puluh empat pahlawannja, untuk
berpentjaran mentjari padamu, setiap rombongan terdiri dari empat orang.
Sekarang kau lolos dari kepungan kami, maka dibelakang kami akan datang
rombongan jang lain. Biarnja kau gagah, kau tidak bakal lolos dari padang rumput
ini ! Maka baiklah kau turut kami ! Kami menghormati wanita kosen seperti kau,
pasti kami tidak akan memperlakukan buruk padamu ". Si nona tidak memperdulikan
kata2 orang itu. "Kenapa Khan kamu hendak menawan aku ?", dia tanja. "Kami tjuma
menerima titah, kami mendjalankannja! Mana kami berani menanjakan Khan kami ?"
Nona itu menjimpan gambar itu. Dia tesenjum. "Sekarang pergilah kau pulang !",
katanja. "Kamu membilangi Khan kamu bahwa sekarang ini aku belum sempat menemui
dia, tunggu sadja sampai urusanku sudah selesai, tidak usah dia mengirim wakil
mengundang padaku, nanti aku datang sendiri padanja !". Habis mengutjap begitu,
nona ini meloloskan kantung2 airnja keempat boesoe itu, untuk ditjantelkan
dipelananja. Dari empat kantung, ia mengambil jang tiga, jang satu ia tinggalkan
untuk mereka itu. Katanja : "Aku tinggalkan ini satu untuk kamu selama
perdjalanan pulang kamu !". Beberapa ratus lie disekitar mereka melainkan gurun
belaka, sukar mentjari air, maka itu, dengan tindakannja itu, si nona hendak
mentjegah mereka itu nanti terus menjusul padanja. Setelah membebaskan orang
dari totokan, si nona naik atas kudanja, guna melandjuti perdjalanannja. Keempat
boesoe itu mengawasi, mereka pun saling memandang, setelah itu mereka lekas
berangkat pulang untuk mengasi laporan kepada Khan mereka jang agung. Si nona
kabur selintasan, lalu ia menoleh. Lega hatinja kapan ia melihat tidak ada orang
jang mengintilinja. Sekarang ia berpikir : "Urusan ini aneh ! Kenapa Khan Turki
itu mengetahui tentang diriku ini " Dia mengendalikan negara, banjak urusannja,
mengapa dia sempat memperhatikan aku " Masakah dia mengetahui tentang asal-usul
diriku " Kalau benar, siapakah jang memberitahukannja " Aku toh tidak memikir
djahat terhadapnja ?". Nona ini tengah pusing dengan urusannja sendiri, maka
peristiwa ini membuatnja tambah pusing. Ia tidak takut tetapi toh ia merasa
ruwet djuga. Ia sedang mentjari seorang sahabatnja, jang telah lenjap untuk
beberapa tahun, karenanja tidak suka ia diganggu lain peristiwa. Nona kita ini
bukan lain daripada keponakannja Ratu Boe Tjek Thian, jalah Boe Hian Song.
Berdjalan lebih djauh, Hian Song menemui serombongan kafilah ketjil, jang
terdiri dari tiga ekor unta serta orangnja, tua dan muda, wanita dan pria, tjuma
sepuluh orang lebih, hingga mereka mirip satu keluarga. Ketika ia mendekati
mereka, ia melihat roman orang guram dan berduka. Seorang botjah, jang melihat
ia, atau lebih, benar kantung airnja, lantas mengulur kedua tangannja sambil
berseru : "Air...! Air...! Aku mau minum ...!". Seorang wanita disisinja,
mungkin ibunja, menegur botjah itu : "Hus, kau tidak tahu urusan ...! Orang
mempunjai tjuma dua kantung air, mana dapat kau minta minum ?". Hian Song lompat
turun dari kudanja. "aku mempunjai banjak air ", katanja seraja tersenjum. Ia
terus membuka mulutnja sebuah kantung airnja, terus ia kasih si botjah minum.
Dengan matanja jang djeli, botjah itu mengawasi orang jang memberikan ia air,
sedang ajah dan ibunja lantas menghaturkan terima kasih mereka. "Setetes air
tidak ada artinja ", kata Hian Song. "Aku numpang tanja, kamu hendak pergi ke
mana ?". "Kami mau pergi kesebelah utara Thian-san ", menjahut si wanita. Hian
Song heran, ia lantas berpikir : "Utara Thian-san djauh lebih dingin daripada
bagian selatannja, musim rontok bakal tiba, kenapa, bukannja mereka ini tinggal
di selatan, mereka djusteru pergi ke utara " Mau apakah mereka ?". Lantas ia
kata : "Disebelah utara itu, untuk mendapatkan air, kamu memerlukan tempo
beberapa hari lagi. Kamu sendiri mempunjai tinggal dua kantung air. Mana itu
tjukup " Aku membekal banjak, untuk membawa semua itu berabe, nah ambillah, aku
berikan tiga kantung kepada kamu !". Benar2 Hian Song meloloskan tiga kantung airnja si boesoe Turki
dan menjerahkannja kepada rombongan kafilah ketjil itu. Air di padang pasir
berharga bagaikan emas, maka itu, diberikan tiga kantung air, bukan main girang
dan bersjukurnja rombongan itu. Tiga kantung air itu berharga melebihkan sepuluh
ekor unta. Mulanja rombongan itu menampik, tetapi kemudian, melihat kesungguhan
hati si nona, mereka menerima djuga. Saking bersjukur, mereka sampai mengembeng
air mata. Si njonja Uighur menggape Hian Song mengadjak duduk di tepi unggun.
"Nona, kau datang dari mana ?", ia menanja. "Aku mau pergi ke Thian-san mentjari
seorang sahabat ", menjahut Hian Song. Seorang pria, jang berusia landjut,
menanja : "Nona, apakah selama perdjalanan kau ini kau menemui baturu dari Khan
jang agung ?". Dengan "baturu" dimaksudkan boesoe, atau pengawal Khan Turki.
Untuk sedjenak, Hian Song melengak. "Pernah aku melihatnja beberapa orang tetapi
bukan kemari tudjuannja ", ia menjahut. "Bitjara sebenarnja ", kata pula si
orang tua, "kami sebenarnja lagi menjingkir dari gangguannja Khan itu jang
tengah mengumpulkan tentara baru ...". Artinja pengumpulan tentara Turki itu
jalah persiapan untuk peperangan. Untuk itu, pengumpulan tentera dilakukan luas
diantara rakjatnja. Kembali Hian Song heran. "Bakal ada peperangan kah ?", ia
menanja. "Benar !. Katanja hendak berperang dengan Tiongkok ". Hian Song
terkedjut. Memang pernah ia mendengar Turki hendak melanggar perbatasan
Tiongkok, hanja ia tidak menjangka bahwa itu bakal terdjadi lekas. "Diantara
kami ada dua orang dewasa ", kata lagi si orang tua, "kalau mereka mesti masuk
tentera, bagaimana dengan hidupnja kami beramai jang tua2 dan masih kanak2 ".
Maka itu kami bersedia ditjatji pengetjut, kami toh menjingkir ke utara
sebelumnja saldju turun ". "Benar. Tiongkok djuga tidak menginginkan peperangan.
Bukankah bagus untuk hidup damai dan aman ?". "Setelah keluar pengumuman Khan
besar mengumpul tentara, banjak rakjat penggembala jang mengangkut tenda dan
untanja pergi ke utara ", berkata lagi si orang tua. "Maka itu Khan telah
menitahkan banjak baturu pergi memegat rakjat jang minggat itu. Diwaktu
menjingkir ini, kami kehilangan sebuah unta kami, djusteru itulah unta jang
membawa lima kantung air perbekalan kami. Nona, kau baik sekali, kau memberikan
kami tiga kantung air. Semua itu tjukup untuk beberapa hari ". "Tidak apa ",
kata Hian Song, jang menghiburi mereka itu. "Nona, seorang diri kau membuat
perdjalanan di gurun ini ", kata si njonja. "Disini hawa udara sering ber-ubah2
mendjadi hebat, untuk kau, itulah berbahaja sekali. Maka itu lebih haik kau
turut bersama kami ". "Terima kasih", Hian Song menampik. Sampai disitu, si nona
pamitan, untuk meneruskan perdjalanannja seorang diri. Untuk menjingkir dari
keruwetan, diwaktu lewat ditempat suku Uighur, ia menggunai busur dan anak
panahnja menukar seperangkat pakaian itu, untuk ia menjalin pakaian, hingga
selandjutnja ia nampak sebagai seorang pemburu Uighur jang gagah. Ia mengharap
nanti luput dari perhatiannja sekalian baturu dari khan Turki itu.
---oo0oo--KUDA putih itu dapat lari keras. Selang dua hari, Hian Song sudah dapat melihat
bagian tertinggi dari gunung Thian-san mendjulang ke langit, masuk kedalam mega.
Djusteru hatinja lega, diluar dugaannja, dihari ketiga, tjuatja berubah dengan
tiba2. Disana mendadak muntjul angin besar, jang mengganggu ketenangan sang
gurun. Sekarang pasir kuning beterbangan bagaikan kabut, menutupi angkasa. Nona
Boe mengaburkan kudanja untuk menjingkir dari badai, dibelakangnja sebuah bukit
pasir, ia berhenti, untuk berlindung disitu. Lama rasanja baru badai sirap, maka
ia keluar dari tempat berlindungnja. Di depannja ia melihat tumpukan pasir jang
baru, sedang dua tumpukan lain, jang tadinja ada didekatnja, telah lenjap,
mendjadi rata dengan pasir jang baru datang ini. Didalam hatinja ia kaget.
Benar2 hebat perubahan digurun pasir ini. Selewatnja beberapa hari, Hian Song
tidak menemukan pula badai, hanja sekarang, untuk menjingkir dari gangguan angin
itu, sering ia djalan memutar. Karena ini, dua kantung airnja hampir habis
terminum, dan sudah kudanja lelah, ia sendiri pun mulai merasa letih. Demikian
dihari keenam, maghrib, ia merasa perlu beristirahat. Untuk berdjalan terus, ia
tidak sanggup. Tepat disaat si nona mau mentjari tempat untuk mondok, ia
merasakan tanah dibawah kakinja bergetar, sedang dari djauh terdengar suara
njaring. "Adakah ini gempa bumi atau gempa saldju ?", ia berpikir. Kudanja pun
terlihat kaget, binatang itu tidak mau mengangkat kaki, sedang dari mulutnja
mulai keluar busa. Hian Song lompat turun dari kudanja, ia memandang kedepan.
Mendadak ia menampak sinar api dikaki gunung. Bukan main girangnja ia. Tidak
ajal lagi, ia menuntun kudanja bertindak kearah api itu. Tiba dikaki gunung, si
nona mendapatkan mulut djalan gunung telah tertutup saldju. Dikaki gunung itu
ada serombongan kafilah tengah berkemah. Diantara mereka itu ada sebuah unggun,
jalah unggun jang sinar apinja ia lihat tadi. Belum ia datang dekat, atau
seorang tua telah bertindak kearahnja, menjambut padanja. Njatalah dia si orang
tua jang ia ketemukan beberapa hari jang lalu. Heran orang tua itu mendapatkan
si nona sudah salin pakaian. "Benar2 kau !", katanja girang. "Aku tadinja
menjangka lain orang !". "Dengan dandanan sebagai pemburu, lebih leluasa untukku
berdjalan di gurun ini ", Hian Song memberitahukan. "Dalam beberapa hari ini
tjuatja buruk, aku senantiasa menguatirkan kau ", kata pula si orang tua.
"Sjukur kau dapat tiba disini ", Hian Song djengah. Kalau tahu bakal djadi
begini, pasti lebih bagus untuk turut rombongannja orang tua ini. "Didalam
perdjalananku ini, aku bertemu sama beberapa rombongan lain, jang bersatu
tudjuan seperti kami ", kata si orang tua, "maka itu kita lantas menggabungkan
diri. Sajang kita menemui gangguan gempa saldju, dari itu kita harus menanti
lagi beberapa hari sampai tjuatja sudah terang baru kita dapat lewat dari sini.
Hanja gempa saldju pun ada baiknja. Dengan begitu kita dapat melumerkan saldju
untuk didjadikan air ". "Airku djuga kebetulan baru habis ", kata Hian Song.
"Sungguh, Tuhan tidak memutuskan djalan umatnja ! Aku merasa beruntung dapat
bertemu sama rombonganmu ini ". "Kami kaum perdjalanan, sudah selajaknia kami
saling menolong ", kata si orang tua. "Marilah ! Kita mempunjai air dan djuga
rumput untuk kuda dan unta ". Diluar tenda ada beberapa puluh ekor unta, dan
orang2 jang duduk berkumpul berdjumlah kira2 seratus orang. Melihat mereka itu,
Hian Song menghela napas dan berkata dalam hatinja. "Khan mau berperang, dia
membuat orang minggat diantara badai dan saldju ini ...". Si orang tua mengadjak
si nona keantara rombongannja, ia berkata kepada orang banjak itu : "Engko ini
orang Han tetapi dia baik hatinja, keluargaku telah menerima budi besar
daripadanja ". Dan ia menuturkan bagaimana ia dibagi air hingga tiga kantung.
Semua orang itu girang, mereka memheri selamat datang. Si orang tua melihat nona
itu menjamar mendjadi pria, ia menduga mesti ada sebabnja, maka itu ia tidak mau
membuka rahasia orang, dia segadja menjebut "engko". "Bukankah kamu bangsa Han
bersiap untuk berperang dengan bangsa kami ?", menanja seorang Uighur.
"Tidak !", mendjawab Hian Song. "Aku baru datang dari Tiongkok, aku tidak
mendengar urusan mau berperang. Bahkan aku melihat suasana damai ". "Katanja
sekarang ini seorang wanita jang mendjadi kaisar di Tiongkok, benarkah itu ?".
"Benar. Dia mendjadi kaisar semendjak banjak tahun ". Seorang njonja Uighur
mengawasi suaminja dan tertawa. "Kau selalu memandang tak mata kepada wanita,
kau kata wanita kalah dari pria ", katanja, "sekarang kau lihat di negara
Keradjaan Langit itu, disana ada wanita jang mendjadi kaisar !". Ia berhenti
sebentar, lalu menambahkan : "Perang itu kegemaran pria, dengan wanita jang
mendjadi kaisar, mungkin keadaan akan mendjadi sedikit terlebih baik, tidak
nanti sedikit2 sadja lantas orang mengangkat sendjata !". "Kau keliru ", kata si
suami. "Pria djuga tidak gemar perang, djikalau tidak, mustahil sekarang kita
pada menjingkir kemari ?". Ia pun hening sedjenak, untuk melandjuti :
"Sebenarnja, kita djuga tidak takut perang, maka djikalau bangsa Han menjerbu,
aku akan lantas berangkat pulang ". "Kita bangsa Han djuga berpendapat sama
dengan kamu ", Hian Song bilang. "Hidup kami jalah aman dan sentausa, tidak ada
niat kami untuk menjerang orang lain ". "Biar bagaimana, kami sedikit djeri
terhadap kamu bangsa Han " , berkata seorang tua. "Aku ingat beberapa puluh
tahun dulu, ketika aku masih ketjil, pernah satu kali angkatan perang kamu telah
datang menjerang kami ". "Itulah kedjadian jang sudah lewat. Kaisar wanita jang
sekarang ini, titahnja setiap tahun jalah mengandjurkan rakjat bekerdja radjin
dalam pertukangan dan pertanian, maksudnja supaja mereka itu ber-sungguh2 dalam
usaha masing2. Sama sekali belum pernah aku melihat persediaan untuk peperangan
". "Kau benar ", kata seorang lain, jang romannja seperti saudagar. "Pada tahun
jang lalu aku telah pergi ke Tupo, ibu suri negara itu jalah seorang puteri dari
keradjaan Tong, hingga sekarang ini, kedua negeri masih mendjadi besan. Katanja
ketika puteri itu baru menikah, dia datang dengan membawa banjak kitab, bibit,


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaum pertukangan dan ahli musik dan lain2-nja, hingga orang Tupo dapat bersawah
atau bertjotjok-tanam. Pernah aku melihat disekitar Lhasa, padinja hidjau2.
Tjoba kita pun dapat meluku sawah, pastilah kita tak usah bersengsara seperti
sekarang ini. Aku pun pernah makan sajur peetjay, jang dulunja ditanam dari
bibit jang dibawa puteri itu. Kita disini tidak mempunjai sajur itu. Rasanja
lezat. Bangsa Tupo sangat bersjukur kepada puteri itu, mereka hidup akur dengan
bangsa Han ". Mendengar itu, dengan disebutnja bangsa Tupo, jalah Tibet, Hian
Song mengerti puteri jang dimaksudkan jalah Boen Seng Kongtjoe, atau Puteri Wen
Cheng, jang telah dinikahkan dengan radja Tibet. "Di kolong langit ini ", ia
berkata sembari tersenjum, "Orang jang gemar berperang sangat sedikit, sedikit
sekali. Djuga kami bangsa Han, kami suka hidup akur dengan bangsa2 lain ".
Selagi mereka bitjara asjik itu, kesitu datang seorang wanita Uighur, jang
alisnja kasar dan matanja besar, jang kulit mukanja kuning ke-hitam2-an. Dialah
seorang wanita Uighur jang biasa hidup berburu binatang liar. Dia mengadjak
seorang anak ketjil jang tampan, jang tak mirip dengan orang Uighur. Dia
menuntun seekor unta kurus. Begitu wanita itu tiba, lantas dia bertjampuran sama
orang banjak untuk menghangati tubuh dekat api unggun. Hanja untuk Hian Song,
perhatiannja lantas tertarik. Ia mendapat kenjataan wanita itu memperhatikan ia,
sebagaimana dia itu sering melirik. Walaupun demikian, ia tidak menghiraukan, ia
menjangka sadja orang djarang melihat pria bangsa Han. Di lain pihak, ia ketarik
hatinja terhadap si anak ketjil jang manis, maka ingin ia mengadjak bitjara. Ia
lantas menjodorkan buah aberikos, jang ia bawa dari Tiang-an dan belum dimakan.
Anak itu mengulur tangannja, untuk menjambuti, atau mendadak tangannja itu
dihadjar si wanita, atau ibunja, sambil wanita itu mendelik terhadapnja dan
melarang dengan tegurannja : "Aku larang kau menghendaki barangnja bangsa
Han !". Anak itu kaget dan heran, ia menggeraki bibirnja, mungkin ingin
mengatakan sesuatu, atau si wanita membentak pula : "Aku larang, aku larang !
Aku larang kau bitjara !". Hian Song mengawasi maka sekarang ia melihat, sinar
mata wanita itu seperti mengandung kebentjian jang sangat. Ia heran sekali.
Seumurnja, belum pernah ia menampak sinar mata demikian matjam. Di antara
musuh2-nja, tidak ada jang sinar matanja sedemikian rupa. Jang lebih heran,
wanita ini bukan musuhnja, bahkan dialah wanita Uighur jang tidak dikenal.
"Njonja, djangan takut ", berkata si orang tua kepada njonja itu, "anak muda ini
seorang Han jang baik hatinja ". "Ja, tuan tetamu orang Han ", berkata si
saudagar, "aku ingin omong terus-terang, harap kau tidak buat ketjil hati. Kau
sendiri orang baik tetapi ada beberapa orang Han lainnja jang pernah
memperdajakan kami. Mereka mengasi anak2 barang makanan, ada djuga jang mengasi
tjita kembang kepada nona2 kami, kesudahannja dengan itu mereka menukar setjara
Bayi Pinjaman 3 Mengail Di Air Keruh Taken At The Flood Karya Agatha Christie Pusaka Langit 1

Cari Blog Ini