Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 9

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 9


Poei Keng Hiang turut masuk kekeraton sesudah habis temponja berdiam didalam
biara, dia diangkat mendjadi pembesar dalam keraton (lie-khoa). Lalu datang
saatnja Boe Tjek Thian merampas kekuasaan atas pemerintahan, ia main petjat
banjak pangeran atau orang bangsawan, hingga banjak menteri mengetahui
pemerintahan bakal djadi pemerintahannja Keluarga Boe. Beberapa menteri lantas
berserikat, diam2 mereka menentang permaisuri itu. Oet-tie Tjiong mendjadi salah
satu penentang itu. Ketika itu ia mendjabat Liong Kie Touw-oet dari tangsi Sin
Boe Eng, bahkan ialah satu satu penentang hebat. Sikapnja ini menjulitkan Pwee
Keng Hiang, sebab ia dan Keng Hiang, sebagai saudara2 misan, sudah ditunangkan
satu pada lain semendjak masih ketjil. Oet-tie Tjiong ketahui Keng Hiang
dipertjaja Boe Tjek Thian, ia mentjari ketika membikin pertemuan rahasia sama
tunangannja itu, untuk minta si tunangan membantunja. Keng Hiang terkedjut. Baru
sekarang ia ketahui Boe Tjek Thian hendak digulingkan. Seberpisahnja dari Oettie Tjiong, pikirannja mendjadi katjau. Satu hari dan satu malam ia berpikir
keras. Achirnja ia membuka rahasia pada Boe Tjek Thian. Boe Tjek Thian tjerdik
sekali, tanpa memberi kentara sesuatu, ia mengatur tipu daja, ia memasang
perangkap, untuk turun tangan terlebih dulu dan setjara mendadak djuga. Jang
pertama dibekuk dan dibunuh jalah dua orang penting, jaitu Kok-kioe atau ipar
kaisar, Tiangsoen Boe Kie, serta seorang menteri, See-tay Sie-long Siangkoan
Gie, menjusul mana dibunuhlah tiga puluh enam anggauta keluarga bangsawan
lainnja. Oet-tie Tjiong liehay, ia dapat kabur dari kotaradja. Dengan begitu
hampir ludas djumlah penentang. Pwee Keng Hiang tidak mendjadi menjesal akan
tindakannja itu. Ia tahu, kalau Boe Tjek Thian sampai mendjadi kaisar (Ratu),
kaum wanita bakal naik deradjatnja, dan rakjat djuga bakal memperoleh
keuntungan. Hanjalah, walaupun ia tidak menjesal, ia toh berduka, karena dengan
memihak dan membelai Boe Tjek Thian, ia mendjadi kehilangan tunangannja jang ia
tjintai. Ia berdjasa terhadap Boe Tjek Thian tetapi ia tidak suka menerima
anugerah, maka kemudian, ia meninggalkan ratu itu. Boe Tjek Thian ketahui
sebabnja kedukaan Keng Hiang, ia menjuruh Keng Hiang membudjuki Oet-tie Tjiong
kembali, tetapi Oet-tie Tjiong sangat membentji ratu, segan dia kembali, tak
sudi dia menemui tunangannja. Maka achirnja, Keng Hiang masuk mendjadi bhiksuni,
ia pulang kekampung halamannja, ia mejakinkan terus ilmu silatnja, antaranja ia
mewariskan kepandaiannja kepada Pwee Siok Touw, sang keponakan. Selama itu Boe
Tjek Thian telah pergi ke pelbagai tempat, untuk menjelidiki penghidupan rakjat,
untuk ditolong. Beberapa kali ia mampir pada Keng Hiang, jang ia harapkan
kembalinja kesisinja, akan tetapi Keng Hiang tidak dapat meluluskannja. Meski
demikian, hubungan mereka tetap erat, maka itu, mengingat Boe Tjek Thian tidak
mempunjai pengawal wanita jang gagah, ia mendjandjikannja satu, jang pintar dan
gagah. Inilah sebabnja kenapa kemudian dia menerima Boe Hian Song sebagai murid.
Begitu lekas Boe Hian Song memperoleh kepandaian, Pwee Keng Hiang meninggalkan
kampung halamannja. Ia tidak bisa melupai Oet-tie Tjiong, ia lantas pergi
merantau untuk mentjari. Diachirnja, ia mendengar kabar Oet-tie Tjiong tinggal
bersembunji digunung Thian-san, ia lantas meninggalkan Tionggoan, ia menudju ke
wilajah gurun Utara. Tatkala itu Boe Tjek Thian sudah mendiadi Ratu dan Keng
Hiang sendiri telah berusia mendekati enam puluh tahun. Keng Hiang kuatir
kepandaiannja lenjap tanpa achli waris, maka itu, ia pergi ke Thian-san dengan
mengadjak Pwee Siok Tow. Inilah sebab kenapa mereka berdua berada digunung itu.
Hian Song masih terus meneteskan air matanja meski ia telah membatja sjair guru
itu. Ia mendjadi sangat berduka kalau ia ingat nasibnja mirip sama nasib
gurunja. Guru itu mentjari Oet-tie Tjiong dan ia mentjari Lie It. Sekarang ini
tulang-belulang Oet-tie Tjiong sudah mendjadi abu dan gurunja pun telah menutup
mata. Benar Lie It masih hidup tetapi untuknja, Lie It mirip dengan Oet-tie
Tjiong. Lie It pastilah tak sudi menemui ia pula. Bukankah diantara mereka ada
Tiangsoen Pek " Bukankah Tiangsoen Pek sangat djelus dan tjemburu ". Pula, mana
ia tega mengganggu Tiangsoen Pek" maka ia menguatkan hati. Ia menjusut air
matanja. Kemudian ia tanja Siok Touw kalau2 gurunja berhasil menemui Oet-tie
Tjiong. "Mungkin ", sahut Siok Touw. "Kenapa mungkin" Kenapa kau tidak tahu ?",
tanja si nona. "Setibanja kita di Thian-san, kita mendapatkan guha ini ", Siok
Touw memberi keterangan. "Disini kita lantas tinggal menetap ". "Ketika itu aku
masih belum ketahui bibiku lagi mentjari tunangannja dan aku tak tahu djuga Oettie Tjiong tinggal disebelah bawah kita ". "Pada suatu malam, habis turun
saldju, bibi memberitahukan aku bahwa ia mau pergi mendjenguk seorang sahabatnja
dan ia menjuruh aku mendjaga rumah, aku dilarang pergi ke-mana2 ". "Aku heran.
Dipuntjak bersaldju ini, dari mana bibi mendapatkan sahabat" Lalu aku mendengar
seruan bibi diatas puntjak. Itulah seruan pandjang jang dikeluarkan dengan
emposan tenaga-dalam. Tidak lama, dari sebelah bawah puntjak terdengar seruan
serupa, jang menjambut seruan bibi itu. Biarnja aku heran tetapi karena aku
mentaati pesan bibi, aku terus berdiam didalam guha. Kemudian seruan itu sirap.
Malam itu bibi tidak pulang. Ia pulang besoknja, lantas ia djatuh sakit ". Hian
Song mendjadi heran sekali. "Tenaga-dalam soehoe demikian sempurna, kenapa ia
bisa dapat sakit demikian mendadak ?", ia bertanja. "Bibi pulang dengan lesu
sekali, kelihatan bibi tidak menggunai tenaga-dalamnja untuk mengobati sakitnja
itu. Setelah djatuh sakit, bibi bagaikan hilang ingatannja. Tak berhentinja ia
merintih kedinginan. Aku menjalakan api, untuk menghangatkan tubuhnja. Aku pun
membudjuki, setelah ia sembuh, kita nanti pulang ke Selatan. Bibi menatap aku,
seperti ia tidak mengenalku. Mendadak dia kata tadjam, 'Engko Oet-tie, djikalau
kau tidak pulang, aku pun tidak mau pulang !'. Baru aku tahu, sahabat jang ia
tengok itu jalah Oet-tie Tjiong, tunangannja. Tentang djodoh bibi, aku dengar
dari orang2 tua. Tidak dapat aku menghibur bibi ketjuali aku menjesali Oet-tie
Tjiong tak berbudi ". "Besoknja aku pergi keluar, untuk mentjari kaju, aku
melihat tapak2 kaki, jang satu besar, jang lain ketjil. Jang besar itu kaki
pria. Tapak kaki itu kedapatan disekitar sini, maka aku menduga bagaimana katjau
atau ruwetnja pikiran bibi dan tunangannja itu ".
---oo0oo--HIAN Song menghela napas. Ia pikir: "Oet-tie Tjiong tidak mau pulang tetapi ia
suka berbitjara lama sama soehoe, mungkin kebentjian dan kemenjesalannja
terhadap soehoe sudah hilang. Lie It barangkali tidak demikian, mungkin ia tidak
dapat mempertjajai aku dan suka bersamaku bitjara seantero malam ...". "Sakitnja
bibi tambah berat kian hari ", Siok Tow melandjuti keterangannja. "Pada suatu
hari, selagi mendampingi bibi, aku membatja kitab ilmu pedangnja, sampai pada
bagian jang aku tidak mengerti, mendadak aku ingat bagaimana andai-kata bibi
tidak pandjang umur, kepada siapa aku bisa minta pendjelasan. Djusteru aku
memikir begitu, selagi air mataku turun tanpa aku merasa, bibi membuka matanja,
ia melihat aku menangis. Ia menghela napas dan berkata: 'Kitab ilmu pedangku ini
belum ditulis rampung. Tidak ada djalan lain, biarlah aku hidup lagi beberapa
tahun'. Lalu semendjak hari itu, sakit bibi berubah mendjadi baik setiap hari.
Lewat satu bulan, bibi mengadjak aku pergi mentjari bunga2 hutan, ia membuatnja
dua buah karangan bunga. Aku mengikuti dibelakangnja. Tiba dikaki puntjak,
disebuah tikungan, aku melihat sebuah kuburan baru, pada nisannja terdapat
huruf2 : 'Kuburan Thian-san Kiam-kek Oet-tie Tjiong'. Dibawah itu ada tjatatan
orang jang membuat batu nisan itu, jalah Lie It dan isterinja, Tiangsoen Pek.
Bibi menaruh bunga itu diatas kuburan tersebut, tanpa mengutjap apa2, ia
mendjura tiga kali. Baru hari itu aku ketahui Oet-tie Tjiong telah meninggal
dunia. Tiba2 bibi menangis, sembari menangis, ia berkata : 'Hian Song, Hian
Song, kau pun harus sangat dikasihani"' ". Hati Hian Song berdebaran. Ia ingat
kata2 gurunja ketika ia keluar dari rumah perguruan, ketika ia mau berpisahan
dari gurunja itu. Kata gurunja itu : "Didalam Keluarga Lie dari Keradjaan Tong
ada seorang anggauta bernama It jang ilmu silat dan sifatnja tidak dapat
ditjela, dia tjuma keras menentang bibimu, maka kalau kau bertemu dengannja dan
dapat membudjuki dia untuk bertindak sedjalan denganmu, itulah baik sekali,
kalau tidak, terhadapnja kau harus menaruh belas kasihan ". "Ia pikir, mungkin
gurunja ketahui hal-ichwal ia dengan Lie It dan guru itu mengharap ia djangan
berperuntungan malang seperti si guru dan Oet-tie Tjiong. Kalau tidak, tidak
nanti guru itu mengutjap demikian dihadapan kuburan tunangannja itu. "Bibiku
sering mengingat kau ", kata Siok Touw pula setelah mengawasi si nona sedjenak.
"Rupanja bibi mengingat sesuatu maka ia ingat padamu ". Siok Touw tidak tahu
bahwa Hian Song pun mempunjai lelakon asmara jang mirip lelakon bibinja itu.
"Kemudian bagaimana dengan soehoe ?", tanja si nona sesudah ia dapat
menenteramkan hati. "Sedjak itu hari bibi menjambangi kuburan, ia pulang untuk
terus menutup diri didalam guha ", menjahut Siok Tow. "Terus bibi menjakinkan
ilmu pedangnja. Berselang hampir lima tahun, baru selesai bibi merampungkan
kitabnja. Pada suatu malam bibi memanggil aku. Ia memesan dua rupa urusan. Jang
pertama jaitu, nanti sesudah bibi menutup mata, aku mesti setjara sembunji
melindungi Lie It dan isterinja, tetapi aku dilarang bergaul dengan mereka. Jang
kedua jakni: Aku mesti berdiam disini menantikan kau. Katanja, tjepat atau
lambat, kau bakal datang, bahwa sedatangnja kau, aku mesti menjerahkan kitab
sjair dan kitab ilmu pedangnja kepada kau. Bibi pun membilangi aku, apabila aku
mendapat tahu kau datang, paling baik aku segera memimpin kau kemari, djangan
membiarkan kau lewat dipuntjak Lok To Hong dibawah itu. Aku tahu, tempat
kediamannja Oet-tie Tjiong jalah dipuntjak itu. Rupanja bibi djuga tidak
menghendaki kau bertemu sama suami-isteri itu. Sebenarnja aku heran memikirkan
pesan itu. Mengapa aku mesti langsung mengadjak kau kemari dan mengapa ia tidak
ingin kau menemui mereka itu ?". Hian Song menjingkir dari tatapan matanja orang
dihadapannja itu. "Aku djuga tidak tahu ", sahutnja perlahan, berdusta. Ia
menangis terisak, hatinja sangat bersedih. Biar bagaimana, Siok Touw melihat
sikap orang rada aneh. "Ketika itu aku sudah merasakan alamat kurang baik ", ia
melandjuti. "Diluar dugaanku, besoknja bibi menutup mata tanpa sakit lagi.
Dengan mengikuti pesan bibi, aku lantas rawat tubuhnja, jang aku pakaikan obat,
guna dapat menantikan tibamu ini, supaja kaulah jang mengurus penguburannja.
Gunung Thian-san ini begini luas, aku kuatir selagi kau datang, aku tidak
mendapat tahu, maka itu aku menjuruh kedua kera ini setiap hari pergi membuat
penjelidikan, guna menantikanmu. Inilah dua kera jang bibiku dapat menaklukkan
di rimba Sishuangpana di Sinkiang Selatan. Binatang ini sangat tjerdas, gampang
dikasi mengerti. Bibi masih menjimpan sepotong badjumu, badju itu aku kasi dua
kera itu tjium, untuk mereka mengenalmu. Aku pesan mereka untuk mengantarkan kau
kemari ". Mendengar keterangan ini barulah Hian Song mengerti kenapa kedua kera
itu tidak menjerang padanja bahkan membantui. Sebaliknja, ia berkata : "Soehoe,
soeheng, walaupun kamu memikir djauh dan ber-djaga2, aku toh telah bertemu
dengan Tiangsoen Pek dan telah tiba dirumahnja Oet-tie Tjiong dipuntjak Lok To
Hong ". Habis bertjerita, Siok Tow berdiam sedjenak. "Soe-moay apakah kau
tadinja mengenal Lie It suami-isteri ?", tiba2 dia menanja. "Semua aku kenal ",
sahut si nona, tunduk, sedang mukanja merah. Ia likat. "Aku pun pernah mentjuri
lihat mereka berlatih pedang ", Siok Touw memberitahu. "Ilmu pedang Tiangsoen
Pek seperti ilmu pedang Ngo-bie-pay ". "Benar. Dialah gadisnja Tiangsoen Koen
Liang ". "Djikalau begitu, suami-isteri ini ahli2 warisnja ahli pedang kenamaan,
merekalah djodoh sembabat !". Didalam hatinja, Hian Song sangat berduka. "Silat
pedangnja Tiangsoen Pek belum mahir, tetapi buat kalangan Rimba Persilatan, dia
sudah tjukup ", kata pula Siok Touw. "Jang liehay adalah suaminja. Beberapa kali
aku pernah lihat si suami itu bersilat, setiap kalinja dia madju pesat. Mungkin
dia telah berhasil mewariskan kepandaian guru dan mertuanja ". Senang Hian Song
mendengar kemadjuannja Lie It itu. "Hanja sajang ", kata Siok Touw, "bibi
melarang aku bergaul dengan mereka, hingga aku tidak berkesempatan untuk saling
berlatih dengan Lie It. Aku kuatir, lewat lagi beberapa tahun, aku bakal
terkalahkan dia, hingga tak ada perlunja lagi untuk aku melindungi mereka.
Mereka pun tinggal digunung Thian-san, apa mungkin nanti ada datang orang jang
memusuhkannja ?". Kata2 kakak seperguruan ini membuat Hian Song mengerti kenapa
barusan ia ditanja kenal Lie It dan isterinja itu atau tidak. Kata2 itu ada
seperti pertanjaan kalau2 ia tahu Lie It mempunjai musuh jang hendak
mentjelakakannja. "Soehoe memesan demikian, mesti ada maksudnja ", ia kata.
"Barangkali soeheng belum ketahui, Lie It jalah tjutju dari kaisar Keradjaan
Tong ". "Oh, begitu ... " Tapi aku pikir, djikalau dia tidak menentang Thianhouw, tidak nanti Thian-houw memerintahkan orang menjingkirkan dia. Kaulah
keponakan Thian-houw, mengenai Thian-houw, kau pasti tahu lebih banjak daripada
aku ". "Sebenarnja ", sahut Hian Song, "aku diutus Thian-houw untuk mentjari
dia. Adalah niat Thian-houw mewariskan tachta kepada puteranja, Louw-leng-ong
Lie Hian, dan Lie It mau diundang untuk membantu Lie Hian. Karena soehoe tidak
menginginkan aku bertemu dengan mereka itu, tolong soeheng sadja jang
menjampaikan tugasku ini ". "Djikalau aku tidak melihat kedatanganmu, mungkin
aku sudah turun gunung ", Siok Tow memberitahu. "Soehoe menjuruh aku melindungi
mereka, maka itu saban2 aku memperhatikan gerak-geriknja. Kemarin aku
mendapatkan suami-isteri bergantian turun gunung. Itulah hal jang tidak pernah
terdjadi selama beberapa tahun ini. Maka aku berniat pergi menjelidiki ". "Tak
usah soeheng mentjari tahu lagi ", Hian Song kata. "Mereka itu pergi untuk
mentjari Khan Turki ". Siok Tow heran. "Untuk apakah ?", ia tanja. Hian Song
menuturkan kedjadian jang ia ketahui mengenai Lie It dan isterinja, Tiangsoen
Pek, jang keras tjemburunja itu. "Oh, djadi anak mereka ditjulik Khan itu !",
kata Siok Tow tambah heran. "Karena masih ada batas waktu satu bulan, baiklah,
mari kita urus dulu djenazah soehoe, nanti baru aku pergi membantu mereka.
Soemoay, kau duduklah, soehoe masih mempunjai serupa barang untukmu. Nanti aku
ambil ...". Hian Song duduk seorang diri, pikirannja katjau. Ia berduka, ia pun
girang. "Soeheng suka pergi membantu mereka, aku boleh melegakan hati ",
pikirnja. "Tapi, benar2-kah untuk selandjutnja aku tidak dapat menemui pula
dianja ?". Ia maksudkan Lie It. Matanja bentrok pula dengan sjair gurunja
barusan. "Ah, sjair itu seperti djuga ditulis untukku. Semasa aku di Tiang-an,
pernah di-saat2 rembulan bundar-permai, aku bermimpi menuruti hati pergi
kegunung Thian-san. Sekarang aku telah tiba disini, apa mungkin aku kembali ?".
Lantas Hian Song ingat Siangkoan Wan Djie dengan siapa ia untuk beberapa tahun
hidup seperti kakak-beradik, segala apa dibitjarakannja, ketjuali satu hal,
jalah urusan ia menjintai Lie It, sebab ia dapat me-raba2, djuga Nona Siangkoan
menaruh hati pada pemuda bangsawan itu, mungkin tjintanja tak kalah daripada
tjintanja sendiri. Ia ingat sebuah sjairnja Siangkoan Wan Djie, jang artinja
mirip sjair gurunja ini. Sjair pernah dimasuki kedalam khim kuno dan budak
perempuan jang menjampaikannja kepada Lie It, hingga tentulah si pemuda pernah
melihatnja. Sekarang ini, Lie It pun lenjap. Berpikir lebih djauh, Hian Song
ingat ketika ia mau berangkat dari kotaradja, Siangkoan Wan Djie pernah memesan
kata2 untuk disampaikan kepada Lie It, sekarang ia tidak mau menemui Lie It,
habis bagaimana pesan itu harus disampaikannja " Tidak dapat pesan itu diminta
Pwee Siok Touw jang mewakilkan ia menjampaikan. Sebaliknja, berat ia me-njia2kan pesan Wan Djie itu. Tengah hati nona ini kusut dan berkutat itu, Siok Tow
sudah kembali. "Sjair tadi soehoe minta kau sampaikan kepada Thian-houw ", kata
soeheng ini. "Dan ini kitab ilmu pedang untuk kau sendiri. Kau lebih tjerdas
berlipat ganda dari pada aku, maka dibelakang hari pastilah
kau bakal dapat mengembangkan ilmu kepandaian soehoe. Aku mengandal sangat
padamu ". Hian Song menjambuti kitab itu, lalu ia paykoei tiga kali kepada
gurunja. Mengingat kebaikan dan budi gurunja, kembali ia mengutjurkan air mata.
"Habis mengubur soehoe, apakah kau berniat pulang, soemoay ?", Siok Tow tanja.
"Ja ...", sahut si nona perlahan, sedikit bersangsi. "Mengenai urusan Lie It,
aku mengandal kepada kau, soeheng ". "Djikalau kau mau pulang, itu pun baik ",
Siok Touw kata. "Aku hendak minta tolong untuk satu hal ". "Apakah itu,
soeheng ?". "Apakah soe-moay kenal Kim Tjiam Kok-tjioe Heehouw Kian ?". Ditanja
begitu, hati si nona bertjekat. "Pernah aku bertemu dengannja pada delapan tahun
jang lampau ", sahutnja. "Dia pun pernah menanjakan tentang guru kita ". "Habis,
bagaimana kau mendjawabnja ?". "Pernah soehoe melarang aku bitjara tentangnja,
maka itu aku menjahut sadja bahwa aku tak dapat mengatakannja ". Siok Touw
menghela napas. Ia kata : "Setelah gagalnja urusan djodohnja itu, soehoe pernah
bertemu sama Heehouw Kian. Ketika itu Heehouw Kian belum tahu hati soehoe sedang
terluka, ia sangat menaruh hati. Tentu sekali, karena soehoe tjuma ingat Oet-tie
Tjiong, soehoe tidak dapat menerima lamarannja. Meski begitu, mereka berdua
dapat mendjadi sahabat2 kekal. Selama beberapa tahun berdiam di Thian-san,
soehoe telah mendapatkan beberapa bidji soat-lian serta djuga obat2-an jang
diambilnja dibeberapa gunung lain, maka diwaktu mau menutup mata, soehoe telah
menjiapkannja dalam sebuah kotak ketjil, jang mana ia menjuruh aku
menjerahkannja pada Heehouw Kian. Sekarang soemoay hendak pulang ke Tionggoan,
kau sadja jang tolong bawa dan mewakilkan aku menjampaikannja ". Ketika itu Hian
Song merasai hatinja berat, tetapi hendak ia mendjawab kakak seperguruan itu,
atau mendadak mereka melihat kedua kera jang berdiam dimulut guha, berbangkit
dengan tiba2, seperti mereka itu mendengar sesuatu, menjusul keduanja mengasi
dengar pekik jang luar biasa. "Rupanja ada orang asing !", kata Siok Touw
tertawa. "Baiklah, kamu boleh pergi melihat, tetapi djangan kau mengatjau;...!".
Menerima titah madjikannja itu, bagaikan terbang, kedua kera itu berlari pergi.
"Kupingnja kedua binatang itu sangat tadjam ", kata Siok Touw. "Kalau ada orang
asing datang kemari, dari djauh2 mereka sudah mendapat tjium baunja ". Hian Song
heran. Ia men-duga2, siapa itu jang mendaki puntjak gunung ini " Dia mesti
seorang liehay. Adakah dia si pria badju hidjau, Biat Touw Sin-Koen ataukah Lie
it ". Setelah mendapat pendidikan dari bibiku ", Siok Tow kata pula, "kedua kera itu
mendjadi lie-hay sekali,sekalipun ahli silat pandai belum tentu gampang2 dapat
mengalahkannja, maka kau tak usahlah kuatir, soemoay ". Orang she Pwee ini
mengatakan demikian karena ia melihat si nona berpikir keras. "Sjukur ada Kim
Tjiam Kok-tjioe Heehouw Kian,", Siok Tow menambahkan sesaat kemudian, "djikalau
tidak, tidak nanti kau dapat melihat djenazah soehoe ". "Kenapa, soeheng ?",
tanja Hian Song heran. "Tubuh soehoe dapat dikebalkan sampai sekarang ini sebab
aku telah pakaikan ia obat jang dua puluh tahun dulu Heehouw Kian berikan pada
soehoe ", Siok Tow menerangkan. "Ketika itu soehoe masih belum sutjikan diri dan


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Heehouw Kian mengirimkan dia bahan2 wewangian, jang katanja dapat membikin
parasnja terlindung hingga tidak mendjadi beroman tua. Semasa hidupnja bibi
tidak pernah menggunai itu, siapa sangka ia memakainja setelah ia menutup mata.
Benar2 obat itu luar biasa khasiatnja ". Hian Song menghela napas. "Hal obat itu
pernah aku dengar soehoe mengatakannja ", ia kata, "Sembari tertawa soehoe
menjatakan padaku, sebagai seorang sutji ia tidak memerlukan obat harum itu,
bahwa akulah si orang kaum muda, jang membutuhkannja. Soehoe kata ia tidak
menghendaki itu ". Sebenarnja ketika itu Hian Song pun kata, sebagai wanita
bukan sembarangan wanita, ia tidak dapat menjenangi lain orang hanja dengan
ketjantikan, hingga gurunja memudji tinggi padanja. Tentang ini ia tidak dapat
menerangkan kepada Siok Touw. "Ketika itu hati soehoe sudah beku, dia tidak
dapat menggunai obat itu ", Hian Song berpikir pula. "Dilain pihak, tjintanja
Heehouw Kian itu membuatnja orang terharu terhadapnja ". Nona ini mengetahui
djuga hal hubungan erat diantara gurunja dan Heehouw Kian, itu pun sebabnja
mengapa ia ingat mengantarkan Lie It kepada orang she Heehouw itu untuk minta
tolong diobati, sekarang melihat sjair gurunja, baru ia mengerti baik, kedua
orang itu mempunjai hubungan jang luar biasa erat. Lantas ia ingat pula Lie It,
hatinja mendjadi tidak keruan rasa. Selama itu, sang waktu telah lewat, kedua
kera belum djuga kembali. Per-lahan2, Pwee Siok Touw nampaknja berkuatir.
"Siapakah kedua musuh tadi ?", dia tanja Nona Boe. Hian Song memberi
keterangannja, ia melukiskan romannja si pria berbadju hidjau jang
bersendjatakan patjul itu. "Oh, dialah Biat Touw Sin-Koen !", kata Siok Touw
heran. "Jang satu lagi?" "Jang satu lagi, aku kenal. Dialah jang kaum Kang-ouw
menjebutnja Tok Sian-lie murid dari Thian Ok Toodjin ". Mendengar namanja Tok
Sian-lie, Siok Touw kaget. "Ah, mengapa dia pun datang kemari ?", katanja heran.
Hian Song heran melihat roman kakak seperguruan ini. "Kepandaian Tok Sian-lie
berada di sebawahan kita, kenapa agaknja soeheng sangat menghargakan dia !", ia
tanja. Siok Tow tetap mengasi lihat roman berkuatir, hatinja terang tidak
tenteram. Ia belum lagi memberi djawabannja, lantas mereka mendengar pekik kedua
kera, pekik dari kesakitan, menjusul mana kedua binatang itu muntjul dimulut
guha. Melihat binatang itu ia kaget hingga ia berseru. Kedua kera itu terluka
dan darahnja masih menetes keluar. Pasti Siok Touw heran dan kaget, sebab ia
ketahui baik, selainnja liehay, binatang piaraan gurunja itu tidak mempan
sembarang sendjata tadjam. Dengan keduanja terluka, terang musuh liehay sekali,
sedikitnja melebihkan dirinja sendiri. Lantas Siok Touw memanggil kedua keranja,
lantas ia memeriksa luka mereka. "Sjukur tubuh binatang beda dari tubuh manusia,
kalau tidak, ratjun tentu sudah masuk kedalam djantung mereka ", katanja.
"Dengan terserang djantungnja, pasti mereka terbinasa ". Hian Song terkedjut. Ia
lantas menduga kepada Thian Ok Toodjin. Siok Touw mengeluarkan satu botol obat,
dalam mana ada pel warna hidjau, ia mengambil dua butir, ia masuki itu kedalam
mulutnja, untuk dihantjurkan, lalu ia memborehkan luka2-nja kedua kera itu. "Aku
tidak kuatir untuk Tok Sian-lie, hanjalah gurunja ", katanja kemudian.
"Kepandaian Thian Ok memang berada diatasan kita ", kata Hian Song. "Akan tetapi
djikalau kita berdua melawan dia, belum tentu kita dapat dikalahkan ". "Apakah
kau pernah menempur Thian Ok ?", tanja Siok Tow. "Ja ..., delapan tahun dulu,
diatas gunung Lie San ", sahut si nona. "Ber-sama2 tiga djago dari istana aku
melawan dia dan kekuatan kita berimbang ". "Mungkin kau belum ketahui, selama
beberapa tahun ini Thian Ok telah melatih hebat tangan beratjunnja ", kakak
seperguruan ini memberitahu. "Sekarang dia muntjul, tentulah dia sudah berhasil
dengan perjakinannja itu. Jang aku buat kuatir bukan melainkan Thian Ok seorang.
Pernahkah kau mendengar namanja Hek Gwa Sam Hiong (Tiga Djago dari
Perbatasan) ?". "Tidak ", menjahut si nona menggeleng kepala. "Mereka itu
terdiri dari Thian Ok Toodjin, Biat Touw Sin-Koen dan Pek Yoe Siangdjin ", Siok
Touw menerangkan. "Jang belakangan ini seorang pendeta. Thian Ok dan Biat Touw
pernah dikalahkan bibi. Diantara mereka, Pek Yoe jang paling aneh ilmu silatnja.
Sebabnja bibi menjingkir kesini jalah disamping untuk mendekati Oet-tie Tjiong
djuga guna bersedia kalau2 Hek Gwa Sam Hiong datang mentjari balas. Sekarang ini
Tok Sian-lie dan Biat Touw telah muntjul bergantian, mungkin Pek Yoe akan
muntjul djuga ...". Boleh dibilang baru Siok Touw menutup mulutnja menutur
tentang Hek Gwa Sam Hiong, 'Tiga Djago dari Perbatasan' itu, dari kedjauhan
lantas terdengar seruan jang luar biasa, mulanja seperti diselang bukit, lalu
sebentar sadja seperti berkumandang di luar pintu guha. Tanpa merasa, ber-sama2
Hian Song, ia lompat keluar. "Benar2 jang datang bukan tjuma seorang !", kata
Siok Touw, terperandjat. "Soemoay, kau kembali kedalam, kau lindungi soehoe!
Umpama kata aku gagal, lekas kau bawa tubuh soehoe menjingkir dari belakang guha
...!". Hian Song heran. Ia belum melihat musuh. Tentu sekali ia mendjadi
bersangsi. Djusteru itu lantas terlihat seorang ber-lari2 mendatangi, bahkan ia
segera mengenali Thian Ok Toodjin. "Apakah soeheng tidak keliru ?", pikirnja.
"Thian Ok seorang diri ...". Thian Ok segera tiba didepan Siok Touw, ia menuding
dengan kebutannja. "Adakah kau muridnja Yoe Tam si bhiksuni tua ?", dia menegur.
"Lekas kau memberitahukan gurumu bahwa sahabat kekalnja datang mentjari dia !".
Belum lagi Siok Touw menjahut, imam itu tertawa dan menambahkan, "Sebenarnja
tanpa kau memberitahukannja, dia pasti telah ketahui aku sudah datang ...!".
Lantas Hian Song mendengar lagi tiga kali seruan tadi, jang saling-susul,
nadanja tinggi dan rendah bergantian. Ia seperti merasakan hatinja bergetar.
"Hebat tenaga-dalam imam itu ", pikirnja. Ketika ia berpaling kepada Siok Touw,
ia melihat kakak seperguruan itu mendjadi lebih tenang. "Setan djahat, djangan
banjak lagak !", kata Siok Touw. "Untuk menjembelih ajam tak usah memakai golok
peranti memotong kerbau ! Lihat pedang ...!". Kata2 itu dibarengi sama tikaman
"Air sungai tumpah". Mendengar itu, Hian Song tertjengang. Tetapi ia tjerdas,
segera ia mengerti maksud soeheng itu. Rupanja sengadja soeheng ini tidak mau
mengasi tahu jang guru mereka sudah meninggal dunia, supaja musuh djeri. Atas
serangan itu, Thian Ok menangkis dengan kebutannja, jang mengasi dengar suara
seperti tetabuhan, sebab setiap bulu kebutannja mendjadi kaku bagaikan djarum.
Suara itu berlagu sedap untuk telinga. Maka kedua pihak heran dan terperandjat
sendirinja. Maksudnja Thian Ok menangkis untuk terus menotok dengan tipunja jang
istimewa "Mengebut debu, menusuk liang", siapa tahu, pedang lawannja hebat
sekali, bentrokan itu membuat belasan benang kebutannja terpapas kutung. Jang
hebat, pedang itu pedang biasa sadja akan tetapi mirip pedang mustika. Maka itu
menandakan mahirnja tenaga-dalam dari lawan ini. Hian Song kagum melihat
liehaynja soeheng itu, maka itu, hatinja mendjadi tenang. Kedua pihak sudah
lantas melandjuti pertempuran mereka. Mereka sama2 tangguh, dengan tjepat mereka
telah melalui dua puluh djurus lebih. Siok Touw mendapat hati, ia mendesak,
pedangnja berkelebatan tak hentinja, bagaikan badai atau hudjan lebat. Thian Ok
membela diri dengan saban2 main mundur. Hian Song senang melihat ke-unggulan
soehengnja itu, meski demikian, ia memikir untuk memberikan bantuannja, supaja
pertempuran bisa lekas2 dihentikan, hanja. belum lagi ia madju, atau Thian Ok
sudah berseru njaring, sambil dengan kebutannja dia menangkis, dengan tangan
kirinja dia merangsak menjerang!. Hebat serangan tangan kosong itu, disebabkan
anginnja jalah angin bau batjin jang membikin orang ingin muntah. Siok Touw
berkelit, pedangnja ditarik pulang, guna membabat tangan lawan. Thian Ok berlaku
sebat menarik pulang tangannja itu, begitu pedang lewat ditempat kosong, dia
menjambar pula. Tangannja itu dibuka sepuluh djarinja, telapakannja nampak
hitam. Mau tidak mau, Siok Touw mesti mundur. Djusteru ini, ia berbalik kena
didesak, hingga Thian Ok lantas mendjadi si penjerang. Dengan lantas keadaan
Siok Touw mendjadi buruk. Sudah pedangnja senantiasa diganggu kebutan, jang
hendak melibatnja, bau amis tangannja si imam mengganggu hebat kepada hidungnja,
tak dapat ia menutup diri dari bau itu. Sjukur untuknja, ilmu pedangnja tetap
tidak mendjadi katjau. Selagi bsertempur itu, mendadak Thian Ok tertawa niaring
dan berkata: "Ha ...ha ...! Kiranja Yoe Tam si pendeta wanita benar sudah
mampus! Hai anak muda, kau bukanlah lawanku, djikalau kau tetap membandel, kau
bakal mampus ketjewa! Baiklah kau menjerahkan kitab ilmu pedang dan teratai
saldju kepadaku, mungkin aku memberi ampun kepada selembar djiwamu ...!".
Didalam hatinja, Siok Touw kaget. Ia tidak mengerti kenapa Thian Ok mengetahui
rahasianja itu. Djusteru diwaktu ia kaget, si imam menjerang hebat, hingga ia
terkedjut, hampir sadja ia kena terhadjar kebutan. Dengan lantas permainan
pedangnja mendjadi kalut. Menjaksikan keadaan soeheng itu, Hian Song berkuatir.
Ia mendjumput sepotong batu, dengan gerakannja "Lauw Hay menjebar uang emas", ia
menimpuk kearah Thian Ok. Itulah
serangan sama dengan serangan sendjata rahasia uang emas atau kim-tjhie-piauw.
Thian Ok mendapat tahu datangnja sendjata rahasia, ia mengebut dengan
kebutannja. Akan tetapi, karena ia memetjah perhatiannja, ia memberi kesempatan
kepada Siok Touw, hingga lawannja itu mendapat ketika memperbaiki diri. Hian
Song terus memasang mata. Satu kali ia melihat sinar matanja soehengnja
diarahkan kepadanja. Ia mengerti itulah tanda untuk ia masuk ke guha. Berbareng
dengan itu, ia ingat bahwa Thian Ok mempunjai kawan. Ia berpikir dengan tjepat:
"Mengandal kepada kegagahannja, soeheng tentu dapat bertahan lagi sekian lama,
atau kalaupun ia kalah, ia tentu dapat menjingkirkan dirinja. Sebaliknja, kalau
tubuh soehoe dirusak musuh, inilah hebat ". Karena ini, ia mengambil putusan
buat masuk kedalam guha. Thian Ok melandjuti desakannja. Segera dia berhasil
pula. Mendadak dia tertawa dan berkata njaring: "Biat Touw Sin-koen, aku kata si
pendeta wanita Yoe Tam sudah mampus, kau tidak pertjaja ! Sekarang kau pertjaja,
bukan" Kenapa kau tidak mau lekas2 menggunai ketikamu ?".
---oo0oo--BELUM berhenti kata2 itu, dari tikungan bukit terlihat muntjulnja Biat Touw Sinkoen. Sebenarnja ada maksudnja kenapa Thian Ok muntjul digunung Thian-san ini.
Ia mau mentjari murid jang perempuannja. Muntjulnja ini sekalian dikarenakan ia
telah berhasil dengan latihan Tok Tjiang Kang-hoe, jalah kepandaian 'Tangan
Beratjun'. Dikaki puntjak Lok To Hong, ia bertemu sama muridnja itu, Tok Sianlie, jang berada bersama Biat Touw Sin-koen. Sin-koen lantas sadja merasa tidak
enak, dia djengah sendirinja. Thian Ok ingin menegur Sin-Koen tetapi ia menunda
ketika ia melihat muridnja terluka dan Sin-Koen pun habis dipetjundangi,
sebaliknja ia menanjakan duduknja hal. Lantas ia menduga kepada Yoe Tam Sin-nie,
sebab ia pernah melihat kedua kera dari bhiksuni tua itu. Ia kaget berbareng
girang. Ia pernah mendengar hal-nja Yoe Tam sudah meninggal Dunia, ia masih
ragu2 lantaran belum memperoleh kepastian. Sekarang ia mendengar halnja kedua
kera itu, ia berfikir: binatang itu, binatang piaraannja Yoe Tam, keduanja ada
disini, Yoe Tam mesti berada disini djuga. Sekarang aku akan dapat petjahkan
teka-teki ia benar sudah mati atau masih hidup ...". Karena bersama Biat Touw
Sin-Koen ia pernah dikalahkan Yoe Tam, Thian Ok mendjadi djeri, seorang diri ia
masih berkuatir melawan niekouw tua itu, maka ia mengadjak kawannja ini, untuk
membuat penjelidikan. Djuga Biat Touw tetap bersangsi. Tok Sian-lie tidak
terluka parah, dia ditinggalkan dikaki gunung setelah diobati. Tidak lama
muntjullah kedua kera, maka Thian Ok melukakannja dengan pukulan tangannja jang
beratjun. Setelah itu, Thian Ok mendaki puntjak, sedang Biat Touw, jang litjik,
mengatakan hendak membantu dengan diam2. Thian Ok tidak puas akan tetapi ia
tidak bisa memaksa. Demikian Thian Ok menempur Siok Touw. Sampai Siok Touw
terdesak itu, Yoe Tam masih djuga belum muntjul, maka Sin-Koen berkata didalam
hatinja : "Thian Ok melukakan kedua keranja, sekarang Siok Touw hampir kalah,
kalau Yoe Tam masih hidup, tidak ada alasan kenapa dia tidak lekas muntjul ".
Maka ia mau pertjaja, niekouw itu benar sudah mati, dari itu barulah ia berani
keluar dari tempatnja sembunji, untuk memberikan bantuannja. Pwee Siok Touw
mengeluh melihat Biat Tow datang, pikirnja: "Kedua kera sedang terluka, soe-moay
seorang diri, mana dapat dia melawan Sin-koen " Maka itu aku harap soe-moay
dapat melihat selatan dan melarikan diri siang2. Oleh karena ia berfikir begitu,
Siok Touw mendjadi terpetjah perhatiannja, maka ia bertambah terdesak. Bau amis
dari tangan djahat Thian Ok pun menjerang hidungnja tambah hebat, hingga
kepalanja mendjadi pusing dan matanja mulai ber-kunang2, hingga dengan
sendirinja, silatnja mulai katjau lagi. Njali Biat Touw mendjadi besar, dia
tidak perlu membantu Thian Ok, dia lari langsung kemulut guha, sembari tertawa
lebar, dia mengawasi dengar suaranja jang njaring dan djumawa: "Boe Hian Song,
tidak dapat kau bersembunji lagi! Lekas muntjul dan berlutut dan meng-angguk2
terhadapku !". Ia berpendapat sama seperti Pwee Siok Touw, dengan kedua kera
telah terluka, disana tinggal si nona seorang diri. Mustahil tak sanggup dia
membekuk nona itu ". Sunji-senjap guha itu. Dari dalam tak ada djawaban. Biat
Touw tertawa pula. "Djikalau kau tidak suka keluar, baiklah, terpaksa aku mesti
menjeretmu !", katanja. Lalu dia mengangkat kakinja, untuk bertindak memasuki
guha. Tapi tidak dapat dia bertindak terus. Dia seperti menemui sesuatu jang
hebat. Tertawanja terhenti dengan tiba2, matanja terpentang, mulutnja menganga.
Dia birdiri tertjengang! Apakah jang terlihat" Disana diatas medja, Yoe Tam Sinnie duduk bersila. Biat Touw tidak tahu suatu apa tentang obat param atau
pembalsem dari Heehouw Kian, dia pun tidak dapat menduga. Dia tjuma melihat
bhiksuni tua itu duduk tenang bagaikan manusia hidup, kedua matanja separoh
terbuka separoh tertutup, dan bibirnja terbuka sedikit bagaikan lagi hendak
berbitjara kepadanja. Sedetik dia tertjengang atau semangatnja terbang, apa jang
dia ingat melainkan satu: "Ha ..., kiranja Yoe Tam masih belum mati! Aku
terpedajakan Thian Ok !". Ketika dulu hari Biat Touw terlukakan Yoe Tam, dia
mesti pulang untuk berobat dan berlatih pula sepuluh tahun lamanja. Sebenarnja
dia sama liehaynja dengan Thian Ok dan Pek Yoe Siangdjin, lantaran lukanja itu,
kemudian dia ketinggalan. Pula ketika dia dilukakan hebat oleh Yoe Tam, bhiksuni
itu telah mengantjamnja, apabila mereka berdua bertemu pula, dia hendak
dipatahkan tulang selangkanja. Dari itu, disamping dia sangat membentji Yoe Tam,
dia djuga djeri bukan main. Maka sekarang, saking takutnja tak terkira, dia
tidak sempat lagi mentjari tahu Yoe Tam masih hidup atau benar2 sudah mati!.
Tepat dia mendusin dan mau memutar tubuhnja guna mengangkat langkah seribu, Hian
Song lompat keluar dari belakang gurunja dimana semendjak tadi ia menjembunjikan
diri. Ia melompat sambil menjerang dengan pedangnja. Pula berbareng dengan ia,
kedua kera turut muntjul djuga, untuk menerkam!. Tjelaka untuk Biat Touw, jang
tak sempat bersiap sedia itu. Kedua tulang pundaknja kena ditjengkeram kedua
kera dan djalan darah kiok-tie di siku lengannja nja tertikam pedangnja Hian
Song, hingga lengannja itu kontan luka dan tak bertenaga. "Soehoe, tidak usah
soehoe turun tangan sendiri !", kata Nona Boe njaring. Lalu dengan meniru suara
gurunja, ia berkata: "Muridku, kau wakilkan aku memusnahkan ilmu silatnja!".
Pandai si nona meniru lagu suara gurunja itu, hingga njalinja Biat Touw seperti
hantjur luluh. Djangan kata sekarang dia telah terluka, walaupun belum, tidak
nanti dia berani melawan Hian Song. Maka djuga dengan menahan sakit, dia
meloloskan diri, dia lari tunggang-langgang keluar dari dalam guha itu!. Selagi
orang ngatjir itu, Hian Song menjusut peluhnja, peluh dingin !. Karena ia telah
menggunai akal-muslihatnja orang di djaman Han : "Tjoe-kat jang mati menakutikabur kepada Tiong Tat jang hidup !" (Tjoe-kat jalah Tjoe-kat Liang, dan Tiong
Tat ialah Soe-ma Ie). Itulah tipu sekali pukul. Selagi Hian Song menjusuti
keringatnja itu, kedua kera pun rebah ditanah dengan napas mereka memburu,
karena keduanja menjerang musuh selagi mereka menderita luka2. Akan tetapi Nona
Boe tidak dapat ketika akan berdiam lama2. Diluar, Siok Tow lagi menghadapi
bahaja. Maka ia mengasah otaknja, mentjiptakan lagi sebuah tipu daja lain.
---oo0oo--MELAJANI Thian Ok Toodjin, Pwee Siok Tow mendjadi sangat letih dan pajah. Ia
sudah berkelahi hampir seratus djurus, hingga tenaganja hampir habis. Jang
paling menjulitkan jalah itu bau amis dari tangan beratjun lawannja itu, seperti
sia2 sadja ia menguatkan hati melawan pusingnja kepala dan ber-kunang2-nja
matanja. Lagi beberapa djurus, mestilah ia roboh ditangan imam jang liehay itu.
Ia putus asa kalau ia ingat kedua kawan musuh pasti tengah mengepung Hian Song
sedang kedua kera terluka parah. Dengan menguatkan hati, dengan mengempos
semangatnja, ia masih mentjoba mempertahankan diri. Untung bagi Siok Touw,
setelah merasa pasti kemenangan sudah ada dipihaknja, Thian Ok tidak kesusu
untuk merobohkannja. Imam ini hanja menanti ketika jang baik untuk mengirim
hadjarannja jang terachir. Djusteru itu, mendadak Thian Ok mendengar teriakannja
Biat Touw, jang segera terlihat lari keluar dari dalam guha, agaknja ia telah
terluka. Dia mendjadi kaget sekali. Segera dia ingin menegur kawan itu, untuk
menanjakan sebabnja, atau kupingnja lantas mendengar teguran : "Thian Ok, imam
djahat, njalimu sangat besar! Djusteru aku lagi menutup diri, kau berani datang
menghina muridku !". Dia lantas memandang kearah guha dimana, dimulut guha itu,
terlihat Hian Song lagi mendorong sebuah kereta diatas mana ada seorang bhiksuni
duduk bersila dan bhiksuni itu bukan lain daripada Yoe Tam Sin-nie. Bukan main
kagetnja Thian Ok tidak perduli dia bernjali besar. "Ah, kiranja dia hanja
menutup diri untuk berlatih ", katanja dalam hati. Selagi orang kaget dan ragu2
itu, Siok Touw berseru sambil menjerang, pedangnja meluntjur dengan djurus
"Bintang mengambang". Mulanja pedang menjampok kebutan, lalu diteruskan menikam,
tepat melukai musuh. Tapi Thian Ok lain daripada Biat Touw, walaupun dia kaget,
dia bersangsi untuk suara si pendeta wanita, hanja disebabkan kena tertikam, dia
djadi menuruti hawa-amarahnja. "Binatang, kau berani membokong !", serunja,
"Djangan kau harap dapat hidup !". Dia memutar tubuhnja, tangan kirinja
melajang. Siok Touw menjerang dengan sekuat tenaganja, sjukur ia mengenai
sasarannja, kalau tidak, mestinja ia terdjerunuk djatuh. Karena serangannja itu,
ia tidak sempat membela diri, maka itu, tangannja si imam djuga mengenai tepat
padanja, hingga ia terpental setombak lebih. Habis menjerang itu, Thian Ok kaget
sendirinja. Dia merasa pasti Yoe Tam sudah mati, suara tadi bukan suara bhiksuni
itu, tetapi karena terluka dan baru habis menggunai tenaga berlebihan, mendadak
matanja ber-kunang2 dan kupingnja pun berbunji, ia merasa tenagania habis, maka
tanpa berpikir lagi, ia terus lari turun gunung se-kuat2-nja.
---oo0oo--HIAN Song menjaksikan itu semua, ia tidak berani mengedjar imam itu. Ia
menjangka orang masih tangguh sebab sudah terluka masih dapat melukakan Siok
Touw, hingga ia memikir haruslah ia tjepat menolong soehengnja itu. Tjoba ia
tahu hal jang benar dan ia mengedjar Thian Ok, mungkin ia dapat menjandak dan
membinasakannja. Ia melepaskan keretanja, ia lari kepada Siok Touw, muka siapa
putjat-pasi dan dari mulut dan hidungnja keluar darah. Untuk leganja hatinja, ia


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

toh mendapatkan soeheng itu tersenjum dan berkata : "Soe-moay, bagus sekali akal
kau ...!". Dengan mengandal pengaruh soehoe, kau berhasil membikin iblis2 itu
kabur ! Sungguh berbahaja keadaan kita !". Soeheng itu lantas mengetahui akalmuslihat adik seperguruannja itu. Kereta jang dipakai pun kereta peranti
mengangkut kaju bakar. Hian Song mengeluarkan peluh dingin. Siok Touw dapat
tertawa dan tersenjum akan tetapi suaranja parau, lalu kulit mukanja berubah
semakin putjat. Hian Song melihat itu, ia berkuatir, lantas ia mau memeriksa
nadi sang soeheng. "Djangan !", soeheng itu mentjegah, menggeleng kepala. "Lekas
kau keluarkan peles obat dari sakuku. Djangan kau bentur kulitku !". Hian Song
heran, tapi ia lantas mengawasi. Ia lihat kulit soeheng itu mendjadi hitam.
Itulah tanda keratjunan. Pula dengan tjepat sekali, tangan dan kaki soeheng itu
mendjadi tidak dapat digeraki lagi. Maka hebat sekali "Hoe Koet Sin-tjiang",
ilmu Tangan-Sakti-Merusak-Tulang, dari Thian Ok Toodjin. Dilain pihak, ia pun
mengagumi mahirnja tenaga-dalam soehengnja itu, jang sampai itu waktu masih
dapat mempertahankan diri. Dengan ber-hati2, dengan dua djari tangannja, si nona
mengeluarkan peles obat jang disebut itu, sebuah peles ketjil. Didalam situ ada
beberapa butir pel warna hidjau. "Lebih dulu kau telan sebutir ", Siok Touw
kata. Suaranja sangat perlahan hingga hampir tak terdengar. Hian Song tahu obat
itu mesti obat pemunah ratjun, dan ia tahu djuga, sang soeheng menjuruh ia makan
obat itu guna mendjaga diri kalau2 ia, kena menjentuh tubuh soeheng itu. Ia
menurut. Ia lantas merasakan hawa segar didadanja, sedang baunja obat harum
sekali, hingga bau amis disekitar mereka lantas bujar lenjap. Habis itu, ia
mengasi makan obat itu kepada soeheng itu, jang mulutnja ia mesti bentet karena
lekas sekali Siok Touw merapatkan mulut dan matanja. Ia mengasikan tiga butir
obat pulung itu. Tidak lama Hian Song menanti, Siok Tow lantas muntah. Jang
keluar jalah darah. Dengan lekas, kulit soeheng itu mulai berubah, dari putjat
mendjadi hitam, lalu putjat pula dan mendjadi merah. Pula kedua matanja segera
dapat dibuka. "Sungguh berbahaja !", Siok Touw membuka suaranja sembari
menjeringai. "Tanpa Pek-leng-tan peninggalan soehoe ini, mestilah aku hilang
djiwa. Baru sekarang Hian Song kenal obat jang mudjarab itu. Lantas ia bekerdja.
Ia lari ke kereta, untuk menolak itu masuk kedalam guha, guna memernahkan tubuh
gurunja, kemudian ia mendorong pula kereta keluar guna menolongi soehengnja,
untuk membawa soeheng itu kedalam guha. "Kau letih, soe-moay ", kata Siok Touw,
hatinja lega dan berterima kasih. "Sekarang kau tidak usah melajani aku lagi,
ada kedua kera jang dapat merawat aku. Djikalau ada urusan penting, kau dapat
turun gunung ". Siok Touw berkata demikian tanpa ia ingat kedua keranja pun
terluka parah dan memerlukan rawatan. Hian Song tahu, urusan jang dimaksud Siok
Touw jalah urusan Lie It. Tentu sekarang ia tidak dapat segera mengurus itu.
Soeheng ini memerlukan rawatan. "Soeheng, tak usah kau pikirkan urusan lain ",
ia berkata. "Tunggu sadja sesudah kau sembuh ". Siok Touw mengetahui lukanja
itu, ia tidak memaksa. Hebat tangan djahat dari Thian Ok. Tiga hari Siok Touw
dirawat Hian Song, baru ia dapat dahar sendiri bubur dan tubuhnja djuga dapat
berkutik diatas pembaringannja. Tanpa Pek-leng-tan dari Yoe Tam Sin-nie,
mestinja tulang2-nja pun terusak ratjunnja si imam. Kedua kera mendahului
kesembuhan madjikannja. Dihari ketiga, keduanja sudah dapat bergerak dengan
leluasa. Maka itu Siok Tow lantas mendesak agar si adik seperguruan pergi turun
gunung. Hian Song menolak. Biar ia memikirkan Lie It, tidak dapat ia lantas
pergi. Maka djuga ia menunggu sampai tudjuh hari, diwaktu mana baru Siok Tow
bebas benar2 dari ratjunnja Thian Ok, dapat dia turun dari pembaringannja,
tinggal lemasnja sadja. Hari itu ia menerima baik permintaan soehengnja untuk
mengubur djenazah gurunja, jang terpaksa ia lakukan sendiri. Tentang pembuatan
batu nisannja, itu ia serahkan si soeheng, jang akan menjelesaikannja lain
waktu. Sekembalinja Hian Song habis mengubur, Siok Touw kata padanja : "Soemoay, kau sekarang harus mewakilkan aku. Khan Turki memberi tempo satu bulan
kepada Lie It. Sekarang ini telah lewat tudjuh hari, dia perlu lekas ditolong.
Soehoe menugaskan aku menolong Lie It, tidak dapat aku mendjalankan tugas itu,
maka kau tolonglah aku ". Pikiran si nona kusut, sekian lama ia berdiam sadja.
"Aku hendak merawat lagi kau buat dua hari ", sahutnja. "Setelah kau sembuh
betul baru aku pergi, hatiku lega ". "Sudah begitu banjak hal aku membuat kau
tjape, aku merasa kurang enak hati ", kata Siok Touw. "Kedua kera sudah sembuh,
mereka dapat merawat aku. Baiklah besok sadja kau berangkat ". Hian Song
terumbang-ambing. Sebenarnja ia berkuatir untuk Lie It, tetapi soeheng ini masih
sakit dan masih membutuhkan rawatannja, tidak tega ia lantas meninggalkannja.
Mentjari Lie It, hatinja berlawanan. Ingin ia menemuinja, ingin ia tak
melihatnja... Bukankah diantara ia dan Lie It telah menjelak Tiangsoen Pek "
Bukankah keadaan mereka bukan lagi keadaan delapan tahun jang lampau ". Ia
memikir, memang paling baik ia djangan menemui pula Lie It, maka djuga ia minta
bantuannja Pwee Siok Touw. Tapi sekarang Siok Touw sakit, untuk menanti
kesembuhannja seluruhnja mungkin dibutuhkan tempo satu buIan dari itu, mana ia
bisa menunda pula " Mesti ia segera mentjari Lie It. "Malam ini kau boleh batja
kitab pedangnja soehoe ", Siok Touw berkata pula, "kalau ada bagian jang kurang
djelas, kau boleh tanja aku ". "Terima kasih, soeheng ", kata si nona bersjukur.
Malam itu Hian Song tidak dapat tidur pulas, terus otaknja bekerdja, baru dengan
menguatkan hati, ia turut perkataannja Siok Touw, jalah ia membeber kitab pedang
gurunja, untuk membatja dan mejakinkannja. Kitab itu menarik perhatiannja, maka
kemudian dapat ia memusatkan pikirannja. Bagian depan dari kitab itu Hian Song
sudah mengerti, maka ia membatja bagian belakangnja, jang ditulis gurunja selama
guru itu berdiam digunung Thian-san buat beberapa tahun. Ia tjerdas, ia tidak
menampak kesukaran untuk dapat mengerti. Ia tjuma memberi tanda pada beberapa
bagian, untuk besok ia tanjakan keterangan soehengnja. Guha itu mempunjai tjuma
dua kamar, satu untuk Siok Touw, jang lain untuk gurunja, selama Siok Touw
sakit, Hian Song tidur diluar kamar soehengnja itu, untuk setiap waktu dapat ia
mendjagainja. Mereka sama2 pria dan wanita sedjati, mereka tidak merasa likat.
Demikian malam itu, si nona tetap mengambil tempat didepan kamar sang soeheng.
Selagi membatja, satu kali ia menoleh kedalam kamar, jang pintunja tjuma
dirapatkan sedikit. Kebetulan sekali, sinar mata mereka bentrok. Siok Touw belum
tidur pulas, dia separoh menundjang tubuh dan matanja diarahkan ke si nona.
"Soeheng, mengapa kau belum tidur ?", soe-moay itu tanja. "Aku merasa segar
sekali, belum aku ingin tidur ", sahut Siok Touw tersenjum. "Apakah ada bagian2
jang soemoay kurang mengerti ?". Mendapatkan orang segar itu, Hian Song lantas
menggunai ketikanja untuk mengadjukan beberapa pertanjaan menurut tjatatan jang
ia bikin, jang mana Siok Touw menerangkannja dengan djelas. "Terima kasih,
soeheng ", kata si nona kemudian. "Sekarang aku telah mengerti semua. Silakan
kau tidur ". Habis berkata, Hian Song memahamkan pula kitabnja. Selang tidak
lama, ia menoleh pula kepada kakak seperguruannja itu. Ia mendapatkan sang
soeheng masih belum tidur dan mata orang tetap ditudjukan kepadanja. Ia heran.
"Kenapa soeheng masih belum tidur ?", ia tanja. "Aku lagi memikirkan sesuatu ",
menjahut Siok Touw. "Sebentar lagi djuga aku tidur. Sekarang sudah djauh malam,
besok pagi kau mesti pergi, soe-moay, kau djuga baiklah tidur ". Hian Song
mengangguk. Ia tetap heran. Ia melihat suatu hal luar biasa pada sikapnja
soeheng ini. Itulah tak nampak selama malam2 jang telah lewat. Tapi ia tidak
mengatakan sesuatu, ia melainkan membudjuki agar soeheng itu tidur. Lewat sekian
lama, Hian Song menoleh pula kepada soehengnja. Siok Touw tetap belum tidur,
tetapi mendapatkan si nona berpaling kepadanja, ia ber-pura2 pulas, matanja
dimeramkan. Ketika itu sudah mendekati fadjar, Hian Song tidak membilang suatu
apa lagi. Satu malam suntuk ia tidak tidur, begitupun soeheng itu. Selekasnja
terang tanah, Nona Boe lantas ber-kemas2. Siok Touw turun dari pembaringannja,
ia tidak dapat tidur tetapi ia segar sekali, bahkan ia bersemangat melebihkan
kemarinnja. Ia menjerahkan kitab sjair dan kotak gurunja, ia mengulangi pesannja
poma2 agar semua itu disampaikan setjara baik kepada Boe Tjek Thian dan Heehouw
Kian. Katanja, untuk membikin senang hati guru mereka di alam baka. Kemudian ia
pun menjerahkan dua peles obat seraja berkata : "Ini peles jang lehernja
pandjang memuat Pek-leng-tan. Kau tahu sendiri, aku terluka dan teratjunkan
Thian Ok Toodjin tetapi aku dapat hidup karena aku mengandalkan ini obat
mudjarab buatan soehoe, maka kau bawalah ini untuk ber-djaga2. Dengan menjimpan
obat ini, kau tidak usah takuti sendjata rahasia apa djuga jang ada ratjunnja.
Dan ini, botol mulut bundar, memuat Ie-yong-tan. Inilah obatnja Heehouw Kian
untuk soehoe. Soehoe tidak membutuhkan itu, begitu djuga aku, maka kau bawalah
sekalian ". Ia lantas mendjelaskan aturan pakainja obat pel itu. Ie-yong-tan
jalah pel untuk mengubah paras. Terus ia berkata pula : "Ie-yong-tan dapat
mengubah wadjah mendjadi tua atau muda sesuka kita, tjuma satu jang tidak dapat
dirubah, jalah sinar mata,
hingga siapa pandai melihat, dia akan tetap dapat mengenali orang usianja tua
atau muda atau kepandaian silatnja tinggi atau tidak. Orang biasa sadia tidak
dapat memperhatikan itu. Hian Song mengangguk ber-ulang2, ia ingat baik2 semua
keterangan itu. Didalam hatinja ia berkata: "Itu hari Tiangsoen Pek menjamar
mendjadi njonja Uighur, aku kena dikelabui, mungkin ia pun menggunai obat ini.
Sekarang aku akan pergi ke kotaradja Khan Turki, perlu aku akan obat ini ". Maka
ia menjambuti dan menjimpan hati2 kedua peles obat itu. Ia sangat bersjukur
untuk kebaikannja soeheng ini, tanpa merasa ia mengutjurkan air mata. Siok Touw
selalu mengawasi adik seperguruan itu, maka ia melihat orang berduka, ia sendiri
matanja mengembeng air. Ia menghela napas, ia berkata perlahan : "Soe-moay, aku
menghaturkan banjak terima kasih kepada kau jang telah merawat aku selama
beberapa hari ini. Semendjak hari ini kau akan kembali ke Tionggoan, maka aku
rasa sulit untuk kita nanti dapat bertemu pula ...". "Semoga soeheng berhasil
mendjadi satu guru besar ilmu persilatan ", kata Hian Song. "Djikalau lain hari
aku datang pula ke wilajah perbatasan ini, pasti aku akan menjambangi kau,
soeheng ". Hian Song mengatakan demikian meskipun ia tahu ketika jang diharap
itu sukar datang puIa. Umpama-kata benar ia dapat kembali, dengan adanja Lie It
suami-isteri di gunung itu, belum tentu ia sudi mendjenguknja. Ia menginsafi
soeheng itu berat berpisahan dengannja, ia turut merasa berat djuga, hanjalah ia
tak dapat mendjadjaki seluruh hatinja si soeheng. "Soeheng, aku minta sukalah
kau mendjaga diri baik2 ", kemudian ia berkata, "Sekarang adikmu hendak
berangkat, aku minta diri ". Ia lantas memberi hormat. Siok Touw membungkam
tetapi ia memegang erat2 tangannja soe-moay itu. "Baik, kau berangkatlah !",
katanja kemudian, perlahan. Begitu mengutjap, ia memutar tubuhnja. Hian Song
bertindak, selang sekian lama, ia menoleh, maka ia melihat soehengnja itu
berdiri menjender dipintu guha, matanja mengawasi kearahnja. Ia berduka bukan
main tetapi ia berdjalan terus. Ia pergi ke kuburan gurunja, guna paykoei tiga
kali, untuk pamitan dari arwah-nja guru itu. Ia menangis meng-gerung2 kapan ia
ingat budinja sang guru. ---oo0oo--SAMPAI tengah-hari baru Hian Song djalan melewati puntjak Lok To Hong, Puntjak
Unta, maka disana, diantara pepohonan lebat, ia melihat rumah batu dari Lie It.
Ia bertindak tjepat akan tetapi diluar tahunja, ia tiba diluarnja rumah batu
itu. Ia berduka kapan ia ingat, karenanja, Tiangsoen Pek telah mesti pergi
djauh. Lantas sadja ia mendjadi heran kapan ia mendapat kedua daun pintu
terpentang lebar. Ia ingat, ketika ia meninggalkannja, pintu itu ia telah tutup.
"Mustahilkah Tiangsoen Pek sudah pulang ?", ia tanja dalam hati. Kembali diluar
keinginannja, Hian Song bertindak masuk kedalam rumah batu itu. Setibanja
didalam, apa jang ia tampak, membuat hatinja tidak tenteram. Rumah itu katjau,
ada badju dan lainnja, jang berserakkan dilantai. Khim tua kepunjaan Lie It,
tidak ada. Hian Song berdiri mendjublak. "Djikalau Tiangsoen Pek jang pulang
mengambil pakaian, tidak nanti dia membuat katjau hegini ", pikirnja. "Kalau
lain orang, apakah jang ditjari" Mungkinkah dia mengambil khim tua itu sebab dia
tahu itulah alat tetabuhan jang disajangi Lie It ?". Pertjuma si nona menerka,
ia tidak memperoleh djawabannja. Ditembok masih tertinggal sjairnja Tiangsoen
Pek. Dengan itu Nona Tiangsoen mendukakan hidupnja jang menderita. Itu pula
hidupnja sekarang ini, jang senantiasa diliputi kedukaan. Ia mendjadi terharu
sendiri. Achirnja ia kata didalam hatinja : "Mudah2-an aku berhasil menolong
anaknja Lie It itu, untuk dengan tanganku sendiri menjerahkannja kepada
Tiangsoen Pek, habis itu aku pulang ke Tionggoan, tidak nanti aku datang pula
kemari, supaja Tiangsoen Pek ketahui hatiku ". Sambil menjusut air matanja, ia
bertindak keluar dari rumah itu. Seterusnja, ketjuali beristirahat seperlunja,
Hian Song melakukan perdjalanan siang dan malam, maka selang setengah bulan, ia
sudah melintasi gurun pasir Chakasutai, hingga lagi lima atau enam hari, ia
bakal tiba di kotaradja Turki (Dengan Turki disini dimaksudkan Turks atau
Tuch?eh atau Tu-Kiu, jang di djaman Ahala Tang sudah luas wilajahnja, dan jang
di Timur disebut Turks Timur dengan kotaradjanja di Urumchi sekarang). Ia
berlega hati karena pertjaja ia bakal sampai sebelum habis tempo satu bulan jang
diberikan Khan. Pada suatu hari, Hian Song tiba di kali Kalashaer, jang
pandjangnja beberapa ratus lie, sedang didalam wilajah Turki ini, kali atau
sungai sedikit sekali. Ia girang sekali, terutama karena baru sadja ia melintasi
gurun. Dengan lantas ia mengisikan penuh dua buah kantung airnja, habis mana ia
melandjuti perdjalanan mengikuti gili2. Di kedua tepian tumbuh pohon2 kaju
seperti berbaris, pemandangannja indah. Baru djalan selintasan, Hian Song
mendengar kelenengan jang datangnja dari arah belakang, dimana debu pun mengepul
naik. Ia menduga kepada serombongan kafilah saudagar. Ketika ia menoleh, njata
dugaannja keliru. Itulah serombongan dari delapan boesoe atau pradjurit Turki
dengan seragamnja jang mentereng, jang mengiringi sebuah kereta besar, jang
datangnja dari hulu kali. Kereta itu indah, ditarik empat ekor kuda bulu putih
djempolan. "Tentulah seorang pangeran lagi meronda ", pikir Hian Song. Lantas ia
menjingkir ke belakang sebuah bukit. Diwaktu seperti itu, ia tidak mau nanti
terbit onar. Tidak lama pula rombongan pradjurit pengantar kereta ito telah tiba
didepan bukit ketjil di belakang mana si nona bersembunji. Dari dalam kereta itu
lantas terdengar suara terompet huchia serta pentilan tungpala, mengiringi
sebuah njanjian sedih. Mendengar lagu itu, Hian Song seperti mengenalnja. Ia
lantas meng-ingat2, maka tahulah ia bahwa itulah lagu "Huchia Sippat Pek." jang
didjaman Han Timur ditjiptakan Tjoa Boen Kie, nona jang dinikahkan pada seorang
radja suku Wushun. Tidak aneh lagu itu berada diwilajah Hwee-Kiang ini, hanja
heran adalah lagu itu dimainkan dan dinjanjikan orang jang berada didalam kereta
indah itu serta iringan pradjurit keren. Mestinja wanita itu bukan sembarang
wanita. Kenapa dia demikian bersusah hati " Njanjian itu dilagukan dalam bahasa
Uighur, dan diantaranja Hian Song dengar : "Keluargaku menikahkan aku ke suatu
udjung langit, djauh ke sebuah negara asing pada radja Wushun ". Maka itu, ia
mendjadi terharu hatinja. Kereta itu dihentikan ditepian kali. "Beristirahat
sebentar disini ", terdengar suara seorang wanita dari dalam kereta. Lantas
beberapa pelajan wanita turun dari kereta, untuk membangun tenda. Beberapa
pradjurit lantas pergi mengambil air, untuk dibawa kedalam tenda. "Rupanja dia
mau mandi ", kata Hian Song didalam hati. Dengan "dia", ia tidak tahu dia itu
njonja atau nona. Akan tetapi ia tidak usah bersangsi lama. Segera ia melihat
seorang nona Uighur keluar dan turun dari keretanja, dia tiantik sekali, matanja
djeli, giginja putih, rambutnja bagus. Selagi nona itu masuk kedalam tenda,
beberapa pradjurit beristirahat ditepian, tetapi jang dua berdjalan mundarmandir, untuk meronda. Beberapa kali mereka datang dekat tempat sembunji Nona
Boe, hingga Hian Song sudah menjiapkan beberapa butir batu untuk mendahului
menghadjar andaikata ia terpergok. Ketika itu ada terdengar suara kuda
dikaburkan datang, hingga Hian Song mengintai. Ia segera melihat datangnja
seorang boesoe jang menunggang kuda, boesoe itu muda dan kudanja berbulu merah.
Selagi mendatangi, boesoe itu memanggil ber-ulang2 : "Karosi ...! Karosi ...!".
"Siapa?", bentak seorang pengawal. "Siapa berani menjebut namanja permaisuri
kami !". Dengan Permaisuri, pengawal itu maksudkan selir radjanja. Menjusul
bentakan itu, beberapa batang anak panah lantas menjambar kearah pemuda itu. Dia
liehay, dengan mengangkat tangannja, dia menjambuti dua batang, lantas dia
melemparkannja, untuk menanggapi jang lainnja, hingga beruntun belasan batang
anak panah itu kena dilemparkan ke kali! Hian Song pun heran. "Kalau wanita
tjantik itu selir Khan, kenapa dia keluar sendirian dan dia meninggalkan djauh
istananja ". Dan siapa ini anak muda, jang njalinja besar, jang berani menjusul
kereta selir" Dia pun gagah-perkasa ..." Lekas sekali, pemuda itu bersama
kudanja sudah sampai dimuka tenda dalam djarak beberapa tombak sadja. Masih dia
me-manggil2 : "Karosi ...! Karosi ...!". "Hai, kau gila !", bentak dua boesoe
seraja mereka madju, untuk menahan kuda. Sambil berbenger, kuda itu tertahan dan
mundur berdiri dengan kedua kaki belakangnja. Dengan begitu terbukti tangguhnja
kedua pradjurit itu. Anak muda itu berlompat turun dari kudanja. "Minggir!", ia
membentak. "Aku mau menemui Karosi !". Kedua boesoe itu tidak mau mundur, bahkan
mereka madju untuk menjergap kedua kaki orang. Jang satu menjambar kaki kanan,
jang lain kaki kiri. Rupanja mereka berniat merobohkan orang sebelum orang tiba
ditanah. Pemuda itu benar liehay, tanpa menanti mengindjak tanah, sambil
melompat itu, ia menendang, sedang kedua tangannja membatjok kekiri dan kanan
kepada seorang boesoe lainnja. Hebat kesudahannja bentrokan ini. Tangannja
seorang boesoe itu kena terhadjar seperti tergunting, tangan itu lantas
diturunkan kebawah tanpa berdaja, sedang jang lainnja kena tertendang
terdjungkal. Pradjurit Turki gemar akan kegagahan, menjaksikan bentrokan itu,
mereka itu bersorak-sorai. "Hai, kau tjari mampus !", tiba2 terdengar suara
bentakan, dari pradjurit jang mendjaga di mulut tenda. Dia berewokan, romannja
bengis, gerakannja pun sangat tjepat, bentakannja itu dibarengi serangan kedua
tangannja. Kali ini empat buah tangan bentrok satu dengan lain, sebagai
kesudahannja, si anak muda mundur beberapa tindak. Dengan madjunja si boesoe,
kawan2-nja, jang sudah bergerak, lantas mundur pula. Dialah rupanja pemimpin
mereka. Anak muda itu tidak takut, sambil menghunus golok, ia madju pula. Ia
lantas disambut si boesoe, jang djuga menggunai golok. Maka sekarang golok
mereka berulang-kali mengasi dengar suara njaring. Golok pemuda itu kalah
tadjam, dua kali bagian tadjamnja terbatjok gompal. Tiba2 tenda disingkap, si
wanita tjantik muntjul. "Semua berhenti !", ia memerintah, tapi suaranja merdu.


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karosi ...", seru si anak muda, suaranja parau. Dia girang, hatinja tegang.
Ingin ia madju mendekati. "Diam !", kata selir tjantik itu, suaranja dingin.
"Aku larang kau madju meskipun lagi satu tindak !". Pemuda itu melengak. "Karosi
...!", katanja. "Kau tidak mengenali aku ?". "Saerhai, mau apa kau datang kemari
?", si wanita balik menanja. "Apakah ajahku jang memerintahkannja ?". Dengan
ajah, ia menjebutnja ajah-radja. "Ah ...!", kata pemuda ini heran. "Aku mengadu
djiwa untuk datang kemari, apakah kau tidak tahu ?". "Hm ..., kau berani bitjara
begini terhadapku ?", kata wanita itu. "Djikalau aku tidak ingat kaulah
sahabatku semendjak masih ketjil, tentu aku telah menghadjar patah kakimu !".
Pemuda itu mendjublak. "Karosi !", katanja, suaranja menggetar. "Kau ,..! kau,
mendjadi berubah sekali ! Baiklah, pergilah kau ke kotaradja untuk menerima
kemuliaanmu, disini aku memberi selamat padamu ! Apakah ini djuga tidak
menjenangkan kau " Hmm ...! Hmm...! Ha ... ha .... ha ....!". Sakit hatinja
pemuda ini, dia mendongkol dan gusar, hingga habis mengudal kegusarannja itu
lantas dia tertawa dingin tak hentinja, sedang kedua matanja mendelik terhadap
selir radja itu. Ia tidak menjangka sekali bahwa Karosi-nja itu sudah tidak sudi
mengenalnja !. Tubuhnja si tjantik djuga menggigil, akan tetapi dia dapat
menenteramkan diri. "Baiklah, sekarang kau telah bertemu denganku ", katanja
tawar. "Kau pulanglah ...!". Saerhai berhenti tertawa, hatinja mendjadi seperti
beku. "Karosi, benarkah kau sudi mendjadi selirnja Khan ?", kemudian ia tanja,
matanja dipentang lebar. Wanita itu tertawa enteng. "Dengan ketjantikanku,
dengan sifatku, mustahil aku tidak sembabat untuk mendjadi selir Khan ?", dia
kata. "Ketjuali Khan jang agung, siapa lagi jang sepadan untuk dipasangi dengan
aku ?". Pemuda itu mendjerit, lalu dia berdiam. "Tidak, tidak !", katanja
kemudian, "Aku tidak pertjaja;...! Aku tidak pertjaja ...!". Si tjantik itu
mengangkat tangannja. "Panah mati kudanja;...!", ia menitah.
Perintah itu lantas didjalankan seorang pengawal. Pemuda itu tertjengang.
Kudanja itu kuda jang ia paling sajang dan Karosi pun sangat menjukai kuda itu,
tetapi sekarang, atas perintah si tjantik, kuda itu roboh binasa diudjung panah.
"Lihat, apakah kau masih dapat menjusul aku;!", kata wanita itu, tertawa dingin.
"Djikalau kau masih tidak mau pergi maka anak;panah jang kedua bakal memanah kau
!". Mukanja pemuda itu mendjadi sangat putjat, tetapi dia berteriak : "Aku tidak
takut hatiku ditembusi berlaksa anak;panah akan tetapi kata2-mu lebih tadjam
dari berlaksa anak:panah itu, maka itu anggaplah hatiku sudahlah mati! Karosi,
kau djaga dirimu baik-baik, Saerhai tidak dapat melajani kau lagi ...!" Dengan
menutup mukanja, pemuda itu memutar tubuh, untuk lari pergi. Tapi ketika ia
sudah lari kira2 sepuluh tombak, ia toh menoleh kebelakang, hingga ia mendapat
lihat si nona berdiri mendjublak ditempatnja tadi. "Karosi !", ia memanggil
pula, tak tahan hatinja. Karosi tertawa dingin, ia putar tubuhnja, untuk masuk
kedalam tenda, dari mana segera keluar perintah : "Bongkar tenda ...! Lantas
berangkat...!". Maka repotlah semua pengawal itu bekerdja, hingga dilain saat
kereta indah itu sudah mulai berangkat pula, meninggalkan si pemuda gagah. Hian
Song mengintai terus-menerus, tak puas hatinja. Ia berada di pihak si anak muda.
Katanja didalam hati: "Menurut pembitjaraan mereka, Karosi belum menikah sama
Khan, rupanja sekarang dia lagi diantar untuk pernikahannja, dan Saerhai ini
jalah kekasihnja. Pemuda ini mempertaruhkan djiwanja untuk menemui patjarnja,
boleh dibilang besar sekali tjintanja ...".
---oo0oo--HIAN Song keluar dari tempatnja sembunji. Ia masih melihat tubuh si anak muda
bagaikan bajangan lagi berdjalan dibawah pepohonan. Tidak ajal lagi ia berlari
keras, untuk menjusul. Ia menggunai ilmu ringan tubuh hingga ia tidak mengasi
dengar suara apa2. "Tidak bisa djadi ...! Tidak bisa djadi ...!", kata anak muda
itu seorang diri. "Aku tidak pertjaja ...! Aku tidak pertjaja ...!". "Benar!,
Aku djuga tidak pertjaja ...!" Inilah perkataan Hian Song tiba2. Ia berada
dibelakang orang dan mendengar njata perkataan si anak muda, lantas ia tjampur
bitjara. Saerhai kaget, ia berpaling dengan tjepat. Untuk herannja, ia melihat
seorang nona Han jang tjantik. Ia berdiri melengak, matanja menatap. "Apa katamu
?", ia tanja. "Kau siapa ?". "Pertemuanmu dengan Karosi telah aku lihat semua ",
kata Hian Song tanpa mendjawab. "Aku pun menjaksikan pertempuranmu sama si
berewokan itu. Tadi dia menjerang keatas, lalu dia mengubah kebawah, sebenarnja
dia dapat melukakan kau, tetapi sendjata miring dan kena kau tangkis. Tahukah
kau apa sebabnja itu ?". Saerhai heran sekali. Tapi ia menginsjafinja. "Djadi
kau telah membantu aku setjara diam2 ?", katanja. "Benar ", si nona mengakui.
"Dengan sebutir batu aku timpuk goloknja itu, sjukur dia tidak tjuriga ". "Aku
djuga tidak tjuriga apa2. Kau, kau siapa" Kau mempunjai kepandaian jang mahir
sekali !". Hian Song bersenjum. "Aku Thian-san Kiam-kek !", ia menjahut. Saerhai
terkedjut. Ia pun ketahui nama Thian-san Kiam-kek, 'Djago Pedang dari Thiansan'. Nama itu tersiar luas di selatan dan utara gunung Thian-san itu. "Oh, kau
Thian-san Kiam-kek !", katanja. "Pantas kau kosen sekali !". Tapi ia lantas
agaknja heran, ia menatap Nona Boe. Katanja pula : "Kabarnja Thian-san Kiam-kek
itu pria ! Adakah itu dusta ?". "Dialah kakakku ", sahut Hian Song tjepat. "Kami
kakak-beradik tinggal sama2 di Thian-san. Karena kami bertabiat sama, gemar
tjampur urusan orang banjak, kami suka turun gunung dengan bergantian. Orang
luar tidak tahu apa2, mereka menjama ratakan kami, semua disebut Thian-san Kiamkek sadja ". Sengadja Nona Boe memakai nama Thian-san Kiam-kek, guna membikin
orang mempertjajainja. Ia berhasil, karena pemuda itu lantas pertjaja padanja.
Bukankah orang gagah dan dia telah dibantu setjara diam2 " "Kau me-njebut2 tidak
pertjaja ", kata Hian Song kemudian. "Bukankah kau tidak pertjaja Karosi dapat
berbuat begini matjam terhadapmu ...?". "Aku tidak pertjaja dia ichlas mendjadi
selirnja Khan !". "Benar, aku pun tidak pertjaja, begitu tjantik dia tapi,
hatinja dapat demikian kedjam ! Tapi toh, perbuatannja itu aku telah lihat
dengan mataku sendiri, maka itu sungguh sukar untuk dipertjaja ...". "Tidak,
memang tidak nanti kau dapat mengerti ", kata Saerhai. "Ketika tadi aku
meninggalkan dia, aku berpaling kepadanja, aku melihat matanja maka aku
mendapatkan dialah tetap Karosi dulu hari ! Dia berubah baru sadja ...! Inilah
jang tidak dapat dimengerti ...!". Hian Song menghela napas. "Siapa memain
asmara, tjuma dia sendiri jang ketahui hatinja ", ia berkata, tjuma kekasihnja
jang ketahui itu. Apakah kau sudi mendjelaskan aku tentang pergaulan kamu berdua
" Mungkin aku dapat membantu kamu ...". Saerhai berpikir. Ia merasa nona ini
dapat dipertjaja. Ia memang ingin menumpahkan rasa hatinja, agar itu tidak
terpendam sadja dan membuatnja sesak dada. Ia lantas menjusut kering air
matanja. "Ajahnja Karosi jalah seorang radja sebuah negara djadjahan Khan ", ia
berkata kemudian. "Dan ajahku jalah pengawal jang dipertjaja radja itu. Aku
bersama Karosi telah berkawan sedjak masih ketjil, sampai mendjadi besar, kami
hidup rukun melebihkan kakak dan adik ...". Ia berhenti sebentar, agaknja ia
berduka sekali dan djuga likat, tetapi toh ia melandjuti : "Dan dia, beberapa
kali sudah dia menjatakan padaku, dia tidak mau nikah lain orang ketjuali
aku ...". Kenapa kau tidak melamar dia ?". "Aku toh seorang boesoe biasa
sadja ?", sahut Saerhai. "Bukankah deradjat kami beda djauh " mana dapat aku
membuka mulut terhadap ajahnja, seorang radja " Karosi mengerti kesulitanku itu,
maka ia kata padaku, djusteru kami masih muda, ia suka menanti sampai aku
berhasil mendirikan djasa, setelah aku peroleh pangkat, baru aku mengadjukan
lamaran kepada ajahandanja. Ia kata, sampai itu waktu, pastilah ajahnja akan
menerima lamaranku itu. Selama beberapa tahun ini telah datang lamaran2 untuk
Karosi, semua itu ia tampik, karena benar2 ia menunggui aku. Diluar dugaan, kali
ini datang lamaran dari Khan jang agung, dan diluar dugaanku, tanpa membilang
apa2, ia membiarkan ajahnja mengantarkan ia kepada Khan itu !". "Djadi
sebelumnja ini, kau tidak tahu apa2. Sebelumnja, pernahkah kau bitjara dengan
kekasihmu itu ?". "Tidak, tidak ada kesempatan bagiku. Duduknja begini : Pada
dua bulan jang lalu telah diadakan udjian untuk memilih pengawal radja. Aku
turut mengambil bagian dan keluar sebagai djuara pertama. Radja memberi hadiah
padaku dan mengangkat aku mendjadi pengawal pribadi. Inilah ketikaku untuk minta
ajahku mengadjukan lamaran, guna meminta tangannja Karosi. Belum sampai lamaran
diadjukan, kebetulan aku ditugaskan melakukan ronda ditapal batas. Ketika
achirnja aku pulang dari perbatasan, tahu2 Karosi sudah mendjadi selirnja
Khan !". "Djikalau begitu, mungkin radja ketahui lelakon asmara kamu ", kata
Hian Song. "Dan kau sengadja diberi tugas djauh, untuk menjingkirkan kau untuk
sementara waktu ". "Memang, bukan tjuma radja jang ketahui itu, djuga ajahku,
maka itu sepulangnja aku, ajah membudjuki dan memberi nasihat padaku agar aku
djangan tolol dan memikir jang tidak2. Berbareng dengan itu, radja menaikan
pangkatku tiga tingkat, mengangkat aku mendjadi pemimpin dari barisan
pengawalnja. Aku tahu, radja hendak menghibur aku. Karosi, sudah pergi, biarpun
aku mendjadi Khan, apakah artinja itu ?". "Rupanja, kau terus2-an menjusul
Karosi dan baru hari ini dapat menjandaknja ?". Saerhai menghela napas.
"Sepulangnja aku, satu malaman aku berpikir keras, aku tetap tidak pertjaja
Karosi kemaruk keagungan. Pernah dia menjatakan padaku, djikalau kami dapat
mewudjudkan tjita2 kami, suka dia melepaskan kedudukannja sebagai puteri, ichlas
dia hidup merantau dipadang rumput. Maka itu, sesudah mengambil putusan, aku
lantas pergi menjusul padanja. Dia berangkat baru tiga hari. Aku menunggang kuda
pilihan menjusulnja. Aku telah mengambil ketetapan, asal dia tidak berubah
pikiran, aku bersedia mengurbankan djiwaku untuk menolongi dia ". "Khan boleh
mempunjai ratusan laksa serdadu serta banjak negara djadjahannja, tetapi padang
rumput luas sekali, mustahil disana tak ada tempat sembunji untuk kami berdua "
Aku berpikir demikian, tetapi Karosi lain ! Dia menjatakan dia suka mendjadi
selir Khan dan dia telah memerintahkan memanah mati kudaku ...!". "Apakah kau
sekarang telah berputus asa ?", Hian Song tanja. "Meskipun dia bersikap begini,
aku tetap tidak berani menaruh kepertjajaan bahwa ia benar2 menjukai Khan.
Inilah pasti bukan hatinja jang sedjati! Djikalau dia benar berubah, ketika aku
menoleh padanja, tidak nanti dia mengawasi aku dengan sinar matanja matjam
begitu !". "Habis, bagaimana sekarang pikiranmu ?". Saerhai merangkap djari2
tangannja. "Kudaku telah dipanah mati dia, tidak dapat aku menjusul padanja,
maka itu, selama hidupku selandjutnja, tidak nanti aku dapat mendengar kata2
dari hatinja itu ...!". Hian Song mengawasi pemuda itu, ia tertawa. "Kau
pertjaja aku atau tidak ?", tanjanja. "Apa kau bilang ?", Saerhai menatap,
mendelong. "Djikalau kau pertjaja aku mari kau berikan suatu barang
kepertjajaan. Nanti aku pergi pada Karosi, untuk mentjari tahu hatinja jang
sebenarnja itu. Kau sendiri, pergilah kau ke ibukota Khan, disana kau
menjembunjikan diri untuk mendengar kabar baik dari aku ". Pemuda itu pertjaja
si nona. Lantas ia mengeluarkan sebuah kantung harum dan menjerahkannja. "Inilah
kantung sulamannja Karosi sendiri ", ia bilang. "Kau bawalah ! Di kotaradja ada
seorang sahabatnja ajahku, aku dapat pergi padanja untuk menumpang tinggal
sekalian mendengar dengar tentang Karosi ". Saerhai lantas memberi tahu alamat
sahabat ajahnja itu. Hian Song menjimpan kantung itu, ia meminta diri, dengan
ilmu lari jang keras, ia pergi menjusul rombongannja Karosi.
---oo0oo--SELANG tiga djam, ia melihat tendanja mereka itu semuanja belasan buah, dan satu
jang ditengah, didepannja didjaga oleh dua pengawal. "Ditempat begini dimana
djarang ada orang lain, pendjagaan dilakukan demikian teliti, itulah pasti
kemahnja Karosi ", pikir si nona. Maka ia madju dengan ber-hati2 untuk
mendekati. Ia tahu apa jang ia mesti lakukan. Begitulah ia mendjumput dua potong
saldju, ia menimpuk keudara, hingga saldju itu memperdengarkan suara, jang dapat
didengar kedua pengawal. Mereka itu kaget dan heran, mereka menjangka kepada
burung elang. Hanja, diwaktu malam mana mungkin burung demikian terbang
berkeliaran " Ketika mereka dongak keatas, potongan saldju itu lumer mendjadi
air, mereka tidak dapat melihat, maka itu, mereka djadi semakin heran. Djusteru
mereka dongak, djusteru Hian Song nelusup masuk kedalam tenda. Bagian dalam dari
tenda itu memakai alingan lajar sulam. Dibagian sebelah luar ada beberapa
pelajan wanita, jang lagi rebah2-an atau duduk. Dengan timpukan koral halus,
Hian Song membikin mereka itu tertotok pulas. Ia menjingkap tenda dan menimpuk
sangat tjepat hingga tak ada pelajan jang mempergokinja. Itulah totokan,
ketjuali ada jang tolong, jang membuat orang tak sadarkan diri sebelum lewat
tempo satu djam. Tenda dalam ada apinja, api lilin. Ketika Hian Song mengintai,
ia melihat Karosi jang sampai djam tiga malam itu masih belum tidur. Dia duduk
seorang diri dengan se-waktu2 menghela napas perlahan. "Saerhai ...,
Saerhai ..., mana kau ketahui kesengsaraan hatiku ...!", dia berkata perlahan.
"Biarlah kau membentji aku, supaja kau menganggapnja, didunia ini tidak ada
Karosi lagi ! Biarlah hatimu padam, supaja kau tidak usah menimbulkan
keonaran ...". Mendengar itu girang Hian Song,: "Saerhai benar, Karosi masih
mentjintanja. Hanja puteri ini, sengadja menjakiti hati si anak muda ".
Karenanja, mendadak ia tertawa geli sendirinja, lalu ia menjingkap tenda, untuk
bertindak masuk. Karosi terkedjut, ia mendjadi heran mendengar suara tawa ini,
dan melihat seorang nona Han muntjul setjara tiba2 itu. Ia mementang lebar
matanja, ia membuka mulutnja, untuk berteriak, atau Hian Song melambaikan
kantung harumnja didepan matanja seraja tjepat berkata dengan perlahan:
"Ssst ...! Karosi! djangan takut....! Aku disuruh Saerhai mendjenguk kau !".
Puteri itu diam, ia menenangkan dirinja. "Kau siapa ?" tanjanja kemudian.
"Kenapa kau ketahui urusanku dengan dia " Belum pernah aku mendengar Saerhai menjebut2 kau ". Hian Song bersenjum. "Akulah Thian-san Kiam-kek ", ia mendjawab.
"Tadi aku telah melihat bagaimana kamu berdua membuat pertemuan. Aku pun telah
berbitjara sama Saerhai ". Ia lantas menuturkan tentang pembitjaraannja itu.
Perihal Thian-san Kiam-kek, Karosi pernah mendengarnja dari Saerhai. Sekarang ia
melihat kantung harum itu, mau ia pertjaja keterangannja nona bangsa Han itu.
"Silakan duduk ", kemudian ia mengundang. Ia menghela napas, lalu ia menambahkan
: "Apakah Saerhai belum mati hatinja " Aku mengira dia membentji aku sampai
disungsumnja !". "Sedikitpun Saerhai tidak membentji kau. Ia ketahui baik bahwa
kau tetap menjintai dia. Aku djusteru datang untuk meminta penegasanmu. Akulah
jang tidak mengerti. Dia demikian menjintaimu, mengapa kau sebaliknja
memperlakukan dia begini rupa ?". Matanja si puteri mengembeng air. "Sebenarnja
aku lebih bersengsara daripada dia ", ia menjahut. "Tapi, apa mau diperkatakan "
Biarlah aku menderita sendiri ...". Nona Boe menjekal tangan orang erat2.
"Karosi, mungkin dapat aku membantu kau ", katanja, "Maka kau bitjaralah. Taruhkata aku tidak dapat menolong, dengan kau berbitjara, hatimu bisa djadi lega
sedikit. Aku seorang Han, aku tidak mempunjai kepentingan apa2, djikalau kau
menutur, aku tidak nanti menutur lebih djauh kepada orang lain ". Nona agung itu
mengawasi. "Ketika kau masuk kemari, apakah kau melihat pelajan2-ku?" ia tanja.
"Apakah mereka sudah pada tidur ?". Hian Song tertawa. "Tanpa aku pergi
memanggil, tidak nanti mereka bangun !", katanja. Karosi heran. "Bagaimana
itu ?", dia bertanja. "Karena aku telah totok djalan darah tidur pulas mereka
itu ", Hian Song mendjelaskan tentang ilmu totoknja itu. Karosi heran dan kagum.
"Sebenarnja mereka semua orang kepertjajaanku ", katanja sesaat kemudian. "Maka
itu tidak ada halangannja andaikata mereka mendengar pembitjaraan kita ini.
Kakak apakah kau pandai ilmu dewa" Kepandaian kau ini hebat!". Hian Song
tersenjum, ia menggeleng kepala. Karosi minum tehnja, jang terseduh tua. "Negara
ajahku jalah di utara gurun besar, di kaki gunung Altai ", kemudian ia mengasi
keterangan. "Negeriku ketjil sekali, luasnja tjuma tiga atau empat-ratus lie
persegi, sedang rakjatnja tak lebih daripada sepuluh laksa djiwa. Sjukurnja
jalah tanahnja subur, ada ladang peternakannja, ada pula tambang emasnja. Setiap
tahun kami membajar upeti kepada Khan jang agung. Sebegitu, djauh kami hidup
aman dan bahagia, sampai pada tiga bulan jang lalu, Khan jang agung itu mengirim
utusannja kepada ajahku meminta upeti jang berupa sesuatu jang ajahku paling
menjajangnja ...". "Adakah itu parit emas dikaki gunung Altai itu ?", Hian Song
memotong. "Bukan ...!, kalau itu hanja tambang emas, itu gampang diurus. Jang
diinginkan Khan itu jalah diriku. Ketika aku mendengar permintaan itu, hampir
sadja aku mentjeburkan diri kedalam telaga. Untukku, mati ada paling baik. Aku
lebih rela mati daripada berpisah dengan Saerhai. Akan tetapi tidak dapat aku
mati. Aku masih mempunjai seorang ajah, masih ada negaraku ...". "Djadinja
sebuah negara menindih pundakmu !", kata Hian Song. "Pantaslah kau rela pergi
kepada Khan itu ". "Khan besar dari Turki itu mendatangi pelbagai negeri, banjak
jang dia musnahkan, maka dia menjebut dirinja radja dari sekalian radja ", kata
pula si nona. "Pasukan perangnja sadja lebih besar sepuluh lipat dari rakjatku,
kami adalah sebuah negara ketjil jang mendjadi djadjahannja, djikalau kami
menjebabkan dia gusar, dengan gampang dia dapat membikin negara kami hantjurlebur, kemala dan batu biasa akan habis mendjadi debu. Sudah parit emas bakal
terdjatuh kedalam tangannja Khan itu, djuga ajahku, Saerhai, dan semua orang
jang aku tjintai, semua sukar lolos dari mara-bahaja, maka terpaksa aku menuruti
kehendak ajahku, Saerhai disingkirkan dan lamarannja Khan diterima baik.
Demikian aku diantarkan. Lebih dulu daripada itu, aku pun telah siap-sedia, aku
sudah menjiapkan sebotol kalau sampai harinja Khan memaksa aku menikah
dengannja, akan aku pakai itu guna membunuh diri. Dengan aku mati didalam
istananja, Khan boleh tjuma menarik napas pandjang-pendek, dia boleh menjesalkan
dirinja, tidak dapat dia penasaran terhadap ajahku ...". "Tetapi, Karosi!", kata
Hian Song, "tidak dapat kau bertindak demikian;!". Nona ini sudah lantas
mengambil keputusannja. Karosi tertawa sedih. "Telah aku pikir berulang-kali,
aku merasa inilah dajaku jang paling sempurna ", ia kata. "Tindakanku ini akan
menolong ajahku dan negaraku, djuga menolong Saerhai dan diriku sendiri. Tetapi
Saerhai tolol, dia tidak dapat memikir seperti aku ini, dia tjuma dapat memikir
hendak menggunai kegagahannja untuk merampas aku pergi! Maka itu terpaksa aku
ambil sikap seperti jang telah aku ambil tadi siang. Aku menjuruh pengawal
membinasakan kudanja, supaja tidak dapat dia menjusul padaku, supaja dia tidak
dapat merepotkan pula padaku. Dia benar gagah tetapi dia mana dapat melawan
orang2-nja Khan jang demikian banjak dan bengis bagaikan serigala atau harimau"
Djikalau dia memaksa djuga merampas aku, aku kuatir dia tidak bakal berhasil
mendapatkan aku, sebaliknja, dia bakal terbinasa di-udjung goloknja pengawal2
Khan itu. Kakak, kau mengertilah sekarang ". "Aku mengerti. Dengan berlaku
kedjam begitu terhadap Saerhai, kau hendak membikin Khan tidak tjuriga ". "Bukan
tjuma itu. Aku djuga ingin Saerhai tidak turut tjuriga, hingga dengan begitu tak
usahlah ia mendjadi nekat dan pendek pikiran ". "Djadi kau kuatirkan dia bunuh


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri karena tjintanja itu kepadamu ?". "Benar. Djikalau dia membentji aku, dia
tidak dapat mati ". "Sajangnja dia tidak pertjaja kau ...". Karosi girang
berbareng berduka. Girang karena tjinta sutji dari Saerhai. Ia berduka lantaran
ia kuatir, karena tjintanja itu, Saerhai nanti menempuh bahaja. Hian Song mengusap2 rambut bagus dari puteri itu. "Apakah kau suka menikah sama Saerhai ?", ia
menanja perlahan. Karosi heran, ia mengangkat kepalanja dan menatap si nona
bangsa Han dihadapannja. "Buat apakah ditanjakan lagi ?", katanja. "Sajang,
walaupun aku menghendakinja, itu tjuma dapat diwudjudkan nanti dilain
penitisan ...". Hian Song tersenjum. "Tidak, tidak demikian !", katanja. "Aku
mempunjai daja untuk membikin kamu dapat mentjapai tjita2 kamu !". Karosi
mementang matanja lebar2. "Benarkah ?", ia menegasi, suaranja gemetar. Mendadak
Hian Song membuka badjunja dan meloloskan djuga perhiasan rambutnja. "Karosi,
mari kita saling menukar pakaian !", ia bilang. "Untuk apakah itu ?". "Kau
djangan tanja. Kau turut dulu perkataanku ". Walaupun ia heran, Karosi menurut.
Sesudah mereka selesai dandan, Hian Song mengasikan dua butir Ie-yong-tan kepada
puteri radja itu, untuk dia pakai, habis mana mereka berdiri berendeng,
memandang diri mereka didepan katja. Benarlah, Hian Song telah mendjadi seperti
Karosi, dan Karosi mirip seorang nona bangsa Han. "Apakah aku mirip kau ?". Nona
Boe tanja tertawa. "Rada mirip ", menjahut Karosi, setelah memandang sekian
lama, "hanja kalau orang jang mengenal aku, pasti dia dapat membedakannya ".
Mendadak ia menggeleng kepala. Ia kata;: "Apakah kau hendak menjamar
menggantikan aku mendjadi selir Khan" Tidak !, tidak dapat !". "Mengapa tidak
dapat ?". "Semua pengawal Turki disini mengenal aku, sebab sudah beberapa hari
kita berada ber-sama2. Aku djuga tidak mengerti ilmu silat, mana bisa aku
minggat ?". Hian Song tertawa. "Djikalau mereka jang belum lihat kau, jang tjuma
melihat gambar sadja, bukankah mereka dapat dikelabui " Pula ini untuk
sementara waktu sadja ". "Djadi maksud kau untuk memperdajai Khan sadja" Kau
dapat menjaru djadi aku dan disaat tiba di istana, kau dapat mengerudungi diri,
buat sementara, kau memang bisa, tetapi kau mesti ingat, untuk tiba di kotaradja
masih diperlukan tiga-empat hari perdjalanan, maka itu, ditengah djalan, mana
bisa kau mendustai beberapa pengawal Turki itu ?". "Berapa pelajan kau bawa ?".
"Sama sekali delapan ". Hian Song tertawa. "Semua pengawal itu tidak nanti
memperhatikan pelajan2-mu itu seperti mereka memperhatikan kau ". "Itu benar.
Dapat kau menjamar mendjadi pelajanku. Tapi, apakah faedahnja itu " Tidak nanti
kau dapat menolong aku ! Pula, kalau orangku mendadak lebih satu orang, pasti
pengawal2 Turki itu tjuriga ". "Kau dengar aku," Hian Song membudjuk,
mendjelaskan. "Selama ditengah djalan, aku akan menjamar mendjadi salah seorang
pelajanmu, setibanja di istana, aku akan menjaru mendjadi kau sendiri. Keretamu
ini besar sekali, disini masih bisa disembunjikan satu atau dua orang ". Karosi
mengerti. "Benar ", katanja. "Hanja, tidakkah itu merendahkan deradjatmu " Tapi,
begini sadja. Aku nanti menjuruh seorang budakku tetap bersembunji, kau jang
mendjadi dia, kau dapat terus menemani aku. Diwaktu kereta singgah, kau djangan
turun, sekalian pengawal itu tidak bakal melihat kau ...". Untuk sedjenak puteri
ini terlihat gembira, lantas sinar matanja mendjadi saju pula, tandanja ia
berduka. "Karosi, djangan takut. Akal ini pasti berhasil !". "Tidak !", kata si
nona mendadak. "Kenapa tidak ?". "Kau dapat menipu untuk satu waktu, tidak untuk
selama2-nja! Djikalau Khan mengetahuinja, tidak sadja dia bakal tetap meminta
aku, kau djuga bisa tjelaka !". "Djikalau aku sudah bertemu sama Khan, aku
mempunjai dajaku lainnja. Aku tanggung dia tidak bakal menarik pandjang urusan
ini ". "Apakah kau hendak membunuh Khan" Tidak dapat kau berbuat demikian ".
"Aku tidak memikir membunuh, aku mempunjai daja. Kau pertjaja sadja padaku !".
Mengetahui orang jalah Thian-san Kiam-kek, dan berkepandaian tinggi, terpaksa
Karosi memberi kepertjajaannja. Hian Song melihat romannja masih ragu2, ia
tertawa. "Apa jang kau masih ragukan " Kau masih melihat sesuatu jang kurang
xmpurna ?". "Tidak, hanja setibanja di kotaradja, tjara bagaimana aku dapat
lolos ?". "Tentang itu telah aku mengatur. Aku sudah berdandji bersama Saerhai.
Kita pergi dulu ke kotaradja, nanti dia menjusul ". "Aku masih bersangsi,
setibanja di kotaradja, walaupun Khan tidak segera memaksa melakukan pernikahan,
dia tentunja menjambut kita masuk kedalam istana, kedalam keraton, umpama-kata
Saerhai ketahui kita berada disana, kita toh tidak dapat bertemu dengannja ".
Hian Song merasa soal ini benar djuga, maka ia berpikir. Tapi Karosi ingat suatu
apa, ia berkata : "Adalah aturan atau kebiasaan di:kampung halamanku, djikalau
seorang anak perempuan menikah, setibanja dia dirumah suaminja, seperangkat
pakaian jang dia pakai harus dikirim pulang ke;rumah ibunja. Itulah berarti,
tadinja dia hidup mengandal ajah-ibunja, selandjutnja dia mengandal pada
suaminja. Maka setibanja di kotaradja, nanti aku minta kepada Khan supaja aku
dapat menitahkan dua orang pelajanku menaiki keretaku ini pulang dengan membawa
pakaianku itu sekalian aku mengirim surat pada ajah bundaku mengabarkan hal aku
telah tiba dengan selamat di kotaradja ". Setelah berhenti sedjenak, Karosi
berkata pula: "Aku pertjaja Khan bakal menerima baik permintaan itu. Maka itu
waktu, aku nanti menjamar mendiadi budak, aku memakai pel Ie-yong-tan, untuk
meloloskan diriku ". Hian Song setudjui akal ini, maka mereka lamas mengambil
ketetapan. Sampai disitu, ia menotok sadar semua pelajan perempuan. Sekalian
dajang itu heran melihat mendadak muntjul seorang nona Han diantara mereka.
Karosi bisa mengerti keheranan semua pelajannja itu, ia lantas memberikan
keterangannja sekalian memesan mereka itu untuk djangan membuka rahasia. Semua
dajang itu mengetahui lelakon puterinja dengan Saerhai, mereka menaruh simpati,
maka itu, mereka lantas memberikan djandji mereka untuk menutup mulut, guna
menjimpan rahasia. Bahkan mereka suka membantu. Demikian Hian Song menjamar
mendjadi dajang tanpa diketahui pengawal pengiring.
---oo0oo--KETIKA Lie It turun dari gunung, ia mampir pada seorang pemburu dikaki gunung,
untuk membeli seekor kuda dan pakaian, guna mendandankan diri sebagai seorang
pemburu djuga. Ia pun memiara kumis serta memakai obat kulit, hingga ia mendjadi
lebih tua sepuluh tahun. Untuk segera sampai di kotaradja Thian-hee, guna
menolong anaknja, ia mengasi kudanja lari keras dan terus-menerus, maka waktu
itu hari ia sampai ditepi kali, ia lantas berhenti. Kudanja kurang makan dan
minum, napasnja memburu keras, mulutnja berbusa, maka kali itu bagaikan emas
ditemukan pengemis, Lie It sendiri pun girang. Ketika ia sudah lompat turun dari
kudanja, ia tuntun binatang itu ketepian, untuk mengasi dia minum. Djusteru itu,
Lie It mendengar suara kelenengan unta, ketika ia berpaling, ia melihat dua
orang dengan pakaiannja jang luar biasa, mata mereka itu dalam, hidung mereka
bengkok, kepala mereka digubat kain putih. Berdua mereka menaiki sebuah unta.
Mereka pun menghampirkan kali. Mereka tak miripnja orang Uighur jang kebanjakan.
Dua orang itu lompat turun dari unta mereka, untuk mengeluarkan kantung air,
untuk mengisikan itu. Ketika mereka melihat Lie It, agaknja mereka heran, hanja
sedjenak mereka ragu2, lantas mereka menaiki unta mereka. Kelihatannja mereka
tidak suka bertemu orang asing. Biasanja digurun pasir, bila dua orang atau dua
rombongan orang saling bertemu, keduanja girang sekali, senang mereka berkumpul,
untuk berdjalan bersama, maka heran dua orang ini, tidak sadja mereka tidak
bergirang, bahkan mereka mau mengasingkan diri. Lie It menghampirkan, untuk
menanja mereka. Ia menggunai bahasa Uighur. Mereka itu seperti tidak mengarti
bahasa Uighur, mereka mengeluarkan kata2 jang tidak terang, mereka meng-geleng2
kepala, tanpa menanti Lie It datang dekat, mereka lantas pergi dengan unta
mereka. Lie It heran dan otaknja bekerdja. "Mungkin mereka dua orang saudagar
jang datang dari Khorezmia ", pikirnja. Khorezmia ada sebuah negara besar di
Asia Tengah, dia bukan djadjahan Thian-hee Turki itu, akan tetapi setiap tahun
dia mengantar upeti, untuk mengambil hati, karena kuatir negerinja nanti
diserang. Karena ini, saudagar2 kedua pihak mempunjai perhubungan dagang satu
dengan lain, sedang orang2 asing jang berdagang dinegara Thian-hee itu, dalam
sepuluh ada delapan atau sembilan jang mengerti bahasa Uighur. Maka itu aneh dua
orang asing ini. Lie It tidak dapat memastikan apa orang tjuma ber-pura2 sadja.
Ia merasa tidak enak hati, karena orang tidak mau meladeni ia, ia terpaksa
mengundurkan diri, akan mengawasi kudanja minum dan makan rumput ditepi kali
itu, ia sendiri duduk beristirahat dibawah sebuah pohon. Dua orang asing itu
serta untanja djalan belum djauh, tiba2 diudara terlihat dua ekor burung nasar,
jang terus mengasi dengar suaranja, hingga Lie It membuka kedua matanja. Kedua
ekor burung itu djusteru menjamber kearah untanja kedua saudagar itu, karena
dipunggung unta ada tergantung dendeng kerbau. Burung itu saking laparnja turun
menjamber, hebat tjaranja. Atas samberan burung itu, dua orang saudagar itu
berkelit miring kekiri dan kanan, kaki mereka menundjang, dengan berbareng
mereka menghunus golok, membatjok burung jang pertama. Sang burung berkelit,
tetapi dia telah kena samber bungkusan, jang talinja putus, hingga bungkusan itu
terbuka, isinja djatuh berserakan. Burung jang kedua menjamber djuga tetapi
disambut golok, dia terbang menjingkir. "Hebat dua saudagar itu ", pikir Lie It.
Ketika ia melihat kepada barang jang djatuh, ia terkedjut. Ia mengenali tanduk
badak, suatu bahan obat2-an jang mahal. "Ah, kiranja mereka saudagar obat2-an!
Mungkin mereka menjangka djelek padaku maka mereka lantas menjingkir, mereka
takut dirampas barang! Hanja, dengan kegagahan mereka, kenapa mereka djeri
terhadap aku satu orang ?". Kedua burung itu penasaran, setelah berputaran
diatasan kepala orang, keduanja turun pula, untuk menjamber lagi. Sekarang kedua
saudagar itu sudah siap-sedia. Mereka menjerang sebelum tersamber. Tangan mereka
diajun keatas, dua batang golok terbang naik. Tapi kedua burung itu dapat
mengelakkan diri, bahkan mereka mentjoba mentjengkeram kedua batang golok tu.
Kedua saudagar liehay, setelah goloknja jang pertama, menjusul jang kedua, atas
mana kedua burung berbunji tak hentinja, upanja keduanja terluka. Lantas
menjusul golok jang ketiga. Sekarang kedua burung itu tidak berani melawan pula,
tapi untuk membela diri, mereka menjampok dengan sajap mereka. Segera datang
golok jang keempat. Kali ini mereka itu kabur, dengan bersuara njaring, sebab
masing2 sebelah matanja kena terlukakan. Kedua saudagar itu memungut golok
mereka dan merapihkan djuga bungkusannja, untuk terus melandjukan perdjalanan
mereka. Lie It djuga memikir untuk berangkat ketika ia melihat, dari arah depan,
datangnja seorang penunggang kuda, jang memapaki si saudagar, dan selagi
mendekati, dia berteriak: "Tinggalkan unta kamu, baru kamu boleh lewat!".
Sebaliknja daripada meninggalkan untanja, kedua saudagar itu djusteru mengasi
binatang tunggangannja itu lari, untuk menerdjang si penunggang kuda. Rupanja
mereka pertjaja, unta mereka bakal menang. Si penunggang kuda lompat turun dari
kudanja, ia madju kedepan, dengan kedua tangannja, ia menahan serbuan unta, dari
mulutnja terdengar bentakan: "Berhenti!". Hebat tenaga orang ini, unta itu
tertahan, kedua kakinja bahkan tertekuk, hingga dia tak dapat madju lebih djauh.
Kedua saudagar itu gusar, keduanja lantas menjerang dengan tjambuk mereka.
Pemegat itu tertawa. "Kamu menghendaki barang atau djiwa kamu ?", dia tanja.
Sembari berkata begitu, dia menggeraki kedua tangannja, maka setiap tjambuk kena
ditangkap, terus ditarik, untuk dirampas. Sekarang Lie It melihat tegas
penunggang kuda itu jalah seorang Han. Ia lantas mengawasi terus. Dengan tjambuk
jang ia dapat rampas, penunggang kuda itu membalas mennjambuk. Kedua saudagar
bangsa Khorezmia itu berkelit sambil melompat turun dari unta mereka, lintjah
gerakan mereka hingga Lie It kagum dan berseru memudji: "Bagus!". Begitu lekas
mereka sudah berada ditanah, kedua saudagar itu mulai dengan penjerangan
membalas mereka. Empat bilah golok beterbangan saling-susul, menjamber kearah si
penunggang kuda jang mau mendjadi begal itu. Lie it telah menjaksikan liehaynja
ilmu golok dua orang itu, ia pertjaja sibegal bakal mendapat bagiannja, akan
tetapi si begal sendiri rupanja berpikir lain. Ia menggeraki tjambuknja,
menjamber golok jang pertama, jang kena dililit, untuk dilempar. Maka golok itu
mengenai golok jang kedua, hingga terdengar suaranja jang njaring, lantas mental
dan djatuh ketanah!. Golok jang ketiga meluntjur terus, disaat mana si
penunggang kuda tengah memutar tubuhnja. Ia sangat djeli matanja dan sebat
gerakannja. Tjambuknja menjamber pula, melilit golok itu, untuk dilempar sebagai
jang bermula tadi, maka itu, golok jang keempat, kena dipapaki dan dihadjar
keras, hingga kedua golok sama2 djatuh ketanah! Lie It mendjadi kagum sekali.
Sekarang ia menginsjafinja penunggang kuda ini. Untuk di Tionggoan, dialah djago
kelas satu. Pertempuran berlangsung terus. Si penunggang kuda tidak mau
mengerti, dan kedua saudagar penasaran, maka mereka ini melandjuti perlawanan
mereka dengan pelbagai serangan golok terbang mereka itu, jang saban2 kena
dipukul djatuh hingga suara golok beradu seperti tak putusnja. Ketika belasan
golok sudah terdjatuhkan, kedua pihak mendjadi datang semakin dekat satu dengan
lain. Agaknja kedua saudagar itu mendjadi berkuatir, mereka menjerang semakin
hebat, dengan sisa golok-terbangnja mereka. Jalah masing-masing memegang enam
batang golok, sebelah tangan masing2 mentjekal dua batang, hingga mereka
menjerang dengan dua belas batang golok saling-susul dan bergantian. Si
penunggang kuda menundjukkan keliehayannja. Ia memutar tjambuknja, untuk
menjambuti setiap golok, guna mentjegah golok itu menjamber ketubuhnja. Tapi
serangan golok sekarang demikian rupa, setiap kali golok kena dililit, setiap
kali udjung tjambuk terpapas kutung, hingga tjambuk pandjang mendjadi tjambuk
pendek, hingga sebilah golok menjamber terus kearah tubuh. Akhirnja sebatang
golok menjerepet djuga kearah pundak. Si penunggang kuda mendjadi gusar.
"Biarlah aku memperlihatkan kamu ilmu golokku !", ia berseru, lantas seruan itu
disusul sama gerakan tubuhnja, jang lompat melajang kepada dua saudagar itu.
Njata dia dapat melompat lintjah seperti dua lawannja itu tadi. Hanja dia
melompat sambil sebelah tangannja menghunus golok dengan apa dia menjerang
bagaikan seekor burung menjamber! Menjaksikan sampai disitu. Lie It mendjadi
tidak senang. Ia merasa penunggang kuda ini keterlaluan, sudah mau merampas
harta atau barang, dia djuga hendak merampas djiwa. Maka itu ia melompat madju
sambil berteriak: "Tahan!". Tapi ia terlambat, goloknja si penunggang kuda sudah
memapas kutung goloknja kedua saudagar itu, jang mana disusul dengan djeritan
jang hebat, dan ketika ia telah datang dekat, dua orang itu sudah roboh malangmelintang! Si penunggang kuda berpaling kapan ia melihat ada datang orang jang
ketiga. "Bagus!", dia berseru. "Kau telah melihat, maka kau pun pergilah
bersama!". Kata2 itu ditutup sama serangan. Lie It tidak mundur, ia menjambut
serangan dengan tangkisan, maka itu bentroklah sendjata mereka. Bukan tjuma satu
kali, tapi tiga kali bentrokan itu. Sebab si penunggang kuda, setelah gagal
batjokannja jang pertama, mengulanginja hingga tiga kali, hingga suara njaring
terdengar tiga kali beruntun djuga. Kesudahannja itu membuat si penunggang kuda
kaget. Goloknja kalah, golok itu kena terbatjok rusak oleh pedang lawan. Karena
pedangnja Lie It jalah pedang mustika dari istana kaisar. Sementara itu Lie It
merasa aneh. Ia sekarang mengenali wadjah orang. Ia seperti pernah melihatnja,
hanja ia lupa dimana. Ia djuga ingat suara orang itu, seperti suara kenalan
akrabnja. Maka ia lantas meng-ingat2. Penunggang kuda itu, jang gesit
gerakannja, tidak mau mengasi ketika kepada Lie It.
Biarpun goloknja telah kena dibikin rusak, dia tidak mendjadi takut atau gentar
hatinja, bahkan dia madju pula, guna mengulangi serangannja. Dia pun menggunai
golok jang tadjam, karena goloknja jalah jang dinamakan golok mustika Ang Mo
Pootoo. Dengan itu ia membatjok ber-ulang2, batjokan dari pelbagai pendjuru.
"Bagus!", Lie It herseru. Ia kagum, ia pun tidak takut. Ia menutup diri dengan
djurusnja, "Kimkong Hok-hoat" atau "Kimkong melindungi pudjaannja", lantas ia
membalas menjerang dengan gerakan dari "Heng-tjie-thian-lam" (Melintang-menuding
Langit Selatan). Pertempuran ini seharusnja menjebabkan kedua sendjata sering
beradu akan tetapi kali ini disamping Lie It berlaku sebat, penunggang kuda itu
berlaku gesit luar biasa, tak mau dia mengadu sendjata. Kelihatannja Lie It
lebih unggul tetapi sulit untuk ia mengenakan sendjata lawan. Sudah tiga puluh
djurus, pemuda bangsawan itu masih tidak dapat merobohkan lawannja. Hingga ia
berpikir: "Tjoba tidak selama beberapa tahun ini aku telah ber~hasil menggabung
ilmu pedang guru dan mertuaku, mungkin aku bukannja tandingan dia ini ...".
Tengah pertempuran itu berlangsung, tiba2 orang itu berseru: "Eh! Kita sama2
orang Han, mengapa kau seperti mempertahankan djiwamu membelai orang2 Tatar
ini?". "Kau mempunjai kepandaianmu ini, mengapa kau datang ketanah perbatasan
ini dimana kau melakukan ini matjam pekerdjaan membegal?", Lie It balik menanja,
"Hari terang-benderang tetapi kau membunuh orang, itulah perbuatan jang tak
dapat diterima Thian! Apakah karena kau orang Han lantas kau dapat berbuat sewenang2 ?". Belum berhenti suaranja pemuda bangsawan ini atau mendadak orang itu
melompat mundur, untuk keluar dari kalangan. "Kau ...! kau ...!", serunja, "kau
toh Lie Thian-hee?", Lie It terkedjut. "Kau ..., kau toh Lamkiong Siang?", ia
pun berseru bertanja. Orang itu tertawa berkakak, lantas dia melemparkan
goloknja. "Benarlah siauwtee Lamkiong Siang!", katanja. "Thian-hee, kau
membuatnja siauwtee pusing memikirkanmu! Tidak kusangka kita dapat bertemu
disini, dinegara asing!". Ia lantas madju, tangannja dipentang, untuk merangkul.
Lie It mundur, agaknja ia djengah. Sekarang terbajang tegas roman asli dari
Lamkiong Siang, jang pada delapan tahun jang lampau, waktu mereka ber-sama2
berada di istana dan hendak membunuh Boe Tjek Thian, beroman bengis dan
berewokan. Dulu hari itu Lie It berdiam dalam tangsi Sin Boe Eng, menempati
sebuah kamar bersama Lamkiong Siang, kemudian ia mendapat tahu dari Tiangsoen
Koen Liang bahwa ajahnja Lamkiong Siang pernah mendjadi hoe-tjiehoei, komandan
muda dari pasukan pengawal Kim-wie-koen dari Kaisar Tong Thay-tjoqg Lie Sie Bin.
Lamkiong Siang lalu ke kotaradja dengan tjita2 sama dengan tjita2-nja Lie It,
guna membunuh Boe Tjek Thian. Malam itu Lie It gagal, ia menjingkir dari gunung
Lie San, ia melihat Lamkiong Siang dikurung pengawal2 kaisar, ia tidak
membantui, diluar dugaan, dia dapat lolos dan sekarang mereka bertemu disini.
Inilah sebabnja kenapa ia mendjadi djengah sendirinja. Dulu hari itu Lamkiong
Siang djembrosan, sekarang ia telah mentjukur klimis kumis dan djenggotnja itu,
pula mereka sudah berpisahan delapan tahun, tidak heran Lie It tidak dapat
lantas mengenalinja. Begitu djuga dengan Lamkiong Siang, karena Lie It sekarang
miara kumis dan kulit mukanja telah di rubah. Adalah suara mereka, jang membikin
mereka mengenali satu dengan lain, dan Lamkiong Siang ingat ilmu pedangnja
pemuda bangsawan itu. Lamkiong Siang tertawa dan berkata: "Sekarang ini djaman


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katjau maka djiwa manusia bagaikan djiwa semut! Bukankah siapa berhasil dia
mendjadi djaja dan siapa gagal dia mendjadi berandal" Siapakah tidak membunuh
orang hingga majat2 memenuhkan kota dan tegalan" Aku baru membinasakan dua
saudagar, apakah artinja itu?". Lie It tidak setudjui sikap orang ini tetapi ia
membungkam, tidak mau ia menegur. Mereka lantas memberi hormat satu pada lain.
"Saudara Lamkiong, kapannja kau tiba di Utara ini?", kemudian Lie It tanja.
"Kenapa saudara hendak membinasakan dua orang ini?". "Ketika dulu hari itu aku
gagal membunuh Boe Tjek Thian, sjukur aku dapat lolos ", berkata Lamkiong Siang,
menjahuti. "Mulanja aku berniat pergi kepada Eng Kok-kong akan tetapi belum lagi
aku sampai di Yangtjioe, aku mendengar kabar bahwa radja-muda itu sudah hantjur
luluh gerakannja dan pemerintah lagi bekerdja keras untuk menawannja, maka
terpaksa aku kabur kewilajah ini. Meskipun sekarang aku ter-lunta2, belum padam
tjita2-ku untuk membangun pula Keradjaan Tong. Thian-hee, kapankah Thian-hee
sampai disini" Apakah ada niat dari Thian-hee ?". "Hatiku telah mendjadi dingin
sekarang ", Lie It mendjawab. "Setelah hari itu gagal, aku langsung menjingkir
kemari. Semendjak itu, delapan tahun sudah lewat. Selama delapan tahun itu aku
tinggal menjendiri digunung Thian-san, tidak ada niatku lagi untuk mengurus
urusan dunia ". "Kenapa Thian-hee mendjadi tawar hati?", berkata Lamkiong Siang
tertawa. "Sekarang ini djusteru ada ketikanja jang baik !". "Apakah itu ?".
"Khan besar dari Turki hendak menggeraki angkatan perangnja menjerbu Tiongkok,
apakah Thian-hee masih belum mendapat tahu ?", Lamkiong Siang tanja. "Pernah aku
mendengar kabar anginnja. Apakah hubungannja itu dengan kita ?". "Ada
hubungannja, Thian-hee. Boe Tjek Thian telah merampas pemerintahan untuk banjak
tahun, menteri2 lama dari Keradjaan Tong tetap tidak puas, maka itu mereka
hendak menggunai ketika ini untuk bekerdja sama, jang satu bekerdja dari luar,
jang lain menjambut dari dalam ! Dengan begitu kenapa kita harus menguatirkan
pemerintah palsu itu tidak akan runtuh ?". Hati Lie It terkesiap. Inilah hebat.
Tentu sekali tak ia setudjui sikap menteri2 lama. itu bekerdja sama bangsa
Turki. Itulah berbahaja. Tapi ia baru bertemu sama Lamkiong Siang, tidak mau ia
menegur. Lamkiong Siang pun tidak melihat perubahan air muka orang. "Barusan aku
membinasakan dua orang ini pun untuk usaha itu ", berkata pula dia. Lie It
mengasi lihat roman heran. "Turki mau berperang dengan Tiongkok, apakah
hubungannja itu dengan dua orang saudagar Khorezmia ini?", ia tanja. "Sebenarnja
kenapakah kau membinasakan mereka ?". "Khan dari Turki hendak menggeraki
angkatan perangnja, untuk itu ia perlu mentjari orang2 pandai dan gagah ",
menjahut Lamkiong Siang. "Turut apa jang aku tahu, orang2 gagah dari negara2
lainnja jang datang untuk menghamba, djumlahnja tidak sedikit ". Begitulah sudah
ditetapkan akan diadakannja suatu rapat besar bertepatan sama hari raja
'Mentjabut Hidjau'. Hari raja itu suatu hari raja besar, disaat ladang hidjau
merata, maka rakjat Turki pergi mentjabut rumput untuk memelihara ternak mereka,
untuk sematjam selamatan. Kata2 hidjau itu berarti rumput. Dengan itu rakjat
memohon perlindungan dewa2 agar ternak mereka, kerbau dan kambing, hidup subur.
Pelangi Dilangit Singosari 25 Pusaka Jala Kawalerang Karya Herman Pratikto Manusia Harimau Jatuh Cinta 2

Cari Blog Ini