Divergent Karya Veronica Roth Bagian 1
Download ebook menarik lainnya di:www.ac-zzz.blogspot.com
Ada sebuah cermin di rumahku. Letaknya di belakang panel geser di
koridor tangga. Faksi kami memberiku izin untuk berdiri di hadapan
cermin itu pada hari kedua setiap tiga bulan. Hari ketika ibu
memotong rambutku. Aku duduk di atas bangku dan ibu berdiri di belakangku dengan
membawa gunting. Sekadar merapikan rambut. Helaiannya yang ikal,
berwarna pirang pucat, jatuh ke lantai.
Setelah selesai, ibu menarik rambutku ke belakang dan membentuk
sebuah gelung kecil. Aku memperhatikan betapa ibu terlihat tenang
dan fokus. Ibu sangat terlatih dalam seni menghilangkan jati diri. Aku
tak bisa seikhlas ibu dalam menghilangkan jadi diri.
Aku sedikit melirik melihat bayanganku saat ibu tak memperhatikan"
bukan karena ingin sombong, tapi karena penasaran. Penampilan
seseorang bisa banyak berubah dalam tiga bulan. Di depan cermin,
kulihat wajah lonjong dengan mata bulat lebar dan hidung kecil yang
memanjang. Aku masih terlihat seperti gadis kecil walau beberapa
bulan lagi aku berulang tahun keenam belas. Faksi lainnya boleh
merayakan ulang tahun, tapi tidak faksi kami. Perayaan itu hanya
untuk menyenangkan diri sendiri.
"Nah," ujar ibu saat menyemat gelung rambutku. Mata kami saling
bertatapan di cermin. Terlambat untuk memalingkan muka, tapi
bukannya memarahiku, ibu tersenyum menatap bayangan kami. Aku
sedikit berkernyit. Mengapa ibu tak menegurku yang sedang
memandangi bayanganku sendiri"
"Jadi, hari inilah saatnya," ujarnya.
"Ya," jawabku. "Apa kau gugup?"
Aku menatap mataku sendiri sejenak. Hari inilah hari pelaksanaan Tes
Kecakapan yang akan menunjukkan di manakah tempatku berada di
antara lima faksi yang ada. Dan besok, pada saat Upacara Pemilihan,
aku akan memutuskan faksi mana yang kupilih. Pilihanku berlaku
selamanya. Aku akan memutuskan apakah aku akan tinggal bersama
keluargaku atau meninggalkan mereka.
"Tidak," ujarku. "Tesnya tidak harus mengubah pilihan kita."
"Benar." Ibu tersenyum. "Ayo kita sarapan." "Terima kasih. Sudah
memotong rambutku." Ibu mencium pipiku dan menggeser panel menutupi cermin.
Menurutku, ibu bisa saja menjadi wanita cantik, di kehidupan yang
lain. Tubuhnya yang ramping tersembunyi di balik jubah kelabu. Tulang
pipinya tinggi dengan bulu mata panjang melentik. Saat ibu mengurai
rambutnya di malam hari, rambutnya tergerai indah melewati bahu.
Tapi sebagai anggota faksi Abnegation, ibu harus menyembunyikan
kecantikannya. Kami berjalan bersama-sama menuju dapur. Pada pagi-pagi seperti
inilah, saat ibu menyiapkan sarapan, dan tangan ayah membelai
rambutku sembari membaca koran, lalu ibu bersenandung sambil
membersihkan meja"itulah pagi-pagi yang menyiksaku dengan rasa
bersalah karena ingin meninggalkan mereka.
Busnya bau pengap. Tiap kali harus melewati jalan bergelombang,
busnya berguncang dan melemparku ke sana kemari, tak peduli betapa
kuatnya aku menggenggam kursi agar tidak jatuh.
Kakakku, Caleb, berdiri di lorong bus sambil berpegangan pada sulur
besi di atas kepalanya agar tidak jatuh. Kami sama sekali tidak mirip.
Caleb mewarisi rambut gelap dan hidung mancung ayah; serta mata
hijau dan lesung pipi ibu. Saat masih kecil, sosoknya yang seperti itu
kelihatan aneh, tapi sekarang ia terlihat tampan. Jika ia bukan
seorang Abnegation, aku yakin para gadis di sekolah takkan
melepaskan pandangan darinya.
Caleb juga mewarisi sifat ibu yang tak pernah mementingkan diri
sendiri. Ia memberikan kursinya pada seorang pria Candor yang
bermuka masam tanpa berpikir dua kali.
Pria Candor itu mengenakan setelan hitam dengan dasi putih"
seragam standar Candor. Faksi mereka menghargai kejujuran dan
melihat kebenaran sejelas warna hitam dan putih. Jadi, warna itulah
yang mereka pakai. Jarak antarbangunan mulai menyempit dan jalanan mulai lebih halus
saat kami mendekati pusat kota. Gedung yang tadinya disebut Menara
Sears"sekarang kami memanggilnya The Hub"mencuat dari balik
kabut dan membentuk sebuah pilar hitam di langit. Bus melewati
bagian bawah jalur layang kereta. Aku belum pernah naik kereta walau
kereta selalu lewat dan jalur relnya di mana-mana. Hanya the
Dauntless yang menggunakannya.
Lima tahun lalu, beberapa pekerja konstruksi sukarela dari
Abnegation memperbaiki beberapa jalan. Mereka memulainya dari
tengah kota dan terus bekerja sampai ke luar kota, hingga akhirnya
mereka kehabisan bahan baku. Jalanan tempatku tinggal masih retakretak dan penuh tambalan; benar-benar tak aman dilewati. Tapi itu
tak masalah karena kami tak memiliki mobil.
Ekspresi Caleb terlihat tenang saat bus berayun dan berguncang.
Jubah kelabunya menjuntai di bagian lengan saat ia menggenggam
tiang untuk menjaga keseimbangannya. Aku tahu dari matanya yang
terus bergerak kalau ia sedang mengamati orang di sekitarnya"
berusaha untuk hanya melihat mereka dan tak melihat dirinya sendiri.
Candor menghargai kejujuran, tapi faksi kami, Abnegation,
menghargai sifat tak mementingkan diri sendiri.
Bus berhenti di depan sekolah. Aku bangkit dan melewati pria Candor
itu. Aku meraih lengan Caleb saat aku tersandung sepatu pria itu.
Celanaku memang terlalu panjang dan aku memang canggung.
Gedung Tingkat Atas adalah bangunan sekolah tertua di antara tiga
sekolah di kota ini: Tingkat Rendah, Tingkat Tengah, dan Tingkat
Tinggi. Seperti gedung-gedung lain di sekelilingnya, bangunan ini
terbuat dari kaca dan baja. Di bagian depannya ada ukiran besi besar
yang sering dipanjat the Dauntless sepulang sekolah. Mereka saling
menantang untuk memanjat lebih tinggi dan tinggi. Tahun lalu aku
melihat salah satu dari mereka jatuh dan kakinya patah. Akulah yang
pergi mencari pertolongan perawat.
"Hari ini tes kecakapan," ujarku. Selisih usia Caleb dan aku tidak ada
setahun, jadi kami berada di kelas yangsama.
Caleb mengangguk saat kami melewati pintu depan. Otot-ototku
menegang begitu kami masuk. Suasananya terasa seperti kami semua
tengah dahaga. Sepertinya semua murid yang berumur enam belas
tahun berusaha menikmati apa pun yang bisa mereka nikmati di hari
terakhir ini. Karena kemungkinan besar kami takkan berjalan melewati
aula ini lagi setelah Upacara Pemilihan"begitu kami membuat pilihan,
faksi kami yang barulah yang akan bertanggung jawab untuk
tuntasnya pendidikan kami.
Pelajaran cuma berlangsung setengahnya hari ini, jadi kami bisa
menyelesaikan semua pelajaran sebelum tes kecakapan yang akan
berlangsung setelah makan siang. Detak jantungku sudah telanjur
naik. "Kamu sama sekali tidak khawatir tentang semua yang mereka
katakan?" tanyaku pada Caleb.
Kami berhenti sejenak di persimpangan aula, di mana ia akan pergi ke
satu arah untuk mengikuti kelas Matematika Lanjutan dan aku akan
pergi ke arah lainnya menuju kelas Sejarah Faksi.
Ia mengangkat alisnya menatapku. "Kamu sendiri?"
Aku bisa saja berkata padanya berminggu-minggu ini, aku khawatir
bagaimana hasil tes kecakapanku nanti"Abnegation, Candor, Erudite,
Amity, atau Dauntless"'
Tapi, aku malah tersenyum dan berkata, "Tidak juga."
Ia ikut tersenyum. "Nah,... semoga harimu menyenangkan."
Aku beijalan menuju kelas Sejarah Faksi sambil menggigit bibir
bawah. Ia tak menjawab pertanyaanku.
Aula terlihat sesak walau ada cahaya menyeruak masuk melalui
jendela dan menciptakan ilusi ruangan yang lebih luas. Inilah salah
satu tempat di mana semua anggota faksi berkumpul, saat seusia
kami. Hari ini kerumunannya seperti memiliki semacam energi baru,
kegembiraan akan hari terakhir.
Seorang gadis dengan rambut keriting panjang berteriak "Hei!" tepat
di telingaku sambil melambai ke arah temannya di kejauhan. Lengan
jaketnya menampar pipiku. Kemudian, seorang anak laki-laki Erudite
ber- sweter biru mendorongku. Aku kehilangan keseimbangan dan
jatuh terduduk. "Minggir, dasar orang kaku," bentaknya sambil berlalu pergi.
Pipiku memanas. Aku bangkit, lalu menepuk- nepuk jubahku. Beberapa
orang berhenti saat aku terjatuh, tapi tak satu pun menawarkan
bantuan. Mata mereka mengikutiku sampai ke ujung aula. Hal seperti
ini juga terjadi di anggota faksiku beberapa bulan belakangan"
Erudite membuat laporan menyudutkan tentang Abnegation dan itu
mulai memengaruhi hubungan kami di sekolah. Jubah kelabu, tatanan
rambut sederhana, dan sikap sahaja faksi kami seharusnya
membuatku mudah melupakan kepentinganku sendiri dan mudah pula
bagi semua orang untuk melupakan keberadaanku. Tapi sekarang,
mereka menjadikanku target.
Aku berhenti sejenak di depan jendela sayap E dan menunggu para
Dauntless tiba. Aku melakukannya tiap pagi. Tepat pukul 07.25,
Dauntless membuktikan keberanian mereka dengan lompat dari
sebuah kereta yang tengah melaju.
Ayah memanggil para Dauntless itu dengan panggilan "Hellion".
Mereka bertindik, bertato, dan berpakaian serbahitam. Tugas utama
mereka adalah menjaga pagar yang mengelilingi kota kami. Menjaga
dari apa, aku tidak tahu.
Mereka membuatku bingung. Aku bertanya-tanya apa hubungan
keberanian"yang merupakan nilai yang paling mereka hargai"dengan
cincin besi yang menembus cuping hidung mereka. Namun, tetap saja
mataku tak bisa lepas menatap mereka ke mana pun mereka pergi.
Peluit kereta melengking nyaring. Suaranya menggema di dadaku.
Lampu yang terpasang di bagian depan kereta berkedip-kedip saat
melaju melewati sekolah. Rel besinya berdecit kencang. Dan, saat
beberapa gerbong terakhir melaju, sekumpulan remaja laki-laki dan
perempuan berpakaian hitam berlompatan dari dalam gerbong yang
sedang berjalan itu. Ada beberapa yang jatuh. Ada pula yang
terguling. Yang lainnya terjungkal beberapa langkah sebelum akhimya
kembali seimbang. Salah satu bocah laki-laki itu malah merangkul
pundak seorang gadis sambil tertawa.
Menonton mereka hanyalah sebuah tindakan konyol. Aku berbalik dari
jendela dan berjalan menembus kerumunan menuju kelas Sejarah
Faksi. Tesnya mulai setelah makan siang. Kami semua duduk di meja panjang
di kafetaria dan para penguji akan memanggil sepuluh nama sekaligus.
Masing-masing menempati satu ruang pengujian. Aku duduk di samping
Caleb. Di seberangku ada tetangga kami, Susan.
Ayah Susan bepergian ke penjuru kota untuk bekerja, jadi beliau
memiliki mobil untuk mengantar jemput Susan setiap hari. Beliau
menawari kami juga, tapi seperti kata Caleb, kami lebih suka
berangkat lebih siang dan tak ingin membuatnya repot.
Para penjaga tes kebanyakan pekerja sukarela dari Abnegation walau
ada juga seorang Erudite di salah satu ruang uji. Ada pula seorang
Dauntless di ruang uji lainnya untuk menguji kami yang berasal dari
Abnegation, karena peraturannya menyatakan kami tak boleh diuji
oleh penguji yang berasal dari faksi yang sama. Peraturan juga
menyatakan kami tak boleh mempersiapkan apa pun untuk tes itu, jadi
aku tak tahu apa yang akan diujikan.
Pandanganku beralih dari Susan ke arah meja Dauntless di seberang
ruangan. Mereka tertawa, berteriak, dan bermain kartu. Di barisan
meja lainnya, kaum Erudite sibuk berdiskusi di antara tumpukan buku
dan koran, mengejar ilmu pengetahuan tanpa henti.
Sekelompok gadis-gadis Amity berpakaian kuning dan merah duduk
melingkar di lantai kafetaria. Mereka memainkan semacam permainan
tepuk tangan dengan lagu berima. Tiap beberapa menit, aku
mendengar tawa mereka saat harus ada yang dieliminasi dan duduk di
tengah lingkaran. Di meja sebelah mereka, anak-anak laki-laki dari
Candor sibuk merentangkan tangan. Mereka sepertinya berdebat
tentang sesuatu, tapi pasti bukan masalah yang serius, karena
beberapa dari mereka masih tersenyum.
Di meja Abnegation, kami duduk tenang dan menunggu. Aturan faksi
kami mengatur bagaimana kami bersikap hingga menentukan
preferensi pribadi. Aku ragu apakah semua Erudite mau belajar
setiap saat atau setiap Candor menikmati debat penuh semangat, tapi
mereka pun tak bisa menentang norma faksi seperti aku.
Nama Caleb yang berikutnya dipanggil. Dengan penuh percaya diri, ia
berjalan menuju pintu keluar. Aku tak perlu mendoakan semoga ia
beruntung atau meyakinkannya kalau ia tak perlu merasa gugup. Caleb
tahu di mana tempatnya, dan sejauh yang kutahu, ia selalu tahu.
Kenangan pertamaku tentangnya adalah saat kami berumur empat
tahun. Ia memarahiku karena aku tak mau memberikan tali
permainanku pada seorang anak perempuan di taman yang tak memiliki
apa pun untuk dimainkan. Ia tak lagi sering menceramahiku sekarang,
tapi aku masih terkenang tatapannya yang penuh teguran.
Aku pernah mencoba menjelaskan padanya kalau instingku tak sama
sepertinya"bahkan tak terpikir olehku untuk memberikan kursi pada
seorang pria Candor di dalam bus tadi"tapi ia tak'mengerti. "Lakukan
apa yang harus kau lakukan," ia selalu berkata seperti itu. Mudah
baginya. Seharusnya mudah bagiku.
Perutku melilit. Aku menutup mata dan terus terpejam sampai sepuluh
menit sampai akhimya Caleb kembali duduk.
Ia kelihatan pucat. Ia mengusapkan telapak tangan di celana seperti
yang biasa kulakukan untuk menghapus keringat. Setelah selesai
mengusap tangannya, jemarinya gemetar. Aku membuka mulut untuk
bertanya sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Aku tak diizinkan
untuk menanyakan hasil tesnya, dan ia dilarang untuk memberitahuku.
Seorang sukarelawan Abnegation menyebut nama-nama putaran
selanjutnya. Dua dari Dauntless, dua dari Erudite, dua dari Amity, dua
dari Candor, dan kemudian: "Dari Abnegation: Susan Black dan
Beatrice Prior." Aku bangkit karena memang itu yang harus kulakukan. Tapi, jika
semua terserah aku, aku lebih suka tetap di kursi sampai semua
selesai. Rasanya seperti ada gelembung di dadaku yang membesar
dalam hitungan detik, siap menghancurkan tubuhku dari dalam. Aku
mengikuti Susan menuju pintu keluar. Orang-orang yang kulewati
mungkin tak bisa membedakan kami. Kami mengenakan pakaian sama
dan menata rambut kami dengan cara yang sama. Satu-satunya
perbedaan adalah Susan tidak merasa hampir muntah. Dan, dari yang
bisa aku simpulkan, tangannya tidak gemetar hebat sampai harus
menggenggam pinggiran kemejanya agar tetap tenang.
Di luar kafetaria ada sepuluh ruangan berjajar. Ruangan itu semua
hanya digunakan untuk Tes Kecakapan, jadi aku tak pernah berada di
dalamnya. Tak seperti ruangan lain di sekolah ini, ruangan ini
dipisahkan oleh cermin, bukan kaca. Aku melihat diriku sendiri, pucat
dan ketakutan, berjalan menuju salah satu pintu. Susan menyeringai
gugup padaku saat ia memasuki ruang 5 dan aku masuk ruang 6, di
mana seorang wanita Dauntless menungguku.
Wajah wanita itu tak sekeras wajah para Dauntless muda yang pernah
kulihat. Matanya kecil, hitam, dan tajam. Ia mengenakan blazer
hitam"seperti setelan pria"dan jins. Hanya saat ia menutup pintu,
aku bisa melihat tato di balik lehernya. Tato berupa elang hitamputih dengan mata merah menyala. Jika jantungku tidak terasa
seperti mau loncat ke tenggorokan, aku akan menanyakan apa artinya.
Pasti ada artinya. Cermin-cermin itu menutupi bagian dalam dinding ruangan. Aku bisa
Divergent Karya Veronica Roth di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat bayanganku dari semua sudut. Jubah abu-abu ini menutupi
punggungku, leher jenjangku, jemariku yang gemetaran. Langit-langit
memendarkan warna putih. Di tengah ruangan, ada kursi dengan
sandaran punggung seperti yang ada di dokter gigi, dengan sebuah
mesin di sampingnya. Sepertinya tempat di mana sebuah kejadian
buruk akan terjadi. "Jangan khawatir," ujar wanita itu, "tidak sakit."
Rambutnya hitam dan lurus, tapi saat tertimpa cahaya, kutemukan
beberapa helai uban. "Duduklah dan santai saja" ujarnya. "Namaku Tori."
Aku duduk di kursi itu dengan kikuk dan bersandar. Kuletakkan
kepalaku di sandaran kepala. Lampunya membuatku silau. Tori sibuk
dengan mesin di sebelah kananku. Aku mencoba fokus padanya dan
bukan pada kabel-kabel di tangannya.
"Apa artinya elang itu?" aku keceplosan saat ia menempelkan kabel
elektroda di dahiku. "Aku belum pernah ketemu Abnegation yang ingin tahu sepertimu
sebelumnya," ujarnya sambil mengangkat alis ke arahku.
Aku merinding. Bulu kuduk di lenganku seperti berdiri semua. Rasa
ingin tahuku adalah kesalahan. Sebuah pengkhianatan untuk nilai-nilai
Abnegation. Sambil bersenandung kecil, ia menempelkan kabel elektroda lainnya di
dahiku dan menjelaskan, "Di beberapa belahan dunia di masa lalu,
elang adalah simbol matahari. Saat aku memperoleh tato ini, aku tahu
kalau aku selalu memiliki matahari di dalam diriku aku takkan takut
akan gelap." Aku mencoba menahan diri untuk menanyakan pertanyaan selanjutnya,
tapi tidak bisa. "Kau takut gelap?"
"Aku pernah takut akan gelap," ia mengoreksi ucapanku. Ia
menempelkan elektroda lainnya ke dahinya sendiri dan
menyambungkannya dengan sebuah kabel. Ia mengangkat bahu.
"Sekarang, tato itu mengingatkanku pada rasa takut yang sudah bisa
kuatasi." Ia berdiri di belakangku. Aku mencengkeram sandaran tangan begitu
kuat sampai tanganku memucat. Ia menarik beberapa kabel ke
arahnya, lalu memasangkannya padaku, padanya sendiri, juga pada
mesin di belakangnya. Kemudian, ia menyodorkan sebotol kecil cairan
bening. "Minum ini," ujarnya.
"Apa ini?" rasanya tenggorokanku seperti bengkak. Susah payah aku
menelannya. "Apa yang akan terjadi?"
"Tak bisa kuberi tahu. Percayalah padaku."
Aku menarik udara dari paru-paru dan menenggak isi botol itu.
Mataku terpejam. Saat mataku terbuka, sekejap saja, tapi aku seperti berada di tempat
lain. Aku berada di kafetaria sekolah lagi, tapi tak ada lagi meja-meja
panjang. Aku melihat ke luar melalui dinding kaca, salju turun di luar.
Di meja di hadapanku ada dua keranjang. Salah satunya berisi
sebongkah keju dan yang lainnya berisi sebilah pisau sepanjang lengan
bawahku. Di belakangku, terdengar suara seorang wanita, "Pilih."
"Kenapa?" tanyaku.
"Pilih," ulangnya.
Aku melihat ke belakang, tapi tak ada siapa pun. Aku berbalik ke arah
keranjang itu lagi. "Apa yang harus kulakukan dengan benda-benda
ini?" "Pilih!" teriaknya.
Saat ia berteriak padaku, rasa takutku hilang dan sikap keras
kepalaku muncul. Aku marah dan menyilangkan tangan di dada.
"Terserah kau," ujarnya.
Kedua keranjang itu menghilang. Aku mendengar ada suara pintu
terbuka dan langsung berbalik untuk melihat siapa yang datang. Yang
kulihat bukan "siapa", melainkan "apa". Seekor anjing berhidung
mencuat berdiri beberapa langkah di hadapanku. Anjing itu
membungkuk rendah dan bergerak perlahan ke arahku. Menyeringai,
memperlihatkan, taringnya. Terdengar suara menggeram dan
sekarang aku paham kenapa keju tadi bisa berguna. Atau juga
pisaunya. Tapi sekarang sudah terlambat.
Aku berpikir untuk lari, tapi anjing itu akan berlari lebih cepat. Aku
tak bisa pula bergulat dengan anjing itu. Kepalaku berdenyut-denyut.
Aku harus membuat keputusan. Kalau aku bisa melompati salah satu
meja itu dan menggunakannya sebagai pelindung"tidak aku terlalu
pendek untuk melompati meja dan tak terlalu kuat untuk
mengangkatnya. Anjing itu menggeram. Aku hampir bisa merasakan suaranya bergema
di kepalaku. Buku pelajaran Biologi pernah menyebutkan kalau anjing bisa mencium
rasa takut karena ada sejenis zat kimia yang dikeluarkan kelenjar
manusia dalam bentuk rasa takut, zat kimia yang sama yang
disekresikan mangsa anjing pada umumnya. Mencium rasa takut bisa
mendorong anjing untuk menyerang. Anjing itu sudah mendekat
beberapa inci. Kukunya menggores-gores lantai.
Aku tak bisa lari. Aku tak bisa berkelahi. Aku malah menarik napas
dengan udara yang dipenuhi napas anjing dan berusaha tidak berpikir
apa yang baru saja dimakan anjing itu. Tak ada warna putih di bola
matanya. Hanya ada kilatan hitam.
Apalagi yang kutahu tentang anjing" Aku tak seharusnya melihat
matanya. Itu tanda penyerangan. Aku ingat pernah meminta anjing
peliharaan pada ayah waktu aku masih kecil. Dan sekarang, saat
menatap anjing itu, aku tak bisa ingat mengapa aku pernah meminta
hal seperti itu. Anjing itu makin mendekat dan masih menggeram. Jika
melihat matanya adalah tanda penyerangan, lalu apa tanda kepatuhan"
Napasku masih terdengar kencang, tapi mulai tenang. Aku berlutut.
Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah berbaring di depan anjing
itu"berusaha membuat giginya sama tinggi dengan wajahku"tapi
itulah pilihan terbaik yang kupunya. Aku menjulurkan kakiku ke
belakang dan menopang tubuh dengan siku. Anjing itu makin mendekat
dan makin dekat, sampai aku merasakan hangat napasnya di wajahku.
Lenganku bergetar hebat. Anjing itu menggonggong di telingaku dan aku menggertakkan gigi,
menahan diri agar tidak teriak.
Ada sesuatu yang kasar dan basah menyentuh pipiku. Gonggongan
anjing berhenti. Saat aku mendongakkan kepala untuk melihat sekali
lagi, anjing itu terengah-engah. Menjilati wajahku. Aku jongkok sambil
mengernyitkan dahi. Anjing itu menaikkan kakinya ke lututku dan
menjilati daguku. Sejenak aku merinding saat menghapus tetesan liur
dari kulitku, dan akhimya tertawa.
"Kau bukan hewan liar yang mengerikan, ya?"
Aku bangun perlahan agar tak mengejutkannya. Tapi, sepertinya
anjing ini bukan anjing yang tadi kulihat beberapa detik yang lalu. Aku
mengulurkan tangan hati-hati agar aku bisa cepat menariknya kembali
jika diperlukan. Anjing itu menyentuhkan kepalanya ke tanganku.
Mendadak aku senang, tadi aku tidak memilih pisau.
Aku mengedipkan mata dan saat membukanya, seorang anak kecil
berbaju putih berdiri di seberang ruangan. Ia mengulurkan kedua
tangannya dan berteriak, "Anak anjing!"
Saat anak perempuan itu berlari mendekati anjing di dekatku, aku
membuka mulut untuk mengingatkannya. Tapi, aku terlambat. Anjing
itu membalikkan badan. Bukannya menggeram, anjing itu langsung
menggonggong. Menggertak. Dan menyerang. Otot- otot tubuhnya
melengkung seperti kabel gulung. Anjing itu siap-siap melompat. Aku
tak berpikir apa-apa lagi, aku melompat; mendorong tubuhku ke
bagian atas tubuh anjing, berusaha meraih leher besamya dengan
rengkuhan lenganku. Kepalaku membentur tanah. Anjingnya menghilang, juga gadis kecil
itu. Yang ada hanya aku sendiri"sekarang berada di dalam ruang uji
yang kosong. Aku membalikkan tubuh perlahan dan tak menemukan
bayanganku sendiri. Tak ada cermin. Aku mendorong pintu dan
berjalan menuju aula. Tapi, ini bukan aula. Ini bus dan semua kursinya
penuh. Aku berdiri di lorong bus dan berpegangan di tiang. Di sebelahku,
duduk seorang pria dengan korannya. Aku tak bisa melihat wajahnya
yang tertutup koran, tapi aku bisa melihat tangannya. Penuh bekas
luka, seperti bekas luka bakar. Tangan itu mencengkeram lembaran
koran kuat-kuat seakan ia ingin meremasnya.
"Kau kenal pria ini?" tanyanya. Ia mengetuk gambar di halaman depan
koran. Headline-nya tertulis: "Pembunuh Brutal Akhimya Tertangkap!"
Aku menatap kata "Pembunuh". Sudah lama sejak terakhir kalinya aku
membaca kata itu, tapi itu pun masih bisa membuatku ketakutan.
Gambar di bawah headline adalah gambar seorang pria muda
berjenggot. Rasanya aku kenal ia, tapi aku tak ingat bagaimana bisa
aku mengenalnya. Dan, pada saat yang bersamaan, aku rasa bukan ide
yang baik untuk mengatakannya pada pria itu.
"Jadi?" aku dengar nada marah di suaranya. "Kau mengenalnya?"
Ide buruk"bukan, ide yang sangat buruk. Jantungku berdebar-debar
dan aku menggenggam tiang itu lebih kuat agar tanganku tak makin
gemetar dan membuatku menyerah. Jika aku memberitahunya kalau
aku kenal pria di dalam artikel itu, sesuatu yang buruk akan terjadi
padaku. Tapi, aku bisa meyakinkannya kalau aku tak kenal. Aku bisa
berdeham dan mengangkat bahu"tapi itu berarti aku harus
berbohong. Aku berdeham. "Kau kenal?" ulangnya.
Aku mengangkat bahu. "Jadi?" Aku gemetar. Ketakutanku tak masuk akal; ini cuma tes. Tidak nyata.
"Nggak," ujarku, sewajar mungkin. "Tidak tahu siapa ia."
Ia berdiri dan akhimya aku bisa melihat wajahnya. Ia mengenakan
kacamata hitam dan mulutnya melengkung menyeringai. Pipinya
dipenuhi bekas luka, persis seperti yang ada di tangannya. Ia
membungkuk kearahku. Napasnya bau rokok. Tidak nyata, aku mengingatkan diriku sendiri. Tidak nyata.
"Kau bohong," ujarnya. "Kau bohong!"
"Tidak." "Aku bisa tahu dari matamu."
Aku menegakkan tubuhku. "Kau tidak tahu apa- apa."
"Kalau kau kenal dengannya," ujarnya dengan suara rendah, "kau bisa
menyelamatkanku. Kau bisa menyelamatkan-ku."
Aku memicingkan mata. "Yah," ujarku. Aku mengatupkan rahangku.
"Aku tidak kenal."
Aku terbangun dengan telapak tangan basah dan serangan rasa
bersalah di dada. Aku berbaring di kursi di ruangan penuh cermin.
Saat aku memiringkan kepala ke belakang, kulihat ada Tori di
belakangku. Ia menggigit bibir dan mencabut elektroda dari kepala
kami. Aku menunggunya mengatakan sesuatu tentang tes ini"tesnya
sudah selesai, atau aku mengerjakan tesnya dengan baik, walau entah
apa ukuran bahwa aku bisa melakukan tes ini dengan baik?"tapi, ia
tak berkata apa-apa. Ia cuma menarik kabel-kabel dari dahiku.
Aku duduk tegak dan menggosokkan telapak tanganku yang
berkeringat di celana. Pasti aku sudah melakukan kesalahan, bahkan
kalaupun itu cuma terjadi di dalam benakku. Apa tatapan aneh di
wajah Tori itu karena ia tak tahu bagaimana caranya memberi tahu
kalau betapa buruknya aku" Kuharap hanya itu yang akan ia ucapkan.
"Yang tadi," ujarnya, "membingungkan. Permisi, aku akan segera
kembali." Membingungkan" Aku menekuk lutut sampai ke dada dan membenamkan wajah ke sana.
Rasanya aku mau menangis karena air mata mungkin bisa membuatku
lega, tapi aku tidak bisa. Bagaimana kau bisa gagal dalam tes yang kau
sendiri tak diizinkan untuk melakukan persiapan"
Setelah beberapa lama, aku makin gugup. Kuusap telapak tanganku
beberapa detik sekali karena makin berkeringat"atau aku
melakukannya hanya karena itu membuatku merasa lebih tenang. Apa
jadinya kalau mereka memberitahuku aku tidak cocok berada di faksi
mana pun" Aku harus tinggal di jalanan, dengan mereka yang tak
memiliki faksi. Aku tak bisa melakukannya. Hidup tanpa perlindungan
faksi bukan sekadar hidup miskin dan tidak nyaman; tapi juga hidup
terpisah dari masyarakat, terpisah dari hal yang terpenting dalam
hidup: komunitas. Ibu pernah berkata kalau kita tidak bisa bertahan hidup sendiri, tapi
kalaupun kita bisa, kita tidak akan mau melakukannya. Tanpa faksi,
kita takkan memiliki tujuan dan alasan hidup.
Aku menggeleng. Aku tak boleh berpikir seperti itu. Aku harus tetap
tenang. Akhimya, pintu terbuka. Tori pun masuk. Aku mencengkeram sandaran
tangan kursi. "Maaf membuatmu khawatir," ujar Tori. Ia berdiri di dekat kakiku
dengan tangan tersimpan di saku. Wajahnya kelihatan tegang dan
pucat. "Beatrice, hasil tesmu tak bisa disimpulkan," ujarnya. "Biasanya,
setiap tahap simulasi akan mempersempit satu atau lebih jenis Faksi
yang ada. Tapi dalam kasusmu, hanya ada dua faksi yang dicoret."
Aku menatapnya. "Dua?" tanyaku. Tenggorokanku tercekat sampai
susah untuk berbicara. "Kalau tadi kau langsung membuang pisau dan memilih keju, simulasi
akan membawamu ke skenario berbeda yang nantinya akan
menunjukkan kalau kecakapanmu adalah Amity. Karena tidak terjadi,
itu artinya Amity dicoret." Tori menggaruk bagian belakang lehernya.
"Biasanya, simulasi berjalan secara linear dengan mengunci simbol
satu faksi dan membuang simbol faksi sisanya. Pilihan yang kau buat
bahkan tidak memberi jalan untuk Candor, kemungkinan berikutnya,
untuk dibuang, jadi aku harus mengubah simulasi dengan membawamu
ke dalam bus. Dan, keteguhanmu untuk berbohong membuang
kemungkinan Candor." Ia sedikit tersenyum. "Tak perlu khawatir.
Hanya Candor- lah yang akan jujur dalam kasus itu."
Satu ikatan beban di dadaku melonggar. Mungkin aku bukan orang
seburuk itu. "Tapi, menurutku itu tak sepenuhnya benar. Yang selalu berkata benar
adalah Candor, ... dan Abnegation," ujarnya. "Dan di sanalah
masalahnya." Mulutku terbuka saking terkejutnya.
"Di satu sisi, kau melompat ke atas anjing daripada membiarkan gadis
kecil itu diserang adalah respons khas Abnegation ... tapi di sisi lain,
saat pria itu bilang kalau kebenaran yang kau sampaikan itu akan
menyeIamatkannya, kau masih menolak mengatakannya bukan respons
khas Abnegation." Ia menghela napas. "Tidak kabur dan berani
menghadapi anjing menunjukkan kau Dauntless, dan itu berlaku juga
kalau kau mengambil pisaunya. Tapi tidak kau lakukan."
Ia berdeham lalu melanjutkan. "Respons kepandaianmu saat
menghadapi anjing itu menandakan- " hubungan sejajar yang kuat
dengan kaum Erudite. Aku tak tahu apa yang membuatmu ragu pada
tes tahap pertama, tapi?"
?"Hinggu," aku memotong pembicaraannya. "Jadi, kau tak tahu apa
bakat kecakapanku?" "Ya dan tidak. Kesimpulanku," ia menjelaskan, "kau menunjukkan
tingkat kecakapan yang seimbang diantara Abnegation, Dauntless, dan
Erudite. Mereka yang memiliki hasil seperti ini adalah, ..." ia melirik
ke belakang seakan ia sedang menunggu seseorang muncul di
belakangnya. "... disebut ... Divergent." Ia mengatakan kata terakhir
itu begitu lirih sampai aku hampir tak bisa mendengarnya. Wajahnya
yang tegang dan cemas itu kembali. Tori berjalan mengitari kursi dan
Divergent Karya Veronica Roth di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membungkuk ke arahku. "Beatrice," ujarnya, "dalam keadaan apa pun, kau tak boleh
memberitahukan hal ini pada siapa pun: Ini hal yang sangat penting"
"Kami tidak boleh memberitahukan hasil tes kami." Aku mengangguk.
"Aku tahu." "Bukan." Tori menopang tubuhnya dengan lutut di sandaran kursi dan
lengannya berada di sandaran tangan. Wajah kami begitu dekat. "Yang
ini berbeda. Maksudku, kau tak perlu memberitahukan hasilnya pada
siapa-siapa sekarang; maksudku kau tidak boleh memberitahukannya
pada siapa pun, selamanya, apa pun yang terjadi. Divergent"mereka
yang memiliki perbedaan"benar-benar berbahaya. Kau mengerti?"
Aku tidak mengerti"bagaimana bisa hasil tes yang tidak pasti bisa
berbahaya?"tapi aku tetap saja mengangguk. Lagi pula, aku memang
tak mau memberitahukan hasil tesku pada siapa pun.
"Oke," aku mengangkat tanganku dari sandaran tangan kursi berdiri.
Aku merasa limbung. "Kusarankan," ujar Tori, "kau pulang. Kau harus berpikir masak-masak
dan menunggu dengan yang lain takkan ada gunanya."
"Aku harus bilang dulu pada kakakku ke mana aku pergi."
"Biar aku yang bilang."
Aku menyentuh dahi dan berjalan meninggalkan ruangan sambil
menatap lantai. Aku tak tahan menatap matanya. Aku tak bisa
memikirkan tentang Upacara Pemilihan besok.
Sekarang, semua bergantung pilihanku. Bagaimanapun hasil tesnya.
Abnegation, Dauntless. Erudite.
Divergent. Kuputuskan tidak naik bus. Kalau aku pulang lebih cepat, ayah akan
tahu saat ia memeriksa log rumah nanti dan aku harus menjelaskan
apa yang terjadi. Kuputuskan jalan kaki saja. Aku harus mencegat
Caleb sebelum ia menceritakan apa pun pada ayah ibu, tapi Caleb bisa
menyimpan rahasia. Aku berjalan di tengah jalan. Bus-bus cenderung berjalan di lajur
pinggir, jadi lebih aman berjalan di sini. Kadang-kadang di jalanan
dekat rumahku, aku bisa menemukan garis kuning yang dulu pernah
ada. Kami tak memerlukannya lagi sekarang karena mobil- nya tidak
banyak. Kami tak perlu lampu merah juga, tapi di beberapa tempat,
lampu lalu lintas itu menggantung berbahaya di atas jalanan dan bisa
saja jatuh berserakan kapan saja.
Renovasi berjalan lambat di penjuru kota yang serupa seperti paduan
dari gedung-gedung baru yang bersih dan gedung-gedung tua yang
hampir roboh. Sebagian gedung baru berada di dekat rawa yang
dulunya adalah sebuah danau. Agen sukarelawan Abnegation tempat
ibu bekerja yang mengurusi sebagian besar renovasi ini.
Saat aku melihat kehidupan Abnegation dari ka- camata orang luar,
menurutku itu hidup yang indah. Saat aku melihat keluargaku dalam
harmoni, saat kami pergi ke acara makan malam dan semuanya saling
membersihkan meja setelah pesta tanpa diminta; saat aku melihat
Caleb membantu orang asing membawakan belanjaannya, aku jatuh
cinta dengan cara hidup seperti itu berkali-kali. Tapi, ketika aku
mencoba untuk menerapkannya, aku gagal. Aku merasa itu bukan
diriku. Tapi, jika aku memilih faksi yang berbeda, aku mengorbankan
keluargaku. Selamanya. Takjauh dari sektor Abnegation di kota ini adalah jajaran rangkarangka bangunan dan trotoar rusak yang sekarang tengah kulewati.
Ada tempat-tempat di mana jalannya benar-benar rusak. Pipa
pembuangan air terlihat di mana-mana dan jalur kereta bawah tanah
yang kosong dan benar-benar harus kuhindari. Aku pun melewati
tempat yang begitu bau oleh busuknya sampah dan limbah, sampaisampai aku harus menutup hidung.
Di sinilah para factionless atau mereka yang tak dilindungi faksi,
tinggal. Karena mereka gagal memenuhi inisiasi di faksi mana pun yang
mereka pilih. Mereka hidup miskin dan melakukan pekerjaan yang tak
mau dilakukan siapa pun. Mereka tukang bersih-bersih, pekerja
konstruksi, dan pengumpul sampah. Ada pula yang bekerja sebagai
buruh kain, operator kereta api, dan sopir bus. Imbalan atas
pekerjaan mereka adalah makanan dan pakaian, tapi seperti kata ibu,
itu tidak cukup. Aku melihat seorang pria factionless berdiri di sudut jalan di depan
sana. Ia memakai baju lusuh berwarna cokelat dan kulihat ada kulit
bergelambir di rahangnya. Ia menatapku dan aku balik menatapnya.
Aku tak bisa mengalihkan pandangan.
"Permisi," ujarnya. Suaranya terdengar parau. "Apa kau memiliki
sesuatu yang bisa kumakan?"
Tenggorokanku tercekat. Ada suara menggema di kepalaku, berkata,
tetap menunduk dan terus berjalan.
Tidak. Aku menggeleng. Aku tidak boleh takut pada pria ini. Ia
membutuhkan bantuan dan aku harus menolongnya.
"Um... ya," ujarku. Aku meraih sesuatu ke dalam tas. Ayah selalu
memintaku menyimpan makanan di dalam tas untuk alasan ini. Aku
menawarkan pria itu sekantong irisan apel kering.
Ia mengulurkan tangan, tapi bukannya mengambil kantong itu,
tangannya mencengkeram tanganku. Ia tersenyum. Ada celah di gigi
depannya. "Ya ampun, mataku begitu indah," ujarnya. "Sa- yang sekali, yang
lainnya kelihatan sederhana." Hatiku berdegup kencang. Aku berusaha
menarik tanganku, tapi ia mencengkeram makin kuat. Aku mencium
napasnya yang berbau tajam dan menjijikkan.
"Kau kelihatannya terlalu muda untuk jalan-jalan sendiri, Nak,"
ujarnya. Aku tak berusaha menarik tanganku lagi dan berdiri lebih tegak. Aku
tahu, aku kelihatan muda. Tak perlu diingatkan. "Aku lebih tua dari
kelihatannya," jawabku. "Umurku enam belas."
Bibirnya menyeringai lebar. Aku bisa melihat gerahamnya yang kelabu
dengan lubang hitam di sebelahnya. Aku tak tahu apakah ia tersenyum
atau menyeringai. "Lalu, bukankah hari ini hari yang spesial untukmu"
Hari sebelum kau memilih?"
"Lepaskan aku," kataku. Aku mendengar suara denging di telinga.
Suaraku terdengar jelas dan keras"bukan seperti yang kuharapkan.
Rasanya bukan seperti diriku.
Aku siap. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku membayangkan
diriku sendiri menarik siku dan memukulnya. Aku melihat kantong apel
itu melayang. Aku mendengar suara langkah kakiku yang berlari. Aku
siap beraksi. Namun, kemudian ia melepaskan genggamannya, mengambil apelnya,
lalu berkata, "Pilih dengan bijak, Gadis Kecil."
Aku tiba di kompleks perumahanku lima menit lebih awai dari
biasanya, menurut jam tanganku"satu- satunya perhiasan yang boleh
dipakai seorang Abnegation, hanya karena fungsi praktisnya. Jamku
bertali abu-abu dan memiliki tutup kaca. Jika melihatnya dengan
sudut yang tepat, aku hampir bisa melihat pantulan bayanganku
sendiri di sana. Rumah-rumah di kompleks ini memiliki ukuran dan bentuk yang sama.
Rumah kami terbuat dari semen abu-abu dengan beberapa jendela
murahan berbentuk segiempat tak beraturan. Pekarangan kami
ditumbuhi alang-alang dan kotak pos yang terbuat dari besi yang
kusam. Untuk beberapa orang, pemandangan ini terlihat suram, tapi
untukku, kesederhanaannya sungguh membuat nyaman.
Alasan atas semua kesederhanaan ini bukanlah penghinaan atas
keunikan, seperti yang terkadang diartikan oleh faksi lainnya.
Semuanya"rumah, pakaian, tatanan rambut kami"untuk membantu
kami melupakan diri kami sendiri, serta melindungi kami dari rasa
sombong, serakah, dan iri yang merupakan bentuk dari egoisme. Kalau
kami hanya memiliki sedikit, menginginkan sedikit, dan kami semua
sama, kami takkan iri pada siapa pun.
Aku mencoba mencintai cara ini.
Aku duduk di undakan depan rumah dan menunggu Caleb pulang. Aku
tak menunggu lama. Semenit kemudian, aku melihat beberapa anak
berjubah abu- abu menyusuri kompleks. Terdengar suara tawa. Di
sekolah, kami mencoba untuk tidak menarik perhatian orang pada
kami, tapi begitu kami di rumah, permainan dan lelucon dimulai.
Kecenderungan alamiku akan sarkasme masih belum dihargai.
Sarkasme selalu mengorbankan perasaan orang lain. Mungkin kaum
Abnegation berpikir lebih baik aku menekan sikap itu. Mungkin aku
tak perlu meninggalkan keluargaku. Mungkin kalau aku berjuang untuk
menerapkan nilai Abnegation, sikapku akan terasa lebih nyata.
"Beatrice!" ujar Caleb. "Apa yang terjadi" Kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja." Caleb bersama Susan dan kakaknya Robert.
Susan menatapku aneh, seakan aku orang yang berbeda dengan yang
ia kenal tadi pagi. Aku mengangkat bahu. "Saat tesnya selesai, aku
tidak enak badan. Mungkin karena cairan yang mereka berikan. Tapi
sekarang, aku sudah baikan."
Aku mencoba tersenyum mantap. Sepertinya aku berhasil
memperdaya Susan dan Robert yang sudah tak lagi mencemaskan
kondisi kejiwaanku. Namun Caleb memicingkan mata dan menatapku.
Ia selalu melakukannya saat ia mencurigai seseorang sedang
berbohong. "Kalian berdua hari ini naik bus?" tanyaku. Aku tak peduli bagaimana
Susan dan Robert pulang dari sekolah, tapi aku harus mengganti topik.
"Ayah kami harus pulang malam," ujar Susan, "dan ayah bilang kami
harus merenung sebentar sebelum Upacara besok."
Hatiku melompat saat Upacara itu disebut.
"Kalian boleh mampir nanti kalau kalian mau," ujar Caleb sopan.
"Terima kasih." Susan tersenyum pada Caleb.
Robert menaikkan alisnya ke arahku. Kami berdua sering saling
pandang setahun ini saat Susan dan Caleb saling tebar pesona dengan
cara yang sementara ini hanya diketahui oleh kaum Abnegation. Mata
Caleb mengikuti langkah Susan. Aku sampai harus meraih lengannya
untuk mengalihkan pandangannya. Aku mengajaknya masuk ke rumah
dan menutup pintu. Ia berbalik menatapku. Alisnya yang hitam dan lurus saling bertaut
dan membuat dahinya berkerut. Saat ia bekernyit seperti itu, ia lebih
mirip ibu daripada ayah. Dalam sekejap, aku bisa membayangkannya
menjalani hidup seperti ayah: tetap tinggal di Abnegation, belajar
berdagang, menikahi Susan, dan memiliki keluarga. Pasti akan indah.
Aku mungkin tak bisa ikut menyaksikannya.
"Apa kau mau memberitahukan yang sebenarnya sekarang?" tanyanya
lembut. "Sejujurnya," kataku, "aku tidak boleh membahasnya. Dan kau tak
seharusnya bertanya."
"Semua peraturan pernah kau langgar, dan yang ini malah tak bisa kau
langgar" Tidak bahkan untuk sesuatu sepenting ini?" Alisnya saling
mengait dan ia menggigit ujung bibimya. Walau kata-katanya
terdengar menuduh, kedengarannya seperti ia menyelidiki- ku untuk
sebuah informasi"sepertinya ia benar-benar menginginkan
jawabanku. Aku memicingkan mata. "Apa kau juga mau berbagi" Apa yang terjadi
saat tes-mu, Caleb?"
Kami saling bertatapan. Aku mendengar klakson kereta. Sangat samar
sampai mudah dibawa angin yang berembus di lorong aula. Tapi, aku
tahu saat mendengarnya. Kedengarannya seperti Dauntless
memanggilku datang. "Jangan bilang ayah ibu apa yang terjadi, oke?" kataku.
Matanya tetap menatapku beberapa detik, lalu ia mengangguk.
Aku ingin naik ke kamar dan berbaring. Ujian tadi, perjalananku
pulang barusan, dan pertemuanku dengan pria factionless tadi,
membuatku lelah. Tapi, kakakku menyiapkan sarapan pagi ini, ibu
menyiapkan makan siang kami, dan ayah menyiapkan makan malam
kemarin. Jadi, malam ini giliranku memasak, menarik napas panjang
dan berjalan menuju dapur untuk memasak.
Semenit kemudian, Caleb mendatangiku. Aku menggertakkan gigi. Ia
membantu menyiapkan semua-nya. Yang membuatku terganggu adalah
sikap baiknya yang alami. Sikap tak mementingkan diri sendiri yang
sudah ia bawa sejak lahir.
Aku dan Caleb bekerja sama tanpa bicara. Aku memasak kacang di
atas kompor. Ia menghangatkan empat potong ayam beku. Sebagian
besar yang kami makan adalah makanan beku atau kalengan karena
peternakan letaknya jauh. Ibu pernah bilang, dulu orang-orang tak
mau membeli produk yang melalui proses genetis buatan karena
mereka pikir itu tidak alami. Sekarang, kami tak punya pilihan.
Saat ayah ibu pulang, makan malam dan meja sudah siap semua. Ayah
menjatuhkan tasnya di pintu dan mencium kepalaku. Orang lain
memandang ayah sebagai orang berpendirian keras"terlalu keras,
malah"tapi ayah juga penyayang. Aku mencoba untuk hanya melihat
sisi baiknya. Aku mencoba.
"Bagaimana tesnya?" tanyanya. Aku menuangkan kacang ke mangkuk
saji. "Baik," kataku. Aku tak bisa menjadi seorang Candor. Aku terlalu
gampang berbohong. "Kudengar ada semacam masalah dengan salah satu tesnya," ujar ibu.
Seperti ayah, ibu bekerja di pemerintahan. Bedanya, ibu mengatur
proyek pengembangan kota. Ibu merekrut para sukarelawan untuk
menjalankan tes kecakapan. Namun, sering kali juga, ibu mengatur
para pekerja untuk membantu kaum factionless dengan bantuan
makanan, tempat tinggal, dan kesempatan kerja.
"Benarkah?" tanya ayah. Masalah saat tes kecakapan jarang terjadi.
"Aku tidak terlalu mengerti, tapi temanku, Erin bilang ada sesuatu
yang salah dengan salah satu tes- nya, jadi hasil tesnya harus
diberikan secara lisan." Ibu meletakkan satu serbet di samping setiap
piring di meja. "Sepertinya murid itu sakit dan disuruh pulang lebih
awai." Ibu mengangkat bahu. "Aku harap mereka semua baik-baik saja.
Apa kalian mendengar sesuatu tentang itu?"
"Tidak," ujar Caleb. Ia tersenyum pada ibu. Kakakku juga tak bisa
menjadi seorang Candor. Kami duduk mengitari meja. Kami selalu
mengoper makanan ke kanan dan tak ada yang makan sampai semua
makanan disajikan. Ayah mengulurkan tangan ke arah ibu dan kakakku,
dan mereka mengulurkan tangan pada ayah dan aku. Ayah pun
bersyukur pada Tuhan atas makanan, pekerjaan, teman-teman, dan
keluarga. Tidak semua keluarga Abnegation religius, tapi ayah selalu
bilang kami harus mencoba tidak melihat perbedaan karena itu hanya
akan memecah belah kami. Aku tidak tahu harus berkata apa.
"Jadi," kata ibu pada ayah. "Katakan padaku."
Ibu meraih tangan ayah dan mengusapkan ibu jarinya di atas tonjolan
tulang tangan ayah dengan gerakan melingkar. Aku menatap mereka
yang saling berpegangan tangan. Orangtuaku saling mencintai, tapi
mereka jarang menunjukkan kasih sayang seperti ini depan kami.
Mereka mengajari kami kalau kontak itu begitu kuat, jadi aku sudah
terbiasa tidak nyaman dengan kontak fisik sejak aku masih kecil.
"Katakan padaku apa yang mengganggumu," tambahnya.
Aku menatap piringku. Indra peka ibuku terkadang mengejutkanku,
tapi sekarang rasanya seperti meledekku. Kenapa aku terlalu
memikirkan diriku sendiri sampai aku tidak memperhatikan sosok ayah
yang kuyu dan muram"
"Aku mengalami hari yang sulit di kantor," ujarnya. "Ya, sebenarnya,
Marcuslah yang tadi mengalami hari yang sulit. Aku tidak seharusnya
mengakuinya sebagai hariku"
Marcus adalah rekan kerja ayah. Mereka berdua adalah pemimpin
politik. Kota ini dipimpin oleh dewan yang terdiri dari lima puluh orang.
Seluruh anggota dewan tersusun dari wakil-wakil Abnegation; faksi
kamilah yang dianggap tidak korup karena komitmen kami untuk tidak
mementingkan diri sendiri. Pemimpin kami dipilih oleh rekan-rekannya
karena karakter yang tidak tercela, kegigihan moral, dan watak
Divergent Karya Veronica Roth di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepemimpinan. Perwakilan dari faksi lainnya bisa berbicara di dalam
sebuah pertemuan tentang masalah tertentu, tapi keputusan
sepenuhnya berada di tangan dewan. Dan, saat dewan membuat
keputusan bersama, Marcus adalah orang yang cukup berpengaruh.
Sistem ini sudah lama dianut sejak awai zaman kedamaian akbar, saat
faksi-faksi terbentuk. Kurasa sistem ini tetap dijalankan karena kami
takut apa yang mungkin terjadi jika tidak dijalankan: perang.
"Apakah ini karena laporan Jeanine Matthews?" ujar ibu. Jeanine
Matthews adalah satu-satunya wakil Erudite yang terpilih
berdasarkan nilai IQ-nya. Ayah sering mengeluh tentang wanita itu.
Aku mendongak. "Laporan?"
Caleb memberiku tatapan peringatan. Kami tidak seharusnya
berbicara di meja makan, kecuali apabila orangtua kami menanyai kami
langsung. Telinga yang suka mendengar adalah berkah, begitu kata
ayahku. Mereka memberikan kami kesempatan semacam itu setelah
makan malam, di ruang keluarga.
"Ya," ujar ayah dengan mata menyipit. "Laporan yang arogan,
mementingkan diri sendiri" ia berhenti sebentar dan berdeham.
"Maaf. Tapi, ia mengeluarkan laporan yang menyerang karakter
Marcus." Aku menaikkan alis. "Laporannya bilang apa?" tanyaku.
"Beatrice," ujar Caleb tenang.
Aku menundukkan kepala. Aku memainkan garpu tanpa henti sampai
merah di pipiku menghilang. Aku tidak suka ditegur. Apalagi oleh
kakakku. "Laporannya bilang," kata ayah, "kalau kekerasan dan kekejaman
Marcus terhadap anak laki-lakinyalah yang menjadi penyebab utama
anaknya memilih Dauntless daripada Abnegation."
Beberapa orang yang lahir di kaum Abnegation memutuskan untuk
meninggalkan faksinya. Jika ada yang melakukannya, tentu kami terus
mengingatnya. Dua tahun lalu, anak laki-laki Marcus, Tobias,
meninggalkan faksi kami untuk pindah ke Dauntless. Hati Marcus
hancur sejak itu. Tobias anak tunggalnya"dan satu-satunya keluarga
yang ia punya karena istrinya meninggal saat melahirkan anak kedua
mereka. Bayi itu menyusul ibunya beberapa menit kemudian.
Aku tak pernah bertemu Tobias. Ia jarang mendatangi acara
komunitas dan tak pernah ikut datang bersama ayahnya ke rumah
kami untuk makan malam. Ayah dulu sering menganggapnya aneh, tapi
sekarang itu bukan masalah.
"Kejam" Marcus?" ibu menggelengkan kepala. "Kasihan pria malang itu.
Ia tak perlu diingatkan atas kehilangannya itu."
"Atas pengkhianatan putranya, maksudmu?" tanya ayah dingin. "Di
titik ini aku takkan terkejut. Orang Erudite itu telah menyerang kita
dengan laporan semacam itu beberapa bulan ini. Dan ini bukanlah yang
terakhir. Akan ada lagi. Aku jamin itu."
Aku tak seharusnya bicara lagi, tapi aku tak bisa menahan diri. Aku
keceplosan, "Kenapa mereka melakukan ini?"
"Kenapa kau tak menggunakan kesempatan ini untuk mendengarkan
ayahmu, Beatrice?" ujar ibu lembut. Kalimat itu diucapkan seperti
sebuah saran, bukannya perintah. Aku menatap ke seberang meja ke
arah Caleb yang juga menatapku tidak setuju.
Aku menatap kacang-kacangku. Aku tidak yakin aku bisa hidup di
kehidupan yang penuh peraturan seperti ini lebih lama lagi. Aku tidak
cukup baik untuk itu. "Kau tahu alasannya," ujar ayah. "Karena kita memiliki apa yang
mereka mau. Menghargai ilmu pengetahuan di atas segalanya akan
berakhir dengan keinginan untuk kekuasaan. Dan, itulah yang
mendorong seseorang ke dalam tempat kosong dan gelap. Kita
seharusnya bersyukur karena kita memahaminya lebih baik."
Aku mengangguk. Aku tahu, aku takkan memilih Erudite, walau hasil
tesku mengatakan kalau aku bisa memilihnya. Aku anak perempuan
kesayangan ayah. Ayah dan ibu membersihkan meja setelah makan malam. Mereka
bahkan tak membiarkan Caleb membantu karena kami seharusnya
menyendiri di kamar daripada di ruang keluarga, sehingga kami bisa
memikirkan tentang hasil tes tadi.
Keluargaku mungkin bisa membantuku memilih, jika aku mau bicara
tentang hasilnya. Tapi, aku tidak bisa. Peringatan Tori terbayangbayang di ingatanku tiap kali keinginanku untuk menutup mulut goyah.
Aku dan Caleb menaiki tangga dan begitu kami sampai di atas, saat
kami memisahkan diri menuju kamar kami masing-masing, ia
menghentikanku dengan satu sentuhan di pundak.
"Beatrice," ujarnya sambil menatap mataku tajam "Kita harus
memikirkan keluarga kita." Ada penekanan di nada bicaranya. "Tapi,
kita juga harus memikirkan diri kita sendiri."
Untuk sejenak, aku menatapnya. Aku tak pernah melihatnya
memikirkan diri sendiri. Tak pernah mendengarnya memaksakan
sesuatu selain sikap tidak mementingkan diri sendiri.
Aku begitu terkejut dengan komentamya sampai aku hanya
mengatakan apa yang seharusnya kukatakan: "Tes itu tak perlu
mengubah pilihan kita."
Ia sedikit tersenyum. "Tapi memang begitu, kan?" Ia meremas bahuku
dan berjalan menuju kamarnya. Aku menemaninya menuju kamar dan
melihat tempat tidur yang belum rapi dan setumpuk buku di meja. Ia
menutup pintu. Kuharap aku bisa memberitahunya kalau kita sedang
menghadapi masalah yang sama. Kuharap aku bisa mengatakan sesuatu
padanya tepat seperti apa yang kuinginkan, bukannya seperti apa yang
seharusnya.aku katakan. Tapi, mengakui kalau aku butuh bantuan
terlalu besar untuk ditanggung, jadi aku berbalik.
Aku masuk ke kamar. Saat aku menutup pintunya, aku sadari
pilihannya mungkin sederhana. Akan butuh rasa tidak mementingkan
diri sendiri yang begitu besar untuk memilih Abnegation, atau rasa
keberanian yang besar untuk memilih Dauntless. Mungkin memilih
salah satu dari dua hal itu akan membuktikan tempat mana
seharusnya aku berada. Besok, kedua sifat itu akan bertarung di
dalam diriku. Dan, hanya satu yang bisa menang.
Bus yang kami tumpangi ke Upacara Pemilihan penuh dengan orangorang berbaju dan bercelana abu-abu. Seberkas cahaya matahari
pucat menembus kumpulan awan seperti bulatan ujung rokok yang
terbakar. Aku tidak akan pernah merokok"merokok erat sekali
dengan kesan kesombongan"tapi sekumpulan orang Candor merokok
di depan gedung saat kami turun dari bus.
Aku harus menengadahkan kepala untuk melihat bagian atas The Hub.
Walau begitu, tetap saja bagian teratasnya hilang ditelan awan. Ini
gedung tertinggi di kota. Aku bisa melihat lampu di atap dua
menaranya dari jendela kamarku.
Aku mengikuti orangtuaku turun dari bus. Caleb kelihatannya tenang,
tapi begitu pula denganku, jika aku tahu apa yang akan kulakukan.
Namun, aku malah merasa seakan jantungku akan melompat keluar
kapan saja. Aku meraih lengan Caleb agar bisa tegak berdiri saat
menaiki tangga depan. Lift begitu ramai, jadi ayah dengan sukarela memberikan tempatnya
pada sekelompok orang Amity. Kami malah menaiki tangga,
mengikutinya tanpa banyak pertanyaan. Kami memberikan contoh
untuk teman-teman sesama anggota faksi. Tak lama, kami bertiga
menjadi bagian dari sekelompok orang berpakaian abu-abu yang
serentak menaiki tangga diterangi cahaya seadanya. Aku menyamakan
langkahku. Suara juntai jubah abu-abu yang menggesek kaki yang
bergema di telingaku dan kesamaan orang-orang yang mengelilingiku
saat ini membuatku percaya aku bisa memilih faksi ini. Aku bisa
membaur dengan pola pikir khas Abnegation, selalu mementingkan
orang lain. Tapi, kemudian kakiku sakit. Aku susah bernapas. Sekali lagi pikiranku
terpecah. Kami harus menaiki dua puluh lantai untuk mencapai ruang
Upacara Pemilihan. Ayah memegang pintu di lantai dua puluh agar tetap terbuka dan
berdiri seperti penjaga saat setiap kaum Abnegation berjalan
melewatinya. Aku ingin menunggunya, tapi kerumunan orang di
belakang mendorongku ke depan keluar dari jalur tangga dan
memasuki ruangan di mana aku akan memutuskan masa depanku.
Ruangan ini disusun oleh beberapa lingkaran konsentris. Di sisi-sisinya
berdiri anak-anak berusia enam belas tahun dari setiap faksi. Kami
belum bisa dipanggil anggota faksi. Keputusan kami hari inilah yang
membuat kami menjadi peserta inisiasi. Kami akan menjadi anggota
jika kami menyelesaikan inisiasi.
Kami berbaris berdasarkan urutan abjad nama belakang kami, yang
mungkin akan kami tanggalkan hari ini. Aku berdiri di antara Caleb dan
Danielle Pohler, gadis Amity yang berpipi kemerahan dan gaun kuning.
Barisan bangku untuk keluarga kami berada di lingkaran selanjutnya.
Semua disusun dalam lima bagian sesuai dengan masing-masing faksi.
Tidak semuanya datang ke Upacara Pemilihan, tapi cukup banyak
untuk membuat orang-orang yang datang kelihatan ramai.
Tanggung jawab menyelenggarakan upacara ini dilakukan bergiliran
oleh setiap faksi. Kali ini giliran Abnegation. Marcus yang akan
memberikan pidato pembuka dan membacakan nama-nama dalam
urutan terbalik. Caleb akan memilih sebelum aku.
Di lingkaran terakhir ada lima mangkuk logam yang begitu besar
sampai bisa menyembunyikan tubuhku jika aku meringkuk. Masingmasing mangkuk berisi barang-barang yang mewakili masing-masing
faksi: Batu abu-abu untuk Abnegation, air untuk Erudite, tanah untuk
Amity, batu bara pijar untuk Dauntless, dan kaca untuk Candor.
Saat Marcus memanggil namaku, aku akan berjalan ke tengah tiga
lingkaran konsentris. Aku tidak boleh bicara. Ia akan memberiku
sebilah pisau. Pisau itu kugoreskan ke tangan dan meneteskan darahku
ke dalam mangkuk faksi yang kupilih.
Darahku di atas bebatuan itu. Darahku mendesis di atas batu bara
pijar. Sebelum ayah ibu duduk, mereka berdiri di hadapan aku dan Caleb.
Ayah mencium keningku dan menepuk bahu Caleb sambil tersenyum
lebar. "Sampai ketemu lagi," ujarnya. Tanpa ada jejak keraguan.
Ibu memelukku dan pertahananku yang tak seberapa hampir saja
runtuh. Aku mengatupkan rahang dan menatap langit-langit. Ada
lentera bola dunia yang tergantung di sana dan menerangi ruangan
dengan cahaya biru. Lama sekali ibu memelukku, bahkan setelah aku
membiarkan lenganku jatuh tak memeluknya lagi. Sebelum ia
melepaskan pelukan, ibu membisikkan sesuatu di telingaku. "Ibu
sayang kamu. Apa pun yang terjadi."
Aku mengernyit ke arah ibu saat beliau berjalan menjauh. Ibu tahu
apa yang mungkin akan kulakukan. Pasti ibu tahu. Kalau tidak, ibu
takkan merasa perlu mengatakannya.
Caleb menggenggam tanganku. Ia meremas telapak tanganku begitu
kuat, tapi aku tak melepaskannya. Terakhir kali kami berpegangan
tangan adalah saat pemakaman Paman. Saat itu ayah menangis.
Sekarang, kami saling membutuhkan kekuatan satu sama lain, persis
seperti waktu itu. Ruangan mulai penuh. Aku seharusnya mengamati Dauntless.
Seharusnya aku mencari informasi sebanyak mungkin, tapi aku hanya
bisa melihat lentera di penjuru ruangan. Aku mencoba berkonsentrasi
menatap cahaya kebiruan itu.
Marcus berdiri di podium yang berada di antara barisan Erudite dan
Dauntless. Ia berdeham di depan mikrofon.
"Selamat datang," ujarnya. "Selamat datang di Upacara Pemilihan.
Selamat datang di hari di mana kita menghormati filosofi demokratis
para leluhur kita, yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak
untuk memilih caranya menjalani hidup di dunia ini."
Atau, dalam kasusku, satu dari lima cara yang telah ditentukan. Aku
meremas jari-jari Caleb sekuat ia meremas jari-jariku.
"Para penerus kita sekarang telah berusia enam belas tahun. Mereka
berdiri di tebing kedewasaan dan sekarang mereka yang menentukan
sendiri akan menjadi apa mereka nantinya." Suara Marcus terdengar
khidmat dan memberi penekanan yang sama di tiap katanya.
"Beberapa puluh tahun lalu, leluhur kita menyadari bahwa bukan
ideologi politik, kepercayaan religius, ras, atau nasionalisme yang bisa
disalahkan atas dunia yang berperang. Mereka lebih yakin bahwa itu
kesalahan sifat manusia"kecenderungan manusia untuk berbuat
jahat, dalam bentuk apa pun. Maka, para leluhur membagi dunia dalam
lima faksi yang bertujuan untuk menghapus sifat-sifat yang dianggap
bertanggung jawab atas kekacauan di dunia."
Mataku menatap bergantian ke arah mangkuk- mangkuk di tengah
ruangan. Apa yang kupercayai" Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Aku
tidak tahu. "Mereka yang tidak menyukai peperangan, membentuk Amity."
Kaum Amity tersenyum satu sama lain. Mereka mengenakan pakaian
nyaman yang berwarna merah atau kuning. Tiap kali aku melihat
mereka, sepertinya mereka baik, penuh kasih sayang, dan lainnya.
Tapi, bergabung dengan mereka tak pernah menjadi pilihanku.
"Mereka yang tak menyukai ketidaktahuan, menjadi Erudite."
Mencoret Erudite dari daftarku adalah bagian pilihanku yang
termudah. "Mereka yang tidak menyukai kepalsuan, membentuk Candor."
Aku tak pernah suka Candor.
"Mereka yang tak menyukai pamrih dan egoisme, membentuk
Abnegation." Aku tak menyukai pamrih dan egoisme. Sungguh aku tidak suka.
"Dan, mereka yang membenci kepengecutan adalah para Dauntless."
Tapi, rasa egoisku masih tetap ada. Aku sudah mencoba selama enam
belas tahun dan aku tak pernah merasa benar-benar tak memiliki ego
dan pamrih. Kakiku seperti lumpuh. Rasanya seperti tak ada tanda kehidupan. Dan,
aku jadi bertanya-tanya bagaimana aku bisa berjalan saat namaku
dipanggil nanti. "Dengan bekerja sama, kelima faksi ini hidup damai selama bertahuntahun. Masing-masing berkontribusi untuk tiap sektor masyarakat
yang berbeda. Abnegation memenuhi kebutuhan kita akan pemimpin
tanpa pamrih di pemerintahan. Candor memberikan kita pemimpin
vokal dan bisa dipercaya di dunia hukum. Erudite menyediakan guruguru dan para peneliti yang pandai. Amity memberikan para konselor
dan perawat yang penuh pengertian. Dan, Dauntless memberikan kita
semua perlindungan, baik dari dalam maupun luar dunia kita sendiri.
Tapi, pencapaian masing-masing faksi itu tak terbatas hanya di area
ini. Kami memberikan satu sama lain lebih dari yang bisa dirangkum. Di
faksi kitalah, kita menemukan makna. Kita menemukan tujuan. Kita
menemukan hidup." Tebersit di pikiranku moto yang kubaca di buku cetak Sejarah Faksi:
Faksi Lebih Penting dari Pertalian Darah. Lebih dari keluarga. Faksi
adalah tempat kami sesungguhnya berada. Apa mungkin benar seperti
itu" Marcus menambahkan, "Tanpa faksi, kita takkan bertahan hidup."
Keheningan yang mengikuti kata-kata Marcus barusan lebih berat dari
keheningan mana pun. Berat oleh ketakutan terbesar kami, bahkan
lebih besar dari ketakutan akan kematian: menjadi factionless, tanpa
Komunitas. Marcus melanjutkan, "Oleh karena itu, hari ini diperingati sebagai
perayaan membahagiakan"hari di mana kita menerima para peserta
inisiasi baru yang akan bekerja sama dengan kita untuk masyarakat
yang lebih baik dan dunia yang lebih baik."
Tepuk tangan menggema. Suaranya seakan menenangkan. Aku
mencoba tetap berdiri tegak karena kakiku seperti terkunci dan
tubuhku kaku. Aku tidak gemetar. Marcus membaca nama pertama,
tapi aku tak bisa mendengar satu demi satu suku katanya. Bagaimana
aku akan tahu kalau ia nanti memanggil namaku"
Satu demi satu anak berumur enam belas tahun keluar dari barisan
dan berjalan menuju tengah ruangan. Gadis pertama yang memilih,
Divergent Karya Veronica Roth di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memutuskan memilih Amity, faksi tempatnya berasal. Aku melihat
tetes darahnya jatuh ke atas tanah dan ia berdiri di belakang kursi
Amity seorang diri. Ruangan ini terus bergerak. Nama yang baru dan orang baru yang
memilih. Sebilah pisau dan sebuah pilihan baru. Aku mengenali
sebagian besar dari mereka, tapi aku ragu mereka mengenalku.
"James Tlicker," ujar Marcus.
James Tlicker dari Dauntless adalah orang pertama yang terjungkal
saat melangkah menuju mangkuk. Ia menjulurkan tangan ke depan dan
mendapatkan lagi keseimbangannya sebelum tersungkur di lantai.
Wajahnya memerah dan ia berjalan cepat ke tengah ruangan. Saat ia
berada di sana, ia mengalihkan pandangan dari mangkuk Dauntless
menuju mangkuk Candor. Marcus memberikan pisau padanya. James Tlicker menarik napas
panjang"aku bisa melihat dadanya naik"dan saat ia menghela napas,
ia menerima pisau itu. Kemudian, ia menorehkannya ke telapak tangan
sambil bergidik dan menahan lengannya yang terjulur ke salah satu
sisi. Darahnya menetes di atas kaca. Ialah yang pertama yang
berpindah faksi. Perpindahan faksi yang pertama. Gumaman
menggema dari bagian Dauntless dan aku menunduk menatap lantai.
Mulai sekarang, mereka akan melihat James sebagai pengkhianat.
Keluarga Dauntlessnya akan memiliki pilihan untuk mengunjunginya di
faksinya yang baru, selama sepuluh hari pada Hari Kunjungan. Tapi,
keluarganya takkan melakukan itu karena ia telah meninggalkan
mereka. Ketidakhadirannya akan menghantui lorong aula keluarga. Ia
akan menjadi tempat kosong yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun.
Dan saat waktu berlalu, lubang itu menghilang, seperti saat organ
tubuh diambil dan digantikan cairan tubuh ke tempat yang kosong itu.
Manusia tidak bisa menghadapi kekosongan dalam waktu lama.
"Caleb Prior," ujar Marcus.
Caleb meremas tanganku sekali lagi untuk yang terakhir kali. Ia
berjalan menjauh sambil melihatku dari balik bahunya. Aku melihat
langkahnya yang makin mendekati bagian tengah ruangan. Tangannya
terlihat mantap saat menerima pisau dari Marcus. Tangannya pun
terlihat terampil saat menggoreskan pisau itu ke telapak tangan
satunya. Ia berdiri dengan darah menggenang di tangan dan bibir
tergigit menahan sakit. Ia mengembuskan napas. Lalu menariknya. Dan, ia menjulurkan tangan
ke atas mangkuk Erudite dan darahnya menetes ke dalam air. Air
dalam mangkuk memerah. Aku mendengar gumaman yang menjelma seperti pekikan penuh
amarah. Aku hampir tak bisa berpikir jemih. Kakakku, kakakku yang
tak memiliki pamrih, berpindah faksi" Kakakku, yang terlahir sebagai
seorang Abnegation, kini seorang Erudite"
Saat aku menutup mata, aku melihat tumpukan buku di atas meja
Caleb. Lalu, tangannya yang gemetar saat diusapkan ke celana selepas
Tes Kecakapan. Kenapa aku tak menyadarinya saat kemarin ia berkata
padaku untuk memikirkan masa depanku sendiri, sebenarnya ia sedang
memberi nasihat untuk dirinya sendiri"
Aku mengedarkan pandangan ke kumpulan Erudite"mereka tersenyum
penuh kepuasan dan saling menyikut satu sama lain. Abnegation, yang
biasanya begitu tenang, saling berbisik satu sama lain dengan nada
tinggi dan melirik ke seberang ruangan ke arah faksi yang telah
menjadi musuh mereka. "Permisi," ujar Marcus, tapi tak ada yang mendengarkannya. Ia
berteriak, "Mohon tenang!"
Ruangan menjadi hening. Kecuali, ada suara berdenging yang terus
mengusik. Kudengar namaku disebut dan rasa merinding mendorongku ke depan.
Setengah jalan sebelum mencapai mangkuk itu, aku yakin aku akan
memilih Abnegation. Aku bisa melihatnya sekarang. Aku melihat diriku
sendiri tumbuh menjadi wanita yang mengenakan jubah Abnegation,
menikahi kakak Susan, Robert, melakukan kerja sukarela di akhir
pekan kegiatan rutinitas yang menenangkan, malam-malam tenang
yang dihabiskan di depan perapian, kepastian kalau hidupku akan
aman. Dan, jika itu semua tidak cukup, aku akan menjadi lebih baik
dari diriku yang sekarang.
Suara denging itu, baru kusadari, datangnya dari telingaku sendiri.
Aku menatap Caleb yang sekarang berdiri di belakang kursi Erudite.
Ia menatapku balik dan sedikit mengangguk, seakan ia tahu apa yang
kupikirkan, dan menyetujuinya. Langkahku meragu. Jika seorang Caleb
pun tak merasa cocok hidup di Abnegation, bagaimana aku bisa
melakukannya" Tapi, pilihan apa yang kupunya. Sekarang, Caleb sudah
meninggalkan kami semua dan hanya aku yang tersisa. Ia tak
memberikanku pilihan lain.
Aku mengeraskan rahangku. Aku akan menjadi anak yang memutuskan
untuk tetap tinggal. Aku harus melakukan ini untuk ayah dan ibu.
Harus. Marcus memberiku pisau. Aku menatap matanya" matanya biru tua,
warna yang aneh"dan mengambil pisau itu. Ia mengangguk dan aku
berbalik menghadap barisan mangkuk. Api Dauntless dan batu
Abnegation, keduanya ada di sebelah kiriku. Satu di depan bahuku dan
satu di belakangku. Aku memegang pisau dengan tangan kanan dan
menekan bilahnya ke telapak tangan. Sambil menggertakkan gigi kuatkuat, aku menggoreskan pisau itu. Rasanya memang sakit, tapi aku
hampir tak memedulikannya. Aku meletakkan kedua tanganku di dada
dan helaan napasku berikutnya membuatku gemetar.
Aku membuka mata dan mengulurkan tangan. Darahku menetes di atas
karpet di antara kedua mangkuk. Lalu, dengan satu tarikan napas yang
tak bisa kutahan, aku menggerakkan tanganku ke depan, dan darahku
berdesis di atas batu bara yang berpijar.
Aku memang egois. Aku pemberani.
Aku terus menunduk dan berdiri di belakang para pemilih Dauntless
yang memutuskan untuk tetap berada di faksi mereka. Mereka jauh
lebih tinggi dariku, jadi bahkan ketika kudongakkan kepalaku, aku
hanya bisa melihat bahu-bahu mereka yang mengenakan pakaian
hitam. Ketika gadis terakhir selesai memilih"ia memilih Amity"
sekarang waktunya pergi. Dauntless meninggalkan ruangan terlebih
dahulu. Aku berjalan melewati orang-orang berjubah abu-abu yang
tadinya berada dalam satu faksi denganku. Mataku menatap lurus ke
arah kepala seseorang yang berjalan didepanku.
Tapi, aku harus melihat orangtuaku sekali lagi. Aku melirik mereka
dari balik bahuku di detik terakhir sebelum aku melewati mereka. Aku
mendadak menyesal melakukannya. Mata ayah menatapku tajam
dengan penuh tuduhan. Tadinya saat aku merasakan mataku panas, aku
pikir ayah akan membuatku marah dengan cara menghukumku atas apa
yang telah kulakukan. Tapi tidak, hampir saja aku menangis.
Di sebelahnya, ibuku tersenyum.
Orang-orang di belakangku terus mendorongku maju, meninggalkan
keluargaku, yang mungkin saja menjadi orang terakhir yang pergi.
Bahkan, mereka mungkin saja tetap berada di sana untuk
membereskan kursi dan membersihkan mangkuk. Aku memutar
kepalaku mencari Caleb di kerumunan Erudite di belakangku. Ia
berdiri di antara para pemilih Erudite. Ia bersalaman dengan anak
yang berpindah faksi juga seperti dirinya. Tadinya anak itu seorang
Candor. Senyum ringan yang ia tampilkan adalah sebuah
pengkhianatan. Perutku melilit dan aku membalikkan badan. Jika ini
begitu mudah untuknya, mungkin seharusnya mudah pula bagiku.
Aku melirik ke arah anak laki-laki di sebelahku yang tadinya seorang
Erudite. Sekarang, ia terlihat sama pucat dan gugupnya seperti yang
kurasakan sekarang. Aku menghabiskan waktu untuk mencemaskan
faksi mana yang aku pilih dan tak pernah memikirkan apa yang terjadi
padaku jika aku memilih Dauntless. Siapa yang nanti menyambutku di
markas pusat Dauntless"
Kerumunan Dauntless menuntun kami ke arah tangga, bukannya lift.
Kupikir hanya Abnegation yang menggunakan tangga.
Lalu, semuanya mulai berlari. Aku dengar sorak- sorai, teriakan, dan
tawa di sekelilingku. Suara derap puluhan kaki yang bergerak dengan
irama berbeda. Bagi Dauntless,menggunakan tangga bukanjukkan
sikap tak mementingkan diri sendiri; itusifat penuh kebebasan.
"Apa yang terjadi?" tanya anak laki-laki di Sebelahku.
Aku menggeleng dan ikut berlari. Aku kehabisan napas saat mencapai
lantai satu dan para Dauntless pun bergegas menembus pintu keluar.
Di luar sana udara begitu menggigit dan dingin. Langit berwarna
jingga karena senja. Cahayanya terserap oleh kaca hitam the Hub.
Para Dauntless menghambur keluar ke jalanan dan menutupi laju
sebuah bus. Aku berlari cepat untuk mengejar ketertinggalanku dari
bagian belakang kerumunan. Kebingunganku memudar saat aku berlari.
Aku tak pernah lari dalam waktu lama. Abnegation dengan tegas
melarang orang-orangnya untuk melakukan apa pun yang bersifat
kesukaan. Kini, paru-paruku seperti terbakar. Ototku terasa sakit.
Namun, ada rasa senang yang membebaskan karena berlari cepat. Aku
mengikuti Dauntless lainnya menyusun jalanan dan memutar di sudut
jalan. Tak lama aku mendengar suara yang tak asing. Peluit kereta api.
"Oh tidak," gumam anak Erudite tadi. "Apa harus melompat ke kereta
itu?" "Ya," jawabku terengah-engah.
Untungnya aku menghabiskan banyak waktu - lihat para Dauntless
tiba di sekolah. Kerumunan menyebar berjajar membentuk garis
panjang. Kereta melaju di atas rel baja melewati kami. Cahaya
lampunya menyilaukan mata. Suara peluitnya memekakkan telinga.
Pintu setiap gerbongnya terbuka, menunggu para Dauntless melompat
masuk. Dan, mereka benar-benar melakukannya. Satu kelompok demi
satu ke- lompok. Sampai hanya kami, para pemilih baru, yang
tertinggal. Para pemilih asli Dauntless sudah terbiasa melakukannya.
Jadi dalam waktu sekejap, hanya para pemilih dari faksi berbeda yang
tersisa. Aku melangkah ke depan dengan beberapa anak lainnya dan mulai
berlari. Kami berlari mengikuti gerbong beberapa langkah, lalu
melompat ke dalamnya. Aku tidak setinggi atau sekuat yang lain, jadi
aku tak bisa cukup kuat mendorong diriku masuk ke gerbong. Aku
meraih pegangan di dekat pintu masuk. Bahuku membentur gerbong
dengan keras. Lenganku gemetar dan akhimya seorang gadis Candor
menarik tanganku masuk ke dalam. Sambil terengah-engah, aku
berterima kasih. Terdengar teriakan dan aku menoleh ke belakang. Seorang anak lakilaki Erudite berambut merah mengulurkan tangannya untuk mengejar
kereta. Lalu, seorang anak perempuan Erudite mengulurkan tangan
untuk meraihnya. Ia mengulurkan sejauh mungkin. Tapi, pemuda itu
terlalu jauh. Ia tersungkur di samping rel saat kami melaju menjauh.
Ia hanya membenamkan kepala di tangannya.
Rasanya aku hampir muntah. Anak itu baru saja gagal dalam inisiasi
Dauntless. Sekarang, ia menjadi factionless. Itu bisa terjadi kapan
saja. "Kau baik-baik saja?" tanya gadis Candor yang tadi menolongku. Gadis
itu tinggi, berkulit gelap dengan rambut pendek. Gadis yang cantik.
Aku mengangguk. "Aku Christina," ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Sudah lama aku tak bersalaman. Abnegation saling memberi salam
dengan menganggukkan kepala. Itu tanda hormat. Aku menyalaminya.
Sedikit ragu, tapi kuayunkan tanganku dua kali. Semoga iaku tidak
menggenggamnya terlalu kuat atau terlalu lemah.
"Beatrice," kataku.
"Apa kau tahu kita mau ke mana?" ia harus berteriak menembus deru
angin yang bertiup makin kencang melalui pintu terbuka. Keretanya
melaju makin cepat. Aku duduk. Akan lebih mudah menjaga
keseimbangan jika posisiku lebih rendah. Gadis itu menatapku.
"Kereta yang cepat menimbulkan angin yang besar," kataku. "Angin
bisa membuatmu terlempar keluar. Duduk sini."
Christina duduk di sampingku, sedilkt lebih mundur sembari
bersandar di dinding. "Kurasa kita menuju markas besar Dauntless," kataku, "tapi, aku tak
tahu di mana." "Apa ada yang tahu?" ia menggeleng sambil tersenyum lebar.
"Sepertinya mereka muncul begitu saja dari lubang di dalam tanah
atau semacamnya." Lalu, angin mendadak menyeruak masuk ke dalam gerbong. Beberapa
anak pindahan faksi lain terhempas angin itu dan saling tersungkur
menimpa satu sama lain. Aku melihat Christina tertawa tanpa bisa
mendengarnya. Aku mencoba tersenyum.
Dari balik bahu kiriku, ada cahaya senja berwarna jingga yang
memantul di gedung-gedung kaca. Samar- samar, aku bisa melihat
barisan rumah-rumah bercat abu-abu yang dulunya rumahku.
Sekarang, giliran Caleb menyiapkan makan malam. Siapa yang akan
menggantikannya"ibu atau ayah" Dan, saat mereka membersihkan
kamarnya, apa yang akan mereka temukan" Bisa kubayangkan bukubuku berjejalan di antara lemari dan dinding. Ada juga di bawah
kasur. Rasa haus Erudite akan ilmu pengetahuan telah mengisi seluruh
tempat tersembunyi di kamar itu. Apa ia selalu tahu kalau ia akan
memilih Erudite" Dan jika benar, bagaimana bisa aku sampai tidak
tahu" Caleb aktor Ulung. Hal itu membuatku sakit perut. Bahkan, meski aku
juga meninggalkan ayah ibu, setidaknya aku tidak berpura-pura.
Setidaknya mereka tahu aku bukan orang yang tanpa pamrih.
Aku menutup mata dan membayangkan ayah ibu duduk di meja makan
tanpa berkata apa-apa. Apakah ini sedikit petunjuk dari rasa tanpa
pamrih yang kumiliki sehingga tenggorokanku seperti tercekat saat
memikirkan mereka" Atau, ini sebentuk rasa mementingkan diri
sendiri karena aku tahu aku takkan menjadi anak perempuan
kesayangan mereka lagi"
"Mereka melompat!"
Aku mendongak. Leherku terasa sakit. Selama setengah jam aku
meringkuk sambil bersandar di dinding; mendengar suara deru angin
dan melihat bayangan kota yang menjauh. Aku membungkuk ke depan.
Kereta mulai melambat beberapa menit terakhir dan aku tahu kalau
anak yang tadi berteriak benar. Para Dauntless di gerbong depan
melompat keluar saat kereta melewati atap sebuah bangunan.
Jalurnya setinggi gedung tujuh lantai.
Melompat keluar dari kereta yang sedang bergerak ke arah atap
bangunan, melihat jarak di antara ujung atap dan sisi jalur kereta,
membuatku mau muntah. Aku memaksakan diri untuk berdiri dan
tersandung ke arah sebaliknya di mana semua pemilih pindahan
berdiri. "Jadi, kita juga harus melompat," ujar seorang gadis Candor. Ia
memiliki hidung besar dan gigi bengkok.
"Bagus," jawab seorang pemuda Candor, "karena itu sangat masuk
akal, Molly. Lompat dari kereta ke atas atap gedung."
"Inilah yang telah kita pilih, Peter." Gadis itu menjelaskan.
"Yah, aku takkan melakukannya," ujar seorang pemuda Amity di
belakangku. Kulitnya seperti warna buah zaitun dan mengenakan kaus
cokelat"ia satu-satunya pindahan dari Amity. Pipinya dipenuhi dengan
air mata. "Kau harus melakukannya," ujar Christina, "atau kau gagal. Ayo, semua
akan baik-baik saja."
"Tidak akan! Lebih baik aku menjadi factionless daripada mati!"
Pemuda Amity itu menggeleng. Ke-dengarannya ia panik. Ia terus saja
menggeleng dan menatap atap gedung yang makin mendekat.
Aku tak setuju dengannya. Aku lebih baik mati daripada hidup hampa
seperti kaum factionless.
"Kau tak bisa memaksanya," ujarku melirik Christina. Mata cokelatnya
membesar dan ia merapatkan bibimya begitu kuat sampai bibirnya
memucat. Ia mengulurkan tangan padaku.
"Yuk," ujarnya. Aku bekernyit melihat tangannya. Hampir saja aku
Divergent Karya Veronica Roth di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bilang aku tidak butuh bantuan, tapi ia melanjutkan, "aku cuma,... tak
bisa melakukannya, kecuali seseorang menyeretku."
Aku meraih tangannya dan kami berdiri di pinggir pintu gerbong.
Begitu mencapai atap aku menghitung, "satu, ... dua, ... tiga"
Di hitungan ketiga, kami melompat keluar dari gerbong. Momen
melayang sejenak. Lalu, kakiku membentur tanah keras dan tulang
keringku terasa sakit. Pendaratan yang keras membuatku tersungkur di atap gedung. Pipiku
menyentuh permukaan atap yang berbatu. Kulepaskan tangan
Christina. Ia tertawa. "Tadi itu menyenangkan," ujarnya.
Christina akan ?"?"" menjadi kaum Dauntless yang mencari
tantangan. Aku menepuk pipiku dari butiran batu. Semua pemilih baru,
kecuali anak Amity tadi, berhasil mencapai atap dengan berbagai
tahap kesuksesan. Gadis bergigi melengkung tadi, Molly, memegangi
pergelangan kakinya sambil meringis. Peter, anak Candor yang
berambut mengilat, tersenyum bangga"pasti tadi ia mendarat
mantap dengan kedua kakinya.
Lalu, kudengar suara erangan. Aku membalikkan badan dan mencari
sumber suara. Seorang gadis Dauntless berdiri di pinggir atap dan
melihat ke bawah. Ia menjerit. Di belakangnya ada pemuda Dauntless
yang memegangi pinggangnya agar ia tidak jatuh.
"Rita," ujarnya, "Rita, tenang, Rita."
Aku berdiri dan melongok ke bawah sana. Ada sesosok tubuh
tergeletak di trotoar bawah. Seorang gadis dengan tangan dan kaki
yang menekuk ganjil. Rambutnya tergerai di sekitar kepalanya.
Perutku mual dan aku menatap jalur kereta. Tak semuanya berhasil.
Dan, bahkan Dauntless pun tidak selamat.
Rita berlutut dan menangis. Aku berbalik menatapnya. Semakin lama
aku menatapnya, semakin aku ingin menangis, tapi aku tak boleh
menangis di depan orang-orang ini.
Aku berkata pada diriku, setegas mungkin, inilah cara hidup yang
berlaku di sini. Kita melakukan hal- hal berbahaya dan orang bisa
mati. Saat ada yang mati, kami tetap melanjutkan melakukan hal
berbahaya. Semakin cepat aku memahami pelajaran ini,
kemungkinanku lebih besar untuk bertahan melewati inisiasi.
Aku tak lagi yakin kalau aku akan bertahan melewati inisiasi.
Aku berkata pada diriku sendiri aku akan menghitung sampai tiga. Dan
begitu hitunganku selesai, aku akan melanjutkan ini semua. Satu. Aku
membayangkan tubuh gadis yang tergeletak di pelataran. Rasa
merinding merayapiku. Dua. Aku dengar isakan Rita dan gumaman
semangat dari anak laki-laki di belakangnya. Tiga.
Bibirku melengkung penuh tekad. Aku melangkah menjauh dari Rita
dan pinggiran atap. Sikuku terasa sakit. Aku menarik lengan bajuku ke atas untuk
memeriksanya. Tanganku gemetar. Ada kulit yang tergores, tapi tidak
berdarah. "Oh, ini skandal! Si Orang Kaku memamerkan kulitnya!"
Aku mendongak. "Orang kaku" adalah sebutan untuk Abnegation dan
akulah satu-satunya Abnegation di sini. Peter menunjukku sambil
menyeringai. Kudengar mereka menertawaiku. Pipiku langsung
memerah dan aku biarkan lengan bajuku turun.
"Dengar! Namaku Max! Aku salah satu pemimpin di faksi kalian yang
baru!" teriak seorang di sisi atap lainnya. Ia lebih tua dari yang lain.
Ada guratan di kulit gelapnya dan uban di pelipisnya. Ia berdiri di
pinggir atap seakan itu sebuah trotoar. Seakan tidak ada seseorang
yang baru menemui ajalnya di tempat itu.
"Beberapa lantai di bawah kita adalah pintu masuk anggota faksi kita.
Kalau kalian tak bisa mengumpulkan keberanian untuk melompat,
kalian tidak berhak berada di sini. Para pemilih baru mendapatkan hak
untuk melompat duluan."
"Kau mau kita semua melompat dari sini?" tanya seorang gadis
Erudite. Ia beberapa inci lebih tinggi dariku dengan rambut cokelat
tua dan bibir tebal. Mulutnya menganga.
Aku tak tahu kenapa itu mengejutkannya.
"Ya," ujar Max. Ia kelihatan senang.
"Apa ada kolam atau semacamnya di bawah sana?" "Siapa tahu?" Ia
menaikkan alisnya. Kerumunan Dauntless di depan para pemilih baru terbagi dua dan
memberikan jalan yang lebar untuk kami semua. Aku melihat
sekeliling. Tak ada yang kelihatannya mau melompati gedung ini"mata
mereka menatap ke segala arah, kecuali ke arah Max. Sebagian dari
mereka mengelus luka kecil atau menepuk kerikil dari pakaian mereka.
Aku melirik ke arah Peter. Ia sedang mencongkeli salah satu kukunya.
Mencoba bersikap tak peduli.
Harga diriku tertantang. Mungkin ini nanti akan membuatku terkena
masalah, tapi sekarang ini membuatku berani. Aku berjalan ke pinggir
atap. Kudengar gelak tawa pecah di belakangku.
Max bergeser memberiku jalan. Aku berjalan ke tepi atap dan melihat
ke bawah. Angin melecut-lecut mengibas pakaianku. Gedung tempatku
bersiap meloncat berada di salah satu sisi segiempat dengan tiga
gedung lainnya. Di pusat segiempat ini ada lubang besar di tengah
lapangan beton. Aku tak bisa melihat apa yang ada di dalamnya.
Ini adalah taktik yang mengerikan. Aku pasti akan mendarat dengan
aman di bawahnya. Keyakinan itu adalah satu-satunya hal yang
membantuku melangkah ke pinggir atap. Gigiku menggertak. Sekarang,
aku tak bisa kembali. Tidak ketika semua orang di belakangku
bertaruh aku akan gagal. Tanganku meraba kerah jubah dan aku
menyentuh kancing yang mengaitkannya. Setelah beberapa kali
mencoba, aku melepaskan kaitan kerah dan melepas jubahku.
Di balik itu aku mengenakan kaus abu-abu. Kausnya lebih ketat dari
pakaian mana pun yang kupunya. Tak satu pun yang pernah melihatku
mengenakannya. Aku menggulung jubahku dan melirik ke arah Peter di
belakangku. Aku melemparkan gulungan itu sekeras yang kubisa.
Rahangku mengatup keras. Jubahku membentur tepat di dadanya.
Peter menatapku.Terdengar ejekan dan teriakan di belakangku.
Kulihat lubang itu sekali lagi. Bulu di lengan pucatku merinding dan
perutku mengejang. Jika tidak kulakukan sekarang, aku takkan bisa
melakukannya sama sekali. Aku menelan ludah susah payah.
Aku tidak berpikir. Aku hanya menekuk lututku " dan melompat.
Udara bergemuruh di telingaku saat dataran dibawah sana terasa
makin dekat. Membesar dan melebar. Atau, sebenarnya akulah yang
melayang mendekati tanah. Jantungku berdebar terlalu keras sampai
terasa sakit. Setiap otot di tubuhku menegang saat sensasi jatuh ini
seakan menarik perutku ke bawah. Lubang itu langsung menelanku dan
aku jatuh di kegelapan. Aku membentur sesuatu yang keras. Rasanya seperti menelanku dan
mengayun tubuhku. Benturannya mengembuskan angin dan aku
terkesiap berusaha untuk menarik napas lagi. Lengan dan kakiku
terasa sakit. Jaring. Ada jaring di bagian bawah lubang. Aku mendongak ke arah
gedung itu dan tertawa. Setengah lega, setengah histeris. Tubuhku
bergetar dan aku menutup wajah dengan tangan. Aku baru saja
melompat dari atap. Aku harus berdiri di tanah padat lagi. Aku melihat beberapa tangan
terulur ke arahku di pinggir jaring. Jadi, kutarik tangan pertama yang
bisa kuraih dan langsung mendorong diriku sendiri ke depan. Aku
berguling dan pasti aku sudah tersungkur dengan wajah membentur
lantai kayu jika pria itu tak menangkapku.
"Pria itu" adalah seorang pemuda pemilik tangan yang tadi kuraih. Ia
memiliki bibir atas yang tipis dan bibir bawah yang penuh. Sepasang
mata sayu dan bulu mata yang sangat lentik. Matanya berwarna biru,
warna yang mewakili mimpi, tidur, dan penantian.
Tangannya menggenggam lenganku, tapi ia melepaskanku tak lama
setelah aku bisa berdiri tegak lagi.
"Terima kasih," kataku.
Kami berdiri di sebuah platform setinggi tiga meter di bawah tanah.
Di sekeliling kami adalah sebuah gua terbuka.
"Tak bisa dipercaya," sebuah suara terdengar dari balik pria itu.
Larung 4 Gajah Mada Perang Bubat Karya Langit Kresna Hariadi Budha Pedang Penyamun Terbang 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama