Ceritasilat Novel Online

Kuil Kencana 3

Kuil Kencana Kinkakuji Karya Yukio Mishima Bagian 3


Tsurukawa tidak senang dengan persahabatanku dengan Kashiwagi. Ia memberi aku nasihat yang sangat ramah sekali tentang itu, tapi aku hanya jengkel karenanya. Aku sampai menangkis keberatan-keberatannya dengan mengatakan bahwa bagi orang seperti dia mungkin saja untuk memperoleh kawan baik, tapi bagiku Kashiwagi adalah kawan yang cukup menyenangkan. Alangkah menyesalnya aku kemudian jika kuingat kesan sedih yang tak dapat dikatakan tampak di mata Tsurukawa pada saat itu! *** Dalam bulan Mei Kashiwagi merencanakan berjalan-jalan ke Arashiyama di pinggiran kota Kyoto. Untuk menghindarkan 144 orang banyak di akhir pekan, ia memutuskan untuk libur sehari di pertengahan minggu. Anehnya ia menyatakan bahwa ia tidak akan pergi kalau cuaca baik, tapi hanya kalau hari mendung. Ia akan mengajak gadis dari rumah bergaya Spanyol itu dan untukku ia telah berusaha mengajak gadis dari rumah tempat ia menginap. Kami akan bertemu di stasiun Kitano, di lintas kereta listrik Keifuku. Untunglah hari itu hari yang luar biasa kalau kita perhitungkan musim " berawan dan memurungkan sama seperti yang dikehendaki Kashiwagi. Kebetulan waktu itu Tsurukawa lagi menghadapi suatu masalah keluarga, hingga ia terpaksa mengambil cuti seminggu untuk pergi ke Tokyo. Hal ini sesuai sekali untukku. Biarpun Tsurukawa bukan orang yang suka mengadukan aku di kuil, aku merasa senang karena tak usah menyelinap lari dari dia setelah datang bersama dia ke universitas pagi-pagi. Nah, kenanganku tentang perjalanan itu adalah kenangan yang getir. Keempat kami yang akan pergi ke Arashiyama. adalah orang-orangmuda, dan seluruh hari seolah-olah diwarnai oleh kesuraman, kejengkelan, kegelisahan dan kehampaan yang merupakan bagian dari usia muda. Kashiwagi rupa-mpanya telah memperhitungkan semuanya dan dengan sengaja memilih hari yang mendung. Waktu itu bertiup angin barat daya; justru pada saat orang mengira akan bertiup dengan kekuatan penuh, tiba-tiba mati dan kendur, untuk kemudian disusul oleh hembusan keras. Langit berawan, tapi sekali-sekali matahari masih mengintip. Sebagian awan bersinar putih, laik dada putih seorang perempuan yang samar-samar dapat kita kira-kirakan di balik pakaian yang berlapis-lapis; tapi di kejauhan keputihan makin kabur, dan biarpun kita masih bisa tahu di mana matahari berada, ia telah berpadu dengan warna langit yang polos, dan membosankan. 145 Kashiwagi tidak berdusta waktu ia bercerita padaku perihal perjalanan itu. Ia muncul tepat pada waktunya di stasiun didampingi kedua gadis muda itu. Yang seorang memang gadis yang telah pernah kami temui. Seorang gadis cantik dengan hidung mancung dan sejuk dan mulut yang longgar; ia menyandang sebuah botol air di bahu bajunya yang menurut penglihatanku terbuat dari bahan luar negeri. Di sampingnya berdiri gadis gemuk dari rumah penginapan dengan pakaian dan potongan yang jauh lebih buruk. Hanya dagunya yang kecil dan bibimya yang kelihatan seolah-olah dikancing, memiliki sifat-sifat gadis yang menarik. Suasana tiburan. yang mestinya menyenangkan, telah mulai rusak waktu di kereta. Aku tak dapat mendengar dengan jelas apa yang diperkatakan Kashiwagi dan kawannya gadis muda itu, tapi mereka tidak berhenti-hentinya bertengkar. Kadang-kadang gadis itu menggigit bibirnya untuk menahan air matanya. Gadis dari rumah penginapan kelihatannya tidak perduli apa-apa dan duduk sambil menyenandungkan sebuah Iagu populer Iambat-lambat. Tiba-tiba ia berpaling padaku lalu menceritakan kisah berikut padaku: "Ada seorang perempuan cantik sekali, guru mengarang bunga yang tinggal dekat rumah kami. Pada suatu hari ia menceritakan sebuah kisah yang sedih sekali padaku. Ia punya seorang kawan pria semasa perang. Prti itu seorang perwira tentara dan pada suatu saat datanglah waktu baginya berangkat ke seberang lautan. Mereka hanya punya waktu untuk mengadakan perpisahan singkat da Kuil Nanzen. Orang tua mereka tidak menyetujui hubungan itu, tapi hal ini tidak menghalangi mereka dan tidak lama kemudian gadis itu mengandung. Perempuan malang itu melahirkan bayi yang sudah mati. Perwira itu rusuh sekali karenanya. Waktu pertemuan mereka yang terakhir, ia berkata, bahwa jika tidak bisa memperoleh 146 anak, setidak-tidaknya ia ingin minum air susu dari susu perempuan itu. Mereka tidak punya waktu pergi ke tempat lain, karenanya, pada saat itu dan di tempat itu juga si perempuan memerah air susu dari susunya ke dalam secangkir teh lalu memberikannya kepada laki-laki itu untuk diminum. Sebulan kemudian lelaki itu tewas di medan perang. Semenjak itu perempuan itu hidup sendiri dan tidak pernah lagi punya hubungan asmara. Dia perempuan yang betul-betul cantik dan masih muda." Aku hampir-hampir tak bisa percaya pada pendengaranku. Peristiwa mustahil yang kusaksikan bersama Tsurukawa menjelang akhir masa perang dari puncak gerbang Kuil Nanzen muncul dalam fikiranku. Aku memutuskan tidak menceritakan kenanganku pada gadis itu. Karena aku merasa, jika hal itu kuceritakan, maka emosi yang kini kurasakan setelah mendengar ceritanya akan mengungkapkan rasa misterius yang melingkupi aku pada hari itu di kuil. Jika tidak kuceritakan, maka kisah gadis itu bukan merupakan pemecahan teka-teki rahasia tersebut, tapi malahan memperku-at rahasia itu dan membuatnya lebih dalam. Kereta api melewati rumpun bambu lebat dekat Kolam Narutaki. Karena waktu itu bulan Mei, maka daun-daun bambu itu mulai berwarna kuning. Angin bertiup di sela-sela rantingnya, lalu meniup dedaunan kering hingga jatuh ke permukaan rumpun bambu yang lebat ditebari dedaunan; tapi bagian bawah bambu itu seolah-olah tidak punya hubungan apa-apa dengan ini, dan berada di sana tenggelam tenang dalam diri sendiri, dengan buku-bukunya yang besar-besar jalin-berjalin. Hanya sewaktu kereta api lewat, bambu terdekat berusaha keras untuk membungkuk dan bergoyang. Sebatang bambu muda berkilat jelas sekali kelihatan di antaranya. Caranya-yang begitu susah untuk meliuk memberikan kesan 147 suatu gerakan aneh dan memukau padaku; ia kulihat, lalu sesudah itu ia bergerak pergi ke kejauhan lalu menghilang. Waktu kami sampai ke Arashiyama, kami berjalan ke arah Jembatan Togetsu lalu sampai ke kuburan Puteri Kogo yang sebelum itu belum pernah kami lihat. Selama beratus-ratus tahun yang lalu, puteri ini "menyembunyikan diri di Sagano karena takut pada kemarahan Taira no Kiyomori. Minamoto no Nakakuni mulai mencari dia atas perintah Kaisar, lalu menemui tempat persembunyiannya karena bunyi kecapi yang hilang-hilang timbul yang ia dengar pada suatu malam bulan purnama musim gugur. Lagu yang dimainkan puteri itu ialah "Kenangan kasih seorang suami." Dalam sandiwara No Kogo dituUs: "Waktu ia timbul ke tengah malam, penuh dengan kerinduan pada cahaya bulan, ia sampai ke Horin lalu di sanalah ia dengar bunyi kecapi. ,Ia tidak tahu apakah bunyi itu bunyi topan yang menghembus di puncak-puncak gunung atau bunyi angin yang bersiul di sela-sela pohon tusam. Waktu ia tanyakan lagu apa yang dimainkan oleh wanita itu, orang mengatakan bahwa lagu itu adalah lagu: "Kenangan kasih seorang suami." Lalu besarlah hatinya; karena ini adalah suatu tanda bahwa yang memainkan lagu itu ingat pada suaminya dengan perasaan penuh kasih." Puteri Kogo menghabiskan sisa hidupnya di Sagano, sambil berdoa untuk keselamatan' masa depan Kaisar Takakura. Kuburan yang berada di ujung sebuah jalan'sempit, tidak lebih dari sebuah tiang batu kecil yang ditanam antara sebatang pohon mapel besar dan sebatang pohon pruim yang sudah layu. Kashiwagi dan aku membaca sutra sebagai suatu persembahan saleh pada puteri yang telah tiada itu. Dalam kesahduan cara Kashiwagi mengucapkan kata-kata suei itu terasa sesuatu yang bersifat murtad. Caranya 148 menjangkiti aku, hingga aku pun membaca sutra dengan cara gembira seperti biasanya pelajar-pelajar menyenandungkan sebuah lagu melalui hidungnya. Penajisan yang sedikit ini kuperlukan untuk membebaskan semangatku sampai ke tingkat yang luar biasa dan membuat aku jadi lebih bergairah. "Ada sesuatu yang jembel sekali pada kuburan-kuburan bangsawan seperti ini," kata Kashiwagi. "Kekuasaan politik dan kekuasaan harta menghasilkan kuburan-kuburan bagus. Kuburan yang betul-betul mempesonakan. Orang-orang itu tidak pernah memiliki imajinasi waktu mereka hidup, dan karena itu wajar sekali jika kuburan mereka juga tidak memberi peluang untuk imajinasi. Tapi manusia-manusia yang berbangsa hanya hidup berdasarkan imajinasi mereka sendiri dan imajinasi orang lain, hingga mereka menrnggalkan kuburan seperti ini, yang tidak bisa tidak menggoncangkan imajinasi kita. Dan hal' ini bagiku terasa lebih sialan. Orang-orang seperti itu tidak bisa berhenti, bahkan setelah mereka mati, untuk memohonkan pada orang. supaya mempergunakan kekuatan imajinasi." "Maksudmu, kau mau mengatakan bahwa kaum bangsawan hanya ada berkat kekuasaan imajinasi?" kataku menyertai percakapan itu dengan riang. "Kau sering bicara tentang kenyataan. Menurut kau apa kenyataan kebangsawanan?" "Ini!" kata Kashiwagi, sambil menepuk puncak tiang yang tertutup lumut itu. "Tulang atau batu " endapan bukan organis yang ditinggalkan orang setelah mati." "Kau betul-betul seorang Budhis dalam pandanganmu," kataku. i "Apa pula hubungannya dengan Budhisme atau yang sebangsa dengan itu?" kata Kashiwagi. "Kebangsawanan, kebudayaan, semua yang dianggap orang estetik " kenyataan dari semuanya itu mandul dan bukan organik. Bukankah 1149 Kuil Ryuan yang kaulihat, tidak lebih dari sekadar tumpukan batu. Filsafat, seni " semuanya batu. Satu-satunya masalah. yang dimiliki manusia ialah politik. Sayang sekali, 'kan" Kita hampir-hampir dapat mengatakan bahwa manusia tidak lebih dari mahluk yang mencemarkan diri sendiri." "Bagaimana dengan keinginan seksuil" Di mana tempatnya?" "Keinginan seksuil" Di antara keduanya. Soalnya adalah soal berputar-putar dalam sebuah lingkaran setan, dari manusia jadi baru, lalu kembali lagi jadi manusia, bagai permainan orang buta." Aku serta-merta ingin menambahkan sesuatu untuk mengingkari keindahan dalam pemikirannya, tapi kedua gadis itu jadi bosan mendengar percakapan kami lalu mulai berjalan kembali menyusur jalan sempit itu. Kami berbalik lalu mengikuti mereka. Dari jalan itu bisa kelihatan Sungai Hozu. Kami sudah sampai ke dekat bendungan di sebelah utara Jembatan Togetsu. Bukit-bukit Ranzen di seberang sungai penuh dengan kehijauan murung, tapi justru di tempat itu sebuah garis hidup terdiri dari ruap busa melintang sungai, lalu udara penuh dengan bunyi gemuruh air. Kami berjalan menyusuri sungai sampai ke Taman Kameyama di ujung jalan. Di sana, di sungai terdapat sejumlah perahu, tapi waktu kami memasuki gerbang taman, satu-satunya yang kami temui di sana hanya kertas bekas bertebaran: jelas bahwa hari ini hanya sedikit sekali pengunjung yang datang. Di gerbang kami berbalik lalu memandang sekali lagi ke Sungai Hozu dan kehijauan Arashiyama. Kita dapat melihat sebuah air terjun kecil di seberang sungai. "Pemandangan yang indah adalah neraka, ya 'kan?" kata Kashiwagi. Aku merasa Kashiwagi telah bicara sepenuh hati umum 150 waktu ia mengucapkan ini. Sungguhpun begitu aku mencoba melihat pemandangan itu dengan mata Kashiwagi dan mengenalinya sebagai neraka, seperti yang ia katakan. Usahaku tidak sia-sia. Karena kini aku melihat bahwa neraka betul-betul bergetar dalam pemandangan tenang dan wajar yang terbentang di hadapanku, terbungkus dalam kehijauan yang segar. Rupa-rupanya neraka dapat muncul baik di siang maupun di malam, kapan saja, di mana saja, sesuai dengan fikiran atau kehendak kita. Rupa-rupanya ia dapat kita panggil kalau kita kehendaki dan ia akan datang dengan segera. Pohon-pohon ceri di Arashiyama yang kabarnya telah dipindahkan pada abad ketiga belas dari pohon-pohon termashur di Gunung Yoshino telah kehilangan bunga-bunga-nya sama sekali dan mulai menumbuhkan dedaunan. Jika musim bunga sakura sudah berakhir, maka pohon-pohon ini hanya dapat diberi nama seperti yang biasa diberikan orang pada kecantikan yang sudah mati. Di Taman Kameyama sebagian besar pepohonan yang ada adalah pohon tusam, dan di sini warna tidak berubah bersama dengan perobahan musim. Taman itu besar dan berbukit-bukit. Pepohonannya tinggi-tinggi semua dan baru berdaun jika sudah tinggi sekali. Ada suatu kesan yang menggelisahkan dalam memandang taman ini dengan pohon-pohonnya yang banyak dan tandus silang-menyilang tanpa aturan. Sebuah jalan lebar mengitari taman itu; jalan itu penuh dengan ketinggian-ketinggian dan pada saat-saat kita mengira ia akan meninggi sebaliknya ia malahan menurun. Di sana-sini kulihat tunggul-tunggul kayu, belukar dan pohon tusam kecil. Dekat tempat batu-batu besar putih terbenam muncul dari tanah, azalea berkembang dengan banyak warna merah lembayung. Di .bawah langit yang berawan warnanya 151 seolah-olah menyimpan suatu rencana jahat. Kami mendaki sebuah bukit kecil lalu duduk beristirahat di bawah sebatang pohon lindap berbentuk payung. Di bawah kami di atas sebuah lereng terdapat sebuah buaian, di atasnya sepasang muda-mudi lagi duduk. Dari tempat kami, kami dapat melihat seluruh taman itu meluas ke timur, sedangkan di sebelah barat kami dapat melihat air Sungai Hozu melalui sela-sela pohon. Derak-derik ayunan itu kedengaran di tempat kami di bawah pohon itu, bagai bunyi orang menggertakkan gigi. Gadis teman Kashiwagi membuka bungkusan yang ia bawa. Ia memang benar waktu ia mengatakan bahwa kami tidak perlu pergi makan siang. Karena bungkusan itu berisi sandwich cukup untuk empat orang, dan biskuit impor yang waktu itu masih susah untuk diperoleh, dan bahkan sebotol wiski Suntory yang di kala itu hanya bisa dibeli di pasar gelap, karena semua persediaan resmi harus diserahkan pada tentara pendudukan. Kyoto waktu itu adalah pusat kegiatan pasar gelap di daerah Osaka-Kyoto-Kobe. Aku susah sekali minum minuman keras, tapi waktu gadis itu menawarkan gelas-gelas kecil kepadaku dan Kashiwagi, aku merapatkan tanganku dengan hormat lalu menerima tawaran itu. Kedua gadis itu minum teh dari sebuah tempat air. Aku masih ragu bagaimana Kashiwagi dan kawannya itu bisa begitu akrab. Aku tidak mengerti, kenapa gadis yang begitu susah untuk dipuaskan, bisa begitu akrab dengan seorang mahasiswa tak beruang, berkaki bengkok seperti Kashiwagi. Setelah ia minum beberapa gelas wiski, ia mulai bicara seolah-olah menjawab pertanyaan yang ada dalam fikiranku. "Kau in gat bagaimana kami bertengkar tadi di kereta 'kan?" katanya. "Soalnya keluarga gadis ini memaksa dia kawin dengan seorang lelaki yang sama sekali tidak dia 152 sukai. Kelihatannya pendiriannya agak lemah dan ia mungkin sekali mengalah pada mereka setiap saat. Lalu aku menghibur dia, mengancam dan mengatakan padanya bahwa aku akan melakukan segala-galanya untuk menghalangi perkawinan itu." Pokok pembicaraan ini sebetulnya tidak pantas ia beberkan di depan gadis itu sendiri, tapi Kashiwagi bicara dengan seenaknya seolah-olah gadis itu tidak ada di sana. Wajah gadis itu sedikit pun tidak berobah. Ia mengenakan kalung merjan porselin biru di lehernya yang kecil. Raut wajahnya begitu mencelak depan langit berawan, tapi wajah itu jadi lunak berkat rambut hitamnya yang lebat. Matanya dalam dan mata itu memberikan kesan yang segar dan telanjang. Seperti biasa, mulutnya yang longgar agak terganggang. Di ruang sempit antara kedua bibirnya, giginya yang runcing dan tipis kelihatan segar, kering dan putih. Tidak ubahnya gigi binatang kecil. "Oh, sakit, sakit!" teriak Kashiwagi tiba-tiba sambil membungkukkan badan dan memegang kakinya. Karena kaget aku buru-buru menolong dia, tapi dia mendorong aku jauh-jauh dan pada saat yang sama ia memperlihatkan seringai yang aneh padaku. Aku menarik tanganku kembali. "Oh, sakit!" ia mengerang dengan suara meyakinkan sekali. Pada saat itu aku kebetulan rnengerling kepada gadis yang di sampingku. Suatu perobahan yang menarik kelihatan pada mukanya. Matanya kehilangan ketenangan, dan mulutnya gemetar. Hanya hidungnya yang mancung dan sejuk yang kelihatannya tidak terpengaruh oleh apa yang terjadi dan memperlihatkan suatu kontras yang aneh dibandingkan dengan bagian wajahnya yang lain; harmoni dan keseimbangan wajahnya hancur sama sekali. "Oh, maaf," katanya, "maaf! Tapi kau akan kuobati. Kau akan kusembuhkan dengan segera." Baru kali inilah 153 aku mendengar dia bicara dengan suara melengking dan tak tahu malu ini, seakan-akan dia hanya berdua dengan lelaki itu. Ia menegakkan lehernya yang jenjang dan bagus lalu melihat ke sekitarnya dengan samar-samar. Sudah itu ia berlutut dengan segera di atas batu di bawah pelindap itu lalu memeluk kaki Kashiwagi. Ia melekatkan pipi ke kakinya lalu akhirnya menciuminya. Aku terkejut seperti dulu. Aku berpaling pada gadis dari rumah penginapan itu. Ia melihat ke arah lain, sambil menyenandungkan sebuah lagu. Saat itu matahari seolah-olah menembu^ awan, tapi ini mungkin hanya angan-anganku saja. Tapi seluruh komposisi taman itu sudah kehilangan keselarasannya. Aku merasa retak-retak kecil mulai membuka di seluruh permukaan gambar yang melingkupi kami " gambar jernih yang melingkupi hutan pinus, pantulan sungai yang gemerlapan, bukit-bukit di kejauhan, permukaan batu karang putih, azalea yang terse bar di mana-mana. Rupa-rupanya keajaiban yang ditunggu-tunggu sudah terjadi dan Kashiwagi telah berhenti mengerang. Ia mengangkat kepala, dan waktu ia melakukan itu ia sekali lagi menyeringai padaku. "Sekarang aku sudah baik," katanya. "Kau telah menyem-buhkan aku. Aneh, kan" Kalau mulai terasa sakit, lalu kau berbuat begitu padaku maka rasa sakit itu segera hilang." Ia memegang rambut gadis itu dengan kedua tangannya lalu mengangkat wajahnya. Gadis itu memandang padanya dengan wajah seekor anjing yang setia lalu tersenyum. Pada saat itu cahaya berawan putih membuat wajah gadis itu mirip sekali dengan wajah perempuan tua berumur enam puluh tahun yang pernah diceritakan Kashiwagi dulu padaku. Setelah melaksanakan keajaiban itu, Kashiwagi kelihatannya 154 gembira sekali. Ia begitu gembira, hingga ia seperti gila. Ia tertawa keras-keras. Gadis itu ia angkat ke atas lututnya lalu mulai ia ciumi. Ketawanya menggema di dahan-dahan pohon pinus di kaki bukit. "Kenapa tak kautiduri gadis itu?" katanya padaku waktu aku duduk dengan tenang. "Dia khusus kuajak untukmu. Atau barangkali kau malu karena kau mengira dia akan mentertawakan kau sebab kau gagap" Silakan " silakan gagap. Sebelum kau sadar, ia sudah jatuh cinta pada seorang gagap." "Apa kau gagap?" kata gadis itu padaku, seolah-olah kinilah baru hal itu ia sadari. "Oh, oh kalau begitu hampir semua cacat hari ini diwakili dengan lengkap." Kata-katanya menyinggung perasaanku dan membuat aku merasa tidak sanggup lagi tinggal di sana lebih lama. Tapi anehnya, kebencianku pada gadis itjfeberobah menjadi keinginan tiba-tiba pada dirinya, lalu aku merasa pening. "Bagaimana kalau kita berpisah?" kata Kashiwagi, sambil memandang kepada pasangan muda-mudi yang masih duduk di atas buaian. "Kita membawa pasangan kita masing-masing ke tempat terpencil dan dua jam lagi kita bertemu di sini." Aku meninggalkan Kashiwagi bersama pasangannya lalu pergi ditemani gadis dari rumah penginapan itu menuruni bukit dan kemudian mendaki sebuah lereng yang landai ke arah timur. "Dia membuat gadis itu merasa seolah-olah orang suci. Akalnya selalu begitu." "Bagaimana kau tahu?" kataku tergagap-gagap sejadi-jadinya. "Aku sendiri pernah punya hubungan cinta dengan Kashiwagi." "Dan kini hubungan antara kalian sudah putus?" kataku. "Dan kau menerimanya dengan begitu mudah." 155 "Ya, aku menerimanya dengan mudah. Dengan orang cacat seperti dia, sudah memang demikian harusnya." Kali ini kata-katanya tidak membuat aku marah, tapi justru membuat aku berani dan pertanyaanku muncul dengan lancar sekali: "Kau cinta pada kakinya yang pincang, 'kan?" "Sudahlah," katanya. "Aku tidak ingin bicara tentang kaki kodoknya. Tapi kukira aku cinta pada matanya yang bagus." Ucapan itu membuat aku kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri. Apa pun perkiraan Kashiwagi, gadis ini telah mencintai sesuatu yang baik dalam dirinya yang ia sendiri tidak ketahui; dan seperti kini kusadari, keyakinanku yang angkuh, bahwa pada diriku tidak ada suatu pun yang tidak kusadari yang diakibatkan oleh penyisihan diriku sendiri sebagai seseorang yang tidak mungkin memiliki segi yang baik biar bagaimanapun jua. Waktu kami sampai ke puncak lereng itu, kami masuk ke sebuah padang kecil penuh kedamaian. Di kejauhan di sela-sela pohon pinus dan pohon sedar kelihatan samar-samar Daimonjiyama, Nyoigatake dan gunung-gunung lain. Sebuah hutan bambu terentang dari bukit tempat kami berada menuruni lereng yang mengarah ke kota. Di pinggir hutan itu kelihatan sebatang pohon ceri yang berbunga agak terlambat dan yang belum lagi menggugurkan bunganya. Bunga-bunga itu memang terlambat, dan aku bertanya-tanya pada diriku sendiri apa bukan karena mereka tergagap-gagap waktu mereka mulai merekah sehingga mereka terlambat berkembang. Dadaku terasa sesak dan perutku berat. Tapi bukan karena aku baru rninum. Kini dengan makin dekatnya saat yang tegang, nafsu terasa makin berat, lalu menjadi semacam bangunan abstrak yang terpisah dari tubuhku dan turun ke atas bahuku. Rasanya seperti sebentuk mesin besi hitam 156 dan berat. Seperti telah berkali-kali kukatakan, aku sangat meng-hargai kenyataan, bahwa Kashiwagi, entah karena kebaikan hati entah karena busuk hati, telah mendorong aku ke arah hidup. Aku sudah lama mengakui, bahwa aku yang waktu masih sekolah di Sekolah Menengah dengan sengaja telah menggores-gores sarung pedang kawan sekolahku, tidak berkesanggupan untuk memasuki hidup lewaf permukaannya yang cerah. Kashiwagilah yang pertama-tama menunjukkan kepadaku jalan samping yang gelap yang kulewati sehingga dapat memasuki hidup melalui pintu belakang. Sepintas lalu hal ini kelihatan seperti sebuah cara yang hanya akan menjurus ke kehancuran; tapi cara ini penuh dengan tipu-daya yang tak disangka-sangka, ia merobah kehinaan jadi keberanian, ia bahkan dapat dianggap semacam alkimia yang memulihkan apa yang disebut imoralitas ke kedudukan aslinya yang berbentuk enersi murni. Dan ini memang suatu macam hidup. la adalah hidup yang memajukan, yang menangkap, yang merobah, yang bisa hilang. Ia hampir-hampir tidak bisa disebut hidup tipikal, tapi ia diperlengkapi dengan semua fungsi kehidupan. Sekiranya di salah satu tempat yang tak bisa dilihat mata, kita berhadapan dengan pendirian pokok bahwa semua bentuk kehidupan tidak berarti, maka hidup yang diperlihatkan Kashiwagi padaku harus memiliki nilai yang selalu meningkat, yang sederajat dengan jenis kehidupan yang sifatnya lebih biasa. Tidak bisa dikatakan, demikian aku berkata dalam hati, bahwa Kashiwagi bukannya tidak mabuk. Aku sudah lama tahu, bahwa dalam setiap bentuk pengetahuan, biar bagaimana rriurungnya pun, selalu men gin tip intoksikasi pengetahuan itu sendiri. Yang dipergunakan oleh manusia untuk meng-intoksikasikan dirinya sendiri adalah alkohol. 157 Gadis itu dan aku duduk di sebelah kembang iris yang sudah agak layu dan dimakan cacing. Aku tidak mengerti kenapa ia bersedia mengadakan hubungan dengan aku dengan cara begini. Aku tidak bisa mengerti " ucapan yang kejam ini kupergunakan dengan sengaja " kekuatan apa yang telah mendorong dia ke keinginan untuk ditulari ini. Dalam dunia kita ini mesti ada suatu sikap tidak menolak yang penuh dengan rasa tersipu-sipu dan kelembutan; tapi gadis itu dengan biasa membiarkan tanganku memegang tangannya yang kecil dan gemuk, bagai lalat menumpuk atas diri seseorang yang lagi tidur. Tapi ciuman yang panjang dan rasa lembut dagu gadis itu menumbuhkan nafsuku. Rupa-rupanya inilah yang telah begitu lama kuimpi-impikan, tapi rasa itu sendiri tipis dan dangkal. Nafsuku rupa-rupanya tidak berjalan langsung, tapi berputar mengitari jalan melingkar. Langit putih yang berawan, desir-desir rumpun bambu, usaha keras ulat yang merangkak di atas selembar daun iris " semuanya ini tetap seperti sediakala, terpencar-pencar tanpa aturan. Aku mencoba menyelamatkan diri dengan menganggap gadis yang berada di hadapanku sebagai sasaran nafsuku. Hal ini harus kutanggapi sebagai kehidupan. Aku harus menganggapnya sebagai suatu halangan yang "terdapat di jalanku menuju kemajuan dan perburuan. Karena, sekiranya kesempatan kali ini luput dari tanganku, maka hidup tidak akan selama-lamanya datang menemui aku. Kenangan pada saat-saat yang tak terhitung jumlahnya di mana kata-kataku terhalang oleh kegagapanku hingga tak sanggup lahir dari mulutku, melintas melewati fikiranku. Mestinya pada saat itu aku dengan penuh tekad harus membuka mulut dan mengatakan sesuatu, biarpun itu berarti aku harus tergagap-gagap. Dengan demikian aku dapat menjadikan hidup sebagai 158 milikku. Tawaran Kashiwagi yang kasar, teriakan terus terang-nya: "Gagaplah!" menggema di telingaku dan membuat aku bersemangat. Akhirnya aku memasukkan tanganku ke bawah rok gadis itu. Pada saat itu Kuil Kencana tampil di hadapanku. Sebuah bangunan rapuh, murung dan penuh keagungan. Sebuah bangunan yang lapisan emasnya sudah terkelupas di pelbagai tempat, dan yang kelihatan bagai tulang-belulang dari kejayaannya di masa lampau. Ia, Kuil Kencana itu tampil di hadapanku " bangunan aneh, yang jadi jauh kalau kita kira dia dekat, gedung yang selalu mengambang dengan jelas di suatu titik dalam ruang yang tak dapat ditentukan, akrab dengan pengamatnya, sungguhpun begitu tetap menjauh. Bangunan inilah yang kini datang dan tegak di antara aku dan hidup yang hendak kukejar. Mula-mula ia kecil bagai sebuah luldsan miniatur, tapi dalam waktu sesaat ia tumbuh jadi besar hingga ia akhirnya menguburkan seluruh dunia yang ada di sekitarku, dan mengisi setiap sudut dan hubungan dunia iijfc sama seperti dalam model halus yang pernah kulihat. Kuil Kencana itu jadi begitu besar hingga ia melingkupi segala-galanya. Ia mengisi dunia bagai musik bahana, dan musik ini sendiri cukup untuk menempati seluruh arti dunia. Kuil Kencana yang kadang-kadang bersikap begitu tidak perduli padaku dan yang menjulang ke udara di luar diriku, kini telah menelan aku dan mengizinkan aku untuk bermukinf dalam rangkanya. Gadis dari rumah penginapan itu terbang ke kejauhan bagai sebutir debu. Seperti Kuil Kencana yang menolak gadis itu, demikian juga usahaku untuk menemui hidup, ditolak. Bagaimana aku bisa mengulurkan tangan kepada kehidupan sedangkan aku sendiri terbungkus dalam keindahan" Barangkali keindahan juga punya hak untuk meminta supaya 159 aku meninggalkan tujuanku yang mula-mula. Karena jelas mustahil untuk menyentuh keabadian dengan satu tangan dan kehidupan dengan tangan lain. Misalkan arti semua tindakan yang kita arah kan pada kehidupan, adalah, janji mengabdi pada suatu saat dan membuat saat itu diam, maka Kuil Kencana itu mungkin sadar akan hal ini, lalu untuk beberapa saat melepaskan sikap tak perdulinya yang bisa terhadap aku. Kuil itu seolah-olah mengambil bentuk suatu saat dalam waktu, lalu mengunjungi aku di taman ini supaya aku tahu bagaimana hampanya kerinduanku pada kehidupan. Dalam kehidupan, suatu saat yang mengambil bentuk keabadian akan membuat kita mabuk; tapi Kuil Kencana itu tahu betul bahwa saat seperti itu sama sekali tidak berarti jika dibandingkan dengan apa yang akan terjadi jika keabadian mengambil bentuk satu saat, seperti yang telah diperbuat kuil itu saat ini. Di saat-saat seperti itulah keabadian keindahan betul-betul bisa membendung kehidupan kita dan meracuni perwujudan kita. Keindahan sesaat yang diperlihatkan hidup pada kita tidak berdaya menghadapi racun itu. Racun itu meremuk dan menghancurkannya dalam sesaat, dan akhirnya mengungkapkan hidup itu sendiri dalam kesilauan reruntuhan cokelat muda. Hanya sesaat aku dikuasai oleh gambaran Kuil Kencana itu. Waktu aku ke*mbali ke diriku, kuil itu sudah tak kelihatan lagi. Ia tak lebih dari sebuah bangunan yang terletak jauh di sebelah timur laut di Kinugasa yang tak bisa kulihat dari sini. Detik di mana aku mengangankan diriku diterima dan dipeluk oleh Kuil Kencana itu sudah berlalu. Aku terbaring di puncak sebuah bukit di Taman Kameyama. Dekatku tidak ada apa-apa kecuali seorang gadis yang terkapar penuh berahi di antara rumput dan bunga-bunga dan rengung tumpul sayap serangga. Karena melihat aku 160 uba-tiba ragu, gadis itu duduk lalu menatap aku dengan mata kosong. Aku melihat pinggulnya bergerak waktu ia berbalik memunggungi aku dan mengeluarkan sebuah kaca kantong dari tasnya. Ia tidak berkata apa-apa, tapi kebencian-nya menembus kulitku, laik duri yang masuk ke baju kita di waktu musim gugur.
Langit tergantung rendah. Rintik hujan kecil-kecil mulai memukul rumput yang ada di sekelilingku dan dedaunan iris. Kami bangkit buru-buru lalu kembali melewati jalan menuju pohon lindap itu. *** Bukan saja karena tamasya itu berakhir dengan cara yang begitu menyakitkan maka hari itu meninggalkan kesan yang begitu murung. Malamnya, sebelum "pembukaan bantal", Pendeta Kepala menerima sepucuk kawat dari Tokyo. Isi kawat itu dengan segera diumumkan kepada semua orang di kuil. Tsurukawa meninggal. Kawat itu hanya mengatakan, bahwa ia meninggal dalam suatu kecelakaan, tapi kemudian kami mengetahui bagaimana kejadiannya. Pada malam sebelumnya Tsurukawa pergi mengunjungi pamannya di Asakusa dan di sana ia minum sake banyak sekali. Ia tidak biasa minum dan minuman itu rupanya sudah naik ke kepalanya. Waktu ia pulang ia dilanggar oleh sebuah truk yang tiba-tiba datang dari sebuah jalan samping dekat stasiun. Kepalanya retak lalu ia meninggal seketika itu juga. Keluarganya bingung sama sekali hingga baru esok sorenya mereka ingat untuk mengirimkan kawat ke kuil. Biarpun aku tidak menangis waktu ayahku meninggal, kini aku menangis. Karena kehadiran Tsurukawa rupanya 161 mempunyai hubungan yang lebih erat daripada kehadiran ayahku dengan masalah yang memenuhi diriku. Semenjak aku kenal Kashiwagi aku agak menyia-nyiakan Tsurukawa, tapi kini setelah aku kehilangan dia, aku sadar bahwa kematiannya telah memutuskan satu-satunya benang yang masih menghubungkan aku dengan dunia siang yang terang. Karena kehilangan cahaya siang, kehilangan kecerahan, kehilangan musim panas itulah maka aku menangis. Biarpun aku ingin buru-buru ke Tokyo untuk melawat dan menyatakan belasungkawa pada keluarga Tsurukawa, aku tidak punya uang. Aku hanya menerima uang kantong sebanyak lima ratus yen setiap bulan dari Pendeta Kepala. Ibuku, tentu saja tak punya apa-apa. Paling banyak yang bisa ia lakukan ialah mengirimi aku uang dua ratus atau tiga ratus yen beberapa kali setahun. Karena itu ia terpaksa tinggal bersama seorang paman di Kasagun setelah menyelesai-kan semua urusan kuil Ayah, ialah karena ia tidak bisa hidup dengan uang lima ratus yen sebulan yang disumbangkan oleh para jemaah ditambah dengan pemberian kecil yang diberikan oleh pemerintah wilayah. Bagaimana aku bisa memastikan kematian Tsurukawa dalam fikiranku jika aku tidak melihat mayatnya dan tidak menghadiri penguburannya" Masalah ini menyiksa aku. Perut-nya yang dibalut kemeja putih yang pernah kulihat terbayang dalam sinar matahari yang tertumpah menembus pepohonan kini sudah jadi abu. Siapa yang bisa membayangkan bahwa tubuh dan jiwa anak itu, tubuh dan jiwa yang diciptakan hanya untuk kecerahan dan yang hanya cocok untuk kecerahan, kini terbaring dalam sebuah kubur" la sama sekali tidak memiliki tanda-tanda akan mati muda, keadaannya jauh dari semua kesusahan dan kesedihan, dan ia tidak memiliki sedikit pun unsur yang, biarpun samar-samar, 162 mengingatkan kita pada maut. Tapi barangkali justru karena ini maka ia mati dengan begitu tiba-tiba. Barangkali adalah hal yang mustahil untuk menyelamatkan Tsurukawa dari maut, karena justru ia hanya terdiri dari unsur-unsur murni kehidupan dan memiliki kerapuhan seekor hewan yang berdarah murni. Kalau begitu maka rupa-rupanya akulah, sebaliknya, yang ditentukan untuk hidup mencapai usia tua yang terkutuk. Bangunan dunia yang tembus cahaya tempat dia hidup, bagiku selalu merupakan suatu rahasia, tapi kini setelah ia meninggal, kerahasiaan ini menjadi sesuatu yang menakut-kan. Truk itu sudah menghancurkan dunianya yang tembus cahaya, seperti menumbuk sehelai kaca yang tak bisa kelihatan karena ia bening. Kenyataan bahwa Tsurukawa tidak mati karena penyakit sesuai sekali dengan gambaran ini. Memang pada tempatnya, jika ia yang hidupnya merupakan suatu bangunan murni tiada tara, mengalami kematian karena kecelakaan. Dalam perbenturan ini, yang berlangsung tidak lebih dari sedetik, terjadilah suatu kontak tiba-tiba lalu nyawanya berpadu dengan kematiannya. Suatu proses kimia yang cepat sekali. Jelas sekali bahwa hanya dengan cara yang begitu langsung anak muda yang aneh dan tanpa bayang-bayang ini bisa mempersatukan bayang-bayangnya dengan kematiannya. Dunia yang didiami Tsurukawa melimpah karena perasaan cerah dan itikad baik. Sungguhpun begitu aku dapat mengatakan dengan pasti, bahwa bukanlah karena kesalahfahamannya atau karena penilaiannya yang manis dan ramah maka ia tinggal di sana. Hatinya yang cerah, yang sebetulnya tidak punya tempat di dunia ini, didukung oleh suatu kekuatan dan suatu gaya pegas yang hebat " inilah yang kemudian mengatur tindakan-tindakannya. Ada sesuatu yang sangat tepat sekali dalam caranya menterjemahkan perasaanku yang gelap ke dalam perasaan-perasaan yang terang. Kadang-kadang aku curigar, bahwa Tsurukawa sebetulnya menghayati perasaanku sendiri, justru karena kecerahannya selalu sesuai dengan tepat sekali dengan kegelapanku, karena kontras perasaan kami begitu sempurna. Tapi tidak, bukan demikian halnya! Kecerahan dunianya adalah murni dan punya satu sisi. Ia telah menciptakan sistim sendiri sampai pada bagian yang sekecil-kecilnya, dan sistim ini memiliki suatu kecermatan yang mungkin juga menyerupai kecermatan kejahatan. Sekiranya dunia bening dan cerah anak muda itu tidak ditopang secara terus-menerus oleh kekuatan badannya yang tak kenal lelah, maka ia akan runtuh dengan segera. Ia berlari ke muka dengan kekuatan penuh. Dan truk itu sudah melindas badannya yang sedang berlari itu. Wajah Tsurukawa yang selalu riang dan tubuhnya yang lincah, yang merupakan sumber kesan-kesan baik yang ia berikan pada orang lain, membuat aku, setelah ia lenyap dari dunia ini, memulai suatu pemikiran misterius mengenai segi manusia yang dapat dilihat mata. Aku merasa aneh kenapa sesuatu, hanya dengan sekadar berwujud dan memperlihatkan diri pada mata kita, bisa menghasilkan kekuatan yang begitu cerah. Aku berpendapat bahwa banyak sekali harus dipelajari dari tubuh supaya jiwa dapat memiliki rasa kehadiran yang begitu bersahaja. Kata orang hakikat Zen ialah keiidakadaan segala kekhasan, dan bahwa kekuatan yang sebenarnya untuk melihat terdapat dalam pengetahuan, bahwa hati kita tidak memiliki bentuk ataupun rupa. Tapi kesanggupan melihat, yang sanggup menggambarkan dengan baik ketidakhadiran rupa, rupa-rupanya sangat tajam sekali untuk menolak pukauan kehadiran bentuk. Bagaimana seorang yang tidak bisa melihat bentuk atau rupa bisa 164 melihat dan memahami dengan begitu hidup ketidakadaan bentuk dan ketidakadaan rupa dengan kesungguhan yang lupa diri" Dengan demikian bentuk jelas seseorang seperti Tsurukawa yang memancarkan kecerahan hanya karena dia berwujud, seseorang yang dapat dijangkau dengan kedua tangan dan- mata, yang dapat disebut hidup demi hidup semata, bisa, kini setelah orang itu mati, dipergunakan sebagai metafora yang paling jernih untuk menjelaskan ketidakadaan bentuk yang tidak jelas; dan rasa perwujudan dirinya sendiri bisa menjadi contoh yang paling nyata dari ketidakadaan yang tak berbentuk. Rupa-rupanya, sekarang, memang dia seolah-olah menjadi sesuatu, tapi tak lebih dari metafora seperti itu. Misalnya, kepatutan dan kepantasan hubungan antara Tsurukawa dengan kembang-kembang bulan Mei adalah kepatutan dan kepantasan bunga-bunga itu, sebagai akibat dari kematiannya yang tiba-tiba dalam bulan Mei, untuk ditebarkan ke dalam peti matinya. Hidupku sendiri tidak memiliki perlambang kuat seperti yangdimiliki oleh Tsurukawa. Oleh karena itu aku memerlukan dia. Yang paling membuat aku merasa iri hati padanya ialah karena ia berhasil mencapai akhir hidupnya tanpa merasa dibebani sedikit pun jua oleh suatu individualitas yang khusus atau suatu rasa memiliki tugas individuil seperti yang kumiliki. Rasa individualitas telah menelanjangi hidupku dari perlambangnya, artinya, dari kekuatannya untuk mengabdi, seperti hidup Tsurukawa, yang merupakan metafora untuk sesuatu yang berada di luar dirinya; oleh karena itu aku tidak memiliki rasa perwujudan hidup dan rasa setia kawan, dan itu merupakan sumber rasa sunyi yang memburu aku tidak henti-hentinya. Aneh sekali. Aku bahkan tidak memiliki rasa setia kawan dengan kehampaan. 165 Sekali lagi kesunyianku mulai lagi. Aku tidak pernah lagi ketemu gadis dari rumah penginapan itu dan hubunganku dengan Kashiwagi tidak lagi seakrab dulu. Cara hidup Kashiwagi masih memiliki daya tank yang besar bagiku, tapi aku merasa bahwa aku hanya dapat memberikan pengabdianku yang terakhir pada Tsurukawa jika aku berusaha sedikit untuk melawan daya tarik ini dan berusaha, biarpun dengan hati enggan, untuk menjauhkan diri. Aku telah menulis surat pada ibuku dan mengatakan dengan jelas supaya ia jangan lagi datang mengunjungi aku sampai aku sanggup berdiri sendiri. Aku sudah mengatakan hal ini padanya secara lisan, tapi aku tak merasa puas sebelum aku menyatakan itu dalam bentuk tulisan dan dengan kata-kata yang keras. Jawabannya diselimuti dalam kalimat-kalimat yang aneh. Ia menceritakan padaku bagaimana ia bekerja keras di ladang Paman dan kisah ini kemudian disusul oleh beberapa kalimat yang dimaksud sebagai nasihat yang paling bersahaja. Lalu ia menambahkan kalimat berikut: "Aku tidak bersedia mati sebelum aku melihat kau jadi pendeta Kuil Kencana dengan mata kepalaku sendiri." Aku benci sekali pada bagian surat ini dan selama beberapa hari aku merasa tidak tenang karenanya. Bahkan di waktu musim panas aku tidak mengunjungi tempat Ibu tinggal. Karena makanan di kuil buruk sekali maka hawa panas musim panas kurasakan berat sekali. Di pertengahan bulan September dilaporkan bahwa mungkin topan besar akan datang melanda. Oleh karena itu harus ada orang yang berjaga. Aku mengajukan diri secara sukarela untuk tugas itu. Kukira pada masa itulah terjadinya suatu perobahan halus dalam perasaanku terhadap Kuil Kencana. Bukan kebencian, tapi suatu firasat bahwa pada suatu saat nanti akan timbul suatu keadaan di mana hal yang kini berkecambah dengan perlahan-lahan dalam diriku tidak lagi dapat didamaikan dengan Kuil Kencana. Perasaan ini timbul semenjak peristiwa di Taman Kameyama, tapi aku takut untuk menyebutnya. Sungguhpun begitu aku merasa bahagia karena sadar bahwa selama masa jaga semalam itu kuil ini akan dipcrcayakan padaku. Aku tidak menyembunyikan kegembiraanku. Padaku diberikan kunci Kukyocho. Tingkat tiga kuil ini dianggap sangat berharga sekali. Beberapa kaki dari lantai tergantung di loteng sebuah batu tulis yang besar berisi tulisan Kaisar Go-Komatsu. Radio melapurkan bahwa topan itu akan segera datang, tapi sampai saat itu masih belum kelihatan tanda-tanda. Di waktu sore hujan turun terus-menerus, tapi kini hujan sudah reda dan bulan purnama muncul di langit malam. Penghuni biara berjalan-jalan di taman dan memandang ke langit. Aku mendengar orang mengatakan bahwa ketenangan ini adalah ketenangan sebelum topan. Kuil tidur pulas. Kini aku sendiri di Kuil Kencana. Waktu aku berjalan ke bagian gedung itu di mana cahaya bulan tidak bisa masuk, aku terpukau oleh fikiran, bahwa kini kegelapan yang berat dan mewah kuil itu membungkus aku. Perlahan-lahan, makin dalam aku tenggelam dalam perasaan yang nyata ini, hingga akhirnya ia merupakan semacam khayalan. Tiba-tiba aku sadar bahwa aku sudah memasuki penglihatan yang telah memisahkan aku dari hidup di sore hari di Kameyama dulu. Aku sendiri di sana, dan Kuil Kencana itu " Kuil Kencana yang mutlak dan positif " membungkus aku. Apa aku yang memiliki kuil ini atau ia yang memiliki aku" Atau apa tidak lebih tepat jika dikatakan bahwa suatu keseimbangan yang aneh telah tercipta pada saat itu, suatu keseimbangan 167 yang memungkinkan aku untuk jadi Kuil Kencana dan memungkinkan Kuil Kencana untuk menjadi aku" Kira-kira pukul sebetas lewat angin mulai bertiup lebih keras. Aku menyatakan lampu senterku lalu menaiki tangga kuil. Waktu aku sampai di puncaknya, kumasukkan kunciku ke pintu Kukyocho. Aku bersandar pada terali Kukyocho. Angin datang dari tenggara. Tapi langit tetap tidak berobah. Bulan terbayang di air, di sela-sela ganggang. Udara penuh dengan bunyi serangga dan kodok. Waktu angin keras pertama-tama berhembus ke mukaku, suatu getaran yang hampir-hampir sensuil merasuki tubuhku. Angin makin lama makin keras hingga ia merupakan badai, Ia tak ubahnya bagai semacam pertanda bahwa aku akan hancur bersama Kuil Kencana. Hatiku berada dalam kuil itu tapi sekaligus ia bertopang pada angin. Kuil Kencana yang menentukan bangunan seluruh duniaku, tidak punya thai yang dapat dikibarkan angin. Ia tegak tenang bermandikan cahaya bulan. Tapi jelas sudah, bahwa angin besar, niat busukku, pada suatu saat akan menggoncangkan kuil ini, membangunkannya dan pada saat kehancurannya, merampok keangkuhannya. .. Begitulah keadaannya. Aku dibungkus dalam keindahan, aku pasti berada dalam keindahan itu; tapi aku sangsi apa aku begitu ketat terbungkus dalam keindahan hingga tak perlu ditopang oleh kemauan angin yang ganas yang tak henti-hentinya menghimpun tenaga. Tak ubahnya seperti Kashiwagi memerintah aku: "Silakan gagap!" begitu aku mencoba menggertak angin dengan meneriakkan kata-kata yang biasa dipergunakan orang untuk menghalau kuda yang lagi berpacu: "Kuat, lebih kuat!" Aku berteriak. "Cepat! Lebih kuat lagi." 168 Hutan mulai bergerak. Cabang-cabang pepohonan sekeliling kolam mulai saling bergeseran. Langit malam telah kehilangan warna nilanya yang biasa dan mengambil warna lembayung keabu-abuan. Bunyi serangga belum juga berhenti dan memberikan suatu suasana hidup sekitarnya. Dari jauh bunyi angin yang menyerupai seruling yang misterius mendekat; ia seolah-olah kehilangan sebagian dari keganasannya yang semula. Kuperhatikan awan yang banyak berarak melewati bulan. Satu demi satu mereka najc dari balik bukit di sebelah selatan bagai batalyon-batalyon besar. Ada awan tebal. Ada awan tipis. Ada awan luas besar. Ada tumpukan-tumpukan kecil yang tak terhitung banyaknya. Mereka semuanya seolah-olah dari selatan, berarak melintasi permukaan bulan, lewat di atas Kuil Kencana, lalu tergopoh-gopoh berangkat ke utara seolah mereka terburu-buru untuk suatu urusan penting. Aku seolah-olah mendengar teriakan funiks emas yang ada di atas kepalaku. Tiba-tiba angin surut; lalu membesar lagi. Hutan membalas perobahan ini dengan peka sekali: ia jadi tenang, lalu tiba-tiba bergoyang dengan liar. Bayang-bayang bulan di kolam juga berobah, silih berganti gelap dan terang; kadang-kadang ia mengumpulkan cahayanya yang bertebaran lalu melancar cepat di atas air. Kumpulan besar awan-awan terentang berkelok-kelok di balik bukit, dan meluas bagai tangan besar di langit. Ngeri melihat bagaimana awan-awan itu mendesakdan sikut-menyikut waktu mereka datang mendekat. Sekali-sekali kelihatan tumpak kecil yang cerah di langit di sela awan-awan itu, tapi tidak lama kemudian ia tertutup lagi. Sekali-sekali lewat awan yang tipis sekali, hingga aku dapat melihat bulan di baliknya, dikelilingi oleh keagungan yang samar. 169 Demikianlah langit bergerak sepanjang malam. Tapi tiri u ada tanda-tanda bahwa angin akan bertiup makin keras av, tidur dekat terali. Keesokan harinya, pagi-pagi - pagi itu cerah dan terang sekali - penjaga datang dan memberi tahu bahw topan telah .meninggalkan daerah itu, untungnya, tanpa menyinggahi Kyoto.
Bab Enam SUDAH hampir setahun aku berkabung untuk Tsurukawa. Begitu kesunyianku mulai, maka aku sadar kembali bahwa bagiku mudah untuk membiasakan diri dengan keadaan ini dan bahwa kehidupan yang paling mudah bagiku sebetulnya adalah kehidupan di mana aku tidak perlu bicara dengan siapa pun jua. Sikap takutku pada hidup sudah meninggalkan aku. Setiap hari yang mati punya keasyikannya. Perpustakaan universitas adalah satu-satunya tempat hi-buranku. Aku tidak membaca buku tentang Zen, tapi terje-mahan-terjemahan novel dan karya-karya filsafat yang ada. Aku sungkan menyebutkan nama-nama pengarang dan ahli filsafat itu. Aku sadar akan pengaruh mereka padaku dan mereka jugalah yang menimbulkan dorongan dalam diriku untuk melakukan perbuatan yang sudah kulakukan; tapi aku sendiri ingin meyakinkan diriku bahwa perbuatan itu sendiri adalah hasil pemikiran asliku; terutama, aku tidak senang perbuatan itu dijelaskan sebagai sesuatu yang didorong oleh suatu filsafat yang sudah ada. Seperti pernah kujelaskan, kenyataan bahwa aku tidak bisa dimengerti oleh orang lain adalah satu-satunya sumber kebanggaan bagiku semenjak masa kanak-kanakku, dan aku sedikit pun tidak punya keinginan untuk mengutarakan diri begitu rupa hingga aku bisa dimengerti. Jika aku toh mencoba menjelaskan fikiran dan perbuatanku, maka itu kulakukan 171 tanpa pertimbangan apa-apa sama sekali. Aku tidak tahu apa ini kulakukan karena aku ingin mengerti diriku sendiri atau bukan. Alasan seperti itu sesuai dengan watak sejati seseorang dan datang secara otomatis untuk membuat jembatan antara dia dan orang lain. Kemabukan yang kuperoleh dari Kuil Kencana merupakan bagian dari kegelapan kepribadianku; dan karena kemabukan ini membebaskan aku dari segala macam kemabukan lainnya, aku terpaksa melawannya dengan jalan berusaha dengan sengaja menyelamatkan bagian yang jernih dari pribadiku. Aku tidak tahu bagaimana halnya dengan orang lain, tapi bagiku, kejemihan itu sendiri adalah aku, dan karena itu persoalan ini tidak jadi persoalanku karena aku pemiliknya. Waktu itu adalah masa liburan musim semi tahun 1948, tahunku yang kedua di universitas. Pada suatu malam Pendeta Kepala keluar. Karena aku tidak punya kawan, satu-satunya cara untuk memanfaatkan ketidakhadirannya itu adalah dengan berjalan-jalan seorang diri. Aku meninggalkan kuil lalu keluar melalui Gerbang Somon. Di luar, gerbang itu dibatasi oleh "sebuah parit, dan di samping parit itu terdapat sebuah papan pengumuman. Aku sudah lama melihat papan tua ini, tapi kali ini aku berhenti di hadapannya lalu mulai membaca" tulisan di situ yang lagi bermandikan cahaya bulan dengan selela-lelanya: PENGUMUMAN 1. Tidak satu perobahan pun yang boleh dilakukan di wilayah ini tanpa izin khusus. 2. Tidak ada yang boleh dilakukan dengan salah satu cara sehingga menyulitkan pen ga we tan wilayah ini. 3. Perhatian umum dimintakan pada peraturan ini. Setiap pelanggaran terhadap peraturan ini akan dihukum sesuai dengan undang-undang. MENTERI DALAM NEGERI 31 Maret, 1928 Pengumuman ini jelas sekali berkenaan dengan Kuil Kencana. Tapi adalah suatu hal yang mustahil untuk mengetahui siapa yang dituju dengan kata-kata abstrak itu. Aku merasa bahwa sebuah papan pengumuman seperti ini berada di suatu dunia yang berbeda sama sekali dari dunia yang didiami oleh sebuah kuil yang tak bisa dirobah dan tak bisa dihancurkan. Pengumuman itu sendiri meramalkan suatu perbuatan yang jahat dan mustahil. Orang yang telah menyu-sun peraturan ini dan yang dengan demikian telah memberikan suatu penjelasan ringkas dari macam perbuatan ini pastilah seorang yang betul-betul telah sesat. Karena perbuatan ini adalah perbuatan yang hanya bisa direncanakan seorang gila; lalu bagaimana caranya seorang gila bisa ditakut-takuti sebelumnya dengan jalan mengancam bahwa perbuatannya akan dihukum" Mungkin yang diperlukan ialah suatu bentuk khusus tulisan yang hanya dapat difahami oleh orang gila. Aku lagi asyik dengan fikiran-fikiran kosong seperti itu waktu aku melihat sebuah sosok tubuh mendekat menyusuri jalan lebar di depan gerbang itu. Pada jam-jam seperti itu tidak ada lagi sisa-sisa pengunjung yang datang ke mari di waktu siang; hanya pohon-pohon pinus yang diterangi bulan dan sinar lampu besar, setiap kali ada mobil yang lalu-lalang sepanjang jalan besar di balik tempat aku berdiri, yang mengisi malam. Tiba-tiba aku mengenali sosok itu sebagai Kashiwagi. Aku tahu, melihat cara dia berjalan. Lalu di saat dan di tempat itu juga aku memutuskan untuk mengakhiri perpisahan yang terdapat di antara kami yang telah kutetapkan selama setahun yang lewat dan hanya mengingat rasa terima kasihku padanya karena telah menyembuhkan aku di masa lampau. Karena memang ia telah menyembuhkan aku. Mulai hari pertama aku ketemu dia telah menyembuhkan fikiran-fikiranku 173 yang pincang dengan kaki bengkoknya, dengan kata-katanya yang menyakitkan dan terus terang, dengan pengakuan-pengakuannya yang lengkap. Sudah pada tempatnya jika aku menikmati kenyataan karena aku untuk pertama kali dapat bercakap-cakap dengan seseorang atas dasar sama sederajat. Seharusnya aku menggemari kenikmatan (yang hampir-hampir sama dengan melakukan suatu perbuatan imorii) berendam diri dalam kedalaman pengetahuan yang kukuh bahwa aku adalah pendeta dan sekaligus seorang yang gagap. Tapi semua ini hapus karena hubunganku dengan Tsurukawa. Aku menyambut Kashiwagi dengan sebuah senyuman. Ia mengenakan seragam mahasiswa dan membawa sebuah bungkusan kecil panjang. "Apa kau mau pergi?" katanya. "Tidak." "Untung aku bisa ketemu kau," katanya. Ia duduk di atas sebuah tangga batu lalu membuka bungkusannya. "Soalnya," katanya, sambil memperlihatkan padaku dua buah tabung hitam berkilat yang merupakan sebuah seruling shakuhachi, "seorang pamanku baru-baru ini meninggal di kampungku dan ia telah meninggalkan seruling ini buat aku sebagai tanda mata. Tapi aku masih punya sebuah seruling yang dulu ia berikan padaku waktu ia mengajar aku memainkannya. Yang ini kelihatannya jauh lebih bagus, tapi aku lebih suka seruling yang biasa kupakai dan aku tidak merasa perlu untuk memiliki dua buah seruling. Karena itu seruling itu kubawakan untukmu." Bagi seseorang seperti aku yang tidak pernah menerima pemberian dari siapa pun jua, adalah suatu kegembiraan untuk menerima sesuatu biar apa pun jua. Seruling itu ku-ambil lalu kuperiksa. Di bagian depan terdapat empat buah 174 lubang dan di bagian belakangnya satu. "Aku main seruling menurut gaya Kinko," tambah Kashiwagi. "Karena malam ini bulan terang, sebagai iseng-iseng kukira tak ada salahnya aku pergi ke Kuil Kencana dan bermain seruling di sana. Sekaligus aku bermaksud untuk mengajar kau bermain suling." "Kau telah memilih waktu yang tepat," kataku. "Pendeta Kepala sedang keluar. Lagi pula wakilnya yang tua dan pemalas itu belum lagi selesai menyapu. Gerbang kuil belum akan ditutup sebelum mereka selesai menyapu." Kehadirannya di gerbang itu merupakan sesuatu yang tiba-tiba, begitu juga usulnya untuk bermain seruling dalam kuil karena bulan begitu indah malam itu. Semuanya itu sesuai sekali dengan Kashiwagi yang kukenal. Lagipula, dalam kehidupanku yang sama dari hari ke hari suatu kejadian tak disangka-sangka selalu menyenangkan, Sambil memegang seruling baru itu kubawa Kashiwagi ke Kuil Kencana. Aku tidak ingat betul apa yang telah kami bicarakan malam itu. Rasanya kami tidak ada membicarakan sesuatu yang penting. Kashiwagi tidak ada memberikan tanda-tanda bahwa ia ingin mengasyikkan diri dengan filsafatnya yang eksentrik yang biasa dan paradoks-paradoks yang penuh dun. Mungkin ia datang dengan maksud hendak mengungkap-kan sesuatu dari dirinya yang kehadirannya sampai saat itu belum kuketahui. Dan pada malam itu, memang, anak muda berlidah tajam ini, yang biasanya punya perhatian pada keindahan selama bisa ia kotorkan, memperlihatkan padaku suatu segi dari sifatnya yang halus. Ia memiliki teori tentang keindahan yang jauh, jauh lebih tepat dari yang kumiliki. Hal ini tidak ia katakan padaku dengan kata-kata, tapi dengan gerakan dan matanya, dengan musik ia mainkan 175 pada serulingnya, dan dengan keningnya yang mencelak dalam cahaya bulan. Kami bersandar pada terali tingkat dua Kuil Kencana, Choondo. Gang di bawah talang yang membengkok dengan bagus dari bawah ditupang oleh delapan buah penupang bergaya Tenjiku dan kelihatan seolah-olah mengambang pada permukaan kolam, di mana bulan lagi bermukim. Mula-mula Kashiwagi memainkan sebuah lagu singkat bernama "Kereta Istana". Aku betul-betul terpesona melihat kepintarannya. Aku mencoba meniru dan menempelkan bibirku pada peniup-nya, tapi aku tak berhasil menimbulkan bunyi. Lalu dengan tetiti ia ajarkan padaku bagaimana caranya memegang seruling itu dengan tangan kiriku dan bagaimana menempatkan jari-jariku pada lobang-lobang yang semestinya; ia juga memperlihatkan padaku bagaimana caranya membuka mulut untuk memegang peniup* dan bagaimana caranya meniupkan udara ke lapisan logamnya. Tapi, biar bagaimanapun aku berusaha tidak ada juga suara yang keluar. Pipi dan mataku tegang, dan biarpun tidak ada angin, aku merasa seolah-olah bulan yang berada di kolam pecah-belah menjadi beribu keping. Setelah beberapa lama aku lelah, dan selama sesaat aku curiga bahwa Kashiwagi dengan sengaja memaksakan hukuman ini padaku agar dapat memperolok-olokkan kegagapanku. Tapi usahaku untuk memaksakan bunyi yang tidak juga kunjung keluar rupa-rupanya telah memurnikan tenaga batinku yang biasa kupergunakan untuk menghindarkan kegagapanku sebisa mungkin dengan jalan mendorong kata-kata pertama dengan lancar keluar dari mulutku. Aku merasa seolah-olah suara yang tidak juga mau tampil itu sebetulnya telah berwujud di salah satu tempat di dunia yang tenang dan bermandikan cahaya bulan ini. Aku cukup puas sekiranya setelah berbagai usaha yang lama aku dapat mencapai dan 176 menghidupkan suara itu kembali. Bagaimana aku bisa mencapai suara itu " suara misterius seperti yang ditiup oleh Kashiwagi dari serulingnya. Hanya ketrampilan yang memungkinkan itu. Keindahan adalah ke-trampilan. Aku beroleh sebuah fikiran yang membuat aku lebih tabah: kalau Kashiwagi dapat menghasilkan bunyi yang begitu indah dan jernih biarpun kakinya bengkok, maka aku juga tentu dapat menghasilkan keindahan dengan bantuan ketrampilan. Tapi aku juga menyadari sesuatu yang lain: cara Kashiwagi memainkan "Kereta Istana" begitu indah kedengarannya, bukan saja karena latar belakang cahaya bulan yang indah, tapi justru karena kakinya yang bengkok dan buruk. Kemudian setelah aku lebih akrab dengan Kashiwagi, aku mengerti bahwa ia tidak senang pada keindahan yang berumur panjang. Kesenangannya terbatas pada hal-hal seperti musik yang bisa lenyap seketika, atau mengarang bunga yang akan layu dalam waktu beberapa hari; ia benci pada arsitektur dan sastra. Jelas ia tidak akan mau mengunjungi Kuil Kencana kecuali pada malam terang bulan seperti ini. Tapi alangkah anehnya keindahan musik! Keindahan singkat yang diciptakan oleh seorang pemain musik merobah suatu masa menjadi suatu kelanjutan yang murni; ia tidak akan pernah bisa terulang lagi; laik umur lalat sehari atau mahluk lain yang berumur pendek, keindahan adalah suatu abstraksi yang sempurna dan ciptaan hidup itu sendiri. Tidak ada yang begitu menyerupai hidup seperti musik; tapi, biarpun Kuil Kencana memiliki keindahan yang sama, tidak ada yang lebih asing dari dunia dan lebih benci padanya daripada keindahan bangunan ini. Begitu Kashiwagi selesai memainkan "Kereta Istana", musik " hidup imajiner -lenyap, dan yang tinggal hanya tubuhnya yang buruk dan 177 mengandung fikiran-fikiran buruk, utuh dan tak berobah seperti sediakala. Jelas bukan hiburan yang dicari Kashiwagi dalam keindahan. Hal itu bisa kufahami tanpa perlu membicarakannya. Yang ia senangi, ialah, beberapa saat setelah nafasnya menciptakan keindahan dalam udara, bahwa kakinya yang bengkok dan fikirannya yang murung tetap ada, lebih jelas dan lebih hidup dari sebelumnya. Kesia-siaan keindahan, kenyataan bahwa keindahan yang melalui tubuhnya tidak meninggalkan bekas sama sekali, bahwa ia tidak mengadakan perobahan apa-apa " inilah yang disenangi Kashiwagi. Sekiranya keindahan juga dapat jadi seperti itu bagiku, maka alangkah ringannya hidupku! Aku berkali-kali berusaha sesuai dengan petunjuk Kashiwagi. Mukaku jadi merah dan nafasku tersengal-sengal. Lalu, seakan-akan aku tiba-tiba menjadi seekor burung, seakan-akan teriakan seekor burung melompat dari kerongkonganku, seruling itu memperdengarkan sebuah nada tunggal yang berani. "Nah, kan!" teriak Kashiwagi sambil tertawa. Nada itu jelas bukan nada yang indah, tapi nada yang sama muncul setiap kali. Lalu aku membayangkan bahwa bunyi yang misterius ini, yang rasanya tidak terlahir dari diriku, adalah suara funiks tembaga em as yang ada di atas kepala kami. *** Sesudah itu aku mempergunakan kitab petunjuk yang di-berikan Kashiwagi padaku dan aku berlatih keras siang-malam untuk memperbaiki caraku bermain. Tidak lama kemudian aku pandai memainkan lagu-lagu seperti "Matahari Terbit Berwarna Merah di atas Dasar Putih", dan rasa persahabatanku yang lama terhadap Kashiwagi hidup kembali. 178 Dalam bulan Mei aku merasa bahwa aku patut sekali memberikan sesuatu pada Kashiwagi sebagai tanda terima kasihku atas pemberian seruling itu. Tapi aku tak punya uang untuk membelikan hadiah untuknya. Aku menjelaskan keadaanku pada Kashiwagi dengan terus terang; ia mengatakan bahwa ia tidak menginginkan sesuatu yang memerlukan uang. Lalu, sambil membentuk mulutnya dengan cara yang aneh, ia berkata: "Karena kau sudah bersusah-payah untuk menyebut-nyebut hal ini, memang ada sesuatu yang kuingin-kan. Aku ingin mengerjakan fcrangan bunga akhir-akhir ini, tapi bunga bagiku terlalu mahal. Dan kini kukira sekarang-lah saatnya kembang iris dan kembang manis mekar di Kuil Kencana. Apa bisa kau membawakan aku sedikit iris " satu dua tangkai, yang baru saja merekah, dan sepasang yang sudah berkembang penuh" Kau boleh juga membawakan beberapa bunga lain. Kalau bisa malam ini. Bisa kauantarkan ke rumah penginapanku?"
Baru setelah aku memberikan persetujuan dengan mudah pada usulnya, kusadari bahwa ia sebetulnya sudah menyuruh aku mencuri. Supaya aku tidak kehilangan muka, maka petlulah aku menjadi pencuri bunga. Malam itu kami diberi nasi, hanya sayuran rebus dan roti hitam yang berat. Untunglah hari itu hari Sabtu dan sejumlah orang kuil itu sudah keluar semenjak sore. Hari Sabtu dikenal sebagai "pembukaan thai dalam"; kita boleh keluar dari kuil sore-sore dan tak perlu pulang sebelum pukul sebelas; lagipula, " hari esoknya disebut "kelupaan tidur" dan kami diizinkan tidur sampai tinggi hari. Pendeta Kepala telah keluar. Akhirnya matahari turun pukul enam tiga puluh. Angin mulai bertiup. Aku menunggu sampai lonceng pertama malam hari dibunyikan. Pukul delapan bunyi lonceng Ojikicho di sebelah kiri gerbang tengah yang melengking dan bening memberi tahu waktu jaga pertama; ia berbunyi delapan belas kali dan gemanya lama sekali mengambang di udara. Dekat Sosei, sebuah pancuran kecil, yang separuh dikelilingi oleh sebuah bendungan, mengalirkan air dari sebuah kolam teratai ke Kolam Kyoko yang besar. Di sinilah iris mekar dalam jumlah yang banyak, dan indah-indah di kala itu. Waktu aku mendekat, aku mendengar desir-desir kumpulan kembang iris dalam angin malam. Kelopak-kelopak merahnya yang tinggi menggetar dalam bunyi air yang tenang. Di bagian taman itu gelap sekali; warna merah bunga dan warna hijau tua dedaunan semuan-ya kelihatan hitam. Aku berusaha memetik beberapa iris; tapi berkat angin kembang dan daun-daun itu mengelakkan jangkauanku, dan sehelai daun telah melukai jariku. Waktu aku akhirnya sampai ke rumah penginapan Kashiwagi dengan sepangkuan iris dan kembang-kembang lain, kutemui ia lagi berbaring membaca buku. Aku khawatir akan ketemu gadis yang tinggal di sana dan yang dulu ikut kami berjalan-jalan. Tapi untunglah ia sedang keluar. Pencurianku secara kecil-kecilan ini membuat aku riang. Hal-hal yang pertama-tama dihasilkan oleh hubunganku dengan Kashiwagi adalah perbuatan-perbuatan jahat kecil-kecilan, penyelewengan kecil-kecilan, keburukan kecil-kecilan. Semua-nya ini selalu membuat aku jadi lebih gembira; tapi aku tidak tahu jika penambahan jumlah kejahatan ini secara bertahap-tahap juga akan menambah kegembiraanku. Kashiwagi senang sekali dengan pemberianku. Ia pergi ke kamar perempuan induk semangnya untuk meminjam sebuah timba dan alat-alat lain yang diperlukan untuk menga-rang bunga. Rumah penginapan itu adalah sebuah rumah bertingkat satu; Kashiwagi tinggal di sebuah kamar di rumah 180 samping. Aku mengambil serulingnya yang tersandar di lekuk tembok, lalu menempelkan bibirku pada peniupnya dan memainkan sebuah lagu latihan kecil. Rupa-rupanya aku cukup berhasil, hingga Kashiwagi yang waktu itu telah kembali ke kamar terheran-heran. Tapi Kashiwagi yang kutemui malam itu bukanlah Kashiwagi yang sama " yang telah datang mengunjungi Kuil Kencana. "Kau sama sekali tidak gagap kalau main seruling. Waktu kau kuajar meniup seruling, sebetulnya aku berharap akan mendengar bagaimana bunyi musik yang gagap!" Dengan ucapan tunggal ini ia menarik kami ke keadaan yang timbul waktu kami bertemu pertama kali. Ia memper-baiki sikapnya. Hingga aku berkesempatan untuk bertanya sambil lalu bagaimana jadinya dengan gadis dari rumah . bergaya Spanyol itu. "Oh, gadis itu?" katanya seenaknya. "la sudah lama kawin. Aku berusaha sekeras-kerasnya untuk memperlihatkan padanya bagaimana caranya untuk menyembunyikan bahwa dia bukan lagi perawan. Tapi suaminya seorang lelaki kaya yang bodoh dan rupa-rupanya semuanya berjalan dengan baik." Sambil bicara, ia mengeluarkan bunga iris itu satu demi satu dari dalam cambung air tempat bunga-bunga itu diren-damnya, lalu menelitinya satu per satu. Lalu ia memasukkan gunting ke dalam cambung dan menggunting tangkai-tangkai bunga itu dalam air. Lalu tiba-tiba ia berkata: "Apa kau kenal kata-kata termasyhur yang terdapat dalam bab Pencerah-an Umum dalam Rinsairoku! 'Jika kau ketemu Budha bunuhlah Budha. Jika kau ketemu nenek moyangmu, bunuh-lah nenek moyangmu! . . ."' '"Jika kau ketemu murid Budha,'" sambungku, '"bunuhlah muridnya! Jika kau ketemu ibu-bapamu, bunuhlah ibu- 181 bapamu.' Jika kau ketemu sanak-saudaramu, bunuhlah sanak-saudaramu! Hanya dengan cara demikian kau akan memper-oleh keselamatan'". "Betul. Berul, demikianJah keadaannya. Gadis itu adalah murid Budha." "Dengan demikian kau telah menyelamatkan diri?" "Hm," kata Kashiwagi sambil menyusun kembang iris yang ia potong lalu memperhatikannya. "Pembunuhan bukan hanya berarti itu saja." Cambung bunga itu penuh air jernih; dalamnya bercat warna perak. Kashiwagi memeriksa tusukan bunga, lalu memberulkan salah sebuah pakunya yang agak bengkok. Aku merasa gelisah lalu berusaha mengisi keheningan itu dengan bicara terus. "Kau tahu tentang soal Bapa Nansen dan kucing itu, 'kan" Waktu peperangan berakhir, Pendeta Kepala memanggil kami semua lalu mengkhotbahi kami tentang itu." "Oh, Nansen membunuh seekor kucing?" kata Kashiwagi, sementara ia mengukur panjang setangkai bunga dan menekan-nya ke cambung bunga. "Itu suatu soal yang setiap kali muncul dalam hidup pribadi seseorang, dan selalu dalam bentuk yang agak berbeda. Soal itu agak sulit. Setiap kali kita berpapasan dengannya di suatu titik perkisaran dalam hidup kita, ia merobah bentuk dan artinya, biarpun masalah-nya tetap sama. Pertama-rama baik kau tahu bahwa kucing yang dibunuh oleh Bapa Nansen itu adalah seekor mahluk yang bengal sekali. Dia cantik, cantik Juar biasa. Matanya seperti etnas dan bulunya berkilat. Setiap keindahan dan kenikmatan yang terdapat di dunia ini meJen tur ketat bagai sebuah per dalam tubuhnya yang kecil dan lembut itu. Kebanyakan pengulas lupa menyebutkan kenyataan bahwa kucing itu adalah mahluk yang indah sekali. Kecuali aku, 182 tentu saja. Kucing itu tiba-tiba melompat dari setumpukan rumput, matanya yang lembut dan cerdik berkilauan, lalu ia ditangkap oleh salah seorang pendeta " seolah-olah semua ini ia lakukan dengan berencana. Dan inilah yang menyebabkan pertengkaran antara kedua balai biara itu. Karena, biarpun keindahan bisa memberikan dirinya pada siapa saja, ia sebetul-nya bukan milik setiap orang. Begini. "Bagaimana harus kujelaskan" Keindahan " ya, keindahan tak ubahnya bagai gigi yang busuk. Ia bergeser di atas lidah kita, ia berada di sana menyakiti kita dan menegaskan kehadirannya. Akhirnya keadaan begitu rupa hingga kita tidak kuat lagi menahan sakitnya, lalu kita pergi ke seorang dokter gigi supaya gigi itu bisa dicabut. Dan, kalau kita memandang pada gigi yang kecil, kotor berwama cokelat dan berlumuran darah terletak di telapak tangan kita, mungkin sekali kita akan berfikir seperti berikut: 'Jadi ini rupanya! Jadi hanya ini rupanya. Benda yang menyakiti aku begitu rupa, yang membuat aku selalu sadar akan kehadirannya, yang berakar kuat dalam diriku, kini tidak lebih dari sebentuk benda mati. Tapi apa benda ini sama dengan benda yang tadi" Jika ini aslinya merupakan bagian kehidupan lahirku, kenapa " berkat nasib yang seperti apa " ia melekat pada kehidupan batinku dan berhasil membuat aku begitu mende-rita" Apa dasar perwujudan mahluk ini" Apa dasamya ada dalam diriku" Atau dalam mahluk ini sendiri" Tapi mahluk yang telah dicabut dari mulutku dan yang kini berada di telapak tanganku adalah sesuatu yang berbeda sekali. Mustahil ia adalah itu. "Demikianlah," tambah Kashiwagi, "halnya dengan keindahan. Jadi membunuh kucing itu sama artinya dengan mencabut sebuah gigi yang busuk, laik mencungkil keindahan. Tapi tidak bisa dipastikan apa ini betul-betul merupakan 183 penyelesaian terakhir. Akar keindahan itu tidak dicabut dan biarpun kucing itu sudah mati, keindahan kucing itu mungkin saja masih hidup terus. Jadi, untuk memperolok-olokkan kegoyahan penyelesaian inilah maka Josyu sampai meletakkan sepatunya di atas kepalanya. Ia seolah-olah tahu, bahwa tidak ada penyelesaian kecuali menahan rasa sakit yang ditimbulkan oleh gigi yang busuk itu." Tafsiran Kashiwagi ini memang tafsiran yang asli sekali, tapi entah kenapa aku bertanya-tanya dalam hati apa dia tidak memperolok-olokkan aku setelah meninjau isi hatiku. Untuk pertama kalinya aku betul-betul takut padanya. Aku takut untuk berdiam diri lalu buru-buru bertanya: "Jadi kau yang mana di antara- yang dua itu" Bapa Nansen atau Josyu?" "Coba kita lihat. Dalam keadaan sekarang aku jadi Nansen dan kau jadi Josyu. Tapi pada suatu hari kau bisa saja jadi Nansen dan aku jadi Josyu. Masalah ini mudah sekali berobah " bagai mata kucing." Sambil bicara, tangan Kashiwagi bergerak dengan cekatan, mula-mula mengatur letak penusuk bunga kecil berkarat yang berat dalam cambung, lalu menusukkan sekuntum kembang ekor kucing, yang merupakan langit dalam karangan bunga ini, sudah itu menambahkan kembang iris, yang sudah dia arur menjadi suatu karangan berdaun tiga. Setahap demi setahap maka sebuah karangan bunga menurut ajaran Kansui beroleh bentuk. Seonggokan kerikil kecil-kecil dan sudah dibersihkan dengan baik, sebagian putih sebagian cokelat, terletak di samping cambung itu siap untuk dipakai sebagai hiasan terakhir. Gerakan-gerakan tangan Kashiwagi harus dikatakan indah. Keputusan kecil yang satu menyusul keputusan lain, dan hasil dari kontras dan simetri berpadu dengan keindahan yang sempuma. Tetumbuhan alam kini diatur dengan hidup di bawah suatu pengaturan buatan dan disusun hingga sesuai dengan lagu yang ada. Bunga dan dedaunan, yang sebelumnya berwujud sebagaimana adanya, kini telah dirobah menjadi bunga dan dedaufiln sebagaimana harusnya. Kembang ekor kucing dan iris bukan lagi tetumbuhan individuil tak dikenal yang merupakan bagian dari spesi mereka masing-masing, kini telah menjadi manifestasi yang langsung dan ringkas dari apa yang dapat dianggap sebagai hakikat iris dan kembang ekor kucing. Tapi dalam gerakan-gerakan tangannya itu ada sesuatu yang kejam. Mereka bertingkah seolah-olah memiliki suatu hak istimewa yang tidak menyenangkan dan muram dalam hubungan dengan tanaman itu. Mungkin karena ini maka setiap kali aku mendengar bunyi gunting dan melihat salah satu tangkai bunga itu dipotong, merasa seolah-olah melihat darah menetes. Karangan bunga Kansui itu kini sudah selesai. Di sebelah kanan cambung itu, di mana garis lurus kembang ekor kucing berpadu dengan lekuk murni dedaunan iris, salah satu kembang itu lagi berkembang penuh sedangkan yang. dua lainnya masih putik yang hendak berkembang. Kashiwagi meletakkan cambung itu dalam lengkung dinding; seluruh tempat itu hampir-hampir penuh. Maka air dalam cambung itu diam. Batu-batu kerikil menyembunyikan tusukan bunga dan sekaligus memberikan kesan jernih dari pinggiran air. "Bagus!" kataku. "Di mana kau belajar?" "Dekat dari sini tinggal seorang wanita yang memberikan pelajaran mengarang bunga. Aku menunggu kedatangannya ke mari setiap saat. Aku berkawan dengan perempuan ini dan sekaligus ia mengajar aku mengarang bunga. Tapi kini setelah aku bisa membuat karangan seperti ini sendiri, aku 185 mulai bosan. Dia masih muda, seorang guru, dan cantik. Kabarnya semasa perang ia punya hubungan asmara dengan seorang perwira lalu hamil. Anaknya lahir tak bernyawa dan kekasihnya tewas dalam peperangan. Semenjak itu kerja-nya mengejar-ngejar laki-laki saja. Dia memiliki sejumlah uang yang cukup dan rupa-rupanya ia memberikan pelajaran mengarang bunga itu sekadar karena senang. Pokoknya, kalau kau mau, kau boleh ajak dia malam ini ke mana saja. Dia akan ikut biar ke mana pun." Waktu aku mendengar itu, aku dirasuki oleh perasaan yang campur-baur. Waktu aku melihat dia dari puncak gerbang Biara Nanzen, Tsurukawa berada di sampingku. Kini, tiga tahun kemudian ia akan tampil di hadapanku dan aku akan melihat dia dengan mataku, bukan melewati mata Kashiwagi. Sampai saat itu aku melihat tragedi wanita itu sebagai suatu pandangan misteri yang cerah; tapi mulai saat itu aku akan melihatnya dengan pandangan gelap seseorang yang tidak percaya pada apa pun jua. Karena nyatanya buah dadanya, yang kulihat dari kejauhan bagai sebuah bulan putih di siang hari, semenjak itu telah disentuh oleh tangan Kashiwagi, dan bahwa kakinya yang waktu itu dibungkus oleh kimono yang indah dan berkibar-kibar, telah disentuh oleh kaki bengkok Kashiwagi. Nyatanya ia telah dinodai oleh Kashiwagi, artinya oleh pengetahuan. Fikiran ini menyiksa aku sejadi-jadinya dan membuat aku merasa tak sanggup tinggal lebih lama di tempat itu. Tapi rasa ingin tahu menghalangi aku untuk pergi. Malahan rasa-rasanya aku tidak sabar lagi menunggu kedatangan perempuan ini perempuan yang dulu kulihat sebagai titisan Uiko, dan yang kini akan muncul sebagai gundik usang seorang mahasiswa timpang. Karena, setelah menjadi kawan sekongsi Kashiwagi, aku sudah siap untuk memasuki 186 kenikmatan maya dengan menodai kenanganku yang begitu berharga dengan tanganku sendiri. Waktu perempuan itu datang sedikit pun aku tidak ter-goncang atau bingung. Aku masih bisa ingat saat itu dengan baik sekali. Suaranya yang serak-serak basah, gerak-geriknya yang teratur dan cara bicara yang resmi, yang begitu bertolak belakang dengan, kesan liar yang memancar dari matanya, kesedihan yang muncul dari nadanya waktu ia bicara pada Kashiwagi, biarpun ia merasa kikuk karena kehadiranku " semua ini kulihat, lalu untuk pertama kalinya aku mengerti kenapa Kashiwagi meminta aku datang ke kamarnya malam ini: ia bermaksud untuk mempergunakan aku sebagai penyang- Antara perempuan ini dan tokoh yang kugambarkan tidak ada hubungan sama sekali. Ia memberikan kesan seorang perempuan yang berlainan sama sekali dan yang kutemui untuk pertama kalinya. Biarpun ia tidak merobah cara bicaranya yang sopan; aku tahu bahwa ia makin lama makin bingung. Ia sama sekali tidak memperdulikan aku. Akhhtfya rupa-rupanya ia tidak sanggup lagi memikul penderitaannya dan aku mendapat kesan bahwa ia memutuskan untuk sementara mengesampingkan usaha merobah pendirian Kashiwagi. Ia pura-pura tiba-tiba jadi tenang lalu melihat ke sekeping kamar. Biarpun ia sudah setengah jam di sana, jelas baru sekarang untuk pertama kalinya ia melihat karangan bunga yang terletak begitu menyolok di lekuk dinding.
"Suatu karangan Kansui yang bagus sekali," katanya. "Kau telah mengerjakannya dengan baik sekali." Kashiwagi yang telah menunggu-nunggu pertemuan itu mengemukakan hal itu, kini mengakhiri segalanya. "Ya, bagus juga 'kan?" katanya. "Kini setelah- aku berhasil mencapai tahap ini, maka tidak ada lagi yang bisa kauajarkan 187 padaku. Aku tidak memerlukan kau lagi. Ya, betul." Kashiwagi bicara dengan nada biasa. Aku melihat bagaimana wama surut dari wajah perempuan itu lalu aku berpaling. Ia seolah-olah tertawa sedikit; tapi dia masih saja memper-tahankan tingkah-lakunya yang penuh tatakrama itu waktu ia merangkak di atas lututnya mendekati lekuk dinding itu. Lalu aku mendengar dia berkata: "Apa" Bunga apa ini" Ya, bunga apa ini?" Pada saat itu juga air ditumpahkan ke lantai, kembang ekor kucing berjatuhan, kembang iris robek-robek sampai hancur: semua bunga yang kuperoleh dengan jalan mencuri kini berserakan. Aku senang berlutut di lantai tapi kini tanpa kusadari aku melompat berdiri. Karena tidak tahu apa yang harus kulakukan aku bersandar pada jendela. Aku melihat Kashiwagi menyambar pergelangan tangan wanita yang ramping itu. Sudah itu iaw&rnbak rambutnya lalu pipi perempuan itu ia tampar. Rente tan perlakuan kasar Kashiwagi sesuai sekali dengan kekejaman yang kulihat sebelum itu, waktu ia menggunting daun dan tangkai bunga; tapi tindakan ini kelihatannya seolah-olah merupakan suatu sambungan wajar dari gerakan-gerakannya sebelumnya. Perempuan itu menutup mukanya dengan kedua tangannya lalu lari ke luar kamar. Sedangkan Kashiwagi memandang padaku yang berdiri di sana dengan air muka kebingungan. Ia memperlihatkan senyuman kekanak-kanakan yang aneh padaku lalu berkata: "Kini giliranmu. Kejar dia! Hibur dia! Lekas!" Aku tidak tahu apakah karena aku didorong oleh wibawa perintah Kashiwagi atau karena dalam hatiku aku merasa 'kasihan pada perempuan itu, tapi kakiku segera bergerak mengejarnya. Aku berhasil mengejar dia sampai beberapa rumah dari rumah penginapan itu. Tempat itu adalah sebuah sudut Itakuramachi, di belakang bangsal trem Karasumaru. Di bawah langit malam yang penuh awan aku dapat mendengar gerugah-gerugah sebuah trem memasuki bangsal, dan percikan-percikan api berwarna lembayung yang berpancaran ke dalam gelap. Perempuan itu berjalan tergopoh-gopoh dari Itakuramachi ke arah timur lalu masuk ke sebuah lorong belakang. Aku berjalan di sisinya tanpa bicara. Ia menangis. Tidak lama kemudian menyadari kehadiranku ia lalu berjalan lebih dekat padaku. Lalu dengan suara yang kedengaran lebih serak karena air matanya, ia mulai mengemukakan kekecewaannya padaku tentang kejahatan-kejahatan Kashiwagi. Lama sekali aku dan dia berjalan bersama menyusuri jalan malam itu. Sementara dia mencanangkan kejahatan-kejahatan Kashiwagi ke telingaku dan menceritakan semua kekejian, yang menjemukan dan perlakuannya, satu-satunya kata yang kudengar menggema dalam udara malam itu ialah " "hidup". Kekejamannya, akal-akal bulusnya, pengkhianatannya, keti-adaan perasaannya, kelicikannya untuk memeras uang dari perempuan " semuanya ini dikemukakan untuk menjelaskan daya tariknya yang halus. Satu-satunya yang perlu kupercayai ialah kejujuran Kashiwagi tentang kakinya yang bengkok. Setelah Tsurukawa meninggal aku hidup lama sekali tanpa menyentuh kehidupan. Lalu akhirnya aku terangsang karena menyentuh suatu bentuk hidup yang baru " hidup yang lebih gelap tapi tidak begitu malang, hidup yang tak putus-putusnya melukai orang lain selama hidup kita. Kata-kata bersahaja Kashiwagi: "Pembunuhan tidak hanya berarti itu saja!" sekali lagi hidup bagiku. Yang juga kuingat pada saat itu ialah doa yang pernah kuucapkan waktu aku mendaki gunung di belakang biara waktu perang berakhir dan memandang ke lautan cahaya kota: "Biarlah kegelapan yang berada dalam hatiku menyerupai kegelapan malam yang melingkungi cahaya yang tak terhitung jumlahnya itu!" 189 Perempuan itu tidak menuju rumahnya. Sebaliknya, ia berkelana tanpa tujuan melewati lorong-lorong belakang yang tidak banyak orang lewat, hingga ia dapat bicara dengan bebas. Waktu kami sampai ke depan rumah tempat ia tinggal sendiri, aku tidak tahu lagi di bagian kota mana kami berada. Waktu itu sudah pukul setengah sebelas. Aku mau pulang ke kuil, tapi perempuan itu membujuk aku supaya tidak meninggalkan, hingga aku ikut masuk bersama. Ia berjalan di depan lalu menyalakan lampu. "Pernah kau mengutuki seseorang dan memohonkan supaya ia mari?" katanya tiba-tiba. "Ya," jawabku dengan segera. Anehnya, aku tidak pernah menyadarinya sampai saat itu. Tapi kini bagiku jelas bahwa aku selama ini mengharapkan kematian gadis di rumah penginapan itu karena ia telah menjadi saksi kehinaanku. "Menakutkan," katanya sambil merendahkan diri ke atas lantai yang beralaskan tikar pandan lalu berbaring menyamping. "Aku juga pernah." Kamarnya diterangi dengan cahaya yang agak luar biasa bagi masa ketika arus listrik sangat dibatasi. Kekuatan bola lampunya paling sedikitnya seratus wat, tiga kali lebih besar dari yang ada di kamar Kashiwagi. Untuk pertama kali aku melihat tubuh wanita itu diterangi. Sabuknya yang bergaya Nagoya putih cemerlang, dan kabut lembayung kembang trelis yang merupakan pola Kimono Yuzen menyolok jelas. Puncak gerbang Biara Nanzen dipisahkan dari ruang tamu Tenjuan oleh sebuah jarak yang hanya bisa diatasi oleh burung, tapi kini aku merasa bahwa selama tahun-tahun yang lalu aku telah memperkecil jarak ini selangkah demi selangkah dan kini akhirnya sudah mendekati tujuan. Semenjak 90 sore hari di gerbang itu aku sudah mencencang waktu menjadi kepingan menit dan kini aku betul-betul mulai mendekati arti peristiwa misterius di Tenjuan itu. Rupanya memang mestinya begini, kataku dalam hati. Tidak bisa dihindarkan bahwa perempuan ini akan berobah, seperti berobahnya wajah bumi ini pada saat cahaya dari sebuah bintang yang jauhnya akhirnya menemuinya. Jika pada saat aku melihat dia dari gerbang Biara Nanzen, dia dan aku bersatu menunggu pertemuan hari ini, maka semua perobahan seperti yang terjadi dalam dirinya semenjak itu, dapat di-tiadakan; dengan beberapa perobahan kecil, semuanya dapat dipulihkan kembali ke keadaannya semula dan aku yang dulu dapat berhadapan dengan dirinya yang dulu. Lalu aku menceritakan kisah itu. Aku menceritakannya dengan nafas sesak dan tergagap-gagap. Waktu aku bicara, daun-daun hijau itu kembali bercahaya, dan malaikat dan burung-burung Hoo yang terkenal dan dilukis di loteng biara itu hidup kembali. Suatu warna segar kembali pada pipi perempuan itu dan cahaya liar yang tadi kelihatan di matanya kini berobah menjadi suatu pernyataan yang tak pasti dan campur-baur. "Jadi itu yang telah terjadi?" katanya. "Oh. Jadi itu yang sebetulnya sudah terjadi. Karma yang aneh. Ya, itu artinya karma yang aneh." Waktu dia bicara matanya penuh dengan air mata kegembiraan yang bangga. Ia lupa pada penghinaan yang baru ia alami dan sebaliknya memasukkan dirinya kembali ke dalam kenangan. Dari goncangan yang satu ia pindah ke goncangan yang lain, dan ia hampir-hampir gila. Pinggir bawahkimononya yang berpola kembang wisteri sudah kusut.
"Kini aku tidak punya air susu," katanya. "Oh, bayiku yangmalang! Tidak, aku tidak punya air susu, tapi sungguhpun 191 begitu kini akan kulakukan apa yang kulakukan di kala itu. Karena kau mencintai aku semenjak itu, maka kau akan kuanggap sama dengan lelaki itu. Selama aku bisa berpendapat begitu maka tak ada yang perlu kumalukan. Ya, aku akan lakukan sama seperti yang kulakukan kala itu." Ia bicara seolah-olah menyampaikan suatu keputusan besar. Tindakannya yang menyusul kata-katanya seolah-olah datang dari limpahan kegairahan, kalau bukan karena keputusasaan yang melimpah-limpah. Kukira secara sadar ia didorong oleh kegairahan untuk melakukan perbuatan itu dengan penuh perasaan itu. Tapi kekuatan yang memaksa sebenarnya adalah keputusasaan yang disebabkan oleh Kashiwagi atau setidak-tidaknya sisa-sisa rasa yang selalu tinggal dari keputusasaan itu. Demikianlah ia membuka sabuknya di depan mataku dan mengungkai sejumlah tali. Lalu dengan iringan bunyi siitera sabuk itu sendiri jadi longgar, dan karena lepas dari ikatannya maka leher kimononya pun membuka. Samar-samar aku dapat melihat buah dada putih perempuan itu. Ia memasukkan tangannya ke balik kimononya lalu ia keluarkan buah dada kirinya dan ia hadapkan padaku. Aku akan berdusta kalau kukatakan aku tidak pusing karenanya. Aku memandang ke buah dadanya. Aku memper-hatikannya dengan teliti sekali. Sungguhpun begitu aku tetap mempertahankan perananku sebagai penonton. Titik putih yang misterius yang kulihat dari jauh - dari atas gerbang biara itu " bukanlah gumpalan daging yang bisa dijamah seperti ini. Kesan itu begitu lama meragi dalam diriku hingga buah dada yang kini kulihat terasa tidak lebih dari daging, tak lebih dari benda yang dapat dipegang. Daging itu sendiri tidak memiliki kekuatan untuk merayu atau menggoda. Setelah ia dibeberkan di hadapanku dan terputus sama sekali dari kehidupan, ia tidak lebih dari suatu bukti bagaimana sedihnya hidup ini. Aku masih tetap tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak benar. Tak sangsi lagi waktu aku melihat buah dadanya yang-putih itu aku diserang oleh rasa pening. Soalnya aku melihat terlalu teliti dan terlalu lengkap, hingga apa yang kulihat melebihi kenyataan buah dada seorang perempuan tapi setahap demi setahap berobah menjadi nukilan yang tak berarti. Pada saat itulah suatu keajaiban terjadi. Setelah mengalami suatu proses yang perih, buah dada perempuan itu akhirnya kulihat indah. Ia jadi dibekali dengan segala kekhasan keindahan steril dan dingin, dan sementara buah dada itu tetap berada di hadapanku, lama-lama melingkupi dirinya sendiri dalam prinsip dirinya sendiri. Sama seperti mawar menutup diri dalam prinsip pokok sekuntum mawar. Keindahan datang lambat likali padaku. Orang lain melihat keindahan dengan cepat, dan menemui keindahan serta nafsu syahwat pada saat yang sama; padaku ia selalu datang kemudian. Kini dalam waktu sesaat buah dada perempuan itu memperoleh hubungannya dengan keseluruhan, ia mengatasi kenyataannya sebagai daging semata lalu menjadi suatu substansi yang tak merasa, yang selalu abadi dan berhubungan dengan keabadian. Semoga aku berhasil membuat orang mengerti diriku. Kuil Kencana itu sekali lagi tampil di hadapanku. Atau lebih tepat, buah dada itu berobah menjadi Kuil Kencana. Aku ingat malam topan pada permulaan musim gugur waktu aku lagi berjalan-jalan di kuil. Biarpun sebagian besar dari gedung itu terbuka untuk cahaya bulan, suatu kegelapan yang berat dan mewah bertengger di atasnya dan kegelapan itu telah masuk ke dalam kuil malam itu, ke dalam kisi-kisi, ke dalam pintu-pintu kayu, ke bawah atap dengan 193 lapisan-lapisan emas yang sudah terkelupas. Dan ini wajar sekali. Karena Kuil Kencana itu sendiri sebetulnya sesuatu yang dibangun dengan sangat teliti sekali. Sungguhpun begitu, biarpun bentuk lahir buah dada ini menyinarkan cahaya daging yang cerah, dalamnya penuh dengan kegelapan. Hakikat sebenarnya terdiri dari kegelapan yang berat dan mewah yang sama. Aku yakin aku tidak mabuk karena pengertianku, penger-tianku telah diinjak-injak dan dihina; adalah wajar sekali kalau hidup dan nafsu berahi mengalami proses yang sama. Tapi perasaan gairahku yang dalam tetap tinggal dan selama beberapa lama aku duduk bagai orang lumpuh di hadapan buah dada perempuan yang terbuka itu. Aku duduk di sana waktu aku menangkap pandangan perempuan itu yang dingin dan penuh kebencian. Ia memasuk-kan buah dadanya kembali ke dalam kimononya. Padanya kukatakan, bahwa aku harus pergi. Ia mengantarkan aku ke pintu lalu menutup pintu keras-keras setelah aku keluar. Sampai aku kembali ke kuil aku berada dalam keadaan bergairah. Dalam mata fikiranku aku dapat melihat Kuil Kencana dan buah dada perempuan itu datang dan pergi sflih berganti. Aku dilingkupi oleh suatu rasa kegembiraan yang impoten. Tapi waktu garis-garis kuil itu mulai kelihatan di sela-sela hutan pinus yang gelap, yang mendesau-desau dalam angin, semangatku setapak demi setapak jadi dingin, perasaan impotenku jadi lebih berkuasa, dan kemabukanku berobah menjadi kebencian " aku benci entah karena apa. "Jadi sekali lagi aku sudah diasingkan dari hidup!" kataku dalam hati. "Kenapa Kuil Kencana itu berusaha melindungi aku" Kenapa ia memisahkan aku dari hidup tanpa kuminta" Tentu mungkin saja kuil itu berusaha menyelamatkan aku dari api neraka. Tapi dengan berbuat begitu, Kuil Kencana itu membuat aku lebih jahat dari mereka yang betul-betul jatuh ke dalam neraka, ia membuat aku menjadi 'seseorang yang lebih tahu tentang neraka dari siapa saja."' Gerbang utama kuil hitam dan tenang. Di gerbang samping, lampu yang tidak pernah dipadamkan sampai lonceng pagi berbunyi, bercahaya muram. Aku membuka gerbang samping. Di dalam kudengar bunyi rantai besi tua dan berkarat yang menarik beban pemberat. Pintu terbuka. Penjaga gerbang sudah tidur. Di bagian dalam gerbang itu ada pesan yang mengatakan bahwa orang terakhir yang pulang setelah lewat pukul sepuluh harus mengunci gerbang. Dua papan nama menunjukkan bahwa pemiliknya belum pulang. Salah satu papan nama itu adalah papan nama Pendeta Kepala; dan yang satu lagi milik tukang kebun tua. Waktu aku berjalan ke arah kuil, aku melihat sejumlah papan panjang lebih kurang lima meter, yang dipergunakan untuk sebuah pekerjaan bangunan. Bahkan di waktu malam urat-urat kayu yang terang itu dapat dilihat. Waktu aku mendekat*kulihat serbuk gergaji bertebaran di seluruh tempat itu bagai kembang kuning; bau kayu yang menarik menyebar di seluruh kegelapan. Sebelum masuk dapur, aku berbalik untuk melihat Kuil Kencana itu buat akhir kali. Aku menyu-suri jalan ke tempatnya dan lambat-laun gedung itu mulai kelihatan. Ia dikelilingi oleh pepohonan yang berdesir dan tegak membatu, tapi tetap bangun, di tengah-tengah malam. Seolah-olah ia pengawal malam. Biarpun bagian Rokuonji yang berpenghuni tidur di kala malam, aku belum pernah melihat Kuil Kencana itu tidur. Bangunan yang tak berpenghuni ini bisa melupakan tidur. Kegelapan yang berdiam di dalamnya bebas dari hukum-hukum manusia.
Lalu dengan nada yang mirip dengan sebuah kutukan 195 aku berbicara pada Kuil Kencana itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, dengan nada yang kasar: "Satu hari nanti kau akan kukuasai. Ya, satu hari nanti kau akan kutundukkan, hingga kau tidak bisa lagi menghalang-halangi aku." Suara menggema kosong dalam bayang-bayang malam Kolam Kyoko. Bab Tujuh ADA semacam tulisan rahasia yang seolah-olah bekerja dalam pengalaman umum hidupku. Seperti di sebuah gang yang terdiri dari cermin, bayangan yang satu dipantulkan, kemudian dipantulkan sampai ke kedalaman yang tak berakhir. Hal-hal yang kulihat-lihat di masa lampau dipantulkan dengan jelas pada apa yang kutemui untuk pertama kalinya, dan aku merasa seolah-olah dibimbing oleh kesamaan-kesamaan itu ke liku^ku dalam gang itu, ke suatu ruang dalam yang tak berlunas. Orang yang pada akhir hidupnya akan dihukum mati tak henti-hentinya - setiap kali ia melihat tiang kawat dalam perjalanan menuju tempat ia bekerja, setiap kali ia melintasi jalan kereta api -r menggambarkan gambaran tempat hukuman itu dilakukan dalam fikirannya dan akhirnya menge-nali tempat itu dengan akrab sekali. Oleh karena itu dalam pengalamanku tidak ada yang mempunyai si fat menumpuk. Tidak ada ketebalan yang begitu rupa yang dapat mem bentuk sebuah gunung dengan jalan membangun lapis demi lapis. Aku tidak merasa akrab dengan apa pun di dunia ini kecuali dengan Kuil Kencana; bahkan, aku tidak mempunyai hubungan yang akrab dengan pengalamanku di masa lampau. Tapi satu hal aku tahu, yaitu bahwa di antara semua pengalaman ini ada unsur-unsur tertentu - unsur-unsur yang tidak ditelan oleh laut waktu yang gelap, unsur-unsur yang tidak susut menjadi sesuatu 197 yang tidak-berarti dan penguiangan yang tak putus-putusnya -yang dapat dihubung-hubungkan hingga merupakan suatu gambar an yang mengerikan dan tidak menyenangkan. Kalau begitu apa unsur-unsur tertentu itu" Aku seringkali memikirkannya. Tapi nukilan-nukilan cerai-berai dan berkilau-an dari pengalaman-pengalaman ini lebih lagi tidak memiliki keteraturan dan arti dari pecahan-pecahan botol bir yang gemerlapan, yang kita lihat di pinggir jalan. Aku tidak berhasil mempercayai bahwa nukilan-nukilan ini adalah ke-pingan bertebaran daripada sesuatu yang di masa lampau memiliki bentuk yang indah sekali. Karena, dalam ketidakadaan arti mereka, dalam ketidakadaan susunan mereka, dalam keburukan mereka yang khusus, setiap nukilan yang tersebar ini masih melamunkan keakanan. Ya, biarpun mereka tidak lebih dari nukilan, masing-masing tanpa rasa takut, tenang, aneh, melamun tentang masa depan! Suatu masa depan yang tidak akan pernah bisa ditegakkan atau dipulihkan, yang tidak akan pernah bisa disentuh, suatu masa depan yang belum pernah ada yang serupa dengannya sebelumnya! Renungan-renungan tak jelas seperti kadang-kadang memberikan padaku semacam kegairahan sendu yang entah bagaimana, tapi pokoknya kurasakan cocok dengan diriku. Pada kesempatan-kesempatan seperti itu, jika bulan kebetulan lagi terang, maka aku mengambil serulingku lalu bermain di samping Kuil Kencana. Aku kini sudah sampai ke taraf untuk bisa memainkan lagu Kashiwagi "Kereta Istana", tanpa harus membacanot. Musik tidak ubahnya bagai mimpi. Tapi sekaligus, sebaliknya, ia mirip dengan suatu bentuk kesadaran yang lebih menyolok daripada yang kita miliki di saat-saat kita sadar. Aku sering bertanya dalam hati, yang mana di antara kedua itu yang sebetulnya musik" Kadang-kadang musik memiJiki kekuasaan untuk membalikkan kedua hal yang 198 bertentangan ini. Dan kadang-kadang aku berhasil dengan mudah menyatukan diriku sendiri dengan lagu "Kereta Istana" yang kumainkan. Sukmaku mengenal kenikmatan selagi menyatukan diri dengan musik. Karena bagiku, beda dari Kashiwagi, musik adalah hiburan sejati. Kalau aku selesai meniup serulingku, aku sering bertanya dalam hati: "Kenapa Kuil Kencana membiarkan perbuatanku ini" Kenapa ia tidak menyalahkan aku atau menghalangi aku di saat-saat aku menyatukan diri ke dalam musik" Belum pernah kuil itu membiarkan aku jika aku mencoba menyatukan diriku dalam kebahagiaan dan kenikmatan hidup. Pada setiap kejadian seperti itu maka biasanya kuil itu segera menghambat usahaku dan memaksa aku kembali pada diriku. Kenapa Kuil Kencana ini hanya mengizinkan kemabukan dan kelupaan dalam soal musik saja?" Jika aku berfikir begitu, maka daya tarik musik lalu sirna, semata-mata karena Kuil Kencana hanya mengizinkan aku akan kenikmatan itu saja. Karena biarpun kuil itu memberikan izin yang tak dilisankan padaku, musik, biarpun ia sangat sekali menyerupai kehidupan, bisa merupakan suatu bentuk hidup khayalan dan palsu; dan ia bagaimanapun aku berusaha untuk menyatukan diriku ke dalamnya, penyatuan hanya mungkin bersifat sementara. Aku tidak bermaksud memberikan kesan seolah-olah aku menyerah dan mengundurkan diri dari lapangan sebagai akibat dari kedua kekalahanku dalam menghadapi perempuan dan hidup. Sampai akhir tahun 1948 aku cukup banyak mendapat kesempatan seperti itu beserta bimbingan Kashiwagi; dan tanpa merasa ditindas oleh apa-apa, aku menunaikan tugas-tugas itu. Tapi hasilnya selalu sama. Antara gadis itu dan aku, antara hidup dan diriku, selalu berdiri Kuil Kencana. Maka segala yang menyentuh tanganku pada saat aku mencoba menangkapnya dengan serta-merta berobah jadi abu dan kemungkinan yang kuhadapi berobah Imenjadi padang pasir. Sekali waktu aku sedang beristirahat sesudah sesuatu pekerjaan di Japaugan di belaJcang dapur, aku kebetulan melihat cara seekor Iebah mengunjungi sekuntum kembang serunai musim panas yang kuning dan kecil. Ia datahg, terbang menembus cahaya yang selalu hadir dengan sayapnya yang keemasan, lalu ia memilih di antara sekian banyak kembang serunai satu kuntum lalu bercumbu-cumbu di hadap-annya. Aku mencoba melihat kembang itu melalui mata lebah itu. Kembang serunai itu mengembangkan kelopaknya yang kuning dan tak bercacat. Ia indah bagai Kuil Kencana kecil dan pun sempurna bagai kuil itu; tapi ia tidak berobah menjadi kuil dan tetap memih'Jd bentuk sekuntum kembang serunai musim panas. Ya, ia tetap berbentuk kembang serunai, sekuntum bunga, suatu bentuk tunggai tanpa catatan metafisik apapunjua. Dengan mematuhi peraturan perwujud-annya sendiri, ia memancarkan suatu kecantikan lalu menjadi sasaran yang cocok untuk keinginan Jebah itu. Alangkah mengherankan, untuk berada di Sana, bernafas, bagai suatu sasaran untuk keinginan yang tak berbentuk, yang terbang, mengaiir dan bergerak. Lambat-laun bentuk itu makin mereng-gang, kelihatannya ia seakan-akan mau remuk, ia bergetar dan menggigil. Ini wajar sekali, karena bentuk kembang serunai yang sebenarnya itu sesuai dengan keinginan Iebah itu dan kecantikannya berkembang menunggu keinginan itu. KM datanglah saatnya di mana arti bentuk bunga itu akan bersinar dalam kehidupan. Bentuk itu sendiri adalah tuangan hidup, yang mengaiir terus dan tak memiliki bentuk; pada saat yang sama, lenyapnya hidup tak berbentuk ini adalah pembentukan dari semua bentuk yang ada di dunia ini . . . dengan demikian lebah itu menyeruak masuk jauh ke dalam bunga itu, lalu tenggelam dalam kemabukan dengan tubuh seluruhnya bertabur tepungsari. Kembang serunai itu setelah menyambut lebah ke dalam tubuhnya, ia menjadi lebah kuning, berbaju zirah dan mewah, dan aku melihat bagaimana dia menggoyang-goyang diri sejadi-jadinya seolah-olah ia setiap saat ingin terbang meninggalkan tangkainya. Cahaya, dan perbuatan yang berlangsung dalam cahaya ini hampir-hampir membuat aku pening. Lalu, setelah aku meninggalkan mata lebah itu dan kembali ke mataku, terfikir olehku bahwa mataku yang menatap peristiwa ini berada dalam kedudukan yang sama dengan mata Kuil Kencana. Ya, begitulah kejadian-nya. Seperti aku kembali dari mata lebah ke mataku, begitu juga, pada saat hidup mendekati, aku meninggalkan mataku sendiri lalu menjadikan mata Kuil Kencana jadi mataku. Justru pada saat itulah kuil itu hadir di antara hidup dan aku. Aku kembali ke mataku. Dalam dunia benda-benda yang luas dan samar ini, lebah dan kembang serunai musim panas itu seolah-olah hanya "harus diatur". Terbang lebah dan goyang bunga sedikit pun tidak berbeda dari desir-desir angin. Di dunia yang kelu dan beku ini semuanya berada pada kedudukan yang sama dan bentuk yang memancarkan pesona yang begitu kuat sudah tak ada lagi. Kembang serunai itu tidak lagi indah karena bentuknya, tapi karena nama "serunai" yang samar dan kita berikan padanya dan karena janji yang terkandung dalam nama itu. Karena aku bukan lebah, maka aku tidak tergoda oleh serunai itu, dan karena. aku bukan kembang serunai tidak ada lebah yang merindukan aku. Aku menyadari suatu rasa persaudaraan dengan arus hidup dan dengan segala bentuk yang terdapat dalamnya, tapi kini perasaan itu sudah lenyap. Dunia ini sudah dibuang ke dalam suatu kenisbian dan yang bergerak hanya waktu. 201 Aku t/dak ingin membeberkan masalahku. Yang kuingin kukatakan hanya, bahwa, jika Kuil Kencana yang abadi dan mutlak itu muncul dan jika mataku berobah menjadi mata kuil itu, maka dunia sekitarku berobah seperti kulukis- Ikan, dan bahwa dalam dunia yang sudah berobah ini hanya Kuil Kencana yang tetap mempertahankan bentuknya dan memiliki keindahan dan dengan demikian mengeinbalikan segala-galanya jadi tanah. Semenjak aku menginjak-injak tubuh pelacur di taman kuil itu, dan terutama semenjak Tsurukawa meninggal, aku tak jemu-jemunya mengajukan pertanyaan pada diriku: "Apa kejahatan bagaimanapun juga mungkin?" Pada suatu hari Sabtu dalam bulan Januari tahun 1948, aku telah memanfaatkan suatu sore yang libur untuk mengunjungi sebuah bioskop kelas tiga. Setelah filem selesai aku berjalan-jalan di Shinkyogoku seorang diri untuk pertama Ikali semenjak lama sekali. Di antara orang ban yak itu aku tiba-tiba berada dekat seseorang yang wajahnya kukenal, tapi sebelum aku sempat mengingat siapa orang itu, wajah itu sudah ditelan oleh laut pejalan-pejalan kaki dan meng-hilang di belakangku. Leiaki itu mengenakan sebuah topi filt, mantel yang bagus, sehelai syal dan lagi berjalan-jalan bersama seorang gadis yang mengenakan mantel merah karat " jelas sekali seorang geisha. Wajah leiaki itu yang berwarna kemerah-merahan dan tembam, sikapnya yang mirip kebersihan seorang bayi, begitu beda dari sikap kebanyakan leiaki separuh baya, hidungnya yang mancung " ya, semua ini tanda-tanda Pendeta Kepala, yang menyolok. Bapa Dosen. Hanya topi fflt itu yang menyembunyikan ciri-ciri itu pada saat itu. 2 Biarpun tidak ada yang perlu kumalukan, reaksiku yang pertama ialah rasa takut kalau-kalau aku sampai dia lihat. Karena serta-merta aku merasa bahwa aku harus menghindar-kan untuk jadi saksi dari pengelanaan diam-diam Pendeta Kepala dan dengan demikian terlibat dalam satu hubungan curiga-mencurigai dengannya. Lalu seekor anjing hitam berjalan di antara orang banyak itu. Anjing itu besar dan kusut dan rupanya sudah biasa berjalan di tempat yang ramai, karena ia dengan cekatan sekali mencari jalan antara kaki-kaki perempuan yang mengenakan mantel berwarna-warni dan leiaki yang mengenakan seragam militer dan sekali-sekali berhenti depan sebuah toko. Aku melihat anjing itu mencium-cium di luar sebuah kedai oleh-oleh yang tidak berobah semenjak zaman Shogoin Yatsuhashi. Untuk pertama kalinya kini aku dapat melihat muka anjing itu dalam cahaya toko itu. Salah satu matanya rusak, dan darah serta lendir beku yang terdapat di sudut matanya kelihatan seperti batu delima. Sedangkan mata yang baik memandang lurus ke bawah. Bulu yang kusut pada punggungnya bergumpal-gumpal dan kelihatan keras. Aku tidak pasti kenapa anjing ini justru menarik per-hatianku. Mungkin, karena, waktu anjing itu berjalan, ia dengan gigjh membawa dalam dirinya sebuah dunia yang lain sama sekali dari jalan yang cerah dan riuh ini. Anjing itu berjalan melalui sebuah dunia gelap yang dikuasai oleh indera pencium. Dunia ini ditempelkan pada jalan manusia itu, dalam bias penerangan kota, lagu-lagu yang kedengaran dari piringan hitam, dan bunyi ketawa orang, semuanya diancam oleh bau yang gelap dan mendesak. Karena tata ciuman jauh lebih teliti, dan bau kencing yang melekat pada kaki anjing yang basah itu dihubungkan dengan tepat sekali pada bau busuk dan samar-samar yang memancar 203 dari alat-aiat bagian dalam tubuh manusia. Hari dingin sekali. SeJcelompok kecil anak-anak muda yang kelihatanrtya bagai pengusaha-pengusaha pasar gelap, berjalan sambil mengambili hiasan-hiasan Tahun Baru yang terdapat di pohon-pohon pinus, yang masih terdapat di luar beberapa buah rumah biarpun hari raya sudah berlalu. Mereka membuka telapak tangan yang terbungkus sarung tangan kulit untuk melihat siapa yang bisa mengambil paling banyak. Salah seorang dari mereka hanya memiliki beberapa Iembar daun; yang lainnya memiliki sepotong dahan lengkap. Anak-anak muda itu ketawa lalu menghilang dari pandangan. Tanpa kusadari aku sudah mengikuti anjing itu. Sesaat aku mengira, bahwa aku sudah kehilangan dia, tapi ia segera kelihatan lagi. Ia berbalik masuk jalan yang menuju ke Kawaramachi. Aku lama mengikuti dia hingga sampai ke jalan di mana terdapat rel trem. Di situ lebih gelap dari di Shinkyogoku. Anjing itu menghilahg. Aku berhenti lalu melihat ke segala arah mencari dia. Aku pergi ke sudut jalan lalu meneruskan usahaku mencari anjing itu. Waktu ini sebuah mobil sewaan yang dijalankan seorang supir dengan cat yang mengkilat berhenti di depanku. Supir itu membukakan pintu lalu seorang gadis naik. Aku melihat padanya. Seorang laki-laki juga mau masuk, tapi waktu ia melihat aku, ia terpaku. di tempat ia berdiri. Orang itu Pendeta Kepala. Aku tidak tahu nasib apa yang membuatnya tadi telah berpapasan dengan aku di jalan, dan sudah menempuh jalan memutar bersama gadis itu, bertemu dengan aku seperti ini. Pokoknya, dia ada di sana, dan mantel gadis yang masuk mobil itu adalah mantel merah karat yang kuingat. Waktu itu tidak ada lagi kesempatan untuk mengelakkan dia. Tapi aku begitu kaget karena pertemuan itu dan aku tidak dapat mengucapkan apa-apa. Sebelum aku dapat mengu-capkan sesuatu, suara gagap telah menggelegak dalam mulutku. Akhimya wajahku memperlihatkan kesan yang sama sekali tidak kuinginkan. Bahkan aku telah melakukan sesuatu yang sama sekali tidak penting dalam keadaan seperti itu: aku ketawa terbahak-bahak melihat Pendeta Kepala. Aku tidak dapat menjelaskan ketawaku kali ini. Ia seolah-olah datarvg dari luar dan tiba-tiba menempel pada mulutku. Tapi waktu Pendeta Kepala melihat aku ketawa, mukanya berobah. "Bebal!" katanya. "Apa kau mau membuntuti aku?" Lalu ia masuk ke dalam mobil dan membanting pintu mobil itu di hadapanku. Waktu mobil itu sudah pergi, aku sadar bahwa ia telah melihat aku waktu tadi kami berpapasan di Shinkyogoku.
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 2 Wiro Sableng 134 Nyawa Kedua Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 10

Cari Blog Ini