Oliver Twist Karya Charles Dickens Bagian 5
nangkannya. Aku bukan wanita tua yang selemah itu, meskipun
aku disantuni desa. Tidak, tidak!"
242~ OLIVER TWIST "Apa dia meminum anggur panas seperti yang dianjurkan
dokter?" tuntut wanita yang pertama.
"Aku mencoba meminumkan kepadanya," timpal wanita
yang satu lagi. "Tapi giginya terkatup rapat, dan dia menceng"
keram mug begitu kencang sehingga aku hanya bisa menariknya
lagi. Jadi, kuminum saja, dan minuman itu bagus buatku!"
Kedua nenek tua itu melihat ke sana kemari dengan hati-hati
untuk memastikan bahwa mereka tidak didengar, membungkuk
kian dekat ke api, dan terkekeh senang.
"Aku teringat suatu waktu," kata pembicara pertama, "ketika
dia pasti akan melakukan hal serupa, dan menertawakan hal itu
sesudahnya." "Betul, dia pasti akan melakukan itu," timpal wanita yang
satu lagi. "Dia punya hati yang riang. Banyak sekali jasad cantik
yang dibaringkannya, seindah dan serapi patung lilin. Mata
tuaku sudah melihat semuanya"betul, dan tangan tua itu me"
nyentuh jasad-jasad itu juga sebab aku pernah membantunya,
berkali-kali." Setelah meregangkan jari-jarinya yang gemetar ke depan saat
bicara, wanita tua tersebut mengguncangkan jarinya dengan
riang di depan wajahnya, dan merogoh sakunya. Dia menge"
luarkan kotak tembakau berwarna pudar dimakan usia. Dari
dalam kotak ini, dia menjatuhkan beberapa jumput tembakau
ke telapak tangan rekannya yang terulur, dan beberapa jumput
lagi ke tangannya sendiri. Selagi mereka disibukkan oleh kegi"
atan tersebut, sang matron, yang selama itu dengan tak sabaran
memperhatikan si wanita yang sekarat sampai dia terbangun da"
ri kondisi tak sadarkan diri, bergabung dengan mereka di dekat
perapian, dan dengan tajam bertanya berapa lama dia harus
menunggu. "Tidak lama, Nyonya," jawab wanita kedua sambil mendo"
ngak ke wajahnya. "Kita tak perlu menunggu maut lama-lama.
Sabar, sabar! Ia akan segera datang ke sini untuk kita semua."
CHARLES DICKENS ~243 "Tutup mulutmu, dasar tolol!" kata sang matron galak. "Kau,
Martha, katakan kepadaku, pernahkah dia berada dalam kondisi
seperti ini sebelumnya?"
"Sering," jawab wanita pertama.
"Tapi takkan pernah lagi," imbuh wanita kedua. "Soalnya,
dia takkan pernah bangun lagi, kecuali sekali saja"dan camkan
ini, Nyonya, itu pun takkan lama!"
"Lama atau sebentar," kata sang matron jengkel, "dia tak?"kan
menemukanku di sini ketika akhirnya bangun. Awas, kalian
berdua, sudah membuatku khawatir lagi untuk hal tak berarti.
Mengantar semua wanita tua ke kematian mereka di rumah ini
bukan bagian dari tugasku, dan aku takkan melakukannya"itu
yang lebih penting. Camkan itu, dasar nenek-nenek tua kurang
kerjaan. Jika kalian membodoh-bodohi aku lagi, akan segera
kusingkirkan kalian. Kuperingatkan kalian!"
Dia sedang berderap pergi ketika pekikan dari kedua wani"
ta itu, yang telah menoleh ke tempat tidur, menyebabkannya
menengok. Si pasien telah menegakkan tubuhnya, dan sedang
meregangkan lengannya ke arah mereka.
"Siapa itu?" serunya dengan suara hampa.
"Ssst, ssst!" kata salah seorang wanita, membungkuk di atas
tubuhnya. "Berbaringlah, berbaringlah!"
"Aku takkan pernah berbaring lagi dalam keadaan hidup!"
kata wanita itu sambil meronta. "Aku pasti akan memberi tahu"
nya! Ayo, sini! Lebih dekat! Biarkan aku berbisik di telingamu."
Dia mencengkeram lengan sang matron, dan sambil memak"
sanya menduduki kursi di samping tempat tidur. Saat hendak
bicara, dia menoleh ke sekeliling dan melihat kedua wanita yang
membungkukkan badan ke depan, berlaku layaknya pendengar
yang antusias. "Suruh mereka berpaling," kata wanita itu terkantuk-kantuk.
"Cepat! Cepat!"
Kedua wanita tua, mengoceh bersamaan, mulai menumpah"
kan banyak ratapan memilukan dengan mengatakan bahwa ka"
244~ OLIVER TWIST wan mereka tersayang yang malang sudah tak sadar sedemikian
rupa sehingga tak mengenali sahabatnya sendiri. Mereka berdua
tengah mengucapkan beragam protes takkan meninggalkan
wanita sekarat itu ketika sang atasan mendorong mereka keluar
ruangan, menutup pintu, dan kembali ke samping tempat tidur.
Setelah diusir, kedua wanita tua mengubah nada bicara mereka,
dan berseru lewat lubang kunci bahwa Sally tua sedang mabuk.
Ya, hal itu sangat mungkin terjadi sebab selain opium dosis
sedang yang diresepkan dari apoteker, dia sedang berjuang di
bawah efek sececap terakhir gin-dan-air yang secara sembunyisembunyi diberikan oleh kedua wanita tua yang sekarang berada
di luar ruangan. "Sekarang dengarkan aku," kata si wanita sekarat keras-keras,
seakan berupaya keras untuk memulihkan secercah energi dalam
dirinya. "Tepat di ruangan ini"di tempat tidur ini"aku pernah
merawat seorang makhluk muda cantik yang dibawa ke rumah
ini dengan kaki lecet-lecet dan memar-memar karena berjalan,
dan dikotori debu serta darah. Dia melahirkan seorang anak
laki-laki, dan meninggal. Biar kupikir ... tahun berapa itu?"
"Jangan pikirkan tahunnya," kata sang matron tak sabaran.
"Ada apa dengannya?"
"Betul," gumam wanita yang sakit itu, kembali ke keadaan
mengantuknya yang semula. "Ada apa dengannya ... ada apa ...
aku tahu!" pekiknya sambil menegakkan diri tiba-tiba, wajahnya
merona, dan matanya melotot. "Aku merampoknya, itu yang
kulakukan! Dia belum dingin"kuberi tahu kau, dia belum
dingin waktu aku mencurinya!"
"Mencuri apa, demi Tuhan?" seru sang matron, disertai gerak"
an seolah-olah dia hendak memanggil bantuan.
"Itu!" jawab wanita tersebut sambil menempelkan tangan ke
mulut Nyonya Corney. "Satu-satunya barang yang dimilikinya.
Dia menginginkan pakaian agar dia tetap hangat, dan makanan
untuk disantap, tapi dia mengamankan benda itu, dan menyim"
pannya di dadanya. Emas, Nyonya! Emas asli, yang mungkin
saja dapat menyelamatkan nyawanya!"
CHARLES DICKENS ~245 "Emas!" sang matron membeo sambil membungkukkan
badan penuh semangat ke atas tubuh wanita itu saat dia terjatuh
lagi ke belakang. "Lanjutkan, lanjutkan"ya"bagaimana sete"
rusnya" Siapa ibu itu" Kapan kejadiannya?"
"Dia memberiku tanggung jawab untuk mengamankan
benda itu," jawab wanita tersebut sambil mengerang, "dan me"
mercayaiku sebagai satu-satunya perempuan di dekatnya. Aku
langsung berniat mencurinya ketika dia kali pertama menun"
jukkannya kepadaku, dikalungkan di lehernya. Dan, kematian
anak itu, barangkali, adalah tanggung jawabku juga! Mereka
pasti akan memperlakukannya lebih baik, seandainya mereka
mengetahui semuanya!"
"Tahu apa?" tanya wanita yang satu lagi. "Bicaralah!"
"Bocah laki-laki itu tumbuh besar dengan rupa yang mirip
sekali seperti ibunya," kata wanita itu terus mengoceh dan tidak
memedulikan pertanyaan tersebut, "sehingga aku tak pernah
bisa melupakannya ketika aku melihat wajahnya. Gadis malang!
Gadis malang! Dia masih begitu muda pula! Bagai biri-biri yang
amat lembut! Tunggu, ada lagi yang harus diceritakan. Aku be"
lum menceritakan semuanya kepadamu, kan?"
"Belum, belum," jawab sang matron, memiringkan kepala
untuk menangkap kata-kata yang keluar semakin samar-samar
dari wanita sekarat itu. "Cepatlah, atau semua mungkin saja ter"
lambat!" "Sang ibu," kata wanita itu, berupaya lebih susah payah
daripada sebelumnya, "sang ibu, ketika rasa sakit sakratulmaut
pertama-tama mendatanginya, berbisik di telingaku bahwa jika
bayinya lahir hidup-hidup dan bertahan, harinya akan tiba keti"
ka dia takkan merasa sedemikian malu mendengar ibu mudanya
yang malang disebut-sebut. "Dan, oh, Tuhan yang baik!" katanya
sambil merapatkan kedua tangan kurusnya, "Entah dia laki-laki
atau perempuan, semoga dia punya teman di dunia yang penuh
gejolak ini, dan kasihanilah anak yang sepi sendiri itu, telantar
tanpa kasih sayang!?"
246~ OLIVER TWIST "Siapa nama anak laki-laki itu?" tuntut sang matron.
"Mereka memanggilnya Oliver," jawab wanita itu lemah.
"E"mas yang kucuri "."
"Ya, ya " bagaimana?" seru sang matron.
Dia membungkuk penuh semangat ke atas tubuh wanita itu
untuk mendengar jawabannya, tapi mundur kembali secara in"
s"tingtif, saat si wanita yang sekarat sekali lagi menegakkan diri,
pelan-pelan dan dengan kaku ke posisi duduk, kemudian men"
cengkeram seprai menggunakan kedua tangan, menggumamkan
suara tak jelas dari tenggorokannya, dan jatuh tak bernyawa ke
tempat tidur. "Mati kaku!" kata salah seorang wanita tua, bergegas masuk
segera setelah pintu dibuka.
"Dan ternyata tidak ada apa-apa yang diceritakan," timpal
sang matron, berjalan menjauh dengan tak acuh.
Kedua wanita tua tampaknya terlalu sibuk mempersiapkan
batin untuk tugas mengerikan mereka sehingga tidak menjawab,
ditinggalkan sendirian, membayang-bayangi jasad tersebut.[]
Toby Crackit Menyampaikan Berita elagi kejadian dalam bab sebelumya tengah terjadi di ru?"
mah sosial desa, Tuan Fagin duduk di sarang lamanya"
rumah tempat Oliver dipindahkan oleh si gadis"mere?""
nung di depan perapian suram penuh asap. Dia memegangi
puput yang ditelekan ke lututnya, yang rupanya dia gunakan
untuk merekahkan api agar menyala lebih besar. Fagin telah ter"
benam dalam pikiran mendalam. Dengan tangan bersedekap di
atas alat tersebut dan dagu ditopangkan ke jempol, dia melekat?"
kan pandangan matanya yang kosong ke kisi-kisi berkarat.
Di balik meja di belakangnya, duduklah Artful Dodger,
Tuan Charles Bates, dan Tuan Chitling, semua sedang ber"ma"
in kartu. Artful main sendiri melawan Tuan Bates dan Tuan
Chitling. Raut muka Artful, yang anehnya memang tampak
cerdas sepan?"?"?"jang waktu, memperoleh keuntungan tambahan
berkat peng?"ama?"tan cermatnya terhadap permainan tersebut, dan
peng?"a?""wasan sa"ksa"manya terhadap tangan Tuan Chitling. Dari
wak"tu ke waktu, sesuai kebutuhan, Dodger melirik sungguhsungguh ke arah Tuan Chitling, dan secara bijaksana mengatur
permainannya sendiri berdasarkan hasil observasinya terhadap
kartu-kartu tetangganya. Karena malam itu dingin, Dodger
mengenakan topinya"yang memang sering kali merupakan
kebiasaannya di dalam ruangan. Dia juga menjepit pipa tanah
liat di antara gigi-giginya, yang hanya dia pindahkan sebentar
saja ketika menganggap kendi di meja perlu dipenuhi kembali,
yang kemudian segera diisi gin-dan-air.
248~ OLIVER TWIST Tuan Bates juga memperhatikan permainan baik-baik. Na"
mun, karena lebih mudah terbawa perasaan dibanding"kan
teman"nya yang ahli, dia lebih sering meneguk gin-dan-air, dan
selain itu menghibur diri dengan banyak lelucon serta komen"tar
aneh, semuanya amatlah tidak pantas dalam permainan ilmiah
tersebut. Tentu saja, Artful, memanfaatkan persahabatan akrab
mereka, lebih dari sekali mengambil kesempatan untuk meng?"
ingatkan rekannya dengan serius mengenai betapa tidak pan"
tasnya hal ini. Semua teguran ini diterima Tuan Bates dengan
sikap riang semata-mata meminta temannya agar "mati saja", atau
agar memasukkan kepalanya ke karung, atau menjawab dengan
kelakar cerdik serupa, yang produksi cerianya memunculkan ke"
ka?"guman sedemikian rupa dalam benak Tuan Chitling. Patut
dicatat bahwa pria yang disebut belakangan ini dan mitra"nya
senantiasa kalah. Dan rupanya, bukannya membuat Tuan Bates
marah, kekalahan-kekalahan itu tampaknya justru menggem"
birakannya tiada terkira. Hal itu dapat dilihat dari tawa ter"
bahak-bahak setiap kali kartu dibagikan kembali, dan protes
bahwa dia tidak pernah melihat permainan semenyenangkan ini
sejak lahir. "Kau menang," kata Tuan Chitling, dengan wajah sangat
murung saat mengeluarkan uang setengah crown dari saku
rom"pinya. "Aku tidak pernah melihat orang sepertimu, Jack.
Kau memenangi segalanya. Bahkan ketika kami mendapat kar"
tu bagus, Charley dan aku tidak bisa memanfaatkannya sama
sekali." Kata-kata Tuan Chitling, yang dilontarkan dengan penuh
penyesalan, membuat Charley Bates girang bukan kepalang
se"hingga tawa kencang yang dikeluarkannya kemudian mem"
bangunkan Fagin dari perenungannya, dan bertanya ada masalah
apa. "Masalah, Fagin!" seru Charley. "Kuharap kau menyaksikan
permainan tadi. Tommy Chitling tak memenangi satu poin pun,
dan aku jadi mitranya melawan Artful seorang."
CHARLES DICKENS ~249 "Oho!" kata Fagin sambil menyeringai, yang cukup menun"
jukkan bahwa penyebab hal tersebut bukanlah misteri baginya.
"Coba lawan dia lagi, Tom, coba lawan dia lagi."
"Cukup sekian untukku, terima kasih, Fagin," jawab Tuan
Chitling. "Sudah cukup. Si Dodger ini beruntung sekali sehing"
ga tak ada peluang menang melawannya."
"Ha! ha! Kawan," jawab Fagin, "kau harus bangun pagi-pagi
sekali supaya bisa menang melawan Dodger."
"Pagi!" seru Charley Bates. "Kau harus memakai sepatu bot"
mu semalaman dan menempelkan teleskop ke masing-masing
mata dan teropong opera ke antara bahumu kalau kau ingin
mengunggulinya." Tuan Dawkins menerima pujian berlimpah ini dengan filo"
sofis, dan menawarkan kepada pria mana saja dalam kelompok
tersebut, satu shilling untuk setiap kartu bergambar yang dibagi"
kannya. Tak seorang pun menerima tantangan tersebut, dan
karena pipanya saat ini telah dihirup hingga habis, dia melan"
jutkan untuk menghibur diri dengan cara menggambar denah
Newgate di meja tulis, alih-alih meja judi, dengan sepotong
kapur sambil bersiul dengan lengkingan aneh.
"Sungguh lamban dirimu, Tommy!" kata Dodger, berhenti
tiba-tiba setelah keheningan lama. Dia lalu berbicara kepada
Tuan Chitling. "Menurutmu apa yang dipikirkannya, Fagin?"
"Bagaimana aku tahu, Sobat?" jawab Fagin sambil menengok
Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke belakang sambil menggerakkan puput. "Tentang kerugiannya,
barangkali, atau tempat peristirahatan kecil di desa yang baru
saja ditinggalkannya" Ha! ha! Begitukah, Sobat?"
"Sama sekali bukan," jawab Dodger, menghentikan topik
percakapan tersebut saat Tuan Chitling hendak menjawab. "Apa
pendapat-mu, Charley?"
"Menurut-ku," jawab Tuan Bates sambil nyengir, "dia ber"
sikap manis sekali pada Betsy. Lihat betapa dia merona! Oh, ya,
ampun! Ini baru seru! Tommy Chitling sedang jatuh cinta! Oh,
Fagin, Fagin! Lucu sekali!"
250~ OLIVER TWIST Dilanda oleh pemikiran bahwa Tuan Chitling menjadi kor"
ban hasrat yang lembut, Tuan Bates mengayunkan tubuhnya
ke belakang di kursinya kuat-kuat sehingga kehilangan keseim"
bangan, dan terjungkal ke lantai. Kecelakaan tersebut sama sekali
tak mengurangi kegembiraannya. Dia berbaring di tempatnya
jatuh lama sekali sampai tawanya usai, lalu kembali menempati
posisi sebelumnya, dan mulai tertawa lagi.
"Jangan hiraukan dia, Sobat," kata Fagin, berkedip kepada
Tuan Dawkins, dan menggebuk Tuan Bates dengan moncong
puputnya untuk menegur. "Betsy gadis yang baik. Pertahankan
dia, Tom. Pertahankan dia."
"Yang ingin kukatakan, Fagin," jawab Tuan Chitling, wajah"
nya merah padam, "adalah, bahwa itu bukan urusan siapa pun
di sini." "Tidak lagi," jawab Fagin. "Charley akan bicara kepada siapa
saja. Jangan hiraukan dia, Sobat, jangan hiraukan dia. Betsy
gadis yang baik. Lakukan yang dianjurkannya kepadamu, Tom,
dan kau akan memperoleh peruntunganmu."
"Aku sudah bertindak sesuai anjurannya," timpal Tuan Chit"
ling. "Aku seharusnya tidak dimasukkan penjara dan disuruh
naik tangga berjalan, jika bukan karena sarannya. Tapi itu
rupanya menguntungkanmu, kan, Fagin! Dan apa artinya enam
minggu" Masa itu harus tiba suatu saat, dan kenapa tidak di
musim dingin saja ketika kau tidak ingin sering-sering jalanjalan ke luar. Bukan begitu, Fagin?"
"Ah, memang benar, Sobat," timpal Fagin.
"Kau takkan keberatan melakukannya lagi, Tom, bukan be"
gitu," tanya Dodger sambil berkedip kepada Charley dan Fagin,
"kalau Bet baik-baik saja?"
"Aku bermaksud mengatakan bahwa aku seharusnya tidak
masuk ke sana," jawab Tom marah. "Nah, begitu. Ah! Siapa yang
berani berkata sebanyak itu, aku ingin tahu. Siapa, Fagin?"
"Tidak ada, Sobat," jawab Yahudi. "Tak seorang pun, Tom.
Aku tak kenal seorang pun yang berani melakukannya selain
kau. Tak satu pun dari mereka, Sobat."
CHARLES DICKENS ~251 "Aku mungkin bisa lolos, seandainya aku mengadukannya,
bukan begitu, Fagin?" lanjut si korban malang berotak paspasan dengan marah. "Sepatah kata dariku pasti sudah cukup,
bukan begitu, Fagin?"
"Pastinya begitu, Sobat," jawab Fagin.
"Tapi aku tidak mengoceh, kan, Fagin?" tuntut Tom, m"e"
numpahkan pertanyaan demi pertanyaan dengan amat berapiapi.
"Tidak, tidak, memang benar," jawab Fagin. "Kau terlalu
tangguh untuk itu. Terlalu tangguh, Sobat!"
"Barangkali memang begitu," timpal Tom, melihat ke seke"
liling. "Dan kalau memang begitu, apa yang harus ditertawakan,
Fagin?" Fagin menangkap bahwa Tuan Chitling sudah naik darah,
bergegas meyakinkannya bahwa tidak ada yang tertawa. Dan,
untuk membuktikan keseriusan kelompok tersebut, dia meng"
omeli Tuan Bates, sang tertuduh utama. Namun sayangnya, saat
membuka mulutnya untuk menjawab bahwa Charley tidak per"
nah lebih seserius itu seumur hidupnya, dia tak sanggup men"
cegah lolosnya gelak tawa dahsyat sehingga Tuan Chitling yang
merasa terhina tanpa basa-basi melesat menyeberangi ruangan
dan mengarahkan pukulan kepada si penjahat. Charley yang
mahir mengelak dari kejaran, menunduk untuk menghindarinya,
dan mengatur penempatan waktunya sedemikian cermat se"
hingga pukulan tersebut mendarat di dada sang pria tua periang,
dan menyebabkannya terhuyung-huyung ke dinding. Fagin ber"
diri sambil megap-megap. Tuan Chitling mengamati dengan
keputusasaan hebat. "Diam!" seru Dodger pada saat ini. "Aku mendengar lon"
ceng." Setelah mengambil penerangan, dia merayap pelan-pelan
ke lantai atas. Bel didentangkan lagi dengan tak sabaran selagi kelompok
tersebut berada dalam kegelapan. Setelah jeda singkat, Dodger
muncul kembali, dan berbisik misterius kepada Fagin.
"Apa!" seru Fagin. "Sendirian?"
252~ OLIVER TWIST Dodger mengangguk mengiyakan. Dan, sambil menamengi
nyala lilin dengan tangannya, dia memberi Charley Bates in"
formasi pribadi, tanpa suara, bahwa dia sebaiknya tidak melucu
saat itu. Setelah mengemukakan nasihat ramah ini, dia menatap
wajah Fagin dan menunggu arahannya.
Sang pria tua menggigiti jemari kuningnya, dan merenung
selama beberapa detik. Wajahnya tampak gundah sementara
itu, seolah-olah cemas akan sesuatu, dan takut mengakui yang
terburuk. Akhirnya dia mengangkat kepala.
"Di mana dia?" tanyanya.
Dodger menunjuk ke lantai di atas dan membuat gerakan,
seakan-akan hendak meninggalkan ruangan.
"Ya," kata Fagin, menjawab pertanyaan tanpa suara itu.
"Bawa dia turun! Cepat! Jangan berisik, Charley! Pelan-pelan,
Tom! Sana, sana!" Arahan singkat untuk Charley Bates, dan orang yang barubaru ini menjadi lawannya, dipatuhi pelan-pelan dan tanpa
suara. Tak ada suara yang menandakan letak keberadaan mereka.
Ketika Dodger menuruni tangga sambil membawa penerangan
di tangannya, dia diikuti oleh seorang pria berkemeja longgar
kasar. Setelah melemparkan lirikan buru-buru ke sepenjuru
ruangan, pria itu menarik pembungkus besar yang menutupi
sebagian besar bagian bawah wajahnya. Tampaklah sosok lesu,
lusuh, dan belum bercukur Toby Crackit yang menawan.
"Bagaimana kabarmu, Faguey?" kata pria terpandang ini
sambil mengangguk kepada Fagin. "Letakkan selendangku di atas
stoples, Dodger, supaya aku tahu di mana bisa menemukannya
waktu aku keluar. Ya, benar begitu! Kau akan jadi pembobol
muda hebat menggantikan yang tua-tua ini."
Disertai kata-kata ini, ditariknya kemeja longgarnya ke atas.
Setelah melilitkan kemeja tersebut ke bagian tengah tubuhnya,
dia menarik kursi ke dekat api, dan meletakkan kakinya di atas
kisi-kisi perapian. "Lihat ini, Faguey," katanya, menunjuk sepatu bot tingginya
dengan nelangsa. "Tidak ada semir sepatu sejak kau tahu kapan;
CHARLES DICKENS ~253 sedikit pun tidak, demi Jupiter! Tapi, jangan lihat aku seperti
itu, Bung, semua ada waktunya. Aku tak bisa membicarakan
bisnis sampai aku sudah makan dan minum. Jadi, keluarkanlah
kebutuhan pokok itu, dan mari kita bersantap dengan tenang
untuk kali pertama sepanjang tiga hari ini!"
Fagin mengisyaratkan kepada Dodger agar meletakkan ma"
kan?""an yang tersedia di atas meja, lalu duduk di seberang si pem?""
bobol rumah, menunggu hingga dia selesai.
Menilai dari penampilannya, Toby sama sekali tak ingin
buru-buru membuka percakapan. Pada mulanya, Fagin memu"
askan diri dengan cara mengamati raut wajah Toby dengan
sabar, seolah-olah untuk meraih semacam petunjuk mengenai
informasi yang dibawanya lewat ekspresinya, tapi sia-sia saja.
Dia kelihatan lelah dan kusut, tapi ada raut kalem biasa
yang selalu tampak di wajahnya; dan lewat debu, janggut, serta
jam"bang, seringai puas diri ala Toby Crackit yang menawan
masih bersinar, tak berkurang sama sekali. Lalu Fagin, sengsara
karena tak sabar, menonton setiap potong makanan yang Toby
masukkan ke mulutnya. Dia mondar-mandir di ruangan dengan
ke"ge?"li"sahannya yang tak tertahankan. Semua tak ada gunanya.
Toby melanjutkan makan dengan tak acuh sampai dia tidak
sanggup makan lagi. Dia lalu memerintahkan Dodger agar
keluar, lalu menutup pintu, mencampur segelas alkohol dan air,
dan me"nyi"apkan diri untuk bicara.
"Pertama-tama, Faguey," kata Toby.
"Ya, ya!" potong Fagin, menarik kursinya mendekat.
Tuan Crackit berhenti untuk menenggak alkohol dan air, dan
untuk menyatakan bahwa ginnya luar biasa. Kemudian, setelah
menyandarkan kakinya ke rak perapian yang rendah sehingga
kakinya sejajar dengan matanya, dia pelan-pelan melanjutkan.
"Pertama-tama, Faguey," kata Toby, "bagaimana kabar Bill?"
"Apa!" teriak Fagin, terkesiap bangun dari tempat duduk"
nya. "Apa, kau tak bermaksud mengatakan "." Toby memulai,
wajahnya jadi pucat. 254~ OLIVER TWIST "Bermaksud!" pekik Fagin sambil menjejakkan kaki ke lantai
dengan gusar. "Di mana mereka" Sikes dan bocah itu" Di mana
mereka" Ke mana saja mereka" Di mana mereka bersembunyi"
Kenapa mereka tak ada di sana?"
"Pembobolan gagal," kata Toby lemah.
"Aku tahu itu," timpal Fagin, menarik koran dari saku dan
menunjuknya. "Apa lagi?"
"Mereka menembak dan mengenai bocah itu. Kami memintas
ladang di belakang, dengan dia di belakang kami lewat pagar
tanaman dan selokan. Mereka membuntuti. Sial! Seluruh desa
terbangun, dan anjing-anjing mengejar kami."
"Anak laki-laki itu!"
"Bill menggendong anak itu di punggungnya dan melesat
bagai angin. Kami berhenti untuk membopongnya bersamasama. Kepalanya terkulai ke bawah, dan tubuhnya dingin. Mere"
ka dekat sekali di belakang kami. Yang penting adalah melin"
dungi diri kami masing-masing, dan menjauhi tiang gantungan!
Kami berpisah jalan, dan meninggalkan anak itu, menggeletak"
kan"nya di selokan. Hidup atau mati, hanya itu yang kuketahui
tentang dia." Fagin tidak mendengar apa-apa lagi. Namun, sambil berteriak
kencang dan memuntir-muntir rambut dengan tangan, dia
bergegas keluar ruangan, lalu keluar rumah.[]
Keresahan Tuan Fagin uan Fagin belum lagi pulih dari efek yang ditimbulkan
oleh informasi Toby Crackit ketika tiba di sudut jalan.
Dia berjalan dengan cepat dan dengan gaya liar serta
seenaknya seperti biasanya. Tiba-tiba sebuah kereta melesat
lewat, dan terdengarlah sebuah teriakan kencang dari pejalan
kaki yang kebetulan melihat bahaya tersebut sehingga Fagin
segera tersadar dan kembali ke trotoar. Sebisa mungkin dia
meng"hindari semua jalan utama, dan hanya mengendap-endap
menyu"suri jalan-jalan kecil dan gang sampai akhirnya keluar
di Snow Hill. Di sini dia bahkan berjalan lebih cepat daripada
sebelumnya, dan segera berbelok ke sebuah halaman. Ketika
sadar telah berada di lingkungan alaminya, dia kembali berjalan
tersaruk-saruk dan tampaknya bernapas lebih leluasa.
Di sebuah tempat dekat lokasi bertemunya Snow Hill dan
Holborn Hill, di sebelah kanan saat keluar di Kota Tua, terbu"
kalah sebuah gang sempit suram yang mengarah ke Saffron Hill.
Di sana banyak sekali toko yang keadaannya sangat kotor. Tokotoko tersebut menjual saputangan sutra bekas dalam berbagai
ukuran dan corak sebab di sinilah tempat para pedagang mem"
beli saputangan dari para pencopet. Ratusan saputangan ini
bergelantungan dikait di luar jendela, berkibar-kibar di kosen
pintu, dan menjejali rak-rak di dalam toko.
Meskipun luas Field Lane tidak seberapa, di sini terdapat
tukang cukur, kedai kopi, toko bir, dan kios ikan goreng. Ini
256~ OLIVER TWIST adalah sebuah koloni komersial"toko serbaada pencurian kelas
teri. Toko serbaada ini ramai dikunjungi di awal pagi dan diliputi
suasana kelam oleh pedagang yang datang dan pergi dengan
penuh rahasia dan mondar-mandir di ruang-ruang belakang
yang gelap. Di sinilah para penjual pakaian, penjaja sepatu,
dan penjual barang bekas memajang barang dagangan mereka,
sebagai bentuk pengumuman bagi para maling kelas teri. Di
sini tersimpan sejumlah besi tua, keramik, potongan bahan wol,
serta linen yang telah berjamur, berkarat, dan membusuk di
ruang bawah tanah berdebu.
Ke tempat inilah Fagin berbelok. Dia dikenal baik oleh para
penghuni jalan ini, terlihat dari anggukan akrab dari orangorang yang sedang berjual beli di sana. Dia membalas penghormatan mereka dengan cara serupa, tapi tidak memberikan
sapaan lebih lanjut. Ketika sampai di ujung gang, dia berhenti
untuk menyapa seorang wiraniaga berpostur kecil, yang telah
menjejalkan dirinya semaksimal mungkin ke kursi kanak-kanak
sejauh yang dapat dimuat kursi itu, dan sedang mengisap pipa
di pintu tokonya. "Wah, melihatmu, Tuan Fagin, dapat menyembuhkan
sakit mata!" kata si pedagang yang terhormat ini, menanggapi
pertanyaan Fagin mengenai kesehatannya.
"Lingkungan ini agak terlalu panas, Lively," kata Fagin,
mengangkat alis, dan menyilangkan tangan ke bahunya.
"Ya, aku pernah mendengar keluhan itu sebelumnya," balas
si pedagang, "tapi sebentar lagi pasti mendingin. Tidakkah
menurutmu demikian?"
Fagin mengangguk mengiyakan. Sambil menunjuk ke arah
Saffron Hill, dia bertanya apakah ada yang keluyuran di sana
malam ini. "Di Cripples?" tanya lelaki itu.
Fagin mengangguk. "Biar kuingat," ujar si pedagang sambil berpikir. "Ya, kira-kira
ada setengah lusin yang masuk, setahuku. Sepertinya temanmu
tak ada di sana." CHARLES DICKENS ~257 "Sikes juga tidak?" tanya Fagin dengan ekspresi kecewa.
"Nihil," jawab lelaki kecil itu, menggelengkan kepala dan
terlihat luar biasa licik. "Apa kau punya sesuatu untuk usahaku
malam ini?" "Tak ada apa-apa malam ini," kata Fagin sambil berbalik.
"Apa kau hendak ke Cripples, Fagin?" seru lelaki kecil itu
memanggilnya. "Tunggu! Aku tidak keberatan menemanimu!"
Si lelaki kecil berusaha keras melepaskan diri dari kursi. Pada
saat itu, Fagin menoleh ke belakang dan melambaikan tangan
untuk menyampaikan bahwa dia lebih memilih sendirian. Ke"
tika akhirnya pria kecil itu berhasil keluar dari kursi, Fagin telah
menghilang. Maka, setelah berjinjit tanpa guna karena berharap
dapat melihat Fagin, lagi-lagi pria kecil itu memaksa dirinya
masuk ke kursi kecil. Setelah bertukar gelengan kepala"yang
kentara sekali diwarnai keraguan dan ketidakpercayaan yang
Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bercampur aduk"dengan seorang wanita di toko seberang, dia
melanjutkan mengisap pipanya dengan sikap khidmat.
Three Cripples atau Cripples, begitulah tempat usaha terse"
but biasanya dikenal di kalangan pelanggannya, merupakan bar
tempat Tuan Sikes dan anjingnya pernah berada di sana pada
kisah sebelumnya. Setelah melambai sekadarnya pada pria di
bar, Fagin berjalan ke lantai atas dan membuka pintu sebuah
ruangan. Dia pelan-pelan berjingkat ke dalam ruangan tersebut,
melihat ke sana kemari dengan gugup sambil menudungkan
tangan di matanya, seolah-olah sedang mencari orang tertentu.
Ruangan itu diterangi oleh dua lampu gas. Sorot cahayanya
diredam oleh kerai-kerai yang ditutup dan tirai merah pudar
yang ditarik rapat sehingga tak terlihat dari luar. Langit-langit"
nya dihitamkan sehingga warnanya tidak dirusak oleh pancaran
lampu; dan tempat itu dipenuhi sedemikian rupa oleh asap
tembakau tebal, sampai-sampai nyaris mustahil untuk melihat
hal lain dengan jelas pada mulanya. Namun, lambat laun saat
sebagian asap menyingkir lewat pintu yang terbuka, sekum?"
pulan kepala"sama membingungkannya seperti bunyi-bunyi"
258~ OLIVER TWIST an yang menyambut telinga"dapat dilihat. Dan saat mata
men"ja"di semakin terbiasa dengan pemandangan tersebut, Fagin
pelan-pelan menyadari adanya kelompok besar, laki-laki dan
perempuan, yang berkerumun mengelilingi meja panjang. Di
balik ujung meja yang lebih tinggi, duduklah seorang pria yang
tampaknya adalah pemimpin mereka, sementara seorang pria
dengan hidung kebiruan dan wajah diikat untuk meringankan
sakit gigi, duduk di balik piano yang berdenting di pojok.
Saat Fagin melangkah masuk pelan-pelan, pria pemain piano
tengah menelusurkan jarinya ke tuts piano sebagai sebentuk
pendahuluan, diselingi oleh teriakan agar semuanya tenang
untuk mendengarkan lagu. Setelah teriakan mereda, seorang
wanita muda tampil untuk menghibur para pengunjung dengan
balada empat bait, di antara tiap-tiap bait si pengiring memain"
kan melodi utuh, sekeras yang dia bisa. Setelah pertunjukan
usai, sang pemimpin memberikan komentar. Selanjutnya, pria
di kanan dan kiri sang pemimpin berduet menyanyi diiringi
tepuk tangan meriah. Aneh rasanya, mengamati sebagian wajah yang mencolok di
antara kelompok tersebut. Sang pemimpin sendiri (pemilik bar
tersebut) adalah seorang laki-laki kasar dan vulgar berperawakan
besar yang memutar-mutar bola matanya ke sana kemari selagi
lagu dilantunkan. Meskipun tampaknya bergembira ria, dia
memperhatikan semua yang terjadi, serta menyimak se"ga"la yang
diucapkan, dengan mata dan telinga yang amat tajam. Di de?"
katnya berdirilah para penyanyi yang menerima pujian para pe"
lang?"gan dengan sikap tak acuh, dan bergiliran menenggak selusin
alkohol dan air yang ditawarkan, hadiah dari para pengagum
mereka. Muka para pengagum mereka ini mengekspresikan
hampir semua jenis aktivitas kriminal dari hampir semua level,
mau tak mau menyedot perhatian karena teramat menjijikkan.
Kelicikan, kebuasan, dan kemabukan ada di sana, dalam
tingkat yang sangat parah. Para wanita"sebagian menyisakan
tanda-tanda terakhir kesegaran awal yang hampir memudar,
CHARLES DICKENS ~259 yang lain sudah kehilangan semua perlambang dan bukti ke"
cantikan mereka sehingga hanya menyisakan kebiadaban serta
kejahatan, sebagian lainnya tampak masih sangat muda dan tak
seorang pun telah melewati masa puncak kehidupan mereka"
membentuk komponen tergelap dan paling menyedihkan pada
gambar suram ini. Fagin, tak terusik oleh emosi sendu, melihat dengan pe"
nasaran dari satu wajah ke wajah yang lain, tapi rupanya tak
menemui wajah yang dicarinya. Setelah pada akhirnya berhasil
menangkap pandangan mata sang pemilik bar, dia melambai
kecil kepada laki-laki itu, lalu meninggalkan ruangan, sepelan
saat dia masuk. "Apa yang bisa kulakukan untukmu, Tuan Fagin?" tanya
pria itu, saat dia mengikuti Fagin ke pelataran tangga. "Tak ber"
kenankah kau bergabung dengan kami" Mereka semua pasti
akan senang." Tuan Fagin menggelengkan kepala tak sabaran, lalu berbisik,
"Apa dia di sini?"
"Tidak," jawab pria itu.
"Dan, tidak ada kabar mengenai Barney?" tanya Fagin.
"Tak ada," jawab pemilik Cripples. "Dia takkan bergerak
sampai semuanya aman. Memang, mereka sedang mengendusendus di sana. Jika bergerak, dia akan menghancurkan segalanya
seketika. Dia pasti tidak apa-apa, si Barney itu, kecuali aku
mendengar kabar lain darinya. Kujamin Barney menjaga diri
dengan baik. Biarkan dia sendirian."
"Akankah dia berada di sini malam ini?" tanya Fagin, mem"
berikan tekanan yang sama pada kata ganti tersebut seperti
sebelumnya. "Monks, maksudmu?" tanya sang pemilik, ragu-ragu.
"Ssst!" kata Fagin. "Ya."
"Pasti," jawab pria itu sambil menarik jam emas dari ran"
tainya. "Menurutku dia akan tiba sebentar lagi. Jika kau mau
menunggu sepuluh menit, dia akan "."
260~ OLIVER TWIST "Tidak, tidak," kata Fagin buru-buru, menunjukkan betapa
pun berhasratnya dia untuk menemui orang yang dibahas itu,
dia tetap saja lega karena ketidakhadirannya. "Beri tahu dia
aku datang ke sini untuk menjumpainya dan suruh dia datang
menemuiku malam ini. Tidak " besok saja. Karena dia tak di
sini, besok pasti cukup memberinya waktu."
"Bagus!" kata pria itu. "Tak ada lagi?"
"Cukup untuk saat ini," kata Fagin sambil menuruni tangga.
"Menurutku," kata sang pemilik, memandang lewat pagar
tangga, dan bicara dalam bisikan serak, "ini adalah waktu yang
tepat untuk menjual! Ada Phil Barker di sini, mabuk sekali
sehingga seorang anak laki-laki kecil pun akan sanggup mem"
bawanya!" "Ah! Tapi sekarang bukan waktu untuk Phil Barker," kata
Fagin sambil mendongak. "Phil harus melakukan sesuatu lagi,
barulah kita bisa berpisah dengannya. Kembalilah ke rekanrekanmu, Sobat, dan katakan kepada mereka agar menjalani
kehidupan yang menyenangkan"selagi mereka masih hidup.
Ha! ha! ha!" Sang pemilik membalas tawa si pria tua, lalu kembali ke
tamu-tamunya. Fagin baru saja sendirian ketika raut wajahnya
kembali ke ekspresi semula yang cemas dan serius. Setelah me"
renung sebentar, dia memanggil kereta sewaan, dan menyuruh
sais mengemudi ke arah Bethnal Green. Dia minta berhenti
kira-kira seperempat mil dari kediaman Tuan Sikes, dan menem"
puh sisa perjalanan pendek itu dengan berjalan kaki.
"Nah," gumam Fagin saat dia mengetuk pintu, "jika ada
permainan di sini, aku akan membongkarnya darimu, Gadisku,
meskipun kau cerdik."
Gadis itu ada di kamarnya, kata seorang wanita. Fagin
merayap pelan-pelan ke lantai atas, dan masuk tanpa basa-basi
sebe"lumnya. Gadis itu sendirian, menelungkup dengan kepala
di atas meja dan rambut terurai berantakan.
"Dia habis minum-minum," pikir Fagin dengan dingin.
"Atau barangkali dia sedang merasa sengsara."
CHARLES DICKENS ~261 Sang pria tua berbalik untuk menutup pintu sambil
merenungkan hal ini. Bunyi yang ditimbulkannya memba"
ngunkan si gadis. Saat mendengarkan si lelaki tua memaparkan
cerita Toby Crackit, dia mengamati wajah culas pria itu dengan
mata disipitkan. Ketika kisah tersebut selesai diceritakan, dia
kembali ke sikapnya semula, tapi tak bicara sepatah kata pun.
Dia mendorong lilin menjauh dengan tak sabar. Satu atau dua
kali dia mengubah posisinya dengan gelisah, menggeser kakinya
di lantai. Di tengah keheningan itu, Fagin melihat ke sepenjuru ruang"
an dengan resah, seolah-olah untuk meyakinkan diri bahwa
Sikes belum kembali diam-diam. Puas dengan pemeriksaannya,
dia batuk dua atau tiga kali dan berupaya untuk membuka per"
ca"kapan, tapi gadis itu tidak peduli, seakan terbuat dari batu.
Pada akhirnya dia mencoba lagi, dan sambil menggosokkan ke"
dua tangannya, berkata dengan nada suaranya yang paling mene?""
nangkan. "Dan menurutmu, di manakah Bill sekarang, Sayang?"
Gadis itu mengerang dan menjawab dengan suara tidak
jelas bahwa dia tidak tahu. Dan tampaknya, dari bunyi isakan
teredam yang terdengar, dia menangis.
"Dan si anak laki-laki juga," kata Fagin, memicingkan mata
un?"tuk melihat sekilas wajah gadis itu. "Anak kecil malang! Di"
ting?"galkan di selokan, Nance, bayangkan!"
"Anak itu," kata si gadis, tiba-tiba mendongak, "lebih baik
berada di tempatnya sekarang daripada di antara kita. Dan,
asalkan tidak ada masalah yang menimpa Bill karena kejadian
itu, kuharap dia tergeletak dalam keadaan mati di selokan dan
semoga tulang-tulang mudanya membusuk di sana."
"Apa?" seru Fagin takjub.
"Ya, aku sungguh berharap begitu," balas si gadis, bertemu
pandang dengannya. "Aku bersyukur dia jauh dari pandangan
mataku, dan tahu bahwa yang terburuk sudah usai. Aku tak ta"han
dengan keberadaannya di dekatku. Melihat anak itu membuat"
ku berpaling dari diriku sendiri, dan dari kalian semua."
262~ OLIVER TWIST "Omong kosong!" kata Fagin mencela. "Kau mabuk."
"Begitukah?" seru gadis itu getir. "Bukan salahmu kalau aku
tidak mabuk! Kau pasti lebih senang jika aku mabuk, kecuali
sekarang " lelucon ini tidak sesuai dengan kehendakmu,
bukan?" "Tidak!" timpal Fagin dengan gusar. "Memang tidak."
"Ubahlah, kalau begitu!" respons gadis itu sambil tertawa.
"Ubah!" seru Fagin, jengkel tak terkira karena sikap keras
kepala rekannya yang tak terduga-duga ditambah dengan kete"
gangan malam itu. "Pasti akan kuubah! Dengarkan aku, coba
sebutkan dalam enam kata, siapa yang bisa mencekik Sikes
sama pastinya seperti jika aku mencengkeram leher besarnya di
antara jemariku sekarang. Jika dia kembali dan meninggalkan
anak laki-laki itu; jika dia berhasil membebaskan diri, dan dalam
keadaan hidup atau mati, gagal mengembalikan anak itu kepa"
daku; bunuh dia sendiri jika kau ingin dia lolos dari algojo. Dan,
lakukan tepat saat dia menginjakkan kaki di ruangan ini, atau
semua akan terlambat!"
"Apa maksud semua ini?" pekik gadis itu spontan.
"Apa maksud semua ini?" ulang Fagin, dilanda amarah. "Keti"
ka anak laki-laki itu bernilai ratusan pound bagiku, haruskah
aku kehilangan peluang lolos dengan selamat, hanya gara-gara
tindakan impulsif geng orang mabuk yang nyawanya bisa ku"
singkirkan begitu saja" Dan aku terikat pula, pada seorang iblis
yang hanya menginginkan wasiat, dan punya kekuatan untuk,
untuk "." Tersengal-sengal karena kehabisan napas, si pria tua terbatabata mencari kata. Sekejap dia mengendalikan gelombang amuk"
annya, lalu mengubah seluruh sikapnya. Sesaat sebelumnya,
tangannya yang terkepal mencengkeram udara, matanya mem"
belalak, dan wajahnya pucat karena bernafsu. Namun kini, dia
menjatuhkan diri ke kursi dan berjengit, tubuhnya digetarkan
perasaan waswas karena telah mengungkapkan suatu kejahatan
rahasia. Setelah sunyi sejenak, dia memberanikan diri untuk me"
CHARLES DICKENS ~263 noleh kepada rekannya. Dia tampaknya cukup tenang, setelah
melihat Nancy dengan sikap resah yang sama seperti saat dia
membangunkan gadis itu. "Nancy, Sayang!" kuak Fagin dengan suaranya yang biasa.
"Apa kau mendengarku, Sayang?"
"Jangan pedulikan aku sekarang, Fagin!" jawab gadis itu sam"
bil mengangkat kepalanya dengan lemas. "Jika Bill tidak berhasil
kali ini, dia akan berhasil kali lain. Dia sudah melakukan banyak
pekerjaan untukmu, dan akan melakukan lebih banyak lagi keti"
ka dia bisa. Dan ketika dia tak bisa, dia takkan melakukannya.
Jadi, kita sudahi saja pembicaraan ini."
"Mengenai si anak laki-laki, Sayang?" kata Fagin sambil meng?""
gosokkan kedua belah tangannya dengan gugup.
"Anak laki-laki itu harus mengambil risiko, sama seperti yang
lain," sela Nancy buru-buru. "Dan kukatakan lagi, kuharap dia
sudah mati dan tersingkir dari malapetaka dan cengkeramanmu,
asalkan Bill tidak tertimpa masalah. Dan, jika Toby berhasil lo"
los, Bill pastinya selamat sebab Bill sebanding dengan dua Toby
sampai kapan pun." "Dan bagaimana dengan apa yang tadi kukatakan, Sayang?"
ujar Fagin, melekatkan pandangan matanya yang berkilat kepada
Nancy. "Kau harus mengatakannya lagi, jika itu adalah sesuatu yang
kau ingin agar kulakukan," timpal Nancy. "Dan jika memang
begitu, kau sebaiknya menunggu sampai besok. Kau membuat"
ku sadar selama semenit, tapi sekarang aku linglung lagi."
Fagin mengajukan beberapa pertanyaan lain untuk memas"
tikan apakah gadis itu menyadari kecerobohan Fagin tadi. Na"
mun, Nancy menjawab semuanya dengan sangat cepat dan sama
sekali tak tersentuh oleh ekspresi cermat Fagin sehingga kesan
awal pria itu bahwa Nancy mabuk berat adalah benar. Nancy
memang tidak lepas dari jeratan kebiasaan buruk yang selalu
menimpa murid-murid perempuan Fagin. Kebiasaan buruk ini
sudah berlangsung sejak usia mereka masih sangat muda.
264~ OLIVER TWIST Penampilan Nancy yang berantakan dan wangi tajam Geneva
yang meliputi apartemen itu menguatkan kebenaran du"gaan
Fagin. Setelah menyerah pada dorongan hati sementara untuk
menunjukkan sikap kasar seperti yang dipaparkan di atas, Nancy
melunak, pertama-tama jadi mati rasa, dan setelah itu dilanda
berbagai macam perasaan"di bawah pengaruh perasaan-pe"
ra"saan inilah Nancy mencucurkan air mata satu menit, dan
pada menit berikutnya mengucapkan aneka variasi dari seruan
"Pantang menyerah!" serta beragam pertimbangan mengenai
besarnya taruhan yang tidak jadi soal selama bapak atau ibu
senang"Tuan Fagin, yang punya banyak pengalaman dalam
perkara semacam itu pada masanya, melihat dengan teramat
puas bahwa Nancy memang telah pergi sangat jauh.
Setelah menenangkan pikirannya dan menyampaikan apa
yang telah didengarnya malam itu kepada gadis tersebut, serta
memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa Sikes belum
kembali, Tuan Fagin lagi-lagi memalingkan wajahnya ke arah
rumah. Ditinggalkannya kawan mudanya yang sedang tertidur
Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan kepala tertelungkup ke meja.
Saat itu tinggal satu jam sebelum tengah malam. Karena cuaca
suram dan dingin menusuk, dia tidak tergoda untuk luntanglantung. Angin menggigit yang berkelebat di jalanan tampaknya
telah mengosongkannya dari para penumpang, mengeruhkan"
nya dengan debu serta lumpur, sebab hanya segelintir orang yang
ada di luar, dan tampaknya mereka semua tengah bergegas-gegas
pulang ke rumah. Angin bertiup dari kanan Fagin, dan tepat ke
sanalah dia menuju, gemetaran dan menggigil saat setiap tiupan
angin segar mendorongnya dengan kasar.
Fagin telah mencapai pojok jalan dekat rumahnya sendiri
dan tengah merogoh-rogoh sakunya untuk mencari kunci pintu,
ketika sebuah sosok gelap muncul dari ambang pintu terjulur
yang berada jauh dalam bayang-bayang pekat dan menyeberangi
jalan, meluncur menghampiri Fagin tanpa disadari.
"Fagin!" bisik sebuah suara di dekat telinganya.
CHARLES DICKENS ~265 "Ah!" kata Fagin, cepat-cepat berbalik ke belakang. "Apakah
itu "." "Ya!" potong si orang asing. "Aku sudah menunggumu di
sini selama dua jam. Ke mana saja kau?"
"Mengerjakan bisnismu, Sobat," jawab Fagin, melirik rekan"
nya dengan gelisah, dan memperlambat langkahnya saat dia
bicara. "Mengerjakan bisnismu semalaman."
"Oh, tentu saja!" kata orang asing itu, disertai seringai men"
cemooh. "Nah, hasilnya bagaimana?"
"Tidak bagus," kata Fagin.
"Tidak jelek, kuharap?" kata si orang asing, berhenti tibatiba dan memalingkan wajah dengan ekspresi terperanjat kepada
rekannya. Fagin menggelengkan kepala dan hendak menjawab ketika
si orang asing memotongnya dengan lambaian ke arah rumah
yang pada saat ini telah mereka capai, sembari berujar bahwa dia
sebaiknya mengatakan apa yang harus dikatakannya di dalam
rumah sebab darahnya sudah beku karena berdiri begitu lama
dengan embusan angin. Fagin terlihat keberatan atas kedatangan tamu di rumahnya
pada malam selarut itu. Dia memang menggumamkan sesuatu
tentang ketiadaan api, tapi karena rekannya mengulang permin"
taannya dengan sikap memerintah, dia membuka kunci pintu
dan meminta si orang asing menutup pintu tersebut pelan-pelan
selagi dia mengambil penerangan.
"Di sini segelap kuburan," kata pria itu, meraba-raba maju
beberapa langkah. "Cepatlah!"
"Tutup pintunya," bisik Fagin dari ujung koridor. Saat dia
bicara, pintu tertutup diiringi bunyi nyaring.
"Bukan aku yang melakukannya," kata lelaki asing itu sambil
meraba-raba. "Angin meniupnya atau tertutup atas kehendaknya
sendiri. Bawa lampu yang terang, atau kepalaku bakal tertabrak
sesuatu di lubang menyesatkan ini."
266~ OLIVER TWIST Fagin pelan-pelan menuruni tangga dapur. Setelah menghi"
lang sebentar, dia kembali dengan lilin yang menyala, memberi
tahu bahwa Toby Crackit sedang tidur di kamar belakang di
bawah dan para anak lelaki tidur di kamar depan. Sambil melam"
bai kepada pria itu agar mengikutinya, dia memimpin jalan ke
lantai atas. "Kita bisa mengatakan satu-dua patah kata yang perlu kita
katakan di sini, Sobat," kata Fagin, mendorong sebuah pintu
hingga terbuka di lantai dua. "Dan karena ada lubang di kerai,
kami tak pernah menampakkan cahaya kepada tetangga kami,
akan kita letakkan lilin di tangga. Nah!"
Diiringi kata-kata itu, Fagin membungkuk, meletakkan lilin
di tangga sebelah atas, persis di seberang pintu kamar. Setelah
melakukan ini, dia memimpin jalan ke sebuah ruangan kosong
yang hanya diisi sebuah kursi berlengan yang patah serta sebuah
sofa tua tanpa kain penutup, yang berdiri di belakang pintu. Di
atas perabot inilah si orang asing duduk tanpa permisi de?"ngan
gaya layaknya seorang pria yang keletihan, sedangkan Fagin
menarik kursi berlengan ke seberangnya. Mereka pun duduk
ber"hadapan. Suasananya tidak terlalu gelap. Pintu terbuka seba"
gian, dan lilin di luar memancarkan bayangan samar di dinding
seberang. Mereka bercakap-cakap sambil berbisik beberapa lama. Wa"
lau?"pun percakapan itu nyaris tak tertangkap, hanya segelintir
kata putus-putus di sana sini yang terdengar. Fagin tampaknya
sedang membela diri dari suatu pernyataan si orang asing. Pria
asing tersebut tampaknya berada dalam kondisi kesal luar bisa.
Mereka mungkin telah bicara seperti itu selama seperempat jam
atau lebih, ketika Monks"panggilan yang digunakan Fagin
untuk lelaki asing itu beberapa kali sepanjang jalannya per"bin"
cangan mereka"berkata sambil meninggikan suaranya sedikit.
"Kukatakan lagi kepadamu, perencanaannya buruk. Kenapa
tidak mempertahankannya saja di sini bersama yang lain, dan
men"jadikannya copet licik rewel saja?"
CHARLES DICKENS ~267 "Coba kau bertemu dengannya!" seru Fagin sambil meng"
angkat bahu. "Kenapa, apa kau bermaksud mengatakan bahwa kau tidak
bisa melakukannya sekalipun kau memilih demikian?" tuntut
Monks galak. "Bukankah kau sudah melakukannya pada anakanak lelaki yang lain berkali-kali" Jika kau bersabar selama dua
belas bulan, maksimal, tak bisakah kau membuatnya dihukum,
dan dikirim dengan aman ke luar kerajaan ini; barangkali seu"
mur hidup?" "Siapa yang akan diuntungkan dari hal tersebut, Sobat?"
tanya Fagin sopan. "Aku," jawab Monks.
"Tapi aku tidak," kata Fagin kalem. "Dia mungkin saja bisa
berguna buatku. Ketika ada dua pihak dalam sebuah tawarmena"war, masuk akallah bahwa keuntungan keduanya harus
dipertimbangkan, bukan begitu, Kawan Baikku?"
"Apa, kalau begitu?" tuntut Monks.
"Kulihat tidaklah mudah melatihnya dalam bidang usahaku,"
jawab Fagin. "Dia tidak seperti anak-anak lelaki lain dalam
kondisi yang sama." "Terkutuklah dia, memang tidak!" gerutu pria itu. "Atau dia
pasti sudah jadi pencuri sejak dulu."
"Aku tak punya kuasa atas dirinya untuk menjadikannya le"
bih buruk," lanjut Fagin dengan waswas mengamati raut wajah
rekannya. "Dia belum terperangkap. Aku tak punya apa-apa un"
tuk mena"kutinya yang seharusnya selalu kita miliki sedari awal,
atau sia-sia saja kita bekerja keras. Apa yang bisa kulakukan" Ki"
rim dia ke luar bersama Dodger dan Charley" Cukup sekali saja,
Sobat, dan itu sudah membuatku gemetaran setengah mati."
"Itu bukan salahku," komentar Monks.
"Bukan, bukan, Sobat!" timpal Fagin. "Dan aku tidak mem"
pertentangkannya sekarang sebab jika itu tak pernah terjadi,
kau mungkin takkan pernah melekatkan pandanganmu pada
anak laki-laki itu untuk memperhatikannya dan menyadari
268~ OLIVER TWIST bahwa dialah yang kau cari-cari. Nah! Aku mendapatkannya
kembali untukmu lewat gadis itu, kemudian gadis itu mulai
menyukainya." "Cekik gadis itu!" kata Monks tak sabaran.
"Wah, kita tidak boleh melakukan itu saat ini, Sobat," balas
Fagin sambil tersenyum. "Dan lagi pula, hal semacam itu bukan"
lah cara kita. Jika tidak, aku akan dengan senang hati mela"
kukannya sekarang. Aku tahu benar seperti apa gadis-gadis ini,
Monks. Segera setelah anak laki-laki itu mulai jadi keras, gadis
itu takkan memedulikannya lebih daripada sebatang kayu. Kau
ingin dia dijadikan pencuri. Apabila dia hidup, aku bisa men?"
jadikannya pencuri kali ini. Dan, jika " jika "." kata Fagin,
mendekat kepada Monks, "itu tidak mungkin, ingatlah " tapi
jika yang terburuk terjadi, dan dia sudah mati "."
"Bukan salahku jika dia sudah mati!" potong Monks dengan
ekspresi ngeri dan mencengkeram lengan Fagin dengan tangan
gemetaran. "Ingat itu, Fagin! Aku tidak campur tangan dalam
hal itu. Apa pun kecuali kematiannya, kukatakan itu kepadamu
sejak semula. Aku takkan menumpahkan darah karena kejadian
semacam itu selalu ketahuan dan juga menghantui seorang pria.
Jika mereka menembaknya hingga mati, bukan aku penyebabnya.
Apa kau dengar aku" Terbakarlah sarang neraka ini! Apa itu"!"
"Apa!" seru Fagin, memeluk tubuh Monks dengan kedua
lengan saat dia meloncat berdiri. "Di mana?"
"Di situ!" jawab pria itu sambil memelototi dinding seberang.
"Bayangan itu! Kulihat bayangan seorang perempuan, berjubah
dan bertopi, melintasi teritis bagaikan embusan napas!"
Fagin melepaskan pegangannya, dan mereka buru-buru
melesat keluar ruangan. Lilin, nyalanya berayun-ayun angin,
berdiri di tempatnya diletakkan. Lilin tersebut hanya menun"
jukkan tangga kosong serta wajah pasi mereka sendiri kepada
mereka. Mereka mendengarkan dengan saksama. Keheningan
pekat menguasai rumah tersebut.
"Cuma khayalanmu," kata Fagin, mengambil penerangan
dan menoleh kepada rekannya.
CHARLES DICKENS ~269 "Aku bersumpah aku melihatnya!" jawab Monks sambil ge"
metaran. "Bayangan tersebut membungkuk ke depan ketika aku
melihatnya pertama kali; dan ketika aku bicara, bayangan ter"
sebut melejit pergi."
Fagin melirik wajah pucat rekannya dengan muak. Dan,
setelah memberi tahu Monks kalau dia boleh ikut jika berkenan,
Fagin menaiki tangga. Mereka menengok ke semua ruangan.
Semuanya terasa dingin, lengang, dan kosong. Mereka turun ke
koridor, dan selanjutnya ke ruang bawah tanah. Tumbuhan lem"
bap hijau bergantung di dinding rendah, jejak keong dan siput
berkilat diterpa cahaya lilin, tapi suasana sesunyi kematian.
"Bagaimana menurutmu sekarang?" kata Fagin, ketika mere"
ka telah kembali ke koridor. "Selain diri kita sendiri, tak ada satu
makhluk pun di rumah ini kecuali Toby dan anak-anak, dan
mereka cukup aman. Lihat ke sini!"
Sebagai bukti atas fakta tersebut, Fagin mengeluarkan dua
kunci dari sakunya. Dia menjelaskan, ketika turun ke lantai
bawah, dia telah mengunci mereka di bawah untuk mencegah
gangguan terhadap perundingan mereka.
Akumulasi pengakuan ini membuat Tuan Monks tergun?"cang
sekaligus terbungkam. Protesnya lambat laun berkurang dan
menjadi kurang sengit saat mereka melanjutkan pencarian tanpa
menemukan apa pun. Dan sekarang dia melampiaskan se?"jum"lah
tawa sangat suram, serta mengakui bahwa imajinasinya terlalu
berlebihan. Namun, dia menolak melanjutkan percakapan lebih
lanjut karena tiba-tiba teringat bahwa saat itu sudah pukul satu
lewat. Mereka pun berpisah.[]
Masa Depan Cemerlang Tuan Bumble enurut tata krama, tidaklah pantas membiarkan
seorang figur sepenting sekretaris desa menunggu,
dengan punggung menghadap perapian dan kelepak
bawah mantel terkepit sampai waktu yang dirasanya cocok
un"tuk membebaskannya. Dan, lebih tak bermartabat dan tak
kesatria lagi seandainya mengabaikan seorang wanita yang telah
dipandangi sang sekretaris desa dengan mata penuh kelem"
butan dan kasih sayang, dan yang di telinganya telah dibisikkan
kata-kata manis. Apabila kata-kata manis tersebut berasal dari
seorang sekretaris desa, mungkin saja akan menggetarkan hati
perawan ataupun wanita berpengalaman dari kedudukan mana
saja. Sang penulis riwayat yang penanya mengguratkan katakata ini"meyakini bahwa dia mengetahui posisinya, dan bahwa
dia secara tepat menggambarkan orang-orang di bumi yang
dibebani otoritas tinggi dan penting"bergegas menyampaikan
hormat yang patut diterima orang-orang dalam posisi mereka,
dan memperlakukan mereka dengan segala basa-basi protokoler
yang konon merupakan hak dari orang-orang berstatus mulia
dan (sebagai akibatnya) berbudi luhur.
Dalam rangka mencapai tujuan inilah, penulis bermaksud
memperkenalkan uraian mengenai hak mendasar para sekre"
taris desa dan menjelaskan secara tegas bahwa sekretaris desa
tidak bisa berbuat salah"yang dijamin menghibur sekaligus
berman"faat bagi pembaca berakal sehat"tapi sayangnya, karena
CHARLES DICKENS ~271 keterbatasan tempat dan ruang, terpaksa ditundanya sampai
kesempatan yang lebih leluasa dan pas. Pada saat itulah dia
siap menunjukkan bahwa berkat jabatannya, seorang sekretaris
yang dipekerjakan pada tempat yang tepat"maksudnya tentu
saja adalah sekretaris desa yang terkait dengan rumah sosial
desa, dan memiliki kapasitas resmi di gereja desa"memiliki
semua keunggulan serta sifat terbaik umat manusia. Dia juga
siap menunjukkan bahwa sekretaris perusahaan, sekretaris peng"
adilan, atau bahkan sekretaris kapel (kecuali yang terakhir, dan
derajatnya pun sangat rendah serta inferior) sama sekali tidak
punya klaim kuat atas semua keunggulan itu.
Tuan Bumble telah menghitung ulang sendok teh, menim"
bang ulang tang gula, memeriksa poci susu secara lebih saksama,
dan secara cermat memastikan kondisi perabot, sampai ke
dudukan kursi yang terbuat dari surai kuda. Dia pun telah
mengulangi proses penghitungan sebanyak enam kali sebelum
mulai berpikir bahwa sudah waktunya Nyonya Corney kembali.
Pemikiran melahirkan pemikiran. Karena tak terdengar bunyibunyi yang menandakan kembalinya Nyonya Corney, terlintas di
benak Tuan Bumble bahwa tidak masalah dan tidak ada salahnya
apabila dia menghabiskan waktu dengan cara memuaskan rasa
penasarannya lebih lanjut lewat pemeriksaan sepintas atas
interior lemari berlaci milik Nyonya Corney.
Setelah menguping ke lubang kunci untuk memastikan diri"
nya bahwa tak ada yang mendekati kamar tersebut, Tuan Bumble
mulai mengakrabkan dirinya dengan muatan tiga laci panjang"
yang karena diisi berbagai busana bergaya dan bertekstur indah,
secara hati-hati disimpan di antara dua lapis koran tua, serta
ditaburi lavendel kering, tampaknya menghasilkan kepuasan
tak terhingga. Setelah tiba di laci di pojok kanan (yang memuat
kunci), dan di dalamnya melihat sebuah kotak kecil bergembok
yang ketika digoyangkan mengeluarkan bunyi merdu seperti
denting koin, Tuan Bumble berjalan kembali dengan anggun
ke perapian. Dengan menampilkan sikapnya yang lama, berkata
272~ OLIVER TWIST dengan gaya serius dan penuh tekad, "Akan kulakukan!" Dia
mengiringi pernyataan mengagumkan ini dengan cara meng"
geleng-gelengkan kepala seperti badut selama sepuluh menit,
seakan sedang menegur dirinya karena sudah menjadi anjing
baik. Kemudian, dia memandangi keseluruhan kakinya,
tampaknya dengan amat senang dan penuh minat.
Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia masih sibuk melakukan mengamati kakinya dengan
tenang ketika Nyonya Corney masuk ke kamar dengan ter"bu"
ru-buru. Sang matron itu melemparkan dirinya dalam kondisi
kehabisan napas ke kursi di dekat perapian. Sambil menutupi
matanya dengan satu tangan, Nyonya Corney meletakkan ta?"ngan
yang satu lagi di atas jantungnya, dan menarik napas dengan
terengah-engah. "Nyonya Corney," kata Tuan Bumble, membungkuk ke atas
sang matron, "ada apa ini, Nyonya" Apakah sesuatu telah terjadi,
Nyonya" Tolong jawab aku. Aku ... aku ...." Tuan Bumble sedang
waswas, tidak bisa seketika memikirkan kata "tercekam", jadi dia
mengatakan, "tercela".
"Oh, Tuan Bumble!" seru wanita itu. "Aku telah amat
terusik!" "Terusik, Nyonya!" seru Tuan Bumble. "Siapa yang beraniberani ?" Aku tahu!" kata Tuan Bumble, mengendalikan diri
dengan keagungan alamiahnya. "Pasti orang-orang papa keji
itu!" "Memikirkannya terasa seram!" kata wanita itu sambil ber"
gidik. "Kalau begitu, jangan pikirkan, Nyonya," ujar Tuan Bumble.
"Aku tidak bisa," rengek wanita itu.
"Kalau begitu, minumlah sesuatu, Nyonya," kata Tuan Bumble
menghibur. "Sedikit anggur?"
"Tentu saja tidak!" timpal Nyonya Corney. "Aku tak boleh "
oh! Rak paling atas di pojok kanan " oh!" Sambil mengucap"kan
kata-kata ini, wanita yang baik itu menunjuk dengan linglung
ke lemari dan terkejang-kejang karena teramat terguncang. Tuan
CHARLES DICKENS ~273 Bumble bergegas menghampiri lemari, dan setelah merenggut
botol kaca hijau dari rak yang telah ditunjukkan secara kabur
tersebut, menuangkan isinya ke cangkir teh, dan menyodorkan
cangkir tersebut ke bibir sang nyonya.
"Aku merasa lebih baik sekarang," kata Nyonya Corney,
menjatuhkan diri ke belakang, setelah meminum setengahnya.
Tuan Bumble menengadahkan matanya dengan alim ke la"
ngit-langit untuk bersyukur. Dan sambil menurunkan matanya
lagi ke tepi cangkir, mengangkat cangkir tersebut ke hidung.
"Peppermint," seru Nyonya Corney dengan suara samar,
tersenyum lembut kepada sang sekretaris desa saat dia bicara.
"Cobalah! Ada sedikit ... sedikit campuran lain di dalamnya."
Tuan Bumble mencicipi obat tersebut dengan ekspresi ragu,
lalu menjilat bibirnya, mencecap rasa lain, dan meletakkan
cangkir dalam keadaan kosong.
"Sangat menenangkan," kata Nyonya Corney.
"Memang sungguh sangat menenangkan, Nyonya," kata
sang sekretaris desa. Saat bicara, dia menarik kursi ke samping
sang matron, dan dengan lembut menanyakan apa yang telah
ter"jadi sehingga terlihat demikian terguncang.
"Tidak ada apa-apa," kata Nyonya Corney. "Aku makhluk
bodoh, gampang terpancing, dan lemah."
"Tidak lemah, Nyonya," balas Tuan Bumble sambil menarik
kursinya sedikit lebih dekat lagi. "Apakah Anda makhluk lemah,
Nyonya Corney?" "Kita semua makhluk lemah," kata Nyonya Corney, meng"
utarakan sebuah prinsip umum.
"Memang begitu," kata sang sekretaris desa.
Tak ada yang diucapkan oleh kedua pihak selama kira-kira
satu atau dua menit sesudahnya. Pada penghujung waktu terse"
but, Tuan Bumble telah mengilustrasikan posisi saat itu dengan
cara memindahkan lengan kirinya dari punggung kursi Nyonya
Corney, tempatnya disandarkan sebelumnya, ke tali celemek
Nyonya Corney, dan pada akhirnya menautkan jarinya di sana.
274~ OLIVER TWIST "Kita semua makhluk lemah," kata Tuan Bumble.
Nyonya Corney mendesah. "Jangan mendesah, Nyonya Corney," kata Tuan Bumble.
"Aku tak bisa menahan diri," kata Nyonya Corney. Dan dia
mendesah lagi. "Ini kamar yang sangat nyaman, Nyonya," kata Tuan Bumble
sambil melihat ke sekeliling. "Satu kamar lagi, Nyonya, akan
lebih komplet." "Itu terlalu banyak untuk satu orang," gumam wanita itu.
"Tapi tidak untuk dua orang," ujar Tuan Bumble dengan
nada lembut. "Bukan begitu, Nyonya Corney?"
Nyonya Corney menundukkan kepalanya ketika sang sekre"
taris desa mengatakan ini. Sang sekretaris desa menundukkan
kepalanya untuk memandang wajah Nyonya Corney. Nyonya
Corney, dengan teramat santun memalingkan kepala dan mele"
paskan tangannya untuk mengambil saputangan, tapi tanpa
sadar justru meletakkan tangannya kembali ke genggaman Tuan
Bumble. "Dewan mengalokasikan batu bara untuk Anda, bukankah
begitu, Nyonya Corney?" tanya sang sekretaris desa, dengan
penuh kasih sayang meremas tangan sang matron.
"Dan lilin," jawab Nyonya Corney, dengan lembut balas
meremas. "Batu bara, lilin, dan sewa rumah gratis," kata Tuan Bumble.
"Oh, Nyonya Corney, Anda sungguh seorang malaikat!"
Wanita tersebut tidak kebal terhadap curahan perasaan se"per"
ti ini. Dia membenamkan diri ke dalam pelukan Tuan Bumble.
Dan, pria itu mengecupkan ciuman ke hidung saleh wanita
tersebut. "Alangkah sempurnanya!" seru Tuan Bumble berapi-api.
"Kau tahu bahwa keadaan Tuan Slout memburuk, Dewiku?"
"Ya," jawab Nyonya Corney malu-malu.
"Dia tidak mungkin hidup seminggu lagi," lanjut Tuan
Bumble. "Dia adalah kepala institusi ini dan kematiannya
CHARLES DICKENS ~275 akan meninggalkan kekosongan yang harus diisi. Oh, Nyonya
Corney, sungguh besar prospek yang dibukanya! Sungguh suatu
kesempatan untuk menyatukan hati dan berumah tangga!"
Nyonya Corney terisak. "Jawabannya?" kata Tuan Bumble, membungkuk ke muka si
cantik yang malu-malu itu. "Satu jawaban kecil, satu kata kecil
itu, Corney-ku tersayang?"
"I ... i ... iya!" desah sang matron.
"Satu lagi," lanjut sang sekretaris desa, "kendalikan perasa"
anmu yang terkasih untuk satu lagi saja. Kapan itu bisa ter"
wujud?" Dua kali Nyonya Corney berusaha bicara, dan dua kali gagal.
Pada akhirnya, mengerahkan keberanian, dia melingkarkan le"
ngannya ke leher Tuan Bumble dan berkata acara tersebut dapat
dilangsungkan sesegera yang diinginkan pria itu, dan bahwa dia
adalah "bebek menggemaskan".
Setelah perkara itu dituntaskan dengan menyenangkan dan
memuaskan, kontrak tersebut dengan khidmat disahkan bersa"
ma secangkir ramuan peppermint yang amat diperlukan karena
debaran serta semangat jiwa sang wanita. Selagi minuman
tersebut dihabiskan, Nyonya Corney memberitahukan kematian
si wanita tua kepada Tuan Bumble.
"Bagus sekali," kata pria itu, menyesap peppermint-nya.
"Aku akan mampir ke Toko Sowerberry saat aku pulang dan
memberitahunya agar datang besok pagi. Itukah yang mem"
buatmu takut, Cintaku?"
"Sebenarnya bukan apa-apa, Sayang," kata wanita itu me"ng"
elak. "Pasti ada sesuatu, Cintaku," desak Tuan Bumble. "Tak mau"
kah kau memberi tahu B-mu tersayang?"
"Jangan sekarang," timpal wanita itu, "kapan-kapan. Setelah
kita menikah, Sayang."
"Setelah kita menikah!" seru Tuan Bumble. "Itu bukan keku"
rangajaran dari salah seorang laki-laki papa seperti "."
276~ OLIVER TWIST "Bukan, bukan, Cintaku!" potong wanita itu, buru-buru.
"Jika kubayangkan bahwa itu yang terjadi," lanjut Tuan
Bumble, "jika kubayangkan salah seorang dari mereka berani
mengarahkan pandangan matanya yang vulgar ke raut wajah
cantik itu "." "Mereka takkan berani melakukannya, Cintaku," respons
wanita itu. "Sebaiknya tidak!" kata Tuan Bumble sambil mengepalkan
tinjunya. "Biar kulihat pria mana saja, dari desa ini atau dari
luar yang nekat melakukan itu, dan bisa kukatakan kepadanya
bahwa dia takkan melakukan hal itu untuk kali kedua!"
Jika kalimat ini diucapkan tanpa dibumbui gerakan tangan
yang kejam, bisa jadi tampak sebagai penghinaan terhadap
daya pikat luar biasa wanita itu. Namun, karena Tuan Bumble
menyertai ancaman itu dengan banyak gerakan sadis, Nyonya
Corney amat tersentuh oleh bukti kesetiaan pria tersebut, dan
dengan penuh kekaguman menyerukan bahwa dia memang
semanis merpati. Pria semanis merpati ini kemudian menaikkan kerah mantel"
nya, dan memakai topi tingginya. Setelah memeluk kekasihnya
dengan penuh kasih sayang, dia pun beranjak dari rumah itu
dan sekali lagi menantang angin dingin malam itu. Dalam
perjalanannya, sang sekretaris desa yang terhormat itu berhenti
selama beberapa menit di bangsal para lelaki papa, memaki
mereka sedikit, hanya bermaksud memuaskan dirinya sendiri
dengan membuktikan bahwa kemasaman yang dimilikinya
telah memenuhi syarat untuk mengisi jabatan sebagai kepala
rumah sosial. Merasa yakin akan kecakapannya, Tuan Bumble
meninggalkan bangunan tersebut dengan hati ringan. Benaknya
sibuk membayangkan visi cemerlang mengenai promosinya di
masa depan hingga dia tiba di toko sang pengurus pemakaman.
Saat itu, Tuan dan Nyonya Sowerberry sedang keluar untuk
minum teh dan makan malam. Karena Noah Claypole tidak
mau bekerja lebih keras dari sekadar makan dan minum, toko
CHARLES DICKENS ~277 tersebut belum ditutup meskipun sudah melewati jam tutupnya
yang biasa. Tuan Bumble mengetukkan tongkatnya beberapa
kali ke konter, tapi tidak ada tanggapan. Karena Tuan Bumble
melihat cahaya bersinar lewat kaca jendela ruangan kecil di
bagian belakang toko, dia memberanikan diri untuk melihat
ke sana. Dan ketika menyaksikan apa yang tengah terjadi, dia
merasa luar biasa terkejut.
Di sana tampak taplak yang telah dihamparkan untuk ma"
kan malam. Meja dipenuhi piring, gelas, roti, mentega, serta
kendi bir hitam dan botol anggur. Di ujung meja, Tuan Noah
Claypole berayun-ayun santai di kursi malas, dengan kaki
ditopangkan ke salah satu lengan kursi, pisau lipat terbuka di
satu tangan, serta setumpuk roti beroleskan mentega di tangan
satunya lagi. Di dekatnya berdirilah Charlotte, membuka
kerang dari sebuah tong, yang ditelan Tuan Claypole dengan
kegesitan yang mengesankan. Rona merah yang lebih dari biasa
di bagian hidungnya serta semacam kedutan di mata kanannya,
menandakan bahwa dia agak mabuk. Gejala-gejala ini dikuatkan
dengan caranya makan kerang yang luar biasa lahap.
"Ini ada satu yang gemuk dan lezat, Noah Sayang!" kata
Charlotte. "Cobalah " ayo, yang satu ini saja."
"Kerang memang luar biasa!" komentar Tuan Claypole sete"
lah dia menelannya. "Sayangnya, kalau kebanyakan perut kita
jadi terasa tidak enak, bukan begitu, Charlotte?"
"Kerang memang kejam," kata Charlotte.
"Betul," Tuan Claypole sepakat. "Apa kau tidak suka kerang?"
"Tidak terlalu," jawab Charlotte. "Daripada memakannya
sen"diri, aku lebih suka melihatmu makan, Noah Sayang."
"Ya, Tuhan!" kata Noah serius. "Aneh sekali!"
"Makanlah lagi," kata Charlotte. "Yang satu ini berlajur
lembut dan indah!" "Aku tidak sanggup lagi," kata Noah. "Maafkan aku. Ayo
sini, Charlotte, dan akan kucium kau."
"Apa!" kata Tuan Bumble, menerjang masuk ke ruangan.
"Katakan itu lagi, Bung."
278~ OLIVER TWIST Charlotte menjerit dan menutup wajah dengan celemeknya.
Tanpa mengubah posisinya kecuali memaksakan kakinya agar
menggapai lantai, Tuan Claypole menatap sang sekretaris desa,
termabuk-mabuk ngeri. "Katakan lagi, dasar pemuda hina kurang ajar!" kata Tuan
Bumble. "Berani-beraninya kau menyebut-nyebut hal semacam
itu, Bung" Dan, berani-beraninya kau memancingnya, dasar
gadis tidak tahu adat! Menciumnya!" seru Tuan Bumble, teramat
gusar. "Cih!" "Saya tidak bermaksud melakukannya!" kata Noah, meracau.
"Dia selalu saja mencium saya, entah saya suka atau tidak."
"Oh, Noah," sanggah Charlotte.
"Kau memang begitu, kau tahu itu!" protes Noah. "Dia selalu
saja melakukannya, Tuan Bumble. Dia mengelus-elus dagu saya,
sungguh, Tuan, dan menunjukkan segala macam sikap penuh
cinta!" "Diam!" seru Tuan Bumble dengan galak. "Turun ke lantai
bawah, Nona. Dan kau, Noah, tutup toko! Berani mengucap"
kan satu patah kata lagi sebelum majikanmu pulang, maka kau
akan celaka. Begitu majikanmu pulang, beri tahu bahwa Tuan
Bumble menyuruhnya mengirimkan peti mati untuk wanita
tua setelah sarapan besok pagi. Apa kau dengar, Bung" Ciuman!
Hah!" seru Tuan Bumble, mengangkat tangannya. "Dosa dan
kemungkaran masyarakat kelas bawah di wilayah desa ini sung"
guh mengerikan! Jika parlemen tidak mempertimbangkan
tingkah laku menjijikkan mereka, hancurlah negara ini, dan
lenyaplah karakter terpuji masyarakat pedesaan selamanya!"
Disertai kata-kata ini, sang sekretaris desa melenggang pergi
dengan gaya angkuh dan muram dari toko sang pengurus
pemakaman. Dan, setelah kita menemaninya sejauh ini dalam perja"
lanannya pulang dan sudah membuat semua persiapan yang
diperlukan untuk pemakaman sang wanita tua, mari kita men"
CHARLES DICKENS ~279 cari tahu tentang nasib Oliver Twist muda, dan memastikan
apakah dia masih tergeletak di selokan tempat Toby Crackit
meninggalkannya.[] Oliver Kembali ke Tempat Perampokan Biar kawanan serigala mencabik-cabik leher kalian!" gerutu
Sikes sambil menggertakkan gigi. "Kuharap aku bagian dari
mereka, biar kalian melolong-lolong sampai serak!"
Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selagi Sikes menggeramkan umpatan ini dengan kebuasan
paling dahsyat yang mampu dimunculkan pembawaannya yang
kejam, dia membaringkan Oliver yang terluka ke atas lututnya.
Sejenak dia memalingkan kepalanya ke belakang untuk melihat
para pengejarnya. Hanya sedikit yang dapat terlihat di tengah kabut dan kege"
lapan. Teriakan kencang para pria yang bergetar di udara ber"
campur dengan gonggongan anjing tetangga yang terbangun
oleh alarm yang berkumandang ke segala arah.
"Berhenti, dasar pengecut!" seru si perampok, berteriak ke"
pada Toby Crackit yang memanfaatkan kaki panjangnya sebaik
mungkin, sudah jauh di depan. "Berhenti!"
Pengulangan kata itu membuat Toby berhenti. Dia berhenti
karena tidak terlalu yakin dirinya berada di luar jangkauan
tembakan pistol Sikes atau tidak, ditambah kondisi Sikes yang
sedang tidak enak hati sehingga sebaiknya tidak diajak mainmain.
"Bantu aku menggendong anak ini," seru Sikes, melambailambai setengah mati kepada teman sekongkolnya. "Kembali!"
Toby bergerak seolah akan kembali, tapi kemudian mem"
beranikan diri, dengan suara patah-patah karena kehabisan
CHARLES DICKENS ~281 napas, menyampaikan keengganan sedemikian rupa saat dia
pelan-pelan mendekat. "Lebih cepat!" seru Sikes, meletakkan si anak laki-laki di selo"
kan kering di kakinya, dan mengeluarkan pistol dari sakunya.
"Jangan mengelabuiku."
Suara-suara para pengejar mereka kian nyaring. Sikes lagilagi menoleh ke belakang dan bisa melihat bahwa pria-pria yang
mengejar mereka sudah memanjat pagar ladang tempatnya
berdiri, didahului dua ekor anjing yang berada beberapa langkah
di depan mereka. "Sudah berakhir, Bill!" seru Toby. "Letakkan anak itu, lalu
kabur!" Disertai saran perpisahan ini, Tuan Crackit lebih me"
milih risiko ditembak temannya daripada kepastian ditangkap
oleh musuhnya. Dia serta-merta berbalik, lalu melesat dengan
kecepatan penuh. Sikes menggertakkan giginya, menoleh ke
belakang sekali lagi, dan melemparkan tubuh Oliver yang telen"
tang dalam jubah pembungkusnya dengan buru-buru. Dia lari
menyusuri bagian depan pagar tanaman seolah-olah untuk
me?"ng"alihkan perhatian orang-orang di belakang dari lokasi
tem?""pat si anak laki-laki terbaring. Selama sedetik dia berhenti
di de"pan pagar tanaman lainnya yang menyiku dengan pagar
tanaman pertama, dan setelah melemparkan pistolnya tinggitinggi ke udara untuk menyingkirkannya jauh-jauh, dia pun
menghilang. "Ho, ho! Di sana!" seru sebuah suara gemetar di belakang.
"Pincher! Neptune! Sini, sini!"
Kedua ekor anjing itu tampaknya sama seperti majikan
mereka yang tidak punya kegemaran khusus untuk berolahraga.
Mendengar perintah tersebut, mereka seketika berbalik meng"
hampiri majikannya. Tiga orang pria yang pada saat ini telah
maju ke ladang, berhenti untuk berunding bersama.
"Saranku " atau perintahku adalah," kata pria tergendut
dalam rombongan itu, "kita sebaiknya pulang saja ke rumah."
"Saya setuju apa pun saran Tuan Giles," kata seorang pria yang
lebih pendek dengan postur yang sama sekali tidak langsing dan
282~ OLIVER TWIST berwajah sangat pucat. Dia sangat sopan, seperti lelaki penakut
pada umumnya. "Saya tidak bermaksud bersikap tidak sopan, Tuan-Tuan,"
kata laki-laki ketiga, yang memanggil anjing-anjing agar mundur.
"Tuan Giles pasti tahu yang terbaik."
"Pastinya," kata laki-laki yang lebih pendek. "Dan, apa pun
yang dikatakan Tuan Giles, kita tidak dalam posisi untuk mem?"
bantah beliau. Tidak, tidak, saya tahu situasi saya! Demi perun"
tungan saya, saya tahu situasi saya." Sebenarnya, si laki-laki ke"
cil tampaknya memang mengetahui situasinya, dan tahu persis
bahwa situasi tersebut sama sekali tidak menyenangkan sebab
giginya bergemeletuk selagi dia bicara.
"Kau takut, Brittles," kata Tuan Giles.
"Tidak," kata Brittles.
"Kau takut," kata Giles.
"Anda pembohong, Tuan Giles," kata Brittles.
"Kau pembual, Brittles," kata Tuan Giles.
Nah, tukar-menukar ledekan ini bermula dari olok-olok
Tuan Giles, dan olok-olok Tuan Giles timbul dari rasa jengkelnya
karena tanggung jawab atas keputusan untuk kembali ditimpa"
kan pada dirinya dengan selubung sebuah pujian. Laki-laki ke"
tiga menutup perselisihan tersebut dengan sangat filosofis.
"Kuberi tahu yang sebenarnya, Tuan-Tuan," katanya. "Kita
semua merasa takut."
"Bicaralah untuk dirimu sendiri, Tuan," kata Tuan Giles,
yang terpucat di antara rombongan itu.
"Memang," balas sang pria ketiga. "Wajar dan pantas saja
jika kita takut pada situasi semacam ini. Saya takut."
"Begitu pula saya," kata Brittles. "Cuma tidak kelihatan
saja." Pengakuan jujur ini melunakkan Tuan Giles, yang seketika
mengakui bahwa dia takut. Lalu, ketiganya saling berhadapan,
dan lari pulang dengan kebulatan tekad yang sempurna, sampai
Tuan Giles (yang napasnya paling pendek di antara rombongan
CHARLES DICKENS ~283 ini karena beratnya garu yang dipikulnya) dengan anggun ber"
keras agar mereka berhenti, untuk minta maaf atas keputusannya
yang tergesa-gesa. "Tapi sungguh luar biasa," kata Tuan Giles, "betapa seorang
pria akan melakukan apa pun ketika sedang naik darah. Aku
bisa saja membunuh"aku tahu aku bisa"jika kita menangkap
salah satu perampok itu."
Dua orang yang lain punya sentimen serupa. Seperti Tuan
Giles, mereka sudah tidak naik darah lagi. Lalu, muncullah se"
jum"lah spekulasi mengenai penyebab perubahan temperamen
mereka yang tiba-tiba. "Aku tahu apa penyebabnya," kata Tuan Giles. "Gara-gara
gerbang." "Saya tidak heran jika memang itu penyebabnya," seru
Brittles, menangkap gagasan tersebut.
"Percayalah," kata Giles, "gerbang itu menghentikan aliran
semangat menggebu-gebu. Aku merasa semua semangatku tibatiba menghilang selagi memanjatnya."
Ternyata, kedua pria lainnya juga mengalami sensasi aneh
yang sama tepat pada saat itu. Oleh sebab itu, cukup jelas bahwa
gerbanglah penyebabnya, terutama karena tidak ada keraguan
mengenai waktu terjadinya perubahan tersebut. Ketiganya ingat
bahwa mereka melihat para perampok tepat pada saat gerbang
itu tampak. Dialog ini berlangsung di antara kedua pria yang telah me"
nga"getkan para perampok dan seorang tukang reparasi panci ke"
liling yang tidur di gudang luar, yang telah terbangun bersama
kedua anjing peranakannya yang galak, untuk bergabung dalam
pengejaran tersebut. Tuan Giles bertindak dalam kapasitas ganda
sebagai kepala pelayan serta pelayan pribadi wanita tua pemilik
rumah mewah, sedangkan Brittles adalah pembantu serbaguna.
Brittles mulai mengabdi kepada wanita itu sejak kanak-kanak
sehingga masih diperlakukan sebagai seorang anak laki-laki kecil
meskipun umurnya sudah lewat tiga puluh tahun.
284~ OLIVER TWIST Mereka membesarkan hati satu sama lain dengan perbin"
cangan semacam ini. Namun, tetap saja terus saling berdekatan
dan melirik ke sana kemari dengan cemas saat angin segar
mengembus ranting-ranting. Ketiga pria tersebut bergegas mun"
dur ke belakang sebatang pohon tempat mereka meninggalkan
lentera. Mereka khawatir kalau-kalau cahayanya memberi pe"
tunjuk arah kepada para pencuri untuk menembak. Setelah
mengangkat lentera, mereka pun berderap pulang. Dan, lama
setelah sosok kabur mereka tak lagi kentara, cahaya lentera
terlihat berkelip-kelip dan menari-nari di kejauhan, bagaikan
embusan napas dari udara lembap serta suram yang serta-merta
melahirkannya. Waktu terus bergulir dengan lamban dan udara pun terasa
kian dingin. Kabut bergulung-gulung di tanah bak kepulan asap
tebal. Rumput basah, jalan setapak, dan tempat-tempat yang
rendah berkubang lumpur dan air; angin lembap menggigit
terus berembus dengan malas, disertai erangan hampa. Namun,
Oliver masih berbaring pingsan dan tak bergerak di tempat Sikes
meninggalkannya. Pagi tiba dengan cepat. Udara menjadi semakin dingin dan
menusuk saat pendar samar pertamanya berkelip redup di langit.
Benda-benda yang terlihat gelap dan menyeramkan di kegelapan,
kian lama tampak kian jelas dan perlahan-lahan memperlihatkan
bentuknya yang tak asing. Hujan pun turun dengan lebat
dan cepat, menimpa semak-semak tak berdaun diiringi bunyi
berisik. Namun, saat air hujan menimpa tubuhnya, Oliver tidak
merasakan. Dia masih berbaring telentang tanpa daya dan tidak
sadarkan diri di ranjang tanah liatnya.
Akhirnya, erangan nyeri memecahkan kesunyian. Saat meng"
u"capkannya, Oliver terbangun. Lengan kirinya yang diperban
asal-asalan menggunakan selendang, bergelayut berat tanpa daya
di sampingnya. Perban tersebut bersimbah darah. Dia begitu
lemas, sampai-sampai nyaris tak sanggup menegakkan dirinya
ke posisi duduk. Ketika akhirnya berhasil melakukannya, dia
CHARLES DICKENS ~285 menoleh ke sekeliling dengan lemah untuk mencari pertolongan
dan mengerang kesakitan. Seluruh sendinya bergemeletuk kare"
na kedinginan dan kelelahan. Dia berusaha berdiri tegak, tapi
menggigil dari kepala hingga kaki dan jatuh telentang di tanah.
Setelah lagi-lagi terbenam sebentar ke dalam ketidaksadaran
yang telah sedemikian lama menguasainya, Oliver"didesak oleh
rasa perih yang merayapi hatinya, seolah memperingatkannya
bahwa jika tetap berbaring di sana, dia pasti akan mati"berdiri
dan mencoba berjalan. Kepalanya pusing, dan dia terhuyunghuyung ke depan dan ke belakang seperti orang mabuk. Walau
begitu, dia bertahan. Dan, dengan kepala tertunduk lunglai ke
dadanya, Oliver kecil terus tersaruk-saruk maju, entah ke mana.
Dan sekarang, sekumpulan gagasan mengherankan dan
mem"bingungkan datang menyesaki benaknya. Dia seakan masih berjalan di antara Sikes dan Crackit, yang sedang bertengkar
dengan marah"sebab kata-kata yang mereka ucapkan terde"
ngar di telinganya. Ketika berupaya sekuat tenaga untuk mencegah dirinya jatuh, dia mendapati dirinya tengah bicara kepada
mereka. Lalu, dia sendirian dengan Sikes, berjalan seperti pada
hari kemarin. Saat orang-orang yang bagai bayang-bayang
melintasi mereka, dia merasakan cengkeraman si perampok di
pergelangan tangannya. Tiba-tiba, dia terkesiap mendengar letusan senjata api. Terdengar seruan dan teriakan lantang; cahaya
disorotkan ke depan matanya; semua ribut dan kacau-balau saat
sebuah tangan tak terlihat terburu-buru menggendongnya pergi.
Lewat semua penglihatan yang silih berganti dengan cepat ini,
muncul kesadaran menggelisahkan yang tak dapat didefinisikan
akan adanya rasa sakit, yang menguras tenaga serta menyiksanya
tanpa henti. Begitulah dia menyeret langkahnya ke depan, merayap ham"
pir tanpa sadar ke antara jeruji gerbang atau lewat celah pada
pagar tanaman yang mengadangnya, sampai dia mencapai jalan.
Di sini hujan mulai turun dengan begitu deras sehingga dia
terjaga. 286~ OLIVER TWIST Dia menengok ke sana kemari, dan melihat bahwa tidak
jauh dari sana terdapat sebuah rumah yang barangkali dapat
dicapainya. Oliver berharap mereka akan iba kepadanya saat meli"
hat kondisinya. Dan apabila mereka ternyata tidak merasa iba,
dia pikir lebih baik mati di dekat manusia daripada sendirian di
ladang terbuka. Dia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk
menghadapi cobaan terakhir ini, dan membelokkan langkahnya
yang terpatah-patah menuju rumah itu.
Saat semakin dekat, sebuah perasaan bahwa dia pernah meli"
hat rumah tersebut sebelumnya, menghinggapinya. Dia tidak
ingat detailnya sama sekali, tapi bentuk serta ciri-ciri bangunan
tersebut tampaknya tak asing baginya.
Tembok taman! Di atas rumput di dalam sana, dia telah men"
jatuhkan diri ke lututnya kemarin malam, dan berdoa agar kedua
pria itu mengampuninya. Rumah itulah yang telah mereka coba
rampok. Oliver merasakan ketakutan sedemikian rupa melandanya
ketika dia mengenali tempat itu sehingga selama sekejap melupa"
kan derita akibat lukanya, dan hanya berpikir untuk melarikan
diri. Lari! Dia nyaris tak bisa berdiri, dan kalaupun tubuhnya
yang kecil dan masih muda tengah berada dalam keadaan sehat,
ke mana dia dapat melarikan diri" Dia pun mendorong pintu
taman yang ternyata tak dikunci hingga terbuka. Dia tertatihtatih menyeberangi halaman rumput, menaiki undakan, me"nge"
tuk pelan di pintu, dan seluruh kekuatannya gagal menopang"
nya. Oliver jatuh di salah satu pilar di beranda kecil itu.
Kira-kira pada saat itulah Tuan Giles, Brittles, dan si tukang
reparasi panci sedang menyegarkan diri mereka setelah rasa le"
lah dan ngeri yang timbul malam sebelumnya, dengan teh serta
camilan di dapur. Bukan berarti Tuan Giles biasa bersikap ter"
lalu akrab dengan para pelayan berkedudukan lebih rendah"
biasanya dia membawa diri dengan ramah tapi pongah, yang
meskipun menyenangkan mereka, tetap mengingatkan mereka
akan posisinya yang superior dalam masyarakat. Namun, kema"
CHARLES DICKENS ~287 tian, kebakaran, dan perampokan menjadikan semua orang
setara. Maka, Tuan Giles duduk dengan kaki terjulur di depan
kisi-kisi perapian dapur, menyandarkan lengan kirinya ke meja,
sedangkan dengan tangan kanannya, dia mengilustrasikan kisah
perampokan secara terperinci dan saksama, yang didengarkan
anak buahnya (tapi terutama juru masak dan pelayan perem"
puan) sambil tercekat penuh minat.
"Kejadiannya kira-kira pukul setengah tiga," kata Tuan Giles,
"atau mendekati pukul tiga. Ketika aku terbangun dan memutar
kepalaku di tempat tidur, (di sini Tuan Giles berputar di kur"
sinya, dan menarik pojok taplak meja ke tubuhnya untuk me?"
meragakan selimut) kurasa aku mendengar suara."
Pada titik ini, dalam narasi tersebut sang juru masak memucat
dan meminta pelayan perempuan agar menutup pintu. Pelayan
tersebut meminta Brittles untuk melakukannya. Brittles memin"
ta tukang reparasi panci untuk melakukannya, tapi dia berpurapura tak mendengar. Maka pintu pun tetap terbuka.
?". mendengar suara," lanjut Tuan Giles. "Kubilang pada
diriku sendiri, "Ini hanya ilusi," dan aku sedang bersiap untuk
tidur lagi ketika kudengar suara itu lagi dengan jelas."
"Suara semacam apa?" tanya juru masak.
"Seperti bunyi sesuatu yang dibobol," jawab Tuan Giles
sambil melihat ke sekitarnya.
"Lebih mirip suara batang besi yang digerinda di parutan,"
Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
usul Brittles. "Memang seperti itu, waktu kau mendengarnya, Bung," tim"
pal Tuan Giles. "Tapi, pada saat aku mendengarnya, suaranya
seperti sesuatu yang dibobol. Kuturunkan selimut," lanjut Giles
sambil menggulung taplak, "duduk di tempat tidur, lalu men"
dengarkan." Juru masak dan pelayan perempuan secara serempak meme"
kikkan "Ya, Tuhan!" dan mendekatkan kursi mereka satu sama
lain. "Saat itulah aku mendengarnya, cukup jelas," lanjut Tuan
Giles. ?"Seseorang," kataku, "sedang mendobrak pintu atau jen"
288~ OLIVER TWIST dela. Apa yang harus kulakukan" Akan kupanggil Brittles, si
anak laki-laki malang itu, dan menyelamatkannya sehingga tak
dibunuh di tempat tidurnya atau supaya lehernya," kataku, "tak
digorok dari telinga kanan ke telinga kirinya, tanpa pernah me"
nyadarinya.?" Di sini, semua mata berpaling kepada Brittles, yang mele"
katkan pandangan matanya pada Tuan Giles dan menatapnya
dengan mulut menganga serta ekspresi ngeri bukan kepalang.
"Kusingkapkan selimut," kata Giles, menyibakkan taplak
meja, dan memandangi juru masak dan pelayan perempuan
lekat-lekat, "pelan-pelan turun dari tempat tidur, mengenakan
sepasang "." "Di sini ada wanita, Tuan Giles," gumam si tukang reparasi
panci. ?". sepasang sepatu, Tuan," kata Giles, menoleh kepadanya,
dan menekan kata itu kuat-kuat, "meraih pistol berpeluru yang
selalu dibawa ke lantai atas bersama keranjang perabot makan
perak, dan berjalan berjingkat-jingkat ke kamarnya. "Brittles,"
kataku, ketika aku telah membangunkannya, "jangan takut!?"
"Begitulah," komentar Brittles dengan suara pelan.
?"Riwayat kita tamat, Brittles," kataku," lanjut Giles, ?"tapi
ja"ngan takut. ?"
"Apakah dia memang takut?" tanya juru masak.
"Sama sekali tidak, "jawab Tuan Giles. "Dia sama teguhnya
" ah! hampir sama teguhnya seperti aku."
"Jika itu saya, pasti akan mati seketika. Saya yakin," komentar
pelayan perempuan. "Kau kan wanita," sembur Brittles, sedikit naik darah.
"Brittles benar," kata Tuan Giles, menganggukkan kepala
tanda setuju, "dari seorang wanita, tak ada hal lain yang dapat
diharapkan. Karena kami pria, kami mengambil lentera gelap
yang berdiri di rak perapian dan meraba-raba mencari jalan ke
lantai bawah dalam keadaan gelap gulita"seperti seharusnya."
Tuan Giles telah bangkit dari tempat duduknya, dan me"
napak dua langkah dengan mata terpejam untuk mengiringi
CHARLES DICKENS ~289 uraiannya dengan aksi yang sesuai. Tiba-tiba dia terkesiap
dahsyat, sama seperti orang-orang lain dalam ruangan tersebut,
dan bergegas kembali ke kursinya. Juru masak dan pelayan
perempuan menjerit. "Ada yang mengetuk," kata Tuan Giles, tampak tenang
sepenuhnya. "Siapa saja, bukakan pintu."
Tak ada yang bergerak. "Rasanya aneh ada yang mengetuk pintu pada waktu sepagi
ini," kata Tuan Giles, mengamati wajah-wajah pucat yang menge"
lilinginya, sementara ekspresinya sendiri terlihat datar, "tapi
pintu itu harus dibuka. Siapa yang bersedia membukanya?"
Tuan Giles berkata sambil memandang Brittles. Namun,
Brittles yang memang berpembawaan rendah hati dan meng"
ang"gap dirinya bukan siapa-siapa sehingga berpikir tidak mung"
kin pertanyaan itu ditujukan kepadanya, tidak melontarkan
ja"waban. Tuan Giles melemparkan lirikan memohon kepada si
tukang reparasi panci, tapi secara tiba-tiba dia telah jatuh ter"
tidur. Para wanita sudah jelas tidak masuk hitungan.
"Apabila Brittles berkenan membuka pintu di hadapan para
saksi," kata Tuan Giles, setelah keheningan singkat, "aku bersedia
menjadi salah satu saksi tersebut."
"Begitu pun aku," kata si tukang reparasi panci terbangun,
sama tiba-tibanya seperti saat dia jatuh tertidur.
Brittles menyerah dengan syarat ini. Setelah mereka yakin
kalau hari sudah terang (baru tahu setelah mendorong kerai
hingga terbuka), mereka naik ke lantai atas beserta kedua ekor
anjing di depan. Kedua wanita, yang takut tinggal di bawah, ber"
jaga di belakang. Berdasarkan saran Tuan Giles, mereka semua
bicara sangat nyaring, untuk memperingatkan orang yang ber"
niat jahat di luar bahwa jumlah mereka banyak. Tuan Giles yang
genius itu juga memerintahkan mereka untuk mencubit ekor
kedua anjing agar mereka menggonggong ganas.
Setelah tindak pencegahan ini diambil, Tuan Giles berpe"
gangan pada lengan si tukang reparasi panci kuat-kuat (untuk
mencegahnya kabur, seperti yang dikatakannya dengan ramah),
290~ OLIVER TWIST dan memberikan kata perintah untuk membuka pintu. Brittles
menurut. Mereka mengintip takut-takut ke balik bahu temantemannya dan tak melihat objek yang lebih berat untuk dihadapi
selain Oliver Twist kecil yang malang. Anak kecil itu tak bisa
berkata-kata karena kelelahan, mengangkat matanya yang berat,
serta memohon belas kasihan mereka tanpa suara.
"Seorang anak laki-laki!" seru Tuan Giles gagah berani sambil
mendorong si tukang reparasi panci belakang. "Ada masalah apa
dengan ... eh" Hah" ... Brittles ... lihat ke sini ... tidakkah kau
ingat?" Brittles, yang telah mendekat ke balik pintu untuk mem"
bukanya, baru saja melihat Oliver ketika dia mengutarakan pekik
seruan kencang. Tuan Giles mencengkeram satu kaki serta satu
tangan si anak laki-laki (untungnya bukan tangan yang cedera),
langsung menggotongnya ke koridor, dan menjatuhkannya ke
lantai. "Ini dia!" raung Giles, berseru dalam keadaan teramat antu"
sias, ke atas tangga. "Ini salah seorang pencurinya, Nyonya! Ini si
pencuri, Nona! Terluka, Nona! Saya menembaknya, Nona, dan
Brittles memegangi penerangan."
?" berupa lentera, Nona," seru Brittles, menempelkan satu
tangan ke samping mulutnya agar suaranya dapat dihantarkan
lebih baik. Kedua pelayan perempuan lari ke lantai atas untuk membawa
informasi bahwa Tuan Giles telah menangkap seorang perampok,
dan si tukang reparasi panci menyibukkan diri dengan cara
berusaha memulihkan Oliver supaya tidak mati sebelum digan"
tung. Di tengah-tengah semua kegaduhan dan kehebohan ini,
terdengarlah suara manis perempuan yang meredakannya dalam
sekejap. "Giles!" bisik suara dari puncak tangga.
"Saya di sini, Nona," jawab Tuan Giles. "Jangan takut, Nona,
saya tidak terluka parah. Dia tidak melakukan perlawanan keras,
Nona! Saya terlalu tangguh baginya."
CHARLES DICKENS ~291 "Ssst!" balas sang wanita muda. "Kau menakuti bibiku
sama seperti para pencuri. Apakah makhluk malang itu terluka
parah?" "Terluka parah sekali, Nona," jawab Giles, dengan kepuasan
yang tak dapat digambarkan.
"Dia kelihatannya sekarat, Nona," teriak Brittles, dengan si"
kap yang sama seperti sebelumnya. "Apakah Anda ingin kemari
dan melihatnya, Nona, kalau-kalau dia mati?"
"Ssst, tidak perlu!" ujar wanita itu. "Tunggulah dengan te"
nang sebentar. Aku akan bicara kepada Bibi."
Dengan langkah kaki sehalus dan selembut suaranya, sang
nona berjingkat-jingkat menjauh. Tak lama kemudian, dia kem"
bali membawa pesan dari sang nyonya bahwa anak yang terluka
harus digendong dengan hati-hati ke kamar Tuan Giles di lantai
atas, sementara Brittles diperintahkan pergi ke Chertsey naik
kuda poni untuk menghubungi polisi dan dokter secepatnya.
"Anda benar-benar tidak mau melihatnya, Nona?" tanya
Tuan Giles berbesar hati, seakan-akan Oliver adalah semacam
burung langka yang telah dijatuhkannya dengan lihai. "Sebentar
saja, Nona?" "Tidak sekarang, ya ampun," jawab wanita muda itu. "Lela"ki
malang! Oh! Perlakukanlah dia dengan baik, Giles, demi aku!"
Sang pelayan tua mendongak untuk memandang sang nona
saat wanita muda itu berbalik dengan tatapan bangga dan kagum
seolah-olah sang wanita muda adalah anaknya sendiri. Kemu"
dian, dia membungkuk di atas tubuh Oliver dan menggendong
bocah itu ke lantai atas, dengan kehati-hatian serta kekhawatiran
layaknya seorang wanita.[]
Para Penolong Oliver alam sebuah ruangan indah"meskipun perabotnya
memiliki kenyamanan gaya lama alih-alih keanggunan
modern"duduklah dua orang wanita di balik meja
yang dipenuhi hidangan sarapan. Tuan Giles, berpakaian cermat
meng"gunakan setelan serbahitam, melayani mereka. Dia me?""
nem"pati posisinya di pertengahan jalan antara bufet dan meja
ma?"kan. Dengan tubuh tegak sempurna, kepala terangkat ke be"
la?"kang dan dimiringkan sedikit, kaki kiri maju, tangan kanan
di?""je"jalkan ke dalam rompi, sedangkan tangan kirinya menggan?""
tung di samping tubuhnya, dan tinju dikepalkan layaknya pela"
yan tela"dan, dia terlihat seperti seseorang yang terbebani suatu
perasaan sangat pantas, bahwa dirinya berjasa dan penting.
Satu di antara kedua wanita tersebut telah berumur, tapi
kursi bersandaran tinggi yang didudukinya tidaklah lebih tegak
daripada dirinya. Dia berpakaian teramat rapi dan teliti, dalam
paduan kostum zaman dahulu, dengan sedikit tambahan selera
masa kini, yang semakin mempercantik gaya lama itu. Wanita
terhormat itu duduk dengan sikap anggun, tangan terlipat di
meja di hadapannya. Matanya (usia hanya meredupkan sedikit
saja kecemerlangannya) dilekatkan baik-baik pada wanita yang
satunya. Wanita ini jauh lebih muda dan tampak sedang mekar-me"
karnya. Dia sangat cantik. Jika malaikat pernah menitis menjadi
manusia, mungkin wujudnya seperti wanita muda itu. Usianya
CHARLES DICKENS ~293 belum lewat tujuh belas tahun, dibentuk dalam cetakan yang
begitu ramping serta elok; begitu halus dan lembut; begitu
murni serta cantik; sehingga bumi seolah bukanlah rumahnya
dan makhluk-makhluk bumi yang kasar pun tidaklah cocok
sebagai pendampingnya. Kecerdasan yang berbinar di mata biru pekatnya dan tergurat
di kepala ningratnya, seakan-akan tak sebanding dengan u"sia"
nya, ataupun dunia ini. Ekspresi manis dan riang yang silih ber"
ganti, ribuan cahaya yang bermain-main di wajahnya, dan tak
meninggalkan bayang-bayang di sana"terutama senyumannya,
senyum ceria dan bahagia"diciptakan untuk rumah yang nya"
man, serta kedamaian dan kebahagiaan di samping per"apian.
Dia sedang sibuk menata perabot-perabot kecil di meja.
Kebetulan mengangkat pandangan matanya saat sang wanita tua
menatapnya. Sambil main-main, dikembalikannya rambutnya
yang dikepang hingga menjuntai ke tempatnya semula. Dia
melemparkan raut berbinar-binar kepada sang wanita tua,
ekspresi yang demikian penuh kasih sayang dan tiada tanding
sehingga arwah orang-orang yang teberkati mungkin akan
tersenyum kala melihatnya.
"Brittles sudah pergi selama satu jam, bukan?" tanya sang
wanita tua, setelah terdiam sejenak.
"Satu jam dua belas menit, Nyonya," jawab Tuan Giles,
menga"cu pada sebuah jam perak yang pita hitamnya dia tarik.
"Dia selalu saja lamban," komentar sang wanita tua.
"Brittles memang dari dulu anak laki-laki yang lamban,
Nyonya," timpal sang kepala pelayan. Omong-omong, dengan
mempertimbangkan bahwa Brittles sudah tiga puluh tahun
lebih menjadi anak laki-laki yang lamban, kemungkinan besar
dia takkan pernah menjadi anak laki-laki gesit.
"Dia makin payah alih-alih makin baik, kurasa," kata sang
wanita tua. "Sangatlah tak bisa dimaafkan apabila dia berhenti untuk
bermain dengan anak-anak lelaki lain," kata sang wanita muda
sambil tersenyum. 294~ OLIVER TWIST Tuan Giles rupanya sedang mempertimbangkan apakah
dirinya sendiri pantas tersenyum ketika sebuah kereta melaju ke
pintu taman. Dari dalam kereta keluarlah seorang pria gemuk
yang langsung lari ke pintu, dan sampai ke rumah dengan cepat
lewat sebuah proses misterius. Dia menerjang masuk ke ruangan
itu, hampir menjungkalkan Tuan Giles serta meja makan bersa"
maan. "Aku tidak pernah mendengar hal semacam itu!" seru sang
pria gemuk. "Nyonya Maylie yang baik"teberkatilah jiwaku"
di tengah keheningan malam, pula"aku tak pernah mendengar
hal semacam itu!" Diiringi ungkapan belasungkawa ini, sang pria gemuk ber"
jabat tangan dengan kedua wanita tersebut, dan sambil mena"rik
sebuah kursi, menanyakan bagaimana kabar mereka.
"Anda bisa saja meninggal, Nyonya," kata sang pria gemuk.
"Kenapa Anda tidak memanggilku" Teberkatilah diriku, anak
buahku pasti datang kemari dalam hitungan menit, begitu pula
aku, asistenku, atau siapa saja, pasti akan dengan senang hati
melakukannya, aku yakin, dalam keadaan seperti ini. Wah, wah!
Sungguh tak terduga! Di tengah keheningan malam pula!"
Sang dokter tampaknya paling terusik oleh fakta bahwa
peram"pokan terjadi tanpa diduga-duga dan dicoba dilakukan
pada waktu malam, seolah-olah para pembobol rumah terbiasa
beraksi pada tengah hari dan membuat janji satu atau dua hari
sebelumnya. "Dan Anda, Nona Rose," kata sang dokter, menoleh kepada
sang wanita muda, "aku "."
"Oh! Memang demikian, betul," kata Rose, memotongnya,
"tapi ada seorang lelaki malang di lantai atas. Bibi ingin Anda
melihatnya." "Ah! Tentu," timpal sang dokter. "Memang begitu. Sepenge"
tahuanku itu hasil kerjamu, Giles."
Tuan Giles, yang sedang memperbaiki letak cangkir teh de"
ngan penuh semangat, merona merah sekali, dan berkata bahwa
dia merasa terhormat. CHARLES DICKENS ~295 "Terhormat, ya?" kata sang dokter. "Yah, aku tak tahu; ba"
rangkali menembak seorang pencuri di dapur belakang sama
Oliver Twist Karya Charles Dickens di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terhormatnya seperti menembak lawan duelmu setelah dua belas
langkah. Menarik bahwa dia menembak ke udara, sedangkan
kau menembak lurus seperti dalam duel, Giles."
Tuan Giles, yang berpikir bahwa komentar enteng mengenai
perkara tersebut merupakan upaya tak adil untuk mengecilkan
kejayaannya, menjawab dengan hormat bahwa dia tidak patut
menghakimi, tapi dia berpendapat bahwa musibah yang menim"
pa pihak penyusup bukanlah sebuah gurauan.
"Ya, Tuhan, itu benar!" kata sang dokter. "Di mana dia" Tun"
jukkan jalannya kepadaku. Aku akan mampir lagi saat turun
nanti, Nyonya Maylie. Dia masuk dari jendela kecil itu, ya"
Wah, aku tak bisa memercayainya!"
Sambil bicara sepanjang jalan, dia mengikuti Tuan Giles ke
lantai atas. Dan selagi dia naik, dapat diberitahukan kepada
pembaca bahwa Tuan Losberne adalah seorang ahli bedah di
lingkungan itu, dan terkenal sejauh radius sepuluh mil sebagai
"dokter". Dia menjadi gemuk bukan karena kehidupan enak,
melainkan karena selera humornya yang tinggi. Dia sama ra?"mah
dan riangnya, serta sama eksentriknya, seperti bujangan tua ma"
na saja yang dapat ditemukan di wilayah yang luasnya lima kali
lipat, oleh penjelajah mana pun yang masih hidup di dunia ini.
Sang dokter pun menghilang, jauh lebih lama daripada yang
diperkirakan kedua wanita ataupun dirinya sendiri. Sebuah ko"
tak pipih diambilkan dari kereta; bel kamar tidur didentingkan
sering sekali; dan para pelayan bolak-balik lari naik turun tang"
ga. Berdasarkan tanda-tanda inilah, layak disimpulkan bahwa
sesuatu yang penting tengah berlangsung di atas. Akhirnya dia
kembali. Dan sebagai jawaban atas pertanyaan waswas menge"
nai keadaan pasiennya, dia memasang ekspresi sangat misterius,
dan menutup pintu dengan hati-hati.
"Ini hal yang sangat luar biasa, Nyonya Maylie," kata sang
dokter, berdiri memunggungi pintu, seolah menjaganya agar
tetap tertutup. 296~ OLIVER TWIST "Dia tidak dalam bahaya, kuharap?" kata sang wanita tua.
"Wah, seandainya begitu, itu bukanlah hal yang luar biasa,
dalam kondisi ini," jawab sang dokter, "meskipun menurutku
dia tidak dalam bahaya. Sudahkah Anda melihat si pencuri
itu?" "Belum," ujar sang wanita tua.
"Ataupun mendengar apa-apa tentang dia?"
"Tidak." "Saya mohon maaf, Nyonya," Tuan Giles menyela. "Tapi saya
hendak memberi tahu Anda tentang dia ketika Dokter Losberne
masuk." Faktanya adalah, bahwa pada mulanya Tuan Giles tidak ku"
asa memaksa pikirannya agar mengakui bahwa dia hanya me"
nembak seorang anak laki-laki. Puja-puji sedemikian rupa telah
dianugerahkan atas keberaniannya sehingga membuatnya tak
bisa, sekeras apa pun berusaha, menjelaskannya selama beberapa
menit yang luar biasa; sepanjang waktu tersebut dia memuncaki
tangga reputasi yang singkat atas keberanian tak tergoyahkan.
"Rose ingin melihat laki-laki itu," kata Nyonya Maylie, "tapi
aku tidak setuju." "Huh!" timpal sang dokter. "Penampilannya sama sekali
tidak menyeramkan. Apakah Anda keberatan melihatnya bila
saya didampingi?" "Jika memang perlu," jawab sang wanita tua, "tentu tidak."
"Kalau begitu, saya pikir hal itu perlu," kata sang dokter.
"Bagaimanapun, saya cukup yakin Anda akan teramat menyesal
karena belum menengoknya jika Anda menundanya. Dia sudah
tenang dan nyaman sekarang. Perkenankan saya " Nona Rose.
Anda takkan takut sedikit pun. Saya bersumpah demi kehor"
matan saya!"[] Ketulusan Nona Rose isertai banyak jaminan bawel bahwa mereka pasti akan
terkejut melihat penampilan sang pelaku kriminal,
sang dokter mengaitkan lengannya ke lengan Nona
Rose. Setelah menawarkan tangan satunya kepada Nyonya
Maylie, dia menuntun mereka dengan banyak basa-basi dan
aturan ke lantai atas. "Nah," kata sang dokter, berbisik, saat dia pelan-pelan me"
mutar gagang pintu kamar tidur, "mari kita dengar apa pendapat
Anda. Dia belum bercukur baru-baru ini, tapi tetap saja tidak
terlihat buas. Tapi, berhenti dulu! Biar kulihat apakah dia siap
menerima pembesuk." Sang dokter melangkah ke depan mereka, dan menengok ke
dalam kamar. Setelah itu, dia memberi mereka isyarat agar maju,
menutup pintu ketika mereka telah masuk, dan dengan lembut
menarik kelambu tempat tidur. Di atasnya, alih-alih melihat
seorang berandal garang berwajah hitam seperti dugaan mereka,
berbaringlah seorang anak, lemah karena kesakitan serta kele"
lahan, dan terbenam dalam tidur lelap. Lengannya yang terluka,
dibebat dan diberi penopang, disilangkan di dadanya; kepalanya
disandarkan ke lengannya yang satu lagi, yang setengah tersem"
bunyi oleh rambut panjang yang terurai ke bantal.
Sang dokter memegangi kelambu di satu tangan, dan terus
memandang selama kurang lebih satu menit dalam keheningan.
Selagi dia mengamati si pasien seperti itu, sang wanita muda
298~ OLIVER TWIST berjalan dengan lembut, dan setelah menduduki kursi di samping
tempat tidur, menyibakkan rambut Oliver dari wajahnya. Saat
dia membungkuk di atas badan anak itu, air mata jatuh ke
pipinya. Si anak laki-laki bergerak dan tersenyum dalam tidurnya,
seolah tanda-tanda rasa iba dan belas kasihan telah memba"
ngunkan mimpi menyenangkan tentang cinta dan kasih sayang
yang tak pernah dikenalnya. Alhasil, lantunan musik lembut,
riak air di tempat sunyi, wangi bunga, atau penyebutan sebuah
kata yang tak asing, terkadang akan memunculkan kenangan
samar tiba-tiba mengenai adegan-adegan yang tak pernah dite"
mui dalam kehidupan ini, yang menghilang laksana napas, yang
tampaknya dibangkitkan oleh memori singkat tentang suatu
masa yang lebih membahagiakan dan telah lama berlalu yang
tak pernah dapat diingat secara sukarela oleh pikiran.
"Apa maksudnya ini?" seru sang wanita tua. "Anak malang
ini tak mungkin bagian dari para perampok!"
"Amoralitas," kata si ahli bedah, mengembalikan kelambu
ke tempatnya, "bermukim di banyak kuil. Dan, siapa yang bisa
menjamin bahwa kejahatan tidak bersarang di dalam tampilan
luar yang elok?" "Tapi pada usia semuda itu!" desak Rose.
"Nona muda yang baik," timpal sang ahli bedah, menggelenggelengkan kepala dengan sedih, "kejahatan itu seperti kematian,
tidak terbatas pada orang-orang yang tua dan keriput saja.
Yang termuda dan tercantik pun acap kali dipilih sebagai kor"
bannya." "Tapi, bisakah Anda " oh! Bisakah Anda sungguh-sungguh
memercayai bahwa bocah rapuh ini sukarela bergabung dengan
orang-orang buangan terburuk dalam masyarakat?" kata Rose.
Sang ahli bedah menggeleng-gelengkan kepalanya dengan
sikap yang menyiratkan bahwa dia khawatir hal tersebut sa"
ngatlah mungkin. Setelah berkata bahwa mereka mungkin akan
mengganggu si pasien, dia memimpin jalan ke kamar sebelah.
CHARLES DICKENS ~299 "Tapi seandainya dia jahat sekalipun," kejar Rose, "pikirkan
betapa muda dirinya. Pikirkan bahwa dia mungkin tak pernah
mengenal kasih seorang ibu atau kenyamanan sebuah rumah.
Pikirkan pula bahwa perlakuan buruk serta pukulan, atau pera"
saan mendambakan roti, mungkin telah mengarahkannya ke
kawanan pria yang telah memaksanya berbuat salah. Bibi, Bibi
tersayang, demi rasa belas kasihan, pikirkanlah ini sebelum Bibi
membiarkan mereka menyeret anak yang sakit ini ke penjara.
Bilamana itu yang terjadi, peluangnya untuk menebus kesa"lahan
hampir tidak ada. Oh! Bibi menyayangiku, dan tahu bahwa aku
tak pernah mendambakan hadirnya orangtua berkat kebaikan
dan kasih sayang Bibi. Aku mungkin saja berbuat serupa sean"
dainya tidak ada Bibi dan mungkin saja sama tak berdayanya
dan tak terlindunginya seperti anak malang ini. Kasihanilah dia
sebelum semua terlambat!"
"Sayang," kata sang wanita berumur sambil mendekap gadis
yang menangis itu ke dadanya, "apa menurutmu aku akan melu"
kai sehelai rambut pun di kepalanya?"
"Oh, tentu tidak!" jawab Rose bersemangat.
"Tidak, tentu saja," kata sang wanita tua. "Hari-hariku men"
dekati penghujungnya, dan semoga ampunan ditunjukkan kepa"
daku seperti yang telah kutunjukkan kepada orang-orang lain!
Apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkannya, Tuan?"
"Biar kupikirkan, Nyonya," kata sang doker. "Biar kupi"
kirkan." Tuan Losberne menjejalkan tangannya ke saku, dan berja"
lan mondar-mandir beberapa kali di ruangan itu. Beberapa
kali berhenti dan menyeimbangkan dirinya di atas jari-jari kaki"
nya, serta mengerutkan kening dengan ekspresi menyeramkan.
Setelah mengucapkan berbagai seruan seperti "aku tahu seka"
rang" dan "belum, entahlah," serta berjalan dan mengerutkan
kening berkali-kali lagi, dia akhirnya berhenti sepenuhnya, dan
bicara sebagai berikut. "Menurutku, jika Anda memberiku izin penuh dan tak ter"
batas untuk menggertak Giles, dan pemuda kecil itu, Brittles,
300~ OLIVER TWIST semua pasti beres. Giles lelaki yang setia dan pelayan lama,
aku tahu, tapi Anda bisa membalasnya dengan ribuan cara dan
memberinya imbalan karena sudah jadi penembak ulung. Anda
tidak berkeberatan dengan itu?"
"Kecuali ada cara lain untuk melindungi anak itu," jawab
Nyonya Maylie. "Tak ada cara lain," kata sang dokter. "Tidak ada, perca"
yalah." "Kalau begitu, bibiku akan mendukung Anda dengan sepe"
nuhnya," kata Rose tersenyum di sela air matanya, "tapi, tolong
jangan bersikap lebih keras lagi pada pria-pria malang itu lebih
Petaka Kerajaan Air 1 Mayat Misterius The Clocks Karya Agatha Christie Asmara Bernoda Darah 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama