Ceritasilat Novel Online

Petaka Kerajaan Air 1

Pengemis Binal 12 Petaka Kerajaan Air Bagian 1


PETAKA KERAJAAN AIR Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode: Petaka Kerajaan Air
128 hal. 1 Bukit Rawangun memang tidak seberapa
subur. Sebagian besar daratannya berupa bebatuan
padas. Bila dilihat dari kejauhan puncak bukit tampak datar. Pepohonan jarang
tumbuh di sana. Bahkan, sebagian besar telah meranggas. Saat ini memang sedang
musim kemarau. Terpaan sinar mentari terasa begitu
terik dan menyengat
Namun, dari keadaan bukit yang tak bersahabat itu terkandung daya tarik tersendiri. Sebuah aliran sungai membelah
lambung bukit. Di tepi sungai
banyak didirikan kemah-kemah yang sepertinya sengaja dipakai untuk jangka waktu lama. Dalam kemahkemah itulah para pencari batu mulia bertempat tinggal. Dasar Sungai Bukit Rawangun memang banyak
menyimpan kekayaan alam tersebut.
Mentari tepat di atas kepala ketika tiga sosok
bayangan berkelebat cepat. Gerak tubuh mereka sangat ringan. Sedikit pun tak terdengar suara saat kaki mereka menginjak permukaan
tanah. Bahkan, tiga sosok bayangan itu dapat melayang puluhan tombak
jauhnya bagai lesatan burung walet.
Sesampai di puncak bukit, di muka mulut sebuah gua yang tidak seberapa lebar, tiga sosok bayangan itu berhenti. Tampaklah
kini rupa mereka sesungguhnya. Ternyata, gadis-gadis cantik yang semuanya
berpakaian ungu. Selendang sutera merah membelit
pinggang ramping mereka. Ujung-ujung selendang dihiasi rumbai-rumbai jalinan benang keemasan.
Anting yang mereka kenakan tampak berkilauan saat sinar mentari menerpa. Bentuknya lingkaran kecil, ada pernik intan pada bagian bawahnya.
Usia ketiga gadis cantik itu belum genap dua puluh
tahun. Melihat penampilan mereka, dapat dipastikan
ketiganya bukan termasuk para pencari batu mulia
yang banyak tinggal di sekitar aliran sungai. Siapa mereka" Yang rambutnya
diikat dengan pita kuning bernama Ajeng Menur, dan yang berpita putih Andan Sari, sedangkan yang berpita
hijau adalah Ari Sambita. Ketiganya merupakan anak angkat Wiranti, Ketua Partai
Iblis Ungu yang telah mati di tangan Suropati atau
Pengemis Binal. Pendekar muda itu dibantu oleh Kipas Sakti dan Yaniswara.
Seperti pernah diceritakan sebelumnya pada
serial Pengemis Binal episode "Tabir Air Sakti", Wiranti bersama belasan anggota
partainya datang dari Kerajaan Saloka Medang ke wilayah Kerajaan Anggarapura.
Mereka hendak merebut barang kepunyaan seorang
Brahmana yang bernama Tuhisa Brama yang dititipkan pada Ekspedisi Kencana Mega. Barang titipan
itu adalah sebotol kecil Air Sakti. Usaha Wiranti dan anak buahnya menemui
kegagalan, walau mereka berhasil membunuh Tuhisa Brama dan Lodra Sawala,
ayah Yaniswara yang merupakan pemilik Ekspedisi
Kencana Mega. Kini kedatangan Ajeng Menur, Andan Sari,
dan Ari Sambita ke puncak Bukit Rawangun berkenaan dengan kematian orangtua angkat mereka.
"Menur, apakah keterangan yang kau dapat,
bisa dipercaya?" tanya Andan Sari.
"Pertanyaanmu seperti menyembunyikan sesuatu," jawab Ajeng Menur sambil menatap tajam wajah Andan Sari.
"Apa maksudmu?"
"Kau menyangsikan kemampuanku."
"Tidak." Andan Sari menggelengkan kepalanya. "Kalau memang kata itu keluar dari lubuk hatimu, seharusnya kau turut yakin orang yang kita cari berada di sini. Tak perlu
kau menanyakannya!"
Andan Sari tak menimpali perkataan Ajeng
Menur. Dia cuma mendengus. Dan, dengusan itu diartikan lain oleh Ajeng Menur. Matanya mendelik karena merasa tersinggung.
"Menyesal aku mengajakmu kemari, Sari. Sekarang baru aku tahu kakimu ternyata sangat berat
diajak melangkah dan tenagamu pun mahal harganya...." "Menur!" Ari Sambita menegur.
"Apa" Kau juga menyangsikan kemampuanku?" kemarahan Ajeng Menur beralih.
"Ah, kau terlalu gampang naik darah, Menur.
Sebetulnya maksud Andan Sari baik...."
"Kau bilang baik?" sela Ajeng Menur dengan suara ketus.
"Sudah beberapa kali dia menanyakannya.
Dan, telah kukatakan kalau murid Kipas Sakti berada
di dalam gua itu. Apakah aku harus menyeretnya dulu
keluar baru kalian percaya?"
"Jangan membesar-besarkan masalah sepele,
Menur" "Masalah sepele apa?" bentak Ajeng Menur.
"Huh... Dasar keras kepala."
Mendengar ucapan Ari Sambita yang bernada
mencemooh, Ajeng Menur tercekat "Rupanya kau ber-sekongkol dengan Andan Sari"
kata gadis itu seraya menuding wajah Ari Sambita.
"Kunyuk Dekil. Rupanya kau senang menantang perkara"
Selesai berkata demikian, Ari Sambita mengibaskan telapak tangan kanannya. Ia hendak menurunkan telunjuk jari Ajeng Menur yang menuding.
Wusss...! Serangkum angin pukulan berhawa panas
menerpa. Ajeng Menur melompat ke belakang. Cepat
dia menyerampang kaki Ari Sambita. Tapi, gadis itu telah menduga akan datangnya
serangan. Dia meloncat
lalu menampar wajah Ajeng Menur. Sayang, gadis itu
berhasil menghindar.
Telapak tangan Ari Sambita hanya mengenai
tempat kosong. Melihat keadaan yang mulai memanas,
buru-buru Andan Sari menengahi. Tubuhnya berkelebat menangkis lengan Ari Sambita yang hendak memukul dada Ajeng Menur.
"Tahan!"
"Minggir kau, Sari!" geram Ari Sambita.
"Kalau kalian terus menuruti hati panas, mana bisa kita menunaikan kewajiban"!"
"Kewajiban itu waktunya tidak mendesak. Biar kuhajar dulu Ajeng Menur yang keras kepala ini!"
"Kau juga keras kepala, Sambita!" bentak Andan Sari jengkel.
"Minggir, kau!"
Ari Sambita mendorong dada Andan Sari
hingga gadis itu terhuyung-huyung.
"Kepala batu! Mestinya kau tidak usah ikut
kemari. Hanya menambah persoalan saja!" kata Andan Sari.
"Kau pun seharusnya tidak usah ikut!" bentak Ajeng Menur.
Andan Sari menoleh. Gadis yang juga mempunyai sifat keras kepala itu merasa ucapan Ajeng Menur sengaja memancing
permusuhan. Maka, tanpa basa-basi lagi dia maju selangkah. Telapak tangan kanannya melayang cepat.
Keadaan jadi semakin tak karuan. Ajeng Menur dan Andan Sari saling serang. Kali ini mereka
sungguh-sungguh untuk segera dapat menjatuhkan
lawan. Ari Sambita yang mencoba menengahi malah
terbawa keadaan. Akhirnya tiga gadis cantik itu terlibat pertempuran seru. Tak
seorang pun dari mereka
yang menganggap salah seorang saudaranya sebagai
teman. Mereka saling gempur hanya untuk menuruti
kekerasan hati masing-masing.
Sifat ketiga gadis anggota Partai Iblis Ungu itu
memang aneh. Tak mengherankan kalau tokoh-tokoh
persilatan di Kerajaan Saloka Medang menjuluki mereka Tiga Dara Bengal. Ilmu kepandaian mereka cukup
tinggi. Namun, tidak jelas apakah mereka termasuk golongan putih atau hitam.
Walau partai mereka merupakan partai sesat, namun seringkali ketiganya bersikap sebagai seorang pendekar
pembela kebenaran. Tapi, yang lebih sering mereka melakukan pembunuhan
kejam tanpa ter-lebih dahulu memandang kesalahan
orang. "Monyet Buduk! Pantas seluruh anggota partai tak menyetujui kau menjadi
ketua. Kelakuanmu
sangat menyebalkan, seperti kentut busuk!" ejek Ajeng Menur kepada Ari Sambita.
"Kau kira anggota partai senang mengangkatmu menjadi ketua, Babi Jelek"!" balas Ari Sambita.
"Cih! Bisamu cuma berdandan dan ngorok berkepanjangan!" "Bangsat!"
Ajeng Menur melancarkan tendangan ke arah
kepala Ari Sambita. Tentu saja yang menjadi sasaran
tak mau kalah. Kedudukannya segera digeser ke samping, lalu kedua telapak tangannya bergantian ngebut!
"Kubakar kau hidup-hidup...!" teriak Ari
Sambita. "Kuremukkan kepalamu dulu!"
Serangkaian angin pukulan yang memancarkan cahaya kekuning-kuningan meluncur saling susul.
Namun Ajeng Menur telah menghempaskan tubuhnya
ke atas. Kemudian, dia melenting dengan gerakan yang sangat cepat. Kakinya
bergerak menendang kepala Ari
Sambita! Wesss!
Serangan itu tak mengenai sasaran. Tapi,
sambaran anginnya membuat sikap berdiri Ari Sambita sempoyongan. Gadis itu menggeram gusar. Pandangannya lalu beralih ke arah Andan Sari yang tertawa
bergelak. "Apa yang kau tertawakan, Cacing Anil"!"
"Ha ha ha.... Kau lucu, Sambita!"
"Apanya yang lucu"!"
"Masa' tidak merasa?"
"Bedebah! Terima ini...!" Ari Sambita melancarkan pukulan jarak jauh ke arah
Andan Sari. Sementara, Ajeng Menur telah mengawali serangannya
lagi. Suasana siang di puncak Bukit Rawangun jadi hi-rup-pikuk kembali.
Terdengar suara teriakan-teriakan kemarahan dan ledakan pukulan tenaga dalam
yang nyasar. Tanpa disadari Tiga Dara Bengal itu, seorang pemuda tampan berwajah
lembut tengah mengikuti
pertempuran mereka dengan sinar matanya yang tajam. Pakaian yang dikenakan pemuda itu dari bahan
sederhana berwarna putih kuning, kelihatan ringkas
membungkus tubuhnya yang kekar. Dia berdiri di bibir gua yang di depannya
terdapat sebongkah batu besar
setinggi manusia dewasa. Lewat sisi batu besar itulah pemuda berwajah lembut
memperhatikan jalannya
pertempuran. Beberapa kali si pemuda terdengar menarik
napas panjang. Sepertinya dia menyesali tindakan ketiga gadis cantik itu. Namun karena mereka mempertontonkan gerakan-gerakan silat tingkat tinggi, si pemuda berdiam diri saja di
tempatnya. Dia pikir, sebuah tontonan menarik yang tak bisa dilewatkan begitu
saja. Pemuda berwajah lembut itu bergegas meloncat ke samping tatkala selarik cahaya kekuningkuningan meluncur ke arahnya.
Blarrr! Batu besar yang berada di depan mulut gua
hancur berantakan. Pecahan-pecahan batu berhamburan bersama debu tebal.
"Hentikan dulu pertempuran ini!" teriak Ajeng Menur. Andan Sari dan Ari Sambita
mengalihkan pandangan. Sementara si pemuda telah berdiri di bawah pohon yang meranggas.
"Itulah murid si Kipas Sakti!" tunjuk Ajeng Menur. Si pemuda terkejut jati
dirinya telah dikenali.
Padahal dia belum tahu siapa ketiga gadis yang berdiri angkuh tak seberapa jauh
darinya. "Aku memang murid Kipas Sakti," kata pemuda itu kemudian dengan sopan. "Nona bertiga ini siapa" Dan, kenapa bertempur
di puncak bukit ini?"
"Ha ha ha...!"
Tiga Dara Bengal tertawa bergelak. Mereka
saling berpandangan, lalu tertawa semakin keras.
"Kau lihat sendiri sekarang, Sari. Bukankah
benar yang kukatakan. Murid Kipas Sakti berada di
dalam gua itu. Kalau kalian setuju, kita cincang dia sekarang juga!"
"Uts! Tunggu dulu!" cegah Ari Sambita.
"Sayang kalau dia harus mati cepat-cepat."
"Kenapa?"
Ari Sambita tak menjawab. Dia hanya tersenyum-senyum dan mengerling ke arah Andan Sari.
"Benar kata Sambita. Murid Kipas Sakti itu
jangan dibunuh dulu. Bukankah dia.... Ha ha ha...!"
Tawa Andan San segera ditimpali Ari Sambita
dengan gelak tawa pula. Ajeng Menur hanya mendengus seraya menatap tajam wajah kedua saudaranya.
"Dasar mata ikan!" kata gadis itu.
"Apa kau sudah berubah jadi laki-laki, heh"!"
sahut Ari Sambita. "Atau, kau sudah tak bisa lagi me-nilai ketampanan seorang
lelaki" Barangkali juga kau sok alim?"
"Tutup mulutmu! Kematian Ibunda Wiranti
harus kita balaskan secepat mungkin, biar anggota
partai bisa cepat menentukan siapa di antara kita yang pantas menjadi ketua...."
"Bodoh!" cela Andan Sari. "Sambil membalas dendam, kita dapat mengambil
kesempatan untuk..."
"Untuk apa" Bersenang-senang dulu menuruti nafsu kalian" Dasar perempuan murahan!"


Pengemis Binal 12 Petaka Kerajaan Air di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar cacian Ajeng Menur, Ari Sambita
dan Andan Sari tidak tampak marah. Mereka malah
tertawa senang. Sewaktu Ajeng Menur menggeram
dengan mata mendelik, si pemuda maju selangkah.
"Nona bertiga belum memperkenalkan diri.
Tapi, sepertinya Nona bertiga ini mempunyai urusan
denganku. Urusan apa itu" Aku merasa belum pernah
berjumpa dengan kalian...."
"Ketahuilah, kami adalah Tiga Dara Bengal.
Kami anak-anak angkat Ketua Partai Iblis Ungu yang
telah dibunuh Suropati, yang dibantu oleh gurumu
dan Yaniswara!" sahut Andan Sari setelah menghentikan tawanya.
"Urusannya denganku?" tanya si pemuda tetap tak mengerti.
"Goblok! Tentu saja kami hendak membalas
dendam! Kipas Sakti adalah musuh Partai Iblis Ungu.
Dan, kau sebagai muridnya harus ikut menanggung
akibatnya!"
"Ibu kalian mati karena perbuatannya yang
jahat. Aku menyayangkan bila kalian mengikuti jejaknya." "Hei, Pendekar Kipas Terbang! Memang tak
baik di antara kita membuat permusuhan. Oleh sebab
itu, mendekatlah kemari. Jabat tanganku erat-erat..."
"Ya, memang tak baik kita membuat permusuhan. Kita bersahabat saja," timpal Ari Sambita sambil mendahului langkah Andan
Sari yang mendekati si
pemuda. Ari Sambita mengulurkan tangan dengan senyum ramah di bibirnya yang merekah. Si pemuda
berdiri terpaku. Tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Mendadak, Ari Sambita membuat gerakan
sangat cepat. Kaki kirinya bergerak menendang. Melihat serangan mendadak itu, si pemuda buru-buru melangkah ke belakang dua tindak. Tapi, justru itu yang diharapkan Ari Sambita.
Dengan satu jejakan kecil di tanah tubuhnya melayang dan mendarat di belakang si
pemuda seraya menghantam tengkuknya.
Dukkk! Pemuda berwajah lembut masih sempat menangkis. Namun, tiba-tiba tubuhnya limbung lalu jatuh terjengkang. Rupanya Ari Sambita dapat mengait
kaki kanannya dengan mempergunakan telapak kaki
kiri. Gerak tipu gadis itu sangat lihai. Belum sempat si pemuda bangkit berdiri,
Ari Sambita telah menerkamnya!
"Ap... apa yang kau...."
Perkataan pemuda berwajah lembut tak berlanjut. Bibirnya telah dilumat penuh nafsu oleh Ari
Sambita. Tapi tanpa diduga gadis itu, Andan Sari merenggut rambutnya lalu disentakkan dengan keras.
Tubuh Ari Sambita terangkat dan jatuh bergulingan sejauh lima tombak. Ketika bangkit berdiri
dia langsung menerjang Andan Sari.
"Keparat! Kubunuh kau!"
"Kaulah yang harus kubunuh!" balas Andan
Sari sambil berkelit dari jotosan Ari Sambita yang tertuju ke dada.
Sementara pemuda yang bernama Raka Maruta atau Pendekar Kipas Terbang telah meloncat
bangkit. Tapi, serangkaian angin pukulan bergemuruh
menghunjam deras ke arahnya!
Blarrr...! Permukaan tanah di mana Raka Maruta berdiri memuncratkan debu bercampur bebatuan yang
mengaburkan pandangan. Ketika keadaan kembali seperti semula, di puncak bukit tercipta kubangan dalam. Permukaan tanah di pinggirnya tampak merengkah. Raka Maruta yang baru saja terhindar dari
maut berdiri linglung. Sementara, Ajeng Menur yang
gagal dengan pukulan jarak jauhnya mengeluarkan
lengkingan tinggi sebelum menerjang!
"Bersabarlah, Nona! Kenapa kau bernafsu
membunuh?" kata Raka Maruta sambil menghindari
tendangan di dadanya.
Tak ada kata-kata yang menimpali ucapan
pemuda berwajah lembut itu. Ajeng Menur meloloskan
selendang merahnya. Kedua ujung selendang pun meliuk-liuk cepat laksana dua kepala ular.
Melihat selendang lembut itu berubah menjadi senjata ampuh, Raka Maruta teringat pada senjata
andalan para anggota Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah. Hanya bila selendang anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah bergerak ganas untuk segera
menjatuhkan lawan, selendang di tangan Ajeng Menur
memperlihatkan gerakan-gerakan indah. Tapi, justru
dari gerakan-gerakan indah itulah kehebatan jurus
yang sedang diperagakan Ajeng Menur dirasakan oleh
Raka Maruta. Beberapa lama Raka Maruta terkurung kelebatan cahaya merah yang timbul dari gerakan selendang Ajeng Menur. Namun, Raka Maruta bukanlah
seorang pendekar kemarin sore. Dia dapat me-layani
serangan Ajeng Menur hingga beberapa jurus dengan
tanpa melakukan perlawanan yang berarti.
"Bangsat!" umpat Ajeng Menur merasa diremehkan. "Balas seranganku. Biar kau tak menyesal nanti!" "Aku tidak mempunyai
urusan denganmu, Nona. Kenapa aku harus menyerangmu?"
"Goblok! Kipas Sakti adalah musuh besar Partai Iblis Ungu. Sebelum aku membunuhnya, aku akan
membunuhmu terlebih dahulu. Dengan demikian tua
bangka itu pasti memperlihatkan batang hidungnya!"
Selesai berucap, Ajeng Menur melontarkan jarum-jarum beracun ke arah Raka Maruta. Pemuda
berwajah lembut itu tak terlihat bergerak menghindar.
Namun, tanpa diduga Ajeng Menur tahu-tahu puluhan
jarum beracun yang dilontarkannya rontok di tanah.
"Aku tidak ingin bertempur denganmu, Nona...," kata Raka Maruta yang telah memegang sebuah kipas baja putih. Kibasan
senjata itulah yang meron-tokkan senjata rahasia Ajeng Menur.
"Terserah kau bila tak mau membalas seranganku. Tapi aku akan tetap membunuhmu!"
Selendang Ajeng Menur meliuk ke atas. Lalu,
ujungnya yang terdapat rumbai-rumbai meluncur deras ke batok kepala Raka Maruta!
"Maaf..," kata Pendekar Kipas Terbang seraya
mengibaskan senjata andalannya. Selarik sinar perak
melengkung semakin besar, kemudian meluruk ke
arah selendang.
Sraattt! Ajeng Menur menjerit gusar. Selendangnya
terpental dan koyak pada bagian ujung. Tahulah gadis itu kalau kepandaian Raka
Maruta beberapa tingkat di atasnya. "Perempuan-perempuan edan!" umpat Ajeng
Menur ketika melihat Ari Sambita dan Andan Sari masih bertempur mempertahankan
kekerasan kepalanya
masing-masing. "Lawanmu bukan saudara sendiri,
Goblok! Tapi murid Kipas Sakti itu!"
Rupanya, ketika Ajeng Menur bertempur melawan Raka Maruta, Ari Sambita dan Andan Sari pun
terlibat pertempuran sengit. Mereka memperebutkan
seorang pemuda. Ari Sambita menerjang Andan Sari
yang hendak merebut Raka Maruta dari tangannya.
Ari Sambita dan Andan Sari langsung menghentikan gempurannya. Kaget juga mereka disadarkan
dengan cara seperti itu. Setelah memandang wajah
Ajeng Menur yang pucat, mereka bergegas menerjang
Raka Maruta. "Kulumpuhkan dulu tangan dan kakimu baru
kita bermesra-mesraan, Tampan...!" kata Ari Sambita seraya melancarkan totokan.
"Jangan pedulikan ocehannya. Kau harus jadi
kekasihku dulu sebelum ajal menjemputmu!" sahut Andan Sari yang telah meloloskan
selendang dari pinggangnya. Selendang itu meliuk untuk menjerat tubuh
Raka Maruta. Menepis dua serangan yang bersamaan tersebut, Pendekar Kipas Terbang meloncat tinggi. Sayang, selendang Ajeng Menur
memapaknya dari atas untuk
menghancurkan batok kepala!
2 Saat sampai di lereng Bukit Rawangun, suhu
tubuh Suropati yang berada dalam pondongan Kakek
Wajah Merah meninggi. Kaki dan tangannya pun mengejang. "Aduh, Kek...!" keluh Suropati. "Turunkan aku."
"Sebentar lagi kita akan sampai."
"Aku tak tahan. Aku mau muntah...."
Buru-buru Kakek Wajah Merah menurunkan
tubuh Suropati. Begitu menyentuh tanah, remaja konyol itu berjongkok dengan punggung melengkung ke
bawah. "Uookkk...!"
Cairan kental putih berbusa-busa keluar dari
mulut Suropati. Cukup lama dia menguras isi perutnya. Ketika keringat sudah membanjir, Suropati merasakan tubuhnya sangat ringan dan pandangannya
berputar-putar. Kemudian, dia mengeluarkan keluhan
pendek dan jatuh pingsan!
"Astaga!" pekik Kakek Wajah Merah. Tidak
disangkanya racun yang terdapat pada Puyer Perangsang masih bersemayam dalam tubuh Pengemis Binal.
Dengan cekatan Kakek Wajah Merah menotok
beberapa aliran darah di bawah pusar Suropati, seperti yang dilakukannya saat
berada di atas geladak Kapal
Rajawali. Setelah lambung Suropati terisi beberapa butir pil yang dimasukkan
kakek itu dengan dorongan
tenaga dalam, barulah kelompok mata Suropati terbuka. "Bagaimana keadaanmu sekarang, Suro?"
tanya Kakek Wajah Merah.
"Lebih baik, Kek...."
"Syukurlah.... Kita lanjutkan perjalanan."
"Kepalaku masih pusing," keluh Suropati segera memegangi kepalanya.
"Nanti juga hilang. Pengaruh Puyer Perangsang yang kau telan telah hilang. Kau tak perlu khawatir. Aku telah mengulang
pengobatannya terhadapmu."
Pengemis Binal menurut saja ketika Kakek
Wajah Merah membimbingnya berdiri. Keringat masih
mengucur deras dari sekujur tubuh Suropati.
"Saka Purdianta keparat!" umpat remaja konyol itu tiba-tiba, ketika teringat kelicikan Saka Purdianta yang telah
meracuninya dengan Puyer Perangsang. Gigi Suropati gemeretak menahan marah.
Wajahnya yang tampan mengeras dengan rahang
menggembung. Terlebih saat teringat ilmu kepandaiannya yang telah musnah akibat Jarum Hitam Saka
Purdianta yang bersarang di pelipis kanannya.
"Lupakan dulu perihal Saka Purdianta, Suro...," bujuk Kakek Wajah Merah dengan suara lembut.
"Anggraini Sulistya memintaku dengan sangat untuk mempertemukan kau dengannya.
Karena itu, kita harus ke puncak bukit secepatnya. Kasihan Anggraini
Sulistya." Suropati menatap wajah tabib pandai yang berdiri di hadapannya.
"Jadi, putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit itu masih hidup. Bukankah... bukankah dia...."
"Benar, Suro. Anggraini Sulistya juga terpengaruh racun Jarum Mati Sekejap. Saka Purdianta pula
yang membuat ulah. Tapi, kau tak perlu terlalu khawatir. Anggraini Sulistya
dapat bertahan dari kematian karena Raka Maruta telah menolongnya."
"Dengan menghilangkan racun itu?" duga Suropati.... "Tidak. Hanya memperlemah daya kerjanya.
Darah Raka Maruta yang telah bercampur Air Sakti
dapat memperpanjang usia Anggraini Sulistya," beritahu Kakek Wajah Merah.
"Benarkah demikian?"
"Kau akan melihat sendiri keadaannya setelah kita sampai di puncak bukit."
Seperti tak sabaran, Wajah Merah lalu merengkuh pinggang Suropati. Diangkatnya tubuh remaja
konyol itu untuk dibawa berlari cepat dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh.
*** Sementara itu, pertempuran Raka Maruta
dengan Tiga Dara Bengal di puncak Bukit Rawangun
masih berlangsung sengit Tiga Dara Bengal telah
mengganti selendang mautnya dengan seutas tali yang
pada bagian ujung terdapat sebilah besi runcing.
Gerakan Andan Sari, Ari Sambita, dan Ajeng
Menur tampak aneh. Tubuh ketiga gadis cantik itu
bergerak sempoyongan. Bahkan, sesekali seperti hendak jatuh ke tanah. Namun ketika tiga utas tali yang mereka pegang saling
bertautan di udara, Pendekar
Kipas Terbang jadi kebingungan. Bilah-bilah besi runcing yang terdapat pada
ujung tali meluncur cepat susul-menyusul. Walau jumlahnya cuma tiga, saat berluncuran sangat cepat seperti menjadi puluhan.
Ciut juga nyali Raka Maruta waktu bahu kanannya terserempet. Meski hanya bajunya yang koyak,
tapi pemuda berwajah lembut itu segera tersadar. Dia tak mungkin terus bergerak
menghindar tanpa sekali
pun membalas serangan.
'"Jurus Jala Iblis Mabuk' akan membuatmu
terlena dalam pelukanku, Tampan...," kata Ari Sambita. "Tidak. Aku yang akan memilikinya terlebih
dahulu!" sahut Andan Sari.
Mendengar ucapan dua saudaranya itu, hati
Ajeng Menur jadi panas. Walau bukan gadis baik-baik, tapi dia masih mempunyai
rasa malu untuk memperlihatkan nafsunya. Maka ketika melihat serangan 'Jala
Iblis Mabuk' mulai mengendor, Ajeng Menur segera
memperingatkan kedua saudaranya.
"Jangan bodoh! Lawan kita belum roboh. Kenapa kalian mau memperebutkannya"!"
"Aku tidak bodoh, Menur!" sahut Ari Sambita.
"Sebentar lagi si tampan itu akan rebah. He he he..."
"Dia milikku!" pekik Andan Sari marah.
"Perempuan Liar!" tukas Ajeng Menur. "Pusatkan tenaga kalian untuk menyudahi


Pengemis Binal 12 Petaka Kerajaan Air di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid Kipas Sakti itu. Setelah itu, terserah kalian dia akan kita apakan..."
Ari Sambita dan Andan Sari mendengus bersamaan. Kemudian, tubuh mereka melenting. Dua bilah besi runcing meluncur deras ke arah Raka Maruta!
Pendekar Kipas Terbang mengibaskan senjata
andalannya. Sinar keperakan yang meluncur dalam
bentuk melengkung hanya dapat menggetarkan tali
senjata Ari Sambita dan Andan Sari. Dua bilah besi
runcing tetap berkelebat untuk segera menyate tubuh
Raka Maruta! "Uts...!"
Terpaksa Pendekar Kipas Terbang menjatuhkan diri ke tanah, lalu melepas kipas baja putih di tangannya! Jerit ngeri
keluar dari mulut Ari Sambita dan Andan Sari. Kipas Raka Maruta berkelebatan
mengu-rung tubuh mereka. Kalau saja Ajeng Menur tidak
memberikan bantuan, dapat dipastikan kedua gadis
itu akan berdiri dalam keadaan telanjang karena sambaran kipas Raka Maruta.
Senjata yang terbuat dari lempengan baja putih itu dapat bergerak sedemikian rupa lewat pengendalian jarak jauh. Karena Pendekar Kipas Terbang tak mau membuat lawan terluka,
dia hanya mengoyak-ngoyak bajunya. Kini jerit ngeri bercampur marah keluar juga dari mulut Ajeng Menur. Baju yang dikenakan gadis itu mulai koyak-koyak pula. Itulah kehebatan jurus andalan Pendekar
Kipas Terbang yang bernama 'Kipas Terbang Membelah Angin'!
Sewaktu Tiga Dara Bengal tengah kerepotan,
tiba-tiba saja muncul sesosok bayangan yang langsung menyerang Raka Maruta.
Dhes...! "Argh...!"
Punggung kiri Pendekar Kipas Terbang terhantam pukulan dengan telak. Akibatnya, pemuda
berwajah lembut itu jatuh tertelungkup.
Tatkala dia bangkit, darah segar perlahanlahan merembes dari sudut bibirnya. Sambil mengusap noda darah dengan ujung lengan baju, Raka Maruta mengedarkan pandangan. Sedikit lega hatinya melihat kipas baja putihnya berada tak jauh darinya, terge-letak di bawah pohon
dalam keadaan menancap di tanah. Sewaktu Raka Maruta memungut senjata andalannya, Tiga Dara Bengal tertawa senang mendapati
kehadiran seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun. Kakek itu
mengenakan pakaian merah
mencolok. Ada selendang membelit pinggangnya. Tubuhnya tinggi ramping dan berkulit putih. Rambutnya
yang telah berwarna dua diikat sehelai sutera kuning.
Dia berdiri sambil tersenyum-senyum. Matanya menatap nakal ke arah Raka Maruta. Dan saat dia mengusap peluh yang bergulir di dahinya dengan sapu tangan, gerakannya tampak sangat genit dan seperti dibuat-buat. "Pergilah kalian dari sini...," kata kakek itu kemudian. Perkataannya ditujukan
pada Tiga Dara Bengal. Gadis-gadis yang sudah mengenal siapa si
kakek, tampak merengut. Terutama Ari Sambita dan
Andan Sari. Kakek yang baru datang ini tentu akan
merebut Raka Maruta yang sedang mereka incar. Si
kakek itu memang mempunyai kelainan. Nafsunya
akan timbul jika melihat pemuda tampan.
Kakek berpakaian merah mencolok itu adalah
sahabat Wiranti, ibu angkat Tiga Dara Bengal. Entah
ada urusan apa hingga dia datang jauh-jauh dari Kotapraja Saloka Medang ke Bukit Rawangun.
"Terima kasih, kau telah menolongku. Tapi
aku tak mau pergi. Aku masih mempunyai urusan
dengan pemuda tampan itu," kata Ari Sambita mencoba bersikap ramah.
Si kakek tertawa bergelak menyambuti ucapan Ari Sambita.
"Edan... edan.... Apakah kau ingin mati, heh"!
Kalau kau tidak mau pergi, aku akan membunuhmu!
Sungguh, aku akan membunuhmu!"
"Kakek Banci!" maki Andan Sari seraya maju beberapa langkah. "Kau tak bisa
merebut pemuda itu dari tanganku! Aku yang datang ke sini terlebih dahulu.
Akulah yang akan memilikinya!"
"Ha ha ha...!"
Si kakek kembali tertawa keras. Kedua tangannya tampak melambai genit dan matanya mengerling ke arah Raka Maruta yang sedang berdiri sambil
mengusap-usap punggungnya yang baru saja terkena
pukulan. "Hei, Sari...," ucap si kakek. Ditatapnya tajam wajah Andan Sari. "Dengan
dibantu kedua saudaramu saja kau tidak mampu merobohkan pemuda tampan
itu. Apalagi yang harus kau lakukan kalau tidak segera minggat dari tempat
ini"!"
"Dasar Lelaki Genit Mata Banci!" pekik Andan Sari menyebut gelar si kakek.
Terlihat tokoh tua itu mengibas-ngibaskan
kedua telapak tangannya. Dan, timbullah serangkaian
angin pukulan yang menderu-deru bagai tiupan angin
topan. Tiga Dara Bengal masih mencoba bertahan
dengan mengerahkan ilmu memperberat tubuh. Tapi,
deru angin yang timbul dari telapak tangan Lelaki Genit Mata Banci terlalu
kencang. Tubuh Tiga Dara Bengal terlontar jauh secara bersamaan!
"Ha ha ha...! Kalau tidak ingat ibu kalian adalah sahabat baikku, nyawa kalian akan melayang sekarang juga!"
Tiga Dara Bengal tak menimpali perkataan
Lelaki Genit Mata Banci. Mereka sibuk mengusap-usap
bagian tubuhnya yang sakit akibat berbenturan dengan permukaan tanah. Rupanya, Lelaki Genit Mata
Banci telah melancarkan 'Pukulan Topan Menyibak
Samudera' tadi.
Dan ketika ketiga gadis cantik itu sudah dapat menguasai keadaan, mereka mendengus. Lalu berkelebat cepat meninggalkan tempat tersebut. Terpaksalah keinginan mereka untuk
membalas dendam sementara waktu dikuburkan.
"Kau sangat hebat, Tampan...," puji Lelaki Genit Mata Banci. "Sebaiknya kau ikut
denganku. Aku akan memperhebat kemampuanmu."
"Aku tidak mengenalmu. Kenapa aku harus
ikut?" sahut Pendekar Kipas Terbang menyelidik.
Dongkol juga hati pemuda berwajah lembut
itu karena bokongan Lelaki Genit Mata Banci. Pukulan yang bersarang di punggung
kirinya memang tidak
mengakibatkan luka dalam yang berarti, tapi cukup
untuk membuat pandangannya berkunang-kunang.
"Ayolah, Tampan.... Dengan ikut bersamaku,
kau akan merasa bahagia setiap saat. Aku akan mencurahkan seluruh kasih sayangku padamu."
Melihat Lelaki Genit Mata Banci melangkah
mendekatinya, Raka Maruta bergerak mundur. Apalagi
ketika kedua tangan tokoh tua itu terkembang hendak
memeluk. Raka Maruta bergidik jijik. Buru-buru dia
meloncat jauh saat tangan Lelaki Genit Mata Banci
hampir menyentuh tubuhnya.
"Kenapa kau menjauh dariku, Tampan?"
tanya Lelaki Genit Mata Banci dengan suara mendesis.
Mata tokoh tua itu mengerjap-ngerjap. Bibirnya terlihat basah karena jilatan lidahnya sendiri.
"Sebaiknya kau pergi saja, Pak Tua...," ucap Pendekar Kipas Terbang. Suaranya
terdengar lembut
dan sopan. Namun tanpa diduga pemuda berwajah lembut itu, Lelaki Genit Mata Banci berkelebat sangat cepat. Serangkum angin
pukulan berhawa dingin menyentuh bahu kanannya!
Raka Maruta mengeluh pendek. Cairan darahnya tiba-tiba seperti membeku hingga tubuhnya jadi kaku. Tapi sebelum Lelaki Genit Mata Banci menjatuhkannya, dengan susah payah Raka Maruta meloncat jauh. Begitu telapak kakinya menyentuh tanah,
Pendekar Kipas Terbang langsung menyalurkan hawa
murni di bahu kanan. Sekejap kemudian, rasa kaku di
sekujur tubuhnya lenyap.
Lelaki Genit Mata Banci tertawa keras. Lalu
mulutnya mendesis-desis tak karuan. "Kau lebih hebat dari yang kukira, Tampan.
Itu semakin membuat kein-ginanku menggebu-gebu. Ha ha ha...!"
Belum terhenti tawa Lelaki Genit Mata Banci,
secepat kilat jemari tangannya bergerak melontarkan
totokan jarak jauh!
"Aku tak mempunyai urusan denganmu, Pak
Tua!" bentak Raka Maruta sambil berkelit. "Tapi bila terpaksa, aku juga bisa
bersikap keras kepadamu!"
Belum juga hilang gema ucapan pemuda berwajah lembut itu, selarik sinar putih bening meluncur cepat dan membentur
pangkal lengan kanannya.
"Uh...!"
Keluhan Pendekar Kipas Terbang membarengi
tubuhnya yang mendadak gontai. Tangan kanannya
tak dapat digerakkan lagi. Sebelum sesuatu yang tak diinginkannya terjadi, Raka
Maruta bergegas mempergunakan tangan kirinya untuk membebaskan totokan
jarak jauh Lelaki Genit Mata Banci. Tapi....
Wuuuttt...! Selarik sinar putih bening meluncur lurus.
Dan, bersarang tepat di pangkal lengan kiri Raka Maruta. Akibatnya, usaha untuk membebaskan totokan
di lengan kanannya tak menemui hasil. Malah tangan
kirinya ikut mengejang kaku.
"Ha ha ha...! Sekarang kau tahu kehebatanku, Tampan. Tidakkah kau berkeinginan untuk menjadi muridku" Sekaligus menjadi... kekasihku. Ha ha
ha...!" "Orang Edan! Aku laki-laki, kau pun laki-laki!
Jangan bicara ngawur!" Raka Maruta menggeram marah.
Pemuda itu lalu menghimpun hawa murni.
Ketika hawa panas terasa berputar-putar di sekitar
pusarnya, segera ditariknya napas panjang dan disalurkannya hawa murni ke tubuh bagian atas. Namun,
hawa panas yang merambat berbalik seperti membentur sesuatu. Pendekar Kipas Terbang terperangah. Tahulah dia, totokan Lelaki Genit Mata Banci bukan totokan sembarangan yang dapat dibebaskan hanya
dengan penyaluran hawa murni.
Saat Lelaki Genit Mata Banci melangkah dengan kedua tangan mengembang hendak memeluk, Raka Maruta meloncat ke belakang. Perasaan ngeri tergambar jelas di matanya. Dia tak bisa mengeluarkan
kipas baja putihnya dari balik baju. Lalu, dengan apa sekarang dia
mempertahankan diri"
Belum sempat Pendekar Kipas Terbang berpikir jernih, tubuh Lelaki Genit Mata Banci terlihat melayang dan bergerak cepat
menerkamnya. Pendekar
Kipas Terbang dan Lelaki Genit Mata Banci terjerembab ke tanah. *** Di dalam gua Anggraini Sulistya terbujur lemah di atas lempengan batu besar. Pakaian yang dikenakannya sangat indah, memperlihatkan kalau dia putri seorang pembesar. Namun, pakaian itu kini telah
penuh noda kecoklatan dari cairan darah yang mengering. Wajah putri Prabu Singgalang Manjunjung
Langit itu pucat pasi seperti mayat. Bibirnya membiru dengan kelopak mata
terpejam rapat. Denyut kehidupan nyaris hilang dari tubuh Anggraini Sulistya
yang tak bergerak sedikit pun.
Tatkala suhu badan Anggraini Sulistya mulai
meninggi, keringat mengalir dari dahinya. Lalu, perlahan-lahan dari sekujur
tubuhnya juga keluar butiran
keringat. Dan ketika rasa panas di tubuhnya mencapai
puncak, terdengar suara erangan gadis itu.
Kelopak mata Putri Cahaya Sakti membuka
perlahan. Bibirnya bergetar mengucapkan satu nama.
"Maruta...."
Panggilan itu tak ada yang menyahuti. Memang, hanya dia seorang yang berada di dalam gua.
Dengan susah payah gadis itu bangkit berdiri.
Lalu berjalan terseok-seok ke mulut gua. Namun sebelum keinginannya tercapai, tubuhnya telah jatuh terkulai. Cairan darahnya yang bercampur racun jahat
Jarum Mati Sekejap terasa bergolak. Panas menyelimuti sekujur tubuh Anggraini Sulistya. Lewat getaran yang hebat, racun Jarum
Mati Sekejap bangkit kembali untuk bekerja merusakkan jantung!
"Maruta...," panggil Anggraini Sulistya sambil merangkak mendekati mulut goa.
Pemandangan yang cukup memprihatinkan
segera terlihat. Berulang kali Anggraini Sulistya terja-tuh. Hingga, gadis itu
harus jatuh bangun untuk dapat mencapai mulut gua.
Berkat kuasa Tuhan-lah usaha Anggraini Sulistya kemudian berhasil. Ditatapnya sebentar sebatang pohon meranggas yang berada tak seberapa jauh
dari mulut gua. Di bawah pohon itulah selama beberapa pagi ini dia biasa duduk bersandar untuk menikmati pemandangan di bawah bukit. Dengan melihat aliran sungai jernih yang membelah
lambung bukit, hati
Anggraini Sulistya merasa sedikit terhibur. Pikirannya yang kacau karena
memikirkan keadaan dirinya agak
terlupakan. Namun bila bayangan Suropati atau Pengemis Binal berkelebat di depan matanya, pikiran yang tak mengenakkan hati itu
muncul kembali.
Maksud Anggraini Sulistya keluar gua adalah
untuk mencari Raka Maruta. Namun, terkejutlah hati
Anggraini Sulistya. Samar-samar matanya melihat Raka Maruta sedang bergelut dengan seorang kakek yang
mengenakan pakaian merah mencolok. Tak beberapa
jauh dari pohon meranggas yang ditatapnya
"Maruta...!" desis Anggraini Sulistya.
Pendekar Kipas Terbang yang sedang dicekam
perasaan ngeri dan jijik karena Lelaki Genit Mata Ban-ci sedang menciuminya,
tersentak kaget. Tak sengaja
matanya menatap tubuh Anggraini Sulistya yang terbaring di tanah dengan kepala terdongak memandang


Pengemis Binal 12 Petaka Kerajaan Air di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke arahnya. "Pergi kau, Keparat...!" umpat Pendekar Kipas Terbang kepada Lelaki Genit Mata
Banci. "Sebentar lagi, Tampan...!"
Lelaki Genit Mata Banci memeluk tubuh Raka
Maruta dengan erat. Dipagutnya bibir pemuda berwajah lembut itu. Kontan isi perut Raka Maruta terasa diaduk-aduk. Mau muntah dia
rasanya. Masih untung
bila tadi dia diciumi Ari Sambita yang berwajah cantik dan berkulit halus-mulus.
Tapi bila kini Lelaki Genit Mata Banci yang menciuminya, itu berarti malapetaka.
"Uh..,! Lepaskan aku!"
"Tenanglah, Tampan. Kita nikmati dulu permainan ini...."
Sambil berkata demikian, tangan Lelaki Genit
Mata Banci berusaha merenggut lepas pakaian Pendekar Kipas Terbang.
"Maruta...!" jerit Anggraini Sulistya dengan sepenuh tenaga. Pergelangan tangan
kanannya yang terangkat jatuh terkulai. Gadis itu jatuh pingsan ketika golakan darahnya tibatiba menguat, hingga menyen-takkan jantungnya.
Pendekar Kipas Terbang berusaha keras melepaskan diri dari cengkeraman nafsu Lelaki Genit Ma-ta Banci. Dengan
menyalurkan tenaga dalam ke kaki,
Raka Maruta menjejak tanah!
Wuuussss! Tubuh Lelaki Genit Mata Banci terbawa melayang. Tapi, tokoh tua itu malah tertawa senang. Kedua tangannya memeluk
Pendekar Kipas Terbang semakin erat. Hingga, saat tubuh mereka jatuh ke tanah Raka Maruta tetap tak dapat
melepaskan diri.
Kini, tubuh Lelaki Genit Mata Banci dan Pendekar Kipas Terbang bergulingan menuruni bukit.
"Ehm.... Kau sangat menggairahkan...," kata Lelaki Genit Mata Banci kemudian.
Perasaan ngeri dan jijik semakin terbayang di
mata Pendekar Kipas Terbang. Dia berusaha memeras
otak untuk dapat melepaskan diri dari kungkungan
nafsu aneh Lelaki Genit Mata Banci. Tapi, hanya jalan buntu yang dia dapatkan.
Otaknya tiba-tiba berubah
dungu. Kenyataan ini membuat Raka Maruta menjerit
ngeri. Ketika Lelaki Genit Mata Banci sedang menelanjangi Raka Maruta, sesosok bayangan berkelebat la-lu mencengkeram tengkuk
Lelaki Genit Mata Banci.
Melalui sentakan yang disertai tenaga dalam, tubuh
Lelaki Genit Mata Banci melayang seperti dilontarkan tangan raksasa!
Pendekar Kipas Terbang yang telah terbebas
tampak berbinar matanya. Di hadapannya telah berdiri seorang kakek berpakaian
kuning. Berambut putih
riap-riapan, sebagian menutupi wajahnya yang merah
seperti buah tomat matang.
"Tolong aku, Kek...," pinta Pendekar Kipas Terbang. Sosok yang baru nadir
memperhatikan sebentar keadaan Raka Maruta yang masih terbaring di tanah. Lalu, dengan mengurut kedua pangkal lengan
Raka Maruta, si kakek dapat melepaskan pengaruh totokan Lelaki Genit Mata Banci.
"Kau hadapi dulu Manusia Edan itu, Kek...,"
kata Raka Maruta. "Aku akan menolong Anggraini Sulistya!" Hanya dengan dua kali
loncatan pemuda berwajah lembut itu telah berada di sisi tubuh
Anggraini Sulistya. Dibopongnya tubuh gadis malang
itu me-masuki gua.
Sementara itu, dengan amarah yang meledakledak Lelaki Genit Mata Banci menerjang si kakek.
Tendangannya meluncur deras ke arah ulu hati!
Weeesss...! Walau telapak kaki Lelaki Genit Mata Banci
masih sedepa dari sasaran, si kakek telah merasakan
hawa pukulan dingin yang sanggup membekukan cairan darahnya. "Tahan seranganmu, Manusia Aneh!" pekik
kakek berbaju kuning seraya berkelit. Telapak tangannya dikibaskan untuk
mengusir hawa dingin yang menyerbu datang. "Kau layak dibunuh, Keparat!" timpal Lelaki Genit Mata Banci. Kakinya berkelebat
menyambung serangannya yang gagal.
Kakek berbaju kuning yang tak lain adalah
Kakek Wajah Merah bergegas mengemposkan tubuhnya. Lelaki Genit Mata Banci tercekat. Gendang telinganya bergetar kencang
akibat suara bersiutan yang
muncul di atas kepalanya.
Belum sempat Lelaki Genit Mata Banci menyadari keadaan sebatang seruling merah telah memukul punggungnya!
"Argh...!"
Lelaki Genit Mata Banci jatuh tersungkur.
Matanya mendelik lebar ketika dia bangkit berdiri.
Namun saat mulutnya hendak berkata-kata, napasnya
tersedak lalu batuk-batuk. Darah segar merembes dari
sudut bibir. "Selagi kau masih punya kesempatan untuk
bertobat, kenapa masih menuruti nafsu jahatmu yang
sangat aneh itu?" kata Kakek Wajah Merah.
"Huh! Apa pedulimu"!"
"Jelas aku peduli. Pemuda yang akan kau jadikan pelampiasan nafsu busukmu adalah muridku!"
"Ha ha ha...! Sejak kapan kau mempunyai
seorang murid, Keparat"! Raka Maruta adalah murid
Kipas Sakti! Apa kau merebutnya" Ah, jangan-jangan
kau pun telah jatuh hati padanya. Ha ha ha...!"
"Ucapanmu terlalu kotor! Pergilah!" wajah kakek berpakaian kuning menjadi
semakin membara
oleh dorongan rasa marah.
"Kaulah yang harus pergi!"
Mendadak, Lelaki Genit Mata Banci melontarkan benda bulat berwarna hitam ke arah Kakek Wajah Merah! Blaaarrr...! Ledakan dahsyat terdengar ketika benda bulat itu menyentuh tanah. Debu mengepul tebal dan bebatuan berhamburan, ke segala penjuru. Bukit pun
berguncang bagai dilanda gempa.
Pada waktu gelap masih menyelimuti pandangan, Lelaki Genit Mata Banci berkelebat melancarkan totokan maut! Namun walau indera penglihatan
Kakek Wajah Merah tak dapat melihat apa-apa, nalurinya masih bekerja dengan baik.
Tubuh Kakek Wajah Merah melenting cepat
keluar dari kurungan debu tebal. Tapi, Lelaki Genit Mata Banci terus mengejar.
Hingga.... "Aargh...!"
Pekik kesakitan bukan keluar dari mulut Wajah Merah, melainkan dari sosok penyerangnya. Saat
tokoh tua berkelakuan aneh itu meluruskan pergelangan tangannya, untuk menotok jalan darah di punggung lawan, tiba-tiba saja tubuh Kakek Wajah Merah
berbalik dan menyerampang siku Lelaki Genit Mata
Banci. Terlihat kini wajah Lelaki Genit Mata Banci
yang pucat pasi. Pergelangan tangan kanannya menggantung lemah seperti tiada bertulang lagi.
"Tunggu pembalasanku!" geram kakek itu penuh kemarahan. Tubuh Lelaki Genit Mata Banci lalu
berkelebat cepat meninggalkan lawannya.
*** Setelah membuat luka kecil di ujung jari telunjuk dengan mempergunakan kipas baja putihnya,
Pendekar Kipas Terbang menotok beberapa aliran darah di tubuh Anggraini Sulistya yang dibaringkan di atas lempengan batu besar.
Begitu Anggraini Sulistya menggeliat, Raka
Maruta segera memasukkan ujung jari telunjuknya
yang mengucurkan darah segar ke dalam mulut gadis
itu. Raka Maruta merasakan aliran darahnya berdesir lebih cepat ketika Anggraini Sulistya menghisap.
Namun, raut wajah Raka Maruta menggambarkan kegembiraan yang sangat. Sementara suhu badan
Anggraini Sulistya berangsur-angsur turun.
"Terima kasih, Maruta...," bisik Anggraini Sulistya setelah dirasakannya keadaan
tubuhnya mem- baik. "Untuk sementara racun Jarum Mati Sekejap
tak akan mempengaruhi kerja jantungmu lagi."
Anggraini Sulistya beringsut untuk duduk.
Saat itulah dia melihat seorang remaja tampan berpakaian penuh tambalan sedang duduk bersimpuh di sisi
lempengan batu. Sesaat mata Anggraini Sulistya terbeliak. Bibirnya tak mampu
mengucapkan sepatah kata
pun. "Aku Suropati, Aini...," kata remaja tampan itu sambil beringsut mendekati
Anggraini Sulistya.
"Suropati.... "
Dengan penuh luapan kegembiraan Anggraini
Sulistya menghambur memeluk Pengemis Binal. Menangislah dia di dada pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu.
"Syukurlah kau selamat, Aini...."
"Keadaanku tidak lebih baik dari mati dalam
hidup, Suro. Cairan darahku telah tercampur racun
ganas. Kalau aku mati, pergilah ke Istana Kerajaan Pasir Luhur. Katakan pada
Prabu Singgalang Manjujung
Langit bahwa kau adalah putranya...."
"Tidak, Aini! Kau tak boleh mati! Kita akan
datang ke istana berdua. Darahku pun telah tercampur racun ganas. Tapi, aku yakin akan dapat mengeluarkan racun itu. Maka, kau pun harus yakin, Aini!
Kau akan selamat!"
Anggraini Sulistya menangis semakin keras.
Air matanya menganak sungai. Mata Suropati menjadi
pedih dan dipenuhi kabut air mata.
"Aini...," desis Suropati. "Apakah kau memang kakakku" Apakah benar aku putra
Prabu Singgalang
Manjunjung Langit?"
"Benar, Suro. Kau memang adikku. Kau putra
Ayahanda Prabu Singgalang Manjunjung Langit."
"Sejak bayi aku dipelihara seorang penjual
obat. Bagaimana kau dapat mengatakan semua itu,
Aini?" suara Suropati terdengar begitu sangsi ketika mengucapkannya.
Anggraini Sulistya menahan isakan tangisnya. Setelah menatap wajah Pengemis Binal dalamdalam, ditariknya napas panjang. Lalu, segera diceri-takannya perihal bayi Prabu
Singgalang Manjunjung
Langit yang dibuang karena hasutan Patih Jaya Wongateleng. Pendekar Kipas Terbang turut mendengarkan
cerita itu dengan penuh perhatian.
"Putra Ayahanda Prabu yang dibuang mempunyai ciri khusus di tubuhnya. Inang pengasuhku
yang telah menitipkan bayi itu kepada seorang nelayan sahabatnya mengatakan
kalau sang jabang bayi mempunyai toh di punggung kirinya. Dan kau memiliki ciri
itu, Suro. Kau benar-benar adikku.,.," Anggraini Sulistya menutup ceritanya
dengan memeluk Suropati.
Kakek Wajah Merah yang telah berada di dalam gua memandangnya penuh haru. Tidak pernah
disangkanya Suropati yang berpakaian seperti pengemis dan bersifat konyol itu ternyata putra seorang raja.
"Hanya Putri Racun yang dapat menghilangkan racun dalam tubuh kalian," ujar Kakek Wajah Merah kepada Suropati dan
Anggraini Sulistya.
"Ke mana kita mesti menemuinya?" tanya Raka Maruta yang sangat mengkhawatirkan kedua sahabatnya itu. Terlebih terhadap Anggraini Sulistya. Sejak memberikan pertolongan
terhadap gadis itu di geladak Kapal Rajawali, timbul getar-getar aneh dalam diri
Ra-ka Maruta. Kemungkinan besar getaran-getaran itu
adalah rasa cinta. Karena rasa itulah, Raka Maruta
sangat mengkhawatirkan keadaan Anggraini Sulistya.
Sampai-sampai dia rela meminumkan darahnya kepada gadis itu agar mampu bertahan hidup. Darah Raka.
Maruta yang telah bercampur Air Sakti dapat memperlemah daya kerja racun Jarum Mati Sekejap.
"Sayang, aku tak tahu di mana Putri Racun
berada," desah Kakek Wajah Merah dengan wajah merah.
"Untuk mencari Putri Racun, kita dapat menanyakannya pada Putri Air," sahut Suropati.
"Bagaimana kau tahu, Suro?"
"Menurut penuturan Datuk Risanwari, Putri
Racun dan Putri Air adalah saudara seperguruan.
Hanya, keduanya mendapat ilmu yang berbeda dari
guru mereka. Tapi...."
Raut wajah Pengemis Binal yang semula cerah berubah kusam. Bibirnya terkatup tak mampu
meneruskan perkataannya.
"Tapi apa, Suro?" tanya Kakek Wajah Merah.
"Kau tentu sudah tahu, Kek. Usia Putri Racun
dan Putri Air telah lebih dari seratus tahun. Datuk Risanwari pun tak yakin
apakah kedua tokoh itu masih
hidup. Namun, dalam hati kecilku tersimpan harapan
Putri Racun mempunyai murid yang mewarisi ilmu kepandaiannya. Terhadap Putri Air pun demikian pula.
Mudah-mudahan muridnya bisa menunjukkan di mana tempat tinggal orang yang harus kita cari..."
"Kalau begitu, besok pagi-pagi kita berangkat!" putus Kakek Wajah Merah. Semangatnya tiba-tiba menggelegak.
"Putri Air tinggal di Kerajaan Air. Menurut
penuturan Datuk Risanwari, tidak tertutup kemungkinan Kerajaan Air berada di dasar Laut Selatan.... "
3 Atika tersentak dari tidurnya. Begitu terlihat
langit-langit kamar tersiram cahaya temaram, dia
langsung menarik selimut yang menutupi tubuh. Gadis
itu lalu duduk di tepi pembaringan. Ditatapnya api kecil lentera yang berada di
balik tabir biru.
Cukup lama Atika tercenung menatap api ke

Pengemis Binal 12 Petaka Kerajaan Air di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cil yang menyala tenang itu. Lewat tabir biru sinarnya
menerobos, membuat rona-rona kuning pada dinding
ruangan yang juga berwarna biru.
Ketika merasakan hawa dingin malam menerobos masuk ruangan, Atika membaringkan tubuhnya
kembali. Selimut pun dilebarkan untuk memberikan
kehangatan. Lalu dicobanya untuk memejamkan mata,
tapi tak mampu. Kegelisahan menghantui perasaannya. Berulang kali dia mendesah. Langit-langit ruangan yang ditatapnya seperti menampilkan bayangbayang aneh. "Tika...."
Atika terkejut. Terdengar sebuah suara memanggil namanya. Namun, dia segera tahu kalau
panggilan itu berasal dari Sinta, saudara kembarnya.
"Tika...."
Suara itu terdengar lagi. Kali ini dibarengi
dengan ketukan di daun pintu. Buru-buru Atika beranjak dari pembaringan. Saat daun pintu telah terkuak, dilihatnya wajah Sinta yang tampak tegang.
"Ada apa, Sinta?" tanya Atika.
Sinta tak memberikan jawaban. Dia langsung
menerobos masuk lalu duduk di tepi pembaringan
sambil mendekap wajahnya. Atika yang melihat sikap
aneh saudara kembarnya bergegas menghampiri. Terlebih dulu ditutupnya daun pintu.
"Apa yang terjadi denganmu, Sinta?" tanya
Atika kembali. "Aku takut sekali...," suara Sinta begitu geme-tar.
"Takut" Takut apa?"
"Malapetaka akan datang. Kerajaan Air hancur. Tempat ini akan digenangi banjir darah dan semua orang yang tinggal di sini akan mati!"
"Apa" Kau mengigau, Sinta?" kata Atika, tak mempercayai ucapan saudara
kembarnya. Keluhan pendek terdengar dari mulut Sinta.
Dia teringat mimpi yang baru saja membangunkannya
dari tidur. Selagi Sinta mendesah, Atika menepuk bahunya. "Kau baru saja bermimpi, Sinta..,."
Sinta mendongak. Ditatapnya wajah Atika dalam-dalam. "Mimpi itu sangat aneh, Tika. Seperti benar-benar terjadi. Aku dapat
merasakannya!"
"Tenangkan dulu perasaanmu, kemudian baru kau bercerita. Mungkin mimpimu itu seperti mimpiku barusan...."
"Kau juga bermimpi?"
"Ya."
"Juga tentang malapetaka yang menimpa Kerajaan Air?"
"Sebaiknya kau yang bercerita dulu, Sinta,"
elak Atika. "Mimpi itu sangat mengerikan...," Sinta menarik napas panjang. Hendak diusirnya
kegalauan yang masih menyelimuti hatinya.
"Kau mau minum dulu?" Atika menawarkan.
Sinta meraih lengan Atika yang hendak beranjak dari pembaringan. Setelah Atika duduk kembali, Sinta berkata, "Kalau kita mati, aku berharap terlebih dahulu lepas dari
kungkungan ini..."
"Sinta...."
Atika menatap wajah saudara kembarnya.
Mutiara bening meleleh dari sudut matanya. Sinta pun menatap haru, lalu
dipeluknya tubuh Atika. Sesaat
kemudian kedua gadis kembar itu menangis. Sedusedannya terdengar hingga beberapa lama.
"Tika, aku benar-benar tak mau mati di tempat ini," keluh Sinta kemudian.
"Aku pun demikian, Sinta...."
"Sssttt...!" Sinta melintangkan jari telunjuk
kanannya ke bibir. "Jangan-jangan Ratu Air mendengar pembicaraan kita...."
"Kau takut?"
"Siapa yang tak takut dipanggang hiduphidup di atas tungku raksasa?"
"Oh, Sinta...," gumam Atika dengan suara
memelas. "Betapa malangnya nasib kita."
"Kita akan selalu bersama-sama, Tika. Hanya
maut yang dapat memisahkan kita."
"Tapi, aku tidak mau mati secepat ini."
"Mudah-mudahan Tuhan melindungi kita...."
Atika dan Sinta berpelukan erat. Sebenarnya
wajah kedua gadis kembar itu sangat cantik. Namun
karena penderitaan yang mereka alami selama ini, mata indah mereka tampak cekung. Tulang pipi dan rahang terlihat jelas. Tubuh keduanya pun kurus kering.
Hanya satu keindahan yang masih tergambar pada diri
Atika dan Sinta, yaitu rambut mereka yang panjang
dan berwarna hitam pekat terjuntai hingga mencapai
pinggang. Sewaktu kedua gadis kembar itu masih berpelukan, terdengar lonceng bergemerincing nyaring.
Suaranya menggema berkepanjangan.
"Sudah saatnya kita beranjak dari pembaringan," kata Atika sambil melepas pelukan.
"Sampai kapan penderitaan ini akan berakhir?" desah Sinta.
"Berdoalah...."
"Apakah sampai ajal menjemput?"
"Jangan berpikir sampai ke situ. Yang penting, kita jalani tugas kita hari ini," Atika berusaha me-nenangkan saudara
kembarnya. Meskipun jauh di lubuk hatinya sendiri dia pun merasa begitu risau.
*** Di sebuah dataran yang penuh tonjolan batu
karang tampak ratusan wanita digiring oleh teriakanteriakan keras yang bernada memerintah. Para wanita
itu berjalan lesu dengan kepala tertunduk. Tubuh mereka kurus kering. Pakaian yang mereka kenakan pun
terlihat sangat memprihatinkan. Compang-camping
dan hanya sekadar menutupi bagian-bagian yang terpenting di tubuhnya.
Ditimpa pendaran cahaya mentari fajar kuning keemasan, para wanita pekerja paksa itu berjalan menuju sebuah kubangan yang
sangat dalam. Ketika
terdengar suara memerintah, satu persatu mereka
memasuki kubangan. Atika dan Sinta berada di antara
mereka. Lima orang wanita setengah baya berdiri di
atas julangan batu karang. Mereka mengawasi para
pekerja paksa yang sedang memasuki tempat kerjanya.
Lima wanita setengah baya itu mengenakan pakaian
serba biru. Dandanannya sangat menor. Wajah berbedak tebal dengan bibir merah basah karena olesan gin-cu. Rambut mereka digelung
ke atas, berhias tusuk
konde emas bermata berlian. Di tangan kanan masingmasing sebuah cambuk panjang sesekali meledakledak menyuruh para pekerja untuk segera memasuki
kubangan. Ketika terlihat seorang pekerja duduk di tepi
kubangan dengan badan menggigil, salah seorang dari
lima wanita itu meloncat. Gerakannya sangat ringan.
Sekejap saja dia telah berada di dekat wanita yang sedang duduk menggigil.
"Kau kenapa"!" tanya wanita setengah baya
dengan bentakan keras.
"Saya sakit...," jawab si pekerja ketakutan.
"Sakit apa?"
"Tidak tahu. Tapi, badan saya sangat panas
dan tidak bertenaga..."
"Ehm... Tidak bertenaga. Benar demikian?"
"Benar," pekerja itu menganggukkan kepalanya kuat-kuat.
Mendadak, cambuk di tangan wanita setengah baya melecut dan menerpa punggung wanita pekerja. Dibarengi suara jerit kesakitan tubuh wanita
naas itu terlontar tinggi. Lalu, masuk ke mulut tungku raksasa yang berada
sekitar tiga puluh tombak dari
kubangan. Walau tak ada lidah api terlihat di dalam
tungku raksasa itu, tapi jangan dikira tak dapat merenggut nyawa. Di dasar tungku terdapat lubang sebesar cawan. Dari lubang itulah menyembur uap panas
yang berasal dari tenaga panas bumi. Hingga, begitu
tubuh si wanita naas masuk ke dalam tungku, wujudnya langsung berubah jadi arang. Kemudian sirna
menjadi abu yang diterbangkan angin!
"Kejam...!" desis Atika dan Sinta bersamaan.
Kedua gadis kembar itu berdiri di sisi kubangan.
Wanita setengah baya berpakaian biru menoleh. "Apa yang kalian katakan"!" sentaknya marah.
"Perbuatanmu sangat kejam...," kata Atika
perlahan. Terdengar dengusan geram pengawas para
pekerja. Sekali dia mengerakkan tangan kanan, dua
ledakan terdengar keras. Cambuknya meluncur dan
menimpa pinggang Atika!
"Argh...!"
Hanya keluhan pendek yang keluar dari mulut Atika. Tubuh gadis itu masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
"Bangsat! Punya kepandaian juga kau rupanya!" wanita setengah baya menggeram.
Empat ledakan terdengar berturut-turut.
Cambuk di tangan pengawas para pekerja itu meluncur lebih ganas. Tapi Sinta telah memeluk tubuh saudara kembarnya. Akibatnya, Sinta yang jadi korban.
Gadis itu menahan jeritannya, walau dia merasa tubuhnya bagai disiram air mendidih yang panas luar biasa. Dan ketika si pengawas
berulang kali mencambuki Sinta dan Atika, tubuh kedua gadis kembar itu tetap berdiri tegak di
tempatnya. Tampaknya mereka memiliki tenaga dalam yang cukup bisa diandalkan.
Itulah yang membuat tubuh mereka tidak terlontar masuk ke
mulut tungku raksasa. "Hentikan, Kica!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang melengking tinggi. Di tempat itu telah hadir seorang nenek tua renta. Menilik
keadaan tubuhnya, usia seratus lima puluh tahun sangat tepat untuknya. Nenek itu
juga berpakaian serba biru.
Wajahnya terlihat sangat mengerikan. Kedua
matanya cekung sekali, sehingga bola matanya hampir-hampir tak terlihat. Pipinya penuh gurat-gurat keriput. Sementara sudut
bibir sebelah kiri tertarik ke bawah. Di belakang nenek bertampang mengerikan
itu, empat orang pengawas wanita berdiri angkuh dengan cambuk di tangan.
Wanita yang dipanggil Kica buru-buru membungkukkan badan ke arah nenek berwajah seram.
"Dua gadis ini hendak membangkang, Ratu...," lapor-nya penuh hormat.
"Membangkang" Ehm.... Aku tidak melihat
mereka membangkang, Kica. Biarkan mereka masuk
ke tempat kerjanya. Tenaga mereka kuat. Itu yang kita butuhkan."
Kica membungkukkan badannya lagi. Lalu ditatapnya wajah Atika dan Sinta. Apa yang dikatakan
nenek berwajah seram memang benar. Atika dan Sinta
bukan hendak membangkang. Mereka hanya mencela
tindakan Kica yang keterlaluan.
"Cepat masuk ke dalam kubangan!" bentak
Kica dengan galaknya.
Ribuan tombak jauhnya dari tempat Atika
dan Sinta berada, tepatnya di Bukit Rawangun, Lelaki Genit Mata Banci tampak
keluar dari tenda. Dengan
air sungai yang jernih dibasuh wajahnya. Pergelangan tangan kanan kakek itu
terasa ngilu, walau hampir
semalaman dia berusaha menyembuhkannya.
Beberapa orang pencari batu mulia menyapa
kakek itu, namun Lelaki Genit Mata Banci tak mempedulikannya. Menoleh pun tidak. Giginya bertaut erat
memperdengarkan bunyi gemeletukkan. Wajahnya
yang pucat berubah tegang.
"Lelaki muka tomat itu telah pergi. Aku tak
mungkin menunggu di sini...," kata Lelaki Genit Mata Banci dalam hati. "Pagipagi sekali aku melihatnya menuruni bukit. Tampaknya dia akan pergi ke selatan.
Aku harus mengikutinya sekarang. Sakit dalam hati ini harus terbalaskan...."
Baru saja Lelaki Genit Mata Banci mengemposkan tubuh, matanya menangkap kelebatan tiga sosok bayangan ungu.
"Tiga Dara Bengal...," gumam tokoh tua itu.
"Kenapa mereka menaiki bukit" Apa mereka belum ta-hu semua penghuni gua telah
pergi?" Mengikuti perasaan hatinya, Lelaki Genit Mata Banci mengejar bayangan Tiga Dara Bengal. Sesampai di mulut gua yang terdapat di puncak bukit, Tiga Dara Bengal menghentikan
langkah. Lelaki Genit Mata
Banci langsung menegur.
"Kenapa kalian kembali?"
Tiga Dara Bengal terlihat terkejut mendapati
kehadiran Lelaki Genit Mata Banci. Jangan-jangan tokoh tua itu akan mengusir mereka lagi..., begitu pikir Tiga Dara Bengal. Tapi,
segera mereka melihat senyum bersahabat dari Lelaki Genit Mata Banci.
"Urusanku belum selesai, Pak Tua," kata
Ajeng Menur mewakili kedua saudaranya.
"Jangan panggil aku 'Pak Tua'!" bentak Lelaki Genit Mata Banci dengan wajah
cemberut. "Lalu, dengan apa?" Ajeng Menur mengerutkan keningnya.
"Terserah! Pokoknya jangan 'Pak Tua'!"
Ajeng Menur berpikir sebentar, "Aku punya
urusan besar. Tak punya waktu untuk berpikir macam-macam!" katanya kemudian dengan tak sabar.
"Ha ha ha...!" Lelaki Genit Mata Banci tertawa terbahak-bahak, "Kau lucu, Menur!
Kau memerlukan bantuanku. Kenapa bersikap keras" Mestinya kau
menghormat dan memanggilku sebagai 'Tuan Besar'!"
"Huh! Siapa sudi"!" rungut gadis cantik itu.
"Yah! Terserah kau saja...."
Lelaki Genit Mata Banci melangkah perlahan,
lalu bersandar pada sebatang pohon meranggas. Sikapnya tampak acuh tak acuh terhadap Tiga Dara
Bengal. Namun ketika dia melihat ketiga gadis itu memasuki gua, tawanya langsung
meledak.

Pengemis Binal 12 Petaka Kerajaan Air di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hanya tahi dan bekas tempat kencing yang
akan kalian temui, Setan-Setan Bengal!" ejek Lelaki Genit Mata Banci.
Tiga Dara Bengal keluar dari gua dengan wajah kusam. Orang yang mereka cari sudah tak ada lagi.
"Sudah kubilang, kalian membutuhkan bantuanku! Kenapa masih keras kepala"!"
"Di mana Raka Maruta, Pak Tua?" tanya
Ajeng Menur. "Kau masih saja memanggilku dengan sebutan itu!" "Yah, di mana Raka Maruta, Tuan Besar?"
Ajeng Menur mengucapkan panggilan 'Tuan Besar'
dengan nada yang begitu mengejek.
Lelaki Genit Mata Banci malah tertawa senang. "Bagus! Untuk selanjutnya kau bisa memanggilku dengan sebutan itu....."
"Selama kau tidak membuat kesulitan."
"Tentu..., tentu..,! Mulai saat ini aku akan
membantu kalian. Dan, sebagai timbal baliknya kalian pun harus bersedia
membantuku. Tapi, dalam bantu-membantu ini akulah yang jadi pemimpin!"
"Huh! Enak saja!" tukas Tiga Dara Bengal
hampir bersamaan.
"Terserah kalian, mau apa tidak. Yang jelas
aku tahu di mana Raka Maruta berada. Juga musuh
besar Partai Iblis Ungu, yakni Suropati!"
"Benar itu?" mata Ari Sambita berbinar.
"Panggil aku 'Tuan Besar'!"
"Ya, Pak Besar! Kau...."
"Goblok! Jangan salah ucap!" Lelaki Genit
Mata Banci memelototkan matanya lebar-lebar.
"Ya..., ya...! Tuan Besar! Apa kau benar-benar
tahu di mana Raka Maruta dan Suropati berada?"
"Ikut aku...."
Lelaki Genit Mata Banci membalikkan badan.
Sebetulnya dia hendak menuruni bukit. Tapi, niatnya
diurungkan ketika melihat Tiga Dara Bengal tetap berdiri di tempatnya.
"Ikuti aku, Goblok!" bentak kakek itu.
"Tak sudi!" tukas Andan Sari.
"Kenapa?"
"Kami tak percaya pada omongan konyolmu!"
"Aku benar-benar tahu di mana Raka Maruta
dan Suropati berada. Tadi, pagi-pagi sekali mereka
pergi bersama si Wajah Merah dan seorang gadis cantik." "Ke mana?" tanya Andan Sari. Karena dilihatnya Lelaki Genit Mata Banci tampak
bersungguh- sungguh. "Sudahlah.... Ikuti langkahku!"
Tubuh Lelaki Genit Mata Banci berkelebat
menuruni bukit. Tiga Dara Bengal saling berpandangan. Merasa kata-kata Lelaki Genit Mata Banci dapat
dipercaya, akhirnya ketiga gadis berpakaian ungu itu sepakat mengikuti bayangan
Lelaki Genit Mata Banci.
4 Bangunan papan yang telah hancur itu didirikan kembali. Sebuah bangunan persegi empat yang
sangat sederhana dan berkesan tergesa-gesa ketika dibuat ini terletak di tengahtengah Kapal Rajawali.
Layar yang terbuat dari kain merah dan kuning terbentang lebar di tiang-tiang layar. Tampak
menggembung oleh tiupan angin. Dilihat dari kejauhan Kapal Rajawali
memperlihatkan keindahannya. Tampak gagah mengarungi Laut Selatan yang luas.
Raka Maruta dan Kakek Wajah Merah berdiri
di anjungan. Mereka berpegangan pada pagar pembatas sisi kapal. Sikap Raka Maruta kepada Kakek Wajah Merah tampak hormat sekali.
Tak heran, karena Raka
Maruta telah diangkat sebagai murid oleh kakek itu.
Dan, pemuda berwajah lembut yang bergelar Pendekar
Kipas Terbang ini telah mewarisi beberapa ilmu ketabiban dari guru barunya.
"Karena kita tak tahu di mana Kerajaan Air
berada, haruskah kita mengarungi seluruh penjuru
Laut Selatan ini, Kek...?" kata Pendekar Kipas Terbang sambil menatap deburdebur ombak yang menghantam lambung kapal.
"Apa yang kita lakukan memang untunguntungan. Tapi, aku yakin Kerajaan Air akan dapat di-temukan. Mungkin kerajaan
itu berada di sebuah pulau yang terletak di Laut Selatan ini. Aku tidak sepen-dapat dengan Datuk
Risanwari yang mengatakan kalau Kerajaan Air berada di dasar laut. Mana mungkin
seorang manusia, dapat hidup di dalam air?"
"Kalau begitu, kita mesti menyinggahi setiap
pulau yang kita jumpai?" ujar Raka Maruta seraya menatap wajah si Kakek Wajah
Merah. "Ya. Kau keberatan?"
"Tidak!" sahut Raka Maruta cepat. "Demi Suropati dan Anggraini Sulistya, apa pun
akan kulaku- kan." "Kau sudah cukup banyak berkorban untuk
mereka, Maruta."
Mata Pendekar Kipas Terbang menerawang
jauh menatap garis kaki langit. Siraman cahaya mentari tak terasa panas. Hembusan angin melemahkan
sengatannya. "Sebenarnya aku masih mempunyai seorang
ayah. Tapi, beliau meninggalkan keluarga ketika usia-ku belum genap lima belas
tahun. Karena kepergian
ayah itulah, ibuku sakit-sakitan, hingga kemudian
meninggal dunia...," tanpa diminta Raka Maruta menceritakan tentang dirinya.
"Jadilah aku hidup sebatang kara. Untuk menghilangkan kesepian aku mempelajari
'Kitab Penyuci Kalbu' pening-galan ayahku. Kata beliau, kitab itu merupakan warisan leluhur. Aku harus menjaganya dengan baik,
sampai pada saatnya nanti
aku harus mewariskannya lagi kepada keturunanku...." Kakek Wajah Merah mendengarkan cerita
Pendekar Kipas Terbang dengan penuh perhatian. Tabib pandai itu memang telah menaruh perasaan suka
sejak pertemuannya dengan Raka Maruta di Bukit Rawangun. "Setelah berhasil menguasai ilmu 'Kalbu Su-ci', kemudian aku mengembara.
Karena tinggal di rumah seorang diri membuatku tidak kerasan. Aku lalu
berjumpa dengan Kipas Sakti. Dia sangat baik terhadapku. Bahkan bersedia mengangkatku sebagai murid.
Setelah aku berpisah dengan tokoh hebat itu, aku merasa sebatang kara lagi. Saat berjumpa dengan Suropati-lah aku benar-benar dapat merasakan kebahagiaan. Banyak pelajaran ku peroleh darinya. Suropati juga sebatang kara. Sejak
kecil dia hidup sebagai ge-landangan dan berteman dengan para pengemis. Tapi,
yang membedakan aku dengan Suropati adalah perihal
sikap dan pandangannya tentang hidup. Dalam hidup
tanpa sanak-saudara aku bersedih pilu dan merasa
sebagai orang yang sangat malang. Namun tidak bagi
Suropati. Di masih dapat tersenyum ketika perutnya
lapar melilit-lilit. Suropati masih dapat tertawa senang ketika cobaan datang
bertubi-tubi. Dia dapat menik-mati kebahagiaan dalam penderitaannya. Semua itu
memberikan pelajaran kepadaku. Sampai akhirnya
timbul pengertian dalam diriku, bahwa apa pun yang
ditimpakan Tuhan kepada manusia mesti disyukuri."
"Lalu, kenapa kau bersedia mengorbankan diri demi Suropati" Apakah karena alasan yang kau kemukakan tadi?" tanya Wajah Merah, ingin membuka isi hati Raka Maruta lebih
dalam. "Itu hanya sebagian alasan. Selain Suropati
telah kuanggap sebagai adik kandungku sendiri, aku
juga punya kewajiban untuk menolong setiap orang
yang membutuhkannya...."
"Tentang Anggraini Sulistya, apakah kau juga
bersedia menolongnya karena gadis itu sedang membutuhkan pertolongan?"
"Ya."
"Hanya karena itu?" desak Kakek Wajah Merah seperti tak percaya.
Raut wajah Raka Maruta tiba-tiba berubah.
Dia tersipu dan tak berani bertatap mata dengan kakek Wajah Merah. Raka Maruta hanya menundukkan
kepala untuk beberapa saat.
Kakek Wajah Merah tersenyum tipis. Melihat
sikap Raka Maruta, tahulah tabib pandai itu kalau Ra-ka Maruta menyimpan
perasaan suka terhadap
Anggraini Sulistya. Bukan sekadar perasaan suka sebagai seorang sahabat, tapi lebih dari itu.
Suropati yang berdiri di buritan kapal menatap langit biru berhiaskan gumpalan awan perak. Dalam hatinya tersimpan rasa syukur yang sangat. Kakek Wajah Merah dan Raka Maruta
telah bersedia mem-bantunya menghilangkan pengaruh racun Jarum Mati
Sekejap yang telah bercampur dengan cairan darahnya. Ketika Suropati membalikkan badan menatap
bangunan papan di tengah kapal, di mana Anggraini
Sulistya berada, Suropati teringat kata-kata gadis itu saat di puncak Bukit
Rawangun. "Anggraini Sulistya mengatakan kalau inang
pengasuhnya telah menitipkan aku kepada seorang nelayan sahabatnya. Tapi, yang ku tahu sejak kecil aku dipelihara seorang kakek
penjual obat..," kata Suropati dalam hati. "Mungkinkah dia telah membawaku dari
Kerajaan Pasir Luhur ke Kadipaten Bumiraksa di Kerajaan Anggarapura, lalu
meninggalkan mata pencariannya dan berganti menjadi seorang penjual obat" Tapi, kenapa dia tak pernah
bercerita" Mungkinkan dia sengaja menyembunyikan jari diriku sebenarnya. Ah, kasihan Pak Tua penjual obat itu.... Sebelum aku dapat membalas jasa-jasanya, dia
keburu meninggal. Entah
dia orangtua kandungku atau bukan, aku akan selalu
mengingat budi baiknya sampai mati..."
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya.
Padahal dia tak merasa gatal. Kebiasaan buruk itu ternyata tak pernah dapat
ditinggalkannya.
Kapal Rajawali terus bergerak mengarungi
Laut Selatan. Percikan air laut naik ke geladak. Tiba-tiba, angin yang semula
bertiup ke arah tenggara berganti haluan dengan cepat. Layar-layar kapal memperdengarkan suara meledak-ledak karena dihantam
hembusan angin kencang dari dua arah. Akibatnya laju kapal terhambat. Sebentar kemudian, kapal besar
itu, terombang-ambing dimainkan lidah-lidah ombak
yang mengganas!
"Lindungi Anggraini Sulistya, Suro!" teriak Kakek Wajah Merah sambil berlari ke
tiang layar. Sementara Pengemis Binal memasuki bangunan papan di tengah kapal, Kakek Wajah Merah dan
Raka Maruta berusaha keras menguasai keadaan dengan menurunkan layar. Namun, usaha Kakek Wajah
Merah dan Raka Maruta tak banyak membantu. Lambung kapal terpukul dari sisi kanan dan kiri oleh lidah-lidah ombak.
Seiring hembusan angin kencang menderuderu, langit yang semula cerah berubah gelap. Gumpalan awan bergerak cepat menutupi matahari. Kilatan
petir pun terlihat susul-menyusul!
"Ya, Tuhan...," desis Pendekar Kipas Terbang.
Pakaian pemuda berwajah lembut itu basah kuyup
oleh terpaan air laut yang menyerbu naik ke geladak.
Wajahnya pucat pasi membayangkan malapetaka yang
akan segera menimpa. Tubuh Raka Maruta pun terlontar ke sana kemari terbawa gerakan kapal yang dimainkan lidah-lidah ombak ganas!
Keadaan Kakek Wajah Merah tak jauh berbeda. Tapi, masih untung dia dapat berpegangan pada
tiang layar. Tubuhnya tidak terlontar walau semburan air kerap memukul. Namun,
keadaan yang mengun-tungkan tabib pandai itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba tiang layar patah pada pangkalnya. Akibatnya, tubuh Kakek Wajah Merah
terhempas bersama lidah
ombak yang naik ke geladak.
"Bertahanlah agar tidak terlontar ke laut,
Kek...!" teriak Pendekar Kipas Terbang, menunjukkan kekhawatirannya. Padahal
dirinya sendiri berada dalam kesulitan.
Sementara itu, di dalam bangunan papan,
Bloon Cari Jodoh 25 Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan Pendekar Pengejar Nyawa 18

Cari Blog Ini