The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman Bagian 4
"Aku selalu tahu ini akan mengejarku," bisik mahfuz. "Semua
ini tak terkecuali. memang melegakan. hal ini sudah ada bersamaku terlalu lama. Lebih baik mengungkapnya di tempat terbuka.
hadapi ini." Suara klakson yang keras terdengar melengking di sisi kanan
mereka, di sekitar tikungan di sungai. Sebuah kapal Nile raksasa
sedang berlayar, bermuatan batu pasir. haluannya memperlihatkan galur mendalam melalui permukaan datar air, seperti pahat
yang dipalukan pada kayu halus dan gelap. Kapal itu sudah mencapai dan melewati mereka sebelum mahfuz melanjutkan bicaranya lagi.
"Sejak awal aku tahu ini akan menjadi kasus yang sulit," keluhnya, suaranya tidak lebih keras dari bisikan. "Selalu begitu manakala politik sudah ikut campur. Schlegel dibunuh kurang dari sebulan setelah pembunuhan besar-besaran di Ismailiya. Kau ingat"
Sembilan wisatawan Israel dihabisi di dalam bus. Dan kini orang
Israel lagi yang tewas. Terlihat tidak baik. Khususnya di depan
orang Amerika. mereka hampir saja membatalkan beberapa program pinjaman yang besar. Jutaan dolar. Kau tahu apa yang mereka sukai tentang Israel. Persoalan Schlegel dapat mengangkat
masalah ini. Percayalah padaku, ada begitu banyak orang khawatir
di Kairo sana. Al-hakim mengambil alih secara personal. Ada
tekanan yang sangat kuat untuk segera mendapatkan terdakwa."
Ia diam sejenak, mencoba mengatur kembali napasnya. Khalifa
mengetuk-ngetukkan jari-jari tangan pada lututnya, mencoba mendapatkan pegangan tentang apa yang baru didengarnya. Dari situ
ia telah berasumsi bahwa ia sekadar berurusan dengan keadilan
yang gugur secara kebetulan. Kini tampaknya ia tengah terlibat
dalam sesuatu yang jauh lebih kompleks dan membahayakan.
~ 166 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"Tapi, kalau Anda tahu Jansenlah pelakunya, mengapa alhakim mengatakan pada Anda agar mendakwa seseorang yang
lain?" mAhfUz meNGGeRAKKAN tangannya tak berdaya.
"entahlah. entah dulu, entah juga sekarang. Sudah kuceritakan
pada al-hakim tentang Jansen, tetapi ia mengatakan sudah sampai
pada batas. Dikatakan bahwa menarik Jansen ke dalamnya akan
membuat keadaan semakin buruk, akan mengenyahkan orangorang Yahudi lebih banyak lagi. Itulah kata-katanya. Bila kita
menyelidiki Jansen maka berarti akan semakin banyak orang Israel
dibidik. Ia memintaku mencari seseorang yang lain untuk menerima hukuman. Jadi kami menunjuk Jamal saja."
Suaranya semakin memburuk, sembari mengangkat masker
oksigennya, menghirup beberapa kali, dadanya yang ringkih
menyentak naik turun seperti sekumpulan puputan bocor, tangannya gemetar tak terkontrol. Dengan sedikit rasa jijik, Khalifa
memerhatikan bahwa kantong yang ada di bawah djellabanya perlahan menggelembung karena ada air seni yang mengalir ke dalamnya melalui saluran di perutnya. Terdengar lagi suara klakson ketika Kapal Nile menghilang di arah utara di tikungan lain sungai itu.
"Kasus itu mengangkat hidupku," kata mahfuz, sambil menurunkan kembali maskernya. "Aku dipromosi, namaku muncul di
media, ada telegram dari mubarak. Semua itu omong kosong belaka dibandingkan pada yang dituduh bersalah. Bukan tentang
Jamal. Laki-laki itu hanyalah serpihan kotoran. Layak menerima
apa pun yang ia dapatkan. Tetapi istri dan anak-anaknya...."
Ia terenyak, mengangkat tangannya yang seperti tongkat dan
mengusap matanya. Pertemuan yang aneh dengan istri Jamal
menyelinap ke dalam pikirannya. Uang itu datang lewat pos.
Tanpa catatan, tanpa nama, tanpa apa-apa. hanya tiga ribu pound
mesir, dalam pecahan seratusan.
"Andalah kalau begitu yang mengirimi mereka uang itu terusmenerus," katanya perlahan.
~ 167 ~ PAUL SUSSMAN mahfuz mengangkat wajahnya, terkejut, kemudian menjatuhkan kepalanya lagi.
"Setidaknya itulah yang bisa kulakukan. membantu mereka
bertahan hidup. menyekolahkan anak-anaknya. Tak seberapa."
KhALIfA meNGGeLeNGKAN KePALANYA, berdiri dan berjalan ke tepi
pelataran kayu, memandangi cipratan air Sungai Nil yang menjorok ke tempat dangkal di bawah.
"Apa hasani tahu?"
mahfuz menggoyangkan kepalanya. "Tidak pada saat itu. Aku
beri tahu ia setelahnya, setelah Jamal menggantung diri. Ia hanya
ingin melindungi aku. Jangan tuding dia terlalu kasar."
"Dan arsip kasus ini" Sudah tidak ada di ruang penyimpanan
arsip." "hasani membakarnya. Kami pikir itu yang terbaik. Lupakan
seluruhnya. Itu milik masa lalu." Ia tersenyum pahit. "Tapi kemudian itulah masalahnya dengan masa lalu, "kan" Ia tidak pernah
benar-benar menjadi masa lalu. Ia selalu ada di sana. Bergantung.
Seperti lintah. mengisap darah. Apa pun yang kau lakukan, apa
pun yang kau katakan, kau tidak akan pernah benar-benar keluar
darinya. Aku sudah mencoba. Percayalah padaku. Seperti lintah
keparat. menguras habis hidupmu."
Ia bergerak lemah untuk mengambil tehnya, memberi tanda
bahwa rongga dadanya kering dan memerlukan cairan. Khalifa
melangkah mendekat dan memberikan cangkir itu padanya. Ia
tidak dapat memegangnya dengan stabil, dan akhirnya Khalifalah
yang memegang cangkir itu untuknya. mahfuz mendoyongkan
tubuhnya ke depan dan menyeruput tehnya. Begitu selesai, ia kembali bersandar, terkulai tak berdaya seperti boneka kain.
"Aku adalah polisi yang baik," ia berbisik. "Apa pun yang
mungkin kau pikirkan. empat puluh tahun aku melayani. Tak terhitung jumlah kasus yang sudah kuselesaikan. Perampokan Aswan
express. Pembunuhan Gezira. Girgis Wahdi. Kau ingat dia" Girgis
al-Gazzar, tukang jagal dari Butneya. Begitu banyak kasus. Tapi
~ 168 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
hanya satu ini yang terus melekat bersamaku. Aku membiarkan
pembunuhnya berlalu bersamanya."
Ia cepat kelelahan sekarang, napasnya pendek-pendek, embusannya tajam, anggota tubuhnya gemetar. Ia kembali meraih
masker oksigen dan menghela beberapa kali tarikan napas,
mengernyit seolah kesakitan.
"BUKALAh KemBALI KASUSNYA," ia bergumam, sembari menggeser
maskernya ke samping. "Itu "kan yang kau inginkan" Aku akan
bicara pada hasani dan siapa pun yang perlu kuajak bicara. Tidak
akan ada efek praktis. Al-hakim sudah mati. Jansen sudah mati.
Jamal sudah mati. Tetapi paling tidak kau akan dapat menemukan
kebenaran. Ini hanya masalah waktu."
Suara langkah kaki terdengar saat pengurus rumah semakin
mendekati lapangan rumput, sambil membawa nampan pembedahan kecil.
"Anda?" tanya Khalifa.
mahfuz terbatuk. "Ada apa denganku" Aku akan mati dalam beberapa minggu.
Paling tidak aku akan mengetahui bahwa akhirnya aku melakukan
hal yang tepat di akhir hariku."
Ia mengangkat lagi masker oksigennya, menghirup beberapa
kali, kemudian dengan kekuatan yang masih tersisa, mengulurkan
tangan dan mencengkeram lengan Khalifa.
"Cari kebenaran itu," bisiknya. "Untukku, untuk istri Jamal,
untuk Allah bila kau mau. Tetapi berhati-hatilah. Ia orang yang
berbahaya. Si Jansen itu. memiliki sejumlah teman di kelas atas.
Rahasia yang berbahaya. Aku coba untuk melindungimu. Tetapi,
hati-hatilah." mata yang meredup menatap lelah pada Khalifa, kemudian
menutup. Detektif itu memandanginya untuk beberapa saat,
kemudian melepaskan tangannya. Ia berjalan melewati pengurus
rumah itu dan melintasi taman itu lagi. Setengah jam yang lalu ia
telah berdoa agar mahfuz mengizinkan kasus ini dibuka kembali.
~ 169 ~ PAUL SUSSMAN Setelah apa yang didengarnya tadi, ia kini merasa lebih baik
berharap untuk tidak dibuka lagi saja.
Y erusaLem L AYLA TIDAK INGAT KAPAN PeRTAmA KALI IA meNJADI ANGGoTA KLUB
Sarapan Pagi American Colony, tetapi program pertemuan setiap
Jumat paginya ini selama beberapa tahun telah menjadi rutinitas
acara mingguannya. Sebenarnya bukan klub yang cukup memadai,
tapi lebih merupakan kebersamaan informal yang diselenggarakan
di hotel American Colony di Yerusalem Timur tempat, selain kopi
dan croissant, sekelompok jurnalis pekerja yang memberikan
bantuan dan diplomat"siapa pun yang ada saat itu"akan
mendiskusikan isu besar yang sedang terjadi saat itu. Sarapan
umumnya akan berlanjut ke makan siang, makan siang ke minum
teh sore hari, dan beberapa kali dalam setahun, minum teh sore itu
berlanjut ke makan malam dengan minuman beralkohol, dengan
perdebatan yang seru. Di salah satu kesempatan yang paling dikenang, seorang kepala biro Washington Post telah memecahkan
botol anggur pada kepala atase budaya Denmark.
Layla tiba sesaat setelah pukul sepuluh. Setelah sedikit melambat untuk memasukkan surat ke kotak pos hotel, ia terus berjalan melewati foyer berlantai batu yang keren lalu keluar menuju
halaman utama penuh sinar matahari dengan air mancurnya, pot
tanaman berbunga dan meja metal di bawah parasol berwarna
krem. Sejumlah pengunjung setia klub telah hadir di sana"temannya Nuha, onz Schenker dari Jerusalem Post, Sam Rogerson dari
Reuters, Tom Roberts, laki-laki dari Konsulat Inggris yang selamanya berusaha untuk bisa ngobrol dengannya"juga sepasang wajah
baru yang tidak ia kenal, semua duduk di bawah pohon jeruk.
mereka tengah berdiskusi dengan hangat.
Sembari menarik sebuah kursi, Layla menuangkan untuk dirinya
secangkir kopi hitam dari teko di atas meja di samping mereka.
~ 170 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Robert melemparkan pandangan terhadapnya, tersenyum gugup,
lalu melengos lagi. "Semua hanya lelucon," kata Rogerson, sembari mengusap
kepalanya yang botak. "Ini adalah peta jalan yang tidak menuju ke mana-mana.
Sampai Israel bisa menerima isu sentral, yaitu bahwa mereka telah
membuang kotoran pada orang Palestina dan harus membuat
kelonggaran yang signifikan untuk menebusnya, darah masih akan
terus mengalir." "Akan kukatakan pada kalian apa isu sentral sialan itu yang
sebenarnya," gumam Schenker, sambil mengembuskan Noblesse
dan merengut. "Bahwa dalam analisis akhir, Arab tidak berminat
membicarakan perdamaian. Percuma saja menawarkan kelonggaran jika yang benar-benar ingin mereka lakukan adalah menghapus
Israel dari peta." "omong kosong," kata Nuha.
"Benarkah" maksudmu al-mulatham tiba-tiba ingin bernegosiasi" Atau, hamas baru saja akan mengakui hak Israel untuk eksis?"
"hei, onz, mereka bukan perwakilan rakyat Palestina," kata
perempuan mungil dengan rias wajah lengkap itu, Deborah zelon
dari Associated Press. "Jadi, siapa yang representatif" Abbas" qurei" orang-orang
yang tidak dipercayai oleh hampir seluruh jumlah penduduk" Arafat,
orang yang menyiksa bangsanya sendiri, menggelapkan uang bantuan, ditawari perdamaian dalam piring di Camp David...."
"Bukan itu juga!" teriak Nuha.
"Barak menawarinya sembilan puluh tujuh persen dari Sisi
Barat!" teriak Schenker, menohokkan rokoknya pada perempuan
itu. "Negaranya sendiri. Dan ia menampiknya."
"Apa yang ditawarkan padanya, sebagaimana kalian ketahui
dengan baik," kata Nuha sambil berbinar, "adalah sejumlah
wilayah yang dikelilingi permukiman ilegal Israel dan tanpa batas
internasional. Itu saja, dan sedikit areal padang pasir yang banyak
kalian gunakan sebagai areal pembuangan racun selama dua puluh
~ 171 ~ PAUL SUSSMAN tahun terakhir. Tentu saja dia tak mungkin menerima itu. Dia pasti
akan dihukum mati tanpa pemeriksaan."
Schenker mendengus, mematikan rokoknya ke dalam asbak.
Seorang pelayan datang dengan lebih banyak lagi kopi dan sepiring besar croissants, diikuti sesaat kemudian oleh seorang yang
sudah agak tua mengenakan jaket wol dan kacamata separuh
lingkaran, yang kemudian menarik kursi dan bergabung. Nuha
memperkenalkannya sebagai Profesor faisal Bekal dari Universitas
al-quds. Ia mengangkat tangannya yang rematik untuk memberi
salam. "Aku benci mengatakannya," kata Rogerson, melanjutkan percakapan yang sempat tertunda, "tetapi aku setuju dengan Schenker
pada poin terakhir. Arafat mengacaukan semuanya. Abbas dan
qurei bermaksud baik, tetapi mereka tidak cukup memberikan rasa
hormat untuk membuat kesepakatan yang realistis dan membawa
semua orang-orangnya. Palestina membutuhkan seorang figur
baru." "Apa orang Israel tidak?" tanya Nuha.
"Tentu saja ya," kata Rogerson, sembari mengambil sebuah
apel dari mangkuk di tengah meja dan mulai mengupasnya dengan
pisau. "Sharon adalah perusak keparat. Tetapi itu tidak mengubah
kenyataan bahwa orang-orang yang kalian semua kenal sekarang
ini tidak akan menyelesaikan persoalan ini. Tidak secara permanen."
"Jadi, siapa?" kata Deborah zelon. "Dahlan dan Rajub belum
memiliki dasar kekuatan. erekat bukan sang pionir. Barghouti
sedang dalam status tahanan. Tidak ada lagi yang lain."
Profesor Bekal secara perlahan meraih sebuah croissant, membelahnya jadi dua dan meletakkan separuh di ujung meja sambil
menggigit yang satunya. "Ada Sa"ib marsudi," katanya dengan tenang, sembari menghapus remah dari sudut bibirnya, suaranya tipis dan sedikit bergetar.
"menurutmu begitu?" tanya Rogerson.
Si orang tua ini menggerakkan kepalanya ke satu sisi.
~ 172 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"mengapa tidak" Dia muda, pintar, dan orang-orang menyukainya. Lagipula dia punya mandat. Putra seorang aktivis, cucu
seorang aktivis, pemimpin Intifada Pertama, tapi cukup bagi para
pragmatis untuk mengetahui bahwa tidak akan ada Palestina
merdeka tanpa negosiasi dan kompromi."
"Dan ada noda darah Yahudi di tangannya," sela Schenker.
"Di bagian dunia yang ini, setiap orang punya tangan yang
ternoda oleh darah orang lain, Tuan Schenker," desah Bekal. "Yang
penting adalah apa yang mereka lakukan sekarang, bukan apa
yang telah mereka lakukan di masa lampau. Ya, marsudi memang
menyelundupkan senjata ke Gaza. Dan ya, senjata yang sama itu
tidak diragukan lagi digunakan untuk membunuhi orang-orang
Israel. Barangkali orang Israel yang sama yang mengusir keluarganya dari tanah airnya, memenjarakan ayahnya, menembak
saudara laki-lakinya. Dia telah melakukan pengabdiannya. Kini ia
adalah salah satu dari segelintir orang Palestina dengan keberanian
untuk secara terbuka menolak resistensi kekerasan. Aku rasa dia
bisa melakukan banyak hal baik."
"Kalau dia cukup panjang umur," kata Nuha. "hamas ingin
menggorok tenggorokannya."
"Nah, onz," kata Rogerson, yang kini sedang berusaha mengupas apel dalam spiral tunggal yang utuh. "Dengan basis itu ia
seharusnya menjadi teman terbaikmu."
Schenker meneguk kopinya dan menyalakan sebatang Noblesse
lagi. "mereka semua sama buruknya," ia menggerutu. "Kau tak bisa
memercayai satu pun dari para keparat itu."
"Dengarlah suara cita-cita dan harapan!" kata Deborah zelon
sembari tertawa. Diskusi beralih ke topik lain, pendapat saling bermunculan
seperti bola pingpong, nada-nada bicara naik dan meredup, ritmenya terhenti di sana-sini oleh ledakan tawa yang tiba-tiba atau
teriakan, yang terakhir biasanya dari onz Schenker, yang spektrum
percakapannya selalu dalam dua jenis tanggapan"marah dan sangat
~ 173 ~ PAUL SUSSMAN marah. orang lain masuk ke area itu dan bergabung dalam kelompok, jumlahnya semakin membengkak sampai lebih dua puluh
orang, dan apa yang biasanya menjadi debat tunggal berubah
menjadi terpecah ke dalam serangkaian diskusi cabang antarkelompok yang lebih kecil.
Tom Robert menghampiri dan duduk di sebelah Layla.
"halo, Layla," sapanya, lidahnya agak meliuk pada pengucapan L pertama dari namanya"bawaan dari masa kanak-kanaknya,
ia pernah menjelaskan, saat dirinya mengalami gagap luar biasa.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik," jawab Layla. "maaf, aku tak meneleponmu kembali.
Aku agak sedikit...."
Tom menggerakkan tangannya mengisyaratkan itu bukan
masalah. Dia lebih tua daripada Layla, pertengahan empat
puluhan, tinggi dan kurus, kutu buku dengan kacamata bundar dan
seorang yang pemalu, perilaku yang mencela diri sendiri. Cukup
menarik, tetapi tidak secara khusus. Lemah lembut. Untuk beberapa alasan ia mengingatkan Layla akan jerapah.
"KAU SANGAT PeNDIAm hARI INI," katanya melanjutkan, mulutnya
kembali agak kesulitan, kali ini pada "s" dari kata "sangat". "Biasanya kau membuka kesempatan untuk Schenker mengerahkan
The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala kemampuan mengalahkanmu."
Ia tersenyum. "Kali ini libur."
"Sedang banyak pikiran?"
"Ah, kau bisa saja."
Ini merupakan minggu yang sibuk bagi dirinya. hari setelah
makan bersama Nuha, ia menulis dua setengah artikel, artikel yang
bagus bahkan menurut standarnya, termasuk profil yang terdiri
dari dua ribu kata mengenai Baruch har-zion untuk New York
Review (sudah keluar hari itu juga). Setelah itu ia pergi ke Gaza
untuk mencari berita tentang kekerasan domestik"masalah yang
semakin meningkat dan jarang diakui dalam masyarakat
Palestina"hampir saja tak ada waktu untuk menulis itu sebelum
~ 174 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Guardian mengirimnya ke Limassol dalam rangka meliput konferensi tentang program bantuan untuk Palestina. Ia kembali agak
telat malam sebelumnya dan telah menghabiskan separuh malam
untuk mentranskrip pita rekaman, dan hanya sempat tertidur pada
pukul empat subuh selama beberapa jam tidur yang gelisah.
Bukan kelelahan yang mengganggu pikirannya sekarang,
melainkan surat sialan itu. Ia sepertinya tidak dapat melepaskan hal
itu dari pikirannya. Sepanjang minggu hal itu ada dalam pikirannya, mengintai di belakang pikirannya, membuatnya penasaran,
mendorongnya. Saya memiliki informasi yang sangat tak ternilai
bagi laki-laki ini dalam perjuangannya melawan zionis penindas....
Sebagai imbalannya, saya dapat menawarkan hal yang, saya yakin,
akan menjadi laporan eksklusif terbesar dalam karir Anda yang
sudah cemerlang.... Informasi yang saya kemukakan tadi terkait
erat dengan dokumen terlampir.
Semakin ia pikirkan hal itu semakin ia yakin bahwa penilaian
awalnya keliru; bahwa surat itu bukanlah olok-olok, juga bukan
usaha untuk menjebaknya, melainkan lebih merupakan artikel asli.
Ia memang tidak punya bukti kongkret tentang hal ini, hanya
perasaan saja, insting, insting sama yang mengatakan padanya tentang petunjuk cerita yang layak diikuti, kepercayaan orang yang
diwawancara. Di sela-sela waktu yang tersedia di antara menulis artikel dan
melakukan perjalanan, Layla telah melakukan penyelidikan sementara mengenai identitas bocah laki-laki yang mengantarkan surat
tersebut. hasilnya nihil. Penggunaan kata-kata "hendak mengajukan sebuah usulan pada Anda" di awal surat membuatnya berpikiran bahwa penulisnya bukan penutur asli bahasa Inggris. Tetapi
di luar itu tidak ada petunjuk lain mengenai identitasnya (kadang
Layla begitu yakin bahwa dia pasti seorang laki-laki). Siapa pun
orangnya, dia mengatakan akan menghubunginya lagi dalam waktu
dekat. Namun, sejauh ini dia belum mendengar kabar apa-apa.
Yang ada hanya salinan dokumen yang aneh. Layla sudah mengirimkannya kepada seorang kenalannya di Universitas hebrew,
~ 175 ~ PAUL SUSSMAN yang mengatakan bahwa mungkin itu sejenis kode, meski ia sendiri
tidak mengerti sedikit pun bagaimana mengurai dan mengartikan
kode tersebut. Pencarian GR melalui internet, seperti dugaannya,
menampilkan sederet panjang nama-nama serupa"lebih dari sejuta, demi Tuhan. Setelah membuka tiga puluh situs pertama, ia
menyerah karena benar-benar menghabiskan waktu. Pencarian itu
membawanya pada titik buntu.
"Ada yang bisa kubantu?"
Tom Roberts sedang memandanginya penuh harap.
"Kau bilang sedang memikirkan sesuatu," tambahnya sambil
memerhatikan pandangan bingung di wajah perempuan itu. "Aku
hanya berpikir siapa tahu aku bisa membantu."
"Aku meragukannya," kata Layla, sambil menyeruput habis
kopinya. "Kecuali kau adalah pembaca kode yang hebat."
"Sebenarnya aku tak terlalu buruk. Yahh, semacam hobi amatir.
Konteksnya apa?" Layla mengangkat alisnya penuh tanya.
"Apakah sebuah surat, dokumen resmi?"
"Surat, aku kira," jawab Layla. "Kuno. Boleh jadi zaman
pertengahan. Atau purba, malah. Aku tak dapat menduga ujung
pangkal surat itu. hanya serangkaian surat yang panjang dengan
tanda tangan di bawahnya. GR."
Tom merapatkan bibirnya sembari berpikir, kemudian menggelengkan kepalanya memberi tanda bahwa inisial itu tak berarti
apa-apa baginya. "Ini hari liburku," ujarnya setelah terdiam beberapa saat. "Aku
bisa mempelajarinya kalau kau mau."
Layla sedikit ragu karena tahu Tom tertarik padanya dan dia
tidak ingin memperumit keadaan.
Sebelum Layla menolak tawarannya, Tom menambahkan,
"Tidak ada maksud apa-apa. Aku janji. Aku pikir, setelah enam
bulan aku baru menerima pesan itu."
Layla menatapnya sebentar, kemudian tersenyum dan menyentuhkan tangannya pada tangan laki-laki itu.
~ 176 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"maafkan aku, Tom. Kau pasti berpikiran aku benar-benar
perempuan brengsek."
"Sebagian daya tarik, jujur saja," katanya.
Layla mengusap tangannya.
"Sungguh hebat kalau kau mau menelitinya. Asal dengan satu
syarat. Aku traktir kau makan siang."
"Andai saja setiap hari ada kode yang harus dipecahkan,"
katanya, sambil mengumbar senyum. "Kapan waktu yang tepat
menurutmu?" "Tidak ada yang sebagus sekarang," jawab Layla, seraya mendorong kursinya ke belakang dan berdiri tegak. "Aku kira aku telah
membuat Schenkerku tenang selama seminggu ini."
Roberts meraih jaketnya dan keduanya kemudian berpamitan.
Nuha melemparkan pandangan penuh tanda tanya pada Layla,
yang ia balas dengan gelengan kepala, seolah berkata, "Ini tidak
seperti yang kau pikirkan". Begitu mereka melintasi halaman
memasuki foyer hotel, suara onz Schenker meledak di belakang
mereka. "Yehuda milan adalah orang terakhir yang bisa menyelamatkan negeri ini! Pahlawan perang atau bukan pahlawan perang,
laki-laki itu cuma jadi penyakit."
"KeNAPA BeGITU, oNz?" teriak Sam Rogerson. "Karena ia sangat
mungkin memotong kesepakatan realistis dengan Palestina"
orang-orang seperti kaulah yang sebenarnya penyakit!"
"Kau antisemit, Rogerson!"
"Istriku seorang Yahudi, sialan! mana mungkin aku antisemit?"
"Brengsek kau, Rogerson!"
"Kau itulah yang brengsek, Schenker!"
Terdengar kursi berderit, suara piring bersentuhan, dan suara
hiruk-pikuk seruan yang meneriakkan agar kedua laki-laki itu
duduk dan berhenti bertingkah konyol. Pada saat itu Layla dan
Tom Roberts sudah melewati foyer hotel dan keluar di bawah
~ 177 ~ PAUL SUSSMAN gerbang depan melengkung yang dipenuhi bunga bugenvil, suara
rekan-rekannya di Breakfast Clubnya semakin samar kemudian
menghilang dari pendengaran.
T eL aviv, h oTeL s heraTon
KeTIKA oRANG-oRANG BeRTANYA PADAKU meNGAPA AKU BeGITU meNeNTANG
apa yang disebut-sebut sebagai proses perdamaian, mengapa aku
percaya pada kekuatan Israel dengan pemerintahan dari Yahudi
untuk Yahudi, tanpa ada orang Arab di tengah-tengah kami, aku
ingin bercerita tentang kisah nenekku.
har-zion menarik punggungnya ke belakang menjauh dari
mikrofon dan menyesap sedikit air minum dari gelasnya, sembari
menatap ke arah para tamu makan siang yang duduk di hadapannya. Itu adalah sebuah kelompok pergaulan sosial yang baik,
kebanyakan para pelaku bisnis, orang Amerika. Seratus tamu, dua
ratus dolar per kepala"itu uang yang sangat banyak bagi Chayalei
David. Dan itu belum termasuk donasi pribadi yang dijanjikan,
yang paling tidak melipatgandakan totalnya. Lima puluh ribu
dolar, katakanlah. Jumlah yang berlimpah.
meski begitu, ia tidak sedang menikmati dirinya sendiri. Dia
tidak pernah bersenang-senang dalam kesempatan-kesempatan
macam ini. Setelan yang dikenakan para tamu, percakapan yang
santun, sapaan ramah"semua itu tidak untuk dirinya. Berikan
padanya medan pertempuran kapan saja, atau kerumunan orang
Arab yang berteriak memprotes pendudukan para Pejuang David
lainnya. Berikan padanya aksi.
Tanpa sengaja ia menatap pada kursi di sebelah kanannya,
tempat istrinya miriam biasa duduk sebelum kanker merenggut
nyawanya. Alih-alih membayangkannya dalam pakaian yang rapi,
har-zion malah terpaku pada rabbi nyaris renta dalam shtreimel
lebar berbulu. Ia menatap rabbi itu beberapa saat seolah bingung
~ 178 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
akan kehadirannya. Kemudian dengan goyangan kepala, ia kembali ke mikrofon dan melanjutkan pidatonya.
"Nenekku, ibu dari ibuku, wafat saat usiaku sepuluh tahun,
sehingga aku tidak mengenalnya dengan cukup baik. Tetapi,
bahkan dalam pengenalanku yang hanya selama beberapa tahun
saja, aku menyadari bahwa ia seorang yang luar biasa. Ia memasak
makanan yang belum pernah Anda cicipi"borscht, ikan gefilte,
kneidls. Nenek Yahudi yang sempurna!"
Suara tawa menggema di seluruh ruangan.
"Namun, ia melakukan banyak hal selain memasak. Ia mengetahui Torah lebih baik dari rabbi mana pun yang pernah kutemui"
jangan dimasukkan ke hati, ya."
Ia menoleh pada seorang rabbi di sisinya, yang tersenyum sumringah. Terdengar lagi suara tawa.
"Dan menyanyi tidak seperti hazzan yang pernah Anda dengar.
Bahkan hari ini, bila kututup mataku, aku dapat mendengarnya
menyanyikan kerovah dengan begitu manis, seperti burung kutilang. Andai dia di sini saat ini, dia pasti akan melenakan Anda
semua. Lebih dari yang telah aku lakukan, tentu saja!"
Gema tawa ketiga terdengar, dibarengi beberapa teriakan,
"Tidak benar!" har-zion mengangkat gelas dan meminumnya.
"Dia juga orang yang kuat. Dan berani. Ia dapat mempertahankan hidup selama dua tahun di Gross-Rosen."
Kali ini tidak ada teriakan atau tawa. Semua mata tertuju
padanya. "Aku begitu mencintai nenekku," lanjutnya, sambil menurunkan gelasnya. "Ia mengajariku begitu banyak hal, menceritakan
banyak kisah hebat, menciptakan berbagai permainan hebat untuk
dimainkan. hanya ada satu hal darinya yang membuatku sedih:
pada saat aku mengenalnya, ia tidak pernah memelukku di
dadanya, sebagaimana biasanya dilakukan oleh para nenek.
Khususnya nenek Yahudi."
Para hadirin benar-benar diam sekarang, bertanya-tanya ke
~ 179 ~ PAUL SUSSMAN mana arah cerita ini. Di bawah setelan yang dipakainya, kulit harzion terasa ketat dan gatal, seolah ia terikat dalam jaket penuh
lada. Ia menyelusupkan jarinya ke sekitar kerah baju, mencoba
sedikit melonggarkannya. "mulanya aku tidak terlalu memerhatikan hal ini. Ketika aku
bertambah usia, hal itu mulai menggangguku. Barangkali bubeh-ku
tidak menyayangiku, pikirku. mungkin aku sudah melakukan suatu
kesalahan. Aku ingin bertanya padanya mengapa ia tidak pernah
memelukku, tapi aku merasa itu bukan bahan perbincangan yang
menyenangkan baginya. maka tak ada yang pernah kukatakan.
Dan itu membuatku sedih bercampur bingung."
Di belakangnya, pengawalnya, Avi, terbatuk. Batuk itu terdengar tidak natural dalam keheningan yang menyelimuti seluruh
ruangan. "hanya setelah ia wafat, ibuku menjelaskan padaku solusi atas
misteri yang aneh ini. Sebagai seorang perempuan muda nenekku
hidup dalam shtetl di Rusia selatan. Setiap Sabtu malam, setelah
mereka minum-minum, Cossacks akan datang. orang-orang
Yahudi akan mengunci diri di dalam rumah masing-masing, tetapi
Cossacks ini akan menendang pintu dan menarik mereka keluar, ke
jalan tempat mereka akan disakiti dan bahkan dibunuh. Itu merupakan kesenangan bagi mereka, olahraga. Padahal mereka hanyalah orang-orang Yahudi kumal."
Ratusan pasang mata tertuju pada har-zion. Di sisinya, pandangan sang rabbi terpaku pada pangkuannya sendiri, kepalanya
menggeleng sedih ke kiri dan kanan.
"Lalu pada salah satu kesempatan, Cossacks menangkap
nenekku. Ia baru berusia lima belas tahun ketika itu, seorang gadis
jelita dengan rambut panjang dan mata bersinar. Kukira aku tak
perlu menceritakan pada Anda sekalian apa yang mereka lakukan
terhadapnya. Lima orang dari mereka. Dalam keadaan mabuk. Di
jalan, tempat setiap orang bisa melihatnya. Kemudian, begitu
mereka selesai, mereka ingin kenang-kenangan atas malam itu.
Anda tahu kenang-kenangan apa yang mereka pilih?"
~ 180 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Untuk beberapa saat, har-zion membiarkan pertanyaannya
menggantung di udara. "Salah satu payudara nenekku. mereka mengirisnya dengan
pisau dan membawanya, sebuah tropi untuk digantung di dinding
rumah mereka." Terdengar pekik ketakutan yang tertahan. Pada meja di bagian
depan seorang perempuan menutup mulutnya dengan serbet.
Sang rabbi menggumam, "Ya Tuhan!"
"Itulah sebabnya nenekku tak pernah mau memelukku," ucap
har-zion perlahan. "Karena ia tahu aku akan merasakan ada yang
salah, dan ia malu. Ia tidak ingin aku tahu tentang kepedihannya.
Dia tidak ingin aku ikut bersedih untuknya."
Dia berhenti, membiarkan kata-katanya merasuk ke dalam. Ada
banyak kisah yang dapat dia ceritakan, dengan cara yang sama.
Begitu banyak kisah lain. Tentang pengalamannya sendiri"ejekan,
penyerangan, masa-masa di rumah yatim piatu kala mereka
memaksa memasukkan gagang sapu ke dalam anusnya sambil berteriak, "Anak Yahudi keparat! Anak Yahudi keparat!" Setiap hari
pada masa kanak-kanaknya dibayangi rasa takut dan aroma permusuhan. Tetapi ia lebih suka tidak menceritakannya. Dan tidak
pernah sekalipun menceritakannya. Bahkan tidak kepada miriam,
istrinya sendiri. Itu terlalu kejam, terlalu menyakitkan, lebih buruk
dari kebakaran yang telah melahap tubuhnya dan meninggalkannya tampak seperti patung lilin yang dapat meleleh. maka ia
malah menceritakan kisah pilu neneknya, yang dekat tetapi tidak
terlalu dekat untuk membuatnya rontok, membuka gerbang banjir.
Begitu banyak kepedihan di dalamnya. Begitu banyak kengerian.
Kadangkala ia merasa seolah dirinya tenggelam dalam kegelapan.
har-zion menyeruput air putihnya untuk yang ketiga kali dan,
sembari berdehem membersihkan tenggorokannya, sampailah dia
pada akhir pidatonya dan bersumpah bahwa apa yang telah terjadi
pada neneknya tidak akan pernah terjadi pada orang Yahudi lain
lagi, bahwa ia akan melakukan apa pun untuk mempertahankan dan
membela orang-orangnya, untuk membuat Israel tetap berkuasa.
~ 181 ~ PAUL SUSSMAN Begitu ia selesai, para hadirin pun berdiri, memberikan penghormatan dan selamat. Ia menerima rasa hormat tersebut, menggaruk kulit di bawah setelan yang ia kenakan secara tak terkendali,
kemudian duduk. Avi melangkah maju dan membantunya mendorong kursinya ke meja. Rabbi itu menyentuh lengannya.
"Kau orang hebat, Baruch."
har-zion tersenyum, tetapi tidak menjawab apa-apa. Begitukah" Tanyanya. Baik dan buruk, benar dan salah"tampaknya tidak
lagi memiliki makna. Yang tertinggal hanyalah keimanan terhadap
Tuhan dan perjuangan untuk bertahan hidup. Inilah yang telah
dilakukannya di sepanjang hidupnya. Ia berbalik perlahan, dengan
kaku, menatap menorah bercabang tujuh yang tertempel pada
panel di belakang meja, berpikir tentang Layla al-madani dan almulatham serta semua yang lain, sebelum kembali ke depan lagi
dan tersenyum ketika seorang fotografer naik ke atas untuk mengambil gambarnya.
Y erusaLem SAAT ITU SoRe hARI KeTIKA ARIeh BeN-RoI meNGeNDARAI BmW PUTIhNYA
melintas di jalan Jaffa Gate, Kota Tua, berhenti di perbatasan besi
berlistrik di depan Kantor Kepolisian David, sebuah gedung dua
lantai yang dibangun dengan batu Yerusalem kuning-putih, dengan
bendera Israel dan bendera polisi Israel berkibar di luar dan antena
radio yang tinggi pada atap, seperti pohon yang menggunduli
The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semua daunnya. Petugas jaga mengenalinya dan, dengan mengaktifkan perbatasan, ia mengarahkannya menuju lorong melengkung yang memotong pusat gedung dan memasuki areal berdinding di belakang, tempat ia memarkir mobilnya di sebelah truk
polisi Kawasaki mule. Di belakangnya, sepasang laki-laki pembuat
bom sedang berkutat dengan salah satu robot mereka, menyesuaikan lengannya yang dapat ditarik masuk. Di sisi kanannya,
seekor kuda sedang dilatih di dalam areal berpagar yang dikelilingi
~ 182 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
semak oleander yang sedang berbunga.
Dia merasa dirinya tak berharga seperti sampah, sebagaimana
di hari-hari lain, dan membatin bahwa ia seharusnya mengurangi
kebiasaan minumnya. Seperti yang dia lakukan di hari-hari lain.
Namun ia tahu bahwa dirinya belum bisa. Itulah satu-satunya yang
dapat mengurangi rasa sakit, yang membantunya melupakan
segala hal. Tanpa minum, semua hal tak akan " tertangani.
Ben-Roi duduk di tempatnya selama beberapa saat, berharap ia
sudah kembali berada di flatnya, bersembunyi dari dunia, sendirian dengan pikirannya sendiri. Kemudian ia keluar dari mobil dan
berjalan perlahan kembali ke lorong, membelok ke pintu yang rendah di dalamnya dan menaiki tangga batu menuju lantai pertama.
Kantornya tak jauh dari koridor berdinding putih, sebuah ruang
yang kecil dan dipenuhi berbagai perabot kayu lapis, komputer di
atas troli di sudut ruang, dan di atas mejanya, sebuah foto
berbingkai Ben-Roi yang kelihatan lebih segar dan lebih muda sedang menerima penghargaan Valiant Conduct order. Ia menerima
itu tiga tahun lalu karena telah menyelamatkan gadis muda
Palestina dari kebakaran rumah dekat mauristan, mempertaruhkan
hidupnya dengan menendang pintu depan, berjuang mencari jalan
ke lantai atas dengan menerobos api dan membawa gadis itu ke
tempat aman di atap seberang rumah. Saat itu ia begitu bangga
dengan dirinya sendiri; kini ia berpikir betapa itu tindakan yang
bodoh. mestinya biarkan saja gadis itu terbakar hangus. Sayang,
tidak banyak dari mereka yang berada di sana.
Kantor dalam keadaan kosong saat ia tiba. Sembari menutup
pintu di belakangnya, ia duduk di kursinya, menarik botol dari
pinggangnya dan meneguknya secara perlahan dan lama. Cairan
itu mengalir membasahi kerongkongannya, memberikan kehangatan yang menyebar luar melalui dada dan perutnya. Ia meneguknya
lagi hingga pikirannya mulai terang dan suasana hatinya membaik.
Tegukan ketiga, dan ia merasa siap menghadapi hari di hadapannya.
Pintu terbuka. ~ 183 ~ PAUL SUSSMAN "Tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu, feldman?"
semburnya sambil menyembunyikan botol di bawah meja dan
berusaha menutupnya. feldman mengamati apa yang sedang dilakukannya dan
menggelengkan kepala. "Ya ampun, sekarang bahkan belum waktunya makan siang."
Ben-Roi mengabaikannya, menyelipkan botol itu ke dalam saku
celana jeansnya. "mau apa kau?" "Kami sudah memulai wawancara pendahuluan terhadap lakilaki yang kita bawa tadi malam. Walaupun, kau mungkin ingin
melakukannya dengan orang yang kau tangkap."
feldman sedikit menggoda ketika ia mengucapkan "orang yang
kau tangkap", mengingatkan Ben-Roi pada kegagalannya
melakukan pengejaran di Lembah Kidron, Wanker.
"Di mana dia?" "Wawancara Tiga. menurutmu kau sanggup menanganinya
sendirian?" Ben-Roi mengabaikan kekasaran itu. Ia menegakkan tubuhnya,
meraih map berisi dokumen yang tergeletak di atas meja kemudian keluar ruangan. Saat ia melewati feldman, ia rasakan tangan
feldman mencengkeram lengannya.
"Tenangkan dirimu, Bung. Kau tidak bisa pergi seperti ini."
Sejenak terdiam, kemudian feldman menarik tangannya.
"Begini, Arieh. Aku tahu apa yang telah kau ?"
"Kau tahu, persetan semua, feldman. Kau mengerti maksudku"
Persetan semuanya." Ben-Roi menatap koleganya, kemudian menghambur keluar
kantor, menuruni koridor, melawan dorongan untuk meneguk lagi
vodkanya. Belas kasihan dan omelan, itu sepertinya yang ia dapatkan hari-hari ini. Belas kasihan terhadap apa yang telah terjadi, dan
omelan terhadap bagaimana ia menangani berbagai persoalan.
Yang terakhir bisa ia atasi. Tetapi tidak belas kasihan. Tidak itu. Itu
~ 184 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
mematahkan semangatnya. Tuhan, ia berharap dirinya sedang
bersama kekasihnya di alun-alun malam itu.
Ben-Roi menuruni anak tangga kembali ke lorong. Sebenarnya
ruang wawancara bisa dicapai melalui dinding seberang, tetapi
alih-alih langsung menuju ruangan itu, ia malah berbelok ke kiri,
kembali ke kompleks, dan kemudian ke kanan ke ruang tambahan
modern dengan kaca di bagian depannya yang melekat pada
bagian belakang stasiun, melewati foyer yang dingin dengan sinar
lembut lalu masuk ke ruang kontrol besar dan layar TV berwarna
pada dinding. masing-masing layar menayangkan citra berbeda
tentang Kota Tua"Dinding Barat, Gerbang Damaskus, haram alSyarif, dan Cardo"dipancarkan oleh satu di antara tiga ratus kamera keamanan yang dipasang di setiap sudut jalan. Gambar kerap
berubah karena sistem mengaturnya dari kamera ke kamera,
sementara sekali-kali salah satu layar akan berubah menjadi oranye
dan legenda KAmeRA TURUN akan tampil.
Dua buah meja kontrol setengah lingkaran, satu di dalam yang
lain seperti sepasang tanda kutip, tertata di depan layar, dimonitor
oleh pejabat berseragam. Ben-Roi mendekati yang pertama dan
mencolek bahu seorang perempuan besar berambut pirang.
"Aku perlu rekaman gambar tadi malam," katanya. "Interior
Gerbang Singa. Sejak sekitar pukul sebelas empat lima."
Perempuan itu mengangguk dan, setelah menelepon salah satu
rekan kerjanya untuk memberitahukan dirinya sedang meninggalkan posnya selama beberapa menit, mengantar Ben Roi ke ruang
sebelah dan menyilakan Ben-Roi duduk di depan komputer.
Lantas, seraya bersandar pada bahunya, perempuan itu mengklik
berbagai ikon dengan mouse sampai menemukan rekaman gambar
yang diinginkan Ben-Roi, tentang penyergapan tadi malam.
Ben-Roi duduk dan menonton begitu operasi berjalan dengan
sendirinya. Kadang-kadang ia meminta perempuan itu untuk
mengulang, membuat zoom terhadap sesuatu atau mengklik ke
kamera berbeda, menelusuri laki-laki Palestina muda yang telah ia
kejar sejak ia sampai di gerbang dengan ketiga temannya, melalui
~ 185 ~ PAUL SUSSMAN penampilan mobil mercedes, ke titik tempat polisi menangkap
dan, tak terperhatikan karena bingung, laki-laki itu melarikan diri
melalui gerbang ke haram al-Syarif dan ke dinding Kota Tua untuk
masuk ke pemakaman muslim di bawah, bersembunyi dari satu
makam batu ke makam batu lainnya dan terus menuju Jalan ophe.
"Baik, cukup," katanya akhirnya. "Bisa aku dapat salinannya?"
Perempuan berambut pirang itu menghilang dan kembali beberapa menit kemudian dengan membawa sebuah cakram padat.
Ben-Roi memasukkannya ke dalam map dokumen yang dibawanya dan meninggalkan pusat kontrol, kembali ke gedung utama.
Ruang Wawancara 3 berada di lantai bawah. Sebuah ruang
sederhana berdinding putih dengan lantai batu dan lampu tunggal
di langit-langit. Laki-laki Palestina itu sedang duduk di belakang
meja kayu lapis. Pergelangan tangannya diborgol, mata kirinya
bengkak dan sembab. Ben-Roi menarik kursi dan duduk di
hadapannya. "Aku ingin pengacara," gumam laki-laki itu sambil menatap
meja. "Kau akan membutuhkannya," ujar sang detektif sembari
membuka arsipnya, meletakkan cakram padat ke samping dan
memindahkan lembar ketikan"laporan penangkapan yang ia isi
malam sebelumnya. "hani al-hajjar hani-Jamal," ucapnya, membaca detail data
pribadi pada bagian atas laporan. "Nama yang bodoh."
Ia meletakkan lembaran itu.
"Lihat aku!" Laki-laki muda itu mendongak, menggigit bibirnya. matanya
tampak penuh ketakutan. Ia kelihatan kecil di samping Ben-Roi,
bagaikan seorang murid sekolah di depan gurunya.
"Kau akan mengatakan yang sebenarnya padaku. Bukan begitu, hani" Untuk setiap pertanyaan yang kuajukan. Kebenaran."
Pemuda itu mengangguk tak kentara. Kedua pahanya mengencang seolah sedang menanti serangan dari bawah meja. Ben-Roi
menatapnya, menikmati ketakutannya yang semakin besar.
~ 186 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Kemudian, tanpa melepaskan tatapan matanya, ia meraih CD
dengan tangan kirinya dan memasukkannya ke dalam desktop.
"Ini untukmu." Laki-laki itu kemudian menyaksikannya, bingung dan takut.
"Semua ada di situ," ujar Ben-Roi. "Semua yang terjadi tadi
malam. Semua terekam, semuanya dapat diterima oleh pengadian
hukum. Jadi, jangan berbohong, kau mengerti" Tidak ada omong
kosong tentang bagaimana kau tiba-tiba saja sedang berjalan melintas, bagaimana kau tidak pernah berhubungan dengan obat-obatan
dalam hidupmu. Karena bila kau omong kosong padaku, aku akan
menghancurkanmu. Aku benar-benar akan menghancurkanmu."
Ia bangkit dan memegang pergelangan tangan laki-laki itu,
merenggut dan menggoyangnya. Jari-jarinya membuka kunci borgol kemudian melepaskan pegangan dan kembali duduk.
"Sekarang mulailah bicara, kau sampah tak berguna!"
L uxor SeKemBALINYA KhALIfA DARI eDfU, mAhfUz TeLAh BeRBICARA PADA Chief
hasani dan menjelaskan semua detail situasinya.
Secara mengejutkan dia bisa menerimanya dengan baik. Lebih
baik dari yang diperkirakan Khalifa, tentunya. Terdengar ada
beberapa kali gumaman tak jelas saat pertama kali dia datang ke
ruang kerjanya, dan tatapan hasani yang seperti biasanya, kecuali
teriakan dan hantaman kepalan tangan di atas meja"yang sudah
diantisipasi Khalifa sepanjang perjalanannya kembali"gagal terwujud. Sebaliknya, Chief kelihatan sangat lain dari biasanya.
Sikapnya melunak terhadap semua hal, menerima dibukanya kembali kasus itu hampir tanpa penolakan, seolah tak ada lagi energi
atau kemauan untuk menahannya. Khalifa bahkan berpikir ia
menangkap bias kelegaan yang samar-samar di matanya, seperti
seorang laki-laki yang akhirnya dapat menurunkan beban yang
~ 187 ~ PAUL SUSSMAN sejak awal tak pernah diinginkan.
"mari kita tuntaskan persoalan ini," kata hasani, sambil menatap jauh keluar jendela ruang kerjanya. Rambut palsunya menggantung di kepala seperti permen gulali cokelat. "Kau tangani kasus
ini sendiri. Aku tak punya staf lagi untuk ini. Aku tidak dapat menugaskan orang lain. Kau mengerti?"
"Ya, Pak." "Aku memindahkan Sariya untuk menangani kasus lain. Sampai
kau tuntaskan kasus ini, ia akan menangani pekerjaan di bagian
lain." "Ya, Pak." "Dan aku tak ingin kau berbicara pada banyak orang lain di
kantor ini. Simpan ini untuk dirimu sendiri. Kalau ada yang bertanya, katakan saja bahwa ada bukti baru yang ditemukan dan kau
sedang mempelajarinya. Jangan bicara terlalu rinci tentang ini."
"Ya, Pak." Terdengar suara keras entakan saat caleche yang ditarik kuda
bergemerincing lewat di sepanjang jalan di bawah, kusirnya berteriak pada wisatawan, meminta mereka untuk cepat naik. hasani
menatap ke bawah beberapa saat, kemudian berbalik dan kembali
ke mejanya. "Jadi, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya.
Khalifa mengangkat bahu, sembari mengisap Cleopatranya
yang ia selipkan di antara jarinya.
"mencoba mencari dan mendapatkan lebih banyak lagi tentang latar belakang Jansen, kukira. Kita lihat apakah aku mampu
mengungkapkan banyak hal untuk mengaitkannya dengan
Schlegel. Sejenis motif untuk membunuh perempuan itu. Apa pun
yang kita miliki saat ini sangat bergantung pada kondisi."
hasani mengangguk, membuka laci mejanya, mengambil kunci
rumah Jansen dan melemparkannya pada Khalifa.
"Kau akan memerlukan benda ini."
Khalifa menangkap kunci itu dan menyimpannya dalam saku
jaket. ~ 188 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"Aku akan mengontak orang Israel untuk beberapa hal,"
katanya. "Kita lihat siapa tahu mereka memiliki sesuatu tentang
perempuan ini." hasani menyeringai tapi tidak berucap apa-apa. Ia menangkap
tatapan Khalifa beberapa lamanya. Kemudian, secara perlahan,
menjauhkan diri dari meja dan berdiri lagi. hasani berjalan menuju lemari arsip di sudut ruang, berjongkok dan membuka kunci laci
paling bawah, mengambil arsip merah yang tipis. Ia kembali ke
mejanya dan memberikan arsip itu kepada Khalifa. Di halaman
depannya tertulis "2345/1"Schlegel, hannah. march 10,1990".
"Aku menduga semua petunjuk dan informasi sudah beku
sekarang ini, tapi kita tidak pernah tahu."
Khalifa melihat pada file itu.
"mahfuz bilang kau membakar file ini."
hasani menggerutu. "Kau bukan satu-satunya orang di seputar
sini yang masih memiliki kata hati, tahu."
Lagi-lagi ia membalas tatapan mata Khalifa. Kemudian dengan
gerakan tangannya, ia menyuruh Khalifa pergi.
"Dan aku ingin diberi laporan terakhir secara reguler!" ia berteriak pada punggung Khalifa. "Yang artinya laporan rutin."
Y erusaLem SeTeLAh ACARA mAKAN SIANG UNTUK PeNGUmPULAN DANA SeLeSAI DAN IA
melihat har-zion kembali ke kantornya di gedung Knesset di
Derekh Ruppin, Avi Steiner naik bus menuju Romema untuk
memeriksa kotak surat. matanya memandang sekeliling penuh
curiga pada penumpang lain, sedikit khawatir pada potensi adanya
pembom bunuh diri"Tuhan, ironi sekali kiranya bila harus
berakhir di dalam bus dengan salah satu kaki tangan almulatham"daripada kemungkinan dibuntuti orang. memang ada
peluang, sangat kecil"seluruh persoalan ini seperti rahasia yang
dijaga ketat sehingga hampir semua yang terlibat tidak tahu bahwa
~ 189 ~ PAUL SUSSMAN mereka memang terlibat"tetapi kita tidak akan pernah dapat
bersikap terlalu hati-hati. Itulah sebabnya har-zion memercayainya, menjulukinya ha-Nesher, si elang"karena ia begitu hati-hati,
melihat segala hal. ha-Nesher, dan juga ha-Ne-eman"si Setia. Ia
akan melakukan apa saja untuk har-zion. Apa saja. Ia seperti ayah
baginya. Ia turun dari bus di ujung Jalan Jaffa dan, sekali lagi, melihat
sekilas dengan penuh curiga pada sekelilingnya, kemudian berjalan
menaiki bukit menuju pusat Romema, daerah permukian tepi kota
yang membosankan dengan blok apartemen batu kuning berselang-seling dan kumpulan pohon pinus serta sipres. Tiba-tiba ia
berbalik, ke jalan yang tadi dilaluinya, memastikan dan memastikan kembali bahwa ia tidak diikuti sebelum akhirnya ia
menyelusup ke dalam sebuah toko dengan tanda di pintu yang
mengumumkan GRoSIR, ALAT TULIS KANToR, KoTAK SURAT
PRIBADI. Ia tidak memeriksa kotak suratnya secara teratur"keteraturan
artinya rutin dan rutinitas menimbulkan kecurigaan. Kadangkala ia
datang beberapa hari setelah kunjungan terakhirnya; kadangkala ia
tidak mengunjunginya sama sekali selama seminggu, dua minggu,
bahkan sebulan. Kau tidak akan pernah bisa terlalu berhati-hati.
Kotak-kotak surat itu berada di sepanjang dinding di belakang,
tidak terlihat oleh pandangan pemilik toko, seorang perempuan
tua Sephardee yang dalam tiga tahun Avi kerap datang ke sini,
tidak pernah sekalipun pindah dari kursi tangannya di belakang
meja layan kayu lapis yang rendah. Sekali lagi ia melihat sekeliling
untuk yang terakhir kali, kemudian mengeluarkan kunci, membuka
kotak nomor 13, mengambil satu amplop dan segera diselipkan ke
saku jaketnya sebelum ia mengunci kembali kotak itu dan keluar. Ia
berada di dalam tak lebih dari satu menit.
Kembali ke jalan, ia berputar-putar dahulu untuk beberapa
The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat, kemudian membuka amplop suratnya. Di dalamnya hanya
ada satu lembar kertas yang ditulisi dalam huruf besar yang sama
sehingga tidak dapat ditelusuri, nama dan alamat. Ia mengingat
~ 190 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
tulisan dalam surat itu, dan kemudian merobeknya ke dalam
robekan kecil, mencampurkannya dahulu dan membuangnya
dalam empat kotak sampah berbeda sebelum ia kembali ke Jalan
Jaffa dan mengejar bus yang menuju kota, berpegang pada pengetahuan bahwa apa yang ia lakukan adalah untuk kebaikan bangsa
dan negaranya. Y erusaLem DATANG PUKUL LImA SoRe, Tom RoBeRTS mASIh TeTAP BeRKUTAT DI meJA
ruang kerja Layla, dikelilingi berlembar-lembar kertas dengan
coretan, sepertinya tidak semakin mendekat pada penemuan penting tentang dokumen rahasia yang tak jelas itu daripada keadaan
enam jam sebelumnya ketika ia mulai mempelajarinya.
Layla dan Roberts telah berjalan kaki bersama dari American
Colony hotel dan, setelah membuatkannya secangkir kopi, Layla
memberikan lembar fotokopi, yang telah ia lepaskan dari surat
pengantarnya (seperti kebanyakan jurnalis ia membuat peraturan
untuk tidak pernah memberikan lebih banyak informasi daripada
yang seharusnya ia berikan).
"Dan kau tidak tahu sama sekali dari mana surat ini berasal?" ia
bertanya, sambil menatap pada dokumen, memain-mainkan dasinya dengan sedikit bingung.
"Tidak ada sama sekali. Seseorang mengirim surat itu melalui
pos. Yang kau tahu ya seperti yang aku tahu."
Ia membalikkan lembaran itu, memerhatikan sisi sebaliknya
yang kosong, kemudian membalikkannya lagi, matanya mengintip
dari balik kacamata. Dengan tangannya yang bebas ia menggaruk
luka kecil eksim di belakang lehernya, tepat di atas garis kerah.
"Yahh, sukar untuk merasa pasti tanpa melihat dokumen
aslinya. Tapi dugaanku, ini berasal dari zaman pertengahan"awal
pertengahan bila palaeografi adalah titik tolaknya."
~ 191 ~ PAUL SUSSMAN Ia menangkap keragu-raguan pada wajah Layla.
"Aku mempelajari periode itu untuk gelar Ph.D-ku," jelasnya
"Kau punya kepekaan pada hal ini."
Layla tersenyum. "Aku tak pernah tahu bahwa kau seorang
Doktor, Roberts." "Ini bukan sesuatu yang kugunakan untuk mempromosikan
diri. Yurisprudensi Latin zaman pertengahan awal cenderung
mematikan percakapan."
Layla tertawa, dan untuk sesaat mata mereka beradu pandang
sebelum Roberts melengos, malu.
"Biarpun begitu," ia melanjutkan, "dengan berasumsi bahwa
ini memang zaman pertengahan, maka seharusnya tidak terlalu
sulit untuk mengungkapkan maknanya. enkripsi memang belum
sempurna pada masa itu. Tidak ada mesin Teka-teki atau apa pun.
Kita lihat saja bagaimana kita mengungkapkannya."
Layla telah memakunya di meja di ruang kerjanya. Tom telah
melepas jaketnya, melonggarkan dasinya dan bekerja, dimulai
dengan menuliskan urutan huruf ke dalam lembar kertas terpisah
sehingga ia dapat membacanya dengan jelas.
"Kita tidak tahu bahasa apa yang telah dialihkan ke dalam kode
ini," katanya, "walaupun bila dari masa pertengahan, cukup
beralasan jika kita menduga ini bahasa Latin, atau mungkin juga
bahasa Yunani. Untuk sementara kita kesampingkan dulu persoalan
bahasa ini, dan berkonsentrasi pada algoritme."
Layla mengangkat alis matanya penuh tanda tanya. "Yang itu?"
"Pada dasarnya, metode pengkodean yang digunakan untuk
menuliskan pesan. Seperti kataku, penulisan huruf zaman pertengahan awal adalah ilmu pengetahuan yang agak tidak canggih.
Setidaknya di eropa. Bahasa Arab lebih maju di depan seperti
keadaan mereka umumnya pada masa itu. Tetapi, ada peluang
dengan didapatnya algoritma cukup sederhana di sini, baik substitusi sandi rahasia atau transposisi yang mungkin."
Kembali Layla menaikkan alisnya. "Bicaralah padaku dalam
bahasa Inggris, Tom."
~ 192 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"maaf." Ia tersenyum. "Salah satu dari banyak kesalahanku"
selalu berasumsi bahwa orang memiliki minat terhadap hal yang
sama sepertiku. Pada dasarnya, substitusi sandi rahasia adalah ketika kau menghasilkan abjad baru dengan mengganti huruf-huruf
dari sistem abjad yang ada baik dengan huruf atau simbol lain."
Ia menulis abjad pada selembar kertas, dan kemudian di bawah
masing-masing abjad tersebut dituliskan barisan abjad kedua dengan cara menggeser semua huruf-hurufnya satu spasi ke kanan,
sehingga A berpasangan dengan z, B dengan A, C dengan B, dan
seterusnya. "Kau kemudian menuliskan kembali pesan aslimu, atau teks
saja, dengan mengganti masing-masing huruf dengan huruf
ekuivalen dalam baris abjad yang baru. Jadi, "cat" menjadi BzS,
misalnya. Atau Layla menjadi KzXKz. Di sisi lain, transposisi adalah
ketika kau hanya merangkai kembali huruf-huruf yang ada dalam
teks aslinya menurut sistem persiapan, yang secara efektif menghasilkan anagram raksasa. Cukup jelas?"
"Sedikit," kata Layla sambil tertawa. "meskipun tidak banyak."
"Sedikit pun cukup baiklah untuk saat ini," katanya lagi, sembari menyusun pesan yang dialihtempat di depannya dan menatapnya kembali, sambil mengetuk-ngetuk gagang kacamatanya
dengan pensil. "Jadi apa yang harus kita lakukan adalah memikirkan algoritmanya, lalu berusaha mengungkapkan kuncinya atau
formula paling tepat yang digunakan untuk menghasilkan teks
sandi itu. Ini mungkin hanya persoalan peralihan Caesar yang mendasar, atau bisa jadi merupakan sesuatu yang lebih samar hingga
kita harus melakukan analisis berkali-kali."
Kali ini Layla tidak mengganggunya dengan bertanya apa yang
dia bicarakan. malah, dengan gelengan kepala penuh kekaguman,
ia telah menepuk bahunya dan meninggalkannya tenggelam dalam
analisis itu, menuju dapur untuk mempersiapkan makan siang
sederhana berupa lada, keju dan salad. mereka makan siang satu
jam kemudian, yang pada saat itu, Tom belum membuat kemajuan
apa-apa tentang dokumen rahasia itu.
~ 193 ~ PAUL SUSSMAN "Aku cukup yakin bahwa ini lebih merupakan substitusi sandi
rahasia monoalfabetik regular daripada transposisi," katanya, sambil melepas kacamata dan menggosok matanya. "Sayangnya aku
tidak semakin dekat untuk menemukan kuncinya. Ini terlihat lebih
kompleks dari yang kupikirkan."
mereka telah bercerita tentang pekerjaan Tom di konsulat, jurnalisme Layla, situasi saat ini di Timur Tengah"tidak ada yang terlalu berat. hanya ngobrol biasa. Pada satu kesempatan, Tom
bertanya tentang foto berbingkai ayahnya yang tergantung di atas
meja. Tetapi Layla menutup pembicaraan dengan cepat, beralih ke
topik lain, tidak ingin terbawa pada diskusi personal yang akan
mengungkapkan apa pun tentang dirinya. Dalam empat puluh
menit Tom telah kembali ke mejanya, bergulat sekali lagi dengan
kode misterius. Dan kini sudah empat jam berlalu, dan jam Kota Tua sudah
berdentang lima kali, namun Tom tetap belum dapat memecahkannya. Ia mengeluh panjang dan dalam lalu duduk kembali ke
kursinya, tangan terkunci di belakang lehernya, meja di depannya
separuh tertutup oleh lembaran kertas penuh coretan yang berserakan.
"Demi Tuhan!" ia bergumam, sambil menggelengkan kepalanya.
Layla, yang telah menghabiskan hampir seluruh sorenya itu
dengan berkutat di sofa mengerjakan artikel tentang konferensi
bantuan Palestina yang ia hadiri di Limassol, datang dan berdiri di
sisi Tom. "Sudahlah Tom, tinggalkan saja," katanya. "Tidak apa-apa,
kok." "Aku tak dapat memahaminya," ia mengeluh, sambil melepaskan kacamatanya dan membersihkan lensa dengan ujung dasinya.
"Padahal sandi rahasia dari periode ini adalah hal yang selalu
mudah." "mungkin ini bukan substitusi monoalfabetik," Layla mencoba
bercanda, tidak terlalu memahami istilah yang digunakan, sekadar
meringankan suasana hati Tom saja.
~ 194 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Tom tidak berkata apa-apa, hanya membersihkan kacamatanya. Kemudian ia mengambil lembar dengan kode yang sudah ditulis di atasnya dan melihatnya dalam jarak yang agak jauh, dengan lutut kirinya yang bergerak ke atas dan ke bawah di bawah
meja. "Ini akan menjadi sesuatu yang sederhana," katanya pada diri
sendiri. "Aku tahu ini akan menjadi sesuatu yang sederhana saja.
Aku hanya tak dapat melihatnya. Aku tak bisa memahaminya."
Ia lemparkan lagi lembaran itu ke atas meja, bersandar di
kursinya, mengambil setumpuk kertas lain, mempelajarinya sembari mengetuk-ngetukkan pensil dengan ujung karet penghapus
pada kursi berlengan itu. Ada satu lembar yang secara khusus telah
menarik perhatiannya hampir selama satu menit. matanya bolakbalik memindai barisan huruf yang sepertinya acak, kemudian ia
pinggirkan lagi, lalu kembali ke lembar itu lagi beberapa saat kemudian, menatapnya dengan lebih berkonsentrasi dan bertujuan daripada sebelumnya. Ketukan pensilnya makin lama makin pelan dan
akhirnya berhenti, begitu juga dengan lututnya. Ia menjauhkan
lembar itu, mengigit bibir bawahnya, kemudian meletakkan dokumen itu di meja. Ia memungut lembar kosong dari lantai dan mulai
menulis. Awalnya perlahan, kemudian lebih cepat, dengan mata
terus menancap pada lembar yang telah dipelajarinya dan kembali
pada kertas yang telah dicoret-coret. Setelah tiga puluh detik ia
mulai tertawa kecil. "Ada apa?" tanya Layla.
"Layla al-madani, kau memang benar-benar jenius!"
Layla bersandar pada bahu Tom, mencoba membaca apa yang
dituliskannya. "Sudah berhasil diungkap?"
"Tidak, Layla, kau yang sudah mengungkapnya. Kau benar. Ini
bukan substitusi sandi rahasia. Atau ini bukan hanya substitusi
sandi. Siapa pun yang membuat kodenya, ia menggunakan transposisi sekaligus substitusi. Dengan demikian masing-masing sistem
akan mudah untuk dibuka lagi sandinya. Bila dilakukan bersama~ 195 ~
PAUL SUSSMAN sama, keduanya menghasilkan keseluruhan hal yang sedikit lebih
membingungkan. Khususnya ketika pesan aslinya tertulis dalam
bahasa Latin pertengahan, seperti yang kucurigai."
Ia terus mencoret-coret sambil berbicara. Kini ia duduk kembali
dan memperlihatkan pada Layla apa yang telah ia tulis.
G. esclarmondae suae sorori sd
temporis tam paucum est ut mea inventio huius magnae rei
post maris transitum sit narranda, nunc satis est dicere per fortunam solam eam esse inventam; nec umquam inventa esset
nisi nostri labores lateban caecam illuminavissent. quam ad te
mitto ut in C. tuta restet. hic autem tanta est stultitia et fatuitas ut necessario peritura sit; quod grave damnum esset, nam
res est atiquissima ac potentissima ac gratissima. ante finem
anni ierusalem exibo, cura ut ualeas. frater tuus.
"Yang mereka lakukan," jelas Tom, "pertama-tama adalah
menuliskan pesan dalam bahasa sandi dengan menggunakan sandi
pengganti Caesar yang sederhana."
Ia meraih lembaran kertas kosong lain dan menulis abjad,
seperti yang telah dilakukan sebelumnya, dengan menghilangkan
huruf J dan W (mereka tidak menggunakan kedua huruf itu dalam
sistem abjad pertengahan awal, jelasnya). Di bawah abjad tersebut
ia menulis abjad kedua dengan semua huruf pindah lima spasi ke
kanan. "Itu memberi laki-laki ini"aku duga penulisnya adalah seorang
laki-laki"level primer dari penulisan sandinya. Dengan demikian,
beberapa kata pertama berubah dari G. esclarmondae menjadi b
znxfumgihyuz." Tom terdengar begitu bersemangat, puas dengan dirinya
sendiri, seperti seorang ilmuwan sedang menjelaskan penemuan
baru. "Namun, apa yang dia lakukan kemudian, dan yang membuat~ 196 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
ku tak dapat mengungkapkannya, adalah mentransposisi huruf
pertama dan kedua dari pesan berkode ini, dan yang ketiga dan
keempat, kelima dan keenam, dan seterusnya di seluruh teks. Jadi
b bertukar tempat dengan z, n dengan x, f dengan u, dan seterusnya. Transposisi ini memang dalam bentuk yang paling sederhana,
tetapi jika kau bekerja dengan dasar bahwa mereka hanya menggunakan substitusi, maka hal ini akan membuatnya menjadi agak
membingungkan. hanya jika kau mengatakan barangkali mereka
tidak menggunakan substitusi maka aku harus berpikir bahwa
mungkin aku akan dapat mengungkapkannya."
Tom menatap Layla, tersenyum. Semangatnya begitu menular
dan, sambil membungkuk, Layla mengecup pipinya.
"oh, kegembiraan dalam membuka sandi rahasia!" Tom
tertawa. "Jadi, apa artinya?" Layla bertanya, sambil memungut lembaran berisi teks yang sudah dibuka sandinya. Atau apakah penerjemahan ini tidak merupakan bagian dari kesepakatan kita?"
Alisnya mengernyit dan merenung.
"Yahh, biasanya aku mengenakan biaya ekstra untuk layanan
seperti itu. Tetapi, mempertimbangkan bahwa kaulah yang...."
Layla tertawa dan mengembalikan lembar tersebut.
"Teruskanlah, Dr Roberts. Lakukan pekerjaanmu."
Tom mengambil lembaran itu dari Layla.
"harus kukatakan bahwa bahasa Latin pertengahanku agak
payah. Sudah agak lama sejak terakhir kali kugunakan."
"Aku dapat memastikanmu bahwa kemampuanmu jauh lebih
baik dariku," kata Layla. "Teruskan saja."
Ia duduk kembali, membetulkan letak kacamatanya dan mulai
menerjemahkan, secara perlahan, berhenti di sana-sini untuk
memikirkan kata yang tidak biasa, memberikan cukup banyak
komentar seperti "Aku kira ini yang dimaksud", atau "Aku sedang
membuat parafrase di bagian ini", atau "Bisa saja aku keliru". Layla
mengambil kertas kosong dan, sembari bersandar pada meja di sisi
Tom, menuliskan apa yang dikatakannya.
~ 197 ~ PAUL SUSSMAN "G., untuk saudara perempuannya esclarmonde, memberi
salam," Tom memulai. "S.D. adalah salutem dicit?"menyapa".
Waktu begitu pendek, sehingga dongeng tentang bagaimana hal
hebat ini datang padaku haruslah menunggu kepulanganku dari
seberang lautan. Cukup untuk mengatakan bahwa hal ini ditemukan secara kebetulan, dan mungkin saja tidak akan pernah ditemukan sama sekali bila saja pekerjaan kita tidak berhasil mengungkapkan rahasia yang tersembunyi. Aku kirimkan ini padamu sekarang
dengan pengetahuan bahwa ini akan aman di C. Di sini ada ketidakpedulian dan kebodohan yang harus dibasmi, yang akan merupakan kehilangan yang menyedihkan, karena ini merupakan benda
kuno, kekuasaan besar dan keindahan. Aku harus meninggalkan
Yerusalem sebelum tahun berakhir. Aku percaya dan berdoa
semoga kau dalam keadaan sehat. Saudara laki-lakimu, GR."
Layla selesai menulis terjemahan itu lalu, sambil duduk di ujung
meja, membaca seluruh teks. Apa pun yang telah ia harapkan dari
dokumen itu, bukan yang ini. Ini terdengar seperti teka-teki.
"Kau tahu apa yang dimaksud oleh dokumen ini?" ia bertanya.
Robert mengambil lembar tersebut darinya dan membacanya
cepat. hening untuk beberapa saat lamanya.
"Ini memang tidak biasa," ia akhirnya berkata. "menilai dengan merujuk pada "Yerusalem" dan "seberang lautan" aku kira
surat ini dibuat ketika ia sedang dalam periode perang salib, walaupun itu sekadar tebakan yang kemungkinan tepat, jadi tidak perlu
mengutipku." "Dan ini kapan tepatnya?" Layla bertanya. "Sejarah perang
salib bukan keahlianku."
"Bukan keahlianku juga," Tom menjawab, sambil menggaruk
luka eksim di lehernya. "Kita lihat. Perang Salib Pertama mencakupi
Yerusalem dari Saracens pada 1099. Setelah itu ada negara perang
salib di Pulau Suci selama dua ratus tahun berikutnya, sampai akhir
abad ketigabelas, walaupun Yerusalem itu sendiri direbut kembali
oleh Salahuddin (al-Ayyubi)?"ia diam untuk beberapa saat, sambil berpikir?"1187, aku kira. Ya, 1187. Setelah horns of hattin.
~ 198 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Jadi ini pasti telah ditulis sebelum masa itu. Bisa jadi antara 1099
dan 1187, tebakanku seperti itu. Walaupun, seperti yang kukatakan, apa yang kubicarakan mungkin saja sampah belaka."
Tom meletakkan terjemahan itu dan, sambil melepaskan kacamatanya, mulai menyekanya kembali.
"Kerajaan perang salib dikenal sebagai outremer, yang secara
kebetulan," ia menambahkan, "berarti "di seberang lautan"."
Layla melihat pada pesan rahasia itu.
"Jadi menurutmu siapa pun yang menulis ini ia seorang pelaku
The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perang salib?" "Yahh, tentu saja bukan salah satu dari anggota biasa.
Kebanyakan dari mereka tidak bisa baca-tulis. Kenyataan bahwa
GR ini tahu bahasa Latin dan cukup berpendidikan untuk menulis
sandi menunjukkan bahwa ia bisa jadi seorang yang terhormat,
ahli menulis atau anggota kependetaan."
Ia melepas dan memegang kacamata ke depannya, memeriksanya, dan mengenakannya kembali.
"esclarmonde adalah nama Prancis pertengahan, sejauh yang kau
tahu hanya digunakan dalam wilayah Languedoc, jadi mungkin
saja merupakan tebakan yang cukup masuk akal bahwa GR berasal
juga dari bagian negara itu. Siapa dia sebenarnya, dan apa benda
kuno yang ditemukan ini, aku tak punya gagasan apa pun tentangnya. Benar-benar menggoda. Sangat membuat penasaran."
?"C?"" tanya Layla penasaran, sambil menunjuk huruf itu pada
teks. "Bisa jadi singkatan nama tempat, tetapi...." Tom mengangkat
bahu seolah berkata "siapa yang tahu?"
"Dan apakah ini asli?" ia bertanya. "Bukan palsu?"
Lagi, ia mengangkat bahu tanda tidak tahu pasti.
"Aku tak dapat dengan gampang mengatakannya padamu,
Layla. Tidak bisa tanpa yang aslinya. Bahkan, ini sama sekali bukan
subjek keahlianku. Kau harus pergi dan bicara pada ahlinya.
Seorang palaeografer atau apalah."
Ia tersenyum memohon maaf.
~ 199 ~ PAUL SUSSMAN "Aku rasa manfaat diriku sudah hampir selesai." kata Tom.
"Tidak sama sekali," kata Layla, sambil mencapai dan mengusap bahu Tom. "Kau sudah berbuat luar biasa."
mereka membersihkan semua lembar kertas coretan, membuangnya di kotak sampah, kemudian kembali ke ruang tengah.
Layla sedang berpikir untuk menawarinya minum, tetapi memutuskan tidak jadi. Tom kelihatan menangkap sikap diamnya, karena ia mengatakan bahwa sudah waktunya ia harus pergi.
"Aku tak cukup hanya mengucapkan terima kasih, Tom,"
katanya, sambil membukakan pintu depan untuknya. "Kau sudah
sangat membantu." "Aku senang." Ia tersenyum. "Sungguh. Ini tantangan bagiku.
Dan makan siangnya asyik sekali."
Ia pun melangkah keluar. "Lihat, Layla, aku tahu tidak ada udang di balik batu dan aku
benar-benar mengatakannya bahwa tidak ada niat apa-apa dariku,
tetapi aku hanya bertanya-tanya ... aku tidak ingin ... kau, tetapi
maukah kau...." Ia kelihatan gugup, mencari kata-kata yang tepat. Layla
melangkah maju dan mencium pipinya.
"Aku ingin makan malam," kata Layla sambil tersenyum. "Bisa
aku telepon kau?" Tom mengangguk. "Tentu saja. Asyik sekali. Aku tunggu kabar
darimu kalau begitu."
Ia menuruni tangga dengan langkah yang ringan dan Layla
menutup pintu, kemudian menyandarkan punggungnya pada
pintu itu. Tentu saja ia berbohong. Ia tidak berniat menelepon lakilaki itu. Tidak untuk saat ini. Apa yang ingin dilakukannya adalah
menemukan lebih banyak lagi tentang surat misterius ini.
"Siapa kau, GR?" ia bergumam pada dirinya sendiri, sambil
menatap terjemahan di tangannya, Tom Robert sudah dilupakannya. "Siapa kau sebenarnya" Apa yang kau temukan" Dan siapa
yang mengirimu padaku?"
~ 200 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Y erusaLem PADA UJUNG hARI, BeN-RoI meNGeNDARAI moBILNYA PULANG meNUJU
rumahnya, sebuah apartemen satu kamar yang kotor dan sunyi. Ia
kemudian mandi, meneteskan kolonye dan bersiap menuju apartemen saudara perempuannya Chava untuk makan malam hari
Sabbath. malam itu sejuk dan cerah, dengan langit biru dan angin sepoi
bertiup dari arah utara. Begitu tenang dan hening. Jalan seperti
biasanya, hanya saja sekarang kosong karena hari pelaksanaan
ibadah Sabat. Ia berpapasan dengan kelompok Yahudi haredi yang
bergegas pulang dari sinagog, rambut mereka yang keriting di
bagian samping menyembul ke atas dan ke bawah seperti pegas
bergelung. Sebaris serdadu perempuan muda sedang duduk di
tempat perhentian bus di terminal bus utama egged, sambil
tertawa dan merokok. m16 mereka seimbang dengan kaki mereka
yang ramping dan terbalut pakaian berwarna khaki. Kalau tidak,
kota itu seperti ditinggalkan. Ben-Roi menyukai hal seperti ini"
bersih, kosong, sunyi. Ada sesuatu yang murni dalam keadaan
seperti itu, tak tercela, seolah segala sesuatu yang terjadi sebelumnya terhapus begitu saja, memunculkan kota baru, permulaan
baru. Ia berharap, situasi seperti ini terjadi sepanjang waktu.
Apartemen Chava membelakangi Kota Tua, di ha-ma"alot,
jalan raya yang mewah berpagar pohon di pusat Yerusalem Barat.
Setelah sampai di depan gedung berbatu kuning ia meneguk
vodkanya dari botol pinggangnya dan memencet intercom di
samping pintu kaca. Diam sejenak, kemudian suara Chaim, keponakan laki-lakinya terdengar dari panel.
"Paman Arieh?" "Bukan," jawabnya, dengan aksen Amerika, "ini Spiderman."
Diam sejenak karena bocah laki-laki itu pasti sedang mempertimbangkan hal ini, kemudian gelak tawa.
"Pasti bukan Spiderman," teriaknya. "Pasti Paman Arieh! Ayo
~ 201 ~ PAUL SUSSMAN masuk!" Ada suara mendesis dan pintu pun terbuka. Ben-Roi memasuki
foyer, tersenyum pada dirinya sendiri, dan masuk ke dalam lift
menuju lantai empat, sambil mengambil mentol dari sakunya dan
memasukkannya ke dalam mulut untuk menutupi bau alkohol.
Ia menikmati malam Sabbath di rumah saudara perempuannya. Ini adalah satu dari sedikit acara sosial yang mungkin ia ikuti
akhir-akhir ini"hanya dirinya sendiri, Chava, suaminya Shimon
dan kedua anak mereka, Chaim dan ezer. elemen agamis tidak terlalu penting lagi baginya sekarang ini. Sejak kematian Galia, keyakinannya, yang pernah menjadi pusat keberadaannya, tampak
kacau-balau. Sejauh ini, sudah hampir satu tahun sejak ia terakhir
kali menginjakkan kaki ke dalam shul. Ia bahkan melewatkan
kesempatan menghadiri Liburan Paskah, Rosh hashanah, dan Yom
Kippur untuk pertama kalinya.
Bukan, bukan agama yang membuat Jumat malam begitu
istimewa baginya. Bukan juga kenyataan bahwa ia berada di
tengah-tengah keluarganya, darahnya sendiri, walaupun tentu saja
hal itu begitu penting. melainkan, ada kebahagiaan sederhana
berada di antara orang-orang bahagia, yang dapat tertawa, yang
melihat dunia sebagai tempat penuh cahaya terang dan harapan,
bukan guncangan kepedihan dan kebingungan. mereka adalah
keluarga yang puas dan bahagia, begitu hangat, begitu akrab.
Berada bersama mereka telah membantunya, kalau tidak untuk
melupakannya, paling tidak untuk mengingat sedikit yang tersisa.
Pintu lift terbuka dan ia melangkah keluar ke lantai koridor.
Chaim yang berusia empat tahun dan kakaknya ezer beranjak dari
pintu depan dan melompat ke dalam pelukannya.
"Apa kau menangkap pembunuh hari ini, Paman Arieh?"
"Apa kau bawa senjata sekarang?"
"maukah kau mengantar kami berenang minggu depan?"
"Ke kebun binatang! Ke kebun binatang!"
Ia mengangkat kedua bocah laki-laki itu dengan tangannya dan
membawa mereka masuk ke dalam apartemen, menutup pintu di
~ 202 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
belakangnya. Saudara iparnya Shimon, seorang laki-laki pendek
dan sintal dengan rambut afro keriting"sukar dipercaya bahwa ia
adalah seorang penerjun payung yang memiliki tanda jasa"keluar
dari dapur dengan celemek terikat di pinggangnya, bau ayam
panggang terasa mengikutinya.
"Kau baik-baik saja, Bung?" katanya, sambil menepuk bahu
Ben-Roi. Ben-Roi mengangguk dan mendudukkan anak-anak di lantai.
mereka berlari menuju kamar tidurnya, sambil tertawa dan membuat keributan.
"minum?" tanya Shimon.
"Apakah Chief Rabbi frumm?" tanya Ben-Roi. "mana Chava?"
"Sedang menyalakan lilin. Dengan Sarah."
Detektif itu tercengang. Ia tidak mengharapkan kehadiran
orang lain di sana. "Seorang temannya," jelas Simon. "Ia sedang punya waktu
luang malam ini, jadi kita undang saja."
Ia menatap koridor sekilas, dan kemudian merendahkan
suaranya. "Sungguh cantik. Dan masih sendiri!"
Ia berkedip dan menghilang menuju dapur untuk mengambil
minuman. Ben-Roi menuju koridor ke arah ruang duduk, melihat
sekilas ke arah ruang makan saat ia melewatinya. Saudara perempuannya, seorang perempuan berpinggul besar, tinggi dengan
potongan rambut bob, sedang membungkuk di atas meja sambil
memberkati lilin Sabbath. Di sebelahnya berdiri seorang perempuan lain, lebih kecil, lebih ramping, dengan rambut pirang yang
hampir sepinggang, berbusana China, sandal dan blus putih. Ia
menoleh, menangkap pandangan Ben-Roi dan tersenyum. Ben-Roi
menatap matanya sesaat, kemudian tanpa membalas bahasa
tubuhnya, ia menuju ke ruang tengah. Suara saudara perempuannya ini bergema di belakangnya, dalam memanjatkan doa tradisional Sabbath.
"Baruch ata Adonai, eloheinu melech ha"olam, asher kid"shanu
~ 203 ~ PAUL SUSSMAN b"mitz"votav v"tzivanu l"hadlich ner shel Shabbat."
Ia kemudian ditemani Shimon, yang memberinya segelas besar
wiski. Kedua perempuan itu datang beberapa saat setelahnya,
Chava menghampiri dan memeluknya.
"Aku suka sekali parfum yang kau kenakan setelah bercukur,"
kata Chava sambil mencium pipinya. "Ini Sarah."
Ia menariknya dan memberi tanda pada temannya, yang
tersenyum dan mengulurkan tangannya.
"Chava sudah bercerita banyak tentangmu," kata Sarah.
Ben-Roi menyambut tangan itu dan mengucapkan salam,
berusaha untuk santun. Ia menganggap kehadiran perempuan ini
tidak tepat. Ia menyukai situasi ketika hanya ada mereka berlima,
keluarga dan tanpa orang luar. Dalam keadaan begitu ia bisa menjadi dirinya sendiri, tidak perlu bersusah payah. Sekarang, dengan
adanya orang asing di sini, keakraban malam itu seolah terpolusi,
rusak sebelum dimulai. Ia mulai berharap dirinya tadi tidak datang.
"Jangan pikirkan dia," canda saudara perempuannya, sambil
menganggukkan kepala ke arah Ben-Roi. "Dia itu super sabra.
Biarkan saja sampai waktunya makanan penutup, dia akan
berubah sangat periang dan ramah."
Perempuan muda itu tersenyum tapi tidak mengatakan apa
pun. Ben-Roi menghabiskan wiskinya dengan dua tegukan panjang.
mereka bertukar kebahagiaan selama beberapa menit, dan
kemudian Chava permisi untuk mempersiapkan makan malam di
dapur. Ben-Roi mengikutinya karena hendak mengisi kembali gelasnya.
"Jadi bagaimana menurutmu?" tanya Chava ketika mereka
hanya berdua. "Apa maksudmu bertanya begitu?"
"Tentang Sarah, bodoh! Dia cantik sekali, "kan?"
Ben-Roi mengangkat bahu, menuangkan wiski untuk dirinya
sendiri dari botol yang ada di papan sisi.
"Belum kuperhatikan."
~ 204 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"Ya," kata saudara perempuannya dengan penuh tawa, sambil
membuka oven dan memeriksa ayam besar yang sedang dipanggang di dalamnya.
Ben-Roi maju ke depan dan, membuka tutupnya, membaui isi
dalam pot yang tengah membara di dalam kompor. Sop kneidlach
ayam. Kesukaannya. "Sarah perempuan yang baik," kata Chava, sambil memerciki
ayam. "Lucu, pintar, baik hati. Dan masih sendiri."
"Shimon juga sudah mengatakannya padaku," sela Ben-Roi,
sembari memasukkan sendok ke dalam pot dan menyeruput supnya.
Chava menepis tangan Ben-Roi dan membuka pintu oven.
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan, Arieh. Aku tidak
bermaksud mengatur hidupmu."
"Kau pasti telah mengolokku."
"Kotak sedekah! Kau tahu kita tidak menggunakan kata-kata
kasar di rumah ini."
Ben-Roi menggerutu memohon maaf, merogoh sakunya dan
mengeluarkan uang receh lima shekel yang ia masukkan ke dalam
kotak amal pada tepi jendela.
"Aku tidak sedang mencoba mengatur hidupmu," ulang Chava.
"Aku hanya berpikir ... ."
"Apa" Bahwa ini saatnya aku mulai mengencani seseorang?"
Ia menggigit bibirnya, mengeluarkan uang logam lain, sepuluh
shekel kali ini, dan memasukkannya ke dalam kotak.
"maaf." Chava tersenyum dan, sambil melangkah maju, melingkarkan
lengannya pada leher saudara laki-lakinya.
"Ayo, Ari. Yaa. Cerialah sedikit. Aku tak tahan melihatmu seperti ini terus. Tidak satu pun dari kita bisa tahan. Begitu tak bahagia.
Begitu ... tersiksa. Galia juga pasti tidak menginginkannya. Aku
tahu itu. Ia menginginkan kau memulai hidup baru. menjadi bahagia."
~ 205 ~ PAUL SUSSMAN Ben-Roi membiarkan Chava memeluk dirinya untuk beberapa
saat, kemudian mendorongnya, dan kembali meminum wiski.
"Biarkan aku menyelesaikan masalah ini dengan caraku sendiri,
adikku. Aku hanya butuh waktu, itu saja."
"Kau tidak bisa terus-menerus berkabung untuknya seperti ini,
Arieh. Kau harus melangkah maju. Kau pasti tahu ini, jauh di dalam
hatimu." Ia menghabiskan sisa wiski yang ada, sesuatu mengeras di
dalam dirinya. "Aku akan berkabung untuknya selama waktu yang kuinginkan,
Chava. Ini bukan urusan siapa pun selain diriku."
Kali ini tidak memohon maaf untuk ungkapan ekspletinya, juga
tidak memasukkan uang receh ke dalam kotak. Ia mengisi lagi
gelasnya dan menuju pintu dapur. Saudara perempuannya meraih
tangannya. "Paling tidak berusahalah dan bersikap sopan, Arieh. Tolong.
Paling tidak mencoba dan bersikap manislah."
Arieh menatapnya. mata perempuan itu lembab, memohon
dengan sangat, kemudian mengangguk dan keluar menuju koridor.
Dua puluh menit kemudian mereka duduk bersama di ruang
makan. Para lelaki dan anak-anak mengenakan yarmulkes dan
Shimon membawakan kiddhus pada secangkir anggur. Setiap orang
meminumnya sebelum mereka semua duduk bersiap untuk makan.
ezer dan Chaim memaksa duduk di sebelah Ben-Roi.
"Paman Arieh kami tahan," seru ezer menjelaskan. "Dan kami
adalah penjaga paman."
Dengan lebih banyak lagi minum, suasana hati Ben-Roi sedikit
bercahaya. "Baiklah," katanya. "Tetapi ingat, kalau kalian adalah penjaga
yang baik kalian harus mengawasi paman sepanjang waktu.
Sepanjang waktu. Yang artinya kalian tidak boleh makan malam
karena ini akan mengganggu kalian."
Kedua anak laki-laki itu menerima tantangannya dan, berputarputar pada kursi mereka, menatap Arieh. mereka berusaha
~ 206 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
melakukan ini sampai sup disajikan, yang pada titik itu mereka
sudah kehilangan minat. Shimon mengangguk pada Ben-Roi, yang
berdiri dan pergi ke papan sisi tempat ia membuka botol anggur.
The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Beberapa penjaga telah kau lumpuhkan," kata Sarah sambil
tersenyum. "Lihat"paman kalian baru saja melarikan diri. Dan
kalian bahkan tidak memerhatikannya."
"Dia tidak lari," ezer menangkis, sambil menyeruput supnya.
"Ada penjaga lain, tetapi mereka tidak terlihat."
Semua orang tertawa. mata Ben-Roi menangkap mata Sarah
dalam waktu yang sangat singkat, kemudian melengos lagi. Ia kembali ke meja dengan botol terbuka.
"Jadi, apa kegiatanmu?" ia bertanya, sembari menuangkan
anggur. "Dia seorang guru," kata Chava.
"Sejak kapan ia bisu?" kata Shimon. "Biarkan dia menjawabnya
sendiri." "maaf," kata Chava. "Lanjutkan Sarah, ceritakan saja padanya
mengenai aktivitasmu."
Perempuan muda ini mengangkat bahu.
"Aku seorang guru."
meskipun enggan, Ben-Roi tersenyum.
"Di mana?" "Di Silwan." "Silwan?" "Ini proyek khusus. eksperimen."
Ben-Roi mengangkat alisnya penuh pertanyaan.
"Kami mengajar anak-anak Israel dan Palestina bersama-sama,
dalam sekolah yang sama," jelasnya. "mencoba mengintegrasikan
mereka. merobohkan pembatas."
Ben-Roi menatapnya beberapa saat, kemudian merendahkan
pandangannya. Senyumnya memudar. Shimon mengambil hallah
dan menghancurkannya dalam mangkuk supnya yang sudah
kosong. ~ 207 ~ PAUL SUSSMAN "Apa kau mendapatkan dana yang kau cari?" Arieh bertanya.
Sarah menggeleng. "mereka berusaha mendapatkan uang
untuk para pemukim, tetapi untuk pengajaran ... semuanya berjalan sebagaimana adanya sekarang bahkan kami tidak mampu
mengusahakan pemberian buku mewarnai dan pulpen."
Ben-Roi sedang mempermainkan kneidl dalam mangkuknya.
"Aku tak melihat esensi pentingnya," ia bergumam.
"Tentang buku mewarnai?"
"Tentang mencoba menyatukan anak-anak Arab dan Israel."
Sarah melihat ke arahnya, matanya berbinar.
"Kau tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang patut dicoba?"
Ben-Roi menggerakkan sendoknya tak beraturan.
"Beda dunia, beda nilai. Tidak ada manfaatnya memikirkan
mereka akan dapat bersanding bersama. Naif."
"Sebenarnya, kami telah banyak berhasil," Sarah menangkis.
"Anak-anak bermain bersama, berbagi pengalaman, membangun
persahabatan. Betapa menakjubkan bagaimana mereka berpikiran
terbuka sejauh yang mereka mampu."
"Dalam beberapa tahun, mereka akan menggorok tenggorokan,"
kata Ben-Roi. "Begitulah semua biasa berjalan. Tak ada gunanya
mencoba berpura-pura ada perbedaan."
Untuk sesaat tampaknya ia akan bertengkar dengan Arieh.
Namun Sarah hanya tersenyum dan mengangkat bahu dengan
ringan. "Kami akan biarkan ini berjalan apa adanya. Kau tidak pernah
tahu, ini akan memberikan hasil baik. Lebih baik daripada mendorong mereka untuk tumbuh sambil membenci sesamanya,
pastinya." Ada keheningan sejenak, tidak mudah, dipecahkan oleh Chaim,
yang mulai bercerita tentang bagaimana mereka menemukan tikus
dalam toilet di kolam renang lokal dan penjaga kolam membunuhnya dengan sapu.
~ 208 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"Bagus itu," kata Ben-Roi, sambil menghabiskan supnya dan
melempar pandangan pada Sarah. "Itu satu-satunya cara untuk
berurusan dengan pengganggu. hancurkan si keparat."
Arieh tidak banyak bicara setelahnya, makan sambil diam sementara yang lain berbincang di antara mereka sendiri, terutama,
tak dapat dihindari, tentang ha-matzav, situasi politik saat ini.
Begitu mereka selesai makan, mereka menyanyikan lagu zemirot,
Ben-Roi bersenandung tanpa nada, kemudian menarik diri ke
ruang tengah untuk minum kopi. Pada pukul sepuluh, ia mengatakan dirinya harus pergi.
"Aku juga," kata Sarah, sambil berdiri. "malam yang sangat
menyenangkan, Chava. Terima kasih banyak."
Keduanya berpamitan. Ben-Roi kesal karena dia tidak bisa pergi
sendiri, dan turun dengan lift bersamanya dalam keheningan yang
canggung. Begitu mereka melangkah keluar lift, Arieh bertanya ke
arah mana Sarah akan berjalan.
"Ke kanan," katanya. "Kau?"
Ia seharusnya juga ke kanan.
"Ke kiri," katanya.
Ada jeda yang agak aneh. "oh, baiklah," Sarah akhirnya berkata. "Senang bertemu
denganmu." Ia tersenyum dan mengulurkan tangan. Arieh melihat ke arahnya, mengangguk, berbalik dan mulai melangkah pergi. Setelah ia
melangkah beberapa meter, Sarah memanggilnya.
"Aku menyesal tentang apa yang terjadi, Arieh. Chava menceritakannya padaku. Aku begitu prihatin. Ini pasti sangat tidak
enak bagimu." Ia memperlambat langkah. "Kau tidak menyesal," Arieh ingin
berteriak padanya. "Kau pencinta Arab yang kotor. mereka membunuh satu-satunya perempuan yang pernah kucintai dan kini kau
berpura-pura menyembunyikan sesuatu. Kau zonah goblok
keparat. Pelacur jalang."
Arieh tidak berkata apa-apa, hanya mengangkat sedikit tangan~ 209 ~
PAUL SUSSMAN nya untuk pamitan, dan melangkah lagi, terus berjalan sampai di
ujung jalan, kemudian menghilang di sudut menuju ha-melekh
George. SeTeLAhNYA, JAUh SeTeLAhNYA, seusai menghabiskan tiga jam lamanya
untuk minum seorang diri di Champs Pub di Jalan Jaffa, Ben-Roi
beranjak menuju flatnya, hanyut dengan CDnya Schlomo Artzi dan
jatuh ke sofanya, tertidur.
Ada seorang pelacur di bar itu, muda, pirang, seorang Rusia,
dengan mata bermaskara dan lengan berlubang transparan dari
pengguna pukulan reguler. Arieh berpikiran untuk membawa serta
perempuan itu, melupakan kemarahan dan kesepiannya barang
sejenak, tetapi kemudian memutuskan yang sebaliknya. Ia terlalu
takut, tidak akan mungkin bisa ereksi, pada akhirnya akan merendahkan dirinya sendiri lebih daripada yang telah ia lakukan, bila
hal seperti itu dimungkinkan. Perempuan itu sudah menggoda dan
melayaninya, tetapi Arieh mengatakan padanya untuk pergi dan
terus minum seorang diri, sambil menatap bayangannya di cermin
belakang bar, wajahnya yang besar dan tulang menonjol yang
dibagi dua oleh sendi vertikal antara dua panel kaca sehingga terlihat seperti tulang tengkoraknya sudah dibelah dua dan keduanya
terpisah, meninggalkan garis hitam tebal yang ada di bagian
tengahnya. Ia bersandar pada sofa dan memejamkan mata, tetapi terjaga
oleh gelombang rasa mual dan membuka matanya kembali hampir segera, tatapannya menuju ke sekeliling ruang, mencoba mendapatkan sesuatu untuk diperhatikannya. Ia melihat CD-playernya,
retak-retak di langit-langit, Batya Gur, sebelum akhirnya matanya
terhenti pada barisan foto berbingkai di dalam rak di seberang.
Sambil menarik napas dalam-dalam, ia berjalan di sepanjang lajur,
menggunakan imej untuk memantapkan dirinya sendiri, seolah
matanya adalah tangan dan foto-foto itu adalah rel besi yang
kokoh yang membuatnya tetap berdiri tegak: ia dan saudara
perempuannya bergantung terbalik dari pokok pohon aprikot;
~ 210 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
kakek buyutnya, ezekiel Ben-Roi tua, seorang Rusia yang keras,
berjanggut lebat yang telah beremigrasi ke Palestina yang dikuasai
ottoman pada 1882, membuat keluarga Ben-Rio menjadi salah
satu dari keluarga Yahudi yang tinggal paling lama di wilayah tersebut; ia dalam acara wisuda kelulusan dari sekolah polisi; ia dan
Alpacino, yang filmnya Serpico telah memberi inspirasi baginya
untuk menjadi polisi. Dan tentu saja, yang terakhir dari semuanya,
di ujung kanan barisan itu, foto terbesar dari semuanya, dia dan
Galia, sedang tertawa menatap kamera, ombak keperakan Laut
Galilee ada di belakang mereka, di Ginosar, pada malam ulang
tahunnya yang ketigapuluh, saat Galia memberinya botol pinggang perak dan bandul berbentuk menorah yang tetap ia kenakan
pada rantai di lehernya. Ia menatap foto itu lamat-lamat. Jari-jari di tangan kirinya
memainkan bandul tanpa daya, kemudian, dengan mengangkat
tubuhnya untuk berdiri, ia jalan sempoyongan ke ruang tidur.
Tertempel pada dinding di sisi tempat tidurnya adalah fotokopi
artikel surat kabar, yang diperbesar tiga kali dari ukuran sesungguhnya, tinta merah tebal melingkari kata dan frasa tertentu"Jericho
dan Dataran Laut mati; manio; laki-laki kurus tinggi; jalan terlalu
canggih untuk menuju sel pengkhianat Palestina; daya pendorong
harus sesuatu yang eksternal. Ia bersandar pada dinding dengan
satu tangan pada artikel dan teks yang dipindai, sambil membaca
keseluruhan artikel tersebut, seperti yang telah ia lakukan ribuan
kali tahun lalu, sebelum akhirnya tersungkur di tempat tidurnya,
tempat ia berbaring sambil melihat pada sebuah botol untuk digunakan setelah bercukur yang ada pada lemari sisi tempat tidur.
"Sakit perut," ia menggerutu dalam mabuk: "Kau membuatku
sakit perut." Kemudian matanya tertutup dan ia terjatuh tidur, mendengus
keras, tangan kanannya mengepal seolah sedang menggenggam
pegangan parasut. ~ 211 ~ PAUL SUSSMAN Y erusaLem ITU ADALAh mImPI SeRUPA YANG SeLALU IA ALAmI, SeTIAP mALAm TANPA
terkecuali. Ia berada di dalam sel bawah tanah, sangat kecil dan
sesak, gelap, dengan lantai tertutup kotoran dan dinding beton
yang lembab. Ada sesuatu di sana bersamanya; ia tak tahu apa"
ular, barangkali, tikus, atau kalajengking raksasa. Sesuatu yang
berbahaya, berhati dengki. Ia telanjang, menekan tubuhnya yang
lemah pada satu sudut sel, mencoba menjauhkan dari banyak hal,
takut terhadap kontak dengannya, atau terhadap gigitan dan sengatan. Saat ia melakukannya terdengar deru mesin dari kejauhan,
seperti roda besi besar yang perlahan berputar, dan dinding mulai
saling mendekat, membawa perempuan dan makhluk itu saling
berhadapan. Perempuan itu mulai berteriak, memanggil ayahnya,
bersikeras mengatakan ia bukan pengkhianat, ia seorang Palestina
yang baik. Dinding terus bergerak, kadang mendorong kakinya ke
atas dan terbuka sehingga bagian pribadinya tampak. Ia merasakan
makhluk itu bergerak di bawah sana di antara kedua pahanya, merayapi kulitnya, menjelajah, bergerak ke atas dengan mantap. Ia
mencoba untuk tetap diam, tidak bernapas, tetapi ia merasa menjijikkan sehingga membuatnya tak dapat bertahan kecuali tersentak, kemudian ia koyak sampai ke kelangkangnya, menggigit dan
menyayat dan menyengat, merobeknya dan berdiri tegak lurus di
dalam dirinya. "Tidak!" ia berteriak, terbangun, lengan dan kakinya terkulai.
"Tolong, Tuhan, tidak!"
Ia kejang terus selama beberapa detik, kemudian roboh kembali ke tempat tidurnya, gemetar, ada suara dering yang jauh di
telinganya. Secara perlahan napasnya kembali tenang dan tubuhnya rileks, tetapi dering di telinganya terus berlanjut, dan begitu
pikirannya jernih ia tiba-tiba menyadari telepon terus berdering. Ia
melihat sekilas pada jamnya"1:30 dini hari"kemudian mengayunkan kakinya beranjak dari tempat tidur, menggosok matanya,
pergi ke ruang kerjanya sambil mengangkat gagang telepon.
~ 212 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"Layla?" Itu suara Tom Roberts. "Ini baru pukul satu tiga puluh," katanya, suaranya terbatabata, menyebalkan.
"Apa" oh, Layla! maafkan aku. Aku tak tahu kalau ini sudah
larut malam. Aku hanya ingin mengatakan ... Ahh, lupakan saja,
lupakan saja. Aku telepon lagi besok."
Ia terdengar begitu bersemangat.
"Ingin mengatakan apa?"
"Tak apalah. Aku telepon kamu lagi besok."
"Aku sudah bangun sekarang, Tom. Apa yang kau inginkan?"
Layla masih merasa berada dalam mimpi buruk dan nada
suaranya begitu tajam, penuh curiga. Ia memiliki perasaan kacau
kalau Tom akan mengungkapkan sesuatu yang memalukan, mengatakan padanya bahwa ia jatuh cinta pada Layla atau yang lain.
"hanya ingin mengatakan bahwa aku begitu memikirkan
banyak hal itu sejak aku pamit sore hari tadi...."
oh Tuhan, pikir Layla. "Dan aku kira aku punya ide tentang kepanjangan dari GR."
Perlu beberapa saat agar kata-kata itu tercerna olehnya, dan
kemudian, tiba-tiba ia benar-benar terjaga. Ia menyalakan lampu,
mencari pulpen dan kertas.
"Lanjutkan." "Aku tidak tahu mengapa hal itu tidak terjadi padaku tadi,"
lanjutnya, "aku pun tak mengerti dengan referensi ke Yerusalem
dan tempat tersembunyi rahasia. Ini benar-benar kebetulan yang
menakjubkan. Tapi, aku pikir ada seseorang yang bernama William
de Relincourt." Layla ternganga, pulpennya terhenti di atas lembaran kertas.
"Inisialnya GR, Tom, bukan WR."
"Aku tahu," katanya. "mungkin itu sebabnya mengapa ia tidak
segera terlintas dalam pikiranku tadi. Soalnya adalah, dalam Latin
pertengahan, nama William diterjemahkan menjadi Guillelmus,
~ 213 ~ PAUL SUSSMAN dengan "G"."
Ia menuliskan nama itu dan menggarisbawahinya.
"Siapa dia?" "Aku jadi pengen tahu tentang Well, ini yang begitu menarik,"
kata Roberts. "Sejauh yang kuingat"dan seperti kataku sore ini,
aku tidak jago dalam hal periode ini"dia laki-laki yang membangun Gereja makam Suci. Atau mungkin membangunnya kembali. Gereja aslinya adalah Byzantine, aku kira. Atau Romawi" Aku
tak ingat. Tak apalah. Intinya, selama era perang salib gereja sudah
selesai dibangun kembali, dan ketika mereka membangun fondasinya William de Relincourt ini diperkirakan memiliki harta karun
yang menakjubkan di bawah tanah."
Layla merasa bulu roma di lengannya berdesir.
"harta karun apa?"
"Aku tak tahu. Aku kira tidak ada yang tahu. Cerita ini muncul
di salah satu kronikel perang salib. William of Tyre, aku kira,
walaupun bisa saja aku salah. Seperti sebuah kebetulan yang luar
biasa. Dua orang dengan inisial sama, di Yerusalem pada saat yang
kurang lebih sama, menemukan objek tersembunyi yang misterius.
Luar biasa." Layla menulis semua informasi itu untuknya sendiri, kemudian
mengambil terjemahan yang telah mereka buat sebelumnya sore
itu dan membacanya. "Layla?" "Ya, aku masih di sini. Aku sedang membaca ulang surat itu."
Ia selesai membaca dan meletakkan surat itu di atas meja, sambil mengusap rambutnya yang terpotong pendek.
"Aku susah untuk mengerti, Tom. Bila ini berkaitan dengan politik, aku memiliki buku alamat yang penuh dengan kontak, tetapi
sejarah pertengahan.... Aku tak tahu apa-apa tentangnya. Ia tak
pernah menarik minatku."
Diam sesaat. "Kalau kau mau kita bisa...."
~ 214 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Layla tahu apa yang akan dikatakan Tom dan segera memotong.
"Aku lebih suka menelitinya sendiri, Tom. maafkan aku, ini
sekadar caraku bekerja. Tidak ada yang personal."
Layla terdengar begitu kokoh, dingin. Pada kesempatan yang
lain mungkin dia akan meminta maaf"bagaimanapun juga Tom
sudah sangat membantunya"tetapi malam ini Layla tidak dalam
The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suasana yang nyaman untuk itu.
"Tentu saja, tentu saja," Tom berkata pelan. "Aku cukup
mengerti. Sebenarnya aku pun begitu."
"Aku hanya memerlukan kemudi, Tom. Bimbingan, petunjuk.
Seseorang yang tahu tentang hal ini. Dapatkah kau menolongku?"
Layla dapat mendengar tarikan napas Tom pada ujung jalur
lain. "Tolonglah?" ia menambahkan.
Diam lagi untuk sesaat. "Ada seseorang di makam Suci," katanya akhirnya, ada kegelisahan dalam suaranya. Salah satu pendeta Yunani ortodoks. Bapa
Sergius, begitu namanya kurasa. Laki-laki bertubuh tambun.
mengetahui segala sesuatu di sana berarti mengetahui tentang
sejarah gereja. Ia telah menulis buku tentang itu. Dia mungkin
dapat menjadi titik awal yang baik.
Layla menulis nama itu pada bukunya.
"Terima kasih, Tom," katanya. "Aku berutang padamu."
Layla merasakan bahwa Tom menginginkan sesuatu yang lebih
dari itu pada dirinya. Bahwa ia sedang menantikan ungkapan kata
tertentu, sejenis kepastian. Layla sedang tidak berminat untuk itu.
William de Relincourt"itu saja yang dapat ia pikirkan.
"Terima kasih," ia berkata sekali lagi. "Nanti aku meneleponmu."
Layla meletakkan gagang telepon, duduk sebentar sambil
menatap nama yang ada di depannya, kemudian memasang kontak laptopnya pada hubungan telepon, masuk ke Google dan
mulai mencari. ~ 215 ~ PAUL SUSSMAN L uxor KeBUN PISANG ITU mASIh DISeLImUTI emBUN PAGI KeTIKA KhALIfA TIBA DI
Vila Karnak milik Jansen, membuka kunci gerbang depan dan
mengendap-endap di sepanjang jalur berbatu kerikil menuju
gedung rendah berlantai satu di depannya, dengan serambi kayu
dan jendela di sana-sini.
Ia telah menghabiskan sore dan malam itu mempelajari arsip
kasus Schlegel, sambil membuat beberapa catatan, membiasakan
diri lagi dengan kasus tersebut. Sebagaimana telah ia curigai, arsip
itu terbukti tidak banyak membantu. Arsip itu memang memberikan beberapa detail yang terlupakan"foto mayat Schlegel,
pernyataan dari para saksi yang telah melihatnya sebelum ia tewas,
salinan korespondensi dengan Kedutaan Besar Israel dalam pengaturan transportasi jasadnya kembali ke Israel"tetapi tidak ada
yang secara realistis dapat dianggap sebagai informasi baru. Ia
telah mencoba membangun kontak kembali dengan dua saksi
kunci"pengurus rumah tangga yang mendengar Schlegel berbicara
lewat telepon di kamar hotelnya dan penjaga Karnak yang telah
melihat seseorang bergegas dari tempat kejadian pembunuhannya"tetapi setelah menggalinya ia mendapatkan keterangan
bahwa penjaga itu telah meninggal dan pengurus rumah tangga
telah menikah lalu pindah dari daerah tersebut tanpa meninggalkan alamat barunya. Secara efektif, ia harus mulai dari awal lagi.
Ia sampai di pintu depan vila. Setelah beberapa kali menjajal
kunci, pintu akhirnya terbuka dan ia melangkah masuk ke dalam
ruang yang dingin dan teduh, kemudian menyalakan kontak
lampu. Segala sesuatunya benar-benar masih sama seperti ketika ia
berkunjung terakhir kali"kursi bertangan, rak kertas, lukisan cat
minyak yang besar bergambar puncak gunung yang berbatu-batu,
nuansa yang sama dalam kerapian yang steril dan keamanan yang
obsesif. Setengah lusin surat berserakan di lantai dekat kakinya. Ia
pun membungkuk, memungut surat-surat itu dan membacanya.
Lima yang pertama adalah tagihan atau surat edaran; yang keenam
~ 216 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
ada tulisan tangan di amplopnya dan cap pos Luxor. Ia membukanya dan menarik fotokopi brosur yang mengiklankan sebuah
seminar untuk esok hari: "Kejahatan bangsa Yahudi". Pembicaranya adalah Syekh Umar Abdul Karim, pekerja lokal yang terkenal
dengan ajarannya yang menghasut dan anti-Barat.
Khalifa mempelajari brosur itu, terheran-heran karena hal
seperti itu dikirim pada seseorang seperti Jansen, kemudian memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Lalu, sembari menutup
pintu di belakangnya, ia pun mengelilingi ruang itu.
Sebuah pembukaan. Itu yang sedang dicarinya. Sejenis jendela
menuju dunia rahasia Jansen. Sesuatu, apa pun, yang akan memberitahukan padanya lebih banyak tentang pemilik vila yang misterius ini. Sesuatu yang dapat membantunya menerobos areal tak
dapat dimasuki yang tampaknya telah dibangun pria itu di sekeliling dirinya.
Dia memulai dari ruang tengah, merasa yakin bahwa di sana
akan ada petunjuk tentang kisah Jansen, meski tidak pasti
bagaimana membacanya. Lukisan cat minyak yang besar, misalnya.
Lukisan itu jelas-jelas mengatakan sesuatu tentang pemiliknya, tentang kehidupan dalam dirinya. Tetapi apa" Bahwa ia sekadar
menyukai gunung" Atau apakah pesannya bisa lebih spesifik"
Bahwa ini adalah lanskap dari negeri asalnya, barangkali (tetapi
bukankah Belanda itu negeri yang datar)" Ia merasa seolah semua
informasi yang ia perlukan untuk mendapatkan inti pencariannya
ada di sini di depannya, tetapi semua dalam sandi, dan ia tidak
memiliki jiplakan untuk memecah sandi itu.
Ia menghabiskan waktu setengah jam, meneliti ruang itu,
kemudian pergi ke ruang tidur, ruang kerja, tempat ia agak lama
berada di situ mengamati rak buku Jansen, menarik beberapa
dokumen secara acak, membuka-buka halamannya: Die Sudlichen
Raume des Tempels von Luxor oleh h. Brunner; The Complete
Works of Josephus, diterjemahkan oleh Willian Whiston; Cathares
et Templiers oleh Raimonde Reznikov; from Solon to Socrates
oleh Victor ehrnberg; The Basilica of the holy Sepulchre oleh G.S.P.
~ 217 ~ PAUL SUSSMAN freeman-Grenville. Seperti pada kunjungannya dulu, ia takjub oleh
keragaman subjek yang dibaca Jansen, oleh inteligensi dan pengetahuan laki-laki itu. Ada karya tulis tentang segala sesuatu dari
zaman mesir Pra-dinasti ke Inkuisisi Spanyol, Perang Salib ke adat
istiadat penguburan Aztec, Bizantin Yerusalem ke seni penanaman
bunga mawar. Ini merupakan koleksi yang kaya, ekletik dan intelek,
dan sekali lagi Khalifa merasa hal itu agak ganjil dibandingkan
kehidupan luar laki-laki yang memiliki semua itu.
"Siapa kau, Piet Jansen?" ia bergumam pada dirinya sendiri.
"Siapa kau, dan mengapa kau di sini?"
Dari rak buku ia mengalihkan perhatiannya pada meja, kemudian pada lemari arsip. Yang pertama berisi folder plastik yang
menyimpan dokumen bisnis, perbankan, asuransi dan legal, membuktikan tidak ada hal baru lagi yang terungkap dari situ dibandingkan ketika ia memeriksanya untuk pertama kali dulu. Yang
kedua, dengan kantong berisi slide fotografi, lebih menarik hanya
karena slidenya adalah mengenai tempat yang diketahui atau
disukai Khalifa atau selalu dikunjunginya. Giza, Saqqara, Luxor,
Abu Simbel"semua monumen besar ada di sana, difoto secara ahli
dan diberi label dengan rapi, seperti sejumlah situs lebih kecil yang
hanya sedikit wisatawan mau repot-repot mendatanginya: dinding
raksasa berbata lumpur di al-Kab; perbatasan Akhenaten di Tuna
al-Jabal; makam Djehutihotep di Dar al-Barsha. Sebagian situs"
Jabal Dosha, Kor, qasr Dush"begitu asing dan tak pernah didengar Khalifa.
Satu slide secara khusus menarik perhatiannya, karena ia satusatunya yang menampilkan fitur Jansen sendiri. Ia kelihatan lebih
muda di sini, dengan rambut tersisir rapi dan sikap tegak dengan
punggung lurus, berdiri pada apa yang terlihat seperti makam Seti
I di Lembah Para Raja, di depan gambar raja dengan dewa horus
dan osiris. Ada sesuatu yang agak mengancam tentang gambar tersebut, cara subjek itu menatap langsung pada lensa kamera, tatapannya kuat dan arogan, ekspresinya antara senyum dan seringai.
"Kau jahat," Khalifa berbisik untuk dirinya sendiri. "Itu ada
~ 218 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
dalam wajahmu, sinar matamu. Kau melakukan hal tercela, hal
yang kejam." Ia menatap gambar itu cukup lama, kemudian mengembalikannya dan melanjutkan melihat-lihat sisa koleksi slidenya. Ia tidak
menghabiskan waktu terlalu lama dalam meneliti setiap slide,
hanya memegang dan menerawangnya, matanya bergerak ke
sana-sini, fokus hanya pada enam atau tujuh gambar sebelum
beralih ke tumpukan file berikutnya.
Khalifa sepertinya tak akan mendapati gambar gerbang pintu
masuk makam sekiranya slide itu berada dalam bingkai plastik normal seperti slide lain, karena ketika ia sampai pada slide itu ia hampir sampai pada akhir koleksi dan memberikan perhatian sedikit
lebih banyak pada masing-masing gambar daripada sekadar tatapan sepintas lalu. Sebagaimana adanya, gambar itu sedikit menyembul dari slide lain di dekatnya karena lapisan kertas cokelat tebalnya yang sudah ketinggalan zaman. Ketertarikannya menggebu,
Khalifa mengambilnya dan melihatnya dari jarak lebih dekat.
Gambar itu adalah salah satu dari serangkaian gambar pintu
makam Kerajaan Tengah dan Baru di Dar al-Bahri, pada sisi timur
Nekropolis Theban. Walaupun gambarnya hitam putih, tidak
seperti gambar-gambar di sebelahnya yang penuh warna, dan agak
di luar fokus untuk diperhatikan, asumsi awal yang ada padanya
adalah bahwa materi utama gambar ini sama. hanya ketika ia
mengangkat dan menerawangnya ia mulai ragu, bukan semata
karena ia sebenarnya tidak mengenali pintu tersebut"selama lima
belas tahun di Luxor ia telah mengeksplorasi setiap makam di
sana"melainkan karena dinding gelap dan menakutkan dari batu
datar yang sempurna dan pada bagian dasarnya ada pintu terbuka
tidak seperti formasi geologi yang pernah ia lihat di wilayah Luxor.
Khalifa membalik slide tersebut, penasaran, berharap siapa
tahu ada label penjelasan seperti biasanya gambar lain dalam
koleksi tersebut. Tetapi tidak ada, yang tentunya membuatnya frustrasi, karena tanpa alasan yang dapat ia jelaskan ia merasa bahwa
entah bagaimana gambar itu signifikan adanya. Ia menatap terus
~ 219 ~ PAUL SUSSMAN gambar itu untuk beberapa saat lamanya?"Apa yang ingin kau
katakan padaku?" ia bergumam. "makam siapakah kau?""kemudian ia menyelipkannya pada saku dalamnya bersama dengan brosur dan kembali meneliti isi rumah.
Terakhir Khalifa menjajaki ruang bawah tanah, seperti saat pertama kali mengunjungi rumah ini, menuruni anak tangga yang
gelap dan berderit-derit, menyalakan kontak lampu di bawah lalu
melihat meja dan rak yang ditutupi barang antik hasil jarahan.
Pada titik ini, ia telah berada di rumah itu lebih dari tiga jam dan
kini ia menghabiskan sembilan puluh menit berikutnya meneliti
seluruh isi ruang bawah tanah, kembali mengagumi ukuran dan
keberagaman koleksi di dalamnya, menemukan banyak benda
yang menarik minatnya tetapi tak satu pun yang sedikitnya memberikan lampu terang mengenai laki-laki yang meletakkan semuanya secara bersamaan ini.
Ia berhenti di sisi peti besi di sudut terjauh ruangan itu, sebuah
peti dengan cakra angka dan gagang kuningan yang kuat. Sembari
berjongkok di depannya, ia menarik cakra angka itu ke depan dan
ke belakang, sistem peralatan di dalamnya mengklik dengan lembut saat ia berputar. Khalifa tidak mungkin bisa mendorong pintu
kotak besi itu, dan walaupun ia telah belajar, dari hubungannya
yang panjang dengan kelompok penjahat, tentang bagaimana
membongkar kunci yang sederhana, yang ini jauh di atas keterampilan mendobrak-masuk tingkat dasar. Dia memerlukan
sebuah nomor kombinasi, yang kemungkinan besar telah hilang
terkubur bersama pemilik kotak besi itu, atau yang lainnya ...
Khalifa tetap berada di ruangan itu untuk sesaat lamanya,
kemudian, sembari mendengus seakan berkata "Ahh, peduli amat!"
ia kembali ke ruang tengah, mengangkat gagang telepon dan
memutar serangkaian nomor. Terdengar dering sebanyak enam
kali, sebelum sebuah suara yang keras dan kasar menjawab.
"Aziz" Ini Inspektur Khalifa. Tidak, tidak, tidak ada kaitannya
dengan itu. Aku perlu bantuanmu."
"Jika ini semacam tipuan...."
~ 220 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"Ini...." "Karena sekarang aku sudah jadi orang jujur dan lurus. Kau
mengerti" Sudah sepenuhnya jujur dan taat pada hukum. Semua
hal itu ... sudah jadi masa lalu. Aku orang yang berbeda sekarang."
Aziz Ibrahim Abdul Syakir, yang terkenal sebagai "si hantu"
karena kemampuannya menerobos pintu-pintu yang bahkan paling canggih pengamanannya, membuka tasnya yang penuh
perkakas kemudian mengambil tatakan gabus kecil, meletakkannya
di lantai di depan kotak besi dan berlutut di atasnya, menggesernya ke depan dan ke belakang sampai ia merasa nyaman. Seorang
laki-laki kecil yang sintal dengan hidung bulat seperti lobak dan
ketiak yang selalu ada bekas keringat, menarik napas beberapa kali,
napas perlahan seolah akan memulai meditasi, kemudian mengulurkan tangannya dan menggerakkannya secara lembut pada
bagian atas, melebihi atap dan semua sisi kotak besi itu, seakan
membelai hewan yang gugup, menenangkannya, mendapatkan
kepercayaannya. "Ini hanya di antara kita saja," Khalifa meyakinkan Aziz. "Tidak
seorang pun akan tahu."
"memang lebih baik begitu," gumam Aziz, seraya menyorongkan tubuhnya ke depan dan menekan telinganya pada pintu kotak
besi tersebut, memutar dialnya ke belakang dan ke depan, sambil
mendengarkan. "Kau bisa memegang...."
"Ssshhh!" Ia terus mengubah-ubah putaran hampir selama satu menit,
wajahnya tertekuk penuh konsentrasi, bau keringat di bawah
ketiaknya menguat dan menyebar, kemudian ia menegakkan lagi
tubuhnya. "Bisakah kau membukanya?" tanya Khalifa.
Aziz tidak mengacuhkannya, merogoh tasnya.
"Selubung Chubb, mauser dial system," ia bergumam, sembari
menarik stetoskop, pensil berlampu senter dan palu kecil yang
biasa digunakan ahli geologi untuk memecah batu. "Paku yang
Neraka Pulau Biru 2 Menyingkap Karen Karya Richard Baer Sayap Sayap Terkembang 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama