Ceritasilat Novel Online

The Last Secret 8

The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman Bagian 8


membawanya ke bawah dinding perimeter di seputar area dan ke
bangunan yang padat di dalamnya.
Begitu sunyi di dalam, tidak alamiah, dan sangat tenang.
Udaranya lembab dan pengap, tanpa batasan waktu seolah hukum
fisika yang berlaku di seluruh bagian kota yang lain telah, di sudut
yang khusus ini, entah bagaimana, runtuh ke dalam penundaan,
meninggalkan semua hal tertunda dalam kekosongan yang hening
dan tak terelakkan. Ia berhenti, tidak pasti akan melakukan apa,
tetapi pada saat bersamaan terenyak oleh perasaan ingin tahu
yang tiba-tiba bahwa kehadirannya barangkali tidak sepenuhnya
acak atau asal saja, tetapi agaknya ada tujuan tertentu yang
melatarbelakangi. Kemudian, ia melangkah ke depan lagi, mengikuti jalan kecil dan sempit yang terbentang di depannya seperti
potongan garis-garis sayatan pisau ke seluruh isi perut yang kusut
di tempat itu. Bangunan bata dan batu yang rapuh menjulang di
dinding sisi kiri dan kanan dirinya, dengan pintu kayu yang tebal
di sana-sini, seperti mulut-mulut yang kaku, kebanyakan darinya
tertutup rapat tetapi sedikit yang agak terbuka, memungkinkan
mengintip sekilas ke dalam dunia rahasia di dalamnya"taman
yang rapi; ruang yang sesak dengan kayu; kapel Coptic yang
teduh, pilarnya yang bergalur-galur dibelit sekelilingnya oleh sinar
lilin yang lembut. Di sana-sini jalan lain terbentang di sisi kiri dan kanannya.
~ 388 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Sunyi, sepi, kosong, mengundangnya untuk berjalan ke bagian lain
tempat itu. Ia menuruti hatinya, mengikuti jalan setapak yang tibatiba berubah arah di sana-sini sampai akhirnya, seperti arus yang
kemudian berubah menjadi kolam besar, muncul di tempat terbuka
yang berdebu di tengah-tengah, tempat berdiri gedung persegi
berlantai dua dalam batu kuning, dengan jendela melengkung dan
pita hiasan ukiran di sekeliling tepi atap datarnya. Tanda itu terbaca SINAGoG BeN ezRA"mILIK KomUNITAS YAhUDI DI
KAIRo. Dia belum pernah melihat sinagog, apalagi berada di dalamnya. Untuk sesaat lamanya ia ragu. Sebagian dirinya ingin mengelilinginya dan kembali melewati jalan yang tadi. Namun, perasaan
bahwa entah bagaimana dia harus berada di sana, yang memang
telah di sana, dalam cara yang yang tidak dapat dijelaskan, telah
dipanggil, sekarang ini begitu kuat sehingga mengatasi semua keraguan yang ada. Dengan menggenggam patung kayunya, ia berjalan menuju gedung itu dan menerobos pintu masuknya yang
melengkung. Ruang dalamnya begitu sejuk dan berpenerangan lembut, tenang, sunyi, dengan lantai marmer putih abu-abu. Sebaris lampu
braso tergantung dari langit-langit dan, pada sisi lain, sederet pilar
menyokong galeri kayu yang rendah. Dindingnya digambari pola
geometris dalam warna hijau, emas, merah dan putih, sementara
di ujung ruang itu, di atas podium marmer segi delapan, satu set
lima anak tangga yang menuju atas ke tempat keramat berdekorasi
kayu yang indah, permukaannya dilapisi gading dan mutiara,
pintunya dipahati baris-baris huruf Ibrani.
Lagi-lagi, ia agak ragu. Perasaan ingin tahu semakin membesar
di dalam perutnya; kemudian, secara perlahan, ia melangkah ke
depan, berjalan di sepanjang sinagog sampai ia berdiri di dasar
tangga menuju ke ruang keramat. Sepasang lampu braso, hampir
setinggi dirinya, berdiri di sisi lain, masing-masing dengan tangkai
vertikal panjang yang darinya muncul enam cabang melengkung
dengan anggun keluar dan ke atas, tiga di sisi yang satu, dan tiga
di sisi yang lain, masing-masing bermahkotakan, seperti juga
~ 389 ~ PAUL SUSSMAN tangkainya, bola lampu berbentuk api. Terlepas dari keindahan
ornamen lain dalam gedung itu, untuk alasan tertentu lampu itu
begitu menyita perhatiannya, yang bisa jadi merupakan fokus dari
rasa pengharapannya. Sambil melangkah ke salah satu dari mereka, ia menjulurkan tangan dan menggenggam tangkinya yang
halus. "Dan Anda akan membuat lampu dari emas murni, dan akan
ada enam cabang keluar dari sisi-sisinya, dan penutupnya,
kelopaknya, dan bunganya haruslah satu dengan yang lain."
Khalifa berputar ke sekeliling, terperanjat. Pikirnya dia seorang
diri di sana, dan merasa pasti bahwa hanya dia sendiri di ruangan
itu. Kini, ia melihat agak jauh di sebelah kanannya, agak tersembunyi dalam keremangan di bawah galeri, seorang laki-laki sedang
duduk di salah satu kursi kayu yang ada di sepanjang dinding sinagog. Ia mengenakan jubah biru gelap dan penutup kepala yang
sepertinya menyatu dengan bayangan keremangan"itu sebabnya,
mungkin, Khalifa luput memerhatikannya. Seperti juga janggut
putih panjang yang turun hampir sampai ke dadanya. Dia memiliki mata biru yang bersinar luar biasa, yang tampak berkilau dalam
kegelapan, seperti bintang di langit pada malam hari.
"Itu namanya menorah," kata si orang asing. Suaranya lembut
dan agak musikal. "maaf?" "Lampu yang sedang Anda pegang. Namanya menorah."
Khalifa menyadari bahwa tangannya masih memegang tangkai
lampu yang seperti spiral. Ia menarik tangannya, sedikit malu, seolah tertangkap basah sedang menyentuh sesuatu yang tidak boleh
disentuh. "maafkan aku," ulangnya. "harusnya aku...."
Si orang asing menggerakkan tangannya, sembari tersenyum.
"Bagus sekali Anda memiliki minat terhadapnya. Kebanyakan
orang, mereka hanya berlalu tanpa memerhatikannya. Bila ingin
menyentuhnya, silakan. Anda tamuku."
Dia tetap berada di tempatnya untuk beberapa saat, sambil
~ 390 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
menatap Khalifa"si detektif ini tidak pernah melihat mata biru
yang bersinar seperti itu"kemudian berdiri dan mendekatinya.
Gerakannya begitu ringan, cair dan tanpa usaha, hampir seperti
mengambang. Walaupun rambut dan janggutnya putih seperti es,
karena ia sekarang ada di bawah sinar, Khalifa dapat melihat kulitnya yang halus dan rapi, tak bergaris, tubuhnya tegak sehingga
tidak mungkin menebak usianya. Ada sesuatu yang membingungkan tentang dirinya. Tidak menakutkan, hanya ... aneh, asing.
Tidak dapat diuraikan dengan kata-kata, seolah ia sebenarnya tidak
berada di sana dalam waktu nyata, tetapi lebih merupakan bagian
dari mimpi. "Anda ... imam di sini?" tanya detektif, suaranya terdengar
tebal dan tidak biasa, seolah sedang berbicara di bawah air.
"Rabbi?" lagi-lagi, laki-laki itu tersenyum, matanya melihat sekilas pada patung horus yang ada di tangan kiri Khalifa. "Tidak,
tidak. Tidak ada rabbi tetap di sini selama lebih dari tiga puluh
tahun. Aku hanya ... pengurus. Seperti ayahku sebelumnya, dan
ayahnya ayahku, dan sebelumnya lagi. Kami ... menjaga sesuatunya di sini."
Nada suara itu apa adanya, lazimnya percakapan. Namun, ada
sesuatu dalam pemilihan kata-katanya, bagaimana ia menatap dan
menyelimuti Khalifa, menyentak langsung padanya, yang tampaknya menjadi petunjuk untuk arti yang lebih dalam, tingkat saling
pengertian tertentu jauh melebihi apa yang diekspresikan secara
terbuka. Walaupun Khalifa selalu diremehkan oleh mereka yang
percaya pada paranormal?"hunkum-funkum" sebagaimana
Profesor al-habibi menyebutnya"detektif ini tidak dapat
melarikan diri dari keyakinan yang tiba-tiba dan tak terduga
bahwa laki-laki itu tidak hanya tahu pasti tentang siapa dirinya,
tetapi dalam cara yang tidak dapat ditentukan bertanggung jawab
pada kehadirannya di sini. Ia menggelengkan kepala, gamang, dan
bergerak mundur separuh langkah. Ada kesenyapan yang panjang.
"Ia berarti sesuatu, kata "menorah" itu?" akhirnya ia bertanya,
mencoba memulai percakapan, untuk mencairkan suasana mene~ 391 ~
PAUL SUSSMAN gang yang sepertinya meliputi mereka.
Si orang asing ini memandangnya dengan saksama"ia sedikit
lebih tinggi"kemudian, dengan senyum arif yang tipis seolah ia
memang mengharapkan pertanyaan itu, berbalik ke arah lampu.
matanya yang biru berbinar dalam kilauan bola lampu yang
berbentuk api. "menorah adalah kata dalam bahasa Ibrani untuk kandil (candelabrum), tempat lilin bercabang," jelasnya perlahan. "Lampu
Tuhan. Simbol kekuatan sangat besar bagi bangsa kami. Simbol itu.
Tanda dari berbagai tanda."
Jauh dari memperingan atmosfer yang ada, Khalifa merasakan
bahwa pertanyaannya justru telah mempertebalnya. Terlepas dari
itu, terlepas dari dirinya sendiri, ia tidak dapat lagi bertahan
melainkan tertarik akan kata-kata laki-laki itu, seolah ia sedang
mendengarkan sejenis doa atau panggilan.
"Ini ... indah sekali," ia bergumam. Pandangannya naik ke
tangkai lampu dan ke sepanjang lengkung cabangnya yang halus.
"Dalam caranya sendiri," katanya. "Sama seperti benda reproduksi yang lain, kecuali bayangannya menyamakan yang asli"
lampu pertama, lampu yang sejati, lampu yang dibuat si pengrajin
emas yang hebat, Bezalel, kembali ke masa-masa berkabut, pada
masa musa dan Pelarian dari mesir." Ia menjentikkan ujung jarinya
pada lengkungan lampu yang terluar. "Yang itu memang sangat
indah," katanya, dengan mata berbinar seolah sepasang kupu-kupu
biru yang terang telah hinggap pada kedua sisi dari tulang hidungnya. "Tujuh cabang, berbentuk kuncup seperti bunga, mangkuk yang
seperti kenari, keseluruhannya dipahat dari balok tunggal emas yang
padat"benda paling indah yang pernah ada. Lampu itu berada di
tempat ibadah yang sudah ditinggalkan, dan di dalam Kuil Pertama
yang dibangun Sulaiman, dan di Kuil Kedua juga, sampai bangsa
Romawi datang dan kemudian lenyap di dunia ini. hampir dua ribu
tahun yang lalu. Apakah ia akan terlihat kembali...." Ia mengangkat
bahu. "Siapa yang tahu. mungkin suatu hari nanti?"
Ia diam beberapa saat, sembari menatap saksama lampu itu.
~ 392 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Pandangan jauh dan aneh dari matanya seakan-akan dia sedang
mengingat masa lalu. Kemudian ia menurunkan tangannya dan
kembali kepada Khalifa. "Di Babilonia," katanya, "itu yang dikatakan oleh ramalan
pada kita. Di Babilonia menorah yang sejati akan ditemukan, di
rumah Abner. Ketika waktunya tiba."
Lagi-lagi, tanpa ada alasan yang dapat ia jelaskan, detektif ini
tersentak oleh sensasi tersembunyi yang mengguncang terhadap
kata-kata laki-laki itu, sebuah perasaan bahwa, walaupun dia tidak
sepenuhnya memahami apa yang tadi dikatakannya, bagaimanapun terasa begitu signifikan. Ia membalas tatapan laki-laki itu untuk
beberapa saat, kemudian melengos, matanya melihat sekeliling
ruang sinagog itu sampai tiba di jam yang tergantung di atas pintu
masuk. "Sialan!" Dia begitu yakin dirinya berada di ruangan itu hanya selama
lima belas menit, dan dua puluh menit di luar. Tetapi jarum jam
menunjukkan hampir pukul lima, yang berarti dia telah berada di
sinagog selama lebih dari tiga jam. Dia memeriksa lagi jamnya,
yang memang sesuai dengan jam dinding itu, dan dengan gelengan
kepala yang membingungkan, mengatakan bahwa dia harus pergi.
"Aku benar-benar kehilangan jejak waktu."
Laki-laki itu tersenyum. "menorah dapat memberikan efek itu.
Ia merupakan kekuatan yang misterius."
Keduanya bertatapan"Khalifa sesaat mengalami sensasi
memusingkan, seolah dirinya sedang terjerembab dari tempat yang
sangat tinggi ke kolam biru jernih"kemudian, dengan anggukan,
detektif itu melangkah melewati lampu dan pergi dari sinagog.
"Boleh tahu nama Anda?" Laki-laki itu bertanya ketika ia hampir saja mencapai pintu masuk.
Khalifa berbalik. "Yusuf," jawabnya. Kemudian ada entakan,
lebih karena sopan santun daripada ingin tahu yang sesungguhnya,
ia bertanya juga, "Nama Anda?"
Laki-laki itu tersenyum. "Aku Shomer ha-or. Sama seperti
~ 393 ~ PAUL SUSSMAN nama ayahku sebelumnya, dan ayahnya lagi sebelum dia. Aku
harap aku dapat bertemu lagi denganmu, Yusuf. Sebenarnya, aku
tahu aku akan bertemu lagi denganmu."
Sebelum detektif itu bisa bertanya apa maksudnya, laki-laki itu
melambaikan tangan dan, lagi-lagi dengan gerakan mengambang,
kembali ke dalam bayangan di sisi dalam sinagog, menghilang dari
pandangannya seolah ia melangkah keluar dari dunia ini.
Y erusaLem KfAR ShAUL meNTAL heALTh CeNTRe (PUSAT KeSehATAN meNTAL KfAR
Shaul), kluster nondeskriptif yang berisi bangunan batu kuning dan
putih terlindungi oleh pepohonan dan terkurung pagar rendah,
berdiri di lereng dataran tinggi di tepi kota sisi barat laut
Yerusalem, pada titik ketika tepi kota mulai tergagap dan terpecah,
menuju dataran menonjol yang ditumbuhi pohon pinus dari Bukit
Judean. Ben-Roi tiba sore hari. Setelah memarkir kendaraan di luar
gerbang utama, ia berjalan menuju ruang keamanan dan memberi
tahu penjaga di dalam bahwa ia sudah berjanji untuk bertemu dengan salah seoran pasien. Panggilan dilakukan ke bagian lain di
kompleks itu dan tiga menit kemudian seorang perempuan sintal,
usia setengah baya dalam jas dokter berwarna putih tiba, memperkenalkan dirinya sebagai Dr Gilda Nissim dan mengantar BenRoi keluar ruangan itu lalu naik menuju areal rumah sakit.
Datang ke sini adalah, jika bukan tindakan keputusasaan bagi
Ben-Roi, paling tidak merupakan garis jelas terakhir dari pencarian
yang masih terbuka untuknya pada titik ini. meskipun telah bekerja
sepanjang malam kemarin dan siang harinya, ia masih gagal
menarik hubungan apa pun antara Piet Jansen dan hannah
Schlegel. Tentu, ia telah menggali beberapa rincian ekstra tentang
masa lalu Schlegel: tanggal pasti ia dimasukkan ke Auschwitz; fakta
tentang ia dan saudara laki-lakinya telah dipindahkan ke kamp dari
Recebedou, pusat transit di Prancis selatan. Tetapi informasi ini ter~ 394 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
lalu terpotong-potong untuk dapat membangun apa pun yang
mendekati gambaran jelas tentang kehidupan korban, apalagi
menjelaskan mengapa Piet Jansen, atau siapa pun yang lain, telah
berkeinginan membunuhnya.
Ada seberkas sinar tipis memancar dan itu datang dari kunjungan ke holocaust memorial di Yad Vashem, tempat Schlegel telah
bekerja paruh waktu sebagai penyusun arsip. menurut salah seorang koleganya dahulu, pekerjaannya di situ mencakupi
penyusunan arsip dasar, pemberian indeks dan membantu pertanyaan riset sederhana"hal yang umum, tidak ada yang di luar
kelaziman. Pada saat bersamaan"dan inilah yang membuat BenRoi diam sejenak"Schlegel juga terlibat dalam riset pribadinya
sendiri. Apa pastinya yang dihasilkan riset ini, koleganya tersebut
tidak tahu-menahu. Namun, ia memang berpikiran bahwa dalam
beberapa hal ini terkait dengan Dachau, karena dalam sejumlah
kesempatan ia kerap mendapati Schlegel sedang membaca catatan
dan kesaksian mereka yang masih hidup dari kamp konsentrasi tertentu tersebut. Nyonya Weinberg, tetangga Schlegel, juga menyebutkan bahwa ia melihatnya dengan sejumlah arsip tentang
Dachau. Sementara majdi, laki-laki yang telah membakar rumahnya, mendeskripsikan bagaimana flatnya penuh dengan kertas dan
dokumen, "seperti berkas atau arsip". Ada, detektif ini merasa
pasti, signifikansi tertentu pada semua ini, dalam hal di mana "riset
pribadi" Schlegel terkait dengan pembunuhan atas dirinya dan
dengan Piet Jansen. Namun, ia tidak mampu menglarifikasi
hubungan ini dan akhirnya terpaksa mengakui bahwa sementara
hal ini jelas merupakan sesuatu yang penting untuk digali terus, ia
juga merupakan sesuatu yang sepertinya tanpa harapan.
Yang meninggalkan dia bersama Isaac Schlegel, saudara kembar
dari perempuan korban itu. Dan dari semua hal yang didengar
Ben-Roi, Isaac mengalami gangguan mental yang parah.
"Ada yang mengatakan padaku bahwa Tuan Schlegel cukup
kacau," kata Ben-Roi ketika ia dan Dr Nissim menuju area rumah
sakit, melewati jalan aspal menanjak melewati bangunan batu
yang menyebar diselang-selingi teras bunga-bungaan dan pohon
~ 395 ~ PAUL SUSSMAN pinus serta sipres. Dokter itu memperlihatkan pandangan yang agak tidak setuju.
"Ia benar-benar sangat terganggu, bila itu yang Anda maksud,"
ia menjawab. "Ia telah menderita gangguan stres postraumatis
yang akut sebagai hasil dari pengalamannya di masa perang, dan
kemudian ketika saudara perempuannya meninggal ... yahh, hal itu
cukup banyak mendorongnya melewati batas. mereka sangat
dekat. Aku tak bisa berharap terlalu banyak darinya. Lewat sini."


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka ke arah kiri di sekitar lapangan berpagar yang di
dalamnya ada dua orang laki-laki dengan kelebihan berat badan
yang mengenakan piyama sedang bermain tenis meja sebelum
mereka sampai pada lantai yang modern, blok batu putih dengan
tanda yang mengumumkan PUSAT PSIKoGeRIATIK SAYAP
UTARA. Dokter mengantarnya melewati pintu kaca, sepanjang
koridor berpenerangan redup dan sudah tak terpakai. Bau samar
dari cairan pembersih dan sayur yang direbus terasa di udara,
semuanya diam kecuali suara dengung mesin pendingin. Dan, dari
ruangan di depan mereka, suara laki-laki yang sedang meratap,
meneriakkan sesuatu tentang Saul dan zedekiah serta hari Kiamat.
Ben-Roi menatap sekilas pada dokter.
"Itu bukan ...?"
"Tuan Schlegel?" Ia mengeluarkan senyum sinis yang tidak lucu.
"Jangan khawatir. Isaac memiliki banyak masalah, tetapi mengkhayalkan bahwa ia adalah nabi yang mengemban Perjanjian Lama
bukanlah salah satu dari masalahnya. Di samping itu, dia hampir
tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun dalam lima belas
tahun terakhir." mereka berhenti di depan pintu dekat ujung koridor. Nissim
mengetuk pintu perlahan, kemudian membukanya, melongokkan
kepalanya ke dalam ruangan di sebelah sana.
"halo, Isaac," katanya, dengan nada suara lembut, halus. "Aku
bersama seorang tamu untukmu. Tak perlu takut. Dia hanya akan
mengajukan beberapa pertanyaan. Bisakah?"
Seandainya ada jawaban, Ben-Roi tidak mendengarnya.
~ 396 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"Anda punya waktu dua puluh menit," katanya, sembari pergi
menuju koridor. "Aku akan datang dan menjemputmu bila waktunya tiba. Dan ingat, ini bukan pos polisi, jadi perlakukan dia baikbaik. oke?"
Ia menatap mata detektif itu sesaat, kemudian, dengan
anggukan seadanya, ia pergi mengikuti jalan yang mereka lalui
tadi, kakinya yang mengenakan sepatu katun dengan alas karet
menapak di atas lantai marmer yang halus. Ben-Roi ragu, tidak
pasti apa yang ia harapkan, tidak nyaman"ia selalu membenci
tempat seperti ini, kosong, sterilitas yang tak berkarakter, atmosfernya monoton, seolah udara itu sendiri sudah teracuni"kemudian
melangkah masuk dan menutup pintu.
Ia berada di dalam ruangan terang yang disusupi sinar matahari, sangat jarang, dengan tempat tidur meja dan tempelan isolasi
di seluruh dinding, menutupinya dari langit-langit sampai ke lantai
seperti kertas dinding ditempel sembarangan, lusinan di atas lusinan gambar krayon, sangat sederhana, seperti sesuatu yang Anda
temukan di bagian perawatan anak-anak. Schlegel sedang duduk di
seberangnya, pada kursi berlengan di samping jendela, seorang
laki-laki lemah, kurus kering, yang mengenakan piyama hijau pucat
dan selop karpet. Ia sedang menatap tajam pada bebatuan di luar,
sebuah buku terkepit dalam tangannya yang bertulang menonjol,
sampul mukanya yang berwarna hijau lusuh dan ujungnya terlipat.
"Tuan Schlegel?"
Laki-laki tua itu tidak memberi tanggapan. Ben-Roi menunggu
sesaat lamanya, kemudian, sambil mengangkat kursi kayu kecil, ia
melintasi kamar dan duduk di depannya.
"Tuan Schlegel," ia mengulangi, sembari mencoba menjaga
suaranya tetap lembut, tidak mengancam. "Namaku Arieh BenRoi. Aku tergabung ke dalam Kepolisian Yerusalem. Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda. Tentang saudara
perempuan Anda, hannah."
Laki-laki itu bahkan tidak terlihat menyadari kehadirannya,
terus memandang keluar jendela, matanya tenggelam dan hampa.
~ 397 ~ PAUL SUSSMAN "Aku tahu ini sulit bagi Anda," si detektif menekankan, "tetapi
aku memerlukan bantuan Anda. Aku sedang mencoba menangkap
orang yang membunuh saudara perempuan Anda, Anda tahu itu.
maukah Anda menolong saya, Tuan Schlegel" maukah Anda menjawab sejumlah pertanyaan" Tolong?"
Nihil. Tidak ada pengakuan, tidak ada reaksi, tidak ada jawaban, hanya kosong, katatonis, tanpa ekspresi, seperti ikan yang
sedang memandang dari balik balok.
"Saya mohon, Tuan Schlegel?"
Tetap tidak ada apa-apa. "Dapatkah Anda mendengar aku, Tuan Schlegel?"
Diam. "Tuan Schlegel?"
Diam "Ya ampun." Ben-Roi mengangkat tangannya dan memijat buku-buku di
belakang kepalanya, kalah. Bila ia menginterogasi penjahat yang
dicurigai, dia pasti akan mendorong, memaksa, mengancam,
menuntut informasi. Tetapi, seperti kata dokter tadi, ini bukan kantor polisi, dan dia tidak dapat menerapkan metode di kantor
polisi. Beberapa menit berlalu. Keduanya hanya duduk di ruangan itu
dalam diam seperti sepasang pemain catur. Kemudian, sudah pasrah menerima bahwa percakapan itu kelihatannya tak akan menghasilkan apa-apa, Ben-Roi berdiri dan berjalan mengelilingi ruangan, melemparkan pandangan ke gambar krayon yang ada di dinding. Pasti ada ratusan hal, dan awalnya dia tidak terlalu memerhatikan tentang apa yang digambarkan secara spesifik oleh masingmasing coretan itu. Dia hanya menatap sekilas saja, tidak tertarik
secara khusus, dengan berasumsi bahwa semua itu tidak lebih dari
ekspresi acak pikiran yang terganggu. hanya secara bertahap, ia
mulai memerhatikan bahwa"tampak kekanakan sebagaimana
mereka adanya, coretan tangan yang kikuk yang biasanya dihasilkan oleh anak-anak usia lima tahun"kumpulan gambar yang ada
~ 398 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
sepertinya tidak terlalu tak berhubungan seperti perkiraan dia
sebelumnya. Sebaliknya, bila semua digabungkan, gambar itu sebenarnya tampak membentuk sejenis narasi berupa lukisan dinding.
Ia memperlambat gerak matanya, memusatkan perhatian pada
gambar di sebelah pintu. Ada kapal dengan alat berbentuk kerucut,
garis biru bergelombang yang menggambarkan ombak, dan berdiri
di atas haluan kapal, dua sosok seperti tongkat dengan tangan
berpegangan. Dua gambar berikutnya menggambarkan adegan
yang hampir pasti sama, tetapi kemudian ada satu gambar ketika
dua sosok itu, masih berpegangan tangan, tampak akan tergantung
di tengah udara di depan haluan, seakan meloncat ke dalam laut.
Ia teringat kisah yang diceritakan Nyonya Weinberg tentang
bagaimana Schlegel dan saudara laki-lakinya itu terpaksa berenang
ke pantai setelah kapal yang mereka tumpangi menuju Palestina
berbalik ke haifa seperti diperintahkan Inggris, dan seperti mendapatkan sengatan listrik yang tiba-tiba, dia sadar bahwa jelas
sekali adegan itulah yang diperlihatkan oleh gambar ini.
"Ini adalah hidupnya," dia berbisik pada dirinya sendiri.
Ia memandang sekeliling. "Ini hidupmu, "kan" Ini kisah tentang hidupmu."
Ia berputar lagi dan mengambil siratan narasi yang ada,
mengikutinya terus melewati jalannya waktu, kemudian kembali,
secara perlahan berputar dengan tatapan matanya singgah dari
satu gambar ke gambar berikutnya, atas dan bawah juga sekeliling
dinding, merangkai kisah.
Banyak dari gambar itu berkorespondensi dengan hal yang
telah dia dapatkan tentang kehidupan hannah Schlegel. Di dinding
yang berada di atas tempat tidur, misalnya, di antara sejumlah
gambar terakhir dalam koleksi itu, ada tiga gambar yang menceritakan tentang sosok kecil sedang disiksa di bagian kepalanya oleh
yang lain, sosok yang jauh lebih besar, dengan latar belakang kuning seperti padang pasir"bisa jadi ini adalah referensi terhadap
pembunuhannya di mesir. Begitu juga, seluruh blok gambar yang
ada di pintu, totalnya lebih dari dua puluh gambar, semua dalam
~ 399 ~ PAUL SUSSMAN warna hitam atau abu-abu, merupakan potret yang tidak ambigu
tentang kengerian Auschwitz"menara pembuangan asap, gulungan kawat berduri, enam tubuh tergantung di bingkai kayu tempat
hukuman mati dan, begitu mengerikan dalam kesederhanaannya,
dua sosok kurus terikat di tempat tidur, coretan zig-zag darah
dalam krayon warna merah yang keluar dari pangkal paha, sapuan
warna hitam keluar dari mulut mereka, yang dipahami Ben-Roi
sebagai gambaran dari ratapan atas penderitaan yang dalam.
Gambar lain kurang mudah diinterpretasi. Gambar yang pertama dalam narasi, misalnya, adalah rumah besar berwarna merah
muda dengan matahari bersinar terang di belakangnya dan empat
wajah muncul di jendela yang terpisah, semua dengan senyum
lebar. Apakah ini pengingatan kembali akan kehidupan awal keluarga Schlegel, Ben-Roi bertanya dalam hati. Saudara laki-laki dan
saudara perempuan di rumah dengan orang tua mereka, sebelum
dunia mereka tercerai berai" Atau apakah gambar ini memiliki sesuatu yang lain, yang sepenuhnya bermakna beda"
Begitu juga, berselang-seling dalam interval reguler ke seluruh
koleksi, seperti motif yang terjadi berulang-ulang, atau refrain
dalam lagu atau syair, adalah serangkaian gambar menorah bercabang tujuh dalam krayon berwarna kuning terang. Suatu
perumpamaan terhadap keimanan dan warisan sang seniman
barangkali" Atau itu hanya sekadar bentuk yang dengan alasan apa
pun dirasa menyejukkan laki-laki itu" Tidak jelas.
Satu kelompok gambar yang secara khusus menarik perhatian
Ben-Roi, terutama karena mereka terlihat seperti suatu transisi
antara optimisme kanak-kanak dalam sejumlah gambar pertama,
yang digambar dalam warna-warna terang dan ceria, dan gambar
selebihnya yang lebih gelap, lebih melankolis. Totalnya ada empat
gambar, semua bercerita tentang pintu atau gerbang melengkung
yang sama, sangat tinggi dan sempit, sisinya dibalut tanaman merambat. Yang pertama dari kelompok itu memperlihatkan dua
sosok kurus, mungkin Schlegel dan saudara perempuannya, sedang
berdiri di tengah gerbang, berpegangan tangan dan tersenyum.
Yang berikutnya menggambarkan adegan yang benar-benar hampir
~ 400 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
sama persis, kecuali bahwa sosok itu kini tersembunyi di balik
semak-semak, mengamati kelompok figur lain mencincang di tanah
dengan kapak di depan gerbang. Urutan itu terputus oleh gambar
menorah pertama yang berulang di semua koleksi sebelum mulai
lagi dengan gambar tentang Schlegel dan saudara perempuannya
melarikan diri dari gerbang, dikejar oleh sosok yang memegang
kapak. Gambar terakhir dalam urutan itu memperlihatkan
makhluk aneh seperti raksasa yang dengan mata merah menangkap dua sosok yang lebih kecil, satu orang di masing-masing
tangan. Senyum mereka telah pergi, digantikan oleh parabol hitam
tentang kengerian dan tekanan.
Semakin banyak gambar yang dilihat Ben-Roi, semakin sering
sesuatu di dalam dirinya"insting, rasa sakit di dalam perutnya"
mengatakan padanya bahwa dari semua gambar dalam koleksi itu
ada sebagian yang entah bagaimana paling signifikan, momen ketika semuanya mulai salah dan bermasalah bagi Isaac dan hannah
Schlegel, dan oleh karena itu, dalam cara yang tidak bisa dispesifikasi, menjadi kunci bagi kehidupan dan kematian hannah selanjutnya. Ia memandang seluruh gambar itu untuk waktu yang cukup
lama, matanya menangkap setiap nuansa dan tarikan krayon.
Kemudian, ia berbalik, kembali ke kursi kecilnya dan duduk.
"Tuan Schlegel," katanya, "bisakah Anda ceritakan padaku tentang gambar yang ada di dekat meja itu" Gambar dengan lengkungan itu."
Ia mengajukan pertanyaan itu lebih demi untuk pertanyaan itu
sendiri daripada dengan harapan dia akan mendapatkan jawaban.
Yang membuatnya terkejut, Schlegel perlahan mengalihkan
matanya dari jendela, mengarahkan pandangan matanya pertama
pada Ben-Roi, kemudian ke bawah ke buku yang ada di pangkuannya, lalu ke atas ke Ben-Roi lagi. Detektif itu menyeret kursi kayunya ke depan beberapa inci sehingga lututnya hampir saja menyentuh lutut orang tua itu.
"Semua gambar itu begitu penting, kan?" ia mendesak, sambil
mencoba mempertahankan suaranya untuk tetap tenang dan per~ 401 ~
PAUL SUSSMAN lahan, seperti seseorang yang sedang berjingkat mendekati burung
yang terluka, sangat berhati-hati untuk tidak mengejutkan atau
menekannya. "Gambar itu adalah ketika semua hal buruk mulai
menimpa Anda dan saudara perempuan Anda. mereka adalah
alasan mengapa saudara perempuan Anda dibunuh."
Diduga, pernyataan terakhir, sedikit kemungkinannya, jelas
telah menyentak, karena orang tua itu berkedip dan, seolah dalam
gerakan perlahan, setetes air mata yang bagai kristal menetes dari
pelupuk mata kirinya, meleleh seperti pejalan yang terikat tali
pada titik bulu mata bagian bawah sebelum jatuh ke pipinya.
"Apa yang terjadi dengan lengkungan itu?" tanya Ben-Roi dengan lembut. "Siapakah orang-orang dengan kapak itu?"
Lagi-lagi, Schlegel menjatuhkan pandangannya pada buku,
kemudian ke atas lagi. Bola matanya lembab dan kelabu, berkabut,
pandangan jauh di dalam matanya seakan ia sedang memandang
bukan pada sesuatu di ruang itu tetapi lebih ke suatu tempat yang
jauh dari ruang dan waktu.
"Ayo, Isaac. Apa yang terjadi dengan lengkungan itu" Siapa raksasa dengan mata merah itu?"
Laki-laki tua itu tetap bergeming, hanya menatap kejauhan,
bergumam lembut pada dirinya sendiri, dengan satu tangan
memegang buku yang ada di pangkuannya. Ben-Roi mencoba
memeluknya, membawanya agar tetap berada di masa kini, tetapi
tidak berhasil. Setelah kontak singkat yang rapuh itu terjadi, lakilaki tua ini kembali menghilang ke dunianya sendiri, hanyut seperti batu kerikil yang perlahan tenggelam menghilang dari pandangan ke kedalaman danau yang dalam dan gelap. Detektif masih
bertanya padanya beberapa lama lagi, menyadari bahwa hal ini
hanya buang-buang waktu saja, bahwa momen itu sudah lewat, ia
mendesah, duduk kembali dan melihat jamnya. Dua puluh menitnya hampir habis. Seolah ada tanda, terdengar derap kaki di
kejauhan yang semakin mendekat di koridor luar.
"Sialan," gerutunya.
Ia mengetuk-ngetukkan jarinya pada lututnya, gagal, dan
~ 402 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
kemudian merogoh sakunya untuk menarik botol pinggangnya.
Secara tidak sengaja terbawa juga selembar kertas, fotokopi gambar Piet Jansen yang diberikan Khalifa sore sebelumnya. Ia membawanya dengan harapan Schlegel mungkin dapat menceritakan
sesuatu padanya tentang hal itu, tetapi ia kini menerima bahwa itu
hanya harapan belaka. Dengan menyorongkan badan ke depan, ia
membuang kertas itu ke keranjang sampah di sisi kursi laki-laki tua
itu, sebelum ia kembali duduk, membuka tutup botol dan meneguk minumannya.
Ben-Roi begitu intens meneguk sebanyak mungkin cairan di
botol itu agar masuk ke rongga dadanya sebelum Dr Nissim tiba
sehingga ia tidak memerhatikan bahwa Schlegel perlahan-lahan
merunduk ke depan, memungut kertas di dalam keranjang dan
memandang gambar hitam-putih itu. hanya ketika Ben-Roi telah
menghabiskan seluruh isi botol dan baru saja hendak menutup
kembali, ia sadar apa yang baru saja dilakukan orang tua itu.
"mengingatkan pada sesuatu?" ia berkata pelan, sambil menyelipkan botol kembali ke sakunya, berbicara lebih kepada dirinya
sendiri daripada kepada Schlegel. "Tapi aku kira Anda tidak punya
apa pun untuk diingat, ya "kan?"
Jika ia menangkap kekasaran itu, laki-laki tua itu pastilah tidak
memperlihatkannya. Yang dilakukannya, tiba-tiba, sangat mengejutkan, adalah menunjukkan gambar itu ke arah Ben-Roi dan, sembari membuka mulutnya, melepaskan jeritan paling garang dan
menyayat telinga yang pernah didengar sang detektif.
Ia mungkin tidak mendapatkan semua jawaban yang ia
inginkan, tetapi paling tidak satu hal sudah jelas: Isaac Schlegel tahu
dengan pasti siapa Piet Jansen. Dan dia begitu ngeri terhadapnya.
K airo ~ 403 ~ PAUL SUSSMAN SAAT meNINGGALKAN LABIRIN YANG KACAU DI KoTA TUA, LeWAT DI BAWAh
dindingnya dan kembali ke dunia luar, pertemuan di sinagog tampak surut dalam pikiran Khalifa seperti kabut dini hari yang terhapus sinar hangat mentari. Begitu ia sampai di stasiun metro, ia
sudah harus bergulat untuk mengingat detail interior sinagog dan
penampilan laki-laki yang ia temui di sana; dan ketika ia kembali
ke Al-maadi berjalan perlahan di sepanjang jalan yang dipagari
pohon di kiri dan kanannya, menuju blok apartemen suami-istri
Gratz, ia secara murni mulai bertanya-tanya apakah semua hal itu
bukan sekadar mimpi atau lamunan yang terelaborasi. hanya mata
sebiru safir yang tembus pandang dan lampu bercabang tujuh yang
membuat penasaran, yang tetap hidup dalam ingatannya dengan
sisa-sisa kejelasan. Bahkan, semua itu terlempar jauh ke lubuk
kesadarannya ketika, di sudut jalan ia melihat mobil polisi dan
ambulans berkumpul di depan gedung apartemen milik Gratz.
Sudah barang tentu ada lusinan penghuni lain di blok itu, tetapi ia
serta-merta tahu, secara instingtif, bahwa teman Piet Jansenlah
yang menjadi fokus bagi kerumunan ini. Ia menerobos kerumunan
itu. "Ada apa?" ia bertanya sambil mendekati polisi dan memperlihatkan identitasnya pada penjaga berseragam di sana.
"Penembakan," jawab laki-laki itu. "Dua orang tewas."
"oh Tuhan! Kapan?"
"Beberapa jam lalu, mungkin lebih. Aku tak tahu pasti. Aku
juga baru tiba di sini."
merutuki dirinya sendiri karena tidak mengantisipasi hal seperti ini, Khalifa pun menyelusup masuk lewat bagian bawah pita
polisi dan, dengan patung horus kayu masih dalam genggamannya, ia bergegas memasuki gedung dan naik ke lantai tiga.


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

flat Gratz penuh orang"pejabat dengan pakaian sehari-hari.
fotografer, petugas forensik dalam setelan putih dan sarung tangan
karet"udara dipenuhi suara omongan yang terputus-putus pelan
yang selalu hadir dalam suasana seperti ini, sebagian ingin tahu,
~ 404 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
sebagian gugup. Ia bertanya siapa polisi yang bertugas memimpin
penyelidikan, lalu ditunjuki jalan ke arah pintu sekitar separuh
jalan sepanjang ruang yang kabur karena sinar kamera yang hidupmati. Ia mendesak masuk, dan setelah keraguan kedua?"Ini salahku," pikirnya, "Aku yang menyebabkan ini," ia masuk ke dalam.
Laki-laki itu sedang di kamar tidur dengan tempat tidur besar
di sudut ruangan, dinding di belakangnya terkena bercak darah
kental. Tempat tidur itu sendiri ditutupi sesuatu yang awalnya dikira Khalifa sehelai kain, tetapi sejenak kemudian ia sadari sebagai
bendera merah besar dengan logo swastika tertera di bagian tengah. Bendera ini juga terperciki darah dan sesuatu yang mirip
potongan daging atau kulit. Permukaannya tertekan dan kusut,
seakan-akan pernah ada orang yang berbaring di atasnya. masih
terasa ada bau samar peluru tak berasap di udara"asam, korosif"
dan bau lain yang tidak dapat dikenalinya, seperti kacang kenari
terbakar. Tas hitam tergeletak di sisi tempat tidur, halus, bersinar,
seperti serangga raksasa.
"Siapa Anda?" Seorang laki-laki gemuk berjenggot, detektif yang memimpin
penyelidikan bila dilihat dari caranya, sedang memerhatikannya
dari seberang ruangan. Khalifa menghampiri dan, lagi-lagi memperlihatkan identitasnya, menjelaskan mengapa ia ada di sana.
"Apa yang terjadi?"
Laki-laki itu menggerutu, sembari merogoh sebatang cokelat
mars dari sakunya dan membuka bungkusnya.
"Semacam bunuh diri, dilihat dari keadaannya. Seorang lakilaki menembak kepalanya,?"ia menggoyangkan tas hitam dengan
ujung sepatunya?"seorang perempuan meneguk separuh botol
asam prussic. Para tetangga mendengar suara letusan, dan
memanggil kami. Tidak ada pihak ketiga, sejauh yang dapat kami
katakan." Ia menggigit batang cokelat itu, tampaknya tak terganggu oleh
ceceran darah di dinding dan kain penutup tempat tidur.
"Tidak pernah melihat kejadian seperti ini," ia berkata dengan
~ 405 ~ PAUL SUSSMAN mulut penuh cokelat. "Keduanya terbaring di atas tempat tidur,
berpegangan tangan, tempat seperti penjagalan, yang laki-laki
dengan pakaian seragam militer, yang perempuan dalam pakaian
pengantin, demi Tuhan. Aneh."
Ia memasukkan sisa batang cokelatnya ke dalam mulut, dan
beralih, memberi tanda dengan gerakan tubuh pada fotografer,
bahwa ia ingin lebih banyak gambar dari bendera yang terkena
noda darah. Khalifa menarik sebatang rokoknya, menerima pandangan tak setuju dari salah seorang petugas forensik yang sedang
merangkak di lantai, dan memasukkan rokok itu kembali ke sakunya.
"Ini semacam kutukan," ia berpikir sendiri. "Keseluruhan kasus
ini. Apa pun yang aku lakukan, di mana pun aku berada, tidak ada
lain kecuali berakhir dengan kematian, kematian, dan horor. Aku
benci ini. Benci semua ini."
"Di mana tubuh perempuan itu?" ia bertanya sesaat kemudian.
"hmm?" detektif itu membalikkan badan ke arahnya. "mereka
sudah membawanya ke As-Salam International. memompa isi perutnya, atau apa pun yang mereka lakukan dalam situasi seperti ini."
hanya sedetik sebelum signifikansi kata-kata itu menyentak
Khalifa. "Aku kira...." Sengatan tajam terasa pada tulang punggungnya.
"Aku diberi tahu bahwa keduanya tewas."
"Apa" Tidak, tidak, perempuan tua ini tetap hidup, walaupun
kecil kemungkinan. Dua puluh menit lagi dia akan berakhir seperti
suaminya." Ia menyentakkan tas hitam itu lagi dengan kakinya.
"Untung. Atau tidak beruntung, bergantung pada dari arah mana
Anda melihatnya. Ia mengenakan pakaian pengantin. hal paling
aneh yang pernah aku...."
Ia tidak memiliki kesempatan menyelesaikan kalimatnya, karena Khalifa telah bergegas keluar dari ruangan itu.
L angueDoc , P rancis ~ 406 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
L AYLA meNGheNTIKAN moBIL SeWAANNYA, ReNAULT CLIo BeRWARNA
lebam, ke trotoar dan, membiarkan mesinnya menyala, ia menyorongkan badannya ke depan. melalui kaca depan mobil ia melihat
ke atas pada benteng Kastil montsegur yang tinggi di sana. Ia tetap
seperti itu selama beberapa saat, mengamati dinding abu-abu yang
kosong, bagian belakangnya, kubah batu yang berbentuk seperti
kepala sehingga membuat kastil itu terlihat seperti kapal menaiki
logo dalam gelombang pasang; kemudian, duduk kembali dan
melemparkan pandangan pada peta yang ia letakkan di kursi
penumpang di sebelahnya, kemudian melanjutkan perjalanannya.
Setelah dua puluh menit, ia sampai di Castelombres. Ia telah
membeli beberapa buku panduan di Toulouse, yang sangat membantu karena tanpa buku-buku itu ia akan kesulitan menemukan
desa Castelombres"yang tidak lebih hanyalah perumahan yang
terpencar dan bangunan pertanian yang bahkan tidak tampak
dalam peta"dan tidak akan ada harapan untuk menemukan lokasi
reruntuhannya, yang berada tiga kilometer di luar dusun kecil dan
sumur. Bahkan dengan buku pun reruntuhan itu masih tetap tidak
mudah ditemukan, dengan melibatkan perjalanan yang bergejolak
sepanjang jalur setapak yang menjepit jalannya menuju bukit, dan
kemudian jalan kaki melintasi dua lapangan berlumpur dan naik
melalui kumpulan tanaman kecil yang lebat dan tumbuhan raksasa,
mengikuti jalur menanjak tajam yang pastinya telah terpelihara
baik tapi kini ditumbuhi tanaman liar sehingga menjadikannya
hampir tidak berbeda dari tanaman di sekitarnya. Begitu jauh
lokasi kastil itu, benar-benar tersembunyi, sehingga Layla sebenarnya sudah berada pada titik untuk melangkah balik, sambil berpikir
bahwa ia tadi pasti telah salah berbelok entah di mana, ketika
semak itu membuka pada kedua sisinya dan ia sudah berdiri di
teras berumput yang luas, jauh di dalam sisi bukit dengan pemandangan spektakuler tentang sekeliling bukit dan turun ke lembah
sungai di bawah. Tanda yang terbuat dari kayu yang sudah patah
di sisi kirinya mengumumkan ATeAU De CASTeLomBReS.
Siapa pun yang telah meruntuhkan kastil ini, ia telah melakukan
~ 407 ~ PAUL SUSSMAN seluruh pekerjaan, karena hampir tidak ada lagi yang tertinggal,
hanya beberapa blok batu yang tercecer, beberapa dinding yang
runtuh"yang paling tinggi tidak lebih dari selutut"dan pilar tunggal serta burik menggeletak pada sisinya dalam rerumputan seperti kayu yang busuk. hanya ada satu hal yang menjadi tanda bahwa
tadinya ini adalah gedung yang megah, dan itu adalah lengkungan
besar di ujung teras, sangat tinggi, sangat sempit, pahatan batunya
ditempeli tanaman merambat berwarna hitam, puncaknya menjulang sampai titik tajam yang tampaknya akan mencakar langit,
seperti tulisan cakar ayam dari ujung pulpen pada selembar kertas
kelabu. Layla berjalan mendekatinya, sambil menduga-duga bahwa itu
pasti sejenis pintu atau gerbang, dan baru menyadari ketika ia
sudah semakin dekat bahwa itu adalah sisa-sisa jendela, yang
dibangun dengan indah, dengan lingkaran dan spiral indah ke
dalam wajahnya dan di sana-sini, terlihat di bawah tanaman merambat, bunga-bunga kecil diukir di atas batu. Ada sesuatu yang
sangat melankolis tentang hal itu, berada di sana sendiri, mata
menatap jauh ke bukit, dan setelah itu ia berlalu, mengenakan
jaketnya untuk mengatasi angin dingin yang tiba-tiba saja berembus dari selatan, dan melihat lagi sekilas pada sisa-sisa reruntuhan.
Apa pun yang telah dilakukan orang Jerman di sini, mereka
tampaknya tidak meninggalkan jejak. Setelah dua puluh menit ia
mulai bosan pada tempat itu dan beranjak pulang melewati jalur
pepohonan yang ia lalui tadi. Ketika ia sedang berjalan terdengar
suara desis dan gemerisik cabang pohon dari arah bawah, dibarengi langkah kaki perlahan, dan suara itu semakin membesar sampai akhirnya seorang perempuan tua berwajah merah muncul dari
balik dedaunan ke teras. Ia mengenakan sepatu boot Wellington
serta mantel cokelat, dan menjinjing keranjang besar yang tiga
perempat bagiannya telah terisi jamur.
"Bonjour," katanya begitu melihat Layla, aksen Languedoc-nya
yang kental memanjangkan dan membelok-belokkan kata itu
sehingga terdengar seperti "bangjooor".
~ 408 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Layla membalas salamnya sembari menambahkan, demi sopan
santun, beberapa pujian tentang ukuran jamur hasil panennya.
"oh, bukan hasil yang buruk," katanya sambil tersenyum.
"Belum musimnya, tetapi Anda pasti dapat menemukannya kalau
tahu ke mana harus mencari. Anda dari Spanyol?"
"Palestina." Perempuan itu menaikkan alis matanya, agak terkejut.
"Anda sedang berlibur?"
"Aku seorang jurnalis."
"Ah." Ia berjalan ke blok batu terdekat, meletakkan keranjangnya di
atas batu dan mulai bekerja, memilah dan memeriksa jamurnya.
"Aku menduga Anda ke sini untuk menulis artikel tentang orang
Jerman," katanya setelah terdiam beberapa saat.
Layla mengangkat bahu, sembari memasukkan tangannya ke
dalam saku jaket. "Anda ingat mereka?" tanyanya.
Perempuan itu menggelengkan kepala. Tidak begitu ingat. "Aku
baru berusia lima tahun ketika itu. Aku ingat mereka semua menginap di sebuah rumah di ujung desa, dan ayahku meminta kami
agar tidak usah berbicara dengan mereka, jangan mendekati kastil,
tetapi selain itu.... "
Ia mengangkat bahu, sambil mengangkat sebuah jamur yang
besar dan mengendus tutupnya yang keriput, memberikan
anggukan rasa puas dan menyorongkannya pada Layla.
"Girolle," jelasnya.
Layla memajukan tubuhnya ke depan untuk membaui aroma
jamur itu, dan lubang hidungnya terisi bau yang kaya dan seperti
tanah. "Indah sekali," katanya. Dan kemudian, "menurut Anda mereka mendapatkan apa di atas sini"
Perempuan itu mendengus, menjatuhkan kembali jamur itu ke
dalam keranjang. ~ 409 ~ PAUL SUSSMAN "Aku pikir mereka tidak mendapatkan apa-apa di sini. Ini
memang cerita yang bagus, tetapi yang benar adalah orang sudah
menggali banyak lubang di sini selama berabad-abad mencari harta
yang dikubur. Kalau memang ada sesuatu pastinya itu sudah ditemukan jauh sebelum orang-orang Jerman itu datang. Atau paling
tidak, begitulah menurutku. Pasti ada orang lain yang tidak setuju."
Dari kejauhan terdengar deru guntur yang begitu jauh.
"Anda tidak mendengar tentang peti kayu yang mereka bawa?"
tanya Layla. Perempuan itu mengibaskan tangannya tak peduli. "oh, aku
mendengar tentang itu. Tetapi aku tak pernah melihatnya. Dan
bahkan bila mereka memang benar membawa peti kayu itu, itu
bukan berarti ada sesuatu di dalamnya. Seperti yang kita tahu, peti
itu penuh dengan batu. Atau kosong. Tidak, aku kira semuanya
adalah dongeng ibu rumah tangga belaka. omong kosong semua."
Ia memegang jamur yang lain, memeriksanya. Kemudian, dengan bunyi tut, melemparkannya ke samping ke tanaman di bawah.
"Bila Anda mau membuat cerita tentang Castelombres, Anda
harus menulis tentang anak-anak."
Layla terenyak. "Anak-anak?"
"Anak-anak Yahudi. Si Kembar. Kadang aku berpikir ini merupakan alasan setiap orang di desa ini menghabiskan banyak
waktu mengurusi harta karun dan peti kayu atau apa pun. Untuk
mencoba melupakan apa yang pernah terjadi terhadap mereka.
mengalihkan perhatian."
Layla semakin tercengang, tidak mengerti. "Kembar apa?"
Perempuan itu terdiam sejenak, kemudian duduk di sebelah
keranjangnya. Terdengar lagi deru geledek di kejauhan, pepohonan berbisik dan mendesis saat cabang-cabangnya bergesekan diembus angin.
"orang tua mereka mengirim mereka ke sini dari Paris,"
katanya, sambil memandang jauh ke bukit berhutan. "Setelah
Jerman menyerang. membayar petani setempat untuk membawa
keduanya. Berpikiran bahwa mereka akan lebih aman di sini, di
~ 410 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
selatan, di luar wilayah yang diduduki, keturunan Yahudi pula, dan
lain-lain. Seperti yang kubilang, aku baru berusia lima tahun ketika
itu, tetapi aku ingat sekali mereka, khususnya yang perempuan.
Kami bermain bersama, meskipun ia lebih tua. Sepuluh atau sebelas tahun. hannah, itulah namanya. Dan saudara laki-lakinya,
Isaac." Ia mendesah dan menggelengkan kepalanya. "Sesuatu yang
mengerikan terjadi. mengerikan." Ia menoleh kepada Layla.
"orang Jerman itu menemukan mereka. Di sini, di kastil ini.
mereka sedang bermain. mereka tidak melakukan hal berbahaya
apa pun, mereka hanya anak-anak. Tapi tak ada bedanya. Tidak
ada satu pun yang mendekati reruntuhan. Laki-laki yang bertugas"orang yang menakutkan, tak bermoral"ia membawa keduanya turun ke desa dan meninggalkan mereka di jalan: aku tak
akan pernah melupakannya, sepanjang hidupku, keduanya berdiri
di sana berdampingan, ketakutan, masih kecil, dan laki-laki itu
berteriak bahwa bila ada yang tidak mematuhi perintahnya lagi ia
akan melakukan terhadap mereka apa yang akan ia lakukan kepada Yahudi hina ini. Itulah panggilan mereka terhadap orang
Yahudi. Dan kemudian ia memukul mereka di depan kami, dengan
tangannya sendiri. Anak-anak kecil. memukulnya sampai pingsan.
Dan tidak satu pun orang desa melakukan sesuatu untuk mereka.
Tidak ada satu pun suara terdengar, bahkan tidak ketika mereka
melemparkan kedua anak itu ke dalam truk dan membawanya."
Ia menggelengkan kepalanya dengan sedih.
"Isaac dan hannah, begitulah mereka dipanggil. Kadangkala
aku bertanya-tanya apa yang terjadi dengan mereka. mati di
kamar gas. Aku kira. Tentang merekalah seharusnya Anda menulis,
rahasia sesungguhnya dari Castelombres, bukan omong kosong
tentang harta karun yang dikubur di sana. Tetapi kemudian, karena Anda orang Palestina, mungkin cerita model begini tidak
menarik minat Anda."
Ia melemparkan pandangannya ke bukit lagi, lalu, dengan
desahan kecil, ia berdiri, mengangkat keranjangnya dan, dengan
menatap sekilas pada langit yang mulai meredup, mengatakan
bahwa ia harus segera bergegas.
~ 411 ~ PAUL SUSSMAN "Senang bertemu Anda," katanya. "Aku harap Anda menikmati
sisa hari-hari Anda di sini."
Ia tersenyum, melambaikan tangan tanda selamat berpisah dan
berbalik, menelusuri jalan, menghilang di dalam rerimbunan
pohon fir di dataran atas. Keranjang jamurnya berayun-ayun di
tangannya. Terdengar gelegar halilintar, lebih dekat kali ini, dan
hujan mulai turun. Air hujan turun deras seakan langit sedang
menangis. K airo "o h , A NToNKU YANG mALANG . A NToNKU SAYANG YANG mALANG .
mengapa kau tidak membiarkan kita mati bersama" Seperti
seharusnya. mengapa kau menyiksaku seperti ini?"
Tangan Inga Gratz bergerak merangkak di seprai tempat tidur
dan mencengkeram pergelangan tangan Khalifa. Genggamannya
dingin, basah oleh keringat, dan erat. Detektif itu mengernyit,
tidak nyaman dengan sentuhannya, seolah laba-laba besar berbisa
telah melingkarkan kakinya di tangannya. Namun, ia tidak bergerak untuk menarik tangannya. Ia merasakan bahwa seluruh
investigasinya entah bagaimana menyempit dengan sendirinya ke
dalam pertemuan ini, dan bila sikapnya yang membolehkan
perempuan itu memegang tangannya telah membantu perempuan
tua itu untuk lebih mendekat dan informatif, katakan padanya apa
yang perlu ia ketahui, maka ia bersiap untuk bertahan dengan
keadaan ini, bahkan bila hal ini membuatnya merasa agak mual.
Saat itu lewat jam sebelas malam. Selama lima jam ia telah
bolak-balik melewati koridor di luar kamar Inga Gratz di rumah
sakit, merokok terus-menerus, mengingat berulang-ulang peristiwa
di blok apartemen, sambil menunggunya siuman kembali. Ketika


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akhirnya ia siuman, para dokter melarangnya masuk ke kamar,
sambil berkata bahwa Inga masih terlalu lemah untuk bicara,
~ 412 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
bahwa Khalifa harus menunggu sampai besok pagi. Dengan
berterus terang, ia memaksa untuk dapat masuk dan melihatnya,
mengancam untuk membawa persoalan ini ke tingkat yang lebih
tinggi, dan akhirnya mereka menyerah, mengizinkannya masuk
selama lima belas menit, dengan syarat harus didampingi seorang
suster. "hina," ia bergumam, jari-jarinya mencekal dan melepas pergelangan tangan Khalifa, suaranya tumpul dan samar, kemungkinan besar efek samping obat-obatan yang diminumnya. "Kau harus
melihat itu. hina. Setiap dari mereka. Pengisap darah. Kami melakukan kebajikan untuk dunia. Kau harus berterima kasih pada
kami." Ia menatap Khalifa, wajahnya sepucat mayat dalam kilau lembut lampu tepi tempat tidurnya. Sepasang tube plastik turun dari
lubang hidungnya seperti cacing kurus melata dari lubang pada
tengkoraknya. Kemudian ia berbalik dan mulai menangis. Ada juga
tube intravenus lain yang dimasukkan ke lengannya, dan dengan
tangan yang lain ia mulai mencakarnya, memanggil suster yang
menunggu di sisi pintu untuk mendekat dan mengangkat tangannya, secara perlahan menariknya ke bawah selimut. hening untuk
waktu yang lama, satu-satunya suara terhenti, deru napas tidak
lancar dari perempuan tua ini dan, dari luar jendela, bunyi irama
fut-fut dari tetesan air di halaman rumah sakit.
"Dieter," ia akhirnya berkata, wajahnya masih menjauh dari
Khalifa, suaranya hampir tak terdengar, hanya bisikan lemah.
"maaf?" "Itu adalah nama Piet yang sebenarnya. Dieter. Dieter hoth."
Sesaat lamanya detektif itu mencoba membuat koneksi yang
ada. Ketika ia melakukannya, ia pun menjatuhkan kepalanya dan
mendesah, senyum tipis tersungging di ujung mulutnya, walaupun
tidak ada humor dalam ekspresinya, hanya sejenis sikap mencela
diri sendiri saja. Demi Tuhan! hoth"itu adalah apa yang
dibisikkan hannah Schlegel pada Jamal lima belas tahun lalu, saat
ia terkulai sekarat di lantai kuil di Karnak. hoth, bukan Thoth.
~ 413 ~ PAUL SUSSMAN Selama ini ia telah mengejar nama yang salah. Berapa banyak lagi
yang salah, ia bertanya; berapa banyak lagi jalan gelap yang ia
lewati" "Ia seorang ... Nazi?" tanya Khalifa.
Inga mengangguk lemah. "Kami semua Nazi. Kami bangga.
mengabdi pada negeri kami, fuhrer kami. Tidak ada yang memahaminya sekarang, tapi dia orang yang baik. Laki-laki hebat. Dia
semestinya sanggup membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih
baik." Ia memutar kepalanya ke arah Khalifa, begitu tak berdaya, pandangan memohon tetap terpancar dari matanya, walaupun Khalifa
kini melihat sesuatu yang lain juga di sana, jauh di dalam, sesuatu
yang tidak ia sadari sebelumnya: kekejaman, kekerasan, seolah
tubuhnya yang lemah tidaklah lebih dari sekadar bungkus luar
yang di dalamnya berisi hal yang terpisah seluruhnya, semuanya
merupakan makhluk yang lebih dengki. Khalifa mengencangkan
giginya, lebih kuat daripada genggaman tangan perempuan itu
yang basah sebelumnya. "Dan hannah Schlegel?" ia bertanya. "Ia membunuhnya" Piet
Jansen"Dieter hoth."
Ia mengangguk lemah lagi, tidak lebih dari gerakan menaik terpatah-patah dari kepalanya. "hannah tahu siapa dia. Datang
untuk mencarinya. hina. mereka tak pernah berhenti mencari."
Ia mengatupkan mulutnya dan memutar matanya ke langitlangit, rasa ngeri merambat pada tubuhnya seakan-akan ia sedang
menerima kejutan listrik ringan. Kemudian diam sejenak, detak
jarum jam di dinding terdengar kasar tidak seperti biasanya dalam
kesunyian yang menyelimuti; kemudian secara perlahan, dengan
sedikit bimbang, ia mulai bicara lagi, mengeluarkan sedikit demi
sedikit, potongan demi potongan, kisah tentang kehidupannya
sendiri"elsa fauch adalah nama aslinya, istri Wolfgang fauch, keduanya adalah penjaga di kamp konsentrasi Ravensbruck"dan
tentang kehidupan temannya, Dieter hoth: siapa dia, dari mana ia
berasal, kerjasamanya dengan SS. Khalifa membiarkannya berceri~ 414 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
ta dengan kecepatannya sendiri, dengan caranya sendiri, kadangkadang mengajukan pertanyaan atau komentar ganjil ketika terlihat ia sedang kehilangan bagian dari narasinya. Tetapi kala ia
tidak mendengarkan dalam diam, semua elemen berbeda dari
kasus ini, semua hal yang telah membingungkannya selama dua
minggu terakhir, secara perlahan terpecahkan dalam pikirannya
sampai keseluruhannya jelas dan masuk akal.
"Kami semua keluar secara bersama-sama," katanya perlahan,
sambil menatap langit-langit kamar, matanya setengah tertutup.
"Pada akhir perang. April 1945. Aku, Wolfgang, Dieter, laki-laki
lain bernama Julius Schechtmann. Julius pergi ke Amerika Selatan,
kami pergi ke mesir. Dieter sudah menghubungi orang-orang yang
dapat menolong kami."
Dalam pikiran Khalifa potongan lain dari puzzle itu bisa disisipkan di tempatnya.
"faruk al-hakim," kata Khalifa.
Perempuan tua itu mengangguk. "Dieter kenal keluarganya. Ia
hanya seorang laki-laki muda, penjaga toko. Pintar, ulet, ambisius.
Kami membawa uang, milyaran, apa pun sanggup kami adakan.
Kami membayar faruk, ia membantu kami untuk menghilang.
Belakangan, yang lain datang; farouk mengatur segala sesuatunya
untuk mereka juga. Kami membayar gaji tahunan untuknya; ia
memastikan tidak akan ada pertanyaan yang diajukan. Itu bisnis
yang bagus baginya."
Pertemuan dengan Chief mahfuz muncul lagi dalam benak
Khalifa. Aku katakan pada al-hakim tentang Jansen, tetapi dia
bilang Jansen terlarang. Dikatakan bahwa menarik dirinya ke
dalam kasus ini akan membuat persoalan lebih buruk, Semakin
banyak kebencian terhadap orang Yahudi. Tak heran, pikirnya.
menyelidiki Jansen akan membawa seluruh hal tentang Nazi ke
tempat terbuka; mempertontonkan mesir sebagai tempat berlindung bagi pembunuh dan penjahat perang, dan menarik alhakim dari apa yang jelas-jelas menguntungkan. Jauh lebih baik
meninggalkan Jansen sendiri dan meminta orang lain didakwa
~ 415 ~ PAUL SUSSMAN sebagai pembunuh Schlegel. Bahkan bila itu adalah orang lain yang
sepenuhnya tidak berdosa.
"Kami memiliki kehidupan yang baik," perempuan itu berkata
lagi. "memulai bisnis, menjalin pertemanan baru. Ada kelompok
kecil kami suatu waktu. Sekarang semua sudah pergi. Aku,
Wolfgang, Dieter"kami adalah yang terakhir. Dan sekarang hanya
tinggal aku." Ia mendesah, dan menggeser tubuhnya yang ringkih sedikit ke
bawah selimut, tangannya masih memegang lengan Khalifa.
"Kami harus senantiasa dijaga, tentunya. Khususnya setelah apa
yang terjadi pada Julius. mereka menggantungnya, kau tahu,
hewan kotor itu. Secara umum, kami bisa menjalankan kehidupan
seperti biasa, mengurusi bisnis kami sendiri. Berpikiran bahwa kami
menikmati sisa hari kami dalam damai dan tenang."
"Sampai hannah Schlegel tiba," kata Khalifa perlahan.
Ia mencibir ketika menyebut nama itu, bibirnya yang tipis dan
pucat menarik ke belakang sehingga memperlihatkan giginya. Sang
detektif memiliki kesan sesaat yang membingungkan bahwa ia
tidak sedang melihat manusia tetapi lebih mirip hewan yang buas,
anjing atau serigala. "Tuhan tahu bagaimana ia menemukan Dieter," katanya.
"Dieter sudah begitu berhati-hati, melakukan apa saja yang dapat
dia lakukan untuk menutupi jejaknya. memalsukan kematiannya
sendiri sebelum kami meninggalkan Berlin, meninggalkan sebagian
dari harta pribadinya pada sesosok mayat sehingga terkesan bahwa
dia telah tewas dalam penyerangan Rusia. Tetapi kemudian,
begitulah Yahudi ada untukmu, "kan" Vampir. Selalu memburu,
selalu mencari darah. Selalu, selalu, selalu."
Ia menjadi gelisah, selalu mengubah posisi di tempat tidurnya,
napasnya pendek dan menghela tajam. Dengan melangkah maju
lagi, suster meletakkan tangannya pada kening perempuan itu yang
kelabu, mencoba menenangkannya. Khalifa mengambil kesempatan
itu untuk membebaskan lengannya, tidak lagi tahan dengan sentuhan kulitnya, seolah bersentuhan kulit akan membuat infeksi pada
~ 416 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
dirinya, mengucurkan racun ke dalam aliran darahnya. Ia menggeser
kursinya ke belakang, agar tak terjangkau oleh perempuan itu,
menyilangkan kaki dan menunggu sampai ia pulih kembali.
"Ia tak pernah mengatakan pada kami kisah selengkapnya," ia
mulai lagi pada akhirnya, suster menenangkannya. "Sesuatu tentang Prancis, penggalian ... tak pernah seluruhnya jelas. Semua
yang dikatakannya bahwa ia telah mengirim Schlegel kembali ke
kamp pada 1943, dan empat puluh lima tahun kemudian, Schlegel
tiba-tiba saja menelepon dari sebuah hotel di Luxor dan meminta
bertemu dengannya." Ia menggelengkan kepala. "Awalnya Dieter
menyangka bahwa Schlegel hanya ingin memerasnya. Tipikal
Yahudi serakah. Tetapi kemudian, ketika mereka bertemu, perempuan jalang bodoh itu mulai meneriakkan keadilan dan balas dendam, mengatakan bahwa ia membawa pisau dan akan membunuhnya. Dieter berusia tujuh puluh tahunan ketika itu, tetapi ia
masih kuat, fit. Sempat memukul Schlegel, dan menghabisinya dengan tongkatnya. Atau paling tidak ia mengira telah menghabisinya.
Belakang baru kami dengar dari farouk bahwa perempuan itu masih
hidup ketika Dieter meninggalkannya." Dia menggerutu. "mereka
seperti kecoa. Sukar dibunuh dengan bersih."
Khalifa menggelengkan kepala, hampir tidak dapat memercayai apa yang baru saja didengarnya, bahwa hal seperti itu dapat
diceritakan dengan dingin, begitu apa-adanya, dan oleh perempuan tua pula. "Aku tak dapat memahami ini," ia berpikir sendiri.
"Semua yang menyangkut kasus ini, ke mana pun kasus ini membawanya"seolah aku sedang berada di dunia alien. Tertatih-tatih
berjalan di dalam ruang gelap dan hitam tempat semua insting dan
kepekaanku, semua yang aku tahu dan hargai, tidak ada artinya
sama sekali. Aku tak mengerti. Aku tak mengerti satu pun dari
semua ini." "flatnya hannah Schlegel?" ia mencoba bertanya. "Jansenkah
yang meminta Anda membakarnya?"
Perempuan tua itu mengangguk. "Ia menelepon kami, menjelaskan apa yang terjadi, mengingatkan bahwa mungkin saja
~ 417 ~ PAUL SUSSMAN Schlegel telah meninggalkan catatan, perincian tentang bagaimana
ia mengikutinya. Ia mencuri dompetnya, dan karena itu memiliki
alamatnya. Wolfgang menghubungi beberapa asosiasi bisnisnya di
Yerusalem. mereka mengurusi segalanya."
Ia menutup matanya, jari-jarinya yang buruk dan layu mengetuk-ngetuk bagian tepi tempat tidurnya.
"Dieter yang malang. Ia berubah setelah itu. Tidak satu pun
dari kami, tetapi ia yang terburuk. mengerikan. Percaya bahwa
akan lebih banyak lagi dari mereka yang akan datang, bahwa
mereka akan membawanya kembali ke Israel dan mengadilinya. Ia
tidak mau menemui siapa pun lagi, semua jendela rumahnya selalu
dikunci, tidur dengan pistol di sisi tempat tidurnya. Dan kemudian,
ketika farouk mati tahun lalu, ia semakin ketakutan karena dengan
kepergian farouk tidak ada lagi yang melindungi kami. hal itu
menyebabkannya menderita kanker. Aku yakin itu. Kekhawatiran
adalah sesuatu yang terus-menerus mengintainya. Ia boleh jadi
telah membunuh Schlegel di Karnak, tetapi Yahudi tua itu menghabisinya juga. Pada akhirnya mendapatkan kami semua. mereka
selalu begitu. mereka itu sampah. hina."
Ia sedang menuju akhir dari kekuatan yang masih tersisa
padanya, dan suster, yang masih tetap berdiri di sisi tempat tidur,
batuk dan melirik pada jamnya, memberi tanda bahwa sudah saatnya wawancara berakhir. Khalifa mengangguk, berdiri dan berbalik
melangkah ke pintu, tetapi kemudian menengok lagi.
"Sebelum dia mati, tampaknya Tuan Jansen mencoba mengontak teroris Palestina al-mulatham. Katanya ia memiliki sejumlah senjata yang dapat dia gunakan untuk melawan orang
Yahudi. Apa Anda tahu tentang itu?"
Yang membuatnya terkejut, perempuan tua itu tertawa tertahan, dengan suara yang kejam dan kental, seperti lumpur yang
menggelegak. "Teka-teki Dieter," katanya, sedikit kekuatan sepertinya telah
mengembalikan suaranya. "Seperti itu kami biasanya menyebut hal
itu, aku dan Wolfgang. Ia selalu menggunakan teka-tekinya itu,
~ 418 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
khususnya setelah dia minum satu atau dua gelas. Bagaimana dia
menemukan sesuatu yang dapat membantunya merusak Yahudi.
"Aku masih bisa menyakiti mereka, Inga". Begitulah dia biasa mengatakan. "Aku masih bisa menyakiti keparat itu semua"."
Ia tertawa perlahan dan, sembari merendahkan tangannya, terbenam lagi ke dalam bantal seolah masuk ke dalam salju, matanya
berkedip membuka dan menutup.
"Apa dia mengatakan pada Anda mengenai hal itu?" tanya
Khalifa. "Tidak," jawabnya, "dia tidak pernah mengatakannya."
"Di mana?" Ia mengangkat bahu, lemah. "Aku pikir ia menyebutkan kotak
penyimpanan yang aman. Tetapi kemudian lain waktu ia mengabarkan telah meninggalkan semua detail pada teman lamanya, jadi
siapa yang tahu" Dia dapat saja begitu penuh rahasia, si Dieter itu."
Ia mendesah, sambil menatap langit-langit.
"Generasi baru, itulah yang diharapkannya. Seseorang yang
kepadanya dia bisa memberikan itu, yang akan menolong Jerman
menjadi kuat kembali. Tetapi tahun berlalu dan tak ada seorang
pun mengambil mantel itu, kemudian ia menemukan bahwa ia
mengidap kanker. maka ia pun memutuskan memberikannya kepada orang Palestina. "Berikan ini kepada orang-orang yang membutuhkannya", itulah yang dikatakannya. Kami mengirim surat
untuknya." "Surat?" mata Khalifa menyipit.
"Kepada seorang perempuan Palestina. Di Yerusalem. Dieter
berpikir perempuan itu bisa menolongnya. Al-madani, itulah
namanya. Layla al-madani. Tidak tahu apakah perempuan itu pernah menghubunginya kembali. Aku harap dia melakukannya. Kami
harus terus berjuang. memperlihatkan pada orang Yahudi bahwa
mereka tidak dapat melakukan segalanya sesuai dengan cara mereka. hina, begitulah mereka. Wabah penyakit. Kami melakukan
suatu kebajikan untuk dunia. Kau harus tahu itu. Yakinkah kau
bahwa kau harus tahu itu" Kami ini temanmu yang sesungguhnya.
~ 419 ~ PAUL SUSSMAN Kami selalu menjadi teman kalian."
matanya secara perlahan menutup, suaranya semakin lemah
dan menjauh. Khalifa menatapnya, mencoba, namun gagal, mengorek lagi walaupun sedikit, lalu berjalan ke pintu. Begitu ia sampai di pintu, entah bagaimana perempuan itu berusaha mengangkat dirinya sendiri di tempat tidur dan memanggilnya.
"Aku akan baik-baik saja, "kan" Kau tidak akan mengatakannya
pada orang Israel" Kau akan mengejarku" mereka adalah musuhmu juga."
Khalifa diam selama beberapa detik, lantas, tanpa menjawab,
ia melangkah keluar menuju koridor dan menutup pintu di
belakangnya KamP Pengungsian KaLanDia,
anTara Y erusaLem Dan r amaLLah YUNIS ABU JISh BANGUN SeBeLUm mATAhARI TeRBIT, SeTeLAh BeBeRAPA
jam tidur tak nyenyak. Setelah membersihkan diri di keran di luar
rumah mereka yang terbuat dari blok sinder sementara, dia kembali ke rumahnya dan mulai melaksanakan salat subuh, mencoba
menekan suaranya agar tak membangunkan empat saudara lakilakinya yang berbagi kamar dengannya.
Sudah tiga hari setelah ia menerima panggilan telepon dari almulatham, dan selama waktu itu mereka yang dekat dengannya
telah menangkap adanya perubahan dramatis dalam diri pemuda
ini. Wajahnya yang sudah kurus kering dan cekung, tampak
menyusut jauh menjadi seperti tengkorak, seolah terisap ke dalam
dari belakang. Sementara kelopak matanya yang berat semakin
gelap, mengasumsikan kegelapan yang berubah warna dan tak
dapat diduga, seperti air yang ternoda tanah. Tindak tanduknya
juga telah berubah hingga tak bisa diketahui. Sebelumnya ia adalah
~ 420 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
seorang yang banyak bicara, suka berteman dan terbuka, tetapi
kini menarik diri, menghindari ditemani orang lain, menghabiskan
banyak waktunya menyendiri, hanyut dalam beribadah dan merenung sendiri.
"Ada apa denganmu, Yunis?" ibunya telah memohon padanya
lebih dari satu kesempatan, sadar atas perubahan mendadak dalam
penampilan dan tindak-tanduk anak laki-lakinya. "Kau sakit" Perlu
kami panggilkan dokter?"
Ia ingin sekali menjelaskan, membagi sedikit beban yang


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang ditanggungnya. Namun, dia sudah dilarang mendiskusikan
masalah ini, dan karenanya ia sekadar meyakinkan ibunya, dan
siapa saja yang bertanya, bahwa dirinya baik-baik saja, bahwa
memang sedang banyak pikiran tapi mereka tak perlu cemas. Pada
waktunya nanti mereka pasti akan mengerti.
Yunis menyelesaikan sembahyangnya, mengulang rakaat dan
syahadat terakhir, lalu berdiri sejenak, menatap adik bontotnya
muhammad yang berusia enam tahun, tertidur lelap di kasurnya di
lantai. Napasnya lembut dan pasrah, lengannya yang kurus
terentang di sisinya seolah ia sedang menggapai sesuatu. Bukan
untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir ini ia tertombak oleh hantaman tajam kengerian yang sangat terhadap apa
yang ia diminta untuk melakukannya, terhadap kenyataan bahwa
hal itu akan menjauhkan dia selamanya dari orang-orang yang
dicintainya. hal itu hanya berlangsung beberapa detik saja, dan
serta-merta memberinya jalan kepada sebuah pendirian bahwa
memang karena ia sangat mencintai dan mengasihi orang-orang
itulah maka ia menerima tawaran yang kini akan dijalaninya.
Yunis membungkuk dan membelai rambut bocah kecil itu,
berbisik padanya betapa ia sangat menyayanginya, betapa ia
merasa menyesal atas semua kesusahan atau kepedihan yang disebabkan olehnya. Kemudian, dia berdiri tegak dan mengambil alquran dari rak di sebelah tempat tidurnya, pergi keluar rumah
dalam udara subuh yang dingin dan kelabu untuk meneruskan persiapannya.
~ 421 ~ PAUL SUSSMAN Y erusaLem SUDAh LeBIh DARI JAm SeBeLAS PAGI KeTIKA LAYLA AKhIRNYA KemBALI Ke
flatnya di Yerusalem Timur. Pagi yang panas"tidak biasanya dalam
setahun ini"dengan langit berawan dan atmosfer berat yang
membuat mengantuk membungkus kota seperti kabut tipis yang
menempel. Ia melemparkan telepon genggam dan tas ranselnya ke
sofa, mendengarkan beberapa pesan dalam mesin penjawab"
penghinaan yang seperti biasanya, ancaman kematian dan permintaan tentang kopi yang terakhir"kemudian melepas bajunya
dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Apa yang aku lakukan sekarang" pikirnya, sementara air
memerciki kepala dan wajahnya. harus ke mana aku setelah ini"
Apa pun yang telah ditemukan hoth di Castelombres"dan terlepas dari keraguan perempuan Prancis tua dengan keranjang
jamurnya itu, Layla merasa pasti bahwa hoth telah menemukan
sesuatu"sepertinya telah menghilang lagi selama kekacauan pada
akhir Perang Dunia II. Bila ada catatan yang telah ditinggalkannya
mengenai asal-usulnya, pastilah itu belum dipublikasikan. Dan
walaupun ada, menurut Jean-michel Dupont, masih ada ribuan
halaman berkas dan dokumen tentang Nazi yang belum diteliti
dengan saksama"puluhan ribu"sehingga akan memerlukan
waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menggali
informasi yang sedang dicarinya. Andainya memang informasi itu
benar-benar ada, yang belum tentu kepastiannya.
Apa lagi" Ada anak Palestina, yang telah mengantarkan surat
misterius kepadanya dahulu. Kiranya ia bisa membuat lebih banyak
lagi pertanyaan mengenai identitasnya, mencoba menelusuri
keberadaannya, meneliti kembali siapa pembuat surat itu. Atau,
kembali ke Gereja makam Suci dan berbicara dengan Bapak Sergius
lagi, siapa tahu ada sesuatu yang luput darinya selama pertemuan
pertama, isyarat kecil mengenai apa yang telah digali William de
~ 422 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Relincourt di bawah lantai batu gereja"
Lagi-lagi, kedua pilihan itu seperti tak ada gunanya. Bapak
Sergius telah bersikukuh bahwa tidak ada bukti tentang apa yang
telah ditemukan de Relincourt, sementara mencoba menemukan
anak Palestina akan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Dalam lapangan jerami. Negeri ini penuh oleh benda sialan.
Dengan cara apa pun ia melihat pada kasus ini, ia seperti sedang
menghadapi jalan buntu. Dengan desahan sedih Layla mematikan keran air panas dan
memutar yang dingin sampai yang paling maksimal, membiarkan
air sedingin es membasuh kepala dan dadanya. Saat ia tengah
melakukan itu, sesuatu melintas di bagian tepi pikirannya, sekilas
pintas, sebuah kenangan, sesuatu yang dalam beberapa hal relevan
dengan masalah yang sedang dihadapinya. hal itu terjadi begitu
tiba-tiba, seperti bintang jatuh yang menghilang segera setelah ia
muncul, meninggalkannya dengan perasaan frustrasi karena telah
kehilangan sesuatu yang penting, seberkas sinar yang sesaat. Ia
mematikan kran air dan menutup matanya, mencoba mengikuti
jalan pikirannya ke belakang: anak Palestina, Bapak Sergius, gereja, lantai batu. Lantai, ya itu dia. Lantai batu di dalam gereja.
mengapa begitu penting" Apa yang sedang diingatnya"
"Yalla," ia bergumam pada dirinya sendiri. "Ayo. Apa yang
sedang aku pikirkan" Apa sih" Apa?"
Untuk sesaat lamanya pikirannya tetap kosong. Kemudian, sangat perlahan, ia mendengar suara. Detak. Detak yang terdengar
aneh, seperti sesuatu yang mengetuk-ngetuk pada batu. Klak, klak,
klak. Suara apa itu" Palu" Pahat" Ia tidak dapat mengenalinya. Ia
membuka matanya, menutupnya kembali, memaksa dirinya
mengingat hal ini, kemudian memutar pikirannya kembali, seolah
mencoba mengintip suara itu dari belakang, menangkapnya
sebelum ia melarikan diri. Berhasil. Tentu saja. Itu suara tongkat,
yang dimiliki laki-laki tua Yahudi seperti yang dikatakan Bapak
Sergius. Setiap hari dia datang ke sini, rutin seperti jam kerja.
Percaya bahwa de Relincourt telah menemukan Sepuluh Perintah
~ 423 ~ PAUL SUSSMAN Tuhan, atau Ark of the Covenant, atau pedang Raja Daud"aku
lupa yang mana. Semacam benda Yahudi kuno.
Saat itu dia dengan enteng melupakan laki-laki itu karena sekelompok orang aneh yang terpedaya tampak mengelilingi dongeng
de Relincourt seperti laron di sekitar api lilin. Kemungkinannya,
adalah bahwa ini adalah dia adanya. Setelah apa yang ia temukan
tentang Rahasia Castelombres, dan khususnya bagaimana ia kelihatannya terkait dengan kisah Judaisme dan Yahudi, sebagian dari
dirinya tidak tahan untuk bertanya apa mungkin laki-laki itu
mengetahui sesuatu yang dapat membantunya" Ini bagaikan usaha
keras untuk menemukan sesuatu yang belum tentu ada. Dengan
keadaan bahwa setiap pertanyaan tampak semakin lama semakin
melemah, maka kemauan adalah apa yang tertinggal darinya.
Paling sedikit hal itu layak ditindaklanjuti, bahkan bila hal itu beralih menjadi bukan apa-apa, yang sepertinya hampir pasti.
Ia kemudian melangkah keluar dari tempat mandinya, meraih
handuk, mengeringkan tubuhnya dan mengenakan celana dalam,
Bh dan baju atasan sebelum ia terganggu oleh suara keras yang
tiba-tiba terdengar di pintu depan.
"Tunggu," katanya.
Siapa pun di luar sana, entah karena tidak mendengar atau apa,
pastilah tidak siap untuk menunggu karena suara itu kembali terdengar, semakin keras dan lebih memaksa dengan bunyi gedebuk,
seluruh flat seperti bergetar dengan suara hantaman itu. menjengkelkan, dan tiba-tiba saja mencurigakan"bunyi itu terasa terlalu memaksa bagi fathi si pengurus flat, atau siapa pun yang dia
kenal"ia mengenakan jins dan sepasang sepatu karet, meraih handuk tangan untuk mengeringkan rambutnya yang masih basah lalu
bergegas menuju pintu, berjingkat dan mengintip dari lubang yang
ada pada permukaan kayu pintu.
Seorang laki-laki besar, berbahu lebar sedang berdiri di luar
dalam temaram koridor di depan pintu apartemennya, seorang
Israel, dengan wajah berhidung besar dan pistol Jericho yang
menakutkan terselip pada ikat pinggang jinsnya. Untuk alasan ter~ 424 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
tentu ia serta-merta memiliki perasaan tidak baik tentangnya, pertanda ada bahaya.
"Ya?" Laki-laki itu diam, satu tangannya terangkat hendak mengetuk
pintu, kemudian menyorongkan tubuhnya ke depan sehingga
matanya menutupi lubang intip.
"Polisi Yerusalem," ia berkata. "Buka pintu."
BeN-RoI SeGeRA memACU KeNDARAANNYA begitu ia mendapat telepon
dari Khalifa, melalui jalan dari kantor polisi ke Jalan Nablus kurang
dari tiga menit, karena berusaha melewati dua lampu merah dan
menghindari bentrokan dengan laki-laki tua haredi yang telah berjalan di jalan setapak tanpa mau repot memerhatikan lalu lintas
yang datang. hoth, Gratz, Schlegel, masyarakat buronan Nazi"telah menjadi kisah luar biasa, mengagumkan. Juga mengecewakan, dalam
hal, bahwa pada akhirnya orang mesir itu tampak telah memecahkan masalah ini sendiri; bahwa input darinya, selain mengisi
beberapa detail, pada akhirnya tidak membuktikan hal mendasar
untuk resolusi kasus itu.
Namun, bukan kekaguman dan juga bukan kekecewaan yang
membakarnya sekarang. Tidak setelah apa yang Khalifa katakan
padanya tepat di ujung pembicaraan, hampir sebagai salam perpisahan: tentang Layla al-madani dan surat yang dikirim hoth
kepadanya yang meminta bantuannya dalam menghubungi almulatham. Ia kini begitu bersemangat, semangat murni seorang
petinju yang setelah berbulan-bulan latihan akhirnya melangkah
juga ke arena untuk berhadapan dengan lawan yang sudah lama
ditunggu. Dia selalu tahu bahwa pada akhirnya dia akan berhadapan
dengan Layla. Atau paling tidak selama tahun lalu, sejak membaca
artikel yang ditulisnya. Ia tidak dapat mengemukakan alasan untuk
obsesinya terhadap perempuan ini, tidak ada penjelasan rasional
mengenai mengapa perempuan ini harus memberinya rasa sakit di
~ 425 ~ PAUL SUSSMAN dalam perut seperti ini. Tentu, bila kau melihat dari dekat, benarbenar dekat"dan dia telah melakukan hal lain selama dua belas
bulan terakhir"kau dapat menangkap firasat, kesalahan samar
dalam kehidupan dan pekerjaannya, seperti wawancara yang
dilakukannya (hampir setiap pembom, demi Tuhan, hampir setiap
pembom sialan itu). Namun, tidak ada yang jelas. Tidak ada yang konklusif. Tidak
ada, pasti, yang menjamin derajat kecurigaan dan kebencian yang
ia munculkan di dalam diri Ben-Roi. Satu-satunya yang dia tahu,
bahwa dengan artikel itu Layla telah menancapkan dirinya dalam
pikiran Ben-Roi sebagai seseorang yang nyata, manusia yang
terkait dengan laki-laki yang telah menghabisi kekasihnya, Galia,
dan dengan demikian dia tidak pernah ragu sesaat pun bahwa
pada titik tertentu jalur hidup mereka pasti akan bertemu. Bahwa
kemudian itu terjadi sebagai hasil dari kasus ini, itu tidak diperkirakan sebelumnya. Atau, mungkin juga tidak seperti itu. mungkin
itu alasan yang ia tarik untuk menyelidiki pertama kali"kesadaran
di alam bawah sadarnya bahwa hal itu entah bagaimana akan
menjadi pemicu, hal yang akhirnya membuat mereka bersama.
Dia tak dapat mengatakannya, juga tak begitu peduli. Semua yang
terjadi adalah setelah setahun mengamati dan menunggu, meneliti, mengikuti, menetapkan dan merasakan rasa sakit dalam perutnya. Dan sekarang, akhirnya, saatnya tiba untuk berhadapan muka
dengannya, untuk menatap matanya dan melihat apa yang dapat
dilihatnya di sana. "AYo," BeN-RoI meNGULANG, mengetuk pintu lebih keras lagi dengan
kepalan tangannya. "Buka pintu."
"Lencanamu dulu," suara Layla dari dalam.
Sambil menggerutu, Ben-Roi merogoh sakunya dan mengeluarkan identitas polisinya, menempelkannya pada lubang intip.
Diam yang cukup lama, lebih lama daripada yang diperlukan
perempuan itu untuk membaca detail yang ada pada kartu identitasnya, seolah dia dengan sengaja membuat Ben-Roi menunggu,
~ 426 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
menekankan kenyataan bahwa dia tidak bisa diintimidasi Ben-Roi,
sebelum akhirnya terdengar bunyi klik dan pintu terbuka.
"Selalu dengan senang hati menyambut Polisi Nasional Israel,"
sambut Layla, sambil menggosok-gosokkan handuk pada rambutnya.
Layla lebih pendek dari yang dia bayangkan, lebih ramping,
seperti remaja saja dengan dada yang kecil dan ketat, pinggulnya
yang sempit, detail yang tidak akan kau temui dalam foto yang
diambil dengan duduk bermalam-malam di seberang apartemennya sambil melihat ke jendela apartemennya. Ada kekokohan di
dalamnya, kuat, keras, khususnya dalam sorot matanya yang hijau
jamrud; cara Layla menatap Ben-Roi tanpa berkedip; tidak gelisah
oleh ukuran tubuh Ben-Roi, oleh kenyataan bahwa ia dapat
menggendongnya dan mengayunnya hanya dengan satu tangan.
"Ya?" Layla bertanya.
Ben-Roi begitu tertarik dengan hal kecil dalam penampilannya
sehingga pertanyaan tidak segera keluar dan ia harus mengulang.
"Ya?" Ben-Roi menggelengkan kepala. "Aku punya beberapa pertanyaan," ia menjawab, selangkah maju, seolah mau masuk ke
dalam flat. Layla mengangkat tangannya dan menyilangkannya pada celah
yang terbuka sehingga ia menghalangi jalan masuk ke dalam
apartemennya. "Tidak boleh tanpa jaminan. Kau punya jaminan?"
Ben-Roi tidak punya. "Bisa kuusahakan," katanya. "Dan ketika aku kembali aku tidak
akan ramah." Layla mengeluarkan dengusan sinis. "Aku gemetar. Sekarang,
perlihatkan jaminan, atau kau bertanya apa pun sesukamu dari situ
saja. Dan harus kau lakukan dengan cepat. Aku terlambat, ada janji."
Tindak-tanduk Layla begitu tenang, meyakinkan, meremehkan,
dan dalam waktu yang sangat singkat terlintas dalam pikiran BenRoi saat pertama kali bertemu dengan Galia, ketika ia menahannya
~ 427 ~ PAUL SUSSMAN pada demonstrasi antipendudukan dan telah diperlakukan dengan
sikap merendahkan yang sama. Ia menyeringai, seolah terkejut
oleh analogi itu, dan maju setengah langkah sehingga tubuhnya
memenuhi seluruh bingkai pintu.
"Kau dikirimi surat baru-baru ini. Surat yang meminta pertolonganmu untuk menghubungi al-mulatham."
Layla diam saja. "Kau pasti tahu apa yang aku bicarakan?"
Diam sejenak, seolah ia sedang menimbang bagaimana harus
menjawabnya; kemudian menarik handuk dan menyampirkannya
di bahu, ia mengakui bahwa ia memang menerima surat itu.
"Dan?" Diam lagi, menimbang pilihan lain.
"Tidak ada apa-apa. Aku membacanya, aku merobeknya,
membuang ke tempat sampah. Seperti yang aku lakukan pada
semua e-mail sampahku."
Ben-Roi merekam fiturnya, mencari tanda-tanda kecil bahwa ia
sedang berbohong"mengencangnya mulut, pelebaran pada pupil
mata, keringat. Tidak ada. Apakah ia memang berkata yang sebenarnya atau ia lebih baik daripada siapa pun yang ia temui sebelum
ini. "Aku tak percaya," katanya, menguji.
Layla tertawa, matanya tidak pernah lepas dari mata Ben-Roi.
"Aku tidak memberikan apa yang kau percaya. Aku menerima surat
itu, aku membacanya, dan aku buang. Dan sebelum kau bertanya,
tidak ada, surat itu sudah tidak ada lagi dalam keranjang sampahku. Walaupun aku yakin kalau kau akan pergi ke tempat pembuangan sampah kota, maka akan makan waktu beberapa minggu
untuk menemukannya."
Ben-Roi mengeraskan kepalan tangannya, mencoba menahan
dorongan untuk menyerangnya.
"Apa isinya, surat itu?"
"Sepertinya kau sudah tahu," ia menjawab.
~ 428 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
"Apa isinya yang pasti?"
Layla menyilangkan tangannya dan mendesah, seperti seorang
guru yang sedang menangani muridnya yang terbelakang.
"Pastinya aku tak bisa mengatakannya padamu, karena aku tak
mau repot mengingatnya. "Aku mencoba menghubungi almulatham, mungkin kau dapat menolongku, aku akan membayarmu berapa pun yang kau inginkan"seperti itulah. omong kosong,
pokoknya. Aku hanya membacanya sekilas. Kalau kau ingin versi
lengkapnya, kau harus berhubungan dengan temanmu di Shin Bet.
Aku duga merekalah yang mengirim surat itu."
Lagi-lagi, walaupun mata Ben-Roi menatap mata Layla, telinganya menegang, ia gagal menangkap petunjuk bahwa ia sedang
dibohongi, kilau paling tipis dari penyembunyian diri pada fitur
wajah atau suaranya. Yang membingungkan, setiap insting dalam
tubuhnya mengatakan padanya bahwa ia sedang dibohongi, Layla
sedang menyembunyikan diri, sehingga apakah instingnya yang


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salah semua, radarnya kacau, atau Layla yang memang memiliki
tingkat kontrol diri yang hampir seperti manusia super dalam
kemampuannya bertahan. hanya pada matanya, jauh di dalam,
ada rumor tentang sesuatu selain dari apa yang ia ekspresikan
secara terbuka, semacam kesuraman yang samar, seperti endapan
lumpur yang terganggu jauh di bawah permukaan air. Apakah hal
itu menyiratkan kebiasaan berdusta atau aspek yang sepenuhnya
berbeda dari sisi psikologisnya, Ben-Roi tidak tahu. Barangkali ini
hanyalah tipuan cahaya. "Apa disebutkan soal senjata, dalam surat itu?" Ben-Roi mendesak. "Sesuatu yang dapat digunakan untuk merusak negara
Israel?" Tidak sejauh itu ia mengingatnya, jawab Layla. Kalau ada,
barangkali ia sudah memerhatikannya.
"Apa nama Dieter hoth punya arti bagimu?"
Tidak. "Piet Jansen?" Jawaban yang sama. ~ 429 ~ PAUL SUSSMAN "Aku pernah mendengar nama David Beckham, kalau itu membantumu."
Begitulah percakapan itu berlangsung. Ben-Roi menghujani pertanyaan pada Layla, dan Layla mengembalikannya dengan sikap
mencemooh, merendahkan, sampai akhirnya ia kehabisan pertanyaan dan keduanya diam.
"Sudah cukup?" Layla bertanya, menempatkan tangannya pada
pinggulnya dan memandang Ben-Roi. "Karena, terutama ingin
menyenangkan diriku sendiri, aku pun punya banyak hal untuk
dilakukan." Di belakangnya, telepon berdering.
"Cukup?" ia mengulang.
Ben-Roi menatap Layla, kepalan tangan mengencang, sadar
bahwa apa pun yang ia harapkan dari pertemuan ini, apa pun pengungkapan yang ia inginkan darinya, tidak akan terjadi. Dia
menang. Paling tidak, kali ini.
"Untuk saat ini," jawab Ben-Roi
"Yahh, kau tahu di mana aku berada. Seperti kataku, sangat
menyenangkan menerima tamu dari Kepolisian Nasional Israel."
Layla menganggukkan kepala kepada Ben-Roi, memberi tanda
bahwa ia harus mundur dari pintu dan mulai menutupnya. Ketika
pintu sudah separuh tertutup, Layla memiringkan badannya dan
melihat Ben-Roi dari ruang pemisah yang ada, sementara telepon
masih terus berdering. "Asal kau tahu, aku tidak tahu-menahu siapa al-mulatham itu,
di mana dia berada, atau bagaimana menemukannya. Aku yakin
ini tidak akan menghentikanmu untuk datang lagi dan mengejarku,
tetapi kupikir aku telah mengatakannya, pada kesempatan yang
sempit tapi akhirnya menjadi jelas."
Di ruang kerjanya, mesin penjawab bekerja, rekaman suaranya
yang kecil menggema di ruang itu: Aku tak bisa mengangkat telepon saat ini. mohon tinggalkan pesan dan aku akan menghubungi
Anda kembali. "Dan untuk catatan pribadi saja," Layla menambahkan, "Aku
~ 430 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
tak tahu parfum apa yang kau gunakan setelah bercukur, tapi ini
sungguh menyengat. Kau harus mencoba merek lain."
mata Ben-Roi menyipit. Di belakangnya, terdengar suara biiiip
panjang dan suara lain terdengar di ruang itu, berat dan payah.
"Layla! Ini magnus Topping. Sekadar terpikir meneleponmu
untuk mengetahui apakah kau kembali dengan selamat, ... umh ...
yahh, senang sekali bertemu denganmu. Juga, sesuatu yang aku
lupa mengatakannya ketika kau di sini, fakta menarik untuk artikel
yang sedang kau kerjakan. Sebenarnya, arkeolog Jerman itu, seseorang yang menggali Castelombres, Dieter hoth"dia punya kaki
yang mirip jaring. mungkin saja kau menyukai hal itu, sekadar
menambah warna. Ngomong-ngomong, telepon aku kalau kau
mau. Salam." Bip berikutnya, kemudian diam.
Layla mendongak, menatap Ben-Roi. Ben-Roi melihat ke
bawah, menatap Layla. Ada sedikit jeda, kemudian, dengan kasar
si Israel ini menghantamkan tangannya untuk mendorong mencari
jalan masuk ke dalam flat. Layla terlalu cepat bergerak. Pintu
terempas di wajahnya; terdengar klik kunci dan suara kaki berlari.
"Kau pembohong!" ia berteriak.
Ia mengambil Jericho dari sakunya dan, sambil mundur
beberapa langkah, ia menendang pintu. Pintu tetap ajeg. Ia mencoba lagi, bersiap-siap. Terdengar suara berderak, tetapi pintu
masih kuat. "Kau Arab pembohong!"
Ia mencoba untuk ketiga kalinya, mendengus seperti banteng
terluka. Kali ini pintu terbuka. Ia melesak masuk, melihat ke sekeliling dengan liar. Tas dan telepon genggamnya tergeletak di sofa.
Tidak ada tanda-tanda keberadaan Layla. Ia berlari ke ruang
belakang, tempat tidur"kosong. Di kamar mandi ia melihat
tangga mengarah ke atas, pintunya terbuka ke atas. Ia melompati
tiga anak tangga sekali melangkah, mendesak keluar ke teras atap,
langit begitu luas dan putih di atasnya, kota begitu luas. Tidak ada.
Ia berbalik, kembali melewati jalan yang sama, sambil berpikir
~ 431 ~ PAUL SUSSMAN barangkali ia kehilangan Layla di dalam flat; kemudian, karena
mendengar klakson mobil dari arah jalan di bawah, ia menghambur ke pinggir atap, meraih rel besi berkarat yang ada di sepanjang
tembok sandaran dan melihat Jalan Nablus di bawah. Ia segera
dapat melihat Layla yang menerobos lalu lintas, terlalu jauh baginya untuk mendapatkan peluang menangkapnya.
"Dasar sialan!" ia berteriak tak mampu berbuat apa-apa.
"Dasar pembohong sialan!"
Jika Layla mendengarnya ia tidak akan memberi tanda apaapa, terus saja bergegas secepatnya, melintasi Jalan Sultan
Sulaiman dan menghilang dalam keramaian orang di pintu menuju Gerbang Damaskus. Ben-Roi memandang arah yang dilewati
Layla, mengutuknya, kemudian mengangkat telepon genggamnya,
menekan nomor di dalam keypad dan mendekatkan pesawat itu
ke telinganya. "meja petugas" Ben-Roi. Aku perlu pengawasan segera pada
Layla al-madani. Layla al-madani. Ya, jurnalis itu. Prioritas teratas.
Dia ada di suatu tempat di Kota Tua. Aku ulang"prioritas teratas."
L uxor "PUKUL TUJUh TIGA PULUh, DeLAPAN PALING TeLAT. SeGeRA SeTeLAh AKU
menyelesaikan segala sesuatunya di sini. Aku juga mencintaimu.
Lebih dari apa pun di dunia ini."
Khalifa menyentuhkan bibirnya pada gagang telepon dan menempelkan ciuman ke dalam jalur telepon, dengan mata separuh
tertutup, seolah ia lebih merasakan bahwa benda itu adalah mulut
zenab daripada plastik gagang telepon yang dingin dan impersonal. Ia menikmatinya untuk sesaat, kemudian dengan "Aku
mencintaimu" yang terakhir, menutup telepon dan kembali ke
kursinya sembari menatap patung horus kayu yang ia beli di Kairo.
matanya merah dan bengkak karena kelelahan.
~ 432 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
hAmPIR SeLeSAI, TeRImA KASIh TUhAN. Ia telah mengikutsertakan BenRoi dalam segala hal. Sekarang yang harus ia lakukan adalah
menulis laporan untuk Chief hasani, mempersiapkan beberapa
biropeti untuk ikut bergerak"memindahkan artefak di dalam lantai bawah tanah rumah Jansen ke museum Luxor; mengisi aplikasi
untuk posthumos pardon bagi muhammad Jamal"dan kemudian
ia bisa cuci tangan dari seluruh kasus berat ini dan kembali ke
kehidupan normalnya. Libur, itu yang dia inginkan. Waktu untuk dirinya sendiri
bersama keluarga, jauh dari pikiran tentang kematian, pembunuhan dan kebencian. mungkin mereka akan melakukan perjalanan ke
Aswan, mengunjungi temannya Shaaban yang bekerja di hotel
old Cataract; atau ke tempat lain ke hurghada untuk beberapa
hari lamanya, sesuatu yang telah mereka bicarakan bertahun-tahun
tapi tidak pernah terlaksana. Ya, itulah yang akan dilakukannya:
membawa keluarganya tinggal di tepi pantai. mereka tidak
mampu membayarnya, tapi peduli setan. Ia akan mengumpulkan
uang. Ia tersenyum membayangkan wajah Ali dan Batah bila dia
mengatakan pada mereka tentang rencana perjalanan ini; kemudian, dengan desahan, ia menyulut sebatang Cleopatra dan menyorongkan badannya ke mejanya.
Karena sebelum dia dapat berpikir tentang liburan, menutup
kasus ini selamanya dan mengirimkannya ke dunia bawah yang
suram di kantor arsip, masih ada satu urusan final dari investigasi
ini yang harus diungkap: identitas "senjata" misterius yang coba
dikirim Piet Jansen ke teroris Palestina al-mulatham.
Ini cuma urusan sampingan saja, dan yang kepadanya, dengan
segala kejujuran, dia tutup mata. Bagaimanapun dia telah melakukan semua yang harus dia lakukan: dia telah membuktikan
bahwa Jansenlah yang membunuh hannah Schlegel, mengapa dia
melakukannya, dan mengapa al-hakim begitu intensif melindunginya. Persoalan senjata adalah isu sampingan, yang mungkin penting bagi orang Israel, tetapi tidak ada kaitan jelas dengan objek
~ 433 ~ PAUL SUSSMAN penyelidikannya saat ini. Terlepas dari hal itu, dan terlepas dari
denyutan tidak enak di dalam perutnya yang memperingatinya
bahwa untuk melanjutkan penyelidikan hanya akan membawa
lebih banyak masalah, kebingungan dan sakit jantung, ada bagian
yang tetap dari dirinya"bagian "yang terlalu pencemas, keras
kepala, bertingkah seperti nenek tua yang menjengkelkan", seperti
disebutkan Chief hasani"yang tidak dapat membiarkan hal itu
berlalu begitu saja. Khalifa menarik rokoknya dan mengambil catatan yang dia buat
setelah wawancaranya dengan Inga Gratz. Dalam kotak penyimpanan aman. Itulah yang dikatakan perempuan tua itu ketika ia
bertanya tentang senjata: Aku pikir dia pernah menyebut kotak
penyimpanan yang aman. Tetapi di lain waktu dia mengatakan
bahwa semua detail pada teman lamanya, jadi siapa yang tahu"
mengenai kotak penyimpanan yang aman ini, Khalifa telah
mengetahui setelah dulu dia bolak-balik ke sana-kemari dalam
penyelidikan bahwa tak satu pun bank besar di mesir memiliki
rekening penyimpanan aman ini atas nama Piet Jansen. hubungan
telepon ke beberapa orang setelah dia selesai berbicara dengan
Ben-Roi juga sudah cukup mengonfirmasikan bahwa tidak ada
nama Dieter hoth pada catatan mereka. Ada pertanyaan lain yang
bisa ia ajukan, dengan bank kecil, bank swasta, bank internasional,
dan itu sebelum dia memulai meneliti bank di luar negeri. Tetapi,
bahkan jika dia menelepon setiap bank di mesir, di seluruh dunia,
dia merasa tidak akan memberikan efek baik bagi Jansen. Setiap
hal yang dia tahu tentang Piet Jansen, setiap hal yang dia temukan
selama dua minggu terakhir, mengatakan padanya bahwa dia
sudah terlalu hati-hati, cerdik dan lihai tidak untuk memastikan dia
menutupi treknya secara keseluruhan, khususnya ketika melibatkan
sesuatu yang terbukti penting seperti ini. Bila dia memang memiliki kotak di mana pun, pasti akan tersembunyi dengan baik. Terlalu
rapat tersembunyi, tentu saja, bagi dia untuk menelusuri tanpa
pencarian yang lama dan rumit.
Ini meninggalkan komentar lain dari perempuan tua ini, tentang meninggalkan detailnya dengan teman lama. Teman apa"
~ 434 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
Dalam perjalanan pulang yang jauh dari Kairo, dia telah berkutat dengan hal ini, memikirkan kata-kata yang diucapkan perempuan tua itu berkali-kali dalam pikirannya, melihat dan memeriksa
kembali setiap aspek dalam kasus ini, mencoba menemukan siapa
yang kira-kira dirujuk oleh Jansen, siapa yang akan cukup dia percaya untuk jenis informasi seperti ini. Gratz benar-benar tidak tahu.
Al-hakim adalah salah satu kemungkinan, tapi dia sudah meninggal dunia, seperti juga anggota lain dari lingkaran buronan tempat
Jansen menjadi anggotanya. Barangkali, seseorang yang belum
bertemu dengannya dalam investigasi ini. Seseorang dari masa ketika Jansen bergabung dengan SS, atau pekerjaannya sebagai seorang arkeolog. Atau mungkin dari jauh ke belakang. Seseorang dikubur jauh ke dalam di dalam pasir waktu. Seseorang yang bahkan
akan lebih sulit ditelusuri daripada kotak penyimpanan aman
Jansen. Tampak tak ada harapan, benar-benar tak ada harapan.
Ia meneliti catatannya sekali, dua kali, tiga kali, kemudian, dengan lenguhan kelelahan, mendorong tubuhnya menjauh dari
meja, berdiri dan berjalan ke jendela kantor.
"Biarkan hal ini berlalu," katanya bergumam pada diri sendiri.
"Sekali saja dalam hidupmu, berhentilah terlalu mencemaskan sesuatu, berhentilah jadi nenek tua yang menjengkelkan, biarkan
semua berlalu." Khalifa menuntaskan rokoknya kemudian, meletakkan sikunya
pada bingkai jendela, memandang ke pemandangan di bawah
sana: seorang turis sedang tawar-menawar dengan pemilik toko;
dua laki-laki tua sedang duduk di tepi trotoar sambil memainkan
siga dalam debu; seorang bocah laki-laki sedang bermain dengan
hewan peliharaannya, Anjing Alsatian, hewan itu menggigit dan
menggelitik ekornya, menikmati perhatiannya. Pemandangan terakhir ini secara singkat mengingatkannya akan sesuatu, peristiwa
yang ia saksikan sebelumnya, walaupun dia tidak ingat apa. Setelah
berpikir tentang ini beberapa saat, dia menyerah, menarik kembali
kepalanya di dalam ruang itu, dan kembali ke mejanya, mulai merapikan catatannya.
~ 435 ~ PAUL SUSSMAN Di bawah satu tumpukan kertas dia menemukan tas bukti plastik yang berisi pistol Jansen, di bawah tumpukan lain, kunci dan
dompet laki-laki yang tewas itu. Ia mengangkat yang terakhir,
menatapnya, meletakkannya, dan meneruskan merapikan. Setelah
beberapa saat kemudian, dia berhenti dan kembali memungut
dompet itu, kerutan segera saja menghiasi keningnya. Ia membolak-balikkan benda itu di tangannya, memandang sekilas pada
jendela, kemudian sambil membukanya, menenggelamkan jarijarinya ke dalam salah satu saku dan mengeluarkan foto lusuh
hitam-putih Jansen ketika masih anak-anak, sedang berjongkok di
sebelah anjing Alsatian. Saat ia melakukannya, kata-kata Carla
Shaw mengiang di sisi belakang pikirannya, dari malam ketika
mereka diwawancarinya di menna-Ra.
Arminius. hewan peliharaan di masa kanak-kanak. Piet selalu
membicarakan tentang anjing itu. Bisa dibilang, anjing itu adalah
teman setia yang pernah dimilikinya. Satu-satunya yang benar-benar
dia percaya. Piet membicarakannya seolah-olah dia manusia.
Tempat penyimpanan yang aman, teman lama.
"Sialan," ia mendesis, ekspresi yang penasaran dan bingung
merambat di wajahnya, sebagian ketertarikan, sebagian keengganan.
Ia ragu. Kemudian, mencondongkan badannya ke depan, ia
mengangkat gagang telepon.
hanya perlu dua panggilan. Bank Iskandaria, cabang Luxor,
lemari penyimpanan yang aman atas nama mr Arminius.
"Sialan." Y erusaLem "YALLA, YALLA. AYoLAh. DI mANA KAU?"
Layla melirik jam tangannya, menyadari bahwa setiap menit
akan membawa si Israel itu semakin dekat. Ia kemudian melangkah
kembali ke dalam kabut bayangan di tepi Gereja makam Suci,
~ 436 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
denyut jantungnya terasa memberi getaran ke seluruh gedung seolah seseorang menghantam landasannya dengan palu besi yang
berat. Layla tak habis pikir bagaimana detektif itu bisa mengetahui
tentang surat yang dikirim kepadanya, yang berisi permintaan bantuan untuk mengontak al-mulatham, Dieter hoth, siapa pun. Pada
saat ini hal itu tidak relevan. Yang dia tahu"dia tahu sejak pertama melihat laki-laki itu"dia berbahaya, lebih berbahaya daripada
orang Israel mana pun yang pernah dia temui, kecuali mungkin
har-zion. Itulah sebabnya Layla berbohong padanya. Itu sebabnya
dia lari (ketika itu, Layla melihat BmW yang terparkir di luar, mobil
yang sama dengan yang dia lihat beberapa kali sebelumnya mengawasi apartemennya larut malam). Itu pula sebabnya dia datang
kemari untuk menemui laki-laki Yahudi itu, yang kali ini merupakan
kesempatan melelahkan terakhir untuk menyibak sinar terang pada
apa yang telah ditemukan William Relincourt di bawah lantai gereja. memang kemungkinannya kecil. Laki-laki tua itu hampir saja
gila atau pikun. Bisa jadi juga keduanya. Ini satu-satunya kesempatan yang tersisa. Dia harus menemukan apa yang dicarinya di
sini. Paling tidak berikan sedikit petunjuk untuk dirinya....
"Ayolah," ia mendesis, menghantamkan kepalan tangannya
pada pilar gelap di sebelahnya. "Ayolah! Di mana sih kau?"
Dua puluh menit berikutnya telah berlalu"menit-menit yang
amat pelan dan menyakitkan, pengharapan menggelisahkan penuh
penyiksaan. Dia sudah melakukan apa saja kecuali menyerah
pasrah, yakin bahwa laki-laki tua itu tidak akan datang, ketika
akhirnya, dari sisi ujung gereja, sepertinya dia mendengar suara
yang sudah ditunggunya dengan penuh harap"irama klak tongkat
dari kejauhan. Laki-laki tua itu memasuki Rotunda dan, seperti yang sudah dia
mulai sebelum Layla melihatnya, berjalan menuju kubus Aedicule
yang tertutup. Ia mengeluarkan yarmulke dan kitab Taurat kecil


The Last Secret Of The Temple Decrypted Karya Paul Sussman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari jaketnya dan mulai berdoa, tubuhnya bergoyang, suaranya
yang lembut dan terputus-putus mengambang ke kubah di atas
~ 437 ~ PAUL SUSSMAN seperti suara dedaunan yang berbisik dalam embusan angin. Layla
tetap berada di tempatnya sampai pak tua itu selesai sembahyang,
memerhatikan dan menunggunya; kemudian, ketika ia kembali
mengenakan topi kepalanya dan memasukkan buku doa ke dalam
sakunya, Layla melangkah dari bayangan itu dan, sembari melihat
gerbang gereja dengan tatapan gugup, berjalan menuju laki-laki
tua kemudian dengan lembut menyentuh sikutnya.
"Permisi." Laki-laki tua itu menoleh dengan goyah seperti mainan jam
yang mekanismenya masih lengkap tetapi tak berfungsi.
"Aku ingin bertanya apakah aku bisa berbicara denganmu
perihal laki-laki bernama William de Relincourt. Salah satu pendeta di sini mengatakan Anda mungkin mengetahui sesuatu tentang
dirinya." Dari dekat, orang tua itu tampak lebih renta daripada kelihatannya dari jauh. Tubuhnya bungkuk, wajahnya begitu kisut
sehingga tampak seolah satu sentakan kecil saja akan menyebabkannya terburai dan hancur. Bau tidak menyenangkan dan
sedikit membuat mual tercium dari dirinya, baju yang tidak dicuci
bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat, lebih elemental"bau
kemiskinan, kegagalan, kerusakan. hanya matanya yang terlihat
ingin mengatakan kisah berbeda, karena walaupun tampak layu
dan merah karena sakit, mata itu juga peka, mengesankan bahwa
jika pun tubuhnya mengembara entah ke mana, tapi pikirannya
tidak. "Tidak lama," Layla menambahkan, sambil mengamati pintu
masuk dengan cemas. "hanya beberapa menit saja. Lima menit
paling lama." Laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa, hanya memandangnya,
dengan mulut terbuka separuh seperti sobekan pada kulit yang
sudah terpakai. Ada suasana diam yang menggelisahkan, satu-satunya suara adalah bunyi desis dan kepakan sayap burung karena
jauh di atas mereka seekor burung dara terbang berputar di dalam
kubah Rotunda yang bercat putih dan emas; kemudian, dengan
~ 438 ~ THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
dengusan dan gelengan kepala, laki-laki tua itu berbalik dan menjauh. Layla menduga laki-laki itu tidak mau berbicara padanya dan
hatinya remuk. Tetapi ia terkejut dan lega, alih-alih berjalan menuju gerbang gereja, ia malah melangkah mendekati kursi tempat
Layla duduk dengan Bapak Sergius empat hari lalu. Ia duduk di
situ, dan memberi tanda agar Layla mendekat padanya. Layla melihat ke pintu masuk, kemudian duduk di sebelahnya.
"Kau perempuan Arab itu, "kan?" tanyanya begitu ia duduk
dengan tenang, bertumpu pada tongkatnya. Suaranya pecah dan
bimbang, seolah-oleh terdengar dari percakapan sambungan telepon yang kurang sinyal. "Si Jurnalis."
Layla mengakui bahwa, ya, ia memang seorang jurnalis.
orang tua itu mengangguk. "Aku tahu pekerjaanmu." Sejenak
kemudian, "omong kosong. Dusta, pengkhianatan, antisemit.
membuatku muak. Kau membuatku muak."
Ia menengok ke arah Layla, kemudian melengos lagi, menjatuhkan tatapannya di lantai.
"Walaupun sebenarnya, tidak sebanyak aku muak pada diriku
sendiri. onesh olamku, hukuman abadiku: hidup di dunia ketika
satu-satunya orang yang mau mendengarkan apa yang harus kukatakan adalah dia yang kepadanya aku justru tidak ingin mengatakan hal itu."
Laki-laki itu tersenyum tipis, ekspresi yang entah bagaimana
menggambarkan ketidaksenangan, dan sambil membungkuk ke
depan, memukulkan tongkatnya pada barisan semut yang berjajar
di sepanjang ujung patahan pada batu lantai.
"Selama enam puluh tahun aku mencoba mengatakan pada
mereka. menulis surat, membuat perjanjian. Tetapi mereka tidak
mau mendengarkan. mengapa mereka harus mau, setelah apa
yang kulakukan" Barangkali bila aku memiliki sesuatu aku dapat
memperlihatkan pada mereka ... tetapi aku tak punya. hanya katakataku saja. Dan mereka tidak mau dengar. Tidak setelah apa yang
kulakukan. Jadi mungkin aku harus bersyukur dengan minatmu,
walaupun aku ragu apakah kau akan memercayainya. Tidak tanpa
~ 439 ~ PAUL SUSSMAN bukti. Dan memang tidak ada bukti. Tidak ada foto, tidak ada
jejak, tidak ada apa-apa. Sesuatu yang tak berdaya. hoth merahasiakan mengenai tanah itu."
Layla sudah sampai pada titik untuk menginterupsi monolog
yang bertele-tele ini, ingin membawa percakapan kembali ke
William de Relincourt, sambil ketakutan bahwa kapan saja si polisi
Israel itu akan datang ke gereja dan menahannya. Komentar terakhir ini menghentikannya dari jalurnya. Ia memutar duduknya,
ketakutannya menghilang begitu perhatiannya terfokus lagi, seperti laser, pada apa yang baru saja dikatakan laki-laki tua ini.
"Kau kenal Dieter hoth?"
"hmmm?" laki-laki itu masih asyik memukul-mukulkan tongkatnya pada barisan semut. "oh, ya. Aku pernah bekerja untuknya.
Di mesir. Iskandaria. Aku adalah ahli prasastinya."
Sesaat hoth dan timnya sedang menggali di mesir, di situs di
luar Iskandaria; saat berikutnya ia tergesa terbang ke Berlin untuk
sebuah pertemuan penting dengan himmler.
Perut Layla mengencang begitu ia mengingat kata-kata Jeanmichel Dupont. Laki-laki ini pasti mengetahui sesuatu. Tuhanku, ia
mengetahui sesuatu. Kecuali ...
"Aku pikir hoth itu antisemit. mengapa dia mau...."
"mempekerjakan seseorang seperti aku?" lagi-lagi mulut lakilaki tua ini menyeringai, jari-jarinya mengatup dan membuka pada
ujung tongkatnya. "Karena dia tidak tahu aku Yahudi, tentu saja.
Tidak satu pun yang tahu"Jankuhn, von Sievers, Reinerth. Tidak
satu pun dari mereka. Tidak pernah curiga. mengapa mereka harus
tahu aku adalah pembenci Yahudi terbesar di areal itu?"
Ia mendesah, suara tipis dan putus asa keluar dari dalam
dirinya seperti udara yang keluar dari balon, dan duduk sambil
bersandar pada pilar di belakangnya, menatap kubah itu lagi.
"Aku mengelabui mereka semua. Setiap dari mereka. Cerdik
sekali. Pergi ke rapat umum, menyanyikan beberapa lagu, ikut-ikutan membakar buku. Nazi kecil yang sempurna. Dan kau tahu kenapa" Ia mengernyit. "Karena aku senang sejarah. Ingin menjadi arke~ 440 ~
THE LAST SECRET OF THE TEMPLE
olog. Kau percaya itu" Belah dadaku karena aku ingin menggali
lubang di tanah. Dan sebagai seorang Yahudi aku tak memeroleh
kualifikasi yang diperlukan, tidak seperti yang berlaku pada masa
itu. Jadi aku berhenti menjadi seorang Yahudi dan menjadi salah
satu dari mereka. mengubah namaku, membuat dokumen palsu,
bergabung dalam partai Nazi. mengkhianati semuanya. Karena
aku ingin menggali lubang di tanah. Apa mengherankan kalau
mereka tidak mau mendengarkanku" Seorang Yahudi yang membalikkan punggungnya untuk orang-orangnya sendiri. Seorang
moser. heran?" Ia menatap Layla, matanya lembab, kemudian kembali mengalihkan pandangan. Layla melihat laki-laki itu begitu marah, sadar
bahwa seharusnya dia melangkah secara hati-hati. "Bukan saatnya;
memang bukan saatnya."
"Apa yang terjadi di Iskandaria?" tanyanya, mencoba namun
gagal menyembunyikan kegentingan yang terdengar dalam
suaranya. "Apa maksud Anda ketika Anda mengatakan bahwa
Pengelana Rimba Persilatan 15 07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Tembang Tantangan 5

Cari Blog Ini