Ceritasilat Novel Online

Dark Memory 2

Dark Memory Karya Jack Lance Bagian 2


124 Mengobrol dengan bibinya tentang Jenny membuat Rachel merasa
lebih yakin bahwa dirinya memang keliru, bahwa Jenny memang
benar-benar sudah meninggal. Mereka berdua sama-sama kehilangan
orang terdekat dan tersayang. Mungkin, Rachel pikir, dirinya menolak
percaya bahwa Jenny sudah tiada karena batinnya yang berduka
mengelabuinya supaya yakin bahwa Jenny masih hidup"sebuah teori
yang setelah dicermati dengan pikiran jernih sangat tidak masuk akal.
Kemudian secara mengejutkan, bibinya tampak lupa sama sekali
dengan Jenny dan pemakamannya. Ia langsung berceloteh riang tentang
taman dan waktu yang dihabiskannya untuk merawat taman bersama
tetangganya, Herb. Dia manis sekali, kata Elizabeth. Herb melakukan
semua untuknya. Membelikan kebutuhannya ke toko, membelikan
tanaman untuknya, dan memperbaiki barang-barang yang rusak. Rachel
bertanya-tanya, apakah Herb sedang mendekati bibinya" Istrinya sudah
meninggal, dan Elizabeth juga sudah ditinggal mati suaminya, usia
mereka sepantaran. Apa pun hubungan mereka, mereka saling menikmati kebersamaan
mereka dan itu membuat Rachel senang.
Setelah bercerita tentang Herb, mereka membicarakan Winnie,
keponakan Elizabeth, yang tinggal di daerah pantai barat. Belum
lama ini ia berulang tahun dan Elizabeth berencana mengunjunginya
minggu depan. Ia sempat tidak ingin pergi saat Jenny baru meninggal,
tapi sekarang ia ingin pergi, bahkan sudah menantikannya. Elizabeth
sangat menyayangi keluarganya. Yang paling disayanginya adalah
anak-anak saudara perempuannya. Rachel selalu menyangka itu karena
Elizabeth sendiri tidak punya anak. Elizabeth ingin punya anak, tapi ia
dan Paman Gordon tidak punya anak kandung, entah apa alasannya.
Mereka pernah mempertimbangkan untuk mengadopsi, tapi Gordon
keberatan. Ia ingin anak dari darah dagingnya sendiri, dan jika itu tidak
memungkinkan, lebih baik ia tidak punya anak sama sekali. Elizabeth
125 menerima keputusan ini. Salah satu sifat khas bibinya. Ia adalah orang
yang manis, patuh, dan menuruti suaminya meskipun sulit untuk
dilakukan. Rachel adalah wanita yang berkebalikan sifatnya dengan
bibinya, seperti yang sudah cukup lama diketahui Jonathan.
Pikiran Rachel melayang dan ia memandang keluar jendela. Di sana,
mahkota sebuah pohon ek di antara rumah Elizabeth dan rumah Herb,
dilihatnya seekor burung pemangsa abu-abu putih. Burung itu terbang
ke arahnya, mata hitam kecilnya berkilat penuh kebencian, paruhnya
cukup besar dan tajam untuk mencungkil matanya. Rachel segera
mengambil napas dan memalingkan wajahnya, tepat saat Jon masuk ke
dapur dari ruang duduk. "Kapan makan siangnya siap?" tanyanya riang.
*** Setelah mereka berpamitan pada Elizabeth dan kembali berada di
luar rumah, Jonathan berkata, "Kau tidak banyak bercerita padanya
tentang dirimu. Apa dia mengatakan sesuatu" Seberapa banyak yang
diketahuinya?" "Bibi tidak tahu apa-apa. Aku mengobrol dengannya di dapur.
Ternyata Senin lalu aku banyak diam. Selain menyampaikan pidato di
gereja, sepertinya aku tidak banyak bicara atau melakukan apa-apa."
"Kalau begitu sekarang apa yang ingin kaulakukan?"
"Sebaiknya kita mengunjungi Grace Dougal. Aku harus menemuinya. Menurut bibiku, aku belum menemuinya sejak pemakaman, dan
kalau bibiku bilang begitu, berarti memang benar. Dia tahu semua
berita di kota ini."
"Oke," katanya, "Ayo."
126 Jon menyalakan mesin mobil. Rachel memberikan petunjuk arah,
dan beberapa menit kemudian mereka sudah berada di depan kediaman
Grace di Main Street. Di atas pintu depan besar bercat marun rumah itu
ada papan nama bertuliskan PENGINAPAN. Grace mulai mengelola
penginapan di rumahnya sejak Jenny tidak tinggal di sana dan melihat
Elizabeth yang mendapat penghasilan lumayan bagus dari usahanya
menyewakan Ardrough House. Ada pelat nama di bawah papan itu:
MAWAR, dan di bawahnya: Fasilitas Lengkap 20 Pounds. Di kedua
sisi pintu ditanami bunga-bunga merah dan kuning, dan di papan tulis
di belakang jendela terdapat tulisan PENUH.
Rachel membunyikan bel, tapi sepertinya tidak ada orang di rumah.
Ia mengintip melalui jendela. Di dalam rumah gelap dan sunyi.
"Kita kemari lagi besok," kata Jon.
Rachel menatapnya. "Apa sebaiknya kita ke pondok atau The Old
Wheel?" "The Old Wheel. Lorene adalah orang terakhir yang melihatmu
sebelum kau menghilang, sejauh yang kita tahu. Dan kita punya alasan
lain untuk pergi ke sana. Bukankah kuncinya masih ada padamu?"
"Ya. Dan kau benar. Mungkin tidak sengaja terbawa olehku."
"Sekarang kau bawa?"
"Ada di sakuku."
"Kalau begitu ayo... kalau kau masih merasa kuat."
"Aku merasa baik-baik saja," Rachel meyakinkan Jon.
127 Mereka menelusuri jalan A93 sepanjang sembilan belas mil dari
Glenville ke Aberdeen, melewati Restoran Beefeater (SARAPAN
SEPANJANG HARI " HANYA 5.99 Pounds, kata sebuah papan
pengumuman) dan pemandangan lansekap yang dihiasi bukit-bukit
ungu, padang rumput tak berujung, tembok-tembok rendah dari batu
abu-abu, dan Sungai Dee yang berkelok-kelok, abu-abu berkilauan
di bawah naungan awan. Kehangatan yang nyaman di dalam mobil
membuat Rachel mengantuk. Dalam keadaan mengantuk, ia lupa akan
kesimpulan-kesimpulan yang dibuatnya di rumah bibinya. Ia kembali
yakin bahwa ia sekali lagi sedang menuju apartemen Jenny. Rachel
membayangkan sahabatnya itu ada di rumah. Ia akan memeluknya
begitu melihatnya. Rachel mengingat-ingat saat mereka menghabiskan waktu bersama
di bulan Maret terahir, saat musim semi baru mulai memberikan
kehangatan, dan bunga-bunga serta daun-daun mulai menguncup.
Jenny saat itu cerah sekali; saat itu ia sudah lupa segala tentang
Lester Cumming dan kehebohan saat mereka putus beberapa bulan
sebelumnya. Rachel sendiri baru bertemu Lester tiga kali. Pertama
kali bertemu dengannya, Rachel langsung tidak suka pada laki-laki
itu. Awalnya ia sendiri tidak tahu mengapa ia bersikap keras terhadap
Lester, namun tidak lama kemudian ia bisa memahami alasannya.
Memar di pipi Jenny adalah petunjuk pertamanya.
Dengan pandangan kabur, Rachel memandang bukit-bukit dan
teringat acara kemah bersama Jenny beberapa tahun lalu. Ketika
mereka mulai mendaki gunung, Rachel berjalan lebih lambat dari Jenny
dan lebih sering berhenti untuk istirahat.
Ayolah, dasar payah! tegur Jenny. Rachel tidak suka dipanggil
begitu. Sambil mengertakkan gigi, ia berlari dan menyambar pinggang
Jenny, mendorongnya ke semak-semak tinggi.
Payah" Aku"Kenapa kau bilang begitu! Aku sengaja membiarkanmu
menang karena kau tidak akan sanggup kalau aku lebih cepat darimu!
Dan kemudian Jenny tertawa. Ia tertawa dan mendekap Rachel dan
menciumnya. Aku mencintaimu, Rachel. Aku mencintaimu melebihi
apa pun di dunia ini. Mereka bermain di balik rerumputan tinggi selama berjam-jam,
tersembunyi di bawah langit biru lembut, dorongan liar mereka mengejutkan sekaligus menyenangkan bagi keduanya sembari mereka
mengenyangkan keinginan mereka dengan rabaan jemari, lidah yang
panas dan bibir yang basah. Mereka hanya berdua di surga; mereka
ditakdirkan bersama; tidak ada yang bisa menghalangi mereka.
Ingatan Rachel menggiringnya kembali ke hari yang indah itu,
menangkap setiap detail intim tubuhnya yang telanjang. Itu bukan
pengalaman pertama mereka sebagai sepasang kekasih, namun yang
terhebat. Rachel menendang sepatunya hingga terlepas dan mengaitkan ujung
kaki kanannya ke kaki kirinya. Ia memejamkan mata, menyandarkan
kepala di sandaran, dan hanyut. Semuanya pudar, semuanya kecuali
kegelapan di mana sepasang mata keji itu menatapnya.
Rachel terlena lebih jauh lagi ke dalam jurang, kemudian semua
pikirannya lenyap. Jonathan meliriknya sambil mengemudi. Rachel kelihatan seperti
malaikat. Ia mencintai Rachel saat pertama kali melihatnya. Dan
129 Jonathan menunjukkan itu kepadanya, terkadang secara terangterangan.
Bulan November tahun lalu, ia hampir merobohkan kantornya demi
Rachel. Kejadiannya pada Kamis sore. Geoffrey sudah pulang saat
itu. Jon masih berkutat dengan laporan yang perlu dikirim ke kantor
London Post keesokan harinya.
Pada pukul empat, bel berbunyi. Rachel membukakan pintu, dan
beberapa saat kemudian Jon melihat tiga orang pekerja bangunan
masuk. Mereka masuk ke ruangan Rachel yang berada di sebelah
ruangannya. Sebentar kemudian Rachel masuk ke ruangan Jon sambil
mengeluh ada tiga orang udik yang sedang memasang mesin bor.
Rachel menanyakan tujuan mereka, namun mereka hanya menjawab
bahwa mereka diperintah untuk merobohkan dinding pemisah kedua
ruangan sebelum jam kerja usai.
Apa-apaan ini, tanya Rachel dengan marah pada Jon.
Jon terus saja menatap layar komputernya dan tampak tidak
menghiraukan kemarahan Rachel.
"Oh ya?" kata Jon dengan tenang. "Wah, bagus, kan?"
"Bagus?" "Ya," kata Jon tanpa melihat ke arah Rachel. "Apa lagi yang harus
kulakukan?" "Apa maksudmu, "Apa lagi yang harus kulakukan?""
Jon terus menatap kosong ke layar monitor, menghapus paragraf
yang berlebihan sambil mendesah. "Aku memberikan bunga dan
makan malam mewah, mengajakmu menonton di bioskop dan teater,
segala macam. Semuanya merogoh kocekku, lalu apa yang kudapat
130 dari uangku sendiri" Lebih praktis merobohkan dinding ini. Dengan
begitu aku bisa melihatmu dan mengatakan padamu betapa aku peduli
denganmu sepanjang hari."
Rachel berdiri diam di tempat. "Kau tidak serius, kan?"
"Tunggu dan lihat saja."
"Ini pemerasan."
Jon mengangkat bahu. "Aku tidak menyebutnya begitu, tapi kalau
kau mau menyebutnya begitu ya terserah."
Detik berlalu dan Rachel tidak berkata apa pun. Jon memaksakan
diri untuk terus melihat layar. Kemudian Rachel kembali ke ruangannya, tapi segera kembali tidak lama kemudian.
"Mereka benar-benar mau merobohkan dinding ini!"
"Ya, aku tahu," sahut Jon datar.
"Aku tidak percaya," gerutu Rachel, lebih seperti bicara sendiri,
kemudian bergegas ke ruangannya lagi.
Saat bunyi dentuman keras menggetarkan dindingnya, Rachel
berlari kembali ke ruangan Jon.
"Mereka sungguhan. Mereka menghancurkan dinding!"
"Aku bisa mendengarnya."
"Apa kau sudah tidak waras?"
Jon nyengir, bersandar di kursinya, dan akhirnya membalas tatapan
Rachel yang berdiri kebingungan di tempatnya.
*** 131 Dan kemudian... Dan kemudian sudut bibir Rachel membentuk senyuman sementara
ia menghampiri meja Jon. Ia mendekatinya sehingga Jon bisa mencium
bau parfumnya. "Terserah kau, orang aneh," bisiknya di telinga Jon.
Setelah para pekerja bangunan itu pergi, Rachel duduk di meja
Jon dan berkata, dengan cara yang provokatif, "Nah, sudah. Jadi apa
rencanamu padaku?" "Aku punya banyak rencana."
"Oke, coba kejutkan aku."
Jon mengajak Rachel ke restoran favoritnya dan setelah itu ke bar
favoritnya, dan kemudian mereka menikmati sekali kebersamaan itu.
Tapi malam belum usai. Ketika taksi mereka mendekati apartemen
Rachel, Jon mencium bibirnya dengan hangat dan lembut.
"Tidak secepat itu," kata Rachel setelah Jon menciumnya.
"Tidak secepat itu?"
"Tepat sekali. Tadi sore kau sudah pakai caramu. Sekarang kita
pakai caraku." Malam yang awalnya tidak akan mudah mereka lupakan berubah
menjadi malam yang tidak akan mereka lupakan selamanya.
Keesokan paginya keriaan itu berakhir. Rachel berbaring di
samping Jon di tempat tidur, tetap cantik dan memikat seperti saat-saat
membahagiakan ketika mereka bercinta, tapi ada yang berubah. Jon
tidak bisa segera menentukan apa tepatnya.
"Tadi malam indah sekali," gumam Rachel. "Kau cukup lumayan
untuk ukuran tentara."
"Kau juga lumayan, untuk ukuran orang yang bekerja di bidang
situs." 132 "Lalu setelah ini apa?"
Suara Rachel tidak lagi mengantuk dan Jon mendengar keraguan.
"Apa maksudmu?"
"Sudah sering kubilang padamu, Jon. Hubungan tetap bukan untukku."
"Ya ampun, Rachel. Bisa-bisanya kau bilang begitu setelah tadi
malam?" "Jon, kau juga tahu bagaimana perasaanku tentang semua ini."
"Ya, tapi tadi malam... apa tidak ada artinya bagimu?"
"Artinya lebih dari yang kaukira," katanya tanpa keraguan. "Aku
menginginkannya sebesar kau menginginkannya dan aku menikmati
setiap menitnya. Aku hanya tidak ingin kau berpikiran bahwa aku."
Yah, kau tahu apa maksudku."
"Sayangnya aku tidak mengerti," ujar Jon pahit.
"Tentu kau tahu. Kau sangat memahami aku. Aku memerlukan
hidupku sendiri," katanya, sambil mencium pipi Jon, "meskipun pria
yang berhubungan denganku sangat memesona dan sehebat apa pun
dia di tempat tidur."
"Rachel, aku mencintaimu," Jon tergagap. "Aku kira kau sudah
mengerti." "Aku juga mencintaimu, Jon, dengan caraku sendiri. Tapi tadi
malam terjadi karena kau memerasku."
Rachel turun dari tempat tidur. Jon masih berbaring di sana, tidak
mau percaya apa yang ia dengar. Saat ia mendengar suara air keluar
dari pancuran kamar mandi, ia beranjak dan bergabung dengan Rachel
di bilik mandi. 133 "Masih ada ruang untukku?"
"Selalu ada ruang untukmu."
"Mau kugosok punggungmu?"
"Kau kesatria sekali."
"Aku tidak mencoba bersikap kesatria. Aku hanya ingin merasakan
bokongmu." Jon menyabuninya. "Bagaimana kau bisa begitu yakin
untuk tetap sendiri?" tanya Jon agak ragu.
"Sudah sifatku, sepertinya."
"Mungkin denganku akan berbeda."
"Menurutku tidak. Lagi pula, kita bisa kehilangan persahabatan
kita." "Setidaknya beri aku kesempatan, Rachel."
Rachel menggeleng. "Apa artinya kau marah padaku?"


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jon berhenti menyabuninya sesaat. "Marah" Tidak, aku hanya
berusaha memahamimu."
"Apa kita masih bisa bekerja bersama?"
"Tentu saja bisa. Aku tidak bisa membayangkan bekerja tanpamu."
Namun keraguan yang serius mulai mengganggu. Bagaimana
mereka bisa melanjutkan hidup mereka kalau beberapa jam terakhir
yang lalu tidak pernah terjadi" Atau, kalau memang terjadi, apa tidak
ada artinya" Jon adalah bosnya dan Rachel adalah bawahannya"apa
hanya itu" Tapi mereka ternyata bisa menjalaninya, dan malam pertama itu
diikuti dengan malam-malam lain yang sama menggairahkannya. Dan
mereka tidak tinggal bersama; Rachel terus-menerus menjaga jarak.
134 "Bukan hanya tubuhmu yang kauinginkan," gurau Jon suatu ketika.
"Aku juga menginginkan cintamu."
"Aku hanya menginginkan tubuhmu," goda Rachel, tapi kemudian
ia mencium Jon layaknya pengantin baru.
Kebingungan serta kefrustrasian Jon menggunung sampai ia mempertimbangkan untuk memberikan Rachel ultimatum. Mau menjalin
hubungan tetap atau tidak, dan memulainya atau mengakhirinya. Tapi
pada akhirnya Jon tidak sanggup melakukannya. Ia terlalu mencintai
Rachel. Ia berdoa semoga suatu hari nanti, entah bagaimana, ia bisa
sepenuhnya mencuri hati Rachel.
Rachel layak untuk ditunggu.
*** "Rachel" Kita sudah sampai."
Rachel menguap dan meregangkan tangannya. "Di mana?"
"The Old Wheel. Kau sudah bangun?"
"Apa maksudmu?"
"Kau mengigau dalam tidur. Aku tidak bisa menangkap apa yang
kaukatakan." Rachel mengusap wajahnya dengan tangan. "Yah, aku sudah
bangun." Dilihatnya papan nama penginapan itu dan langsung terjaga
sepenuhnya. "Ayo masuk."
Mereka keluar dari mobil. Tidak ada perasaan d"j" vu; Rachel
sama sekali tidak ingat pernah menginap di sana. Rachel mendorong
135 pagar taman, melangkah di jalan setapak, dan membunyikan bel. Jon
mengikuti di belakangnya.
"Siapa nama pengelolanya?" bisik Rachel cepat-cepat pada Jon.
"Lorene," Jon balas berbisik.
Sejenak kemudian, seorang wanita pendek gemuk dan sedikit lebih
tua membukakan pintu. "Halo, Lorene?" sapa Rachel sambil tersenyum. "Aku kemari untuk
mengembalikan kunci kamarku. Aku bodoh sekali sampai tak sengaja
membawanya." Wanita itu menerima kuncinya tanpa berkata apa-apa. Rachel
melihat sekilas ke dalam koridor di balik pintu depan. Ia melihat lorong
berkarpet, lampu gantung, dan tangga dengan birai kayu ek yang kokoh.
"Maaf, ya," lanjut Rachel, berharap bisa memecah suasana.
"Tidak masalah," kata Lorene. "Terima kasih sudah mengembalikan
kunciku." Ia baru saja akan menutup pintu saat Rachel dengan nekat
melangkah maju. "Lorene," katanya. "Mungkin kau melihat ada yang aneh padaku
sewaktu aku menginap di sini, terutama pada Senin malam, waktu itu
aku agak kebingungan. Sahabatku meninggal, dan pemakaman... apa
kau melihat ada yang aneh denganku waktu itu?"
Lorene bimbang sejenak. "Seperti apa, misalnya?"
"Yah, bisa apa saja. Mungkin aku mengatakan atau melakukan
sesuatu yang tidak masuk akal bagimu."
"Tidak, aku tidak ingat ada yang seperti itu," jawab Lorene. Ia
hendak menutup pintu lagi.
"Ini pasti kedengarannya aneh sekali," kata Rachel, memutuskan
untuk berterus terang, "tapi aku kehilangan sebagian ingatan jangka
136 pendekku. Sepertinya aku menginap di sini sampai Selasa pagi. Tapi
aku tidak ingat sama sekali. Ingatanku hanya sampai Selasa pagi,
artinya aku kehilangan ingatan tentang segala kejadian di hari Selasa
dan Rabu. Aku tidak ingat apa pun yang terjadi pada dua hari itu."
Lorene ternganga. "Kami tahu kedengarannya memang aneh," kata Jon membantunya,
"tapi yang dikatakan Rachel itu benar. Kami yakin kaulah orang terakhir yang melihat Rachel pada hari Selasa pagi. Pertanyaan pertama:
bisakah kau mengonirmasi bahwa dia memang ada di sini Selasa pagi?"
"Ya. Dia check out pagi itu."
"Bagus. Terima kasih. Sekarang pertanyaan kedua: apa dia sempat
menyebutkan ke mana dia akan pergi dari sini?"
"Tidak," jawab Lorene, setelah berpikir sejenak. "Dia tidak bilang.
Tunggu. Dia bilang. Kau menyebut-nyebut soal pondok," katanya pada
Rachel. "Pondok bibimu. Kau bilang mau ke sana."
"Apa dia langsung pergi ke sana?" tanya Jon.
"Aku tidak tahu. Dia memang bilang mau pergi ke pondok itu, tapi
tidak bilang kapan."
"Dia seharusnya menginap di sini juga pada Selasa malam," lanjut
Jon. "Ternyata ada sesuatu yang membuatnya pergi lebih cepat. Apa
Rachel mungkin memberitahumu alasannya" Mungkin sewaktu check
out atau membayar penginapan?"
Lorene menggeleng, ia merasa waswas. "Aku sudah mengatakan
semua yang kutahu. Apa aku dalam masalah?"
"Tidak. Tidak sama sekali. Kami hanya menanyakan beberapa
pertanyaan," kata Rachel, berusaha terdengar meyakinkan.
"Kau benar melihat Rachel hari Selasa lalu, bukan?" desak Jon.
137 "Ya," kata Lorene.
"Tolong, ceritakan semuanya tentang hari itu," pinta Jon.
Lorene memandang Rachel. "Kau sarapan. Bukan sarapan ala
Inggris, hanya croissant dan kopi, seingatku. Setelah itu kau naik
ke kamar, tapi segera turun kembali untuk melunasi pembayaran.
Kau bilang kau harus pergi. Menurutku kau agak terburu-buru. Kau
tidak bilang mau ke mana waktu itu, tapi sebelumnya kau sempat
membicarakan soal pondok itu. Hanya itu. Itu saja ya?" katanya cepatcepat; jelas ingin Rachel dan Jon puas dengan jawabannya dan segera
pergi. "Lorene," kata Rachel, "kami sungguh tidak menuduh apa-apa.
Kami hanya perlu informasi. Katakan padaku: apa aku waktu itu
tampak memikirkan sesuatu" Apa aku kelihatan khawatir" Apa aku,
yah, kelihatan kurang normal?"
"Kau tampak sedang memikirkan sesuatu," Lorene mengonirmasi.
"Tapi waktu itu kupikir bisa dimengerti, mengingat apa yang kau
alami." "Apa ada hal lain yang kau ingat?" tanya Jon. "Meskipun satu patah
kata pun?" Tatapan Lorene tertuju pada mereka berdua secara bergantian,
seperti pendulum. Mereka melihat ketegangan di mata Lorene.
"Aku sungguh tidak bisa membantu lebih dari itu," katanya menyudahi.
"Dia juga tidak meninggalkan apa pun di kamarnya?" tanya Jon,
nyaris putus asa. "Rasanya tidak. Tapi kalian boleh memeriksa ke atas."
138 Jon dan Rachel bertukar pandangan. "Menurutku kita tidak akan
menemukan apa-apa," kata Rachel, "tapi aku berterima kasih sekali
kalau boleh ke atas. Mungkin melihat kamar itu bisa memancing
ingatanku." Lorene mengulurkan tangan kanannya, kunci kamar terselip di
antara kedua jarinya. "Silakan."
"Terima kasih," kata Rachel. "Apa kamarnya di atas?"
"Ya. Pintu kedua di sebelah kiri."
Mereka memasuki lorong. Lantai di bawah keset kotak-kotak
berderit saat mereka menginjaknya. Lorene tinggal di lorong sementara
Rachel dan Jon pergi ke atas.
"Itu tadi memalukan sekali," kata Rachel pelan. "Aku mulai percaya
bahwa aku agak sinting."
"Omong kosong," sahut Jon. "Kita memang harus menanyakan
semua itu. Memangnya ada pilihan apa?"
"Tidak ada," mau tak mau Rachel setuju.
Rachel membuka pintu kamar nomor 5. Kamar yang kecil dan
nyaman, dan lantainya tertutup karpet kotak-kotak merah. Di atas
tempat tidur tunggal, ada sebuah lukisan berbingkai murahan. Bergambar adegan berburu di pegunungan yang tandus. Sebuah meja yang
berimpitan dengan dinding menyangga sebuah televisi model lama dan
sebuah ketel listrik. Satu-satunya yang modern di ruangan itu hanyalah
bilik mandi di kamar mandi.
"Jadi di sini aku menginap pada hari Sabtu, Minggu, dan Senin
malam," pikir Rachel.
"Pastinya," sahut Jon.
139 "Aku tidak mengenalinya," kata Rachel sambil mendesah. Ia duduk
sedih di satu-satunya kursi di kamar itu. "Apa yang harus kulakukan
sekarang?" Jon tidak punya persediaan jawaban.
"Aku tidak bisa menemukan tempat itu di bukit," Rachel merengut,
"dan sekarang kita bertemu jalan buntu lagi."
"Sudah cukup yang kita lakukan untuk hari ini," kata Jon. "Masih
ada besok. Kita tunggu dan lihat saja perkembangannya."
Rachel tahu bahwa Jon benar. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi,
tapi pada saat yang bersamaan banyak yang harus dilakukannya.
Setiap jam yang kulewatkan untuk menunggu bisa jadi terlambat
untuk Jenny. Pikiran itu terus mengusik benaknya, meskipun rasanya mustahil.
Jonathan sudah mengungkapkan yang sebenarnya tentang kematian
sahabatnya dan bahwa Rachel hadir pada pemakamannya. Bibi Elizabeth sudah memberitahukan hal yang sama. Semuanya tampaknya
mengonirmasi bahwa sahabatnya itu mengalami kecelakaan maut dan
bahwa Rachel mengada-ada.
"Apa ini?" tiba-tiba Jon berseru. Diambilnya sesuatu yang tergeletak
di meja di dekat Rachel. "Kau yang menggambar ini?"
Kemudian Jon menjawab pertanyaannya sendiri. "Ya, pasti kau
yang menggambarnya. Aku mengenal gaya gambarmu. Dan lihat,
inisialmu tertulis di bawahnya. RS. Kau selalu menulisnya di bawah
semua karyamu." Rachel beranjak dari kursinya dan menghampiri Jon. Pacarnya
itu telah membuka map informasi penginapan itu: sampul kulit berisi
beberapa lembar brosur tentang The Old Wheel dan tempat-tempat
140 untuk dikunjungi di daerah umum. Di sudut brosur utama terdapat
corat-coret tinta bolpoin.
Rachel mendekat. "Apa itu burung?" tanyanya. Ia mendekat lagi.
"Atau kelelawar?" Makhluk yang digambarnya sedikit kelihatan seperti
kelelawar: hitam pekat dan sayapnya terentang. Tapi ada sesuatu lagi.
Kepalanya mirip kepala serigala, bukan burung ataupun kelelawar, dan
tertutup sesuatu yang tampak seperti bulu hitam. Dari paruh lancipnya
ada gigi-gigi panjang yang menonjol keluar.
Kemudian, tiba-tiba, Rachel paham.
Sebuah ingatan menakutkan mencengkeramnya.
Ia menatap Jon. Kerongkongannya kering. Sulit untuk menelan atau
bicara. "Ini dia," bisiknya, suaranya serak dan berat.
Jon mengerjap-ngerjap. "Ini dia!" serunya, kali ini lebih keras.
Jon mengangkat kedua tangan dan bahunya sebagai isyarat bahwa
dirinya sama sekali tidak memahami apa yang dibicarakan Rachel.
Rachel mengambil napas dalam-dalam dan berjuang untuk
mengendalikan dirinya. "Inilah yang ada di kegelapan bersamaku!"
Jon menatapnya bingung lalu mengambil brosur itu. "Apa"
Kelelawar" Aku tidak mengerti..."
Rachel menyisir rambut gelapnya dengan jemarinya. "Ini bukan
kelelawar, Jon... ini sesuatu yang jahat. Ini nyata dan aku pernah
melihatnya. Ada bersamaku!"
Tubuh Rachel terguncang. 141 Jon mengamati gambar itu, kemudian menggeleng. "Dengar, aku
tidak tahu ini apa, tapi apa pun ini, yang kaukatakan ini tidak bisa
dimengerti." Rachel tidak mendengarnya. Serpihan-serpihan ingatan seperti
teriakan-teriakan di malam hari melintas di benaknya. Ia telah
memendam banyak ingatan yang mengerikan.
Kemudian matanya membelalak lebih lebar. "Ternyata aku sudah
tahu tentang ini di hari Senin, sebelum aku meninggalkan tempat ini!"
Jon menaruh tangannya di bahu Rachel. "Tenanglah, Rachel.
Tenangkan dirimu. Kau bicara terlalu cepat."
Tapi Rachel tidak bisa tenang.
Kalau tidak, dia akan mati.
Pikiran itu datang seperti ancaman keras.
"Ini... ini nyata. Aku bersumpah ini nyata, Jonathan!"
Jon terbengong-bengong. "Percayalah padaku soal ini. Kumohon percayalah padaku. Aku
mengatakan yang sebenarnya."
"Baiklah, Rachel. Baiklah. Ayo kita pergi dari sini. Kita bawa
gambarmu ini." Setelah mereka berpamitan pada Lorene"yang menutup pintu
dengan rasa lega yang begitu kentara"mereka pun kembali berada di
luar, Jon menyarankan agar mereka mencari tempat untuk duduk dan
menenangkan diri. Mereka meninggalkan mobil dan berjalan jauh sembari tenggelam
dalam pikiran menuju taman. Cukup lama keduanya saling diam. Kemudian sebuah pemikiran muncul di benak Rachel.
142 "Mungkin ada sesuatu yang terjadi saat pemakaman. Sesuatu yang
menjelaskan gambarku ini. Aku perlu menemui orang-orang yang
kuajak bicara minggu ini."
Jon menendang ranting pohon. "Aku setuju. Tapi... makhluk aneh
yang kaugambar itu seperti berasal dari mimpi buruk. Tidak mungkin
nyata." Jon terdiam. "Rachel..." ujarnya gamang.
Rachel ikut menghentikan langkahnya bersama Jon dan menatap
matanya. Jon kelihatan serius, dan Rachel pun menyadari bahwa
pacarnya hendak mengatakan sesuatu yang tidak ingin ia dengar.
"Hatimu hancur sekali karena kematian Jenny."
"Ya, tentu saja," kata Rachel.
Angin berembus dan memainkan rambut Jon. "Siapa tahu kondisi
itu memengaruhi pikiranmu" Aku bisa membayangkan..." Jon bimbang.
"Katakan saja," kata Rachel. "Apa yang hendak kau utarakan?"
Jon menggigit bibir bawahnya. "Lupakan saja."
Ada pasangan yang lebih tua berjalan di dekat mereka. Rachel
menunggu sampai mereka tidak bisa mendengarnya. "Jangan begitu
padaku, Jon," tegur Rachel. "Apa yang hendak kau katakan tadi?"
Jon mendesah. "Kau tidak mau menerima bahwa Jen sudah meninggal. Mungkin saja kan, gambarmu itu ada kaitannya dengan itu?"
Apa hubungannya" Adalah yang pertama terpikir oleh Rachel.
"Aku tidak mengerti," katanya.
Jon melempar pandangannya ke kejauhan. "Mungkin yang kau
gambar itu mewakili kematian. Saat itu kau dalam keadaan sangat
berduka setelah pemakaman hari Senin itu, bisa saja kau mencorat-coret
gambar itu sambil melamun, bahkan tanpa menyadarinya. Mungkin
143 kau melihat kematian sebagai monster yang merenggut Jenny darimu.
Kau masih belum bisa menerima kenyataan, makanya kau tidak mau


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memercayainya." Rachel melangkah mundur. "Memangnya kau psikiater?"
"Rachel," katanya, "tenanglah. Aku hanya mengutarakan kemungkinannya."
"Maksudmu, aku sudah kehilangan akal."
"Aku tidak bilang begitu."
"Kau memang tidak bilang begitu. Tapi maksudmu begitu."
Jon menggenggam tangan Rachel. "Kita tidak boleh bertengkar
gara-gara ini. Lupakan saja dulu. Kita bicarakan lagi nanti. Oke?"
Rachel tidak segera menjawab. Ia sedang berpikir.
Terlepas dari beberapa klariikasi, yang meragukannya bertebaran
di mana-mana. Apa kata orang tentang orang gila" Mereka yakin bahwa
semua orang adalah orang gila"kecuali dirinya sendiri. Ada sesuatu
di dalam dirinya yang tidak ingin jatuh ke dalam perangkap itu, kalau
memang belum terlambat. "Aku ingin ke makam Jenny," cetus Rachel. "Aku ingin melihat
makam dan rumahnya. Pokoknya aku mau lihat."
"Besok?" "Tidak. Sekarang."
Jonathan hampir mengatakan sesuatu, namun mengurungkannya.
"Oke, ayo." *** 144 Pertama-tama mereka pergi ke Elmscourt. Rachel memberikan petunjuk arah ke daerah itu, setengah mil dari Old Aberdeen di Jalan St.
Machar, tidak jauh dari Kings College. Jonathan menepi di depan pagar
granit sebuah bangunan apartemen.
Rachel keluar mobil dan manatap jendela apartemen Jenny, nomor
23 C selama beberapa saat. Kemudian ia berjalan masuk ke dalam
gedung melalui pintu yang terbuka dan menaiki tangga ke lantai dua.
Semua yang dilihatnya begitu familiar.
"Aku datang kemari. Belum lama ini."
"Kapan?" tanya Jon.
"Pasti tidak lama sebelum atau sesudah pemakaman."
"Apa yang kaulakukan di sini?"
Rachel mengangkat bahu. "Aku tidak ingat."
"Kau tidak bisa masuk. Kau tidak punya kuncinya."
"Benar," kata Rachel sambil menggigit bibir. "Yah, jelas tidak ada
yang bisa kita temukan di sini. Ayo kita ke makam."
*** Sejenak kemudian, Jon mendorong gerbang besi tinggi di area
pemakaman. Deretan batu nisan tersebar di tanah bukit yang agak
miring dan ditumbuhi pohon-pohon lebat. Sementara mereka berjalan
masuk, Rachel mengamati salib-salib celtic, batu-batu makam kuno,
dan lempengan-lempengan marmer di makam-makam yang lebih baru.
145 Rachel melewati makam keluarga Dougal yang berada di antara
lautan bunga-bunga liar. Jonathan tidak mengatakan apa pun dan
berjalan agak jauh dari Rachel.
Apakah jasad sahabatnya disemayamkan di sini" Apakah ia berdiri
di sini hari Senin lalu, seusai upacara pemakaman"
Rachel menutup matanya, terasa belaian angin hangat pada
wajahnya, dan ia memikirkan Jenny, kematiannya menjadi lebih jelas,
lebih nyata. Air mata merebak dan mengalir di pipinya. Tidak sedikit pun
disekanya. Rachel merasakan tangan Jon menggenggam tangannya. Tanpa
berkata apa-apa, ia mengikuti Jon kembali ke Passat. Ketika mereka
tiba di Ardrough House, Rachel langsung menuju tempat tidur.
Lagi-lagi ia berada dalam kegelapan, namun ia masih bisa melihat
tangannya sendiri di dekat wajahnya. Ini seperti berdiri di lorong
bawah tanah. Tetes-tetes air mengalir di tembok hitam ke lantai batu,
dan suaranya seperti keran bocor. Ia mengenal tempat ini! Cahaya
terang muncul di depannya, seolah ada orang yang menyorotnya
dengan lampu. Pada saat yang bersamaan ada sosok yang berdiri di
belakangnya. Apa itu suara kepakan sayap" Kemudian didengarnya
derik aneh. Jantungnya berdegup hingga terasa di kerongkongan.
Kepanikannya nyaris membuatnya mati rasa. Ia mulai berlari, tapi
rasanya seperti sedang berjalan di dalam rawa, dan hanya bergerak
di tempat. Cahaya terang itu masih jauh, tak tergapai, dan makhluk
bersayap di belakangnya tengah membuntutinya. Ia merasa ada cakar
yang menyentuh tengkuknya"
Mata Rachel membuka seketika. Detak jantungnya masih terasa di
tenggorokannya. Keringat bercucuran di keningnya. Di sampingnya,
Jon tidur dengan damai. 146 Ia mengamati isi ruangan dan sepertinya sempat melihat bayanganbayangan. Ia butuh penerangan! Tangan kanannya meraih lampu meja
dan menyalakannya. Diarahkannya lampu itu dan bayangan-bayangan
di sekelilingnya menghilang.
Rachel duduk, menyilangkan tangannya di dada dan mengayunkan
tubuhnya. Iblis bersayap itu membawaku ke sarangnya, pikirnya.
Pikiran itu muncul begitu saja; tiba-tiba saja ada.
Malam itu ia tidak tidur lagi.
147 Keesokan paginya, Rachel merasa amat lelah. Ia tidak menceritakan
apa-apa tentang mimpi buruknya kepada Jon, karena menduga Jon
pasti punya penjelasan psikologis soal itu. Ia menelepon Grace Dougal
setelah sarapan. Kali ini ibu Jenny itu ada di rumah, dan setuju untuk
bertemu Rachel dan Jon pagi itu.
Dari Ardrough House, Jon mengemudikan Passat ke Glenville dan
memarkirnya di pinggir jalan. Rachel membunyikan bel dan menunggu.
Tidak ada jawaban, dan ia mulai khawatir kalau ternyata tidak ada orang
di rumah, saat dirinya dan Jonathan melihat seseorang bergerak di balik
jendela. Mereka mendengar bunyi kunci diputar dan kemudian pintu
terbuka. Di hadapan mereka berdiri seorang wanita tinggi, langsing,
berpenampilan anggun di usia enam puluhan dengan rambut abu-abu
keriting pendek. Rachel tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Halo, Grace."
Grace seolah hampir tidak mengenali mereka; ia sepertinya acuh
tak acuh dengan kehadiran mereka. Rautnya menampakkan luka dan
derita. Melihat ibu Jenny bersikap seperti itu, Rachel yakin bahwa
Jenny memang sungguh telah tiada.
"Bolehkah kami masuk, Grace?" tanya Rachel.
Grace menatapnya, kemudian Jonathan, lalu menoleh ke belakang.
"Ya, silakan," jawabnya datar.
Mereka masuk dan berjalan ke ruang tengah, di sana ada sebuah
meja makan untuk empat orang yang terletak di dekat kursi santai
menghadap televisi. Rak yang menempel di dinding dipenuhi bukubuku dan tumpukan majalah. Televisinya menyala, menampilkan
semacam acara pendamping sarapan. Grace mematikannya.
"Duduklah," katanya sambil bergabung bersama Jon dan Rachel,
matanya masih menatap kosong. Rachel tidak tahu bagaimana harus
memulai. Untungnya Grace yang membuka percakapan.
"Ke depannya tidak akan menyenangkan," ujarnya. "Tapi aku
harus melanjutkan hidup, bukan" Dan ada yang membantuku. Temantemanku memberikan dukungan yang besar."
Grace melipat tangan di pangkuannya. "Hari Minggu ini kami
akan memasak bersama. Sebelumnya, Jenny biasa datang setiap hari
Minggu dan memasak untuk kami"dia suka memasak, dan juga pandai
memasak. Tapi beberapa bulan lalu dia mulai berhenti datang setiap
Minggu. Dia sibuk, katanya, sangat sibuk di kantor dan apartemennya.
Selalu saja ada yang harus diperbaiki. Maklum, dia belum lama pindah."
"Benar," kata Rachel. "Aku membantunya mendekor apartemennya."
Setelah putus dengan Lester, Jenny menyewa apartemen kecil
di Elmscourt. Ia sudah membicarakan tentang apa saja yang boleh
dan tidak boleh dilakukannya di apartemen itu, dan daftarnya cukup
panjang. "Mau minum apa?" tanya Grace.
"Tidak perlu repot-repot," kata Rachel.
"Tidak, tidak, tidak repot, kok. Aku punya banyak waktu. Tidak ada
lagi yang harus kuurus."
149 Sambil bertumpu, Grace berusaha bangkit dari kursinya.
"Perlu bantuan?" tawar Rachel.
"Tidak, tidak, kau duduk saja di situ," ujar wanita itu sambil berjalan
ke dapur. Rachel menyadari langkah Grace yang sedikit pincang.
Rachel mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Jon.
Grace adalah seorang wanita pemberani. Ia sudah kehilangan suaminya
saat Jenny baru berusia dua puluh tahun. Dan sekarang putrinya meninggal. Seberapa besar lagi beban yang sanggup ditanggung seseorang"
Bel pintu berbunyi. Suaranya mengagetkan Rachel. Grace muncul
dari dapur dan mengintip melalui jendela.
"Itu Betty yang tinggal di seberang rumah. Dia menjemputku untuk
main bridge. Apa sudah jam sebelas?"
Rachel melirik arlojinya. "Ya."
Grace berjalan ke lorong untuk membukakan pintu. Ia masuk
kembali bersama seorang wanita yang lebih pendek dan lebih gemuk.
"Begini, Betty," cetusnya. "Aku ada tamu. Ingat Rachel Saunders"
Putri Donald dan Michelle. Dan ini temannya, Jonathan Lauder. Rachel,
kau ingat Betty Muir, kan?"
Rachel ingat. Betty Muir adalah wanita yang sempat diceritakan
Elizabeth. Betty masih bertetangga dengan Grace sampai saat ini dan
ia menghadirkan keceriaan saat masuk ke dalam ruangan. Rachel
menangkap kesan bahwa wanita itu merawat Grace baik-baik. Watak
Betty yang ceria"yang diduga Rachel pasti merupakan sedikit
sandiwara"hampir tidak digubris oleh Grace.
"Rachel?" ulang Betty. "Apa kabarmu?"
Rachel tersenyum. "Aku baik-baik saja. Senang bertemu denganmu
lagi." 150 Rachel ragu untuk meneruskan pembicaraannya. Dengan adanya
Betty di sana, sepertinya kurang tepat jika ia menceritakan kepada Grace
tentang amnesia yang dideritanya dan tentang apa yang diyakininya
tentang Jenny. "Maaf kalau kami mengganggu acaramu," kata Rachel. "Kalau kau
sudah mau pergi main bridge, kami datang lagi saja lain kali."
"Bridge masih nanti siang," jawab Grace. "Betty dan aku mau
berbelanja kebutuhan rumah lalu mencari tempat untuk makan kue dan
minum teh. Kami tidak buru-buru."
Rachel melemparkan pandangan ke sekeliling ruang tengah Grace.
Tatapannya berhenti pada sebuah rajutan di samping rak perapian. Dua
jarum rajut abu-abu tertusuk pada gulungan benang. Rachel menatap
jarum-jarum rajut itu, dan tiba-tiba ia berkeringat. Ia merasa pusing dan
khawatir kalau-kalau ia sampai pingsan.
"Silakan saja jika kalian berdua hendak pergi," katanya setenang
mungkin. "Kami juga sebenarnya harus pergi."
Rachel menjabat tangan Grace, berpamitan pada Betty, dan
melangkah pergi. Ia menghirup udara segar dalam-dalam.
Grace mengikutinya keluar. "Rachel?"
Rachel menoleh. "Ya?"
Ibu Jenny menuruni tangga ke arahnya. Rachel memperhatikan
wanita tinggi dan langsing itu dan menyadari ada yang berubah dari
ekspresinya. Tatapan kosongnya berubah seperti terkena sihir. Untuk
pertama kalinya, sekarang ia seperti bisa melihat Rachel.
"Apa yang mau dilakukannya?"
Rachel mengerutkan kening. "Apa maksudmu, Grace?"
151 "Maksudku, apa yang dilakukan Jenny sebelum dia meninggal"
Apa kau tahu" Kau pasti tahu, kan?"
"Yang dilakukannya" Maaf, aku tidak mengerti."
Grace mengerutkan kening dan Rachel memandang melalui bahu
Grace, Jonathan yang sedang berbicara dengan Betty di serambi depan.
"Tolong aku, Grace," desak Rachel. "Aku tidak enak badan. Tolong
katakan apa yang kaumaksud."
Tatapan Grace seperti menembus Rachel. "Jenny direnggut dariku,"
katanya seolah berbisik pada dirinya sendiri. "Jenny direnggut dariku."
Jon dan Betty menghampiri mereka dari serambi. Betty menyentuh
tangan Grace, sentuhannya memecah sihir tadi. Tiba-tiba mata Grace
kembali kosong dan energi yang sejenak menghidupkannya tadi
menghilang. Ia seolah menutup diri dari kenyataan dan kepedihan
supaya bisa meneruskan hidupnya.
"Grace?" ujar Betty.
"Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu, Rachel," kata Grace
sambil tersenyum kaku. "Juga untukmu, Jonathan."
Rachel dan Jonathan berpamitan dan melangkah kembali ke mobil.
"Apa yang baru saja kalian bicarakan?" tanya Jonathan. "Maaf kalau
Betty dan aku mengganggu. Kami kehabisan bahan pembicaraan."
"Sebelum meninggal ternyata Jenny sedang mengerjakan sesuatu,"
kata Rachel linglung. "Grace pikir aku tahu apa yang dikerjakannya."
"Menarik. Apa yang dimaksudkannya?"
"Itulah yang ingin aku ketahui," kata Rachel.
152 Hotel Glenville berada di samping gereja di pusat desa. Sinar matahari
cerah menyelinap melalui celah awan saat Rachel dan Jon melangkah
masuk ke dalam kedai minumnya. Jonathan memesan dua gelas teh
sementara Rachel melihat-lihat. Dilihatnya dua pelanggan lainnya; dua
lelaki tua yang mengobrol malas-malasan dengan seorang bartender
kurus ceking yang tawanya keras dan bertato di lengannya. Di antara
dua pelanggan itu duduk seekor anjing German Shepherd besar di
lantai, kepalanya ditaruh di atas kakinya.
"Tolong beri tahu aku alasan kamu pergi buru-buru dari rumah
Grace?" tanya Jon setelah mereka duduk di depan meja di sudut
ruangan. "Aku melihat sepasang jarum rajut tertusuk di rajutan yang belum
selesai." Jon mengangkat alis, menunggu Rachel melanjutkan perkataannya.
"Tiba-tiba aku merasa mual. Aku tidak tahu sebabnya. Jarum
rajut itu mengingatkan aku akan sesuatu yang buruk, sesuatu yang
menyakitkan." Ingatan itu, betapa pun samar, meyakinkannya bahwa mimpi buruk
yang dialaminya sejak berada di hutan itu adalah kejadian nyata.
"Apa pun yang kulalui," ujarnya sambil berpikir. "Pasti waktu itu
aku melihat jarum atau sesuatu yang menyerupai jarum."
Rachel tidak melanjutkan. Jon terlalu skeptis, pikirnya, untuk diajak
menganalisis lebih dalam.
Jonathan menopangkan kedua siku tangannya di atas meja, dan
dagunya bersandar di atas tangannya. "Ceritakan tentang obrolanmu
dengan Grace." "Dia bertanya padaku apa yang dilakukan Jenny sebelum meninggal.
Grace yakin aku tahu sesuatu soal itu"dan bahwa aku memang tahu.
Dia juga bilang begini, Jenny direnggut darinya."
Bartender bertato tadi meletakkan dua gelas teh di meja mereka.
"Silakan," katanya.
Jon tersenyum, mengangguk tanda terima kasih, dan menoleh
kembali pada Rachel. "Ya, lalu?"
"Yah, kau harus akui kan, bahwa dengan berkata begitu berarti tidak
sama dengan mengatakan "dia sudah meninggal". Aku merasa bahwa
Grace sedang memperlihatkan keraguannya sendiri."
Jon mengangkat bahu. "Tergantung bagaimana kau memandangnya."
"Setuju, tapi ini juga karena cara dia mengatakannya. Ada nada di
suaranya yang..." Rachel mengerutkan kening, mencari kata yang tepat
untuk mengekspresikan apa yang ingin dikatakan Grace lebih jelas.
Tapi dia tidak bisa menemukannya. Rachel sendiri tidak tahu.
"Saat menatapku dia seperti memohon," lanjutnya, "seakan


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berharap aku bisa memberitahunya sesuatu yang bisa mengonirmasi
kecurigaannya. Sesuatu yang hanya diketahui olehku," tambahnya
pelan. Jon bersandar di kursinya dan melipat tangan di belakang kepalanya.
"Sebelum kau pergi ke Skotlandia, kau punya banyak rencana. Kau
154 meninggalkan sebuah gambar di The Old Wheel. Sekarang Grace
mengatakan bahwa kau tahu apa yang dilakukan Jenny sebelum..."
Jon terdiam sejenak. "... Tepat sebelum dia meninggalkan Fort William."
Untuk pertama kalinya, pikir Rachel, Jon tidak mengatakan sebelum
dia meninggal. Jelas Jon tidak percaya pada teori Rachel bahwa Jenny
masih hidup, tapi pilihan kata-katanya kali ini menunjukkan bahwa ia
masih mendukungnya. Jonathan bisa saja membujuknya untuk pulang,
supaya menerima akhir hidup Jenny yang tragis dan melupakannya.
Tapi mungkin ia mengerti bahwa jika Rachel meninggalkan Skotlandia
tanpa menemukan jawaban, ia tidak akan pernah bisa tenang.
"Dengan kata lain," lanjut Jon, "Aku mulai bertambah penasaran
tentang apa yang terakhir kau bicarakan dengan Jenny."
"Tidak ada yang istimewa," kata Rachel tegas. "Aku sudah mengatakannya padamu."
"Ya, aku masih berharap Geoffrey akan menemukan sesuatu di
komputermu. Aku memintanya mengecek email-mu kemarin pagi,
jadi harusnya sekarang sudah ada perkembangan. Kalau belum, satusatunya harapan kita adalah kau bisa mengingat lebih banyak."
"Telepon dia," kata Rachel. "Ayo kita cari tahu apa yang berhasil
didapatkannya." "Oke." Jon mengambil BlackBerry-nya dari saku kemejanya dan memencet
nomor Geoffrey. Ia langsung mengangkat telepon. Mereka mengobrol
sebentar tentang pekerjaan sebelum Jon bertanya apakah ia sudah
mengecek komputer Rachel.
155 Rachel mendengar suara Geoffrey yang tak jelas dari pengeras suara
kecil di BlackBerry. Jon mendengarkannya dan Rachel menunggu
dengan gelisah. "Oke, jadi kau sudah mengeceknya tadi malam, dan kau tadinya
berencana menelepon kami sore ini," Jon mengulangnya untuk Rachel.
"Yah, ternyata kami lebih cepat, ya. Lalu" Apa ada yang menarik?"
Jon mendengarkan lagi. Kali ini lebih lama sebelum ia mengatakan
sesuatu sebagai respons. Sesekali ia mengangkat alisnya, dan Rachel
menyimpulkan bahwa Geoffrey telah menemukan sesuatu. Tiba-tiba
perutnya serasa ditusuk-tusuk. Akhirnya Jon menutup telepon dan
menaruhnya di meja. "Ayo, jangan biarkan aku penasaran," tuntut Rachel.
Jon menyesap tehnya. "Geoffrey menemukan beberapa email antara
kau dan Jen," katanya pelan. "Kebanyakan kata Geoffrey tidak penting,
kecuali satu. Katanya dia mau mengirim email itu ke ponselku segera."
Jon mengangkat ponselnya dan mengecek layar. "Ini dia." Ia membaca sekilas pesan itu, kemudian menyerahkan teleponnya ke Rachel.
"Ini, baca sendiri."
Rachel mengambil telepon itu dari Jon dan membacanya:
Hei Rachel, Aku akan naik gunung bersama Alison akhir pekan ini. Setelah itu
aku akan menjalaninya. Dua-duanya. Aku tidak bisa membiarkannya.
Sekarang semuanya terjadi secara bersamaan, begitulah kenyataannya.
Mungkin nanti aku akan meminta nasihat dari Charlie. Tapi apa pun
yang dikatakannya, aku harus mencari tahu. Aku yakin kau pasti
mengerti. Aku akan segera menghubungimu setelah akhir pekan ini.
156 Rachel membaca pesan singkat itu lagi sampai tiga kali. Jon
menunggu dengan sabar. Akhirnya Rachel menggeleng. "Aku tidak
tahu ini soal apa. Tapi ada beberapa petunjuk penting di sini."
"Aku setuju." "Kapan surat ini dikirim?" Rachel mencari-cari waktu dikirimnya
pesan itu. "Jumat, 11 Juni, pukul 02:38," cetusnya. "Dia mengirimnya
tengah malam." Rachel menatap Jon. "Itu sehari sebelum dia pergi ke
Fort William." "Bersama seseorang bernama Alison," katanya. "Siapa dia" Aku
kira dia pergi sendirian."
"Alison Flanagan," jelas Rachel. "Dia teman sekelas aerobik Jenny
yang juga suka mendaki gunung. Tapi aku tidak tahu dia berencana
pergi bersama Jenny akhir pekan itu."
"Lalu apa yang direncanakan Jenny setelah kembali?" tanya Jon.
Rachel mengangkat bahu. "Di sini dia bilang kau pasti mengerti."
"Yah, kalau memang begitu, aku tidak ingat."
Jon mengangguk. "Sepertinya ini soal apa yang tidak mau kau
ceritakan padaku, ini alasan kenapa kau tidak mau aku pergi bersamamu
ke pemakaman." "Dia tidak pernah kembali sejak akhir pekan itu," kata Rachel. "Dan
tiga hari setelah email ini, di hari Senin..."
Dia meninggal, Rachel nyaris mengucapkannya.
"Itu terjadi," lanjut Rachel. "Dan apa pun yang mau diceritakannya
padaku setelah akhir pekan itu..." Ia tak sanggup mengatakannya.
157 "Dibawanya ke liang kubur," Jonathan membantu Rachel
menyelesaikan kalimatnya.
Keduanya terdiam cukup lama sampai Jon mengusap tangan
Rachel. "Sepertinya email ini adalah kelanjutan dari sesuatu yang
sempat kalian bicarakan. Geoffrey bilang ia tidak menemukan apa
pun yang berhubungan dengan ini. Aku akan meneleponnya lagi nanti.
Aku hendak memastikan dia mengecek semuanya dengan teliti. Kalau
kita bisa mencari tahu apa yang ada di dalam kepalamu selama suratmenyurat itu, akan sangat membantu."
Rachel mengangguk. "Ada yang bisa kita coba. Kita bisa bicara
dengan Alison. Dan kemudian dengan Charlie."
"Charlie" Rekan kerjanya di surat kabar?"
"Ya. Meja mereka berhadapan. Dia seperti ayah bagi Jenny. Kami
sering membicarakannya."
Rachel masih belum bisa menganggap Jenny sudah meninggal. Jon
tidak berkomentar. "Kemungkinan besar mereka bisa memberikan pencerahan," kata
Rachel. "Kita juga bisa kembali ke rumah Grace besok, tapi kurasa tidak
akan banyak membantu. Kalau tidak Grace pasti sudah mengatakannya
padaku tadi, bukannya malah menanyakan apa yang dikerjakan Jenny
padaku." "Kau dan Jenny pasti pernah membahas sesuatu," desak Jon. "Itu
jelas sekali dari email ini. Aku harap Geoffrey menemukan kepingan
teka-teki lainnya." "Seperti yang kau bilang, kami mungkin memang pernah membicarakannya di telepon," katanya, meredam rasa antusias Jon. "Emailnya dikirim jam setengah tiga dini hari. Kelihatannya ada yang
mengganggu pikirannya dan dia perlu mencurahkannya padaku. Tapi
158 Jenny sekalipun tidak mau meneleponku tengah malam, jadi mungkin
itulah sebabnya dia mengirim email ini."
"Segalanya mungkin saja," Jon setuju. "Kita mulai dari mana?"
"Aku akan menelepon Alison dan Charlie," jawab Rachel.
*** Rachel mengingat-ingat sosok Alison Flanagan. Usianya mendekati
empat puluh, langsing, hampir sama enerjiknya seperti Jenny, dan
penggila olahraga. Ia adalah mantan sekretaris yang sudah tidak
bekerja, meskipun bisa saja ia sudah mendapat pekerjaan lagi sejak
terakhir mereka bertukar kabar, atau mungkin juga ia sudah menyerah
dan memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Ia berada di dalam
lingkaran pertemanan Jenny, dan kebanyakan Rachel mengenalnya
dari acara-acara resmi. Selama dua tahun terakhir ini ia beberapa kali
bertemu Alison dalam berbagai acara.
Alison langsung mengangkat telepon. "Halo?"
"Alison" Ini Rachel Saunders."
"Rachel... hai," kata wanita itu sedikit terkejut. Rachel yakin Alison
juga hadir saat pemakaman.
Bagaimana menurutmu, Alison" Apa kau sungguh percaya bahwa
Jenny ada di dalam peti itu" Tidak, kan" Apa yang sebenarnya terjadi
di Fort William" Apa ia sempat berbicara dengannya" Itu mungkin saja dan Rachel
harus membahasnya dengan hati-hati.
"Apa aku mengganggu, Alison?"
159 "Apa" Tidak, sama sekali tidak."
Rachel memutuskan untuk menceritakan pada Alison bahwa ia
perlu membahas kepergian sahabatnya yang tak disangka-sangka.
"Aku tidak bisa berhenti memikirkannya, Alison. Aku tidak tahu
bagaimana menerima kenyataan ini. Itulah sebabnya... maaf sudah
mengganggumu, tapi aku ingat kau, karena kau teman Jenny mendaki
gunung..." "Tidak selalu," Alison memotongnya. "Hanya sesekali, kalau Martin mengizinkan."
Martin adalah suami Alison yang bekerja di sebuah perusahaan
besar di bagian penjualan. Rachel pernah bertemu dengannya di satudua acara dan ia tidak terlalu suka dengan aura sok pentingnya.
"Oke, tentu saja, tapi..."
"Seperti yang kubilang Senin lalu, Rachel..."
Senin" Jadi mereka sempat bicara" Ia harus ekstra hati-hati sekarang.
"Aku hampir pergi bersamanya akhir pekan itu," lanjut Alison
menjelaskan, "tapi beberapa jam sebelum jadwal kepergian kami,
Jumat pagi, Jenny menelepon untuk membatalkannya. Kalau saja aku
pergi bersamanya... apa akhirnya akan berbeda?"
Mengapa Jenny membatalkan di saat-saat terakhir"
"Aku tahu maksudmu," balas Rachel. "Ngomong-ngomong, kenapa
Jenny membatalkannya" Aku tahu seharusnya aku ingat, tapi aku tidak
ingat alasannya." Alison langsung menjawab, "Karena dia tidak tahu kapan dia bisa
pergi atau malah apakah dia jadi pergi atau tidak. Kurasa dia sibuk.
Akhirnya dia pergi, sendirian. Andai saja... Tapi itu semua sudah terjadi,
Rachel. Aku tidak seharusnya merasa bersalah, kan?"
160 "Tidak, tentu saja tidak."
"Martin juga berkata begitu."
"Apa yang sibuk dikerjakannya, Alison?"
"Aku tidak tahu sama sekali. Kalau ada yang tahu, kau lah orangnya."
"Waktu itu aku ada di Inggris, Alison," Rachel mengelak. "Aku
tidak bisa mengikuti semua jadwal kegiatan Jenny."
"Benar," kata Alison. "Tentu saja."
"Terima kasih sudah menyempatkan mengobrol, Alison. Sampai
jumpa. Dah." "Dah, Rachel. Sampai ketemu."
Rachel menaruh teleponnya. "Jadi," ia merangkum untuk Jon,
"Jenny membatalkan acara naik gunungnya bersama Alison, beberapa
jam setelah mengirim email yang tadi kita baca. Dia memberikan alasan
yang tidak jelas." Rachel merenungkannya. "Jenny tidak biasanya begitu. Pasti dia
merencanakan sesuatu dan dia tidak ingin Alison terlibat."
"Mungkin saja. Atau bisa jadi masalahnya semakin rumit."
"Aku akan menelepon Charlie sekarang juga," tegas Rachel.
161 Saat Rachel hendak memencet nomor pusat Northern Journal, Jon
berkata, "Ini hari Sabtu, Charlie mungkin tidak di kantor."
"Kalau begitu aku akan minta nomor telepon rumahnya ke
resepsionis." Rachel menelepon kantor surat kabar itu, dan resepsionisnya
mengangkatnya. "Northern Journal, selamat sore."
Rachel tidak mengenali suaranya. Biasanya ada seorang resepsionis
bernama Denise di kantor itu, tapi yang ini orang lain.
"Selamat sore. Namaku Rachel Saunders. Bisa bicara dengan
Charlie Waters?" "Sebentar." Rachel diminta menunggu. Saat musik riang mulai terdengar, ia
bertanya-tanya apakah Senin lalu dirinya mengobrol dengan Charlie.
Pasti Charlie datang ke pemakaman.
Telepon diangkat. "Rachel!" Charlie berseru dengan suara berat
khas perokok. "Hei, Charlie."
"Kau di mana" Masih di Skotlandia?"
"Ya, masih di sini."
"Berapa lama?" "Beberapa hari lagi, mungkin. Bagaimana kabarmu?"
"Tidak terlalu baik," jawabnya terus terang.
"Aku mengerti maksudmu. Dan bagaimana kabar kantor?"
"Ini minggu yang aneh, Rachel. Dia Jenny kita."
"Ya," sahut Rachel, suaranya pecah.
"Tapi kita tidak boleh larut dalam kesedihan, kan" Hidup terus
berjalan. Bagaimana keadaanmu" Aku sedih sekali melihatmu, Rachel. Aku yang pertama berani mengaku, aku menangis tersedu saat
pemakaman. Pidatomu luar biasa menyentuh. Hanya kau yang bisa
menggambarkan sosok Jenny seperti itu."
Suara Rachel yang pecah berubah menjadi gumpalan di
kerongkongannya, dan ia sulit bicara.
"Saat kulihat meja kosongnya di seberang mejaku," lanjut Charlie,
"rasanya seakan dia akan masuk ke ruangan sebentar lagi, sambil
tersenyum miring khas Jenny. Kau tahu, kan, senyuman itu. Lebih tahu
dari siapa pun." Charlie mendesah tanpa suara.
"Charlie," Rachel menguatkan diri, "ada yang perlu kutanyakan."
"Silakan." "Perasaanku mengatakan bahwa Jenny sedang sibuk dengan sesuatu
akhir-akhir ini. Sesuatu yang penting baginya. Apa akhir-akhir ini kau
pernah dengar dia mengatakan sesuatu yang mungkin... yah, yang
mungkin sepertinya tidak biasa?"
"Sulit dikatakan," ujar Charlie. "Dia selalu sibuk, Jenny kita. Dia
tidak bisa duduk diam."
"Tapi apa tidak ada hal tertentu yang terpikir olehmu?" desak
Rachel. Harapannya agar Charlie bisa memberikan petunjuk mulai
memudar. 163 "Yah, dia memang menghabiskan waktu untuk sebuah laporan."
"Laporan apa?" "Ada hubungannya dengan hilangnya seorang gadis. Kasus yang
sudah beku. Bukan kasus baru."
Rachel merasa darahnya mengalir. "Gadis yang mana?"
"Coba kuingat-ingat... Jenny sering mengerjakan kasus-kasus
kejahatan, seperti yang kau ketahui. Kasus ini tentang seorang gadis
bernama Paula Deckers."
"Siapa itu?" "Gadis yang menghilang pada tahun 1996, kalau tidak salah. Atau
mungkin "95." Rachel berpikir keras. Paula Deckers. Apa dirinya kenal Paula Deckers" Ia tidak ingat.
"Kasus ini cukup heboh waktu itu," lanjut Charlie. "Hilangnya
seorang gadis berusia enam belas atau tujuh belas tahun selalu menarik
perhatian banyak media."
"Apa dia sudah ditemukan?" tanya Rachel.
"Tidak," jawab Charlie. "Hilang tanpa jejak."
"Lalu Jenny menyelidiki kasus ini?"
"Ya, ini bukan pertama kalinya dia membuka kembali kasus beku
semacam ini." "Orang-orang hilang?"
"Ya, juga pembunuhan. Dia semacam reporter kejahatan kami. Tapi


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti tidak ada yang tidak kau ketahui."
164 Bukan berita baru bagi Rachel, tapi ia bertanya-tanya mengapa
Jenny berkutat dalam satu kasus ini. Apa ini kebetulan" Sepertinya
tidak, instingnya berkata demikian.
1995" Atau 1996" Aku tinggal di Glenville waktu itu. Waktu itu...
Usianya hampir empat belas tahun.
"Kapan tepatnya dia mulai mengerjakan kasus ini?" tanya Rachel.
"Dia memulainya beberapa minggu lalu. Tidak lama sebelum...
sebelum kematiannya."
"Bolehkah aku minta tolong?"
"Tentu saja." "Bisakah kita bicarakan ini lebih detail" Aku sangat ingin tahu apa
yang sedang dicari Jenny."
"Tentu. Biar kuperiksa data-data yang ditinggalkannya. Kau mau
aku meneleponmu kembali?"
"Apakah kau keberatan kalau aku datang ke kantormu?"
"Tidak masalah."
"Terima kasih, Charlie."
"Sama-sama. Kapan kau mau datang?"
"Apa sekarang kau punya waktu" Temanku Jon dan aku ada di
Glenville. Kira-kira satu jam lagi kami sampai sana."
"Sekarang" Ada artikel yang harus kuselesaikan... Oh, persetan, kau
dan Jenny lebih penting. Sampai ketemu sekitar jam tiga."
"Terima kasih, Charlie."
165 *** Tidak lama kemudian, sebelum waktu menunjukkan pukul tiga, Jon
dan Rachel tiba di Northern Journal. Sang resepsionis meminta mereka
untuk menunggu, sementara ia menelepon Charlie Waters. Dengan
gugup, Rachel mengambil surat kabar di tempat majalah, membolakbalik halaman secara asal, dan tahu-tahu Charlie Waters sudah ada di
hadapannya. Rachel beranjak dan merangkul pinggang Charlie yang
lebar. "Charlie." "Halo, Rachel." Napasnya beraroma rokok yang tajam.
"Ini Jonathan."
"Akhirnya kita bertemu. Jenny sering bercerita tentangmu."
Mereka bersalaman. "Ayo masuk," kata Charlie. "Aku sudah sempat mengumpulkan
data-datanya." Jon dan Rachel mengikuti Jon ke ruanganya di lantai dua. Hal
pertama yang menarik perhatian Rachel adalah meja Jenny yang
kosong. Saat ia melihatnya, banyak kenangan membanjirinya.
Charlie mempersilakan Jon dan Rachel duduk di samping mejanya,
dan menawarkan kopi atau teh. Mereka berdua sama-sama memilih
kopi dan ketika Charlie beranjak untuk membuatkan pesanan mereka,
Rachel terus menatap meja Jenny. Jonathan duduk di sampingnya tanpa
berkomentar. Charlie kembali membawa dua kopi yang mengepul.
"Aku senang kita masih sempat bertemu lagi, Rachel, berhubung
kita tidak sempat bicara Senin lalu."
166 "Yah, sekaranglah waktunya," kata Rachel, merasa lega ada kesempatan untuk mencari tahu lebih banyak tentang sahabatnya tanpa
khawatir berkomentar tolol tentang obrolan mereka beberapa hari
sebelumnya. Seperti juga pada Elizabeth, Grace dan Alison, Rachel
tidak ingin membicarakan tentang dirinya dan masalah-masalahnya.
"Coba ceritakan padaku, bagaimana keadaan di kantor ini
sebelumnya?" "Keadaan kantor sebelumnya?" tanya Charlie kebingungan. "Yah
begitulah, sama saja. Apa ada hal spesiik yang ingin kautanyakan?"
"Ya. Akhir pekan saat Jen ke Fort William. Apa kau tahu apa
rencananya waktu itu?"
"Tentu. Jen beberapa kali bekerja di akhir pekan, seperti yang
kulakukan sekarang, makanya dia ingin pergi beberapa hari. Pergi
Jumat pagi, kembali Senin malam. Kadang dia pergi seperti itu. Tapi
kali ini dia tidak kembali."
Rachel mengusap matanya. "Apa Jen menanyakan sesuatu padamu
pada hari kepergiannya?"
Rachel teringat pada email hari Jumat tanggal 11 Juni, yang dikirim Jen pada pukul setengah tiga pagi. Jenny mengatakan bahwa
ia mempertimbangkan untuk meminta nasihat kepada Charlie. Apa ia
sudah melakukannya" Charlie menggeleng. "Tidak, aku tidak bertemu dengannya hari itu.
Terakhir kali kami berbicara adalah sehari sebelumnya."
"Oke," kata Rachel. "Coba kuubah pertanyaannya. "Apa dia membicarakan tentangku pada minggu-minggu sebelumnya?"
Alis Charlie terangkat seketika. "Sekali lagi, apa ada hal spesiik
yang ingin kau ketahui?"
167 "Tidak tahu," kata Rachel hati-hati. "Misalnya sesuatu yang enggan
dibicarakannya?" Charlie termenung. "Tidak ada hal spesiik yang terpikir olehku.
Mungkin aku tidak banyak membantu. Ada apa, Rachel?"
Rachel menatap meja. "Tidak apa-apa, aku hanya berusaha mencari
tahu apakah Jen terlibat sesuatu. Dan kalau ya, terlibat dalam hal apa."
Ia menatap Charlie. "Tadi kau bilang dia mengerjakan laporan tentang
gadis yang hilang bernama Paula Decker."
"Deckers," Charlie meralat, "diakhiri dengan huruf "s"." Ia
menyebarkan beberapa kertas di meja di depannya dan kemudian
memutarnya supaya Rachel dan Jonathan bisa membacanya. "Ini
artikel-artikel lama, yang kami terbitkan saat Paula baru dilaporkan
menghilang. Ini semua ada di arsip milik Jenny. Dia masih menulis
kisah tentang Paula. Kenapa kau ingin tahu sekali soal ini?"
"Seperti yang kubilang tadi, aku ingin tahu apa yang dilakukannya
hari-hari terakhirnya."
"Tapi kau pasti punya alasan untuk menanyakannya."
"Ya, memang." Saat Rachel tidak kunjung menjelaskan, Charlie berkata, "Kau mau
membaca artikel-artikel ini" Atau kuberi gambaran singkatnya saja?"
"Pilihan kedua, kalau kau tidak keberatan," jawab Rachel.
"Sama sekali tidak," kata Charlie. "Omong-omong, aku tadi salah.
Paula Deckers hilang pada tahun 1994. Tadi kubilang 1996, ya?"
"Ya," kata Rachel. "Atau 1995."
"Yah, tepatnya 12 Maret 1994," Charlie memastikan. "Polisi segera
menanganinya sebagai kasus kriminal. Paula masih bersekolah waktu
itu, pelatihan perawat."
168 "Bagaimana ciri-cirinya?"
"Ada beberapa foto... ini dia."
Charlie menggeser secarik kertas ke arah Rachel. Rachel melihat
gambar seorang gadis dengan ciri-ciri lembut, senyuman riang, dan
rambut cokelat pendek. "Dia cantik," komentarnya.
"Ya," kata Charlie. "Gadis baik-baik."
"Apa yang terjadi padanya?"
"Sepertinya kita tidak akan pernah tahu," kata Charlie. "Dia sudah
menghilang tujuh belas tahun lalu, dan itu sudah lama sekali."
"Aku sama sekali tidak ingat kasus ini," kata Rachel. "Selain itu
masih menyisakan pertanyaan: kenapa Jenny tiba-tiba tertarik pada
gadis ini" Apa kau yakin dia tidak bilang apa-apa tentang ini?"
"Hanya bilang dia tertarik," jawab Charlie. "Aku tidak men
dorongnya untuk mengulas kasus ini. Seperti yang sudah kubilang,
dia memang bisa tenggelam dalam kasus-kasus, terutama kasus lama
yang tak terpecahkan. Kalau dia sudah begitu, sebaiknya dibiarkan saja
selama tidak ada tenggat yang mendesak. Tapi kenapa kau begitu ingin
tahu?" Rachel harus menceritakan sesuatu padanya. Ia menginginkan
bantuan dari Charlie, jadi ia harus memberitahunya sesuatu sebagai
imbalan. Ia tidak bisa menyembunyikan amnesianya.
"Jon dan aku tadi ke rumah Grace"ibu Jenny," jelas Rachel.
"Grace bilang bahwa Jenny memang sedang mengerjakan sesuatu, dan
bahwa aku pasti tahu apa yang dikerjakannya. Masalahnya, aku tidak
bisa ingat karena aku agak kebingungan. Charlie..." Rachel menarik
napas dalam-dalam. "Sebenarnya aku kehilangan sebagian ingatanku."
169 Kemudian Rachel menceritakan secara singkat tentang apa yang
terjadi padanya selama beberapa hari ini. Ia menceritakan semua
kecuali soal mimpi-mimpi buruknya.
Charlie mendengarkan dengan takjub.
"Ya Tuhan, Rachel, kau bercanda, ya!" serunya setelah Rachel
selesai bercerita. "Sayangnya ini benar. Tapi aku akan membunuhmu kalau ada satu
kata pun yang kau tulis untuk surat kabarmu."
"Jangan khawatir," kata Charlie. "Tapi kau mungkin disiksa selama
kau menghilang. Kalau aku jadi kau, aku sudah pergi melapor ke polisi."
"Dengar, Charlie," kata Rachel. "Sudah tentu aku ingin tahu apa
yang terjadi padaku. Itulah mengapa aku harus mencari tahu apa yang
Jenny lakukan di hari dan minggu-minggu terakhirnya. Aku yakin
entah bagaimana ada hubungannya."
Charlie memandang Rachel tak mengerti. "Maaf, aku masih belum
paham." "Kau harus katakan padanya bahwa kau tidak percaya Jenny sudah
meninggal," kata Jon.
"Maaf?" tanya Charlie.
Rachel menatap Jon yang berkata, "Kami sedang berusaha mencari
tahu apa yang terjadi Selasa dan Rabu kemarin. Ada satu hal yang
sangat diyakini Rachel, yaitu ada sesuatu di balik kematian Jenny. Dia
tidak tahu pasti apa itu, tapi dia yakin Jenny mungkin masih hidup. Apa
aku meringkasnya dengan tepat?"
Rachel mengangguk. "Masih hidup?" ujar Charlie, terpana.
"Masih hidup," Jon menegaskan.
170 "Tapi... apa..." Bagaimana...?"
"Itu masih misteri bagi kita semua," kata Jon tenang.
"Menurutmu dia bersembunyi di suatu tempat?"
"Aku benar-benar tidak tahu," desah Rachel. "Satu-satunya yang
bisa kukatakan padamu adalah bahwa cerita tentang dia jatuh dari
tebing sama sekali tidak masuk akal bagiku."
"Kalau menurutmu bagaimana?" tanya Charlie pada Jonathan.
"Aku ingin tahu apa yang Rachel lakukan di Whitemont," kata Jon.
"Bagaimana dan kapan dia mulai kehilangan ingatannya. Mungkin ada
sangkut pautnya dengan Jenny."
"Semua orang akan mengatakan padamu bahwa dia mengalami
kecelakaan maut," kata Charlie. Suaranya sudah kembali terkendali dan
ia berbicara dengan tenang; tapi mereka bisa membaca ketidakpercayaan di wajahnya. "Termasuk aku."
"Aku bisa mengerti, Charlie," kata Rachel pelan.
"Kami perlu tahu apa yang dialami Rachel," ujar Jonathan. "Dan
mengapa dia sampai mengalaminya. Selama kami tak punya petunjuk
mengenai itu, kami harus melakukan investigasi."
Charlie menggeleng keheranan dan untuk sejenak tak berkata apaapa. Dari wajahnya, Rachel bisa melihat bahwa Charlie tidak percaya
pada... intuisinya, perasaannya. Atau hal-hal yang diketahuinya selama
menghilang"pengetahuan yang sekarang di luar jangkauannya.
Jonathan sama skeptisnya, tapi ia tetap mendukungnya. Rasa terima
kasihnya pada Jonathan bertambah setiap jam.
"Kalau ternyata aku salah tentang semua itu, maka biarlah," kata
Rachel terluka. 171 Rachel menyesap kopinya yang sudah tidak panas lagi. "Jenny
menyelidiki kasus Paula Deckers ini," katanya, "kemudian dia
dinyatakan tewas tidak lama kemudian. Pada saat bersamaan, aku
menghilang. Bisa saja semua itu kebetulan... tapi mungkin juga tidak."
Charlie bersandar dan menatap langit-langit. "Mungkinkah Jenny
mengenal Paula lebih jauh dari yang kita sangka?"
Rachel menggeleng. "Sejauh yang kuingat, dia tidak pernah
bercerita apa-apa padaku tentang wanita muda bernama Paula. Aku
tidak pernah mendengarnya dalam kasus orang hilang. Dan lagi pula,
kalau Jenny mengenal Paula secara pribadi, mengapa harus menunggu
selama tujuh belas tahun?"
"Kucatat pemikiranmu itu," ujar Charlie.
"Apa yang tepatnya diungkap oleh kliping ini?" tanya Jonathan.
"Aku mengurutkannya berdasarkan tanggal publikasi," jelas
Charlie. Ia mengambil lembaran yang paling atas. "Ini yang pertama
pada tanggal 16 Maret, 1994. Mari kita baca beritanya." Charlie
membaca artikel itu: "Polisi mencari seorang gadis tujuh belas tahun
asal Aberdeen yang hilang selama tiga hari. Mereka memperkirakan
ini mungkin kasus kriminal. Dan kemudian namanya disebutkan di
Journal..." Charlie menaruh lembaran itu dan mengambil lembar berikutnya:
"Dia terakhir terlihat pada tanggal 12 Maret oleh beberapa teman
yang dikunjunginya," baca Charlie. "Dia pergi dari sana, tapi tidak
pernah sampai di rumah. Ada cerita latar belakang yang mengisahkan
bagaimana Paula terdaftar dalam pelatihan untuk menjadi perawat, dan
cerita singkat mengenai orangtuanya, Roy dan Frances Deckers dari
Woodstreet, Aberdeen."
Charlie menaruh lembaran koran itu, lalu memandang kedua
tamunya. "Bisa dikatakan bahwa investigasi segera dilakukan cukup
172 awal. Tidak ada tersangka yang ditangkap. Tidak banyak kejadian
setelah itu. Kliping terakhir sudah lima tahun lalu. Aku tidak bisa
memikirkan alasan untuk mengungkit kasus ini lagi."
"Tapi bagaimanapun Jenny tertarik," kata Rachel keras kepala.
"Ya," aku Charlie. "Aku juga tahu Jenny mengunjungi orangtua
Paula belum lama ini."
"Di Woodstreet?"
"Kalau mereka memang masih tinggal di sana."
"Kita bisa mencari tahu," kata Rachel.
"Aku bisa membantu," Charlie menawarkan.
173 Di luar, Rachel menggenggam erat kertas kuning Post-it yang
bertuliskan nomor telepon dan alamat Roy dan Frances Deckers.
Ia hanya berdiri, menatap, mengamati semuanya. Langit biru jernih
tampak tak berujung, dan angin yang hangat membelai rambutnya.
Di seberang jalan, tanah menurun sebelum mencapai sebuah taman.
Rumput yang baru dipangkas berwarna hijau terang dan lebat.
Jembatan batu membentang di atas kolam, dan di sisi yang berlawanan
ada rumah-rumah yang bermandikan cahaya matahari. Sebuah puncak
gereja merah dengan salib putih di ujungnya menjulang tinggi di atas.
"Sedang memikirkan apa?" tanya Jonathan.
"Kau," jawab Rachel sambil menoleh kepada Jon.
"Aku" Apa lagi salahku?"
Rachel mendesak ke tubuhnya. "Kau berada di pihakku. Itu manis
sekali." Jon mengerjap-ngerjap. "Oh, maksudmu yang kukatakan pada
Charlie tadi." "Itu juga," katanya, suaranya terhalang dada Jonathan. "Dan banyak
lagi yang lain." "Tentu saja aku ingin tahu apa yang terjadi padamu, Rachel.
Bagaimana tidak" Aku jatuh cinta padamu."
"Dan karena itu aku gadis paling beruntung se-Inggris."
Jon nyengir. "Besar artinya untukku mendengar kau berkata begitu.
Oke, sekarang bagaimana" Apa kita telepon saja orang-orang ini?"


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begitulah rencananya. Selanjutnya orangtua Paula. Tapi aku agak
khawatir. Aku sama sekali tidak mengenal mereka." Rachel menjauh dan
memandang Jon. "Tapi aku akan tetap melakukannya. Semoga mereka
bisa menceritakan pada kita lebih dari yang diceritakan Charlie."
"Itu akan membantu sekali," kata Jon.
"Boleh pinjam ponselmu lagi?"
Jon menyerahkan ponselnya, lalu Rachel menekan nomor Deckers.
Seorang wanita mengangkat teleponnya.
"Halo," sapa Rachel. "Nama saya Rachel Saunders. Apa ini Mrs.
Deckers" Frances Deckers?"
"Ya, benar," jawab wanita itu.
"Saya teman Jenny Dougal, jurnalis yang mewawancarai Anda
belum lama ini. Dia datang ke rumah Anda, bukan?"
"Ya, dia memang ke sini," kata Frances.
"Mrs. Deckers," Rachel memulai. "Ada yang perlu saya sampaikan."
"Apa?" tanya Frances, setelah beberapa saat.
"Ini mengenai Jenny," lanjut Rachel. "Dia..." Rachel tersekat, ragu
harus mengatakan apa. Diputuskannya untuk menyampaikan berita
resminya saja, karena tidak ada hal lain yang terpikir olehnya. "Dia
tewas secara tak terduga, Mrs. Deckers."
"Apa?" jerit Frances.
"Kecelakaan. Dia terjatuh saat memanjat tebing."
"Oh, kasihan sekali," ujar Frances. "Kasihan sekali gadis baik yang
malang itu! Kapan kejadiannya?"
175 "Hampir dua minggu lalu. Kapan Jenny datang menemui Anda?"
"Belum lama, kira-kira akhir Mei, seingatku. Oh, ya ampun,
mengenaskan. Aku tidak tahu. Sama sekali tidak tahu... Tadi kau bilang
kau ini temannya ya?"
"Sahabatnya." Untuk sejenak Frances tidak bisa bicara.
Rachel berdeham. "Mrs. Deckers, saya ingin mengambil alih
pekerjaan Jenny," katanya dengan lebih tegar. "Demi dia dan saya. Ini
adalah cara saya untuk bisa menerima kematiannya."
Rachel mengatakan itu tanpa berpikir, dan terdengar meyakinkan
bahkan di telinganya sendiri. Ia terus membujuk, berharap Frances mau
mengerti. "Jadi temanku Jon dan aku ingin datang dan berbicara dengan
Anda, kalau Anda tidak keberatan. Saya ingin mengulang wawancara
yang dilakukan Jenny."
Jenny bisa mendengar desah berat wanita itu.
"Ya Tuhan, aku merinding," akhirnya Frances bicara sambil tergagap. "Tentu saja kau boleh kemari. Dengan senang hati."
"Terima kasih," kata Rachel. "Jam berapa kira-kira sebaiknya?"
"Sebaiknya kalau suamiku ada di rumah," jawab Frances. "Kapan
kau mau datang?" "Apa hari ini Anda ada waktu?"
"Suamiku sedang menonton sepak bola. Aberdeen jadi tuan rumah
melawan Motherwell, kalau tidak salah. Paling sekitar jam enam kurang
lima belas menit dia sudah di rumah."
"Kalau jam setengah tujuh tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa rasanya. Kami bisa menunda makan malam."
176 "Sampai bertemu. Terima kasih, Mrs. Deckers."
*** Mereka masih punya banyak waktu luang, maka Jon mengendarai
mobilnya kembali ke pusat kota. Mereka memarkir mobil di tempat
parkir bawah tanah dan berjalan ke Kedai Calstone di Pusat Perbelanjaan
Trinity. Di sana Rachel memesan teh dan kue scone. Jon menelepon
Geoffrey lagi untuk mencari tahu apakah ada perkembangan. Setelah
mereka bicara, Jon menjauhkan teleponnya dan menggeleng.
"Tidak ada," lapornya.
Rachel menggigit makanannya sedikit, sambil memandangi orangorang yang berlalu lalang di sekitar gedung putih. Dengan membawa
tas belanjaan penuh, beberapa berjalan cepat-cepat, sementara yang
lain berjalan-jalan santai. Dua anak TK melesat dengan mobil mainan
mereka. Orangtua mereka mengikuti di belakang"sepertinya begitu,
Rachel menyimpulkan mereka adalah orangtuanya karena si wanita
meneriakkan sesuatu pada anak-anak itu, lalu melemparkan tatapan
putus asa pada laki-laki di sampingnya. Dari mulutnya, tidak sulit
membaca apa yang dikatakannya. Jangan diam saja, dong! Apa harus
aku yang selalu repot" Rachel menyangka sang suami akan mengomel,
tapi ternyata ia mengejar setan-setan cilik itu dan menyuruh mereka
bermain lebih hati-hati. Anak-anak. Rachel terkadang membayangkan bagaimana rasanya
menjadi seorang ibu. Ia ingin memiliki anak-anak suatu hari nanti dan
Jonathan pasti bisa jadi ayah yang hebat. Tapi sebelum itu terwujud,
ada banyak halangan yang harus dilaluinya"halangan yang tidak
yakin ingin dilaluinya. Yang terutama sekali, ia harus mengizinkan
Jon masuk ke dalam hidupnya hingga ke level yang belum pernah
dibayangkannya. Dan, oh, betapa ia sangat menginginkannya. Jon
177 adalah laki-laki yang mengisi hidupnya. Ia membuat segalanya mudah
dan nyaman untuknya, sementara ia hampir menyia-nyiakannya.
Begitulah semestinya cinta, Rachel mengingatkan dirinya sendiri.
Tetap saja tidak cukup, dan ia tahu masalahnya ada pada dirinya, bukan
Jon. Menaruh kepercayaan sebanyak itu pada orang lain sampai rela
menyerahkan dirimu seutuhnya, secara terbuka, dan tanpa syarat... apa
dirinya mampu menanggung kepercayaan semacam itu di hatinya"
Seorang pebisnis berjas hitam, kemeja putih, dan dasi hijau berjalan cepat melewati meja Rachel dan Jon. Seorang pemuda tinggi
berkacamata membawa tas kerja sobek-sobek mengikutinya di belakang.
Di belakang mereka ada seorang wanita muda yang berpenampilan
tidak menarik dengan tata rias menor di wajahnya berjalan seperti
boneka Barbie. Rachel mengunyah suapan terkahir kue scone-nya dan mengecek
arlojinya: 5:45. Ia mengenakan jaketnya lalu ia dan Jon berjalan di
bawah atap-atap kaca pertokoan menuju parkir mobil di bawah pusat
perbelanjaan. Pada satu mesin tiket parkir, seorang wanita gemuk
berpakaian mencolok yang menarik perhatian banyak orang, dengan
susah payah berusaha memasukkan tiketnya ke dalam slot. Seorang
laki-laki di sampingnya lebih beruntung dengan mesin yang berikutnya.
Mereka mengantre di belakang laki-laki itu.
Laki-laki itu pergi, tinggallah wanita tadi, mengerang sambil repot
memunguti koin-koin dari dalam dompetnya untuk dimasukkan ke
dalam mesin. Setelah akhirnya beres, ia buru-buru pergi ke luar pintu.
Sementara itu, Jonathan sudah membayar. Mereka masuk ke mobil,
berjalan di antara barisan kendaraan, dikelilingi tembok-tembok beton
tebal di bawah atap yang rendah. Parkiran mobil itu remang-remang,
dan bau busuk dan pesing samar-samar tercium.
Bau itu membawa Rachel kembali pada malam di bukit, di dekat
air yang bergemuruh. Ia bisa melihat gambaran yang nyata sekaligus
178 menakutkan. Tiba-tiba ia membayangkan sesuatu itu, apa pun itu"
kalau memang ada"sekarang ada di sini, bersembunyi di belakang
mobil. Sesuatu itu mengikutinya ke parkiran ini dan sekarang sedang
ancang-ancang, siap untuk"
Hentikan, kau membodohi diri sendiri, Rachel.
Namun ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Rasa takut itu ada, dan
tidak bisa disangkal. "Ayo keluar dari sini, Jon," pintanya. "Sekarang. Tolong. Cepatlah."
Setelah mereka meninggalkan tempat parkir, Rachel merasa tidak
lagi berada di dunia normal, akan tetapi di luarnya. Melintasi Union
Street, ke arah Woodstreet, matanya terus tertuju pada langit biru. Tidak
ada yang terlihat, namun mendekat.
Sesuatu yang berkepala serigala dan bersayap hitam.
179 Roy Deckers membuka pintu. Ia berperut besar dan sebagian besar
kepalanya botak. Garis-garis mendalam di wajahnya dan kantong di
bawah matanya mewakili hidup yang penuh tragedi. Rachel merasa
pria itu lebih mirip pejuang dibandingkan seorang pria yang susah hati
menanggung beban hidup. Sepanjang kariernya sebagai jurnalis, Rachel telah melakukan
banyak wawancara dengan orang-orang yang selamat dari musibahmusibah traumatis. Sebagian menutup diri saat ia, sebagai reporter,
meminta mereka untuk menumpahkan kepedihan mereka; sebagian
melakukan yang sebaliknya. Rachel menangkap kesan bahwa Roy termasuk pria yang bersedia menceritakan pengalaman-pengalamannya,
berharap dengan cara itu mereka bisa mendapatkan sesuatu yang
bernilai. Istrinya, Frances, berkulit cantik dan ramah. Di usia pertengahan
hingga akhir lima puluh, ia masih tergolong wanita yang menarik. Jika
putrinya masih hidup, Paula sekarang kira-kira berusia pertengahan tiga
puluh. Selama beberapa menit mereka berempat mengobrol ringan. Roy
menanyakan apakah sulit menemukan rumah mereka, lalu Rachel dan
Jonathan memuji dekorasi ruang tengah Frances. Rachel melihat potret
Paula di sebuah bingkai, foto yang sama dengan yang dilihatnya sore
tadi di antara kliping koran yang ditunjukkan Charlie di kantornya.
Foto itu mendorong Rachel untuk langsung ke topik pembicaraan yang
dituju, setelah mereka dipersilakan duduk di meja dan meminum teh
yang disajikan. "Maaf kami sudah mengganggu malam ini," kata Rachel. "Jon dan
aku sangat menghargai kesediaan Anda untuk menerima kunjungan
kami yang mendadak."
Roy mengangguk tanda mengerti. "Kami turut berdukacita atas
tewasnya temanmu itu," katanya. "Dia baru beberapa minggu lalu
datang kemari, duduk di meja ini bersama kami. Tanggal 28 Mei.
Sekarang dia sudah tiada. Musibah mengerikan menimpa wanita yang
masih muda. Apa gerangan yang terjadi?"
Rachel-lah yang kemudian bicara, seperti yang disepakati olehnya
dan Jon. "Dia pergi mendaki gunung dan terjatuh hingga tewas," kata
Rachel pelan. "Setidaknya, begitulah cerita yang disampaikan pada
kami." Roy menunduk sejenak, kemudian mengangkat kepalanya. "Frances
bilang kau mau melanjutkan pekerjaannya."
"Benar, Mr. Deckers," jawab Rachel. "Jenny bekerja keras meliput
kisah Paula, tapi dia tidak sempat menyelesaikannya. Kami ingin
menyelesaikan apa yang dia tinggalkan."
Rachel bertanya-tanya apakah Roy ingin memastikan mereka
ditugaskan oleh Northern Journal. Kalau ya, dia akan memakai nama
Charlie. Charlie sendiri, Rachel yakin, akan mendukungnya.
Roy memegang sendok tehnya dan mengaduk-aduk teh dengan
pandangan kosong. "Nona Dougal mengajukan banyak sekali pertanyaan," jawabnya. "Frances dan aku senang mendapat perhatiannya. Sudah lama sekali tidak ada reporter yang menanyakan apa pun
pada kami ataupun menyelidiki kasus Paula. Perhatian semacam itu
membuat Paula terasa hidup bagi kami."
181 Rupanya Roy tidak meminta bukti hubungan mereka dengan
Journal. Dari pengalaman Rachel, Roy dan France tergolong ke dalam
banyak orang yang diwawancarainya selama kariernya, yang jarang
menanyakan bukti tugas. Jon mengamati pasangan itu, ingin mereka melanjutkan ceritanya.
Ia memecah keheningan dengan berkata, "Bagaimana wawancara
kalian dengan Rachel" Apa yang kalian bicarakan?"
"Kami menceritakan apa yang kami tahu," jawab Roy. "Cerita
yang dulu kami ceritakan berulang kali. Tapi kami tidak keberatan
menceritakannya sedetail mungkin."
"Meskipun jika kami harus menceritakannya ribuan kali," tambah
Frances. "Aku tidak peduli kalau kami harus melakukannya hingga
kami mati. Kami harus menemukan bajingan yang melakukannya.
Selama ini kami tidak tahu siapa pelakunya.... Hanya ini yang bisa
menguatkan kami." "Aku mengerti," ujar Rachel dengan tulus.
"Seperti apa Paula?" tanya Jonathan. "Bisakah kalian menceritakan
sedikit tentang dia?"
"Dengan senang hati," jawab Frances. "Dia gadis yang sangat
manis. Dia sering tersenyum dan suka sekali menolong, pada kami dan
siapa saja yang dikenalnya. Dia tidak tahan membiarkan orang lain
terluka atau kesakitan. Kalau kami sedang mengadakan pesta dan ada
yang kelihatan malu dan menjauh, Paula selalu mendekati mereka dan
mengajak bicara. Hal-hal seperti itu baginya penting. Dia selalu ingin
membuat orang merasa diinginkan dan penting."
"Itu Paula, kan?" tanya Rachel, sambil menunjuk bingkai foto di
kabinet. 182 "Ya," jawab Frances. "Dia cantik, kan" Musibah itu mengerikan,
tidak adil..." Ia hampir menangis.
Rachel menaruh sebelah tangannya di lengan Frances. "Frances...
Roy... tolong ceritakan lebih banyak tentang Paula."
"Waktu itu dia baru mulai tinggal sendiri beberapa bulan
sebelumnya," tutur Roy. "Sudah beberapa hari kami tidak bertemu
dengannya sebelum dia menghilang. Terakhir kali kami melihatnya
adalah pada Minggu sore, saat dia datang untuk makan malam.
Suasana waktu itu menyenangkan. Keadaannya baik-baik saja, dia
riang, tidak terlihat ada masalah. Kami tidak bertemu dengannya setiap
hari, hanya sekali atau dua kali seminggu, tapi hampir tiap hari kami
bicara di telepon, kadang-kadang beberapa kali dalam sehari. Frances
meneleponnya hari Sabtu, tapi Paula tidak ada di rumah. Kemudian
kami dapat kabar bahwa... kejadiannya tanggal 12 Maret 1994."
Terlihat jelas Roy menguatkan diri. "Pada hari Minggu kami mencoba
meneleponnya kembali. Tetap tidak ada jawaban, kami jadi khawatir."
"Terutama aku," sela Frances. Lalu ia berkata, "Kami pergi ke
apartemennya. Ada surat di kotak posnya yang sampai sehari sebelumnya. Setidaknya sudah semalam dia tidak pulang."
Roy melipat tangannya. "Setelah itu, kami mulai menelepon orangorang. Teman-teman, kenalan, siapa pun yang mungkin punya petunjuk
akan keberadaannya. Sudah berhari-hari tidak ada yang melihatnya.
Lalu kami tahu bahwa pada malam Minggu dia bersama dua orang
temannya, Pat dan Andrea."
Roy meraih cangkirnya, ketika menyadari isinya sudah habis, ia
letakkan kembali cangkir itu di atas piring kecil. "Kata mereka, dia
meninggalkan mereka jam sebelas malam. Paula pasti berjalan dari
Harbour Street ke Union Street, lalu menyeberang ke sisi lain dan ke
Tower Street. Tempat tinggalnya di ujung jalan itu, sekitar lima belas
183 menit dari Harbour Street. Aku beberapa kali menelusuri rute yang
sama setelah dia tiada karena aku ingin tahu ke mana dia pergi. Aku di
sana setelah jam sebelas, kira-kira waktu yang sama saat dia melewati
jalan itu, dan Tower Street gelap sekali. Tengah malam di akhir bulan
Maret yang dingin dan di tempat yang berbahaya. Tempat itu semacam
tempat yang ingin cepat-cepat kau lewati dan ingin cepat pulang."
Roy terdiam sejenak, menimbang kalimat berikutnya. "Sekarang
ada garasi besar di Tower Street, tapi belum ada pada tahun 94. Pada
waktu itu di sana hanya ada bangunan. Paula saat itu tidak sampai lewat
sana." "Bagaimana Anda bisa tahu?" tanya Jonathan.
Roy memandang Frances dengan sedih. "Ada yang menunggunya
di sana. Kami tidak tahu siapa. Setelah tujuh belas tahun berlalu, kami
masih tidak tahu." "Tapi bagaimana Anda bisa tahu di tempat itu dia diculik?" tanya
Jon lagi. "Ada saksi," tegas Roy. "Seorang laki-laki bernama John Collins.
Dia sedang membawa anjingnya jalan-jalan malam itu, dan dia
mendengar teriakan seorang wanita muda."
"Paula begitu polos," ujar Frances, terisak pelan. "Apa yang dilakukan penjahat itu pada putriku" Mengapa putriku harus mengalaminya" Kenapa ini harus terjadi?"
Roy menatap dinding di belakang Jonathan. "Collins tidak melihat
Paula, ataupun orang yang menyerangnya. Tapi dia adalah orang terakhir yang mendengarnya. Selain si penyerang itu sendiri, tentunya."


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu dulu," sela Jon. "Anda bilang dia seorang saksi, tapi dia
tidak melihatnya?" 184 "Tidak," jawab Roy. "Dia saat itu berada di gang yang sejajar dengan
Tower Street, tepat di seberang garasi. Namun dia tidak menghampiri
dan tidak melakukan apa-apa. Dia takut kalau-kalau ada perkelahian
dan takut jika ada yang menyerangnya. Baru setelah ada berita tentang
hilangnya Paula di surat kabar, dia pergi melapor ke polisi."
"Anda yakin dia mendengar suara Paula?"
Roy mendesah. "Memang tidak bisa yakin sepenuhnya, Jon. Tapi
kami tahu jam berapa Paula pergi dari tempat Andrea dan Pat. Hanya
ada satu rute yang diambilnya. Kita bisa memastikan dia pasti ada di
sana pada saat Collins mendengar teriakan wanita."
"Apa yang terjadi setelah itu?"
"Kami merasa hancur," kata Roy. "Paula menghilang, lenyap begitu
saja. Ada ribuan pikiran yang melintas di benak kami. Polisi dilibatkan. Detektif berbicara pada kami, tapi pada saat seperti itu tidak ada
yang masuk ke telinga, kami tidak bisa memusatkan perhatian. Yang
terpikir olehku hanya: siapa bajingan itu" Sampah macam apa yang
memerkosa putriku" Di mana anakku sekarang" Di mana dia disekap"
Pada saat itu aku menolak percaya bahwa dia sudah meninggal. Aku
malah tidak memikirkan itu. Dan aku merasa bersalah. Kejadiannya
tengah malam Minggu, tapi baru dua hari kemudian kami menyadari
dia hilang. Banyak yang bisa saja terjadi dalam dua hari.
"Awalnya yang kami tahu Paula tidak bisa ditemukan di mana pun.
Pada akhirnya kami terpaksa menerima kenyataan bahwa dia telah
menjadi korban kejahatan. Itu sesuatu yang tak terbayangkan, sesuatu
yang hanya terjadi pada orang lain, bukan pada keluargamu sendiri.
Baru setelah polisi terlibat dan koran-koran memublikasikan cerita
kami"hal yang tak terbayangkan itu menjadi kenyataan, membaca
berita tentang anakku sendiri, bukan anak orang lain"si John Collins
itu maju sebagai saksi. Dan kemudian semakin lama semakin terlihat
185 bahwa Paula telah jatuh ke dalam genggaman orang yang sakit jiwa.
Aku merasa sudah mengecewakannya."
Roy menggeleng dan menatap meja. "Polisi melakukan pemeriksaan
forensik. Mereka memeriksa setiap jengkal kawasan itu. Aku... kami
terus yakin akan menemukannya. Orang yang menculiknya itu... aku
ingin membunuhnya. Sampai sekarang pun masih."
Roy memandang Jonathan. "Apa yang ingin kau ketahui" Apa aku
sering memikirkan Paula" Aku memikirkannya setiap hari. Setiap jam
setiap hari. Sesuatu yang dulunya bagian dari kami, kini sudah tiada.
Direnggut dari kami. Rasanya pedih melebihi yang bisa kuungkapkan.
Hancur rasanya." Wajahnya berkerut. "Andai ada yang bisa menemukannya. Andai
kami bisa menguburnya dengan layak. Baru kami bisa mengucapkan
selamat tinggal padanya. Tidak akan mudah, tapi lebih baik daripada
tidak mengetahui apa yang terjadi padanya atau bagaimana dia
menderita. Selama ini aku selalu berpikir bawah dia mungkin saja
masih hidup. Akhirnya Frances dan aku harus menerima bahwa itu
mustahil. Kami menyadari dia mungkin sudah meninggal. Tapi kami
rela memberikan apa pun demi mengetahui kejelasannya."
Roy menghela napas dalam-dalam lagi. "Tahu tidak apa yang paling
buruk" Apa yang sampai sekarang tidak kunjung membaik?"
Ia menatap mata Jonathan. Jon membalas tatapannya tanpa berkata
apa-apa. "Perasaan bersalah. Aku tidak ada di sana untuk putri kecilku.
Bagaimana kalau kami mencarinya lebih awal" Bisakah kami menyelamatkan Paula?"
"Kemungkinan tidak," kata Roy, menjawab pertanyaannya sendiri.
"Kusadari itu. Mungkin dia sudah meninggal pada Sabtu malam itu.
186 Mungkin tidak lama setelah itu dia sudah meninggal. Tapi ini selamanya
akan jadi tebakan semata. Karena tidak tahu, aku terus saja mencecarku
dan aku terus merasa bersalah karena sudah mengecewakan putriku."
Untuk beberapa saat hanya suara detak jam antik di ambalan di atas
perapian yang terdengar di ruangan itu. Rachel dan Jon sama sekali
tidak ingin memecah keheningan. Mereka sama-sama merasa, tanpa
harus berbicara dengan satu sama lain, penjelasan panjang Roy menjadi
suatu terapi baginya dan istrinya.
Akhirnya Rachel dengan hati-hati bertanya, "Aku simpulkan ini
cerita yang sama dengan yang Anda sampaikan pada Jenny. Apa ada
lagi" Ada lagi yang ditanyakannya?"
"Dia berencana menemui si Collins itu," kata Roy.
"Untuk apa?" Roy mulai memainkan sendoknya. "Aku tidak tahu. Apa bedanya"
Seharusnya dia melakukan sesuatu. Itu yang penting."
Tiba-tiba Rachel merasa takut. Ia menggigit jarinya dan gemetar.
Jonathan bisa merasakan kepedihannya; di bawah meja, ditaruhnya
tangannya di lutut Rachel untuk menenangkannya.
"Apa Jenny benar-benar menemui Collins?" tanya Jon.
"Dia tidak menelepon kami setelah itu, jadi kami tidak tahu. Dia
bilang mau ke sana."
"Di mana Collins tinggal?"
"Kalian mau ke sana juga?" tanya Roy.
"Ya," sela Rachel. "Seperti yang kubilang, kami mengikuti jejak
Jenny." "Sudah dua tahunan aku tak berkabar dengannya, tapi mungkin dia
masih tinggal di Ferrier Lane nomor 66."
187 *** Perlahan, Jonathan menjalankan mobilnya di sepanjang Tower Street,
melewati garasi yang disebutkan Roy. Garasi Smith, tertulis dalam
huruf-huruf biru besar di muka. Di kejauhan terdapat rumah-rumah.
Jon menghentikan mobil namun tidak mematikan mesinnya.
"Pasti di sekitar sini."
Saat Jon memerhatikan gedung itu, Rachel dengan gugup mengikuti arah pandangannya. Pembicaraan di rumah keluarga Deckers
membuatnya merasa semakin mual dan tegang, dan area mengerikan
ini hanya memperburuk perasaannya. Di mata Jon, semua ini semakin
aneh saja. Rachel terbangun di perbukitan Whitemont. Jenny meninggal
di pantai barat. Dan sekarang mereka berada di suatu tempat yang tujuh
belas tahun lalu menjadi tempat kejadian perkara hilangnya seorang
gadis tanpa jejak. Potongan-potongan yang tak berhubungan, mustahil
digabungkan. Ia merasa kunci dari semua itu, entah bagaimana adalah menemukan
hubungan dari apa yang terjadi sebelum Rachel meninggalkan The Old
Wheel hari Selasa lalu sampai ia sadar diri di Whitemont. Itu artinya,
satu-satunya cara untuk mengungkap misteri ini adalah menguak masa
lalu yang tidak diingat Rachel. Pertanyaannya: di manakah pintu masuk
ke dalam masa lalunya tersebut" Di sini" Di tempat lain" Adakah kunci
yang pas untuk dimasukkan ke pintu itu"
Jon menjalankan mobilnya lagi, membawa Passat-nya ke tempat
parkir kosong. "Kita jalan dari sini," katanya. "Rumah Collins pasti di sekitar ujung
jalan. Kalau dia masih tinggal di sana. Dan kalau dia masih hidup."
188 "Menurutmu di mana lokasi kejadiannya?" tanya Rachel setelah
mereka keluar. "Di dekat garasi, menurut Roy," jawabnya. "Mungkin di sini."
Ada sebuah gang antara dua rumah di sepanjang Garasi Smith. Jon
berjalan melewati jalan yang membelok sepanjang kira-kira tiga puluh
yard persegi yang dikelilingi pohon-pohon dan semak-semak tinggi
serta lebih banyak rumah. Papan nama jalan yang berdiri di salah satu
fasad itu tertulis GANG FERRIER.
"Collins pasti tinggal di gang ini," katanya. "Gang Ferrier. Jalan
utama Ferrier pasti salah satu dari jalan di sekitar sini."
Rachel mengangguk. "Kurasa kau benar."
Jalan Ferrier adalah jalan samping pertama. Mereka berjalan melaluinya sampai mereka menemukan rumah nomor 66. Saat Jonathan
membunyikan bel pintu, seekor anjing menggonggong. Terdengar suara serak seorang lelaki tua meneriakkan sesuatu yang tidak jelas dan
kemudian pintu berderit terbuka. Seorang laki-laki kurus berusia tujuh
puluhan memandang mereka.
"Selamat sore," sapa Jonathan. "Maaf mengganggu..."
Si anjing, seekor German Shepherd berhidung hitam dan berbulu
cokelat gelap, menyalak lebih keras lagi. Laki-laki tua itu menoleh.
"Diam, Don. Diam," geramnya. Binatang itu langsung mematuhinya.
"Namaku Jonathan Lauder," kata Jon. "Ini temanku Rachel. Apakah
Anda Tuan John Collins?"
"Siapa yang ingin tahu?" bentak laki-laki itu.
"Kami. Boleh kami mengajukan beberapa pertanyaan?"
Laki-laki itu menatap mereka dengan curiga.
"Apa Anda John Collins?"
189 "Ya. Nah, apa mau kalian?"
"Kami hanya ingin bicara sebentar."
"Soal apa?" tanya Collins kesal.
"Mengenai Jenny Dougal."
Collins menatap Jon tanpa kesan ingat pada Jenny.
"Nona Dougal adalah reporter surat kabar yang belum lama ini
mengunjungi Anda." "Oh, dia," gerutunya. "Apa kalian juga dari surat kabar" Apa ini
soal gadis itu lagi?"
"Ya, Paula Deckers," jawab Jon.
"Aku menyuruh si reporter itu pergi, dan aku juga tidak mau bicara
dengan kalian. Aku tidak terlibat, habis perkara. Selamat tinggal."
Anjing itu terengah di belakang tuannya. Lelaki itu itu baru akan
menutup pintu, namun Jonathan mengganjal pintu dengan kakinya.
"Tuan Collins!"
Jon memanggilnya dengan nada seorang ayah yang memarahi
anaknya, dan laki-laki itu menatapnya tajam. Jon berpikir cepat. Jenny
pernah kemari. Tapi Collins mengusirnya tanpa memberi tahu apa pun,
sama seperti yang dilakukannya sekarang. Mengapa dia bersikap keras
kepala" Apa dia menyembunyikan sesuatu" Jonathan memutuskan
untuk sedikit menyelidiki.
"Jenny sedang menulis kisah tentang hilangnya Paula. Anda adalah
saksinya." "Aku tidak pernah melihat apa pun," kata Collins. "Itu sudah lama
sekali. Biarkan aku hidup tenang."
190 "Menurut Roy Deckers, Anda mendengar sesuatu," lanjut Jon
dengan tegas, "Mengapa Anda tidak mau membicarakannya?"
"Kau menemui Roy?"
"Ya." Lelaki tua itu berpikir sejenak, mengamati Jon dengan waswas.
Kemudian ia mengangguk samar. "Waktu itu aku sedang membawa
jalan-jalan Hector, anjingku yang dulu. Aku mendengar suara dari
ujung jalan. Suaranya seperti teriakan seorang perempuan."
"Kau di gang yang itu, yang ke arah alun-alun, bukan?" Jon menunjuk dan Collins mengangguk. "Lalu apa yang terjadi?"
"Aku tahu apa yang Roy katakan tentang aku," kata orang tua itu,
dan tiba-tiba ia terdengar letih, tak berdaya. "Tapi aku sendirian dan
tidak kelihatan ada orang lain. Tidak ada yang bisa kulakukan." Ia
membuka mulutnya, seolah ingin bicara, tapi kemudian menutupnya.
Jonathan mengerutkan kening. Ia melirik Rachel di sampingnya,
yang diam-diam menangkap pesan Jon: Ada yang disembunyikan
Collins. "Satu hal lagi," kata lelaki tua itu, suaranya nyaris tak terdengar,
seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Di sana ada sesuatu yang bukan
berasal dari sini." Tulang punggung Jon terasa beku. "Apa maksudmu?"
Mata Collins berkaca-kaca. "Apa bedanya" Dia sudah mati. Apa
pentingnya sekarang?"
"Tuan Collins, tolonglah," desak Rachel. "Ini penting sekali,
sungguh." Laki-laki itu memandang jauh ke belakang mereka. "Terserah orang
mau bilang apa. Pemikiranku tidak sama."
191 "Memangnya pemikiran apa itu?" tanya Rachel.
Collins mengibaskan tangannya. "Tidak, lupakan saja. Tidak ada
pengaruhnya." Hening. Lalu Jon bertanya, "Apa Jenny mengatakan padamu kenapa
dia ingin membicarakan Paula Deckers?"
"Kalau tidak salah dia mendengar sesuatu," jawab Collins, terdengar
lebih ramah. "Dia mendengar apa?" tanya Jon.
"Mana aku tahu?"
"Tuan Collins," kata Jon, "Akan membantu sekali kalau Anda bisa
menjawab beberapa pertanyaan lagi. Tidak akan lama, kok."
"Aku tidak bisa bicara tentang hal yang tidak kuketahui," gerutunya.
"Sesuatu yang Anda sebutkan ini," kata Rachel tiba-tiba, "sesuatu
yang bukan dari sini"apa maksud Anda makhluk tertentu?"
Collins menganga. "Makhluk tertentu" Apa kau gila" Dari mana kau
bisa berpikir begitu" Aku tidak pernah bilang itu makhluk apa pun!"
Ia menunjuk-nunjuk ke arah mereka. "Tinggalkan aku! Pergi! Aku
tidak mau lagi berurusan dengan kalian! Wawancara ini selesai!" tanpa
mengatakan apa-apa lagi, ia melangkah mundur dan membanting pintu.
Mereka mendengar suara kunci slot digeser, dan anjingnya menyalak
dengan gusar. "Ya Tuhan," gumam Jon.
"Me thinks thou dost protest too much," Rachel mengutip sebuah
kalimat dari Shakespeare, menyindir Jon yang selama ini tidak percaya
padanya. "Sekarang kau percaya padaku?"
Di sana ada sesuatu yang bukan berasal dari sini.
192 Rachel memikirkan kata-kata itu sambil berjalan dengan sedih di
samping Jon ketika kembali ke Passat. Dalam benaknya, ia melihat
Paula seperti yang dilihatnya di potretnya di rumah Roy dan Frances.
Rachel melihatnya di sebuah hutan yang gelap, seorang gadis berambut
cokelat pendek, tergeletak di tanah, bayangan bersayap menaunginya.
Monster berkepala serigala itu mencakar perutnya dan mengulitinya sementara Paula berdarah dan berteriak. Cakarnya menusuk
semakin dalam, mencabut jantung dari tubuhnya. Monster itu mengangkat organ yang meneteskan darah itu di bawah sinar bulan.
Gadis itu sudah berhenti berteriak. Jasadnya menjadi cangkang yang
terbelah-belah. "Jon, peluk aku," ujar Rachel sambil gemetar. Meskipun udara
malam itu hangat, ia menggigil kedinginan. Ia merasakan tangan Jon
merangkulnya, mendekapnya. Tangan Jon mengusap punggung Rachel,
menghangatkannya. "Apa sesuatu itu datang kembali?" bisik Jon.
Rachel tidak menjawab. Ia tidak mampu berhenti gemetar. "Paula
ada di hutan. Sebuah hutan. Monster itu di sana. Monster itu..." Dia
menguatkan diri. "Membunuhnya."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Rachel mengangkat bahu. "Kau tidak kenal Paula," Jon mengingatkan.
"Tidak." "Kau yakin?" "Ya, aku yakin."
"Jadi dari mana kau bisa lihat?"
193 "Aku tidak tahu, tapi ini bukan sekadar khayalan. Mungkin dari
ingatan lain. Ingatan dari hari-hari yang terlupakan olehku itu."
"Rachel, ini kejadian tujuh belas tahun lalu. Tujuh belas tahun."
"Aku tahu," kata Rachel, frustrasi. "Pasti imajinasiku ke manamana lagi."
Rachel tidak yakin demikian, tapi apa yang sesungguhnya dia


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yakini" Mungkin sama seperti John Collins"keyakinan akan sesuatu yang
membuatnya berpendirian keras namun kemudian ketakutan. Ada
sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Apa yang telah dilakukannya
terhadap Paula" Atau Jenny" Atau dirinya sendiri"
"Aku masih percaya ada penjelasan alamiah untuk semua ini," ujar
Jon yakin. "Paula adalah korban dari orang gila atau pencabul. Mana
mungkin ada hubungannya denganmu dan Jenny?"
"Yah," katanya, "sekarang kita tahu Jenny menyelidiki kasus Paula
Deckers bukan karena kebetulan. Dia pasti mengungkap sesuatu.
Ada yang mengarahkannya untuk masuk dalam kasus ini. Siapa tahu,
mungkin aku yang melakukannya. Mungkin itu yang kami bicarakan
di telepon." Jon menggeleng. "Kau bilang tidak ada yang salah dengan ingatan
jangka panjangmu. Tujuh belas tahun itu waktu yang lama"berapa kali
lagi aku harus mengulang-ulang" Kalau kau bilang kau tidak pernah
dengar soal Paula Deckers, berarti itu kenyataannya."
"Memang," Rachel setuju. "Tapi mungkin juga Jenny tidak pernah
dengar tentang Paula Deckers sebelum dia membuka kembali kasus ini.
Apa yang mendorong Jenny untuk melakukannya?"
194 Jonathan mengangkat bahu. "Menurutku sebaiknya kita kembali ke
pondok. Hari ini sudah cukup."
"Sangat cukup," kata Rachel letih, kemudian ia menutup pikirannya supaya tidak berpikir terlalu jauh pada kekuatan gelap yang
dikhawatirkannya tengah mengincarnya.
195 Mereka kembali duduk di sofa di pondok Bibi Elizabeth, Rachel
mengantuk dalam pelukan Jon sementara pria itu mengelus pipinya
dengan penuh cinta. Rachel tak berhenti memikirkan John Collins. Apa yang sebenarnya
ia sembunyikan" Ia juga memikirkan gambar yang dibuatnya pada
brosur di penginapan The Old Wheel, yang sekarang ada di dalam saku
celananya. Ia sudah tidak bisa menanyakan apa-apa lagi pada Paula ataupun Jenny. Tinggal ia sendiri bersama pikiran-pikirannya yang membingungkan serta amnesianya"tapi paling tidak ia masih hidup. Siapa
tahu, mungkin ia beruntung. Bisa saja nasibnya berakhir lain, dan kalau
begitu ia tidak bisa lagi bertemu Jon.
"Masih ada yang bisa kita coba," kata Jon sejenak kemudian.
"Apa?" "Bagaimana kalau kita pergi ke tempat kejadiannya?"
"Tempat kejadian apa?"
"Tempat Jenny tewas."
"Fort William..."
"Ya," kata Jon. "Fort William. Jen berencana pergi bersama Alison,
tapi kemudian membatalkannya karena suatu hal. Lalu dia tetap pergi,
sendirian. Orang yang terakhir kali melihatnya pasti temannya itu, si
pemilik hotel." "Ed Lyons," kata Rachel.
"Tepat sekali. Jadi apa yang dikatakan Jenny padanya?"
Rachel mengangkat bahu. "Kita bisa mencari tahu."
"Ya, bisa. Dan harus. Dia akan memberi tahu kita bahwa Jenny
memang pergi ke gunung seperti biasa, atau kita mungkin akan
mendengar sesuatu yang bisa membantu kita mendapatkan kejelasan.
Kita juga bisa melihat lokasi jatuhnya. Itu juga bisa membantu."
Tidak, kau berharap bahwa aku akan menerima bahwa dia
mengalami kecelakaan dan bahwa dia sudah mati, pikir Rachel, tapi
dia tidak bisa menyalahkan Jon. Semua terasa tak berhubungan, kecuali
bagi dirinya sendiri. "Fort William," kata Rachel. "Rencana yang bagus."
"Besok," Jon memutuskan.
"Besok." Rachel menguap. "Sekarang aku mau tidur."
Hanya beberapa menit setelah kepalanya menyentuh bantal, Rachel
tertidur. *** Monster itu merentangkan sayapnya. Mengangkat tubuhnya dan
terbang. Ia menjadi mangsa makhluk itu; ia diambil oleh kekuatan
gelap. Semakin tinggi, semakin tinggi lagi ia berada di langit gelap.
Ia mengira monster itu akan membawanya keluar dunia dan masuk
197 ke dalam tempat persembunyiannya, ke dalam sarangnya, di mana
tulang-tulangnya akan membusuk di antara sisa-sisa mangsa lainnya.
Mata Rachel membuka lebar dan ia terduduk di tempat tidurnya.
Mimpinya seketika meluruh dan ia berhasil menahan teriakan ketakutan. Yang tersisa hanyalah detak jantung sesuatu yang mengerikan.
Tidak, bukan suara jantungnya sendiri.
Baru berjam-jam kemudian ia bisa kembali tidur.
*** Jon membuka matanya saat sinar matahari menari-nari ke dalam
ruangan. Rachel masih tidur dan ia berusaha tidak membuatnya
terbangun saat bangkit dari tempat tidur, mandi cepat, dan berpakaian.
Berita Ekslusif 4 Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Ilmu Ulat Sutera 19

Cari Blog Ini