Ceritasilat Novel Online

Dark Memory 3

Dark Memory Karya Jack Lance Bagian 3


Jon mengira setelah itu Rachel sudah bangun, tapi ternyata belum. Ia
memutuskan pergi keluar sebentar dan memandang padang serta bukit
yang hijau. Pria itu duduk di sebuah dinding batu yang rendah di tepi
rerumputan dan mendengarkan suara angin meniup pepohonan serta
nyanyian burung hingga puas.
Lama-lama pikirannya kembali seperti biasa. Ia harus menelepon
beberapa orang. Meskipun baru pukul sembilan pagi di hari Minggu, ia
menelepon Geoffrey di rumah. Ia belum mendapat kabar darinya sejak
kemarin. Geoffrey sudah bangun, dan ia meminta maaf karena belum
menemukan apa pun di komputer Rachel yang bisa menjelaskan isi
email itu. "Apa pun yang dibicarakan Rachel dan Jenny, pasti melalui
telepon," kata Geoffrey.
"Ya, sepertinya kau benar," kata Jon. Lalu ia meminta Geoffrey untuk
mencari tahu kabar kliennya dan memberi tahu mereka bahwa ia baru
198 akan kembali beberapa hari lagi. Geoffrey berjanji akan melakukannya
pagi-pagi sekali di hari Senin. Ia juga memberi tahu Jon bahwa rapat
dengan Jacques Purslow dari akun Foster berjalan lancar sekali.
"Bagus," seru Jon dengan rasa kagum yang tulus. "Aku berutang
padamu, Geoff. Kalau tidak salah kau pernah bilang ingin dipromosikan, ya?"
"Betul sekali."
Mereka mengakhiri pembicaraan dengan kabar baik dan Jon kembali masuk ke dalam pondok. Ia kaget mendapati Rachel masih belum
bangun. Dengan Blackberry-nya, ia mencari nomor telepon kepolisian
di Fort William dan meneleponnya. Ia bertanya-tanya apakah ada yang
menerima teleponnya pagi-pagi di hari Minggu, namun ternyata ada
seorang petugas yang mengangkatnya. Jon memperkenalkan diri dan
menjelaskan bahwa ia dan Rachel adalah teman dari seorang wanita
muda yang mengalami kecelakaan fatal di dekat Ben Nevis belum
lama ini. Apa ada orang di kantor yang bisa menceritakan pada mereka
mengenai insiden tragis tersebut" Kalau ada, mereka akan pergi ke Fort
William pada hari itu juga.
Jon disambungkan dengan seorang inspektur yang memperkenalkan diri sebagai Gary Davies. Awalnya, yang didengar Jon adalah
Davis, dan ia segera merasa panas. Baginya, Davis adalah sinonim dari
kata devil"iblis. "Maaf" Saya kurang dengar," katanya setelah keheningan menegangkan selama beberapa detik.
"Inspektur Davies. Ada yang bisa saya bantu?" jawab laki-laki itu,
dan Jonathan pun tenang. Ternyata bukan Davis, dan lagi pula, suara
inspektur ini sama sekali tidak terdengar seperti polisi lain yang telah
menghancurkan reputasi Jonathan, dan sampai hari ini akan dengan
senang hati dicekiknya. 199 Jon akhirnya menyampaikan ceritanya dengan tenang dan
informatif. Pacarnya, Rachel, adalah sahabat Jenny Dougal dan ingin
mengunjungi tempat Jenny ditemukan. Apakah Davies bisa memberi
tahu mereka di mana tepatnya lokasi itu"
Sang inspektur mengingat Jenny dan mengatakan bahwa ia sedang
libur, namun akan dengan senang hati membantu mereka, maka jika
mau mereka boleh mampir nanti. Ia akan menyediakan waktu untuk
mereka. Davies kedengarannya orang baik, pikir Jon, dan bersedia bekerja
sama dengan mereka. Selanjutnya, Jon menelepon Stronmere Inn, hotel milik Ed Lyons.
Rachel hanya tahu namanya"Jenny berteman dengan Lyons setelah
Rachel pindah ke Inggris"dan Jonathan baru mendengar namanya
beberapa hari lalu. Kata seorang wanita yang mengangkat teleponnya, Ed sedang tidak
ada di tempat dan baru akan datang agak siang. Jon menjelaskan bahwa
ia adalah teman Jenny Dougal dan menanyakan apakah ia dan pacarnya
bisa bertemu dengan Ed sore itu. Menurut wanita itu tidak ada masalah.
Jon masuk ke kamar tidur. Rachel masih tertidur. Apa pun yang
telah dilaluinya, rupanya membuatnya kehabisan tenaga. Saat ia duduk
di tepi tempat tidur sambil memandanginya, Rachel terbangun, seakan
merasa ada yang mengawasinya.
"Pagi," sapa Jon.
Rachel menatap kekasihnya dengan muram. "Kenapa kau bangun
pagi-pagi sekali?" "Aku tidak bangun pagi. Kau yang kesiangan."
"Ini jam berapa?"
200 Jon melirik arlojinya. "Hampir setengah sepuluh."
"Menurutmu itu kesiangan?"
Rambut hitamnya masih kusut. Rachel duduk bersandar, membuka
kakinya. Mata Jon bergerak ke arah celana dalam putih di balik kaus
tidur Rachel. "Mau bangun tidak?" tanya Jon.
Rachel memberikan pandangan penuh arti. "Sebenarnya, rasanya
aku lebih menikmati di tempat tidur lebih lama lagi."
"Rasanya aku juga begitu."
"Kalau begitu kenapa tidak bergabung denganku saja?"
*** Malam sebelumnya Rachel telah terjaga selama berjam-jam, dirundung
rasa takut. Kemudian, di tengah malam atau dini hari, akhirnya ia
tertidur lelap. Sekarang ada hasrat menggebu untuk menyatu dengan
Jon, merasakan tangannya merengkuh tubuhnya, melindunginya, dan
menikmati bibir dan jemarinya yang serasa bagai sihir untuknya. Saat
Jon memasukinya, ia mengerang dalam kegairahan dan untuk sementara
melupakan segalanya. 201 Rachel keluar dari bilik mandi.
"Kau bicara dengan inspektur?" tanya Rachel pada Jon sambil
mengeringkan rambut. "Ya, orangnya baik sekali, harus kuakui. Dia mau berbicara dengan
kita. Dan aku menelepon hotel Ed Lyon. Kita juga bisa menemuinya,
tapi kita harus mampir dulu ke kantor polisi itu. Inspektur Davies tidak
akan lama di sana." "Ayo, kalau begitu. Perjalanan ke Fort William kira-kira tiga jam.
Dan kita bisa pulang kembali, kalau kita mau melakukannya dalam
sehari." "Kita lihat saja nanti."
Mereka berangkat sebelum pukul sebelas. Dalam perjalanan, Jon
teringat bahwa ia menyewa mobil sampai hari itu"ia mencatat di
kepalanya untuk menelepon agen mobil untuk memperpanjang sewa
mobil Rachel menahan kuap. "Masih letih?" tanya Jon tak percaya.
"Masih," akunya. "Tapi aku memang sulit tidur nyenyak."
Rachel terdiam, memikirkan betapa aneh dan rumit hidupnya
saat ini setelah mereka mendengar kabar kecelakaan Jenny. Minggu
ini, ia menghabiskan satu malam bersandar pada pohon di hutan;
memakamkan sahabatnya; dan sekarang mereka tengah memburu
jawaban-jawaban"akan apa yang terjadi pada Jenny dan padanya.
Rachel tidak bisa beristirahat karena ada sesuatu di dalam
dirinya yang meyakinkannya bahwa Jenny masih hidup dan ia harus
menemukannya. Ia juga tidak akan bisa beristirahat karena ia yakin
dirinya dibuntuti"oleh seseorang atau sesuatu.
"Apa kita akan tinggal bersama nanti?" tiba-tiba Jon bertanya.
Dan itu adalah alasan ketiga mengapa Rachel sulit tidur akhirakhir ini. Hubungannya dengan Jonathan membuatnya bingung.
Rachel mencintainya. Tidak ada keraguan soal itu. tapi yang mereka
miliki masih cinta di kejauhan. Tidak lebih, tidak kurang. Satu-satunya
orang yang dicintainya setelah ikatan kepercayaan tanpa syarat yang
dimilikinya dengan Jenny.
Rachel memandang Jon dengan raut penolakan, dan kesedihan
yang dilihat Jon pada wajah Rachel membuatnya menyesal sudah
mengungkit pertanyaan itu.
"Bagaimana kalau kau mencoba tidur saja?" saran Jon, berusaha
mengganti arah pembicaraan. "Masih ada beberapa jam lagi."
Rachel menyandarkan kepalanya dan meregangkan tangan. "Aku
selalu mengurus diriku sendiri, Jonathan," gumamnya. "Aku memang
selalu berbeda. Kadang-kadang aku merasa aku orang asing yang tak
punya rumah di mana pun. Anehnya, aku tidak keberatan."
"Dengan kata lain, kau mendayung perahumu sendiri."
"Menurutku istilah itu kurang pas, tapi kurang lebih begitu."
"Dan akan selalu begitu. Satu dari banyak hal yang kucintai darimu."
Senyum Rachel yang lemah dan kantong di sekitar matanya
membuatnya tampak seperti sosok yang merana. Rachel mengulurkan
203 tangan dan menyentuh lengan kiri Jon dengan lembut. "Apa yang kau
lihat dari diriku, Jon?" tanyanya. "Mengapa kau berusaha keras demi
aku" Apa aku memang sepadan dengan masalah yang kau tanggung"
Kau laki-laki baik. Kau layak mendapatkan lebih dari ini."
"Benarkah?" sahut Jon, sambil berpaling sesaat dari jalan untuk
memandang Rachel. "Biar aku saja yang menilainya."
Jon kembali memerhatikan jalan. Selama beberapa saat mereka
tidak saling bicara, masing-masing hanyut dalam pikiran masingmasing. Kemudian Rachel menoleh pada Jon dan bertanya, "Boleh
pinjam ponselmu sebentar?"
"Ponselku" Boleh." Sementara sebelah tangannya tetap memegang
setir, Jon mengambil BlackBerry-nya dari saku dan menyerahkannya
pada Rachel. Rachel memencet sesuatu di layar lalu menempelkan ponsel ke
telinganya. "Selamat sore. Saya perlu nomor telepon dari Cumming, di
Glasgow, Powis Terrace."
Jon memandang Rachel sambil melotot. Mau apa dia" Rachel
memejamkan mata sebentar saat operator memberikan nomor yang
diminta. Rachel menghubungi nomor itu dengan Blackberry, dan saat
ia menempelkan telepon ke telinganya, Jon bisa melihat bibir Rachel
merapat membentuk satu garis.
"Lester..." katanya kemudian. "Ini aku. Rachel Saunders."
Rachel berusaha terdengar setegas dan seyakin mungkin. Jonathan
sama sekali tidak tahu apa yang merasuki Rachel. Pandangannya
berpindah-pindah antara Rachel dan jalan.
"Ya, aku yakin ini pasti mengejutkan," kata Rachel. Jon bisa
mendengar suara yang pasti milik Lester Cumming di seberang.
204 "Tidak ada alasan apa-apa," lanjut Rachel. "Sebenarnya, ya,
memang ada alasannya. Aku menelepon karena ingin bicara soal Jenny.
Aku harus mencari cara untuk menerima apa yang terjadi padanya. Aku
berusaha mencari tahu sebanyak mungkin, makanya aku bicara dengan
semua orang..." Jon mendengar Lester mengoceh, tapi tidak tahu apa tepatnya yang
dikatakannya. "Tidak, sungguh," kata Rachel kemudian, nada suaranya meninggi.
Kemudian, sejenak kemudian: "Tidak, sungguh..."
Terdengar ocehan lagi dari BlackBerry. Unek-unek apa yang ingin
dikeluarkan Lester" Cukup banyak, menurut Jon, sampai-sampai
Rachel tak sempat bicara. Rachel mencondongkan tubuhnya ke depan
di kursi, rambutnya jatuh menutup wajahnya dan mulutnya ternganga
seakan syok. "Aku tidak pernah bilang pada Jenny..." teriaknya, sebelum Lester
kembali memotongnya. "Ya, itu dulu, dan itu kau tahu semua. Kau yang
bilang padaku secara tidak jelas sebelumnya, aku yakin kau pasti ingat.
Tapi kalau baru-baru ini tidak, aku bersumpah..."
Hanya itu yang bisa dikatakannya, karena Lester mengambil alih
pembicaraan lagi. Suaranya terdengar emosional dan keji. Jonathan
ingin sekali mengambil BlackBerry-nya dari genggaman Rachel. Tapi
ada membuatnya urung. "Apa maksudmu" Apa maksudnya itu?"
Rachel nyaris berteriak, seperti Lester. Jon memasang telinga saat
Lester mulai mengoceh lagi, tapi tetap tidak bisa mendengar katakatanya secara spesiik. Ia dibakar rasa penasaran.
"Tidak!" jerit Rachel. "Itu... aku tidak tahu apa pun tentang itu. Aku
juga tidak mengerti."
205 Selama beberapa detik, ocehan berisik itu mereda. Rachel masih
mendengarkan, sepertinya Lester sedang berbicara dengan suara yang
jauh lebih pelan. Rachel terdiam cukup lama, bahkan setelah Lester menutup telepon.
Setidaknya begitu menurut perkiraan Jonathan. Kemudian ia berkata,
"Aku... nanti saja kita bicarakan." Setelah kembali diam beberapa lama,
"Baiklah, akan kulakukan. Tentu. Aku hanya perlu... Aku hanya perlu
waktu. Nanti kukabari. Ya, aku... oke... dah."
Rachel menurunkan telepon dan meletakkannya di kompartemen
tempat penyimpanan CD di dasbor.
Jon mengangkat alisnya. "Soal apa itu tadi?"
"Aku juga tidak tahu," kata Rachel. "Dia sangat..." Rachel mencaricari kata yang tepat. "Bukan agresif, sebenarnya. Menurutku, tegang
atau gugup. Dia menyalahkan aku atas putusnya hubungannya dengan
Jenny dan hal itu masih mengganggunya. Sangat, katanya. Dia terusmenerus bilang aku harusnya tahu apa yang dia bicarakan. Dan akhirnya
dia mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut."
"Yaitu...?" Rachel menatapnya. "Bahwa Jenny tidak membiarkannya tenang.
Bahkan sekarang. Dia masih menyiksanya."
Jon baru saja melintasi Ballater dan mengambil jalur A939, lurus ke
Pegunungan Cairngorm. "Apa lagi yang dia katakan?"
"Dia ingin bertemu denganku. Ada yang ingin dia bicarakan
langsung." "Lalu kaubilang apa?"
"Aku bilang aku perlu waktu untuk memutuskan."
206 Jonathan membuat kesimpulan. "Apa menurutmu kau bicara
dengannya saat pemakaman?"
"Aku juga berpikir begitu. Itu sebabnya aku meneleponnya. Tapi
masih belum jelas." Rachel mengerang pelan. "Dia mungkin tidak akan
pernah berhenti menyalahkan aku atas apa yang terjadi. Sejujurnya,
dia mungkin benar. Jenny selalu menurut padaku, dan aku mungkin
memang pernah mengatakan sesuatu padanya."
"Dengan kata lain, kau mengungkapkan perasaanmu yang
sesungguhnya kepadanya."
"Semacam itu. Dia selalu berusaha menambal sulam hubungan
mereka. Dia bilang menyesali perbuatannya pada Jenny dan meminta
maaf. Sekarang sudah terlambat untuk meminta maaf dan ternyata itu
salahku." "Itu konyol," komentar Jon kesal. "Menurutmu apa yang ingin dia
bicarakan denganmu?"
Rachel mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Tapi itu tidak penting.
Meneleponnya adalah ide buruk. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan
tadi." Setelah berkata begitu, Rachel seakan kembali menutup diri.
Namun Jon mengajukan satu pertanyaan lagi. "Rachel, aku sudah
pernah menanyakan ini. Apa yang terjadi antara kau dan Lester setelah
kau membujuk Jenny untuk memutuskannya?"
Rachel memandang keluar jendela seolah tidak mendengar. Jonathan
memutuskan untuk tidak mendesak.
Ketika mereka sampai di pegunungan, jalan berkelok melintasi
lembah di antara perbukitan curam yang berdiri bagai ombak beku di
lautan hijau. Ini adalah negara scotch whiskey, daerah penghasil whis207 key terbaik di seluruh dunia menurut ayah Rachel, penggemar setia
Usque Ba", begitu ia menyebutnya. Tapi mereka lebih memilih tenggelam dalam pikiran mereka sendiri untuk menikmati pemandangan indah dan suasana menuju Pegunungan Grampian.
Rachel memikirkan sesuatu yang menakutkan. Ia menelepon Lester


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

spontan saja, tapi apa pun yang mendorongnya, sekarang terasa lebih
masuk akal baginya jika Lester-lah yang mengejar-ngejarnya malam itu
di hutan"seperti yang diperkirakan Jon, pagi setelah mimpi buruknya
yang pertama di Pondok Ardrough. Tuhan juga tahu betapa marahnya
Lester padanya sehingga tega menyakitinya, sama seperti yang sudah
sering dilakukannya pada Jenny. Sebuah skenario yang mulai terkuak
di dalam benaknya di mana Lester mewakili bagian menakutkan dari
teka-teki yang menggambarkan hidup Rachel akhir-akhir ini.
Dia hadir saat pemakaman, dan ya, mungkin kami sempat mengobrol. Dia bisa saja tahu di mana aku menginap. Mungkin menungguku
di The Old Wheel pada Selasa pagi, dan...
Yang berikutnya diperkirakannya hanya sekadar teori. Tapi separuh
lainnya benar-benar terjadi. Atau, setidaknya begitulah yang dia yakini,
selama mungkin. Dia membawaku ke tempat gelap. Dia mengikatku, seperti yang
dilakukannya terhadap Jenny. Dia memukulku, menyakitiku. Karena
dia membenciku. Aku menjauhkan Jenny darinya. Tapi aku berhasil
membebaskan diri dan kabur. Kemudian terjadi sesuatu, lalu itu terjadi,
ingatanku hilang. Ada banyak lubang besar dari runutan cerita yang diperkirakannya,
mungkin hanya fantasi. Pertama-tama, apa hubungan Lester dengan
monster bersayap dan berkepala serigala yang muncul dalam mimpimimpi buruk Rachel" Ia tidak tahu. Dan bahkan jika Lester benar
melakukan semua itu padanya, Lester tidak akan mengatakan semua
208 yang dikatakannya di telepon tadi. Lester tidak mungkin tahu bahwa
dirinya kehilangan ingatan jangka pendeknya, bukan"
Jika dia menyakitiku tapi aku lolos darinya, semestinya dia
sekarang bersembunyi dari polisi, karena dia pasti menyangka aku
akan melaporkannya. Dari sudut pandang ini, Lester Cumming tidak mungkin terlibat
dalam hari-hari yang terlupakan olehnya. Tapi tentu saja, tidak ada
yang pasti. Ia ada atau tidak dalam bagian teka-teki itu"
Dan bagaimana penampakan teka-teki itu jika sudah tersusun" Ia
juga tidak tahu, meski begitu ia berpegangan pada pemikiran bahwa
Lester Cumming benar-benar tahu.
Rumah-rumah putih di Aviemore menghilang di kejauhan.
Rachel mencoba menggali lebih dalam bagian ingatannya yang
kosong. Semua orang secara alami berasumsi Jenny sudah meninggal.
Hanya ia yang meragukannya. Mungkin Grace Dougal juga.
Dan Lester. Apakah karena itu dia ingin menemuiku"
Jika itu sebabnya, berarti benar Lester memainkan peran besar
dalam misteri ini. Tapi Lester, seperti yang diketahui Rachel dari pengalaman sebelumnya, adalah laki-laki yang berbahaya.
Jadi, di satu sisi, ada kemungkinan Lester juga percaya bahwa Jenny
masih ada, entah di mana. Di sisi lain, Lester pernah mengancam akan
membunuhnya. Itu jadi sesuatu yang terpatri dalam jiwanya, meskipun
dia tidak ingin memikirkannya lagi"itu sebabnya dia masih tidak
tega menceritakannya pada Jon. Yang Jon tahu Lester hanya sebatas
209 mengatakan kata-kata kasar padanya setelah Jen putus dengannya,
tidak lebih dari itu. Tapi kenyataannya lebih dari itu.
Pilihan apa lagi yang dimilikinya" Apa pilihan itu benar ada" Jika ia
ingin mencapai kemajuan, sepertinya mau tidak mau ia harus bertemu
dengan Lester, sesuai permintaannya. Demi menemukan Jenny, ia sama
saja harus menelan harga dirinya dan akal sehatnya dan menghadapi
Lester Cumming. Sejam kemudian mereka tiba di kepolisian Fort William.
"Ya, aku ingat kau meneleponku tadi pagi," Gary Davies menyambut
mereka setelah mereka masuk dan Jon memperkenalkan diri.
Mereka berjabat tangan. Davies memiliki tahi lalat besar di lehernya
dan dagu berlipat. Ia menata rambutnya sedemikian rupa untuk
menutupi kebotakannya, tapi tidak berhasil. Tapi inspektur itu memberi
mereka senyuman hangat dan serta kesan yang menunjukkan bahwa ia
senang dengan bidang pekerjaannya.
Davies mengajak masuk ke kantornya yang sederhana kemudian
menyimak cerita mereka. Di akhir penuturan mereka, Rachel
mengungkapkan bahwa mereka ingin tahu bagaimana Jenny terjatuh.
Davies mengangkat bahu sebelum menjawab. "Sayangnya, di daerah
pegunungan ini kecelakaan semacam itu bukannya jarang terjadi. Dalam
satu tahun kami mencatat tiga sampai empat kejadian. Kebanyakan
terjadi saat musim dingin, tapi dalam cuaca yang lebih hangat pun
pendaki yang tidak berpengalaman bisa saja terjatuh."
"Tapi Jenny berpengalaman," tutur Rachel.
Davies bersandar di kursinya, membuat kursinya berderit tanda
protes, "Madam, aku tahu ini mungkin kedengarannya dangkal dan
bukan yang ingin Anda dengar, tapi kecelakaan itu bisa dan biasa
terjadi." 210 Jon melihat Rachel menahan emosi.
Dia tidak bisa menerimanya. Apa aku salah sudah mengajaknya ke
sini" Rachel mati-matian mencari penjalasan yang bisa diterimanya. Apa
pun lebih baik selain kesimpulan singkat dan sederhana bahwa Jenny
bernasib malang lantaran pada satu momen sesaat yang tak disengaja,
ia terpeleset. Jon kasihan pada Rachel. Kemudian diingatnya katakatanya.
Kau layak mendapatkan lebih.
Mengingat kata-kata itu menjadi penghalang bagi Jon untuk
memeluk Rachel, menenangkannya. Tidak sekarang. Tapi ia menepis
rasa frustrasinya. Kenapa harus memedulikan apa yang dikatakannya"
Dia membutuhkan kau sekarang. Yang terjadi, terjadilah.
Jon meremas bahu Rachel. "Jenny Dougal ditemukan oleh seorang pendaki, bukan?" tanya Jon
pada si petugas kepolisian.
"Ya," kata Davies. "Tapi sayangnya waktu itu sudah terlambat."
Matanya kelihatan berkaca-kaca saat ia menambahkan, "Leher Nona
Dougal sudah patah."
"Tapi Anda benar, kan, menyelidiki tempat kejadiannya?" Rachel
menyela. "Bukankah begitu?"
Davies menatapnya tak mengerti.
"Aku kira..." Rachel bergumam, suaranya putus asa. "Aku kira pasti
ada penjelasan lain daripada sekadar kecelakaan. Itu tidak mungkin
terjadi. Tidak seperti ini. Tidak pada Jenny. Ini semua salah."
Jon berkata, untuk menjelaskan, "Kami masih dalam keadaan
berduka dan sulit bagi kami untuk menerimanya."
211 "Saya hargai itu," kata Davies. Ia mengecek arlojinya. "Tadi Anda
bilang ingin melihat tempat kejadian. Waktu jagaku hampir selesai, tapi
aku bisa mengirim petugas untuk mengantar."
"Terima kasih," kata Jon.
Davies meninggalkan Jon dan Rachel di kantornya dan tidak lama
kemudian kembali bersama seorang pemuda tanpa seragam yang berdiri
di ambang pintu dengan sedikit malu-malu. Davies memperkenalkanya,
namanya Peter Rutherford dan berkata ia akan menunjukkan jalan ke
lokasi kejadian. "Jika kalian yakin mau ke sana," tambahnya. "Tidak banyak yang
bisa dilihat." "Ya, aku yakin," kata Rachel. "Aku sungguh ingin pergi."
Rachel dan Jon berterima kasih pada inspektur itu dan mengikuti
Rutherford keluar. Jon tidak mengatakan apa-apa, tapi ia yakin Davies memang benar
dan perjalanan kecil yang mereka ambil ini tidak akan memberikan
petunjuk apa pun. Malahan, seharian penuh ini tidak akan memberi petunjuk baru.
Dan ternyata, ia belum pernah salah.
212 Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di kaki gunung Ben Nevis,
di ketinggian 4.400 kaki, pegunungan tertinggi di Kepulauan Britania.
Mengarungi tantangan sebesar itu bagi Jenny hal biasa. Tantangan kecil
tidak pernah membuat Jenny tertarik.
Peter Rutherford ikut di dalam mobil yang disewa Jon dan
menunjukkan arah ke tempat jatuhnya Jenny hingga tewas. Tanpa
petunjuk darinya mereka tidak akan pernah menemukannya. Mobil
Passat meluncur di sepanjang jalan tanah yang berlubang lebih dalam
dibandingkan jalan di hutan, semakin mendekati Ben Nevis, semakin
banyak batu raksasa. Mereka harus berjalan di beberapa ratus meter
terakhir. Di dalam benaknya, Jon membayangkan Jenny terjatuh dari tempat
yang sangat tinggi dan mendarat di padang rumput hijau. Kenyataannya berbeda. Semak belukar di bawah gunung nyaris tak bisa dilewati.
Patahan batu-batu raksasa tersebar di antara rerumputan tinggi. Semak,
pakis, dan pohon-pohon tumbang menghalangi jalan mereka. Di balik
semak mawar yang curam, batu-batu menggunung.
"Ini dia tempatnya, menurut inspektur," cetus Rutherford.
Rachel melangkah di sekitar situ dengan gugup. "Dan di mana
mobilnya" Apa kalian juga menemukannya?"
"Ya, diparkir di salah satu lahan parkir," jawab Rutherford. "Partnerku dan aku yang mengambilnya."
Jon memandang Rachel yang tengah memeriksa tempat itu.
"Jadi?" tanyanya sesaat kemudian. "Bagaimana menurutmu?"
tanyanya lebih spesiik setelah Rachel tidak menjawabnya.
"Tidak ada yang penting, menurutku."
Rachel terus melangkah, menghilang di balik semak-semak tinggi
dan muncul kembali; mencari petunjuk. Tapi ia tidak menemukan apa
pun. Jon merasakan ketidaksabaran Rutherford dan mengajak Rachel
pergi dari sana. Dengan enggan, Rachel menurutinya.
Di luar kantor polisi, mereka berterima kasih pada Rutherford,
dan Jon memintanya untuk menyampaikan terima kasih mereka pada
Inspektur Davies. Rutherford berjanji akan menyampaikannya dan
mengucapkan salam perpisahan.
Dari kantor polisi mereka menuju Stronmere Inn. Di bar mereka
bertemu dengan pemiliknya yang periang, Ed Lyons. Ia kurus dan
berotot, lebih muda dari Davies namun lebih botak, dan ia memakai
kacamata. Ed langsung menawari mereka untuk makan di barnya."
"Boleh juga," kata Jon, "tapi aku mau bayar."
Ed mengibaskan tangan dan meminta menu. Tidak lama kemudian
mereka menikmati hamburger dan kentang.
"Apa yang membawa kalian kemari?" tanya Lyons, setelah mereka
berbasa-basi. "Kami ingin melihat sendiri lokasi Jenny terjatuh," jawab Rachel.
"Apa" Lagi?" ujar Ed sambil mengerutkan kening.
Jon meletakkan garpu dan pisaunya. Tatapan yang dilemparkannya
pada Lyons jelas mengejutkannya.
214 "Aku kira awal minggu ini kau sudah ke sana," kata Ed.
Jon dan Rachel bertukar pandangan.
"Awal minggu ini" Kapan?" tanya Jon.
"Selasa atau Rabu. Pada salah satu hari sewaktu kau ke sini."
"Sewaktu aku ke sini?" seru Rachel.
"Sehari setelah pemakaman," jawab Lyons. "Rachel... apa..."
Wajahnya mengamati dengan bingung sekali.
Jon dan Rachel segera bertatapan.
"Ada yang harus kami ceritakan, Ed," kata Jon, dan kemudian ia
mengungkapkan seluruh cerita, termasuk mengenai amnesia yang
dialami Rachel. "Kami menceritakan ini semua padamu karena kami
sangat ingin mendapatkan jawaban, dan kami berharap kau bisa membantu kami," Jon menyimpulkan.
Ed Lyons mendengarkan dengan ekspresi takjub bercampur tak
percaya. "Jadi kau tidak tahu apa yang terjadi antara hari Selasa pagi
sampai Kamis pagi, dan kau sangat meragukan kematian Jenny" Begitu
maksudmu?" "Aku masih bisa menemukannya. Aku harus menemukannya,"
desak Rachel. "Silakan bilang aku gila, atau apa pun yang kau mau"
kujamin kau bukan yang pertama."
Ed hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Jon mencoba cara lain. "Yang menarik perhatianku," katanya,
"bahwa ternyata Rachel kemari untuk menemuimu di hari Selasa. Jadi
dia pasti menyetir dari Aberdeen ke Fort William. Bagi kami penting
untuk mengetahui apa yang dikatakan dan dilakukannya saat dia di
sini." "Ya ampun," Lyons setengah berbisik. "Cerita yang luar biasa!"
215 "Memang," Jon setuju. "Kau bisa membantu kami?"
Ed melihat Rachel dengan pandangan simpati. "Kau bersikap agak
aneh, kalau boleh jujur. Kau datang sore hari, sekitar pukul empat. Aku
segera menyadari kau sedang tidak mau mengobrol. Kau memaksa
membayar kamar..." "Dia juga menginap di sini?" Jon menyela.
Ed mengangguk. "Oke, teruskan," desak Jon.
"Setelah check in, kau duduk di sudut, di sana..." Ed menunjuk meja
paling kecil di samping perapian. "Dan kau makan sesuatu, aku tidak
ingat apa. Aku bermaksud duduk bersamamu, menemanimu, tapi kau
berkata ingin sendiri saja."
"Aku kelihatan bagaimana?" tanya Rachel. "Bagaimana... Yah,
bagaimana tingkahku" Apa aku kelihatan sudah amnesia saat itu" Kau
menangkap ada yang aneh dariku?"
Ed memberi isyarat pada bartendernya. "Biasanya aku tidak minum
sepagi ini, tapi rasanya aku perlu minum bir sekarang. Kalian mau
minum?" Jon menggeleng, begitu juga Rachel. Ed memesan segelas Guiness.
"Waktu itu aku kasihan padamu," lanjutnya. "Tentu saja aku menanyakan keadaanmu dan apakah ada yang bisa kulakukan untukmu.
Aku berusaha menghiburmu, tapi kau tidak mau. Kau mengatakan
satu hal padaku selain minta ditinggal sendirian. Dan itu lumayan
membuatku terkejut."
"Dia bilang apa?" tanya Jon.
Guinness disajikan di meja untuk Ed. Ia menyesapnya dan kemudian
menarik napas dalam-dalam. "Kau bilang kau..." Ia terbata.
216 "Ed, katakan," paksa Rachel.
Ia mengangguk. "Kau bicara soal iblis."
Mulut Jon ternganga. Bahkan Rachel sendiri terlihat kaget.
"Kau mengoceh tentang itu saat aku bertanya apa yang mengganggumu. Kau cuma duduk di situ, merenung. Itu jawaban yang
kau berikan: kau bilang kau sedang mencari iblis. Tapi kau tidak mau
memberi penjelasan. Bisa dibilang sangat aneh."
Rachel mencondongkan tubuhnya ke arah Lyons, seakan berbicara
secara rahasia. "Aku benar-benar berkata begitu?"
"Sama pastinya dengan hitamnya Guiness," tegas Ed.
"Tapi kau pasti berusaha meminta penjelasan darinya," tebak Jon.
"Tentu saja, tapi Rachel tidak mau menjelaskan apa maksudnya,"
kata Ed dengan tegas. "Dia bilang dia ingin sendirian, jadi aku biarkan
dia sendirian. Ketika aku menengok ke arahnya sejenak kemudian, dia
sudah tidak ada. Keesokan paginya dia pergi sebelum aku tiba di hotel."
Setelah Ed selesai bicara, Rachel mengambil brosur yang diambilnya dari The Old Wheel. Ia menaruhnya di atas meja dan menggesernya
supaya Lyons bisa melihatnya dengan jelas, dan kemudian ia menunjuk
gambar yang dibuatnya. "Apa ini?" tanya Ed penasaran.
"Kurasa itu iblisnya," jawab Rachel, suaranya bergetar. "Kami
tidak sengaja menemukannya, di penginapan tempatku menginap di
Aberdeen sampai Selasa. Aku menggambarnya, tidak diragukan lagi,
tapi aku tidak yakin itu apa. Rupanya aku sudah tahu itu ketika aku
kemari."

Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rachel memandang kedua laki-laki itu dengan tatapan bingung.
217 Jon-lah yang angkat bicara. "Jadi ini yang kita tahu. Kau meninggalkan Aberdeen hari Selasa untuk pergi kemari, dan kau pergi dari
sini hari Rabu untuk pergi ke... mana" Selanjutnya yang kita tahu
kau terbangun di hutan sekitar Whitemont di Kamis pagi. Kalau kita
bisa cari tahu apa yang terjadi antara di sini dan di sana, kita akan
memecahkannya." "Bagaimana kau akan melakukannya?" Ed ingin tahu.
Jon menatap Rachel. "Kita pikirkan bersama-sama, Ed. Ada satu hal lagi yang ingin
kutanyakan padamu. Pada dasarnya memang ini tujuan kami kemari.
Kau orang terakhir yang bertemu Jenny sebelum dia naik gunung. Apa
yang kalian bicarakan waktu itu?"
Ed mengangkat tangan. "Aku sudah menceritakannya pada Rachel
hari Senin, di Aberdeen, setelah pemakaman. Macam-macam yang
kami bicarakan, tapi tidak ada yang aneh. Jen tiba di sini Jumat tengah
malam. Dia pergi ke gunung hari Sabtu, kemudian pergi lagi hari
Minggu. Dan sekali lagi di hari Senin..."
"Tanggal 14 Juni," tambah Jon.
"Ya. Dia ingin melakukan pendakian terakhir sebelum pulang. Dia
senang sekali di sana. Tapi dia tidak pernah kembali." Ed merendahkan
suaranya. "Aku tidak menangkap ada yang aneh darinya. Kecuali
dia lelah di malam hari dan tidur lebih awal. Mungkin untuk Jen itu
aneh, tapi dari pembicaraan kami tidak ada yang aneh. Dia memang
menyinggung-nyinggung si Lester, yang di Glasgow itu. Seingatku kau
tidak terlalu suka padanya."
"Aku sangat tidak suka padanya sama sekali," Rachel mendengus.
"Apa dia sempat menyinggung tentang seorang gadis bernama
Paula Deckers?" tanya Jon.
218 "Siapa itu?" Ed balas bertanya.
"Seorang gadis yang menghilang tanpa jejak sekitar tujuh belas
tahun lalu." "Tidak, aku tidak pernah dengar namanya," kata Ed.
"Kau yakin?" "Aku yakin," katanya.
"Apa dia mengatakan sesuatu tentangku?" tanya Rachel.
Ed menggeleng. "Tidak."
Kekecewaan pasti terlihat jelas di wajah Rachel, karena kemudian
Ed berkata, "Maaf," seolah entah bagaimana itu kesalahannya. "Andai
aku bisa membantu lebih banyak."
"Kau sudah membantu, Ed, terima kasih," kata Jon, lalu mereka
berpisah. Selama perjalanan kembali ke Ardrough House, Jon merenungkan
situasi mereka. Mereka sudah datang ke makam Jenny dan ke tempat
terjadinya kecelakaan maut itu. Rachel masih belum bisa menerima
kematian Jenny, tapi fakta adalah fakta. Tapi apa dan di mana
hubungan antara kematian Jenny dengan apa yang terjadi pada Rachel
di hutan Whitemont" Dan bagaimana dengan gambar monster itu"
Apa kaitannya" John menyadari bahwa Rachel pasti tahu jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan itu. Lebih tepatnya, tadinya dia tahu.
"Aku seperti bisa mendengarnya, Jon," tiba-tiba Rachel berkata
dengan suara samar. "Dia di tempat berbahaya! Kita tidak punya
banyak waktu." "Itu hanya pikiranmu saja, Rachel."
219 "Tidak," katanya. "Aku tahu pasti. Jen dan aku lebih dari sekadar
sahabat. Kami punya irasat akan satu sama lain, bahkan saat kami
berjauhan. Kau tidak akan mengerti."
Kata-kata itu menggantung berat di antara mereka.
*** Kenangan-kenangan lama datang mengusik Rachel. Pada hari itu
bertahun-tahun lalu, saat pertama kali mereka menjadi lebih dari sekadar
teman. Saat itu mereka berada di Bar Prince of Wales di Aberdeen.
Mereka mengonsumsi banyak alkohol dan mereka jadi sangat pusing
dan banyak berpelukan. Saat mereka tiba di apartemen tempat tinggal
mereka, mereka jatuh berpelukan di tempat tidur Rachel. Bibir Jenny
menyentuh bibirnya dan kemudian lidahnya merasakan bibir Rachel.
Sudah lama aku ingin melakukan ini, bisik Jenny saat itu.
Dan Rachel" Ia terkejut. Lebih dari itu. Sambil terpaku, ia hanya
terbaring di sana, di atas tempat tidur, sementara Jenny menciumi
seluruh tubuhnya; dadanya, perutnya, hingga ke bawah. Ia tidak
menolak, hanya membiarkan Jenny memegang kendali.
Karena aku juga menginginkannya.
Itulah pertama kalinya mereka melakukannya. Keesokan paginya,
saat mereka sudah sadar, mereka tidak membicarakannya, dengan
malu-malu saling menghindari bertatapan. Rachel ingat mereka mengobrol tentang banyak hal, tapi tidak tentang apa yang terjadi malam itu.
Sampai akhirnya Jenny"tentu saja Jenny yang mengambil inisiatif"
memeluk Rachel. "Aku tidak tahu kau bagaimana, tapi aku tidak
menyesal sudah melakukannya."
220 Jenny mengenalnya dalam cara yang paling intim, keingintahuannya terpuaskan, dan itulah akhirnya. Rachel mengkhawatirkan soal
itu agak lama setelahnya, tapi pada akhirnya ia pun menepis kejadian
malam itu. Kami berbagi segalanya. Bahkan ini. Dan aku tahu persis apa itu.
Hanya tertepis dari ingatanku. Kalau saja aku bisa mengingatnya"
Tapi itulah masalahnya. Ia tidak bisa mengingatnya.
Lintasan sulit yang dilaluinya di hutan dekat Whitemont muncul
kembali dalam ingatannya. Ia kedinginan, di tengah malam. Sendirian,
tapi pada saat yang sama ia juga tidak sendirian.
Ingatan itu disusul mimpi buruk yang dialaminya untuk pertama
kali di Ardrough House. Kemudian, entah bagaimana, seakan ada tangan tak terlihat yang
merenggutnya dan mendorongnya ke depan cermin. Di cermin itu dia
melihat siapa dirinya sesungguhnya"seorang wanita yang ketakutan
akan mautnya. Seseorang yang lari dari sesuatu, dan sudah lama
sebelum ini. Bukan dari iblis mana pun, akan tetapi dari dirinya sendiri.
Lalu dia melihat Jenny dan dirinya di rumah orangtua Jenny. Malam
itu Grace sedang keluar bersama Bill"saat itu masih hidup"dan Jenny
membuat pancake. Wajah dan pakaiannya penuh putih tepung, seluruh
dapur bertaburan bubuk putih. Jenny tertawa terbahak-bahak. Itu salah
satu kenangan terbaik Rachel: terlukis indah di dalam benaknya.
Namun lukisan itu dirusak. Cakar-cakar setajam silet mengoyak
kanvasnya, merobek lukisan itu dari tengah hingga ke tepi, dan
kemudian kepala serigala bersayap hitam muncul dari lubang itu.
Seketika Rachel tersadar dari lamunan.
221 Ia memandang ke depan dan menyeka butiran-butiran keringat di
alisnya. Akhirnya teringat olehnya Lester Cumming. Mereka harus menemuinya; tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Hari ini" Apakah sebaiknya
Jon memutar balik mobilnya dan pergi ke Glasgow alih-alih Ardrough
House" Mungkin itu ide bagus, tapi dia lelah sekali. Mengunjungi mantan
kekasih Jenny harus ditunda sampai lain waktu. Besok, pikirnya.
Hasilnya pasti akan berbeda.
*** Jonathan terus fokus ke jalan. Hampir tiga jam perjalanan kembali
ke Ardrough House. Ia berhenti di pom bensin untuk mengisi bensin.
Setelah ia membayar dan kembali duduk di kursi kemudi, dilihatnya
Rachel tertidur. Bukannya melanjutkan perjalanan, ia menghentikan
mobil di sebuah parkiran kecil di sebelah pom bensin.
Ia menemukan bolpen di saku jaketnya. Bukan pulpen Parker-nya,
tapi bolpen plastik biasa yang selalu dibawanya sebagai cadangan.
Dirapikannya nota pembelian bensin di atas pahanya, lalu ditulisnya:
Sebelum 6/11: Jenny menyelidiki kasus lama Paula.
6/11 " Jumat: J mengirim email jam 2.30 pagi. Mengunjungi Ed.
Pergi ke gunung hari Sabtu, Minggu dan Senin.
6/14 "Senin: J tewas.
222 6/15 "Selasa: Rachel mendengar kabarnya dari Charlie.
Hingga 6/19: Rachel tidak bilang apa-apa
6/19 "Sabtu: Rachel pergi ke Skotlandia, "Banyak urusan."
6/21 "Senin: Pemakaman J. Terakhir kami bicara. Tidak ada yang
khusus darinya. Kapan R menggambar demon itu" Mengapa"
Dia kehabisan tempat menulis. Jon melempar pandangan ke
sekeliling, mencari-cari kertas lagi. Teringat olehnya lembar perjanjian
sewa mobil dan ia menemukannya di kompartemen sarung tangan.
Dilipatnya kontrak itu menjadi dua dan mulai menulis di halaman
kosongnya. 6/22"Selasa: R meninggalkan Old Wheel. Mengapa" Tiba di Ed"s
jam 4 sore. Bicara soal iblis.
2/23"Rabu: R pergi dari Ed pagi-pagi sekali, sekitar jam 8-9.
Tujuan" Misi" Ada hubungannya dengan iblis" Pasti.
6/24"Kamis: R masuk ke hutan Whitemonet, mungkin antara jam
2-4 pagi. Amnesia ringan sementara. Dirawat Stephen dan Ellen. R
bilang J tidak mati. Harus menemukannya.
6/25"Jumat: R tidak tidur. Ingatan kabur tentang sesuatu dalam
gelap. Kembali ke Stephen dan Ellen. Ke Bibi. Ke Old Wheel. Gambar
iblis. Iblis pasti bersama R dalam gelap.
6/26"Sabtu: Mengunjungi ibu J. Menurut ibunya, R tahu apa yang
dilakukan J. Paula" Semakin meragukan kematian J. Mengunjungi
Charlie. Diketahui kasus Paula D. Mengunjungi Roy dan Frances D
dan Collins. "Di sana ada sesuatu, bukan manusia." Iblis itu lagi"
223 6/27"Minggu (hari ini): ke Fort William. R ada di sana tanggal
22 dan 23 Juni. R mengaku bisa mendengar dan merasakan J. Tidak
banyak waktu. Halaman belakang perjanjian sewa mobil itu sudah penuh sekarang.
Dipandanginya nota bensin tadi di pangkuannya. Apa yang bisa
disimpulkannya dari catatan-catatan itu"
"Email tanggal 11 Juni itu bicara tentang Paula," ia berbicara pada
dirinya sendiri. "Coba asumsikan begitu dulu. Tapi Jenny tidak sempat
menyelesaikannya. Jadi Rachel mengambil alih, itu sebabnya banyak
urusan yang harus dikerjakannya. Apa hubungannya iblis itu dengan
semua ini...?" Jonathan berhenti. Ia memikirkan sesuatu.
"Apa Rachel menemukan iblis itu hari Rabu?" ia mengucapkannya
lebih keras dari yang diniatkannya. Ia menoleh, namun Rachel tidak
terbangun. Pikiran selanjutnya terlintas. Apakah iblis itu, apa pun itu, juga
menculik Jenny, dan masih menahannya"
Jon melemparkan pandangannya ke pom bensin dan jalan, pada
bukit hijau dan perairan biru tua di danau terdekat.
Tidak, putusnya, itu tidak mungkin. Jenny tewas di Fort William,
dan Rachel di Whitemont, seratus lima puluh mil jauhnya. Ia tidak
habis pikir bagaimana dua kejadian itu bisa berkaitan. Apa yang
dilewatkannya" Sial, ini sungguh memusingkan!
Jon menyalakan mesin mobil, kembali ke jalan, dan melaju ke arah
timur. 224 *** Pepohonan, rumah-rumah, lampu-lampu jalan, semua berlalu cepat.
Sudah pukul tujuh lebih. Tubuh Rachel masih terasa kaku saat ia
terbangun dari tidur singkatnya. Perasaan yang kadang muncul saat
sedang cuti. Ketika sulit sekali untuk percaya diri. Saat tidak ada yang
berhasil, ketika tidak akan ada yang berhasil, dan semua hal yang
kaulakukan disalahartikan. Rachel merasa tidak aman. Ada yang akan
datang. Sesuatu yang tidak menyenangkan.
Ramalannya menjadi nyata sekitar setengah jam sebelum mereka
kembali di Ardrough House. Jon menerima telepon di BlackBerry-nya.
Tanpa berpikir, diambilnya telepon genggam itu dari kompartemen CD
di bawah radio mobil dan ditempelkannya ke telinga.
"Halo?" Ia mendengarkan sejenak, tanpa ekspresi, kemudian alisnya
terangkat. "Ya Tuhan," ucapnya tergagap. "Oh, Tuhan!"
225 BlackBerry itu terjatuh dari tangannya dan mendarat di pangkuannya.
Rachel tak bisa menahan untuk bertanya ada apa, namun ia takut.
Belum pernah dilihatnya Jon kelihatan begitu nelangsa, begitu pucat.
"Jon?" ucapnya hati-hati.
Saat Jon tetap diam, Rachel berkata lebih keras. "Jon!"
Jon menelan ludah tanpa suara. Air mata merebak di matanya.
"Tolonglah bicara padaku!" pinta Rachel.
Sambil memegangi setir dengan satu tangan, sebelah tangannya
memegang lutut Rachel. "Itu tadi Grace," katanya dengan suara serak.
"Grace Dougal. Sebenarnya dia mau bicara denganmu."
Rachel mengerutkan kening. "Grace menelepon" Kenapa?"
Dia tidak bisa membayangkan mengapa ibu Jenny menelepon"
berita buruk apa yang mungkin disampaikannya. Wanita itu sudah
kehilangan segalanya. "Apa?" desak Rachel.
Jon memukul setir dengan telapak tangannya. "Aku tidak tahu
bagaimana cara memberitahumu soal ini... Ini soal bibimu, Elizabeth."
"Bibiku" Kenapa dia?"
"Dia... sepertinya dia..."
Mereka berada di jalan A939 dan melintasi Pegunungan Caingorm
yang tandus. Jon menginjak pedal rem, menepikan mobil di jalur satu
mobil, lalu mematikan mesin mobil. Ia menekan tombol pembuka
jendela. Rachel menghirup udara sejuk yang lembut. Jon menggigit
jarinya sambil menatap bukit violet yang luas.
"Buruk sekali, ya?" tanya Rachel.
Jon mengangguk. "Kita harus ke sana, sekarang."
"Ada apa" Kecelakaan" Apa dia juga mengalami kecelakaan" Dia
jatuh" Ada apa, Jon?"
Segera setelah ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, Rachel
menyadari bahwa beritanya lebih buruk dari itu. Jonathan tidak akan
gemetar seperti itu kalau Elizabeth hanya terjatuh. Ia mulai memahami
apa yang terjadi. "Masih agak kurang jelas. Grace sendiri baru mendengar kabarnya.
Dan dia belum ke rumah bibimu. Dia menelepon dari rumahnya
sendiri." "Itu tidak banyak membantu," kata Rachel. "Ayolah, Jon, katakan
saja," ia memohon lagi, dan ia pun terkejut sendiri saat mendengar nada
pasrah pada suaranya. Jon menelengkan kepala dan menyeka air matanya. "Mereka bilang
bibimu tewas. Dan menurut Grace, dia dibunuh."
Meskipun Rachel sudah sedikit mengira-ngira berita buruk tentang
bibinya, ia tidak siap mendengar adanya pembunuhan. Saat itu ia
merasa seolah rusuknya dipukul keras-keras. Tidak, rasanya seperti
dihajar dengan pentungan. Ia merasa sangat sakit dan mual. Keringat
dingin bercucuran di keningnya.
"Tidak," bisiknya. "Tidak, kau bohong. Itu tidak mungkin. Tidak
mungkin." 227 Jon memeluknya, dan tangis Rachel pun pecah.
*** Tiga mobil pasukan polisi terparkir di depan rumah bibi Rachel. Garis
kuning polisi sudah dipasang mengelilingi lahan rumahnya. Orangorang yang datang melihat, kebanyakan tinggal di jalan yang sama,
melongok-longok di belakang garis polisi. Yang lainnya mengintip dari


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jendela rumah mereka di seberang jalan.
"Kau tunggu di sini saja," kata Jon saat mematikan mobil tiga puluh
yard dari rumah Elizabeth. "Biar aku cari informasi dulu."
Tapi Rachel sudah telanjur keluar dari mobil dan segera berlari ke
arah rumah bibinya. Ia dihadang masuk oleh seorang petugas yang
tampaknya bertugas mengamankan.
"Aku keponakan Elizabeth Craig. Apa yang terjadi?"
Si petugas, berusia tiga puluhan serta berambut pendek pirang dan
berperut gembul, menggumamkan sesuatu yang membingungkan. Ia
menoleh ke belakang dan memanggil salah satu rekannya. Seorang
laki-laki yang mengenakan setelan cokelat cepat-cepat menghampiri
mereka ke pintu depan. "Katanya dia keluarganya," kata si petugas padanya.
Laki-laki itu mengamati Rachel dengan teliti. Di belakangnya, Herb
muncul di belakang pintu. Ia gemuk dan botak, tapi rambut yang tersisa
belum beruban. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak merah biru yang
dikenakannya secara asal, dan celana hijau tua yang kelihatannya satu
ukuran terlalu kecil. 228 Saat Rachel melihatnya, Herb melambaikan tangan dan tergopoh
menghampirinya. Rachel mengenal Herb sebagai orang yang baik,
tenang, dan periang. Ia sepertinya pasangan yang cocok untuk bibinya, seseorang yang bisa membuatnya bahagia. Akan tetapi Herb
yang dikenalnya, bukan sosok laki-laki yang sekarang tengah menghampirinya. Kesedihan dan keputusasaan yang terbaca jelas di
wajahnya menghancurkan hati Rachel.
"Herb?" ujar Rachel sambil terisak.
"Rachel... dan Jonathan, ya?"
Herb berusaha memasang wajah berani ketika menyampaikan
fakta-fakta yang diketahuinya. Ia menemukan Elizabeth sore tadi.
Seharusnya lebih siang, tapi saat itu ia masih ada di Peterculter sejak
pagi untuk membantu putranya, Tom, mendekor ulang dapurnya. Saat ia
datang ke rumah Elizabeth, ia menemukannya di tempat tidur. Awalnya
ia mengira Elizabeth masih tidur. Tapi kemudian disadarinya bahwa
mata dan mulutnya terbuka. Dan di matanya, Herb melihat teriakan
ketakutan yang tertahan. Ia diam terpana melihatnya, kata Herb, tapi kemudian, seakan
didorong oleh kekuatan yang tak bisa dilawannya, ia memaksakan diri
untuk melihat lebih dekat. Saat itulah dilihatnya memar-memar biru di
leher Elizabeth. Herb menyimpulkan itu adalah bekas cekikan.
Kemudian, setelah ia menelepon 999, seorang koroner mengonirmasi kecurigaan Herb. Elizabeth Craig dicekik hingga tewas.
Rachel menyimak penjelasan Herb yang terbata-bata antara sadar
dan tidak. Jon mendekapnya. Rachel bersyukur untuk kehangatan yang
diberikannya, dan untuk bahu tempatnya menangis.
"Di mana Elizabeth sekarang?" tanya Jon.
229 "Koroner mengambil jasadnya beberapa jam yang lalu," kata Herb.
"Mereka membawanya pergi."
"Apa sudah diketahui siapa pelakunya?" suara Jon pecah saat ia
mengajukan pertanyaan itu.
Herb menyeka air matanya, menggeleng. "Tidak, aku tidak tahu.
Tidak tahu sama sekali. Dia wanita yang baik hati. Siapa yang tega
melakukannya" Dia tidak pernah menyakiti lalat sekalipun."
Petugas yang berjaga mendekati Herb, menaruh tangannya di bahu
Herb, dan membisikkan sesuatu. Lalu ia mengantar Herb pergi.
Rachel menatap Jon dan baru akan mengatakan sesuatu. Tapi ia
mengurungkannya dan mulai berjalan ke rumah.
Ia memasuki rumah melalui dapur tempatnya dan bibinya duduk
membicarakan Jenny dua hari lalu, dan dari sana dia masuk ke ruang
duduk lalu ke atas. Ia melangkahi dua anak tangga sekaligus.
Di luar kamar tidur bibinya, seorang inspektur polisi yang memakai
celana jins dan jaket kulit hitam bersandar di ambang pintu sambil
merokok. Rachel ingin sekali berteriak kepadanya: Bibi Liz tidak
mengizinkan orang merokok di dalam rumahnya! Matikan rokok sialan
itu! Kemudian didengarnya suara-suara klik pelan dan ketika dia
menoleh dilihatnya seorang fotografer polisi mengatur zoom lensanya,
kelihatannya ingin memotret tempat tidur bibinya dari setiap sudut
pandang. Inspektur yang merokok tadi memandangnya kesal. "Hei, apa ini"
Kau tidak boleh ada di sini."
Rachel masih memandangi si fotografer, yang balas memandangnya
seolah Rachel kepergok mencuri sesuatu.
230 "Siapa kau?" si inspektur menuntut jawaban.
Ini sungguh terjadi, pikir Rachel. Pasti sungguhan.
Rachel tiba-tiba berbalik dan menuruni tangga sambil tergopoh.
Bertemu dengan Jon. Di belakangnya, dia mendengar langkah sang
inspektur. Ia menyusul Rachel dan dengan kasar memberi tahu bahwa
ia tidak boleh ada di tempat kejadian perkara.
"Wanita ini keluarga korban," bentak Jon pada pria itu. "Dia
mengalami syok berat. Tolong kau diam saja!"
Inspektur itu menggumamkan sesuatu, tetapi tidak membantah.
*** Setelah kembali keluar, Rachel mencari Herb sementara Jon mengawasi sekeliling tanpa tujuan. Lalu dilihatnya inspektur tadi keluar
dari rumah, ia pun mengikutinya. "Apa yang Anda dapat?" tanya Jon
padanya. Laki-laki itu menoleh ke belakang dan memberinya tatapan yang
mengatakan: Bukan urusanmu.
"Saya kira Anda harus menyampaikan sesuatu pada keluarganya,"
kata Jon sesopan mungkin. "Karena mereka pasti akan sulit untuk fokus
pada fakta-faktanya, saya mewakili mereka untuk bertanya pada Anda.
Menurut Anda apa yang terjadi di sini, dan mengapa?"
Si inspektur mengeluarkan sebungkus Marlboro dari sakunya
dan segera memasukkan sebatang rokok di antara bibirnya sebelum
menyalakannya. "Menurutku tampaknya ini perampokan yang di luar kendali."
231 "Apa ada yang diambil?" tanya Jon.
"Kami belum bisa memastikan," jawab inspektur. "Si pelaku
mungkin panik ketika terjadi hal yang tak terduga. Jadi dia membunuh
wanita itu lalu pergi. Itu hanya teoriku, tentu saja."
"Kenapa perampok biasa sampai mencekik wanita tua?" ujar Jon
getir. "Yang kita bicarakan di sini pasti perampokan sederhana. Ini kota
kecil, bukan kota besar. Dan kenapa harus Elizabeth" Semua orang tahu
dia bukan orang kaya."
Sang inspektur menarik napas dalam-dalam, menoleh dan mengembuskan asap rokok. "Masih terlalu awal," katanya, menyipit ke
arah Jon seakan ingin mencari tahu. Tertnyata ia tidak puas dengan
kesimpulannya. "Hanya itu yang bisa kukatakan padamu, siapa pun
kau. ini urusan polisi dan penyelidikan juga belum dimulai. Aku
permisi dulu." "Pertimbangkan saja," lanjut Jon, tanpa menghiraukan kata-kata
terakhir sang inspektur. "Bahkan kalaupun ini perampokan, masih
tidak alasan bagi si perampok untuk membunuhnya. Dia hanya seorang
wanita tua yang tak bisa membela diri. Dia pasti membiarkan perampok
itu mengambil apa pun yang dia mau. Sekali lagi, tidak ada perlunya
perampok itu membunuhnya. Tapi dia melakukannya. Ini tidak seperti
kejadian tak sengaja menusuknya dengan pisau, dia dengan sengaja
mencekiknya." Si inspektur menyimaknya sembari terus mengisap rokoknya.
Kemudian ia menggeleng dan pergi.
Jon terus menatapnya, yakin dirinya benar. Ini bukan perampokan
yang lepas kendali. Apa yang sesungguhnya terjadi dan mengapa terasa
jauh lebih misterius, dan itu membuatnya takut.
Jon mendapati Rachel sedang berbicara dengan Herb dan putranya,
Tom, dan menantunya, Cynthia. Tidak lama kemudian kedua saudara
232 perempuan Elizabeth yang baru tiba dari pantai barat bergabung
dengan mereka. Winnie, keponakan Elizabeth yang rencananya akan
dikunjungi Elizabeth setelah berulang tahun, juga ada di sana. Ia baru
saja berulang tahun yang kedelapan belas, cantik menawan dengan
rambut pirang panjangnya.
Tidak ada yang banyak bicara. Semua tidak tahu harus berkata apa.
"Aku tahu Elizabeth akan menghadapi masa sulit, tapi ini... Ini
begitu sulit dipercaya," ucap Herb pada akhirnya, sambil menggeleng
sedih. Rachel menatapnya penuh tanya. "Apa maksudmu, Herb" Apa
maksudmu dengan dia akan menghadapi masa sulit?"
Herb mengusap air matanya. "Liz tidak pernah bilang pada siapa
pun," katanya pelan, "tapi dia sakit, sakit parah. Dia periksa ke dokter
ahli enam bulan lalu, dan di paru-parunya ditemukan tumor. Dokter
menyarankan kombinasi kemoterapi dan radiasi sebagai perawatannya,
tapi dia tidak mau. Dia tidak mau kesakitan di tangan pengobatan
modern, kalau nantinya juga akan mati."
Dua hari lalu Rachel menyadari bibinya tampak kurusan. Ia hanya
mengira Bibi Elizabeth sedang diet.
"Aku tidak tahu," katanya pelan.
"Tidak ada yang tahu," Herb memberitahunya. "Hanya aku yang
tahu. Tes-tes akhir baru dilakukan beberapa minggu lalu. Mereka
memastikan bahwa kankernya berbahaya dan sudah menyebar. Kurasa
Elizabeth membuat keputusan tepat, pergi diam-diam di malam hari
dan tidak menderita lebih lama dari seharusnya."
Tiba-tiba Rachel mendengar suara bibinya di dalam benaknya.
Caramu berbicara tentang Jenny begitu hidup dan betapa dia
masih berarti untukmu. Membuatku berpikir tentang...
233 Kini dia mengerti. Pidato yang disampaikannya saat pemakaman
Jenny ternyata membuat bibinya berpikir tentang kematiannya sendiri,
pemakamannya sendiri, yang telah menantinya di ujung jalan.
Tapi bukan ujung ini. Ujung yang ini terlalu cepat sampai. Belum
waktunya untuk Bibi Elizabeth meninggal, belum. Ada sesuatu yang
lain, sesuatu yang jahat, yang melakukannya.
234 Di Ardrough House tiba-tiba Rachel merasakan gelombang rasa
pusing yang nyaris membuatnya terjatuh, dan ia terpaksa berpegangan
pada sandaran sofa. Jon menyarankannya untuk langsung tidur. Ia
menolongnya ke kamar dan berganti pakaian. Setelah Rachel berbaring
di balik selimut, Jon duduk di tepi tempat tidur dan dengan lembut
menepis rambut yang menutup matanya dan menyematkannya di
belakang telinga. "Bibiku dibunuh," kata Rachel serak; kata-kata pertama yang
diucapkannya sejak meninggalkan rumah bibinya. Jam menunjukkan
pukul sebelas dan angin kencang mengerang sedih di sekitar atap
pondok. "Ya," kata Jon.
"Kenapa" Ya Tuhan, kenapa" Herb benar. Dia... dia adalah wanita
paling penyayang di dunia. Siapa yang mau menyakitinya?"
Jon menggeleng. Ia sama sekali tidak tahu. "Cobalah tidur."
Rachel membalikkan tubuhnya.
"Aku mencintaimu," katanya.
Jon beranjak dan Rachel mendengar langkah kakinya menjauh ke
arah pintu. Pintu terbuka kemudian berderit menutup pelan.
*** Rachel sendirian. Ia meregangkan tangan dan kakinya, menatap
langit-langit kamar selama beberapa menit sambil mencoba mengatur
pikirannya. Mustahil untuk percaya bahwa bibinya meninggal. Kenapa
dia"juga"pergi, kalau memang ternyata masih hidupnya Jenny hanya
ilusi" Tidak terbayangkan ada orang yang membunuhnya. Bibinya tidak
berbuat salah. Air mata menyengat mata Rachel sementara kelelahan
menguasainya. Tiba-tiba ia terbangun, mendengar semacam suara kuak burung di
dekatnya dalam gelap. Iblis itu telah menemukannya! Ia ingin berteriak,
tapi tidak bisa. Seolah mulutnya tersumpal.
Dengan jantung berdebar, Rachel terduduk di tempat tidur. Rintik
air hujan menyiprat ke jendela besar. Angin merintih. Jon terbaring
lelap di sampingnya. Jam berapa ini" Diperiksanya jam beker: 2.15.
Pandangannya kembali ke jendela.
Sebuah kepala serigala balas memandangnya.
Ia berhasil menahan teriakan saat disadarinya bahwa itu pasti hanya
bayangan. Namun ia tetap gemetar. Bagaimanapun ia berusaha, Rachel
tidak bisa meyakinkan dirinya bahwa ia dalam keadaan aman. Jika ia
membangukan Jon, seperti biasa, Jon akan berusaha membujuknya
untuk kembali tidur. Dan lalu ia harus berbaring di situ, dikelilingi rasa
takut. Setidaknya selama beberapa saat, tidur merupakan sesuatu yang
mustahil. Apa mereka sudah mengunci pintu depan" Apa mereka sudah
menyelot semua jendela" Mungkin sudah, tapi tiba-tiba Rachel tidak
bisa menepis kepanikannya. Ia harus memeriksanya sendiri.
236 Rachel turun dari tempat tidur. Yang dikenakannya hanya celana
dalam putih yang mereka beli di supermarket di Aboyne. Ia menggigil
karena dingin dan lembap. Dalam gelap, dia meraba-raba sekeliling
mencari pakaian yang ditaruhnya di kursi, ditemukannya sehelai
T-Shirt, memakainya. Sambil bertelanjang kaki ia berjinjit ke pintu, membukanya, dan
mengintip ke lorong gelap di luar. Ia tidak melihat atau mendengar apaapa selain desir angin.
Ia bergegas ke lorong. Dipasangnya telinganya. Dan kemudian
didengarnya suara gemeretak mendekat, yang menurut irasatnya
berasal dari ruang duduk. Ia melangkah hati-hati menuju ruangan itu,
masuk ke dalamnya, tapi tidak segera menyalakan lampu. Dari luar
didengarnya suara dahan-dahan pohon mengetuk-ngetuk kaca jendela
serta suara hujan bergemuruh di atap rumah.
Sejenak Rachel hanya berdiri seakan membeku. Kemudian didengarnya lantai berderit di belakangnya.
Tubuhnya bebalik dan dilihatnya bayangan hitam yang seharusnya
tidak berada di sana. Mata Rachel membelalak.
Dengan gerakan segesit kucing, monster itu melompat ke arahnya,
dan kemudian semuanya gelap.
237 III Di Dalam Sarang Jonathan terbangun dan tidak melihat Rachel di sampingnya. Awalnya
ia tidak berpikir ada masalah. Rachel mungkin saja sedang ke kamar
mandi. Ia memejamkan matanya lagi.
Berapa saat kemudian, sambil mengantuk ia meraih Rachel di
sampingnya, namun Rachel tetap tidak ada disana. Aneh! Ia segera
bangun bertopang siku dan menyalakan lampu meja. Memang benar, ia
sendirian di tempat tidur. Rachel juga tidak ada di kamar itu. Jam beker
menunjukkan pukul 4.18. Kebingungan, Jon membuka selimut dan berjalan ke kamar mandi.
Ia menyalakan lampu. Tidak ada siapa-siapa di sana.
Terpikir untuk memeriksa ke dapur, tempat ia pernah menemukan
Rachel di tengah malam, lalu memutuskan untuk melihat ke sana.
Lorong sama gelapnya dengan bagian lain di pondok itu. tidak ada
lampu yang menyala di mana pun, termasuk dapur. Ia menyalakan
lampu, tapi di sana juga tidak ada Rachel.
Di mana dia" Jon berbalik, berjalan kembali ke ruang tengah, dan
menyalakan lampu atas, berharap cemas akan melihat Rachel tengah
duduk atau berbaring di sofa. Belum beruntung, dan sekarang ia mulai
cemas. Kalau Rachel tidak ada di dalam pondok, berarti ia ada di luar


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pondok, dan siapa pun yang masih waras tidak mungkin berkeliaran
keluar saat subuh seperti ini.
"Rachel!" teriaknya.
Tidak ada jawaban. Tinggal satu ruangan yang belum diperiksanya: kamar tidur yang
lebih kecil. Ia melangkah ke sana dan membuka pintu kamar gelap dan
dingin itu. "Rachel!" teriaknya lagi.
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Ususnya serasa melilit.
Mungkinkah dia pergi"
Kalau benar, ia pasti membawa mobil. Jon tadi menaruh kuncinya
di meja dapur. Ia cepat-cepat ke dapur, ditemukannya kunci mobil tepat
di tempat ia meninggalkannya.
Jon melangkah ke lorong kecil yang menghubungkan ke pintu
depan, dan menyalakan lampu teras. Di bawah remang lampu
dinding, dilihatnya mobilnya yang masih terparkir tepat di tempat ia
memarkirnya tadi. Mungkinkah ia pergi berjalan kaki dalam cuaca badai seperti ini"
239 Itu sama sekali tidak mungkin, namun Jon menolak untuk percaya.
"Rachel!" teriaknya.
Teriakannya dibalas oleh suara deru angin.
Perhatiannya beralih ke pintu. Kenapa tidak terkunci" Ia memperhatikannya lebih dekat.
Kunci pintu itu rusak. Dan ada genangan air di lantai. Memang
benar Rachel sudah meninggalkan Ardrough House.
Jika hanya lantai basah, itu bisa saja karena Rachel pergi atas
kemauannya sendiri. Tapi kunci pintu yang dirusak mengindikasikan
bahwa ada yang masuk secara paksa dari luar.
Pemahaman itu diikuti dengan pikiran yang menyeramkan.
Apa Rachel diangkat dari tempat tidur tanpa kusadari"
Itu sepertinya tidak mungkin. Ia mudah terbangun. Rachel pasti
bangun dari tempat tidur atas kemauannya sendiri. Tapi apa yang
kemudian terjadi" Dan di manakah dia"
Tiba-tiba Jon merasa mual dan lemah. Ia merosot ke lantai basah
itu, terpaku. Namun ia segera menguatkan dirinya. Nyawa Rachel
kemungkinan bergantung pada pikiran sehatnya.
Menghilangnya Rachel sekaligus membuktikan bahwa bibinya
bukan diserang oleh perampok biasa. Pembunuhan Elizabeth memang
disengaja, dan sekarang pembunuhnya telah menculik Rachel. Mengapa
ia harus membunuh wanita tua itu terlebih dahulu" Siapa orang sakit
jiwa yang entah bagaimana mengincarnya di tempat tidur"
Jon tidak habis pikir. Apa dia masih hidup" Ataukah penjahat itu sudah membunuhnya"
240 Pikirannya menentang pemikiran itu, namun ia tetap harus
menghadapi kemungkinan itu. Sama seperti fakta bahwa Bibi Elizabeth
telah dibunuh, dan juga Paula Deckers.
Jangan berpikir. Lakukan sesuatu, sekarang!
Ya, tapi apa" Apa yang mungkin bisa dilakukannya"
Jon berdiri dan melipat tangannya di dada.
Kuncinya adalah Jenny. Tahu-tahu, muncul pemikiran aneh itu begitu saja.
Ini memang tentang Jenny, ia yakin. Lebih tepatnya, ini tentang
perjanjian rahasia antara Jenny dan Rachel. Keduanya pasti telah
membicarakan sesuatu sebelum Jenny meninggal. Rahasia yang hanya
bisa terungkap jika ingatan Rachel pulih kembali, karena tidak ada
orang lain yang mengetahuinya.
Jon menjalin jari-jarinya di belakang kepalanya dan menatap langitlangit. "Apa, Rachel?" teriaknya putus asa dalam gelapnya malam. "Apa
yang Jenny bicarakan di dalam emailnya" Apa hubungannya dengan si
pembunuh ini" Bagaimana aku bisa menemukanmu?"
Jon mengepalkan tangannya dan berteriak, "Di mana kamu!"
Saat tidak ada jawaban, ia pergi ke ruang tengah dan mengambrukkan tubuh ke sofa.
Apa yang dilewatkannya" Pasti ada yang bisa dijadikan patokan.
Semakin lama semakin Jon yakin bahwa Rachel diikuti pembunuh itu
sebelum menghilang"sebelum menghilang untuk pertama kalinya.
Rachel menyebut si pelaku sebagai "demon". Ia menggambar sosoknya.
Namun si pembunuh itu tidak mungkin berwujud monster bersayap
karena tidak ada hal semacam itu.
241 Mungkinkah" Apa Rachel memang benar selama ini dan benarkah
ada makhluk seperti itu yang berkeliaran di luar sana"
Untuk sesaat Jon hampir memercayainya.
Apa pun faktanya, orang atau makhluk yang telah membunuh
Elizabeth itu telah kembali dan menculik Rachel.
Kalau Jon bisa mengungkap apa rahasia Rachel dan Jenny, mungkin
ia juga bisa tahu apa yang bisa ia lakukan selanjutnya.
Tiba-tiba datang inspirasi"ide yang sangat logis yang mungkin
bisa bermanfaat. Pertama-tama ia tergerak untuk mengambil ponselnya, tapi
kemudian ia memutuskan untuk mengambil cara lain.
Ia akan datang menemuinya.
242 Rachel terbangun dalam gelap. Matanya ditutup. Dan pergelangan
tangannya diikat di belakang tubuhnya. Ia nyaris tak bisa bergerak sama
sekali. Duduk bersandar ke tembok, punggungnya terasa dingin dan gelap.
Kedua lengannya terasa nyeri, diikat begitu erat dengan tali tambang di
bagian pergelangan tangannya. Ia mengangkat kepalanya dan rasa sakit
menusuk-nusuk lehernya. Seluruh tubuhnya kedinginan; ia merasa
seperti sedang duduk di atas balok es. Yang dikenakannya hanyalah
sehelai T-Shirt dan celana dalam.
Rachel mulai bertanya-tanya apa yang sebelumnya terjadi,
bagaimana semuanya tejadi dalam waktu yang sangat singkat. Sosok
yang dilihatnya di ruang tengah: di mana dia sekarang" Sudah berapa
lama dirinya ada di sini"
Meskipun ia tidak bisa melihat apa-apa, indra penciumannya
tajam. Bau busuk kayu berjamur dan kelembapan menyerangnya.
Dan bau anyir memuakkan yang menandakan adanya bangkai busuk
mengingatkannya pada"apa"
Bau busuk itu... Tiba-tiba, sesuatu yang terlupakan melintas kembali, jelas dan jernih, dan terpatri dengan sendirinya di dalam benak Rachel. Sulit bagi
Rachel untuk bernapas. Ia mengertakkan giginya.
Bagaimana ia bisa lupa" Di dalam benaknya, gambaran-gambaran
itu mulai lebih jelas terlihat, seperti ombak yang meninggi dan akan
memecah sebentar lagi. Ia sedang berjalan di Jembatan Cullean di Aberdeen, mengambil
jalan pintas melewati lorong agar sampai di rumah lebih cepat. Saat
itu di dalam lorong gelap gulita. Namun di luar lorong batu lengkung,
tampak cahaya yang berasal dari lampu-lampu jalan. Ia menegakkan
kerah lehernya. Suara air yang menetes-netes di dinding hitam
terowongan itu terdengar seperti keran bocor. Di depan sana, sinar
terang lampu jalan bagaikan mata burung malam yang berkedipkedip dalam gelap. Pada saat yang bersamaan, monster itu bangkit di
belakangnya. Apa yang pertama didengarnya" Suara kuak serak, atau kepakan
sayapnya" Mungkin keduanya secara bersamaan. Kepanikan menyekat
kerongkongannya. Ia berteriak dan berlari tanpa menengok ke belakang.
Akan tetapi rasanya seperti melangkah di dalam rawa, dan ia tidak
bisa sampai ke mana pun. Sinar terang itu, kerlip cahaya itu, tetap
berada di kejauhan, dan sesuatu yang bangkit di belakangnya sudah
hampir mencapainya. Selama sesaat ia merasakan rasa sakit yang luar biasa di kepalanya.
Kemudian lenyap. Saat ia sadar kembali, dengan kepala berdenyut
sakit, matanya sudah ditutup dan tangannya diikat, disandarkan ke
dinding seperti sekarang. Saat itu ia mencium bau busuk yang sama.
Dan ia tidak mendengar bunyi napas sama sekali di sekitarnya.
"Halo?" ujarnya waswas dalam gelap.
Hening. Sama seperti sebelumnya. Hanya suara dari kejauhan yang
didengarnya, dan itu berasal dari angin dan hujan.
"Halo?" ia berkata lebih keras.
244 Tidak ada jawaban. Apa Jenny ada di ruangan ini bersamanya" Dan Paula" Bau busuk
dari bangkai mayat begitu menusuk. Perutnya teraduk-aduk dan napasnya tersengal.
Malam itu Rachel diculik oleh sang demon. Ia terbangun di neraka
ini, dan duduk di lantai busuk yang sama.
Tidak ada yang tahu. Itu rahasianya, lukanya.
Sendirian, selalu sendirian, kecuali saat monster itu datang. Monster
itu tidak memerlukan pintu masuk, seakan muncul begitu saja entah
dari mana. Meskipun matanya ditutup, Rachel tahu monster itu ada di
sana, menatapnya. Monster itu tidak berbicara, hanya membuat suarasuara kuak serak dari waktu ke waktu, suara berat dan mengancam,
seperti suara serigala. Saat monster itu menyentuhnya, ia tidak
merasakan kulit manusia, akan tetapi sesuatu yang menyerupai kulit
binatang yang keras. Sesuatu yang bukan milik manusia. Rachel tidak
diberi makan ataupun air dan ia takut jika dirinya akan mengalami
kematian yang mengerikan.
Itu sudah lama sekali. Saat itu usianya baru tujuh belas tahun.
Di ruangan yang sama, hari ini, ia bertanya-tanya apakah hidup
Paula Deckers berakhir sama seperti ini. Dan begitu juga Jenny" Yang
paling ditakutkan Rachel. Ia merasa ingin muntah.
Tapi sebelum ini Rachel berhasil meloloskan diri. Ia merasakan ada
batu di antara jari-jari tangan kanannya...
" sisi batu itu tajam dan ia memeganginya erat-erat, berusaha tidak
membiarkannya terlepas. Saat irasatnya mengatakan monster itu tidak
ada di dekatnya, tidak mengawasinya, ia menggunakan sisi tajam batu
itu untuk mengiris tali yang mengikat pergelangan tangan kanannya.
245 Ia hampir melempar batu itu karena putus asa. Tapi entah bagaimana
ia terus menemukan kekuatan untuk terus berjuang. Ia terus berusaha
memotong tali itu, sampai tali itu mulai meregang dan rasa sakit di
tangannya berkurang. Secercah rasa girang segera diikuti kekhawatiran
kepergok oleh monster itu. Apa yang akan dilakukan monster itu"
Apakah monster itu akan memotong-motongnya" Bagaimana kalau
monster itu baru akan membunuhnya setelah ia akan bebas" Tapi itu
tidak terjadi. Akhirnya tali yang mengikat pergelangan tangannya
longgar dan ia bisa melepaskan diri. Ia mengambil napas dalam-dalam
dan kemudian membuka penutup matanya. Untuk pertama kalinya ia
bisa melihat isi ruangan tempatnya terkurung selama... berapa lama"
Paling tidak beberapa hari.
Dinding di ruangan itu dulunya dicat hijau, seperti pintunya. Rachel
hanya melihat sebuah jendela. Bangkai-bangkai tikus berserakan di
lantai Jika demon itu datang pada saat itu, ia pasti akan dibunuhnya.
Tidak ada jalan untuk kembali, ia harus terus berjalan. Meskipun
demikian, kepanikan nyaris melumpuhkannya, dan butuh kekuatan
sehebat Hercules untuk bisa mengendalikan dirinya. Ia beranjak dan
berlari secepat mungkin ke pintu, menuruni tangga, melalui koridor,
dan memasuki hutan di luar tempat itu. Ia hanya sekali menoleh ke
belakang, ke arah pondok yang selama ini menjadi tempat tahananya.
Rumah itu gelap dan terbengkalai, suram dalam gelap. Sarang, bisik
benaknya kepada dirinya. Kemudian ia mulai berlari kembali, tanpa
berhenti, tanpa berani berhenti sejenak pun, ketakutan jika monster itu
menemukannya dan merenggut tubuh dan jiwanya lagi.
Itu terjadi dua belas tahun lalu.
Ia sudah menguburnya, ingin melupakannya. Dan telah berhasil
melupakannya"sampai sekarang.
246 Tapi apa yang terjadi padanya belum lama ini masih menjadi misteri.
Sekarang ia diikat dan ditutup matanya di dalam ruangan hijau sama
seperti dulu, di dalam sarang demon. Mungkinkah ada batu tajam lagi
yang bisa menyelamatkannya kali ini"
247 Saat fajar, Jonathan berdiri di Main Street di Glenville mengamati
papan nama bertuliskan MAWAR. Hujan turun membasahinya, rasa
dingin menusuk hingga ke tulangnya. Angin berembus sedang, tidak
terlalu kencang. Ia menekan bel pintu dan menunggu. Perutnya terasa kaku.
Diliriknya rumah-rumah abu-abu suram di jalan gelap di sana. Jarang
sekali ia merasa begitu sendirian.
Didengarnya suara selot ditarik. Pintu depan berderit membuka.
Grace Dougal, yang mengenakan mantel rumah merah muda menutupi
daster krem, menatapnya terkejut.
"Maaf aku sudah membangunkanmu, Grace," Jonathan meminta
maaf. "Aku tidak akan datang sepagi ini kalau tidak mendesak. Aku
perlu bicara denganmu."
Ketika Grace terus saja menatapnya seolah tak mengenalnya,
Jonathan merasakan rasa putus asanya menggunung. Ia harus bisa
membujuknya. "Grace, tolonglah, aku mohon."
Grace mengangguk. "Masuklah."
Jon melangkah masuk meninggalkan angin dan hujan lalu menutup
pintu di belakangnya. "Kita perlu bicara, Grace," katanya, tanpa basa-basi. "Rachel
menghilang. Dia diculik. Kurasa orang yang menculiknya adalah orang
sama yang membunuh Elizabeth Craig."
Berdiri di koridor pintu dengan mantelnya yang meneteskan air,
Jon mengungkapkan dengan singkat apa yang terjadi selama beberapa
jam sebelumnya. Ibu Jenny tampak mendengarkannya antara sadar dan
tidak. "Aku hanya berharap dia masih hidup," kata Jon setegar mungkin.
"Aku hanya punya satu pertanyaan untukmu, Grace." Jon menatapnya
penuh arti. "Jenny dan Rachel sempat membicarakan sesuatu sebelumnya... sebelum semua ini terjadi. Kalau kita ingin mencari tahu
siapa penculik Rachel yang mungkin juga pembunuh Jenny, kita harus
tahu apa yang mereka bicarakan. Rachel tidak bisa mengingatnya. Dia
menderita amnesia." Jon menangkap ekspresi terkejut Grace dan menarik napas dalamdalam. "Seingatku kami tidak memberitahumu tentang amnesia itu,
tapi sekarang tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Tapi jika ada
orang selain Rachel yang Jenny percayai sepenuhnya serta tempatnya
bercerita apa pun, itu adalah kau. Dan kau mengatakan pada Rachel
bahwa Jenny sedang melakukan sesuatu. Jadi, Grace, apa yang diceritakannya padamu" Tolonglah, apa ada yang kau tahu?"
Ibu Jenny menatapnya di koridor, seolah masih belum memahami
pertanyaan yang diajukan padanya.
"Apa kau mengerti apa yang kubicarakan?" tanya Jon, dengan nada
yang frustrasi. Grace tidak mengatakan apa-apa.
"Awalnya aku tidak percaya," Jon melanjutkan dengan nada bicara
yang sama. "Tapi sekarang menurutku kau benar. Jenny memang
249 diambil darimu. Sama seperti gadis yang bernama Paula, yang diambil
dari orangtuanya, dan sama seperti Rachel yang telah diambil dariku.
Tadinya aku tidak percaya, dan sekarang sudah terlambat. Kalau kau
tidak bisa membantuku, Grace, selesai sudah. Maka tidak ada lagi yang
bisa kulakukan untuk Rachel."
Jon menatap Grace tanpa bergerak, membujuknya dengan tatapannya. Grace masih tidak berkata apa-apa. Jonathan merasa harapan
dalam dirinya meleleh seperti lilin yang terbakar.
"Semua ini ada hubungannya dengan apa yang diselidiki Jenny,"
Jon mengupayakan bujukan terakhirnya. "Itulah yang membunuhnya.
Dan sekarang tanpa bantuanmu, hal yang sama tengah terjadi pada
Rachel."

Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Grace menggeleng, akhirnya menampakkan tanda-tanda bahwa ia
mendengarkan. "Kau harus lapor polisi," katanya pelan.
Jon mengepalkan tangan. "Polisi tidak akan melakukan apaapa. Gadis lain yang kusebutkan tadi, Paula, juga tidak bisa mereka
temukan. Aku tidak percaya pada polisi. Aku punya pengalaman tidak
menyenangkan dengan mereka di masa lalu. Selain itu, aku tidak punya
waktu, Grace." Grace tidak berkata apa-apa lagi. Jon mencoba cara lain.
"Kita tahu pasti bahwa Rachel juga bermaksud melakukan sesuatu,
entah sebelum atau setelah pemakaman. Dia bicara tentang melihat
demon. Dan sejak Kamis dia terus berpegangan pada keyakinannya
bahwa Jenny masih hidup, dan bahwa kita harus menemukannya.
Mungkin dia selama ini memang benar. Mungkin demon itu benar
mendatanginya dan Jenny. Saat ini aku percaya apa pun juga, karena
aku sudah kehabisan pilihan."
Grace meraih tangan kanan Jon dengan tangan kirinya lalu menaruh tangan kanannya di atasnya. "Jenny tidak pernah cerita banyak,"
250 katanya, tanpa disangka terdengar tegar. "Anakku punya caranya
sendiri. Hanya Rachel yang bisa membuatnya berubah. Mereka berdua
punya ikatan yang sangat istimewa." Pandangan Grace beralih. "Dia
menyelidiki kasus gadis yang kausebutkan tadi. Dia memikirkannya
siang dan malam." "Ya," Jonathan menegaskan. "Kasus Paula Deckers."
Grace mengangguk. "Itu dia. Bos Jenny datang menemuiku. Dia
salah satu yang duluan datang kemari."
"Charlie Waters?"
Grace menggeleng. "Bukan, bosnya. Martin Strachan."
Jonathan tidak mengenalnya. Tapi itu tidak penting. "Lalu?"
"Menurut Martin, Jenny sering membicarakan kasus itu dengan
Dave Pukas, temannya di kepolisian Grampian. Dia bekerja di bagian
humas di sana." "Dave Pukas?" "Ya, apa kau sudah menemuinya?"
Jonathan menggeleng. "Aku belum pernah mendengarnya."
"Dave menghampiri Rachel dan aku saat pemakaman. Kami mulai
berbicara, dan dia bilang dia curiga."
Jonathan menahan napasnya. "Apa dia bilang padamu mengapa dia
curiga, Grace?" "Aku tidak tahu. Waktu itu aku harus pergi. Rachel masih berbicara
dengan Dave saat aku pergi. Sejak itu aku tak mampu menepis perasaan
bahwa aku belum paham sepenuhnya, bahwa ada yang terlewatkan
olehku, sebuah petunjuk atau semacamnya." Ia mengalihkan pandangannya. "Dan terkadang aku bertanya-tanya apakah aku harus
251 mencari tahu. Aku sudah kehilangan dia, dan apa pun yang kulakukan
tidak akan bisa mengembalikannya."
Jonathan berpikir cepat. "Pukas adalah teman Jenny, dari kepolisian,
katamu tadi." "Ya. Mereka sering bekerja sama. Kadang-kadang Dave membantunya dalam penyelidikan."
"Apa kau punya nomor teleponnya?" tanya Jonathan.
*** Setelah Grace memberikan nomor Kantor Kepolisian Grampian padanya, Jon segera menelepon dan meminta untuk berbicara dengan Opsir
Dave Pukas. Ketika diberi tahu bahwa opsir tersebut baru akan melapor pukul sembilan, Jon menanyakan nomor rumahnya. Permintaannya
ditolak, tetapi setelah Grace bicara di telepon dan menyebutkan
nama putrinya, resepsionis di kantor polisi itu menjadi kasihan dan
memberikannya nomor yang diminta.
Dalam hitungan menit, Jon sudah bicara dengan Pukas, yang
dibangunkan oleh telepon itu dan dengan suara yang kurang ramah
bertanya siapa gerangan yang meneleponnya pukul enam pagi.
"Namaku Jonathan Lauder," jawab Jon. "Aku teman Jenny Dougal
dan Rachel Saunders. Aku harus bicara dengan Anda."
"Kenapa" Apa yang terjadi?" tanya Pukas setelah lebih terjaga.
"Boleh aku datang ke sana?"
"Datang ke sini" Pagi-pagi begini" Katakan dulu ada urusan apa."
252 "Bibi Rachel, Elizabeth Craig, dibunuh tadi malam. Dan sekarang
Rachel menghilang. Aku khawatir nyawanya terancam."
Pukas mengeluarkan suara yang tidak bisa dicermati oleh Jon. Tapi
setidaknya laki-laki itu sudah bangun sepenuhnya sekarang. "Oke.
Datanglah." *** Perjalanan menembus hujan dan angin kencang hanya ditempuh Jon
selama setengah jam. Jonathan hanya bisa berdoa supaya tidak terlambat.
Tetapi rasa takut yang menyusup ke dalam harinya mengatakan bahwa
Rachel sudah tewas. Ia tiba di alamat Pukas, keluar dari mobil, namun sejenak terdiam
sebelum berjalan ke pintu depan. Apakah pilihan terakhirnya hanya
polisi" Sepertinya memang demikian, dan itu membuatnya marah.
Setelah meninggalkan militer, salah seorang temannya mengalami
perampokan dan dibawa ke rumah sakit karena terluka parah. Tidak
lama kemudian Jon mengalami perselisihan pahit dengan teman
tersebut. Seorang inspektur polisi mengungkapkan sebuah motif
bahwa Jon terlibat dalam perampokan itu. Sang inspektur jelas tidak
memercayai mantan tentara"meski secara teknis Jon bukan mantan
tentara karena ia bekerja di bagian inteligen militer"tapi ia tidak
pernah bisa melupakan rasanya dipermalukan karena ditangkap dan
dibawa pergi dengan tangan diborgol.
Lupakan saja, bujuknya pada diri sendiri. Ini bukan tentang
pengalaman pahitmu. Ini soal Rachel.
Jon berjalan ke pintu dan memencet bel. Pintu langsung terbuka dan
Jonathan dipersilakan masuk, terbebas dari hujan.
253 Ia diajak masuk ke ruang tengah dan duduk di kursi. Pukas duduk
di seberangnya di sofa. Ia adalah seorang laki-laki gemuk berusia tiga
puluhan dengan rambut kemerahan dan jenggot pendek. "Kau bilang
bibi Rachel dibunuh" Dan Rachel menghilang?"
Jonathan menceritakan apa yang tejadi sedetail mungkin yang bisa
diingatnya. Pukas belum mendengar kabar kematian Elizabeth Craig
karena dicekik, dan ia syok. Tapi ia terpaku pada kasus itu. Ia paham
bahwa kekhawatiran Jonathan saat ini adalah Rachel Saunders.
"Aku tahu kau bicara dengannya saat pemakaman," kata Jonathan.
"Grace Dougal yang memberitahuku."
"Benar," cetus Dave Pukas, dan kemudian ia mulai menceritakan
padanya apa yang dibicarakannya dengan Rachel.
254 Saat berusia tujuh belas tahun, seusia Paula Deckers, demon membawanya ke dalam sarangnya. Sebuah batu tajam membuat dirinya
bebas dan lolos. Lalu setelah itu" Entah bagaimana ia berhasil sampai di rumah, di
apartemen di Aberdeen yang disewanya bersama Jenny. Bagaimana ia
sampai di rumah" Ia tidak ingat. Ia sudah memendam ingatan itu.
Sekarang ia kembali menjadi tahanan demon yang sama, dan ia
takut kali ini hidupnya tidak lama lagi. Apa bedanya kalau dulu ia
selamat, apalagi mengingat caranya bisa pulang"
Ini soal mengingat. Kau harus bisa ingat.
Rasanya seperti ada suara lembut yang membisik di telinganya.
Seakan ada orang yang berdiri di dekatnya, seseorang yang tidak bisa
dilihatnya karena matanya tertutup.
Rachel berusaha mengingatnya. Ia berusaha sekeras mungkin.
Ia punya waktu, tampaknya tidak ada kesempatan untuk kabur, ia
merasa bahwa ia sendirian di dalam sarang itu. Si demon sedang tidak
bersamanya. Ia sedang berada di tempat lain.
Jadi bagaimana dulu ia bisa pulang"
Jika ia naik bus, atau taksi, sopirnya pasti melihat penampilannya
yang acak-acakan. Saat itu ia dikurung dalam sarang selama berharihari, jadi pastilah baunya busuk. Dan sudah pasti si sopir akan melihat
luka-lukanya. Ia berpikir keras, kepalanya berkerut karena berkonsentrasi, tapi ia
sungguh tidak bisa mengingat bagaimana ia bisa kembali ke apartemen,
dan bukannya ada orang yang membawanya ke rumah sakit atau kantor
polisi. Aku bisa pulang tanpa ada yang tahu apa yang terjadi denganku,
pikirnya, dan itulah yang sesungguhnya terjadi. Tapi ia tidak bisa
mengingat lagi, dan ia kembali bertanya-tanya lagi mengapa sekarang
ia tidak bisa tahan menghadapi situasi sulit itu dan mencari cara untuk
membebaskan diri kali ini.
Tiba-tiba muncul pikiran bahwa mungkin si demon sedang berdiri
di seberangnya. Diam-diam mengawasinya.
Rasa ngeri menjalar ke tulang punggung Rachel.
"Apa kau ada di sini?" tanyanya berbisik.
Ia menunggu, tapi tidak mendengar apa-apa kecuali embusan angin
dan hujan deras yang mengetuk-ngetuk atap.
*** Kenapa demon itu kembali" tanyanya penasaran. Bukankah sudah
selesai" Sudah selesai sejak bertahun-tahun lalu. Itu sudah jadi
kenangannya yang paling suram, yang dengan sekuat tenaga ditekannya.
Karena segera setelah Rachel membuat keputusan itu, hidupnya pun
ikut berubah. ia telah memutuskan untuk melupakan mimpi buruknya
dan tidak memikirkannya lagi selamanya.
Mengapa" Karena ia takut sekali, itulah sebabnya. Jika ia datang ke polisi,
tidak akan ada hasilnya. Jika mereka pergi memburu demon, lalu apa"
256 Mereka tidak akan pernah menangkapnya, Rachel yakin itu. Demon itu
akan selalu lolos dari mereka. Dan lagi pula siapa yang mau percaya
dengan ceritanya" Kejadian itu tidak masuk akal, bagi Rachel sendiri
sekalipun. Ia tidak memberitahukannya pada siapa pun. Orangtuanya, bahkan
Jenny. Tak disangka, tidak ada yang mencarinya. Jenny sedang menjenguk
ibunya di Glenville sementara Rachel dikurung. Orangtuanya meneleponnya, tapi tidak khawatir. Rachel memang sering bepergian
tanpa memberi tahu mereka. Ia adalah seorang wanita muda yang
bersemangat dan kadang-kadang pergi begitu saja selama beberapa
hari, hanya Tuhan yang tahu ke mana perginya. Beberapa teman juga
ada yang menelepon namun dengan alasan yang sama, tidak merasa ada
yang aneh ketika Rachel tidak mengangkat telepon.
Saat Jenny kembali ke apartemen setelah menjenguk ibunya dua
hari kemudian, tanda-tanda penyiksaan yang paling kentara sudah
memudar, dan Rachel bisa menyembunyikan sisanya. Ia mengenakan
sweter lengan panjang untuk menutupi lengannya hingga ke permukaan
dan membuat alasan mengapa kuku-kukunya patah.
Itu semua berjalan baik sampai suatu pagi saat Jenny menanyakan
siapa itu Abaddon. *** Di ruangan tempatnya disekap sekarang, mata Rachel membelalak
sementara mulutnya terbekap bau busuk yang tampaknya semakin lama
semakin bertambah busuk. Di luar, hujan terus turun tanpa henti.
Abaddon! 257 Itu nama demon itu. Bagaimana ia bisa lupa"
Dan bagaimana Jenny bisa tahu"
Karena mimpi-mimpi buruknya mulai muncul.
Ya, itu dia. Menurut Jenny, banyak yang diteriakkannya dalam tidur,
yang paling keras dan jelas adalah kata "Abaddon".
Rachel mendesakkan punggungnya ke dinding dan berusaha
mengingat lebih banyak detail. Semuanya perlahan muncul ke
permukaan. Akan tetapi Jenny curiga karena alasan lain. "Aku melihatmu
di kamar mandi," katanya. Sahabatnya sudah sering melihat tubuh
telanjangnya, bahkan dari jarak dekat, tapi untuk pertama kalinya
Rachel merasa malu dan... ditonton.
Luka di pergelangan tangannya tidak lepas dari perhatian Jenny,
dan ia sudah tidak percaya lagi pada alasan-alasan payah Rachel
bahwa ia tidak sengaja mematahkan kuku-kukunya. Ia yakin Rachel
menyembunyikan sesuatu darinya dan Jenny menuntut penjelasan.
Rachel terus menyangkal karena atas alasan apa pun ia tidak bisa
membiarkan demon itu kembali dalam hidupnya. Tapi Jenny tetap
Jenny. Ia terus mendesak Rachel seperti ahli bedah yang mencegah
pertumbuhan kanker dalam tubuh pasien.
Meskipun sebenarnya Rachel ingin menceritakan semuanya.
Terlepas dari keputusannya yang keukeuh untuk menutup mulut,
kepedihan dan ketakutannya sudah menjadi beban yang tak tertahankan.
Ia bisa tewas saat itu. Malahan, ia pasti dibunuh kalau tidak melarikan
diri. Dan ia membutuhkan tempat mengadu, sesuatu yang sangat bisa
diberikan Jenny. 258 Tapi ia tetap tidak mengaku. Setiap kali terpikir olehnya untuk
mengungkapkannya pada Jenny, ada suara yang terus membisik
padanya bahwa diam adalah tindakan paling baik. Pada saat yang
bersamaan, ia memutuskan untuk meninggalkan apartemennya.
Karena sementara ia berusaha melupakan demon itu, demon itu
tidak akan pernah melupakan Rachel. Suatu malam nanti, demon itu
pasti akan kembali untuk membunuhnya.
Ia hanya akan aman jika pindah dari sana.
Jelas saja Jenny bertanya mengapa Rachel begitu ingin pindah
secepat mungkin, dan kenapa Rachel selalu bertele-tele setiap kali
ditanya, Jenny menjadi marah padanya.
Sebelumnya mereka tidak pernah bertengkar. Jenny menangkap
bahwa sahabatnya tidak berterus terang padanya, dan menyembunyikan
sesuatu yang buruk sekali darinya, ini memperparah pertengkaran
mereka sehingga pada akhirnya Rachel berjanji akan menceritakan
semuanya segera setelah mereka menemukan tempat tinggal yang baru.
Maka mereka pun pindah. Lumayan mudah mendapat apartemen
baru, dan mereka akan pindah dalam beberapa minggu.
Rachel tidak menepati janji. Ia tetap bungkam dan Jenny tetap marah
padanya. Keadaan itu tidak berubah hingga Rachel pindah ke Inggris.
Bahkan apartemen baru mereka sekalipun tidak bisa membuat
Rachel merasa aman. Setiap kali keluar rumah, ia ketakutan. Ia diculik
di bawah jembatan Cullean saat kejadian. Keselamatan hanyalah ilusi.
Bagaimana mungkin ia bisa yakin mimpi buruk itu tidak akan terjadi
lagi di bawah jembatan lain, atau lorong gelap lainnya"
Rachel tidak bisa membebaskan dirinya dari rasa takut. Ia bukan
lagi tahanan di dalam sarang itu, tapi dalam bentuk lain, di dalam
pikirannya sendiri, ia masih tersekap.
259 Bila ia benar-benar ingin mengusir rasa takutnya, dia harus
meninggalkan Aberdeen. Ia perlu pergi lebih jauh dari monster itu.
Jauh sekali. Lalu orangtuanya datang memberikan pilihan. Ayahnya ditawari
pekerjaan di Inggris, yang artinya mereka harus pindah ke sana. Apa
Rachel mau ikut bersama mereka" Atau Rachel lebih memilih tetap
tinggal di Skontlandia"
Dalam keadaan normal, Rachel akan memilih tinggal di Skotlandia
bersama Jenny. Tapi kesempatan untuk meninggalkan Skotlandia,
bukan hanya Aberdeen, seperti anugerah dari Tuhan baginya. Dengan
senang sekali ia menerima tawaran itu dan menjaga jarak ribuan mil
dari demon itu. Di Inggris, ia merindukan Jenny layaknya seorang kekasih, itulah
harga yang dibayarnya untuk mendapatkan hidupnya kembali. Karena
si monster tidak bisa lagi menemukannya, ia akhirnya bisa menerima
apa yang terjadi.

Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Secara bertahap, Rachel mendapat teman-teman baru dan mulai
bergaul dengan mereka, sehingga akhirnya ia bisa benar-benar melupakan hari-hari mengerikan di sarang itu.
Ia menyelesaikan sekolah dan mendapat pekerjaan bagus di kantor
surat kabar lokal. Tapi yang tidak disadarinya adalah bahwa dirinya
pun telah berubah. Salah satu perubahannya adalah ketakutannya pada
komitmen. Dulu ia sering berpacaran. Sebagai gadis yang menarik ia
menjadi populer dan banyak yang mendekati, ia pernah merayu dan
bercumbu dengan banyak pemuda, serta mengalami patah hati dan
dikecewakan cinta. Namun, setelah mengalami hari-hari di dalam
sarang itu, ia menjadi gelisah memasuki hubungan serius dengan lakilaki. Ia masih berkencan, dan kadang-kadang kencan itu berlanjut
menjadi sesuatu yang lebih dari hubungan biasa. Itu terjadi padanya
260 dengan Grant Miller. Tapi tetap saja, tidak peduli seberapa menarik dan
perhatiannya laki-laki itu, Rachel selalu menjaga jarak.
Ia tidak pernah sepenuhnya mengerti dari mana "kemandirian" pada
dirinya ini berasal. "Karena aku sudah melupakan monster itu," bisiknya, mendengar
embusan angin lagi-lagi menghantam dinding. Abaddon adalah alasan
mengapa aku tidak bisa lagi jatuh cinta. Siapa pun yang terlalu dekat
denganku sama saja membawa masa laluku lebih dekat lagi padaku.
Dan Rachel terlalu takut pada gelap. Ruangan yang gelap gulita
membuatnya panik. Maka ia tidur dengan lampu menyala dan dalam
keadaan demikian pun terkadang ia masih merasa terancam.
Ia juga tidak lagi menyukai burung. Burung-burung beraneka
warna, gagak hitam, camar putih, tidak ada bedanya. Ia malahan benci
pada burung. Ia tidak terlalu menaruh perhatian. Bukankah semua
orang punya semacam fobia tertentu" Ada orang yang jijik pada tikus
atau laba-laba, rasa jijik Rachel tertuju pada burung. Begitulah adanya.
Tapi itu mewakili semuanya. Ketakutannya terhadap burung tertanam dari apa yang ditinggalkannya di Skotlandia"demon bersayap.
*** Begitulah kehidupannya hingga hari-hari dan minggu-minggu terakhir
yang tidak bisa diingatnya. Ia tetap menjadi dirinya seperti itu, selalu
sendirian, trauma tanpa sepenuhnya memahami keadaannya. Ia tidak
akan pernah tinggal bersama Jonathan, apalagi menikah dengannya,
meskipun Jon sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengubah
pikirannya. 261 Jonathan. Hatinya sakit mengingatnya.
Pintu terbuka, berkeriat.
Ia tahu yang mana. Pintu yang ada di sudut ruangan hijau tempatnya
berada. Lantai kayu berderit. Ada yang melangkah masuk.
Kemudian lantai berhenti berbunyi.
Mungkinkah makhluk yang digambarnya di sudut brosur itu benarbenar ada di ruangan ini bersamanya, tepat di hadapannya"
Genggaman kasar membungkus lehernya dan meremasnya. Rasa
waswas seketika berubah menjadi kepanikan saat dia merasakan saluran
napasnya terjepit, paru-parunya berteriak meminta udara, dan matanya
mendesak rongga matanya saat genggaman itu perlahan mencekiknya.
262 Setelah kembali berada di luar, Jonathan berlari menembus hawa
dingin ke mobilnya. Ia masuk dan duduk di kursi kemudi, merapikan
rambutnya yang basah dengan tangan. Lalu ia mengeringkan tangan
dan celana jinsnya, sebisa mungkin, lalu diteleponnya kediaman
Mackenzie. Ellen mengangkat telepon.
"Halo, Ellen, bisa bicara dengan Stephen?" bahkan bagi dirinya
sendiri pun, kedengarannya seperti perintah ketimbang permintaan.
"Jonathan! Ya, tentu saja. Apa kau baik-baik saja?"
"Nanti saja, Ellen, kumohon. Aku perlu bicara dengan Stephen."
Ellen tidak memaksa. "Dia ada. Sebentar."
"Jonathan?" Stephen bicara di telepon. Ia terdengar khawatir.
"Sepertinya aku tahu di mana dia," ujar Jon spontan.
"Apa" Siapa ada di mana?"
Jon menampar keningnya sendiri. Laki-laki tua itu belum diberi
tahu apa pun. "Rachel menghilang, Stephen. Tadi malam, dari Ardrough House.
Dia diculik." "Diculik" Rachel?" tanya Stephen kebingungan.
"Saat aku bangun, dia sudah tidak ada. Kunci pintu dirusak. Ada
yang masuk ke rumah. Dan sepertinya aku tahu siapa."
Stephen terdiam sejenak. "Kau di mana dan apa rencanamu?"
"Sepertinya aku tahu di mana tempat tinggal orang ini," cetus Jon
begitu yakin. "Aku perlu kau untuk menunjukkan jalan."
"Tentu saja," sahut Stephen tanpa bertanya.
"Aku ke sana sekarang"setengah jam lagi aku sampai."
"Aku akan bersiap," kata Stephen.
*** Meskipun hujan lebat, Jonatan sampai di rumah MacKenzie dalam
tiga puluh menit. Sebelum ia memarkir mobil di pinggir jalan, Stephen
sudah berlari keluar pintu, memegang payung. Ellen berdiri ambang
pintu. Jonathan membuka pintu kursi penumpang dan Stephen melongok
ke dalam mobil. "Aku tidak tahu kau mau apa, tapi dari wajahmu aku
bisa lihat kau tidak mau mampir dulu untuk minum teh."
"Tidak ada waktu untuk itu Stephen. Kita harus segera pergi."
Stephen melambai pada Ellen, yang berdiri di lorong pintu dengan
tangan terlipat di dada. "Pergilah," teriaknya.
Stephen mengangguk dan duduk di kursi penumpang.
Jonathan melesat pergi. "Pertama-tama, aku ingin kembali ke
Cuthbert." "Aku menurut saja," kata Stephen.
264 *** Di Cuthbert, Jonathan memarkir mobilnya di samping pohon, lalu
mereka keluar. Meskipun hujan tidak berhenti, Stephen memutuskan
untuk meninggalkan payungnya di mobil. "Nanti juga basah," katanya
sambil mengangkat bahu. "Tidak masalah. Ayo jalan."
Mereka berjalan kaki setelah dekat di tempat tujuan. Mereka bisa
saja naik mobil ke sana, Stephen sudah memberitahukan jalannya, tapi
Jonathan menolak. Jalur pejalan kaki"atau jalur lumpur pada saat
ini"adalah satu-satunya jalan untuk sampai di sana tanpa diketahui.
Dave Pukas telah memohon pada Jon untuk tidak melakukan
tindakan apa pun di Cuthbert. Pukas berjanji akan mengirim beberapa
detektif dalam hitungan jam untuk mengamankan tersangka dan
membawanya untuk diinterogasi.
"Tidak melakukan apa-apa" Sampai mati pun tidak mungkin,"
kata Jon pada Stephen di mobil setelah menceritakan percakapannya
dengan Pukas. "Aku tidak terlalu percaya pada polisi, dan lagi pula aku
tidak yakin Dave benar-benar bisa mengirim satu tim polisi. Mungkin
mereka tidak akan menilai kecurigaanku cukup kuat. Dan meskipun
Dave bisa mengusahakannya, akan membutuhkan waktu berapa lama"
Bisa terlambat untuk Rachel, kalaupun sekarang belum terlambat."
Stephen mengangguk setuju.
"Kalau kita bisa sampai di sana dan polisi tidak ada," lanjut Jonathan,
"Aku akan tetap masuk. Aku tidak mau kau terlibat. Kalau kita bertemu
pembunuh, bisa berantakan. Kalau ada apa-apa yang terjadi padamu,
Ellen akan membunuhku."
"Jangan khawatir," Stephen meyakinkannya sambil menyeringai.
"Aku tidak akan membuat Ellen menjanda hari ini."
265 Stephen memilih jalur berbeda dari yang mereka datangi bersama
Rachel pada hari Jumat sebelumnya. Jonathan mengikuti di belakangnya saat mereka melewati rumah-rumah yang setengah tersembunyi di
balik daun-daun. Di belakang rumah terakhir, Stephen menaiki tangga
kayu yang menghubungkan ke padang rumput yang merupakan jalur
pejalan kaki yang ditumbuhi rumput-rumput liar yang tinggi sehingga
nyaris tak terlihat. Jalur itu kemudian berbelok curam menuju hutan. Hujan membasahi
dedaunan di sekitar mereka, angin menusuk kencang. Mereka melewati
air terjun kecil. Jonathan melangkah hati-hati supaya tidak tersandung
batu dan ranting, atau terkilir karena lubang jalan. Stephen lebih berpengalaman dalam mendaki, dan Jonathan harus berusaha keras agar
tidak tertinggal. Tapi tidak ada gunanya mengkhawatirkan itu.
Beberapa lama kemudian, jalur curam itu mulai rata. Jonathan
mendengar sungai di pegunungan dari bawah sana, di lembah yang
tertutup pepohonan kecil, semak-semak dan perdu. Dari sungai
di lembah itu Jonathan serasa mendengar ucapan John Collins
membisikkan peringatan padanya: di sana ada sesuatu yang bukan
berasal dari sini. Apa pun itu, Jon merasa yakin untuk menghampirinya, di tengah
hujan lebat. 266 Rachel tercekat dan kakinya meronta-ronta sekuat tenaga. Tangan
bersisik yang mencengkeram lehernya perlahan merenggut nyawanya.
Ia berusaha menendangnya, tapi hanya mengenai udara. Ia merasa
pusing dan akan pingsan. Mulai hilang kesadaran.
Tiba-tiba tangan itu melepaskannya. Rachel berusaha bernapas,
menghirup segumpal udara ke dalam paru-parunya yang tersiksa. Ia
tersengal dan terbatuk. Kemudian sesuatu yang aneh terjadi. Tangan bersisik itu mulai
menarik-narik tali yang mengikat sebelah tangannya di belakang, dan
kemudian tali di pergelangan tangan lainnya. Ia merasakan sesuatu
yang tajam dan keras diganjal di antara tali dan kemudian tangannya
terbebas. Rasa kencang dan sakit mereda dan ia bisa mengangkat
tangannya. Sebelum ia sempat memusatkan pikiran, penutup matanya
dilepas. Ia mengerjap-ngerjap, untuk pertama kalinya, melihat monster itu.
Sebelum usianya menginjak tujuh belas, Rachel tidak telalu peduli
pada monster. Ia seorang gadis yang berpikir jernih dan percaya diri.
Kisah-kisah tentang monster hanyalah dongeng belaka. Tapi apa yang
terjadi padanya, kemudian, telah mengubah persepsinya, dan satusatunya cara untuk melanjutkan hidupnya adalah dengan melupakan
bahwa ia mengalami penyekapan di dalam sarang. Ia sudah menekan
ingatan itu sama sekali. Semuanya, kecuali gambaran mental akan demon bersayap
dengan kepala serigala. Bagaimana makhluk itu bisa masuk ke dalam
pikirannya" Dan kapan makhluk itu menjadi nyata" Seolah makhluk
itu berasal dari mimpi-mimpi buruk yang dipertanyakan Jenny,
lalu merayap keluar dari mimpi, menembus batas antara mimpi dan
kenyataan. Tanpa diketahui, monster itu menjadi nyata bagi Rachel,
kisah horor yang mewujud.
Makhluk itu menculiknya dari Ardrough House. Kemungkinan
besar, dialah yang membunuh Paula Deckers dan Bibi Elizabeth, juga
Jenny, kalau memang ia sudah mati.
Tapi yang melakukan semua tindakan keji itu bukanlah iblis dari
dunia lain. Akan tetapi seorang laki-laki tegap berbadan tinggi besar,
dan selain itu penampilannya biasa saja.
Rambut laki-laki itu dicukur habis dan ia mengenakan celana
jins dan jaket hijau tentara. Ia juga membawa senapan panjang di
belakangnya, yang dicangklongkan dengan selempang bahu. Dan ia
mengenakan sepasang sarung tangan hitam. Itu sebabnya tangannya
terasa bersisik. Rachel melihat pisau panjang tajam di tangannya dan berusaha
mundur sambil duduk. Tapi tidak ada tempat lagi. Tubuhnya terhalang
tembok. Dan di tembok itu dilihatnya cincin-cincin besi hitam yang
diikat. Laki-laki itu menatapnya penuh kebencian. Rachel merasa laki-laki
itu mempunyai dua wajah. Ia sadar itu tidak mungkin, tapi ia juga tahu
bahwa sepasang mata itu adalah jendela dari alam pikiran gilanya.
Tiba-tiba ia mengayunkan pisau itu ke arah Rachel, dan Rachel pun
berteriak. Tapi senjata setajam silet itu tidak menusuk tubuhnya.
268 Raksasa itu hanya menggunakannya untuk menyobek pakaian
Rachel, dari perut hingga ke leher. Kini bajunya menggantung robek
di dadanya. Rachel menebak maksud monster itu. Ia memang
mau membunuhnya, tapi tidak langsung. Ia akan memerkosanya lebih dulu.
Lengan sebesar batang pohon meraih tubuh Rachel. Kemudian
Rachel berguling menjauhinya, dan merangkak ke sudut ruangan
di mana dinding-dinding hijau bertemu. Raksasa itu memasukkan
pisaunya kembali ke dalam sarungnya yang tersemat di ikat pinggang,
tapi tidak berusaha menghentikan Rachel.
Sementara Rachel bersusah payah untuk berdiri, raksasa itu
melangkah ke arahnya. "Jangan sentuh aku!" teriaknya.
Raksasa itu menampar wajah Rachel dengan punggung tangannya
yang terbungkus sarung tangan. Rachel roboh dalam keadaan berlutut.
Yang kemudian dirasakannya adalah rasa sakit ketika kaki raksasa
itu berayun dan menghantam keras tulang rusuknya. Rachel merasa
mendengar suara tulang rusuknya patah dan berteriak lagi.
Ketika ia ditendang perutnya, ia merasa ingin muntah. Raksasa
itu menendang dagunya dan darah hangat memuncrat dari mulut dan
hidungnya. Sambil menggerutu dan tersengal, raksasa itu menatap Rachel
sementara ia berusaha menghindari serangan-serangan gilanya. Di
lantai, dalam jarak satu depa, dilihatnya sebuah bata merah.
Rachel memandang bata itu dengan putus asa.
Itu harapan terakhirnya. 269 Rachel berteriak kesakitan sambil berguling dan berguling ke arah
bata. Setelah mencapainya, ia menaruh tangannya di atasnya, lalu
melihat raksasa itu lagi.
Ya Tuhan, tolong aku! pikir Rachel seraya bangkit bertopang lutut.
Ia menggenggam erat batu itu di tangannya lalu menarik lengannya
ke belakang. "Bajingan!" teriaknya, dan segala kekuatan yang tersisa
digunakannya untuk melemparkan bata itu ke arah si raksasa.
Batu itu mengenai bagian tengah mata kiri si raksasa, di dekat
hidung. Ia mengerang marah dan kesakitan, tertatih, lalu jatuh berlutut.
Ia menutup luka dengan tangannya, tanpa hasil. Darah bercucuran
menembus telapak tangannya.
Teruskan, Rachel, katanya pada diri sendiri dalam kepanikan.
Jangan menyerah. Si raksasa berlutut menghalanginya dari pintu hijau. Dan ia kembali memandangnya, matanya yang terluka berdarah, mata sebelahnya
liar dan gila. Rachel tidak bisa lewat di sampingnya, dan tidak bisa menabraknya.
Tapi kemudian dilihatnya satu-satunya jendela di ruangan itu.
Tanpa berpikir, ia bejalan pincang ke arah jendela dan membukanya.
Rasa lega membanjirinya ketika ternyata jendela itu mudah dibuka,
mempersilakan angin dingin masuk dari luar.
Hujan menerpanya saat sebelah kakinya naik ke lis jendela dan
kemudian sebelah kakinya lagi. Lalu ia membiarkan tubuhnya jatuh
begitu saja, tanpa berpikir ataupun peduli seberapa jauh tanah di
bawahnya. Tidak ada lagi jalan lain.
Teriakan lepas keluar dari kerongkongannya ketika ia menghantam tanah. Terlalu lemah dan pusing untuk bergerak, Rachel diam
tergeletak, menatap ke atas menembus tetes air hujan.
270 Dilihatnya kepala raksasa itu melongok di jendela, dan kemudian
ia melihat si raksasa membidikkan senapan yang dibawanya tadi. Ia
membidik ke arah Rachel. Selanjutnya Rachel mendengar senapan itu ditembakkan dan


Dark Memory Karya Jack Lance di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tercium olehnya bau hangus menyengat. Bahu kirinya serasa terbakar.
Ia tertembak. Raksasa itu pasti akan menembaknya lagi. Ia pasti ingin dia mati.
Rachel sudah tidak memiliki kekuatan untuk bergerak. Kakinya serasa
remuk. Laki-laki itu mencondongkan tubuhnya keluar jendela di
atasnya dan membidiknya. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain menunggu tembakan
maut terakhir. 271 Jonathan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mengikuti Stephen,
yang isiknya dalam keadaan bagus sekali untuk pria seusianya. Sungai
gunung masih berada di sisi kiri mereka, dan di sisi lainnya ada hutan
lebat. Menurut Stephen, pondok yang mereka tuju berada di tanah
lapang di tengah hutan. Jon mengira akan melihatnya sebentar lagi.
Lalu" Apa yang akan terjadi setelah itu"
Mungkin Pukas sudah berhasil mengirim beberapa veteran detektif
yang sudah mengepung dan akan menyerang pondok itu. Mungkin
sudah. Atau mungkin"dan lebih besar kemungkinannya, pikirnya"di
sana sama sekali tidak ada polisi.
Tiba-tiba kaki Jon terpeleset di atas batu basah. Ia berteriak sebelum
kemudian kehilangan keseimbangan dan terjerembap di lumpur.
Stephen menoleh ke belakang dan berlari menghampirinya.
"Kau baik-baik saja?"
Jon memegangi pergelangan kakinya dengan kedua tangan,
bergoyang maju mudur. "Sepertinya aku terkilir. Sial, kenapa aku tidak
hati-hati?" Stephen mengulurkan tangannya. "Sini, kubantu."
Jon meraih tangan Stephen dan berusaha bangkit. Rasa sakit yang
parah menusuk dari pergelangan kaki yang cedera dan ia kembali
merosot ke tanah. "Tunggu," katanya, sambil mengeretakkan gigi.
"Beri aku waktu."
Jon berusaha berdiri lagi dan jatuh kembali. Ia memegangi
pergelangan kakinya sambil meringis. "Tidak apa-apa," katanya yakin.
"Sakitnya akan hilang. Aku yakin."
Stephen memeriksa pergelangan kakinya. "Wah, menurutku tidak.
Kelihatannya parah."
Jon memandang ke kejauhan. Ranting-ranting pohon berayun;
langit masih abu-abu pekat; hujan masih turun deras. "Masih berapa
Tumbal Tanpa Kepala 2 From The Darkest Side Karya Santhy Agatha The Order Of Phoenix 17

Cari Blog Ini