Ceritasilat Novel Online

Anna Karenina 1

Anna Karenina Jilid 1 Karya Leo Tolstoi Bagian 1


PUJANGGA BF.SAR RUSIA, Lev (Leo) Nikolayevich Tolstoi (1828- 1910), terkenal terutama karena novel epik sejarahnya, Voina i Mir (Perang dan Damai) mengenai perla n rakyat Rusia terhadap invasi Napoleon pada 1812; dalam perlawanan itu kaum bangsawan dan rakyat biasa bahu-membahu membela tanahaimya. Namun, karya Tolstoi yang paling luas dibaca dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing adalah novelnya yang kedua, Anna Karenina, khusus menyoroti kehidupan pribadi kaum bangsawan dan golongan high soci ety Rusia pada zamannya.
Tolstoi sendiri dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah golongan ningrat. Karena itulah i a bisa menggarap tema novel itu dari sudut pandang orang dalam. Beberapa anggota keluarganya tercatat dalam sejarah Rusia sejak abad ke-16, bahkan ayahnya, Graf (Comte) Nikolai Ilyich Tolstoi, ambil bagian dalam perang melawan Napoleon pada 1812- 1814 dengan pangkat letnan kolonel.
Cerita pokok Anna Karenina, yakni tentang seorang istri yang mencederai perkawinan dan akhirnya menyudahi hidupnya d i bawah roda keretaapi, dikenal luas seperti halnya cerita Don Kisot karya Cervantes atau Hamlet karya Shakespeare. Konflik utama novel ini juga pernah dilayarputihkan paling sedikit sepuluh kali, baik di Rusia maupun di mancanegara, dibintangi oleh Greta Garbo, Vivian Leigh, Tatiana Samoilova, dan bintang film lainnya.
Sampai sekarangAnna Karenina masih terus disalin dan diterbitkan dalam berbagai bahasa. Bayangkan saja! Hingga akhir abad ke-20, Anna
Karenina telah diterjemahkan dan diterbitkan 625 kali dalam 40 bahasa (ini tidak termasuk penerbitan dalam bahasa aslinya). Dalam bahasa Inggris saja, basil terjemahan yang berbeda pernah dicetak 75 kali, Belanda 14 kali, Jerman 67 kali, cis dan Itali 36 kali, Cina 15 kali, dan Arab 6 kali.1
Semua ini karena yang pokok dan paling menarik dalam Anna Karenina bukan jalan ceritanya-yang agak mirip dengan banyak novel lain-melainkan berkat "ketelitian penggambaran seluk-beluk dunia batin para tokohnya," ungkap Leo Tolstoi sendiri.
Bertolak darijumlah terjemahan dan penerbitannya, maka menurut istilah sekarang novel ini bisa disebut bestseller. Dan seandainya istilah pasaran ini dipakai semasa Tolstoi hidup, pasti ditampiknya dengan marah, karena justru pasar dan perilaku kapitalistis, dengan slogan homo homini lupus (manusia adalah srigala terhadap manusia lainnya), yang paling dikecam dan ditolaknya.
Tapi perlu dikemukakan dalam hal ini bahwa dalam kenyataan hidup Tolstoi, yang masa itu sibuk menulis buku-buku pelajaran untuk anak-anak petani di tanah miliknya dan merumuskan gagasan-gagasan etis-filosofisnya, awalnya ia benar-benar ingin "mengaso sebentar" dengan menul i s sesuatu yang agak enteng tanpa menyinggung problemproblem sosial dan filsafat yang rumit. Dalam salah satu suratnya Tolstoi bahkan menyatakan keraguannya, akankah novel mengenai seluk-beluk kehidupan suami-istri kaum ningrat menarik perhatian pembaca Rusia yang terbiasa dengan bacaan berbobot dengan problem-problem besar.
Walaupun demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Tolstoi sendiri, rancangan buku ini sejak awal mengalami perubahan, seolah-olah para tokoh yang sudah setengah terwujud itu memaksanya berpindah dari lorong sempit ke jalan yang luas: "Isi karya yang kuciptakan," demikian diakuinya, "akhimya menjadi barujuga buatku, seperti buat mereka yang membacanya." Karena itu, akhimya, terbentuklah apa yang disebutnya dalam bahasa Prancis roman de long haleine (novel napas panjang) sebagaimana semua karyanya yang lain.
1 Lihat: h -web. lst ksts.
Sesudah dirancang pada 1870, novel Anna Karenina ditulis, diubah, dan diperbaiki lagi selama hampir lima tahun (1873-1877). Tujuh dari delapan bagiannya dimuat tiga tahun berturut-turut di majalah Russkii Vestnik (Pewarta Rusia), sedangkan bagian terakhir dicetak tersendiri di luar majalah itu, karena pemilik dan penerbit majalah menuntut perubahan teks, hal yang tak d ui oleh Tolstoi. Munculnya tiap bagian selalu ditunggu pembaca dengan rasa penasaran, dan selalu menimbulkan perbincangan luas. Tentu saja ada pembaca dan kritikus yang menerima tema dan gagasan novel ini, dan ada pula yang mencelanya, tapi yang terakhir i ni pun menyadari bahwa dengan novel ini sastra Rusia mencapai tingkat ketinggian ba rn .
Fyodor Dostoyevskii (1821-1881), misalnya, dalam catatannya dengan mengutip ucapan lisan penulis kenamaan lainnya, Ivan Goncharov (1812-1891), menulis sebagai berikut: "Ini karya yang luarbiasa, karya kelas wahid. Siapa di antara penulis kita yang sanggup menandinginya" Dan d i Eropa" Siapa yang mampu menciptakan karya setara ini?" Sedangkan Dostoyevskii sendiri menyatakan bahwa " ... penggarapan batin manusianya paling teliti dan realisme seni-tulisnya belum pernah dicapai oleh siapapun sebelum im i ." Penulis terkenal angkatan berikutnya, Vladimir Nabokov (1899-1977), menyebut Tolstoi sebagai "novelis Rusia terbesar"; ditambahkannya pula bahwa "pembaca menyebut Tolstoi pengarang raksasa bukan karema penulis lain katai, tapi karena Tolstoi senantiasa berjalan amat dekat dengan kita, bukan di kejauhan seperti yang lain." Thomas Mann, penulis kenamaan Jerman (1875-1955), bahkan pernah menyatakan: "Saya, tanpa ragu, menyatakan bahwa Anna Karenina adalah novel sosial terbesar dalam sastra dunia."
Ten tu saja, latar-belakang sosial hadir dalam semua tulisan mengenai seluk-beluk kehidupan individu, karena manusia bernapas di tengahtengah masyarakat tertentu. Namun, novel sosial terbesar haruslah mendobrak kerangka kehidupan pribadi orang dan golongannya serta mempersoalkan problem-problem sosial dan filsafat yang luas. Dan benar, biarpun Tolstoi tidak dengan sengaja menonjolkan problemproblem itu (kecuali dalam bagian terakhir), pembaca yang cermat tentu bisa menghayati gambaran implisit keadaan Rusia pada masa pancaroba sesudah dihapuskannya sistem perhambaan petani pada 1861.
Awalnya, reformasi itu melahirkan harapan akan datangnya kedamaian dan kesejahteraan sosial di dalam negeri, tapi satu dasawarsa kemudian, pada i870-an, yaitu masa ditulisnya Anna Karenina, hara pan itu ternyata tak kunjung terwujud, paling sedikit tidak membawa kemakmuran bagi petani, bagian terbesar penduduk Rusia itu. Mereka dibebaskan dari belenggu perhambaan tanpa mendapat pembagian tanah, sehingga banyak di antara mereka terpaksa mencari nafkah dan melarikan diri ke kota, di mana eksploitasi dan penderitaan justrn memuncak: "Semua sedang kacau-balau dan barn mulai diatur," demikian seorang tokoh novel, Konstantin Levin, yang mernpakan alter ego penulis.
Yang terutama mengecewakan Tolstoi adalah situasi rohaniah di Rusia pada umumnya, bail< di tengah golongan petani maupun golongan ningrat. Dalam pandangan Tolstoi, keduanya makin jauh dari cita-cita patriarkal. Bagi dia, kemurnian jiwa rakyat dan Rusia selurnhnya bisa terpelibara banya dalam kerangka obshchina (rnkun desa). Pengertian istilah ini, yang berasal dari kata obshchii, obshchnost' (umum, kesatuan), mernjuk pada suatu lembaga petani di mana hutan dan air mernpakan milik bersama, sedangkan sebagian tanah dibagikan tiap tahun sesuai jumlab batih dalam keluarga, dan pada kebiasaan gotongroyong. Lembaga yang berakar dalam sejarab inilah yang justru hancur gara-gara budaya pabrik yang mulai mengembangkan sayap dengan menyingkirkan manusia tanah dan mernsak akhlaknya.
Sejalan dengan keadaan tersebut, Tolstoi juga menyaksikan kemerosotan rohani dan jasmani kaum bangsawan secara luas; mereka, dengan harga murah, menjual tanah pusakanya kepada orang kaya barn dan menghabiskan uang yang diperoleh dengan berfoya-foya. Dalam suasana rawan seperti inilah penulis mengarahkan perhatiannya pada kehidupan keluarga sebagai benteng terakhir di mana kebabagiaan dapat bermukim, biarpun tak selalu berhasil, atau barns diusahakan dengan susah-payah.
III Dalam novel Anna Karenina Tolstoi dengan teliti menguraikan selukbeluk keadaan tiga macam keluarga: keluarga Stiva Oblonskii dan Dolly, di mana sang suami menyeleweng, keluarga Karenin di mana sang istri, Anna, tak mampu mengekang perasaannya dan memutuskan tali
perkawinan, dan akhirnya keluarga ideal Konstantin Levin dan Kitty yang rnenikmati kebahagiaan, sesudah rnengalarni serentetan cobaan. Ketiga keluarga itu punya hubungan kekerabatan selaku kakak-beradik, rnenurut garis suami-istri, atau sebelumnya belajar di Universitas yang sama.
Kalimat yang mengawali al i nea kedua halarnan pertarna novel Anna Karenina"Semuanya kacau-balau di rurnah Oblonskii" -rnenjadi ungkapan di Rusia untuk rnenunjukkan betapa ruwetnya keadaan keluarga atau berbagai bidang kehidupan negara. Dalarn novel ini, yang dimaksud adalah keruwetan yang terjadi di keluarga Oblonskii karena sesudah delapan tahun rnenikah sang istri rnemergoki perbuatan zina sang suami, dan berniat pindah dengan lima anaknya ke kediaman ayahnya, Graf Shcherbatskii. Yang berhasil meredakan keadaan adalah adik Stiva, Anna. Dia istri seorang pejabat tinggi di Petersburg, Aleksei Karenin. Tapi, tanpa disangka-sangka, Anna sendiri terjerat hubungan asrnara dengan seorang opsir muda dari keluarga kenamaan, Aleksei Vronskii, yang arnat rnengaguminya. Anna rnenganggap rasa cinta itu sebagai sesuatu yang tak diingini dan berupaya rnengenyahkannya dalarn hati, namun tak berhasil. Perempuan itu rnenilai, "kejatuhannya" rnerupakan rnalapetaka yang tak dapat ditolak, dan hal itu dijelaskan Tolstoi sebagai berikut:
"la merasa dirinya begitu jahat dan bersalah, hingga yang perlu dilakukan hanyalah rnerendah dan rneminta maaf; dan sekarang tak ada orang lain dalam hidupnya selain Vronskii. Karena itu kepadanya ia meminta maaf [ . . . ] Adapun Vronskii merasakan apa yang tentunya dirasakan seorang pembunuh ketika menatap tubuh yang telah ia cabut nyawanya. Tubuh yang telah ia cabut nyawanya itu adalah cinta mereka, cinta mereka di tahap pertama. Terasa mengerikan dan menjijikkan apa yang telah mereka bayar dengan rasa malu yang menakutkan itu. Rasa malu terhadap ketelanjangan jiwa itu menekan diri Anna, dan itu menjalar kepada Vronskii." (Bagian Kedua Bab XI)
Sejak saat itu kesalahan nikmat-tragis itu tetap mengejar Anna sampai ajalnya.
Semula Tolstoi ingin menggambarkan tokoh utama novelnya sebagai seorang perempuan genit yang rentan akhlaknya. Tapi, dalam proses penulisan, martabat Anna diubah secara drastis. Dia muncul sebagai perempuan yang tahu harga diri, jujur, dan dikagumi orang. la kawin dengan suaminya yang jauh lebih tua tanpa rasa cinta karena dibujuk oleh keluarganya dan sampai pada suatu kali ia tak mampu memahami rasa cinta sejati yang sekarang me]andanya secara tiba-tiba. Karena tak bisa hidup dalam suasana dusta seperti banyak kenalannya dari high society, Anna akhirnya mengakui perzinaannya kepada sang suami.
Pembaca dapat mengikuti sendiri liku-liku peristiwa dan dunia batin para tokoh sesudah terbongkarnya rahasia itu, hal yang telah mengoyakngoyak jiwa sang suami dan bocah ciliknya. Walaupun demikian, tetap juga Anna tak mampu melupakan lelaki yang dicintainya. Tentu saja dalam benak pembaca masa kini timbul pertanyaan: untuk apa mesti timbul kehebohan ini" Kenapa Anna tidak bercerai saja dengan sang suami dan kawin lagi dengan Vronskii yang mengidamkannya" Begitu saja kok repot.
Perlu dipahami, pada masa itu, sesuai peraturan agama Kristen Ortodoks Rusia, biarpun sudah diperbolehkan, perceraian dipandang sebagai aib, dan menurut perundangan tak mudah dilaksanakan. Paling sedikit Anna akan terpaksa mengakui perzinaannya di hadapan juri pengadilan, dan itu baginya amat menyiksa. Lebih daripada itu, ia tak berhak kawin lagi melalui upacara gereja."
Untuk menyingkirkan rintangan yang menghadang, Vronskii keluar dari dinas ketentaraan dan hidup beberapa lama dengan Anna di mancanegara. Ketika mereka balik ke Rusia, ternyata pintu rumahrumah terhormat yang didiami orang dengan siapa Anna biasa bergaul tertutup baginya (tapi tidak bagi Vronskii!). Kebanyakan penghuni rumah itu sendiri, yang sekarang tak mau menemui Anna, bukannya tanpa dosa, bahkan penyelewengan mereka sudah jadi rahasia umum, tapi segala penyelewengan itu dilakukan secara "sopan", dibungkus rapi dan tidak diperlihatkan secara terbuka di podium kehidupan.
Dalam novelnya ini Tolstoi mencela kemunafikan high society semacam itu,s tapi tidak membenarkan pula tingkah-laku Anna, biarpun
2 Peraturan perceraian masa itu dijelaskan dalam berkala Golos (Suara) tahun 1873, ketika Tolstoi mulai menulis novelnya. Dalam terbitan ini, antara lain, dikatakan bahwa orang yang mengaku bersalah telah berzina, selain diharuskan bertobat (di gereja), akan dicabut haknya untuk kawin lagi. Tentu ada berma c am macam jalan keluarnya, tapl Anna tentu tak sudl memakalnya.
3 Kritik sosial paling pedas terhadap kemunafikan golongan berkuasa, peraturan negara, serta gereja resmi dikemukakan dalam novel Tolstoi yang ketiga, Voskresenyiye (Kebangkitan). lnilah novel yang mengakibatkan terkucllnya Tolstol dari Gereja Ortodoks dan diekskom unikasikan. (Novel ini sudah diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer dan diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia,
2005). 0 2 "' ia memperlihatkan bahwa perbuatan dan akibatnya yang fatal ditentukan oleh serangkaian kejadian yang tak terelakkan. Posisi Tolstoi jelas tampak dalam epigraf novel ini, yang dikutip dari Alkitab: "Pembalasan itu adalah hakKu. yang akan menuntut pembalasan."
Firman itu diambil dari "Surat Paulus kepada Jemaat di Roma", yang berbunyi:
"Saudara-saudaraku yang terkasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tapi berilah tempat kepada murka All ah, sebab ada tertulis: 'Pembalasan itu adalah hakKu. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.'" (Nasihat untuk hidup dalam kasih, Bab 12, ayat 19)
Semua pembaca, baik di Rusia maupun di mancanegara, selalu bersimpati kepada Anna, dan bi asanya menilai novel ini bukan sebagai kecaman terhadap sang tokoh utama, tapi bahkan sebagai pembelaan. Sikap ini mun cul karena posisi penulis sendiri, yaitu adanya pertentangan dalam dirinya antara pendekatan artistik dan pendekatan etis-filosofis. Secara artistik Tolstoi mengagumi tokoh utama yang diciptakannya itu, tapi dari sudut etis-filosofis ia tak membenarkan perilakunya, karena dia berpendapat bahwa pengkhianatan terhadap keluarga tak termaafkan.
Kebimbangan penul i s dalam menilai tokohnya jelas tampak dalam salah satu varian rancangan semula. Dalam varian itu Anna bercerai dengan Karenin dan kawin dengan Vronskii. Namun Tolstoi segera menolaknya, sebab manusia harus bertanggungjawab atas perbuatannya, biarpun langkah yang telah diambilnya tak terelakkan.4
Kematian Anna merupakan pukulan amat berat bagi Vronskii, biarpun hubungan mereka menjelang ajalnya sudah tegang hingga Anna mengancam bun uh diri. An ca man itu benar-benar jadi kenyataan. Tolstoi menulis: "Ia {Vronskii) mencoba mengenangkan det i k-detik paling membahagiakan bersama Anna, tapi detik-detik itu telah teracuni untuk selama-lamanya. Yang teringat olehnya hanyalah kemenangan Anna yang berhasil melaksanakan an.camannya dan menimpakan kepadanya rasa sesal sia-sia dan tak berkesudahan." (Bagian Kedelapan, Bab V)
4 Pendekatan serupa terdapat dalam novel Keluarga Geri/ya karya Pramoedya Ananta Toer yang pasti dipengaruhi oleh posisi Tolstoi. Dalam novel Pramoedya itu, tokoh utamanya tak sudi melarikan diri dari penjara menjelang pelaksanaan hukuman tembak oleh serdadu Belanda. Sang tokoh yakln bahwa tlndakannya yang keji dalam perang harus dibalas, biarpun perbuatan itu tak terelakkan dan bakal diulanginya lagi jika perlu.
Ibu Vronskii, seorang nyonya pangeran, semula memuja hubungan anak laki-lakinya dengan perempuan bersuami setaraf Anna Karenina sebagai sesuatu yang wajar dan diam-diam diterima oleh high society. Namun ketika sadar bahwa hubungan itu bukan lagi penyelewengan yang remeh, biasa, tapi merupakan cinta buta yang melanggar segala kesusilaan, ia pun mengutuk Anna, yang dianggapnya menghancurkan jiwa dua orang bermartabat sekaligus: putranya Aleksei dan suaminya sendiri. Tapi mereka yang kenal Anna dari dekat biasa menjawab kutukannya dengan parafrase Alkitab: "Bukan kami yang harus menghukumnya."
Ucapan itu punya kesesuaian dengan keyakinan Tolstoi sendiri. Seperti dikemu n ya dalam cerita panjang "Catatan Pangeran Nekhlyudov" (1857), manusia "sia-sia berusaha memisahkan kebajikan dari kejahatan dalam samudra ikehidupan yang tak henti-hentinya berubah dan mencampur-adukkan yang baik dan yang buruk" sehingga tak mampu menangkap dan memahami semua hakikat tingkah-laku orang lain. Di antara orang yang berpendapat demikian dan tak sudi mengadili tingkah-laku Anna termasuk corong sikap dan gagasan penulis, Konstantin Levin, yang berkata tentang Anna sebagai berikut: "Bukan hanya pandai, tapi ramah luarbiasa. Betul-betul aku kasihan padanya!" (Bagian Ketujuh, Bab XI)
Tolstoi tak sudi menyelesaikan novelnya dengan gambaran kematian tokoh utama. la sengaja menambah satu bag ian lagi untuk meredam situasi. Kelanjutan itu perlu juga bagi Tolstoi guna memaparkan pandangannya mengenai bermacam-macam masalah sosial dan filsafat melalui Kostantin Levin. Masalah-masalah itu mencakup situasi ekonomi dan sosial d i Rusia, yakni adanya jurang mahadalam antara yang miskin dan yang kaya, maupun dan terutama problem-problem etis, termasuk pertanyaan abadi: buat apa manusi a hidup di dunia ini, dan bagaimana meredam ketakutan terhadap malaikat maut.
Mengenai situasi sosial di Rusia, Levin, seperti Tolstoi sendiri, selalu merasa malu dengan berlimpahnya materi di tanah miliknya dibandingkan dengan kemiskinan para petani di sekelilingnya. la mengidamkan kebahagiaan bersama bagi seluruh rakyat berkat suatu revolusi-tak-berdarah dengan kekmatan moral semata, usaha yang harus dilakukan oleh setiap insan dan seluruh rakyat dalam rangka kehidupan yang sesuai dengan alam pikiran obshchina: "Kekayaan dan kelimpahan
sebagai ganti kemiskinan, kesetujuan dan keterkaitan kepentingan sebagai ganti permusuhan." Pada waktu senggang ia pun menulis buku tentang ekonomi pertanian yang tujuannya demi menjamin kesepakatan dan kesejahteraan umum itu. Tapi dalam benak dan praktek kegiatannya sebagai tuan tanah, ia selalu insaf bahwa ''kepentingan dirinya berbeda benar, tak terpahami, bahkan bertentangan dengan kepentingan mereka yang paling adil." (Bagian Ketiga, Bab XXIV)
Pandangan etis-filosofis Tolstoi, yang melahirkan ajaran dan gerakan massal yang disebut tolstovstvo (tolstoisme), memperoleh rumusan awal justru dalam halaman-halaman penutup novel Anna Karenina. Melalui Konstantin , Tolstoi dengan tegas menolak ajaran Darwin, yang bukunya masa itu diterjemahkan dan luas dibicarakan di Rusia. Dia menantang tesis pokok Darwin itentang perjuangan sengit di dunia alam demi eksistensi, yang disebarkan pula ke lingkungan manusia. Sebagai gantinya, Levin mengajukan dalil Jain yang dipinjam dari ucapan seorang petani yang bekerja di tanah miliknya, bahwa manusia harus hidup bukan demi perut, tapi demi jiwanya, dengan mengingat ajaran Isa Almasih. (Bagian Kedelapan, Bab IX)
Tokoh kesayangan Tolstoi itu mengemukakan keyakinannya bahwa ajaran yang hampir sama juga terkandung dalam semua agama di dunia, biarpun ia mengakui tak banyak tahu tentang semua agama itu. Perlu ditambahkan di sini bahwa melalui agama Tolstoi mencari dan menemukan gagasan-gagas.an mengenai cinta terhadap sesama, dan menolak di dalamnya semua elemen mitologis dan supranatural, karena bertentangan dengan aka! sehat.
Dalam beberapa karya bergaya esai yang ditulis sesudah Anna Karenina, termasuk "Ispoved" ("Pengakuan Dosa'', 1880), "V Chom Moya Vyera" ("Dalam Apa Terkandung Kepercayaan Saya", 1884), "Tak Chto Zhe Nam Dyelat?" ("Jadi, Apa yang Mesti Kita Lakukan?", 1886), "Rabstvo Nashego Vryemeni" ("Perbudakan Masa Kita"), "Tsarstvo Bozhiye Vnutri Nas" ("Kerajaan Tuhan Ada di Dalam Diri Kita"), dll., Tolstoi bermaksud mengembangkan "gagasan Levin" tentang revolusitak-berdarah dan cinta terhadap sesama manusia dengan menambah dalil perlawanan pasif terhadap" perintah atau peraturan penguasa yang tak manusiawi (prinsip ini pada .awal abad ke-20 dipinjam oleh Mahatma Gandhi di India sebagai senjata ampuh melawan penjajah Inggris).
Dalam esai-esai itu ia juga mencanangkan bahwa lembaga keningratan harus dihapuskan, karena keberadaan golongan bangsawan dalam masyarakat dijamin lewat perbudakan petani (yang te a terus dipraktekkan, biarpun secara ekonomi) dan lewat yuridiksi negara serta praktek keagamaan yang membela kepentingan golongan berkuasa. Gagasan terakhir itujustru ber tentangan dengan posisi Levin ( dan Tolstoi semasa Anna Karenina!), yang bangga akan keningratannya dan tak tergiur dengan golongan masyarakat beserta tendensi terbarunya, biarpun ia selalu mengagumi cara hidup dan pikiran para petani.
Cukup menarik bahwa simpati pembaca terhadap Anna tak selalu menular kepada tokoh yang paling sempurna, Konstantin Levin. Istri Tolstoi serta kebanyakan kenalan dekatnya juga tak menyukai insan kamil itu dan enggan menyamakan Leo Tolstoi dengan Levin (nama keluarga tokoh itu berasal dari nama Lev!). Mereka bilang, seandainya Levin adalah Lev Tolstoi, maka itu bukan Tolstoi yang pujangga, melainkan hanya Tolstoi yang guru kesusilaan.
Biarpun agak marah terhadap penilaian itu, Tolstoi sebagai pujangga juga meragukan kebenaran posisi tokoh kesayangannya itu. Keraguan itu sudah terlihat jelas di Bagian Pertama novel melalui katakata Stiva Oblonskii, yang watak egoistisnya amat berbeda dengan watak Levin: "Kamu orang yang sangat utuh. Ini merupakan hal positif yang ada pada dirimu, tapijuga negatif. Watakmu begitu utuh, dan kamu mau agar seluruh dunia tersusun dari gejala-gejala yang utuh, sedangkan sebetulnya hal seperti itu tak pernah ada [ . . . ] Semua keanekaragaman, semua kejelitaan, semua keindahan hidup ini terdiri atas cahaya dan bayangan." (Bagian Pertama, Bab XI)
"Semua keanekaragaman, semua kejelitaan, semua keindahan hidup ini terdiri atas cahaya dan bayangan." Tolstoi pasti menyetujui pernyataan ini, biarpun gagasan abstraknya, yang diucapkan oleh mulut dan pikiran Levin, banyak yang berat sebelah. Sebenamya Tolstoi, dalam semua karyanya, justru menghimbau agar pembaca mencintai kehidupan dalam keragaman udannya yang tak kunjung jenuhbegitulah tujuan kesenian menurut kata-kata Tolstoi sendiri. Jalan hidup, pikiran, tingkah-laku, bahkan tabiat tokoh-tokoh novel Anna Karenina juga terdiri atas cahaya dan bayangan, ciri-ciri gelap dan
terang, ciri-ciri positif dan negatif, yang saling bercampur dan bergelut seperti pada semua manusia di dunia ini. Dan itulah sebabnya tokohtokoh itu dihayati oleh pembaca. sebagai makhluk yang berdarah-daging, yang berjalan di samping kita.
Prof. Will en V. Sikorsky Ahli Sastra Indonesia, tinggal di Moskwa
BAGIAN PERTAMA Keluarga bahagia mirip satu dengan lainnya, keluarga tak bahagia tidak bahagia dengan jalannya sendiri-sendiri.
Semuanya kacau-balau di ah Oblonskii. Sang istri memergoki suaminya punya hubungan asmara dengan bekas guru bahasa Prancis di rumah mereka, dan ia menyatakan tak sudi lagi hidup serumah dengan sang suami. Keadaan kacau-balau itu sudah berlangsung tiga hari lamanya, dan terasa menyiksa bagi suami-istri itu sendiri maupun seluruh anggota keluarga dan orang-orang lain yang tinggal di rumah itu. Semua merasa, tak ada lagi gunanya mereka hidup bersama, dan bahwa orang-orang yang kebetulan berkumpul di losmen saja bisa lebih saling terikat ketimbang mereka, anggota keluarga dan orang-orang lain di rumah Oblonskii. Sang istri ngendon saja di kamarnya, sedangkan sang suami sudah tiga hari tak pulang ke rumah. Anak-anak berlarian di pekarangan seperti anak ayam kehilangan induknya; perempuan Inggris' bertengkar dengan pengurus rumahtangga dan menulis surat kepada teman akrabnya, minta dicarikan tempat kerja lain; kepala dapur sejak kemarin sudah pergi dari rumah, sewaktu makan siang; jurumasak, yang berkulit hitam, dan kusir minta keluar.
Hari ketiga sesudah bertengkar, Pangeran Stepan Arkadyich Oblonskii-biasa dipanggil Stiva di kalangan bangsawan-pada jam seperti biasanya, delapan pagi, terbangun bukan di kamar tidur istrinya, melainkan di kamar kerjanya, di atas dipan yang beralaskan kulit biribiri. Ia membalik badannya yang gemuk dan terawat baik itu di atas dipan berpegas tersebut, seolah ingin tidur nyenyak lagi, dan memeluk erat-erat bantal dan menekankannya ke pipi; tapi tiba-tiba ia terlompat, duduk di di pan dan membuka mata.
1 Perempuan lnggris yang dimaksud, dalam novel ini dan dalam konteks keluarga kaum bangsawan Rusia waktu itu, adalah pendidik anak dalam keluarga. 0
"' "' "Ya, ya, bagaimana itu tadi?" dia mengingat-ingat mimpinya. "Ya, bagaimana itu tadi" Ya, ya! Alabin menjamu makan siang di Darmstadt; bukan, bukan di Darmstadt, tapi terdengar seperti nama Amerika. Ya, tapi Darmstadt itu di Amerika. Ya, Alabin menjamu makan siang di atas meja-meja kaca-dan meja-meja itu menyanyi: Il mio tesoro,2 ah, bukan II mio tesoro, tapi sesuatu yang lebih baik daripada itu, dan ada kendi-kendi kecil, dan kendi-kendi itu semuanya perempuan," demikian diingatnya.
Mata Stepan Arkadyich berbioar-binar gembira, dan sambil mengingat-ingat semua itu ia pun tersenyum. "Ya, menyenangkan sekali, menyenangkan sekali. Dan masih banyak lagi yang sangat menyenangkan di situ. Dalam keadaan sadar tak mungkin semua itu diungkapkan dengan kata-kata atau pikiran." Dan ketika dilihatnya cahaya menerobos masuk dari salah satu celah kain gorden, dengan gembira ia pun menurunkan kakinya dari dipan, dan dengan kaki itu ia mencari-cari selop jahitan istrinya sendiri (hadiah hari ulangtahunnya tahun lalu), selop yang dilapisi kulit biri-biri keemasan. Dan sesuai kebiasaannya yang sudah berjalan sembilan tahun, langsung saja ia julurkan tangannya ke tempat gantungan khalafJ di kamar kerjanya. Seketika itu ia pun teringat bagaimana dan mengapa ia tak tidur di kamar tidur sang istri, tapi di kamar kerjanya; senyuman pun lenyap wajahnya; ia mengerutkan dahi.
"Alt, ah, ah! Aa!. .. " lenguhnya begitu ia teringat semua yang telah terjadi. Dan dalam ingatannya itu tergambar kembali semua rincian pertengkarannya dengan sang istri, buntunya semua penyelesaian, dan yang paling menyiksa adalah kesalahan dirinya sendiri.
"Ya! Ia tak bakal mengampuni, dan benar-benar tak sudi mengampuni. Dan yang paling mengerikan, dalam semua urusan ini aku yang keliru-aku yang keliru, tapi tak bersalah. Di sinilah letak dramanya," demikian pi ya. "Alt, ah, ah!" ucapnya putusasa, mengingat semua kesan pertengkaran yang paling berat bagi dirinya itu.
Yang paling tak menyenangkan dia adalah saat-saat pertama, ketika pulang teater dengan rasa gembira dan puas, sambil menggenggam buah pir besar untuk sang istri, ia tak menjumpai istrinya itu di kamar tamu; dengan heran ia pun tak menjumpai dia di kamar kerja, dan akhirnya ia melihat sang istri berada di kamar tidur tengah sedang memegang surat celaka itu, yang mengungkapkan segalanya.
2 II mio t (It): Kekasihku.
3 Kha/at (Rus): Kimono, baju longgar berlengan panjang.
Dia, Dolly yang menurut penilaiannya selalu penuh perhatian, sibuk, dan tidak berpikiran jaUJh, duduk bergeming sambil memegang surat, dan dengan wajah ngeri, putusasa, dan berang menatapnya. "Apa ini" Apa?" tanyanya sambil menunjukkan surat itu. Dan mengenangkan hal itu, seperti sering terjadi, yang menyiksa Stepan Arkadyich bukanlah peristiwa itu sendiri, melainkan caranya menjawab kata-kata sang istri.
Yang terjadi saat itu adalah keadaan yang lazim menimpa orang lain juga, ketika sekonyong-konyong rahasia yang sangat memalukan terbongkar. Wajahnya tak siap menghadapi situasi ketika berhadapan dengan sang istri setelah kesalahannya itu terbongkar. Ia bukannya merasa terhina, membantah, berdalih, meminta maaf, atau bersikap masa bodoh-dan semua itu tentu lebih baik ketimbang yang telah dilakukannya!-tapi wajahnya, tanpa disengaja samasekali ("refleks otak," demikian pikir Stepan ArlTerhadap senyuman bodoh itu, ia sendiri pun tak bisa memaafkannya. Melihat senyuman itu Dolly terhenyak, seolah terserang nyeri fisik, dan kemudian mulailah kobaran yang memangjadi sifatnya, banjir kata-kata keji, dan ia pun lari keluar kamar. Sejak itu Dolly tak sudi lagi melihat suaminya.
"Ini salahnya senyuman bodoh itu," pikir Stepan Arkadyich. "Tapi apa akal" Apa aka!?" katanya putusasa pada diri sendiri, tapi tak juga ia menemukan jawabannya.
Stepan Arkadyich ialah orang yang jujur pada diri sendiri. Ia tak bisa menipu diri sendiri atau berusaha mendorong dirinya betapa ia menyesali perbuatannya. Tak bisa sekarang ini ia menyesal bahwa sebagai lelaki usia tigapuluh em pat tahun, tam pan, dan mudah jatuh cinta, ia tak jatuh hati kepada sang istri, ibu lima anaknya yang hidup dan dua meninggal, yang usianya setahun lebih muda daripada dirinya. Ia menyesal melulu karena tak bisa menyimpan rahasianya dari sang istri dengan lebih rapi. Namun ia merasakan beban kesalahan itu, dan kasihan kepada istri, anak-anak, dan dirinya sendiri. Barangkali ia akan Iebih rapi lagi menyembunyikan dosa-dosanya sekiranya dia bisa menduga bahwa aklbat surat itu demikian besar terhadap istrinya. Jelaslah, Stepan Arkadyich tak pernah memperbitungkan akibat itu, tapi secara samarsamar ia pemah menduga bahwa istrinya sudab lama mencium babwa ia tidak setia, tapi bal itu didiamkan saja. Bahkan ia berpikir, sebagai perempuan yang sudab Joyo, menua, tak cantik lagi, dan sebagai ibu rumahtangga tak istimewa, biasa saja, banya baik bati, ditinjau dari rasa keadilan, seharusnya Dolly bisa bersikap rendab bati. Ternyata yang terjadi benar-benar sebaliknya.
"Ah, mengerikan! Aib, aib, aih! Mengerikan!" Stepan Arkadyicb menegask an pada diri sendiri, tapi tak juga ia bisa menemukan jalan keluarnya. "Padahal sebelum ini alangkah baik keadaan kami, dan alangkab manis hidup kami! Dolly puas, babagia dengan anak-anak, dan aku samasekali tak mencampuri urusannya. Kuberi dia kebebasan untuk menyibukkan diri dengan anak-anak dan rumabtangga, terserah apa maunya. Memang tak baikjuga bahwa di a jadi guru di rumah kami. Tak baik memang! Ada yang terasa rendab, tak senonoh, mencumbu guru sendiri. Tapi guru macam mana pula! (Maka dengan gamblang ia pun teringat mata M-lle Roland yang bitam nakal dan senyumannya.) Tapi kan waktu dia di rumah kami, aku tak berbuat macam-macam" Dan yang lebih buruk lagi, dia sudah .... Sepertinya semua itu disengaja! Aih, aib, aih! Tapi apa aka!, ya, apa aka!?"
Jawaban tak ada, kecuali jawaban umum yang diberikan kehidupan atas pertanyaan-pertanyaan paling rumit dan tak terpecahkan. Jawaban itu adalah harus tenggelam dalam urusan sebari-bari untuk melupakan diri. Melupakan diri dengan tidill.f sudah tak mungkin lag i, paling tidak sebelum malam tiba. Tak mungkin lagi ia kembali kepada musik yang dinyanyikan kendi-kendi perempuan itu; kalau begitu, ia harus melupakan diri dengan mimpi kehidupan.
"Nanti bakal selesai sendiri," kata StepanArkadyicb pada diri sendiri, dan sesudab berdiri ia pun mengenakan khalat kelabu berlapis sutra biru, mengikatkan talinya jadi satu simpul, dan sesudab menghirup udara sepuas-puasnya ke dalam rongga dadanya yang lebar, dengan langkab tegap kedua kakinya yang agak pengkar, yang dengan ringan menyangga tububnya yang gemuk, ia pun menghampiri jendela, mengangkat kain gorden, dan membunyikan bel keras-keras. Mendengar bel, seketika itu pula masuk sobat tuanya, pelayan kamar bernama Matvei, membawa pakaian, sepatu bot, dan telegram. Di belakang Matvei menyusul tukang cukur dengan peralatannya.
"Dari kantor ada kertas-kertas?" tanya Stepan Arkadyich sambil mengambil telegram, lalu duduk mengbadap cermin.
" Ada d i atas meja," jawab Matvei sambil menoleh dengan nada ragu, nada prihatin, kepada tuannya, dan sesudah menanti sebentar, ia sambung dengan disertai senyuman cerdas: " Ada yang datang dari pemilik kereta."
Stepan Arkadyich tidak menjawab, hanya menoleh kepada Matvei lewat cermin; dalam cermin itu tampak betapa mereka sal i ng mengerti. Tatapan mata Stepan Arkadyich seolah bertanya: "Buat apa kamu katakan itu" Memangnya kamu tak tahu?"
Matvei memasukkan kedua tangannya ke kantong jaket, merenggangkan sebelah kakinya tanpa mengucapkan sesuatu, bersikap lunak, dan sambil tersenyum sedikit menatap tuannya.
"Sudah saya suruh datang Minggu nanti, dan supaya di hari itu ia tidak menyusahkan Tuan dan diri sendiri secara sia-sia," katanya dengan kalimat yang agaknya sudah di siapkan lebih dulu.
Stepan Arkadyich mengerti bahwa Matvei ingin berkelakar dan minta perhatian. Disobeknya sampul, dibacanya telegram, dan sesudab mereka-reka makna kata-kata yang selalu diputarbalikkan seperti biasa, wajahnya pun berseri.
"Matvei, saudara perempuanku Anna Arkadevna datang besok," katanya sambil menghentikan sebentar tangan tukang cukur yang gemuk berminyak itu, yang tengah menyisir belahan merah muda cambang Stepan Arkadyich yang panjang ikal.
"Syukurlah," kata Matvei. Dengan jawaban itu ia menunjukkan bahwa seperti tuannya, ia pun memahami makna kedatangan itu, bahwa Anna Arkadevna, saudara tersayang Stepan ch, diharapkan bisa merujukkan suami-istri itu.
"Sendirian atau dengan suami?" tanya Matvei.
Stepan Arkadyich tak bisa menjawab, karena tukang cukur tengah sibuk dengan bagian bibir atasnya. Maka Stepan Arkadyich mengangkat satu jarinya. Matvei mengangguk, tampak pada cermin. "Sendiri. Siapkan kamar atas?"
"Sampaikan pada Darya Aleksandrovna, di kamar mana dia perintahkan."
"Darya Aleksandrovna?" ulang Matvei seolah ragu.
"Ya, sampaikan. Ini, ambil telegram ini, sampaikan, apa nanti katanya."
"Tuan mau coba-coba rupanya," pikir Matvei, tapi ia hanya mengatakan: "Baik, Tuan." Stepan Arkadyich sudah mencuci muka dan bersisir, dan siap mengenakan pakaian ketika Matvei masuk kamar lagi dengan langkah perlahan, dan sepatu botnya berder it-derit, sambil membawa telegram. Tukang cukur sudah pergi.
"Darya Aleksandrovna memerintahkan untuk memberitahu bahwa beliau akan pergi. Biarlah dia melakukan apa yang baik buat beliau, art inya buat Tuan," katanya sambil ketawa dengan matanya, dan sambil memasukkan tangan ke kantong baju dan menundukkan kepala ke samping, ia melihat tuannya.
Stepan Arkadyich terdiam. Kemudian senyuman akrab dan agak memelas tampak di wajahnya yang tampan.
"Ha" Matvei?" katanya sambil menggelengkan kepala. "Tidak apa, Tuan, semuanya bakal heres," kata Matvei. "Bakal beres?"
"Begitulah, Tuan."
"Begitu pendapatmu" Siapa di sana itu?" tanya Stepan Arkadyich ketika mendengar desir gaun perempuan d i sebelah sana pintu.
"Ini saya, Tuan," kata suara perempuan yang tegas tapi menyenangkan, dan batik pintu nongol wajah keras dan bopeng Matryona Filimonovna, pengasuh anak.
"Ada apa, Matryosha?" tanya Stepan Arkadyich sambil menghampiri Matryona di pintu.
Betapapun bersalahnya Stepan Arkadyich kepada sang istri, dan i a sendiri pun merasa demikian, hampir semua orang di rumah itu, bahkan pengasuh anak itu, yang jadi sahabat utama Darya Aleksandrovna, berdiri di pihak Stepan Arkadyich.
"Ada apa ?" kata Stepan Arkadyich murung.
"Sebaiknya Tuan meminta maaf, Tuan. Siapa tahu Tuhan berkenan. Sengsara sekali Nyonya, kasihan melihat dia, dan lagi di rumah semuanya jadi kacau begini. Mesti kasihan pada anak-anak, Tuan. Mintalah maaf, Tuan. Apa boleh buat! Kalau mau manisnya, mesti tahu pahitnya .... " "Tapi tak bakal aku dimaafkan .... "
"Cobalah dulu. Tuhan Maha Pengampun, berdoalah pada Tuhan, Tuan, berdoa pada Tuhan."
"Baiklah, baiklah, pergi sana," kata Stepan Arkadyich yang kontan memerah wajahnya. "Nab, marl kita berpakaian," katanya kepada Matvei, dan dengan si gap melepaskan khalatnya.
Sambil meniup sesuatu yang tak terlihat, Matvei memegang bagian kerah kemeja yang su disi apkan, clan dengan rasa puas yang begitu tampak, ia masukkan tubuh tuannya yang terawat baik itu ke dalam kemeja.
III Sesudah berpakaian, Stepan Arkadyich memerc iki tubuhnya dengan minyak wangi, meluruskan lengan kemejanya, dan dengan luwes memasukkan ke dalam kantong-kantong kemejanya: papiros, dompet, korekapi, dan arloji berantaiganda dan bercap. Dan sesudah mengebutkan saputangan dan merasa diri bersih, harum, segar, dan gembira secara fisik, sekalipun sedang mengalami peristiwa yang tak membahagiakan, ia pun menuju ke kamar makan dengan kaki agak gemetar, dan di situ sudah menunggu kopinya, dan di samping kopi bertumpuk surat-surat dan kertas-kertas dari kantor.
Ia baca surat-surat itu. Satu di antaranya sangat tidak menyenangkan-dari seorang pedagang yang telah membeli hutan milik istrinya. Hutan itu memang terpaksa dijual; tapi kini, sebelum berdamai dengan istrinya, tak mungkin ada pembicaraan tentang penjualan hutan itu. Yang paling tak menyenangkan dalam urusan ini, bahwa kepentingan uang terkait dengan soal perdamaian dengan sang istri. Dan kemungkinan bahwa ia bisa dikendalikan kepentingan itu, dan bahwa untuk menjual hutan itu ia terpaksa berdamai dengan sang istri, sungguh mengganggu peras aann ya.
Selesai membaca surat, Stepan Arkadyich menggeser kertas-kertas ke dekatnya dan dengan cepat membalik-balik berkas dua perkara, lalu dengan pensil besar ia membuat beberapa catatan. Sesudah menyingkirkan kedua perkara itu, ia pun minum kopi; habis minum kopi ia membuka koran pagi yang masih basah karena embun, dan mulai membaca.
Stepan Arkadyich menganut dan membaca koran liberal, bukan yang ekstrem, tapi yang alirannya dianut kebanyakan orang. Sekalipun samasekali tidak tertarik pada ilmu, kesenian, maupun politik, dengan teguh ia meyakini pandangan yang d ianut kebanyakan orang dan korannya terhadap biclang-bidang tersebut, clan ia barn akan mengubah panclangannya bila kebanyakan orang mengubahnya, atau lebih tepat di katakan bahwa Stepan Arkadyich tidak mengubah pandangannya, melainkan pandangan itu yang secara tak terasa berubah dalam dirinya.
Stepan Arkadyich tidak memihak satu aliran atau pandangan, tapi aliran dan pandangan itu yang daitang kepadanya, sama seperti halnya ia tidak memilih bentuk topi atau jas resmi, melainkan ikut saja yang umum dikenakan orang. Punya pandangan, bagi dia yang h idup di tengah-tengah ma t yang sudah dikenal dan berpikiran sederhana, yaitu pikiran yang bi asanya berkembang pada usi a matang, adalah amat penting seperti halnya memi l iki topi. Kalaupun ada alasan kenapa i a lebih menyukai aliran liberal ketimbang konservatif, seperti dianut kebanyakan orang dari kalangannya, hal itu b karena menurut penilai annya aliran liberal lebih masuk , melainkan karena aliran itu lebih cocok dengan gaya hidupnya. Partai liberal mengatakan, di Rusi a semuanya buruk, dan memang Stepan Arkad!yich punya banyak utang, sedangkan uang yang ada samasekali tak mencukupi. Partai liberal mengatakan, perkawinan adalah lembaga kuno yang harus disusun kembali, dan memang, kehidupan keluarga hanya sedikit memberi kenikmatan kepada Stepan Arkadyich, dan memaksanya berbohong dan berpurapura, padahal itu memuakkan dirinya. Partai liberal mengatakan, atau lebih tepat bermaksud mengatakan, agama hanya merupakan kekang bagi sebagian penduduk yang biadab, dan memang Stepan Arkadyich tak tahan mendengarkan doa, bahkan yang pendek sekalipun, tanpa merasa nyeri di kaki, dan ia tak habis pikir apa gunanya semua kata-kata yang mengerikan dan muluk-muluk ten tang duniasana itu, padahal di dunia ini kiranya orang bisa hidup dengan gembira. Selain itu, Stepan Arkadyich, orang yang suka lelucon itu, terkadang mencengangkan orang beriman dengan pendapatnya bahwa jika hendak membanggakan asalusul, maka seharusnya orang tidak berhenti hanya sampai pada Ryurik dan menolak nenek-moyang yang pertama, yaitu monyet. Begitulah, aliran liberal jadi adat kebi asaan bagi Stepan Arkadyich, dan ia amat menyukai korannya, seperti halnya ia menyukai cerutu sesudah makan siang, karena cerutu mendatangkan kabut dalam benaknya. Ia membaca tajuk rencana yang menjelaskan bahwa di zaman kita ini sia-sia sajalah meneriakkan jeritan bahwa radikalisme bakal menelan semua unsur konservatif, dan pemerintah wajib mengambil langkah-langkah untuk menindas ular revolusi. Sebaliknya, "Menurut pendapat kami, bahaya bukan terletak pada ular revolusi yang hanya khayalan, melainkan pada bercokolnya tradisionalitas yang menghambat kemajuan, n dsb. Ia pun membaca tulisan lain tentang masalah keuangan, di mana disinggung nama Bentam dan Mill, dan dilontarkan kritik pedas kepada
kementerian keuangan. Dengan daya tangkap cerdas yang memang jadi cirinya, ia mampu memahami makna kritik pedas apapun: dari siapa dan untuk siapa, dan dalam rangka apa kritik itu dilontarkan, dan itu senantiasa memberinya rasa puas. Tapi hari i n i rasa puas itu teracuni ingatan nasihat-nasihat Matryona Filimonovna dan pe aannya bahwa d i rumah itu semuanya kacau-balau. la baca pula berita bahwa Graf Beist, menurut kabar ang in, telah melewati Wiesbaden, dan bahwa sekarang tak lagi beruban, tentang penjualan kereta sederhana, dan tentang lamaran seorang pemuda; tapi berita-berita itu tak memberinya kepuasan tersembunyi dan ironis seperti sebelumnya.
Selesai dengan koran, cangkir kopi kedua, dan roti kalach4 dengan mentega, ia berdiri, mengibaskan remah-remah kalach dari rompinya, dan sesudah menegapkan dadanya yang bidang ia pun tersenyum riang, bukan karena dalamjiwanya ada sesuatu yang menyenangkan-senyuman riang itu lebih disebabkan karena pencernaannya beg itu baik.
Tapi senyuman riang itu kini mengingatkan dia kepada semuanya, dan ia pun termenung lagi.
Dua suara anak-anak (Stepan Arkadyich mengenal suara Grisha, anak laki yang kec il, dan Tanya, anak perempuan yang besar) terdengar di sebelah sana pi ntu. Mereka membawa sesuatu dan terjatuh.
"Saya kan sudah bilang, jangan menaruh pen um pang di a tap," teriak anak perempuan dalam bahasa Inggris, "nah, pungut sendiri!"
"Semuanya kacau," pikir Stepan Arkadyich, "anak-anak berlarian sendiri." Dan i a pun mendekat ke pintu, memanggil mereka. Mereka melemparkan kotak yang berbentuk keretaapi, lalu masuk menemui ayahnya.
Gadis kecil kesayangan ayah itu berlari masuk dengan berani, memeluk ayah, dan sambil ketawa menggelantung di leher ayahnya seperti bi asa, senang mencium bau minyak wangi yang menyebar dari cambang ayahnya. Sesudah akhirnya mencium wajah ayahnya yang memerah karena membungkuk dan berseri penuh kemesraan, gadis kec il itu pun melepaskan kedua tangannya dan berlar i kembali, tapi sang ayah menahannya.
"Bagaimana Mama?" tanyanya sambil membelai I eh er anak gadisnya yang licin lembut. "Selamat pagi," katanya lagi kepada sang anak lelaki yang menyapanya.
4 Kalach (Rus): Sejenis roti kering.
Ia sadar bahwa dirinya kurang mencintai anak lelakinya itu, walaupun ia senantiasa berusaha bersikap sama; dan anak itu merasakannya, sehingga ia tak membalas senyuman dingin ayahnya dengan senyuman. "Mama" Sudah bangun," jawa b anak perempuan.
Stepan Arkadyich menarik napas. "Jadi, i a tak tidur lagi sepanjang malam," pikirnya.
"Bagaimana, Mama gembira?"
Anak perempuan itu tahu bahwa ayah dan ibunya bertengkar. Karena itu, tak mungkin i bunya gemb , dan sang ayah harus tahu hal itu. Ia tahu, dengan pertanyaan yang diajukan dengan enteng itu, ayahnya hanya berbasa-basi. Dan memerahlah wajah anak itu karena tingkah ayahnya. Seketika itu juga sang ayah mengerti, dan wajahnya memerah pula.
"Entah," kata sang anak. "Mama tidak menyuruh belajar, ta pi menyuruh pergi main dengan Miss Gull ke rumah Nenek."
"Kalau begitu, pergilah, Tanchurochka-ku. 0, ya, tunggu," kata sang ayah masih memegang dan membelai tangan anaknya yang lembut.
Diambilnya kotak permen dari perapian tempat i a menyimpannya kemar in, dan diberikannya kepada. sang anak dua buah, dipilih yangjadi kesayangannya, coklat dan pomade.
"Buat Grisha?" kata sang anak perempuan sambil menunjuk yang coklat.
"Ya, ya." Dan sesudah dibelainya lagi bahu sang anak, diciumnya akar rambut anak itu, baru dilepaskan.
nya. "Kereta siap," kata Matvei. "Tapi ada tamu perempuan," tambah"Sudah lama?" tanya Stepan Arkadyich. "Setengah jam."
"Berapa kali kuperintahkan kamu supaya segera melaporkan!" "Tapi Tuan kan perlu waktu buat minum kopi?" kata Matvei dengan nada kasar-bersahabat, nada yang tak bisa dibalas dengan kemarahan.
"Kalau begitu, lekas suruh masuk," kata Oblonskii sambil mengerutkan dahi karena kecewa.
Tamu itu, Kapten Staf Kalinina, mengajukan permohonan tentang hal yang mustahil dan bodoh; tapi sebagaimana biasa, Stepan ch mempersilakan dia duduk, dan tanpa menyela i a mendengarkan katakata tamu itu dengan penuh perhatian, lalu memberinya nasihat secara rinci kepada siapa dan bagaimana cara mengajukan permohonan, dan
bahkan dengan cekatan dan rapi, dengan tulisan besar-besar, panjangpanjang, indah, dan jelas i a tuliskan nota untuk pihak yang kiranya bisa membantu sang tamu. Sesudah melepas kapten staf, Stepan Arkadyich mengambil topi dan berhenti untuk mengingat-ingat apakah tak ada yang terlupa. Ternyata tak ada, kecuali yang memang ingin ia lupakansang istri.
"Ah, ya!" ia tundukkan kepala, dan wajahnya yang tampan pun menampakkan kesan memelas. "Ke situ atau tidak?" katanya pada dir i sendiri. Suara batinnya mengatakan bahwa ia tak perlu pergi ke situ, bahwa selain kepalsuan tak ada yang bakal terjadi di situ, dan bahwa melempangkan dan memperbaiki lagi hubungan mereka sudah tak mungkin, sebab mustahil membuat perempuan itu kembali memesona dan membangkitkan rasa cinta, atau membuat dirinya sebagai lelaki tua yang mampu mencintai. Selain kepalsuan dan kebohongan, tak ada hal lain lagi yang akan muncul sekarang ini; dan kepalsuan serta kebohongan bertentangan dengan nalurinya.
"Tapi perlu juga rasanya; kan tak bisa ini dibiarkan begitu saja," katanya mencoba memberanikan diri. Ia menegapkan dadanya, mengeluarkan sebatang papiros, merokok, mengembuskan dua kali, melemparkannya ke asbak indung mutiara, dan dengan langkah cepat melintasi kamar tamu yang muram dan membuka pintu yang lain, pintu kamar tidur sang istri.
Darya Aleksandrovna yang mengenakan blus dan kepangan rambut bertusuk konde di tengkuk, dengan rambut yang telah jarang, rambut yang sebelumnya, i a mengatakan pada diri sendiri bahwa ha! ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Ia harus mengambil tindakan, menghukum, mempermalukan sang suami, dan membalas dendam, sekalipun hanya untuk membalas sebagian rasa nyeri akibat perbuatan sang suami terhadap dirinya. Waktu itu ia masih mengatakan akan meninggalkan suaminya, tapi ia merasa tindakan itu mustahil; mustahil karena i a tak mampu melepaskan kebi asaannya menganggap Stepan Arkadyich sebagai suami, dan mencintainya. Selain itu, ia merasa bahwa di sini saja, di rumah sendiri, ia hampir ta.k sanggup mengurus kelima anaknya, apalagi di tempat yang akan ditujunya bersama mereka semua. Dalam tiga hari itu pun yang paling kecil telah jatuh sakit karena mendapat kaldu yang kurang baik, sedangkan yang lain-lain kemarin hampir tidak makan samasekali. Ia merasa bahwa pergi sudah tak mungkin; namun dengan membohongi diri sendiri, ia toh mengemasi barang-barangnya dan berpura-pura akan pergi.
Melihat sang suami, ia segera. memasukkan tangan ke dalam meja laci seolah-olah sedang mencari sesuatu, dan baru menoleh ketika sang suami sudah amat dekat dengan d ia. Namun kesan wajah keras dan angker yang hendak ia perlihatkan ternyata malah mengungkapkan kebingungan dan penderitaan.
"Dolly!" kata Stepan Arkadyich dengan suara lirih takut-takut. Ia jatuhkan kepalanya ke bahu, dan ia ingin memperlihatkan tampang memelas dan patuh, tapi yang tampak malah kesegaran dan kebugaran.
Dengan cepat Dolly menatap Stepan Arkadyich yang tampak segar dan bugar itu ujung kepala sampai u jung kaki. "Ya, dia bahagia dan puas!" pikirnya, "Tapi aku" Dan, sikap baiknya itu memuakkan; tapi justru karena sikap baiknya itu semua orang mencintai dan memujinya; aku benci sikapnya yang baik itu.," pikimya. Mulutnya terkatup, otot pipinya yang sebelah kanan bergetar di wajahnya yang pucat resah.
"Anda perlu apa?" katanya cepat dengan suara dada yang bukan suara sendiri.
"Dolly!" ulang Stepan Arkadyich dengan suara bergetar. "Anna akan datang hari ini. n
"Lalu apa urusannya denganku" Aku tak bisa menerimanya!" Dolly memekik.
"Jangan begitu, Dolly .... "
"Pergi, pergi, pergi!" dia memekik lagi tanpa memandang suaminya, seolah pekikan itu akibat nyeri fisik.
Stepan Arkadyich bisa saja bersikap tenang bila memikirkan sang istri, berharap semuanya bakal beres seperti kata Matvei, dan dengan tenang bisa membaca koran dan meminum kopi; tapi kalau sudah melihat wajah istrinya yang tersiksa dan menderita, mendengar suaranya yang pasrah kepada nasib dan putusasa itu, tercekiklah napasnya, seolah ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya, dan matanya berkilat-kilat karena airmata.
"Ya Tuhan, apa yang telah uat! Dolly! Dem i Tuhan!. .. Buka ... ," tak sanggup lagi ia melanjutkan; ratapannya terhenti di tenggorokan.
Dolly membanting pintu meja laci, dan menoleh kepada Stepan Arkadyich.
"Dolly, apa yang mesti kulakukan" ... Hanya satu: maaf, maaf .... Ingatlah, apa hidup sembilan tahun ini tak mampu menebus menitmenit, menit-menit .... "
Dolly menundukkan kepala seraya menantikan apa yang bakal dikatakan suaminya, seolah-olah berdoa agar suaminya membantah kenyataan yang ia temukan.
"Menit-menit asmara ... ," ujar Stepan Arkadyich, dan i a hendak meneruskan, tapi mendengar kata itu, kembali kedua bibir Dollyt p, dan kembali otot pipi di sisi kanan wajah Dolly mulai menggeletar, seakan-akan karena nyeri fisik.
"Pergi, pergi dari sini!" Dolly memekik lebih menghunjam lagi. "Dan jangan bicara dengan saya tentang asmara dan kemesuman Anda!"
Dolly hendak pergi dari situ, tapi terhuyung, lalu berpegangan pada sandaran kursi. Wajah St:epan Arkadyich mengembang, bibirnya mengembung, matanya basah.
"Dolly!" ujar Stepan Arkadyich, kini sudah sambil tersedu. "Demi Tuhan, pikirkanlah anak-anak, mereka tak bersalah. Aku yang salah, hukumlah aku, perintahkan alru menebus kesalahanku. Apa yang bisa kulakukan, aku siap melakukan'. ! Tapi, Dolly, maafkan!"
Dolly duduk. Stepan Arkadyich mendengar napasnya yang berat, keras, dan i a pun merasa sangat kasihan kepada istrinya. Beberapa kali istrinya hendak bicara, tapi tak mampu. Stepan Arkadyich menunggu.
"Kamu ingat anak-anak cuma untuk bermain, sedangkan aku ingat dan tahu bahwa mereka sudah mati sekarang," katanya mengucapkan satu dari kalimat-kalimat yang agaknya sudah tiga hari itu ia ucapkan pada diri sendiri.
Ia menggunakan kata "kamu" untuk Stepan Arkadyich, dan Stepan Arkadyich memandang istrinya dengan rasa terimakasih, lalu beranjak hendak memegang tangannya, tapi sang istri menjauh dengan rasa muak.
"Alm ingat anak-anak, dan karena itu kulakukan segala yang mungkin di dunia ini untuk menyelamatkan mereka; tapi aku sendiri tak tahu bagaimana harus menyelamatkan mereka: apakah dengan menjauhkan mereka dari ayahnya, atau dengan meninggalkan mereka pada ayahnya yang cabul-ya, pada ayahnya yang cabul .... Coba katakan, apakah sesudah ... yang terjadi itu, apa mungkin kita hidup bersama lagi" Apa itu mungkin" Coba katakan, apa itu mungkin?" Dolly mengulangulang dengan suara ditinggikan. "Sesudah suamiku, ayah anak-anakku, menjalin hubungan asmara dengan guru anak-anaknya sendiri .... "
"Lalu apa yang mesti kuperbuat?" kata Stepan Arkadyich dengan suara mengibakan. Ia sendiri tak tahu apa yang mesti diperbuatnya. Dan ia makin merundukkan kepala.
"Anda, bagi saya sekarang ini, mesum, menji jikkan!" Pekikan Dolly makin lama makin meluap. "Airmata Anda itu hanya a ir! Anda tidak pernah mencintai saya; dalam diri Anda itu, tidak ada nurani atau kemuliaan! Anda, buat saya, memuakkan, mesum, asing, ya, betul-betul asing!" ucap Dolly dengan rasa nyeri dan marah ketika mengucapkan kata asing yang buatnya sendiri terasa mengerikan.
Stepan Arkadyich memandangnya, dan kemarahan yang terpancar di wajah istrinya pun membuat dia takut dan sekaligus heran. Ia tak habis pikir bahwa rasa belas-kasihan kepada istrinya itujustru membuat sang istri jengkel. Dolly melihat bahwa yang ditunjukkan Stepan Arkadyich kepada dia adalah sesal, dan bukan cinta. "Tidak, i a membenciku. Ia tak bakal memaafkan aku," pikir Stepan Arkadyich.
"Ini mengerikan! Mengerikan!" ujarnya.
Pada waktu itu terdengar seorang anak menjerit di kamar lain, agaknya karena jatuh; Darya Aleksandrovna mendengar-dengarkan, dan wajahnya pun tiba-tiba melunak.
Agaknya, untuk beberapa detik, i a tak ingat d irinya send iri, seakanakan ia tak tahu berada di mana dan apa yang harus dilakukannya, tapi kemudian i a segera bangkit dan menuju ke ke pintu.
"Tapi d i a mencintai anakku," pikir Stepan Arkadyich ketika melihat perubahan di wajah istrinya mendengar jeritan anak itu, "anakku; bagaimana bisa ia membenciku?"
"Dolly, sepatah kata lagi saja," kata Stepan Arkadyich sambil membuntuti istrinya.
"Kalau Anda membuntuti saya, akan saya panggil orang-orang, anak-anak! Biar semua orang tahu bahwa Anda itu bajingan! Sekarang saya akan pergi, dan tinggallah Anda di sini bersama gendak Anda!" Dan dengan membanting pintu Dolly pun keluar.
Stepan Arkadyich menarik napas, mengusap muka, dan dengan langkah perlahan keluar dari kamar. "Matv e i bilang: semua bakal heres; tapi ini" Aku bahkan tak melihat kemungkinan itu. Ah, ah, mengerikan sekali! Dan dengan kampungan sekali i a memekik," katanya pada diri sendiri, teringat pekikan dan kata-kata istri nya: bajingan dan gendak. "Dan barangkali anak-anak perempuan itu mendengarnya! Kampungan sekali, mengerikan!" Beberapa detik lamanya Stepan Arkadyich berdiri seorang diri, mengusap mata, menarik napas, dan sesudah menegapkan dada ia pun keluar dari kamar.
Hari itu Jumat, dan di kamar makan orang Jerman tukang arloji sedang memutar jam. Stepan Arkadyich ingat leluconnya sendir i tentang tukang jam yang botak dan teliti itu, katanya, "Orang Jerman itu selama hidup diputar agar bisa memu1tar jam," dan i a pun tersenyum. Stepan Arkadyich suka sekali lelucon yang baik. "Tapi barangkali juga semuanya bakal heres! Bagus juga kata-kata itu: semuanya bakal ," piki . "Ini harus diceritakan."
"Matvei! Siapkan bersama Maria kamar untuk Anna Arkadevna," serunya kepada Matvei yang barn muncul.
"Baik, Tuan." Stepan Arkadyich mengenakan mantel bulu dan keluar ke beranda. "Tuan tidak akan makan di rumah?" kata Matvei yang mengantarkan.
"Kalau terpaksa. Ambil ini ll>uat bayar-bayar," katanya sambil memberikan uang sepuluh rube! dari dompetnya. "Cukup?"
"Cukup atau tak cukup, jelas perlu diatasi," kata Matvei sambil menutup pintu dan melangkah ke beranda.
Sementara itu Darya Aleksandrovna yang sudah menenangkan anaknya, dan dari bunyi kereta mengerti bahwa suaminya telah pergi, kembali masuk ke kamar tidur. iKamar itu, bag inya, satu-satunya tempat pelarian dari segala urusan rumah yang langsung menerpanya begitu ia keluar dari dalam kamar. Sekarang i ni pun, dalam waktu singkat, ketika ia keluar dan masuk ke kamar anak-anak, perempuan Inggris dan Matryona Filimonovna sudah mengajukan beberapa pertanyaan mendesak yang hanya dia seorang yang bisa menjawabnya: apa yang mesti di kenakan kepada anak-anak untukjalan-jalan" Apa mereka mesti diber i susu" Apa tak perlu memanggil koki yang lain"
"Ah, jangan ganggu, jangan ganggu aku!" kata Dolly, dan sekembali ke kamartidur ia pun duduk lagi di tempat yang tadi didudukinya sewaktu bicara dengan sang suami, sambil menjalinkan kedua tangannya, dan cincin-cincinnya merosot dari jari-jarinya yang kurus, dan mulailah i a memilah-milah dalam ingatannya seluruh percakapan dengan suaminya. "Dia sudah pergi sekarang! Tapi apa mungkin ia mengakh iri hubungannya dengan dia?" pikirnya. "Bertemukah ia dengannya" Kenapa tadi tidak kutanyakan itu padanya" Tidak, tidak, tak mungkin kami sejalan lagi. Kalaupun kami tinggal di satu rumah, kami orang lain. Orang lain untuk selamanya!" ucapnya mengulangi kata itu, yang bagi dia mengerikan, dalam makna khusus. "Padahal dulu betapa aku mencintainya, ya Tuhan, betapa aku mencintainya!. .. Alangkah cintanya aku! Sekarang ini pun, apa aku tidak mencintainya lagi" Apakah tak lebih dari biasanya aku menc inta inya" Mengerikan, dan yang penting, itu ... ," demikian ia memulai, tapi tak meneruskan jalan pi kirannya, karena Matryona Filimonovna sudah muncul di pintu.
"Nyonya perintahkanlah memanggil koki," katanya, "biar dia menyiapkan makan si ang; kalau tidak, nanti sepert i kemarin, sampai jam enam anak-anak tak makan."
"Baiklah, sebentar lagi aku keluar mengaturnya. Apa sudah minta dikirim susu segar?"
Darya Aleksandrovna pun sili>uk dengan berbagai urusan seharihari, dan untuk sementara ia menenggelamkan kesedihannya dalam urusan itu.
Stepan Arkadyich belajar dengan baik di sekolah karena berbakat baik, tapi ia malas dan suka main-main. Karena itu ia termasuk yang paling akhir lulus sekolah. Sekalipun hidup berfoya-foya, berpangkat rendah dan masih muda, ia memegang jabatan kepala yang terhormat dengan gaji besar di salah satu kantor di Moskwa. Jabatan itu ia peroleh lewat suami saudara perempuannya, Anna, yaitu Aleksei Aleksandrovich Kareni n, yang menduduki salah satu pos terpenting di kementerian yang membawahi kantor tersebut. Sekiranya Karenin tidak menunjuk iparnya untuk memegangjabatan itu, lewat ratusan orang lain, saudara laki-laki, saudara perempuan, sanak-saudara, saudara sepupu, paman, bibi, Stiva Oblonskii kiranya juga bisa menduduki jabatan itu atau yang serupa dengan jabatan itu, dengan gaji sekitar enamribu yang memang diperlukannya, karena walaupun harta istrinya mencukupi, usahanya sendiri waktu itu sedang jatuh.
Setengah penduduk Moskwa dan Petersburg adalah sanak-saudara dan sahabat Stepan Arkadyich. Ia dilahirkan di tengah-tengah orangorang kuat dan jadi kuat di dunia ini. Sepertiga orang pemerintahan, orang-orang tua, adalah konco ayahnya dan i a menyebut mereka orang sendiri. Sepertiga lagi bicara "kamu" dengan dia. Dan sepertiga sisanya adalah para kenalan baik. Jadi, mereka adalah pembagi rezeki dunia dalam bentuk kedudukan, uang sewa, konsesi, dan yang serupa dengan itu. Mereka tak mungkin melaogkahi orang sendiri, dan Oblonskii tak perlu melakukan usaba luarbiasa untuk memperoleb kedudukan yang menguntungkan itu. Yang d iperlukan cuma tidak menolak, tidak iri, tidak bertengkar, tidak tersinggung, suatu hal yang memang tak pernah ia lakukan, berkat kebaikan hati yang jadi cir inya. Buat dia, akan terasa lucu jika kepadanya dikatakan bahwa ia tidak akan memperoleh jabatan dengan gaji yang sesuai kebutuhannya, lebih-lebih karena i a tidak menuntut sesuatu yang luarbiasa; i a hanya menghendaki apa yang diterima orang-orang yang seusia dengannya, dan kewajiban seperti itu bisa ia lakukan tak kalah baiknya dengan siapapun juga.
Stepan Arkadyich bukan hanya dicintai semua orang yang mengenal wataknya yang baikdan periang, ta pi ketulusannyajuga tak diragukan lagi. Dalam dirinya, dalam wujud luarnya yang tampan cerah, pada matanya yang bersinar, pada alisnya yang hitam, pada rambutnya, pada kulitnya yang putih, dan di wajahnya yang kemerahan, terdapat sesuatu yang secara fisik langsung berpengaruh terhadap orang-orang yang bertemu dengannya, sehingga mereka kontan bersikap ramah dan akrab. "Aha! Stiva! Oblonskii! Ini dia!" demikian ucap orang hampir selalu sambi.l tersenyum sewaktu bertemu dengan dia. Bila kadang-kadang terjadi bahwa sesudah berbicara dengan d i a ternyata tidak ada sesuatu yang menggembirakan, maka pada hari yang lain, pada hari ketiga, kembali semuanya bergembira persis seperti pertamakali bertemu dengan dia.
Sampai tahun ketiga memegang jabatan kepala di salah satu kantor di Moskwa, Stepan Arkadyich, selain disayangi, juga dihormati rekanrekannya, bawahannya, atasannya, dan semua yang berurusan dengan dia. Keutamaan Stepan Arkadyich yang menyebabkan di a dihormati secara umum dalam pekerjaan, pertama, sikap rendah hatinya yang luarbiasa kepada semua orang berdasarkan kesadaran pribadi bahwa i a pun punya kekurangan-kekurangan; kedua, sikap liberalnya yang sempurna bukanlah sikap yang diperoleh dari membaca koran, melainkan sikap yang sudah ada dalam darahnya, dan dengan sikap itu i a mengambil posisi duduk sama rendah berdir i sama tinggi, tidak membeda-bedakan orang berdasarkan kekayaan atau gelarnya; dan ketiga-yang pentingsikap pedulinya yang sempurna terhadap apa yang jadi urusannya, sehingga tak pemah i a tidak keranjingan dan membuat kesalahan.
Setiba di tempat kerja, Stepan Arkadyich, diiringi penjaga pintu yang dengan hormat membawakan tas kerjanya yang kecil dan berseragam, masukkekantor. Semuajuru tulis dan pegawai pada berdiri, membungkuk dengan sikap gembira dan hormat. Seperti biasa, Stepan Arkadyich dengan tergesa-gesa menuju ke kursinya, berjabat tangan dengan para anggota, dan duduk. Ia berkelakar dan bicara seperlunya, baru mulai bekerja. Tak seorang pun sanggup mengungguli kemampuannya dalam menerapkan batas-batas kebebasan, kesederhanaan, dan sikap resmi yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan secara menyenangkan. Sekretaris yang bersikap riang dan hormat, seperti semua yang ada di sekitar Stepan Arkadyich, datang membawa kertas-kertas dan bicara dengan nada bebas seperti dicontohkan Stepan Arkadyich:
"Kam i akhirnya berhasil juga memperoleh keterangan dar i pemerintah gubernias Penzenskaya. Kami persilakan .... "
"Jadi a ya dapat juga?" ujar Stepan Arkadyich sambil meletakkan jarinya ke atas kertas itu. "Nah, Tuan-tuan .... " Dan mulailah direktorat bekerja.
"Sekiranya mereka tahu," demikian pikir Stepan Arkadyich, yang dengan wajah penuh arti menundukkan kepala ketika mendengarkan laporan, "bahwa setengah jam yang lalu ketua mereka sudah jadi anak kecil yang bersalah!" Dan matanya pun ketawa mendengarkan laporan itu. Acara itu harus dilanjutkan sampa i pukul dua-istirahat, lalu makan pagi.6
5 Gubernia (Rus): Daerah setingkat provinsi.
6 Karena iklim dan faktor k e m as y a rakatan , orang Rusia biasa menunda makan pagi hingga sore hari menu rut ukuran orang Indonesia.
Belum sampai pukul dua, pintu kaca ruangan itu tiba-tiba terbuka, dan seseorang masuk. Seluruh anggota menoleh ke arah pintu dar i bawah potret dan dari balik cermin, gembira dengan selingan itu; tapi penjaga yang berdiri membelakangi pi ntu itu langsung mengusir orang yang nyelonong masuk itu dan menutup lagi pintu kaca yang ada di belakangnya.
ka perkara sudah dibacakan seluruhnya, Stepan Arkadyich berdi ri sambil meregangkan badan, dan untuk memanfaatkan waktu jeda, di kantor itu juga, ia mengambil sebatang papiros dan masuk ke ruangannya sendiri. Dua kawannya, pegawai tua Nikitin dan pembantu dalam Grinevich, keluar bersama dia.
"Habis makan pagi masih sempat kita selesaikan," kata Stepan Arkadyich.
"Masih sempat bagaimana"!" kata Nikitin.
"Fomin itu rupanya ba jingan betul," kata Grinevich tentang seorang di antara orang-orang yang terlibat dalam perkara yang mereka tangani.
StepanArkadyich mengerutkan dahi mendengar kata-kata Grinevich, dan dengan sikapnya itu ia hendak menyatakan bahwa tidak patut mengambil kesi mpulan sebelum waktunya, tapi ia tak meneruskannya. "Siapa yang masuk tadi?" tanyanya kepada penjaga.
"Entahlah, Yang Mulia, tanpa izin langsung saja nyelonong, untung saya melihat. Dia menanyakan Yang Mulia. Saya bilang: nanti kalau para anggota sudah keluar .... "
"Di mana ia sekarang?"
"Barangkali di koridor, tadi ia masih ada di sini. 0, itu dia," kata penjaga sambil menunjuk seorang laki-laki yang berbahu bidang, bertubuh kekar, berjenggot keriting, dan tanpa melepaskan topi kulit biri-birinya dengan cepat dan ringan berlari mendaki anaktangga dari batu yang sudah aus itu. Seo rang di antara mereka yang sedang menuruni tangga, yang membawa tas, seorang klerek kurus, berhenti sebentar, dan dengan sikap tak senang memandang kaki orang yang berlari itu, dan dengan wajah bertanya-tanya berganti memandang Oblonskii.
Stepan Arkadyich berdiri di atas tangga. Wajahnya berseri lembut, dan dari balik kerah seragamnya tampak ia lebih berseri lagi ketika mengenal orang yang sedang berlari itu.
"Ya, betul! n, akhirnya!" ucapnya disertai senyuman bersahabat mengandung ejekan, ketika ia mengawasi n yang sedang menuju ke arahnya. "Apa tak jijik kamu menemuiku di sarangku ini?" kata Stepan
Arkadyich yang tak puas dengan sekadar jabat tangan dan ciuman sahabatnya itu. "Sudah lama?"
"Aku baru saja datang, dan ingin bertemu kamu," jawab Levin malu, sekaligus marah dan gusar, sambil menoleh ke sekitar.
"Ayo ke ruanganku," kata Stepan Arkadyich yang tahu sifat pemalu bercampur angkuh dan mudah marah sahabatnya itu; maka ia tangkap tangan sahabatnya itu dan terus dipeganginya, seakan-akan hendak dituntun keluar berbagai bahaya.
Stepan Arkadyich bicara "kamu" dengan hampir semua kenalannya: dengan orang-orang tua usia enampuluh tahun, dengan pemuda usi a duapuluh tahun, dengan para aktor, dengan para menteri, dengan para pedagang, dan dengan para ajudan-jendral, sehingga banyak sekali orang yang pernah bicara "kamu" dengan dia, yang merentang di antara dua ujung terjauh tangga masyairakat, kiranya merasa sangat heran mengetahui bahwa lantaran Oblonskii mereka bisa saling memahami. Oblonskii bicara "kamu" dengan semua orang yang minum sampanye bersamanya, dan i a minum sampanye dengan siapa sa ja. Karena itu, di hadapan para bawahannya, sewaktu ia bertemu dengan para "kamu" - nya yang memalukan itu (dem ikian ia menyebut para sahabatnya itu secara berkelakar), ia bisa mengurangi rasa takenakyang muncul dalam diri bawahannya. Levin bukanlah jenis "kamu" yang memalukan, tapi Oblonskii dengan kebi jaksanaannya merasa bahwa Levin menyangka, Oblonskii, d i hadapan para bawahannya, tak ingin menunjukkan keakrabannya dengan Levin. Karena itu ia segera membawa tamunya itu ke ruangannya sendiri.
Levin hampir seumur dengao Oblonskii, dan bukan hanya sekali Oblonskii bicara "kamu" sewaktu mereka minum sampanye bersama. Levin adalah teman dan sahabatnya di masa remaja. Mereka saling menyayangi, walaupun di antara mereka terdapat perbedaan watak dan selera, dan mereka saling menyayangi seperti umumnya sahabat yang saling menyayangi di masa remajanya. Walaupun demikian, seperti kadang terjadi di antara orang-orang yang memilih jenis pekerjaan berbeda, masing-masing, sekalipun membenarkan pekerjaan pihak lainnya, dalam hati membencinya. Masing-masing merasa bahwa hidup yang ditempuhnya itulah yang sejati, sedangkan yang d itempuh sahabatnya hanya maya. Melihat Levin, tak sanggup Oblonskii menahan senyuman mengejek ringan. Sudah beberapa kali Stepan Arkadyich melihat Levin datang ke Moskwa dari desa di mana ia mengerjakan sesuatu, tapi ia tak pernah paham apa yang dikerjakan itu, dan juga tak tertarik. Levin datang ke Moskwa selalu dalam keadaan gundah, kemrungsung, dalam situasi sulit, dan merasa gusar terhadap situasi itu, serta seringkali membawa pandangan baru yang tak terduga. Stepan Arkadyich menertawakan hal itu dengan hati senang. Ini persis seperti Levin yang dalam hati membenci gaya hidup kota dan pekerjaan sahabatnya, yang ia anggap omong-kosong belaka. Ia pun menertawakannya. Tapi perbedaannya, kalau Oblonskii tertawa dengan penuh nan dan tanpa dibuat-buat, seperti semua orang, Levin tertawa hambar dan terkadang disertai rasa marah.
"Lama kami tunggu," kata Stepan Arkadyich ketika masuk ke ruangannya dan melepaskan tangan Levin, seakan-akan dengan sikap itu ia menunjukkan bahwa di ruangan itu bahaya telah lewat. "Sungguh senang aku melihatmu,'' sambungnya. "Nah, apa kabar" Bagaimana" Kapan kamu datang?"
Levin diam saja sambil mengamati dua teman Oblonskii yang tak dikenalnya, terutama tangan Grinevich yang elok, dengan jemari yang amat putih dan panjang-panjang, dengan kuku yang amat panjang, kuning melengkung, dan dengan manset kemeja yang amat besar dan mengkilat, sehingga tangan itu seolah menelan perhatiannya dan tak memberinya kebebasan untuk berpikir. Oblonskii kontan melihat sikap Levin itu, dan ia pun tersenyum ..
"Ah, ya, perkenalkan," katanya. "Ini sahabatku: Filip lvanich Nikitin dan Mikhail Stanislavich Grinevich," dan kemudian tentang Levin: "anggota dewan zemstvo,7 anggota baru, pesenam yang sanggup mengangkat beban lima pud8 dengan sebelah tangan, petemak, pemburu, dan sahabatku, Konstantin Dmitrich Levin, saudara Sergei Ivanich Koznishov."
"Senang berkenalan dengan Anda," kata orang tua itu. "Saya mendapat kehormatan bisa mengenal saudara Anda, Sergei Ivanich,'' kata Grinevich sambil mengulurkan tangannya yang kecil dan berkuku panjang.
Levin mengerutkan dahi, menjabat tangan itu dengan sikap dingin, dan langsung bicara dengan Oblonskii. Walaupun ia menaruh hormat
7 Zemsto (Rus): Dewan otonomi daerah pedesaan yang didominasi kaum bangsa
wan. 8 Pud (Rus): Ukuran berat, setara dengan 18 kg.
yang sebesar-besarnya kepada saudara kandungnya, pengarang yang terkenal di seluruh Rusia, i a tak terima bahwa orang bicara dengan d i a bukan sebagai Konstantin Levin, tapi sebagai saudara Koznishov yang termasyhur.
"Bukan, aku bukan anggota zemstvo lagi. Dengan semua anggota aku bertengkar, dan aku tak pergi ke sidang lagi," katanya kepada Oblonskii.
"Ah, masa"!" kata Oblonskii sambil t yum. "Tapi bagaimana duduk perkaranya" Karena apa?"
"Panjang ceritanya. Akan kuceritakan kapan-kapan sa ja," kata Levin, tapi seketika itujuga i a mulai bercerita. "Yah, pendeknya, akujadi yakin bahwa zemstvo tak punya keg iatan, dan memang tak mungkin punya," katanya memulai, seolah-olah sudah ada orang yang menyinggungnya. " D i satu pihak, itu cuma permainan, orang bermain parlemen, sedangkan aku sudah tidak cukup muda tapi belum cukup tua pula untuk mainmain dengan semua itu; dan di pihak lain (ia tergagap), itu adalah alat coterie9 uyezd" 0 buat cari fulus. Oulu dengan perwalian, pengadilan, dan sekarang zemstvo, bukan dalam bentuk suap, tapi dalam bentuk gaji yang tidak pada tempatnya," katanya penuh semangat, seolah-olah di antara mereka yang hadir ada yang membantahnya.
"Ha, ha! Aku lihat kamu balik sampai ke tahap baru lagi, tahap konservatif," kata Stepan Arkadyich. "Tapi, yah, tentang itu nantilah."
"Ya, nanti. Aku ini perlu bertemu kamu," kata Levin sambil menolehnoleh ke arah tangan Grinevich dengan rasa benci.
Stepan Arkadyich tersenyum t ipis.
"Tapi kamu pernah bilang tak sudi Iagi mengenakan pakaian Eropa, kan?" katanya sambil mengamati pakaian baru Levin, yang agaknya buatan penjahit Prancis. "Nah, aku lihat tahap baru lagi."
Wajah Levin kontan memerah, tapi tak seperti merahnya wajah orang dewasa-sedikit saja, hampir-hampir tak terlihat, seperti merahnya wajah anak-anak, yang terasa lucu karena ada rona malunya, dan justru karena itu lebih menunjukkan rasa malunya dan lebih merah lagi sampai hampir mengeluarkan airmata. Dan betapa aneh rasanya melihat wajah cakap dan berani berona kanak-kanak itu, sehingga Oblonskii berhenti menatapnya.
9 Coterie (Pr): Kelompok, klik.
10 Uyezd (Rus): Daerah administratif seti ngkat kabupaten.
"Jadi, di mana kita bertemu" Aku perlu sekali, ya, perlu sekali bicara denganmu," kata Levin.
Oblonskii seolah-olah berpikir:
"Begini sa ja: kita pergi sekarang ke Gurin untuk makan pagi, dan di sana kita bicara. Aku longgar sampaijam tiga."
"Tidak," jawab Levin sesudah berpikir. " Aku masih harus pergi." "Baiklah, kalau beg itu makan siang sama-sama."
"Makan siang" Sebetulnya tak ada yang luarbiasa, cuma perlu mengemukakan dua patah kata, bertanya, dan setelah itu kita bisa ngobrol."
"Kalau begitu, katakan saja sekarang dua patah kata itu, ngobrolnya sambil makan siang."
"Dua patah kata itu," kata n. "Yah, samasekali tak luarbiasa." Wajahnya tiba-tiba menunjukkan rasa benci karena betapa sukar mengatasi malu.
"Bagaimana kabar keluarga Shcherbatskii" Seperti dulu juga?" katanya.
Stepan Arkadyich yang sudah lama tahu bahwa Levin jatuh cinta kepada adik iparnya, Kitty, tersenyum tipis, dan matanya berbinar-binar gembira.
"Kamu bilang dua patah kata, tapi dengan dua patah kata tak bisa aku menjawab, sebab .... Maaf sebentar .... "
Waktu itu masuk sekretaris, yang dengan sikap hormatnya yang terkenal dan dengan gaya sok lebih tahu urusan ketimbang sang kepala, yang umum dimiliki semua sekretaris, menghampiri Obloskii sambil membawa kertas-kertas, dan dengan gaya bertanya mulai menjelaskan kesulitan yang dihadapinya. Tak sampai selesai mendengarkan, Stepan Arkadyich dengan mesra memegang lengan baju sekretaris itu.
"Tidak, Anda kerjakan saja seperti yang saya bilang," katanya sambil tersenyum untuk melunakkan kata-katanya, dan sesudah menjelaskan dengan singkat bahwa ia mengerti persoalannya, ia tolakkan kertaskertas itu, katanya: "Anda kerjakan saja seperti itu, Zakhar Nikitich."
Sekretaris itu pun pergi dengan bingung. Selama berlangsung percakapan dengan sekretaris, Levin benar-benar telah pulih dari rasa bingungnya. Ia berdiri sambil menelekan kedua tangannya ke meja, sedangkan wajahnya tampak mengungkapkan ejekan.
"Aku tak paham, tak paham," katanya.
"Apa yang tak kamu pahami?" kata Oblonskii t yum gembira sambil mengeluarkan papiros. I.a menunggu tingkah Levin yang aneh.
"Aku tak pabam, apa yang kalian kerjakan di sini," kata n sambil mengangkat bahu. "Bagaimana mungkin kamu melakukan semua ini dengan sunggub-sungguh?"
"Kenapa?" "Karena di sini orang tak punya pekerjaan."
"ltu pendapatmu, sedangkan kami di sini tertimbun a." "Tertimbun kertas. Tapi, ya, kamu memang berbakat untuk itu," tambab Levin.
"J adi, menurutmu, aku pun ya kekurangan ?"
"Boleh jadi begitu," kata Levin. "Tapi, baga imanapun, aku kagum dengan kebesaranmu, dan aku bangga sababatku orang yang begitu besar. Tapi kamu belum menjawab pertanyaanku," tambabnya, berusaha keras menatap tajam mata Oblonskii.
"Ba iklah, baiklah. Tapi tunggu sebentar, akan sampai juga kamu ke situ. Baiklah, kamu punya tanah tigari bu desyatinu di uyezd Karazinskii, juga otot-otot hebat, kesegaran, seperti pada gadis duabelas tahun-tapi ada urusan apa kamu datang kemari" Kalau tentangyang kamu tanyakan: perubahan tak ada, hanya sayang, lama kamu tak datang." "Lalu?" tanya Levin ketakutan..
"Tidak ada apa-apa," jawab Oblonskii. "Nanti kita bicarakan. Untuk apa sebetulnya kamu ini datang?"
"Ah, ten.tang itu nanti saja kita bicarakan juga," kata Levin kembali memerah sampai telinganya.
"Ya, baiklab. Aku mengerti," kata Stepan Arkadyich. "Begini ya: sebetulnya aku juga mau mengundangmu ke rumab, tapi istriku sedang kurang sehat. Tapi beg : kalau kamu mau menjumpai mereka, barangkali sebentar lagi mereka ada di Taman Zoologi, dari jam empat sampa i lima. Kitty main skats. Kamu pergi saja ke sana, nanti aku mampir, lalu kita makan siang sama-sama."
"Bagus, kalau beg itu selamat tinggal dulu."


Anna Karenina Jilid 1 Karya Leo Tolstoi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi awas, ya, aku ini kan ken.al betul kamu, bisa-bisa kamu Jupa, atau tiba-ti ba pulang ke desa lagi!" teriak Stepan Arkadyich sambil ketawa. "Tidak. Sungguh!"
keluar ruangan, dan barn sampai di pi ntu ia i ngat bahwa dirinya lupa membungkuk kepada teman-teman Oblonski i. "Tampaknya d ia seorang tuan yang sangat energ ik," kata Grinevich
1 1 Desyatin (RusJ: Ukuran luas tanah, setara dengan 1,25 ha.
ketika Levin sudab keluar.
"Ya, begitulab," kata Stepan Arkadyicb sambil menggoyang-goyangkan kepala. "Orang yang betul-betul babagia! Dia punya tigaribu desyatin di uyezd skii, segalanya serba terjamin d i masa depan, dan penub daya bidup! Tidak seperti saudara kita ini."
"Kenapa pula Anda mengelub, Stepan Arkadyicb?"
"Ya, memang buruk, jelek," kata Stepan Arkadyicb sesudah menarik napas berat.
Ketika Oblonskii bertanya kepada Levin ada urusan apa sebetulnya i a datang, wajab Levin memerah dan i a marah pada diri sendiri bahwa wajahnya memerab, sebab ia tak bisa menjawab: "Aku datang untuk melamar iparmu,'' padahal ia datang melulu untuk keperluan itu.
Keluarga Levin dan keluarga Shcberbatskii adalah keluarga bangsawan lama Moskwa, dan mereka senantiasa berhubungan akrab dan bersababat. Hubungan itu lebib erat lagi ketika Levin jadi mahasiswa. Bersama Pangeran Muda Shcherbatskii, saudara lak i-lak i Dollydan Kitty, ia mempersiapkan diri dan masuk universitas. Waktu itu Levin sering berkunjung ke rumah Shcherbatskii, dan ia jatuh cinta kepada keluarga Shcherbatskii. Betapapun anehnya, Konstantin Levin memang jatuh c inta kepada rumah, keluarga, dan terutama kepada para perempuan di keluarga itu. Levin sendiri tidak ingat ibunya, sedangkan satu-satunya saudara perempuan yang dimilikinya Jebih tua ketimbang dia, dan baru di rumah keluarga Shcherbatskii itulah ia pertamakali menemukan Jingkungan rumahtangga bangsawan Jama yang berpendidikan dan tulus, Jingkungan yang tak dikenalnya karena ayah-ibunya sudah meninggal.
Seluruh anggota keluarga itu, terutama para perempuannya, tampak baginya seolah terselubung semacam tirai puitis yang penuh rahasia. Ia bukan hanya tidak melihat kekurangan dalam diri mereka, tapi juga dalam tirai puitis yang menyelubungi mereka itu, ia bisa membayangkan adanya perasaan paling luhur dan segala macam keutamaan. Buat apa ketiga nona itu selang satu bar i mesti berbicara bahasa Prancis dan Inggris; buat apa pada jam-jam tertentu mereka bergantian main piano, dan suaranya sampa i didengar saudara laki-lakinya di tingkat atas, tempat para mahasiswa itu belajar; buat apa guru sastra Francis, musik, lukis, dan tari datang; buat apa pada jam-jam tertentu ketiga nona itu
bersama M-lle Linon berkereta ke boulevard Tverskii mengenakan mantel bulu berlapis kain satin-Dolly mengenakan yang panjang, Natalie yang setengah panjang, dan Kitty yang pendek sekali, sampai kedua kakinya yang lincah dan berkaos merah terlekap ketat bisa dilihat semua orang. Buat apa mereka, diantar seorang pesuruh, dengan topi berkokarda emas pergi ke boulevard Tverskii-semua itu, dan masih banyak lagi lainnya yang ada dalam dunia mereka yang penuh rahasia, tak bisa dimengerti, tapi Levin tahu bahwa semua yang berlangsung dalam dunia mereka itu indah belaka, dan ia jatuh cinta justru kepada semua yang serba rahasia itu.
Selama jadi mahasiswa, hampir saja ia jatuh cinta kepada paling tua, Dolly, tapi gadis itu ternyata segera dikawinkan dengan Oblonskii. Kemudian ia mulai jatuh cinta kepada yang kedua. Ia seolah merasa bahwa dirinya harus jatuh cinta kepada salah seorang dari ketiga bersaudara itu, hanya saja ia tak mampu memilih yang mana. Tapi Natalie yang baru saja tampil di kalangan bangsawan lantas kawin dengan seorang diplomat dari Lvov. Kitty masih kanak-kanak ketika
keluar dari universitas. Shcherbatskii muda masuk Angkatan Laut, tapi ia tenggelam di Laut Baltik, dan kunjungan Levin ke keluarga Shcherbatskii pun jadi lebi h jarang, walaupun i a bersahabat dengan Oblonskii. Tapi ketika awal musim dingin tahun itu Levin datang ke Moskwa sesudah setahun tinggal di desa, dan mengunjungi keluarga Shcherbatskii, mengertilah i a kepada siapa di antara ketiga gadis itu i a ditakdirkan jatuh cinta.
Bagi Levin, sebagai orang yang berasal dari keluarga ba ik-bai.k, yang lebih tepat dikatakan kaya daripada miskin, dan usianya sudah tigapuluh dua tahun, tak ada yang lebih sederhana daripada melamar putri Shcherbatskii itu. Dilihat dari sudut manapun, kiranya ia bakal diakui sebagai jodoh yang bai.k. Tapi n adalah orang yang sedang jatuh cinta. Karena itu ia merasa bahwa Kitty adalah orang yang serba sempurna dan makhluk yang lebih mulia ketimbang semua yang bersifat duniawi, sedangkan ia sendiri adalah makhluk dunia yang demikian hina, sehingga tak mungkin orang lain atau gadis itu sendiri menganggap dia pantas jadi jodohnya.
Sesudah dua bulan berada di Moskwa dalam keadaan putusasa seperti itu, dan hampir tiap hari bertemu dengan Kitty, di tengah-tengah kalangan bangsawan yang sering didatanginya agar bisa bertemu dengan gadis itu, sekonyong-konyong Levin menyimpulkan bahwa cintanya hanya akan bertepuk sebelah tangan. Maka ia pun pergi ke desa.
Keyak inan n tentang kemustahilan itu didasarkan pada pemikiran bahwa d i mata sanak-keluarga Kitty, ia adalah jodoh yang tidak menguntungkan dan tidak pantas bagi gadis yang jelita itu, dan Kitty sendiri pun tidak mungkin mencintainya. Di mata sanak-keluarga Kitty, ia tak punya kegiatan dan posisi tertentu yang umum bagi kalangan bangsawan. Sementara kawan-kawannya kini, pada usia tigapuluh dua, sudah ada yang jadi kolonel dan ajudan tsar, ada yang profesor, ada yang direktur bank atau direktur keretaapi atau kepala kantor seperti Oblonskii, sedangkan dia (Levin tahu betul siapa dia di mata orang lain) hanyalah tuan tanah yang urusannya cuma betemak sapi, menembak burung dupel dan membuat bangunan. Jadi, ia adalah orang yang tak berbakat, yang samasekali tak bisa diharapkan, dan menurut pandangan masyarakat, ia hanya melakukan apa yang dilakukan orang-orang yang samasekali tak berguna.
Kittyyangjelita dan pen uh misteri itu tak bakal mencintai orang yang menurut penilaiannya tidak tampan, dan lebih penting lagi, terlalu lugu dan samasekali tidak menon jol. Selain itu, hubungan lamanya dengan Kitty-hubungan seorang dewasa dengan anak-anak sebagai akibat persahabatannya dengan saudara laki-lakinya-merupakan penghalang lain lagi bagi c intanya. Menurut penilaiannya sendiri, orang baik yang tidak tampan seperti dirinya hanya boleh dicintai sebagai sahabat, dan bukan untuk dicintai seperti ia rnencintai Kitty, yang untuk itu ia harus jadi orang tampan, dan lebih penting lagi harus jadi orang luarbiasa.
Ia memang mendengar bahwa perempuan sering mencintai orang yang tidak tampan dan sederhana, tapi i a tak percaya omongan itu karena menilik pengalamannya sendiri, ia hanya bisa mencintai perempuan yang cantik, penuh rahasia, dan luarbiasa.
Tapi sesudah dua bulan sendirian di desa, yakinlah ia bahwa rasa c intanya kepada Kitty bukan salah satu peristiwa jatuh cinta yang dialaminya di masa remaja; yakinlah ia bahwa perasaan itu tidak memberinya ketenangan; yakinlah ia bahwa dirinya tidak bakal bisa bidup tenang tanpa menyelesaikan persoalan apakah Kitty akan jadi istrinya atau tidak; dan yak inlah i a bahwa rasa putusasanya itu bersumber melulu pada bayangannya sendiri bahwa ia tak punyai bukti-bukti bakal ditolak. Dan sekarang ia datang ke Moskwa dengan keputusan mantap akan melamar dan kawin, kalau lamarannya diterima. Atau ... tak sanggup i a memikirkan apa yang bakal terjadi dengan dirinya kalau di tolak.
VII Setiba di Moskwa dengan keretaapi pagi, Levin singgah di rumah kakak laki-lakinya dari pihak ibu, Koznishov, dan sesudah ganti pakaian i a langsung masuk ke kamar ya dengan maksud menyampaikan tujuan kedatangannya dan minta nasihat ya. Tapi ternyata kakaknya tidak sedang sendirian. Bersama dia duduk seorang profesor filsafat terkemuka yang datang dari Kharkov untuk menjelaskan salah pengertian yang telah timbul di antara mereka mengenai persoalan filsafat yang sangat penting. Profesor itu telah berpolemik dengan penuh semangat melawan kaum materialis, dan Sergei Koznishov mengikuti polemik tersebut dengan penuh minat. Sesudah membaca karangan terakhir profesor itu, ia menulis keberatan-keberatannya lewat sepucuk surat. Ia mengecam sang profesor karena telah memberi terlalu banyak konsesi kepada kaum materialis. Dan sang profesor seketika itu datang untuk memberikan penjelasan. Waktu itu pembicaraan sedang berlangsung sekitar masalah yang sedang ramai dibicarakan: adakah batas antara gejala psikis dan gejala fisiologis dalam kegiatan manusia, dan di manakah letak batasnya"
Sergei lvanovich menyambut saudaranya dengan senyuman mesradingin seperti sudah dikenal orang, dan sesudah memperkenalkan Levin dengan profesor itu, ia pun meneruskan percakapan.
Laki-laki kecil berkulit kuning itu, yang mengenakan kacamata dan berdahi sempit, sejurus meninggalkan percakapan untuk bersalaman dengan Levin, kemudian meneruskan lagi pembicaraan tanpa memedulikan Levin. Levin duduk menanti perginya sang profesor, tapi ia segera tertarik pada soal yang seLevin memang menjumpai berbagai artikel yang sedang dibicarakan itu di majalah, dan ia membacanya; ia tertarik pada semua itu sebagai cara mengembangkan dasar-dasar ilmu pengetahuan alam yang memang dikenalnya sebagai sarjana ilmu pengetahuan alam; tapi ia memang tidak pernah menekuni kesimpulan-kesimpulan ilmiah tentang asal-usul manusi a sebagai bi natang, tentang berbagai pemikiran, tentang biologi dan sosiologi dengan problem-problem sekitar makna hidup dan mati bagi dirinya sendiri, yaitu problem-problem yang belakangan ini makin sering muncul.
Mendengar percakapan ya dengan sang profesor, ia melihat bahwa mereka menghubungkan soal-soal ilmiah dengan soal-soal yang
lebih bersifat pribadi; beberapa kali mereka sudah hampir mendekati duduk soalnya, tapi tiap kali mereka hampir mendekati soal yang paling pokok, ia merasa pada saat itu juga mereka, dengan tergesa-gesa, menjauhinya dan kembali masuk ke dalam detail yang rumit, ke dalam reservasi, kutipan, isyarat, dan referensi orang-orang ternama, dan hanya dengan susah-payah ia sanggup memahami i si percakapannya.
"Saya tak sependapat," kata Sergei lvanovich dengan ungkapan yang jelas dan tepat dan dengan diksi indah yangjadi cirinya. "Bagaimanapun, saya tak sependapat dengan Case bahwa semua gambaran saya mengenai dunia luar ini bersumber pada kesan. Pengertian mengenai hal-ihwal yang paling asasi itu saya peroleh bukan melalui sensasi (perasaan), karena tidak ada organ khusus yang bertugas menyampaikan pengertian itu."
"Ya, tapi mereka itu, Wurst, Knaust, dan Pripasov, akan menjawab Anda dengan mengatakan bahwa kesadaran Anda mengenai hal-ihwal itu bersumber pada seluruh sensasi yang ada, dan bahwa kesadaran mengenai hal-ihwal itu adalah akibat sensasi. Wurst bahkan sudah mengatakan bahwa di mana tak ada sensasi, di situ tak ada pengertian tentang hal-iliwal."
"Saya akan mengatakan sebaliknya," kata Sergei Ivanovich .... Tapi di sini kembali Levin merasa bahwa sesudah mendekati soal yang paling penting, mereka kembali menjauh. Karena itu ia pun memutuskan untuk mengajukan pertanyaan kepada profesor.
"Kalau beg itu, jika indera saya ini hancur, jika raga saya mati, tidak mungkinkah ada suatu eksistensi?" demikian i a bertanya.
Profesor dengan kesal dan seolah tersengat nyeri kepala karena selaan itu menoleh kepada sang penanya yang aneh itu, yang lebih mirip burlak12 daripada filsuf, lalu mengalilikan pandangan matanya kepada Sergei Ivanovich seakan bertanya: ini omongan apa" Tapi Sergei Ivanovich, yang bicaranya tak sesukar dan seberat profesor, dan memiliki cukup ruangan dalam benaknya untuk memberikan jawaban kepada profesor, dan bersamaan itu memaklumi titik pandang sederhana dan wajar yang melatarbelakangi pertanyaan itu, hanya tersenyum, dan katanya:
"Atas pertanyaan itu kita tak berhak memutuskan .... " "Kita tak punya data," kata profesor menekankan, lalu melanjutkan
12 Burlak (Rus): Kuli penarik kapal di sepanjang Sungai Wolga.
argumentasinya. "Tidak," katanya. "Saya sedang mencoba menunjukkan bahwa jika sensasi itu dasarnya adalah kesan, seperti sudah dikatakan Pripasov, maka kita harus membedakan dengan tegas kedua pengertian itu."
Levin sudah tak mendengarkan lagi, dan ia hanya menanti kapan profesor itu perg i.
VIII profesor sudah pergi, barn Sergei lvanovich melayani saudaranya: "Aku senang sekal i kamu datang. Lama tak ke sini. Bagaimana usahamu?"
Levin tabu, usaba itu sedikit saja menarik minat kakaknya, dan kakaknya bertanya banya untuk sekadar basa-basi. Karena itu ia hanya menjawab tentang penjualan gandum dan urusan uang.
Levin ingin menyampaikan kepada kakaknya bahwa ia bemiat kawin dan meminta nasihat. Ia bahkan sudah mantap dengan keputusannya itu. Tapi melihat kakaknya, dan mendengar percakapan kakaknya dengan profesor tadi, dan apalagi ketika ia mendengar nada bicara sang kakak yang tanpa disengaja terasa seperti ada maunya, sewaktu i a bertanya tentang soal-soal usaha (harta ibu mereka belum dibagi, dan Levin jadi penguasa bag iannya sendiri dan bagian ya), Levin pun entah bagaimana merasa tak sanggup lagi bicara dengan kakaknya tentang keputusannya itu. Ia merasa ya tak bakal melihat persoalan itu seperti yang diharapkannya.
"Lalu baga imana urusan zemstvo kalian itu?" tanya Sergei lvanovicb yang sangat tertarik dengan soal zemstvo, dan menganggap soal itu sangat penting.
"Terus-terang saya, saya tak tahu .... " "Lo" Kamu kan anggota d leg islatif?"
"Tidak, bukan anggota lagi; saya sudab keluar," jawab Konstantin Levin. "Dan tidak lagi mendatangi sidang-sidang."
"Sayang!" ucap Sergei Ivanovicb sambil mengerutkan dahi. Untuk membenarkan sikap dirinya, Levin mulai bercerita tentang apa yang terjadi dalam sidang-sidang di uyezdnya.
"Memang selalu begitu!" sela Serge i Ivanovich. "Kita orang Rusi a memang selalu begitu. Barangkali juga itu ciri baik ki ta-kemampuan melihat kekurangan sendiri; tapi kita terlalu melebih-lebihkan ha! itu, dan k ita menghibur diri dengan ironi yang selalu s iap di ujung lidah. Saya hanya bisa mengatakan bahwa kalau badan sepert i halnya zemstvo itu diberikan kepada orang Eropa lainnya-orang Jerman atau orang Inggris, misalnya, dari situ mereka akan beroleh kemerdekaan, sedangkan kita, ya begitulah, cuma ketawa-tawa."
"Tapi apa yang mesti kita lakukan?" kata Levin dengan nada bersalah. "Ini pengalaman saya terakhir. Dan saya sudah berusaha dengan sepenuh hati. Tidak mampu. Tidak sanggup."
"Tidak mampu," kata Sergei Ivanovich. "Kamu tidak memandang persoalan itu seperti seharusnya."
"Barangkali," jawab Levin murung.
"Kamu tahu t idak, abang kita Nikolai ada di sini lagi?" Abang Nikolai adalah kakak sedarah Konstantin Levin dan kakak sekandung Sergei Ivanovich. Ia orang yang sudah rusak, yang menghambur-hamburkan sebagian besar kekayaannya, bergaul dengan kalangan yang paling aneh dan buruk, dan bermusuhan dengan saudarasaudaranya.
"Apa katamu?" seru Levin ngeri. "Dari mana kamu tahu?" "Prokofii melihatnya di jalan."
"Di sini, d i Moskwa" Di mana dia" Kamu tahu?" Levin berdiri dari kursi, seolah hendak pergi seketika itu juga.
"Aku menyesal mengatakan ini padamu," kata Sergei Inavovich sambil menggelengkan kepala, sehingga membikin adiknya gundah. "Aku sudah menyuruh orang untuk mencari tahu di mana ia tinggal, mengiriminya eek lewat Trubin, juru bayarku. Dan inilah jawabannya."
Dan Sergei Ivanovich pun memberikan surat dari bawah penindih kertas kepada adiknya.
Levin membaca surat yang tertulis dengan tulisan aneh yang sudah dikenalnya itu: "Saya minta dengan hormat untuk tidak mengganggu saya. Itulah yang saya tuntut dari kedua saudara saya yang santun. Nikolai Levin."
Levin selesai membaca, dan tanpa mengangkat kepala dan terus memegang surat, ia pun berdiri di hadapan Sergei Ivanovich.
Dalam jiwanya bertempur keing inan melupakan ya yang malang itu dengan kesadaran bahwa keinginan demikian akan berakibat jelek.
"Dia rupanya mau menghinaku," sambung Serge i Ivanovich.
"Tapi menghinaku ia tak mampu, dan aku dengan tulus memang mau membantunya, walaupun aku tahu itu tak bisa kulakukan."
"Ya, ya," ulang Levin. "Saya mengerti dan sangat menghargai sikapmu terhadap d ia; tapi saya akan pergi menemu i dia."
"Kalau kamu mau, , tapi aku tak menyarankan," kata Sergei Ivanovich. "Dalam hubungan denganku, aku samasekali tak takut, i a tak bakal bikin kamu bertengkar denganku; tapi untuk kamu, aku nasihatkan untuk tidak menemuinya. Membantu dia tidak mungkin. Tapi terserahlah, lakukan apa yang kamu mau."
"Barangkali memang mustahil membantu dia, tapi aku merasa, terutama saat ini-tapi, yah, itu soal lain-aku merasa tak bisa tenang."
"Tentang itu aku tak mengerti," kata Sergei Ivanovich. "Cuma satu yang kumengerti," tambahnya. "Yaitu pelajaran tentang kepasrahan. Aku sekarang mulai dengan cara lain dan dengan sadar memerhatikan apa yang dinamakan keke jian, sesudab abang Nikolai jadi seperti sekarang ini.. .. Kamu tabu, apa yang telah ia. lakukan .... "
"Ya, ya, itu mengerikan, ya, mengerikan!" ulang Levin berkali-kali. Sesudah menerima alamat kakaknya dari pesuruh Sergei Ivanovich, seketika itu juga Levin bermaksud pergi menjumpa i Nikolai, ta pi sesudah berpikir sebentar ia memutuskan untuk menunda ke nnya sampai petang. Pertama-tama, demi ketenangan jiwa, perlu ia memutuskan soal yang jadi alasan kedatangannya ke Moskwa. Dari rumah kakaknya, Levin perg i ke kantor Oblonskii, dan sesudah mendapat kabar tentang keluarga Shcherbatskii ia pun pergi ke tempat di mana ia bisa bertemu dengan Kitty.
Pukul empat, dengan jantung berdentam-dentam, Levin turun dari kereta sewaan di depan Taman Zoologi, dan dengan melewat sepotong jalan kecil ia pun menuju ke perbukitan dan lapangan skats; ia barangkali sudah tabu bakal bertemu dengan Kitty di sana, karena dilihatnya kereta keluarga Shcherbatskii ada di pintu-masuk.
Hari terang bersalju. Di depan pintu-masuk berderet-deret kereta, kereta salju, gerobak sewa, dan polisi militer. Kaum bangsawan, dengan topi berkilauan karena sinar matabari yang benderang, berkerumun di pintu-masuk dan jalan-jalan keci?" yang sudah dibersihkan, d i antara gubuk-gubuk Rusia yang berh iaskan patung-patung pangeran; pohonpohon birk tua keriting dengan ranting-rantingnya yang bergelantungan karena dibebani salju tampak bagai berhiaskan jubah misa baru yang megah.
Levin berjalan menyusuri jalan kecil menuju ke lapangan skats sambil berkata pada sendiri: "Tidak boleh gelisah, harus tenang. Maumu apa" Kenapa kamu" Diam kamu, bodoh," demikian katanya dalam hati. Tapi makin keras ia mencoba menenangkan diri, makin tercekik pemapasannya. Seorang kenalan m e l ihat dan memanggilnya, tapi Levin tak kenal siapa dia .. Ia menghampiri perbukitan di mana terdengar derik-derik rantai kereta luncur yang sedang naik-turun, gemuruh kereta luncur yang tengah berselancar, dan riuh-rendah suara gembira. Ia berjalan beberapa langkah lagi, maka terhamparlah lapangan skats di hadapannya, dan di antara orang-orang yang sedang bermain skats, ia langsung mengenal dia.
Ia melibat dia ada di sini, dengan kegembiraan dan sekali gus ketakutan mencekam jantungnya. Gadi s itu tengah berdiri bercakap-cakap dengan seorang perempuan di ujung lapangan skats. Tak ada hal yang mencolok pada pakaian ataupun gerak-geriknya, tapi bagi Levin begitu mudah mengenal dia di tengah orang banyak, semudah ia menemukan bunga mawar di tengah jelatang. Sekeliling gadis itu terlihat seolah bercahaya karena kehadirannya. Senyumnyalah yang telah men sekitarnya. "Sanggupkah aku pergi ke sana, menyeberang lapangan es, dan menemui dia?" demikian pikir Levin. Tempat gadis itu berdiri terasa seperti tempat suci yang tak bisa dijangkaunya. Sesaat ia hampir-bampir berbalik dan pergi lagi dari situ: begitu mengerikan keadaan itu baginya. Ia harus memaksakan dan menimbang apakah di sekitar gadis itu berlalu-lalang banyak orang, dan apakah ia sendiri sanggup ke sana bermain skats. Ia pun turun, tapi lama ia tak mampu memandang gadis itu, seolab gadis itu matahari, tapi toh ia memandangnyajuga.
Pada hari dan jam itu, di atas lapangan es itu, berkumpul anggota suatu kelompok yang semuanya saling kenal. D i kelompok ini terdapat jago-jago skats yang sedang memamerkan kebolebannya, ada juga yang sedang belajar sambil berpegangan pada kursi besar dengan gerakan kaku takut-takut, dan ada juga anak-anak dan orang dewasa yang bermain skats demi kesehatan semata; semuanya, menurut perasaan Levin, adalab orang-orang babagia yang terpilib, karena mereka berada di situ, di dekat Kitty. Semua yang tengah bermain agaknya benarbenar cuek saja meluncur dan melewa t i Kitty, bahkan dengan enteng saja bersenda-gurau dengannya, sewaktu menikmati es dan cuaca yang sedang bagus-bagusnya.
Nikolai Shcherbatskii, saudara sepupu Kitty yang mengenakan jas pendek dengan pantalon sempit, sedang duduk di bangku dengan sepatu skats sudah terpasang. Melihat Levin, i a berseru:
"Haa, pemain skats Rusia nomor satu! Sudah lama" Esnya sedang bagus sekali, pasanglah sepatu."
"Saya tak bawa sepatu," jawab Levin, heran sendiri dengan keberanian dan keakrabannya bicara takjauh dari Kitty, dan sekejap pun i a tak berhenti mencuri lihat gadis itu, walaupun tidak memandangnya. Ia merasa bahwa matahari telah memihak dirinya. Kitty ada di sudut. Dengan wajah kosong ia tegakkan kakinya yang ramping terbungkus sepatu tinggi itu, agaknya dengan rasa enggan, lalu meluncur ke dekat Levin. Seorang anak laki-laki berbaju Rusia, sambil melambai-lambaikan kedua tangannya dan membungkukkan badan, meluncur melewati dia. Kitty meluncur tak terlalu kencang; ia keluarkan kedua tangannya dari dalam mufta, 13 si ap untuk jalan. Sambil melihat Levin yang dikenalnya ia tersenyum, sekalipun merasa canggung. Setelah membuat gerakan melingkar, ia mendorong badannya dengan tolakan kakinya yang lentur dan langsung meluncur ke arah Shcherbatskii, lalu sambil berpegangan tangan Shcherbatskii dan tersenyum ia pun mengangguk kepada Levin. Ia lebih cantik daripada yang dibayangkan Levin.
memikirkan gadis itu, Levin dengan gamblang bisa membayangkan seluruh sosoknya, terutama kejelitaannya, dengan wajah kanak-kanaknya yang cerah dan polos, dengan kepalanya yang mungil berambut pirang, yang dengan bebas bertengger di bahu perawannya yang anggun. Wajah kanak-kanaknya beserta keindahan tubuhnya yang halus membentuk kejelitaan luarbiasa yang terekam dengan baik dalam benaknya. Tapi yang secara tiba-tiba selalu memukau Levin pada diri gadis itu adalah ekspresi matanya yang lembut, tenang dan tulus, dan terutama senyumnya yang selalu membawa Levin ke dunia ajaib, di mana ia merasakan dirinya terharu dan luruh, seperti kadang diingatnya di masa kecil "Sudah lama di sini?" tanya Kitty sambil mengulurkan tangan.
13 Mufta (Rus): Selubung tangan dari kain atau kulit yang berfungsi untuk menghangatkan tangan di musim dingin. Bentuknya seperti bumbung, dan tangan dimasukkan dari kiri dan kanan.
"Terimakasih," sambungnya ketika Levin mengambilkan saputangannya yang jatuh dari mufta.
"Saya" Saya belum lama, saya kemarin ... baru saja ... saya datang," jawab Levin yang tidak segera menangkap pertanyaan Kitty karena gelisah. "Saya ingin datang menemu i Anda," katanya seketika itu juga, tapi teringat maksudnya menemui gadis itu, i a langsung bingung dan wajahnya memerah. "Saya tak tahu Anda bisa main skats, dan baik sekali."
Kitty mengamati Levin baik-baik seolah ingin tahu kenapa dia tampak bingung.
"Saya hargai pujian Anda. Tapi di sini kami masih menganggap Andalah pemain skats terbaik," kata Kitty sambil mengibaskan benangbenang salju yang jatuh ke mufta dengan tangannya yang mungil, yang terbungkus sarung tangan hitam.
"Ya, saya pernah bersemangat sekali main skats; waktu itu saya ingin bisa main sampai sempurna."
"Anda rupanya melakukan semua dengan bersemangat," kata Kitty sambil tersenyum. "Saya ingin sekali melihat Anda main. Anda pakailah sepatu, dan mari mai n bersama."
"Main bersama! Mungkinkah itu?" pikir Levin sambil menatap Kitty.
"Sebentar, saya pakai sepatu," kata . Dan ia pun pergi mengenakan sepatu skats.
"Lama betul tidak main di sini, Tuan," kata pengurus lapangan sambil memegang kaki Levin dan memasangkan hak sepatu skatsnya. "Sesudah Tuan pergi, tak ada lagi jago skats di antara tuan-tuan ini. Cukup enak begini, Tuan?" katanya lagi sambil menarik tali sepatu.
"Bagus, bagus, cepat sedikit," jawab Levin yang dengan susah-payah menahan senyuman bahagia yang tanpa disengaja merekah di wajahnya. "Ya," pikirnya. "Inilah hidup, inilah kebahagiaan itu! Bersama, katanya, mar i main bersama. Aku katakan kepada dia sekarang atau tidak" Tapi aku takut mengatakannya justru karena aku sekarang sedang bahagia, walaupun cuma masih harapan .... Lalu" ... Tapi ini perlu! Perlu, perlu! Enyahlah, hai keraguan!"
Levin berdiri, melepaskan mantel, dan sesudah melintas i es kasar di dekat gubuk itu, i a menuju ke bagian es yang rata dan meluncur dengan ringan, seolah hanya dengan niat semata ia bisa mempercepat, memperlambat, dan mengarahkan luncurannya. Dengan takut-takut ia
menghampiri Kitty, tapi kembali senyuman Kitty menenangkannya.
Kitty mengulurkan tangannya, lalu mereka meluncur berdampingan seraya menambah kecepatan, dan makin cepat mereka meluncur, makin erat pula Kitty menggenggam tangan Levin.
"Dengan Anda saya bakal lebih cepat mahir; entah kenapa, tapi saya memercayai Anda," kata Kitty.
"Dan saya bakal lebih percaya lagi kalau Anda bertopang pada saya," kata Levin, ta pi seketika itu juga ia jadi takut telah mengucapkan kalimat itu, dan wajahnya memerah. Dan benar saja, begitu i a mengucapkan kata-kata itu, seperti matahari bersembunyi di balik awan, kontan wajah Kitty kehilangan kejelitaannya, dan Levin pun melihat roman yang dikenalnya di wajah Kitty, yang mengungkapkan beban pikiran; pada d a h i Kitty muncul kerut-merut.
"Anda baik-baik saja, kan" Tapi, yah, saya tak berhak menanyakan itu," kata Levin cepat.
"Karena apa" ... Tidak, baik-baik saja," jawab Kitty dingin, dan seketika itujuga menambahkan: "Anda belum menemui M-lle Linon?" "Belum."
"Anda temuilah dia; ia begitu mencintai Anda."
"Apa pula ini" Ah, aku sudah membuatnya sedih. Ya, Tuhan, tolonglah aku!" pikir Levin, lalu meluncur ke perempuan cis tua yang sudah beruban dan sedang duduk di bangku. Sambil tersenyum memperlihatkan gigi-gi g i palsunya, perempuan itu menyambut Levin sebagai sahabat lama.
"Y ah, beginilah kita tum huh, "katanya kepada Levinsambil menunjuk Kitty dengan matanya. "Dan jadi tua. Tiny bear" 4 sudah besar sekarang!" sambung perempuan Prancis itu sambil ketawa, mengingatkan Levin pada leluconnya sendiri tentang tiga nona yang disebutnya tiga beruang, suatu dongeng dari lng. "Anda masih ingat obrolan kita Kitab Mudjidjad 1 Pendekar Rajawali Sakti 150 Orang Orang Atas Angin Kail Naga Samudera 1

Cari Blog Ini