Hus Hus Buku 2 Crescendo Karya Becca Fitzpatrick Bagian 1
ahan pohon a pel mencakar cakar jendela di belakang Harrison Grey. Dan dia tidak lagi bisa berkonsentrasi membaca buku. Angin musim semi mengamuk semalaman, menimbulkan bunyi gemuruh dan membuat papan pelapis pintu terbanting berkali-kali. Kalendar menunjukkan bulan Februari nyaris berakhir. Tapi Harrison tahu, ini bukan hanya karena musim semi akan datang. Dengan turunnya badai, dia tidak akan terkejut kalau besok mendapati lingkungan sekitarnya putih tertutup salju.
proloG c oldwater , m aine e mpat B elas B ulan l alu
Untuk meredam lengkingan angin, Harrison mengambil remote, dan memutar Ombra mai fu -nya Bononcini. Kemudian dia menambah kayu ke perapian. Dia jadi berpikir, apakah sebelum membeli rumah petani ini dia sadar, betapa banyak bahan bakar yang dibutuhkan untuk menghangatkan satu ruangan kecil. Apalagi kesembilan-sembilannya.
Telepon berbunyi. Harrison mengangkat sebelum dering kedua berakhir, menyangka akan mendengar suara Vee. Sahabat putrinya itu punya kebiasaan menjengkelkan, menelepon malam-malam untuk menanyakan PR.
Napas pendek-pendek seperti orang yang terengahengah terdengar di telinganya sebelum suatu suara memecah bunyi statis itu. Kita harus bertemu. Seberapa cepat kau bisa ke sini"
Suara itu melayang dalam pikiran Harrison, hantu dari masa lalunya, membuatnya menggigil hingga ke tulang. Sudah lama dia tidak mendengar suara itu. Dan mendengarnya sekarang tidak bisa ditafsirkan apa-apa, kecuali ada masalah. Masalah besar. Harrison baru sadar, telepon di tangannya lengket dengan keringat. Postur tubuhnya kaku.
Satu jam, jawabnya datar.
Diturunkannya gagang telepon pelan-pelan. Dia memejamkan mata. Di luar kehendaknya, pikirannya berkelana ke masa lalu. Suatu saat pada lima belas tahun silam, dia berdiri membeku mendengar telepon berdering. Detik demi detik berdentam seperti bunyi drum saat dia menunggu suara di seberang bicara. Seiring berjalannya waktu, ketika tahun demi tahun berlalu tanpa gangguan apa pun, akhirnya dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa rahasia masa lalu itu telah terkubur. Sekarang dia adalah lelaki yang punya kehidupan normal. Lelaki yang punya keluarga yang berbahagia. Lelaki yang tidak punya alasan untuk takut.
Di dapur, Harrison menuang segelas air putih dan menenggaknya. Di luar sudah sangat gelap. Refleksi dirinya yang pucat menatap balik dari jendela di depannya. Harrison mengangguk, seolah untuk meyakinkan dirinya sendiri semua akan baik-baik saja. Tetapi matanya diliputi kecemasan.
Dia melonggarkan dasi untuk menghilangkan rasa tercekat yang seolah membuat kulitnya serasa ditariktarik. Kemudian dia menuang air untuk yang kedua kalinya. Tetapi air itu tidak meluncur mulus ke dalam tubuhnya, malah mengancam akan keluar. Setelah meletakkan gelas di bak cuci piring, Harrison mengambil
kunci mobil di atas konter. Sejenak dia ragu-ragu, seolah ingin mengubah pikiran.
Harrison menggerakkan mobil ke pos dan mematikan lampu. Dia duduk dalam kegelapan, napasnya berat. Di depannya adalah barisan rumah bata usang di lingkungan kumuh Portland. Sudah bertahun-tahun lima belas tahun persisnya dia tidak menginjakkan kaki di tempat ini. Dan dengan ingatannya yang kurang baik, dia tidak yakin tempat inilah yang ditujunya. Harrison membuka kotak dan mengeluarkan secarik kertas yang telah menguning. Monroe 1565. Hampir saja dia menjalankan mobil, tapi keheningan jalan mengusik hatinya. Tangannya merogoh ke bawah kursi, mengeluarkan Smith & Wesson. Diselipkannya senjata itu di bagian belakang ikat pinggangnya. Terakhir kali dia menggunakannya saat masih kuliah. Dan dia tidak pernah menggunakannya di luar arena latihan tembak. Satu-satunya pikiran jernih dalam kepalanya yang berdenyut-denyut adalah harapan bahwa dia masih bisa mengatakan hal yang sama satu jam dari sekarang.
Ketukan sepatu Harrison terdengar nyaring di trotoar yang sepi. Tapi dia tidak memedulikan ritme itu, melainkan memusatkan perhatian ke bayangan yang diterangi bulan keperakan. Sambil merapatkan
jaket, dia melewati lapangan tanah yang dibatasi pagar kawat. Rumah di luar lapangan itu gelap dan sangat sepi. Sudah dua kali dia merasa dibuntuti. Tetapi ketika dia menoleh, tidak ada siapa-siapa di belakangnya.
Di Monroe 1565, Harrison melewati gerbang dan berbelok ke belakang rumah. Dia mengetuk pintu satu kali dan melihat suatu bayangan bergerak di belakang tirai.
Pintu berderit. Ini aku, kata Harrison, dengan suara pelan. Pintu dibuka sekadar cukup untuk dilewatinya. Apakah ada yang membuntutimu" tanya si pembuka pintu.
Tidak. Gadis itu dalam masalah. Jantung Harrison berdegup kencang. Masalah apa"
Begitu usianya enam belas, Lelaki itu akan memburunya. Kau harus membawanya pergi jauh. Ke suatu tempat yang tidak akan ditemukannya.
Harrison menggelengkan kepala. Aku tidak paham
Ucapannya dipotong oleh tatapan galak. Ketika kita membuat kesepakatan, aku sudah bilang, akan ada hal-hal yang tidak bisa kaupahami. Enam belas itu
usia terkutuk dalam duniaku. Hanya itu yang perlu kauketahui, katanya kasar.
Kedua orang itu saling bertatapan, sampai akhirnya Harrison mengangguk lemah.
Kau harus menyamarkan jalur yang kaulewati, orang itu memberi tahu. Ke mana pun kau pergi, kau harus mulai dari titik awal. Tidak seorang pun boleh tahu kau dari Maine. Tidak seorang pun. Dia tidak akan berhenti mengejar gadis itu. Kaupaham"
Aku paham. Tapi bagaimana dengan istrinya" Bagaimana dengan N ora"
Pandangan Harrison beradaptasi dengan kegelapan. Dia sangat heran, lelaki yang berdiri di depannya itu tidak menua barang satu hari pun sejak kali terakhir mereka bertemu. Bahkan, dia tidak kelihatan menua barang sehari pun sejak duduk di bangku kuliah. Ketika itu mereka teman satu asrama. Apakah karena efek kegelapan" pikir Harrison. Karena kalau bukan itu, dia tidak tahu lagi penyebab lainnya. Ternyata ada satu hal yang berubah. Ada sebuah goresan kecil di pangkal tenggorokannya. Setelah diperhatikan lebih jelas, Harrison merasa ngeri. Sepertinya itu luka bakar, menonjol dan mengilap, nyaris tidak lebih besar dari uang logam. Bentuknya seperti kepalan tangan. Betapa
terkejutnya Harrison, menyadari temannya itu telah dicap. Seperti sapi.
Sang teman merasakan arah tatapan Harrison. Pandangan matanya menjadi keras, defensif. Ada beberapa orang yang ingin menghancurkan aku. Orangorang yang ingin merendahkan dan menghinakan aku. Aku membentuk perkumpulan bersama seorang teman terpercaya. Dan sekarang anggotanya semakin banyak. Dia berhenti menjelaskan, seolah tidak yakin seberapa banyak yang boleh dikatakan. Akhirnya dia menuntaskan dengan terburu-buru. Kami membentuk perkumpulan dengan tujuan mendapatkan perlindungan. Dan aku sudah bersumpah setia pada perkumpulanku. Jika kau masih mengenalku dengan baik, kautahu aku akan melakukan apa saja untuk melindungi kepentinganku. Dia terdiam dan menambahkan, nyaris tanpa berpikir, Dan masa depanku.
Kau dicap, kata Harrison, berharap temannya tidak melihat tubuhnya gemetar.
Sang teman diam saja. Setelah beberapa saat Harrison mengangguk tanda paham, sekalipun dia tidak bisa menerima. Semakin sedikit yang dia ketahui, akan semakin baik. Temannya sudah menanamkan hal itu entah berapa kali. Ada lagi yang bisa kulakukan"
Jaga dia. Harrison mendorong kacamata ke pangkal hidungnya. Lalu dia berkata dengan canggung, Barangkali kau ingin tahu, dia telah tumbuh sehat dan kuat. Kami menamainya Nor
Aku tidak ingin diingatkan siapa namanya, potong sang teman dengan kasar. Aku telah melakukan apa saja untuk mengeluarkannya dari kepalaku. Aku tidak ingin tahu apa pun tentang dirinya. Aku ingin pikiranku bersih dari segala jejak tentang dirinya. Jadi, tidak ada informasi yang bisa kuberikan kepada si bajingan. Dia berbalik, dan Harrison mengartikan itu sebagai isyarat pembicaraan telah selesai. Harrison berdiri sejenak, begitu banyak pertanyaan yang menunggu di ujung lidahnya. Tapi pada saat yang sama dia sadar. Tidak ada gunanya menekan orang lain. Sambil menahan keinginannya memahami awan gelap yang mengikuti kehidupan putrinya, Harrison beranjak pergi.
Baru berjalan setengah blok, dia mendengar letusan tembakan memecah malam. Secara naluriah Harrison merunduk dan berbalik. Temannya. Terdengar letusan kedua. Tanpa berpikir panjang, dia menempuh bahaya dengan berlari ke rumah itu kembali. Dia mendorong pintu gerbang dan berbelok ke samping halaman. Sebelum sampai di sudut terakhir, suara orang bertengkar
membuatnya berhenti. Tubuh Harrison berkeringat, meskipun cuaca dingin. Halaman belakang itu diselimuti kegelapan. Harrison berjingkat melewati taman, berhatihati agar tidak menendang batu yang akan menimbulkan bunyi, sampai dia melihat pintu belakang.
Kesempatan terakhir, kata sebuah suara yang tenang dan tidak Harrison kenali.
Persetan, umpat temannya.
Tembakan ketiga. Temannya meringkuk kesakitan, dan orang itu berteriak, Di mana gadis itu"
Meski jantungnya berdegup kencang, Harrison tahu dia harus bertindak. Menunggu lima detik saja akan berakibat fatal. Harrison menyusupkan tangan ke belakang dan menarik pistol. Dengan dua tangan memegang pistol, dia bergerak ke pintu, mendekati orang berambut hitam itu dari belakang. Harrison melihat temannya di depan orang itu. Tetapi ketika mata mereka bertemu, ekspresi temannya dicekam ketakutan. Pergi!
Perintah temannya itu terdengar sangat jelas. Sesaat Harrison yakin, kata itu diucapkan keras-keras. Tetapi ketika sang penembak tidak berbalik lantaran kaget, Harrison sadar sekaligus bingung, kata itu diucapkan ke pikirannya.
Tidak, jawab Harrison dengan menggelengkan kepala. Rasa kesetiaannya melampaui sesuatu yang tidak bisa dia mengerti. Lelaki itu adalah temannya selama empat tahun terbaik sepanjang hidupnya. Dialah orang yang mengenalkan dirinya kepada istrinya. Dia tidak akan meninggalkan sang teman di tangan pembunuh.
Harrison menarik pelatuk. Dia mendengar letusan yang memekakkan telinga dan menunggu orang itu roboh. Harrison menembak lagi. Dan lagi.
Pemuda berambut hitam itu perlahan membalikkan badan. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Harrison benar-benar takut. Takut kepada pemuda yang berdiri di depannya. Takut akan kematian. Takut akan nasib keluarganya.
Dia merasa tembakan menembus tubuhnya dengan rasa panas yang sepertinya bisa menghancurkan tubuhnya berkeping-keping. Dia tersungkur. Dia melihat wajah sang istri di batas penglihatannya, diikuti dengan wajah putrinya. Harrison membuka mulut, nama mereka sudah di ujung lidah. Dia berusaha mengatakan betapa besar cintanya kepada mereka.
Sang pemuda menarik tangan Harrison dan menyeretnya ke lorong di belakang rumah. Harrison bisa merasakan kesadaran meninggalkannya saat dia berusaha berdiri, namun sia-sia. Dia tidak boleh meninggalkan
putrinya. Siapa lagi yang akan melindunginya" Jika ucapan temannya benar, penembak berambut hitam itu akan menemukan putrinya, dan membunuhnya.
Siapa kau" tanya Harrison. Kata-kata itu menyebabkan rasa panas menjalar ke dadanya. Dia berharap masih ada waktu. Mungkin dia bisa mengingatkan Nora dari dunia lain. Dunia yang menyelubunginya seperti seribu bulu hitam berjatuhan.
Pemuda itu menatap Harrison sejenak, sebelum mulutnya membentuk senyum sinis. Kau salah. Jelas kau sudah terlambat.
Harrison mengangkat wajah, kaget karena sang pembunuh mampu membaca pikirannya. Dia jadi bertanya-tanya, sudah berapa kali pemuda itu berdiri dengan posisi yang sama sebelum ini, untuk menerka pikiran terakhir korbannya. Barangkali bukan satu-dua kali.
Seolah ingin membuktikan betapa dia sangat berpengalaman, pemuda itu membidik pistol tanpa keraguan sedikit pun. Dan Harrison mendapati dirinya menatap selongsong senjata. Cahaya api menyilaukan mata. Dan itulah gambar terakhir yang dilihatnya.
***** P A TCH B ERDIRI D I B ELAKANGKU , M ERANGKUL
pinggangku, tubuhnya santai. Tingginya enam kaki dua inci, ramping, sampai-sampai jins dan T-shirt gombrong pun tak mampu menyembunyikan sosoknya yang atletis. Warna rambut dan matanya hitam pekat, membuat malam merasa cemburu. Senyumnya seksi dan menyiratkan bahaya. Tapi hatiku memutuskan, tidak semua bahaya itu buruk.
Di atas kami kembang api mencerahkan langit malam. Percikan api warna-warni meramaikan Atlantic.
d elphic B each , m aine s ekaranG h t t p
Kerumunan orang berdesah ooh dan aah. Sekarang sudah di penghujung Juni. Maine menyambut musim panas dengan kedua tangan terbuka lebar, merayakan masa dua bulan yang kaya akan matahari, pasir, dan turis-turis berkantong tebal. Aku sendiri merayakan masa dua bulan yang kaya dengan matahari, pasir, dan waktu yang berlimpah bersama Patch. Selama musim panas ini aku mengikuti satu mata pelajaran saja kimia. Dan dengan sepenuh hati, aku akan membiarkan Patch memonopoli waktuku selebihnya.
Staf perusahaan kembang api menyalakan petasan di sebuah dermaga yang jaraknya tidak sampai dua ratus yard dari pantai tempat kami berdiri. Dan aku merasakan setiap ledakannya menjalarkan getaran ke pasir di bawah kakiku. Ombak memecah ke pantai yang lokasinya tepat di bawah bukit, dan musik karnaval berkumandang dengan volume penuh. Aroma gulali, berondong jagung, dan daging panggang merebak di udara. Membuatku teringat, aku belum makan sejak siang tadi.
Aku akan membeli cheeseburger, kataku kepada Patch. Kau ingin sesuatu"
Bukan yang ada di menu. Aku tersenyum. Kau merayuku, ya"
Dia mencium kepalaku. Belum. Biar aku yang belikan. Kau nikmati saja kembang api terakhir.
Aku menarik ujung ikat pinggangnya. Terima kasih, tapi biar aku saja. Kalau tidak, aku akan merasa bersalah.
Alis matanya terangkat, bingung.
Kapan terakhir kali cewek di stan hamburger membiarkanmu membayar makanan"
Sudah cukup lama. Jawabannya tidak pernah. Kau tunggu saja di sini. Kalau dia melihatmu, aku akan merasa bersalah semalaman.
Patch membuka dompet dan mengeluarkan lembaran dua puluh dolar. Kembaliannya untuk dia.
Sekarang giliranku mengangkat alis. Ingin menebus semua makanan gratis yang kauterima"
Terakhir kali aku membayar, dia mengejarku dan menjejalkan uang ke saku bajuku. Aku tidak ingin dia melakukan itu lagi.
Kedengarannya seperti sesumbar, tapi jika kau mengenal Patch, kau pasti tahu yang dikatakannya itu mungkin benar.
Aku berdiri di ujung antrean yang mengular di sekeliling stan hamburger. Posisiku sekarang di dekat pintu komidi putar. Dari panjangnya antrean, rasanya
aku harus menunggu lima belas menit untuk bisa dilayani. Di pantai ini cuma ada satu stan hamburger. Seperti bukan di Amerika saja.
Setelah menunggu beberapa menit dengan gelisah, aku melihat sesuatu yang meningkatkan kebosananku hingga sepuluh kali lipat. Marcie Millar. Dia terpaut dua orang saja di belakangku. Marcie dan aku satu sekolah sejak taman kanak-kanak. Dan pada tahun kesebelas, aku telah melihat lebih banyak dari dirinya dibandingkan dengan yang ingin kuingat. Karena dia, teman-temanku melihat pakaian dalamku lebih sering dari yang seharusnya. Di bangku SMP, Marcie mencuri bra-ku dari loker gimnasium dan menempelkannya di majalah dinding dekat kantor kepala sekolah. Tetapi kadang-kadang dia lebih kreatif lagi. Bra-ku dijadikan dekorasi utama di kantin, setelah diisi dengan puding vanila dan ujungnya diberi ceri maraschino. Kampungan sekali.
Marcie selalu mengenakan rok yang ukurannya dua angka lebih kecil dan lima inci lebih pendek dari yang seharusnya. Warna rambutnya pirang campur merah dan bentuk tubuhnya ceking seperti stik es lilin. Jika menghadap samping, dia tidak akan terlihat. Meski begitu, kalau ada catatan berisi skor kemenangan dan
kekalahan di antara kami berdua, aku yakin skor Marcie dua kali lebih tinggi ketimbang skorku.
Hei, kataku, tanpa sengaja bertemu mata dengannya, tapi enggan berkomunikasi lebih dari sekadar sapaan ringan.
Hei, balasnya dengan suara yang dibuat sopan. Melihat Marcie di Delphic Beach malam ini seperti berada dalam permainan Apa yang Salah dengan Gambar Ini" Ayah Marcie adalah pemilik agen Toyota di Coldwater. Keluarganya tinggal di lingkungan bergengsi, dan boleh berbangga sebagai satu-satunya warga Coldwater yang diterima menjadi anggota Harraseeket Yacht Club yang beken. Boleh jadi sekarang ini orangtua Marcie sedang berada di Freeport, bertamasya dengan perahu layar, dan menikmati ikan salmon.
Kontras sekali dengan Delphic yang tergolong pantai kumuh. Jika kau menyangka ada klub perahu pesiar di sini, kau akan ditertawakan. Satu-satunya restoran di sini hadir dalam bentuk stan hamburger bercat putih yang hanya menyediakan dua pilihan pelengkap, saus tomat atau moster. Di hari baik, ditawarkan pula kentang goreng. Hiburan terbatas pada arena permainan yang berisik dan bom-bom-kar. Dan setelah gelap, halaman parkir di sini terkenal sebagai tempat transaksi obatobatan terlarang.
Pokoknya bukan jenis lingkungan yang dijadikan tempat bergaulnya Putri Tuan dan Nyonya Millar.
Bisa lebih lambat lagi ngga sih" teriak Marcie yang sedang mengantre. Kita kelaparan nih. Pelayannya cuma satu, kataku memberi tahu. Lalu kenapa" Seharusnya karyawan di sini lebih banyak. Ini hukum permintaan dan penawaran.
Mengingat nilai rapornya, menurutku Marcie bukan orang yang tepat untuk berbicara soal ekonomi.
Sepuluh menit kemudian, aku mendapat kemajuan dan berdiri cukup dekat dengan stan hingga bisa membaca kata MOSTER tertulis dengan spidol hitam di botol kuning. Marcie berdiri di belakangku sambil bertumpu pada salah satu kaki, lalu kaki yang lain, bergantian. Dia tidak henti-hentinya mendesah. Kelaparan dengan K besar, keluhnya.
Cowok di depanku membayar dan membawa makanannya.
Satu cheeseburger dan Coke, kataku kepada gadis yang bekerja di stan.
Sementara dia berdiri di samping panggangan, menyiapkan pesananku, aku menoleh ke Marcie. Kau ke sini sama siapa" Sebenarnya aku tidak peduli dia datang dengan siapa, lagi pula kelompok teman kami berbeda. Tetapi, sopan santun lebih penting. Apalagi
Marcie tidak memancing masalah denganku selama beberapa minggu. Dan kami berdiri dengan damai selama lima belas menit terakhir. Mungkin ini awal gencatan senjata. Memaafkan kesalahan yang lalu.
Dia menguap, seolah berbicara denganku lebih membosankan daripada menunggu di antrean dan hanya menatap kepala orang dari belakang. Jangan tersinggung, tapi aku sedang tidak ingin mengobrol. Rasanya aku sudah berdiri lima jam, menunggu cewek payah yang kelihatannya tidak bisa memasak dua hamburger sekaligus.
Cewek di belakang konter menunduk, berkonsentrasi mengelupaskan kertas lilin dari hamburger. Tapi aku yakin, dia mendengar ucapan Marcie. Barangkali dia benci pekerjaannya. Bahkan, mungkin diam-diam dia meludahi hamburger mentah ketika membalikkan badan. Aku sendiri tidak terkejut jika setelah jam kerjanya berakhir, dia masuk ke mobil lalu menangis.
Apa ayahmu tidak keberatan kau keluyuran di Delphic Beach" tanyaku sambil menyipitkan mata, meskipun hanya sedikit. Mungkin itu akan mencemari reputasi keluarga Millar yang terhormat. Apalagi ayahmu sekarang diterima sebagai anggota Harraseeket Yacht Club.
Ekspresi Marcie dingin. Aku heran ayahmu tidak keberatan kau ada di sini. Oh, aku lupa. Dia sudah mati.
Reaksi pertamaku adalah kaget. Berikutnya aku merasa muak dengan kekejamannya. Gumpalan kemarahan membengkak di kerongkonganku.
Apa" tantangnya sambil menaikkan satu bahu. Dia sudah mati. Itu kenyataan. Kau ingin aku berbohong"
Apa salahku kepadamu" Kau dilahirkan.
Sikapnya yang sangat tidak berperasaan membuatku benar-benar geram. Sebegitu parahnya kemarahanku, sampai-sampai aku tidak membalas. Kurampas cheeseburger dan Coke dari meja, dan kuletakkan uang dua puluh dolar. Aku sangat ingin kembali ke Patch, tapi ini persoalan antara aku dan Marcie saja. Kalau aku menemuinya sekarang, wajahku akan mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Aku tidak ingin menyeret Patch ke dalam persoalan ini. Setelah berusaha menenangkan diri sejenak, aku melihat sebuah bangku di dekat stan hamburger. Jadi, aku duduk di sana semanis mungkin dan bertekad tidak akan membiarkan Marcie menghancurkan malam ini.
Aku menggigit cheeseburger, tapi rasanya tidak enak di mulutku. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bangkai hewan. Bangkai sapi. Bangkai ayahku sendiri.
Kulemparkan cheeseburger ke keranjang sampah. Lalu aku berjalan sambil menahan air mata yang membuat kerongkonganku tercekat.
Dengan telapak tangan mendekap siku erat-erat, aku bergegas ke jejeran bilik kamar mandi di ujung lapangan parkir. Mudah-mudahan saja aku bisa sampai di sana sebelum air mataku mengucur. Ada beberapa orang yang keluar dari toilet wanita. Aku menepi di ambang pintu dan memosisikan diri di depan salah satu cermin yang sudah buram. Sekalipun di bawah lampu berkekuatan rendah, aku bisa melihat mataku merah dan berkacakaca. Aku membasahi tisu dan menekankannya ke mata. Apa sih masalah Marcie" Memangnya apa salahku hingga dia bersikap sekejam itu kepadaku"
Setelah beberapa kali menghela napas untuk menstabilkan diri, aku menegakkan bahu dan menciptakan dinding bata dalam kepalaku. Kutempatkan Marcie di ujung dinding. Apa peduliku dengan ucapannya" Aku bahkan tidak suka kepadanya. Pendapatnya sama sekali tidak berarti bagiku. Dia kasar, egois, dan menyerangku secara pengecut. Dia tidak mengenalku, dan jelas tidak
mengenal ayahku. Tidak ada gunanya menangis karena ucapan yang keluar dari mulutnya.
Lupakan dia, perintahku kepada diri sendiri. Aku menunggu sampai berkas merah di mataku menghilang, kemudian meninggalkan kamar mandi. Aku berjalan di antara banyak orang, mencari Patch. Ternyata dia sedang bermain boling. Tubuhnya me-munggungi aku, di sebelahnya ada Rixon. Kemungkinan dia bertaruh Patch tidak akan bisa menjatuhkan pin boling. Rixon adalah malaikat terbuang yang sudah lama mengenal Patch. Bahkan ikatan di antara mereka begitu erat hingga seperti bersaudara. Tidak banyak orang yang diizinkan Patch masuk ke dalam kehidupannya. Dan orang yang dipercayainya lebih sedikit lagi. Jika ada satu orang yang tahu semua rahasia Patch, dia adalah Rixon.
Dua bulan yang lalu, Patch juga malaikat terbuang. Kemudian dia menyelamatkanku sehingga memperoleh sayapnya kembali, dan menjadi malaikat pelindungku. Seharusnya dia berperan sebagai orang baik sekarang. Tetapi diam-diam aku merasa hubungannya dengan Rixon, dan dunia malaikat terbuang, mempunyai makna lebih baginya. Dan meskipun enggan kuakui, tapi kurasa dia menyesali keputusan para pemuka malaikat yang menjadikannya pelindungku. Bukan itu yang dia inginkan.
Dia ingin menjadi manusia.
Ponselku berbunyi, memecah lamunanku. Itu adalah nada dering sahabatku, Vee. Tapi aku tidak menjawab dan membiarkan voice mail yang menerima panggilannya. Sambil menekan rasa bersalah, samar-samar aku ingat, sehari ini sudah dua kali aku mengabaikan telepon Vee. Aku menghukum rasa bersalahku dengan niat akan bertemu dengannya besok. Di pihak lain, aku tidak akan bertemu Patch lagi sampai besok malam. Jadi, aku ingin menikmati setiap menit yang tersisa bersamanya.
Aku mengawasi Patch melempar bola di meja yang bagian ujungnya terdapat barisan pin. Jantungku berdesir ketika T-shirt-nya terangkat sedikit di bagian belakang sehingga memperlihatkan kulitnya. Berdasarkan pengalaman, aku tahu setiap inci tubuhnya adalah otot yang kencang. Punggungnya mulus dan sempurna. Goresan luka yang diperoleh ketika dia dibuang, sekarang telah kembali berganti dengan sayap. Sayap yang tidak bisa dilihat semua orang, termasuk aku.
Taruhan lima dolar, kau tidak bisa melakukannya lagi, kataku dari belakangnya.
Patch menoleh dan tersenyum. Aku tidak ingin uangmu, Angel.
Hei, jaga pembicaraan kalian tetap untuk semua umur, ya, kata Rixon.
Ketiga pin yang tersisa, tantangku kepada Patch. Hadiahnya apa" dia bertanya.
Sialan, kata Rixon. Kalian sudah tidak sabar, ya"
Patch tersenyum kepadaku, kemudian membalikkan badan, dan mendekatkan bola ke dadanya. Dia menurunkan bahu kanan, mengayunkan tangan, dan meluncurkan bola sekeras mungkin. Terdengar bunyi kraak! yang keras, dan ketiga pin berjatuhan di meja.
Aduh, sekarang kau dalam masalah, teriak Rixon di tengah orang-orang yang ikut menonton. Mereka bertepuk tangan dan bersiul untuk Patch.
Patch menyandarkan punggung ke dinding dan mengangkat alis kepadaku. Bahasa tubuhnya mengatakan, Ayo bayar.
Kau beruntung, kataku. Justru sebentar lagi aku akan beruntung. Pilih hadiahmu! teriak lelaki tua di kios itu kepada Patch, sambil membungkuk memunguti pin yang jatuh.
Beruang ungu, kata Patch, lalu menerima boneka teddy bear jelek yang diselimuti bulu ungu. Dia menyodorkannya kepadaku.
Untukku" kataku sambil menunjuk dada. Kau suka barang-barang bekasan. Ketika di toko, kau tidak keberatan menerima kaleng yang sudah
karatan. Aku memperhatikan. Patch mengaitkan jarinya ke pinggangku dan menarikku. Ayo kita pergi.
Apa rencanamu" Tubuhku sudah hangat dan berdebar-debar, karena aku tahu persis apa yang ada dalam pikirannya.
Kita ke rumahmu. Aku menggeleng. Tidak mungkin. Ibuku di rumah. Ke rumahmu saja, usulku.
Kami sudah menjalin hubungan selama dua bulan. Tetapi, aku masih belum tahu tempat tinggal Patch. Itu bukan karena aku tidak berusaha. Dua minggu saja rasanya sudah cukup lama untuk menunggu diundang, terutama karena Patch tinggal sendirian. Apalagi dua bulan. Aku sudah berusaha sabar, tetapi rasa penasaranku tidak bisa dihilangkan. Aku tidak tahu apa-apa tentang seluk-beluk kehidupan pribadi Patch. Misalnya warna cat dinding rumahnya. Apakah dia menggunakan pembuka kaleng listrik ataukah manual. Apa merek sabun yang digunakannya. Apakah seprainya dari bahan katun ataukah sutra.
Biar kutebak, kataku. Kau tinggal di sebuah bangunan rahasia yang terpendam di bawah perut kota ini.
Angel. Apakah dapurmu penuh dengan piring kotor" Ada baju dalam kotor berserakan di lantai" Itu jauh lebih pribadi dibandingkan rumahku.
Benar, tapi jawabannya tetap tidak. Apakah Rixon pernah ke tempatmu" Rixon orang yang harus tahu. Aku tidak"
Mulutnya berkernyit. Ada kegelapan yang menimpa orang yang tahu.
Kalau kau menunjukkan kepadaku, kau harus membunuhku" aku menebak.
Dia merangkul tubuhku dan mencium keningku. Hampir benar. Kapan jam malammu"
Sepuluh. Sekolah musim panas akan dimulai besok. Itu alasan pertama. Kedua, ibuku praktis punya pekerjaan sampingan mencari kesempatan menjatuhkan pisau di antara aku dan Patch. Kalau aku keluar bersama Vee, aku hampir yakin jam malamku lebih panjang lagi, sampai sepuluh tiga puluh. Bukannya aku menyalahkan Ibu karena tidak percaya kepada Patch. Aku sekalipun kadang-kadang merasakan hal yang sama. Tetapi, akan sangat menyenangkan jika sekali-sekali Ibu melonggarkan kewaspadaannya.
Misalnya pada malam ini. Lagi pula tidak akan terjadi apa-apa selama malaikat pelindungku terpaut beberapa inci saja dariku.
Patch melirik jam tangannya. Waktunya pergi. Pada pukul 10.04, Patch mengambil putaran balik di depan rumahku lalu memarkir mobil di samping kotak surat. Dia mematikan mesin dan lampu sen, membuat kami berada dalam kegelapan wilayah pinggiran kota. Kami duduk diam selama beberapa saat sebelum dia berkata, Mengapa kau diam saja, Angel"
Perhatianku langsung beralih. Benarkah" Cuma asyik melamun.
Seulas senyum menghiasi mulut Patch. Bohong. Ada apa"
Kau hebat, kataku. Senyumnya melebar. Sangat hebat.
Aku bertemu Marcie Millar di stan hamburger, kataku mengaku. Masa bodoh dengan rencanaku menyimpan persoalan ini sendirian. Jelas urusan ini masih mengganggu pikiranku. Lagi pula kalau aku tidak bisa mengadu kepada Patch, lalu kepada siapa lagi" Dua bulan yang lalu hubungan kami dihiasi ciuman-ciuman spontan. Di dalam mobil, di luar mobil, di bawah kap kios, dan di atas meja dapur. Tapi sekarang lebih dari itu. Aku merasa terhubung secara emosional dengan Patch.
Persahabatan dengannya jauh lebih berarti daripada seratus teman biasa. Ketika ayahku meninggal, muncul lubang besar dalam diriku yang mengancam akan memakan diriku sampai habis. Kehampaan itu masih ada, tapi rasa pedihnya sudah berkurang separuh. Aku merasa tidak ada gunanya berkubang di masa lalu, apabila aku punya segala yang kuinginkan sekarang. Dan untungnya aku punya Patch. Dia cukup perhatian kepadaku untuk mengingatkan kalau ayahku sudah meninggal.
Kau ingin aku bicara dengannya" Kesannya agak seperti film The Godfather. Apa yang memicu perselisihan kalian" Itulah persoalannya. Aku tidak tahu. Dulu biasanya tentang siapa yang mendapatkan susu cokelat terakhir di kotak makan siang. Kemudian suatu hari, ketika kami di SMP, Marcie menuliskan kata pelacur di lokerku. Dia bahkan melakukannya terang-terangan. Seluruh sekolah tahu.
Dia memusuhimu begitu saja" Tanpa alasan" Yup. Maksudku, tanpa alasan yang kuketahui. Patch menyisipkan untaian rambutku ke belakang telinga. Siapa yang menang"
Marcie, tapi tidak banyak.
Senyumnya mengembang. Kalahkan dia, Macan.
Dan ada satu hal lagi. Pelacur" Aku bahkan tidak pernah berciuman dengan siapa pun di SMP. Seharusnya Marcie menulis di lokernya sendiri.
Sepertinya kau mulai tidak rasional, Angel. Patch membelaiku. Sentuhannya menyebarkan desiran listrik ke seluruh kulitku. Berani taruhan, aku bisa menyingkirkan Marcie dari pikiranmu.
Beberapa lampu menyala di lantai atas rumahku. Tetapi karena aku tidak melihat wajah Ibu menempel di salah satu jendela, aku merasa kami masih punya waktu. Kulonggarkan sabuk pengaman dan kucondongkan badanku ke samping. Aku mencium Patch, menikmati rasa garam laut di kulitnya. Dia bercukur tadi pagi, tapi sekarang bekas cukuran itu menggelitik daguku.
Ciuman Patch beralih ke bahuku. Pada saat seperti inilah aku ingin berada sedekat mungkin dengannya. Aku tidak ingin dia pergi. Aku membutuhkannya sekarang, dan besok, dan sehari setelah itu. Aku membutuhkan dirinya lebih dari sebelumnya.
Aku beringsut dari kursi dan duduk di pangkuannya. Tanganku menjalar ke dadanya, dan meraih belakang lehernya, membuat wajahnya semakin dekat denganku. Tangannya melingkari pinggangku, mengunci diriku ke tubuhnya, dan aku menyusup semakin dekat.
Terjebak dalam momen itu, aku menjalankan tangan ke bawah T-shirt-nya, membayangkan betapa aku suka sensasi panas tubuhnya menyebar ke tanganku. Begitu jari-jariku mengenai bagian di punggungnya, tempat goresan sayap itu berada, suatu cahaya di kejauhan menebar di dalam pikiranku. Kegelapan total, dihancurkan oleh satu ledakan sinar yang membutakan. Rasanya seperti menonton fenomena kosmik di angkasa dari jarak jutaan mil. Aku merasa pikiranku terisap ke dalam pikiran Patch, menuju ribuan memori pribadi yang tersimpan di sana. Tetapi tiba-tiba tangannya menyentuh tanganku dan menurunkannya, lalu segalanya kembali normal dalam sekejap.
Usaha yang bagus, gumamnya.
Jika kau bisa melihat masa laluku hanya dengan menyentuh punggungku, kau juga akan kesulitan menahan godaan untuk melakukannya.
Aku kesulitan menjauhkan tanganku dari tubuhmu tanpa bonus tambahan itu.
Aku tertawa. Tetapi ekspresiku segera berubah menjadi serius. Sekalipun dengan konsentrasi yang tidak penuh, aku kesulitan mengingat bagaimana kehidupanku sebelum Patch datang. Pada malam hari, ketika aku ter-baring di tempat tidur, aku bisa mengingat dengan jelas getaran tawanya yang rendah. Bagaimana
senyumnya sedikit melengkung di ujung kanan bibirnya, sensasi yang ditimbulkan sentuhan tangannya panas, lembut, dan nikmat di kulitku. Tetapi hanya dengan usaha keras, aku baru bisa menggali memori dari kehidupanku enam belas tahun sebelumnya. Mungkin karena memori-memori itu pucat dibandingkan dengan Patch. Atau mungkin karena tidak ada memori yang bagus sama sekali.
Jangan pernah tinggalkan aku, kataku sambil menautkan jari ke kerah T-shirt-nya.
Kau milikku, Angel, gumamnya, Kau memilikiku selamanya.
Buktikan kau serius, kataku tenang.
Dia mengawasiku sesaat, kemudian menjangkau belakang lehernya dan melepaskan rantai perak polos yang dipakainya sejak hari pertama aku bertemu dengannya. Aku tidak tahu dari mana asal rantai itu, atau seberapa besar artinya. Tetapi kurasa benda itu bukan sekadar perhiasan biasa bagi Patch. Karena dia selalu menyelipkannya ke bawah T-shirt-nya, dekat dengan kulitnya. Dan aku tidak pernah melihat Patch melepas rantai itu.
Tangannya meraih belakang leherku, lalu dia mengencangkan kaitan rantai. Logam itu menyentuh kulitku, masih terasa hangat karena tubuhnya.
Aku mendapat benda ini ketika masih menjadi salah satu penghulu malaikat, katanya. Untuk membantuku membedakan kebenaran dari dusta.
Aku meraba rantai itu, kagum akan nilainya yang tinggi. Apakah fungsinya masih terjaga"
Tidak bagiku. Dia menautkan jarinya dengan jariku, dan mengangkat tanganku untuk mencium bukubuku jariku. Sekarang giliranmu.
Aku melepaskan cincin tembaga kecil dari jari tengah tangan kiriku dan menjulurkan kepadanya. Gambar hati terukir di bagian dalam cincin itu.
Patch memegang cincin itu di antara jarinya, mempelajari benda itu tanpa bicara.
Itu pemberian ayahku seminggu sebelum dia dibunuh, kataku.
Patch mengejap. Aku tidak pantas menerimanya. Ini benda terpenting bagiku. Aku ingin kau menyimpannya. Aku menekuk jari-jarinya sehingga menutupi cincin itu.
Nora. Patch ragu-ragu. Aku tidak pantas menerimanya.
Berjanjilah kau akan menyimpannya. Berjanjilah tidak akan ada yang memisahkan kita. Aku menatap lekat matanya, enggan membiarkannya berpaling. Aku tidak ingin hidup tanpamu. Aku tidak mau ini berakhir.
Mata Patch hitam pekat, bahkan lebih gelap ketimbang sejuta rahasia yang ditumpuk satu sama lain. Dia menatap cincin di tangannya, memutar benda itu perlahan.
Bersumpahlah kau tidak akan berhenti mencintaiku, bisikku.
Dia mengangguk, nyaris tidak kentara.
Ujung cincin yang tajam menekan telapak tangan kami. Rasanya tidak ada satu pun yang bisa kulakukan untuk membuatnya cukup dekat dengannya. Tidak ada ukuran dari dirinya yang bisa disebut cukup. Cincin itu melesak semakin dalam ke tanganku, sampai aku yakin kulitku tergores. Setetes darah janji.
Ketika kupikir jantungku bisa berhenti karena kehabisan udara, aku menjauh, dan menyandarkan dahiku ke dahinya. Mataku terpejam, napasku membuat bahuku naik-turun. Aku cinta kepadamu, gumamku. Lebih dari yang seharusnya.
Aku menunggu jawabannya. Tapi dia malah memelukku begitu erat, nyaris seperti melindungi. Kepalanya menoleh ke hutan di seberang jalan.
Ada apa" tanyaku. Aku mendengar sesuatu. Itu aku, mengatakan aku cinta kepadamu, kataku, tersenyum sambil menelusuri bibirnya dengan jariku.
Kukira dia akan membalas senyumanku. Tetapi, matanya masih tertuju ke pepohonan yang menimbulkan bayangan bergerak-gerak saat dahannya beranggukang-guk ditiup angin.
Ada apa" tanyaku, mengikuti arah pandangannya. Seekor coyote"
Sesuatu yang tidak beres.
Darahku berdesir. Aku bergeser dari pangkuannya. Kau mulai membuatku takut. Apakah kau melihat beruang" Sudah bertahun-tahun kami tidak melihat beruang. Tetapi rumahku terletak di pelosok kota, dan beruang dikenal senang keluyuran setelah hibernasi, ketika mereka lapar dan mencari makanan.
Nyalakan lampu dan tekan klakson, kataku. Mataku mengawasi hutan, mengintai gerakan. Jantungku agak berdebar. Aku teringat ketika aku dan kedua orangtuaku mengawasi seekor beruang dari jendela rumah. Hewan itu menggulingkan mobil kami karena mencium aroma makanan.
Lampu beranda rumahku menyala. Aku tidak perlu menoleh untuk mengetahui ibuku berdiri di ambang pintu, mengerutkan kening, dan mengetuk-ngetuk kakinya.
Ada apa" tanyaku sekali lagi. Ibuku keluar. Apakah dia aman"
Patch menyalakan mesin dan berancang-ancang menjalankan Jip-nya. Masuklah. Ada sesuatu yang harus kulakukan.
Masuk" Kau bercanda" Ada apa"
Nora! panggil ibuku, menghampiri. Nada suaranya jengkel. Dia berhenti lima kaki dari Jip dan memberi isyarat agar aku menurunkan jendela. Patch" cecarku.
Aku akan meneleponmu. Ibuku membuka pintu mobil. Patch, sapanya ketus.
Blythe. Patch mengangguk samar.
Ibu beralih kepadaku. Kau terlambat empat menit.
Kemarin aku lebih cepat empat menit. Jam malam tidak boleh dilanggar. Masuk. Sekarang.
Sebenarnya aku tidak mau meninggalkan Patch sebelum dia memberi jawaban. Tapi aku tidak punya pilihan. Telepon aku, kataku kepadanya.
Dia mengangguk satu kali. Tetapi sorot matanya mengatakan bahwa pikirannya berada di tempat lain. Begitu aku keluar dari mobil dan menjejakkan kaki ke tanah, Jip itu meluncur tanpa membuang waktu. Ke mana pun tujuannya, jelas Patch terburu-buru.
Kalau aku sudah menetapkan jam malam, kuharap kau menaatinya, kata Ibu.
Cuma terlambat empat menit, kataku, nada bicaraku mengatakan reaksinya berlebihan.
Ibu melotot dan menunjukkan ketidaksetujuannya dengan caraku. Tahun lalu ayahmu dibunuh. Beberapa bulan lalu, kau sendiri terancam kematian. Rasanya aku pantas overprotektif. Ibu berjalan ke rumah dengan kaku, tangannya mendekap dada.
Oke, aku anak yang tidak punya perasaan dan tidak sensitif. Paham.
Aku mengalihkan perhatian ke barisan pohon di seberang jalan. Tidak ada yang tampak aneh. Aku menunggu desiran dalam tubuhku yang memperingatkan ada sesuatu di sana. Sesuatu yang tidak bisa kulihat. Tapi tidak terjadi apa-apa. Embusan angin musim panas yang hangat berkelebat, bunyi jangkrik mengisi udara. Hutan tampak damai di bawah pancaran bulan yang keperakan.
Patch tidak melihat sesuatu yang tidak beres di hutan. Dia pergi karena aku mengucapkan tiga kata yang sangat bodoh. Kata-kata yang meluncur tanpa bisa kutahan. Apa yang kupikirkan" Tidak. Apa yang dipikirkan Patch sekarang" Apakah dia pergi supaya
terhindar dari keharusan menjawab" Aku yakin aku tahu jawabannya. Dan aku yakin itulah yang membuatku masih menerawang ke arah Jip-nya pergi.
***** S ElaMa SEbElaS dETik TER akhiR, akU TidUR
tengkurap dengan wajah terbenam dalam bantal. Aku berusaha membungkam laporan lalu lintas yang disiarkan Chuck Delaney dari pinggiran Portland. Suaranya terdengar lantang dan jernih dari jam beralarm di samping ranjangku. Aku juga berusaha mematikan bagian logis dari otakku yang berteriak-teriak menyuruhku berpakaian, dan mengingatkan akibatnya kalau aku tidak melakukannya. Tetapi yang menang adalah bagian otakku yang mencari kesenangan. Membuatku
masih bergelayut dalam mimpi atau tepatnya subjek mimpiku. Dia punya rambut hitam bergelombang dan senyum mematikan. Saat ini dia sedang duduk membelakangi setir motornya dan aku duduk menghadap ke depan. Lutut kami bersentuhan. Jari-jariku meremas T-shirt yang dikenakannya dan menarik tubuhnya untuk mendapatkan kecupan.
Dalam mimpiku, Patch bisa merasakan ketika aku menciumnya. Bukan hanya sebatas emosional, melainkan sentuhan fisik yang nyata. Dalam mimpiku dia manusia, bukan malaikat. Malaikat tidak bisa merasakan sensasi fisik. Aku tahu itu. Tetapi dalam mimpiku, aku ingin Patch merasakan tekanan yang halus dan lembut ketika kami bersentuhan. Aku ingin dia merasakan ketika jari-jariku menyusup ke rambutnya. Aku ingin dia merasakan medan magnetis yang menggetarkan dan tidak bisa disangkal, mendorong seluruh molekul dalam tubuhnya ke arah tubuhku.
Sebagaimana yang kurasakan.
Patch menelusuri rantai perak di leherku. Sentuhannya menjalarkan getaran menyenangkan ke seluruh tubuhku. Aku mencintaimu, gumamnya. Aku lebih mencintaimu, gumamku halus. Hanya saja kata-kata itu tidak keluar, tercekat di tenggorokanku.
Sementara Patch menunggu responsku, senyumnya memudar.
Aku mencintaimu, aku mencoba lagi. Dan sekali lagi, kata-kata itu tidak keluar.
Ekspresi Patch menjadi cemas. Aku mencintaimu, Nora, ulangnya.
Aku mengangguk tergesa-gesa, tetapi dia memalingkan wajah. Dia beranjak dari motor dan pergi tanpa menoleh lagi.
Aku mencintaimu! teriakku. Aku mencintaimu, Aku mencintaimu!
Tetapi tenggorokanku seolah-olah terisi butiran pasir. Semakin kuat usahaku mengeluarkan kata-kata itu, semakin banyak pasir yang menerobos masuk.
Patch berjalan di antara kerumunan orang. Malam menyelimuti kami dalam sekejap. Dan aku nyaris tidak bisa membedakan T-shirt hitamnya dari ratusan T-shirt berwarna gelap yang dipakai orang-orang. Aku berlari mengejarnya. Tetapi ketika aku menangkap tangannya, ternyata orang lain yang menoleh, bukan Patch. Seorang gadis. Hari sudah terlalu gelap. Aku sulit membedakan sosoknya, tetapi bisa kukatakan wajahnya cantik.
Aku mencintai Patch, katanya. Senyum tersungging di bibirnya yang bergincu merah terang. Dan aku tidak takut mengatakannya.
Aku sudah mengatakannya! tukasku. Semalam! Aku menerobos melewatinya, memasang mata, mencari sosok Patch sampai aku melihat topi baseball biru yang menjadi ciri khasnya. Seperti orang kesetanan, aku bergegas menghampirinya dan menjulurkan tangan untuk meraih tangannya.
Dia menoleh. Tetapi, dia telah berubah menjadi gadis cantik yang tadi kutemui. Kau terlambat, katanya. Sekarang aku mencintai Patch.
Kembali ke Angie yang akan menyampaikan laporan cuaca, ucap Chuck Delaney dengan ceria di telingaku.
Mataku membuka saat terdengar kata cuaca . Aku tidak langsung beranjak dari ranjang. Aku berusaha mengusir sesuatu yang tidak lebih dari mimpi buruk, baru kemudian mengambil pakaian. Laporan cuaca terdengar dua puluh menit sebelum jam delapan. Dan aku tidak pernah mendengar laporan cuaca, kecuali saat&
Sekolah musim panas! Aku ketiduran!
Kutendang selimut, lalu berlari ke lemari. Kemudian kujejalkan kakiku ke celana jins bekas semalam yang kulempar ke bawah lemari. Kumasukkan kaus putih melewati kepala dan melapisinya dengan kardigan warna ungu. Aku menghubungi Patch melalui speed-dial, tapi
tiga dering berlalu tanpa dijawab, membawaku ke voice mail. Telepon aku! kataku, separuh berprasangka dia menghindariku setelah pengakuan besar semalam. Aku memutuskan untuk berpura-pura tidak pernah mengatakannya sampai hal itu terlupakan dan keadaan kembali normal. Tetapi setelah mimpi pagi ini, aku sangsi apakah aku akan mudah melupakannya. Mungkin Patch pun kesulitan melupakannya. Bagaimanapun, tak banyak yang bisa kulakukan sekarang. Meski aku berani sumpah dia berjanji mengantarku&
Kupasang bando di rambut, merampas ransel dari meja dapur, lalu bergegas ke pintu.
Aku berhenti cukup lama di halaman untuk berteriak putus asa ke tempat Fiat Spider putih keluaran 1979 biasa berdiri. Mobil itu telah dijual ibuku untuk membayar tagihan listrik selama tiga bulan, dan menyimpan persediaan makanan di lemari es dalam jumlah cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan makan kami sampai akhir bulan. Dia juga memberhentikan pelayan rumah tangga kami, Dorothea, yang juga dikenal sebagai pengawasku, untuk memangkas pengeluaran. Dengan perasaan benci terhadap keadaan ini, kuangkat ransel ke bahu dan mulai berlari kecil.
Di tikungan Hawthorne dan Beech, aku melihat tanda-tanda kehidupan saat beberapa mobil melaju
membawa komuter pagi. Kuangkat satu ibu jari ke atas, sementara tangan lainnya membuka bungkus permen karet penyegar mulut sebagai ganti pasta gigi.
Sebuah Toyota merah 4Runner berhenti di ujung, dan penumpangnya menurunkan jendela otomatis. Marcie Millar duduk di belakang kemudi. Mobilmu bermasalah" tanyanya.
Bukan itu, tapi tidak ada mobil. Tapi aku tidak mau mengaku kepada Marcie.
Butuh tumpangan" ulangnya tidak sabaran ketika aku tidak menjawab.
Mengherankan sekali, di antara mobil-mobil yang melewati jalanan ini, mobil Marcie-lah yang kuhentikan. Apakah aku ingin semobil dengan Marcie" Tidak. Apakah aku belum melupakan ucapannya tentang ayahku" Ya. Apakah aku akan memaafkannya" Tentu saja tidak. Aku bisa saja menyuruhnya melanjutkan perjalanan. Tapi ada satu persoalan kecil. Gosipnya, hanya ada satu hal yang lebih disukai Mr. Loucks ketimbang tabel periodik. Dan itu adalah memberi surat hukuman kepada murid yang terlambat.
Terima kasih. Akhirnya aku menerima dengan enggan. Aku akan ke sekolah.
Temanmu yang gendut tidak bisa memberi tumpangan"
Tanganku berhenti di pegangan pintu mobil. Sudah lama aku dan Vee putus asa mendidik orang-orang berpikiran sederhana bahwa gendut dan moleg itu berbeda. Tetapi, bukan berarti kami bisa menerima kebodohan itu. Aku tentu lebih senang kalau Vee yang memberi tumpangan. Masalahnya, dia mendapat undangan untuk menghadiri pelatihan bagi editor majalah sekolah yang berbakat. Sekarang dia sudah berada di sekolah.
Lebih baik aku jalan kaki saja. Kudorong pintu mobil Marcie ke posisinya semula.
Marcie berpura-pura kebingungan. Apakah kau tersinggung karena aku menyebut temanmu gendut" Karena itu adalah kenyataan. Ada apa denganmu" Sepertinya semua ucapanku harus disensor. Pertama tentang ayahmu, sekarang ini. Kau tidak kenal kebebasan berbicara, ya"
Terpikir olehku, betapa senangnya jika Spider masih ada. Tidak hanya aku tidak terpaksa mencari tumpangan, tetapi mungkin aku juga bisa mendapat kesenangan dengan membenturkan mobilku ke mobil Marcie. Lapangan parkir sekolah selalu kacau setelah jam pelajaran berakhir. Kecelakaan kecil bukanlah sesuatu yang aneh.
Karena aku tidak bisa membentur mobil Marcie dengan bumper depan, aku mengambil pilihan terbaik kedua. Kalau ayahku menjadi kepala agen Toyota, rasanya aku akan cukup sadar lingkungan hidup untuk memintanya menjual mobil hibrida.
Well, ayahmu tidak menjadi agen Toyota. Benar. Ayahku sudah meninggal.
Marcie mengangkat satu bahu. Kau yang mengatakannya, bukan aku.
Mulai saat ini, kurasa akan lebih baik kalau kita tidak berkomunikasi.
Dia mengawasi kuku-kuku jarinya yang mengilat. Oke.
Bagus. Hanya ingin bersikap baik, dan melihat bagaimana hasilnya, gumamnya.
Baik" Kau menyebut Vee gendut.
Aku juga menawarkan tumpangan kepadamu. Dia menginjak pedal gas. Ban mobilnya melemparkan debu ke arahku.
Hus Hus Buku 2 Crescendo Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tidak bangun pagi ini untuk mencari satu lagi alasan untuk membenci Marcie Millar. Kini aku mendapatkannya juga.
Coldwater High didirikan pada penghujung abad kesembilan belas. Bangunannya merupakan perpaduan gaya Gotic dan Victorian sehingga lebih mirip katedral ketimbang sekolah. Jendela-jendelanya sempit dan melengkung, kacanya berbingkai tembaga. Batu yang menyusun dindingnya beraneka warna, tetapi kebanyakan abu-abu. Pada musim panas, daun ivy merambat di bagian luarnya sehingga membuat sekolah ini memiliki daya pikat New England. Pada musim dingin, daun itu menyerupai tulang-tulang jari yang panjang dan seolaholah mencekik bangunan sekolah.
Aku sedang separuh berjalan cepat dan separuh berlari melewati lorong menuju kelas kimia ketika ponsel berdering dalam saku celanaku.
Ibu" kataku tanpa memperlambat langkah. Boleh aku telepon kembali nan
Kau pasti tidak percaya, siapa yang kutemui semalam! Lynn Parnell. Kau pasti ingat keluarga Parnell. Ibunya Scott.
Aku melirik jam di layar ponsel. Sekalipun aku cukup beruntung jika mendapat tumpangan ke sekolah dari seseorang yang tidak kukenal misalnya seorang perempuan yang menuju sasana tinju tetap saja aku tidak akan sampai tepat waktu. Terlambat dua menit
dari bunyi lonceng yang lamban. Ibu" Kelas akan dimulai. Bisa kutelepon saat makan siang nanti" Kau dan Scott berteman baik.
Samar-samar memoriku tentang Scott muncul. Ya, ketika kami berumur lima tahun, kataku. Bukankah dia selalu mengompol"
Aku mengobrol dengan Lynn semalam. Dia baru saja bercerai. Dan sekarang dia pindah ke Coldwater bersama Scott.
Bagus. Kutelepon Ibu Aku mengundangnya makan malam.
Saat aku melewati kantor kepala sekolah, jarum jam yang tergantung di dinding bergeser ke angka berikutnya. Dari tempatku berdiri, jarum itu berada di antara pukul 7.59 dan delapan tepat. Aku memelototi jarum jam dan berkata Jangan coba-coba berbunyi lebih awal. Jangan malam ini, Bu. Patch dan aku
Jangan bodoh! Ibu memotong ucapanku. Scott salah satu teman yang paling lama kaukenal. Jauh sebelum kau kenal Patch.
Scott sering memaksaku makan ulat, kataku, memoriku mulai menguat.
Memangnya kau tidak pernah memaksanya main Barbie"
Itu jauh berbeda! Malam ini, jam tujuh, kata Ibu dengan nada yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Aku bergegas ke kelas kimia dalam detik yang tersisa lalu meluncur ke sebuah bangku logam di belakang meja lab barisan depan yang terbuat dari batu granit hitam. Di belakang meja itu ada dua bangku, aku berdoa semoga teman semejaku adalah orang yang lebih pintar sains dibandingkan denganku. Dan mengingat standarku, ini bukan sesuatu yang sulit. Pasalnya aku cenderung romantis ketimbang realis, dan lebih memilih keyakinan buta alih-alih logika yang kaku. Tidak heran kalau aku dan sains bermusuhan sedari awal.
Marcie Millar melangkah ke dalam kelas dengan sepatu hak tinggi, celana jins, dan atasan sutra keluaran Banana Republic yang masuk daftar baju incaranku setelah liburan sekolah berakhir. Menjelang Hari Buruh, atasan itu akan berada di rak obral sehingga harganya terjangkau. Aku sedang menghapus gambaran atasan itu dari benakku ketika Marcie memilih duduk di bangku sebelahku.
Rambutmu kenapa" dia bertanya. Kehabisan krim" Atau Kesabaran" senyum tersungging di satu sudut mulutnya. Atau karena kau berlari empat mil agar tidak terlambat"
Bukannya kita sudah sepakat untuk tidak saling berdekatan" Aku melirik ke bangkunya, kemudian ke bangkuku, sebagai isyarat bahwa dua puluh empat inci itu tidak bisa dibilang jauh.
Aku butuh sesuatu darimu.
Aku mengatur napas, berusaha menstabilkan tekanan darahku. Seharusnya aku sudah bisa menebak. Begini, Marcie, kataku. Kita sama-sama tahu, kelas ini sangat berat. Dengarkan aku baik-baik, sains adalah mata pelajaran paling sulit buatku. Satu-satunya alasanku mengikuti sekolah musim panas ini adalah karena kudengar kimia lebih mudah dipelajari dengan cara begini. Aku bukan partner yang tepat buatmu. Kau tidak akan mendapatkan nilai A dengan mudah.
Apa aku duduk di sebelahmu karena ingin meningkatkan nilai rapor" tanya Marcie sambil memutar pergelangan tangan tanda tidak sabaran. Aku membutuhkanmu dalam hal lain. Minggu lalu aku mendapat pekerjaan.
Marcie" Bekerja"
Dia menyeringai. Aku cuma bisa membayangkan dia menarik pikiran-pikiran dari ekspresi wajahku. Aku bekerja di kantor kepala sekolah. Salah seorang staf ayahku menikah dengan sekretaris kepala sekolah.
Punya koneksi itu memang menguntungkan. Tapi mungkin kau tidak tahu itu.
Aku tahu, ayah Marcie orang berpengaruh di Coldwater. Bahkan, dia adalah penggalang dana yang cukup disegani, selain punya kontribusi terhadap posisi pengajaran di sekolahku. Tapi ini sudah berlebihan.
Suatu kali sebuah arsip terbuka dan aku tidak sengaja melihatnya, kata Marcie.
Yeah, benar. Misalnya, aku tahu kau belum melupakan kematian ayahmu. Kau masih mengikuti konseling dengan psikolog sekolah. Bahkan, aku tahu segalanya tentang semua orang. Kecuali Patch. Minggu lalu aku sadar, arsipnya kosong. Aku ingin tahu sebabnya. Apa yang dia sembunyikan.
Kenapa kau tiba-tiba peduli"
Dia berdiri di halaman rumahku semalam, menatap ke jendela kamar tidurku.
Aku mengejap. Patch berdiri di halaman rumahmu"
Kecuali ada cowok lain yang mengendarai Jip Commander, berpakaian serba hitam, dan sangat seksi. Aku mengerutkan dahi. Dia mengatakan sesuatu" Dia melihatku mengawasinya dari jendela, lalu pergi. Apakah aku harus mengusulkan agar dia diskors
atas perilakunya ini" Aku tahu dia itu sinting, tetapi seberapa sinting sebenarnya"
Aku tidak memperhatikan Marcie, kelewat larut dengan informasi ini. Patch" Di rumah Marcie" Pasti kejadiannya setelah dia meninggalkan rumahku. Setelah aku mengatakan, Aku mencintaimu, dan dia menghindar.
Tidak perlu dijawab, kata Marcie tidak sabaran. Aku cari jalan lain saja. Misalnya meminta informasi dari petugas administrasi. Rasanya mereka akan penasaran dengan arsip siswa yang kosong. Aku tidak akan mengatakan apa-apa, tapi demi keselamatanku&
Aku tidak mengkhawatirkan rencana Marcie mengorek keterangan dari petugas administrasi. Patch bisa menjaga dirinya sendiri. Yang kucemaskan adalah semalam. Patch mendadak pergi, dengan alasan ada sesuatu yang harus dilakukan. Aku sulit percaya kalau sesuatu itu adalah berkeliaran di halaman rumah Marcie. Aku lebih mudah menerima jika dia pergi karena ucapanku.
Atau polisi, imbuh Marcie, mengetuk-ngetuk bibir dengan ujung jari. Arsip kosong sepertinya terkesan ilegal. Bagaimana Patch bisa masuk sekolah" Kau tampak jengkel, Nora. Apakah karena
ucapanku" Senyum senang menghiasi wajahnya. Betul begitu, ya" Aku masih punya cerita lain.
Aku berusaha terlihat tenang. Bagi seseorang yang membual kalau kehidupannya lebih hebat dari siswa lain di sekolah ini, kau tentu punya kebiasaan mengorek setiap sisi kehidupan kami yang membosankan dan tidak berguna.
Senyum Marcie lenyap. Aku tidak akan terpaksa melakukannya kalau kalian semua tidak menghalangi jalanku.
Menghalangi jalanmu" Ini bukan sekolahmu. Jangan bicara seperti itu kepadaku, kata Marcie dengan sikap tidak percaya, sampai-sampai kepalanya miring tanpa disengaja. Bahkan, jangan bicara kepadaku.
Aku menengadahkan telapak tangan. Bukan masalah.
Kalau begitu, pindah. Aku menatap bangkuku, tidak yakin dengan maksud ucapannya Aku di sini lebih dulu.
Marcie mengikutiku, mengangkat telapak tangannya. Bukan masalahku.
Aku tidak akan pindah. Aku tidak mau duduk di sebelahmu. Senang mendengarnya.
Pindah, perintah Marcie. Tidak.
Bunyi lonceng menengahi pertengkaran kami. Dan ketika deringannya berakhir, baik Marcie maupun aku sepertinya baru sadar, ruangan kelas menjadi sepi. Kami melihat ke sekeliling, dan perutku menjadi mulas. Ternyata semua bangku sudah ditempati.
Mr. Loucks mengambil tempat di gang sebelah kananku. Sekarang dia melambai-lambaikan sehelai kertas.
Ini adalah susunan tempat duduk di kelas ini, katanya. Setiap kotak terhubung dengan satu meja. Tulis nama kalian di kotak yang sesuai lalu edarkan ke teman di sebelah kalian. Dia menjatuhkan kertas itu di depanku. Semoga kalian mendapat partner yang kalian sukai, katanya. Kalian akan bersamanya selama delapan minggu.
Di siang hari, setelah kelas berakhir, aku pergi bersama Vee ke Enzo s Bistro. Itu adalah tempat favorit kami untuk menikmati es moka atau susu hangat, tergantung musim. Aku merasa matahari memanggang wajahku saat kami menyeberangi lapangan parkir. Pada saat itulah ada sesuatu yang menarik perhatianku. Sebuah mobil Volkswagen Cabriolet putih convertible dengan kertas
yang menunjukkan harga menempel di jendelanya, 1.000 dolar.
Kau meneteskan liur, kata Vee, menggunakan jarinya untuk mengatupkan rahangku yang menganga. Apakah kau bisa meminjamkan aku seribu dolar" Meminjamkan lima dolar pun aku tidak bisa. Celengan babiku secara resmi dinyatakan anoreksia.
Aku mendesah penuh harap ke arah Cabriolet itu. Aku butuh uang. Aku butuh pekerjaan. Aku memejamkan mata dan membayangkan diriku di belakang kemudi Cabriolet. Atapnya diturunkan, angin meniup rambutku yang ikal. Dengan Cabriolet, aku tidak perlu menumpang lagi. Aku bebas pergi ke mana pun dan kapan pun kusuka.
Yeah, tapi jika mendapat pekerjaan berarti kau harus benar-benar bekerja. Maksudku, apa kauyakin akan rela menghabiskan musim panas ini dengan membanting tulang demi upah sekadarnya"
Aku merogoh ransel, mencari sehelas kertas untuk mencatat nomor yang tertera di kertas itu. Mungkin aku bisa membujuk pemiliknya untuk menurunkan harga beberapa ratus dolar. Sementara itu, aku mencantumkan tugas mencari pekerjaan paruh-waktu di daftar kegiatan sore. Bekerja berarti aku harus berjauhan dengan Patch. Tapi itu juga berarti transportasi pribadi. Meski aku
sangat mencintai Patch, sepertinya dia selalu sibuk& melakukan sesuatu. Dengan begitu dia tidak bisa diandalkan untuk memberi tumpangan.
Di dalam Enzo, aku dan Vee memesan es moka dan salad pecan yang pedas, lalu asyik menikmati sajian di meja. Beberapa minggu terakhir ini Enzo mengalami perubahan besar-besaran demi menyesuaikan diri dengan abad dua puluh satu. Dan sekarang Coldwater punya gerai Internet pertamanya. Mengingat komputer rumahku sudah berumur enam tahun, tentu aku senang dengan perkembangan ini.
Aku tidak tahu denganmu, tapi aku ingin liburan, kata Vee, mendorong kacamata hitamnya ke atas kepala. Pelajaran bahasa Spanyol baru selesai delapan minggu lagi. Itu lebih lama dari yang ingin kubayangkan. Yang kita butuhkan adalah pengalihan pikiran. Kita butuh sesuatu yang membuat pikiran kita beralih dari jadwal pendidikan yang terentang di depan kita. Kita butuh belanja. Portland, bersiaplah menyambut kedatanganku. Sedang ada obral besar di Macy. Aku perlu sepatu, baju, dan parfum baru.
Kau sudah punya dua baju baru. Seharga dua ratus dolar. Ibumu akan ambeien begitu melihat tagihan MasterCard-nya.
Yeah, tapi aku butuh pacar. Dan untuk mendapatkan pacar, kau harus punya penampilan keren. Tidak ada ruginya kalau kau juga wangi.
Aku menggigit potongan buah persik. Punya calon"
Terus terang, ya. Asal bukan Scott Parnell saja. Scott apa"
Aku tersenyum. Nah, sekarang aku senang. Aku tidak tahu soal Scott Parnell, tapi cowok yang ada dalam kepalaku sangat seksi. Benar-benar seksi. Lebih seksi dari Patch. Vee terdiam. Well, mungkin tidak seseksi itu. Tidak ada yang seseksi itu. Aku tidak ada acara hari ini. Jadi, ke Portland atau tidak" Aku membuka mulut, tapi Vee lebih cepat. Ah-ha, katanya. Aku kenal ekspresimu. Kau ingin mengatakan sudah punya rencana.
Kembali ke Scott Parnell. Dulu dia tinggal di sini, saat usianya lima tahun.
Vee terlihat menggali ingatan jangka-panjangnya. Yang celananya sering basah, kataku membantu. Vee mengangkat mata. Scotty si tukang ompol" Dia pindah ke Coldwater lagi. Ibuku mengundangnya makan malam.
Aku tahu ke mana arahnya, kata Vee, mengangguk-anggukkan kepala seperti orang bijak. Ini yang disebut perjodohan imut . Ketika kehidupan dua calon pasangan romantis bertemu. Kauingat ketika Desi tak sengaja masuk ke toilet pria dan mendapati Ernesto sedang pipis"
Aku tidak jadi menyuap salad. Apa" Di Coraz"n, opera sabun Spanyol. Tidak tahu" Tidak apa-apalah. Intinya, ibumu ingin menjodohkanmu dengan Scotty si tukang ompol. Titik.
Tidak betul. Ibu tahu aku pacaran dengan Patch. Hanya karena dia tahu, bukan berarti dia senang.
Ibumu rela meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk mengubah persamaan Nora plus Patch sama dengan cinta, menjadi Nora plus Scotty si tukang ompol sama dengan cinta. Lalu bagaimana" Mungkin saja Scotty si tukang ompol sudah berubah menjadi Scotty si seksi. Bisa kaubayangkan"
Tidak. Dan aku tidak mau membayangkannya. Aku sudah punya Patch, dan aku sangat bahagia dengan itu.
Boleh ganti pembicaraan ke sesuatu yang sedikit lebih penting" tanyaku, merasa sudah waktunya mengubah topik sebelum Vee punya ide yang lebih gila lagi. Misalnya fakta bahwa partner kimiaku yang baru adalah Marcie Millar"
Si tukang ribut itu"
Sepertinya dia bekerja di kantor kepala sekolah, dan dia melihat arsip Patch.
Masih kosong" Sepertinya begitu, karena dia memintaku menceritakan segala yang kuketahui tentang Patch. Termasuk alasan dia berkeliaran di halaman parkir Marcie semalam, dan menatap ke jendela kamar tidurnya. Aku pernah dengar gosip bahwa Marcie menyangga jendelanya dengan raket tenis ketika dia membuka diri untuk pembayaran layanan tertentu, tapi aku tidak ingin berpikir ke situ. Bukankah 90 persen gosip hanya rekaan"
Vee mencondongkan badan. Apa yang kauketahui" Percakapan kami berganti menjadi keheningan yang membuat tidak nyaman. Sebenarnya aku punya prinsip, sesama sahabat tidak boleh ada rahasia. Tetapi rahasia itu ada& dan itu adalah fakta yang sulit. Fakta yang menakutkan. Fakta yang tak terbayangkan. Punya pacar yang semula malaikat terbuang dan kemudian menjadi malaikat pelindung, masuk dalam kategori ini. Kau merahasiakan sesuatu, kata Vee. Tidak.
Ya. Hening total. Kubilang kepada Patch, aku mencintainya. Vee menutup mulut dengan tangan. Tapi aku tidak bisa membedakan apakah dia menahan sendawa atau tawa. Ini membuatku semakin tidak nyaman. Apakah tindakanku selucu itu" Apakah aku melakukan sesuatu yang lebih bodoh dari yang kubayangkan"
Dia bilang apa" tanya Vee.
Aku hanya menatapnya. Seburuk itu" dia bertanya lagi.
Aku berdeham. Ceritakan tentang cowok yang kauincar. Maksudku, apakah ini imajinasi saja, atau kau benar-benar sudah bicara dengannya"
Vee memakan umpanku. Bicara dengannya" Aku menyantap hot dog bersamanya di Skippy kemarin. Ini semacam kencan buta, tapi hasilnya lebih baik dari yang kuduga. Jauh lebih baik. Sebenarnya kau pasti sudah tahu semua ini kalau kau menjawab teleponku. Bukannya kencan terus dengan pacarmu.
Vee, aku temanmu satu-satunya. Dan bukan aku yang menjodohkanmu.
Aku tahu. Pacarmu yang menjodohkan aku. Bola keju Gorgonzola tercekat di tenggorokanku. Patch yang merencanakan kencan buta itu"
Yeah, memangnya kenapa" kata Vee, nada bicaranya menjadi defensif.
Aku tersenyum. Bukannya kau tidak percaya kepada Patch"
Memang. Tapi" Aku berusaha meneleponmu untuk menyelidiki teman kencanku. Tapi kuulangi sekali lagi, kau tidak membalas teleponku.
Oke, paham. Aku merasa seperti teman yang sangat buruk. Aku tersenyum bersekongkol. Sekarang ceritakan selebihnya.
Sikap kaku Vee menghilang, dan dia ikut tersenyum. Namanya Rixon. Orang Irlandia. Gaya bicaranya membuatku tergila-gila. Seksi abis. Tubuhnya agak kurus dibandingkan aku yang bertulang besar. Tapi musim panas ini aku berniat menurunkan berat badan sepuluh kilo. Jadi, pada bulan Agustus kami seharusnya seimbang.
Rixon" Yang benar" Aku suka Rixon! Sebagai aturan standar, aku memang tidak percaya kepada malaikat terbuang. Terkecuali Rixon. Seperti Patch, batasan-batasan moralnya berada di area abu-abu antara hitam dan putih. Memang, dia tidak sempurna. Tapi tidak bisa dibilang buruk juga.
Aku nyengir, menudingkan garpu ke Vee. Aku tidak percaya kau kencan dengannya. Maksudku, dia kan sahabat Patch. Sedangkan kau benci Patch.
Vee memasang sikap nakal, rambutnya praktis kaku. Sahabat tidak berarti segalanya. Lihat saja kau dan aku. Kita tidak punya kemiripan.
Ini asyik. Kita berempat bisa berkumpul bersama sepanjang musim panas.
Ah-ha. Tidaklah. Aku tidak mau pergi bersama pacarmu yang sinting. Aku tidak peduli penjelasanmu, tapi aku masih berpikir dia terkait dengan kematian Jules yang misterius di gimnasium.
Awan gelap membayangi percakapan kami. Cuma ada tiga orang di gimnasium pada malam kematian Jules. Dan aku salah satunya. Aku tidak pernah menceritakan kejadian itu secara mendetail kepada Vee. Melainkan sekadar cukup agar dia tidak menekanku lagi. Dan demi keselamatannya sendiri, aku tetap berpendapat itu yang terbaik.
Vee dan aku berkeliling seharian, mengambil lembaran aplikasi kerja dari kedai makanan cepat saji. Akhirnya aku pulang mendekati jam enam tiga puluh. Aku melempar kunci ke meja kecil lalu memeriksa pesan dari mesin penjawab telepon. Ada satu pesan dari ibuku.
Dia di Michaund s Market, membeli roti bawang putih, lasagna, dan anggur murahan. Dia bersumpah akan sampai di rumah sebelum keluarga Parnell datang.
Aku menghapus pesan itu lalu naik tangga menuju kamar tidurku. Karena tidak mandi tadi pagi, dan rambutku terpanggang matahari seharian, aku berencana berganti baju agar tidak terlihat terlalu lusuh. Seluruh kenanganku tentang Scott Parnell tidak menyenangkan, tapi teman tetap teman. Kancing kardigan-ku belum sepenuhnya tertutup ketika terdengar ketukan di pintu depan.
Ternyata Patch, tangannya dimasukkan ke saku. Biasanya aku bergerak menyambutnya dengan menarik tangannya. Tetapi hari ini aku menahan diri. Semalam aku berkata, aku mencintainya. Tetapi kemudian dia pergi, dan konon ke rumah Marcie. Suasana hatiku terombang-ambing antara sakit hati, marah, dan tidak nyaman. Kuharap sikap diamku mengirimkan pesan kepadanya bahwa ada sesuatu yang hilang, dan itu akan kembali jika dia melakukan sesuatu untuk mengoreksinya. Entah dengan meminta maaf atau memberi penjelasan.
Hei, kataku, berpura-pura santai. Kau lupa menelepon semalam. Pergi ke mana"
Berkeliling. Kau tidak mengajakku masuk"
Memang tidak. Aku senang rumah Marcie masuk dalam kategori itu, kautahu, berkeliling.
Sekilas matanya tampak terkejut, menegaskan sesuatu yang tidak ingin kupercaya. Marcie tidak bohong.
Bersedia menceritakannya" kataku dengan nada sedikit marah. Bersedia menjelaskan apa yang kaulakukan di rumahnya semalam"
Sepertinya kau cemburu, Angel. Ada nada menggoda dalam suaranya. Tapi tidak seperti biasanya, tidak ada kesan cinta atau lucu.
Mungkin aku tidak akan cemburu jika kau memberi alasan untuk itu, tukasku. Apa yang kaulakukan di rumahnya"
Ada urusan. Aku mengangkat alis. Aku baru tahu kau punya urusan dengan Marcie.
Benar, tapi cuma itu. Bersedia menjelaskan lebih detail" Ada selusin kecurigaan di balik kata-kataku.
Apakah kau curiga kepadaku" Apakah aku seharusnya begitu"
Biasanya Patch jago menyembunyikan emosi. Tapi kali ini garis mulutnya menegang. Tidak.
Kalau pergi ke rumahnya adalah sesuatu yang benar, mengapa kau kesulitan menjelaskan apa yang kaulakukan di sana"
Aku tidak kesulitan, katanya, tiap katanya diucapkan dengan jelas. Aku tidak memberitahumu karena yang kulakukan di rumah Marcie tidak ada kaitannya dengan kita.
Bagaimana dia bisa berpikir begitu" Marcie adalah orang yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyerang dan menghinaku. Selama sebelas tahun terakhir ini dia bersikap buruk kepadaku. Dia mengolok-olok aku, menyebarkan gosip menyeramkan tentang diriku, dan mempermalukan aku secara terang-terangan. Bagaimana Patch berpikir ini tidak menyinggung pribadiku" Bagaimana dia mengira aku bisa menerima kata-katanya begitu saja, tanpa punya pertanyaan" Di luar itu, bagaimana dia tidak mengerti kalau jaku takut Marcie memanfaatkannya untuk menyakitiku" Jika Marcie mencium ketertarikan Patch kepadaku, sekecil apa pun itu, dia akan melakukan apa saja untuk merebut Patch. Aku tidak sanggup berpikir akan kehilangan Patch, apalagi jika Marcie yang merebutnya.
Dirasuki rasa takut yang tiba-tiba menyerang, aku berkata, Jangan menemuiku lagi sampai kau siap menjelaskan apa yang kaulakukan di rumahnya.
Dengan tidak sabaran Patch menyerobot masuk dan menutup pintu. Aku tidak datang ke sini untuk bertengkar. Aku ingin kautahu, Marcie terkena musibah sore tadi.
Marcie lagi" Apa Patch tidak tahu, dia sudah menggali lubang terlalu dalam" Aku berusaha tetap tenang untuk mendengarkannya, tapi sebenarnya aku ingin berteriak. Oh" kataku dingin.
Dia terjebak di tengah-tengah perselisihan ketika sekelompok malaikat terbuang memaksa seorang Nephil bersumpah setia di dalam toilet pria di Bo s Arcade. Nephil itu berusia enam belas tahun. Mereka tidak bisa memaksanya, tetapi terus mengerjainya. Anak itu terluka parah, beberapa tulang iganya patah. Lalu masuklah Marcie. Sepertinya dia terlalu banyak minum sehingga salah masuk toilet. Malaikat terbuang yang bertugas menjaga pintu tanpa sengaja menusuknya. Marcie masuk rumah sakit, tapi boleh keluar tak lama kemudian. Dia mengalami luka sobek.
Jantungku berdegup kencang. Aku tahu, aku marah karena Marcie ditusuk. Tapi aku tidak mau memperlihatkannya kepada Patch. Aku melipat tangan dengan kaku. Wah, apa Nephil itu baik-baik saja" Samar-samar aku ingat, Patch pernah menjelaskan sesuatu beberapa waktu lalu. Bahwa malaikat terbuang tidak bisa memaksa
Nephilim bersumpah setia sampai usianya enam belas. Begitu juga, dia tidak bisa mengorbankan aku untuk mendapatkan tubuh manusia untuk dirinya sendiri, sampai usiaku enam belas. Enam belas adalah usia yang sangat magis, bahkan tergolong usia yang rawan dalam dunia malaikat dan Nephilim.
Patch menatapku dengan raut sedikit muak. Marcie mungkin mabuk, tapi bisa jadi dia ingat segala yang dilihatnya. Kau tentu tahu, malaikat terbuang dan Nephilim berusaha tidak terlihat. Dan orang bermulut besar seperti Marcie bisa mengancam kerahasiaan mereka. Mereka jelas tidak mau Marcie menyebarluaskan kejadian yang dilihatnya. Dunia kami akan berjalan lebih mulus apabila manusia tidak menyadari keberadaan kami. Aku tahu, termasuk malaikat terbuang. Rahangnya mengencang. Mereka akan melakukan apa saja untuk membuat Marcie tutup mulut.
Aku merasakan desiran kekhawatiran untuk Marcie, tapi kutepis jauh-jauh. Sejak kapan Patch peduli terhadap kejadian yang menimpa Marcie" Sejak kapan dia lebih mencemaskan Marcie ketimbang aku" Aku berusaha merasa tidak enak, kataku, tapi sepertinya kau punya kepedulian cukup besar untuk kami berdua. Aku mengentakkan tombol pintu dan membuka pintu lebar-lebar. Mungkin seharusnya kau pergi saja untuk
menjenguk Marcie dan memastikan apakah lukanya sudah sembuh.
Patch menangkap tanganku dan menutup pintu dengan kaki. Ada sesuatu yang sedang terjadi saat ini. Sesuatu yang lebih besar dari dirimu, aku, dan Marcie. Dia ragu-ragu, seolah ingin menjelaskan lebih banyak lagi. Tetapi, akhirnya dia menutup mulut.
Kau, aku, dan Marcie" Sejak kapan kau mulai menyebut Marcie dalam satu kalimat dengan dirimu dan aku" Sejak kapan dia punya arti bagimu" bentakku.
Dia menangkupkan tangan ke belakang leher. Sepertinya sangat sadar, dia harus memilih kata dengan hati-hati sebelum menjawab.
Katakan saja apa yang kaupikirkan! kataku marah. Katakan! Tak tahu bagaimana perasaanmu saja sudah sangat buruk, apalagi tak tahu apa yang kaupikirkan!
Patch melihat ke sekeliling. seolah-olah dia merasa aku berbicara dengan orang lain. Katakan" katanya, nada bicaranya agak mengejek. Bahkan, mungkin jengkel. Memangnya apa yang ingin kulakukan" Jika kau tenang, aku bisa. Tapi sekarang kau nyaris histeris, terlepas apa pun yang kukatakan.
Aku merasa mataku menyipit. Aku punya hak untuk marah. Kau tidak mau menjelaskan apa yang kaulakukan di rumah Marcie semalam.
Patch mengangkat tangan. N ah, mulai lagi, katanya tanpa bersuara.
Dua bulan lalu, kataku, berusaha menyuntikkan rasa percaya diri ke dalam suaraku untuk menyembunyikan getaran, Vee, ibuku semua orang telah mengingatkan aku. Bahwa kau jenis cowok yang menjadikan cewek bahan petualangan. Mereka bilang aku cuma mainan baru untukmu. Sekadar cewek bodoh yang kaurayu demi kepuasanmu sendiri. Mereka bilang, aku jatuh cinta kepadamu pada saat kau pergi. aku menahan tangis. Aku ingin tahu, mereka salah.
Gambaran kejadian semalam muncul dengan sangat jelas. Meskipun tidak mau mengungkitnya, aku ingat kejadian memalukan itu dengan sangat gamblang. Aku berkata aku mencintainya, dan dia pergi tanpa menjawab. Ada seratus cara untuk menganalisis kebisuannya. Tapi, tak satu pun di antaranya yang bagus.
Patch menggeleng-gelengkan kepala seperti orang tidak percaya. Kauingin aku bilang mereka salah" Karena aku merasa kau tidak akan percaya kepadaku, apa pun yang kukatakan. Dia menatapku marah.
Apakah kau sama berkomitmennya denganku terhadap hubungan ini" Aku tidak sanggup menahan pertanyaan ini. Tidak, setelah melihat segala sesuatu jungkir balik sejak semalam. Mendadak aku sadar. Aku tak tahu perasaan Patch kepadaku. Kupikir, aku berarti segalanya baginya. Tapi bagaimana seandainya aku hanya melihat sesuatu yang kuinginkan" Bagaimana jika aku hanya melebih-lebihkan perasaannya" Aku menatap matanya lekat-lekat. Aku tidak akan membuat persoalan ini mudah, tidak akan memberinya kesempatan berkelit. Aku harus tahu. Apakah kau mencintaiku"
Aku tidak bisa menjawab, katanya, membuatku terkejut karena dia berbicara ke pikiranku. Ini adalah kelebihan yang dimiliki semua malaikat. Tapi aku tidak paham, mengapa dia menggunakannya sekarang. Aku akan mampir besok. Tidur yang nyenyak, imbuhnya singkat, lalu menuju pintu.
Ketika kita berciuman, apakah kau berpura-pura" Langkahnya terhenti. Dia menggeleng-geleng lagi. Berpura-pura"
Ketika aku menyentuhmu, apakah kau merasakan sesuatu" Sebesar apa hasratmu" Apakah perasaanmu mendekati apa yang kurasakan kepadamu"
Patch menatapku tanpa berkata-kata. Nora katanya.
Aku ingin kau berterus terang.
Sesaat kemudian dia menjawab, Secara emosional, ya.
Tetapi secara fisik tidak, bukan" Bagaimana aku bisa menjalin hubungan apabila aku tidak tahu apakah itu semua berarti bagimu" Apakah aku mengalami segala sesuatu pada level yang jauh berbeda" Karena begitulah rasanya. Dan aku tidak suka itu, imbuhku. Aku tidak mau kau menciumku karena kau harus melakukannya. Aku tidak mau kau berpura-pura itu berarti sesuatu, padahal kau tidak sungguh-sungguh melakukannya.
Tidak sungguh-sungguh" Apakah kau mendengar kata-katamu sendiri" Dia menggoyangkan kepala dan tertawa sinis. Lalu dia menatapku tajam. Sudah selesai dengan tuduhanmu"
Kaupikir ini lucu" kataku, didorong gelombang kemarahan baru.
Justru sebaliknya. Sebelum aku bisa menjawab, dia beranjak ke pintu. Telepon aku kalau kau sudah siap berbicara dengan rasional.
Apa maksudmu" Maksudku kau gila. Tidak masuk akal. Aku gila"
Dia mengangkat daguku dan melayangkan ciuman singkat. Dan aku pasti gila jika membiarkannya.
Aku membebaskan diri dan menggosok-gosok daguku dengan kesal. Kau rela tidak menjadi manusia demi aku, dan sekarang, ini yang kudapatkan" Cowok yang menemui Marcie, tapi tidak mau menjelaskan alasannya. Cowok yang menghindar begitu melihat isyarat awal perselisihan. Hanya satu julukan yang tepat, Kau berengsek!
Berengsek" Katanya lagi ke dalam pikiranku. Suaranya dingin dan ketus. Aku berusaha mengikuti aturan. Seharusnya aku tidak jatuh cinta kepadamu. Kita sama-sama tahu, ini bukan tentang Marcie. Tetapi tentang perasaanku kepadamu. Aku harus berhatihati. Jalan yang kulalui sangat berbahaya. Alasan yang membuatku tertimpa masalah adalah karena aku jatuh cinta. Aku tidak bisa bersamamu seperti yang kuinginkan.
Mengapa kau rela tidak menjadi manusia demi aku kalau kau tahu kau tidak bisa bersamaku" tanyaku. Suaraku bergetar, keringat membasahi telapak tanganku. Apa sih yang kauharapkan dari hubungan denganku" Apa arti suaraku tercekat dan aku menelan ludah kita bagimu"
Apa yang kuharapkan dari hubungan dengan Patch" Hingga batas tertentu, aku tentu berpikir ke mana hubungan ini mengarah, dan apa yang akan terjadi.
Tentu saja. Tetapi aku begitu takut dengan apa yang bakalan terjadi hingga aku berpura-pura sesuatu yang tak terelakkan itu tidak akan terjadi. Aku berpura-pura hubungan dengan Patch bisa berhasil. Karena di lubuk hatiku, sekelumit waktu bersama Patch sepertinya lebih baik ketimbang tidak sama sekali.
Angel. Aku mengangkat wajah ketika Patch memanggilku tanpa bersuara.
Berada dekat denganmu, sebatas apa pun itu, lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Aku tidak akan melepasmu. Patch terdiam. Untuk pertama kalinya sejak aku mengenalnya, aku melihat sekilas kekhawatiran di matanya. Tapi aku sudah pernah jatuh. Jika aku membuat para penghulu malaikat menangkap kesan bahwa aku jatuh cinta kepadamu, mereka akan melemparku ke neraka. Selamanya.
Informasi itu membuatku terpukul, seolah ada yang meninju perutku. Apa"
Aku malaikat pelindung. Atau setidaknya, begitulah kata mereka. Tapi para penghulu malaikat tidak percaya kepadaku. Aku tidak punya keistimewaan, tidak punya privasi. D ua di antara mereka mengancamku semalam, dan aku menangkap kesan, mereka ingin aku melakukan kesalahan lagi. Entah mengapa, sekarang mereka ingin
menekanku. Mereka mencari alasan untuk menyingkirkan aku. Aku sedang menjalani masa percobaan. Jika aku gagal, kisahku tidak akan berakhir bahagia.
Aku menatapnya, mengira dia hanya melebih-lebihkan persoalan, mengira semuanya tak seburuk ini. Tetapi raut wajahnya mengatakan, dia tidak pernah seserius ini.
Lalu, bagaimana sekarang" kataku menyuarakan pikiran yang ada dalam kepalaku.
Alih-alih menjawab, Patch malah menghela napas frustrasi. Kenyataannya, hubungan ini akan berakhir buruk. Bagaimanapun kami berusaha mundur, berhenti, atau melihat ke sisi lain, suatu hari sesuatu yang kutakutkan itu akan terjadi. Kehidupan kami akan terpisah. Apa yang terjadi ketika aku lulus dan meninggalkan kota ini untuk kuliah" Apa yang terjadi apabila aku mengejar mimpiku untuk bekerja jauh dari sini" Apa yang terjadi apabila tiba waktunya bagiku untuk menikah atau punya anak" Jatuh cinta kepada Patch tidak membantuku mewujudkan semua itu. Apakah aku benar-benar ingin berada di jalan ini lebih lama lagi, meski tahu ujungnya adalah penderitaan"
Sekilas kupikir aku punya jawaban. Aku akan merelakan mimpi-mimpiku. Sesederhana itu. Aku memejamkan mata dan membiarkan mimpi-mimpiku pergi seperti balon bertali panjang yang terbang ke
angkasa. Aku tidak butuh mimpi-mimpi itu. Aku bahkan tidak yakin semua itu akan menjadi kenyataan. Dan sekalipun begitu, aku tidak mau menghabiskan usiaku sendirian. Tersiksa oleh kesadaran bahwa apa pun yang kulakukan tak akan ada artinya tanpa Patch.
Kemudian sebuah kesadaran lain muncul dengan cara yang menakutkan. Bahwa kami berdua bisa kehilangan segalanya. Kehidupanku akan berjalan menuju masa depan dan aku tak punya kekuatan untuk menghentikannya. Patch akan menjadi malaikat selamanya. Dia akan terus berjalan pada jalur yang ditempuhnya semenjak dia dibuang.
Apa yang bisa kita lakukan" Sedang kupikirkan.
Dengan kata lain, sementara ini tidak ada. Kami terjebak di dua sisi. Di satu sisi para penghulu malaikat melancarkan tekanan, di sisi lain kehidupan kami mengarah ke masa depan yang jauh berbeda.
Aku ingin putus, kataku pelan. Aku tahu itu tidak adil. Aku cuma melindungi diriku sendiri. Tapi apakah aku punya pilihan lain" Aku tidak bisa memberi kesempatan Patch membujukku. Aku harus melakukan yang terbaik untuk kami berdua. Aku tidak bisa bertahan sementara sesuatu yang kumiliki mengikis setiap hari. Aku tidak bisa menunjukkan betapa berartinya semua
ini ketika pada akhirnya semua ini akan menjadi luar biasa berat. Di atas segalanya, aku tidak mau menjadi penyebab Patch kehilangan segala yang telah diperjuangkannya. Jika penghulu malaikat mencari alasan untuk menyingkirkan dia selamanya, aku hanya memudahkan jalan mereka.
Patch memandangku seperti orang yang tidak bisa membedakan apakah aku serius atau tidak. Begitu saja" Kau ingin putus" Kau sudah mendapat giliran untuk mengemukakan pendapatmu, meski tidak bisa kuterima. Dan sekarang giliranku. Tapi aku hanya harus menelan keputusanmu lalu pergi"
Aku bersidekap dan memalingkan wajah. Kau tidak bisa memaksaku bertahan dalam suatu hubungan yang tidak kuinginkan.
Bisakah kita membicarakan masalah ini" Kalau kau mau bicara, katakan apa yang kaulakukan di rumah Marcie semalam. Tetapi Patch benar. Ini bukan tentang Marcie. Ini karena aku takut dan marah dengan nasib dan keadaan yang memisahkan kami berdua.
Aku menoleh kembali dan melihat Patch menutup wajahnya dengan tangan. Dia tertawa sinis.
Kalau aku ke tempat Rixon semalam, kau tentu bertanya-tanya, apa yang kulakukan di sana! bentakku.
Tidak, katanya, suaranya sangat pelan. Aku percaya kepadamu.
Khawatir akan terbujuk jika tidak segera bertindak, aku mendorong dadanya sehingga dia mundur selangkah. Pergi, kataku, air mata membuat suaraku parau. Ada banyak hal yang ingin kulakukan dalam kehidupanku. Hal-hal yang tidak menyangkut dirimu. Aku harus kuliah dan bekerja. Aku tidak ingin membuang semuanya untuk sesuatu yang tak pantas kuterima.
Patch terpukul. Inikah yang kauinginkan" Ketika aku mencium pacarku, aku ingin tahu dia merasakannya!
Begitu kata-kata itu terucap, aku menyesalinya. Aku tidak ingin menyakiti hati Patch. Aku cuma ingin momen ini berakhir secepat mungkin. Sebelum pertahananku roboh dan aku terisak-isak. Tapi aku sudah melangkah terlalu jauh. Tubuh Patch menjadi kaku. Kami berdiri saling berhadapan, sama-sama tersengal.
Kemudian dia pergi, mendorong pintu hingga menutup.
Begitu pintu tertutup, runtuhlah pertahananku. Air mata menggenang di pelupuk mata, tapi tak setetes pun yang turun. Rasa frustrasi dan kemarahan terlalu berat dalam diriku sehingga aku tidak bisa merasakan yang lainnya. Tapi entah bagaimana, aku menyadari sesuatu
yang membuat tangisku tercekat di tenggorokan. Bahwa lima menit dari sekarang, ketika keadaan sudah surut dan aku menyadari dampak tindakanku, aku akan merasakan kepedihan yang sangat.
***** K UbaRingkan TUbUh di UJUng RanJang, MaTakU
menerawang. Kemarahanku mulai surut. Tapi aku nyaris berharap dapat berada dalam kobarannya untuk selamanya. Rasa hampa yang tersisa sepeninggal kemarahan begitu menyiksa. Lebih dari rasa pedih ketika Patch pergi. Aku berusaha menganalisis peristiwa barusan. Tetapi pikiranku kacau. Teriakan kami terngiang-ngiang di telingaku. Tetapi semua itu sahut-menyahut tanpa henti, seolah aku berada dalam mimpi buruk dan bukannya percakapan
yang sebenarnya. Apakah aku benar-benar telah putus dengannya" Apakah aku benar-benar berharap ini untuk selamanya" Benarkah tidak ada jalan untuk menghindari nasib atau, yang lebih tepat lagi, ancaman para penghulu malaikat" Kesadaran akan jawabannya membuat perutku mulas, mengancam akan muntah.
Cepat-cepat aku ke kamar mandi dan berjongkok di samping toilet. Telingaku berdengung dan napasku tersengal-sengal. Apa yang telah kulakukan" Tidak ada yang permanen, jelas tidak ada yang permanen. Besok kami akan bertemu lagi dan segalanya akan kembali seperti semula. Ini cuma pertengkaran. Pertengkaran konyol. Bukan akhir segalanya. Besok kami akan sadar betapa kekanak-kanakannya kami. Dan kami akan saling meminta maaf. Kami akan melupakan persoalan ini. Kami akan berbaikan.
Aku menyeret kaki ke wastafel. Kubasahi handuk lalu kutekankan ke wajah. Kepalaku masih pusing seolah berputar lebih cepat dari mesin penggulung benang. Kupejamkan mata erat-erat untuk menghentikan putaran itu. Tetapi bagaimana dengan para penghulu malaikat" tanyaku lagi. Bagaimana hubunganku dengan Patch bisa normal kembali apabila mereka selalu mengawasi kami" Tubuhku menjadi kaku. Mereka bisa saja sedang mengawasiku sekarang. Mereka juga bisa mengawasi
Patch sekarang. Untuk melihat apakah dia melewati batas atau tidak. Untuk mencari alasan mengusirnya ke neraka, jauh dariku, selamanya.
Aku merasakan kemarahan berkobar lagi dalam dadaku. Mengapa mereka tidak bisa membiarkan kami berdua saja" Mengapa mereka begitu bernafsu menghancurkan Patch" Patch pernah bilang bahwa dia adalah malaikat terbuang pertama yang memperoleh sayap kembali dan menjadi malaikat pelindung. Apakah itu membuat para penghulu malaikat marah" Apakah mereka merasa Patch, entah bagaimana, menipu mereka" Atau, dia bisa bangkit dari dasar jurang karena siasatnya belaka" Apakah mereka ingin mengembalikan Patch ke tempatnya" Ataukah mereka sekadar tidak memercayainya"
Kupejamkan mata. Air mataku mengalir ke samping hidung. Aku akan mencabut semuanya, pikirku. Ingin rasanya aku menelepon Patch. Tapi tidakkah itu akan membahayakannya" Bisakah para penghulu malaikat menguping percakapan melalui telepon" Bagaimana Patch dan aku bisa melakukan percakapan yang apa adanya jika mereka menguping"
Tetapi, aku juga tidak bisa mengesampingkan harga diriku secepat itu. Apakah Patch tidak sadar, dia juga bersalah" Yang pertama membuat kami bertengkar adalah
karena dia tidak mau mengatakan apa yang dilakukannya di rumah Marcie. Aku bukan cewek cemburuan. Tapi Patch tahu riwayatku dengan Marcie. Dia tahu, aku harus tahu apa yang dilakukannya di sana.
Dan ada satu hal lagi yang sangat mengganggu pikiranku. Patch bilang Marcie diserang di toilet pria di Bo s Arcade. Untuk apa dia ke sana" Sejauh yang kutahu, tidak ada siswa Coldwater High yang suka berkunjung ke tempat itu. Bahkan sebelum bertemu Patch, aku tidak tahu Bo s Arcade. Sehari setelah Patch menatap jendela kamar tidur Marcie, cewek itu berkunjung ke Bo s. Apakah itu kebetulan saja" Patch berkeras tidak ada apa-apa di antara mereka berdua, kecuali suatu urusan. Tetapi, apa artinya" Dan Marcie sudah dikenal luas sebagai cewek yang jago merayu dan membujuk. Bukan saja tidak bisa menerima jawaban tidak, dia bahkan tidak menerima jawaban apa pun selain yang dia inginkan.
Bagaimana jika sekarang dia menginginkan& Patch"
Ketukan keras di pintu depan membuyarkan lamunanku.
Aku bergelung di balik selimut. Dengan mata terpejam, aku menelepon Ibu. Keluarga Parnell sudah datang.
Aduh! Aku terkena lampu merah di Walnut. Aku akan sampai dua menit lagi. Ajak mereka masuk.
Aku nyaris tak ingat Scott, apalagi ibunya. Aku akan mempersilakan mereka masuk, tapi tidak akan berbasa-basi. Sebaiknya aku menunggu di kamar saja sampai Ibu kembali. Aku berusaha menyembunyikan persoalan dengan nada bicaraku. Tetapi, aku memang tidak bisa terbuka kepada Ibu. Dia membenci Patch, jadi jelas tidak akan bersimpati. Aku tidak sanggup mendengar kesan senang dan lega dalam suaranya. Tidak sekarang.
Nora. Baiklah! Aku akan berbicara dengan mereka. Aku menutup ponsel dan melemparnya.
Aku menuju pintu depan dengan malas. Cowok yang berdiri di depan pintu adalah lelaki jangkung dan atletis. Aku tahu, karena -nya menempel di badan dan secara mencolok memamerkan tulisan PLATINUM GYM, PORTLAND. Anting perak menghiasi telinga kanannya, dan celana Levi snya terpasang begitu rendah di pinggang. Dia mengenakan topi baseball merah muda bercorak Hawaii yang kelihatannya baru terdampar ke pantai dan benar-benar pantas menjadi bahan lelucon. Sedangkan kacamata hitamnya mengingatkanku akan
Hulk Hogan. Di luar itu semua, dia punya pesona seorang cowok remaja.
Sudut mulutnya terangkat.
Kau pasti Nora. Kau pasti Scott.
Dia melangkah masuk dan melepas kacamata hitamnya. Matanya memeriksa lorong yang mengarah ke dapur dan ruang keluarga. Di mana ibumu"
Dalam perjalanan pulang, membawa makan malam.
Hidangan apa yang akan kita nikmati" Aku tak suka dia menggunakan kata kita . Karena tak ada kita . Yang ada adalah keluarga Grey dan keluarga Parnell. Dua entitas yang kebetulan akan duduk semeja malam ini.
Ketika aku tidak menjawab, dia melanjutkan. Rasanya Coldwater sedikit lebih kecil dibandingkan dulu.
Aku melipat tangan di dada. Dan juga lebih dingin dibandingkan Portland.
Dia menatapku dari atas ke bawah, lalu tersenyum ceria. Begitulah rasanya. Dia memiringkan tubuh melewatiku menuju dapur, lalu membuka pintu lemari es. Punya bir"
Apa" Tidak. Pintu depan masih terbuka. Suara-suara di luar terbawa ke dalam. Ibuku berjalan masuk membawa dua kantong belanjaan. Seorang perempuan bulat dengan potongan rambut ala pixie yang buruk dan riasan merah muda tebal mengikutinya.
Nora, ini Lyyn Parnell, kata Ibu. Lynn, ini Nora. Wah, wah, kata Mrs. Parnell, menangkupkan tangan. Dia mirip sekali denganmu. Bukankah begitu, Blythe" Dan lihatlah kaki itu! Lebih panjang dari Vegas strip.
Aku tak sanggup menutup mulut. Aku tahu, rasanya kurang tepat, tapi aku sedang tidak enak badan. Jadi, aku akan berbaring
Ucapanku terputus karena Ibu membelalakkan mata kepadaku. Aku membalas tatapannya yang tidak adil.
Scott benar-benar sudah besar. Bukankah begitu, Nora" kata Ibu.
Perhatian sekali. Ibu meletakkan kantong belanjaannya di atas meja dapur dan berbicara kepada Scott. Nora dan aku agak bernostalgia tadi pagi. Kami mengingat-ingat segala yang biasa kalian lakukan. Nora mengatakan, kau sering berusaha membuatnya makan ulat.
Sebelum Scott bisa membela diri, aku berkata, Dia sering memanggangnya hidup-hidup dengan
kaca pembesar. Dan dia tidak berusaha membuatku memakannya. Dia duduk di atas perutku dan memencet hidungku sampai aku kehabisan napas dan terpaksa membuka mulut. Lalu, dia memasukkan hewan itu ke dalam mulutku.
Ibu dan Mrs. Parnell saling bertatapan. Scott memang sangat pintar membujuk orang, kata Mrs. Parnell cepat-cepat. Dia bisa membujuk orang melakukan sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan. Dia punya bakat untuk itu. Aku bahkan terbujuk membeli Ford Mustang 1966 yang kondisinya menyedihkan. Tentu saja dia memilih waktu yang tepat. Ketika itu aku masih dipengaruhi rasa bersalah akibat perceraian. Well. Seperti yang kukatakan, kemungkinan Scott adalah pembuat ulat goreng terbaik di kota ini. Semua orang menatapku, meminta konfirmasi. Aku tak percaya kami membicarakan ini. Seolaholah ini adalah topik pembicaraan yang sangat lumrah.
Jadi, kata Scott sambil meregangkan dada, mempertontonkan bisepsnya. Apa yang akan kita santap"
Lasagna, roti bawang putih, dan salad Jell-O, kata Ibu sambil tersenyum. Nora yang membuat salad. Ini kabar baru bagiku. Aku"
Kau yang membeli kotak Jell-O-nya, kata Ibu mengingatkan.
Itu tidak masuk hitungan.
Nora yang membuat saladnya, kata Ibu memastikan kepada Scott. Rasanya semuanya sudah siap. Kita makan sekarang"
Begitu semuanya duduk, kami berpegangan tangan dan Ibu memberkati makanan.
Ceritakan tentang apartemen di lingkungan ini, kata Mrs. Parnell, memotong lasagna dan memberikan potongan pertama ke piring Scott. Berapa yang harus kukeluarkan untuk dua kamar tidur dan dua kamar mandi"
Tergantung desain ulang yang kauinginkan, jawab Ibu. Nyaris seluruh bangunan di lingkungan ini dibangun pada awal 1900-an, dan itu kelihatan. Ketika kami baru menikah, Harrison dan aku mengincar beberapa apartemen dua kamar yang tidak mahal. Tetapi ada saja kekurangannya. Dinding berlubang, masalah kecoa, atau lokasinya terlalu jauh dari halaman parkir. Karena aku hamil, kami memutuskan mencari tempat yang lebih besar. Rumah ini dipasarkan selama delapan belas bulan. Dan akhirnya kami mencapai kesepakatan yang rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Ibu melihat ke sekeliling. Harrison dan aku berencana merenovasi total bangunan ini. Tapi& well, kemudian& seperti yang kautahu& . Dia menunduk.
Scott berdeham. Aku menyesal soal ayahmu, Nora. Aku masih ingat, Ayah meneleponku pada malam kejadian itu. Aku sedang bekerja di pasar swalayan beberapa blok dari sini. Kuharap siapa pun yang membunuhnya akan tertangkap.
Aku berusaha mengatakan terima kasih. Tetapi, kata-kata itu tersangkut di kerongkongan. Aku tak mau membicarakan ayahku. Perasaan akibat putusnya hubunganku dengan Patch saja sudah cukup berat. Di manakah dia sekarang" Apakah dia mau menerima penyesalanku" Apakah dia paham betapa aku ingin mencabut kata-kataku" Mendadak aku terpikir, mungkin dia mengirim SMS. Andai saja aku membawa ponselku ke sini, bukan ditinggal di kamar tidur. Tetapi, seberapa jauh yang bisa dia katakan" Bisakah penghulu malaikat membaca pesannya" Seberapa jauh yang bisa mereka lihat" Apakah mereka ada di mana-mana" Aku bertanya-tanya, merasa sangat rapuh.
Ceritakan, Nora, kata Mrs. Parnell, seperti apa Coldwater High" Scott ikut gulat di Portland. Timnya menjadi juara senegara bagian tiga tahun berturutturut. Apakah tim gulat di sini cukup bagus" Aku yakin kami pernah bertanding melawan Coldwater, tapi Scott mengingatkan aku bahwa Coldwater tergolong Kelas C.
Aku tidak cepat sadar dari kabut pikiranku. Apakah Coldwater punya tim gulat"
Aku tak tahu soal gulat, kataku terus terang, tapi tim basket kami pernah bertanding di negara bagian satu kali.
Mrs. Parnell tersedak. Satu kali" Matanya menatapku dan Ibu bergantian, meminta penjelasan.
Ada foto tim di kantor kepala sekolah, kataku. Dari tampilannya, foto itu dibuat enam puluh tahun yang lalu.
Mrs. Parnell membelalak. Enam puluh tahun yang lalu" Dia menyeka mulut dengan serbet. Apa ada sesuatu yang tidak beres di sekolah" Atau pelatihnya" Atau kepala bagian olahraga"
Bukan persoalan besar, kata Scott. Aku cuti setahun.
Mrs. Parnell meletakkan garpu hingga menimbulkan bunyi kling. Tapi kau suka gulat.
Scott memasukkan sepotong lasagna lagi ke dalam mulutnya dan mengangkat bahu sebagai isyarat masa bodoh.
Dan ini tahun keduamu.
Hus Hus Buku 2 Crescendo Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu" kata Scott sambil mengunyah.
Mrs. Parnell mengangkat siku di atas meja dan mencondongkan badan. Kau tidak akan bisa masuk
universitas dengan nilai-nilaimu sekarang. Satu-satunya harapanmu ada di pertandingan. Supaya kalangan kampus melihat bakatmu.
Ada hal lain yang ingin kulakukan.
Alis mata Mrs. Parnell terangkat. Oh" Mengulang kelas kemarin" Begitu dia mengatakannya, aku melihat percikan rasa takut di matanya.
Scott mengunyah dua kali lagi, lalu menelan dengan susah payah. Tolong saladnya, Blyhte"
Ibuku menyodorkan mangkuk Jell-O kepada Mrs. Parnell, yang kemudian memberikannya kepada Scott dengan kelewat hati-hati.
Memangnya tahun lalu kenapa" tanya Ibu, mencium ketegangan.
Mrs. Parnell mengibaskan tangan. Oh, biasalah. Scott terkena masalah, bukan sesuatu yang aneh bagi seorang ibu yang punya anak remaja. Dia tertawa, tapi tidak ada kesan gembira.
Ibu, kata Scott dengan nada memperingatkan. Kau tahu remaja laki-laki sekarang, celoteh Mrs. Parnell sambil menggoyang-goyangkan garpu. Mereka tidak berpikir panjang. Ceroboh. Untung anakmu perempuan, Blythe. Ya Tuhan, roti bawang putih itu kelihatannya lezat sekali tolong sepotong"
Seharusnya aku tidak mengatakan apa-apa, gumam Ibu, menyodorkan roti. Aku sangat senang kita berkumpul lagi di Coldwater.
Mrs. Parnell mengangguk penuh semangat. Kami senang bisa kembali, dalam keadaan sehat walafiat.
Aku berhenti makan, menatap Scott dan ibunya bergantian, berusaha menebak apa yang telah terjadi. Cowok tetaplah cowok, itu aku tahu. Yang tidak kumengerti, dari nada bicara Mrs. Parnell yang khawatir, sepertinya masalah putranya tidak bisa digolongkan sesuatu yang lazim. Dan sikap Scott yang mengawasi setiap kata yang keluar dari mulut ibunya, menguatkan kecurigaanku.
Merasa ada sesuatu yang belum terungkap, aku berkata sambil menaruh tangan di dada. Wah, Scott, kau tidak keluyuran malam-malam untuk mencuri rambu-rambu lalu lintas lalu menggantungnya di kamar tidurmu, kan"
Mrs. Parnell tertawa polos, nyaris terkesan lega mendengar gurauanku. Taktikku berhasil. Apa pun masalah Scott, itu bukan sesuatu yang sepele seperti mencuri rambu lalu lintas. Aku tidak punya uang sebanyak lima puluh dolar. Tapi kalau ada, aku berani mempertaruhkan semuanya untuk mendukung dugaanku bahwa masalah Scott sama sekali bukan sesuatu yang lazim.
Well, kata Ibu dengan senyum lebar, aku yakin, apa pun masalahnya, itu sudah berlalu. Coldwater adalah tempat yang tepat untuk memulai. Kau sudah mendaftar, Scott" Sebagian kelas cepat penuh. Apalagi kelas tingkat lanjut.
Kelas tingkat lanjut, ulang Scott sambil mendengus. Jangan tersinggung, targetku tidak setinggi itu. Seperti yang ibuku dia menoleh ke samping dan meng-goyangkan bahu dengan sikap kurang ramah jelaskan dengan begitu murah hatinya. Kalaupun aku kuliah nanti, itu bukan karena nilai-nilaiku.
Aku tidak ingin memberi kesempatan kepada siapa pun untuk mengalihkan topik pembicaraan. Jadi aku berkata, Ayolah, Scott. Kau membuatku penasaran. Seberapa buruknya sih masa lalumu" Pasti tidak akan terlalu menakutkan sampai-sampai kau tidak mau menceritakannya kepada teman lamamu.
Nora , Ibu mengingatkan.
Mengisap mariy uana" Mencu ri mobil" Kebutkebutan"
Aku merasa kaki Ibu menyenggol kakiku. Dia menatapku tajam seolah mengatakan, kau sudah gila, ya"
Kursi Scott berderit karena bergesekan dengan lantai. Dia berdiri. Kamar mandi" tanyanya kepada ibuku. Scott meluruskan kerah bajunya. Masalah pencernaan.
Di lantai atas. Suara Ibu terkesan meminta maaf. Sebenarnya, dia ingin meminta maaf atas kelakuanku. Padahal dialah yang merencanakan pertemuan yang menggelikan ini. Siapa pun yang punya akal sehat pasti paham. Tujuan makan malam ini bukan sekadar makan bersama. Vee benar. Ini percomblangan. Well, aku punya kabar untuk ibuku. Scott dan aku" Mustahil.
Rambut Setan 2 Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader Rahasia Iblis Cantik 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama