Hus Hus Buku 2 Crescendo Karya Becca Fitzpatrick Bagian 3
Marcie bercerita tentang aku dan Patch" Tulang punggungku kaku.
Mau dengar nasihatku" Murni nasihat cowok kepada cewek" Lupakan Patch. Lanjutkan kehidupanmu. Cari cowok yang punya minat sama denganmu. Belajar, main catur, mengoleksi bangkai serangga& dan pertimbangkan usulku untuk mengecat rambut.
Apa" Scott terbatuk-batuk. Tapi aku paham, itu hanya untuk menutupi senyum. Jujur saja, rambut merah itu berbahaya.
Aku menyipitkan mata. Rambutku tidak merah. Scott nyengir lebar. Bisa lebih parah lagi. Rambutmu bisa saja oranye. Seperti nenek sihir.
Apa kau selalu berengsek seperti ini" Mungkin itu sebabnya kau tidak punya teman.
Gampang tersinggung seperti biasa.
186 Aku mendorong kacamata hitamku ke kepala dan melakukan kontak mata secara langsung. Asal kautahu saja. Aku tidak suka catur dan aku tidak mengoleksi serangga.
Tapi kau rajin. Aku tahu itu. Aku paham tipemu. Kasusmu sama dengan penderita Gangguan Obsesif- Kompulsif lainnya.
Mulutku menganga. Oke, mungkin aku agak rajin. Tapi aku tidak membosankan tidak semembosankan itu. Paling tidak, kuharap begitu. Kau jelas tidak mengenalku.
Yang benaaar" Oke, kataku defensif. Sebutkan satu hal yang kausukai tapi tidak pernah kulakukan. Jangan tertawa. Aku serius. Sebutkan satu contoh.
Scott menggaruk-garuk telinga. Kau pernah melihat perang band" Musik bising yang tidak keruan. Pengunjung beringas dan ugal-ugalan. Permainan seks di kamar mandi. Sepuluh kali lebih membangkitkan adrenalin daripada di Z.
Tidak, kataku agak ragu-ragu.
Aku akan menjemputmu Minggu malam. Bawa KTP palsu. Alis matanya melengkung, dan dia menghadiahiku senyum mengejek yang kurang ajar.
187 Tidak masalah, kataku, berusaha bersikap cool. Secara teknis, jika aku pergi dengan Scott lagi berarti aku menjilat ludahku sendiri. Tetapi, aku tidak rela disebut membosankan. Dan sudah pasti aku tidak mau dijuluki si rambut merah. Aku harus pakai baju apa" Yang seminim mungkin.
Aku nyaris tersedak. Aku baru tahu kau sangat tertarik dengan band, kataku begitu napasku normal kembali.
Di Portland aku bergabung dengan band Greezer sebagai pemain bass. Mudah-mudahan saja ada kelompok lokal yang berminat denganku. Kabarnya para pencari bakat akan datang.
Kedengarannya asyik, kataku berbohong. Aku ikut. Aku bisa membatalkan nanti. Dengan SMS, semuanya beres. Sekarang yang kupikirkan adalah bagaimana agar Scott tidak menyebutku si anak manja lagi.
Scott dan aku berpisah. Sebentar kemudian aku sudah bersama Vee di meja kami. Separuh donatku sudah dimakannya.
Jangan bilang aku tidak memperingatkan, katanya, mengikuti arah mataku ke donat. Mau apa si Scott"
Dia mengundangku ke perang band.
188 Ya, ampun. Untuk terakhir kalinya, aku tidak menolak. Terserah kau sajalah.
Nora Grey" Vee dan aku mengangkat wajah dan mendapati seorang pegawai toko berdiri di samping meja kami. Seragam kerjanya terdiri atas kaus polo warna ungu, diserasikan dengan label nama yang sewarna, bertuliskan MADELINE. Maaf, apakah kau Nora Grey" katanya untuk kali kedua.
Ya, kataku, merasa heran bagaimana dia tahu namaku.
Dia memegang selembar amplop manila, yang kemudian disodorkan kepadaku. Ini untukmu. Apa ini" tanyaku sambil menerima amplop itu. Dia mengangkat bahu. Seorang cowok datang dan memintaku menyerahkannya kepadamu.
Cowok yang mana" tanya Vee, menjulurkan leher dan melihat ke sekeliling toko.
Dia sudah pergi. Katanya, amplop ini penting. Kupikir dia pacarmu. Suatu kali ada seorang cowok datang membawa bunga. Dia memintaku memberikan bunga itu ke pacarnya. Cewek itu duduk di meja pojok belakang. Pegawai itu menunjuk dan tersenyum. Aku masih ingat.
189 Aku membuka perekat dan melongok isi amplop. Ada selembar kertas dan sebuah cincin besar. Hanya itu.
Aku menengadah ke Madeline, yang menyeka tepung di pipinya. Kauyakin ini untukku"
Cowok itu menunjukmu dan berkata, Berikan ini kepada Nora Grey. Kau Nora Grey, kan"
Aku merogoh isi amplop, tetapi Vee menahan tanganku. Jangan tersinggung, katanya kepada Madeline, tapi kami ingin sedikit privasi.
Menurutmu, ini dari siapa" tanyaku kepada Vee setelah Madeline pergi.
Aku tidak tahu. Tapi bulu kudukku merinding ketika dia memberikannya kepadamu.
Mendengar kata-kata Vee, bulu kudukku merinding juga. Apakah dari Scott"
Aku tidak tahu. Apa isinya" Vee menggeser kursinya ke sebelahku agar bisa melihat lebih jelas.
Kukeluarkan cincin itu, dan kami memperhatikannya tanpa berkata-kata. Dari ukurannya, cincin itu pasti longgar di jariku, sekalipun ibu jari. Jelas ini cincin laki-laki yang terbuat dari besi. Di mahkotanya, tempat batu permata biasanya diletakkan, ada stempel tangan yang menonjol. Tangan yang membentuk kepalan menantang. Mahkota cincin itu hitam seperti terbakar api hingga gosong.
190 Apa , Vee tidak melanjutkan kata-katanya. Ucapannya terhenti ketika aku mengeluarkan kertas dari amplop. Tulisan dengan spidol hitam itu berbunyi:
cincin ini Milik black hand. dia yang MEMbUnUh ayahMU.
***** 191 v EE yang pERTaMa bERanJak daRi kURSi.
Aku mengejarnya ke pintu keluar toko, membuat kami terpapar cahaya matahari yang membutakan. Sambil melindungi mata, kami menoleh ke kiri dan kanan jalan. Kami berlari di pasir sambil mengedarkan pandangan. Banyak orang di sekitar pantai, tapi tidak ada seorang pun yang kukenal.
Dengan jantung berdegup kencang, aku bertanya kepada Vee, Menurutmu, apakah ini lelucon" Aku tidak tertawa.
Apakah dari Scott" 192 Mungkin. Dia barusan ke sini.
Atau Marcie" Selain Scott, cuma Marcie yang dalam pikiranku bisa tega berbuat semacam ini. Vee menatapku tajam. Sekadar iseng" Mungkin saja.
Tapi apakah Marcie sekejam ini" Dan apakah dia mau repot-repot menjalankan rencana yang matang" Karena jelas usaha yang dibutuhkan lebih besar dari sekadar menyindir orang lain. Setidaknya, dia harus membuat catatan, mencari cincin bahkan mengurus pengirimannya. Jelas ini membutuhkan rencana. Sementara Marcie bukan orang yang sanggup menyusun rencana lebih dari lima menit, karena dia cepat bosan.
Mari kita usut persoalan ini, kata Vee, berjalan kembali ke pintu toko. Begitu kami di dalam, dia memanggil Madeline. Kita harus bicara. Cowok itu seperti apa" Pendek" Jangkung" Rambut cokelat" Pirang"
Dia mengenakan topi dan kacamata hitam, jawab Madeline, menangkap pandangan pegawai toko lainnya yang mulai penasaran dan menatap Vee. Memangnya kenapa" Apa isi amplop itu"
Kau harus memberikan penjelasan yang lebih lengkap, kata Vee. Busananya seperti apa" Apakah ada logo tim di topinya" Apakah wajahnya berewokan"
193 Aku tidak ingat, Madeline ragu-ragu. Topi hitam. Atau mungkin cokelat. Rasanya dia mengenakan jins. Rasanya"
Sudahlah, kataku, menggoyang tangan Vee. Dia tidak ingat. Aku mengedipkan mata ke Madeline. Terima kasih atas bantuanmu.
Bantuan" kata Vee. Dia tidak membantu. Seharusnya dia tidak menerima amplop dari cowok yang tidak dikenalnya begitu saja. Seharusnya dia ingat cowok itu seperti apa!
Dia pikir cowok itu pacarku, kataku.
Madeline mengangguk penuh semangat. Memang begitu! Maafkan aku! Kupikir itu hadiah! Apakah isinya sesuatu yang buruk" Kau ingin aku menelepon polisi"
Kami ingin kau ingat si psikopat itu seperti apa, balas Vee ketus.
Jins hitam! seru Madeline tiba-tiba. Aku ingat dia pakai celana jins hitam. Maksudku, aku nyaris yakin.
Nyaris yakin" kata Vee.
Kuseret Vee ke luar dan kami berjalan di pantai. Setelah cukup lama menenangkan diri, Vee berkata, Maafkan aku. Seharusnya aku yang melihat isi amplop itu lebih dulu. Orang-orang memang goblok. Dan yang paling goblok adalah yang memberikan amplop itu
194 kepadamu. Aku akan menonjoknya dengan senang hati, kalau aku bisa.
Aku tahu, Vee berusaha menghiburku. Tetapi pikiranku lima langkah lebih maju. Aku tidak memikirkan kematian ayahku lagi. Kami sampai di sebuah persilangan sempit di antara toko-toko. Kutarik Vee dari jalanan, dan kami berdiri di antara bangunan. Dengar, aku harus bicara denganmu. Kemarin rasanya aku melihat ayahku. Di sini, di persimpangan ini. Vee melongo, tapi tidak mengatakan apa-apa. Dia ayahku, Vee. Ayahku.
Sayang , kata Vee skeptis.
Kurasa dia masih hidup. Ayahku dikebumikan dalam peti tertutup. Mungkin ada kekeliruan, salah paham, dan bukan ayahku yang meninggal malam itu. Mungkin dia menderita amnesia, dan itu sebabnya dia tidak pulang. Mungkin ada sesuatu yang mencegahnya pulang. Atau seseorang& .
Aku tidak tahu harus bilang apa, kata Vee, melihat ke atas, ke bawah, tapi tidak ke mataku. Tapi dia tidak kembali.
Lalu bagaimana penjelasan tentang yang kulihat kemarin" kataku defensif. Pedih rasanya, karena dia dan orang lain tidak percaya kepadaku. Air mataku menggenang, dan cepat-cepat kuhapus.
195 Mungkin orang lain yang mirip ayahmu. Kau tidak di sini kemarin. Aku melihatnya! Aku tidak bermaksud membentak, tetapi aku tidak ingin menghilangkan fakta itu. Tidak setelah segala yang telah kulalui. Dua minggu lalu aku jatuh dari kuda-kuda gimnasium. Aku tahu, aku akan mati. Aku tidak bisa menyangkal segala sesuatu yang kuingat tentang malam itu.
Dan meskipun begitu, aku masih hidup. Ada kemungkinan ayahku masih hidup juga. Aku melihatnya kemarin. Sungguh. Mungkin dia berusaha berkomunikasi denganku, mengirimkan pesan. Dia ingin aku tahu dia masih hidup. Dia tidak ingin aku putus harapan tentang dirinya.
Vee menggeleng-gelengkan kepala. Jangan begitu. Aku tidak akan menyerah. Sampai aku tahu yang
sebenarnya. Aku harus menyelidiki apa yang terjadi malam itu.
Tidak, kau tidak boleh melakukannya, kata Vee tegas. Biarkan arwah ayahmu tenang. Menggali kuburnya tidak akan mengubah masa lalu malah hanya membangkitkan luka.
Biarkan arwah ayahku tenang" Bagaimana denganku" Bagaimana aku bisa tenang sebelum aku tahu kejadian yang sebenarnya" Vee tidak paham. Dia tidak
196 punya ayah yang ditarik dari kehidupannya secara kejam tanpa penjelasan. Keluarganya tidak hancur. Dia masih punya segalanya.
Sedangkan yang tersisa padaku hanyalah harapan.
Sepanjang Minggu siang itu aku di Enzo s Bistro, ditemani tabel periodik unsur. Kukerahkan seluruh konsentrasi ke PR, sembari berusaha menyingkirkan pikiran tentang Ayah atau amplop yang barusan kuterima. Pastinya itu hanya perbuatan orang jahil. Baik amplop, cincin, catatan semuanya hanya lelucon kejam yang dilancarkan seseorang. Boleh jadi Scott, atau Marcie. Tapi sejujurnya, kurasa bukan mereka yang berada di balik semua ini. Sepertinya Scott tulus ketika dia menyampaikan rasa belasungkawa kepadaku dan Ibu. Sedangkan Marcie, keisengannya hampir selalu kekanak-kanakan dan spontan.
Karena di depanku ada komputer, dan sudah log in, aku memasukkan kata Black Hand di kotak telusur Internet. Aku ingin membuktikan kepada diriku sendiri bahwa catatan itu omong kosong belaka. Mungkin seseorang menemukan cincin itu di toko loak, mendapat ide nama Black Hand, membuntuti aku ke pantai, dan meminta Madeline menyerahkan amplop itu kepadaku. Kalau dipikir-pikir, tak ada ruginya Madeline tidak
197 ingat penampilan cowok itu. Karena kemungkinan besar, bukan dia yang menjadi otaknya. Dalang yang sebenarnya kemungkinan memilih seseorang di pantai dan memberinya beberapa dolar untuk menyerahkan amplop. Itulah yang akan kulakukan. Jika aku orang sinting dan punya kelainan jiwa yang ingin menyakiti orang lain.
Daftar link untuk Black Hand muncul di monitor. Link pertama adalah perkumpulan rahasia yang dilaporkan telah membunuh Pangeran Franz Ferdinand dari Austria pada tahun 1914 dan memicu Perang Dunia I. Link berikutnya untuk band rock. Black Hand juga adalah nama kelompok vampir dalam sebuah permainan. Terakhir, pada awal tahun 1900-an, sebuah geng Italia yang dijuluki Black Hand, menyerang New York. Tidak ada link yang menyebutkan Maine. Tidak ada satu gambar pun yang menunjukkan cincin besi bergambar kepalan tangan.
Betul, kan" kataku dalam hati. Ini hanya lelucon. Sadar telah tenggelam dalam topik yang seharusnya kuhindari, aku mengembalikan perhatianku ke PR yang tergelar di depanku. Aku harus menghafal rumusrumus kimia dan penghitungan massa atom. Sebentar lagi aku harus masuk lab kimia. Dan karena partnerku adalah Marcie, aku bersiap menghadapi kemungkinan
198 terburuk dengan menyisihkan waktu di luar sekolah untuk mendongkrak kekurangannya. Aku menekan beberapa angka di kalkulator, kemudian mengetikkan jawaban dengan hati-hati di halaman kosong notebookku. Kusebut jawabannya keras-keras berulang kali, untuk menyingkirkan pikiran tentang Black Hand.
Pada pukul lima, aku menelepon Ibu yang berada di New Hampshire. Sekadar mengecek, kataku. Bagaimana pekerjaan Ibu"
Biasa saja. Kau" Aku di Enzo, berusaha belajar. Tetapi smoothie mangga memanggil-manggilku.
Nah, kau membuatku lapar. Cukup lapar untuk pulang"
Dia menghela napas yang mengisyaratkan ini di luar kendaliku . Andai saja aku bisa. Kita akan membuat wafel dan smoothie untuk sarapan hari Sabtu, kata Ibu.
Pukul enam Vee menelepon dan mengajak bertemu di gimnasium. Jam tujuh tiga puluh, dia menurunkanku di rumah. Aku baru saja selesai mandi dan sedang berdiri di depan lemari es, mencari makanan sisa yang ditinggalkan ibuku kemarin, ketika terdengar ketukan keras di pintu depan.
Aku mengintip di lubang pintu. Di luar sana, Scott Parnell membuat isyarat damai.
199 Perang band! kataku keras-keras, mengetuk dahi dengan telapak tangan. Aku lupa membatalkan. Aku mengerang saat melihat celana piyama yang kukenakan.
Setelah gagal mengatur rambutku yang basah, aku membuka pintu.
Scott menatap piyamaku. Kau lupa.
Yang benar saja. Aku menunggu-nunggu seharian. Hanya sedikit terlambat. Aku menunjuk ke tangga melalui bahu. Aku berpakaian dulu. Bagaimana kalau kau& memanaskan makanan" Ada di Tupperware biru di dalam lemari es.
Aku naik dengan melewati dua anak tangga sekaligus, menutup pintu, dan menelepon Vee.
Tolong ke sini sekarang, kataku. Aku nyaris pergi ke perang band dengan Scott.
Apakah kau bermaksud membuatku cemburu" Aku mendekatkan telinga ke pintu. Sepertinya Scott sedang membuka-tutup laci-laci di dapur. Rasanya dia mencari obat atau bir. Entah yang mana, tapi dia pasti akan kecewa. Kecuali kalau dia berharap bisa fly dengan pil zat besiku. Bukan begitu. Aku tidak mau pergi sendirian.
Katakan saja kau tidak bisa pergi.
Masalahnya& aku ingin pergi. Aku tidak tahu, keinginan mendadak ini datang dari mana. Yang kutahu,
200 aku tidak ingin menghabiskan malam ini sendirian. Aku layak bersenang-senang karena seharian ini sudah menjadi anak manis. Mungkin Scott bukan teman kencan terbaik, tapi dia bukan orang mati. Kau mau datang atau tidak"
Harus kuakui, tawaranmu jauh lebih menarik ketimbang menghafal kata-kata kerja Spanyol di kamarku semalaman. Aku akan menelepon Rixon, mudah-mudahan dia mau ikut.
Setelah menutup telepon, aku memeriksa isi lemari. Kuputuskan untuk mengenakan kardigan sutra warna pucat, rok mini, celana kaus warna kulit, dan sepatu berhak datar. Kusemprotkan parfum ke udara, lalu aku melewatinya untuk mendapatkan aroma anggur yang tidak menusuk. Dalam hati aku bertanya, mengapa aku repot-repot berdandan untuk Scott. Tidak ada tempat di hatiku untuknya. Kami tidak punya kesamaan, dan tidak jarang kami saling menghina, sekalipun dalam percakapan singkat.
Dan tidak hanya itu. Patch sudah menyuruhku menjauhinya. Pikiran itulah yang menyadarkanku. Mungkin kedekatanku dengan Scott dilatari semacam alasan psikologis untuk membangkang dan membalas dendam. Supaya semuanya berujung ke Patch.
201 Dalam pikiranku, aku bisa melakukan satu dari dua pilihan. Duduk manis di rumah dan membiarkan Patch mengatur kehidupanku, atau meninggalkan gaya cewek manis yang rajin ke sekolah Minggu dan memilih bersenang-senang. Meskipun enggan kuakui, sebenarnya aku berharap Patch tahu aku pergi dengan Scott. Kuharap dia cemburu karena aku bersama cowok lain.
Setelah membulatkan pikiran, aku mengeringkan rambut sekadar untuk merapikan ikalku. Kemudian aku bergegas ke dapur.
Siap, kataku kepada Scott.
Dia menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki, seperti yang dilakukannya waktu itu. Tapi kali ini aku merasa jauh lebih sadar-diri. Kau cantik, Grey, katanya.
Terima kasih. Aku tersenyum ramah, tapi dalam hati aku gugup. Ini menggelikan. Karena kami hanya teman. Bahkan bukan teman. Kenalan.
Tiket masuknya sepuluh dolar.
Aku terpana sejenak. Oh. Oke. Aku tahu. Bisa mampir di ATM dulu" Ada uang lima puluh dolar di rekeningku, hadiah ulang tahun. Sebetulnya uang itu kualokasikan untuk membeli Cabriolet. Kurasa mengambil sepuluh dolar tidak masalah. Lagi pula dengan tingkat menabungku, rasanya aku tidak akan
202 mampu membeli mobil itu sebelum ultahku yang kedua puluh lima.
Scott melempar SIM ke meja, berikut foto sekolahku. Siap, Marlene"
Marlene" Aku tidak bercanda soal KTP palsu. Kau tidak berniat mundur, kan" Dia nyengir seperti orang yang tahu persis betapa tekanan darahku akan melonjak beberapa poin jika aku memikirkan akan menggunakan KTP palsu. Dan dia berani mempertaruhkan seluruh uangnya bahwa aku akan pingsan dalam lima detik. Empat, tiga, dua& .
Aku merampas KTP itu dari meja. Siap.
Scott mengemudikan Mustang-nya ke pusat Coldwater menuju arah sebaliknya. Kami melewati beberapa jalan yang berbelok-belok dan melintasi rel kereta api. Dia berhenti di depan gudang empat lantai yang tersusun dari bata dengan tanaman rambat menghiasi bagian luarnya. Antrean panjang terlihat di luar pintu. Dari pandanganku, jendela-jendela itu ditutup dengan kertas hitam dari bagian dalam. Tetapi melalui celah antara kertas itu, aku bisa melihat seulas cahaya stroboskop. Lampu petunjuk di atas pintu benderang dengan kata THE DEVIL S HANDBAG.
203 Aku sudah pernah ke wilayah ini sebelumnya, saat duduk di kelas empat. Ketika itu orangtuaku mengantarkan aku dan Vee ke sebuah rumah seram yang dirancang untuk Halloween. Aku belum pernah ke Devil s Handbag. Dengan hanya melihatnya, aku yakin ibuku tidak akan mengizinkan aku ke tempat seperti ini. Penggambaran Scott tentang tempat ini muncul dalam kepalaku. Musik bising dan tidak keruan. Pengunjung beringas dan ugal-ugalan. Permainan seks di kamar mandi.
Ya Tuhan. Kita keluar dari sini, kata Scott, mengajakku ke tempat yang dibatasi rantai. Ayo cari lokasi bagus. Dekat panggung, di bagian tengah.
Aku keluar dari antrean dan berjalan ke belakang. Jujur saja, aku belum pernah pergi ke klub yang menarik biaya servis. Bahkan, aku belum pernah pergi ke klub. Kehidupan malamku paling banter kuhabiskan dengan menonton dan menikmati Baskin-Robbins bersama Vee. Ponselku memperdengarkan nada dering Vee. Aku mendengar musik pemanasan. Tapi yang kulihat hanya gerbong kereta api dan beberapa mobil boks yang tidak berfungsi.
Kau tinggal melewati beberapa blok lagi. Kau di dalam mobil"
204 Aku membawa Neon. Aku akan menjemputmu.
Aku keluar dari barisan, yang semakin berjubel saja. Di ujung blok, aku berbelok lalu berjalan menuju jalur yang dilewati Scott ketika kami ke sini. Trotoarnya pecahpecah dan tidak rata lantaran tidak diperbaiki selama bertahun-tahun. Dan dengan semakin langkanya lampu jalanan, aku harus melangkah dengan hati-hati agar tidak terpeleset. Gudang-gudang di sini gelap, jendelanya kosong. Di luarnya terdapat barisan rumah bata yang tak terpakai dan dicorat-coret dengan grafiti. Tidak mustahil, lebih dari seabad lalu wilayah ini adalah jalur penghubung Coldwater. Tetapi sekarang tidak lagi.
Aku melipat tangan dan berjalan lebih cepat. Dua blok di depan, sesosok tubuh muncul dari kegelapan berkabut.
Vee" panggilku. Sosok itu terus berjalan ke arahku. Kepalanya menunduk, tangan dimasukkan ke dalam saku. Bukan Vee, sepertinya laki-laki, bertubuh jangkung dan ramping, bahunya lebar. Cara berjalannya sepertinya tidak asing. Aku merasa tidak nyaman berpapasan dengan seorang lelaki tanpa teman. Kukeluarkan ponsel dari saku. Baru saja hendak menghubungi Vee untuk menanyakan lokasinya berada, lelaki itu berjalan di bawah lampu
205 jalanan yang mengerucut. Dia mengenakan jaket kulit ayahku.
Aku langsung menghentikan langkah.
Sama sekali tidak menyadari keberadaan diriku, lelaki itu berbelok ke kanan dan menghilang di dalam salah satu rumah tua.
Bulu kudukku meremang. Ayah"
Otomatis aku berlari kecil, menyeberangi jalan tanpa repot-repot melihat lalu lintas, karena tidak ada apa pun yang melintasi tempat ini. Ketika sampai di sebuah rumah yang dimasuki lelaki itu, aku berusaha membuka pintunya yang tinggi. Dikunci. Kugoncang-goncang pegangannya, kudorong pintu itu, tapi sia-sia saja. Sambil menangkupkan tangan ke mata, aku mengintip jendela yang tergantung di pintu. Lampunya dimatikan, tapi aku bisa menangkap beberapa perabot yang ditutupi seprai warna pucat. Jantungku berdegup kencang. Apakah ayahku masih hidup" Selama ini dia tinggal di sini" Ayah! seruku ke kaca. Ini aku Nora! Di anak tangga teratas dalam rumah itu, bunyi sepatunya menghilang ke lorong. Ayah! teriak ku, memukul-mukul kaca. Aku di sini!
Aku mundur, memiringkan kepala, menatap ke jendela di lantai dua, melihat bayangannya berlalu. Pintu belakang.
206 Pikiran itu melintas di kepalaku, dan aku langsung bereaksi. Aku berlari menuruni anak tangga, melintasi jalur sempit yang memisahkan rumah ini dengan rumah di sebelahnya. Pintu belakang. Tentu saja. Aku bisa masuk dari sana dan menemui ayahku
Seolah ada es menempel di belakang leherku. Rasa dinginnya menjalar ke tulang belakang, membuatku lumpuh sesaat. Aku berdiri di ujung jalur, mataku tertuju ke halaman belakang. Semak belukar berayun-ayun lembut ditiup angin. Engsel pintu gerbang mengeluarkan bunyi berderit. Perlahan-lahan aku mundur, tidak merasa aman dengan keheningan ini. Tidak yakin aku sendirian. Aku pernah merasa seperti ini, dan biasanya ini adalah isyarat bahaya.
N ora, kita tidak berdua saja. Ada orang lain di sini. Pergi!
Ayah" bisikku, pikiranku kacau.
Cari Vee. Kau harus pergi! Aku akan menemuimu lagi. Cepat!
Aku tidak peduli dengan ucapannya. Aku tidak akan pergi. Tidak sebelum aku tahu yang sebenarnya. Tidak, sebelum aku melihat ayahku. Mana bisa aku pergi" Dia ada di sini. Desiran rasa lega sekaligus gugup bergejolak dalam diriku, mengalahkan rasa takut.
Ayah" Kau di mana"
207 Tidak ada jawaban. Ayah" kataku lagi. Aku tidak akan pergi. Kali ini ada jawaban.
Pintu belakang tidak dikunci.
Aku menyentuh kepalaku, merasakan kata-katanya bergema di sana. Kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam suaranya, tapi aku tidak bisa memastikan apa itu. Sedikit lebih dingin, mungkin" Lebih tajam" Ayah" bisikku dengan suara sepelan mungkin.
Aku di dalam. Suaranya lebih keras sekarang, suara sungguhan. Bukan hanya terdengar di kepalaku saja, tetapi di telingaku juga. Aku menoleh ke arah rumah, yakin dia berbicara di jendela. Melewati jalur conblock, dengan ragu-ragu aku menyentuh bingkai jendela. Aku sangat berharap suara itu milik ayahku. Tetapi pada saat yang sama, bulu kudukku meremang. Boleh jadi itu hanya trik. Suatu jebakan.
Ayah" Suaraku gemetar. Aku takut. Di balik kaca, sebuah tangan mengikuti posisi tanganku. Lima jarinya bertemu dengan lima jariku. Cincin kawin ayahku melekat di jari manis tangan kirinya. Darahku memompa begitu deras hingga aku merasa pusing. Dia ayahku. Terpaut beberapa inci saja dariku. Masih hidup.
208 Masuklah. Aku tidak akan menyakitimu. Masuklah, N ora.
Nada suaranya yang mendesak membuatku takut. Tubuhku kaku, berusaha memosisikan keinginan kuat dan menggebu-gebu untuk merangkulnya, untuk mencegahnya pergi lagi. Air mata mengucur di pipiku. Ingin rasanya berlari ke pintu belakang, tetapi aku tidak bisa membuat tubuhku meninggalkannya. Sekalipun selama beberapa detik saja. Aku tak sanggup kehilangan dirinya lagi.
Kuregangkan tanganku di jendela, kali ini lebih kuat. Ayah, aku di sini!
Kali ini kaca itu membeku karena sentuhanku. Seratserat es yang tipis menjalar seiring bunyi berkeretak. Aku tersentak merasakan desiran dingin di tanganku yang muncul tiba-tiba. Tetapi kulitku menempel di jendela. Membeku. Aku menjerit dan berusaha membebaskan diri menggunakan tanganku yang lain. Tangan ayahku menembus jendela dan menangkup tanganku, menahanku sehingga aku tidak bisa lari. Dia menarikku dengan kasar, potongan batu mencabik bajuku, tanganku entah bagaimana menembus jendela. Ekspresi wajahku yang ketakutan tercermin di kaca, mulutku menganga seiring jeritan akibat sangat terkejut. Satu pikiran berkecamuk dalam kepalaku, mustahil dia ayahku.
209 Tolong! teriakku. Vee! Kaudengar aku" Tolong!
Mengayunkan tubuh ke kanan dan kiri, aku berusaha membebaskan diri. Rasa perih menusuk tanganku yang dicengkeramnya. Gambaran pisau muncul dalam kepalaku, begitu kuat hingga kupikir kepalaku akan terbelah dua. Api menjilat tanganku dia akan menyayat tubuhku.
Hentikan! Aku memekik. Kau menyakitiku! Aku merasakan kehadirannya melemah dalam pikiranku, pandangannya sendiri membayangi pandanganku. Darah di mana-mana. Hitam dan lengket. Darahku. Tenggorokanku tercekat.
Patch! jeritku ke malam, dengan penuh ketakutan dan ketidakberdayaan.
Tangan itu melepas tanganku, dan aku tersungkur ke tanah. Secara naluriah, kutempelkan tanganku yang terluka ke baju untuk menghentikan pendarahan. Betapa terkejutnya aku, tidak ada darah. Tidak ada goresan.
Dengan napas tersengal-sengal, aku menatap jendela. Semuanya utuh, pantulan pohon di belakangku berayun-ayun ditiup angin malam. Aku berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Aku berlari ke arah Devil s Handbag, menoleh ke belakang setiap beberapa langkah. Aku menyangka akan melihat ayahku atau arwahnya
210 muncul dari salah satu rumah, menghunuskan pisau. Tetapi, trotoar itu tetap kosong.
Aku menghadap ke depan untuk menyeberangi jalan. Saat itulah mataku menangkap kehadiran seseorang, dan aku memburunya.
Di sini kau rupanya, kata Vee, menjulurkan tangan untuk menopang tubuhku yang lunglai karena menahan jeritan. Kurasa kita tidak akan bertemu. Aku sudah sampai di Devil s Handbag dan berbalik arah untuk mencarimu. Kau baik-baik saja" Sepertinya kau ingin muntah.
Aku tidak ingin berdiri di sudut jalan itu lebih lama lagi. Dengan kejadian barusan, aku otomatis teringat ketika aku menabrak Chauncey dengan Neon. Tidak lama kemudian, mobil itu utuh seperti sedia kala. Tidak ada tanda baru saja mengalami kecelakaan. Tapi kali ini lebih personal. Karena menyangkut ayahku. Mataku terasa panas, dan rahangku bergetar saat aku bicara. Kupikir aku melihat ayahku lagi.
Vee merangkulku. Sayang.
Aku tahu. Itu tidak nyata. Tidak nyata, kuulangi kata-kata itu, sambil berusaha meyakinkan diriku sendi-ri. Aku mengejap beberapa kali, air mata mengaburkan pandanganku. Tetapi rasanya nyata. Teramat sangat nyata& .
211 Kau ingin membicarakannya"
Apa yang harus dibicarakan" Aku bertemu hantu. Seseorang mengacaukan pikiranku. Mempermainkan aku. Apakah dia malaikat terbuang" Nephil" Hantu ayahku" Atau, pikiranku saja yang mengkhianati aku" Rasanya ini bukan pertama kalinya aku membayangkan melihat ayahku. Kurasa dia berusaha berkomunikasi denganku. Tetapi, bisa jadi ini hanya mekanisme pembelaan-diri. Mungkin pikiranku membuatku melihat hal-hal yang enggan kuterima sebagai sesuatu yang telah pergi untuk selamanya. Karena itu lebih mudah daripada mengikhlaskan.
Apa pun yang terjadi, itu bukan sesuatu yang riil. Bukan ayahku. Dia tidak akan menyakitiku. Dia mencintaiku.
Ayo kita kembali ke Devil s Handbag, kataku, masih gemetar. Aku ingin menjauhkan diri dari rumah itu secepat mungkin. Sekali lagi kukatakan kepada diriku, siapa pun yang tadi kulihat, dia bukan ayahku.
Gemuruh drum dan cabikan gitar sebagai permainan pemanasan terdengar semakin keras. Dan seiring berkurangnya kepanikan, aku merasa degup jantungku melambat. Ada sensasi menenangkan ketika aku menenggelamkan diri di tengah ratusan tubuh yang berdesak-desakan di dalam gudang itu. Meski baru
212 mengalami kejadian yang menakutkan, aku tidak mau pulang. Dan aku tidak mau sendirian. Aku ingin berada di tengah keramaian. Bukankah jumlah yang banyak membuat kita merasa kuat"
Vee menarik pergelangan tanganku hingga aku menghentikan langkah. Bukankah kita mengenalnya"
Setengah blok di depan, Marcie Millar masuk ke sebuah mobil. Tubuhnya tampak jelas di balik kain hitam tipis yang sangat pendek hingga stoking renda hitam dan kait yang dikenakannya terlihat. Dia mengenakan sepatu bot hitam panjang melewati lutut. Topi kulit hitam menyempurnakan penampilannya. Tetapi bukan pakaian Marcie yang menyita perhatianku. Tetapi mobil yang dimasukinya. Jip Commander hitam mengilat. Mesinnya berderum, lalu Jip itu menghilang di belokan jalan. *****
213 staGanaGa , Bisik vee . apakah aku tidak salah lihat" Benarkah Marcie yang barusan masuk ke Jip Patch"
Aku ingin mengucapkan sesuatu, tetapi sepertinya ada paku di tenggorokanku.
Apakah hanya aku saja, kata Vee, atau kau juga melihat celana dalam merahnya menyembul dari balik baju"
Itu bukan baju, kataku, bersandar ke gedung karena merasa lemas.
214 Aku berusaha optimistis, tapi kau benar. Itu bukan baju. Tetapi kain ketat yang menutup sampai ke bokongnya yang kurus. Satu-satunya yang menjaga celana itu tetap di pinggang hanya gravitasi.
Rasanya aku mau muntah, kataku, rasa tercekat di tenggorokanku menjalar ke perut.
Vee menekan pundakku, memaksaku duduk di trotoar. Tarik napas dalam-dalam.
Patch pergi bersama Marcie. Sepertinya itu nyaris kelewat menakutkan untuk dipercaya.
Marcie yang menawarkan dirinya, kata Vee. Itu alasannya. Dia memang babi. Tikus.
Patch bilang tidak ada apa-apa di antara mereka. Patch punya segalanya, tapi tidak kejujuran. Aku menatap jalan, tempat Jip itu menghilang. Ada desakan tak terjelaskan dalam diriku untuk mengejar mereka. Untuk melakukan sesuatu yang kuharap akan kusesali nanti. Seperti mencekik Marcie dengan celana dalam merahnya yang norak.
Bukan salahmu, kata Vee. Patch memang berengsek. Dia memanfaatkan dirimu.
Aku mau pulang, kataku, suaraku datar. Ketika itulah mobil polisi berhenti di depan pintu masuk klub. Seorang polisi jangkung dan ramping, mengenakan kemeja dan celana hitam, keluar dari mobil.
215 Jalanan cukup gelap, tapi aku segera mengenalinya. Detektif Basso. Dia pernah menginterogasiku. Dan aku tidak ingin pengalaman itu terulang. Terutama karena aku yakin, aku tidak termasuk dalam daftar orang yang disukainya.
Detektif Basso berjalan ke depan, lencananya berkilau terkena cahaya lampu. Dia berjalan masuk tanpa memperlambat langkah.
Wow, kata Vee. Dia polisi"
Ya, dan dia kelewat tua untukmu, jadi jangan berpikir macam-macam. Aku mau pulang. Kau parkir di mana"
Sepertinya dia belum tiga puluh. Kalau sudah tiga puluh, baru bisa dibilang kelewat tua.
Namanya Detektif Basso. Dia menginterogasi aku setelah insiden dengan Jules di sekolah. Aku senang menyebut peristiwa itu insiden, terlepas situasi yang sesungguhnya. Upaya pembunuhan.
Basso. Aku suka nama itu. Singkat dan seksi. Seperti namaku. Apakah dia menggodamu"
Aku melotot, tetapi Vee masih menatap pintu yang dilewati Detektif Basso. Tidak. Dia mengajukan pertanyaan kepadaku.
Aku tidak keberatan diborgol olehnya. Tapi jangan bilang-bilang Rixon.
216 Ayo pergi. Jika polisi ke sini, berarti akan ada kejadian buruk.
Vee menautkan tangannya ke tanganku dan menarikku ke arah pintu masuk gudang.
Vee Barangkali ada dua ratus orang di dalam. Gelap pula. Dia tidak akan memilihmu, sekalipun dia ingat kepadamu. Mungkin dia malah sudah lupa kepadamu. Selain itu dia tidak akan menangkapmu kau tidak melakukan sesuatu yang terlarang. Well, di luar KTP palsu, tapi semua orang di sini melakukannya. Dan jika dia benar-benar ingin mengepung tempat ini, dia pasti membawa pasukan. Satu polisi tidak akan bisa menangani orang sebanyak ini.
Bagaimana kautahu aku punya KTP palsu" Dia memberi tatapan aku tak sebodoh kelihatannya . Kau di sini, kan"
Bagaimana kau akan masuk" Sama denganmu.
Kau punya KTP palsu" Aku tidak percaya. Sejak kapan"
Vee mengedipkan mata. Rixon bukan cuma jago ciuman. Ayo. Kau teman yang baik, tentu tidak akan memintaku kabur dari rumah dan melanggar aturan
217 begitu saja. Apalagi karena aku sudah menelepon Rixon, dan dia dalam perjalanan.
Aku mengerang. Tapi ini bukan salah Vee. Akulah yang menyangka kalau berada di sini mengasyikkan. Lima menit, tidak lebih.
Antrean bergerak dengan cepat, merangsek ke dalam gedung. Bertentangan dengan akal sehatku, aku membayar tiket dan membuntuti Vee, masuk ke dalam gudang gelap, pengap, dan memekakkan telinga. Anehnya, ada semacam rasa nyaman ketika aku dikelilingi kegelapan dan kebisingan. Musiknya kelewat berisik sehingga orang sulit berpikir. Artinya meskipun mau, aku tidak akan bisa memikirkan Patch, dan apa yang dilakukannya bersama Marcie saat ini.
Di belakang ada sebuah bar bercat hitam, dengan bangku-bangku logam dan lampu hiasan menggantung di atap. Aku dan Vee bergerak menuju dua bangku terakhir yang tersedia.
KTP" kata cowok di balik bar. Vee menggeleng. Diet Coke saja. Aku Coke ceri, kataku.
Vee menyenggol igaku dan mencondongkan badan ke samping. Kaulihat" Dia menanyakan KTP kita. Hebat, kan" Berani taruhan, dia ingin tahu nama kita tapi malu bertanya.
218 Si bartender mengisi dua gelas dan meluncurkannya di meja. Keduanya berhenti persis di depan kami.
Trik yang bagus, teriak Vee di tengah ingar bingar musik.
Cowok itu tidak peduli dan melayani pelanggan berikutnya.
Masa bodoh. Lagi pula dia kelewat pendek untukku, kata Vee.
Kau lihat Scott" tanyaku, menegakkan badan agar bisa melihat lebih jelas. Seharusnya dia sudah selesai parkir sedari tadi. Mungkin dia tidak mau menggunakan parkir meteran dan terpaksa mengemudi lebih jauh untuk mendapatkan tempat parkir gratisan. Tapi tetap saja harusnya sudah selesai. Kecuali tempat parkirnya dua mil dari sini, dan itu tidak mungkin.
Woow. Tebak siapa yang baru masuk" Mata Vee menatap lurus melewati bahuku. Wajahnya cemberut. Marcie Millar.
Kupikir dia sudah pergi! Lecutan kemarahan merasuk diriku. Apakah Patch bersamanya" Tidak.
Aku meluruskan badan dan duduk lebih tegak lagi. Aku tenang. Aku bisa menghadapi situasi ini. Kemungkinan besar dia tidak melihat kita. Sekalipun melihat, dia tidak akan menghampiri kita. Dan meskipun seluruh
219 diriku tidak percaya, aku menambahkan, Mungkin ada penjelasan miring, mengapa dia naik Jip Patch.
Seperti juga ada penjelasan miring mengapa dia memakai topi Patch"
Aku berpegangan di meja dan membalikkan badan. Benar saja. Marcie melenggok di tengah kerumunan. Ekor kudanya yang merah kinclong menjulur dari belakang topi baseball milik Patch. Kalau itu bukan bukti kebersamaan mereka, aku tidak tahu lagi apa namanya.
Aku akan membunuhnya, kataku kepada Vee, membalikkan badan sehingga menghadap bar. Kucengkeram gelas Coke-ku, rasa panas menjalar di pipiku.
Hus Hus Buku 2 Crescendo Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja. Dan kau punya kesempatan. Dia berjalan ke arah kita.
Tidak lama kemudian Marcie memerintahkan cowok di samping kami turun dari bangku dan dia menempatinya. Marcie melepas topi Patch dan menggoyang-goyangkan rambut. Kemudian dia menekankan topi itu ke wajah, menghirup napas dalam-dalam. Bukankah aromanya luar biasa"
Hei, Nora, kata Vee, minggu lalu kepala Patch kutuan, kan"
220 Aroma apa, ya" tanya Marcie dramatis. Rumput yang baru dipangkas" Tanaman eksotis" Atau mungkin& mint"
Kuletakkan gelas di meja dengan agak keras hingga sedikit tumpah.
Kau benar-benar sahabat lingkungan, ya" kata Vee kepada Marcie. Mendaur ulang sampah Nora.
Sampah seksi lebih baik daripada sampah gendut, kata Marcie.
Rasakan ini, kata Vee, mengangkat gelas Cokeku dan menumpahkannya ke Marcie. Tetapi seseorang menubruk Vee dari belakang. Jadi alih-alih tumpah ke Marcie, minuman itu malah membasahi kami bertiga.
Apa yang kaulakukan" Marcie melompat hingga bangkunya jatuh. Dia menyeka minuman di pangkuannya. Ini gaun Bebe! Kau tahu berapa harganya" D ua ratus dolar.
Sekarang tidak semahal itu lagi, kata Vee. Dan aku tidak tahu mengapa kau mengeluh. Berani taruhan, kau mengutil.
Yeah" Lalu apa maksudmu"
Kalimat yang cocok denganmu adalah apa yang kaulihat, itulah yang kaudapatkan. Dan yang kulihat adalah barang murahan. Tidak ada yang lebih murahan dari mengutil.
221 Dasar gendut. Vee menyipitkan mata. Mampus kau. Kaudengar aku" Mampus.
Marcie mengalihkan matanya ke arahku. Omongomong, Nora, kurasa kau ingin tahu. Patch bilang dia sudah putus denganmu karena kau tidak lebih dari seorang pelacur.
Vee menampar Marcie dengan tasnya.
Untuk apa kaulakukan itu" jerit Marcie, memegang kepala.
Vee menampar telinga Marcie yang satunya lagi. Marcie tersentak ke belakang, matanya tampak berkunang-kunang. Dasar kau
Hentikan! teriakku, menempatkan diri di antara mereka dan merentangkan tangan. Orang-orang memperhatikan kami. Mereka bergerak mendekat, tertarik dengan kemungkinan akan terjadi perkelahian kucing-anjing. Aku tidak peduli dengan Marcie, tetapi Vee berbeda. Jika dia berkelahi, ada kemungkinan Detektif Basso menyeretnya ke kantor polisi. Setelah pergi tanpa izin, kurasa orangtuanya tidak akan puas jika dia hanya dipenjara. Sudah, sudah. Vee, pergi ke mobil. Aku akan menemuimu di luar.
Dia menyebutku gendut. Dia pantas mati. Kau yang bilang sendiri. Napas Vee tersengal-sengal.
222 Bagaimana kau akan membunuhku" ejek Marcie. Dengan menduduki aku"
Dan situasi langsung kacau-balau. Vee mengambil gelas minumannya dari meja, mengangkat tangan, bersiap melempar. Marcie membalikkan badan ingin berlari. Tapi karena tergesa-gesa, dia tersandung bangku yang tadi dijatuhkannya. Aku berbalik ke Vee, berharap dapat menghindari kekerasan. Ketika itulah lututku ditendang dari belakang. Aku tersungkur, dan tahu-tahu Marcie sudah duduk di atas perutku, menjambak rambutku.
Ini balasan karena kau mencuri Tod B"rot ketika di kelas lima, katanya, menonjok mataku.
Aku mengerang dan memegang mata. Tod B"rot" teriakku. Apa maksudmu" Itu kelas lima!
Dan ini balasan karena kau memuat fotoku di eZine tahun lalu, ketika mukaku berjerawat! Bukan aku!
Oke, mungkin aku sedikit salah karena aku yang bertugas memilih foto. Tapi aku tidak sendirian. Dan Marcie memendam persoalan itu lebih dari setahun" Bukankah itu kelewat lama"
Marcie berteriak, Dan ini balasan untuk Kau sinting! Kali ini aku menangkal pukulannya dan berhasil meraih kaki bangku terdekat dan menjadikannya tameng.
223 Marcie menepis bangku itu. Sebelum aku bisa berdiri, dia merampas minuman seseorang dan menumpahkannya ke tubuhku.
Mata dibalas mata, katanya. Kau mempermalukan aku, aku mempermalukanmu.
Aku menyeka minuman dari mataku. Mata kananku yang ditonjok Marcie terasa nyeri. Aku merasa kulitku memar-memar, penuh dengan lebam biru dan ungu. Rambutku basah karena tersiram minuman, carnisole terbaikku robek, dan aku merasa terhina, terpukul& dan tertolak. Patch telah memilih Marcie. Dan Marcie menegaskan kenyataan itu.
Perasaanku tidak bisa dijadikan alasan untuk tindakanku selanjutnya, tapi jelas menjadi katalisator. Aku tak tahu bagaimana berkelahi, tapi aku mengepalkan tangan dan meninju rahang Marcie. Sejenak ekspresinya hanya kaget. Dia mundur, memegang rahang dengan dua tangan, terpana menatapku. Terbuai kemenangan kecil, aku memburunya, tetapi aksiku terhenti. Seseorang mengangkatku dari bawah ketiak, dan menggendongku.
Keluar dari sini, kata Patch di telingaku, sambil menyeretku ke arah pintu.
Aku akan membunuhnya! kataku, berusaha membebaskan diri.
224 Kerumunan orang mengelilingi kami. Mereka berseru, Ayo! Ayo! Ayo! Patch menerobos mereka sambil membawaku. Di belakang Patch, Marcie berdiri. Dia tersenyum mengejek dan mengangkat alis. Pesannya jelas, Aku tidak takut kepadamu.
Patch menyerahkan aku ke Vee, kemudian kembali dan menyeret Marcie. Sebelum aku sempat melihat ke mana dia membawa Marcie, Vee mendorongku ke pintu terdekat. Meskipun aku senang menontonmu berkelahi dengan Marcie, tetapi rasanya tidak sepadan jika kau harus mendekam semalaman di penjara, kata Vee. Aku benci dia! Suaraku masih histeris. Detektif Basso datang ketika Patch menyeretmu. Sepertinya itu isyarat agar aku turun tangan. Ke mana Patch membawanya"
Tidak penting. Mudah-mudahan dua-duanya ditangkap dan dibawa ke luar kota.
Sepatu kami berkeresak di jalan berkerikil saat kami berlari menuju tempat Vee memarkir mobilnya. Lampu biru-merah mobil polisi berkelebat di jalan, membuat aku dan Vee merapat ke dinding gudang.
Well, ini menyenangkan, kata Vee, begitu kami berada di dalam Neon.
Oh, yeah, tentu, kataku geram.
225 Vee menjilat tanganku. Kulitmu terasa nikmat. Kau membuatku haus, aromamu seperti Coke ceri.
Ini semua salahmu! kataku. Kau yang menumpahkan minumanku ke Marcie! Jika bukan karenamu, aku tidak akan berkelahi.
Berkelahi" Kau tergeletak di sana dan pasrah saja. Seharusnya kau meminta Patch mengajarimu beberapa jurus berkelahi sebelum kau putus dengannya.
Ponselku berdering, aku mengeluarkannya dari dompet dengan kasar. Apa" bentakku. Tidak ada jawaban. Saking emosinya, aku tidak sadar kalau itu bunyi SMS yang masuk, bukan panggilan telepon.
Ada sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal. JANGAN KELUAR RUMAH MALAM INI.
Menakutkan, kata Vee, memiringkan badan agar bisa ikut membaca. Kau memberi nomormu kepada siapa"
Mungkin salah kirim. Mungkin pesan ini untuk orang lain. Tapi tentu saja, pikiranku tertuju ke rumah tua itu, ayahku, dan sosok tak terlihat yang menyayat tanganku.
Kujebloskan ponselku ke tas yang terbuka di kakiku lalu aku menangkupkan tangan ke kepala. Mataku berdenyut-denyut. Aku ketakutan, sendirian, kebingungan, dan nyaris menangis sejadi-jadinya.
226 Mungkin dari Patch, kata Vee.
Nomornya tidak dikenal. Mungkin ini perbuatan iseng seseorang. Andai saja aku bisa memaksa diriku sendiri memercayainya. Kita bisa pergi" Aku butuh Tylenol.
Kurasa kita harus menelepon Detektif Basso. Polisi sangat suka dengan kasus penguntit seperti ini. Kau cuma ingin merayunya.
Vee menghidupkan Neon. Sekadar ingin membantu.
Seharusnya kau membantuku sepuluh menit lalu. Ketika kau menumpahkan minumanku ke Marcie. Setidaknya, aku berani melakukannya. Aku menoleh, dan memelototi Vee. Apakah kau menuduhku tidak membela diri di hadapan Marcie"
Marcie merebut pacarmu, kan" Kalau dia berani merebut pacarku, dia harus menebusnya di neraka. Aku menunjuk ke luar. Jalan!
Kau mau tahu pendapatku" Kau benar-benar butuh pacar baru. Kau harus merasakan kencan yang manis untuk menghaluskan perasaanmu.
Kenapa semua orang berpikir aku butuh pacar baru" Aku tidak butuh pacar baru. Aku punya cukup banyak
227 pacar untuk seumur hidupku. Satu-satunya yang bisa dilakukan seorang pacar hanya menghancurkan hati. *****
228 S aTU JaM kEMUdian, akU MERapikan diRi dan
menyantap biskuit kraker yang diolesi krim keju dingin. Kemudian aku membenahi dapur dan menonton TV sebentar. Di sudut pikiranku yang gelap, aku tidak berhasil melupakan SMS yang memperingatkanku untuk tetap di rumah. Ketika aku merasa aman dan tenteram di dalam mobil Vee tadi, mudah sekali rasanya melupakan suatu miscall atau keisengan seseorang. Tetapi sekarang, saat aku sendirian, rasa percaya diri itu hilang. Aku berniat
229 memutar musik Chopin untuk mematikan keheningan. Tetapi, aku tidak mau membuat pendengaranku cacat. Satu-satunya yang paling kutakutkan sekarang adalah seseorang mengendap-endap dari belakang& .
Kuatkan dirimu! Perintahku dalam hati. Tidak ada orang yang menguntitmu.
Setelah beberapa saat, ketika tidak ada lagi acara bagus di TV, aku naik ke kamar. Seperti biasanya kamarku sudah bersih dan rapi dari segala sisi. Jadi, aku merapikan isi lemari berdasarkan warna. Aku berusaha menyibukkan diri agar tidak tergoda untuk tidur. Tidak ada yang membuatku begitu rapuh kecuali ketika mengantuk, dan aku ingin menundanya selama mungkin. Aku mengelap permukaan laci, kemudian menyusun buku berdasarkan abjad. Tidak akan ada kejadian buruk, kataku meyakinkan diriku sendiri. Paling-paling besok aku bangun dan sadar betapa paranoidnya aku.
Mungkin pesan itu dikirim oleh seseorang yang ingin menggorok leherku saat aku tidur. Pada malam seseram ini, tidak ada yang kelewat konyol untuk dipercaya.
Beberapa saat kemudian aku terbangun di tengah kegelapan. Tirai di ujung kamar berayun-ayun ditiup kipas angin. Suhu udara kelewat hangat, baju tidurku menempel di kulit. Tetapi aku begitu dirasuki skenario
230 terburuk hingga bahkan berpikir untuk memecahkan jendela. Aku menoleh ke samping, beberapa menit menjelang jam tiga.
Tengkorak kepala sebelah kananku berdenyut-denyut, dan mataku yang bengkak memejam. Setelah menyalakan semua lampu di rumah, aku berjalan bertelanjang kaki ke lemari es dan mengambil beberapa kotak es batu yang kemudian kumasukkan ke kantong Ziploc. Aku memberanikan diri masuk ke kamar mandi untuk bercermin, dan aku mengerang. Lebam warna ungu terang dan merah menghiasi alis mataku sampai ke tulang pipi.
Bagaimana kau bisa membiarkan semua ini terjadi" tanyaku kepada pantulan wajahku di cermin. Bagaimana kau membiarkan Marcie memukulmu"
Aku mengeluarkan dua pil Tylenol terakhir dari botol di lemari kamar mandi, menelannya, lalu bergelung di ranjang. Dinginnya es menyengat kulit di sekitar mataku dan menjalarkan desiran ke seluruh tubuhku. Sambil menunggu Tylenol beraksi, aku bergulat dengan gambaran dalam pikiranku. Ketika Marcie masuk ke Jip Patch. Gambaran itu berputar berulang kali. Aku membolak-balik badan di ranjang, bahkan menekan kepala dengan bantal untuk menyingkirkan gambaran
231 itu. Tetapi sia-sia saja, gambaran itu terus menari-nari, mengejekku.
Sekitar satu jam kemudian otakku lelah mencari cara baru untuk membunuh Marcie dan Patch dari pikiranku. Aku tertidur.
Bunyi tombol pintu yang diputar membuatku terbangun.
Aku membuka mata. Tetapi yang kutemukan masih sama. Gambaran hitam-putih yang tidak jelas, seperti ketika aku bermimpi pergi ke Inggris berabad-abad lalu. Aku berusaha merapatkan mata kuat-kuat agar gambaran itu pergi. Tetapi duniaku tetap seperti warna asap dan es.
Di bawah, pintu depan terbuka dengan mudahnya setelah bunyi deritan pelan.
Ibuku baru akan pulang Sabtu pagi. Jadi, itu tentu orang lain. Seseorang yang bukan penghuni rumah ini.
Aku melihat ke sekeliling kamar, mencari sesuatu yang bisa kugunakan sebagai senjata. Beberapa bingkai foto kecil berdiri di atas meja, bersama lampu duduk murahan.
Langkah kaki menapak lantai kayu perlahan. Berikutnya langkah itu sudah di atas. Sang penyusup tidak berhenti untuk memastikan apakah kehadirannya terdengar oleh penghuni rumah atau tidak. Sepertinya
232 dia sudah tahu tempat yang akan didatangi. Berguling pelan di ranjang, aku mengambil celana panjangku dari lantai. Setelah mengikatnya dengan kedua tangan, aku menempelkan punggung ke dinding dekat pintu, butiran keringat meluncur di kulitku. Suasana begitu hening hingga aku bisa mendengar bunyi napasku sendiri.
Orang itu melewati ambang pintu, dan aku mengalungkan celanaku ke lehernya, mencekiknya sekuat tenaga. Dia meronta sebentar, tapi kemudian tubuhku tersentak ke depan dan aku berhadap-hadapan dengan Patch.
Dia memandang celana yang tadi mencekiknya lalu menatapku.
Untuk apa kau ke sini" desakku dengan napas tersengal. Apa maksud SMS yang kaukirimkan" Menyuruhku tidak keluar rumah malam ini" Sejak kapan kau punya nomor yang tak terdaftar"
Aku harus menggunakan nomor baru. Agar lebih aman.
Aku tidak mau tahu alasannya. Orang macam apa yang begitu berahasia" Siapa yang ditakutkan Patch akan menguping teleponnya" Penghulu malaikat"
Kenapa kau tidak mengetuk pintu" kataku, jantungku masih berdegup kencang. Kukira kau orang lain"
233 Kau sedang menunggu orang lain"
Sebenarnya, ya! Seorang psikopat yang mengirim pesan anonim dan menyuruhku bersiap untuk kedatangan tamu.
Sudah jam tiga, kata Patch. Siapa pun yang kautunggu, pasti tidak sebegitu menariknya kau tertidur. Dia tersenyum. Kau masih tidur. Patch tampak puas saat mengatakannya. Bahkan mungkin percaya diri. Seolah-olah teka-teki yang mengganggu pikirannya selama ini, terjawab sudah.
Aku mengejapkan mata. Masih tidur" Apa maksudnya" Sebentar. Tentu saja. Itu sebabnya, di sekelilingku tak berwarna, hanya hitam dan putih. Patch tidak benar-benar berada di kamarku. Dia ada dalam mimpiku.
Tetapi itu berarti aku memimpikannya. Atau apakah dia tahu bahwa dia ada di sini" Apakah kami mengalami mimpi yang sama"
Asal kautahu saja, aku tertidur saat menunggu Scott. Aku tidak tahu mengapa aku mengatakannya. Sepertinya mulutku bekerja tanpa sepengetahuan otakku. Scott, ulang Patch.
Jangan memulai. Aku melihat Marcie naik ke Jipmu.
Dia butuh tumpangan. 234 Aku bertolak pinggang. Tumpangan macam apa" Bukan seperti itu, katanya pelan.
Oh, tentu saja! Apa warna celana dalamnya" Ini tes, dan aku sangat berharap jawabannya salah.
Patch tidak menjawab. Tapi sorot matanya mengatakan, dia tahu warna celana dalam Marcie.
Aku mengentakkan kaki ke ranjang, menarik bantal, dan melemparnya ke arah Patch. Dia berkelit, dan bantal itu menabrak dinding. Kau bohong, kataku. Kaubilang tidak ada apa-apa antara kau dan Marcie. Kalau tidak ada apa-apa, bagaimana kalian saling bertukar barang" Dan bagaimana dia masuk ke mobilmu malam-malam dengan hanya mengenakan sesuatu yang berbeda tipis dengan baju dalam! Mendadak aku sadar akan busanaku sendiri, atau minimnya busanaku. Aku berdiri di depan Patch dengan baju yang tidak lebih dari atasan bertali spageti dan celana sangat pendek. Well, bukankah aku tidak bisa melakukan apa-apa sekarang" Bertukar barang"
Dia memakai topimu! Dia mengaku rambutnya sedang jelek hari itu. Aku menganga. Dia bilang begitu kepadamu" Dan kau percaya saja"
Dia tidak seburuk yang kaukira.
235 Apa maksudnya" Aku menunjuk mataku. Tidak seburuk itu" Kaulihat ini" Ini akibat perbuatannya! Lagi pula, mau apa kau ke sini" desakku lagi. Darahku sudah mencapai titik didih.
Patch bersandar ke lemari dan melipat tangan. Aku datang untuk menengokmu.
Sekali lagi, mataku lebam, terima kasih atas perhatiannya, kataku ketus.
Kau ingin es" Aku ingin kau pergi dari mimpiku! Aku merampas bantal lagi dari ranjang dan melemparnya. Kali ini dia menangkapnya.
Devil s Handbag, mata lebam. Bukan sesuatu yang aneh.
Patch melempar bantal itu lagi ke arahku, seolah ingin menegaskan pendapatnya.
Kau membela Marcie" Dia menggeleng. Tidak perlu. Dia bisa mengurus dirinya sendiri. Di pihak lain, kau& .
Aku menunjuk pintu. Keluar.
Ketika dia tidak beranjak, aku melangkah dengan gusar dan mendorongnya dengan bantal. Kubilang, keluar dari mimpiku. Dasar pembohong, penipu
236 Patch menyingkirkan bantal dari jangkauanku, dan menyudutkan aku sampai punggungku menyentuh dinding. Sepatu botnya menyentuh jari-jari kakiku. Aku kehabisan napas hingga tidak bisa menyelesaikan kalimatku dan memaki-makinya dengan nama-nama terburuk yang bisa kupikirkan. Karena dia menarik bagian pinggang celana pendekku, membuat tubuh kami berdekatan. Matanya hitam pekat, napasnya lambat dan dalam. Aku berdiri, terperangkap di antara dirinya dan dinding. Detak jantungku semakin cepat saat aku menjadi semakin sadar akan tubuhnya dan aroma maskulin yang merebak dari kulitnya. Aku merasa resistensiku melonggar.
Tiba-tiba saja, tanpa pemicu apa pun kecuali hasratku sendiri, aku menempelkan tangan ke kausnya dan menarik tubuhnya. Nyaman sekali merasa dekat dengannya lagi. Aku sangat merindukannya, tapi baru sekarang aku menyadari betapa besar kerinduanku.
Jangan membuatku menyesali ini, kataku, tersengal.
Kau tidak pernah membuatku menyesal. Patch menciumku. Aku menyusupkan jemari ke rambutnya, menariknya lebih dekat. Berbagai emosi yang kupendam sejak kami putus merasuki diriku.
237 Aku tahu, aku sedang menjebloskan diriku sendiri ke kepedihan yang lebih dahsyat. Tapi aku tidak bisa melepaskan Patch. Yang terpikir olehku hanyalah jika Patch benar-benar ada dalam mimpiku, maka malam ini bisa menjadi rahasia kami. Penghulu malaikat tidak bisa melihat kami. Di sini seluruh aturan menguap seperti asap. Kami bisa melakukan apa pun yang kami inginkan, dan mereka tidak akan memergoki kami.
Patch menjawab tindakanku. Aku tahu, dia tidak bisa merasakan semuanya secara fisik. Tapi aku katakan kepada diriku sendiri, cintalah yang melatari perbuatannya sekarang. Cintanya kepadaku. Aku tidak membiarkan diriku memikirkan ketidakmampuannya merasakan sentuhan, dan banyak atau sedikitnya arti hubungan ini baginya. Aku hanya menginginkan dirinya. Sekarang.
Dia menggendongku, dan aku menautkan kaki di pinggangnya. Aku melihat tatapannya beralih ke lemari, kemudian ke ranjang. Dan jantungku berdegup tidak keruan karena lonjakan hasrat. Pikiran rasional telah meninggalkan aku. Yang kutahu hanyalah bahwa aku akan melakukan apa saja agar momen ini tidak berakhir. Segalanya terjadi begitu cepat. Tetapi, kepastian akan ujung kejadian ini adalah kemarahan yang dingin dan merusak yang membakar dadaku selama seminggu ini.
238 Itulah pikiran terakhir dalam kepalaku sebelum ujung jariku menyentuh bagian tempat sayapnya tersambung ke punggungnya.
Sebelum bisa menghentikan, aku telah tersedot ke dalam memori Patch dalam sekejap.
Aroma kulit hewan dan sensasi yang lembut di bawah pahaku memberitahukan bahwa aku berada dalam Jip Patch, sekalipun mataku belum sepenuhnya beradaptasi dengan kegelapan. Aku duduk di kursi belakang, Patch di balik kemudi, dan Marcie di kursi depan. Dia mengenakan gaun yang sama dengan yang kulihat tidak sampai tiga jam yang lalu.
Berarti malam ini. Aku terisap ke dalam memori Patch beberapa jam yang lalu.
Dia merusak gaunku, kata Marcie, menunjuk kain yang menempel di pahanya. Sekarang aku kedinginan. Dan tubuhku basah oleh Coke ceri.
Kau ingin memakai jaketku" tanya Patch, matanya tetap ke jalan.
Di mana" Kursi belakang. Marcie melepas sabuk pengaman, membalik badan, dan meraih jaket kulit milik Patch di sampingku. Ketika dia sudah menghadap ke depan lagi, dia melepas bajunya
239 melewati kepala dan menjatuhkannya ke bawah. Selain baju dalam, tubuhnya telanjang.
Tenggorokanku tercekat. Dia memakai jaket Patch dan menutup ritsletingnya. Di depan belok kiri, perintahnya.
Aku tahu jalan ke rumahmu, kata Patch tanpa menoleh.
Aku tidak mau pulang. Dua blok di depan, belok kiri.
Tetapi setelah dua blok, Patch tidak berbelok. Kau tidak asyik, kata Marcie, cemberut. Apakah kau tidak penasaran, ke mana aku mengajakmu" Sudah malam.
Kau menolakku" katanya manja.
Aku akan mengantarmu pulang. Setelah itu, aku kembali ke tempatku.
Kenapa aku tidak boleh ikut" Kapan-kapan saja, kata Patch.
O h, begitu, ya" Aku ingin membentak Patch. Aku sendiri tidak pernah ke tempatnya!
Jawabanmu tidak spesifik, Marcie merajuk, mengangkat sepatunya ke dasbor, sehingga kakinya terlihat.
Patch diam saja. 240 Kalau begitu, besok malam, kata Marcie. Kemudian dia melanjutkan dengan suara mesra, Kau kan tidak punya tujuan lain. Aku tahu, kau sudah putus dengan Nora.
Tangan Patch kaku di kemudi.
Kabarnya, dia dengan Scott Parnell sekarang. Kautahu, cowok baru itu. Lumayan keren sih, tapi tidak sebanding denganmu.
Aku tidak ingin bicara tentang Nora.
Bagus, karena aku juga begitu. Lebih baik bicara tentang kita.
Kupikir kau sudah punya pacar. Itu sudah lewat.
Patch mengambil belokan masuk ke halaman rumah Marcie tanpa mengurangi kecepatan, membuat Jipnya melonjak. Selamat malam, Marcie, katanya tanpa mematikan mesin.
Marcie tetap duduk, kemudian tertawa. Kau tidak mengantarku masuk"
Kau gadis yang kuat. Kalau ayahku melihat, dia tidak akan senang, katanya, menjulurkan tangan dan merapikan kerah baju Patch. Tangannya tetap di sana lebih lama dari yang sewajarnya.
Dia tidak melihat. 241 Dari mana kautahu" Percayalah kepadaku.
Marcie semakin memelankan suaranya, lembut dan mesra. Kautahu, aku sangat kagum dengan keteguhanmu. Kau terus membuatku menebak-nebak. Aku suka itu. Tapi aku ingin menjelaskan satu hal. Aku tidak ingin menjalin hubungan. Aku tidak suka hal-hal yang rumit dan kompleks. Aku tidak ingin sakit hati, bingung menafsirkan isyarat cinta, atau cemburu. Aku cuma ingin bersenang-senang. Pikirkanlah.
Untuk pertama kalinya, Patch menoleh hingga menghadap wajah Marcie. Akan kuingat.
Dari profilnya, aku melihat Marcie tersenyum. Dia merapatkan badan dan memberi kecupan lembut dan seksi. Patch mulai menarik diri. Sebenarnya dia bisa menghentikan kecupan itu kapan saja, tapi itu tidak dilakukannya.
Besok malam, gumam Marcie, akhirnya menjauhkan diri. Di tempatmu.
Gaunmu, kata Patch, menunjuk ke onggokan di bawah.
Cuci saja dan kembalikan kepadaku besok malam. Marcie mendorong pintu Jip dan berlari ke pintu depan rumahnya.
242 Rengkuhan tanganku di leher Patch mengendur. Aku merasa begitu terperangah sehingga tidak bisa berkata-kata. Seolah-olah Patch menyiramkan seember air es kepadaku. Bibirku masih membara karena ciumannya, begitu juga hatiku.
Patch datang ke dalam mimpiku. Kami mengalaminya bersama-sama. Entah bagaimana, mimpi itu terasa nyata. Begitu nyata, melewati batas-batas kemusykilan. Seandainya dia tidak di sini, seandainya dia tidak memasukkan dirinya ke dalam mimpiku dengan begitu lembut dan mantapnya, aku tidak mungkin bisa menyentuh goresan lukanya. Dan aku tidak mungkin terserap ke dalam memorinya.
Tetapi itu terjadi. Memori itu begitu jelas dan terlalu nyata.
Dari reaksiku Patch tahu, apa pun yang barusan kulihat, yang pasti itu tidak bagus. Dia melepaskan tangan dari bahuku, kemudian menengadahkan kepala, menatap langit-langit. Apa yang kaulihat" tanyanya pelan.
Degup jantungku mengisi kekosongan di antara kami.
Kau mencium Marcie, kataku, menggigit bibir kuat-kuat agar air mataku tidak turun.
243 Dia menutup wajah dengan tangan, kemudian memijit batang hidung.
Katakan itu hanya permainan pikiran. Hanya trik. Katakan, dia punya semacam kekuatan sehingga kau tidak punya pilihan lain ketika bersamanya. Ini rumit.
Tidak, kataku, menggeleng-gelengkan kepala. Jangan berkata seperti itu. Tidak ada yang rumit lagi setelah segala yang kita alami bersama. Apa yang bisa kauharapkan dari hubungan dengannya"
Matanya menatapku lekat-lekat. Bukan cinta. Kehampaan menghancurkan diriku. Potongan-potongan puzzle menyatu, dan mendadak aku paham. Kebersamaan dengan Marcie adalah kepuasan murahan. Kepuasan diri. Patch benar-benar melihat kami sebagai tantangan. Dia seorang petualang. Baginya setiap gadis adalah tantangan baru. Suatu pelabuhan tempat dia mengaitkan jangkar untuk memperluas cakrawalanya. Dia menemukan arti kesuksesan dalam seni rayu-merayu. Masa bodoh bagaimana cerita itu berakhir atau bagaimana pertengahannya. Yang penting hanyalah permulaan. Dan seperti cewek-cewek lain, aku membuat kesalahan sangat besar dengan jatuh cinta kepadanya. Begitu aku jatuh cinta kepadanya, dia pun lari. Well, dia tidak perlu repot-repot mendengar Marcie menyatakan
244 cintanya. Satu-satunya orang yang dia cintai adalah dirinya sendiri.
Kau membuatku muak, kataku, suaraku bergetar, sarat dengan tuduhan.
Patch berjongkok, menopang siku di lutut, membenamkan wajah dalam tangan. Aku tidak datang untuk menyakitimu.
Kenapa kau datang" Untuk mengelabui penghulu malaikat" Untuk menyakitiku lagi" Aku tidak mengharapkan jawaban. Kucabut rantai perak yang diberikannya beberapa hari lalu. Kurenggut kuat-kuat dari leherku sehingga pasti menimbulkan luka. Tapi hatiku terlalu sakit untuk menyadarinya. Seharusnya kukembalikan rantai itu ketika kami putus. Tapi selama ini aku masih berharap. Aku masih percaya kami bisa bersama. Aku masih berpegang pada keyakinan, masih ada cara membujuk bintang-bintang di langit agar mengembalikan Patch kepadaku. Tetapi, itu harapan kosong.
Kusodorkan rantai itu kepadanya. Kembalikan cincinku.
Mata hitamnya menatapku, kemudian dia membungkuk dan mengambil bajunya. Tidak. Apa maksudmu" Kembalikan!
245 Kau sudah memberikannya kepadaku, katanya pelan, tapi tidak lembut.
Well, aku berubah pikiran! Wajahku memerah, seluruh tubuhku panas dengan kemarahan. Dia ingin menyimpan cincin itu karena dia tahu betapa besar artinya bagiku. Dia menyimpan cincin itu karena posisinya cukup tinggi sebagai malaikat pelindung, tetapi jiwanya sama hitamnya dengan saat pertama aku bertemu dengannya. Kesalahan terbesarku adalah membodohi diriku sendiri dengan percaya bahwa dia baik. Aku memberikannya ketika aku bodoh sehingga jatuh cinta kepadamu! Aku menjulurkan tangan. Kembalikan. Sekarang. Aku tidak sanggup berpikir akan kehilangan cincin ayahku karena Patch tidak mau mengembalikannya. Dia tidak pantas mendapatkannya. Dia tidak pantas memiliki satu-satunya benda yang mengingatkan aku akan cinta sejati.
Tanpa menggubris permintaanku, Patch keluar.
Aku membuka mata. Kuhidupkan lampu, dan sekelilingku kembali penuh warna. A ku duduk, desiran adrenalin menghangatkan kulitku. Kuraba leherku, mencari rantai perak Patch. Tapi rantai itu tidak ada. Kucari-cari di seprai yang kusut, mungkin saja benda itu jatuh saat aku tidur.
246 Tapi rantai itu tidak kutemukan. Mimpi itu nyata.
Patch telah menemukan cara mengunjungiku saat aku tidur.
***** 247 S Enin USai SEkolah, vEE MEnURUnkan akU di
perpustakaan. Aku berdiri sejenak di luar pintu untuk menelepon Ibu dan menanyakan kabarnya. Seperti biasa, dia sibuk dengan pekerjaannya, dan aku pun mengatakan hal yang sama soal sekolahku.
Setelah di dalam, aku masuk ke lift untuk ke lab media di lantai tiga. Aku ingin memeriksa e-mail, membuka Facebook, dan membaca gosip di laman Perez Hilton. Sekadar untuk menyiksa diri, aku meng-Google Black Hand lagi. Link-link yang sama bermunculan.
248 Sebenarnya aku juga tidak berharap menemukan sesuatu yang baru. Akhirnya, setelah tidak bisa menunda-nunda lagi, aku membuka buku kimia dan mencurahkan pikiran ke pelajaran.
Hari sudah malam ketika aku terpanggil untuk ke mesin penjual makanan. Di luar jendela perpustakaan yang menghadap barat, matahari sudah menyusup ke balik cakrawala. Dan malam mengikuti dengan cepat. Kali ini aku tidak menggunakan lift, tetapi tangga. Rasanya aku perlu sedikit berolahraga. Karena terlalu lama duduk, kedua kakiku terasa seperti dininabobokan.
Aku memasukkan beberapa dolar ke mesin di lobi dan mendapatkan beberapa pretzel dan sekaleng jus cranberry. Kubawa semuanya kembali ke lantai tiga. Ketika aku sampai di lab media, Vee sedang duduk di kursiku. Sepatu hak tinggi warna kuning mengilatnya diangkat ke atas. Wajah Vee seperti orang yang puas sekaligus kesal. Dia mengangkat amplop kecil warna hitam, yang dijepit dengan dua jarinya.
Ini untukmu, katanya, melempar amplop itu ke meja. Juga yang ini. Vee mengeluarkan sebuah kantong kertas dari toko roti. Mungkin kau lapar.
Melihat ekspresi Vee yang kesal, aku mendapat firasat buruk tentang kartu yang dibawanya. Jadi, aku
249 mengambil kesempatan untuk mengalihkan perhatianku ke isi kantong. Cupcake!
Vee nyengir. Pegawai toko bilang, ini makanan organik. Meskipun aku tidak tahu bagaimana membuat cupcake organik, dan mengapa harganya lebih mahal, tapi ini untukmu.
Kau pahlawanku. Berapa lama lagi kau di sini" Paling lama tiga puluh menit.
Vee meletakkan kunci Neon di samping ranselku. Rixon dan aku akan makan bersama, jadi kau harus menyetir sendiri malam ini. Neon kuparkir di garasi bawah tanah. Lajur B. Tangki bensinnya tinggal seperempat, jadi jangan pergi ke mana-mana lagi.
Kuambil kunci, sambil berusaha mengabaikan desiran tidak menyenangkan dalam hatiku. Sesuatu yang segera kusadari sebagai rasa iri. Aku iri karena sekarang Vee pacaran dengan Rixon. Aku iri dengan rencana makan malamnya. Iri karena sekarang dia lebih dekat dengan Patch dibandingkan aku. Karena meskipun Vee tidak pernah bercerita, pastilah dia bertemu Patch jika dia bersama Rixon. Yang aku tahu, mereka bertiga pernah menonton film bersama-sama. Mereka bertiga mengobrol di sofa Rixon, sementara aku di rumah sendirian. Sebenarnya aku ingin sekali bertanya kepada
250 Vee tentang Patch. Tetapi buat apa" Aku sudah putus dengannya.
Tetapi kalau dipikir-pikir, apa salahnya bertanya sedikit"
Hei, Vee" Dia menoleh di pintu. Yeah"
Aku sudah membuka mulut, tapi rasanya gengsi. Vee memang sahabatku, tapi mulutnya besar. Kalau aku bertanya tentang Patch, mungkin dia akan membocorkannya. Dan Patch akan tahu kalau aku sulit melupakan dirinya.
Aku memaksa diri tersenyum. Terima kasih untuk cupcake-nya.
Sama-sama, Say. Setelah Vee pergi, aku membuka kertas yang membungkus salah satu cupcake dan makan sendirian diiringi dengungan pelan mesin di lab.
Aku mengerjakan PR setengah jam lagi, dan makan dua cupcake lagi sebelum akhirnya berani melirik amplop hitam yang tergeletak di ujung batas penglihatanku. Rasanya aku tidak bisa menghindarinya semalaman.
Setelah membuka perekatnya, aku mengeluarkan selembar kartu hitam bergambar hati kecil yang menonjol di bagian tengah. Kata maaf tertulis di seluruh bagian
251 kartu. Ada aroma manis-manis pahit. Kudekatkan kartu itu ke hidung dan kuhirup aromanya dalam-dalam, berusaha memastikan sumbernya. Aroma buah yang kelewat matang dan bumbu kimiawi menyengat sampai ke tenggorokan. Kubuka kartu itu.
Aku memang berengsek semalam. Maaf, ya"
Otomatis kusingkirkan kartu itu jauh-jauh. Patch. Meskipun tidak tahu bagaimana seharusnya menyikapi permintaan maaf itu, tapi aku tidak suka gejolak yang ditimbulkannya dalam hatiku. Ya, dia memang berengsek. Dan benarkah dia kira sehelai kartu dari toko obat bisa menghapusnya" Kalau ya, berarti dia meremehkan efek buruk yang ditimbulkannya. Dia telah mencium Marcie. Menciumnya! Tidak hanya itu. Dia juga menyusup ke dalam mimpiku. Aku tidak tahu bagaimana, tapi begitu aku bangun keesokan pagi, aku tahu dia datang. Ini lebih dari menakutkan. Kalau dia bisa melanggar privasi mimpiku, apa lagi yang bisa dia lakukan"
Sepuluh menit lagi tutup, bisik petugas perpustakaan di ambang pintu.
Aku mengirim esai tiga paragrafku tentang asam amino ke printer, kemudian mengambil buku-buku dan menjejalkannya ke dalam ransel. Kuambil kartu dari
252 Patch, ragu-ragu sebentar, kemudian kusobek-sobek dan kulempar ke dalam keranjang sampah. Kalau ingin meminta maaf, dia harus melakukannya secara langsung. Tidak melalui Vee, dan tidak melalui mimpiku.
Separuh jalan untuk mengambil esaiku di printer, aku merasa lemas hingga harus berpegangan di meja terdekat. Tubuh bagian kananku terasa lebih berat dibandingkan yang kiri, dan aku tidak bisa berjalan dengan seimbang. Kucoba melangkah lagi, tapi kaki kananku sangat lemas, seperti terbuat dari kertas. Aku berjongkok, mencengkeram meja dengan dua tangan, dan meletakkan kepala di antara siku agar darahku mengalir lagi ke otak. Rasa hangat dan memabukkan menjalar di seluruh pembuluh darah.
Aku berusaha menegakkan kaki dan berdiri dengan lemah, tetapi ada sesuatu yang aneh dengan dinding di sana. Sepertinya dinding itu luar biasa panjang dan sempit, seolah-olah aku melihatnya melalui cermin di arena permainan. Aku mengejapkan mata beberapa kali, mencoba memfokuskan pandangan.
Tulangku digelayuti besi, tidak bisa digerakkan. Dan kelopak mataku memejam terkena lampu neon yang benderang. Dengan panik aku memaksa mataku membuka, tetapi tubuhku tidak mau menerima perintah.
253 Aku merasa jari-jari hangat merengkuh pikiranku, mengancam akan menidurkannya.
Parfum itu, pikirku lemah. D i kartu dari Patch. Sekarang aku tergeletak. Bentuk kotak-kotak yang aneh berputar mengelilingiku. Pintu. Ruangan ini diisi barisan pintu terbuka. Tetapi semakin cepat aku menuju ke sana, semakin cepat pula pintu-pintu itu mundur. Di kejauhan aku mendengar bunyi tik-tok yang monoton. Aku menjauh dari bunyi, sadar bahwa jam ada di belakang ruangan, di seberang pintu.
Beberapa saat kemudian tangan dan kakiku tidak lagi bergerak. Sensasi merangkak itu tidak lebih dari ilusi dalam kepalaku. Karpet murahan dan sudah usang menjadi alas pipiku. Sekali lagi aku berjuang tetap terjaga, tetapi kemudian aku menyerah. Aku memejamkan mata. Semua lampu menyurut padam.
Aku terbangun di tengah kegelapan.
Hus Hus Buku 2 Crescendo Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Udara sejuk AC menggelitik kulitku, dengungan mesin berbisik di sekelilingku. Kedua tanganku di samping, tetapi ketika aku berusaha berdiri, titik-titik ungu dan hitam menari-nari di batas penglihatanku. Aku menelan gumpalan pekat di mulutku lalu merebahkan diri.
254 Ketika itulah aku ingat, aku masih di perpustakaan. Setidaknya aku yakin, di situlah aku berada. Aku tidak ingat untuk pergi. Tetapi, apa yang kulakukan di lantai" Aku berusaha mengingat bagaimana aku bisa seperti ini.
Kartu Patch. Aku menghirup parfum beraroma menyengat. Tak lama kemudian, aku tergeletak di lantai. Apakah aku dibius"
Apakah Patch membiusku"
Aku terbaring di sana, jantungku berdegup kencang, mataku mengedip-ngedip cepat. Aku berusaha bangkit lagi, tapi rasanya seseorang menginjak dadaku dengan sepatu bot bajanya. Dengan semangat kedua, aku memaksa diri duduk. Aku menyeret diriku ke posisi berdiri sambil berpegangan ke meja. Kepalaku serasa terserang vertigo, tetapi mataku menemukan tanda keluar berwarna hijau di atas pintu lab media. Terhuyung-huyung, aku berjalan ke sana.
Aku mendorong pegangan pintu. Pintu terbuka satu inci, kemudian macet. Aku hendak mendorong lebih kuat lagi, tetapi ada sesuatu di luar jendela yang menyita perhatianku. Aneh sekali. Seseorang mengikatkan ujung tambang ke pegangan pintu bagian luar dan ujung yang satunya lagi ke pegangan pintu di ruangan bawah.
Kugedor-gedor jendela. Halo" teriakku gugup. Halo"
255 Aku berusaha mendorong pintu lagi dengan seluruh tenaga yang tersisa. Tapi itu jelas tidak besar karena otot-ototku seolah telah meleleh seperti mentega cair begitu aku mengerahkannya. Ikatan tambang itu begitu kuat hingga aku hanya bisa membuka pintu lab selebar lima inci saja. Tidak cukup untuk menyusupkan badan.
Tolong! teriakku melalui celah pintu. Aku terjebak di lantai tiga!
Teriakanku dijawab dengan keheningan. Mataku telah beradaptasi dengan kegelapan. Aku melihat jam di dinding. Sebelas" Benarkah itu" Apakah aku tertidur lebih dari dua jam"
Aku mengeluarkan ponsel. Tak ada sinyal. Berkali-kali aku menghubungi Internet, tetapi yang muncul hanya informasi tidak ada jaringan.
Melihat ke sekeliling lab dengan panik, aku berusaha menemukan sesuatu yang bisa kugunakan untuk keluar dari tempat ini. Komputer, kursi beroda, lemari arsip& tidak ada yang berguna. Aku berjongkok di samping ventilasi di lantai dan berteriak, Tolong! Aku terperangkap di lab media! Aku menunggu sambil berharap-harap cemas. Mudah-mudahan saja masih ada pegawai perpustakaan yang menyelesaikan tugas mendadak. Tetapi sekarang satu jam menjelang tengah malam. Aku sadar, kemungkinan itu kecil sekali.
256 Di perpustakaan utama, peralatan berkelentang dan bergetar ketika lift di ujung ruangan bergerak naik dari lantai dasar. Kepalaku tersentak ke arah bunyi itu.
Dulu, ketika usiaku empat atau lima tahun, Ayah mengajakku ke taman. Di sana, aku diajarkan naik sepeda roda dua. Menjelang sore aku sudah bisa bersepeda dalam putaran kira-kira seperempat mil tanpa bantuan. Ayah memberi hadiah pelukan dan berkata sudah waktunya kami pulang untuk menunjukkan keahlianku kepada Ibu. Aku memohon diberi kesempatan melakukan dua putaran lagi, dan akhirnya dia membolehkan aku bersepeda satu putaran. Sekitar setengah putaran, aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Saat hendak menegakkan sepeda, aku melihat seekor anjing besar berbulu cokelat tidak jauh dariku. Dia menatapku. Pada saat itu, ketika kami saling berpandangan, aku mendengar sebuah suara berbisik. Jangan bergerak. Aku menahan napas dan diam di tempat, meskipun kakiku ingin berlari secepat mungkin ke Ayah.
Telinga anjing itu terangkat dan dia mulai melompat dengan agresif ke arahku. Badanku gemetar saking takutnya, tapi aku tetap berdiri. Semakin dekat anjing itu, semakin besar keinginanku untuk lari. Tapi aku tahu, begitu aku bergerak, naluri hewani anjing itu akan memerintahkannya mengejarku. Sedikit lagi ke arahku,
257 anjing itu kehilangan minat melihat tubuhku yang mematung. Kemudian dia mengubah arah. Kutanyakan kepada Ayah, apakah dia juga mendengar suara yang menyuruhku diam di tempat. Ayah bilang, itu adalah naluri. Kalau aku mendengarkannya, kemungkinan besar aku akan mengambil tindakan terbaik. Sekarang naluriku bicara. Keluar.
Aku mengangkat monitor dari meja terdekat dan me-lemparnya ke jendela. Kaca pun pecah berkepingkeping, menyisakan lubang di bagian tengah. Kuambil mesin pencatat waktu kerja dari meja di samping pintu, dan kupakai untuk menghancurkan sisa kaca. Kemudian aku menarik kursi, menaikinya, berdiri di bingkai jendela, dan melompat ke lorong perpustakaan.
Lift bergetar dan naik semakin tinggi, melewati lantai kedua.
Aku berlari melewati lorong dengan mengayunkan kedua tangan agar lebih cepat. Aku harus sampai di tangga sebelum lift bergerak semakin tinggi, dan orang di dalamnya melihatku. Aku mendorong pintu ke tangga, lalu menutupnya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi. Meskipun dengan begitu, aku membuang waktu beberapa detik. Di ujung pintu, lift berhenti. Pintunya membuka dan seseorang keluar. Kugunakan pegangan tangga agar bisa bergerak lebih cepat sambil tetap
258 berusaha menapaki anak tangga tanpa suara. Belum lagi sampai di lantai kedua, pintu tangga di atasku dibuka. Aku menghentikan langkah, tidak ingin siapa pun di atas sana mengetahui lokasiku berada.
N ora" Tanganku terpeleset di pegangan tangga. Itu suara ayahku.
N ora" Kau di sana"
Aku menelan ludah, ingin sekali memanggil namanya. Kemudian aku teringat kejadian di rumah tua.
Jangan bersembunyi lagi. Biar aku menolongmu. Percayalah kepadaku. Keluarlah agar aku bisa melihatmu.
Nada bicaranya aneh dan mendesak. Di rumah tua, suara Ayah lembut dan pelan saat pertama berbicara kepadaku. Suara itu pula yang memberitahukan, kami tidak sendirian dan aku harus pergi. Ketika dia bicara lagi, suaranya berbeda. Mendesak dan menipu. Bagaimana seandainya ayahkulah yang berusaha mengontakku" Bagaimana seandainya ada yang menyingkirkannya, dan suara kedua yang aneh itu adalah seseorang yang berpura-pura menjadi ayahku" Aku terperangah dengan kemungkinan seseorang meniru ayahku untuk membujukku mendekatinya.
259 Langkah-langkah berat menuruni tangga dalam waktu sekejap, membuatku tersentak di tengah-tengah spekulasiku. Dia mengejarku.
Cepat-cepat aku turun, tak lagi berusaha tidak menimbulkan bunyi. Lebih cepat lagi! Teriakku kepada diriku sendiri. Lari cepat!
Dia mendekati lantai dasar, nyaris tak lebih dari satu lompatan lagi. Begitu sepatuku menyentuh lantai dasar, aku mendorong pintu, menyeberangi lobi, berlari ke pintu depan, dan menyatu dengan malam.
Cuaca hangat dan situasi begitu sepi. Aku berlari menuju tangga semen yang mengarah ke jalanan. Tetapi rencanaku berubah. Aku menggapai tambatan di sebelah kiri atas pintu, lalu melompat sekitar sepuluh kaki ke lapangan rumput kecil. Di atasku, pintu perpustakaan dibuka. Aku merapatkan punggung ke dinding semen, kakiku berada di antara sampah dan semak belukar.
Begitu terdengar suara sepatu menuruni tangga semen, aku berlari sekencang-kencangnya. Perpustakaan ini tidak memiliki lapangan parkir sendiri, tetapi tersambung ke garasi bawah tanah rumah pengadilan. Aku berlari ke lapangan parkir itu, menyusup di bawah tembok, dan mencari Neon. Di mana Vee memarkir mobilnya"
Lajur B& . 260 Aku berlari melewati satu gang dan melihat bagian belakang Neon yang tampak tidak pada tempatnya. Kumasukkan kunci, duduk di belakang kemudi, dan menghidupkan mesin. Aku baru saja melewati gerbang ke luar ketika sebuah SUV hitam melaju melewati belokan, sang pengemudi memacu mesin, bergerak lurus ke arahku.
Kupacu Neon ke gigi dua dan kuinjak gas, melaju melewati SUV, persis sebelum mobil itu memblokir jalur keluar dan memerangkap aku di dalam garasi ini.
Pikiranku terlalu kacau untuk bisa memikirkan dengan jernih, ke mana tujuanku. Kubawa Neon dua blok lagi, tidak mengindahkan lampu merah, terus melaju ke Walnut. SUV bergerak ke arah yang sama di belakangku. Kecepatan melonjak ke angka empat puluh lima, dan jalanan berubah menjadi dua jalur. Kupaksa Neon mencapai lima puluh, pandanganku berpindahpindah dari jalan ke kaca spion.
Tanpa memberi sinyal, aku membelokkan kemudi dengan tajam ke samping jalan. SUV berbelok cepat di belakangku. Aku mengambil dua belokan lagi ke kanan, memutari blok, dan kembali ke Walnut. Neon menukik tajam di depan sebuah kontainer putih dua pintu, yang kujadikan penghalang dari SUV. Lampu lalu lintas berganti kuning, dan aku melaju ke persimpangan saat
261 lampu merah menyala. Dengan mata tertuju ke kaca spion, aku melihat kontainer itu berhenti di depan lampu merah. Dan SUV terpaksa mengerem dan berhenti di belakangnya.
Aku menghela napas lega. Pembuluh nadi di tanganku berdenyut kencang, dan telapak tanganku mencengkeram kemudi kuat-kuat. Aku menanjak ke bukit Walnut. Tapi begitu berada di sisi belakang, aku menyeberang dan berbelok ke kiri. Neon berguncang-guncang saat melewati rel kereta api, kemudian menembus lingkungan rumah bata satu lantai yang gelap dan terabaikan. Aku tahu lokasiku, Slaughterville Kota Jagal. Julukan ini diberikan tiga dasawarsa lalu ketika tiga remaja baku-tembak di taman kota.
Aku mengurangi kecepatan saat sebuah rumah di ujung sana menyita perhatianku. Di belakangnya ada sebuah garasi terpisah yang kosong dan terbuka. Tidak ada lampu. Aku membelokkan Neon ke halaman dan masuk ke garasi. Setelah tiga kali memastikan pintu sudah terkunci, kumatikan lampu sen. Dengan perasaan takut, aku menunggu SUV tadi melintas di jalanan ini. Aku mengeluarkan ponsel dari tas.
Hei, jawab Vee. Siapa lagi yang menyentuh kartu dari Patch" desakku, seperti orang mencerocos.
262 Hah" Apakah kau menerimanya langsung dari Patch" Atau dari Rixon" Siapa lagi yang menyentuhnya" Memangnya kenapa"
Rasanya aku dibius. Diam.
Kaupikir kartu itu mengandung obat bius" ulang Vee dengan perasaan sangsi.
Kartunya disemprot parfum, jelasku tidak sabaran. Katakan siapa yang memberikannya kepadamu. Bagaimana kau mendapatkannya"
Dalam perjalanan ke perpustakaan untuk mengantarkan cupcake, Rixon menelepon dan menanyakan lokasiku, kata Vee perlahan, sambil mengingat-ingat. Kami bertemu di perpustakaan, dan Patch ikut dalam truk Rixon. Dia memberikan kartu itu dan memintaku menyerahkannya kepadamu. Aku mengambil kartu, cupcake, juga kunci Neon, lalu membawa semuanya ke dalam perpustakaan untuk kuserahkan kepadamu. Setelah itu, aku kembali menemui Rixon.
Tidak ada orang lain yang menyentuh kartu itu" Tidak ada.
Tidak sampai setengah jam setelah aku mengendus kartu itu, aku pingsan di lantai perpustakaan. Aku baru siuman dua jam kemudian.
263 Vee tidak langsung menjawab. Dan aku nyaris mendengar otaknya berusaha mencerna penjelasanku. Akhirnya dia berkata, Kauyakin itu bukan karena tubuhmu lelah" Kau cukup lama di perpustakaan. Aku sendiri tidak bisa mengerjakan PR selama itu tanpa tidur.
Ketika aku bangun, desakku, ada seseorang di perpustakaan. Kurasa dialah yang membiusku. Dia memburuku. Aku keluar, tapi dia membuntuti aku ke Walnut.
Vee diam lagi karena kebingungan. Meskipun aku tidak suka Patch, rasanya dia bukan pelaku pembiusan. Dia memang berengsek, tapi dia punya batasan. Jadi siapa" Suaraku agak bergetar.
Aku tidak tahu. Kau di mana sekarang" Slaughterville.
Apa" Cepat pergi sebelum kau dirampok! Ke rumahku saja. Menginap di sini. Kita pikirkan kejadian ini bersama-sama. Tapi kata-kata itu terasa seperti penghiburan yang kosong. Vee sama bingungnya denganku.
Aku tetap bersembunyi di garasi itu sekitar dua puluh menit. Setelah merasa cukup berani, aku membawa Neon kembali ke jalan. Sarafku tegang, pikiranku
264 berputar-putar. Aku tidak akan kembali ke Walnut karena bisa jadi SUV itu sedang menyusuri jalan-jalan di sana, menunggu untuk membuntutiku lagi. Sambil tetap di pinggir jalan, aku tidak mengacuhkan batas kecepatan. Aku mengebut ke rumah Vee.
Tidak jauh dari rumah Vee, aku melihat cahaya biru dan merah melalui kaca spion.
Setelah menghentikan Neon di pinggir jalan, aku menundukkan kepala ke kemudi. Aku tahu, aku mengebut. Dan aku merasa jengkel kepada diriku sendiri karena melakukannya. Tetapi kenapa aku tertangkap pada saat seperti ini"
Tidak lama kemudian, jari-jari mengetuk jendela. Aku memencet tombol untuk menurunkannya.
Wah, wah, kata Detektif Basso. Sudah lama tidak bertemu.
Kenapa polisi yang ini lagi" pikirku.
Dia mengibarkan kartu tilang. SIM dan STNK, kautahu peraturannya.
Sadar tidak ada gunanya berkilah, aku tidak repotrepot memohon. Ternyata pekerjaan detektif termasuk menilang orang yang mengebut.
Dia tersenyum setipis silet. Di mana kebakarannya" Bisakah aku mendapat kartu tilang dan segera pulang"
265 Ada alkohol di dalam mobil"
Silakan periksa, kataku, merentangkan tangan. Dia membukakan pintu untukku. Keluar. Kenapa" Keluar! dia menunjuk ke garis putih yang membagi jalan ikuti garis itu.
Kaupikir aku mabuk" Kupikir kau gila, tapi aku akan memeriksa kewarasanmu mumpung kau di sini.
Aku keluar dan membanting pintu. Seberapa jauh" Sampai kuperintahkan berhenti.
Aku berkonsentrasi untuk melangkah mengikuti garis. Tetapi setiap kali menunduk, penglihatanku kabur. Aku masih bisa merasakan efek obat itu mengacaukan koordinasiku. Semakin aku berusaha berkonsentrasi untuk berjalan di garis, semakin aku merasa terseret keluar dari jalan. Tidak bisakah kau memberiku kartu tilang, lalu membiarkan aku pergi" Nada suaraku bandel, tapi di dalam hatiku terasa dingin. Kalau aku tidak bisa berjalan lurus, Detektif Basso akan melemparku ke penjara. Perasaanku sudah terguncang, dan rasanya aku tidak sanggup jika harus bermalam di balik jeruji. Bagaimana kalau orang itu mengejarku lagi"
266 Banyak polisi di kota kecil yang akan membiarkanmu pergi begitu saja. Sebagian bahkan bisa disuap. Tapi aku bukan salah satu di antara mereka.
Apakah ada artinya kalau kubilang aku dibius" Dia tertawa sinis. Dibius.
Mantan pacarku memberikan kartu yang sudah disemprot parfum. Aku membuka kartu itu, dan berikutnya aku pingsan.
Karena Detektif Basso tidak menginterupsi, aku melanjutkan. Aku tertidur lebih dari dua jam. Ketika aku terbangun, perpustakaan sudah ditutup. Aku terkunci di dalam lab media. Seseorang telah mengikat tombol pintu& . Aku berhenti, menutup mulut.
Dia memberi isyarat agar aku melanjutkan. Teruskan. Jangan biarkan ceritamu menggantung.
Aku terlambat menyadari bahwa ceritaku itu menjebloskan diriku sendiri. Aku mengaku berada di lab media malam ini. Besok pagi, ketika perpustakaan dibuka, mereka akan melaporkan pecahnya jendela kepada polisi. Dan aku tahu persis, siapa orang pertama yang akan dicari Detektif Basso.
Kau di lab media, tegasnya. Lalu apa" Sudah terlambat untuk mundur. Aku harus menyelesaikan ceritaku dan berharap keberuntungan berpihak kepadaku. Mungkin Detektif Basso akan
267 percaya semua ini bukan salahku. Seseorang mengikat pintu lab media. Aku terpaksa memecahkan kaca jendela dengan komputer agar bisa keluar.
Dia mengangkat kepala dan tertawa. Ada julukan yang tepat untuk gadis seperti dirimu, Nora Grey. Pembuat keonaran. Kau seperti lalat yang tidak bisa diusir. Detektif Basso berjalan ke mobil patrolinya dan mengeluarkan radio dari pintu pengemudi yang terbuka. Sambil menekan tombol radio, dia berkata, Aku minta seseorang datang ke perpustakaan dan memeriksa lab media. Kabari aku jika menemukan sesuatu.
Dia bersandar ke mobil, matanya menatap arloji. Berapa lama kira-kira mereka kembali ke sini" Aku sudah mendapat pengakuanmu, Nora. Aku bisa menahanmu karena telah masuk tanpa izin dan melakukan vandalisme.
Dengan kata lain, aku tidak dikurung dalam perpustakaan di luar keinginanku" Suaraku gugup.
Jika seseorang membiusmu dan mengurungmu dalam lab, mengapa kau di sini, mengebut di Hickory dengan kecepatan lima puluh lima mil per jam"
Aku tidak pergi begitu saja. Aku kabur sementara lelaki itu naik lift untuk menangkapku.
Lelaki" Kau melihatnya" Bagaimana ciri-cirinya"
268 Aku tidak melihatnya, tapi dia lelaki. Langkah kakinya berat saat menuruni anak tangga untuk mengejarku. Terlalu berat untuk seorang perempuan. Kau terbata-bata. Biasanya itu berarti kau bohong. Aku tidak bohong. Aku dikurung di dalam lab, dan seseorang naik lift untuk menangkapku. Tentu saja.
Siapa lagi yang tinggal di perpustakaan selarut itu" kataku ketus.
Petugas kebersihan" katanya enteng.
Pakaiannya tidak seperti petugas kebersihan. Ketika aku menengadah di tangga, aku melihat celana panjang dan sepatu tenis warna gelap.
Jadi, apabila aku menyeretmu ke pengadilan, kau akan mengatakan kepada hakim bahwa kau pakar busana petugas kebersihan"
Lelaki itu membuntutiku keluar perpustakaan, masuk ke dalam mobilnya, dan mengejarku. Petugas kebersihan tidak akan bertindak begitu.
Radio berbunyi, dan Detektif Basso menjauh untuk menerima pesan.
Perintah sudah dilaksanakan, suara seseorang berkeresak di radio. Tidak ada apa-apa.
Detektif Basso melayangkan tatapan curiga ke arahku. Tidak ada apa-apa" Kauyakin"
269 Kuulangi, tidak ada apa-apa.
Tidak ada apa-apa" Alih-alih lega, aku malah panik. Aku telah memecahkan kaca jendela. Sungguh. Itu bukan khayalan. Bukan khayalan.
Tenang! Perintahku kepada diri sendiri. Yang seperti ini sudah pernah terjadi. Bukan sesuatu yang baru. Dulu, yang seperti ini selalu hasil permainan pikiran. Ada seseorang yang bekerja di belakang layar, berusaha menipu pikiranku. Apakah peristiwa ini terulang lagi" Tapi& mengapa" Aku harus memikirkannya dengan serius. Kugelengkan kepala, berharap dengan begitu akan mendapatkan jawaban.
Detektif Basso menyobek kartu dan menamparkannya ke tanganku.
Mataku tertuju ke angka di bagian bawah. Dua ratus dua puluh sembilan dolar"
Kau mengemudi dengan kecepatan lebih dari tiga puluh dan membawa mobil yang bukan milikmu. Lunasi denda ini, atau aku akan bertemu denganmu di pengadilan.
Aku aku tidak punya uang sebanyak ini. Cari kerja. Mungkin dengan begitu kau tidak akan mendapat masalah lagi.
Jangan lakukan ini kepadaku, kataku mengiba.
270 Detektif Basso menatapku. Dua bulan lalu seorang remaja tanpa KTP, tanpa keluarga, dan tanpa masa lalu yang bisa dilacak, ditemukan meninggal dunia akibat terluka di gimnasium SMA.
Kematian Jules diputus sebagai tindakan bunuh diri, kataku otomatis. Tapi setetes keringat meluncur di belakang leherku. Apa hubungannya dengan kartu tilang"
Pada malam itu juga psikolog SMA membakar rumahmu, kemudian menghilang. Ada kaitan antara dua insiden luar biasa ini. Mata cokelat tuanya menatapku lekat-lekat. Kau.
Apa maksudmu" Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi malam itu, dan aku bisa mencabut kartu tilangmu.
Aku tidak tahu, kataku berbohong, karena tidak ada jalan lain. Mengatakan yang sebenarnya akan berakibat lebih buruk daripada harus membayar denda. Aku tidak mungkin bercerita tentang malaikat terbuang dan Nephilim kepada Detektif Basso. Dia tidak akan percaya seandainya aku mengklaim Dabria sebagai malaikat kematian. Atau Jules adalah keturunan malaikat terbuang.
271 Pilihan ada di tanganmu, kata Detektif Basso, menggoyangkan kartu namanya sebelum masuk ke dalam mobil. Kalau berubah pikiran, hubungi aku.
Aku membaca tulisan di kartu setelah dia pergi. DETEKTIF BASSO. 207-555-3333.
Kartu tilang itu terasa berat di tanganku. Berat, dan panas. Dari mana aku mendapatkan uang dua ratus dolar" Aku tidak bisa meminjam dari Ibu. Mencukupi kebutuhan sehari-hari saja dia sudah kewalahan. Patch punya uang. Tapi aku sudah menyatakan bisa mengurus diriku sendiri. Aku sudah menyuruhnya keluar dari kehidupanku. Bagaimana pandangannya kalau aku mencarinya saat tertimpa masalah. Ini sama saja pengakuan bahwa selama ini dia benar.
Juga pengakuan bahwa aku membutuhkan dirinya.
***** 272 S ElaSa SETElah JaM SEkolah, akU kElUaR UnTUk
bertemu Vee. Dia bolos supaya bisa pergi bersama Rixon, tapi sudah berjanji akan mampir ke sekolah untuk mengantarku pulang. Saat aku berjalan keluar, ponselku berdering. Aku membuka SMS, bersamaan dengan itu Vee memanggilku dari jalan. Yo, Babe! Di sini!
Aku menghampirinya ke pinggir jalan dan melipat tangan di depan jendela mobilnya yang terbuka. Well" Apakah tindakanmu sepadan"
273 Maksudmu bolos" Ya, iyalah. Rixon dan aku bermain Xbox di tempatnya. Halo Two. Dia menjulurkan tangan dan membukakan pintu untukku.
Kedengarannya romantis, kataku sambil masuk. Jangan menghina. Coba dulu. Kekerasan membuat cowok-cowok bersemangat.
Bersemangat" Ada sesuatu yang harus kuketahui" Vee menebar senyum cemerlang seperti lampu seratus watt. Kami ciuman. Waaah, romantis sekali. Awalnya pelan dan lembut, kemudian Rixon menjadi menggebu-gebu
Oke! potongku tegas. Apakah aku setolol ini ketika masih bersama Patch dan Vee tidak punya pacar" Mudah-mudahan tidak. Mau ke mana sekarang"
Vee menjalankan Neon. Bosan belajar. Aku perlu sedikit kesenangan dalam kehidupanku. Dan itu tidak mungkin kudapatkan jika hidungku menempel di buku. Apa idemu"
Old Orchard Beach. Aku sedang ingin mandi matahari dan pasir. Plus membuat kulitku kecokelatan.
Old Orchard Beach sepertinya asyik. Pantai ini punya semenanjung yang menjorok ke laut, taman rekreasi di pantai, juga pertunjukan kembang api dan tarian setelah malam. Sayangnya, semua itu harus menunggu.
274 Aku menggoyang-goyangkan ponsel. Kita sudah punya rencana malam ini.
Vee menggeser tubuhnya ke samping untuk membaca SMS. Lalu dia nyengir. Kau memasang alarm untuk mengingatkanmu pergi ke pesta Marcie" Serius" Aku tidak tahu dia sahabatmu yang baru.
Dia bilang, kalau aku tidak datang berarti aku menyabotase kehidupan sosialku sendiri.
Dia itu sinting. Tidak datang ke pestanya justru cara paling ampuh untuk membuat hidupku sempurna.
Sebaiknya pikirkan kembali sikapmu. Karena aku akan pergi dan kau ikut denganku.
Vee menyandarkan punggung. Tangannya kaku di kemudi. Apa sih tujuannya" Kenapa dia mengundangmu" Dia partner kimiaku.
Sepertinya kau begitu cepat memaafkan orang yang membuat matamu biru.
Sebagai partner kimianya, aku punya kewajiban untuk datang, setidaknya satu jam saja, kataku menambahkan.
Jadi, menurutmu kita harus memaksa diri ke pesta Marcie karena kau duduk di sampingnya setiap pagi dalam kelas kimia" Vee menatapku seperti orang bijak.
Aku tahu alasanku payah, tapi tidak sepayah yang sebenarnya. Aku harus tahu pasti, apakah
275 Patch benar-benar telah melangkah lebih jauh dengan Marcie. Ketika aku menyentuh goresan lukanya dan terserap ke dalam memorinya, Patch sepertinya menolak Marcie. Bahkan sebelum mereka ciuman, sepertinya dia tegas dengan Marcie. Aku belum berani memutuskan bagaimana perasaannya terhadap cewek itu. Tapi kalau dia melangkah lebih jauh, akan lebih mudah bagiku melakukan hal serupa. Hubungan yang sudah jelas di antara mereka akan memudahkan aku untuk membencinya. Dan aku ingin membenci Patch. Demi kepentingan kami berdua.
Aroma napasmu seperti pembohong. Dan pembohong akan masuk neraka, kata Vee. Ini bukan tentang dirimu dan Marcie. Tetapi tentang Patch dan Marcie. Kau ingin tahu ada apa di antara mereka.
Aku mengibaskan tangan di udara. Oke! Apa itu salah"
Astaga, katanya, menggeleng-gelengkan kepala, kau senang menyiksa diri, ya"
Kita bisa memeriksa kamar Marcie. Mungkin ada sesuatu yang menjadi bukti kebersamaan mereka. Misalnya alat kontrasepsi"
Mendadak perutku mual. Aku tidak berpikir sejauh itu. Tetapi, apakah mereka tidur bersama" Tidak.
276 Aku tidak percaya. Patch tidak akan melakukan itu terhadapku. Tidak dengan Marcie.
Aku tahu! seru Vee. Kita bisa curi buku hariannya!
Buku yang selalu dibawa-bawa sejak dia kelas satu"
Buku yang menurutnya membuat N ational Enquirer membosankan, kata Vee, dengan suara ceria. Kalau ada sesuatu antara dia dan Patch, pasti tercatat dalam buku hariannya.
Bagaimana, ya& . Oh, ayolah. Kita kembalikan setelah selesai. Tidak akan ada bahaya.
Bagaimana caranya" Melempar buku itu ke beranda rumahnya lalu kita lari" Kita akan dibunuh kalau ketahuan.
Boleh juga. Lempar saja ke beranda rumahnya, atau kita ambil buku itu saat pesta, lalu kita baca, dan kita kembalikan sebelum pulang.
Rasanya tidak benar. Kita tidak akan menceritakan isi buku itu kepada siapa pun. Itu akan menjadi rahasia kita. Tidak salah kalau tidak ada yang tersakiti.
Aku tidak terbujuk untuk mencuri buku harian Marcie. Tapi sepertinya Vee tidak akan menyerah.
277 Yang paling utama adalah membuatnya ikut ke pesta denganku. Rasanya aku tidak berani datang sendirian. Terutama karena aku tidak bisa berharap bertemu satu teman pun di sana. Jadi aku berkata, Kalau begitu, jemput aku malam ini"
Pasti. Hei, bisakah kita membakar kamarnya sebelum kita pulang"
Tidak. Dia tidak boleh tahu kalau kita menyusup. Yeah, tapi cara halus bukan gayaku.
Aku menoleh, alis mataku terangkat. Serius"
Waktu menunjukkan jam sembilan lebih beberapa menit ketika Vee dan aku berkendara ke bukit, menuju lingkungan rumah Marcie. Peta sosioekonomis Coldwater bisa ditentukan dengan tes sederhana. Jatuhkan sebutir kelereng di jalan mana pun. Jika kelereng menggelinding ke lembah bukit, berarti kau golongan kelas atas. Jika kelereng tidak menggelinding sama sekali, berarti kau kelas menengah. Dan jika kelereng itu menghilang di tengah kabut, kau harus menunggu sampai kabut itu menyingkir, dan itu berarti& kau berada di lingkunganku. Daerah pinggiran.
Vee membawa Neon mendaki bukit. Lingkungan Marcie cukup tua, dengan pohon-pohon tinggi yang menggantung di atas jalan, menghalangi cahaya bulan.
278 Rumah-rumah di sini memiliki pekarangan yang ditata secara profesional dan dilengkapi tanah separuh lingkaran untuk jalur masuk kendaraan. Arsitekturnya bergaya kolonial Georgian. Semua rumah dicat putih dengan pinggiran hitam. Vee telah menurunkan kaca jendela. Dan dari kejauhan, kami mendengar dentuman musik hip-hop.
Di mana alamatnya" tanya Vee, menyipit ke kaca depan. Rumah-rumah di sini sangat jauh dari jalan, aku tidak bisa membaca nomornya.
Brenchley Street dua puluh dua.
Di persimpangan, Vee mengambil belokan ke Brenchley. Suara musik semakin keras saat kami menyusuri blok ini. Sepertinya kami tidak salah jalan. Mobil-mobil diparkir dengan bumper nyaris bersentuhan di kedua sisi jalan. Saat kami melewati sebuah rumah kereta yang telah didesain ulang dengan elegan, suara musik mencapai ketinggian maksimal, membuat mobil bergetar. Kelompok-kelompok orang berdiri di halaman, bergerak masuk ke dalam rumah. Rumah Marcie. Meski baru sepintas melihatnya, aku tidak bisa menepis keherananku. Mengapa Marcie mengutil" Merasa tertantang" Atau untuk melepaskan diri dari citra kedua orangtuanya yang ditata dengan begitu hati-hati dan sempurna"
279 Aku tidak lama-lama memikirkannya. Perutku terasa melilit. Jip Commander hitam milik Patch diparkir di jalan masuk. Sepertinya dia termasuk orang pertama yang datang. Boleh jadi dia sudah berjam-jam berduaan dengan Marcie, sebelum pesta dimulai. Entah apa yang mereka lakukan. Aku tidak mau tahu. Kuhela napas dalam-dalam dan berkata kepada diriku sendiri, aku siap menghadapi segalanya. Dan bukankah ini adalah bukti yang kucari-cari"
Pedang Kayu Harum 23 Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati Your Eyes 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama