Ceritasilat Novel Online

Hus Hus 2

Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick Bagian 2


Aku cuma ingin berduaan denganmu, kata Patch. Tiba-tiba saja benteng pertahananku tegak kembali.
Dengar, ya, bukannya aku ingin bersikap kasar, tapi
Memang kau kasar. Well, itu karena kau yang memulai! Manis sekali. Sangat dewasa. Aku tak bisa datang ke pesta itu. Titik.
Karena kau tak boleh pergi malam-malam di luar liburan, atau karena kau takut berduaan denganku"
Dua-duanya. Pengakuan itu meluncur begitu saja.
Kau takut dengan semua cowok& atau cuma aku saja"
Aku memutar bola mata seolah ingin mengatakan aku tak mau menjawab pertanyaan bodoh seperti itu.
Aku membuatmu merasa tak nyaman" Garis bibirnya netral, tapi aku bisa merasakan senyuman yang disembunyikannya.
Ya, sebenarnya dia membuatku tak nyaman. Dia juga punya kecenderungan menghapus semua pikiran logis dari benakku.
M a a f , k at a k u . Apa ya ng s e d a ng k it a bicarakan"
Kau. Aku" Kehidupan pribadimu. Aku tertawa, tak yakin harus bereaksi bagaimana. Kalau ini tentang diriku& dengan lawan jenis& Vee sudah memberi khotbah tentang hal ini. Aku tak sudi mendengarkannya dua kali.
Apa kata Vee yang bijak itu"
Aku memain-mainkan tangan, lalu menurunkannya. Aku tak tahu, kenapa kau sangat tertarik.
Patch menggeleng-gelengkan kepalanya dengan halus. Tertarik" Ini tentang dirimu. Aku terpersona. Dia tersenyum. Senyuman yang fantastis. Akibatnya jantung jadi berdebar-debar jantungku.
Kurasa kau harus kembali bekerja, kataku. Apa pun alasannya, aku senang dengan gagasan bahwa tak satu pun cowok di sekolah yang sesuai dengan ekspektasimu.
Aku lupa kalau kau yang menentukan ekspektasiku, aku menggertak.
Dia mengawasiku dengan cara yang membuatku merasa transparan. Kau tidak tertutup, Nora. Juga tidak pemalu. Kau cuma butuh satu alasan kuat untuk keluar dari kebiasaanmu untuk bisa mengenal seseorang. Aku tak mau membicarakan diriku lagi. Pikirmu kau sudah mengenal semua orang. Tidak benar, kataku. Well, contohnya aku tidak tahu banyak tentang& dirimu.
Kau tidak siap untuk mengenal diriku. Caranya mengucapkan kalimat itu tak bisa dibilang santai. Bahkan bisa dibilang ekspresinya setajam silet. Aku melihat file sekolahmu.
Kata-kata itu menggantung di udara sejenak, sebelum mata Patch beradu dengan mataku. Aku yakin perbuatan itu dilarang, katanya tenang.
File-mu kosong. Nol. Catatan imunisasi pun tak ada.
Dia bahkan tak berusaha terlihat kaget. Dia memundurkan badannya ke sandaran kursi, matanya berkilau seperti batu obsidian. Dan kau memberitahu aku karena kau takut aku pernah melanggar hukum" Atau pernah campak dan gondongan"
Aku memberitahumu karena aku ingin kau tahu kalau aku tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan
dirimu. Kau tidak bisa membohongi semua orang. Aku akan membongkar rencanamu. Aku akan menelanjangi dirimu.
Kutunggu. Wajahku memerah, terlambat menyadari kalau ucapanku mengundang olok-olok. Di atas kepala Patch, aku melihat Vee melambaikan tangan. Dia berjalan menuju kami.
Vee datang. Kau harus pergi, kataku. Patch tak bergerak, matanya tetap menatapku, menimbang-nimbang.
Kenapa kau meli hat ku seper ti it u" a ku menantang.
Dia memajukan badan, siap untuk berdiri. Karena kau tak seperti yang kukira.
Begitu juga kau, balasku. Kau lebih buruk.
B esok paginya akU kageT MeliHaT ellioT
mengikut kelas olahraga begitu bunyi bel yang malas terdengar. Dia mengenakan celana basket selutut dan kaus Nike putih. Atasannya tampak baru dan mahal. Setelah menyerahkan selembar kertas ke Miss Sully, matanya tertuju ke arahku. Dia melambai pelan dan bergabung denganku di bangku arena olahraga.
Aku sedang bertanya-tanya, kapan kita bertemu lagi, katanya. Kantor kepala sekolah baru tahu kalau aku tak mengikuti mata pelajaran olahraga selama dua tahun terakhir. Di sekolah swasta, itu tidak diwajibkan. Mereka berdebat bagaimana menyesuaikan ketinggalan
empat tahun itu ke dalam mata pelajaran olahraga selama dua tahun ke depan. Jadi di sinilah aku. Mengikuti mata pelajaran olahraga pada jam pertama dan keempat.
Aku tak tahu kenapa kau dipindahkan ke sini, kataku.
Beasiswaku dicabut dan orangtuaku tak mampu membayar biaya sekolah.
Miss Sully meniup peluit.
Sepertinya bunyi peluit itu mengisyaratkan sesuatu, kata Elliot kepadaku.
Lari sepuluh putaran mengelilingi gimnasium. Tak boleh memotong jalan. Aku beranjak dari bangku. Apakah kau seorang atlet"
Elliot melompat, memainkan kedua kakinya. Dia menyarangkan beberapa tinju ke udara. Selesai dengan uppercut yang melayang sedikit di bawah daguku, dia nyengir dan berkata, Atlet" Seratus persen.
Kalau begitu kau pasti suka dengan ide Miss Sully.
Elliot dan aku lari sepuluh putaran bersama-sama. Kemudian kami menuju luar ruangan, tempat udara berselaput kabut. Kabut itu sepertinya menyumbat paruparuku, membuatku tersedak. Langit mengucurkan beberapa tetes hujan, seolah berusaha keras menahan badai yang akan menerjang kota Coldwater. Aku
mengawasi pintu-pintu gedung, tapi sadar tak akan ada gunanya. Miss Sully tak ada matinya.
Aku butuh dua kapten untuk pertandingan softball, teriaknya. Ayo, bersemangatlah. Mana acungan tangannya! Lebih baik mengajukan diri, atau aku yang akan menentukan tim, dan aku tak selalu bertindak adil.
Elliot mengangkat tangan.
Baiklah, kata Miss Sully. Maju ke home plate 1 . Dan bagaimana kalau& Marcie Millar menjadi kapten tim merah.
M at a M a rcie menat ap E l l iot bu lat-bu lat. Mainkan.
Elliot, silakan pilih anggota pertama timmu, kata Miss Sully.
Sambil menekankan jari ke pipi, membentuk huruf V, Elliot mengedarkan pandangan ke temanteman sekelasnya. Sepertinya dia sedang mengukur keterampilan kami dalam memukul bola dan berlari. Nora, katanya.
Marcie mendongakkan kepala dan tertawa. Terima kasih, katanya kepada Elliot sembari menebar senyum beracun yang, atas alasan yang tak kumengerti, memesona lawan jenis.
Untuk apa" tanya Elliot. 1 Base atau marka pertama.
Untuk menyerahkan kemenangan kepada kami. Marcie menudingkan jarinya kepadaku. Ada seratus alasan kenapa aku menjadi pemandu sorak dan Nora tidak. Koordinasi, itu alasan pertamanya.
Aku menyipitkan mata ke Marcie, kemudian bergerak ke samping Elliot dan menyusupkan sweter biru melalui kepalaku.
Nora dan aku berteman, kata Elliot kepada Marcie dengan kalem, nyaris terkesan cool. Ucapan itu berlebihan, tapi aku tak mau mengoreksinya. Marcie terlihat seperti orang yang kepalanya disiram seember air es, dan aku menikmatinya.
Itu karena kau belum pernah bertemu orang yang lebih baik. Seperti aku. Marcie memuntir-muntir rambutnya dengan jari. Marcie Millar. Sebentar lagi kau akan mendengar berita tentang aku. Entah matanya kelilipan, atau dia mengedipkan mata kepada Elliot.
Elliot tak menanggapi sama sekali. Dan rasa sukaku kepadanya bertambah beberapa poin. Cowok rendahan pasti akan berlutut dan memohon kepada Marcie untuk mendapatkan perhatiannya.
Apa kita akan berdiri seharian di sini menunggu hujan, atau segera bermain" tanya Miss Sully.
Setelah membagi tim, Elliot memimpin anggota tim ke kubu kami dan menyampaikan strategi
bertanding. Setelah menyodorkan tongkat pemukul, dia membenamkan kepalaku dalam helm. Kau duluan, Grey. Yang kita butuhkan adalah base hit 2 .
Setelah berlatih mengayunkan pemukul, dan membuat pemukul itu terlempar hingga hampir mengenai Elliot, aku berkata, Tapi aku sedang bersemangat untuk membuat home run. 3
Ya, itu boleh juga. Elliot memimpinku ke arah home plate. Perhatikan lemparan bolanya dan ayunkan tongkat dengan kencang.
Aku menyeimbangkan tongkat pemukul di bahuku, sambil berpikir bahwa mungkin sebaiknya aku lebih berkonsentrasi saat Kejuaraan Dunia. Oke, mungkin aku menonton Kejuaraan Dunia. Helmku turun hingga hampir menutupi mata. Aku mengangkatnya, berusaha mengukur infield yang nyaris tak terlihat di tengah kabut yang pekat.
Marcie Millar menempati posisinya sebagai pelempar alias pitcher. Dia mengangkat bola ke depan wajahnya, dan aku melihat jari tengahnya diangkat ke arahku. Sambil kembali memberikan senyuman beracun, dia melemparkan bola ke arahku.
2 Pukulan yang tepat dan dilakukan tanpa kesalahan.
3 Pukulan yang memungkinkan pemukul bola (batter) berlari melewati seluruh marka (base) dan mencetak angka.
Pukulanku menyentuh bola sedikit sehingga bola terbang ke tanah di luar garis foul. 4
Strike! teriak Miss Sully dari tempatnya di antara base pertama dan kedua.
Elliot berteriak dari kubu tim kami, Bolanya banyak berputar berikan lemparan yang bersih! Ternyata ucapan itu ditujukan kepada Marcie, bukan kepadaku.
Lagi-lagi bola melesat dari tangan Marcie ke sebelah kiri, lalu melengkung ke langit yang suram. Aku mengayunkan tongkat, meleset total.
Strike kedua, kata Anthony Arnowitz dari balik topi catcher.
Aku melotot kepadanya. Aku menjauh dari plate dan melakukan beberapa ayunan latihan. Hampir saja tak menyadari kedatangan Elliot dari belakangku. Dia merengkuhkan tangan ke badanku dan memosisikan tangannya di tongkat pemukul, mendekap tanganku.
Akan kutunjukkan, katanya di telingaku. Seperti ini. Kau bisa merasakannya" Rileks. Sekarang, bengkokkan pinggulmu segalanya tergantung pinggul.
4 Garis di sisi base pertama dan ketiga, memanjang sampai outield (wilayah luar).
Aku bisa merasakan wajahku memanas karena seluruh kelas memperhatikan kami. Rasanya aku sudah mengerti, terima kasih.
Cari kamar! seru Marcie kepada kami. Pemain infield tertawa.
Kalau kau memberikan lemparan yang bersih, balas Elliot, dia pasti bisa memukul bola. Lemparanku tak bermasalah.
Ayunannya juga bagus. Elliot menurunkan volume suaranya, ucapannya ditujukan kepadaku saja. Putuskan kontak mata dengannya begitu dia melempar bola. Lemparannya tidak bersih, jadi kau harus berusaha keras agar tidak meleset.
Ada pertandingan yang harus dilanjutkan, anakanak! teriak Miss Sully.
Berbarengan dengan itu, sesuatu di lapangan parkir menarik perhatianku. Aku merasa ada seseorang yang memanggilku. Aku menoleh, meskipun begitu aku sadar kalau namaku tidak disebutkan keras-keras. Akan tetapi disampaikan diam-diam ke kepalaku.
N ora. Patch mengenakan topi bisbol warna biru pucat. Jari tangannya ditautkan ke pagar kawat berpola rantai. Badannya menempel di pagar. Dia tak mengenakan jaket, meskipun cuaca tak bersahabat. Cuma hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki. Matanya hitam pekat
dan tak tertembus saat dia mengawasiku. Tapi aku curiga ada banyak hal di balik mata itu.
Jalinan kata-kata kembali merayap ke dalam pikiranku.
Pelajaran memukul" Bagus sekali&
Aku menarik napas untuk bersiap-siap dan berkata dalam hati kalau aku cuma mengkhayalkan kata-kata itu. Karena kalau tidak, berarti Patch memiliki kekuatan untuk mengirimkan pikiran-pikirannya ke kepalaku. Dan ini tidak mungkin. Pokoknya tidak mungkin. Kecuali aku berfantasi. Dan itu membuatku takut, lebih dari gagasan kalau dia mematahkan metode komunikasi yang normal, dan kalau mau, bisa berbicara kepadaku tanpa membuka mulut.
Grey! Konsentrasi! Aku mengerjap, terlempar kembali ke dunia nyata tepat ketika bola meluncur di udara ke arahku. Aku bersiap mengayunkan tongkat, lalu kembali mendengar kata-kata.
Tahan& Aku membatalkan pukulan. Menunggu bola datang. Begitu bola turun ke arahku, aku melangkah maju ke depan plate lalu mengayunkan tongkat sekeras-kerasnya.
Terdengar bunyi benturan yang keras, dan tongkat di tanganku bergetar. Bola meluncur ke arah Marcie, yang terjengkang dengan bokong menyentuh tanah lebih dulu.
Bola itu melejit ke antara shortstop 5dan base kedua, dan melenting di luar garis permainan.
Lari! teriak timku dari kubu. Lari, Nora! Aku berlari.
Lempar tongkatnya! jerit mereka. Aku melempar tongkat.
Tetap di base pertama! Aku tidak mematuhinya.
Setelah menginjak sudut base pertama, aku berbelok dan berlari ke base kedua. Bola sekarang ada di lapangan kiri, dalam posisi untuk mengeluarkan aku. Aku menunduk, memompa lengan, dan berusaha mengingat bagaimana para profesional di ESPN meluncur ke base. Kaki duluan" Kepala duluan" Berhenti, jatuh, dan berguling"
Bola melayang ke baseman kedua, berputar cepat di suatu tempat dalam kisaran pandanganku. Teriakan gembira Meluncur! bergema dari kubu-ku. Tapi aku belum mengambil keputusan tentang apa yang menyentuh tanah lebih dulu sepatuku atau tanganku.
Ba sem a n kedua menangkap bola dari udara. Aku berlari kencang, kepala lebih dulu, kedua tangan terentang lebar. Sarung tangan dilemparkan entah dari mana, menabrak wajahku, bau kulitnya sangat kuat.
5 Pemain yang bertugas menjaga daerah sekitar base kedua dan ketiga.
Tubuhku jatuh ke tanah, segenggam pasir dan kerikil masuk ke bawah lidahku.
Keluar! teriak Miss Sully.
Aku terhuyung ke samping, memeriksa luka di badanku. Pahaku terasa terbakar dengan campuran panas dan dingin. Dan ketika aku melepas sweter sangat tidak berlebihan rasanya kalau aku katakan seperti dua ekor kucing dikeluarkan dari pahaku. Terpincangpincang ke kubu, aku langsung roboh di atas bangku. Manis sekali, kata Elliot.
Permainanku atau kakiku yang babak belur" Aku mengangkat lutut ke dada, perlahan menghapus kotoran sebanyak mungkin.
Elliot memiringkan badannya dan meniup-niup lututku. Beberapa kerikil jatuh ke tanah.
Setelah itu keheningan yang canggung. Kau bisa jalan" tanya Elliot.
Aku berdiri, mendemonstrasikan bahwa meskipun kakiku penuh dengan kotoran, tapi aku masih bisa menggunakannya.
Aku bisa mengantarmu ke kantor perawat kalau kau mau. Biar lukamu diperban, katanya.
Sungguh, aku tak apa-apa. Aku melirik ke pagar, tempat terakhir kali aku melihat Patch.
Dia tak lagi di sana. Apakah pacarmu yang berdiri di pagar" tanya Elliot.
Aku kaget karena ternyata Elliot melihat Patch. Kedua cowok ini saling berlawanan. Tidak, kataku. Cuma teman. Bahkan teman pun bukan. Dia partner biologiku.
Wajahmu memerah. Barangkali karena angin yang kencang. Suara Patch masih bergema dalam kepalaku. Jantungku berdegup lebih kencang, meski begitu aliran darahku lebih dingin. Apakah dia berbicara langsung ke benakku" Apakah ada jembatan yang tak terjelaskan antara kami yang memungkinkan komunikasi ini" Atau apakah aku sudah tak punya akal sehat"
Elliot tampak tidak yakin seratus persen. Pasti ada sesuatu di antara kalian berdua. Aku tak mau mengejar cewek yang sudah ada yang punya.
Tidak. Tak akan kubiarkan, bagaimanapun juga.
Tunggu dulu. Apa barusan yang dikatakannya" Maaf" kataku.
Dia tersenyum. Pantai Delphic dibuka kembali Sabtu malam. Jules dan aku berniat ke sana. Seharusnya cuaca tak akan terlalu buruk. Mungkin kau dan Vee mau datang"
Aku diam sejenak memikirkan tawarannya. Aku yakin Vee akan membunuhku kalau aku menolak tawaran itu. Lagi pula pergi bersama Elliot sepertinya menyenangkan untuk lari dari ketertarikanku kepada Patch yang membuatku tidak nyaman.
Seper tinya rencana yang bagus, kataku.
abTU MalaM DoroTHea Dan akU beraDa di dapur. Dia baru saja memasukkan kaserol ke oven dan membaca daftar tugas dari ibuku yang digantungkan di lemari es dengan magnet.
Ibumu menelepon. Dia baru bisa pulang tengah malam, kata Dorothea sambil menggosokan Ajax ke bak cuci dengan kekuatan yang membuat siku tanganku rasanya ngilu. Dia meninggalkan pesan, memintamu menelepon. Apa kau selalu ditelepon sebelum tidur"
Aku duduk di bangku dapur, menyantap bagel bermentega. Aku baru saja membuat gigitan besar
dan sekarang Dorothea menatapku seolah menunggu jawaban. Mm-hmm, kataku, mengangguk.
Ada surat dari sekolah hari ini. Dia menggoyangkan dagunya ke rak surat di konter. Barangkali kau tahu apa sebabnya"
Aku memberikan ekspresi tak bersalah terbaik dengan mengangkat bahu dan berkata, Tak punya gambaran. Tapi aku punya gambaran tentang isi surat itu. Dua belas bulan yang lalu aku membuka pintu depan dan mendapati polisi di anak tangga rumahku. Ada kabar buruk, kata mereka. Pemakaman ayahku seminggu kemudian. Setiap Senin sore setelah itu, aku harus mengikuti jadwal pertemuan dengan Dr. Hendrickson, psikolog sekolah. Aku tak datang pada dua pertemuan terakhir. Kalau tak membuat perubahan minggu ini, aku pasti kena masalah. Jadi kemungkinan besar itu surat peringatan.
Ada rencana malam ini" Kau dan Vee punya rencana rahasia" Mungkin menonton film di rumah"
Mungkin. Dorth, sungguh, aku bisa bersihkan bak itu nanti. Duduklah dan& habiskan separuh bagelku ini.
Roti gosong Dorothea jadi tampak mentah setelah dia menggosok-gosok bagian kulitnya. Aku akan mengikuti konferensi besok, katanya. Di Portland. Dr. Melissa Sanchez yang akan menjadi pembicara.
Menurutnya kita harus berpikir untuk menjadi orang yang lebih seksi. Hormon adalah obat yang sangat hebat. Kecuali kita mengatakan apa yang kita inginkan, hormon menjadi tak terkendali. Malah menyerang kita. Dorothea menoleh, memunculkan kepalanya dari balik kaleng Ajax sebagai penekanan. Sekarang setelah bangun pagi aku mengambil lipstik dan menulis Aku seksi di cermin. Pria menginginkan aku . Enam puluh lima adalah dua puluh lima yang baru .
Menurutmu cara itu berhasil" tanyaku, berusaha keras tidak tersenyum.
Ya, kata Dorothea serius.
Aku menjilat mentega di tanganku sambil memikirkan respons yang pantas. Jadi kau akan menghabiskan akhir pekan untuk menemukan kembali sisi seksimu.
Setiap perempuan harus menggali sisi seksinya aku suka itu. Putriku melakukan implantasi. Dia bilang itu dilakukan untuk dirinya sendiri. Tetapi apa yang didapatkan perempuan dari payudara" Payudara itu beban. Perempuan mempercantik payudara untuk lelaki. Kuharap kau tak melakukan hal-hal bodoh untuk seorang cowok, Nora. Dorothea menggoyanggoyangkan jarinya kepadaku.
Percayalah, Dorth, tak ada cowok dalam kehidupanku. Oke, mungkin ada dua yang mengintai di pinggir, memutar dari kerjauhan. Tapi karena aku tak
begitu mengenal keduanya, dan salah satunya malah membuatku takut, lebih amanlah kalau aku menutup mata dan berpura-pura kalau mereka tak ada.
Itu kabar baik, sekaligus buruk, kata Dorothea mengingatkan. Kalau kau bergaul dengan cowok yang berengsek, berarti kau mencari masalah. Kalau kau bergaul dengan cowok yang baik, kau akan menemukan cinta. Suaranya melembut, seolah dia sedang mengingat kenangan manis. Ketika aku masih gadis kecil di Jerman, aku harus memilih satu di antara dua cowok. Salah satunya adalah cowok yang sangat jahat. Dan satunya lagi adalah Henry. Kami menjalin pernikahan yang membahagiakan selama empat puluh satu tahun.
Sudah waktunya mengganti topik pembicaraan. Bagaimana dengan, emm, putra angkatmu, Lionel"
Mata Dorothea melebar. Kau tertarik dengan Lionel kecil"
Tiiidak. Aku bisa membantu Tidak, Dorothea, sungguh. Terima kasih, tapi aku harus berkonsentrasi untuk meningkatkan nilai-nilaiku sekarang. Aku ingin kuliah di kampus yang termasuk tiga besar.
Tapi kalau nanti Akan kukabari.
Aku menghabiskan bagelku ketika suara obrolan Dorothea terdengar monoton. Sekali-kali aku mengangguk atau menyisipi kata he eh ketika ucapannya terhenti cukup lama untuk menunggu tanggapanku. Aku sibuk berdebat dalam hati apakah aku benar-benar ingin bertemu dengan Elliot malam ini atau tidak. Pada awalnya pertemuan sepertinya ide yang bagus. Tetapi semakin dipikirkan, aku semakin ragu. Aku baru mengenal Elliot beberapa hari. Itu satu. Dan aku tak yakin bagaimana pendapat ibuku tentang pertemuan itu. Poin kedua. Hari sudah malam, dan butuh waktu setidaknya setengah jam untuk sampai di Delphic. Dan satu poin lagi, Delphic terkenal sebagai daerah yang liar di akhir pekan.
Telepon berbunyi. Nomor Vee terlihat di caller ID. Apa kita punya rencana malam ini" dia ingin tahu.
Aku membuka mulut, menimbang-nimbang jawaban dengan hati-hati. Begitu aku memberitahu tentang tawaran Elliot, tak ada jalan untuk kembali.
Tiba-tiba Vee menjerit. Ya ampun, ya ampun, ya ampun! Aku menumpahkan kuteks ke sofa. Tunggu sebentar, aku akan mengambil tisu. Kuteks itu larutair atau tidak, ya" Tak lama kemudian dia kembali. Rasanya aku sudah mengotori sofa. Kita harus pergi
malam ini. Aku tak mau berada di sini ketika karya seni yang kuciptakan secara tidak sengaja ini diketahui.
Dorothea telah bergerak ke kamar kecil. Aku tak ingin menghabiskan malam ini dengan mendengarkan gerutuannya tentang retakan di kamar mandi saat dia membersihkannya. Jadi aku mengambil keputusan. Bagaimana dengan Delphic Seaport" Elliot dan Jules pergi. Mereka ingin bertemu.
Nora, kau menyembunyikan informasi yang sangat penting. Aku akan menjemputmu lima belas menit lagi. Dan setelah itu yang terdengar hanya nada dial.
Aku ke lantai atas dan menyusupkan sweter kasmir putih, jins hitam, dan mokasin warna biru laut untuk berjalan-jalan. Kuatur rambutku dengan jari hingga membingkai wajahku. Begitulah cara yang kupelajari untuk mengatur rambut ikalku yang alamiah, dan& vo il"! Jadilah spiral-spiral yang tak terlalu rapi. Aku mundur dari cermin untuk mematut diri dan menganggap diriku perpaduan antara gadis yang bebas dan hampir seksi.
Persis lima belas menit kemudian, Vee memasukkan Neonnya ke halaman rumahku dan menekan klakson dengan gaya stakato. Butuh sepuluh menit bagiku untuk berkendara ke rumahnya, tapi biasanya aku memperhatikan batas kecepatan. Vee sendiri paham
akan arti kata kecepatan , tapi batas tak ada dalam kamusnya.
Aku pergi ke Delphic Seaport bersama Vee, teriakku kepada Dorothea. Kalau Ibu menelepon, tolong beritahu dia, ya"
Dorothea tergopoh-gopoh dari kamar mandi. Ke Delphic" Semalam ini"
Semoga konferensimu menyenangkan! kataku, berlari ke pintu sebelum dia bisa memprotes atau menelepon ibuku.
Rambut pirang Vee diangkat ke atas membentuk ekor kuda yang tinggi. Gelungan-gelungan besar melambai di lehernya. Anting-anting emas berbentuk lingkaran bergoyang-goyang di telinganya. Bibirnya dipoles lipstik merah manyala. Bulu matanya diperhitam dan diperpanjang dengan maskara.
Bagaimana kau melakukannya" tanyaku. Kau cuma punya waktu lima menit untuk bersiap-siap.
Selalu terampil. Vee nyengir ke arahku. Aku impian cowok pramuka.
Vee memperhatikan dandananku dengan kritis. Apa" kataku.
Kita akan bertemu cowok malam ini. Seingatku, begitulah.
Cowok suka dengan cewek yang seperti& cewek. Aku mengerutkan alis. Dan aku seperti apa"
Kau seperti baru keluar dari kamar mandi dan memutuskan itu saja sudah cukup untuk tampil . Jangan tersinggung. Pakaianmu sudah bagus, rambut oke, tapi selebihnya& Ke sini. Vee mengambil dompetnya. Karena aku teman yang baik, aku akan meminjamkan lipstikku. Juga maskaraku, tapi kau harus bersumpah bahwa kau tak menderita penyakit mata yang menular.
Aku tak menderita penyakit mata! Sekadar meyakinkan.
Tak usahlah. Vee cemberut, separuh bercanda, separuh serius. Kau akan merasa telanjang tanpa maskara!
Sepertinya justru itulah kesan yang kau inginkan, kataku.
Sejujurnya, perasaanku campur aduk soal makeup gratisan. Bukannya karena aku merasa agak telanjang, tapi karena saran Patch agar tak ber-makeup tertanam dalam kepalaku. Agar perasaanku nyaman, aku berkata dalam hati bahwa kehormatanku tidak dipertaruhkan. Begitu juga harga diriku. Seseorang memberikan saran, dan aku cukup berpikiran terbuka untuk menerimanya. Yang tak ingin aku akui adalah bahwa aku sengaja mencoba saran Patch pada malam saat aku tak akan bertemu dengannya.
Setengah jam kemudian Vee memasukkan mobil ke gerbang Delphic Seaport. Kami mendapat tempat parkir yang jauh saking ramainya kendaraan pada acara pembukaan itu. Berlokasi di sebelah kanan pesisir, Delphic terkenal sebagai wilayah yang cuacanya kurang bersahabat. Angin rendah melambai, menerbangkan kantong berondong jagung dan bungkus permen di sekeliling tumit kami saat aku dan Vee berjalan menuju konter tiket. Pepohonan di sana telah lama kehilangan dedaunan, dan dahan-dahannya menggelayut di atas kami seperti jari yang terpisah-pisah. Sepanjang musim panas, Delphic Seaport meriah dengan taman hiburan, pesta topeng, tenda-tenda peramal, musisi gipsi, dan film seram. Aku bahkan tak bisa memastikan apakah manusia jadi-jadian itu nyata atau sekadar ilusi.
Satu untuk dewasa, kataku kepada perempuan di konter tiket. Dia mengambil uangku dan menyelipkan gelang karet ke bawah jendela. Kemudian dia tersenyum, memperlihatkan gigi-gigi vampirnya yang terbuat dari plastik putih, bernoda merah lipstik.
Selamat bersenang-senang, katanya dengan suara seperti orang kehabisan napas. Dan jangan lupa mencoba wahana kami yang baru didesain ulang. Dia mengetuk kaca, menunjuk tumpukan peta dan sebuah kertas pengumuman.
Aku mengambil masing-masing kertas sembari melewati pembatas berputar. Kertas pengumuman itu berbunyi:
rasakan sensasi TerbarU Dari TaMan HibUran DelpHiC sebUaH WaHana yang TelaH DiDesain Ulang Dan DirenoVasi
arCHangel MelUnCUr bebas Dari keTinggian seraTUs kaki
Vee membaca kertas itu melalui bahuku. Kukukukunya mengancam akan merobek kulit tanganku. Kita harus mencobanya! dia memekik.
Belakangan, aku berjanji dengan harapan setelah kami mencoba semua wahana yang lain lebih dulu, dia akan lupa dengan wahana yang satu ini. Bertahun-tahun aku tidak takut pada ketinggian, mungkin karena aku sengaja menghindarinya. Jadi aku tidak yakin bahwa aku siap untuk mengetahui apakah waktu telah memupus rasa takutku akan ketinggian atau belum.
Setelah kami mencoba roda Ferris, mobil balap, wahana Permadani Ajaib, dan beberapa konter permainan, Vee dan aku memutuskan sudah waktunya untuk mencari Elliot dan Jules.
Hmmm, kata Vee menengok ke dua sisi jalan yang mengitari taman. Kami berdua terdiam.
Arkade, kataku akhirnya.
Tebakan yang bagus. Kami baru saja melewati pintu menuju arkade ketika aku melihatnya. Bukan Elliot. Bukan Jules. Patch.
Dia mengangkat mata dari layar video game. Topi bisbol yang sama seperti yang dia kenakan ketika aku melihatnya saat pelajaran olahraga, menaungi hampir seluruh wajahnya. Tapi aku yakin kalau aku melihat kilatan senyum. Pada awalnya senyuman itu terkesan ramah, tapi begitu aku ingat bagaimana dia masuk ke dalam pikiranku, aku langsung menggigil hingga ke tulang.
Seolah dewi fortuna berpihak kepadaku, Vee tampaknya tak melihat Patch. Aku menariknya maju, menembus kerumunan orang, agar Patch tak terlihat lagi. Satu-satunya hal yang paling tak kuharapkan adalah Vee mengajakku menghampirinya dan memulai pembicaraan.
Itu mereka! kata Vee, melambai-lambaikan tangan di atas kepalanya. Jules! Elliot! Kami di sini!
Selamat malam, cewek-cewek, kata Elliot setelah berhasil menembus kerumunan orang. Jules membuntuti di belakang dengan wajah yang sama antusiasnya dengan roti daging yang sudah basi. Kalian mau Coke"
Sepertinya enak, kata Vee. Matanya menatap Jules. Aku pilih Diet Coke.
Jules menggumam ingin ke kamar kecil lalu berbalik ke keramaian.
Lima menit kemudian Elliot kembali membawa Coke. Setelah menumpahkan minuman itu di antara kami, dia menggosok kedua tangannya dan memantau sekeliling. Kita mulai dari yang mana"
Bagaimana dengan Jules" tanya Vee. Dia akan menemukan kita.
Hoki udara, kataku cepat-cepat. Wahana ini tidak satu lokasi dengan arkade. Pokoknya semakin jauh dari Patch, semakin baik. Aku berkata dalam hati bahwa kehadiran Patch di sini hanyalah kebetulan, tetapi naluriku berkata lain.
Ooh, lihat! Vee memotong. Foosball! Dan sahabatku ini sudah berzig-zag ke sebuah meja kosong. Jules dan aku melawan kalian berdua. Yang kalah harus mentraktir pizza.
Cukup adil, kata Elliot.
Permainan ini sebenarnya oke-oke saja, kalau jaraknya jauh dari tempat Patch sedang bermain. Aku menyuruh diriku mengabaikan Patch. Kalau aku memunggunginya, tentu aku tak bisa melihat dia ada di sana. Mungkin Vee pun tak akan melihatnya. Hei, Nora, bukankah itu Patch" tanya Vee. Hmm" gumamku pura-pura tak tahu. Vee menunjuk. Yang di sana itu. Dia, kan"
Sepertinya bukan. Aku dan Elliot di tim putih, ya"
Patch itu partner biologi-nya Nora, Vee menjelaskan kepada Elliot. Dia mengedipkan mata dengan genit ke arahku, tetapi langsung memasang ekspresi lugu begitu Elliot memperhatikan. Aku menggelengkan kepala dengan halus tapi tegas kepada Vee, memberi isyarat kepadanya untuk menghentikan leluconnya.
Dia terus melihat ke sini, kata Vee berbisik. Vee mencondongkan tubuhnya ke meja foosball, berusaha melakukan pembicaraan rahasia denganku. Tetapi bisikannya itu tak terlalu pelan hingga Elliot tak punya pilihan selain menguping. Dia sedang bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang kaulakukan dengan Vee menggoyangkan kepalanya ke arah Elliot.
Aku memejamkan mata dan membayangkan diriku sedang membenturkan kepala ke dinding.
Patch kelihatannya ingin lebih dari sekadar menjadi partner biologinya Nora saja, lanjut Vee. Tak bisa disalahkan.
Begitu, ya" kata Elliot menatapku dengan pandangan yang menyatakan kalau dia tidak kaget. Dia sudah menduga. Aku melihatnya mendekat selangkah.
Vee tersenyum penuh kemenangan. Seolah dia ingin berkata berterima kasihnya nanti saja.
Bukan seperti itu, kataku menukas. Tetapi
Yang lebih buruk lagi, kata Vee. Nora merasa kalau dia membuntutinya. Polisi akan segera dilibatkan.
Kapan mainnya" kataku keras-keras. Aku menjatuhkan foosball ke tengah meja. Tak seorang pun memperhatikan.
Kau mau kalau aku berbicara dengannya" tanya Elliot kepadaku. Akan kujelaskan kalau kita tidak mencari persoalan, kau ke sini bersamaku, dan kalau dia punya masalah, dia bisa membicarakannya denganku.
Bukan ke situ arah pembicaraan yang kuinginkan. Bukan sama sekali. Ke mana Jules" tanyaku. Kok dia belum kembali.
Yeah, mungkin dia terjatuh di toilet, kata Vee. Biar aku bicara dengan Patch, kata Elliot. Meski menghargai perhatiannya, aku sama sekali tak suka kalau Elliot harus berhadapan dengan Patch. Patch adalah factor X. Dia tak bisa dipahami, menakutkan, dan misterius. Siapa yang tahu apa kemampuannya" Elliot terlalu manis kalau dilawankan dengannya.
Dia tak membuatku takut, kata Elliot, seolah tak setuju dengan pikiranku.
Jelaslah Elliot dan aku tidak sependapat dalam hal
ini. Ide buruk, kataku. Ide bagus, kata Vee. Kalau tidak, Patch bisa menimbulkan& kekerasan. Ingat kejadian terakhir"
Terakhir"! Aku melafalkan kata itu tanpa suara ke Vee.
Aku tak tahu mengapa Vee bersikap seperti ini, selain dia memang punya kecenderungan membuat segala sesuatunya sedramatis mungkin. Idenya tentang drama membuat mukaku merah padam.
Jangan tersinggung, tapi cowok ini sepertinya berengsek, kata Elliot. Biar aku bicara dengannya sebentar. Elliot siap pergi.
Jangan! kataku, menarik lengan bajunya. Dia, ehm, bisa mengamuk lagi. Biar aku yang mengatasi persoalan ini. Aku menajamkan mata ke arah Vee.
K au ya k i n" t a nya E l l iot . A ku s en a ng melakukannya.
Kurasa sebaiknya aku saja.
Aku mengelapkan telapak tanganku ke celana jins, dan setelah menarik napas, aku mulai memperdekat jarak antara aku dan Patch, yang hanya terpisah beberapa meja permainan. Aku tak punya gambaran apa yang akan kukatakan kepadanya. Mudah-mudahan halo saja sudah cukup. Dan setelah itu aku bisa kembali dan meyakinkan Elliot dan Vee kalau semuanya aman.
Patch mengenakan seragam sehari-harinya. Kaus hitam, jins hitam, dan kalung perak tipis yang
berkilat-kilat dari sosoknya yang serba-hitam. Lengan bajunya digulung sampai ke atas hingga aku bisa melihat otot-ototnya bekerja saat dia memencet tombol-tombol. Perawakan Patch tinggi, ramping, dan keras. Aku tak kaget kalau di balik pakaiannya ada beberapa goresan luka, hadiah dari perkelahian jalanan atau perilaku ugal-ugalan. Bukannya aku ingin melihat tubuhnya.
Ketika sampai di samping Patch, kuketuk mesin permainannya agar dia mengetahui kedatanganku. Dengan suara setenang mungkin, aku berkata, Pac- Man" Atau Donkey Kong" Padahal permainan itu terlihat lebih keras dari itu dan terkesan militer.
Dia nyengir. Bisbol. Mungkin kau mau berdiri di belakangku dan memberi beberapa pengarahan"
Bom meledak di layar, tubuh-tubuh yang menjerit itu terlempar ke udara. Jelaslah bukan bisbol.
Siapa namanya" tanya Patch, nyaris tidak kentara kepalanya digoyangkan ke arah meja foosball.
Elliot. Dengar, aku harus cepat-cepat. Mereka menunggu.
Apa aku pernah melihatnya"
Dia anak baru. Pindahan dari sekolah lain. Baru seminggu di sekolah dan dia sudah dapat teman. Beruntung sekali. Dia menatapku tajam. Barangkali ada sisi gelap dan berbahaya dari dirinya yang tidak kita ketahui.
Sepertinya itu keahlianku.
Aku menunggu apakah dia menangkap maksudku atau tidak. Tapi Patch cuma berkata, Mau main" Kepalanya diarahkan ke belakang arkade. Tapi lantaran begitu banyaknya orang, kupikir yang dia maksud adalah meja biliar.
Nora! Vee memanggil. Kemari. Elliot mengalahkan aku.
Tak bisa, kataku kepada Patch.
Kalau aku menang, katanya, seolah dia tak mau ditolak, kau bilang kepada Elliot kalau ada sesuatu. Katakan kepadanya kau tidak bisa bersamanya malam ini.
Aku tak berdaya. Dia terlalu angkuh. Akhirnya aku hanya berkata, Dan kalau aku yang menang"
Matanya mengawasi diriku, dari kepala hingga ujung kaki. Kurasa kita tak perlu khawatir.
Sebelum aku bisa mencegah, aku menonjok tangannya.
Hati-hati, katanya dengan suara pelan. Mereka bisa berpikir kalau kita sedang bercumbu.
Aku merasa menampar wajahku sendiri, karena itulah kesan yang terlihat di antara kami. Tapi itu bukan salahku melainkan salah Patch. Kalau berdekatan dengannya, aku merasakan dua keinginan yang berlawanan. Separuh diriku ingin berlari darinya sambil
menjerit, Kebakaran! Dan separuh diriku lainnya yang sembrono tergoda untuk mengetahui seberapa besar kedekatan yang bisa kuperoleh tanpa& membuat diriku meledak.
Satu kali permainan pool. Tawarannya menggoda. Aku bersama teman.
Kepala lurus ke meja biliar. Biar aku yang mengurus persoalan ini.
Aku menyilangkan tangan, berharap terkesan tegas dan sedikit marah. Tapi pada saat yang sama aku harus menggigit bibir agar tak memperlihatkan reaksi positif. Apa yang akan kau lakukan" Berkelahi dengan Elliot"
Kalau terpaksa. Aku hampir yakin dia cuma bercanda. Hampir. Meja biliarnya di sana. Cepat pilih tempat. Aku& menantang& mu.
Tubu h ku menjad i ka ku. B aga i m a na kau melakukannya"
Ketika dia tak langsung menyangkal, aku merasa dicekam kepanikan. Ternyata itu nyata. Dia tahu persis apa yang dilakukannya. Telapak tanganku basah dengan keringat.
Bagaimana kau melakukannya" desakku. Dia tersenyum licik. Melakukan apa"
Hentikan, aku memperingatkan. Jangan berpurapura kau tak melakukannya.


Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menyandarkan bahu ke mesin permainan dan menatapku. Katakan, menurutmu apa yang aku lakukan.
Pikiran& ku. Kenapa dengan pikiranmu" Hentikan, Patch.
Dia menatap ke sekeliling dengan dramatis. Kau tidak mengatakan kalau aku berbicara dengan pikiranmu, kan" Kau sadar betapa gilanya ucapan itu"
Aku menelan ludah dan berkata dengan suara setenang mungkin, Kau membuatku takut, dan aku tak yakin apakah kau baik untukku.
Aku bisa mengubah pikiranmu.
Noooora! Vee memanggil di antara berisik suara orang dan bunyi mesin permainan.
Temui aku di Archangel, kata Patch.
Aku melangkah mundur. Tidak, kataku penuh emosi.
Patch berdiri di belakangku, desiran dingin membuat tulang punggungku merinding. Kutunggu, katanya ke telingaku. Lalu dia pergi.
kU keMbali ke MeJa Dengan pikiran kacau. Elliot sedang membungkuk di atas meja, wajahnya menunjukkan kalau dia sedang dalam persaingan ketat. Vee menjerit dan tertawa-tawa. Jules masih belum muncul.
Vee mengangkat wajah. Well" Apa yang terjadi" Apa yang dia katakan"
Tak ada. Aku katakan agar dia jangan mengganggu kita. Dia pergi. Suaraku terkesan datar.
Dia tak kelihatan marah saat pergi, kata Elliot. Entah apa yang kau katakan, tapi itu berhasil.
foosball Sayang sekali, kata Vee. Padahal aku berharap akan mendapat hiburan.
Apa kita siap bertanding" tanya Elliot. Aku ingin menikmati pizza hasil kemenanganku.
Yeah, kalau Jules datang, kata Vee. Aku jadi berpikir, mungkin dia tak menyukai kami. Dia terusterusan menghilang. Kupikir itu isyarat.
Kau bercanda, ya" Dia suka pada kalian, kata Elliot dengan antusiasme berlebihan. Dia cuma tak cepat akrab dengan orang asing. Aku akan mencarinya. Jangan ke mana-mana.
Vee melambaikan tangan dan melangkah mundur. Aku tak bermaksud macam-macam. Elliot tergila-gila kepadamu. Setelah kau pergi, kubilang kepadanya kalau ada sepuluh cowok yang meneleponmu setiap malam. Kau harus melihat wajahnya. Cemburu abis. Aku menggerutu.
Ini hukum permintaan dan penawaran, kata Vee. Siapa sangka, ilmu ekonomi akhirnya bermanfaat"
Aku menatap pintu-pintu arkade. Aku perlu sesuatu.
Kau perlu Elliot. Bukan, aku perlu gula. Dalam jumlah banyak. Aku butuh gulali. Padahal yang kubutuhkan adalah karet penghapus berukuran raksasa yang bisa menghapus seluruh jejak Patch dari kehidupanku. Terutama
keahliannya bertelepati. Aku menggigil. Bagaimana dia melakukannya" Dan kenapa aku" Kecuali& aku cuma berkhayal. Seperti ketika aku berkhayal menabrak seseorang dengan Neon.
Aku juga ingin gula, kata Vee. Aku lihat sebuah gerai di dekat gerbang masuk. Aku tetap di sini agar Jules dan Elliot tidak berpikir kalau kita kabur sementara kau membeli gulali.
Di luar, aku berjalan kembali ke gerbang masuk. Tapi begitu aku melihat gerai penjual gulali, pikiranku teralihkan oleh sebuah pemandangan samar di ujung jalan. Wahana Archangel terlihat menjulang di balik puncak pepohonan. Bak seekor ular yang tersusun dari gerbong-gerbong melesat di atas rel dan menghilang dari pandangan. Aku bertanya-tanya, kenapa Patch ingin bertemu. Aku merasakan tonjokan di perutku dan mungkin seharusnya menganggap hal itu sebagai jawaban. Tetapi bukannya mengikuti rencana semula, aku malah menyusuri jalan menuju Archangel.
Aku membaur dengan para pejalan kaki, menatap lurus ke kejauhan, tempat Archangel menjulang menembus langit. Desir angin telah bertambah dingin hingga seperti es. Tapi bukan itu yang membuatku tak nyaman. Perasaan itu muncul kembali. Perasaan dingin dan mencekam, seolah seseorang mengawasiku.
Aku mencuri pandang ke dua sisi. Tak ada sesuatu yang ganjil dalam jarak penghlihatanku. Aku berbalik 180 derajat. Tak jauh di sana, berdiri di lapangan kecil berisi pepohonan, sesosok bertudung membalikkan badan dan menghilang dalam kegelapan.
Dengan jantung berdegup lebih cepat, aku melewati para pejalan kaki, membuat jarak antara diriku dengan mereka. Beberapa langkah maju, aku menoleh ke belakang lagi. Tak ada yang membuntuti aku.
Ketika kepalaku menghadap ke depan lagi, aku membentur seseorang. Maaf! Aku terhuyung, berusaha menyeimbangkan diri.
Patch nyengir kepadaku. Aku sulit ditolak. Aku mengerjapkan mata. Tinggalkan aku. Aku berusaha melewatinya, tapi dia menarik siku-ku. Ada apa" Kau seolah akan muntah. Kau membuatku mual, bentakku.
Dia tertawa. Aku merasa seolah telah menendang tulang keringnya.
Kau perlu minum. Tangannya masih di siku-ku, dan dia menarikku ke arah gerobak penjual limun.
Aku memberontak. Kau ingin membantuku" Pergi dariku.
Dia menepiskan ikal rambut yang jatuh di wajahku. Aku suka rambutmu. Saat tak teratur seperti ini.
Seperti melihat sisi dirimu yang harus lebih sering diekspresikan.
Aku merapikan rambutku dengan marah. Begitu sadar bahwa aku seolah berusaha membuat diriku tampil lebih pantas di hadapannya, aku berkata, Aku harus pergi. Vee menunggu. Keheningan mencekam. Sampai ketemu di kelas hari Senin.
Cobalah Archangel denganku.
Aku menegakkan leher, menatap wahana itu. Lengkingan tinggi bergema seiring gerbong-gerbong melindas rel.
Dua orang per kursi. Senyumnya berubah menjadi senyum samar yang nakal.
Tidak. Tak akan. Kalau kau terus menjauhiku, kau tak akan tahu yang sebenarnya.
Komentar itu seharusnya membuatku berlari. Tapi ternyata tidak. Seolah Patch tahu persis apa yang harus dikatakannya untuk memancing rasa penasaranku. Kata yang tepat, pada saat yang tepat.
Ada apa sebenarnya" tanyaku.
Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Aku tak bisa. Aku takut ketinggian. Lagi pula Vee menunggu. Hanya saja, mendadak pikiran berada di ketinggian tidak menakutkan. Tidak lagi. Dengan cara
yang ganjil, sadar kalau aku bersama Patch membuatku merasa aman.
Kalau kau duduk diam sampai permainan selesai, tanpa menjerit, aku akan bilang kepada Pelatih untuk mengubah tempat duduk kita.
Aku sudah berusaha. Dia tak bisa dibujuk. Aku bisa lebih meyakinkan darimu.
Aku menganggap komentarnya sebagai penghinaan. Aku tak biasa menjerit, kataku. Tidak di wahana permainan. Tidak di hadapanmu.
Melangkah bersama Patch, aku menuju ujung antrean pengunjung yang ingin mencoba Archangel. Gelombang jeritan melengking, lalu menghilang, jauh di atas langit malam.
Aku tak pernah melihatmu di Delphic sebelum ini, kata Patch.
Kau sering ke sini" Aku membuat janji dalam hati untuk tidak berakhir pekan di Delphic lagi. Aku punya sejarah dengan tempat ini. Kami keluar dari antrean begitu gerbong-gerbong dikosongkan dan sekawanan pencari sensasi baru mengisi wahana.
Coba kutebak, kataku. Kau kelayapan di sini, bukannya bersekolah setahun kemarin.
Aku bersikap sarkastis. Tapi Patch berkata, Kalau aku menjawab, masa laluku akan terbongkar. Padahal aku ingin tetap merahasiakannya.
Kenapa" Ada apa dengan masa lalumu" Rasanya sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya. Masa laluku bisa membuatmu takut.
Terlambat, pikirku. Dia mendekat, dan tangan kami bertemu. Sekilas persentuhan ini membuat bulu-bulu tanganku berdiri. Hal-hal yang harus kuungkapkan bukanlah jenis pembicaraan yang biasa diungkapkan kepada partner biologimu.
Angin yang membeku membungkus tubuhku. Dan ketika aku mengirupnya, udara itu mengisi tubuhku dengan es. Tapi itu tak sebanding dengan kata-kata dingin yang diucapkan Patch.
Patch mengarahkan dagunya ke gerbong. Itu tempat kita.
Aku mendorong pembatas berputar. Begitu kami sampai di tempat tunggu, gerbong yang kosong tinggal di bagian depan dan di ujung belakang roller coster itu. Patch menuju ke depan.
Konstruksi Archangel tidak membuatku merasa lebih percaya diri, entah ia telah didesain ulang atau tidak. Wahana ini seperti berumur lebih dari seabad dan
terbuat dari kayu yang telah lama terpajan unsur-unsur keras Maine. Karya seni yang dilukiskan di sisi-sisinya bahkan lebih menciutkan hati lagi.
Gerbong yang dipilih Patch memiliki empat jenis lukisan. Lukisan pertama menggambarkan sesosok iblis bertanduk yang tengah mencabut sayap malaikat lelaki yang menjerit. Lukisan berikutnya menampakkan malaikat tak bersayap duduk di atas sebongkah batu, menonton anak-anak bermain dari kejauhan. Yang ketiga adalah lukisan malaikat tak bersayap sedang berdiri di dekat anak-anak, menudingkan jari ke seorang gadis kecil bermata hijau. Dan yang terakhir, lukisan malaikat tak bersayap yang melayang menembus tubuh seorang gadis, seperti hantu. Mata gadis itu hitam, senyumnya menghilang, dan di kepalanya muncul sepasang tanduk seperti iblis-iblis pada lukisan pertama. Rembulan keperakan menggantung di atas lukisan-lukisan itu.
Sambil mengalihkan pandangan dan meyakinkan diriku sendiri kalau udara dinginlah yang membuat kakiku gemetar, aku masuk ke gerbong di samping Patch.
Masa lalumu tak akan membuatku takut, kataku, mengencangkan sabuk pengaman yang melintang di pangkuanku. Sepertinya aku akan lebih merasa muak dibandingkan perasaaan apa pun.
Muak, Patch mengulang kataku. Nada suaranya membuatku percaya kalau dia tidak menolak tuduhanku. Ini aneh, karena Patch tak pernah menghina dirinya sendiri.
Gerbong-gerbong bergerak mundur, lalu meluncur maju. Dengan pergerakan yang tidak mulus, kami melewati rel, menanjak dengan mantap ke atas. Aroma keringat, karat, dan air garam yang berembus dari laut memenuhi udara. Patch duduk cukup dekat sehingga aku bisa mencium aroma tubuhnya. Aku menangkap aroma sabun mint yang kuat.
Kau terlihat pucat, katanya, mencondongkan badan agar suaranya bisa terdengar di antara bunyi rel yang berkeretak.
Aku merasa pucat, tapi tak mengakuinya. Di puncak bukit, ada momen ketika roller coster seolah ragu-ragu berjalan. Aku bisa memandang bermil-mil jauhnya, tempat wilayah pedesaan yang gelap berbaur dengan percikan cahaya wilayah pinggiran kota dan perlahan menjadi jaringan lampu Portland. Angin menahan embusannya sehingga udara lembap mendapat kesempatan untuk mendarat di kulitku.
Tanpa niat apa pun, aku mencuri pandang ke arah Patch. Ada rasa nyaman berada di sampingnya. Lalu dia nyengir.
Takut, Angel" Aku mencengkeram tongkat logam di depan gerbongku saat aku merasa bobot tubuhku terdorong maju. Tak terasa tawa takut meluncur dari mulutku.
Gerbong kami melesat luar biasa cepat, rambutku berkibar di belakangku. Berbelok ke kiri, lalu ke kanan, kami terombang-ambing melewati rel. Sebagai akibatnya aku merasa isi perutku naik lalu terempas jatuh. Aku melihat ke bawah, berusaha berkonsentrasi pada objek yang tak bergerak.
Ketika itulah aku melihat sabuk pengamanku terbuka.
Aku berusaha berteriak pada Patch, tapi suraku tertelan deru udara. Aku merasa perutku kosong, kemudian aku berpegangan ke tongkat logam dengan satu tangan, berusaha mengencangkan sabuk pengamanku dengan tangan yang lain. Gerbong menikung ke kiri. Bahuku membentur bahu Patch begitu kerasnya sampai terasa sakit. Gerbong kami melaju ke atas, dan aku merasa gerbong kami bergeser, tidak sepenuhnya berpijak pada rel.
Kami menggantung. Lampu-lampu sorot di sepanjang rel membutakan mataku. Aku tak bisa melihat ke mana ujung rel mengarah.
Sekarang sudah terlambat. Gerbong menikung ke kanan. Aku merasa entakan rasa panik, lalu peristiwa itu terjadi. Bahu kiriku membentur pintu gerbong hingga
terbuka. Aku terlempar keluar gerbong sementara roller coster terus meluncur tanpa diriku. Aku terguling di atas rel dan berusaha menggapai sesuatu sebagai pegangan. Tanganku tak menemukan apa pun, dan aku terlempar ke sudut, bergantung dengan posisi kepala di bawah, menghadap udara yang gelap. Tanah di bawah siap menelanku, dan aku membuka mulut untuk menjerit.
Berikutnya yang kuketahui, wahana itu menderit berhenti di tempat penurunan penumpang.
Tanganku sakit saking kerasnya cengkeraman Patch. Nah, itu baru namanya jeritan, katanya, nyengir ke arahku.
Kebingungan, aku melihatnya menutup telinga dengan tangan seolah jeritanku masih bergema. Tak sepenuhnya yakin dengan apa yang barusan terjadi, aku melihat bagian tangan Patch, tempat kuku-ku menyisakan tato berbentuk setengah lingkaran di kulitnya. Kemudian mataku bergerak ke sabuk pengaman. Ternyata terkunci aman di sekeliling pinggangku.
Sabukku& , aku memulai. Kupikir Kau pikir apa" tanya Patch, kelihatannya benarbenar ingin tahu.
Kupikir& aku terlempar dari gerbong. Aku benarbenar berpikir& aku akan mati.
Kurasa itulah sebabnya. Tanganku lunglai di samping tubuhku. Lututku gemetar menahan bobot badanku.
Rasanya kau tetap menjadi partnerku, kata Patch. Aku mencium sedikit rasa kemenangan dalam suaranya. Tapi aku terlalu syok untuk berdebat.
Archangel, aku menggumam, menoleh ke belakang. Wahana itu memulai perjalanan baru.
Artinya malaikat tingkat tinggi. Ada kesan sombong yang tak ditutup-tutupi dalam suaranya. Semakin tinggi naiknya, semakin keras jatuhnya.
Aku hendak membuka mulut, ingin mengatakan lagi betapa aku yakin kalau aku terlempar dari gerbong dalam beberapa detik. Dan bagaimana sabuk pengaman itu ternyata masih terkunci dengan aman sungguh tak bisa kujelaskan. Tapi aku hanya berkata, Kurasa aku lebih suka pada malaikat pelindung.
Patch nyengir lagi. Sambil memanduku menyusuri jalan, dia berkata, Aku akan mengantarmu ke arkade lagi.
kU MeneMbUs kerUMUnan orang Di dalam arkade, melewati konter makanan dan kamar kecil. Setelah meja-meja foosball muncul dalam pandanganku, Vee tak terlihat di sana. Begitu juga Elliot dan Jules.
Sepertinya mereka sudah pergi, kata Patch. Ada kilat senang di matanya. Tetapi lagi-lagi, kalau menyangkut Patch maknanya bisa berbeda jauh. Rasanya kau butuh tumpangan.
Vee tak akan meninggalkanku, kataku, berdiri dengan kaki berjingkat untuk melihat melewati puncak kerumunan. Mereka mungkin bermain tenis meja.
Aku berjalan ke samping, menembus kerumunan, sementara Patch mengikuti di belakang, menyeruput kaleng soda yang dibelinya di pinggir jalan. Dia menawariku soda, tapi dalam keadaanku sekarang aku tak yakin apakah bisa memegangnya atau tidak. Tak ada jejak Vee atau Elliot di arena tenis meja. Barangkali mereka bermain pinball, terka Patch. Jelas-jelas dia meledekku.
Wajahku memerah. D i manakah Vee"
Patch mengulurkan sodanya. Yakin kau tak mau minum"
Aku menatap dari kaleng ke Patch. Cuma karena darahku menghangat lantaran terpikir bahwa aku akan meletakkan mulutku di tempat yang telah tersentuh mulutnya bukan berarti aku harus memberitahunya.
Aku merogoh tas dan mengeluarkan ponsel. Layar teleponku gelap dan tak mau dihidupkan. Aku tak mengerti, mengapa baterainya habis padahal aku telah mengisinya sebelum pergi. Kutekan tombol on berulang kali, tapi percuma saja.
Patch berkata, Tawaranku masih berlaku. Kupikir akan lebih aman kalau aku meminta tumpangan dari seorang asing. Aku masih terguncang akibat kejadian di Archangel tadi. Dan tak peduli berapa kali aku berusaha menyingkirkannya, gambaran terjatuh dari roller coster terus berputar di kepalaku. Aku
terjatuh& dan kemudian wahana itu berhenti. Begitu saja. Kejadian itu adalah yang paling menakutkan yang pernah kualami. Dan ada lagi satu hal yang hampir sama menakutkannya. Sepertinya aku adalah satu-satunya orang yang menyadari kejadian itu. Bahkan Patch yang duduk persis di sebelahku tidak menyadarinya.
Aku menepuk dahi. Mobilnya. Mungkin Vee menungguku di lapangan parkir.
Tiga puluh menit kemudian aku menyisir seluruh lapangan. Tak ada Neon di sana. Aku tak percaya, Vee pergi tanpa aku. Mungkin ada kejadian darurat. Bagaimana aku tahu, karena aku tak bisa memeriksa pesan yang masuk ke ponselku. Aku berusaha mengendalikan emosi. Tapi kalau Vee sudah pergi, ada gumpalan kemarahan yang mengendap di balik permukaan, siap ditumpahkan.
Ada pilihan lain" tanya Patch.
Aku menggigit bibir, memikirkan pilihan yang lain. Tapi aku tak punya pilihan. Sayangnya aku tak yakin apakah siap menerima tawaran Patch atau tidak. Pada hari-hari biasa saja dia memancarkan bahaya, apalagi sekarang. Malam ini ada perpaduan bahaya, ancaman, dan misteri bercampur menjadi satu.
Akhirnya aku menghela napas dan berdoa semoga aku tidak membuat kesalahan.
Antar aku langsung ke rumah, kataku. Ucapanku terkesan sebagai pertanyaan alih-alih perintah. Kalau itu yang kau mau.
Aku hampir saja bertanya kepada Patch, apakah dia melihat sesuatu yang aneh di Archangel, tapi aku menahan diri. Aku terlalu takut untuk bertanya. Bagaimana kalau aku tidak terjatuh" Bagaimana kalau peristiwa itu cuma khayalanku saja" Bagaimana kalau aku melihat hal-hal yang sebenarnya tak terjadi" Pertama-tama lelaki bertopeng ski. Sekarang kejadian ini. Aku yakin kemampuan Patch berbicara ke pikiranku itu nyata, tetapi yang lainnya" Aku tak begitu yakin.
Patch berjalan melewati beberapa tempat parkir. Sebuah motor hitam berkilat berdiri pada standarnya. Patch mengayunkan kakinya dan mengarahkan kepalanya ke kursi belakang. Naik.
Wow. Bagus sekali, kataku. Bohong. Padahal di mataku motor itu terlihat seperti jebakan kematian berwarna hitam mengilat. Aku belum pernah mengendarai motor. Sama sekali. Dan aku tak yakin apakah aku ingin mengubah fakta itu malam ini.
Aku senang merasakan angin di wajahku, kataku, berharap keberanianku menutupi rasa takutku akan kecepatan lebih dari enam puluh lima mil per jam, sementara tak ada pembatas antara aku dan jalanan.
Cuma ada satu helm hitam dengan corak berwarna di bagian depan dan Patch mengulurkannya kepadaku.
Aku menerimanya lalu mengayunkan kakiku melewati kursi motor. Aku merasa betapa tidak amannya kendaraan ini, dengan sedikit tempat duduk untukku di belakang. Kuselipkan helm menutupi ikal rambutku dan mengikatkan talinya di bawah dagu.
Apakah sulit mengemudi motor" tanyaku. Padahal maksudku, Apakah aman"
Tidak, kata Patch, menjawab pertanyaanku yang terucapkan dan yang tidak. Dia tertawa lembut. Kau tegang. Santai saja.
Ketika dia menjalankan motor keluar dari tempat parkir, kejutan gerakan itu membuatku kaget. Tadinya aku hanya berpegangan pada kausnya dengan sekadar kain di antara jari-jariku untuk menjaga keseimbangan. Sekarang aku merangkulkan tanganku ke sekeliling pinggang Patch, seperti pelukan beruang dari belakang.
Patch mengarahkan motornya ke jalan raya, dan pahaku menekan kakinya. Aku berharap hanya aku saja yang menyadarinya.
B e g it u k a m i s a mp a i d i r u m a h k u , Pat c h menepikan motornya ke jalan masuk yang berkabut, mematikan mesin, lalu turun. Aku melepaskan helm, menyeimbangkannya di kursi depan dengan hati-hati,
lalu membuka mulut untuk mengucapkan kalimat Terima kasih atas tumpangannya, sampai ketemu hari Senin.
Tapi kata-kata itu menguap begitu Patch menyeberangi jalan masuk dan menuju anak tangga.
Aku tak bisa menahan dugaan tentang apa yang dilakukannya. Mengantarkanku sampai ke pintu" Sangat tidak mungkin. Lalu& apa"
Aku menaiki anak tangga di belakangnya dan menjumpainya di pintu. Dengan pikiran terbagi antara kebingungan dan kekhawatiran yang menghebat, aku mengawasi Patch mengeluarkan serangkaian kunci yang tak asing bagiku dari sakunya lalu memasukkannya ke lubang kunci.
Aku menurunkan tas dari bahuku dan membuka saku tas tempat biasanya aku menyimpan kunci. Kosong.
Kembalikan kunciku, kataku, jengkel karena tak tahu bagaimana kunciku bisa berpindah tangan.
Kau menjatuhkannya saat di arkade, ketika kau mencoba menyalakan ponsel, katanya.
Aku tak peduli di mana aku menjatuhkannya. Kembalikan.
Patch mengangkat tangan, mengisyaratkan kalau dia tak bersalah, lalu mundur dari pintu. Dia menyandarkan sebelah bahunya ke dinding dan memperhatikan aku
melangkah ke pintu. Aku berusaha memutar kunci. Macet.
Kau menyumbatnya, kataku, menggoyanggoyangkan kunci. Aku mundur selangkah. Silakan. Coba saja. Kuncinya macet.
Seiring bunyi klik yang keras, dia memutar kunci. Dengan tangan tetap pada pegangan pintu Patch menaikkan alis matanya seolah ingin mengatakan Silakan masuk.
Aku menelan ludah, berusaha memendam dorongan rasa kagum bercampur keresahan. Pergilah. Kau tidak boleh masuk. Aku di rumah sendirian.
Semalaman" Aku langsung sadar ucapanku tadi sungguh tidak cerdas. Dorothea akan datang sebentar lagi. Aku berbohong. Dorothea sudah pergi. Sekarang hampir tengah malam.
Dorothea" Pembantu rumah kami. Dia sudah tua tapi kuat. Sangat kuat. Aku berusaha melewati Patch. Tidak berhasil.
Sepertinya menyeramkan, katanya, melepas kunci dari lubangnya. Patch menyerahkan kunci itu kepadaku.
Dia bisa membersihkan toilet luar-dalam dalam satu menit. Lebih dari menyeramkan. Mengambil
kunci itu, aku bergeser ke depannya. Aku benar-benar berniat menutup pintu, tapi begitu aku berbalik, Patch sudah berdiri di ambang pintu. Tangannya diregangkan ke dua sisi pintu.
Kau tak mengundangku masuk" dia bertanya. Aku mengerjap. Mengundangnya" Ke rumahku" Tanpa siapa pun di rumah"
Patch berkata, Sudah larut. Matanya mengikuti mataku, memancarkan kilau pembangkangan. Kau pasti lapar.
Tidak. Ya. Maksudku, ya, tapi Mendadak dia masuk.
Aku mundur tiga langkah, dia mendorong pintu dengan kakinya hingga tertutup. Kau suka makanan Mexico" dia bertanya.
Aku Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan di dalam rumahku!
Taco" Taco" aku membeo. Ini sepertinya membuatnya terhibur. Tomat, daun selada, keju.
Aku tahu taco! Sebelum aku bisa menghentikan, Patch sudah bergegas masuk ke dalam. Di ujung ruangan dia berbelok ke kiri. Ke dapur.
Patch menuju bak cuci dan membuka keran sambil menggosokkan sabun ke tangannya. Sepertinya dia merasa seperti di rumah sendiri. Dia berjalan ke dapur bersih dulu, kemudian membuka lemari es, memboyong bahan-bahan yang ada di sana saus salsa, daun selada, dan sebutir tomat. Kemudian dia membuka laci dan menemukan pisau.
Aku merasa hampir saja merasa panik melihat Patch memegang pisau, tetapi ada hal lain yang mengganggu mataku. Aku maju dua langkah dan menatap pantulan diriku di salah satu wajan yang menggantung di atas rak. Rambutku! Sepertinya yang tumbuh di kepalaku adalah semak belukar. Aku menutup mulut. Patch tersenyum. Rambut merahmu alamiah" Aku melotot. Rambutku tidak merah. Aku tak ingin membocorkan rahasia, tapi warna rambutmu merah. Aku bisa menyalakan api dan rambutmu itu tak akan bertambah merah.
Cokelat. Yah, mungkin aku memiliki sejumput kecil rambut cokelat kemerahan di kepalaku. Tapi tetap saja bukan merah, tapi cokelat seperti buah zaitun. Mungkin karena cahaya lampu, kataku.
Yea h , mungkin karena bohlamnya. Patch tersenyum lebar, hingga tertarik ke kedua sisi mulutnya, dan menampakkan sebuah lesung pipit.
Aku pergi sebentar, kataku, terburu-buru meninggalkan dapur.
Aku naik ke lantai atas dan merapikan rambutku membentuk ekor kuda. Setelah beres, aku memusatkan pikiran. Aku tidak sepenuhnya nyaman dengan gambaran Patch berkeliaran di dalam rumahku dengan leluasa memegang pisau pula. Dan ibu akan membunuhku kalau dia tahu aku mengundang Patch ketika Dorothea tak di rumah.
Sepertinya waktunya sudah habis" tanyaku saat melihatnya masih asyik bekerja di dapur dua menit kemudian. Aku meletakkan tangan di perut, mengisyaratkan bahwa aku merasa tak enak. Mual, kataku. Mungkin karena perjalanan pulang.
Dia berhenti memotong-motong dan mengangkat wajah. Aku hampir selesai.
Dia menukar pisau dengan yang lebih besar dan lebih tajam.
Seolah punya cermin terhadap pikiranku, Patch mengangkat pisau, memperhatikannya. Pisau itu berkilat-kilat tertimpa cahaya. Perutku melilit. Turunkan pisaunya, perintahku halus. Patch mengalihkan tatapan dariku ke pisau itu lalu melihatku lagi. Setelah satu menit, dia meletakkan pisau itu. Aku tak akan menyakitimu, Nora.
Itu& membuatku lega, aku berhasil mengatakannya, tapi kerongkonganku tegang dan kering.
Dia membalikkan pisau, mengarahkan pegangannya kepadaku. Ke sinilah. Aku akan mengajarkanmu membuat taco.
Aku bergeming. Ada kilatan di matanya yang membuatku berpikir kalau aku seharusnya merasa takut padanya& dan memang begitu. Tetapi rasa takut itu mengundang ketertarikan. Ada sesuatu yang membuatku merasa sangat resah kalau berada di dekatnya. Dengan kehadirannya, aku tak memercayai diriku sendiri.
Bagaimana kalau kita membuat& kesepakatan" Wajahnya menunduk, gelap, dan dia menatapku melalui bulu matanya. Efeknya adalah rasa kepercayaan. Bantu aku membuat taco, dan aku akan menjawab beberapa pertanyaanmu.
Pertanyaanku" Kurasa kau tahu maksudku.
Aku tahu persis maksudnya. Dia memberiku celah menuju dunia pribadinya. Dunia tempat dia bisa berbicara dengan pikiranku. Lagi-lagi, dia tahu persis apa yang harus dikatakan, dan pada waktu yang tepat pula.
Tanpa menjawab, aku berjalan ke sampingnya. Dia meletakkan talenan di depanku.
Pertama-tama, katanya dari belakangku, dan meletakkan tangannya di meja, persis di sebelah tanganku, pilih tomatnya. Dia menundukkan kepala hingga mulutnya berada di telingaku. Napasnya hangat, menggelitik kulitku. Bagus. Sekarang pilih pisaunya.
Apakah koki selalu berdiri sedekat ini" tanyaku, tak yakin apakah aku suka atau takut dengan desiran dalam diriku karena berada sangat dekat dengannya.
Ya, ketika dia menyampaikan rahasia kuliner. Pegang pisau sungguh-sungguh.
Sudah. Bagus. Melangkah mundur, dia menilai penampilanku, sepertinya melihat apakah ada yang tidak sempurna. Matanya menatap ke atas dan ke bawah, ke sana-sini. Selama beberapa detik yang menegangkan itu, aku merasa melihat senyum persetujuan. Memasak tidak bisa diajarkan, kata Patch. Itu adalah bakat yang ada dalam dirimu. Entah kau memilikinya atau tidak. Seperti alkemi. Menurutmu, kau siap untuk mendapatkannya"
Aku menekan pisau menembus tomat. Buah itu terbelah dua. Masing-masing potongan jatuh dengan lembut di atas talenan. Beritahu aku. Apakah aku siap"
Patch mengeluarkan suara yang tak bisa kuuraikan dan tak bisa kucerna.
Setelah makan malam, Patch membawa piring-piring ke bak cuci. Aku mencuci, kau yang mengeringkan. Setelah mencari-cari di laci sebelah bak, dia menemukan serbet dan melemparkannya ke arahku sambil bercanda.
Aku siap mengajukan pertanyaan, kataku. Dimulai dengan malam di perpustakaan. Apakah kau membuntuti aku&
Ucapanku terhenti. Patch menyandarkan badan dengan santainya ke meja dapur. Rambut hitam menjulur dari balik topi bisbolnya. Seulas senyum tampak di mulutnya. Pikiranku terhanyut, dan sebuah pikiran baru muncul begitu saja.
Aku ingin menciumnya. Sekarang. Patch mengangkat alis. Apa"
E h m t id a k . T id a k . K au m e n c u c i , a k u mengeringkan.
Tak butuh waktu lama untuk membereskan perabot kotor. Setelah selesai, kami mendapati diri kami berimpitan di dekat bak cuci. Patch bergerak untuk mengambil serbet dariku, dan tubuh kami bersentuhan. Tak ada yang bergerak. Masing-masing bertahan pada jembatan rapuh yang menyatukan kami.
Aku mundur lebih dulu. Takut" gumamnya. Tidak.
Bohong. Degup jantungku bertambah beberapa kali lipat. Aku tak takut kepadamu.
Tidak" Aku bicara tanpa berpikir. Mungkin aku hanya takut akan Aku memaki diriku sendiri karena memulai kalimat seperti itu. Sekarang, apa yang harus kukatakan" Aku hampir saja mengakui kalau segala sesuatu pada dirinya membuatku takut. Tentu kalimat itu akan memberinya kesempatan untuk memancingku lebih jauh lagi. Mungkin aku hanya takut akan... akan
Menyukaiku" Lega karena tak harus menyelesaikan kalimatku sendiri, secara otomatis aku menjawab, Ya. Dan sekarang aku sadar, sudah terlambat untuk mengoreksi. Maksuku, tidak! Jelas tidak. Bukan itu yang ingin kukatakan!
Patch tertawa halus. Sebenarnya, sebagian dari diriku merasa tak nyaman kalau di dekatmu, kataku.
Tapi" Aku mencengkeram meja di belakangku untuk menguatkan diri. Tapi pada saat yang sama, aku merasakan ketertarikan yang menakutkan kepadamu. Patch nyengir.
Kau terlalu angkuh, kataku, menggunakan tanganku untuk mendorongnya selangkah.
Dia menangkap tanganku dan meletakkannya di dada lalu menurunkan lengan bajuku hingga ke pergelangan tangan, sehingga tanganku tertutup. Lalu dia melakukan hal serupa ke lengan bajuku yang lain, dengan sama cepatnya. Dia memegang ujung lengan bajuku, sehingga tanganku terkunci. Mulutku membuka, ingin memprotes.
Dia menarikku ke arahnya, dan tak berhenti sampai aku persis di depannya. Tiba-tiba dia menggendongku ke atas meja. Wajahku sama tinggi dengan wajahnya. Dia menatapku dengan senyum nakal yang mengundang. Saat itulah aku menyadari kalau gambaran ini telah menari-nari di sudut fantasiku selama beberapa hari ini.
Lepas topimu, kataku, ucapan itu meluncur begitu saja sebelum aku bisa mencegahnya.
Patch memutar topi, hingga lidah topi mengarah ke belakang.
Aku bergeser ke ujung meja, kakiku berayun di salah satu sisi tubuhnya. Sesuatu dalam diriku menyuruhku
berhenti tapi kusingkirkan suara itu jauh-jauh ke ujung pikiranku.
Dia merentangkan kedua tangannya di atas meja, persis di samping pinggulku. Sembari memiringkan kepalanya ke satu sisi, dia mendekat. Aroma tubuhnya seperti dari kedalaman bumi yang gelap, menyelimuti diriku.
Aku menghela napas dua kali. Tidak. Ini tidak benar. Tidak dengan Patch. Dia menakutkan. Dalam arti baik, ya. Tapi juga dalam arti yang buruk. Sangat buruk.
Kau harus pergi, desahku. Kau sungguh harus pergi.
Ke sini" Mulutnya berada di bahuku. Atau ke sini" Sekarang mulut itu di leherku.
Otakku tak bisa memproses satu pikiran yang logis. Kakiku lemas, seruku. Aku tidak sepenuhnya berbohong, karena aku merasakan sensasi gelitik di sekujur tubuhku, termasuk kakiku.
Aku bisa mengatasinya. Tangan Patch memegang pinggulku.
Mendadak ponselku berbunyi. Aku melompat kaget dan mengeluarkannya dari saku.
Hai, sayang, kata ibuku dengan ceria. Bisa aku telepon ibu nanti"
Tentu. Ada apa" Aku menutup telepon. Kau harus pergi, kataku kepada Patch. Sekarang.
Dia membalikkan posisi topinya lagi. Aku cuma bisa melihat mulutnya di bawah topi itu. Dan mulut itu melengkung, membentuk senyum nakal. Kau tak memakai makeup.
Aku pasti terlupa. Semoga mimpi manis.
Tentu. Tak masalah. Dia bilang apa" Tentang pesta besok malam& Akan kupikirkan, kataku susah payah. Patch menyelipkan secarik kertas ke dalam sakuku. Sentuhannya menimbulkan sensasi panas hingga ke kakiku. Ini alamatnya. Aku akan menunggumu. Datang sendirian.
Sebentar kemudian aku mendengar bunyi pintu depan ditutup. Rona merah menjalar di wajahku. H ampir saja, pikirku. Tak ada masalah dengan api& asalkan kau tak berdiri terlalu dekat dengannya. Itu harus dicamkan.
Aku menyandarkan punggung ke lemari, menarik napas pendek-pendek.
kU MenDaDak TerbangUn lanTaran bunyi ponselku. Dengan sebelah kaki masih dalam mimpi, aku menggeser selimut ke kepalaku dan berusaha meredam bunyi itu. Tetapi ponselku berdering lagi. Dan lagi.
Panggilan itu masuk ke voice mail. Lima menit kemudian, ia berdering lagi.
Aku menjulurkan tangan ke pinggir tempat tidur, mencari-cari sampai tanganku menyentuh celana jinsku, lalu aku mengeluarkan ponsel dari saku.
Ya" kataku sambil menguap lebar, mataku masih tertutup.
Di ujung sana, seseorang menarik napas marah. Ada apa denganmu" Kenapa kau tidak kembali setelah membeli gulali" Dan mumpung belum lama, bagaimana kalau kau beritahu di mana kau sekarang. Biar aku bisa datang dan menjambak rambutmu dengan tangan kosong!
Aku menepuk dahi beberapa kali.
Kupikir kau diculik! Vee mencerocos. Kupikir kau dibawa lari orang! Kupikir kau dibunuh!
Aku berusaha menemukan jam dalam kegelapan. Tetapi malah membentur bingkai foto di meja, dan semua bingkai lainnya terjatuh seperti kartu domino.
Mungkin karena selisih jalan, kataku. Saat aku kembali ke arkade, kau sudah pergi.
Selisih jalan " Alasan macam apa itu" Angka-angka merah pada jam mulai menajam dalam pandanganku. Baru jam dua pagi.
Aku memutari lapangan parkir selama satu jam, kata Vee. Elliot menyusuri tempat parkir sambil menunjukkan satu-satunya fotomu di ponselku. Aku berusaha menghubungimu sejuta kali. Tunggu dulu. Kau di rumah" Bagaimana kau sampai ke rumah" Aku menggosok-gosok sudut mataku. Patch. Patch si Penguntit"
Well, aku tak punya banyak pilihan, bukan" kataku singkat. Kau pergi tanpa aku.
Kau terdengar senang. Benar-benar senang. Bukan, bukan itu. Kau terdengar agak kacau& bingung& bergairah. Aku bisa merasakan matanya melebar. Dia menciummu, ya"
Tak ada jawaban. Benar! Aku tahu! Aku sudah bisa melihat dari caranya melihatmu. Aku tahu ini akan terjadi. Aku sudah bisa melihatnya.
Aku tak mau memikirkannya.
Seperti apa" desak Vee. Ciuman persik" Ciuman plum" Atau mungkin ciuman al-fal-fa"
Apa" Apakah itu sebuah kecupan, apakan mulutnya terbuka, atau dia memakai lidah" Tak apa-apa. Kau tak perlu menjawab. Patch bukan jenis cowok yang sabar dengan pendahuluan. Pasti dengan lidah. Yakin.
Aku menutup wajahku dengan tangan, menyembunyikannya. Mungkin Patch berpikir aku tak punya kendali-diri. Aku jatuh ke dalam pelukannya. Aku meleleh seperti mentega. Persis sebelum aku memberitahu kalau dia seharusnya pergi, aku yakin telah mengeluarkan suara yang merupakan campuran antara desahan kenikmatan dan geraman ekstasi. Itulah sebabnya dia nyengir.
Bisa disambung nanti" tanyaku, menjepit batang hidungku.
Tidak. Aku menghela napas. Aku benar-benar lelah. A ku tak percaya kau berniat membuatku menunggu.
Kuharap kau melupakannya. Mustahil.
Aku berusaha membayangkan otot-otot leherku mengendur, mencegah sakit kepala yang kurasa mulai menjalar. Apakah kita tetap akan berbelanja besok" Kujemput kau jam empat.
Kupikir jam lima. Situasi berubah. Aku bahkan akan ke sana lebih siang lagi kalau aku bisa keluar dari jam keluarga. Ibuku sedang stres. Dia berpikir nilai-nilaiku buruk karena dia tak mampu menjadi ibu yang baik. Tampaknya menambah waktu kebersamaan adalah solusinya. Doakan aku baik-baik saja.
Aku menutup ponsel dan menyelipkannya ke ranjang. Aku membayangkan senyuman Patch yang kurang ajar dan mata hitamnya yang berkilau. Setelah berguling-guling di tempat tidur beberapa menit, aku menghentikan usahaku mencari kenyamanan. Sebenarnya selama Patch ada dalam benakku, kenyamanan tak akan kudapat.
Saat aku kecil, putra angkat Dorothea, Lionel, memecahkan salah satu gelas di dapur. Dia menyapu selu ru h pecahan gelas, kecuali sat u, dan dia memberanikan diri menjilatnya. Aku membayangkan jatuh ke dalam pelukan Patch agak mirip dengan menjilat pecahan itu. Aku tahu itu bodoh. Aku tahu itu bisa membuatku terluka. Tahun demi tahun berlalu, tapi ada satu hal yang tak berubah: bahaya masih mengintaiku.
Mendadak aku duduk lurus di atas ranjang dan meraih ponsel. Aku menyalakan lampunya. Baterai ponsel terisi penuh.
Bulu kudukku merinding. Ponselku seharusnya mati. Mengapa telepon dari ibuku dan Vee bisa masuk"
Hujan menampar kerai toko yang berwarna-warni di sepanjang lorong dan menumpahkan air ke trotoar di bawah. Lampu-lampu minyak antik yang menunduk di kedua sisi jalan menyorotkan kehidupan. Dengan ujung payung bersentuhan, Vee dan aku bergegas menyusuri trotoar, berjalan di bawah kerai Victoria s Secret yang bercorak garis-garis merah muda dan putih. Kami menggoyangkan payung berbarengan lalu meletakkannya di luar pintu masuk.
Kilat menggelegar membuat kami menerobos pintu cepat-cepat. Aku mencipratkan air hujan dalam sepatuku dan menggigil kedinginan. Beberapa tungku penyebar
keharuman menyala di tempat pajang di tengah-tengah toko, menyelimuti kami dengan aroma yang eksotis dan menusuk hidung.
Seorang perempuan yang mengenakan celana hitam dan kaus hitam ketat menghampiri. Di lehernya tergantung pita pengukur, dan dia menariknya. Apakah kalian ingin diukur gratis
Letakkan pita sialan itu, perintah Vee. Aku tahu ukuranku. Tak perlu diingatkan lagi.
Aku tersenyum kepada perempuan itu, separuh sebagai permintaan maaf, sambil bergegas mengikuti Vee yang menuju keranjang barang-barang obral di belakang.
Cup D tak perlu membuatmu malu, kataku kepada Vee. Aku mengangkat sebuah bra satin warna biru dan melihat label harganya.


Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa yang malu" kata Vee. Aku tidak malu. Kenapa aku harus malu" Satu-satunya cewek berumur enam belas yang payudaranya sebesar aku, disumpal dengan silikon semua orang juga tahu. Kenapa aku harus punya alasan untuk malu" Dia mengaduk-aduk keranjang. Apakah ada bra yang bisa membuat dadaku rata"
Namanya sport bra. Bra semacam itu punya efek jahat yang disebut perataan payudara, kataku, mataku menangkap sebuah bra hitam berenda di atas tumpukan.
Seharusnya aku tidak melihat-lihat pakaian dalam. Kegiatan ini secara alamiah membuatku berpikir tentang hal-hal yang seksi. Seperti ciuman. Seperti Patch.
Aku memejamkan mata dan membayangkan malam itu. Sentuhan tangan Patch di pahaku, bibirnya mengecup leherku&
Vee membuatku kaget dengan memasangkan bra warna biru tua bercorak loreng macan ke dadaku. Ini akan tampak bagus padamu, katanya. Asalkan kau punya dada seperti aku.
Apa yang kupikirkan" Aku tinggal sesenti lagi untuk berciuman dengan Patch. Patch yang belakangan ini menjajah pikiranku. Patch yang menyelamatkan aku dari kematian saat di Archangel karena aku yakin itulah yang terjadi, meskipun tak ada penjelasan logisnya. Aku bertanya-tanya apakah Patch entah bagaimana menghentikan waktu dan menangkap tubuhku saat terjatuh. Kalau dia mampu berbicara ke dalam pikiranku, mungkin, dia juga mampu melakukan hal-hal lain.
Atau mungkin aku tak bisa lagi memercayai pikiranku sendiri, batinku sambil bergidik.
Secarik kertas dari Patch masih berada dalam saku celanaku. Tapi aku tak akan pergi ke pesta malam ini. Diam-diam aku menikmati ketertarikan di antara kami. Tapi misteri dan keganjilan menghalanginya. Mulai dari sekarang, aku akan mencuci jejak Patch dari kepalaku.
Dan kali ini aku sungguh-sungguh. Ini tak akan berbeda dari diet pembersihan. Masalahnya, satu-satunya diet yang aku jalani gagal total. Aku pernah berniat tidak makan cokelat selama sebulan. Satu gigitan sekalipun. Tapi setelah dua minggu, aku melanggarnya. Dan ujungujungnya aku malah menghabisi lebih banyak cokelat daripada yang biasa kumakan selama tiga bulan.
Kuharap diet bebas cokelatku tidak menghalangi usahaku menghindari Patch.
Apa yang kau lakukan" tanyaku, perhatianku tertuju kepada Vee.
Kelihatannya bagaimana" Aku mencopoti label harga dari bra obralan ini dan menempelkannya ke bra yang bukan obralan. Dengan begini aku bisa mendapatkan bra seksi dengan harga minim.
Kau tak boleh melakukannya. Pelayan akan memindai kode batang saat kau keluar dari tempat ini. Dia akan tahu perbuatanmu.
Kode batang" Mereka tak memindai kode batang. Vee tampak sangat yakin.
Ada. Sumpah. Menurutku berbohong lebih baik daripada melihat Vee dijebloskan ke dalam penjara. Well, sepertinya ini ide bagus&
Kau harus beli yang ini, kataku, melemparkan pakaian dalam sutra ke Vee dengan harapan pikirannya beralih.
Dia mengangkat celana dalam itu. Bahannya bersulam motif merah kecil-kecil. Ini pakaian dalam paling menjijikkan yang pernah kulihat. Tapi aku suka bra hitam yang sedang kau pegang. Kupikir kau harus membelinya. Bayar saja, aku masih harus mencari.
Aku membayar. Kemudian, dengan pikiran akan lebih mudah melupakan Patch kalau aku melihat-lihat sesuatu yang lebih manis, aku berjalan ke rak losion. Selagi mengendus-endus botol Dream Angels, aku merasakan suatu keberadaan seseorang yang familer tak jauh dariku. Rasanya seperti satu sekop es krim dijatuhkan ke belakang blusku. Entakan mengejutkan ini kualami setiap kali Patch mendekat. Tak ada pelanggan lain di toko itu kecuali aku dan Vee. Tapi di luar jendela pelat kaca, aku melihat sosok bertudung sedang berjalan di bawah bayangan kerai di seberang jalan. Merasa tidak tenang, aku berdiri tak bergerak selama satu menit penuh sebelum aku tersadar dan mencari Vee. Kita harus pergi, kataku.
Vee sedang melihat-lihat tumpukan baju malam. Wow. Lihat yang ini piyama flanel diskon lima puluh persen. Aku butuh piyama.
Mataku terus ke jendela. Rasanya aku diikuti. Kepala Vee mendongak. Patch"
Bukan. Lihat ke seberang jalan. Mata Vee menyipit. Tak ada siapa-siapa.
Aku pun tak melihat orang itu lagi. Sebuah mobil berlalu cepat, mengganggu wilayah pandangku. Kurasa mereka masuk ke toko itu.
Kenapa kau merasa mereka mengikutimu" Firasat buruk.
Apa mereka orang yang kita kenal" Misalnya& campuran antara Pippi si Kaus Kaki Panjang dan Penyihir Jahat dari Barat akan menghasilkan Marcie Millar.
Bukan Marcie, kataku, mataku masih menatap ke seberang jalan. Begitu aku meninggalkan arkade kemarin malam untuk membeli gulali, aku melihat seseorang mengawasiku. Rasanya orang itu ada di sini sekarang.
Kau serius" Kenapa baru bilang sekarang" Siapa dia"
Aku tak tahu. Dan ini membuatku takut. Aku bertanya kepada pelayan, Bisa ke toko itu melalui pintu belakang"
Dia berhenti merapikan laci. Khusus karyawan. Orang itu laki-laki atau perempuan" Vee penasaran.
Tak bisa kukatakan. Well, kenapa kau berpikir kalau mereka mengikutimu" Apa yang mereka inginkan"
Menakut-nakuti aku. Sepertinya jawaban itu cukup rasional.
Kenapa mereka ingin menakut-nakutimu" Lagi-lagi, aku tak tahu.
Kita harus mengalihkan perhatiannya, kataku kepada Vee.
Aku juga berpikir begitu, katanya. Dan kau tahu, aku sangat ahli dalam hal ini. Lepaskan jaket jinsmu.
Aku melotot. Tidak. Kita tak tahu apa-apa tentang orang ini. Aku tak akan membiarkanmu pergi dengan mengenakan bajuku. Bagaimana kalau mereka membawa senjata"
Kadang-kadang imajinasimu membuatku takut, kata Vee.
Harus kuakui, gagasan bahwa mereka bersenjata dan berniat membunuh terlalu berlebihan. Tetapi dengan berbagai kejadian menyeramkan belakangan ini, aku tak bisa menyalahkan diriku karena merasa terjepit dan membayangkan kejadian terburuk.
Aku keluar duluan, kata Vee. Kalau mereka mengikutiku, kau ikuti mereka. Aku akan menuju bukit, ke arah pemakaman. Kemudian kita akan mengepung mereka dan meminta penjelasan.
Semenit kemudian Vee pergi ke toko itu mengenakan jaket jinsku. Dia mengambil payung merahku, memegangnya dekat kepala. Kecuali lebih tinggi beberapa inci dan lebih gemuk beberapa pon dariku, Vee tampak seperti aku. Dari tempat aku berjongkok di belakang
rak baju tidur, aku mengawasi sosok bertudung itu keluar dari toko di seberang jalan dan membuntuti Vee. Aku berjingkat lebih dekat ke jendela. Melalui sweter longgar dan jins yang dikenakan orang itu, seolah dia ingin tampil androgini. Tapi cara berjalannya feminin. Jelas-jelas feminin.
Vee dan gadis itu berbelok di tikungan lalu menghilang, dan aku berlari ke pintu. Di luar hujan bertambah lebat.
Setelah menarik payung Vee, aku berjalan cepat di bawah kerai, berusaha menghindari kucuran hujan. Bagian bawah celana jinsku terasa basah. Andai saja aku memakai sepatu bot.
Di belakangku, pilar melebar menjadi samudera semen abun-abu. Di depanku, jejeran toko berakhir di kaki bukit yang terjal dan berumput. Di puncak bukit itu aku hanya bisa melihat pagar besi pemakaman lokal yang berdiri tinggi.
Aku membuka pintu Neon, memasang mesin antibeku ke tingkat tinggi, dan menyalakan wiper ke batas maksimal. Aku melewati lapangan parkir dan berbelok ke kiri, berusaha menyeimbangkan mobil di jalan yang berbelok-belok. Pepohonan di pemakaman melambailambai. Dahan-dahannya seolah hidup lantaran fungsi wiper yang digenjot habis-habisan. Nisan-nisan marmer
putih seolah menjulang dari kegelapan. Dan nisan abuabu menyatu dengan sekitarnya.
Entah dari mana, sebuah objek merah menabrak kaca depan. Benda itu membentur kaca tepat di area penglihatanku, kemudian terangkat ke atas mobil. Aku menginjak rem sekuat-kuatnya dan Neon menderit berhenti di bahu jalan.
Aku membuka pintu lalu keluar. Berlari ke belakang mobil, aku berusaha mencari benda yang barusan menabrak mobil.
Sesaat aku merasa bingung ketika pikiranku memproses sesuatu yang kulihat. Payung merahku tergeletak di tengah rumput. Patah. Satu sisinya terkulai, persis seperti yang kuduga kalau benda itu digunakan untuk memukul benda lain. Benda yang lebih keras.
Di tengah-tengah derasnya hujan, aku mendengar isakan tangis.
Vee" kataku. Aku berlari menyeberangi jalan, melindungi mata dari kucuran hujan sementara mataku mencoba melihat ke kejauhan. Sesosok tubuh meringkuk di depan. Aku berlari.
Vee! aku berjongkok di sampingnya. Tubuh Vee bertumpu ke satu sisi, kakinya ditarik ke dada. Dia menangis.
Apa yang terjadi" Apakah kau baik-baik saja" Kau bisa bergerak" Aku menengadah, menghadap hujan.
Putar otakmu! kataku dalam hati. Ponselku. Di belakang mobil. Aku harus menghubungi 911.
Aku akan mencari bantuan, kataku kepada Vee. Dia meringis dan menarik tanganku.
Aku membungkukkan badan, memeluknya erat-erat. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Apa yang terjadi" Apakah ini karena orang yang membuntutimu" Apakah ini perbuatan mereka"Apa yang mereka lakukan"
Vee menggumamkan sesuatu yang sepertinya adalah tasku . Benar, tasnya hilang.
Kau akan baik-baik saja. Aku berusaha agar suaraku terdengar tegar. Ada firasat buruk dalam hatiku, dan aku berusaha menyingkirkannya jauh-jauh. Aku yakin ini perbuatan orang yang mengawasiku di Delphic dan membuntuti aku saat berbelanja hari ini. Tapi aku menyalahkan diriku sendiri karena membiarkan Vee melakukan perbuatan berbahaya ini. Aku berlari kembali ke Neon dan menekan angka 911 pada ponselku.
Sambil berusaha tidak histeris, aku berkata, Aku perlu ambulans. Temanku diserang dan dirampok.
enin kUlalUi Dengan pikiran kaCaU. Aku masuk ke satu kelas ke kelas lain dan menanti bel tanda jam sekolah berakhir. Aku sudah menelepon rumah sakit sebelum ke sekolah dan mendapat informasi bahwa Vee dibawa ke ruang operasi. Tangan kirinya retak akibat serangan itu. Dan karena tulangnya tidak lurus, dia harus dioperasi. Aku ingin menjenguknya, tapi Vee baru bisa ditengok pada siang hari, setelah efek anestesinya hilang dan staf rumah sakit memindahkannya ke kamar inap. Aku harus mendengar penjelasan tentang serangan itu sebelum Vee
lupa akan rinciannya atau memolesnya. Apa pun yang dia ingat akan mengisi lubang dalam teka-teki besar dan membantuku memperoleh jawaban, siapa yang melakukannya.
Jam bergeser ke waktu siang, konsentrasiku bergeser dari Vee ke gadis di luar Victoria s Secret. Siapakah dia" Apa yang dia inginkan" Mungkinkah penyerangan Vee yang terjadi beberapa menit setelah aku melihat gadis itu membuntutinya hanyalah sebuah kebetulan yang menjengkelkan saja" Tapi naluriku menolak. Aku ingin mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang wajah gadis itu. Jaket bertudung dan jins longgar, ditambah hujan, membuat penyamarannya sempurna. Menurutku, dia bisa saja Marcie Millar. Tapi lubuk hatiku mengatakan gambaran itu tidak cocok.
Aku bergegas ke loker untuk mengambil buku biologi, lalu menuju kelas terakhir. Saat aku masuk, kursi Patch masih kosong. Biasanya dia datang pada waktu semepet mungkin, seolah bersekutu dengan bunyi bel yang malas. Tapi bel sudah berbunyi dan Pelatih sudah menempati posisinya di samping papan tulis untuk memulai pelajaran tentang persamaan.
Aku menatap kursi Patch yang kosong. Suara kecil dalam kepalaku berspekulasi kalau ketidakhadirannya mungkin berkaitan dengan peristiwa penyerangan Vee. Agak aneh rasanya, dia menghilang keesokan paginya.
Dan aku tak bisa melupakan desiran dingin yang kurasakan sesaat sebelum melihat ke luar Victoria s Secret, sadar bahwa aku diawasi seseorang. Kali lain perasaan yang sama datang, itu karena Patch mendekat.
Sua ra nala rku cepatcepat meny i ng k i rka n keterlibatan Patch. Mungkin dia terserang influenza. Atau dia kehabisan bensin ketika menuju sekolah dan terjebak bermil-mil jauhnya. Atau mungkin ada pertandingan pool dengan taruhan besar di Bo s Arcade dan Patch memutuskan akan lebih menguntungkan untuk bertanding daripada menghabiskan siang hari dengan mempelajari seluk-beluk tubuh manusia. Saat kelas berakhir, Pelatih menahanku di pintu. Tunggu sebentar, Nora.
Aku berbalik dan menaikkan ranselku ke pundak. Ya"
Dia mengulurkan selembar kertas yang terlipat. Miss Greene mampir ke ruanganku sebelum kelas dimulai dan memintaku untuk menyerahkan kertas ini kepadamu, katanya.
Aku menerima catatan itu. Miss Greene" Aku tak punya guru bernama itu.
Dia psikolog sekolah yang baru. Menggantikan Dr. Hendrickson.
Aku membuka kertas dan membaca tulisan tangan di dalamnya.
Dear Nora, Aku akan meng gantikan Dr. Hendrickson sebagai psikolog sekolahmu.
Sepertinya kau tidak hadir pada dua sesi terakhir dengan Dr. Hendrickson. Harap datang begitu kau sempat, agar kita bisa berkenalan. Aku sudah mengirim surat kepada ibumu untuk memberitahukan perubahan ini. Salam,
Miss Greene Terima kasih, kataku kepada Pelatih, melipat catatan itu sampai kecil hingga muat disisipkan ke dalam saku.
Di luar kelas, aku berbaur dengan arus siswa. Tak bisa menghindar lagi sekarang aku harus menemuinya. Aku terus melewati koridor sampai menemukan pintu kantor Dr. Hendrickson yang tertutup. Benar, pelat nama yang baru sudah bergantung di pintu. Terbuat dari tembaga berplitur, tulisan itu berkilau di atas pintu kayu dedalu yang kusam: MISS D. GREENE, PSIKOLOG SEKOLAH.
Aku mengetuk pintu, dan sebentar kemudian pintu itu dibuka dari dalam. Miss Greene memiliki kulit pucat mulus, mata biru laut, bibir penuh, dan rambut pirang lurus dan cantik yang terjurai melewati siku tangannya.
Rambut itu dibelah tengah pada puncak wajahnya yang bulat telur. Kacamata kucing berbingkai biru kehijauan bertengger di puncak hidungnya. Dia mengenakan busana formal bawahan abu-abu bergaris-garis tipis dan blus sutra warna merah muda. Sosoknya tinggi ramping tapi feminin. Usianya paling banter lima tahun di atasku.
Kau pasti Nora Grey. Kau mirip dengan gambaran dalam arsipmu, katanya, sambil menyalamiku dengan kencang. Suaranya keras tapi tidak kasar. Seperti orang bisnis.
Melangkah mundur, dia memberi isyarat agar aku masuk.
Kau mau jus, air putih" dia bertanya. Ada apa dengan Dr. Hendrickson"
Dia pensiun dini. Aku sudah mengincar pekerjaan ini cukup lama, jadi aku langsung mendaftar begitu ada lowongan. Aku tinggal di Florida State, tapi dibesarkan di Portland. Kedua orangtuaku masih tinggal di sana. Senang sekali bisa berdekatan dengan keluarga lagi.
Aku mengamati ruangan kecil itu. Ada perubahan besar sejak terakhir aku ke sini beberapa minggu lalu. Rak-rak yang menempel di dinding sekarang berisi buku-buku tebal yang terkesan akademis, tapi juga umum. Semuanya berwarna netral dengan cetakan huruf emas. Dr. Hendrickson menggunakan rak itu
untuk memajang foto keluarga. Tapi Miss Greene tak mau membeberkan kehidupan pribadinya. Pohon pakis yang lama bergantung di samping jendela. Tapi di bawah perawatan Dr. Hendrickson, warnanya jauh lebih cokelat dibandingkan hijau. Beberapa hari ditangani oleh Miss Greene, tanaman itu sudah terlihat menarik dan cerah. Ada sebuah kursi merah muda bercorak paisley di seberang meja, dan beberapa kotak yang bisa dipindahkan, ditumpuk di sudut.
Jumat adalah hari pertamaku, katanya menjelaskan, melihat mataku jatuh ke kotak-kotak itu. Aku belum selesai membongkar barang. Duduklah.
Aku menurunkan ranselku dan duduk di kursi paisley. Tak ada satu pun benda di ruangan kecil itu yang memberi jejak terhadap kepribadian Miss Greene. Ada tumpukan map di atas mejanya tidak rapi, tapi tidak berantakan juga dan sebuah mug putih yang tampaknya berisi teh. Tak ada aroma parfum atau penyegar ruangan. Layar komputernya hitam.
Miss Greene berjongkok di depan laci arsip di belakang mejanya. Dia mengeluarkan sebuah map manila bersih yang di atasnya tertera namaku dengan Magic Marker hitam. Miss Greene meletakkan map itu di atas meja, di sebelah map lamaku yang sedikit kotor oleh noda cangkir kopi Dr. Hendrickson.
S em i ng g u i n i a ku mempelaja ri a rsip Dr. Hendrickson, katanya. Hanya di antara kita saja, tulisan tangannya membuatku sakit kepala. Jadi aku menyalin semua file-nya. Kaget juga, karena dia tak menggunakan komputer untuk mengetik catatan. Siapa sih yang masih menggunakan tulisan tangan di era ini"
Miss Greene kembali ke kursi putarnya, menyilangkan kaki, dan tersenyum sopan kepadaku. Well. Bagaimana kalau kau menceritakan sedikit riwayat pertemuanmu dengan Dr. Hendrickson" Aku sulit sekali memahami catatannya. Sepertinya kalian membicarakan perasaanmu tentang pekerjaan baru ibumu.
Tidak baru benar. Sudah setahun.
Biasanya dia tinggal di rumah, betul" Dan setelah ayahmu meninggal, dia bekerja. Mata Miss Greene menyipit ke lembaran file-ku. Dia bekerja di perusahaan lelang, betul" Tampaknya dia bertugas mengoordinasikan lelang tanah di pesisir ini. Dia mengintip dari kacamatanya. Pasti dia sering bepergian.
Kami ingin tinggal di rumah pertanian kami, kataku, nada bicaraku menjadi defensif. Kami tak mampu membayar hipotek kalau Ibu mengambil pekerjaan di daerah ini. Aku bukannya menyukai sesi dengan Dr. Hendrickson, tapi aku jengkel karena dia pensiun dan melempar aku ke Miss Greene. Ada setitik perasaan tak suka kepada Miss Greene, dan sepertinya dia sangat
memperhatikan detail. Aku rasa dia gatal untuk menggali setiap sudut gelap dalam kehidupanku.
Ya, tapi kau pasti sangat kesepian karena sendirian di rumah itu.
Ada seorang pelayan rumah yang menemaniku setiap siang sampai jam sembilan atau sepuluh malam. Tapi pelayan tentu tak sama dengan ibu. Aku menatap ke pintu. Aku bahkan tak berusaha menutup-nutupinya.
Apa kau punya sahabat" Pacar" Seseorang tempat mencurahkan isi hati ketika pelayanmu sepertinya& kurang cocok" Dia mencelupkan satu kantong teh ke dalam mug, lalu mengangkat untuk menyesapnya.
Aku punya sahabat. Aku menetapkan hati untuk berbicara sesedikit mungkin. Semakin sedikit yang kuucapkan, semakin singkat sesi ini. Semakin singkat sesi ini, semakin cepat aku bisa menjenguk Vee. Alisnya terangkat. Pacar"
Tak ada. Kau gadis yang menarik. Pasti ada beberapa lawan jenis yang menaksirmu.
Begini, kataku sesabar mungkin, aku sungguh menghargai usahamu menolongku. Tapi aku sudah melewati pembicaraan yang persis seperti ini dengan Dr. Hendrickson setahun lalu ketika ayahku meninggal. Mengulangnya tak akan berarti apa-apa. Sama saja
seperti mundur ke masa lalu dan membangkitkan peristiwa itu lagi. Ya, itu peristiwa yang tragis dan sangat buruk. Dan aku masih berusaha mengatasinya setiap hari, tapi yang aku butuhkan saat ini adalah melanjutkan hidup.
Jam di dinding berdetak di antara kami. Well, kata Miss Greene akhirnya, berusaha tersenyum. Terima kasih telah memberitahukan sudut pandangmu, Nora. Itulah yang aku coba pahami. Aku akan memasukkan catatan tentang perasaanmu ke dalam file-mu. Ada lagi yang ingin kau bicarakan"
Tidak. Aku tersenyum untuk menegaskan kalau aku baik-baik saja, sungguh.
Dia membalik beberapa halaman file-ku lagi. Aku tak tahu pengamatan Dr. Hendrickson yang diabadikan di sana. Dan aku tak mau menunggu lebih lama untuk mengetahuinya.
Kuangkat ransel dari lantai dan beranjak ke ujung kursi. Aku tak bermaksud memotong sesi ini, tapi aku harus berada di tempat lain jam empat.
Oh" Aku tak punya keinginan untuk memberitahukan kejadian yang menimpa Vee kepada Miss Greene. Perpustakaan, aku berbohong.
Untuk mata pelajaran apa"
Aku menyebutkan jawaban pertama yang muncul dalam kepalaku. Biologi.
Omong-omong tentang mata pelajaran, bagaimana keadaanmu" Ada masalah"
Tidak. Dia membalik beberapa halaman lagi dalam file-ku. Nilai-nilaimu sangat bagus, katanya mengamati. Di sini disebutkan kalau kau membantu partner biologimu, Patch Cipriano. Miss Greene mengangkat wajah, sepertinya menunggu penegasan dariku.
Aku kaget karena tugasku menjadi mentor cukup penting untuk masuk ke dalam arsip psikolog. Sejauh ini kami belum bisa bertemu. Tabrakan jadwal. Aku mengangkat bahu yang mengisyaratkan Apa yang bisa kau lakukan"
Dia menutup mapku di atas meja, merapikan lembaran-lembaran kertas menjadi tumpukan yang rapi, kemudian memasukkannya ke dalam map baru yang diberi label dengan tulisan tangan. Supaya adil, aku akan berbicara dengan Mr. McConaughy dan membahas beberapa ketentuan sesi mentormu. Aku ingin sesi itu dilakukan di sekolah, di bawah pengawasan langsung seorang guru atau petugas sekolah lainnya. Aku tak mau kau memberi mentor kepada Patch di luar wilayah sekolah. Terutama, aku tak mau kalian bertemu berdua saja.
Desiran dingin merambat di kuliku. Kenapa" Ada apa"
Aku tak bisa membicarakannya.
Satu-satunya alasan yang terpikir olehku tentang mengapa dia tak mau aku berduaan dengan Patch adalah karena Patch berbahaya. Masa laluku akan membuatmu takut, katanya saat kami naik ke wahana Archangel.
Terima kasih atas waktumu. Aku tak ingin menahanmu lebih lama, kata Miss Greene. dia melangkah ke pintu, menahannya agar tetap terbuka dengan pinggulnya yang ramping. Miss Greene memberi senyum perpisahan, tapi kelihatan dipaksakan.
Keluar dari ruangan Miss Greene, aku menelepon rumah sakit. Operasi Vee sudah selesai, tapi dia masih di kamar pemulihan dan baru boleh dijenguk jam tujuh malam. Aku melihat jam di ponselku. Masih tiga jam lagi. Fiatku menunggu di lapangan parkir untuk siswa. Aku naik, dengan harapan menghabiskan sore itu sambil mengerjakan PR di perpustakaan akan membuatku tak bosan menunggu waktu besuk.
Sesorean itu aku di perpustakaan, dan tanpa disadari jam di dinding perlahan bergeser ke waktu malam. Perutku berbunyi di tengah perpustakaan yang sepi, dan pikiranku mengajakku ke mesin penjual makanan yang berdiri persis di pintu masuk sebelah dalam.
Sisa PR-ku bisa menunggu, tapi masih ada satu tugas lagi yang butuh bantuan materi perpustakaan. Ada komputer IBM kuno di rumah, dilengkapi layanan Internet dial-up. Dan biasanya aku berusaha mencegah diriku untuk berteriak-teriak tak penting dan menariknarik rambutku dengan memilih menggunakan komputer perpustakaan saja. Aku harus menyelesaikan ulasan tentang film O thello untuk kolom editor eZine jam sembilan. Dan aku sudah berjanji untuk mencari makanan begitu aku merampungkan tugas itu.
Setelah mengemas barang-barang, aku menuju lift. Di dalamnya, aku menekan tombol untuk menutup pintu, tapi tidak langsung menekan tombol lantai yang kutuju. Aku mengeluarkan ponsel dan menelepon rumah sakit lagi.
Hai, kataku menyapa perawat yang menerima panggilanku. Temanku dalam pemulihan setelah operasi, dan ketika aku bertanya tadi, petugas mengatakan kalau dia akan dikeluarkan dari kamar pemulihan malam ini. Namanya Vee Sky.
Ada jeda dan bunyi tombol komputer yang ditekan. Sepertinya mereka akan membawanya ke kamar inap dalam satu jam.
Kapan waktu besuk berakhir" Jam delapan.
Terima kasih. Aku menutup telepon dan menekan tombol untuk ke lantai tiga.
Di lantai tiga, aku mengikuti arah panah ke koleksi buku, berharap dengan membaca beberapa ulasan teater di surat kabar lokal, aku akan mendapat ilham.
Permisi, kataku ke petugas di balik meja koleksi buku. Aku ingin mendapatkan surat kabar Portland Press H erald tahun lalu. Terutama kolom teaternya.
Kami tak punya koleksi untuk tahun itu, katanya. Tapi kalau kau mencari di Internet, aku yakin Portland Press H erald menyimpan arsip di website-nya. Lurus saja ke lorong di belakangmu dan kau akan melihat lab media di sebelah kiri.
Di dalam lab, aku menyalakan komputer. Aku hampir saja mengerjakan tugasku, tetapi sebuah ide muncul di kepala. Kenapa baru sekarang terpikir olehku" Setelah memastikan tak ada yang mengawasi dari belakang, aku meng-Google Patch Cipriano . Mungkin aku akan menemukan artikel yang memberi informasi tentang masa lalunya. Atau mungkin dia punya blog.
Aku mengerutkan kening saat melihat hasil telusur. Kosong. Tak ada Facebook, tak ada MySpace, tak ada blog. Seolah dia tak ada di dunia ini.
Bagaimana kisahmu, Patch" gumamku. Siapa kau sebenarnya"
Setengah jam kemudian, aku membaca beberapa ulasan dan mataku berbinar-binar. Aku menyebar penelusuran online-ku ke seluruh surat kabar di Maine. Sebuah link ke surat kabar sekolah Kinghorn Prep muncul. Beberapa detik berlalu sebelum aku mengetikkan sebuah nama yang familier. Elliot pindahan dari Kinghorn Prep. Detik itu juga aku memutuskan untuk melihatnya. Kalau sekolah itu seelit yang dikatakan Elliot, barangkali mereka punya surat kabar yang hebat.
Aku meng-klik link itu, menelusuri halaman arsip, dan secara acak memilih tanggal 21 Maret tahun lalu. Sebentar kemudian muncul sebuah tajuk.
seorang sisWa kingHorn prep DiTUDUH
MeMbUnUH Aku merapatkan kursi ke meja, terpicu oleh ide akan membaca sesuatu yang lebih menarik daripada ulasan teater.
seorang siswa kinghorn preparatory berusia enam belas tahun yang diduga polisi tersangkut dalam kasus penggantungan di kinghorn telah dibebaskan tanpa dakwaan. setelah jasad gadis berusia delapan belas tahun, kjirsten Halverson, ditemukan menggantung di sebuah pohon di hutan sekolah kinghorn prep, polisi memeriksa siswa kelas satu, elliot saunders, yang terlihat bersama korban pada malam kematiannya.
Pikiranku lamban memproses informasi itu. Elliot diperiksa dalam investigasi kasus pembunuhan"
Halverson bekerja sebagai pelayan di restoran blind Joe. polisi menegaskan bahwa Halverson dan saunders terlihat berjalan bersama di lingkungan sekolah pada sabtu malam itu. Jenazah Halverson ditemukan Minggu pagi, dan saunders dibebaskan senin siang, setelah ditemukan sebuah catatan bunuh diri di apartemen Halverson.
Ada yang menarik" Aku melompat kaget mendengar suara Elliot di belakangku. Aku berbalik dan melihatnya sedang bersandar di pintu. Matanya menyipit sedikit, mulutnya membentuk garis datar. Desiran dingin menjalar dalam diriku, seperti rona malu, tapi ini kebalikannya.
Aku menggeser kursi sedikit ke kanan, berusaha menutup monitor dengan tubuhku. Aku aku baru saja menyelesaikan PR. Bagaimana denganmu" Apa yang kau lakukan" Aku tak mendengarmu datang. Berapa lama kau berdiri di sana" Nada bicaraku kacau balau.
Elliot beranjak dari pintu dan berjalan ke dalam lab. Aku cepat-cepat mencari tombol on/off di monitor.
Aku sedang mencoba mencari inspirasi untuk tugas membuat ulasan teater yang harus kuserahkan kepada editorku malam ini. Bicaraku masih kelewat cepat. Mana sih tombolnya"
Elliot menyelidik ke sekelilingku. Ulasan teater" Jariku menyentuh tombol, dan aku mendengar bunyi monitor mati. Maaf, kau mengatakan sedang apa kau di sini"
Aku sedang melewati ruangan ini ketika aku melihatmu. Ada yang salah" Kau kelihatan& gugup.
Oh gula darahku rendah. Aku merapikan kertas dan bukuku menjadi tumpukan dan menjejalkannya ke dalam ransel. Aku belum makan sejak siang.
Elliot menarik kursi di dekatku dan menggesernya ke sebelahku. Dia memutar sandaran kursi itu dan mencondongkan tubuhnya, menjajah wilayah personalku. Mungkin aku bisa membantumu membuat ulasan.
Aku menjauh. Wow, baik sekali, tapi aku harus pergi sekarang. Untuk mencari makanan. Rehat itu perlu.
Biar aku traktir, katanya. Bukankah ada rumah makan di sudut sana"
Terima kasih, tapi ibuku menunggu. Dia ke luar kota seminggu ini dan kembali malam ini. Aku berdiri dan berusaha melewatinya. Dia mengeluarkan ponsel, dan menyorongkannya ke perutku.
Telepon saja. Aku menunduk ke ponsel itu dan mencari-cari alasan. Aku tak boleh keluar malam pada hari-hari sekolah.
Berbohonglah, Nora. Katakan PR-mu menyita waktu lebih lama dari yang kau kira. Katakan kau masih harus di perpustakaan. Dia tak akan tahu bedanya.
Belum pernah aku mendengar Elliot berbicara seperti itu. Mata birunya berkilat dingin, mulutnya tampak lebih tipis.
Ibuku tak suka kalau aku pergi dengan cowok yang belum dikenalnya, kataku.
Elliot tersenyum, tapi tak ada kehangatan di sana. Kita berdua tahu, kau tak terlalu patuh dengan aturan ibumu, karena Sabtu malam kau bersamaku di Delphic.
Ranselku menggantung di salah satu bahu, dan aku menggenggam talinya. Tanpa mengatakan apa-apa, aku bergegas melewati Elliot dan keluar dari lab, sadar kalau dia menyalakan monitor, dia akan membaca artikel itu. Tapi sekarang aku tak bisa berbuat apa-apa.
Setelah separuh jalan ke meja koleksi, aku memberanikan diri melihat melalui bahuku. Dinding berpelat kaca itu menunjukkan kalau lab kosong. Tak ada Elliot. Aku mengambil jalan kembali ke komputer, sambil tetap berjaga-jaga seandainya dia muncul kembali. Aku menyalakan monitor. Artikel tentang investigasi pembunuhan itu masih ada di sana. Setelah mencetaknya ke printer terdekat, aku menyelipkan kertas itu ke dalam bukuku, mematikan komputer, dan cepat-cepat keluar.
onselkU bergeTar Di Dal aM sakU. seTelaH memastikan kalau aku tidak dipelototi oleh petugas perpustakaan, aku mengangkat telepon, Ibu"
Kabar bagus, katanya. Pelelangan selesai lebih cepat. Aku bisa pulang satu jam lebih awal dari jadwal dan akan sampai di rumah sebentar lagi. Kau di mana"
Hai! Kukira kita bertemu masih agak lama. Aku baru saja keluar dari perpustakaan. Bagaimana kota utara New York"
New York& panjang. Dia tertawa, tapi terdengar lelah. Tak sabar rasanya untuk bertemu denganmu.
Aku memandang ke sekeliling untuk melihat jam. Aku ingin mampir di rumah sakit untuk menjemput Vee dulu sebelum pulang.
Begini, kataku kepada ibu. aku harus menjenguk Vee dulu. Mungkin aku akan terlambat beberapa menit. Aku tak akan lama janji.
Oke, aku menangkap sedikit kekecewaan. Ada perkembangan baru" Aku sudah menerima pesanmu pagi ini tentang operasi Vee.
Operasinya sudah selesai. Mereka akan membawanya ke kamar inap sebentar lagi.
Nora. Aku mendengar gumpalan emosi dalam suaranya. Aku senang kau baik-baik saja. Aku tak bisa hidup kalau sesuatu menimpamu. Terutama sejak ayahmu Kalimatnya terputus. Aku senang kita berdua baik-baik saja. Sampaikan salamku untuk Vee. Sampai ketemu. Peluk dan cium.
Aku sayang Ibu. Regional Medical Center di Coldwater adalah bangunan tiga lantai yang tersusun dari bata merah dengan jalan setapak menuju gerbang utamanya. Aku melewati pintu kaca putar dan berhenti di meja utama untuk mencari informasi tentang Vee. Petugas mengatakan kalau Vee sudah dipindahkan ke kamar, satu setengah jam lalu. Dan jam besuk berakhir lima
belas menit lagi. Aku menuju lift dan menekan tombol lantai yang kutuju.
Di kamar 207, aku mendorong pintu. Vee" Aku menepis seikat balon di dalam kamar, melewati ruang tunggu berukuran kecil, dan melihat Vee terbaring di ranjang. Tangan kirinya yang digips menyilang di atas tubuhnya.
Hai! kataku setelah melihatnya terjaga. Vee mendesah keras. Aku suka obat. Sungguh. Bahkan kapucino Enzo saja kalah. Hei, itu berima. Kapucino Enzo. Ini pertanda. Aku ditakdirkan menjadi penyair. Kau mau dengar puisi yang lain" Aku mahir menciptakan karya secara spontan.
Ehmm Seorang perawat bergegas masuk dan menggoyanggoyangkan tabung infus Vee. Kau baik-baik saja" tanyanya kepada Vee.
Lupakan karir menjadi penyair, kata Vee. Aku ditakdirkan menjadi pelawak panggung. Tok, tok. Apa" kataku.
Sang perawat memutar bola matanya. Siapa di sana"
Swedia, kata Vee. Swedia apa"
Swedia payung sebelum hujan!
Mungkin dosis pereda sakitnya sebaiknya dikurangi, kataku kepada perawat.
Terlambat. Aku baru saja memberi dosis tambahan. Lihat saja bagaimana keadaannya sepuluh menit lagi. Perawat itu bergegas kembali ke pintu.
Everytime 5 Dewa Arak 87 Setan Bongkok Rahasia Cinta Tua Gila 1

Cari Blog Ini