Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick Bagian 3
Jadi" tanyaku kepada Vee. Apa vonisnya" Vonis" Dokterku gendut abis. Mirip sekali dengan tambur. Jangan menatapku seperti itu. Terakhir kali datang, dia malah berbelok ke Funky Chicken. Dan dia tak berhenti-berhentinya makan cokelat. Benar-benar cokelat maniak. Kau tahu cokelat kelinci yang dijual untuk Paskah" Itulah yang dimakan si tambur untuk makan malam. Untuk makan siangnya cokelat bebek dan permen marshmallow kuning.
Maksudku vonis& aku menunjuk ke peralatan medis yang menghiasi Vee.
Oh. Satu tangan patah, sebuah luka, beberapa robekan, memar, dan goresan. Untungnya refleksku bagus. Aku melompat tepat pada waktunya sehingga terhindar dari cedera yang lebih parah. Kalau soal refleks, aku seperti kucing. Aku ini Catwoman. Kuat. Satu-satunya alasan kenapa aku bisa begini, ya karena hujan. Kucing kan tak suka air. Air membuat kami lemah. Seperti kriptonit bagi kami.
Aku sangat menyesal, kataku tulus. Seharusnya aku yang terbaring di rumah sakit.
Dan mendapatkan obat-obatan ini" Ah-ah. Tidaklah yau.
Polisi sudah mendapat petunjuk" tanyaku. Nol. Nihil.
Tak ada saksi mata" Kami berada di pemakaman, di tengah-tengah hujan besar, Vee menegaskan. Kebanyakan orang normal berada di dalam ruangan.
Vee benar. Kebanyakan orang normal berada di dalam ruangan pada saat seperti itu. Tentu saja, Vee dan aku keluar& bersama dengan gadis misterius yang membuntuti Vee dari Victoria s Secret.
Bagaimana kejadiannya" tanyaku.
Aku sedang berjalan ke pemakaman seperti rencana kita. Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki di belakangku, Vee menjelaskan. Ketika itulah aku menoleh ke belakang, dan kejadiannya sangat cepat. Ada kilatan pistol, dan dia menyergapku. Seperti yang kukatakan kepada polisi, otakku tidak memberi perintah, Hei, cepat kenali identitasnya! Tetapi justru berkata, Astaga! Darah akan muncrat dari tubuhku! Dia membentak, memukulku tiga atau empat kali dengan pistol, merampas tasku, lalu kabur.
Aku malah bertambah bingung. Tunggu. Dia lakilaki" Kau melihat wajahnya"
Tentu laki-laki. Matanya hitam kelabu& seperti arang. Tapi hanya itu yang kulihat. Dia mengenakan topeng ski.
Saat Vee menyebut topeng ski, jantungku berdegup lebih cepat. Ternyata dia laki-laki yang menabrak kaca depan Neon. Aku yakin. Aku tidak berkhayal Vee buktinya. Aku teringat kalau segala bukti tentang terjadinya tabrakan itu lenyap. Mungkin bagian itu juga bukan hasil khayalanku. Lelaki ini, siapa pun dia, benar-benar ada. Tapi kalau kerusakan Neon bukan cuma khayalanku, apa yang sebenarnya terjadi malam itu" Apakah penglihatan, atau memoriku, entah bagaimana& diubah"
Tak lama kemudian serangkaian pertanyaan sekunder mencuat di kepalaku. Kali ini, apa yang dia inginkan" Apakah dia ada hubungannya dengan cewek di luar Victoria s Secret" Apakah lelaki itu tahu kalau aku berbelanja di toko itu" Pemakaian topeng ski sepertinya bagian dari rencana. Jadi, dia pasti tahu kalau aku akan ke tempat itu. Dan dia tak mau wajahnya dikenali.
Kau bilang ke seseorang kalau kita akan berbelanja" tanyaku tiba-tiba kepada Vee.
Vee menepuk bantal di belakang lehernya, berusaha mencari kenyamanan. Ibuku.
Tak ada yang lain" Sepertinya aku juga memberitahu Elliot.
Darahku seolah berhenti mengalir. Kau memberitahu Elliot"
Memangnya kenapa" Ada sesuatu yang harus kusampaikan, kataku sambil menguatkan hati. Ingat malam ketika aku mengemudikan Neon dan menabrak rusa" Yeah" kata Vee, mengerutkan kening. Itu bukan rusa. Tetapi seorang lelaki. Yang memakai topeng ski.
Yang benar" bisik Vee. Maksudmu, orang itu tidak memilihku secara kebetulan" Artinya ada yang dia inginkan dariku" Tidak, tunggu dulu. Ada yang dia inginkan darimu. Aku memakai jaketmu. Dia pikir aku adalah kau.
Seluruh tubuhku lemas. Setelah hening beberapa saat, Vee berkata, Kau yakin tidak memberitahu Patch kalau kita akan berbelanja" Karena dari sosoknya secara sepintas, aku mengira tubuhnya seperti Patch. Tinggi. Ramping. Kuat. Seksi, di luar tindakan penyerangan itu tentunya.
Mata Patch tidak kelabu, tapi hitam, aku menegaskan. Tapi aku juga merasa tidak nyaman karena aku memberitahu Patch tentang rencana kami berbelanja.
Vee mengangkat bahu. Mungkin matanya hitam. Aku tak ingat. Kejadiannya sangat cepat. Tapi aku yakin
soal pistol, katanya membantu. Senjata itu diarahkan kepadaku. Tepat ke arahku.
Aku mendorong beberapa potongan puzzle dalam kepalaku. Kalau Patch yang menyerang Vee, dia tentu melihatnya meninggalkan toko dengan mengenakan jaketku dan menyangka Vee adalah aku. Ketika dia tahu bahwa dia membuntuti target yang keliru, dia memukul Vee dengan pistol karena marah, lalu menghilang. Masalahnya, aku tak bisa membayangkan Patch melakukan perbuatan brutal terhadap Vee. Gambaran ini tak cocok. Lagi pula, dia seharusnya berada di pesta semalaman itu.
Apakah penyerangmu itu punya kemiripan dengan Elliot" tanyaku.
Vee tampak menyerap pertanyaan itu. Apa pun obat yang diberikan, tampaknya telah memperlambat proses pemikirannya. Dan aku praktis bisa mendengar setiap bagian otaknya berusaha bekerja.
Tubuhnya sekitar sepuluh kilo lebih ringan dan empat inci lebih tinggi dari Elliot.
Ini semua salahku, kataku. Seharusnya aku tak membiarkanmu meninggalkan toko dengan mengenakan jaketku.
Aku tahu kau tak mau mendengar pendapatuku ini, kata Vee, tampak berusaha melawan kantuk akibat obat. Tapi semakin kupikirkan, semakin besar
kemiripan antara Patch dan penyerangku. Perawakan yang sama. Langkah yang sama dengan kaki yang panjang. Sayang arsip sekolahnya kosong. Kita butuh alamat. Kita perlu meneliti lingkungannya. Kita harus menemukan seorang nenek-nenek di lingkungan itu yang memungkinkan kita untuk menempatkan webcam di jendelanya dan diarahkan ke rumah Patch. Karena ada sesuatu yang tak beres pada Patch.
Kau benar-benar berpikir Patch tega melakukan ini kepadamu" tanyaku, masih tak yakin.
Vee mengulum bibirnya. Kurasa ada sesuatu yang dia sembunyikan. Sesuatu yang penting.
Aku sependapat dalam hal ini.
Vee melesak lebih dalam di ranjangnya. Tubuhku merinding. Aku merasa bersemangat.
Kita tak punya alamat, kataku. Tapi kita tahu tempat kerjanya.
Apakah kau berpikir seperti yang kupikirkan" tanya Vee. Matanya berkilat sepintas menembus kabut obat penenang.
Berdasarkan pengalaman, kuharap tidak. Kita harus mengasah keterampilan melakukan mata-mata, kata Vee. Manfaatkan atau keterampilan itu akan hilang, begitu kata Pelatih. Kita harus mencari tahu tentang masa lalu Patch. Hei, aku berani taruhan
Pelatih akan memberi kita nilai tambah kalau kita bisa mengumpulkan informasi tentang Patch.
Sangat diragukan. Apalagi kalau melibatkan Vee, pekerjaan detektif ini akan bergeser ke perbuatan ilegal. Tambahan urusan yang satu ini tak ada hubungannya dengan biologi. Secuil pun.
Senyum kecil Vee tak membuatku besar hati. Meskipun baik untuk bersikap optimistis dalam persoalan ini, tapi aku ketakutan. Lelaki bertopeng ski itu masih di luar sana, merencanakan serangan berikutnya. Sepertinya masuk akal kalau Patch tahu apa yang sebenarnya terjadi. Lelaki bertopeng ski itu melompat di depan Neon, sehari setelah Patch menjadi partner biologiku. Mungkin itu bukan kebetulan.
Tepat saat itu perawat melongokkan kepalanya di pintu. Sudah jam delapan, katanya, mengetuk arloji. Jam besuk sudah habis.
Aku pergi dulu, kataku. Begitu langkah kaki perawat menghilang di lorong, aku menutup pintu Vee. Aku ingin privasi sebelum memberitahu Vee soal investigasi pembunuhan yang menyangkut Elliot. Tapi ketika aku kembali ke ranjang Vee, sepertinya obat penenang telah melumpuhkannya.
Begini, katanya dengan ekspresi ketenangan murni. Obat penenangnya& sebentar lagi& kehangatan& selamat tinggal, rasa sakit&
Vee Tok, tok. Vee, ini penting Tok, tok.
Ini tentang Elliot Tok, tooook, kata Vee seolah sedang bernyanyi. Aku mendesah. Siapa di sana"
Nasir. Nasir apa" Nasir sudah menjadi tukang bubur! Vee tertawa terpingkal-pingkal.
Sadar tak ada gunanya memberitahu persoalan itu sekarang, aku berkata, Telepon aku besok setelah kau normal. Aku membuka ransel. Sebelum lupa, aku membawakan PR-mu. Kau ingin ditaruh di mana"
Dia menunjuk ke keranjang sampah. Di sana saja.
Aku memasukkan Fiat ke dalam garasi dan mengantongkan kunci. Langit tak berbintang dalam perjalanan pulang. Dan seperti yang diduga, gerimis mulai turun. Aku menarik pintu garasi, menurunkannya sampai ke tanah lalu menguncinya. Aku masuk ke dapur. Lampu di lantai atas menyala, dan sebentar kemudian ibuku turun dan merengkuhkan tangannya memelukku.
Ibuku memiliki rambut gelap bergelombang dan mata hijau. Dia satu inci lebih pendek dariku, tapi struktur tulang kami sama. Dia selalu wangi Love, parfum dari Ralph Lauren.
Aku senang kau aman, katanya, memelukku erat.
Mudah-mudahan, pikirku. apangan parkir borDerline penUH keTik a kami datang jam tujuh keesokan malamnya. Setelah hampir satu jam membujuk, aku dan Vee berhasil meyakinkan orangtuanya kalau kami harus merayakan malam pertama Vee keluar rumah sakit dengan chiles relleno dan jus stroberi. Setidaknya, itulah yang kami katakan. Tapi kami punya motif lain.
Aku menyelipkan Neon ke ruang parkir yang sempit lalu mematikan mesin.
Iih, kata Vee, ketika aku mengembalikan kunci dan jari-jariku menyentuh tangannya. Banjir keringat, ya"
Aku gugup. Wah, aku tak tahu. Tanpa sengaja aku melihat ke pintu.
A ku tahu yang kau pikirkan, kata Vee, mengencangkan bibir. Dan jawabannya tidak. Titik. Kau tak tahu yang kupikirkan, kataku. Vee mencengkeram tanganku. Tidak, ya" Aku tak akan lari, kataku.
Bohong. Hari Selasa Patch libur kerja. Vee dan aku mencatat dalam kepala bahwa inilah waktu yang tepat untuk menginterogasi rekan-rekan kerjanya. Aku membayangkan diriku melenggang ke dalam bar, menatap manja ala Marcie Millar kepada bartender, lalu masuk ke topik tentang Patch tanpa tedeng aling-aling. Aku harus mengetahui alamat rumahnya. Aku harus mengetahui apakah dia pernah dipenjara. Aku harus mengetahui apakah dia punya hubungan dengan lelaki bertopeng ski, sekecil apa pun itu. Dan aku harus tahu mengapa lelaki bertopeng ski dan cewek misterius itu masuk ke dalam kehidupanku.
Kuintip isi tas untuk memastikan daftar pertanyaan yang akan kuajukan masih ada di sana. Satu sisi daftar
itu berisi pertanyaan tentang kehidupan pribadi Patch. Sedangkan sisi lainnya berisi kalimat-kalimat rayuan. Kalau-kalau diperlukan.
Wow, wow, woo, kata Vee. Apa itu" Bukan apa-apa, kataku, melipat kertas. Vee berusaha merampas kertas itu, tapi aku lebih cepat. Kertas itu kujejalkan ke dalam tas sebelum dia bisa merebutnya.
Aturan nomor satu, kata Vee. Dalam hal rayumerayu, tak ada yang namanya catatan.
Setiap aturan ada pengecualiannya.
Tidak untuk yang ini! Vee mengambil dua kantong plastik 7-Eleven dari kursi belakang dan keluar dari mobil. Begitu aku keluar, dia melemparkan salah satu kantong ke arahku dengan tangannya yang sehat.
Apa ini" tanyaku, menangkap kantong. Kantong itu terikat sehingga aku tak bisa melihat isinya. Tapi salah satu hak sepatu yang runcing menembus plastik.
Ukuran delapan setengah, kata Vee. Sepatu kulit. Akan lebih mudah memainkan peranmu kalau kau tampil sesuai.
Aku tak bisa berjalan dengan sepatu tinggi. Nah, untungnya sepatu ini tidak tinggi. Tapi kelihatannya tinggi, kataku menatap sepatu yang mencuat itu.
Hampir lima inci. Tinggi terlewat di angka empat.
Bagus sekali. Kalau tidak membuat leherku patah, aku pasti akan mempermalukan diriku sendiri saat berusaha merayu rekan-rekan kerja Patch agar mengungkapkan rahasianya.
Begini, kata Vee ketika kami menyusuri trotoar menuju pintu depan. aku mengundang satu-dua orang. Semakin ramai semakin menyenangkan, ya kan"
Siapa" tanyaku, ada perasaan tak enak menyumbat di perutku.
Jules dan Elliot. Sebelum aku sempat memberitahu Vee betapa buruknya rencana itu, dia berkata, Waktunya berkata jujur: aku bisa dibilang berkencan dengan Jules. Diam-diam.
Apa" Kau harus melihat rumahnya. Bruce Wayne saja kalah. Mungkin orangtuanya juragan narkoba Amerika Selatan atau pewaris kekayaan yang berlimpah. Entahlah, aku belum pernah bertemu dengan mereka.
Aku kehabisan kata-kata. Mulutku terbuka dan tertutup, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Sejak kapan" akhirnya aku bertanya.
Persis setelah pagi yang bersejarah di Enzo itu. Bersejarah" Vee, kau tak tahu
Kuharap mereka sampai lebih dulu dari kita dan memesan meja, kata Vee, mengulurkan lehernya sembari mengawasi kerumunan orang yang berkumpul di sekitar pintu. Aku tak mau menunggu. Serius, dua menit lagi aku mati kelaparan.
Aku menarik siku Vee yang tidak sakit, membawanya ke samping. Ada sesuatu yang harus kusampaikan
Aku tahu, aku tahu, katanya. Kau merasa ada kemungkinan kecil Elliot-lah yang menyerangku Minggu malam. Well, kupikir kau keliru membedakan Elliot dengan Patch. Dan setelah kau melakukan interogasi malam ini, fakta akan terungkap. Percayalah, aku juga ingin tahu siapa yang menyerangku. Bahkan mungkin lebih dari dirimu sendiri. Ini urusan penting bagiku. Dan sementara kita masih saling memberi saran, ini saranku. Jauhi Patch. Untuk amannya.
Aku senang kau memikirkan persoalan ini dengan serius, kataku memotong, tapi begini. Aku menemukan artikel
Pintu Borderline terbuka. Dan gelombang kehangatan yang segar menerbangkan aroma lemon dan daun ketumbar ke tengah-tengah kami. Seiring dengan itu,
suara mariachi band 1berkumandang melalui pengeras suara.
Selamat datang di Borderline, seorang penyambut tamu menyalami kami. Cuma berdua saja malam ini"
Elliot berdiri di belakangnya, di dalam ruang yang remang. Kami saling bertatapan. Mulutnya tersenyum, tapi matanya tidak.
L a dies, katanya, menggandeng tangan kami sambil berjalan. Kelihatan cantik, seperti biasanya. Bulu kudukku meremang.
Di mana partner kriminalmu" tanya Vee, melirik ke sekeliling ruang. Lampion-lampion bergantung di dinding, dan sebarisan pueblo Mexico berjejer di dua dinding. Kursi-kursi tunggu penuh hingga tak ada yang lowong. Tapi Jules tak kelihatan batang hidungnya.
Kabar buruk, kata Elliot. Dia sakit. Kalian harus puas bersamaku saja.
Sakit" desak Vee. Seberapa sakit" Alasan macam apa itu"
Sakit sampai berlendir-lendir.
Vee menggerenyitkan hidung. Informasinya kelewat banyak.
Aku masih kesulitan membayangkan kalau ada
sesuatu antara Vee dan Jules. Dia tampak tidak ramah,
1 Grup musik tradisional Mexico, terdiri dari penyanyi serta pemain gitar dan biola.
tak banyak bicara, dan tak kelihatan senang dengan kehadiran Vee atau orang lain. Seluruh bagian diriku merasa tak nyaman dengan gambaran Vee berduaan dengan Jules. Bukan serta merta karena dia kurang menyenangkan atau karena aku tak terlalu mengenalnya. Akan tetapi karena satu hal yang kuketahui, dia sahabat Elliot.
Sang penyambut tamu mengambil tiga buku menu dari semacam ruang kecil bercelah dan memimpin kami ke sebuah bilik yang sangat dekat dengan dapur sehingga aku bisa merasakan api oven membakar dinding. Di sebelah kiri kami adalah meja salsa. Dan di sebelah kanan kami berjejer pelat-pelat kaca yang beruap karena kondensasi, dan berujung di sebuah selasar. Blus popelinku sudah menempel di punggung. Tapi aliran keringatku lebih disebabkan kabar tentang Vee dan Jules daripada suhu yang panas.
Apakah yang ini cocok" seorang pramusaji bertanya, sambil mengisyaratkan ke sebuah bilik.
Hebat, kata Elliot, melepas jaket kulitnya. Aku suka tempat ini. Selain ruangannya, makanannya pun akan membuatmu berkeringat.
Senyum sang penyambut tamu mengembang. Kau sudah pernah ke sini sebelumnya. Boleh aku menyuguhkan keripik dan salsa jalape"o kami yang
terbaru sebagai hidangan pertama" Itu menu kami yang paling heboh.
Aku suka yang heboh-heboh, kata Elliot. Aku yakin dia menyindir. Aku terlalu baik hati karena berpikir dia tidak sehina Marcie. Aku terlalu baik dalam memandang karakternya, titik. Terutama sekarang, setelah aku tahu dia menyembunyikan investigasi pembunuhan bersama-sama dengan tengkorak di dalam lemarinya, yang entah berapa banyaknya.
Sang penyambut tamu memandang Elliot dengan tatapan memuji. Aku akan kembali dengan keripik dan salsa. Pramusaji kalian akan datang sebentar lagi untuk melayani pesanan kalian.
Vee masuk lebih dulu ke bilik. Aku menyusul dan duduk di sebelahnya. Elliot mengambil tempat duduk di seberangku. Mata kami bertemu, dan ada sepercik kilat hitam di matanya. Sepertinya rasa jengkel. Mungkin bahkan permusuhan. Barangkali dia tahu aku sudah membaca artikel itu.
Ungu memang warnamu, Nora, katanya, mengayunkan kepala ke syalku saat aku melepasnya dari leherku dan mengikatkannya ke pegangan tasku. Membuat matamu lebih cerah.
Vee menyenggol kakiku. Dia menyangka ucapan itu adalah pujian.
Nah, kataku kepada Elliot dengan senyum palsu, bagaimana kalau kau bercerita tentang Kinghorn Prep"
Yeah, Vee membeo. Apa di sana ada perkumpulan rahasia" Seperti di film-film"
Bagaimana, ya" kata Elliot. Sekolah yang bagus. Selesai. Dia mengangkat menu dan membacanya. Ada yang tertarik dengan hidangan pembuka" Aku traktir.
Kalau bagus, kenapa kau pindah" aku menatap matanya dan tak melepasnya. Meski sekilas, aku mengangkat alis, menantangnya.
Otot di rahang Elliot menegang tepat sebelum dia menyunggingkan senyum. Cewek-ceweknya. Kudengar di sini lebih cantik. Ternyata gosip itu benar. Dia mengedip ke arahku, dan perasaan sedingin es menjalar dari kepala ke kakiku.
Kenapa Jules tidak ikut pindah" tanya Vee. Kita akan menjadi kuartet top, malah lebih dari itu. Kuartet yang fenomenal.
Orangtua Jules terobsesi dengan pendidikannya. Rajin saja belum cukup. Berani sumpah, dia akan menduduki posisi teratas. Tak ada yang bisa menghalangi Jules. Maksudku, aku akui, prestasiku oke. Lebih baik dari kebanyakan. Tapi tak ada yang mengalahkan Jules. Dia dewa akademis.
Ekspresi mengkhayal tampak di mata Vee. Aku belum pernah bertemu dengan orangtuanya, kata Vee. Dua kali aku ke sana, mereka sedang ke luar kota atau bekerja.
Mereka pekerja yang ulet, Elliot setuju, matanya kembali ke menu, membuatku sulit membaca pikirannya. Mereka kerja di mana"
Elliot menyesap air putihnya lama. Seolah dia mengulur waktu sambil memikirkan jawaban. Berlian. Mereka sering ke Afrika dan Australia.
Aku tak tahu Australia terkenal dengan bisnis berlian, kataku.
Yeah, aku juga, kata Vee.
Bahkan aku yakin Australia tidak menghasilkan berlian. Titik.
Kenapa mereka tinggal di Maine" tanyaku. Bukan di Afrika"
Elliot memeriksa menu dengan lebih serius. Kalian berdua mau makan apa" Kurasa steik fajitas kelihatan enak.
Kalau orangtua Jules berbisnis berlian, berani taruhan, mereka pasti sangat ahli dalam memilih cincin perkawinan yang sempurna, kata Vee. Aku selalu menginginkan berlian berpotongan kotak.
Aku menendang kaki Vee. Dia menusukku dengan garpu.
Auww! teriakku. Pramusaji kami terdiam cukup lama di ujung meja sebelum menanyakan, Bagaimana dengan minuman"
Elliot mengintip dari atas buku menu. Pertama ke arahku, lalu ke Vee.
Diet Coke, kata Vee. Air putih dengan perasan jeruk nipis, kataku. Dalam waktu yang sangat cepat, sang pramusaji kembali dengan minuman kami. Kedatangannya merupakan isyarat bagiku untuk pergi dan memulai langkah pertama Rencana kami. Vee mengingatkan aku dengan mengetuk bawah meja dengan garpunya.
Vee, kataku berbisik, mau temani aku ke kamar kecil" Mendadak aku tak mau melanjutkan Rencana. Aku tak mau meninggalkan Vee berdua saja dengan Elliot. Yang aku inginkan adalah menyeretnya keluar, memberitahunya soal investigasi pembunuhan itu, lalu mencari cara untuk menyingkirkan Elliot dan Jules dari kehidupan kami.
Kenapa tidak sendirian saja" kata Vee. Kurasa itu rencana yang lebih baik. Dia mengayunkan kepalanya ke arah bar dan melafalkan Pergi tanpa bersuara, sementara tangannya memberi isyarat mengusir dari bawah meja.
Aku berencana pergi sendirian, tapi akan lebih baik kalau kau menemaniku.
Ada apa dengan kalian, cewek-cewek" kata Elliot, membagi senyum kepada kami berdua. Sumpah, aku belum pernah mendengar cewek yang bisa ke kamar mandi sendirian. Dia mencondongkan badannya dan menyunggingkan senyum persekongkolan. Kasih tahu aku rahasia kalian. Serius, aku akan memberi kalian masing-masing lima dolar. Dia meraih saku belakangnya. Sepuluh, kalau aku boleh ikut dan melihat sendiri rahasia itu.
Vee nyengir. Dasar sesat. Jangan lupa ini, katanya kepadaku, menjejalkan kantong 7-Eleven ke tanganku. Alis mata Elliot terangkat.
Sampah, kata Vee dengan nada kesal. Keranjang sampah kami penuh. Ibuku menyuruh membuangnya karena aku akan pergi.
Elliot tampak tidak percaya. Dan Vee tampak tidak peduli. Aku bangkit, tanganku penuh dengan peralatan kostum, dan segumpal rasa frustrasi.
Sambil melambai ke arah meja, aku menuju gang untuk ke kamar kecil. Gang itu dicat warna merah bata dan dihiasi maraca 2 , topi jerami, dan boneka kayu. Di sini malah lebih panas, aku menyeka dahi. Rencananya
adalah menyelesaikan bagian ini secepat mungkin.
2 Instrumen perkusi yang terbuat dari semacam labu kering yang berisi biji-bijian atau kerikil.
Begitu selesai, aku akan mencari alasan untuk pergi, dan menyeret Vee keluar. Secara sukarela atau terpaksa.
Setelah mengintip ke bawah tiga bilik yang ada di kamar mandi wanita dan memastikan kalau aku sendirian, aku mengunci pintu utama dan mengeluarkan isi kantong 7-Eleven ke konter. Satu wig pirang platinum, satu bra ungu pengangkat payudara, satu atasan tak berlengan, satu rok mini berlipit-lipit, kaus kaki jaring sepaha warna merah muda seksi, dan sepatu kulit hak tinggi ukuran delapan setengah.
Aku menjejalkan bra, atasan tanpa lengan, dan kaus kaki kembali ke dalam kantong. Setelah melorotkan celana jins, aku memakai rok mini. Kusumpalkan rambutku ke bawah wig dan kuoleskan lipstik. Setelah itu aku melapisinya tebal-tebal dengan lip gloss berkilau.
Kau pasti bisa, kataku kepada pantulan wajahku di cermin, sambil memasang tutup lip gloss dan mengulum bibirku. Kau bisa mengalahkan Marcie Millar. Merayu lelaki agar membocorkan rahasia. Apa sih susahnya"
Aku melepas sepatu mokasin dan memasukkannya ke dalam kantong bersama-sama dengan celana jinsku. Kemudian kudorong kantong itu ke bawah konter agar tak terlihat. Lagi pula, kataku melanjutkan, tak ada salahnya mengorbankan harga diri sedikit demi kepentingan intelijen. Kalau kau melakukan pendekatan ini dengan penampilan kumal, kau tak akan memperoleh
jawaban sampai kapan pun. Karena suka atau tidak, ada orang berniat jahat kepadamu di luar sana.
Aku mengangkat sepatu kulit itu hingga sejajar garis penglihatanku. Tidak terlalu jelek. Bahkan bisa dianggap seksi. Waktunya beraksi. Aku mengikatnya ke kakiku dan berlatih berjalan bolak-balik di kamar mandi beberapa kali.
Dua menit kemudian aku sudah duduk di atas bangku bar.
Sang bartender mengawasi aku. Enam belas" tebaknya. Tujuh belas"
Tampangnya seratus tahun lebih tua dariku dan rambut cokelatnya sudah banyak yang rontok hingga kepalanya tampak licin mengilat. Sebuah anting perak berbentuk lingkaran menggantung di telinga kanannya. Dia mengenakan T-shirt putih dan jins Levi s. Tak terlalu jelek& tidak tampan pula.
Aku bukan peminum di bawah umur, kataku keras-keras, untuk mengalahkan bunyi musik dan pembicaraan di sekitarku. Aku sedang menunggu teman. Pemandangannya bagus dari sini. Aku mengeluarkan kertas daftar pertanyaan dari tas dan dengan hati-hati meletakkannya di bawah gelas garam.
Apa itu" tanya bartender, mengelap tangannya dengan serbet dan mengayunkan kepalanya ke kertasku.
Aku menyisipkan kertas itu semakin jauh ke bawah gelas. Bukan apa-apa, kataku, memasang tampang lugu.
Alis matanya terangkat. Aku memutuskan untuk berbohong. Itu& daftar belanjaan. Aku harus membeli bahan makanan untuk ibuku dalam perjalanan pulang. Mana rayuannya" Tanyaku dalam hati. Mana gaya Marcie Millar-nya"
Dia memandangiku dengan serius, tapi kuanggap tidak sepenuhnya negatif. Setelah menjalankan pekerjaan ini selama lima tahun, aku cukup ahli membedakan pembohong.
Aku bukan pembohong, kataku. Mungkin aku membohong tadi, tapi cuma sekali. Satu bohong kecil tidak membuat seseorang menjadi pembohong. Kau terlihat seperti wartawan, katanya. Aku bekerja untuk eZine sekolahku. Ingin rasanya aku memukul kepalaku sendiri. Wartawan tidak mengundang rasa percaya dari masyarakat. Orang biasanya curiga kepada wartawan. Tapi malam ini aku sedang libur, tambahku cepat-cepat. Cuma ingin bersenang-senang. Tak ada pekerjaan. Tak ada agenda rahasia. Tidak sama sekali.
Setelah hening beberapa saat, aku memutuskan untuk mulai beraksi. Aku berdehem dan berkata, Apakah
Borderline tempat yang terkenal mempekerjakan siswa SMA"
Banyak siswa SMA yang bekerja di sini. Penyambut tamu, petugas bersih-bersih, dan semacamnya.
Sungguh" tanyaku pura-pura kaget. Mungkin ada yang kukenal. Coba sebutkan.
Bartender itu menatap langit-langit dan menggarukgaruk ujung dagunya. Pandangannya yang menerawang tidak membangkitkan rasa percaya diriku. Apalagi aku tak punya banyak waktu. Elliot bisa saja memasukkan obat mematikan ke Diet Coke Vee.
Bagaimana dengan Patch Cipriano" tanyaku. Apa dia bekerja di sini"
Patch" Yeah. Dia bekerja di sini. Beberapa malam, dan di akhir pekan.
Apa dia bekerja pada Minggu malam" aku berusaha tak terkesan kelewat penasaran. Tapi aku harus tahu, apakah ada kemungkinan kalau Patch berada di lingkungan Victoria s Secret malam itu. Dia bilang akan ke pesta pantai, tapi rencana bisa berubah. Kalau seseorang menegaskan bahwa dia bekerja pada Minggu malam, aku bisa menyingkirkan kemungkinan dirinya terlibat dalam penyerangan Vee.
Minggu" Menggaruk-garuk lagi. Aku tak bisa membedakan. Coba tanya penyambut tamu. Seorang di antara mereka pasti ingat. Mereka cekikikan dan sedikit
genit kalau ada Patch. Si bartender tersenyum, seolah entah bagaimana dia bersimpati kepada mereka.
Apakah kau punya akses ke surat lamaran kerjanya" tanyaku. Termasuk alamat rumahnya. Jawabannya tidak.
Cuma ingin tahu, kataku, adakah kemungkinan mempekerjakan seseorang yang memiliki riwayat kriminal di sini"
Kriminal" Dia tertawa keras. Kau bercanda" Oke, mungkin bukan kriminal, tapi kelakuan buruk"
Dia merentangkan tangannya di meja dan mencondongkan badan. Tidak. Nada bicaranya berubah dari jenaka ke tersinggung.
Itu bagus. Benar-benar bagus. Aku memperbaiki posisi dudukku dan merasa kulit pahaku mengelupas di bawah kain vinil. Aku berkeringat. Kalau aturan pertama dalam hal rayu-merayu adalah tak boleh menggunakan catatan, aku cukup yakin aturan nomor duanya adalah tidak berkeringat.
Aku mengecek daftar. Apakah kau tahu kalau Patch pernah diskors" Apakah dia punya riwayat memata-matai orang" Aku curiga bartender menangkap kesan buruk dariku, maka aku memutuskan untuk menumpahkan sisa pertanyaanku sebagai upaya terakhir sebelum dia mengusirku
dari bar atau lebih buruk lagi, melarangku masuk ke restoran itu lagi karena perbuatan tidak menyenangkan dan mencurigakan. Apa dia punya pacar" desakku. Tanya saja sendiri, katanya.
Aku mengerjapkan mata. Dia kan tidak bekerja malam ini.
Melihat bartender itu nyengir, perutku menjadi mulas.
Dia tidak bekerja malam ini& ya kan" tanyaku, suaraku melengking satu oktaf. Bukankah dia tidak bekerja setiap Selasa"
Biasanya, iya. Tapi dia menggantikan Benji. Benji masuk rumah sakit. Usus buntunya pecah.
Maksudmu Patch ada di sini" Sekarang" aku melirik lewat bahuku, menyisir wig dengan tangan untuk menutupi sosokku sementara aku memindai ruang makan.
Dia ke dapur beberapa menit lalu.
Aku sudah turun dari bangku bar. Kurasa mesin mobilku belum dimatikan. Senang mengobrol denganmu! Aku bergegas secepat mungkin ke kamar mandi.
Di sana aku mengunci pintu, menarik napas beberapa kali dengan punggung menempel ke pintu, lalu ke wastafel dan memercikkan air dingin ke wajahku. Patch pasti tahu aku memata-matai dirinya. Sosokku yang mencolok menjamin hal itu. Bisa dibilang perbuatanku
tadi buruk buruk karena, yah, memang memalukan. Tapi bagaimana lagi, Patch sangat tertutup. Orang tertutup tak suka kalau kehidupannya diawasi. Bagaimana reaksinya kalau dia tahu aku menempatkannya di bawah kaca pembesar"
Dan sekarang aku meragukan alasanku melakukan ini semua. Karena di lubuk hati, aku tak percaya kalau Patch-lah lelaki bertopeng ski itu. Boleh jadi dia punya beberapa rahasia kelam yang mengganggu, tapi berkeliaran dengan topeng ski bukan salah satunya.
Aku mematikan keran, dan menengadah. Wajah Patch terpantul di cermin. Aku menjerit dan berbalik. Dia tersenyum, tapi tidak kelihatan senang. Apa yang kaulakukan di sini" aku terperangah. Aku bekerja di sini.
Maksudku di sini. Kau tak bisa membaca. Tulisan di pintu
Aku mulai berpikir kalau kau membuntuti aku. Setiap kali aku membalikkan badan, kau ada.
Aku ingin mengajak Vee jalan-jalan, kataku menjelaskan. Dia baru keluar dari rumah sakit. Bicaraku terkesan defensif. Aku yakin itu hanya membuatku tampak lebih bersalah. Aku tak pernah bermimpi mengejarmu. Kupikir hari ini kau libur. Dan apa maksudmu" Setiap kali aku berbalik, kau ada.
Tatapan Patch tajam, mengintimidasi, dan menuntut. Mengukur setiap kata-kataku, setiap gerakanku.
Mau jelaskan kenapa ada rambut jelek itu" dia bertanya.
Aku merenggut wig dan melemparnya ke konter. Mau jelaskan ke mana saja kau" Kau tak sekolah dua hari terakhir ini.
Aku hampir yakin Patch akan mengungkapkan yang sebenarnya. Tapi dia berkata, Bermain paintball. Kenapa kau ke bar"
Mengobrol dengan bartender. Apa itu kejahatan" Sembari bertumpu pada tangan di atas konter, aku mengangkat kaki untuk melepas sepatu hak tinggi itu. Aku membungkuk sedikit, dan saat itulah kertas daftar meluncur keluar dari garis leherku dan jatuh ke lantai.
Aku berlutut untuk mengambilnya, tapi Patch lebih cepat. Dia mengangkat kertas itu ke atas kepala, sementara aku melompat-lompat berusaha mengambilnya. Kembalikan! kataku.
Apakah Patch pernah diskors" dia membaca. Apakah Patch seorang kriminal"
Kembalikan kertasku! bentakku dengan marah.
Patch tertawa kecil, dan aku tahu dia sudah membaca pertanyaan berikutnya. Apakah Patch punya pacar"
Patch menyelipkan kertas itu ke saku belakangnya. Aku tak tergoda untuk mengambil, mengingat lokasinya.
Dia menyandarkan badannya ke konter dan memosisikan tubuhnya hingga sejajar denganku. Kalau kau ingin mencari informasi, lebih baik bertanya langsung kepadaku.
Daftar itu aku menunjuk ke lokasi kertas itu disembunyikan Cuma main-main. Vee yang menulis, imbuhku, mendadak mendapat ilham. Ini semua salahnya.
Aku kenal tulisan tanganmu, Nora.
Well, oke, baiklah, kataku, berusaha mencari jawaban yang cerdas. Tapi aku terlalu lama dan kehilangan kesempatan.
Tak pernah diskors, katanya. Bukan kriminal. Aku mengangkat dagu. Pacar" , sambil membatin apa pun jawabannya, aku tak peduli. Ada atau tidak ada, tak masalah.
Bukan urusanmu. Kau mencoba menciumku, kataku mengingatkan. Jadi itu urusanku.
Sekilas senyum pembajak menghiasi bibirnya. Aku mendapat kesan kalau dia sedang mengingat setiap detail kejadian yang nyaris berakhir dengan ciuman itu, termasuk desahanku.
Mantan-pacar, katanya setelah diam sesaat.
Perutku mulas begitu sebuah pikiran mendadak muncul dalam kepalaku. Bagaimana kalau cewek di Delphic dan Victoria s Secret itu mantan Patch" Bagaimana kalau dia melihatku mengobrol dengan Patch di arkade dan salah mengira kalau kami memiliki hubungan spesial" Kalau dia masih tertarik dengan Patch, masuk akal kalau dia cemburu melihatku di dekat Patch. Beberapa potongan puzzle seolah masuk ke tempatnya&
Dan kemudian Patch berkata, Tapi dia tak ada di sini.
Apa maksudmu tak ada"
Dia sudah pergi. Tak akan kembali lagi. Maksudmu& dia sudah meninggal" tanyaku. Patch tidak menyangkalnya.
Perutku terasa berat dan terpilin-pilin. Aku sama sekali tak menduga. Patch punya pacar, dan sekarang dia sudah meninggal.
Pintu kamar mandi wanita berkeretak saat seseorang berusaha masuk. Aku lupa kalau aku menguncinya. Ini membuatku heran, bagaimana Patch bisa masuk" Mungkin dia punya kunci, atau ada penjelasan lain. Penjelasan yang mungkin tak ingin aku bayangkan, misalnya menyusup ke bawah pintu seperti udara. Seperti asap.
Aku harus kembali kerja, kata Patch. Dia memperhatikan penampilanku, dan pandangannya terkunci sedikit di bawah pinggul. Rok yang keren. Kaki yang seksi.
Sebelum kepalaku menghasilkan sebuah pikiran yang padu, dia sudah melewati pintu.
Perempuan tua yang menunggu untuk masuk menatapku, kemudian menengok ke Patch yang sudah menghilang ke dalam ruangan. Sayang, katanya kepadaku, kelihatannya dia licin seperti sabun. Komentar yang tepat, gumamku.
Dia menepuk-nepuk rambut pendeknya yang kelabu dan berbentuk spiral. Seorang gadis akan berbusa-busa dengan sabun seperti itu.
Setelah berganti pakaian, aku kembali ke tempat makan dan duduk di samping Vee. Elliot melirik arlojinya dan mengangkat alis kepadaku.
Maaf, kelewat lama, kataku. Apa aku ketinggalan sesuatu"
Tidak, kata Vee. Tak ada yang berubah. Vee menyenggol lututku, isyarat kalau dia bertanya, Bagaimana"
Sebelum aku bisa membalas senggolannya, Elliot berkata, Kau ketinggalan pramusaji. Aku sudah memesan burrito merah untukmu. Senyum menyeramkan tersungging di sudut mulutnya.
Aku menangkap peluang. Rasanya, aku tidak berselera. Aku memasang wajah mual yang tidak sepenuhnya palsu. Sepertinya aku terkena sakit seperti Jules.
Ya, ampun, kata Vee. Apa kau baik-baik saja" Aku menggelengkan kepala.
Aku akan mencari pramusaji dan meminta makanan ini dibungkus saja, kata Vee, sambil mencari-cari dompet kunci.
Bagaimana denganku" kata Elliot, separuh bercanda.
Sampai lain kali" kata Vee. Bingo, pikirku.
kU keMbali ke rUMaH JaM Del apan kUrang beberapa menit. Aku memasukkan kunci ke lubangnya, menggoyang pegangan pintu, dan mendorong pintu dengan pinggulku. Beberapa jam sebelum makan malam aku menelepon Ibu. Dia berada di kantor, mengetik beberapa tugas yang belum selesai, tak pasti kapan sampai di rumah. Aku berpikir akan mendapati rumahku sepi, gelap, dan dingin.
Setelah dorongan ketiga, pintu terbuka. Aku melemparkan tasku ke tengah kegelapan, lalu berusaha mengeluarkan kunci yang masih tersangkut di lubang pintu. Sejak kedatangan Patch malam itu, lubang
kunciku jadi bandel. Aku bertanya-tanya, apakah Dorothea menyadarinya.
Kembalikan kunciku, kataku sambil berusaha membebaskannya.
Jam kuno di dinding mengeluarkan bunyi dong yang keras sebanyak delapan kali. Suaranya memecah keheningan. Aku berjalan ke ruang tamu untuk menyalakan tungku kayu ketika terdengar bunyi gemerisik kain dan keretak pelan di seberang ruangan. Aku menjerit.
Nora! seru ibuku, melempar selimut dan berusaha duduk di sofa dengan tergopoh-gopoh. Ada apa"
Sebelah tanganku mendekap dada dan yang satunya menempel ke dinding, menopang tubuku. Ibu membuatku takut!
Aku tertidur. Kalau aku dengar kau datang, aku akan mengucapkan sesuatu. Dia merapikan rambut yang jatuh ke wajahnya dan mengerjap-ngerjap menahan kantuk. Jam berapa sekarang"
Aku menjatuhkan badan ke kursi terdekat dan berusaha menormalkan degup jantungku. Aku membayangkan akan bertatapan dengan sepasang mata dingin di balik topeng ski. Sekarang, setelah yakin kalau dia bukanlah khayalanku saja, aku merasakan dorongan keinginan yang kuat untuk menceritakan segalanya kepada ibuku. Mulai dari peristiwa ketika dia menabrak
Neon sampai keterlibatannya sebagai penyerang Vee. Dia memata-matai aku, dan dia tak kenal kasihan. Kita harus memesan kunci baru. Dan sepertinya logis kalau polisi juga dilibatkan. Aku akan merasa jauh lebih aman di malam hari kalau ada petugas yang berjaga di pos.
Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku sudah menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan sesuatu kepadamu, kata ibuku, memotong pikiranku. Tapi aku tak yakin apakah waktu yang tepat itu akan datang dengan sendirinya.
Aku mengerutkan kening. Ada apa"
Dia menarik napas panjang seolah sedang resah. Aku berniat menjual rumah pertanian ini. Apa" Kenapa"
Kita sudah berjuang selama setahun, dan aku belum berhasil seperti yang kuharapkan. Aku berencana mengambil dua pekerjaan, tapi sejujurnya aku tak yakin apakah hari cukup panjang untuk melakukannya. Ibu tertawa getir. Upah Dorothea tidak seberapa, tapi tetap saja kita harus mengeluarkan uang ekstra untuk itu. Satu-satunya pilihan lain yang terpikir olehku adalah pindah ke rumah yang lebih kecil. Atau apartemen.
Tapi ini rumah kita. Semua kenanganku ada di sini. Kenangan tentang Ayah ada di sini. Aku tak percaya ibu tak merasakan seperti yang kurasakan. Aku akan melakukan segala cara agar bisa tetap tinggal di sini.
Aku memberi waktu tiga bulan lagi, katanya. Tapi kau jangan terlalu banyak berharap.
Seketika itu juga aku sadar, aku tak bisa bercerita tentang lelaki bertopeng ski kepada ibu. Kalau tidak, dia pasti akan berhenti kerja besok. Dia akan mencari pekerjaan di sekitar sini, dan tak ada pilihan lagi bagi kami selain menjual rumah ini.
Mari kita berbicara tentang sesuatu yang lebih cerah, kata ibu, memaksa diri untuk tersenyum. Bagaimana makan malamnya"
Oke, kataku murung. Dan Vee" Sudah sehat kembali" Dia bisa sekolah besok.
Ibu tersenyum pahit. Untungnya yang patah tangan kirinya. Kalau tidak, dia tidak bisa menulis di kelas, dan bisa kubayangkan betapa akan kecewanya dia.
Ha, ha, kataku. Aku akan membuat cokelat panas. Aku berdiri dan menunjuk dapur dengan bahuku. Mau"
Kedengarannya enak. Aku akan menyalakan tungku.
Setelah sebentar di dapur untuk mengambil mug, gula, dan topeles cokelat, aku kembali dan mendapati ibu sedang menjerang air di atas tungku kayu. Aku duduk di atas lengan sofa dan menyodorkan mug kepadanya.
Bagaimana Ibu tahu kalau Ibu jatuh cinta kepada Ayah" tanyaku, berusaha terkesan santai. Selalu ada peluang air mata akan mengucur kalau aku berbicara tentan Ayah. Padahal aku berharap bisa menghindarinya.
Ibu duduk di sofa dan mengangkat kaki ke meja kopi. Aku tak tahu. Sampai usia perkawinan kami setahun.
Itu bukan jawaban yang kuharapkan. Lalu& kenapa ibu menikah dengannya"
Karena kupikir aku jatuh cinta. Dan ketika kau berpikir kalau kau jatuh cinta, kau akan berusaha mempertahankannya sampai ia benar-benar menjadi cinta.
Apa Ibu takut" Menikah dengannya" Ibu tertawa. Itu justru bagian yang menyenangkan. Membeli gaun, memesan kapel, mengenakan cincin berlian.
Aku membayangkan senyum nakal Patch. Ibu pernah takut kepada Ayah"
Setiap kali New England Patriots 1 kalah. Setiap kali Patriots kalah, ayahku pergi ke garasi dan menghidupkan mesin gergaji. Dua musim gugur lalu dia membawa gergaji itu ke hutan di belakang rumah kami, menumbangkan sepuluh pohon, lalu memotongmotongnya menjadi kayu bakar. Sampai sekarang masih 1 Tim rugbi profesional Amerika, bermarkas di Greater Boston.
ada lebih dari separuh tumpukan kayu bakar di rumah kami.
Ibu menepuk sofa di sampingnya, dan aku bergelung di sebelahnya, menyandarkan kepala ke bahunya. Aku rindu Ayah, kataku.
Aku juga. Aku khawatir akan lupa bagaimana sosoknya. Bukan seperti di foto, tapi kehadirannya di Sabtu pagi, berkeringat, membuat telur kocok.
Ibu menautkan jemarinya ke jemariku. Kau sangat mirip dengannya. Sedari mula.
Sungguh" aku duduk. Dalam hal apa" Dia siswa yang hebat, sangat cerdas. Dia tidak supel atau senang bicara, tapi orang-orang hormat kepadanya.
Apakah Ayah& misterius"
Ibu seolah mecari jawaban dalam kepalanya. Orang yang misterius punya banyak rahasia. Ayahmu sangat terbuka.
Apakah dia pemberontak"
Ibu mendadak tertawa pendek. Apakah k a u melihatnya seperti itu" Harrison Grey, akuntan paling sopan di seluruh dunia& pemberontak" Ibu terperangah secara dramatis. Amit-amit! Dia pernah memanjangkan rambut. Ikal dan pirang seperti peselancar. Tentu saja kacamata hitam berbingkai tanduk menghancurkan
penampilannya. Jadi& apakah aku boleh tahu, kenapa kau bertanya seperti itu"
Aku tak tahu bagaimana menjelaskan kepada Ibu tentang perasaan-perasaanku yang bertentangan menyangkut Patch. Singkatnya aku tak tahu bagaimana menjelaskan Patch. Ibuku mungkin mengharapkan gambaran yang mencakup nama orangtuanya, nilai rapornya, olahraga yang disukainya, dan kampus yang diinginkannya. Aku tak mau membuatnya kaget dengan mengatakan kalau aku berani mempertaruhkan celengan babiku bahwa riwayat Patch menghebohkan. Ada cowok di kelasku, kataku, tak sanggup menahan senyum saat membayangkan Patch. Kami sering bersama belakangan ini. Kebanyakan karena urusan sekolah.
Oooh, cowok, kata ibu agak bingung. Well" Apakah dia ikut Klub Catur" OSIS" Tim tenis" Dia suka pool, kataku optimistis.
Perenang! Apa dia sekeren Michael Phelps" Tentu saja kalau menyangkut tampang, aku lebih suka Ryan Lochte.
Aku ingin mengoreksi Ibu. Tapi setelah dipikir-pikir, lebih baik tidak. Pool dan renang& cukup nyambung, kan"
Telepon berbunyi dan ibu menjulurkan tangan untuk meraihnya. Sepuluh detik menjawab telepon, dia bangkit
dari sofa dan menepuk dahi. Tidak, tidak masalah. Aku akan pergi mengambilnya, dan memberikannya pagi-pagi sekali.
Hugo" tanyaku setelah ibu menutup telepon. Hugo adalah bos Ibu. Kalau dibilang dia menelepon setiap waktu, itu masih mending. Pernah suatu kali dia menyuruh ibuku masuk kerja hari Minggu, karena dia tidak tahu bagaimana menjalankan mesin fotokopi.
Dia meninggalkan kertas kerja yang belum selesai di kantor dan memintaku mengambilnya. Aku harus mengopinya, tapi aku tak akan pergi lebih dari satu jam. PR-mu sudah selesai"
Belum. Jadi bisa kubilang, kita tak bisa bersama-sama meskipun aku di sini. Ibu mendesah dan berdiri. Sampai ketemu satu jam lagi"
Katakan kepada Hugo, dia harus memberimu gaji yang lebih besar.
Ibu tertawa. Jauh lebih besar.
Begitu aku sendirian di rumah, aku menyingkirkan piring-piring bekas sarapan dari meja dapur sehingga ada tempat untuk buku-buku teksku. Bahasa Inggris, sejarah dunia, biologi. Setelah mempersenjatai diri dengan dua pensil nomor dua yang masih baru, aku membuka buku dan menggarap tugas.
Lima belas menit kemudian otakku bertingkah, menolak untuk mencerna paragraf tentang sistem feodal di Eropa. Aku membayangkan, apa yang dilakukan Patch setelah dia bekerja" Mengerjakan PR" Nyaris mustahil. Menyantap pizza sambil menonton basket di teve" Mungkin, tapi masih sulit dibayangkan. Ikut taruhan dan main pool di Bo s Arcade" Itu baru tebakan bagus.
Ada dorongan yang tak bisa dijelaskan dalam diriku untuk pergi ke Bo s dan menjelaskan kelakuanku tadi. Tapi pikiran itu cepat-cepat kusingkirkan dengan fakta sederhana bahwa aku tak punya waktu. Ibuku akan pulang dalam waktu yang lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan untuk berkendara ke sana. Tambahan Patch bukan jenis cowok yang mudah dicari. Kalau dipikirpikir, pertemuan kami terjadi mengikuti jadwalnya, bukan jadwalku. Selalu.
Aku menaiki anak tangga untuk beralih ke sesuatu yang nyaman. Aku mendorong pintu kamarku dan masuk tiga langkah sebelum mendadak berhenti. Lacilaci pakaianku terbuka, pakaianku bertebaran di lantai. Ranjang acak-acakan. Pintu lemari terbuka, bahkan tergantung di engselnya. Buku-buku dan bingkai foto tergeletak di lantai.
Aku melihat refleksi gerakan di jendela seberang lalu segera membalikkan badan. Dia berdiri membelakangi
dinding di belakangku. Busananya hitam dari kepala sampai ujung kaki. Dan dia memakai topeng ski. Kepalaku berputar-putar, dan nyaris mengirimkan perintah lari! kepada kakiku. Tetapi pada saat itu dia melompat ke jendela, membukanya, dan meluncur keluar.
Aku menuruni tangga, tiga undakan sekaligus sekali lompat. Aku memutari pegangan tangga, lalu meluncur melewati ruang tamu menuju dapur, dan memencet
911. Lima belas menit kemudian mobil patroli masuk ke halaman rumah. Dengan tubuh gemetar aku membuka pintu dan dua orang petugas masuk. Petugas pertama bertubuh pendek dan berpinggang gempal dengan rambut ubanan. Yang kedua tinggi ramping dengan rambut hampir sama hitamnya dengan rambut Patch, tapi ada bagian kelabu di sekeliling telinga. Dengan cara yang aneh, dia agak mirip Patch. Sosok Timur Tengah, wajah simetris, mata tajam.
Mereka memperkenalkan diri. Petugas berambut hitam itu adalah Detektif Basso. Partnernya Detektif Holstijic.
Kau Nora Grey" tanya Detektif Holstijic. Aku mengangguk.
Orangtuamu di rumah"
Ibuku pergi beberapa menit sebelum aku menghubungi 911.
Jadi kau sendirian" Mengangguk lagi.
Bagaimana kejadiannya" dia bertanya, menyilangkan tangan dan membuka kakinya lebar-lebar, sementara Detektif Basso berjalan beberapa langkah ke dalam dan memperhatikan sekeliling.
Aku sampai di rumah jam delapan dan mengerjakan PR, kataku. Ketika aku naik ke kamar, aku melihat dia. Semuanya berantakan. Dia mengacak-acak kamarku.
Kau mengenalinya" Dia memakai topeng ski. Dan lampu kamar padam.
Ada ciri-ciri khusus" Tato" Tidak.
Tinggi, berat badan"
Dengan enggan aku menelisik memori jangka pendekku. Aku tak mau membangkitkan momen itu. Tapi aku harus mengingat-ingat, apakah ada petunjuk. Beratnya rata-rata, tapi agak tinggi. Ukuran tubuhnya hampir sama dengan Detektif Basso.
Dia mengatakan sesuatu" Aku menggeleng.
Detektif Basso muncul kembali dan berkata, Semuanya bersih, kepada rekannya. Lalu dia naik ke lantai kedua. Papan lantai berderit di atas saat dia membuka dan menutup pintu-pintu.
Detektif Holstijic meregangkan pintu depan dan berjongkok untuk memeriksa tombol pintu. Apakah pintunya tak terkunci atau rusak ketika kau pulang"
Tidak. Aku biasa menggunakan kunci untuk masuk. Ibuku tertidur di ruang tamu.
Detektif Basso muncul di puncak anak tangga. Bisa tunjukkan apa yang tidak beres" pintanya kepadaku.
Detektif Holstijic dan aku naik tangga bersamasama, dan aku memimpin ke ruang tempat Detektif Basso berdiri, persis di ambang pintu kamarku. Dia bertolak pinggang, memeriksa kamar.
Aku diam mematung. Desiran rasa takut merayap dalam diriku. Ranjangku rapi. Piyamaku berada di atas bantal, persis seperti ketika aku tinggalkan tadi pagi. laci-laci pakaianku tertutup, bingkai-bingkai foto tersusun rapi di atasnya. Peti di kaki ranjang tertutup. Lantai bersih. Tirai jendela menjurai, membentuk dua lipatan rapi, masing-masing di pinggir jendela yang tertutup.
Kau bilang ada penyusup, kata Detektif Basso. Dia mengawasiku dengan tatapan tajam yang tidak ditutuptutupi. Mata yang ahli mendeteksi kebohongan.
Aku melangkah ke dalam kamar, tapi tak merasakan sentuhan kenyamanan dan keamanan yang biasanya ada. Ada kekerasan dan kejahatan yang tersembunyi di sana. Aku menunjuk ke jendela, berusaha agar tanganku tidak gemetar. Ketika aku masuk, dia melompat keluar jendela.
Detektif Basso memandang jendela. Sangat jauh dari tanah, katanya mengamati. Dia berusaha membuka jendela. Apakah kau menguncinya setelah dia pergi"
Tidak. Aku turun ke lantai bawah dan menelepon 911.
Seseorang menguncinya. Detektif Basso masih mengawasiku dengan mata tajam, bibirnya datar.
Aku tak yakin ada orang yang bisa kabur setelah melompat seperti itu, kata Detektif Holstijik, bergabung dengan rekannya di pinggir jendela. Masih untung kalau dia bisa berdiri dengan kaki patah.
Mungkin dia tidak melompat, mungkin dia meluncur ke bawah dari pohon, kataku.
Detektif Basso menggeleng-gelengkan kepala. Well" Yang mana yang benar" Dia meluncur turun atau melompat" Dia bisa saja mendorongmu dan keluar melalui pintu depan. Itu pilihan yang logis. Dan itulah
yang aku lakukan. Aku akan bertanya sekali lagi. Pikirkan baik-baik. Apakah kau sungguh-sungguh melihat seseorang di kamarmu malam ini"
Dia tidak percaya kepadaku. Pikirnya aku hanya mengarang-ngarang saja. Sesaat aku tergoda untuk mengikuti dugaannya. Ada apa denganku" Mengapa kebenaran terpelintir" Mengapa fakta tak pernah sesuai" Demi akal sehatku sendiri, aku berkata dalam hati bahwa masalahnya bukan pada diriku sendiri. Akan tetapi dia. Lelaki di balik topeng ski. Dia yang melakukannya. Aku tak tahu bagaimana, tapi dialah biang keladinya.
Detektif Holstijik memecah keheningan dengan berkata, Kapan orangtuamu pulang"
Aku tinggal dengan ibuku. Dia ada perlu sebentar di kantor.
Kami harus mengajukan beberapa pertanyaan kepada kalian berdua, katanya melanjutkan. Dia menunjuk ke ranjang, menyuruhku duduk. Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan perasaan hampa. Apakah kau baru putus dengan pacarmu" Tidak.
Bagaimana dengan obat-obatan terlarang" Kau punya masalah dengan itu, sekarang atau dulu" Tidak.
Katamu kau tinggal bersama ibumu. Bagaimana dengan ayah" Di mana dia"
Ini sebuah kesalahan, kataku. Mohon maaf. Seharusnya aku tidak menelepon.
Dua petugas itu saling bertukar pandang. Detektif Holstijic memejamkan mata dan memijit-mijit keningnya. Detektif Basso tampak seperti orang yang sudah membuang-buang waktu dan siap meledak.
Ada pekerjaan lain yang harus kami lakukan, katanya. Apakah kau akan baik-baik saja sampai ibumu pulang"
Aku nyaris tidak mendengar pertanyaannya. Aku tak bisa menarik mataku dari jendela. Bagaimana dia melakukannya" Lima belas menit. Dia cuma punya waktu lima belas menit untuk masuk kembali dan merapikan kamar sebelum polisi datang. Dan sepanjang waktu itu aku ada di lantai bawah. Sadar bahwa kami hanya akan berdua saja di rumah, aku bergidik.
Detektif Holstijic menyodorkan kartu namanya. Bisakah kau meminta ibumu menelepon kami begitu dia datang"
Kami akan pergi, kata Detektif Basso. Dan dia sudah berjalan ke luar kamar.
M e n U r U T M U e l l i o T p e r n a H
MeMbUnUH" Ss h h ! k at a k u m e ny u r u h Ve e memelankan suara. Aku mengedarkan pandangan ke barisan meja-meja lab untuk memastikan tidak ada orang yang menguping.
Jangan tersinggung, say, tapi kau sudah gila. Pertama-tama kau bilang dia menyerangku. Sekarang dia pembunuh. Sori, tapi Elliot" Pembunuh" Dia lelaki paling manis yang pernah kukenal. Kapan dia lupa membukakan pintu untuk mu" Oh, ya, benar& tak pernah.
Vee dan aku di lab biologi. Vee terlentang di atas meja. Kami sedang mempraktikkan cara mengukur tekanan darah, dan Vee seharusnya terbaring diam selama lima belas menit. Biasanya partnerku adalah Patch, tapi Pelatih memberi hari libur, yang artinya kami bebas memilih rekan. Vee dan aku berada di bagian belakang kelas. Patch di depan bersama rekan pengganti bernama Thomas Rookery.
Dia diperiksa sebagai tersangka dalam investigasi pembunuhan, bisikku, merasa mata Pelatih tertuju kepada kami. Aku menggoreskan beberapa catatan di atas kertas lab. Subjek tenang dan rileks. Subjek menahan diri untuk tidak berbicara selama tiga setengah menit. Polisi jelas-jelas berpikir dia punya motif dan indikasi.
Kau yakin yang kita bicarakan ini Elliot yang sama"
Menurutmu ada berapa banyak Elliot Saunders yang bersekolah di Kinghorn pada bulan Februari"
Vee mengetuk-ngetukkan jemarinya ke perut. Teramat sangat sulit dipercaya. Dan omong-omong, memangnya kenapa kalau dia diinterogasi" Yang penting dia dibebaskan. Mereka tidak menyatakan dia bersalah.
Karena polisi menemukan catatan bunuh diri yang ditulis oleh Halverson.
Siapa tuh" Kjirsten Halverson, kataku tidak sabaran. Cewek yang katanya gantung diri.
Mungkin dia memang gantung diri. Maksudku, bagaimana kalau suatu hari dia berkata, Hei, hidup menyebalkan, lalu dia gantung diri di pohon" Yang seperti ini bukannya mustahil.
Apa tidak kelewat kebetulan kalau apartemennya menunjukkan bukti penyusupan ketika mereka menemukan catatan bunuh diri itu"
Dia tinggal di Portland. Penyusupan bukan sesuatu yang aneh.
Kurasa ada seseorang yang meletakkan catatan itu. Seseorang yang ingin Elliot bebas dari dakwaan. Siapa" tanya Vee.
Aku menunjukkan ekspresi mana kutahu padanya. Vee bersandar pada sikunya yang sehat. Jadi menurutmu Elliot menyeret Kjirsten ke sebuah pohon, mengikatkan tambang ke lehernya, mendorongnya dari batang pohon, lalu menyusup ke apartemennya dan meletakkan bukti yang mengarah pada perbuatan bunuh diri"
Kenapa tidak" Sekarang Vee memasang tampang mana mungkin. Karena polisi sudah menganalisis semuanya. Kalau mereka memutuskan bunuh diri, aku ikut mereka.
Bagaimana dengan fakta yang satu ini, kataku, cuma beberapa minggu setelah Elliot terbebas dari interogasi, dia pindah sekolah. Kenapa dia keluar dari Kinghorn Prep untuk bersekolah di CHS" Poin yang bagus.
Kurasa dia berusaha kabur dari masa lalunya. Kurasa dia merasa sangat tidak nyaman bersekolah di tempat dia membunuh Kjirsten. Dia merasa bersalah. Aku mengetuk-ngetukkan pensil ke bibir. Aku harus pergi ke Kinghorn dan mengajukan pertanyaan. Cewek itu baru dua bulan meninggal. Tentunya banyak orang yang masih membicarakannya.
Aku tak tahu, Nora. Aku punya firasat buruk untuk melakukan mata-mata di Kinghorn. Maksudku, apakah kau akan bertanya soal Elliot secara khusus" Bagaimana kalau dia tahu"
Aku menunduk ke Vee. Dia akan merasa cemas kalau dia bersalah.
Dan dia akan membunuhmu agar tidak membocorkan rahasia. Vee nyengir seperti kucing Cheshire. Aku tidak. Sama seperti kamu, aku ingin tahu siapa yang menyerangku, lanjutnya dengan nada yang lebih serius, tapi aku berani sumpah, dia bukan Elliot. Aku membayangkannya dalam kepala, mungkin sudah seratus kali. Tapi gambaran itu tidak cocok. Mendekati pun tidak. Percayalah.
Oke, mungkin yang menyerangmu bukan Elliot, kataku, berusaha menghibur Vee tapi tidak ingin membersihkan nama cowok itu sepenuhnya. Tetap saja masih ada yang tak beres dengan dirinya. Pertama, dia diinterogasi dalam investigasi pembunuhan. Kedua, dia kelewat manis. Ini menakutkan. Dan ketiga, dia sahabat Jules.
Vee mengerutkan kening. Jules" Memangnya kenapa dengan Jules"
Apa kau tidak merasa aneh, setiap kali kita bersama mereka, Jules menghilang"
Maksudmu apa" Ketika kita ke Delphic, Jules mendadak harus ke kamar mandi. Apa dia kembali lagi" Setelah aku pergi untuk membeli gulali, apa Elliot menemukannya"
Tidak, tapi aku menyangka itu karena persoalan lambung.
Lalu kemarin malam, mendadak dia mengaku sakit. Aku menggosok-gosokkan karet pensil ke hidungku, memutar otak. Sepertinya dia sering sakit.
Kurasa kau berlebihan. Mungkin& mungkin dia kena SUM.
SUM" Sindrom Usus yang Menjengkelkan.
Aku menyingkirkan dugaan Vee untuk mengembangkan gagasan yang lebih besar dalam kepalaku.
Dengan mobil, lama tempuh ke Kinghorn Prep sekitar satu jam. Kalau sekolah ini punya aturan akademis yang ketat seperti yang dikatakan Elliot, kenapa Jules selalu punya waktu untuk berkendara ke Coldwater" Hampir setiap pagi aku melihatnnya bersama Elliot di Bistro Enzo dalam perjalanan ke sekolah. Tambahan dia memberi tumpangan pulang untuk Elliot. Seolah Jules ada dalam telapak tangan Elliot.
Tapi itu belum semuanya. Aku menggosokkan karet pensil lebih keras lagi ke hidungku. Apa yang luput"
Kenapa Elliot membunuh Kjirsten" tanyaku keraskeras. Mungkin dia pernah melihat Elliot melakukan sesuatu yang terlarang, dan Elliot membunuhnya untuk membungkamnya.
Vee menghela napas. Ide ini mendamparkan kita ke pulau Tak Masuk Akal.
Ada lagi yang lain. Sesuatu yang tidak terlihat. Vee menatapku seolah otakku tengah kelayapan ke luar angkasa. Terus terang, menurutku kau terlalu banyak berpikir. Ini seperti perburuan nenek sihir.
Dan tiba-tiba aku tahu apa yang luput. Hal ini menggelayuti pikiranku seharian, memanggil-manggil dari belakang kepalaku. Tapi aku terlalu sibuk dengan hal lain sehingga tidak memperhatikan. Detektif Basso bertanya apakah ada sesuatu yang hilang. Baru sekarang aku menemukan jawabannya. Aku meletakkan artikel
tentang Elliot di atas laci kemarin malam. Tapi pagi ini aku mengecek ingatanku untuk memastikan kertas itu hilang. Benar-benar hilang.
Ya, Tuhan, kataku. Elliot yang masuk ke rumahku kemarin malam. Dia mencuri artikel itu. Karena artikel itu terletak di tempat yang mudah dilihat, masuk akal kalau Elliot mengacak-acak kamarku untuk menerorku. Mungkin dia ingin memberi hukuman karena aku membaca artikel itu.
Wow, wow, apa" kata Vee.
Ada apa" tanya pelatih, berjalan ke sebelahku. Ya, ada apa" Vee membeo. Dia menunjuk dan menertawakan aku di belakang punggung Pelatih.
Emmm subjek sepertinya tak memiliki detak jantung, kataku, meremas pergelangan tangan Vee kuat-kuat.
Sementara Pelatih memeriksa detak jantung Vee, temanku ini pura-pura pingsan dan mengipas-ngipasi wajahnya. Mata pelatih melotot ke arahku, dari atas kacamatanya. Di sini, Nora. Detaknya keras dan kuat. Kau yakin subjek menghentikan aktivitas, termasuk berbicara, selama lima belas menit penuh" Detaknya tidak selambat yang kuharapkan.
Subjek berjuang untuk tidak bicara, Vee menyela. Dan subjek kesulitan untuk rileks di atas meja biologi yang sekeras batu. Subjek mengusulkan pertukaran
posisi sehingga Nora bisa menjadi subjek baru. Vee menggunakan tangan kanannya untuk menarikku dan berpegangan padaku agar dia bisa bangkit.
Jangan membuatku menyesal karena sudah memberi kesempatan kepada kalian untuk memilih partner, kata Pelatih kepada kami.
Jangan membuatku menyesal karena datang ke sekolah hari ini, kata Vee dengan manis.
Pelatih melotot kepadanya, lalu mengangkat kertas catatan labku, matanya menelusuri lembaran yang kosong melompong.
Subjek menyamakan lab biologi dengan obat penenang dosis tinggi, kata Vee.
Pelatih meniup peluit, dan semua mata tertuju kepada kami.
Patch" katanya. Bisa ke sini" Sepertinya ada masalah pemilihan partner di sini.
Aku cuma bercanda, kata Vee cepat-cepat. Nah sekarang aku akan bekerja sama.
Kau seharusnya melakukannya lima belas menit yang lalu, kata Pelatih.
Maafkan aku" dia bertanya sambil mengedipngedipkan bulu mata.
Pelatih mengempit buku catatan di bawah lengannya. Tidak.
Sori! Vee berbisik kepadaku melalui bahunya saat dia berjalan dengan enggan ke depan kelas.
Sebentar kemudian Patch sudah duduk di sebelahku, di atas meja. Dia menangkupkan tangannya di antara lutut dan menatap lurus kepadaku.
Apa" kataku, merasa tidak nyaman karena pandangannya.
Dia tersenyum. Aku membayangkan sepatu hak tinggi itu. Kemarin malam.
Aku merasa perutku melilit, sesuatu yang biasa terjadi kalau Patch di dekatku. Dan seperti biasanya, aku tak bisa membedakan apakah itu baik atau buruk.
Bagaimana semalam" tanyaku, berusaha menjaga suaraku senetral mungkin saat berusaha memecah keheningan. Pengalaman mata-mata itu masih menggelayut di antara kami, membuatku tidak nyaman. Menarik. Kau"
Tidak terlalu. PR bikin pusing, ya"
Dia berolok-olok. Aku tidak mengerjakan PR. Dia tersenyum seperti serigala. Siapa yang kau lakukan"
Sejenak aku kehabisan kata-kata. Aku berdiri saja dengan mulut sedikit terbuka. Apa itu sebuah lelucon"
Cuma ingin tahu saja, seperti apa sainganku.
Dewasa sedikit. Senyum Patch mengembang. Santai sedikit. Aku baru mendapat masalah dengan Pelatih, jadi tolong kita konsentrasi saja pada pelajaran. Aku sedang malas berperan jadi subjek tes, jadi kalau kau tidak keberatan& aku menunjuk ke meja.
Tidak bisa, katanya. Aku tak punya jantung. A k u b erk at a d a l a m h at i k a l au it u t id a k sungguhan.
Aku merebahkan diri di atas meja dan menumpukkan tangan di atas perut. Katakan kalau sudah lima menit. Aku memejamkan mata, memilih tidak melihat mata hitam Patch memeriksa diriku.
Beberapa menit kemudian aku membuka mata sedikit.
Waktunya sudah habis, kata Patch.
Aku membalikkan telapak tangan agar dia bisa memeriksa detak jantungku.
Patch mengangkat tanganku, dan entakan panas menjalar di lenganku dan berakhir dengan rasa melilit di perut.
Detak jantung subjek meningkat ketika disentuh, katanya.
Jangan tulis itu. Aku ingin terkesan galak. Tapi sebaliknya, ucapanku malah mengesankan kalau aku sedang menahan senyum.
Pel at i h i n g i n k it a m e mb e r i ke t e r a n g a n mendetail.
Kau ingin apa" tanyaku.
Mata Patch menatap mataku. Aku yakin, di dalam hati dia nyengir.
Kecuali itu, kataku. Setelah mata pelajaran berakhir, aku bergegas ke ruangan Miss Greene untuk mengikuti sesi yang telah dijadwalkan. Di akhir jam pelajaran, pintu Dr. Hendrickson selalu terbuka, suatu undangan tersirat bagi para siswa untuk masuk. Tapi sekarang, setiap kali aku melewati lorong ini, pintu Miss Greene tertutup. Selalu. Menyiratkan pesan Jangan mengganggu.
Nora, katanya, membuka pintu setelah aku mengetuk, silakan masuk. Duduklah.
Ruangannya sudah rapi dan berdekorasi sekarang. Dia menaruh beberapa tanaman lagi. Dan sebuah panel yang terdiri dari barisan lukisan tumbuhan tergantung di dinding di atas mejanya.
Miss Greene berkata, Aku memikirkan ucapanmu minggu kemarin. Aku sampai pada keseimpulan bahwa hubungan kita harus dibangun atas rasa kepercayaan dan hormat. Kita tidak akan membahas tentang ayahmu lagi, kecuali kalau kau menginginkannya.
Oke, kataku kering. Jadi, apa yang akan kita bicarakan"
Aku mendengar beberapa kabar yang mengecewakan, katanya. Senyumnya menghilang dan dia mencondongkan badan, kedua sikunya di atas meja. Miss Greene memegang pulpen, dan memutar-mutarnya dengan jari. Aku tak bermaksud memata-matai kehidupan pribadimu, Nora. Tapi rasanya aku sudah berbicara cukup jelas menyangkut keterlibatanmu dengan Patch.
Aku tak yakin, ke mana arah pembicaraannya. Aku tak memberinya les. Dan memangnya ini urusan dia"
Sabtu malam Patch mengantarmu pulang dari Delphic Seaport. Dan kau mengajaknya masuk ke rumahmu.
Aku berjuang untuk menahan desakan protes. Dari mana kau tahu"
Memberi bimbingan adalah bagian dari tugasku sebagai psikolog sekolahmu, kata Miss Greene. Tolong kau berjanji untuk sangat berhati-hati kalau di dekat Patch. Dia menatapku seolah menunggu aku bersumpah.
Persoala n nya r u m it , kata ku. Tema n ku meninggalkan aku di Delphic. Aku tak punya pilihan. Bukannya aku mencari kesempatan untuk bersamasama dengan Patch. Well, kecuali kemarin malam di
Borderline. Sejujurnya, aku tak menduga akan bertemu dengan Patch. Seharusnya dia tidak bekerja malam itu.
Aku senang mendengarnya, jawab Miss Greene. Tapi suaranya mengesankan kalau dia tidak sepenuhnya percaya. Selain hal itu, ada lagi yang ingin kau bicarakan hari ini" Sesuatu yang membebani pikiranmu"
Aku tak mau bercerita tentang Elliot yang menyusup ke rumahku. Aku tidak percaya kepada Miss Greene. Aku tidak bisa memastikan kenapa, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menggangguku. Dan aku tak suka caranya yang terus menyiratkan pesan kalau Patch berbahaya, tapi tak menjelaskan alasannya. Hampir seolah-olah dia punya rencana tersembunyi.
Aku mengangkat ransel dari lantai dan membuka pintu. Tidak, kataku.
ee bersanDar Di lokerkU, MeMbUaT gaMbar di gipsnya dengan spidol ungu.
Hai, sapanya ketika tak ada orang lain di lorong itu. Ke mana saja kau" Aku mencarimu di lab eZine dan perpustakaan.
Aku bertemu dengan Miss Greene, psikolog sekolah yang baru, kataku datar, padahal ada perasaan tak nyaman dalam hati. Aku tak bisa berhenti memikirkan Elliot yang menyusup ke dalam rumahku. Bagaimana kalau dia melakukannya lagi" Atau berbuat sesuatu yang lebih buruk"
Bagaimana kabarmu" tanya Vee.
Aku membuka kunci kombinasi loker dan mengeluarkan buku. Kau tahu berapa ongkos untuk memasang sistem alarm yang bagus"
Jangan tersinggung, say, tapi tak ada yang mau mencuri mobilmu.
Aku melotot. Untuk rumahku. Aku ingin memastikan Elliot tak bisa menyusup lagi.
Vee memandang ke sekeliling dan berdehem. Apa" tanyaku.
Vee mengangkat tangan. Tak apa-apa. Sungguh. Kalau kau masih menyalahkan Elliot& itu hakmu. Gila memang, tapi itu hakmu.
Aku menutup pintu loker, dan keretaknya bergema di lorong. Di antara semua orang, Vee-lah yang seharusnya memercayaiku. Tapi kutelan pikiran itu dan justru berkata, Aku ingin ke perpustakaan, dan waktuku tak banyak. Kami keluar dari gedung sekolah dan menyeberangi halaman menuju lapangan parkir, dan aku tercenung. Aku melihat ke sekeliling, mencari Fiatku. Tapi aku baru teringat bahwa Ibu mengantarku pagi ini dalam perjalanannya menuju tempat kerja. Dan karena tangan Vee patah, dia belum bisa mengemudi.
Sial, kata Vee, membaca pikiranku, tak ada mobil.
Sambil melindungi mata dari matahari, aku berjongkok di jalanan. Sepertinya kita terpaksa jalan kaki.
Bukan kita. Kau. Sekali seminggu adalah batasanku ke perpustakaan.
Tapi kau belum ke perpustakaan minggu ini, jelasku.
Yeah, tapi masih bisa besok.
Besok hari Kamis. Apa kau pernah belajar di hari Kamis"
Vee mengetuk-ngetuk bibirnya dengan kuku dan menunjukkan ekspresi berpikir keras. Apa aku pernah belajar hari Rabu"
Seingatku tidak. Nah, itu jawabannya. Aku tak bisa pergi. Akan melanggar tradisi.
Tiga puluh menit kemudian aku menaiki anak tangga menuju pintu utama perpustakaan. Begitu di dalam, aku menyisihkan PR-ku dan langsung ke lab media. Di sana aku menghidupkan Internet untuk mencari informasi lebih jauh tentang Penggantungan di Kinghorn . Tak banyak yang kutemukan. Awalnya banyak publisitas, tapi setelah catatan bunuh diri ditemukan dan Elliot dibebaskan, beritanya bergeser.
Sudah waktunya pergi ke Portland. Tak akan banyak yang kudapatkan dengan menelusuri artikel berita.
Tapi mungkin aku akan lebih beruntung kalau terjun langsung ke sana.
Aku keluar dari perpustakaan dan menelepon ibu. Apa aku harus sampai di rumah jam sembilan malam ini"
Ya, kenapa" Aku berencana naik bus ke Portland. Ibu mengeluarkan tawa yang menyiratkan kau pikir aku sudah gila"
Aku harus mewawancarai beberapa siswa Kinghorn Prep, kataku. Untuk tugas riset. Aku tidak berbohong. Tidak sepenuhnya. Tentu saja jauh lebih mudah menjustifikasi kalau aku tidak dibebani perasaan bersalah karena merahasiakan peristiwa penyusupan itu dan kedatangan polisi ke rumah. Aku berniat untuk memberitahu Ibu. Tapi setiap kali aku membuka mulut, kalimat itu menghilang begitu saja. Kami sedang berjuang untuk bisa bertahan hidup. Kami membutuhkan penghasilan ibu. Kalau aku memberitahu soal Elliot, Ibu pasti segera berhenti kerja.
Kau tak boleh ke sana sendirian. Ini hari sekolah dan sebentar lagi malam. Lagi pula, begitu kau sampai di sana, mereka sudah pergi.
Aku menghela napas. Oke, aku akan segera pulang.
Aku tahu, aku berjanji menjemputmu, tapi aku masih terjebak dengan pekerjaan kantor. Aku mendengar bunyi gemerisik kertas, dan kubayangkan ibu mengempit telepon dengan dagunya sementara kabel telepon melintang di badannya. Apakah terlalu berlebihan kalau memintamu jalan kaki"
Cuaca tak terlalu dingin, aku memakai jaket jins, dan punya dua kaki. Aku bisa berjalan. Rencana itu tampak jauh lebih masuk akal dalam kepalaku. Karena bayangan harus berjalan kaki pulang menyisakan rasa hampa dalam diriku. Tapi kecuali menghabiskan malam di perpustakaan, aku tak melihat pilihan lain.
Aku hampir melewati pintu perpustakaan ketika terdengar seseorang memanggil. Aku membalikkan badan, dan melihat Marcie Millar mendekat.
Aku sudah mendengar tentang Vee, katanya. Sangat menyedihkan. Maksudku, siapa yang mau menyerangnya" Kecuali, kau tahu, mereka tak tahan lagi. Mungkin itu cuma untuk membela diri. Aku dengar saat itu gelap dan turun hujan. Jadi semakin mudah menyangkanya rusa besar. Atau beruang, atau kerbau. Sungguh, pokoknya hewan bertubuh besar.
Senang sekali mengobrol denganmu, tapi lebih baik aku melakukan yang lain. Misalnya memasukkan tanganku ke keranjang sampah. Aku meneruskan langkah ke luar.
Kuharap dia menjauhi makanan rumah sakit, katanya, terus membuntuti aku. Kudengar kadar lemaknya tinggi. Dia tak akan sanggup kalau berat badannya bertambah.
Aku berbalik. Cukup. Satu kata lagi, aku akan& Kami berdua tahu, itu cuma gertak sambal. Marcie menantang. Akan apa" Ceking, kataku.
Kuper. Perek. Sinting. Babi anoreksia. Wow, kata Marcie, membalas secara dramatis dengan tangan ditekankan ke dada. Apa aku seharusnya pura-pura tersinggung" Katanya tahu etika. Basi. Setidaknya aku bisa sedikit mengendalikan diri.
Petugas keamanan berdiri di pintu, berdeham. Oke, hentikan. Keluar atau aku akan menyeret kalian berdua ke ruanganku dan menelepon orangtua kalian.
Bicara kepadanya, kata Marcie, menuding ke arahku. Aku justru berusaha bersikap baik. Tapi dia menyerangku secara verbal. Aku hanya menyampaikan simpati untuk temanku.
Keluar, kataku. Kau kelihatan tampan memakai seragam, kata Marcie, seulas senyum beracun yang khas tersungging di bibirnya.
Lelaki itu menggoyangkan kepala ke arah pintu. Keluar dari sini. Tapi suaranya tak sekeras tadi.
Marcie bergegas ke pintu. Boleh bukakan pintunya" Tanganku penuh. Padahal dia hanya memegang sebuah buku. Novel.
Petugas itu menekan tombol untuk penyandang cacat, dan pintu terbuka secara otomatis.
Terima kasih banyak, kata Marcie, mengembuskan sebuah kecupan.
Aku tidak membuntutinya, tak yakin apa yang terjadi kalau itu kulakukan. Hatiku penuh dengan emosi negatif sehingga aku khawatir akan melakukan sesuatu yang bakal kusesali. Mengata-ngatai orang dan berkelahi bukan kebiasaanku. Kecuali kalau menyangkut Marcie Millar.
Aku berbalik dan berjalan menuju perpustakaan lagi. Begitu lift terbuka, aku masuk dan menekan tombol untuk ke lantai basement. Bisa saja aku menunggu beberapa menit setelah Marcie pergi, tapi aku tahu cara lain dan memutuskan untuk melakukannya. Lima tahun lalu, pemerintah kota setuju untuk memindahkan perpustakaan umum ini ke sebuah gedung bersejarah di pusat kota Coldwater. Bata merahnya berasal dari tahun
1850-an, dan gedung ini dilengkapi dengan kubah bulat yang berkesan romantis dan sebuah serambi di lantai atas bagi orang-orang yang ingin menonton kapal-kapal yang datang dari laut. Sayangnya gedung ini tidak dilengkapi dengan lapangan parkir sehingga digalilah terowongan bawah tanah untuk menghubungkan perpustakaan dengan garasi parkir bawah tanah milik gedung pengadilan yang terletak di seberang jalan. Sekarang garasi itu digunakan oleh pengunjung kedua gedung.
Lift berhenti dan aku aku keluar. Terowongan ini diterangi lampu-lampu neon yang memancarkan cahaya ungu pucat. Butuh waktu sejenak untuk memaksa kakiku berjalan, karena tiba-tiba aku teringat akan malam ketika ayahku dibunuh. Aku bertanya-tanya, apakah dia sedang berada di jalan yang terpencil dan gelap seperti terowongan di depanku.
Ku a tk a n ha tim u, kataku dalam hati. It u ak si kekerasan acak. Sudah setahun terakhir kau menjadi paranoid terhadap lorong, kamar, dan lemari yang gelap. Kau tak boleh merasa ketakutan seumur hidup bahwa seseorang akan menodongkan pistol ke arahmu.
Dengan tekad mengalahkan rasa takut, aku berjalan menyusuri terowongan. Terdengar bunyi halus langkah sepatuku yang menginjak beton. Sembari memindahkan ransel ke bahu kiri, aku menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai di rumah dengan
berjalan kaki, dan apakah aku harus memotong jalan dengan menyeberangi rel kereta karena sekarang sudah gelap. Dengan membuat kepalaku sibuk dan terus berpikir, semoga saja aku tak punya waktu lagi untuk memperhatikan rasa waswasku yang menjadi-jadi.
Terowongan berakhir, dan suatu sosok gelap berdiri di depan.
Aku berhenti berjalan, degup jantungku melambat. Patch mengenakan T-shirt hitam, jins gombrong, dan bot berujung baja. Matanya menyiratkan pembangkangan. Senyumnya terlalu licik untuk dibilang manis.
Sedang apa kau" tanyaku, mengibaskan sejumput rambut yang jatuh ke wajahku dan menatap ke depan, ke tempat keluar mobil yang mengarah ke atas. Aku tahu, tempat itu ada di depan, tapi beberapa lampu neon di atas tak berfungsi sehingga sulit untuk melihat dengan jelas. Kalau Patch berniat melakukan pemerkosaan, pembunuhan, atau tindakan melanggar hukum lainnya, tempat ini sangat cocok.
Saat Patch menghampiriku, aku mundur. Aku berdiri tak jauh dari mobil dan melihat kesempatan. Aku bergegas berbelok, dan memosisikan diriku di seberang Patch, dengan mobil itu di tengah-tengah kami.
Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Patch memandangku dari kap mobil. Alis matanya terangkat.
Aku punya pertanyaan, kataku. Banyak pertanyaan.
Tentang" Tentang segala macam. Mulutnya berkerenyut, dan aku yakin dia berusaha menahan senyum. Dan kalau jawabanku cocok, kau tidak akan lari" dia mengangguk ke arah pintu keluar garasi.
Begitulah rencananya. Kurang lebih. Plus minus beberapa celah berbahaya. Misalnya fakta kalau Patch jauh lebih cepat dariku.
Apa pertanyaanmu, katanya.
Bagaimana kau tahu aku akan berada di perpustakaan malam ini"
Sepertinya cuma tebakan mujur.
Aku tak percaya sama sekali kalau Patch ada di sini karena firasat belaka. Ada sisi dirinya yang nyaris seperti pemangsa. Kalau pasukan bersenjata mengenalnya, pasti mereka akan melakukan segala cara untuk merekrutnya.
Patch berbelok ke kiri, aku mengikuti langkahnya, bergegas ke arah belakang mobil. Kalau Patch berhenti mendadak, aku juga. Dia berada di moncong mobil, dan aku di ekornya.
Ke mana kau Minggu malam" tanyaku. Apakah kau membuntuti aku ketika aku berbelanja dengan Vee"
Boleh jadi Patch bukanlah lelaki di balik topeng ski, tapi itu bukan berarti dia tidak terlibat sama sekali dalam rangkaian kejadian yang meresahkan belakangan ini. Dia merahasiakan sesuatu dariku. Dia merahasiakannya sejak kali pertama kami bertemu. Apakah cuma kebetulan saja kalauh hari normal dalam kehidupanku berakhir tepat pada hari yang menentukan itu" Kurasa tidak.
Tidak. Omong-omong bagaimana acara berbelanjanya" Kau membeli sesuatu"
Mungkin, kataku, keterlanjuran. Misalnya"
Aku mengingat-ingat. Vee dan aku baru sampai di Victoria s Secret. Aku mengeluarkan tiga puluh dolar untuk membeli bra hitam berenda, tapi aku tak mau menyebutkan yang satu ini. Aku justru bercerita tentang malam itu, dimulai dengan perasaan dibuntuti dan berakhir dengan mendapati Vee tergeletak di pinggir jalan, korban perampokan brutal.
Well" desakku setelah bercerita. Ada yang ingin kau katakan"
Tidak. Kau tidak punya gambaran tentang kejadian yang menimpa Vee"
Sekali lagi, tidak. Aku tak percaya padamu. Itu karena kau punya masalah dalam hal kepercayaan. Dia merentangkan kedua tangannya di atas mobil, mencondongkan badannya ke bemper. Kita sudah melewati masalah seperti ini.
Aku merasakan percikan kemarahan. Patch lagi-lagi membalikkan perakapan. Bukannya membahas dirinya, topik pembicaraan justru berpindah kepadaku. Dan aku paling tak suka diingatkan kalau dia tahu segala sesuatu tentang diriku. Sampai yang bersifat pribadi. Seperti persoalanku yang sulit percaya pada orang lain.
Patch bergerak searah jarum jam. Aku menjauh darinya, berhenti kalau dia berhenti. Ketika kami terdiam lagi, matanya mengunci mataku, seolah dia sedang berusaha memperkirakan gerakanku selanjutnya.
Apa yang terjadi di Archangel" Apakah kau menyelamatkanku" tanyaku.
Kalau aku menyelamatkanmu, kita tak akan berada di sini.
Maksudmu, kalau kau tidak menyelamatkan aku, kita tak akan berada di sini. Karena aku pasti sudah mati.
Aku tidak berkata begitu.
Aku tak tahu maksudnya. Apa maksudmu" Kau ada. Dia diam sejenak. Aku mungkin tidak.
Sebelum aku memahami ucapannya, dia menghampiriku lagi. Kali ini dia menyerang dari arah kanan. Aku kebingungan sejenak, dan dia berhasil memperkecil jarak di antara kami. Alih-alih berhenti, Patch malah memutari mobil. Aku menjauh, berlari melewati garasi.
Aku berhasil melewati tiga mobil sebelum Patch menangkap tanganku. Dia memutariku dan mendorongku ke tembok semen.
Masa bodoh dengan rencana, katanya. Aku melotot, tapi kepanikan terpancar dari mataku. Dia nyengir dengan kesan jahat, membuatku yakin kalau aku punya alasan untuk berkeringat.
Apa yang terjadi" kataku, berusaha keras terkesan galak. Kenapa aku berani sumpah kalau aku mendengar suaramu dalam kepalaku" Dan kenapa kau katakan kalau kau ke sekolah karena aku"
Aku lelah mengagumi kakimu dari jauh. Aku ingin jawaban yang sebenarnya. Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku layak mengetahui semuanya.
Mengetahui semuanya, Patch mengulang ucapanku sambil nyengir. Apa ini ada hubungannya dengan janji kalau kau akan menelanjangiku" Apa sih sebenarnya yang kita bicarakan"
Aku tak ingat apa yang kami bicarakan. Yang kutahu, tatapan Patch sangat seksi. Aku harus memutus
kontak mata, jadi aku mengalihkan mataku ke tangan. Keduanya basah dengan keringat, jadi kusembunyikan di belakang punggung.
Aku harus pergi, kataku. Ada PR. Ada apa di sana" Dagunya menunjuk ke lift. Bukan apa-apa.
Sebelum aku bisa mencegah, Patch sudah menggenggam telapak tanganku. dia menyelipkan jemarinya ke jemariku sehingga tangan kami bertautan. Ruas-ruas jarimu pucat, katanya, menggosokkan bibirnya ke tanganku. Dan kau kelihatan seperti baru bekerja keras.
Lepaskan. Dan aku tidak kerja keras. Aku ingin pergi, ada PR
Nora, Patch menyebut namaku dengan lembut, tapi jelas dia harus mendapatkan jawaban.
Aku berkelahi dengan Marcie Millar. Aku tak tahu kenapa aku berterus terang. Padahal aku tak ingin Patch tahu lebih banyak tentang diriku. Oke" kataku dengan nada putus asa. Puas" Sekarang boleh lepaskan" Marcie Millar"
Aku berusaha melepaskan jariku, tapi Patch tak punya niat untuk membebaskannya.
Kau tak kenal Marcie" kataku sinis. Sulit dipercaya, mengingat kau sekolah di Coldwater High, itu kesatu. Dan kedua, kau punya kromosom Y.
Ceritakan tentang perkelahian itu, katanya. Dia mengatai Vee gendut.
Dan" Dan aku menjulukinya babi anoreksia. Patch tampak berusaha keras menahan senyum. Itu saja" Tak ada tonjok-tonjokan" Gigit-gigitan, atau jambak-jambakan"
Aku menyipitkan mata kepadanya.
Apakah kau harus diajarkan berkelahi, Angel" Aku bisa berkelahi, kataku, mengangkat dagu untuk menutupi kebohongan.
Kali ini dia tidak repot-repot menahan senyuman. Malah aku pernah ikut latihan tinju. Maksudku kickboxing. Di gimnasium. Satu kali.
Patch mengangkat tangannya sebagai sasaran. Pukul tanganku. Sekeras mungkin.
Aku tak suka kekerasan yang tak beralasan. Kita ada di sini. Sepatu bot Path bergesekan dengan ujung sepatuku. Cowok seperti aku bisa saja memanfaatkan cewek sepertimu. Sebaiknya kau tunjukkan keahlianmu.
Aku minggir ke belakang, dan terlihatlah motor hitam Patch.
Biar aku antarkan kau pulang, katanya menawarkan.
Aku jalan kaki. Sudah malam, dan gelap. Benar juga. Terlepas aku suka atau tidak. Tapi dalam hati aku merasa terperangkap dalam permainan uji supremasi. Memang, bodoh rasanya kalau aku pulang dengan berjalan kaki. Dan sekarang aku terjebak di antara dua keputusan buruk, menerima tawaran Patch, atau mengambil risiko berhadapan dengan seseorang yang lebih buruk di luar sana.
Aku jadi berpikir kalau satu-satunya alasan kenapa kau terus menawarkan tumpangan adalah karena kau tahu betapa aku tidak suka akan hal ini. Aku menghela napas dengan marah, mengenakan helm dengan kasar, dan duduk di belakang Patch. Bukan salahku kalau aku berdempetan dengannya. Tempat duduknya tidak bisa dibilang lega.
Patch mengeluarkan suara kesenangan. Kupikir ada beberapa alasan lain.
Dia melewati jalur untuk menuju jalan utama, mengarahkan motornya ke pintu keluar. Palang lalu lintas bergaris-garis merah putih dan mesin tiket otomatis menghalangi jalan keluar. Aku bertanyatanya dalam hati, apakah Patch akan memperlambat motornya untuk memasukkan uang parkiran. Tetapi ternyata dia menghentikan kendaraannya dengan mulus, mengentakkan aku sehingga semakin dekat dengannya,
dan memasukkan uang. Setelah itu motor meluncur di jalan.
Patch menepikan motornya di halaman rumahku, dan aku berpegangan padanya untuk menjaga keseimbangan saat aku turun. Aku mengembalikan helm kepadanya. Terima kasih untuk tumpangannya, kataku. Kau punya rencana Sabtu malam"
Aku diam sesaat. Ada kencan dengan si biasa. Ucapanku membuat Patch penasaran. Si biasa" PR.
Batalkan. Aku merasa jauh lebih rileks. Patch bersikap hangat dan mantap, aroma tubuhnya pun fantastis. Seperti mint dan aroma tanah yang subur dan gelap. Tak ada yang menabrak kami dalam perjalanan pulang, dan semua jendela di lantai bawah rumahku terang. Untuk pertama kalinya dalam seharian ini, aku merasa aman.
Kecuali tadi, ketika Patch menyudutkan aku di terowongan yang gelap dan kemungkinan bahwa dia memata-matai aku. Barangkali tidak terlalu aman.
Aku tak pernah pergi dengan orang asing, kataku.
Untungnya aku juga. Kujemput kau jam lima.
epanJang sabTU iTU TUrUn HUJan Dingin. Aku duduk dekat jendela, melihat kucurannya membuat genangan-genangan di halaman semakin besar. Di pangkuanku ada H amlet yang tertelungkup, sebuah pena yang kuselipkan di telinga, dan mug cokelat panas yang sudah kosong di kaki. Kertas pertanyaan tentang pemahaman bacaan tergeletak di samping meja. Masih sama putihnya seperti ketika Mrs. Lemon menyerahkannya dua hari lalu. Selalu saja begini.
Ibuku pergi ke kelas yoga setengah jam lalu, dan sementara aku mempraktikkan beberapa cara dalam
kepala untuk menyampaikan rencana kencanku dengan Patch kepadanya, pada akhirnya aku membiarkannya menutup pintu tanpa mengatakan apa-apa. Ini bukan masalah besar, kataku dalam hati. Usiaku enam belas dan aku bisa memutuskan kapan dan kenapa aku meninggalkan rumah. Tapi kalau punya niat untuk pergi seharusnya aku bilang. Sempurna. Sekarang aku akan dihantui rasa bersalah semalaman.
Ketika jam tua di ruang tamu berdentang, tanda bahwa sekarang sudah jam 4:30, dengan senang aku menyingkirkan buku dan berlari ke kamarku di lantai atas. Nyaris seharian ini aku bergelut dengan PR dan tugas-tugas di rumah sehingga membuatku tak teringat akan kencan malam ini. Tapi sekarang, mendekati menit-menit terakhir, rasa gugup menguasai diriku. Terlepas apakah aku mau memikirkannya atau tidak, tapi ada urusan yang belum selesai antara aku dan Patch. Ciuman terakhir kami mendadak terpotong. Cepat atau lambat, ciuman itu harus disempurnakan. Memang, aku ingin penyelesaian, ini tak diragukan lagi. Tapi aku tak yakin apakah siap menghadapinya malam ini. Dan yang terpenting, peringatan Vee terus muncul dalam kepalaku seperti bendera merah. Jauhi Patch.
Aku memosisikan diri di depan cermin di atas meja dan melakukan pendataan. Makeup minimal, cuma satu sapuan maskara. Terlalu banyak rambut ikal,
tapi memangnya ini sesuatu yang baru" Bibir perlu dikilapkan. Aku menjilat bibir bawah agar tampak basah. Ini membuatku teringat akan ciuman nyarisku dengan Patch, dan desiran hangat menjalar ke tubuhku begitu saja. Kalau ciuman nyaris saja bisa membuatku begini, bagaimana dengan ciuman sempurna" Pantulan wajahku di cermin tersenyum.
Tidak masalah, kataku dalam hati sambil mencoba anting-anting. Perhiasan ini cukup besar, menggantung, terbuat dari batu pirus& dan terkesan kelewat usaha . Aku mencopotnya dan menjajal anting-anting topaz yang kecil. Lebih baik. Aku membayangkan apa yang ada dalam pikiran Patch. Makan malam" Menonton film" Ini tak akan berbeda dengan kencan pelajaran biologi, kataku tegas kepada pantulanku. Hanya saja& tanpa biologi dan pelajaran.
Aku mengenakan jins lurus yang ketat dan sepatu berhak datar. Syal sutra biru Hally kuikatkan di pinggang, melilit dada, dan ujungnya kuikatkan di belakang leher, mengikuti blus gaya halter. Saat aku merapikan rambut, terdengar ketukan di pintu. Sebentar! aku bergegas menuruni tangga. Setelah bercermin sekali lagi di ruang tamu, aku membuka pintu depan dan mendapati dua lelaki berjaket militer warna hitam berdiri di serambi.
Nora Grey, kata Detektif Basso, mengangkat lencana polisinya. Kita bertemu lagi.
Aku tercekat. Ada apa"
Dia menggoyangkan kepalanya ke samping. Kau ingat rekanku, Detektif Holstijic. Boleh kami masuk dan mengajukan beberapa pertanyaan" Nada bicaranya tidak mengesankan kalau dia sedang meminta izin. Malah nyaris seperti ancaman.
Ada apa" tanyaku, menatap mereka bergantian. Ibumu ada" tanya Detektif Basso.
Dia sedang ikut kelas yoga. Kenapa" Ada apa" Mereka menggosokkan kaki di keset dan melangkah masuk.
Bisa ceritakan apa yang terjadi antara kau dan Marcie Millar di perpustakaan Rabu malam" tanya Detektif Holstijic, menjatuhkan diri ke sofa. Detektif Basso tetap berdiri, memperhatikan foto-foto keluarga yang disusun di atas tungku perapian.
Butuh waktu sejenak untuk mencerna kata-katanya. Perpustakaan. Rabu malam. Marcie Millar.
Apakah Marcie baik-baik saja" tanyaku. Sebenarnya tak ada ruang dalam hatiku untuk memberi kehangatan dan kasih sayang kepada Marcie. Dan ini bukan rahasia lagi. Tapi bukan berarti aku berharap dia mendapat masalah, atau lebih buruk lagi, tertimpa bahaya. Apalagi kalau kesulitannya melibatkan aku.
Detektif Basso menekan bibirnya. Apa yang membuatmu berpikir kalau dia tidak baik-baik saja" Aku tak melakukan apa-apa terhadap Marcie. Apa yang membuat kalian bertengkar" tanya Detektif Holsjitic. Petugas keamanan perpustakaan memberitahu bahwa kalian berdua berkelahi. Bukan begitu.
Lalu bagaimana" Kami saling mengata-ngatai, kataku, berharap tak perlu menjelaskan lebih jauh.
Mengata-ngatai seperti apa"
Julukan-julukan buruk, kataku mengingat-ingat. Tolong sebutkan, Nora.
Aku mengatainya babi anoreksia. Pipiku memerah dan suaraku tak percaya diri. Kalau situasinya tak seserius ini, mungkin aku berharap menemukan julukan yang jauh lebih kejam dan jahat. Tapi sekaligus yang sedikit lebih masuk akal.
Kedua detektif itu bertukar pandang.
Apakah kau mengancamnya" tanya Detektif Holstijic.
Tidak. Setelah dari perpustakaan kau ke mana" Pulang.
Apakah kau membuntuti Marcie"
Tidak. Seperti yang kukatakan, aku pulang. Boleh ceritakan apa yang terjadi pada Marcie"
Ada yang bisa menguatkan ucapanmu" tanya Detektif Basso.
Partner biologiku. Dia melihatku di perpustakaan dan menawarkan tumpangan.
Sebelah bahuku bersandar ke pembatas ruang yang mengarah ke kamar. Detektif Basso mendekat dan berhenti di sisi sebaliknya, di seberangku. Ceritakan tentang partner biologimu.
Pertanyaan macam apa itu"
Dia merentangkan tangan. Pertanyaan yang sangat sederhana. Tapi kalau kau ingin yang lebih spesifik, bisa kujelaskan lagi. Ketika di SMA, aku hanya menawarkan tumpangan kepada gadis yang kuincar. Mari kita melangkah lebih jauh. Bagaimana hubunganmu dengan partner biomu itu& di luar sekolah"
Kau bercanda, ya" Ujung mulut Detektif Basso terangkat. Itulah dugaanku. Apakah pacarmu memukuli Marcie Millar" Marcie dipukuli"
Dia beranjak dari ambang pintu dan berdiri tepat di depanku. Matanya yang tajam menghunusku. Apakah kau ingin menunjukkan kepada Marcie, apa yang akan terjadi kalau gadis seperti dirinya tidak bisa menjaga mulut" Apakah kau pikir dia pantas mendapat hukuman"
Aku kenal gadis-gadis seperti Marcie ketika aku sekolah. Mereka yang memancing, ya kan" Bukankah Marcie yang memancing, Nora" Seseorang memukulinya cukup parah Rabu malam, dan kupikir kau tahu lebih banyak dari yang telah kau ucapkan.
Aku berusaha keras meredam pikiran-pikiranku. Khawatir pikiran itu tampak di wajahku. Mungkin hanya kebetulan saja Marcie dipukuli pada malam ketika aku mengeluh soal dirinya kepada Patch. Tapi bisa juga bukan kebetulan.
Kami perlu berbicara dengan pacarmu, kata Detektif Holstijic.
Dia bukan pacarku. Dia partner biologiku. Apa dia akan ke sini sebentar lagi"
Memang, seharusnya aku berterus terang, tapi setelah dipikir-pikir, aku tak bisa membayangkan Patch menyakiti Marcie. Memang dia bukan cewek paling manis sedunia, dan dia punya lebih dari seratus musuh. Beberapa di antaranya mungkin bisa melakukan kekerasan, tapi Patch bukan salah satu di antara mereka. Kekerasan tak beralasan bukan gayanya. Tidak, kataku.
Detektif Basso tersenyum kaku. Berdandan serapi ini pada Sabtu malam"
Begitulah, kataku sedingin mungkin.
Detektif Holstijic mengeluarkan buku kecil dari saku jaketnya, membukanya, dan menekan pulpen. Kami butuh nama dan nomor teleponnya.
Sepuluh menit setelah kedua detektif itu pergi, jip Commander hitam milik Patch masuk ke halaman rumahku. Patch berlari menembus hujan menuju serambi. Dia mengenakan jins hitam, sepatu bot, dan T-shirt abu-abu tebal.
Mobil baru" tanyaku setelah membuka pintu. Dia tersenyum misterius. Aku memenangkannya beberapa malam lalu dalam pertandingan pool. Taruhannya mobil"
Orangnya tak kelihatan senang. Aku berusaha jauh-jauh darinya untuk sementara ini.
Kau dengar berita tentang Marcie Millar" tanyaku begitu saja, berharap membuatnya kaget.
Tidak. Ada apa" jawabannya santai, mungkin dia berkata sejujurnya. Tetapi sayangnya kalau menyangkut berbohong, Patch tidak kelihatan seperti amatiran. Dia dipukuli.
Kasihan. Tahu siapa yang melakukannya"
Kalau pun Patch menangkap rasa khawatir dalam suaraku, dia tidak menunjukkannya. Dia bersandar ke pagar serambi dan menggosok-gosokkan tangan ke rahangnya. Tidak.
Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah dia merahasiakan sesuatu. Tapi mendeteksi kebohongan bukan keahlianku. Aku belum berpengalaman. Biasanya aku hanya bergaul dengan orang-orang yang aku percayai& biasanya.
Patch memarkir jipnya di Bo s Arcade. Ketika kami berjalan ke depan, kasir menatap Patch lalu menatapku. Bolak-balik bergantian, berusaha mencari hubungan.
Apa kabar" sapa Patch, meletakkan tiga lembar sepuluh dolaran di konter.
Sang kasir melayangkan tatapan tajamnya ke arahku. Dia tahu aku tak bisa mengalihkan pandangan dari tato-tato hijau lumut yang menutupi seluruh kulit lengannya. Lelaki itu memindahkan permen karet" tembakau" ke bagian lain bibir bawahnya dan berkata, Lihat sesuatu"
Aku suka tat--, ucapanku terputus. Dia memperlihatkan gigi tajamnya.
Kurasa dia tidak menyukaiku, bisikku kepada Patch ketika kami sudah cukup jauh darinya. Bo tidak suka siapa pun.
Itu Bo-nya Bo s Arcade"
Bo Junior. Bo Senior meninggal beberapa tahun lalu.
Karena apa" tanyaku.
Perkelahian di bar. Di lantai bawah.
Aku merasakan desakan untuk berlari kembali ke jip dan keluar dari lingkungan ini.
Apakah kita aman" tanyaku. Patch menoleh. Angel. Cuma bertanya.
Di lantai bawah, ruangan biliar tampak persis seperti ketika malam pertama aku berkunjung. Dinding-dinding dari balok kayu sinder dicat hitam. Warna merah melapisi meja-meja di tengah ruangan. Meja poker berjejer di pinggirnya. Lampu-lampu rendah berbaris di langit-langit. Aroma rokok yang pekat memenuhi udara.
Patch memilih meja terjauh dari tangga. Dia mengambil dua botol 7UP dari bar dan membuka tutupnya di pinggiran konter.
Aku berlum pernah main pool, kataku mengaku. Pilih tongkat. Patch menunjuk ke rak tongkat biliar yang berderet di dinding. Aku mengambil satu dan membawanya ke meja.
Patch menutup mulut untuk menahan senyum. Apa" kataku.
Dalam permainan ini tidak ada home run. Aku mengangguk. Tak boleh home run. Paham. Senyumnya mengembang. Kau memegang tongkat seperti raket.
Aku menunduk ke tanganku. Patch benar. Aku memegangnya seperti raket. Rasanya nyaman begini.
Dia melangkah ke belakangku, meletakkan tangannya di pinggulku, dan memosisikan diriku di depan meja. Lalu Patch menyelipkan tangannya ke sekeliling tubuhku dan memegang tongkat biliar.
Seperti ini, katanya, menggeser posisi tangan kananku beberapa inci. Dan& ini, lanjutnya, meraih tangan kiriku dan membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjukku. Kemudian dia menempatkan tangan kiriku di meja biliar, seperti tripod. Didorongnya ujung tongkat biliar melewati lingkaran itu dan melewati ruas jari telunjukku. Tekuk pinggangmu.
Aku mencondongkan badan ke meja biliar, dengan napas hangat Patch di leherku. Dia menarik tongkat kembali, kemudian diluncurkan melewati lingkaran.
Bola mana yang kau incar" tanya Patch, menunjuk ke segitiga berisi bola yang tersusun di ujung meja. Yang kuning di depan itu pilihan bagus.
Merah warna kesukaanku. Okelah.
Patch mendorong tongkat maju-mundur melewati lingkaran jariku, membidik bola pendorong, dan melatihku mengayunkan tongkat.
Aku menyipitkan mata ke bola pendorong, lalu ke segitiga bola di ujung meja. Meleset sedikit, kataku.
Aku merasakan senyumannya. Berani taruhan berapa"
Lima dolar. Aku merasa dia menggelengkan kepala. Jaketmu. Kau ingin jaketku"
Aku ingin jaket itu dilepaskan.
Tanganku terdorong ke depan, dan tongkat biliar terpicu melewati jemariku, menabrak bola pendorong. Bola pendorong itu melaju, menabrak bola merah, dan membuat bola-bola dalam segitiga tercerai-berai ke segala arah.
Oke, kataku, melepas jaket jins, mungkin aku sedikit terkesan.
Patch mengawasi syal sutraku. Matanya sehitam samudera tengah malam, ekspresi wajahnya serius. Manis, katanya. Lalu dia memutari meja, memperhatikan bola-bola yang bertebaran.
Taruhan lima dolar, kau tak bisa memasukkan bola biru berstrip satu, kataku, memilih target dengan sengaja. Bola itu terhalang dari bola pendorong putih oleh sekumpulan bola warna-warni.
Aku tak ingin uangmu, kata Patch. Mata kami terkunci, dan lesung pipit kecil tampak di pipinya. Suhu tubuhku naik beberapa derajat. Kau ingin apa" tanyaku.
Patch menurunkan tongkat biliarnya ke meja, berlatih satu pukulan, dan memukul bola pendorong. Lalu bola itu menyentuh ke bola hijau, lalu menabrak bola delapan, dan mendorong bola berstrip ke lobang.
Aku tertawa gugup dan berusaha menutupinya dengan jari, kebiasaan buruk yang belum bisa kuhilangkan. Oke, mungkin aku lebih dari terkesan.
Patch masih membungkuk di atas meja, dan mengangkat wajahnya menatapku. Tatapan itu membuat kulitku panas.
Kita tak pernah akur soal taruhan, kataku, menahan desakan untuk mengubah posisi tubuh. Tongkat itu terasa lengket di tanganku yang basah, dan diam-diam aku menyeka tanganku ke paha.
Seolah belum cukup banyak keringat yang mengucur ditubuhku, Patch berkata, Kau berutang kepadaku. Suatu hari aku akan mengambilnya.
Aku tertawa, tapi sumbang. Enak saja. Terdengar langkah kaki seseorang menuruni tangga dengan keras. Seorang lelaki kurus tinggi dengan hidung elang dan rambut shaggy biru-hitam muncul. Pertama dia menatap Patch, lalu menatapku. Dia menyeringai, melangkah mendekat, dan mengambil 7UP-ku yang kuletakkan di pinggir meja.
Maaf, kurasa itu--, ucapanku terputus.
Kau tak bilang matanya sangat lembut, katanya kepada Patch, dan menyeka mulut dengan punggung tangan. Suaranya berat dan kental aksen Irlandia.
Aku juga tak bilang kepadanya kalau kau tergilagila pada mata seperti itu, balas Patch, mulutnya nyengir.
Lelaki itu bersandar di meja biliar di sebelahku dan mengulurkan tangan. Namaku Rixon, sayang, katanya.
Dengan enggan aku menerima jabatan tangannya. Nora.
Apa aku mengganggu" kata Rixon, menatapku dan Patch bergantian.
Tidak, kataku berbarengan dengan jawaban Patch, Ya.
Mendadak Rixon pura-pura maju menantang Patch dan keduanya terempas ke lantai, bergulingan dan saling menonjok. Lalu terdengar suara tawa terbahak-bahak, bunyi tinju yang saling dilayangkan, dan robekan baju, dan terlihat punggung Patch yang telanjang. Dua goresan yang dalam tampak memanjang mulai dari dekat ginjalnya dan berakhir di tulang belikat. Goresan itu melebar hingga membentuk huruf V terbalik. Suatu luka yang sangat mencengangkan hingga aku nyaris berteriak ketakutan.
Auu, lepaskan aku! teriak Rixon.
Patch melepasnya, dan ketika berdiri, kausnya yang robek terbuka. Dia melepas kaus itu dan melemparnya ke keranjang sampah di sudut ruangan. Berikan kausmu, katanya kepada Rixon.
Rixon mengedipkan mata ke arahku. Bagaimana, Nora" Apakah kita berikan saja"
Patch berpura-pura menantang maju, dan tangan Rixon bersarang ke bahunya.
Tenang, katanya, mundur. Dia melepas sweter dan melemparnya ke Patch. Sekarang dia hanya mengenakan kaus putih ketat.
Saat Patch menurunkan kaus itu ke perutnya, cukup keras untuk membuat jantungku berdesir, Rixon berkata kepadaku. Dia memberitahu dari mana dia mendapat nama julukannya"
Apa" Sebelum sobat kita si Patch ini tergila-gila dengan permainan biliar, dia adalah fans berat tinju tangan kosong Irlandia. Tapi tidak jago. Rixon menggelenggelengkan kepala. Malah bisa dibilang sangat menyedihkan. Bermalam-malam aku harus mendampinginya, dan tak lama kemudian, orang-orang memanggilnya Patch. Mereka menyuruhnya tak lagi bertinju, tapi dia tak mau mendengarkan.
Patch menatap mataku dan menebar senyum seperti orang yang baru memenangkan perkelahian di bar.
Seringai itu saja sudah cukup menakutkan. Tapi di balik penampilan luar yang kasar itu, tersimpan pesan keinginan. Malah lebih dari sekadar pesan. Mungkin suatu simfoni keinginan yang bulat.
Patch mengayunkan kepalanya ke tangga dan meraih tanganku. Mari kita pergi, katanya.
Ke mana" tanyaku, perutku seolah turun ke lutut.
Lihat saja nanti. Saat kami menaiki tangga, Rixon berteriak kepadaku, Semoga beruntung dengannya, sayang!
alaM perJalanan, paTCH MengaMbil jalur Topsham dan memarkir jipnya di pinggir pabrik kertas bersejarah yang terletak di tepi sungai Androscoggin itu. Dulu pabrik ini biasa mengubah bubur kayu menjadi kertas. Sekarang terpampang papan nama besar di sisi gedung itu, bertuliskan SEA DOG BREWING co. Sungai Androscoggin sendiri cukup lebar dan berliku-liku, dengan pepohonan tua bergelayut di kedua sisinya.
Hujan masih turun dengan derasnya dan malam sudah sempurna menyelimuti kami. Aku harus cepatcepat pulang. Aku belum memberitahu Ibu kalau aku
pergi karena& well, sejujurnya, Patch bukan jenis cowok yang akan membuat seorang ibu merasa aman. Bahkan dia model cowok yang membuat para ibu harus mengganti kunci rumah.
Bisa pulang sekarang" tanyaku.
Patch membuka pintu pengemudi. Ada permintaan lain"
Roti lapis ayam kalkun. Tanpa acar. Oh, dan tanpa mayones.
Patch tersenyum tipis, nyaris tak kelihatan. Sepertinya aku sering mendapatkan senyuman seperti ini darinya. Tapi kali ini aku tak tahu harus berkata apa. Kita lihat nanti, katanya, turun dari mobil. Patch meninggalkan kuncinya di starter dan pompa pemanas. Selama beberapa menit pertama aku memutar ulang kejadian pada malam ini dalam kepalaku. Kemudian terlintas pikiran kalau aku sendirian di jip Patch. Ruang pribadinya.
Kalau aku Patch, dan ingin menyembunyikan sesuatu yang sangat rahasia, aku tak akan menyembunyikannya di kamar, loker sekolah, atau bahkan ranselku. Semua tempat itu bisa disusupi dan digeledah orang tanpa kita ketahui. Aku akan menyembunyikanya di jip hitamku yang dilengkapi sistem alarm yang canggih.
Aku membuka sabuk pengaman dan mengacakacak tumpukan buku teks di dekat kakiku. Ada seulas
senyum misterius di bibirku saat membayangkan bahwa aku bakal menemukan satu rahasia Patch. Aku tak berekspektasi menemukan suatu barang tertentu, tapi aku akan cukup puas kalau bisa menemukan kombinasi nomor lokernya atau nomor ponselnya. Saat menelisik tugas-tugas sekolah yang bertebaran di karpet jip, aku menemukan sebuah pengharum udara aroma pinus yang sudah kosong, CD H ighway to H ell-nya AC/DC, potongan pensil, dan sebuah struk belanja 7-Eleven bertanggal Kamis, 10.18 malam. Tak ada yang mengejutkan atau bersifat rahasia.
Aku membuka laci mobil dan menelisik buku manual pengoperasian dan dokumen-dokumen resmi lainnya. Terlihat sekilas sinar perunggu, dan ujung jariku menyentuh benda logam. Aku mengeluarkan senter baja dan menyalakannya, tapi benda itu tak mau dihidupkan. Aku membuka bagian bawahnya karena merasa senter itu agak ringan. Dan ternyata benar saja, tak ada baterainya. Aku heran, kenapa Patch menyimpan lampu senter yang tak berfungsi di laci jipnya. Itulah pikiran terakhir sebelum mataku menangkap sepercik cairan noda yang sudah mengering di ujung senter. Darah.
Dengan sangat hati-hati aku mengembalikan lampu senter itu ke laci dan menutupnya. Aku berkata dalam hati, banyak hal yang bisa menyisakan darah di senter.
Misalnya kalau kita memegangnya dengan tangan yang luka, menggunakannya untuk mendorong bangkai binatang ke pinggir jalan& atau mengayunkannya berkali-kali dengan keras ke tubuh seseorang sampai kulitnya robek.
Dalam kondisi jantung berdebar-debar, sebuah kesimpulan muncul begitu saja di kepalaku. Patch berbohong. Dia menyerang Marcie. Dia mengantarku pulang pada Rabu malam itu, menukar motornya dengan jip, dan pergi mencari Marcie. Atau mungkin mereka kebetulan berpapasan jalan dan Patch melakukannya karena emosi. Bagaimanapun, Marcie disakiti, polisi terlibat, dan Patch bersalah.
Berdasarkan akal sehat, aku tahu kesimpulan itu kuambil begitu saja, tanpa pemikiran matang. Tapi secara emosional, risikonya kelewat besar kalau aku membatalkan kesimpulan itu dan berpikir ulang. Patch punya masa lalu yang menakutkan dan rahasia yang teramat banyak. Kalau kekerasan brutal dan tak beralasan termasuk salah satunya, berarti aku tidak aman berkendara dengannya.
Sorotan lampu di kejauhan mencerahkan cakrawala. Patch keluar dari restoran dan berlari menyeberangi lapangan parkir. Sebelah tangannya memegang sebuah kantong warna cokelat dan tangan lainnya membawa dua botol soda. Dia berbelok ke pintu pengemudi dan
masuk ke dalam jip. Patch melepas topi bisbolnya dan menepiskan air hujan dari rambutnya. Ikal-ikal hitam bermunculan di mana-mana. Dia menyodorkan kantong cokelat kepadaku. Satu roti lapis ayam kalkun, tanpa mayo dan acar, dan sesuatu untuk mendorongnya.
Apa ka h kau menyera ng M a rcie M illa r" t a nya ku p ela n. A ku i ng i n mendenga r ya ng sebenarnya sekarang.
Patch menurunkan botol 7UP dari mulutnya. Tatapannya menusuk. Apa"
Lampu senter di lacimu. Jelaskan.
Kau membuka laci mobilku" Suaranya tak terkesan jengkel, tapi juga tidak bisa dibilang senang.
Ada darah kering di senter itu. Polisi datang ke rumahku. Mereka pikir aku terlibat. Marcie diserang Rabu malam, tepat setelah aku bercerita kepadamu betapa aku tak tahan menghadapinya.
Kemelut Cinta Berdarah 1 Pendekar Naga Geni 8 Keruntuhan Netra Dahana Setan Bukit Cemara 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama