Ceritasilat Novel Online

Hus Hus 4

Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick Bagian 4


Patch tertawa pendek, tak ada kesan lucu. Kau pikir senter itu kugunakan untuk memukul Marcie.
Dia mengulurkan tangan ke belakang kursinya dan mengangkat sebuah senapan besar. Aku menjerit.
Dia mencondongkan badannya dan menutup mulutku dengan tangannya. Senapan paintball, katanya. Nada suaranya dingin.
Aku menatap senapan itu dan Patch bergantian, merasa bagian putih di mataku melebar.
Aku main paintball beberapa hari lalu, katanya. Kupikir kita sudah membahas hal semacam ini. It-tu tak menjelaskan darah di senter. Bukan darah, katanya, Cat. Kami bermain Berburu Bendera.
Mataku kembali ke laci tempat senter itu disimpan. Senter itu adalah& bendera. Rasa lega, bodoh, dan bersalah karena telah menuduh Patch, bercampur aduk dalam diriku. Oh, kataku lemah. Maaf , tapi sepertinya sudah terlambat untuk meminta maaf.
Tatapan Patch lurus ke depan, menembus kaca mobil, napasnya dalam. Mungkin dia diam saja untuk meredakan kemarahan. Betapapun aku sudah menuduhnya menyerang Marcie. Aku merasa tak enak, tapi pikiranku terlalu cemas untuk menemukan permohonan maaf yang tepat.
Dari gambaranmu tentang Marcie, sepertinya dia punya beberapa musuh, katanya.
Aku yakin Vee dan aku berada di daftar teratas, kataku berusaha mencairkan suasana, tapi juga tidak sepenuhnya bercanda.
Patch memasukkan jipnya ke halaman rumahku dan mematikan mesin. Topi bisbolnya nyaris menutupi mata, tapi sekarang mulutnya menyiratkan secercah senyum. Bibirnya tampak lembut dan mulus, aku kesulitan
mengalihkan pandangan. Tapi yang paling penting, aku bersyukur karena sepertinya dia sudah memaafkanku.
Kita harus bekerja keras untuk memperbaiki permainan pool-mu, Angel, kata Patch.
Omong-omong tentang pool. Aku berdeham. Aku ingin tahu, kapan dan bagaimana kau akan mengambil& utangku kepadamu.
Tidak malam ini. Matanya menatapku lekat, menilai responsku. Perasaanku terbelah antara tenang dan kecewa. Tapi sebagian besar kecewa.
Ada sesuatu untukmu, kata Patch. Dia mengulurkan tangan ke bawah kursi dan mengeluarkan sebuah kantong kertas putih dengan tulisan warna merah manyala. Kantong belanja dari Borderline. Dia meletakkannya di antara kami.
Untuk apa ini" tanyaku, mengintip kantong, tak punya gambaran sama sekali, apa isinya.
Bukalah. Aku mengeluarkan kotak kardus cokelat dari kantong itu dan membukanya. Ternyata sebuah globe salju dengan miniatur Taman Hiburan Delphic Seaport di dalamnya. Kabel-kabel tembaga ditekuk kasar membentuk lingkaran roda Ferris dan bulatan kayu yang dibengkokkan menjadi roller coster-nya, sedangkan lembaran datar logam berwarna menjadi wahana Permadani Ajaib.
Cantik sekali, kataku, sedikit kaget karena Patch memperhatikan aku, bahkan repot-repot membelikan hadiah. Terima kasih. Sungguh. Aku suka.
Dia menyentuh gelas cembung itu. Itu Archangel, sebelum didesain ulang. Di belakang roda Ferris ada sebuah kabel pita tipis membentuk bukit dan lembah Archangel. Malaikat bersayap patah berdiri di puncak tertinggi, menundukkan kepala, menatap tanpa mata. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam kita mengendarai wahana itu" tanyaku.
Kau tak ingin tahu. Kalau kau ceritakan, kau terpaksa harus membunuhku" aku separuh bercanda.
Ada orang, jawab Patch, menatap ke kaca mobil. Aku mengangkat mata dan melihat ibuku berdiri di ambang pintu. Yang membuatku ketakutan, Ibu keluar dan berjalan menuju jip.
Biar aku yang bicara, kataku, menjejalkan globe salju itu ke dalam kotak kembali. Jangan mengatakan apa-apa satu kata pun!
Patch melompat keluar dan menuju pintu rumahku. Kami bertemu dengan ibuku di tengah jalan.
Aku tak tahu kau akan pergi, katanya kepadaku, tersenyum, tapi tidak manis. Melainkan senyuman yang mengisyaratkan Kita bahas nanti.
Keputusannya mendadak, aku menjelaskan.
Aku pulang langsung ke rumah setelah yoga, katanya. Selebihnya tersirat. Untung bagiku, bukan bagimu. Aku menduga dia akan menikmati jus bersama teman-temannya setelah yoga. Kemungkinannya sembilan berbanding sepuluh. Ibu mengalihkan perhatiannya ke Patch. Senang sekali akhirnya bisa bertemu. Sepertinya putriku fans besarmu.
Aku membuka mulut, ingin mengucapkan kalimat perkenalan yang singkat dan meminta Patch pulang. Tapi ibu mendahuluiku. Aku ibu Nora. Blythe Grey.
Ini Patch, kataku, mengaduk otak untuk mengucapkan sesuatu yang akan memotong basa-basi ini. Tapi satu-satunya yang terpikir olehku adalah berteriak Kebakaran! atau berpura-pura menyerang. Entah bagaimana, keduanya terkesan lebih memalukan daripada menghadapi percakapan antara Patch dan ibuku.
Nora bilang kau seorang perenang, kata ibu. Aku merasa Patch berguncang menahan tawa di sampingku. Perenang"
Kau ikut tim renang sekolah, atau liga kota" Lebih& untuk bersenang-senang, kata Patch, memandangku bingung.
Untuk bersenang-senang juga bagus, kata Ibu. Di mana kau berenang" Pusat rekreasi"
Aku senang aktivitas di alam terbuka. Sungai dan danau.
Memangnya tidak dingin" tanya ibu. Di sampingku, Patch tersentak. Aku tak tahu kenapa. tak ada yang aneh dalam percakapan itu. Dan aku berpihak pada ibuku dalam hal ini. Maine bukan tempat tropis yang hangat. Berenang di ruang terbuka sangat dingin, meskipun pada musim panas. Kalau Patch benar-benar berenang di arena terbuka, berarti dia gila atau ambang sakitnya tinggi.
Baiklah! kataku, memanfaatkan keheningan. Patch ingin pergi. Pergilah! Isyaratku kepadanya.
Jip yang sangat bagus, kata ibuku. Hadiah dari orangtuamu"
Aku mendapatkannya sendiri. Kau pasti punya pekerjaan bagus.
A k u m e n j a d i k a r y a w a n k e b e r s i h a n d i Borderline.
Patch menjawab sesingkat mungkin, dengan hatihati membiarkan dirinya tetap diselubungi misteri. Aku ingin tahu bagaimana kehidupannya ketika dia tidak bersamaku. Di sudut kepalaku, aku tak bisa berhenti memikirkan masa lalunya yang menakutkan. Selama ini aku berkhayal dapat menyibakkan rahasia terdalamnya karena aku ingin membuktikan kepada diriku sendiri dan Patch bahwa aku bisa mengenal seperti apa dirinya.
Tapi sekarang aku ingin tahu rahasianya karena rahasia itu adalah bagian dari dirinya. Dan meskipun aku selalu menyangkal, sebenarnya aku naksir kepadanya. Semakin sering bersamanya, aku jadi semakin yakin perasaan itu tidak bisa disingkirkan.
Ibu mengerutkan kening. Kuharap pekerjaanmu tidak mengganggu sekolah. Aku pribadi berpikir siswa SMA seharusnya tidak bekerja selama masa bersekolah. Tugas sekolahmu saja sudah cukup menyita waktu.
Patch tersenyum. Pekerjaanku tidak menjadi masalah.
Boleh aku tahu berapa nirai rata-rata rapor-mu" kata ibu. Apakah ini terlalu lancang"
Wah, sudah malam kataku memotong, sambil melirik ke arloji yang tak ada di tanganku. Aku tak percaya ibuku bersikap seperti ini. Ini pertanda buruk. Aku hanya bisa mengartikan kesan pertamanya terhadap Patch lebih buruk dari yang aku takutkan. Ini bukan perkenalan. Akan tetapi wawancara.
Dua koma dua, kata Patch. Ibuku melotot.
Dia bercanda, kataku cepat-cepat. Diam-diam aku memberi isyarat kepada Patch untuk segera ke jip. Ada pekerjaan yang harus dilakukan Patch. Tempat yang harus dikunjungi. Pool yang harus dimainkan aku menutup mulut dengan tangan.
Mainkan" kata ibuku, kebingungan.
Maksud Nora adalah Bo s Arcade, Patch menjelaskan. Tapi aku tidak ingin ke sana. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku belum pernah ke Bo s, katanya.
Tidak terlalu mengasyikkan, kataku. Ibu tak akan menyesal karena belum ke sana.
Tunggu, kata ibuku, sepertinya bendera merah baru saja berkibar dalam kepalanya. Bukankah lokasinya di pesisir" Dekat Delphic Seaport" Bukankah ada penembakan di sana beberapa tahun lalu"
Sekarang sudah lebih ramah dari biasanya, kata Patch. Aku menyipitkan mata kepadanya. Dia mendahului aku. Aku berniat menutupi fakta kalau Bo s punya riwayat kekerasan.
Kau ingin masuk untuk menikmati es krim" tanya ibu, terkesan bingung. Sikapnya terpecah antara keinginan bersopan santun dan mengikuti naluri untuk menyeretku masuk dan mengunci pintu. Kami cuma punya yang rasa vanila, katanya memperburuk tawaran. Sudah disimpan beberapa minggu.
Patch menggelengkan kepala. Aku harus pergi. Mungkin lain kali. Senang bertemu denganmu, Blythe.
Aku memanfaatkan ucapan itu sebagai isyarat lalu mendorong ibuku ke pintu depan, lega karena
percakapannya tidak seburuk sebelumnya. Tiba-tiba ibuku berbalik.
Apa yang kau lakukan bersama Nora malam ini" tanya ibu.
Patch menatapku dan mengangkat alis sedikit. Kami membeli makan malam di Topsham, jawabku cepat-cepat. Roti lapis dan soda. Sama sekali tidak berbahaya.
Yang jadi masalah, perasaanku kepada Patch bukannya tidak berbahaya.
K UMasUkkan salJU iTU ke DalaM
kotaknya lalu kujejalkan ke dalam lemari di belakang setumpuk sweter rajut yang kucuri dari ayah. Ketika aku buka hadiah itu di hadapan Patch, Delphic tampak berkilau dan cantik. Cahaya mengelilingi pelangi yang terbuat dari kabel. Tetapi ketika aku sendirian di kamar, taman hiburan itu tampak menyeramkan. Seperti suatu tempat yang cocok untuk perkemahan roh-roh halus. Dan aku tak yakin betul kalau di sana tak ada kamera tersembunyi.
Setelah berganti pakaian dengan kamisol ketat dan celana tidur bermotif bunga, aku menelepon Vee.
globe Well" katanya. Bagaimana kencannya" Dia jelas tidak membunuhmu, jadi kupikir ini awal yang bagus. Kami main pool.
Kau benci biliar. Dia memberikan beberapa pengarahan. Sekarang aku sudah mulai bisa memainkannya, tak terlalu buruk.
Berani taruhan, dia memberi pengarahan di beberapa area lain dalam kehidupanmu.
Hmmm. Biasanya komentar Vee paling tidak membuat wajahku memerah. Tapi aku sedang kelewat serius. Berpikir keras.
Aku tahu, ini sudah pernah kukatakan. Tapi Patch tidak membuatku nyaman, kata Vee. Aku masih bermimpi buruk tentang lelaki bertopeng ski. Dalam salah satu mimpiku dia mencopot topeng itu, dan coba tebak wajah siapa di baliknya" Patch. Kupikir kau seharusnya memperlakukan Patch seperti pistol berisi penuh. Ada sesuatu dalam dirinya yang aneh. Justru itulah yang ingin kukatakan.
Apa yang bisa membuat seseorang memiliki goresan luka berbentuk V di punggungnya" tanyaku. Kami berdua terdiam.
Buset, Vee terperanjat. Kau melihat Patch telanjang" Di mana" Di jipnya" Rumahnya" Kamarmu" Tidak! Ini kebetulan saja.
Alasanmu sudah basi, kata Vee.
Ada goresan luka berbentuk huruf V besar terbalik di punggungnya. Bukankah ini aneh"
Tentu saja. Tapi kita sedang membicarakan Patch. Beberapa sekerupnya longgar. Aku rasa itu karena& perkelahian antar-geng" Luka ketika di penjara" Tabrak lari"
Separuh otakku mengikuti ucapan Vee, tapi separuhnya lagi, tepatnya alam bawah sadarku, melayang ke tempat lain. Memoriku mengembara ke malam ketika Patch menantangku untuk naik Archangel. Aku masih ingat lukisan-lukisan aneh dan menyeramkan di sisi gerbong. Aku masih ingat iblis bertanduk mencabut sayap seorang malaikat. Aku masih ingat, ada tanda V terbalik di punggung, tempat sayap malaikat itu menempel.
Gagang telepon nyaris terlepas dari tanganku. Ap pa katamu" tanyaku kepada Vee ketika aku tersadar kalau dia diam, menunggu jawabanku.
Apa. Yang terjadi. Selanjutnya" Vee mengulang pertanyaannya, sembari menekankan setiap kata. Bumi kepada Nora. Aku butuh penjelasan. Sudah sekarat nih.
Dia berkelahi dan kausnya robek. Titik. Tak ada kejadian selanjutnya.
Vee menghela napas. Itulah dugaanku. Kalian pergi bersama& dan dia berkelahi" Apa sih masalah dia" Sepertinya dia lebih mirip hewan daripada manusia.
Pikiranku berpindah-pindah antara luka di punggung malaikat itu dan luka Patch. Keduanya sama-sama memudar menjadi warna hitam gula-gula. Keduanya memanjang dari tulang belikat ke ginjal, dan keduanya sama-sama melengkung di sepanjang punggung. Aku berkata dalam hati, mungkin kemiripan itu cuma kebetulan saja. Banyak kejadian yang bisa mengakibatkan luka seperti itu. Perkelahian antar-geng, kecelakaan di penjara, tabrak lari seperti yang dikatakan Vee. Sayangnya semua alasan itu terasa seperti dusta. Seolah kebenaran sedang menatap wajahku, tapi aku tidak berani membalas tatapannya.
Apa dia seorang malaikat" tanya Vee. Aku seolah ditampar. Apa"
Apa dia manis seperti malaikat, atau sikapnya seperti cowok berandalan" Karena terus terang, aku tidak percaya kalau dia lurus-lurus saja.
Vee" Aku harus pergi. Suaraku mengambang. Aku tahu rencanamu. Kau ingin menutup telepon sebelum aku mendengar tentang peristiwa hebohnya.
Tak ada kejadian apa-apa saat kecan itu, dan sesudahnya. Ibuku menghampiri kami di halaman rumah.
Yang benar" Kurasa dia tak suka Patch.
Jelas saja! kata Vee. Siapa yang heran" Kutelepon kau besok, oke"
Mimpi manis, say. Mana mungkin, pikirku. Setelah menutup telepon, aku berjalan ke ruang kantor ibuku dan menyalakan IBM kuno kami. Ruangan itu kecil dengan langit-langit yang kokoh, lebih mirip sudut segitiga daripada sebuah ruangan. Sebuah jendela buram berlapis tirai oranye pupus dari tahun 1970-an menghadap ke samping halaman. Kalau aku berdiri, tinggi badanku hanya memakan sepertiga tinggi ruangan. Di tujuh puluh persennya, puncak rambutku terpajan cahaya dari langit-langit. Sebuah bohlam telanjang tergantung di sana.
Sepuluh menit kemudian komputer tersambung dengan Internet melalui koneksi dial-up. Aku ketik malaikat sayap luka ke kotak telusur Google. Jariku mengambang di atas tombol enter khawatir kalau diteruskan berarti aku harus mengakui bahwa aku memikirkan kemungkinan kalau Patch bukan& manusia.
Kutekan tombol enter dan aku klik link pertama sebelum kupikirkan.
MenyeraMkan Dalam penciptaan Taman eden, malaikat langit diutus ke bumi untuk mengawasi adam dan Hawa. Tapi tak lama kemudian, sebagian malaikat terpikat oleh dunia di luar dinding-dinding taman. Mereka menganggap diri mereka sebagai penguasa penduduk bumi di masa depan dan mengejar kekuasaan, uang, bahkan wanita.
bersama-sama, mereka menggoda dan meyakinkan Hawa untuk memakan buah terlarang dan membuka gerbang penjagaan eden. sebagai hukuman atas dosa besar dan tindakan melalalikan tugas, Tuhan mencabut sayap malaikat dan membuang mereka ke Dunia untuk selamanya.
Aku membaca cepat beberapa paragraf dengan jantung berdebar tidak karuan.
Malaikat yang terbuang adalah roh jahat (atau iblis) yang digambarkan dalam alkitab sebagai sosok yang mencuri tubuh manusia. Malaikat terbuang berkeliaran di bumi mencari tubuh manusia untuk dirusak dan dikuasai. Mereka menggoda manusia untuk melakukan kejahatan dengan menyampaikan pemikiran dan gambarangambaran langsung ke kepala mereka. Jika malaikat terbuang itu berhasil menggoda manusia maka dia dapat memasuki tubuhnya dan memengaruhi kepribadian dan tindakannya.
namun penguasaan tubuh manusia ini hanya bisa berlangsung selama bulan ibrani yang disebut Cheshvan. Cheshvan, yang artinya bulan pahit , adalah satusatunya bulan tanpa hari raya atau festival yahudi, sehingga merupakan bulan yang tidak suci. antara awal
menyusup ke tubuh manusia untuk dikendalikan.
Mataku menerawang ke monitor komputer selama beberapa menit, meskipun bacaan sudah selesai. Pikiranku hampa. Kosong. Yang ada hanya sekumpulan emosi yang kusut. Di antaranya ada kekaguman dan bayangan yang dingin dan membuat panik.
Rasa bergidik yang muncul begitu saja membuatku tersadar. Aku ingat, beberapa kali aku yakin Patch melakukan metode komunikasi normal dan berbisik langsung ke kepalaku. Persis seperti yang disebutkan artikel tentang malaikat yang dibuang. Kalau dibanding-bandingkan antara informasi ini dengan luka di punggung Patch, mungkinkah& bisakah Patch adalah malaikat terbuang" Benarkah dia ingin menempati tubuhku"
Aku menelusuri artikel selebihnya dengan cepat, dan memperlambat ketika aku membaca sesuatu yang lebih mencengangkan lagi.
Malaikat terbuang yang melakukan hubungan seksual dengan manusia akan melahirkan keturunan adimanusia, disebut nephilim. ras nephilim adalah ras yang jahat dan tidak alamiah dan tidak dimaksudkan sebagai penghuni bumi. Meskipun banyak yang yakin bahwa banjir besar pada masa nuh ditujukan untuk membersihkan bumi dari nephilim, kita tak tahu pasti apakah ras campuran ini sudah punah atau belum, atau apakah malaikat terbuang
tidak. sepertinya cukup logis sekiranya hal itu masih terjadi. artinya, ras nephilim masih menghuni bumi sampai sekarang.
Aku beranjak dari meja dan merekam semua artikel yang sudah kubaca ke dalam folder memoriku dan menyimpannya. Aku memberi stempel MENAKUTKAN di luar folder itu. Aku tak mau memikirkannya sekarang. Mungkin nanti saja.
Ponselku bergetar di saku dan aku terlompat kaget.
Apa keputusan kita tentang alpukat, hijau atau kuning" tanya Vee. Aku sudah menyantap porsi hijauku hari ini. Tapi kalau kau bilang alpukat itu kuning, aku akan memakannya.
Kau percaya pada pahlawan super"
Setelah melihat Tobey Maguire di Spider-Man, ya. Dan kemudian ada Christian Bale. Lebih tua, tapi luar biasa seksi. Aku akan membiarkannya menyelamatkan diriku dari pedang ninja.
Aku serius. Aku juga. Kapan kali terakhir kau ke gereja" tanyaku. Aku mendengar Vee meletuskan balon permen karet. Minggu.
Apa menurutmu Alkitab itu akurat" Maksudku, kau pikir itu nyata"
Kupikir Pastor Calvin itu seksi. Umurnya empat puluhan. Itu membuat keyakinan keagamaanku meningkat.
Setelah menutup telepon, aku ke kamar dan menyelipkan diri di bawah bed cover. Kutebarkan selimut ekstra untuk berjaga-jaga dari rasa menggigil yang kadang mendadak muncul. Entah kamarku yang dingin, atau perasaan dingin itu berasal dari dalam diriku sendiri, aku tak pasti. Kata-kata seperti malaikat terbuang , penguasaan tubuh manusia , dan Nephilim menari-nari dalam benakku sampai aku tertidur.
kU gelisaH seMalaMan. angin MenDerU di tanah terbuka yang memagari rumah pertanianku, menerbangkan sampah ke jendela. Aku terbangun beberapa kali lantaran suara kerikil yang terdorong dari atap dan jatuh menerpa sudut. Suara pelan mulai dari keretak bingkai jendela sampai gemerisik sepraiku pun membuatku terbangun lantaran kaget.
Sekitar jam enam, aku menyerah. Aku menyeret tubuhku untuk bangkit dari ranjang, dan terhuyunghuyung menuju toilet untuk mandi air hangat. Selanjutnya aku membereskan kamar lemariku tampak
lengang. Dan ya, ada tiga buntalan cucian kotor di dalam keranjang. Aku sedang menaiki tangga dengan membawa buntalan cucian baru ketika terdengar ketukan di pintu depan. Ternyata Elliot yang datang.
Dia mengenakan jins, kemeja kotak-kotak klasik yang digulung sampai ke siku, kacamata hitam, dan topi Red Sox. Dari luar dia kelihatan Amerika sekali. Tapi aku tahu lebih banyak dari itu, dan kejutan adrenalin kegugupan menguatkannya.
Nora Grey, kata Elliot dengan suara yang terkesan angkuh. Dia mencondongkan badan dan nyengir. Aku mencium aroma alkohol di napasnya. Kau membuatku resah belakangan ini.
Ada apa kau ke sini"
Dia mengintip melalui bahuku ke dalam rumah. Kelihatannya bagaimana" Aku ingin mengobrol. Kau tidak mempersilakan aku masuk"
Ibuku masih tidur. Aku tak mau membuatnya terbangun.
Aku belum pernah bertemu ibumu. Cara bicaranya membuat bulu di belakang leherku meremang. Maaf, kau perlu sesuatu"
Senyumnya separuh santai, separuh sinis. Kau tidak suka padaku, bukankah begitu, Nora Grey" Sebagai jawaban, aku melipat tangan di atas dada.
Dia mundur satu langkah dengan satu tangan ditekankan ke dada, seperti orang yang merasa sakit hati. Aduh. Aku ke sini, Nora, sebagai usaha terakhir untuk membuatmu yakin kalau aku cowok biasa dan bisa dipercaya. Jangan kecewakan aku.
Dengar Elliot, ada pekerjaan yang harus ku Dia memukulkan tinjunya ke rumah, membenturkan buku-buku jarinya cukup keras ke dinding hingga membuat cat yang sudah mengelupas berguguran. Aku belum selesai! semburnya marah. Mendadak dia mendorong kepalanya ke belakang dan tertawa pelan. Dia membungkuk dan menempatkan tangannya yang berdarah di antara lutut dan mengaduh. Taruhan sepuluh dolar, aku pasti menyesalinya nanti.
Kehadiran Elliot membuat bulu kudukku merinding. Aku masih ingat kejadian beberapa hari lalu, ketika aku menganggapnya cowok yang tampan dan memesona. Aku heran, kenapa aku sebodoh itu.
Ketika aku berniat menutup pintu dan menguncinya, Elliot mencopot kacamata hitamnya dan terlihatlah matanya yang merah. Dia berdeham, dan berbicara dengan tegas. Aku ke sini karena ingin memberitahu kalau Jules stres berat di sekolah. Ujian, OSIS, aplikasi beasiswa, dan sebagainya, dan sebagainya. Dia tidak seperti biasanya. Dia harus membebaskan diri dari semua itu selama beberapa hari. Kita berempat Jules,
aku, kau, Vee harus kemping untuk liburan musim semi. Kita pergi besok ke Powder Horn dan pulang Selasa sore. Agar Jules punya kesempatan untuk keluar dari tekanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar aneh dan telah dilatih dengan hati-hati. Maaf, aku sudah punya rencana.
Aku akan membuatmu mengubah pikiran. Aku akan mengurus seluruh perjalanan ini. Mencari tenda, makanan, akan kutunjukkan betapa baiknya aku. Dan kau akan bersenang-senang.
Kupikir sebaiknya kau pergi.
Elliot berpegangan pada tombol pintu, membungkuk ke arahku.
Jawaban yang keliru. Sesaat, tatapan kosong di matanya menghilang, tertutup oleh sesuatu yang jahat dan sinis. Tanpa sengaja aku mundur. Aku nyaris yakin kalau Elliot punya niat membunuh. Aku nyaris yakin Kjirsten mati di tangannya.
Pergi, atau aku akan menelepon polisi, kataku. Elliot mendorong pintu tipis sebegitu kerasnya sampai membentur dinding. Dia mencengkeram bagian depan jubah mandiku dan menarikku keluar. Kemudian dia mendorongku ke dinding dan mengunci tubuhku dengan badannya. Kau harus ikut, suka atau tidak.
Lepaskan aku! kataku, sambil berkelit dari tubuhnya.
Atau apa" Apa yang akan kau lakukan" Sekarang dia mencengkeram bahuku, dan membenturkan punggungku ke dinding lagi, membuat gigiku bergetar. Napasku tersengal-sengal, tanganku dingin.
Apa kau akan berteriak untuk memanggil mereka" Suaramu tak akan terdengar. Aku akan melepasmu asalkan kau bersumpah akan ikut kemping. Nora"
Elliot dan aku sama-sama menoleh ke pintu depan, tempat suara ibuku terdengar. Tangan Elliot masih mencengkeramku sesaat. Kemudian dia mengeluarakan suara muak dan melepasku. Setelah separuh menuruni tangga serambi, dia menoleh. Persoalan ini belum selesai.
Aku cepat-cepat masuk dan mengunci pintu. Mataku mulai terasa panas. Aku menyandarkan punggung ke pintu dan duduk di karpet, menahan desakan untuk menangis.
Ibuku muncul di puncak tangga, mengangkat jubahnya ke pinggang. Nora" Ada apa" Siapa yang datang"
A ku cepat-cepat mengerjapkan mata untuk mengeringkannya. Cowok di sekolahku. Suaraku gemetar. Dia dia Kencanku dengan Patch saja sudah menyusahkan. Aku tahu ibuku berencana menghadiri pernikahan dan resepsi perkawinan putri
teman kerjanya malam ini. Kalau aku ceritakan Elliot mengasariku, dia pasti tidak jadi pergi. Dan aku tak ingin itu terjadi, karena aku harus pergi ke Portland untuk menginvestigasi Elliot. Bukti sekecil apa pun mungkin cukup untuk menjebloskannya ke balik jeruji besi. Dan sebelum itu terjadi, aku tak akan merasa aman. Segumpal rasa kekerasan memuncak dalam diriku. dan aku tak tahu bagaimana jadinya kalau aku lepas kendali dan memuntahkannya. Dia ingin resensi H amletku, kataku datar. Minggu kemarin dia mencontek kertas ulanganku, dan sepertinya dia ingin mengulangi perbuatannya.
Oh, sayang. Ibu duduk di sampingku, menggosokgosok rambutku yang basah sejak mandi tadi. Aku bisa mengerti kenapa kau marah. Aku bisa menelepon orangtuanya kalau kau mau.
Aku menggeleng. Kalau begitu aku akan membuat sarapan, kata ibu. Selesaikan berpakaiannya. Semuanya akan siap begitu kau turun.
Aku sedang berdiri di depan lemari ketika ponselku berdering.
Kau sudah dengar" Kita berempat akan pergi k-e-m-p-i-n-g untuk liburan musim semi! suara Vee terdengar luar biasa gembira.
Ve e , k at a ku , su a ra ku geme t a r. E l l iot merencanakan sesuatu. Sesuatu yang menakutkan. Satusatunya alasan kenapa dia ingin kemping adalah agar dia bisa membawa kita tanpa orang lain. Kita tidak pergi.
Apa maksudmu" Kau bercanda, kan" Maksudku, akhirya kita bisa melakukan sesuatu yang menyenangkan pada liburan musim semi. Dan kau mengatakan tidak" Kau tentu tahu, ibuku tak akan mengizinkan kalau aku pergi sendirian. Aku akan melakukan apa saja. Serius. Aku akan membuatkan PR-mu selama seminggu. Ayolah, Nora. Hanya satu kata singkat. Katakanlah. Dan awalnya adalah huruf Y&
Tanganku yang sedang memegang telepon gemetar, dan aku menopangnya dengan tanganku yang satunya. Elliot datang ke rumahku lima belas menit lalu, mabuk. Dia dia mengancamku secara fisik.
Vee terdiam sesaat. Apa maksudmu mengancam secara fisik "
Dia menyeretku keluar dan mendorongku ke dinding.
Tapi dia sedang mabuk, kan" Lalu kenapa" bentakku.
Well, dia punya banyak masalah. Maksudku, dia dituduh terlibat dalam pembunuhan seorang gadis. Dan dia dipaksa pindah sekolah. Kalau dia menyakitimu
aku bukannya membenarkan perbuatannya. Mungkin dia cuma butuh konseling"
Kalau dia menyakitiku"
Dia mabuk. Mungkin mungkin dia tidak sadar apa yang dilakukannya. Besok dia pasti merasa tidak enak.
Aku hampir mengucapkan sesuatu, tapi kubatalkan. Sulit dipercaya, Vee berpihak pada Elliot. Aku harus pergi, kataku ketus. Sampai nanti.
Boleh aku jujur kepadamu, say" Aku tahu kau cemas soal lelaki bertopeng ski. Jangan benci padaku. Tapi kupikir satu-satunya alasan kenapa kau begitu ngotot menyudutkan Elliot adalah karena kau tidak mau dia adalah Patch. Kau menyamaratakan semuanya, dan ini membuatku takut.
Aku kehabisan kata. Menyamaratakan" Patch tidak muncul di pintu rumahku pagi ini dan tidak membenturkan aku ke dinding.
Kau tahu, seharusnya aku tidak mengangkat persoalan ini. Kita tutup saja, oke"
Oke, kataku kaku. Lalu& apa rencanamu hari ini"
Aku menelengkan kepala ke pintu, mendengar suara ibuku. Bunyi denting sendok menyenggol pinggiran mangkuk terdengar dari arah dapur. Separuh diriku tidak melihat manfaat kalau aku berbagi informasi
dengan Vee. Tapi separuh diriku yang lainnya merasa jengkel dan konfrontasional. Dia ingin tahu rencanaku" Oke. Bukan masalahku kalau dia tidak suka. Aku akan pergi ke Portland begitu ibuku pergi ke pesta perkawinan di Old Orchard Beach. Acaranya dimulai pukul 4 sore, dan setelah itu resepsinya. Ibuku akan sampai di rumah paling cepat jam 9 malam. Jadi aku punya banyak waktu untuk ke Portland, dan pulang sebelum dia sampai ke rumah. Sebenarnya aku sedang berpikir mungkin kau mau meminjamkan Neon. Aku tak mau ibuku melihat catatan tambahan mil di mobilku.
Ya Tuhan, kau ingin memata-matai Elliot, kan" Kau ingin menyelinap ke Kinghorn Prep"
Aku ingin berbelanja sedikit dan membeli makan malam, kataku, menggeser gantungan baju di rak lemariku. Kukeluarkan T-shirt wol lengan panjang, jins, dan topi berstrip merah muda dan putih yang biasa kukenakan di akhir pekan dan saat rambutku susah diatur.
Dan dengan membeli makan malam termasuk juga mampir di restoran tertentu yang lokasinya tak jauh dari Kinghorn Prep" Restoran tempat Kjirsten biasa bekerja"
Itu bukan ide buruk, kataku. Mungkin akan kulakukan.
Dan apakah kau benar-benar ingin makan, atau sekadar ingin mewawancarai pegawai di sana"
Mungkin aku akan mengajukan beberapa pertanyaan. Aku boleh meminjam Neon atau tidak"
Tentu saja boleh, kata Vee. Untuk apa kita bersahabat" Aku bahkan akan ikut bersamamu dalam kegiatan mata-mata ini. Tapi kau harus janji dulu kalau kau akan ikut kemping.
Tak usahlah. Biar aku naik bus saja.
Kita bicarakan masalah liburan musim semi ini nanti saja! kata Vee sebelum aku memutus telepon.
Aku sudah beberapa kali ke Portland, tapi belum terlalu mengenal kota ini. Aku turun dari bus membawa ponsel, peta, dan kompas batin. Bangunan-bangunan di sana tersusun dari bata merah, tinggi dan ramping, menghalangi terik matahari yang membakar dari bawah. Segumpalan awan badai yang tebal membentuk kanopi yang gelap ke jalan. Semua toko memiliki beranda dan papan nama kuno tergantung di pintu. Jalanan diterangi lampu bertudung hitam, dan aku melihat papan nama Kinghorn Prep. Sebuah katedral, gedung tinggi, dan menara jam menyembul dari puncak pepohonan.
Aku menyusuri trotoar dan berbelok di tikungan yang menuju 32 nd Street. Pelabuhan cuma terpaut beberapa blok saja dari sini. Dan aku bisa melihat
perahu melintas di belakang toko saat kendaraan ini masuk ke pelabuhan. Setelah menyusuri separuh 32 nd Street, aku melihat papan nama restoran Blind Joe. Aku mengeluarkan daftar pertanyaan dan membacanya untuk yang terakhir kali. Kuharap, kalau aku menyentuh topik tentang Kjirsten secara santai dengan para pegawai, entah bagaimana kesan seorang wartawan akan terhapus dariku. Dengan harapan semua pertanyaan sudah tersimpan dalam ingatan, aku melempar kertas pertanyaan ke keranjang sampah terdekat. Pintu restoran berdenting begitu kubuka. Lantainya ditutupi ubin kuning dan putih, sementara dinding-dindingnya dicat biru laut. Beberapa lukisan pelabuhan tergantung di dinding. Aku memilih tempat duduk di dekat pintu dan melepas mantel.
Seorang pelayan dengan apron putih bernoda muncul dari arah samping. Namaku Whitney, katanya dengan suara masam. Selamat datang di Blind Joe. Menu spesial hari ini adalah roti lapis ikan tuna dan sup lobster. Penanya siap mencatat pesanan.
Blind Joe" aku mengerutkan kening dan mengetukngetuk dagu. Sepertinya nama itu tidak asing"
Kau tidak membaca surat kabar, ya" Kami mendapat sorotan seminggu penuh bulan lalu. Fifteen Minutes dan segala macam.
Oh! kataku seolah mendadak teringat sesuatu. Sekarang aku ingat. Ada pembunuhan, ya" Bukankah cewek itu bekerja di sini"
Namanya Kjirsten Halverson. Dia mengklik pena dengan tidak sabaran. Mau semangkuk sup sebagai hidangan pembuka"
Aku tak mau sup lobster. Bahkan aku tak lapar sama sekali. Tentu berat, ya. Bukankah kalian berteman"
Tidak. Kau mau memesan atau tidak. Kuberitahu sedikit rahasia. Kalau tidak bekerja, aku tidak mendapat upah. Kalau tidak mendapat upah, aku tak bisa membayar sewa rumah.
Mendadak aku berharap pelayan di seberang sana yang menanyakan pesananku. Dia pendek, botak sampai ke telinga, dan tubuhnya menyerupai tusuk gigi dalam dispenser di ujung meja. Tatapan matanya tak lebih tinggi dari tiga kaki di atas tanah. Meski aku merasa iba dengan fakta ini, satu senyum ramah dariku mungkin sudah cukup untuk membuatnya bercerita tentang kisah kehidupan Kjirsten secara lengkap. Maaf, kataku kepada Whitney. Aku tak bisa berhenti memikirkan pembunuhan itu. Tentu saja, berita itu mungkin sudah basi bagimu. Pasti sudah banyak wartawan yang datang ke sini mengajukan berbagai pertanyaan.
Dia menatapku tajam. Kau butuh waktu lebih lama lagi untuk membaca menu"
A k u pr ibad i b er p e nd apat wa r t awa n it u menjengkelkan.
Dia mencondongkan badan, dan meregangkan tangan di atas meja. Menurutku pelanggan yang menyita waktu itu menjengkelkan.
Aku menghela napas tanpa bersuara dan membuka menu. Apa rekomendasimu"
Semuanya enak. Tanya saja pacarku. Dia tersenyum dipaksakan. Dia juru masaknya.
Omong-omong pacar& Kjirsten punya pacar, ya kan" Pengalihan yang bagus, kataku dalam hati.
Katakan, desak Whitney. Kau polisi" Pengacara" Wartawan"
Cuma warga negara yang peduli. Kedengarannya seperti sebuah pertanyaan.
Yeah. Begini saja. Pesan m ilk shake, kentang goreng, burger Angus, semangkuk sup, dan beri aku tip dua puluh lima persen. Akan kuceritakan segala yang kubeberkan kepada orang lain.
Aku mempertimbangkan pilihan antara uang saku atau jawaban. Setuju.
Kjirsten naksir cowok itu, Elliot Saunders. Cowok yang diberitakan dalam surat kabar. Dia sering sekali ke sini. Mengantar Kjirsten ke apartemennya begitu jam kerja selesai.
Kau pernah mengobrol dengan Elliot"
Aku sih tidak. Menurutmu Kjirsten bunuh diri" Dari mana aku tahu"
Aku membaca di surat kabar bahwa ditemukan catatan bunuh diri di apartemen Kjirsten. Tapi juga ada bukti penyusupan.
Dan" Menurutmu itu tidak sedikit& aneh"
Kalau kau tanya pendapatku apakah mungkin Elliot menaruh catatan di apartemennya, jawabanku mungkin saja. Cowok kaya seperti dia bisa lolos dari apa pun. Mungkin saja dia menyuruh seseorang menaruh catatan itu. Begitulah kalau kau punya uang.
Aku tak tahu Elliot punya banyak uang. Aku malah menangkap kesan Jules-lah yang kaya. Vee tak berhenti bercerita tentang rumahnya. Kupikir dia masuk Kinghorn Prep dengan beasiswa.
Beasiswa" Whitney mendengus. Kau mabuk, ya" Kalau Elliot tidak punya banyak uang, bagaimana dia bisa membelikan apartemen untuk Kjirsten" Coba katakan.
Aku berusaha tidak kelihatan terlalu kaget. Dia membelikan apartemen untuk Kjirsten"
Kjirsten tak pernah berhenti menceritakannya. Aku sendiri nyaris gila.
Kenapa dia mau membelikan apartemen"
Whitney menatapku, bertolak pinggang. Tolong katakan kau tidak sebodoh itu.
Oh. Privasi. Keintiman. Paham.
Kau tahu kenapa Elliot dipindahkan dari Kinghorn" tanyaku.
Aku tak tahu dia pindah. Aku membalas jawabannya dengan pertanyaan yang masih ingin kuajukan, berusaha mengeluarkannya dari memori. Apa dia pernah bertemu dengan temannya di sini" Selain Kjirsten"
Bagaimana aku ingat" Dia memutar bola mata. Memangnya aku kelihatan seperti orang yang punya ingatan fotografis"
Bagaimana dengan cowok jangkung" Benar-benar jangkung. Rambut pirang panjang, tampan, pakaian necis.
Dia mencabut kuku yang koyak dengan gigi depan dan memasukkannya ke saku celemek. Yeah, aku ingat. Sulit untuk tidak melihat cowok seganteng itu. Murung dan pendiam. Dia datang ke sini satu atau dua kali. Belum terlalu lama. Mungkin sekitar saat kematian Kjirsten. Aku ingat karena kami menyajikan roti lapis kornet sapi untuk Hari St. Patrick dan aku tidak bisa mengambilkan pesanannya. Dia cuma melotot ke arahku seperti orang yang akan melompati meja dan mengiris tenggorokanku kalau aku membacakan menu spesial
harian lebih lama lagi. Tapi rasanya aku ingat sesuatu. Bukannya aku mau tahu saja urusan orang lain, tapi aku punya kuping. Kadang aku mendengar sesuatu tanpa disengaja. Terakhir kali si jangkung dan Elliot datang, mereka duduk bersama, membicarakan suatu tes. Tes sekolah"
Mana kutahu" Kedengarannya si jangkung gagal dalam sebuah tes, dan Elliot tidak senang mendengarnya. Dia mendorong kursi dan keluar. Roti lapisnya bahkan belum habis.
Apa mereka menyebut nama Kjirsten" Si jangkung datang lebih dulu. Dia bertanya apakah Kjirsten kerja atau tidak. Kukatakan kepadanya, tidak, dia tidak bekerja. Lalu cowok itu mengeluarkan ponsel. Sepuluh menit kemudian, Elliot masuk. Biasanya Kjirstenlah yang menangani pesanan Elliot. Tapi seperti yang kukatakan, dia tidak bekerja, jadi aku yang melayaninya. Apakah mereka membincangkan Kjirsten atau tidak, aku tidak tahu. Tapi sepertinya si jangkung itu tak menginginkan kehadiran Kjirsten. Ada lagi yang kau ingat"
Tergantung. Kau akan memesan makanan penutup"
Rasanya aku akan memesan sejuring pai. Pai" Aku sudah meluangkan lima menit dari waktuku yang berharga, dan kau cuma memesan pai"
Sepertinya lebih baik aku melakukan yang lain daripada mengobrol denganmu"
Aku menatap ke sekeliling restoran. Sepi. Selain seorang lelaki di konter yang wajahnya tertutup Koran, hanya aku pelanggan di sini.
Oke& aku memeriksa menu.
Kau pasti ingin limun raspberi untuk mendorong pai itu. Dia mencatatnya di atas kertas. Dan kopi selepas santapan. Mencatat lagi. Kutunggu tambahan tip dua puluh lima persennya. Dia menyunggingkan senyum puas, lalu menyelipkan buku catatan ke dalam celemek dan bergegas menuju dapur.
* h i lUar CUaCa bergeser ke Dingin Dan membekukan. Tudung-tudung lampu jalanan memancarkan warna kuning yang aneh dan tak terlalu berpengaruh di tengah kabut tebal yang menyebar di sepanjang jalan. Aku keluar dari Blind Joe, bersyukur karena telah membaca ramalan cuaca sebelumnya dan membawa payung. Saat melewati jendela depan toko, aku melihat kerumunan orang di bar.
Jarakku cuma beberapa blok saja dari perhentian bus ketika perasaan dingin yang sudah tak asing lagi merayap ke belakang leherku. Seperti yang kurasakan pada malam ketika aku yakin seseorang menatap ke jendela
kamarku, ketika aku di Delphic, dan sekali lagi sebelum Vee keluar dari Victoria s Secret mengenakan jaketku. Aku membungkuk, berpura-pura mengencangkan tali sepatu, dan mencuri-curi pandang ke sekeliling. Trotoar di kedua sisi jalanan kosong.
Lampu pejalan kaki menyala, dan aku menyeberang. Sambil mempercepat langkah, aku mengempit tas di bawah lengan dan berharap bus datang tepat waktu. Aku memotong jalan kecil di belakang sebuah bar, melewati sekumpulan perokok, dan keluar di jalan berikutnya. Sambil berlari melewati suatu blok, aku menyisir jalan kecil lainnya dan memutari blok. Setiap beberapa detik, aku menoleh ke belakang.
Terdengar deru bus mendekat, dan tak lama kemudian kendaraan ini menepi di sudut jalan, menampakkan diri dengan jelas di tengah-tengah kabut. Bus memperlambat jalan ketika mendekati halte, dan aku naik, siap menuju rumah. Tak ada penumpang lain.
Memilih kursi beberapa baris di belakang sopir, aku berselonjor agar tidak kelihatan dari luar. Sopir menggerakkan tuas untuk menutup pintu, lalu bus bergerak menyusuri jalanan. Aku hampir mengembuskan napas lega ketika SMS Vee masuk ke ponselku.
KAU DI MANA" PORTLAND, balasku. KAU"
AKU JUGA. DI PESTA BERSAMA JULES DAN ELLIOT. KETEMUAN YUK.
KENAPA KAU KE PORTLAND"!
Aku tidak menunggu jawaban, tapi meneleponnya langsung. Berbicara akan lebih cepat. Dan masalahnya gawat.
Well" Bagaimana" tanya Vee. Kau bersemangat untuk berpesta"
Apa ibumu tahu kau ke pesta di Portland bersama dua cowok"
Sepertinya kau mulai cepat cemas, say. Aku tak percaya kau datang ke Portland bersama Elliot! Sebuah pikiran melintas. Dia tahu kau sedang bertelepon denganku"
Supaya dia bisa datang dan membunuhmu" Tidak, maaf. Dia dan Jules sedang ke Kinghorn untuk mengambil sesuatu. Dan aku kedinginan sendirian. Andai saja ada perempuan bersayap. Hei! Vee berteriak kepada seseorang. Lepaskan tanganmu, oke" L-E-P- A-S-K-A-N, Nora" Aku tidak berada di tempat paling bagus. Waktu sangat penting.
Kau di mana" Sebentar& oke, gedung di seberang jalan bertuliskan satu-tujuh-dua-tujuh. Nama jalannya Highsmith, aku yakin.
Aku ke sana secepat mungkin. tapi aku tak lamalama, aku ingin pulang, dan kau harus ikut bersamaku. Berhenti! kataku kepada sopir.
Dia menginjak rem, dan aku terlempar ke kursi di depanku.
Tahu jalan ke Highsmith" tanyaku begitu aku sampai di ujung bus.
Dia menunjuk jendela yang berada di sebelah kanan bus. Sebelah barat dari sini. Kau berniat jalan kaki" Dia memperhatikan aku dari atas ke bawah. Karena aku harus memperingatkan, itu bukan lingkungan yang aman.


Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hebat. Aku baru berjalan beberapa blok saja sebelum peringatan sopir bus terbukti. Pemandangan berubah drastis. Bagian depan toko yang indah berganti dengan grafiti semprotan cat karya anak-anak geng. Jendela-jendela gelap, berjeruji besi. Trotoar seperti jalur terpencil yang memanjang di tengah kabut.
Bunyi keretak pelan melayang terbawa kabut. Seorang perempuan yang mendorong kereta bak sampah tampak di depan. Matanya seperti kismis, kecil dan hitam, menusuk ke arahku dengan tatapan seorang pemangsa.
Wah, ada rezeki nomplok. katanya melalui celah giginya yang ompong.
Pelan-pelan aku mundur dan mendekap tas di dadaku.
Sepertinya sebuah mantel, sarung tangan, dan topi wol yang cantik, katanya. Dari dulu aku ingin punya topi wol yang cantik.
Halo, kataku, berdeham dan berusaha terdengar ramah. Bisa beritahu berapa jauh lagi ke Highsmith Street"
Dia terkekeh. Sopir bus menunjuk ke arah ini, kataku kurang yakin.
Dia bilang Highsmith ke arah ini" katanya, terdengar jengkel. Aku tahu jalan ke Highsmith, dan bukan ke sini.
Aku menunggu, tapi dia tidak menjelaskan lebih jauh. Apakah kau bisa memberitahu ke mana arah yang benar" tanyaku.
Aku tahu arahnya. Dia mengetuk-ngetuk kepalanya dengan jari yang sangat mirip dengan dahan pohon yang bengkok dan berbuku-buku. Semuanya tersimpan di sini.
Ke mana arah Highsmith" bujukku.
Aku tidak bisa memberitahumu dengan gratis, katanya dengan nada marah. Kau harus membayar. Seorang wanita harus mencari nafkah. Memangnya
kau belum pernah dengar kalau di dunia ini tidak ada yang gratis"
Aku tak punya uang. Tidak banyak, maksudku. Cuma cukup untuk ongkos pulang dengan bus. Kau punya mantel hangat yang bagus. Aku menunduk ke mantel bordirku. Angin dingin menerpa rambutku dan pikiran harus membuka mantel membuat bulu kudukku berdiri. Ini hadiah Natal tahun lalu.
Aku kedinginan sampai ke tulang, bentaknya. Kau ingin tahu arahnya atau tidak"
Aku tak percaya aku berdiri di sini. Aku tak percaya harus memberikan mantelku ke seorang perempuan tunawisma. Vee berutang sangat besar kepadaku, mungkin dia tak akan pernah bisa membayarnya.
Aku melepas mantel dan mengawasi perempuan itu mengenakannya.
Napasku keluar seperti asap. Aku memeluk diri sendiri dan merapatkan kaki untuk menjaga panas tubuh. Bisa katakan arah ke Highsmith sekarang" Kau ingin yang panjang atau yang pendek" Pen ndek, aku menggigil.
Kau harus membayar lagi. Jalan pendek ada biaya tambahannya. Seperti kubilang, aku ingin sekali topi wol yang cantik.
Aku melepas topi merah muda dan putih itu dari kepalaku. Highsmith" tanyaku, berusaha tetap terkesan ramah.
Lihat jalan kecil itu" katanya, menunjuk ke belakangku. Aku menoleh. Jalan kecil itu cuma terpaut setengah blok saja di belakang tempatku berdiri. Lewati jalan kecil itu dan kau akan keluar di ujung lain Highsmith.
Itu saja" kataku tak percaya. Cuma satu blok"
Kabar baiknya, jalannya tidak jauh. Kabar buruk, tak ada perjalanan yang terasa singkat di tengah cuaca seperti ini. Tentu saja sekarang aku hangat, aku punya mantel dan topi yang cantik. Berikan sarung tangan itu, dan aku akan mengantarmu ke sana.
Aku menunduk ke sarung tanganku. setidaknya tanganku hangat. Tak usahlah!
Dia mengangkat bahu dan mendorong kereta sampah ke sudut berikutnya, tempat dia menempati pos di depan dinding bata.
Jalan kecil itu gelap dan penuh dengan keranjang sampah, kardus-kardus basah, dan suatu gundukan yang mungkin saja pemanas air yang sudah rusak. Tetapi bisa juga gulungan karpet dengan tubuh manusia terbungkus di dalamnya. Seutas pagar rantai merentang hingga separuh jalan. Pagar setinggi empat kaki saja sulit
kulompati, apalagi yang sepuluh kaki. Gedung-gedung bata berdiri di kedua sisi. Semua jendelanya buram dan berjeruji.
Melompati kotak-kotak dan bungkusan sampah, aku melewati jalan itu. Kaca pecah berkeretak di bawah sepatuku. Sekilas warnah putih melesat di antara kakiku sehingga jantungku berhenti berdetak. Seekor kucing. Cuma seekor kucing, yang menghilang ke dalam kegelapan.
Aku merogoh saku untuk meng-SMS Vee, ingin memberitahu kalau aku sudah dekat dan agar dia menunggu kedatanganku. Tapi aku baru ingat, ponsel itu tertinggal di saku mantel. Manis sekali, pikirku. Berapa besar kemungkinannya perempuan itu akan mengembalikan ponselmu" Nol besar.
Kuputuskan bahwa pengorbananku sepadan. Dan saat aku menoleh, sebuah sedan hitam mengilat berjalan di ujung jalan kecil ini. Dengan cahaya merah yang muncul tiba-tiba, lampu rem menyala.
Mungkin karena naluri, aku menepi ke tempat gelap.
Pintu mobil terbuka dan terdengar bunyi senjata dikokang. Dua kali tembakan. Pintu mobil dibanting dan sedan hitam itu berderit menjauh. Aku bisa mendengar degup jantungku, bercampur dengan suara kaki berlari. Sejenak kemudian aku sadar, itu suara kakiku, dan aku
berlari ke mulut terowongan. Aku berbelok di sudut dan merasa sangat terkejut.
Tubuh perempuan pengangkut sampah itu tergeletak di trotoar.
Aku bergegas menghampiri dan berlutut di sampingnya. Apa kau baik-baik saja" tanyaku panik, sambil membalik tubuhnya. Mulutnya menganga, mata kismisnya hampa. Cairan pekat mengalir ke mantel sulam yang kukenakan tiga menit lalu.
Aku merasakan dorongan untuk berlari, tapi aku memaksakan diri untuk merogoh saku mantel. Aku harus mencari bantuan, tapi ponselku tak ada di sana.
Terlihat sebuah kotak telepon umum di ujung seberang jalan. Aku berlari ke sana dan menghubungi 911. Sembari menunggu operator mengangkat telepon, aku menoleh ke jasad perempuan itu. Dan saat itulah aku merasakan semburan adrenalin dingin mengalir di tubuhku. Jasad itu sudah tidak ada.
Dengan tangan gemetar, kututup telepon. Bunyi langkah kaki mendekat sampai ke telingaku, tapi apakah dia sudah dekat atau jauh, aku tak bisa memastikan. Tak, tak, tak.
D ia ada di sini, pikirku. Lelaki bertopeng ski itu. Aku memasukkan beberapa koin ke telepon dan menggenggam gagang telepon dengan kedua tangan. Aku berusaha mengingat nomor ponsel Patch. Sembari
memejamkan mata erat-erat, aku memvisualisasikan tujuh angka yang dia tulis dengan pena merah di tanganku pada hari pertama kami bertemu. Sebelum aku memastikan ingatanku, aku memencet angka-angka itu.
Ada apa" kata Patch.
Aku nyaris terisak mendengar suaranya. Bisa kudengar bunyi bola biliar meluncur di atas meja, dan aku tahu dia berada di Bo s Arcade. Dia bisa sampai ke sini lima belas menit lagi, mungkin dua puluh. Ini aku. Aku tak berani mengeraskan suara. Nora"
Aku di P Portland. Di ujung Hempshire dan Nantucket. Kau bisa menjemputku" Ini darurat.
Aku sedang meringkuk di pojokan bawah bilik telepon umum, menghitung dalam hati sampai seratus, berusaha tetap tenang, ketika jip Commander hitam meluncur ke sudut jalan. Patch membuka pintu telepon umum dan berjongkok di ambangnya.
Dia melepas baju luarnya T-shirt hitam lengan panjang dan hanya mengenakan kaus dalam warna hitam. Patch memasukkan T-shirt ke kepalaku dan tak lama kemudian menarik tanganku keluar dari lengan baju. Kaus itu membuatku kerdil, lengan bajunya terlalu panjang, melewati ujung jariku. Ada aroma rokok, air
soda, dan sabun mint. Semua itu mengisi ruang kosong dalam diriku dengan rasa aman.
Ayo kita ke mobil, kata Patch. Dia membantuku berdiri, dan aku merengkuhkan tangan ke lehernya dan membenamkan wajah ke dadanya.
Rasanya aku akan sakit, kataku. Dunia seolah miring, termasuk Patch. Aku harus minum pil zat besi.
Sshh, katanya, sambil mendekapku. Semuanya akan baik-baik saja. Aku di sini sekarang. Aku berusaha mengangguk pelan. Ayo kita pergi.
Mengangguk lagi. Kita harus menjemput Vee, kataku. Dia di pesta satu blok dari sini.
Saat Patch mengemudikan jipnya memutari tikungan, aku mendengar gema keretak gigi di dalam kepalaku. Aku belum pernah setakut ini sepanjang hidupku. Melihat mayat perempuan tunawisma membangkitkan ingatan akan ayahku. Penglihatanku penuh dengan warna merah. Dan mesti berusaha keras, aku tak bisa menepiskan gambaran darah.
Kau sedang bermain pool" tanyaku, teringat bunyi bola biliar yang menggelinding saat aku meneleponnya. Aku memenangkan kondo.
Kondo" Bangunan anggun di pingkir danau. Mungkin aku tak suka tempat itu. Ini Highsmith. Kau punya alamatnya"
Tak ingat, kataku, duduk tegak akar bisa melihat ke luar jendela dengan lebih jelas. Semua gedung tampak tak terurus. Tak ada jejak pesta. Tak ada jejak kehidupan, titik.
Kau bawa ponsel" tanyaku kepada Patch. Dia mengeluarkan Blackberry dari saku. Baterainya hampir habis. Aku tak tahu apakah masih bisa dipakai untuk menelepon atau tidak.
Aku mengirim SMS ke Vee. KAU DI MANA"! RENCANA BERUBAH, balasnya. SEPERTINYA J DAN E TAK MENEMUKAN YANG MEREKA CARI. KAMI PULANG.
Layar ponsel menghitam. Mati, kataku kepada Patch. Kau bawa charger" Tidak.
Vee pulang ke Coldwater. Kau bisa mengantarku ke rumahnya"
Beberapa menit kemudian kami sudah di jalan raya pesisir, melewati tebing yang berada tepat di atas samudera. Aku sudah pernah melewati jalan ini. Ketika matahari terbenam, airnya membentuk garis biru dengan serpihan-serpihan warna hijau tua, tempat air itu memantulkan tetumbuhan. Hari sudah malam
dan samudera tampak seperti pohon black poison yang halus.
Kau tidak ingin menceritakan kejadian itu kepadaku" tanya Patch.
Aku masih menimbang-nimbang apakah akan menceritakannya kepada Patch atau tidak. Aku bisa mengatakan kepadanya bahwa setelah perempuan itu mengambil mantelku, dia ditembak. Aku bisa mengatakan kepadanya kupikir peluru itu ditujukan kepadaku. Kemudian aku bisa berusaha menjelaskan kepadanya bahwa jasad perempuan itu lenyap ditelan angin secara misterius.
Aku teringat tatapan menusuk Detektif Basso ketika kubilang seseorang masuk ke kamarku. Aku sedang malas dipelototi dan ditertawakan lagi. Tidak oleh Patch. Tidak sekarang.
Aku tersesat, dan perempuan pengangkut sampah itu mengajakku bicara, kataku. Dia membuatku melepaskan mantel& aku menyeka hidung dengan punggung tangan dan bersin. Dia mengambil topiku juga.
Mau apa kau jauh-jauh ke sana" tanya Patch. Bertemu Vee di pesta.
Kami sudah separuh jalan antara Portland dan Coldwater, di jalan raya yang sepi dan rimbun dengan
pepohonan. Mendadak asap mengepul dari kap jip. Patch menekan rem dan menepikan jip.
Sebentar, katanya, meluncur keluar. Dia membuka kap jip, dan menghilang dari pandangan.
Semenit kemudian dia menurunkan kap. Dengan tangan digosok-gosokan ke celana, dia menghampiri jendelaku, memberi isyarat agar aku menurunkannya. Kabar buruk, katanya. Mesinnya mati. Aku berusaha terlihat maklum dan memahami. Tapi rasanya ekspresiku kosong saja.
Patch mengangkat alis dan berkata, Semoga dia mati dengan tenang.
Tak mau jalan" Tidak kecuali kita mendorongnya.
Di antara banyak mobil, dia memenangkan yang loyo.
Di mana ponselmu" Patch bertanya. Hilang.
Dia nyengir. Biar kutebak. Di saku mantelmu. Perempuan itu benar-benar beruntung, ya kan"
Dia menerawang ke cakrawala. Cuma ada dua pilihan. Menumpang mobil orang lain, atau berjalan kaki ke tembusan berikutnya dan mencari telepon.
Aku keluar dari jip, menutup pintu dengan kuat. Aku menendang ban kanan depan mobil. Sepertinya aku menggunakan kemarahan untuk menutupi ketakutanku
akan kejadian yang kualami hari ini. Begitu sendirian, aku pasti menangis.
Rasanya ada motel di dekat tembusan berikutnya. Aku akan m-m-menelepon taksi, kataku, gigiku berkeletuk semakin keras. T-t-tunggu di jip.
Dia tersenyum kecil, tapi tidak tampak senang. Aku tak akan membiarkanmu pergi jauh. Kau terlihat sedikit pucat, Angel. Kita pergi bersama-sama.
Sembari menyilangkan tangan di dada, aku berdiri di depannya. Saat mengenakan sepatu tenis mataku sejajar dengan bahunya. Jadi aku terpaksa menengadah untuk menatap matanya. Aku tak akan pergi ke motel bersamamu. Lebih baik terkesan tegas untuk memperkecil kemungkinan aku akan berubah pikiran.
Menurutmu kita berdua dan motel pinggiran kota adalah kombinasi yang berbahaya"
Sejujurnya, ya. Patch bersandar di jip. Kita bisa duduk di sini dan berdebat. Dia menyipit ke langit yang bergemuruh. Tapi sebentar lagi badai akan mengamuk.
Seolah Ibu Pertiwi ingin menguatkan vonis itu, langit membelah dan gumpalan awan tebal mengucurkan hujan dan lempengan es.
Aku menatap tajam ke Patch, dan menghela napas marah.
Seperti biasanya, dia benar.
Ua pUlUH MeniT keMUDian akU Dan Patch sampai di pintu motel murahan dalam keadaan basah kuyup. Saat berlari ke sini melewati derai hujan, aku tak berbicara sepatah kata pun. Dan sekarang aku bukan hanya basah kuyup, tapi benar-benar& loyo. Hujan mengucur, dan rasanya kami tak bisa kembali ke jip dalam waktu dekat. Jadi hanya ada aku, Patch, dan motel dalam persamaan dengan jumlah waktu yang tak tertentu.
Pintu berdenting saat kami membukanya, dan petugas kasir mendadak berdiri, mengibas-ngibaskan serpihan Cheetos dari pangkuannya. Ada apa"
katanya, mengisap jari untuk membersihkan serpihan oranye. Berdua saja malam ini"
Kam-mi ingin meminjam telepon, kataku cepat, berharap dia memahami permintaanku.
Tidak bisa. Salurannya terputus. Salahkan badai.
Ap-pa maksudmu salurannya p-putus" Kau punya ponsel"
Kasir itu menatap Patch. Dia ingin kamar bebas-rokok, kata Patch. Aku menoleh cepat ke Patch. Apa kau sudah sinting" kataku tanpa suara.
Kasir memilih beberapa kunci di komputernya. Kelihatannya kita& sebentar& Bingo! Kamar ukuran besar.
Oke, kami ambil, kata Patch. Dia menoleh ke arahku, ujung mulutnya terangkat. Aku menyipitkan mata.
Tepat pada saat itu lampu di langit-langit padam. Kegelapan menyelimuti lobi. Kami semua berdiri tanpa suara beberapa waktu, sebelum kasir itu bergegas ke dalam dan menyalakan lampu senter ukuran besar.
Aku dulunya seorang pramuka, katanya. Semboyan waktu itu, Selalu siap siaga .
Jadi kau p-pasti punya ponsel" kataku.
Punya. Sampai aku tak bisa membayar tagihannya lagi. Dia mengangkat bahu. Mau bilang apa, ibuku pelit.
Ibunya" Dia pasti sudah empat puluh. Bukannya aku ingin campur tangan. Aku jauh lebih mencemaskan apa yang ibuku lakukan begitu pulang dari resepsi dan aku tidak ada.
Kau ingin bayar dengan apa" tanya kasir. Uang tunai, kata Patch.
Dia terkekeh sampai kepalanya terayun-ayun. Itu bentuk pembayaran yang populer di sini. Dia mencondongkan badan dan berbicara penuh keyakinan. Banyak orang yang tidak ingin kegiatan ekstrakurikulernya terlacak, kau tahu maksudku, kan"
Separuh otakku yang logis mengatakan aku tak boleh bermalam di motel bersama Patch.
Ini gila, bisikku kepada Patch.
Aku yang gila. Dia hampir tersenyum lagi. Tergila-gila kepadamu. Berapa harga senter" katanya kepada kasir.
Sang kasir merogoh ke bawah meja. Aku punya yang lebih baik lagi: lilin ukuran raksasa, katanya, menempatkan dua buah di hadapan kami. Setelah menggesek sebatang korek api, dia menyalakan salah satu lilin. Tersedia di rumah kami, tak perlu biaya tambahan. Letakkan satu di kamar mandi dan satu
lagi di dekat tempat tidur, kau tak akan mengenali perbedaannya. Aku bahkan akan memberikan sekotak korek api. Untuk berjaga-jaga.
Terima kasih, kata Patch, mengangkat siku dan meninggalkan ruangan itu.
Di kamar 106, Patch mengunci pintu di belakang kami. Dia menaruh lilin di atas meja kecil di samping tempat tidur, untuk menerangi seluruh ruangan. Sembari mengangkat topi bisbolnya, dia menggosok-gosok ujung rambutnya seperti anjing basah.
Kau perlu mandi air hangat, katanya. Kemudian dia mundur beberapa langkah dan menyembulkan kepalanya ke dalam kamar mandi. Sepertinya ada sabun batangan dan dua handuk.
Aku mengangkat dagu sedikit. Kau tidak b-bisa memaksaku menginap. Aku hanya setuju datang ke sini karena pertama, aku tidak ingin kehujanan. Dan kedua, karena aku berharap bisa meminjam telepon.
Ucapanmu lebih mirip pertanyaan daripada pernyataan, kata Patch.
Kalau begitu j-jawablah. Senyum nakalnya mengembang lagi. Sulit memikirkan jawaban dengan penampilanmu seperti itu.
Aku menunduk ke kaus hitam Patch, basah dan menempel ke tubuhku. Aku bergegas melewati Patch dan menutup pintu kamar mandi di antara kami.
Setelah membuka keran air panas, aku membuka kaus Patch dan pakaianku. Sehelai rambut hitam panjang menempel di dinding kamar mandi, aku mengangkatnya dengan tisu lalu membilasnya di toilet. Kemudian aku melangkah ke belakang tirai pancuran, memandang kulitku berkilau terkena panas.
Sembari menyabuni otot-otot di sepanjang leher hingga ke bahu, aku berkata dalam hati, tak apalah tidur satu ruangan dengan Patch. Memang, ini bukan rencana yang paling cerdas atau paling aman. Tapi aku pribadi merasa tak akan terjadi apa-apa. Lagi pula aku tak punya pilihan& ya kan"
Separuh otakku yang spontan dan sembrono tertawa. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Sedari awal aku sudah merasakan daya tarik Patch yang misterius. Dan sekarang aku merasa tertarik kepadanya karena sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Sesuatu yang seksi. Hubungan di malam ini tak terelakkan. Dalam skala satu sampai sepuluh, ketakutanku kira-kira berada di angka delapan. Dan kegembiraanku kira-kira di sembilan.
Aku mematikan air, melangkah keluar, dan mengeringkan kulitku. Satu lirikan ke pakaianku yang basah sudah cukup meyakinkan kalau aku tak ingin mengenakannya lagi. Mungkin di dekat sini ada mesin pengering yang dioperasikan dengan koin& mesin yang tak memerlukan listrik. Aku menghela napas dan
mengenakan kamisol dan celana dalam, yang tak terlalu basah akibat hujan.
Patch" aku berbisik di pintu. Sudah"
Matikan lilinnya. Sudah, bisiknya lagi ke pintu. Tawanya pun begiu halus sehingga terdengar seperti bisikan.
Setelah mematikan lilin kamar mandi, aku keluar, dan bertemu dengan kegelapan total. Bisa kudengar napas Patch tepat di depanku. Aku tak mau memikirkan apa yang dia pakai atau apa yang tidak dia pakai. Dan aku menggelengkan kepala untuk mengusir sepenggal gambaran yang terbentuk dalam kepalaku. Pakaianku basah. Tak ada yang bisa kukenakan.
Aku mendengar bunyi kain basah meluncur di kulitnya seperti sapu karet. Aku beruntung. Kausnya yang basah mendarat di kaki kami.
Ini benar-benar membuat canggung, kataku kepadanya.
Aku bisa merasakan dia nyengir. Posisi berdirinya teramat sangat dekat denganku.
Kau harus mandi, kataku. Sekarang. Aku sebau itu"
Sebenarnya, dia sewangi itu. Bau rokok telah hilang, aroma mint-nya semakin kuat.
Patch menghilang ke dalam kamar mandi. Dia menyalakan lilin kembali dan membiarkan pintu sedikit terbuka. Seberkas cahaya terentang di lantai dan meninggi di satu dinding.
Aku menempelkan punggung ke dinding sampai aku duduk di lantai. Lalu aku menempelkan kepala ke dinding. Sejujurnya, aku tak boleh menginap di sini malam ini. Aku harus pulang. Menginap di sini berduaan saja dengan Patch tidak bisa dibenarkan, demi menjaga kesucian atau bukan. Aku harus melaporkan kematian perempuan pengangkut sampah itu kepada pihak berwajib. Bukankah begitu" Tapi bagaimana aku melaporkan kalau jasadnya menghilang" Ini gila. Dan yang menakutkan, pikiranku mulai mengarah ke sana.
Tak mau berlama-lama dengan pikiran tentang kegilaan, aku berkonsentrasi pada argumen awal. Aku tak bisa di sini padahal Vee dalam bahaya bersama Elliot, sementara aku aman.
Setelah merenungkan sejenak, aku memutuskan kalau aku harus meninjau pikiran itu. Aman adalah istilah yang relatif. Selama Patch di dekatku, aku terhindar dari bahaya. Tapi itu bukan berarti dia akan bertindak sebagai malaikat pelindungku.
Seketika itu juga aku berharap bisa mencabut pikiran tentang malaikat pelindung. Sembari mengerahkan kekuatan kehendakku, aku mengusir seluruh pikiran
tentang malaikat entah itu malaikat pelindung, malaikat terbuang, atau yang lainnya dari kepalaku. Mungkin aku sudah gila, pikirku. Karena setahuku, aku berhalusinasi melihat perempuan itu mati. Dan aku berhalusinasi melihat luka Patch.
Air berhenti mengucur, dan tak lama kemudian Patch keluar dengan hanya mengenakan jins basah yang menggantung di pinggang. Lilin di kamar mandi dibiarkan menyala dan pintunya terbuka. Warna lembut memancar ke seluruh ruangan.
Dalam sekilas pandangan aku sudah bisa memastikan kalau Patch menghabiskan beberapa jam setiap minggunya untuk berlari dan mengangkat beban. Tak mungkin tubuhnya setegap itu tanpa keringat dan kerja keras. Mendadak aku merasa sedikit sadar-diri. Belum lagi mudah terbawa perasaan.
Kau mau sisi ranjang yang mana" dia bertanya. Ehm&
Nyengir. Gugup" Tidak, kataku seyakin mungkin dalam kondisi seperti ini. Dan kenyataannya kebohonganku tampak jelas.
Kau pembohong yang payah, katanya, masih tersenyum. Paling payah yang pernah kulihat.
Aku berkacak pinggang, mengisyaratkan ucapan Maksudmu"
Ke sini, katanya menarikku. Aku merasa janji awalku untuk bertahan meleleh sudah. Sepuluh detik lagi berdiri sedekat ini dengan Patch, benteng pertahananku pasti akan runtuh.
Sebuah cermin tergantung di dinding di belakang Patch. Melalui bahunya, aku melihat goresan hitam V terbalik berkilau di kulitnya.
Tubuhku menjadi tegang. Aku mengerjap untuk menghilangkan goresan itu, tapi dia tak mau hilang.
Tanpa berpikir panjang, aku menggerakkan tanganku di dadanya hingga ke punggung. Ujung jariku menyentuh goresan luka sebelah kanan.
Tubuh Patch menjadi kaku karena sentuhanku. Aku membeku. Ujung jariku masih berada di atas luka itu. Sebentar kemudian aku tersadar, sebenarnya bukan jariku yang bergerak, tapi diriku. Diriku seutuhnya.
Aku terseret ke terowongan yang lembut dan gelap, lalu segalanya menjadi hitam.
kU berDiri Di lanTai Dasar bo s arCaDe dengan punggung menempel di dinding, menghadap beberapa permainan pool. Semua jendela terbuka, sehingga aku bisa mengatakan apakah saat itu siang atau malam. Suara Stevie Nicks terdengar melalui corong pengeras suara. Melantunkan lagu tentang burung dara bersayap putih dan masa di ujung usia tujuh belasan. Sepertinya tak ada yang kaget dengan kemunculanku yang seolah menembus udara.
Lalu aku teringat, aku tidak mengenakan apa-apa selain kamisol dan celana dalam. Bukannya aku haus perhatian, tapi berdiri di tengah gerombolan laki-laki
dengan busana minim, dan tak ada yang melihatku" Sepertinya ada sesuatu yang& aneh.
Aku mencubit tanganku sendiri. Sadar seratus persen, sejauh yang kuketahui.
Aku melambai-lambaikan tangan untuk mengusir kabut asap rokok dan melihat Patch di seberang. Dia duduk di meja poker, mengembalikan kartu, dan merapatkan tangannya yang memegang kartu ke dada.
Aku melangkah ke seberang dengan kaki telanjang, tangan menyilang di dada, berusaha membuat tubuhku tertutup. Bisa kita bicara" bisikku ke telinganya. Ada kesan resah dalam suaraku. Wajar saja, karena aku tak tahu bagaimana aku bisa berada di Bo s. Beberapa menit lalu aku di motel, dan berikutnya aku sudah berada di sini.
Patch menggabungkan tumpukan pendek koin poker ke tumpukan di tengah meja.
Maksudku sekarang" kataku. Ini mendesak& ucapanku terhenti begitu kalender di dinding menyedot perhatianku. Kalender itu terlambat delapan bulan, waktu yang ditunjukkan adalah Agustus tahun lalu, tepat saat aku memulai kelas dua SMA. Bulan-bulan sebelum aku bertemu Patch. Ini sebuah kekeliruan, kataku dalam hati. Siapa pun yang bertugas merobek lembaran bulan lama dari kalender, pasti telah melakukan kesalahan. Tapi pada saat yang sama, muncul selintas pikiran bahwa
bisa jadi kalender itu menunjukkan waktu yang benar. Dan akulah yang salah.
A ku menyeret kursi dari meja sebelah dan meletakkannya di samping Patch. Dia memegang lima sekop, sembilan sekop, as hati& ucapanku terputus begitu aku sadar kalau tak ada seorang pun yang memperhatikan aku. Bukan, bukan begitu. Tak ada seorang pun yang bisa melihatku.
Langkah kaki menapaki tangga di seberang, dan kasir yang mengancam akan mengusirku saat pertama aku ke tempat permainan ini, muncul di dasar tangga.
Seseorang di atas ingin berbicara denganmu, katanya kepada Patch.
Patch mengangkat alis, mengisyaratkan pertanyaan yang tak diucapkan.
Dia tak mau menyebut nama, kasir itu seolah memohon maklum. Sudah kutanyakan berulang kali. Kukatakan kepadanya kalau kau sedang dalam permainan tertutup, tapi dia tak mau pergi. Aku bisa mengusir perempuan itu kalau kau mau.
Tidak. Biarkan dia turun.
Patch membalikkan tangan, mengumpulkan koinnya, dan mendorong kursi. Aku berhenti. Dia berjalan ke meja biliar terdekat dengan tangga, duduk di sana, dan menyelipkan tangannya ke dalam saku.
Aku mengikutinya ke seberang ruangan. Kujentikkan jari di depan wajahnya. Kutendang botnya. Kupukulpukul dadanya. Dia tidak berkelit, tak bergerak sama sekali.
Langkah ringan terdengar di tangga, semakin dekat. Dan begitu Miss Greene keluar dari tiang tangga yang gelap, aku merasa kebingungan. Rambut pirangnya menjuntai ke pinggang, lurus bak tusuk gigi. Dia mengenakan jins ketat dan tank top warna merah muda. Kakinya tak beralas. Dengan busana seperti itu, dia tampak tak terpaut jauh dari usiaku. Miss Greene sedang mengisap lollipop.
Wajah Patch selalu berkabut, dan kapan pun juga aku tak pernah bisa membaca pikirannya. Tetapi begitu matanya tertuju kepada Miss Greene, aku tahu kalau dia kaget. Namun dia cepat-cepat mengatasi kekagetannya. Seluruh emosinya terkendali ketika sorot matanya menjadi waspada dan hati-hati. Dabria"
Jantungku berdegup lebih kencang. Aku berusaha memeras otak, tetapi yang bisa kupikirkan adalah, kalau aku tertinggal delapan bulan, bagaimana Miss Greene dan Patch saling mengenal" Dia belum bertugas di sekolah. Dan kenapa Patch memanggilnya dengan nama depannya"
Bagaimana kabarmu" Miss Greene Dabria bertanya sambil tersenyum manja, melempar lollipopnya ke keranjang sampah.
Kenapa kau ke sini" mata Patch bertambah waspada, seolah dia tidak merasa apa yang kau lihat itulah yang kau dapatkan berlaku pada Dabria.
Aku kabur. Senyumnya terangkat ke satu sisi. Aku harus bertemu denganmu lagi. Sudah lama aku berusaha, tapi penjagaan well, kau pasti tahu. Tidak bisa dibilang longgar. Jenismu dan jenisku kita tidak seharusnya bercampur. Tapi kau sudah tahu itu. Datang ke sini bukan ide bagus.
Aku tahu ini sudah lama, tapi aku berharap mendapat reaksi yang sedikit lebih ramah, katanya, dengan bibir cemberut.
Patch tidak menjawab. Aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Dabria mengubah suaranya menjadi nada rendah dan seksi, sambil mendekati Patch. Urusannya tidak semakin mudah. Lucianna menyampaikan beberapa alasan kenapa aku absen. Aku mempertaruhkan masa depannya, juga masa depanku. Apakah kau setidaknya ingin mendengar kata-kata yang harus kusampaikan"
Katakan. Ucapan Patch tidak menyiratkan rasa percaya.
Aku belum menyerah untuk mendapatkan cintamu. Selama ini Dabria tidak meneruskan ucapannya. Matanya mengerjap, menahan air mata yang akan menitik. Ketika dia berbicara lagi, suaranya lebih tenang tapi masih bergetar. Aku tahu bagaimana kau bisa mendapatkan sayapmu kembali.
Dia tersenyum kepada Patch, tapi Patch tak membalas senyumannya.
Begitu kau memperoleh sayapmu kembali, kau bisa pulang, katanya dengan lebih yakin. Segalanya akan kembali seperti dulu. Tak ada yang berubah. Tidak sepenuhnya.
Apa imbalannya" Tak ada imbalan. Kau harus menyelamatkan satu nyawa manusia. Bersikap sangat bijaksana, merenungkan kejahatan yang membuatmu terbuang ke sini. Apa tingkatanku"
Seluruh keyakinan runtuh dari mata Dabria. Dan aku merasa Patch mengajukan pertanyaan yang ingin dihindarinya. Aku baru saja memberitahu bagaimana kau bisa mendapatkan sayapmu kembali, katanya sedikit menggurui. Rasanya aku pantas mendapatkan ucapan terima kasih
Jawab pertanyaanku. Tetapi senyum getir Patch mengisyaratkan kalau dia sudah tahu jawabannya. Atau
dia punya dugaan yang sangat bagus. Apa pun jawaban Dabria, dia pasti tak akan menyukainya.
Baiklah. Kau akan menjadi malaikat pelindung, oke"
Patch mendongakkan kepala dan tertawa pelan. Apa salahnya menjadi pelindung" cecar Dabria. Memangnya itu kurang baik"
Aku tahu yang lebih baik.
Dengarkan aku, Patch. Tak ada yang lebih baik. Kau membodohi dirimu sendiri. Malaikat terbuang mana pun akan melompat gembira kalau mendapat kesempatan untuk memperoleh sayapnya kembali dan menjadi pelindung. Kenapa kau tidak" Suaranya tercekat dengan rasa bingung, jengkel, dan tertolak.
Patch beranjak dari meja biliar. Senang bertemu denganmu lagi, Dabria. Selamat jalan.
Tanpa aba-aba, dia mencengkeram kemeja Patch, menariknya tubuhnya, dan mencium bibirnya. Sangat perlahan tubuh Patch beralih ke arahnya, kekakuanya mereda. Tangannya terangkat dan mencengkeram tangan Dabria.
Kerongkonganku tercekat. Aku berusaha mengabaikan tusukan rasa cemburu dan bingung di dadaku. Sebagian diriku ingin berpaling dan menangis, sebagian lagi ingin menghampirinya dan berteriak. Tapi itu tak akan ada gunanya. Aku tak terlihat. Jelaslah Miss Greene& Dabria& siapa pun dia& punya kenangan romantis dengan Patch. Apakah mereka masih bersama-sama sekarang di masa depan" Apakah dia melamar kerja di Coldwater High agar bisa lebih dekat dengan Patch" Itukah sebabnya kenapa dia begitu ngotot menakutnakuti aku agar menjauhi Patch"
Aku harus pergi, kata Dabria, membebaskan diri. Aku sudah terlalu lama. Aku berjanji pada Lucianna untuk pergi sebentar saja. Dia menyorongkan kepalanya ke dada Patch. Aku merindukanmu, bisiknya. Selamatkahlah satu nyawa manusia, dan kau akan mendapatkan sayapmu lagi. Kembalilah kepadaku, dia memohon. Pulanglah. Dabria menjauhkan diri dengan tiba-tiba. Aku harus pergi. Tak ada yang boleh melihatku turun ke sini. Aku sayang padamu.
Begitu dia membalikkan badan, ekspresi keresahan menghilang dari wajahnya. Berganti dengan raut keyakinan. Serupa dengan wajah seseorang yang curang dalam permainan kartu.
Tanpa aba-aba, Patch menarik pergelangan tangan Dabria.
Sekarang katakan kepadaku, apa sebenarnya tujuanmu ke sini, katanya.
Aku bergidik mendengar nada bicara Patch yang kejam. Bagi orang luar dia tampak sangat tenang. Tetapi siapa pun yang sudah mengenal dirinya beberapa lama,
kesan itu sangat nyata. Patch menatap Dabria dengan ekspresi yang menunjukkan bahwa gadis itu telah melampaui batas dan demi kepentingannya sendiri dia harus mundur sekarang.
Patch mengarahkan Dabria ke bar. Dia menyuruh Dabria duduk di bangku bar lalu dia sendiri duduk di bangku sebelahnya. Aku duduk di samping Patch, mencondongkan badan agar bisa mendengar ucapannya di tengah musik yang ingar bingar.
Apa maksud mu" gera m Dabria. Sudah kubilang
Kau bohong. Bibir Dabria tak lagi tersenyum. Aku tak percaya kau menyangka
Katakan yang sebenarnya, sekarang, kata Patch. Dabria terlihat ragu-ragu sebelum menjawab. Dia menatap Patch dengan tajam lalu berkata, Baiklah. Aku tahu rencanamu.
Patch tertawa. Tawa yang menyiratkan ucapan, Aku punya banyak rencana. Yang mana yang kau maksud"
Aku tahu kau sudah mendengar gosip tentang Kitab Henokh. Aku juga tahu kau berpikir bisa melakukan hal yang sama. Tapi kau tidak bisa.
Patch melipat tangannya di atas meja bar. Mereka mengirimmu ke sini untuk membujukku agar memilih
jalan yang lain, ya kan" Senyuman tampak di matanya. Kalau aku adalah ancaman, gosip itu pasti benar. Tidak. Itu cuma gosip.
Kalau itu pernah terjadi, hal yang sama bisa terjadi lagi.
Hal itu tidak pernah terjadi. Apakah kau mau repot-repot membaca Kit ab H en okh sebelum kau dibuang" Dabria menantang. Apa kau paham artinya, kata demi kata"
Mungkin kau bisa meminjamkan buku itu untukku.
Isinya bidah! Terlara ng membacanya, teriak Dabria. Ketika kau dibuang, kau mengkhianati semua malaikat.
Berapa banyak di antara mereka yang tahu apa yang kucari" tanya Patch. Seberapa besar ancaman yang kutimbulkan"
Dabria menggeleng-gelengkan kepala. Aku tak bisa mengatakannya. Aku sudah berbicara lebih dari yang seharusnya.
Apakah mereka berusaha menghentikanku" Malaikat pembalas akan melakukannya. Patch memandang Dabria penuh arti. Kecuali mereka pikir kau telah berhasil membujukku.
Jangan melihatku seperti itu, kata Dabria seolah dia telah mengerahkan seluruh keberaniannya
untuk bersikap tegas. Aku tak mau berbohong untuk melindungimu. Yang ingin kau lakukan itu keliru. Tidak wajar.
Dabria. Patch menyebut namanya dengan nada mengancam secara halus. Dia bisa saja menarik tangan Dabria lalu memitingnya ke belakang.
Aku t ak bisa menolongmu, katanya dengan keyakinan tersamar. Tidak seperti itu. Buang keinginan itu. Jadilah malaikat pelindung. Fokuskan pikiranmu pada hal itu dan lupakan Kitab H enokh.
Patch mengangkat sikunya di atas meja bar, berpikir keras. Tak lama kemudian dia berkata, Katakan kepada mereka bahwa kita sudah berbicara, dan aku menaruh minat untuk menjadi malaikat pelindung. Minat" tanya Dabria, sangsi.
Minat, kata Patch mengulangi. Sampaikan bahwa aku meminta nama. Jika aku harus menyelamatkan nyawa, aku harus tahu nama siapa yang berada di puncak daftar orang yang akan mati. Aku tahu, sebagai malaikat kematian, kau punya akses ke informasi itu.
Informasi itu suci dan tertutup, dan tak bisa diperkirakan. Kejadian di dunia ini silih berganti dari waktu ke waktu, tergantung pilihan yang diambil manusia
Satu nama, Dabria. Janji kau akan melupakan Kit a b H en o k h" Bersumpahlah.
Kau percaya sumpahku" Tidak, katanya, Tidak akan.
Patch tertawa santai dan, sambil mengambil tusuk gigi dari dispenser, dia berjalan ke tangga.
Patch, tunggu , ucap Dabria. Dia melompat dari bangku bar. Patch, kumohon tunggu!
Patch menoleh. Nora Grey, katanya, lalu langsung membekap mulutnya sendiri.
Patch tampak sedikit kaget. Keningnya berkerut tanda perasaan tak percaya bercampur kesal. Ini tak masuk akal, karena kalau kalender di dinding itu benar, berarti kami belum pernah bertemu. Dia belum tahu namaku. Bagaimana dia akan mati" tanya Patch. Seseorang ingin membunuhnya.
Siapa" Aku tak tahu, kata Dabria, menutup telinga dan mengguncang-guncangkan kepala. Terlalu banyak keributan dan kegaduhan di sini. Semua gambaran bercampur aduk, berdatangan kelewat cepat. Aku tak bisa melihat dengan jelas. Aku harus pulang. Aku butuh kedamaian dan ketenangan.
Patch menyelipkan sejumput rambut Dabria ke belakang telinganya dan memandang gadis itu dengan
ekspresi membujuk. Dabria menggeliat karena sentuhan itu, kemudian mengangguk dan memejamkan mata. Aku tak bisa melihat& aku tak melihat apa-apa& siasia saja.
Siapa yang ingin membunuh Nora Grey" desak Patch.
Tunggu, aku melihat gadis itu, kata Dabria. Nada suaranya menjadi resah. Ada bayangan di belakangnya. Lelaki itu. Dia membuntutinya. Kenapa dia tak melihat laki-laki itu" Kenapa dia tak melihatnya berlari" Aku tak bisa melihat wajah lelaki itu, gelap&
Dabria membuka mata. Dia menghela napas pendek dengan cepat.
Siapa" tanya Patch.
Dabria menutup mulut dengan kepalan tangannya. Tubuhnya gemetar saat matanya bertemu dengan mata Patch.
Kau, bisiknya. Jariku terangkat dari luka Patch dan hubungan itu terputus. Butuh waktu sejenak untuk memfokuskan pikiran. Aku tak siap kalau dia adalah Patch, yang langsung menjerembabkan aku ke ranjang. Dia mengunci pergelangan tanganku ke atas kepalaku.
Kau seharusnya tidak melakukannya. Ada kemarahan terpendam di wajahnya, hitam dan mendidih. Apa yang kau lihat"
Aku mengangkat lutut dan membenturkannya ke tulang iga Patch. Lepaskan aku!
Dia menekan pinggulku, menguncinya, sehingga kakiku tak bisa digerakkan. Dengan tangan masih terentang ke atas, aku tak bisa melakukan apa-apa selain menggeliat di bawah tubuhnya.
Lepaskan aku atau aku akan berteriak! Kau sudah berteriak. Dan tak ada yang peduli. Tempat ini lebih seperti rumah pelacur daripada motel. Dia tersenyum sinis penuh kekejaman. Kesempatan terakhir, Nora. Apa yang kau lihat"
Aku berusaha menahan air mata. Seluruh tubuhku bergetar karena emosi yang sedemikian asing hingga aku bahkan tak bisa menyebutnya. Kau membuatku muak! kataku. Siapa kau" Siapa sebenarnya kau"


Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mulut Patch tambah menyeringai. Kita semakin dekat.
Kau ingin membunuhku! Wajah Patch tak menunjukkan ekspresi apa pun, tapi sorot matanya bertambah dingin.
Jipmu tidak benar-benar mati malam itu, kan" kataku. Kau berbohong. Kau membawaku ke sini agar bisa membunuhku. Itulah yang ingin kau lakukan
menurut Dabria. Well, tunggu apa lagi" Aku tak tahu sama sekali ke mana persoalan ini berujung, dan aku tak peduli. Aku memuntahkan kata-kata untuk menutupi ketakutanku. Selama ini kau berusaha membunuhku. Sedari awal. Apakah kau akan membunuhku sekarang" Aku menatapnya, tajam dan tak berkedip, berusaha mencegah air mataku menetes saat aku teringat hari bersejarah ketika Patch masuk ke dalam kehidupanku. Ide itu cukup menggoda.
Aku berkelit di bawah tubuhnya. Aku berusaha berguling ke kanan, kemudian ke kiri. Akhirnya aku sadar bahwa aku hanya membuang-buang energi dan berhenti berusaha. Patch memandang lurus ke arahku. Matanya lebih hitam ketimbang yang pernah kulihat. Berani taruhan kau menyukai ini, kataku. Taruhan yang cerdas.
Aku merasa jantungku melorot ke kaki. Lakukan saja, kataku dengan suara menantang.
Membunuhmu" Aku mengangguk. Tapi sebelumnya aku ingin tahu alasanmu. Di antara miliaran orang di dunia ini, kenapa aku"
Karena gen yang buruk. Itu saja" Cuma itu penjelasan yang bisa kau berikan"
Untuk sekarang ini. Apa maksudmu" Suaraku meninggi lagi. Aku akan mendengar cerita lengkapnya setelah kau memukul dan membunuhku"
Tak mesti memukul untuk membunuhmu. Kalau aku ingin kau mati lima menit lalu, kau pasti sudah mati lima menit lalu.
Aku menelan pikiran yang agak melegakan. Dia menyapu tanda lahirku dengan ibu jarinya. Sentuhannya mengandung kelembutan palsu, membuatnya semakin menyakitkan.
Bagaimana dengan Dabria" tanyaku, masih sulit bernapas. Dia sama denganmu, kan" Kalian berdua malaikat. Suaraku tercekat saat mengucapkannya.
Patch sedikit melonggarkan tekanannya pada pinggulku. Tapi tangannya masih menekan pergelangan tanganku. Kalau aku lepaskan, apakah kau akan mendengarkan aku"
Kalau dia lepaskan, aku akan berlari ke pintu. Apa pedulimu kalau aku lari" Kau tinggal menyeretku kembali ke sini.
Yeah, tapi itu akan menjadi tontonan. Apakah Dabria pacarmu" Aku bisa merasakan tiap beban terangkat dan jatuh dari dadaku. Aku tak pasti apakah aku ingin mendengar jawabannya atau tidak. Bukannya itu sesuatu yang penting. Sekarang aku
tahu bahwa Patch ingin membunuhku, konyol sekali kalau aku masih peduli.
Dulu. Dulu sekali, sebelum aku jatuh ke lembah hitam. Patch tersenyum getir, berusaha bergurau. Itu juga sebuah kesalahan. Dia bangkit, perlahan melepasku, menguji apakah aku melawan atau tidak. Aku terbaring di ranjang, tersengal-sengal, berusaha bangkit dengan bantuan sikuku. Setelah menghitung sampai tiga, aku menubruknya sekuat mungkin.
Aku meninju dadanya. Tapi dia cuma bergoyang sedikit, tak bergeser sama sekali. Aku berontak di bawah tubuhnya dan mengayunkan kepalan tanganku. Kupukul-pukul dadanya sampai bagian bawah kepalan tanganku memerah.
Sudah" dia bertanya.
Tidak! aku menyikut pahanya dengan siku. Ada apa denganmu" Kau tidak merasakan apa-apa"
Aku berusaha berdiri, mencari keseimbangan di atas ranjang, dan menendang perutnya sekuat mungkin.
Waktumu tinggal satu menit lagi, katanya. Keluarkan kemarahanmu. Lalu aku akan mengambil alih.
Aku tak tahu apa yang dia maksud dengan mengambil alih , dan aku tak mau bertanya. Aku melompat dari tempat tidur, menuju pintu. Patch menangkapku
dan mendorongku ke dinding. Kakinya menempel ke kakiku, berhadap-hadapan, sampai ke paha.
Aku ingin tahu yang sebenarnya, kataku, berjuang menahan tangis. Apakah kau datang ke sekolah untuk membunuhku" Itukah rencanamu sedari awal" Otot di rahang Patch menegang. Ya.
Aku menghapus air mata yang berani-beraninya menetes. Apakah kau tertawa di dalam hati" Itukah yang kau inginkan" Membuatku percaya kepadamu agar kau bisa mempermalukan aku! Aku tahu kemarahanku tidak rasional. Seharusnya aku ketakutan dan cemas. Seharusnya aku melakukan apa pun untuk melarikan diri. Dan yang paling tidak rasional di antara segalanya adalah bahwa aku masih tak mau percaya kalau Patch berniat membunuhku. Tapi betapapun kerasnya usahaku, aku tak bisa menghapus sepenggal kepercayaan yang tidak logis itu.
Aku mengerti kau marah , kata Patch. Aku hancur! teriakku.
Tangannya terangkat ke leherku, memancarkan kehangatan. Dia menekankan ibu jarinya dengan lembut ke tenggorokanku, mendorong kepalaku. Aku merasakan bibirnya menekan bibirku begitu keras hingga nama apa pun yang ingin kusebut tak bisa keluar. Tangannya turun ke bahuku, membelai tanganku, dan bersandar di punggungku. Sepercik rasa panik dan kenikmatan
menjalar dalam tubuhku. Dia berusaha menarikku ke tubuhnya, dan aku gigit bibirnya.
Dia menjilat bibirnya dengan ujung lidahnya. Apakah kau menggigitku"
Apakah semuanya lelucon bagimu" tanyaku. Dia menjilat bibirnya dengan lidahnya lagi. Tidak semuanya.
Misalnya apa" Kau.
Keseluruhan malam itu terasa ganjil. Sulit sekali menarik kesimpulan dengan seseorang yang acuh tak acuh seperti Patch. Bukan, bukan acuh tak acuh. Tapi sangat terkendali. Hingga ke sel terakhir dalam tubuhnya.
Aku mendengar suara dalam kepalaku. Santai saja. Percaya padaku.
Ya, Tuhan, kataku seolah baru tersadar. Kau melakukannya lagi, kan" Mengacaukan pikiranku. Aku teringat artikel yang kuunduh ketika aku meng- Google malaikat terbuang. Kau tak hanya bisa memasukkan kata-kata ke dalam kepalaku, ya kan" Kau bisa memasukkan gambaran gambaran yang sangat nyata.
Patch tidak menyangkal. Archangel, kataku, akhirnya paham. Kau berusaha membunuhku malam itu, kan" Tetapi ada sesuatu
yang tidak beres. Kemudian kau membuatku berpikir kalau ponselku mati, jadi aku tak bisa menelepon Vee. Apakah kau berencana membunuhku dalam perjalanan pulang" Aku ingin tahu bagaimana kau membuatku tahu apa yang kau inginkan!
Wajahnya tetap tanpa emosi. Aku memasukkan kata-kata dan gambaran ke dalam kepalamu. Tapi apakah kau memercayainya atau tidak, tergantung dirimu sendiri. Ini sebuah misteri. Gambaran tumpang tindih dengan realitas. Dan kau harus menentukan mana yang realitas, mana yang bukan.
Apakah ini kekuatan khusus seorang malaikat" Patch menggelengkan kepala. Hanya malaikat terbuang. Malaikat lainnya tak menyusup ke dalam privasimu, meskipun mereka bisa.
Karena malaikat yang lainnya baik. Dan Patch tidak.
Patch menempelkan tangannya ke dinding di belakangku, masing-masing di samping kepalaku. Aku yang memasukkan pikiran ke dalam benak Pelatih untuk mengubah posisi tempat duduk karena aku harus dekat denganmu. Aku membuatmu berpikir kalau kau terjatuh dari Archangel karena aku ingin membunuhmu. Tapi aku tak bisa melanjutkannya. Hampir saja, tapi aku berhenti. Aku malah mencemaskanmu. Lalu aku membuatmu berpikir kalau ponselmu mati karena
aku ingin mengantarmu pulang. Ketika aku masuk ke dalam rumahmu, aku mengangkat pisau. Aku ingin membunuhmu saat itu. Suaranya melembut. Kau mengubah pikiranku.
Aku menghela napas panjang. Aku tidak mengerti dirimu. Ketika kukatakan kalau ayahku dibunuh, kau tampak benar-benar menyesal. Ketika kau bertemu dengan ibuku, kau bersikap manis.
Manis, kata Patch mengulang. Itu rahasia antara kita berdua.
Kepalaku berputar lebih cepat, dan aku bisa merasakan denyutan di pelipisku. Aku pernah mengalami kepanikan yang luar biasa seperti ini. Aku butuh zat besi. Entah benar begitu, atau Patch yang membuatku berpikir bahwa aku membutuhkannya.
Aku mengangkat dagu dan menyipitkan mata. Keluar dari kepalaku. Sekarang!
Aku tidak berada dalam pikiranmu, Nora. Aku membungkuk, menekankan tangan ke lutut, mengirup udara. Kau bohong. Aku merasakan dirimu. Jadi, ini yang kaulakukan" Membuatku tercekik"
Bunyi pelan botol dibuka bergema dalam teingaku, dan kabut hitam menutupi pandanganku. Aku berusaha mengisi paru-paru, tetapi sepertinya tak ada udara. Dunia menjadi miring, dan Patch bergeser ke samping dalam pandanganku. Aku menempelkan tangan ke
dinding untuk menyeimbangkan badan. Semakin aku berusaha mengirup udara, semakin kerongkonganku tercekik.
Patch mendekatiku, tapi aku mengusirnya dengan tanganku. Pergi!
Dia menyandarkan sebelah bahunya ke dinding dan menghadapku. Mulutnya menunjukkan bahwa dia merasa cemas.
Pergi dari ku. Aku tersengal. Tapi Patch tidak bergeser.
Aku tak bisa bernapas! aku tersedak, sebelah tanganku menekan dinding, sebelahnya lagi mencengkeram kerongkonganku.
Mendadak Patch memelukku dan menggendongku ke kursi di seberang ruangan. Letakkan kepalamu di antara lutut, katanya menundukkan kepalaku.
Aku mendunduk, tersengal-sengal, berusaha memasukkan udara ke dalam paru-paru. Perlahan-lahan aku merasakan oksigen mengalir kembali dalam tubuhku. Lebih baik" tanya Patch setelah semenit. Aku mengangguk, sekali.
Kau membawa pil zat besi" Aku menggelengkan kepala.
Menunduk terus dan tarik napas panjang. Aku mengikuti instruksinya. Simpul di dadaku terasa melonggar. Terima kasih, kataku pelan.
Masih tak percaya motifku"
Kalau kau ingin aku percaya kepadamu, biarkan aku menyentuh lukamu lagi.
Patch mengamatiku sejenak tanpa bicara. Itu bukan ide bagus.
Kenapa" Aku tak bisa mengendalikan apa yang kau lihat. Itu maksudku.
Dia terdiam beberapa detik sebelum menjawab. Suaranya pelan, emosinya tak terbaca. Kau tahu aku menyembunyikan beberapa hal. Ada keraguan di sana.
Aku tahu, Patch menjalani kehidupan dengan jendelajendela tertutup dan menyimpan rahasia. Aku tak cukup angkuh untuk berpikir bahwa separuhnya melibatkan aku. Patch menjalani kehidupan di dunia berbeda dengan dunia yang dijalaninya bersamaku. Lebih dari satu kali aku berspekulasi, seperti apa kehidupannya yang lain. Tapi kurasa semakin sedikit yang kutahu, maka akan semakin baik.
Bibi rku gemet a r. B eri a ku a lasa n u nt u k memercayaimu.
Patch duduk di sudut tempat tidur. Ranjang itu melesak karena beban tubuhnya. Dia membungkukkan badan, menyandarkan lengan di lutut. Luka di punggungnya terpampang jelas. Kedap-kedip lilin menciptakan
bayangan yang aneh di sekeliling permukaan kulitnya. Otot-otot di punggungnya menegang, kemudian rileks. Lakukanlah, katanya pelan. Tetapi ingat, orang berubah tapi masa lalu tidak.
Mendadak aku ragu apakah ingin melakukannya atau tidak. Patch membuatku takut dalam segala hal. Tapi di lubuk hati, aku tak berpikir kalau dia ingin membunuhku. Jika itu yang dia inginkan, tentu dia sudah melakukannya. Aku melirik ke luka yang menakutkan itu. Percaya kepada Patch sepertinya jauh lebih nyaman daripada masuk ke dalam masa lalunya lagi tanpa gambaran apa yang akan kutemukan.
Tapi kalau aku mundur, Patch akan tahu kalau aku takut kepadanya. Dia telah membuka satu pintu hanya untukku dan hanya karena aku meminta. Aku tak boleh mengajukan permintaan berat, lalu berubah pikiran.
Tapi aku tak akan terjebak di sana selamanya, kan" tanyaku.
Patch tertawa pendek. Tidak.
Sembari mengerahkan seluruh keberanian, aku duduk di sampingnya. Untuk kedua kalinya malam ini, jariku menyentuh goresan lukanya. Kabut kelabu menutupi pandanganku, berdatangan dari segala sudut. Cahaya padam.
kU TerlenTang Dengan kaMisol yang terasa lengket karena kelembapan. Ujung-ujung rumput menusuk kulit tanganku yang telanjang. Rembulan di atas tak lebih dari lengkungan tipis seperti sudut bibir yang terangkat ke satu sisi. Selain gemuruh badai di kejauhan, tak terdengar suara sama sekali.
Aku mengerjap beberapa kali berturut-turut, membantu mataku agar cepat beradaptasi dengan keremangan cahaya. Begitu aku menggulingkan kepala, sebuah tumpukan simetris ranting bengkok yang muncul dari rerumputan menyata dalam pandanganku. Dengan sangat perlahan, aku bangkit. Aku tak bisa mengalihkan
mataku dari dua bulatan hitam yang menatapku tepat dari atas ranting-ranting bengkok itu. Pikiranku memproses gambar yang tidak asing itu. Kemudian, sepintas kesadaran muncul. Ternyata aku berbaring di sebelah kerangka manusia.
Aku merangkak mundur sampai menyentuh pagar besi. Sambil berusaha keluar dari kebingungan, aku menggali ingatan terakhir. Aku menyentuh luka Patch. Di mana pun aku, pasti ini adalah suatu tempat di dalam memori Patch.
Suara seorang laki-laki yang sepertinya tak asing, melayang dalam kegelapan, mengalunkan nada rendah. Aku menoleh dan melihat labirin batu nisan terbentang seperti kartu domino di tengah kabut. Patch berjongkok di salah satu batu nisan. Dia hanya mengenakan Levi s dan T-shirt biru laut meskipun cuaca malam itu dingin.
Menikmati rembulan dengan mayat" sapa sebuah suara yang familier. Suara itu berat, tebal, dan beraksen Irlandia. Rixon. Dia berselonjor di depan batu nisan seberang Patch, mengamatinya. Rixon mengusap bibir bawahnya dengan ibu jari. Biar kutebak. Kau berniat menguasai tubuh orang mati" Aku tak tahu, katanya, menundukkan kepala. Belatung menari-nari di lubang matamu& dan lubang yang lain mungkin diisi makhluk yang lebih menjijikkan lagi.
Itulah sebabnya aku masih berteman denganmu, Rixon. Kau selalu melihat segala sesuatu dari sisi positifnya.
Cheshvan dimulai malam ini, kata Rixon. Buat apa kau melamun di kuburan"
Merenung. Merenung" Proses pemanfaatan otak untuk menghasilkan keputusan rasional.
Rixon tampak kecewa. Aku mulai khawatir kepadamu. Ayolah. Waktunya kita pergi. Chauncey Langeais dan Barnabas sudah menunggu. Bulan akan berubah pada tengah malam. Jujur saja, aku sedang mengincar seorang cewek. Dia berdecak. Aku tahu kau suka yang berambut merah, tapi aku suka yang pirang. Dan begitu aku masuk ke tubuh seseorang, aku berniat menyelesaikan urusan yang belum selesai dengan si pirang yang bermain mata denganku sebelumnya.
Ketika Patch tak bereaksi, Rixon berkata, Kau tuli, ya" Kita harus pergi. Sumpah kesetiaan Chauncey. Tidak paham juga" Bagaimana kalau begini. Kau malaikat terbuang. Kau tidak bisa merasakan apa-apa. Kecuali malam ini, titik. Dua minggu ke depan adalah hadiah dari Chauncey untukmu. Dia memberikannya dengan berat hati, kalau boleh kutambahkan, katanya dengan senyum persekongkolan.
Patch menerawang cukup lama ke Rixon. Apa yang kau ketahui tentang Kitab H enokh"
Sama seperti malaikat terbuang lainnya, nol. Aku diberitahu ada sebuah cerita dalam Kitab H enokh. Tentang malaikat terbuang yang menjadi manusia.
Rixon menyambutnya dengan tawa. Kau belum gila, kan, sobat"
Dia menyatukan tepi telapak tangannya, seolah sedang memegang buku yang terbuka. Kitab H enokh adalah dongeng sebelum tidur. Dan dongeng yang bagus pasti sesuai dengan fungsinya. Membuatmu langsung melayang ke dunia mimpi.
Aku ingin tubuh manusia. Kau harus berbahagia dengan dua minggu dan tubuh Nephil. Separuh manusia lebih baik daripada tidak sama sekali. Chauncey tak bisa membatalkan apa yang telah dia lakukan. Dia telah bersumpah, dan dia harus memenuhinya. Sama seperti tahun lalu. Dan tahun sebelumnya
Dua tahun tidak cukup. Aku ingin menjadi manusia. Selamanya. Patch menatap tajam Rixon, mengancamnya kalau-kalau dia tertawa lagi.
Rixon menggosok rambutnya dengan tangan. Kitab H enokh hanya dongengan. Kita malaikat terbuang, bukan manusia. Kita tak pernah menjadi manusia, dan
tak akan. Titik. Sekarang berhenti melamun dan bantu aku mencari jalan ke Portland. Dia menengadah dan mengamati langit biru.
Patch melompat dari batu nisan. Aku akan menjadi manusia.
Tentu, sobat, tentu kau bisa.
Kitab H enokh mengatakan aku harus membunuh penghubung Nephilku. Aku harus membunuh Chauncey.
Tidak, kata Rixon dengan nada tidak sabaran. Kau harus menguasai dia. Kau mengambil tubuhnya dan menggunakannya sekehendakmu. Bukannya ingin mengecilkan hati, tapi kau tak bisa membunuh Chauncey. Nephilim tak bisa mati. Dan apa kau sudah memikirkannya benar-benar" Kalau kau bisa membunuhnya, kau tak bisa menguasainya.
Kalau aku membunuhnya, aku akan menjadi manusia dan tak perlu menguasainya.
Rixon menyipitkan sudut mata, seolah dia tahu bahwa yang dia hadapi adalah orang tuli. Dan bertengkar dengan orang itu hanya akan membuatnya sakit kepala.
Kalau kita bisa membunuh Nephilim, kita pasti sudah menemukan caranya. Maaf terpaksa kukatakan kepadamu, sobat, kalau aku tidak menggenggam tangan cewek pirang itu lebih lama lagi, otakku akan hangus. Dan beberapa bagian
Dua pilihan, kata Patch. Hah"
Menyelamatkan satu nyawa manusia dan menjadi malaikat pelindung, atau membunuh penghubung Nephilmu dan menjadi manusia. Pilih saja. Ini masih omong kosong Kitab H enokh" Dabria mengunjungiku.
Mata Rixon melebar, dan dia mendengus. Mantan pacarmu yang kelainan jiwa itu" Mau apa dia ke sini" Apa dia dibuang" Kehilangan sayap"
Dia ke sini untuk memberitahu kalau aku bisa mendapatkan sayapku kembali jika aku menyelamatkan satu nyawa manusia.
Mata Rixon bertambah lebar. Kalau kau percaya kepadanya, silakan saja. Tak ada salahnya menjadi pelindung. Menghabiskan waktu untuk mencegah manusia dari bahaya cukup& mengasyikkan juga. Tergantung siapa yang harus kau lindungi. Tapi kalau kau diminta memilih" tanya Patch. Waw, well, jawabanku tergantung pada satu hal yang sangat penting. Apa aku mabuk& atau kehilangan akal" Ketika Patch tidak tertawa, Rixon berkata dengan bijaksana. Tak ada pilihan. Begini alasannya. Aku tak percaya pada Kitab H enokh. Kalau aku jadi kau, aku memilih menjadi malaikat pelindung. Aku bahkan mempertimbangkan pilihan itu untuk diriku sendiri.
Sayangnya aku tak tahu manusia mana yang berada di ujung kematian.
Hening sejenak, lalu Patch sepertinya membuang pikirannya. Dia berkata, Berapa banyak uang yang bisa kita dapatkan sebelum tengah malam"
Main kartu atau tinju"
Kartu. Mata Rixon berbinar. Siapa ini" Cowok tampan" Ayo ke sini, biar aku beri sambutan yang pantas. Dia mengulurkan tangan ke leher Patch, memitingnya dengan siku. Tetapi Patch memberi pukulan ke pinggang dan menyeret Rixon ke rumput. Dan mereka saling melayangkan tinju.
Oke, oke! Rixon memohon, mengangkat tangan tanda menyerah. Cuma karena aku tak bisa merasakan bibir yang berdarah bukan berarti aku harus menghabiskan sisa malam dengan muka bonyok. Dia mengedipkan mata. Itu tak akan membuat cewek terkesan.
Memangnya mata lebam akan membuat cewek terkesan"
Rixon meraba matanya untuk membuktikan. Sialan! makinya sambil meninju Patch.
Aku menarik jariku dari luka Patch. Bulu kudukku meremang, dan jantungku berdegup kelewat kencang. Patch memandangku, sorot matanya tak yakin.
Aku terpaksa menerima kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengikuti otak logisku. Mungkin saat ini adalah salah satu waktu ketika aku harus melewati garis pembatas. Berhenti mengikuti aturan. Menerima kemustahilan.
Jadi kau jelas bukan manusia, kataku. Kau adalah malaikat terbuang. Makhluk yang tidak baik.
Ucapanku membuat Patch tersenyum. Kau pikir aku bukan cowok baik"
Kau menguasai tubuh& manusia lain. Dia mener i m a p er nyat aa n ku denga n sat u anggukan.
Apa kau ingin menguasai tubuhku"
Aku ingin melakukan banyak hal dengan tubuhmu, tapi itu bukan salah satunya.
Memangnya kenapa dengan tubuh yang kau miliki"
Tubuhku mirip kaca. Nyata, tapi memantulkan dunia di sekelilingku. Kau melihat dan mendengar aku. Dan aku melihat dan mendengarmu. Ketika kau menyentuhku, kau merasakannya. Aku tak mengalami hal yang sama denganmu. Aku tak bisa merasakanmu. Aku mengalami segalanya melalui lembaran kaca. Dan satu-satunya cara untuk menembus lembaran itu adalah dengan menguasai tubuh manusia.
Atau separuh manusia. Sudut bibir mulut Patch kaku. Ketika kau menyentuh lukaku, kau melihat Chauncey" terkanya.
Aku mendengar kau berbicara dengan Rixon. Dia berkata kau menguasai tubuh Chauncey selama dua minggu setiap tahun, selama Cheshvan. Dia bilang Chauncey juga bukan manusia. Dia Nephilim. Kata itu meluncur dari lidahku dalam sebuah bisikan.
Chauncey persilangan antara malaikat terbuang dan manusia. Dia abadi seperti malaikat, tapi memiliki semua indra manusia. Malaikat terbuang yang ingin merasakan sensasi manusia bisa melakukannya dalam tubuh seorang Nephil.
Kalau kau tidak bisa merasa, kenapa kau menciumku"
Patch menjalankan jarinya ke sepanjang tulang leherku, lalu mengarah ke selatan, berhenti di jantungku. Aku merasakan jantungku berdegup menembus kulit. Karena aku merasakannya di sini, di hatiku, katanya pelan. Aku tidak kehilangan kemampuan untuk merasakan emosi. Dia menatapku lekat-lekat. Maksudku begini, kami masih memiliki hubungan emosional.
Jangan panik, kataku dalam hati. Tapi napasku sudah menjadi lebih cepat, dan lebih pendek. Maksudmu, kau bisa merasa bahagia atau sedih atau
Bergairah. Patch tersenyum kecil.
Terus maju, kataku dalam hati. Jangan biarkan emosimu sendiri menjadi penghalang. Urusi emosimu belakangan, setelah kau mendapat jawaban. Kenapa kau dibuang"
Patch menatap mataku beberapa detik. Nafsu. Aku menelan ludah. Uang"
Rahang Patch mengencang. Dia hanya melakukannya ketika ingin menutupi apa yang tengah dia pikirkan, seolah penyalur pikiran selain mulutnya. Patch berusaha menahan senyuman. Dan nafsu terhadap yang lain. Kupikir kalau aku dibuang, aku akan menjadi manusia. Malaikat yang menggoda Hawa dilempar ke Bumi. Dan kabarnya mereka kehilangan sayap di sana dan menjadi manusia. Ketika mereka meninggalkan surga, diadakan upacara besar-besaran. Kami semua diundang. Tapi ada yang ditutupi. Aku tak tahu kalau sayap mereka dicabut, atau mereka dikutuk untuk menghuni bumi dengan rasa haus untuk menguasai tubuh manusia. Ketika itu tak ada yang pernah mendengar tentang malaikat terbuang. Jadi wajarlah kalau aku berpikir jika aku dibuang, aku akan kehilangan sayap dan menjadi manusia. Pada saat itu, aku tergila-gila kepada seorang perempuan, dan mempertaruhkan risiko tampaknya sepadan.
Dabria bilang kau bisa mendapatkan sayapmu kembali dengan menyelamatkan nyawa manusia. Dia
bilang kau akan menjadi malaikat pelindung. Kau tak mau itu" Aku bingung, kenapa dia berkeras menolaknya.
Pilihan itu bukan untukku. Aku ingin menjadi manusia. Keinginanku lebih besar dari apa pun.
Bagaimana dengan Dabria" Kalau kalian berdua tidak bersama-sama lagi, kenapa dia masih di sini" Kupikir dia malaikat biasa. Apakah dia ingin menjadi manusia juga"
Patch membisu. Seluruh otot di tangannya menegang. Dabria masih di Bumi"
Dia bekerja di sekolah. sebagai psikolog yang baru, Miss Greene. Aku bertemu dengannya beberapa kali. Perutku melilit. Setelah aku melihat memorimu, kupikir dia mengambil pekerjaan itu agar bisa lebih dekat denganmu.
Apa persisnya yang dia katakan saat kau bertemu dengannya"
Memintaku menjauhimu. Dia mengisyaratkan kalau kau punya masa lalu yang gelap dan berbahaya. Aku terdiam. Ada sesuatu yang tidak beres dalam hal ini, kan" tanyaku, merasakan bulu kuduk mulai meremang di sepanjang tulang punggungku.
Aku harus mengantarmu pulang. Setelah itu aku akan ke sekolah untuk memeriksa arsipnya, barangkali aku akan menemukan sesuatu yang bermanfaat. Aku
akan merasa lebih baik kalau tahu apa yang dia rencanakan. Patch merenggut seprai. Tutup tubuhmu dengan ini, katanya, menyodorkan buntalan seprai kering.
Pikiranku bekerja keras untuk memahami penggalan-penggalan informasi ini. Tiba-tiba mulutku menjadi kering dan lengket. Dia masih mencintaimu. Mungkin dia ingin menyingkirkan aku.
Mata kami bertemu. Terlintas dalam pikiranku, kata Patch.
Sebuah pikiran dingin dan mengganggu memukulmukul dalam kepalaku selama beberapa menit terakhir, berusaha mencari perhatian. Ia praktis berteriak sekarang, mengatakan kalau lelaki di balik topeng ski itu bisa saja Dabria. Selama ini aku pikir orang yang kutabrak dengan Neon adalah lelaki, sama seperti Vee yang berpikir kalau penyerangnya adalah lelaki. Kini aku tak melewatkan kemungkinan Dabria telah menipu kami berdua.
Setelah ke kamar mandi sebentar, Patch muncul dengan T-shirtnya yang masih basah. Aku akan mengambil jip, katanya. Aku akan menjemputmu di pintu belakang dua puluh menit lagi. Jangan keluar sampai aku datang.
eTelaH paTCH pergi, akU MengUnCi pinTU. Kuseret kursi dari seberang ruangan dan kuimpitkan ke bawah pegangan pintu. Aku memeriksa jendela, memastikan apakah sudah dikunci. Aku tak tahu apakah kunci berpengaruh bagi Dabria. Aku bahkan tak tahu apakah dia mengejarku atau tidak. Tapi kupikir lebih baik berjaga-jaga. Setelah memeriksa ruangan selama beberapa menit, aku mengangkat telepon di atas meja kecil. Masih tak ada nada. Ibu pasti marah besar kepadaku.
Aku menyelinap tanpa sepengetahuannya dan pergi ke Portland. Bagaimana aku akan menjelaskan kepadanya kalau aku menginap di motel bersama Patch " Sudah untung kalau dia tidak menghukumku sampai akhir tahun. Tidak. Untung kalau dia tidak berhenti kerja dan melamar menjadi guru pengganti sampai dia mendapat pekerjaan di dalam kota. Kami terpaksa harus menjual rumah pertanian. Dan aku akan kehilangan koneksi dengan ayah yang telah meninggalkan kami.
Sekitar lima belas menit kemudian aku mengintip melalui lubang di pintu. Gelap. Aku membuka kunci, dan begitu akan membukanya, cahaya mengedip di belakangku. Aku berbalik, menyangka akan melihat Dabria. Kamar ini tenang dan kosong, tapi listrik sudah hidup.
Pintu terbuka tanpa bunyi keras dan aku melangkah ke lorong. Karpet berwarna merah darah mengelupas di bagian tengah lorong, dan ada bercak-bercak hitam yang tidak diketahui sumbernya. Dinding dicat netral, tapi dilakukan dengan sembrono dan asal-asalan.
Di atasku, lampu neon hijau menunjukkan arah ke luar. Aku mengikuti panah ke arah bawah dan berbelok di sudut. Jip berderit ketika berhenti di sisi lain pintu belakang, dan aku bergegas menghampiri dan melompat ke tempat duduk penumpang.
Lampu-lampu belum dinyalakan ketika Patch memasukkan mobilnya ke rumah pertanianku. Rasa bersalah menekan perutku dan aku membayangkan
ibuku berjalan kesana-kemari, mencariku. Hujan sudah berhenti, dan kabut terusir ke samping, menggantung di semak belukar seperti hiasan Natal. Pepohonan yang menaungi jalan masuk selamanya bengkok dan menderita akibat senantiasa diterpa angin utara. Semua rumah tampak tak mengundang dengan lampu yang dipadamkan setelah malam. Tapi rumah pertanianku seolah berhantu, dengan celah-celah jendelanya yang kecil, atap yang membungkuk, serambi yang bak pintu masuk ke gua, dan semak liarnya.
Aku akan mengantarmu masuk, kata Patch, melompat keluar.
Kau pikir Dabria ada di dalam"
Dia menggelengkan kepala. Tapi tak ada salahnya memeriksa.
Aku menunggu di jip. Beberapa menit kemudian Patch keluar dari pintu depan. Aman, katanya. Aku akan ke sekolah dan kembali begitu aku selesai menggeledah kantornya. Mungkin dia meninggalkan sesuatu yang bermanfaat. Sepertinya dia sangat berharap.
Aku membuka sabuk pengaman dan memerintahkan kakiku untuk berjalan cepat. Saat menoleh seraya membuka pintu, aku mendengar Patch meninggalkan halaman rumah. Papan beranda berkeretak di bawah kakiku dan mendadak aku merasa sangat sendirian.
Golok Bulan Sabit 6 Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga Balada Padang Pasir 12

Cari Blog Ini