Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick Bagian 5
Tanpa menyalakan lampu, aku merayap di dalam rumah, kamar demi kamar. Dimulai dari lantai pertama, kemudian ke lantai atas. Patch sudah memeriksa, tapi kupikir tak ada salahnya memeriksa lagi. Setelah yakin tak ada yang bersembunyi di kolong perabotan, di balik tirai kamar mandi, atau di dalam lemari, aku mengenakan Levi s dan sweter hitam berleher V. Ponsel darurat ibuku kutemukan tersimpat di dalam kotak PPPK di bawah bak kamar mandi, dan aku menghubungi ponselnya.
Ibu mengangkat telepon pada dering pertama. Halo" Nora" Ini kau" Kau di mana" Aku sangat cemas.
Aku menghela napas panjang, berharap mulutku mengeluarkan kata-kata yang tepat dan membantuku menjelaskan persoalan.
Begini--, aku memulai dengan suara yang paling tulus dan penuh permohonan maaf. Tapi Ibu memotong kalimatku, Jalan Cascade ditutup. Aku harus memutar balik dan memesan kamar di Milliken Mills di situlah aku sekarang. Aku berusaha menelepon rumah, tapi sepertinya salurannya putus. Aku berusaha menghubungi ponselmu, tapi tidak diangkat.
Sebentar. Jadi selama ini Ibu di Milliken Mills" Memangnya kau pikir aku di mana"
Aku menghela napas lega tanpa bersuara dan menyandarkan diri ke sudut bak mandi. Aku tak
tahu, kataku. Lagi pula aku tak bisa menghubungi Ibu juga.
Kau menelepon dari nomor siapa" tanya Ibu. Aku tak mengenali nomor ini.
Ponsel darurat. Di mana ponselmu" Hilang.
Apa! Di mana" Aku sampai pada kesimpulan sulit bahwa berbohong dengan mengemukakan kesalahan adalah satu-satunya cara. Aku tak ingin membuatnya takut. Di samping itu, aku tak ingin dihukum untuk jangka waktu yang tak tentu. Sepertinya aku lupa menaruhnya di mana. Aku yakin ponsel itu akan muncul di suatu tempat. Di atas jasad perempuan pengangkut sampah itu.
Aku akan menelepon begitu jalan dibuka, katanya.
Berikutnya aku menelepon Vee. Setelah dering kelima, aku mengirim voice mail.
Kau di mana" tanyaku. Telepon balik ke nomor ini, ASAP.
Aku menutup telepon dan menyelipkannya ke dalam saku, berusaha meyakinkan diri bahwa Vee baik-baik saja. Tapi aku tahu itu bohong. Ada benang tak kasat mata yang menghubungkan kami. Dan benang itu sudah memberi peringatan kepadaku sejak beberapa jam lalu
bahwa Vee dalam bahaya. Seolah menguatkan, perasaan itu menjadi-jadi seiring berjalannya waktu.
Di dapur, aku melihat botol pil zat besiku di atas meja. Aku langsung mengambilnya, membuka tutupnya, dan menelan dua butir disusul segelas susu cokelat. Aku diam sejenak, membiarkan pil itu melarut dalam tubuhku, merasakan napasku semakin dalam dan pelan. Aku sedang berjalan untuk mengembalikan karton susu ke lemari es ketika aku melihatnya berdiri di ambang pintu antara dapur dan kamar cuci.
Sebercak zat yang dingin dan basah menggenang di kakiku. Aku sadar, aku menumpahkan susu. Dabria" kataku.
Dia menelengkan kepala, sepertinya sedikit kaget. Kau tahu namaku" Dia terdiam. Ah, Patch.
Aku mundur ke bak cuci, menambah jarak di antara kami. Dabria sama sekali tak kelihatan seperti saat dia di sekolah sebagai Miss Greene. Malam ini rambutnya diikat, tak terlalu rapi, dan bibirnya lebih cerah. Kesan lapar terpantul di sana. Matanya lebih tajam, dikelilingi sabut hitam.
Apa yang kau inginkan" tanyaku.
Dia tertawa. Suaranya seperti potongan es berkelenting di dalam gelas. Aku ingin Patch.
Dia tak ada di sini. Dabria mengangguk. Aku tahu. Aku menunggu di jalan sampai dia pergi, kemudian aku masuk. Tapi bukan itu maksudku ketika kubilang aku ingin Patch.
Darah berdenyut di kakiku, memutar balik ke jantungku dengan efek memusingkan. Aku menempelkan sebelah tangan ke meja untuk menopang tubuhku. Aku tahu kau memata-mataiku saat sesi konseling.
Cuma itu yang kau ketahui tentang diriku" dia bertanya. Matanya menelisik mataku.
Aku teringat malam ketika aku yakin ada seseorang mengintip di jendela kamar tidurku. Kau juga mematamatai aku di sini, kataku.
Ini kali pertama aku ke rumahmu. Dia menyeret jarinya ke sepanjang meja dapur dan duduk di atas bangku. Tempat yang bagus.
Biar aku segarkan ingatanmu, kataku, berharap suaraku terkesan berani. Kau mengintip di jendela kamarku saat aku tidur.
Sudut bibirnya terangkat tinggi. Tidak, tapi aku membuntutimu saat kau berbelanja. Aku menyerang temanmu dan memasukkan petunjuk kecil ke dalam pikirannya, membuatnya menyangka Patch-lah yang menyakitinya. Tidak terlalu salah. Patch bukannya tak berbahaya. Dan kepentingan utamaku adalah membuatmu setakut mungkin kepadanya. Agar aku menjauhinya.
Tapi kau tidak menjauhinya. Kau masih menghalangi kami.
Menghalangi dalam hal apa"
Ayolah, Nora. Kalau kau tahu siapa aku, tentu kau tahu maksudku. Aku ingin dia memperoleh sayapnya kembali. Dia bukan penghuni Bumi. Dia harus bersamaku. Patch melakukan kesalahan, dan aku akan meluruskannya. Tak ada tawar-menawar dalam suaranya. Dabria bangkit dari bangku dan memutari meja, ke arahku.
Aku bergeser sambil memunggungi pinggiran meja, menjaga jarak di antara kami. Memeras otak, aku berusaha mencari cara untuk mengalihkan perhatiannya. Atau melarikan diri. Tempat ini menjadi rumahku sejak enam belas tahun lalu. Aku kenal betul susunan ruangannya. Aku tahu setiap celah dan tempat persembunyian yang paling baik. Kuperintahkan otakku untuk menciptakan rencana yang brilian dan tepat waktu. Punggungku bertemu dengan tepi bufet.
Selama kau ada, Patch tak akan kembali kepadaku, kata Dabria.
Kurasa kau melebih-lebihkan perasaan Patch kepadaku. Sepertinya mengecilkan hubungan kami adalah ide yang bagus untuk saat ini. Menurutku sikap posesif Dabria menjadi kekuatan utama yang mendorong tindakannya.
Senyum tak percaya tampil di wajahnya. Kau pikir dia punya perasaan khusus kepadamu" Jadi selama ini kau pikir Dabria tidak melanjutkan kata-katanya, tertawa. Dia tidak mendekatimu karena cinta kepadamu. Dia ingin membunuhmu.
Aku menggelengkan kepala. Dia tak akan membunuhku.
Senyum Dabria menjadi kaku di sudut bibirnya. Begitukah menurutmu" Kau hanya salah satu gadis yang dia rayu untuk mendapatkan keinginannya. Dia punya bakat untuk urusan ini, tambah Dabria ketus. Lagi pula dia merayuku sebelum dirimu. Cuma satu sentuhan lembut dari Patch. Aku terhanyut oleh pesonanya dan mengatakan kematian mendekatimu.
Aku tahu yang dibicarakan Dabria. Aku menyaksikan momen itu saat masuk ke dalam memori Patch.
Dan sekarang dia melakukan hal yang sama kepadamu, katanya. Pengkhianatan memang menyakitkan, bukankah begitu"
Aku menggeleng pelan. Tidak
Dia berniat memanfaatkan dirimu untuk dijadikan tumbal! Dabria meledak. Lihat tanda itu" Dia menekan pergelangan tanganku dengan jarinya. Itu artinya kau keturunan Nephil. Dan bukan sekadar Nephil, tapi Chauncey Langeais, penghubung Patch.
Aku menatap tanda di tanganku, dan selama momen yang mendebarkan itu, aku percaya kepada Dabria. Tapi aku tak akan menyerah kepadanya.
Ada sebuah buku keramat, Kit a b H en ok h, katanya. Di dalamnya tertulis bahwa malaikat terbuang membunuh penghubung Nephilnya dengan mengorbankan seorang keturunan Nephil berjenis kelamin perempuan. Kau pikir Patch tak ingin membunuhmu" Apa yang paling dia inginkan" Begitu dia menjadikan dirimu tumbal, dia akan menjadi manusia. Itulah yang dia inginkan. Dan dia tak akan kembali bersamaku.
Dabria mencabut sebilah pisau besar dari rak kayu di atas meja. Dan itulah sebabnya aku harus menyingkirkan dirimu. Sepertinya firasatku ada benarnya. Ajal mendekati dirimu.
Patch akan datang kembali, kataku, dengan batin terasa perih. Apa kau tidak ingin membicarakan masalah ini dengannya"
Biar kujelaskan, katanya melanjutkan. Aku malaikat kematian. Akulah yang membawa roh ke dunia lain. Begitu selesai, aku akan membawa rohmu melewati tabir. Kau tak perlu takut.
Aku ingin menjerit, tapi suaraku tercekat di kerongkongan. Aku memutari bufet, menjadikan meja
dapur sebagai penghalang di antara kami. Kalau kau malaikat, kenapa kau tak bersayap"
Berhenti bertanya. Suaranya terdengar tidak sabaran, Dabria mengecilkan jarak di antara kami dengan penuh nafsu.
Sudah berapa lama kau meninggalkan surga" tanyaku, memancing. Kau sudah di sini selama beberapa bulan, kan" Apakah tidak terpikir olehmu bahwa malaikat lain akan menyadari ketidakhadiranmu"
Jangan melangkah lagi, bentaknya, mengangkat pisau yang berkilat-kilat terkena cahaya lampu.
Kau akan mendapat banyak masalah karena Patch, kataku, suaraku tidak bersih dari rasa panik seperti yang kuinginkan. Aku heran, kau tidak kesal kepadanya karena dia memanfaatkanmu seenaknya. Aku heran kau bahkan ingin dia mendapatkan sayapnya kembali. Apa kau tidak senang kalau dia dilempar ke sini, mengingat segala perbuatannya kepadamu"
Dia meninggalkan aku karena seorang perempuan yang tidak berharga! maki Dabria, matanya biru kelam.
Dia tidak meninggalkanmu. Tidak seperti itu. Dia dibuang
Dia dibuang karena ingin menjadi manusia, seperti perempuan itu! Dia sudah memiliki aku aku! Dabria tertawa sinis untuk menutupi kemarahan atau
kepedihannya. Pada mulanya aku sakit hati dan marah. Apa saja kulakukan agar dapat melupakan dia. Lalu, ketika para penghulu malaikat menyadari bahwa Patch benar-benar berusaha untuk menjadi manusia, mereka mengutusku ke sini untuk mengubah pikirannya. Aku bertekad tidak akan jatuh cinta lagi kepadanya, tapi apa dayaku"
Dabria& panggilku lembut.
Dia bahkan tak peduli perempuan itu tercipta dari tanah! Kau dan yang lainnya egois dan bodoh! Tubuhmu liar dan tidak taat. Semenit kau berada di puncak kegembiraan, menit berikutnya kau tenggelam dalam jurang kesedihan. Memuakkan. Tak ada malaikat yang menginginkannya! Dabria menyeka air mata di wajahnya dengan serabutan. Lihat aku! Tak bisa mengendalikan diriku sendiri! Sudah terlalu lama aku berada di sini, ternoda cacat manusia!
Aku berbelok dan berlari dari dapur, menarik kursi untuk menghalangi jalan Dabria. Aku berlari ke lantai bawah, sadar aku telah membuat diriku sendiri terjebak. Ada dua jalan keluar di rumah ini. Pintu depan, yang bisa dihampiri Dabria sebelum aku dengan memotong jalan melewati ruang tamu. Dan pintu belakang, dari ruang makan, yang telah dia kunci.
Tendangan keras membentur punggungku, aku tersungkur ke depan. Tubuhku meluncur di lantai dan
berhenti dengan posisi tengkurap. Aku berguling. Dabria melayang beberapa kaki di atasku di udara kulit dan rambutnya memancarkan sinar putih yang menyilaukan mata. Pisau itu diarahkan kepadaku.
Tanpa berpikir panjang, aku menendang tangan Dabria sekuat tenaga. Tubuhku melengkung ketika melakukannya, ditopang oleh kakiku yang lain. Pisau itu terlepas dari tangannya. Setelah kakiku ke posisi semula, Dabria meraih lampu di atas meja kecil, dan dengan satu jentikan jarinya, lampu itu melayang ke arahku. Aku berguling, merasakan pecahan kaca berserakan di bawahku begitu lampu membentur lantai.
Bergerak! perintah Dabria, dan bangku depan diluncurkan ke ambang pintu, menutup jalanku.
Terhuyung-huyung ke depan, aku melewati tangga, dua undakan sekaligus, menggunakan pegangan untuk mempercepat gerakanku. Aku mendengar tawa Dabria di belakangku. Dan sedetik kemudian pegangan itu lepas, terlempar ke lantai bawah. Aku berusaha menyeimbangkan diri agar tidak terjungkal di tepi tangga yang tak berpagar. Sambil menjaga keseimbangan, aku naik sampai ke anak tangga teratas. Setelah itu aku berlari ke kamar tidur ibuku dan membanting pintu Prancis.
Aku bergegas ke salah satu jendela di samping tungku perapian, dan menunduk ke tanah di bawah. Ada tiga kelompok semak belukar di bawah, seluruh daunnya
rontok sejak musim gugur. Aku tak yakin apakah aku akan selamat kalau melompat.
Buka! perintah Dabria dari luar pintu. Muncul retakan ketika daun pintu digedor dengan keras. Aku tak punya waktu.
Aku berlari ke perapian dan meringkuk di sana. Baru saja aku menarik kaki dan mengangkatnya ke dalam cerobong, pintu terayun dan membentur dinding. Aku mendengar langkah Dabria menuju jendela.
Nora! panggilnya dengan suara yang dingin dan halus. Aku tahu kau tidak jauh! Aku bisa merasakan dirimu. Kau tak bisa berlari dan bersembunyi. Aku akan membakar rumah ini, kalau perlu kamar-demi kamar, untuk menemukanmu! Lalu aku akan membakar kebun. Pokoknya aku tak akan meninggalkanmu hidup-hidup!
Pancaran sinar keemasan melesat di luar perapian, diiringi bunyi kobaran api, wuush. Bayangan api menarinari di celah bawah. Aku mendengar bunyi jentikan dan keresek api memakan bahan bakar sepertinya perabotan atau lantai kayu.
Aku meringkuk di dalam cerobong. Jantungku seolah akan melompat keluar. Keringat mengucur dari kulitku. Aku menarik napas beberapa kali, perlahanlahan, untuk meredakan rasa terbakar pada otot-otot kakiku yang berkontraksi keras. Patch bilang akan pergi ke sekolah. Berapa lama lagi dia akan kembali"
Tak tahu apakah Dabria masih di kamar ini atau tidak, tapi takut seandainya aku tidak keluar sekarang api akan mengurungku, aku menurunkan satu kaki ke lubang, lalu kaki lainnya. Aku keluar dari tungku. Dabria entah di mana, tapi kobaran api menjilat dinding, asapnya mengisap seluruh udara di kamar.
Aku bergegas melewati koridor, tak berani turun karena berpikir Dabria pasti menyangka aku melarikan diri melalui salah satu pintu. Aku masuk ke kamar tidurku dan membuka jendela. Pohon di luar cukup dekat dan kokoh untuk dipanjat. Mungkin aku bisa bersembunyi dari Dabria dalam kabut di belakang rumah. Tetangga terdekat kami jaraknya satu mil. Kalau berlari kencang, aku bisa sampai di sana dalam tujuh menit. Aku hampir mengayunkan kaki ke luar jendela ketika terdengar bunyi keretak di koridor.
Perlahan-lahan aku bersembunyi di dalam lemari, lalu menghubungi 911.
Ada seseorang di rumahku. Dia ingin membunuhku, bisikku kepada operator. Aku baru saja memberikan alamat rumahku ketika pintu kamar dibuka. Aku diam tak bergerak. Melalui celah di pintu lemari, aku memperhatikan sesosok remang memasuki kamar. Cahaya sangat minim, posisiku tidak menguntungkan, dan aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Sosok itu merenggangkan kerai jendela, mengintip.
Jarinya menyentuh tumpukan kaus kaki dan baju dalam di laciku yang terbuka. Dia mengangkat sisir perak di atas mejaku, mengamatinya, lalu mengembalikannya. Ketika sosok itu berbalik menuju lemari, aku tahu, aku dalam masalah.
Tanganku menyapu dasar lemari, mencari apa pun yang bisa kugunakan untuk mempertahankan diri. Tetapi siku tanganku menyenggol tumpukan kotak sepatu hingga berjatuhan. Aku menyumpah tanpa bersuara. Langkah kaki itu semakin dekat.
Pintu lemari dibuka, dan aku melempar satu sepatu. Aku meraih satu lagi dan melemparnya.
Patch memaki-maki dengan suara pelan, merampas sepatu ketiga dari tanganku, dan menyembunyikannya di belakang punggung. Dia menarikku dari lemari, memaksaku berdiri. Sebelum bisa menarik napas lega karena sosok di depanku bukan Dabria, Patch sudah menarikku ke dalam pelukannya.
Kau tak apa-apa" bisiknya di telingaku. Dabria ada di sini, kataku, air mataku menggenang. Kedua lututku gemetar, aku bisa berdiri hanya karena pelukan Patch. Dia membakar rumah ini.
Patch menaruh serangkaian kunci ke telapak tanganku dan mengepalkan jemariku. Jipku diparkir di jalan. Masuklah, kunci pintunya, bawa ke Delphic, dan tunggu aku di sana. Dia mengangkat daguku
hingga menghadap wajahnya. Patch mengulas ciuman ke bibirku dan ini menimbulkan kilatan hangat ke sekujur tubuhku.
Apa yang akan kau lakukan" tanyaku. Mengurus Dabria.
Bagaimana" Patch memandangku, matanya mengisyaratkan, Kau benar-benar ingin tahu rinciannya"
Bunyi sirene terdengar dari kejauhan. Patch menatap jendela. Kau menelepon polisi" Kupikir kau Dabria.
Patch sudah di ambang pintu. Aku akan mencari Dabria. Pergi ke Delphic dan tunggu aku. Bagaimana dengan kebakaran ini" Polisi akan mengatasinya.
Aku menggenggam kunci erat-erat. Bagian otakku yang bertugas mengambil keputusan tampaknya terpecah, beralih ke arah yang berlawanan. Aku ingin segera keluar dari rumah ini dan jauh dari Dabria, lalu bertemu dengan Patch. Tapi ada satu pikiran yang terus menggelayut dalam kepalaku. Dabria bilang, Patch harus menjadikanku tumbal agar dia bisa menjadi manusia.
Dabria tidak mengatakannya dengan enteng, atau untuk membuatku terpancing. Atau bahkan untuk membuatku memusuhi Patch. Kata-katanya dingin dan
serius. Cukup serius hingga dia berusaha menghabisi aku untuk mencegah Patch membunuhku lebih dulu.
Aku mendapati jip milik Patch diparkir di jalan, seperti yang dikatakannya. Kumasukkan kunci ke lubang st a r t er dan mobil ini meluncur melewati Hawthorne. Dengan pikiran menelepon Vee lagi tak akan ada gunanya, aku menelepon nomor rumahnya.
Halo Mrs. Sky, kataku menjaga suaraku senormal mungkin. Vee ada"
Hai, Nora! Dia pergi beberapa jam lalu. Ada pesta di Portland. Kupikir dia bersamamu.
Emm, kami terpisah, aku berbohong. Apakah dia bilang akan ke mana setelah pesta"
Dia berencana menonton film. Dia tidak mengangkat ponselnya ketika kuhubungi. Jadi kurasa dia mematikannya karena film sudah dimulai. Apakah ada yang tidak beres"
Aku tak ingin membuatnya takut, tapi pada saat yang sama aku juga tak ingin mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Tak ada satu pun yang terasa baik-baik saja bagiku. Kali terakhir aku mendengar kabar dari Vee, dia bersama Elliot. Dan sekarang dia tidak menjawab panggilan ponselnya.
Kurasa tidak, kataku. Aku akan pergi mencarinya. Aku akan memulai dari bioskop. Maukah kau mencari di tempat berjalan-jalan"
a aT i T U M i n g g U M a l a M s e b e lU M DiMUlainya liburan musim semi. Gedung bioskop dipadati penonton. Aku mengantri tiket sambil terus mengawasi sekeliling untuk memastikan tak ada yang membuntuti aku. Sejauh ini aman, dan kerumunan orang memberikan penyamaran yang bagus. Tak perlu cemas, karena Patch akan mengurus Dabria, kataku dalam hati. Tapi tak ada salahnya bersikap waspada.
Tentu saja aku sadar, Dabria bukan sumber kecemasanku yang utama. Cepat atau lambat Patch akan tahu bahwa aku tidak ke Delphic. Berdasarkan
pengalaman, aku tak punya khayalan untuk bisa bersembunyi lama darinya. Dia pasti akan menemukanku. Dan kemudian, aku akan terpaksa mengonfrontasinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menakutkan. Lebih tepatnya, jawaban-jawabannya yang menakutkan. Karena ada seberkas keraguan dalam kepalaku yang membisikkan bahwa ucapan Dabria tentang apa yang harus dilakukan Patch untuk menjadi manusia bukanlah isapan jempol.
Aku melangkah ke loket. Film jam sembilan-tiga puluh baru dimulai.
Satu untuk The Sacrifice, kataku tanpa berpikir. Mendadak aku merasa judulnya ironis. Tanpa ingin memikirkan lebih jauh, aku merogoh saku dan menyelipkan beberapa lembar uang kertas dan koin ke bawah kaca sambil berharap jumlahnya cukup.
Ya, ampun, kata kasir, memandangi koin-koin yang bergelindingan di bawah kaca. Dia seniorku di sekolah. Aku yakin namanya Kaylie atau Kylie. Makasih banyak, ya, katanya. Untung saja penonton sepi malam ini, sindirnya.
Orang-orang di belakangku sama-sama menggumam kesal.
Aku memecahkan celengan babiku, ucapku sinis.
Yang benar" Ini sudah semuanya" dia bertanya, dan menghela napas panjang sambil mengelompokkan koinku ke pecahan dua puluh lima, sepuluh, lima, dan satu sen.
Sudah. Masa bodoh. Aku tidak digaji untuk mengurusi hal seperti ini. Dia meraup uangku dan memasukkannya ke laci lalu menyelipkan tiketku ke bawah kaca. Kau belum kenal yang namanya kartu kredit, ya"
Aku mengambil tiket itu. Apakah kau melihat Vee Sky ke sini malam ini"
Bee apa" Vee Sky. Anak kelas dua. Dia bersama Elliot Saunders.
Mata Kaylie atau Kylie melotot. Memangnya malam ini sepi, ya" Dan aku cuma duduk-duduk saja di sini, mengingat wajah orang-orang yang datang"
Lupakan, kataku pelan, dan berjalan ke pintu masuk.
Bioskop Coldwater punya dua layar. Satu di belakang pintu sebelah kanan konter penjualan tiket, satu lagi di sebelah kiri. Begitu petugas merobek tiketku, aku mendorong pintu ke teater nomor dua dan menghilang dalam kegelapan. Film sudah dimulai.
Teater ini nyaris penuh, hanya beberapa kursi terpencil yang kosong. Aku menyusuri gang, mencari
Vee. Di ujung gang aku berbelok dan menyeberangi bagian depan teater. Sulit sekali membedakan wajah di tengah kegelapan, tapi aku yakin Vee tidak di sini.
Aku keluar dan berjalan menuju pintu sebelah. Ruangan ini tidak terlalu penuh. Aku menyusuri kursikursi lagi, tapi kali ini pun aku tak melihat Vee. Setelah memilih tempat duduk nyaris di ujung belakang, aku berusaha menenangkan pikiran.
Malam ini aku merasa tersesat dalam sebuah dongeng hitam dan tak bisa menemukan jalan keluar. Sebuah dongeng yang berisi malaikat-malaikat terbuang, manusia campuran, dan upacara pengorbanan. Kugosok tanda lahirku dengan ibu jari. Aku sangat tak ingin memikirkan kemungkinan kalau aku adalah keturunan salah satu Nephilim.
Aku mengeluarkan ponsel darurat dan memeriksa apakah ada missed call. Ternyata tidak ada.
Kujejelkan ponsel ke dalam saku ketika sebuah kantong berondong jagung menjelas di sampingku.
Lapar" tanya sebuah suara tepat di sebelah bahuku. Suara itu tenang, tapi tak bisa dibilang ceria. Aku berusaha menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Berdiri dan keluar dari ruangan ini, kata Patch. Aku tepat di belakangmu.
Aku tidak bergerak. Berdiri, ulangnya. Kita perlu bicara.
Bahwa kau harus menjadikan aku tumbal untuk mendapatkan tubuhku" tanyaku. Nada bicaraku ringan, meski emosiku memuncak.
Sungguh lucu kalau kau pikir itu benar. Aku memang berpikir begitu! Kurang lebih. Tapi pikiran itu terus muncul kalau Patch ingin membunuhku, kenapa dia belum juga melakukannya" Shhh! kata cowok di sebelahku.
Keluar, atau aku gendong kau, kata Patch. Aku berbalik. Apa"
Shhh! kata cowok itu lagi.
Yang salah dia, kataku, menuding Patch. Cowok itu memanjangkan leher ke belakang. Dengar, katanya, menghadapku lagi. Kalau kau tidak diam, aku akan panggil keamanan.
Oke, panggil saja keamanan. Katakan kepada mereka agar mengusir dia, kataku, lagi-lagi sambil menuding Patch. Katakan dia ingin membunuhku.
Aku yang akan membunuhmu, bentak pacar si cowok, memiringkan badan untuk menatapku.
Siapa yang ingin membunuhmu" kata cowok itu. Dia masih menoleh ke belakang, tapi ekspresinya kebingungan.
Tak ada siapa-siapa di sit u, kata ceweknya kepadaku.
Kau membuat dirimu tak terlihat oleh mereka, ya" kataku kepada Patch, terpesona akan kekuatannya meskipun aku benci karena dia memanfaatkannya. Patch tersenyum, tapi sudut bibirnya kaku. Ampun deh! kata cewek itu, mengangkat tangan ke udara. Dia memutar bola mata dengan marah ke pacarnya dan berkata, Lakukan sesuatu!
Tolong diam, kata cowok itu kepadaku. Dia menunjuk ke layar. Tonton filmnya. Nih nikmati sodaku.
Aku terdorong ke gang. Terasa Patch di belakangku, teramat sangat dekat, tapi tidak bersentuhan. Dia terus di belakangku sampai kami berada di luar teater.
Di ujung pintu, Patch menarik tanganku dan menuntunku menyeberangi lobi menuju kamar mandi wanita.
Ada apa antara dirimu dengan kamar mandi wanita" tanyaku.
Dia menarikku melewati pintu, menguncinya, dan bersandar di pintu. Matanya menatapku bulat-bulat. Menunjukkan keinginan kuat untuk melumatku sampai mati.
Aku memunggungi konter, telapak tanganku berpegangan di ujungnya. Kau marah karena aku tidak ke Delphic. Aku mengangkat sebelah pundakku yang gemetar. Kenapa Delphic, Patch" Sekarang Minggu
malam. Delphic tutup tak lama lagi. Apa alasanmu menyuruhku ke taman hiburan yang gelap dan tak lama lagi ditinggalkan orang"
Dia menghampiriku sampai cukup dekat hingga aku bisa melihat mata hitamnya di bawah topi bisbol.
Dabria bilang kau harus mengorbankan aku untuk mendapatkan tubuh manusia, kataku.
Patch diam sejenak. Dan menurutmu aku akan melakukannya"
Aku menelan ludah. Jadi itu benar"
Mata kami terkunci. Pengorbanan itu harus disertai kerelaan. Membunuhmu saja tak ada artinya.
Apakah hanya kau yang bisa melakukannya kepadaku"
Tidak, tapi mungkin aku satu-satunya orang yang tahu hasil akhirnya, dan satu-satunya orang yang akan mencobanya. Itulah alasanku ke sekolah. Aku harus dekat denganmu. Aku membutuhkanmu. Itulah alasannya kenapa aku masuk ke dalam kehidupanmu.
Dabria bilang kau dibuang karena jatuh cinta kepada seorang gadis. Aku benci diriku sendiri karena merasakan tikaman kecemburuan yang tidak rasional. Seharusnya ini interogasi murni. Tidak melibatkan diriku. Apa yang terjadi"
Aku sangat berharap Patch mau membuka pikirannya. Tapi mata hitamnya dingin, niremosi. Dia menjadi tua dan mati.
Pasti sangat berat bagimu, aku menyindir. Dia diam beberapa detik sebelum menjawab. Nada bicaranya pelan, aku gemetar. Kau ingin aku blakblakan" Akan kulakukan. Akan kuceritakan segalanya. Siapa aku, apa yang telah kulakukan. Setiap detailnya. Akan kukatakan, tapi kau harus bertanya. Kau harus menginginkannya. Kau bisa melihat siapa aku dulu, atau sekarang. Aku tidak baik, katanya, menusukku dengan mata yang menyerap seluruh cahaya tapi tak memantulkan apa-apa, malah lebih buruk lagi.
Kuabaikan perutku yang melilit. Ceritakan kepadaku, kataku.
Kali pertama melihatnya, aku masih menjadi malaikat. Didorong nafsu ingin memiliki yang muncul tiba-tiba. Nafsu ini membuatku gila. Aku tidak tahu banyak tentang perempuan itu. Tapi aku tahu, aku akan melakukan apa saja agar bisa dekat dengannya. Aku memandanginya cukup lama. Kemudian gagasan itu tertanam dalam kepalaku. Bahwa kalau aku turun ke bumi dan menguasai tubuh seorang manusia, aku akan dilempar dari surga dan menjadi manusia. Masalahnya, aku tak tahu apa-apa tentang Cheshvan. Aku turun pada suatu malam di bulan Agustus. Tapi aku tak bisa
menguasai tubuh manusia. Dalam perjalanan kembali ke surga, kepala malaikat pembalas mencegatku dan mencabut sayapku. Dia melemparku dari langit. Seketika itu juga aku sadar, aku telah melakukan kesalahan. Ketika aku melihat manusia, yang kurasakan hanyalah keinginan kuat untuk berada di dalam tubuh mereka. Seluruh kekuatanku dicabut, dan aku menjadi makhluk yang lemah dan menyedihkan. Aku bukan manusia. Aku makhluk terbuang. Aku sadar, aku telah mengacaukan segalanya. Selama ini aku mengutuk diriku sendiri karena telah berbuat kesalahan. Kupikir semuanya siasia saja. Matanya menatap lurus kepadaku, membuatku merasa transparan. Tapi kalau aku tidak dibuang, aku tak akan bertemu denganmu.
Berbagai emosi berbenturan sedemikian kuat di dalam dadaku. Aku merasa tercekik. Sambil menahan air mata, aku mengajukan pertanyaan lagi. Dabria bilang tanda lahirku adalah tanda bahwa aku berkerabat dengan Chauncey. Apakah itu benar"
Kau ingin mendengar jawabanku"
Aku tak tahu. Duniaku terasa seperti sebuah lelucon dan aku orang terakhir dalam antrean yang akan mendapat tonjokan. Aku bukan Nora Grey, gadis biasa. Aku keturunan seseorang yang bahkan bukan manusia. Dan jantungku terbelah dengan sendirinya menjadi dua, jantung manusia dan bukan manusia. Malaikat
hitam. Dari garis keluargaku yang mana" kataku pada akhirnya.
Ayahmu. Di mana Chauncey sekarang" Meskipun kami berkerabat, aku ingin berpikir kalau dia terpaut jauh. Amat sangat jauh. Cukup jauh hingga kaitan di antara kami tak terasa nyata.
Sepatu bot Patch menyentuh ujung sepatu tenisku. Aku tak akan membunuhmu, Nora. Aku tak membunuh orang yang penting buatku. Dan kau yang teratas.
Jantungku berdegup tak karuan. Tanganku tertekan ke perutnya, yang sangat keras bahkan kulitnya pun tak terasa lembut. Tak ada gunanya menjaga pengaman di antara kami. Karena pagar listrik sekalipun tak akan membuatku aman darinya.
Kau menginvasi wilayah pribadiku, kataku, mundur selangkah.
Patch tersenyum seulas. Menginvasi" Ini bukan SAT, Nora.
Aku menyelipkan beberapa rambut liar ke belakang telinga dan melangkah lebar ke samping, menyisir wastafel. Kau menghalangi jalanku. Aku butuh jarak. Yang kubutuhkan adalah pagar. Aku butuh kekuatan kehendak. Aku butuh dikurung, karena lagi-lagi aku membuktikan kalau aku tak bisa memercayai diriku sendiri jika berada di dekat Patch. Seharusnya aku
bergegas ke pintu, tapi& itu tidak kulakukan. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa itu tidak kulakukan karena aku butuh jawaban. Tapi itu cuma sebagian alasan. Sebagian lainnya enggan kupikirkan. Bagian emosional. Bagian yang mengatakan tak ada gunanya melawan.
Masih ada yang kau rahasiakan dariku" aku ingin tahu.
Aku merahasiakan banyak hal darimu. Jantungku serasa akan putus. Seperti" Seperti perasaanku terkurung di sini bersamamu. Patch menempelkan satu tangannya ke cermin di belakangku. Tubuhnya condong ke arahku. Kau tak tahu apa yang kau lakukan kepadaku.
Aku menggelengkan kepala. Tidak. Ini bukan ide bagus. Tidak benar.
Semuanya benar, dia menggumam. Dalam spektrum, kita masih berada di zona aman.
Aku yakin bagian otakku yang bertugas menjaga diriku berteriak keras, Selamatkan dirimu! Sayangnya darah bergemuruh di telingaku sehingga aku tak bisa mendengar dengan jelas. Sepertinya aku juga tidak bisa berpikir dengan jernih.
Pasti benar. Biasanya benar, Patch melanjutkan. Sebagian besar benar. Mungkin benar.
Mungkin bukan sekarang. Aku berusaha bernapas. Dari sudut mataku, aku melihat alarm kebakaran menempel di dinding. Jaraknya mungkin sepuluh atau lima belas kaki dariku. Kalau aku bergerak cepat, aku bisa menghampiri dan menariknya sebelum Patch bisa mencegahku. Petugas keamanan akan datang. Aku akan aman. Dan itulah yang kuinginkan& bukankah begitu"
Bukan ide bagus, kata Patch sambil menggeleng pelan.
Bagaimana pun juga aku bergegas ke alarm kebakaran itu. Jari-jariku hampir sampai dan kuturunkan tuasnya untuk membunyikan alarm. Hanya saja tuas itu tak mau bergerak. Sekuat mungkin kutekan, tuas itu tak bergeser sama sekali. Aku menyadari kehadiran Patch di kepalaku yang sudah tak asing lagi. Dan aku sadar, ini hanya permainan pikiran.
Aku berbalik, menghadap wajahnya. Keluar dari kepalaku, aku membentak dan mendorong dadanya. Patch terhuyung ke belakang, menyeimbangkan diri. Kenapa kau melakukannya" dia bertanya. Karena semua kejadian di malam ini. Karena membuatku tergila-gila kepadanya ketika aku tahu itu salah. Malah dia adalah kesalahan terburuk sepanjang hidupku. Segala tentang Patch amat sangat salah hingga
terasa benar. Dan ini membuatku merasa tak punya kendali.
Aku mungkin tergoda untuk menonjok rahangnya kalau Patch tidak mendorong bahuku dan menempelkanku ke dinding. Nyaris tak ada ruang yang tersisa di antara kami. Cuma selapis tipis udara yang kemudian dihapus pula oleh Patch.
Jujurlah, Nora. Kau tergila-gila kepadaku. Matanya menyimpan banyak makna. Dan aku tergilagila kepadamu. Dia mencondongkan badannya ke arahku dan menempelkan bibirnya ke bibirku. Kami bersentuhan di beberapa lokasi tubuh yang lain, dan butuh seluruh keinginanku untuk menjauhkannya.
Aku mendorongnya. Aku belum selesai. Bagaimana dengan Dabria"
Beres. Apa maksudmu" Dia kehilangan sayapnya setelah berencana membunuhmu. Saat dia berusaha kembali ke surga, para malaikat pembalas mencabut sayapnya. Sebenarnya cepat atau lambat itu pasti terjadi. Aku hanya mempercepat prosesnya.
Jadi kau mencabutnya"
Sayapnya jelek. Bulunya patah-patah dan tipis. Kalau dia tinggal di Bumi jauh lebih lama, itu akan menjadi pertanda bahwa dia adalah malaikat yang
dibuang. Kalau bukan aku, malaikat terbuang lainlah yang akan melakukannya.
Aku mencegah satu lagi manuvernya. Apakah dia akan muncul lagi dalam kehidupanku"
Rasanya tidak. Secepat kilat, Patch menangkap ujung sweterku. Dia menarikku ke arahnya, buku-buku jarinya menggosok kulit perutku. Semburan panas dan dingin berbarengan menjalar dalam tubuhku. Kau boleh melupakannya, Angel, katanya. Aku melihat kalian berdua. Dan pilihanku jatuh kepadamu. Kau tak membutuhkan aku untuk itu.
Memangnya apa yang kubutuhkan darimu" Dia tertawa. Bukannya tak disengaja, tapi disertai niat tertentu. Matanya melebar dan menatapku bulatbulat. Senyumnya benar-benar nakal& tapi lebih lembut. Sesuatu di balik perutku bergejolak.
Pintunya terkunci, katanya. Dan antara kita ada urusan yang belum terselesaikan.
Tubuhku seolah mengusir otak logisku. Bahkan menghancurkannya. Aku menempelkan tanganku ke dadanya lalu merangkul lehernya.
Ponsel di dalam saku celanaku berdering. Aku mendorong Patch, tersengal-sengal, dan telepon berbunyi untuk yang kedua kalinya.
Voice mail, kata Patch. Jauh di dalam kesadaranku, aku tahu panggilan itu harus dijawab. Aku tak ingat kenapa, tapi berciuman dengan Patch membuat seluruh kekhawatiranku menguap. Aku melepaskan diri dari Patch, menjauhinya agar dia tak melihat betapa dahsyat dampak peristiwa sepuluh detik itu terhadap diriku. Dalam hati, aku berteriak kesenangan.
Halo" jawabku, menahan dorongan kuat untuk mengusap bibir karena lip gloss-ku berantakan.
Say! kata Vee. Koneksi cukup buruk, suaranya putus-putus. Kau di mana"
Kau sendiri di mana" Apakah masih bersama Elliot dan Jules" Aku menutup telingaku yang lain agar bisa mendengar lebih jelas.
Aku di sekolah. Kami menyusup, katanya dengan suara jail yang dibuat-buat. Kami ingin bermain petak umpet, tapi kekurangan orang untuk membentuk dua tim. Jadi& apakah kau tahu orang keempat yang bisa bermain bersama kami"
Terdengar gumaman di belakang suara Vee. Elliot bilang, kalau kau tak datang dan menjadi partnernya tunggu sebentar apa" kata Vee kepada suara di belakang.
Sekarang Elliot yang bicara. Nora" Bermainlah bersama kami. kalau tidak, ada pohon di tempat umum dengan nama Vee tertera di sana.
Aku seolah diguyur air es.
Halo" kataku parau. Elliot" Vee" Kalian di sana"
Hubungan diputus. iapa TaDi" Tanya paTCH.
Seluruh tubuhku merinding. Aku tak bisa langsung menjawabnya. Vee menyusup ke sekolah bersama Elliot dan Jules. Mereka ingin aku datang. Kupikir Elliot akan menyakiti Vee kalau aku tidak pergi. Aku menatap Patch. Kupikir dia juga akan menyakiti Vee kalau aku datang.
Patch melipat tangan. Elliot"
Pekan lalu aku menemukan sebuah artikel di perpustakaan bahwa dia diinterogasi dalam kasus pembunuhan di sekolah lamanya, Kinghorn Prep. Dia masuk ke ruang komputer dan melihatku sedang
membaca artikel itu. Sejak malam itu, firasatku buruk tentang dirinya. Benar-benar buruk. Kurasa dialah yang masuk ke dalam kamarku untuk mencuri artikel itu. Ada hal lain yang perlu aku ketahui"
Cewek yang terbunuh itu adalah pacar Elliot. Dia tergantung di pohon. Barusan dia bilang di telepon, Kalau kau tidak datang, ada pohon di tempat umum dengan nama Vee tertera di sana .
Aku sudah pernah bertemu Elliot. Dia sepertinya angkuh dan sedikit agresif. Tapi dia tidak terkesan sebagai pembunuh. Patch menyusupkan tangannya ke saku depanku dan mengeluarkan kunci jip. Aku akan ke sana dan melihat situasinya. Aku tak akan lama. Kupikir kita harus menelepon polisi.
Patch menggelengkan kepala. Pertama kau akan menyeret Vee ke dalam penjara atas tuduhan pengrusakan properti dan kedua kau menjebloskan Elliot juga. Ada satu lagi. Jules. Siapa dia"
Teman Elliot. Dia di arkade saat kami melihatmu malam itu.
Patch mengerutkan kening. Kalau ada cowok lain, aku pasti ingat.
Patch membuka pintu dan aku mengekor. Seorang petugas kebersihan yang mengenakan celana hitam dan kemeja kerja warna marun sedang menyapu remahremah berondong jagung di lobi. Dia menatap Patch
tanpa berkedip karena keluar dari kamar mandi wanita. Dia satu sekolah denganku. Namanya Brandt Christensen. Kami satu kelas dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Semester kemarin aku membantunya membuat makalah.
Yang ditungggu Elliot adalah aku, bukan kamu, kataku kepada Patch. Kalau aku tidak muncul, siapa tahu apa yang bakal terjadi pada Vee" Aku tak mau mengambil risiko itu.
Kalau aku membiarkanmu pergi, maukah kau mendengar instruksiku dan benar-benar mengikutinya" Ya.
Kalau aku menyuruhmu lompat" Aku akan lompat.
Kalau aku menyuruhmu diam di mobil" Aku akan diam di mobil. Aku tidak bohong. Di lapangan parkir bioskop, Patch memasukkan kunci jip, dan lampu depan menyala. Tiba-tiba dia berhenti dan menyumpah pelan.
Ada apa" tanyaku. Bannya. Aku menunduk dan ya, dua ban di sisi pengemudi kempis. Aku tak percaya! kataku. Aku melindas dua paku"
Patch jongkok di samping ban depan, meraba pinggiran ban. Obeng. Ini perbuatan orang.
Sepintas muncul pikiran dalam kepalaku, janganjangan ini permainan pikiran lagi. Mungkin Patch punya alasan tersendiri, kenapa dia tak setuju aku pergi ke sekolah. Lagi pula ketidaksukaanya terhadap Vee sudah bukan rahasia lagi. Tapi ada sesuatu yang aneh. Aku tak bisa merasakan kehadiran Patch di dalam kepalaku. Kalau dia mengubah pikiranku, dia pasti punya cara baru untuk melakukannya. Karena yang kulihat ini adalah sesuatu yang nyata.
Siapa yang melakukannya"
Dia berdiri tegak. Daftar kemungkinannya panjang.
Maksudmu kau punya banyak musuh" Ada segelintir orang yang marah kepadaku. Orang-orang yang kalah di tempat judi. Lalu mereka menyalahkan aku karena membawa mobil mereka, atau lebih dari itu.
Patch berjalan mendekati sebuah mobil, membuka pintu pengemudi, dan duduk di balik kemudi. Tangannya menjangkau sesuatu di bawah.
Apa yang kau lakukan" tanyaku, berdiri di ambang pintu yang terbuka. Pertanyaan yang mubazir, karena aku tahu yang dilakukannya.
Mencari kunci cadangan. tangan Patch muncul kembali, memegang dua kabel biru. Dengan cekatan dia mengelupas ujung kabel dan merekatkan keduanya.
Mesin menyala, dan Patch menoleh ke arahku. Sabuk pengaman.
Aku bukan pencuri mobil. Patch mengangkat bahu. Kita membutuhkannya sekarang. Mereka tidak.
Tetap saja mencuri. Dan ini tak bisa dibenarkan. Patch sama sekali tidak tampak keberatan. Malah dia tampak kelewat rileks di kursi pengemudi. Ini bukan yang pertama kali dia melakukannya, pikirku.
Aturan pertama dalam mencuri mobil, katanya tersenyum. Jangan berada di lokasi kejahatan lebih lama dari yang dibutuhkan.
Tunggu sebentar, kataku, mengacungkan jari. Aku berlari ke gedung bioskop. Dalam perjalanan ke dalam, pintu-pintu kaca memantulkan lapangan parkir di belakangku. Dan kulihat Patch menjalankan mobil itu.
Hai, Brandt, kataku kepada cowok yang masih membersihkan sisa-sisa brondong jagung dengan penyedot debu bergagang panjang.
Brandt mengangkat wajah, tapi perhatiannya tertarik oleh sesuatu di sampingku. Aku mendengar pintupintu teater dibuka dan merasakan kehadiran Patch di belakangku. Kedatangannya tidak jauh berbeda dari awan yang menutup matahari, perlahan menggelapkan lansekap, membawa pertanda badai akan turun.
Ada apa" kata Brandt dengan gugup. Mobilku rusak, kataku sambil menggigit bibir dan berusaha kelihatan memelas. Aku tahu aku menenpatkanmu pada posisi yang tidak mengenakkan. Tapi karena aku membantumu membuat makalah tentang Shakespeare semester lalu&
Kau mau meminjam mobilku. Sebenarnya& ya.
Mobilku bobrok. Jauh dari jip Commander. Dia memandang Patch seolah memohon maklum. Tapi bisa jalan" tanyaku.
Kalau yang kau maksud dengan jalan itu rodarodanya memutar, ya jalan. Tapi mobilku bukan untuk dipinjamkan.
Patch membuka dompet dan mengulurkan sesuatu yang sepertinya tiga lembar uang seratus dolaran yang masih baru. Menahan kaget, aku memutuskan lebih baik mengikuti permainan ini.
Aku berubah pikiran, kata Brandt, matanya melebar, menatap lembaran uang itu. Dia merogoh kantong, dan menyerahkan sepasang kunci kepada Patch.
Apa merek dan warnanya" tanya Patch, menerima kunci.
Sulit dipastikan. Separuh Volkswagen, separuh Chevette. Dulu warnanya biru. Sebelum karatan mengubahnya menjadi oranye. Isi tangki bensinnya sebelum
dikembalikan, ya" kata Brand, suaranya terkesan kalau dia menyilangkan jari di belakang punggung, mencoba keberuntungannya.
Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Patch mengeluarkan dua puluh dolaran. Kalaukalau kami lupa, katanya, menjejalkan uang itu ke saku depan seragam Brandt.
Di luar, aku berkata kepada Patch, Padahal aku bisa membujuknya agar memberikan kunci. Aku cuma perlu waktu. Omong-omong, kenapa kau bekerja di Borderline kalau kau kaya"
Tidak. Aku mendapat uang karena menang dalam pertandingan pool beberapa malam lalu. Dia memasukkan kunci Brandt dan membuka pintu di sisi pengemudi untukku. Bank secara resmi ditutup.
Patch membawa mobil melewati jalan-jalan kota yang gelap dan sepi. Sebentar kemudian kami sampai di sekolah. Patch memarkir mobil Brandt di sisi timur gedung dan mematikan mesin. Lingkungan sekolah teduh, cabang-cabang pohon membungkuk, tampak menyedihkan, dan tidak menampung apa pun kecuali kabut yang lembap. Di belakang kami menyembul gedung Coldwater High.
Bagian asli gedung ini dibangun pada akhir abad kesembilan belas. Dan selepas sore, gedung ini lebih mirip katedral. Kelabu dan terabaikan. Sangat gelap. Sangat kesepian.
Perasaanku tidak enak, kataku, memperhatikan kabut hitam di jendela-jendela sekolah.
Diam di mobil dan jaga mata, kata Patch, menyerahkan kunci. Kalau seseorang keluar dari gedung, pergilah. Patch keluar dari mobil. Dia mengenakan T-shirt hitam ketat bergaris leher lurus, Levi s hitam, dan sepatu bot. Dengan rambut hitam dan kulitnya yang agak gelap, sulit membedakan sosoknya dari sekitarnya. Patch menyeberangi jalan dan, sebentar kemudian, menyatu sepenuhnya dengan malam.
i M a M e n i T DaTa n g Da n b e r l a lU . sepUlUH menit melebar menjadi dua puluh. Aku berusaha keras mengabaikan perasaan yang membangkitkan bulu kuduk bahwa seseorang tengah mengawasiku. Kupandangi bayangan yang memagari sekolah.
Kenapa Patch lama sekali" Aku memikirkan beberapa kemungkinan, dan semakin lama semakin merasa tak tenang. Bagaimana kalau Patch tidak bisa menemukan Vee" Apa yang terjadi ketika Patch bertemu dengan Elliot" Kurasa Elliot tak bisa mengalahkan Patch,
tapi kemungkinan itu selalu ada bagaimana kalau Elliot punya sesuatu yang mengejutkan.
Ponsel di saku celanaku berdering, aku terlompat kaget.
Aku melihatmu, kata Elliot ketika aku menjawab. Duduk di mobil.
Di mana kau" Mengawasimu dari jendela lantai dua. Kami sedang bermain di dalam.
Aku tak ingin bermain. Dia menutup telepon.
Dengan jantung melompat ke kerongkongan, aku keluar dari mobil. Aku menengadah ke jendela-jendela sekolah yang gelap. Elliot mungkin tak tahu kalau Patch ada di dalam. Suaranya terdengar tidak sabaran tadi, bukan marah atau kesal. Aku hanya berharap Patch punya rencana yang jitu dan memastikan tak ada yang akan membahayakan aku atau Vee. Bulan digelayuti awan, dan di bawah kabut ketakutan, aku berjalan menuju pintu timur.
Aku masuk ke lingkungan semigelap. Mataku butuh beberapa detik untuk menangkap sesuatu di bawah pancaran lampu jalan yang menembus jendela tertutup di pintu sebelah atas. Ubin lantai memantulkan kilap. Loker-loker berbaris di kanan-kiri lorong seperti tentara robot yang tertidur. Ruangan ini memancarkan
kejahatan tersembunyi, alih-alih membangkitkan perasaan yang tenang dan damai.
Lampu luar menerangi ruang di lorong sejauh beberapa kaki. Tetapi sesudah itu aku tak bisa melihat apa-apa. Tepat di balik pintu ada tombol lampu, aku menghidupkannya. Tak terjadi apa-apa.
Aku yakin listrik di dalam gedung dimatikan, karena di luar tidak ada masalah. Mungkin ini bagian dari rencana Elliot untuk membuatku tak bisa melihatnya, tak bisa melihat Vee. Dan aku juga tak bisa melihat Patch. Aku dipaksa mencari jalan melewati ruangan demi ruangan, mengikuti permainan eliminasi yang berjalan lambat, sampai aku menemukannya. Bersamasama, kami bisa menemukan Vee.
Memanfaatkan dinding sebagai pemandu, aku merayap maju. Selama jam sekolah aku biasa melewati lorong ini beberapa kali sehari. Tapi mendadak lorong ini terasa asing di tengah kegelapan. Dan terasa lebih panjang. Jauh lebih panjang.
Di persimpangan pertama, aku mengenali ruangan berdasarkan ingatan. Belok ke kiri adalah ruangan band, orkestra, dan kafeteria. Belok ke kanan adalah kantor pengurus sekolah, juga tangga ganda. Aku mengambil jalan lurus, masuk semakin dalam, menuju kelas-kelas.
Kakiku tersandung sesuatu. Dan sebelum bisa bereaksi, aku terjatuh ke lantai. Cahaya kelabu dari
langit menyusup langsung di atas kepalaku seiring bergesernya awan yang menaungi rembulan. Sinarnya menerangi sosok yang membuatku terjungkal. Jules terlentang di lantai. Ekspresi matanya kosong. Rambut pirangnya menjuntai menutupi wajah, dan tangannya tergeletak lunglai di samping badannya.
Aku mundur dengan menggunakan lututku dan menutup mulut, kehabisan udara. Kakiku gemetar karena semburan adrenalin. Sangat perlahan, kuletakkan tanganku di dadanya. Dia tidak bernapas. Mati.
Aku terhenyak dan menjerit tertahan. Ingin rasanya memanggil Patch, tapi itu akan membuat Elliot tahu lokasiku kalau dia belum tahu. Aku segera tersadar, dia bisa saja berdiri tak jauh dariku. Mengawasiku seiring berjalannya permainannya.
Cahaya di atas meredup, dan aku memeriksa lorong dengan serabutan. Di depanku ada lagi lorong yang sepertinya tidak berujung. Untuk sampai di perpustakaan aku harus menempuh beberapa anak tangga di sebelah kiri. Ruangan kelas dimulai di sebelah kanan. Dalam sedetik aku mengambil keputusan untuk memilih perpustakaan. Aku terhuyung-huyung melewati lorong-lorong yang gelap untuk menjauhi jasad Jules. Hidungku basah dan aku sadar, aku menangis tanpa suara. Kenapa Jules mati" Siapa yang membunuhnya" Kalau Jules mati, apakah Vee juga"
Pintu perpustakaan tak dikunci, dan aku masuk dengan langkah tertatih-tatih. Melewati rak-rak buku, di ujung perpustakaan ada tiga ruangan belajar kecil. Di sana kedap suara. Kalau Elliot ingin menyembunyikan Vee, tentunya ruangan itu adalah tempat yang ideal.
Aku baru saja akan melangkah ke sana ketika terdengar suara geraman seorang lelaki. Mendadak aku berhenti.
Lampu-lampu menyala, menerangi kegelapan perpustakaan. Tubuh Elliot terbaring beberapa kaki dariku. Mulutnya menganga, kulitnya pucat. Matanya menatap ke arahku, dan dia menjulurkan tangannya.
Aku menjerit keras. Aku berbalik dan berlari menuju pintu, menabrak dan menendang kursi yang menghalangiku. Lari! Perintahku. Cari jalan keluar!
Aku terhuyung ke pintu, dan pada saat itulah lampu-lampu di lorong mati, mengembalikan segalanya menjadi hitam.
Patch! aku berusaha berteriak, tapi suaraku tak keluar, namanya tercekat di tenggorokanku.
Jules sudah mati. Elliot hampir mati. Siapa yang membunuh mereka" Siapa yang tersisa" Pikiranku berusaha memproses segala yang terjadi, tapi nalar seolah telah pergi dariku.
Dorongan dari belakang membuatku kehilangan keseimbangan. Satu dorongan lagi membuatku
terpelanting ke samping. Kepalaku membentur loker, membuatku terperangah.
Sebersit sorot cahaya menyapu pandanganku, dan sepasang mata hitam di balik topeng ski menjelas. Lampu senter yang biasa terdapat di helm seorang penambang menyala di atas topeng itu.
Aku berusaha berdiri dan lari. Satu tangannya terjulur, mencegahku berlari. Dia mengulurkan satu tangannya lagi, mendorongku ke loker.
Kau pikir aku mati" bisa kurasakan senyuman dingin dan angkuh dalam suaranya. Aku tak akan membuang satu kesempatan pun untuk bermain denganmu. Hibur aku. Siapa menurutmu yang jahat" Elliot" Atau apakah terlintas dalam pikiranmu bahwa sahabatmulah yang melakukan semua ini" Aku mulai ramah, kan" Begitulah rasa takut. Mengeluarkan sisi terburuk dalam diri kita.
Kau. Suaraku gemetar. Jules mencopot lampu senter dan topeng skinya. Segar bugar.
Bagaimana kau melakukan semua ini" suaraku masih bergetar. Aku melihatmu. Kau tidak bernapas. Kau sudah mati.
Kau terlalu banyak memujiku. Semua ini karenamu, Nora. Kalau pikiranmu tidak begitu lemah, aku tak akan bisa melakukan semua ini. Apakah aku membuatmu
merasa buruk" Apakah kau menjadi kecil hati karena tahu bahwa di antara sekian banyak kepala, aku menjajah kepalamu" Kaulah yang paling mudah. Dan paling menyenangkan.
Aku menjilat bibir. Mulutku terasa aneh, kombinasi antara kering dan lengket. Bisa kurasakan aroma ketakutan dalam napasku. Di mana Vee"
Dia menampar pipiku. Jangan mengubah topik pembicaraan. Kau benar-benar harus belajar mengendalikan rasa takutmu. Ketakutan akan mematikan logika dan membuka segala macam kesempatan bagi orang sepertiku.
Ini sisi Jules yang belum pernah kulihat. Selama ini dia begitu pendiam, murung, tidak antusias terhadap siapa pun di sekitarnya. Dia diam di belakang, tidak menarik perhatian, dan kecurigaan. Pintarnya dia, pikirku.
Jules mencengkeram tanganku dan menarikku agar mengikutinya.
Aku mencakarnya dan menarik tangan, dan dia mengayunkan tinjunya ke perutku. Aku terjungkal ke belakang, berusaha menarik napas, tapi sepertinya tak ada udara. Bahuku menyerempet loker hingga aku beringsut duduk di lantai. Selapis udara menyusup ke tenggorokanku, dan aku tersedak.
Jules meraba bekas cakaranku di tangannya. Kau harus membayarnya.
Kenapa kau membawaku ke sini" Apa maumu" aku tak bisa menyingkirkan kesan histeris dari suaraku.
Dia menarik tanganku sampai aku berdiri dan menyeretku melewati lorong. Setelah menendang pintu hingga terbuka, dia mendorongku dan aku terhuyung. Tanganku membentur lantai yang keras. Pintu dibelakangku dibanting hingga menutup. Satu-satunya cahaya berasal dari senter yang dipegang Jules.
Udara membawa aroma yang sudah tidak asing, campuran debu kapur dan zat kimia berbau busuk. Poster-poster tubuh dan irisan sel manusia terpampang di dinding. Sebuah konter panjang dari batu granit hitam dilengkapi dengan wastafel berdiri di bagian depan ruangan. Posisinya menghadap barisan meja lab yang juga terbuat dari granit. Kami berada di dalam ruangan biologi Pelatih McConaughy.
Sekilas cahaya logam menyentuh mataku. Sebuah pisau bedah tergeletak di lantai, tertindih keranjang sampah. Pasti Pelatih atau petugas kebersihan tidak melihatnya. Aku menyelipkan pisau itu ke celana jinsku, saat Jules menarikku agar berdiri.
Aku harus memadamkan listrik, katanya, menyorotkan lampu senter ke meja terdekat. Permainan petak umpet tak bisa dilakukan dalam kondisi terang.
Dia menarik dua kursi di seberang ruangan, menaruhnya dengan posisi saling berhadapan. Duduk. Itu bukan sebuah permintaan.
Mataku melayang ke bingkai jendela yang terbentang di dinding ujung. Apakah aku bisa membuka salah satunya lalu kabur sebelum Jules bisa menangkapku" Di tengah seribu pikiran untuk mempertahankan diri, aku bertekad untuk tidak kelihatan takut. Di suatu bagian dalam kepalaku, itulah pelajaran yang kuingat saat mengikuti kelas bela diri bersama ibuku, setelah ayahku meninggal dunia. Lakukan kontak mata& tunjukkan bahwa kau percaya diri& gunakan akal sehat& semuanya lebih mudah diucapkan daripada dipraktikkan.
Jules mendorong bahuku, memaksaku duduk di kursi. Logam dingin bergeser di jinsku.
Serahkan ponselmu, perintahnya, menjulurkan tangan.
Kutinggalkan di mobil. Dia tertawa tanpa suara. Kau ingin bermain-main denganku" Aku sudah mengunci sahabatmu di suatu tempat di gedung ini. Kalau kau mau bermain-main denganku, dia akan merasa diabaikan. Dan aku terpaksa memikirkan permainan ekstra-khusus untuk menebusnya.
Aku mengeluarkan ponsel dan menyerahkannya.
Dengan kekuatan adimanusia dia membengkokkan telepon itu. Sekarang tinggal kita berdua. Dia duduk di hadapanku, melebarkan kaki seenaknya. Satu tangannya diangkat ke punggung kursi. Mari kita bicara, Nora.
Aku beranjak dari kursi. Jules menangkap pinggangku sebelum langkahku yang keempat dan menjerembapkan aku kembali ke kursi.
Dulu aku punya beberapa ekor kuda, katanya. Dulu sekali di Prancis, aku punya kuda-kuda yang cantik dan kuat. Yang paling kusukai adalah kuda Spanyol. Mereka ditangkap dari alam liar dan diserahkan kepadaku. Dalam beberapa minggu aku berhasil menjinakkan mereka. Tapi selalu ada kuda langka yang enggan ditundukkan. Kau tahu apa yang kulakukan dengan kuda itu"
Aku bergidik. Bekerja samalah, dan kau tak perlu takut, katanya.
Aku tak percaya kepadanya sedikit pun. Kilat matanya sama sekali tidak tulus.
Aku lihat Elliot di perpustakaan. Aku kaget dengan getar suaraku. Bukannya aku suka atau percaya kepada Elliot. Tapi dia tak pantas mati pelan-pelan dan menyakitkan. Kau melukainya"
Dia mendekatkan tubuhnya, seolah ingin menceritakan rahasia. Kalau kau melakukan kejahatan, jangan sisakan bukti. Selama ini Elliot tak terpisah dariku. Dia tahu kelewat banyak.
Itukah sebabnya aku di sini" Karena aku menemukan artikel tentang Kjirsten Halverson"
Jules tersenyum. Elliot tidak bilang kalau kau tahu soal Kjirsten.
Apakah Elliot yang membunuhnya& atau kau" tanyaku mendadak mendapat ilham.
Aku harus menguji kesetiaan Elliot. Aku akan memilih yang paling penting. Elliot bersekolah di Kinghorn karena mendapat beasiswa, dan orang-orang tak membolehkan dia melupakannya. Kecuali aku. Aku yang membiayai dia. Pada akhirnya dia harus memilih antara aku atau Kjirsten. Lebih tepatnya, uang atau cinta. Kelihatannya tak ada enaknya menjadi paus di antara para pangeran. Aku membelinya, dan saat itulah aku tahu bahwa aku bisa mengandalkan dirinya ketika tiba waktunya untuk berurusan denganmu.
Kenapa aku" Kau belum paham juga" Cahaya menegaskan kekejian di wajahnya dan menciptakan ilusi bahwa matanya berubah seperti warna perak bakar. Aku menjadikanmu mainan. Menggoyang-goyangkan dirimu dengan tali seperti boneka. Aku menjadikanmu kambing
hitam. Karena orang yang sebenarnya ingin aku sakiti, tak bisa dilukai. Kau tahu siapa orang itu"
Seluruh simpul di tubuhku seolah merenggang. Mataku kehilangan fokus. Wajah Jules seperti lukisan Impresionis kabur di pinggirannya, tak ada detail. Darah terkuras dari kepalaku, dan aku merasa diriku mulai merosot dari kursi. Aku merasa seperti ini cukup lama sebelum aku sadar bahwa aku membutuhkan zat besi. Segera.
Dia menampar pipiku lagi. Fokus. Siapa yang kumaksud"
Aku tak tahu. Aku tak bisa mengangkat suaraku lebih dari sekadar bisikan.
Kau tahu kenapa dia tak bisa disakiti" Karena dia tak punya tubuh manusia. Tubuhnya tak bisa merasakan sensasi fisik. Tak ada gunanya aku mengurung dan menyiksanya. Dia tak akan merasa sakit sama sekali. Sudah bisa menebak sekarang" Kau sudah banyak menghabiskan waktu bersamanya. Kenapa diam, Nora" Tak bisa menemukan jawaban"
Tetes-tetes keringat mengucur di punggungku. Setiap tahun pada permulaan bulan Ibrani Cheshvan, dia menguasai tubuhku. Dua minggu penuh. Selama itu aku tak punya kendali. Tak punya kebebasan, tak punya pilihan. Tak ada keistimewaan bagiku untuk kabur selama dua minggu itu. Aku harus menyewakan
tubuhku, lalu kembali setelah semuanya selesai. Setelah itu mungkin aku bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa semua itu tidak benar-benar terjadi. Tidak. Aku masih di sana, tawanan di dalam tubuhku sendiri, menjalani setiap menitnya, kata Jules dengan kasar. Kau tahu bagaimana rasanya" Kau tahu" dia berteriak.
Aku menutup mulut, sadar akan bahaya kalau aku mengeluarkan kata-kata. Jules tertawa. Desir udara menembus gigi-giginya. Kata-kata itu lebih sinis dari apa pun yang pernah kudengar.
Dia berkata, Aku mengucapkan sumpah yang mengizinkannya mengambil alih tubuhku selama Cheshvan. Ketika itu usiaku enam belas tahun. Dia mengangkat bahu, tapi gerakannya kaku. Dia menipuku untuk mengucapkan sumpah itu dengan menyiksaku. Setelah itu dia bilang bahwa aku bukan manusia. Kau percaya itu" Bukan manusia. Dia bilang ibuku, seorang manusia, tidur dengan malaikat yang dibuang. Dia menyeringai penuh kebencian. Butiran keringat berkilau di dahinya. Apakah sudah kusebutkan bahwa aku mewarisi beberapa karakter ayahku" Sama seperti dia, aku seorang penipu. Aku membuatmu melihat kebohongan. Aku membuatmu mendengar suara-suara.
Seperti ini. Bisa kau dengar aku, N ora" Kau takut sekarang"
Dia mengetuk dahiku. Ada apa di sini, Nora" Sepertinya sangat sepi.
Jules adalah Chauncey. Dia Nephilim. Aku teringat tanda lahirku, dan apa yang dikatakan Dabria kepadaku. Dalam tubuh Jules dan aku mengalir darah yang sama. Di dalam nadiku mengalir darah monster. Aku memejamkan mata, dan bulir-bulir air mata menetes.
Kau ingat malam ketika kita pertama kali bertemu" Aku melompat ke depan mobil yang sedang kau kemudikan. Saat itu gelap dan berkabut. Kau sudah di tepi, sehingga sangat mudah untuk mengelabuimu. Aku senang menakut-nakuti dirimu. Malam pertama itulah aku mencicipi kesenangan itu.
Seharusnya aku tahu dia adalah kau, bisikku. Tak banyak orang yang setinggi dirimu.
Kau tidak mendengarkan. Aku bisa membuatmu melihat apa pun yang kuinginkan. Apakah menurutmu aku mengabaikan detail yang menonjol seperti tinggi badanku" Kau melihat apa yang kuinginkan. Kau melihat seorang lelaki yang tak bisa digambarkan, mengenakan topeng ski hitam.
Aku duduk di sana, merasakan keretak kecil di tengah ketakutanku. Aku tidak gila. Jules berada di belakang semua ini. Dialah yang gila. Dia bisa menciptakan permainan pikiran karena ayahnya adalah malaikat terbuang dan dia mewarisi kekuatan itu.
Kau tidak benar-benar mengacaukan kamar tidurku, kataku. Kau hanya membuatku berpikir bahwa kau melakukannya. Itulah sebabnya kamarku rapi begitu polisi datang.
Jules bertepuk tangan perlahan dan sangat dibuatbuat. Kau mau tahu bagian terbaiknya" Kau bisa saja mengusirku. Aku tak bisa menyentuh pikiranmu kalau kau tidak mengizinkan. Aku masuk, dan kau tak pernah menolak. Kau lemah. Kau sangat mudah ditipu.
Semuanya menjadi masuk akal. Alih-alih merasa sedikit lega, aku sadar betapa rapuhnya aku. Aku seperti jendela yang mudah dibuka. Tak ada yang menahan Jules untuk menarikku ke dalam permainan pikirannya, kecuali aku belajar mengusirnya.
Bayangkan kalau kau menjadi aku, kata Jules. Tubuhmu dinistai tahun demi tahun. Bayangkan kebencianku yang begitu mendalam. Tak ada yang bisa mengobatinya kecuali dengan balas dendam. Bayangkan sekian banyak energi dan sumber daya yang kukerahkan untuk mengawasi objek yang akan menjadi sasaran balas dendamku. Aku menunggu dengan sabar sampai takdir memberikan kesempatan bagiku. Bukan sekadar untuk membuat impas, tapi lebih dari itu. Matanya menatapku tak berkedip. Kaulah kesempatan itu. Kalau aku menyakitimu, aku menyakiti Patch.
Kau melebih-lebihkan arti diriku di mata Patch, kataku, keringat dingin membasahi pelipisku.
Aku mengawasi Patch selama berabad-abad. Musim panas kemarin dia melakukan kunjungan pertamanya ke rumahmu, meskipun kau tidak menyadarinya. Beberapa kali dia membuntutimu saat kau berbelanja. Sesekali dia melakukan perjalanan khusus untuk menemukanmu. Lalu dia mendaftar di sekolahmu. Aku tak tahan untuk tidak bertanya kepada diriku sendiri, apa yang istimewa darimu" Aku berusaha mencari jawaban. Sudah cukup lama aku mengawasimu.
Ketakutan menyerangku. Barulah aku tahu bahwa selama ini bukan kehadiran ayahku yang kurasakan mengikutiku seperti makhluk halus yang melindungiku. Tetapi itu adalah Jules. Perasaan kehadiran yang sedingin es dan tak wajar itu muncul lagi sekarang. Hanya saja seratus kali lebih dahsyat.
Aku tak ingin membuat Patch curiga, jadi aku mundur, dia melanjutkan. Saat itulah Elliot masuk, dan tak butuh waktu lama dia menguatkan apa yang selama ini sudah bisa kutebak. Patch jatuh cinta kepadamu.
Potongan-potongan p u zzle seolah masuk ke tempatnya masing-masing. Jules tidak sakit pada malam ketika dia menghilang ke kamar mandi pria di Delphic. Dan dia juga tidak sakit pada malam ketika kami ke
Borderline. Selama ini alasannya sederhana saja. Dia tak boleh terlihat oleh Patch. Begitu Patch melihatnya, hancurlah semuanya. Patch akan tahu bahwa Jules Chauncey merencanakan sesuatu. Elliot menjadi mata dan telinga Jules, alias sumber informasi baginya.
Aku berencana membunuhmu dalam perjalanan kemping. Tapi Elliot tak bisa menyakinkanmu untuk datang, kata Jules. Belum lama ini aku membuntutimu di Blind Joe dan menembakmu. Bayangkan betapa terkejutnya aku ketika tahu bahwa aku membunuh perempuan yang mengenakan mantelmu. Tapi sekarang masalahnya selesai. Nada bicaranya santai. Kita ada di sini.
Aku menggeser posisi duduk, pisau bedah itu menyusup semakin jauh dalam celana jinsku. Kalau aku tidak hati-hati, benda itu tak bisa kutarik. Dan seandainya Jules memaksaku berdiri, pisau itu bisa meluncur jatuh dari lubang celanaku. Dan semuanya akan berakhir.
Biar kutebak isi kepalamu, kata Jules, mengangkat kaki dan berjalan ke depan. Kau mulai merasa menyesal karena bertemu dengan Patch. Kau berharap dia tidak jatuh cinta kepadamu. Silakan. Tertawakan saja bagaimana Patch telah menempatkanmu pada posisi buruk. Tertawakan saja pilihamu yang salah.
Mendengar ucapan Jules tentang cinta Patch membuatku memiliki harapan yang tidak rasional.
Aku menarik pisau bedah dari jinsku dan melompat dari posisiku. Jangan dekat-dekat! Aku akan menusukmu. Sumpah, aku tidak main-main!
Jules menggerutu dan mengayunkan tangannya ke konter di depan ruangan. Tabung kaca hancur membentur papan tulis, kertas-kertas beterbangan. Dia menghampiriku. Di tengah kepanikan, aku mengayunkan pisau itu sekuat mungkin. Benda ini menembus telapak tangan Jules, merobek kulitnya.
Dia mengaduh dan mundur. Tidak menyia-nyiakan waktu, aku menikam pahanya.
Jules terjatuh begitu pisau menancap di kakinya. Dia menarik pisau dengan kedua tangan, wajahnya menahan raa sakit. Lalu dia membuka tangan dan pisau itu meluncur ke lantai dengan bunyi berkelentang. Tertatih-tatih, dia mendekatiku.
Aku menjerit dan menghindar, tapi pinggulku membentur ujung meja. Aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Pisau bedah tergeletak beberapa kaki dariku.
Jules menendangku hingga aku terjungkal menghadap lantai dan mengangkangiku dari belakang.
Ditekankannya wajahku ke lantai, membuat hidungku remuk dan membungkam jeritanku.
Berani sekali, dia mengomel. Tapi kau tak akan bisa membunuhku. Aku Nephilim. Abadi.
Aku menggapai pisau, melebarkan jari di lantai untuk menjangkau jarak terakhir yang sangat berarti. Jemariku sudah di atasnya. Aku sudah begitu dekat, tapi Jules menyeretku kembali.
Aku mengangkat kaki dan melayangkan tendangan sekuat-kuatnya ke antara kedua kakinya. Dia berteriak kesakitan dan menahan tubuhnya ke satu sisi. Aku berusaha berdiri, tapi Jules berguling ke pintu, berlutut di antara aku dan pintu.
Matanya tertutup rambut. Butiran keringat menetes di wajahnya. Mulutnya miring, separuh menahan rasa sakit.
Setiap otot dalam tubuhku menegang, siap melancarkan aksi.
Semoga berhasil kalau kau ingin kabur, katanya dengan senyum sinis yang muncul dengan usaha keras. Kau akan tahu maksudku. Lalu dia terjerembap ke lantai.
kU Tak TaHU Di Mana Vee. sebUaH iDe muncul bahwa aku harus berpikir seperti Jules di mana aku akan mengurung Vee kalau aku menjadi dirinya"
D ia pasti memilih tempat yang sulit ditemukan dan membuat tawanannya sulit melarikan diri, pikirku.
A ku membaya ng ka n su su na n gedu ng i n i , mempersempit perhatian ke lantai atas. Kemungkinan Vee berada di lantai tiga, lantai tertinggi di sekolah ini kecuali lantai empat, yang tak lebih dari sekadar loteng dan hanya bisa dicapai dengan menaiki tangga
yang ada di lantai tiga. Ada dua ruangan kelas bergaya bungalow di atas, kelas bahasa Spanyol dan lab eZine.
Vee ada di lab eZine. Pikiran itu muncul begitu saja.
Aku bergerak secepat mungkin dalam kegelapan, menaiki tangga dengan melompati dua undakan sekaligus. Setelah mencari-cari, aku menemukan tangga sempit yang menuju ke lab eZine. Di atas, aku mendorong pintu.
Vee" panggilku lembut. Dia mengeluh pelan.
Ini aku, kataku, menjaga langkah sehati-hati mungkin saat aku melewati gang di antara meja-meja. Aku tak mau menabrak kursi dan membuat Jules tahu lokasiku. Kau sakit" Kita harus keluar dari sini. Aku mendapati Vee meringkuk di depan ruangan, memeluk lutut ke dadanya.
Jules memukul kepalaku, katanya, suaranya meninggi. Rasanya aku pingsan. Sekarang aku tak bisa melihat. Aku tak bisa melihat apa-apa!
Dengarkan aku. Jules memadamkan listrik dan menutup tirai. Ruangan ini gelap. Pegang tanganku. Kita harus turun sekarang.
Kurasa dia merusak sesuatu. Kepalaku berdenyutdenyut. Aku benar-benar sudah buta!
Kau tidak buta, bisikku, mengguncang pelan tubuhnya. Aku juga tak bisa melihat. Kita harus mencari jalan turun. Lalu keluar melalui ruangan olahraga.
Dia mengunci semua pintu.
Kami tenggelam dalam keheningan yang kaku. Aku teringat Jules mengatakan semoga berhasil kalau aku ingin kabur. Dan sekarang aku tahu sebabnya. Rasa menggigil menjalar dari jantungku ke seluruh tubuh. Tetapi pintu yang kulewati saat masuk, tidak, kataku pada akhirnya. Pintu ujung timur tidak dikunci.
Mungkin itu satu-satunya. Aku bersamanya ketika dia mengunci pintu-pintu yang lain. Dia bilang dengan begitu tak ada yang mencoba untuk keluar ketika kami bermain petak umpet. Dia bilang wilayah luar tak termasuk arena permainan.
Kalau pintu timur adalah satu-satunya yang tidak dikunci, dia pasti berusaha memblokirnya. Dia akan menunggu kita di sana. Tapi kita tidak akan ke sana. Kita keluar melalui jendela, kataku, menyusun rencana di luar kepala. Di ujung yang satunya lagi ujung yang ini. Kau bawa ponsel"
Diambil Jules. Begitu kita di luar, kita harus memisahkan diri. Kalau Jules mengejar kita, dia pasti memilih salah satu di antara kita. Dan yang lainnya bisa mencari
bantuan. Aku sudah tahu siapa yang akan dia pilih. Jules tidak bermaksud menahan Vee, kecuali untuk membuatku datang ke sini. Berlarilah secepat mungkin dan cari telepon. Hubungi polisi. Katakan Elliot ada di perpustakaan.
Hidup" tanya Vee, suaranya gemetar. Aku tidak tahu.
Kami berpelukan dan aku merasa Vee menarik ujung kausnya dan menyeka mata. Ini semua salahku. Salah Jules.
Aku takut. Semuanya akan baik-baik saja, kataku, berusaha terdengar optimis. Aku menikam kaki Jules dengan pisau bedah. Dia mengalami pendarahan hebat. Mungkin dia berhenti mengejar kita dan mencari obat-obatan.
Vee terisak. Kami sama-sama tahu, aku berbohong. Keinginan Jules membalas dendam lebih kuat dari lukanya. Lebih kuat dari segalanya.
Vee dan aku merayap menuruni tangga, berpegangan ke dinding sampai kami berada di lantai utama.
Ke sini, bisikku ke telinga Vee sambil menggenggam tangannya saat kami melangkah cepat-cepat menuju arah barat.
Belum jauh berjalan, terdengar suara gumaman, agak mirip suara orang tertawa, melayang dari lorong kegelapan di depan.
Well, well, siapa ini" kata Jules. Wajahnya sama sekali tak terlihat.
Lari, kataku kepada Vee. Kuremas tangannya. Dia menginginkan aku. Hubungi polisi. Lari!
Vee melepas tanganku dan berlari. Gerakan kakinya luar biasa cepat. Sepintas aku bertanya-tanya, apakah Patch masih berada di gedung ini atau tidak. Tapi itu cuma pikiran sampingan. Sebagian besar perhatianku terpusat pada satu tekad, aku tak ingin pingsan. Karena sekali lagi, aku berhadapan dengan Jules.
Butuh waktu setidaknya dua puluh menit bagi polisi untuk menjawab panggilan, kata Jules, langkah sepatunya terdengar semakin dekat. Aku tak butuh dua puluh menit.
Aku berbalik dan berlari. Jules menghalangi niatku dari arah belakang.
Meraba-raba dinding, aku berbelok ke kanan pada persimpangan pertama lalu tergesa-gesa melewati lorong yang berliku-liku. Terpaksa mengandalkan dinding sebagai pemandu, tanganku menerpa ujung loker yang tajam dan pegangan pintu sehingga kulitku tergores. Aku berbelok ke kanan lagi, berlari secepat mungkin menuju dua pintu gimnasium.
Satu-satunya pikiran dalam kepalaku adalah kalau aku sampai di loker gimnasium tepat pada waktunya, aku bisa mengunci diri di sana. Ruangan loker untuk
para siswi berjejer rapat di dinding. Masing-masing loker berukuran sangat besar dan tinggi hingga menjulang dari dinding ke langit-langit. Akan butuh waktu bagi Jules untuk membukanya satu per satu. Kalau aku beruntung, polisi akan datang sebelum dia menemukanku.
Aku masuk ke gimnasium dan berlari ke ruangan loker yang tak terpisah dari tempat itu. Begitu aku mendorong pegangan pintu, rasa takut menjalar dalam diriku. Pintu itu dikunci. Kuguncang pegangan pintu lagi, tapi tak ada hasilnya. Aku berbalik, mencari jalan keluar dengan panik. Tapi aku terperangkap di gimnasium. Aku menyandarkan punggung dengan lemas ke pintu, memejamkan mata untuk mengusir rasa ingin pingsan, dan mendengarkan bunyi napasku yang tersengal-sengal.
Ketika aku membuka mata kembali, Jules berjalan masuk di tengah seulas cahaya bulan yang menyelinap melewati celah di langit-langit. Dia membebatkan kausnya ke paha. Noda darah menembus kain itu. Jules hanya mengenakan kaus dalam putih dan celana militer. Sebuah pistol terselip di pinggang celananya. Biarkan aku pergi, bisikku.
Vee membocorkan informasi menarik tentang dirimu. Kau takut ketinggian. Dia menengadah ke langit-langit yang tinggi di atas gimnasium. Senyum mengembang di wajahnya.
Udara tertutup sarat dengan bau keringat dan pernis kayu. Pemanas dimatikan selama liburan musim semi dan suhu menjadi dingin membeku. Beberapa bayangan bergerak maju-mundur di atas lantai yang mengilap, seiring cahaya bulan yang menyisip di antara awan. Jules berdiri dengan punggung menempel ke panggung kayu, dan kulihat Patch berjalan di belakangnya.
Apakah kau yang menyerang Marcie Miller" tanyaku kepada Jules, memerintahkan diriku sendiri untuk tidak bereaksi dan memberi jalan bagi Patch.
Elliot bilang kalian berdua bertengkar hebat. Aku tak suka ada orang lain ikut menikmati kesenangan menyiksa cewekku.
Dan jendela kamarku" Apakah kau yang mematamataiku saat aku tidur"
Tak ada yang bersifat pribadi.
Tubuh Jules mendadak kaku. Tiba-tiba dia maju dan menarik pergelangan tanganku, memutar tubuhku sehingga berada di depannya. Aku merasakan sesuatu yang selama ini aku takutkan. Pistol itu ditempelkan ke belakang leherku. Buka topimu, kata Jules kepada Patch. Aku ingin melihat ekspresi wajahmu ketika aku membunuhnya. Kau tak berdaya untuk menolongnya. Sama tak berdayanya seperti aku untuk membatalkan sumpah yang telah kuucapkan kepadamu.
Patch mendekat beberapa langkah. Gerakannya santai, tapi aku merasakan sikapnya yang sangat berhatihati. Pistol ditekankan lebih dalam, dan aku meringis.
Maju selangkah lagi dan dia tak akan bernapas lagi, kata Jules memperingatkan.
Patch menatap ke arah kami dari kejauhan, memperhitungkan seberapa cepat dia bisa menempuh jarak itu. Jules melihatnya.
Jangan coba-coba, katanya.
Kau tak akan menembaknya, Chauncey. Tidak" Jules menekan pelatuk. Pistol itu mengeluarkan bunyi klik, dan aku membuka mulut ingin menjerit, tapi yang keluar hanyalah isak tangis ketakutan.
Revolver, Jules menjelaskan. Lima katup lainnya berisi.
Sia p m em p ra kt ik k a n gera k a n t in ju ya ng k a u gembar-gemborkan" kata Patch ke pikiranku.
Detak jantungku tak beraturan, kakiku nyaris tak bisa menopang tubuhku. Ap-pa" aku tergagap.
Tanpa aba-aba, desakan kekuatan merasuk diriku. Kekuatan asing itu menjalar ke seluruh tubuhku. Bagi Patch, tubuhku luar biasa rapuh. Seluruh kekuatan dan kebebasanku lenyap begitu dia menguasai diriku.
S e b e lu m a k u s e m p a t m e n y a d a r i b e t ap a menakutkannya kehilangan kendali ini, entakan sakit
menerpa tanganku. Aku sadar, Patch menggunakan kepalan tanganku untuk menonjok Jules. Pistol itu terlepas dan meluncur di atas lantai gimnasium, di luar jangkauan kami.
Patch memerintahkan tanganku untuk mendorong Jules hingga membentur panggung kayu. Jules terjengkang ke belakang.
Berikutnya yang aku ketahui, tanganku menempel di kerongkongan Jules, mendorong kepalanya ke kayu hingga menimbulkan bunyi keras kraak! Aku menahannya, jemariku menekan lehernya. Mata Jules melebar, lalu biji matanya seolah akan melompat keluar. Dia berusaha bicara, bibirnya bergerak tak karuan, tapi Patch tidak melepaskan cengkeramannya.
Aku tak bisa berada di dalam tubuhmu lebih lama lagi, Patch berbicara ke pikiranku. Sekarang bukan Cheshvan dan aku tak diizinkan melakukan ini. Begitu aku keluar, kau lari. Paham" Lari secepat mungkin. Chauncey sudah kelewat lemah dan kaget untuk masuk ke dalam kepalamu. Lari dan jangan berhenti.
Bunyi dengungan melengking tinggi di dalam tubuhku, dan aku merasa tubuhku mengelupas karena keluarnya Patch.
Pembuluh darah di leher Jules menonjol dan kepalanya terkulai ke satu sisi. Ayo, kudengar Patch mendesaknya. Pingsan& pingsan&
Tapi sudah terlambat. Patch menghilang dari diriku. Dia pergi dengan mendadak, tinggal aku yang merasa pusing.
Tanganku berada di bawah kendaliku lagi sekarang, dan secara naluriah menjauh dari leher Jules. Dia gelagapan mencari udara, matanya mengerjap-ngerjap. Patch tergeletak di lantai, tak bergerak.
Aku teringat ucapan Patch lalu lari menyeberangi gimnasium. Kubenturkan badanku ke pintu, berharap mendarat di lorong. Tapi aku malah menabrak dinding. Aku menggoncang-goncang tuas pintu, sadar kalau pintu dikunci. Lima menit lalu aku melewatinya. Dengan seluruh kekuatan, kutabrakkan badanku ke pintu. Tetap tak terbuka.
Aku berbalik, aliran adrenalin membuat lututku gemetar. Keluar dari pikiranku! teriakku kepada Jules.
Berusaha bangkit dan duduk di kayu terbawah, Jules mengurut-urut kerongkongannya. Tidak, katanya.
Aku berusaha membuka pintu lagi. Aku mengangkat kaki dan menendang tuas. Aku menggedor-gedor celah jendela di pintu. Tolong! Ada yang mendengarku" Tolong!
Aku menoleh, dan melihat Jules beringsut-ingsut ke arahku. Kakinya yang cedera terincat-incat di setiap langkah. Aku memejamkan mata kuat-kuat, berusaha
memusatkan pikiran. Pintu akan terbuka begitu aku menemukan suaranya dan mengusirnya. Aku menelisik setiap sudut pikiranku, tapi tak bisa menemukannya. Dia masuk terlalu dalam, bersembunyi dariku. Aku membuka mata. Jules sudah jauh lebih dekat. Aku harus segera mencari jalan lain.
Ada sebuah tangga besi menempel di dinding di atas panggung. Ujungnya mencapai kuda-kuda di atas gimnasium. Di ujung kuda-kuda, di dinding seberang sana, nyaris tepat di atasku berdiri, ada tingkap udara. Aku bisa mencapainya. Aku bisa menaiki tangga dan mencari jalan turun.
Aku nekat berlari melewati Jules dan memanjat panggung. Sepatuku tersandung kayu, bunyinya bergema di ruang kosong, membuat mustahil mendengar apakah Jules membuntuti aku atau tidak. Aku menjejakkan kaki di anak tangga besi pertama dan mengangkat tubuhku ke atas. Aku menaiki satu batang besi, lalu batang lainnya. Melalui sudut mata, aku melihat pancuran air minum di bawah. Ukurannya sangat kecil, menandakan posisiku yang tinggi. Sangat tinggi.
Jangan melihat ke bawah, perintahku kepada diri sendiri. Konsentrasikan perhatian ke atas. Tertatih-tatih, aku menaiki satu batang besi lagi. Tangga itu bergoyang, tidak menempel dengan baik ke dinding.
Tawa Jules sampai ke telingaku, konsentrasiku pecah. Gambaran akan terjatuh melintas di kepala. Aku tahu, dialah yang memasukkan gambaran itu. Lalu otakku bergoyang, dan aku tak bisa mengingat mana arah ke atas, mana yang ke bawah. Aku tak bisa memilah antara pikiranku dan pikiran Jules.
Ketakutanku begitu kuat sehingga pandanganku kabur. Aku tak tahu di mana tangga yang kupijak. Apakah kakiku di tengah" Apakah aku hampir jatuh" Sambil berpegangan ke besi dengan kedua tangan, kutekankan dahi ke ruas jari. Bernapas, perintahku dalam hati. Bernapas!
Lalu aku mendengar suara itu.
Suara itu pelan dan mengganggu, bunyi logam yang mengilukan. Aku menutup mata untuk menekan rasa pusing.
Kemudian siku-siku logam yang mengunci bagian atas tangga ke dinding terlepas. Bunyi kelentang logam berubah menjadi dentingan melengking begitu serangkaian siku-siku selanjutnya terlepas dari dinding. Aku melihat dengan jeritan tertahan di kerongkongan, saat keseluruhan bagian atas tangga terlepas. Sambil menautkan tangan dan kaki ke tangga, aku bersiap untuk terjungkal ke belakang. Tangga itu bergoyanggoyang, dengan sabar mengikuti gravitasi.
Kemudian semuanya terjadi begitu cepat. Kuda-kuda dan atap mengabur dari pandanganku. Aku melayang ke bawah sampai, tiba-tiba, tangga itu membentur sesuatu hingga berhenti, lalu berayun ke atas dan ke bawah, menggantung di dinding, tiga puluh kaki di atas tanah. Akibatnya tautan kakiku terlepas sehingga pegangan tanganku adalah satu-satunya yang membuatku masih menempel di tangga.
Tolong! aku menjerit. Kakiku bergerak-gerak tidak karuan di udara. Tangga itu bergoyang, turun beberapa kaki lagi. Salah satu sepatuku menjadi longgar, tersangkut di jari kakiku, lalu jatuh. Lama kemudian ia menyentuh lantai gimnasium.
Aku menggigit lidah untuk menahan rasa sakit di tanganku yang semakin hebat, seolah akan copot dari pundak.
Di tengah rasa takut dan panik, aku mendengar suara Patch. Usir dia d ar i kepala m u . Ter u s n aik. Tangganya tak apa-apa.
Aku tak bisa, kataku terisak. Aku jatuh! Usir dia. Pejamkan matamu. D engarkan suuraku. Sambil menelan ludah, aku memaksa mataku terpejam. Aku bersandar pada suara Patch dan merasakan permukaan yang kokoh menjelas di atasku. Kakiku tak lagi tergantung di udara. Aku merasakan satu anak tangga melesak ke telapak kakiku. Sambil memusatkan
perhatian pada suara Patch, aku menunggu sampai dunia merayap kembali ke tempatnya. Patch benar. Aku berada di tangga yang berdiri tegak, menempel dengan aman di dinding. Aku meraih keyakinan kembali dan terus memanjat.
Di atas, aku menggantungkan diri di kuda-kuda terdekat. Aku berpegangan, kemudian mengayunkan kaki kananku ke atas dan menautkannya. Aku menghadap dinding dengan punggung menempel ke tingkap udara. Tapi tak ada yang bisa kulakukan sekarang. Dengan sangat hati-hati, aku merangkak. Sambil berkonsentrasi penuh, aku mulai bergerak mundur melewati ruang gimnasium.
Tapi terlambat. Jules naik dengan cepat, dan sekarang jaraknya denganku kurang dari lima belas kaki. Dia memanjat kuda-kuda. Bergelayut dengan tangan, dia menyeret tubuhnya ke arahku. Mataku menangkap goresan gelap di bagian dalam pergelangan tangannya. Goresan itu memotong pembuluh darahnya dengan sudut sembilan derajat dan warnanya nyaris hitam. Bagi orang lain, itu hanya goresan biasa. Bagiku, jauh lebih dari itu. Kekerabatan itu tampak jelas. Kami mewarisi darah yang sama, dan ini terlihat dari tanda lahir kami yang tidak berbeda.
Kami sama-sama mengangkang di kuda-kuda, duduk berhadap-hadapan dengan jarak sepuluh kaki. Ada pesan terakhir" tanya Jules.
Aku melihat ke bawah, meskipun itu membuatku pusing. Patch jauh di bawah, di lantai gimnasium. Tubuhnya masih diam tak bergerak. Ketika itulah aku ingin mundur ke masa lalu dan menghidupkan kembali momen-momen bersamanya. Satu senyuman rahasia lagi. Satu tawa bersama lagi. Satu ciuman dahsyat lagi. Menemukan dirinya seperti menemukan seseorang yang selama ini tanpa sadar kucari. Kedatangannya ke dalam kehidupanku terlalu terlambat. Dan sekarang kepergiannya kelewat cepat. Aku teringat ketika dia berkata bahwa dia menyerahkan segalanya untuk mendapatkan diriku. Dia telah melakukannya. Dia rela tak memiliki tubuh manusia agar aku bisa hidup.
Tanpa sengaja aku agak terpeleset, dan secara naluriah membungkukkan badan untuk menyeimbangkan diri.
Tawa Jules melayang seperti bisikan yang dingin. Tak ada bedanya bagiku apakah aku harus menembakmu atau kau jatuh sampai mati.
Tak ada bedanya, kataku, suaraku pelan tapi percaya diri. Dalam tubuhmu dan aku mengalir darah yang sama. Aku mengangkat tanganku yang gemetar, menunjukkan tanda lahirku kepadanya. Aku
keturunanmu. Kalau aku mengorbankan darahku, Patch akan menjadi manusia dan kau akan mati. Ini tertulis dalam Kitab H enokh.
Mata Jules sepi dari cahaya. Keduanya diarahkan kepadaku, menyerap setiap kata yang kuucapkan. Dari ekspresinya, tampak kalau dia mencerna ucapanku. Wajahnya memerah dan aku tahu dia percaya padaku. Kau--, dia terperangah.
Jules maju ke arahku seperti orang kesetanan sambil mencabut pistol dari pinggangnya.
Air mataku menggenang. Tanpa berpikir dua kali, aku menjatuhkan diri dari kuda-kuda.
* h i n T U D i b U k a l a lU D i T U T U p. a k U MenUnggU untuk mendengar langkah kaki mendekat. Tapi yang ada cuma bunyi ketukan jam yang mantap, berirama, dan memecah keheningan.
Bunyi itu mulai mengecil, terkalahkan sesuatu. Aku bertanya-tanya, apakah bunyi itu akan hilang sepenuhnya. Mendadak aku merasa takut, tak pasti apa yang menghampiriku.
Suara yang jauh lebih bersemangat melampaui bunyi jam. Suara yang menenteramkan, seperti musik pengiring tarian di udara. Sayap, pikirku. D atang untuk menjemputku.
Aku menahan napas, menunggu, menunggu, menunggu. Kemudian bunyi jam kembali dominan. Alih-alih semakin pelan, ketukannya malah bertambah mantap. Cairan seperti spiral terbentuk di dalam diriku, berjalan semakin dalam dan dalam. Aku merasa diriku tertarik ke arus itu. Aku meluncur turun ke sebuah tempat yang gelap dan hangat.
Mataku mengerjap ke kerangka kayu di langitlangit yang melengkung di atasku. Sesuatu yang sangat kukenal. Kamar tidurku. Perasaan tenteram merasuk diriku. Kemudian aku teringat tempatku sebelumnya. Di gimnasium bersama Jules.
Aliran dingin menjalar di kulitku.
Patch" kataku, suaraku parau karena lama tak digunakan. Aku berusaha duduk, lalu memekik tertahan. Ada yang tak beres dengan tubuhku. Setiap otot, tulang, sel, terasa lebam. Aku merasa seperti sebuah memar raksasa.
Ada gerakan di ambang pintu. Patch bersandar di pintu. Mulutnya tertutup rapat dan kehilangan kesan jenaka yang biasanya tampak. Matanya seolah lebih dalam dari yang pernah kulihat sebelumnya. Mata itu tajam dengan kesan melindungi.
Hebat sekali perkelahianmu di gimnasium tadi, katanya. Tapi kupikir kau bisa lebih jago lagi kalau memperdalam latihan tinjumu.
Segalanya kembali kepadaku seperti ombak. Air mata bergulir dari dalam diriku. Apa yang terjadi" Di mana Jules" Bagaimana aku bisa berada di sini" Suaraku parau karena panik. Aku menjatuhkan diri dari kuda-kuda.
Butuh keberanian besar untuk melakukannya. Suara Patch berubah menjadi berat, dan dia melangkah masuk ke dalam kamarku. Ditutupnya pintu, dan aku tahu itu adalah caranya untuk menghalangi segala keburukan. Dia meletakkan penghalang antara diriku dengan segala yang telah terjadi.
Patch mendekat dan duduk di sebelahku di atas ranjang. Apa lagi yang kau ingat"
Aku berusaha menyatukan memoriku, bergerak mundur. Aku teringat bunyi sayap mengepak tak lama setelah aku menjatuhkan diri dari kuda-kuda. Tak diragukan lagi, aku tahu bahwa aku sudah mati. Aku tahu malaikat datang untuk menjemput rohku.
Aku sudah mati, kan" tanyaku pelan, bercampur takut. Apakah aku menjadi hantu"
Ketika kau melompat, pengorbananmu itu membunuh Jules. Secara teknis, ketika kau kembali, dia pun seharusnya kembali. Tapi karena dia tak punya roh, tak ada yang menghidupkan kembali tubuhnya.
Aku kembali" tanyaku, berdoa semoga ini bukan harapan kosong.
Aku tidak menerima pengorbananmu. Aku mengembalikannya.
Aku merasa mulutku membentuk kata O h kecil. Tapi kata itu tak keluar dari bibirku. Apakah maksudmu kau rela tidak mendapatkan tubuh manusia karena aku"
Patch mengangkat tanganku yang diperban. Di bawah balutan kassa, ruas jariku memar akibat menonjok Jules. Patch mengecup masing-masing jari, tidak terburu-buru. Matanya terus menatapku. Apa gunanya tubuh kalau aku tak bisa memilikimu"
Butir-butir air mata menetes ke pipiku, dan Patch menarikku ke dalam pelukannya, menyenderkan kepalaku di dadanya. Perlahan-lahan rasa panik itu sirna, dan aku tahu semuanya sudah berakhir. Semuanya akan baik-baik saja.
Mendadak aku menjauh. Kalau Patch menolak pengorbanan itu, maka
Kau telah menyelamatkan nyawaku. Berbaliklah, perintahku sungguh-sungguh.
Patch tersenyum santai dan memenuhi permintaanku. A ku mengangkat Tsh ir t -nya hingga ke bahu. Punggungnya mulus, hanya ada otot-otot yang tampak jelas. Goresan itu menghilang.
Kau tak bisa melihat sayapku, katanya. Karena terbuat dari unsur spiritual.
Kau malaikat pelindung sekarang. Aku masih kelewat terpesona untuk menyatukan pikiranku. Tapi pada saat yang sama aku merasa kagum, penasaran& bahagia.
Aku malaikat pelindungmu, katanya. Aku mendapat malaikat pelindung untuk diriku sendiri" Apa persisnya tugasmu"
Melindungi tubuhmu. Senyumnya melebar. Dan aku tidak main-main dalam menjalankan tugas. Artinya, aku harus mengenal dengan baik materi yang berada dalam lingkup tugasku, hingga ke tingkat yang bersifat pribadi.
Dadaku berdebar. Apakah itu artinya kau bisa merasa sekarang"
Patch diam sejenak tanpa melepaskan tatapannya dariku. Tidak, tapi itu bukan berarti aku kebal.
Dari arah bawah terdengar bunyi pelan pintu garasi dibuka.
Ibuku! aku tergagap. Di atas meja ada jam, jarumnya menunjukkan pukul dua pagi. Jembatan pasti sudah dibuka. Bagaimana cara kerja malaikat pelindung" Apakah aku satu-satunya orang yang bisa melihatmu" Maksudku, apakah kau menjadi tak kasat mata bagi orang lain"
Patch memandangku seolah dia berharap aku bercanda.
Jadi kau bisa terlihat" aku menjerit. Kau harus keluar! Aku berusaha mendorong Patch dari tempat tidur, tapi terhenti karena rasa sakit yang menusuk di tulang igaku. Dia akan membunuhku kalau tahu kau ada di sini. Kau bisa memanjat pohon" Katakan kau bisa memanjat pohon!
Patch nyengir. Aku bisa terbang. Oh, ya. Benar. Well, oke.
Polisi dan petugas pemadam kebakaran datang ke sini sebelumnya, kata Patch. Kamar tidur utama perlu diperbaiki, tapi mereka berhasil mencegah api menjalar ke tempat lain. Polisi akan datang kembali. Mereka akan mengajukan pertanyaan. Rasanya mereka sudah berusaha menghubungimu ke nomor yang kau gunakan untuk menelepon 911.
Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jules mengambilnya. Patch mengangguk. Sudah kududga. Aku tak peduli apa yang akan kau katakan kepada polisi. Tapi aku sangat menghargai kalau kau tidak melibatkan aku. Dia membuka kaca jendela. Terakhir. Vee menghubungi polisi tepat pada waktunya. Petugas paramedis menyelamatkan Elliot. Dia di rumah sakit, tapi akan baik-baik saja.
Di lorong bawah, aku mendengar bunyi pintu ditutup. Ibuku sudah di dalam rumah.
Nora" panggilnya. Dia melempar tas dan kunci ke meja depan. Hak sepatunya menimbulkan bunyi tuk-tuk di atas lantai kayu, nyaris berlari. Nora! Ada garis polisi di pintu depan! Apa yang terjadi"
Aku menatap ke jendela. Patch sudah pergi, tapi sehelai bulu hitam menempel di kerangka jendela sebelah luar, tidak melayang karena basah akibat hujan semalam. Atau keajaiban malaikat.
Di bawah, ibuku menghidupkan lampu ruangan utama. Seberkas cahaya pudar menerangi jalan di celah bawah pintu kamarku. Aku menahan napas dan menghitung detik. Rasanya dua detik lagi
Ibu menjerit. Nora! Ken apa pegangan tangga hancur begini!
Syukurlah dia belum melongok kamar tidurnya.
Langit berwarna biru jernih. Matahari baru saja menyembul di ufuk. Sekarang hari Senin, hari yang baru. Rasa takut selama dua puluh empat jam terakhir menghilang sudah. Aku tidur nyenyak selama lima jam. Dan selain rasa sakit di seluruh tubuh akibat peristiwa yang membuatku terisap ke dalam kematian lalu terlontar kembali, aku merasa segar bugar. Aku tak mau mengundang awan hitam dengan mengingatkan diriku bahwa polisi akan datang sebentar lagi untuk meminta keterangan tentang kejadian semalam. Aku
belum memutuskan apa yang akan kusampaikan kepada mereka.
Aku berjalan pelan ke kamar mandi dengan mengenakan gaun tidur. Kulewati rutinitas pagiku seraya berusaha mengusir pertanyaan dalam hati, bagaimana aku berganti pakaian, karena jelas aku tidak memakai gaun tidur ketika Patch membawaku pulang. Aku memercikkan air dingin ke wajah, menggosok gigi, lalu mengikat rambut ke belakang dengan gelang karet. Di kamar, aku mengenakan atasan bersih, jins bersih. Aku menelepon Vee.
Bagaimana kabarmu" tanyaku. Baik. Kau"
Baik. Diam. Oke, sela Vee terburu-buru, aku masih benarbenar takut. Kau"
Seratus persen. Patch meneleponku tengah malam. Katanya Jules melukaimu cukup parah, tapi kau tak apa-apa. Sungguh" Patch meneleponmu"
Dia menelepon dari jip. Katanya kau tertidur di kursi belakang dan dia akan mengantarmu pulang. Patch bilang kebetulan saja dia melewati sekolah dan mendengar teriakan. Dia menemukanmu di gimnasium, tapi kau pingsan karena kesakitan. Berikutnya yang dia
tahu, dia menengadah dan melihat Jules melompat dari kuda-kuda di atap gimnasium. Menurut Patch, Jules pasti kehabisan akal, efek samping dari rasa bersalah karena telah menerormu.
Tanpa sadar aku menahan napas sampai Vee selesai bicara. Kelihatannya Patch merekayasa beberapa keterangan.
Kau tahu, aku tak percaya, lanjut Vee. Menurutku Patch-lah yang membunuh Jules.
Kalau aku dalam posisi Vee, mungkin aku akan berpikiran sama dengannya. Bagaimana menurut polisi, kataku.
Nyalakan TV. Ada liputan langsung sekarang, Saluran Lima. Mereka bilang Jules menerobos sekolah dan melompat. Mereka mengomentari kejadian itu sebagai peristiwa bunuh diri tragis yang dilakukan oleh remaja. Mereka meminta masyarakat yang punya informasi untuk menelepon hotline yang tertera di bawah layar.
Apa yang kau katakan kepada polisi saat pertama kau menelepon mereka"
Aku ketakutan. Aku tak ingin ditangkap atas tuduhan menyelinap dan masuk ke properti orang lain tanpa izin. Jadi aku menghubungi mereka dari telepon umum dengan nama samaran.
W e l l , k at a k u a k h i r nya , k a l au p o l i s i menganggapnya sebagai bunuh diri, kukira itulah yang terjadi. Lagi pula ini Amerika. Kita punya ahli forensik yang hebat.
Kau merahasiakan sesuatu dariku, kata Vee. Apa yang sebenarnya terjadi setelah aku pergi"
Di sinilah susahnya. Vee sahabatku, dan kami memegang moto Tak Ada Rahasia. Tapi ada beberapa hal yang mustahil dijelaskan. Fakta bahwa Patch adalah malaikat terbuang yang menjadi malaikat pelindung menduduki urutan pertama. Tepat di bawahnya adalah fakta bahwa aku melompat dari kuda-kuda dan mati, tapi masih hidup sampai hari ini.
Aku ingat Jules menyudutkan aku di gimnasium, kataku. Dia bilang akan membuatku sangat kesakitan dan ketakutan. Setelah itu aku tak terlalu ingat lagi.
Apakah sudah terlambat untuk meminta maaf" kata Vee, suaranya lebih tulus dibandingkan dalam persahabatan kami selama ini. Kau benar soal Jules dan Elliot.
Permintaan maaf diterima.
Kita harus ke mall, katanya. Aku merasakan kebutuhan yang merasuk jiwa untuk membeli sepatu. Lebih dari sepasang. Kita butuh terapi berbelanja sepatu yang benar dan baik.
Bel pintu berbunyi, dan aku melirik jam. Aku harus memberikan keterangan kepada polisi tentang kejadian semalam. Setelah itu aku akan meneleponmu.
Semalam" suara Vee terdengar panik. Mereka tahu kau di sekolah" Kau tidak menyebut namaku, kan"
Sebenarnya, peristiwa yang terjadi malam sebelumnya. Sesuatu yang bernama Dabria. Kutelepon kau sebentar lagi, kataku, menutup telepon sebelum aku harus mengarang-ngarang penjelasan lagi.
Terincat-incat melewati lorong, aku baru menginjak anak tangga pertama ketika kulihat ibuku mengundang masuk seseorang.
Detektif Basso dan Holstijic.
Ibu mengantar mereka ke ruang tamu, dan meskipun Detektif Holstijic menjatuhkan diri di sofa, Detektif Basso tetap berdiri. Dia memunggungiku, tapi bunyi kakiku yang menuruni tangga membuatnya membalikkan badan.
Nora Grey, katanya dengan suara polisinya yang jantan. Kita bertemu lagi.
Ibuku mengerjap. Kalian pernah bertemu" Putri Anda memiliki kehidupan yang menarik. Sepertinya kami ke sini setiap minggu.
Ibu menatapku penuh tanda tanya dan aku hanya mengangkat bahu, pura-pura tidak tahu, dengan ekspresi yang seolah mengatakan, Lelucon polisi"
Bagaimana kalau kau duduk, Nora, dan ceritakan peristiwa itu, kata Detektif Holjistic.
Aku menjatuhkan diri ke satu kursi besar berlengan di seberang sofa. Menjelang jam sembilan malam, aku di dapur menikmati segelas susu cokelat ketika Miss Greene, psikolog sekolahku, datang.
Dia datang begitu saja ke rumahmu" tanya Detektif Basso.
Dia bilang aku punya sesuatu yang dia inginkan. Dan saat itulah aku berlari ke atas dan mengunci diri di kamar tidur utama.
Tunggu, kata Detektif Basso. Apa yang dia inginkan"
Dia tidak bilang. Tapi dia mengatakan bahwa dia bukan psikolog sekolah yang sebenarnya. Dia memanfaatkan pekerjaan itu untuk memata-matai siswa. Aku menatap semua orang silih berganti. Sinting, ya" Kedua detektif saling berpandangan.
Aku akan mencatat namanya, kita lihat saja apa yang bisa kutemukan, kata Detektif Holstijic sambil berdiri.
Biar kuluruskan, kata Detektif Basso kepadaku. Dia menuduhmu mencuri sesuatu yang menjadi miliknya, tapi dia tidak mengatakan apa itu"
Pertanyaan sulit lagi. Dia histeris. Aku tak paham seluruh ucapannya. Aku berlari dan mengurung diri di kamar utama, tapi dia mendobrak pintu. Aku bersembunyi di dalam perapian. Dan dia bilang akan membakar rumah ini kamar demi kamar untuk menemukan aku. Lalu dia menyalakan api. Tepat di tengah kamar. Bagaimana dia menyalakan api" tanya ibuku. Aku tak bisa melihat. Aku di dalam perapian. Ini gila, kata Detektif Basso, menggeleng-gelengkan kepala. Aku tak pernah melihat yang seperti ini.
Apakah dia akan kembali" tanya ibuku kepada kedua detektif itu, menghampiriku dari belakang dan meletakkan tangannnya di bahuku sebagai bentuk perlindungan. Apakah Nora aman"
Mungkin Anda perlu mempertimbangkan untuk memasang sistem keamanan. Detektif Basso membuka dompet dan menyodorkan sehelai kartu nama kepada Ibu. Aku berani menjamin orang-orang ini. Katakan kepada mereka, aku yang memberitahu Anda. Mereka akan memberi diskon.
Beberapa jam setelah kedua detektif itu pergi, bel berbunyi lagi.
Itu pasti perusahaan sistem alarm, kata Ibu, bertemu denganku di lorong. Aku menelepon, dan mereka bilang akan mengirim orangnya hari ini. Aku tak bisa membayangkan tidur di sini tanpa perlindungan sampai mereka menemukan Miss Greene dan menjebloskannya ke dalam penjara. Apakah sekolah sudah memeriksa referensinya" Ibu membuka pintu, dan Patch berdiri di beranda. Dia mengenakan Levi s belel dan T-shirt putih yang rapi. Di tangan kirinya ada kotak peralatan.
Selamat Siang, Mrs. Grey.
Patch. Aku tak bisa mengartikan nada suara ibuku. Kaget bercampur kecewa. Kau datang untuk bertemu Nora"
Patch tersenyum. Aku ke sini untuk memasang sistem alarm yang baru.
Kupikir kau bekerja di tempat lain, kata Ibu. Kupikir kau karyawan kebersihan di Borderline.
Aku mendapat pekerjaan baru. Mata Patch bertemu mataku, dan aku merasakan kehangatan di banyak bagian tubuhku. Bahkan aku merasa nyaris demam. Di luar" ajak Patch kepadaku.
Aku membuntutinya ke motornya.
Masih banyak yang harus kita bicarakan, kataku.
Bicara" Dia menggelengkan kepala, matanya sarat dengan keinginan. Cium, bisiknya ke kepalaku.
Itu bukan permintaan, tapi peringatan. Dia nyengir ketika aku tidak memprotes. Patch mendekatkan mulutnya ke mulutku. Sentuhan pertama terjadi begitu saja seperti sebuah sentuhan. Suatu kelembutan yang menggoda, membangkitkan gairah. Aku menjilat bibir dan senyum Patch melebar.
Lagi" dia bertanya.
Aku menyusupkan tanganku ke rambutnya, menariknya lebih dekat. Lagi.
U C A P A N T E R I M A K A S I H Terima kasih kepada Caleb Warnock dan rekan-rekanku sesama penulis di Writing in Depth. Aku tak bisa mendapatkan teman-teman yang lebih sejati dalam perjalanan ini dibandingkan mereka. Acungan jempol kepada Laura Andersen, Ginger Churchill, dan Patty Esden, orang-orang yang jujur (meskipun ketika aku tak menginginkannya) dan yang tak pernah membiarkan aku menyerah. Terima kasih teristimewa kepada Eric James Stone karena telah mengikatkan pita di kemasan buku ini.
Aku juga ingin berterima kasih kepada Katie Jeppson, Ali Eisenach, Kylie Wright, Megan dan Josh Walsh, Lindsey Leavitt, dan Riley serta Jace Fitzpatrick, atas segalanya mulai dari menjaga anak, memberikan informasi tentang prosedur pembedahan, asah otak bersama, dan kesabaran yang tak ada batasnya.
Sungguh menyenangkan bekerja dengan Emily Meehan, editorku yang piawai, dan teman-temanku di
Simon and Schuster BFYR yang telah membuatku ceria. Dan mereka bekerja di belakang layar untuk mewujudkan semua ini. Justin Chanda, Anne Zafian, Courtney Bongiolatti, Dorothy Gribbin, Chava Wolin, Lucy Ruth Cummins, Lucille Rettino, Elke, Villa, Chrissy Noh, Julia Maguire, dan Anna McKean, terima kasih!
Aku sangat berterima kasih karena Chaterine Drayton masuk ke dalam kehidupanku tepat pada waktunya. Terima kasih karena telah membantuku mewujudkannya sejauh ini. Aku tak akan melupakan panggilan telepon itu begitu kutahu bukuku sudah terjual&
Terima kasih kepada James Porto atas sampul yang melebihi ekspektasiku. Aku juga ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada copy editorku, Valerie Shea.
Dan terutama, terima kasih kepada ibuku. Atas segalanya. XOXO.
FINALE Buku #4 dari Hush Hush Saga
SILENCE Buku #3 Hush Hush Saga KARYA B ECCA F I TZPATRICK !
C RESCE NDO Buku #2 Hush Hush Saga he Mortal Instrument Series
Cassandra Clare CITY OF BONES SC; 664 hal
14 x 20,5 cm Rp.89.900,- CITY OF ASHES SC; 616 hal
14 x 20,5 cm Rp.99.900,- CITY OF GLASS SC; 752 hal
14 x 20,5 cm Rp.109.900,CITY OF FALLEN ANGELS SC; 580 hal
14 x 20,5 cm Rp.89.900,-CITY OF LOST SOULS SC; 720 hal
14 x 20,5 cm Rp.99.900,- Dear Fantasious Reader, Mau mendapatkan paket buku terbitan fantasious secara gratis" Mudah saja, tulis biodata kamu dengan format di bawah ini, kirimkan ke email redaksi.fantasious@gmail.com dengan subjek Undian-paket buku atau via pos ke penerbit fantasious, Jl. kebagusan iii, komplek nuansa kebagusan 99, kebagusan, pasar Minggu, Jakarta selatan 12520. pemenang akan diundi setiap tiga bulan sekali. Jangan sampai ketinggalan!
nama : .............................................. TTl : .............................................. alamat : .............................................. nomor Telepon : .............................................. email : .............................................. Twitter : .............................................. facebook : .............................................. Jenis buku fantasi yang disukai : ..............................................
Bentrok Rimba Persilatan 10 Hancurnya Sian Thian San Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke Iv Karya Lovelydear Naga Kemala Putih 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama