Ceritasilat Novel Online

Perempuan Di Titik Nol 3

Perempuan Di Titik Nol Women At Point Zero Karya Nawal El Saadawi Bagian 3


Maka dia berkata, Nah, kalau begitu, mengapa tidak memilih saya"
Karena kuku jari-jarimu kotor, dan aku hanya senang kepada yang bersih.
Orang ketiga mendekat. Dia mengucapkan kata-kata rahasia itu, kunci pembuka teka-teki yang sudah saya pecahkan. Saya bertanya:
Berapa kau mau bayar" Sepuluh pon.
Tidak, dua puluh. Kehendak Anda adalah perintah bagi saya, dan dia membayar saya di situ juga.
BERAPA TAHUNKAH DARI yang telah lalu dari kehidupan saya sebelum tubuh dan diri saya sendiri menjadi benar-benar milik saya, untuk memperl akukannya
112 sebagaimana yang saya inginkan" Berapa tahunkah dari kehidupan saya telah hilang sebelum saya melepaskan tubuh dan diri saya sendiri menjauhi mereka yang memegang saya dalam genggaman mereka sejak hari pertama" Kini saya dapat menentukan makanan apa yang saya ingin makan, rumah mana yang saya lebih suka tempati, menolak laki-laki yang menimbulkan rasa enggan, apa pun alasannya, dan memilih laki-laki yang saya inginkan, sekalipun hanyalah karena dia itu bersih dan kukunya terawat baik. Seperempat abad telah lewat, karena saya menginjak umur dua puluh lima ketika saya mulai memiliki sebuah apartemen sendiri yang bersih, dengan pemandangan ke arah jalan utama, menggaji seorang koki yang menyiapkan makanan yang saya pesan, dan mempekerjakan seorang lainnya untuk mengatur pertemuan-pertemuan pada jam-jam yang cocok dengan saya, dan yang sesuai dengan persyaratan yang saya anggap dapat diterima. Rekening bank saya bertambah terus. Kini saya mempunyai waktu senggang yang dapat saya gunakan untuk bersantai, pergi berjalanjalan, ke bioskop, atau ke teater, waktu untuk membaca surat-surat kabar dan untuk mendiskusikan soal-soal politik dengan kawan-kawan dekat yang telah saya pilih dari sekian banyak orang yang mengelilingi saya mencari kesempatan untuk berkawan.
Salah seorang kawan saya itu bernama Di'aa. Ia seorang wartawan, atau penulis, atau semacam itu, Saya lebih suka kepadanya daripada kawan-kawan lainnya
113 karena ia seorang Lelaki berpendidikan, dan saya telah mengembangkan suatu kegemaran terhadap kebudayaan, sejak saya mulai sekolah dan telah belajar membaca, tetapi khususnya selama periode terakhir itu karena saya dapat membeli buku-buku baru. Saya memiliki sebuah perpustakaan yang besar di dalam apartemen saya, dan di situlah saya menghabiskan lebih banyak waktu senggang saya. Di dinding saya gantungkan beberapa lukisan yang baik dan tepat di tengahnya tergantung ijazah sekolah menengah saya dilingkari sebuah bingkai yang mahal. Saya tak pernah menerima seseorang pun di dalam ruang perpustakaan. Sebuah ruangan yang sangat khusus diperuntukkan hanya bagi saya sendiri. Ruangan tidur saya adalah ruangan di mana saya menerima tamutamu. Pertama kali Di'aa datang ke rumah saya, sebelum saya sempat mengangkat penutup tempat tidur saya yang disulam, ia berkata:
Tunggu sebentar, marilah kita berbincang-bincang dulu sebentar. Saya lebih suka berbincang-bincang daripada lainnya.
Saya sedang menghadapi tempat tidur dengan membelakangi dia, sehingga saya tidak melihat ekspresi wajahnya ketika dia mengucapkan kata-kata itu. Tetapi suaranya memiliki nada yang berlainan bagi telinga saya, sebuah nada yang belum pernah saya dengar dalam suara lelaki lainnya.
Saya berbalik sedemikian rupa sehingga dapat melihat mukanya. Saya tidak biasa berbalik untuk melihat wajah
114 laki-laki. Saya biasanya mengangkat penutup tempat tidur yang disulam itu dari tempat tidur tanpa melihat kepadanya, tanpa berusaha melihat sekilas pun raut mukanya. Biasanya saya tetap menutup mata rapat-rapat sepanjang waktu dan hanya membukanya ketika beban yang menindih tubuh saya sudah terangkat dari badan saya.
Saya berbalik, mengangkat kepala saya, dan memandang tepat ke arah mukanya. Saya dapat melihat bahwa raut mukanya seperti suaranya, memiliki sesuatu yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Kepalanya seakan-akan terlalu besar bagi tubuhnya, dan kedua matanya kelihatan kecil bagi mukanya. Kulitnya hitam, tetapi matanya tidak, meskipun saya tidak dapat melihat warnanya yang tepat dalam cahaya listrik yang redup. Dahinya yang lebar mulai jauh di atas dan membujur ke bawah sampai pada hidung yang kecil. Di bawah hidungnya, bibir atas tercukur licin, dan rambutnya yang menipis terlihat jarang-jarang di atas kepalanya yang kebesaran itu.
Karena saya berdiri berhadapan dengan dia tanpa berkata sepatah pun, dia pikir saya tidak mendengar. Diulanginya kata-katanya:
Marilah kita berbincang sebentar. Saya lebih suka berbincang-bincang daripada lainnya.
Bagaimanapun juga kau harus membayar saya seperti yang lain. Waktu yang kau dapat habiskan
115 denganku sudah ditentukan, dan setiap menit dihitung dengan uang.
Kau membuat aku merasa berada di dalam klinik. Mengapa bukannya kau gantung saja sebuah daftar harga di ruang tunggu" Apakah kau juga menyediakan waktu untuk kunjungan darurat"
Terdapat sebuah nada ironi dalam suaranya, tetapi saya tidak tahu sebabnya, sehingga saya berkata:
Apakah kau mulai sarkastis tentang pekerjaanku, atau tentang profesi medis"
Tentang keduanya, katanya.
Apakah keduanya ada persamaan satu sama lain" Ya, katanya, kecuali bahwa seorang dokter yang sedang bertugas itu merasa dirinya patut dihormati. Bagaimana tentang saya" ujarnya.
Kau tidak terhormat, jawabnya, tetapi sebelum kata-kata tidak terhormat itu sampai ke telinga saya, tangan saya telah menutupinya cepat-cepat, tetapi katakata itu telah menembus masuk ke kepala saya bagaikan ujung tajam dari sebuah pisau belati yang sedang ditusukkan. Dia mengatupkan kedua bibirnya dengan amat ketat. Kesunyian yang sekonyong-konyong tibatiba telah meliputi ruangan itu, tetapi kata-kata itu terus menggema di dalam telinga saya, berlindung di dalam lubuk-lubuknya yang paling dalam, menguburkan diri di dalam kepala saya, seperti beberapa benda yang jelas, seperti sebentuk benda setajam mata pisau, yang mencari
116 jalannya sendiri melalui telinga dan tulang-tulang kepala saya menuju benak di dalamnya.
Tangan-tangan saya masih terangkat menutupi telinga saya dan menghalangi bunyi suaranya. Suaranya tidak dapat saya dengar lagi, dan ketika dia berkata, saya tidak dapat melihat gerakan bibirnya, seperti tetap tidak tampak. Kata-kata itu kelihatannya seperti menembus kedua bibirnya itu, keluar sendiri. Saya hampir dapat melihatnya ketika kata-kata itu melintasi ruangan yang memisahkan bibirnya dari telinga saya, seperti bendabenda yang dapat diraba dengan permukaan yang pasti, tepatnya seperti gumpalan-gumpalan air liur, seperti ditujukan ke arah saya dari antara kedua bibirnya.
Ketika ia berusaha mengusapkan bibirnya ke bibir saya, kata-katanya masih menggema di dalam benak saya. Saya dorong dia menjauhi tubuh saya dan berkata:
Pekerjaanku tidak patut dihormati. Mengapa kau menggabungkan dirimu denganku"
Dia mencoba menguasai saya dengan paksa, tetapi saya menolak setiap upaya pendekatannya, kemudian saya pergi ke pintu dan membukanya, dan dia segera pergi.
Tetapi, sekalipun Di'aa sudah pergi dari rumah saya, kata-katanya tidak meninggalkan telinga saya dan pergi bersamanya. Kata-katanya telah menerobos jalan menuju benak saya dalam suatu masa yang kini sesungguhnya sudah termasuk masa lalu. Tetapi tiada kekuatan di dunia yang dapat memutar kembali jarum jam, sekalipun untuk sejenak saja. Sebelumnya pikiran telah tenang sentosa,
117 tidak terganggu. Setiap malam saya biasa meletakkan kepala saya di atas bantal dan tidur sangat nyenyak, sepanjang malam sampai pagi. Tetapi sekarang, kepala saya bergetar dengan gerakan yang tiada putus-putusnya, sepanjang hari, dan sepanjang malam, seperti pasang surutnya ombak di tepi pantai, mendidih dan berbuih bagaikan air mendidih. Suara seperti raungan laut yang sedang marah terdengar bolak-balik dari telinga ke bantal, dan dari bantal ke telinga saya. Di dalam amukan taufan itu saya tak dapat lagi membedakan yang mana suara gemuruh laut, dan mana suara hembusan angin, karena segalanya telah menjadi serangkaian hembusan yang diikuti oleh hembusan lainnya, seperti denyut jantung saya berburu di dalam sebuah barisan, seperti sebuah palu godam yang setiap hujamannya meneriakkan kata hina, hina, terus menghujam pukulan demi pululan, di luar bahkan sampai ke dalam tulang, di tempat tidur, di ruang tamu, di anak tangga, di jalan-jalan, di dinding. Ke manapun saya pergi dentaman palu godam itu memukulmukul kepala saya, muka, pada badan saya serta tulangtulang saya. Ke manapun saya pergi kata-kata itu melekat dingin, kental seperti ludah yang menjijikkan yang mengiang-ngiang di telinga, seperti ludah dari mata lelaki kurang ajar yang ditumpahkan pada tubuh telanjang saya, seperti suara meludah yang paling menjijikan yang pernah saya dengar di telinga sepanjang masa, seperti ludah para lelaki kurang ajar yang melucuti pakaianku dan melototi tubuh telanjang saya dengan perlahan, seperti ludah para
118 lelaki terhormat yang memalingkan muka sewaktu saya melepaskan pakaian, menyembunyikan penghinaannya dengan cara terhormat.
Sepatah kalimat, sepatah kalimat pendek yang terdiri dari dua kata menyorotkan cahaya yang menyilaukan pada keseluruhan kehidupan saya, dan membuat saya melihat keadaan sebenarnya. Tirainya telah disingkapkan dari mata saya. Saya sedang membukanya untuk pertama kali, melihat hidup saya dengan cara yang baru. Saya bukan wanita yang terhormat. Ini adalah sesuatu yang selama itu tidak saya ketahui. Ada baiknya bahwa saya tetap awam terhadap kenyataan itu. Saya bisa makan enak dan tidur lelap. Adakah suatu cara untuk membongkar akar-akar pengetahuan yang baru ini dari benak saya" Bagaimanapun juga, itu hanyalah seperti suatu rasa sakit, irisan dengan mata yang tajam dari sebuah pisau pada kepala saya. Dalam kenyataannya, malahan bukan irisan sebuah pisau, tetapi hanya kalimat yang terdiri dari dua buah perkataan, sepotong kalimat kecil yang telah menembus ke dalam seperti sebuah anak panah menembus ke dalam otak saya sebelum sempat meletakkan tangan pada telinga dan mencegahnya masuk. Apakah ada sesuatu yang dapat membongkarnya dari kepala saya seperti cara orang mengeluarkan sebuah peluru atau memotong sebuah tumor dari otak"
119 TIADA SESUATU PUN Dl DUNIA ini yang agaknya mampu membuat saya menjadi perempuan yang sama seperti sebelum saya mendengar dua perkataan yang diucapkan oleh laki-laki tersebut pada malam itu. Sejak saat itu dan untuk seterusnya saya telah menjadi seorang perempuan yang lain. Kehidupan saya yang sebelumnya telah lampau. Saya tidak mau kembali kepada kehidupan yang lalu bagaimanapun beratnya siksaan dan penderitaan yang harus saya alami, sekalipun saya harus tahu lapar dan dingin, serta kemelaratan luar biasa. Apa pun yang akan terjadi, saya harus menjadi seorang wanita yang terhormat, walaupun harus dibayar dengan nyawa saya. Saya sudah siap untuk melakukan apa saja untuk menghentikan pergunjingan yang biasa membisingkan telinga saya, untuk mencegah mata-mata yang kurang ajar menjelajahi seluruh tubuh saya.
Saya tetap masih punya ijazah sekolah menengah saya, surat penghargaan saya, dan otak yang tajam dan bertekad untuk mencari pekerjaan yang terhormat. Saya tetap memiliki dua mata yang hitam yang dapat menatap mata orang dan siap melawan pandangan orang yang mengerling licik yang dilontarkan kepada saya dalam menempuh jalan hidup saya. Setiap kali ada iklan, saya ajukan lamaran untuk mendapatkan pekerjaan itu. Saya pergi ke semua kementerian, departemen dan kantorkantor perusahaan yang mungkin ada lowongan. Dan akhirnya, berkat daya upaya itu, saya memperoleh suatu pekerjaan pada salah satu perusahaan industri besar.
120 Kini saya memiliki sebuah ruangan kecil sendiri, terpisah dari ruangan luas direktur oleh sebuah pintu yang kecil. Di atas pintu terpasang sebuah lampu merah, dan di dekatnya ada sebuah bel. Apabila belnya berbunyi saya akan membuka pintu dan masuk ke dalam ruang kerjanya. Di sanalah ia duduk di belakang mejanya, seorang lelaki berusia kira-kira lima puluh tahun, gemuk dan botak, merokok sepanjang hari. Beberapa di antara gigi-giginya sudah tidak ada, dan yang masih ada berwarna merah dengan bagian-bagian berwarna hitam. Ia akan menengadah dari kertas-kertas yang ada di depannya dengan sebatang rokok tergantung di bibirnya dan berkata:
Hari ini saya tidak mau menerima siapa pun juga kecuali bagi orang-orang yang amat penting. Mengerti"
Dan sebelum saya dapat bertanya kepadanya apa yang ia maksudkan dengan orang-orang yang amat penting kepalanya akan kembali menunduk di atas berkas-berkasnya, dan hampir-hampir menghilang di dalam awan kepulan asap rokoknya.
Setelah kerja seharian itu selesai, saya akan mengambil tas kecil saya dan pulang ke rumah. Apa yang saya sebut rumah bukanlah rumah, atau sebuah flat, tetapi hanyalah sebuah bilik kecil tanpa kamar mandi. Saya menyewanya dari seorang perempuan tua yang biasa bangun pagi-pagi untuk shalat, kemudian mengetuk pintu saya. Pekerjaan saya baru dimulai pukul delapan pagi, tetapi saya selalu bangun pukul lima, sehingga masih ada waktu untuk
121 mengambil handuk, dan turun ke bawah lalu turut berbaris dengan laki-laki dan perempuan yang berdiri di depan kamar mandi. Karena dengan gaji saya yang amat kecil itu saya tak dapat tinggal di tempat lain kecuali di rumah ini, yang terletak di sebuah gang yang dipenuhi barisan warung-warung tempat tukang kayu dan pandai besi melakukan usaha dagangnya. Saya harus melalui jalanjalan yang sempit dan berjalan lagi di sebagian jalan utama sebelum sampai ke tempat perhentian bis. Apabila bis tiba dan berhenti, setiap orang laki-laki maupun perempuan akan berjuang untuk dapat naik dan saya akan bergabung dengan tubuh-tubuh yang sedang saling dorong, desak dan berkelahi. Tetapi begitu berada dalam bis seakan-akan saya melangkah memasuki sebuah tungku, dengan tubuhtubuh yang berdesakkan sudah menjadi sebuah gumpalan massa.
Gedung perusahaan tempat saya bekerja, memiliki dua pintu: sebuah untuk para karyawan yang kedudukan atau pangkatnya lebih tinggi, yang tak dijaga, dan sebuah pintu lainnya bagi para karyawan rendahan yang dijaga oleh salah seorang karyawan, semacam seorang penjaga pintu. Biasanya dia duduk di belakang meja kecil dengan sebuah buku pendaftaran besar di depannya. Para karyawan menandatangani daftar itu bila mereka tiba di pagi hari atau meninggalkan kantor di akhir hari kerja. Biasanya saya harus membaca daftar yang panjang itu untuk menemukan nama saya dan menulis tanda tangan saya di sebelahnya. Lalu di sebelahnya
122 petugas akan menuliskan waktunya yang tepat, sampai kepada menitnya, kedatangan saya itu. Ia mendaftarkan keberangkatan saya dengan catatan yang sama telitinya.
Tetapi karyawan-karyawan yang berpangkat tinggi akan datang dan pergi sesuka mereka. Mereka semuanya mengendarai mobil besar atau kecil. Saya biasanya melihat sepintas mereka yang sedang duduk dalam mobil ketika saya sedang berdiri dengan satu kaki di dalam bis, terjepit oleh gumpalan massa sekian banyak tubuh manusia. Pada suatu hari, ketika saya sedang berlari di belakang bis, berusaha untuk mendapatkan tempat berpijak dan dapat meloncat ke dalam, salah seorang dari mereka melihat saya. Pandangan matanya seperti orang berpangkat tinggi terhadap yang rendah. Saya merasakannya di atas kepala saya, kemudian turun ke bawah ke tubuh saya seperti siraman air dingin, darah mengalir deras ke kepala, dan kaki saya tersandung sesuatu, sehingga saya sekonyongkonyong berhenti. Dia mendekatkan mobilnya sampai ke tempat saya berdiri dan berkata:
Anda dapat ikut bersama saya.
Saya menatap matanya. Matanya dengan jelas berkata, Kau pegawai hina dan miskin, yang tak ada harganya, berlari mengejar bis untuk menaikinya. Saya akan membawamu dalam mobil saya karena tubuh kewanitaanmu telah menimbulkan berahi. Suatu kehormatan bagimu untuk diingini seorang pejabat berpangkat yang terhormat seperti saya ini. Dan siapa tahu,
123 barangkali kelak di suatu hari, saya dapat membantumu untuk naik gaji lebih dulu dari yang lainnya.
Ketika saya tidak berkata apa-apa, ia menyangka saya tidak mendengarnya. Maka ia mengulangi: Anda dapat ikut bersama saya.
Dengan tenang saya menjawab, Harga tubuh saya lebih tinggi daripada yang dapat dibayar dengan suatu kenaikan gaji.
Dia membelalakkan matanya karena terkejut. Barangkali ia heran bagaimana mungkin saya dengan mudah mengetahui pikirannya.
Saya mengamatinya ketika ia pergi dengan mobilnya dalam kecepatan tinggi.
SETELAH TIGA TAHUN bekerja pada perusahaan itu, saya baru menyadari, bahwa sebagai seorang pelacur saya anggap lebih terhormat, dan dihargai lebih tinggi dibandingkan semua karyawan perempuan, termasuk saya. Pada masa itu saya tinggal di sebuah rumah dengan kamar mandi pribadi. Saya dapat masuk ke situ setiap saat, dan mengunci diri tanpa ada orang yang menyuruh buru-buru. Tubuh saya tidak pernah terjepit di antara tubuh-tubuh orang lain di dalam bis, juga tak pernah ditekan oleh tubuh orang lelaki baik dari depan maupun dari belakang. Harganya tidak murah, dan tidak bisa dibayar hanya dengan kenaikan gaji, oleh undangan untuk makan malam, oleh pelesiran sepanjang Sungai
124 Nil dengan kendaraan seseorang. Juga tidak pernah dianggap sebagai harga yang seharusnya saya bayar untuk memperoleh jasa baik direktur saya, atau untuk menghindari amarah sang presiden direktur.
Selama tiga tahun itu tak satu kali pun pernah ada seorang pejabat eksekutif atau atasan lain menyentuh saya. Saya tak punya keinginan untuk menghina tubuh saya dengan harga rendah, khususnya setelah saya terbiasa dibayar sangat mahal untuk pelayanan apa pun bentuknya yang harus saya berikan. Malahan saya pun menolak undangan-undangan makan siang atau pesiar dengan mobil sepanjang Sungai Nil. Setelah hari kerja yang amat panjang, lebih baik saya pulang ke rumah dan pergi tidur. Saya merasa kasihan kepada gadis-gadis lainnya yang begitu polosnya untuk menyediakan tubuh dan kerja fisik mereka setiap malam hanya untuk memperoleh imbalan makan, atau untuk mendapatkan laporan tahunan yang baik, atau hanya untuk memperoleh kepastian bahwa mereka tidak akan diperlakukan semena-mena, mengalami diskriminasi, atau dipindahkan. Setiap kali salah seorang direktur mengajak saya berbuat cabul, saya akan mengatakan kepadanya:
Bukan karena saya lebih menghargai kehormatan dan reputasi saya dari gadis-gadis yang lainnya, tetapi harga saya jauh lebih tinggi dari mereka.
Saya menyadari bahwa seorang karyawati lebih takut kehilangan pekerjaannya daripada seorang pelacur akan kehilangan nyawanya. Seorang karyawati takut
125 kehilangan pekerjaannya dan menjadi seorang pelacur karena dia tidak mengerti bahwa kehidupan seorang pelacur menurut kenyataannya lebih baik dari kehidupan mereka. Dan karena itulah dia membayar harga dari ketakutan yang dibuat-buat itu dengan jiwanya, kesehatannya, dengan badan, dan dengan pikirannya. Dia membayar harga tertinggi bagi benda-benda yang paling bernilai rendah. Saya tahu sekarang bahwa kita semua adalah pelacur yang menjual diri dengan macam-macam harga, dan bahwa seorang pelacur yang mahal jauh lebih baik daripada seorang pelacur yang murahan. Saya pun tahu, bahwa apabila saya kehilangan pekerjaan, apa yang hilang itu hanyalah gaji saya yang kecil, hukuman yang sanksinya saya dapat baca tiap hari di dalam mata para pejabat eksekutif yang tinggi apabila mereka memandang kepada para karyawati yang pangkatnya lebih rendah, tekanan yang menghinakan dari tubuh laki-laki terhadap tubuh saya apabila saya mengendarai bis, dan sedang berbaris dalam barisan pagi hari di muka kamar kecil yang terus-menerus penuh pengunjungnya.
Saya tidak begitu bergairah untuk mempertahankan pekerjaan itu, dan barangkali itulah yang menjadi alasan bagi para pejabat yang berkuasa di perusahaan itu untuk semakin lama semakin tertarik untuk mempertahankan saya. Saya tidak berusaha khusus untuk mengambil hati salah seorang pejabat tinggi itu. Tetapi sebaliknya, justru mereka yang mulai bersaing untuk memperoleh budi baik saya. Dengan demikian maka tersebarlah kata-kata bahwa
126 saya adalah wanita yang paling terhormat, seorang pejabat yang paling terpandang di antara karyawati di perusahaan itu. Juga dikatakan bahwa tak seorang pun dari priapria itu berhasil mematahkan rasa harga diri saya dan tak seorang pejabat tinggi pun yang telah mampu untuk membuat saya menundukkan kepala, atau membuat mata saya memandang ke arah tanah.
Tetapi bagaimanapun juga saya menyenangi pekerjaan saya. Waktu kerja saya bisa bertemu dengan teman kerja wanita, dapat saling berbincang. Kantor saya lebih bagus dari kamar tempat tinggal saya. Tidak ada barisan antri di luar kamar kecil kantor, dan tak seorang pun yang menyuruh saya cepat-cepat jika saya sedang berada di kamar kecil. Tanah di sekitar gedung perkantoran itu memiliki sebuah taman kecil, di sana saya dapat duduk sejenak pada akhir hari kerja sebelum pulang ke rumah. Kadang-kadang malam tiba dan saya masih tetap berada di situ, tidak tergesa-gesa pulang ke kamar saya yang suram, lorong-lorong yang kotor dan kamar mandi berbau busuk.
PADA SUATU HARI ketika saya sedang duduk di situ, salah seorang karyawan melihat saya. Untuk sesaat ia takut ketika melihat ada wujud sebesar manusia, merunduk tak bergerak di dalam kegelapan malam. Dari jauh ia berteriak:
Siapa itu" Siapa yang duduk di situ"
127 Saya berkata dengan nada suara yang sedih, Ini saya, Firdaus.
Ketika ia lebih mendekat ia mengenali saya, dan tampaknya terkejut melihat saya sedang duduk di situ seorang diri, karena saya dianggap sebagai salah seorang karyawati yang terbaik, dan karyawan-karyawan yang terbaik diharapkan untuk segera pulang seusai hari kerja. Saya berkata bahwa saya sedang istirahat karena merasa lelah. Ia duduk di sebelah saya. Namanya Ibrahim. Orangnya pendek, gemuk, dengan rambut yang hitam dan halus, serta bermata hitam. Saya dapat melihatnya dalam kegelapan malam memandang kepada saya, dan saya merasa bahwa kedua matanya itu mampu melihat saya sekalipun dalam keadaan yang gelap. Setiap kali saya menoleh ke arah lain kedua mata itu mengikuti gerakan saya, menatap seakan-akan tak mau melepaskannya. Sekalipun ketika saya menyembunyikan mata saya dengan tangan saya, kedua matanya itu seakan-akan menembus masuk sampai kepada yang berada di belakangnya. Tetapi setelah sejenak ia memegang tangan saya, dengan sopan menariknya dari muka saya, dan berkata:
Firdaus, aku mohon. Janganlah menangis. Biarkan saya menangis, kata saya.
Tetapi saya belum pernah melihatmu menangis. Apakah yang terjadi".
Tidak apa-apa ... Sama sekali tak ada apa-apa. Itu tak mungkin. Sesuatu pasti telah terjadi. Sama sekali tak terjadi apa-apa, ulang saya.
128 Ia tampaknya terkejut. Kau menangis bukan karena apa-apa"
Saya tak tahu mengapa saya menangis. Tak ada hal baru yang terjadi dalam hidup saya.
Ia tetap duduk di sebelah saya dan berdiam diri. Matanya yang hitam menerawang ke dalam kegelapan malam, dan air mata tergenang di dalamnya untuk sesaat dengan cahaya berkilat. Ia mengatupkan bibirnya dan menelan dengan keras, lalu sekonyong-konyong cahaya di dalam matanya memudar. Kemudian mulai bercahaya lagi, tetapi sesaat kemudian menjadi gelap, seperti lidahlidah api kecil yang menjilat-jilat di tengah malam. Ia tetap mengatupkan bibirnya dan menelan keras, tetapi akhirnya saya lihat dua butir air mata mengalir dari kedua matanya, dan jatuh ke bawah di kedua sisinya. Ia menyembunyikan wajahnya dengan tangannya yang satu, yang lainnya mengambil saputangan, dan menyeka hidungnya. Kau menangis, Ibrahim" tanya saya. Tidak, Firdaus.
Ia sembunyikan saputangannya, menelan dengan susah-payah dan tersenyum kepada saya.
Halaman di sekeliling kami diliputi kesunyian yang mendalam. Tak ada suara terdengar dan segala sesuatunya tak bergerak, diam, tanpa gerak. Langit di atas tertutup kegelapan tanpa sebuah sinar cahaya matahari atau bulan. Muka saya menghadap ke arah mukanya, dan mata saya memandang ke dalam matanya. Saya dapat melihat dua cincin dengan warna putih bersih melingkari dua
129 lingkaran hitam pekat memandang ke arah saya. Saya terus memandangnya. Yang putih seperti semakin putih, dan yang hitam menjadi semakin hitam, seperti cahaya yang membayang dari, sumber yang tak diketahui, yang misterius, bukan yang ada di bumi, juga bukan di langit, karena bumi berselimut malam, dan langit tak bermatahari pun tak berbulan untuk meneranginya.
Saya memandang matanya terus. Saya ulurkan tangan saya dan memegang tangannya. Perasaan tangan-tangan kami yang bersentuhan adalah aneh, mendadak. Sentuhan itu membuat tubuh saya gemetar oleh rasa nikmat yang jauh dan dalam, lebih tua dari usia hidup yang dapat diingat, lebih dalam dari kesadaran yang dibawa dalam diri saya. Saya dapat merasakannya dalam diri saya, seperti bagian yang telah lahir bersama saya ketika saya dilahirkan, tetapi tidak tumbuh ketika saya makin besar. Atau seperti sesuatu yang saya kenal sebelum dilahirkan, dan ditinggalkan.
Pada saat itu sebuah kenangan teringat kembali dan bibir saya hendak mengungkapkannya dengan katakata, tetapi suara saya gagal untuk keluar, karena begitu teringat begitu pula saya telah melupakannya. Hati saya menjadi bimbang dikuasai oleh denyut ketakutan dan hampir kegila-gilaan karena saya baru kehilangan sesuatu atau yang hampir hilang untuk selama-lamanya. Jemari saya meremas tangannya dengan kekuatan yang dahsyat sehingga tak ada kekuatan mana pun di dunia ini, sebesar apa pun, dapat merenggutkannya dari saya.
130 SETELAH MALAM ITU kami hanya perlu bertemu dan bibir saya akan mulai mengatakan sesuatu. Tetapi begitu teringat, begitu pula saya lupa apa yang akan saya katakan. Hati saya berdebar-debar dengan rasa takut, atau dengan perasaan yang menyerupai rasa takut. Saya ingin mengulurkan tangan dan memegang tangannya, tetapi ia akan memasuki kompleks gedung dan meninggalkannya tanpa memperhatikan saya, dan bila ia melihat kepada saya, maka ia lakukan seperti ia melihat kepada para karyawati lainnya.
Pada suatu rapat besar bagi para karyawan saya dengar ia berbicara tentang keadilan dan tentang penghapusan hak-hak istimewa yang diperoleh pihak manajemen dibandingkan dengan yang diperoleh para karyawan. Kami bertepuk tangan dengan penuh semangat dan berdiri dekat pintu untuk waktu yang lama untuk memberikan selamat. Ketika tiba giliran saya, saya pegang tangannya, dan matanya saya tatap dengan mata saya untuk waktu yang lama. Sambil duduk di meja, saya seperti melamun saja menuliskan nama Ibrahim: di atas permukaan meja yang terbuat dari kayu, atau di punggung tangan saya, dan begitu saya melihatnya menyeberangi halaman dalam, maka saya akan berdiri seakan-akan siap untuk berlari dan bergabung dengannya. Tetapi sesaat kemudian saya akan duduk kembali. Kawan saya, Fatheya, telah melihat saya berdiri dan duduk kembali seperti itu tadi beberapa kali. Ia mendatangi saya dan berbisik di telinga saya: Apa yang terjadi dengan kau, Firdaus"
131 Dan saya bertanya dengan suara merenung. Apakah Ibrahim telah lupa"
Lupa apa" tanyanya. Saya tak tahu, Fatheya.
Kau hidup di dunia mimpi, sayang.
Itu tak benar. Itu tak benar, Fatheya. Memang benar telah terjadi.
Kemudian ia bertanya, Apa yang sebenarnya telah terjadi"
Saya berusaha untuk menceriterakan kepadanya apa yang telah terjadi, tetapi tak tahu bagaimana melukiskannya kepadanya, atau barangkali saya tak dapat menemukan sesuatu untuk dikatakan, seperti apa yang telah terjadi, tetapi saya lupa apa sebenarnya atau seolaholah sama sekali tidak pernah terjadi apa-apa.
Saya akan memejamkan mata saya, dan berusaha untuk membayangkan kembali adegan tersebut. Kedua lingkaran hitam pekat yang dikelilingi oleh dua buah cincin yang putih bersih itu secara berangsur akan muncul di depan mata saya. Apabila saya memandang ke arah mata itu beberapa waktu lamanya, kedua lingkaran itu akan mulai membesar, dengan cepat menjadi makin lama makin besar, sehingga pada suatu saat yang hitam mencapai ukuran sebesar bumi, dan yang putih tumbuh menjadi gumpalan massa yang berwarna putih sekali, sebesar bulatan matahari. Mata saya akan menghilang ke dalam yang hitam dan yang putih sampai mereka tidak dapat lagi melihat satu sama lainnya. Bayangan-bayangan
132 di hadapan mata saya menjadi kacau. Saya tidak dapat lagi membedakan wajah-wajah Ibu dan Ayah, wajah Wafeya dan Fatheya, wajah Iqbal dan Ibrahim. Saya buka mata saya lebar-lebar dalam keadaan panik seperti seseorang yang merasa akan kehilangan penglihatannya. Bentuk wajah Fatheya masih tetap ada di sana, tampak menonjol pada warna gelap bumi, atau pada putihnya sinar matahari.
Apakah kau mencintai Ibrahim" tanyanya. Sama sekali tidak.
Lalu apa sebabnya kau gemetar jika kau dengar namanya disebut"
Aku. Tidak pernah. Tak pernah terjadi. Kau selalu membesar-besarkan sesuatu, Fatheya.
Saya mendengar ia berkata, Ibrahim orang yang baik, dan seorang revolusioner.
Aku tahu. Tetapi aku ini tak lebih dari seorang karyawati rendahan saja. Bagaimana mungkin Ibrahim jatuh cinta kepada seorang gadis miskin macam aku"
SEBUAH KOMITE REVOLUSIONER telah dibentuk di perusahaan, dengan Ibrahim sebagai ketua. Saya bergabung dengan komite itu dan mulai bekerja untuk komite tersebut siang dan malam, termasuk pada hari-hari libur. Pekerjaan ini sukarela. Saya tidak lagi menghiraukan gaji saya. Menunggu dalam barisan di pagi hari untuk ke kamar kecil tidak lagi menyusahkan
133 saya, dan desakan tubuh-tubuh orang yang mengelilingi saya tidak lagi membuat saya merasa terhina. Pada suatu hari Ibrahim melihat saya berlari-lari mengejar bis, lalu menghentikan mobilnya yang kecil dan memanggil saya. Saya naik dan duduk di sampingnya. Sesaat kemudian saya dengar ia berkata:
Saya kagum padamu Firdaus. Jika ada lima orang saja di perusahaan kita dengan semangat, energi dan pendirian seperti yang kau miliki, kita dapat berbuat hampir apa saja di dunia ini.
Saya tak berkata apa-apa. Saya menekan tas kecil saya pada dada, mencoba untuk menutupi debaran jantung dan mengatur napas saya supaya kembali wajar. Tetapi setelah beberapa lama saya menyadari bahwa napas saya masih saja tidak tenang. Dalam suatu usaha untuk menyembunyikan emosi yang saya rasakan, saya mengajukan alasan, tetapi nadanya agak lemah:
Saya masih kehabisan napas karena mengejar bis itu tadi.
Ia pasti menyadari apa yang sedang saya coba lakukan, karena ia tersenyum tanpa komentar. Setelah sejenak ia bertanya kepada saya:
Apakah kau ingin langsung pulang atau apakah kita dapat duduk-duduk dan berbincang-bincang dulu entah di mana"
Pertanyaan itu membuat saya terkejut dan saya jawab tanpa berpikir dulu.
134 Saya tak mau pulang. Kemudian untuk memperbaiki salah ucap tadi, dengan cepat saya tambahkan, Kau tentu lelah sesudah hari kerja yang panjang. Barangkali kau lebih baik langsung pulang dan istirahat.
Barangkali akan lebih baik bagiku untuk mengobrol dengan kau sejenak. Itu tentunya jika kau sendiri tidak merasa lelah dan lebih suka istirahat di rumah.
Hampir tak sadar apa yang saya ucapkan, saya jawab, Istirahat. Aku tidak pernah tahu apa artinya istirahat dalam hidupku.
Saya merasakan tangannya yang kuat memegangi tangan saya. Saya merasa gemetar sekujur tubuh saya. Sampai akar-akar rambut pada tubuh saya pun serasa turut bergerak.
Ia bertanya dengan suara yang tenang, Firdaus, kau masih ingat pertama kali kita berjumpa"
Ya. Sejak hari itu saya selalu ingat kepadamu. Dan aku pun begitu, selalu ingat kepadamu. Aku mencoba untuk menyembunyikan perasaanku, tetapi itu tak mungkin lagi.
Demikian pula aku. Pada hari itu kami berbicara mengenai segala macam. Saya menggambarkan masa kecil saya, dan apa yang telah terjadi datam hidup saya di masa lalu, dan ia juga menceriterakan kepada saya tentang masa kecilnya dan mimpinya untuk masa depan. Keesokan harinya kami berjumpa lagi dan kami mengobrol dengan lebih bebas
135 lagi mengenai segala hal. Malahan saya bicara kepadanya tentang hal-hal yang saya sembunyikan untuk diri-sendiri, dan tidak mau saya hadapi. Dan ia, pada gilirannya, sangat jujur kepada saya, dan tidak menyembunyikan apa-apa. Pada hari ketiga ia membawa saya ke rumahnya yang kecil dan malam itu saya bersamanya. Kami bercakap-cakap dengan perlahan-lahan untuk waktu yang agak lama dan setelah kami ungkapkan segala hal yang kami ingin katakan, kami menyerahkan diri satu sama lainnya dalam sebuah pelukan yang hangat.
Seakan-akan saya menggenggam erat seluruh dunia di dalam tangan saya. Seakan-akan dunia semakin besar, melebar dan matahari bersinar lebih terang dari yang sebelumnya. Segalanya di sekeliling saya mengambang dalam cahaya yang cemerlang, juga barisan antri di pagi hari di muka kamar kecil demikian pula halnya. Mata orang yang berkendaraan bis tidak lagi terlihat dungu dan penuh prasangka, tetapi bersinar dan bercahaya dengan cahaya yang baru. Apabila saya melihat ke dalam cermin, mata saya bersinar-sinar seperti berlian. Tubuh saya menjadi ringan seperti bulu, dan saya dapat bekerja sepanjang hari tanpa merasa lelah, atau merasa perlu untuk tidur.
Pada suatu pagi seorang sejawat di kantor memandang wajah saya, dan berseru dengan nada heran:
Ada apa denganmu, Firdaus" Mengapa" tanya saya.
Wajahmu tidak seperti biasa.
136 Apa yang kau maksud dengan tidak biasa" Seperti ada yang memancar keluar dari dalam dirimu.
Aku sedang jatuh cinta. Jatuh cinta"
Kau tahu apa artinya cinta" Tidak, katanya sedih.
Kau, anak malang, kata saya.
Kau perempuan yang terpedaya, katanya, apa kau percaya akan sesuatu yang disebut cinta"
Cinta telah membuat saya menjadi pribadi yang berlainan. Ia telah membuat dunia ini indah.
Ada suatu nada sedih yang mendalam pada suara ketika ia berkata: Kau hidup dalam khayalan. Apakah kau percaya akan kata-kata cinta yang mereka bisikkan ke dalam telinga perempuan yang tak punya uang macam kita ini"
Tetapi dia seorang yang revolusioner. Dia berjuang untuk kita dan untuk semuanya yang telah kehilangan kesempatan dengan wajar.
Kau benar-benar patut dikasihani. Apakah kau pikir apa yang mereka katakan dalam rapat-rapat mereka itu benar"
Cukup, kata saya dengan marah. Kau memakai kacamata hitam dan kemudian kau katakan kau tidak dapat melihat sinar matahari,
Cahaya matahari menimpa wajah saya. Saya memandang sinar dan kehangatannya di sekitar saya,
137 berjemur dengan rasa kagum ketika melihat Ibrahim melintasi halaman pada jam yang biasa. Matanya bersinarsinar dalam cahaya matahari dengan kecemerlangan baru yang aneh. Matanya tampak berbeda bagi saya, seperti mata lelaki lain, dan saya merasa diasingkan. Saya lari kepadanya tetapi ada sekelompok karyawan berkerumun di sekelilingnya, laki-laki dan perempuan, menjabat tangannya dan memberikan selamat kepadanya. Ia tidak melihat saya dalam kerumunan orang. Saya mendengar kata-kata yang berdering di telinga saya dengan nada suara yang aneh:
Dia telah bertunangan kemarin dengan anak gadis sang presiden direktur. Dia seorang pria yang cerdik, dan berhak menerima peruntungan apa pun yang datang kepadanya. Dia punya masa depan yang gemilang dan akan naik dengan cepat di perusahaan ini.
Saya menutupi telinga dengan tangan saya untuk mencegah terdengarnya suara mereka. Saya pergi berjalan menjauhi kerumunan orang di sekelilingnya, dan meninggalkan tempat itu melalui pintu gerbang kantor, tetapi tidak pulang ke rumah.
Saya berjalan-jalan berkeliling di jalanan. Mata saya tak dapat melihat apa pun juga, karena air mata terus mengalir, berhenti dan kering sebentar, untuk mulai mengalir kembali. Ketika malam tiba saya sangat lelah. Sekonyong-konyong air mata berhenti mengalir, seperti sesuatu telah tertutup di dalam. Dengan cepat muka dan leher saya menjadi kering, tetapi bagian depan tubuh saya
138 masih basah, Udara malam yang dingin menembus masuk ke dalam tubuh saya. Saya gemetar dan bersedakap dalam usaha untuk tetap hangat. Saya teringat lengan-lengannya memeluk saya, lalu makin gemetar. Saya menangis tetapi air matanya sudah mengering sama sekali. Saya mendengar bunyi seperti suara perempuan yang sedang tersedu-sedu dan menyadari bahwa suara itu adalah suara saya sendiri.
Malam itu saya kembali ke kompleks kantor perusahaan. Saya pergi ke ruangan kantor saya, mengumpulkan ijazah-ijazah saya, lalu memasukkannya ke dalam tas kecil dan kemudian berjalan menuju pintu utama. Sejak saya mendengar berita di pagi itu, saya tidak pernah melihat Ibrahim lagi. Saya ragu-ragu sebentar dekat pintu masuk dan melihat ke sekeliling pelan-pelan. Mata saya melayang ke taman kecil di halaman belakang. Saya berjalan ke situ lalu duduk. Saya terus melihatlihat ke sekeliling. Tiap kali saya mendengar suara yang datang dari jarak tertentu, atau merasa ada sesuatu yang bergerak, saya pasang telinga dan mata saya. Saya melihat suatu sosok dengan ukuran kira-kira sama dengan tubuh manusia sedang bergerak dekat pintu masuk menuju ke halaman. Saya melompat. Hati saya berdebar-debar, darah mulai mengalir deras di dada, naik ke kepala. Seakanakan bentuk tersebut sedang bergerak ke arah saya. Saya merasa diri saya berjalan untuk mendekatinya. Tubuh saya bermandikan keringat. Kepala dan telapak tangan saya terasa basah. Getaran rasa takut menembus tubuh saya ketika saya melintasi halaman yang gelap itu. Saya
139 berseru dengan suara sayup yang hampir tak terdengar di telinga saya sendiri:
Ibrahim. Tetapi kesunyian tetap seperti sebelumnya. Saya semakin takut, karena saya masih dapat melihat bentuk yang menyerupai bentuk manusia itu di tengah malam. Saya berseru lagi, kali ini dengan suara keras sehingga saya dapat mendengarnya sendiri: Siapa di situ"
Suara keras itu seakan-akan menghalau impian, seperti seorang yang berbicara dalam tidur dibangunkan oleh bunyi suaranya sendiri. Kegelapan berkurang untuk mengungkapkan sebuah tembok bata yang telah dibangun di depan pintu masuk menuju halaman dalam. Tembok itu rendah, setinggi orang biasa, dibangun dengan bata tanpa semen. Sekalipun saya pernah melihatnya tetapi kelihatannya seperti meloncat sekonyong-konyong di depan mata saya pada saat itu.
Sebelum ke luar dari pintu gerbang, saya memandang sekali lagi ke sekeliling saya. Mata saya melihat jendela, pintu dan tembok, mencari sesuatu yang akan terbuka mendadak dan memperlihatkan sejenak kedua matanya, atau tangannya yang melambaikan selamat jalan seperti biasanya. Mata saya tetap bergerak dengan tidak tenang. Di setiap saat saya akan kehilangan semua harapan, hanya untuk memperolehnya kembali sejenak kemudian. Mata saya akan meneruskan pencarian yang kegila-gilaan itu, dan dada saya akan turun-naik lebih cepat. Sebelum menginjakkan kaki di jalan raya saya istirahat sebentar,
140 berdiri tanpa bergerak dalam kegelapan. Sekalipun saya berjalan di jalanan, saya terus melihat ke belakang seperti mengharapkan sesuatu akan terjadi, tetapi jendela dan pintu tetap tertutup rapat seperti sebelumnya.
SAYA BELUM PERNAH mengalami penderitaan seperti ini, belum pernah merasa sakit yang lebih perih. Ketika saya menjual tubuh saya kepada laki-laki sakitnya jauh lebih ringan. Hanya khayalan saja, bukan kenyataan. Sebagai seorang pelacur bukannya pribadi saya, perasaan saya tidak timbul dari dalam diri saya. Perasaan itu bukan sebenarnya milik saya. Tak ada yang benar-benar dapat menyakiti hati saya dan membuat saya menderita seperti yang sekarang saya sedang alami. Barangkali sebagai pelacur saya telah tahu penghinaan yang begitu mendalam sehingga apa pun sebenarnya tak berarti. Bila jalanan telah menjadi kehidupan Anda, Anda tak akan mengharapkan sesuatu lagi, tak menginginkan apa-apa. Tetapi saya mengharapkan sesuatu dari cinta. Dengan cinta saya mulai membayangkan bahwa saya menjadi seorang manusia. Ketika saya menjadi pelacur saya tidak pernah memberikan sesuatu dengan cuma-cuma, tetapi selalu mengambil sesuatu sebagai imbalannya. Tetapi di dalam cinta saya berikan tubuh dan jiwa saya, pikiran dan segala upaya yang dapat saya kumpulkan, dengan cumacuma. Saya tidak pernah meminta sesuatu, memberikan segalanya yang saya miliki, menyerahkan diri-sendiri,
141 melepaskan semua senjata yang saya miliki, mengurangi semua pertahanan saya, dan membuka raga saya. Tetapi ketika saya menjadi pelacur saya mempertahankan diri saya, melawan kembali setiap saat, tidak pernah lengah. Untuk melindungi diri pribadi saya yang paling dalam dari serangan lelaki. Saya berikan hanya kulit luar saja. Saya menyimpan hati dan jiwa saya, dan membiarkan tubuh saya memainkan peranannya, peranan yang pasif, tak berdaya dan tak berperasaan. Saya belajar untuk melawan dengan cara bersikap pasif, untuk menjaga keutuhan diri tanpa memberikan apa-apa. Untuk hidup dengan mengundurkan diri ke dunia yang saya miliki sendiri. Dengan perkataan lain, saya katakan kepada lelaki bahwa ia boleh memiliki tubuh saya, tetapi ia tak pernah akan mampu membuat saya bereaksi, gemetar, atau merasakan nikmat atau sakit. Saya tidak berupaya, tidak mengeluarkan energi, tidak memberikan kasih sayang tidak berpikir. Oleh karena itu saya tidak pernah lelah atau kehabisan tenaga. Tetapi di dalam cinta saya memberikan segala kemampuan, upaya, perasaan, emosi saya yang paling dalam. Seperti seorang suci saya berikan segalanya yang saya miliki tanpa memperhitungkan ongkosnya. Saya tidak minta apa-apa, kecuali mungkin hanya satu hal. Untuk diamankan oleh cinta dari segalanya. Untuk menemukan diri saya kembali, untuk mengenali diri-sendiri yang telah hilang. Untuk menjadi makhluk manusia yang tidak dilihat orang dengan
142 caci-makian, atau dengan pandangan rendah, tetapi dihormati, dan disukai dan dijadikan merasa utuh.
Saya tidak ditakdirkan untuk mencapai apa yang saya harapkan. Bagaimana kerasnya pun saya berusaha, atau pengorbanan apa pun telah saya berikan seperti orang yang berkhayal mempunyai maksud yang baik, saya masih tetap seorang karyawati miskin yang tak berarti. Kebajikan saya, seperti kebajikan semua orang yarg miskin, tak pernah dapat dianggap suatu kualitas, atau sebuah aset, tetapi malah dianggap bagai semacam kedunguan, atau cara berpikir tolol, untuk dipandang lebih rendah lagi daripada kebejatan moral dan perbuatan jahat.
SAATNYA TELAH TIBA bagi saya untuk melepaskan butiran yang terakhir dari kebajikan, tetesan terakhir dari kesucian di dalam darah saya. Kini saya telah sadar mengenai kenyataan, mengenai kebenaran. Kini saya telah tahu apa yang saya inginkan. Kini tak ada lagi ruangan bagi khayalan. Seorang pelacur yang sukses lebih baik daripada seorang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur
143 mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.
Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita.
TENGAH MALAM DAN JALAN-JALAN sudah sepi. Angin sepoi-sepoi dengan lembutnya menghembus dari arah Sungai Nil. Saya berjalan terus, menikmati kedamaian malam. Saya tidak lagi merasakan sakit. Segalanya di sekeliling saya seakan-akan mengisi saya dengan ketenangan. Hembusan angin yang sejuk mengelus wajah saya, jalanan yang kosong, dan barisan jendela serta pintu-pintu yang tertutup, perasaan karena ditolak oleh orang dan sekaligus mampu untuk menolaknya kembali, pengasingan dari segalanya, malahan juga dari bumi, dari langit serta dari pepohonan. Saya seperti seorang perempuan yang sedang berjalan melalui suatu dunia yang memikat, dan ia tidak termasuk di dalamnya. Dia bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendaki, dan bebas untuk juga tidak melakukannya. Dia mengalami kenikmatan yang langka karena tak punya ikatan dengan siapa pun juga, telah memutuskan ikatan dengan segalanya, telah memotong semua hubungan dengan dunia di sekelilingnya, karena telah bebas sama sekali dan menikmati kemerdekaan
144 itu sepenuhnya, karena menikmati kebebasan dari segala macam upaya penundukan oleh laki-laki, oleh perkawinan, atau oleh percintaan, karena telah diceraikan dari segala pembatasan apakah yang sudah berakar dalam peraturan dan perundang-undangan dalam waktu atau di alam semesta. Bila lelaki yang pertama muncul tidak menghendakinya, dia akan memperoleh yang berikut, atau yang nanti menyusulnya. Tak perlu menunggu lebih lama hanya seorang lelaki saja. Tak perlu menjadi sedih bila dia tidak muncul, atau untuk mengharapkan sesuatu dan menderita karena harapan seorang telah hancur-lebur. Dia tidak lagi mengharapkan sesuatu atau mendambakan apa-apa. Dia tidak lagi merasa takut kepada apa pun juga, karena segalanya yang dapat menyakiti telah dialaminya.
LENGAN SAYA TERBUKA lebar untuk merangkul malam, dan suara saya mulai menyanyikan sebuah lagu yang secara samar-samar saya pernah dengar dulu:
Saya tidak mengharapkan apa-apa Saya tidak menghendaki apa-apa Saya tidak takut apa-apa
Saya bebas 145 Sebuah mobil yang amat bagus muncul di depan saya. Ketika lelaki itu melongok ke luar jendela mobilnya, saya tertawa. Di atas tempat tidur yang mewah dan empuk, saya membolak-balik badan dari satu sisi ke sisi lainnya, tetapi tak berupaya, ataupun mengalami sesuatu kenikmatan atau sakit apa pun juga. Ketika saya berguling di tempat tidur, sebuah pikiran melintas di benak saya. Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip-prinsip sebenarnya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya. Mereka mempergunakan kepintaran mereka, dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami. Sesuatu yang disalahgunakan. Sesuatu yang dapat dijual.
SAYA BERJUMPA IBRAHIM secara kebetulan empat tahun setelah ia kawin. Ia ingin ikut bersama saya ke flat saya. Saya belum juga dapat melupakan cinta saya kepadanya, karena itu saya menolaknya. Saya tidak mau melacurkan diri dengan dia. Tetapi beberapa tahun setelah itu saya memenuhi keinginannya dan membiarkannya datang ke tempat saya. Ia baru beranjak akan meninggalkan saya tanpa membuat isyarat yang memperlihatkan bahwa ia bermaksud membayar saya. Saya berkata, Kau telah lupa untuk membayarku. Ia mengambil sepuluh pon dari dompetnya dengan tangan gemetaran dan memberikannya kepada saya.
146 Hargaku tidak kurang dari dua puluh pon, saya jelaskan, kemudian saya tambahkan, kadang-kadang malahan lebih.
Tangannya mulai gemetaran lagi ketika ia mengeluarkan sepuluh pon lagi dari dompetnya. Saya menyadari bahwa ia memang tidak benar-benar mencintai saya, tetapi datang kepada saya tiap malam hanya karena dia tidak usah membayar.
SAYA MENYADARI KENYATAAN bahwa sebenarnya saya membenci lelaki, tetapi bertahun-tahun lamanya telah menyembunyikan rahasia ini dengan sangat hatihati. Lelaki yang paling saya benci ialah mereka yang berusaha menasihati atau yang berkata kepada saya bahwa mereka ingin menyelamatkan saya dari kehidupan yang saya jalani. Biasanya saya lebih membencinya dari yang lain karena mereka berpikir bahwa mereka itu lebih baik daripada saya dan dapat menolong saya mengubah kehidupan saya. Mereka merasa diri sendiri dalam semacam peranan pahlawan sebuah peranan yang gagal mereka mainkan dalam keadaan-keadaan lainnya. Mereka ingin merasakan diri sebagai seorang yang mulia dan mengingatkan saya pada kenyataan bahwa saya adalah orang rendahan. Mereka sedang berkata kepada diri mereka sendiri:
147 Lihatlah, betapa baiknya saya ini. Saya sedang berusaha untuk mengangkatnya keluar dari lumpur sebelum terlambat, perempuan pelacur itu.
Saya menolak untuk memberikan mereka kesempatan memainkan peranan tersebut. Tak satu pun di antara mereka itu hadir untuk menyelamatkan saya ketika saya kawin dengan orang lelaki yang memukul dan menendang saya setiap hari. Dan tak satu pun dari mereka itu datang menolong saya ketika hati saya patah karena saya berani jatuh cinta. Hidup perempuan selalu sengsara. Seorang pelacur, dalam pada itu, nasibnya lebih baik. Saya telah sanggup meyakinkan diri-sendiri bahwa saya telah memilih kehidupan ini atas kemauan sendiri.
Kenyataan bahwa saya menolak usaha-usaha mereka yang mulia untuk menyelamatkan saya dari keyakinan untuk bertahan sebagai pelacur, telah membuktikan kepada saya, bahwa ini adalah pilihan saya dan bahwa saya memiliki sedikit kebebasan paling tidak kebebasan untuk hidup di dalam keadaan yang lebih baik daripada kehidupan perempuan lainnya.
SEORANG PELACUR SELALU mengatakan ya, dan kemudian menyebutkan harganya. Bila ia mengatakan tidak, ia berhenti menjadi pelacur. Saya bukannya seorang pelacur dalam arti yang sepenuhnya, demikian maka sewaktu-waktu saya mengatakan tidak. Sebagai hasilnya harga saya tetap naik. Seorang lelaki tidak tahan
148 jika ia ditolak oleh seorang perempuan, karena jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa hal itu merupakan sebuah penolakan terhadap dirinya sendiri. Tiada seorang pun yang tahan terhadap penolakan ganda tersebut. Maka tiap kali saya berkata tidak, lelaki itu akan mendesak sampai berapa tingginya pun harga saya naikkan, ia tetap tidak tahan ditolak oleh seorang perempuan.
Saya telah menjadi seorang pelacur yang sangat sukses. Saya menerima bayaran yang paling mahal, dan malahan orang-orang yang penting pun bersaing untuk disenangi oleh saya. Pada suatu hari seorang tokoh yang amat penting dari suatu negara asing mendengar tentang saya. Ia mengatur demikian rupa sehingga ia dapat melihat saya tanpa saya ketahui. Segera setelah itu ia memesan saya, tetapi saya menolak untuk datang. Saya tahu, bahwa orang-orang politik yang berhasil tidak tahan menanggung kekalahan di depan saksi-saksi lainnya, mungkin karena mereka selalu membawa kekalahan di dalam dirinya sendiri. Seorang manusia tidak dapat bertahan terhadap kekalahan ganda. Itu adalah rahasia dari upaya mereka yang bersinambungan untuk mendapat kekuasaan. Mereka mendapat suatu perasaan keunggulan dari kekuasaan mereka terhadap orang lain. Hal ini membuat mereka merasa menang daripada menderita kekalahan. Jadi tersembunyi kenyataan betapa kosongnya mereka itu dari dalam, sekalipun terdapat kesan kebesaran yang mereka usahakan menyebarluaskannya ke sekeliling mereka. Satu-satunya hal yang mereka inginkan.
149 Penolakan saya telah membuatnya semakin sungguhsungguh untuk memperoleh kemenangan atas diri saya. Setiap hari ia akan mengirim seorang petugas dari kepolisian, dan setiap kali orang ini akan mencoba caracara pendekatan yang berbeda. Tetapi saya meneruskan penolakan saya. Pada suatu ketika ia menawarkan saya uang. Di lain kesempatan dia mengancam saya dengan penjara.
Pada kesempatan yang ketiga kalinya, ia menjelaskan kepada saya bahwa menolak seorang Kepala Negara dapat dipandang sebagai suatu penghinaan pada tokoh yang penting dan dapat menjurus pada ketegangan hubungan antara dua negara. Ditambahkannya, bahwa jika saya benar-benar mencintai negeri saya, jika saya seorang patriot, saya akan pergi kepadanya. Lalu saya katakan kepada orang dari kepolisian itu bahwa saya tak tahu apa-apa mengenai patriotisme, bahwa negeri saya bukan saja tidak memberi apa-apa, tetapi juga telah mengambil segalanya yang seyogyanya saya miliki, termasuk kehormatan dan martabat saya. Saya heran ketika melihat bahwa orang dari kepolisian itu seakan-akan kebanggaan moralnya telah amat tersinggung oleh apa yang saya katakan itu. Bagaimana mungkin seseorang sama sekali tidak ada perasaan patriotik.
Saya merasa ingin tertawa keras terhadap pendiriannya yang aneh, paradoks yang ia wakili, standar moral gandanya. Dia ingin membawa seorang pelacur ke tempat tidur tokoh penting itu, seperti dilakukan setiap calo tapi
150 tetap bicara dalam nada sok gengsi tentang patriotisme dan prinsip-prinsip moral. Tetapi saya menyadari bahwa orang dari kepolisian itu hanyalah penerima perintah, dan setiap perintah yang diberikan kepadanya telah dinilai sebagai tugas nasional yang bersifat suci. Apakah dia membawa saya ke penjara, ataukah ke tempat tidur orang penting itu, bagi dia sama saja. Di dalam kedua hal itu dia sedang memenuhi tugas nasional yang bersifat rahasia. Di mana terkait soal tugas nasional, seorang pelacur dapat diberikan penghormatan tertinggi dan pembunuhan dapat menjadi suatu perbuatan yang heroik.
Saya menolak untuk pergi ke lelaki macam ini. Tubuh saya adalah milik saya sendiri, tetapi tanpa negara kita dapat mereka miliki. Pada suatu peristiwa mereka memasukkan saya ke dalam penjara karena saya menampik salah seorang dari tokoh-tokoh penting itu. Lalu saya menyewa seorang pengacara yang sangat ternama dengan biaya yang amat besar. Tak lama kemudian saya dibebaskan dari segala tuduhan tanpa tuntutan. Pengadilan telah memutuskan bahwa saya seorang wanita yang terhormat. Kini saya telah belajar bahwa kehormatan memerlukan jumlah uang yang besar untuk membelanya, tetapi bahwa jumlah uang yang besar tidak dapat diperoleh tanpa kehilangan kehormatan seseorang. Sebuah lingkaran setan yang berputar-putar, menyeret saya naik dan turun bersamanya.
151 TIDAK SESAATPUN SAYA ragu-ragu mengenai integritas dan kehormatan diri sendiri sebagai wanita. Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang isteri yang diperbudak. Setiap saat saya berikan tubuh saya, saya kenakan harga yang paling tinggi. Saya dapat mempekerjakan sejumlah pelayan untuk mencuci pakaian dan membersihkan sepatu-sepatu saya, menyewa seorang pengacara, tak jadi soal betapapun mahalnya, untuk membela kehormatan saya, membayar seorang dokter untuk pengguguran, membeli seorang wartawan untuk memuat gambar saya dan menulis sesuatu tentang saya di dalam surat kabar. Setiap orang punya harga, dan setiap profesi dibayar gajinya. Semakin terhormat profesi itu, semakin tinggi gajinya, dan harga seseorang akan naik bila ia menaiki tangga masyarakat. Pada suatu hari, ketika saya memberikan sumbangan sejumlah uang kepada sebuah perkumpulan sosial, surat-surat kabar memuat gambar-gambar saya dan menyanyikan sanjungan-sanjungan untuk saya, sebagai contoh seorang warga-negara dengan penuh pengertian tanggung jawab
152 seorang warga. Dan dengan demikian sejak saat itu, apabila saya memerlukan suatu takaran kehormatan atau nama, saya tinggal mengambil sejumlah uang dari bank.
TETAPI HIDUNG LELAKI memiliki cara yang ajaib untuk mencium uang orang. Dan begitulah, pada suatu hari seorang lelaki telah datang dan minta saya untuk kawin dengan dia. Jejak sepatu suami saya masih kentara pada tubuh saya. Kemudian datang pula seorang lainnya, tetapi saya menampiknya pula. Jauh di dalam lubuk hati saya masih tetap ada sakitnya sisa-sisa luka lama.
Saya pikir saya telah dapat menyelamatkan diri dari lelaki, tetapi lelaki yang datang kali ini melaksanakan profesi lelaki yang sudah terkenal. Dia seorang germo atau calo. Saya pikir saya dapat menyogoknya dengan sejumlah uang, cara yang saya lakukan dengan polisi. Tetapi dia menolak uang itu, dan mendesak meminta suatu pembagian hasil pendapatan dari saya. Dia berkata:
Setiap pelacur mempunyai germo untuk melindunginya dari germo-germo yang lain, dan dari polisi. Itulah yang akan saya lakukan.
Tetapi saya dapat melindungi diri-sendiri, kata saya. Tak ada seorang perempuan pun di dunia ini yang dapat melindungi diri-sendiri.
Saya tak butuh perlindunganmu.
153 Kamu tidak dapat berbuat tanpa perlindungan, sebab nantinya profesi yang dilakukan oleh para suami dan germo akan mati.
Saya menolak ancamanmu. Tetapi saya bukan mengancam. Saya justru memberimu sedikit nasihat.
Dan bila saya tidak mau menerima nasihatmu" Maka saya ada alasan untuk mengancammu. Bagaimana rencanamu mengancam saya" Saya punya cara-cara sendiri untuk berbuat macammacam hal. Setiap keterampilan memiliki alat-alatnya sendiri.
Saya pergi ke polisi, di sana saya hanya menemukan bahwa ia memiliki hubungan yang lebih baik daripada saya sendiri. Kemudian saya mencari pertolongan lewat prosedur hukum. Saya dapati bahwa undang-undang menghukum perempuan macam saya, tetapi sebaliknya undang-undang tidak menghukum apa yang dikerjakan lelaki.
Dan lelaki ini, germo ini, yang bernama Marzouk, tertawa besar ketika ia mengamati saya dari jauh, berupaya keras tanpa hasil mencari sesuatu jalan untuk melindungi dari ancamannya. Pada suatu hari ia melihat saya memasuki rumah, lalu ia mengikuti saya. Saya berusaha untuk menutup pintu di depan mukanya, tetapi ia mencabut pisau, mengancam saya dengan pisau itu, dan memaksa untuk masuk rumah.
Apa yang kau inginkan dari saya" tanya saya.
154 Aku ingin melindungimu dari orang lain, jawabnya. Tetapi tak ada orang lain kecuali kamu yang mengancam saya.
Jika bukan saya, akan ada orang lain. Germo-germo berkeliaran di mana-mana. Jika kau menghendaki saya kawin denganmu, dengan segala senang hati saya bersedih
Saya tidak melihat perlunya kawin dengan kamu. Sudah cukup jika kau mengambil bagian yang saya peroleh. Tubuh ini setidak-tidaknya tetap masih milik saya.
Dia meneruskan seperti seorang pengusaha yang sukses.
Saya mempunyai bisnis. Modal saya adalah tubuh perempuan, dan saya tidak mencampur-adukkan pekerjaan dengan cinta.
Kau tahu sesuatu mengenai cinta"
Apakah ada orang yang tidak tahu artinya cinta" Pernahkah kau jatuh cinta pada suatu saat atau lainnya" Aku pernah.
Dan sekarang" ltu telah berlalu, tak ada sisanya. Dan kamu" Belum mati.
Kasihan. Kau tentu sangat sedih.
Aku mencoba untuk mengatasinya, tetapi tak berhasil.
Apakah ia lelaki atau perempuan" Germo biasanya lebih menyukai lelaki.
Bukan, Dia seorang perempuan.
155 Kau pelihara dia" Aku telah berikan dia segalanya. Uangku, pikiranku, tubuhku, kehadiranku, tenagaku. Segalanya, dan tetap saja saya merasa bahwa saya tidak memuaskannya, bahwa dia mencintai lelaki lain.
Kau sungguh lelaki malang.
Setiap orang sama saja jika menyangkut soal cinta. Dia menatap mata, saya dan berkata, Kamu hidup dalam khayalan. Saya dapat melihat di matamu bagaimana cinta telah mematahkan semangat yang biasanya bersinar.
Cinta membuat mata bersinar, dia tidak mematikan sinarnya.
Kau anak malang. Kau benar-benar tidak tahu apa artinya jatuh cinta. Saya akan mengajarkanmu.
Dia mencoba menarik saya kepadanya, tetapi saya mendorongnya jauh-jauh dan berkata:
Aku tidak mencampur-adukkan pekerjaan dengan cinta.
Siapa bilang ini cinta. Ini adalah bagian dari pekerjaan.
Tidak mungkin. Bagiku kata tidak mungkin tidak pernah ada. Dia melingkarkan lengannya sekeliling tubuh saya. Saya merasakan beban yang telah saya kenal menekan ke bawah tubuh saya pada dada, tetapi tubuh saya menarik diri, mengubah dirinya menjauh dari saya, seperti benda yang tidak hidup, pasif, menolak untuk menyerah, tak terkalahkan. Kepasifanku adalah suatu bentuk
156 perlawanan, suatu kemampuan yang aneh untuk tidak merasakan kenikmatan ataupun sakit, tidak membiarkan sehelai rambut pun di atas kepala, atau pada tubuh saya, untuk bergerak.
DEMIKIANLAH, MAKA DIA mulai memperoleh bagiannya dari hasil yang saya peroleh, malahan sebenarnya dia menyita bagian yang lebih besar bagi dirinya sendiri. Tetapi setiap kali dia mendekati saya, saya dorong dia menjauh, sambil mengulang:
Itu tidak mungkin. Tak ada gunanya untuk mencoba.


Perempuan Di Titik Nol Women At Point Zero Karya Nawal El Saadawi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu dia memukuli saya. Dan setiap kali saya mendengar kalimat itu jika dia memukul saya: Kata itu tidak ada bagi saya.
Saya mengetahui bahwa dia seorang germo yang mengendalikan sejumlah pelacur, dan saya adalah seorang di antara mereka. Dia mempunyai kawan di mana-mana, di setiap profesi, dan kepada mereka itulah dia belanjakan uangnya dengan amat royalnya. Dia mempunyai kawan dokter yang digunakan jika salah seorang pelacur menjadi hamil dan perlu digugurkan kandungannya, seorang kawan di kepolisian yang melindungi dia jika ada penggerebekan, seorang kawan di pengadilan yang menggunakan pengetahuan dan kedudukannya untuk mencegah terjadinya kesulitan dan membebaskan setiap
157 pelacur yang dituntut pengadilan sehingga dia tidak lama berhenti mencari uang.
Saya menyadari bahwa saya hampir tidak sebebas yang selama ini saya bayangkan. Saya tak lain hanyalah suatu mesin tubuh yang bekerja siang dan malam sehingga sejumlah lelaki yang termasuk pelbagai macam profesi dapat menjadi sangat kaya atas beban saya. Malahan saya tidak lagi menjadi majikan di rumah sendiri, yang saya sewa dengan daya upaya dan keringat sendiri. Pada suatu hari saya berkata pada diri-sendiri: Saya tak sanggup begini terus.
Saya masukkan ijazah-ijazah saya dalam sebuah tas kecil dan bersiap untuk berangkat, tetapi tiba-tiba dia muncul, berdiri di hadapan saya.
Kau hendak ke mana" tanyanya.
Aku akan pergi mencari pekerjaan. Saya masih mempunyai ijazah sekolah menengah.
Dan siapa bilang kamu tidak bekerja.
Saya akan memilih pekerjaan yang akan saya kerjakan.
Siapa yang mengatakan bahwa di dunia yang luas ini orang memilih sendiri pekerjaan yang dia ingin kerjakan" Saya tidak mau menjadi budak seseorang. Dan siapa bilang bahwa ada orang yang bukan budak orang lain" Hanya ada dua golongan orang, Firdaus, majikan dan budak.
Kalau begitu saya ingin menjadi salah seorang majikan dan bukan menjadi salah seorang budak.
158 Bagaimana kau dapat menjadi salah seorang majikan" Seorang perempuan yang hidup sendiri tidak bisa menjadi majikan, apalagi seorang perempuan yang menjadi pelacur. Tidakkah kau sadari bahwa kau menginginkan sesuatu yang tidak mungkin"
Kata 'tidak mungkin' tidak ada bagi saya, kata saya. Saya mencoba menyelinap melalui pintu, tetapi dia mendorong saya kembali dan menutupnya. Saya menatap matanya dan berkata:
Saya ingin pergi. Dia kembali menatap mata saya. Saya dengar dia memberengut, Kau tak boleh pergi.
Saya terus menatap dia tanpa berkedip. Saya tahu saya membencinya seperti hanya seorang perempuan dapat membenci lelaki, seperti hanya seorang budak dapat membenci majikannya. Saya melihat pada ekspresi dalam matanya bahwa ia takut kepada saya seperti halnya seorang majikan dapat merasa takut kepada budaknya, seperti halnya seorang lelaki takut kepada seorang perempuan. Tetapi itu hanya berlangsung selama satu detik. Kemudian ekspresi angkuh seorang majikan, pandangan agresif seorang lelaki yang tak takut kepada apa pun tampak kembali. Saya berhasil memegang grendel pintu dan siap membukanya, tetapi dia mengangkat tangannya ke atas dan menampar saya. Saya angkat tangan saya lebih tinggi dari yang ia lakukan, dan memukul dengan keras pada mukanya. Warna putih pada matanya menjadi merah. Ia mulai mengambil pisau yang
159 ada dalam kantungnya, tetapi tangan saya lebih cepat dari tangannya. Saya angkat pisau itu dan menancapkannya dalam-dalam di lehernya, lalu mencabutnya kembali dan menusukkannya dalam-dalam ke dadanya, mencabutnya keluar dan menusukkannya ke perutnya. Saya tusukkan pisau itu ke hampir semua bagian tubuhnya. Saya heran ketika mengetahui bagaimana mudahnya tangan saya itu bergerak ketika saya menghunjamkan pisau itu ke dalam dagingnya dan menariknya keluar hampir-hampir tanpa usaha. Saya lebih heran lagi karena saya belum pernah melakukannya.
Timbul pertanyaan dalam pikiran saya. Apa sebabnya saya belum pernah menikam lelaki selama ini" Saya menyadari bahwa saya takut, dan bahwa rasa takut itu selalu ada dalam diri saya, sampai pada saat saya dapat membaca rasa takut di matanya.
SAYA BUKA PINTU lalu berjalan menuruni tangga ke jalanan. Tubuh saya ringan seperti bulu, karena bebannya tidaklah lebih daripada penimbunan rasa takut dari tahun ke tahun. Malam sangat sunyi, kegelapan meliputi diri saya dengan perasaan heran, seakan-akan cahaya itu hanyalah khayalan demi khayalan yang diturunkan seperti kerudung di depan mata saya. Sungai Nil seperti memiliki sesuatu yang mempesonakan. Udaranya segar, menyegarkan. Saya berjalan di jalanan, kepala tegak memandang ke langit, dengan kebanggaan seseorang
160 yang telah menghancurkan semua topeng untuk mengungkapkan apa yang terselubung di belakangnya. Langkah-langkah kaki saya memecah kesunyian dengan bunyi langkahnya yang berirama di atas aspal. Langkahlangkah itu tidak cepat seperti jika saya sedang bergegas melarikan diri dari sesuatu yang menakutkan, juga tidak lamban. Langkah-langkah itu adalah langkah-langkah seorang perempuan yang memakai sepasang sepatu yang mahal, dengan hak yang tinggi, kakinya membentuk lekukan yang feminin, terus ke atas menjadi kaki-kaki yang molek, dengan kulit yang licin halus dan tidak berambut sehelai pun.
Tak seorang pun dapat mengenali saya dengan mudah. Saya tampaknya tidak berbeda dari perempuanperempuan terpandang tingkat atas. Rambut saya ditata oleh seorang penata rambut yang hanya melayani orang-orang kaya. Bibir saya diberi warna jenis alamiah yang disukai oleh para wanita terhormat karena tidak menyembunyikan tetapi juga tidak memperlihatkan nafsu birahi mereka. Mata saya dilukis dengan garis-garis yang sempurna untuk memberi kesan yang merangsang penuh rayuan, atau suatu daya tarik yang provokatif. Saya tampak tidak berbeda dari seorang isteri pejabat negara berkedudukan tinggi. Tetapi langkah-langkah penuh kepercayaan pada diri-sendiri dan yang tegap itu yang memantulkan suara di aspal membuktikan bahwa saya bukan isteri seseorang.
161 Saya melintasi sejumlah lelaki anggota angkatan kepolisian, tetapi tak seorang pun, dari mereka itu menyadari siapa saya. Barangkali mereka pikir saya adalah seorang puteri atau ratu, atau seorang dewi, Sebab siapa pula orangnya yang mengangkat kepalanya, begitu tinggi ketika sedang berjalan" Dan siapa pula orangnya yang langkah-langkah kakinya dapat memantulkan suara dengan cara ini bila menyentuh lantai" Mereka mengamati saya ketika saya lewat, dan saya tetap mengangkat tinggi kepala saya seperti tantangan bagi mata mereka yang kehausan. Saya bergerak terus dengan tenang seperti es, langkah-langkah saya terdengar berbunyi mantap. Saya tahu bahwa mereka berdiri di sana sambil menunggu perempuan macam saya kesandung, sehingga mereka dapat menubruknya bersama-sama seperti burung pemangsa.
Di sudut jalan saya melihat sebuah mobil mewah dengan kepala seorang lelaki ke luar dari jendelanya, dengan lidah yang hampir tergantung keluar mulutnya. Dia membuka pintu mobil dan berkata:
Mari ikut bersama saya. Saya bertahan dan berkata, Tidak. Saya akan bayar berapa pun yang kau minta. Tidak, saya ulangi lagi.
Percayalah kepadaku, saya akan membayarmu berapa saja kau minta.
Kau tidak dapat membayar hargaku, terlalu tinggi.
162 Saya dapat membayar harga berapa pun juga. Saya seorang pangeran Arab.
Dan aku seorang puteri. Saya akan membayar seribu. Tidak.
Dua ribulah. Saya menatap matanya dalam-dalam. Saya dapat mengetahui bahwa ia adalah seorang pangeran atau dari keluarga kerajaan, karena ada rasa takut yang memantul dari lubuk hatinya.
Tiga ribu, kata saya. Saya terima.
Di atas tempat tidur mewah yang lembut, saya menutup mata dan membiarkan tubuh saya melepaskan diri dari saya. Tubuh itu masih muda dan bersemangat, cukup kuat untuk bertahan, cukup bertenaga untuk melawan. Saya merasakan tubuhnya menindih dada saya, berat karena usianya, bengkak dengan keringat yang tertahan. Tubuh yang penuh dengan daging karena makan melebihi yang diperlukan, di luar batas kerakusannya. Dalam setiap gerakan, ia tetap mengulangi pertanyaan yang dungu:
Apakah kau merasa nikmat"
Saya memejamkan mata saya dan berkata, Ya. Setiap kali ia merasakan senang seperti orang dungu yang kesenangan, dan mengulangi pertanyaan tadi dengan napas terengah-engah dan setiap kali saya berikan jawaban yang sama: Ya.
163 Dengan berlalunya waktu, kedunguannya bertambah dan dengan demikian keyakinannya bahwa penegasan saya berulang-ulang tentang nikmat itu adalah benar. Setiap kali saya berkata ya dia berseri-seri melihat saya seperti seorang tolol, dan sejenak kemudian saya dapat merasakan beban tubuhnya semakin berat menindih, badan saya, lebih berat dari yang sebelumnya. Saya tak tahan lagi, dan ketika ia akan mengulangi pertanyaan yang dungu itu, saya membentak dengan marahnya: Tidak.
Ketika dia mengulurkan tangannya dengan uang, saya masih amat marah kepadanya. Saya rebut uang kertas dari tangannya dan mencabik-cabiknya menjadi serpihanserpihan kecil dengan amat marahnya.
Rasa uang kertas itu pada jari-jari saya sama dengan perasaan memegang piaster pertama yang pernah dijepit jari-jari itu. Gerakan tangan saya ketika mencabik uang sampai menjadi serpihan kecil-kecil itu, mencabik pula cadar yang terakhir dari depan mata saya, untuk membuka seluruh teka-teki yang membingungkan, tekateki sebenarnya dari kehidupan saya. Saya menemukan kembali kebenaran yang telah saya temukan sekian tahun yang lalu sebelum Ayah mengulurkan tangannya kepada saya dengan uang piaster pertama yang pernah ia berikan. Saya kembali pada uang kertas yang saya genggam dalam tangan lalu dengan amarah berlipat ganda mencabikcabik uang kertas yang tertinggal menjadi cabikancabikan kecil. Seakan-akan saya sedang menghancurkan
164 semua uang yang pernah saya miliki, piaster dari Ayah, dari Paman, semua piaster yang pernah saya kenal. Dan sekaligus menghancurkan semua lelaki yang pernah saya kenal, satu demi satu berturut-turut; Paman, dan Ayah, Marzouk, Di'aa, Ibrahim, dan mencabik semuanya menjadi serpihan-serpihan satu demi satu, membuang mereka untuk selamanya, membuang setiap bekas yang ditinggalkan piaster mereka di jari-jari saya, mencabik daging pada jari-jari saya sampai tertinggal tulangnya saja, meyakinkan bahwa tak ada satu pun bekas peninggalan mereka itu yang akan tersisa.
Matanya terbelalak dengan rasa heran ketika ia sedang mengamati saya menghancurkan segenggam uang kertas itu. Saya dengar dia berkata:
Kau memang benar seorang puteri. Mengapa saya tak percaya sejak permulaan"
Saya bukan seorang puteri, kata saya dengan marah. Mula-mula saya pikir kau seorang pelacur. Saya bukan seorang pelacur. Tetapi sejak semula, Ayah, Paman, suami saya, mereka semua, mengajarkan untuk menjadi dewasa sebagai pelacur.
Pangeran itu tertawa ketika ia melirik kepada saya kembali dan kemudian berkata, Kau tidak mengatakan yang sebenarnya. Dari wajahmu, saya dapat melihat kau adalah puteri seorang raja.
Ayah tidak berbeda dari seorang raja kecuali dalam satu hal.
Dan apa itu" 165 Ia tak pernah mengajariku untuk membunuh. Ia membiarkan saya mempelajarinya sendiri sewaktu saya menjalani kehidupan.
Apakah hidup mengajarimu untuk membunuh" Ya, tentu saja.
Dan apakah kau telah membunuh seseorang" Ya, pernah.
Ia memandang saya untuk sesaat, tertawa dan kemudian berkata, Saya tak dapat percaya bahwa orang macam kau ini dapat membunuh.
Mengapa tidak" Karena kau terlalu lembut.
Dan siapa bilang bahwa untuk membunuh tidak diperlukan sifat lembut"
Ia menantang mata saya, tertawa dan berkata, Saya tak dapat percaya bahwa kau mampu membunuh seseorang, jangankan seekor nyamuk pun.
Saya tak akan membunuh seekor nyamuk, tetapi saya dapat membunuh seorang lelaki.
Ia sekali lagi memandang saya, tetapi kali ini hanya cepat sekali, kemudian berkata, Saya tak percaya itu.
Bagaimana saya dapat meyakinkanmu bahwa apa yang kukatakan itu benar"
Saya benar-benar tak tahu bagaimana kau dapat melakukan itu.
Maka saya angkat tangan saya tinggi-tinggi di atas kepala saya dan mendaratkannya dengan keras pada mukanya.
166 Sekarang kau dapat percaya bahwa saya telah menamp armu. Menancapkan sebilah pisau di lehermu semudah itu juga, dan memerlukan gerakan yang sama benar.
Kali ini, ketika ia melihat kepada saya, matanya penuh dengan rasa takut.
Saya berkata, Barangkali sekarang kau akan percaya bahwa saya benar-benar mampu untuk membunuhmu, karena kau tidak lebih baik daripada seekor serangga, dan apa yang kau perbuat hanyalah menghabiskan uang beribu-ribu yang kau ambil dari rakyatmu yang mati kelaparan untuk diberikan kepada pelacur.
Sebelum saya sempat mengangkat kembali tangan saya ke atas, ia berteriak dalam keadaan panik seperti seorang perempuan dalam kesulitan. Dia tidak berhenti berteriak sampai polisi tiba di tempat itu.
Ia berkata kepada polisi, Jangan biarkan ia bebas. Ia seorang penjahat, seorang pembunuh.
Dan mereka bertanya kepada saya, Apakah yang ia katakan itu benar"
Saya seorang pembunuh, tetapi saya tidak melakukan kejahatan. Seperti kalian, saya hanya membunuh penjahat.
Tetapi ia seorang pangeran, dan seorang pahlawan. Ia bukan penjahat.
Bagi saya, perbuatan raja dan pangeran tidaklah lebih dari kejahatan, karena pendapatku berlainan dari kau.
p u s t a k a i n 167 Kau adalah seorang penjahat, kata mereka, dan ibumu penjahat.
Ibuku bukan penjahat. Tak ada perempuan yang dapat menjadi penjahat. Untuk menjadi penjahat hanyalah lelaki.
Coba lihat, apa ini yang kau katakan"
Saya mengatakan bahwa kamu semua adalah penjahat, kamu semua: para ayah, paman, suami, germo, pengacara, dokter, wartawan, dan semua lelaki dari semua profesi.
Mereka berkata, Kau adalah perempuan yang liar dan berbahaya.
Saya mengatakan yang sebenarnya. Dan kebenaran itu adalah liar dan berbahaya.
MEREKA MENGENAKAN BORGOL baja pada pergelangan tangan saya, dan membawa saya ke penjara. Dalam penjara mereka memasukkan saya ke dalam sebuah kamar yang pintu dan jendelanya selalu ditutup. Saya tahu apa sebabnya mereka itu begitu takutnya kepada saya. Sayalah satu-satunya perempuan yang telah membuka kedok mereka dan memperlihatkan muka kenyataan buruk mereka. Mereka menghukum saya sampai mati bukan karena saya telah membunuh seorang lelaki beribu-ribu orang yang dibunuh tiap hari tetapi karena mereka takut untuk membiarkan saya hidup. Mereka tahu bahwa selama saya masih hidup
168 mereka tidak akan aman, bahwa saya akan membunuh mereka. Hidup saya berarti kematian mereka. Kematian saya berarti hidup mereka. Mereka ingin hidup. Dan hidup bagi mereka berarti semakin banyak kejahatan, semakin banyak perampokan, perampasan yang tak terbatas. Saya telah menang atas keduanya, kehidupan dan kematian, karena saya sudah tidak lagi mempunyai hasrat untuk hidup, juga tidak lagi merasa takut mati. Saya tidak mengharapkan apa-apa. Saya tak takut apaapa. Karena selama hidup itu adalah keinginan, harapan, ketakutan kita yang memperbudak kita. Kebebasan yang saya nikmati membuat mereka marah. Mereka ingin mengetahui, bahwa bagaimanapun juga ada sesuatu yang saya inginkan, takutkan atau harapkan. Kemudian mereka akan tahu bahwa mereka dapat memperbudak saya lagi. Beberapa waktu yang lalu seorang di antara mereka telah datang kepada saya dan berkata:
Ada harapan kamu dibebaskan jika kamu mengirim surat permohonan kepada Presiden dan minta maaf atas kejahatan yang kau lakukan.
Tetapi saya tidak mau dibebaskan, kata saya, dan saya tidak mau minta pengampunan atas kejahatan saya. Apa yang disebut kejahatan bukanlah kejahatan. Kau membunuh seorang lelaki.
Jika saya keluar lagi dan memasuki kehidupan yang menjadi milikmu, saya tidak akan berhenti membunuh. Jadi apa gunanya saya menyampaikan permohonan pengampunan kepada Presiden"
169 Kau penjahat. Kau memang harus mati. Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan.
SEKARANG SAYA SEDANG menunggu mereka. Sebentar lagi mereka akan datang menjemput saya. Besok pagi saya tidak akan ada lagi di sini. Saya akan berada di suatu tempat yang tidak seorang pun tahu. Perjalanan ke tujuan yang tidak dikenal, ke suatu tempat yang tidak dikenal semua orang yang hidup di dunia ini, apakah dia itu raja, pangeran atau penguasa, membuat saya bangga. Seumur hidup saya mencari sesuatu yang akan memenuhi diri saya dengan perasaan bangga, sesuatu yang akan membuat saya menegakkan kepala tinggitinggi, lebih tinggi daripada kepala orang lain, terutama para raja, para pangeran dan para penguasa. Setiap kali saya memungut selembar surat kabar dengan gambar salah seorang di antara mereka di dalamnya, saya akan meludahinya. Saya tahu, bahwa saya hanya meludahi selembar surat kabar, yang mungkin saya perlukan untuk mengalas lemari dapur saya, tiap saat saya masih saja meludah, dan membiarkan ludah itu mengering sendiri. Setiap orang yang melihat saya meludah pada gambar itu mungkin berpikir bahwa saya kenal orang itu secara pribadi. Tetapi sebenarnya saya tak mengenalnya. Karena bagaimanapun juga, saya hanyalah seorang perempuan
170 yang sendirian. Dan satu orang perempuan, tak jadi soal dia itu apa, tidak mungkin dapat mengenal semua orang lelaki yang gambarnya telah dipasang di surat-surat kabar. Ya, siapa pun dia itu. Saya tidak lebih daripada seorang pelacur yang sukses, dan tak jadi soal betapapun suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi, dengan setiap lelaki yang saya pernah kenal, saya selalu dihinggapi hasrat yang kuat untuk mengangkat tangan saya tinggi-tinggi dan menghantamkannya ke muka mereka. Tetapi karena saya takut, saya tak pernah mengangkat tangan saya. Rasa takut telah menyadarkan saya bahwa gerakan ini sulit dilakukan. Saya tidak tahu bagaimana menghilangkan rasa takut ini sampai pada saat saya mengangkat tangan saya untuk pertama kali. Gerakan tangan saya keatas dan kemudian ke bawah telah menghancurkan rasa takut. Saya menyadari bahwa hal itu adalah sebuah gerakan yang mudah dilaksanakan, lebih mudah daripada yang saya perkirakan. Kini tangan saya tidak lagi tidak mampu untuk diangkat sendiri tinggi-tinggi di udara dan mendarat dengan keras pada wajah-wajah mereka. Gerakan tangan saya telah menjadi begitu mudahnya, dan segalanya di tangan saya dapat digerakkan dengan kemudahan yang alamiah, apakah itu sebilah pisau yang saya hujamkan ke dalam dada orang dan mencabutnya kembali. Dia akan menembus masuk dan dicabut keluar dengan kemudahan alamiah masuknya udara ke dalam paru-paru dan menghembus keluar lagi. Saya berkata
171 yang sebenarnya tanpa suatu kesulitan apa pun juga. Sebab kebenaran itu selalu mudah dan sederhana. Dan dalam kesederhanaannya itu terletak kekuasaan yang ganas. Karena, jarang sekali orang dapat mencapai kebenaran primitif dan mengagumkan dari suatu kehidupan setelah bertahun-tahun penuh perjuangan. Karena, memang jarang sekali orang tiba pada kebenaran hidup, yang sederhana, tetapi menakutkan dan penuh kekuatan, setelah hanya beberapa tahun. Dan untuk sampai kepada kebenaran berarti bahwa seseorang tidak lagi merasa takut mati. Karena kematian dan kebenaran adalah sama dalam hal bahwa keduanya mensyaratkan keberanian yang besar bila seorang ingin menghadapi mereka. Dan kebenaran adalah seperti kematian dalam arti membunuh. Ketika saya membunuh, saya lakukan hal itu dengan kebenaran bukan dengan sebilah pisau. Itulah yang menyebabkan mereka takut dan tergesagesa untuk melaksanakan hukumannya terhadap saya. Mereka tidak takut kepada pisau saya. Kebenaran saya itulah yang menakutkan mereka. Kebenaran yang menakutkan ini telah memberikan kepada saya kekuatan yang besar. Ia melindungi saya dari rasa takut mati, atau takut kehidupan, rasa lapar, atau ketelanjangan, atau kehancuran. Adalah kebenaran yang menakutkan ini yang mencegah saya merasa takut kepada kekurangajaran para penguasa dan para petugas kepolisian.
172 Dengan mudahnya saya meludahi muka-muka dan kata-kata penuh kebohongan itu, meludahi surat-surat kabar penuh kebohongan itu.
173 TIBA-TIBA SUARA FIRDAUS menjadi diam, seperti suara dalam sebuah mimpi. Saya menggerakkan tubuh saya seperti seseorang yang sedang bergerak dalam tidurnya. Apa yang ada di bawah saya bukanlah sebuah tempat tidur, tetapi sesuatu yang padat seperti tanah, dan dingin seperti tanah, rasa dingin yang tidak mencapai tubuh saya. Yaitu dinginnya laut di dalam sebuah mimpi. Saya berenang di airnya. Saya telanjang dan tak pandai berenang. Tetapi saya tidak merasakan dinginnya, juga tidak tenggelam dalam airnya. Suara Firdaus sekarang tidak ada, tetapi gemanya tetap ada di telinga saya, seperti sebuah suara yang jauh. Seperti suara-suara yang terdengar dalam mimpi. Suara-suara itu seakan-akan datangnya dari kejauhan tetapi juga seperti dari jarak yang dekat, atau seperti dekat tetapi datangnya dari jauh. Kita sebenarnya tidak tahu dari mana suarasuara itu timbulnya. Dari atas atau dari bawah. Dari sebelah kiri atau dari sebelah kanan. Kita mungkin
174 berpikir suara-suara itu datangnya dari kedalaman bumi, jatuh dari atap-atap rumah atau jatuh dari langit. Atau suara-suara itu mungkin mengalir dari segala penjuru, seperti udara yang bergerak di langit mencapai telinga kita. Tetapi itu bukan udara yang terbang ke dalam telinga kita. Perempuan yang sedang duduk di lantai di depan saya adalah seorang perempuan yang nyata. Suara yang mengisi telinga saya dengan bunyinya mengema di dalam sel yang jendela dan pintunya tertutup rapat itu adalah suara yang nyata. Dan jelas saya dalam keadaan bangun. Sebab, tiba-tiba pintu didorong sampai terbuka, tampak beberapa petugas kepolisian yang bersenjata. Mereka mengelilingi Firdaus dalam suatu lingkaran, dan saya dengar seorang di antara mereka berkata: Mari kita berangkat ... Waktumu sudah tiba. Saya melihat ia berjalan keluar bersama mereka. Saya tidak pernah melihatnya lagi. Tetapi suaranya terus-menerus bergema di telinga saya, bergetar dalam kepala, dalam sel, dalam penjara, di jalanan, di seluruh dunia, menggoncangkan segalanya, menyebarkan rasa takut ke mana saja ia pergi, rasa takut dari kebenaran yang membunuh, kekuatan kebenaran, sama liar, sama sederhananya dan sama ditakuti seperti maut, tetapi polos dan lembut seperti anak kecil yang belum belajar berdusta.
Oleh karena dunia penuh dusta, ia harus membayar harganya dengan kematian.
Saya masuk ke dalam mobil saya yang kecil itu, mata saya melihat ke tanah. Di dalam diri saya ada suatu
175 perasaan malu. Saya malu pada diri-sendiri, kepada kehidupan saya, pada rasa takut saya, dan kebohongankebohongan saya. Sementara jalanan dipenuhi orang dengan hingar-bingar kesibukkannya, surat-surat kabar tergantung di kios-kios kecil, dengan berita utama yang penuh mencolok. Pada setiap langkah, kemana pun saya pergi saya bisa melihat kebohongan-kebohongan itu, bisa mengendus menyebarnya kemunafikan di sekitar. Saya injak pedal gas itu, rasanya ingin bisa cepat mengelilingi dunia untuk menghentikan itu semua. Tetapi sesaat saya angkat kaki saya dengan segera dan saya injak pedal rem sekuat tenaga, dan mobilpun berhenti.
Dan saya segera menyadari bahwa Firdaus memiliki lebih banyak keberanian dibandingkan saya.
176 Tentang Penulis NAWAL EL-SAADAWI adalah seorang dokter bangsa Mesir. Ia terkenal di seluruh dunia sebagai novelis dan penulis wanita pejuang hak-hak wanita. Dilahirkan di sebuah desa bernama Kafr Tahia di tepi Sungai Nil, ia memulai prakteknya di daerah pedesaan, kemudian di rumah sakit-rumah sakit di Kairo, dan terakhir menjadi Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir. Tahun 1972, sebagai akibat diterbitkannya buku nonfiksinya yang pertama. Women and Sex, ia dibebastugaskan dari jabatannya sebagai direktur dan juga sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Health. Tapi Saadawi tidak dapat dihalangi, ia melanjutkan menerbitkan buku-bukunya tentang status, psikologi dan seksualitas wanita. Karyakaryanya, yang disensor oleh badan sensor Mesir dan dilarang di Saudi Arabia dan Libya, sekarang diterbitkan di Lebanon. The Hidden Face of Eve adalah bukunya yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Karya-karyanya antara lain: Women and Sex, Women and Psychological Conflict (buku-buku mengenai wanita); The Chant of the Children Circle, Two Women in Love, God Dies by the Nile, Memoirs of a Lady Doctor (novel); A Moment of Truth, Litte Sympathy (cerita pendek)
Tenggelamnya Kapal Van Derwijck 2 Pendekar Riang Karya Khu Lung Romantika Sebilah Pedang 6

Cari Blog Ini