Perempuan Di Titik Nol 2

Perempuan Di Titik Nol 2

Perempuan Di Titik Nol Women At Point Zero Karya Nawal El Saadawi Bagian 2


membengkak sampai menjadi gumpalan yang sangat putih, besarnya sebesar matahari. Mata saya sendiri menghilang ke dalam warna hitam dan putih sampai menjadi buta oleh suatu kekuatan yang dahsyat, kedua mata saya tak kuasa lagi menangkap yang satu maupun yang lainnya. Bayangan-bayangan di hadapan mata saya menjadi kacau. Saya tak dapat membedakan lagi muka Ayah dan muka Ibu, Paman dan Mohammadain, Iqbal, Wafeya. Saya membuka mata lebar-lebar seperti dalam keadaan panik akan terkena kebutaan. Saya dapat melihat bentuk muka Wafeya di hadapan saya di dalam kegelapan. Dia masih bangun, dan saya dengar dia berkata: Firdaus, apakah kau jatuh cinta kepada Nona Iqbal" Aku" kata saya dengan rasa heran.
Ya, kau. Siapa lagi"
Tak pernah, Wafeya. Lalu, apa sebabnya kau bicara tentang dia setiap malam"
Aku" Bicara tentang dia" Itu tak benar. Kau selalu melebih-lebihkan Wafeya.
Nona Iqbal adalah seorang guru yang baik sekali, ulasnya.
Ya, saya setuju, tetapi dia itu perempuan. Bagaimana bisa jadi saya cinta kepada seorang perempuan"
Hanya beberapa hari lagi sebelum ujian akhir. Wafeya tidak lagi berbicara dengan saya mengenai jantung hatinya, dan lonceng malam tidak lagi berbunyi seperti yang terjadi sebelumnya. Setiap malam saya akan duduk
sampai larut malam di ruangan belajar dengan Wafeya dan gadis-gadis lainnya. Sebentar-sebentar pengawas asrama masuk ke dalam untuk mengawasi kami belajar, sama seperti dia melakukan pengawasan bila kami tidur atau tengah bermimpi. Karena, bila seorang di antara gadisgadis itu mengangkat kepalanya untuk mengambil napas, atau mengistirahatkan tengkuknya, dia akan muncul entah dari mana, dan gadis-gadis itu cepat-cepat akan menundukkan kepalanya di atas buku-buku kembali.
Saya senang duduk di kelas, dan saya menikmati kegiatan belajar, sekalipun kewaspadaan sang pengawas yang tak pernah lalai, dan hal lainnya. Ketika hasil ujian diumumkan, kepada saya diberitahukan, bahwa saya berhasil memperoleh peringkat nomor dua di sekolah dan nomor tujuh di seluruh negeri. Malam hari, ketika surat-surat keterangan tanda tamat belajar dibagi-bagikan, suatu upacara diselenggarakan bagi peristiwa tersebut. Kepala sekolah memanggil nama saya di dalam bangsal yang penuh sesak oleh ratusan ibu, ayah, dan kerabatkerabat lainnya dari para gadis, tetapi tak ada yang berdiri atau berjalan ke depan untuk menerima surat ijazah saya. Kesunyian yang mendadak mencekam bangsal. Kepala sekolah menyerukan nama saya untuk kedua kalinya. Saya berusaha untuk berdiri tetapi kaki saya tak mau bergerak. Saya berseru sambil duduk:
Hadir. Saya melihat semua berputar ke arah saya, mata yang tak terhitung banyaknya telah berubah dalam pandangan
saya menjadi cincin-cincin yang tak terbilang jumlahnya, cincin berwarna putih yang mengelilingi lingkaranlingkaran yang tak terhitung banyaknya, yang berwarna hitam, yang berubah menjadi suatu gerakan lingkaran yang terpadu untuk memusatkan pandangannya secara tetap ke dalam mata saya.
Kepala sekolah berseru dengan suara memerintah: Jangan menjawab sambil duduk. Berdirilah! Saya menyadari bahwa saya sudah berdiri tegak pada waktu lingkaran-lingkaran putih dan hitam itu bergerak ke atas dalam suatu gerak serentak untuk sekali lagi melihat ke mata saya.
Kepala sekolah berseru kembali dengan suara yang begitu kerasnya yang bergema di dalam telinga saya lebih keras dari suara apa pun yang pernah saya dengar sebelumnya selama hidup saya. Di mana walimu"
Kebisuan yang mencekam meliputi bangsal itu, suatu kesunyian yang memiliki pemantulan suaranya sendiri. Udara bergetar dengan suara yang ganjil, dan suara orang bernapas yang keluar dari banyak dada memiliki nada berirama yang sampai kepada saya di belakang bangsal yang penuh sesak itu. Kepala-kepala mereka kembali berputar pada kedudukan semula, dan saya berdiri menatap baris demi baris punggung mereka yang duduk tegak di jajaran bangkunya masing-masing.
Dua mata hanya dua mata yang menatap terus mata saya. Betapa jauhnya saya memalingkan pandangan saya, atau betapapun saya menggerakkan kepala saya, kedua
mata itu mengikuti saya dan mempererat pegangannya. Segalanya sekarang telah diselimuti kegelapan yang semakin pekat, dan di dalamnya saya tak kuasa lagi membedakan cahaya yang sekecil apa pun dari sepercik sinar, kecuali dua mata berwarna hitam yang dilingkari dua cincin putih yang bersinar-sinar. Semakin saya pertajam pandangan saya kepadanya semakin kelam warna hitam dan putihnya, seakan-akan diilhami oleh sebuah cahaya dari sumber gaib, karena bangsal itu diliputi kegelapan yang menyeluruh, dan malam di luar pun seakan-akan seperti cairan arang batu.
Bagi saya seolah-olah saya mengulurkan tangan di tengah kegelapan dan meraih tangannya, atau dia yang muncul di tengah kegelapan meraih tangan saya. Sentuhan yang tiba-tiba itu membuat tubuh saya gemetar dengan rasa nyeri yang mendalam sampai menyerupai rasa nikmat, atau rasa nikmat yang begitu mendalamnya sampai mendekati rasa nyeri. Itu adalah rasa nikmat yang jauh, dikubur di kedalaman yang begitu dalam seakanakan telah muncul di waktu yang telah lebih lama berlalu daripada yang dapat diingat, lebih tua dari tahun-tahun perjalanan hidup yang masih ada dalam ingatan. Sesuatu yang tidak begitu cepat diingat dan segera dilupakan, seperti telah terjadi sekali sebelumnya, untuk hilang lenyap selama-lamanya, atau seperti hal itu sama sekali tak pernah terjadi.
Saya membuka mulut dan siap menceritakan semuanya, tetapi dia berkata,
Jangan berkata apa-apa Firdaus.
Dia menuntun saya dengan tangannya, melalui jajaran demi jajaran banyak orang, sampai kami menaiki panggung tempat kepala sekolah berdiri. Dia mengambil surat tanda tamat belajar, kemudian mencantumkan tanda tangannya untuk menyatakan, bahwa dia pun telah menyerahkan kepada saya surat keterangan prestasi luar biasa. Kepala sekolah membaca nilai yang telah saya peroleh bagi setiap mata pelajaran, dan saya dengar suara bising di dalam bangsal yang menyerupai suara tepuk tangan. Kepala sekolah mengangkat tangannya yang memegang sebuah kotak yang dibungkus kain berwarna dan diikat kain sutera berwarna hijau. Saya mencoba untuk mengulurkan tangan saya, tetapi tak berhasil untuk menggerakkannya. Sekali lagi samar-samar saya melihat Nona Iqbal mendekati Kepala sekolah. Dia mengambil bingkisan itu dari tangan beliau, dan membimbing saya kembali berjalan melalui deretan orang ke tempat saya duduk semula. Saya lalu duduk, meletakkan ijazah di pangkuan, dan meletakkan kotak di atasnya.
TAHUN PELAJARAN TELAH sampai pada akhirnya. Para bapak dan walimurid telah tiba untuk membawa pulang para gadis. Kepala sekolah telah mengirim sepucuk telegram kepada Paman dan beberapa hari kemudian ia tiba di sekolah untuk membawa saya pergi. Saya tak melihat Nona Iqbal sejak malam upacara itu.
Pada malam itu juga, ketika lonceng berbunyi sebagai tanda lampu harus dipadamkan, saya tak dapat tidur dan pergi ke bawah menuju halaman dan duduk sendirian di kegelapan. Setiap kali saya dengar bunyi yang datang dari kejauhan, atau merasakan sesuatu yang bergerak, saya melihat ke sekeliling saya. Di satu saat saya melihat sosok yang berbentuk sama dengan orang sedang bergerak dekat pintu masuk. Saya segera berdiri. Jantung saya berdebar keras tak terkendali dan darah mengalir ke kepala saya. Kelihatannya bentuk yang saya lihat itu sedang bergerak ke arah saya. Saya bangkit dan berjalan untuk menemuinya dengan langkah perlahan-lahan. Sambil maju saya menyadari bahwa seluruh tubuh saya telah bermandi keringat, termasuk akar rambut dan telapak tangan saya. Saya sendirian di dalam gelap dan sebuah getaran rasa takut memasuki diri saya. Saya berseru:
Nona Iqbal, tetapi yang keluar hanyalah suatu bisikan yang tak sampai pada telinga saya sendiri. Saya tak dapat mendengar apa-apa dan rasa takut saya meningkat. Tetapi di sana bentuk itu masih tetap ada seukuran dengan tubuh manusia, tampak samar-samar dalam kegelapan. Saya berkata dengan suara keras yang sampai kepada telinga saya dengan jelas kali ini:
Siapa di situ" Suara saya sendiri telah membangunkan saya dari yang tampaknya seperti suatu mimpi, seperti seorang yang sedang berbicara dengan suara keras di dalam mimpinya. Rupanya kegelapan telah terangkat sedikit
dan memperlihatkan sebuah tembok rendah yang tidak disemen kira-kira setinggi orang biasa. Itu adalah tembok yang sudah pernah saya lihat sebelumnya, hanya untuk sesaat saya rasakan sepertinya tembok itu baru saja didirikan.
Sebelum meninggalkan sekolah itu untuk terakhir kalinya, saya tetap melihat ke sekeliling, melihat semua tembok, jendela, pintu dengan pandangan mata saya tiada hentinya, dengan pengharapan sesuatu akan terbuka sekonyong-konyong dan memperlihatkan matanya, bila mata itu melihat kepada saya untuk sejenak, atau tangannya melambai-lambai tanda selamat berpisah. Saya mencari-cari terus seperti orang gila, tanpa hasil. Pada setiap saat saya tetap merasakan kehilangan harapan, hanya untuk mendapatkannya kembali sesaat kemudian. Mata saya bergerak ke atas dan ke bawah tiada hentinya, bergerak ke sana ke mari. Dada saya berdebar-debar dengan perasaan emosi yang mendalam. Sebelum kami melewati pintu gerbang saya berbisik kepada Paman: Tunggulah saya satu menit lagi.
Sesaat kemudian saya mengikutinya ke jalan, dan pintu sudah ditutup di belakang kami. Tetapi saya terus menengok melihat-lihat ke sekeliling dan melihat kembali ke arah pintu itu beberapa waktu lamanya, seakan-akan ia akan terbuka lagi, atau seperti saya merasakan kepastian, bahwa seseorang sedang berdiri di belakangnya dan siap untuk membukanya di setiap saat.
SAYA BERJALAN DENGAN langkah-langkah yang berat di belakang Paman membawa serta bayangan pintu yang tertutup itu yang terukir di benak saya. Pada waktu makan, atau minum, atau berbaring untuk tidur, pintu itu ada di hadapan saya. Saya tahu, bahwa saya sekarang telah kembali di rumah Paman. Perempuan yang tinggal bersamanya adalah isterinya, dan anak-anak yang berlari-larian di dalam rumah adalah anak-anak mereka. Tak ada tempat di rumah ini untuk saya, kecuali di atas dipan, sebuah dipan yang kecil ditempatkan di ruang makan dekat dengan tembok tipis yang memisahkan ruangan itu dengan ruangan tidur. Dan dengan begitu setiap malam saya dapat mendengar suara mereka yang direndahkan berbisik-bisik di balik tembok pemisah itu.
Tidak mudah untuk mencari pekerjaan sekarang ini apabila yang kau miliki hanyalah ijazah sekolah menengah.
Lalu apa yang bisa ia perbuat sekarang"
Sama sekali tak ada. Sekolah menengah itu tak mengajarkan mereka apa-apa. Saya seharusnya mengirimkannya ke sebuah latihan dagang.
Tak ada gunanya bicara tentang apa yang seharusnya dapat lakukan. Apa yang akan kau lakukan sekarang"
Dia dapat tinggal bersama kita sampai saya mendapatkan pekerjaan baginya.
ltu dapat makan waktu bertahun-tahun. Rumah ini kecil dan kehidupan mahal. Dia makan dua kali sebanyak anak-anak kita.
Dia membantumu dan anak-anak di rumah. Kita punya gadis pembantu, dan saya masak sendiri. Kita tidak memerlukannya.
Tetapi dia dapat meringankan pekerjaan kamu dengan membantu memasak.
Saya tidak suka masakan dia. Kau tahu, yang mulia, memasak adalah 'semangat yang kau tiup' ke dalamnya. Dan saya tidak suka apa yang dia 'hembuskan' ke dalam masakannya, dan kau juga tidak. Kau tidak ingat okra yang dimasaknya untuk kita" Kau katakan kepadaku bukannya okra yang telah terbiasa bagimu untuk dimakan bila aku membuatnya dengan tanganku sendiri.
Jika kau pelihara dia bukannya Saadia, kita akan menghemat dengan gaji gadis itu.
Dia tidak akan dapat menggantikan Saadia. Saadia seorang yang lincah geraknya dan cekatan, dan ia bekerja sepenuh hati. Tambahan pula dia tidak begitu senang pada makanan atau tidur berjam-jam lamanya. Tetapi gadis ini, setiap gerakannya lamban dan berat. Dia berdarah dingin dan sikapnya kurang hati-hati.
Apa yang akan kita perbuat dengannya" Kita bisa bebas dari dia dengan mengirimkannya ke universitas. Di sana dia dapat tinggal di asrama puteri.
Ke universitas" Ke suatu tempat di mana dia akan duduk bersebelahan dengan laki-laki" Seorang syekh dan laki-laki yang saleh macam aku ini akan mengirimkan kemenakan untuk berbaur dengan kumpulan orang lakilaki"! Di samping itu, dari mana kita mencari uang untuk
biaya hidup, dan buku serta bajunya" Kau tahu betapa tingginya biaya hidup sekarang ini. Harga-harga seperti bertambah gila, dan gaji pegawai pemerintah hanya naik sedikit sekali.
Yang mulia, aku punya gagasan yang bagus. Gagasan apa itu"
Pamanku, Syekh Mahmoud adalah seorang yang terhormat. Dia punya pensiun yang besar dan tak punya anak-anak, dan ia masih hidup sendirian sejak isterinya meninggal tahun yang lalu. Bila ia menikah dengan Firdaus, Firdaus akan memperoleh kehidupan yang baik bersamanya, dan ia akan mendapatkan pada diri Firdaus seorang isteri yang penurut, yang akan melayaninya dan akan meringankan kesunyiannya. Firdaus telah bertambah besar, yang mulia, dan harus dikawinkan. Terlalu banyak risikonya bagi Firdaus bila terus-terusan tak bersuami. Dia adalah seorang gadis yang baik, tetapi dunia ini sudah penuh dengan bergajul.
Aku setuju dengan kamu, tetapi Syekh Mahmoud terlalu tua bagi dia.
Siapa bilang dia sudah tua! Dia baru saja pensiun tahun ini, dan Firdaus pun tidak terlalu muda. Gadisgadis seusia dia sudah kawin bertahun-tahun sebelumnya dan sudah melahirkan anak. Seorang yang tua tetapi yang dapat dipercaya masih lebih baik daripada seorang yang muda yang memperlakukannya dengan cara yang menghina, atau memukul. Anda tahu bagaimana orang muda jaman sekarang.
Aku setuju dengan kau. Tetapi kau jangan lupa cacatnya yang terlihat benar di mukanya.
Cacat" Siapa bilang itu sebuah cacat. Selain itu, yang mulia, seperti biasa dikatakan, 'tiada yang memalukan seorang lelaki kecuali kantongnya yang kosong. Seandainya Firdaus menolaknya"
Mengapa dia akan menolaknya! Ini adalah kesempatan yang terbaik untuk menikah. Jangan lupa hidung yang dimilikinya. Besar dan jelek bagaikan cangkir timah. Di samping itu, dia tak punya warisan apa-apa, dan tak punya penghasilan sendiri. Kita tidak akan dapat memperoleh suami yang lebih baik bagi dia daripada Syekh Mahmoud.
Kau pikir Syekh Mahmoud akan menerima dengan senang hati gagasan ini"
Jika aku bicara dengannya aku yakin dia akan setuju. Saya bermaksud untuk minta mas kawin yang besar darinya.
Berapa banyaknya" Seratus pon, atau barangkali malahan dua ratus jika ia punya uang.
Jika ia membayar seratus pon, maka Allah benarbenar telah bermurah hati kepada kita, dan saya tidak berlaku serakah untuk meminta yang lebih banyak.
Aku akan mulai dengan dua ratus. Anda tahu dia adalah seorang lelaki yang dapat bertengkar berjam-jam mengenai lima kelip, dan akan bunuh diri demi uang satu piaster.
Jika ia mau membayar uang seratus pon, itu akan merupakan suatu rahmat dari Allah. Saya akan mampu melunasi hutang-hutangku dan membeli pakaian dalam, juga satu atau dua baju untuk Firdaus. Kita tidak akan membiarkan dia kawin dengan baju yang dia pakai sekarang.
Bagaimanapun juga, kau tak perlu khawatir mengenai perlengkapan pengantinnya, atau tentang meubel atau alat-alat rumah tangga. Rumah Syekh Mahmoud sudah lengkap dan meubel yang ditinggalkan almarhum isterinya barang-barang yang bermutu, jauh lebih baik dari barangbarang asal jadi yang kau bisa peroleh sekarang ini.
Untuk pastinya, apakah yang kau katakan itu sesuatu yang benar"
Aku bisa bersumpah demi Allah, yang mulia, bahwa Tuhan sesungguhnya mencintai kemenakan Anda itu, karena itu ia akan benar-benar beruntung bila Syekh Mahmoud setuju untuk mengawininya.
Kau pikir dia mau" Dan mengapa dia akan menolak" Dengan perkawinan ini dia akan berkerabat dengan seorang syekh dan orang saleh yang terhormat. Bukankah itu sendiri sudah menjadi alasan yang cukup baginya untuk menerima usul itu"
Barangkali dia sedang berpikir untuk mengambil seorang perempuan dari keluarga yang kaya. Kau tahu bagaimana dia menyembah piaster.
Dan apakah yang mulia menganggap diri-sendiri sebagai seorang yang miskin. Kita bernasib lebih baik daripada kebanyakan orang lainnya. Terima kasih kepada Allah untuk segala-galanya.
Sungguh, kita penuh dengan rasa terima kasih kepada Allah untuk segalanya yang Dia telah limpahkan kepada kita. Semoga Dia selalu terpuji dan diagungkan. Sungguh hati kita benar-benar penuh dengan rasa syukur kepada Allah yang Mahakuasa.
Dalam khayalan, saya hampir dapat melihat Paman mencium telapak dan punggung tangannya sendiri dan kemudian terdengar ia mencium telapak tangan isterinya. Melalui dinding pemisah yang tipis itu, suara kecupan dari kedua ciuman itu sampai ke saya satu demi satu, dan sejenak kemudian berulang kembali ketika dia menggerakkan kedua bibirnya ke arah tangan, atau barangkali ke arah lengan atau kaki isterinya, karena saya mulai mendengar isterinya memprotes:
Tidak, yang mulia, tidak, sambil mengelakkan lengan atau kaki dari pelukan suaminya.
Disusul oleh suara suaminya, bergumam dalam nada yang lembut, direndahkan, yang hampir menyerupai rangkaian singkat ciuman-ciuman baru.
Apa yang tidak, perempuan"
Tempat tidur keduanya berderik, dan saya sekarang dapat mendengar suara napas mereka, tak teratur, berdesah, dan suara isterinya manakala kembali memprotes:
Tidak yang mulia, demi Nabi. Tidak, ini hawa nafsu. Kemudian nada suaminya yang tertahan kembali mendesis:
Kau perempuan, kau ... Nafsu apa, dan apa Nabi" Aku adalah suamimu dan kau adalah isteriku.
Tempat tidur berderik lebih keras di bawah tubuh mereka yang berat, yang terkunci dalam suatu perjuangan, bergantian saling mendekat dan menjauh di dalam suatu gerakan yang bersinambungan, mula-mula lambat dan berat, kemudian secara bertahap beralih menjadi gerakan dengan kecepatan yang aneh, hampir seperti gerakan yang kegila-gilaan iramanya, yang menggoncangkan tempat tidur dan lantai, dan dinding di antara kami dan malahan dipan tempat saya berbaring. Saya merasa tubuh saya bergetar bersama dipan, napas saya menjadi semakin cepat, sedemikian rupa sehingga setelah sejenak saya pun mulai terengah-engah dengan kegilaan yang serupa. Kemudian, perlahan-lahan, ketika gerakan mereka berkurang suara napas menjadi sunyi kembali, dan lambat-laun saya pun kembali menjadi tenang. Napas saya menjadi wajar dan teratur, dan saya tertidur dengan tubuh bermandikan keringat.
KEESOKAN PAGINYA SAYA menyiapkan sarapan pagi untuk Paman. Ia memandang ke atas untuk menatap saya ketika membawakan gelas atau cangkir berisi air, tetapi setiap kali, saya membuang muka ke
arah yang lain untuk menghindari pandangan matanya. Saya menunggu sampai ia berangkat, kemudian berjongkok di bawah dipan kayu, saya ambil sepatu saya, memakainya dan mengenakan pakaian. Saya buka kopor kecil saya, melipat gaun tidur, lalu mengemasnya ke dalam kopor, dan saya tempatkan ijazah sekolah menengah dan surat keterangan penghargaan di atasnya, sebelum saya menutupnya kembali. Isteri paman sedang memasak di dapur, dan Saadia, si pembantu, sedang memberi makanan anak-anak di kamar mereka. Hala, adik sepupu saya yang paling muda, saat itu datang dan masuk kamar. Kedua matanya yang hitam terbelalak, memandang lama ke arah baju sepatu dan kopor kecil saya. Dia belum pandai bicara dan dia tidak dapat mengucapkan kata Firdaus, jadi, dia biasanya memanggil saya 'Daus.' Dia adalah satu-satunya dari anak-anak itu yang tersenyum kepada saya, dan apabila saya sedang sendiri di dalam kamar, dia akan datang dan meloncat ke atas dipan dan berkata:
Daus, Daus. Saya mengelus-elus rambutnya dan menjawab, Ya, Hala.
Daus, Daus, jawabnya, dan ketawa geli, dan berusaha supaya saya bermain dengannya. Tetapi segera akan terdengar suara ibunya memanggil dari luar, sehingga dia akan meloncat turun dari atas dipan, dan pergi berjalan dengan kaki-kakinya yang kecil. Mata Hala terus-menerus ditujukan ke sepatu saya, ke arah baju saya,
ke arah kopor kecil saya, kemudian berbalik kembali. Dia memegangi kelim baju saya, dan tetap berkata: Daus, Daus.
Saya berbisik ke telinganya, Saya akan kembali, Hala. Tetapi dia tetap tidak mau diam. Jari-jarinya memegang erat tangan saya dan terus saja mengulang, Daus, Daus.
Saya berikan dia sebuah foto saya untuk mengalihkan perhatiannya, saya buka pintu flat itu, melangkah keluar dan menutupnya diam-diam di belakang saya. Saya dengar suaranya berseru-seru di balik pintu: Daus, Daus.
Saya lari ke bawah menuruni tangga, tetapi suaranya terus menggema, di dalam telinga saya sampai saya mencapai lantai dasar, dan menuju jalanan. Ketika saya telah melangkah lebih jauh di atas jalan aspal, saya masih tetap dapat mendengar suaranya, entah dari mana di belakang saya. Saya berbalik, tetapi tidak melihat siapa pun juga.
Saya berjalan sepanjang jalan seperti yang telah berkali-kali saya lakukan sebelumnya, tetapi kali ini rasanya agak berlainan, karena saya tidak punya tujuan tertentu. Sebenarnya, saya tak punya tujuan ke arah mana saya melangkah. Ketika saya memandang ke arah jalan, seakan-akan saya melihatnya untuk pertama kali. Suatu dunia baru telah terbuka di hadapan mata saya, suatu dunia yang bagi saya belum pernah ada. Barangkali selalu ada di situ, selalu hadir, tetapi saya belum pernah melihatnya, belum pernah menyadari, bahwa itu selalu
telah ada. Bagaimana mungkin, bahwa saya buta terhadap kehadirannya selama bertahun-tahun ini" Sekarang seakan-akan ada mata ketiga yang sekonyong-konyong muncul di kepala saya. Saya dapat melihat kerumunan orang bergerak dalam arus yang tak putus-putusnya sepanjang jalan, ada yang berjalan kaki, yang lainnya naik bis dan mobil. Semua dalam keadaan tergesa-gesa, berlalu cepat, tak acuh tentang apa yang terjadi di sekeliling mereka. Tak seorang pun yang memperhatikan saya ketika saya berdiri di sana sendirian. Dan karena mereka tidak memperhatikan saya, maka saya dapat mengamati mereka. Ada orang-orang yang memakai baju kotor dan sepatu yang sudah usang. Muka mereka pucat, matanya pudar, lesu, berat dan penuh rasa sedih dan khawatir. Tetapi mereka yang naik mobil memiliki bahu yang lebar berotot, dan pipi mereka penuh serta bulat. Dari balik jendela kaca mereka memandang ke luar dengan mata penuh rasa waspada, curiga, mata yang bersiap untuk menerkam secara ganas, tetapi mendekati sikap merendah. Saya tidak dapat membedakan muka atau mata mereka yang naik bis, hanya kepala dan punggung mereka, yang dapat saya lihat berdesak-desak satu sama lainnya, memenuhi seluruh tempat di dalam bis, melimpah sampai ke tangga dan atapnya. Bila bis berhenti sampai di tempat pemberhentian di stasiun, atau sedang mengurangi kecepatannya, saya dapat melihat sekilas muka-muka penuh prasangka berkilat oleh keringat, dan mata yang menonjol mengungkapkan rasa takut.
Saya tercengang oleh banyaknya orang-orang yang memenuhi jalanan di mana-mana, tetapi lebih tercengang lagi melihat cara mereka bergerak seperti makhlukmakhluk buta yang tak dapat melihat dirinya sendiri, atau siapa pun. Rasa heran saya semakin besar ketika sekonyong-konyong saya menyadari bahwa saya telah menjadi seorang di antara mereka. Kesadaran ini telah memenuhi hati saya dengan perasaan yang mula-mula terasa sebagai suatu yang menggembirakan, tetapi dengan cepat berubah seperti sikap keheranan seorang bayi yang membuka matanya untuk pertama kali memandang dunia sekelilingnya, dan sesaat kemudian berteriak menangis ketika ia merasa berada dalam suatu lingkaran baru, yang sebelumnya tak pernah ia tahu.
Ketika malam tiba, saya belum menemukan sebuah tempat di mana saya dapat tinggal dan menghabiskan waktu berjam-jam lamanya sampai pagi. Saya merasakan sesuatu jauh di dalam diri saya yang sedang menjeritjerit kebingungan. Sekarang saya merasa sangat lelah, perut saya sakit karena lapar. Saya bersandar pada sebuah tembok dan berdiri sejenak sambil melihat sekeliling. Saya dapat melihat jalan yang membentang lebar di hadapan saya bagaikan laut. Di sini saya, bagaikan sebutir batu yang dilemparkan orang ke dalam air, meluncur bersama kerumunan orang banyak di dalam bis dan mobil, atau berjalan kaki di jalanan, dengan mata yang tak melihat, tak mampu untuk memperhatikan sesuatu atau seseorang.
Tiap menit seribu mata berlalu di hadapan saya, tetapi bagi mereka saya tetap tidak ada.
Dalam kegelapan sekonyong-konyong saya menangkap dua buah mata, atau merasakan adanya, bergerak ke arah saya dengan perlahan-lahan, makin lama makin dekat. Kedua mata itu menjatuhkan pandangannya dengan maksud tertentu perlahan-lahan ke arah sepatu saya, berhenti di situ sebentar, kemudian secara bertahap mulai naik ke atas ke arah kaki, paha, perut, dada, pundak dan akhirnya berhenti, memusatkan dirinya ke dalam mata saya, dengan kesungguhan yang sama dinginnya.
Rasa gemetar melintasi sekujur tubuh saya, seperti rasa takut mati, atau seperti kematian itu sendiri. Saya tegangkan otot-otot punggung dan muka saya untuk menahan rasa gemetar itu dan menguasai perasaan ngeri yang menjalari seluruh jiwa saya. Karena, bagaimanapun juga saya tidak berhadapan dengan sebuah tangan yang memegang pisau atau pisau cukur, tetapi hanya dengan dua buah mata, tidak lain hanya dua buah mata. Saya menelan ludah dengan susah-payah dan melangkahkan satu kaki ke muka. Saya mampu menggerakkan tubuh saya beberapa langkah menghindar dari kedua mata itu, tetapi saya merasakannya pada punggung saya, menembus tubuh saya dari belakang. Saya melihat sebuah warung kecil yang diterangi cahaya lampu terang benderang dan mempercepat langkah saya ke warung itu. Saya melangkah masuk dan bersembunyi di antara kerumunan orang. Beberapa saat, kemudian saya keluar, lalu dengan
hati-hati melihat ke kiri dan ke kanan jalan. Setelah yakin bahwa kedua mata itu telah hilang saya cepat-cepat berlari di trotoar. Sekarang hanya satu pikiran saya. Bagaimana bisa sampai di rumah Paman secepat mungkin.
SETELAH KEMBALI SAYA tak tahu bagaimana saya bertahan hidup di rumah Paman, saya pun tak ingat lagi bagaimana saya menjadi isteri Syekh Mahmoud. Apa yang saya ketahui adalah apa yang harus dihadapi di dunia telah menjadi kurang menakutkan daripada bayangan kedua mata itu, yang menyebabkan bulu roma saya berdiri apabila teringat kembali. Saya tak dapat membayangkan warnanya, hijau atau hitam, atau warna lain. Saya pun tak dapat mengingat benar bentuknya, apakah besar, terbuka lebar, atau hanya berbentuk sipit. Tetapi, setiap kali saya berjalan-jalan di jalan raya, baik siang ataupun malam, saya akan memandang sekeliling dengan hati-hati, kalau-kalau kedua mata itu sekonyongkonyong akan muncul melalui suatu lubang di dalam tanah dan berhadapan dengan saya.
Saatnya pun tiba ketika saya berangkat meninggalkan rumah Paman dan hidup bersama Syekh Mahmoud. Sekarang saya tidur di atas tempat tidur yang lebih menyenangkan daripada dipan kayu. Tetapi belum lama saya membaringkan tubuh di atasnya untuk istirahat karena lelah sesudah memasak, mencuci serta membersihkan rumah yang besar itu dengan ruanganruangan yang penuh meubel, maka Syeikh Mahmoud akan muncul di samping saya. Usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, sedangkan saya belum lagi sembilan belas. Pada dagunya, di bawah bibirnya, terdapat bisul yang membengkak lebar, dengan sebuah lubang di tengahtengahnya. Beberapa hari lubang itu bisa kering, tetapi di hari-hari lainnya lubang itu bisa berubah menjadi sebuah keran yang sudah karatan dan mengeluarkan tetesan berwarna merah seperti darah, atau putih kekuningkuningan seperti nanah.
Apabila lubangnya kering, saya biarkan dia menciumi saya. Saya dapat merasakan bisul yang bengkak itu di muka dan bibir saya seperti sebuah dompet kecil, atau seperti sebuah kantong tempat air, penuh dengan cairan berminyak. Tetapi pada hari-hari lubang itu tidak kering saya akan memalingkan bibir dan muka saya menjauh dan menghindari bau bangkai anjing yang keluar dari lubang itu.
Pada waktu malam dia akan melingkarkan kaki dan lengannya memeluk tubuh saya, dan lengannya yang berkenyal-kenyal dan sudah tua itu menggerayangi seluruh tubuh saya, seperti kuku-kuku seorang lelaki yang hampir mati kelaparan karena tidak memperoleh makanan selama bertahun-tahun dan menghabiskan semangkuk makanan, tanpa meninggalkan sebutir pun sisa makanan.
Ia tidak punya kemampuan untuk makan banyak. Bisul pada mukanya menghalangi gerakan rahangnya dan perutnya yang sudah berkerut terganggu karena terlalu
banyak makan. Sekalipun dia hanya dapat makan sedikitsedikit, tetapi setiap kali dia akan menyeka piringnya sampai bersih, mengusap sepotong roti di antara jemarinya tiada henti-hentinya sampai benar-benar tak ada sedikit pun sisa yang tertinggal. Ia tetap memandang pada piring saya ketika saya sedang makan, dan jika saya tinggalkan sesuatu dia akan mencomotnya, memasukkan ke dalam mulutnya dan setelah menelan dengan cepat dia akan memarahi saya karena pemboros. Padahal saya tidak membuang apa-apa, dan makanan yang tertinggal di piring adalah sisa-sisa kecil yang menempel pada permukaan, dan hanya dapat dilepaskan dengan sabun dan air.
Jika lengan dan kakinya terlepas dari badan saya, dengan pelahan-lahan saya akan keluar dari bawah badannya, dan pergi dengan berjingkat ke kamar mandi. Di sini saya akan membasuh muka dan badan saya dengan teliti, juga lengan dan paha, dan setiap bagian dari tubuh saya, jangan sampai ada yang ketinggalan barang seinci pun, berulang-ulang menggosok dengan sabun dan air.
Ia telah mengundurkan diri dari pekerjaannya, tak ada kerja, tak ada kawan. Ia tak pernah keluar rumah, atau duduk di warung kopi, karena segan mengeluarkan uang beberapa piaster untuk secangkir kopi. Sepanjang hari ia tetap di samping saya di rumah, atau di dapur, menunggui saya ketika sedang memasak atau mencuci. Apabila saya mengeluarkan bubuk sabun dari bungkusnya dan menjatuhkan beberapa butir di lantai, ia akan meloncat
dari kursinya dan mengeluh bahwa saya kurang hati-hati. Dan bila saya menekan lebih keras daripada biasanya dengan sendok jika saya mengambil ghee dari kaleng untuk memasak, dia akan berteriak karena marahnya, dan minta perhatian saya untuk kenyataan, bahwa isinya lebih cepat habis dari yang seharusnya. Bila tukang sampah datang untuk mengambil sampah dari tempatnya, dia akan memeriksa dengan hati-hati sebelum meletakkannya di luar. Suatu hari ia menemukan sisa makanan, dan ia mulai berteriak-teriak begitu kerasnya, sehingga semua tetangga dapat mendengar. Setelah peristiwa itu, ia mempunyai kebiasaan untuk memukul saya, apakah dia mempunyai alasan ataupun tidak.
Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya. Muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah dan pergi ke rumah Paman. Tetapi Paman mengatakan kepada saya bahwa semua suami memukul isterinya, dan isterinya menambahkan bahwa suaminya pun seringkali memukulnya. Saya katakan, bahwa Paman adalah seorang syeikh yang terhormat, terpelajar dalam hal ajaran agama, dan dia, karena itu, tak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab, bahwa justru laki-laki yang memahami agama itulah yang suka memukul isterinya. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu. Seorang isteri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajibannya ialah kepatuhan yang sempurna.
Saya tak tahu harus menjawab apa. Sebelum pembantu mulai meletakkan makan siang di atas meja, Paman telah mengantarkan saya kembali ke rumah suami saya. Ketika kami tiba ia telah makan siang sendirian. Malam pun tiba, tetapi dia tidak bertanya apakah saya lapar. Dia makan malam sendirian dengan berdiam diri, tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada saya. Keesokan paginya, saya menyiapkan makan pagi dan dia duduk di kursinya untuk sarapan, tetapi menghindar untuk melihat kepada saya. Ketika saya duduk di dekat meja makan, ia menengok dan mulai melihat ke piring saya. Saya sangat lapar dan ingin sekali makan sesuatu, apa pun yang terjadi. Saya masukkan tangan saya ke dalam piring dan mengangkatnya ke mulut dengan sepotong makanan. Tetapi begitu saya lakukan hal itu maka ia meloncat sambil berteriak:
Mengapa kau kembali dari rumah pamanmu" Apakah dia tidak sanggup memberimu makan untuk beberapa hari saja" Sekarang kau melarikan diri dariku" Mengapa kau memalingkan mukamu dari mukaku" Apakah aku ini buruk" Apakah aku ini bau busuk" Mengapa kau menjauhi aku jika aku mendekatimu"
Dia melompat ke arah saya bagaikan seekor anjing gila, lubang pada bisulnya sedang mengeluarkan tetesan nanah yang baunya bukan kepalang. Saya tidak memalingkan muka atau hidung saya kali ini. Saya menyerahkan muka saya ke mukanya dan tubuh saya kepada tubuhnya, pasif tanpa perlawanan, tanpa suatu gerakan, seperti telah tidak
bernyawa, seperti batang kayu mati atau seperti meubel tua yang sudah tidak dihiraukan, tertinggal di tempatnya berdiri, atau seperti sepasang sepatu usang di bawah sebuah kursi.
Suatu hari dia memukul saya dengan tongkatnya yang berat sampai darah keluar dari hidung dan telinga saya. Lalu saya pergi, tetapi kali ini saya tidak pergi ke rumah Paman. Saya berjalan-jalan di jalan raya dengan mata yang bengkak, muka memar, tetapi tak seorang pun yang memperhatikan saya. Orang-orang bergegas di sekeliling dalam bis dan mobil, atau berjalan kaki. Seakanakan mereka itu buta, tak sanggup melihat sesuatu. Jalanan merupakan suatu dataran yang tak berujung membentang di hadapan saya bagaikan laut. Saya hanya sebuah batu yang dilemparkan ke dalamnya, dipukulpukul gelombang dilempar kesana kemari, bergelinding berguling-guling untuk akhirnya terhempas entah di mana di tepi pantai. Setelah beberapa lama saya menjadi lelah karena berjalan-jalan, saya duduk beristirahat di atas sebuah kursi kosong yang sekonyong-konyong saya temukan di atas trotoar. Harum semerbak kopi sampai ke lubang hidung saya. Saya menyadari lidah saya kering dan bahwa saya lapar. Ketika pelayan muncul di depan saya dan bertanya apa yang ingin saya minum, saya minta kepadanya untuk membawakan segelas air. Dia melihat ke arah saya dengan sikap marah, dan berkata bahwa warung itu bukan untuk orang-orang lewat. Dia menambahkan, bahwa mausoleum Sayida Zeinab sangat dekat, dan
di sana saya dapat memperoleh air sebanyak yang saya perlukan. Saya menengadah untuk memandangnya. Dia melihat kepada saya, dan kemudian bertanya apa yang menyebabkan memar pada muka saya. Saya berusaha menjawabnya, tetapi kata-kata tidak mau keluar. Maka saya menutup muka saya dengan tangan, lalu menangis. Ia tertegun sebentar, kemudian meninggalkan saya, dan tak lama kemudian kembali dengan segelas air. Tetapi ketika saya mengangkat gelas itu ke mulut saya, airnya terhenti di tenggorokan, seakan-akan saya tercekik dan mengalir kembali keluar dari mulut saya. Setelah beberapa lama, pemilik warung kopi itu datang menghampiri tempat saya duduk dan menanyakan nama saya.
Firdaus, kata saya. Kemudian ia tambahkan, Apa yang menyebabkan memar-memar pada muka Anda" Apakah seseorang telah memukul Anda"
Sekali lagi saya berusaha untuk memberi penjelasan tetapi suara saya tersendat lagi. Saya bernapas dengan susah, dan tetap saja menahan tangis saya. Dia berkata, Tinggallah di sini dan istirahatlah sebentar. Saya akan membawakanmu secangkir teh panas. Kau lapar"
Selama itu saya masih saja memusatkan pandangan mata saya ke arah tanah, dan sama sekali tidak memandang ke atas untuk melihat mukanya. Suaranya rendah, dengan bunyi agak serak yang mengingatkan saya kepada ayah saya. Setelah selesai menyantap makanan dan memukul Ibu lalu setelah tenang kembali, Ayah akan bertanya kepada saya:
Kau lapar" Untuk pertama kali dalam hidup sekonyong-konyong saya merasakan bahwa Ayah itu lelaki yang baik, sehingga saya merasakan kehilangan, dan jauh di dalam lubuk hati saya mencintai tanpa mengetahuinya benar-benar. Saya dengar orang itu berkata:
Apakah ayahmu masih hidup"
Saya jawab, Tidak, dia sudah meninggal, dan untuk pertama kalinya saya menangis ketika ingat bahwa dia sudah tiada. Laki-laki itu menepuk-nepuk bahu saya dan berkata:
Setiap orang harus mati, Firdaus. Dia menambahkan, Bagaimana dengan ibumu. Apakah dia masih hidup"
Tidak, jawab saya. Dia mendesak. Kau tidak punya keluarga" Seorang saudara laki-laki, atau seorang paman misalnya"
Saya menggelengkan kepala, mengulang Tidak, dan kemudian dengan cepat membuka tas kecil saya, seraya menambahkan, Saya punya ijazah sekolah menengah. Barangkali saya dapat menemukan suatu pekerjaan dengan ijazah sekolah menengah ini, atau dengan ijazah sekolah dasar saya. Tetapi jika perlu saya siap untuk melakukan apa saja, sekalipun jenis pekerjaan yang tidak memerlukan ijazah.
Namanya Bayoumi. Ketika saya memandang ke atas dan melihat mukanya, saya tidak merasa takut. Hidungnya mirip hidung ayah. Hidungnya besar dan bulat, dan
warna kulitnya gelap pula. Matanya menunjukkan sikap pasrah dan tenang. Bagi saya kelihatannya tidak seperti mata seseorang yang dapat membunuh. Kedua tangannya memperlihatkan sikap penurut, hampir-hampir bersifat tunduk, gerakannya tenang, santai. Kedua tangannya tidak mengesankan sebagai tangan-tangan seseorang yang dapat berbuat ganas atau kejam. Dia berkata, bahwa dia tinggal di dua kamar dan bahwa saya dapat tinggal di sebuah kamar sampai saya memperoleh pekerjaan. Dalam perjalanan menuju rumahnya, dia berhenti di depan warung penjual buah-buahan dan berkata:
Kau lebih menyukai jeruk manis atau jeruk keprok" Saya berusaha untuk menjawab tetapi suaranya tak keluar. Tak seorang pun sebelumnya pernah bertanya kepada saya apakah saya lebih suka jeruk manis atau jeruk keprok. Ayah tidak pernah membelikan kami buahbuahan. Paman dan suami saya biasanya membeli buahbuahan tanpa bertanya pada saya apa yang lebih saya sukai. Sesungguhnya, bagi saya sendiri, belum pernah terpikir apakah saya lebih menyukai jeruk manis atau jeruk keprok, atau lebih menyukai jeruk keprok atau jeruk manis. Saya dengar dia bertanya lagi kepada saya: Kau lebih suka jeruk manis atau jeruk keprok! Jeruk keprok, jawab saya. Tetapi setelah dia membelinya, saya menyadari, bahwa saya lebih suka jeruk manis, tetapi saya malu untuk berkata demikian, karena jeruk keprok harganya lebih murah.
Bayoumi memiliki dua buah kamar dalam flat di sebuah gang yang sempit. Memiliki pemandangan ke bawah ke arah pasar ikan. Saya harus menyapu dan membersihkan kamar-kamar itu, membeli ikan dari pasar di bawah rumah kami, atau seekor kelinci, atau daging dan memasak untuknya. Dia bekerja sepanjang hari di warung kopi tanpa makan, dan apabila dia pulang pada petang harinya, dia akan makan dengan lahap, dan kemudian pergi tidur di kamarnya. Saya biasa tidur di kamar sebelah, di lantai, di atas sebuah kasur.
Pada waktu itu musim dingin dan malamnya dingin, ketika pertama kali saya ikut bersamanya ke rumahnya. Dia berkata kepada saya:
Pakailah tempat tidur, dan saya akan tidur di lantai. Tetapi saya menolak. Saya merebahkan diri di lantai dan hampir tertidur. Tetapi dia datang, memegang lengan saya, dan membimbing saya ke tempat tidur. Saya berjalan di sebelahnya dengan kepala tertunduk. Saya begitu malu, sehingga tersandung beberapa kali. Belum pernah dalam hidup saya ada seseorang yang lebih mementingkan saya daripada dirinya sendiri. Ayah biasanya menguasai ruangan tungku pada musim dingin dan memberi saya kamar yang paling dingin. Paman menempati tempat tidur untuk dirinya sendiri, sedangkan saya tidur di atas dipan kayu. Kemudian, ketika saya telah kawin, suami saya makan dua kali lebih banyak daripada saya, tetapi kedua matanya tidak pernah beralih dari piring saya.
Saya berdiri sejenak dekat tempat tidur dan bergumam, Tetapi saya tak dapat tidur di atas tempat tidur.
Saya dengar dia berkata, Aku tidak akan membiarkan kamu tidur di lantai.
Kepala saya masih tertunduk ke bawah. Ia masih memegang erat lengan saya. Saya dapat melihat tangannya, besar dan jari-jarinya panjang seperti yang dimiliki Paman apabila dia menyentuh saya, dan sekarang tangan-tangan itu gemetar juga seperti itu. Dan demikianlah, maka saya menutup kedua mata saya.
Saya merasakan sentuhannya yang tiba-tiba, bagaikan suatu mimpi yang mengingatkan masa lampau, atau suatu kenangan yang mulai dengan kehidupan. Tubuh saya tersentuh rasa nikmat yang tidak jelas atau oleh perasaan sakit yang sebenarnya bukan rasa sakit tetapi rasa nikmat, dengan rasa nikmat yang saya belum tahu sebelumnya, yang pernah hidup di kehidupan lain, yang bukan kehidupan saya, atau yang ada dalam tubuh lain, yang bukan tubuh saya.
Saya akhirnya tidur di atas tempat tidurnya sepanjang musim dingin dan musim panas berikutnya. Dia tak pernah mengangkat tangannya untuk memukul saya, dan tak pernah melihat ke arah piring saya bila saya sedang makan, jika saya memasak ikan biasanya saya berikan semua kepadanya, saya hanya mengambil bagian kepala atau ekornya saja. Atau jika saya memasak kelinci, saya berikan seluruhnya padanya dan saya makan kepalanya. Saya selalu meninggalkan meja makan tanpa pernah
menghilangkan rasa lapar saya. Dalam perjalanan menuju pasar mata saya akan mengikuti gadis-gadis anak sekolah apabila mereka berjalan melalui jalanan itu, dan saya akan teringat bahwa satu saat saya pernah menjadi salah seorang di antara mereka itu, dan telah memperoleh ijazah sekolah menengah. Dan pada suatu hari saya berhenti tepat di muka gadis-gadis itu dan berdiri berhadapan dengan mereka. Mereka memandang saya dari atas sampai ke bawah dengan sikap menghina karena bau ikan yang teramat sangat, yang keluar dari baju saya. Saya jelaskan kepada mereka bahwa saya sudah memperoleh ijazah sekolah menengah. Mereka mulai menertawakan saya, dan saya dengar salah seorang di antara mereka berbisikbisik di telinga kawannya:
Mungkin dia orang gila. Tak kau lihat, dia berbicara kepada dirinya sendiri"
Tetapi saya bukan berbicara dengan diri-sendiri. Saya sedang berkata kepada mereka, bahwa saya punya ijazah sekolah menengah.
Malam itu, ketika Bayoumi pulang ke rumah, saya berkata, Saya punya ijazah sekolah menengah, dan saya ingin bekerja.
Setiap hari warung kopi itu dikerumuni oleh anakanak muda yang mencari pekerjaan, dan semuanya memiliki pendidikan universitas, katanya.
Tetapi saya harus bekerja. Saya tak dapat terus hidup seperti ini.
Tanpa memandang ke arah muka saya, dia berkata, Apa yang kau maksud, kau tak dapat terus hidup seperti ini"
Saya tak dapat terus tinggal di rumahmu, kata saya dengan gagap. Saya perempuan, dan kau laki-laki, dan orang membicarakan kita. Di samping itu, kau telah berjanji saya akan tinggal di sini sampai kau mendapatkan pekerjaan bagi saya.
Dengan marah dia menjawab pedas, Apa yang dapat kuperbuat, minta bantuan pada langit"
Kau sibuk sepanjang hari di warung kopi, dan kau pun belum pernah berusaha untuk mencarikan aku pekerjaan. Aku akan pergi sekarang untuk mencari pekerjaan.
Saya bicara dengan nada rendah, dan kedua mata saya dipusatkan ke arah tanah, tetapi dia berdiri dan menampar muka saya, sambil berkata, Berani benar kau untuk bersuara keras jika bicara dengan aku, kau gelandangan, kau perempuan murahan"
Tangannya besar dan kuat, dan itu adalah tamparan yang paling keras yang pernah saya terima di muka saya. Kepala saya terayun ke sisi yang satu kemudian ke sisi lainnya. Dinding-dinding dan lantai seakan bergoncang hebat. Saya pegang kepala dengan kedua tangan saya sampai dapat tenang kembali, kemudian saya memandangnya dan mata kami saling bertemu.
Seakan-akan saya untuk pertama kalinya melihat matanya yang sekarang menantang saya. Dua bidang
berwarna hitam yang membelalak tepat ke arah mata saya, lalu perlahan-lahan bergerak ke muka dan leher saya kemudian turun ke bawah secara bertahap ke arah dada, dan perut saya, untuk berhenti di suatu tempat tepat di bawahnya, di antara kedua paha saya. Sebuah getaran yang dingin, seperti getaran maut menelusuri tubuh saya, dan tangan-tangan saya secara naluriah turun ke bawah menutupi bagian yang ditimpa sorotan matanya, tetapi tangan-tangannya yang kokoh itu bergerak cepat untuk menariknya. Saat berikutnya dia meninju saya dengan kepalannya pada perut dengan begitu kerasnya sehingga saya langsung tak sadarkan diri.
Dia lalu mengurung saya sebelum pergi. Sekarang saya tidur di lantai di kamar lain. Dia pulang tengah malam, menarik kain penutup dari tubuh saya, menampar muka saya, dan merebahkan tubuhnya di atas tubuh saya dengan seluruh berat badannya. Saya tetap memejamkan mata dan menyingkirkan tubuh saya. Demikianlah saya tergeletak di bawahnya tanpa bergerak, kosong dari segala berahi, atau rasa nikmat, malahan dari rasa nyeri, tidak merasakan apa-apa. Sebuah tubuh yang mati tanpa kehidupan sama sekali di dalamnya, seperti sebatang kayu, atau sebuah kaos, atau sepatu kosong. Kemudian pada suatu malam, tubuhnya seakan-akan lebih berat dari biasa, dan napasnya berbau lain, maka saya buka mata saya. Ternyata wajah di atas saya bukan wajah Bayoumi. Siapa kau" kata saya.
Bayoumi, jawabnya. Saya mendesak, Kau bukan Bayoumi. Siapa kau" Apa sih bedanya" Bayoumi dan aku adalah sama. Kemudian dia bertanya. Kau rasakan nikmat" Apa yang kau katakan" selidik saya. Apakah kau rasakan nikmat" ulangnya. Saya takut untuk mengatakan bahwa saya tak merasakan apa-apa, maka saya menutup mata saya sekali lagi dan berkata, ya.
Dia menggigit daging bahu saya dan menggigit buah dada saya beberapa kali, kemudlian perut saya. Sambil menggigit berulang-ulang ia berkata:
Pelacur, perempuan jalang. Kemudian dia menghina ibu saya dengan kata-kata yang tak sanggup saya ikuti. Kemudian, ketika saya berusaha mengucapkannya, saya tak sanggup. Tetapi setelah malam itu, kata-kata itu seringkali saya dengar dari Bayoumi, dan kawan-kawan Bayoumi. Maka saya pun terbiasa dengan kata-kata mereka, dan belajar menggunakannya sewaktu-waktu jika saya mencoba membuka pintu dan mendapatkannya dalam keadaan terkunci. Saya akan memukul-mukul dan berteriak:
Bayoumi, kau anak ... hampir dengan maksud menghina ibunya dengan cara yang sama, tetapi saya tahan kata-kata itu di ujung lidah, menyadari bahwa hal itu suatu kesalahan. Maka saya malah sebaliknya menghina ayahnya bukan ibunya.
Pada suatu hari, seorang tetangga melihat saya melalui kisi-kisi pintu ketika saya berdiri sambil menangis. Dia bertanya apa yang telah terjadi, maka berceriteralah
saya kepadanya. Dia mulai menangis bersama saya dan menyarankan untuk memanggil polisi. Tetapi perkataan polisi menakutkan saya. Sebaliknya saya minta kepadanya untuk memanggil tukang kayu. Tak lama kemudian dia datang dan memaksa pintu sampai bisa dibuka. Saya lari dari rumah Bayoumi ke jalanan. Karena jalanan telah menjadi satu-satunya tempat yang aman tempat saya dapat mencari tempat berlindung, dan ke situ saya dapat melarikan diri dengan seluruh jiwa raga saya. Sambil berlari, saya menengok sekali-sekali ke belakang lewat bahu saya untuk meyakinkan diri bahwa Bayoumi tidak mengikuti saya. Dan setiap kali saya tahu bahwa mukanya tidak tampak di mana-mana, saya melompat maju secepat saya dapat lari.
PADA PETANG HARINYA saya mendapatkan diri saya sedang berjalan tanpa mengetahui tempat di mana saya berada. Jalan itu bersih diaspal, membentang sepanjang tepi Sungai Nil dengan jajaran pohon tinggi di kedua sisinya. Rumah-rumah yang ada di situ dikelilingi pagar dan halaman. Udara yang masuk ke dalam paru-paru saya bersih dan bebas dari debu. Saya melihat sebuah bangku terbuat dari batu menghadap ke sungai. Saya duduk di atasnya, dan menengadahkan muka saya menyambut hembusan angin yang menyegarkan. Baru saja saya menutup mata untuk istirahat, ketika saya dengar suara seorang perempuan bertanya:
Siapa namamu" Saya membuka mata dan menemukan seorang perempuan telah duduk di sebelah saya. Dia mengenakan sebuah selendang berwarna hijau, dan kedua matanya diberi tata rias berwarna hijau. Biji matanya yang hitam di tengah-tengah matanya seakan-akan berubah menjadi hijau, suatu warna hijau kegelapan yang menyinarkan kekuatan, bagaikan pohon-pohon di tepi Sungai Nil. Air sungai memantulkan warna hijau pohon-pohon itu dan mengalir sehijau kedua matanya. Langit yang terbentang di atas kami berwarna biru seolah langit yang terbiru, tetapi warna-warnanya bercampur dan segalanya di sekitar memancarkan cahaya hijau yang cair ini yang mengelilingi saya, membungkus saya seluruhnya, sedemikian rupa, sehingga saya merasa lambat-laun tenggelam di dalamnya.
Aneh rasanya, sensasi tenggelam dalam kehijauan yang gelap ini, dalam hijau gelap dengan kepadatannya sendiri, dengan konsistensinya sendiri, seperti rasanya air di dalam laut, sebuah lautan yang di dalamnya saya sedang tidur dan bermimpi, yang di dalamnya saya sedang tenggelam sambil tidur dan bermimpi, yang di dalamnya pelan-pelan saya tenggelam tanpa menjadi basah, lambatlaun turun tanpa tenggelam. Saya merasa sedang terbaring di atas tepiannya di satu saat tertelan jauh ke dalam di dalamnya, dan sesaat kemudian dibawa naik dengan hatihati, mengambang, makin lama makin tinggi kembali ke permukaan, tanpa menggerakkan sebuah lengan ataupun kaki.
Saya merasakan kelopak mata saya menjadi lebih berat seakan-akan saya hampir tertidur, tetapi suaranya menggema di telinga saya kembali. Suaranya lembut, begitu halusnya sehingga bunyinya seperti mengantuk. Suara itu berkata:
Kau lelah. Saya paksakan membuka kelopak mata dan berkata, Ya.
Warna hijau di dalam matanya menjadi semakin kuat. Apa yang dilakukan anak anjing itu terhadapmu" tanyanya.
Saya tersentak seperti orang yang sekonyongkonyong dibangunkan dari tidurnya. Siapa yang Anda maksudkan" tanya saya.
Dia membelitkan selendangnya melingkar pundaknya lebih erat lagi, menguap dan melanjutkan dengan suara yang tetap lembut dan mengantuk.
Siapa saja di antara mereka itu, tak akan ada bedanya. Mereka itu sama saja, semua anak anjing, berkeliaran di mana-mana dengan nama macam-macam. Mahmoud Hassanain, Fauzy, Sabri, Ibrahim, Awadain, Bayoumi.
Dia ketawa keras. Saya dapat melihat sekilas giginya yang kecil-kecil, putih, dengan sebuah gigi emas tepat di tengah-tengahnya.
Aku kenal mereka semuanya. Yang mana di antara mereka yang memulai" Ayahmu, kakakmu ..., salah satu pamanmu"
Kali ini tubuh saya begitu goncang sehingga hampir saja terangkat dari bangku batu itu.
Pamanku, jawab saya dengan nada rendah. Dia tertawa lagi dan melemparkan selendang hijaunya ke belakang di sebelah pundaknya.
Dan apa yang dilakukan Bayoumi terhadapmu" Untuk sesaat dia diam, dan kemudian menambahkan, Kau belum katakan namamu kepadaku. Siapa namamu" Firdaus. Dan Anda" Siapa Anda" Saya bertanya. Dia menegakkan punggung dan pundaknya dengan suatu gerakan yang penuh rasa kebanggaan aneh. Saya Sharifa Salah el Dine. Setiap orang mengenal saya.
Dalam perjalanan menuju tempat tinggalnya saya bicara terus, melukiskan hal-hal yang menimpa diri saya. Kami tinggalkan jalan yang membentang sepanjang sungai dan membelok menuju jalan samping yang kecil, dan sejenak kemudian berhenti di depan sebuah gedung apartemen yang besar, saya gemetar ketika saya diangkat ke atas oleh lift. Dia mengeluarkan anak kunci dari tasnya, dan saat berikutnya saya masuk ke dalam sebuah apartemen yang bersih dengan lantai berkarpet, dan sebuah serambi luas dengan pemandangan ke bawah ke arah Sungai Nil. Dibawanya saya ke kamar mandi, dan memperlihatkan bagaimana cara memutar keran air panas dan air dingin, sehingga saya dapat mandi, dan memberikan beberapa helai bajunya. Baju-baju itu serba lunak dengan bau harum minyak wangi, dan jari-jarinya pun lunak ketika ia menyisir rambut saya, dan merapikan
kerah baju saya. Segalanya di sekeliling saya serba lunak, lemah-lembut. Saya memejamkan kedua mata saya, dan menyerahkan diri kepada benda yang serba halus itu. Saya merasakan tubuh saya kini seperti bayi yang baru lahir, lembut dan halus seperti segala-galanya di dalam flat itu.
Ketika saya membuka mata dan melihat dalam cermin saya menyadari bahwa sekarang saya telah lahir kembali dengan tubuh baru, indah dan lembut seperti kelopak bunga mawar. Pakaian saya tidak lagi kasar dan kotor, tetapi lembut dan bersih. Rumah itu bersinar karena bersihnya. Juga udaranya pun bersih. Saya bernapas dalam-dalam untuk mengisi paru-paru saya dengan udara bersih ini. Saya menengok ke belakang dan melihatnya. Dia sedang berdiri dekat-dekat sambil mengamati saya, matanya memancarkan cahaya hijau yang kuat, warna pohon, warna langit, dan warna air Sungai Nil. Saya menyerahkan diri saya kepada matanya, dan memelukkan kedua lengan saya melingkari tubuhnya, seraya berbisik: Siapa Anda"
Dan dia menjawab, Ibumu.
Ibuku telah meninggal bertahun-tahun yang silam. Saudara perempuanmu, kalau begitu.
Saya tak pernah punya saudara perempuan, pun tak pernah punya saudara lelaki. Mereka semua telah meninggal ketika mereka masih kecil, seperti anak ayam.
Setiap orang harus mati, Firdaus. Saya akan mati, dan kamu akan mati. Dan yang penting ialah bagaimana untuk hidup sampai mati.
Bagaimana mungkin untuk hidup" Hidup itu begitu kerasnya.
Kau harus lebih keras dari hidup itu, Firdaus. Hidup itu amat keras. Yang hanya hidup ialah orang-orang yang lebih keras dari hidup itu sendiri.
Tetapi Anda tidak keras, Sharifa, jadi bagaimana Anda berhasil untuk hidup"
Saya ini keras, teramat keras, Firdaus. Tidak, kau orang mulia, dan lemah-lembut. Kulit saya lembut, tetapi hati saya kejam, dan gigitan saya mematikan.
Bagaikan gigitan ular"
Ya, tepat bagaikan ular. Hidup adalah ular. Keduanya sama, Firdaus. Bila ular itu menyadari bahwa kau itu bukan ular, dia akan menggigitmu. Dan bila hidup itu tahu kau tidak punya sengatan, dia akan menghancurkanmu.
SAYA MENJADI ORANG baru di tangan Sharifa. Dia membuka mata saya menghadapi kehidupan, menghadapi peristiwa-peristiwa di masa lalu, dalam masa kecil saya, yang tetap tersembunyi bagi pikiran saya. Dia meneliti dengan lampu sorot, mengungkapkan daerah-daerah diri saya yang tak jelas, segi-segi yang tak tampak pada muka dan tubuh saya, membuat diri saya menyadari, memahami, dan melihatnya untuk pertama kali.
Saya menemukan bahwa saya memiliki mata yang hitam, dengan kerlingan yang menarik mata lainnya seperti besi berani, dan bahwa hidung saya bukan besar, bukan pula bulat, tetapi penuh dan halus dengan kepadatan perasaan yang dapat berubah menjadi nafsu. Tubuh saya langsing, paha saya tegang, hidup dengan otot, siap untuk setiap saat menjadi lebih tegang lagi. Saya menyadari bahwa saya tidak membenci ibu saya, juga tidak mencintai Paman, tidak mengenal benar Bayoumi, atau lelaki mana pun yang termasuk kelompoknya.
Suatu hari Sharifa berkata kepada saya, Baik Bayoumi maupun siapa saja dari kawan-kawannya tidak menyadari hargamu, karena kau gagal untuk memberikan nilai cukup tinggi kepada dirimu. Lelaki tidak tahu nilai seorang perempuan, Firdaus. Perempuan itulah yang menentukan nilai dirinya. Semakin tinggi kau menaruh harga bagi dirimu semakin dia menyadari hargamu itu sebenarnya, dan dia akan bersiap untuk membayar dengan apa yang dimilikinya. Dan bila dia tidak memilikinya, dia akan mencuri dari orang lain untuk memberimu apa yang kau minta.
Saya tercekam rasa kagum dan bertanya kepadanya, Dan apakah saya ini benar-benar bernilai, Sharifa" Kau cantik dan terpelajar.
Terpelajar" kata saya. Apa yang saya miliki hanyalah sebuah ijazah sekolah menengah.
Kau meremehkan dirimu sendiri, Firdaus. Saya tidak lebih hanya mendapat ijazah sekolah dasar.
Dan Anda mempunyai harga" tanya saya hati-hati. Tentu saja. Tak seorang pun dapat menyentuh saya tanpa membayar harga yang sangat tinggi. Kau lebih muda dari saya dan lebih terpelajar, dan tak seorang pun mampu mendekatimu tanpa membayar dua kali lebih banyak daripada yang dibayarkan kepada saya.
Tetapi saya tak bisa meminta sesuatu dari orang lakilaki.
Jangan minta sesuatu. Itu bukan urusanmu. Itu urusan saya.
DAPATKAH SUNGAI NIL, dan langit, dan pepohonan berubah" Saya telah berubah, jadi mengapa Sungai Nil dan warna pepohonan itu tidak berubah pula" Apabila saya membuka jendela setiap pagi, saya dapat melihat Sungai Nil mengalir, menatap warna hijau airnya, dan pohon-pohan, warna hijau yang hidup yang di dalamnya seakan-akan segalanya hidup, merasakan tenaga kehidupan, tubuh saya, darah panas di dalam urat-urat darahnya. Tubuh saya terisi dengan kehangatan selembut sentuhan pakaian sutera yang saya kenakan, atau selembut tempat tidur sutera tempat saya tidur. Hidung saya terisi dengan harumnya bunga mawar yang terhembus dari tempat terbuka. Saya biarkan diri saya tenggelam di dalam perasaan hangat dan kelembutan ini, tenggelam dalam bau harumnya bunga mawar, menikmati lembutnya sprei sutera bila saya rentangkan kaki-kaki saya, dan
bantal yang licin di bawah kepala saya. Saya meneguk kelembutan yang cair melalui hidung, mulut, telinga, melalui setiap pori kulit tubuh saya dengan rasa haus yang tiada akhirnya.
Pada waktu malam, sinar bulan menyinari saya, bagaikan sutera dan putih, seperti jemari lelaki yang berbaring di sebelah saya. Kuku-kukunya pun bersih dan putih, tidak seperti kuku Bayoumi, yang hitam seperti gelapnya malam, juga tidak seperti kuku Paman dengan tanah di bawah ujung kukunya. Saya akan menutup kelopak mata saya dan membiarkan tubuh saya bermandi cahaya keperakan, membiarkan jari-jari sutera itu menyentuh muka dan bibir saya, bergerak ke bawah, ke leher saya dan mengubur dirinya di antara buah dada saya.
Saya akan menahannya di antara buah dada saya, untuk sejenak, membiarkannya meluncur ke bawah melalui perut saya, dan kemudian di bawahnya ke tempat di antara kedua paha saya. Jauh di dalam tubuh saya, saya dapat merasakan getaran yang aneh. Mula-mula seperti rasa nikmat, rasa nikmat yang serupa dengan rasa nyeri. Berakhir dengan rasa nyeri, rasa nyeri yang dirasakan seperti rasa nikmat. Itu merupakan bagian masa yang telah lampau, telah ada pada diri saya kira-kira sejak permulaannya. Saya mengalami jauh di masa lalu, tetapi terlupakan pada saat itu. Namun seakan-akan kembali malahan lebih jauh sebelum kehidupan saya, ke suatu hari sebelum saya lahir, seperti benda yang muncul dalam luka
lama, di dalam bagian luka tubuh yang bukan milik saya lagi, di badan seorang perempuan yang bukan lagi diri saya.
Pada suatu hari saya bertanya pada Sharifa: Mengapa saya tak merasa apa-apa"
Kita bekerja, Firdaus, hanya bekerja. Jangan mencampuradukkan perasaan dengan pekerjaan. Tetapi saya ingin merasakan, Sharifa, saya jelaskan. Kau tak akan memperoleh apa-apa dari perasaan kecuali rasa nyeri.
Apakah tak ada rasa nikmat yang bisa diperoleh, sekedar secuil rasa nikmat"
Dia meledak tertawa. Saya dapat melihat giginya yang kecil meruncing dengan gigi emasnya di tengah-tengah. Kemudian dengan sekonyong-konyong ia terdiam dan melihat kepada saya dengan suram, dan berkata:
Apakah kau tidak merasa nikmat untuk makan ayam panggang dan nasi" Tidakkah kau merasa nikmat mengenakan baju yang lembut dari sutera ini" Tidakkah kau merasa nikmat berdiam di rumah yang hangat lagi bersih ini, dengan jendela-jendela yang memiliki pemandangan ke arah Sungai Nil" Tidakkah kau merasa diberi kenikmatan apabila membuka jendela setiap pagi, dan memandang ke Sungai Nil, dan ke langit, dan ke arah pepohonan" Apakah semuanya ini tidak memuaskan bagimu" Apa sebab kau meminta lebih dari itu"
Bukan karena tamak bila saya berpikir mengenai halhal lainnya. Pada suatu pagi saya membuka jendela seperti
biasanya, tetapi Sungai Nil tidak ada pada tempatnya. Saya tahu Sungai Nil ada di tempatnya yang sama, airnya membentang di depan mata saya, tetapi saya tak dapat melihatnya lebih lama lagi, seperti mata manusia tidak sanggup melihat apa yang dapat ia jangkau. Minyak wangi yang selalu ada di sekeliling saya, di bawah hidung saya, itu pun telah menghilang. Saya tak mampu mengenali harumnya, seakan-akan hidung saya, seperti halnya mata saya, tidak dapat mencatat lagi hal-hal yang ada di depannya. Kelembutan, sutera tempat tidur yang enak, semua hal itu, saya tahu ada di situ, tetapi tidak ada lagi bagi saya.
Saya tak pernah meninggalkan rumah itu. Sebenarnya, saya pun tak pernah meninggalkan ruangan tidur. Siang dan malam saya terbaring di tempat tidur, tersalib, dan setiap jam seorang lelaki akan memasukinya. Begitu banyaknya mereka itu. Saya tidak mengerti dari mana saja mereka itu datangnya. Karena mereka semua sudah kawin, semuanya berpendidikan, semuanya membawa tas yang membengkak, dan dompet kulit yang tebal di dalam kantung bagian dalam baju mereka. Perutnya yang gendut berat membengkak karena penuh makan, dan keringat mereka mengalir dengan derasnya, mengisi lubang-lubang hidung saya dengan bau busuk, seperti air tergenang seakan-akan bau itu sudah lama tersimpan di dalam tubuh mereka. Saya memalingkan muka saya menjauh, tetapi mereka memaksa memutar kembali, dengan membenamkan hidung saya ke dalam
bau tubuh mereka. Mereka menancapkan kuku mereka ke dalam daging saya dan saya menutup bibir berusaha menahan setiap rasa nyeri, untuk menahan teriakan, tetapi sekalipun sudah berusaha, bibir itu akan terbuka dan mengeluarkan rintihan yang tertahan. Seringkali lelaki itu dapat mendengar dan dengan dungunya berbisik ke telinga saya:
Kau merasa enak" Sebagai jawaban, saya rapatkan bibir saya dan siap untuk meludahi mukanya, tetapi ia akan mulai menggigit dengan giginya. Saya dapat merasakan air liurnya di antara bibir-bibir saya dan mendorongnya dengan ujung lidah kembali ke dalam mulutnya.
Di antara semua lelaki itu hanya ada satu orang yang tidak begitu dungu, dan tidak 'bertanya kepada saya apakah saya merasakan enak. Sebaliknya ia menyelidiki: Apakah kau merasa ada yang sakit"
Ya, kata saya. Siapa namamu" Firdaus. Dan kau" Saya Fawzi.
Bagaimana kau menyadari bahwa saya merasakan sakit"
Karena saya merasakanmu. Kau dapat merasakan aku" seru saya dengan rasa heran.
Ya, katanya. Bagaimana dengan kau. Apakah kau juga merasakan aku
Saya tidak merasakan apa-apa. Mengapa"
Saya tak tahu. Sharifa mengatakan kepada saya kerja itu ya kerja, dan perasaan tidak ada dalam hal pekerjaan.
Dia tertawa singkat dan mencium saya di bibir. Sharifa menipu kamu, dan menghasilkan uang dari kamu, sedangkan kau hanya kebagian rasa sakit.
Saya menangis. Dia menyeka air mata saya dan menarik saya ke dalam pelukannya. Saya menutup mata lalu dia mencium saya dengan lembutnya pada kelopak mata. Saya dengar dia berbisik:
Kau mau tidur" Ya. Tidurlah dalam pelukanku.
Dan kau" Apakah kau tidak takut kepadanya" Dia tertawa lagi dan berkata, Dialah yang takut kepadaku.
Saya masih berada di tempat tidur dengan mata tertutup ketika terdengar suara-suara perlahan dari balik dinding pemisah kamar Sharifa dari kamar saya. Saya dengar dia berbicara kepada seorang lelaki yang suaranya saya kenal.
Kau bermaksud mengambilnya dari aku! Saya akan mengawininya, Sharifa. Tidak dengan kau. Kau jangan kawin.
Itu semua sudah berlalu. Sekarang saya telah lebih tua dan ingin punya anak.
Supaya dia dapat mewarisi harta kekayaanmu"
Jangan mencemoohkan aku, Sharifa. Jika mau saya dapat menjadi seorang jutawan, tetapi saya adalah seorang lelaki yang hidup untuk mencari kenikmatan hidup. Saya memperoleh uang untuk dibelanjakan. Saya menolak untuk menjadi budak, baik jadi budaknya uang, maupun jadi budaknya cinta.
Kau mencintai dia, Fawzi"
Adakah saya berkesanggupan untuk mencintai seseorang" Suatu ketika kau pernah mengatakan bahwa aku telah kehilangan kemampuan untuk mencintai.
Kau tidak akan jatuh cinta dan tidak akan kawin. Apa yang kau kehendaki ialah hanya mengambilnya dari saya. Sama seperti dulu kau mengambil Camelia. Camelia yang telah mengikuti saya. Dia jatuh cinta kepadamu, bukan begitu. Begitulah perempuan mencintaiku. Apakah itu kesalahanku"
Kesengsaraanlah yang akan menimpa setiap perempuan yang jatuh cinta kepadamu, Fawzi. Itu jika saya sendiri tidak jatuh cinta kepadanya. Dan apakah kau dapat mencintai seorang perempuan"
Kadang-kadang itu terjadi.
Apakah kau pernah cinta kepadaku"
Apakah kau mulai mengingat kembali persoalan itu" Saya tidak dapat membuang waktu, seperti kau ketahui, dan saya akan membawa Firdaus.
Kau tidak boleh membawanya.
Saya akan membawanya. Kau mengancam, Fawzi" Saya tidak takut kepada ancamanmu lagi. Kau tidak bisa mengirim polisi ke sini. Saya lebih banyak punya kawan dan hubungan di kepolisian daripada kamu.
Apakah saya seorang lelaki yang punya hubungan dengan polisi" Hanya seorang lelaki yang lemah perlu melakukan itu. Dan apakah kau pikir saya ini seorang lelaki yang lemah, Sharifa"
Apa yang kau maksud"
Kau tahu apa yang kumaksud.
Kau akan memukul aku habis-habisan, bukan begitu"
Sudah lama sekali sejak saya tidak memukulmu. Kelihatannya kau merindukan suatu hajaran.
Jika kau memukulku, aku akan memukulmu kembali, Fawzi.
Itu bagus. Kita akan tahu siapa di antara kita yang lebih kuat.
Jika kau berani menyentuh, akan kukirim Shawki kepadamu.
Persetan, siapa Shawki itu" Apakah kau punya lelaki lain" Apakah kau mencintai orang lain" Kau berani"
Saya tidak dapat mendengar jawaban Sharifa melalui dinding. Barangkali suaranya begitu rendah sehingga tidak mencapai saya. Atau Fawzi menutup mulut Sharifa sebelum ia bisa berbuat apa-apa lagi. Karena, yang saya dengar ialah seakan-akan bunyi lain yang menyerupai
bunyi tamparan tangan orang mengenai muka. Kemudian terdengar bunyi rangkaian bergumam. Saya tidak dapat mengatakan apakah itu tamparan-tamparan yang lembut pada muka, atau ciuman keras. Tetapi tak lama kemudian saya dengar Sharifa memprotes:


Perempuan Di Titik Nol Women At Point Zero Karya Nawal El Saadawi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak Fawzi, tidak. Suara Fawzi bunyinya seperti desis penuh amarah. Tidak" Apanya yang tidak" Bukankah kau pelacur"
Tempat tidur berderik di bawah mereka, kemudian sekali lagi saya dengar suara Sharifa seperti serangkaian bunyi napas terengah-engah di ikuti nada protes yang sama.
Tidak, Fawzi. Atas nama Nabi. Kau tidak boleh, kau tidak boleh!!
Melalui dinding terdengar lagi desis-desis penuh amarahnya. Neraka jahanam, perempuan. Apa yang tidak boleh, dan apa Nabi" Siapa itu Shawki. Akan kupotong lehernya.
Bunyi derik semakin keras di bawah berat badan keduanya, ketika mereka sedang berpelukan, bergumul satu sama lainnya, saling mendekat dan menjauh di dalam gerakan bersinambungan yang segera beralih menjadi getaran-getaran yang hampir gila, dengan kecepatan yang aneh, menggoyang-goyangkan tempat tidur dengan ganasnya di bawah keduanya, dengan getaran binatang buas yang kehabisan napas. Lantai pun seakan-akan ikut bergoyang dan terengah-engah. Kemudian dindingnya juga. Matahari tempat tidur tempat saya berbaring turut
serta dengan irama yang kegila-gilaan itu, dan mulai bergoyang-goyang.
Goyangan-goyangan yang ganas itu naik ke kepala saya. Seperti saya sekonyong-konyong terbangun karena kejadian di sekeliling saya. Saya melihat muka Fawzi muncul dari kabut, seperti di dalam mimpi, dan saya dengar suaranya bergema kembali dalam telinga saya:
Sharifa menipumu. Dia menghasilkan uang dari kamu.
Saya membuka mata. Tubuh saya terlentang di atas tempat tidur tanpa seorang lelaki di sebelah saya, dan di sekitar kamar keadaannya gelap dan kosong. Saya berjalan berjingkat-jingkat menuju kamar Sharifa, dan menemukan dia sedang berbaring telanjang bulat dengan Fawzi di sampingnya. Saya berjingkat kembali ke kamar saya, mengenakan pakaian yang pertama teraih oleh tangan saya dan sambil membawa tas kecil saya cepatcepat menuruni anak tangga menuju jalan raya.
SAAT ITU SUDAH larut malam, gelap gulita tanpa bulan. Malam musim dingin, teramat dingin, dengan jalan-jalan di dalam kota teramat sunyi tak ada orang, dan dengan jendela serta pintu-pintu rumah yang tertutup rapat untuk mencegah merembesnya hembusan udara sedikit apa pun ke dalam rumah. Maka saya berjalan di hawa dingin, hanya memakai baju tipis hampir tembus pandang tetapi toh tidak saya rasakan. Saya dikelilingi
kegelapan dari segala arah, tanpa tujuan, tetapi tidak lagi dicekam rasa takut. Tiada sesuatu pun di jalan yang dapat membuat saya merasa takut lagi, dan angin yang paling dingin pun tak dapat menggigit tubuh saya. Apakah tubuh saya telah berubah" Apakah saya telah dipindahkan ke dalam tubuh seorang perempuan lain" Dan ke mana perginya tubuh saya, tubuh yang nyata"
Saya mulai memeriksa jemari pada tangan saya. Jarijarinya milik saya, tidak berubah. Jari-jari yang panjang dan lemah-gemulai. Salah seorang lelaki suatu ketika pernah berkata bahwa ia belum pernah melihat jarijari macam milik saya. Dia berkata jari-jari itu kuat dan cerdas. Bahwa mereka itu memiliki bahasa mereka sendiri. Apabila ia menciumnya, maka mereka itu seakan-akan berbicara kepadanya dengan suara yang hampir dapat ia dengar. Saya tertawa dan mendekatkan jari-jari saya ke telinga saya. Saya agak terkejut mendengar suara tertawa sendiri pada malam sunyi itu. Saya memandang sekeliling dengan rasa curiga, takut ada orang yang mungkin mendengar saya tertawa sendirian, dan membawa saya ke Rumah Sakit jiwa Abbasseya. Mula-mula saya tak dapat melihat apa-apa, tetapi sejenak kemudian saya melihat seorang petugas polisi mendekat di dalam kegelapan. Dia datang langsung kepada saya, memegang lengan saya lalu berkata:
Mau ke mana kau" Saya tidak tahu. Kau mau ikut saya"
100 Ke mana" Ke rumahku.
Tidak ... saya sudah tidak percaya lagi kepada lelaki. Saya buka tas kecil saya, dan menunjukkan ijazah sekolah menengah saya. Saya katakan kepadanya bahwa saya sedang mencari pekerjaan dengan ijazah itu, atau malahan juga dengan ijazah sekolah dasar saya. Bahwa, jika saya tidak menemukan sesuatu pekerjaan dengan cara ini, saya bersedia untuk melakukan pekerjaan apa pun juga.
Ia berkata, Saya akan membayar kau. Jangan mengira saya mau memakaimu dengan percuma. Saya bukannya seperti petugas polisi lainnya. Berapa kau minta" Berapa yang saya minta" Tidak tahu.
Jangan main-main dengan saya, dan juga jangan tawar-menawar, atau akan saya bawa kamu ke kantor polisi.
Mengapa" Saya tidak berbuat apa-apa.
Kau seorang pelacur, dan menjadi tugasku untuk menangkap kamu dan lain-lain yang sejenis denganmu. Untuk membersihkan negeri ini, dan melindungi kaum keluarga yang terhormat dari jenis kalian. Tetapi saya tidak suka mempergunakan kekerasan. Barangkali kita dengan diam-diam dapat mufakat tanpa pertengkaran. Aku akan memberimu satu pon, satu pon penuh. Apa jawabmu"
Saya mencoba untuk melepaskan diri darinya, tetapi dia memegang lengan saya dengan eratnya, dan mulai membawa saya dari tempat kami berdiri. Dia membawa
101 saya, melalui satu lorong kecil yang sempit dan gelap ke lorang lainnya, kemudian melalui sebuah pintu kayu masuk ke dalam ruangan, lalu ia membaringkan saya di atas sebuah tempat tidur. Ia menanggalkan bajunya. Saya memejamkan mata karena saya merasa sesuatu beban yang telah biasa menindih tubuh saya, gerakan yang sudah saya kenal dari jari-jari dengan kuku-kuku yang kotor hitam menjelajahi tubuh saya, berdesahnya napas, keringat kotor dan lengket, bergoyangnya tempat tidur, lantai dan dinding sepertinya dunia ini sedang berputar-putar. Saya membuka mata, berdiri dari tempat tidur, mengenakan baju, dan kemudian menyandarkan kepala saya, kepala yang lelah, ke pintu sejenak, sebelum meninggalkan rumah itu. Saya dengar suaranya berkata dari belakang:
Apalagi yang kau tunggu" Aku tak ada uang malam ini. Aku akan berikan kepadamu lain kali.
Saya pergi melalui jalan yang sempit. Hari masih malam dan udara sangat dingin. Kini hujan mulai turun mengubah tanah berdebu di bawah kaki saya menjadi lumpur. Ada keranjang-keranjang berisi sampah di muka rumah-rumah, dan baunya seakan-akan menyelubungi saya dari segala sisi, menguasai saya, menenggelamkan saya di bawahnya, dan saya berjalan lebih cepat, mencoba untuk melarikan diri, ke luar dari jalan yang sempit berliku-liku menuju jalan yang diaspal, setiap jalan aspal yang di atasnya saya dapat melangkah tanpa membenamkan sepatu ke dalam lumpur.
102 Ketika saya telah tiba pada salah satu jalan utama, hujan masih tetap turun di atas kepala saya. Saya berteduh di salah sebuah perhentian bis, mengambil saputangan dari tas kecil saya, dan mulai mengusap muka, rambut dan mata saya. Suatu sinar putih menembus mata saya, dan mula-mula saya menyangka itu adalah warna putih saputangan saya, tetapi ketika saya menyingkirkannya, cahaya itu tetap menyorot terang ke dalam mata saya, seperti lampu bis. Saya pikir hari telah pagi, dan bis-bis sudah mulai bermunculan. Tetapi ternyata bukan bis. Melainkan sebuah mobil yang berhenti di depan saya dengan lampu disorotkan ke arah mata saya. Kemudian seorang lelaki ke luar dan dengan cepatnya memutari mobil, membuka pintu pada sisi dekat saya, sambil membungkuk sedikit kemudian dengan sangat sopan berkata:
Silakan masuk ke dalam supaya tidak kehujanan. Saya menggigil kedinginan, dan baju tipis saya menempel pada tubuh, basah kuyup kena hujan. Buah dada saya tampak hampir seperti telanjang di bawah baju saya, puting-putingnya menonjol dalam bentuk dua lingkaran gelap. Ketika dia membantu saya masuk ke dalam mobil, dia menekankan lengannya ke dada saya.
Hangat benar di dalam rumahnya, dan dia menolong saya menanggalkan baju, membukakan sepatu saya yang penuh lumpur, lalu memandikan saya dengan air hangat dan sabun. Kemudian dia mendukung saya ke atas tempat tidur. Saya menutup mata ketika merasakan berat
103 badannya menekan dada dan perut saya, dan jari-jarinya bergerak meraba tubuh saya. Tetapi kuku-kukunya bersih dan terawat, napasnya yang berdesah memiliki bau harum, dan keringatnya mengalir lengket, tetapi segar.
Ketika membuka mata, saya sedang bermandikan diri dalam cahaya matahari. Saya melihat ke sekeliling, tak sanggup untuk mengetahui di mana saya berada. Inilah saya, berbaring di kamar tidur yang indah, dengan orang asing berdiri di depan saya. Saya cepat bangun dan mengenakan baju serta sepatu saya, Ketika saya telah mengambil tas kecil saya dan bergerak menuju pintu, ia mengulurkan tangannya dan menyelipkan uang kertas sepuluh pon di antara jari-jari saya. Seakan-akan suatu tabir disingkapkan dari mata saya, dan saya baru dapat melihat. Pada saat tangan saya memegang uang kertas sepuluh pon itu, telah terjawab suatu teka-teki yang membungkus kenyataan yang telah saya alami ketika masih kecil, ketika untuk pertama kali Ayah memberi sekeping piaster, sekeping uang untuk digenggam di tangan, dan menjadi milik saya. Ayah belum pernah memberi saya uang. Saya bekerja di ladang, bekerja di rumah, dan bersama-sama Ibu makan sisa-sisa makanan Ayah. Dan pada hari-hari tak ada sisa makanan dari Ayah, saya pergi tidur tanpa makan malam. Pada hari Idul Adha saya melihat akananak membeli gula-gula dari warung jajanan. Saya pergi ke Ibu sambil menangis dengan kerasnya. Beri saya satu piaster!
104 Dia menjawab, Saya tak punya piaster. Ayahmu itulah yang punya piaster.
Lalu, saya mencari Ayah dan minta kepadanya satu piaster. Ia memukul tangan dan pundak saya serta menghardik, Aku tak punya piaster.
Tetapi sejenak kemudian ia memanggil saya kembali dan berkata. Saya akan memberimu satu piaster apabila Allah bermurah hati kepada kita sehingga berhasil menjual kerbau sebelum dia mati.
Setelah itu saya lihat dia berdoa dan meminta dengan sangat kepada Allah untuk menunda waktu kematian kerbaunya. Tetapi kerbau itu mati sebelum siapa pun dapat berbuat sesuatu. Ayah berhenti berdoa dan meminta kepada Allah sepanjang Id, dan jika Ibu mengatakan sesuatu kepadanya dia akan menyerang dan memukulnya. Saya menahan diri untuk minta kepadanya uang satu piaster, tetapi kemudian, pada saat Id el Sagir, saya melihat macam-macam jajanan yang manis telah menumpuk di warung, dan berkata kepada Ayah: Berikanlah saya satu piaster.
Kali ini dia berkata, Kau minta satu piaster, pagi hari ini" Pergilah dan bersihkan dahulu kotoran di bawah ternak itu dan bebanilah keledai itu dan bawa dia ke ladang. Pada petang hari Ayah akan memberimu satu piaster.
Dan kenyataannya, ketika saya kembali dari ladang pada petang hari, dia memberi saya piaster itu. Itu adalah piaster pertama yang pernah ia berikan, piaster pertama
105 yang seluruhnya menjadi milik saya, menggegamnya di telapak tangan, dan menjepitnya erat-erat di jari-jari saya. Uang itu bukan milik Ayah, bukan pula milik Ibu, tetapi milik saya; milik saya untuk diperbuat menurut kemauan saya, untuk membeli apa yang saya kehendaki, untuk membeli makanan apa saja yang saya inginkan, apakah gula-gula atau carob, sirup gula, atau apa saja selain itu yang dapat saya pilih.
Matahari bersinar dengan terangnya hari itu. Saya berjalan dengan langkah cepat dan bersemangat, kepalan tangan yang kanan menggenggam sesuatu, sesuatu yang benar-benar berharga, bukan hanya satu piaster, tetapi sepuluh pon yang utuh. Itu adalah yang pertama kali saya memegang uang kertas sebesar itu. Sebenarnya memang baru pertama kali jari-jari saya menyentuh uang kertas macam itu. Kontak yang sekonyong-konyong itu telah menyebabkan suatu ketegangan di seluruh tubuh saya, suatu kontraksi di dalam seakan-akan ada sesuatu yang meloncat di dalam tubuh saya dan menggoncangkannya dengan hebat dan hampir terasa sakit. Saya rasakan seperti ada sesuatu yang muncul dari sebuah luka yang terbenam di dalam usus saya. Jika saya menegangkan otot-otot punggung saya, berdiri tegak dan mengambil napas dalamdalam, maka terasa sakitnya. Saya dapat merasakannya muncul ke perut, seperti suatu getaran, seperti darah yang dengan derasnya berdenyut melalui urat-urat nadi. Darah panas di dalam rongga dada mengalir ke leher saya, terus melalui tenggorokan, untuk menjadi aliran air liur yang hangat, membawa serta suatu perasaan yang nikmat,
106 begitu kuatnya, begitu pedasnya sehingga hampir terasa pahit.
Saya telan air liur saya beberapa kali ketika saya berdiri di muka dinding kaca yang di belakangnya sedang dipanggang ayam di atas api yang menyala terang. Mata saya memandang ayam itu yang berputar-putar pada tusuk besi di atas api yang menyambar-nyambar. Saya memilih meja dekat jendela sehingga meja itu mendapat sinar matahari penuh dan memesan seekor ayam yang berwarna coklat dan gemuk. Saya duduk dan mulai makan dengan lambat-lambat, sangat lambat, mengunyah setiap potong daging, menahannya dalam rongga mulut untuk waktu yang lama sebelum menelannya. Mulut saya penuh, seperti anak kecil yang sedang menjejali mulutnya dengan permen, dan makanannya memiliki rasa lezat dan rasa manis yang luar biasa dan aneh, seperti manisnya batang tetes yang pernah saya beli dengan uang piaster saya yang pertama. Padahal itu bukan batang tetes pertama yang saya cicipi, karena Ibu pernah membeli sebelum itu. Tetapi itu adalah yang pertama saya pilih sendiri di antara sedemikian banyak jajanan manis di warung yang pertama kali dibeli dengan uang piaster saya sendiri.
Pelayan membungkuk di atas meja untuk meletakkan piring-piring lainnya di hadapan saya. Ia mengulurkan tangannya dengan sebuah piring yang penuh makanan, tetapi matanya memandang ke arah lain, tidak melirik ke arah piring saya. Gerakan matanya yang menghindari piring saya, memotong seperti sebuah pisau melalui cadar
107 yang bergantung di depan mata saya, dan saya menyadari bahwa baru pertama kali selama hidup, saya makan tanpa diamati oleh dua buah mata yang memandang ke arah piring saya untuk melihat berapa banyak makanan yang saya ambil. Sejak saya lahir, kedua mata itu senantiasa hadir, terbuka lebar, menatap, tak berkedip, mengikuti setiap potong makanan di atas piring saya.
Apakah mungkin bahwa tidak lebih dari secarik kertas dan membuat perubahan yang demikian hebatnya" Mengapa saya tidak menyadarinya sebelum ini" Apakah saya benar-benar tidak sadar akan hal ini selama bertahuntahun itu" Tidak. Kini, setelah saya memikirkannya saya sadar bahwa saya telah mengetahui sejak lama sekali, sejak permulaan ketika saya lahir dan membuka mata saya untuk melihat kepada Ayah untuk pertama kalinya. Yang hanya dapat saya lihat dari Ayah ialah sebuah kepalan tangan, jari-jarinya tertutup erat menggenggam sesuatu di dalamnva. Ia tidak pernah membuka jemarinya, dan sekalipun ia berbuat demikian, dia selalu menyembunyikan sesuatu di balik tangannya, sesuatu yang berwarna cerah berbentuk bulat seperti lingkaran, sesuatu yang ia perlakukan dengan lembut dengan jarijarinya yang besar serta kasar atau meletakkannya di atas sebuah batu yang halus permukaannya sehingga benda itu mengeluarkan bunyi berdenting.
Saya masih duduk dalam cahaya matahari. Uang kertas sepuluh pon itu masih terletak di dalam tas saya karena saya belum membayar makanan saya. Saya mengeluarkannya
108 dari tas. Pelayan mendekat, membungkuk di atas meja dengan suatu gerakan sikap penuh hormat dan mulai mengumpulkan piring-piringnya. Ia tetap mengalihkan pandangannya dari tas saya, sementara memandang ke arah lain seakan-akan menghindari uang kertas sepuluh pon tersebut. Saya pernah melihat gerakan mata seperti ini, menundukkan kelopak-kelopak mata, lirikan diamdiam yang hampir tak terlihat ke tangan saya. Hal itu mengingatkan saya kepada suami saya, Syekh Mahmoud, jika dia sedang duduk bersimpuh sambil berdoa, kedua matanya setengah tertutup, sekilas pandangan matanya yang sekali-sekali ditujukan ke arah piring saya; dan tentang Paman, apabila dia sedang mengikuti barisbaris huruf dalam bukunya dengan pandangan yang tajam sedangkan tangannya mencuri kesempatan dari belakangnya, mencari-cari paha saya. Pelayan masih tetap berdiri tegak di sebelah saya. Kelopak matanya yang setengah tertutup itu berat di atas matanya, caranya dia mencuri pandang dengan melirik ke samping adalah sama. Saya pegang uang kertas sepuluh pon itu, dengan tangan saya, dan dia mengamatinya melalui sudut matanya, sedangkan mata yang satunya memandang ke arah lain seakan-akan menghindar memandang bagianbagian terlarang tubuh seorang wanita. Saya tercekam oleh perasaan heran. Apakah hal itu karena uang kertas sepuluh pon di tangan saya itu sama tidak sah dan terlarang sebagai getaran kenikmatan asusila"
109 Saya hampir membuka mulut untuk bertanya kepada pelayan, Siapa yang memutuskan apakah uang sepuluh pon itu harus dianggap barang terlarang" Tetapi saya tetap mengatup rapat bibir saya itu karena, sebenarnya, saya telah lama mengetahui jawabannya, telah menemukannya sejak bertahun-tahun yang lampau, tepat sejak saat Ayah memukul tangan saya untuk pertama kalinya ketika saya mengulurkannya untuk meminta sekeping mata uang. Hal itu merupakan pelajaran yang seringkali terulang, sepanjang waktu yang lalu. Ibu suatu ketika, telah memukul saya karena menghilangkan satu piaster di pasar, dan kembali ke rumah tanpa membawanya. Paman punya kebiasaan memberi saya uang, tetapi dia memperingatkan supaya tidak memberitahukannya kepada Ibu. Isteri Paman biasanya menyembunyikan uang piasternya dalam korset apabila dia mendengar saya sedang mendekat sebelum dia selesai menghitung uangnya. Suami saya menghitung uang piasternya hampir setiap hari, tetapi begitu dia melihat saya datang, secepat itu pula dia membenahinya. Sharifa juga begitu, dia menghitung lembaran sepuluh pon, dan segera menyimpannya di suatu tempat persembunyian pada saat dia mendengar suara saya. Dan begitulah, selama tahun demi tahun berlalu, saya mulai melihat ke arah yang lain setiap kali seseorang sedang menghitung uangnya, atau sedang mengambil beberapa mata uang dari kantongnya. Seakan-akan uang itu sesuatu yang membuat malu, dibuat untuk disembunyikan, suatu objek dosa bagi saya tetapi diperbolehkan bagi orang lain,
110 seperti dibuat sah hanya bagi mereka itu. Saya hampir akan bertanya kepada pelayan itu, siapakah sebenarnya yang memutuskan semuanya itu, siapa yang memutuskan bagi siapa diperbolehkan, dan bagi siapa hal itu dilarang. Tetapi saya mengatupkan bibir saya lebih erat lagi dan menahan kata-kata yang tadinya akan saya keluarkan. Sebaliknya, saya sodorkan uang kertas sepuluh pon itu kepadanya. Dia tetap menundukkan kepalanya, kedua matanya seakan-akan memandang ke arah yang jauh, ketika dia mengulurkan tangannya dan mengambil uang itu dari saya.
SEJAK HARI lTU dan seterusnya saya tidak lagi menundukkan kepala atau mengalihkan pandangan saya. Saya berjalan melalui jalan raya dengan kepala tegak, dan mata diarahkan lurus ke depan. Saya memandang orang ke arah matanya, dan apabila saya melihat seseorang menghitung uang saya memandangnya tanpa berkedip. Saya lanjutkan dengan berjalan di jalan raya. Matahari ada di belakang saya. Ia mengaliri diri saya dengan sinarnya. Hangatnya makanan lezat meluncur dengan darah dalam urat-urat nadi di tubuh saya. Sisa dari uang sepuluh pon itu dengan aman berada dalam kantung saya. Langkah-langkah saya di jalanan beraspal yang gelap itu memukul-mukul tanah dengan kerasnya, dengan kegembiraan yang baru, seperti keriangan seorang anak yang baru saja membongkar sebuah
111 mainan dan menemukan rahasia bagaimana mainan itu bisa bergerak.
Seorang laki-laki menghampiri saya dan berbisikbisik. Saya pandang lurus ke dalam matanya dan berkata, Tidak. Seorang lelaki lain datang pula kepada saya dan menggumamkan sesuatu dengan suara penuh rahasia yang hampir tak dapat didengar. Saya amati dia dengan cermatnya dari kepala sampai ke kaki dan saya berkata, Tidak. Dia bertanya: Mengapa tidak" Saya jawab: Karena banyak sekali lelaki dan saya ingin memilih dengan siapa saya mau berkencan.
Bara Naga 4 Gento Guyon 2 Tanah Kutukan Kemelut Di Negara Siluman 1

Cari Blog Ini