Ceritasilat Novel Online

Dewi Pedang Delapan Penjuru 2

Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin Bagian 2


kan. Tapi sewa yang aku terima hanyalah sepersepuluh daripada pajak yang harus aku bayarkan
nanti kepada Bupati di sini!"
Terkejutlah Wulansari mendengar keterangan itu. "Orang tua... kalau kau bisa memberikan keterangan yang lebih lengkap
atas apa yang sudah terjadi di kota ini...."
Pemilik penginapan yang bangkrut itu
menggelengkan kepala. "Bukan aku tidak bisa...
tapi tidak berani. Kau carilah keterangan pada
orang lain. Tapi kurasa tidak ada satu orang pun
yang berani. Sekali kaki tangan Lor Bentulan
mengetahuinya, pasti celaka...." Sampai disitu orang tua itu menutupkan pintu
cepat-cepat dan menghilang. Wulansari teringat pada mayat Sukropringgo lalu dengan perut yang masih keroncongan dia berlalu dari situ. Dia mendatangi beberapa rumah penduduk untuk menumpang
menginap. Tapi tidak satu orang pun yang menerimanya. Bukan karena mereka tidak mau menolong atau tidak kasihan pada gadis itu tapi adalah karena mereka takut
ketahuan oleh kaki-kaki tangan Lor Bentulan. Adipati Magetan yang mereka cap sebagai Adipati bejat tukang tindas! Jangankan untuk minta menumpang, bicara panjang
pun memberi keterangan tidak ada yang berani.
Wulan meneruskan lagi perjalanannya dan tahutahu dia sudah berada di pinggiran kota.
"Celaka, di mana aku menginap?" Dia memandang berkeliling. Di situ banyak pohon-pohon
besar dengan cabang-cabangnya besar pula. Satu
akal didapatnya. Tentang mau di mana tidur kini
dia tidak khawatir. Kalaupun tak ada yang mau
memberinya menumpang bermalam dia bisa tidur
di cabang pohon yang besar itu. Tapi bagaimana
dengan perutnya yang keroncongan dan makin
lama makin memilin" Tengah dia berdiri kebingungan ini tibatiba dilihatnya seorang laki-laki tua berjalan ter-bungkuk-bungkuk dengan
pertolongan sebuah tongkat. Di bahunya yang kurus tersandang sebuah bungkusan. Pakaiannya penuh dengan
tambalan-tambalan. Tambalan-tambalan ini tidak
cukup untuk menutupi robekan-robekan yang
masih banyak terdapat di sana sini.
"Orang tua," tegur Wulansari, "Kau mau ke
mana?" Orang tua bongkok itu memutar kepalanya
dengan perlahan. Mukanya keriputan dan cekung. Kedua matanya yang sipit memandang
sayu tapi agak membesar sedikit ketika melihat
siapa yang berdiri di hadapannya. Dia balik bertanya, "Gadis cantik, kau siapakah dan dari mana malam-malam begini berada di
sini?" "Aku orang asing yang kemalaman dalam
perjalanan dan tengah mencari tempat menginap...." Orang tua bongkok itu menggelengkan kepalanya.
"Susah, nak. Susah.... Masa ini susah bagimu untuk menginap. Rumah penginapan di kota sudah lama ditutup karena pemiliknya tidak
sanggup bayar pajak. Penduduk bukan tidak mau
menolongmu, tapi kehidupan mereka demikian
menyedihkan ditambah lagi dengan kejahatan
orang-orang Kadipaten...."
"Itulah sebabnya, orang tua, mengapa aku
berdiri bingung di sini karena tidak tahu ke mana aku harus pergi sedangkan
perutku sejak pagi boleh dikatakan belum masuk apa-apa...."
"Kasihan... kasihan nasibmu, Nak," kata si orang tua sambil meneliti Wulansari
dari ujung rambut sampai ke kaki. "Tapi nak, bila kau tak keberatan bermalam di gubukku,
kau boleh ikut sama-sama...." Wulansari menjura. "Terima kasih, tapi kalau akan menimbulkan kesusahan biarlah tidak,
orang tua...." "Tidak, tak apa-apa. Hari sudah malam,
kau seorang gadis pula. Gubukku memang sempit, biar kalau kau mau tidur bersempit-sempit."
"Terima kasih, Bapak Tua," kata Wulansari dengan sangat gembira.
TUJUH GUBUK orang tua itu kecil dan reyot. Dinding kajangnya sudah bolong-bolong demikian pula
atapnya yang dari rumbia sehingga bintangbintang di langit dapat dilihat dengan jelas. Wulansari duduk di atas sebuah kursi tua sedang si
orang tua duduk di atas balai-balai bambu yang
dialasi dengan tikar pandan yang sudah robekrobek. Di sampingnya duduk pula seorang perempuan tua, isterinya. "Anak, siapakah namamu?" bertanya si perempuan tua.
Gadis itu memberitahukan namanya, lalu
tanpa diminta dia memberi keterangan mengapa
sampai dia berada di Magetan. Laki-laki tua mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pantas..." katanya. "Mula-mula aku merasa heran mengapa gadis secantikmu ini
malam- malam berada di tengah jalan yang gelap dan
sunyi. Tak tahunya kau seorang gadis persilatan
yang tengah diberi tugas mengembara oleh gurumu." Si orang tua kemudian menerangkan bahwa
dulunya dia adalah seorang petani yang hidup sederhana dan bahagia tapi kemudian jatuh miskin
bersama ratusan penduduk Magetan lainnya akibat pemerasan yang dilakukan oleh Adipati Lor
Bentulan, serta pembantu-pembantunya. Karena
tak ada mata pencaharian yang bisa didapat maka terpaksa menjadi pengemis, mengharapkan belas kasih orang lain. Si orang tua mengakhiri keterangannya dengan kalimat: "Ketika kau bertemu dengan aku di tengah jalan tadi,
aku barusan habis dari desa terdekat, pulang mengemis. Sial sekali hari ini, uang sepeser pun tidak dapat, cuma dua kaleng beras itu pun beras
menir pula sedang berjalan dari pagi sampai malam. Tapi itu sudah
lebih dari cukup, sudah syukur Tuhan masih
memberi rezeki...." "Tapi Pak Tua," ujar Wulansari, "Kalau harus mengemis mengapa jauh-jauh ke desa
lain" Di sini kurasa masih bisa diharapkan belas kasihan orang lain." Si orang tua tertawa. "Sebagaimana yang
kuterangkan padamu yaitu semua orang di sini
sudah pada sangat miskin. Juga karena memikirkan nasib sendiri-sendiri dan keluarga, mana
mungkin harus kasihan dan memikirkan hendak
menolong orang lain...?"
Wulansari menarik napas dalam. "Apakah
sebabnya Bupati daerah ini sampai bertindak sewenang-wenang memungut pajak tinggi semenamena?" "Itulah satu pertanyaan yang tak kunjung
bisa didapatkan jawaban oleh setiap penduduk di
sini," sahut si orang tua. "Tapi Wulan, apa yang tidak mungkin berubah di atas
dunia ini" Bila kehendak Tuhan berlaku, orang yang kemarin
baik hari ini bisa menjadi jahat. Orang yang malam ini jujur, besok bisa menjadi tukang tipu,
pemimpin yang dulu dipercaya dan disanjungsanjung bisa menjadi tukang tindas dan tukang
peras...." "Kata-katamu itu benar belaka, Pak...." ka-ta Wulansari pula.
Si orang tua berpaling pada isterinya. "Bu,
tamu kita ini sangat lapar. Masaklah beras menir
yang dua kaleng itu, biar kita bisa makan samasama...." Si orang tua berpaling pada Wulansari dan meneruskan, "Tapi maaf saja
Wulan, kami tidak punya apa-apa selain sambal...."
"Itu pun sudah ribuan terima kasih, Bapak. Dan kalau tidak keberatan, biarlah aku yang
tolong memasakkan." "Oh, jangan Nak. Sebagai tamu walau bagaimanapun kami harus hormati kau," kata si perempuan tua.
Sebelum perempuan itu masuk ke dalam
suaminya bertanya: "Kemana anak kita, bu?"
Sang isteri yang sudah berdiri duduk kembali di ujung balai-balai. "Itulah pak. Sukropringgo tak bisa lagi menahan hati.
Sudah bulat te- kadnya untuk melaporkan apa-apa yang terjadi di
sini ke kotaraja. Dia pergi pagi tadi...."
Sang suami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Besar bahayanya, terlalu besar! Tapi memang bila perbuatan-perbuatan
Adipati Lor Ben- tulan didiamkan saja tidak dilaporkan ke kotaraja akan lebih menambah
penderitaan lagi. Biarlah
Bu, kita doakan saja semoga berhasil. Aku bangga punya anak seperti dia...."
Ketika mendengar perempuan tua itu menyebut-nyebut nama Sukropringgo, terkejutlah
Wulansari. Bukankah Sukropringgo pemuda yang
mayatnya ditemui di dalam hutan sebagaimana
diterangkan oleh laki-laki separuh baya yang berpapasan di tengah jalan waktu baru saja memasuki Magetan" "Pak Tua," kata Wulansari, "Apakah pemuda yang bernama Sukropringgo itu anakmu?"
"Benar sekali. Rupanya kau kenal dengan
dia?" "Tidak Pak Tua, tapi...."
"Tapi apa wulan...?" tanya laki-laki tua itu dengan gelisah ketika melihat air
muka si gadis berubah. "Tapi..." dan Wulansari menerangkan bagaimana dia tadi ketika baru memasuki kota telah
bertemu dengan seorang laki-laki yang membawa
kabar tentang mayat seorang pemuda bernama
Sukropringgo yang ditemui di dalam hutan. Mendengar itu maka menjeritlah si perempuan tua
dan rubuh pingsan. Kalau tidak lekas Wulansari
melompat niscaya perempuan itu terguling ke tanah. Wulansari membaringkannya di atas balaibalai. Tubuh Pak Sukropinggo sendiri bergetar.
Kedua matanya yang sipit berkaca-kaca dan menangislah orang tua itu sambil tiada hentihentinya menyebut-nyebut nama anaknya. Tibatiba dia berdiri. Pandangan matanya liar dan galak. Di dinding tersisip sebuah parang. Benda ini segera diambilnya dan
melangkah ke pintu. Ama-rahnya yang mendidih membuat dia lupa bahwa
di hadapannya saat itu ada Wulansari.
"Bapak, kau mau ke mana"!" tanya Wulansari sambil menghadang di ambang pintu.
"Minggir! Minggirlah Wulan! Biar aku cincang kepala Adipati Lor Bentulan itu sampai lumat! Pasti dia yang membunuh anakku, sekurang-kurangnya yang kasih perintah!"
Dengan tangan kirinya Wulansari memegang lengan orang tua itu sambil alirkan tenaga
dalamnya agar si orang tua tenang dan dapat
menguasai diri. "Dengar pak tua, kejantananmu sebagai laki-laki sangat aku
kagumi. Tetapi sadar-lah, dengan seorang diri dan bersenjatakan parang mana mungkin kau bisa melampiaskan
amarahmu terhadap Adipati keparat itu. Apalagi
di sana terdapat pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi!" Sesaat kemudian si orang tua sadar dan
mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh Wulansari adalah benar. Perlahan-lahan dia mundur
dan duduk di balai-balai. Kembali seperti tadi dia menangis tersedu-sedu. "Ya
Tuhan... apa yang harus aku lakukan" Anakku dibunuh orang! Tuhan, turunkanlah
kutuk dan hukumanmu atas manusia-manusia keparat itu!"
Terharu sekali Wulansari mendengar katakata orang tersebut. Dia ingat bagaimana dia
sendiri juga kehilangan ayah, kehilangan ibu, kakek dan gurunya. Semua orang yang dikasihi itu
mati dibunuh orang. Tapi kematian seorang anak
kandung tentu akan lebih parah lagi deritanya.
Tak terasa kedua mata si gadis jadi berkaca-kaca.
Dia melangkah ke hadapan si orang tua dan berkata: "Pak tua, mengenai urusanmu dengan Adipati keparat itu biar aku yang
selesaikan. Sebaiknya kau segeralah minta bantuan tetangga untuk
mengambil dan mengurus mayat anakmu yang
kini berada di dalam hutan di tepi kota."
Mendengar itu si orang tua menghentikan
tangisnya. Dipandangnya Wulansari dengan sikap
seolah-olah baru kali itulah dia melihatnya. "Wulan.. anak, aku percaya bahwa
kau bukan gadis sembarangan. Aku bersyukur kalau kau bisa
membalaskan sakit hatiku pada Adipati keparat
itu. Tapi Nak, kau masih belum makan...."
Saat itu, sesudah mengetahui apa yang terjadi di Magetan serta nasib malang yang menimpa
seorang tua, rasa lapar di diri Wulansari serta
merta menjadi hilang lenyap. Sebagai seorang
manusia yang mempunyai kepandaian silat, yang
menuntut ilmu tinggi demi untuk menolong yang
lemah dan membasmi kaum durjana penimbul
malapetaka maka dia merasa semua persoalan
yang terjadi di Magetan adalah menjadi tanggung
jawabnya untuk diselesaikan!
"Pak Tua, aku pergi sekarang," kata Wulansari. Dan gadis ini segera melompat menuju ke
pintu. Pintu gerbang Kadipaten yang besar dan
tertutup dijaga oleh dua orang pengawal. Pengawal yang dua ini adalah sisa pengawal-pengawal


Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tempo hari dibunuh oleh kelima anak buah
Warok Kate. Keduanya segera memalangkan tombak masing-masing ketika Wulansari muncul di
hadapan mereka. Melihat kepada tampangtampang mereka yang licin dan kurus itu, tak
percaya si gadis bahwa mereka adalah kaki-kaki
tangan yang kejam dan berhati busuk dari Adipati
Lor Bentulan. Dan justru rasa tidak percaya inilah yang menyelamatkan jiwa kedua pengawal
tersebut. Dengan satu gerakan yang hampir tidak
kelihatan karena demikian cepatnya, Wulansari
telah menotok jalan darah di leher dan di dada
mereka sehingga mereka kini menjadi berdiri dengan tubuh kaku tegang serta gagu. Kalau tidak
diperhatikan secara teliti mereka tak ubahnya seperti pengawal yang tengah melakukan tugas, padahal mereka sudah kaku tak pandai bergerak
dan bisu! Dengan mudah Wulansari membuka pintu
gerbang lalu terus ke dalam. Pintu gedung Kadipaten ternyata tertutup. Wulansari coba mendorong tapi rupanya pintu itu dikunci dari dalam.
Segera si gadis mengetuk beberapa kali. Tak lama
kemudian pintu itu terbuka dan muncul satu kepala berambut gondrong, berkumis melintang, berewokan dan bertampang buruk serta kejam
buas. Orang ini bertubuh tinggi besar memakai
pakaian keprajuritan dan begitu membuka pintu
segera hendak membentak, tapi ketika melihat
ternyata seorang dara jelita yang berdiri di tangga Kadipaten, maka dia segera
tersenyum simpul. Meskipun sudah tersenyum namun parasnya tetap saja buruk dan membayangkan kekejaman!
"E... e... eee, gadis cantik. Kau siapa malam-malam begini datang ke Kadipaten" Manusia
jadi-jadiankah atau bidadari yang turun dari
kayangan...?" Meskipun hatinya gemas mendengar pertanyaan itu namun Wulansari menjawab dengan
tenang dan sabar: "Pengawal, aku ingin bertemu dengan Adipati Lor Bentulan...."
"Hendak bertemu dengan Adipati Lor Bentulan" Malam-malam begini..." Ada maksud apakah"!" "Satu urusan penting yang hanya bisa dikatakan langsung kepadanya," jawab
Wulansari. "Hemm..." menggumam prajurit pengawal
itu yang tak lain daripada salah seorang anak
buah Warok Kate adanya. "Gadis cantik, kau
tunggulah di sini sebentar. Aku akan beritahu
kedatanganmu pada Adipati dan menanyakan
apakah dia bisa menerimamu atau tidak."
Pintu tertutup. Tak lama kemudian terbuka kembali dan si manusia tinggi besar bertampang buruk muncul sambil berkata cengar cengir:
"Adipati bersedia menerimamu. Silahkan masuk."
Pintu dibukakan lebar-lebar dan Wulansari masuk ke dalam gedung. Mereka sampai ke sebuah ruang tengah
yang terang benderang oleh lampu. Di atas sebuah kursi kayu jati berukir Indah duduklah seorang laki-laki berpakaian rapi dan bagus. Tubuhnya kurus, pakaian bagus yang dipakainya itu
nyata sekali agak kebesaran untuknya.
Wulansari tahu bahwa orang ini belum lagi
mencapai umur lima puluh tapi raut wajahnya
yang pucat tiada cahaya itu menjadikan parasnya
seperti orang sudah berumur lebih dari setengah
abad. Dengan sepasang matanya yang cekung
kuyu dia memandang kepada Wulansari. Kalau
diambil perumpamaan maka laki-laki ini tak
ubahnya seperti sebuah pelita yang menyala tapi
hampir kehabisan minyak! Tiba-tiba paras laki-laki itu mendadak berubah menjadi kasar dan garang. Matanya yang
cekung melotot keluar dan rahang-rahangnya bertonjolan. Ini suatu hal yang tak bisa dimengerti
oleh si gadis. "Gadis asing! Kau siapakah yang datang
malam-malam begini menggangguku"!" tanyanya
dengan suara keras. "Harap dimaafkan kalau kedatanganku
mengganggu ketenteraman serta mengotori gedungmu yang indah mewah ini, Adipati. Aku memang orang asing di sini dan justru hal-hal yang
serba asinglah yang membawa aku sampai ke gedungmu ini!" Adipati Lor Bentulan mengerenyitkan keningnya. "Katakan kau punya maksud apa!"
"Aku datang untuk bertanyakan apakah
tanggung jawabmu sebagai Adipati atau sebagai
pemimpin di sini atas kehidupan, keamanan dan
kesejahteraan rakyat daerah ini"!"
Mendadak terjadi lagi perubahan pada air
muka Lor Bentulan. Seperti yang mula-mula dilihat Wulansari maka kini kembali paras laki-laki
itu menjadi pucat pasi sedang pandangan matanya yang tadi garang kembali menjadi kuyu! Kini tahulah si gadis kalau perubahan sikap dan air muka tadi hanyalah satu
kepura-puraan belaka. "Gadis aneh! Kau manusia atau siluman"!"
"Aku sama dengan kau, Adipati. Samasama manusia! Cuma kau seorang manusia berhati kejam dan tukang tindas rakyat!"
"Gadis asing! Sebelum aku menjadi marah
sebaiknya kau berlalu dari hadapanku!" memperingatkan Lor Bentulan.
Wulansari mengeluarkan suara mendengus. "Aku baru mau pergi bila kau berjanji untuk merubah aturan-aturan pajakmu
menjadi seperti empat bulan yang lalu, dan memperhatikan kehidupan rakyat Magetan yang kini sangat menderita
sengsara karena diperas dan disedot darahnya
olehmu!" "Jangan bicara sebagai seorang pahlawan
di hadapanku!" bentak Adipati itu dengan geramnya. "Apapun yang kulakukan bukan
menjadi urusanmu! Kau orang lain mengapa ikut campur"!" Si gadis tertawa mengejek. "Adipati, apakah kau buta dengan keadaan hidup
rakyatmu yang menderita sengsara dewasa ini" Apakah kau tidak
mendengar bagaimana kaum ibu meratap dan
anak-anak bertangisan karena perut mereka merintih kelaparan" Apakah kau lupa bahwa kau juga dulunya berasal dari seorang rakyat" Apakah
kau lupa bahwa kalau bukan karena rakyat tidak
mungkin kau akan enak-enakan duduk ongkangongkang di kursi kebesaranmu itu, menikmati hidup mewah dari hasil memeras dan menindas...."
"Sudah! Cukup!" teriak sang Adipati seraya berdiri dari kursinya. "Kau keluarlah
baik-baik dari sini atau kusuruh para pengawal menyeret-mu!" Dengan sepasang
matanya yang tajam Wu- lansari menatap kedua mata laki-laki itu. Merasakan sorotan mata tersebut Lor Bentulan menjadi bergidik dan bungkam. "Perbuatanmu sudah keterlaluan, Adipati.
Kekejamanmu sudah melampaui batas. Bukan
saja kau tindas rakyat banyak, kau suruh mereka
mati kelaparan tapi bahkan juga kau bunuh seorang pemuda yang hendak melaporkan kejahatan
dan kebusukanmu kepada Sri Baginda di kotaraja!" "Apa..." Apa"!" tanya Adipati itu dengan sangat terkejut.
"Ah, tak usah pura-pura terkejut Lor Bentulan! Bukankah kau yang membunuh Sukropringgo"!" "Sukropringgo, pemuda itu"! Tidak, demi
Tuhan aku tidak membunuhnya!"
"Baik, kalau kau bilang bukan kau yang
membunuhnya. Tapi jangan mungkir bahwa kaulah yang menyuruh bunuh pemuda tersebut dan
itu adalah sama saja. Tanganmu tetap berlumur
dosa dan darah!" "Itu pun tidak! Aku tak pernah menyuruh
siapa-siapa untuk membunuhnya! Sukropringgo
memang pernah datang kepadaku. Tapi aku cuma
peringatkan agar dia jangan membuat-buat urusan. Hanya itu! Hanya itu yang kulakukan! Kau
pasti dusta!" "Aku bukan manusia pendusta atau penipu
macam kau! Seorang yang telah melihat mayat
pemuda itu dengan mata kepalanya sendiri telah
menerangkan padaku!"
Air muka Lor Bentulan semakin pucat.
"Akuilah terus terang, Adipati...."
Pada saat itu dari pintu yang terbuka secara tiba-tiba di ruang tengah itu berloncatan lah
keluar lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar, bertampang galak, berewokan
serta berambut gondrong. Mereka berpakaian prajurit pengawal
Kadipaten tetapi sebenarnya tak lain daripada
anak-anak buah kepala rampok Warok Kate. Di
tangan masing-masing tergenggam golok besar.
"Adipati! Mengapa bicara panjang lebar dengan gadis iblis ini"! Biar kami
bereskan dia!" kata salah seorang dari mereka.
Adipati Lor Bentulan berdiri dengan lutut
goyah tubuh menggigil. Suaranya gemetar ketika
bertanya pada orang yang bicara tadi: "Rampung, kau... kau apakan
Sukropringgo...?" Anak buah Warok Kate yang bernama
Rampung menyeringai buruk. "Ah itu urusan
yang bisa kita bicarakan kemudian, Adipati. Yang
penting sekarang membereskan gadis ini!"
"Tidak bisa! Katakan dulu Rampung, kalian
yang membunuh Sukropringgo"! Kalian sudah
melampaui batas! Kalian sudah sangat keterlaluan. Kalian rampok-rampok hina dina tukang
peras! Bunuhlah aku! Aku sudah tidak sanggup
lagi... tidak sanggup!"
"Adipati edan! Kau lupa bahwa kau cuma
punya satu nyawa!" Rampung melompat ke hadapan Lor Bentulan. "Mampuslah!" bentaknya seraya membabatkan golok besarnya ke
kepala Adi- pati Magetan itu. Tapi dengan lompatan yang lebih cepat dan
lihay, Wulansari mendorong bahu Lor Bentulan.
Meskipun dorongan yang dilakukannya kelihatan
lemah saja tapi tubuh Adipati itu mental terguling ke samping kursinya.
Kepalanya selamat dari hantaman golok besar. Senjata itu men-darat di
kursi kayu jati yang menjadi hancur berkepingan!
Ketika Rampung hendak memburu Adipati itu
maka Wulansari sudah berdiri di hadapannya.
"Gadis siluman! Minggir kalau tidak mau
mampus!" Wulansari menyeringai. "Jadi kalian rupanya tidak lain daripada rampok-rampok tukang
peras berpakaian pengawal"! Srigala-srigala jahat berbulu domba"! Jangan kira
kalian bisa angkat kaki dari sini hidup-hidup!"
Rampung tolakkan tangan kirinya di pinggang. "Nyalimu terlalu besar, gadis rendah! Kau terimalah ini!" Rampung itu
menyerang dengan golok besarnya.
"Nak, kau hati-hatilah," terdengar suara Adipati Lor Bentulan yang saat itu
sudah berdiri dan menghindar ke sudut ruangan. "Mereka rampok jahat berkepandaian tinggi!"
Dengan memiringkan tubuhnya sedikit
Wulansari berhasil mengelakkan sambaran golok
Rampung. Salah seorang kawan rampok ini kemudian berseru; "Rampung, untuk menghadapi
gadis seperti dia mengapa pakai golok segala"
Tangkap dia hidup-hidup agar bisa kita pakai
bergantian!" Mendengar ini Rampung menghentikan serangannya. Dia tertawa bekakakan lalu sambil
masukkan goloknya kembali ke sarungnya dia
berkata: "Benar kau benar! Memang sayang kalau kulitnya yang halus mulus itu
sampai terluka!" Dengan tangan kosong Rampung maju ke muka.
Saat itu Wulansari kelihatan berkelebat. Rampung terkejut dan melompat mundur, untung saja dia berlaku hati-hati kalau tidak tentu perutnya sudah kena tendangan si gadis! Namun serangan yang dilakukan oleh Wulansari sebenarnya adalah serangan sambilan saja karena yang
ditujunya adalah rampok yang tadi bicara kurang
ajar! "Bukk!" Suatu pukulan yang keras itu disusul oleh
suara jeritan melengking. Rampok yang bermulut
kotor rebah ke lantai dengan kepala pecah! Semua orang jadi terkejut! "Gadis jahanam!" teriak Rampung dengan
geram. Tapi hatinya bergidik juga melihat kehebatan Wulansari. "Kau benar-benar minta dicincang!" Rampok ini mencabut goloknya kembali
dan menyerang dengan ganas ke arah si gadis.
Dengan cekatan Wulansari mengelak. Golok
Rampung mengenai tempat kosong. Dengan geram dan penasaran rampok ini mengirimkan serangan beruntun. Golok besarnya menderu dan
berkilauan ditimpa sinar lampu. Rupanya nama
Warok Kate sebagai kepala rampok yang menggetarkan di daerah selatan bukan nama kosong be

Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laka. Permainan golok muridnya tinggi dan lihay.
Meskipun senjata itu besar namun gerakangerakan serangan yang dilakukan Rampung enteng dan cepat serta bertubi-tubi. Ini sekaligus
membuktikan bahwa tenaga dalam rampok ini
sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Sinar
goloknya seakan mengurung Wulansari dari pelbagai jurusan. Tapi baik Rampung maupun kawankawannya tidak tahu dengan gadis mana mereka
berhadapan. Dengan bertangan kosong Wulansari
berkelebat kian kemari dan tahu-tahu satu jotosannya menghantam dada Rampung membuat
rampok ini melintir dan jatuh duduk di lantai.
Rampung cepat bergulingan untuk menjaga diri
dari serangan lawan yang mungkin akan dilancarkan. Setelah berdiri kembali cepat-cepat dia
mengatur jalan napas dan darahnya. Tenaga dalamnya dialirkan ke dadanya yang kena dipukul.
Sesudah sakit di dadanya pulih kembali dengan
cepat dia berteriak: "Kawan-kawan! Mari kita keroyok perempuan iblis ini!"
Bersamaan dengan itu tiga golok besar keluar dari sarungnya. Kini empat rampok bertubuh
tinggi besar dengan golok maut di tangan melompat ke muka mengurung Wulansari dalam kedudukan setengah lingkaran.
Menghadapi salah seorang dari rampokrampok yang mempunyai Ilmu golok tinggi dengan tangan kosong cukup berbahaya bagi si gadis, apalagi kalau dia dikeroyok empat orang.
Namun demikian Wulansari tetap tenang dan
waspada sementara Lor Bentulan berkali-kali berteriak memberi peringatan agar dia berhati-hati.
"Gadis rendah!" bentak Rampung.
"Keluarkanlah senjatamu!"
"Untuk menghadapi bangsat rendah macam kailan tidak perlu pakai senjata segala. Majulah!" Dihina seperti itu
keempat rampok tersebut menjadi marah! Mereka serentak melancarkan serangan
gencar. Dari samping kiri, samping kanan
dan dua orang dari muka. Sekali saja tubuh gadis
itu berkelebat maka terdengarlah jerit seorang
pengeroyoknya. Rampok Ini melompat mundur
sambil tiada henti-hentinya mengeluh kesakitan
karena sambungan siku tangan kanannya telah
kena dihantam oleh lawan sampai putus!
Rampung dan dua kawannya kertakkan gigi. Mereka memutar golok masing-masing dengan
cepat dan mengeluarkan ilmu golok tingkat tertinggi yang mereka warisi dari guru mereka si Warok Kate. Dengan bentakan keras maka menerjanglah Rampung ke muka. Golok besarnya menyambar deras ke dada Wulansari. Si gadis melompat ke samping. Serangan lawan mengenai
tempat kosong. Wulansari menggeser kaki kanannya dan serentak dengan itu kaki kirinya menendang ke arah Rampung. Rampok ini tidak menangkis melainkan melompat mundur dan bersamaan dengan itu kawannya yang di belakang
memapaskan goloknya ke kaki si gadis. Terpaksa
gadis ini menarik pulang kakinya dengan cepat.
Tapi dari samping kiri kemudian melompat rampok ketiga mengirimkan serangan golok ke pinggang! Wulansari berkelit ke kanan. Tangan kanannya memukul ke muka. Meskipun jotosannya
ini berhasil dielakkan tapi tak urung angin pukulan membuat kedua mata rampok yang diserang
menjadi perih. Cepat-cepat dia menghindar dan
dua kawannya yang lain kini memapaki Wulansari dari samping kiri dan samping kanan. Sambil
mengirim tinju kiri kanan ke arah lawannya, gadis itu melompat ke muka tapi saat itu rampok
ketiga tadi sudah membabat pula dengan goloknya dari jurusan ini. Agaknya disinilah kehebatan permainan "golok ular" yang
diandalkan mereka. Dengan teriakan melengking Wulansari
berkelebat di udara di antara ketiga lawannya.
Rampok-rampok itu mengira bahwa golok mereka
masing-masing sudah sama-sama membacok tubuh si gadis. Tapi alangkah terkejutnya mereka
ketika "trang"! Senjata mereka sendiri yang saling beradu dengan senjata kawan!
Sebelum mereka habis dari terkejutnya tiba-tiba "buk"! salah seorang dari rampok-rampok itu
terguling ke tanah karena dalam lengahnya telah kena pukul bahu
kirinya oleh Wulansari! Untung saja rampok ini
memiliki tenaga dalam yang cukup lumayan. Kalau tidak tentu saat itu tulang bahunya sudah patah atau terluka berat di dalam. Meskipun dengan
tubuh miring dia masih dapat bangkit berdiri.
Ketiga orang itu membentuk barisan "golok
ular" kembali. Kini mereka sama mempercepat gerakan sehingga tubuh mereka benarbenar tak ubahnya seperti seekor ular yang meliuk-liuk kian kemari. Sayang mereka cuma
bertiga. Kalau berlima tentu kehebatan permainan golok ciptaan
guru mereka tersebut tidak mengecewakan.
DELAPAN SAMPAI saat itu Wulansari dengan gerakan-gerakannya yang gesit masih saja menghadapi lawan-lawannya dengan tangan kosong! Di
samping ini menimbulkan kegeraman di hati
Rampung dan kawan-kawannya mereka juga
menjadi penasaran. Sebelumnya jika mereka
mengeroyok lawan, sekurang-kurangnya dalam
lima jurus mereka sudah sanggup merobohkannya. Tapi saat ini jangankan merobohkan, membuat segores luka pun mereka tidak sanggup
bahkan untuk mendesak saja tidak bisa. Apalagi
mengingat lawan mereka saat itu adalah seorang
gadis pula, seorang perempuan!
Tubuh Wulansari seperti bayang-bayang di
antara sambaran-sambaran golok ketiga lawannya. Tiba-tiba 'breet!" Suara ini disusul oleh suara keluhan kesakitan. Rampung
melompat ke belakang. Mukanya memutih pucat. Pakaiannya di
bagian dada robek besar sedang pada kulit dadanya terlihat lima guratan luka! Inilah ilmu cakaran Wulansari yang dinamai "cakar setan" yang dipelajari dari gurunya. Meski
belum mencapai tingkat kesempurnaan tapi akibatnya cukup berbahaya. Rampung merasa perih dan gatal-gatal.
Cepat-cepat dikerahkannya tenaga dalamnya ke
bagian yang terluka, tapi malahan luka cakaran
itu semakin bertambah gatal!
"Iblis betina!" bentak Rampung dengan
amarah mendidih. "Hari ini aku mengadu jiwa
dengan kau!" Tubuhnya melesat ke muka dan golok besar di tangannya berputar
dahsyat. Ini ada- lah permainan golok tunggal yang mempunyai jurus-jurus aneh yang juga dipelajarinya dari gurunya si Warok Kate. Melihat kawan mereka mengeluarkan ilmu tersebut rampok yang dua lagi segera menyerbu pula. Dalam mengirimkan serangan-serangan dahsyat itu. Rampung tiada hentihentinya mempergunakan tangan kirinya untuk
dipakai menggaruk lukanya yang gatal-gatal.
Jika seandainya yang mereka layani hanyalah seorang musuh enteng, maka dapat dipastikan bahwa ketiga rampok itu akan merobohkan
lawan mereka dalam beberapa gebrakan saja. Tapi kini mereka berhadapan dengan murid si Cakar Setan yang juga pernah mendapat gemblengan dari seorang sakti bernama Suara Tanpa Rupa sehingga ketiganya jadi mati kutu. Di satu jurus, ketiga rampok itu menyerang secara bersamaan. Golok Rampung berkelebat ke arah leher.
Kawannya yang seorang lagi membabatkan senjatanya ke pinggang sedang yang ketiga dengan
membungkuk memapas ke arah kedua kaki Wulansari! Jika serangan mereka ini berhasil dapatlah dibayangkan betapa tubuh gadis cantik jelita
itu akan terpotong menjadi empat bagian.
Tapi percuma saja Wulansari menjadi murid si Cakar Setan, percuma dia mengeram di gua
batu karang selama satu tahun berguru pada si
orang tua aneh Suara Tanpa Rupa kalau serangan ini tidak bisa dielakkannya! Untuk menghindarkan kedua kakinya dari serangan golok lawan
yang merunduk gadis ini melompat ke atas. Bersamaan dengan lompatan itu dia membuang diri
ke belakang. Gerakannya ini membuat lehernya
selamat dari tebasan golok Rampung sedang dengan mempergunakan kaki kanannya untuk menendang sambungan siku rampok ketiga yang
menyerang ke arah pinggang, dia berhasil pula
menghancurkan serangan tersebut karena lawannya cepat-cepat menarik tangan yang memegang
golok. Rampok ini maklum kehebatan tendangan
itu dan tak mau ambil resiko. Di sudut ruangan
sementara itu Adipati Lor Bentulan berdiri dengan mata terbuka lebar hampir
tidak pernah berkesip-kesip melihat perkelahian yang luar biasa hebatnya itu. Begitu kedua kakinya menyentuh lantai
kembali, Wulansari melompat ke samping dan
merunduk menjangkau golok besar milik rampok
yang pertama kali dirobohkannya yaitu yang tadi
bicara kurang ajar. Sebenarnya dengan tangan
kosong pun Wulansari bisa melayani ketiga rampok-rampok bejat itu. Tapi dia sudah muak dan
tak mau main-main lebih lama. Dia ingin sekali
mencoba keampuhan pedang mustika pemberian
gurunya Suara Tanpa Rupa yang kini tersisip di
balik punggungnya. Tapi dia ingat pula pesan
orang tua itu yakni bahwa pedang sakti tersebut
tidak boleh dipakai sembarangan dan baru dikeluarkan dalam menghadapi musuh yang benarbenar tangguh serta dalam keadaan jiwa terancam. Melihat si gadis kini berdiri dengan golok di
tangan, ketiga rampok itu menjadi bergidik. Dengan tangan kosong saja mereka tidak sanggup
melayani si jelita itu, apalagi kini dengan bersenjatakan golok! Rampung memberi
isyarat kedipan mata pada kedua temannya. Dengan serentak ketiga rampok itu berlompatan ke jendela.
Terdengar suara tertawa meninggi Wulansari. "Manusia-manusia bedebah! Kalian mau lari ke mana"!" Sekali gadis ini
berkelebat maka men-derulah golok di tangannya dan terdengar tiga suara jeritan kesakitan seolah menjadi satu. Rampung terjungkal ke belakang. Lehernya hampir
putus terbabat golok di tangan Wulansari. Darah
menyembur keluar. Rampok kedua terhuyung
sambil memegangi dadanya yang terluka berat
kena disambar ujung golok yang terus menembus
jantungnya. Tubuh rampok ini kemudian terguling di lantai tanpa nyawa. Rampok ketiga berdiri
berputar-putar seperti babi celeng dengan memegangi perutnya yang robek besar dengan usus
berbusai mengerikan akibat tendangan kaki kanan Wulansari yang jari-jarinya berkuku panjang!
Wulansari memandang pada empat sosok
tubuh tanpa nyawa yang bergelimpangan di lantai
yang penuh dengan darah berbau amis. Tiba-tiba
dia teringat bahwa jumlah lawannya tadi adalah
lima orang. Kemana yang satu lagi" Dia memandang berkeliling. Pada saat itu Lor Bentulan melangkah ke hadapannya dan berlutut.
"Gadis cantik... kau malaikat atau...."
"Berdirilah Adipati," kata Wulansari dengan
cepat. "Kemana bangsat yang seorang lagi?"
"Dia telah melarikan diri lewat pintu belakang," menerangkan Lor Bentulan dengan masih berlutut. Parasnya masih tetap
pucat ketakutan. "Berdirilah Adipati. Aku...."
Tiba-tiba pintu di sebelah sana terbuka lebar dan puluhan manusia yang membawa berbagai macam senjata di tangan, mulai dari kayu
pentungan sampai ke pedang, mulai dari pisau
sampai ke golok, masuk menyerbu dengan berteriak-teriak. Mereka tak lain adalah penduduk Magetan yang ketika mendengar suara hiruk pikuk
di dalam gedung Kadipaten segera mengetahui
bahwa tengah terjadi perkelahian di sana. Seseorang mengintip melalui celah pintu setelah terlebih dahulu terheran-heran melihat dua pengawal
pintu gerbang yang berdiri kaku bisu! Orang ini
menyaksikan bagaimana seorang gadis cantik jelita dengan tangan kosong tengah berkelahi melayani empat pengawal Kadipaten, bahkan salah
seorang diantaranya sudah rebah di lantai! Nyata
bahwa gadis ini seorang yang gagah. Maka orang
tadi segera menerangkan kejadian itu pada seluruh penduduk dan akhirnya beramai-ramai penduduk Magetan segera menyerbu ke gedung Kadipaten karena memang sudah sejak lama mereka
menahan dendam dan sakit hati yang berkaratan
terhadap Adipati Lor Bentulan dan anak-anak
buahnya. Ketika mereka menyerbu masuk, orangorang itu melihat bagaimana Lor Bentulan dengan
muka pucat pasi berlutut di hadapan Wulansari
yang menggenggam sebilah golok besar di tangan.


Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka menyangka bahwa Adipati penindas rakyat itu tengah berlutut minta ampun!
Salah seorang dari mereka, yang paling depan sekali berteriak: "Gadis gagah! Serahkan Adipati laknat itu pada kami! Dia
harus mampus di tangan kami!" "Kami akan cincang dia sampai lumat!" teriak yang lain.
Lor Bentulan melompat bangun dengan ketakutan. Dia berdiri di belakang Wulansari. "Gadis gagah, tolonglah aku! Orangorang itu pasti akan membunuh aku! Mereka tidak tahu apa
yang sesungguhnya terjadi atas diriku...."
"Adipati tukang peras! Jangan sembunyi di
balik gadis itu, pengecut!" teriak seorang penduduk yang memegang kelewang.
Wulansari cepat maju ke muka. "Saudarasaudara," katanya dengan suara keras serta
mempergunakan tenaga dalam agar dapat mempengaruhi dan menguasai orang banyak yang ada
di ruangan itu. "Kalian memang pantas membalas dendam membalaskan sakit hati
kalian yang di-pendam selama berbulan-bulan. Tapi ketahuilah
bahwa semua kesalahan yang dilakukan oleh
Adipati itu adalah di luar kemampuannya, karena
terpaksa...." Orang yang memegang kelewang memotong
dengan suara lantang, "Gadis gagah, kau orang asing di sini sehingga tidak tahu
siapa adanya bangsat yang berdiri di belakangmu itu! Tukang
peras! Tukang tindas! Biang racun penyebab penderitaan kami penduduk Magetan! Pembunuh...!"
Seorang penduduk maju. Di tangannya tergenggam sebuah tombak. Dia menatap paras si
gadis dengan beringasan. "Orang asing, sebaiknya minggirlah! Kalau kau coba-coba
untuk melindungi Adipati itu, kami yang ada di sini tidak segan-segan turun
tangan!" "Turun tangan soal mudah, saudara," sahut Wulansari. "Tapi sebelumnya, yang penting adalah kalian harus mendengar dan
mengetahui dulu kenyataan yang ada agar kalian tidak kesalahan tangan!" Gadis ini berpaling pada Lor Bentulan lalu berkata: "Terangkan
semuanya kepada mereka. Aku sendiri juga belum mengerti jelas
persoalannya...." Mula-mula melihat kepada paras penduduk yang galak beringas dan mata-mata mereka
yang buas menyorot, serta melihat pula kepada
berbagai senjata yang mereka pegang Adipati Lor
Bentulan merasa bimbang karena dia takut akan
diserang dengan tiba-tiba. Tapi nyawanya tergantung pada apa yang harus diterangkannya itu.
Lagi pula dia percaya bahwa gadis yang ada di
dekatnya akan melindunginya. Ditabahkannya
hatinya. Dan melangkahlah Adipati ini ke muka.
Suaranya gemetar ketika berbicara.
"Saudara-saudara.... Kalau kalian menganggap aku sebagai tukang peras dan tukang
tindas...." "Bukan menganggap, tapi memang kenyataan kau Adipati tukang tindas dan tukang peras!" teriak seorang penduduk dari sudut ruangan. Merahlah air muka Lor Bentulan
menden- gar ucapan itu. Jakun-jakunnya turun naik beberapa kali lalu dibukanya mulutnya kembali. "Aku tidak menyalahkan kalian kalau
kalian menu-duhkan demikian karena begitulah yang kalian
lihat dengan mata serta kepala kalian. Tapi apa
sesungguhnya yang menjadi latar belakang mengapa aku berbuat begitu tidak seorang pun di antara kalian yang tahu...."
"Ah! Kami lebih dari tahu!" tukas seorang penduduk.
Tanpa mengacuhkan ejekan itu Adipati Lor
Bentulan berkata: "Kalian lihat empat pengawal yang menggeletak di lantai ini"
Apakah kalian ta-hu bahwa mereka sesungguhnya bukanlah pengawal-pengawal tambahan sebagaimana yang
pernah kuterangkan dulu, yang didatangkan dari
Kotaraja?" Tidak ada seorang pun membuka sua-ra karena masing-masing penduduk
menjadi ter- heran dan bertanya-tanya siapa adanya kalau begitu keempat manusia tersebut. Lor Bentulan melanjutkan, "Sesungguhnya mereka adalah rampok-rampok bejat yang memerasku untuk melakukan segala penindasan di Magetan ini!"
Mendengar itu maka hebohlah orang-orang
yang ada di ruangan Kadipaten yang besar tersebut. "Tapi kau mungkin dusta, Lor Bentulan!" teriak seorang tua. Sang Adipati gelengkan kepala. "Suatu malam mereka datang berlima ke sini, berenam dengan pemimpin mereka, seorang manusia kate berilmu tinggi bernama Warok Kate dari bukit Jatiluwak...." Membeliak kedua mata Wulansari karena
terkejut mendengar nama tersebut. "Siapa"! Warok Kate katamu, Adipati...?"
Adipati Magetan itu berpaling pada si gadis. "Ya, namanya Warok Kate, seorang kepala rampok yang buas serta lihay.
Agaknya kau kenal bangsat itu?" "Aku cuma kenal nama tak kenal muka.
Warok Kate adalah manusia terkutuk yang membunuh guruku!" Terkejutlah semua orang, terutama Lor Bentulan. Wulansari
mengepalkan tinju kirinya. Sebagaimana yang diceritakan sebelumnya, Warok Kate adalah pembunuh si Cakar Setan guru Wulansari. "Teruskan keteranganmu,
Adipati." Lor Bentulan meneruskan. Diterangkannya
bagaimana Warok Kate memerintahkan kepadanya agar menarik pajak sepuluh kali lipat dari
yang sudah-sudah dan hasil dari pajak tersebut
harus diserahkan kepadanya dua kali dalam sebulan. Bilamana dia tidak menjalan perintah itu
maka nyawanya, nyawa isteri dan anaknya akan
dikirim ke neraka! Disamping dia tidak berdaya
apa-apa karena memang tidak punya ilmu kepandaian silat maka dia juga tidak bisa mengirimkan laporan ke Kotaraja demi keselamatan
anak isterinya. Satu-satunya jalan mau tak mau
ialah menuruti apa yang diperintahkan Warok
Kate kepadanya. Tak lupa Lor Bentulan menerangkan bahwa rampok-rampok itulah yang
membunuh Sukropringgo di dalam hutan karena
pemuda tersebut bermaksud melaporkan ke Kotaraja atas apa-apa yang terjadi di Magetan. Sewaktu sang Adipati menerangkan itu, suasana dalam
gedung sunyi sepi diselimuti oleh keharuan. Kalau tadi masih ada diantara penduduk yang berteriak dan mengejek, kini masing-masing sama menutup mulut. Dalam hati mereka timbullah rasa
menyesal dan kasihan terhadap Adipati itu.
Lor Bentulan menutup keterangannya dengan kata-kata: "Keempat rampok ini sudah menemui ajalnya, seorang lolos dan kalian tahu apa
artinya ini. Dia pasti lari ke tempat gurunya si
Warok Kate sedang anak perempuanku sampai
saat ini berada di tangan kepala rampok itu! Pasti kepala anakku sudah ditebas!"
Lor Bentulan menutup muka dengan kedua tangannya.
Wulansari merasa sangat terharu. "Adipati," katanya. "Tentang nasib anakmu tak usah khawatir. Aku akan tolong dia
sekalian menyele-saikan urusan dengan Warok Kate!"
Lor Bentulan menurunkan kedua tangannya dan memandang pada si gadis. "Terima kasih, aku percaya kau mau menolong,
gadis gagah. Ta-pi, sudah terlambat. Sudah kasip! Rampok yang
seorang itu sudah keburu lari dan memberitahukan pada Warok Kate apa yang terjadi di sini...."
"Jangan pikirkan itu. Mudah-mudahan aku
bisa menyusulnya ke bukit Jatiluwak," ujar Wulansari. Gadis ini tersenyum dan
menganggukkan kepalanya ke arah orang banyak, lalu sekali tubuhnya berkelebat ke arah jendela maka lenyaplah dia! Selama beberapa saat ruangan besar itu
tenggelam dalam kesunyian bahkan tidak satu
orang pun yang bergerak. Kemudian kelihatanlah
penduduk yang memegang kelewang maju ke hadapan Lor Bentulan. "Adipati," katanya. "Harap dimaafkan karena kami semuanya telah menuduh demikian
ja- hatnya terhadapmu dan harap dimaklumi. Segala
apa yang terjadi mungkin sudah kehendak Tuhan. Mudah-mudahan gadis gagah itu berhasil
membawa anakmu kembali ke sini. Dan meskipun sudah terlambat, kau izinkanlah kami untuk
melepaskan sakit hati kami selama ini!"
Laki-laki itu memutar tubuhnya dan melangkah ke mayat perampok yang terdekat. Kelewang di tangannya bergerak beberapa kali, bertubi-tubi membacok tubuh rampok itu. Melihat itu,
semua penduduk kota yang hadir di sana seperti
dirasuk oleh satu kekuatan gaib, kekuatan yang
timbul dari sakit hati dan dendam yang berbulanbulan, dengan senjata masing-masing segera
membacok, menikam, menusuk, mementung,
menginjak-injak keempat mayat rampok tersebut
sampai akhirnya tubuh mereka dari kepala sampai kaki tak tentu rupa lagi, hancur luluh dan
lumat! Darah membasahi lantai ruangan tersebut
bau amis menusuk hidung! SEMBILAN SEPERTI orang dikejar setan, rampok yang
seorang ini berlari pontang panting di malam gelap gulita. Sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan Magetan. Namun demikian rasa khawatirnya tak mau hilang, sekali-sekali dia menoleh ke
belakang, takut kalau-kalau gadis itu mengejarnya. Disamping itu, sambil lari tiada hentihentinya dia merintih kesakitan karena sambungan sikunya yang terlepas kena jotosan lawan.
Dia lari terus dan ketika dinihari baru berhenti.
Inipun karena napasnya sudah megap-megap sedang lututnya goyah kelelahan. Pakaiannya basah
oleh keringat. Dia duduk menjelepok di tanah bersandar
ke sebatang pohon coba mengatur jalan napasnya
kembali. Diperhatikannya siku kanannya. Daging
di bagian siku itu kelihatan bengkak menggembung dan sakitnya bukan main. Ketika fajar mulai menyingsing cepat-cepat dia berdiri dan lari
lagi meneruskan perjalanannya. Bukit Jatiluwak
terletak jauh di utara gunung Lawu. Dua hari dua
malam baru dia sampai ke sana. Tenaganya boleh
dikatakan sudah mendekati titik akhir. Bukit
yang ditumbuhi pohon-pohon jati yang rapat itu
didakinya dengan merangkak. Ini pun dilakukannya dengan susah payah karena tangan kanannya yang sakit tidak bisa dipergunakan sama sekali. Hanya kekerasan hati dan juga ingin cepatcepat mengadu kepada gurunyalah maka dia akhirnya sampai juga ke pondok papan itu.
Pintu didorongnya, ternyata tidak dikunci.
Dia masuk ke dalam. Manusia kate berkepala botak dan berewokan yang tengah duduk di atas sebuah bantalan yang tak lain dari Warok Kate
adanya menjadi terkejut ketika melihat seseorang
masuk ke tempatnya dan merangkak seperti seekor anjing pincang kaki mukanya. Dan rasa terkejut kepala rampok ini menjadi tambah lagi ketika
mengetahui manusia yang merangkak itu adalah
muridnya sendiri! "Sangkrong!" seru Warok Kate seraya melompat dari duduknya. "Apa yang terjadi dengan dirimu. Mengapa kau merangkak
seperti anjing...." Tiba-tiba "bruk!" Tubuh anak buahnya itu jatuh tergelimpang
di hadapannya karena kehabisan napas dan kelelahan. Lidahnya terjulur ke
muka. "Kurang ajar! Pekerjaan siapa itu huh"!"
kata Warok Kate ketika melihat siku kanan anak
buahnya yang bengkak. Dia berlutut dengan cepat dan dengan beberapa kali meraba saja dia sudah memaklumi bahwa sambungan siku muridnya itu telah terlepas. Warok Kate menotok urat
darah Sangkrong di beberapa bagian lalu dengan
cekatan mempertemukan kembali sambungan siku kanan Sangkrong yang sebelumnya terlepas.
Setelah bantu mengalirkan tenaga dalamnya ke
tubuh sang murid maka siumanlah Sangkrong.
"Sangkrong! Cepat duduk dan atur jalan
napas serta darahmu," perintah Warok Kate.
Si murid yang menyadari bahwa dirinya
habis mendapat cedera segera mengerjakan apa
yang diperintahkan gurunya. Dia duduk di lantai
pondok dengan bersila, mengatur jalan napas dan
darah serta mengalirkan hawa tenaga dalamnya
ke lengan kanan. Beberapa saat kemudian rampok ini merasakan kesehatannya pulih kembali,
cuma daging bekas pukulan di sekitar siku tangan kanannya masih agak kemerahan tapi sudah
tidak sakit lagi. Kemudian rampok Ini cepat-cepat berlutut di depan pemimpin
atau gurunya itu seraya berkata: "Guru, harap dimaafkan kalau murid terpaksa
datang ke sini...." "Sudah, sudah!" memotong Warok Kate.
"Katakan cepat mengapa kau datang ke sini dan siapa yang mencelakaimu!"
"Guru, Kadipaten Magetan kedatangan seorang gadis liar berilmu tinggi. Saya dan kawankawan tidak sanggup melawannya. Masih untung
saya bisa melarikan diri, kawan-kawan yang lain


Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati semua di tangan gadis itu...."
Bukan main terkejutnya si kepala rampok
itu. "Apa Sangkrong"! Kawan-kawanmu mati semua" Mati di tangan seorang gadis?" Tak percaya Warok Kate akan keterangan
muridnya itu. "Sangkrong! Kau bicara edan atau sinting"!"
"Ampun guru, murid tidak edan dan tidak
pula sinting. Murid tidak dusta...." Sangkrong kemudian menerangkan apa yang
terjadi di Kadipaten Magetan dua hari yang lalu.
"Kurang ajar! Benar-benar kurang ajar!" ru-tuk Warok Kate. "Masakan empat orang
muridku yang berilmu tinggi sampai dapat dikalahkan
bahkan dibunuh oleh seorang lawan, oleh seorang
gadis pula! Percuma! Benar-benar bikin aku malu! Percuma jadi murid-muridku. Kau juga percuma Sangkrong!" Bersamaan dengan itu melayanglah kaki kanan Warok Kate menendang
Sangkrong sampai si murid terhantar di lantai.
"Ampun guru," kata si murid sambil berlutut kembali. "Bukan kami hendak
merendahkan kepandaian yang guru ajarkan kepada kami, tapi
gadis itu tinggi ilmunya, sangat hebat."
"Tutup mulutmu monyet!" bentak Warok
Kate. Dia masuk ke dalam sebuah kamar dan ketika keluar dikempitannya terdapat seorang anak
perempuan berumur sembilan tahun, anak tunggal Adipati Magetan. "Sangkrong kau ikut aku! Kita ke Magetan
sekarang juga. Kita cari gadis liar itu sekalian
menebas batang leher Lor Bentulan!"
Warok Kate melangkah menuju ke pintu
dan muridnya mengikut di belakang. Mendadak
pintu di muka mereka terbuka lebar dan sesosok
tubuh masuk. Si kepala rampok, lebih-lebih
Sangkrong, kagetnya bukan main.
"Warok Kate, kau tak usah susah-susah
pergi ke Magetan. Aku sudah berdiri di hadapanmu. Bukankah kau barusan bilang hendak mencari aku?" "Guru!" seru Sangkrong dengan suara gemetar. "Inilah dia iblis betina itu!"
Kedua mata Warok Kate memandang melotot. Hampir tak dapat dipercaya kalau gadis yang
masih muda belia serta cantik jelita inilah yang
telah membunuh keempat orang anak buahnya
yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tidak
rendah! Tiba-tiba meledaklah tawa manusia kate
berkepala botak itu. "Jadi inikah manusianya yang telah membunuh murid-muridku"
Benar-benar membuat aku jadi kepingin jatuh cinta!
Ha... ha... ha...!" "Manusia rendah!" bentak Wulansari. "Tidak tahu ajal sudah di depan mata masih
bicara besar!" "Aduh, memang benar galak rupanya," kata Warok Kate dengan menyeringai.
"Gadis jelita, kau berlututlah di hadapanku dan katakan bahwa kau bersedia
menjadi isteriku! Dengan demikian aku bersedia memberi ampun padamu!"
"Bedebah! Kurobek mulutmu!" bentak Wulansari dengan geram. Tubuhnya melesat ke muka dan tangan kanannya yang berkuku panjang
menyambar ke mulut Warok Kate.
Kepala rampok ini terkejut melihat serangan dahsyat yang disertai angin pukulan keras.
Cepat-cepat dia melompat jauh ke belakang. Kini
dia maklum bahwa keterangan Sangkrong tidak
kosong belaka. Matanya melirik ke arah jari-jari
tangan si gadis. Dia lupa-lupa ingat bahwa dulu
pernah seorang lawan menyerangnya dengan cara
seperti Ku. Kuku-kuku yang rapi tapi panjang dari Wulansari mengingatkan Warok Kate pada
orang itu, tapi dia masih belum merasa pasti.
Anak perempuan yang ada dalam kempitannya
dilemparkannya ke pojok pondok. Anak itu bergerak tidak merintih pun tidak. Wulansari menjadi
cemas karena dia yakin anak tersebut adalah
anak Adipati Lor Bentulan. Apakah sudah mati,
pikir Wulansari. "Sangkrong!" terdengar suara Warok Kate menyebut nama muridnya dengan cepat
karena saat itu dilihatnya Wulansari bersiap-siap hendak melancarkan serangan kedua.
"Coba kau layani gadis liar ini beberapa jurus! Aku ingin lihat sampai di mana
kepandaiannya!" Sebenarnya Warok Kate menyuruh muridnya menghadapi Wulansari
diam-diam dia mempunyai maksud tertentu. Dalam beberapa jurus bertempur dia ingin melihat
gerakan-gerakan ilmu silat gadis itu, apakah sama gerakannya dengan ilmu silat orang yang dimaksudkannya. Sangkrong jadi terkejut mendengar katakata gurunya tadi. Dia sudah lihat dengan mata
kepala sendiri bagaimana kawan-kawannya yang
empat orang mati konyol di tangan gadis itu, bahkan dia sudah merasa sendiri bagaimana sambungan sikunya dijotos dibikin terlepas, kini dia
disuruh melawan, dengan seorang diri pula! Berdiri bulu tengkuk rampok Ini. Tapi kalau tidak di-patuhinya kata-kata Warok Kate
yang berupa pe- rintah guru kepada seorang murid, dia lebih celaka lagi! Dengan tangan gemetar Sangkrong mencabut golok besarnya. Senjata itu diputar-putarnya
di atas kepala dan sesaat kemudian dia melompat
ke muka melancarkan serangan hebat.
"Warok Kate pengecut! Mengapa suruh
anak buahmu melayaniku"! Aku tidak ada urusan dengan dia!" hardik Wulansari. Tubuhnya
berkelebat dan "buk!" Sangkrong menjerit setinggi langit. Tubuhnya mental,
melingkar di lantai dan mati di situ juga karena tulang dadanya hancur
dan melesak ke dalam kena tendangan tumit kaki
kanan si gadis yang bergerak saking cepatnya
hampir tidak kelihatan! Berubahlah air muka Warok Kate melihat
kematian muridnya yang cuma dalam satu gebrakan saja. Tangan kanannya menekan hulu golok
panjang yang tersisip di pinggangnya. "Gadis keparat! Kau cepatlah berlutut
minta ampun, sebe- lum aku merubah niat memisahkan kepalamu
dari badanmu yang indah mulus itu!"
"Bangsat rendah! Kau yang harus berlutut
di hadapanku agar lebih mudah kuhancurkan batok kepalamu!" "Jangan bicara sombong gadis sinting!"
"Kau yang bermulut besar harus serahkan
nyawamu padaku hari ini. Kau membunuh guruku si Cakar Setan!" Warok Kate mundur selangkah. Apa yang
diduganya benar! Ternyata gadis itu memang murid si Cakar Setan. "Hm... jadi kau muridnya si Cakar Setan"! Bagus! Kalau kau
memang ingin menyusul gurumu itu di neraka, aku tidak segansegan menunjukkan jalan ke neraka!"
"Srett!" Warok Kate mencabut golok panjangnya. "Kau lihat senjata ini?" katanya menyeringai. "Dengan inilah gurumu
kubikin konyol! Dan kau muridnya sekarang juga minta cepatcepat mampus!" Kepala rampok ini dengan ganas mengirimkan serangan berupa
tusukan ujung golok yang deras ke dada Wulansari. Gadis ini
menggerakkan tubuhnya ke samping dengan cepat. Ujung golok berputar arah kini menusuk ke
pinggang. Wulansari miringkan tubuh namun golok yang di tangan lawannya kini menebas ke
arah kedua kaki dengan sangat cepatnya!
Sebagai seorang kepala rampok yang ditakuti ternyata ketinggian ilmu Warok Kate bukan
suatu hal yang kosong belaka. Kalau dia sanggup
membunuh si Cakar Setan, guru Wulansari, maka dapat diukur tingkat ketinggian ilmu silatnya!
Dengan serangan berantai susul menyusul itu
Warok Kate bermaksud akan merobohkan lawannya dalam sekali gebrakan saja tapi dia jadi terkejut ketika dengan gerakangerakan gesit lawannya berhasil mengelakkan semua serangan itu. Warok
Kate memutar goloknya lebih cepat. Angin deras
bersiuran. Tubuhnya bergerak kian kemari dan
golok panjangnya membabat simpang siur.
Sungguh hebat permainan golok manusia
kate ini, Wulansari terpaksa harus berkelebat cepat jika tidak mau tubuhnya tersambar senjata
lawan yang ganas. Kedua orang ini tak ubahnya
seperti dua bayang-bayang saja. Dua puluh jurus
lewat tak terasa. Dengan penasaran Warok Kate
merubah permainan goloknya. Gerakan-gerakan
dan serangan-serangan senjatanya kini berubah
aneh dan sangat membahayakan Wulansari karena setiap saat dia mengelak, senjata lawan senantiasa mengikuti arah geraknya pula! Gulungan sinar golok Warok Kate mengurung gadis belia ini
dari segenap penjuru dan mau tak mau membuat
dia mulai terdesak! Ketika si gadis melompat untuk mengelakkan serangan dahsyat yang mengarah ke dadanya, celakanya kaki kirinya menginjak mayat
Sangkrong sehingga tak ampun lagi tubuhnya terjungkal ke muka. Dan pada saat yang sama pula
golok Warok Kate menyambar dari muka!
"Mampuslah kau!" teriak Warok Kate gembira karena dia maklum bahwa serangannya itu
pasti akan menebas batang leher lawannya, atau
paling kurang goloknya akan membabat dada!
Namun semua yang di luar dugaan kepala rampok ini terjadi! Melihat bahaya besar mengancam nyawanya dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke
kaki kiri yang masih memijak lantai, Wulansari
menjatuhkan dirinya ke lantai sambil mempergunakan tekanan kaki kiri untuk melesat ke muka.
Golok lawan lewat kurang dari setengah jengkal di atas kepalanya. Sebelum Warok
Kate habis terkejutnya dan sebelum kepala rampok ini sempat
melancarkan serangan susulan maka Wulansari
menggulingkan tubuhnya ke arah kaki lawan.
"Bret!" Bersamaan dengan terdengarnya
suara robekan pakaian itu maka tubuh si manusia kate mental ke atas! Waktu bergulingan tadi,
dengan kecepatan luar biasa Wulansari telah
mempergunakan kuku-kuku jari tangan kirinya
untuk mencakar betis lawannya sedang tangan
kanan menghantam ke kaki Warok Kate yang lain
dan kedua serangan ini berhasil baik! Kaki celana hitam kepala rampok itu robek
besar menjela-jela ke lantai sedang kulit betisnya terluka oleh tiga cakaran jari-jari tangan. Luka
itu terasa perih dan gatal-gatal. Namun dengan mengerahkan tenaga
dalamnya yang tinggi maka rasa sakit dan gatalgatal itu dalam sekejapan mata bisa dikuasainya
lalu hilang. "Bangsat hina dina!" maki kepala rampok itu dengan tampang beringas. Kedua
matanya kelihatan merah menyorot. Dia sangat terkejut melihat kehebatan gadis ini dan menjadi ragu-ragu
apakah benar Wulansari murid si Cakar Setan.
Kalau benar, bagaimana mungkin muridnya sampai sehebat ini sedang gurunya si Cakar Setan
berhasil dibunuhnya"! Dan lebih gila lagi karena
sampai saat itu Wulansari masih melayaninya
dengan tangan kosong! "Gadis iblis! Kau murid
siapa sebenarnya"!"
"Di saat ajalmu hendak minggat ke neraka
tak usah banyak tanya, manusia rendah!" bentak Wulansari.
Mendidih amarah Warok Kate. Dia melompat ke muka dan mulailah dia mengeluarkan segala ilmu simpanannya yang paling diandalkan
dengan jurus-jurus serangan yang mematikan!
Wulansari dibikin sibuk kini! Tubuh gadis ini
berkelebat kian kemari namun bahaya terkena
sambaran senjata lawan sangat besar. Ketika dia
kepepet ke pojok pondok, gadis ini segera mengeluarkan selendang kuningnya.
"Ha... ha! Kau punya senjata simpanan juga rupanya!" ejek Warok Kate dengan tertawa lebar waktu melihat lawannya
mengeluarkan senja- ta yang hanya berupa sebuah selendang terbuat
dari kain halus berwarna kuning. "Maju, majulah iblis betina biar kutebas ujung
selendang itu sedikit demi sedikit!"
Jawaban dari Wulansari adalah kebutan
selendang di tangan kirinya yang menyerang kepala Warok Kate. Kepala rampok yang tadi menganggap remeh senjata lawan jadi terkejut karena
dia dapat merasakan angin pukulan yang dingin
tajam dari selendang itu. Dengan memutarkan golok di muka kepala dia melompat ke samping. Kini dia tidak mau main-main lagi, dan segera mengirimkan serangan beruntun! Kedua orang mengeluarkan segala kepandaiannya untuk merobohkan lawan. Golok panjang di tangan kanan Warok
Kate bergulung-gulung dan mengirimkan serangan-serangan ganas mematikan sedang selendang
di tangan kiri Wulansari mengebut kian kemari
seperti seekor ular kuning yang senantiasa memapaki serangan lawan. Satu kali selendang itu dengan lihaynya
berhasil membelit ujung pedang laksana satu jepitan besi sehingga pedang itu tidak akan mungkin lagi terlepas! Dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang tinggi, Warok Kate bermaksud hendak merobohkan lawan sampai terluka berat ba

Mahesa Kelud - Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gian tubuh sebelah dalamnya dan bersamaan
dengan itu menarik goloknya dari lilitan selendang! Tapi terkejutnya kepala rampok itu bukan
main ketika dirasakannya bagaimana tenaga dalamnya terpukul mundur oleh tenaga dalam lawan. Celaka, pikir Warok Kate. Tidak dinyana tenaga dalam gadis muda belia itu lebih tinggi dari yang dimilikinya! Tapi Warok
Kate tidak mau me-nyerah demikian saja, apalagi kalau harus kehilangan goloknya, kena dirampas lawan.
Dengan mempergunakan tenaga dalam lawannya yang ada dalam lilitan selendang untuk
menahan berat tubuhnya maka dengan satu bentakan menggeledek kepala rampok itu mengayunkan kedua kakinya ke muka. Kaki kiri ke arah
tenggorokan sedang kaki kanan ke pusar Wulansari! Melihat ini si gadis cepat mengelak ke samping dan terpaksa melepaskan
selendangnya yang melilit golok. Meskipun tadinya dia akan berhasil merampas senjata lawan tapi
menghindarkan dua tendangan yang berbahaya itu adalah lebih penting lagi. Merasakan goloknya terlepas dari lilitan selendang, dengan jungkir balik di udara kepala
rampok itu membebatkan senjatanya ke perut
Wulansari membuat gadis ini terpaksa membatalkan serangan selendang yang tadi hendak dilancarkannya. Warok Kate mengamuk hebat. Wulansari tidak mau kalah, tubuhnya berkelebat cepat
dan selendang kuningnya senantiasa menyerang
bagian-bagian tubuh yang lemah dari lawan sedang tangan kanannya tiada henti-hentinya mengirimkan pukulan-pukulan jarak jauh yang ampuh atau kadang-kadang serangan berupa cakaran burung elang! Meski pun setiap serangan selendang yang mengarah kepalanya dapat dielakkan oleh Warok Kate tapi tak urung kedua matanya lama-lama menjadi sakit juga oleh sambaran angin selendang itu. Untung saja kepala rampok ini sudah tinggi ilmu dalamnya sehingga dia
masih sanggup menahan rasa perih itu.
Entah berapa puluh jurus pula sudah berlalu. Dan mulailah kelihatan bahwa Warok Kate
berada di atas angin kini. Untuk beberapa lamanya Wulansari hanya sanggup bertahan, tidak
berdaya untuk balas menyerang. Dari bertahan
akhirnya gadis ini mulai didesak. Ujung selendangnya sudah beberapa kali kena dipapas senjata lawan! Melihat ini, tanpa menunggu lebih lama
Wulansari segera mengeluarkan pedang mustika
pemberian gurunya si orang tua sakti Suara Tanpa Rupa! Si kepala rampok bertubuh kate itu jadi
terkejut ketika melihat gulungan sinar merah menyambar dahsyat ke arahnya. Dia melompat
mundur beberapa langkah dan jadi bergidik ketika melihat bagaimana lawannya kini menggenggam sebuah pedang mustika berwarna merah
yang sinarnya menyilaukan mata! Tapi dia tak bisa meneliti senjata itu lebih lama karena dengan
sangat tiba-tiba si gadis sudah menyerangnya.
Dengan pedang Dewi di tangan Wulansari
maka kini keadaan pertempuran jadi berbalik seratus delapan puluh derajat! Meremang bulu
tengkuk Warok Kate melihat sambaran-sambaran
pedang yang mengeluarkan angin panas bersiuran. Keringat dingin kelihatan jelas membasahi
kepalanya yang botak itu! Dia terdesak hebat. Setiap dia mengelak, setiap kali pula lawannya mengirimkan serangan yang tiada terduga dengan
sangat cepatnya. Permainan golok Warok Kate jadi kacau balau. Di samping itu dia tidak berani
menangkis senjata lawan dengan goloknya karena
maklum bahwa pedang di tangan si gadis adalah
sebuah pedang mustika sakti yang tajamnya bukan main! Namun ketika pedang merah itu menyambar sangat dekat dan deras ke arah lehernya, tiada jalan lain bagi Warok Kate dia terpaksa mempergunakan goloknya untuk dipakai menangkis.
"Trang!" Warok Kate mengeluarkan seruan tertahan. Goloknya terbabat puntung, ujungnya menancap di dinding papan. Dengan masih menggenggam goloknya yang sumpung kepala rampok
ini melompat menjauhi lawan. Mukanya pucat
pasi seperti mayat. "Ayo monyet botak! Mengapa menjauh"
Apa kau takut mampus"!" ejek Wulansari.
Dengan darah mendidih Warok Kate melemparkan senjatanya yang sumpung ke arah si
gadis. Lemparan ini bukan lemparan biasa saja
karena disertai hantaman tenaga dalam. Ujung
yang puntung dari golok melesat deras ke arah
batang leher Wulansari. Sekali saja gadis ini
menggerakkan pedang merahnya maka golok
yang dilemparkan kepadanya patah dua dan luar
biasanya, patahan golok ini kini berbalik menyerang Warok Kate! Kepala rampok itu jadi terkesiap. Tapi menyadari bahaya yang mengancamnya, cepat-cepat
dia melompat ke samping dan dia selamat dari serangan patahan goloknya sendiri!
SEPULUH MELIHAT lawannya kini tidak bersenjata
lagi, Wulansari segera hendak menyarungkan pedangnya kembali, tapi niatnya ini dibatalkan keti-ka dengan tiba-tiba Warok Kate
dilihatnya meng- gerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu di tangan itu kini tergenggam sebilah keris berwarna hijau gelap. Dari warna keris di
tangan lawan ini Wulansari maklum bahwa senjata itu mengandung racun jahat mematikan!
Oleh Warok Kate sendiri keris hijau itu
sangat diandalkan sekali karena merupakan warisan gurunya yang masa itu masih hidup dan diam di gunung Karang. Sebelumnya tidak pernah
satu lawan pun sanggup menghadapi keampuhan
keris tersebut. Kalau tidak mati pasti menderita
luka di dalam yang hebat dan sukar dicari obatnya. Kini dengan memegang keris hijau tersebut
di tangan kanan, nyali kepala rampok ini menjadi
besar dan dia yakin akan dapat merobohkan Wulansari dalam beberapa jurus saja meskipun gadis
ini memiliki pedang mustika sakti!
Dengan penuh keyakinan akan menang,
Warok Kate menyerbu ke muka. Kerisnya menyambar mengeluarkan cahaya hijau dan angin
dingin. Wulansari tidak tinggal diam. Segera pedang merah di tangannya diputar bergulunggulung untuk memapaki senjata dan serangan
lawan. Untuk beberapa jurus lamanya keris di
tangan Warok Kate masih dapat melayani pedang
pusaka di tangan si gadis. Namun kemudian kelihatanlah bagaimana gulungan sinar merah mengurung sinar hijau. Dan dalam beberapa kali bentrokan senjata yang menimbulkan bunga api keris
hijau itu menjadi gompal-gompal sedang Warok
Kate merasakan tangannya tergetar keras dan
panas! Maklumlah dia kini bahwa keris hijaunya
sama sekali tidak sanggup menandingi pedang
lawan. Karenanya dia tidak berani lagi untuk bentrokan senjata. Namun dalam keadaan terdesak hebat, dari pada kehilangan nyawa, terpaksa dia mempergunakan keris pusaka gurunya itu untuk dipakai
menangkis pedang lawan. Sedikit demi sedikit keris hijau itu menjadi pendek dan dalam satu bentrokan hebat, menjadi patah dua! Untuk kedua
kalinya tampang kepala rampok ini menjadi pucat
pasi. Dia cepat melompat ke belakang namun terlambat. Lebih cepat dari gerakannya itu, pedang
merah di tangan Wulansari yang tadi membuat
keris hijaunya patah dua kini membalik deras.
Warok Kate berusaha menangkis dengan patahan
keris tapi tangannya diangkat terlalu tinggi. Maka terdengarlah jeritan setinggi
langit dari kepala rampok itu dan tiga benda mental ke udara. Benda pertama adalah tangan kanan Warok Kate
yang terbabat puntung sebatas lengan, benda kedua keris hijaunya yang sudah puntung dan benda ketiga adalah kepalanya yang botak seperti bola itu, yang terpisah dari badannya karena pedang Wulansari begitu memapas
lengan terus membabat ke leher Warok Kate!
Seperti sebuah bola saja layaknya, kepala
Warok Kate menggelinding di lantai menghamburkan darah kental. Wulansari memasukkan
pedang pusaka itu kembali ke sarungnya. Dia boleh merasa bangga dalam hatinya. Dengan mempergunakan pedang sakti itu dan memainkan jurus-jurus rendah saja dari ilmu "Dewi Pedang Delapan Penjuru Angin", dia
berhasil merobohkan lawannya. Gadis ini kemudian berlutut dan memandang ke utara lalu berkata perlahan: "Guru, manusia yang telah membunuhmu
telah mere-gang nyawa hari ini! Sakit hati guru terbalas sudah, semoga arwahmu berada dalam ketenangan
di alam baka." Habis berkata demikian Wulansari berdiri
dan cepat-cepat melangkah ke pojok pondok di
mana anak perempuan Adipati Lor Bentulan terbujur. Wulan berlutut dan meneliti. Ternyata
anak perempuan itu cuma ditotok jalan darahnya
sehingga tubuhnya kaku tak sadarkan diri. Segera si gadis mempergunakan jari-jari tangannya
untuk melepaskan totokan itu. Si anak perempuan siuman. Mula-mula ia merintih lalu membuka matanya. "Ibu..." katanya hampir tidak kedengaran.
Kasihan anak ini. Wulansari yang berlutut di
sampingnya disangka ibunya. Tubuh anak ini kurus dan parasnya pucat. Rupanya tidak dirawat
oleh Warok Kate sebagaimana mestinya, maklumlah merawat seorang anak yang tak lebih dari pada tawanan belaka! Wulansari mendudukkan
anak itu di lantai. Dia tersenyum dan mengusap
rambutnya. "Adik kecil, tak usah takut. Namamu siapa?" tanya Wulansari sambil senyum dan mengusap kepala anak perempuan itu.
Si anak tak segera menjawab. Ditatapnya
paras Wulansari lama sekali. Kemudian dia memandang berkeliling. Wulansari sengaja berlutut
merapat ke tubuh anak itu hingga dia tidak dapat
melihat mayat-mayat yang bergelimpangan dalam
ruangan. Kemudian terdengar si anak mulai menangis terisak-isak. "Ah, kau anak manis mengapa menangis"
Kan sudah besar. Mari kita pergi dari sini. Aku
akan antarkan kau kembali ke rumahmu di Magetan...." Wulan menarik tangan anak itu lalu mendukungnya. Sekali dia
menggerakkan ke dua kakinya maka dia sudah melesat keluar dari pondok. Mula-mula anak Adipati Lor Bentulan Ku
merasa takut dan gamang dibawa berlari sedemikian cepatnya. Pohon-pohon yang dilewati seolaholah terbang. Namun lama-lama sesudah biasa,
dia mulai merasa enak malah tertawa-tawa. Setiap dia melewati tempat berpemandangan indah
anak ini merasa gembira sekali. Dia seperti bertamasya dengan menunggang seekor kuda.
TAMAT Segera menyusul!!! MAHESA KELUD PEDANG SAKTI KERIS ULAR
EMAS Dengan judul: MENCARI MATI DI BANTEN Scan/E-Book: Abu Keisel Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pertunangan Berdarah 2 Cewek Karya Esti Kinasih Pahlawan Dan Kaisar 7

Cari Blog Ini