Ceritasilat Novel Online

Malapetaka Puncak Halimun 1

Mahesa Kelud - Malapetaka Di Puncak Halimun Bagian 1


SATU SELAMA menjadi pembantu Raden Mas
Ekawira sudah beberapa kali Mahesa Kelud ikut
bersama Kepala Pengawal Istana ini menumpas
pasukan-pasukan Pajajaran yang membuat keonaran di sekitar perbatasan. Mahesa menunjukkan kehebatan yang mengagumkan. Namanya segera dikenal luas di kalangan prajurit Banten. Boleh dikatakan dalam setiap
peperangan di perba- tasan dialah yang menjadi titik terang kemenangan. Pihak Pajajaran bila mendengar bahwa Mahesa Kelud turut ambil bagian dalam satu medan
pertempuran, pagi-pagi segera mengundurkan diri. Raden Mas Ekawira semakin senang terhadap
pemuda digjaya ini. Namun demikian sejak beberapa waktu belakangan ini terjadi hal-hal yang tidak dapat dimengerti oleh Raden
Mas Ekawira dan Mahesa Kelud. Berkali-kali mereka mendapat
kabar bahwa di satu desa di perbatasan musuh
tengah menyerang ketika mereka datang ke sana
ternyata tidak terjadi apa-apa. Tapi pada waktu yang bersamaan desa yang lain
dihancurkan. Ketika mereka datang ke desa itu tentu saja sudah terlambat. Bila
malam tiba, pos-pos pertahanan
rahasia pihak Banten yang biasanya sulit diketahui musuh tahu-tahu diserang dan
dibikin sama rata dengan tanah! Kerugian- kerugian dan kekalahan-kekalahan yang tak dimengerti ini berjalan terus sedang Kepala Bala
tentara Banten, Raden Mas Tirta, agaknya tidak memperdulikan peristi-wa itu dan segala pertanggungan
jawab diserah- kan kepada Raden Mas Ekawira, padahal sebenarnya wewenang dan tugas Ekawira hanya sekitar istana dan paling luas daerah dalam kota. Untuk maju ke medan pertempuran
pasukan harus dipimpin langsung oleh Raden Mas Tirta. Namun
sebagai orang bawahan bila diberi tugas oleh atasan Raden Mas Ekawira tak pernah
menolak. Apa lagi mengingat dia mempunyai seorang pembantu
yang hebat dan dapat diandalkan yaitu Mahesa
Kelud. Namun demikian kekalahan-kekalahan belakangan ini benar-benar tidak dimengertinya.
Pada suatu hari mereka baru saja menumpas satu pasukan besar musuh yang terdiri dari
lima ratus orang di tapal batas sebelah selatan.
Dalam perjalanan kembali ke kotaraja mereka
berpapasan dengan dua orang utusan. Yang satu
utusan Sultan Banten yang membawa perintah
agar Raden Mas Ekawira datang menghadap saat
itu juga. Sedang utusan kedua menerangkan
bahwa musuh telah menyerang lagi tapal batas
sebelah tenggara. Raden Mas Ekawira berpaling pada Mahesa
Kelud. "Mahesa, kau pimpinlah pasukan ke daerah yang diserang itu. Aku sendiri
dengan bebe- rapa prajurit akan kembali ke kotaraja."
Maka berpisahlah kedua orang itu di sana.
Mahesa Kelud membawa dua ratus prajurit menuju ke tenggara sedang Raden Mas Ekawira menuju ke kotaraja langsung menghadap Sultan di
istana. Entah mengapa dalam perjalanan kembali
ini Raden Mas Ekawira merasa hatinya berdebar
dan tidak enak. Ketika dia memasuki istana, hatinya semakin tidak enak. Beberapa orang perwira dan pejabat tinggi kerajaan memandang
kepadanya den- gan pandangan tidak enak, bahkan ada pula yang
bermuka masam atau bermimik mengejek. Sultan
sendiri air mukanya membayangkan kemarahan.
Raden Mas Ekawira segera menjura memberi
hormat. Kepala Pengawal Istana ini membuka
mulut hendak bertanya tapi tidak jadi karena saat itu lebih dahulu Sultan
Hasanuddin sudah berkata dengan suara lantang.
"Manusia cecunguk! Manusia ular kepala
dua! Dasar manusia turunan rendah, sudah diberi pangkat dan kedudukan tinggi masih saja hendak berkhianat!" Bukan main terkejutnya Raden Mas Ekawira mendengar makian ini sehingga kalau saat itu menyambar petir di depan
hidungnya tidaklah sampai sedemikian rupa terkejutnya Kepala Pengawal Istana ini! "Sultan Yang Mulia," kata Raden Mas Ekawira dengan berusaha menguasai
perasaannya "Saya benar-benar tidak mengerti apa maksud ucapan Sultan itu."
"Kau hendak berkura-kura dalam perahu,
hendak pura-pura tidak tahu huh"! Rahasiamu
tuduh terbongkar, kedokmu sudah terbuka! Kau
adalah pengkhianat besar! Musuh dalam selimut.
Perananmu yang menjadi kaki tangan Prabu Sedah selama ini sudah kami ketahui!"
"Sultan Yang Mulia, ini benar-benar suatu
hal yang tidak terduga. Sejak Sultan memberi
pangkat yang tinggi kepada saya, saya rasa tidak secuil pengkhianatan pun pernah
saya lakukan apalagi sampai menjadi kaki tangan Raja Pajajaran berkhianat terhadap Sultan dan kerajaan.
Sultan tahu sendiri bahwa sayalah yang berkalikali memimpin pasukan Banten. Ini semua atas
kepercayaan Sultan sendiri. Berkali-kali saya menumpas musuh. Tahu-tahu sekarang
saya ditu- duh pengkhianat besar, dicap musuh dalam selimut, dikatakan ular kepala dua! Apakah...."
"Sudah tutup mulutmu, manusia bunglon!"
bentak Sultan Banten. "Kau berusaha menyangkal tapi apakah kau bisa menolak
bukti ini"!" Bersamaan dengan itu Sultan Hasanuddin melemparkan segulung kertas yang ujungnya berumbai-rumbai ke hadapan Raden Mas Ekawira.
Ketika Raden Mas Ekawira mengambil gulungan
kertas itu maka Sultan membentak lagi: "Bacalah olehmu! Aku ingin tahu apa yang
kau akan katakan nanti!"
Dengan tangan gemetar Raden Mas Ekawira membuka gulungan kertas yang ternyata adalah sepucuk surat. Betapa terkejut dan membelalaknya kedua mata laki-laki ini ketika membaca
surat yang ternyata ditandatangani oleh Prabu
Sedah, Raja Pajajaran dan ditujukan kepadanya!
Adimas R.M. Ekawira, Peranan dan bantuanmu selama ini kepada
Pajajaran tidak mengecewakan dan merupakan
jasa yang sangat besar. Seperti yang kau terangkan dalam suratmu yang terakhir
bahwa pasukan Banten semakin lama semakin lemah, maka kuki-ra sudah saatnya bagi
kita untuk melakukan hal sebagaimana yang sudah kita rencanakan.
Usahakan untuk membawa pasukan Banten sebanyak-banyaknya dan menyeberang ke pihak kami. Kita akan melakukan
penyerangan me-nentukan bersama-sama. Percayalah kita pasti berhasil. Banten
akan sama rata dengan tanah.
Mengenai keinginanmu untuk menjadi Patih Pajajaran dan memegang kuasa di Banten,
tak usah khawatir. Kami dapat menyetujuinya. Menunggu kabar.
tertanda, PRABU SEDAH Raja Pajajaran Berpercikan keringat dingin di seluruh tubuh Raden Mas Ekawira. Jari-jari tangannya gemetar sehingga surat itu terlepas dan jatuh ke
lantai. Lututnya goyah dan hatinya seperti dibakar. Darahnya mendidih. Tulang
rahangnya ber- tonjolan sedang gerahamnya bergemeletukan.
Kemudian meledaklah suaranya: "Fitnah! Sultan, ini adalah fitnah busuk belaka!
Demi Tuhan seru sekalian alam, saya berani bersumpah Sultan,
bahwa saya sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan Prabu Sedah dari Pajajaran! Ini pasti fitnah kotor, fitnah busuk belaka!"
Sultan tertawa bergelak, air mukanya
membayangkan keseraman. "Kau kira kami bodoh huh"! Tanda tangan itu adalah tanda
tangan asli Prabu Sedah sedang surat itu ditujukan kepadamu! Tak usah menyangkal
karena sama saja kau seperti orang gila yang meminta tanduk kepada
kucing!" Sultan Banten melambaikan tangannya kepada para pengawal: "Penjarakan
dia!" perin-tahnya. Lemaslah sekujur tubuh Raden Mas Ekawira. "Sultan saya...."
"Tutup mulut!" hardik Sultan. "Mulai hari ini kau dipecat dari jabatanmu! Gelar
Raden Masmu tidak berhak kau pakai lagi! Dan kalian
para pengawal, jangan lupa untuk menukar pakaiannya dengan pakaian biasa! Dia tidak pantas lagi mengenakan pakaian
kebesaran itu! Dia pengkhianat busuk!" Sesudah Ekawira dibawa ke penjara maka
atas kehendak Sultan saat itu juga diadakan sidang darurat. Ketika sidang hampir selesai maka berkatalah Raden Mas Tirta,
Kepala Balatentara Banten. "Sultan sepanjang pengetahuan saya, Ekawira pengkhianat itu mempunyai
seorang pembantu bernama Mahesa Kelud. Kalau Ekawira
menjadi pengkhianat tentu pembantunya demikian pula. Dan ketahuilah Sultan, pembantunya
ini entah datang dari mana dan diambilnya begitu saja, mungkin dia adalah matamata Pajajaran yang telah menghasut Ekawira sehingga sudah
barang tentu dia lebih berbahaya daripada Ekawi-ra sendiri!"
Berapi-api kedua mata Sultan Banten
mendengar keterangan ini. "Raden Mas Tirta. Sebagai Kepala Balatentara Banten
kuperintahkan kepadamu untuk menangkap manusia keparat
itu! Dimana dia sekarang"!"
"Menurut laporan di tapal batas sebelah
tenggara Sultan. Tengah memimpin sekelompok
pasukan." "Cepat kau pergi ke sana dan tangkap dia!
Tarik mundur pasukan kita!"
"Siap, Sultan," jawab Raden Mas Tirta. Dia menjura dan berlalu.
DUA MAHESA KELUD tengah membawa pasukan kembali ke kotaraja setelah menumpas musuh di bagian tenggara perbatasan ketika serombongan pasukan dibawah pimpinan Raden Mas
Tirta muncul di hadapannya. Mahesa segera menarik tali kekang kuda dan menjura kepada Kepala Balatentara Banten itu dan bertanya "Raden Mas Tirta, mau kemanakah"!"
Jawaban Raden Mas Tirta adalah satu bentakan kasar. "Pengkhianat! Atas perintah Sultan
kau kami tangkap sekarang juga! Pengawal, lucuti senjatanya!"
Kedua mata Mahesa Kelud membelalak besar. Prajurit-prajurit yang di belakangnya saling berpandangan dan terheran.
Beberapa pengawal segera melucuti senjata Mahesa Kelud yaitu berupa sebuah pedang yang tergantung di sisi kirinya. Pedang ini adalah pedang biasa yang diberikan oleh Ekawira kepadanya.
Pedang pemberian gurunya si Suara Tanpa Rupa disembunyikannya
baik-baik di balik punggung. Tanpa mengacuhkan
pengawal yang melucuti senjatanya itu Mahesa
bertanya, "Raden Mas Tirta apa agaknya yang telah terjadi" Mana kakang
Ekawira"!" "Sudah tutup mulutmu Mahesa! Bangsat
yang kau tanyakan itu sudah diseret ke dalam
penjara dan kau kaki tangannya akan segera menyusul!" Jawab Raden Mas Tirta.
Tak mengerti Mahesa mengapa dia dikatakan pengkhianat padahal barusan saja dia habis
menghancurkan dan mengusir pasukan musuh
yang menyusup dan mengacau di perbatasan!
Dan yang lebih membuat dia tidak enak lagi ialah keterangan Raden Mas Tirta
bahwa Raden Ekawira sudah ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara dan dia akan
segera pula menyusul. Saat itu mau saja dia mengamuk karena geramnya, tapi sadar
bahwa dia tidak pernah membuat kesalahan terhadap kerajaan apalagi berkhianat, maka tidak
seharusnya dia melakukan itu. Buat apa melawan
kalau dia adalah seorang yang benar dan jujur"
Jika dia melawan hanya akan memberatkan tuduhan yang bukan-bukan saja kepadanya. Disamping itu Mahesa Kelud diam-diam memaklumi
bahwa telah terjadi ketidak beresan di istana, dirinya dan diri Raden Mas
Ekawira telah difitnah oleh seseorang. Entah musuh dari luar entah dari kalangan
dalam sendiri! Demikianlah, tanpa banyak bicara lagi Mahesa Kelud menurut dan dia digiring ke istana
dengan pengawalan yang sangat ketat sekali karena Raden Mas Tirta khawatir pemuda itu akan
melarikan diri di tengah jalan.
Di hadapan Sultan, Mahesa Kelud menjura. "Sultan, kesalahan apakah yang telah aku perbuat sampai aku dituduh
pengkhianat dan hendak dipenjarakan"!"
"Kau manusia rendah tak usah banyak
tanya. Jika tuanmu seorang pengkhianat, kau sebagai hamba sahayanya tentu sama saja! Pengawal, bawa dia ke penjara!" seru Sultan Banten memerintah.
"Sultan, sebaiknya...."
"Pengawal!" teriak Sultan memotong kata-kata Mahesa Kelud. Empat orang pengawal
ber- senjatakan tombak kemudian datang untuk
membawa Mahesa Kelud. Tangan-tangan yang
kuat memegang lengannya. Namun ketika hendak
dibawa betapa terkejutnya keempat pengawal itu
karena tubuh si pemuda tak ubah laksana tiang


Mahesa Kelud - Malapetaka Di Puncak Halimun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar bangunan istana yang tidak bisa digeser barang sedikitpun! Tanpa
mengacuhkan keterkeju- tan keempat pengawal itu Mahesa berkata kepada
Sultan Banten. "Sultan, jika kau tuduh aku dan Raden
Mas Ekawira sebagai pengkhianat, demi Tuhan
aku bersumpah bahwa kami tidak pernah melakukan pengkhianatan macam apapun! Kuharap
Sultan suka melepaskan Raden Mas Ekawira dan
mengusut perkara ini kembali. Aku tak ingin melakukan kekerasan, tapi bilamana Sultan tidak
mau mempercayai kata-kata saya yang jujur ini,
saya terpaksa melakukannya...!"
"Lihat! Dasar manusia berbudi rendah! Bicaranya pun kurang ajar dan menantang!" seru satu suara dari samping. Tanpa
menoleh Mahesa Kelud tahu bahwa yang berkata itu adalah Raden
Mas Tirta. Sultan sendiri tidak mengacuhkan ucapan
Mahesa Kelud tadi malahan membentak kepada
para pengawal: "Seret dia, lekas!"
Untuk kedua kalinya keempat pengawal itu
menarik lengan si pemuda tapi tetap saja tubuh Mahesa Kelud tidak bergerak
barang sedikitpun. Sultan mulai merasa ada yang tidak beres demikian juga Patih Sumapraja. Dilain pihak Raden
Mas Tirta memaklumi bahwa Mahesa Kelud tengah memperlihatkan satu kesaktiannya.
"Sultan," kata Mahesa Kelud. "Jangan sa-lahkan aku kalau saat ini terpaksa harus
mela- kukan kekerasan!" Pemuda ini membentak.
Keempat pengawal yang berdiri di kiri kanannya
menjerit dan mental jauh! Terguling di lantai!
Raden Mas Tirta, Sultan dan Patih terkejut
bukan main. "Keparat! Kau berani melawan Sultan" Rupanya kau sudah bosan hidup
manusia rendah! Rasakanlah!" damprat Raden Mas Tirta.
Dihunusnya keris pusakanya yang berkeluk tujuh
dan dengan senjata itu dia menyerang Mahesa
Kelud. Serentak dengan gerakan Kepala Balatentara Banten ini maka beberapa hulubalang Sultan yang berkepandaian silat kelas
utama segera menyerang pula! Mahesa Kelud membentak lagi. Tubuhnya berkelebat. Raden Mas Tirta mengeluarkan seruan tertahan. Lengan kanannya yang
memegang keris tergetar hebat, bahkan senjatanya hampir saja terlepas ketika satu pukulan
dahsyat menghantam lengannya! Tiga orang hulubalang Sultan melompat mundur sedang dua
orang lainnya sudah roboh melingkar pingsan di
lantai! Sungguh hebat gerakan "air bah membobol tanggul baja" yang telah
dilakukan oleh Mahesa Kelud tadi sehingga dalam satu gebrakan saja dia berhasil
membuat pengurungnya berantakan! Sebelum semua orang habis dari rasa terkejut
me- reka maka tubuh Mahesa Kelud sudah lenyap!
"Raden Mas Tirta! Kerahkan pasukan! Cari
dan tangkap manusia keparat itu!" perintah Sultan. Raden Mas Tirta memasukkan
kerisnya ke dalam sarung kembali. Dia baru menyadari kalau
lengannya yang tadi terpukul kini dilihatnya
bengkak dan berwarna merah membiru!
Kemanakah larinya Mahesa Kelud sehingga
dalam sekejapan mata saja pemuda ini hilang lenyap seperti gaib" Sesungguhnya dia tidak pergi jauh. Begitu berhasil merobohkan
para pengeroyoknya, pemuda ini melompat lewat jendela. Se-tibanya di halaman
samping istana dia terus hendak melompati tembok tinggi tapi mendadak dia
teringat kepada Raden Mas Ekawira yang telah
dipenjarakan. Serta merta pemuda ini membatalkan niatnya. Kedua kakinya menjejak tanah dan
laksana seekor burung tubuhnya melayang ke
atas wuwungan atap istana lalu bersembunyi disini. Dari atas wuwungan dapat dilihatnya bagaimana di bawah sana terjadi kesibukankesibukan. Puluhan pengawal dikumpulkan. Kemudian kelihatan Raden Mas Tirta menunggangi
kuda putih menuju ke Timur diikuti kira-kira li-ma puluh prajurit pengawal
bersenjata lengkap yang juga menunggangi kuda. Mahesa tersenyum.
Pemuda ini sudah maklum kemana tujuan orangorang itu. Tak lain ialah tempat kediaman Raden Mas Ekawira karena menyangka
bahwa Mahesa Kelud telah lari menuju ke sana! Kemudian terlihat pula beberapa kelompok
pasukan meninggal- kan istana, memencar ke delapan penjuru.
Inilah saatnya bagi Mahesa untuk turun
dari wuwungan itu. Kebetulan di bagian belakang dilihatnya seorang pengawal
berdiri dengan tombak di tangan. Mahesa berlari di atas wuwungan
istana dan melompat turun. Sebelum pengawal
tadi habis terkejutnya ketika melihat sesosok tubuh seperti burung saja layaknya
melayang turun dari atas atap istana, tahu-tahu rambutnya sudah dijambak orang! "Prajurit! Kalau kau tidak mau mati konyol jangan berteriak! Beritahu dimana
Raden Mas Ekawira dipenjarakan, cepat!" kata Mahesa Kelud.
"Aduh... aku... kau siapa" Heh...."!"
Mahesa menampar mulut prajurit itu sampai berdarah. "Kau mau terangkan atau tidak"!"
Prajurit itu merintih kesakitan tapi menjawab juga dengan ketakutan. "Ikuti lorong itu..."
katanya seraya menunjuk ke sebuah gang di bagian belakang istana. "Membelok ke kiri, lalu ke kanan. Itulah penjara dimana
Raden...." Mahesa tak perlu menunggu sampai prajurit ini mengak-hiri
keterangannya. Dengan dua jari tangan kirinya ditotoknya pangkal leher si prajurit sehingga orang ini menjadi berdiri
kaku tak bergerak seperti patung. Dia berlari cepat menuju ke mulut
gang. Tapi dari dalam gang mendadak muncul
dua orang pengawal yang sedang meronda. Pengawal-pengawal ini kenal baik dengan Mahesa Kelud dan tahu bahwa dia adalah pembantu Raden
Mas Ekawira yang sekarang dipenjara. Tapi melihat sikap si pemuda saat itu, kedua pengawal itu menjadi curiga.
"Saudara, kau mau kemanakah"!" tanya
salah seorang dari mereka.
"Sobat, kalian dengarlah..." kata Mahesa dan tahu-tahu tubuhnya melompat cepat
maka kedua pengawal itupun menjadi patung-patung
hidup karena mereka telah kena ditotok dengan
lihay kali oleh si pemuda. Mahesa membelok ke
kiri, lalu di sebelah sana membelok lagi ke kanan dan terlihatlah deretanderetan bangunan ber-dinding tebal yang bagian mukanya diberi jeruji-jeruji besi
sebesar lengan. Di hadapan salah satu bangunan itu kelihatan berdiri dua orang
pengawal. Mahesa berlari menuju ke sana karena dia yakin disinilah Raden Mas
Ekawira ditahan. Pengawal-pengawal itu sedang memalangkan tombak mereka satu sama lain sedang tangan yang lain siap mencabut pedang. "Mahesa Kelud, kau mau apa ke sini"!"
Agaknya keduanya belum tahu akan kehebohan yang terjadi di istana.
"Raden Mas Ekawira ditawan di sini"!"
tanya Mahesa. Dia melangkah lebih dekat. "Benar. Ada apa?"
"Kalau begitu kalian minggirlah!" Pemuda itu menggerakkan kedua lengannya dan
kedua pengawal terpelanting roboh ke samping, terguling di lantai gang dan pingsan!
"Mahesa, kau datang!" terdengar seruan dari dalam penjara dan Raden Mas Ekawira
me-munculkan diri di balik jeruji-jeruji besi. Tanpa menunggu lebih lama, dengan
mempergunakan aji "Karang Sewu" Mahesa Kelud menghantam jeruji-jeruji besi penjara sehingga
bobol dan jeruji itu patah berantakan. Saking terkejutnya Raden
Mas Eka sampai berdiri menganga dan membelalak, tak percaya ada pukulan tangan yang demikian hebatnya. "Dimas...."
"Kakang, lekaslah sebelum pengawalpengawal lainnya mengetahui."
Karena terkejut dan tidak percaya itu, Raden Mas Ekawira hampir lupa kalau saat itu sebenarnya dia berada dalam penjara. Mendengar
kata-kata Mahesa Kelud tadi baru dia sadar lalu cepat-cepat menyeruak di antara
patahan jeruji-jeruji besi. Sementara di bagian depan istana dan di dalam istana
terjadi kesibukan-kesibukan ma-ka dengan mudah Mahesa serta Ekawira melarikan diri dengan melompat tembok belakang istana. Mereka mengambil jalan memutar dan melewati bagian kota yang masih ditumbuhi oleh pohon-pohon rapat serta semak belukar lebat. Mereka sengaja mengambil jalan ini agar tidak berpapasan dengan prajurit-prajurit
kerajaan yang tengah mencari-cari mereka sehingga tidak perlu membuat urusan.
Sambil lari Mahesa Kelud berkata: "Gila
sekali tindakan Sultan! Apakah buta matanya sehingga tidak tahu lagi siapa kita ini adanya" Kita berdua dicap pengkhianat,
padahal beberapa waktu yang lalu, belum lagi ada setengah hari ki-ta bersama-sama telah menumpas
musuh-musuh Kerajaan!" "Fitnah adimas! Fitnah! Pasti ada yang
memfitnah kita. Kalau tidak Sultan tidak akan
bertindak sebodoh itu!" sahut Ekawira yang saat itu hanya mengenakan pakaian
sederhana saja karena sebelum dijebloskan ke penjara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Sultan, pakaian kebesarannya harus ditukar terlebih dahulu! "Kakang Ekawira, apakah kau bisa menduga siapa adanya manusia biang racun yang menjadi tukang fitnah itu?"
"Ada beberapa orang yang kucurigai. Tapi
dugaanku berat pada...."
Ekawira tidak meneruskan kata-katanya
karena melihat Mahesa Kelud yang berlari di sebelah mukanya melambaikan tangan memberi
isyarat lalu menghentikan larinya.
"Ada apa, dimas?" tanya Ekawira berbisik.
"Dengar baik-baik, ada suara orang saling
bentak," balas Mahesa Kelud dengan berbisik pu-la.
Kedua orang itu melangkah ke arah datangnya suara lalu menyeruak di balik semaksemak. Dan alangkah terkejutnya mereka ketika
melihat Raden Mas Tirta bersama seorang pemuda tampan tengah mengeroyok seorang laki-laki
berpakaian sederhana yang saat itu sudah mendapat luka di beberapa bagian tubuhnya akibat
tusukan-tusukan keris Raden Mas Tirta.
Bagaimana kepala Balatentara Banten ini
bisa berada di tempat itu" Ketika Raden Mas Tirta bersama lima puluh prajurit
sampai ke tempat kediaman Ekawira ternyata Mahesa Kelud yang
mereka cari tidak ada di sana. Tempat kediaman
tersebut mereka obrak-abrik dan mereka bakar.
Saat itu datanglah seorang penunggang kuda
yang tak lain dari Jaka Luwak adanya. Pemuda
itu membisikkan sesuatu pada Raden Mas Tirta
lalu Kepala Balatentara ini berseru pada anak
buahnya: "Kalian cari terus bangsat rendah itu.
Aku akan pergi ke tempat lain untuk menyelesaikan satu urusan penting!"
Jaka Luwak mengajak Raden Mas Tirta ke
suatu tempat dimana telah menunggu Ismaya,
yaitu mata-mata Pajajaran yang jadi penghubung
antara Kepala Balatentara Banten itu dengan
Prabu Sedah. Keduanya turun dari kuda menghampiri Ismaya. "Bagaimana" Mana barang-barang hadiah
yang dijanjikan itu"!" tanya Raden Mas Tirta.
"Raden Mas, kata Sang Prabu harap bersabar dahulu sampai bulan depan. Sang Prabu...."
"Sang Prabu sialan!" bentak Raden Mas Tirta. "Sudah tiga bulan aku menunggu dan
selalu dijejali dengan janji-janji melulu. Sudah ratusan bahkan ribuan prajurit
Banten yang kutipu sampai mereka bisa ditumpas oleh Pajajaran dan masih menyuruh tunggu! Kalau barang-barang berharga saja Rajamu tidak sanggup memberikan
bagaimana dia akan mengangkat aku menjadi Patih"!" "Kurasa mungkin bangsat bernama Ismaya ini yang mengantongi hadiah-hadiah
yang diki-rimkan Sang Prabu kepadamu, adimas," "kata Jaka Luwak.
"Memang aku juga menduga demikian!
Manusia rendah ini tidak dapat dipercaya. Karenanya harus mampus saat ini juga!" Serentak
dengan itu Raden Mas Tirta mencabut keris pusakanya dan menyerang Ismaya. Jaka Luwak tidak tinggal diam. Dengan tangan kosong dia maju ke muka, membantu adik
seperguruannya. TIGA ISMAYA bukan seorang pemuda berkepandaian rendah, kalau tidak percuma saja dia menjadi mata-mata Pajajaran. Bertempur dengan Raden Mas Tirta satu lawan satu belum tentu dia
akan kalah meski sampai seribu juruspun. Tapi
menghadapi dua saudara seperguruan itu sekaligus, memang terasa sangat berat baginya. Terutama menghadapi Jaka Luwak, meskipun pemuda ini cuma bertangan kosong tapi lebih berbahaya dari Raden Mas Tirta yang bersenjatakan keris. Pukulan-pukulan tangan kanan
dan kiri Jaka Luwak datang bertubi-tubi, angin pukulannya terasa dingin
menggidikkan sedang keris di tangan Raden Mas Tirta datang menyambar-nyambar.
Sudah beberapa kali Ismaya mengeluarkan pekik
kesakitan karena kena ditusuk oleh keris itu.
Yang membuat mata-mata Pajajaran ini mudah
terdesak dan yang membuatnya tak habis menyesali diri adalah karena saat itu dia tidak memba-wa senjata sama sekali!
Mengetahui bahwa dia tak akan bisa melarikan diri ataupun menghadapi kedua lawannya
itu maka setelah menderita, tusukan-tusukan ke

Mahesa Kelud - Malapetaka Di Puncak Halimun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ris Raden Mas Tirta mengamuklah Ismaya. Ilmu
silat tangan kosongnya yang paling diandalkan
yaitu yang bernama: "setan mabok" dikeluarkannya. Dia bersedia bahkan sudah
bertekad bulat untuk mengadu nyawa asalkan saja dia sebelum
meregang nyawa sanggup merobohkan pula salah
seorang pengeroyoknya. Tubuh pemuda itu berkelebat cepat. Namun cuma dua jurus dia bisa
mengimbangi kedua pengeroyoknya. Ketika Raden
Mas Tirta memutar kerisnya dengan cepat sedang
Jaka Luwak mengeluarkan ilmu silat "burung ga-ruda mengamuk" maka kembali Ismaya
dibikin tidak berdaya dan terdesak hebat.
"Manusia-manusia rendah berhati bejat!"
maki Ismaya. Suaranya keras, tapi bernada keputusasaan. "Mula-mula kalian mengkhianati Sultan Hasanuddin dan kini hendak
mengkhianati Prabu Pajajaran! Aku tidak takut mampus di tangan kalian tapi guruku pasti akan datang untuk
mematahkan batang leher kalian!"
"Ha... ha! Sudah tahu mau mampus masih
hendak bermulut besar!" ejek Raden Mas Tirta dengan tertawa bergelak. Kepala
Balatentara Banten yang tak lebih dari manusia ular kepala dua ini mengirimkan
tusukan deras ke leher Ismaya.
Si pemuda karena saat itu tengah mengelakkan
pukulan maut Jaka Luwak yang menyerang dadanya tidak sanggup mengelakkan keris! Pada detik ujung keris itu tinggal seujung rambut lagi akan menembus leher Ismaya maka
dari samping berkelebat sesosok tubuh dan tahu-tahu sebuah
keris ungu telah menangkis keris di tangan Raden Mas Tirta. Bunga api berpijar.
Bukan main terkejutnya ke tiga orang yang tengah bertempur itu.
Raden Mas Tirta sampai mengeluarkan seruan
tertahan. Tangannya yang memegang senjata terasa pedas dan cepat-cepat dia melompat ke belakang. "Anjing pengkhianat! Kau
rupanya huh"!" bentak Raden Mas Tirta dengan beringas ketika
melihat bahwa orang yang telah menangkis senjatanya tadi tidak lain dari pada Ekawira adanya!
Dan darah Kepala Balatentara Banten ini tambah
mendidih ketika melihat pula siapa yang berdiri saat itu disamping Ekawira.
"Bagus! Dicari-cari kau sembunyi, sekarang datang sendiri mengantar nyawa!
Kangmas Jaka Luwak inilah dia dua
manusia busuk pengkhianat kerajaan! Mari kita
pecahkan kepala mereka!"
"Keparat rendah!" maki satu suara yang tak lain dari pada Ismaya. Pemuda itu
berdiri dengan terhuyung-huyung. Bajunya penuh robekan-robekan dan basah oleh darah. "Kalianlah manusia-manusia racun biang
pengkhianat!" "Setan alas! Kau minggir dan mampuslah!"
teriak Raden Mas Tirta. Tendangannya meluncur
ke pinggang pemuda itu. Dalam keadaan tak berdaya Ismaya mencoba mengelak namun tak
urung pinggangnya masih kena tersambar. Pemuda ini terguling ke tanah tiada sadarkan diri Waktu terjadi pengeroyokan tadi
Mahesa Kelud yang bermata tajam segera memaklumi
bahwa sesungguhnya Jaka Luwak memiliki ilmu
kepandaian beberapa tingkat lebih tinggi dari pa-da Raden Mas Tirta. Maka dengan
cepat Mahesa berseru: "Kakang Ekawira, kau hadapilah manusia Tirta keparat itu. Aku akan
melayani kaki tangan manusia busuk ini!"
Maka tanpa banyak bicara lagi terjadilah
pertempuran yang seru antara keempat orang itu.
Raden Mas Tirta berhadapan dengan Ekawira sedang Jaka Luwak dengan Mahesa Kelud. Perkelahian antara Raden Mas Tirta dan Ekawira berjalan seimbang karena tingkat kepandaian mereka
memang tidak banyak berbeda lagi pula keduaduanya sama-sama memegang keris.
Jaka Luwak yang menganggap enteng pemuda tandingannya jadi terkejut ketika dua kali berturut-turut serangan mautnya
berhasil dielakkan oleh lawannya dengan menggerakkan tubuh
sedikit saja. Dengan penasaran Jaka Luwak mengirimkan lagi tiga serangan berantai yang hebat.
Namun hasilnya tetap nihil bahkan pada jurus
kelima ketika pukulannya ditangkis dengan benturan lengan oleh lawan, Jaka Luwak terkejut dan mundur beberapa tindak!
Tangannya yang beradu dengan lengan lawan tergetar hebat dan bengkak
merah kebiruan! Menyadari bahwa lawannya lebih tinggi ilmu silat dan tenaga dalamnya dari
yang dimiliki sendiri maka dengan cepat Jaka
Luwak mengeluarkan senjata yang sangat diandalkannya yaitu berupa sebuah cambuk rantai
besi. Antara jarak tiap-tiap mata rantai dipasangi
dua buah besi kecil berbentuk mata kail. Sekali kaitan-kaitan besi itu menembus
kulit lawan ma-ka daging serta urat-urat akan sanggup ditarik
sampai berbusaian keluar! Di dalam tangan Jaka
Luwak yang hebat, senjata itu dapat berubah
menjadi semacam tongkat keras yang bisa dipakai menotok jalan darah lawan dan
bisa pula lepas sebagaimana cambuk kulit biasa!
Meskipun Mahesa Kelud agak heran melihat senjata aneh lawannya itu namun diparasnya
sama sekali tiada kelihatan rasa ngeri. Dia menunggu dengan tenang, kedua kakinya terpentang
memasang kuda-kuda. Jaka Luwak melompat
melancarkan serangan pertama. Cambuk berduri
di tangan kanannya membabat ke arah leher Mahesa Kelud. Tubuh Mahesa tidak bergerak sedikitpun. Pada saat cambuk tersebut hanya tinggal seperempat jengkal saja lagi
tiba-tiba berkelebatlah tubuh pemuda itu. Mahesa merunduk. Senjata lawan lewat di atas kepalanya.
Serentak dengan itu pemuda ini menggerakkan tangan kirinya untuk memukul lengan
lawan. Jaka Luwak yang sudah tahu bahwa tenaga dalam lawannya lebih tinggi bahkan tadi sudah merasakannya sendiri sampai
lengannya bengkak biru dengan cepat menghindarkan diri ke belakang. Namun tidak pernah diduganya, gerakannya tersebut sudah diperhitungkan oleh Mahesa
Kelud! Ketika dia melompat, lawannya mengait
kaki kirinya. Tubuh Jaka Luwak terpelanting keras. Untung saja dia sudah memiliki ilmu mengentengkan tubuh yang tinggi. Dengan mempergunakan ilmu tersebut murid Ki Balangnipa dari
Gunung Gede ini jungkir balik menjauhi dan menyabetkan cambuk berdurinya ke pinggang lawan
ketika Mahesa coba memburunya.
Sesaat kemudian Jaka Luwak sudah berdiri dengan mengertakkan geraham penuh geram.
Lawannya bukan orang sembarangan. Sangat sedikit sekali harapan baginya untuk bisa mengalahkan. Tapi mengingat saat itu dia berada bersama adik seperguruannya sendiri yaitu Raden
Mas Tirta maka adalah sangat memalukan bila
dia menundukkan kelemahan tak mampu membereskan lawan. Apalagi mengingat dia bersenjatakan cambuk berduri yang sangat diandalkan itu sedang lawannya hanya bertangan
kosong! Ketika murid Ki Balangnipa itu menyerang
kembali, maka gerakannya jauh lebih cepat dan
penuh keganasan! Tubuhnya berkelebat kian kemari mengeluarkan angin deras. Cambuk berdurinya datang bertubi-tubi sedang tangan kiri dan kedua kakinya tidak tinggal
diam, turut pula melancarkan serangan-serangan mematikan! Semua
kehebatan itu dihadapi oleh Mahesa Kelud dengan tenang. "Jika kamu masih memiliki ilmu simpanan,
keluarkanlah!" Semakin panas hati Jaka Luwak mendengar ejekan ini. Namun segala kemarahannya itu
tak dapat dilampiaskannya karena lawannya dengan sangat mudah selalu saja berhasil mengelakkan setiap serangannya bahkan balas menyerang
dan mendesak! Pertempuran antara Raden Mas Tirta dan
Ekawira sudah berjalan hampir lima puluh jurus
sedang antara Mahesa dengan Jaka Luwak juga
tak lebih dari itu. Kalau Raden Mas Ekawira benar-benar harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi Raden Mas Tirta
maka bagi Mahesa Kelud yang melayani Jaka Luwak tinggal menunggu waktu saja karena pemuda
ini sudah maklum bahwa ilmunya lebih tinggi. Selama turun gunung boleh dikatakan
baru kali in- ilah Jaka Luwak bertempur sampai lima puluh
jurus. Napasnya meskipun belum mengendur tapi
sudah tidak teratur. Saat yang ditunggu oleh Mahesa Kelud tiba. Gerakannya
berubah dengan mendadak dan dalam satu gebrakan saja maka
mentallah tubuh Jaka Luwak! Pemuda ini terguling di tanah, cambuk berdurinya seperti direnggutkan oleh setan, hampir tiada terasa, terlepas dari tangannya dan berada dalam
genggaman Mahesa Kelud! Kedua tangan murid Embah Jagatnata ini bergerak dan seperti merenggutrenggut benang saja layaknya. Mahesa memutusmutuskan mata-mata rantai cambuk berduri itu!
Pukulan yang dihadiahkan Mahesa yang
membuat lawannya terpental dan terguling di tanah tadi adalah pukulan "batu karang" yang di-dapatnya dari Karang Sewu di gua
Iblis tempo ha-ri! Mahesa terkejut ketika melihat meskipun dengan tertatih-tatih
Jaka Luwak masih dapat bangun dan berdiri sesudah menerima pukulan itu!
Mahesa telah membuktikan, jangan tubuh manusia, dinding karang yang atos dan tebal sekalipun hancur kena hantam pukulan
Karang Sewu tersebut! Meskipun dia masih bisa berdiri namun sesungguhnya tubuh
di bagian dalam Jaka Luwak
sudah terluka hebat. Dadanya sangat sakit seper-ti tulang dada dan iga-iganya
melesak ke dalam, napas menyesak laksana orang bengek. Mahesa
tidak menunggu lebih lama. Tubuhnya berkelebat. Dua jari tangan kirinya tahu-tahu sudah menotok pangkal leher Jaka Luwak.
Pemuda dari Pa- jajaran ini roboh ke tanah tak sadarkan dirinya.
Jika dia mau, dengan mudah Mahesa menamatkan riwayat musuh besar Kerajaan Banten
itu, namun itu tidak dilakukannya. Dia ingin menangkap Jaka Luwak hidup-hidup
untuk diseret ke hadapan Sultan Hasanuddin guna mempertanggung jawabkan segala perbuatannya dan juga
sebagai saksi hidup pengkhianatan Raden Mas
Tirta terhadap Banten! Dia berpaling memperhatikan pertempuran antara Raden Mas Ekawira
dengan Raden Mas Tirta. Seperti dinyatakan diatas ketinggian ilmu
kedua orang itu hampir tidak berbeda karenanya
pertempuran boleh dikatakan berjalan seimbang.
Namun robohnya Jaka Luwak, kakak seperguruannya, sedikit banyak mempengaruhi Raden
Mas Tirta. Semangatnya berkurang, nyalinya
menciut dan ini membuat gerakannya dalam perkelahian itu menjadi kaku dan mulai kacau. Hal
ini memberikan peluang baik bagi lawannya.
Ekawira tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dia mempercepat gerakannya. Raden Mas
Tirta menjerit ketika keris ungu di tangan Ekawi-ra menusuk lengannya dan
berdarah! Sesudah mendapat tusukan ini maka daya
tahan Kepala Balatentara Banten yang berkhianat dan bersifat ular kepala dua itu
semakin berkurang. Satu tusukan lagi kemudian bersarang di
bahunya. Dalam satu bentrokan senjata yang
dahsyat akhirnya keris Raden Mas Tirta terlepas mental! Laki-laki ini melompat
mundur. Mukanya pucat pasi. Keringat dingin sebesar butiranbutiran jagung memercik di keningnya. Raden
Mas Ekawira dengan keris terhunus di tangan
melompat ke muka. "Kakang Ekawira! Jangan bunuh dia! Dia
harus diseret hidup-hidup ke hadapan Sultan!"
seru Mahesa Kelud. "Bawa kuda-kuda kita kemari," kata Mahesa Kelud. "Ketiga
kunyuk-kunyuk ini harus kita hadapkan kepada Sultan dengan
segera!". Ekawira mengangguk! Tak lama sesudah
Kepala Pengawal Istana Banten itu pergi Mahesa
Kelud cepat-cepat melompat ke samping ketika
dari belakang datang menyambar suatu benda
yang mengeluarkan angin bersiuran, mendesing
ke arahnya. Sebelum dia dapat melihat benda apa yang menyambar itu tahu-tahu
seorang tua bermuka putih, berjubah biru berdiri kira-kira lima
belas langkah di hadapannya!
"Orang tua! Kaukah yang menyerangku"!"
tanya Mahesa dengan gusar.
EMPAT SEBAGAI jawab, orang tua berjubah biru
itu mengebutkan lengan pakaiannya sebelah kanan. Dari ujung lengan jubah ini menyambarlah
angin pukulan yang keras dan tajam ke arah Mahesa Kelud! Meskipun dia tahu bahwa pukulan
tenaga dalam itu tidak bisa dianggap sembarangan namun untuk sekedar menjajaki sampai dimana kehebatan lawan tak diundang ini maka
Mahesa Kelud mengangkat tangan kanannya.
Dua aliran tenaga dalam yang hebat saling berte-mu dan bentrokan di tengah jalan
lalu sama- sama buyar! Si jubah biru tidak kelihatan terkejut bahkan sebaliknya dia tertawa buruk dan mementang
mulut: "Bagus orang muda! Rupanya kau punya sedikit ilmu untuk diandalkan huh"!"


Mahesa Kelud - Malapetaka Di Puncak Halimun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua kaki si jubah biru bergerak. Bersamaan dengan itu tubuhnya berkelebat menyambar ke arah Mahesa. Diserang secara ganas sedemikian rupa murid Embah Jagatnata dari gunung Kelud ini segera hindarkan diri ke samping seraya melipat siku coba
menyodok tulang-tulang iga lawannya. Mau tak mau orang tua tersebut
cepat menarik pulang tangan kanannya dan ganti
menyerang dengan tangan kiri! Kecepatan perubahan gerakan ini memang luar biasa sekali!
Mahesa menjejakkan kaki ke tanah, tubuhnya naik setengah langkah dan ini mengakibatkan terjadinya bentrokan antara siku dengan
lengan! Mahesa Kelud terhuyung-huyung ke samping kiri. Tulang sikunya terasa sakit sedang si jubah biru hanya merasakan
lengannya tergetar. Dalam bentrokan ini Mahesa Kelud bisa menarik
kesimpulan bahwa tenaga dalamnya kalah tinggi
dengan tenaga dalam lawan! Satu hal yang tak bi-sa dimengerti pemuda ini yaitu
mengapa waktu saling bentrokan tenaga dalam jarak jauh tadi dia bisa membuat buyar tenaga
dalam lawannya. Pemuda ini tidak tahu kalau si jubah biru waktu itu hanya
mengeluarkan tiga perempat bagian saja
dari keseluruhan tenaga dalam yang dimilikinya!
"Orang tua asing!" kata Mahesa Kelud seraya melompat keluar dari kalangan.
"Antara kau dan aku tak ada urusan apa-apa bahkan baru
kali ini bertemu. Mengapa kau menyerang aku"!"
Si jubah biru mengeluarkan tertawa bergelak. Dia menunjuk pada Ismaya. "Pemuda baju putih itu adalah murid sahabatku dan
kau telah mencelakainya...." "Bukan aku! Tapi kedua orang inilah!" potong Mahesa sambil menunjuk pada Raden
Mas Tirta dan Jaka Luwak. "Kalian orang-orang Banten memang tukang berdusta kelas satu! Walau bagaimanapun
aku cukup alasan untuk mematahkan batang lehermu!" "Hmm..." gumam Mahesa Kelud. "Sudah murid sahabatnya ditolong masih berani
memaki! Bukannya bilang terima kasih! Kalau pemuda
yang hendak kau tolong itu musuh jahat dari Pajajaran tentunya kau bilang musuh yang harus
dienyahkan pula!" Merah padam air muka si jubah biru. Amarahnya naik ke kepala. Dia menerkam ke hadapan Mahesa Kelud dan perkelahian serupun terjadi kembali! Dilihat dari tenaga dalam maka lawan Mahesa Kelud ini yaitu Resi
Mintaraya dari gunung Halimun memang lebih tinggi. Sedang dalam ilmu mengentengi tubuh keduanya boleh dikatakan seimbang. Ditinjau dari kedua hal tersebut dapat dipastikan bahwa lambat
laun Mahesa Kelud akan kena didesak dan tak sanggup mempertahankan diri. Namun pemuda murid Embah
Jagatnata ini mempunyai beberapa hal yang menjadi dasar keuntungan baginya.
Pertama dia masih muda berarti dia menang dalam tenaga lahir. Kedua gerakangerakannya jauh lebih gesit. Dan ketiga, apa yang membuat Resi Mintaraya harus
berhati-hati dalam menghadapi ini pemuda ialah karena Mahesa
memiliki aji pukulan "karang sewu"! Pada saat pertama kali Mahesa mengeluarkan
ilmu pukulan tersebut. Resi Mintaraya tiada menduga sama sekali bahwa pukulan ini sangat berbahaya untuk
ditangkis. Dia tahu bahwa tenaga dalam lawannya lebih rendah dari yang dimilikinya. Karena itu dia tidak ragu-ragu menyambut
serangan Mahesa dengan pukulan pula! Namun betapa terkejutnya
sang Resi ketika tubuhnya terjajar beberapa tindak sedang jari-jari tangan
kanannya terkelupas kulitnya!
Resi dari Pajajaran ini sudah berumur lebih
dari enam puluh-lima tahun. Sudah banyak pengalaman dalam menghadapi musuh-musuh tangguh dari pelbagai daerah dan tingkatan. Namun
adalah tidak terduga sama sekali kalau hari ini dia akan berhadapan dengan
seorang musuh yang memiliki ilmu pukulan demikian tangguhnya! Dan musuh yang seorang ini kenyataannya
adalah pemuda belia pula! Mintaraya mempercepat gerakannya. Tubuhnya laksana bayangbayang namun setiap kali dia harus menarik atau membatalkan serangannya ataupun
melompat mengelak karena lawannya terus menerus melancarkan tangkisan dan serangan balasan dengan
ilmu pukulan atau tendangan yang mengandung
aji "karang sewu" Dengan sendirinya gemaslah sang Resi ini. Tapi untuk berbuat
hal-hal yang di-luar kesanggupannya yaitu merobohkan Mahesa
sudah barang tentu tidak pula mudah bisa dilakukannya! Karena kedua-duanya sama-sama berkepandaian tinggi, dalam waktu singkat lima belas jurus sudah berlalu tiada
terasa. Dan pada saat itulah Raden Mas Ekawira muncul membawa dua
ekor kuda. Sudah barang tentu Kepala Pengawal
Istana Banten ini menjadi terkejut sekali ketika dia datang ke situ menemui
Mahesa Kelud dengan bertempur hebat dengan seorang tua berjubah biru bermuka putih. Ekawira mengerenyitkan
keningnya. Dia rasa-rasa pernah melihat atau
bertemu dengan orang tua ini. Dia berpikir-pikir dan akhirnya baru ingat bahwa
manusia inilah yang dulu melarikan tubuh Unang Gondola yaitu
lawan Raden Mas Tirta dalam sayembara pertandingan merebut pangkat sebagai Kepala Balatentara Banten! Waktu itu Unang Gondola sudah
menang tapi tahu-tahu muncul seorang pemuda
lain ke atas panggung yang juga berniat untuk
mengikuti sayembara itu tapi terlambat. Pemuda
ini tidak lain daripada Tirta. Tirta memang lebih tinggi ilmunya. Setelah
bertempur puluhan jurus dia berhasil merobohkan Unang Gondola. Kepada
Sultan Banten kemudian Tirta menerangkan
bahwa Unang Gondola tak lain adalah seorang
utusan rahasia Raja Pajajaran, musuh besar Banten yang menyusup! Dengan segera Sultan Banten memerintahkan untuk menangkap Unang
Gondola! Namun pada saat itu entah dari mana
datangnya melesatlah sesosok tubuh berjubah biru ke atas panggung dan membopong membawa
lari Unang Gondola. Ketika Tirta dan pengawalpengawal istana menyerbu orang tua baju biru itu mengeluarkan senjata rahasia
berupa kepulan asap putih tebal yang menyelimuti panggung dan
sekitarnya. Ketika asap menipis, si Jubah biru
bersama Unang Gondola sudah lenyap!
"Mahesa!" seru Ekawira. "Hati-hati! Orang tua ini licik, aku akan bantu kau!"
Sebagai seorang kesatria sejati Mahesa tidak mau mengeroyok seorang lawan. Seandainya
dia terdesak saat itu bantuan Ekawira belum ten-tu mau diterimanya, apalagi dia
masih sanggup mengimbangi lawan. "Tak usah Kakang Ekawira," jawab Mahesa Kelud. "Aku masih sanggup melayani orang
tua keblinger ini. Cuma kau berjaga-jagalah kalau
benar dia licik tentu dia akan melarikan diri!"
"Pemuda sombong! Mulutmu terlalu besar!
Sebelum kupecahkan kepalamu aku tak akan
meninggalkan tempat ini!" kata Resi Mintaraya dengan suara lantang. Ilmu
silatnya bersamaan dengan itu berubah cepat dan ganas. Namun tetap saja dia tak berhasil mendesak lawannya karena Mahesa senantiasa mempertahankan diri
dengan tangkisan dan pukulan-pukulan "karang sewu" yang berbahaya. Mintaraya
mengertakkan gerahamnya tiada henti karena geram. Kalau saja saat itu tidak ada
orang ketiga yaitu Raden Mas Ekawira maka sudah sejak lama dia mengeluarkan
senjatanya yakni sebuah ruyung. Sebagai
seorang sakti dari gunung Halimun yang sudah
dikenal di kalangan dunia persilatan terutama di daerah selatan namanya tentu
akan luntur jika dia menghadapi lawannya dengan senjata sedang
si pemuda sendiri bertangan kosong!
Namun si orang tua yang cerdik ini mendapat akal. Sambil terus menghadapi Mahesa dia
tiada hentinya mencaci maki memanaskan Ekawira. "Perwira tinggi anjing Sultan Banten!" katanya. "Apa kau berlepas tangan
saja membiarkan kawanmu ini akan kupecahkan kepalanya"! Ayo
majulah! Biar roh busuk manusia ini mendapat
kawan untuk pergi minggat ke neraka!"
Dengan memaki habis-habisan seperti itu
Resi Mintaraya bermaksud memanaskan hati dan
menaikkan darah Ekawira sehingga akhirnya Kepala Pengawal Istana tersebut turut menyerbu
mengeroyoknya. Dan jika ini terjadi maka Mintaraya mempunyai cukup alasan untuk mengeluarkan ruyungnya! Tapi celakanya Ekawira tetap
berdiri dengan tenang di tempatnya tanpa terpengaruh sama sekali oleh caci maki
edan itu. Sang Resi tiada habis-habisnya mengutuk dalam hati.
Dia tahu bahwa Mahesa tak akan sanggup mengalahkannya namun maklum pula bahwa dia
sendiri tak berdaya untuk merobohkan si pemuda. Tak ada jalan lain! Mintaraya menggerakkan tangan kirinya ke
dalam saku jubah. "Awas senjata rahasia!" serunya. Bersamaan dengan itu dari
tangannya me- lesat sebutir benda putih berbentuk bola. Di uda-ra benda tersebut kemudian
pecah kelihatan asap putih yang sangat tebal berbau amis menyelimuti daerah
seluas hampir sepuluh tembok persegi!
Mahesa Kelud tak dapat melihat apa-apa. Dia melompat jauh ke belakang menghindarkan diri. Raden Mas Ekawira yang berada agak jauh dari kalangan pertempuran masih dapat melihat bagaimana Resi Mintaraya hendak melarikan diri sedang di atas bahu kirinya terpanggul tubuh Ismaya. "Orang tua licik! Jangan harap kau bisa melarikan diri!" bentak Ekawira.
Dia mencabut keris ungunya dan menyerbu. Namun walau bagaimana pun tingkat
kepandaian Kepala Pengawal
Istana ini masih jauh di bawah sang Resi. Meskipun dengan memanggul tubuh
Ismaya, namun sekali saja berkelebat maka terdengarlah jeritan Ekawira. Keris ungu terlepas
mental dari tangan pemuda itu sedang lengannya sendiri yang kena
tendangan terasa sakit bukan main! Ketika Mahesa Kelud lari ke tempat itu Resi Mintaraya sudah lenyap! Raden Mas Ekawira
berpaling pada Mahesa. Hatinya kecewa karena tak dapat menghalangi si orang tua
yang melarikan diri. "Aku lupa men-gatakan padamu bahwa manusia itu memiliki ilmu asap yang ampuh...."
"Siapakah dia?" tanya Mahesa.
"Namanya Mintaraya. Seorang Resi dari Pajajaran yang kalau aku tidak salah diam di gunung Halimun! Dia guru Unang Gondola alias
Kuntawirya." Ekawira kemudian menerangkan
kepada Mahesa tentang kisah sayembara memperebutkan jabatan Kepala Balatentara Banten dulu. Sementara itu asap putih yang berbau amis
sedikit demi sedikit mulai punah.
Tiba-tiba. "Mahesa. Lihat!"
Mahesa Kelud memutar kepalanya dengan
cepat ke arah yang ditunjuk Ekawira. Dan apa
yang dilihatnya kemudian sungguh mengerikan.
Tubuh Raden Mas Tirta sudah berpindah tempat.
Dia menggeletak di tanah sedang kepalanya pecah, darah dan otak berhamburan!
"Rupanya masih sempat juga Resi terkutuk
itu membalaskan dendam muridnya..." kata Ekawira. Apakah yang telah terjadi
dengan Raden Mas Tirta" Sewaktu berhasil memanggul tubuh
Ismaya maka sebelum lari Resi Mintaraya masih
sempat menendang kepala Raden Mas Tirta yang
menggeletak pingsan di tanah. Hal ini dilakukannya adalah untuk membalaskan
dendam murid- nya yang dulu dipecundangi oleh Tirta. Sekaligus dia juga membalaskan sakit hati
Prabu Pajajaran serta rakyat Pajajaran karena kalau tidak gara-gara Tirta tentu
Unang Gondola alias Kuntawirya berhasil mendapatkan jabatan Kepala Balatentara
Banten dan tentu pula saat itu Banten sudah dikuasai oleh Pajajaran!
LIMA BETAPA hebohnya seluruh isi istana ketika
Kepala Pengawal Istana Ekawira yang dinyatakan
lari dari penjara bersama pembantunya Mahesa
Kelud kini memasuki istana dan meletakkan dua
sosok tubuh di hadapan Sultan! Yang Pertama
adalah tubuh orang yang diketahui sebagai Kepala Balatentara Banten yaitu Raden Mas Tirta dan kini tubuh itu berada dalam
keadaan kaku tegang serta kepala pecah dan tanpa nyawa tentunya!
Yang kedua adalah sosok tubuh Jaka Lawak,
yang berada dalam pingsan dan kaku karena ditotok jalan darahnya oleh Mahesa Kelud.
Sultan dan Patih Sumapraja memandang
dengan melotot pada Ekawira dan Mahesa Kelud
ganti berganti, demikian juga pejabat-pejabat
tinggi dan para hulubalang istana.
Akhirnya Sultan membuka mulut juga.
"Ekawira!" kata Sultan dengan suara lantang. "Kau telah melarikan diri dari
penjara...." "Sultan yang Mulia!" memotong Mahesa Kelud. Suaranya tak kurang lantang.
"Lupakanlah dulu soal larinya Raden Mas Ekawira. Biarkan dia memberikan
keterangan yang sejelas-jelasnya tentang siapa sebenarnya Raden Mas Tirta dan
ma- nusia Jaka Luwak ini!"
Sultan merasa gusar karena ucapannya dipotong. Namun dia berkata juga. "Apa yang kau ingin terangkan"!"
Raden Mas Ekawira pun menuturkan segala apa yang diketahuinya mengenai pengkhianatan Kepala Balatentara Banten ini. Selesai mendengar keterangan tersebut jelas kelihatan peru-bahan pada air muka Sultan.
Namun dia tidak

Mahesa Kelud - Malapetaka Di Puncak Halimun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau mempercayai begitu saja. Maka berkatalah
Mahesa Kelud. "Sayang saksi hidup manusia bernama Ismaya itu sudah dibawa kabur oleh Resi Mintaraya. Tapi Sultan, manusia yang satu ini pun bisa bicara dan memberi kesaksian!"
Sesudah berkata demikian maka Mahesa melepaskan totokan urat
darah pada dada Jaka Luwak.
Terdengar suara erangan keluar dari mulut
murid Ki Balangnipa tersebut. Mahesa menjambak rambutnya dan sekaligus menarik laki-laki
itu ke atas sehingga kini Jaka Luwak jadi berdiri lurus-lurus di hadapan Sultan
Banten. Muka la-ki-laki ini sangat pucat tak ubahnya seperti muka mayat! Kedua
bola matanya berputar memandang
berkeliling. "Jaka Luwak!" kata Sultan Banten dengan suara keras. "Apa benar kau serta Raden
Mas Tirta telah bersekutu dengan Pajajaran untuk menghancurkan Banten"!"
Kedua bola mata Jaka Luwak yang tadi
memandang berkeliling kini tertuju dengan kuyu
kepada Sultan Hasanuddin. Tapi pemuda ini tidak memberikan jawaban. Bahkan kedua bibirnya pun tetap terkatup rapat, hanya jakun-jakun di tenggorokannya saja yang
kelihatan turun naik. "Jawab!" bentak Mahesa Kelud seraya me-nyentakkan jambakannya pada rambut
Jaka Lu- wak. Murid ki Balangnipa itu meringis kesakitan.
"Mahesa..." desisnya. "Jika aku harus mati di tangan kalian anjing-anjing Banten
maka masih ada orang yang akan membalaskan sakit hatiku...." Mahesa Kelud menampar pipi pemuda itu.
Bibirnya pecah dan berdarah. Jika saja dirinya di bagian dalam tidak terluka
hebat akibat pukulan "karang sewu" Mahesa tadi, maka saat itu sudah pasti Jaka Luwak mengadu jiwa
menyerang murid Embah Jagatnata tersebut. Namun karena tak
berdaya maka segala kegeramannya ditahan,
meskipun rasa geram itu seakan-akan kobaran
api yang membakar seluruh tubuhnya.
"Jawab!" bentak Mahesa untuk kesekian kalinya.
"Jika kau memberi keterangan dengan benar dan jujur, aku bersedia menjanjikan keringanan hukuman bagimu, Jaka Luwak,"
berkata Sultan. Suaranya kali ini tidak sekeras tadi dan bernada membujuk.
Jaka Luwak berpikir-pikir, jika dia membuka mulut memberikan keterangan kemudian
dipenjara maka mungkin ada harapan dia akan
dapat melarikan diri. Tapi mengingat luka di dalam yang tengah dideritanya itu,
dia menyangsi- kan apakah umurnya masih lama atau hanya
tinggal beberapa saat saja lagi. Akhirnya setelah dipikir masak-masak Jaka Luwak
membuka mulut juga memberikan keterangan. Hal ini adalah
suatu yang lumrah. Seseorang, sekalipun sudah
tahu bahwa nyawa atau umurnya tidak berapa
lama lagi namun tetap berusaha melakukan sesuatu yang dirasakannya bisa menyelamatkan
nyawa memperpanjang umur! Tapi satu hal yang
tidak terduga terjadi ketika pemuda itu baru saja
hendak membuka mulut untuk memberikan keterangan. Dari jendela samping melesat tiga butir benda aneh berbentuk bintang
dengan warna putih perak menyilaukan ke arah kepala, tenggorokan dan dada Jaka Luwak! Semua orang terkejut bukan main. Dalam
keadaan yang kritis itu Mahesa melambaikan
tangan kirinya maksudnya dengan kekuatan tenaga dalam hendak membikin mental tiga benda
berbentuk bintang itu yang tak lain dari senjata rahasia adanya. Namun karena
serangan maut itu dilakukan dengan tiba-tiba dan sangat tak
terduga, dari tiga hanya dua yang sanggup dibikin mental oleh Mahesa yaitu yang
mengarah kepala serta tenggorokan. Senjata rahasia ketiga yang
menghajar dada Jaka Luwak pada bagian mana
sebelumnya dia telah kena hantaman pukulan
"karang sewu!" Senjata rahasia tersebut menembus dagingnya, hilang menyusup ke
dalam tubuh dan menyambar jantungnya!
Tubuh Jaka Luwak kelojotan seketika. Darah kental keluar dari mulutnya. Dan ketika Mahesa melepaskan jambakan tangan kirinya pada
rambut pemuda itu maka tubuh Jaka Luwak pun
roboh ke lantai istana. Nyawanya melayang!
Bersamaan dengan itu dari luar jendela
terdengar suara yang keras lantang. "Orang-orang Banten! Kalau hari ini aku
terpaksa harus membunuh muridku sendiri, ingat baik-baik bahwa
peristiwa ini hanya bisa ditutup setelah aku
membunuh sepuluh manusia-manusia paling dikasihi oleh Sultan Banten!"
Sementara semua orang terkejut mendengar suara itu maka Mahesa Kelud dan Raden Mas
Ekawira sudah melompat lewat jendela. Sampai di halaman samping kedua pendekar
ini masih sempat melihat seorang laki-laki berpakaian hitamhitam berambut panjimu yang dikuncir ke atas
tengah melompati tembok istana. Mahesa dan
Ekawira memburu tapi sesampainya mereka di
luar tembok manusia berpakaian hitam-hitam itu
sudah lenyap seperti gaib ditelan bumi! Pada tanah sekitar sana sama sekali
tidak kelihatan bekas-bekas jejak kaki. Ini cukup menjadi pertanda bagi kedua
pendekar tersebut betapa luar biasanya ketinggian ilmu mengentengi tubuh si baju hitam! "Percuma mengejarnya," kata Mahesa. "Kita kembali ke istana."
Raden Mas Ekawira mengangguk. "Manusia itu pasti Ki Balangnipa, guru Jaka Luwak dan Tirta!" Ketika mereka masuk ke
halaman samping baru kedua orang ini melihat bagaimana dekat
jendela bergeletakan mayat empat orang pengawal istana! Ekawira mengenakkan
gerahamnya. Dia masuk ke istana kembali bersama Mahesa lewat
jendela. "Menyesal sekali, Sultan," kata Raden Mas Ekawira begitu dia sampai di hadapan
Sultan. "Pembunuh Jaka Luwak berhasil melarikan diri!
Dia adalah Ki Balangnipa, guru Jaka Luwak sendiri!" Untuk beberapa lamanya ruangan besar Istana Banten itu berada dalam
kesunyian, tak ada satu orangpun bicara bahkan yang bergerak pun
juga tidak. Beberapa saat berselang baru Sultan membuka mulutnya, memerintahkan
kepada pengawal-pengawal. "Pengawal! Seret dua mayat ini dari hadapanku!"
Empat orang prajurit pengawal istana segera menjalankan perintah tersebut. Bekas-bekas
darah yang menodai lantai marmar diseka sampai
bersih. "Sultan," Patih Banten Sumapraja membuka mulut memecah kesunyian. "Apa
yang akan ki-ta lakukan sekarang?" tanyanya.
Sultan Banten memandang kepada Mahesa
Kelud kemudian berpaling pada Raden Mas Ekawira. "Ekawira. Kebenaran keteranganmu mengenai pengkhianatan Tirta yang dibantu
oleh Jaka Luwak masih disangsikan."
"Sultan," kata Ekawira dengan suara gemetar menahan perasaannya yang bergejolak.
"Jika kami benar-benar pengkhianat busuk, apa perlunya kami datang kesini"
Bukankah itu sama saja dengan minta ditangkap kembali bahkan
mungkin akan dipancung"!"
"Tapi Ekawira, kedatanganmu kesini bersama Mahesa Kelud dengan membawa mayat
Tirta serta Jaka Luwak yang dalam terluka parah bukan mustahil pula untuk
memutar balik kenyataan. Membalikkan tuduhan! Dengan demikian
kalian berdua sekaligus mengharapkan pula untuk mendapat balas jasa berupa pangkat atau kedudukan tinggi!" Jika Mahesa Kelud masih bisa menenangkan dirinya dari hawa amarah dalam mendengar
kata-kata Sultan Hasanuddin itu maka lain halnya dengan Ekawira. Tubuhnya menggigil. Darahnya mendidih. Untung dia masih bisa berkepala dingin. Kalau saja bukan Sultan Banten yang
bicara demikian terhadapnya, pasti dia sudah
menerjang ke muka dan menyobek mulutnya!
Sultan melambaikan tangan kirinya. "Pengawal! Tangkap kedua orang ini! Jebloskan ke dalam penjara di bawah tanah!"
"Tunggu dulu!" kata Mahesa Kelud seraya maju ke muka. Suaranya lantang membuat
delapan orang pengawal yang hendak bergerak ke
arah mereka jadi tertahan langkah. "Sultan, apakah tidak ada lagi kebenaran dan
keadilan di Banten ini"! Apakah kebenaran dan keadilan yang nyata akan putus demikian saja
oleh fitnah serta tuduhan busuk yang tidak terbukti" Kami bukan
bicara sombong atau ingin menonjolkan jasa, tapi apakah perbuatan baik yang kami
lakukan demi menyelamatkan Kerajaan Banten beserta seluruh
rakyat termasuk Sultan sendiri dibalas dengan
tindakan yang sedemikian rendahnya"!"
ENAM UNTUK beberapa lamanya Sultan terdiam
mendengar kata-kata murid Embah Jagatnata itu.
Ia seperti mencari-cari sesuatu untuk mendapatkan sebuah akal. Kemudian:
"Hanya ada satu jalan bagi kalian," kata sang Sultan. "Jika kalian benar-benar
ingin membuktikan bahwa kalian bukan pengkhianatpengkhianat Banten dan bahwa kalian benarbenar telah menyelamatkan kerajaan, maka salah
seorang dari kalian harus dapat menangkap Ismaya hidup-hidup dan membawanya ke hadapanku!" Mahesa dan Ekawira saling berpandangan.
Kemudian bertanyalah Mahesa Kelud. "Mengapa hanya salah seorang dari kami yang
ditugaskan untuk menangkap Ismaya" Mengapa tidak berdua?" "Salah seorang dari kalian harus tetap tinggal di sini, dipenjarakan
sebagai jaminan!" jawab Sultan Banten pula.
"Kalau memang itu menjadi keputusan
Sultan, meski mungkin suatu keputusan yang keliru, baiklah. Saya yang akan pergi mencari manusia Ismaya itu dan menyeretnya ke sini!"
Tidak bisa!" tukas Ekawira. "Saya yang akan pergi!"
"Jangan bodoh kakang!" balik menukas
Mahesa Kelud. "Aku tidak bermaksud merendahkan ketinggian ilmumu. Tapi sudah
dapat dipas- tikan bahwa Ismaya akan berada di tempatnya
Resi Mintaraya. Di gunung Halimun. Di sana pasti ada pula Unang Gondola serta mungkin ditambah dengan beberapa orang murid Resi Sakti tersebut...!" "Jika demikian kau sendiri pun belum tentu akan sanggup Mahesa!" kata Ekawira.
"Betul, tapi inilah satu hal yang akan aku coba demi membukakan mata manusiamanusia dalam istana ini akan kebenaran yang nyata!" jawab Mahesa. Oleh kata-katanya ini
kelihatan be- tapa air muka Sultan Hasanuddin menjadi merah. Ekawira berpaling pada sultan. "Sultan Banten," katanya dengan nada penuh
keyakinan. "Sebelum para pengawal menjebloskanku ke dalam penjara di bawah tanah, maka
dengarlah ini baik-baik. Jika Mahesa Kelud nanti kembali
membawa Ismaya dan membentangkan kebenaran bahwa kami bukanlah pengkhianatpengkhianat maka pada saat itu juga aku akan
melepaskan segala jabatan yang pernah diberikan kepadaku!" Pemuda ini berpaling
kepada beberapa orang prajurit yang sesungguhnya adalah
anak-anak buahnya sendiri. "Lakukanlah perintah Sultanmu!" katanya.
Empat orang pengawal maju dengan serentak. Meskipun mereka merasa tidak senang melakukan hal itu, menangkap atasan mereka sendiri
namun di hadapan Sultan sikap ketidak senangan mereka tersebut tidak mereka perlihatkan.
Sesudah Ekawira bersama pengawalpengawal tersebut menghilang di balik pintu besar maka berkatalah Mahesa Kelud. "Sultan, saya akan kembali membawa Ismaya! Dan
nantikanlah saat-saat kenyataan bahwa sesungguhnya segala
tindakanmu ini adalah keliru!" Pemuda ini memutar tubuhnya. Sekali dia
berkelebat maka dia pun hilang dari pemandangan.
* * * Gunung Halimun, tempat dimana diketahui Resi Mintaraya berdiam tidak dekat dari Banten, jauh di selatan pedalaman.
Jalan ke sana sukar dan banyak rintangan. Hutan lebat boleh dikatakan menghadang pemuda itu terus-terusan.
Dan daerah yang nanti bakal dilalui Mahesa Kelud itu adalah daerah Pajajaran sehingga bukan
tidak mungkin pula pemuda itu akan terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang tak terduga di tengah perjalanannya!
Pada hari kedua, untuk kesekian kalinya
Mahesa Kelud memasuki hutan lagi. Pohon-pohon
besar tumbuh rapat. Rata-rata batang-batang pohon diselimuti oleh lumut hijau. Semak belukar
merimbun menghalangi perjalanan, pukulan yang
dikenakan oleh Mahesa banyak robek-robek terkait ranting-ranting. Udara dalam hutan terasa
lembab. Di satu bagian di mana pohon-pohon dan
semak belukar tidak begitu rapat lagi pemuda ini menemui jalan agaknya memang
bagian itu sering dilalui orang. Tanpa ragu-ragu si pemuda segera menempuh jalan tersebut. Namun
belum lama dia mengikuti jalan ini dia menjadi terkejut ketika mendengar suara beradunya
senjata dan suara bentakan-bentakan. Dari jalan biasa Mahesa kini berlari dan
dalam waktu singkat dia pun sampai ke tempat di mana saat itu terjadi
pertempuran hebat. Lima orang laki-laki berpakaian prajurit Banten tengah mengeroyok seorang gadis
cantik berbaju dan bercelana panjang merah! Lima orang prajurit ini masing-masing bersenjatakan
pedang sedang si

Mahesa Kelud - Malapetaka Di Puncak Halimun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis melayaninya dengan tongkat rotan berbentuk aneh. Tongkat ini pada kedua ujungnya berkeluk dan di tangan si gadis merupakan suatu
senjata yang hebat berbahaya. Namun demikian
ketinggian ilmu silat gadis ini agaknya tidak berarti karena kelima orang
lawannya adalah prajurit-prajurit Banten berkepandaian cukup tinggi
sehingga Mahesa dapat melihat dengan jelas
bahwa gadis cantik berbaju merah dan berkulit
putih mulus ini berada dalam keadaan terdesak
serta berbahaya keselamatannya. Anehnya si gadis sendiri senantiasa tertawa-tawa. Sedang pada tangan kirinya kelihatan lima
buah topi kain yang tak lain dari pada topi-topi kelima prajurit Banten
tersebut! "Gadis nakal!" bentak salah seorang dari kelima prajurit itu. "Sebentar lagi
tubuhmu yang indah ini akan tersayat-sayat oleh senjata-senjata kami! Kecuali
kalau kamu bersedia berlutut dan
minta ampun!" "Prajurit gelo!" kata si gadis dengan tertawa. Suaranya merdu sekali. "Kalianlah yang harus berlutut di hadapanku. Kalau
tidak tongkat rotanku ini akan memecahkan tempurungtempurung lutut kalian!" Bersamaan dengan itu tubuh si gadis laksana seekor
burung menukik ke bawah dan tongkat rotannya menyambar ke lutut
lima prajurit tersebut! Serangan ini memang hebat dan berbahaya serta menggunakan jurus yang
aneh! Jika prajurit-prajurit tersebut tidak memiliki ilmu silat yang lumayan
maka sekurang- kurangnya salah seorang dari mereka pasti sudah kena dicelakai!
Meskipun gadis berbaju merah itu memiliki
ilmu tongkat yang patut dikagumi serta gesit gerakannya dan ilmu mengentengi
tubuhnya tidak pula rendah, namun dikeroyok lima seperti itu
mau tidak mau dia jadi mati kutu dan terdepak!
Pada jurus-jurus selanjutnya Mahesa melihat bagaimana si gadis baju merah kini membuat gerakan-gerakan yang memungkinkan kepadanya untuk sewaktu-waktu dapat melarikan diri! Namun
lawan-lawannya tidak bodoh dan detik demi detik keselamatan si gadis semakin
besar terancam! Parasnya yang jelita dan berkulit putih itu kini kelihatan merah sedang keringat
membasahi keningnya. Lawan sama sekali tidak memberikan
kesempatan untuk lari kepadanya!
Mahesa Kelud tidak tega melihat kalau si
gadis sampai mendapat celaka. Namun dia tidak
pula ingin mencari permusuhan dengan kelima
prajurit Banten tersebut meskipun sampai saat
Sirkus Pak Galliano 1 Pendekar Rajawali Sakti 213 Gadis Serigala Wanita Iblis 2

Cari Blog Ini