Balada Padang Pasir Karya Tong Hua Bagian 9
diantara kami semakin jauh, namun ia sama sekali tak berpaling,
akan tetapi langkahnya sedikit melambat.
Saat itu fajar menyingsing, angin musim semi bertiup lembut,
sinar mentari terasa hangat, namun sosok-sosok berbaju hitam
yang berjalan diantaranya nampak janggal di tengah
pemandangan musim semi itu, membuat suasana menjadi
muram. Hatiku sedikit melembut, aku berlari mengejarnya, walaupun
mendengar suara langkah kakiku, ia yang masih mengenakan
baju hitam tak berpaling, namun dalam sekejap mata sosoknya
melebur dalam sinar mentari musim semi yang hangat.
Walaupun aku setengah kepala lebih pendek dari Huo Qubing,
namun aku lebih tinggi dari kebanyakan orang di jalan, mereka
memuji kami sebagai pria-pria anggun, mungkin karena wajah
tersenyumku yang kontras dengan wajah Huo Qubing yang
dingin, ketika kami berjalan, pandangan kaum wanita terpaku
padaku. Sambil tersenyum aku menyambut tatapan mata mereka,
para wanita tua memandangku dengan ramah, sedangkan para
wanita muda dengan jengah menghindari pandangan mataku.
Di sepanjang jalan, aku merasa sangat senang. Kalau penduduk
Chang'an bersifat terbuka, penduduk Xiyu berani dan lugas.
Ketika seorang gadis penjual bunga menaruh bunga persik dalam
pelukanku, para pejalan kaki tertawa, bahkan ada seorang lelaki
berkata sambil bergurau, "Bunga apa yang mekar di bulan tiga"
Bunga aprikot dan persik mekar di bulan tiga, gadis-gadis pun
berlomba-lomba menghadiahkan bunga persik".
Aku baru saja hendak menutupi senyumku dengan tangan,
namun mendadak sadar bahwa aku sedang berpura-pura
menjadi seorang pria, maka aku cepat-cepat menegakkan
tubuhku dan menjura pada si gadis penjual bunga sambil
memegang bunga persik itu.
Huo Qubing yang terus berwajah dingin melemparkan beberapa
keping perak yang nilainya cukup untuk membeli beberapa
batang pohon persik ke arah si gadis penjual bunga, namun gadis
itu memandangnya dengan kesal dan mengembalikan uang itu
kepadanya, "Siapa yang mau uangmu" Aku menghadiahkannya
untuk tuan muda ini".
Mungkin Huo Qubing baru untuk pertama kalinya bertemu
dengan seseorang yang mengembalikan uangnya dengan kesal,
kerumunan orang di jalan itu bersorak-sorai, "Melihat pakaian
tuan muda, nampaknya tuan muda datang dari Chang'an" Kau
terlalu memandang rendah kami orang Xiyu".
Orang yang tadi menyanyi pun kembali menyanyikan sebuah lagu
lucu, "Bunga apa yang mekar di bulan empat" Di bulan empat
bunga padma mekar, bunga padma mekar dan wanginya tercium
di mana-mana, si gadis kecil suka orangnya bukan uangnya".
Semua orang tertawa terbahak-bahak, si gadis penjual bunga
menatap sang penyanyi dengan jengah bercampur kesal, aku
kembali menghormat pada si gadis penjual bunga sambil
tersenyum, lalu menarik Huo Qubing dan cepat-cepat berlalu.
Setelah melewati beberapa rumah, aku menemukan sebuah
kedai yang bersih, maka aku pun menarik Huo Qubing ke depan
kedai itu. Sambil tersenyum aku berkata pada penjual mi yang
berusia empat puluh tahun lebih itu, "Mohon jiejie buatkan dua
mangkuk mi ikan". Ia tertegun untuk beberapa saat, memandang
ke sekelilingnya, lalu memutuskan bahwa ialah yang sedang
dipanggil, ia pun tersenyum bagai bunga yang mekar dan
nampak lebih muda sepuluh tahun.
Aku memberikan bunga persik di tanganku kepada sang kakak
seraya mendoakan agar dagangannya hari ini seramai bunga
yang semarak itu. Sambil tersenyum ia menerima bunga itu, lalu menancapkannya
di sanggulnya, "Semasa muda aku paling suka memakai bunga
persik sebagai tusuk konde, sudah lama sekali tak ada yang
memberiku bunga dan aku juga sudah lama sekali tak memakai
tusuk konde". Setelah selesai makan, uang perak Huo Qubing belum berkurang
juga karena sang penjual mi berkata, "Aku cocok dengan adik ini,
dua mangkuk mi ini hadiah dari jiejie".
Sejak keluar dari markas, di sepanjang jalan Huo Qubing
bermuka tembok dan tak pernah berkata apa-apa, tapi sekarang
ia tiba-tiba menggeleng dan tersenyum, "Aku tak tahu kalau kau
pandai makan dengan cuma-cuma". Sambil tersenyum dengan
puas diri aku memandangnya.
"Kau sangat pandai menyamar menjadi seorang pria, cara
berjalanmu sama sekali tak seperti perempuan, aku dapat
menempatkanmu di markas tanpa khawatir sebagai pengawal
pribadiku". "Hah! Kau berhati-hatilah sedikit. Kalau kau membuatku marah
aku akan berubah menjadi pembunuh", kataku dengan setengah
bercanda. "Apakah Longxi mengasyikkan?"
"Asyik sekali".
"Kalau mengasyikkan berarti kita tak datang dengan sia-sia.
Jangan marah lagi, ya?"
Dengan agak tak berdaya aku berkata, "Aku punya kaki, kalau
ingin pergi akhirnya aku akan pergi juga, memangnya berapa
lama kau dapat menahanku?"
Setelah terdiam untuk beberapa lama ia berkata, "Sampai kau
putus asa dan memilih untuk tak pergi, atau sampai aku putus
asa, saat itu mungkin aku akan membebaskanmu". Aku hendak
berbicara namun ia kembali berkata, "Tapi mungkin juga aku tak
akan membebaskanmu".
Dengan kesal aku menghentakkan kakiku, mendadak aku
mengibaskan lengan bajuku dan menutupi wajahku, di sepanjang
jalan aku tak menghiraukannya lagi.
Seorang Hu yang wajahnya penuh debu menjual pisau di tepi
jalan, tempat itu sudah jauh dari jalanan yang ramai, sangat sepi,
ia pun tak berteriak menawarkan dagangannya, hanya berjaga di
depan kiosnya saja, sehingga usahanya semakin sepi.
Sebenarnya aku telah melewatinya, tapi mataku tertarik pada
mainan di kiosnya, aku pun segera berbalik dan berjalan ke
arahnya. Begitu melihatku memandangi pisau-pisaunya, tanpa berkata
apa-apa ia menaruh beberapa pisau yang menurutnya bagus di
hadapanku. Aku mengambil sebilah pisau yang unik bentuknya,
setelah memungut dan memperhatikannya dengan seksama,
ternyata pisau itu persis dengan pisau mainanku saat kecil. "Dari
mana kau mendapatkan pisau ini?"
Dengan terbata-bata, orang Hu itu memberi penjelasan dalam
bahasa Han, garis besarnya adalah bahwa ia membelinya dari
orang lain, dan orang lain itu pun membelinya dari seorang lain
lagi. Aku menghela napas dengan pelan, bertahun-tahun yang silam,
di tengah kekacauan saat itu, entah pengawal mana yang
menyelundupkan pisau itu keluar istana, dan setelah itu selama
bertahun-tahun entah berapa kali ia berpindah tangan, "Aku mau
pisau ini, berapa harganya?"
Orang Hu itu menunjuk pisau dalam genggamanku, lalu
menunjuk pisau-pisau di kiosnya, dengan terbata-bata ia berkata,
"Pisau ini tidak bagus, pisau ini bagus".
Aku menoleh ke arah Huo Qubing, ia melemparkan setahil emas
ke arah orang Hu itu, wajah orang Hu itu nampak gelisah, ia
cepat-cepat berkata, "Terlalu banyak".
Aku berkata, "Pisau itu harganya jauh lebih tinggi, simpanlah
uangnya!" Orang biasa kalau melihat pisau ini akan melihat bahwa
walaupun bentuknya unik dan hiasannya indah, mata pisaunya
tak tajam, seakan hanya untuk dipakai perempuan, mereka tak
tahu bahwa ongkos pembuatan pisau ini amat mahal. Saat itu
putra mahkota Xiongnu secara khusus mengundang empu terbaik
di seluruh Xiyu serta Gurun Utara dan Gurun Selatan, setelah
berusaha keras, ia baru dapat membuat pisau ini.
Aku membuka sebuah alat yang ditanam di dalam gagang pisau
itu seraya memikirkan peristiwa yang menimpa diriku kemarin
malam, aku mendongak memandang Huo Qubing, lalu berteriak
keras-keras, "Coba lihat apakah kau akan punya kesempatan
untuk menganiayaku!" Aku pun mengangkat pisau itu dan
menikamkannya ke jantungku sendiri.
Orang Hu yang berada di sampingku berteriak kaget, dalam
sekejap mata wajah Huo Qubing menjadi pucat pasi, dengan
panik ia menarikku, namun ia sudah terlambat selangkah, seluruh
mata pisau telah masuk ke dadaku, ia hanya sempat menyambut
tubuhku yang terkulai lemas.
Aku memandangnya sambil memicingkan mata, tadinya aku
masih ingin berpura-pura untuk mengodanya, tapi tangannya,
bahkan sekujur tubuhnya gemetaran, dan tak nyana hal ini
membuat hatiku pedih. Aku segera berdiri tegak, sambil tertawa terkekeh-kekeh, aku
menarik keluar pisau itu, lalu menekan ujung pisau keras-keras
dengan tanganku, seluruh mata pisau pun tertarik masuk ke
dalam gagang pisau, "Apa kau ini bodoh" Kau bukannya sudah
pernah membunuh orang, kalau pisau menusuk dada, bagaimana
bisa tak ada setitik darah pun mengalir?"
Untuk beberapa saat ia memandangku dengan tertegun, lalu tibatiba meraung, "Aku benar-benar bodoh!" Ia mengibaskan lengan
bajunya, lalu pergi dengan langkah-langkah lebar.
Aku cepat-cepat mengejarnya, "Jangan marah, barusan ini sifat
nakalku muncul dan aku ingin bergurau denganmu".
Huo Qubing tak berkata apa-apa, hanya terus berjalan dengan
cepat. Aku terus menempel di sisinya dan tak henti-hentinya
minta maaf, namun ia sama sekali tak menghiraukanku.
Kalau ia tak panik karena mengkhawatirkanku, dengan
pengalamannya di medan perang, mana mungkin ia tak tahu
bahwa aku sedang bercanda" Aku kembali teringat akan
wajahnya yang pucat pasi tadi dan merasa bersalah, dengan
lembut aku berkata, "Aku tahu kau tak marah karena aku
bercanda denganmu, kau marah karena aku mempertaruhkan
nyawaku sendiri untuk bercanda, bagaimana kalau pisau itu tak
bekerja sesuai dengan keinginanku?" Aku menghela napas
panjang, "Pisau ini adalah hadiah dari seorang kawan baik ketika
aku kecil, aku menggunakannya untuk menakut-nakuti A Die,
bagaimana aku bisa tak mengenalinya" Di dalam gagang pisau
ada sebuah alat yang dapat mengeluarkan darah palsu, saat
mata pisau tertarik, darah akan mengucur, persis seperti darah
asli. Barusan ini ketika melihat pisau ini, pikiranku penuh
kenangan masa kecil dan watakku saat itu yang suka berbuat
onar pun muncul. Tak nyana setelah bertahun-tahun, aku dapat
membeli kembali mainan masa kecilku".
Mungkin karena untuk pertama kalinya mendengarku mengungkit
masa silamku, wajah Huo Qubing menjadi jauh lebih santai, "Kau
punya ayah?" Aku mempermainkan pisau dalam genggamanku, "Masa begitu
lahir aku langsung menjadi seperti ini" Tentu saja aku punya
ayah yang mengajarku".
Huo Qubing terdiam untuk beberapa saat, lalu berkata dengan
hambar, "Punya ayah atau tidak sama saja".
Tentunya ia sedang berpikir tentang ayah kandungnya, Huo
Zhongru. Bertahun-tahun yang silam, Huo Zhongru berhubungan
gelap dengan Wei Shaoer sehingga dirinya terlahir, namun Huo
Zhongru tak mau menikahi Wei Shaoer dan menikahi orang lain,
oleh karenanya Huo Qubing tak pernah mempunyai seorang
ayah, sampai Wei Zifu menjadi permaisuri, Liu Che baru
menikahkan Wei Shaoer dengan Chen Zhang, sehingga ia
menjadi Nyonya Chen dan Huo Qubing pun mempunyai ayah tiri.
Begitu memikirkan hal ini, aku segera mengalihkan pokok
pembicaraan dan berbicara dengan tak tentu arah tentang
berbagai hal yang tak ada hubungannya dengan masalah itu,
tentang berapa lama waktu yang diperlukan untuk menempa
pisau itu, tentang bagaimana permata yang menghiasi pisau itu
adalah permata kesukaanku, sampai ekspresi muram di
wajahnya itu menghilang, hatiku baru terasa lega.
Setelah kembali ke markas, ia bertanya padaku, "Kau mau tidur
lagi?" Aku menggeleng-geleng, "Sekarang tak lelah, aku tak mau tidur".
Ia mengajakku ke istal kuda, lalu menyuruh seorang prajurit
berusia sekitar lima belas tahun membawa seekor kuda,
"Walaupun usia Li Cheng masih muda, namun kepandaian
menunggang kudanya sangat baik, belajarlah menunggang kuda
dengannya secepatnya".
Aku mengerutkan dahiku, "Tak mau". Ia pun mengerutkan
dahinya dan memandangku tanpa berkata apa-apa.
Suara genderang terdengar bergemuruh, namun ia masih
memandangiku tanpa berkata apa-apa, aku sama sekali tak
menghindari pandangan matanya. Suara genderang perlahanlahan menjadi semakin cepat, tiba-tiba ia menghela napas
dengan pelan, lalu tanpa berkata apa-apa menaiki kuda itu dan
memacunya. Dengan kebingungan aku memandang Li Cheng, "Kenapa dia
kabur?" LI Cheng heran karena aku berada di markas tentara, namun
makna suara genderang pun aku tak paham, "Jenderal hendak
memeriksa barisan tentara! Kurasa tiga atau empat hari lagi
pasukan akan berangkat menyerang Xiongnu".
Aku mengerutkan hidungku, lalu mengibaskan lengan bajuku,
hendak pergi, namun Li Cheng cepat-cepat menghalangiku,
"Jenderal memerintahku untuk mengajarimu menunggang kuda".
"Aku tak mau belajar". Sambil berbicara aku memutarinya dan
terus berjalan, namun Li Cheng mencengkeram lenganku eraterat, "Kau harus mau belajar, kalau kau tak belajar aku tak bisa
menyelesaikan tugas yang diberikan jenderal padaku".
Aku mengulirkan mataku, "Kalau tak bisa menyelesaikan tugas
memangnya kenapa" Apa hubungannya denganku?"
Karena cemas, butir-butir keringat muncul di ujung hidung Li
Cheng, "Kalau tak bisa menyelesaikan tugas, kesan jenderal
terhadapku akan jelek, dan aku tak akan dapat secepatnya maju
ke medan perang dan membunuh bangsa Xiongnu".
Aku mendengus, hendak mengibaskan tangannya, namun tak
nyana, tenaga tangannya kuat, aku mengerahkan empat bagian
tenagaku namun ternyata masih tak dapat melepaskan diri.
Dengan wajah cemas Li Cheng memohon, "Kenapa kau tak bisa
menunggang kuda" Orang Xiongnu semua sangat ganas, kalau
kau tak bisa menunggang kuda, kalau terjadi sesuatu yang tak
terduga kau akan berada dalam bahaya besar, dan akan
membebani seluruh pasukan".
Hatiku terkesiap, tanganku yang baru saja hendak memukul
lehernya langsung berhenti bergerak, kalau sampai benar-benar
terjadi sesuatu, orang pertama yang terbebani adalah Huo
Qubing, "Umurmu masih muda, kenapa kau tak membantu ayah
ibumu di rumah, untuk apa kau lari ke markas tentara?"
Wajah Li Cheng langsung berubah, matanya nampak agak
basah, namun suaranya dingin dan keras bagai mata pedang,
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Musim gugur tahun lalu, bangsa Xiongnu masuk ke Yanmen
Guan dan membuat onar, ayah, ibu dan kakak semua sudah
dibunuh bangsa Xiongnu".
Aku terdiam untuk beberapa saat, lalu menepuk-nepuk bahunya,
"Xiao shifu, ayo belajar menunggang kuda. Tapi ingat, kau tak
boleh bersikap tak sabar padaku, tak boleh menertawakanku, dan
terlebih lagi tak boleh mengataiku bodoh, kalau tidak, awas
kepalanku". Sambil mengusap-usap matanya, Li Cheng mengangguk-angguk
sambil tersenyum. Aku berlatih sejak pagi hari hingga hari gelap, kecuali saat
beristirahat saat makan siang, aku terus menerus melompat naik
dan turun punggung kuda?".
Saat mulai berlatih, Li Cheng masih terus menerus memujiku, "Jin
Dage, wajahmu halus tapi watakmu cukup keras".
Perlahan-lahan, pandangan mata Li Cheng yang penuh
kekaguman berubah menjadi memuja, dari memuja berubah
menjadi terkejut, lalu dari terkejut berubah menjadi ketakutan,
sampai akhirnya dengan tersedu-sedan ia mohon agar aku tak
usah menunggang kuda lagi.
Dengan terpincang-pincang aku berjalan masuk ke markas, Huo
Qubing sedang mempelajari peta kulit domba di bawah cahaya
lentera, melihat tampangku yang tak keruan, ia mengerutkan
dahinya dan memandang ke arah Li Cheng.
Wajah Li Cheng nampak amat kesal, ia memandangku seakan
memandang orang gila, lalu dengan terperinci melaporkan
kemajuanku dalam menunggang kuda. Setelah selesai
mendengarnya, seulas senyum perlahan-lahan muncul di
bibirnya, setelah itu ia memerintah Li Cheng agar menyuruh
orang menyiapkan peralatan mandi.
Begitu Li Cheng keluar dari ruangan itu, aku langsung berbaring
di atas bangku, seluruh tulang belulangku benar-benar seakan
tercerai berai, tubuhku barusan ini begitu lemas sehingga aku
ingin langsung berbaring di lantai saja.
Huo Qubing duduk di sisiku, lalu menyentuh memar di wajahku,
"Sakit, ya?" Aku memejamkan mataku, lalu mendengus dengan dingin, "Coba
jatuh dari kuda puluhan kali, nanti kau akan tahu sakitnya!"
"Berbalik dan menelungkup".
"Untuk apa?" "Kalau baru mulai belajar menunggang kuda, pinggang dan
punggung mudah pegal, aku akan membantumu memijatnya".
Aku berpikir sejenak, lalu berbalik dan menelungkup, "Jangan
keras-keras, karena jatuh bahu kiriku agak sakit".
Sambil dengan lembut memijat punggungku, ia berkata, "Belajar
menunggang kuda harus perlahan-lahan, kenapa kau begitu tak
sabaran" Melihat sikapmu ini, sepertinya kau ingin dalam sehari
langsung mahir berkuda".
Aku mendengus dan berkata, "Siapa yang tadi pagi menyuruhku
cepat-cepat mempelajarinya?"
"Kukira kalau aku tak berkata demikian kau tak akan belajar
dengan sungguh-sungguh".
Aku mendengus, lalu tak berkata apa-apa lagi. Ia berkata, "Besok
pagi pasukan akan berangkat".
Dengan terkejut aku duduk, lalu berpaling memandangnya,
"Besok pagi sudah pergi" Aku baru dapat mencongklang, belum
bisa berputar dan berhenti, selain itu, kalau tak hati-hati aku
masih terjatuh. Tapi?".tapi kalau berusaha keras aku akan
berhasil, nanti aku akan mengikat diriku sendiri di punggung
kuda, coba lihat apakah ia dapat menjatuhkanku atau tidak".
Huo Qubing tertawa dan berkata, "Kenapa kau sinting begini"
Aku belum pernah mendengar ada orang belajar menunggang
kuda seperti itu. Baru belajar sehari, tapi kau sudah berani
berkata bahwa kau bisa mencongklang" Kau mengandalkan ilmu
silatmu yang tinggi sehingga tak mati kalau jatuh, oleh karenanya
kau membiarkan kuda itu lari dengan liar, tapi kalau aku
membiarkanmu ikut dalam pasukan, mau tak mau kau akan
mengacaukan seluruh pasukan. Kau tak usah ikut aku, belajarlah
dengan perlahan di markas".
Aku memandangnya dengan bimbang untuk beberapa saat, lalu
kembali menelungkup di bangku, "Kau tak takut aku akan kabur?"
Sebelum ia sempat menjawab, di luar terdengar seorang prajurit
melapor, "Jenderal, peralatan mandi sudah siap".
Tanpa bergerak, Huo Qubing memerintahnya, "Bawa masuk".
Melihatnya tak memperdulikan wibawanya sebagai seorang
jenderal, aku juga malas memperdulikan aturan sopan santun,
maka aku tetap berbaring di bangku. Begitu pandangan mata
para prajurit yang membawa masuk peralatan mandi menyapu ke
arahku, mereka langsung mengalihkan pandangan mata mereka,
sambil menunduk mereka mengotong air panas dan bak mandi
itu ke ruangan dalam. "Mandilah dahulu, di markas tentara tak ada gadis pelayan, hanya
seadanya saja, tapi kalau kau berkenan, hamba bersedia
melayanimu". Huo Qubing menarikku hingga bangkit.
Aku mendengus dengan dingin, berjalan dengan terhuyunghuyung ke ruangan dalam, lalu menurunkan tirai untuk menutupi
pintu. "Yu er, apakah akhir-akhir ini mulutmu bermasalah?"
Sambil menanggalkan baju, aku bertanya, "Bermasalah
bagaimana?" "Kulihat kalau menjawab, hidungmu sering mendengus-dengus
seperti hewan ternak".
"Hah!" Aku merayap masuk ke dalam bak mandi, malas berdebat
dengannya. Di luar ia tertawa, "Kalau kau mendengus-dengus lagi, setelah ini
kau akan kupanggil babi kecil".
Di dalam bak mandi rasanya nyaman, aku pun memejamkan
mata, tulang belulangku yang seakan tercerai berai pun perlahanlahan bersatu kembali.
"Yu er, tunggu aku pulang di markas, kali ini aku akan berusaha
kembali lebih cepat, paling cepat beberapa hari dan paling lambat
belasan hari, aku tak akan membiarkanmu menunggu terlalu
lama". Aku diam seribu bahasa. Ia menunggu sebentar, lalu kembali
berkata, "Kabarnya daging serigala sangat tak enak, aku juga tak
ingin makan makanan yang tak enak dimakan".
Aku mendengus keras-keras, "Karena kau diam-diam sudah
punya rencana, kenapa kau bersikap munafik dengan berpurapura minta bantuanku?"
Ia baru saja memanggil, "Yu er.......", namun di luar seorang
prajurit telah melapor, "Jenderal, ada orang yang mengantarkan
sangkar merpati, dua ekor merpati dan sebuah buntalan".
Seketika itu juga, aku membuka mataku lebar-lebar, mereka
berdua akhirnya sampai juga.
"Jenderal, semua barang dari penginapan sudah berada di sini.
Sejak kemarin malam kedua merpati ini tak mau makan dan
minum, ketika kami memaksa mereka makan, mereka mematuk
kami dengan ganas, oleh karenanya kami tak bisa memberi
mereka makan". Mereka berdua, kenapa begitu bandel" Begitu mendengar
tentang hal itu, aku tak bisa menikmati air panas lagi dan cepatcepat mandi dengan asal karena ingin segera melihat mereka.
Huo Qubing berkata, "Tak apa-apa, begitu melihat majikan
mereka, mereka tak akan bersedih lagi".
"Jenderal, ada satu hal lagi, ketika kami meninggalkan
penginapan itu, ada orang yang sedang bertanya tentang kemana
perginya nona yang menginap di kamar nomor dua......."
Suaranya mendadak menjadi amat pelan, aku sedang
mengeringkan tubuh dengan handuk, aku berusaha
mendengarkannya, namun hanya mendengar suara yang amat
pelan, akan tetapi tak bisa memahaminya.
Begitu mendengar suara langkah kaki keluar dari ruangan itu, aku
langsung berlari keluar, "Xiao Tao, Xiao Qian, Xiao Yu ada di
sini!" Begitu mendengar suaraku, Xiao Tao dan Xiao Qian yang sedang
mendekam di dalam sangkar langsung berdiri, aku membuka
sangkar itu dan membiarkan mereka berdua keluar. Tempat
makanan dan air dalam sangkar itu terisi penuh, aku menuang
biji-bijian di telapak tanganku, Xiao Tao langsung mematuknya,
namun Xiao Qian hanya berpaling memandangiku saja, seakan
ingin tahu kenapa aku begitu lama meninggalkan mereka. Untuk
membujuk mereka, aku menaruh tempat air di hadapan mereka,
"Minumlah dulu, kali ini kalian jangan menyalahkanku, salahkan
dia". Aku melirik Huo Qubing.
Mungkin Xiao Qian sedikit mengerti perkataanku, ia tak lagi
menatapku dengan sepasang matanya yang merah, ia
mengibaskan sayapnya lalu dengan santai minum air, hinggap di
samping telapakku dan mulai makan biji-bijian.
Huo Qubing melangkah ke sampingku dan berjongkok, menonton
mereka makan, "Tak nyana, kedua merpati ini lebih keras kepala
dari banyak manusia, mereka lebih suka kelaparan daripada
makan dari tangan orang lain".
Dengan lembut aku merapikan bulu-bulu Xiao Qian, lalu
tersenyum dan berkata, "Tentu saja, di kolong langit ini hanya aku
dan Jiu.........", aku tergagap-gagap, perkataanku tertahan di
tenggorokan, aku menarik napas panjang, lalu memaksa diriku
untuk tersenyum dan kembali berbicara seakan tak ada apa-apa,
"Mereka hanya mengenaliku, sama sekali tak akan makan dari
tangan orang lain". Kuharap senyumku nampak alami, seakan aku telah melupakan
segalanya, akan tetapi ternyata aku sama sekali tak dapat
melakukannya, karena senyumku lebih jelek dari tangis, lebih
baik aku tak usah tersenyum lagi dan hanya memperhatikan Xiao
Qian dan Xiao Tao makan. Huo Qubing mendadak bangkit, berjalan ke depan meja, lalu
melihat peta sambil menunduk.
Untuk beberapa saat aku terpana, lalu tiba-tiba teringat akan
sesuatu yang baru saja terjadi, aku pun berpaling dan bertanya,
"Barusan ini kudengar orang yang mengantar buntalanku berkata
bahwa ada orang yang bertanya tentang diriku, ada apa
sebenarnya?" Huo Qubing mengambar-gambar di atas peta, seakan tak
mendengarku. Setelah aku bertanya sekali lagi, ia baru menjawab
dengan asal tanpa mengangkat kepala, "Kau tiba-tiba lenyap
tanpa kabar, tapi kusir keretamu itu berusaha cukup keras untuk
mencarimu, sampai membuat keributan di kantor pejabat
setempat, tak bisa ditenangkan. Orang-orang di sekitarmu itu
kenapa" Bahkan kusir kereta yang cuma kebetulan menempuh
perjalanan bersamamu juga terus menempelmu?"
Aku merasa terharu, "Kau jangan menganiayanya, paman itu
benar-benar baik". Huo Qubing mendengus, "Pasti dia lemah lembut, tak bisa
berkelahi". Aku mendengus dan tertawa, "Bukankah siasat yang kau dan
kaisar seharian rencanakan juga lembut dan keras" Dengan
kekuatan mengetarkan Xiongnu" Dengan kelembutan memecah
belah Xiongnu?" Xiao Tao dan Xiao Qian sudah makan dan minum hingga
kenyang, mereka bermesraan di samping tanganku, lalu dengan
perlahan masuk ke dalam sangkar untuk beristirahat.
Aku bangkit dan memandang Huo Qubing, "Kemarin kau tak
beristirahat dan besok kau harus berangkat pagi-pagi, kau tak
tidur?" Ia melemparkan kuas tulisnya, mengulet dan berkata, "Aku
memang harus tidur dengan nyenyak, kalau tidak, setelah perang
ini selesai, aku baru dapat tidur dengan tenang".
Aku menguap sambil menutupi mulutku, "Aku tidur di mana?"
Ia mengangkat dagunya, menunjuk ke arah ruangan dalam, "Kau
tidur di dalam, aku tidur di luar".
Ia menyuruh orang membereskan ruangan itu, lalu kami masingmasing pergi tidur. Saat berbaring di ranjang aku masih
memikirkan segala kejadian menakjubkan yang terjadi sejak
kemarin malam hingga saat ini, dan juga merencanakan apa yang
harus kulakukan setelah ini, tapi aku terlalu lelah, begitu kepalaku
menyentuh bantal, aku langsung masuk ke alam mimpi.
Ketika sedang tidur nyenyak, aku merasa bahwa ada seseorang
di samping ranjang, hatiku terkesiap dan aku langsung terbangun,
seketika itu juga aku sadar siapa dia, aku berbalik, dan dengan
wajah menghadap ke luar, tanpa membuka mata, aku berkata,
"Pukul berapa ini" Kau sudah akan berangkat" Hari belum juga
terang!" Ia berkata dengan lirih, "Aku pergi dulu". Di tengah kegelapan,
wajahnya semakin lama semakin dekat denganku, aku dapat
merasakan napasnya yang hangat, jantungku berdegup makin
kencang, dan aku semakin tak berani membuka mata lagi,
sehingga aku hanya memejamkan mata, berpura-pura
mengantuk. "Kalau ada apa-apa, minta Li Cheng membantumu, dalam belajar
menunggang kuda yang paling penting kau harus sabar,
berusahalah untuk tetap berada di markas, kalau kau benarbenar bosan, kau boleh datang ke pasar untuk bermain bersama
nona-nona disana, tapi ingat, kau harus selalu memakai pakaian
lelaki". Dengan pelan aku menghela napas, ia pun tak berkata apa-apa
lagi dan hanya memandangiku.
Beberapa saat kemudian, dengan lembut ia mengelus kepalaku,
"Aku pergi dulu". Ia berdiri, lalu berjalan ke luar dengan langkahlangkah lebar, mau tak mau aku berseru, "Huo Qubing!" Ia
berpaling memandangku, aku duduk di ranjang dan berkata, "Kau
harus selalu berhati-hati".
Di tengah kegelapan nampak seulas senyum yang secemerlang
mentari, "Pasti!"
Li Cheng nampak lesu, mulutnya tak henti-hentinya mengumam
pada dirinya sendiri, "Kenapa begitu berkata akan berangkat,
pasukan langsung berangkat" Begitu aku sampai di markas,
markas sudah kosong melompong".
Kulihat bahwa ia sedang tak ingin mengajarku berkuda, maka aku
berlatih sendiri, kali ini aku bersikap sabar, dengan perlahan aku
berkenalan dengan sang kuda dan mencongklang dengan
perlahan, sampai aku tak terjatuh lagi. Sampai tengah hari, Li
Cheng masih duduk sambil termenung dengan wajah sedih.
Aku melompat turun dari punggung kuda, berjalan ke sisi Li
Cheng dan menggodanya agar ia mau berbicara, namun ia masih
bersedih dan hanya menjawab satu dari sepuluh pertanyaanku
dengan asal. "Apakah kau harus membalas dendam?"
Li Cheng mengangguk dengan sikap bersungguh-sungguh,
"Kalau aku tak membunuh beberapa orang Xiongnu untuk
menghibur arwah ayah, ibu dan kakak di surga, seumur hidupku
ini aku tak berguna, aku harus.......", matanya nampak basah,
"aku harus membalas dendam!"
Aku memandangnya tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat,
lagi-lagi seseorang yang ingin membalas dendam atas kematian
ayahnya. "Xiao Shifu, kalau kita menjajal kepandaian dan dalam
seratus jurus kau tak kalah, aku akan mohon pada jenderal untuk
mengajakmu kalau ia berperang melawan bangsa Xiongnu lagi".
Li Cheng mengangkat kepalanya dan memandangku, "Seorang
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lelaki harus menepati janjinya, bukan?"
Dengan sikap bersungguh-sungguh aku mengangguk, Li Cheng
segera bangkit, lalu menghunus pedang yang tergantung di
pinggangnya. Dengan asal aku membuat kuda-kuda, lalu berseru,
"Memangnya bangsa Xiongnu mau menunggumu menyerang
mereka?" Sambil berseru keras-keras, ia segera menebas ke
arahku. Kalau ilmu silatku digunakan untuk bertanding atau berlatih,
kemungkinan besar aku akan kalah, namun dalam pertarungan
hidup dan mati, musuhkulah yang kemungkinan besar akan mati.
Kawanan serigala tak mengenal olahraga untuk memperkuat
tubuh, hanya mempunyai keahlian membunuh mangsa. Semua
jurus yang kumiliki hanya untuk membunuh musuh, setiap
jurusnya ganas, harus dapat membunuh musuh dengan
mengeluarkan tenaga sesedikit mungkin, oleh karenanya aku
belum pernah benar-benar menggunakan kungfuku, ini adalah
untuk pertama kalinya aku benar-benar menyerang seseorang.
Pada mulanya Li Cheng masih terlalu berhati-hati, setelah
beberapa jurus, tangannya yang memegang pedang hampir saja
patah terkena pukulanku, sedangkan aku berkedip saja tidak,
setelah itu ia tak berani menahan diri lagi dan menyerangku
dengan jurus-jurus yang ganas. Di jurus kelima puluh satu, aku
melompat untuk menghindari tebasan pedang yang ditujukan
untukku, lalu sepasang jariku menggunakan kesempatan itu
untuk menusuk matanya, ia mendongak sambil dengan sekuat
tenaga mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan,
namun kakiku menendang pergelangan tangannya, sehingga
pedangnya terlepas dan melayang.
Aku bertepuk tangan dan dengan gesit mendarat di tanah, sambil
memandang Li Cheng yang setengah berlutut di tanah, aku
berkata, "Aku cuma menambah tenaga sedikit saja, tapi kau
sudah menyerah, bangsa Xiongnu tak akan ragu menggunakan
tenaga mereka". Tanpa berkata apa-apa, Li Cheng memungut pedangnya, lalu
langsung menebas ke arahku. Aku tertawa, bocah ini boleh juga!
Dalam pertarungan hidup mati tak perlu sopan santun.
Dalam enam hari itu, selain berlatih berkuda, aku terus berlatih
silat dengan Li Cheng. Ia sangat bandel, pada suatu ketika aku
memukul hidungnya, namun ia tak memperdulikan darah segar
yang mengalir dari hidungnya dan air mata yang berlinangan di
matanya, ia membuka matanya lebar-lebar dan menebas tujuh
kali, tebasan terakhir berhasil merobek seluruh lengan bajuku.
Tapi sayangnya, ia hanya bertahan delapan puluh tujuh jurus
saja, sambil berseru, "Bagus!", aku menonjok hidungnya tanpa
belas kasihan, setelah itu ia terhuyung-huyung, lalu ambruk.
Dalam enam hari yang pendek, bagai angin yang paling dashyat
di padang pasir, Huo Qubing memimpin pasukannya menggulung
lima negara Xiongnu, menumpas musuh, menangkap dan
membunuh para bangsawan dan pejabat, menyerang musuh
sejauh hampir seribu li dari Yanzhi Shan ke barat laut, membunuh
Raja Lan, Raja Lu dan menawan Pangeran Hunxie, perdana
menteri dan panglima angkatan bersenjata, secara keseluruhan
pasukannya membunuh lebih dari delapan puluh sembilan ribu
orang. Setelah perang ini, Yanzhi Shan, gunung terindah milik
bangsa Xiongnu, masuk ke dalam wilayah Han Agung, wilayah
Dinasti Han pun kembali berekspansi ke barat.
Pasukan berkuda kebangaan Bangsa Xiongnu yang dapat
menyerang dengan amat cepat disapu bersih oleh serangan kilat
seribu li Huo Qubing, begitu untuk pertama kalinya memimpin
pasukan, Huo Qubing menimbulkan ketakutan besar di kalangan
bangsa Xiongnu. Walaupun meraih kemenangan gemilang dalam
pertempuran ini, namun korban amat besar, dari sepuluh ribu
orang yang pergi berperang, hanya tiga ribu yang pulang hiduphidup, akan tetapi ini adalah untuk pertama kalinya kecepatan
pasukan berkuda bangsa Han diadu dengan pasukan berkuda
musuh, dan bangsa Han menang telak, ini adalah kemenangan
pertama bangsa petani melawan bangsa pengembara di
punggung kuda, mungkin di masa depan akan terjadi hal serupa,
namun kejadian itu benar-benar belum pernah terjadi
sebelumnya. Aku duduk di dalam kamar, dari perkemahan di kejauhan
terdengar sorak-sorai berkumandang, kali ini mereka telah meraih
kemenangan besar dan kaisar tentu akan memberi hadiah besar
pada seluruh pasukan, wajah semua orang yang pulang hiduphidup pasti akan dihiasi senyum lebar.
Begitu suara pintu didorong hingga terbuka terdengar, Huo
Qubing telah berdiri di hadapanku. Sekujur tubuhnya penuh debu,
wajahnya nampak kelelahan, namun matanya penuh rasa
bahagia. Sambil tersenyum aku bangkit, "Kukira kau akan minum
arak kemenangan dulu!"
Ia tak berkata apa-apa, hanya memandangiku dengan penuh
kehangatan. Aku menghindari pandangan matanya, berusaha
sebisanya untuk bersikap hambar dan berkata, "Jangan-jangan
kau sudah tujuh hari penuh tak pernah turun dari punggung kuda,
mandi dulu sana!" Ketika aku sedang berbicara, ia sudah ambruk ke atas ranjang,
aku terkejut dan segera memapahnya, ia mengenggam tanganku
dan mengumam, "Tak tahan lagi, kalaupun langit runtuh aku
harus tidur dulu". Setelah berbicara, suara dengkuran pun
terdengar. Aku berusaha menarik tanganku, namun tak dapat menariknya, di
bawah sadar, ia malahan mengenggam tanganku lebih erat lagi.
Aku menghela napas dengan pelan dan duduk di sampingnya. Di
balik jubah hitamnya nampak bercak-bercak merah, lengan
bajunya pun koyak-koyak, di sekelilingnya tercium bau yang
aneh. Aku mencium-cium tubuhnya, bau keringat kuda bercampur
darah pun menyeruak, aku segera mengerenyitkan hidungku
untuk menghindarinya. Setelah menyambar permadani dan menutupinya dengannya,
aku memandanginya dengan murung. Sejak mentari berada di
atas kepala sampai hari seluruhnya gelap, ia tidur seperti seekor
babi mati, sama sekali tak bergerak.
Aku mengeraskan hati dan berusaha melepaskan pegangan
tangannya, namun walaupun sedang berada di alam mimpi, ia
masih dapat mengibaskan tanganku, sekarang aku benar-benar
mempercayai perkataannya bahwa ia dapat berkuda sambil tidur.
Melihat rupanya sekarang, nampaknya ia dapat membunuh
musuh sambil tidur. Akhirnya aku tak tahan lagi dan melihat ke lantai, di lantai
terhampar sehelai permadani bulu domba yang tebal, maka aku
pun berbaring di atasnya dan dengan asal menyelimuti diriku
dengan ujung permadani itu, lalu memejamkan mata dan tidur.
Bau tak enak terus menyelimuti hidungku, dengan kepala pusing
aku berpikir sejenak, lalu dengan meraba-raba mengambil sehelai
sapu tangan yang telah diberi wewangian dan menutupi wajahku
dengannya, aku pun merasa lebih tenang dan tidur dengan
nyenyak. Ketika Huo Qubing mengambil sapu tangan yang menutupi
wajahku, aku sudah bangun. Mentari bersinar cemerlang, dan
sebuah wajah tersenyum yang lebih gemilang lagi nampak di atas
kepalaku, untuk sesaat aku tertegun dan menatapnya tanpa
berkedip. "Lama sekali tak melihatku, apakah kau tak sedikitpun merasa
rindu?" Sebelah tangannya masih mengenggam tanganku
sedangkan yang sebelah lagi mengangkat sapu tangan, lalu
mengelitik wajahku dengan ujungnya.
Aku mengayunkan tanganku untuk memukul pergi sapu tangan
itu, "Begitu kau pulang aku harus tidur di lantai, gila kalau aku
merindukanmu!" "Ranjang ini begitu besar, kenapa kau tak tidur di atas saja?"
Sambil berbicara ia hendak menarikku ke atas ranjang.
Sambil mendorongnya aku berkata, "Kau mimpi di siang bolong!"
Ketika kami berdua sedang saling mendorong, kepalaku
menyentuh bahunya, aku segera menutupi hidungku, "Kumohon
padamu, Tuan Besar Huo, jangan bermain-main lagi. Kau bau
sekali, cepatlah mandi, kemarin aku harus mencium baumu
semalaman!" Ia mengangkat lengannya dan mencium-ciumnya, "Bau, ya"
Kenapa aku tak bisa menciumnya" Coba cium lagi yang benar,
pasti kau salah". Sambil berbicara ia menyodorkan lengannya ke
mukaku. Sambil menghindar aku mengomel, "Kau sengaja
menggodaku!" Ketika sedang tarik menarik, sambil tertawa ia terjatuh ke atas
ranjang. Aku tak dapat menghindar dan ditindih olehnya, suasana
segera berubah, kami berdua diam seribu bahasa. Ia menatapku
tanpa berkedip, napasnya sedikit demi sedikit berubah menjadi
berat, aku berusaha menghindari pandangan matanya namun
terus memandanginya, jantungku melompat-lompat makin cepat.
Perlahan-lahan ia menunduk, tubuhku menjadi kaku, bibirnya
hampir menyentuh bibirku. "Jin Dage, apakah hari ini kau sudah
belajar menunggang kuda?"
"Ah!", Li Cheng menjerit, ia baru masuk ke dalam tenda, namun
langsung melompat keluar, sambil dengan kalang kabut menutup
pintu ia berkata dengan suara gemetar, "Aku tak melihat apa-apa,
aku benar-benar tak melihat apa-apa........"
Begitu pintu didorong hingga terbuka oleh Li Cheng aku tersadar,
tiba-tiba aku berpaling untuk menghindar, bibirnya seakan
menyapu pipiku tapi mungkin juga tidak. Huo Qubing meninju
lantai keras-keras, namun sebelum rasa marahnya hilang, ia
sudah tersenyum, "Yu er kau tak dapat terus menghindarinya".
Aku tak tahu perasaan apa yang berkecamuk dalam hatiku, tanpa
berkata apa-apa, aku mendorong-dorongnya, memberi isyarat
padanya agar melepaskanku, ia pun segera bangkit sambil
bertumpu pada kedua tangannya, namun aku terus berbaring
sambil memandangi langit-langit dengan tertegun.
Huo Qubing tersenyum dan berkata, "Aku mandi dulu, nanti aku
akan memeriksa kemajuan pelajaran berkudamu, kau tak boleh
mengecewakanku". Lama setelah ia pergi, aku baru mencuci mukaku. Setelah air es
menyiram wajahku aku baru tersadar, aku menutupi wajahku
dengan sapu tangan, pikiranku galau.
"Jin Dage". Dengan amat hati-hati Li Cheng memanggil dari
belakangku. Aku berpaling memandangnya, lalu dengan agak
lesu berkata, "Setelah makan pagi, aku akan berlatih
menunggang kuda". Sambil makan pagi, Li Cheng dengan amat hati-hati
memperhatikanku, "Jin Dage, kalau kau sedih, hari ini kita tak
usah berlatih". Aku mengangkat kepalaku dan memandangnya, mendadak aku
tahu apa yang ada dalam pikirannya dan segera bereaksi,
mantou dalam mulutku hampir saja tersembur keluar, aku
terbatuk-batuk, lalu tanganku melayang ke kepalanya, "Kau
masih ingusan, bukannya memikirkan bagaimana dapat berlatih
dengan baik, tapi malahan memikirkan yang tidak-tidak?"
Dengan merasa bersalah, Li Cheng mengelus-elus kepalanya,
sebelah matanya nampak terbelalak, sedangkan yang satu lagi
nampak terpicing, hidungnya biru seakan kedinginan, mulutnya
miring, wajahnya seperti babi, namun ia masih memandangiku
dengan wajah penuh simpati.
Aku takut tersedak dan tak lagi berani makan, maka aku menaruh
mantou dalam genggamanku dan tertawa sampai puas. Kupikir
bahwa aku tak boleh membuat pikiran Li Cheng si bocah ingusan
ini bingung, "Kejadian baru-baru ini cuma salah paham, aku dan
jenderal sedang berlatih, tapi ilmu silat jenderal tak buruk seperti
kau, maka kami seimbang, ketika sedang bergulat karena tak
hati-hati kami jatuh ke lantai, kebetulan saat itu kau melihat kami
sehingga kau jadi salah paham".
Bocah kecil benar-benar gampang dibohongi, begitu selesai
mendengar penjelasanku, Li Cheng menjadi girang, ia berteriak
keras-keras, katanya hari ini ia hendak berlatih lagi denganku.
Begitu Huo Qubing datang, aku dan Li Cheng segera menuntun
kuda keluar. Huo Qubing memandang wajahku yang berseri-seri,
lalu memandang wajah Li Cheng yang bengkak seperti kepala
babi, ia tak bisa menahan tawa dan bertanya, "Aku
memerintahnya mengajarimu berkuda, kau tak senang, tapi masa
harus memukulinya sampai jadi seperti ini?"
Aku mencibir, tak menjawab. Li Cheng cepat-cepat berkata, "Jin
Dage sedang mengajariku kungfu, bukan memukuliku".
Dengan agak tercengang Huo Qubing melirikku, "Mengajarimu
kungfu" Kalau semua guru mengajar murid dengan cara seperti
ini, siapa yang berani belajar kungfu?"
Aku menepuk-nepuk punggung kuda, lalu melompat ke atasnya,
"Aku cuma tahu cara mengajar seperti ini supaya ia bisa
menghadapi pertarungan hidup dan mati. Tidak ada jurusnya, aku
cuma mengajarkan cara memukul musuh sampai mati dengan
satu pukulan". Huo Qubing tertawa, melompat ke punggung kuda dan memberi
perintah pada Li Cheng, "Hari ini kau tak usah mengajarinya
berkuda, pulang dan beristirahatlah dulu!"
Li Cheng menjawab dengan suara pelan, "Baik". Sambil
menunduk, ia berjalan kembali ke markas dengan perlahan, aku
berseru, "Setelah pulang, carilah kakak-kakak yang baru pulang
dari medan perang dan berlatihlah dengan mereka, nafsu
membunuh mereka belum hilang, kalau kau dapat memancing
kekejaman mereka keluar, setelah berlatih, kau tentu akan
mendapatkan banyak manfaat".
Li Cheng berpaling, lalu dengan gembira berseru, "Baik!", setelah
itu ia berlari pergi secepat kilat. Aku dan Huo Qubing berkuda
bersama, "Apa kau hendak membesarkan anak serigala" Hatihati, jangan-jangan serigala-serigala bawahanku akan
mematahkan kakinya".
Aku tertawa cekikikan, "Aku sudah memperingatkannya!
'Mendapatkan banyak manfaat' sepertinya juga termasuk patah
lengan dan kaki, kepalanya bisa berubah dari kepala serigala
kecil menjadi kepala babi besar".
Huo Qubing menggeleng dengan geli, "Barusan ini aku heran
kenapa kau begitu baik hati dan mau mengajarnya, tapi sekarang
aku merasa bahwa dia bernasib buruk karena bertemu
denganmu". Aku memandang Huo Qubing sambil membelalakkan mataku,
"Ayah ibunya binasa di bawah pedang bangsa Xiongnu, kau tahu
tidak?" "Tak tahu, di markas ada begitu banyak prajurit, aku tak punya
waktu untuk mencari tahu asal usul mereka, aku cuma perduli
apakah mereka bertempur dengan gagah berani di medan perang
atau tidak. Untuk mengajarimu menunggang kuda, Zhao Ponu
mengusulkannya padaku".
"Aku berjanji pada Li Cheng bahwa kalau ia dapat melayani
seratus jurusku, aku akan mohon padamu agar ia diperbolehkan
maju ke medan perang".
"Kalau menuruti ajaranmu, ia tentu bisa maju ke medan perang,
kita lihat saja nanti, sekarang kita lihat dulu apa yang telah kau
pelajari dalam beberapa hari ini". Begitu menyelesaikan
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkataannya, sepasang kaki Huo Qubing menjepit kudanya,
sang kuda pun melompat ke depan dari sisiku.
Aku juga sengaja memamerkan hasil jerih payahku beberapa hari
ini dan segera memacu kuda untuk mengejarnya. Tak nyana, ia
tak sedang berpacu denganku, kadang-kadang ia berbelok ke
kanan, ke kiri, atau berputar dan mencongklang ke arah
sebaliknya. Walaupun telah berusaha sekuat tenaga, aku tak bisa
mengejarnya, malahan karena beberapa kali berbelok dengan
cepat, tali kekang menjadi terlalu kencang dan membuat sang
kuda marah, sehingga aku hampir terjatuh beberapa kali.
Diriku kuat bertarung setengah hari bersama Li Cheng, namun
setelah beberapa putaran, ternyata dahiku bermandikan peluh.
Huo Qubing memandangiku dengan santai sambil tersenyum
lebar. Karena tak berhasil memamerkan kepandaianku di hadapannya,
aku melompat turun dari kuda dengan agak kesal, lalu duduk di
atas tanah. Huo Qubing duduk di sisiku, "Kau menunggang kuda
dengan sangat baik, aku tak menyangka dalam beberapa hari
kau dapat belajar sampai ke tingkat ini".
Dengan bimbang aku berpaling memandangnya, namun ia
berkata sambil tersenyum, "Aku bukan sedang menyenangkan
hatimu saja, yang kukatakan memang yang sebenarnya".
Mau tak mau aku tersenyum.
"Yu er, besok aku akan memimpin pasukan kembali ke
Chang'an". Senyum di bibirku kontan sirna, aku menunduk dan menaruh
kepalaku di lutut sambil memandangnya dengan muram.
"Jangan khawatir, aku tak akan memaksamu pulang ke Chang'an,
tapi kau juga tak boleh diam-diam kabur ke padang pasir.
Lagipula, kau kan harus mengajari Li Cheng kungfu" Berlatihlah
menunggang kuda dengan baik, aku akan segera kembali".
Aku diam seribu bahasa dan terus duduk dengan tenang. Kuda di
sisiku mendadak meringkik keras, memecahkan kesunyian di
sekeliling kami. Huo Qubing tersenyum dan berkata, "Kau tentunya sudah
mencicipi nikmatnya memacu kuda. Aku memaksamu belajar
berkuda bukan hanya karena berharap kau dapat berkelana
bersamaku, tapi juga karena kau pasti akan suka berkuda
secepat angin, aku tak ingin kau melewatkan kenikmatan seperti
ini dalam hidup". Sambil berbicara ia menarikku hingga bangkit,
"Ayo, hari ini si jenderal ini akan mengajarimu beberapa jurus
rahasia menunggang kuda yang belum pernah kuajarkan
sebelumnya". Di tengah malam, saat sedang tidur nyenyak, tiba-tiba aku
merasakan seseorang menyusup ke dalam selimutku, aku
merasa amat geram dan segera menyikut perutnya, namun Huo
Qubing memelukku erat-erat, menahan tubuhku yang merontaronta, dengan suara pelan ia memohon, "Yu er, aku tak punya
maksud apa-apa, besok pagi aku akan pergi, sekarang aku
hendak berbaring di sisimu sejenak, jangan tendang aku, aku
hanya akan berbaring di ranjang, sumpah, aku tak akan
menyentuhmu". Aku berpikir sejenak, lalu menjadi tenang, ia menarik tangannya,
tubuhnya pun menjauh, aku bergeser, memberi tempat untuknya
di atas ranjang, ia pun berbisik, "Terima kasih".
Ia menaruh sebuah lembaran bambu dalam tanganku, aku
merabanya dan bertanya, "Apa ini" Kenapa seperti lembar
ramalan?" "Memang lembar ramalan, dan kau sendirilah yang memintanya".
Aku tertegun, teringat akan lembar ramalan yang beberapa tahun
yang lalu kubuang dengan sembarangan, dan teringat pada
dirinya yang berdiri tanpa bergeming di bawah pohon Huai.
Ternyata ia telah mencari lembaran ramalan ini di tengah semaksemak. Pikiranku penuh rasa duka, namun rasa duka itu
bercampur dengan suatu kehangatan, sehingga sepertinya agak
berkurang, untuk sesaat aku tak tahu sebenarnya perasaan apa
yang sedang kurasakan, dan kenapa aku merasakannya.
"Ramalan itu berbunyi, 'Bima Sakti nun jauh, mengejar asmara
mengharapkan sepasang bintang. Pasir kuning luas tak berbatas,
mengubur bayangan kesedihan'".
Aku berpikir sejenak, namun tak bisa memahami apa makna
ramalan itu. Apakah ramalan itu mengatakan bahwa aku
mengharapkan sepasang bintang namun akhirnya harus
mengubur bayangan kesedihan" Kurasa kalimat pertama lebih
cocok dengan Huo Qubing, namun kalimat kedua sepertinya
menyiratkan suatu kemalangan. Aku tak ingin terlalu
memikirkannya dan berkata, "Ramalan selalu berisi perkataan
yang tak jelas artinya".
"Barusan ini aku mimpi, di mimpi itu kulihat aku telah pulang dari
Chang"an, tapi walaupun telah mencarimu, tak bisa
menemukanmu, aku pun naik kuda sendirian dan tak hentihentinya melarikannya, namun tetap tak bisa menemukanmu. Yu
er, berjanjilah padaku, tak perduli apapun yang terjadi, kau tak
boleh melarikan diri, kau harus menungguku pulang".
Di tengah kegelapan malam, keangkuhan yang biasanya nampak
di matanya di siang hari sedikit berkurang, di matanya lebih
banyak nampak rasa bimbang, ia menatapku tanpa berkata apaapa, tak memaksaku, tapi juga tak memohon. Perasaannya
nampak dengan jelas, benang-benang cinta mengalir dari
matanya, menerjang hatiku dan membuatnya pedih. Sebelum
sempat memikirkannya dengan seksama, aku telah berkata,
"Setelah ini aku tak akan pergi tanpa berpamitan, bahkan
kalaupun aku hendak pergi, aku akan langsung berpamitan
padamu". Senyum mengembang di bibirnya, "Aku akan membuatmu
enggan berpisah denganku".
Orang ini diberi hati minta ampela, aku mendengus dengan
dingin, lalu berguling sehingga membelakanginya, "Baiklah! Kalau
kau pulang ke Chang"an, jangan sekali-kali memberitahu orang
lain dimana aku berada".
Setelah diam sejenak, Huo Qubing bertanya, "Siapapun juga?"
Aku memikirkan Li Yan, Hong Gu dan yang lainnya, "Ya".
"Baiklah". Aku berpaling ke arahnya dan berkata, "Sebentar lagi hari akan
terang, cepatlah tidur dulu".
Sambil tersenyum ia mengangguk, lalu memejamkan matanya.
Aku pun memejamkan mataku, namun pikiranku sulit menjadi
tenang. Kalau Li Yan sampai tahu bahwa aku bersama Huo
Qubing, mungkin ia akan langsung bergerak untuk
menghancurkan Luoyu Fang. Kupikir aku dapat melarikan diri dari
kerumitan kehidupan di Chang"an dengan meninggalkan sepucuk
surat, tapi hidup manusia memang seperti kata Huo Qubing,
bagai sulur yang saling membelit tak ada hentinya, dan tak
seperti yang kupikirkan, aku tak dapat meninggalkan dan
melupakan segalanya hanya dengan pergi.
Dalam benakku berbagai pikiran muncul silih berganti, entah
kapan aku jatuh tertidur, saat terbangun di pagi hari, tempat di
sisiku sudah kosong melompong, entah gerakannya yang lincah,
atau diriku yang tidur dengan sangat nyenyak, entah kapan ia
pergi, aku sama sekali tak merasakannya. Tanganku mengelus
tempat yang kemarin ditidurinya, lalu aku memandang ke depan
sambil termenung-menung. -------------------"Seratus!" Li Cheng yang tangannya berlumuran darah berseru
keras-keras, lalu dengan lemas membuang pedangnya ke atas
tanah, setelah itu ia pun ambruk ke atas tanah.
Dengan kening berkerut aku memandangnya, "Jangan mati
karena kehabisan darah sebelum maju ke medan perang, rawat
lukamu baik-baik dulu".
Sambil meringis kesakitan Li Cheng tertawa, lalu dengan
bertumpu pada sepasang tangannya, ia bangkit, "Sudah seratus
jurus, Jin Dage, kau harus menepati perkataanmu".
Air mata samar-samar nampak berlinangan di matanya, aku
tersenyum dan mengangguk, "Sudah tahu, carilah tabib untuk
membalut lukamu, malam ini aku akan mentraktirmu makan
kenyang di pasar, supaya tubuhmu kuat".
Ketika melihat sup ayam dengan angco, wajah Li Cheng nampak
agak kecewa, "Kita akan makan ini?"
Dengan heran aku berkata, "Bukankah ini jauh lebih enak
dibandingkan ransum di markas" Makanan di markas jarang ada
minyaknya". "Tentu saja tak bisa dibandingkan, tapi walaupun enak, terlalu
ringan, seperti makanan perempuan yang baru melahirkan", kata
Li Cheng sambil memandangi daging ayam yang putih itu.
Sambil tertawa aku memberinya sebuah sendok kayu, "Akhirakhir ini kau banyak kehilangan darah, maka aku sengaja
membantumu menambah darah, jangan cerewet, cepat makan!"
Setelah selesai makan, dua lelaki menaiki kuda mereka dan
pergi, ketika kuda mereka berlari melewati jendela, tanpa sengaja
aku memandang mereka, cap serigala biru di pantat kuda mereka
seakan hidup, aku tak ingat dimana pernah melihatnya
sebelumnya. Melihatku tertegun sambil mengerutkan dahi, Li Cheng mengetuk
mangkukku dengan sumpitnya, "Jin Dage, apa yang sedang kau
pikirkan?" Aku cepat-cepat tersenyum sambil menggeleng. Saat pelayan
datang membawa teh, dengan asal aku bertanya, "Lelaki-lelaki
bertubuh tegap yang baru keluar itu orang sini?"
Sambil menuang teh, sang pelayan berkata, "Bukan, dari
penampilannya, mereka sepertinya orang suruhan sebuah
keluarga kaya dan berpengaruh, sepertinya salah seorang
anggota keluarga mereka hilang, dimana-mana mereka bertanya
tentang seorang nona. Ai! Saat ini bencana perang terus
berulang, orang tak bisa hidup dan terpaksa menjadi bandit, para
pedagang pun harus menyewa jago-jago silat, baru bisa melewati
Hexi dan Xiyu, jangan-jangan nona itu telah bernasib malang!"
Li Cheng mendengus dengan dingin dan berkata, "Semua ini
gara-gara bangsa Xiongnu, setelah berhasil mengalahkan bangsa
Xiongnu, kita semua akan dapat hidup dengan tenang dan tak
usah menjadi bandit".
Dari wajahnya, sang pelayan menyetujui perkataannya, ia
membuka mulutnya, namun kembali menutupnya, lalu menuang
teh sambil tersenyum dan mengundurkan diri.
Kehidupan menjadi sangat sederhana dan tenang, selama hampir
sebulan, setiap hari, selain berlatih silat dan menunggang kuda
dengan Li Cheng, atau bermain dengan Xiao Qian dan Xiao Tao,
aku hanya melewatkan waktu dengan santai. Ketika aku mulai
bosan, surat Huo Qubing tiba.
?""..aku dan Gongsun Ao memimpin pasukan berangkat dari
utara, masing-masing pasukan akan menyerang Xiongnu. Kali ini
Li Gan juga ikut bertempur,"..." Dahiku berkerut. "Jangan
mengerutkan dahimu, ia berangkat dari barat bersama ayahnya,
Li Guang. Kami akan memimpin pasukan masing-masing, sampai
akhir pertempuran, kemungkinan kami untuk bertemu tak besar.
Setelah menerima surat ini, segera pergilah bersama pembawa
surat ini ke markas utara".
Chen Ankang yang mengantarkan surat itu menunggu untuk
waktu yang lama, ketika melihatku masih duduk sambil tertegun,
dengan suara pelan ia berkata, "Jenderal memerintahku untuk
membawa gongzi ke markas utara".
Aku menghela napas, "Jenderal tentu memberi perintah lain
padamu, sepertinya mau tak mau aku harus pergi, kalau memang
harus pergi, ayo pergi! Tapi aku ingin mengajak Li Cheng, apakah
kau dapat melakukannya?"
Chen Ankang menjura, "Mengenai hal ini caixia dapat
melakukannya, caixia akan memerintah komandan di sini untuk
membebaskannya, dengan demikian, sesampainya di tempat
jenderal, caixia akan dapat mempertanggungjawabkannya".
Aku bangkit dan berkata, "Kalau begitu, ayo berangkat!"
Seakan telah terbebas dari sebuah beban berat, Chen Ankang
menghembuskan napas lega dengan suara pelan aku pun
menyindirnya, "Entah apa yang diperintahkan jenderal padamu
sampai kau menjadi begitu tegang".
Sambil tersenyum ia berkata, "Tak cuma jenderal yang memberi
perintah padaku, sebelum pergi ayah mengomeliku semalaman
sehingga aku tak tahu harus berbuat apa, aku benar-benar
khawatir gongzi akan menolak".
Dengan heran aku memandangnya, "Ayahmu?"
Chen Ankang tersenyum dan berkata, "Gongzi kenal ayahku, dia
adalah pengurus rumah tangga jenderal".
"Ah!", ujarku, aku menunjuk diriku sendiri, "Kalau begitu kau tahu
aku adalah".." Sambil tersenyum ia mengangguk, aku pun
merasa akrab dengannya dan menggerutu padanya, "Coba lihat
bagaimana jenderalmu menyiksaku, seumur hidupku akulah yang
membuat orang lain menderita, kapan aku pernah disiksa orang
lain?" Sambil menunduk Chen Ankang tersenyum, "Takdir membuat
musuh menjadi kawan". Melihatku menatapnya dengan tajam, ia
cepat-cepat menambahkan, "Itu bukan perkataanku, tapi
perkataan ayah". Aku memberikan sangkar burung kepadanya, lalu berkata dengan
kesal, "Bawalah". Aku pun memberikan buntalanku padanya,
"Ambillah". Setelah melihat ke sekelilingku, aku segera keluar dari
tenda. Aku berbaring di dalam kereta, berpura-pura tidur siang, dengan
penuh semangat Li Cheng melompat-lompat, kadang-kadang ia
pergi ke sisi Chen Ankang dan bertanya tentang keadaan di
medan perang dengan cerewet.
Setelah terbiasa terguncang-guncang dengan keras di punggung
kuda, kali ini duduk di dalam kereta terasa amat nyaman,
sebelum merasa lelah, kami telah tiba di markas utara.
Ketika melompat turun dari kereta, mataku masih kabur, namun
Huo Qubing telah menarikku ke dalam pelukannya. lalu berbisik,
"Sudah sebulan aku tak melihatmu, sudah sebulan penuh aku
khawatir, jangan-jangan suatu hari aku terbangun dan menerima
surat yang mengatakan bahwa kau telah pergi, tapi untung saja,
walaupun kau sering berbohong, kau selalu memegang janjimu".
Orang ini benar-benar suka berbuat sesuka hatinya tanpa
memperdulikan pandangan orang lain. Aku memukulinya, hendak
mendorongnya pergi, namun ia menarik bahuku sehingga aku tak
bisa bergerak. Dengan penuh perhatian, Chen Ankang menunduk dan
mempelajari warna tanah di markas utara, namun dengan wajah
terkejut, Li Cheng menatap kami dengan mata terbelalak.
Aku menghela napas panjang, kebohongan apa lagi yang dapat
kukarang kali ini" Kungfu apa yang perlu dilatih dengan cara
berpelukan" Setelah beristirahat dua hari di markas, pasukan bersiap untuk
berangkat, Huo Qubing dan Gongsun Ao sepakat untuk
menyerang Xiongnu dari dua sisi dan saling membantu, setelah
itu, pasukan berkuda Jenderal Li Guang akan menyokong mereka
dari belakang, untuk memastikan bahwa semua akan berjalan
dengan lancar. Langit gelap gulita, tak nampak sebuah bintang pun, hanya bulan
sabit yang sedang tenggelam nampak tergantung di sudut langit.
Di bumi yang sunyi senyap hanya terdengar derap kaki kuda.
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baju zirah yang tak terhitung banyaknya berkilauan. Di depan
debu nampak bergulung-gulung, di belakang debu pun nampak
bergulung-gulung, hatiku penuh rasa gelisah yang sulit dilukiskan.
Huo Qubing melirikku, lalu mengenggam tanganku, "Tak apa-apa,
aku tak akan membiarkan orang Xiongnu melukaimu".
Aku mengigit bibir bawahku, "Aku agak mengkhawatirkan Li
Cheng. Apakah aku telah melakukan sesuatu yang benar atau
tidak" Aku sama sekali tak mengerti kejamnya medan perang,
begitu ia naik ke punggung kuda, hidup dan mati hanya terpisah
oleh selembar rambut, sering kali walaupun pandai berkelahi
seseorang tak dapat kembali hidup-hidup".
Huo Qubing mengenggam tali kekang, matanya terus
memandang ke kegelapan tak berbatas di hadapannya, sinar
matanya sedingin bulan dingin di angkasa, "Kalau membunuh
orang Xiongnu adalah keinginan terbesar dalam hidupnya,
walaupun harus binasa, asalkan dapat melakukan perbuatan
yang ingin dilakukannya, ia tak akan menyesal, memangnya dia
sudi tetap hidup dengan tenang" Tak ada yang bisa menjamin
apakah seseorang akan hidup atau mati di medan perang".
Aku mencibir, "Kau mengingkari perkataanmu sendiri, barusan ini
kau menjamin bahwa tak akan terjadi apa-apa padaku".
Ia berpaling ke arahku dan berkata sembari tersenyum, "Karena
aku Huo Qubing, kau adalah suatu perkecualian".
Dengan kesal aku mengerenyitkan hidungku, lalu menggelenggeleng sambil tertawa, tanpa terasa, suasana tegang dan
menekan barusan ini telah sirna.
Setelah bergerak dengan cepat selama sehari dan semalam,
pasukan mendirikan kemah sederhana dan beristirahat.
Walaupun aku sudah bekerja keras untuk mempersiapkan diri,
setelah untuk pertama kalinya duduk di punggung kuda begitu
lama, kaki dan pinggangku seakan bukan milikku lagi. Begitu
mendengar Huo Qubing memberi perintah untuk beristirahat, aku
segera melompat turun dan berbaring di tanah. Huo Qubing
duduk di sisiku, lalu bertanya sembari tersenyum, "Sekarang kau
tahu bahwa uangku tak mudah didapat, bukan" Setelah ini kau
harus sedikit berhemat".
Aku baru saja hendak berbicara, namun Chen Ankang telah
cepat-cepat maju dan menghormat, dengan wajah serius, Huo
Qubing bertanya dengan suara rendah, "Masih belum berhasil
bertemu dengan Gongsun Ao?"
Chen Ankang menjura dan melapor, "Semua mata-mata yang
dikirim melapor bahwa mereka masih belum dapat menemukan
Jenderal Gongsun, sampai sekarang Jenderal Gongsun belum
tiba di tempat pertemuan yang sudah disepakati, beliau juga
belum mengirim orang untuk menemui kita. Pasukan yang
dipimpin Jenderal Zhang Qian dan Li Guang juga belum ada
kabarnya, tak sesuai dengan rencana yang telah disusun
sebelumnya". Huo Qubing terdiam sesaat, lalu berkata dengan hambar, "Kirim
orang untuk berusaha mencari lagi, kabar tentang Gongsun Ao
tak boleh tersebar keluar, malam ini perintahkan semua orang
beristirahat dengan baik".
Aku berpikir sejenak, walaupun hafal ilmu perang, namun aku
hanya tahu ilmu dari buku saja, satu-satunya cara yang terpikir
olehku adalah: kita harus segera mundur, sama sekali tak boleh
menyerang. Pasukan pendamping entah kenapa tak tentu
rimbanya, dan sekarang pasukan penyokong pun entah sedang
tertahan di mana. Begitu pertempuran dimulai keadaan kita sudah
kacau balau dan berada di pihak yang lemah.
Setelah berjalan berputar-putar beberapa kali, Huo Qubing
berkata padaku, "Tidurlah dengan nyenyak, jangan berpikir yang
tidak-tidak". "Kau bagaimana?"
"Aku juga akan tidur". Setelah berbicara ternyata ia mengelar
selimut, berbaring di atasnya, lalu tidur.
Situasi berubah dengan amat cepat, aku tak sempat bereaksi dan
menjadi tertegun, bukankah ia seharusnya memikirkan jalan
keluar" Namun setelah itu aku berubah pikiran, kalau sang
jenderal tak khawatir, kenapa aku harus khawatir" Kalau langit
runtuh dialah yang akan tertimpa dahulu. Aku menyelimuti diriku
sendiri, lalu tidur dengan nyenyak.
Begitu fajar menyingsing di ufuk timur, pasukan telah siap
berangkat, tapi Gongsun Ao dan Li Guang masih tak ada
kabarnya, Huo Qubing tersenyum dan berkata padaku, "Dahulu Li
Guang tersesat, sekarang jangan-jangan ia kembali tersesat, oleh
karenanya aku sengaja minta pada kaisar agar Zhang Qian yang
hafal keadaan alam di Xiyu ikut dengan Li Guang, tak nyana
sekarang Gongsun Ao yang sudah lama ikut paman yang
tersesat". Aku berkata, "Kalau begitu, sekarang apa yang harus kita
lakukan?" Huo Qubing memandang mentari merah yang sedang dengan
perlahan terbit di ufuk timur, lalu menunjuk Qilian Shan, "Kita
akan pergi ke sana".
Aku segera menarik napas panjang, setelah memandang Qilian
Shan di kejauhan, hatiku perlahan-lahan menjadi tenang, masuk
ke dalam wilayah musuh bukan untuk pertama kalinya baginya.
Ketika melakukannya untuk pertama kalinya, ia memimpin
delapan ratus penunggang kuda masuk ke wilayah Xiongnu,
setelah itu, ia memimpin selaksa prajurit berperang selama enam
hari, malang melintang di lima negara Xiongnu, walaupun
menurut rencana awal pasukannya tak akan berperang sendirian,
namun akhirnya ia harus melakukannya.
Qilian Shan subur dan banyak airnya, gunung itu adalah tempat
utama bangsa Xiongnu menggembalakan ternak mereka, dan
juga gunung yang menjadi kebanggaan mereka. Pertempuran kali
ini akan sengit, tapi kalau dapat menang, A Die pasti akan sangat
senang. A Die....... Ketika Huo Qubing melihatku memandang Qilian Shan sambil
termenung, dengan nada meminta maaf ia berkata, "Tadinya
kukira serangan ini akan agak santai, namun ternyata kita harus
bergerak cepat". Aku segera memusatkan perhatianku, tak mau ia menjadi
bingung karena diriku, aku berpura-pura tersenyum dengan
santai dan berkata, "Aku tak akan membiarkanmu dibandingkan
dengan kawanan serigalaku".
Huo Qubing tersenyum dan mengangguk, lalu mengangkat
cambuk kudanya dan menerjang ke arah pasukannya, sinar
mentari yang sedang terbit menyinari punggungnya, baju
zirahnya memancarkan sinar perak yang berkilauan, ia seakan
matahari yang sedang melaju dengan cepat, gagah perkasa,
bersinar dengan cemerlang.
Pasukan di bawah komando Huo Qubing adalah pasukan
bernyali besar, begitu disemangati olehnya, kegagahan mereka
pun muncul, puluhan ribu prajurit berkuda mengikuti di belakang
Huo Qubing mencongklang ke barat daya.
Setelah berlari dengan cepat selama setengah hari, dengan
heran aku bertanya pada Chen Ankang, "Kenapa kita kembali ke
jalan yang kita lewati tadi?"
Chen Ankang mengaruk-garuk kepalanya, memandang ke
sekelilingnya, mendongak melihat matahari, lalu berkata dengan
malu, "Sepertinya begitu, tapi di Gurun Gobi barat daya ini, depan
belakang sulit dibedakan, kemanapun aku melihat semuanya
nampak sama, tak ada bedanya. Mungkin jenderal sedang
mengambil jalan memutar".
Aku menggeleng, "Kau tanyalah pada jenderal apakah
sebenarnya ia tahu sedang berputar-putar, barusan ini ia
menertawakan Jenderal Gongsun Ao yang tersesat, jangan
sampai ia sendiri juga tersesat di padang pasir".
Wajah Chen Ankang langsung berubah, ia mengangguk dan
segera memacu kudanya ke barisan depan. Tak lama kemudian,
Huo Qubing berkuda ke sampingku, "Menurut laporan mata-mata,
Xiongnu agaknya sudah tahu dimana kita berada, aku tak boleh
membiarkan mereka menebak tujuan kita, maka aku harus
membuat mereka kehilangan jejak kita. Kita tak bisa membiarkan
Xiongnu menyergap kita saat pasukan sudah kelelahan".
Aku memandang elang yang terbang berputar-putar di angkasa
dan berpikir tanpa berkata apa-apa, ia kembali berkata, "Sejak
kecil aku telah membaca peta daerah barat daya bersama
paman, berputar-putar tak akan membuatku tersesat. Sekarang
kau ada di sini dan aku lebih dapat berputar-putar lagi tanpa
khawatir akan tersesat. Mereka sekalian kubuat kebingungan,
sehingga kita dapat menyerang mereka saat mereka lengah".
Aku memacu kudaku hingga tiba di sebelah kuda orang yang
membawa sangkar burungku, aku menyuruhnya memperhatikan
sangkar itu baik-baik agar Xiao Tao dan Xiao Qian tak terbang
keluar. Xiao Tao mengibaskan sayapnya dengan kesal, setelah
aku menepuknya dua kali, ia baru menjadi tenang.
Setelah berpacu dari pagi hingga hari gelap, wajah Huo Qubing
perlahan-lahan menjadi gelap, kami telah dua kali berputar di
Gurun Gobi, seharusnya Xiongnu sudah tak dapat mengikuti jejak
kami, akan tetapi mereka sepertinya masih dapat mengetahui
dengan amat jelas di mana pasukan kami berada, mata-mata
mereka pun masih dapat mengikuti kami dari kejauhan.
Huo Qubing memerintahkan pasukan beristirahat untuk makan,
namun ia sendiri hanya memegang mantou tanpa makan sesuap
pun, aku mencibir, lalu tersenyum dan bertanya padanya, "Apa
yang sedang kau pikirkan?"
"Dengan kecepatan dan gerakan kita yang acak, bagaimana
Xiongnu bisa tahu manuver pasukan kita" Sebelumnya aku tak
pernah mengalami kejadian seperti ini. Mula-mula kitalah yang
menyerang Xiongnu namun sekarang kita malahan dikejar oleh
mereka". Dahi Huo Qubing berkerut, wajahnya nampak heran.
Aku menunjuk ke angkasa, ia pun mendongak melihat angkasa,
di langit samar-samar nampak dua bayangan hitam, untuk sesaat
ia tertegun, lalu bereaksi, dengan terkejut ia memandangku,
"Maksudmu, dua hewan berbulu hitam itu mata-mata Xiongnu?"
Aku mengangguk, "Mereka adalah hewan yang paling
menyebalkan, dahulu kalau kami menangkap mangsa, mereka
tak henti-hentinya berputar-putar di angkasa, mencari
kesempatan untuk merebutnya, mereka bahkan pernah merebut
mangsa yang berada di samping Lang Xiong. Karena mereka
bisa terbang, Lang Xiong tak dapat berbuat apa-apa, setelah
diusir, mereka berputar-putar di angkasa dan kembali turun untuk
merebut mangsa. Oleh karenanya aku sangat tahu tentang
mereka. Tingkah laku elang-elang ini sangat luar biasa, di siang
bolong tak mencari makan ke segala penjuru dan malahan
berterbangan di atas kepala kita".
Sambil tersenyum getir Huo Qubing menggeleng, "Sebelumnya
aku hanya mendengar kabar burung bahwa ada burung elang
yang dapat menjadi mata-mata bagi tuannya, tak nyana kabar
burung itu menjadi kenyataan. Aku sangat beruntung dapat
menemukannya, entah berapa banyak elang seperti ini yang
dipelihara bangsa Xiongnu".
Aku berkata, "Sarang mereka berada di tempat yang tak didatangi
manusia, sehingga sangat sulit mendapatkan anakan mereka.
Sifat mereka angkuh dan cinta kebebasan, kalau tak dipelihara
sejak kecil, jangan-jangan mereka lebih suka mati daripada
mematuhi perintah manusia, oleh karenanya, punya dua ekor
saja sudah sangat sulit bagi bangsa Xiongnu. Kalau mereka
dapat dengan sangat mudah dipelihara, keberadaan mereka tak
akan hanya diketahui melalui kabar burung saja. Dan saat itu kau
pun tak akan dapat dengan mudah menerobos ke wilayah
Xiongnu dengan delapan ratus orang".
Huo Qubing tertawa sambil memukul lututnya sendiri, ia
mendongak memandang langit. "Cuma dua ekor ini" Gampang
membereskannya. Besok aku akan memanah mereka, malamnya
kita makan elang panggang".
Memanah elang mungkin bukan hal yang sulit, namun memanah
elang yang telah dilatih manusia ternyata tak mudah. Sejak pagi,
Huo Qubing dan seorang jago panah lain berusaha memanah
kedua elang itu, namun mereka berdua terbang tinggi dan
berputar-putar di angkasa, hampir selalu di luar jangkauan panah.
Setelah setengah hari, ternyata kesempatan untuk memanah
mereka sudah hilang, aku sudah tak sabar lagi dan hanya
memacu kudaku saja, tak melihat apakah mereka berhasil
memanah elang-elang itu atau tidak.
Namun sikap Huo Qubing sangat berbeda dengan sikap tak
sabarnya dahulu, ia nampak luar biasa tenang dan penuh tekad,
saat ini ia bagai seekor serigala yang berpengalaman, yang
bersedia bersembunyi sehari penuh, atau bahkan sampai
beberapa hari, untuk menangkap mangsa, dengan amat sabar
mengamati buruannya, menunggu sampai sang mangsa lengah,
lalu membunuhnya dengan satu pukulan.
Sekonyong-konyong, terdengar sorak-sorai, dengan girang ia
menengadah, sebuah titik hitam sedang jatuh dengan cepat,
sedangkan burung yang seekor lagi ikut turun mengejarnya
sambil memekik sedih, namun sebatang panah berbulu putih
menyerempet tubuhnya dan ia pun kembali terbang tinggi,
setelah itu burung itu terbang berputar-putar di ketinggian, tak
henti-hentinya memekik penuh duka, namun tak terbang ke
bawah. Jago panah yang bersama Huo Qubing memanah elang itu
berlutut di hadapannya untuk mohon ampun, "Hamba tak becus,
mohon jenderal menghukumku sesuai dengan hukum militer".
Seorang prajurit datang membawa tubuh elang yang mati itu dan
menyerahkannya pada Huo Qubing, akan tetapi Huo Qubing
hanya memandang burung elang yang masih terbang di angkasa
itu dengan wajah serius, ia melambaikan tangannya untuk
menyuruh mereka mundur. Dengan cemas aku memandang Huo Qubing, kali ini keadaan
benar-benar runyam. Elang itu telah dilatih secara khusus, jauh lebih waspada
dibandingkan elang liar, dan tak punya sifat suka bermain dan
ingin tahu mereka, setelah ketakutan, ia sama sekali tak akan
memberi kesempatan pada kami untuk memanahnya. Mata-mata
semacam ini sulit digantikan, bangsa Xiongnu pasti murka
sehingga mungkin kami harus melancarkan serangan dalam
waktu dekat, selain itu, musuh mengenali kami, sedangkan kami
tak mengenali mereka, sehingga kami berada di pihak yang
lemah. Tiba-tiba Huo Qubing berpaling ke arahku, senyumnya
cemerlang, wajahnya penuh rasa percaya diri, bagai mentari
musim panas Gurun Gobi yang terik, yang saat ini menyinari bumi
hingga sama sekali tak berbayang-bayang. Aku terpengaruh oleh
wajahnya yang berseri-seri sehingga di tengah rasa murungku,
mau tak mau aku tersenyum.
Karena Huo Qubing, rasa percaya diriku mendadak bertambah,
rasa murungku menghilang, kalau aku merasa seperti itu, apalagi
para prajurit Yulin yang mengikutinya ke medan perang" Setelah
dua kali berperang, kemenangan besar Huo Qubing membuat
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka percaya penuh padanya, seakan asalkan mengikuti Huo
Qubing, apapun di hadapan mereka akan dapat mereka
kalahkan. Huo Qubing percaya pada dirinya sendiri, dan
keberhasilannya membuat rasa percaya diri itu menyebar ke
setiap prajurit. Karena pasukan berkuda menggunakan banyak sekali air,
mereka sangat perlu menambah persediaan air. Setelah bertanya
padaku tentang mata air terdekat, ia memutuskan untuk pergi ke
Danau Juyan. Juyan adalah Bahasa Xiongnu, artinya air lemah
dan pasir hisap, letaknya di pedalaman wilayah Xiongnu.
Elang yang masih hidup terus mengikuti kami, namun selain
terkadang mendongak untuk memandangnya, Huo Qubing tak
nampak cemas. Saat kami mendekati danau, Chen Ankang dan
seorang pemuda lain yaitu Zhao Ponu menghampiri kami.
Pandangan mata Chen Ankang menyapu ke wajahku, lalu ia
secepat kilat menunduk, dengan heran aku memandang mereka.
Huo Qubing berkata dengan hambar, "Kalau ada urusan
bicaralah". Zhao Ponu berkata, "Sekarang Xiongnu pasti sudah tahu bahwa
kita akan pergi ke Danau Juyan, hal ini tak dapat dihindari, kalau
harus bertempur kami akan bertempur, kami tak takut pada
pertempuran ini, tapi kalau sampai kalah langkah dari Xiongnu,
hal ini sangat tidak menguntungkan bagi kita. Hamba mempunyai
akal untuk membunuh binatang itu". Setelah berbicara,
pandangan matanya beralih ke arahku.
Aku paham maksudnya dan mendengus dengan dingin, lalu
melengos, memandang ke arah lain. Dengan wajah tenang Huo
Qubing berkata, "Pergilah! Jangan ungkit-ungkit masalah ini lagi".
Zhao Ponu berlutut, "Jenderal, kalau kita memancing elang itu
dengan burung merpati, asalkan dapat memanahnya tepat pada
waktunya, merpati-merpati itu akan baik-baik saja. Bahkan kalau
terjadi kesalahan, mengorbankan dua merpati ini dapat
membalikkan keadaan kita yang tidak menguntungkan ini.
Setelah kembali ke Chang'an, hamba bersedia memberikan
banyak uang kepada Saudara Jin agar ia dapat membeli burung
merpati yang bagus".
Dengan penuh kebencian aku memandang Zhao Ponu,
mengibaskan lengan bajuku, lalu cepat-cepat mengambil sangkar
merpatiku, aku tak lagi berani membiarkan orang lain
membawakannya untukku, kalau mereka berada di sisiku, aku
barulah merasa lega. Chen Ankang berkuda di sisiku untuk beberapa lama, melihatku
sama sekali tak memperdulikannya, sambil tersenyum ia berkata,
"Kau jangan marah. Bukankah jenderal tak menyetujui gagasan
buruk kami?" Tanpa berkata apa-apa, aku memandang ke depan, ia kembali
berbicara sambil tersenyum, namun aku tak mengatakan sepatah
kata pun, akhirnya dengan jengah ia terpaksa menutup mulutnya.
"Dimana Li Cheng" Aku agak mencemaskannya. Begitu sampai
di tepi danau, apakah ia boleh ikut denganku?", aku berkata
dengan wajah kesal. Chen Ankang segera menyanggupi
permintaanku sambil tersenyum, ia memanggil seorang prajurit
dan memerintahnya untuk mencari Li Cheng.
Rumput hijau rimbun, permukaan air danau jernih dan luas, sinar
mentari dan awan terpantul di permukaannya. Saat angin bertiup,
gelagah bagai tirai sutra yang melambai-lambai. Angsa liar
terkadang terbang dari tengah gelagah dan mendarat di danau.
Di tengah danau juga ada sekawanan bangau berbulu putih dan
berparuh merah yang sedang berenang-renang.
Li Cheng memandang Danau Juyan tanpa berkedip, dengan
pelan ia memuji, "Indah sekali! Ternyata bangsa Xiongnu juga
punya tempat yang indah".
Dengan suara rendah aku berkata, "Di danau ini juga banyak
ikan, waktu kecil aku dan......" Tiba-tiba aku menghela napas
dengan pelan, menelan perkataan yang baru saja hendak
kuucapkan dan hanya memandang permukaan danau dengan
tertegun. Di tengah pekikan terkejut, beribu-ribu burung air tiba-tiba terbang
ke angkasa dari tengah gelagah dan danau, Huo Qubing adalah
orang yang pertama mementang busurnya.
Aku bukan orang yang belum pernah berjuang mempertahankan
hidup, dan juga telah mengalami berbagai peristiwa dimana
hidupku berada di ujung tanduk, tapi setelah berada di tengah
medan pertempuran bersama puluhan ribu orang, aku baru sadar
bahwa pengalamanku sebelumnya itu tak lebih dari permainan
anak-anak. Kuda meringkik dan orang berteriak, pedang berkilauan dan anak
panah berhamburan, bayangan langit di permukaan danau
terkoyak oleh sinar dingin yang melesat di angkasa hingga
hancur berkeping-keping. Darah segar merah tua menciprat di
mana-mana, bagai bunga yang sedang mekar, namun ia hanya
mekar sesaat dan segera luruh, bagai nyawa yang melayang.
Sekuntum demi sekutum nyawa merah tua mekar tak hentihentinya, dengan semarak namun penuh duka berayun-ayun di
atas kilauan pedang. Aku tak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di depanku,
aku hanya merasakan bahwa mataku penuh bayangan darah,
Chen Ankang menguncangkan bahuku dan berkata sembari
tersenyum, "Ketika maju ke medan perang untuk pertama kalinya,
aku begitu takut sampai hampir kencing di celana, kulihat kau
lebih kuat dariku, hanya wajahmu yang pucat pasi". Aku tahu
bahwa ia hanya berusaha menenangkan diriku, aku
memandangnya, namun tak kuasa berkata apa-apa.
"Mana Li Cheng?", jeritku dengan terkejut. Chen Ankang
memandang ke sekelilingnya, lalu dengan tak berdaya berkata,
"Jangan-jangan bocah ini ikut menerobos pasukan Xiongnu di
garis depan". Aku begitu marah sampai hampir menampar diriku sendiri. Aku
memacu kudaku, namun Chen Ankang menahan tali kekangku,
"Kau tak bisa maju ke garis depan, ini perintah jenderal, lagipula,
kau maju ke garis depan pun sekarang tak ada gunanya, kau tak
dapat mencari Li Cheng. Kau belum pernah berlatih dengan
pasukan ini dan tak tahu bagaimana bertempur bersama mereka,
kau hanya akan merepotkan para prajurit di sekelilingmu, lebih
baik kau tunggu di sini sampai pertempuran berakhir".
Aku mengenggam tali kekang erat-erat, dengan mata terbelalak
melihat pertempuran sengit itu. Dengan suara pelan, Chen
Ankang berkata, "Begitu maju ke medan perang, hidup mati
tergantung pada Langit. Kemarin teman minum arak, esoknya
gugur di depan matamu adalah suatu hal biasa".
Hatiku langsung menjadi tercekat, aku hendak bergerak namun
tak berani melakukannya, aku menenangkan suaraku dan
bertanya, "Kalau begitu.......jenderal pasti akan selamat?"
Chen Ankang terdiam sejenak, lalu berkata, "Di medan perang
tak ada kepastian seseorang akan selamat atau tidak, tapi sejak
kecil jenderal sudah berlatih berperang melawan Xiongnu di
Markas Yulin, dan juga telah diajar oleh Jenderal Besar Wei
sendiri, ia sudah sangat berpengalaman, tak mungkin terjadi apaapa".
Darah Xiongnu, darah Han, aku tak tahu untuk siapa hatiku
bergetar, dengan wajah terpana aku mendongak memandang
langit biru, untung saja langit biru dan awan putih masih seperti
sediakala. Setelah Xiongnu kalah dan pergi, Danau Juyan kembali tenang,
gelagah masih menari-nari dengan gemulai ditiup angin, namun
bau darah dan mayat yang memenuhi udara membuat burung
bangau dan angsa liar tak berani kembali, malahan burung
nazarlah yang perlahan-lahan berkumpul di angkasa, mereka
terbang berputar-putar sambil memandang makanan lezat yang
melimpah. Aku memandang ke sekelilingku, Huo Qubing memacu kudanya
dan menghampiriku, "Kau tak apa-apa?"
Aku memaksa diriku untuk tersenyum seraya mengangguk,
namun mataku masih mencari-cari diantara orang banyak. Sambil
tersenyum, Chen Ankang menunjuk ke sebelah kanan,
"Bukankah itu Li Cheng?"
Sambil menyeret pedang, dari kejauhan Li Cheng melambaikan
tangannya, hatiku menjadi lega, aku ikut melambaikan tangan
padanya. Walaupun wajahnya berlinangan air mata, ia nampak
bersemangat, ia menerjang ke arahku seraya berseru, "Aku
sudah balas dendam untuk papa, mama dan jiejie, aku sudah
balas dendam, aku sudah memerangi bangsa Xiongnu......"
Sesosok mayat Xiongnu yang tergeletak di tanah mendadak
bangkit dan melemparkan sebilah pisau ke arah Li Cheng.
"Awas!", teriakku dengan kaget sambil berlari menghampirinya,
aku pun melemparkan ikat pinggangku untuk memukul jatuh
pisau itu, namun jaraknya terlalu jauh dan aku hanya dapat
melihat pisau itu menembus dada Li Cheng. Sebatang anak
panah melesat dari belakangku dan memaku prajurit Xiongnu itu
ke tanah. Li Cheng menunduk memandang pisau yang menembus dadanya
itu, lalu menengadah dan memandangku dengan tertegun,
seakan belum tahu apa yang terjadi.
Aku memayang tubuhnya yang ambruk, dengan sekuat tenaga,
aku menekan dadanya, akan tetapi darah segar telah mengucur
keluar tanpa henti. Chen Ankang berseru, "Tabib, tabib......"
Huo Qubing berjongkok dan memeriksa lukanya, lalu
memandangku sambil menggeleng-geleng, "Tepat mengenai
jantungnya". Li Cheng memandang darah di tangannya, "Apakah aku akan
mati?" Aku ingin menggeleng, namun tak kuasa melakukannya dan
menatap sang tabib. Li Cheng mengenggam tanganku erat-erat,
namun aku malahan menarik tangannya, seakan dengan
demikian aku dapat menahan nyawanya yang akan melayang.
"Jin Dage, kau jangan sedih, aku sangat senang, aku sudah
membunuh orang Xiongnu dan sekarang akan berjumpa lagi
dengan papa, mama dan jiejie, aku sangat rindu pada mereka,
rindu sekali....." Darah masih mengucur keluar dengan deras, namun tangannya
sedikit demi sedikit menjadi dingin, aku tak bergeming, memeluk
Li Cheng, darah meluap keluar dari tanganku, hatiku tenggelam di
tengah warna merah yang sedingin es itu, "Semua ini salahku,
semua ini salahku....."
Dengan suara pelan Chen Ankang memanggilku, "Jin......." Huo
Qubing melambaikan tangannya untuk menyuruhnya diam, "Kau
atur barisan dahulu, setelah itu bersiap untuk berangkat". Setelah
memberi hormat, Chen Ankang segera mengundurkan diri.
Tanpa berkata apa-apa, dengan tenang Huo Qubing berdiri di
sisiku sambil memandang Danau Juyan, dengan lembut aku
menaruh tubuh Li Cheng, lalu berjalan ke tepi danau dan mulai
mencuci tangan, setelah memperhatikanku dengan diam untuk
beberapa saat, Huo Qubing memerintah para prajurit untuk
memperabukan jenazah Li Cheng.
Ia melangkah ke sisiku, lalu berjongkok dan mencuci tangannya
di sampingku, "Setelah pertempuran selesai, aku akan
memerintahkan agar abunya dikubur di sisi keluarganya, ia tak
akan kesepian". Aku menengadah memandang burung-burung nazar yang
terbang berputar-putar, diantara burung-burung itu, elang yang
tinggal satu-satunya itu tak nampak dengan jelas.
Derap kaki kuda terdengar bergemuruh, mencongklang dengan
cepat, aku masih terus diam, Huo Qubing pun masih terus
dengan tenang menemani di sisiku, dari waktu ke waktu aku
memandang titik hitam kecil yang terbang tinggi di angkasa itu,
lalu kembali memacu kudaku.
Ketika aku kembali memandang ke angkasa, Huo Qubing
berkata, "Kejadian itu bukan salahmu, jangan menyalahkan
dirimu sendiri lagi, perang memang penuh kematian, ketika
memutuskan untuk masuk tentara, Li Cheng tentu sudah siap
menerimanya". Aku memandang langit yang berwarna biru tua, "Tapi kalau aku
tak berjanji padanya bahwa ia boleh maju ke medan perang,
mungkin sekarang ia masih hidup".
Dengan kesal Huo Qubing berkata, "Kau terlalu keras kepala,
kalau kau tak ada, Li Cheng pun akan mencari cara agar dapat
secepatnya maju ke medan perang, lagipula, seorang lelaki tak
bisa mengingkari perkataannya, kalau aku menyuruh Li Cheng
memilih balas dendam atau hidup dengan tenang, ia masih akan
memilih untuk balas dendam".
Aku berpaling dan memandang Huo Qubing, "Kalau kita tak
memanah burung pengkhianat itu, jangan-jangan kita tak akan
dapat sampai ke Qilian Shan tanpa halangan".
Huo Qubing menengadah memandang angkasa, "Kita tunggu
kesempatan tiba dengan perlahan-lahan, ia tak mungkin terusmenerus waspada".
Aku memandang Xiao Tao dan Xiao Qian, "Pada mulanya
pasukan dibagi menjadi tiga bagian untuk saling mendukung, tapi
sekarang Jenderal Li Guang dan Jenderal Gongsun Ao tidak
diketahui keberadaannya, selain itu, kita juga berada di wilayah
Xiongnu dan hanya dapat mengandalkan serangan mendadak,
kalau kita menunggu lagi, mungkin kita semua akan tewas di kaki
Qilian Shan". Aku mengelus-elus sangkar merpati, lalu dengan perlahan
membuka pintunya, Xiao Tao dan Xiao Qian sudah lama
terkurung, dengan gembira mereka melompat ke lenganku, aku
menunduk memandang mereka, lalu menenangkan suaraku dan
memberi perintah pada Huo Qubing, "Siapkan busur dan anak
panahmu". Dengan lembut aku membelai kepala mereka, lalu dengan pelan
berkata, "Maaf, aku ingin kalian menempuh bahaya untuk
melakukan sesuatu, jangan mendekat ke elang itu, kalian hanya
perlu memancingnya agar terbang sedikit lebih rendah, kalian
harus terbang secepat kalian bisa".
Huo Qubing berseru, "Yu er!", untuk memberi isyarat bahwa kami
semua sudah siap. Aku mengangkat tanganku dan melepaskan Xiao Tao dan Xiao
Qian terbang ke angkasa, mengambil peluit bambu yang
tergantung di pinggangku, lalu meniupnya beberapa kali untuk
memerintah Xiao Tao dan Xiao Qian agar memancing elang itu
ke tempat yang lebih rendah.
Xiao Qian berputar-putar dengan bimbang, namun Xiao Tao
dengan berani telah menerjang ke arah elang itu, Xiao Qian pun
tak bisa berbuat apa-apa dan dengan cepat mengikutinya.
Elang itu sangat cerdas, di depannya ada mangsa empuk, namun
ia tak terpancing dan masih berputar-putar di ketinggian, Xiao
Tao dan Xiao Qian mencoba memancing mereka dari kejauhan,
namun sang elang sama sekali tak memperdulikan mereka. Xiao
Tao sekonyong-konyong menerjang ke arahnya, aku terkejut dan
meniup peluit untuk memanggilnya pulang, namun Xiao Tao
sama sekali tak memperdulikan perintahku, dengan berani ia
berputar beberapa kali di depan sang elang, lalu baru terbang
menjauh.
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Elang adalah burung pemangsa paling buas diantara hewan
pemakan daging, mungkin ia belum pernah berjumpa dengan
burung yang begiu meremehkannya, Xiao Tao berhasil
membuatnya marah, sepasang cakarnya dengan cepat
menerjang ke arah Xiao Tao, aku meniup peluit dengan sekuat
tenaga untuk memanggil mereka pulang, Xiao Tao turun dengan
amat cepat, namun pada dasarnya kecepatan seekor merpati tak
bisa dibandingkan dengan seekor elang, sebelum mereka berada
dalam jangkauan panah, Xiao Tao telah berada dalam
cengkeraman sang elang, cakar sang elang sepertinya akan
segera mencabik tubuhnya.
Demi menyelamatkan Xiao Tao, Xiao Qian tak mematuhi tiupan
peluitku dan malahan menerjang tubuh sang elang dari samping,
tanpa memperdulikan kibasan sayap sang elang yang sangat
kuat, Xiao Qian mematuk matanya, sayap sang elang membuka
dan sambil memekik mengenaskan, Xiao Qian pun terpukul.
Akhirnya Xiao Tao terlepas dari cengekeraman sang elang,
namun elang itu dengan amat cepat mengejar Xiao Qian, sambil
gemetar, tubuh Xiao Qian jatuh di langit. Xiao Tao sama sekali
tak mematuhi perintahku, tanpa memperdulikan keselamatan
dirinya sendiri, ia menyerang sang elang, namun ketika cakar
elang itu baru saja hendak mencengkeram Xiao Tao, sebatang
anak panah dengan telak menembus dadanya, sang elang pun
berubah menjadi sebuah titik hitam yang terjatuh ke bumi.
Xiao Qian pun masih jatuh ke tanah sambil bergoyang-goyang,
dengan cemas aku segera berlari untuk menangkapnya, sebelum
ia mendarat di tubuhku, beberapa tetes darah segar telah menitik
di atas lenganku yang terjulur, hatiku seakan tercabut. Xiao Qian
mendarat di lenganku, namun tak bisa berdiri dengan kokoh,
kepalanya terkulai ke bawah, aku segera mengangkatnya,
sepasang matanya terpejam, sebuah sayap dan sebelah dadanya
berlumuran darah, tanganku tak henti-hentinya gemetar. Sambil
mencicit sedih Xiao Tao mendorong kepala Xiao Qian dengan
kepalanya, Xiao Qian berusaha keras membuka matanya untuk
memandang Xiao Tao, tubuhnya gemetar, lalu ia menutup
matanya. Tabib menjulurkan tangannya untuk memeriksa Xiao Qian,
dengan wajah sedih ia memandang Huo Qubing sambil
menggeleng-geleng, aku mengangkat Xiao Qian, hatiku bagai
diiris pisau. Dengan paruhnya, Xiao Tao merapikan bulu-bulu
Xiao Qian, lalu mendekur beberapa kali, selamanya aku tak
pernah melihat Xiao Tao begitu sabar dan lembut, air mataku
berjatuhan, jatuh di atas tubuh Xiao Qian, dengan tersedu-sedan
aku berkata, "Ma"..afkan aku, ma?"afkan aku"..".
Xiao Tao mengangkat kepalanya melihatku, dengan lembut ia
mengosokkan kepalanya di tanganku, seakan sedang
menghiburku, ia kembali merapikan bulu-bulu Xiao Qian, lalu
sekonyong-konyong mengibaskan sayapnya dan terbang ke
ketinggian, dengan bingung aku memandang Xiao Tao yang
terbang makin tinggi, lalu tiba-tiba aku bereaksi dan meniup peluit
keras-keras, memanggilnya pulang, pulang secepatnya.
Namun Xiao Tao tetap terbang dengan sekuat tenaga ke
ketinggian, dengan panik aku berseru memanggilnya, "Xiao Tao,
kembali! Kembali! Kau tak boleh meninggalkanku! Jangan
tinggalkan aku!" Sebelum aku selesai bicara, sebuah titik hitam
dengan amat cepat jatuh ke bumi, dalam sekejap mata, Xiao Tao
telah terjatuh ke tanah. Para prajurit yang sejak tadi menonton
pertarungan merpati dan elang dengan penuh perhatian tersentak
melihat keberanian Xiao Tao, dengan serentak mereka berteriak,
namun suaraku tertahan di tenggorokan, aku tak dapat berseru,
mataku terbuka lebar-lebar, memandang mayat Xiao Tao di
kejauhan, perlahan-lahan tubuhku lemas dan ambruk ke tanah.
Huo Qubing menutupi mataku, "Jangan lihat lagi".
Aku berusaha mengibaskan tangannya dengan sekuat tenaga,
namun ia memegang bahuku erat-erat, aku pun memukul ke
arahnya, "Semua salahmu, semua salahmu, kenapa kau
memaksaku mengikutimu?""
"Semua salahku, salahku, aku pasti akan membalas dendam
pada bangsa Xiongnu". Sambil berbicara dengan suara lembut,
Huo Qubing menyuruh tabib membekap hidungku dengan sehelai
sapu tangan basah, aku mencium bau wangi bunga yang manis,
dan tenaga yang kupakai untuk memukul Huo Qubing pun
perlahan-lahan melemah, kepalaku terasa berat, aku bersandar
pada bahunya, lalu kehilangan kesadaran.
Ketika membuka mata, aku sadar bahwa aku berada dalam
pelukan Huo Qubing. Malam gelap gulita, di padang pasir yang luas hanya terdengar
gemuruh derap kaki kuda. Aku memandang dua atau tiga bintang
yang suram di langit, hatiku terasa hampa. Xiao Tao yang nakal,
Xiao Tao yang sering merusak, Xiao Tao yang selalu suka
membuatku marah, Xiao Qian yang lembut, Xiao Qian yang
selalu merawat Xiao Tao dalam segala hal"..
"Sudah bangun?" Huo Qubing menunduk memandangku, setelah
terdiam beberapa lama, aku bertanya, "Kita sudah sampai di
mana" Di Xiao Yuezhi, ya?"
Ia mengangkat kepalanya dan memandang ke kejauhan, "Kau
sudah tidur sehari semalam, kita sudah melewati Xiao Yuezhi,
sekarang kita hampir sampai di Qilian Shan, apa kau mengenal
baik keadaan di Qilian Shan?" Dengan pelan aku mengiyakan.
Tubuhku masih agak lemas, dengan bertumpu pada punggung
kuda aku duduk, "Aku ingin naik kuda sendiri".
Dengan lembut Huo Qubing berkata, "Saat itu, karena melihatmu
sangat emosional, takaran obat bius yang diberikan kepadamu
sangat besar, walaupun kau sudah sadar, namun aku khawatir
kau belum dapat mengerahkan tenaga, maka aku
membopongmu". Aku terdiam beberapa saat, lalu menganguk
dengan pelan. Bayangan gunung nampak makin mendekat di tengah kegelapan,
diantara suara derap kaki kuda sayup-sayup terdengar lolongan
serigala dari kejauhan, hatiku terkesiap, aku mencengkeram
lengan Huo Qubing, lalu berpaling dan berkata, "Cepat sedikit,
bisa tidak" Aku mendengar?"" Aku mengigit bibir bawahku,
menelan perkataan yang hampir kuucapkan, lalu berbalik dan
memandang ke arah Qilian Shan.
Huo Qubing memacu kudanya, melewati banyak orang, langsung
mencongklang ke depan, sedikit demi sedikit, semua orang
tertinggal di belakang. Dengan heran aku memandangnya, ia
menunduk dan tersenyum, "Kuharap mereka adalah serigalaserigalamu itu".
Beberapa ekor serigala berdiri di lereng gunung mengawasi kami,
hatiku bergejolak dan aku melolong ke arah Qilian Shan, kuda
Huo Qubing mendadak melonjak, hendak menjatuhkanku, saat itu
dari kejauhan terdengar lolongan, membalas lolonganku dari
gunung, sang kuda makin sulit dikendalikan sehingga mau tak
mau Huo Qubing melepaskan tali kekang dan membawaku
melompat turun. Aku segera melepaskan diri dari pelukannya, ia pun tak
menahanku dan membiarkanku berlari ke arah beberapa ekor
serigala di lereng itu sambil melolong. Tak nyana, begitu
melihatku, mereka mendengking pelan beberapa kali, lalu
mengibaskan ekor dan lari berhamburan dengan panik.
Kerinduan yang memenuhi hatiku sia-sia belaka, dengan geram
aku berseru, "Serigala nomor delapan puluh sembilan, kenapa
kau menghindariku" Apa kau tak mengenaliku?" Beberapa ekor
serigala kecil menjulurkan kepala mereka dari hutan, dengan
suara pelan aku memanggil mereka, namun ketika mereka
hendak mendekat, induk mereka terdengar memanggil mereka,
maka mereka pun serentak mundur. Aku menghentakkan kakiku
dan berteriak, "Aku tak akan memaksa kalian mendekat ke api
lagi!" Di sisiku, Huo Qubing menggeleng-geleng sambil tertawa, "Yu er,
aku masih menganggapmu putri serigala, seharusnya mereka
menyambutmu, tapi kenapa mereka sepertinya tak mau
menemuimu?" Aku memelototinya, lalu mendengarkan suara lolongan serigala
yang semakin lama semakin dekat dengan seksama, sebuah
lolongan yang menguncang gunung pun terdengar dan tiba-tiba
seekor serigala berbulu perak melompat keluar dari hutan bagai
terbang. Ia langsung menerjang ke arahku dan aku pun melompat
untuk menyambutnya, memeluk lehernya dan berguling-guling di
rumput bersamanya, Lang Xiong mencium-cium wajah dan
leherku. Aku memeluk lehernya, hidungku terasa pedih, air mata
berlinangan di mataku. Setelah aku dan Lang Xiong bercengkerama untuk beberapa
saat, Lang Xiong masuk ke dalam hutan dan melolong dengan
pelan, seekor induk serigala yang bulunya seluruhnya putih
memimpin seekor anak serigala yang berbulu putih keperakan
berjalan perlahan-lahan ke hadapanku, sambil tertawa terbahakbahak aku memeluk serigala kecil itu, lalu berpaling ke arah Huo
Qubing dan berkata dengan gembira, "Aku punya seorang
keponakan, ini baru putri kawanan serigala kami, bukankah ia
sangat cantik?" Huo Qubing tersenyum dan hendak berjalan mendekat, namun
dengan waspada, sang induk menatapnya dengan tajam, lalu
mengeram untuk memperingatkannya. Aku sengaja membuat
wajah lucu ke arah Huo Qubing, "Dia tak suka padamu.
Menurutnya, kau bukan orang yang baik!" Mau tak mau, Huo
Qubing menghentikan langkahnya.
Wajah si putri cilik amat mungil, bulunya amat tebal, ia bergulingguling di sisiku bagai sebuah bola salju, Lang Xiong mengibaskan
ekornya untuk menggodanya, sang putri terus menerus berusaha
menerkamnya, namun tak pernah berhasil melakukannya. Ia
kembali terjatuh dalam pelukanku, lalu meleletkan lidahnya ke
arah sang ayah. Aku tak kuasa menahan tawaku, suara gembira
manusia dan serigala bergema di tengah gunung, Huo Qubing
berdiri di sampingku sambil dengan tenang memandang kami
semua, sedikit banyak, ia setengah merasa bersalah dan
setengah menyalahkan dirinya sendiri.
Suara derap kaki kuda di kaki gunung perlahan-lahan
menghilang, tentunya seluruh pasukan telah tiba. Huo Qubing
memandang ke kaki gunung, lalu memandangku, "Yu er".
Aku memandangnya, ia pun memandangku tanpa berkedip untuk
beberapa saat, lalu berkata, "Aku kembali dulu. Kalian......baru
bertemu lagi setelah lama berpisah, kalian tinggallah bersama
dahulu!" Dengan tak percaya aku menatapnya, ia tersenyum
dengan hangat, "Jangan tinggalkan Qilian Shan, ya?" Rasa
enggan berpisah di matanya berubah menjadi senyuman, ia
menginginkan aku berbahagia.
Tanpa berkata apa-apa, aku mengangguk, ia memandang ke
arah Lang Xiong, "Kuserahkan Yu er pada kalian dahulu". Setelah
selesai berbicara, tanpa perduli apakah Lang Xiong
memahaminya atau tidak, seakan menganggap Lang Xiong
kakaknya, Huo Qubing menjura dalam-dalam ke arahnya, lalu ia
berbalik dan berlari turun gunung.
-------------------Di belakangku dan Lang Xiong, sang putri kecil melangkah di air
dengan tertatih-tatih, sang permaisuri berbulu salju berbaring di
tempat hangat di atas sebongkah batu besar di tepi danau sambil
memandang kami bermain di air.
Aku menendang Lang Xiong, dari mana kau mendapatkan seekor
serigala yang begitu cantik" Sambil melolong, Lang Xiong
mencakar ke arahku, aku pun segera memukul ke arah lehernya,
dengan terkejut serigala putih salju bangkit, namun setelah
memperhatikan kami untuk beberapa saat, ia kembali duduk
dengan tenang. Namun putri kecil yang malang itu terkena cipratan air kami, ia
tersedak dan hampir tenggelam, aku segera menariknya, Lang
Xiong segera berhenti mencakarku, sepasang mata sang putri
kecil berputar-putar di wajahnya yang berbulu lebat, dengan
memelas memandangku, keempat cakar kecilnya menari-nari tak
berdaya di udara, mulutnya merintih pelan, sambil tersenyum aku
mencium hidungnya, lalu mengangkatnya ke tepian.
Sang serigala putih salju segera menjilati butir-butir air di tubuh
putri kecil itu, dengan manja sang putri mengulet di dalam
pelukan induknya, sambil terlentang ia mencakar-cakar wajah
sang ibu seraya mendengus dengan senang, aku pun
memandangi mereka sambil tersenyum.
Setelah naik ke tepian, Lang Xiong membungkuk, aku pun segera
menjadi waspada dan bersiap menghindar, namun ia hanya
mengibaskan bulunya di belakangku, tetesan air berterbangan
dan membasahi mukaku, dengan kesal aku pun menendangnya.
Aku menyalakan api unggun untuk mengeringkan pakaian,
namun Lang Xiong tak menemani di sisiku seperti dahulu. Karena
serigala putih salju tak bisa membiasakan dirinya dengan api,
maka ia menemani sang serigala putih salju berbaring di
kejauhan, kadang-kadang mereka saling menggosokkan kepala
dengan mesra, atau menjilat-jilat bulu pasangannya.
Aku memandangi mereka, tiba-tiba aku mengerti bahwa sejak
saat ini kawan setia Lang Xiong bukan lagi aku, melainkan si
serigala putih salju, sedangkan aku hanya dapat duduk sendirian
di sisi api unggun. Pikiranku perlahan-lahan melayang jauh, sudah dua hari berlalu,
bagaimana keadaan Huo Qubing dan yang lainnya" Ketika aku
sedang berpikir, serigala-serigala di hutan melolong, namun
setelah aku menjawab mereka pun pergi.
Begitu banyak orang sedang bertempur" Aku duduk termenungmenung tanpa berkata apa-apa, di medan perang, hidup atau
mati tak dapat dipastikan, bahkan kalaupun ia Huo Qubing.
Tiba-tiba aku bangkit dan memakai baju luarku, dengan bimbang
Lang Xiong memandangku. Aku mengambil daging yang sedang
kupanggang, lalu menaruhnya di sisi Lang Xiong. Daging itu
masih setengah matang, tapi Lang Xiong tentu tak akan
keberatan. "Aku pergi sebentar", aku membelai kepala Lang Xiong, dengan
lembut memanggilnya. Dengan tak puas Lang Xiong mengeram
dengan suara rendah, namun dengan menyesal aku menepuknepuk punggungnya dan hendak berlalu, Lang Xiong melompat,
hendak mengikutiku, akan tetapi aku menghentikannya, aku tak
mau kau terlibat dalam pertarungan kami bangsa manusia.
Dengan kesal Lang Xiong mengeram, namun serigala putih salju
memanggilnya dengan suara rendah beberapa kali, dan Lang
Xiong pun segera menjadi tenang, akhirnya baja yang keras pun
menjadi lembut, aku bersuara menggoda Lang Xiong, lalu cepatcepat kabur sebelum ia sempat melampiaskan kemarahannya.
Aku berpaling dan melihat ketiga serigala itu berdiri di tengah
kegelapan malam, bayangan mereka bercampur menjadi satu,
hangat dan harmonis. Wajahku tersenyum, namun hatiku terasa
pedih, Lang Xiong sudah punya keluarganya sendiri, namun aku
hanya punya sebuah hati penuh kenangan yang tak ingin
kukenang. Di sepanjang jalan aku bergerak dengan sembunyi-sembunyi,
setelah hari terang aku baru mendekati medan perang. Aku
bersembunyi di atas pohon, memperhatikan keadaan di depanku.
Setelah berlangsung sehari semalam, pertempuran sudah
mendekati akhirnya, medan perang penuh mayat, rumput dan
pohon menjadi semerah darah, suara senjata beradu menggema
di tengah sinar mentari pagi, membuat mentari yang seharusnya
Balada Padang Pasir Karya Tong Hua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hangat menjadi dingin menyeramkan.
Aku melompat turun dari pohon, menerobos diantara tumpukan
mayat, diantara mereka ada berapa banyak Li Cheng dari pihak
Han, dan berapa banyak Li Cheng dari pihak Xiongnu" Mayatmayat ini akan menciptakan berapa banyak Li Cheng-Li Cheng
lain" Apakah demi membalaskan dendam ayah dan saudara
mereka, mereka akan mengangkat senjata dan memakai baju
zirah, lalu terjun ke medan pertempuran"
Sebenarnya ada berapa banyak mayat" Bagaimana empat atau
lima puluh ribu jiwa dapat berbaring di sini dengan begitu tenang"
Aku sudah mempersiapkan diri untuk masuk ke dalam neraka di
muka bumi, namun hatiku masih menjadi dingin, aku telah
berjalan begitu lama, namun masih belum selesai melewati
mayat-mayat itu, ujung jubahku telah merah terkena darah segar,
namun sepanjang mata memandang masih nampak mayat-mayat
dan darah segar. Melihat dari seragam mereka, Xiongnu kalah telak, mayat yang
mengenakan pakaian Xiongnu jauh lebih banyak dari yang
mengenakan pakaian Han. Beberapa prajurit Xiongnu yang telah
dikalahkan melihatku, mereka segera mengangkat senjata
dengan panik, namun aku mengayunkan bola-bola emasku dan
memukul jatuh senjata dalam genggaman mereka, lalu berjalan
melewati mereka. Seorang pemuda menghunus pisau yang
menempel di tubuhnya, hendak menyerangku, namun aku
menatapnya dengan tajam, lalu berkata padanya dalam bahasa
Xiongnu, "Cepat pergi, larilah secepatnya, ibumu menunggumu di
rumah". Mereka tertegun sejenak, walaupun bimbang, akhirnya
mereka pergi sambil saling memapah.
Mentari musim panas bersinar menyinari kaki gunung Qilian
Shan, terpantul pada pohon-pohon hijau, menyilaukan mata. Di
tengah bunga liar yang semarak berwarna-warni, Huo Qubing
berdiri dengan gagah, ia mengenakan jubah hitam dan baju zirah
perak, tangannya mengenggam golok panjang, dari posisi yang
tinggi, ia mengawasi seluruh medan perang.
Baju zirah perak dan golok panjangnya memancarkan sinar
perak, membuat orang tak kuat memandangnya, angin yang
bercampur bau anyir darah meniup jubahnya hingga berkibarkibar dan bergemerisik, rambut hitam legamnya yang terlepas
dari ikatannya melayang-layang ditiup angin.
Di bawah nampak mayat-mayat berlumuran darah yang
mengerikan, namun di atas nampak pohon hijau dan bungabunga merah yang mekar dengan indah, keduanya amat kontras,
namun karena sikapnya yang gagah, kedua pemandangan yang
bagai bumi dan langit itu anehnya dapat bersatu di bawah
kakinya, dan tak nyana, mempunyai suatu keindahan yang
membuat hati bergejolak. Dewa perang dalam legenda tak lebih
gagah darinya! Ia baik-baik saja, aku menghembuskan napas lega dan berbalik,
hendak pergi. "Jin ---- Yu -----", sebuah teriakan girang bergema
di tengah lembah itu, memecahkan suasana yang dingin dan
menyeramkan. Aku berpaling memandangnya. Dengan cepat ia melayang
menerobos rumput hijau dan bunga merah, rambutnya melayanglayang di tengah tiupan angin, kelopak-kelopak bunga berjatuhan
di sekelilingnya, sedangkan bau darah memenuhi udara,
menciptakan suasana indah yang aneh. "Apakah kau datang
mencariku" Apakah kau mencemaskanku?"
Aku mengawasinya, "Kenapa rambutmu?"
Dengan acuh tak acuh ia tersenyum, "Karena tak hati-hati ikat
kepalaku lepas kena panah".
Aku memandang ke arah para prajurit yang sedang
membersihkan medan pertempuran, "Apakah Xiongnu sudah
kalah?" Huo Qubing mengangguk-angguk, "Bukan kalah, melainkan kalah
telak, Raja Qiutu dan lima raja kecil Xiongnu tertangkap hiduphidup, kami melawan banyak orang dengan pasukan yang sedikit,
namun hampir seluruh pasukan mereka binasa, sedangkan kami
hanya kehilangan tak lebih dari tiga bagian pasukan".
Zhao Ponu menghormat di hadapannya dan berkata dengan
sikap hormat, "Lapor, jenderal, kami sudah menghitung jumlah
orang Xiongnu yang tewas, jumlahnya tiga puluh ribu dua ratus
orang". Huo Qubing mengangguk, Zhao Ponu tersenyum dan
berkata, "Xiongnu pasti sudah tak dapat menghimpun pasukan di
sekitar Qilian Shan lagi, malam ini kita akan dapat tidur dengan
nyenyak, dan jenderal dapat menikmati pemandangan indah
Qilian Shan kebanggaan bangsa Xiongnu". Huo Qubing menoleh
ke arahku, lalu melambaikan tangannya untuk memberi isyarat
pada Zhao Ponu agar pergi, Zhao Ponu melirikku, lalu menunduk
dan mengundurkan diri. "Sepertinya kau sama sekali tak senang?" Huo Qubing menatap
mataku dan bertanya. "Kaisar memerintahkan perang ini untuk menguasai Hexi, dan
untuk membuka jalan ke setiap negara di Xiyu, apa hubungannya
denganku" Mungkin perang ini juga membalaskan dendam bagi
Li Cheng, tapi dendam seperti itu pada dasarnya tak terbalaskan".
Huo Qubing mengangkat alisnya, "Aku jarang bertemu orang Han
yang tak membenci orang Xiongnu".
Aku membuang segala pikiran lain dalam benakku dan menunjuk
rambutnya, "Sisir rambutmu dulu! Aku juga mau ganti baju dulu".
Sambil tersenyum ia mengenggam tanganku, namun aku
menghindar, sambil berjalan aku berkata, "Sekarang kelihatannya
kau tak bisa mengalahkanku, lebih baik kau menurut saja".
Ia mengikuti di belakangku, sambil tersenyum ia berkata, "Kita
sudah pernah lebih intim dari ini, tapi sekarang berpegangan
tangan saja kau tak mau?"
Aku memelototinya dengan gusar, ia cepat-cepat menarik
tangannya, lalu tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, "Kalau tak
mau, ya sudah. Tapi sekarang wajahmu jauh lebih bergairah
dibandingkan sebelumnya". Untuk sesaat aku tertegun, namun
segera bereaksi, lagi-lagi aku terkena jebakannya.
Aku melengos dan berjalan tanpa berkata apa-apa, Huo Qubing
berjalan di sisiku, menemaniku dengan tenang, semakin jauh
meninggalkan medan perang, wangi bunga dan rumput yang
dibawa angin tercium makin tajam, suasana hatiku pun menjadi
jauh lebih tenang. Di bawah bayang-bayang pepohonan, bayanganku dan
bayangannya saling tumpang tindih, hatiku terkesiap, teringat
akan bayangan Lang Xiong dan keluarganya yang bercampur
menjadi satu di bawah sinar bulan malam itu.
Di tengah pegunungan itu api unggun berkobar-kobar, semua
orang bercakap-cakap dan bercanda dengan riang, wangi arak
dan daging memenuhi udara di sekeliling kami.
Di sekeliling api unggunku dan Huo Qubing hanya ada kami
berdua, dari waktu ke waktu, para perwira dan prajurit datang
untuk mengajak kami bersulang namun setelah itu mereka segera
mundur dengan cepat. Huo Qubing menawariku arak, aku hendak
menolak, namun begitu mencium baunya, aku langsung bertanya,
"Ini arak susu kuda, ya?"
Huo Qubing mengangguk, "Barang rampasan hari ini, tapi
rasanya tak bisa dibandingkan dengan arak kita".
Aku menerimanya dan meminumnya dengan perlahan, rasanya
sudah lama tak kurasakan.
Huo Qubing minum beberapa teguk, lalu kembali memberikannya
padaku, namun aku menggeleng. Ia tersenyum dan menariknya
kembali, lalu dengan seenaknya kembali minum. Zhao Ponu
berjalan ke arah kami sambil membawa dua cawan arak, Huo
Qubing tertawa dan mengomelinya, "Kau ingin membuatku
mabuk, ya" Barusan ini kau mengajakku bersulang, tapi sekarang
sudah datang lagi". Sambil tersenyum Zhao Ponu memberikan cawan arak padaku,
"Cawan arak ini bukan untuk jenderal, melainkan untuk Jin
Gongzi, aku telah berbuat tak sopan pada gongzi dalam peristiwa
sebelum ini. Aku belum pernah melihat burung merpati yang
berani berkelahi melawan elang, dan tak menyangka burung
merpati gongzi begitu berani, aku tak bisa menganti burung
merpati seperti itu, mohon gongzi memaafkan perkataanku yang
kasar waktu itu". Walaupun wajahnya tersenyum, namun matanya
penuh rasa bersalah. Untuk beberapa lama, aku masih belum menerima cawannya,
senyum di wajahnya menjadi beku, "Gongzi tak sudi
memaafkanku, aku paham". Setelah selesai berbicara, ia
menenggak cawan araknya sendiri, sedikit menekuk lututnya
untuk menghormat padaku, lalu berbalik, hendak pergi, namun
aku mengambil cawan di tangannya, mendongak, memejamkan
mata dan menengak seluruh isi cawan itu, lalu berbalik dan
terbatuk-batuk. Huo Qubing berkata pada Zhao Ponu, "Ia sangat memberi muka
padamu! Kekuatan minumnya sangat rendah, mutu araknya juga
tak bagus, begitu minum sampai mabuk ia tak akan dapat
Remember When 3 Pendekar Cambuk Naga 13 Utusan Lembah Kubur Pendekar Panji Sakti 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama