Beauty Affair Karya Abdullah Harahap Bagian 1
Beauty Affair Karya Abdullah Harahap Sumber Djvu : Koleksi Kolektor E-Book
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Ebook persembahan Group Fb Kolektor E-Book
Selesai di edit : 11 Juli 2018,Situbondo
Selamat Membaca ya !!! ***** Satu Otot otot menakjubkan dari pria-pria perkasa sudah berlalu dari atas panggung. Meninggalkan pesona yang sempat menyihir sebagian besar penonton dalam galaunya sendiri sendiri. Di sanasini terdengar suara-suara bergumam dalam keanekaragamannya.
"Aku merasa diriku mendadak loyo. Tidak ada apa apanya sebagai lelaki!" desah seseorang pada teman di sebelahnya.
Yang lain berkomentar, "Aku juga bisa seperti mereka. Hanya ".?"
Dan seorang istri berbisik pada suaminya, "Makanya, Papa harus rajin mengencangkan otototot Papa. Biar aku betah di tempat tidur!"
Seorang gadis, lain lagi. "Hiii. Ngeri ah! Bisabisa aku pingsan!"
Sewaktu pengarah acara memberitahu kini tiba Gilirannya kaum hawa memperlihatkan kebolehan
mereka, sontak tepuk tangan dan suara bersuit-suit mulai muncul memeriahkan suasana yang sempat menjemukan. Memang, sesungguhnya bagi sebagian penonton yang menghadiri kontes binaraga, tahap seleksi menuju invitasi tingkat nasional ini pertunjukan berikutlah yang sangat ditunggu-tunggu.
Inilah puncaknya! Riuh rendah applause pengunjung begitu penampil pertama naik ke atas panggung. Sementara itu, di belakang panggung, binaragawan yang menunggu giliran, sibuk mengurus diri masing masing. Ada yang bergabung dalam kelompok, atau berdiskusi dengan pendampingnya, dan ada pula yang menyendiri dengan wajah tegang. Namun ada dua orang yang tetap santai-santai saja. Termasuk Ida, seorang binaragawan yang sudah terhitung senior.
Ida hanya melakukan gerakan-gerakan ringan sebagai penunggu waktu, sambil mengawasi saingansaingannya yang berperilaku aneka ragam itu. Rekan di sebelahnya, agaknya juga ikut mengawasi, lantas berkomentar dengan suara direndahkan, "Kecantikan tubuh. Itulah yang ditonjolkannya. Bukan otot !"
Ida melirik ke gadis peserta yang dimaksud rekannya, lantas tersenyum tipis, "Namanya juga sebuah kontes. Sri!"
"Memangnya kontes kecantikan?"
Ida tertawa lembut. "Takut dikalahkan Sri?"
Sri pun mencibir, "Dia boleh coba!" Lantas, ganti ia mengamati tubuh teman bicaranya, kemudian berkomentar setengah iri, "Kalau dengan Mbak Ida, aku memang pikir-pikir..."
Di atas panggung, peserta peserta bergantian muncul dan kemudian mundur ke belakang panggung sambil tak lupa melemparkan senyuman manis atau kerlingan nakal ke arah barisan juri dan para penonton yang meng applause penampilannya.
lampu sorot yang terang benderang kini menyinari kulit mulus dan basah bagai berminyak. Seorang peserta tengah memperagakan kebolehan otot ototnya. Otot-otot yang nyaris sempurna. Gerak tubuh seirama pula dengan musik pengiring.
Namun agaknya, peserta yang ini ingin sekalian memperagakan kebolehan wajah, plus senjata lain sebagai wanita, yaitu dada dan pinggul. Mana kerling mata dan senyuman bibir nampaknya nakal pula. Mau tidak mau, mengundang tepuk tangan dan suitansuitan pengunjung yang tidak kuasa menahan diri.
Salah satu anggota juri bahkan sampai mengeluarkan komentar. Dengan logat Batak-nya yang kental, "Bah! Dia itu mau bertanding. apa mejeng!"
Rekan-rekan sesama juri, terpaksa menahan senyum. Dan seorang juri wanita, malah menambah dengan sindiran, "Bilang saja naksir, Sitorus!"
"Alaa, jangan macam-macam pula kau ini ah!" seringai juri yang disebut Sitorus.
Persis di belakang meja meja juri, pada deretan terdepan kursi kursi penonton, Zain malah duduk bermalas malas. Malah tampak jelas, ia setengah mengantuk. Tidak terpengaruh suasana di sekitar. Sewaktu orang lain ramai meng-applause penampil di atas panggung, lain justru menguap. Lebar, selebarlebarnya.
Dan di salah satu sudut belakang panggung, seorang gadis belia mengerang gelisah, "...... badanku gemetar!"
Si gadis yang sudah dibasahi peluh dingin, manggut manggut saja mendengarkan nasihat pendampingnya. Namun hasilnya tetap sia sia. Malah ia tampak seperti orang megap-mcgap. ida yang kebetulan lewat untuk mengambil handuknya, berkata sambil tersenyum, "latihan ototnya pelan-pelan saja, Dik Nuri.jangan dipaksakan ....!"
Si gadis belia mengangguk.
Seraya melap keringat di wajahnya, Ida bertanya, "Takut penonton. ya" Terutama. juri?"
Begitu si gadis mengangguk lagi, Ida pun menambahkan, "Ah, tenang sajalah. Anggap mereka semua itu cuma gerombolan kambing!"
"Mbak Ida sih gampang,. . ." sahut si gadis masih tetap umum. "Aku" Hanya seorang pemula . ...!"
Lalu tiba-tiba wajahnya meringis. Dengan tubuh setengah menekuk, ia tekapkan tangan ke selangkangan, lalu mengeluh, lirih. "Aduh. Aku mendadak ingin ke jamban!"
Terlambat. Gilirannya sudah tiba!
Alkisah, sebelum nomor peserta Nuri dipanggil, penampil yang sedang beraksi di panggung rupanya agak lupa diri. Tahu mendapat applause meriah, bcrtambah-tambahlah genitnya. Sewaktu pamit mundur dengan goyangan pinggul yang sengaja dibuat gemulai, tangga turun tak lagi diperhatikan.
Sebelah kakinya menginjak tempat yang salah. Dan, terjerembablah dia!
Riuh rendah suara penonton dan keadaan yang sempat kacau akibat terjerembabnya si cantik genit itu, membuat Nuri semakin gugup saja.
Ia terpaksa harus didorong pendampingnya naik ke atas panggung. Bahkan sudah lewat beberapa nada dari musik pengiring, barulah ia bergerak untuk memperagakan otot ototnya. Malang. ia sudah
sedemikian demam panggung. Matanya kebetulan beradu pandang dengan berpasang pasang mata juri yang memelototinya. Seakan akan ingin mengeroyok lalu membantai dirinya beramai-ramai.
Liuk tubuh Nuri pun berubah tanpa aturan.
Tidak pula lagi seirama dengan musik pengiring. Tiba-tiba, ia melakukan peraga yang sangat di luar kelaziman, tubuhnya meliuk liuk keras. Sedemikian rupa, sehingga nyaris menunggingi para dewan juri dan penonton.
Saat Nuri menungging, berkejaplah sinar sinar
Lensa kamera wartawan peliput pun mengabadikan tunggingannya.
Tentu saja ia serempak mendapat sambutan riuh rendah. Dan juri bermarga Sitorus yang tadi cuma bergumam, kini berkomentar keras, "Bah! Melawak pula dia! Sungguh tak lucu!"
Rekannya sesama juri, tertawa pendek. "Dia sih tidak, Sitorus. Yang lucu malah kau !"
Dan di belakang mereka, Zain membuka matanya. Melihat dengan malas ke arah panggung, bersungut panjang pendek, kemudian melonjorkan kakinya semakin malas.
Di panggung, si penampil sudah tak mampu lagi menguasai diri. Ia sudah putus asa, dan memutuskan mundur sebelum waktunya. Tampak gugup dan serba salah, Nuri pun melangkah mundur terbungkukbungkuk seraya mendekap perut.
Tiba di belakang panggung, tak pelak lagi ia didamprat sang pendamping, "Tolol! Apa-apaan kau, Nuri?"
Nuri, si gadis malang, merintih, "Aku, aku... sudah tak tahan!"
Si pendamping mencekal lengannya dengan kuat, siap meneruskan dampratan. Namun tubuh si gadis sudah keburu lunglai. Tubuh mulus berotot itu mcluncuri tembok yang disandarinya, sampai ke posisi berjongkok. "Tolonglah. Aku ingin ...."
Dari arah panggung, terdengar suara announcer dengan bijaksana berusaha menetralisir suasana riuh dari penonton, "Harap dimaklumi. Peserta yang barusan mundur, agaknya mengalami kram urat . . ..!" Lantas ia mengumumkan sekaligus memanggil nama penampil berikut, yakni Ida yang tampak sudah siap tempur.
Dan, itulah yang kemudian terlihat.
Ia tampil elegan dan penuh percaya diri. Peragaan otot-ototnya mengundang kekaguman. Suasana yang
tadinya ribut dan kacau oleh polah Nuri, perlahanlahan berubah tenang .
Sementara di belakang panggung, pendamping Nuri bertanya cemas, "Benar itu" Urat manamu yang kram, Nuri?"
"Aku tidak kram. Aku...." si gadis merintih setengah menangis.
Wajahnya yang pucat, anehnya, tiba-tiba berubah semu merah. Dari mulutnya terdengar keluhan malumalu, "Wah ...!"
Dan lantai di bawah tempatnya jongkok pun seketika tampak melembab, basah, kemudian ada genangan mengalir. Si pendamping membelalak terperanjat. Sementara Nuri, menekapkan kedua telapak tangan, menutupi wajah saking malunya.
Di panggung, Ida terus memperlihatkan kemahirannya sebagai seorang binaragawan berpengalaman.
Dan di deretan penonton terdepan, dua orang pemuda yang duduk di sebelah Zain, terdengar saling berdebat.
Pemuda I, "Hem. Dia ini boleh juga!"
Pemuda II, "Sayang, sudah umuran! Paling sedikit dia sudah 35 an tahun!"
Zain membuka matanya, memperhatikan sejenak ke arah panggung, lalu berkata menimpali, "37 tahun, Nak. Itu persisnya!"
"Hampir nenek-nenek. Mana bertampang jelek!" komentar pemuda II, tak sedap. "Masih tega teganya dia pamer rubuh reotnya di depan umum!"
Zain hanya tersenyum dikulum. Tanpa komentar.
Yang berkomentar, malah pemuda I, "Rent" Coba lihat tuh. Dada dan pinggulnya, amboi. Masih cukup aduhai. Membuat tanganku gatal, ingin..." Pemuda itu tak meneruskan kata-katanya. Namun maksudnya mudah saia dipahami, jika dilihat pada jari-jemari tangannya yang mengusap, meremas, mencengkeram di paha, lebih-lebih ketika Ida di panggung, dengan peragaan menantang nyata-nyata memperlihatkan kebolehan bagian-bagian tubuhnya yang sensitif. Daya tarik paling khas dari seorang wanita.
Zain, masih dengan mata setengah mengantuk, melirik ke tangan yang merayap-rayap di paha si Pemuda I. Lantas setengah memiringkan tubuh ke arah pemuda tersebut. Berniat tenang. "Dia itu pernah meraih beberapa kali juara, Nak. Bahkan di tempat tidur!"
"Oh ya?" Pemuda I merem melek.
"Mau tahu" BH nya ukuran 41. Celana dalam, 39 ....!"
Pemuda I menjilati bibirnya sendiri, tampak semakin bergairah. Sementara pemuda II tertarik untuk bertanya, "Agaknya kamu ini tahu luar dalam tentang perempuan edan di panggung itu?"
Lebih dulu Zain meluruskan duduknya, yang bermalas malas setengah mengantuk itu, baru menjawab tenang. "Tentu saja, anak cakep. Aku ini 'kan suaminya .. ..!"
Habis berkata demikian, Zain menyandar santai di kursinya. Menguap lebar, kemudian matanya dipejamkan, tanpa tertarik untuk melihat reaksi kedua orang pemuda di sebelahnya. Lebih tidak tertarik lagi untuk menikmati penampilan istrinya di panggung. Ia sudah sangat mengantuk, dan kemudian benar-benar tertidur pulas.
Zain tidak tahu berapa lama waktu berlalu.
Ia baru terjaga setelah seseorang menepuk pundaknya dari belakang, disertai bisikan tajam, "Ay o, bangun. Kasih tepuk tangan yang meriah untuk istrimu !"
Mendengar peringatan ini serempak Zain membuka nyalang matanya, tegak dengan Spontan. lalu
*** Surat kabar di mejanya cepat dilipat, karena pintu sudah dibuka oleh seseorang tanpa lebih dulu mengetuk. Salah seorang rekan kerjanya muncul dengan wajah serius dan pertanyaan yang sama seriusnya, "Punya waktu untuk briefing darurat, Bung Zain?"
Zain menjawab dengan ber-semangat, "Permintaan yang bagus. Eddy. Dan tepat waktu "." la bangkit dari mejanya. "Aku justru sedang berharap untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih berarti ketimbang tetek-bengek yang menjemukan itu . . ..!"
Eddy mengernyitkan dahi, "Tetek bengek?"
Terlihat oleh Zain bahwa berita mengenai istrinya terpampang jelas di atas mejanya. Dibaliknya surat kabar itu agar tak terlihat oleh rekan sejawatnya. Sambil tersenyum penuh rahasia. "Lupakanlah. Dan katakan, apa tantangannya?"
Eddy berjalan meninggalkan tempatnya berdiri, diiringi Zain. Ia menjelaskan, "Salah seorang klien kita terlibat penggelapan pajak!"
"Oh"! Mereka melewati ruang kerja karyawan yang sibuk.
"Nama kita memang bersih," Eddy meneruskan. "Tetapi beberapa bankir yang kita hubungkan dengan
klien kita itu, boleh jadi akan meragukan kredibilitas kita!"
"Ini bukan main-main kalau begitu!"
Eddy manggut. Setelah melewati pintu terbuka ke ruang rapat yang tampak kosong melompong, mereka berhenti di depan sebuah pintu pribadi lainnya. Seperti ketika masuk ke ruang kerja pribadi Zain, Eddy juga langsung membuka pintu itu tanpa mengetuk lebih dulu. Suasana ruang kerja yang nyaman segera menyambut kedatangan mereka.
Suharnoto tengah membaca surat kabar di kursi tamu. Dan sekretarisnya tampak sudah siap dengan catatan. Suharnoto segera meletakkan surat kabarnya, begitu kedua orang rekan sejawatnya masuk. la tertawa ke arah Zain, dan berkata riang, "Tak kunyana, istrimu memiliki pantat yang begitu indah, Zain!"
Zain melirik surat kabar di tangan rekannya. Baru kemudian menyahuti gurauan rekan sejawatnya yang bertampang periang itu.
"Sialan kau, Tok. Yang kau lihat itu 'kan pantat orang lain...!"[]
*** Lambung Susi juga punya hak. Pelayan di rumah keluarga Zain itu sudah akan melompat ke jamban, sewaktu musik bel mengaung di seantero rumah. Dengan wajah meringis ia setengah berlarian membukakan pintu depan. Yang pertama-tama masuk, adalah majikan perempuannya.
Ida kini lebih tenang, setelah tiba di rumah sendiri. Ia melihat ada rona aneh di wajah pembantu rumah tangganya, yang begitu membuka pintu tampak mau lekas-lekas minggat saja.
"Ada apa dengan kau Susi?" tanya Ida, masih bernada sedikit jengkel.
"Kebanyakan makan rujak, Nyonya. Sore tadi..!", jawab yang ditanya.
Usai berkata demikian, Susi pun ngacir ke koridor belakang. Dan langsung lenyap di balik pintu kamar mandi.
Ida hanya menggeleng gelengkan kepala, lalu pergi ke kamar tidur.
Tanpa berganti pakaian. Ida terus saja menuju kamar mandi yang berada satu ruangan dengan kamar tidurnya. Dari tadi Ida ingin buang air kecil. Tetapi, barangkali terbawa latah, setelah duduk di jamban. pantatnya malas bangkit, karena perut yang terasa kurang enak. Jelas itu adalah karena dorongan emosi
Dan kejengkelan semata, namun Ida tak ambil peduli. la bermaksud membuang pikiran gundah dengan duduk santai di jamban, sambil membaca sebuah novel yang siang tadi sebelum meninggalkan rumah ia tinggalkan di kamar mandi.
Zain sudah memasukkan mobil ke garasi. Mengunci garasi, lalu pintu, terus berlari-lari kecil menuju kamar tidur. Ia tak melihat Ida tak pula terlalu memikirkannya. Langsung saja Zain melompat dan membuka pintu kamar mandi. Terkunci dari dalam!
Tahu siapa di dalam, Zain mengerang, "Masih lama, Mah?"
Jawaban sengit ia terimalah, "Cari saja tempat lain!"
Berlari-larilah lagi Zain. Ke koridor belakang, dan putus asa begitu kamar mandi di sana pun juga terkunci dari dalam. "Kau itu Susi" Cepat buka . . .!"
Si pelayan menyahuti, "Aduh, Tuan. Sabar sebentar. Lagi mules nih...!"
Tanpa sadar Zain berteriak sendiri. Keras, dan tanpa alamat1 "Mengapa sih, semua orang mendadak ingin berak"!"
Susi terpaksa mengalah. Takut takut ia keluar dari kamar mandi. Dan begitu Zain menyelinap masuk, dan pintu belum
sempat tertutup. Susi pun berkata memelas, "jangan lama lama, ya Tuan?"
Pintu pun tertutup. Disertai suara tak sabar Zain dari dalam, "Mau sehari, mau setahun, ya suka sukaku !"
Tidak berapa lama, memang,
Keluar dari kamar mandi, Zain sudah kelihatan berwajah lega. Barulah ia lihat wajah Susi yang pucat pasi, masih menunggu di luar pintu. Zain pun baru ingat bahwa ia tadi telah mengusir pelayan perempuannya itu dengan paksa. Perasaan iba Zain pun muncul.
Katanya, "Maaf, Susi. Kau teruskanlah ".!"
Ucapan yang sia-sia saja. Karena, baru juga Zain membuka mulut. Susi sudah lenyap dari hadapan majikannya. Yang tinggal, hanyalah suara pintu kamar mandi ditutup secepatnya, disusul erangan Susi dari sebalik pintu, beroh-oh-oh dan beraduh-aduh. namun kali ini dengan nada lebih gembira.
Masuk ke kamar tidur, Zain menemukan Ida sudah rebah di kasur. Sudah mengenakan kimono pula, dan santai santai saja membaca novel yang belum sempat ia selesaikan tadi di kamar mandi. Hebatnya, Ida sengaja rebah dengan posisi menyilangi tempat tidur.
Zain pun tak kuasa menahan diri untuk mengomel. "Apa ranjang yang sudah sempit ini mau kau borong pula?"
Tanpa mengalihkan mata dari bukunya, Ida berkata mendengus, "Tadi, di gedung pertunjukan, Papa toh sudah tidur lebih dari cukup!"
Zain yang merasa terpojok, terpaksalah menyingkir dari kamar seusai dia berganti pakaian.
Mulanya ia akan bekerja di ruang pribadinya, tetapi karena kepala pening gara-gara insiden di gedung pertunjukan, Zain akhirnya memutuskan menonton siaran televisi saja. Siaran dalam negeri dengan seketika membosankan Zain, terbukti dari suara bersungutnya, "Sepakbola sih sepakbola. Tetapi mbok ya tengah malam begini, jangan klub kelas dua!"
Siaran luar negeri lewat antena parabola, menambah perasaan sebal Zain pula. Beberapa kali ia terus menggerutu panjang pendek, "Ayo, terus. Teruuus. Kalian makanlah iklan kalian sampai perut kalian membusuk!"
Tapi akhir kalimatnya itu membuat Zain tersenyum sendiri.
Ya, nanti semua kamar mandi penuh!
Zain menggeleng, lantas memadamkan televisi. Lalu sambil kembali ke kamar tidur, Zain berharap barangkali marahnya Ida sudah sedikit mengendur. Dan memang, di atas ranjang Ida sudah mulai mengantuk dan telah pula merubah posisi rebahnya. Namun itu bukan berarti perang dingin sudah selesai. Masih terjadi acara tidur saling punggung memunggungi, tarik-menarik selimut, sampai akhirnya Zain terpaksa meringkuk kedinginan.
Tidur tanpa selimut."
*** TIga SISA-SISA perang dingin masih terasa pagi hari esoknya.
Zain, dengan pakaian siap pergi ke kantor, tercenung menghadapi meja makan. Ia mengambil kursi untuknya lantas bertanya pada pelayan yang tengah menuangkan teh ke cangkir, "Sudah kaubilangi Nyonya agar sarapan pagi sekarang, Susi?"
"Sudah, Tuan," jawab si pelayan, hormat.
"lalu?" Susi meletakkan teko hati-hati, baru menjawab,. "Nyonya nggak ngomong apa-apa, Tuan. Nyonya terus saja begini-begini ....!" Sambil Susi memperlihatkan gerakan orang mengangkat barbel tangan.
Peragaan si pelayan begitu bersemangat, membuat dadanya yang montok terayun-ayun, persis di depan batang hidung majikannya. Tetapi Zain yang sedang gundah. tidak memperhatikan.
"Sudah. Pergi sana. Bereskan kamar kerjaku . . .." rungut Zain, lesu.
Susi mengangguk lantas berlalu.
Zain menyendokkan nasi goreng ke piringnya, setengah melamun. Di wajahnya ada bayangan penyesalan. Ia mengambil cangkir, dan seraya mencicipi tehnya ia sempat melirik ke arah lorong yang menuju kamar latihan istrinya. Pintu ruang latihan terbuka, namun ia tak melihat Ida. Yang terdengar hanya bunyi bersiut-siut, sayup-sayup sampai.
"Asyik main skipping sekarang," pikir Zain. Bertambah gundah.
Ida memang tengah melakukan skipping di kamar latihan pribadinya.
Cahaya matahari pagi menerobos masuk lewat jendela yang terbuka lebar. Menerangi permukaan lantai yang hampir seluruhnya berlapis matras. Tampak juga sebuah sportbike, papan trap di satu sisi tembok, beberapa peralatan mengangkat beban dan benda benda lain yang biasa dipergunakan atlit bi naraga. Ada pula rak, penuh dengan piala. Di tembok lainnya, sejumlah tanda dan piagam penghargaan, dan potret potret berbingkai, memperlihatkan Ida dalam berbagai pose sewaktu pertunjukan maupun sewaktu menerima piala kejuaraan. Tembok kosong di sisi kiri
kanan jendela, dihiasi pula masing masing oleh satu poster besar Ida tengah memperagakan otot ototnya, dan satu lagi poster yang sama besar memperlihatkan otot otot menakjubkan dari Arnold Swazenegger, itu binaragawan dunia yang juga masyhur sebagai bintang film dan belakangan jadi Walikota.
Seperti halnya si suami di meja makan, Ida juga melakukan Skipping nyaris tanpa gairah. Ia kemudian membuang seenaknya tali Skipping-nya, lantas ganti melakukan push up. Wajahnya yang banjir peluh, juga membayangkan penyesalan. Akhirnya dia ter-telungkup, dengan dagu berpangku kedua punggung tangan.
Tanpa sengaja, matanya menatap ke arah poster berskala Xl itu, mengawasi ketampanan wajah Arnold, kejantanan otot-ototnya. Mata Ida kemudian lama terpaut pada bagian tubuh di bawah pinggang Arnold yang mengenakan celana latihan yang paspasan itu. Dan sepasang mata Ida, membuka lebih lebar. Berbinar binar, didorong birahi yang mulai mengusik.
Di tempatnya duduk menungggu, sebuah pisang ambon diambil Zain dari tempat buah di atas meja makan. la mengupasnya sebentar, tetapi kemudian memutuskan untuk tidak memakannya. Seleranya
benar benar terbunuh. Bahkan sarapan pagi di piringnya banyak tersia sia. Ia kemudian bangkit dari kursinya, masuk ke kamar kerja untuk mengambil tasnya. Saat itu si pelayan tengah mengepel lantai ruang kerja dimaksud. Pinggulnya yang penuh padat menghadap ke pintu masuk, setengah mencuat ke atas.
Dan, pinggul itu bergoyang goyang dengan irama gemulai.
Zain sempat terpesona, kemudian seraya menarik nafas dalam ia batuk batuk kecil lantas mengambil tas kerjanya dari meja. Sambil berlalu meninggalkan kamar kerja itu, Zain mengingatkan si pelayan, "Bilangin Nyonya, jangan membiarkan sarapan paginya dingin!"
Susi bangkit sambil menyahut, "Saya, Tuan."
Namun toh, sewaktu berjalan menuju pintu depan, Zain akhirnya berubah pikiran. Perang dingin tak boleh dibiarkan berlarut-larut hanya karena urusan tertidur sewaktu sang istri tengah memperlihatkan kebolehannya di atas panggung.
Zain pun memutar tubuh dan pergi menuju kamar latihan istrinya. Ia lihat lda tengah telungkup melamun di matras.
Tegak di ambang pintu, Zain menegur, "Mah?"
Ada gerakan mengejut di punggung lda yang berkeringat. Namun dengan cepat Ida telah menguasai diri, lantas membalikkan rubuh ke posisi mene-lentang dengan kepala setengah tegak mengawasi suaminya.
?". aku berangkat dulu, ya?" Zain berujar
kaku. Seketika, sepasang mata lda berkilat misterius. lambat, bibirnya terbuka. Memperdengarkan suara rendah setengah berbisik, "Pamit Sih pamit, Pah. Tapi ada aturannya, kan?"
Zain memaksakan senyum di bibir. Tas kerjanya diletakkan di pintu masuk. Ia kemudian melangkah ke dalam, berlutut, kemudian membungkuk sedikit untuk mengecup pipi kiri kanan istrinya. Perang dingin berakhir sudah. Tetapi agaknya perang yang lain sudah menunggu.
Zain mengingatkan, "jangan membiarkan sarapan pagimu menjadi dingin, Mah."
Sepasang mata lda berbinar cemerlang.
"Sarapan pagi!" bisiknya, lirih, mengandung gairah. "Memang itu yang kuinginkan. Sekarang!"
Dan sebelum Zain sempat berpikir, Ida bergerak sangat cepat, bangkit dari matras mendatangi sang suami. Galak, pundak si suami dicengkeram. Kejap
berikutnya, tubuh besar Zain sudah terbanting menelentang di matras, dan Ida sudah mendudukinya. Zain bertanya megap mcgap, "Apa-apaan sih Mamah ini?" Seraya merenggut lepas dasi suaminya, Ida menjawab bernafsu, "Seperti Papah bilang. Sarapan Pagi!"
"Tetapi ...." Tak ada lagi tetapi. Ida sudah mengulum bibir sang suami, dengan gairah berapi api, tanpa memedulikan lagi alam dunia di sekitarnya, sementara Zain hanya terdiam. Pasrah.
*** Di luar rumah, terdengar gonggongan keras seekor anjing.
Dan di kamar kerja, Susi si pelayan melihat sesuatu di atas meja, lantas berdesah sendirian, "Wah. Tuan kelupaan kacamatanya!"
Kacamata majikannya diambiL Lalu ia pergi ke jendela. Ada dua mobil yang sudah siap berangkat di pekarangan depan. Susi tak melihat majikannya. Yang terlihat hanya Mail, si supir kurus kerempeng, tengah sibuk mengusir seekor anjing kampung yang ribut menggonggong dari arah luar pintu gerbang.
Susi meninggalkan jendela, meninggalkan kamar kerja, dengan kaca mata di satu tangan. Matanya
mencari-cari" tuannya. Dan ketika pandangannya terantuk ke meja makan, tampak olehnya sebuah pisang ambon yang kulitnya setengah terkupas.
"Ketimbang mubazir!" gumam Susi seraya menjemput pisang ambon itu.
Digigitnya sepotong, lalu diteruskan mencari sang majikan. Lalu ia melihat tas kerja sang majikan laki lakinya di pintu masuk kamar latihan sang majikan perempuan. Susi pun bergerak ke sana, sambil terus mengunyah. Menjelang pintu kamar latihan yang menganga lebar, ia gigit pisang itu sekali lagi. Gigitan yang ini, kemudian terhenti di mulut, bersamaan dengan menegunnya tubuh Susi.
Memandang ke ruang dalam kamar latihan, sepasang mata Susi membelalak. Sisa pisang ambon di mulut, entah bagaimana, bukannya digigit. Tetapi berlahan-lahan didorong masuk, setengah dihisap.
Di luar rumah. Mail marah besar. "Baik. Kau belum tahu siapa aku ya?"
Lantas dia pasang kuda-kuda, disusul beberapa gerakan silat sambil mulut berciat-ciat. Seketika, gonggongan si anjing yang riuh rendah, menyepi sendiri, lantas anjing itu dengan cepat sudah lari terbirit birit. Mail tertawa ngakak. Melirik ke adoji lengan, menggeleng gelengkan kepala, pintu mobil
yang tadi kaca-kacanya diLap, ia tutupkan lalu Mail masuk ke dalam rumah. Anjing kampung itu sudah ngacir entah ke mana. Tetapi Mail masih keranjingan pamer kebolehannya seraya masuk ke rumah.
Akan halnya Susi, sungguh malang benar.
Sisa pisang ambon yang masih cukup besar dan panjang, sudah terlanjur masuk semuanya ke dalam mulut, lalu nyangkut di leher! Sekeuka Susi bernafas megap-megap, wajahnya memerah dan makin merah, sementara bola matanya bergerak liar, terputar balik. Secara naluriah kacamata sang majikan, masih dalam sarungnya, tetap ia genggam dengan satu tangan. Sementara tangan lain melemparkan tak peduli arah kulit pisang yang melayang, yang lantas hinggap di lantai ruang tengah.
Dengan tangannya yang bebas Susi memegangi lehernya. la mundur, mundur terus menjauhi pintu kamar latihan, berusaha keras menyelamatkan nyawa. Antara ingin memuntahkan atau menelan apa yang nyangkut di lehernya. Usaha yang sia-sia, dan semakin membuatnya tersiksa.
Mail pun tiba di ruang tengah.
Sebuah guci besar lolos dari tendangan silatnya. Ia meloncat gembira, tetapi kali ini kakinya tak lolos dari yang lain. Yakni, kulit pisang ambon yang dari tadi menanti dengan sabar.
Mail pun terpeleset, namun masih berusaha menahan keseimbangan. Tubuhnya yang limbung beradu dengan punggung Susi yang mundur ke arahnya. Tabrakan keras itu membuat keduanya samasama jatuh terduduk, setengah terhempas di lantai. Mail mengerang menahan sakitnya tulang pinggul. Sebaliknya Susi, justru bernafas lega tiada terperi. Karena terjatuh tadi, yang nyangkut di leherny a sudah masuk sekaligus ke dalam perut.
Merasa nyawanya diselamatkan oleh Mail, Susi lantas merangkul dan menghadiahi si kurus kerempeng itu dengan ciuman hangat. "Terima kasih, Bang MaiL .Kau telah mengembalikan nyawaku yang
hampir pamit!" Ciuman hangat mendadak itu, sungguh obat mujarab.
Rasa sakit dan ngilu di pinggul dan punggung Mail, seketika lenyap. Seraya mengusap pipi bekas dicium Susi, ia senyum-senyum, berujar penuh harap, "Semoga Tuhan sering-sering menjatuhkan kita, deh!"
"Eh. Jangan-jangan retak...!" Susi berujar khawatir.
Masih merem melek, Mail menimpali, "Jantungku memang retak, sexy!"
Tanpa peduli, Susi bangkit dan membuka sarung kaca mata. Ternyata kacamata majikannya masih utuh. Susi bernafas lega, sementara Mail yang kemudian melihat kacamata di tangan Susi, seketika sadar diri.
"Hei. Kau mencuri kacamata majikan kita, sexy?"
"jangan menghina!" sergah Susi, galak. "Dan berhentilah menyebut namaku secara keliru begitu. Aku Susi, bukan ..?"
"Kau memang sexy!"
"Eee-eee"!" Susi siap menempeleng.
Mail terloncat menjauh. "Iya deh. Tetapi omongomong majikan kita terlambat ngantor nih. Beliau di mana?"
"Tunggu saja di mobil," kata Susi, kalem. "Tuan masih sibuk!"
Dan saat itu. Zain memang sedang sibuk melayani sarapan pagi istrinya yang sungguh lain dari yang lain.
*** Satu jam kemudian, di mobil yang Mail larikan kencang agar tidak kesiangan tiba di kantor, si supir sesekali mencuri lirik lewat kaca spion ke arah majikannya.
yang rebah di jok belakang. sang majikan tampak lesu dan sedikit pucat.
Mail memberanikan diri bertanya, dengan nada khawatir, "Tuan. . .. sakit?"
"Apa?" Zain tersentak.
"Maaf, Tuan. Tetapi Tuan tampaknya membutuhkan seorang dokter ?"
"Oh. Terima kasih atas perhatianmu, Mail. Aku letih. Itu saja."
Mail yang tak tahu apa-apa, bertanya lugu, "Habis kerja lembur, Tuan?"
Zain pun tertawa masam. "Kerja lembur apa!" la menggerutu. "Aku justru habis dikerjain!"
Mail melirik lagi ke spion. Terheran-heran.
Melihat majikannya seperti ingin tidur, si supir tak lagi berani membuka suara."
*** Empat MOBIL kedua yang tadi tampak di pekarangan rumah, meluncur masuk ke halaman sebuah kantor di pusat kota. Di sisi dalam gerbang. terpampang plang yang tidak terlalu mencolok. Dan di plang itu terbaca, Rufaida Z.. Arifin S.H. Di bawah nama, tertulis dalam huruf kapital, NOTARIS. Ada mobil lain dan satu dua sepeda motor di halaman kantor itu. Dan mobil barusan, meluncur ke sudut yang memang sengaja dikosongkan untuknya.
Pintu mobil terbuka. Sepasang kaki bersepatu hak tinggi, menjejak permukaan halaman yang disemen itu. Pintu mobil ditutup. Sepasang kaki tadi berjalan menuju pintu masuk kantor. Kaki-kaki yang mulus, namun dengan otot-otot betis yang menonjol nyata. Dilihat dari belakang, bentuk tubuh si perempuan tampak menawan. Hanya sayang, gerak langkahnya, serta ayunan lengannya. Mestinya ia bukan memakai baju
terusan seorang wanita. Lebih cocok jika mengenakan hem dan celana panjang seorang laki laki!
Ida disambut para pegawainya dengan ucapan selamat siang, yang ia balas seperlunya.
Namun selain sambutan hormat seperti biasa, Rufaida atau Ida dapat menangkap sesuatu yang lain. Obrolan yang tiba-tiba dihentikan, dan senyumsenyum tertahan di sana sini. Sekretarisnya mengikuti Ida masuk ke ruang kerja pribadi, menunggu sampai sang majikan siap untuk menerima laporan.
Waktu akan mengutarakan sesuatu, Ida lagi-lagi menangkap ada yang misterius di wajah si sekretaris. Dengan benak diliputi tanda-tanya,Ida bertanya tanpa merasa perlu meminta maaf, "Aku agak terlambat bukan. Novi?"
'Tidak ada yang penting kok, Bu Ida?" jawab Novi si sekretaris, sopan. "Tadi memang ada tamu, namun urusannya dapat kami selesaikan. Ada sejumlah notulen, yang tolong lbu pelajari ...." lalu Novi meletakkan map yang dibawanya ke meja sang majikan. "Ada yang perlu ibu diktekan?"
Ida memandangi map di depannya, nyaris tanpa berselera. "Sementara ini, tidak. Hanya . . .."
Novi membiarkan majikannya berpikir-pikir.
Ida kemudian bertanya bimbang, "Ada apa dengan kalian semua pagi ini, Novi?"
"Tidak ada apa-apa kok, Bu!" Jawab Novi, bijaksana. Namun jelas wajahnya menyembunyikan sesuatu ditambah perilakunya yang kemudian buruburu menuju pintu untuk segera menyingkir dari ruang pribadi sang majikan. Sebelum menghilang, Novi berhenti sejenak dan berkata menggumam, "Oh ya. Selamat untuk sukses Bu Ida tadi malam ...!"
Pintu kemudian ditutupkan Novi hati-hati.
Ida, mau tak mau dibuat berpikir pikir makin keras. Nalurinya mendorong untuk cepat menyambar surat kabar yang memang selalu sudah sedia di mejanya setiap ia masuk kantor. Satu dua saat ia belum melihat apa-apa. Lalu kemudian.
Mulut Ida ternganga. Sepasang matanya membelalak, lebar.
*** Ada suara tawa membahak di sebuah kantor lainnya. Kantor yang halamannya juga terdapat plang nama. Plang besar, karena harus mencantumkan tiga nama dengan gelar yang keren-keren. Paling atas, Zainul Arifin S.H..M.B.A. Di bawahnya IR. Eddy Natapraja, lalu Drs, Suharnoto, M.A. Dan sedikit terpisah di sudut bawah plang, dicantumkan nama
usaha bersama ketiga kolega itu secara ringkas dan sederhana, KONSULTAN.
Zainlah yang tertawa mengakak itu.
Tertawa bebas lepas, karena saat itu ia memang sendirian di kantornya. Surat kabar yang sedang ia baca, masih ia pegang ketika pintu ruang pribadinya diketuk dari luar. Hanya tawanya saja yang terpaksa ditahan, sampai pintu itu terbuka dan sebuah kepala anak muda perlente nongol disertai pemberitahuan, "Telepon untuk Bapak.."
Pintu kemudian ditutupkan.
Zain mengangkat telepon pribadinya. Belum juga ia mengucapkan "Hallo", telinganya sudah dibuat sakit oleh suara menyentak seorang perempuan, "Mereka harus dituntut!"
Terjerengah, Zain menyahut, "..". Siapa?"
Suara Ida di corong telepon sungguh meledakledak. "Surat kabar picisan itu! Atau kau belum membacanya, Pah"!"
Zain melirik ke halaman surat kabar yang terpampang di mejanya. Langsung ke sebuah foto besar di sudut kanan atas. Foto seorang perempuan berbikini, menungging secara mencolok. Dan persis di bagian pantat kanan, ada foto inzet kecil close up, lda yang tersenyum lebar!
Zain mau tertawa lagi. Namun keburu diserbu istrinya yang jelas lagi naik darah. "Kau sependapat bukan, Pah" Mereka harus kita tuntut ke pengadilan!"
Zain menguasai dirinya dengan baik. "Begini, Mah," ia berkata lunak. "jika kau membutuhkan nasihat seorang konsultan, inilah nasihatku. Sebaliknya menuntut ke pengadilan, si wartawan atau si redaktur justru patut kau kirimi bunga ...."
jawaban Ida tajam sarkastis, "Najis!"
Zain sedikit menjauhkan gagang telepon dari telinganya.
Meringis sesaat, ia lagi-lagi mampu menguasai diri. Lalu berusaha menyabarkan sang istri. "jangan uring-uringan dulu, Mah. judul beritanya saja sudah hebat . . ?" Zain lantas membacakan, "Tegar Melawan Usia. Notaris Rufaida Come Back!"
Ada sedikit kebanggaan dalam nada suara Zain, apalagi sewaktu meneruskan, "Dan di bagian lain beritanya, mereka justru menjagokanmu bakal meraih juara tanpa saingan berarti. Seperti ketika kau merebutnya pertama kali, belasan tahun silam .. .!"
"Tetapi fotonya, Pah. Kau lihat sendiri, bukan" Dengan sengaja mereka memperlihatkan aku dikentuti Nuri!"
Zain menyimak foto yang memang agak kelewatan itu lantas bergumam tak sadar, "Lebih pas, dipantati ...."
"Nah," Ida di kantornya, dengan wajah merah padam, terus meledak. "Aku ditertawai semua orang .Aku dibuat malu besar. Dan Edo pasti stres!"
"lho, Mah. Apa hubungan surat kabar ini dengan Edo" Toh anak kita yang cuma semata wayang itu, saat ini masih studi di Harvard.. .!"
"jika Edo juga membacanya, Pah, Edo juga akan mendapat malu besar!"
"Oh ya" Menurutku, Edo malah bangga."
Beauty Affair Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh?" "jelas dong. jika saat ini Edo membacanya, berarti surat kabar dari negeri ini ternyata juga laris dijual di Amerika sana."
'Thak !" Di kantor berplang Notaris, gagang telepon dibanting Ida dengan marah. Disusul umpatan sakit hati, "Dimintai nasihat, eh, malah meledek!"
Dan di kantor berplang Konsultan, Zain tersenyum dikulum. Tak tersinggung oleh pemutusan hubungan secara tiba tiba dan jelas kasar itu. Zain pun bersungut-sungut. Tetapi, sungutan gembira, "Salah sendiri, kau bini kepala batu. Dinasihati supaya mundur, eh masih juga pamer tubuh tuamu di depan umum. Suami. wajib nonton pula!"
surat kabar di mejanya cepat dilipat, karena pintu sudah dibuka oleh seseorang tanpa lebih dulu mengetuk. Salah seorang rekan kerjanya muncul dengan wajah serius dan pertanyaan yang sama seriusnya, "Punya waktu untuk briefing darurat, Bung Zain?"
Zain menjawab dengan bersemangat, "Permintaan yang bagus, Eddy. Dan tepat waktu ...." Ia bangkit dari mejanya. "Aku justru sedang berharap untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih berarti ketimbang tetek-bengek yang menjemukan itu "."
Eddy mengernyitkan dahi, "Tetek-bengek?"
Terlihat oleh Zain bahwa berita mengenai istrinya terpampang jelas di atas mejanya. Dibaliknya surat kabar itu agar tak terlihat oleh rekan sejawatnya. Sambil tersenyum penuh rahasia. "Lupakanlah. Dan katakan, apa tantangannya?"
Eddy berjalan meninggalkan tempatnya berdiri, diiringi Zain. ia menjelaskan, "Salah seorang klien kita terlibat penggelapan pajak!"
"Oh?" Mereka melewati ruang kerja karyawan yang sibuk.
"Nama kita memang bersih," Eddy meneruskan. "Tetapi beberapa bankir yang kita hubungkan dengan
klien kita itu, boleh jadi akan meragukan kredibilitas kita!"
"Ini bukan main-main kalau begitu!"
Eddy manggut. Setelah melewati pintu terbuka ke ruang rapat yang tampak kosong melompong, mereka berhenti di depan sebuah pintu pribadi lainnya. Seperti ketika masuk ke ruang kerja pribadi Zain, Eddy juga langsung membuka pintu itu tanpa mengetuk lebih dulu. Suasana ruang kerja yang nyaman segera menyambut kedatangan mereka.
Suharnoto tengah membaca surat kabar di kursi tamu. Dan sekretarisnya tampak sudah siap dengan catatan. Suharnoto segera meletakkan surat kabarnya, begitu kedua orang rekan sejawatnya masuk. la tertawa ke arah Zain, dan berkata riang, 'Tak kunyana, istrimu memiliki pantat yang begitu indah, Zain!"
Zain melirik surat kabar di tangan rekannya. Baru kemudian menyahuti gurauan rekan sejawatnya yang bertampang periang itu.
"Sialan kau, Tok. Yang kau lihat itu 'kan pantat orang lain...!"
*** PANTAT indah dengan goyangannya yang menawan, berlalu dari depan batang hidung Zain.
Matahari senja yang semarak mengikuti goyangan pantat Susi yang baru saja menghidangkan teh untuk majikannya berdua yang mengisi waktu di teras. Zain berhenti mencatat pada kertas di dalam map terbuka dan berlapis sebuah buku tebal. Tangannya menurunkan sedikit kacamata baca untuk dapat melihat lebih jelas ke pantat Susi yang kemudian menghilang di balik pintu.
Lalu buru-buru membetulkan letak kacamatanya, pura-pura asyik kembali mempelajari berkas, sewaktu Ida yang duduk di sebelahnya mengetukkan jari-jemari ke lembar surat kabar yang dari tadi ia tekuni.
"Ini baru berita namanya. Uraiannya jempolan. Gambar yang melengkapi pun ditampilkan dengan benar dan sopan. Tidak seperti koran sensasional yang...," melihat si suami asyik membaca berkas.
Ida bertanya pedas. "Apakah kau mendengarkan aku. Pah?"
Zain manggut. Dikuatkan dengan kata-kata, "Cukup jelas....!"
"Bagus. Nah. Yang ingin kutanyakan adalah, apakah kau tidak melihat ada celah untuk menuntut mereka" Paling tidak menuntut pernyataan maaf unruk pemuatan gambar yang sangat tidak pantas itu!"
"Menurutku, Mah. Apa yang mereka muat pantas-pantas saja kok."
Ida mengerutkan dahi. "Tetapi, Pah. Menempelkan fotoku di pantat Nuri.. .."
Zain menahan senyum. Santai, ia menukas, "Si penata letak agaknya punya selera humor yang tinggi. Itu saja. . ...!"
"Selera rendah. Itulah dia!" Ida mendengus sebal. "Dan aku sebagai korbannya. Aku dibuat malu besar. Tak tahu ke mana akan menyembunyikan muka!" Ia memandang suaminya, dan sakit hati melihat wajah Zain datar-datar saja. "Rupanya kau tak punya harga diri, Pah!"
Zain tersentak, "lho...?"
"Yang mereka hina itu istrimu!" Ida tak kuasa lagi mengendalikan emosi. "Suami macam apa kau
ini. Istri dihina, kau tenang-tenang saia. Bukannya bertindak!"
Zain berkata sabar, "Sudah, Mah. Sejak awal aku sudah bertindak."
Kemarahan Ida agak mereda. Penuh harap ia bertanya., "Dan apa tindakanmu, Fah?"
"Sebagai suamimu, aku sudah berulangkali menasihati ...."
"Untuk berdiam diri dihina orang, Itukah tindakanmu"!" Ida kembali sewot, karena harapannya jauh dari impian.
Zain menggeleng prihatin. "Agaknya kau lupa, Mah," desahnya, masih tetap sabar. "Coba ingatingat. Begitu kau bilang kau mau come back, mentas lagi.... sebagai suami aku sudah menasihatimu agar membatalkan niatmu. Kau sudah terhitung tua. Sebagai atlit, maksudku. Sudah waktunya kau memberi kesempatan kepada mereka yang masih muda-muda "."
Ida terbelalak, "jadi kau tetap tidak mendukung. . ?"
"Tidak Mah" "Dan arti kemenanganku tadi malam?"
Zain angkat bahu. Tak bernafsu.
"Egois!" maki Ida. Lembaran surat kabar di tangan ia remas remas sampai menjadi sebuah bola kertas tak tentu rupa. Dan bola kertas itu ia lemparkan ke wajah suaminya, yang tak sempat mengelak.
Ida kemudian bangkit dengan marahnya. Masuk ke dalam rumah dengan langkah langkahnya yang gagah. Langkah seorang juara yang tidak sudi kemenangannya diremehkan orang.
Di tempat duduknya, Zain tercenung.
Dalam, dan kecewa besar. Susi, si pelayan yang kebetulan sedang berjalan ke dapur sewaktu majikan perempuannya masuk ke dalam, menjadi korban berikutnya dari kemarahan Ida.
"Susi. Sini!" Ida menyentak garang.
Susi terbungkuk-bungkuk mendekati. "Saya, Nyah.?"
Ida mengawasi pelayannya dari ujung rambut ke ujung kaki. Membuat yang diawasi tampak cemas. "Sekali lagi kuperingatkan, Susi. Jika lewat di depan suamiku, jangan menggoyang-goyangkan pantatmu secara berlebihan!"
Susi akan membantah. Tetapi melihat majikan perempuannya sedang pitam sangat. ia kemudian
mengangguk dengan wajah seakan penuh dosa. "Saya Nyah. Maaf, Nyah. Tak akan lagi.. .."
"Atau kau kupccat. Ingat itu!" Ida mengancam, seraya berjalan dengan wajah tak senang menuju ke ruang latihan.
Di ruang tengah, Susi masih berdiri pucat dan gemetar.
Bergumam, sama gemetar, "Mimpi buruk apa aku tadi malam, ya?"
Ia kemudian meneruskan niatnya pergi ke dapur. Dengan goyang pantat tetap gemulai. Menawan mata yang memandang.
Tiba-tiba, Susi menghentikan langkah. la telengkan kepala ke arah lorong menuju ruang latihan majikan perempuannya. Dan ketika meneruskan langkah, tangan kiri maupun kanan Susi ditekankan ke pinggul kiri kanan, jelas berusaha menahan agar ayunan pantatnya lebih sesuai dengan kehendak si majikan perempuan. Lalu sekali lagi ia tertegun sendiri. Kedua tangannya dibiarkan bebas. Masuk ke dapur, pantatnya pun dibiarkan mengayun bebas.
"Payah!" desis Susi, pasrah. "Sudah dari sononya ayunan pantatku begini kok. . ..!"
Untuk menghilangkan perasaan risau. ia menghidupkan radio mini yang memang senantiasa tersedia di dapur. Ya ampun. pas lagu dangdut!
Susi menyeringai. dan lambat tetapi pasti tubuhnya pun bergoyang mengikuti irama musik. Dengan sendirinya, liuk pantat Susi kian menjadi-jadi meski ia tetap melakukan tugasnya dengan baik di dapur.
Volume radio dikeraskan. Goyang pantat Susi kian menggila.
"Asyik. . ..!" Susi tertawa kecil.
Dan! "Susiiii"!" sayup-sayup terdengar panggilan lengking dari arah ruang latihan. "Susi!" panggilan yang kedua malah lebih keras dan lantang, berbau ketidaksabaran.
Seketika Susi mematikan radio.
Dengan wajah pucat pasi ia berlari lari kecil meninggalkan dapur menuju ruang latihan si majikan.
"Saya, Nyah. . ."
"Ambilkan aku minuman dingin, anak tolol!"
Susi tak jadi masuk ke ruang latihan. Reflek ia membalikkan tubuhnya. Berlari-lari kecil lagi ke arah dapur, lalu dengan memutar tubuh dan beralih
aran menuju kulkas, mengambilkan minuman yang diminta. Diisikan ke sebuah gelas kosong yang disambar dari meja makan. Begitu buru buru dan gugup tiada terperi. Sehingga tak sedikit minuman yang tertumpah dari gelas, menggenangi lantai.
"Tenang. Susi. Tenang...!" suara lunak menegurnya.
Susi tertengadah. Matanya pun seketika beradu dengan mata majikan satunya lagi yang memandang iba. Rupanya diam-diam Zain sudah masuk ke dalam dan sempat memperhatikan adegan akhir dari nasib Susi yang mengenaskan iu.
Senyum lembut Zain menenangkan Susi. Kini ia dapat mengisi gelas dengan benar. Namun masih saja tetap ada yang tertumpah, meski hanya sedikitsedikit. Yakni butir-butir air bening di sudut-sudut mata Susi.
Susi kemudian berlalu dari depan Zain. Tangan si gadis yang memegangi gelas, tampak masih gemetar. Tangan lainnya yang bebas, menyeka air mata.
Tanpa sadar Zain terus memperhatikan Susi dari belakang. Pandangan iba di balik matanya, secara lambat tetapi pasti berubah jadi bayangan lain.
bukan main ia membatin kagum. Dalam keadaan mengenaskan itu pun, toh ayunan pinggul Susi masih tetap meruntuhkan hati.
"Mengapa kau begitu lama, anak tolol"!" telinga Zain kemudian menangkap hardikan Ida dari ruang latihan.
Zain tersentak. Kelopak matanya dikerjap-kerjapkan, membuang lamunan tak patut dari benaknya. Setelah itu ia melangkah masuk ke ruang kerjanya.
Dengan pundak bagai terkulai jatuh, layu.
Sambil masuk tangannya yang lunglai masih sempat menutup daun pintu."
*** Enam MALAM itu lda tidur lebih cepat dari waktu biasanya. Dan ia langsung pulas. Tak satu pun peralatan di ruang olahraga yang dilewatkannya. Bahkan beban barbel ditambah dan ditambahnya terus, sampai ia akhirnya terpuruk sendiri. Tetapi sedikit banyak, perasaan kecewa akan sikap sang suami dapat tersalurkan. Dan setelah berendam air hangat di bak mandi sekitar setengah jam, kantuk pun segera menghampiri.
Di kamar kerjanya, Zain terbatuk-batuk karena terus merokok. la teguk sisa kopinya di gelas besar, meneruskan lagi membaca bukunya. Ketika jam dinding berdentang, ia melirik dan terkejut menyadari waktu sudah masuk ke dini hari. Herannya, ia tak merasa mengantuk sedikitpun. Termenung sejenak, ia kemudian meninggalkan kamar kerja. Pintu kamar terbuka. Ida sudah mendengkur. Karena posisi kepalanya di bantal salah, mana menelengkup pula, dengkurannya terdengar ekstra keras.
Zain menarik nafas kemudian mendekat berjingkat. Posisi kepala istrinya di bantal, ia betulkan dengan hati hati. Dengkur lda melemah. Zain kemudian rebah di sebelah sang istri. Namun matanya tak juga mau terpejam. Dan Ida kembali mendengkur, lebih keras dari tadi.
Suara ngorok istrinya, memunculkan bayangan bayangan di benak Zain. Mula-mula tampak olehnja sebuah gergaji raksasa maju mundur memotong sebatang pohon yang juga berukuran raksasa. Gergaji dan pohon menghilang, lalu digantikan bayangan samar roda-roda sebuah lokomotif tua merangkak di batangan rel yang sudah kararan. Bayangan itu pun kemudian mengabur. Lantas muncullah bayangan batang leher seekor sapi yang baru saja disembelih. Lubang lubang hidung sapi itu gembung menganga, disusul bunyi dengkuran sekarat. Lalu, di saat ajal datang menjemput, sapi itu seakan menolak dengan mengangkat kepalanya tiba tiba. Tampaklah wajah aneh dan mengejutkan. Bukan wajah seekor sapi. Melainkan wajah Ida... dengan mulut terbuka lebar dan mata menatap kosong.
Tentu saja Zain terperanjat. Kelopak matanya yang sudah sempat tertutup, seketika dipentang lebarlebar. Dan, memang itulah yang ia lihat. Wajah Ida, dengan mulut terbuka dan mata yang juga terbuka. menatap kosong ke arah suaminya. Zain berusaha menenangkan dirinya. Merasa bersalah telah membayangkan yang bukan bukan tentang istrinya. Masih terkejut, ia pun menyapa lembut, "Hei. . .l"
Ida diam, tidak bereaksi.
Zain memaksakan senyum manis di bibir. Lantas berbisik, sama manisnya, "Masih marah, ya?"
Tetap tidak ada reaksi. Kecuali bunyi mendengkur dari hidung Ida. Zain keki setengah mati. Istrinya masih pulas, rupanya. Dengan sentuhan lunak, jari jemari Zain mengatupkan kelopak mata sang istri.
Kepalang tak bisa tidur, Zain meninggalkan kamar, kesal dan merasa gerah kepalang. Hal terbaik yang dapat ia lakukan adalah pergi ke teras belakang untuk menikmati udara malam yang sejuk, juga angin sepoi-sepoi sembari tiduran di bangku taman. Siapa tahu akhirnya ia mengantuk iuga.
Tanpa menimbulkan suara ia membuka pintu menuju teras belakang. Zain terhibur begitu menangkap bayangan taman mini yang ditata rapi serta artistik, tampak begitu penuh daya pesona di bawah siraman rembulan. Zain pun lantas bergerak ke bangku taman yang letaknya agak tersembunyi dalam kegelapan.
Tetapi, seseorang sudah mendahuluinya!
Zain tertegun, memperhatikan. Lantas bertanya heran, "Apa kerjamu di sini, Susi?"
Pelayan perempuan yang masih muda dan bertubuh seronok itu, mengangkat kepalanya terperanjat. Tangannya terangkat, menutup mulut menahan jerit. Lalu tangan itu turun ke dada, mengurut urut jantung yang berdebar. Mulut ranumnya bergumam gagap, "Aduh! Tuan.... mengejutkan saya!"
Samar-samar tampak wajahnya yang pucat pasi, ketika ia berdiri. Zain menggeleng-gelengkan kepala. lantas berkata menghibur, "Ngelamunin pacar ya?"
"Oh. Bukan, Tuan. Tetapi, anak saya. Di kampung. . ..!"
Zain mengernyitkan dahi, "Kau... punya anak?"
"Ya Tuan. Baru satu, dan masih keciL .Ia terpaksa saya titipkan pada neneknya." Susi berhenti sejenak, lalu bertanya heran, "Apakah Nyonya belum menceritakan pada Tuan, saya ini janda?"
"Tidak.... Ah, mungkin juga sudah. Aku tak memperhatikan betul. Hei, kau duduklah kembali!"
"Tetapi. Tuan. . ."
"Biarlah aku berdiri saja. Meluruskan punggung yang agak sakit, karena tadi duduk berjam jam. . .."
Zain terpaksa menyuruh sekali lagi sebelum pelayannya akhirnya menurut dan dengan sikap risih kembali duduk di bangku.
Karena tidak tahu apa yang mau diperbincangkan, zain pun bertanya seingatnya saja.
"Kok tega-teganya suamimu meninggalkanmu, Susi" Padahal kau ini masih muda. Menarik, lagi. . ..!"
Susi mengangkat wajah, menatap curiga pada majikannya.
"Jangan salah sangka, Susi. Maksudku, apa yang kurang darimu, sehingga dia rela menceraikanmu?"
"Judi, Tuan. Itulah penyebabnya. Suami saya padahal cuma kerja menarik becak, itu pun punya orang. Sedangkan saya dan orangtua saya, cuma petani miskin. ?"
"Lantas?" "Setelah semuanya habis.... Ya milik kami maupun milik orangtua saya, dia pun mulai suka memukuli saya. Bahkan pernah sekali, ia hampir membunuh saya..."
"Astaga. Kenapa?"
"Malu menceritakannya, Tuan. . ..."
Zain diam saja. Maka pelayan itu pun meneruskan ceritanya, "Saya mau dibunuhnya karena. . . saya menolak. . . dijual pada lelaki lain...!"
"Apa"!" "Sumpah mati, Tuan. Itulah yang sebenarnya terjadi. Saya lebih suka mati ketimbang dipaksa melayani lelaki lain. Apalagi lelaki yang tidak saya kenaL. Dan saya tidak suka pula pada lelaki itu. ?"
Kalimat terakhir Susi yang diucapkan polos dan jujur ini mau tidak mau membuat Zain menyeringai. "Maksudmu, jika kau suka, maka kau. . .."
"Apa salahnya, Tuan?" jawab Susi tandas. "Asal lelaki itu bersedia menikahi saya ...!"
"Oh!" Zain tersudut. Satu nol. "Terusnya?"
"Beruntung ayah keburu muncul, Tuan. Ayah saya jago silat. Suami saya pun dibuat pontang-panting. Kelakuannya sudah tak dapat diampuni orangtua saya. Dia pun enyah dari kampung, setelah saya diceraikan. Kami tak pernah lagi bertemu. Dengar-dengar, suami saya pergi ke Sumatera."
Capek berdiri, Zain pun duduk di bangku yang sama.
Susi dengan sopan menjauh, dan Zain merasa tidak perlu mencegah.
"Lalu mengapa kau tidak kawin saja dengan lelaki lain?"
"Belum ketemu.. .. yang pas, Tuan." jawab Susi malu-malu.
"Pas apanya?" "Maksud saya, yang mau saling mengerti. Saling membagi suka maupun duka."
Barangkali memang itulah yang dinamakan jodoh! Pas, lagi. Zain membatin. Dengan rincian sederhana, sesederhana yang barusan diutarakan Susi, saling mengerti, saling mau membagi suka dan duka.
Apakah pas jodohnya dengan Ida"
Zain menatap kegelapan malam di depannya, dengan pikiran menerawang.
*** Jauh, seakan tak bertepi.
Lalu berhenti di sebuah asrama mahasiswa, dengan Zain sebagai penghuni salah satu kamar di asrama itu. Ada beberapa tempat tidur di kamar yang sama. Tetapi hanya ada satu tempat tidur saja yang selalu ada buku terletak, atau catatan-catatan yang berantakan. Rak pun penuh buku, juga di atas lemari, bahkan ada yang tersusun rapi di salah satu sudut kolong tempat tidur.
Waktu itu, Zain tengah duduk bersimpuh di ranjangnya. Seperti biasa dengan beberapa buku terbuka dan sejumlah catatan ikut meramaikan.
Lalu salah seorang teman satu kamar, mendatanginya. Dengan sapaan yang khas, "Hei, pemilik taman bacaan. Mau tidak meluangkan sedikit waktumu yang berharga, untuk menolong seorang teman yang malang?"
"Maaf. Pinjam saja dari yang lain, Alex. Aku lagi bokek!" jawab Zain acuh tak acuh.
Alex duduk di dekat sahabatnya. Dengan wajah serius.
"Uang, memang ikut tersangkut. Tetapi yang kubutuhkan darimu, adakah saran atau jalan keluar. Kau ini tukang mamah buku. Jadi otakmu pasti menyimpan banyak akal untuk memecahkan persoalan yang bagaimanapun rumitnya!"
"Pujianmu membuat perutku mulas," Zain tersenyum. "Apa urusannya?"
"....Ida!" "Ida" Ida yang mana?"
"Rufaida. Yang masih satu fakultas dengan kita. Tetapi dia di jurusan Perdata. Dan, lagi top di kampus kita....."
"Topnya?" "Hei. Apakah kau tidak tahu kalau dia belum lama ini memenangkan invitasi binaragawan antar perguruan tinggi?"
Melihat temannya cuma angkat bahu tanpa perhatian. Alex pun sadar. "Oh. Aku lupa, kau ini kutu buku bangkotan. Hidup hanya dengan buku. Barangkali kelak, kau akan beristrikan buku. Lalu anak yang lahir dari rahim istrimu, lagi-lagi buku dan buku!"
"Puji dulu, baru dimaki maki," Zain tersenyum. "Bantuan apa yang dapat kuberikan untukmu?"
"Aku harap kau punya cara mujarab untuk mendekati Ida."
"Apa sih susahnya, kalau hanya begitu?"
"Uh. Dasar katak di bawah tempurung!" Alex bersungut-sungut. "Ida itu, tubuhnya....wow! Hanya dengan melamunkan tubuhnya, aku bisa orgasme!" Alex tertawa. "Tetapi untuk mendekati dia, wah. Ngeri....!"
"Memangnya dia itu hantu?"
"Lebih dari hantu. Hantu, hanya menakutnakuti. Ida, bahkan mampu menyakiti. Tak sedikit teman kita yang dibuat kapok atau mundur sebelum bertempur. Terakhir, dua hari lalu, contohnya. Kurdi.
entah usil entah terdorong birahi, nekad mengusap pantat Ida. Belum sempat Kurdi menikmati sentuhannya, tahu tahu Kurdi sudah terbanting di aspaL. Pingsan seketika!"
"Hem. Jadi Ida tubuhnya indah. Tapi orangnya galak ya?" Zain mulai tertarik. "Lalu, untuk apa pula aku harus mendekatinya?"
"Bukan kau, kunyuk. Tetapi aku!" Alex jadi uring uringan.
"Lho. Tadi kau bilang....."
"Kubilang, cara mendekati dia! Apa kurang jelas?"
"Wah, jadi bingung. Urusan jelasnya apa sih?"
"Aku, dan lima orang teman kita yang lain, bersaing ketat untuk dapat merebut hati Ida. Lalu, kami pun sepakat bertaruh. Siapa orang pertama di antara kami berhasil mencium bibir lda, walau sekilas tetapi tanpa kena bantingan atau gamparan si galak itu. Maka uang kuliahnya selama satu semester, akan ditanggung secara patungan oleh mereka yang kalah...!."
"Kini aku mengerti." Zain mengangguk anggukkan kepala. "Jadi kau ingin mencium Ida. Sekaligus, kuliah cuma-cuma selama satu semester. lantas andai kutemukan akal yang hebat.... Apa bagianku, eh?"
Alex menyeringai. "Sudah kuduga kau akan menanyakannya. Kita bersahabat, bukan" Nah. Aku akan berlaku adil padamu. Asal aku berhasil mencium Ida dan nyawaku selamat... hasil taruhan menjadi hakmu. Bagaimana"
"Beri aku tempo untuk berpikir."
"Berapa lama" Sehari" Dua hari" Awas, jangan membuat aku kedahuluan oleh teman kita yang lain!"
Tak perlu sampai dua hari.
Sore, masih hari itu juga, Zain sudah memanggil Alex yang ia minta mengumpulkan teman-temannya bertaruh. Ia tidak memberi penjelasan yang lain. Dan setelah mereka berkumpul di tempat yang diperkirakan cocok oleh Zain karena sepi dan yakin akan dilewati Ida sepulang kuliah, ia pun hanya menyuruh mereka semua menunggu dengan sabar.
"Apa sih permainanmu?" Alex bertanya bingung, setelah lebih dulu menarik Zain menjauhi temanteman lain.
"Santai saja, kawan. Nanti, jika kau punya kesempatan toh aku akan memberi tanda. Ayo, ngumpul sana. Sebentar lagi permainan akan dimulai!"
Benar saja. Tak berapa lama, Ida tampak muncul di kejauhan. Berjalan ke arah mereka. Kebetulan. sendirian pula. Siang tadi, Zain diam diam mengintip dan memperhatikan Ida. Wajah dan tubuh gadis itu, seperti kata Alex, memang wow!
Diam-diam pula Zain lantas menyusun rencana.
Ida kini tampak semakin mendekat. Bahkan sudah melihat kelompok mereka. Langkahnya gagah, tegar, dengan sikap cuek. Ekor matanya kemudian menangkap salah seorang dari kelompok mahasiswa itu memisahkan diri. Ida terus saja berjalan, tanpa prasangka apa-apa.
Dan Zain, tahu tahu sudah berada di sebelah gadis itu. Dengan sapaan yang ganjil, "Ida. Boleh saya minta maaf ?"
Ida tertegun. Dengan wajah tercengang, tentunya. "Minta maaf. . untuk apa?"
"Sebuah urusan kecil. Yang menurutku menggelikan!"
"Oh ya?" desah lda. Diiringi sorot matanya yang menusuk tajam. Mengawasi Zain, dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Diawasi seperti itu, Zain membatin khawatir: "Wah. Dia tengah menaksir naksir. jurus apa yang
akan dikeluarkan, agar aku langsung teler hanya dengan sekali banting!"
"Apa sih urusannya?" Ida bertanya curiga.
"Temanku yang itu. . .." Ia menunjuk Alex, yang tampak cemas sekaligus bingung tak terperi.
Begitu ia ditunjuk, Alex pun tegang. Tetapi Zain belum memberi kode. Alex cuma bisa saling bertukar pandang dengan teman satu kelompoknya.
Tak jauh dari mereka, Zain meneruskan penjelasannya dengan suara direndahkan, "Temanku itu, dan komplotannya, sedang kelebihan uang. Dan itu, entah mengapa, membuat mereka berubah jadi orang orang tolol. Tak tahu uang mereka mau diapakan. .."
"Nanti dulu!" potong Ida. Lalu menaksir naksir Zain lagi. Zain kembali khawatir.
Dan di luar dugaannya, Ida malah bertanya dengan bersemangat, "Nanti dulu. Kamu ini Zainul Arifin, bukan" Si Taman Bacaan. . .?"
"Jadi, kau telah mengenalku.. .?" Zain memperlihatkan muka bodoh.
Sikap curiga Ida berubah ke ramah. "Aku memerlukan bantuan seseorang untuk mendiskusikan beberapa masalah rumit dalam skripsiku mendatang. Lalu seorang teman menunjuk dirimu!"
Dada Zain pun plong seketika.
Pintu terbuka lebar untuk mendekati lda. pikirnya. Namun perasaan itu ia sembunyikan. Apalagi setelah melihat kelompok teman temannya tampak sudah tak sabar. Bahkan Alex sudah setengah maju, karena ketika Zain menoleh, Alex menduga Zain akan segera memberi kode.
Dengan wajah risau, Zain pun berkata, "Urusan teman-temanku di sana itu, lda, mungkin tak kalah rumit dengan skripsimu. . ..!"
"Ada kaitan dengan diriku, agaknya?"
"Itulah dia. Kumpulan anak anak tolol itu sepakat bertaruh?" Zain pura-pura menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, membuat Ida makin penasaran. "Mereka bertaruh, jika aku berhasil melakukan sesuatu, maka mereka akan patungan membayar uang kuliahku selama satu semester."
"Hebat. Tetapi apa yang harus kamu lakukan?"
"Seperti kubilang tadi, mereka itu anak-anak tolol!" Zain mula-mula berusaha membela diri. Baru kemudian nekad memberitahu inti urusannya. "Mereka percaya, kau akan membantingku seketika, bila aku berani-beranian mengecup bibirmu.. ..!"
Sedetik, Ida menegang. Tersinggung.
Zain lebih tegang lagi. Mulai cemas.
Tetapi pada detik berikutnya, lda sudah rilek kembali.
"Hem. Kau benar," desahnya. "Mereka itu sesungguhnyalah, kumpulan kerbau!"
Zain kecewa. "Dan aku?"
"Maksudku, mereka salah besar jika mengira aku tega membantingmu...." Ida tersenyum penuh arti. "Bukankah aku memerlukanmu untuk membahas beberapa bagian dari skripsiku?"
Sebelum Zain sempat mencerna kata kata maupun senyuman Ida, gadis itu sudah menaikkan tumit sepatunya lalu condong ke depan agar wajahnya dapat mendekati wajah si pemuda yang kebingungan.
Lalu hinggaplah sebuah kecupan di bibir Zain.
Yang, walau singkat saja, sungguh teramat mengejutkan.
Lepas mengecup bibir Zain, dengan wajah bersemu merah Ida berujar manis, "Aku akan mengontakmu, kapan aku akan memulai skripsikul"
Ida kemudian berlalu tanpa menoleh-noleh kiri kanan. Dengan langkahnya yang gagah. Dan sikapnya yang luar biasa, cuek. Seperti hanya dia seorang yang ada di dunia ini.
Di belakangnya, Zain terpesona.
tak jauh darinya, kelompok orang-orang tolol itu, menatap tak percaya. Alexlah yang pertama-tama membuka suara, "Cunguk! Kutu buku busuk itu mengerjaiku !"
Zain mendengar umpatan temannya. la merentangkan tangan memperlihatkan wajah tak berdosa.
Alex mencak mencak. Yang lain, akhirnya serempak tertawa. Satu per satu mereka mendatangi Zain, mengucapkan selamat. Yang meski tampak masih keki, diikuti pula oleh Alex. Tak ada yang bicara soal kuliah cuma-cuma untuk satu semester
Yang ada, hanya satu pertanyaan takjub dari Alex untuk Zain, sahabatnya.
"Mantra apa yang kau baca Zain. Sehingga justru dia yang bertekuk lutut padamu?"
Zain tak menjawab. Ia masih terpesona."
*** "TUAN....?" ada suara lembut, yang sayup-sayup sampai. Lalu terdengar semakin jelas. "Kok diam saja Tuan?"
lamunan Zain menyentak kabur. Ia segera menyadari di mana ia berada, dan kapan. Agak lambat, barulah ia menyadari bahwa waktu terus berlalu. Ia sudah mendekati usia tengah baya, sekarang. Dan, dia bukan lagi si penakluk.
Buktinya, saat ini, dini hari, dan di malam yang mulai menggelap karena secara lambat tetapi pasti awan pekat mulai menutupi rembulan. Tak ubahnya bayangan keperkasaan Ida yang dari waktu terus bahkan semakin menutupi kelelakian Zain. Membuat Zain mendadak merasa dirinya sudah semakin tua saja. Yang kemudian ia lontarkan lewat suara mengeluh, berat dan panjang,
Susi mengawasi, khawatir, "Punggung Tuan sakit lagi?"
"Tak apa, Susi. Aku hanya lelah," desah Zain, dengan suara tuanya yang memang lelah.
"Boleh saya urut, Tuan?"
Ya, apa salahnya" Zain pun mengangguk. Susi bangkit dari bangku. "Saya ambil dulu obat gosok, dan..."
Dan angin malam tahu-tahu bertiup. Keras, dingin menusuk. Disusul bunyi menggelegar langit yang sudah berubah kelam.
Susi menggigil. Sejenak bingung, lalu, "Sebaiknya jangan di sini, Tuan. Tampaknya hujan akan turun".!"
Zain masih duduk termangu. Dengan wajah murung.
Susi lantas memutuskan, "'Tak apa, jika Tuan saya urut di kamar saya saja?"
Gerimis tiba-tiba jatuh. Dan tak ada lagi tempo untuk menimbangnimbang baik dan buruk. Susi bergegas melangkah ke arah pintu kamarnya yang langsung dibuka lebar.
Ia tak perlu menunggu berlama lama. Zain sudah menyusulnya, lalu mengikuti pelayannya masuk ke kamar. Dan setelah berada di kamar pelayannya, barulah Zain dilanda kebingungan.
Mau apa dia di sini"
"Wah. Kencang sekali anginnya, Tuan!" Susi lagilagi menggigil. "Tak apa pintunya saya tutupkan?"
Zain diam saja. Dan Susi pun menutup pintu.
Itulah awal dari segalanya. Dengan bunyi derasnya hujan menimpa atap, sebagai musik pengantar.
Mula mula Zain hanya duduk diam di sebuah kursi, sementara Susi mengurut punggungnya sambil berdiri. Mula-mula, ujung kemeja piyama Zain pun cuma diangkat lalu disingkap sedikit-sedikit.
lantas Susi memberi usul, "Supaya Tuan merasa lebih nyaman, enaknya sih Tuan rebahan saja, di sana....!" saran Susi seraya menunjuk ke tempat tidurnya.
Tak apalah, pikir Zain. Dan agar lebih leluasa Susi mengurut, Zain pun atas inisiatif sendiri membuka piyamanya yang atas. Kemeja piyama itu ia tinggalkan di kursi, lalu ia pun menelungkup di tempat tidur Susi. lampu redup di kamar tidur Susi seketika menyinari punggung telanjangnya. Punggung yang meski mulai dimakan usia, toh masih memperlihatkan keperkasaan masa mudanya.
Duduk di pinggir tempat tidurnya, Susi mengurut dengan lembut, namun menyentuh langsung pada otot-Otot yang memang perlu dikendurkan.
Tak lama kemudian, "Membaliklah. Tuan. . .."
Zain pelanpelan menelentang. Otot-otot leher dan dada, terus perutnya, mulai mendapat giliran dikendurkan. Tetapi sentuhan-sentuhan tak sengaja, desah nafas yang kebetulan saling menyapu, serta terkadang saling menatap yang tak terelakkan, justru bukannya mengendurkan. Tetapi malah mengencangkan otot lain di tubuh Zain.
Di luar sana, derasnya hujan dan bunyi petir menyambar nyambar, beramai ramai pula menyoraki.
Dan tahu-tahu, tangan Zain sudah berada di payudara Susi.
Si pelayan terkesiap. "Tuan. . ."!"
Tetapi tangan Zain satunya lagi sudah menyusul dengan cepat. Mendarat di pundak Susi untuk kemudian menekan kuat ke bawah. Mau tidak mau tubuh Susi pun turun mendekat. Sesaat, ada gerak memberontak. Yang kemudian melemah sewaktu Susi tak kuasa lagi menghindarkan bibirnya dari ciuman bibir Zain yang langsung menyerbu. Ciuman yang mulanya sebuah kecupan pendek, lalu kemudian disusul kuluman panjang.
Yang berikutnya, jelas. Zain berbisik terengah, "lampunya, Susi. . .."
Kali ini, Susi tidak mematuhi.
Tetapi agaknya, belum sepenuhnya menyerah.
Zainlah yang bangkit untuk memadamkan lampu, setelah mana cepat sekali ia sudah kembali ke tempat tidur. Dan Susi tak lagi ia biarkan hanya duduk dan duduk saja.
"Tuan" ini, tidak baik"!" Susi berkata dalam kegelapan.
Beauty Affair Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan takut, Susi," jawab Zain terputus-putus, "Kau tak akan kusia-siakan.. ..!"
Kemudian, "Tuan. . .?"
"Mhh.?" "Apa tak sebaiknya Tuan pakai. .. jaket?"
"Hah Jaket" Emangnya mau piknik?"
"Maksud saya, Tuan. Itu tuh". Sarung!"
"Kalau kau malu, Susi. Kututup pakai selimut
ya" Terdengar tawa Susi ditahan. "Yang perlu ditutup, itunya Tuan. Pakai. . .. eh, balon. Balon karet, gitu...!"
"Oooo. Kondom," Zain pun dibuat tertawa. "Kau punya?"
"Tidak. Tuan ..."
"Apalagi aku. Lihat pun belum pernah, Susi!" Zain mengakui. Sejujurnya.
Susi percaya. Dan Susi cepat memutuskan, "Ya, sudah!"
Tak terdengar lagi suara apa apa, setelahnya.
Karena suara hujan di luar sana telah mengalahkan segalanya. Belum lagi guntur yang menggelegar, dan petir yang menyambar-nyambar. lalu di salah satu sudut atap, talang hujan tampak menyembul. Menembus kegelapan malam. Dari mulut talang, air mengalir ke luar
*** Suara riuh rendah di luar sana, membuat Ida di kamar tidurnya tampak terjaga. Mula mula, secara naluriah tangannya meraba raba ke samping. Kasur di sebelahnya kosong, Dan dingin.
lda kemudian membuka matanya.
Memandangi kasur kosong di sebelahnya itu. Kemudian setelah berpikir pikir sejenak, ia kemudian meluncur turun dari tempat tidur. Seraya mengeluh, "Pasti ia tertidur lagi di ruang kerjanya!"
Ia meninggalkan kamar, dan setengah mengantuk berjalan menuju pintu kamar kerja suaminya. Pintu itu tertutup rapat. Ida ragu-ragu. Lalu ta
ngannya terangkat naik, akan mengetuk. namun ia ragu-ragu.
Lantas mendengus, kesal, "Mengapa pula aku yang harus mengalah"!"
Ida pun menjauhi pintu. Lalu menoleh karena sapuan angin dingin, yang menerobos masuk ke dalam. Ternyata pintu tembus ke teras belakang rumah, menganga terbuka. Ia melangkah ke sana. Sejenak ia meninjau ke luar. Hujan sedang membadai. Ia mengawasi pintu kamar tidur pelayan mereka. Gelap di dalam. Tak ada cahaya tampak lewat kisi-kisi jendela maupun bawah pintu kamar Susi.
Masih setengah mengantuk, pintu teras yang terbuka itu ditutupkan Ida seraya mendengus jengkel, "Membiarkan pintu terbuka. Alangkah cerobohnya si Susi!"
lantas ia kembali ke kamar tidurnya.
Naik ke atas ranjang, langsung menarik selimut. Ida memang masih mengantuk.
Maka. sebentar kemudian ia sudah pulas kembali.
*** Delapan MENURUTI kebiasaan sehari-hari, Susi bangun menjelang pukul lima pagi.
Mula-mula ia hampir menjerit ketika merasakan ada tubuh hangat seseorang di bawah selimutnya. Untunglah ia segera teringat, siapa orang itu dan mengapa dia tiba-tiba sudah ada di sebelah tubuhnya.
Susi pun berjingkat turun, terus pergi ke pintu. Dan membukanya sedikit. Cukup untuk dapat mengintai ke luar.
Di dalam rumah induk, tampak keadaan masih gelap. Begitu pula di balik jendela atau kisi-kisi jendela kamar tidur utama. Susi menutupkan pintu pelan pelan lalu kembali lagi ke tempat tidur.
"Tuan. Bangunlah.."!"
Zain menggeliat karena tubuhnya diguncang guncang.
"Mau apalagi, Mah" Bertengkar lagi" Boleh. . ..!" desahnya setengah mengantuk, dan jelas perang dingin dengan istrinya malam itu rupanya terbawa juga dalam mimpi.
Sesaat tubuh Susi menegang.
Kemudian, "Saya Susi. Tuan. Bukan Nyonya!"
Barulah kantuk Zain melenyap. Seketika ia terlompat dari tempat tidur pelayannya itu lalu bertanya ketakutan. "Nyonya sudah bangun?"
Karena Susi diam saja, Zain pun merayap ke pintu dan membukanya dengan hati-hati. Setelah tahu situasi aman-aman saja. Zain pun menarik nafas lega. Ia sempat tersentak sewaktu lampu menyala terang benderang. Susi yang menghidupkan, dengan wajah tanpa ekspresi, mengawasi wajah majikannya yang masih menampakkan sisa-sisa kecemasan itu.
Kemesraan tengah malam tadi, seakan tak pernah ada. Wajah pelayannya itu tampak menyimpan sebuah misteri yang membuat kepala Zain diliputi tanda tanya. Zain baru memahami perasaan Susi sewaktu pelayan itu berujar dingin, "Ayolah. Tuan. Sebelum Tuan kepergok, merangkaklah sekarang ke tempat tidur Nyonya. . .l"
Nada suara Susi bukanlah nada seorang pelayan. Tetapi seorang perempuan!
Zain, setelah apa yang terjadi di antara mereka berdua, mau tidak mau harus menerima kenyataan itu.
Ia menyeringai dan melangkah ke luar kamar tidur Susi. Pas ketika ia masuk ke rumah induk, ia mendengar suara ranjang berderit di kamar tidur utama. Namun lampu belum juga dinyalakan, begitu pula pintu yang tertutup belum juga dibuka dari dalam. Tetapi untuk masuk ke dalam. Zain berpikir dua kali. Dapat saja ada pertanyaan yang harus ia jawab, "! Habis dari mana kau, Pah?"
Berpikirsebentar, Zain kembali pergi ke belakang dan menanyakan pada Susi apakah si pelayan ada menyimpan celana pendek di tempat setrikaan.
"Mendadak aku ingin muda kembali!" katanya tersenyum, yang ditanggapi Susi dengan sikap tanpa perhatian.
Zain kemudian menerima celana pendek dimaksud, juga sepotong baju kaos lengan pendek. Ia sempat mencium bibir Susi, yang tidak mengelak namun tidak pula membalas.
"Untukmu, aku harus kuat bukan?" desah Zain bahagia, lantas berlalu meninggalkan rumah."
*** Delapan ZAIN, berkostum seadanya untuk olah raga, tengah berlari-lari kecil sewaktu ia terbatuk-batuk. Seketika tangan kanannya menekap dada yang bak dirasuki ribuan jarum-jarum halus. Tangan lainnya menggapai pagar besi, begitu ia mencapainya dengan langkah sempoyongan. Menyandar sejenak, dada serta debur jantungnya terasa lebih lapang. Zain pun menghirup udara segar sebanyak-banyaknya.
Lalu, ekor mata Zain menangkap bayangan sosok seseorang di sebelah dalam pagar. Ada yang memperhatikan dari teras depan rumah. Seorang perempuan muda, kalau tak salah tetangga baru yang belum lama menikah. Cepat sekali, Zain bangkit lagi dengan tegak. Sembari mengulas senyum, sebagai pengganti kata-kata pembelaan diri, "Aku tak apaapa, kok!"
Perempuan muda itu balas tersenyum. Memberi semangat.
Zain pun berlalu. Gengsi mendorong kepalanya supaya tetap tegak. Dan mungkin gengsi itu pula yang menambah tenaganya yang sudah mulai kendor untuk mampu melakukan lari-lari kecil terakhir menuju ke rumahnya sendiri.
Sebuah sepeda motor tua mendahuluinya masuk ke halaman. Pengemudinya Mail, menganggukkan kepalanya dengan hormat lalu memarkir sepeda motornya tak jauh dari garasi.
Zain kini lari-lari di tempat.
Disusul gerakan gerakan penutup, sebelum ia mendengar langkah-langkah mendekat ke arahnya.
"Selamat pagi, Tuan," Mail menyapa.
"Pagi!" "Maaf, saya masuk agak siang, Tuan. Saya kebagian giliran ronda malam di tempat tinggal saya....."
Zain tersenyum menghibur. Bertanya dengan gurauan, "Berapa orang pencuri yang berhasil kau bekuk, Mail?"
Mail menjawab serius, "Cuma satu orang, Tuan. la ketahuan menggerayangi merpati punya tetangga!"
"Oh. Cuma merpati!" Zain tertawa lelah. "Pasti bakal ramai, Mail. jika yang ia gerayangi itu, istri tetangga!"
Mau tidak mau, Mail pun tertawa. "Permisi, Tuan. Saya akan segera mengeluarkan mobil dari garasi."
Zain manggut lalu sembari bersiul-siul kecil ia menyusul masuk ke dalam rumah.
Ketika lewat ruang tengah, ia melihat istrinya tengah berjalan menuju dapur.
Tak keburu mengelak, Zain otomatis menyapa, "Hai. . ...!"
Ida memperhatikan suaminya dengan mata terbuka lebar. Habis melongo begitu, barulah ia desahkan sahutan heran, "Hai!"
Ida terus mengawasi suaminya yang masuk ke kamar tidur. Lewat pintu yang dibiarkan Zain menganga, tampak suaminya kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi.
Ida meneruskan langkah ke dapur. Membantu Susi mempersiapkan sarapan pagi. Masih terheranheran, Ida nyeletuk pada pelayannya, "Tampaknya Tuanmu baru pulang jogging, Susi."
"Benar, Nyonya." sahut Susi, terus sibuk.
"Sudah lama sekali dia tidak melakukannya. Membuat dia makin loyo dan lemah saja," Ida melanjutkan, setengah melamun.
Bibir ranum Susi, seketika mengulas senyuman mekar. "Setahu saya. Nyonya, Tuan masih kuat"!"
lda mengawasi pelayannya. "Setahumu, eh?"
Sadar lepas omong, Susi memalingkan muka. Terjengah. Ia beruntung. Saat berpaling itu, matanya beradu dengan jam dinding di tembok ruang tengah, yang letaknya sejajar dengan pintu dapur, Susi pun lantas pura pura mengawasi jam. Tampak asyik menghitung hitung.
lantas, "Buktinya, Nyonya. Tuan masih mampu jogging sekitar 70 menit. . ."
Alis Ida terangkat. "70 menit. Bagaimana kau bisa tahu waktunya dengan tepat, Susi?"
"Karena, Nyonya. Sewaktu saya terbangun subuh tadi, Tuan pun ikut bangun!"
Oh. oh. Susi lepas omong lagi.
Si pelayan yang lugu itu buru-buru membuka oven. Mengeluarkan daging panggang yang mengepulkan asap dan bau merangsang hidung Karena belum cukup matang, ia memasukkannya lagi ke oven. Sambil berujar membela diri, "Saya melihat Tuan waktu keluar dari kamar, Nyonya."
Ida mendengus agak keras, "Dari kamar kerjanya, pasti!"
"Benar, Nyonya. Dari kamar tempatnya habis bekerja. . ..!" Ampun, Susi. Payah benar caramu membela
diri! Berpikir begitu, Susi sempat gugup.
Lagi lagi ia beruntung. Majikan perempuannya masih terpengaruh perasaan kesal karena tiba-tiba diingatkan bahwa malam tadi ia pisah tidur dengan si suami. Dan itu terjadi bukan hanya sekali itu saja!
Ida mengeluh pendek. lalu memerintahkan, "Siapkan saja meja makan, Susi."
"Baik, Nyonya."
Susi melenggang ke luar dapur. Melenggang sebagaimana biasa ia melenggang. Tetapi baru satu dua langkah. ia tahu-tahu menegun diam. Mau tidak mau Ida menoleh. Tanpa berpaling ke belakang, Susi meneruskan langkah. Kini, lenggangnya berubah kaku. Belum lagi kedua tangannya, memegangi pula pinggul kiri dan kanan.
"Susi?" "Ya Nyonya?" pelayan itu membalikkan tubuh, dengan tangan tetap menekan pingguL
"Apakah ada bisul di pantatmu?"
"Tidak, Nyonya"
"lantas. Mengapa kau melenggang seperti itu?"
"Oh!" Susi tersenyum malu malu. "Seperti kata Nyonya, goyangan pantat saya jangan di . . ."
lda pun menghardik, "Itu bila kau lewat di depan suami saya!"
Susi pun lantas melirik kiri kanan. Setelah yakin majikannya yang lelaki tak tampak di sekitarnya Susi pun pergi menuju meja makan dengan lenggoknya yang spesifik itu, pinggul terayun-ayun, aduhai. Ia bereskan kertas-kertas di atas meja makan. Menyusunnya ke map, yang ketika ditutupkan, tampak tertulis dengan huruf-huruf emas di sudut kiri atas, Rufaida, S.H.
Di dapur, si pemilik map, mendengus, "Konyol!"
*** Tibalah waktu sarapan pagi. Ida sudah menempati kursinya, dengan pakaian siap berangkat ke kantor. Ia sendiri yang menuangkan teh dari poci ke cangkir. Sekali, ia menoleh ke arah pintu kamar tidur. Mendengar suara suaminya bersenandung riang, menirukan sebuah lagu dangdut yang saat ini lagi top. Ida tampak berpikir-pikir.
Dan ketika Zain sudah duduk menghadapi meja makan, Ida pun mengawasi suaminya sekilas. Kemudian, "Pah ...?"
"Huh?" Zain terdongak.
"Tak biasanya kau serapi dan senecis pagi ini...!"
Zain melongo, lantas seperti orang tolol memperhatikan dandanannya sendiri. Sementara itu di dapur, Susi yang tengah beberes, diam diam mencuri dengar.
"Ah, Mamah ini," Zain akhirnya tersenyum. "Apa salahnya jika sekali-sekali aku tampak perlente?"
"Salah sih nggak," Ida balas tersenyum. "Aku hanya ingin tahu saja, kok. Apalagi" sepulang jogging, kau tampak riang gembira. Bertemu gadis mntik di jalan, ya?"
Zain tertawa. Renyah. "Kalaupun ada, Mah. Percuma toh. Selain aku sudah umur, di rumahku pun sudah ada perempuan paling cantik seantero jagat!"
Berkata demikian, sepasang mata Zain berbinar binar. Di matanya itu, terbayang wajah Susi. Dan di dapur, Susi menahan nafas. Kelopak matanya terpejam, dengan mulut tersenyum. Dan di meja makan, Ida juga bereaksi.
Mendengar kata-kata suaminya, mana Zain mcmandang lurus-lurus pula ke wajahnya, Ida dibuat bersemu merah kulit mukanya.
Tersipu-sipu, ia bergumam lirih, "Sudah lama sekali aku merindukan ucapan seperti itu darimu, Pah....!"
Zain tersedak. Di dapur, kelopak mata Susi membentang terbuka. Mulutnya yang tadi tersenyum, tahu-tahu berubah rona menjadi masam. Cemberut, karena tak suka dengan apa yang barusan ia dengar.
Zain menguasai dirinya kembali. "Ayo, Mah. Kita mulai sarapan pagi kita!"
Ida memandang tersenyum. "Sarapan."!" Desahnya, bergairah. "Seperti pagi kemarin"!"
Zain pun menyeringai. Kecut.
Di dapur, Susi mengurut dada.
*** Sepuluh DUNIA ini, memang benar hanya sebuah panggung sandiwara. Dan sandiwara itu, mestinya tak pernah lepas dari misteri. Terbukti pada sore hari itu juga, di tempat terpisah pisah satu sama lain berlangsung sejumlah model tanya jawab. Yang tanpa disadari pihak pihak bersangkutan, justru menjurus ke satu titik temu.
Zain berbaring lunak di sebuah dipan empuk. Di kamar praktik seorang psikiater berhawa sejuk dan bersuasana nyaman. Kelopak mata Zain terpejam sewaktu ia menggumamkan sebuah kalimat bernada getir.
". . . Aku merasa berdosa!"
Duduk santai di kursi putarnya, si ahli jiwa yang masih terhitung muda usia, mengawasi kliennya dengan pandangan lunak. Selunak kata-kata yang kemudian ia lontarkan, "Itu dikarenakan Anda masih memandang istri Anda mirip seorang petinju bayaran. . . ..l"
"Kali ini berbeda"
"Perbedaannya?"
"Aku khawatir, saat ini kembali jatuh cinta!"
Psikiater itu tersenyum memahami. "Kepada Ida?"
*** Sepasang kelopak mata membuka terperanjat.
Itu adalah kelopak mata Ida, ketika mendengar pintu kamar kerja di kantornya, diketuk seseorang dari luar. Ida yang tadinya melamun mengawasi jalan raya di luar sana, memutar kursi di belakang mejanya.
Seraya berujar agak keras, "Masuklah!"
Novi yang mengetuk. Sekretaris yang usianya tak berbeda jauh dengan sang majikan itu membuka pintu pelan-pelan. Tetapi ia tidak masuk. Ia hanya memunculkan sedikit dirinya di ambang pintu.
lalu berkata, "Semua sudah pada pulang, Bu
Ida melirik ke jam dinding
Memang, waktu sudah menunjukkan menjelang pukul lima sore. Ida meluruskan duduknya. "Dan, kau sendiri. Apa yang masih kau tunggu, Novi?"
Novi mengawasi majikannya. Menjawab khawatir, "jujur saja. Saya mencemaskan Anda. Hari ini Bu lda tampak berbeda. Murung, tepatnya!"
lda merenung "Ada yang menungggumu di rumah, Novi?"
Novi menggelengkan kepala. "Suami saya masih di luar kota ini. Biasa. Cari obyekan. Yang seperti Bu Ida tahu, beberapa kali terpaksa ditombok dengan gaji saya di kantor ini!" Novi menarik nafas panjang, kemudian tersenyum lirih. "Terus terang saya malu pada Bu Ida. Saja selalu diberi pinjaman .Dengan angsuran yang ringan pula.. .."
Sikap kaku Ida, pelan-pelan mulai mengendur. Diiringi senyuman tipis, ia mengajak, "Duduklah. Novi. Itu, jika kau punya waktu senggang untuk obrolan ngalor-ngidul!"
Novi mengangguk. Ia mengambil tempat di kursi, berhadapan dengan majikannya. Tas tangannya disimpan di meja.
"Mudah-mudahan kita sama terhibur, Bu Ida," desahnya berharap.
"Alaa. Novi. Nggak usah formil-formilan begitu ah!" dengus Ida, sementara ia sendiri pun merubah posisi duduknya supaya lebih rileks. "Bukan pada jam kantor, ini!"
"Senang mendengarnya!" Novi ikut rileks. "Nah, Ida. mengapa kau tidak langsung saja ke inti masalah?"
begitulah. Dalam sekejap, bawahan dan majikan yang kebetulan memang seusia itu sudah berubah menjadi sepasang sahabat akrab, tempat satu sama lain bertukar pikiran, sampai ke hal hal yang paling pribadi.
Meski sinar matanya masih tampak sendu, wajah lda kini lebih cerah.
Ia pun memulai, "Kau tahu siapa aku, bukan?"
Novi tertawa. "Ini mengenai suamiku, Novi. . .."
"Sudah kuduga."
"Waktu kita masih satu bangku kuliah"." Ida berujar, dengan mata setengah menerawang. "Aku tak akan pernah melupakan, ketika kau mengusulkan nama seseorang yang sesuai kuajak berdiskusi menyangkut skripsiku . . . ."
"Si Taman Bacaan!" Novi tersenyum.
"Dan ia masih seperti itu, sampai sekarang ini," Ida menggeleng. masygul. "Seperti pernah kau peringatkan, aku memang sudah lama dijadikan nomor dua. . .."
Dengan bijaksana. Novi tidak mengeluarkan komentar.
Ida ia biarkan menjelaskan sendiri.
"Lalu tiba-tiba. Sangat tiba-tiba, bahkan aku pun tak berani mengimpikannya. Pagi ini, Zain berubah total. Zain tiba tiba memandangku penuh rasa cinta. Zain pun mengucapkan semacam kata kata yang membuat jantungku berdebar-debar. ..!"
Novi menatap takjub. "Apakah aku tidak salah dengar?"
*** Yang pasti salah dengar, adalah Susi.
Saat itu, ia tengah menyirami tanaman di halaman depan rumah majikannya, dengan semprotan air dari selang yang dipegangnya. Di sebelah mobil yang sudah dibersihkan sampai mengkilap. Mail dengan jengkel mengawasi Susi. jelas si pelayan tengah bekerja sembari melamun.
"Apakah kau tuli, Susi"!" katanya setengah berseru.
Karena Susi tak juga bereaksi, Mail menjulurkan tangannya lewat jendela depan mobil yang masih terbuka kacanya. la pencet klakson sekuat-kuatnya. Barulah Susi memperlihatkan reaksi. Sayang, reaksi yang teramat sangat berlebihan.
Bunyi lantang klakson mobil, membuat Susi terperanjat. la berpaling kaget. Selang plastik di tangannya, dengan sendirinya pula ikut berubah arah.
Tak pelak lagi, air sudah menyemproti wajah Mail yang tak keburu menghindar. Dalam sekejap, Mail sudah basah kuyup.
Susi melongo. Tetapi selang plastik di tangan, belum juga ia lepaskan. Dan tak juga arahnya dialihkan. Si supir kurus kerempeng yang tak ubahnya tengah berhujanhujan itu, terpaksa melangkah maju dan maju. Dengan air terus menyemprot mengguyuri tubuhnya.
Mandi terpaksa itu baru terhentikan, setelah ia berhasil menggapai selang lalu merenggutnya lepas dari tangan Susi. Barulah si pelayan tersadar, begitu mulut slang diarahkan Mail kepadanya.
"Ampun, Bang Mail!" Susi menjerit tertahan. Reflek, menutupi kepala dengan telapak tangan. Wajahnya yang pucat pasi kemudian memperlihatkan kelegaan, setelah mengetahui bahwa sambil merenggut selang itu, tadi Mail sekalian mencabut alat pengatur air, yang dengan marah ia lemparkan ke rerumputan.
"Terima kasih, Bang Mail. Terima kasih. Abang tak balas dendam. . .."
"Tetapi kau tetap seorang sialan, sexy! Orang mau pamit pulang, malah dimandiin! Ada apa dengan kau. sexy"
"Nggak apa-apa, Bang. Sungguh!"
"Bohong!" "Sumpah. . ..."
"Demi"!". Mail membelalak, dengan mata mengancam
Susi pun menyeringai lebar. "Demi-kian, Bang Mail!"
Si supir kerempeng tidak kecewa. la malah ikut menyeringai, "Dasar kau sexy!"
"Namanya atau orangnya, Bang Mail?"
"Semua deh!" "Abang sungguh bermurah hari!" kata Susi, lembut. "Tetapi apakah Abang tak ingat bahwa Abang sudah terlambat menjemput Tuan?"
"Hem!" Mail menatap curiga. "Waktu tadi aku datang ke sini, kau buru-buru menyongsong Dan langsung menanyakan Tuan kita. Kini, pun kau masih memikirkannya. jangan-jangan. . .."
"Tenang, Bang. Tenang." Susi membujuk. "Ingat, sudah lewat pukul lima"
"Lantas?" "Lekaslah jemput Tuan. Nanti Abang dimarahi !"
"Lagi-lagi Tuan. . Susi mendelik, "E.-eee"!"
"Dasar tuli. Bukankah tadi sudah kubilang. Tuan akan pulang dengan taksi!" rungut Mail seraya mengawasi pakaian di tubuhnya, yang baru teringat, sudah basah kuyup, "Wah. Bagaimana aku harus pulang....l" ia mengomel. Lalu dengan wajah riang, "Eh, iya, ya. Bukankah aku punya cadangan pakaian kerja. Di mana kau simpan, sexy?"
"Mari kutunjukkan, Bang."
Susi mendahului masuk ke rumah, diiringi oleh Mail, yang begitu mereka sudah berada di balik pintu, langsung berlaku nakal dengan mencolek pantat Susi. Cemas. Si pelayan pun terpekik, dan mendeliki Mail dengan marah.
Mail tersenyum asam-asam manis. "Apa kau ingin aku membalas. Menyeret lantas melemparmu langsung ke bak mandi?"
Susi pun terpaksa mengalah. "Jangan. bang!"
"Bagus. Sekarang, ambilkan pakaian gantiku sebelum aku terkena flu!"
Namun, begitu Susi menghilang. Mail pun terbangkis!
*** Di kamar praktik si psikiater, Zain malah terbatuk batuk. Ia lantas duduk lurus-lurus di tempatnya, seraya mengurut-urut dada.
"Maaf..." katanya terengah-engah. "Karena kebodohanku, aku agak kurang sehat. Aku tahu, salah besar memaksakan diri. Tetapi pagi tadi... aku jogging melampaui batas"! Sesungguhnya lebih banyak karena ingin membuang jauh-jauh perasaan bersalah!"
"Itu bagus!" kata psikiater, menyetujui. "Sedikit banyak, perasaan bersalah Anda dapat dikurangi. . ?" la menunggu sampai pasiennya kembali tenang .Baru meneruskan, dengan pertanyaan. "Anda tadi mengemukakan tentang perasaan bersalah yang lainnya. Tetapi Anda segan menyebutkan apa. Biarlah aku bantu..." Dengan sorot matanya yang berwibawa, dokter jiwa itu memandang lurus ke mata Zain. "Yang lain itu, bukan karena apa, siapa, atau bagaimana. Itu adalah.... menyangkut status. Yakni si gadis yang tadi Anda sebut sebut. Seorang pelayan rumah tangga. Atau, yang kalau kita sedikit jengkel, kita menyebutnya". babu. Apakah aku keliru?"
Zain menggeleng. Susah-payah. Disusul keluhan, "Mengerikan bukan, Dokter?"
Sang psikiater menjawab, tandas. 'Tidak!"
'Tidak?" "Benar. Sama sekali tidak mengerikan. justru, hal itu sesuatu yang wajar. Yang tak perlu dicemaskan
oleh Anda, atau tidak lain yang juga pernah melakukan hal hal seperti Anda lakukan. Jumlah mereka, tidak sedikit. Tetapi kesulitan yang mereka hadapi, sesungguhnyalah, mereka buat buat sendiri. . ..!"
Zain mengeluh, "Terkutuk benar. Mestinya aku tak lupa diri!"
"Maksudku," sang psikiater tersenyum menghibur. "Anda, atau banyak lelaki lain yang pernah melakukannya.... sebenarnya tak perlu merasa ketakutan. Kita ambil contoh, langsung di lingkungan rumah tangga Anda. Seperti dalam beberapa pertemuan kita, berkali kali Anda mengatakan, Anda bukanlah penguasa di tempat tidur. Konon pula, sebagaimana sering Anda katakan. Si istri berlaku beringas. Tak mau tahu, apakah si suami juga ingin seperti ia menginginkan. Lebih celaka lagi, jika si istri tak peduli apakah setelah ia mencapai puncak kenikmatan, si suami di bawah tubuhnya justru terbadai. Terbadai, bukan karena habis orgasme. Melainkan karena sakit hati!"
"Itu mengenai masa lalu!" Zain mendengus, bosan. "Aku menemuimu hari ini, untuk berbicara tentang hari ini pula. Lebih jauh, mungkin juga harihari mendatang?"
Sang psikiater menekapkan telapak tangan ke dagu, berujar khidmat. "Hari esok, adalah lanjutan hari ini. Dan apa yang terjadi hari ini, adalah merupakan tuaian dari hari kemarin. ..!"
"Klise!" "Benar. Namun tak dapat dihapus begitu saja!"
"Baiklah." Zain menyerah. "lalu, klise macam apa yang sedang kuhadapi?"
"Penyaluran." "Dari apa?" "Ketidakberdayaan. Anda dari istri Anda. Lebih luas lagi, ketakutan Anda pada impotensi. Itulah yang terjadi dengan Anda. Anda tidak saja lupa diri, ketika saluran yang lain itu tiba-tiba membuka pintu lebar lebar untuk Anda masuki" !" si psikiater menyeringai, penuh arti. "Jauh di dasar sanubari, tanpa Anda sadari, Anda sesungguhnya malam itu merasa ditantang. Ditantang untuk membuktikan, bahwa Anda tidaklah seloyo yang diperkirakan istri Anda. Atau lebih jauh lagi, Anda ingin membuktikan, bahwa Anda belum impoten."
"Hem. Mungkin juga. . .."
"Itu semacam kepastian. Percayalah."
"Akan kucoba!" Zain mendesah. Lalu tercenung cenung, sebelum meneruskan dengan sebuah pertanyaan yang belum terpuaskan, "'Bagaimana dengan perasaanku yang satunya lagi?"
"Seperti yang kubilang tadi. Wajar. Penyaluran itulah yang terutama. Adapun siapa yang membuka saluran, tidak penting lagi. Dari kejadian yang sudah umum, si pembuka saluran tentu saja seorang pelacur. Namun, karena kondisi kondisi tertentu, si pembuka saluran bisa saja perempuan lain yang masih bebas tetapi lebih bersih dari seorang pelacur. Dia itu bisa saja istri muda, istri orang lain, adik ipar, bahkan ibu kandung sendiri!"
"Ibu kandung?" "Benar. Ini sebuah klise yang lain. Namun yang tak seorang manusia pun bisa menghapusnya dari lintasan sejarah. Odiphoes, sampai matinya, tetap mendambakan ibu kandungnya sendiri sebagai satusatunya perempuan yang mampu memuaskan nafsu birahinya...." Dokter beralih duduk ke tepi meja kerjanya. Berujar lunak, "Anda lihat, bukan" Status, tak lagi dipentingkan. . ."
Zain tengadah, menatap psikiaternya. "Dan, pembantu rumah tangeaku..."
"seorang perempuan," dokter mcnukas, tuntas. "Tetaplah seorang perempuan. Sama seperti perempuan lainnya!"
*** Dan, perempuan lainnya, dalam hal ini Ida, yang saat itu menyandarkan tubuh di bingkai jendela kantornya, berkata lirih, "Itulah semuanya, Novi."
Novi memandangi majikan yang juga sahabatnya itu, dengan waiah prihatin. "Jadi, diam-diam kau menaruh prasangka yang bukan-bukan pada suamimu. . . .?"
"Prasangka" lni naluri, Novi. Naluri seorang istri!"
"Baiklah. Lalu, apa yang bisa kubantu?"
"Seingatku, kau lebih dulu mengenal Zain. Setelah masing masing kita menempuh hidup sendirisendiri, kalian pun masih suka bertemu dan berdialog satu sama lain..."
"Ah. Kunjungan rutin antar sahabat lama. Tak ada yang perlu dicurigai, Ida. Toh, kau atau terkadang juga suamiku, selalu ikut hadir saat aku berbincangbincang dengan suamimu!"
"Seujung rambut pun aku tak pernah bercuriga padamu, Novi!"
"Aku percaya." "Tetapi saat ini aku mengajakmu ngobrol, bukan sebagai perintang waktu semata," Ida kembali ke kursinya. "Aku sungguh sungguh membutuhkan, jika bukan nasihat, sedikitnya pandanganmu. Yang barangkali, dapat meredakan kegelisahanku."
"Teruskan." "Kita mulai saja dari Zain, suamiku. Kau telah mengenalnya luar dalam, bukan?"
"Luarnya, benar!" Novi tersenyum-senyum. "Apa yang tersembunyi di balik celananya, kau lebih tahu!"
"Aku serius, Novi!"
"Bukan. Kau hanya tegang."
"Ah...." "Kau merasa tegang, Ida. karena tiba-tiba kau terkejut. Setelah menyadari suamimu telah memasuki puber kedua."
"Astaga!" Ida tersentak. "Puber kedua!"
Novi tersenyum. Menghibur. Bersama waktu, yang terus saja berlalu. Berlalu tanpa mengenal lelah.
Dan tanpa pernah berhenti menggiring setiap insan dan makhluk merambas hutan-hutan kehidupan.
Tidak ada istilah mundur. Siapa pun diharuskan menurut.
Terserah suka atau tidak!"
*** Sebelas MENJELANG Magrib, Ida tiba di rumah. Pintu garasi terbuka. Ia langsung memasukkan mobilnya ke sana. Bersebelahan dengan mobil suaminya yang oleh Mail telah disimpan lebih dahulu pada tempatnya. Susi yang baru saja selesai menyeterika di koridor belakang, bergegas mendatangi dari pintu tembus ke garasi.
"Tuan sudah pulang, ya?" tanya Ida sambil lalu, ingin diyakinkan.
Susi membawakan tas kerja majikannya. "Belum, Nyonya. Bang Mail disuruh pulang duluan. Tuan nanti akan pulang pakai taksi."
Ada kelegaan terpancar di wajah lda mendengar keterangan Susi. Ia berjalan masuk ke rumah induk, diiringi pelayannya yang diam-diam memperhatikan cara melangkah si majikan yang sungguh tidak feminin.
Diam-diam, Susi menggeleng.
"Memangnya ada apa. Susi?"
Beauty Affair Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kata Bang MaiL Tuan masih ada urusan penting yang harus Tuan selesaikan. ..!"
"Begitu!" kali ini alis Ida terangkat mendengar kata "urusan penting'. Bertemu kekasih gelapnya, mungkin"
Ida tidak langsung ke kamar. Langkahnya malah diteruskan menuju ruang kerja pribadi suaminya. Pintunya ternyata tidak dikunci. Sebelum masuk ke dalam, Ida berpesan pada pelayannya, "Nanti kalau Tuan pulang, segera beritahu aku!"
"Baik, Nyah," sahut Susi, sambil memandang heran majikannya yang kemudian menghilang di balik pintu yang langsung ditutupkan dari dalam. Dengan wajah diliputi tanda-tanya Susi meneruskan langkah ke kamar lain, untuk menyimpan tas kerja majikan perempuannya.
Di kamar kerja sang suami, lda sejenak bingung,
Ia putarkan pandang ke sekitar ruangan. Seolah baru pertama kali melihatnya. Tampak selain meja kerja, juga ada sofa, lemari keramik, beberapa piagam di tembok plus sejumlah foto-foto keluarga. Dan, tentu saja sebuah lemari bertingkat, lebar, dan panjangnya memenuh satu sisi tembok, yang dipenuhi begitu banyak buku. Perpustakaan pribadi Zain.
107 Pandangan Ida kemudian kembali ke arah meja kerja.
Ada kotak surat di sana. Ketika ia melangkah menuju meja dimaksud, Ida membayangkan wajah sahabatnya Novi, yang berkata serius padanya, "Jika suamimu benar sedang mengalami puber kedua, Ida. Maka ada dua kemungkinan. Pertama, dan ini yang paling umum terjadi, suamimu tergoda oleh perempuan lain. Dan kau harus mencegah. jangan sampai perempuan sainganmu itu semakin dalam memasuki kehidupan suamimu. Karena itu.... mulailah mencari petunjuk!"
lda sudah menumpahkan isi kotak surat, yang seketika berhamburan di permukaan meja. Ada sebuah uang logam ikut terjatuh. Menggelinding di kaca meja, terus ke lantai. Menggelinding lagi, sebelum tergeletak diam.
Semua itu diawasi Ida dengan mulut melongo!
Barulah setelah itu ia mulai meneliti surat-surat di meja. Beberapa adalah surat-surat dinas. Lalu, surat dari kaum kembar. Dan sejumlah surat dari luar negeri. Siapa Lagi pengirimnya, kalau bukan putra tunggal mereka, Edo. Sesaat Ida senyum rindu memegangi salah satu amplop surat anaknya. Kemudian, mulai membuka laci demi laci. Tak satu pun laci meja kerja
Zain yang terkunci. Suatu bukti, keterbukaan hidup rumah tangganya selama ini.
Dan, tentu saja, Ida tidak menemukan apa yang ia cari.
Ia terduduk, bingung. Lalu membayangkan lagi wajah Novi, yang mcngingatkan, "Camkan, Ida. Surat atau foto kekasih gelap, akan disimpan seorang suami di tempat-tempat tersembunyi. . .!"
Ida pun berpikir keras. Ia kembali bersemangat. Pertama-tama, tangannya menyelusup kembali ke laci besar di meja kerja suaminya. Mencari-cari tempat rahasia. Tidak ketemu. Di bagian bawah permukaan meja, mungkin"
Ida pun merunduk, dan meraba raba ke sana. Lalu, mendadak ia tertegun. Wajahnya berubah tegang Pelan-pelan tangannya yang tadi meraba, ditarik mundur. Tangan itu terkatup. Yang kemudian ia buka dengan wajah tampak segan. Di telapak tangannya, tampaklah seekor makhluk kecil berwarna cokelat kemerahan. Seekor kecoa, yang menggerak gerakkan sungut, sebelum kemudian meloncat terbang.
Pucat pasilah wajah Ida seketika!
Beberapa saat lamanya, ia terduduk mengatur nafasnya yang sempat sesak. Sambil menggerutu, kesal. "Kecoa sialan. Sembunyi nggak bilangbilang!"
*** Sementara sebuah taksi yang ditumpangi suaminya tengah melaju di jalan raya. Ida pun terus melaju dalam usahanya mencari petunjuk untuk membuktikan sang suami memang ada main dengan perempuan lain di luar rumah mereka!
Setelah tidak menemukan apa-apa di bawah kasur sofa, ia pun bergerak ke perpustakaan si suami. Celah-celah buku diperiksa. juga satu-dua buku yang ia curigai, ikut kena getah. Dibuka-buka dengan kasar, dilembari cepat-cepat, lalu ditutupkan lagi masih dengan kasar. Suatu saat, Ida menarik sebuah buku dari rak, yang sisi dalamnya tampak tidak rapat. Bagian itu ia buka dengan wajah harap-harap cemas.
Terjatuhlah ke lantai, sehelai foto ukuran sedang dengan posisi menangkup.
lda tegang. Takut-takut foto itu diambil. Mata dipejamkan dulu, sebelum bagian muka foto ia balikkan. Dan sewaktu matanya dibuka kembali, tampaklah oleh Ida seseorang tersenyum lebar padanya. Orang itu berdiri dekat salah satu tugu di halaman sebuah gedung
megah. Dari arsitektur dan suasana sekitar, jelas itu sebuah gedung sekolah. Sekolahan yang tampak berkelas. Dan jelas wajah yang tersenyum lebar di foto itu, adalah wajah Edo.
Kecewa tetapi sekaligus juga lega, foto itu didekapkan lda ke dada.
"Anakku!" ia mengerang, rindu. Lalu, "Bantulah ibumu yang malang ini, Nak. Aku harus menemukan foto atau surat yang menyatakan cinta si perempuan pada ayahmu!"
Entah karena bantuan anaknya, atau karena keberuntungan, akhimya lda menemukan juga sepucuk surat cinta di salah satu buku, yang dilapisi debu tipis karena lama tak dibuka. Di amplop surat tertulis jelas: "Kepada Yang Tercinta," di baris atas, dan di bawahnya: "Zainul Arifin."
lda sempat menahan nafas bahkan mulai membayangkan akan mencakar habis wajah suaminya, sebelum akhirnya ia bergumam heran, "Alamatnya kok di asrama mahasiswa. ...."!"
Penasaran, cepat bagian amplop ia balik.
Dan ter-bacalah, Rufaida.
Ia ternganga, "Astaga. Aku sampai lupa bahwa ini tulisan tanganku sendiri!"
Ida benar-benar kecewa. Namun juga sempat bangga, suaminya masih menyimpan surat cinta mereka, yang segera ia kembalikan ke tempatnya semula. Sebelum disimpan ke rak, buku itu dicium. Akibatnya, ia terbatuk. Keki, lapisan debu tipis di buku ditiup lebih dulu, baru kemudian disimpan kembali ke tak. Dengan hati-hati dan penuh rasa cinta!
Dan, lonceng musik pun berdentang.
Ida terperangah. Ia pergi ke jendela. Dengan menyingkapkan tirai sedikit saja, ia sudah dapat mengetahui bahwa malam sudah merambat di luar sana. Sebuah taksi, tampak tengah mundur dari halaman rumah menuju jalan raya. Seketika itu juga lda meninggalkan jendela dan sibuk alang-kepalang membereskan suasana kamar yang telah ia buat berantakan!"
*** Dua belas SUSI membukakan pintu untuk majikannya.
Wajah Zain yang tadinya lesu, berubah cerah setalah mengenali siapa yang membuka pintu. Dan begitu pintu tertutup, Zain langsung berbisik, "Nyonyamu di mana, Susi?"
Cepat Zain meletakkan tas kerjanya di lantai. Lalu secepat itu pula, kedua telapak tangannya menekap pipi Susi, yang disusulkan dengan mendaratkan mulut di bibir sang pelayan yang menunggu dengan ranumnya. Sekilas cuma, namun cukup untuk mengembalikan semangat hidup Zain yang sempat merosot karena habis berkonsultasi berat dengan psikiaternya.
Susi pun juga tak membuang kesempatan. Habis dicium, ia bertanya dalam bisikan, dengan mata berbinar binar, "Kapan Tuan akan menikahi saya?"
Tersentak kaget sesaat, Zain cepat mengulas senyum. "Percayakan saja padaku, Susi," bisik Zain, meyakinkan.
Zain sudah akan berlalu, ketika Susi memanggil. masih dalam bisikan, "Tuan" .?"
Zain membalikkan tubuh, agak kesal.
la lihat Susi menempelkan telunjuk di bibir sendiri, lalu menggerak-gerakkannya dengan gerakan menyeka. Zain pun memahami maksudnya. Maka, dengan sebelah tangan menjinjing tas, tangan lainnya pun sibuk menyeka mulut yang tadi habis mencium Susi, sambil melangkah dengan gembira menuju kamar kerjanya. Pintu kamar kerja itu, masih tertutup. Tetapi jelas terdengar suara-suara samar di dalam.
Sebelum membuka pintu, Zain lebih dulu menjilati bibir sendiri, bahkan mengulum ngulum bibir yang atas dengan yang bawah. Tentu saja bibirnya menjadi basah. Tak ada persoalan. Seka saja dengan lengan jas, bereslah. Bibir pun sudah bersih dan kering, Barulah setelah itu pintu dibuka Zain. Dengan wajah seketika diubah menjadi lesu, pundak turun layu karena lelah dan tua. Sungguh, sebuah pemmpilan seorang suami yang patut dikasihani!
Di belakangnya, Susi berjalan diam-diam menuju dapur. Dengan senyum-senyum bahagia. Dan sesuai instruksi nyonya majikan, kedua tangan bersusah payah memegangi pantat, agar goyangannya tidak terlalu menggoda.
Sementara itu, lewat pintu yang terbuka tampak suasana di ruang kerja lain yang kembali rapi. Kecuali masih terlihat beberapa lembar amplop yang bertebaran di meja, begitu pula foto berwarna Edo di depan kampus sekolahnya di Amerika sana.
Adapun Ida, saat itu tengah duduk di kursi meja kerja suaminya, dengan tangan memegang selembar dari surat yang ia temukan atau tepatnya, ia sambar sekenanya saja tanpa pikir panjang. Dan sepintas kilas, di wajahnya yang tak berdosa tampak gambaran kerinduan. Seperti juga kata-kata yang kemudian meluncur dari mulutnya.
"Hai, Pah. Aku begitu rindu pada anak kita. Dengan membaca surat-surat. . .."
Zain mengangguk lesu, juga dengan wajah sama tak berdosa.
lda mementangkan kelopak mata, seraya bangkit mendekati si suami. "Aduh sungguh kasihan. Papah tentunya lelah, ya" Mari. akan kubantu Papah agar tetap bersemangat. . ..!"
Ia letakkan surat yang tadi pura-pura ia baca, di
meja. Lalu, kedua lengan diulurkan ke depan. Telapak tangannya pun tahu-tahu sudah mendekap pipi sang suami. Disusul ciuman bibir. Yang tentu saja, membuat Zain membelalak.
Bukan main. Tadi, dengan cara seperti itulah ia mencium Susi. Bagaimana Ida sampai tiba tiba melakukan cara yang sama terhadap Zain" Ini cium sungguhan, atau cium sindiran karena Ida tahu"
Eh, nanti dulu. Ada bedanya.
Dari bibir, ciuman Ida beralih ke pipi. Tanpa Zain mengetahui, sepasang mata lda juga terbuka lebar, memperhatikan dengan cermat ke telinga si suami. Membayang lagi wajah Novi. Yang memperingatkan, "Perhatikan, apakah ada bekas lipstik. ..!"
Dengan telunjuk digerakkan sedemikian rupa sehingga tak mencurigakan, Ida membalikkan telinga suaminya, siapa tahu ada bekas lipstik di bagian sana. Nihil. Masih tanpa mencurigakan cepat lda berpindah mencium pipi lain, melakukan hal yang sama dengan telinga yang satu lagi. Juga nihiL .
Zain tentu saja dibuat semakin bingung Sementara Ida, tidak berhenti sampai di situ. Telinga Ida menangkap ngiang suara Novi, "...atau, aroma parfum yang berbeda. . ..!"
Tak pelak lagi, Ida membaui jas suaminya yang ia buka perlahan. Membaui lagi di kemeja. Bahkan dada si suami ikut dikecup kecup, sambil hidung Ida terus mengendus-endus mencari aroma parfum yang berbeda itu.
Zain terengah-engah. "Hei. Apa yang membuatmu jadi bernafsu begini, Mah?"
Barulah Ida mundur, diiringi tawa kecut.
Tak ada bekas lipstik. Tak ada aroma parfum yang bukan milik suaminya. Yang ada, hanya bau keringat belaka.
"Kau penuh keringat, Pah," desah Ida menyeringai. "Segeralah mandi. Aku sudah lapar nih. ..."
Jas lalu kemeja suaminya yang terus ia lepas kemudian diangkut Ida ke luar dari kamar, meninggalkan sang suami yang masih tegak terbingung-bingung.
Di ruang tengah, Ida menoleh ke belakang untuk memastikan suaminya tak melihat, lalu mengendusendus kembali benda benda di tangannya sekali lagi. Dengan endusan kuat, untuk meyakinkan dirinya. Wajah Ida pun berubah masam, karena yang tercium oleh hidungnya tetap sama, bau asam keringat. jengkel, ia teruskan langkah membawa jas dan kemeja suaminya ke kamar cuci di koridor belakang. Tanpa menyadari, ada yang memperhatikan dari sebelah dalam pintu dapur.
Yakni, Susi yang kemudian mengernyitkan dahi. Terheran-heran melihat kelakuan majikan perempuannya.
susi terus Sibuk di dapur. Menyiapkan makan malam.
Dan di kamar kerja, Zain menggeleng-gelengkan kepala seraya membereskan surat-surat yang bertebaran. Amplop dan surat surat anak mereka disimpan rapi ke kotak. Tinggal sepucuk surat lagi. Yakni, yang tadi ia pergoki tengah dibaca istrinya. Zain mau melipatnya, ketika terbaca olehnya bagian atas lembar surat itu. Tercantum huruf-huruf pengenal "Bank Dagang Negara", lengkap dengan alamat. Dibuka lipatan surat itu yang tentu saja hanya berisi nota pendek, tak pula banyak artinya, ditutup dengan tanda tangan dan cap resmi si pengirim.
Zain memandang ke arah pintu yang terbuka.
Bergumam takjub, "Sejak kapan dia mulai tertarik membaca surat-surat dinasku. eh"!"
*** Tiga belas TETAPI semuanya sudah terlupakan, sewaktu sudah tiba waktunya makan malam.
Susi, tengah menuangkan teh panas ke sebuah cangkir di meja makan. Asap mengepul naik dari cangkir, menerpa wajah Susi yang saat itu meremmerem melek. Ternyata bukan asap tipis dari cangkirlah penyebabnya. Melainkan sebuah telapak tangan laki-laki yang tengah mengelus dan meremasremas pantatnya. Itu adalah tangan Zain, yang juga merem-merem melek, namun dengan mata terarah ke pintu kamar tidur yang sedikit terbuka.
Di kamar tidur itu, terasa suasana nyaman karena ranjang sudah siap dipakai, belum lagi semaraknya bunga-bunga segar di vas bunga, dan Ida yang tengah mempercantik diri di depan toilet. Selagi dandan, wajah yang sama membayang pula, kali ini terlihat memantul di kaca toilet, meski samar-samar saja.
Itu adalah wajah Novi, yang berkata dengan riang, "Kemungkinan kedua, Ida. Yang ini langka, tetapi kita harap itulah yang tengah terjadi. Puber kedua suamimu, tertuju pada perempuan yang sama. Siapa lagi kalau bukan engkau sendiri....!" Novi tersenyum senang. lda balas tersenyum, bahagia. Novi melanjutkan, "Dalam hal ini, berlakulah seperti pengantin baru. Limpahkan perhatian yang lebih banyak pada suamimu!"
Bayangan samar Novi mengabur.
Terus hilang sirna. Tinggal wajah Ida di kaca toilet. Bahagia tiada terperi.
Tangannya kemudian mencari-cari di laci toilet. lalu di kotak peralatan. Karena tidak menemukan apa yang ia cari, ia pun berseru, nyaring, "Susii. . .."!"
Di ruang makan, sepasang mata Susi yang merem-merem melek, seketika menyentak lebar saking terperanjat. Telapak tangan Zain di pantatnya, ikut bereaksi. Bagaikan kilat, sudah ditarik pergi, lalu mendarat di meja makan dalam posisi tertelungkup. Zain serempak meluruskan duduknya, dengan wajah memucat. Lalu agak lega, setelah melihat bahwa istrinya bukan memergoki kelakuannya, melainkan hanya memanggil dari kamar saia.
"Ya, Nyah?" Susi akhirnya menyahut terengah. Keterkejutannya telah membuat Susi sempat kehilangan kontrol diri. Arah mulut teko di tangannya berubah arah tanpa ia sadari. Dan air teh panas mengepul itu pun mengalir deras ke arah mangkok berisi sop.
Zainlah yang melihat kekeliruan Susi.
Zain sudah siap memperingatkan. Tetapi ia kedahuluan oleh Susi, yang masih hilang kontrol diri. Susi sudah berlari-lari kecil menuju kamar majikan perempuannya setelah lebih dahulu meletakkan teko, setengah terhempas, di punggung telapak tangan Zain. Yang tak ayal lagi, membuat Zain terbeliak dan secepat kilat menarik tangannya dari pantat teko teh panas yang menduduki punggung tangannya secara kejam itu.
Susi tiba di kamar tidur majikannya.
Tanpa melihat ke pintu. lda bertanya tak sabar, "Pinset. Apakah kau tahu di mana aku menyimpannya, Susi?"
Susi mengatur nafasnya lebih dulu. Baru menjawab, "Rasanya, Nyonya meninggalkannya di kamatmandi..."
"Ambilkan, cepat!"
susi bergegas ke kamar mandi. lak lama kemudian ia serahkan benda yang dimaksud pada sang majikan. Ia masih tegak menunggu, sementara sang majikan tampak asyik mencabut satu dua bulu alis mata yang tumbuh tidak pada tempatnya. Melihat si pelayan di kaca cermin tampak menunggu dengan gelisah, Ida mendengus, "Makan malam sudah kau siapkan, Susi?"
"Sudah, Nyah. Tuan pun sudah menunggu."
"Katakan aku akan datang sedetik dua detik lagi!"
Susi pun berlalu. Di ruang makan, ia melihat majikan lelakinya tengah sibuk mengurut urut jarijemari telapak tangan kanan. Tetapi dengan cepat Zain sudah menyimpan tangan kanannya di bawah meja, setelah melihat Susi datang mendekat. Sambil Zain menghadiahi Susi senyuman mesra.
"Apakah dia...." Zain bertanya. Harap-harap cemas.
"Syukur, Nyonya tidak melihat," bisik Susi. "Nyonya masih sibuk begini-begini!" sambil Susi sibuk menggerakkan tangan, menirukan orang mencabut alis mata. "Ada apa dengan tangan kanan, Tuan" Kok begerak-gerak begitu?"
"Ah, nggak. Hanya gatal sedikit."
Susi pun tersenyum nakal. "Sabar, Tuan. Nanti saja lagi!"
Zain manggut. "Jangan lupa, Susi," bisiknya. "Nanti malam, pintu kamarmu jangan dikunci ya?"
"Tapi Tuan. . ?"
"Hush. Itu Nyonya datang. . ..!"
Susi menyelesaikan tugasnya dan pergi menghilang ke arah dapur.
Di kursinya, Zain tercengang melihat istrinya, dalam gaun tidur yang semarak, berdandan aduhai pula, berjalan melenggang menuju meja makan. Senyum bibir dan sinar mata Ida sungguh mengundang birahi. Tetapi". wahai, sayang sekali. Undangan birahi itu, tanpa disadari Ida, telah dibunuh seketika oleh goyang lengan maupun pinggulnya yang gegah setengah mengangkang itu!
lda lebih dulu mengecup bibir suaminya yang ternganga-nganga itu. Lalu duduk di kursinya, sambil bergumam bahagia, "Terima kasih, Papah masih terpesona oleh penampilanku. . .!"
Hampir saja meledak tawa Zain. Untung dapat ia tahan.
"Kau seperti pengantin baru saja," desah Zain.
"Bernostalgia sesekali, tak apa toh Pah?" jawab lda merdu, diiringi kerlingan menggoda. "Ayo.
Sebelum menikmati kehangatan tempat tidur kita nikmati makan malam kita dulu!"
Dengan penuh kasih sayang, Ida sendiri yang menyendokkan nasi ke piring suaminya. Disusul ayam goreng. Lalu"sop !
Zain, tak keburu memperingatkan. Tak tahu harus bilang apa.
Zain merasa dirinya tiba-tiba sungguh tak berdaya. Dan membiarkan saja istrinya menuangkan lebih banyak sop ke piringnya. Apalagi setelah Ida berujar pula dengan mesra, "Ayo. Mulailah menikmati sop buntut kesukaanmu. . ..!"
Sementara Ida sibuk mengisi piringnya sendiri, dengan terpaksa Zain mulai menyantap hidangan makan malamnya. Baru satu suap, ia sudah mengernyitkan dahi, luar biasa rasa tawar sop buntut bercampur air teh itu!
Ida makan malam dengan lahap.
Agar tidak ketahuan, Zain pun melahap apa yang terhidang di piringnya. Tentu saja dengan sangat terpaksa.
Menyangka sang suami sangat menikmati makanannya, Ida lantas tertarik. Namun ia bertanya lebih dulu, "Enak sopnya, Pah?"
Zain menyeringai, "Enaaak!"
"Wah. Aku jadi ingin. . ..!"
Dan Ida sudah siap untuk menikmati lauk yang dimaksud, sewaktu ia terkejut melihat gerakan Zain yang dengan tangkas sudah menjauhkan mangkuk sop dari tangan Ida.
"jangan!" Zain mencegah, dengan wajah cemas.
"Eh. Mau mengangkangi sendiri, Pah?" Ida tersenyum.
"Bukan!" Zain sempat gelisah. Kemudian, "Kau lihat sendiri bukan" Sop ini banyak gajihnya."
Dan memang di permukaan mangkok, mengambang banyak gajih sop.
"Sungguh tak baik untuk kesehatanmu!" Zain menambahkan.
Ida terpesona. "Papah...sangat memperhatikan kesehatanku. . ..!" bisiknya, terharu biru.
Zain terenyak mendengarnya. Mengherankan, bahwa dalam situasi terpojok, seorang suami yang berselimut dosa, dengan cepat sudah dapat meraih sekeranjang pahala di mata sang istri.
Maka, dengan sedikit malu-malu Zain pun memberitahu, "Apakah kau lupa bahwa kau ini seorang juara?"
Semakin terpesonalah Ida.
Zain tak kepalang tanggung Katanya, bernafsu, "Kau tinggal selangkah lagi untuk merebut kembali. . . juara nasionalmu yang kesekian, Mah. Setelah cukup lama absen!"
Sudut-sudut mata lda basah, semakin larut dalam haru.
Zain tak menyadari akibat perbuatannya.
Zain terus saja menggila. "Dan, namamu.... akan terukir dengan tinta emas dalam sejarah atletik. Sebagai seorang pemecah rekor, Ida. Seorang juara, dengan pemecahan rekor usia. Hebat, bukan?"
Dalam kebahagiaannya yang tiada tertanggungkan lagi, kelopak mata Ida semakin basah. Agar tak terlihat air matanya menetes, Ida memalingkan muka. Sekadar menutupi keharuannya yang tidak tertahankan itu. lda bergumam tanpa sadar, "Aku" harus latihan lebih keras....!".
Dan Zain, dengan segenap kejengkelannya, mengiyakan. "Benar. Latihan kebih keras. Itulah yang harus kau lakukan !"
Dalam kegilaannya, Zain samar-samar melihat lda bangkit meninggalkan meja makan.
langkah Ida gagah, tegar dan dengan semangat meluap-luap. Dalam sekejap Ida sudah menghilang
di kamar tidur. Pada kejap berikutnya, ia sudah kembali munCul dengan pakaian sudah berganti dengan kostum latihan. Ia melempar senyuman bangga sekaligus cinta pada suaminya, dan terus berjalan menuju ruang latihan pribadinya.
Di sana, Ida langsung berlatih.
Anehnya, Ida tidak lebih dulu melakukan latihanlatihan pembuka. Ida langsung menuju bangku miring berlapis busa tebal untuk mengangkat beban. Tangkas sekali Ida merebahkan diri. Tangkas pula kedua telapak tangannya menyambar batang besi barbel dan mengangkat barbel itu dari catoknya. Diangkat tinggi, kemudian perlahan lahan diturunkan, diangkat lagi, turun kembali, berulang-ulang, terus digerakkan maju mundur, sebelum akhirnya dikembalikan ke catok.
"Terlalu ringan!" lda menyeletuk tidak puas.
Ida bangkit untuk menambah beban barbel. Lalu kembali rebah, ia mengatur nafas. Ketika tangannya kembali menyambar batang besi barbel, selama sedetik Ida tampak ragu ragu. Di saat berikutnya, barbel yang berat itu sudah diangkat perlahan-lahan. Naik ke atas terus turun, sejajar dada. Pada angkatan kedua, otot-otot lengan Ida tampak bergetar. Batang besi serta barbel, ikut pula bergetar. Makin lama makin hebat.
Wajah Ida, pucat pasi. Matanya terpentang lebar, menahan rasa nyeri pada otot-otot lengannya. Dipandangi pula oleh serangan perasaan takut. Ia ingin menjerit minta tolong, tetapi ia terlambat. Barbel yang berat itu sudah jatuh. Jatuh dengan sedemikian deras ke bawah, sehingga ketika batang besi menyentuh dada Ida, terdengar suara berdetak patah.
Tak ada suara, ketika kepala lda terkulai ke samping.
Yang ada, hanya suara sirene meraung raung di kejauhan. Kian lama kian mendekat. Pintu dihempas terbuka dari luar, dan tampaklah sebuah ambulan di kegelapan malam. Dari dalamnya menghambur turun dua orang perawat membawa brankas, berlarilarian masuk ke dalam rumah diiringkan oleh seorang dokter yang dilengkapi dengan tas peralatannya.
Tidak berapa lama kemudian, dokter selesai memeriksa.
Dalam kesunyian yang teramat sangat menyentak, Zain mendengar suaranya sendiri bertanya. Lirih, tergagap-gagap, ". ...Ba-bagaimana, Dokter?"
Dokter berpaling dengan wajah datar.
lalu berkata, sama datarnya. "Otot-otot lengan, pecah. Dada remuk. Kemungkinan ada patahan tulang menembus paru-paru. . .!"
Zain mendengar nafasnya sendiri', mengerang. Dan dokter pun berkata murung. "Tabahlah, Tuan. Saya memang tak berani menjanjikan apa-apa. Tetapi kami akan usahakan.!"
*** "Tambah sopnya, Pah?"
Yang bertanya itu, tentu saja Ida. Sambil tersenyum manis pada sang suami.
Zain tersentak. Menyandar di kursinya, dengan nafas terengah, ia pandangi istrinya yang balas memandang dari seberang meja. Ida yang masih memperlihatkan sisa sisa kecantikannya. Ida yang berdandan bagai pengantin baru. Dan yang terpenting, Ida yang masih tetap bernyawa. Dengan tubuhnya yang mulus dan jelas teramat segar bugar!
Ilusi terkutuk itu! Zain pun mengeluh. Salah sangka, Ida pun bertanya, "Kenyang, ya?"
Kenyang dengan ilusi mengerikan!
Sampai mau muntah rasanya Zain.
la bangkit dari kursinya. Letih, dan tampak semakin tua.
"Mau ke mana. Pah?"
Zain memaksakan senyum pada istrinya, sebelum akhirnya menyahuti. "Ke kamar kerja, Mah. . .."
"Tetapi Pah. Di saluran sembilan, ada serial horor kegemaranmu"!"
"Nantilah," Zain bersungut pelan. "Tadi ada sedikit masalah di kantor. Aku harus menelaah deskripsinya, membuat beberapa catatan, dan.. .."
"Baiklah. Akan kubuatkan kopi untukmu."
Zain tak mendengarnya lagi.
Dalam tempo singkat namun terasa begitu lama dan jauh perjalanan yang harus ia tempuh, Zain kemudian melangkah masuk ke ruang kerjanya. Mulamula, terutama sewaktu meninggalkan meja makan, dengan langkah normal. Tetapi begitu pintu ruang kerja ia tutup, langkahnya menuju kursi di balik meja kerjanya berubah tersuruk suruk. Dan akhirnya, ia terpuruk di tempat duduknya. Dengan pundak layu dan wajah yang tampak semakin tua.
Lama ia termangu-mangu. Baru kemudian membuka tas kerjanya. Mengeluarkan berkas-berkas, tanpa sedikit pun gairah terlihat di matanya.
Di luar sana, Susi membereskan meja makan dan masuk ke dapur. Ida sudah ada di situ. Meletakkan sebuah mangkok minum besar antik ke tatakan.
13! Lalu mengambil tempat kopi serta gula. Waktu akan mengisi mug, ia ragu-ragu lalu menoleh ke arah Susi.
"Bukankah Tuan tidak suka kopinya terlalu manis, Susi?"
"Benar, Nyonya"
"Gulanya dua atau tiga sendok, ya?" tanya Ida lagi seraya menyendok gula dari tempatnya.
Sebelum Ida sempat memindahkan gula yang sudah ia sendok ke mangkok, Susi cepat memberitahu, "Satu sendok makan saja, Nyonya. Asal sekadar terasa manis...."
Diam-diam, Ida merasa malu. Masih terngiang di telinganya anjuran Novi, "Tidak baik menyerahkan segala sesuatunya pada pelayan, Ida. jika dibiarkan terus-menerus begitu, maka suatu hari kau akan dibuat terkejut. Akan kau lihat bahwa pelayanmu lebih mengenal suamimu daripada kau sendiri.. ..!"
Maka, ".... Kopinya satu sendok juga bukan, Susi?"
"Tidak, Nyonya. justru sebaliknya, dua sendok."
"Oh?" "Tuan bilang, supaya tidak mengantuk!"
"OhIya ya. Tetapi aku "kan membuat kopi di mug besar. Bukan di gelas biasa...." Ida bergumam, setengah membela diri.
Di belakangnya, Susi diam-diam melecehkan .
Ketika Susi kembali ke meja makan untuk pemberesan terakhir, ia sempatkan melirik pintu kamar kerja majikannya. Sikap melecehkan di mata Susi, Perlahan-lahan berubah. Ia seakan melihat majikannya yang lelaki, dengan wajah yang membuat Susi langsung menaruh iba.
Ada langkah mendekat di belakangnya.
Susi lantas pura-pura sibuk.
lalu ekor matanya, menangkap pinggul sang majikan perempuan yang bergoyang-goyang, memang. Namun keras dan betapa kaku. Patah patah. Kemudian tampak keseluruhan punggung majikan perempuannya itu. Sungguh kekar, untuk punggung seorang wanita.
Dengan mangkok kopi bertatakan di tangan yang satu, tangan lda yang lain terangkat untuk mengetuk lalu membuka pintu ruang kerja sang suami.
Dari ruang makan, Susi yang diam-diam mencuri lihat, seketika cemberut.
Seraya membatin, "Mestinya aku yang menghidangkan untuk Tuan!"
Tetapi pintu sudah ditutupkan kembali.
Susi pergi ke dapur. Mengambil sebuah piring untuk makan malamnya sendiri. Makan malam, yang bukan hanya tanpa selera.
Tetapi juga, terasa begitu menyakitkan."
*** Empat Belas TAHU istrinya masuk, Zain yang tadinya ogahogahan seketika bekerja lebih serius, membaca beberapa notulen, dan membuat catatan asal-asalan di secarik kertas.
Ida meletakkan mangkuk kopi di meja dan sambil lalu melirik ke tas kerja suaminya yang menganga terbuka. Sayang tas itu membuka menghadap suaminya, sehingga Ida tak mungkin melihat isinya. Mungkinkah surat cinta atau foto seorang kekasih gelap ada tersimpan di dalamnya"
"Aku mau membaca di sofa. Boleh?" akhirnya Ida nyeletuk, habis akal.
Zain mendongak, pura-pura heran. "Ah, kau ini. Masa iya di rumahmu sendiri kau perlu minta ijin"
"Takut menganggu?" sahut Ida, memaksakan senyum sambil melangkah ke bagian lemari buku yang belum sempat ia periksa ketika tadi suaminya pulang ke rumah.
"Kau memang mengganggu sangat. Mestinya kau pergi tidur secepatnya. Aku sudah tak sabar ingin ke kamar Susi!" jerit Zain. tak sabar. Tentu saja, hanya jeritan hati, yang membuat kepalanya berdengung pening
Ida pun sibuk. pura pura, mencari buku yang cocok untuk ia baca. Padahal ia tengah main selidik ke bagian-bagian tersembunyi. Di meja kerjanya, Zain terus pula berpura-pura membaca, mcnggumamkan angka-angka, mencatat asal-asalan. Gumamannya terdengar bernada jengkel, sehingga membuat sang istri bertanya.
"Pekerjaan serius tampaknya ya, Pah?"
"He eh. Seorang klien kami terlibat penggelapan pajak."
"Memalukan!" "ltulah," dan Zain makin jengkel saja.
Ida pun kecewa karena tak menemukan apa yang ia cari. Beruntung ada sebuah novel fiksi ilmiah yang dapat ia baca. lumayanlah untuk mengelabuhi suaminya. Bacaan itu toh tidak penting. Yang terpenting adalah memikirkan jalan bagaimana supaya ia dapat mengetahui isi tas kerja suaminya, tanpa si suami menaruh curiga.
Pada saat yang sama, Susi menyelesaikan makan malamnya, yang seperti Zain, juga asal asalan.
Ia keluar dari dapur, terus pergi ke ruang duduk keluarga. Daripada sakit hati memikirkan tuannya tercinta asyik-asyikan dengan sang nyonya, lebih baik nonton TV. Saluran luar negeri lagi, Yang dihubungkan ke antena TV kabel. Di kamarnya sendiri hanya ada TV kecil, itu pun dengan antena biasa, untuk siaran lokal.
Sebelum ujung jari telunjuknya sempat menyentuh tombol "on" pesawat televisi, mendadak Susi teringat pintu garasi belum ditutup. Susi lantas pergi menuju garasi.
Dan pada waktu bersamaan, di balik pintu tertutup kamar kerja majikannya. lda pun teringat pada sebuah ide cemerlang. Dari belakang punggung suaminya, mengapa tidak"!
Susi mengamankan pintu garasi.
Dan lda meletakkan buku bacaannya.
Sewaktu Susi kembali memasuki rumah induk. Ida sudah beranjak dari sofa dan berjalan ke belakang kursi suaminya. Jari jemari tangan, bahkan juga tonjolan payudara, ia sentuhkan ke punggung sang suami. Memijit-mijit pelan.
"Papah akan kubantu agar merasa lebih enak. . .." katanya merdu bin manja.
Persis pada saat yang sama, Susi lewat di sebelah luar pintu.
Si pelayan mendengar apa yang diucapkan majikan perempuannya. la tertegun, dengan wajah cemburu Dan kecemburuan itu menghasutnya agar mencuri dengar.
Di dalam, Ida sempat membaca apa yang tengah ditulis Zain pada lembar buku catatannya: pajak yang digelapkan Rp 5.430.789.250,yang kemudian digaris bawahi. lda pun terbelalak. "Wow! Besar amat. Pah?"
Di luar pintu. Susi tersentak. Apa yang besar amat"!
Zain menyahuti dengan dengusan berat, "Baru tahu. ya?"
Ida tertawa pelan, "jangan berhenti, Pah. Teruskan...!"
Zain pun meneruskan catatannya. Tanpa curiga, Ida mendorong karena ada maksud.
Di luar pintu. Susi hampir menangis. la membungkuk. Coba mengintip melalui lubang kunci. Sayang, anak kunci menempel di sebelah dalam. Susi pun meluruskan tubuhnya, yang ia sandarkan ke
Asmara Pedang Dan Golok 3 Pendekar Pulau Neraka 28 Pedang Kawa Hijau Berita Ekslusif 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama