Ceritasilat Novel Online

Tak Kupersembahkan Keranda 3

Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu Karya Mira W Bagian 3


Padahal ketika melihat Haris berpelukan dengan Riri tadi, dia terpaksa mengangkat Doni ke dalam gendongannya. Hanya untuk menutupi sakit hatinya.
Lima tahun menjadi isteri Haris, kapan suaminya pernah memeluknya sehangat itu" Sekarang pun Haris masih terpukau menatap Riri. Masih terpesona memandangnya, seolah-olah cuma mereka berdua yang berada di sana. Seolah-olah Tanti tidak pernah ada!
Riri memang maSih tetap secantik dulu. Dia seperti sekuntum anggrek yang tak pernah layu.
Kecantikannya memaksa setiap laki laki menoleh. Keanggunannya membuat setiap wanita merasa rendah diri. Di depan dia, Tanti merasa dirinya lebih tidak berarti lagi. Lebih lebih di mata suaminya. Haris bahkan sudah lupa dengan siapa dia datang ke sana!
Dalam pelukan ibu Bandilah Riri tiba-tiba melihat Tanti. Dan melihat anak yang digendongnya. Sekonyong konyong jantungnya serasa berhenti berdenyut!
Anak yang sedang merangkul Tanti sambil menatapnya dengan tatapan asing itu . . . Ya, Allah! itukah Doni" Doninya" Anaknya"
0, betapa asing tatapannya! Betapa pedihnya ditatap seperti itu oleh anak kandungnya sendiri! Makhluk yang selama sembilan bulan sepuluh hari bersemayam di dalam kandungannya!
"Doni . . ." tidak sadar bibir Riri bergetar.
Serentak dilepaskannya rangkulannya. Dan dia menghambur tak tertahankan lagi hendak memeluk Doni. Terkejut dan takut Doni menjerit sambil menyembunyikan mukanya dalam dekapan Tanti.
Tidak sadar Tanti mundur menghindari Riri. Dan tidak sadar dia memeluk Doni makin erat ke dadanya. Seakan-akan dia tidak rela kalau Riri mau mengambil kembali anaknya!
Riri masih tertegun mengawasi Doni. Langkahnya terhenti dengan sendirinya. Kecewa dan sakit hati melihat sikap Doni.
Anak yang dirindukannya itu bukan menyambut kedatangannya. Dia malah menangis dan berlindung pada . . . Tanti! Oh, perempuan itu tidak berhak sama sekali atas anaknya! Dia bukan ibu Doni! Bukan!
Tiba-tiba saja Riri merasa benci kepada Tanti. Kekecewaannya atas sikap Doni diproyeksikannya menjadi kebencian terhadap Tanti.
Riri ingin berteriak. Menjerit. Memekik. Dia ingin membeberkan rahasia itu. Dialah ibu Doni. Bukan Tanti!
Tetapi sentuhan yang lembut di bahunya menyadarkan Riri.
"Dia masih takut padamu Ri," bisik Bandi sambil meraih isterinya mundur,' "belum kenal."
Belum kenal! Duh, belum pernah Riri merasa tersinggung seperti saat itu. Belum kenal! Bah! Doni sudah kenal padanya sebelum dia kenal orang lain! Sebelum dia mengenal Tanti!
Sembilan bulan dia menghidupi Doni dengan darahnya. Dia yang membuat tubuhnya berdaging. Dia yang memberi kesempatan kepada Doni untuk melihat dunia. Dia yang melahirkan Doni! Bukan Tanti!
*** SEMAKIN giat Riri berusaha mendekati Doni, semakin takut anak itu kepadanya. Dan semakin sering dia lari minta perlindungan kepada Tanti, semakin sakit juga hati Riri.
Anaknya minta perlindungan kepada orang lain! O, pedihnya melihat mata Doni yang ketakutan! Menatapnya dengan curiga dari balik tubuh Tanti . . .
Apalagi ketika melihat bagaimana lembutnya Tanti meraih Doni ke dalam pelukannya. Dan bagaimana Doni dengan perasaan aman menyusupkan kepalanya di antara lengan-lengan Tanti"
Riri jadi sering marah-marah. Tidak tahu harus marah kepada siapa. Tetapi karena Bandilah orang yang paling dekat dengannya, dialah yang merasakan sering digerutui.
"Ada apa, Ri?" keluh Bandi setelah bosan melihat isterinya marah-marah terus. "Kau tidak betah di sini?"
Riri tidak meniawab. Dia memang tidak tahu harus menjawab apa. Mengapa dia kesal terus" Karena Doni tidak menganggapnya sebagai ibunya" Karena dia lebih dekat pada Tanti" Atau karena Tanti memperlakukannya seperti anaknya sendiri"
Tetapi salah siapa" Mereka berdua hanya menerima apa yang disodorkan kepada mereka.
Doni tidak bersalah. Tanti juga tidak. Malah seharusnya Riri bersyukur Tanti memperlakukan Doni semanis itu. Beruntung Doni punya ibu tiri sebaik Tanti. Nah, mengapa mesti cemburu"
Ririlah yang pergi meninggalkan Doni. Salahkah Doni kalau dia sekarang lebih dekat kepada Tanti, wanita yang dilihatnya setiap hari"
"Dulu kau yang kepingin pulang," sambung Bandi ketika dilihatnya Riri diam saja. Termenung mengawasi televisi yang sudah lama dipadamkan, "kau tidak suka tinggal bersama ibu" Kau lebih suka kalau kita mengontrak rumah sendiri?"
"Ah, ibu tidak apa-apa kok," bantah Riri segera.
Ibu Bandi memang tidak pernah seramah dulu lagi, sebelum dia tahu pengkhianatan Riri bersama Haris. Sejak itu, seolah-olah dia selalu berusaha menyembunyikan rasa jijiknya setiap kali melihat Riri.
Tetapi demi Bandi, ibunya selalu mencoba bersikap baik-baik di depan anak menantunya. Walaupun kadang-kadang Riri merasa kata-katanya terlalu dibuat buat atau sikapnya kurang wajar, dia tidak pernah mencela Riri. Tidak pernah
mengintriknya di depan Bandi. Tidak pernah memancing keributan. Jadi apa alasannya menghindari ibu mertua"
Bandi menatap Riri sekilas. Ketika dilihatnya Riri berusaha menghindarkan pandangannya dengan menoleh ke tempat lain, Bandi pindah duduk ke dekatnya. Diambilnya tangan isterinya. Dikecupnya dengan penuh kasih sayang.
"Katakanlah Ri, apa yang kau pikirkan" Kau ingin punya anak" Kau selalu sedih kalau melihat Doni 'Bagai halilintar kata kata Bandi itu menyambar telinga Riri. Jadi Bandi tahu juga! Dia tahu Donilah gara-garanya. Rupanya diam-diam dia selalu memperhatikan isterinya.
"Kau mau kita mengangkat anak, Ri?" bisik Bandi lembut.
Dia sudah membaca perubahan wajah Riri tadi. Dan dia tahu, terkaannya tidak meleset. Riri merindukan seorang anak! Anak yang tidak mampu diberikannya!
Tiba tiba saja Riri merasa ingin menangis. Mengapa mesti menyakiti seorang suami yang sebaik Bandi" Kalau dia tidak sanggup memberikan, mengapa Riri harus menuntutnya lagi" Bandi pasti tersinggung!
"Mas . . ." dengan penuh sesal Riri menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Bandi. "Maafkan aku, Mas."
Sebaliknya dari marah, Bandi malah balas mendekap Riri dengan penuh kasih sayang.
"Aku mengerti, Ri Kau seorang perempuan. Tidak ada perempuan yang mampu mengekang naluri keibuannya sendiri. Kau cukup puas kalau kita mengangkat anak?"
Riri mengangkat wajahnya yang murung. Ditatapnya Bandi dengan penuh keraguan. Ada air di sudut matanya.
"Kau tidak apa-apa, Mas?"
Sambil tersenyum Bandi menghapus airmata Riri dengan ujung jarinya.
"Kau mau anak perempuan atau laki-laki, Ri?"
"Aku mau Doni, Mas."
Senyum Bandi langsung lenyap. Dan parasnya segera berubah.
"Doni?" desisnya antara kaget dan heran. "Tapi kenapa mesti Doni?"
"Aku sudah jatuh cinta kepadanya sejak pertama kali melihatnya, Mas!"
"Tapi Doni anak Haris dan Tanti, Ri! Mereka pasti keberatan!"
"Doni cuma anak angkat, Mas!"
"Tapi Tanti begitu sayang padanya, Ri. Mereka sudah menganggap Doni seperti anak sendiri."
"Mintalah pada Ibu, Mas. Biar ibu yang bicara pada mereka!"
"Tapi kenapa harus menghancurkan kebahagiaan orang lain, Ri?" protes Bandi penasaran. "Doni milik mereka. ..'
"Doni bukan anak Tanti!"
"Apa bedanya sekarang" Lagipula apa hak kita menuntutnya" Dengarlah Ri, kita bisa mencari anak lain yang mirip Doni . . ."
"Aku tidak mau!" teriak Riri histerls. "Aku mau Doni!"
*** MERAH paras ibu Bandi mendengarnya. Kalau bukan Bandi yang minta, kalau Ririlah yang datang padanya, pasti sudah habis didampratnya perempuan tidak tahu diri itu!
macam macam saja ulahnya! Badai sudah tenang mau diributkan lagi! Masa dia mau minta Doni kembali" Keterlaluan!
"Jangan minta yang bukan-bukan pada ibu, Bandi," kata ibunya menahan marah. "Sejak kecil kau minta apa saja Ibu beri. Kapan Ibu pernah menolak keinginanmu" Tapi yang ini! Anak Haris! Itu di luar kekuasaan Ibu!"
"Biarlah saya yang bicara dengan Haris, Bu," kata Bandi separuh putus asa. Dia sendiri tidak tahu lagi harus berbuat apa. "Coba coba saja. Siapa tahu Mas Har kasihan pada saya."
Haris pasti akan memberikan Doni pada Riri! teriak ibu Bandi dalam hati. Tapi Tanti! Apa jadinya dengan dia" Duh, dia begitu sayang pada Doni! Kasihan sekali kalau dia mesti kehilangan anaknya!
"Jangan dituruti saja permintaan isterimu, Di!" geram ibu Bandi sengit. "Nanti mintanya semakin yang bukan-bukan saja!"
"Dia toh tidak minta yang bukan-bukan, Bu." sahut Bandi sabar. "Wajar 'kan kalau seorang perempuan kepingin punya anak?"
"T api jangan anak orang lain! Itu namanya tidak tahu diri!"
"Semua salah saya, Bu." Bandi masih berusaha membela Riri. Tidak enak rasanya mendengar isterinya dicerca orang. Biarpun oleh ibunya sendiri. "Saya yang tidak dapat memberi anak."
"Jangan terlalu menyalahkan dirimu!" bentak ibu Bandi kesal. "Dia juga tidak sempurna kok! Jangan anggap isterimu seperti bidadari!"
"Riri cuma kepingin punya anak, Bu. Anak yang tidak mampu saya berikan."
"Nah, angkatlah anak!"
"Kalau cuma sekian persoalannya saya tidak
akan datang pada ibu."
"Sudahlah," potong ibu Bandi geram. "Suruh saja isterimu ke mari! Biar Ibu yang bicara padanya!"
*** TETAPI Riri tidak datang. Ibu Bandilah yang muncul keesokan harinya di kamar Riri. Tepat ketika Bandi sedang ke luar.
"Ibu mau bicara denganmu, Ri," katanya tanpa basa-basi lagi.
Mendengar sengitnya suara mertuanya, Riri sudah tahu apa yang mau dibicarakan.
"Kau jangan bertingkah, Ri. Semuanya sudah Ibu atur sampai beres. Kau mau mengacaukan lagi keadaan yang sudah tenang begini" Kau kurang apa lagi, Ri" Bandi begitu baik. Dia tidak tahu penyelewenganmu. Dia masih menganggapmu suci seperti dewi. Mengapa kau tibatiba jadi konyol begini" Doni sudah jadi anak Tanti. Jangan kau gugat-gugat lagi!"
"Doni anak saya, Bu!" sahut Riri menahan geram. "Sampai kapan pun."
"Tapi kau dulu sudah setuju memberikannya kepada Tanti."
"Itu usul Ibu."
"Tapi kau sudah setuju!"
"Karena terpaksa. Demi Bandi."
"Sekarang tidak" Bandi bisa kumat kalau dia tahu Doni anakmu! Dengarlah, Ri." Suara Ibu Bandi melunak sedikit. "Kau sudah begitu banyak berkorban untuk Bandi. Mengapa kau tidak mau berkorban sekali lagi" Kalau kau kepingin punya anak carilah anak lain, Ri. Jangan Doni!"
"Tapi apa bedanya, Bu" Bandi toh tetap tidak tahu Doni anak saya! Anggap saja saya memungutnya!"
"Riri . . _" Ibu Bandi menghela napas menahan marah. "Cobalah kau bayangkan perasaan Tanti . .
"Tapi cobalah Ibu juga membayangkan perasaan saya!"
"Kau pantas menerima hukuman ini, Ri! Penderitaan ini datang karena dosamu. Tapi Tanti! Dia suci seperti bayi! Dia tidak berdosa! Kenapa dia harus menanggung penderitaan ini?"
"Kalau dia mencintai Haris, dia mesti rela berkorban! '
"Riri! Mengapa engkau sekejam ini?"
"Nasib pun tidak ramah pada saya!"
"Itu karena dosamu!"
"Karena Ibu juga!" teriak Riri histeris. "Kenapa Ibu tidak melahirkan Bandi yang sehat" Kenapa dia mesti sakit jantung" Kenapa semua orang mesti berkorban untuk dia"!"
"Riri!" tidak sadar tangan ibu Bandi naik demikian cepatnya menampar mulut Riri. "Tega kau berkata begitu!"
Riri membuang dirinya ke tempat tidur. Menelungkup di sana dan menangis tersedu-sedu. Sementara ibu Bandi masih tertegun di tempatnya. Tidak tahu mesti berbuat apa.
*** SEKALI lagi Haris menengok ke luar dari jendela mobilnya. Mengawasi orang yang lalulalang di tengah-tengah keramaian Pasar Baru. Tetapi orang yang ditunggu tunggunya baru muncul setelah dia setengah jam lebih dijemur kepanasan di dalam mobil.
Taksi kuning itu berhenti tepat di muka toko
buku. Dan Haris mesti buru-buru ke luar Sebelum Riri yang baru turun dari taksi mencari-carinya di tempat lain.
Sudah empat kali mereka bertemu dengan cara begini. Tentu saja di tempat-tempat yang berbeda. Riri punya alasan kuat untuk pergi ke mari.
Bandi pasti tidak ikut. Dia tidak pernah kuat menemani isterinya belanja. Sebaliknya Haris tak perlu memberi alasan.
Tanti tahu sekali setiap hari Haris pergi ke kantor. Dan mencari alasan untuk ke luar dari kantornya tidak sulit.
"Kok terlambat?" tegur Haris ketika Riri sudah duduk tenang di sampingnya di dalam mobil.
"Bandi kelihatannya kurang sehat. Kukeriki dulu."
. Haris mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir. Dan meluncurkan mobil itu di sela-sela lalu-lintas yang macet.
Sengaja Haris menutup kaca mobilnya yang agak gelap itu rapat-rapat. Tentu saja dia tidak mau dilihat orang sedang pergi berdua dengan Riri. Meskipun wanita ini iparnya sendiri.
Sambil menoleh sekilas, Haris melepaskan sebelah tangannya dari kemudi dan menggenggam tangan Riri.
"Tidak kangen padaku?"
Riri cuma tersenyum. Dan melihat senyum itu, Haris jadi makin berani. Diraihnya tubuh Riri lebih dekat. Aroma parfum Riri yang lembut, aroma yang dikenalnya, membuat Haris semakin mabuk. Kepalanya terasa ringan. Dan pikirannya sudah melayang-layang entah ke mana.
Inilah yang keempat kalinya dia membawa Riri pergi. Rasanya sudah hampir tidak tertahankan
lagi. Kerinduan yang dipendamnya selama empat tahun kini meronta ronta minta dipuaskan. Tetapi setiap kali Haris mencoba meraih Riri untuk menciumnya setiap kali itu pula dia ditolak.
"Jangan, Har," pinta Riri lembut tapi tegas. "Jangan kita khianati Bandi lagi ya?"
"Kau tidak rindu padaku, Ri?" geram Haris kecewa.
"Cuma Tuhan yang tahu betapa aku menginginkannya, Har," gumam Riri sambil menggigit bibirnya, "tapi kita sudah sama-sama berjanji tidak akan mengkhianati Bandi lagi, bukan?"
"Kalau kau kepingin punya seorang Doni lagi, kau terpaksa mengingkari janji itu."
"Tapi bukan dengan jalan ini, Har!" cetus Riri kaget.
"Bandi tidak bisa memberimu seorang anak?"
"Kami tidak pernah selesai."
"Lalu kau ingin mengambil Doni kembali?"
"Kalau kau ijinkan, Har."
"Bandi tahu?" "Dia tidak tahu Doni anak kita."
"Kalau dia sampai tahu?"
"Barangkali saat itu dia sudah terlanjur menyayangi Doni. Dan sudah bisa memaafkan aku." "Kau tidak takut jantungnya kumat?"
"Kalau kita tidak mengejutkannya dengan kenyataan ini, kalau lambat-laun dia bisa merasakannya sendiri, aku yakin Bandi tidak marah."
"Tapi mengapa mesti Doni" Kalau kau tidak bisa memperoleh anak dari Bandi, kenapa tidak mencari anak lain saja?"
"Doni darah dagingku, Har!"
"Darah dagingku juga! Kau sama sekali tidak memikirkan diriku!" *
"Kau bisa mendapat selusin anak lagi dari Tanti! Aku tidak!"
"Tapi bukan anakmu!"
Riri tidak jadi menjawab. Mulutnya yang sudah separuh terbuka mengejang kembali.
Tiba-tiba saja pikiran itu melintas di benaknya. Jika dia menginginkan Doni, kepada lelaki inilah dia harus minta! Tapi . . . ah, bukan Doni yang lain! Bukan!
Dia tidak ingin Doni lain. Dia ingin Doni yang dilahirkan 4 tahun yang lalu! Untuk suatu alasan yang dia sendiri tidak tahu, Riri begitu ingin merebut Doni kembali dari tangan Tanti.
Riri menyayangi anak itu. Dia menghendakinya kembali. Persetan dengan alasan lain!
Untuk seseorang yang dilahirkan sempurna seperti Riri, semua yang diingininya mesti terkabul. Sejak kecil sudah biasa dia meraih apa saja yang didambakannya.
Apa yang selama ini tak dapat diperolehnya" Dengan menggunakan daya tariknya, dia bisa menaklukkan siapa saja!
Mengapa tidak mencoba sekali lagi dengan Haris" Kalau seorang laki-laki sudah jatuh cinta, apa beratnya memberikan anaknya kepada perempuan yang dicintainya, apalagi kalau perempuan itu ibu kandung anaknya sendiri!
*** KESEMPATAN itu datang ketika si Gemuk Rena menikah. Dan yang paling seru, dia tidak menikah dengan Abdi yang badannya sama besarnya. Juga tidak memilih Yos yang ceking untuk memperbaiki keturunan. Dia menikah dengan Herman, orang yang paling sering mengejeknya.
"Main-main jadi sungguhan!" menyeringai Herman ketika Riri datang memberi selamat. "Sudah kepalang basah nih, Ri. Tidak bisa lolos lagi. Tapi, biar deh. Ada enaknya juga kok punya isteri montok. Biar melarat tetap subur!"
"Ah, dua bulan saja punya suami kayak dia pasti kurus kok, Ri!" Rena pura-pura menggerutui suaminya. Padahal matanya melirik bahagia. "Tidak perlu diet lagi."
Kemudian matanya mengerling Haris yang sedang menyalami Herman.
"Ganteng lho, Ri!" bisiknya di telinga Riri. "Ini misoamu?"
"Ini kan Haris, abang suamiku," sahut Riri wajar. "Yang dulu sering mengantarku kalau coschap. Masa lupa" Suamiku sedang sakit. Jadi dia yang mengantar."
"Oh," Rena terbengong-bengong sampai lupa menerima uluran tangan Haris. "Waduh, sampai pangling, Mas!" katanya sambil tertawa malu. "Habis tambah tua malah tambah ganteng sih!"
"Selamat ya, Ren," tersenyum Haris, "kamu juga tambah ayu, kok!"
"Waduh, ini pujian pertama baginya, Mas!" mengejek Herman. "Bukan tambah melambung?"
"Jangan langsung pulang ya Ri," pinta Rena tanpa menghiraukan tamu-tamu yang sudah antri di depannya menunggu giliran memberi selamat. "Nanti kita ngobrol-ngobrol dulu buka kartu!"
"Ah, simpan saja kartumu buat Herman nanti malam!" tersenyum Riri. Dia cepat cepat menarik tangan Haris untuk ke luar lagi dari ruang pesta itu.
"Lho, tidak makan dulu, Ri?" teriak Titiek yang melihat mereka bergegas menyelinap ke luar.
"Lain kali deh, Tiek!" Riri balas berteriak
tanpa menghentikan langkahnya. "Kalau kamu yang kawin. Lagi buru-buru nih!"
"Astaga, mau ke mana sih" Tidak tunggu Fani dulu" Katanya kangen"!"
"Bilang Fani besok deh aku ke rumahnya! Suruh sediakan makanan yang enak-enak ya!"
Setengah berlari Riri dan Haris menghampiri mobil mereka.
"Lekas, Har!" keluh Riri kepada Haris yang sedang membuka pintu mobil. "Nanti kutu-kutu itu keburu datang!"
"Wah, bisa lama deh kalau Fani yang nongol," tersenyum Haris. "Apalagi kalau dia masih seperti dulu."
"Kalau Fani masih seperti dulu dia pasti masih naksir engkau, Har. Dulu dia ngebet sekali kepingin jadi pacarmu."
"Ah, kalau cuma yang mau jadi pacarku sih banyak," tersenyum Haris, "tapi satu-satunya gadis yang mau kukawini malah menolak!"
"Fani kan cakep, Har," sengaja Riri mengalihkan pembicaraan, "body-nya sexy Iho!"
"Ah, Fani bukan tipeku kok."
"Rena juga bukan tipe idealnya Herman. Toh mereka jadi juga. Dulu siapa yang sangka Herman mau melamar Rena?"
"Tapi aku kan bukan Herman!" dengan cekatan Haris melarikan mobilnya ke luar dari tempat parkir yang penuh sesak itu.
"Nah, apalagi engkau! Tidak boleh lihat paha mulus!"
"Wah, rekomendasimu jelek sekali!" Haris meletakkan tangannya di atas paha Riri dengan lembut. "Padahal Sejak jatuh cinta padamu, kapan aku pernah nyeleweng lagi?" diliriknya Riri sambil
tersenyum hangat. "Fani yang tidak tahu diri. Masa berani saingan sama kamu?"
"Lho, dia kan tidak tahu, Har! Dikiranya aku cuma pacaran dengan Bandi."
"Ah, dia pasti tahu kwalitetmu! Mana bisa engkau main single terus!"
"Kurang ajar!" Riri memukul lengan Haris dengan gemas. "Kalau bukan karena engkau, aku pasti masih jadi isteri Bandi yang paling setia!"
Haris menangkap tangan Riri dan menariknya lebih dekat. Ketika Riri sudah merapat di tubuhnya. ditatapnya sekilas mata wanita itu.
"Benar?" tanyanya sungguh sungguh. Suaranya berubah serius. "Benar cuma karena kau tergoda oleh keisengan, Ri?"
"Tidak," sahut Riri setelah terdiam sejenak. Dia menghela napas berat. Matanya menatap lurus ke depan. "Sebenarnya tak pantas kuucapkan lagi. Tapi aku benar-benar jatuh cunta padamu, Har."
Haris meraih bahu Riri dengan sebelah lengannya. Dan merangkulnya dengan hangat.
"Katakan sekali lagi," pintanya lembut, "katakan sekali lagi!"
Riri menyandarkan kepalanya di tubuh Haris. Dipejamkannya matanya rapat-rapat ketika bibirnya lambat-lambat bergetar:
"Aku cinta .adamu, Har . . . aku sungguhsungguh mencintaimu . . ."
Haris mengetatkan pelukannya.
"Belum pernah aku merasa sebahagia malam ini, Ri."
"Tanti tidak bisa membahagiakanmu?"
"Kau sendiri bahagia" Bandi bisa membahagiakanmu?"
"Kalau aku bahagia, aku tidak berada di sini "
keluh Riri muram. "Aku tidak perlu mencari cari alasan tiap hari hanya supaya bisa pergi dengan engkau."
Tidak mudah mendapat kesempatan pergi berdua malam-malam begini. Kalau tidak kebetulan Riri dapat undangan waktu Bandi sedang tidak enak badan, bagaimana mereka bisa pergi bersama seperti malam ini"
Malam memang berbeda dari siang, Apa pun yang mereka lakukan malam ini," semuanya terasa lebih mesra. Riri bahkan tidak menolak ketika Haris meraihnya ke dalam pelukannya sementara mobil mereka berhenti di tepi laut yang gelap dan sepi. Dia pun tidak melawan tatkala Haris mengecup bibirnya. .
"Terima kasih," bisik Haris hangat setelah bibirnya menyentuh lembut bibir Riri.
"Buat apa?" "Buat kerelaanmu kucium."
"Kadang-kadang aku merasa berdosa pada Bandi, Har."
"Barangkali Bandi juga merasa berdosa padamu, Ri."
"Dia terlalu baik padaku, Har."
Sambil menghela napas Riri menyandarkan kepalanya ke sandaran mobilnya. Sementara Haris yang merunduk dekat di hadapannya membelaibelai pipinya dengan mesra.
"Dia selalu berusaha untuk menyenangkan hatiku. Bukan salahnya kalau dia selalu gagal."
"Kau masih cinta padaku, Ri?"
"Kau salah satu sebab mengapa kadang-kadang aku merasa ingin sekali meninggalkan Bandi."
"Sebab yang satunya lagi pasti Doni."
"Ada sebab yang ketiga. Dengan meninggalkan
Bandi aku berharap dia bisa mendapatkan seorang isteri yang lebih baik daripadaku, Har. Barangkali seseorang yang seperti isterimu."
"Kau juga isteri yang baik, Ri."
"Kalau aku isteri yang baik, aku tidak berada di sini sekarang, Har."
"Kau sudah berkorban begitu banyak untuk Bandi."
"Bukan berarti aku lalu boleh berpaling pada orang lain. Meskipun cuma semalam."
"Kau perempuan normal, Ri. Kalau Bandi tidak dapat memberi kepuasan batin padamu . .
"Jangan suruh aku mengkhianati Bandi lagi, Har!"
Dengan mantap Riri mendorong tubuh Haris yang sudah semakin menghimpit dadanya. Tetapi Haris malah mengetatkan pelukannya.
"Jangan munafik, Ri. Apa salahnya kita saling menikmati apa yang kita tidak dapat peroleh di rumah?"
"Aku mencintaimu, Har. Tapi kumohon padamu, iangan nodai cinta kita lagi!"
"Aku pun mencintaimu, Ri. Apa salahnya memadu cinta kita seperti dulu?"
"Salah karena kita sudah sama-sama menikah, Har!"
"Justru karena kita tidak bisa kawin, mengapa kita harus berpura pura suci" Kita tidak perlu menikah untuk mengabadikan cinta kita! Kita bisa menikmatinya kapan saja kita mau! Di depan Bandi kau tetap tampak sebagai isteri yang setia! Di depanku kau tetap kekasih yang kudambakan. Dan di dalam hatimu sendiri kau mendapat kepuasan!"
"Hatiku pasti tidak bisa diam, Har! Aku
tambah merasa berdosa karena mengkhianati Bandi lagi!"
"Tapi ini bukan yang pertama bagimu, bukan" Aku kenal dirimu seperti aku kenal diriku sendiri, Ri! Kau bukan Tanti! Kau sudah biasa main dobel!"
"Tapi tidak kalau dengan Bandi, Har! Aku tidak sampai hati!"
"Tapi kau sampai hati mengecewakanku!"
"Kau lain, Har. Kau berbeda dengan Bandi. Kau tidak perlu dikasihani! Kau bisa mengambil apa saja yang kau sukai'"
"Tapi kenyataannya aku tidak bisa memperolehmu!"
"Kau sendiri yang menyerahkan aku pada Bandi, Har. Kau yang mengalah karena kau sayang pada adikmu."
"Kadang kadang aku benci pada Bandi! Kalau dia tidak sakit jantung, persetan siapa pun dia, aku akan merebutmu dari tangannya!"
"Dan kalau bukan karena Bandi," Riri membelai-belai pipi dan rahang Haris yang menghijau bekas cukuran pisau. "Jangankan cuma Tanti. Miss Universe pun akan kutantang untuk memperebutkanmu."
"Aku sudah lama berpikir." Gairah Haris yang tadi meluap luap untuk menikmati bibir Riri yang basah menantang luluh dengan sendirinya ketika teringat kepada Tanti. "Aku ingin bercerai."
"Cerai?" belalak Riri kaget. Tubuhnya mengejang dalam pelukan Haris. "Kau gila! Bagaimana Doni?"
"Kau menginginkannya bukan?"
"Tapi tidak dengan jalan ini, Har!"
"Kenapa" Aku dan Tanti tidak pernah saling
mencintai. Kami sama-sama terpojok oleh keadaan. Kalau kuceraikan Tanti, aku seperti membebaskan dia dari neraka yang kuciptakan baginya. Rasanya, Tanti juga lebih bahagia kalau kami bercerai. Dia terlalu baik untukku, Ri. Kadang kadang aku menyalahkan Ibu mengapa mencarikan seorang perempuan yang sebaik itu untuk setan macam aku ini!"
"Tapi dia pasti tidak mau kehilangan Doni, Har!"
"Begitu pentingkah Doni bagimu?"
Sekejap Riri tertegun. Bukan karena pertanyaan itu tapi oleh cara Haris menanyakannya. Dalam gelap, mata laki-laki itu begitu tajam menghujam dirinya.
"Tentu saja," sahut Riri getir. "Doni anakku. Aku yang mengandung dan melahirkannya! Dia darah dagingku! Napasnya pernah menjadi napasku. Aku yang membuat jantungnya berdenyut!"
"Lebih penting dari diriku?"
"Haris!" sentak Riri kaget.
"Lebih penting dari diriku?" desak Haris lirih.
Ketika Riri tidak menjawab dia mengulangi pertanyaannya sekali lagi.
"Cinta tidak bisa dibandingkan, Har. Cintaku kepada Doni tidak sama dengan cintaku kepadamu."
"Aku mengerti," sahut Haris lesu. Disandarkannya tubuhnya ke bangku mobilnya dengan lemas. Tatapannya menerawang jauh ke depan. Menembusi kegelapan di luar kaca mobilnya. "Saat ini yang terpenting bagimu cuma Doni."
"Har . . "Kau bisa kehilangan aku, bisa kehilangan Bandi, tapi tidak bisa kehilangan Doni!"
"Har! Jangan tuduh aku seperti pesakitan! Jangan membuat aku merasa bersalah karena menyayangi anakku sendiri!"
"_Kau tidak bersalah," Haris melepaskan katakata itu dari celah-celah giginya yang terkatup rapat bersama desah napasnya. "Aku cuma kecewa!"
"Har . . ." sekarang Ririlah yang merangkulnya. "Maafkan aku! Tapi aku harus bagaimana" Tidak bolehkah aku mencintai anakku sendiri?"
. "Ketika kau pulang," desis Haris kaku. "Kupikir kau kembali karena aku. Karena kau rindu padaku!"
"Aku memang rindu padamu."
"Tapi kau pulang karena Doni!"
"Tentu saja. Tidak bersalah mencintai anak sendiri, bukan" Tapi mencintai suami orang lain dosa!"
"Kau sudah lebih dulu mencintaiku sebelum menjadi isteri Bandi. Sebelum Doni lahir!"
"Har, Doni anakmu juga kan" Anak kita. Tidak pantas kau mencemburuinya!"
"Cuma Doni yang ada di otakmu sekarang!"
"Aku menginginkannya! Salahkah itu" Dia anakku!"
"Sekarang dia anak Tanti!"


Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sampai kapan pun dia tetap anakku!"
"Tapi kau sudah menyerahkannya pada Tanti."
"Aku menginginkannya kembali."
"Kau tidak adil!"
"Kau juga tidak."
"Aku?" belalak Haris jengkel. "Aku harus bagaimana lagi"!"
"Berikanlah anak lain untuk Tanti. Kembalikan Doni padaku."
"Itu berarti kau menyuruhku menceraikan nya!"
"Aku cuma minta Doni!"
"Tanti tidak akan melepaskannya."
"Aku tidak menyuruhmu bercerai . .
"Aku tahu!" potong Haris kasar. "Kau suruh aku menghamili Tanti!"
"Apa salahnya, Har" Dia isterimu." Lalu dengan hati-hati Riri melanjutkan kata-katanya. "Kau tidak ingin mengatakan selama ini kalian tidak pernah berhubungan bukan?"
"Tapi dia tidak pernah hamil!"
"Kau bisa menyuruhnya memeriksakan diri ke dokter . . ."
"Apa bedanya" Seandainya dokter mengatakan dia bisa punya selusin anak sekalipun dia tetap tidak mau melepaskan Doni'"
"Kalau begitu memang nasibku yang malang!" Riri menghempaskan dirinya dengan putus asa ke sandaran mobilnya. "Aku tidak bisa kawm dengan lelaki yang kucintai, dan aku tidak bisa memiliki anakku sendiri!"
Haris meraih tubuh Riri dengan lembut kc dalam pelukannya. Ketika dirasakannya tubuh yang dipeluknya itu bergetar menahan tangis, rasanya dia rela melakukan apa saja. Apa saja! Asal Riri jangan menangis. Asal perempuan yang dikasihinya ini bahagia!
*** "TIDAK, Mas! Jangan!" protes Tanti separuh menjerit. Reflex tangannya meraih Doni yang sudah tertidur pulas di pangkuannya.
"Mereka tidak bisa punya anak." Suara Haris sedatar air mukanya. "Kau tidak kasihan pada
mereka?" "Mas tidak kaSihan pada saya" Kita sendiri tidak punya siapasiapa selain Doni!"
"Ssst, jangan keras-keras," desis Haris sambil melirik Doni. "Nanti dia bangun."
"Mas," pinta Tanti separuh merintih. "Kasihanilah saya. Jangan pisahkan kami, Mas . Doni sudah menjadi sebagian dari hidup saya . . "
"Kau tidak berhak memiliki Doni. Dia anak Riri."
"Tapi dia sudah memberikannya kepada kita, Mas!"
"Kalau kau mau, kita bisa punya anak lagi. Riri tidak. "
"Tapi Doni tidak bisa ditukar dengan apa pun, Mas! Tidak juga dengan anak kita sendiri! Saya sudah terlanjur menyayanginya!"
"Dengar!" potong Haris jengkel. Dia bangkit dari kursinya sambil menghentakkan kakinya. "Kau tahu, aku juga sayang pada Doni. Tapi sesayang sayangnya kita padanya, Riri pasti masih lebih sayang lagi. Dia yang mengandung anak itu. Dia yang melahirkannya . .
"Tapi kau tidak adil, Mas! Jangan Mas kira karena saya tidak melahirkannya cinta saya pada Doni tidak sebesar cinta Riri!"
"Ini bukan cuma soal cinta, Tanti," gerutu Haris pahit. "Ini soal pengorbanan. Bandi sakit jantung. Dan gara gara jantung sialan itu kita semua mesti berkorban untuk dia. Aku sudah berkorban tidak mengawini gadis yang kucintai karena aku harus mengalah pada Bandi. Riri sudah berkorban kehilangan anaknya selama empat tahun lebih demi Bandi. Sekarang, tidak maukah kau berkorban juga untuk dia?"
"Tapi kenapa saya harus berkorban untuk Bandi, Mas" Dia bukan suami saya. Dan saya tidak punya salah apa apa padanya!"
Haris tersentak kaget. Selama empat tahun menjadi isterinya, tidak pernah sepatah pun terlompat dari mulut Tanti kata kata seperti itu.
Selama ini Tanti tidak pernah membantah. Tidak pernah mengungkit ungkit masa lalu Haris. Apalagi menanyakan sampai di mana hubungannya dengan Riri.
Dia seakan-akan menerima Haris begitu saja. Menerima suaminya seperti apa adanya. Tetapi hari ini dia tampil dengan pemberontakannya yang pertama. Untuk mempertahankan Doni, siapa pun akan dilawannya. Termasuk suaminya sendiri!
Lama Haris tegak terpaku di tempatnya. Menatap Tanti dengan pandangan tidak percaya. Dia yang biasanya begitu penurut. Tidak pernah membantah. Tidak pernah menuntut. Sekarang dia berani membalas tatapan suaminya dengan tegas. Tidak lagi menunduk. Atau menghindar.
"Tidak, Mas!" katanya sekali lagi. Nadanya masih setegas tadi. "Jangan minta terlalu banyak dari saya. Saya tidak pernah menuntut apa-apa daripadamu, bukan" Tolong jangan ambil Doni. Jangan pisahkan kami berdua, Mas."
Sekarang baik suaranya maupun tatapannya melembut kembali. Sekarang Harislah yang tidak sampai hati membalas tatapan isterinya.
Apa yang sudah diberikannya kepada wanita ini" Selama empat tahun menikah, kapan dia pernah membahagiakan isterinya" Yang dibawanya cuma kepalsuan. Sekarang, sampai hatikah dia mengambil satu satunya miliknya, meskipun untuk diberikan kepada wanita yang paling dicintainya"
*** TENTU saja Tanti tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Haris. Selama ini suaminya memang tidak pernah mengatakan apa yang dipikirkannya.
Tanti hanya melihat dia tertegun. Menatap kosong ke luar jendela. Atau melamun berjam-jam di kursinya. Barangkali sekarang dia memang belum sampai hati mengambil Doni. Haris maSih kasihan pada Tanti. Tapi sampai kapan"
Riri belum memperlihatkan tanda tanda hamil. Dan dia semakin dekat dengan Doni. Riri sudah berani membawa Doni pergi berdua saja. Sudah berani meminjam Doni untuk tidur siang di rumahnya.
Beberapa kali Tanti malah keduluan. Riri sudah menjemput Doni lebih dulu di play-groupnya sebelum Tanti sampai di sana.
Memang enak punya dua ibu. Makin banyak yang memanjakan. Doni sekarang sudah tidak takut lagi kepada Riri. Dia sudah berani minta dibelikan Sesuatu.
Sekarang justru Tantilah yang tambah takut. Apalagi waktu Haris diangkat jadi direktur cabang perusahaannya di Medan.
Tidak mungkin Riri membiarkan Doni ikut. Dia sudah tidak bisa hidup sehari saja tanpa Doni.
Sebaliknya, Tanti tidak sanggup melewati malam tanpa anaknya.
Kalau Doni cuma ikut Riri beberapa jam saja Sehari, Tanti tidak keberatan. Dia sudah mendidik dirinya sendiri agar tidak memonOpoli Doni. Dia dapat merasakan kesedihan seorang ibu yang kehilangan anaknya seperti Riri. Dia pun dapat mengerti kalau Riri ingin pula memanjakan Doni. Mencurahkan kasih sayangnya.
Tetapi meninggalkannya ke Medan" Duh, rasanya Tanti lebih baik tidak ikut Haris ke Medan daripada harus meninggalkan Doni di Jakarta!
Haris menatap Riri dengan getir. Pedih rasanya melihat bagaimana Riri memeluk Doni sambil menangis. Persis seperti empat tahun yang lalu. Ketika dia hendak berangkat ke Amsterdam.
Saat itu Doni masih bayi. Dan Riri terpaksa meninggalkannya. Sekarang Doni-sudah besar. Dia sudah bisa ikut-ikutan menangis melihat Tante Ririnya menangis. Meskipun dia sendiri tidak mengerti mengapa mesti menangis.
Malam itu sengaja Haris membawa Doni ke rumah Riri. Dia hendak pamit. Esok pagi dia sudah harus berangkat ke Medan.
Sebenarnya Haris lebih suka kalau malam ini dilewatinya berdua saja dengan Riri. Tetapi di sana ada Bandi. Dan kelihatannya Riri lebih sulit berpisah dengan Doni daripada dengan Haris. Sudah beberapa hari ini hanya Doni saja yang ditanyakannya.
"Doni boleh tinggal di sini ya, Har" Semalam ini saja?" pinta Riri sambil menahan tangis. Matanya yang merah berairmata menatap Haris dengan
penuh permohonan. Melihat mata itu, maulah rasanya Haris melakukan apa saia yang diminta Riri. Tetapi meninggalkan Doni di sini" Apa kata Tanti nanti"
"Har . . pinta Riri sekali lagi. Sekarang dia tidak ragu-ragu lagi memegang lengan Haris. Sungguhpun Bandi maSIh terpekur tanpa berkata sepatah pun mengawasi mereka. "Biarkan Doni di sini ya?"
"Aku . . . aku harus bicara pada Tanti dulu," menggagap Haris. Dan sekejap setelah melihat pancaran kemarahan di mata Riri, Haris menyesal telah mengucapkan kata-kata itu.
"Maksudku . . ralat Haris cepat-cepat. "Tanti harus diberitahu dulu . .
"Kalau perlu, biar aku yang bicara padanya," potong Riri dingin.
"Tidak usah," sahut Haris tersinggung. "Doni toh anakku juga."
"Kau tidak keberatan 'kan, Har?" suara Riri melembut kembali. "Kasihanilah aku, Har. Apa artinya tidak bersama Doni semalam ini saja" Kau memiliki seluruh malam dalam hidupnya!"
Andaikan kau minta seluruh malam dalam hidupnya pun pasti kuberikan, keluh Haris dalam hati. Tapi apa yang harus kukatakan pada Tanti"
Dan Haris memang belum sempat berkata apa'apa pada Tanti. Ketika dia tiba di rumah tanpa Doni, Tanti sudah menangis tersedu-sedu.
Akhirnya diberikannya juga anaknya pada wanita yang dicintainya! Pekik Tanti dalam hati. 0, rasanya lebih baik aku mati daripada kehilangan Doni!
"Doni tinggal di sana malam ini saja." Haris masih coba menjelaskan sedapat-dapatnya. "Besok
pagi-pagi sekali akan kujemput . "
Tetapi Tanti sudah berlari masuk ke dalam kamar. Untuk pertama kalinya dia membanting pintu kamarnya di depan Haris. Dilemparkannya tubuhnya ke atas tempat tidur. Dan tangisnya meledak tanpa dapat ditahan-tahan lagi.
Apa artinya lagi hidup ini" Lima tahun diabdikannya dirinya bagi lelaki mi. Lima tahun dia telah membuktikan kesetiaan kepada suaminya.
Apa yang telah diberikan Haris kepadanya selama ini" Siasia mengemis Cintanya. Sama siasianya seperti mengharapkan dia akan melupakan cintanya pada Riri.
Haris tahu Tanti begitu menyayangi Doni. Haris tahu cuma karena anak Itulah Tanti masih bergairah menyongsong datangnya pagi dalam hidup ini. Sekarang diberikannya Doni kepada Riri, tanpa permisi lagi.
Ah, Tanti merasa dirinya tidak berharga sama sekali. Barangkali dia cuma babu di depan Haris. Atau sekedar seorang pramusiwi. Perawat bayi.
Tidak ada yang menghargainya sebagai ibu Doni. Mentang-mentang anak itu bukan anaknya! Mentang mentang Doni anak Riri, seenaknya saja dia memakai haknya atas anak itu!
Ah, kalau dia mati, barangkali mereka lebih bahagia. Lebih lega. Dia cuma seonggok duri yang menyusahkan mereka.
Kalau 'dia tidak ada, mungkin Haris tidak keberatan Doni ikut ibunya. Dari dulu Haris sudah sering mendesak agar Doni dikembalikan kepada Riri.
Bagi Haris, cuma Riri yang perlu dibahagiakan. Cuma Riri . . . perempuan yang dicintainya . .
*** HARIS tidak muncul meskipun Tanti sudah berjam jam menangis di kamarnya. Dia malah pergi meninggalkan rumah. Entah ke mana. Hampir pagi dia baru pulang. Dalam keadaan setengah mabuk.
Ketika dia melihat Tanti masih menangis di tempat tidurnya, dia keluar lagi. Dan Tanti sudah hampir merasa terhibur tatkala Haris masuk kembali dengan secangkir kopi panas.
Inilah untuk pertama kalinya Haris Sudi melayani isterinya! 5 tahun kawin, inilah pertama kali Tanti dibuatkan k0pi oleh suaminya!
Tetapi kata katanya ketika menunggu Tanti menghirup kopinya membuyarkan kembali kelap kelip harapan yang mulai memijat di hati Tanti.
"Aku sudah lama berpikir," kata Haris dengan Suara parau. Dia tegak di depan jendela, memandang ke luar sambil membelakangi Tanti yang sedang duduk menghirup kopinya di tepi tempat tidur. "Rasanya lebih baik kita bercerai saja. Perkawinan ini hanya siksaan bagimu."
Cerai! Hampir lepas cangkir itu dari tangan Tanti. Cerai! Jadi itulah yang dikehendaki Haris.
Dengan bercerai dia maSih punya kesempatan mengambil Doni. Dan memberikannya kepada Riri! Barangkali lewat pengadilan. Karena Tanti akan berjuang mati matian untuk mempertahankan Doni.
Tapi bisakah dia mengalahkan lelaki itu" Dia perempuan yang bodoh. Tidak mengerti hukum. Bagaimana perempuan sederhana seperti dia sanggup berhadapan dengan Haris yang pengetahuannya demikian tinggi dan pergaulannya begitu luas"
Tanti merasa dunianya tiba-tiba jadi gelap. Sempit. Pengap. Dia tidak tahu ke mana mesti minta tolong. Dia tidak tahu kepada siapa mesti mengadu.
Barangkali untuk inilah perempuan mesti belajar. Mesti sekolah. Untuk menghadapi saat-saat sulit seperti ini dibutuhkan pengetahuan yang lebih luas daripada sekedar pergi ke dapur seperti yang selama ini dibekali orangtuanya!
*** PAGI PAGI sekali Haris sudah muncul di depan pintu rumah ibunya.
"Mau jemput Doni," katanya kepada Riri yang menyambutnya masih dalam pakaian tidur.
"Sepagi ini?" belalak Riri. Sekejap Haris melihat kemarahan meledak di mata yang masih memerah bengkak itu. "Doni juga masih tidur! Kenapa" Isterimu marah?"
"Tidak marah." sahut Haris dengan perasaan serba salah. "Cuma Sedih."
"Dan menyuruhmu ke mari sepagi ini?"
"Kapan dia berani menyuruhku" Dia sedang minum k0pi ketika kutinggal ke sini. Tidak tidur Semalaman."
"Jadi kau yang ingin mengambil Doni," desis Riri kecewa. Haris melihat kesakitan merayap ke mata perempuan itu. Dan dia merasakan hatinya ikut tertikam. "Kau yang ingin mengembalikan Doni cepat cepat kepada isterimu. Kau tidak percaya aku akan mengembalikan Doni kepada kalian, Har" Tidak bolehkah aku merasakan jadi ibu Doni, ibu anakku sendiri, untuk satu malam saja?" "Haris!" teriak ibunya yang tiba-tiba muncul di ambang pintu ruang tengah. "Kau di sini?" "Saya cuma mau menjemput Doni," sahut Haris gugup melihat kepanikan ibunya. "Ibu . . ." "Isterimu di rumah sakit'" teriak ibunya antara gemas dan panik. "Kau masih enak-enakan
di sini"!" Haris terhenyak heran. Di rumah sakit" Tanti" Kejutan apa lagi ini"
"Tanti mencoba bunuh diri' Minum racun! Baru saja Ibu dapat telepon dari RSCM! Keadaannya gawat sekali!"
Haris masih ternganga keheranan. Tidak percaya pada apa yang didengarnya. Tetapi ibunya sudah mendorongnya pergi.
"Kau tunggu apa lagi?"
"Di . . . dia ma . . . masih . . . hidup . . .?" menggagap Haris dengan wajah pucat pasi. Kedua belah kakinya terasa amat lemas, seakan akan tidak mau digerakkan lagi.
"Katanya menguatirkan sekali. Lekaslah ke sana dulu, Har! Nanti Ibu menyusul."
"Saya ikut!" kata Riri tiba-tiba.
Sekonyong konyong segurat perasaan bersalah menggores hatinya. Dialah yang mengambil Doni. Meskipun hanya untuk semalam saja.
Tanti pasti tidak percaya dia akan mengembalikan Doni. Dia begitu sayang pada anak itu. Barangkali sama sayangnya seperti Riri.
Dia yang membesarkan Doni. Dia yang merawatnya tiap hari. Mengurusnya kalau sakit. Apa kelebihan seorang ibu yang mengandung sembilan bulan dan melahirkan seorang anak dibandingkan dengan perempuan yang merawat anak itu selama 4 tahun"
Barangkali persoalannya bukan itu saja. Tanti mencintai Haris. Dan ketika suami yang diam-diam dipujanya itu lebih memperhatikan perempuan lain, dia kecewa.
Ketika dilihatnya Haris lebih berat kepada Riri, ketika dia memilih memberikan Doni kepada
perempuan yang dicintainya, harga diri Tanti sebagai seorang isteri terpukul. Dia tidak merasa tidak dihargai sama sekali. Dan dia mengambil jalan yang paling pendek. Paling mudah untuk seorang wanita yang berpikiran Sederhana. Bunuh diri.
"Lebih baik kau diam saja!" berungut ibu Bandi geram. "Kau cuma bisa bikin kacau saja! Gara-gara kau banyak tingkah kita jadi begini!"
"Saya ikut, Bu," berkeras Riri. "Saya harus minta maaf pada Tanti. Dan menjelaskan kekeliruan ini. Saya rela Doni ikut mereka ke Medan . ."
"Itu memang hak Tanti! Apa-apaan sih, sudah diberi kok mau diambil lagi! Kau kira Tanti itu apa" Perawat yang kau bayar untuk mengurusi anakmu?"
Dengan marah ibu Bandi memutar tubuhnya. Dan terlambat menyadari kehadiran Bandi di sana. Tiba tiba saja mukanya memucat. Sama pucatnya seperti paras Bandi yang sedang bersandar lemah ke dinding. Tidak sadar Riri memekik tertahan. Pekikannya membatalkan langkah Haris yang sudah hampir mencapai pintu ke luar.
"Ceritakanlah semuanya, Bu," pinta Bandi dengan suara lemah dan napas tersengal sengal, "jangan ada yang dirahasiakan lagi!"
Dia tidak menolak ketika ibunya memapahnya duduk di kursi. Tetapi ketika Riri menyodorkan segelas air, dia pura-pura tidak melihat.
"Semua ini cuma kecelakaan, Nak," kata ibu Bandi berulang ulang. Kuatir melihat paras Bandi yang semakin memucat. "Riri benar-benar mencintaimu. Tapi dia khilaf. Dia kesepian sepeninggalmu, Di. Dan Haris selalu ada di dekatnya. Percayalah, Nak, ini bisa terjadi pada semua orang. Kau toh mencintai seorang manusia, bukan dewa. Setiap
manusia bisa saja berbuat kesalahan.Termasuk Riri."
Bandi tidak berkata apa apa. Dia cuma membungkuk sedikit sambil menebah dada kirinya. Berbareng Riri dan ibu Bandi merangkulnya.
"Mas!" jerit Riri panik. "Oh, Mas!Maafkan saya, Mas! Maafkan Riri!"
Tetapi Bandi sudah terkulai lemas dalam rangkulan mereka. Harislah yang memapahnya ke dalam mobil dan melarikannya ke rumah sakit.
*** "MAAFKAN aku, Di," kata Haris di dalam mObil' yang Sedang berlari cepat, "aku menyakiti hatimu.".
"Kau mencintai Riri?" suara Bandi sehampa tatapannya. Dia masih sadar. Tetapi wajahnya mengerut menahan sakit. Pucat pasi. Dan penuh keringat.
Haris tidak menjawab. Dia mengemudikan mobilnya dengan gugup.
"Kau mencintainya?" desak Bandi sekali lagi.
"Bandi . . menggagap Haris dengan bingungnya. "Sekarang Riri sudah jadi isterimu . . ."
"Jawab!" bentak Bandi dengan napas memburu. Matanya yang redup kini menatap Haris dengan ganasnya. "Kau mencintainya" Katakanlah! Atau kau cuma mempermainkannya" Seperti kau mempermainkan gadis-gadismu yang lain?"
"Aku mencintainya!" potong Haris separuh berteriak. "Aku benar-benar mencintai dia!"
"Lalu kenapa kau tidak mau mengawininya" Kenapa kau lemparkan dia kepadaku"!"
"Kalau kau tidak sakit jantung . . ." geramnya menahan marah. "Aku tidak peduli siapa kau, aku akan mengawininya! Tapi kau dengan jantung sialanmu itu . ."
Tiba-tiba tatapan Bandi berubah. Dan melihat tatapan ganjil adiknya, katakata Haris terhenti dengan sendirinya. Tiba tiba saja dia menyesal. Menyesal telah berkata sekasar itu kepada adiknya.
"Maafkan aku . " katanya denqan suara tertekan. "Tidak seharusnya aku . "
"Riri juga mencintaimu?" potong Bandi. Suaranya getir menahan sakit.
Haris tidak menyahut. Dia tidak sampai hati mengatakannya. Selama ini Bandi begitu percaya Riri mencintainya dengan Cinta yang paling tulus. Paling murni. Sekarang dia dipaksa melihat kenyataan yang pahit ini: Riri ternyata mencintai abangnya!
"Kau benar, Har," gumam Bandi Iirih. "Riri memang bukan gadis yang diciptakan untuk lelaki seperti aku . .
"Tapi dia sekarang sudah jadi isterimu, Di! Dan aku sudah rela . ."
"Cuma kau yang bisa membahagiakan Riri. Cuma kau dan . Doni anaknya . . anak kalian . . ."
"Tapi sekarang aku sudah punya isteri, Di! Tanti mau kukemanakan?"
"Biar aku yang bicara pada Tanti
"Jangan, Di! Jangan kau rusak apa yang sudah beres! Tanti tetap isteriku. Dan Riri tetap isterimu. Aku percaya dia mencintaimu!"
"Dia mencintai Doni."
"Doni sudah milik Tanti. Mengambil dia, berarti merenggut jiwa Tanti. Kau mengerti bukan Di" Riri sudah menyesal. Jangan kau hukum lagi dia!"
Bandi masih ingin menjawab. Tapi napasnya sudah memburu. Wajahnya mulai membiru. Dan dia
kelihatan amat sesak. Sulit bernapas.
Haris memegang tangan adiknya dengan gugup.
"Bandi!" panggilnya panik.
Dengan sebelah tangan pada kemudi dia melarikan mobil itu memasuki halaman RSCM. Sebelah tangannya yang lain masih melekat pada lengan Bandi ketika nadi di pergelangan tangan Bandi berhenti berdenyut bersamaan dengan berhentinya mobil Haris di depan pintu gerbang Unit Darurat.
Sia-sia para perawat melarikan tubuh Bandi secepat kilat ke ICCU. Sia sia para dokter berjoang memacu jantungnya agar berdenyut kembali. Bandi tidak pernah sadarkan diri lagi.
Dia berlalu dalam kekecewaan. Meninggalkan sebentuk wajah yang penuh dengan guratgurat penderitaan. Mewariskan sesal kepada orang-orang yang ditinggalkannya. Tanpa pesan apa pun.
*** IBU Bandi yang menunggu dalam kegelisahan menangis melolong-lolong ketika melihat para dokter telah menghentikan usaha mereka.
Ketika melihat pipa oksigen diangkat dari hidungnya, ketika melihat dokter Marwan berhenti melakukan pijatan jantung luar, ketika melihat dokter Latif menggelengkan kepalanya setelah melekatkan kepala stetoskopnya di dada Bandi dan ketika melihat garis datar yang tetap lurus di mesin EKG, ibu Bandi tahu, semuanya sia sia. Bandi telah berlalu. Bandi telah pergi!
"Maafkan kami, Bu." Itulah vonis dokter Marwan. "Kami sudah berusaha . . ."
"Bandi!" Ibu Bandi menjerit sambil menangis merangkul tubuh anaknya yang masih hangat.
Riri merosot lemas di tempatnya berdiri.
Tidak sadarkan diri dalam pelukan Haris. Dua orang perawat membantu memapah Riri karena Haris sendiri sudah tidak kuat berdiri. Lututnya terasa lemah. Tungkainya seperti sudah tdak dialiri darah lagi. Bandi pergi! Bandi sudah pergi!
"Oh, Bandi! Bandi!" tangis ibunya melolong lolong. "Tega kautinggalkan Ibu, Nak"! Bawalah Ibu bersamamu, Bandi! Bawa! Apa artinya lagi hidup ini tanpa kamu"!"
"Tenanglah, Bu," hibur dokter Marwan di tengah-tengah ratapan ibu Bandi yang begitu memilukan hati, "biarkan Bandi pergi dengan tenang. Relakan dia, Bu. Biar Bandi dapat mencari jalannya tanpa hambatan apa apa."
Telah pergi anaknya yang baik! Anaknya yang paling baik! Yang dirawatnya dengan susah payah sejak bayi! Yang membuat hidupnya tidak pernah tenang. Tapi yang sekaligus membuat hidupnya berarti!
*** MASIH dalam keadaan shock akibat kematian adiknya, Haris harus menunggui isterinya yang sedang melewati masa-masa kritis dalam perawatan dokter.
"Warangan," kata dokter yang menangani kasus itu. "Racun tikus. Tapi akan kami selidiki lebih lanjut. Kami telah mengambil sedikit contoh darah, kencing dan isi lambungnya. Untuk dikirim ke laboratorium toxicologi."
"Kebetulan saya menemukan Ibu di belakang ketika saya sedang mengambil air untuk sembahyang di sumur," kata tetangga yang menolong Tanti kepada Haris, ."saya mendengar suara orang muntah muntah hebat. Ibu sudah dalam keadaan gawat ketika saya temukan. Mukanya mengerut seperti
menahan sakit yang amat sangat. Ibu mengerang kesakitan. Dan ibu muntah tidak henti hentinya. Setiap kali Bu Tanti minta minum karena haus, setiap kali itu pula dia muntah lebih hebat lagi. Kasihan sekali Ibu, Pak."
Tetapi Haris tidak memberi reaksi apa-apa. Malapetaka yang datang beruntun pagi ini membuatnya benar-benar shock. Dia tidak mampu berkata apa-apa lagi.
Tidak kepada dokter yang sedang berjuang merebut nyawa isterinya dari tangan maut. Tidak juga kepada Pak Sabir, tetangganya yang telah berjasa menolong membawa isterinya ke rumah sakit.
*** TANAH pemakaman yang Sunyi menjadi penuh dengan suara ratap tangis ketika perlahan lahan peti jenazah Bandi diturunkan ke liang lahat.
ibu Bandi tidak putus-putusnya meratapi anaknya di tepi kuburnya. Dia meraung-raung hendak ikut terjun ke dalam lubang ketika peti diturunkan.
Dan ketika gumpalan-gumpalan tanah mulai dilemparkan untuk menimbuni peti jenazah, ibu Bandi terkulai lemas dalam rangkulan dua orang yang menopangnya. Dia masih sadar. Tetapi Sudah tidak dapat menggerakkan kakinya lagi untuk "melangkah.
"Mari pulang, Bu," hibur salah Seorang yang bantu memapahnya, "relakan Bandi. Biarkan dia beristirahat dengan tenang."
Haris masih terpekur di tepi liang lahat. Mengawasi Sebongkah demi sebongkah tanah yang dilemparkan ke dalam kubur.
Di seberang sana Riri sedang melemparkan
segenggam tanah sambil menangis. Dia berlutut di tepi liang kubur. Mengenakan gaun hitam pekat yang menambah kedukaan yang terlukis di wajahnya.
Kalau ada orang yang merasa paling berdosa akan kepergian Bandi ini, Ririlah orangnya. Pada saat-saat terakhir hidup suaminya, dia bukannya memberi kebahagiaan kepada lelaki yang begitu mencintainya. Dia malah membangkitkan kemarahan dan kekecewaan Bandi.
Ah, tidak. Bukan marah. Bandi tidak pernah marah. Tidak sesudah dia tahu Riri mengkhianatinya sekalipun! Dia terlalu baik. Terlalu lembut. Seandainya dia bisa marah, dia bisa menghukum isterinya, barangkali tidak begini besar penyesalan Riri!
"Sudah, Mbak," bisik seorang ibu yang membantunya berdiri, "mari pulang. Biar Bandi beristirahat dengan tenang.'
"Selamat jalan, Mas," rintih Riri menahan tangis.
Airmatanya mulai mengucur lagi ketika dia membuka mulutnya. Dilemparkannya seikat mawar putih yang terakhir ke gundukan tanah merah di hadapannya. Seputih itulah hati yang terkubur di bawah sana.
Riri tidak membantah ketika perempuan yang baik hati itu, mungkin tetangga ibu Bandi dia tidak tahu dan persetan, tidak ingin tahu, membantunya berdiri.
Dia tidak menjawab ketika Fani dan temantemannya yang lain menyalaminya dengan duka. Dia melangkah di antara mereka meninggalkan tanah pemakaman yang suram itu. Meninggalkan suaminya terbaring sendirian di belakang sana . . .
Mulai sekarang dia akan selalu terbaring seorang diri di sana. Seperti malam terakhir itu. Ketika Riri memilih tidur dengan Doni daripada dengan Bandi. O, kalau saja Riri tahu itu malamnya yang terakhir bersama Bandi!
Dia masih ingat bagaimana cara Bandi memandangnya. Bagaimana sedihnya dia menyaksikan tangis Riri. Tetapi saat itu Riri masih terlalu sibuk dengan Doni. Sedikit pun dia tidak mengacuhkan Bandi.
Riri mengira dia masih memiliki malam lain bersama Bandi. Dia tidak peduli ketika diam diam Bandi mengundurkan diri, sengaja memberikan kesempatan kepada Riri untuk berdua saja dengan Doni. Riri malah tidak tahu di mana Bandi tidur. Padahal malam itu adalah malam terkahir bagi Bandi!
O, lelaki yang baik itu! Dia malah merasa berdosa karena tidak mampu memberikan seorang anak kepada isterinya. Padahal anak itu malah lahir dari dosa yang diperbuat isterinya dengan lelaki lain, abangnya sendiri!
Riri tidak tahu siapa yang berjalan dengan langkah gontai dan kepala tunduk di sampingnya sampai dua orang berseragam menghadang di depan mereka.
Lama baru realita menyentuh kembali alam pikiran Riri. Lama dia baru mengenali siapa yang tegak di hadapan mereka.
Dua orang polisi. Yang mungkin datang waktu Upacara pemakaman tengah berlangsung dan bersabar menunggu sampai selesai. Bagaimanapun mereka masih menghormati orangorang yang sedang berduka ini dan rela menunggu walaupun sedang menjalankan tugas.
"Selamat siang, Tuan Haris Darmanto?"
Riri mengangkat mukanya. Ketika dia melihat mereka tidak sedang memandang kepadanya melainkan kepada lelaki yang berjalan di sampingnya, dia baru menoleh. Dan baru mengenali siapa yang kini tegak di sebelahnya.
"Kami harap Bapak ikut kami ke kantor," kata polisi yang berkumis kecil. "Ini mengenai isteri Bapak."
*** HARIS hampir-hampir tidak mempercayai telinganya sendiri, ketika mendengar kata-kata petugas yang berwenang memeriksanya di kantor polisi itu.
"Isteri Bapak telah sadar dan sudah boleh diajak bicara. Hasil pemeriksaan laboratorium toxicologi pun telah kami terima. Ternyata isteri Bapak benar keracunan Arsen yang diduga berasal dari warangan atau racun tikus."
Polisi itu diam sebentar untuk mengamati-amati wajah Haris. Ketika laki-laki itu tidak berkata sepatah pun dia melanjutkan kata-katanya. "Racun tersebut masih terdapat dalam sisa kOpi yang diminum isteri Bapak pagi itu.'
Dia kembali berhenti bicara. Ketika dilihatnya tidak ada perubahan di wajah Haris, diteruskannya dengan lebih hati-hati. "Menurut isteri Bapak, Bapaklah yang membuat kopi itu. Bapak juga yang membeli racun tikus beberapa hari sebelumnya . . ."
Sekarang paras Haris berubah. Matanya membelalak kaget. Rahangnya mengejang.
"Tapi bukan saya yang menaruh racun tikus itu dalam kopi isteri saya!" geramnya berang.
"Bukan pula isteri Bapak," sambung polisi
itu tegas. Haris tertegun bingung. Urat urat lehernya bersembulan. Bibirnya bergetar. Matanya terbeliak. Seakan-akan dia ingin mencetuskan sesuatu dengan sulitnya.
"Menurut pengakuan isteri Bapak, pagi itu tidak ada orang lain di rumah. Bapak baru saja pulang minum. Kemudian pergi lagi setelah bertengkar sedikit. Isteri Bapak merasa tenggorokannya nyeri sekali lima belas menit setelah minum kopi yang dibuatkan oleh Bapak sebelum pergi. Kemudian isteri Bapak merasa mual dan langsung pergi ke belakang untuk menumpahkan isi perutnya. Ketika dia sedang muntah-muntah hebat, Pak Sabir berlari-lari datang dari sumur di belakang rumahnya. Isteri Bapak sudah dalam keadaan shock karena rasa sakit yang hebat pada ulu hati dan perut. Juga karena muntah-muntah yang tidak ada hentihentinya. Saat itu Bapak berada di mana?"
"Saya harus bicara dengan isteri saya," desis Haris gemetar.
"Tentu!" sahut polisi itu tegas. "Nanti Bapak akan diberi kesempatan untuk bicara. Tetapi sebelum itu, pengakuan Bapak harus kami catat dulu."
*** TENTU saja mula-mula Haris menolak tuduhan itu. Dia memang tidak mencintai Tanti. Dia tidak keberatan menceraikannya. Tetapi membunuhnya" Astaga! Tidak pernah terlintas di otaknya!
Tetapi pendiriannya berubah ketika melihat sikap Tanti di pengadilan. Ketika dia dipanggil menghadap sebagai saksi, dia memberikan kesaksiannya dengan lancar, seolah-olah Haris tidak mengenali lagi perempuan yang sedang berdiri sebagai saksi itu.
Dia bukan lagi Tanti isterinya yang setia dan patuh. Yang sabar dan tahan menderita. Yang menerima apa saja yang diperbuat suaminya.
Dia muncul sebagai seorang Tanti yang lain. Yang penuh dendam. Yang sedang menumpahkan sakit hati yang telah lima tahun dipendamnya.
Dia menceritakan dengan lancar perkawinannya sejak awal tahun yang pertama sampai sekarang. Penderitaannya sebagai seorang isteri boneka yang tidak dicintai dan selalu disia siakan suami.
Dia menceritakan keinginan Haris untuk memberikan Doni kepada Riri, perempuan yang Sebenarnya dicintainya tapi sudah menjadi isteri adiknya.
Opini publik hampir seutuhnya berdiri di belakang Tanti. Figur isteri yang menderita, perempuan sederhana yang ditindas suami selalu mendapat simpati penuh. Apalagi kalau dia lolos dari pembunuhan yang direncanakan suaminya.
Dan kesaksian ibu Haris sama sekali tidak menguntungkan anaknya. Sejak Bandi pergi, dia memang sudah menjadi apatis sama sekali. Emosinya baru tergugah kembali ketika mendengar Haris dituduh mencoba membunuh Tanti.
' "Jadi ini rencanamu," geramnya marah kepada Riri, orang yang dituduhnya menjadi dalang peristiwa ini. "Kau suruh Haris membunuh isterinya. Kau celakakan Bandi. Kau ingin merampas Doni kembali! Kau ingin merebut Haris!"
Walaupun akhirnya Riri dibebaskan dari segala tuduhan karena tidak ada bukti bukti yang memberatkannya, kesaksian ibu Haris malah tambah menjerumuskan Haris ke dalam kesulitan.
Di pengadilan ibu Haris menceritakan dengan
terus-terang kisah cinta segitiga anak-anaknya dengan Riri. Apalagi yang perlu disembunyikan sekarang" Bandi sudah pergi.
Dia menceritakan Semua yang diketahuinya dengan jujur. Tanpa maksud memberatkan atau meringankan hukuman Haris. Dia seperti juga semua orang di pengadilan itu percaya sekali Harislah yang bersalah.
Orang seperti Tanti tidak mungkin berdusta, Dia toh tidak punya keuntungan apa-apa. Dia malah hampir mati jika tidak ditemukan oleh Pak Sabir.
Simpati publik tercurah kepadanya. Laki-laki dengan penampilan seperti Haris, laki-laki yang sudah terlanjur mendapat julukan 'brengsek', memang sulit membela diri. Apalagi kalau dia sendiri tidak mau membela dirinya.
Sesaat sesudah mendengar kesaksian Tanti, Haris berbisik kepada pembelanya untuk mengakhiri saja pembelaannya.
Dia mengakui perbuatannya mencoba membunuh isterinya untuk mengambil anaknya dan mengembalikannya kepada Riri. Tetapi semua itu di luar pengetahuan Riri. Dia bekerja seorang diri. Riri tidak ada sangkut-pautnya dengan kasus ini.
Ketika Haris mengungkapkan pengakuannya, hanya Riri yang tidak percaya.
"Kau menghukum dirimu sendiri untuk menebus dosamu pada Bandi," tangis Riri sesaat sesudah dia divonis bebas dan Haris dijatuhi hukuman lima tahun penjara. "Aku tahu kau tidak bersalah!"
"Apa artinya lima tahun untuk menebus dosaku pada Bandi?" sahut Haris tenang. "Lima tahunku dalam penjara hanya cukup untuk menebus dosaku
pada Tanti karena telah lima tahun memenjarakannya dalam neraka perkawinan kami."
Ibu Haris menerima hukuman yang dijatuhkan kepada anak sulungnya itu dengan pasrah. Sesudah melihat apa yang dilakukan Haris kepada Bandi dan sekarang kepada Tanti juga, dia merasa hukuman itu cukup adil.
Dia hanya merasa keCewa karena seorang seperti Riri masih lolos dari hukuman. Seharusnya dialah yang menerima hukuman yang paling berat.
Dialah sumber segala malapetaka ini. Bencana ini tidak akan pernah terjadi seandainya hari itu dia tidak membawa Bandi ke rumah sakit dan berjumpa dengan perempuan itu.
ibu Haris tidak tahu Riri sudah terhukum oleh perasaan berdosanya sendiri kepada Bandi. Sekarang dia lebih tersiksa lagi melihat Haris masuk penjara untuk kesalahan yang dia yakin tidak pernah dilakukan oleh Haris.
"Dia memang berandal," tangis Riri di bahu ibunya yang memerlukan datang ke pengadilan. "Brengsek. Suami yang tidak bertanggungjawab. Tapi dia tidak mungkin membunuh isterinya!"
Ketika vonis dijatuhkan, Tanti tidak hadir di persidangan. Dia jatuh sakit segera setelah memberi kesaksian di pengadilan.
Tetapi ketika dia mendengar Haris dijatuhi hukuman lima tahun penjara, serta merta dia memekik seperti orang gila.
"Lima tahun! Lima tahun penjara!" jeritnya dengan mata membelalak ketakutan. "Dia tidak bersalah! Dia tidak bersalah! Saya yang memasukkan racun itu ke dalam kopi! Saya yang berniat membunuh diri! Ketika dokter berhasil menyelamatkan saya, ketika saya hidup kembali, saya
dengar Bandi meninggal. Saya begitu takut ke hilangan Doni! Kalau Riri sudah janda, Haris bisa mengawininya! Dia akan menceraikan saya dan mengambil Doni!"
Tetapi tidak seorang pun di rumah sakit itu mau mendengarkan ocehan Tanti. Dia dianggap mengalami gangguan ingatan akibat depresi yang terlalu hebat. Dan dianggap perlu untuk mendapat perawatan dari seorang dokter jiwa.
Ketika dia masih sering berteriak teriak juga, bahkan beberapa kali mencoba membunuh diri, dia terpaksa dimasukkan ke dalam sebuah rumah sakit jiwa. Sementara Doni diserahkan ke dalam pengawasan neneknya.
*** DONI menangis menjerit-jerit ketika melihat ibunya dipegangi kuat kuat oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Apalagi ketika Tanti dimasukkan ke dalam sebuah kamar isolasi yang terkunci.
"Kalau ada mimpi buruk, barangkali inilah mimpi yang paling buruk bagi Doni. Dia meronta ronta dalam cengkeraman erat neneknya. Dan sesaat sebelum tubuh ibunya lenyap di balik pintu yang berterali itu, Doni berhasil meloloskan diri.
Dia menghambur sambil berteriak-teriak memanggil ibunya. Riri yang kebetulan menyaksikan kejadian itu dan berdiri dekat pintu segera meraih Doni ke pelukannya.
Tetapi dalam rangkulan Riri sekalipun, Doni masih menjerit-jerit memanggil ibunya. Dia tidak rela melihat ibunya dimasukkan ke dalam kamar yang mengerikan itu. Dia tidak mau dipisahkan dari ibunya. Dia harus pergi ke mana pun ibunya dibawa. Meskipun dia takut masuk ke dalam kamar yang berterali itu, dia lebih takut lagi berpisah
dengan ibunya. "Ibu! Ibu!" teriaknya sekuat kuatnya.
Dia tidak peduli suaranya sudah serak hampir habis. Dia tidak peduli begitu banyak orang yang menoleh dengan iba kepadanya. Dia bahkan tidak peduli kepada Tante Riri yang memeluknya dengan airmata berlinang.
Doni juga tidak mengacuhkan Nenek yang meraihnya dengan marah dari pelukan Tante Riri. Dia mau Ibu! Persetan dengan orang lain!
Tapi Ibu sendiri tidak menoleh sama sekali kepadanya. Bahkan ketika mata mereka kebetulan berpapasan tadi, Ibu memandangnya dengan tatapan yang begitu asing. Ibu seolah-olah tidak mengenalnya!
Mengapa Ibu tidak meraihnya seperti biasa kalau dia menangis" Mengapa Ibu tidak datang walaupun dia mendengar Doni memanggilnya"


Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengapa lbu menatapnya seperti itu" Dan yang paling penting, mengapa Ibu dimasukkan ke kamar yang dikunci dari luar?"
"Ayo pulang, Doni!" sentak Nenek dengan suara datar.
Direnggutnya Doni dengan kasar dari pelukan Riri. Sia sia Riri mencoba mempertahankannya.
"Biarkan Doni dengan saya dulu, Bu," pinta Riri getir, "dia sedang menghadapi shock yang paling hebat. Dipisahkan dari ayah ibunya dengan cara seperti ini!"
"Itu kan semua gara-gara kamu!" sahut ibu Haris ketus. Tanpa mempedulikan permintaan Riri, Ditariknya Doni pergi.
Sejak Bandi meninggal sikap ibunya memang begitu. Kasar. Tanpa perasaan. Dan tidak mempedulikan apa-apa lagi. "
Tampaknya dia bukan cuma benci kepada Riri. Pada Doni pun dia tidak manis lagi. Barangkali karena dia menganggap Donilah salah satu penyebab kematian Bandi.
Sia sia Riri memohon agar diperkenankan merawat Doni selama Tanti sakit. Ibu Haris bahkan melarang Riri datang menjenguk Doni.
"Jangan biarkan Haris menanggung hukumannya seorang diri," katanya tawar. "Kau juga harus ikut menanggung hukuman atas dosa yang kalian perbuat terhadap Bandi. Anggaplah perpisahanmu dengan Doni sebagai hukuman itu."
*** KALAU tidak ingat kepada Doni, barangkali sudah lama Riri berniat ingin mengakhiri hidupnya. Dia merasa serba salah. Dia ingin pergi kepada Bandi untuk menjelaskan segalanya. Minta maaf. Itu yang belum sempat dilakukannya. Bandi sudah keburu pergi.
Riri merasa berdosa kepada Bandi. Dia merasa dialah yang membunuh suaminya sendiri.
Riri juga merasa berdosa kepada Haris. Dialah yang menyebabkan lelaki itu masuk penjara. Karena ulahnya menghendaki Doni kembali.
Dia jUga yang menyebabkan Tanti jadi begini. Perempuan itu terpaksa meringkuk di rumah sakit jiwa. Padahal dia begitu menyayangi Doni! Dia ingin mempertahankan anaknya dengan cara apa saja.
Dan . . . Doni! Anak itu bukannya tidak menderita! Ayah dalam penjara. Ibu di rumah sakit jiwa. Tinggal bersama Nenek yang sebengis itu.
Dan Ririlah yang menyebabkan Doni menderita! Buat apa dia coba mengambil anaknya
kembali kalau anak itu sendiri sudah memilih Tanti"
Ketika sedang merangkul Doni yang berteriak teriak ingin ikut Tanti, Riri tiba-tiba saja insyaf. Doni lebih mencintai Tanti. Baginya, Tantilah ibunya. Riri bukan apa-apa! Nah, mengapa mesti menyiksanya dengan cara begini"
Riri terlalu sombong. Selama ini dia selalu menganggap apa saja yang diingininya pasti dapat diperolehnya. Dengan segala kelebihannya, dia merasa terhina kalau tak dapat merebut Doni kembali dari tangan seorang perempuan sederhana seperti Tanti.
Tuhan telah menghukumnya dengan hukuman yang seberat ini. Hukuman yang melibatkan orangorang yang dikasihinya. Bandi. Haris. Doni.
Sekarang, mestikah dia melepaskan tanggung jawab dengan membunuh diri" Oh, hukuman itu terlalu ringan untuk dosanya! Dia harus menebus dosa dengan cara lain.
"Jangan biarkan Haris menanggung hukumannya seorang diri," kata ibu Haris.
Dia benar. Itu tidak adil. Haris sudah memperoleh hukuman. Tanti pun sudah. Sekarang bagaimana Riri harus menghukum dirinya sendiri"
Dengan menjauhkan dirinya dari Doni" itu bukan hukuman yanq setimpal!
Sepeninggal Haris, ekonomi keluarganya jadi moratmarit. Ibunva yang hanya bisa menjahit, memang sudah mencoba membuka usaha jahitan. Tetapi berapa banyak hasilnya" Bagaimana usahanya bisa maju kalau memasukkan benang saja sudah sulit"
Ketika usaha jahitannya sendiri gagal, dia mencoba melamar menjadi buruh jahit di sebuah perusahaan konpeksi. Tetapi siapa mau menerima
seorang perempuan tua yang sering sakit-sakitan dan matanya sudah mulai rabun digerogoti proses katarak"
Darimana ia harus mengongkosi hidupnya bersama Doni" Jangan dikata lagi mengirim sekedar makanan untuk Tanti. Membayar ongkos perawatannya saja sudah kalang kabut!
Satu persatu barang peninggalan Haris terpaksa dijual. Tetapi penderitaan yang bagaimanapun hebatnya tidak melunakkan hati nenek yang keras kepala ini.
Sia-sia Riri minta agar diperbolehkan menanggung biaya hidup anaknya. Agar dia bisa membantu keuangan ibu Haris ala kadarnya.
Sejak Bandi pergi, ibunya memang seakan-akan sudah tidak ingin hidup lebih lama lagi. Tak ada lagi gairahnya untuk hidup. Untuk apa bangun pagi-pagi kalau tidak ada Bandi yang ingin dilihatnya" Untuk apa masak kalau tidak ada Bandi yang mencicipi makanannya"
Untuk apa melihat matahari kalau Bandi sendiri sudah tidak ingin dan tidak dapat melihatnya"
Dia lebih suka mati. Barangkali di atas sana, dia masih bisa melihat Bandi. Menemuinya. Memanjakannya seperti dulu.
Dan karena dia masih tetap menganggap Ririlah yang membunuh Bandi, sikapnya kepada menantunya itu tak pernah ramah.
Dia tidak sudi lagi melihat Riri, apalagi menerima pemberiannya! Haram menerima uang dari seorang perempuan lacur seperti dia! Biar dia melarat, biar dia tidak tahu mau makan apa esok, dia tidak sudi meminta-minta!
Ibu Haris bahkan tidak membawa Doni ke
dokter ketika dia sakit panas, hanya karena dia tidak mau minta uang pada Riri. Jangankan minta uang, memberitahukan saja tidak.
Dikiranya Doni cuma sakit panas biasa. Diminumi.obat yang dibelinya di warung sehari dua juga sembuh.
Panasnya yang tinggi itu tidak membuat ibu Haris takut. Pengobatan tradisional dari neneknya dulu mengajarkan betapa baiknya khasiat daun daunan yang dapat menurunkan panas.
Ketika akhirnya dia tahu penyakit Doni bukan penyakit panas biasa, sudah terlambat untuk membawanya ke dokter.
"Meningitis Purulenta," kata dokter Harun kepada perawat yang menyertainya. Lalu dengan murung dia berpaling kepada ibu Haris. "Radang selaput otak. Mengapa baru dibawa ke mari sekarang?"
"Tidak ada ongkosnya, dokter," sahut ibu Haris terus-terang.
Dia baru nekad meniual rantai leher Bandi, satu-satunya peninggalan Bandi yang masih ada, ketika dilihatnya Doni kejang-kejang hebat. Uang penjualan rantai itulah yang dipakainya untuk membawa Doni ke dokter.
' Entah berapa lama dia menangis ketika mengambil rantai yang selalu menemaninya tiap malam itu dari bawah bantalnya dan memutuskan untuk menjualnya.
Itulah satu-satunya peninggalan Bandi yang masih tersisa. Dan sekarang dia mesti berpisah juga! 0, alangkah kejamnya hidup ini! Alangkah pahit nasib yang menudungi dirinya!
Tetapi ketika mendengar Doni harus masuk rumah sakit, ketika dokter mengatakan sudah
hampir terlambat untuk mengobati Doni, sesalnya karena menjual rantai Bandi lenyap seketika. Berganti dengan penyesalan, karena terlambat membawa Doni ke dokter.
O, seandainya saja dia membawa Doni berobat lebih cepat! Seandainya dia lebih cepat mengambil keputusan!
Seandainya kemarin dia memperbolehkan Riri masuk menjenguk Doni. Sebentar saja. Seandainya dia tidak begitu angkuh menolak bantuan uang Riri . . . Doni pasti tidak jadi begini!
Ibu Haris masih ingat bagaimana kasarnya dia mengusir Riri tiap kali perempuan itu hendak menjenguk anaknya. Padahal Riri hanya membawakan Sate Padang kesukaan Doni.
Apa salahnya seorang ibu yang ingin memberi makanan untuk anaknya" Harimau pun masih ingat anak kalau punya makanan. Apalagi manusia!
Tetapi dendam ibu Haris terhadap perempuan yang mencelakakan anaknya itu sudah demikian mendalam. Rasanya kalau belum membalaskan sakit hatinya dan sakit hati Bandi, dia belum puas. Sebagai ibu, Riri juga mesti merasakan bagaimana rasanya kehilangan anak.
"Sudah Ibu bilang, jangan bolak-balik ke sini terus!"geramnya dingin ketika kemarin Riri datang lagi membawa dua bungkus sate. "Kalau kau sering ke mari, Doni malah jadi rewel!"
"Titip ini saja, Bu," pinta Riri sambil menyodorkan bungkusan satenya. "Doni suka sekali."
Sementara itu matanya melirik ke dalam, mencari cari Doni. Ke mana dia" Mengapa dia tidak ke luar"
Biasanya kalau mendengar Riri datang, Doni pasti menyelinap ke luar. Dia memang nakal.
Barangkali dia mewarisi'darah Haris. Dia baru berlari masuk kalau dibentak neneknya.
"Ke mana Doni, Bu?" naluri keibuan Riri membisikkan firasat tidak enak ke hatinya. "Kok tidak kelihatan?"
"Sedang tidak enak badan," sahut ibuHaris sambil bergerak hendak menutup pintu. "Anak lagi panas tidak boleh makan sate kambing!"
"Panas?" cetus Riri kaget. "Doni panas, Bu?"
"Sedikit!" sahut ibu Haris acuh tak acuh. "Besok juga baik."
"Sakit apa, Bu?" desak Riri cemas. Panas biar tidak tinggi sekalipun bukan berarti tidak berbahaya. Difteri juga panasnya tidak tinggi! Sudah dibawa ke dokter?"
"Ah, tidak usah. Paling-paling masuk angin biasa."
Riri pulang dengan penasaran. Separuh terpaksa. Hatinya tidak enak. Doni sakit. Sakit apa" Benarkah cuma masuk angin biasa" Apa sudah diberi obat"
Ah, seandainya dia boleh masuk! Seandainya dia ada di sisi Doni. Membelai-belai kepalanya ketika dia sedang sakit. Menyuapinya makan. Mengompres kepalanya yang panas.
Tapi ibu Haris memang tidak punya perasaan. Hatinya benar-benar telah beku. Dia sudah menutup pintu sebelum Riri sempat bertanya lagi.
Sebenarnya Riri hendak menyampaikan kabar gembira. Esok Tanti boleh pulang. Kelakuannya memang sudah berubah. Jauh lebih pendiam dari biasa. Matanya pun bukan mata orang normal lagi. Memandang ke dalam matanya seolah-olah seperti memandang ke dalam sumur yang amat dalam . . .
Tetapi sekarang dia sudah tidak berteriak
teriak lagi. Tidak mencoba bunuh diri. Ibu Haris yang minta agar Tanti boleh pulang.
Ongkos perawatannya cukup berat. Kalau dia pulang, dia tentu bisa bantu bekerja. Paling tidak, bantu mengurus Doni.
Tanti toh tidak sakit. Cuma pikirannya terganggu. Semuanya gara-gara Haris. Akibat ulah suaminya yang kejam itu.
Ibu Haris yakin, beberapa lama tinggal di rumah, pikirannya pasti pulih kembali. Apalagi kalau ada Doni. Melihat anaknya dia pasti cepat sembuh.
"Besok Mbak Tanti boleh pulang," kata Riri ketika dia menjenguk Tanti di kamarnya malam itu.
Terus-terang Riri sudah bosan menjenguk Tanti. Setiap kali ditengok, Tanti tidak pernah menggubrisnya. Dia diam saja seperti tunggul, menoleh saja tidak. Apalagi menjawab pertanyaannya.
Tetapi mendengar Doni sakit, entah mengapa Riri ingin Tanti cepat cepat pulang. Siapa tahu Doni sudah rindu pada Tanti. Siapa tahu melihat ibunya, penyakitnya lebih cepat sembuh.
Sekarang Riri sudah tidak mempedulikan dirinya lagi. Yang penting Doni senang. Kalau Doni lebih menyukai Tanti, dia rela mengalah.
"Doni sakit," kata Riri tanpa menunggu jawaban Tanti.
Dia memang tidak mengharapkan Tanti akan menjawab. Setiap kali diajak bicara, seperti itulah sikapnya. Berbaring di tempat tidur dengan menatap dinding. Tatapan hampa yang ditemukan pada orang yang sedang melamun.
Bedanya, lamunan Tanti lebih dalam dan lebih lama. Tetapi ketika mendengar Doni sakit, untuk
pertama kalinya dia bereaksi. Dia berpaling menatap Riri. Membuat yang ditatap jadi terkejut setengah mati.
"Makanya Mbak lekas sembuh ya," menggagap Riri. "Biar bisa lekas pulang lihat Doni."
Tanti menatap Riri dengan tatapan yang sukar dilukiskan. Tatapan yang membuat bulu kuduk Riri diam-diam meremang.
"Doni sudah kangen padamu, Mbak," kata Riri asal saja.
Lama Tanti menatapnya sebelum perlahanlahan bibirnya bergerak-gerak seperti hendak mengucapkan sesuatu.
"Terima kasih," sahutnya dengan suara yang Sama anehnya dengan tatapannya.
"Terima kasih?" ulang Riri bingung. "Buat apa?"
"Kau sangat baik. Padahal saya mengambil anakmu. Dan mencelakakan kekasihmu."
"Saya juga yang menghancurkan rumahtangga mu. Dan mengirimkanmu ke mari."
"Saya mencintai Doni," tiba-tiba saja Tanti sudah menangis. "Saya mencintai Doni!"
"Doni pun sayang padamu," sahut Riri terpaksa.
"Dia sakit apa?"
"Ibu melarang saya melihatnya."
"Saya harus melihat Doni. Saya harus melihat Doni!"
"Besok kita lihat sama-sama ya?"
"Saya harus melihat Mas Haris!"
Riri menghela napas. Agak sulit mengikuti jalan pikiran Tanti sekarang. Dari Doni dia melompat ke Haris. Dan dia mengucapkan sesuatu tidak cukup sekali. Selalu diulang ulang.
"Saya harus minta ampun padanya. Dia tidak bersalah. Mengapa Mas Haris dihukum" Dia tidak meracuni saya! Mengapa tidak ada orang yang percaya" Mengapa?"
"Istirahatlah, Mbak," potong Riri cepat-cepat. Kuatir penyakit Tanti kumat lagi. Nada suaranya sudah semakin tinggi. Sinar matanya bertambah menakutkan. Dan dia sudah hampir bangkit dari tempat tidurnya. Terpaksa Riri buruburu mendorongnya ke tempat tidur kembali.
*** 'KETIKA sedang menunggui Doni di rumah sakit, tibatiba saja ibu Haris merasa menyesal. Mengapa tidak memberi kesempatan terakhir kepada Riri untuk melihat Doni"
Kalau ada apa-apa dengan Doni, Riri pasti tidak keburu melihat anaknya lagi! Keadaan Doni sudah begitu menguatirkan. Dia sering kejang kejang meskipun obat terus-menerus dimasukkan ke dalam cairan infusnya.
Dalam keadaan tidak kejang pun dia tidak pernah lagi sadar seratus persen. Seolah-olah ada kabut yang menyelubungi kesadarannya.
Ibu Haris masih tetap benci kepada Riri. Dia masih tetap mendendam atas kematian Bandi.
Tetapi melihat keadaan Doni, dia jadi takut. Bagaimana kalau ada apaapa" Dia mesti memberitahukan Riri!
Lebih-lebih ketika tetangganya mengatakan Riri datang bersama Tanti siang tadi. Karena tidak ada orang di rumah, Riri membawa Tanti pergi lagi.
"Berikan saja alamat dik Riri kepada saya, BU," pinta tetangganya sungguhsungguh. "Biar saya yang ke sana memberitahukan mereka."
*** "DI RUMAH SAKIT?" belalak Riri kaget. "Ya, Tuhan! Kenapa saya baru diberitahu sekarang?"
Bergegas Riri berangkat ke rumah sakit. Dia sampai lupa pada Tanti. Doni sakit! Uh, persetan dengan yang lain! Dia mesti cepat-cepat melihat Doni!
Tanti sudah lama di kamar. Barangkali dia sudah tidur. Repot juga membawa orang sakit seperti dia ke rumah sakit malam-malam begini. Salahsalah malah tidak boleh masuk!
Riri jadi pucat melihat keadaan Doni. Apalagi Setelah mengetahui apa penyakitnya. Radang selaput otak! Ya, Allah! Sudah dalam keadaan lanjut pula.
Tibatiba saja dia ingat kepada pasiennya waktu coschap di bagian anak dulu. Ada yang lumpuh. Ada yang cacat mental. Semuanya akibat gejala sisa Meningo Enoephalitis yang sudah lanjut.
Dan sekarang . . . Doni sendiri mengalaminya! Anaknya sendiri terlambat diobati!
"Mengapa saya tidak diberitahu, Bu?" geramnya antara marah dan sedih kepada ibu Haris. "Saya toh ibunya!"
Untuk pertama kalinya ibu Haris tidak menyahut. Dia hanya menunduk memandangi wajah Doni.
"Mengapa tidak dibawa ke dokter sejak dulu, Bu?" sesal Riri lagi. "Kalau Ibu tidak punya uang, kenapa tidak minta pada saya" Sampai hati Ibu membalas dendam kepada saya dengan mempertaruhkan nyawa Doni!"
"Diam!" bentak ibu Haris getir. Matanya menatap Riri dengan berlinang airmata. "Kata siapa ibu tidak sayang pada Doni?"
"Tapi Ibu biarkan dia jadi begini!"
"Ibu tidak tahu sakitnya begini berat!"
. "Ibu bisa panggil saya! Kalau ibu biarkan saya masuk menengok Doni kemarin, dia tidak sampai begini!"
"Sekarang bagaimana?" tangis ibu Haris sudah meledak. "Bagaimana Doni" Dia masih ada harapan?"
"Kalaupun dia sembuh nanti . . ." gumam Riri pahit. "Dokter pun tidak bisa menjamin dia biSa sehat seperti dulu!"
"Maksudmu . . ." menggagap ibu Haris dengan takutnya. "Doni . . . Doni cacad . . .?"
Riri memalingkan wajahnya ke tempat lain. Dia tidak menjawab. Karena begitu dia membuka mulutnya, tangisnya hampir tak tertahankan lagi.
Justru saat itu dia baru melihat Tanti. Dia tegak di ambang pintu. Seorang perawat sedang berusaha mencegahnya masuk. Tetapi sia sia. Tidak seorang pun bisa menahan Tanti kalau dia ingin menemui Doni.
"Saya ibunya!" katanya dengan suara dan mata yang menyebabkan perawat-perawat itu harus berpikir dua kali sebelum menghalanginya.
"Ibunya sudah ada didalam," bantah perawat yang tadi mengantar Riri masuk.
"Saya ibu Doni!" teriak Tanti marah. "Saya ibu Doni! Cuma saya ibunya! Cuma saya ibunya!"
Beberapa orang pasien menoleh dengan kesal ke arahnya. Perawat perawat pun saling pandang. Cukup waraskah perempuan ini"
"Doni tidak boleh diganggu," kata seorang perawat kepada Tanti yang masih memaksa masuk. "Keadaannya gawat sekali."
"Kata siapa saya mengganggu" Dia anak saya!" dengan berang Tanti menoleh kepada Riri. "Katakan pada mereka, saya ibu Doni!"
"Biarkan dia masuk sebentar, Suster," pinta Riri kepada perawat perawat yang kebetulan dikenalnya ketika coschap dulu. "Dia ibu anak ini."
Tanti tidak langsung merangkul Doni. Dia tidak menubruknya sambil menangis. Tidak juga menciuminya dengan penuh kerinduan.
Dia berlutut di sisi pembaringan Doni. Hanya menatapnya dengan penuh kasih sayang. Disentuhnya pipi anaknya dengan hati-hati. Seolah olah kuatir membangunkannya.
Tetapi begitu ujung jarinya menyentuh pipi Doni, matanya langsung terbuka. Dia tidak menangis.Tidak memanggil-manggil ibunya. Dia hanya merintih.
Matanya pun seolah-olah masih diselubungi kabut. Tatapannya kabur. Dia seakan-akan belum mengenali ibunya.
Tetapi Riri percaya, ada komunikasi antara jiwa kedua anak dan ibu itu melaiui tatapan mereka. Perlahan-lahan Riri menggamit tangan ibu Haris. Dan membawanya ke luar. Meninggalkan Tanti berdua saia dengan Doni.
' Dia tahu, Doni telah memilih Tanti, seperti apa pun perempuan yang sudah dianggap ibunya itu. Antara mereka terdapat ikatan batin yang tidak terdapat diantara dirinya dengan Doni.
Dan sampai di luar, tiba-tiba saja Riri teringat Haris. Barangkali jalan ke luar dari penjara masih panjang. Tetapi Riri percaya, kalau tahun-tahun yang suram ini telah berlalu, kalau Bandi telah memaafkan mereka dari tempatnya yang suci di atas sana, masih ada tahun-tahun yang tersisa untuk membuka lembaran baru dalam hidup mereka.
Ebook dipersembahan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,24 Juli 2018 Terimakasih Tamat Jala Pedang Jaring Sutra 17 Pendekar Hina Kelana 29 Iblis Pemburu Perawan Tamu Dari Gurun Pasir 2

Cari Blog Ini