Ceritasilat Novel Online

Jeritan Pintu Kubur 2

Jeritan Pintu Kubur Karya Abdullah Harahap Bagian 2


"Kau percaya semua cerita-cerita itu, Nur?".
"Ya, bagaimana ya. Dan kau"!"
"Kok nanya aku lagi".
"Kau percaya?" "Tidak. Sebelum melihat atau mengalami sendiri".
"Kau mau?". Dorothea tertawa. Parau. Rungutnya:
"Engga dong!" Mereka tertawa. Berbarengan. Tawa mereka baru terhenti ketika seorang laki-laki masuk kedalam. Setelah melihat siapa yang masuk, Nur mengerling pada Dorothea. Kemudian meneruskan pekerjaannya. Pura-pura asyik. Tetapi cuping telinganya mengembung. Nguping Ia dengar:
?" kau kucari-cari dari tadi Tea" Ekor mata Nur melirik. Ia lihat laki-laki tadi duduk disebelah Dorothea. Wajahnya tampak segar dan kemerahan. Pikir Nur dalam hati: bukan karena udara panas. Di luar kan masih pagi. Matahari '" belum nongol. Hem, pasti jantung si pria berdentang-dentang seperti jam dinding yang baru direeparasi. Lantang Bersemangat. Hem. *"
'Bagaimana pasien itu?", tanya Dorothea.
"Sudah diberi obat penenang".
"Masih. normalkan ia?"
"Tampaknya begitu".
"Tadi ia kukira sudah gila".
"Kukira juga begitu".
"Ia menangis ya?".
"Ya. Sedih karena kakinya buntung. Biasa".
Dorothea menarik nafas. "Kasihan". dengusnya.
Laki-laki yang duduk disebelahnya, menoleh pada Dorothea. Memperhatikan wajah gadis itu dengan seksama.
"Kau menaruh perhatian padanya?".
"Siapa?", Dorothea terkejut.
"Parman". "Pasien itu". Dorothea tertawa. Tugasku.
Sebagai suster" "Hanya sebagai suster"'.
"Suster. Tak lebih".
"Syukur", laki-laki itu berkata dengan suara lega. '
"Mengapa"' Laki-laki itu tak menoleh. Yang menoleh justeru perempuan dibelakang meja. Nur. Matanya bermain. Dorothea membalas dengan pelototan yang tidak kepalang besarnya. Nur menaruh telapak tangan dimulut. Menahan gelak tawa yang mau terburai keluar. Lalu berpura-pura asyik lagi. Dengan pekerjaannya di meja. Tetapi arsip itu sama sekali tak menarik perhatiannya. Disamping SUdah rutin sehingga kadang-kadang membosankan, juga
tapi karena tingkah laku orang yang sedang jatuh cinta memang selalu sangat menarik perhatiannya. Disamping sudah rutin sehingga kadangkadang membosankan, juga karena tingkah laku orang yang sedang jatuh cinta memang selalu sangat menarik perhatian. Meskipun cuma dengan mendengar doang. Sambil harap harap cemas kalau ketahuan nguping. Bisa diusir!
"Mengapa, Parno?", Dorothea seolah-olah mendesak sambil menahan senyum di mulut.
Parno menoleh pada Dorothea. Tersipu. Menoleh kearah lain. Terbentur pada Nur yang sedang pura-pura tekun. Lalu: "Ah. Tidak apaapa".
"Syukurlah, ganti Dorothea yang mengucapkan apa yang sesaat sebelumnya diucapkan si lelaki. Yang mendengarkan terpana sesaat. Memandang tak mengerti pada Dorothea. Matanya membayang kecemasan. Meski mulutnya berusaha tersenyum. Betapa kaku.
"Lututnya tak kambuh lagi, Parno?"
"Lutut?" Parno tersenggap. "Lutut siapa?"
"Pasien itu" "Pasien itu lagi Pasien itu lagi. Apa salahnya kita bicara soal lain saja, Tea" Banyak halhal yang lebih menarik dari pada soal soal. pasien.."
"Pasien selalu menarik. Terutama tentang perkembangan kesehatannya. Dan jiwanya. ' lumayan toh" Menambah pengetahuan teoritis tentang psykologi dalam kuliah bukan?"
"Oh ya. Ya!", Laki-laki itu berusaha mengelak. Biar tak puas. Dimejanya, Nur tersenyum senyum kecil.
"Kau tak kena tadi?"
"Tidak" ?"aku bisa gemetar melihat bagaimana si Parman itu tadi mengamuk. Kau berani juga Parno; berusaha menyadarkan orang yang histeris dan ngamuk begitu".
"Demi tugas". "Nah. Hari ini kita sama-sama punya tugas, bukan" Ah, hampir saja aku lupa", Dorothea berdiri: "Ketika bentrok dengan si Parman itu. aku baru saja keluar dari sebuah sal. Ada pasien perempuan kecil yang harus di infuse. Katanya baru masuk subuh hari tadi, karena kecelakaan. Oh ya, Parno. Mau kau tolong panggilkan dokter Dunil" Ia yang menolong perempuan kecil itu subuh tadi.
Parno berdiri. Di wajahnya masih terbayang rasa tak puas.
"He, Nur. Aku pergi?" Dorothea melambai."
"Lihat-lihat jalannya. Tea. Bisa-bisa nubruk pintu", balas temannya sambil tersenyum lebar. Wajah Parno jadi merah padam. Buru-buru ia menyusul Dorothea ke luar dari ruangan. Setelah berusaha menahan diri selama jalan berdampingan, Parno tak kuat menahan diri. Katanya, buru-buru.
"Sekarang Sabtu, Tea..."
Dorothea menghentikan langkah.
"Lantas?". "Nanti malam Minggu".
"Iya dong. Sekarang kan Sabtu".
"..., Parno memegang tangan Dorothea.
Tangannya sendiri gemetar. Katanya setengah berbisik: "Boleh aku mengajakmu jalanjalan malam ini, Tea?".
Dorothea memandang tajam kemata Parno. Menyahut dengan suara tegas:
"Sudah berapa kali kubilang, Parno. Kita bersahabat. Cuma itu" kemudian ia melepaskan tangannya dari genggaman, tangan Parno. Memutar tubuh. Dan sebelum menjauh, ia melanjutkan: "Dan ingat. Lain kali, jangan tulis lagi dibuku catatanku kata-kata Teaku. Aku ini masih milik mama. Milik papa, bukan milik siapa-siapa.
*** TIBA dirumah, Dorothea gelisah tak menentu.
Seperti ketika bertugas hari itu dirumah sakit, apa saja yang ia kerjakan dirumah serba salah. Waktu menyapu lantai, kakinya tersandung kekaki meja tinggi sehingga vas bunga diatasnya jatuh. Tiba dilantai pecah berderai. Waktu masak didapur, ia mau menggoreng telor. Bikin mata sapi. la ketok-ketokkan halus ketepi wajan. Telornya pecah. Jatuh dilantai dapur. Celakanya ia tak sadar. Malah ia masukkan kulit telor kedalam minyak yang sudah panas. Berdiri sebentar, kemudian tercium bau tak sedap, baru ia tahu telah salah masukkan.
Habis mandi sore, ia duduk dimeja makan bersama ayah ibunya. Dorothea tidak berselera!"
Makannya tertegun-tegun. "Tea?" Terkejut, ia menoleh. Ia lihat mata ibunya yang menatap tajam, "Sakiti". "Oh, tidak, mama'. 'Hidangannya tak enak" ini masakanmu sendiri". "Bukan'. "Lantas?" Dorothea tak menjawab. Lama. Sampai ayahnya angkat bicara: "Soal pekerjaan?". Baru Dorothea bernafas lega. Sahutnya: "Ya". "Mengapa, nak" Ada kesulitan?" "Kesulitan sih tidak. papa. Ini tentang seorang pasien'. "Ah. Kau sudah bercerita banyak tentang pasien-pasienmu"
"Tetapi baru kali ini kau begitu gelisah.
Kalau tak salah, sudah beberapa hari ini".
"Seorang pasien bersikap aneh padaku beberapa hari yang lalu. Lalu tadi." "Hem aneh gimana?" tanya ibunya. Matanya yang awas, menatap tak berkedip. Dan sebelum sang anak menjawab perempuan itu menegaskan; "Bukan SOal tetek bengek. toh?"
'Tetek bengek?" Dorothea sengau suaranya. "Misalnya, soal.. cinta."
Dorothea tertawa. 'Ah, mama ini. Seperti si Nur saja. Meng
ada ada." "Syukurlah nak. Ingat. Kau masih muda. Dan kami tak punya anak lagi. Bukan kami takut kehilangan kau, seandainya kau jatuh cinta, kawin dan kemudian hidup di rumah tersendiri dengan orang lain. Tetapi nak, karena kau anak kami satu-satunya maka kami mohon agar kau jaga nama baik keluarga. Bila sudah tiba waktunya, kau sudah dewasa dan benarbenar mengerti makna hidup ini, maka kamipun tak melarangmu berbuat apapun yang kau kehendaki"
"Jangan takut, mama. Aku bisa menjaga diri."
Ayah Dorothea mendehem. Tukasnya:
"Mam, mam, apa apaan pula kau" Tea dihadapkan pada kesulitan
Dalam pekerjaan. Bukan pada laki-laki," lantas sambil memperhatikan wajah anaknya, ia bertanya dengan suara lembut: "Boleh kami tolong, anakku"'
"Tolong" Bisakah papa dan mama menolong?" rungut Dorothea. Lalu, seraya meletakkan sendok garpu di atas piring, ia menceritakan bagaimana ketika tugas jaga malam sebelumnya. Parman bersikap aneh pada dirinya juga menceritakan apa yang ia lihat dan alami tertegun karena berpikir keras Sampai akhirnya ayah Dorothea berkata dengan suara yakin.
"Pasienmu yang satu ini. nak, mungkin sedang dihinggapi nervous karena tidak saja
telah kehilangan isteri, tetapi juga kakinya."
"Tetapi papa," suara Dorothea menghiba. "la anggap aku isterinya. Bagaimana bisa jadi?"
"Waktu itu malam hari. la tak melihat mu jelas-jelas, dan pikirannya sedang terbayang hanya pada isterinya itu saja."
"Lalu tadi pagi" Di udara secerah dan seterang itu"
'Dan ia dalam keadaan sadar"
"Sadar sesadar-sadarnya. Malah sudah menjelang sembuh. Mungkin dua tiga hari lagi sudah boleh pulang."
"Hem! Tea... mengapa tak kau tanya sendiri padanya?"
"Takut?" "Matanya. Mata laki-laki itu!" Dorothea menggigil.
"Mata itu bersungguh-sungguh. Juga sikapnya. Aku.. aku benar-benar tidak mengerti, papa. Kalau pikirannya sedang terganggu oleh bayangan isterinya, mengapa suster-suster lain tidak ia ganggu" Mengapa hanya aku saja?"
"Mungkin wajahmu mirip wajah isterinya."
"Mirip?" bibir Dorothea mengucap.
"Mirip?" ibunya juga mengucap. Tetapi yang belakangan 'ini kemudian diam. Tampaknya, berusaha menahan sesuatu yang tibatiba mengganjal hati. Ia melirik sekilas pada suami dan anaknya. Tetapi tak ada yang memperhatikan. Perempuan setengah baya itu menarik nafas. Lega. Kemudian:
'Tea. Kau bilang, kau takut dan tidak ber
usaha untuk bertanya. Mama artikan ucapanmu itu begini: melihat laki-laki itu, kau lantas lari. Menjauh darinya. "Benarkah, nak"
Dorothea mengangguk. Ibu tersenyum. Ramah. Namun suaranya tajam:
"Patutkah itu dilakukan seorang suster, anakku"
Dorothea terpukul. Dengan suara jatuh, ia menyahut:
"Itulah yang kugelisahkan, mama."
"Nah. Kalau begitu, besok temuilah dia."
"Aku... aku tak sanggup, mama"
"Harus, anakku. Kau tak bisa melarikan diri dari pasien itu, selama ia masih di rawat dan kau masih bertugas di sana. Lagi pula, anakku. Disinilah kesempatanmu untuk mengabdi pada kemanusiaan: Mungkin, kehadiranmu secara nyata di depan mata laki-laki itu, bisa menolongnya. Katakanlah, menolong dia meringankan siksaan bathin pada isteri yang selalu mengejar-ngejar matanya. Setidak-tidaknya. menolong laki-laki itu dari impian buruk. Bahwa yang ia lihat adalah kau. Nyata. Berwujud. Bukan isterinya. Apalagi, arwah isterinya!."
Dorothea memikirkan kemungkinan itu.
Ayahnya cepat-cepat mendorong:
"Nak. Ibumu benar. Temuilah laki-laki itu. Kalau kau takut ia berbuat yang tidak-tidak, ajaklah seseorang atau beberapa teman menemanimu. Mereka akan membantu kalau terjadi
sesuatu. Gadis itu manggut-manggut.
"Kasihan pasien bernama Parman itu," gumamnya perlahan.
"Setelah ia mengamuk kedua kalinya tadi pagi, ia diikat di tempat tidurnya. Beberapa orang petugas laki-laki yang berotot kuat mengawasinya selalu. Dokter mengkhawatirkan terjadinya gejala-gejala gangguan syaraf akibat pembedahan yang ia alami."
"Nah, apalagi?" kata ayahnya, "Berarti, kau juga akan menolong dokter itu dari kecemasan karena ia anggap dirinya telah melakukan kesalahan dalam bertugas menolong sesama manusia."
*** DUA BELAS MENOLONG SESAMA manusia. Ayah dan mamanya benar. Dorothea harus lebih mementingkan tugas itu, di atas rasa takut dan pikiran yang bukan-bukan. Ia lantas berjanji pada dirinya sendiri. Besok ia akan langsung menemui Parman, bicara berhadap-hadapan dan jujur terhadapnya. Kalau perlu, ia bisa saja menanyakan masalah kejiwaan yang dihadapi pasien itu. Tentang isterinya. Siapa namanya ya" Lila. Ya. Lila. Hem. Masih bisa ia tanyakan hal-hal lain. Tentang masa lalunya. Tentang kebenciannya pada seseorang yang berkedudukan sebagai lurah. Lurah mana yang dimaksud Parman. Dan mengapa ia demikian membencinya" '
Dengan pikiran dan janji dalam hati itu, Dorothea malam itu menarik selimut menutupi tubuhnya di atas tempat tidur. Karena udara pada malam itu teramat gersang dan panas, ia membiarkan jendela kamar tidurnya terbuka. Ia tak perlu takut akibat yang ditimbulkan jendela yang terbuka itu. Toh kamarnya ia biarkan gelap, sedangkan di luar, .terang benderang.
Bagian luar dari jendela kamar tidur itu terdiri dari ruangan dalam rumah orang tuanya. Ditanami bunga anggrek yang ia rawat sendiri, sebuah kolam kecil berisi ikan hias yang malam ini pasti sudah tertidur.
Di ujung taman sederhana itu, terdapat ruangan dapur, gudang dan kamar mandi. Dinding belakang semua ruangan-ruangan tambahan itu, bertembok tinggi. Dan berpagar kawat. Di luar tembok berpagar, jalan raya selalu ramai. Tak pernah mati, apalagi dekat dengan pasar. Malah hanya dalam jarak beberapa meter, terdapat sebuah pos HANSIP yang selalu berisik oleh gelak tawa atau gerutuan petugas-petugas jaga malam atau orang-orang iseng yang main gapleh atau domino disitu.
Tetapi lewat tengah malam. Dorothea terbangun. *
Hawa dingin memenuhi ruangan kamar tidurnya. Malas, ia beranjak dari tempat tidur. Melangkah ke jendela. Tiba disana, menoleh sesaat ke luar, dengan mata setengah mengantuk. Langit membiru. Beberapa potong awan putih mengapas. Bulan terang benderang. Bintang-bintang gemerlapan. Waktu ia keluarkan tangan untuk menarik daun jendela di sebelah luar, ia rasakan udara ternyata hangat. Lalu mengapa udara di dalam kamar terasa amat dingin.
"Ah Mungkin darahku yang hangat," gumamnya. Lalu menutupkan daun jendela.
Berharap, dengan itu udara dingin tidak lagi menerobos kedalam kamar tidurnya. Setelah merasa puas, ia kemudian berbalik. Dan bermaksud naik ke atas ranjang kembali. Udara masih tetap dingin. Malah semakin dingin. Membeku. Dan.. tiba-tiba darah sekujur tubuh Dorothea ikut membeku. la tertegun di tempatnya sendiri. Matanya terpentang lebar. Lebar. Teramat lebar. Hampir-hampir keluar.
Di hadapannya, berdiri sesosok tubuh!
Sesosok tubuh dalam kegelapan kamar. Kamar yang tertutup. Yang pintunya ia kuncikan sendiri dari dalam. Tetapi ia tidak bermimpi. Sesosok tubuh semampai di hadapannya. Berpakaian compang-camping. Beberapa bagian tubuhnya luka. Berdarah. Dan darah itu tampak mengucur deras dari luka lebar seperti pecah padajidat. Seketika, seluruh tubuh Dorothea menjadi dingin. Ia ingin berteriak. Tetapi lidahnya kelu. Ia ingin berlari. Tetapi anggota tubuhnya lumpuh. .Ia ingin pingsan seketika. '
Tetapi paru-paru dan jantungnya terus berdenyut"
'.... tolonglah, Tea. Tolonglah?" telinga Dorothea yang sudah kejang karena ketakutan, mendengar suara halus semacam bisikan. 'Tolonglah aku..."
Dorothea menggigil! Mulutnya kemak kemik. Lama, baru suaranya keluar. Bergetar:
"Ssss__ siapa... kau"'
"Tolonglah aku, Tea."
"siapa ku...?" "Kau mau, bukan" Kau mau?"
"aku... aku?" "Tolonglah. Tanpa bantuanmu, suamiku tak akan berdaya apa-apa?"
"Su... suamimu?"
"Tolonglah aku. Tolonglah suamiku!" bisikan itu mendesir seperti bunyi angin. Mendayu dayu, mula-mula keras. Kemudian perlahan. Dan akhirnya lenyap sama sekali bersamaan dengan lenyapnya bayangan tubuh perempuan berpakaian compang-camping' dan bertubuh hampir penuh darah karena luka-luka itu.
Dorothea tersadar. Dan secepat ia tersadar, secepat itu pula ia berteriak:
"Mamaaaaa !' _ Lantas ia berlari menerjang pintu. Memukul-mukulnya,_ memutar kunci dan setelah pintu terbuka, berlari tergopoh-gopoh keluar seraya berteriak-teriak histeris memanggil ayah dan ibunya. Kedua orang tuanya yang terbangun karena sangat terkejut, berlari-larian keluar dari kamar dan menyongsong anak gadis mereka yang tampak panik, pucat, berkeringat dan.. jatuh pingsan begitu berada dalam pelukan sang ayah!
*** SATU jam kemudian Dorothea tersadar dari pingsannya.
Seraya menangis terisak-isak ia menceritakan'apa yang barusan ia lihat dalam kamar
nya. Buru-buru papanya membawa masuk ke dalam kamar. Kemudian lalu dengan wajah kebingungan. Seraya memperhatikan isterinya yang masih terus membujuk--bujuk Dorothea, ia bergumam:
"Kau bilang pintu kau kunci dari dalam. Jendela juga tertutup.. '
"Darah! dari kepalanya mengucur darah!" suara Dorothea menggigil. Ayahnya menggeleng.
"Di lantai tak ada bekas tapak apapun, anakku. Apalagi darah!"
"Aku melihatnya! Aku melihatnya! tangis tea dengan panik. "Malah aku dengar suaranya!"
"Suara?" ayah dan ibunya saling pandang.
"Ia minta tolong. la minta aku menolongnya. Menolong suaminya!"
'Nak.." kata ayahnya dengan sabar.
"Kau tidak sedang bermimpi, bukan?"
Dorothea menjawab dengan tangisan yang semakin tinggi dan parau. Karena tak mau kembali masuk ke kamar. mereka. Di sana Dorothea ditidurkan, dielus dan dipeluk oleh ibunya dengan perasaan lembut dan kasihan. Ia biarkan anak gadisnya menghabiskan sisa-sisa tangisnya, dan berbisik pada si suami:
"Pa, Tea tak pernah begini,"
Sisuami geleng-geleng kepala.
"Memang tidak," rungutnya.
"Mungkinkah?" 'Mam. Jangan mengada-ada!" kata si suami
tajam. "Aku.. aku cuma ingat pada cerita Doro. thea dimeja makan. mungkinkah pasienya di rumah sakit itu menganggap Dorothea mirip dengan isterinya yang telah meninggal?"
Si suami menelan ludah. "Lantas?" Katanya dengan suara bimbang.
"Siapa tahu?" "Ah. Tak masuk akal."
"Sudah kubilang, siapa tahu. pa?"
Sementara itu Dorothea sudah reda tangisnya. Tinggal isak-isak halus, dan tubuh yang masih gemetar. Ia merasa aman dalam rangkulan ibunya, yang dengan penuh kasih sayang kemudian menyelimuti tubuh anaknya. Ia bujuk Dorothea agar tidur kembali dan melupakan kejadian ataupun mimpi yang barusan terjadi. Tetapi Dorothea geleng-geleng kepala.
'Tak bisa kulupakan, mama. Dan.. dan aku tidak bermimpi. Sungguh!"
"Kau yakin?" "Demi Tuhan, mama!"
"Tea. Mau kau jawab pertanyaanku'!"
Dorothea manggut-manggut. Susah payah.
"Katakanlah. Sempat kau kenali wajah bayangan perempuan itu?" .
Yang ditanya mengingat-ingat. Lalu. manggut-manggut lagi.
"Kenal !" ' ' "Seperti." "Seperti kenal?"
"Ya. Seperti kenal."
'Seperti apalagi?" "Seperti..." dan tiba-tiba Dorothea memeluk ibunya dengan wajah ketakutan.
"Wajahnya mirip wajahku, mama. Mirip wajahku. Apakah. apakah bayangan itu mau memperlihatkan bagaimana nasibku dikelak kemudian hari" Apakah demikian, mama?" dan ia mencengkeram pundak ibunya keras-keras.
Ibunya menahan nafas. "Nak," katanya dengan suara tertahan.
"Kau mungkin bukan sedang bermimpi. Tetapi, percayalah. Bayangan itu tidak menunjuk ke masa depan. Masa depan ada di tangan Tuhan. Bayangan itu menunjuk ke masa lalu."
"Aku.. aku tak mengerti mama."
"Kau ingat pasien yang kau ceritakan?"
Dorothea menggigil. Cetusnya.
"Ya, mama," "Ia bilang kau isterinya. Karena wajah mu mirip wajah isterinya, dan yang tadi kau lihat, mirip wajahmu..."
Medengar itu Dorothea ikut pula tertahan nafasnya, sementara ayahnya tertegun dan memperhatikan dengan penuh minat pada isterinya. Tetapi yang diperhatikan terlalu lama terdiam, tidak melanjutkan kata-katanya karena tampak berpikir keras. Dengan tak sabar. ayah DOrothea menyela:
"Kau tidak sedang mereka-reka bukan, mam?"
"Justru!" "Aku takut pikiranmu sedang tak waras."
_ Jangan khawatir, pa. Pikiranku waras sewaras pikiranmu,"
'Tetapi ini?" Ibu Dorothea mengelus wajah anaknya.
"Diam disini ya Tea. Aku mau bicara sebentar dengan ayahmu."
Dorothea cepat-cepat menggenggam lengan ibunya.
"Tidak! Jangan tinggalkan aku sendirian."
"Ah. Kami ada diluar pintu, dan pintu tak akan kami tutupkan."
"Aku takut!" "Nak ini demi kemanusiaan yang kita bicarakan tadi. Karena itu, tekanlah ketakutanmu dalam-dalam. Kalau toh kau tidak bisa membuangnya jauh-jauh. Jangan bikin malu ayahmu. Ia paling tak senang punya anak penakut, biarpun anaknya perempuan."
Dorothea ragu-ragu, ' tetapi kemudian mengangguk. Lesu.
Ibunya kemudian menarik ayahnya keluar. Setelah berada di luar pintu, sang isteri berkata
"Pak, kupikir kita harus mengerjakan sesuatu."
"Malam-malam begini?"
"Besok." "Oh.Apa?" "Aku bukan mau mengungkit masa lalu," ujar isterinya dengan mata mohon pengertian. "Tetapi tampaknya, aku terpaksa membangkitkan masa silam kembali, demi keselamatan dan masa depan anak kita. "
"Kau ini. kok jadi begitu serius kenapa sih dengan masa lalu?"
"pa. Tetapi kau tak akan marah kalau kuingatkan, Dorothea tidak tahu siapa ayahnya yang sebenarnya, bukan?"
Wajah si suami menjadi kelabu. Namun dimatanya ia berusaha menahan debaran. dan berkata dengan suara ditenang-tenangkan:
"Anak siapapun dia. Tea telah kuanggap anakku sendiri. Terlebih lebih lagi aku ini mandul. Dariku kau tak akan bisa memberikan anak yang menjadi darah dagingku."
Sang isteri tersenyum. Puas.
'Sekarang." katanya. "l'inggal bagaimana cara mengatakannya pada Tea."
"Mengatakan apa?"
"Kau bukan ayahnya."
'Tak perlu" "Tetapi... apa yang akan kita kerjakan justru mengharUskan kita mengatakan hal itu," wajah siperempuan jadi sendu. Setengah menangis. ia meneruskan. 'Kudengar ayah kandungnya telah lama mati. itu baik buat kita. Tetapi,. aku malu. pa. Malu menceritakan bagaimana belasan tahun yang lalu aku tergoda pada laki-laki teman sekuliah, jatuh cinta padanya, kawin dengannya. Dan ketika sedang mengandung anaknya, aku didatangi seorang perempuan yang menggendong bayi dan katanya berasal dari kampung suamiku. Tidak itu saja. Ia juga mengatakan. _ "ini anak dari suamiku. dan bayi itu
anak suamiku!" "Ah. tak usah pula kau ulang-ulangi lagi. Aku sendiri telah melupakannya."
"Aku juga sudah, pa. Tetapi Tea?"
"Baiklah. Kita ceritakan hal itu padanya." Kita ceritakan pula. Bagaimana kau marah dan sakit hati. Merasa dipermainkan. Merasa telah melukai hati sesama kaummu. Meski tanpa kau kehendaki. Demi perempuan dan bayinya itu, kau lepaskan suamimu dan datang padaku yang semenjak lama memang telah menunggununggu saat itu.
Sadar akan kemandulanku yang membuatmu kawin dengan lelaki lain itu, kau kuterima. Dengan perutmu yang bunting Ah. Kita telah sama-sama membuang kebencian dan kekecewaan, bukan" Nah. Hal yang sama juga harus kita bukakan pada anak kita. Misalnya, mengapa kau membenci atau marah kalau tahu ia berhubungan dengan lelaki sebelum tiba masanya. Apalagi dengan laki-laki yang sudah beristeri. Tea sudah dewasa, mam. Ia akan mengerti..."
"Ya. Ia sudah dewasa. Mudah-mudahan ia mengerti."
"Lalu, apa yang harus kukerjakan besok?"
"Tinggalkan bengkel mobilmu'
"Berarti, uang tak masuk."
"Sehari dua, tak apalah."
"Eh. Sehari dua. Tampaknya kau mau suruh aku berjalan jauhh eh?"
iya "kemana?" "Kampung bekas suamiku."
"Bukankah ia sudah mati?"
"Memang sudah. Tetapi... anak pertamanya" lngat, pa." _
Ucapanmu dimeja makan mengingatkan aku pada Dorothea.
Wajahnya mirip sekali dengan ayahnya. Dan seingatku wajah bayi dipangkuan maduku belasan tahun yang silam, sempurna mewarisi wajah ayahnya pula!"
"Kau maksud.?" Sisuami mulai mengerti.
Isterinya menggigil dan mendesah, kelu:
"Ya. Siapa tahu-, perempuan bernama Lila yang disebut-sebut pasien Tea yang bernama Parman itu adalah kakak Tea. Dan arwah perempuan bernama lila itu pulalah yang barusan berkunjung kekamar Tea...
"Ya Tuhan! ucap si suami. Pucat.
'Bolehjadi!' "Nah. Kau mau, bukan?"
Sisuami belum menjawab, ketika dari kamar terdengar suara Tea:
"Mama, jangan berlama-lama...'
Kedua orang tua itu bergegas masuk ke dalam.
Sebelum masuk, siisteri memperingatkan.
'Tak usah ceritakan sekarang, pa. Nanti, setelah kau kembali dari kampung" Si suami manggut-manggut seperti kerbau dicucuk hidung. Dan pada anaknya, ia tersenyum. Matanya berkilau. Mata seorang ayah. Dua
butir air bening menetes disudut-sudut matanya, ketika ia mengelus pipi Dorothea seraya berkata:
"Aku sayang padamu, nak. Aku sayang padamu!"
Dorothea terheran-heran. Tetapi ayahnya telah pergi. Masuk kekamar tidur lain. Kamar Dorothea. Dan terpekur di atas ranjang, sampai pagi mendatang. Pagi-pagi benar ia sudah siap dengan tas berisi satu stel pakaian pengganti. Setelah menyuruh pegawai pegawai bengkel motor didepan rumah agar terus bekerja tanpa kehadirannya, barulah ia dengan tenang bisa meninggalkan anak dan isterinya. Selama dalam perjalanan, hanya sebuah pertanyaan yang bergejolak direlung hatinya yang paling dalam:
'Tak akan berkurangkah cinta anakku pada diriku?" '
Dan dirumahnya, sang anak duduk diamdiam di meja makan, memandang dengan mata penuh pertanyaan pada sang ibu. Diperhatikan demikian, ibu Dorothea agak kelabakan. Gugup ia berkata:
"Makanlah, nak. Supaya kau sehat dan bisa bekerja dengan tenang."


Jeritan Pintu Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dorothea ter-bungkam. Lama. Lalu:
"Tidak. Aku tak masuk kerja hari ini."
"Mengapa, Tea?"
"Takut tidak konsentrasi:
Tetapi dimata anaknya, sang ibu melihat jawaban lain. Dengan bijaksana, ia berkata:
"Kalau ada sesuatu yang kau pikirkan; nak, ibumu akan selalu menolong."
"Sungguh?" "Sungguh!" "Mengapa ayah berkata demikian subuh tadi, mama?" tanya Dorothea tiba-tiba.
Sang ibu terkejut. Sesaat. Lalu menjadi biasa kembali. Menjawab:
"Lumrah. Ia seorang ayah"
"Aku melihat arwah seseorang. Histeris. Pingsan. Kalian sadarkan. Kemudian kalian tinggalkan aku di kamar sendirian. Diluar kalian berbisik-bisik. Aku tak tahu apa yang papa dan mama bisikan. Dan... ah, biarlah. Tak usah kuperdulikan, bukan?"
Ia menatap sejenak kepada ibunya. "Tetapi setelah kembali" ucapan papa rasanya terlalu janggal. 'Dan mengapa papa pergi keluar kota dengan tiba-tiba?"
Dengan wajah penuh duka, sang ibu berkata:
"Tea, anakku. Kalau kau merasa sayang pada ayahmu, tunggulah sampai ia kembali dari luar kota. Nanti. kau akan memperoleh jawabannya. Nah. Hari ini kau bertugas siang .Kau dekatilah Parman. Bicara dengannya.
*** TIGA BELAS PARMAN MEMBUKA matanya. Menoleh ke arah pintu masuk sal. Dokter Pandi masuk seraya tersenyum ramah pada pasien-pasien yang mengangguk padanya, kemudian duduk pada sebuah kursi di samping tempat tidur Parman.
'Bagaimana perasaan bung Parman?" tanya dokter Pandi seraya memeriksa mata Parman serta denyut nadinya:
"Jelek!" Dokter Pandi tertegun. 'Jelek bagaimana?" 'Jelek! Dan memalukan! Dua hari terus menerus diikat pada tempat tidur. Baru dibuka kalau mau ke kamar kecil. Pasien-pasien lain pada lihat. Apalagi orang-orang luar yang bezuk.. Dok". ."kapan ikatanku dilepasKun sama sekali" Dan aku diperbolehkan bergerak leluasa tanpa pengawasan seorang perawat yang otot-otot lengannya bergumpal-gumpal?"
Dokter Pandi tersenyum. "Tergantung bung sendiri."
'Lho. jelas aku ingin bebas.'
"Untuk mengamuk lagi?" _ .
Kepala Parman yang terangkat dan tadi terkulai di atas bantal lalu berucap
'. aku tidak mengamuk. Aku melihat istriku dan ingin bertemu dengannya. Tetapi isteriku lari. dan orang-orang berusaha menghalang-halangi."
'Bung Parman. Katanya isterimu telah meninggal."
Parman memandang penuh perhatian pada dokter Pandi. Katanya:
'Jadi dokter sependapat kalau kukatakan yang kulihat adalah hantu isteriku"'
'Hantu" Tak ada hantu di dunia ini. bung. Apalagi yang muncul di siang bolong seperti kemaren. waktu kau kejar-kejar suster Doroth "'
'Suster itu jugakah yang masuk ke kamar ini beberapa malam yang lalu?"
'Ya.' 'la bukan Lila" Dan bukan pula hantunya'
'Maaf. Tetapi Dorothea memang bukan lila!"
Parman terhenyak. 'bukan lila " Lila!' gumamnya. Jatuh Dokter bersympathi.
'Begini. bung" katanya dengan tekanan suara menyakinkan.
'Perempuan yang kau lihat semenjak dulu memakai nama Dorothea. Setahuku. ia tidak
pernah memakai nama Lila. Omong-omong kapan terakhir kau lihat isterimu?"
"Dua tahun yang lalu."
"Nah Tea sudah tiga tahun lebih bekerja disini. Dan belum pernah punya suami. Jelas?"
"Tetapi,. ia mirip sekali dengan Lila, dokter."
"Mirip tidak berarti sama. Perlu kita buktikan?"
Tanpa menunggu jawaban Parman, dokter memijit tombol dikepala tempat tidur. Perawat laki-laki yang otot lengannya bergumpal gumpal masuk ke dalam sal dan mengangguk pada dokter.
"Suster Tea ada di kantorku. Katakan, ia sudah boleh menemui Parman."
Perawat itu pergi, dan_ Parman terheran heran.
"Suster Tea ingin menemuiku?"
"Begitulah "Mengapa" Bukankah sudah dua kali ia berusaha menghindar?"
'Ia menyesal. Dan ingin memperbaiki kesalahannya itu".
Mata Parman terpejam. Keyakinannya semakin goyah. Biarpun cuma impian, ia lebih suka karena yang ia lihat adalah Lila. Masih lebih baik dari pada ia kembali harus menelan kenyataan yang teramat' buruk. Uluhatinya sudah jenuh oleh endapan-endapan kenyataan yang rasanya kian berkarat, enggan mencari dan sama sekali tidak bersedia membantu Par
man keluar dari kesulitan yang tengah ia hadapi. Dan kini, harus ia hadapi pula kenyataan itu. Yang ia lihat belakangan ini bukan isterinya. Tetapi seorang perempuan lain:.Namun toh ia harus bersyukur. Kalau semua itu memang impian, alangkah mengerikan membayangkan isteri yang teramat didambakan, berusaha menghindar dari samping suaminya.
Hembusan nafas tertahan seperti kuda yang tiba-tiba ditarik tali kekangnya, menyapu wajah Parman! Ia membuka matanya. Menoleh kesamping Dokter telah berdiri Seorang perempuan menggantikan tempatnya semula dikursi: Seulas senyum dari sepasang gondewa bibir yang mekar memerah tanpa pulasan, bergulung-gulung memasuki mata Parman dan menimbulkan perasaan nyaman didalam hati. Ingin rasanya ia memeluk dan menciumi perempuan yang tersenyum mempesona itu. Tetapi ia bukan Lila. Dan Parman" sendiri terikat pada tempat tidur.
"Dokter?" "Ya?" "Tolonglah lepaskan ikatan saya"
Seketika sepasang mata Dorothea membesar.
'Tidak", Parman tersenyum kaku. "Saya tidak akan ngamuk lagi':
Dengan dibantu perawat yang senantiasa siap mengawasi Parman, dokter Pandi melepaskan ikatan-ikatan tali pada kaki-kaki tempat
tidur. Beberapa orang pasien yang tadinya sedang melamunkan kehidupan yang sempurna diluar rumah sakit atau tengah asyik membaca buku maupun majalah sebagai pelepas rasa jemu, memusatkan perhatian kearah tempat tidur rekan mereka yang tidak saja berkaki buntung akan tetapi sering berlaku aneh itu. Pasienpasien yang memiliki keganjilan-keganjilan tertentu memang selalu menjadi tontonan yang menarik bagi pasien-pasien lain dimanapun juga.
Begitu ikatannya lepas, Parman berusaha duduk. Ia rentang rentangkan kedua lengannya. Dan tersenyum pada perawat laki-laki disebelah dokter, yang matanya jadi tegang. Senyuman Parman mengendurkan ketegangan diwajah perawat itu, dan mendatangkan sedikit rasa aman dalam dada Dorothea yang berkecamuk tak menentu. Antara keinginan untuk cepat-cepat menghindar, dan hasrat tetap bertahan untuk menolong sesama. Bahkan lebih dari itu. Kalau Dorothea tinggal ditempat berarti ia telah menolong dirinya sendiri. Alangkah menakutkan membayangkan wujud seorang perempuan yang mirip dengan dirinya sendiri, muncul tengah malam dalam kamar berpakaian compang-camping dan sekujur tubuh penuh luka-luka berdarah!
"Wah. Otot-ototku masih agak kaku-kaku rasanya. Pegal." ia menoleh pada suster Dorothea. "Nona mau memaafkan bukan" Dua hari terus menerus aku diperlakukan seperti
orang gila. Salah sendiri. Mengapa bertingkah laku seperti orang gila. Tetapi percayalah nona. Aku ini waras sewaras-warasnya."
Dorothea menelan ludah. Lalu"
"Saya... saya minta maaf", katanya dengan suara terputus-putus "Kalau saja saya bisa menahan diri, tentu saudara tak diperlakukan demikian".
"Nah. Satu-satu bukan" Kalau begitu janganlah bersaudara-saudara padaku. Sebut saja namaku. Parman"
"Saya Tea. Dorothea".
Dengan hati bergetar Parman menatap perempuan yang duduk disamping tempat tidurnya itu. Sepi mencengkam selama pandang memandang itu berlangsung. Dada Dorothea bergelombang hebat.Dada Parman berombak ombak bagai tersapu angin ribut yang menyadarkannya dari impian buruk selama ini: Dokter Pandi mendehem-dehem kecil. Lalu bertanya:
'Bagaimana..."' Parman mengeluh: '... rambut Lila lebih panjang...'
"Saya pakai wig", jawab Dorothea tersenyum. Dorothea melepas mahkota kesusterannya yang terbuat dari kain putih, kemudian juga melepas wignya. Rambut yang panjang bergelombang, segera terurai disisi kedua pundak dan menjuntai pada punggung: Banyak orang yang menghela nafas ketika itu. Parman. Dokter Pandi. Budi. Dan satu dua orang pasien
lelaki di dekat mereka. Dalam hati. dokter Pandi nyeletuk.
"Kalau saja ada bidadari, maka Dorothea adalah orangnya!"
Dan dimulutnya ia berucap:
"Tentu isteri bung Parman secantik Dorothea, bukan"
Parman tersenyum; Pahit. "Aku bukan membanggakan diri. Isteriku cantik, itu salah satu sebab mengapa aku teramat mendambakannya'.
"Bung laki-laki yang beruntung", dari dalam hati kembali dokter Pandi menyeletuk:
"Laki-laki yang bila mendampingi Dorothea, benar-benar laki-laki yang beruntung. Mungkinkah itu pula salah satu sebab, mengapa cintaku pada isteri dirumah, dari hari ke hari kian meredup" Tiap kali kupandang Dorothea, tiap kali semakin aku percaya kata-kata orang. Sekali kau peristeri seorang perempuan, kau pasti menyesal. Karena dimatamu, perempuan perempuan lain akan tampak semakin cantik, jauh melebihi kecantikan istrimu sendiri yang tadinya teramat kau bangga-banggakan".
Lamunan dokter terputus ketika Parman memohon:
"Maukah kau memegangku. suster Tea?"
Dorothea ragu-ragu. Tetapi dokter mengangguk halus.
Tanpa mengulangi Dorothea segera memegang pergelangan tangan Parman.
"Lila selalu memegangjari jemariku'. keluh
Parman lirih. "Kau bukan Lila. Jadi jemarimu lebih lentik. suster. Lebih halus. Jari-jari Lila agak besar-besar. Dan kasar. Maklum kerjanya di sawah. Itupun punya orang?"
*** Untuk sesaat Parman ingin menangis. Ia tengah meloncati tegalan sebuah sawah beberapa tahun yang lalu ketika ia dengar ucapan marah yang lengking :
"Longsor. Biar longsor tegalan itu, Man!"
Parman buru-buru berpindah ketengah yang lebih kering
"Kayak punya sendiri", ia bersungut-sungut.
"Biarpun bukan, tapi kan aku yang kerjain?"
"Ia deh Iya deh!" Parman segera membetulkan longsoran tegalan bekas injakannya "Biar kau puas".
"Nah, begitu. Awas ya, lain kali?"
'Lain kali yang kupegang bukan lumpur" brengsek ini. Lila tetapi tubuhmu!"
"Eh..!" dan gadis yang tadinya tengah menyiangi rerumputan halus diantara batangbatang padi yang baru jadi itu, menyiuk segumpal rumput dengan kedua telapak tangannya dan seperti mau semburkan ke arah Parman. Tetapi Parman tidak menghindari; Ia malah menantang:
"Cobalah!" ' Lila tak berani mencobanya.
"Nah. Begitu namanya seorang kekasih.Marahnya cuma pura-pura", dan Parman bergelak tertawa. Wajah lila bersemu merah. Ter
sipu. Wajah Parmanpun bersemu merah. Ia agak tersipu ketika untuk melengkapi kepuasan hatinya yang kecewa, ia kembali memohon:
'Jangan tersinggung, Tea. Tetapi sungguh mati, kuingin lihat pahamu". Wajah Dorothea merah padam sampai ketelinga .Budi menggerutu. Dokter tersenyum-senyum. Katanya:
"Dorothea, anak baik: Kau harus yakinkan pasien kita bahwa di dunia ini tidak ada hantu, kita sudah berhasil, mungkin. Setidaktidaknya berhasil menyakinkan pasien ini, hantu isterinya tidak gentayangan di rumah sakit kita. Masalahnya sekarang, yakinkanlah ia bahwa kau Dorothea, bukan isterinya!
Dorothea sudah terbiasa dalam soal bukamembuka pakaian. Baik dirumah maupun sebagai seorang suster. Tapi kali ini, ia benar benar kikuk '
"Bukalah, Tea", desah dokter Pandi.
"Malu....malu ah".
"Eh. Kok lucu", dan dokter Pandi tertawa:
"Kalau di ruang praktek sih: dokter... Tetapi, dihadapan orang ini!"
"Anggap saja sedang berpraktek!"
"Maka: Dorothea menarik tepi roknya sedikit keatas sangat sedikit!
"lebih tinggi, suster", pinta Parman.
Dorothea menariknya lebih tinggi,
"lagi:..." "Ech..." Dorothea jadi dongkol.
"Maaf, suster Tea. Sewaktu gadisnya. Lila
mengalami kecelakaan. la terpeleset dijalan licin menuju kesungai dan pangkal paha Lila sebelah kiri tersangkut cabang pohon yang rendah. Luka itu menciptakan cacat tetap..."
Namun tidak ada bekas luka di pangkal paha sebelah kiri maupun sebelah kanan Dorothea, ketika ia tarik roknya tinggi-tinggi. Waktu ia tutupkan kembali seraya mengalihkan Wajahnya kearah lain, ia mengeram dengan suara keras:
"Lihat apa, kalian semua?"
Dokter, Budi dan Parman menoleh. Beberapa orang pasien yang kesemuanya lakilaki buru-buru membalikkan tubuh dan menutupkan selimut dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dokter tertawa kecil. Sedangkan Dorothea tak habis-habis menggerutu. Budi pun ikut-ikutan tertawa. Gerutuan Dorothea semakin menjadi. Tetapi kemudian ia sendiripun tertawa, waktu ia lihat Parmanpun ikut tertawa. Laki-laki yang selama ini baginya menakutkan itu, tiba-tiba tampak mulai menarik.
KILASAN sinar yang sesaat bermain di bola mata Dorothea waktu memandang Parman, bukan tidak diperhatikan oleh Pandi. Sebagai seorang dokter, cepat ia maklumi arti kilasan sinar itu, dan sebagai seorang laki-laki. diam-diam ulu hatinya dibelit oleh perasaan
cemburu yang merasuk-rasuk dengan tusukan menyakitkan. Tawa dimulut Pandi jadi hambar Ia coba melebur kehambaran itu dengan menoleh pada pembantunya seraya bergumam
"Okey, Budi, Banyak pekerjaan lain yang harus diselesaikan, bukan?" Budi mengangguk Kemudian berjalan keluar .Dokter Pandi mengikut seraya dalam hati ia berharap Dorothea juga melakukan hal yang sama. Namun dengan kecewa ia lihat bagaimana gadis itu menyeret kursi lebih dekat ke tempat tidur Parman, lantas duduk dengan santai. Santai pula Dorothea berkata:
'". bagaimana kakimu. Baikan?"
Semakin tercurah perhatian seorang perempuan terhadap seorang lelaki, semakin tertumpah pula harapan lelaki lain yang justru mengharapkan perhatian itu ditujukan hanya pada dirinya seorang. Perasaan dokter Pandi kosong melompong waktu berjalan terteguntegun ke pintu keluar. Anggukan satu dua pasien yang ia lewati sama sekali tidak ia gubris, seorang dokterpun toh punya emosi. Emosi tidak saja menghilangkan kemarahan yang senantiasa bermain di mulut, akan tetapi lebih-lebih menghilangkan ketenangan yang dengan sekuat tenaga ia coba pertahankan direlung dada.
Gelisah, dokter Pandi mundar-mandlr setiba di ruang kerjanya. Setumpuk catatan dan foto-foto negatif paru-paru seorang pasien yang baru saja ia bedah tadi malam dan tengah ia
145 analisa dengan tekun waktu Dorothea datang padanya pagi itu untuk meminta tolong. tidak menarik hatinya lagi. Dorothea cuma berkata kasihan pada pasien bernama Parman itu, diikat ketempat tidur sepanjang hari dan malam gara-gara ia takut pada tingkah laku yang aneh dari si pasien. Dorothea tidak mengatakan sama sekali, bahwa ia kemudian akan tinggal beberapa lama dengan pasien itu di sal, bahkan menjadi intim: Akhirnya dokter Pandi tidak kuat menahan gumpalan emosi yang kian menumpuk. Ia sambar telephone dan putar nomor telephone dimana Parman di rawat.
Setelah dapat sambungan, ia berusaha berkata dengan tenang:
"Budi?" "Ya, dokter." "Tolong panggilkan Dorothea."
Rasanya lama sekali menunggu. Sampai:
"Ada apa, dokter?" terdengar suara lembut mendayu-dayu di rongga telinganya mengalir ke leher terus ke ulu hati. Sejuk dan agak mendinginkan emosinya yang terus bergolak seperti kawah gunung yang tidak mau diam.
"Ah. Bukan apa-apa." dokter Pandi nyeletuk. Seolah-olah tidak serius. ia melanjutkan:..." Bagaimana dengan ajakan tadi?"
"Ajakan?" "Makan siang di Grand."
Sesaat tak ada jawaban. Kepundan di dada dokter Pandi jadi merekah-rekah. Ia takut kepundan itu meledak. Benar-benar meledak.
Untung Dorothea kemudian mengajukan usul:
'Bagaimana kalau lain kali, dokter?"
"Lain kali?" "Ah, dokter. Pasien berpenyakit paru-paru itu memerlukan perhatian serius dari dokter. Lagi pula.. ah. Pasien di sal ini tampaknya baru saja menemukan hidupnya yang sempat hampir hilang. Kasihan kalau..."
"Kasihan. Hanya kasihan toh. Tea?"
"Ya, dokter?" 'Ah. Engga. Cuma" okey deh. Lain kali. Kapan?"
"Kapan saja, dok. Asal jangan sekarang"
'Dan dancing di kelab nanti malam?"
"Dok. Beberapa hari, saya tak bisa tidur. Bagaimana kalau lain kali pula?"
Dengan perasaan terpukuL dokter Pandi meletakkan telephone kembali di tempatnya. Ia semakin terpukul, waktu siang hari itu lewat jendela kaca ruang kerjanya, ia lihat dikejauhan Dorothea keluar dari sal dimana Parman dirawat. Gadis itu tidak sendirian. Disebelahnya, dengan bantuan tongkat pasien yang buntung sebelah kakinya itu berjalan tersuruk suruk, pasien yang memang patut dikasihani. Tetapi dengan Dorothea mendampinginya... dokter Pandi diam-diam terus memperhatikan. Waktu kedua orang itu menghilang dibalik tembok sebuah gang, dokter Pandi keluar dari ruang kerja dan mengintai dari jauh Dorothea dan Parman masuk ke kantin rumah sakit, dan dokter Pandi berkata Dada diri sediri:
"Lain kali, katanya. Lain kali yang tak akan pernah ada!"
la menghela nafas. Lalu masuk kembali ke ruang kerjanya, duduk dibelakang meja, ia singkirkan catatan-catatan dan foto-foto negatif di depannya. Terjepit diantara kaca dan beludru hijau yang melapisi meja, terpampang potret seorang perempuan. Cantik sebenarnya. Akan tetapi tampak jadi jelek kalau sudah ngomel minta perhatian yang lebih banyak dari dirinya dan sering mengeluh karena selalu kesepian di rumah karena waktu sang suami terlalu banyak disita oleh urusan kemanusiaan di rumah sakit, tetapi mengabaikan kebutuhan manusia lain di rumah sendiri.
Setengah berbisik, Dokter Pandi bergumam:
"Ros, isteriku yang malang. Kapankah kau sendiri bisa mengorbankan kepentinganmu, demi keselamatan banyak jiwa yang tergantung ditanganku?"
Dan di kantin, seraya makan siang dengan penuh kenikmatan. Dorothea berkata dengan suara lembut pada Parman:
"Ceritakanlah padaku tentang almarhumah isterimu."
Parman terdiam sebentar. Lalu:
"Kau mau bersabar sampai aku selesai makan, Tea" lngatanku pada Lila. menyebabkan bayangan pak lurah keparat itu bermain pula dimata."
"Ceritakan jugalah tenang pak lurah itu nanti. ya?"
*** EMPAT BELAS PAK LURAH keluar dari ruang bawah tanah rumahnya yang besar itu dengan wajah muram serta rambut kusut masai. Warna gelap disepanjang mata tuanya membayangkan perasaan lelah dan kecewa yang tak bisa ia bendung. Keringat-keringat jagung membercik dijidatnya waktu masuk ke kamar dan melihat Bejo masih meringkuk telanjang di atas tempat tidur itu. Ia tendang pantat laki-laki yang bertubuh tinggi besar itu keras-keras. Sikepala gundul terloncat bangun dengan kaget, dan merunduk seketika setelah menyadari perasaan apa yang tengah berkecamuk di mata pudar pak lurah.
"Buang barang busuk itu jauh-jauh. Bejo !', rungut pak lurah jengkel. lalu melemparkan tubuhnya di bekas dimana barusan tubuh Bejo tertelungkup.
?"barang busuk?"
"Yang di gudang, kunyuk! Kau kemanakan otakmu" Disimpan di dengkul"
Tanpa berkata lagi Bejo mengenakan celana dan karena pak lurah terus memandangnya .
dengan mata jengkel, ia tak sempat lagi memakai kemeja. Tersuruk-suruk setengah mengantuk ia berjalan sepanjang lorong yang gelap menuju ke ruang bawah tanah, pintunya masih terbuka. Ada cahaya samar-samar dari dalam. Lalu bau bangkai. Bejo meludah. Terus masuk seraya berusaha menahan perut mual yang rasanya mau terburai saja keluar, dari pada diatas tungku api yang baranya masih hidup ia genggam segumpal daging berbentuk bayi manusia yang besarnya sudah menciut menjadi sebesar pergelangan tangan Bejo sendiri.
Sesaat, dalam kesamaran bara perapian ia perhatikan mayat bayi yang malang itu. Orok yang masih merah waktu ditanam oleh keluarganya dipekuburan kampung matanya tak pernah terkatup, penyakit yang dideritanya semasih hidup rupanya tak tertanggungkan mahluk kecil itu sehingga ia mati seperti orang yang penasaran. Mata yang melotot itu tidak pernah berhasil ditutupkan pak lurah biarpun majikan Bejo itu sudah memasukkan berbagai ramuan dan membacakan bermacam-macam mantera; Usaha pak lurah semakin kacau kemana tadi sore Bejo tergopoh-gopoh masuk keruangan itu seraya melaporkan adanya orang asing yang baru datang kekampung mereka dan langsung menuju ke rumah mertua Parman yang sudah semakin pikun itu. "Setan. Siapa orang itu" Polisi?" maki pak lurah sore tadi. "Entah. Katanya tamu biasa".
Tetapi. Mengapa mesti kerumah itu?"
"Entah". "Entah! Entah! Hanya itukah yang bisa kau jawab" Tak adakah pikiranmu untuk menanyakan sendiri. Dan tidak mengusik pekerjaanku, eh" Tak kau lihatkah, mata jimatku ini mulai berair?"
Mata mayat bayi yang sedang diramu apabila berair menandakan usaha menciutkannya lebih kecil kemudian mengawetkannya sebagai jimat akan gagal. Dan kini, berada dalam genggamannya, Bejo lihat sepasang mata mayat bayi itu tidak saja berair, tetapi mulai bernanah dan mengeluarkan bau busuk. Hampir-hampir ia muntah, kalau tak cepat-cepat menyambar pedupaan dari dekat tungku. Pedupaan itu masih mengepul-ngepulkan bau kemenyan. Ia hirup bau menyan itu sebanyakbanyaknya, dalam usaha menekan bau busuk yang hanyir pada tubuh mahluk kecil digenggamnya. Kemudian berjalan kepintu, naik kelorong yang semakin lama semakin sempit sehingga ia terpaksa membungkuk dan akhirnya merayap. Ditengah perjalanan akhirnya ia tidak kuat lagi. Karena merayap, mau tidak mau mahluk digenggammannya seringkali terluka dekat kehidung. Perutnya membuncah, melesak kekerongkongan dan kemudian terburailah isi perutnya keluar melalui mulut yang pucat kebiruan. ,
Ia kembali muntah setelah berada dibagian luar gedung milik majikannya dan berdiri dipinggir tebing sungai. Udara malam yang di
ngin menusuk-nusuk kulit tubuhnya yang setengah telanjang. Kabut tebal menutupi pandangan matanya kebawah. la tidak-melihat sungai. Ia cuma mendengar suara air mengalir deras dibawah. Seraya menahan rasa pusing di kepala dan mual yang membelit belit usus, dengan cepat ia lontarkan mahluk kecil yang sudah membusuk itu kebawah. Terdengar suara tercebur yang lembut. Barulah Bejo menghela nafas. Lega. Dan merangkak kembali masuk lubang ditanah, dan menutupkannya pakai semak belukar dari luar lebih dulu sebelum menyusun batu-batuan besar dibagian dalam. Tiba di kamar majikannya, ia langsung naik ke tempat tidur. Pak lurah bersungut-sungut:
"Sudah?" "Kau buang ke mana?"
"Kesungai?" Pak lurah terduduk. Pucat.
"Ke sungai" tolol Mengapa tak di tanam?"
"Aku pusing. Dan mual!"
"Bodoh! Bodoh! Bodoh ! Babi benar kau!" pak lurah memaki-maki kemudian:
"Tak kau berati dengan batu sebelum dibuang?"
".."tidak!"
"Plak!" sebuah tamparan yang deras hinggap dipipi Bejo, la tersenggap, tetapi kemudian menunduk, kaku. Dan gemetar. Tadinya setelah membUang mahluk busuk itu ia masuk ke kamar tidur pak lurah dengan maksud bergelut dengan kawan jenisnya itu sekedar melenyap
Kan rasa mual, pusing dan tubuh yang menggigil kedinginan. Namun yang ia peroleh dari majikan sekaligus teman tidurnya semenjak bertahun-tahun, adalah sebuah tamparan yang tidak saja menyakitkan pipi, akan tetapi. Lebih-lebih lagi menyakitkan hati. Namun ia tidak pernah berani memprotes. Mata pak lurah telah memukaunya semenjak ia bekerja di rumah ini dan akan terus memukau selama ia masih berada di bawah naungan atau rumah yang sama.
'...bagaimana kalau mayat itu hanyut kemudian tersungkut dipinggir sungai seperti halnya mayat isteri si Parman dulu?"
"Maafkan saya pak lurah".
'Maaf. Maaf nenek moyangmu!" pak lurah menarik selimut, kemudian merungkut di dalamnya. Samar-samar telinga Bejo mendengar lanjutan gerutuan majikan yang tidak saja ia segani, tetapi juga cintai ini"... kau harus cari akal kalau mayat itu ditemukan! Seolah-olah mayat itu dibuang oleh siapa lagi, kalau bukan perempuan tua yang sudah pikun itu.
Bejo mengangguk-angguk sendirian, meskipun ia tahu anggukannya tak akan dilihat oleh majikannya. Ia bermaksud mau tidur pula seperti pak lurah ketika tiba-tiba pak lurah memukul pantatnya lagi seraya menyentak:
"Mulai besok kau dengar-dengarlah kalau ada orok yang mati dimalam Jum'at.
*** LIMA BELAS SUHARJA TERBANGUN oleh suara hingar bingar di luar rumah. Sejak semalaman ia memang tidak bisa tidur. Gelisah. Tak sedikitpun keterangan yang bisa ia peroleh dari perempuan yang menghuni rumah reot dan hampir ambruk itu. Umur perempuan itu sebenarnya baru sekitar tiga puluh limaan. Demikian kata tetangga sebelah tadi malam. Tetapi penderitaan yang membuatnya pikun, menjadikan siperempuan tampak seperti nenek-nenek yang tinggal satu dua tarikan nafas saja lagi untuk sampai keliang kubur. Kerjanya cuma kemak-kemik. Tak menentu kadang tertawa-tawa sendirian. Kadang-kadang menangis. Tanpa air mata: Bahkan tak ada sinar sama sekali dimata yang cekung itu.
Suhar-ja-merasa, perempuan itu tak perduli pada kehadirannya dirumah itu. Bahkan seperti tak sadar, kalau ada Orang lain bertamu dirumahnya. Tengah malam perempuan itu keluar rumah. Diikuti Suharja diam-diam. Ternyata pergi kekuburan. Duduk mencangkung didepan dari onggokan tanah. Kemak-kemik
disitu. Tertawa lagi. Atau menangis.
"Itu saja kerjanya setiap saat", kata tetangga sebelah sore hari seblumnya. "Kuburan itu tempat dimakamkan suami dan anak perempuannya. Mereka tempat bergantung perginya selama ini. Setelah keduanya mati, perempuan itu seperti tak betah hidup didunia, tetapi tak tahu bagaimana caranya untuk mengikuti jejak suami dan anak perempuannya.
Nasibnya tak akan seburuk itu, kalau saja menantunya masih ada dikampung ini?"
"Siapa nama menantu perempuan itu?" tanya Suharja berminat. "Parman", jawab yang ditanya dengan suara tak sedap. "Seorang bekas perampok yang telah keluar dari penjara. Penduduk. yang mengusirnya dari kampung ini beberapa waktu yang lalu?"
Perampok! Lepasan penjara! Suharja semakin tak enak tidurnya malam itu. Teringat pada anak gadisnya dikota, Dorothea. Tahukah gadis itu kalau pasien yang begitu menaruh perhatiannya dirumah sakit, adalah seorang lakilaki yang berbahaya" Mau rasanya Suharja kembali saja kekota. Tetapi sudah terlalu malam untuk bisa mengharapkan lewatnya bus di jalan raya yang lima kilo meter jauhnya dari kampung ini. Lagipula, ia ingin memperoleh keterangan yang lebih banyak. Apa yang menyebabkan kematian Lila" Mengapa arwahnya muncul dengan wujud mengerikan dikamar tidur Dorothea" Apa hubungan kematian itu dengan Parman"
Dan yang paling membuatnya harus bersabar sampai hari berikutnya adalah perempuan malang itu. Selama ini ia hanya diurus oleh tetangga-tetangga yang jatuh kasihan padanya. Kalau tetangga-tetangga sedang kesulitan, siperempuan sering harus puasa berharihari lamanya. Anehnya ia tetap bertahan untuk tetap hidup.
"Konon perempuan itu pernah bersumpah didepan makam anak perempuannya ia baru mau mati, kalau kematian anaknya ada yang membalaskan", begitu desas-desus diantara penduduk yang diceritakan oleh tetangga sebelah pada Suharja.
"Kalau begitu kematian Lila kematian yang misterius"
"Mati wajar. Terjun kesungai karena putus asa. Tubuhnya menghantam batu cadas sebelum hanyut ditelan arus sungai yang sedang banjir..."
Semalaman Suharja memikirkan cerita tetangga itu. Ia dengar bagaimana Lila menunggu dengan setia "suaminya pulang dari penjara. Bagaimana kemudian mayatnya ditemukan tersangkut diakar pohon bakau dipinggir sungai.
Dan bagaimana kemudian Parman pulang kekampung, mendatangi dan menuduh lurah serta pembantu-pembantunya menjadi penyebab kematian isterinya. Parman kemudian diusir, dan kematian istrinya tak pernah berhasil diungkapkan. Mengapa harus ribut-ribut: Toh Lila sudah mati. Dan Parman seorang
bekas penjahat. Bisa saja menuduh yang tidaktidak pada pak lurah yang begitu dihormati dan disegani penduduk kampung: Sampai-sampai polisi desa pun tak berminat untuk membuka tabir kematian Lila.
"Akan kubawa perempuan malang ini kekota', pikir Suharja dimalam yang dingin menusuk sampai ketulang itu. "Kawanku si Parta, si Kiartris itu tentu mau menolong. Dan si Sunarko, pasti akan bersedia meluangkan sedikit waktunya untuk mengusut peristiwa aneh yang melingkupi keluarga muda isteriku itu.
Sunarko seorang Kapten polisi yang sangat berperasaan..."
Niat itu sudah membulat dihatinya, ketika ia terbangun pagi itu.
Suara hingar bingar diluar rumah membuat ia tercengkat seketika, meloncat turun dari dipan beralas tikar yang sudah retas-retas, dan langsung mendorong jendela kamar yang kuncinya sudah lama tak pernah dipakai.
Darahnya tersirap melihat suasana di luar rumah.
Perempuan pikun itu duduk mencangkung diatas kursi bambu dipekarangan. Mulutnya mengunyah-ngunyah sirih. Warna merah berlepotan dikedua belah pipi dan jari jemarinya. Ia menatap dengan liar pada kerumunan beberapa orang penduduk yang seperti mengepung rumah itu seraya berteriak-ternak riuh. Beberapa diantara membawa benda-benda
yang bisa berbahaya melihat suasana itu. Dari mulai parang, kampak, pacul sampai potonganpotongan kayu. Seorang perempuan muda yang berada paling depan, seraya menujuk kearah ibunya Lila, berteriak-teriak histeris.
"...bunuh kalian dia! Bunuh!"
Beberapa yang lain ikut memberi semangat:
"Ya. Bunuh! bunuh!"
Dan mereka merangksek maju. Persis pada saat itu, Suharja membuka jendela kamarnya, yang langsung berhadapan dengan pekarangan. Seketika, suara hiruk-pikuk itu terenggut diam. Senyap menyentak, semua mata memandang kejendela. Suharja menghela nafas. Bingung sesaat.
"... ada apa" Ujarnya susah payah setelah berusaha menenangkan detak-detak hati.
Perempuan muda tadi yang berkata lebih dulu:
"Ia penyihir. Ia curi mayat anakku dari kuburan!" _
Yang lain ikut meneriaki:
"Si tua itu cuma berpura-pura pikun. la mahluk jahat yang tega menjadikan bayi orang sebagai jimat. ia harus mati!"
Agak terkesiap Suharja mendengarnya.
"Curi mayat" dari kuburan" dijadikan jimat?", tanyanya seperti pada diri sendiri.
Perempuan muda tadi berkata setengah menangis:
"Pagi tadi si Dul sedang mengail disungai. Tahu apa yang ia temukan" Ini"!" dan perem
puan itu membuka bungkusan yang dari tadi dipegangnya. Suharja mencondongkan tubuhnya lebih keluar dari jendela, dan ia benarbenar terperanjat melihat apa yang berada ditangan perempuan itu. Hampir-hampir ia tidak percaya pada pandangan matanya. Mulamula ia kira boneka. Tetapi demikian dekatnya jendela dengan tempat siperempuan berdiri sehingga kemudian ia bisa mengenali benda itu. Sesosok tubuh bayi yang tidak saja sudah busuk, tetapi?"
"Mengapa... begitu kecil?", tanya Suharja. seraya menahan rasa mual karena bau busuk dari mayat bayi itu.
"Diramu! dijampe! diciutkan untuk jadi jimat memperoleh kekayaan!" tangis siperempuan kemudian memeluk mayat itu dengan erat, seperti memeluk bayi yang masih hidup. "Anakku! Anakku yang malang ia menangis menghiba-hiba. Lalu tiba-tiba:
"He! Mengapa semua diam" Mengapa tak kalian bunuh si penyihir itu?"
Sama sekali tak masuk diakal Suharja apa yang ia lihat dan ia dengar. Nalurinyalah yang lebih cepat bekerja. Ia berteriak.
"Tunggu!" Orang-orang yang sudah merangsek maju lebih dekat dan sudah siap mengeroyok perempuan pikun yang tampaknya diam saja tak bergerak, serentak terhenti. Suara mereka yang riuh rendahpun ikut berhenti.
Mereka memperhatikan bagaimana Suharja
menghilang sejenak, dan ketika muncul di pintu rumah, sebuah pestol telah tergenggam ditangannya.
'Tak seorangpun boleh menyentuh perempuan tua ini. Ia dibawah perlindunganku."
Sesaat, semua orang berpandang-pandangan tak mengerti. Lalu tibatiba seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan berkepala botak, maju kedepan. Setelah memperhatikan sekilas pestol! ditangan Suharja, ia bersungut-sungut:
"Bapak cuma tamu disini. Mengapa turut campur?"
"Kau siapa?" Suharja tak kalah gertak.
"Bejo. Wakil lurah."
"Nah. Kebetulan. Mana lurah kalian?"
'Kudengar kabar-kabar menarik tentang dirinya dikota..." kata Suharja sekenanya teringat pada cerita Dorothea tentang mimpi-mimpi dan sikap-sikap aneh pasiennya bernama Parman. "Panggillah lurah kuingin bicara."
"Ia sakit," sungut Bejo, agak gugup. Lalu ia menoleh pada seorang laki-laki setengah baya disebelahnya. Tampaknya minta bantuan. Lakilaki yang dilirik mengerti. Ia berkata dengan suara perlahan:
"Aku ketua erka disini. Aku bisa mewakili pak lurah."
Suharja menatap sebentar pada orang itu. kemudian mengangguk.
"Suruh orang-orang itu pulang semua," katanya. "Kita bicara didalam."
"Tetapi..." "Aku polisi dari kota. Dengar! Kuperintahkan, agar semua orang bubar. Cepat' Kalau tidak, moncong pestolku akan menggantikanku untuk berbicara pada kalian semua!"


Jeritan Pintu Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun seraya menggerutu. kerumunan orang itu akhirnya pada bubar lebih-lebih setelah pak Angga mengangguk pada mereka. Ketua erka itu tersedikit melotot pada Bejo yang enggan untuk angkat kaki, dan pada Nyi Saodah yang masih menangis tersedu-sedu seraya memeluk mayat anaknya yang berbentuk aneh itu, ia bergumam lembut:
"Pulanglah, Nyi. Entar kita makamkan lagi anakmu sebagaimana mestinya," dan pada Bejo ia bertitah: "Kau bawakanlah anak itu, Bejo!"
Bejo menjadi pucat. la buru-buru memapah Nyi Saodah menjauhi rumah ibunya Lila, namun tak bermaksud sama sekali untuk mengambil mayat bayi Nyi Saodah.
Diam-diam ia mengumpat sendirian. Ia telah gagal menimpakan kesalahan pada perempuan pikun yang dianggap pak lurah sebagai duri dalam daging itu. Malah ia disuruh membawakan benda busuk yang mengerikan itu. Padahal ia yang telah membuangnya subuh tadi kesungai. la pula yang telah membongkarnya dari kuburan beberapa waktu sebelumnya. Celaka benar!
Dan dalam rumah, Suharja menjelaskan pada pak Angga:
'.. dikota banyak kami dengar kabar-kabar aneh tentang kampung ini. Pencurian mayat
mayat bayi, tempat perampokan berkumpul, kematian-kematian yang ganjil..."
"Baru mayat Nyi Saodah yang tercuri. dan perampok tak pernah berkumpul di sini, palingpaling si Parman jadah itu, dan tentang kematian Lila..."
"Jangan potong bicaraku!" tukas Suharja bernada jengkel, dalam hati ia sendiri menggerutu: "Mana aku tahu semua itu. Aku cuma menerka nerka, berlagak sebagai polisi pula. Pak Sunarko pasti marah besar nanti. Lebihlebih surat ijin pestolku sudah lama habis waktunya..."
Kemudian ia meneruskan: "Sayang, polisi desa disini tak pernah melapor ke kota."
"Pak lurah menyelesaikan segala sesuatu dengan baik." sungut pak angga.
"Perkataan lurah bukan hukum. Tindakannyapun. belum tentu semua sesuai dengan hukum?"
"Kami menghormatinya."
'Dan tak pernah bercuriga padanya, ya" Kami dengar, ia orang terkaya diseantero daerah ini?"
'Bapak menuduh..." "Ah. Kami polisi selalu hati-hati terhadap setiap seorang. Tapi yah. Sudahlah. Aku dapat perintah membawa ibunya Lila kekota. Mungkin ada keterangan yang menarik bisa kami peroleh. bila saja ia berhasil disembuhkan psikiater. Hal ini juga mengingat hal-hal
misterius disekitar kehidupan menantunya, si Parman itu..."
"Parman menghilang dari kampung ini. Jadi ia telah ditemukan polisi di kota, eh"
"Itu tak penting. Nah. Boleh minta tolong mencarikan sebuah andong untuk membawa kami kejalan besar?"
Mendapat perintah halus itu, ketua erka tak senang hatinya. Namun lagak lagu tamu itu, tentulah ia polisi dari kota seperti pengakuannya. Karena itu Angga harus berhati-hati. Lagi pula apa perdulinya" Dibawanya perempuan pikun itu berarti lebih menenangkan hati masyarakat dari perasaan waswas yang tidaktidak. Mereka lebih senang perempuan itu mati saja. Setelah kini ada yang bermaksud membawanya pergi, mengapa harus ditolak" Tanpa membantah Dak Amma keluar dari rumah.
*** ENAM BELAS SERINGAI, LEBAR bermain dibibir Sunarko.
'Bung!", sungutnya kemudian". Kau bisa ditahan karena mencatat nama corpsku. Tetapi tak apalah. Sebagai polisi gadungan tindakanmu cukup berhasil menyelamatkan seorang perempuan tua dari kematian yang mengerikan. Namun soal mayat bayi yang diciutkan untuk jadi jimat...", kapten polisi itu gelenggeleng kepala." Kau bikin perutku sakit. Sejak kapan kau percaya omong kosong semacam itu, Harja?".
'Jangan menghina, Narko. Kalau tak kulihat dengan mata kepala sendiri."
"Mungkin bayi itu lahir prematur."
"Ia lahir sempurna. Dengan wujut yang sempurna pula. Itu yang kudengar. Banyak saksi. Jangan pula lupa, mayat itu dicuri dari kubur. Kau pikir untuk apa" Dan mengapa setelah sekian lama, yang membusuk cuma bagian matanya saja?"
"Hem, Sunarko tercenung". Sayang tak kau bawa Untuk kita autopsi dilaboratorium. Tetapi
eh, bukan itu maksudmu yang utama datang menemuiku toh?"
"Terus terang, ini menyangkut Dorothea. Anak itu telah mulai dekat pada pasiennya yang bersama Parman itu. Kau tahu?", Suharja bertanya dengan dongkol. Tanya yang ia jawab sendiri:, Ia sudah berani-beranian membawa si Parman itu kerumah. Malah nekad membawanya nonton biaskop. Tak perduli laki-laki itu berkaki satu..."
"Kaki satu tak jadi ukuran perasaan. Harja". Mestinya kau katakan pada anak gadismu, siapa sebenarnya laki-laki itu'.
"Aku tak sampai hati. Lagi pula itu menyangkut masa lalu"
"Maksudmu?" "Terserah apa maunya Thea laki-laki yang boleh menjamah hatinya, haruslah laki-laki yang bersih masa depannya."
"Eh, bagaimana kau tahu Dorothea punya hati sama Parman?"
"Aku ayahnya. Kau sendiri tahu, Thea tak pernah rapat dengan seorang laki-laki..."
"Kita orang tua sebaiknya tak terlalu banyak ikut campur urusan anak-anak Harja. Banyak kusaksikan akibatnya yang negatif. Tetapi yah, sudahlah. Demi seorang sahabat. Aku akan memberikan jalan keluar. Bisa kau atur kapan aku dapat berbincang-bincang dengan laki-laki misterius itu?"
*** Laki-laki itu. Parman, tegak dengan bahu bertahan dibendul pintu. Belakangan ini kerut
merut harus mulai bermunculan didahinya. Ia merasa lelah setelah mengenakan tongkat kayu untuk membantunya berjalan. Lebih lagi-lagi hati dan jiwanya setelah mengalami penderitaan beruntun yang terus menimpa. Ia merasa telah berdosa pernah jadi pengganggu ketentraman orang lain dengan mengambil hartanya secara tidak syah. Ia juga tahu, hubungan zinah yang ia lakukan dengan ibu Lasmi dimasa ia masih perjaka. telah merupakan dosa-dosa yang harus ia pikul. Tetapi mengapa begini berat hukuman Tuhan yang harus ia tahankan"
Perasaan lelah itulah yang membuat Parman lama terdiam seraya memandang gadis yang berdiri resah didekatnya. Gadis itu merundukkan muka, ujung-ujung sepatunya bermain dilantai teras. Malam telah semakin larut. Gadis itu seharusnya sudah pergi, tetapi Parman ingin Dorothea lebih baik tetap berada disampingnya. Keinginan yang sama pulakah yang bermukim dihati Dorothea sehingga ia berdiri sedemikian resah, sementara jarijemarinya masih berada dalam genggaman Parman"
"... bagaimana aku harus membalas budi baikmu, Thea?", akhirnya Parman memecah kesepian yang menggelitik mereka.
Dorothea tengadah. Balas menatap mata Parman. Senyum lembut bermain dibibirnya yang mungil dan kemerahan, tanpa polesan lipstik.
'Tidak" Kau telah membangkitkan sema
ngatku untuk tetap hidup. Dan perbuatan gila apa yang kau lakukan ini" Mentraktirku minum, nonton bioskop dan menghirup udara sore yang baru sekarang kutahu, betapa cerahnya, sebagai seorang laki-laki seharusnya aku malu pada diri sendiri"
"Kau membuat wajahku merah, Parman". Dorothea tersipu "Sudah ya; aku pulang" Nanti papa dan mama mencari..."
Tetapi ia tak juga menarik tangannya dari genggam Parman.
"Ingin kuantar kau pulang, Thea"
"Kapan-kapan, Parman. Sesudah fisikmu betul-betul sehat dan kau terbiasa jalan sendirian...", kemudian Dorothea kembali menatap mata Parman. Tajam namun alangkah lembut sinar mata yang bundar itu"
Sudah ya", ulangnya. setengah berbisik .Bersamaan dengan itu, tumitnya terangkat keatas, dan sebuah kecupan hangat dari bibirnya singgah sekilas dimulut Parman. Ada kejutan diwajah dilelaki sehingga ia tak sadar sama sekali kalau Dorothea telah menarik tangannya dan kemudian berjalan cepat-cepat kejalan besar dan naik kesebuah becak.
Kejutan itu terus menerpa wajah Parman.
Ia terpukau ditempatnya berdiri, menatap kekejauhan dengan wajah yang pucat. Ia tidak melihat Dorothea pergi. Tidak melihat gadis itu naik kesebuah becak. Dan tidak melihat becak itupun kemudian menghilang ditelan kegelapan malam. Kecupan bibir Dorothea yang panas
167 membakar, di bibir Parman terasa dingin menusuk. Mata Parman tak berkedip. Benarkah apa yang ia lihat dan rasakan"
Ketika bibir Dorothea mampir dibibir Parman, laki-laki itu melihat wajahnya yang sudah merupakan bagian dari hidupnya selama bertahun-tahun. Memang wajah Dorothea mirip dengan wajah Lila, akan tetapi... yang ia rasakan mengecup bibirnya "saat itu bukan Dorothea, melainkan Lila. Sampai Dorothea menghilang, Lila tetap tak berada didepan mata Parman yang masih terpana oleh kejutan yang tiba-tiba melecut jantungnya itu.
'...mengapa. Sayang" Takutkan kau?"
Angin malam menerpa-nerpa wajah Parman. Angin malam yang dingin itu. Ya teramat menusuk itu. Dan suara yang seperti sayup sayup datang dari jarak yang teramat jauh itu, bergema dan bergema kembali:
"Takutkah kau, Parmanku sayang'?"
'Ti-dak...tidak", mulut Parman menceracau.
Tersenyum bayangan yang berdiri di depan Parman. Mesra. Tetapi kucuran darah dari keningnya yang pucat... ia goyangkan kepala sedikit sehingga rambut tergerai yang menutupi pipinya berkibar kebelakang, ditiup angin malam yang berhembus semakin keras. Desau pepohonan dihalaman rumah itu seperti jeritjerit yang menyayat tulang ditelinga Parman. Ia tahan.
"Katakan, Lila...", mulut Parman kemakkemik. Tangannya mau menggapai, tetapi tak
ada kekuatan sama sekali. la cuma tegak Diam. Beku seperti patung yang ingin melepaskan diri dari kekakuan yang memakunya rapat kebendul pintu"... mereka membunuhmu, bukan?"
Desau angin didaun-daun pohon melejit lejit lengking:
"Ya. Parman. Mereka membunuhku. Mereka membunuhku" .
"Lurah" Lurah" Lurah...?"
"Kau sudah tahu, Parman. Mengapa tak kau balaskan sakit hatiku" Mengapa kau bercumbu dengan perempuan lain" Sudah matikah bersama dengan matinya diriku" Parman, Parman. aku terus menangis dikubur...menangis, Parman, menangis menunggu kau balaskan sakit hatiku yang kian menggelora" menunggu... kau datang padaku... o, Parman. tak tahukah kau betapa rinduku" Dekaplah aku, sayang, dekaplah aku kekasih.
"Tetapi" tanganku.. kelu... tubuhku..."
"Kau akan bisa, Parman. Kau akan bisa. Kutunggu, sayang. Kutunggu...!"
"Lila...!' "Kutunggu, Parman. KutUnggu...!'
"Lila! Lila! Lila!, dan Parman bagai tercekat dari tegaknya, menggapai kedepan semakin kedepan... tak ingat Untuk mempergunakan tongkat yang dari tadi melekat d'bawah ketiaknya. Lalu dengan suara berdebuk yang keras. tubuh Parman jatuh terjerembab dilantai teras. Benturan yang keras dari bibir tembok dengan dagunya membuat
Parman mengaduh. Ribuan bintang-bintang dilangit seperti turun kebumi, bermain dan menari-nari dengan irama liar dikepala Parman.
Ibu Lasmi dan suaminya berlari larian keluar dari kamar dan dengan terkejut melihat apa yang terjadi.
"Nak Parman, mengapa kau" tanya ibu Las cemas seraya menolong Parman berdiri dibantu suaminya.
"Mana... kemana dia", Parman bersungutsungut. Matanya berkunangkunang.
"Dia" Dia siapa?"
"Lila. Istriku..."
'Ibu Lasmi memandang suaminya dengan dahi berkerut.
Seraya memapah laki-laki malang itu kedalam, suami Ibu Lasmi berkata dengan lembut:
'Yang. mengantar kau tadi pulang, Dorothea, nak. Bukan Lila?"
"Ia Lila! Lila. aku... aku telah berbicara padanya... ia..." tiba-tiba Parman membentot lengan perempuan setengah baya disebelahnya." Tolonglah aku. pak lurah yang membunuh Lil" masih tak percayakah kau, bu Lasmi.
Setelah berkata begitu, Parman jatuh tak sadarkan diri. Bersusah payah ibu LAsmi dan suaminya menyadarkan Parman, kemudian memberikan pel tidur yang disediakan Dorothea untuk diminum Parman. Laki-laki itu masih terus mencercau dan berkumat-kamit tak karuan sebelum ia kemudian berbaring dengan
mata terpejam rapat dan bernafas dengan teratur. Ibu Lasmi menghela nafas dengan teratur. Ibu Lasmi menghela nafas lega menoleh suaminya.
'Apa yang harus kita lakukan, Pak?"
"Menghubungi polisi. Itu satu-satunya jalan."
"Tetapi... siapa yang mau percaya?"
"ltulah. Harus kita buktikan bersama-sama. Setelah mendengar cerita Parman selama ini dan pengakuanmu sendiri tentang kehidupan bekas suamimu yang pertama itu, kupikir sudah waktunya kita melakukan sesuatu. Kasihan Parman. Arwah istrinya terus mengganggu dia.
. Padahal keadaan Parman sudah agak baikan semenjak bertemu Dorothea. He!" suami ibu Lasmi tiba-tiba bercahaya matanya. "Kau begitu kaget ketika mula-mula bertemu Thea. Tak salahkah penglihatan mu, bu?"
Tak mengerti, ibu Lasmi bergumam:
"Demi Tuhan, pak. Thea dan Lila. bagai pinang di belah dua!"
"Hem," suami ibu Lasmi berpikir sesaat. lantas: Bekas Suamimu percaya dan hidup didunia tahayul. Takutlah ia kalau bertemu dengan hantu" ,
"Hantu?" ibu Lasmi gemetar.
'Ya. Hantu korban kebiadabannya!"
Ibu Lasmi tiba-tiba tertawa. Katanya:
"Kau bukan dukun. Bagaimana kau bisa memanggil arwah dari alam kubur"'
"Nanti juga akan kau ketahui, bu. Kalau
besok Parman bangun, katakanlah agar ia membujuk hantu yang kumaksudkan. Aku yakin, hantu tersebut pasti bersedia membantu"!"
*** HUJAN sudah mulai turun ketika Dorothea menginjak pintu rumahnya.
"Maafkan, -aku kemalaman, mama," ia memelas pada perempuan setengah baya yang membukakan pintu.
Begitu pintu tertutup dibelakangnya, Dorothea mendengar suara ayahnya:
"Wajahmu berseri-seri. Bersemu merah kulihat. Bolehkah kami minta kau duduk dulu sebentar. Thea?"
Dengan heran, Dorothea duduk dihadapan ayah dan ibunya. .
'Bagaimana Parman" Lebih baik?"
Tiba-tiba saja, wajah Dorothea kembali memerah. Ia merunduk waktu menyahut:
"Mudah-mudahan. papa."
"Syukurlah. Ia sudah menceritakan siapa dan bagaimana masa lalunya?".
"Dorothea menghela nafas. Berat lalu mengangguk. Perlahan.
"Pentingkah itu, papa?"
"Kami bukan mau turut campur nak. Tetapi syukurlah kau sudah tahu siapa Parman. Biarpun pengetahuan itu tidak merubah sikapmu terhadapnya. Mungkin karena semula kau begitu takut dan setengah mati berusaha menjaUhinYa, sehinga kau kemudian.. jatuh hati padanya. Ah. nak. Tak usah mengelak. Kami
sudah maklum. bisa pulakah kau maklumi,
kalau misalnya kami katakan mungkin perasaan
cintamu menjelma karena hubungan batin " de
ngan saudaramu yang bernama Lila?" Dorothea tertengadah. Takjub.
*** TUJUH BELAS HARI-HARI yang datang susul menyusul bagi Bejo tak ubahnya siksaan yang terus menerus menyakiti tidak saja badannya tetapi terutama hatinya. Meskipun ia telah berhasil mencuri mayat baru dari kampung yang belasan kilometer jauhnya dari desa mereka, pak lurah masih saja bersikap tak bersahabat pada Bejo. Tiap kali ia akan naik ketempat tidur pak lurah disertai kerinduan dan nafsu yang meluap-luap, ia selalu memperoleh sentakan:
"Pergi sana! Jangan usik tidurku."
Bejo terpaksa menyingkir kekamarnya sendiri dibagian belakang rumah. Kamar yang terasa kian hari kian sempit, kian pengap dan kian menyiksa. Kadang-kadang ia heran mengapa dulu Parman betah tinggal belasan tahun di kamar ini. Tetapi setelah ingat si Parman itu terpaksa saja mau digeluti pak lurah, keheranan Bejo hilang dengan sendirinya. Lebihlebih kamar yang sempit itu bersebelahan dengan sebuah kamar besar dimana dulunya ibu Lasmi tidur. Bah! Kamar yang besarpun belum tentu menyenangkan, buktinya ibu
Lasmi sering pindah dengan diam-diam kekamar sempit disebelahnya. Dikamar sempit itulah ibu Lasmi memperoleh kesenangan dan kehangatan dari tubuh seorang perjaka yang belum pernah mengenal perempuan: Parman.
Karena sering tak tahan oleh udara pengap dikamarnya sendiri sedangkan pintu kamar tidur pak lurah tertutup buat Bejo, ia kemudian sering pindah kebekas kamar ibu Lasmi itu. Suasananya lebih leluasa, dan rasanya sisa-sisa kerapihan ibu Lasmi, bau tubuh dan parfum perempuan itu masih bergantung dikamar. Bejo senang bau harum itu, tetapi ia sama sekali tidak senang pada tubuh yang menimbulkan bau menggairahkan itu Betapa tidak. Tubuh itu cuma tubuh perempuan, bukan tubuh seorang laki-laki yang bagi Bejo lebih menarik seleranya. Kehangatan yang jauh berbeda. Kegairahan yang ganjil, 'namun tetap mengesankan.
Namun kamar besar itu pun lama-lama toh membosankan. Seperti dulu ibu Lasmi bosan karena kamarnya jarang dimasuki kamar pak lurah. Bejopun kini merasakan hal yang serupa. Lantas datanglah hasrat gilanya. Karena pintu kamar tidur pak lurah selalu terkunci, ia lantas senang mengintai, kalau kebetulan hawa sedang gersang sekali pak lurah biasanya tidur bertelanjang. Pemandangan itu sedikit menghibur kelelakian Bejo. Sayang. hiburan yang tidak pernah sempurna sehingga ia bosan sendiri akhirnya untuk mengintip lewat lubang kunci pak
lurah keparat itu benar-benar tak bisa lagi didekati. Bila tidak sedang tidur, ia sibuk dengan mayat bayi yang baru dikamar rahasia. Biasanya Bejo diminta membantu membuat ramuan ramuan dikamar tersebut, tetapi kini pak lurah lebih senang bekerja sendirian.
"Kau telah merusak meditasiku ketika meramu bayi Nyi Saodah, sekarang aku mau kerja sendiri. Aku tak ingin gagal kali ini kalau tidak, celakalah yang bakal menimpa?"
Agak takut-takut, Bejo pernah coba menukas:
"Celaka bagaimana, pak lurah?"
Yang ditanya mendelik pada Bejo. Katanya tak senang:
"Tak mengertikah kau, kunyuk?"
Otak Bejo yang bekerja lebih lamban dari tubuhnya yang tinggi besar, sebenarnya memang tidak menangkap maksud pak lurah. Ia malu mengakuinya, tetapi ia pun penasaran untuk mengetahui bahaya apa yang mengincar jiwa pak lurah. Karena bagi Bejo, bahaya buat majikannya berarti bahaya pula bagi dirinya sendiri.
"Kerbo!" pak lurah bersungut-sungut melihat pelayan rumah tangga yang ' sekaligus merangkap pelayan nafsunya ditempat tidur itu, cuma diam terbengong-bengong. Sedikit rasa kasihan timbul juga dihati laki-laki tua itu. Betapapun, Bejo toh sering memberi kepuasan dan telah banyak membantu, siapa tahu Bejo dapat pula membantu, melepaskan mereka dari
kesulitan yang tengah mereka hadapi_ Oleh karena itu dengan malas pak lurah menerangkan:
"Kau masih ingat jimat yang gagal itu?"
"Masih, pak." "Akhirnya mayat yang dicuri itu kembali ditemukan Nyi Saodah."
"Kembali ditemukan Nyi Saodah, pak."
"Waktu itu, kita hampir celaka."
"Hampir celaka..."
"Latah!" pak lurah mencak-mencak. Tak ingatkah kau semua itu terjadi karena kau sembarangan saja membuang mayat bayi yang sudah busuk itu kesunyian?"
Bejo merungkut ketakutan.
Ia cuma diam ketika pak lurah melanjutkan omelannya:
"... untung masih bisa kita tudingkan kesalahan pada mertua si Parman. Sekarang pada siapa kesalahan kita tudingkan kalau terulang kesalahan yang sama, he?"
Bejo tak menjawab. Pak Lurah memang tak memerlukan jawab dari pelayannya itu, Sungutnya:
"Tidak pada siapa-siapa. Karena kali ini aku tak akan gagal"."
"Kalau begitu. tak ada dong bahayanya..."
'Nenekmu! Kakekmu! Moyangmu! kau tak maklum bahaya yang mengintai semenjak mertua si Parman itu diangkut polisi kekota?"
"Perempuan itu sudah pikun, pak lurah," Bejo bergumam dengan suara gemetar.
"Seorang pikun belum berarti seorang yang bisu. Mulutnya masih bisa berkata tolol!"
"Masih bisa, pak..."
"Masih bisa masih bisa bapakmu!, pak lurah membanting-banting tinjunya yang tak begitu besar kedaun pintu itu berdengardengar, dan Bejo tak heran mengapa pak lurah tidak kesakitan biarpun tulang-tulang tangannya yang kurus begitu keras membentur daun pintu. Betapa tidak. Bukankah majikannya punya ilmu" llmu itu pulalah yang memukau Bejo, sehingga biarpun ia bisa membunuh majikannya hanya dengan sekali banting tetapi toh tak pernah bisa terlaksana betapapun pak lurah sangat menyakiti perasaannya. Kekuatan Bejo selalu luntur setiap matanya terbentur kemata pak lurah. Mata yang gelap seperti lorong yang dalam tetapi menyebarkan bau yang ganas seperti gas mematikan dari dalam kegelapan itu, kini bernyala-nyala menakutkan. Bila sudah demikian hilanglah nafsu Bejo untuk melepas bajunya sendiri kemudian melepas pak lurah.
Itulah sebabnya mengapa Bejo hari ini teramat bersuka cita. Seorang tamu laki-laki telah datang kerumah pak lurah. ia membawa sepucuk surat yang ditujukan pada Bejo. Namun toh sikap bercuriga pak lurah akhirakhir ini menyebabkan majikannya penasaran untuk sama-sama membaca isi surat:
"Nak Bejo. Pulanglah segera Ayahmu dalam keadaan sakit yang gawat. Ia menyesal berlaku sepele padamu selama ini, dan kini ia bermak
sud membicarakan harta warisan denganmu. Ttd. Ibu".
"Dibawah kalimat itu dibubuhi nota."
"Pembawa surat ini Kardi. la butuh pekerjaan. Selama kau pulang kekampung kita, bicarakan dengan majikanmu supaya Kardi bisa menggantikan".
Pak lurah menatap sekilas pada Bejo. Sempat berkata:
"Kau ketiban rejeki. eh?"
Dikilas berikutnya, pak lurah sudah menoleh pada tamu mereka. Ia memperkenalkan diri dengan nama Kardi. Sesuai dengan bunyi surat. Bagi Bejo itu tak penting. Yang penting adalah tatap mata pak lurah yang ganjil pada Kardi: Laki-laki tua itu memandang dengan mata tak berkedip keseluruh tubuh Kardi, kemudian tangannya hinggap dipaha Kardi. menyapunya dengan lembut. Suara pak lurah gemetar seperti juga tubuhnya.
"Aku senang padamu. Kau kuterima"
Darah disekujur tubuh Bejo rasa meluap. Telinganya merah padam. Dan mulutnya tidak bisa menahan rasa cemburu:
"... belum tentu ia sebaik saya, pak lurah".
Dahi pak lurah mengernyit. Tak senang. Gerutunya:
"Kenapa kau tak segera pergi?"
Kemudian pak lurah masuk kedalam. Sesaat Bejo menoleh pada Kardi. Laki-laki itu tersenyum: Memang manis. Seperti perempuan. Kalau saja tak ada pak lurah Bejopun ada
minat. Rasa cemburu Bejo akan menjadi. lngin rasanya ia membanting saja laki-laki yang katanya berasal dari kampung Bejo itu. Mungkin pencari kerja baru disana, karena Bejo belum pernah melihat laki-laki ini, berkenalan dengan keluarganya, bersahabat dan kemudian memperoleh kepercayaan membawakan surat buat Bejo.
Tak lama pak lurah keluar: Ia membawa sebuah koper yang ia buka dihadapan Bejo. Isinya seperangkatan pakaian yang bagus-bagus malah ada mantel bulu segala. Kedalam koper itu dilemparkan pak lurah setumpukan uang yang sesaat membuat tidak saja mata Kardi akan tetapi terutama mata Bejo bekilat.
"Semua ini untukmu. Bekal pulang..", kata pak lurah lembut pada Bejo.
Mendengar ucapan pak lurah. Bejo bukannya bergembira. Didahinya tiba-tiba timbul beberapa kerutan. Mata Bejo mengecil waktu berkata dengan suara datar:
"Semua ini... untuk pesangon saya?"
"Yal" jawab pak lurah bersemangat.
"Berarti saya dipecat".
"Tepat sekali" Tubuh Bejo menegang. Ia memandang pak lurah dengan marah. Sang majikan terlalu bergembira dengan suasana yang tengah ia hadapi, atau memang tidak perduli lagi Bejo mau apa, sehingga tidak berusaha menaklukkan Bejo dengan kekuatan sorot matanya. Sadar akan hal itu. kemarahan Bejo kian memuncak.
"Kau tahu, laki laki busuk?", Bejo memaki: "Kau sudah semakin peot, tetapi toh aku masih senang melakukan apa saja yang kau kehendaki: Asal kau bahagia dan puas. Semua kulakukan karena aku senang dan puas pula hidup bersamamu..."
Pak lurah senyumsenyum saja, sementara Kardi terheran heran.
Dan Bejo kian bergelombang gelombang.
"Persetanlah dengan kau, lurah terkutuk .Haram jadah semua pemberianmu, Seharam jadah dirimu!"
Lalu Bejo meninggalkan rumah itu dengan perasaan terhina.
Pak lurah geleng geleng kepala.
"Anak yang sombong. Mentang mentang mau dapat warisan.", ia bersungut sungut. Kardi diam saja. Tak menyahut.
"Coba. Pakaian begini bagus bagus, mana ada yang sanggup memberikan kecuali aku" Dan setumpuk uang...", pak lurah geleng geleng kepala, tak mengerti.
Masih juga laki laki bernama Kardi itu diam.
Pak lurah jadi tertarik" Tanyanya:
"Salahkah apa yang kukatakan Kardi?"
Kardi geleng geleng kepala. Untuk menguatkan, katanya.
"Benar, pak lurah, benar sekali apa yang
kau katakan". Pak lurah tesrsenyum. Senang. la sapu lagi
Paha Kardi "dengan tangan-tangan gemetar...
Malah sempat pula ia cengkeram pantat Kardi yang tebal. empuk dan panas.
"Kau anak manis, Kardi. Dan kalau kau berlaku manis. semua ini untukmu kata, Pak Lurah".
"Saya akan berusaha, pak lurah"
"Kalau begitu, kau bantulah aku mulai dari sekarang"
"Ya pak lurah?"
"Aku kesepian" Temani aku kekamar tidur, ya?"
*** Diatas andong, Bejo membayangkan pak lurah tentu tengah bergumul dengan Kardi diatas tempat tidur. Tipe tamu laki laki itu tampaknya memang tipe lembut, biarpun pandangan matanya tajam. Pak lurah akan dengan mudah bisa menaklukkan si Kardi keparat yang telah mengusir Bejo dari sisi majikan kesayangannya itu. Beberapa kali Bejo bersungut su ngut sendirian sehingga kusir andong jadi penasaran. Tetapi tahu siapa Bejo, kusir itu tak berani bertanya. Juga tak berani berkata apalagi mengajukan protes biarpun Bejo angkat kaki begitu saja menuju kepemberhentian bus tanpa membayar sewa andong.
Tak lama Bejo menanti. Bus dari kota yang menuju kekampung halamannya, segera tiba. Ia lalu naik mencari tempat duduk. Dapat dipinggirjendela.
Ketika bus akan berangkat, tanpa sengaja Bejo melihat keluar jendela. Kedalam sebuah warung. "Terkejut ia seketika seSeorang dida
lam warung juga tengah memandanginya. Seseorang yang sebelah kakinya buntung. ' "Parman!" Bejo berbisik parau. Dan bus kian melaju.
*** DELAPAN BELAS TETAPI KARDI ternyata bukan laki-laki yang mudah didekati.
Waktu pak lurah coba memeluknya begitu
pintu kamar tidur ditutup, Kardi tiba-tiba . berusaha melepaskan diri seraya berkata kecut:
"Koper. Dan uang itu. Masih diluar!"
Kardi kemudian membuka pintu. Pak Lurah dengan kesal berseru dari dalam kamar.
'Biarin saja. Tak kan ada yang beraniberanian masuk kerumahku'
Kardi tak perduli. Ia terus saja keluar menyimpan tas beserta isinya keruangan dalam. Lama pak lurah' menanti. Tetapi Kardi tak masuk-masuk lagi. Sampai hari jatuh senja ia terus sibuk melakukan apa saja yang bisa ia kerjakan dirumah sesuai dengan tugas utamanya melamar pekerjaan ditempat itu. Memompa air dari sumur. Menyapu. Didalam. Dan diluar rumah mengumpulkan pakaian pakaian kotor yang pada jam tertentu diambil oleh seorang perempuan yang bisa mencuci dan menyetrikakan pakaian-pakaian tetangga-tetangga dengan upah yang memadai. Mengambil 184
makanan dari yang pada waktunya sudah mempersiapkan masakan kesukaan pak lurah.
Karena jengkel pak lurah kemudian keluar rumah. Ia pergi kerumah pak Angga Berbincung-bincang tentang suasana desa mereka. Pergi kemadrasah. Melihat anak-anak bersekolah dan bersenda gurau dengan guru-guru mereka, waktu magrib masuk ke masjid ikut bersembahyang dengan penduduk. Namun pikirannya tidak tertuju pada Tuhan. Melainkan pada pelayan barunya dirumah. Kardi itu tidak setinggi dan sebesar Bejo. Tetapi wajahnya kelimat. Halus. Dandanannya senantiasa rapih. Gerak geriknya lembut malah agak gemulai. Kardi benar-benar "laki-laki yang lain' dan sesuai dengan seleranya. Lasmi memang cantik. Dan masih banyak perempuan perempuan cantik didesa.
Tetapi mereka benar-benar tidak semenarik Parman dulu, Bejo lalu kini Kardi.
Tanpa ikut berdoa dengan penduduk lainnya, lurah kemudian buruburu pulang.
Ia benar-benar sudah tidak sabar. Akhirakhir ini awan mendung selalu memberati langit. Hujan turun sesekali. Dinginnya. Ampun. GERIMIS JATUH MEMBINTANGI BUMI KETIKA pak lurah TIBA DIRUMAH. KARDI MEMBUKAKAN PINTU UNTUKNYA.
"Sudah kau sediakan makan, Kardi?" tanya pak lurah seraya matanya menatap Kardi dalam-dalam.
"Sudah. pak lurah".
"Kau makan bersamaku ya?"
"Terima kasih pak lurah. Belakangan saja".
'Tidak. Kita makan bersama-sama."
Selama makan pak lurah bertanya asal usul Kardi. Pelayan itu menceritakan ia sudah tidak punya orang tua. Juga tidak sanak saudara. Kerjanya berkelana. Ia katanya ingin mengenal dunia ini lebih banyak. Bukan cuma selembar tanah pertanian digunung tempat kelahirannya. Di mana ia tiba, ia bekerja apa saja untuk dapat mengisi perut. Ia belum kawin. Bahkan belum pernah memikirkan perempuan.
Rumah tak punya; tanah tak punya.
Apa-apa tak punya. Mana saya berani berumah tangga?"
"Pernah punya kekasih?", tanya pak lurah hati-hati. '
"Ah. Saya bukan orang yang mudah di dekati perempuan."
"Mengapa?". "Mungkin karena saya tak berani jatuh cinta. Mungkin juga...". Kardi menatap mata pak lurah. Tajam. "Mungkin juga karena saya memang tidak pernah merasa tertarik pada perempuan, bagaimana cantik dan montoknya!"
Pak lurah tersenyum. Puas. Lalu tertawa Puas.
"Kau tak pernah kesepian, Kardi?"
_ "Tidak. Saya sudah terbiasa hidup sentrian."
'Tak pernah... kedinginan?"
"Kedinginan "'.
"Maksudku... ditempat tidur"
"Saya senang pakai selimut yang tebal pak lurah. Kalau perlu, berlapis-lapis...".
'Tak pernah ingin selimut yang lain?"
"Selimut lain?", Kardi memandang tak mengerti. Dimata pak lurah, Kardi cuma purapura tidak mengerti.
Karena itu dengan bersemangat pak lurah berdesah:
"Malam ini pasti hujan turun. Dingin sekali disini dan sepi. Sepi sekali. Aku tak senang udara yang dingin. Benci rasa sepi. Di rumah ini banyak kamar-kamar. Kau boleh pilih yang mana saja untuk kau pakai tidur. Kecuali kamar tersendiri disebelah gudang. Kau. bisa pakai bekas kamar Bejo. Atau kamar bekas Lasmi...".
'Lasmi?" "la bekas isteriku..." pak lurah tiba-tiba meludah. "Ah, perempuan. Mereka tahunya dipuasi sendiri. Tak perduli pada kepuasan laki-laki..." ia melirik dengan ekor matanya kearah Kardi. Berkata setengah mengajak:
"Kalau kau merasa kedinginan dan kesepian seperti aku, datanglah ke kamarku. Kardi. tidur bersama lebih enak"
Kardi cuma tersenyum. Ia bersihkan meja makan. Angkat perabotan kekamar cuci. Membersihkannya disana. Menyimpannya hati-hati di rak dapur. Ia kemudian menjerangkan air. Pak lurah yang tercenung diruang makan, agak terkejut ketika Kardi muncul dari dapur seraya
bertanya. "Bapak senang kopi atau dicampur susu?"
"Kopi saja jangan pakai gula. Gula membuat gigi rontok dan ulu semakin cepat tua".
Dan kopi tanpa gula bisa menahan kantuk datang lebih lama!
Pak lurah gelisah dikamarnya. Tak bisa tidur. Kepalanya jadi pusing menjelang tengah malam. Persetan benar, ia memaki diri sendiri. Lalu keluar dari kamar. Dari pada mati-matian menyuruh mata terpejam, lebih baik ia masuk kekamar kerja pribadinya. Mayat bayi yang telah dicuri Bejo beberapa hari yang lalu dari kampung lain sudah berubah warnanya kemaren malam. Dari pucat kewarna merah kembali. Seperti bayi segar. Mati tidak, hidupun tidak. Tak akan ia ciutkan mayat bayi itu: Karena ia sekarang tidak butuh jimat. Hartanya masih banyak. Sawah berhektar-hektar: Uang bertumpuk dilemari besi. Dari sejumlah rumah yang disewakan pada penduduk. Sewa yang sangat murah sehingga sipenyewa menganggap memilih rumah dermawan. Padahal kalau dikumpul-kumpul sewa semua rumah, dalam setahun bisa membangun sebuah rumah baru. Untuk disewakan lagi. Begitu terus.
Kalau saja ia hidup dijaman nenek moyangnya, ia sudah bisa merajakan diri. Namun dengan kedudukannya yang sekarang. la telah merasa puas. Apalagi yang ia cari. Harta sudah bertumpuk .lsteri" buat apa. Ia cuma sesekali berhasrat menggauli! perempuan. Ia bisa pergi
kedesa yang berjauhan. Atau kekota. Melacur. Tetapi perempuan-perempuan selalu rewel. Dan sentimentil. Kadang-kadang suka menutup sebelah mata kalau melihat laki-laki yang menggaulinya sudah tua renta, biarpun ketuaan itu belum berarti lebih lemah kejantanannya dari laki-laki yang lebih muda. Ah, kalau saja si Kardi ini mudah dikuasai seperti si Parman dulu. Atau si Bejo. Ah. Mungkin masih jinakjinak merpati. Apa kata si Kardi" Ia tak begitu senang perempuan... tak ada arti yang lain lagi dari kalimat itu kecuali"
Pak lurah tertegun di depan pintu kamar Kardi.


Jeritan Pintu Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pintu itu tidak terkunci. Malah sedikit menganga,
"Apakah Kardi mau bercumbu dikamar ini saja?" bisik pak lurah dengan jantung berdebur kencang.
Ia dorongkan daun pintu hati-hati. Meninjau kedalam.
Gelap. Gelap sekali. "Kardi?" pak lurah berbisik.
Tak ada sahutan. "Kardi?" ia memanggil lebih keras.
Tetapi sepi, mencekik. Pak lurah mulai curiga. Ia masuk kedalam. Cahaya lampu yang samar-samar dari luar memberi penerangan yang suram didalam. Tempat tidur kosong. Diraba oleh pak lurah. Dingin. Jadi Kardi belum menidurinya. Kemana dia" Pak lurah cepat-cepat keluar. Ia masuk
kekamar sebelah. bekas kamar Lasmi lampu didalam masih menyala. Dan tempat tidur jelas kosong melompong. Kecurigaan pak lurah meningkat jadi perasaan cemas.
Bergegas ia menuju anak tangga kamar rahasia.
Dan ia terkejut sendiri, ketika di persimpangan tangan menuju keteras bagian atas rumah. terdengar langkah kaki yang halus. Pak lurah merapat ke tembok. Matanya berhatihati. Langkah-langkah itu kian jelas, semakin dekat. Dan ia mulai melihatnya. Kaki yang berkuku lebar, berdaging tebal. Kemudian celana panjang yang ujungnya berlipat. Pak lurah menghela nafas. Lega: Menyeka keringat yang sempat membercik dijidat. _
"Dari mana kau?" ia bersungut-sungut begitu siempunya kaki sudah berdiri dihadapannya.
"Menutup pintu tingkap, pak lurah. Diluar hujan deras. Ada angin merebes kedalam. Lalu aku naik. Pintu tingkap ternyata terbuka."
"Oh?" pak lurah menggerutu dan mengurut
dada. 'Saya senang kegelapan, pak lurah. Saya berdiri diteras. Dibawah atap. Kutekuri alam yang tampaknya seram. Menakutkan. Aneh. Saya merasakan sesuatu yang ganjil dan asing begitu mendengar suara sungai mengalir di bawah?"
"Sudah. Nanti kau juga terbiasa. Dan mulai besok, Kardi. Pintu tingkap itu dipaku saja
biarin tertutup selamanya"
"Mengapa pak lurah?"
'Jangan banyak tanya, turut saja perintahku!"
"Tetapi memandang waktu Siang disana, pasti menarik sekali, pak lurah. ."
"Kau bisa keluar rumah kapan kau suka. Disana banyak tempat kau bisa menikmati panorama yang indah. Sekarang pergilah tidur. Dan begitu kau bangun besok, paku tingkap itu!"
Kardi memandang lama ke wajah pak lurah. Yang dipandang tak senang .Bertanya penasaran:
"Mengapa kau pandangi aku begitu?"
Kardi bergumam. Habis: "Mata pak lurah membayangkan ketakutan"
Pak lurah gemetar: Tiba-tiba ia menjadi marah.
"Kau tahu apa ha?"
"Maaf, pak lurah. Tetapi. diatas sana tadi, saya juga tiba-tiba didatangi rasa takut yang aneh"
"Kubilang tidur! Tidur! Tidur!"
Lantas tanpa menunggu Kardi melakukan perintahnya, pak lurah berlari-lari kecil kekamar tidumya sendiri. Ia menutup pintu rapatrapat. Menguncinya. la periksa dinding samping yang langsung menuju keteras. Juga terkunci. Rapat. Malah sudah diberi engsel penguat oleh Bejo beberapa hari yang lalu.
Sambil berbaring. pak lurah bersungut-sungut sendiri:
"Ramuan bayi itu harus segera disempurnakan. Aku sudah tak tahan. Bayi itu akan menambah kekuatan jasmani dan jiwaku: O mengapa aku ini" Belum pernah aku begini sebelum peristiwa itu terjadi..."
*** Ia benar. Semalam ia bermaksud memperkosa Lila sehingga perempuan itu terjun dari teras diatas langsung keanak sungai dibawah tebing yang curam dibelakang rumah .pak lurah tidak pernah mengenal rasa takut sepanjang hidupnya, kakeknya, ayahnya. pamannya, semua dukun dukun terkemuka semasa hidupnya. Hidup di dunia magis. Terbiasa dengan misteri-misteri magis.
Tetapi, oh.. teriakan Lila yang menyayatkan hati itu. Sebelum Lila lenyap ditelan hujan lebat dan kegelapan malam yang menyentak:
"Aku akan membalasmu! Akan membalasmu!"
Berhari-hari setelah peristiwa itu, teriakan histeris itu sering bergema dari arah jatuhnya Lila sebelum mati. Dan ia anggap semua itu illusi. Sisa gaung suara. Tetapi ketika Parman melarikan diri dari klinik sebelum sempat dibunuh oleh Bejo. tidak saja suara Lila yang ia dengar. Tetapi perempuan itu muncul dikamarnya. Mengulangi ancamannya. Kemudian menghilang. Pak Lurah hampir-hampir menganggapnya sebagai sebuah impian. Mimpi yang buruk.
Teramat buruk. la menggigil lagi. Lagi. Lagi dan lagi...
*** "Hem!" rungut Bejo sendirian. "Heran juga Mengapa bapak tiba-tiba jadi berbaik hati padaku!"
Mengapa" Pertanyaan itu selalu mengaung ditelinga Bejo selama berpegal pegal tulang diatas bus dalam perjalanan yang memakan waktu belasan jam itu. Kini pertanyaan itu Semakin meminta jawaban setelah ia semakin dekat pula ke kampung halamannya. Semakin dekat pada orang tua yang semenjak ia kenal, selalu membenci dan tak henti-hentinya menyiksa. Padahal Bejo anak kandung mereka sendiri. Malah anak laki-laki satu-satunya. Mendapat cacimaki, sepak terjang dan cubitan yang menyakitkan disekujur tubuh semasa kecil, oleh Bejo cuma ditanggapi: bapak dan ibu kejam. Lalu semakin ia dewasa, semakin ia mengerti arti tatap mata orang tua padanya mengapa begitu benci mereka berdua terhadapku"
Neneknya yang menceritakan pada Bejo. Kampung mereka pernah diserang perampok. Sambil merampok bajingan itu juga memperkosa. Seorang gadis di kampungjadi korban. Padahal gadis itu sudah mau di nikahkan beberapa hari kemudiannya. Untung calon suaminya sabar dan pasrah. Gadis itu diterima terus sebagai isterinya. Setelah mereka kawin, anak yang terlahir akibat perbuatan perampok yang memperkosa si isteri. mereka beri nama Bejo. Bayangan siperampok selalu tampak di mata suami isteri itu. Bayangan penuh keben
cian dan dendam kesumat yang tidak kesampaian. Anak itulah yang jadi korban. Begitu benci dan mendendamnya suami isteri itu, sehingga anak-anak mereka yang lahir dari perkawinan itu turut membenci, Bejo. Anakanak lain itu ada tiga orang. Semua perempuan.
Setelah neneknya mati Bejo tak tahan tinggal di kampung. la mengembara. Masuk kampung keluar kampung. Sampai akhirnya ia diterima bekerja oleh pak lurah yang bertindak tanduk aneh itu. Dukun yang tidak saja senang mencuri mayat bayi untuk dijadikan jimat pengumpul harta. Tetapi juga senang pada laki-laki sejenis disamping senang pada perempuan. Bejo yang telah lama membenci perempuan karena perbuatan ibu dan saudara-saudaranya, merasakan gelora nafsu pak lurah sebagai gairah yang sangat menyenangkan dan mengesankan. Tetapi kini ia diusir. Setelah kemaren laki-laki yang lebih muda dan gemulai dari Bejo muncul. Kardi siharam jadah itu!
'Aem!" rungut Bejo. Untung aku kini sudah kaya raya!"
Tetapi bayangan kekayaan itu lenyap seketika, setelah Bejo menginjak pintu rumah orang tuanya. Bukan orang sakit apa lagi yang hampir mati yang ia temui melainkan orang yang masih sehat walafiat, kuat dan kekar. Mata orang-orang itu menatap tanpa bersahabat pada Bejo, disusul oleh suara menghardik:
"Kupikir kau sudah mati!"
***lbu Bejo yang datang kemudian, pucat pasi. Bejo berharap ia akan dipeluk dan di rangkul penuh kerinduan. Betapapun, toh perempuan itu adalah manusia yang melahirkannya kedunia ini.
"Pergilah dari hadapanku. Pergi. Aku benci melihat mukamu!
Bejo menelan ludah. la mengerti. Wajahnya konon menurut neneknya, sama dengan wajah perampok yang memperkosa ibunya. Bejo teringat lagi caci maki, sepak terjang dan cubitan yang menyakitkan yang ia terima selama belasan tahun berselang. Bila adik-adik perempuannya muncul disaat ini, maka cemoohan akan ditujukan pada diri Bejo: anak jadah. Anak perampok. Anak terkutuk!
Semua itu terbayang dan mengaung di telinga Bejo.
Ia tak tahan. Lalu berteriak: "Dimakan setanlah kalian semuanya!"
Kemudian ia berlari. Jauh. Ia tinggalkan kampung itu. Ia berlari seraya menagis. Ia tak perduli ia laki-laki atau bukan. Ia memang lakilaki. Tetapi apa yang ia perbuat dengan pak lurah, bisa pula berarti ia perempuan. Dan kini ia menangis. Bejo sudah jadi seorang perempuan!"
"Setan! Haram jadah! Setan!" isaknya di pinggir jalan. Ketika ia sudah naik kesebuah bus yang akan membawanya ketempat ia mulamula datang. barulah pikiran sehat Bejo bekerja.
la lupa menanyakan. kalau mereka tak menghendaki kehadirannya, mengapa ia terima surat dari... Ha! Ibunya buta huruf. Baru sekarang diingat Bejo! ibunya buta huruf! Juga saudara-saudaranya yang lebih senang bersolek itu!" Tak seorangpun yang bersekolah, karena kata ibunya biar saja. Toh mereka kaya Tanpa bersekolah mereka juga banyak yang akan mau mengawini. Lagipula perempuan akan kedapur pula jatuhnya. Lalu siapa yang menulis itu" Ayahnya" Bejo tahu betul tulisan tangan ayah yang tak pernah mengakuinya sebagai anak itu.
Jadi" Tiba-tiba dimata Bejo terbayang wajah seorang laki-laki menatapnya dari dalam sebuah warung. Wajah yang menampakkan kekerasan hati. Orang yang tak pernah kenal menyerah, biarpun kini kakinya telah buntung sebelah. Parman. Si Parmankah yang menulis surat itu" Atau orang lain yang punya sangkut paut dengan Parman" Pasti. Pasti si Parman. Atau orangorang si Parman. Kalau tidak, untuk apa ia memperlihatkan batang hidung disekitar desa mereka" Toh ia dibenci. la pernah di usir. Disiksa. Bahkan kalau tak keburu minggat dari klinik yang merawatnya. ia sudah mati ditangan Bejo. Tak mungkin kehadiran Parman kembali tanpa sesuatu sebab. Tetapi, apa tujuan Parman memancing Bejo keluar. Tiba-tiba ia ingat pada Kardi. .
Laki-laki itu tak pernah dikenalnya. Lalu dari mana Parman atau Kardi tahu alamat kampung Bejo" Di desa itu cuma tiga orang yang tahu tempat asal Bejo. Ia tidak pernah menceritakan pada siapa-siapa. Malu kalau ada yang tahu ia dibenci oleh orang tua dan saudara-saudaranya sendiri. Aib pasti tercoreng dimuka Bejo kalau di daerah yang jauh dari kampung kelahirannya, orang tahu terlahir ke dunia ini akibat perbuatan durjana dari seorang perampok. Hanya kepada pak lurah semua itu ia ceritakan karena toh pak lurah dengan jimatnya itu bekerja juga sebagai perampok. Biarpun perampokan yang ia lakukan melalui tangan orang lain. Si Parman.
Pak lurah tak mungkin pula menceritakan tentang asal usul Bejo pada si Parman. Ia tahu betul, karena pak lurah telah berjanji merahasiakan riwayat hidup Bejo pada orang lain. Kecuali pada isterinya waktu itu. Ibu Lasmi. ltupun karena terpaksa. Suatu ketika lbu Lasmi memergoki Bejo bersetubuh dengan suami ibu Lasmi. Perempuan itu pingsan. Lalu minta cerai. Pak lurah memelas:
'... jangan kasihani aku. Tetapi kasihanilah si Bejo. Ia muak di dekati perempuan. Tetapi ia butuh penyaluran. Apa salahnya ia kutolong"
Namun ketika ibu Lasmi tahu juga kalau Parman dijadikan sasaran pemuasaan nafsu aneh dari suaminya, ia kemudian minta cerai juga akhirnya. Ia bisa mengerti masa lalu Bejo, dan mau mengerti arti pertolongan suaminya. Ia cuma _tak mau mengerti mengapa Parman juga harus dijadikan sasaran, sampai pak lurah ikut juga mengerti Parman sudah dijadikan gendak oleh ibu Lasmi. Perceraian itupun terjadi.
Ibu Lasmi pergi sudah. Parman kemudian menyusul, walau yang terakhir ini perginya ke penjara. Nah, ibu Lasmi tak punya kepentingan dengan Bejo. Tetapi Bejo tahu betul. Ibu Lasmi punya, setidak-tidaknya pernah punya kepentingan dengan Parman.
"Celaka!" ia mulai mengerti. Suaranya demikian keras, sehingga penumpang bus yang lain pada menoleh. Bejo agak kemerah-merahan mukanya. Namun teriakan kaget itu ia teruskan juga, meskipun dalam hati: "Pak lurah dalam bahaya. Aku harus segera menolongnya!"
*** SEMBILAN BELAS PERTOLONGAN itu tak pernah bisa diberikan oleh Bejo.
Begitu masuk ke desa pak lurah, beberapa orang laki-laki telah menghadangnya.
'Jangan melawan. Kami polisi!"
Saking terkejutnya, Bejo tak sempat lari. Keinginan itu baru timbul setelah kedua tangannya terbelenggu. Percuma saja. Dalam kegelapan malam dan di bawah hujan yang turun renyai-renyai ia kemudian digiring kesebuah rumah. Ia tahu betul itu rumah pak Angga. Bejo tersenyum. Pak Angga pasti akan menolongnya, bila pak Angga tahu Bejo ditangkap, bukankah pak Angga teramat mengabdi pada majikan Bejo"
Namun harapan Bejo buyar berantakan, begitu di rumah pak Angga ia lihat orang yang sudah tak asing lagi baginya: lbu Lasmi, bekas isteri pak lurah. Setelah orang-orang yang menangkap Bejo melapor pada seorang lakilaki setengah baya bertampang keren dan kemudian dikenal Bejo sebagai petugas kepolisian berpangkat Kapten, Bejo kemudian
dibawa pergi. Orang-orang yang menangkapnya membawanya kembali kemulut desa dibawah hujan yang semakin deras turun, berjalan dikegelapan malam yang dingin menusuk tulang. Agak jauh diluar desa, ia di bawa kepinggir jalan. Dibalik rimbunan bambu, terdapat sebuah jeep polisi. Moncong sebuah stengun diarahkan keperut Bejo begitu ia diperintahkan naik. Dan terus terarah ketempat yang sama, selama ia duduk dalam jeep dengan tubuh gemetar dan perasaan takut yang hampir membuatnya gila.
Di rumah pak Angga, ibu Lasmi mendesah:
"... aku malu menceritakan semua ini. Tetapi apa boleh buat, belang bekas suamiku harus diketahui oleh orang kampung ini juga akhirnya."
Sunarko melirik pada arloji tangannya. Lalu berkata: .
"Persis tengah malam. Beberapa menit lagi mobil yang membawa Dorothea dan ayahnya akan segera tiba. Marilah pak Angga. Giliran kita untuk masuk, kasihan si Kardi. la tentu menghadapi situasi gawat bila kita terlambat masuk..."
Dibawah hujan deras yang menimbulkan suara ribut seperti topan, kedua orang laki-laki itu menerobos keluar dari rumah dengan diamdiam. Tak seorang penduduk pun tahu operasi yang akan dilancarkan terhadap lurah mereka. Dengan tubuh basah kuyup dan tubuh menggigil kedinginan, akhirnya mereka tiba
dihalaman rumah pak lurah. Pak Angga mengajak Kapten polisi Sunarko masuk dari halaman samping.
"Kerikil dari depan bisa menimbulkan suara," ia menjelaskan. Mereka mengendap endap ke pintu masuk. Gelap di dalam.
Dengan dada berdebar, Sunarko mendorong pintu masuk. Terbuka. la tersenyum. Kardi telah bekerja sesuai dengan rencana. Setelah berada di dalam pintu dibiarkan tetap terbuka, kemudian mereka berpencar mencari tempat persembunyian. Di persembunyiannya, Sunarko memikirkan nasib Parman, Laki-laki bertongkat kayu itu tak mungkin masuk dari pintu depan. Ia sendiri yang mengusulkan untuk masuk dari jalan rahasia dibagian tebing sungai
"Mudahan-mudahan rencana Parman berjalan sesuai dengan rencana maupun ceritanya yang hampir-hampir tak masuk akal itu," doa Sunarko dalam hati: "Kalau semua ini tak benar, kedudukanku di kantor benar-benar berada di ujung tanduk..."
Di kamar tidurnya, pak lurah juga menyadari adanya bahaya yang mengancam, bahaya apa ia tidak tahu sama sekali. Namun ia merasa sangat ketakutan. la meringkuk dalam selimut. Menggigil kedinginan biarpun selimut itu tebal dan kamarnya terang dan hangat. Suara topan badai menerpa lewat jendela kaca. Sesekali petir menyambar, menimbulkan kilatan-kilatan mengejutkan di luar rumah. Pak
lurah menggerutu. Ia lupa menutupkan bagian depan jendela. Tetapi untuk turun dari tempat tidur, ia sama sekali tak berani. Satu jam yang lalu, ia dengar Kardi berlari-lari turun dari tangga atas seraya berteriak-teriak ketakutan:
"Tingkap terbuka. Pakunya lepas! Tetapi tak ada orang...!"
Sedang meringkuk ketakutan pulakah si Kardi di kamarnya" Sialan! Ia seharusnya menemaniku, pikir pak lurah. Lalu ia beraniberanikan dirinya turun dari tempat tidur. Lututnya gemetar. Ia paksakan berjalan. Gontai.
*** DUA PULUH ANGIN DlNGlN berbau hujan menerpa wajah Pak lurah ketika pintu kamar tidur ia buka.
Untuk sesaat, ia tertegun.
Lalu: "... Kardi." suaranya lepas. Gemetar.
Angin dingin menerpa lagi. Bau hujan kian keras. Ada suara rintikrintik air di lantai ruangan depan. Pak lurah segera sadar, kalau pintu depan ternganga. Diantara rasa takutnya, segera timbul rasa marah. la berteriak:
"Kardi keparat! kupecat kau! Kardi! Kardi! dimana kau?"
Petir menyambar diluar dengan tiba-tiba, seolah menjawab teriakan pak lurah. Cahaya yang sekilas menyambar ke dalam memberikan suasana yang kelam dan pengap. Topan mengguruh di luar. Tak pernah hujan sederas ini, pasti sungai di belakang rumah banjir kembali. Sawah-sawah akan tergenang air Termasuk sawah... ah ia tak perduli apakah sawahnya yang padinya sudah mulai menguning akan dilanda air sungai. Yang ia inginkan
sekarang ialah menutup pintu depan yang menyebabkan air hujan masuk ke dalam rumah. Setelah itu ia akan memutar tombol lampu ruangan itu. Sialan benar, mengapa tombol itu berada di dekat pintu masuk, bukan di dekat pintu kamar tidurnya!
Pak lurah berjingkat-jingkat dengan hati hati.
Angin dingin kian menerpa. Malah air hujanpun mulai menamparnampar tubuhnya.
Ia menggigil, dan menggigil terus.
Dan tiba-tiba pak lurah terpaku ditempatnya berdiri. Dengan mata terbeliak, ia menatap kearah pintu masuk. Petir yang menyambar sekilas memperlihatkan bayangan sesosok tubuh diambang pintu. Mata pak lurah yang tajam segera mengenali bayangan tubuh itu. Bukan Kardi. Sebab lekak-lekuk tubuh yang sekilas diterangi kilat itu memperlihatkan bentuk tubuh perempuan.
"Sia" siapa.. kau?" pak lurah bertanya Serak.
Sebagai jawaban, petir menyambar lagi.
Pak lurah menutup mulut menahan teriakan kaget yang mau keluar. Bayangan itu, biarpun membelakangi cahaya kilat yang menyambar cuma beberapa detik, tetapi ia bisa melihat pakaiannya yang compang-camping. Setengah telanjang. Rambutnya tergerai ditiup angin, berkilau-kilauan karena basah oleh air hujan, di matanya pak lurah membayangkan tidak saja perempuan itu bertubuh setengah
telanjang serta berpukaian compang camping kehujanan. Tetapi" luka memar disana sini. Ada darah. Ya darah. Pak lurah mencium bau darah!
Tiba-tiba ia ingin lari. Ingin menjerit minta tolong. _
Tetapi seluruh tubuhnya lumpuh. Lidahnya
kelu. Bayangan itu mulai melangkah. Masuk.
Pak lurah mengumpulkan semua tenangnya. Apa daya, cuma suara gemetar yang ia peroleh dan kemudian lepas dari bibirnya:
'" kau itu" Lila"
Disalah satu sudut ruangan itu, seorang laki-laki yang lain juga merasakan getar yang amat _sangat disekujur tubuhnya, sehingga ia sendiri hampir berteriak ketakutan.
Ia adalah pak Angga. Yang segera bisa menguasai diri. Benar, ia pernah melihat tubuh seperti itu telah menjadi mayat, yang rusak mengerikan. Tubuh Lila.
"Ah!" Pak Angga bersungut-sungut sendirian. Dalam hati, menekan rasa takut. 'Bodoh bener aku ini. Bukankah itu tubuh perempuan lain" siapa namanya kata mereka" Lila Ria" Tea. Oh. Ya. Aku ingat sekarang. Dorothea! Seorang juru rawat rumah sakit. Dikota. Saudara perempuan Lila dari ibu yang lain. 0, alangkah miripnya Lila dan Dorothea. Jadi ia telah datang tepat pada waktunya, sesuai dengan yang dijanjikan. Tetapi mana si Suharja yang pernah mengaku sebagai polisi itu" Oh.
205 Ya tentu berdiri diluar. Siap siaga menjaga halhal yang bisa merusak rencana. Hem pak lurah. Tak kusangka kau sebenarnya seorang bajingan tengik, manusia berjiwa iblis!"
Dengan dada berdebar, ia menanti apa yang selanjutnya akan terjadi. Bayangan tubuh itu bergerak terus ke depan, mulai membuka mulut.
'Mengapa, pak lurah" Takut padaku?"
"Tetapi:... tetapi..."
Terdengar suara mengikik. Halus Lalu:
"Aku sudah mati" Ya. Aku memang sudah mati.. kau ingat, pak lurah" Kau ingin" Kau yang telah membunuhnya!"
Pak lurah ingin pingsan rasanya. Tetapi tak bisa: la memprotes dengan keras:
"Tidak. Tidak benar!"
"Kau.. kau yang membunuhku!'
"Lila, aku.. aku tidak bermaksud membunuhmu. Aku... aku.. " "Kau Memperkosaku. eh" Mau minta balas jasa atas kebaikan kebaikanmu selama suamiku di penjara eh"'
"Itu.... salahnya. Mengapa ia melanggar pantangan jimat, Sehingga ia tertangkap!" Bayangan itu terkikik lagi. Lengking dan keras, Badai diluar menyambutnya. Petir. Guntur. Derai hujan.
"Kau selalu menuduhkan kesalahan pada orang bukan, pak lurah" Padahal hasil rampokan Parman, kau yang memakannya. Ia berada dibaWah perintahmu: DibaWah pengaruh sinar matamu yang busuk dan berbau iblis
itu. Sudah kau biarkan ia menderita dibalik jeruji besi. mau kau diperkosaiku pula aku. Isterinya. Manusia apa kau ini, pak lurah'!" Tak puaskah kau dengan mencuri mayat-mayat bayi untuk kau jadikan jimat pengumpul harta dan.. eh, pak lurah. Katanya jimat itu bisa menangkal bahaya. Kini.. kenapa kau takut" Sudah tak berhasilkah kekuatan jimat dan pengaruh matamu menolong dirimu sendiri" Ayo pak lurah. Tangkaplah aku. Perkosalah aku seperti dulu kau pernah mencobanya..."'
"Tidak.. tidak. Jangan dekati aku..jangan!"
'Kok malu-malu. Bukankah kau yang seratus malam yang lalu ingin mencicipi kehangatan tubuhku" Masih ingatkah kau, pak lurah" Ini malam yang keseratus. Aku akan membalas dendam. Sudah kubilang, aku akan membalaskan sakit hati..."
'Jangan. Jangan kau ganggu aku. 0, Lila Jangan! Ampunilah dosaku. Aku.. aku toh tak jadi memperkosa kau. Kau lari keatas. Kau lari. Lila. Kau lari..."
"Tetapi kau terus mengejarku!" ancam Suara bayangan itu ketus. Lantas ia mengikik" Kau kejar, bukan" Kau kejar?"
"Aku bermaksud baik. Lila. Agar kau... o, salahmu. Mengapa kau tak mau menuruti kehendakku, padahal aku ingin membahagiakanmu. Salahmu mengapa kau terjun kebawah sehingga tubuhmu hancur oleh batu cadas dan kau hanyut dibawah sungai yang banjir...'
"Lagi-lagi kau menyalahkan orang seenak
perutmu. Kini, terimalah pembalasanku, pak lurah..."
Lalu, bersamaan dengan ancaman itu, bayangan tadi bergerak lebih dekat Pak lurah jatuh. Berlutut. Menyembah ;
"Maafkan aku. Ampuni dosa-dosaku, Lila Maafkan aku!"
Dan tiba-tiba pak lurah berteriak dengan kaget. la menengadah muka lampu ruangan itu menyala tiba-tiba. Terang benderang. Namun bayangan tubuh yang mengerikan itu tetap berada dihadapannya. Setengah telanjang Rambut basah kuyup seperti tubuhnya, dari dahi dan mulutnya mengucur darah memerah. Perempuan itu menyeringai... Pak lurah menggigil, dan kembali memohon ampun seraya menyembah.
"Jangan bunuh aku. Lila Jangan bunuh aku..."
'Tak ada yang akan membunuhmu, pak lurah. Kau ditangkap!"
Suara yang sangat asing itu mengejutkan laki-laki tua renta yang masih bersimpuh di lantai. Ia menatap liar kesekelilingnya. Lalu ia lihat dari balik daun pintu muncul seorang lakilaki berseragam kepolisian dengan pangkat Kapten. Dari balik rak hias muncul pak Angga dan dari ruangan dalam ia lihat Kardi melangkah seraya tersenyum-senyum. Setelah dekat dengan petugas berseragam itu, Kardi menggerutu:
"Bajingan ini hampir-hampir saja mem
perkosaku. Hiiiii, bisa menjerit isteriku dirumah bila kuceritakan..."
Suara mereka terputus ketika mendengar detak-detak tongkat kayu. Mereka menoleh kearah ruangan dalam: Parman melangkah terseok seok dengan kaki sebelah dibantu tongkat kayu. Mendekati perempuan yang perlahan lahan tanpa mereka sadari telah menjauh. Ketika mereka yang ada diruangan itu menoleh, mereka lihat perempuan yang sebenarnya bertubuh montok dan berwajah cantik tetapi kini tampak mengerikan itu, telah berdiri diundakan anak tangga menuju ketingkat atas.
"... kemarilah, kekasih. Kemarilah" terdengar suara berbisik dari mulutnya: Parau, tetapi mesra:
Parman bergerak ke arah perempuan itu. Menaiki undakan anak tangga.
Semua yang ada diruangan itu merasa heran. Peristiwa yang mereka lihat, berada diluar rencana. Tetapi siperempuan tidak bermain main. Ia terus naik, diikuti oleh Parman.
"Sudah kubilang" aku tetap menunggumu bukan, Parman sayang'.
"Ya, sayangku: Kau isteriku yang setia. Aku datang padamu, kasih. Datang beserta segenap cintaku?"
Sunarkolah yang mula-mula tersadar.
Sementara Kardi membelenggu tangan-tangan pak lurah, Sunarko berseru memanggil:
'Thea.. apa.. Ha. Parman. Kesinilah kalian!"
Tetapi baik bayangan tubuh itu maupun
Parman telah menghilang. Yang terdengar hanya detak-detak tongkat kayu Parman, menaiki anak tangga demi anak tangga dengan susah payah. Semua yang melihat tak mengerti, dan tiba-tiba menjadi sangat terkejut waktu mendengar suara orang berlari-lari dari luar. Mereka semua menoleh. Pak Sunarko berseru ta'jub:
"Dorothea!" Gadis itu berlarian masuk. Bertanya heran:
"... apa yang terjadi" Mengapa suasana yang kutemui tidak sesuai dengan rencana?"
SUnarko mengerdip-ngerdipkan mata. Juga Kardi. Juga pak Angga. Bahkan lurah.
"Bukankah kau..." Sunarko bersungut-sungut tak mengerti.
"Maafkan, pak Narko. Pakaian yang compang-camping dan make up untuk darah tertinggal, sehingga kami kembali kekota dulu untuk mengambilnya. Tak kusangka kalau keterlambatan kami akan..."
"Sudahlah". Sahut Sunarko." Semua berhasil sesuai dengan rencana. Tetapi siapa perempuan yang tadi muncul di sini?"
"Perempuan?" Dorothea mengernyitkan dahi.
"Ia... Lila?" pak lurah bersungut-sungut tiba-tiba. Wajahnya yang pucat kini membiru. Biru legam.
Pucat pulalah wajah Dorothea.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia menguakkan mereka dan berlari-lari menyongsong kearah
anak tangga hingga yang menuju keteras atas seraya
berteriak memunggu-manggil:
"Parman! Parman! Ini aku, Thea! Parman! Parman!"
Suara hujan diluar sahut bersahut dengan suara Dorothea. Ia baru saja menginjak anak tangga terbawah, ketika dari atas terdengar suara teriakan yang menyayatkan hati. Suara Parman. Sunarko, pak Angga dan Dorothea segera menghambur menaiki tangga terus keatas. Hujan menyambut mereka setiba diteras yang terbuka. Mereka langsung berlari kepinggir teras, dan mencondongkan tubuh ketembok, memandang ke bawah dari arah mana teriakan kedua menggema. Petir menyambar sedetik. Namun cukup bagi mereka melihat bayangan tubuh Parman menghantam batu cadas, kemudian hanyut dibawah arus sungai yang deras.
Seketika, Dorothea menjerit lalu jatuh pingsan.
Dan semua penduduk desa itu memuja kebesaran Tuhan, ketika keesokan harinya mayat Parman ditemukan tersangkut di atas pohon dimana dulu tubuh Lila, isterinya, juga ditemukan sudah menjadi mayat. Mereka menguburkan Parman disebelah isterinya.
Semua orang berdo'a, semoga suami isteri itu berbahagia disisi Tuhan"."
catatan : buat para pembaca kisah ini.. yuk gabung di Group Fb Kolektor E-Book untuk mendapatkan ebook ebook terbaru lainnya...
dan yang suka baca online cerita silat dan novel bisa kunjungi http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Terimakasih. TAMAT Kelana Buana 25 Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon Perguruan Sejati 10

Cari Blog Ini