Kanibalisme Di Atas Sekoci The Boat Karya Walter Gibson Bagian 2
Kedamaian besar, kedamaian dari kelelahan yang amat sangat, mulai kami rasakan. Kami serasa sudah berbaring di sana dan mati, kalau saja tidak diganggu oleh gerakan lebih jauh. Mula-mula oleh lintah rawa dan kemudian oleh lalat, dua kali lebih besar daripada lalat kuda Inggris. Mereka datang untuk menyerang kami, memaksa kami kembali ke pantai.
Sebelum kami mulai bergerak, aku mungkin sudah mati kalau tidak ada Doris Lim.
Aku tertidur lagi, dan terbangun dengan mendapati diriku terbenam di rawa dengan hanya kepala berada di atas lumpur. Gadis itu menopang bahuku dan dengan kalut memaksaku menggerak-gerakkan tubuh untuk membebaskan diri.
Anehnya, sejak kami tiba di daratan, dialah yang selalu mengambil inisiatif. Padahal sejak hari pertama sampai hari terakhir di sekoci, dia sangat pasif.
Sekembalinya di pantai, kami melihat ke arah sekoci yang terdampar di karang. Di mana-mana tidak ada tanda keberadaan orang-orang Jawa itu. Kami pasti sudah berbaring di pantai selama berjam-jam. Halusinasi aneh menyergapku.
Di tepi rawa, tumbuh pohon tak berdaun yang kelihatannya sudah mati. Di dahan-dahannya dapat kulihat satu per satu wajah orang-orang yang ada di sekoci. Wajah seperti serigala milik orang-orang Jawa, wajah Mrs Nunn, Corrie, dan Brigadir, semua ada di sana.
Wajah-wajah itu tidak bergerak dan tampak seperti batu. "Mereka semua sudah sampai di sini," pikirku. "Mereka membatu. Itulah yang akan terjadi pada kita." Di sekelilingku, di karang-karang dan batu-batu pantai, aku melihat wajah-wajah lain.
Tiba-tiba kulihat sebuah sosok melompat menuruni pantai menuju laut dan berjalan ke sekoci kami. Itu sosok Piper McFayden, anggota band Argylls di Secunderabad saat aku juga ikut memainkan alat musik tiup. Dia tidak pernah menjadi teman dekatku, dan aku juga tidak pernah memikirkannya selama bertahun-tahun.
Tapi di sanalah dia, melompat menuruni pantai dan melangkah bersemangat ke arah sekoci. Aku disergap oleh kesadaran yang mencekik dan menakutkan bahwa sekoci itu jahat, jahat sekali. Aku ingin memperingatkan McFayden. Aku berusaha berteriak padanya, tapi tak ada suara yang keluar.
Masih kuingat dengan jelas usahaku untuk meneriakkan kata-kata itu, "McFayden, jauhi sekoci itu." Kulihat dia berjalan langsung ke sekoci dan merangkak naik. Lalu, bayangan itu memudar.
Pada saat-saat sadar, kami masih dapat mendengar burung berkicau di hutan di belakang kami. Kami tahu, seharusnya kami berusaha masuk lebih jauh ke pedalaman dan mencari air, tapi kami sudah kehabisan tenaga.
Sekitar tengah hari, kami melihat sebuah sosok di atas sampan, kira-kira 91 meter ke arah laut. Semula kukira itu hanya halusinasi lebih jauh, sampai kusadari bahwa Doris Lim juga melihatnya.
Kami melihat saat sampan itu bergerak melewati sekoci dan muncul di pantai. Ini membuatku sadar bahwa di sebelah sana pasti ada semacam anak sungai.
Kami mulai merangkak ke arah itu. Jauhnya tidak mungkin lebih dari 914 sampai 1.371,6 meter, tapi kami butuh waktu sepanjang siang dan sampai malam untuk menempuhnya. Kami hanya maju 0,9 atau 1,8 meter dan kemudian berhenti, kelelahan.
Akhirnya, di sana, di hadapan kami, di bawah sinar bulan, tampak beting dan sungai yang luas. Pantai itu melandai ke arah air. Bersama-sama, kami merayap turun.
Kami berbaring dan meneguk air. Hmm, segar. Rasanya seolah kami tidak ingin berhenti minum. Kami sudah pergi begitu jauh untuk mengingat perintah lama agar hanya minum sedikit, tapi sepertinya air itu tidak membahayakan.
Secepat kami minum, air itu mengalir ke sekujur tubuh, seolah kami menuangnya di mulut sebuah corong hanya untuk keluar di ujung yang lain.
Setelah puas, seluruh energi digunakan lagi. Kami merayap naik dari anak sungai dan jatuh tertidur, berdempetan di balik sebuah batang pohon di pantai.
Kami bangun dan mendapati diri kami dikelilingi sekelompok penduduk pulau itu.
Sosok-sosok mereka cukup menakutkan. Semua telanjang, hanya memakai cawat, dan semua ditato biru mulai dari pusar sampai ke bibir bawah.
Orang-orang itu tidak punya bulu mata, tidak punya alis, gigi ditatah berbentuk runcing, serta membawa tombak, panah, dan parang. Mereka adalah orang Mentawai, sebuah suku Polinesia.
Dalam benakku berkelebat kisah Robinson Crusoe, kanibalisme, dan kartun tentang kuali memasak penduduk asli. Sekarang kedengarannya cukup lucu, tapi saat itu sangat serius.
Kami menunjuk perut dan mulut kami, tapi sosok-sosok itu mengabaikan kami. Mereka saling bicara sendiri, jelas membahas apa yang akan mereka lalukan terhadap kami.
Lalu mereka memutar tubuh dan berjalan menjauh menyusuri anak sungai ke arah hutan. Bisa kami dengar tabuhan genderang dan langit menjadi merah karena api mereka.
Sekitar satu atau dua jam kemudian, sebuah kano muncul di anak sungai. Kano itu didayung oleh dua bocah laki-laki berumur sekitar dua belas atau tiga belas tahun, sambil membawa parang.
Mereka melompat ke daratan dan berlari ke arah kami. Lagi-lagi kami menunjuk ke mulut dan perut kami.
Mereka berceloteh dan nyengir bahwa mereka mengerti. Salah satu berlari ke arah pohon kelapa dan kembali dengan membawa dua kelapa hijau yang mereka buka dengan parang. Mereka menonton saat kami meminum air dan memakan daging kelapa. Mereka mengambilkan kelapa lagi, membukanya, meletakkannya di samping kami, lalu kembali ke kano dan mendayung menjauh.
Saat fajar, datang kano lain yang ditumpangi oleh dua orang. Mereka mengangkat kami, menempatkan kami di kano, dan mendayung menuju laut terbuka.
Kami pasti sudah bergerak menyusuri pesisir pulau itu selama tiga atau empat jam sebelum mereka berbelok ke sebuah pantai, mengangkat kami dari kano, dan dengan kasar membuang kami.
Kemudian, kami menyadari bahwa mereka meletakkan kami di sana agar ditemukan oleh penduduk sebuah desa Melayu yang berada tak jauh dari situ.
Pulau itu digunakan oleh orang Belanda sebagai tempat pengasingan, seperti Pulau Andaman yang digunakan oleh India. Penduduk Melayu itu merupakan orang-orang hukuman yang telah mendirikan perkampungan di dekat pantai.
Malam itu, dua orang Melayu membawa kami, dengan terbungkus sarung, ke pondok-pondok mereka.
Di sana, di teras, berbaring dua orang Jawa dari sekoci kami. Tampak seperti kerangka, tapi masih hidup. Mereka menatap kami dengan dingin, tidak ada salam sedikit pun atau tanda-tanda mengenali.
Dengan rakus, kami melahap ikan dan nasi yang dibawakan orang Melayu itu sebagai makanan pertama kami. Kami tinggal di desa itu selama enam minggu sebelum tentara Jepang datang dan membawa kami ke kamp tahanan dan babak baru. Di desa itulah, kami memperoleh kembali daging dan kekuatan kami yang hilang.
Satu kenangan tentang pulau itu tampak lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain, yaitu pada hari tak lama setelah kami berada di daratan ketika orang-orang Melayu itu membawakanku sebuah cermin.
Aku mulai terbiasa dengan pemandangan si gadis China. Wajahnya yang dulu cantik sekarang seperti wanita tua. Wajah yang dibingkai rambut lurus dan lepek. Badannya yang dulu memikat, sekarang jadi kurus kering, ceking, dan merah akibat gesekan sekoci. Tulang-tulang rusuknya menonjol dan matanya yang dalam dan ekspresif tampak suram akibat penderitaan.
Mereka membawakanku sebuah cermin. Ketika aku melihat ke arah cermin, seraut wajah lain balas menatapku. Liar, hitam, dengan tulang pipi menonjol seperti wajah seorang fakir India, dengan rambut serta janggut panjang dan kusut. Wajah itu bertengger pada tubuh yang benar-benar tanpa daging, kulit meregang hitam dan terbakar di bagian rusuk, serta pantat benar-benar lenyap sehingga yang bisa dilihat hanya kerangka pinggul.
Bagi seluruh dunia, itu seperti melihat seonggok perabot hangus, kerangka tak berbentuk yang selamat dari kebakaran. Tapi setelah kuletakkan cermin itu, Doris Lim dan aku berpandangan. Tiba-tiba, untuk pertama kali sejak serangan torpedo, seulas senyum mengembang di wajahnya.
Kami hidup. BAB 8 Kami tinggal selama enam minggu di Pulau Sipora, yang berjarak hanya sekitar 161 km dari pelabuhan Padang, tempat kami mengangkat sauh dengan kapal Roseeboom. Setidaknya setengah dari enam minggu itu berlalu sebelum kami bisa merasa telah memperoleh kembali, kekuatan kami"meskipun hanya sebagian.
Semula, orang-orang Melayu itu menempatkan kami di sebuah pondok tempat menyimpan alat-alat penangkap ikan, keranjang-keranjang tua, dan ikan-ikan kering. Pondok itu mengingatkan kami pada ungkapan Shakespeare yang sangat bermakna "bau yang kuno dan seperti-ikan".
Kami berkata pada orang-orang Melayu itu bahwa kami adalah suami istri dan harus dibiarkan tinggal bersama. Tiba-tiba sepertinya kami tidak suka pada pikiran akan dipisahkan.
Luka-luka akibat air laut memerlukan waktu lama untuk sembuh, tapi para wanita di pulau itu berusaha sekuat tenaga membantu kami dengan ramuan dan salep.
Luka terbakar matahari yang hitam mulai mengelupas sedikit demi sedikit, membuat kami belang, sehingga wajah kami jadi tampak aneh.
Lambat-laun, setelah kekuatannya kembali, Doris Lim jadi lebih banyak bicara. Dan, aku mendengar seluruh cerita tentang peristiwa yang membawanya menjadi penumpang kapal Rooseboom.
Doris lahir di Shanghai, orangtuanya sudah meninggal. Tapi dia hanya bisa bicara sedikit bahasa China, karena dibesarkan di sebuah biara Amerika.
Sepanjang tahun 1933, pada masa-masa awal agresi Jepang di China, dia dilibatkan untuk bekerja pada badan intelijen China dan Inggris.
Dia sudah bekerja di Tientsin sebelum pendudukan Jepang di sana, dan keluar tepat pada waktunya.
Lagi-lagi di Shanghai, dia melarikan diri ketika Jepang datang, dan pergi ke Singapura. Di sana, dia bekerja selama beberapa waktu sebagai asisten seorang juru kamera siaran berita China, perwakilan Timur Jauh Metro-Goldwyn-Mayer.
Ketika serangan Jepang terhadap Singapura makin intens, orang film itu berusaha mencarikan Doris selembar tiket ke Batavia.
Tapi kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan kewarganegaraan menghalangi, sehingga Doris menjadi tanggung jawab British Press Relations Office (Kantor Hubungan Pers Inggris).
Saat Singapura jatuh, Doris ikut bersama lima wartawan surat kabar yang melarikan diri dengan menggunakan kapal api Kung Wo. Menurut cerita Doris, kapal itu berangkat dari Singapura pada hari Jumat, tanggal 13 Februari.
"Kejadiannya benar-benar mencekam," katanya. "Dengan segera kami dibom oleh sebuah pesawat Jepang dan
berbaring tak berdaya, sama seperti banyak kapal lain di sekitar kami, di antara pulau-pulau."
Mereka tidak punya pelampung dan tak ada rakit, tapi seluruh penumpang kapal"jumlahnya lebih dari seratus orang, mengadakan perjalanan bolak-balik ke salah satu dari pulau-pulau itu dengan menggunakan satu sekoci mereka.
Sebuah kapal penghancur membawa mereka ke Jawa. Rekan-rekan Doris memilih melanjutkan perjalanan ke Australia, tapi gadis China itu lebih suka bergabung dengan kapal yang menuju ke India. Dia tidak pernah memberitahuku alasannya.
Karena itulah dia bergabung dengan Rooseboom di Batavia, dan naik kapal itu ketika kapal yang berlabuh di Padang itu menjemput para penumpang lain.
Di antara orang-orang yang berhubungan denganku setelah kisahku muncul untuk pertama kali di surat kabar adalah Athole Stewart, koresponden perang Australia, salah satu dari lima rekan Doris di Kung Wo.
"Dia gadis kecil yang sangat menarik," ujar Stewart. "Kami sering memuji kecantikannya, bahkan menurut ukuran orang Eropa.
"Saat mengucapkan salam perpisahan padanya di Batavia, kami semua berpikir bahwa dia turun demi keselamatan, dan Australia akan menjadi tempat yang berbahaya.
"Doris sepertinya menjadi maskot kami selama hari-hari buruk di Singapura dan selama kami melarikan diri. Dia tipe gadis yang membuatmu kagum pada keberanian wanita."
Suatu hari aku mengatakan pada Doris bahwa kami lebih baik masuk ke hutan dan berusaha tinggal bersama penduduk asli agar tetap jauh dari jangkauan Jepang. Ya, itu sepertinya lebih baik daripada kami menunggu sampai pasukan Jepang datang ke pulau dan mencari kami (seperti yang kami berdua yakin akan mereka lakukan suatu hari).
Dia mengangkat bahu dan berkata, "Apa gunanya" Bagaimana kita akan hidup" Penduduk asli antiorang kulit putih. Tak seorang pun bisa dipercaya."
Apa yang akan kaulakukan, tanyaku, kalau pasukan Jepang datang"
"Aku?" jawabnya. "Aku akan dibunuh. Kau akan baik-baik saja. Kau akan jadi tawanan perang."
Dua suku membentuk populasi di Sipora, yaitu penduduk asli Mentawai dan para pendatang Melayu.
Sebagian besar tanah telah dibagikan oleh Belanda pada orang-orang Mentawai, karena orang-orang Melayu terlalu malas untuk menjadi petani yang baik.
Orang-orang Mentawai mengolah tanah, menanam padi, singkong, kacang, dan buah-buahan. Mereka berdagang dengan orang-orang Melayu dengan menggunakan sistem barter, membawa hasil panen dan menukarnya dengan barang-barang kebutuhan lain.
Biasanya orang-orang Melayu memuaskan diri dengan pergi memancing. Begitu merasa cukup sehat, aku pergi melakukan satu atau dua perjalanan memancing.
Metode memancing orang Melayu adalah pergi naik perahu kecil, menjatuhkan satu ujung jaring, lalu berlayar memutar dan menjatuhkan ujung jaring lainnya pada jarak yang cukup jauh.
Seluruh penduduk desa kemudian akan bergabung untuk menarik jaring tadi ke pantai, di mana hasil tangkapan dibagikan pada setiap orang.
Setelah itu aku ikut ambil bagian dalam banyak perjalanan memancing bersama orang-orang Mentawai di bagian lain pulau. Perjalanan-perjalanan itu menarik.
Para penduduk asli berpawai melewati desa pada larut malam sambil membawa obor berkobar. Lalu, berlayar ke teluk dengan memakai sampan-sampan, dengan obor masih berkobar. Cahaya obor menarik ikan-ikan ke permukaan air. Dengan cekatan, mereka menombak ikan-ikan itu.
Orang Mentawai ahli menembak dengan busur dan panah. Busur-busur mereka berukuran besar, sepanjang 1,8 meter dan sangat kuat. Saat mencoba busur, aku hampir tidak bisa menariknya ke belakang. Dengan busur dan panah itulah para penduduk asli berburu monyet, iguana, dan beruang-beruang kecil di hutan.
Mata panah diolesi dengan racun yang cepat-bereaksi, yang disiapkan oleh kaum perempuan. Setelah binatang terbunuh, bagian daging tempat panah tertancap harus dipotong.
Suatu hari aku melihat seorang Mentawai memanah monyet dari jarak yang tampaknya sangat jauh. Maka, aku mengukurnya. Ternyata sekitar 102 meter.
Proses memasak penduduk asli dilakukan dalam tunas bambu yang berlubang. Orang Mentawai mengisi wadah bambu itu dengan makanan, menutupnya, lalu melemparnya ke atas api.
Lalu bambu itu dikeluarkan dari api. Lapisan luarnya dikelupas dengan menggunakan parang dengan ayunan yang cekatan sehingga menampakkan makanan, siap untuk dimakan.
Banyak orang Mentawai beragama Kristen. Mereka mudah dikenali karena memotong rambut dengan gaya orang Eropa. Mereka juga memakai celana panjang dan rompi, bukan cawat dan hiasan-hiasan hidung seperti yang dipakai orang-orang non-Kristen.
Doris dan aku menghabiskan bagian akhir dari masa tinggal kami di Sipora di desa Mentawai terpenting. Desa ini disemarakkan oleh dermaga yang dibangun Belanda dan oleh sebuah jalan utama, Juliana Street. Jalan ini menghubungkan dermaga dengan pos kesehatan yang dibangun oleh orang-orang Jerman sebelum perang.
Sampai saat-saat terakhir, aku tetap menjadi objek keingintahuan besar. Waktu makanku selalu mengundang kedatangan banyak orang.
Beberapa kelompok pemuda dan pemudi datang untuk melihatku makan, di sela-sela obrolan, tawa kecil, dan komentar-komentar cerdas.
Akhirnya aku mulai menerima kehadiran penontonku seolah mereka adalah orkestra yang sedang dimainkan untukku di sebuah restoran!
Orang-orang Mentawai hidup berkelompok, di pondok-pondok besar yang didirikan di atas tiang-tiang setinggi 3,7 meter dari tanah.
Sebagian pondok memiliki panjang lebih dari 30,5 meter, ditempati oleh beberapa keluarga dalam bilik-bilik terpisah. Di sebuah ruangan di tengah pondok, dewan tetua akan bertemu untuk membicarakan urusan yang berhubungan dengan masyarakat.
Aku diberi tahu bahwa para pemuda dan pemudi Mentawai biasanya menikah saat mereka berumur sekitar sebelas atau dua belas tahun. Di sana ada tradisi pernikahan percobaan. Setelah menyampaikan niat mereka pada para tetua, pasangan muda ini mencoba hidup bersama selama dua minggu.
Kalau pada akhir waktu itu mereka masih ingin menikah, mereka akan melakukannya. Kalau tidak, hubungan itu pun berakhir.
Semua orang Mentawai merokok sejak umur yang masih sangat muda. Suatu sore aku duduk di tengah perbincangan dengan dua tetua suku. Aku heran saat seorang bocah telanjang dan kurus"umurnya tidak mungkin lebih dari dua atau tiga tahun, berjalan tertatih-tatih melewati kami sambil mengisap sebuah rokok besar dari daun palem yang digulung.
Salah seorang tetua sedang mengisap pipa yang tidak dinyalakan. Bocah itu mendatanginya dengan santun dan menawarkan api padanya.
Keanehan lain yang sulit kuterima adalah suara berat kaum perempuan dan suara falsetto bernada tinggi laki-laki Mentawai. Rasanya aneh mendengar tawa lantang yang berat dari seorang perempuan dan kemudian cekikikan seperti suara remaja bernada tinggi dari seorang laki-laki.
Aku menjadi sangat akrab dengan guru sekolah dan mantri kesehatan yang menjaga pos rumah sakit.
Mereka berdua orang Batak. Dan, seperti semua anggota suku Sumatra, mereka lemah lembut dan sangat cerdas.
Mereka mengobati Doris yang terkena malaria, sehingga sekarang keadaannya telah membaik. Mereka mengeluarkan sepotong logam yang bersarang di kakiku ketika terjadi serangan torpedo, dan mengobati luka itu.
Bahuku yang patah sama sekali tidak terasa mengganggu sejak Mrs Nunn membuatkan kain gendongan pengganti sementara. Bahkan selama bentrokan dengan geng pembunuh di kapal, aku sama sekali tidak menyadarinya.
Guru dan mantri itu beragama Kristen dan mengerti bahasa Inggris sedikit-sedikit"membuatku senang.
Tempat tugas mereka dilengkapi gereja, sebuah pondok medis, dan sebuah bangunan dari batu yang digunakan sebagai rumah sakit.
Pengobatan harian di rumah sakit dan banyaknya makanan seperti nasi, ikan, pisang goreng, dan kentang yang diberikan pada kami segera mulai menunjukkan hasil pada kesehatan kami secara umum.
Tapi suatu hari aku terkejut. Seorang Mentawai"satu dari sedikit orang yang pernah menunjukkan sikap bermusuhan terang-terangan pada kami"maju ke hadapanku di sebuah jalan setapak dan berseru, "Balanda, sudamati" ("Orang kulit putih, kau akan mati.")
Mereka selalu memanggilku dengan istilah yang mereka gunakan untuk menyebut orang Belanda. Balanda secara harfiah berarti "Redneck" (orang kulit putih), hampir sama dengan kata Rooineck yang digunakan di Afrika Selatan. Tidak peduli berapa kali aku menjelaskan bahwa aku bukan orang Belanda, gambaran itu masih bertahan.
Orang Mentawai itu menunjuk tubuhku dan berkata, "Beri-beri," lalu mengulang, "Sudamati ."
Aku sama sekali tidak memahami maksudnya, tapi kedua orang Batak menjelaskannya padaku.
Kami telah terbiasa menerima beberapa porsi besar nasi di rumah mereka. Tapi sekarang, tiba-tiba, mereka mengumumkan berhenti makan nasi. Kami pun duduk memakan pisang goreng, singkong, dan sagu panggang.
Prosedur ini berlanjut selama beberapa hari. Aku bingung, karena bisa kulihat tanda-tanda nasi masih dimakan di rumah itu saat aku sedang tidak ada.
Lalu aku sadar bahwa aku menderita penyakit beriberi, disebabkan memakan nasi halus yang kurang kandungan vitaminnya. Ternyata, yang mula-mula kubayangkan sebagai tubuhku yang bertambah gemuk itu adalah gejala kelebihan cairan yang diasosiasikan dengan penyakit beriberi.
Kedua orang Batak melihat gejala-gejala itu dan tahu bahwa terus makan nasi akan berakibat fatal untukku. Mereka lalu mengganti nasi dari menu mereka dan juga menuku, bukannya memberitahuku bahwa aku sakit.
Keletihan dan apati mulai merambatiku sekitar saat ini" gejala lain dari beriberi. Aku jadi terpengaruh oleh hal-hal kecil. Misalnya, suatu hari saat sedang berjalan-jalan lesu di sepanjang pantai, aku terantuk gelendong benang dan melihat kata-kata "Anchor Mills, Paisley" tertulis di atas gelendong.
Aku bergegas menemui kepala desa dan memberitahunya dengan gembira bahwa gelendong ini berasal dari negaraku, Skotlandia.
"Tidak, tidak"London," jawabnya.
Lalu dia menjelaskan bahwa benang itu digunakan untuk memperbaiki jaring. Belanda mengimpornya ke Sumatra, dan penduduk asli membelinya saat mereka berdagang di pulau utama.
Benang itu bagus, ujarnya padaku. Benang Jepang "bukan benang bagus".
(Sekarang, tempat tinggalku hanya berjarak 10 menit berjalan kaki dari Anchor Mills. Setelah aku kembali Skotlandia, aku segera menghubungi mereka, menceritakan insiden gelendong ini, dan membawa mereka berkeliling melihat-lihat pabrik pemintalan).
Aku lalu memutuskan. Kalau harus mati karena beriberi, sebaiknya aku meninggalkan catatan tentang apa yang telah terjadi pada para penumpang kapal Rooseboom.
Jadi, aku menyusun sebuah surat dan menitipkannya pada si orang Batak, ditujukan pada komandan pasukan Inggris apa saja yang mungkin suatu hari akan datang ke pulau.
Kusampaikan kisah tentang sekoci, memberi semua nama yang kukenal dan menceritakan kembali insiden itu dengan singkat.
Kulampirkan beberapa nama dan alamat kerabatku, dan menulis: Tolong beri tahu mereka dan tolong beri tahu resimenku.
Beberapa hari kemudian, tentara Jepang tiba di Sipora.
Belakangan, bertahun-tahun kemudian, aku bisa menertawakan kelucuan yang pasti telah dibuat tentara Jepang bagi setiap penonton yang tidak tertarik saat mereka mengatur kedatangan mereka.
Mereka membuat gerakan-gerakan latihan invasi saat mendarat di hadapan sesuatu yang tidak lebih mengintimidasi daripada sekelompok penduduk desa yang ketakutan, yang persenjataannya hanya terdiri dari busur dan panah.
Tentara Jepang itu sedang berpatroli di kepulauan. Mereka tiba menggunakan kapal barkas bertenaga-uap milik militer Belanda yang mereka warisi.
Saat turun dari kapal, mereka menaikkan senapan-senapan mesin ke dermaga kecil dan mencobanya ke Juliana Street yang kosong.
Sebagian besar warga desa telah melarikan diri ke hutan, tapi pasukan Jepang itu bertekad memberi kesan dengan pamer kekuatan, dan sebuah patroli sepeda motor melesat ribut menyusuri jalan. Di belakangnya datang dua atau tiga lusin tentara naik sepeda, semua bersenjata lengkap.
Pertanyaan pertama sersan Jepang yang memimpin patroli itu kepada kepala desa adalah, "Di mana orang kulit putih itu dan gadis Chinanya?"
Tampaknya cerita mengenai kedatangan kami telah diketahui sepenuhnya oleh markas besar Jepang di Padang. Mereka curiga kami ditempatkan di sana dengan sengaja untuk menimbulkan perasaan anti-Jepang.
Kami digelandang menyusuri jalan menuju kapal barkas. Di sana ada opsir Jepang dalam seragam hijau, bot tinggi, dan sebuah pedang, duduk di sebuah meja di dek.
Dengan bantuan seorang penerjemah, kepala suku menjelaskan bagaimana kami tiba. Dia meyakinkan pada si tentara Jepang bahwa dia telah memberi kami makanan yang hanya cukup untuk membuat kami bertahan hidup sampai patroli muncul.
Kudengar penerjemah itu berbicara pada kepala suku dalam bahasa Melayu, "Ada pulau-pulau lain yang harus didatangi. Tawanan-tawanan ini tidak bisa pergi naik kapal barkas. Kau akan membawa mereka ke pulau utama bila perahu yang membawa surat-surat melakukan perjalanan berikutnya. Kau akan bertanggung jawab atas pengiriman mereka."
Lalu, sepintas kami melihat mesin yang merupakan tanda dimulainya pendudukan Jepang.
Pengawal para tetua diberi paket-paket makanan. Paket itu terdiri dari satu kaleng susu kental manis untuk setiap anggota populasi di pulau itu, tiga empat bendera Jepang untuk setiap pondok, dan bermacam-macam selebaran propaganda.
Opsir Jepang itu meneriakkan beberapa kalimat perpisahan, yang diterjemahkan oleh penerjemah sebagai ringkasan dari banyaknya kebaikan hati yang telah diberikan penduduk pulau itu pada penguasa Jepang.
Kalimat itu ditutup dengan kata-kata penentram hati bahwa siapa yang tidak bekerja sama akan dipenggal kepalanya.
Lalu patroli sepeda motor datang dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalan. Knalpot konyol mereka menimbulkan kegaduhan seperti di arena balap motor. Kapal barkas mulai berlayar ke laut lagi, dan sebagian besar penduduk desa muncul dari tempat persembunyian mereka di hutan.
Saat kami naik perahu ke Padang, ada ucapan-ucapan perpisahan bernada sedih dari penduduk pulau. Ada pula sedikit isyarat dari beberapa orang yang selera humornya menyebabkan mereka menunjuk ke arah pulau utama dan kemudian dengan penuh arti melintangkan jari-jari mereka di leher.
Pada tanggal 18 Mei, hanya 79 hari setelah kami meninggalkan Padang dengan kapal Rooseboom, kami tiba kembali di sana. Saat kami mendekati pelabuhan, aku melihat dengan takjub pada dua orang kulit putih, berkemeja putih dan bercelana pendek dril yang berjalan cepat menyusuri pantai.
Aku tidak pernah melihat wajah seorang kulit putih pun sejak orang-orang Jawa itu membunuh si penembak bertubuh besar. Maka, aku berteriak dan memberi salam pada mereka dengan bersemangat.
Mereka orang-orang Jerman yang"tentu saja, diizinkan berkeliaran di pulau itu.
Selama empat hari orang-orang Jepang menjadikan aku sasaran interogasi yang panjang. Dengan segera jelas terlihat bahwa mereka ingin sekali tahu lebih banyak tentang Doris Lim.
Pertanyaan-pertanyaan yang sama lagi-lagi dihujankan padaku. Mula-mula dalam wawancara dengan seorang
Melayu yang berbahasa Inggris, lalu dengan seorang Jepang tua bertubuh gempal yang memakai kemeja dan sarung. Kemudian, dengan seorang Jepang bertubuh tinggi dengan perban berlumuran darah di seputar kepala, dan terakhir dengan opsir berkepala-botak dari polisi rahasia Jepang.
Berapa lama aku telah mengenal Doris Lim"
Apa yang Doris lakukan di kapal Rooseboorri"
Apa yang kutahu tentang pekerjaannya"
Apa saja yang sudah dia ceritakan padaku selama di pulau"
Apakah tidak aneh melihat dia adalah satu-satunya warga China yang diizinkan naik kapal yang mengevakuasi tentara Inggris dari Malaya"
Akhirnya"pertanyaan fantastis, apakah kami sepasang kekasih"
Semua pertanyaan berulang itu diselingi oleh pertanyaan-pertanyaan lain. Dari pertanyaan-pertanyaan itu mereka berusaha mengetahui desa-desa yang telah membantu pasukan Argyll melarikan diri dari Malaya.
Kata polisi interogator, Doris mengaku telah bekerja melawan Jepang. Aku sebaiknya juga "bicara jujur" dan mengaku bahwa kami bekerja sama, bahwa Inggris telah menempatkan kami di pulau itu untuk menimbulkan kekacauan.
Untuk semua pertanyaan itu, aku menjawab semampuku, dengan segala kejujuran. Bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang Doris, kecuali detail mendasar tentang kota-kota tempat dia pernah tinggal.
Sebelum dia muncul di Rooseboom, aku sama sekali tidak pernah melihat ataupun mendengar tentangnya. Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia bisa naik ke kapal.
Tentara Jepang mengubah metode "melemahkan" mereka dengan cara yang biasanya.
Aku dibiarkan tanpa makanan selama tiga hari terakhir interogasi. Kuhabiskan sebagian besar waktu di dalam sel yang cuma ada lantai untuk berbaring, dan lampu listrik tanpa tudung yang bersinar menyilaukan sepanjang malam.
Tentara yang mengawalku ke ruang interogasi sekali-sekali meninjuku dan berkali-kali memukuliku. Si opsir dengan kepala diperban dua kali melempar kursinya ke wajahku.
Tapi yang paling menyakitkan dari semua "latihan mengendurkan lidah" itu adalah saat mereka memaksaku berlutut di atas balok kayu sepanjang sekitar 91 cm, lebar 122 cm, dan tebal 61 cm.
Sepertinya, aku berlutut di sana selama berjam-jam, dengan tangan di balik punggung dan rasa sakit yang makin menyiksa karena posisi yang tidak nyaman. Setiap kali aku bergerak untuk mengendorkan otot-otot, salah seorang penjaga akan memukul wajahku. Setiap kali aku jatuh dan berkunang-kunang akibat kesakitan dan kelelahan, aku disadarkan lagi dan pertanyaan itu pun diulang. "Apa yang kauketahui tentang Doris Lim?"
Akhirnya orang-orang Jepang itu pasti menyadari bahwa aku benar-benar tidak tahu selain dari apa yang sudah kukatakan. Aku diserahkan ke pihak yang berwenang mengurusi tawanan perang"yang menjadi tuan rumahku selama tiga tahun berikutnya.
Selama aku di Padang, hanya sekali aku dekat dengan Doris Lim. Pada akhir interogasi hari pertama, kami berdua dibawa ke dapur serta diberi makan nasi dan sayuran.
Seorang tentara Jepang melemparkan sekotak rokok pada kami. Dengan tanpa ekspresi dan tanpa menghentikan percakapan dengan rekannya, dia mencondongkan tubuh dan menyalakan rokok itu untuk kami.
Segera setelah kami selesai merokok, kami dibawa ke sel terpisah. Aku tidak pernah melihat Doris lagi.
Kira-kira seminggu kemudian, ketika aku berbaring di rumah sakit, salah seorang petugas medis berkata, "Aku punya pesan untukmu. Seseorang yang bernama Doris Lim memintaku untuk memberitahumu bahwa dia ada di rumah sakit, masih di Padang. Dia berharap kau baik-baik saja." Tapi sebulan kemudian, setelah aku dinyatakan sehat dan sedang menunggu pemindahan ke kamp penjara, petugas lain menghampiriku dan berkata, "Aku khawatir ada kabar buruk tentang gadis China yang kaubicarakan itu, Gibson. Kata mereka, dia sudah ditembak."
Sejak itu, setiap penyelidikan yang kulakukan tidak menghasilkan petunjuk lebih jauh tentang nasibnya, selain kabar itu. Pada akhir perang, aku melakukan penyelidikan di Singapura, di antara begitu banyak pihak yang berwenang sejak kepulanganku, dan di antara orang-orang yang mengenal Doris sebelum dia bergabung dengan kapal Rooseboom.
BAB 9 Setelah tiga tahun mengamati karakter manusia teraneh, yaitu orang-orang Jepang, aku masih belum memahami mereka seperti pada saat pertemuan pertama. Mungkin karena sebagai tahanan, aku tidak bisa membentuk sudut pandang yang objektif.
Tak ada standar logika Barat yang bisa diterapkan pada tindakan mereka. Suatu saat, setelah memberimu alasan untuk berpikir bahwa seseorang mungkin ternyata hanya manusia biasa yang tidak terlalu buruk, dia lalu menjadi monyet kesurupan yang mengamuk.
Dari selku di ruang interogasi, aku dibawa ke kamp tawanan perang di Padang. Aku tiba di sana dengan bertelanjang kaki, sambil memegangi celana asliku dengan satu tangan.
Sebulan kemudian seluruh isi kamp yang terdiri dari 1.600 orang Inggris, Belanda, dan Eurasia itu, dipindah dengan naik truk ke Medan, Sumatra (Jtara. Itu perjalanan sejauh 1.448,4 km, memakan waktu lima hari.
Dalam perjalanan, kami sampai pada satu titik di jalan yang memiliki arti khusus. Ditandai dengan tanda di tebing yang menjulang di masing-masing sisi kami.
Itu adalah Khatulistiwa. Para penjaga Jepang segera memerintahkan kami turun dari truk, lalu berjalan melintasi Khatulistiwa, dan naik lagi.
Salah satu truk kami selip di bagian jalan yang terjal, dan semua tawanan di dalam truk terluka.
Di rumah sakit, mereka dikunjungi oleh seorang jenderal Jepang, lengkap dengan rombongan dan dua asisten yang membawa buah-buahan dan bunga!
Dengan serius, sang jenderal bicara pada orang-orang yang terluka, menyampaikan permohonan maaf atas nama Tentara Kekaisaran Jepang yang tak terkalahkan. Ia juga meyakinkan bahwa pengemudi truk akan diberi hukuman berat atas kecerobohannya yang telah membahayakan nyawa mereka.
Saat ini, para tawanan dari Argylls berada dalam dua kelompok utama, yaitu mereka yang tertangkap sebelum Singapura jatuh dan ditahan di Kuala Lumpur, serta mereka yang ditangkap di Singapura dan ditahan di sebuah pulau di Changi.
Tapi ada juga ratusan orang kami di Sumatra atau Jawa yang telah melarikan diri ke pulau-pulau ini atau ditangkap di laut.
Kurangnya armada kapal Jepang menyebabkan kami tidak bisa dipindahkan, seperti yang mereka harapkan untuk bekerja di jalur kereta api Bangkok-Moulmein yang bereputasi buruk di Thailand.
Aku berada di kamp Medan selama dua tahun.
Selama enam bulan pertama, kamp itu berada di bawah pimpinan karakter aneh, seorang mayor lewat paruh baya yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mabuk.
Tiap pagi pukul tujuh dia akan melakukan apel, dengan memakai piama, topi militer, dan pedang.
Seperti banyak orang Jepang lainnya, dia seorang homoseksual. Sejumlah tawanan dipukuli karena menolak pendekatannya.
Pada hari-harinya yang lebih sentimental, dia akan memberi tahu kami, dengan sedih dan dengan segenap maksud dan tujuan baik, betapa dia tidak bahagia karena kejahatan kecil kami.
Lalu dia akan memaksa seorang tawanan berdiri tegap di depannya sementara dia mengayunkan pedang dua sisinya yang besar di atas kepala korban, dan menghentikan alat tajam itu dalam jarak hanya selebar rambut"sungguh. Kepada semua tawanan yang mengernyit"kulihat hanya seorang yang tidak"mayor itu menyampaikan kuliah tentang sikap takut.
Orang yang berdiri dengan sempurna meskipun pedang itu berputar di atas kepalanya adalah seorang Belanda. Mayor pemabuk kami menjabat tangannya, menepuk-nepuk punggungnya, dan memberinya hadiah buah-buahan dan rokok.
Sejak awal mayor berkeras agar penghitungan saat apel harus dilakukan dalam bahasa Jepang. Maka, akan terdengar "itchi, ni, san" ("satu, dua, tiga") diikuti dengan bahasa Inggris "four" dari individu yang pelupa atau menentang.
Lalu kopral akan memaki kami dengan sebutan "bugaros" (orang bodoh), menampar si nomor empat, dan memaksa kami mulai menghitung dari awal lagi. Kalau beruntung, dia akan mendengar kami menghitung sampai angka tujuh, lalu melakukan pertunjukan yang sama lagi.
Secara keseluruhan, keadaan bisa ditanggung di bawah peraturan komandan pertama kami. Tapi dia lalu diganti, dan orang-orang Korea pun menggantikan orang Jepang sebagai penjaga.
Orang-orang Korea itu"takut pada orang Jepang" melebihi pemimpin mereka dalam hal menimbulkan kekejaman pada tawanan. Beberapa dari kami yang menolak menandatangani formulir tidak-melarikan-diri dipaksa untuk patuh dengan rasa lapar dan haus"kami ditinggalkan lima hari tanpa makanan ataupun air.
Tapi, pada hari Natal pertama kami, setiap orang diberi sepuluh batang rokok, segelas anggur, dan ransum ekstra.
Dan, itu yang aneh. Sekarang setelah tahun-tahun berlalu, orang teringat saat-saat menyenangkan, dan saat-saat lucu. Kurasa karena saat-saat itu menonjol dalam kesuraman hidup kami.
Sekarang aku kadang-kadang menemui beberapa lelaki yang kukenal saat di Medan, dan selalu saja pembicaraan kami beralih ke hal-hal tentang tentara Jepang yang membuat kami tertawa.
Seorang tahanan"seingat kami bernama Kapten Pat Kirkwood dari I.M.S. adalah seorang Highlander dari Forres. Tubuh tinggi dan janggut hitamnya dilihat oleh orang-orang Jepang dengan kekaguman yang positif.
Dia memperlakukan mereka dengan penuh penghinaan. Bahkan saat seorang perwira senior Inggris secara keliru" kami rasa, memerintahkan agar dia mencukur janggutnya, rasa hormat orang Jepang hanya berkurang sedikit.
Tinggi badan Kirkwood sekitar 190,5 sentimeter. Orang-orang Jepang sepertinya menganggap lucu bila dia dan aku"yang jadi sangat akrab, berjalan mengelilingi pagar kawat bersama. Dia lebih tinggi tepat 26,7 sentimeter daripada aku.
Izinkan aku mendeskripsikan insiden yang menunjukkan keunikan Kirkwood.
Suatu ketika, dia sedang bercukur di luar pondok ketika seorang penjaga Jepang yang angkuh dan bertubuh kecil mendekat. Menurut peraturan, kami harus selalu membungkuk pada para penjaga. Tapi Kirkwood hanya melirik sekilas, terus saja bercukur.
Penjaga Jepang itu memaki-maki marah, tapi Kirkwood hanya memandangnya dengan tatapan menghina, memberi tanda bahwa dia sedang bercukur dan dengan gusar mengayun-ayunkan tangan agar si penjaga pergi.
Dengan berteriak penuh amarah yang amat sangat, si penjaga mengeluarkan senapan dan bayonetnya ke posisi-siap dan menyerang perut Kirkwood.
Dalam sekejap lengan kiri dokter yang panjang itu beraksi. Tangannya yang kokoh dan besar mencengkeram kerah tunik si orang Jepang hingga penjaga itu terayun-ayun dengan kaki tidak berpijak di tanah.
Dengan kalem, Kirkwood melucuti senapan dan bayonetnya, lalu disandarkan ke dinding pondok. Sambil mencengkeram si Jepang kecil sejauh panjang lengannya, dia melanjutkan memberi kuliah dalam bahasa Skotlandia, dengan klimaks pernyataan bahwa kalau orang Jepang itu membuatnya jengkel lagi, dia akan memukul pantatnya keras-keras.
Penjaga yang wajahnya nyaris hitam dan mendidih karena marah itu lalu diturunkan ke tanah, diperintahkan agar pergi dan menjaga kelakukannya.
Cerita itu menyebar ke seluruh kamp seperti api liar. Kegemparan besar terjadi karena penjaga itu tampak berjalan menuju ruang penjaga.
Lalu muncul satu regu yang terdiri dari enam orang, dipimpin oleh seorang N.C.O dengan pedang terhunus. Mereka berbaris menuju pondok kami.
Penjaga kecil itu menunjuk ke arah Kirkwood. Kirkwood pun digiring pergi ke ruang penjaga dengan pengawalan.
Selama satu jam berikutnya, kami menjadi tidak tenang karena kami tahu orang-orang yang membuat jengkel tentara Jepang biasanya akan segera dipenggal.
Tiba-tiba, sosok Kirkwood melangkah ke arah kami. Ya, Kirkwood yang kami kenal, hidup dan utuh, memakai kemeja putih berban lengan Palang Merah dan celana pendek model Pramuka miliknya.
"Apa yang terjadi?" tuntut kami. "Kau baik-baik saja" Apa yang mereka lakukan padamu?"
"Tentu saja aku baik-baik saja," jawab Kirkwood. "Mereka tidak melakukan apa-apa, kok, hanya memberitahuku bahwa melucuti senjata seorang penjaga merupakan pelanggaran serius. Bahkan, sepertinya tindakan itu bisa mendapat hukuman mati. Mereka memintaku agar tidak mengulanginya."
Beberapa kali kami melihat kesukaan orang Jepang untuk membuat hukuman yang setimpal dengan kejahatan.
Mereka sangat takut pada api, dan merokok sangat dibatasi pada waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu. Bila merokok, kami harus membawa asbak.
Salah seorang tawanan dari Belanda berumur paruh baya, tertangkap sedang merokok di luar waktu yang ditetapkan. Dia segera ditempatkan di depan ruang penjaga, dengan pipa di mulut dan setumpuk tembakau hitam beraroma menyengat ditaruh di kakinya. Dia pun diperintahkan untuk mulai merokok, tanpa boleh berhenti.
Begitu satu pipa selesai diisap, dia diperintahkan untuk mengisi pipa lain. Hal ini berlangsung selama berjam-jam, saat matahari sedang tinggi-tingginya, dan enam penjaga berdiri cuek mengawasinya.
Orang Belanda itu tampak pucat-pasi, mual setengah mati, dan pingsan beberapa kali. Tapi dia lalu dibangunkan, dan diperintahkan agar merokok lagi.
Akhirnya, saking capeknya karena muntah, dia berbaring, tak sanggup lagi menahan pipa di mulut. Kopral memberi satu tamparan terakhir dan peringatan agar dia tidak merokok lagi di luar jam yang ditetapkan.
Lalu ada kejadian ketika seorang prajurit tertangkap basah sedang makan buah di kebun yang kami tanami dan dipanen tentara Jepang.
Dia diperintahkan memetik sekitar selusin pepaya (buah kira-kira seukuran semangka). Kami disuguhi pertunjukan dan diberi contoh tentang apa yang akan terjadi pada tahanan yang memakan buah-buahan milik orang Jepang.
"Ayo makan," perintah dimulai.
Setelah selesai memakan empat pepaya, si tahanan memberi tanda dengan senyum lemah bahwa dia sudah tidak sanggup makan lagi. Tapi dia langsung dipukul dengan pangkal senapan dan diperintah untuk makan lagi.
Lagi dan lagi, buah pepaya dijejalkan ke mulutnya" sampai kami pikir dia akan meledak. Mula-mula dia kesakitan, lalu memberi tanda pada para penjaga bahwa dia ingin buang air.
Dia diizinkan buang air di sana, lalu diperintah untuk makan pepaya lagi.
Akhirnya, saat dia terbaring setengah sadar dan sangat pucat, tentara Jepang menyampaikan kuliah yang sama pada kami dan memerintahkan agar tahanan itu kembali ke pondoknya.
Salah satu insiden paling luar biasa terjadi saat kamp Medan mulai kekurangan makanan. Tentara Jepang membagikan senapan dan lima selongsong peluru masing-masing pada sekitar lima puluh tawanan, dan memerintahkan mereka agar keluar dan berburu celeng!
Saat hari Natal, para tentara Jepang menjadi mabuk dan ramah.
Pada suatu pagi di hari Natal, seorang dokter Belanda memintaku membantu mengumpulkan beberapa bingkisan makanan yang telah dia atur untuk diselundupkan ke dalam kamp dari seorang China di luar (orang China yang nantinya dieksekusi karena kegiatan anti-Jepang).
Bingkisan-bingkisan itu akan dilempar melewati dinding pada waktu tertentu ketika biasanya di dekat daerah kamp sedang tidak ada orang Jepang.
Malangnya, pada pagi ini, seorang penjaga ditunjuk untuk mulai berjaga di sepanjang tembok yang dipilih oleh dokter, beberapa menit sebelum waktu yang ditentukan.
Si dokter mengajaknya bercakap-cakap sementara aku berdiri diam-diam tanpa menarik perhatian. Penjaga itu menjawab dengan sikap memusuhi dan curiga.
Kulihat dokter itu melirik arlojinya, dan tahu bahwa sebentar lagi bingkisan-bingkisan itu akan datang.
Dokter itu berusaha mengalihkan perhatian dengan berjalan lambat menjauhi tembok, sambil tetap bicara pada si orang Jepang dalam bahasa Melayu.
Tapi tak ada gunanya. Tepat pada waktu yang ditentukan, dengan bidikan dan presisi yang tepat dari seorang pakar granat andal, sebuah bingkisan dilempar melewati tembok dan mendarat, hampir di atas kaki si penjaga.
Lalu satu lagi, satu lagi, dan satu lagi. Waktu"sejauh yang si dokter dan aku perhatikan, sepertinya tidak bergerak.
Dari balik tembok terdengar sebuah suara mengatakan, "Salaamat muchan, tuan." ("Selamat makan, tuan.")
Lalu hening. Kami memandang si penjaga dan penjaga itu pun memandang kami. Aku yakin, keragu-raguan dan rasa takut kami sepertinya diimbangi dengan keheranan si penjaga.
"Ini apah?" akhirnya dia bertanya dengan nada yang kuanggap memberi kata-kata yang berarti, "Apa maksud semua ini?"
"Sedikit sedikit muchan, ini hari Kerismas, " jawab si dokter. ("Hanya sedikit makanan karena ini hari Natal.")
Orang Jepang itu memandang kami dengan tatapan kosong selama beberapa saat. Lalu, pelan-pelan, dia menarik napas dan dengan sama pelannya mengangguk. "Ah soka! Kerismas. "
Dia mengayun-ayunkan tangan. "Sahaya tao. " ("Aku paham.")
Dia nyengir dan memberi tanda agar kami mengambil bingkisan itu. "Sayah tedah mata, " katanya ("Aku tidak melihat apa-apa.")
Dengan sepenuh hati, kami mengucapkan, "Arigato" ("Terima kasih") berkali-kali sambil membungkuk khidmat. Sepertinya, tak ada waktu untuk gengsi-gengsian"atau bahkan untuk perasaan rasis!
Pada akhirnya, hari-hari di Medan sepertinya sudah berlalu lama sekali. Ada situasi membosankan, permusuhan, kecemburuan, dan antipati antara orang Inggris dengan orang Belanda, orang Inggris dengan orang Australia, dan orang Australia dengan orang Belanda. Ada pemukulan dan pemenggalan kepala. Ada berita dari Eropa di radio rahasia kami. Akhirnya, dengan sangat terbuka Jepang membahas situasi perang dengan kami. Rupanya mereka sadar bahwa kami tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi daripada mereka.
Pada bulan Juni 1944, bersama dengan 743 orang tawanan perang lain, aku naik kapal uap kargo Van Wyck, yang berumur 33 tahun dan penuh tikus. Ke mana tujuannya, kami tidak tahu. Kami menduga Thailand.
Tapi ke mana pun tujuan itu tidak jadi masalah, karena 48 jam setelah keluar dari Sumatra, kudapati diriku"untuk kedua kalinya, menjejak-jejak air karena kapal kami ditorpedo dan tenggelam.
Kami berada dalam konvoi delapan kapal, sebagian besar kapal tanker yang membawa high-octane spirit ke Singapura. Kami dikawal oleh tiga bomber dan empat kapal kecil bersenjata.
Komandan kapal selam Sekutu"siapa pun dia, menembak lima dari seluruh konvoi itu. Hebat!
Saat dihantam dua torpedo, kapal kami benar-benar hancur berkeping-keping. Tujuh belas orang Jepang dan 113 tawanan tewas atau tenggelam.
Dua belas orang Belanda mengerahkan kekuatan, membuat penampilan mereka seperti para perenang Terusan yang telah menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk latihan"sepertinya sesuatu yang sangat buruk. Kurus dan hanya setengah bugar setelah bertahun-tahun ditahan, mereka benar-benar berenang sejauh 19,3 km ke pulau Sumatra, melakukan upaya bersama dan sengaja untuk meraih kebebasan.
Fakta bahwa patroli Jepang sudah menunggu mereka di pantai"diperingatkan oleh pengamat udara yang melihat mereka, membuat usaha mereka tidak kurang gagahnya.
Setelah beberapa hari terpanggang di dek besi, satu-satunya kapal tanker meninggalkan konvoi dan menyelamatkan korban-korban yang masih hidup dan membawa kami ke Singapura.
Dan di Singapura, pada bulan Agustus 1945, angkatan-angkatan pembebasan menyerang kembali setelah tiga setengah tahun menghilang. Mereka menemukan kami, dan membawa kami pulang ke rumah.
BAB 10 Beberapa kawanku dari Argylls menyarankan agar aku sebaiknya menyertakan satu bab terakhir dalam kronik ini: kisah tentang perjalanan enam minggu di hutan oleh aku dan dua orang lain yang melarikan diri ke Sumatra setelah Pertempuran Slim River yang menimbulkan bencana. Pertempuran yang terbukti menjadi titik lemah Argylls dalam operasi militer di Malaya pada bulan Januari 1942.
Dalam sejarah Batalion ke-2 Argylls dan peran yang mereka mainkan di Malaya, Anda dapat membaca bahwa beberapa kelompok tentara yang telah lelah berjuang setelah Pertempuran Slim, terkurung di hutan, kelaparan, terserang demam dan kelelahan. Tapi mereka menolak untuk menyerah.
Kanibalisme Di Atas Sekoci The Boat Karya Walter Gibson di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anda dapat membaca bahwa sebagian pasukan Argylls, "di antaranya Kapten Bardwell, Letnan Montgomery Campbell, Sersan Mayor Peleton Colvin, Kapten Broadhurst, Sersan Gibson, Prajurit Satu Gray, dan Kopral Robertson, berhasil sampai ke pantai, menemukan perahu nelayan, dan berlayar ke Sumatra".
Akulah Sersan Gibson itu.
Kapten Broadhurst dan Pratu Gray adalah dua orang yang muncul dari hutan bersamaku sebulan setelah Pertempuran Slim.
Dari seluruh pasukan yang semula berjumlah hampir 300 orang, hanya kami bertiga yang berhasil meloloskan diri.
Ingat, kalau Anda bisa, apa yang terjadi pada hari-hari yang telah lampau itu.
Batalion Argylls kami adalah bagian dari Brigade Infanteri India ke-12 di bawah pimpinan Brigadir Paris. Sejak tanggal 14 Desember 1941 sampai 7 Januari 1942, waktu terjadi Pertempuran Slim River, kami menghadapi musuh terus-menerus dalam sebuah perang penarikan pasukan yang menjadi legenda di Timur Jauh.
Saat pertempuran kami dimulai, tentara Jepang sedang menimbulkan kesulitan melalui semenanjung. Divisi India ke-11 telah dikalahkan di Jitra. Dengan tenggelamnya Prince of Wales dan Repulse, Inggris telah kehilangan komando lautnya. Angkatan udara kami hampir seluruhnya dihancurkan.
Pada suatu saat selama operasi militer tiga minggu, ada total 940 orang dari seluruh pangkat dalam batalion. Dari 940 orang itu, 244 orang dinyatakan hilang, terbunuh, atau hilang dalam misi, sebanyak lebih dari 150 orang terluka, dan 184 orang tewas sebagai tawanan perang.
Pena-pena lain yang lebih bagus daripada penaku telah menceritakan seluruh kisah keberanian tentang penarikan pasukan di semenanjung ke Singapura. Tapi belum seorang pun menceritakan kisah aneh mengenai tawaran kebebasan yang dibuat oleh sisa-sisa pasukan "B" dan "C", Argylls kedua, yang kelelahan.
Kami yang tersisa berangkat pada tanggal 7 Januari pagi, pagi yang disusul dengan masuknya Jepang di Slim.
Kapten Ian Lapsley telah membentuk dan memimpin komando pasukan yang melarikan diri.
Dia adalah mantan kapten kriket di SMG Hillhead, Glasgow; perwira muda yang tampan, berpikir-cepat, dan populer. Para pendukungnya adalah Kapten Tim Turner, Kapten D. Drummond-Hay (tertembak di lutut), Letnan K. I. McLeod, dan Letnan Dua J. J. Colliston. Apel pertama mereka berhasil menghimpun kekuatan pasukan sejumlah kurang sedikit dari 300 orang.
Selama dua hari kami merintis jalan ke selatan, bermaksud mencapai Tanjong Malim yang kami perkirakan akan menjadi posisi batalion berikutnya. Kami tidak pernah tahu bahwa orang-orang Jepang sudah berada di sana!
Orang-orang kami yang terluka"Drummond-Hay, Prajurit Mc Knight dengan luka bayonet di punggung, Prajurit Stewart yang tertembak kedua pergelangan tangannya" benar-benar hebat. Perjuangan Drummond-Hay, tidak bisa kuungkapkan. Dengan sebuah peluru bersarang di lututnya, dia mendaki dan berjuang melewati bebatuan, lereng bukit, dan semak belukar, memandang hina usungan.
Pagi-pagi sekali pada tanggal 9 Januari, bergabung dengan kami Kapten D. K. Broadhurst, seorang perwira Polisi Keamanan Selat. Dia sudah ditugaskan pada Argylls sebulan terakhir di Baling.
Saat Jepang masuk dan melewatinya di Slim, dia sedang bersama 5th/2nd Punjabis, dan melarikan diri ke hutan bersama beberapa orang India.
Dia menghabiskan malam itu dengan basah kuyup, beristirahat di perkebunan karet terbuka, lari setelah hampir bertemu muka dengan sekelompok tentara Jepang bersepeda, dan berjalan sepanjang hari berikutnya bersama seorang tentara artileri Inggris dan Argylls yang sendirian" Prajurit Johnson, yang bertukar cerita dengannya.
Di sinilah dia sekarang. Kurus, pucat, kotor, tak bercukur, dan letih tapi dengan ketenangan yang ceria, santai, tak terusik, yang akan kami saksikan berkali-kali sebelum perjalanan berakhir.
Broadhurst adalah orang yang santai. Saat kami berlari melintasi perkebunan pisang untuk meloloskan diri dari kejaran patroli Jepang, kulihat dia berhenti sebentar untuk memetik beberapa pisang sementara Lapsley memanggilnya, demi Tuhan, agar bergegas.
Dia fasih berbicara dalam bahasa Melayu, dialek Kanton, dan beberapa dialek China yang lain. Kehadirannya sangat bermanfaat bagi kami.
Pada hari ketiga, tiba-tiba, Drummond-Hay mengumumkan bahwa kami harus meninggalkannya.
Dia maupun orang lain memang tidak mengungkapkan dengan kata-kata bagaimana dia telah memperlambat pasukan. Tapi semua orang tahu, begitulah kenyataannya. Sikapnya diterima sebagai semangat untuk mewujudkan keinginannya.
Salah seorang prajurit mengumumkan bahwa dia juga tidak bisa pergi lebih jauh dan akan tinggal bersama Drummond-Hay.
Jadi, kami menyerahkan mereka dalam perawatan seorang pengelola perkebunan berkebangsaan Tamil yang berjanji akan menyembunyikan dan memberi mereka makan sampai mereka sehat kembali.
Kapten Drummond-Hay tertangkap, bertahan di kamp penjara, dan Thai Railway, dan termasuk salah satu anggota pasukan Argylls yang berhasil pulang ke kampung halaman.
Saat ini sebagian besar pasukan mulai putus asa karena lapar, karena selama ini kami harus bertahan hidup hanya dengan makan pisang mentah dan sejenis tebu yang ada.
Suatu ketika, beberapa dari kami mendatangi sekelompok tentara India yang sedang memasak ayam dan nasi. Beberapa suap mereka berikan pada kami.
Tapi yang paling sering, kami dikuatkan oleh pikiran bahwa sisa batalion akan menunggu kami di Tanjong Malim. Kami yakin mereka akan punya makanan.
Pada tanggal 11 Januari petang, kami mendapat keberuntungan. Kami bertemu beberapa orang China di pondok pembakaran arang. Mereka memimpin kami ke desa mereka dan menjual seekor babi pada kami. Aku ingat harganya $18!
Prajurit Harvey si juru masak resimen dan Campbell si pembawa usungan, membantu proses penyembelihannya. Mereka menggunakan beberapa bayonet dan parang. Kegaduhan itu mungkin terdengar sampai ke Singapura.
Broadhurst duduk hampir sepanjang malam, memotong babi itu menjadi beberapa bagian, lalu dimasak di atas kompor arang, lama sekali. Hati babi dan beberapa bagian
pilihan lain diberikan pada orang-orang yang terluka dan menderita sakit paling parah di antara kami.
Lalu, sisanya diserahkan pada para bintara dan sersan agar dibagi secara adil.
Malam itu hujan turun sangat lebat. Lusinan orang berusaha menyusup ke dalam pondok arang untuk berlindung.
Esokan paginya saat fajar, kami berangkat lagi. Semua bersendawa babi yang berminyak dan mengalami peningkatan semangat yang sangat tinggi.
Harapan kami bertahan dalam waktu singkat. Belakangan hari itu kami melihat Tanjong Malim dari puncak sebuah bukit, dan mendengar dari orang-orang China dan Melayu yang bertemu saat kami bergerak maju. Mereka bilang, pasukan Inggris telah melintas 48 jam yang lalu. Tentara Jepang telah melakukan pendudukan.
Orang-orang Melayu itu memimpin kami turun ke tepi Sungai Bernam. Di situlah Lapsley dan beberapa orang lain di antara kami"yang berjanggut dan kotor, memperoleh kesempatan pertama setelah berhari-hari tidak mandi dan bercukur.
Ada periode dalam perjalanan tak lama setelah ini yang samar-samar bagiku, karena pada waktu itu aku terserang malaria hebat hingga aku merasa harus muntah dalam genggaman. Lapsley membujukku agar terus maju.
Aku ingat, aku roboh membentuk gundukan yang menggigil dan terisak-isak, berkata dengan histeris pada Lapsley agar meninggalkan diriku bersama kompas dan pistolku. Aku akan menyusul bila keadaanku membaik.
Lapsley membujuk, memaki, merayu dan menghiburku sampai"hanya Tuhan yang tahu, aku berdiri lagi, berpegangan padanya, dan berjalan terhuyung-huyung.
Sejak kepulanganku ke Inggris, aku bisa melihat kutipan buku harian Broadhurst. Kutipan itu mengungkapkan kemajuan kami selama beberapa hari berikutnya secara ringkas, seperti ini:
"12 Januari sore. Melanjutkan perjalanan melewati jalan setapak yang menurut orang-orang Melayu akan membawa kami ke Kuala Kubu. Jadi sangat tidak karuan saat jalan setapak itu menghilang. Menghabiskan waktu berjam-jam menembus hutan lebat dan kembali ke tempat kami mulai. Menemukan jalan setapak yang menjanjikan dan bermalam di tepi Sungai Bernam.
"13 Januari pagi. Melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak yang baru ditemukan. Mendaki sekitar 60,6 meter, mendapati medan terlalu berat, menuju ke dataran rendah lagi, dan tiba di dekat jalan raya di Kalumpang. Di sini melihat kendaraan-kendaraan berat Jepang bergerak sepanjang jalan. Melanjutkan berjalan ke Kerling dan bermalam di sebuah pondok milik orang China.
"14 Januari. Mencapai Kuala Kubu di mana kami kehilangan Ian Lapsley."
Sejak awal Lapsley terus menahanku di sisinya, di bagian depan pasukan. Salah satu kecakapan utamaku adalah pembaca peta yang ulung karena masa dinasku yang panjang bersama Batalion dan Brigade Intelijen.
Karena itu, saat kami mendekati sebuah desa, sudah menjadi prosedur bagi pasukan untuk berhenti pada jarak tertentu. Broadhurst (dengan kemampuan bahasanya), Lapsley, dan aku pergi lebih dulu untuk melihat apakah kami bisa memperoleh makanan.
Hampir sepanjang waktu kami semua berada dalam kondisi setengah-kelaparan, mengunyah apa saja yang bisa diperoleh.
Memang ada singkong, tapi sangat berbeda dengan puding buatan Mama! Kami harus mencabut akar-akarnya yang tebal dan panjang dengan kulit beracun keunguannya, mengupas dan merebusnya, lalu memakan hasilnya yang terasa seperti kentang.
Kami juga makan pisang mentah. Pisang-pisang itu juga direbus dengan kulitnya dan terasa sangat mirip kentang.
Tunas-tunas bambu dilemparkan ke dalam panci dengan segenggam siput, dan jadilah "setup hutan" bagi kami.
Kadang-kadang seseorang memisahkan diri dan pergi mencari sesuatu. Banyak yang tidak bergabung lagi bersama kami.
Aku ingat satu kali hampir terjadi keributan di sebuah kampung Melayu. Beberapa pemuda kami menemukan persediaan beras yang disembunyikan, sebuah "ransum besi", dan mereka bermaksud menjarahnya.
Orang-orang Melayu itu bersiap-siap mempertahankan makanan mereka. Untuk mencegah timbulnya kesulitan baru, seluruh kebijaksanaan Lapsley dalam menangani pasukan dan diplomasi Broadhurst pada penduduk desa, sangat diperlukan.
Di lain waktu, kami bertemu seorang China yang berjanji akan memandu kami ke Kuala Lumpur lewat jalan setapak hutan yang melenceng 80,5 km dari perjalanan kami" dengan bayaran $50.
Semua orang gembira. Kami merasa akhirnya punya peluang besar untuk sampai ke benteng sendiri. Kami patungan dan menyerahkan uang. Kami akan berangkat besok pagi-pagi sekali.
Sesaat sebelum kami pergi tidur, aku mengobrol dengan Kapten Lapsley. Dia memberitahuku bahwa bila kami tiba di Singapura, dia akan menikah. Aku akan diundang, dan akan ada "banyak makanan dan minuman..."
Dia membangunkan aku sebelum fajar dan menyuruhku membangunkan pasukan dan si pemandu. Tapi si pemandu tidak bisa ditemukan. Selama hampir satu jam aku mencari, sebelum kembali pada Lapsley.
Saking marahnya, dia tak sanggup berkata-kata. Bukan hanya pemandu itu yang pergi, tapi juga lima orang anggota pasukan. (Empat, kalau boleh kubilang, karena sekarang sudah mati).
"Kalau sampai mereka kutemukan," amuk Lapsley, "akan kutembak semuanya."
Berita pukulan terakhir itu menyebar. Beberapa orang menerimanya dengan marah, yang lain menyambut dengan tidak acuh.
Kami melanjutkan perjalanan...
Ian Lapsley, anggota kami yang paling membangkitkan semangat, terpisah dari kami secara aneh.
Setelah seminggu berjalan, kami telah mencapai Kuala Lumpur. Dia dan aku merangkak maju seperti biasanya untuk mengamati keadaan saat kami mendekati desa.
Pasukan berbaring dalam perlindungan di perkebunan karet.
Kami memeriksa dengan teliti bungalo perwira distrik dengan menggunakan teropong, lalu maju dengan hati-hati. Rumah itu kosong, tapi ada bukti bahwa tentara Jepang pernah berada di sana.
Yang paling penting adalah"dari sudut pandang kami, tempat persediaan ransum yang telah diabaikan oleh tentara Jepang. Ada banyak daging bermutu baik, selai, biskuit dan semacamnya.
Kami menelan beberapa suap makanan itu dengan cepat. Lalu Lapsley menyuruhku kembali ke pasukan dengan membawa makanan sebanyak yang kumampu. Aku harus memberi tahu Kapten Turner agar membawa pasukan turun ke jalan raya, siap untuk menyeberang. Lalu aku harus kembali pada Lapsley dan sisa-sisa ransum tadi.
Aku mengikuti semua perintahnya, tapi saat kembali ke bungalo, tak ada tanda-tanda keberadaan Lapsley. Aku memeriksa rumah dari atas sampai ke bawah, meneriakkan namanya. Dia telah lenyap dan tak ada petunjuk sedikit pun ke mana perginya.
Aku menduga dia pasti telah kembali sendiri untuk bergabung dengan pasukan, dan kami berpapasan di jalan tanpa menyadarinya.
Sementara itu rombongan bergerak selama setengah jam, lalu berhenti. Setelah selama beberapa lama menunggu kami kembali, Kapten Turner dan Broadhurstd balik untuk mencari kami.
Aku sempat tersesat, tapi mereka menemukan aku melalui teriakan-teriakanku.
Semua orang, tentu saja, sangat bingung dengan hilangnya Lapsley. Kami bertahan selama beberapa waktu, berharap dia akan muncul. Lalu Turner mulai khawatir kalau kami tinggal terlalu lama di satu tempat karena patroli-patroli Jepang selalu bergerak. Maka, kami memutuskan harus terus berjalan.
Aku tidak melihat Ian Lapsley dalam keadaan hidup lagi. Tapi kami mendengar apa yang terjadi padanya.
Beberapa hari kemudian dalam perjalanan kami, di sebuah tempat bernama Gombak, dekat Kuala Lumpur, kami bertemu seorang Argyll berjanggut tidak rata bernama Fitzpatrick. Di Kuala Kubu, dia bersama seksi di bagian belakang pasukan.
Menurut cerita Fitzpatrick, Lapsley bergabung dengan seksi lain ini setelah kehilangan kami. "Dia ingin tahu kenapa kau tidak menunggunya."
Ternyata, saat itu Lapsley duduk menghabiskan makanannya setelah kutinggalkan di bungalo. Dia sedang makan sekaleng daging bermutu bagus ketika mendengar langkah-langkah kaki yang dia kira langkah kakiku.
Dia mendongak, dengan mulut penuh makanan, dan mendapati dirinya sedang menatap empat orang perwira Jepang. Wajah mereka menunjukkan rasa heran"sama dengan keheranannya.
Ian yang pertama sadar dan yang pertama bertindak.
Dia melempar kaleng dagingnya ke wajah-wajah mereka, terjun dari ruangan, dan bergegas masuk ke hutan karena pistol-pistol mereka meletus di belakangnya.
Setelah berbaring diam-diam dan mencari pasukannya dengan sia-sia, dia mula-mula bertemu dengan beberapa orang pasukan artileri. Lalu, dia bergabung dengan seksi Fitzpatrick dan kemudian, bersama beberapa anggota Argylls yang lain, bertemu salah satu gerombolan gerilyawan China.
Dalam pertempuran bersama para gerilyawan itulah Ian Lapsley"seperti banyak rekannya, tewas akibat kelelahan atau penyakit hutan. Dia perwira yang gagah berani dan sahabat yang patut dicintai.
Kami berada dalam kondisi menyedihkan saat mendekati Kuala Lumpur. Disentri, bisul tropis, demam, kelaparan, tanpa perlindungan, keletihan, dan penyakit-penyakit kejiwaan pada saat yang bersamaan telah meminta korban.
Pasukan pasti sudah kehilangan dua per tiga dari kekuatannya semula, karena sepertinya tak ada pilihan terhadap aturan "terus berjalan atau mati". Colliston telah tiada, begitu juga McLeod. Kapten Tim Turner satu-satunya perwira yang tersisa.
Kapten Turner, Broadhurst, sersan-sersan mayor yang tersisa, dan kami semua para N.C.O. yang masih hidup mengadakan pertemuan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan.
Dalam pertemuan itu ada sebagian yang berkata bahwa kami harus tetap bersama. Yang lain menyatakan, kami sebaiknya dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil.
Dia melempar kaleng dagingnya ke wajah-wajah mereka, terjun dari ruangan, dan bergegas masuk ke hutan karena pistol-pistol mereka meletus di belakangnya.
Setelah berbaring diam-diam dan mencari pasukannya dengan sia-sia, dia mula-mula bertemu dengan beberapa orang pasukan artileri. Lalu, dia bergabung dengan seksi Fitzpatrick dan kemudian, bersama beberapa anggota Argylls yang lain, bertemu salah satu gerombolan gerilyawan China.
Dalam pertempuran bersama para gerilyawan itulah Ian Lapsley"seperti banyak rekannya, tewas akibat kelelahan atau penyakit hutan. Dia perwira yang gagah berani dan sahabat yang patut dicintai.
Kami berada dalam kondisi menyedihkan saat mendekati Kuala Lumpur. Disentri, bisul tropis, demam, kelaparan, tanpa perlindungan, keletihan, dan penyakit-penyakit kejiwaan pada saat yang bersamaan telah meminta korban.
Pasukan pasti sudah kehilangan dua per tiga dari kekuatannya semula, karena sepertinya tak ada pilihan terhadap aturan "terus berjalan atau mati". Colliston telah tiada, begitu juga McLeod. Kapten Tim Turner satu-satunya perwira yang tersisa.
Kapten Turner, Broadhurst, sersan-sersan mayor yang tersisa, dan kami semua para N.C.O. yang masih hidup mengadakan pertemuan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan.
Dalam pertemuan itu ada sebagian yang berkata bahwa kami harus tetap bersama. Yang lain menyatakan, kami sebaiknya dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil.
Mereka yang setuju untuk dibagi menunjukkan kesulitan dalam memberi makan banyak orang, dan kesulitan untuk mencapai Kuala Lumpur, yang sekarang diduduki Jepang.
Situasi itu disampaikan pada pasukan. Setelah melalui banyak perdebatan, diputuskan untuk membagi pasukan menjadi dua belas orang per kelompok, dan berangkat dengan selang waktu.
Kami punya tiga kompas. Satu diberikan pada Sersan McKinnon, satu pada P.S.M. Sloane, dan yang ketiga kusimpan.
Hal-hal yang tidak enak telah diucapkan sejak pembagian itu, dan diperdebatkan bahwa kalau pasukan tetap bersatu, mungkin akan lebih banyak yang selamat.
Tapi pada saat itu aku yakin, seperti banyak pendapat lain, bahwa berpisah adalah satu-satunya jalan yang menawarkan kemungkinan selamat. Aku salah seorang yang mendukung-nya saat itu dan sekarang tak ada jalan bagiku untuk berharap melepaskan diri.
Setelah dibagi, kelompok kami berisi enam orang. Tapi malam itu enam orang lagi bergabung dengan kami yaitu Letnan Ronnie Marriott dari Argylls, Mayor O"Neill dari L.M.S., dua orang dari divisi penanda (salah satunya, aku ingat, bernama Sigley), dan dua penembak senapan besar bernama Lewis dan Williams.
Orang lainnya dalam kelompok kami yang berjumlah dua belas di antaranya Turner, Broadhurst, C.S.M. Porter, dan C.O.M.S. "Hookie" Walker.
Kaki Mayor O"Neills berada dalam kondisi buruk. Dia tidak punya bot dan berjalan dengan kaki terbungkus karung. Tapi
dia tetap orang Irlandia yang tahan banting. Dia mengatakan bahwa yang tidak kami miliki hanya makanan lezat dan sebotol John Jamieson.
"Kita akan segera keluar dari kekacauan ini," serunya.
Tapi pada tanggal 17 Januari, saat kami berada di daerah Batu Caves, dekat Kuala Lumpur, kelompok kecil kami dilumpuhkan lebih jauh oleh sebuah pertempuran dengan patroli Jepang. Kuli-kuli Tamil telah mengkhianati kami.
Kami baru selesai memotong jalan melalui bagian hutan yang sangat sulit, dan sedang meminta makanan di beberapa rumah orang Melayu.
Ronnie Marriott yang masih muda menemukan sebuah sepeda yang disandarkan. Dengan naik sepeda itu, dia melesat ke tengah sekelompok orang Tamil untuk menakut-nakuti mereka.
Orang-orang Melayu tempat kami meminta makanan hampir tidak bicara pada kami. Mereka tahu kalau ketahuan menolong kami, mereka akan langsung kehilangan kepala. Tapi kalau kami mau bersembunyi di suatu tempat yang tidak begitu jauh dari rumah mereka, mereka berjanji akan membawakan makanan untuk kami.
Kami berbaring di sela-sela beberapa pohon karet muda, terlindung dari perkebunan utama oleh sederet semak kecil. Dalam beberapa menit, karena kelelahan, kami semua tertidur sebentar.
Aku terbangun oleh suara yang terdengar seolah semua kembang api di China diledakkan di telingaku.
Pasukan Jepang! Kami berlari membabi-buta melintasi pohon karet, di antara desing peluru, menyeberangi sungai, dan berlari mendaki lereng sebuah bukit.
Aku melemparkan diri ke dalam semak-semak tebal. Tubrukan di sekitarku menunjukkan bahwa beberapa orang lain dari kelompok kami telah memilih tempat yang sama.
Saat sudah leluasa untuk mengadakan penghitungan, kami mendapati bahwa kami hanya berenam yaitu Broadhurst, Porter, Sigley, Lewis, Williams, dan aku sendiri.
Walker yang lambat bereaksi, telah tertangkap. Dia terlihat sedang berdiri dengan kedua tangan terangkat. O"Neill tampak tersandung dan jatuh, mungkin tertembak. Turner terlihat tunggang-langgang keluar dari perkebunan karet.
Kami berbaring diam tak bergerak sampai gelap, lalu berjalan lagi ke arah rumah-rumah orang-orang Melayu tadi.
Kami bertemu dua orang Melayu. Oh, aku ingin sekali memotong leher mereka. Aku yakin pasti mereka yang telah membocorkan kedatangan kami pada pasukan Jepang.
Tapi Broadhurst bergabung dan bercakap-cakap dengan mereka. Mereka mengatakan dengan bersemangat bahwa orang-orang Tamil itulah yang harus disalahkan, bukan mereka.
Mereka bilang, ingin membantu kami. Ada sebuah pondok di dalam hutan di mana mereka akan menyembunyikan kami.
Semua kampung orang Melayu punya pondok rahasia semacam itu di dalam hutan. Tujuannya untuk menyembunyikan kaum perempuan mereka dari orang-orang Jepang.
Kami sangat lelah, tapi setelah orang-orang Melayu itu memberi kami makanan berupa nasi dan susu kental, serta sepotong tebu untuk dikunyah, kami bisa berjalan menuju pondok di hutan.
Saat mendekati pondok, kami bisa melihat cahaya api, dan para pemandu kami mengeluarkan siulan peringatan bernada rendah. Mereka bilang, sudah ada tiga tentara yang bersembunyi di sana.
Ternyata para tentara itu adalah tiga anggota Argylls yaitu Kopral Satu Jock Gray, Kopral Satu Hugh Falls, dan Prajurit Johnson. Kami tinggal di sana selama beberapa hari, semua sangat lemah. Aku terserang malaria lagi dan Sigley sangat lelah sehingga tidak bisa bergerak dari lantai.
Orang-orang Melayu itu membawakan kami makanan, memberi kami sebuah kitab Perjanjian Baru untuk dibaca, dan menghibur dengan kisah-kisah kekejaman.
Lalu tibalah pembagian lebih jauh. Broadhurst, Gray, Johnson, dan aku bertekad meneruskan perjalanan. Yang lain memutuskan tidak bisa pergi lebih jauh.
Ketika kami mengucapkan salam perpisahan, Sigley memberiku alamat ibunya, menyerahkan pulpennya, dan memintaku untuk menemui ibunya bila aku pulang nanti. Falls menyerahkan arlojinya padaku.
Aku bertanya pada mereka, "Kalau kalian pikir aku bisa sampai dengan selamat sambil membawa barang-barang ini, kenapa kalian tidak ikut bersama kami?" Tapi mereka tidak bisa dibujuk.
Jadi, sekarang kami berempat dan salah seorang dari kami, Johnson, sakit parah.
Kami berjalan dengan langkah berat, meminta-minta makanan, berhenti di pondok yang berbeda-beda, dan bersembunyi bila ada tanda bahaya.
Kami sempat menukar semua sisa barang kami dengan orang-orang Melayu demi sebuah peta jalan. Seingatku, kami juga menukar barang milik kami demi sekaleng sosis dan ransum tentara.
Peta jalan dan kompasku benar-benar tak ternilai. Suatu hari kami bisa berjalan sejauh 16,1 km. Tapi pada sebagian besar hari yang lain tidak lebih dari 3,2 atau 4,8 km.
Orang-orang China sangat baik hati. Secara khusus, aku ingat cara kami diurus di sebuah tambang timah milik orang China tempat kami menginap sehari.
Ingat, pada saat itu tentara Jepang menembak dan memenggal kepala semua orang China yang mereka curigai telah menolong orang-orang Inggris dengan cara apa pun.
Belakangan, kami mendengar apa yang telah terjadi pada Kapten Turner dan seorang juru tulis polisi berkebangsaan China yang bernama Siow Ah Kiew dipenggal karena membantunya.
Mr J. B. Masefield dari Kepolisian Melayu menyampaikan kisahnya. Dia adalah seorang tahanan di kamp Changi ketika Kapten Turner dan lima anggota Argylls yang lain tiba di sana. Mereka semua dalam keadaan berantakan dengan rambut dan janggut gondrong, serta terserang malaria parah.
Turner pasti sudah bergabung dengan yang lain setelah pelariannya dari patroli. Mereka telah berjalan sejauh Benut, di pesisir barat Johore, dan selama dua minggu Ah Kiew mengirimi mereka makanan dan kina.
Dia juga membekali mereka dengan sebuah senapan berburu dan amunisi, dan mulai berusaha mencarikan sebuah perahu untuk membawa mereka ke Sumatra.
Suatu malam putrinya tiba setelah gelap dengan membawa sebuah surat dari Mrs Ah Kiew. Suaminya, bersama 20 orang China lain di Benut, telah ditangkap oleh tentara Jepang dan dieksekusi.
Segera setelah itu, Kapten Turner dan orang-orangnya dikepung di pondok mereka dan dijadikan tawanan. Turner mati karena kolera di Siam (sekarang Thailand) pada tahun 1943.
Bagi kami, beberapa kejadian luar biasa yang melibatkan pertolongan orang China datang pada awal bulan Februari, ketika kami mendapati Johnson sudah berada di batas ketahanannya.
Saat kami melangkah berat melewati sebuah desa, seorang Melayu berlari mendatangi kami dan meminta agar kami tidak melanjutkan perjalanan ke arah itu. Elemen-elemen antiorang Inggris di kampung itu telah membocorkan kedatangan kami pada patroli Jepang. Mereka sedang menunggu kami di pinggir jalan raya.
Broadhurst berkeras agar kami memerhatikan peringatan itu, sehingga aku memilih sebuah rute baru di peta. Kami mencari jalan lewat rumpun pohon kelapa ke sebuah desa orang China yang kami capai sekitar pukul sembilan malam.
Perubahan arah itu telah menjadi salah satu putaran takdir yang aneh, yang sangat menarik bila dilihat lagi sekarang.
Saat duduk dalam keheningan karena letih, kami mendengar sebuah suara anak kecil berkata dengan gembira dalam bahasa Inggris, "Di mana mereka" Di mana mereka?"
Seorang bocah laki-laki, mungkin berumur enam atau tujuh tahun, muncul bergandeng tangan dengan seorang perawat muda China.
"Halo," sapa bocah laki-laki itu. "Kalian tentara Inggris, kan?"
Kami berdiri untuk menjawab dan bocah laki-laki itu berteriak kegirangan. "Ternyata Mr Broadhurst, oh senangnya, Mr Broadhurst!"
Bocah itu putra pasangan seorang dokter dan istrinya, yang Broadhurst kenal dengan baik di negara bagian Kedah sebelum perang.
Ternyata ibu dan bocah laki-lakinya itu tinggal bersama seorang dokter China yang bernama Koo. Mereka lalu mengeluarkan makanan, permen, dan sebotol wiski.
Lalu dr Koo memandang Johnson dan menggeleng-gelengkan kepala dengan muram. "Lelaki itu tidak fit untuk pergi lebih jauh," katanya.
Agak berbeda dengan keletihan umum yang dialami oleh kami semua, Johnson terserang malaria dan juga pneumonia.
Tapi saat itu mustahil untuk tinggal lebih lama di rumah itu. Tentara Jepang yang sedang meminta pelayanan si dokter bisa tiba kapan saja. Kami harus kembali ke hutan.
Johnson berkeras menemani kami dan kami pun berangkat, sambil membawa ransum segar, permen, wiski, dan obat-obatan.
Sebelum pergi jauh, kami menanyakan arah pada seorang China. Dia menyarankan agar kami mengikuti dia ke rumah saudara iparnya. "Dia akan senang bisa menolong kalian," ujarnya.
Kami mengikutinya ke sebuah rumah China yang tampak nyaman. Kami disambut oleh tiga orang lelaki bersaudara bernama Chow, para pemilik sebuah emporium musik besar di Singapura.
Mereka bicara bahasa Inggris dengan baik, dan menyuruh kami beristirahat di sana.
Kami tidak bisa tinggal di rumah itu karena istri salah seorang dari mereka sedang hamil tua. Tapi mereka berkata akan senang memberikan sebuah pondok di ujung kebun sebagai tempat persembunyian.
Kami tinggal di sana selama beberapa hari. Sepertinya aku ingat bagian perjalanan pelarian itu lebih jelas daripada yang lain.
Orang-orang China bersaudara itu membawakan selimut untuk Johnson dan karung untuk kami. Mereka memberi kami lilin dan gramofon portabel. Salah satu dari istri mereka mencuci pakaian kami yang compang-camping. Kami pun bercukur dan mandi di sebuah sungai di dekat situ.
Kami berbaring mengeringkan tubuh di bawah sinar matahari sambil mengisap rokok. Masing-masing meneguk botol wiski setengah-penuh dari dr Koo. Hmm, kehidupan sepertinya lebih baik daripada hari-hari yang lalu.
Tapi kondisi Johnson tidak membaik sedikit pun. Aku mendatanginya dan berkata, "Johny, kau sakit parah sekali."
"Sudahlah, Hoot, aku akan baik-baik saja setelah istirahat sebentar," jawabnya.
Kukatakan padanya terang-terangan bahwa kami merasa dia takkan bisa bertahan, bahwa satu-satunya kesempatannya adalah berhenti dan memercayakan dirinya pada dokter-dokter Jepang. Jock Gray berkata dia akan ikut bersamanya.
"Tidak," tolak Johnson. "Kalau aku sudah sampai sejauh ini, aku akan bertahan."
Lalu, setelah keheningan panjang, dia memandangku dengan tatapan yang takkan pernah kulupakan. "Jangan tinggalkan aku, Hoot. Jangan tinggalkan aku," katanya.
"Kami tidak akan meninggalkanmu, Nak," kataku.
Jadi kami tinggal di sana, bergiliran berbaring di sebelahnya sampai saat terakhir, memberinya hiburan dan kehangatan.
Pada malam sebelum dia meninggal, tiba-tiba aku menyadari drama dari seluruh situasi kami.
Di sanalah kami, duduk di samping pondok, diterangi sinar bulan. Di rumah orang China, sebuah kehidupan lahir ke dunia. Di pondok ini, sebuah kehidupan memudar. Kami memutar gramofon. Salah satu rekaman yang diberikan orang-orang China itu pada kami berisi lagu "Ye Bangs and Braes O"Bonny Doon".
Broadhurst, Gray, dan aku (kuperoleh tanggalnya dari buku harian Broadhurst) tinggal di Desa CJlu Lungat ini sampai tanggal 3 Februari.
Lalu kami melanjutkan perjalanan, sebagian besar bergerak di malam hari karena pada saat itu jalanan lebih bebas. Kami melakukan beberapa pemberhentian sebagai berikut: 4 Februari, Kachau; 5 Februari, sebuah pondok di hutan; 6 dan 7 Februari, Broga; 8 dan 9 Februari, Nangi; 10 Februari, Batang Benar. Akhirnya, pada tanggal 13 Februari, kami muncul di pesisir di Chuah, hanya berjarak 9,7 km dari Port Dickson tempat pasukan Argylls berangkat untuk bertempur dua bulan yang lalu.
Sekali lagi Broadhurst menjadi juru bahasa dan juru runding kami. Dialah yang mengatur untuk mencarikan kami sebuah sampan dari seorang China yang simpatik di Chuah.
Tapi, ada satu kebutuhan awal sebelum kami berlayar ke Sumatra. Kami mesti memperoleh persediaan madat untuk pendayung China kami"dia seorang pecandu.
Malam itu kami tidur sebentar, bergiliran. Saat bangun kami mendapati pesisir Sumatra sudah dekat, air memukul-mukul kaki kami di dasar sampan yang bocor. Pendayung itu sudah lupa pada keadaan di sekelilingnya. Dia mengarahkan perahu dengan tatapan kosong secara otomatis.
Pada tanggal 21 Februari, kami tiba di Padang.
Dengan mempertimbangkan segala hal, kami sampai di akhir perjalanan dalam kondisi sehat. Tubuhku bengkak" kemudian kukenali sebagai gejala beriberi. Tapi aku telah lolos dari penyakit-penyakit hutan, borok-borok terbuka besar yang diderita Gray maupun Broadhurst.
Jock Gray, yang ketenangannya terkenal di resimen, menerima setiap cobaan yang datang dengan sikap tak acuh yang tak terganggu.
Selama tahap-tahap terakhir ketika Broadhurst dan aku berselisih mengenai pilihan jalan yang akan ditempuh, kami akan berpaling pada Jock untuk meminta pendapatnya. Dia akan nyengir, mengangkat bahu, dan mengemukakan bahwa masing-masing rute sama-sama punya kemungkinan baik dan buruk. Dia lalu berkata, "Senangkan diri kalian, yang penting kita terus bergerak."
Kapten Broadhurst tiba di Australia dengan selamat dengan menumpang salah satu kapal pengungsi. Dia kembali kemudian, diterjunkan dengan parasut ke hutan pada tahap-tahap terakhir perang Timur Jauh dan selesai berdinas dengan pangkat letnan kolonel.
Beberapa Argylls lain yang bukan anggota pasukan kami berhasil melewati hutan dan sampai ke pesisir. Aku tahu Sersan Mayor Peleton F. Colvin mencuri sebuah perahu nelayan dan mendayungnya ke Sumatra. Dia pernah melatih Peleton Perintis agar sesuai dengan standar peleton-meriam di hutan dan juga sebagai pelaut amatir.
Kapten M. E. Bardwell melarikan diri bersamanya dan berkeras diterbangkan kembali ke Singapura dari Sumatra. Di sana dia menikah, bergabung kembali dengan resimen dalam peperangan di Singapura dan menjadi tawanan.
Saat tiba di Sumatra, Kapten Ernest Gordon memutuskan untuk berhenti dan mengelola sebuah layanan feri bagi wanita dan anak-anak yang terlantar di pulau-pulau. Dia kemudian tertangkap pada 1.609,3 km ke sebelah barat, berlayar menggunakan perahu nelayan ke Ceylon.
Dua anggota Argylls lainnya, Prajurit Stewart dan Prajurit Bennett, sebenarnya tetap tidak tertangkap di hutan selama empat tahun. Selama waktu itu mereka menjadi instruktur pelatihan bagi para gerilyawan China.
Jadi, begitu sedikit yang hidup... begitu banyak yang meninggal...
Aku merasa telah menceritakan kisah mereka dengan tanpa dibumbui. Aku mencatat peristiwa-peristiwa itu dengan sebenarnya, karena kejadian-kejadian itu memang benar-benar terjadi.
Sekarang, siapa pun yang mengunjungi gedung Gereja Skotlandia di Singapura akan menemukan sebuah tablet peringatan, tegak di sana untuk "ketenaran abadi" para Argylls yang pernah bertugas di Malaya. Dengan baris-baris dari tablet inilah aku akan menutup cerita.
"Bahkan, ketika seorang pemimpin tewas dengan berani, Kami membebat hijau satu pergelangan tangan"
Hijau untuk keberanian, untuk para pahlawan Satu benang merah tua kami ikatkan.
Katakanlah, oh Hillman yang gagah berani,
Untuk mereka, yang hidupnya telah lenyap,
Warna mana yang cocok, Hijau atau merah?" SELESAI Kutukan Makam Mummy 2 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Kemelut Blambangan 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama