Ceritasilat Novel Online

Kembang Jelita Peruntuh 9

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p Bagian 9


mengantarkan kelima tawanannya ke Pak-khia.
Kelima tawanan itu dibawa dalam gerobakgerobak kerangkeng, seluruh tubuh dalam
gerobak dan hanya kepala mereka yang diluar
gerobak. Kaki tangan mereka dirantai.
Kwe Hian berkuda paling depan, nampak
gagah dalam seragam tempurnya, namun
wajahnya agak masam, soalnya semalam ia
kedatangan tiga orang utusan Co Hua-sun yang
sudah mendengar tentang tertangkapnya
gembong-gembong mata-mata pemberontak
itu, dan langsung saja ketiga utusan itu
menyatakan akan ikut mengawal sampai ke
Pak-khia. Maka Kwe Hian jadi murung, sebab
pahala yang seharusnya untuk dirinya semua,
sekarang harus dibagi dengan orang-orangnya
Co Hua-sun. Tapi Kwe Hian tidak berani
menolak kemauan Tong Hin-pa, Bu Goat-long
dan Ting Hoan-wi, karena sadar betapa
berkuasanya Co Hua-sun. Karena hari masih pagi, pasukan itu pun
masih segar dan jalannya cepat. Tidak lama
Kembang Jelita 16 10 kemudian kota Han-tiong sudah tertinggal
belasan li di belakang. Kwe Hian membawa pasukannya menyusuri
jalan raya yang dianggapnya paling aman, sebab
sepanjang jalan itu bertaburan pos-pos
keamanan tentara kerajaan. Ia pantang melalui
jalan-jalan pintas yang biarpun lebih pendek,
namun amat besar resikonya akan dihadang
kaum pemberontak. Namun Tong Hin-pa yang berkuda di
samping Kwe Hian tiba-tiba mengajukan usul,
"Cong-peng, bagaimana kaiau lewat jalan itu
saja" Kita bisa menghemat hampir separo jarak
kalau lewat situ." Dengan cambuk kudanya Tong Hin-pa
menunjuk sebuah jalan yang sepi cabang dari
jalan raya yang sedang dilewatinya. Jalan itu
menghunjam jauh masuk ke padang ilalang. ,
Kwe Hian menggeleng kepala, "Tong Lo-enghiong, di tempat sunyi itu para penjahat lebih
mudah membuat perangkap, kenapa harus
ambil resiko yang tidak perlu?"
Kembang Jelita 16 11 Tong Hin-pa tertawa, terang-terangan
mentertawakan sikap takut Kwe Hian itu.
"Jangan kuatir, Cong-peng. Kalau ketemu orang
jahat, senjataku akan mencabut nyawa mereka
sepuasnya." Disusul suara Ting Hoan-wi tidak kalah
besarnya, "Rupanya Cong-peng lupa kalau
dalam rombongan ini ada kami bertiga" Lupa
kalau aku Ini Ketua Eng-jiau-bun?"
Dasar memang Kwe Hian sendiri bukan
seorang yang kuat pendiriannya, maka setelah
dibujuk-bujuk oleh ketiga utusan Co Hua-sun
yang menepuk dada sebagai jagoan-jagoan
tangguh itu, akhirnya Kwe Hian menurut juga.
Lagipula kalau terus-terusan menolak, ia kuatir
ketiga jagoan Co Hua-sun itu akan mentertawakan terang-terangan di hadapan pasukannya,
menganggap dirinya pengecut.
"Baiklah, tapi harus hati-hati....." akhirnya ia
setuju. Pasukan itu lalu berbelok mengambil jalan di
tengah-tengah padang belukar itu.
Kembang Jelita 16 12 Ketika matahari sampai ke pundak bukit,
jalanan itu makin sepi, orang-orang yang
berpapasan dengan pasukan itupun hampir
tidak ada. Kalaupun ada yang nampak sekalisekali hanyalah orang orang berdandan seperti
pemburu atau pencari hasil hutan lainnya. Itu
menandakan kalau di depan sana adalah hutan.
Meskipun menurut anjuran Tong Hin-pa,
namun Kwe Hian sebenarnya masih was-was.
Dihentikannya seorang pencari kayu yang
berjalan dari depan, dan dita-nyainya, "He,
sobat, kau dari dalam hutan itu?"
Melihat pasukan pembawa tawanan itu, si
pencari kayu nampak takut dan berjongkok,
"Betul, taijin.."
"Jalan itu kalau terus akan sampai ke mana?"
"Menembus hutan, lalu sampai ke sebuah
simpang tiga. Belok kanan ke Pak-khia, belok
kiri ke Han-tiong." "Apa bisa dilewati gerobak-gerobak seperti
ini?" tanya Kwe Hian lagi, sambil menunjuk
kereta-kereta kerangkeng,
Kembang Jelita 16 13 "Bisa, Taijin. Orang-orang kampung terdekat
sering menggunakan gerobak untuk mengangkut hasil bumi ke kota. Kalau kereta
besar yang ditarik dua kuda memang tidak bisa
lewat, tapi kalau gerobak bertubuh sempit,
seperti itu tentu bisa."
"Keadaan hutan saat ini aman?"
"Aman, Taijin."
"Tidak ada jejak orang jahat?"
"Tidak, Taijin. Hanya para pemburu dan
beberapa pencari hasil hutan yang sudah saling
kenal dari kampung-kampung sekitar sini..."
"Kau sendiri dari kampung mana?"
"Kampung Jing-tiok di sebelah utara hutan
itu, Taijin...." sahut orang itu dengan wajah
berseri-seri karena mengharap sedikitnya akan
mendapat hadiah untuk keterangannya itu.
Tak terduga, wajah Kwe Hian menjadi bengis
ketika berkata, "Bagus, akan kuingat-ingat nama
kampungmu itu. Tadi kau bilang dalam hutan
keadaannya aman, tapi kalau sampai kami
temui hambatan dari orang jahat, berarti kau
Kembang Jelita 16 14 bohong, berarti pula kelak kampungmu akan
kudatangi dan kubumihanguskan!"
Wajah si pencari kayu kontan memucat.
Sementara Kwe Hian memerintahkan
pasukannya untuk maju lagi. Pohon ilalang
tumbuh semakin tinggi, beberapa pohon besar
juga mulai terlihat yang makin lama makin
rapat. Di tanah yang dilewati memang nampak
jejak lama roda-roda gerobak.
Ketika sampai ke daerah naungan pohonpohon besar, para prajurit seakan merasa segar
kembali, karena kini mereka lewat tempat yang
teduh. Namun setelah agak jauh memasuki hutan,
rintanganpun muncul. Di depan tiba-tiba
terdengar teriakan mengguntur, "Berhenti!"
Suara itu menimbulkan getaran begitu hebat,
sehingga Tong hin-pa yang ilmunya paling
tinggi di antara rombongan itupun kaget, sadar
kalau orang yang berteriak itu berilmu amat
tinggi. Kembang Jelita 16 15 Sedangkan Kwe Hian langsung cemas akan
tawanan-tawanannya, perintahnya kepada
pasukannya, "Siap! Jaga tawanan!"
Beberapa saat orang yang berteriak itu
belum menampakkan batang hidungnya,
kemudian nampaklah seseorang melompat dari
atas sebatang pohon yang tinggi, tepat di depan
rombongan tentara kerajaan itu. Seorang tua
berumur kira-kira enam puluh tahun, tubuhnya
gemuk bundar seperti gentong sehingga seolaholah tidak punya leher dan pinggang karena
banyaknya daging yang menutupi kedua bagian
tubuh itu, tangan dan kaklnyapun nampak
pendek-pendek. Tubuh seperti itu tentu lebih
berat dari dua karung beras dijadikan satu. Tapi
ketika melayang turun dari pohon, ternyata
gerakannya seperti daun kering, ketika kakinya
menyentuh tanah, tidak sedikitpun menimbulkan debu yang mengepul atau daun
terinjak gemersik. Seolah dia dikerek dan
diletakkan pelan-pelan. Kembang Jelita 16 16 Melihat orang tua ini, Oh Kui-hou dan Yo
Kian-hipun serempak berseru kegirangan,
"Suhu!" Dengan mata berkilat-kilat menakutkan
kakek gendut itu membentak Kwe Hian,
"Bebaskan kelima tawanan itu, supaya kalian
bisa lewat tanpa kuganggu. Tapi kalau kau keras
kepala, pohon inilah contohnya."
Lalu kakek gendut itu mendekati sebatang
pohon besar, dicengkeramnya dengan kedua
tangan, dan setelah mengumpulkan tenaga
sebentar, diapun mencabut pohon itu mentahmentah bersama akar-akarnya. Belum cukup
dengan pameran kekuatan itu, si kakek gendut
dengan kedua tangannya mengangkat batang
pohon itu melintang, lalu membenturkan
jidatnya. Batang pohon sebesar paha itu-pun
patah dua. Rasa gentar menyusup ke setiap nyali dalam
rombongan tentara kerajaan itu. Penghadangnya memang cuma satu orang,
namun yang satu orang itu berkemampuan
sedahsyat itu. Kembang Jelita 16 17 Belum cukup dengan pameran kekuatan itu, si kakek
gendut dengan kedua tangan nya mengangkat batang
pohon itu melintang, lalu membenturkan jidatnya.
Kembang Jelita 16 18 "Kong-thau-siang (Gajah Berjidat Baja) Ko
Ban-seng...." Tong Hin-pa berdesis gentar.
Sebagai seorang tokoh persilatan, ia dapat
segera mengenali ciri-ciri tokoh-tokoh sakti
yang tidak banyak jumlahnya, dan salah seorang
adalah yang sekarang berdiri di hadapannya.
Dalam hati Tong Hin-pa diam-diam juga
menyesal, tadi telah mengusulkan kepada Kwe
Hian untuk melewati jalan itu.
Si kakek gendut Ko Ban-seng melempar jauhjauh kedua potongan pohonnya, lalu melangkah
maju dengan sikap mengancam. "Nah, kalian
mau menurut atau tidak?"
Kwe Hian yang sudah membayangkan akan
mendapat kenaikan pangkat itu, mana rela
membiarkan tawanan-tawanan diambil begitu
saja" Maka biarpun sudah melihat kehebatan si
kakek gendut, ia keluarkan perintah juga untuk
pasukannya, "Serbu!"
Terpaksa para prajurit menyerbu, seperti
laron menyerbu api. Atau seperti nyamuk-nyamuk yang hendak
menghisap darah dari seekor badak, sebab
Kembang Jelita 16 19 ketika senjata-senjata mereka mengenai tubuh
si kakek gendut, ternyata hanya mampu
merobek-robek pakaian Ko Ban-seng, tapi tak
membekaskan luka sedikitpun di tubuh si kakek
gendut. Ko Ban-seng melangkah maju sambil
terbahak-bahak, membiarkan senjata-senjata
menghujani kulitnya, seperti seekor babi hutan
melangkah di antara batang-batang ilalang.
Namun ketika para prajurit mencoba
menusuk ke mata atau telinga, bagian tubuh
yang tidak mungkin dibuat kebal, Ko Ban-seng
merasa agak terganggu. Tiba-tiba sepasang
tangannya bergerak-gerak dengan cepat,
mencengkeram dan melemparkan, mencengkeram lagi dan melemparkan lagi,
terus begitu berkali-kali. Tiap kali dua prajurit
"diambil dan dibuang" jauh-jauh, maka sebentar
saja sudah puluhan prajurit terhempas babak
belur. Saat itu sesungguhnya Ko Ban-seng belum
menunjukkan jurus-jurus silat sebenarnya. Ia
baru menunjukkan kekuatan dan kekebalan,
sedang gerak menangkap dan membuang itu
Kembang Jelita 16 20

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih tepat disebut gerak sembarangan saja,
bukan silat. Toh sudah menimbulkan kerugian
yang berarti di pihak tentara kerajaan.
Namun sebelum ada perintah mundur dari
panglima mereka, para prajurit tetap berusaha
menghadang, biarpun hanya untuk berpelantingan tersapu tangan-tangan si kakek
gendut. Kwe Hian jadi panik melihat keadaan itu. Ia
menoleh kepada Tong Hin-pa dan berkata
dengan nada menyalahkan, "Tong Sianseng,
bagaimana sekarang" Tadi Sianseng yang
mengusulkan untuk melewati jalan ini."
"Jangan kuatir.... jangan kuatir...." sahut Tong
Hin-pa, namun suaranya sendiripun gemetar
cemas. Si "Ketua Tiat-eng-bun" Ting Hoan-wi juga
tidak kalah cemasnya. Rasanya lebih senang
menghadapi segerombolan penjahat biasa,
daripada menghadapi satu orang tetapi sehebat
si kakek gendut. Sementara Ko Ban-seng sudah mendesak
maju lagi belasan langkah setelah merobohkan
Kembang Jelita 16 21 puluhan prajurit. Melihat itu, Kwe Hian dengan
cemas bertanya kepada Tong Hin-pa, "Sianseng,
daripada kita celaka, bagaimana kalau kita
serahkan saja tawanan-tawanan itu?"
"Jangan! Co Kong-kong amat membutuhkan
tawanan-tawanan itu untuk memperkuat
kedudukan politisnya di hadapan Kaisar!"
Cegah Tong Hin-pa dengan kaget, lalu ajaknya
kepada Bu Goat Long dan Ting Hoan-wi, "Mari
kita hadapi bersama-sama!"
"Baik!" terpaksa Ting Hoan-wi harus
berlagak gagah sambil mencabut pedangnya,
pedang Tiat-eng Po-kiam yang tajam, lambang
kepemimpinan perguruan Tiat-eng-bun. Ia
mencoba membesarkan hatinya sendiri, bahwa
selama inipun ia sudah sedikit-sedikit
mempelajari isi kitab Tiat-eng Pit-kip sehingga
ada peningkatan ilmunya. Bu Goat-long juga mencabut pedang. Biarpun
gerak-geriknya kebanci-bancian, namun sebagai
orang kepercayaan Co Hua-sun, dia mempunyai
ilmu silat yang tangguh. Sudah sering ia
melakukan tugas sebagai pembunuh gelap
Kembang Jelita 16 22 terhadap orang-orang yang tidak disenangi Co
Hua-sun, dan Bu Goat-long melakukannya
dengan tangannya sendiri demi kerahasiaannya.
Sebagai algojo macam itu, sudah tentu ilmu silat
Bu Goat-long tidak dapat dipandang enteng.
Melihat kedua kawannya sudah bersiap,
Tong Hin-pa menjadi besar hati. Dari
pinggangnya iapun mengurai senjatanya yang
istimewa, yang dinamainya Kat-bwe-pian
(Cambuk Ekor Kalajengking), karena di ujung
cambuknya memang dipasangi sapit besi tajam
seperti ekor kalajengking, hitam keunguunguan karena dipolesi racun tajam.
Tong Hin-pa bertigapun melangkah maju
mendekati si kakek gendut, sedangkan para
prajurit tanpa diperintah sudah mundur
menjauhi Ko Ban-seng. Para prajurit itu merasa
kebetulan kalau "bencana" itu diambil alih oleh
ketiga jago dari istana Co Hua-sun itu.
Melihat majunya ketiga lawan itu, Ko Banseng berhenti melangkah. Tajam ditatapnya
ketiga lawannya yang maju dengan membentuk
Kembang Jelita 16 23 barisan segitiga. Satu di tengah dan satu di
masing-masing sayap. Menatap Tong Hin-pa, Ko Ban-seng tertawa
dingin, "Bu-eng-jiat-pian (Cambuk Maut Tanpa
Bayangan), he-he-he........kiranya kau sudah
menjadi anjing peliharaannya Co Hua-sun
sekarang?" Tong Hin-pa bungkam, ia lebih suka
memusatkan perhatiannya untuk menghadapi
pertempuran, daripada memecah pikiran
dengan saling mengejek. Biarpun pihaknya ada
tiga orang bersenjata, tetapi Tong Hin-pa belum
berani menentukan bahwa kemenangan sudah
pasti dipihaknya. Sementara itu Ko Ban-seng lalu menatap
Ting Hoan-wi. Bukan tampang Ting Hoan-wi
yang diperhatikannya, sebab tampang itu sama
sekali bukan tampang yang dikenal di kalangan
persilatan, namun pedang di tangan Ting Hoanwi itulah yang menarik perhatiannya.
"He, bocah yang memegang Tiat-eng Pokiam, Tiat-eng (si Elang Besi) Nyo Hong dari
Teng-hong itu apamu?"
Kembang Jelita 16 24 Seperti biasa, Ting Hoan-wi selalu menjawab
dengan kebohongan yang sudah "siap pakai" di
bibir, "Akulah muridnya yang mendapat
kepercayaan meneruskan kepemimpinan perguruan Tiat-eng-bun!"
"Ah, Nyo Hong rupanya semakin pikun
menjelang kematiannya." suara Ko Ban-seng
seperti keluhan, sambil geleng-geleng kepala.
"Bagaimana mungkin bocah macam ini diwarisi
kedudukan Ketua Tiat-eng-bun" Hancurlah jerih
payah leluhur Tiat-eng-bun selama berabadabad."
Sementara itu, biarpun dibelenggu dalam
gerobak tawanan, Oh Kui-hou senantiasa
memperhatikan perkembangan sekitarnya. Ia
heran mendengar Ting Ho-an-wi mengaku
sebagai Ketua Tiat-eng-bun, padahal setahunya
Ketua Tiat-eng-bun adalah Helian Kong yang
saat itu sedang disekap Jenderal Li Giam di
Tong-koan. Terhadap Helian Kong, Oh Kui-hou
bermusuhan namun ada rasa hormatnya karena
pribadi Helian Kong yang kesatria. Sedang
terhadap Ting Hoan-wi, melihatpun Oh Kui-hou
Kembang Jelita 16 25 sudah jemu. Dinilainya Ting Hoan-wi banyak
lagak, bicaranya besar tapi kosong.
Sementara itu, Ko Ban-seng berkata pula,
"Aneh juga, kenapa sekarang Tiat-eng-bun
punya dua ketua?" "Apa katamu?" Ting Hoan-wi kaget.
"Di Tong-koan sekarang ada tawanan
bernama Helian Kong yang juga Ketua Tiat-engbun, nah, mana yang betul?"
"Tentu saja akulah Ketua yang aseli, karena
akulah yang memiliki tanda-tanda kekuasaan
Tiat-eng-bun......" sahut
Ting Hoan-wi nekad. "Tapi aku ingin tahu,
bagaimana nasib Helian Kong di tangan
pemberontak?" "Dia dalam penjagaan pengawal-pengawal
Jenderal Li!" Sesaat otak Ting Hoan-wi berputar, lalu
berkatalah dia, "Hem, Helian Kong adalah
saudara seperguruan yang berilmu tinggi,
ilmunya hanya selapis di bawahku. Kalian
mengurung dia sama saja dengan mengurung
macan liar, sekali lengah, macan itu akan
Kembang Jelita 16 26 menerkam tengkuk kalian! Dan kuharapkan hal
itu cepat terjadi!" Dengan kata-kata itu, kedengarannya
memang Ting Hoan-wi membela dan
membanggakan Helian Kong, padahal tujuannya
ialah menakut-nakuti pihak pemberontak agar
segera mereka menghukum mati Helian Kong.
Sebab selama Helian Kong masih hidup, Ting
Hoan-wi merasa belum tenteram benar
hidupnya, ia terlalu banyak kesalahannya
terhadap Helian Kong. Tapi Ko Ban-seng menjawab keras, "Jenderal
Li tahu apa yang harus diperbuatnya dan tidak
perlu mendengarkan mulut anjing seperti kau!
Sekarang yang penting, bebaskan kelima
tawanan itu atau kalian takkan berhasil
melewati jalan ini!"
Ting Hoan-wi gentar juga melihat kegarangan si kakek gemuk, la mundur
selangkah sambil melintangkan pedang di
depan tubuh. "Ayo bebaskan!" kembali suara kakek gemuk
mengguntur. Kembang Jelita 16 27 "Tidak!" yang menjawab adalah Bu Goatlong. Thai-kam inilah yang telah mendapat
pesan bersungguh-sungguh dari Co Hua-sun,
bahwa setiap tawanan mata-mata Li Cu-seng
harus jatuh ke tangan Co Hua-sun saja, sebab
mereka dibutuhkan untuk "senjata politik"nya.
Ko Ban-seng melirik Bu Goat-long dengan
pandangan menghina, "Mendengar suaramu,
tentu kau manusia sejenis dengan Co Hua-sun.
Buat apa kau ikut bicara, sedang kau cuma
budak kebiri?" Kata-kata tajam tepat mengenai bagian
paling peka dari perasaan Bu Goat-long, kontan
kemarahannya berkobar dan menggantikan
rasa gentarnya. Disertai lengkingan seperti
anjing diinjak ekornya, ia menerkam dan
pedangnya membabat leher dengan tipu Pekhong-koan-jit (Pelangi Menutupi Matahari).
Tapi Ko Ban-seng menangkis pedang itu
begitu saja dengan tangannya tanpa terluka,
berbarengan tangan lain mengepal dan
membalas menjotos ke dada Bu Goat-long, yang
Kembang Jelita 16 28 pasti akan membuat thai-kam itu mampus
seketika kalau kena. Tong Hin-pa tidak tinggal diam. Biarpun
merasa agak gentar, dia merasa bertanggung
jawab juga untuk keselamatan Bu Goat-long
sebagai orang kesayangan Co Hua-sun. Kalau
sampai Bu Goat-long celaka tanpa pembelaan,
maka kepercayaan Co Hua-sun terhadap dirinya
bisa merosot dan berarti rejekinya juga akan
makin seret. Karena itulah bagi Tong Hin-pa,
membela Bu Goat-long adalah kewajiban yang
berarti juga membela rejekinya sendiri.
Karena itulah bersamaan dengan serangan
balik si Gajah Jidat Besi kepada Bu Goat-long,
sepit beracun di ujung cambuk Tong Hin-pa pun
melayang ke mata Ko Ban-seng, bagian tubuh
yang tak mungkin dikebalkan.
Si Kakek gemuk menunduk menyelamatkan
matanya, lalu tiba-tiba melejit menyerudukkan
kepalanya ke arah dada Tong Hin-pa. Tong Hinpa lompat menghindar, ia tidak mau mati oleh
serudukan maut itu. Kembang Jelita 16 29 Sementara Bu Goat-long maju kembali, kali
ini dibarengi Ting Hoan-wi dari arah lain yang
menggunakan Tiat-eng Po-kiam untuk menikam
ke pinggang. Begitulah jadinya ketiga kaki
tangan Co Hua-sun itu bertempur serempak.
Masih percaya akan kekebalan kulitnya, Ko
Ban-seng menangkis pedang Tiat-eng Po-kiam
dengan kebasan lengan ke bawah, sementara
tangan lain sudah mengepal dan siap
menggodam lawan, jurus-jurusnya nampak
sederhana sekali. Namun kali ini si kakek
gendut kaget merasakan lengannya pedih, buruburu ia melompat mundur menjauhi ketiga
lawannya. ia kaget melihat kulit lengannya
robek sejengkal dan mengucurkan darah.
Nyata kalau pedang Tiat-eng Po-kiam bukan
sekedar lambang kekuasaan Ketua Tiat-engbun, tapi juga senjata tempur yang ampuh. Kulit
si Gajah Jidat Besi boleh kebal terhadap senjata
biasa, namun Tiat-eng Po-kiam tidak termasuk
yang biasa itu. Ting Hoan-wi makin besar hati, apa lagi ia
yakin bahwa ilmunyapun sudah meningkat.
Kembang Jelita 16 30 Sambil membentak, dua jurus berturut-turut dia
lancarkan. Tai-mo-liu-soa (Pasir Berhamburan
di Gurun) pedangnya melingkar membentuk
piringan perak yang hendak memotong tubuh
bundar lawannya tepat di perut. Ketika
lawannya mengelak mundur, dengan gagah
Ting Hoan-wi melompat melancarkan Hui-engmo-hun (Elang Menyentuh Mega) untuk
menikam dari atas. Cahaya melebar pedangnya


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lenyap digantikan cahaya lurus gemerlapan
yang menghunjam dari udara.
Memang ilmu silatnya maju, tapi semangatnya yang berlebihan membuat
penilaiannya atas perbandingan ilmunya sendiri
dan ilmu lawannya jadi kurang tepat. Dalam
jurus Hui-eng-mo-hun dia sudah yakin seratus
persen kalau lawannya pasti akan dikenai, maka
ia tidak siap akan gerak lain sebagai cadangan.
Tapi serangannya ternyata luput. Ko Banseng melakukan salto rendah dekat tanah.
Ketika pedang Ting Hoan-wi meluncur
sejengkal dari badannya dan tak mungkin
diubah arahnya, Ko Ban-seng menggunakan
Kembang Jelita 16 31 sepasang telapak tangannya untuk menumpu
tanah dan sepasang kakinya menjejak tubuh
Ting Hoan-wi vang masih mengapung di udara.
Dan kena. Tubuh Ting Hoan-wi seperti
sebuah bola yang melambung. Sebelum jatuh,
dengan panik Ting Hoan-wi mencoba berbagai
gerak di udara untuk mencari keseimbangan
dan jatuh dengan kakinya. Memang berhasil,
tetapi mukanya sudah pucat karena kaget dan
dadanya masih terasa sesak oleh tendangan
lawan. Sementara si Gajah Kepala Besi menyerbu
kembali dengan murka. Maka Tong Hin-pa, Ting Hoan-wi dan Bu
Goat-long bertigapun harus bekerja keras
menanggulangi amukan si pendekar tua. Tiga
orang bersenjata melawan satu orang
bertangan kosong, tapi makin lama terasa
makin beratnya tekanan pendekar tua itu. Tidak
peduli ujung cambuk Tong Hin-pa beracun dan
pedang Ting Hoan-wi pedang pusaka.
Ternyata si kakek bertubuh gentong besar
itu tidak cuma mengandalkan tenaganya yang
Kembang Jelita 16 32 besar dan kulitnya yang keras. Tadi menghadapi
para prajurit memang belum nampak jurusjurus istimewanya, masih menggunakan gerak
semba-rangan saja. Namun kini ia menunjukkan
silatnya yang disebut Ban-siang-kun-hoat ( Silat
Selaksa Gajah). Suatu ilmu tangan kosong yang
tidak cuma mengandalkan kekuatan dan
kekebalan, tapi dilengkapi kecepatan langkah
dan lompatan lincah ke sana ke mari. Akibatnya
segera terasa oleh Tong Hin-pa bertiga.
Ketiganya merasakan pandangan mereka kabur,
seolah mereka menghadapi lawan yang biasa
muncul di mana saja untuk menghilang lagi dan
muncul lagi di tempat lain Selain itu, gerak
dahsyat lawan menyebabkan tekanan udara
dahsyat yang menyesakkan napas, tak peduli
atas diri Tong Hin-pa yang ilmunya paling tinggi
di antara mereka bertiga.
Berulang kali Tong Hin-pa berteriak untuk
memadukan perlawanan bersama kedua
rekannya. Ia ingin menjepit Ko Ban-seng di satu
titik, lalu Ting Hoan-wi dengan ketajaman
pedangnya harus berusaha menyelesaikannya.
Kembang Jelita 16 33 Kalau tidak bisa satu kali serangan telak, ya
sedikit-demi sedikit tentu harus menimbulkan
luka-luka yang menguras tenaga.
Begitu maunya, tapi lain kenyataannya.
Lawan tak pernah bisa dipojokkan ke satu titik,
namun selalu berpindah seperti angin puting
beliung di padang pasir. Bahkan lama-lama
Tong Hin-pa bertiga mulai merasakan betapa
mereka bertigalah malahan yang terkurung oleh
lawan yang cuma satu orang.
Bu Coat-long yang ilmunya paling rendah,
paling awal pula merasakan datangnya
kesulitan. Matanya mulai kabur, napasnya
sesak, keringat membasahi pakaiannya sampai
lapisan yang paling luar, langkahnya sempoyongan dan ayunan pedangnya mulai
lebih banyak ngawurnya. Tidak cermat dan
mengambang. Dalam kerja sama segitiga itu, sudut Bu Goatlong inilah yang nampaknya bakal jebol lebih
dulu. Merasakan gelagat buruk di pihaknya, Tong
Hin-pa menyerang bertubi-tubi dengan Kembang Jelita 16 34 cambuknya untuk menyelamatkan posisi
pihaknya. Dan tiba-tiba ia membalikkan gagang
cambuknya untuk dihadapkan ke muka si kakek
gemuk yang digdaya itu. Gagang cambuknya itu
ternyata berongga di bagian dalamnya, ketika
ditekan maka menyemburlah bubuk kuning
halus seperti asap, ke muka Ko Ban-seng. Itulah
bubuk kuning yang dulu pernah juga
melumpuhkan Helian Kong ketika menyelundup ke istana. Suatu serangan curang, namun buat Tong
Hin-pa apapun sah dilakukan asal bisa menang.
Kalau tidak demikian wataknya, mana tahan
bergabung dengan kelompok Co Hua-sun yang
juga terdiri dari orang-orang berwatak
demikian" Ko Ban-seng kaget dan mengibaskan
sepasang lengan bajunya yang longgar itu di
depan wajahnya, sambil melompat mundur.
Bubuk kuning beracun itu terhambur buyar dan
sebagian malahan menyembur ke muka Bu
Goat-long yang tengah menyerang dari sudut
lain. Kembang Jelita 16 35 Celakalah si Thaikam yang daya tahannya
memang sedang anjlog itu kena serangan
nyasar tak disengaja dari rekannya sendiri, la
sempoyongan lalu terjungkal pingsan. Demikianlah, bukannya Tong Hin-pa berhasil
mempercepat kemenangan melalui kecurangannya, malahan temannya sendiri jadi
korban. Maka kacaulah kerja sama Tong Hin-pa dan
Ting Hoan-wi, sebab si kakek gemuk lawan
mereka gencar menghujani dengan serangan
bertubi-tubi. Orang tua itu gusar karena
menurut wataknya ia amat membenci tindakan
licik seperti yang diperbuat Tong Hin-pa tadi.
Pontang-pantinglah Tong Hin-pa serta Ting
Hoa-wi di bawah tekanan pukulan yang seolah
hendak menggencet mereka hingga gepeng.
Karena kalah tenaga dalam, cambuk Tong Hinpa jadi sulit dikendalikan. Cambuk itu hanya
mampu berkibar seperti sehelai selendang di
tengah angin ribut, tanpa daya, tanpa kekuatan,
bahkan sering hampir menyabet mukanya
sendiri. Kembang Jelita 16 36 Begitu juga Ting Hoan-wi. Pedangnya pedang
pusaka, ilmunyapun tidak rendah, namun dia
hanya galak kalau ketemu lawan empuk. Begitu
ketemu lawan yang keras sedikit, nyalinya susut
dengan cepatnya. Bukannya lebih giat sedikit
untuk meringankan beban Tong Hin-pa,
malahan lebih sering ia bersembunyi di
belakang tubuh Tong Hin-pa untuk menyelamatkan diri dan membiarkan Tong Hinpa sendirian membendung amukan musuh.
"Teman seperjuangan" macam itu tentu saja
membuat Tong Hin-pa bukan main mendongkolnya. Yang jantungnya hampir copot ialah Kwe
Hian. Kalau Tong Hin-pa dan Ting Hoan-wi
gagal menahan musuh, siapa lagi bisa
menahannya" Dia dan prajurit-pr.ajuritnya
bisakah menahan orang tua bertenaga gajah
dan berkulit kebal senjata itu" Karena itulah
Kwe Hian hanya pasrah menunggu bagaimana
nanti akhir pertempuran itu. Kalau pihaknya
menang ya syukur, kalau kalah ya serahkan saja
Kembang Jelita 16 37 tawanan-tawanan itu. Apa gunanya bintang jasa
kalau diterima secara anumerta"
Sementara itu Ko Ban-seng sudah ingin
segera mengakhiri pertempuran. Waktu itu ia
tiba-tiba berdiri kokoh dengan kuda-kuda Coma-she (Sikap Menunggang Kuda), dengan
tubuh gembrotnya agak membungkuk ke depan,
sehingga sepintas lalu jadi seperti seekor kodok
raksasa yang siap melompat ke depan. Tapi dia
tidak bermaksud melawak, sebab sikapnya itu
justru menimbulkan firasat buruk dalam diri
kedua lawannya. Wajah si pendekar tua merah padam, tibatiba sepasang telapak tangannya membuat
gerak seperti menepuk dari dua sisi.
Gerakannya memang terlalu jauh dari lawanlawannya, sehingga lawan-lawannya tidak
langsung kena. Namun mereka langsung
merasakan akibat dari jurus Hong-sui-kui-hai
(Banjir Kembali ke Samudra) itu. Dua arus
tenaga dahsyat menyapu bersilang ke depan,
seperti sebuah gunting raksasa tapi tak
berwujud. Namun tekanannya terasa Kembang Jelita 16 38 mengerikan, mengguncangkan pohon-pohon di
sekitar arena dan merontokkan daun-daunnya,
sehingga di tempat itu seperti terjadi hujan
daun. Tong Hin-pa pasang kuda-kuda dan mencoba
bertahan, namun ia tetap terhuyung-huyung ke
kiri seperti diombang-ambingkan dua arus
gelombang raksasa yang berlawanan arah. Ting
Hoan-wi, seperti biasa, ingin mencari tempat
aman di belakang punggung Tong Hin-pa, dia
melompat. Namun ia kurang memperhitungkan
bahwa lompatannya itu tepat memotong aliran
tenaga hebat tak berujud dari lawannya,
sehingga diapun terpental seperti layang-layang
putus benangnya. Tubuhnya membentur batang
pohon lalu merosot ke bawah dan muntah
darah. Akhirnya ia cuma duduk kempas kempis
di bawah pohon, wajahnya pucat, untuk
sementara tidak ada kekuatan untuk bangkit
kembali, Ko Ban-seng tertawa dingin. Melihat Tong
Hin-pa masih nekad bertahan, dia-pun
membentak, "Lumayan Juga latihan kuda-kuda
Kembang Jelita 16 39 dan tenaga dalammu, he-he-he.... tapi cicipilah
jurusku yang ini!" Kuda-kudanya lalu digeser menjadi Co-cianma dengan sebelah kaki maju ke depan,
sepasang telapak tangan ditarik dulu ke
pinggang lalu menyodok sejajar seperti
mendorong gerobak, itulah pukulan Kiap-kokthai-hong ( Badai Melintasi Ngarai). Tong Hinpa menjerit karena tidak mampu lagi bertahan,
kali Ini diapun terangkat "terbang" seperti Ting
Hoan-wi tadi, untuk terkapar kempas-kempis di
tanah. Perlawanan ketiga jago bawahan Co Hua-sun
itupun habis sudah. Ko Ban-seng lalu dengan santai mendekati
kereta-kereta tahanan sambil tertawa terkekehkekeh, "Nah, sekarang aku ambil muridmuridku dan teman-teman mereka ini....."
Kwe Hian dan prajurit-prajuritnyapun diam
saja, tak bersemangat untuk merintangi.
Namun di lorong di tengah hutan itu


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendaduk terdengar suara lain yang berat
bergema, "Tahan!"
Kembang Jelita 16 40 Kedengarannya orang yang bersuara biasa
tanpa ngotot, namun ada getaran hebat yang
membuat dedaunan sekali lagi berguguran. Ko
Ban-seng sendiripun kaget dan menghentikan
langkahnya. Semua mata serempak dialihkan ke asal
suara itu, kelihatanlah ada seorang yang duduk
di ranting sebuah pohon. Ranting itu lebih kecil
dari jari kelingking, namun nampaknya tidak
berat menahan bobot tubuh orang itu, malahan
berayun naik turun. Sayang wajah orang itu
tidak nampak karena mukanya ditutupi
selembar kedok. Tetapi Kwe Nian sudah kegirangan setengah
mati sebab orang itu dikenalnya sebagai si
"Dewa Penolong" yang telah mencegah
kaburnya para tahanan dari penjara kota Huntiong.
Sementara Ko Ban-seng dengan geram
membentak, "Siapa kau?"
Orang di atas pohon itu tertawa terkekeh,
"Kalau kubiarkan setiap orang mengetahui
Kembang Jelita 16 41 siapa diriku, buat apa susah-susah kupakai
kedok ini" Benar-benar pertanyaan tolol!"
"Hem, kau mau pakai kedok atau tidak, itu
urusanmu, tetapi membebaskan muridmuridku
dan teman-temannya adalah kewajibanku, kau jangan coba-coba menghalangi!" "Aku justru akan menghalangi."
"Apa hubunganmu dalam urusan ini?"
"Tidak perlu kau ketahui, pokoknya aku
harus menghalangi membebaskan mereka!"
Gusarlah Ko Ban-seng mendengar jawaban
itu. Lalu dengan langkah lebar dia mendekati
kereta-kereta pesakitan itu, seolah mau
menantang, "Halangilah! aku kalau kau
mampu." Namun cahaya hijau tiba-tiba bertebaran
menyongsong Ko Ban-seng diiringi desis angin
tajam. Tanpa sempat memperhatikan lebih jelas
benda yang menyambarnya, Ko Ban-seng cepat
menggulung tubuhnya seperti trenggiling untuk
bergulingan menjauh, lolos dari serangan itu.
Kembang Jelita 16 42 Ketika ia melompat bangkit, tercenganglah ia
melihat yang menyambarnya tadi ternyata
cuma pucuk-pucuk ranting muda yang belum
keras benar, yang agaknya direnggut
sembarangan saja oleh si orang berkedok lalu
disambitkan. Tapi sambitan-nya itulah yang
tidak sembarangan, sebab ketika "senjata
rahasia" itu luput dan menerjang semak-semak
di belakang Ko Ban-seng, maka semak-semak
itu seperti ditebas rontok.
Sadarlah Ko Ban-seng bahwa rintangan yang
lebih berat sudah tersedia di depannya.
Rintangan yang pasti lebih berat dari rintanganrintangan sebelumnya, biarpun ujudnya hanya
satu orang. Orang berkedok di atas pohon itu terkekeh,
tubuhnya sekonyong-konyong melejit ringan
dan tahu-tahu telah berdiri lima langkah di
depan Ko Ban-seng. la mulai menukar
peranannya dari penonton menjadi pemain
langsung, sedang Tong Hin-pa bertiga berganti
dari pemain menjadi penonton.
Kembang Jelita 16 43 Orang berkedok itu mengawasi Ko Ban-seng
tanpa berkedip, tidak berani lengah sedikitpun,
namun kata-katanya ditujukan kepada Kwe
Hian, "Cong-peng Taijin, teruskan langkahmu
dan jangan takut kepada si gemuk ini. Dia
urusan-ku." Ko Ban-seng murka, cepat ia pasang kudakuda kembali, sepasang tangannya-pun dari
kanan-kiri seperti hendak bertepuk tangan,
hendak mengulangi jurus Hong-sui-kui-hai tadi.
Kembali pepohonan di sekitarnya bergoyang
oleh tenaga yang hebat, ranting-ranting
berpatahan dan daun-daun berguguran seperti
tadi. Kini bahkan lebih hebat sebab Ko Ban-seng
lebih bersungguh-sungguh, mengingat akan
bobot lawanya. Arus tenaga dahsyat bersilang kembali
membanjir, seperti gunting raksasa tak
berwujud yang hendak menjepit remuk lawan
di tengah. Orang berkedok itu berdiri dengan kaki
renggang, kedua tangannya mendekap pundak
seolah kedinginan, matanya mencorong.
Kembang Jelita 16 44 Orang berkedok itu berdiri dengan kaki renggang,
kedua tangannya mendekap pundak seolah kedinginan,
matanya mencorong Kembang Jelita 16 45 Tubuhnya nampak bergetar terlanda arus
pukulan lawan, namun sepasang kakinya tetap
kokoh di tempatnya, tidak "hanyut" atau
terpental seperti Tong Hin-pa dan Ting Hoan-wi
tadi. Nyata kalau orang berkedok itu memang
lain kelasnya. Si Gajah Kepala Besi makin penasaran, ia
membentak mengerahkan tenaganya dan
secepat kilat menggantinya dengan jurus Kiapkok-thai-hong, sepasang telapak tangpnnya
menghantam ke depan dengan kekuatan
berlipat ganda. Arus bersilang yang semula tiba-tiba
merapat menjadi satu arus dan menggempur
langsung ke tubuh lawan. Pinggang orang berkedok itu nampak agak
melengkung ke belakang menghadapi tekanan
berat dari depan. Satu kakinya mundur
selangkah, untuk menjaga supaya tidak roboh.
Ko Ban-seng terus menekan tanpa ingin
memberi kesempatan lawannya untuk membalas. Biarpun sedang marah, namun Ko
Ban-seng tidak kehilangan akal sebagai pesilat
Kembang Jelita 16 46 ulung, yaitu mengawasi dan mengamati di mana
kiranya kelemahan lawan. Ketika dua jurusnya
sudah gagal merobohkan lawannya yang berdiri
sekokoh karang itu, maka si kakek gendut
segera menyimpulkan kalau kuda-kuda
lawannya yang perlu "diurus" lebih dulu, bukan
bagian atasnya. Maka jurus ketiga Ko Ban-seng adalah
gerakan kaki Ban-siang-keng-te (Selaksa Gajah
Menggetar Bumi). Sepasang kakinya bergantian
menghentak bumi dengan kekuatan dahsyatnya
sambil meraung-raung dahsyat. Dalam garis
tengah sepuluh langkah, bumi seolah diguncang
gempa kecil yang bergelombang panjang.
Bukan si orang berkedok saja yang
kelihatannya bergoyang-gontai hendak roboh,
bahkan Tong Hin-pa sekalian dan para prajurit
juga ikut terhuyung-huyung seperti orang
mabuk. Tidak sedikit prajurit yang benar-benar
roboh. "Hebat!" pujian itu keluar dari mulut di balik
kedok itu. la tidak menunggu sampai tubuhnya
benar-benar roboh, ia melejit melambung ke
Kembang Jelita 16 47 udara. Sepasang telapak tangannya tiba-tiba
membacok di udara berulang kali, seperti golok,
ke arah lawannya sambil membentak,
"Sekarang giliranku!"
Ko Ban-seng tidak berani menganggap
remeh tebasan telapak tangan yang dari
kejauhan itu. Ia melompat mengelak, dan
banyak pepohonan di belakang Ko Ban-seng
tertebas ranting-rantingnya seperti kena golok
tajam, tapi tak kelihatan. Potongannya rapi. Dan
bukan cuma ranting-ranting kecil, tapi juga yang
sebesar lengan. Tak lama kemudian pohon itu
jadi rajin seperti pohon dalam taman yang habis
dicukur tukang kebun. "Bu-heng-to-hoat (Ilmu Golok Tanpa Ujud)..."
desis Ko Ban-seng terkesiap ketika mengenali
jenis ilmu lawannya. "Benar!" sahut si orang berkedok sambil
mengeluarkan lagi serentetan serangan dari
berbagai arah. Meskipun disebut "ilmu golok",
tapi yang digunakan adalah telapak tangan dan
jangkauan bacokan-nya yang tidak kelihatan itu
ada enam langkah dari ujung jari tangannya.
Kembang Jelita 16 48 Ko Ban-seng tidak lagi punya kesempatan
untuk mengguncang-guncang tanah dengan
kakinya, sebab ia harus berpindah-pindah
tempat menghadapi "golok" lawan. Lagipula
percuma mengguncang tanah sebab lawannya
sudah "beterbangan" dan tidak lagi menginjak
tanah. Lawannya berlompatan seperti tupai
yang lincah di atas ranting-ranting pohon, tetapi
sekali waktu menerkam dengan buas seperti
rajawali dari angkasa. Nyata orang berkedok itu mencoba
mengandalkan keunggulannya dalam ilmu
meringankan tubuh untuk mengimbangi
keunggulan lawan dalam kekuatan raksasanya.
Namun Ko Ban-sengpun bukan tokoh
ingusan yang gampang dipecundangi dengan
taktik macam itu. Tubuhnya yang gemuk
bundar memang tidak selincah lawannya, tapi
gelombang pukulannya memenuhi arena.
Kadang arus tenaganya lurus, kadang
menyilang, tidak jarang pula berputar seperti
puting beliung. Sekali orang berkedok itu salah
langkah dan masuk perangkap, maka dia akan
Kembang Jelita 16 49 ditekan oleh kekuatan ribuan kati yang tak
terlihat dari segala arah. Namun sebaliknya
sekali Ko Ban-seng keliru memperhitungkan
arah "bacokan" jarak jauh lawannya, maka
tubuhnyapun akan jadi "lebih langsing" karena
terpotong menjadi beberapa bagian.
Begitulah, akibat pertempuran mereka maka
hutanpun jadi berantakan. Pepohonan kalau
tidak roboh kena pukulan dahsyat Ko Ban-seng,
atau tercabut dan terlempar malang melintang,
tentunya kena tebasan "golok gaib" lawannya
yang memotongi pepohonan tak kalah
merusaknya. Tanah jadi terbalik seperti dibajak.
Kedahsyatan pertempuran itu membuat
Tong Hin-pa bertiga, yang selama ini menepuk
dada sebagai jagoan-jagoan istana, kini merasa
kecut hatinya. Selain itu, mereka juga heran
karena orang berkedok itu tanpa alasan yang
jelas memihak Kwe Hian. Jagoan-jagoan istana
itu jadi cemas. Jangan-jangan orang berkedok
itu adalah jagoan baru yang diundang Co Huasun" Kalau demikian, maka kedudukan sebagai
jagoan nomor satu di samping Co Hua-sun akan
Kembang Jelita 16 50 digeser oleh orang itu. Tak terasa Tong Hin-pa
jadi masgul sendiri. Diam-diam ia bergeser mendekati Kwe Hian
lalu bertanya, "Kwe Cong-peng, siapa orang
berkedok itu" Kenapa kelihatannya kau sudah
mengenalnya?" Setelah menarik napas beberapa kali, Kwe
Hian menyahut, "Dialah penolong misterius
yang pernah kuceritakan kepadamu, Tong Thaihiap. Pemberi peringatan dan juga penolong di
saat para tahanan hampir berhasil kabur
dilarikan pengikut-pengikut Li Cu-seng. Tanpa
dia, tak mungkin kita berjalan ke Pak-khia
dengan muka terang."
Tong Hin-pa agak tersinggung. Ucapan Kwe
Hian

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu seolah membandingkan ketidakbecusan dirinya dengan kehebatan
orang berkedok itu. Tak terasa timbul
kedengkin Tong Hin-pa terhadap si orang
berkedok, tak peduli orang itu tengah
menyabung nyawa di pihaknya. Dengusnya,
"Hem, seorang yang bersembunyi di balik kedok
dan berlagak hantu-hantuan macam itu, mana
Kembang Jelita 16 51 mungkin bertindak tanpa pamrih" Kwe Congpeng, apakah kau tahu pamrihnya?"
"Tidak, Thai-hiap."
"Ah, kau sungguh gegabah. Kenapa orang
yang tidak jelas asal-usulnya maupun
tujuannya, sudah kau anggap sebagai penolong
di pihakmu?" "Tapi nyatanya dalam tiga kali tindakannya,
dia menolong aku." "Pasti tidak betul ini." Tong Hin-pa gelenggeleng
kepala. Seandainya disuruh membuktikan apanya yang "tidak betul" pada
diri orang berkedok itu, tentunya ia akan
kebingungan karena memang tidak punya bukti
apapun. Sikapnya hanya dilandasi rasa jelus,
karena ia mengira orang berkedok itu adalah
jagoan barunya Co Hua-sun yang bakal
mendesak kedudukannya. Sementara itu pertempuran makin hebat.
Kedua pendekar tua itu sudah mengerahkan
kekuatan, kecepatan, tipu-tipu silat dan segala
macam taktik yang dipunyai, dan setelah lewat
Kembang Jelita 16 52 puluhan jurus masih saja sulit menentukan
siapa bakal menang. Arena pertempuran yang semula teduh
karena banyak pohon, kini telah menjadi terang
benderang karena banyak pohon roboh terkena
tangan kedua jago tua itu.
Sudah tentu bukan tujuan mereka untuk
membuka hutan, tetapi mengalahkan lawan. Ko
Ban-seng gemas ingin meremukkan tulangtulang si orang berkedok, sedang si orang
berkedok juga sudah geregetan ingin merajang
tubuh gemuk lawannya dengan golok tanpa
wujudnya. Tapi apa mau dikata, serangan kedua
belah pihak belum kena-kena juga ke tubuh
lawan masing-masing. Namun ada satu hal kecil yang perlahanlahan mengubah. keseimbangan. Ibaratnya di
atas sebuah neraca yang sudah seimbang betul,
jarum penunjuk angkanya sudah persis di
tengah, namun ketika selembar bulu ditaruh di
salah satu piringan neraca, tentu sedikit demi
sedikit akan miring juga neraca itu.
Kembang Jelita 16 53 Luka kecil di lengan Ko Ban-seng akibat
goresan pedang Ting Hoan-wi tadi, semula
dianggap hal sepele oleh Ko Ban-seng. Namun
ketika pertempurannya dengan orang berkedok
itu tetap saja seimbang dan berlarut-larut, maka
luka kecilnya yang semula dianggap tak berarti
sehingga tidak dibalut itu, terus menerus
meneteskan darah. Ketika kemudian nampak
lengan Ko Ban-seng juga kuyup oleh darah,
maka Ko Ban-seng juga merasa bahwa ia akan
makin lemah dan akhirnya kalah.
Ko Ban-seng sadar pula bahwa keinginannya
untuk menolong kedua muridnya dan tiga
saudara Giam itu akhirnya menemui tembok
pertahanan yang tak tertembus. Kalau ngotot
terus, jangan-jangan dirinya sendiripun malah
akan tertawan pula. Karena itulah biarpun rasa penasaran dan
kecewa mengaduk di hatinya, Ko Ban-seng
masih punya sisi sedikit akal sehat untuk
memutuskan mundur dulu. Murid-muridnya
hanya bisa ditolong oleh orang hidup, bukan
orang mati. Karena itu setelah menangkis
Kembang Jelita 16 54 serentetan pukulan lawannya, Ko Ban-seng
tiba-tiba meng hentikan serangannya sambil
berteriak, "Sebentar!"
Lawannyapun menghentikan serangan dan
bertanya, "Kau mau apa?"
"Aku mau pergi dari sini, apakah kau akan
merintangi aku?" sahut Ko Ban-seng dengan
enaknya. Biasanya kalau seorang pesilat ingin
kabur dari gelanggang, haruslah mencari
peluang sebaik-baiknya agar tidak sempat
diketahui dan dicegah lawan, tapi kini Ko Banseng malah terang-terangan berpamitan.
Dan dengan gaya yang sama enaknya orang
berkedok itu menjawab sambil tertawa, "Mau
pergi ya sana pergilah. Memangnya aku kurang
kerja sehingga mengurusi orang macam kau
saja?" "Baik, tapi aku harus bicara dulu dengan
murid-muridku." "Asal jangan coba-coba membebaskan
mereka, agar akupun tidak mengajakmu
bertempur sampai tuntas."
Kembang Jelita 16 55 "He, jangan boleh dia mendekati tawanantawanan itu!" Tong Hin-pa berteriak dengan
panik, apalagi ketika melihat Ko Ban-seng telah
melangkah mendekati kereta-kereta pesakitan.
"He, cegah dia! Cegah dia!"
Bukan cuma Tong Hin-pa, tetapi yang lainiainnyapun panik, benar-benar kuatir kalau si
kakek gemuk mengambil tawanan-tawanan itu.
Namun apa mau dikata tak seorangpun berani
mencegah si kakek gemuk karena hal itu sama
saja dengan mempertaruhkan nyawa.
Hanya si orang berkedok yang kelihatan
dingin, berpeluk tangan dan berkata dengan
santai, "Nanti kalau dia coba melepaskan orang,
barulah aku turun tangan. Kalau cuma bicara
saja ya tidak apa-apa."
Setelah dekat kereta pesakitan, ternyata Ko
Ban-seng memang tidak melakukan apapun
kecuali bicara kepada kedua muridnya dan tiga
saudara Giam, "Kali ini aku gagal menolong
kalian karena ada rintangan tak tertembus, aku
terang-terangan saja. Tapi kalian jangan putus
Kembang Jelita 16 56 asa, dan kalian boleh berharap pertolonganku di
lain kali." Yo Kian-hilah yang berkata dengan
emosional, "guru, sampaikan kepada Jenderal Li
Giam, bahwa menghadapi siksaan yang
bagaimanapun juga, kami takkan buka mulut.
Kami berlima takkan mengkhianati perjuangan
Joan-ong bagaimanapun akibatnya bagi kami!"
"Anak baik, jaga dirimu baik-baik..." penuh
rasa sayang Ko Ban-seng menepuk kepala Yo
Kian-hi sebelum melangkah pergi dengan
santai, tidak tergesa-gesa.
Sementara Tong Hin-pa biarpun tidak berani
mencegah sendiri, tapi masih berusaha
menganjurkan si orang berkedok, "He, kenapa
kau biarkan dia pergi" Tangkap dia! Dia juga
termasuk gembong pemberontak yang penting!" Orang berkedok itu menjawab tawar, "Aku
lakukan apa yang aku sukai."
"Apa kau tidak ingin mendapat hadiah besar
dari Co Kong-kong?" bujuk Tong Hin-pa yang
Kembang Jelita 16 57 masih mengira bahwa orang berkedok itu
adalah "orang baru"-nya Co Hua-sun.
Sambil melangkah pelan menghilang ke
dalam hutan, orang berkedok itupun menjawab
tanpa menoleh, "Tidak!"
Tong Hin-pa pun garuk-garuk kepaia
kebingungan, tidak tahu orang berkedok itu
punya kepentingan apa dengan sikap dan
tindakannya yang membingungkan itu.
Sementara itu anak buah Kwe Hian
mendapat kerja tambahan, menyingkirkan
pohon-pohon tumbang yang malang melintang
di jalanan gara-gara adu ilmu tingkat tinggi
yang sengit tadi. Juga meratakan tanah. Kalau
tidak begitu, kereta-kereta pesakitan itu takkan
bisa lewat. Setelah jalanan cukup memadai untuk
dilewati gerobak-gerobak, maka rombonganpun berjalan kembali.
Sampai di sebuah tempat terbuka di
seberang hutan, hari sudah sore. Kwe Hian lalu
memerintahkan pasukannya beristirahat, makan minum dan merawat prajurit-prajurit
Kembang Jelita 16 58 yang luka. Kwe Hian percaya maiam itu takkan
mendapat gang guan, ia benar-benar
mengandalkan "dewa penolong"nya yang
dibayangi kabut rahasia itu.
Esok harinya, ketika para prajurit sedang
bersiap untuk berangkat lagi, Tong Hin-pa
bertiga menemui Kwe Hian untuk minta diri,
"Kwe Cong-peng, jarak ke Pak-khia tinggal lima
puluh li lagi dan jalan makin aman karena
banyak pos-pos keamanan yang terjaga kuat.
Kami merasa tidak perlu menemanimu lagi.
Kami akan mendahului ke Pak-khia, maka
kuharap Cong-peng tidak keberatan."
"Oh, tidak, tidak keberatan. Silakan, selamat
jalan, sampai ketemu lagi di Pak khia..!" sahut
Kwe Hian begitu cepatnya dengan perasaan
ringan. Malah dalam hatinya ia menambahkan,
"Makin cepat kalian enyah dari depanku, makin
baik. Supaya aku tidak lagi mual memandang
tampang kalian yang sok pintar, sok kuasa,
tukang mengatur, tapi ternyata tidak becus apaapa kalau ada musuh."
Kembang Jelita 16 59 Tong Hin-pa bertiga kemudian berkuda
mendahului pasukan Kwe Hian ke Pak-khia.
Merekapun sudah siap dengan laporan bahwa
mereka telah berhasil melindungi pembawa
tawanan yang hampir saja dirampas kaum
pemberontak. * * * Di istana kekaisaran. Kaisar Cong-ceng dengan perasaan ringan
dan hati gembira tengah menuju ke kamar
"boneka"nya yang baru, Tan Wan-wan. Sudah
dibayangkannya betapa akan lembut dan
hangatnya sambutan Tan Wan-wan, seperti
biasanya. Begitu dia lupa daratan kalau sudah
bermain asmara dengan Tan Wan-wan,
sehingga sering dari mulutnya dia menceritakan
apa saja kepada perempuan molek hadiah Ciu
Kok-thio, mertuanya itu. Asal ada yang
dibicarakan, dan sering yang dibicarakan
kepada Tan Wan-wan itu adalah yang termasuk
rahasia negara. Kembang Jelita 16 60 Namun ketika Kaisar mendorong pintu
bangsal itu, yang menyambut kedatangannya
hanyalah punggung Tan Wan-wan yang
menghadap pintu. Nampak punggung itu
tersentak-sentak perlahan, menandakan kalau
si jelita itu sedang menangis. Dua orang
dayangnya nampak sedang menghiburnya.
Melihat Kaisar masuk, para dayang cepatcepat berlutut menghormat. Tan Wan wan
menoleh, lalu iapun cepat-cepat berlutut. Wajah
jelitanya yang basah air mata itu menunduk,
sehingga titik-titik air kesedihan satu-satu
menggelinding lewat pipinya yang merah
jambu, kadang-kadang juga ujung hidungnya,
terus menetes ke tanah. Dalam keadaan
sedihpun Tan Wan-wan tetap mempesona,
seperti mawar pagi hari yang masih terbungkus
embun. "Tiau Kui-hui jelas kalah jauh dibandingkan
dia......" pikir Kaisar sambil mengelus-elus
jenggotnya. "Selamat datang, Tuanku......" suara lembut


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merdu itu menarik kaisar dari lamunannya.
Kembang Jelita 16 61 "Oh...." sesaat Kaisar tergagap, lalu dengan
gerakan tangannya ia memerintahkan kedua
dayang itu keluar. Maka sejenak kemudian ia
sudah berdua saja bersama Tan Wan-wan di
ruangan yang indah itu. Kaisar mengambil tempat duduk, lalu
berucap kepada Tan Wan-wan yang masih
berlutut, "Bangun dan duduklah."
Tan Wan-wan bangkit dan duduk, tetapi
wajahnya tetap menunduk. Bentuk dan gerak
tubuhnya ketika bangkit itu mengingatkan
Kaisar akan ranting muda pohon itu atau
tangkai bunga teratai. "Ah, dia tidak boleh
disamakan dengan teratai..." Kaisar cepat-cepat
berbantah sendiri dalam hatinya. "Bukankah
bunga teratai yang indah sekalipun, akarnya
terkubur di lumpur yang kotor?"
Tapi suara lain dalam hatinya mendebat,
"Bukankah Tan Wan-wan dulu juga berakar dan
tumbuh di tempat kotor" Dia diambil Ciu Kokthio dari rumah pelacuran di Soh-ciu..."
"Ah, tidak. Dia seorang perempuan yang
malang yang patut dikasihani. Memang oleh
Kembang Jelita 16 62 suaminya yang malas dan tidak bertanggung
jawab, dia hampir saja dijual ke rumah
pelacuran, namun Gak-hu (Ayah mertuaku)
berhasil menyelamatkannya lebih dulu. Dia
belum sampai menjadi pelacur."
Begitulah Kaisar Cong-ceng berusaha
berbantah sendiri dalam hatinya, berusaha
untuk membenarkan tindakannya menempatkan Tan Wan wan dalam istana.
Sementara di luar bangsal itu terdengar
kicau burung-burung berbulu indah peliharaan
istana. Kicauan itu merdu namun terdengar
memelas juga sebab mereka terkurung.
Betapapun indahnya kurungan itu, mereka
tetap masih iri kepada teman-teman mereka di
alam bebas. Kicauan itu seperti keluhan sedih
untuk kawan-kawan yang masih bebas.
"Tuanku...." tiba-tiba suara Tan Wan-wan
memecah kesunyian. "Apakah hamba diperkenankan mengambil
minuman?" "Oh, tidak usah. Aku melihat hari ini kau
menangis sedih, ada apa?"
Kembang Jelita 16 63 "Hamba..... hamba....."
"Kau tidak suka di istana ini" Merasa
terkurung?" "Ampun Tuanku, justru hamba merasa
bahwa sebagai seorang desa yang tadinya
nyaris tenggelam dalam lumpur kehinaan,
beruntung sekali mendapat belas kasihan
Tuanku sehingga berada di sini. Mana berani
hamba masih merasa kurang?"
"Tapi kau menangis."
"Tuanku amat baik terhadap hamba, namun
agaknya tidak semua orang di istana ini
menyukai hamba. Ada yang membenci dan ingin
menyingkirkan hamba." "
"Ah, apa benar begitu?"
"Benar, tuanku, mana berani hamba bohong"
Orang yang membenci hamba itu kentara sekali
sikapnya, pandangan matanya penuh kebencian
seolah-olah hendak menelan hama dan
mencincang hamba lembut-lembut."
(Bersambung jilid ke XVI)
Kembang Jelita 16 64 Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 27/06/2018 22 : 59 PM
Kembang Jelita 16 65 Kembang Jelita 17 1 Kembang Jelita 17 1 "KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA" Karya : STEFANUS S.P. Jilid XVII Berkerutlah alis Kaisar Cong-ceng mendengar pengaduan itu. Ia menduga,
pembenci itu kalau bukan Ciu Hong-hou
(permaisuri Ciu) yang sudah lama tidak
dijamahnya, tentunya ya Tiau Kui-hui (selir
Tiau) yang memang tersingkir dari sisi Kaisar
sejak kedatangan Tan Wan-wan.
"Siapa?" Kaisarpun bertanya, agar tidak
menduga-duga saja. "Hamba tidak berani menyebut namanya,
sebab bukan kata-kata hamba sulit dipercaya
oleh Tuanku, hamba juga tidak mau
menyulitkan Tuanku. Kalau hamba sebutkan
orang itu, hanya akan merisaukan perasaan
Tuanku, sebab tuanku takkan berani... eh, maaf,
maksudku takkan... menindak orang itu."
Kembang Jelita 17 2 Memang lihai mulut Tan Wan-wan i-ni. Ia
tahu Kaisar Cong-ceng berwatak lemah, namun
punya juga "harga diri" sebagai Kaisar dan
lelaki, meskipun yang disebut "harga diri" itu
hanyalah harga diri yang dangkal dan kekanakkanakan. Lelaki mana di dunia ini yang di depan
kekasihnya sudi dikatakan "tidak berani?"
Apalagi seorang kaisar" Tidak ada. Tidak juga
Kaisar Cong-ceng. Biarpun sebenarnya takut ya
terpaksa harus berlagak berani.
"Hah, apa katamu" Kau bilang aku tidak
berani menindak orang itu" Kau lupa aku ini
siapa" Aku Kaisar negeri ini, kekuasaanku
mutlak atas mati-hidupnya semua penghuni
negeri ini, kenapa aku harus takut menindak
orang itu" Katakan siapa orang itu, aku akan
membelamu." Begitulah Kaisar yang berusia setengah abad
itu tingkahnya jadi seperti pemuda kencur
belasan tahun, yang pacarnya dicolek orang di
pasar. Cepat-cepat Tan Wan-wan tinggalkan
kursinya untuk berlutut dan berkata,
Kembang Jelita 17 3 "Ampunilah kelancangan mulut hamba, Tuanku.
Hamba memang manusia rendah yang tak tahu
diri." "Katakanlah nama orang itu!" perintah
Kaisar dengan gagah. Sambil tetap berlutut, Tan Wan-wan
membiarkan air matanya mengalir. Itulah
senjata penakluk yang sulit diragukan
keampuhannya untuk membuat Kaisar, atau
lelaki pada umumnya, bertekuk lutut dan
seringkali berhasil memaksa kaum lelaki lalu
memaksakan diri jadi pahlawan. Kata Tan Wanwan di sela-sela isak tangisnya yang memelas,
"Tuanku, orang itu adalah Co Kong-kong. Dia
agaknya berusaha keras memisahkan hamba
dari Tuanku." Semula Kaisar berdiri gagah dengan tinju
terkepal, namun begitu mendengar nama Co
Hua-sun disebutkan, kontan mukanya memucat
dan sepasang pundaknya menurun kendor.
Dengan lemas ia duduk kembali di kursinya,
tergagap ia berkata dan lupa sejenak untuk
berlagak jadi pahlawan, "Wah, kalau... urusan ini
Kembang Jelita 17 4 "Ampunilah kelancangan mulut hamba. Tuanku.
Hamba memang manusia rendah yang
tak tahu diri............"
Kembang Jelita 17 5 .... aku......aku..... benar-benar.......wah, bagaimana
ya?" Tentu saja ia tidak mengakui terangterangan bahwa ia takut kepada Co Hua-sun,
tetapi nyatanya memang takut.
Tan Wan-wan memperdengarkan helahan
napasnya dalam sikap berlutut, "Hamba paham,
Tuanku tentu tak bisa membela hamba.
Memang Co Kong-kong adalah orang penting di
istana ini, mana mungkin Tuanku melawan dia
hanya demi perempuan hina macam hamba ini"
Tanpa dia, mana mungkin pemerintahan negara
bisa berjalan lancar?"
"He, bicaramu ini pun keliru. Kendali
pemerintahan ada di tanganku sebagai Kaisar,
dan Co Hua-sun cuma membantu aku."
"Oh ya, maaf, Tuanku. Maksud hamba...
maksud hamba... kalau Tuanku sampai
kehilangan seorang pembantu yang begitu
berharga seperti Co Kong-kong, tentu lebih
besar kerugiannya dari kehilangan seribu Tan
Wan-wan sekalipun. Karena itu biarlah Tuanku
anggap tidak ada semua keluhan hamba tadi,
Kembang Jelita 17 6 biar hamba tanggung sendiri nasib hamba yang
tanpa pembela ini." "He, bukan itu maksudku...."buru-buru Kaisar
Cong-ceng berkata. Ia benar-benar mabuk
kenikmatan jasmaniah yang pernah diberikan
Tan Wan-wan kepadanya, sehingga kenangan
dan pengalaman itu membelenggunya. "Bukan
maksudku aku tidak mau membelamu."
Suasana sunyi beberapa waktu, hanya isak
lirih Tan Wan-wan yang terdengar.
Lalu Kaisar bertanya, "Sebenarnya apakah
yang telah diperbuat oleh Co Hua sun
terhadapmu" Menghinamu" Menyakiti dengan
kata-kata, atau apa?"
"Tidak Tuanku. Co Kong-kong kalau di
hadapan hamba, apalagi kalau ada Tuanku,
tentu bersikap pura-pura amat hormat. Tetapi
sungguh berbahaya kalau sampai Tuanku
mempercayai sikapnya, hamba amat kuatir dia
akan berusaha menyingkirkan hamba. Bahkan
mungkin juga akan menyingkirkan Tuanku
sendiri. Karena itu...."
Kembang Jelita 17 7 "He, kenapa bicaramu malah melantur ka
sana ke mari" Aku kan hanya bertanya, apa
yang sudah diperbuatnya atas dirimu?"'
"Tuanku, Co Kong-kong saat ini sedang
menyusun sebuah rencana rahasia untuk
menyingkirkan hamba. Belakangan ini dia
sedang menyiapkan saksi-saksi palsu yang
disiksa dan diancamnya agar kelak dapat
memberatkan hamba. Begitu pula, ia
mengumpulkan bukti-bukti palsu, agar kelak
dapat menuduh hamba dengan tuduhan yang
tentunya tuduhan palsu juga."
"Begitukah prasangkamu terhadap orang
baik semacam dia?" "Ampun Tuanku, hamba tidak berani hanya
sekedar berprasangka. Beberapa dayang dan
abdi istana pernah melihat suatu kegiatan
rahasia di bangsal kediaman Co Kong-kong, dan
sasaran utama dari rencana rahasia itu adalah
hamba. Menyingkirkan hamba."
"Jadi kau menempatkan pengintai-pengintai
di bangsal Co Kong-kong?"
Kembang Jelita 17 8 Pertanyaan itu membuat Tan Wan-wan agak
gelagapan gugup. Namun cepat-cepat ditenangkannya dirinya lalu menjawab, "Ti....
tidak, Tuanku. Mana berani hamba dengan
sengaja memata-matai Co Kong-kong" Dayangdayang dan abdi-abdi istana yang melapor itupun tidak hamba minta, melainkan atas
kemauan mereka sendiri karena bersimpati
kepada nasib hamba yang malang ini.
Merekapun mendengar rencana Co Kong-kong
itu hanya karena kebetulan, bukan sengaja
mencuri dengar." "Hem, kalau urusannya cukup jelas, mana


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa kubiarkan orang mencelakaimu tanpa
salah?" kata Kaisar Cong-ceng. "Tapi aku
sebagai Kaisar harus memberi contoh dalam
menjalankan hukum, mana boleh aku
sembarangan menghukum hanya berdasar
desas-desus para dayang dan abdi istana yang
belum tentu kebenarannya" Siapa tahu desas
desus itu pun hanyalah karangan iseng para
dayang di waktu nganggur."
Kembang Jelita 17 9 Saat itu di luar terdengar suara langkah kaki
mendekat, lalu ketukan perlahan disertai suara
seorang yang amat menghormat, "Tuanku....."
"Siapa?" tanya Kaisar.
"Hamba disuruh Co Kong-kong."
"Ada urusan apa?"
"Co Kong-kong mohon diperkenankan
menghadap Tuanku, karena ada hal penting
yang hendak disampaikan."
Sekejap Kaisar Cong-ceng menoleh kepada
Tan Wan-wan dengan pandangan kosong, lalu
katanya kepada orang di luar itu, "Aku tidak
mau menemuinya di sini. Persilakan Co Kongkong menunggu di ruangan Gi-si-pong.
"Baiklah Tuanku, hamba mohon diri ..." lalu
suara langkah kaki menjauh.
"Wan-wan, aku akan menemui Co Kong-kong
dulu." Wajah Tan Wan-wan kelihatan cemas,
namun ia tidak dapat mencegah Kaisar selain,
"Silakan, Tuanku."
"Jangan cemas. Aku takkan gampang
mempercayai omongannya, seandainya dia
Kembang Jelita 17 10 mencoba menjelek-jelekkan kau. Tapi kukira
yang hendak dia bicarakan itu adalah urusan
lain." "Terima kasih, Tuanku."
Kaisar Cong-ceng pun berlalu dari ruangan
itu. Diam-diam Tan Wan-wan mendengarkan
suara langkah Kaisar yang menjauh, bahkan
juga membuka pintu dan menjenguk keluar
untuk memastikan bahwa Kaisar benar-benar
tidak akan kembali lagi ke situ.
Setelah yakin, buru-buru ia masuk kembali
dan menutup pintu rapat-rapat, lalu memanggil
dayang kesayangannya, dayang yang bukan asli
dari istana itu, namun dibawa sendiri oleh Tan
Wan-wan sejak sebelum masuk istana. "Cunhoa, Siau-hoa, kemari!"
Dua dayangpun muncul. Mereka berusia
kira-kira baru enam belas tahun, tapi sinar mata
mereka kelihatan cerdik dan bernyali besar.
"Siau-hoa, di Gi-si-pong akan ada pembicaraan antara Kaisar dan Co Hua-sun,
usahakan untuk mengetahui isi pembicaraan
Kembang Jelita 17 11 itu. Tapi jangan kau sendiri yang melakukan,
pakailah orang lain. Sebab semua orang di
istana ini sudah tahu kalau kau adalah
dayangku." "Baik, enci Wan....." sahut Siau-hoa yang
segera keluar.. "Enci Wan, apa tugas untukku?" tanya Cunhoa.
"Kirim peringatan kepada semua kawankawan kita di seluruh Pak-khja, agar waspada
karena Co Hua-sun berusaha menggulung
jaringan-jaringan operasi kita. Kalau perlu,
gantilah tempat persembunyian, dan ganti pula
kata-kata sandi untuk saling berhubungan."
"Baik," dan Cun-hoa pun segera "terbang"
selincah kupu-kupu keluar ruangan itu.
Kembali Tan Wan-wan sendirian di jantung
istana itu. Ia duduk menghadap jendela yang
terbuka, pandangannya menyeberangi kolam
teratai dan menatap burung kuning-hijau yang
melompat-lompat dalam kurungannya di
seberang kolam itu. Ciap-ciap burung itu terasa
menyayat hati Tan Wan-wan, seolah ia mengerti
Kembang Jelita 17 12 bahasanya. Mahluk itu terkurung justru karena
keindahan suaranya dan hulunya, karena
kecantikannya. Karunia yang berubah jadi
malapetaka. Karena siapa sudi memelihara
burung gagak yang bulunya jelek dan suaranya
menakutkan itu" Hanya burung-burung berbulu
indah dan bersuara merdulah yang ditangkap
orang. Tan Wan-wan merasa senasib dengan
burung itu. "Seandainya dulu ia tidak dilahirkan
secantik ini." "Ah, yang sudah lewat tak perlu kusesali...."
tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya keraskeras, mengusir angan-angan masa lalunya.
"Tanpa kukehendaki, aku sudah terjerumus ke
pusat kemelut yang akan menentukan arah
sejarah negeri ini. Aku harus sekuat Bu Cekthian agar hidupku tidak sia-sia dan sekedar
hanyut tanpa daya di tengah pusaran kemelut.
Lumpur yang diinjak-injak di sawah dan
dicampuri dengan kotoran hewanpun masih
bisa mempersembahkan beras yang harum di
meja-meja para bangsawan. Tubuhkupun boleh
Kembang Jelita 17 13 jadi lumpur, tetapi ingin kupersembahkan
kepada penduduk negeri ini di bawah panjipanji kemenangan Joan-ong yang bijaksana.
Untuk itu aku tidak peduli namaku ditulis dalam
sejarah atau tidak, dan kalau ditulispun aku juga
tidak peduli dengan pujian atau dicaci maki,
hanya saja dalam hidupku ini aku harus berbuat
sesuatu dan tidak pasrah nasib saja."
Ia hampir menangis, tapi ditahan kuat-kuat.
Dikuatkannya hatinya agar tidak cengeng.
Sementara itu, salah satu "biji catur" Tan
Wan-wan, si dayang Siau-hoa, dengan lincah
dan ceria menuju ke kebun bunga. Dengan
pakaiannya yang tipis dan berkibar, ia jadi
seperti seekor kupu-kupu raksasa yang terbang
di antara ratusan kuntum bunga warna-warni.
Bagaimanapun penting tugas yang dibebankan
Tan Wan-wan kepadanya, Siau-hoa belum
kehilangan sifat kekanak-kanakannya sama
sekali, maklum baru enam belas tahun. Dia
kagum akan keindahan kebun bunga itu, maka
apa salahnya menjalankan tugas sambil
Kembang Jelita 17 14 bermain-main, sambil menunggu seseorang
yang akan ditemuinya di tempat itu.
Di tengah lautan bunga itu ia tidak berjalan
biasa, tapi gabungan dari berputar, berjingkat
atau merentang tangan seperti terbang menari.
Tidak jarang didekatkannya hidungnya ke
kuntum bunga untuk mencium baunya. Sekali
diciumnya sekuntum kembang dan seekor lebah
melompat keluar dari dalam kembang itu, tapi
Siau-hoa cuma kaget sebentar dan kegembiraannyapun tidak berkurang.
Namun kagetnya datang lagi ketika di balik
serumpun bunga ia temui sesosok tubuh
berjongkok bersembunyi. Seorang dayang
istana pula. Keduanya hampir menjerit
bersamaan, tapi tidak jadi karena kemudian
keduanya saling mengenal.
"Siau-hoa...." desis dayang yang semula
berjongkok di balik rumpun bunga itu, usianya
sedikit lebih tua dari Siau-hoa sehingga
sikapnyapun nampak lebih tenang dan
terkendali. Kembang Jelita 17 15 "Eh, enci Pek-hong, kenapa berjongkok di
situ" Apakah sedang........ sedang....hi-hi-hi." Siaohoa tidak melanjutkan kata-katanya dan buruburu menutup mulut dengan telapak tangannya.
"Hus, ngawur, masa di sini?" Pek-hong
mengibaskan telapak tangannya dengan wajah
merah padam. "Kalau ada lelaki lewat,
bagaimana?" Karena Siau-hoa memang tidak dibesarkan
dalam istana, bahkan baru sebentar di dalam
istana, maka pengaruh kehidupan luar istana
yang "Kurang adat" itu masih dibawanya.
Katanya sambil tertawa, "Kenapa kalau lelaki"
Di istana ini yang lelaki sejati cuma Kaisar dan
Putera Mahkota. Para thai-kam itu ya
kelihatannya saja lelaki, tetapi....hi-hi-hi...
seandainya mereka lihat enci Pek-hong jongkok
di sinipun tidak apa-apa. Mungkin mereka
kepingin tapi tak berdaya, jadi aman....."
"Hus, tambah ngawur! Aku tidak buang air
kecil di sini. Lihat, tanahnya tidak basah ya" Aku
sedang mencarikan kembang untuk Tuan Puteri
Tiang-ping..." Kembang Jelita 17 16 "Lalu, kenapa jongkok?"
Pek-hong memang dayangnya Puteri Tiangping yang setia. Sudah tentu kepada Siau-hoa ia
takkan mengaku bahwa jongkoknya itu
sebenarnya karena bersembunyi menghindar
ketika melihat Siau-hoa memasuki kebun itu.
Sialnya, malah kepergok dan ditanyai macammacam. Maka iapun melihat-lihat ke tanah dan
pura-pura mencari sesuatu, sambil berkata.
"Tadi aku cuma ingin menangkap seekor
jangkrik. Eh, kemana jangkrik itu" Wah, sudah
lari dia...." Siau-hoa mengira Pek-hong betul-betul
sedang mencari jangkrik, maka dia-pun ikut
membungkuk-bungkuk mencari dengan bersungguh-sungguh. Sedang Pek-hong yang
memang cuma pura-pura, malahan jadi kalah
bersungguh-sungguh. Dalam hatinya Pek-hong gelisah. Ia ingin agar
Siau-hoa cepat pergi, karena di kebun bunga itu
ia ingin bertemu empat mata dengan seseorang,
tak terduga malah Siau-hoa datang dan ikut
Kembang Jelita 17 17 "mencari jangkrik" segala, entah kapan
perginya. Akhirnya Pek-hong berkata, "Sudahlah, Siauhoa. Jangkriknya pasti sudah lari. Kau pasti ada
pekerjaan lain, silakan tinggalkan saja aku di
sini." Ternyata Siau-hoa juga sedang mencari
alasan untuk lebih lama berada di situ karena
menunggu seseorang. Maka diapun balas
mengusir secara halus, "Enci Pek-hong, bungabunganya tentu sudah ditunggu oleh Puteri
Tiang-ping, kenapa enci masih berlama-lama di
sini?" "Tidak, masih terlalu sedikit...." sahut Pekhong sambil menunjuk keranjang yang belum
penuh, sementara dalam hatinya masih gelisah.
"Keranjang itu harus penuh, dan masih
kuperlukan beberapa jenis bunga lagi. Masih
lama aku di sini. Siau-hoa, kau tentu sedang
punya keperluan lain, ayolah pulang, jangan
bermain-main di sini saja."
Maka kegelisahanpun kini "tidak memihak"
melainkan terbagi rata antara kedua dayang
Kembang Jelita 17 18 yang berusaha saling mengusir itu. Siau-hoa
juga gelisah, karena Pek-hong tidak mau pergi,
padahal sebentar lagi orang yang ditunggunya
tentu akan tiba di situ. "Enci Pek-hong, bunga
macam apa lagi yang masih dibutuhkan" Biar
kubantu kau mencarinya, agar cepat selesai
pekerjaanmu." "Ah, tidak usah. Bunga itu begitu
istimewanya sehingga hanya aku yang hanya
bisa menemukannya, tepat seperti yang
dikehendaki Puteri Tiang-ping. Kalau tidak
cocok sedikit saja, tentu aku akan dimarahinya
habis-habisan." "Bagaimanapun istimewanya, tentu bisa
kubantu mencarinya...." sahut Siau-hoa.
Sikap bersikeras Siau-hoa itu menggelisahkan Pek-hong, dan dari kegelisahan
itu muncul prasangka dalam hatinya, "Janganjangan Siau-hoa memang sudah tahu tujuanku


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sebenarnya di sini, lalu sengaja dia hendak
mengawasi gerak-gerikku?"
Dan prasangka yang sama tumbuh pula di
hati Siau-hoa, "Jangan-jangan Puteri Tiang-ping
Kembang Jelita 17 19 sengaja menyuruhnya untuk mengawasi gerakgerikku" Dalih mencari jangkrik atau mencari
kembang tadi pastilah hanya untuk menutupi
niat yang sebenarnya untuk mengintip aku...."
Sesaat kedua dayang remaja itu kehilangan
senyum ceria mereka, dan mereka saling tatap
penuh curiga. Akhirnya Pek-hong lalu
menggunakan semacam siasat agar dapat
mengusir Siau-hoa cepat-cepat pergi dari situ,
"Baiklah, Siau-hoa, kalau kau ingin membantuku. Bunganya yang kuning dan lebar,
bundar, petikkam saja beberapa dan nanti biar
aku sendiri yang menyortirnya. Ayo cepatlah..."
Siau-hoa pun menjawab, "Baiklah..."
Tetapi dalam hatinya diapun berkata,
"Setelah kutemukan bunga-bunga itu tidak ada
lagi alasan buatmu untuk terus bercokol di sini."
Karena itulah Siau-hoa cepat bekerja.
Sebentar saja ia sudah berhasil mengumpulkan
belasan kuntum bunga yang dimaksud. "Enci
Pek-hong, sudah ada seperti yang dimaksudkan
Puteri Tiang-ping?" Kembang Jelita 17 20 "Sudah, sudah. Terima kasih. Sekarang kau
boleh pergi..." "Ah, aku tidak sedang sibuk kok. Silakan enci
Pek-hong serahkan kepada Puteri Tiang-ping,
nanti beliau menunggu-nunggu. Sedang aku
sendiri masih mau bermain-main di sini."
"Celaka, setan cilik ini agaknya benar-benar
berniat mengacau urusanku..." keluh Pek-hong
dalam hati setelah mendengar jawaban itu.
Karena kehabisan akal, akhirnya diapun nekad
ngotot berkata, "Aku juga main-main di sini
dulu." "Lho, tidakkah Puteri Tiang-ping akan
gelisah menunggumu?"
"Tidak. Bukan soal penting kok."
Gantian Siau-hoa yang mengutuk dalam hati,
"Sialan! Enci Pek-hong ini agaknya memang
disuruh oleh Puteri Tiang-ping untuk
mengawasi kami." Begitulah, kedua dayang itu sama-sama habis
akal untuk mengusir dengan halus. Maka
merekapun jadi sama gelisahnya, bahkan
karena usia muda mereka, mereka jadi panik.
Kembang Jelita 17 21 Selagi kedua orang muda itu sama-sama
kehabisan akal, muncul seorang thai-kam cilik
berusia tiga belas tahun, yang di bagian istana
itu dikenal dengan nama Siau-ging-cu.
Melihat kedua dayang itu, Siau-ging-cu
tertawa dan bertanya riang, "Hi-hi, kakak
berdua sudah lama menunggu aku ya" Maaf,
karena aku harus lebih dulu menyelesaikan
tugasku." Ternyata, orang yang ditunggu oleh kedua
dayang dari bangsal yang berbeda itu sama
orangnya. Kedua dayang itu kaget dan semakin
was-was satu sama lain. Sedang Siau-ging-cu tanpa prasangka terus
berkata, "Kali ini apakah kalian akan...."
"Siau-ging-cu!" tanpa berjanji, kedua dayang
itu membentak berbareng, kuatir kalau si thaikam cilik mengoceh terus dan melucuti kedok
mereka masing-masing. Namun bentakan
bersamaan itu malahan membuat mereka saling
mengetahui kalau pihak lain juga punya
hubungan rahasia dengan Siau-ging-cu.
Kembang Jelita 17 22 Sekejap Pek-hong dan Siau-hoa bertukar
pandangan sambil menyeringai canggung.
Kemudian Pek-hong pun berkata kepada si
thai-kam cilik, "Aku di sini karena sedang
disuruh mencari bunga oleh Pute-ri Tiang-ping."
Sambil berkata, ia juga diam-diam memberi
isyarat kedipan mata kepada si gandek kecil
agar mendukung kebohongannya. Namun
dalam hati Pek-hong mendongkol juga kepada
Siau-ging-cu. Semula dikiranya Siau-ging-cu
hanya berhubungan dengan pihaknya, tak
tahunya sekarang terbukti kalau Siau-ging-cu
juga berhubungan dengan orang-orang dari
bangsalnya Tan Wan-wan. "Oh,iya... iya..." si thai-kam cilik lalu
mengangguk-angguk agak takut ketika melihat
sekilatan cahaya kemarahan di mata Pek-hong.
Sementara Siau-hoapun melakukan hal yang
sama dengan Pek-hong, katanya, "Dan aku juga
cuma main-main di sini, kebetulan saja bertemu
dengan enci Pek-hong...." sambil mengedipngedipkan matanya pula diam-diam kepada
Siau-ging-cu. Kembang Jelita 17 23 "Ya.... ya...." kembali cuma itu yang bisa
diucapkan Siau-ging-cu sambil mulai, kebingungan. Maklum, usianya baru tiga belas
tahun, dan ia tak menyangka kalau kedua
dayang dari bangsal yang berbeda itu, yang
sama-sama membuat janji pertemuan di tempat
itu, ternyata kini ingin saling menyembunyikan
niatnya. Selagi keadaan lagi macet, Pek-hong nekad
mengambil tindakan. Tiba-tiba ia menyambar
tangan Siau-ging-cu untuk digandeng pergi
menjauhi Siau-hoa, sambil berkata manis, "Yuk
aku tunjuki bunga yang bagus di sebelah sana."
Sambil melangkah cepat menyeret Siau-gingcu, Pek-hong berkali-kali menoleh ke arah Siauhoa seolah kuatir kalau dibuntuti. Tapi kali ini
Siau-hoa tidak membuntutinya, ia tetap di
tempat sambil membungkuk-bungkuk purapura mengamati bunga-bunga di situ meskipun
gayanya agak salah tingkah.
Sementara itu, setelah berjarak puluhan
langkah dari Siau-hoa, Pek-hong berbisik gusar
Kembang Jelita 17 24 kepada Siau-ging-cu, "Dasar ular kepala dua,
kau bekerja juga untuk pihak lain?"
Siau-ging-cu menjawab tergagap, "Aku kira
dia itu.... aku kira....."
"Sudahlah, tak perlu membantah!" potong
Pek-hong. "Yang penting mulai sekarang kau
harus bekerja untuk kami saja, tidak boleh
untuk pihak lain. Kalau perlu kami akan
melipat-gandakan hadiah untukmu. Mengerti?"
Sejenak mata Siau-ging-cu berputar cerdik,.
mirip sekali dengan mata Co Hua-sun kalau
sedang mencari akal busuknya, bedanya yang
satu tua dan yang lain masih bocah. Lalu
mengangguklah Siau-ging-cu dengan gaya yang
meyakinkan, "Baiklah, enci Pek-hong."
Kejengkelan Pek-hongpun sedikit mereda.
"Nah, ada pekerjaan untukmu."
Biarpun umurnya baru tiga belas tahun, tapi
Siau-ging-cu adalah bocah dengan "daya
tangkap" yang tinggi. Sudah terlalu sering
dilihat para thai-kam yang lebih tua
memanfaatkan segala kesempatan untuk
mencari keuntungan pribadi. Itulah yang
Kembang Jelita 17 25 dicontohnya. Maka diapun tidak mau terusterusan jadi "sukarelawan amatir" saja, begitu
mendengar Pek-hong bilang "ada pekerjaan",
terus tangannya menadah ke depan dengan
gerak reflek. "Huh, ini benar-benar Co Hua-sun cilik..."
gerutu Pek-hong dalam hati, namun memang
begitulah aturannya. Dari dasar keranjang yang
atasnya penuh kembang, ia keluarkan perak
potongan lima tahil untuk ditaruh di telapak
tangan Siau-ging-cu. "Mana cukup?" kata Siau-ging-cu tanpa
menarik tangannya. "Cukup pekerjaan kali ini ringan saja."
"Apa?" "Di ruang Gi-si-pong, Kaisar sedang bicara
dengan Co Hua-sun, nah, dengarkan yang
mereka bicarakan lalu katakan kepadaku.
Mengerti?" "Mengerti tapi sulit dijalankan. Biasanya aku
yang bertugas melayani menuangkan teh di
samping Co Kong-kong, tapi kali ini dikerjakan
orang lain." Kembang Jelita 17 26 "Ya minta tolonglah temanmu yang bertugas
melayani itu." "Bisa. Tapi dia pasti minta upah."
"Huh, kalian mata duitan semua. Nanti
setelah laporannya kuterima, baru upahnya
kutambah. Kerja dulu sajalah."
"Ah, benar-benar pelit...." keluh Siau-ging-cu
sambil mengantongi uang itu dan memutar
tubuh hendak berlalu. "Eh, tunggu!" "Kenapa lagi?" "Nampaknya kau sering bekerja untuk Siauhoa juga ya?"
Ternyata Siau-ging-cu yang lebih muda dari
Pek-hong maupun Siau-hoa, justru lebih mahir
dalam berbohong atau bicara berbelit-belit.
Dengan mimik dun gaya meyakinkan dia
menjawab, "Apa anehnya" Tiap orang di istana
ini sedikit banyak pernah saling menolong
sekali dua kali. Kenapa kau keberatan kalau aku
bicara dengan Siau-hoa?"
"He, setan kebiri cilik, jangan berlagak bodoh
di depanku. Pasti Siau-hoa juga sering
Kembang Jelita 17 27 memberimu uang untuk menguping ke sana ke
mari, benar tidak?" Siau-ging-cu tertawa saja.
Keruan Pek-hong makin penasaran dan
mendesak, "Benar tidak?"
Siau-ging-cu tetap bungkam, matanya
berputar-putar licik. Pek-hong tahu caranya
untuk mendongkel mulut itu agar terbuka, ya
terpaksa ia keluarkan lima tahil perak lagi
untuk dijejalkan ke tangan Slau-ging-cu.
"Nah, jawab sekarang, benar tidak?"
"Memang benar, di istana ini tidak ada yang
sebaik aku dalam urusan macam ini, itulah
sebabnya banyak orang minta tolong
kepadaku." "Dia pernah menyuruhmu menguping siapa
saja?" "Co Kong-kong."
"Co Kong-kong dengan siapa?"
"Co Kong-kong dengan Kaisar, dengan orangorangnya sendiri, dengan tamu-tamu yang aneh.
Dan enci Siau-hoa tidak seperti kau, ia tidak
pelit memberi hadiah."
Kembang Jelita 17 28 Pek-hong merenung sebentar, lalu, "Baiklah.
Kalau kerjamu memuaskan aku, kutambah nanti
hadiahnya." Siau-ging-cu kembali hendak melangkah
pergi. Tapi Pek-hong tiba-tiba berkata lagi, "He,
jangan lewat situ!" "Kenapa?" "Situ ada Siau-hoa, lewat sana saja!"
"Hi-hi, rupanya enci Pek-hong kepingin
memonopoli aku. Baik, aku lewat sana untuk
menghindarinya." Lalu thai-kam cilik itu benar-benar berjalan
ke arah yang berlawanan dengan tempat Siauhoa, sedang Pek-hong buru-buru kembali ke
bangsal Puteri Tiang-ping. Sambil berjalan,
diam-diam dayang itu merencanakan apa yang
akan dikatakannya kepada Puteri Tlang-ping,
"Tuan Puteri harus diberi tahu, ternyata Tan
Wan-wan bukan sekedar kembang hiasan di
istana ini. Entah apa tujuannya dengan
menyuruh dayangnya menyelidiki ke sana ke
mari, terutama terhadap Co Kong-kong?"
Kembang Jelita 17 29 Sementara itu, Siau-ging-cu benar-benar


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan ke arah lain. Tetapi begitu ia yakin
bahwa Pek-hong sudah tidak melihatnya lagi,
diapun putar haluan untuk kembali menemui
Siau-hoa. Sam bil melangkah mendekat, diapun
cengar-cengir, "Sudah lama menunggu ya?"
Tidak menjawab, Siau-hoa malah balik
bertanya dengan tajam, "Apa yang kau
bicarakan dengan enci Pek-hong?"
"Bukan urusanmu, tapi enci Siau-hoa mau
memakai tenagaku apa tidak?"
"Ya, cari tahu apa yang akan dibicarakan oleh
Kaisar bersama Co Kong-kong di ruang Gi-sipong, lalu beritahukan aku....."sambil berkata
demikian,tahu-tahu Siau-hoa sudah meletakkan
lima tahil perak di tangan Siau-ging-cu.
Seperti ketika menghadapi Pek-hong, begitu
pula ketika menghadapi Siau-hoa, Siau-ging-cu
bersikap jual mahal, "Wah, pelit amat. Tidak
seperti enci Pek-hong yang royal sekali
memberi hadiah...." Sambil menggerutu, toh potongan perak itu
tahu-tahu sudah amblas ke dalam kantongnya.
Kembang Jelita 17 30 Kemudian Siau-ging-cu pun mulai menjalankan tugasnya. Kepada thai-kam cilik
yang akan bertugas mendampingi Co Hua-sun
selama pembicaraan berlangsung, Siau-ging-cu
menawarkan diri untuk menggantikannya.
Tentu saja temannya itu malah merasa
kebetulan, karena lalu bisa beristirahat.
Dan sementara melakukan hal itu, dalam
pikiran Siau-ging-cu sempat muncul pula niat
serong, "Kalau kulaporkan ulah Pek-hong dan
Siau-hoa itu kepada Co Kong-kong, bisa jadi aku
akan mendapat hadiah tambahan yang cukup
besar dari Kong-kong...."
la melakukan hal itu tanpa perasaan bersalah
sedikitpun, yang dipikirkan ya cuma hadiah
saja. Maklum, tiap hari dengan matanya sendiri
ia menyaksikan betapa tokoh-tokoh pemerintahan yang menepuk dada sebagai
"orang-orang terhormat" itu juga melakukan
kecurangan- kecurangan yang jauh lebih besar,
tidak jarang dengan mengorbankan orang lain.
Contoh-contoh itulah yang oleh Siau-ging-cu
dapat digunakan untuk membenarkan diri
Kembang Jelita 17 31 sendiri, "kalau mereka boleh, kenapa aku tidak
boleh?" Situasi dalam istana itu memang tempat
subur untuk berkembang biaknya "ular kepala
dua", bahkan juga yang berkepala tiga atau
empat. Semuanya hidup bercampur aduk dan
siap saling menggigit di "pusat peradaban" itu.
Sementara itu, dayang Tan Wan-wan lainnya
yang bernama Cun-hoa, yang disuruh mengirim
pesan rahasia keluar istana, ternyata tidak perlu
harus susah-susah sendiri keluar istana, sebab
hal itu bisa menimbulkan kecurigaan. Pesan itu
cukup disampaikan kepada orang thai-kam
gadungan, yang kalau dibuka celananya pasti
ketahuan kalau sebenarnya dia bukan thai-kam.
Lalu si thai-kam gdungan menyampaikannya
kepada seorang pengawal istana, dan si
pengawal keluar sebentar tanpa dicurigai untuk
meneruskan pesan itu kepada seorang
pengemis di lapangan di depan istana. Si
pengemis lalu tertatih-tatih pergi dari depan
istana, dan setelah tiba di tempat yang tidak lagi
dilihat oleh pengawal-pengawal istana maka
pengemis itupun lari secepat kijang liar di
Kembang Jelita 17 32 padang perburuan. Dalam waktu kurang dari
dua jam, seluruh jaringan mata-mata kaum
Pelangi Kuning yang berada di Pak-khia, sudah
mendapat peringatan agar berhati-hati. Sebab
Co Hua-sun, entah mendapat bantuan dari
mana, tiba-tiba saja dengan gesit berusaha
mengerahkan orang-orangnya untuk menangkapi para mata-mata itu.
Demikian segala kejadian dan perkembangan
dalam istana merembes keluar melalui Tan
Wan-wan, dan akhirnya akan sampai ke kuping
Li Cu-seng, si pemimpin pemberontak.
Sementara Kaisar Cong-ceng belum menyadari
siapa Tan Wan-wan sesungguhnya, yang
diketahuinya barulah kecantikan dan kehangatan-tubuh mulusnya yang digelutinya
hampir saban malam. * * * Ketika Kaisar melangkah masuk ke Gi-sipong, serempak Co Hua-sun dan beberapa
orang lain yang sudah lebih dulu di ruangan itu,
Kembang Jelita 17 33 bangkit dari kursi masing-masing dan berlutut
menyambut. Kaisar merasa agak diluar dugaan melihat
siapa saja yang hadir di ruangan itu. Selain Co
Hua-sun juga nampak Pengeran Seng-ong, adik
Kaisar Cong-ceng sendiri yang jarang bertemu
muka biarpun tinggal dalam satu lingkungan
istana. Selain itu nampak si kakek semrawut
Tong Hin-pa yang gemar membual, dua thaikam kepercayaan Co Hua-sun yaitu Wan Hoa-im
dan Bu Goat-long, dan dua panglima yang
dikenal amat mendukung Co Hua-sun, yaitu
Song Thian-oh dan Yo Goan-tong.
Mendadak timbul semacam rasa panik dalam
hati Kaisar setelah mengetahui orang-orang di
ruangan itu adalah kaki tangan Co Hua-sun
semuanya. Sedang Kaisar benar-benar sendirian, seorang pengawalpun tidak dibawanya, karena Gi-si-pong masih berada di
lingkungan istana dan dianggapnya terjaga
aman. Ia berdiri bimbang di ambang pintu.
Seandainya ia tidak ingat akan martabatnya
Kembang Jelita 17 34 sendiri, tentu ia sudah berteriak-teriak minta
tolong pengawal-pengawal pribadinya, biarpun
belum diapa-apakan. Namun di sekitar ruangan
itu, belasan thai-kham yang semula tidak
nampak, sekarang tiba-tiba bermunculan.
Semuanya memang bersikap hormat, tetapi
Kaisar merasa takut sendiri. Tidak seorang-pun
kelihatan membawa pedang, sesuai dengan
peraturan, namun bukanlah sebilah belati bisa
saja disembunyikan di balik jubah longgar para
thai-kam itu" Melihat Kaisar masih ragu-ragu di ambang
pintu, Co Hua-sun lalu bertanya, "Ada apa,
Tuanku?" "Apa maksud kalian mengundang aku?"
Kaisar malah balik bertanya, dan tetap berdiri
di luar ambang pintu. Co Hua-sun menampilkan wajah heran,
"Mengundang Tuanku" Mana berani kami
semua berbuat demikian tidak sopan dengan
menyuruh Tuanku datang" Bukankah hamba
sudah memerintahkan orang untuk mohon
menghadap Tuanku, lalu Tuanku bilang agar
Kembang Jelita 17 35 kami menunggu di ruangan ini" Jadi kami
semua di sini karena kehendak Tuanku...."
Beberapa waktu Kaisar jadi salah tingkah
mendengar kata-kata Co Hua-sun itu, sadar
kalau sikapnya barusan itu menunjukkan
prasangka dan ketakutan yang jelas mengurangi
kewibawaannya sebagai Kaisar. Maka untuk
memperbaiki kekeliruan sikapnya tadi, kini ia
berkata dengan sikap yang dipaksakan agar ke
lihatan gagah, "Hem, urusan apa yang hendak
kaulaporkan" Kenapa mesti bersama orang
sebanyak ini?" "Orang-orang ini semuanya adalah hamba
setia Tuanku, sengaja hamba ajak kemari untuk
memperkuat kesaksian hamba. Tetapi tidakkah
lebih baik Tuanku masuk dan duduk, agar bisa
mendengarkan laporan hamba dengan tenang?"
Kaisar benar-benar merasa serba salah
sekarang. Dalam hatinya ia kuatir kalau dijebak,
namun kalau menolak juga berarti memperlihatkan ketakutan yang bisa menurunkan pamornya. Sesaat ia melihat ke
Kembang Jelita 17 36 sekelilingnya dengan wajah tegang, kakinya
belum beranjak dari ambang pintu.
"Silakan, Tuanku..." desak Co Hua-sun.
Terpaksa Kaisar berlagak gagah dan
melangkah masuk ruangan untuk duduk di
kursi di tengah ruangan itu. Katanya,
"Bangunlah..." Orang-orang yang berlutut itupun berdiri
dengan tertib. Sikap hormat mereka itu agak
melegakan hati Kaisar. Timbul keyakinan,
bagaimanapun juga orang-orang itu takkan
berani berontak terang-terangan terhadapnya.
Setidak-tidaknya belum. Kalau Kaisar mau jujur terhadap suara
hatinya sendiri, sebetulnya dia sudah mulai
kurang percaya kepada Co Hua-sun. Cuma suara
hati itu sering ditindasnya sendiri, sebab ia
tidak berani membayangkan dirinya mampu
mengendalikan pemerintahan tanpa didampingi
Co Hua-sun. Ia tidak percaya kepada dirinya
sendiri, dan untuk sementara itu hanyalah Co
Hua-sun yang dijadikannya sandaran.
Kembang Jelita 17 37 Sementara itu Co Hua-sun mulailah berkata,
"Tuanku, hamba hanya mewakili tuan-tuan
yang sekarang ada di sini untuk menyampaikan
sebuah laporan...." "Ya, katakan." "Tuanku, rekan-rekan hamba ini telah
bekerja keras demi kejayaan negeri ini, dan
kewibawaan Tuanku sebagai pewaris dinasti
yang jaya itu. Dan mereka telah menyelidiki
sebab-musabab kenapa selama ini pasukan kita
selalu kalah di garis depan dalam menghadapi
gerombolan maling Li Cu-seng itu. Bahkan kita
harus kehilangan kota Tong-koan serta Jenderal
Sun Toan-teng yang dengan gagah perkasa
membela negara..." "Apa yang berhasil kalian selidiki?"
"Dalam istana ini terdapat seorang matamata kaum pemberontak yang senantiasa
melaporkan rencana kita ke kaumnya. Karena
itu, apa saja yang kita kerjakan, terutama
rencana militer, pasti sudah lebih dulu bocor.
Akibatnya, gerakan kita selalu gagal karena
dapat diketahui lebih dulu oleh musuh...."
Kembang Jelita 17 38 "Hah, benarkah itu?"
"Kami siap mengajukan bukti-bukti dan
saksi-saksi, Tuanku."
"Siapa yang akan kalian tuduh sebagai matamata musuh?"
Sebenarnya Co Hua-sun ingin menunjuk
orangnya lalu membujuk Kaisar agar segera
menyingkirkannya, tetapi Co Hua-sun kuatir
cara demikian hanya akan kedengaran
mengada-ada. Maka lebih dulu ia menuduh yang


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan "sasaran utama" namun cukup penting
juga. "Ampun Tuanku, salah seorang pengkhianat
yang punya hubungan erat dengan mata-mata
musuh dalam istana itu, adalah Helian Kong,
orang yang kita kirim untuk membantu Jenderal
Sun di Tong-koan.....!"
"Ah, dia seorang muda yang gagah berani
pintar dan setia." Co Hua-sun menarik napas sambil gelenggeleng kepala, "Bukan Tuanku saja yang keliru
menilai dirinya, tetapi hamba juga. Hamba pun
pernah menyangka dia setia, sehingga hamba
Kembang Jelita 17 39 "Ampun Tuanku, salah seorang pengkhianat yang
punya hubungan erat dengan mata-mata musuh
dalam istana itu, adalah Helian Kong........."
Kembang Jelita 17 40 usulkan kepada Tuanku untuk menaikkan
pangkatnya dari Hu-ciang ke Cong-peng. Tetapi
ia ternyata seorang musuh dalam selimut...
serigala berbulu domba. Dia hanya setia kepada
junjungannya yang aseli, yaitu si gembong
maling Li Cu-seng." "Kenapa dia?" "Dalam membawa pasukannya ke Tongkoan, sengaja dia berlambat-lambatan jalannya
untuk memberi kesempatan kawan-kawannya
merebut Tong-koan. Kemudian setelah tiba di
Hun-ciu, dia-pun pura-pura berperang melawan
musuh, padahal tujuannya ialah sengaja
memasukkan tentara kerajaan yang dibawanya
ke dalam perangkap musuh agar dihabiskan
musuh dan melemahkan kerajaan. Pasukan itu
akhirnya memang tertumpas di sebuah dataran
berawa-rawa antara Hun-ciu dan Tong-koan.
Sedang Helian Kong sendiri pura-pura
tertangkap dan dibawa ke Tong-koan, padahal
sebenarnya itulah cara dia menemui Li Giam,
tangan kanan si gembong maling Li Cu-seng,
Kembang Jelita 17 41 untuk merundingkan serangan mereka terhadap kita!" Wajah Kaisar nampak sedikit memucat
mendengar itu, jari-jarinya mencengkeram
pegangan kursinya kuat-kuat. Ia bungkam.
Sekejap Co Hua-sun melirik ke wajah Kaisar,
lalu dengan berani melanjutkan, "Karena Helian
Kong tentunya telah bicara banyak kepada Li
Giam, maka tentunya gampang saja para
pemberontak untuk mengalahkan tentara kita.
Semalam ada kabar dari garis depan, bahwa
kota-kota Hun-ciu dan Thai-goan juga telah
jatuh ke tangan pemberontak, dan sekarang
kaum pemberontak memecah diri menjadi dua
pasukan untuk mulai mengincar Han-tiong dan
Ji-lim." "Keparat Helian Kong, tak kusangka dia
seorang pengkhianat!" Kaisar memukul lengan
kursinya dengan wajah merah padam.
Sebenarnya yang dikatakan Co Hua-sun
tentang Helian Kong itu bohong belaka, tetapi
ada juga kebenarannya, yaitu soal jatuhnya
Hun-ciu dan Thai-goan itu memang kenyataan.
Kembang Jelita 17 42 "Aku segera akan mengeluarkan maklumat
untuk memecat Helian Kong dan menyatakan
dia sebagai buronan negara!"
"Hamba mendukung sepenuhnya keputusan
Tuanku. Itulah tindakan pembersihan yang
akan menyelamatkan negara dari rongrongan
pemberontak. Kalau hamba boleh usul,
sebaiknya teman-teman Helian Kong yang
masih bercokol di Pak-khia dan memegang
kedudukan-kedudukan penting, sekalian disapu
bersih saja. Percuma kalau hanya menyapu
Helian Kong tapi melewatkan mereka."
Dalam mengucapkan ini, nampak Co Hua-sun
kelewat bersemangat dan bergembira, sehingga
Kaisar terkejut dan mulai sangsi jangan-jangan
Co Hua-sun hanya ingin melenyapkan lawanlawan politiknya di ibu kota"
Co Hua-sun sendiri cepat merasa bahwa dia
telah bicara berlebihan, dan ia pun jadi
menyesal sendiri. Maka terpaksa dilunakkannya
suaranya, "Tetapi kalau Tuanku rasa tindakan
pembersihan besar-besaran itu terlalu hebat
gelombangnya, maka hamba hanya menyerah
Kembang Jelita 17 43 kebijaksanaan Tuanku. Bisa juga hal itu
diselidiki lebih dulu, sebab hambapun pasti
akan sangat menyesal kalau sampai keliru
membunuh orang tidak bersalah."
"Aku pikirkan. Tapi tadi kau sebut-sebut
seorang mata-mata dalam istana, sedang Helian
Kong adalah dari kalangan luar istana. Jadi siapa
yang kau maksudkan dengan mata-mata musuh
dalam istana itu?" "Hamba minta maaf, kalau hamba sebutkan
orang itu maka hamba kuatir akan
menggusarkan Tuanku, sebab orang itu adalah
orang dekat dalam keluarga Tuanku."
"Kong-kong, jangan sembarangan bicara. Kau
tuduh salah seorang anggauta keluargaku ada
yang menjadi mata-mata Li Cu-seng?"
"Ampun Tuanku, hendaknya jangan Tuanku
salah paham terhadap kata-kata hamba. Yang
hamba curigai bukan anggauta keluarga
Tuanku, tapi dia....... dia memang cukup dekat
dengan Tuanku. Orang yang baru saja datang
dari luar istana, namun langsung menjadi
kesayangan Tuanku." Kembang Jelita 17 44 "Siapa?" "Hamba benar-benar tidak berani menyebutnya, Tuanku."
"Katakan!" "Ampun Tuanku, orang itu adalah Tan Wanwan."
Kaisar merasakan semangatnya seperti
dihempaskan runtuh. Napasnya tiba-tiba
terengah dan pikirannya jadi kacau, antara
percaya dan tidak percaya akan pengaduan Co
Hua-sun itu. Tan Wan-wan, perempuan yang
nampaknya begitu patut dikasihani, begitu
pasrah dalam gelombang nasibnya yang kejam,
itulah yang dituduh Co Hua-sun sebagai matamata Li Cu-seng di dalam istana" Bahkan matamata utama"
Beberapa saat di dalam ruangan itu orangorang seperti takut bernapas, suasana sunyi
mencekam. Ketika itu muncullah seorang thaikam cilik yang membawa nampan yang di
atasnya ada poci dan cangkir-cangkir teh. Siauging-cu. Dengan sikap sopan dan amat terjaga,
ia berlutut dulu menghormat kaisar, lalu dengan
Kembang Jelita 17 45 langkah lembut ia meletakkan hidangannya di
meja kecil di samping tempat duduk Kaisar.
Setelah itu barulah si thai-kam cilik berdiri
sopan di pojok ruangan, sikapnya tidak menarik
perhatian, namun diam-diam dibukanya
kupingnya lebar-lebar. Kemudian suara Kaisar mengakhiri kesunyian itu, "Kita memang harus meningkatkan kewaspadaan, tapi jangan
keterlaluan sampai dihantui pikiran seolah-olah
orang-orangnya Li Cu-seng gentayangan di
sekitar kita. Itu berlebihan. Mana bisa seorang
perempuan serapuh Tan Wan-wan oleh Li Cuseng dibebani tugas seberat itu?"
Co Hua-sun geleng-geleng kepala, "Ampun
Tuanku, apakah kita harus menyangka kalau Li
Cu-seng menyelundupkan mata-mata seorang
lelaki, yang kalau berjalan harus mengendapendap sambil matanya jelalatan seperti maling
a-yam kelas teri" Ampun Tuanku, justru matamata semacam itu akan gampang kita bekuk,
tapi yang seperti Tan Wanwan itulah yang
kelewat licik!" Kembang Jelita 17 46 Tetapi Kaisar tetap geleng-geleng kepala,
sehingga Co Hua-sun berkata lagi, "Tuanku,
hamba mohon Tong Hin-pa diperkenankan
bicara. Dialah yang hamba tugaskan untuk
menyelidiki jaringan mata-mata pemberontak."
"Baiklah." Tong Hin-pa lalu maju dengan hormat dan
berkata, 'Tuanku, hamba menemukan jejak
mata-mata musuh ketika menyelidiki ke kota
Han-tiong. Berkat kerja keras hamba, hamba
berhasil membongkar komplotan itu. Lima
pentolan pemberontak berhasil hamba tangkap
dengan sepasang tangan hamba sendiri, di kota
Han-tiong itu. Bukan cuma keroco-keroco,
tetapi benar-benar tokoh-tokoh penting mereka
itu." Tanpa malu-malu Tong Hin-pa mengakui
semuanya sebagai hasil kerjanya sendiri,
apalagi memang oleh Co Hua-sun dia diperintah
demikian. Co Hua-sun harus menyembunyikan
hubungannya dengan para mata-mata Manchu
kiriman Pangeran To Ji-kun, yang selama itu
berhasil meringkus orang-orangnya Li Cu-seng.
Kembang Jelita 17 47 Co Hua-sun tidak ingin Kaisar mencium
hubungan rahasia itu, sebab hal itu tidak
disetujui Kaisar. "Apa hubungan orang-orang yang ditangkap
itu dengan Tan Wan-wan?" sambil berkata
demikian, Kaisar jadi ingat keluhan Tan Wanwan
bahwa Co Hua-sun berusaha memojokkannya dengan menangkapi "orangorang yang tak ada hubungannya" untuk
menuduhnya. "Tuanku, salah seorang dari kelima tawanan
itu tidak tahan kami siksa, akhirnya dia
mengaku bahwa segala rahasia negara yang
penting-penting, didapatkannya dari Tan Wanwan."
"Dia pasti hanya mengaku karena disiksa,
bukan karena benar-benar mengetahui!" Kaisar
masih bersikeras membela Tan Wan-wan.
"Tuanku..." "Sudah! Aku pusing mendengar laporan yang
tak keruan ini, aku mau istirahat!" habis berkata
demikian, Kaisar terus bangkit dan meninggalkan ruangan itu. Langkahnya terlihat
Kembang Jelita 17 48 agak lesu. Orang-orang di ruangan itupun
terpaksa berlutut mengantarkan perginya
Kaisar. Setelah Kaisar pergi, Co Hua-sun bertukar
pandangan dengan orang-orang komplotannya
itu. Pangeran Seng-ong lalu memperdengarkan
suaranya, "kelihatannya Kakanda Kaisar tidak
gampang menerima omongan kita. Bagaimana
sekarang baiknya?" "Aku yakin dia mulai mencurigai Tan Wanwan, hanya masih disembunyikan. Titik inilah
yang akan terus kita tekan, sampai Tan Wanwan berhasil kita singkirkan dari istana ini,
karena diapun agaknya sedang mengintai
gerak-gerik kita. "Kapan kita menghadap lagi?"
"Tidak perlu kita ajukan permohonan untuk
menghadap, sebab dialah yang akan memanggil
kita." "Kong-kong yakin?"
"Pangeran, aku sudah hampir tujuh belas
tahun mendampinginya, sejak dia dinobatkan
menggantikan Sri Baginda Hi-cong. Aku hapal
Kembang Jelita 17 49 wataknya. Saat ini tentu dia sedang ragu-ragu,


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan dia hanya punya satu tempat untuk
bertanya, yaitu aku."
Orang-orang itupun kemudian bubar. Siauging-cu si thai-kam cilik juga bergegas
meninggalkan tempat untuk mencari Pek-hong
atau Siau-hoa untuk melapor, sekaligus
mengambil sisa upahnya. Sementara itu, setelah Kaisar meninggalkan
ruangan itu, ia terus ke bangsalnya sendiri,
tidak ke bangsal Tan Wan-wan. Sedikit banyak
omongan Co Hua-sun itu mempengaruhinya
dan membuatnya gelisah. Di bangsalnya, lama sekali Kaisar merenung.
Kota-kota Tong-koan, Hun-ciu dan Thai-goan
telah jatuh ke tangan pemberontak, dan kini
laskar mereka terus merangsek ke Han-tiong
dan Ji-im. Perkembangan yang mencemaskan.
Selama ini tentara kerajaan dapat bertahan
dengan gigih, tapi kenapa tiba-tiba kedodoran
dan dengan gampangnya kehilangan tiga kota"
Benarkah gara-gara Tan Wan-wan telah
Kembang Jelita 17 50 membocorkan keluar istana tentang segala
rahasia militer negara"
Akhirnya, apa yang diperkirakan Co hoa-sun
terjadi. Kaisar tidak tahan sendirian menanggung beban pikiran seberat itu.
Disuruhnya seorang pengawal, "Panggil Co
Kong-kong kemari. Tapi sendirian saja, tidak
usah ramai-ramai seperti di Gi-si-pong tadi."
Pengawal itupun menjalankan perintah.
Tidak lama kemudian Co Hua-sun datang
sendirian. Dengan lagak seorang abdi yang
setia, ia berlutut dan mengucapkan salam
seperti biasanya. "Duduklah, kong-kong."
"Terima kasih, Tuanku."
"Kong-kong, ucapanmu di Gi-si-pong tadi
menggelisahkan aku. Aku ingin Kong-kong lebih
menjelaskan lagi." "Terima kasih, Tuanku. Hamba punya
seorang saksi yang tahu kalau Tan Wan-wan
punya hubungan erat dengan Helian Kong."
"Siapa saksi itu?"
Kembang Jelita 17 51 "Salah seorang pengawal hamba yang
bernama Ting Hoan-wi adalah saudara sepupu
Tan Wan-wan sekaligus juga saudara
seperguruan Helian Kong. Namun ia tidak bisa
disamakan Tan Wan-wan dan Helian Kong
dalam sikapnya terhadap kerajaan. Dia setia."
"Aku ingin ketemu orang itu."
"Boleh hamba panggil dia ke mari?"
"Baik." Co Hua-sun bangkit dan menuju ke pintu,
kepada seorang thai-kam yang mengiringnya,
dia memerintahkan, "Panggil Ting Hoan-wi,
bilang kepadanya bahwa Sri baginda yang ingin
menemuinya." Thai-kam itupun bergegas pergi.
Beberapa saat kemudian Ting Hoan-wipun
muncul. Jubahnya indah, namun sikapnya tidak
tenang, matanya menyambar ke sana ke mari
dengan cahaya ketakutan, seolah di situ ia
kuatir akan bertemu dengan orang yang
ditakutinya. Ada sebabnya ia ketakutan. Ia takut kepada
Tan Wan-wan karena merasa amat bersalah.
Kembang Jelita 17 52 Dulu, tidak lama setelah orang tua Tan Wanwan meninggal, Ting Hoan-wi yang gemar
berjudi dan berfoya-foya itupun menghabiskan
harta tinggalan orang tua Tan Wan-wan,
padahal seharusnya harta itu adalah hak Tan
Wan wan. Dalam keadaan bingung karena
kantongnya kempes, ia banyak berhutang
kepada seorang anak hartawan dari Soh-ciu
yang juga setan pemogoran. Pemuda itu lalu
menjanjikan akan membebaskan Ting Hoan-wi
dari hutang dan bahkan memberi tambahan
uang banyak, asal boleh mendapatkan Tan Wanwan. Begitulah, Tan Wan-wan yang seharusnya
dilindungi setelah ditinggal orang tuanya, malah
"dijual" oleh Ting Hoan-wi. Ting Hoan-wi
sendiri berhasil mengembangkan modal untuk
penyelundupan garam. Ketika ikut Co Hua-sun, Ting Hoan-wi merasa
aman karena dianggapnya Co Hua-sun orang
berkuasa besar di pusat pemerintahan, untuk
membuka jalan ia bahkan tega menjual Helian
Kong pula. Namun ketika mendengar bahwa
Tan Wan wan tiba-tiba sudah menjadi wanita
Kembang Jelita 17 53 kesayangan Kaisar Cong-ceng, maka Ting Hoawi pun merasa tidak tenang, lapun mencari
jalan untuk memfitnah Tan Wan-wan dan
menjauhkannya dari Kaisar, kebetulan Co Huasun juga punya tujuan serupa biarpun dengan
latar belakang atau dengan alasan yang
berbeda. Bagi Co Hua-sun, adanya Tan Wanwan
hanyalah menyaingi cengkeraman pengaruhnya atas diri Kaisar, maka Tan Wanwan harus disingkirkan.
Ting Hoan-wi semula ketakutan ketika
mendengar dirinya dipanggil Kaisar, ia mengira
Tan Wan-wan sudah mengadukan dirinya dan
dia akan dihukum. Tapi hatinya lega setelah
melihat di ruangan itu di samping Kaisar hanya
ada Co Hua-sun, majikan dan pelindungnya.
"Masuklah, jangan takut...." kata Co Hua-sun
sambil tersenyum. Ting Hoan-wi masuk dengan agak tenang,
lalu berlutut menyembah Kaisar.
Co Hua-sun pun menoleh dan berkata kepada
Kaisar, "Tuanku, inilah Ting Hoan-wi yang telah
hamba katakan tadi. Dia adalah saudara sepupu
Kembang Jelita 17 54 Tan Wan-wan serta saudara seperguruan
Helian Kong. Dialah yang mengetahui hubungan
kedua orang itu serta kejahatan-kejahatan-an
mereka. Namun dia tidak sepaham dengan
mereka berdua." Kata-katanya seperti ditujukan kepada
Kaisar, namun sebenarnya juga semacam
"pengarahan" kepada Ting Hoan-wi tentang apa
yang harus dikatakannya kepada Kaisar. Ting
Hoan-wi cukup paham maksud Co Hua-sun.
Kaisar pun mulai menanyai Ting Hoan-wi,
"Benarkah kau saudara seperguruan Helian
Kong?" "Benar,Tuanku...."
"Dan saudara sepupu Tan Wan-wan?"
"Benar, Tuanku."
"Hem, orang bisa saja mengaku-aku, tetapi
aku ingin bukti." "Tuanku, ketika hamba dan Wan-wan masih
sama-sama kecil, kami pernah bermain kejarkejaran, dia jatuh terantuk batu. Bekas lukanya
di atas lutut kanan masih ada sampai sekarang."
Kembang Jelita 17 55 Kaisar termenung. Bagi wanita biasa, bagian
"di atas lutut" itu memang termasuk tabu untuk
dilihat sembarang-an orang, bagian yang selalu
tertutup. Sudah tentu Kaisar harus dikecualikan,
dan ia memang pernah melihat bekas luka itu.
Maka jawaban Ting Hoan-wi itu menambah rasa
percaya Kaisar. "Kenapa kau tidak sependapat dengan
mereka?" "Karena hamba sebagai warga kekaisaran ini,
tidak setuju kalau mereka bersekongkol
melawan pemerintahan yang syah."
"Sejak kapan mereka bersekongkol?"
"Hamba kurang ingat persisnya, tetapi sudah
cukup lama. Sejak Helian Kong belum masuk ke
dalam Tentara Kerajaan dan masih berguru
bersama hamba di Teng-hong, kelihatannya
Helian Kong sudah bersimpati sekali
mendengar gerakan Li Cu-seng menentang
pemerintah." "Kenapa Helian Kong bersikap demikian, kau
mengetahuinya?" Kembang Jelita 17 56 "Samar-samar, Tuanku, yaitu karena alasan
kesukuan. Helian Kong itu orang asal wilayah
barat laut, kelahiran kota Leng-ciu di Kam-siok
sebelum keluarganya pindah ke kampung
hamba di Propinsi Ho-pak. Jadi Helian Kong itu
merasa satu kaum dengan pentolan-pentolan
Pelangi Kuning seperti Li Cu-seng dan Li Giam."
Tak terasa Kaisar mengangguk-angguk,
keterangan itu agak masuk akal.
Menurut sejarahnya, wilayah barat laut itu
dulunya memang negara tersendiri yang
terpisah dari wilayah tengah. Di jaman kerajaan
Song menguasai Cina Tengah, di Cina Barat Laut
berdiri Kerajaan Se-he yang beribukota Lengciu kota kelahiran Helian Kong. Jaman itu yang
disebut "bangsa Han" hanyalah rakyat Kerajaan
Song, diluar itu tidak dianggap bangsa Han.
Marga Li dan Helian adalah nama keluarga
Kerajaan Se-he selama berabad-abad, dan
wilayah utara Cina disatukan oleh Kerajaan
Kim, disusul Kerajaan Goan dan Kerajaan Beng
yang wilayahnya mencakup bekas wilayah
kerajaan-kerajaan yang dulunya berdiri sendiriKembang Jelita 17
57 sendiri maka penduduk barat laut pun lamakelamaan merasa diri-mereka sebagai "bangsa
Han" juga. Maka obrolan Ting Hoan-wi yang "diracik"
kutipan dari buku sejarah itu kedengaran
masuk akal di kuping Kaisar.
"Terus bagaimana sikapmu sendiri?"
"Hamba ingatkan Heiian Kong agar jangan
lagi mengingat-ingat masa kejayaan Kerajaan
Se-he. Toh sudah ratusan tahun penduduk barat
laut bersatu dengan penduduk bagian-bagian
lain negeri sebagai satu bangsa. Juga hamba
katakan bahwa pemberontakan Li Cu-seng
adalah pengkhianatan yang amat jahat, tidak
usah ikut-ikutan." "Dia terima nasihatmu?"
"Dia malah bilang kalau pemerintah
sekarang tidak beres. Maaf, Tuanku, ham ba
hanya menirukan kata-katanya waktu itu. Maka
dia anggap Li Cu-seng adalah dewa pujaan, yang
harus meruntuhkan pemerintahan sekarang
dengan kekuatan senjata."
Kembang Jelita 17 58 "Nah, kurang ajar tidak, Tuanku?" Co Huasun menyambung dengan hasutannya.
Kaisar bungkam di kursinya.
"Apakah hamba boleh melanjutkan keterangan, Tuanku?" Ting Hoan-wi memberanikan diri bertanya setelah mendapat
isyarat halus dari Co Hua-sun.
"Ya, teruskan."
"Ketika kami sama-sama pulang ke kampung,
Helian Kong terus berpacaran dengan adik
sepupu hamba, Tan Wan-wan. Tentu saja
hamba keberatan karena kuatir kalau Wan-wan
ketularan jalan pikirannya yang berbahaya,
padahal Wan-wan haruslah hamba jaga seperti
adik hamba sendiri karena kedua orang tuanya
sudah tiada. Bahkan hamba rela mengorbankan
semua harta benda hamba demi masa
depannya. Tetapi dia tidak mendengarkan
nasihat hamba, terus saja berhubungan dengan
Helian Kong." "Tapi kenapa Helian Kong mengabdi dengan
baik dalam Tentara Kerajaan?"
Kembang Jelita 17 59 Menghadapi pertanyaan ini, Ting Hoan wi
kuatir kalau jawabannya berselisih dengan
jawaban Co Hua-sun. Maka diapun menoleh ke
arah Co Hua-sun, Lalu Co Hua-sunlah yang
menjawab Kaisar, "Tuanku, ini gampang
dipahami. Tujuan Helian Kong sudah tentu


Kembang Jelita Peruntuh Tahta Karya Stevanus S.p di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk merongrong Tentara Kerajaan demi
keuntungan kaum Pelangi Kuning."
"Apa benar begitu?" Co Hua-sun pun berkata
dengan lancarnya, "Tuanku, seharusnya kita
curiga segala sepak terjang Helian Kong sejak
dulu. Coba diingat, sebelum kita tugaskan
Jenderal Sun Toan-teng di Tong-koan, kita
pernah tugaskan Helian Kong mengamankan
wilayah barat laut. Pasukannya kuat dan
lengkap, sedang kaum Pelangi Kuning saat itu
hanyalah terdiri dari serdadu-serdadu amatir
yang belum terlatih, belum tersusun rapi pula,
tetapi kenapa justru pasukan kita yang kocarkacir" kekalahan itu tidak masuk akal. Yang
masuk akal ialah dugaan bahwa Helian Kong
tidak tega berhadapan dengan orang-orang
barat laut yang satu suku dengannya, maka
Kembang Jelita 17 60 disengaja memberikan kemenangan kepada
pemberontak, sehingga pemberontak dalam
waktu singkat dapat merebut wilayah barat laut
yang begitu luas. Pulang ke Pak-khia, ia masih
rapi bersembunyi di belakang kedoknya. Dia
menghasut beberapa perwira untuk menentang
hamba, karena dia tahu bahwa hambalah orang
yang akan benar-benar membela Tuanku, jadi
harus dia singkirkan dulu. Dia menyelundup ke
dalam istana untuk membunuh Tuanku tapi
hamba gagalkan, dan bukan kebetulan pula
kalau keributan di depan gedung Yang Mulia Ciu
Kok-thio itu juga bertepatan dengan kunjungan
Tuanku, karena itu pastilah disengaja untuk
mencelakakan Tuanku. Kelambatannya mengirim bantuan ke Tong-koan juga pasti
disengaja. Pasti!" Begitu lancar Co Hua-sun membeberkan
"hasil" penyelidikannya" sehingga Kaisar- Congceng tak mampu membatalkannya, kecuali
mengangguk-angguk terus. Setelah sekian lama, barulah Kaisar
menemukan kata-kata, "Kong-kong, Kembang Jelita 17 61 penjelasanmu begitu panjang lebar, tetapi
bagaimana dengan Tan Wan-wan" Apakah dia
hanya akan dikaitkan saja dengan kejahatan
Helian Kong?" "Tuanku, Wan-wan telah menyusun komplotan mata-mata tepat di jantung
pemerintahan ini. Memang hamba belum
berhasil membuktikan, tetapi kalau Tuanku
tidak mempercayainya, berarti Tuanku mempertaruhkan negara!"
"Co Hua-sun, berani kau berkata seperti itu?"
"Maaf, Tuanku, terpaksa hamba berterus
terang. Jaya atau runtuhnya dinasti Beng
sekarang tergantung di tangan Tuanku. Silakan
Tuanku pilih, lebih berat menyelamatkan
warisan leluhur, atau lebih memberatkan Tan
Wan-wan?" "Co Hua-sun, aku panggil kau kemari hanya
untuk mendengarkan pendapatmu, sedang
keputusan tetap di tanganku. Tidak perlu kau
berusaha menghasut atau mendikte aku."
Co Hua-sun diam-diam gusar dalam hati
karena Kaisar kali ini menolak usulnya,
Kembang Jelita 17 62 menandakan betapa pengaruh Tan Wan-wan
sudah kuat dalam diri Kaisar. Tapi ia tidak
berani membantah lagi, setelah menyembah,
maka diapun berlalu bersama Ting Hoan-wi.
Dalam hatinya ia semakin bernafsu mempercepat rencananya. Sementara itu Kaisar lama sekali tertunduk
lesu di tempatnya. Pikirannya terombangambing. Di satu pihak Co Hua sun menuduh Tan
Wan-wan mata-mata pemberontak, dari lain
pihak Tan Wan-wan pernah membisikinya
bahwa Co Hua-sun diam-diam sering menerima
tamu-tamu asing bangsa Manchu dan berkasakkusuk. Entah mana yang benar"
Seandainya Kaisar tahu bahwa kedua-duanya
benar, barang kali ia akan mengakhiri
kebingungannya dengan menggantung diri.
Di luar istana, kehidupan sehari-hari di ibu
kota negara itu masih berjalan wajar. Orang
masih berjual-beli, saling berkunjung, bersenang-senang. Suasana perang hanya
Rahasia Rumah Kosong 1 Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu Rose At Second Sight 3

Cari Blog Ini