Ceritasilat Novel Online

Lukisan Penyebar Maut 1

Lukisan Penyebar Maut Karya Maria Oktaviani Bagian 1


Lukisan Penyebar Maut karya Maria Oktaviani Sumber Image : Awie Dermawan
Pembuat Djvu : Kang Ozan Edit teks dan pdf : Saiful Bahri Situbondo
Ebook ini di persembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book.
Selesai di edit : 29 juni 2018 (Situbondo)
Selamat membaca !!! *** LUKISAN PENYEBAR MAUT oleh Maria Oktaviani
Gambar sampul oleh Cid Cetakan pertama Penerbit Cintamedia.
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All rights reserved
Maria Oktaviani LUKISAN PENYEBAR MAUT Hari ini Marto dan Surip memang mendapatkan tugas untuk menyimpan barang-barang tua ke dalam gudang. Di antaranya rak buku dan satu set meja makan. Sebenarnya barang barang itu masih belum terlalu tua dan masih layak untuk dipakai. Tapi, karena sudah ada gantinya yang baru, maka barang tersebut tidak boleh tidak harus dikadaluarsakan.
Selama Marto dan Surip tinggal menempati rumah itu bersama majikannya, memang baru kali inilah mereka mendapat kesempatan untuk membuka gudang tua itu. Bangunannya terletak persis di belakang rumah. Keadaannya benar-benar sangat gelap. Agaknya tempat itu sengaja tidak diberi penerangan lampu listrik.
"Gelap sekali, To!" kata Surip seketika berada di dalam ruangan 'pengap itu.
"Belum terlalu! Aku masih bisa lihat bibir kamu yang dower," sahut Marto bercanda. Napasnya megap-megap karena mengangkat barang-barang tua itu. Ditambah dengan keadaan yang sangat gelap, tanpa ada seberkas cahaya pun yang menerobos masuk .
Surip dongkol, tapi ia tidak membalas gurauan Marto. Ia lebih tertarik pada kilatan
cahaya yang memantul dari sudut ruangan itu. Menyala. Seperti serpihan-serpihan kaca yang kena terpa sinar matahari. Dan agaknya kilatan cahaya itulah yang dapat membuat mereka memperoleh sedikit penerangan.
"To! Kamu lihat cahaya itu," ucap Surip setelah berhasil menekan perasaannya sedikit saja. Ia benar-benar merasa heran pada kilatan cahaya berwarna putih itu. Apa yang menjadi sumbernya"
"Aku melihatnya sejak tadi, Rip!" desah Marto seraya memandang tajam kilatan cahaya itu. Agaknya ia sendiri Sudah melihatnya begitu usai melontarkan gurauannya tadi.
"Seperti pecahan kaca yang menjadi sumbernya."
"Tapi aneh!" Marto mengerutkan keningnya, "Gudang tua ini tidak sedikit pun dapat ditembus oleh sinar matahari. Tidak mungkin ada pecahan kaca yang dapat memantulkan cahaya seperti itu." '
"Iya... ya!" Surip mendesah dalam helaan napas yang diliputi oleh rasa heran.
Kilatan cahaya putih itu dirasakan semakin tajam. Dua orang pembantu itu merasakan ketegangan. Tampaknya benda yang menjadi sumber cahaya itu merupakan benda yang sangat unik. Atau memang barangkali hanya pecahan-pecahan kaca saja....
"Lebih baik kita dekati cahaya itu, To!" Surip memandang kawannya dalam kegelap
an. Suaranya sempat memecah kesunyian yang sudah berlangsung beberapa saat itu.
"Gelap sekali! Banyak barang-barang yang berserakan," sahut Marto sambil balas memandang.
"Iya... ya! Surip manggut-manggut. Gudang itu memang berukuran cukup luas. Dan tempat mereka berdiri agak jauh letaknya dari sumber cahaya aneh itu. Keadaannya sangat gelap. Agaknya sulit bagi mereka untuk mendekat, karena banyak barang-barang tua yang berserakan.
"Tapi sebentar, To!" kata Surip lagi. Ia mulai sibuk merogohi saku pakaiannya. Tindakannya ini membuat Marto merasa heran. Dan untuk menghilangkan rasa herannya Marto bertanya,
"Ada apa, Rip" Apa yang kau cari?"
"Korek api! Tadi rasanya ada di saku celanaku."
"Oh...!" Marto mendesah. Ia tahu kalau Surip tidak suka merokok. Bagaimana mungkin ia akan sempat membawa korek api" Sementara yang suka merokok seperti dirinya pun tidak suka membawanya. Ah, ada-ada saja si Surip ini, bisik Marto dalam hati.
"Ada korek api itu, Rip?" tanya Marto kemudian dengan setengah berbisik.
"A... a... ada, To! Sebentar aku nyalakan."
Surip mulai memantikkan mancis gasnya.
Sebentar kemudian menyala. "Kau jalan di depan, To! Biar aku yang di belakang," sambungnya kemudian sambil mengangkat korek api itu ke depan wajahnya.
Marto segera menuruti permintaan kawannya. la mulai berjalan dengan sangat hati-hati. Surip mengikuti di belakang sambil mengangkat korek api itu tinggi-tinggi.
Sebenarnya pintu gudang masih terbuka dengan lebar. Tapi karena arah pintu yang menghadap dinding rumah, maka sulit untuk dapat diterobos oleh sinar matahari. Dan sebelum masuk ke dalam gudang itu, Marto dan Surip tidak menduga kalau keadaannya benar benar sangat gelap. Surip tadi menyarankan untuk mengambil saja lampu senter, tapi Marto tidak mau. Ia ingin agar pekerjaan cepat selesai
Setelah beberapa saat lamanya mereka berjalan, jarak dua orang pembantu itu semakin dekat dengan sumber cahaya. Ketika itulah Surip menjatuhkan korek apinya secara refleks. Tindakannya yang demikian membuat Marto tersentak kaget.
"Ada apa, Rip?" tanya laki-laki berusia tiga puluh lima tahunan itu. Ia menatap tajam wajah Surip yang tampak menegang.
"Ti... ti... tidak!" Surip gagap. Pandangannya terus mengarah pada sebuah lukisan yang ternyata menjadi sumber cahaya itu. Melihat sikap kawannya yang demikian, Marto pun segera menyambung pertanyaannya.
"Ada apa dengan lukisan itu, Rip?"
"ti... ti... tidak ada apa-apa, " sahut Surip dengan suara yang masih tetap gagap. Tapi wajahnya sudah tidak setegang tadi.
Kilatan cahaya putih itu masih memantul dengan tajam. Dan memang, agaknya cahaya itu bersumber dari kaca bingkai lukisan itu. Suasana di sekitar lukisan menjadi tampak remang-remang.
"Lukisan ini bagus sekali, Rip!" kata Marto yang tiba lebih dulu di hadapan lukisan itu. Tampaknya ia begitu terpesona pada keindahan lukisan yang berupa seorang perempuan cantik itu. Ukurannya kira-kira enam puluh kali empat puluh sentimeter
"Aku tidak pernah melihat tuan muda melukis perempuan secantik ini," Marto menyambung pembicaraannya, tapi Surip mungkin tidak mendengarnya. Dia masih berdiri di tempat yang semula. Bahkan memungut korek apinya pun tidak. Tampaknya ada sesuatu yang telah membuatnya takut. Dan agaknya itu bersumber dari lukisan perempuan cantik itu.
"Tidak disangka kalau di dalam gudang tua ini tersimpan sebuah lukisan yang benar-benar fantastis. Kau juga berpenilaian seperti itu bukan tentang lukisan ini, Rip?" Marto memutar tubuhnya ke belakang. Maksudnya ingin melihat Surip, tapi ternyata kawannya itu tidak
ada. Dia masih berdiri terpaku. "Hai! Kenapa kau masih berdiri di situ, Rip?"
Surip tersentak mendengar suara Marto yang lantang itu. "Tidak ada apa-apa!" sahutnya kemudian kembali berbohong. Dan demi meyakinkan kebohongannya itu ia segera melangkah mendekati Marto.
Memang, sebenarnya ada sesuatu yang membuat hatinya merasa takut pada lukisan itu. Ketika jaraknya sudah semakin dekat tadi, tiba-tiba Surip melihat mata perempuan yang berada dalam lukisan itu mengerling dengan tajam ke arahnya. la tersentak dan akhirnya korek api itu jatuh. Aneh! Mata perempuan yang berupa lukisan itu benar-benar tampak hidup dan menyala. Dan agaknya hal itu hanya dilihat oleh Surip saja.
"Kenapa wajahmu menjadi pucat, Rip" Ada apa sebenarnya?" Marto memandang wajah kawannya dengan tajam. Dalam keremangan ia memang melihat wajah Surip yang sudah berubah menjadi pucat itu.
"Tidak apa-apa! Matamu saja yang salah melihat," sahut Surip sambil tersenyum tipis. Ia berharap agar Marto-percaya pada kebohongannya.
Marto memang tidak melontarkan pertanyaan lagi. Surip mengira kalau kawannya itu percaya pada kata-katanya tadi. Padahal tidak demikian. Marto tahu kalau Surip telah berbohong kepadanya la melihatnya dengan jelas
dari sikap Surip. Ia tahu ada yang membuat takut hati Surip yang bersumber dari lukisan
itu Dugaannya memang benar. Tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa heran. Lukisan perempuan itu begitu cantik dan sangat indah. Perpaduan wamanya benar-benar sangat pas dan serasi. Bahkan hampir menyamai toto close-up. Aneh kalau tiba-tiba Surip merasa takut pada lukisan itu.
Untuk menekan perasaannya Marto terpaksa harus menghempaskan napas berat. Setelah itu barulah ia berkata,
"Tuan muda pasti akan sangat senang melihat lukisan ini."
"Tapi bukan tidak mungkin tuan muda yang telah menyimpan lukisan ini disini," sela Surip dengan jantung yang tidak lagi berdegup kencang seperti tadi.
Marto mengerutkan keningnya, "Rasanya aku tidak pernah melihat tuan muda melukis perempuan secantik ini. Dan lagi dia tidak pernah menyuruh kita untuk membuka gudang. Jadi mustahil kalau tuan muda yang menyimpannya di sini. "
"Kau benar, To! Selama kita ikut tuan muda di sini... baru pertama kalinya kita membuka dan masuk ke dalam gudang ini," Surip turut mengerutkan keningnya.
Kedua orang pembantu itu saling pandang untuk sesaat lamanya. Benak mereka sama-sa
ma dibebani oleh perasaan aneh. Memang belum terlalu lama mereka tinggal mengikuti majikannya di rumah itu. Majikan mereka memang adalah seorang pelukis muda beraliran naturalisme. Namanya Reo Turangga. Usianya masih belum genap tiga puluh tahun, dan ia masih perjaka ting-ting.
Mereka tinggal menempati rumah yang megah baru kira-kira lima bulan lamanya. Konon Reo Turangga majikan mereka telah membeli rumah itu dari seorang keturunan Belanda. Dan memang rumah itu berarsitektur Eropa, meskipun sudah agak tua bangunannya.
"Rip!" suara Marto kembali memecah kesunyian yang sudah berlangsung beberapa saat lamanya. Sebelum Surip menyahut ia segera melanjutkan pembicaraannya,
"Lebih baik kita keluarkan lukisan indah ' ini dari dalam gudang. Kita bersihkan! Lalu kita tunjukkan kepada tuan muda. Dia pasti senang, Rip!"
"Untuk apa, To?" Surip memandang sendu. "Aku tidak setuju dengan rencanamu.?"
"Kenapa, Rip?" potOng Marto.
"Lebih baik kita biarkan saja lukisan ini tersimpan di sini."
"Memangnya kenapa sih?"
"Aku melihat ada sesuatu yang aneh pada lukiSan ini"
"Ha ha ha...!" suara tawa Marto bagai me
mecah kesunyian ruangan yang pengap itu. Baginya apa yang dikatakan oleh Surip itu benar-benar sangat lucu. Bagaimana mungkin lukisan yang benar-benar indah itu justru dikatakan menyimpan keanehan. Ah, ada-ada saja. pikir Marto dalam hati.
Laki-laki berkumis tebal itu memang tidak tahu dengan keajaiban yang disaksikan oleh Surip. Tapi seharusnya ia melihat pada sisi yang lain. Lukisan perempuan cantik itu memang menyimpan keanehan. Seperti ada pantulan kaca bingkainya. Mengapa kaca itu dapat memantulkan cahaya sedemikian kuat" Sementara tidak ada kilatan cahaya lain yang menerpanya. Seharusnya kaca bingkai itu tidak memantulkan cahaya apa-apa. Tapi yang ini memang lain, dan Marto tidak menyadarinya.
"Kau menertawakan kata-kataku itu, To?" Surip merasa tersinggung. Karuan saja Marto segera menghentikan tawanya.
"Sudahlah, Rip!" kata laki-laki berkumis tebal itu setelah berhenti tertawa. "Kau jangan ngoceh yang tidak-tidak! Lebih baik segera kita bawa lukisan ini keluar. Aku sudah tidak tahan lama-lama tinggal di dalam gudang ini. Napasku sesak!"
Surip diam. Ia masih ragu untuk menuruti permintaan Marto. Hatinya masih merasa takut pada keganjilan yang telah dilihatnya tadi.
"Ayolah, Rip! Bantu aku!" Marto menarik tangan Surip. Ia sudah bersiap-siap mengang
kat bingkai lukisan itu. Dan dengan terpaksa Surip membantu.
Dua orang pembantu setia Reo mulai mengangkat bingkai lukisan dengan sangat hati-hati. Ada debaran-debaran aneh dalam dada Surip manakala tangannya menyentuh bingkai. Keganjilan itu benar-benar sangat mengganggunya, meskipun dalam relung hati ia benar-benar sangat takjub pada keindahan lukisan itu.
Setelah beberapa saat lamanya berjalan, akhirnya dua orang laki-laki yang usianya hampir sepadan itu pun tiba di luar gudang. Mereka sepertinya tidak sabar pada keanehan yang terjadi. Ketika mereka tengah berjalan membawa lukisan itu keluar, cahaya putih itu masih terus memantul dari kaca bingkai. Seolah-olah ingin menerangi perjalanan mereka. Agaknya lukisan itu benar-benar ingin dikeluarkan dari dalam gudang tua yang pengap itu.
Begitu tiba di luar, ternyata kilatan cahaya putih itu tidak lagi memantul .Mereka benarbenar tidak sadar pada keanehan yang terjadi. Keduanya begitu terpesona pada keindahan lukisan perempuan cantik itu. Dan perempuan yang berada dalam lukisan itu agaknya seorang keturunan Eropa. Hal itu dapat dibuktikan dari warna rambutnya yang pirang, serta hidungnya yang mancung, juga dagunya yang runcing.
"Kita segera bersihkan lukisan ini, Rip! Bingkainya penuh dengan debu. Kotor sekali!"
ucap Marto setelah beberapa saat suasananya hening.
Surip tidak menyahut. lngatannya masih saja tertuju pada keanehan yang telah disaksikannya ketika masih berada di dalam gudang tadi. Meskipun demikian ia segera membantu Marto membersihkan bingkai lukisan itu.
"Tuan muda pasti sangat senang melihat lukisan ini, " kata Marto yang tampak antusias benar pada lukisan itu. Memang sekarang tampak lebih bagus lagi karena bingkainya yang berukiran itu sudah benar-benar bersih. Kaca sudah mengkilat hingga lukisan itu kelihatan lebih indah lagi.
Surip mengangkat bahunya tinggi-tinggi. "Mudah-mudahan apa yang kau perkirakan itu benar."
*** Reo bukan hanya suka pada lukisan perempuan cantik itu. Ia juga begitu takjub melihatnya. Perpaduan warna lukisan itu benarbenar sangat sempurna. Teksturnya hampir mendekati kepada kenyataan, hingga gambar wanita cantik itu menjadi tampak hidup. Dan lebih menakjubkan lagi, ternyata si pelukis mampu menciptakan keserasian warna yang sangat mantap. Gambar perempuan cantik itu benar-benar sangat anggun dengan gaunnya
yang berwarna putih bersih, sehingga tampak sangat sesuai dengan warna kulitnya yang bule.
Melihat kekaguman tuan mudanya hati Marto jadi berbunga-bunga. Apa yang telah menjadi perkiraannya ternyata benar. Karena itu kemudian ia berbisik kepada Surip,
"Apa kubilang" Tuan muda benar-benar sangat menyukai lukisan itu."
Surip tidak menyahut. Ia masih terus gelisah dengan perasaannya. Kejadian aneh yang telah disaksikannya itu masih saja mengganggu, meskipun hal itu sudah berlangsung beberapa saat yang telah lalu.
"Kau tahu, Rip" Tuan muda belum tentu dapat melukis sesempurna itu, " bisik Marto lagi tanpa peduli pada keadaan batin kawannya. Dan kali ini Surip harus memalingkan wajahnya. Lantas berbisik,
"Siapa bilang" Tuan muda pelukis yang hebat Dia pasti dapat membuat lukisan sebagus itu."
Sebenarnya Marto ingin mendebat katakata Surip itu, tapi keburu tercegat oleh pembicaraan majikannya.
"Mang! Lebih baik lukisan ini dipajang di ruang tamu saja."
"Baik Tuan!" sahut Marto dan Surip hampir berbarengan. Hampir serentak mereka mendekati lukisan itu dan mengangkatnya dari
atas gantungan. Dalam hati Reo tersenyum melihat kepatuhan kedua orang pembantunya itu. Hampir setiap pekerjaan selalu mereka lakukan bersama-sama. Seperti kakak-beradik saja layaknya Mang Surip dan Mang Marto itu.
Mereka memang selalu memanggil Reo dengan sebutan 'Tuan Muda' mungkin karena usianya yang masih relatif muda. Tapi sebenarnya Reo sudah melarang mereka untuk tidak memanggil dengan sebutan seperti itu, tapi mereka tetap saja bandel. Dan Reo sudah bosan mengingatkannya. Mungkin karena sekarang mereka menganggap Reo sudah kaya dan pantas menyandang panggilan itu. Karir melukis Reo memang melonjak sejak lima tahun belakangan ini. Harga lukisannya pun menjadi melangit.
"Di sini memang lebih cocok, Tuan Muda!" kata Marto begitu selesai memajang lukisan itu. Dibandingkan dengan Surip, Marto memang lebih banyak bicaranya.
"iya! Menurut Mang Surip bagaimana?" sahut Reo sambil melontarkan pertanyaan kepada Surip. Sejak tadi ia melihat laki-laki kurus itu hanya diam saja. Bahkan ketika Marto menceritakan perihal penemuan lukisan itu Surip memang hanya diam saja.
"Ba... ba... bagus sekali! Tu... Tuan Muda!" Surip gagap seraya melirik tuannya yang masih berusia muda itu.
Reo menarik napas dalam helaan rasa he
ran. Meskipun sekilas, ia masih sempat melihat kecemasan yang tersembunyi di balik sorot mata Mang Surip. Laki-laki kurus itu nampaknya memang masih resah pada keanehan yang telah disaksikannya itu.
*** 2 Ternyata bukan hanya penghuni rumah saia yang merasa kagum pada keindahan lukisan itu. Gustap juga merasakan hal yang sama ketika datang sore itu ke rumah Reo. la melihat lukisan itu dengan sorot mata yang berbinar-binar karena diliputi oleh kekaguman.
"Kapan kau membuat lukisan ini, Reo?" tanyanya ketika melihat Reo muncul dari dalam. la masih terpaku di hadapan lukisan gadis bule itu.
"Sempurna bukan?" sahut Reo balik bertanya. "Benar-benar natural! Komposisi dan teksturnya hampir mendekati kenyataan. Hai! Kapan kau membuat lukisan sebagus ini" Dan gadis bule mana pula yang kau jadikan obyek?"
"Bukan aku yang membuatnya."
Gustap mengerutkan keningnya, seraya memandang tajam. "Bukan kau" Lalu siapa?"
"Entahlah! Tapi kau lihatlah sendiri inisial pelukisnya! Ada di sudut sebelah kanan bawah ."
Gustap segera menuruti kata-kata Beo. Ia berbalik ke arah lukisan. Dengan seksama ia
melihat inisial pelukis yang tertera di sudut sebelah kanan lukisan itu. Dan Gustap mengerutkan keningnya. la benar-benar tidak mengenali inisial itu. Bahkan ia baru pertama kali melihatnya. Padahal Gustap sendiri adalah seorang pelukis meskipun tidak setenar Reo Turangga, kawannya. ia sudah banyak mengenal nama pelukis di tanah air, dan inisial pada lukisan-lukisan mereka. Tapi yang ini, wah Benar-benar sangat asing baginya.
"Kau mengenalinya, Gus?" tanya Reo setelah agak lama melihat Gustap terus mengamati.
Gustap memutar tubuh, lantas menggelengkan kepalanya sampai beberapa kali. "Benar benar sangat asing. Aku baru melihat inisial pelukis seperti itu untuk yang pertama kalinya," suara Gustap datar tapi cukup untuk menunjukkan kalau hati pemuda itu tengah dilanda oleh rasa heran.
"Mungkin pelukis luar!"
"Ya, persis! Aku juga menduga demikian," Gustap melangkah dan duduk di hadapan Reo, "Melihat singkatan namanya... aku kira pelukis itu orang Belanda. Tapi yang membuat aku heran, dari mana kau mendapatkan lukisan itu?"
"Kedua orang pembantuku yang memperolehnya."
Gustap mengerutkan keningnya, "Maksudmu Mang Marto dan Mang Surip'?"
"Iya! Mereka menemukannya di dalam gudang tua di belakang sewaktu aku menyuruh mereka menyimpan barang di sana. "
Kerutan di atas kening Gustap semakin tampak tajam. Reo sadar kalau hati kawannya itu tengah diliputi oleh rasa heran. Sama seperti dirinya tadi. Ia juga benar-benar tidak menduga kalau di dalam gudang tua itu telah tersimpan lukisan yang benar-benar sangat indah. Bahkan hampir menyamai keindahan Monalisa-nya Leonardo Davinci.
Demi melihat ekspresi wajah Gustap yang demikian, maka Reo pun segera menyambung pembicaraannya,
"Aku sendiri benar-benar merasa heran
dan tidak pernah menduga, kalau di dalam gudang itu tersimpan lukisan yang sangat indah. Selama kami tinggal di sini, gudang tua itu memang baru dibuka untuk yang pertama kalinya. " "Mungkin ada orang yang telah sengaja menyimpannya di sana," Gustap menyela. Agaknya ia sudah berhasil mengendalikan perasaannya kembali.
"Aku juga menduga demikian. Mungkin laki-laki tua itu yang menyimpannya."
"Maksudmu?" potong Gustap seraya memandang tajam.
"Tuan Van Koeman! Laki-laki keturunan Belanda, pemilik rumah ini dulunya."
"Apakah dia seorang pelukis?"
"Entahlah! Apa yang aku katakan itu pun hanya merupakan dugaan saya," Reo mengambil bungkus sigaretnya. Mengeluarkan isinya sebatang dan menyulutnya. Lantas dihisapnya kuat-kuat.
"Tuan Van Koeman yang sudah tua itu memang hanya tinggal sendiri saja di rumah ini. Bahkan seorang pembantu pun tidak ada. Jadi besar kemungkinan memang dialah yang menyimpannya," sambung Reo setelah menghembuskan asap rokok ke udara.
"Untuk apa dia harus melakukan pekerjaan sebodoh itu. Bukankah lebih baik ia memajang lukisan yang indah itu di dalam rumah daripada disimpan di dalam gudang yang pengap itu," sahut Gustap seperti mengerutu pada diri Van Koeman yang telah tega menelantarkan benda seni itu.
"Jangan menggerutu begitu dong ah! Van Koeman tidak mungkin mendengarnya. Lakilaki tua itu sudah kembali ke negerinya di Belanda sana, " Reo tertawa renyah.
"Aku bukan menggerutu."
"Lalu apa?" "Aku hanya menyesali perbuatannya. "
"la kan sama!" Reo mengisap lagi batang sigaretnya kuat-kuat, lantas menghembuskan asapnya ke udara. Asap rokok bergulung-gulung lalu hilang entah ke mana. "Lagi pula itu
kan baru dugaan, Belum tentu Van Koeman yang melakukannya."
"Yang jelas! Orang yang telah menelantar kan lukisan itu adalah orang yang benar benar bodoh. Lukisan itu pasti berharga sangat mahal, bahkan mungkin lebih mahal dari harga lukisanmu. Kalau ia memang sudah merasa bosan menikmati keindahannya., mengapa tidak dijual saja" Aku yakin banyak kolektor yang menyukai sentuhan seni pose gadis cantik itu. "
"Mungkin orang itu tidak butuh uang. Gus ! Tidak seperti dirimu," Reo tersenyum simpul "Lagi pula tidak ada gunanya kita mem persoalkan lukisan itu. Yang jelas! ,,Sekarang lukisan itu sudah menjadi milikku. Siapa pemilik yang sebenarnya, itu aku tidak perlu tahu. "
Gustap menghela napas berat.. Kau memang beruntung Reo! Rumah ini kau beli dengan harga yang relatif murah di da lamnya tersimpan pula koleksi benda seni yang sudah tentu sangat mahal harganya."
"Kau paling bisa menghibur, Gus!" Reo tersenyum tipis. "Ah, sudahlah! Jangan terus ngelantur sama lukisan itu" Salah salah kau membuat hidungku jadi makin terkembang. lantaran kau terus memuji-muji keberuntunganku."
Begitu Reo selesai berbicara dari pintu depan muncul Surip yang baru saja pulang dari toko. Reo yang tadi menyuruhnya membelikan
kanvas dan cat minyak. Sementara itu Marto disuruhnya mengantar lukisan ke rumah seorang pemesan.
"Mang! " panggil Reo ketika Surip melangkah ke arahnya.
"Ya, Tuan Muda!"
"Kalau kembali kemari tolong ambilkan sampanye dua gelas. Kanvas dan catnya taruh saja di tempat biasa. Oh, iya! Yang satu kasih es sedikit, Mang!"
"Baik, Tuan Muda!" Surip segera melanjutkan langkahnya menuju ruangan dalam. Dan hanya sebentar kemudian tubuhnya sudah menghilang di balik tikungan pintu.
"Mang Marto ke mana, Ree?" tanya Gustap setelah Surip menghilang.
"Aku suruh mengantar lukisan," sahut Reo sambil mematikan putung rokok ke dalam asbak.
"Oh...!" Baru sesaat lamanya Gustap mendesah begitu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara benda jatuh.
Prang...! Serentak Reo dan Gustap berpaling ke arah datangnya suara. Pandangan mereka jatuh pada sosok tubuh Surip yang telah berdiri memegang nampan dengan kaki yang tampak bergetar. Agaknya suara tadi bersumber dari dua buah gelas yang jatuh di atas lantai. Dan
gelas itu jatuh dari atas nampan yang dipegang Surip.
"Ada apa, Mang" Kau sakit." tanya Reo dengan pandangan yang heran.
"Ti... ti" tidak, Tuan Muda!" Surip gagap. Agaknya ia tidak dapat dengan segera mengendalikan perasaannya. Tubuhnya masih tampak bergetar dengan wajah yang memucat. Hal demikian membuat hati Reo semakin heran dan penasaran.
"Ada apa sih, Mang" Kau sakit ya?"
Surip menghempaskan napas berat, menooba mengendalikan perasaannya. ia mencoba pula untuk bersikap tenang. Lantas ia pun berkata,
'Tidak apa-apa, Tuan Muda! Saya tadi terpeleset, gelas itu jatuh dari atas nampan. "
"Oooh!" desah Reo yang agaknya percaya pada kebohongan pembantunya itu. Ia mengira gemetarnya tubuh Surip dan berubah ekspresi wajahnya adalah karena merasa takut akan mendapat marah darinya. Padahal tidak demikian. Surip memang merasa takut, tapi bukan kepada Reo. Kejadian yang tadi pagi dialaminya di dalam gudang itu ternyata kembali dialaminya. Ia kembali melihat mata perempuan dalam lukisan itu mengerling dengan tajam ke arahnya. Dinding di mana lukisan itu menggantung memang persis berada di hadapan langkahnya. la begitu terkejut ketika menyaksikan kerlingan mata biru itu. Dan akhirnya dua gelas sampanye itu pun jatuh ke lantai.
Reo memang tidak melontarkan pertanyaan lagi kepadanya. Hal demikian segera dipergunakan oleh Surip untuk membersihkan lantai yang berkarpet merah itu.
"Sudah, Mang! Biarkan saja dulu. Biar nanti saja dibersihkannya," cegah Reo dengan suara yang datar. "Ambilkan saja sampanye yang baru!"
Surip mengurungkan niatnya. Ia segera beranjak pergi ke dalam untuk mengambilkan sampanye yang baru. Dan sebentar kemudian ia kembali dengan membawa minuman itu. Langkahnya tampak sangat hati-hati dan tanpa melirik ke arah lukisan misterius itu. la meletakkan dua gelas minuman di atas meja.
"Silakan, Gus!" ucap Reo menawarkan minuman. Tapi Gustap justru berbicara lain. Ia malah mengajak Surip berbicara.
"Sebentar, Mang!" tahan Gustap sebelum Surip melangkah. "Mamang yang telah menemukan lukisan im?" Gustap melirik ke arah lukisan.
"Benar, Tuan Gus!" sahut Surip seraya memberanikan diri untuk melirik lukisan itu. Hatinya terasa berdesir. Lukisan itu ternyata tidak menunjukkan keanehan lagi. Mata perempuan itu tampak sangat indah. Tidak berkeding setajam tadi.
"Kau rupanya tidak percaya pada ceritaku
tadi, Gus?" Reo ikut menyela.
"Sekadar ingin meyakinkan!" Gustap tersenyum lantas meraih gelas. Diminumnya sampanye itu hingga habis setengah. Mang Surip masih berdiri di tempatnya yang semula "Yah sudah, Mang! Terima kasih!"
Laki-laki berbadan ceking itu segera melangkah. Antara Gustap dengan dirinya memang sudah terjalin keakraban. Pemuda itu sudah sangat sering datang ke rumah majikannya.
Surip tidak melangkah masuk ke dalam. Ia ingin membersihkan dulu pecahan-pecahan gelas itu. Dan sementara melakukan pekerjaannya beberapa kali ia sempat melirik ke arah lukisan misterius itu. Tidak terjadi keanehan apa-apa. Lukisan itu tampak sangat indah dan menakjubkan. Ah, ada apa dengan mataku ini" Aku yang salah melihat, atau memang lukisan itu yang menyimpan keanehan" Surip membatin.
Reo dan Gustap memang tidak tahu pada gejolak perasaan yang tengah dialami oleh Surip. Malahan mereka terus asyik berbincang bincang.
"Kau dapat order baru nih, Re!"
"Melukis?" "Persis!" "Siapa yang mau aku lukis itu?"
"Seorang foto model. Cantik! Namanya
SiSCa !" "Kenapa bukan kau saja sih yang melukisnya, Gus?"
"Ah, kau! Meledek atau menghibur" Mana mau sih mereka aku lukis" Aku tidak punya nama setenar kau, Bung!" Gustap seperti menggerutu pada dirinya.
"Oke! Oke!" Reo tersenyum lepas, "Di mana model itu minta dilukis?"
"Sisca minta dilukis di sini! "
"Maksudmu di rumah ini?"
"Persis!" , "Gila!" Reo tersentak, "Ini benar-benar surprise buatku!"
"Kau belum pemah melukis seorang gadis cantik di dalam rumahmu ini?"
"Belum! Biasanya mereka selalu ingin dilukis di tempat yang indah-indah. Paling tidak di tepi pantai dengan memakai bikini. Yang minta dilukis di sini paling-paling bapak-bapak dengan istrinya," papar Reo antusias.
"Yang ini memang lain, Re! Mudah-mu
dahan yang ini pun merupakan keberuntungan buatmu. "
"Keberuntungan macam apa?" Reo memotong.
"Yah! Siapa tahu Sisca yang cantik itu kecantol sama kamu. Itu kan keberuntunganmu.
Gustap tertawa mengakak. Dan Reo pun ikut terpancing. Sementara itu Mang Surip sudah selesai memunguti pecahan-pecahan gelas. Sebelum pergi meninggalkan mangan, ia masih sempat melirik ke arah lukisan gadis bule itu. Bola mata berwama biru itu tidak lagi mengerling dengan tajam, hal yang membuat Surip merasa takut. Bola mata itu tampak indah dalam kesenduannya.
"Kapan model itu minta dilukis?" tanya Reo setelah berhasil mengerem tawanya.
"Maunya sih besok! Tapi apakah kau ada waktu?"
Reo mengerutkan keningnya. "Aku pikir bisa, kebetulan tidak ada pesanan melukis. Jam berapa dia datang?"
"Tidak lewat dari jam sepuluh!"
Reo manggut-manggut. Tapi kemudian matanya jadi terbelalak lebar dengan kening yang tampak berkerut-kerut dengan tajam. Pandangannya terarah pada lukisan perempuan cantik yang memang tergantung di atas dinding di hadapannya itu. Wajah Reo turut berubah menjadi tegang. Gustap melihatnya. Dengan heran ia segera melontarkan pertanyaan.
"Ada apa, Re?" Reo tidak menyahut" Pandangannya masih tetap mengarah pada lukisan misterius itu. Gustap jadi heran. Dengan refleks ia berpaling
mengikuti pandangan Reo. Dan ketika itu pula Reo tersentak kaget.
"Ada apa sih, Re dengan lukisan itu?" Gustap makin penasaran. la memandang kawannya dengan sendu. Ia memang tidak melihat apa-apa pada lukisan itu. Tidak ada sesuatu yang aneh.
"Ah, ti... ti" tidak!" sahut Reo dengan gugup. Gustap merasa heran, dan Reo sadar pada keadaan temannya. Karena itu ia segera menyambung pembicaraannya.
"Aku sedang membayangkan wajah Sisca lewat lukisan itu. Cantik mana yang kira-kira antara Sisca dengan gadis yang terdapat dalam lukisan itu?"
"Relatif!" nampaknya Gustap percaya pada penuturan Reo yang sebenarnya hanya kebohongan itu. "Penilaian tentang kecantikan itu lain dalam setiap kepala manusia, Re! Tapi aku pikir Sisca tidak kalah cantik dengan gadis bule itu. "
"Kau benar, Gus!" Reo pura-pura menarik napas lega. Padahal dalam hatinya ia masih merasakan perasaan takut dan rasa heran. Tapi agaknya ia sudah berhasil menutupi perasaannya itu lewat kata-katanya tadi.
"Okelah, Re! Aku permisi pulang dulu."
"Lho! Kau tidak menginap saja di sini?"
"Aku sedang ada janji sama Supar. Mau mendekor di Duta Graha!" Gustap bangkit berdiri. "Nanti aku dapat komisi ya! "
"Siiiplah!" Gustap melangkah. Reo mengantarkan sampai ke depan pintu. "Di Duta Graha ada pesta apa?" tanyanya sebelum Gustap benarbenar pergi.
"Pesta gadis-gadis centil!"
"Ah, setan kau!" Reo bermakSud meninju bahu Gustap, tapi ternyata Gustap keburu lari menghindar dan segera masuk ke dalam sedan tuanya.
"Aku pulang, Re!" teriak Gustap sebelum menginjak pedal gas. Suaranya lantang.
"Minggat sana!" sahut Reo. Gustap tertawa ngakak dan segera menjalankan mobilnya. Begitu sedan Willis tua itu menghilang dan' pandangannya, maka Reo pun masuk dan menutup pintu rapat-rapat
Begitu tiba di dalam, hatinya kembali berdesir aneh. Barusan tadi ia melihat kejadian aneh pada lukisan itu. Ia melihatnya bergerak gerak tanpa sebab. Bingkai lukisan itu bergoyang-goyang dengan sendirinya, seperti ada sebuah kekuatan yang sengaja menggoyangkannya. Dan anehnya, di kala Gustap memalingkan kepalanya, bersamaan dengan itu pula lukisan itu berhenti bergoyang. Hal itulah yang membuat Reo tersentak kaget.
"Aneh sekali! 'Tadi aku benar-benar melihat lukisan itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin. Padahal tidak ada angin kencang yang dapat menembus masuk ke dalam ruangan ini. Bahkan kipas angin atau AC pun tidak
sedang dinyalakan. Mengapa lukisan itu dapat bergerak-gerak dengan sendirinya" Ah, mungkin hanya penglihatanku saja yang salah", gumam Reo sambil terpaku memandang lukisan gadis cantik itu. Setelah mengambil keputusan demikian ia segera melanjutkan langkahnya.
*** Baru saja Reo membaringkan tubuh di atas tempat tidurnya, tiba-tiba saja telinganya mendengar ada yang mengetuk pintu. Padahal tadi ia ingin segera tidur, tapi keanehan yang telah disaksikannya tadi itu benar-benar sangat mengganggunya. Dan sekarang suara ketukan di pintu itu juga sangat mengganggunya.
"Tuan Muda! Ada tamu, " kata suara dari balik pintu. Reo mengenalinya. Itu adalah suara Mang Marto. Laki-laki berkumis tebal itu rupanya sudah kembali. Lalu siapa pula tamu yang datang malam-malam begini, pikir Reo dalam hati. Ia menghempaskan napas berat. Setelah itu barulah menyahut.
"Siapa tamunya, Mang?"
"Entahlah, Tuan Muda! Seorang gadis. Sepertinya mau minta dilukis."
"Gadis?" Gumam Reo, "Siapa dia" Atau mungkin Sisca foto model itu?"
"Suruh dia menunggu, Mang! Sebentar saya ke sana. Kau buatkan minuman saja dulu! " sahut Reo kemudian.
"Beres, Tuan Muda!" tanggap Mang Mart0.
Entah mengapa kali ini tampaknya Reo Turangga sangat antusias untuk melukis seorang gadis cantik. Sisca foto model itu! Ah, tidak! Ia sudah terbiasa melukis gadis-gadis cantik. Dari artis-artis film penyanyi sampai kepada putri-putri orang kaya. Memang, hanya mereka yang berduitlah yang dapat meminta dilukis oleh Reo yang ternama itu. Tarifnya memang cukup tinggi. Tidak heran kalau Reo Turangga hidup dalam keadaan yang lebih, tidak seperti kebanyakan para pelukis lainnya. Mereka kebanyakan hidup dalam keadaan yang pas pasan. Mungkin mereka terlalu bendealisme, atau mungkin memang nasib yang menghendakinya.
Kejadian yang dialami sore tadi memang benar-benar sangat aneh. Dan sekarang, ternyata kejadian itu pun dialami oleh tamunya. Gadis yang memang datang untuk minta dilukis sempat merasa takjub ketika pandangannya jatuh pada lukisan misterius itu. Tapi kemudian rasa takjub itu berubah menjadi rasa takut ia melihat lukisan dapat bergerak-gerak dengan sendirinya. Padahal dengan jelas di dalam ruangan itu tidak ada angin yang berhembus. la terpaku dengan debaran jantung yang membuatnya tersiksa.
Ketika Reo muncul di ruangan itu, maka
lukisan misterius itu pun berhenti pula bergerak .Bersamaan. Gadis yang ternyata bukan Sisca itu tersentak .Terlebih ketika Reo menyapanya dengan lembut.
"Selamat malam!"
Gadis berpotongan rambut sebatas bahu itu memutar tubuhnya. Ia sempat tersipu, hingga rasa takut yang dirasakan tidak nampak lagi. Wajah yang ayu itu menjadi bersemu merah persis seperti kepiting direbus.
"Oh, malam!" sahutnya kemudian.
Reo tersenyum simpul, "Anda mengagumi lukisan itu?"
Gadis itu kembali tersentak Tapi dengan cepat ia menjawab.
".. i... iya! Benar. Aku sangat mengagumi lukisan ini," suaranya sedikit gagap. Ia melangkah dan tanpa dipersilakan lagi ia menhenyakkan pantatnya di atas kursi.
"Anda bukan pengagum pertama," Reo berkata sambil melangkah dan duduk persis di hadapan tamunya. "Keindahan lukisan itu benar-benar sangat fantastis!"
"Kau benar! Obyeknya juga benar-benar sangat sempurna, sesuai dengan kekontrasan warna latar belakangnya."
Dalam hati gadis itu memang tidak me
mungkiri ucapan yang diucapkannya tadi. Lukisan itu memang sangat fantastis. Goresan dan sapuan kuasnya begitu lembut. Tadi ia
memang sempat mengaguminya, sebelum melihat keanehan itu terjadi.
"Kau juga rupanya seorang piawai dalam bidang seni, terutama yang berkaitan dengan lukisan. "
"Oh, tidak! Saya hanya senang dilukis. Dan kedatanganku kemari adalah untuk itu," gadis itu tersenyum tipis. "Perkenalkan! Namaku Regina. la mengulurkan tangannya. Reo menjabat tangan itu dengan erat sambil menyebutkan pula namanya.
Gadis itu ternyata bukan Sisca, gadis model itu. Tapi ia juga tidak kalah cantik Atau mungkin Sisca memang kelewat cantik Ah, persetan! Pikir Reo dalam hati.


Lukisan Penyebar Maut Karya Maria Oktaviani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bung Reo kapan punya waktu untuk melukis saya?" tanya gadis yang agaknya adalah putri seorang yang kaya raya itu kemudian.
Reo mengerutkan keningnya seperti orang yang tengah berpikir keras. "Saya musti tahu dulu di mana Anda minta dilukis?"
"Di rumah saya!"
Reo menggigit bibirnya yang sebelah bawah, seraya manggut-manggut. Okelah kalau demikian! Bagaimana kalau besok lusa?"
"Okelah!" gadis itu bangkit dari tempat duduknya. "Kalau begitu aku permisi dulu!"
' Gadis yang bernama Regina itu memberikan kartu namanya. Sebelum ia sempat melirik dulu ke arah lukisan gadis bule itu. Aneh! ia
tidak melihat keganjilan itu lagi. Lukisan itu tampak sangat indah dengan bingkainya yang berukir.
*** 3 Suara bel berdentang. Surip yang pertama mendengarnya, karena itu ia segera memburu ke pintu depan. Dengan hati-hati dia lalu membuka pintu untuk tamu yang datang pagi itu. Dan ketika pintu terkuak dengan lebar, Surip benar-benar terkejut. Ia melihat wajah yang berdiri di balik pintu itu benar-benar sama persis dengan wajah gadis yang ada dalam lukisan. Rambutnya yang pirang, hidungnya yang mancung, dagunya yang runcing dan bola matanya yang biru laut itu, oh! Benar-benar tidak ada bedanya.
Surip terbeliak lebar matanya. Kerutan wajah laki-laki itu tampak jelas diliputi oleh rasa takut yang bercampur dengan rasa heran. Ia bagai tidak percaya melihat kenyataan yang demikian. Gadis bule dalam lukisan itu benarbenar tengah berdiri di hadapannya, meskipun dengan pakaian yang berbeda.
"Ada apa, Pak" Ada yang aneh dengan diri saya?" tamu itu memandang dengan tajam. Melihat sikap Surip yang demikian terpaksa ia harus mengoreksi penampilannya Barangkali ada resleting Jeans-nya yang terbuka.
Laki-laki bertubuh ceking itu tersentak. Ia
mengerutkan keningnya dengan tajam. Dalam pandangannya kini, gadis itu tidak berpenampilan seperti tadi. ia tidak mempunyai rambut yang berwarna pirang, tidak mempunyai hidung yang mncing, tidak berdagu lancip dan tidak mempunyai bola mata yang biru seperti boneka. Demi melihat hal yang demikian, hati Surip mulai terasa rikuh.
"Ada apa dengan saya, Pak" Mengapa Bapak memandang saya dengan pandangan seperti itu?" tanya gadis itu lagi bagai memprotes sikap Surip terhadap dirinya.
Surip menyunggingkan senyumnya. Getir. Cepat-cepat ia berusaha mengendalikan perasaannya. Meskipun dirasa sangat sulit, tapi kemudian ia berkata dengan parau,
"Oh, ma... maaf, Nona! Si... si... silakan masuk! "
Gadis cantik berparas asli timur itu menyipitkan matanya. Dengan jelas ia melihat ekspresi wajah Surip yang ketakutan. Juga dari suaranya yang gagap tadi. Hatinya mulai merasa heran bercampur dengan tidak enak. Ada apa sebenarnya dengan penampilannya itu" Mengapa laki-laki ceking itu tampak sangat ketakutan ketika melihatnya untuk yang pertama kali"
Surip juga sebenarnya merasakan hal yang serupa. Ia juga merasa heran tidak enak. Diam-diam ia mulai mencaci maki penglihatan
nya. Mata sialan! Ada apa sebenarnya" Mengapa sejak menemukan lukisan itu aku jadi sering salah melihat" Barusan aku melihat gadis
benar-benar sama persis dengan gadis yang ada di dalam lukisan. Ah, dia tentunya merasa malu dan tidak enak. Sialan benar!
"Bung Reo ada, Pak?" tanya gadis itu begitu tiba di dalam. Agaknya ia sudah berhasil mengendalikan perasaannya kembali.
"Oh, a... ada. Nona silakan duduk dulu! Sebentar saya akan memanggilnya."
Gadis bermata hitam itu menghenyakkan pantatnya di atas kursi yang menghadap ke arah lukisan. Sebelum Surip sempat meliriknya sesaat. Hatinya masih merasa was-was.
Kekaguman menyelinap di dalam relung hatinya begitu pandangannya jatuh pada lukisan itu. Tanpa sadar ia mengerutkan keningnya dengan mata yang menyipit. Hati gadis itu begitu takjub melihat keindahan lukisan gadis bule yang terpampang di hadapannya.
"Indah sekali lukisan itu! Warnanya benarbenar kontras. Rasanya baru pertama kali ini aku melihat lukisan sebagus ini," gumam gadis itu, seraya bangkit berdiri. Ia ingin melihat lukisan itu dengan jarak yang lebih dekat lagi. Niat itu kemudian diurungkannya. Seketika ia terperangah dengan mata yang terbeliak lebar dan mulut yang sedikit menganga
Gadis itu kemudian menggigit bibirnya sendiri manakala ia merasa yakin pada penglihatannya. Lamat-lamat ia memang melihat peru
bahan yang terjadi pada lukisan yang indah itu. Wajah gadis bule yang terdapat dalam lukisan tiba-tiba tampak meleleh, catnya seperti meluntur karena tersiram air. Dan karuan saja wajah yang cantik itu berubah menjadi sangat buruk, bagai dipenuhi dengan luka-luka borok.
Gadis itu mulai merasakan debaran jantungnya yang mulai berdegup dengan kencang. Tapi sebelum sempat ia menyadari keaanehan yang terjadi, telinganya mendengar suara yang mendehem. la tersentak dan berpaling. Ah, ternyata Reo sudah muncul dari dalam.
"Anda juga rupanya mengagumi lukisan itu, " tutur Reo dengan senyum yang tampak mengembang.
Gadis bertubuh sintal itu berusaha menekan perasaannya. la membalas senyum Reo. Getir! Keanehan yang disaksikannya itu benarbenar sangat mengganggunya.
"Kau tentunya Sisca, bukan?"
"Be... benar!" Sisca kembali tersenyum dalam debaran jantung yahg mulai dapat dikendalikannya.
"Bagaimana" Apa bisa kita segera mulai?"
"Oh, ya! Bisa!"
"Kalau begitu sebentar! Saya akan menyuruh pembantu untuk menyiapkan alat
alat." Reo kembali menghilang di balik pintu.
sisca menghempaskan napas berat. Sepeninggal Reo, ia kembali memandang lukisan misterius
itu. Anehnya ia tidak lagi melihat kejadian yang seperti tadi. Lukisan itu masih tetap utuh. Wajah gadis bule itu masih tetap cantik, tidak tampak berborok-borok seperti tadi dilihatnya. Karena heran maka Sisca pun menggumam.
"Heran! Kenapa lukisan itu tampak utuh ' kembali" Tadi aku melihatnya dengan jelas lukisan itu meluntur seperti tersiram air. Aneh! Sekarang tampak utuh kembali. Ada apa sebenarnya" Atau mungkin penglihatanku saja yang salah."
Tidak terlalu lama Sisca menunggu Reo kembali muncul dari dalam.Cepat-cepat Sisca menekan perasaannya dengan sebuah helaan napas berat.
"Kita mulai, Sis!" kata Reo.
"Aku ingin mengganti pakaian. Di mana?"
"Kamar sebelahmu!" mata Reo melirik ke arah pintu kamar yang terletak hanya beberapa langkah dari tempat duduk Sisca. Dan gadis model itu segera melangkah ke sana dengan membawa pakaian yang akan dikenakannya.
"Sebentar ya, Bung Re!" katanya sebelum benar-benar masuk ke dalam kamar. Reo menyahut dengan mengangguk dan tersenyum simpul.
Reo memandang lukisan gadis bule itu. Ia takut kalau-kalau Sisca pun menyaksikan keganjilan yang dilihatnya seperti kemarin sore.
itu Padahal apa yang diwas-waskannya itu justru sudah dialami oleh Sisca. Ada apa sebenarnya dengan lukisan yang indah itu"
Sisca muncul dari dalam kamar dengan pakaian yang baru. Tidak lagi Jeans dan T-Shirtnya. Ia sudah menggantinya dengan sebuah potongan gaun panjang yang berleher rendah, hingga menampakkan garis gundukan kenyal dadanya. Reo sempat menelan ludahnya ketika menyaksikan itu.
"Saya sudah siap, Bung Reo!" kata gadis model itu dengan manja. Agaknya ia sudah berhasil melupakan kejadian aneh yang disaksikannya itu dalam waktu yang sangat singkat.
"Oh, ya! Di mana Anda minta dilukis" Di ruangan ini?"
"Oh, jangan!" Sisca mengerutkan keningnya bagai tengah berpikir keras. "Hm... bagaimana kalau di bagian yang paling indah yang ada di rumah ini?"
"Maksudmu?" "Ya! Di rumah ini tentunya ada bagian yang paling indah menurut Bung. Saya ingin dilukis di sana. "
Reo turut mengerutkan kening, "Oh, ada! Di taman belakang. Di sana ada sebuah tempat yang sangat bagus sekali. Bagaimana kalau kita ke sana saja?"
"Saya menurut Bung Reo saja!"
Ah, ada-ada saja gadis yang satu ini. Per
mintaannya aneh! Minta dilukis di sinilah! Dan minta pula di bagian yang paling indah. Merepotkan saja! Gumam Reo dalam hati.
Orang yang mau dilukis itu memang terkadang aneh. Mintanya di lokasi yang indah-indah dan berhawa sejuk. Padahal latar belakang lukisannya tidak menggambarkan di mana mereka dilukis. Di tepi pantai atau di tepian kolam renang. Paling-paling back ground-nya hanya berupa perpaduan warna yang close-up. Mereka membutuhkan lokasi yang indah itu hanya supaya merasa betah ketika dilukis.
Sisca memang suka dengan lokasi yang dimaksud oleh Reo. Ia meminta agar Reo melukisnya dengan posisi duduk di atas kursi ukir. Reo segera menyuruh Surip dan Marto untuk menyiapkan segala peralatan yang dibutuhkan. Dengan cepat kedua orang pembantu itu melaksanakan perintah majikannya. Mereka memang sudah terbiasa melakukan pekerjaan yang demikian.
Kain kanvas yang digunakan untuk melukis gadis model itu besarnya kira-kira enam puluh kali empat puluh sentimeter. Hampir sama persis dengan besar lukisan misterius itu.
Reo sudah selesai membuat sketsa dengan sapuan halus kuasnya. Ia mulai akan membentuk wajah Sisca yang cantik itu ke dalam kanvasnya. Baru beberapa bagian saja ia membuat garis-garis yang seirama. Lekukan pipi kanan dan kiri. Lalu memvisualisasikan mata yang
hitam itu, lantas juga hidung Sisca yang bangir. Reo memang sudah kelewat mahir dalam melukis wajah manusia.
Tapi ketika ia akan memulai memvisualisasikan bibir Sisca yang merah merekah itu, ti ba-tiba saja wajahnya menjadi menegang. la berhenti melukis dengan mata yang terbeliak lebar. la bagai tengah melihat sesuatu yang sangat mengganggunya. Melihat kenyataan demikian Sisca menjadi semakin agresif. la sengaja menyingkap gaun pada bagian pahanya yang mulus itu. Ia memang mengira kalau Reo sedang merasa takjub pada keindahan lekuk tubuhnya. Bukan itu sebenarnya yang dirasakan oleh Reo. Pemuda itu melihat wujud Sisca dalam bentuk yang lain. Ya, Reo melihat Sisca telah berubah menyerupai gadis yang berada dalam lukisan itu.
Kerut wajah Reo semakin nyata dibaluri oleh rasa heran. Ia melihat ada bayangan gadis bermata kristal itu di balik wajah Sisca. Gadis di dalam lukisan itu seperti menggantikan kedudukan Sisca yang. tengah dilukisnya. Tapi ketika ia mengerjapkan matanya beberapa kali, maka yang dilihatnya adalah Sisca.
Aneh sekali! Mengapa bayangan gadis ber. mata biru itu ada di hadapanku. Bukankah dia hanya ada dalam lukisan saja. Tadi aku tidak melihat Sisca. Yang kulihat adalah gadis dalam lukisan itu. Ah, ada apa sebenarnya" Atau memang hanya penglihatanku saja yang salah.
karena aku kelewat memikirkan keanehan itu, Reo membatin dalam sikap yang seperti semula.
Ekspresi Reo yang demikian membuat Sisca merasa gusar juga. Karena itu kemudian ia bertanya, "Ada apa, Bung Reo" Kau sakit" Atau mungkin ada suatu kesalahan yang kau buat?"
Reo tersentak. Hampir saja kuas dan palet yang ada di tangannya jatuh. Untuk menutupi kemuraman wajahnya ia segera menyunggingkan senyuman. Meskipun itu tampak sangat tawar.
"Ya... ya! Ada suatu kesalahan yang telah saya buat." sahutnya kemudian mencoba menutupi perasaannya. "Saya terlalu tajam membuat goresan bentuk bibirnya. Akibatnya bibirmu lebih jelek dari aslinya, Sis!"
Sisca tertawa renyah, "Kau rupanya kurang konsentrasi, Bung!" katanya kemudian setelah berhasil mengerem tawanya. Agaknya ia benar-benar percaya pada kebohongan Reo. Hal itu tentu saja membuat hati Reo sedikit merasa lega. Ia mencoba membuang bayangan gadis bermata kristal itu, dan kembali menggoreskan kuasnya.
Reo mulai asyik kembali dengan pekerjaannya. Dan anehnya, belum terlalu lama ia menyapukan kuasnya kembali ke atas kanvas kejadian seperti tadi pun kembali dialaminya. la benar-benar melihat sosok gadis dalam lu
kisan itu ada di hadapannya. Sisca sudah menjelma menjadi gadis bermata biru itu.
Pelukis muda itu kembali tersentak. la merasakan debaran-debaran aneh di dalam hatinya. Tapi untung saja ketika itu Marto datang membawakan minuman untuknya dan untuk Sisca. Bersamaan dengan itu pula bayangan sosok gadis misterius itu pun lenyap. Reo merasa lega kembali, meskipun dengan debaran hati yang resah dan bingung.
"Kita istirahat dulu, Sis! Kau tentunya merasa haus, " katanya kemudian sambil meletakkan kuas dan paletnya. Ia segera meneguk minuman dingin itu sampai habis setengahnya, berharap agar keresahannya dapat berkurang.
"Haus sekali rupanya kau, Bung!"
"Panggil aku Reo saja, Sis!" sanggah Reo. Entah mengapa ia baru peduli pada panggilan yang diucapkan oleh Sisca itu. Gadis model itu merasakan hal tersebut sebagai sesuatu yang lucu. Tapi ia memedamnya dalam hati.
"Bisa kita mulai lagi, Re?"
"Oh! Bisa." "Kalau begitu aku harus segera kembali," kata Sisca. Ia segera beranjak menuju tempat yang tadi.
"posisimu harus pas seperti semula, Sis!" Reo berkata begitu Sisca tengah mengatur kembali posisinya.
"Aku tahu!" sahut gadis model itu tanpa
melirik. "Begini, bukan?"
"Sebentar!" Reo mulai menyamakan akting suasana dengan sketsa yang dibuatnya tadi di atas kanvas. la sudah hampir menyelesaikan bagian wajah. tinggal memberi tekstur dan kesan gelap terang. "Wajahmu jangan datar begitu, Sis! Agak kau angkat sedikit saja! Nah, ya begitu!"
"Hai, Non! Matanya juga agak kau buka sedikit!" sambungnya kemudian.
Angin yang berhembus siang itu seharusnya membawa keasyikan tersendiri bagi Reo Turangga dalam membuat lukisan. Tapi kali ini ia tidak merasakannya. Bayangan gadis kristal itu selalu saja mengganggunya. Wujud Sisca kerap kali berubah menjadi wujud gadis di dalam lukisan itu. Reo merasa kalau dirinya tengah melukis dua orang gadis ketika itu. Ia memang tidak menaruh kepedulian lagi kepada bayangan gadis misterius itu, meskipun dengan debaran hati yang dirasakan semakin tidak menentu. Resah, bimbang, dan takut.
Tetapi ia begitu terkejut ketika telah berhasil menyelesaikan lukisan itu. Bukan lantaran jelek, tapi justru terlalu berlebih menurutnya. Ia melihat bukan hanya wajah Sisca yang ada dalam lukisan itu, tapi juga wajah gadis bermata kristal itu. Bentuknya memang lebih banyak menyerupai wajah Sisca. Tapi ada goresan-goresan di beberapa bagian yang memperlihatkan rona muka gadis misterius itu. Untuk
seorang yang tidak pakar dalam melukis memang sulit membedakannya. Termasuk pula halnya Sisca. la justru merasa senang karena melihat lukisan itu lebih cantik dari wajahnya yang asli.
"Kau memang pelukis yang mahir, Re! Tidak percuma kalau memasang tarip yang mahal untuk harga lukisan-lukisanmu. Kau memang pantas untuk mendapatkan acungan jempol," papar Sisca yang merasa puas melihat hasil lukisannya.
Reo tersenyum getir. Sama sekali tidak ada kebanggaan baginya mendengar pujian seperti itu. Keanehan itu mulai dirasakan mengganggu. Bahkan malamnya ia juga merasa sulit untuk tidur. Padahal sebelumnya ia tidak pernah merasakan hal yang serupa.
Jarum jam baru saja menunjuk pada angka sepuluh, tapi malam dirasa sangat sepi sekali .Sudah berkali-kali Reo berusaha mengendalikan debaran-debaran jantungnya yang tidak menentu. Telinganya yang tajam itu mendengar suara-suara aneh yang bersumber dari luar kamarnya. Seperti desisan napas, tapi bukan. Mungkin ada kran shower yang bocor.
_Untuk meyakinkan apa yang didengarnya, Reo melangkah menuju kamar mandi yang terletak tidak seberapa jauh dari tempat tidurnya. Ia ingin memeriksa apakah benar ada kran shower yang bocor hingga menimbulkan suara yang berdesis-desis"
Begitu tiba di depan pintu kamar mandi, suara itu justru semakin melemah. Tapi Reo tidak mengurungkan niatnya. Ia tetap memeriksa kran. Dan ternyata memang tidak ada kran yang bocor. Bahkan Reo sudah memutarnya, mengencangkannya. Tapi anehnya suara berdesis itu masih terus terdengar oleh telinganya. Ah, ada apa ini" Suara apa sih yang aku dengar itu" Mungkin suaranya Mang Surip yang memang berpenyakit bengek itu. Atau mungkin hanya telingaku saja yang salah mendengar" Ah, tidak! Tidak mungkin. Aku benar benar mendengarnya. Bahkan sampai sekarang pun masih tetap terdengar.
Baru saja Reo bergumam begitu, suara-suara aneh itu pun tiba-tiba lenyap dari pendengarannya. Kerut wajah pelukis muda itu semakin nyata kecemasannya. Hatinya berdebar-debar dalam debaran rasa takut yang bercampur dengan rasa heran. Ia mencoba mengusirnya dengan sebuah hembusan napas berat.
Aneh! Mengapa suara desisan itu menghilang dengan sendirinya" Dan hai.... Suara itu berganti dengan suara langkah kaki yang sangat lembut Seperti ada seseorang yang tengah menaiki anak tangga. Yah! Suara dengan jelas aku dengar. Siapa orangnya. Mungkin Mang Surip atau Mang Marto, gumam Reo dalam kesendirian yang mencekam.
Demi meyakinkan apa yang didengarnya, Reo segera keluar dari dalam kamar. Ruangan pribadinya itu memang tidak jauh letaknya dari anak tangga yang melingkar. Ia segera memburu ke sana. Suara detak langkah kaki yang lembut itu masih saja terdengar. Tapi ketika Reo sudah mencapai pilar pembatas tangga, bersamaan dengan itu pula suara itu menghilang dari pendengaran.
Untuk benar-benar meyakinkan hatinya Reo melongok ke bawah. Ternyata tidak ada siapa-siapa di lantai bawah. Kesunyian terasa mencekik leher. Ditambah lagi udara malam yang dingin menusuk tulang sum-sum.
Ah. ada apa dengan rumah ini" Rasanya aku tidak pernah merasakan keganjilan seperti malam ini. Atau mungkin lukisan itu yang telah menjadi penyebabnya" Ah, tidak mungkin! Dia cuma benda mati. Itu hanya perasaanku saja. Reo membatin dalam hentakan rasa gundah.
Baru saja Reo mengisi kerongkongannya dengan sebuah tarikan napas, berharap agar kegundahan hatinya dapat segera berkurang. Ia kembali mendengar suara yang berderak agak keras. Kali ini ia benar-benar tersentak kaget. Suara itu agaknya bersumber dari ruangan sanggar, ruangan tempat menyimpan lukisan-lukisan karyanya.
Bulu kuduk Reo merinding .Debaran jantungnya semakin berpacu. Tapi ia tidak peduli ia segera beranjak menuruni anak tangga de
ngan langkah yang sangat cepat la benar-benar merasa penasaran dengan suara yang didengamya tadi. Begitu tiba di lantai bawah, ia segera berjalan menuju ruang sanggar, di mana ia menyimpan lukisan-lukisannya,
Begitu tiba di sana Reo benar-benar terkejut. Ia melihat ada sebuah lukisan yang jatuh dari atas gantungan. Dan itu adalah lukisan Sisca yang dibuat tadi siang. Lukisan itu memang belum kering ketika Sisca ingin membawanya pulang. Karena itu Reo menyimpannya dulu dan besoknya ia akan menyuruh Mang Marto untuk mengantarkannya ke alamat Sisca.
Yang membuat Reo heran, mengapa lukisan itu dapat terjatuh dari atas gantungannya" Padahal selama ini kejadian seperti itu tidak pernah terjadi. Di rumah itu tidak ada binatang piaraan, bahkan tikus sekalipun. Jadi tidak mungkin ada yang menyenggol lukisan, lantas jatuh hingga menimbulkan suara yang berderak seperti tadi. Kalau mungkin ada hembusan angin yang menjatuhkannya, itu benar-benar mustahil. Ruangan tempat menyimpan lukisan lukisan itu tidak berventilasi sama sekali. Jadi sangat mustahil kalau ada angin yang dapat menerobos masuk .
Meskipun hatinya merasa takut. Toh! Akhirnya Reo berjalan juga menghampiri lukisan Sisca yang tergeletak di atas lantai itu. Ia ingin mengambilnya dan meletakkannya kembali ke
atas gantungan. Mudah-mudahan lukisan itu tidak ada yang rusak. pikir Reo dalam hati
Hampir saja ia membanting kembali lukisan itu ke atas lantai padahal tadi ia sudah mengambilnya. Reo melihat lukisan itu penuh dengan percikan-percikan darah. Bahkan wajah Sisca hampir seluruhnya tertutup oleh cairan berwarna merah itu. Entah dari mana sumbernya.
Reo benar-benar terperangah. Matanya terbeliak lebar dengan mulut yang membentuk huruf O. Bagai tidak percaya ia mencolek darah itu dengan ujung telunjuknya, lantas dicium. Bau amis menyengat hidung. Barulah ia percaya kalau itu adalah benar-benar darah yang sesungguhnya.
Hati Reo bagai berdesir. Bulu-bulu pada tengkuk kepalanya semakin berdiri tegak .la memandang lukisan itu dengan sorot mata yang nanar karena terbalut oleh perasaan takut. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi" Mengapa lukisan Sisca penuh dengan cipratan cipratan darah" Dari mana sumbernya. _Atau mungkin ada orang yang telah sengaja menciptakan kejadian aneh ini. Tapi di dalam rumah ini yang ada hanyalah Mang Marto dan Mang Surip, pikir Reo dalam hati.
Diam-diam Reo mulai curiga kepada Surip. Sejak dua hari kemarin sikap laki-laki ceking itu tampak sangat aneh di hadapannya. Dia sepertinya tengah dilanda oleh kegelisahan dan
menyimpan sesuatu, pikir Reo lagi dalam hati. Tapi kemudian kecurigaan itu dipupusnya ketika ingatannya tertuju pada kebaikan Surip selama ini.
Reo memang tidak ingin mengecewakan hati pemesannya. Apalagi Sisca yang cantik itu. Karenanya dengan susah payah ia berusaha membersihkan cipratan-cipratan darah itu dengan menggunakan lap kain. Cairan berwarna merah itu memang dapat dibersihkannya meskipun tidak secara sempurna. Untung saja lukisan itu sudah kering, sehingga gerakan lap itu tidak dapat merusaknya. Tapi ada juga bagian-bagian yang tampak memudar karena tersapu oleh warna darah. Hal itu dapat diperbaiki oleh Reo dengan memberi sapuan cat yang baru. Reo melakukan pekerjaan itu sampai beberapa saat lamanya.
Lukisan sudah selesai dibersihkannya. Reo bermaksud akan segera kembali ke kamar. Begitu tiba di balik pintu ruangan itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang ternyata adalah Marto.
"Apa yang terjadi, Tuan Muda" Saya mendengar suara yang berderak disini," tutur laki-laki berkumis tebal itu. seraya memandang tajam.
'Tidak ada apa-apa! Hanya lukisan jatuh."
"Tuan Muda masih bekerja sampai larut malam begini?" pandangan Marto kian tajam. Ia tidak pernah melihat tuannya melakukan kebiasaan seperti itu.
"Iya, Mang! Ada yang tanggung nih," jawab Reo berbohong. Mang Marto akan segera memutar tubuhnya. "Sebentar, Mang! Saya ingin bertanya."
' Laki-laki berkumis tebal itu mengurungkan niatnya. "Ada apa, Tuan Muda?"
"Tadi apakah Mamang juga mendengar suara-suara yang lain?"
"Maksud Tuan Muda?"
' Reo mengerutkan keningnya. Dari jawaban Marto ia sudah dapat mengambil kesimpulan. Laki-laki itu pasti tidak mendengar suara-suara aneh itu. Reo ndak perlu lagi memperlebar pembicaraan. la tidak ingin mengadukan keganjilan itu kepada Mang Marto, sebab ia sendiri belum merasa yakin. Karenanya kemudian Reo berkata,
"Maksud saya suara rintik hujan di luar. Apa benar tadi hujan turun, Mang?"
Laki-laki berkumis tebal itu menyambut. "Ah, sepertinya tidak, Tuan Muda! Barangkali hanya desauan angin saja yang tuan anggap suara rintik hujan itu. "
*** 4 Sinar matahari yang lembut bagai melanturkan sebuah kegelisahan bagi Reo. Apa yang telah dirasakannya tadi malam itu benar-benar sangat aneh. Dan, pagi itu ia memutuskan untuk segera pergi menemui gadis yang kemarin datang meminta dilukis. Kebetulan gadis yang bernama Regina itu menyambut kedatangannya dengan senyum yang mengembang.
Keramahan Regina membuat Reo merasa betah untuk ngobrol dengannya. Kebetulan ketika itu orangtua Regina sudah pergi ke kantornya masing-masing. Yang ada hanya seorang pembantu yang usianya sudah lebih setengah abad. Barusan tadi dia sudah menghidangkan minuman di hadapannya.
"Di mana kau ingin dilukis, Gin," tanya Reo setelah meneguk minumannya. la memandang sayu.
"Di sini saja! Di sudut ruangan itu juga bagus," Regina menjawab dengan lembut.
"Bisa kita mulai?"
"Kalau Mas Reo siap. "
Ada yang berdesir di dalam dada Reo mendengar panggilan Mas atas dirinya. Seingat Reo, Regina kemarin memanggilnya dengan
sebutan Bung. Panggilan yang sudah kelewat sering didengar olehnya. Dan kalau sekarang Regina yang cantik itu memanggilnya dengan kata Mas. Wah itu benar-benar surprise. Entah sadar atau tidak Regina mengucapkannya. Yang jelas Reo benar-benar merasa sangat senang mendengarnya.
"Aku siapkan dulu alat-alatnya ya, Gin!" sahut Reo kemudian sambil melirik. Regina tersenyum lembut. Dan senyumnya itu benar-benar dapat menghancurkan dinding batu hati Reo. Ia memang sangat sulit untuk jatuh cinta. Bahkan untuk mengagumi seorang gadis sekalipun. Tapi mengapa melihat senyum Regina kali ini hati Reo serasa bergetar. Senyuman itu dirasakan sangat istimewa baginya. Entah mengapa" Mungkin karena sikap lembut gadis bermata teduh itu.
"Kok bengong sih, Mas" Tidak jadi melukisnya?"
"Oh, iya!" Cepat-cepat Reo mengambil peralatan dari dalam tas besar yang sengaja dibawanya. Gaya kesenimanannya memang tidak kentara. la lebih pantas disebut sebagai mahasiswa. Rambutnya saja selalu tampak rapi, begitu pun dengan pakaiannya. Meskipun ia mencari uang dari hasil melukis. tapi penampilannya benar benar tidak tampak sebagai seorang pelukis. la kelihatan sangat gagah dan gentelment.
Semua peralatan sudah disiapkannya, tapi
sebelum ia mulai melukis tiba-tiba ia ingat akan sesuatu. Lukisan Sisca belum selesai diperbaikinya. Dan ia juga lupa menyuruh Surip dan Marto untuk mengantarkannya. Tadi ia memang bangun kelewat siang dan karena terburu-buru akhirnya ia lupa.
"Ada apa, Mas Reo?" tanya Regina yang sudah siap untuk dilukis, seraya memandang teduh.
Reo tersentak dan mengangkat wajahnya. "Ah, nggak apa-apa!"
"Kok bengong melulu sih! Ada yang lupa ya. "
"He, eh! Tapi...."
"Tapi apa?" potong Regina sambil tetap memandang teduh.
Reo ragu-ragu untuk mengemukakan masalahnya. ia tidak tega untuk mengecewakan hati gadis selembut Regina. Reo hanya diam dalam kebimbangan. Di satu pihak ia juga tidak ingin membuat Sisca kecewa karena hasil lukisannya. Dan di lain pihak ia juga tidak ingin membuat gadis berhati lembut itu kecewa. Wah, bagaimana ini, pikir Reo dalam hati.
"Katakan saja, Mas! Aku tidak ingin melihat diammu, " kata gadis bermata lembut itu setelah lama melihat Reo terdiam dengan wajah yang tampak gelisah.
"Aku memang lupa pada sesuatu, Gin!" Reo balas memandang. Sejuk sekali rasanya
melihat bola mata di hadapannya, Ada lukisan yang lupa aku perbaiki Aku janji hari ini menyelesaikannya. Jadi. "
"Aku tahu maksudmu." potong Regina sambil mengerlingkan bola matanya yang indah itu. Lantas ia tersenyum lembut. "Kau mau menunda melukis aku kan hari ini?"
Suara Regina terdengar kecewa Tapi bagaimana" Reo benar-benar tidak ingin membuat hati pelanggannya kecewa. Pilihan terbaik memang harus menunda melukis Regina. Toh, masih banyak waktu.
"Begitulah, Gin! Kau tidak kecewa bukan?" sahut Reo dengan hati yang tidak enak.
Regina menggigit bibirnya. Dalam keadaan demikian justru Reo semakin mengagumi gadis itu. Matanya yang berkedip-kedip itu seperti kilatan kristal saya. Dan hati Reo yang sedingin es kutub itu benar-benar menjadi luluh. Haruskah Reo jatuh cinta kepada Regina" Gadis yang baru dijumpainya untuk yang kedua kali itu.
"Bagaimana. Gin! Kau tidak merasa keberatan bukan?"
"Okei Tapi Mas Reo janji kan mau melukisku?"
Reo tersenyum lembut. seraya memandang Regina. Tapi anehnya ia tidak berani lama-lama memandang wajah gadis itu. Ada debar-debar aneh di dalam dadanya.
"Aku janji! Demi kamu!"
"Apa jaminannya?" Regina bertanya manja.
"Aku akan tinggalkan alat-alat melukisku di rumahmu ini."
"Husy! Bukan rumahku, tapi rumah orangtuaku!" tanpa sadar Regina mencubit paha Reo. Pelukis muda mengaduh manja. Keakraban memang sudah tercipta di siang yang cerah itu. Regina tersipu malu ketika Reo menatapnya dengan lembut.
*** Begitu tiba di rumahnya Reo langsung dicekam oleh perasaan heran. Ia melihat lukisan gadis bule itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Mungkin ada yang memindahkan lukisan itu tanpa seizin darinya. Untuk menghilangkan rasa herannya Reo segera menemui Marto dan Surip.
"Mang! Kau yang memindahkan lukisan itu?" Reo bertanya kepada Marto yang dijumpainya lebih dulu. Laki-laki berkumis tebal itu malah kebingungan.
"Lukisan yang mana, Tuan!" sahutnya dengan kening yang tampak berkerut-kerut.
"ltu ! Lukisan yang kau temukan di dalam gudang.
"Tidak, Tuan Muda! Mungkin Surip yang
memindahkannya. Tanpa banyak cakap lagi Reo segera menemui pembantu yang satunya. Sama seperti halnya Marto, Surip juga tampak kebingungan. Malahan laki-laki bertubuh ceking itu keadaannya lebih parah lagi. Ia tampak ketakutan. Tapi Reo tidak sempat memperhatikannya.
"Sebelum Tuan Muda pergi tadi, lukisan itu masih ada di sana," ucap Marto yang baru saja kembali melihat lukisan itu. Ia ikut nimbrung.
"Saya juga melihatnya," Surip menyela.
"Mungkin ada yang datang kemari?".
"Tidak ada, Tuan Muda!" sahut Marto.
"Maksudku tanpa setahu kalian. Orang itu datang secara diam-diam dan mengambil lukisan itu. "
Marto dan Surip saling pandang. Apa yang dikatakan tuan mudanya itu memang bisa saja terjadi Bukankah rumah itu memang tidak pernah dikunci di waktu siang. Apalagi pintu pagar halamannya yang selalu dibiarkan terbuka ngablak.
Hilangnya lukisan gadis bermata biru itu benar-benar membuatnya pusing. Tapi Reo
mencoba untuk tak peduli. Ia segera masuk ke ruang sanggar untuk segera memperbaiki lukisan Sisca. Lukisan yang tadi malam telah meng
alami kejadian yang sangat aneh. Untuk memperbaiki lukisan yang hanya
terkena goresan-goresan darah yang menempel itu memang tidak dibutuhkan waktu yang
lama. Apalagi dikerjakan oleh tangan Reo yang sudah benar-benar mahir.
Lukisan Sisca sudah selesai diperbaiki, dan Surip sudah disuruhnya untuk mengantar ke alamat yang empunya lukisan. Sekalian buat mengambil sisa uang bayarannya. Setelah semuanya beres, sebenarnya Reo ingin segera kembali ke rumah Regina. Hari memang belum kelewat siang, dan lagi ia tidak ingin membuat hati gadis itu kecewa. la memang tadi sudah berjanji untuk segera kembali. Tapi agaknya Reo harus mengurungkan niat itu. Di luar sudah ada tamu yang menunggunya.
Reo begitu terkejut melihat siapa yang datang. Tamunya adalah seorang gadis. Monica namanya. Beberapa hari yang lalu ia memang sudah datang dan berjanji ingin minta dilukis. Agaknya ia ingin meluluskan janjinya itu sekarang. Wah, bagaimana" Reo sudah janji dengan Regina untuk segera datang ke rumahnya.
"Bagaimana kalau jadwal melukismu diundur sampai besok saja, Monic?" papar Reo menyatakan rasa keberatannya.
"Nggak bisa dong, Re! Lukisan itu harus selesai hari ini. Pamanku akan membawanya ke Jerman. "
Aduuuh! Kepala Reo Jadi pusing. Alasan
yang dikemukakan oleh Monica memang cukup memberatkan. Terlebih gadis itu memang sudah akrab dengannya. Bahkan Monica juga pernah mengatakan cinta, tapi Reo menolaknya dengan sebuah alasan yang barangkali terdengar sangat klasik. "Aku belum siap menerima cinta dari gadis mana pun, Monic! Hatiku ini rasanya masih terlalu rawan. "
Monica memang kecewa. Tapi ia cukup nekat Beberapa kali ia sempat bercumbu dengan Reo. Ia memang lebih agresip. Meskipun terpaksa Reo harus meladeninya. Laki-laki mana sih yang mau menghindar dari gadis yang cantik Meskipun tidak cinta! Tapi cinta itu kan zaman sekarang sudah klise, pengertiannya sudah menjadi semu. Terlebih buat Reo yang sudah mempunyai jiwa seniman itu.
Setelah menimbang-nimbang cukup matang, akhirnya Reo memutuskan untuk mengurungkan niatnya pergi ke rumah Regina. Gadis bemata lembut itu pasti akan kecewa. Tapi toh ia nanti dapat mengemukakan alasan.
"Okelah, Monic! Kalau begitu segera kita mulai" ucap Reo setelah matang dengan pertimbangannya.
"Nah! Begitu dong. Itu namanya teman sejati."
"Teman sejati dengkulmu! Aku terpaksa tahu"!"
"Lho! Tidak ada yang memaksamu?"
"Alasanmu itu. Non!"
Monica tertawa renyah. la bangkit dan melangkah mendekati Reo. Dengan manja ia bergayut di atas bahu Reo yang tegap itu.
"Apa saja yang kau lakukan untukku selalu saja kau bilang terpaksa, Reo!" bisik gadis bertemperamen panas itu. "Kapan kau akan merubah sikapmu, Re! Apakah kau masih ragu pada ketulusan cintaku?"
"Ah, kok jadi bicara ngelantur kau ini, Monic! Kita harus segera mulai .Nanti lukisan itu tidak dapat selesai hari ini. Kau sendiri kan yang akan rugi?" Reo mencoba tersenyum, seraya menepiskan tangan Monica dari atas pundaknya dengan lembut. "Aku harus menyiapkan alat-alat dulu."
Reo segera berlalu dari hadapan Monica. Tapi sebentar kemudian ia melongokkan kepalanya dari balik tikungan dinding ruangan dalam.
"Kau mau dilukis di mana Monic?" tanyanya dengan suara yang agak lantang.
"Di ruang ini saja."
Reo tidak menyahut. Kepalanya sudah kembali tenggelam di balik dinding. Ada desah kepiluan yang keluar dari mulut Monica. Sikap Reo yang mudah akrab kepada siapa pun, ternyata tidak melahirkan pribadi yang gampangan. Cinta Reo memang terlalu agung, mungkin pula memang hatinya masih rawan. Monica sudah mendapatkan kehangatan dari Reo, meskipun tanpa cintanya. Terkadang hati Mo
nica terasa sangat sakit bila harus mengingatnya. Dengan dibantu oleh Marto dan Surip, Reo membawa alat-alat melukisnya ke dalam ruangan tamu itu. Ia memang mempunyai banyak alat-alat melukis, sehingga bukan masalah walaupun tadi ia meninggalkan alat-alatnya di rumah Regina.
"Di bagian mana kau akan berpose, Monic?" tanya Reo begitu kedua orang pembantunya pergi.
"Di dinding sebelah sana saja, Re!" sahut Monica sambil menunjuk ke arah dinding bekas tergantungnya lukisan gadis bule yang telah hilang itu.
Reo cukup dibuat tersentak. Ingatannya terus tertuju pada'lukisan yang indah itu. Padahal tadi karena kesibukan ia sudah melupakannya. Tapi permintaan Monica tadi yang telah membangkitkan ingatannya. Ah, sayang sekali lukisan sebagus itu dibiarkan hilang. Lapor polisi saja! Ah, tidak! Nanti justru akan membuat Reo repot sendiri. Bukankah lukisan itu tidak jelas siapa pemiliknya"
Pelukis muda itu mencoba menekan perasaannya. Monica sudah tampak mengambil pose dengan duduk di atas sebuah kursi. Meskipun hatinya masih terasa resah karena memikirkan hilangnya lukisan itu, tapi Reo segera mulai melukis. la tidak ingin Monica tahu gejolak perasaannya.
Sketsa tubuh Monica yang memakai gaun bermotif bunga-bungaan itu sudah selesai dibuatnya. Sekarang Reo sudah siap membentuk wajahnya. Baru saja ia akan memulai, tapi kemudian ia tampak tertegun. Matanya terbeliak lebar dengan mulut sedikit menganga.
Kejadian seperti kemarin kembali dilihatnya. la melihat Monica menjelma menjadi wujud gadis yang ada dalam lukisan itu. Kejadiannya persis seperti ketika ia melukis Sisca. Reo mengerjap-ngerjapkan matanya, dan yang dilihat adalah wujud Monica yang asli. Gadis yang tengah divisualisasikannya ke dalam bentuk lukisan. Aneh sekali!
"Ada apa, Reo?" tanya Monica merasa heran melihat sikap Reo yang sedemikian.
Bulu-bulu yang tumbuh di atas tengkuk kepalanya terasa merinding. Debaran jantungnya tidak menentu. Karena itu Reo tak dapat dengan segera menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Monica, hingga gadis itu kembali harus mengulanginya.
"Ada apa. Reo?" suara Monica lantang. Kali ini Reo tersentak.
"Ah, ti... ti... tidak! Tidak ada apa-apa!" Reo gagap.
"Kok kamu bengong begitu sih?"
"Aku sedang berimprovisasi!" bohong Reo sambil berusaha menyunggingkan senyumnya yang tawar.
"Oh!" desah Monica merasa percaya.
Reo Turangga kembali dengan pekerjaannya. Kejadian serupa kembali berlangsung. Wujud Monica tampak di matanya sebagai wujud gadis yang menjadi obyek lukisan itu. Reo mencoba tidak peduli, meskipun berkali-kali ia harus mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Kenapa sih dengan matamu, Reo" Kau sedang sakit mata yah?" tanya Monica yang melihat itu. Reo tersentak, tapi dengan cepat ia menjawab.
"Aku ngantuk" Monica tertawa lepas, "Kasihan! Kalau begitu setelah selesai kita tidur sama-sama yah!" katanya setelah berhenti tertawa.
Reo tidak peduli pada kelakar Monica. Ia terus asyik dengan pekerjaannya, meskipun ia harus tetap mengerjap-ngerjapkan mata. Kejadian aneh itu memang terus berlangsung. Gadis bule itu selalu saja datang membayang dalam bola matanya. Bulu kuduk Reo meremang. Debaran-debaran hatinya yang terasa tidak menentu, tapi bukan yang seperti tadi dirasakannya di rumah Regina. Yang ini terasa sangat menyiksa.
Meskipun dengan hati yang tidak menentu, toh! Akhirnya kira-kira dua jam kemudian Reo berhasil menyelesaikan lukisan itu. Dan kejadiannya sama seperti kemarin ketika ia membuat lukisan untuk Sisca. Kali ini pun hasil lukisan itu lebih cantik dari obyek aslinya.
Bahkan mata Monica kelihatan lebih indah. Dan anehnya sama halnya seperti Sisca, Monica pun ternyata lebih senang melihat hasil visualisasi dirinya yang demikian.
"Kau buat mataku seindah ini, Re! Oh... kau benar-benar pandai!" puji gadis bertemperamen panas itu dengan penuh kegembiraan. la menggayutkan lengannya di atas bahu pelukis muda itu.
Reo hanya menarik napas. Kali ini pun ia tidak merasa senang karena mendengar pujian itu. Hatinya begitu rikuh. Biar bagaimanapun kejadian aneh itu benar-benar mengganggu pikirannya.
Monica sudah selesai dilukis, tapi gadis itu tidak juga pamit pulang. Malahan ia minta bermanja-manja dengan Reo yang tengah dilanda keresahan itu. Karuan saja hal tersebut membuat hati Reo merasa jengkel, tapi ia tidak dapat mengusir Monica. la paling tidak suka menyinggung perasaan orang lain. Apalagi Monica yang sudah dikenalnya dengan akrab itu.
"Ayolah, Reo ! Aku ingin tidur bersamamu kali ini saja. Katanya tadi kau bilang ngantuk," rintih Monica dengan penuh kemanjaan.
"Aku nggak bisa, Monic! Aku sedang lelah!" sahut Reo mengemukakan alasannya. Ia tahu apa kemauan Monica.
"Kali ini saja, Re! Besok aku sudah terbang ke Jerman." Yang ini membuat Reo tersentak, hingga
ia harus memandang wajah Monica lekat-lekat, "Kau sungguh-sungguh, Monica?"
Gadis berambut ikal itu menganggukkan kepalanya dengan lembut. la memejamkan mata seraya mengangkat wajahnya. Siap untuk menerima kecupan Reo. Tapi apa yang diharapkannya itu ternyata nihil. Reo tidak mengecupnya.
"Aaahhh!" Monica merengek manja, persis seperti anak kecil yang kehilangan mainan. "Kau tidak kasihan padaku, Reo! Aku sangat menginginkanmu. Kali ini saja."
"Aku nggak bisa, Monic! Aku capek!"
Monica kecewa, tapi ia tidak putus asa. Cumbuannya kepada Reo semakin agresif. Reo memang tidak kuasa menolaknya. Monica terlalu pandai untuk membangkitkan gairahnya. Dan sebenarnya apa ruginya sih kalau ia harus menuruti kemauan gadis itu" Apalagi sekarang hati Reo sedang resah. Tidak ada salahnya kan kalau ia meladeni kemauan Monica yang haus kehangatan itu.
Karena cumbuan Monica terus berubah semakin liar, darah Reo pun turut terbakar. Ia tidak peduli lagi pada apa yang namanya cinta. Keresahannya seakan-akan lenyap. Ia segera membopong tubuh Monica yang ramping itu. Lantas dibawa ke dalam kamarnya yang terletak di lantai atas.
Reo benar-benar tersentak kaget ketika tangannya sudah berhasil membuka pintu. Ham
pir saja tubuh Monica dijatuhkannya. la melihat lukisan gadis bermata biru itu sudah berada di dalam kamarnya. Persis di depan dinding yang menghadap ke pintu. Aneh sekali! Siapa yang telah memindahkan lukisan itu ke sana"
"Ada apa, Reo?" tanya Monica, seraya memandang wajah Reo yang tampak menegang itu.
Reo benar-benar tercekam oleh rasa heran. Monica juga turut takjub memandang lu
kisan itu. Tapi gejolak perasaan mereka itu kemudian melebur karena nafsu birahi.
*** 5 Reo begitu terkejut mendengar kabar kematian Sisca sore itu. Surip yang menyampaikannya sepulang dari mengantar lukisan. Bahkan Reo juga terlebih dahulu merasa heran karena laki-laki bertubuh ceking itu kelihatan membawa pulang lukisannya. Dan setelah ditanya barulah Surip menceritakan apa yang terjadi.
"Rumah Sisca ramai sekali, Tuan Muda!
Saya melihat orang-orang yang berada di sana tampak muram-muram wajahnya. Saya membuat dugaan kalau mereka sedang berkabung .Dan ketika saya bertanya kepada seseorang, ternyata benar! Menurut keterangannya, Sisca diketemukan tewas tadi pagi di dalam kamarnya. " Tubuh Reo terasa merinding mendengar berita duka yang tampaknya tidak masuk akal itu. Sisca baru saja dilukisnya kemarin. Gadis itu masih tampak sehat, segar, dan ceria. Ah, kematian itu rasanya begitu cepat merenggutnya.
Reo benar-benar penasaran apa yang telah menyebabkan kematian Sisca yang terjadi secara mendadak itu. Tapi ketika ia bertanya ke
pada Surip tentang hal tersebut, ternyata dia tidak tahu. Orang yang dimintai keterangan itu tidak menjelaskan secara rinci perihal kematian Sisca.
Kepalanya benar-benar terasa pusing. Kematian Sisca yang sangat mendadak itu benarbenar sangat mengganggu pikirannya. Bahkan ketika Gustap datang sore itu, wajah Reo masih tampak muram, semuram langit di luar sana.
"Mukamu kusut sekali, Re! Sedang ada masalah rupanya?" tutur Gustap begitu menghenyakkan pantatnya di hadapan Reo.
"Iya!" jawab Reo asal.
"Monica lagi?" "Iya! Dia tambah ngelunjak."
"Jangan pusing-pusing! Kamu ladeni saja. Apa susahnya sih! Dia juga cantik kan?"
"Gila kau !" Gustap tertawa mengakak. Ia memang tahu banyak tentang hubungan Reo dan Monica. Gadis indo itu yang telah banyak cerita padanya. Agak jengkel juga hati Reo mendengar suara tawa Gustap yang mirip jin itu. Tapi beberapa saat kemudian Gustap berhenti tertawa. Wajahnya berubah menjadi serius. Lantas ia berkata dengan sungguh-sungguh.


Lukisan Penyebar Maut Karya Maria Oktaviani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada berita duka, Re!"
Reo ikut tegang. "Kau sudah dengar kematian Sisca, gadis foto model itu" Oh, iya! Dia jadi dilukis kan?" lanjut Gustap dengan serius. Ia juga melihat wajah Reo yang tegang.
"Aku sudah mendengarnya dari Mang Surip. Dia aku suruh mengantarkan lukisan ke rumah Sisca.
"Jadi dia benar-benar datang kemarin?"
"iya! Dan lukisannya sudah aku selesaikan. Tuh, dia! Reo menunjuk ke sudut ruangan. Lukisan Sisca yang sudah dibungkus itu masih diletakkan di sana.
"Boleh aku lihat, Re?"
"Lihat saja!" Gustap melangkah mendekati lukisan itu dan merobek kertas pembungkusnya. la begitu terkejut melihat wajah Sisca dalam lukisan itu. Dia tampak lebih cantik dari orang yang aslinya. Gustap benar-benar harus berdecak kagum. Meskipun ia tahu kalau Reo terpengaruh oleh lukisan gadis bule yang ditemukan oleh Marto dan Surip itu.
"Kau juga rupanya sangat menggagumi keindahan lukisan misterius itu, Re! Aku lihat ada goresan-goresan yang meniru-niru gaya lukisan itu, " papar Gustap begitu selesai mengamati lukisan almarhumah Sisca.
Reo kecut. Ia membenarkan penuturan yang diucapkan oleh Gustap. Tapi bukan lantaran ia kagum kepada lukisan itu kalau gaya
melukisnya kali ini banyak terpengaruh. itu hanya karena keanehan yang dirasakannya pada saat melukis.
"Mana lukisan itu?" tanya Gustap kemudi
an tatkala melihat lukisan itu tidak ada dalam ruangan tamu.
Reo tersentak dari lamunan. Ia juga baru ingat kalau lukisan itu masih berada di dalam kamarnya. Ia memang lupa, padahal tadi ia ingin mengembalikan lukisan itu ke tempatnya yang semula.
"Ada di kamarku!"
"Mengapa kau simpan di sana, Re! Sayang dong kalau lukisan sebagus itu hanya kau saja yang dapat menikmatinya. Lebih baik kau kembalikan ke sini, Re! Sayang dong. "
Reo tidak peduli pada ucapan Gustap yang sok nyeni itu. Benaknya masih dibuat pusing perihal kematian Sisca yang sangat mendadak Karenanya kemudian ia berkata,
"Aku benar-benar merasa heran, Gus! Barangkali kau tahu apa yang menyebabkan kematian Sisca yang sangat mendadak itu. Apa mungkin dia itu memang mengidap penyakit yang sangat gawat. Jantung yang kronis, misalnya!" .
"Bukan kau saja yang merasa heran, Reo!" Gustap tampak sangat serius. "Kematian Sisca hampir tidak masuk akaL
"Maksudmu?" "Kalau kau tahu dan melihat keadaan mayatnya.. benar-benar sangat mengerikan! Leher Sisca tampak membiru, dan matanya terbeliak dengan lebar. Hanya warna putihnya saja yang tampak!"
"Kau melihatnya secara langsung, Gus?" bulu kuduk Reo meremang.
"He, eh! Kebetulan keluarganya sangat dekat denganku. Aku langsung diberi kabar perihal kematian Sisca pagi itu. Ia telah diketemukan tewas di dalam kamarnya."
"Di dalam kamar?" mata Reo terbelalak lebar.
"Benar! Semua orang termasuk pula aku menduga Sisca mati terbunuh," jelas Gustap bagai ingin menandaskan.
Ada debar-debar aneh di dalam dada Reo Turangga. Debaran kecemasan yang bercampur dengan rasa heran. Karena hal tersebut wajahnya menjadi tampak muram. Terlebih ketika Gustap melanjutkan penjelasannya.
"Tapi ada sesuatu yang sangat aneh, Re!" suara Gustap berat dibebani oleh perasaannya. "Kalau memang Sisca mati dibunuh orang, dan orang tersebut masuk ke dalam kamamya. Tentunya pintu kamar itu akan terbuka. Atau paling tidak jendela kamar Sisca yang didobrak. Tapi anehnya, yang ini tidak! Kamar Sisca tampak utuh seluruhnya, seperti tidak ada orang yang masuk. "
Reo terpaksa harus mengerutkan kening
nya dengan tajam. Tampaknya kematian yang menimpa diri Sisca itu memang terjadi dengan sangat aneh.
"Bagaimana kasusnya, Gus" Apakah sudah ditangani oleh pihak kepolisian?" tanya Reo setelah berhasil sedikit menekan perasaannya .
"Lalu apa kata mereka?"
"Mereka juga sama mengatakan Sisca mati dibunuh. Tapi anehnya... tidak ada sidik jari pembunuhnya. "
"Lalu bagaimana dengan anggapan kau sendiri?"
"Entahlah! Tapi bukan tidak mungkin kematian Sisca memang karena tindak pembunuhan. Ada seorang pembunuh yang memang sudah sangat profesional, hingga tanpa meninggalkan jejak sama sekali!"
Selama Gustap berbicara, selama itu pula Reo menyipitkan matanya. Apa yang dikatakan oleh Gustap memang ada benarnya. Bukan tidak mungkin memang ada seseorang pembunuh yang sudah profesional masuk ke dalam rumah Sisca malam itu. Pembunuh itu memang memiliki berbagai macam kunci duplikat, hingga dapat dengan mudah membuka pintu dan menguncinya kembali. Tapi yang membingungkan, apa yang menjadi motif dari pembunuhan itu"
"Sudah!" sahut Gustap dengan suara datar.
Reo memang cukup dibuat pusing oleh hal-hal yang dihadapinya. Kematian Sisca, dan kepindahan lukisan itu ke dalam kamarnya.
Setelah Gustap pamitan, Reo segera memindahkan kembali lukisan gadis bule itu ke tempatnya yang semula. Ada debaran-debaran yang dirasakannya ketika ia mengangkat bingkai lukisan itu. Dan debaran-debaran aneh itu ternyata dirasakan sampai malam harinya.
Malam itu hujan memang turun meskipun hanya gerimis kecil saja. Tapi gerimis itulah yang justru membuat hati Reo semakin tercekam oleh kegundahan. Terlebih telinganya yang tajam itu juga mendengar suara aneh yang seperti telah didengarnya kemarin malam. Suara-suara desisan seperti suara napas atau suara kran yang bocor.
Beberapa kali Reo berusaha menekan gejolak perasaannya dari kegelisahan. Setelah mendapatkan sedikit ketabahan, ia berjalan menghampiri kamar mandi. Ingin memeriksa kran air. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan pendengarannya. Tapi kejadiannya seperti kemarin malam. Bukan kran yang bocor. Reo menghempaskan napas berat dalam helaan perasaan gelisah.
Aneh! Ada apa sebenarnya dengan rumah ini" Sudah dua malam aku merasakan kejadian yang sama. Suara-suara itu! Ah. benar-benar membuatku gelisah, gumam Reo dalam kesendirian yang sempat membuat bulu kuduknya merinding.
Meskipun hatinya sudah diselipi oleh rasa takut. tapi Reo melangkah juga mendekati pintu kamar. la benar-benar ingin meyakinkan apa yang didengarnya. Tapi begitu tiba di sana, kejadian seperti kemarin malam pun kembali berlangsung. Suara yang berupa desisan itu menghilang dari pendengaran, dan berganti
dengan suara detak langkah yang sangat lemah.
Kali ini tanpa sadar Reo mengerutkan keningnya, seraya membuka lubang telinga lebar-lebar. Ah, suara langkah kaki itu benar-benar sangat halus kedengarannya. Dan hal itu justru membuat bulu kuduknya semakin berdiri tegak. Takut dan heran. Helaan napasnya berubah menjadi sesak .
Beberapa saat lamanya Reo terpaku dengan gejolak perasaannya. Suara detak langkah itu semakin jauh kedengarannya, dan kemudian menghilang sebelum Reo sempat keluar dari dalam kamar.
Suara detak langkah halus itu berhenti dan menghilang dari pendengaranku. Suara langkah siapa sebenarnya" Mang Surip-kah" Atau mungkin mang Marto" Dan....
Brakkk! Suara benda jatuh itu nyaring sekali kedengarannya. Kecamuk batin Reo terputus. la benar-benar tersentak kaget, hingga jantungnya hampir copot. Wajahnya yang tampan itu
semakin menegang. Tapi ia segera memperoleh sedikit ketabahan. Tanpa ragu-ragu ia membuka pintu kamar dan melangkah keluar.
Reo benar-benar merasa yakin kalau suara itu datangnya dari ruang sanggar. Ruangan tempat menyimpan lukisan-lukisan hasil karyanya. Dan di sana juga ada lukisan Monica yang kemarin siang ditinggal karena masih basah. Monica memang yang akan mengambilnya besok pagi-pagi sekali. Gadis indo itu memang akan segera berangkat ke Jerman.
Meskipun ketabahan hatinya masih bercampur dengan rasa takut, langkah Reo cukup cepat juga. Sebentar kemudian ia sudah sampai di ruang sanggar. la benar-benar terperangah heran. Ternyata memang ada sebuah lukisan yang jatuh. Dan itu adalah lukisan Monica. Aneh.
Bulu kuduk Reo kembali meremang. Kejadian itu benar-benar sama persis dengan kejadian yang disaksikannya kemarin malam. Lukisan Sisca juga jatuh dengan sendirinya. Ah, ada apa sebenarnya"
Dengan gejolak perasaan yang masih tidak menentu, Reo melangkah mendekati lukisan yang terjatuh itu. Alangkah tersentaknya ketika menyaksikan keadaan lukisan itu. Kejadiannya hampir sama dengan lukisan Sisca. Lukisan Monica juga penuh dengan percikan-percikan darah segar. Perbedaannya hanya sedikit saja. Kalau kemarin pada lukisan Sisca darah itu le
bih banyak terdapat pada bagian leher dan wajahnya, tapi pada lukisan Monica darah itu justru lebih banyak terdapat pada bagian perutnya. Seolah-olah ada yang telah menusuk perut itu dengan sebilah 'pisau.
"Setan benar! Ada apa sebenarnya yang teqadi di rumah ini" Sudah dua kali lukisanku ada yang menyiram dengan darah. Kemarin lukisan Sisca! Sekarang lukisan Monica! Aneh sekali!" gumam Reo seolah-olah memaki orang yang telah melakukan perbuatan itu.
Begitu Reo selesai bergumam, tiba-tiba telinganya yang tajam itu kembali mendengar suara yang seperti tadi. Suara langkah kaki yang sangat lembut Kali ini datangnya dari ruangan makan.
Tanpa peduli pada hatinya yang sedang gundah, ia segera berlari ke sana. Tapi begitu sudah sampai, ternyata tidak ada siapa-siapa. Yang ada hanya sebuah kelengangan yang mencekam.
Debaran hati Reo semakin tidak menentu. Takut! Heran dan gelisah. Antara percaya dan tidak percaya, ia pun kembali bergumam heran, "Rupanya ada seseorang yang ingin menakut-nakutiku. Tapi anehnya siapa orang itu" Dan apa yang menjadi motifnya. dia menakutnakutiku" Ah, persetan! Lebih baik aku segera memperbaiki lukisan itu. Bukankah besok Monica akan mengambilnya pagi-pagi sekali."
Reo menghempaskan napas berat .la kem
bali ke ruang tempat menyimpan lukisan-lukisan itu. Begitu tiba di sana, ia segera melakukan aktivitasnya. Memperbaiki lukisan itu. Tapi baru sesaat saja ia memperbaiki lukisan itu, telinganya yang tajam itu kembali dikejutkan oleh suara-suara yang seperti tadi. Suara detak langkah, meskipun yang ini tidak kedengaran lembut seperti tadi. Tapi sangat hati-hati sekali.
Karena tersentak, Reo menghentikan pekerjaannya. la berpaling pada arah datangnya suara. Sama bersumber dari ruang makan. Hati Reo benar-benar penasaran. Tanpa peduli pada gejolak perasaannya, ia segera memburu ke sana. Begitu tiba di tikungan pintu yang tidak berdaun itu, hampir saja jantungnya copot. la berpapasan dengan Marto. Hampir saja mereka bertabrakan. Agaknya suara langkah langkah yang terdengar oleh telinga Reo tadi adalah milik laki-laki berkumis tebal itu.
"Tuan Muda!" kata Marto memecah kesunyian. "Sedang apa Tuan Muda di sini?"
"Aku yang seharusnya bertanya begitu padamu!" sahut Reo agak kesal.
"Beberapa saat yang lalu, saya mendengar ada suara benda yang jatuh. Saya takut ada pencuri yang masuk Tuan Muda! Tadinya saya tidak ingin melihatnya, tapi hati saya merasa was-was. Saya baru ingat kalau tadi sore saya lupa mengunci pintu depan, Tuan Muda!"
"Apa-apaan sih kau ini'?" Reo tersentak.
"Maafkan saya, Tuan Muda!" Marto mera
sa kecut" la tahu kalau tuan mudanya marah. "Sebenarnya saya sudah menyuruh Surip untuk mengunci, pintu itu. Tapi agaknya dia lupa. "Tadi ia baru mengatakannya kepada Saya." "Sudah! Cepat kau kunci pintu Itu! jangan-jangan sudah adaorang yang masukke dalam rumah ini, " kata Reo'bagai menggerutu atas kelalaian kedua brang pembantunya itu. "Berarti. Tuan Muda! Orang itu pasti pencuri," Marto beranjak pergi. Keningnya tampak berkerut-kerut dengan tajam. "Mana pencuri itu" Biar nanti saya tebas kepalanya. " "Mungkin dia sudah keluar lewat pintu be
lakang." "hm :" "Ada barang-barang yang hilang Tuan Muda?" ' '
Reo menggelengkan kepalanya dengan lesu, "Orang itu agaknya hanya ingin merusak reputasiku saja,"! suara Reo terdengar parau.
"Apa yang telah terjadi, Tuan Muda?"
"Dia hanya ingin merusak lukisanku!"
Marto kembali mengerutkan keningnya Ia tidak berani lagi untuk melontarkan pertanyaan. Ia tahu kalau hati tuan mudanya sedikit terpukul karena lukisannya ada yang merusak Dengan terbungkuk-bungkuk ia segera pergi menuju ruangan depan untuk mengunci pintu.
Reo Menghempaskan napas berat. Apa yang menjadi dugaannya tadi agaknya mendekati kebenaran. Bukan tidakmungkin memang
ada seseorang yang telah masuk ke dalam rumah itu, dan dia hanya ingin merusak lukisannya saja. Bukankah pintu depan memang lupa dikunci" Dan yang lebih meyakinkan lagi, yang dirusak itu justru lukisan-lukisan pesanan saja. Sementara lukisan-lukisan yang menjadi koleksinya sama sekali tidak.
Marto sudah kembali dari mengunci pintu. Reo masih berdiri terpaku di tempat yang semula. Agaknya ia tengah hanyut bersama gejolak perasaannya. Barulah ketika laki-laki berkumis itu datang ia tersentak.
"'Pintu itu memang tidak terkunci, Tuan!" adu Marto kepada tuannya.
"Karenanya pencuri itu dapat masuk dengan leluasa!" sahut Reo dengan suara yang agak ketus.
"Biar saya akan membangunkan Surip untuk mengejar dan menangkanpnya, Tuan Muda!
"Percuma! Kalian tidak mungkin dapat me
nangkapnya. Pencuri itu pasti sudah pergi jauh. Lebih baik kau segera kembali ke kamarmu. " Marto menghempaskan napas berat. Ia agaknya kurang enak kepada majikannya. Biar bagaimanapun ia dapat melihat ada kekecewaan yang terlukis di atas wajah tuan mudanya yang tampan itu. Ia dan Surip memang telah lalai mengunci pintu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki yang
senang memelihara kumisnya itu segera beranjak pergi menuju kamar. Ia memang tidur sekamar dengan Surip, rekannya. Letak kamar itu persis di depan ruang makan. Dan di sebelah ruang makan terletak ruang tempat menyimpan lukisan-lukisan itu. Hanya dibatasi oleh dinding tembok dengan sebuah ambang pintu yang tidak berdaun. Maka tidak heran kalau Marto mendengar suara lukisan yang jatuh itu. Dan kalau Surip tidak mendengarnya itu hanya karena tidurnya yang kelewat pulas.
Malam sebenarnya belum terlalu larut Paling-paling baru jam sebelas lewat. Di luar langit tampak sangat mendung, meskipun gerimis tidak lagi turun. Kilat masih tampak saling menyambar, bagai lompatan-lompatan api listrik Dan sesekali guruh pun terdengar memecah angkasa. Malam itu tampak sangat mencekam sekali .
Setelah kepergian Marto, Reo segera kembali ke ruang sanggar. Ia ingin segera memperbaiki lukisan Monica. ia tidak ingin mengecewakan hati gadis indo itu besok pagi.
Agak kecut juga hatinya pada saat memperhatikan percikan-percikan darah yang terdapat di atas lukisan itu. Tapi dengan telaten la membersihkannya dengan sebuah lap kain yang kotor. Setelah itu barulah ia memulas kembali lukisan itu dengan cat. Hatinya terasa
bererdebar-debar ketika melakukan pekerjaan itu.
*** Gerimis, kembali" tatkala Reo sudah hampin sempurna memperbaiki lukisan dari Monica itu. Udara malam itu memang lebih dingin dari biasanya. Tapi bukan karena hawa. dingin'yang membuat bulu kuduknya kembali merinding.Lamat-laman telinganya kembali mendengar suara yang seperti tadi. Suara langkah langkah, kaki yang sangat lembut. Reo terpaksa harus menghentikan pekerjaannya. Suarar itu bersumber dari tangga yang menghubungkan lantai bawah dengan lantai atas.
' 6 "Monica."!" Reo bagai tidak percaya. mulutnya sedikit terbuka dengan mata yang terbeliak lebar. Ia melihat seorang gadis yang tengah meniti anak tangga itu. Dan gadis itu adalah Monica.
Gadis yang menggunakan gaun panjang, yang serba putih itu membalikkan tubuhnya. Ia benar-benar Monica setelah tadi Reo mengenalinya lewat potongan rambut dan potongan tubuhnya yang tinggi semampai itu. .
Monica tersenyum lembut. Tangannya berpegang pada pilar pembatas tangga. Kali ini ia tampak sangat lain dari biasanya" wajahnya tampak lebih cantik, meskipun dengan kulit yang tampak sangat pucat,
....maaf ,satu halaman rusak tidak bisa dibaca.....
membuat kening Reo semakin berkerut-kerut dengan tajam.
"Monica!" panggil Beo lagi, begitu gadis indo itu sudah tiba di hadapannya.
"Reo...!" Monica memeluk leher Reo dengan lembut, selembut suara yang keluar dari mulutnya. Tak seperti biasanya Monica mempunyai suara selembut itu.
"Bagaimana kau bisa datang kemari, Monic" Bagaimana kau dapat masuk ke dalam rumahku ini" Bukankah pintu depan baru beberapa saat yang lalu dikunci?" Reo berkata seperti bergumam pada dirinya sendiri.
"ndak, Re! Tidak ada yang mengunci pintu itu."
Reo mengerutkan keningnya. Dipandangnya wajah Monica yang datar itu dengan tajam, seperti ingin menyelami kedalaman perasaan gadis itu.
"Kau tidak percaya, Re! Lihatlah sendiri!" kata Monica begitu Reo lama menatapnya.
Reo tersentak. Ia memang ingin meyakinkan apakah benar Mang Marto tidak mengunci pintu itu kembali .Ia memutar tubuhnya, dan dengan segera ia berjalan menuju ruangan depan. Monica mengikutinya dengan langah yang sangat lembut dan anggun.
Begitu tiba di depan pintu, Reo langsung menekan handelnya. Ternyata pintu dapat dengan mudah dibuka. Tidak terkunci sama se
kali. Aneh bukankah tadi Mang Marto sudah mengatakan kalau ia sudah menguncikannya kembali. Ada apa sebenarnya dengan semua ini, pikir Reo dalam hati.
Sebenarnya Reo ingin segera membangunkan Mang Marto di dalam kamarnya. Ia ingin melampiaskan kekesalannya kepada laki'-laki berkumis itu. Tapi secara tiba-tiba ada hal yang membuatnya sangat aneh, hingga ia harus mengurungkan niatnya itu. Perihal kebohongan Marto dengan begitu saja dilupakannya.
Gerimis di halaman rumah masih tampak turun renyai-renyai. Dalam keremangan cahaya lampu listtik yang terdapat di setiap sudut pagar halaman, Reo tidak melihat ada sebuah mobil yang diparkir di sana. Hal itulah yang membuat hatinya merasa sangat heran dan aneh. Monica selalu membawa BMW setiap kali datang ke rumahnya. Ia memang putri seorang yang kaya raya. Tapi mengapa kali ini Monica tidak membawa mobil"
"Kau tidak membawa mobil, Monic?" tanya Reo kemudian, seraya memandang gadis indo itu dengan tajam.
Monica menggelengkan kepalanya dengan lembut. Sementara Reo menutup pintu kembali dan menguncinya.
"Naik apa kau kemari?"
"Taksi" "Malam-malam begini" Apakah kau tidak merasa takut?"
87" Monica kembali menganggukkan kepalanya' dengan lembut, seraya tersenyum lembut pula. Dengan seenaknya ia menghenyakkan pantat di atas kursi.
Reo tersentak. tapi bukan karena kaget. Ia baru sadar pada gaun yang dikenakan oleh Monica. Gaun itu terbuat dari bahan yang transparan. Dengan jelas Reo dapat melihat lekukan lekukan tubuh Monica yang indah itu ia terpaksa harus menelan ludahnya yang terasa pahit.
"Untuk-apa kau datang malam-malam begini Monic?" tanyanya kemudian.
Gadis itu Bangkit dari tempat duduknya ia melangkah menghampiri Reo. Ia kembali menggayutkan lengannya di atas leher pemuda tampan itu. Dan katanya dengan lembut.
"Malam ini aku kedinginan, Re! Aku ingin tidur" denganmu."
?"Ah, kau terlalu bebas, Monic! Aku tidak enak pada kedua orangtuamu," Reo memaparkan keberatannya.
Monica tersenyum dengan lembut. "Mereka bukan orang-orang yang berfaham kolot, "Re! Kau tahu kan itu?" bisiknya, lantas melumat bibir Reo dengan bernafsu.
Reo hanya mendesah berat. Ia tidak kuasa menolak cumbuan Monica yang buas bagai singa kelaparan. Memang sudah sejak tadi ia terangsang oleh gairah seks-nya. Entah mengapa" Tetapi keanggunan sikap Monica
yang membuatnya. Terlebih ketika ia melihat lekuk-lekuk tubuh Monica yang indah itu.
"Monica...." hanya itu yang dapat keluar dari dalam mulut Reo. la benar-benar tidak kuasa untuk membendung hentakan nafsu birahi yang membakar dadanya. Dengan lembut ia membopong tubuh Monica yang ramping dan sintal itu, membawanya ke dalam kamar yang terletak di atas.
Pergumulan pun terjadi di dalam kamar Reo yang disinari lampu yang temaram itu. Reo tidak sadar pada eksistensi Monica ketika itu. Itu adalah bukan Monica yang sesungguhnya. Itu adalah jelmaan arwah yang telah menjelma menyerupai wujud Monica. Pantaslah kalau malam itu Reo lebih bergairah dari biasanya. Agaknya kekuatan gaib arwah itulah yang telah menghendaki. Tapi arwah siapakah itu"
Ya! Malam itu ia memang begitu bergairah. Setelah pergulatan hangat itu selesai, ia benarbenar tertidur pulas. Baru paginya ia tersentak kaget Monica sudah tidak ada lagi di sampingnya. Ke mana dia pergi, padahal hari masih terlalu pagi, pikir Reo dalam hati.
Reo melihat pintu kamarnya masih dalam keadaan tertutup. Ia memang tidak pernah mengunci pintu itu. Karenanya semalam ia mengira kalau Monica ingin segera menemuinya di dalam kamar. Tapi ia lupa bertanya, mengapa Monica tidak menekan bel terlebih dahulu.
Sebenarnya bukan untuk yang pertama kali Monica datang malam begitu ke rumah Reo. Ia sudah beberapa kali melakukan pekerjaan yang serupa. Tapi malam tadi Reo memang sempat merasa heran melihat kehadiran gadis itu. Banyak alasan yang membuat Reo harus merasakan hal yang demikian. Pertama, kedatangan Monica tanpa membawa mobil dan ia datang pada saat malam sudah benar benar larut Padahal biasanya tidak demikian .Kedua, sikap Monica malam itu benar-benar lain dari biasanya. Lebih lembut dari biasanya dan tampak sangat anggun. Dan yang ketiga adalah gaun yang dipakai oleh Monica. Ia tidak biasanya memakai gaun panjang seperti itu. Ia lebih suka memakai stelan Jeans dengan kemeja lengan pandek, atau dengan T-Shirt. Tapi, malam itu Monica memang benar-benar lain dari biasanya. Seolah-olah ia memang ingin membuat kejutan untuk Reo. Walaupun memang itu adalah bukan Monica yang sesungguhnya."
Pagi-pagi Reo memang cukup dibuat pusing oleh hilangnya Monica yang secara misterius itu. Padahal biasanya gadis itu selalu berpamitan sebelum pergi meninggalkan rumahnya. Tapi mengapa pagi itu tidak.
Demi meredam rasa pusing kepalanya, Reo segera turun ke lantai bawah. Ia ingin menghirup udara segar pagi itu. Begitu tiba di pintu depan, kepalanya malah bertambah pu
sing. la benar-benar merasa sangat heran pada keadaan pintu yang masih terkunci. Ia masih ingat benar, kalau memang ia sendiri yang telah mengunci pintu itu.
Aneh! Dari mana Monica keluar" Pintu ini masih terkunci. Apa mungkin dia keluar dari pintu belakang. Ah, mustahil Monica tidak hafal dengan pintu itu. Lagi pula untuk apa ia repot-repot ke belakang hanya untuk mencari pintu, sementara di ruangan depan ada. Apa mungkin Monica memang keluar lewat pintu ini kemudian Surip atau Marto mengunakannya kembali" Ah, lebih baik aku tanyakan kepada mereka. Reo membatin. ia masih tetap berdiri di depan pintu. Setelah puas membatin, barulah ia pergi dari sana. ia mengurungkan niatnya untuk menghirup udara segar. Ia ingin segera menjumpai kedua orang pembantunya.
Sebentar kemudian ia sudah sampai di ruang makan. Surip dan Marto sedang sibuk menyiapkan menu sarapan pagi itu. Mereka memang sudah terbiasa melakukannya, karena di rumah itu memang tidak ada pembantu perempuan. Bahkan mereka juga sudah terbiasa memasak dan membersihkan rumah. Mereka memang termasuk pria-pria yang sangat telaten.
Marto dan Surip tampak begitu terkejut melihat kehadiran majikannya yang tampak tergopoh-gopoh itu. Dan lagi tidak seperti biasa tuan mudanya bangun sepagi itu.
"Selamat pagi, Tuan Muda!" ucap kedua pembantu itu hampir serempak.
"Selamat pagi! Aku ingin bertanya sesuatu kepada kalian," sahut Reo Turangga, bagai tidak sabaran ingin menanyakan perihal kepergian Monica.
"Tentang apa, Tuan Muda?" Marto yang menyahut
"Siapa yang bangun lebih pagi di antara kalian?"
"Saya. Tuan Muda!" sela Surip yang memang selalu bangun paling awal di rumah itu.
"Mang Surip?" Reo menatap laki-laki bertubuh ceking itu dengan tajam.
"Benar, Tuan Muda! Ada apa?"
"Mamang yang membukakan pintu untuk Monica?"
Kening Surip tampak berkerut-kerut. Ia memang sudah mengenal Monica, karena gadis itu memang sudah sangat sering datang menjumpai tuan mudanya. Tapi kali ini ia benar-benar tidak tahu dengan kedatangan gadis itu semalam .Begitu pun halnya dengan Marto. Keduanya memang tidak tahu kalau malam tadi Monica ada di dalam rumah itu.
"Tidak, Tuan! Bahkan saya sama sekali tidak melihatnya," jawab Surip kemudian, setelah berhasil menekan perasaannya.
"Aneh!" gumam Reo, seraya mengerutkan keningnya dengan tajam.
"Ada apa. Tuan Muda?" tanya Marto yang agaknya mendengar gumaman tuan mudanya
tadi. "Ah, tidak! Tidak ada apa-apa, Reo segera beranjak pergi meninggalkan pembantunya. Ia tidak ingin kedua orang pembantunya itu tahu apa yang tengah dirasakannya. Marto dan Surip hanya geleng-geleng kepala melihat sikap majikannya yang demikian.
Reo bermaksud akan segera menuju kamarnya. Baru saja ia sampai pada anak tangga yang ketiga, tiba-tiba telinganya mendengar suara dering telepon. Reo menghempaskan napas berat. Hatinya merasa kesal juga karena ada yang menelepon sepagi itu. Meskipun demikian ia segera turun kembali. dan berjalan menghampiri bak telepon. Suara berdering berhenti ketika tangan Reo mengangkat alat komunikasi canggih itu.
"Hallo!" katanya membuka pembicaraan.
"Hallo!" sahut suara dari seberang sana. "Ini Nak Reo, ya?"
"He, eh! Benar. Siapa?"
"Tante, Re! Mamanya Monica. "
"Ada apa, Tante" Kok tumben-tumbenan menelepon, " hati Reo mulai diselipi oleh rasa heran. Jangan-jangan mamanya Monica ingin menanyakan perihal anaknya, pikirnya dalam hati.
"Monica, Re...! Monica!" suara mamanya Monica pedih, dan tangisnya pun mulai terdengar pula. Hal demikian tentu saja membuat Reo merasa semakin heran dan panik.
"Ada apa dengan Monica, Tante?" Reo penasaran.
"Monica! Monica"!"
"Apa yang terjadi dengan Monica, Tante!"
"Monica tewas di dalam kamarnya, Re!"
Hati Reo bagai tersambar oleh sebuah petir, mendengar kabar yang sangat mengenaskan itu. Tanpa sadar ia meletakkan gagang telepon di dalam baknya. Bagaimana mungkin ini, bisa terjadi" Bagaimana mungkin Monica diketemukan tewas di dalam kamarnya" Padahal tadi malam ia baru saja meniduri gadis indo itu. Dan bukankah dia pulang sepagi tadi"
Bergegas Reo menuju lantai atas. Ia ingin segera berganti pakaian. ia memang masih memakai piyamanya. Setelah mencuci muka di wastafel, ia pun segera berganti pakaian. Ia bergegas menuju garasi. Dan tanpa berpamitan kepada kedua orang pembantu setianya. ia segera menancap gas, menuju rumah kediaman Monica yang konon sudah tewas itu.
*** 7 Kedatangan Reo langsung disambut dengan siraman air mata oleh mamanya Monica. Hati Reo begitu iba menyaksikan kesedihan perempuan setengah baya itu. Matanya sudah tampak merah dan membengkak karena terlalu banyak menangis. Perempuan itu tidak peduli. begitu melihat Reo muncul ia langsung mendekap tubuh pemuda itu.
"Monica, Nak Reo!" rintih perempuan yang masih tampak cantik itu dalam tangis yang berkepanjangan.
"Tenanglah, Tante! Mungkin semua ini sudah takdir buat Monica!" hibur Reo sambil berusaha melepas dekapan perempuan itu. Beberapa orang yang mungkin sanak famili keluarga Monica tampak memperhatikannya.
Reo memapah mamanya Monica untuk didudukkan di atas kursi. Ia memang sudah akrab dengan perempuan itu. Meskipun Reo telah menolak cinta Monica, tapi ia tetap menjalin persahabatan dengannya. Bahkan Reo sudah kerap kali main ke rumah keluarga kaya itu. Makanya tidak heran kalau ia sudah sangat akrab dengan mamanya Monica. Bahkan kedua orangtua Monica mengira kalau Reo ada
lah pacar anaknya. Maka tidak heran juga kalau Reo segera diberi kabar perihal kematian Monica pagi itu.
Setelah membawa mamanya Monica duduk, Reo segera menuju kamar di mana Monica tewas. Beberapa orang polisi dan pihak keluarga sudah berada di sana. Tapi sejak tadi Reo tidak melihat papanya Monica. Mungkin laki-laki yang satu itu tidak sedang berada di rumahnya.
Sekujur tubuhnya terasa merinding ketika pandangannya jatuh pada jasad Monica yang sudah tidak bernyawa lagi. Ia melihat perut gadis itu sobek, persis terkena sayatan pisau yang sangat tajam. Bagian yang luka penuh dengan darah yang sudah tampak mengering. Hampir hampir saja Reo tidak percaya mengingat kenyataan yang demikian. Bagaimana mungkin semuanya bisa terjadi" Ia benar-benar masih ingat kalau tadi malam Monica telah datang ke rumahnya. Lantas mereka bercumbu habis-habisan malam itu. Dan pagi-paginya Monica menghilang....
Ah, bagaimana mungkin Monica akan mengalami nasib yang setragis ini. Aku masih dapat mengingat kehadiran Monica malam tadi. Dia masih tampak cantik, bahkan dia lebih anggun dari biasanya. Reo bagai tidak percaya. Batinnya masih tetap berkecamuk.
Ketika jasad Monica yang sudah menjadi mayat itu sudah akan dimasukkan ke dalam
kantung jenazah, tiba-tiba ingatan Reo tergugah pada keajaiban yang terjadi pada lukisan gadis itu. Ya! Tadi malam ia telah menyaksikan lukisan Monica yang penuh darah pada bagian perutnya. Aneh! Luka itu tampaknya hampir sama persis dengan luka pada mayat Monica yang dilihatnya tadi.
Tanpa sadar, bulu kuduknya terasa merinding. Kematian Sisca juga diawali oleh hal yang sama. Malamnya Reo menyaksikan lukisan itu jatuh, kemudian penuh dengan cipratan darah pada bagian lehernya. Dan keesokan harinya ia mendengar Sisca mati karena ada yang mencekik. Aneh sekali! Seolah-olah peristiwa yang terjadi selama dua malam ini merupakan wangsit dari kematian-kematian gadis gadis cantik yang telah dilukisnya.
Benar-benar sangat membingungkan. Benarkah kematian Sisca dan Monica karena ada Orang yang membunuhnya. Lalu mengapa keadaan kamar mereka masih tampak sangat utuh. Mungkin apa yang telah dikatakan oleh Gustap kemarin memang benar. Pembunuhan itu dilakukan oleh orang yang benar-benar profesionaL .Orang yang benar-benar pakar. Kalaupun jawabannya ya! Lantas apa yang menjadi motif dari pembunuhan itu..."
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya, Tante?" tanya Reo begitu tiba kembali di hadapan mamanya Monica. Mayat Monica sudah dibawa oleh pihak kepolisian untuk divisum.
"Entahlah, Nak Reo!" suara perempuan itu terdengar sangat patau. "Sudah beberapa hari ini memang Monica bersikap aneh. Dia selalu bercerita tentang mimpinya."
"Mimpi! Mimpi tentang apa, Tante?" Reo menatap paras cantik itu lekat-lekat, bagai ingin menembus kedalaman hati perempuan itu.
"Mimpi yang kedengarannya sangat aneh dan mustahil. Monica sudah menceritakannya lebih dari tiga kali kepada tante. Katanya... selama beberapa malam ia selalu memimpikan hal yang sama. ia bermimpi kepalanya telah ada yang memutarnya hingga putus dari leher. Seorang gadis telah datang ingin membunuhnya dengan memutar kepalanya itu," papar mamanya Monica dengan panjang lebar. Air matanya kembali tampak berderai-derai.
"Bagaimana penampilan gadis itu, Tante" Apakah Monica tidak menjelaskannya?" tanya Reo dengan hati yang terasa sangat perih.
"Monica menceritakannya, Nak Reo!" perempuan itu berkata setelah lebih dulu menyusut air matanya. "la mengatakan kalau gadis itu sangat anggun sekali! Tapi, Monica tidak dapat menggambarkan bagaimana wajah gadis itu. Cantik ataukah sangat menyeramkan baginya. Monica bilang, gadis yang menjelma dalam mimpinya itu seperti malaikat pencabut nyawa. ia datang begitu tiba-tiba, dan memuntir kepalanya hingga putus."
Reo mengerutkan keningnya. Mimpi yang
dialami oleh Monica itu memang sangat aneh kedengarannya. Terlebih mimpi itu dialaminya lebih dari satu kali. Keyadian seperti itu benarbenar irasional. Bahkan sangat mustahil sekali.
"Tante!" panggil Reo ketika sudah berhasil menekan arus perasaannya. Perempuan itu hanya mengangkat wajah, seraya menyusutkan air matanya yang terus memburai. Dan Reo segera melanjutkan kata-katanya.
"Apakah tadi malam Monica keluar rumah" Maksud saya apakah Monica pergi jalan jalan meninggalkan rumah, Tante?"
Perempuan yang tengah dilanda oleh kedukaan itu menggelengkan kepalanya dengan lesu. "Sama sekali tidak, Nak Reo. Bahkan setelah kepulangannya dari rumahmu, ia langsung mengunci diri di dalam kamar. Katanya kepalanya pusing sore itu. Sebenarnya tante ingin memberi obat. tapi dia tidak mau."
Debaran-debaran di dalam hati Reo mulai terasa aneh. Bukan lagi meratapi kepedihan atas kematian Monica yang sangat tragis itu. Kali ini ia merasa benar-benar aneh. Kalau Monica benar-benar tidak keluar rumah malam itu, lantas siapa gadis yang ditidurinya itu" Gadis itu benar-benar adalah Monica dalam pandangannya.
Kerut wajah Reo mulai tampak jelas diliputi oleh rasa heran. lngatannya tertuju pada pergumulan yang dilakukannya tadi malam bersama Monica. Kalau gadis itu benar-benar tidak
pergi keluar, mungkinkah yang ditiduri olehku itu adalah arwahnya, pikir Reo dalam hati, Tanpa terasa bulu kuduknya berdiri meremang.
"Ada apa, Nak Reo?" tanya mamanya Monica memecah keheningan yang sudah berlangsung beberapa saat lamanya. Ia melihat dengan jelas kerutan yang terdapat di atas wajah Reo yang tampan'itu. Kerut kecemasan
"Ah... ti... ti... tidak, Tante! Tidak apaapa," sahut Reo terbata. Ia berusaha menutupi kegelisahannya dengan sebuah sunggingan senyum. Meskipun itu tampak sangat tawar.
"Oh, syukurlah!" desah mamanya Monica merasa lega. la merasa percaya pada apa yang telah dikatakan oleh Reo tadi.
Sebenarnya Reo ingin sekali menceritakan perihal kedatangan Monica malam tadi. Tapi entah mengapa, hatinya benar-benar merasa ragu. Ia merasa takut untuk menceritakan hal itu kepada mamanya Monica. Karenanya, sebelum keraguan hatinya memudar, ia segera ingin berpamitan pulang. Tapi belum sempat niat itu dilaksanakan, dari ruang dalam muncul si Bulgur yang menyalak dengan garang. Anjing pudel kesayangan almarhumah Monica itu tampak sangat galak sekali kepada Reo. Padahal biasanya ia sangat jinak kepada pemuda itu.
Menyingkap Karen 1 Rajawali Emas 16 Anting Mustika Ratu Ratu Tanpa Tapak 3

Cari Blog Ini