Lukisan Penyebar Maut Karya Maria Oktaviani Bagian 2
"Guk! Guk! Guk! " lidah si Bulgur menjulur panjang keluar. Sorot matanya tampak beru
bah menjadi sangat buas. Reo jadi kecut juga melihatnya.
"Hai, Bulgur! itu Oom Reo! Kau lupa ya?" kata mamanya Monica, seperti layaknya kepada manusia.
"Guk! Guk! Guk!" salak Bulgur tidak peduli pada kata-kata induk semangnya.
"Bulgur! Kemari, Sayang!" mamanya Monica menjulur-julurkan tangannya.
Bulgur tidak peduli. la kembali mengguguk. Agaknya ia benar-benar benci kepada Reo. Untung saja ketika ia akan melompat menerkam pemuda itu, dengan cepat mamanya Monica menangkapnya dan membawa ke dalam pelukan. Anjing pudel itu kembali mengguguk-guguk dalam pelukan induk semangnya.
"Husy! Diam dong, Sayang! Kan berisik!" ucap mamanya Monica, seraya membelai anjing kesayangan almarhumah putrinya yang semata wayang itu dengan lembut. Tapi pudel itu tetap menyalak garang.
"Mungkin Butgur ingin mengusir saya, Tante!" ucap Reo bercanda. Meskipun sebenarnya ia benar-benar merasa tidak enak pada perubahan sikap anjing pudel itu. Memang tidak seperti biasa Bulgur bersikap garang kepadanya. Biasanya pudel itu penuh kemanjaan. Apakah mungkin ini disebabkan karena akhir akhir ini Reo sangat jarang berkunjung ke rumah almarhumah Monica..."
"Ah, Nak Reo bisa saja! Bulgur mungkin
sedang marah karena kehilangan Monica," perempuan yang tengah dilanda oleh kedukaan itu menyunggingkan senyumannya yang lembut. Pudel itu masih tetap menyalak dalam pelukannya.
"Bulgur mengira kau yang telah menyembunyikan Monica dari penglihatannya," tambahnya kemudian.
"Tapi Bulgur tidak boleh dibiarkan terus menyalak begitu, Tante! Bisa-bisa langit-langit ruangan ini ambrol. Saya memang harus segera minta pamit, Tante!"
"Tapi bukan karena si Bulgur yang berubah menjadi konyol ini kan?"
Reo berusaha menyunggingkan senyumnya yang masih tetap tawar. Bulgur masih tetap menyalak, tanpa seorang pun tahu apa yang telah menjadi penyebabnya.
*** Pulang dari rumah Monica kepala Reo benar-benar terasa sangat pusing. Hampir saja mobilnya menyerempet sepasang muda-mudi pelajar SMA yang tengah bergandengan di pinggir jalan. Ia sempat mendapat makian dari pemuda yang merasa terganggu keasyikan nya itu. Reo tidak peduli, meskipun pemuda centil itu memberikan berbagai macam julukan kepadanya, Sompret! Sundel! Buta! Ah, perse
tan dengan semuanya, pikir Reo dalam hati.
Tiba di rumah, sebenarnya Reo ingin segera merebahkan tubuh. Ia ingin mengusir kepenatan. Tapi di luar dugaan, ternyata Gustap sudah menunggunya di ruang tamu. Dan dengan berat hati ia terpaksa harus meladeninya.
"Dari mana kau, Re !" sapa Gustap begitu Reo menghenyakkan pantat di hadapannya.
Dengan lesu Reo menjawab, "Dari rumah Monica!"
"Sepagi tadi" Ada hal yang penting rupanya antara kau dengannya?" desak Gustap dengan kening yang tampak berkerut-kerut .Ia melihat wajah Reo yang tampak muram.
"Monica telah tewas. Gus! "
"Apa" Kau bilang apa, Re!" mata Gustap terbeliak lebar. Mulutnya membentuk hurup 0. la bagai tidak percaya pada kata yang diucapkan oleh Reo tadi.
"Monica telah terbunuh di dalam kamarnya," ulang Reo dengan tekanan suara yang datar.
Ketegangan pada tubuh Gustap bagai mengendur. la terkulai di atas sandaran kursi. Barulah beberapa saat kemudian ia dapat bertanya. "Apa yang telah terjadi dengannya, Re!" "Sama seperti halnya Sisca. Kematian Monica juga terjadi di dalam kamarnya. Dan agaknya juga dia mati karena dibunuh oleh se
seorang, " papar Reo dengan suara yang masih tetap datar. "Anehnya! Kamar Monica juga tidak tampak rusak seperti kamar Sisca yang kau ceritakan itu."
"Ini benar-benar gila, Re! Bukan tidak mungkin pembunuhan ini dilakukan oleh 0rang yang sama. "
"Ya! Mungkin apa yang kau perkirakan itu memang benar. Tapi apa kira-kira yang menjadi motif dari pembunuhan-pembunuhan yang berantai itu?"
Gustap mengerutkan keningnya. Sulit memang untuk dapat menduga apa yang menjadi motif dari pembunuhan yang terjadi atas kedua orang gadis yang cantik itu. Mereka tampaknya gadis yang baik_baik. Pandai bergaul. Jadi tidak mungkin mereka mempunyai musuh.
"Bagaimana, Gus" Apakah kau dapat memperkirakannya?" tanya Reo dengan suara yang datar tapi cukup untuk memecahkan keheningan yang sudah berlangsung beberapa saat"
Gustap menghempaskan napas berat, seraya memandang sayu, "Bukan tidak mungkin ini adalah persoalan keluarga. Dan mereka mereka itu yang telah menjadi korban. "
"Maksudmu, Gus?"
"Yah! Semacam balas dendam. Bukan tidak mungkin ada seseorang yang menyimpan dendam kepada keluarga mereka, lalu menyewa seorang pembunuh bayaran untuk memba
yar dendamnya itu. Dan justru yang menjadi sasaran adalah Sisca dan Monica," papar Gustap membuat perkiraan.
Reo terdiam. Memang, apa yang diperkirakan oleh Gustap itu bisa saja terjadi, meskipun sangat kecil kemungkinannya. Keluarga Monica dan Sisca memang tergolong kaum milyader. Jadi kemungkinan ada yang menyimpan api dendam terhadap keberhasilan mereka itu. Misalnya karena merasa sakit hati dalam urusan bisnis. lantas mereka melampiaskan dendamnya itu pada kedua putri jutawan tersebut.
Meskipun secara faktual Reo dapat mendukung apa yang diperkirakan oleh Gustap itu, tapi dalam hati kecil sebenarnya ia menolak .Ia melihat ada kesan yang sangat aneh yang terjadi di balik pembunuhan-pembunuhan yang tragis itu. Kejadiannya memang selalu ditandai oleh hal-hal yang irasional. Dan itu benar-benar dirasakan oleh Reo. Seperti jatuhnya kedua lukisan gadis itu. Lalu percikan-percikan darah tampak sangat misterius, dan kejadian pada saat Reo melukisnya.
Ingin sekali sebenarnya Reo menceritakan semua kejadian itu kepada Gustap. Tapi entah mengapa, ada sesuatu yang bagai mengganjal di dalam hatinya. ia benar-benar merasa ragu. Dan justru ia benar benar tidak dapat menekan keragu-raguan itu. Memang sangat aneh sekali! Tapi agaknya memang ada kekuatan yang telah membuatnya demikian.
"Tapi memang, kematian Sisca itu seperti terjadi di balik sesuatu yang sangat aneh, Re!" kata Gustap bagai bergumam pada dirinya sendiri. Suaranya yang pelan itu memecah keheningan yang tengah berlangsung. Entah sadar atau tidak Gustap mengatakan itu.
"Maksudmu, Gus?" Reo bagai tersentak.
"Sebelum kematian itu menimpanya, konon katanya Sisca selalu mengalami mimpi yang sangat menyeramkan. la pernah menceritakan tentang mimpinya itu kepadaku."
"Bagaimana mimpi itu, Gus?" kening Reo berkerut-kerut dengan tajam. Ia masih ingat benar pada kata-kata yang dipaparkan oleh mamanya Monica. Gadis indo itu juga mengalami hal yang sama sebelum kematiannya.
"Sisca bermimpi telah dijumpai oleh seorang gadis yang kemudian memuntir kepalanya hingga putus. Mamanya Monica juga telah menyinggung-nyinggung tentang mimpi itu Kejadiannya memang benar-benar sangat aneh. Dua hari sebelum kematiannya, dua hari berturut-turut Sisca mengalami mimpi yang serupa. Dan anehnya, Sisca justru tidak mengenali gadis yang muncul dalam mimpinya itu."
Bulu-bulu pada tengkuk kepala Reo berdiri meremang. Apa yang dialami oleh Sisca benar benar sama persis dengan kejadian yang dialami oleh Monica sebelum kematiannya.
Reo mulai merasa yakin kalau di dalam
. Rumahnya kini telah terjadi sesuatu yang sangat aneh. Tapi ia tidak mau membuat dugaan, apa yang telah menjadi penyebab dari keanehan keanehan itu. ia juga tidak mau menceritakan kejadian-kejadian aneh yang dialaminya kepada Gustap. Keragu-raguan itu sudah benar-benar bersemayam dalam lubuk hatinya.
Pergulatan batin Reo semakin berkecamuk. Begitu Gustap sudah berpamitan pulang, ia langsung menuju ruang tempat menyimpan lukisan-lukisannya. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat lukisan Monica yang sengaja dipampangnya di atas dinding. Lukisan itu sudah menghablur. Wajah Monica sudah tidak tampak lagi. Lukisan itu hampir tampak sebagai sebuah lukisan abstrak. Warna-warnanya sudah menjadi satu, seperti tersiram oleh satu liter minyak tanah.
Reo bagai tidak percaya melihat kenyataan itu. Bagaimana mungkin hal tersebut dapat terjadi" Mengapa lukisan itu dapat menghablur warna-warnanya" Adakah seseorang yang telah menyiram lukisan itu dengan minyak tanah" Atau paling tidak dengan satu ember air. Ah, benar-benar sangat aneh sekali! Rumah ini agaknya telah dihuni oleh setan, pikir Reo dalam hati.
Agak lama juga ia berdiri terpaku di hadapan lukisan itu. Jantungnya berdebar-debar dengan kencang. Hatinya benar-benar tercekam oleh perasaan aneh yang bercampur dengan
rasa takut. Kendatipun demikian, Reo masih sempat juga bergumam pada diri sendiri, Mungkinkah kejadian seperti ini pun terjadi pada lukisan Sisca yang masih aku simpan di dalam kamarku itu"
Demi meyakinkan perkiraan yang timbul di dalam hatinya, bergegas Reo pergi dari ruangan itu. Begitu tiba di dalam kamarnya, ia kembali terperangah. Kejadiannya benar-benar sama persis dengan keganjilan yang baru saja disaksikannya tadi. Lukisan Sisca juga mengalami hal yang sama dengan lukisan Monica.
Aneh sekali! Rumah ini sudah benar-benar diliputi oleh keganjilan. Entah apa yang menyebabkannya. Aku benar-benar tidak dapat membuat dugaan.
Baru saja ia bergumam begitu, tiba-tiba telinganya mendengar suara benda jatuh.
Brakkk! la tersentak dan berpaling pada arah datangnya suara. Agaknya ada benda jatuh di lantai bawah sana.
Bergegas Reo keluar untuk melihat apa yang terjadi di lantai bawah. Suara tadi bukan bersumber dari ruangan tempat menyimpan lukisan-lukisan, tapi dari ruang depan. Begitu tiba di sana, ia menjadi terperangah. Ternyata suara itu bersumber dari lukisan gadis bule yang jatuh dari gantungannya.
Rasa takut kembali menyergap relung hati Reo Turangga. Keningnya mulai berkerut-kerut
dengan tajam, bagai tengah memikirkan apa yang menjadi penyebab hingga lukisan itu terjatuh. Tapi benar-benar buntu. Di ruangan itu tidak ada siapa-siapa. Yang ada hanya dirinya seorang. Bahkan hembusan angin pun tidak ada. Aneh! Lalu apa yang menyebabkan hingga lukisan itu terjatuh."
*** 8 "Ada apa, Tuan?" tanya Surip yang baru saja muncul dari dalam. Tidak ada jawaban. Tetapi ketegangan wajah Reo sudah cukup memberikannya jawaban. Ia turut pula memandang ke arah lukisan misterius itu. Tiba-tiba saja rasa takut bagai menyergap.
"Lukisan itu memang aneh, Tuan Muda! Lebih baik kita kembalikan saja ke tempatnya yang semula," tutur laki-laki ceking itu, seraya memandang nanar.
Reo tersentak dalam degup jantung yang kian berpacu. Hati kecilnya membenarkan apa yang diucapkan oleh Surip tadi. Bahkan jauh sebelum itu ia sendiri sudah merasakan keanehan pada lukisan gadis bule itu. Tapi entah mengapa, ia selalu saja memupus keyakinannya sendiri, meskipun ia sendiri pernah juga merasakan takut kepada lukisan itu.
"Lukisan ini seperti menyimpan kekuatan tersendiri, Tuan Muda!" suara Surip lirih bagai memecah keheningan yang sudah berlangsung beberapa saat lamanya itu. "Lukisan itu seperti menyimpan kekuatan gaib."
Tanpa sadar Reo mengerutkan keningnya. Wajahnya mulai diukir oleh kerutan rasa heran
kembali. Maksud, Mang Surip?" tanyanya kemudian. seraya menatap tajam.
"Beberapa kali saya melihat keanehan yang terjadi pada lukisan itu, Tuan Muda!" Surip membalas tatapan itu dengan teduh. "Saya pernah melihat gadis di dalam lukisan itu seperti hidup. Matanya yang biru itu pernah memandang saya dengan tajam. Dan ketika dua malam yang lalu saya ingin memeriksa pintu... saya melihat bingkai lukisan itu menjadi gelap. Yah! Ya! Gadis itu bagai telah keluar dari dalam lukisan. Benar-benar aneh sekali, Tuan Muda! Bulu kuduk saya menjadi merinding ketika itu. "
Ternyata bukan hanya bulu kuduk Surip saja yang merinding. Bulu kuduk Reo juga merinding karena mendengar penuturan itu. Ia mulai mencoba membangkitkan keyakinannya. Lukisan itu memang telah menjadi sumber keanehan-keanehan di dalam rumahnya. Bahkan agaknya lukisan itu pula yang telah menjadi wangsit kematian Sisca dan MOnica. Ah, ada apa sebenarnya yang tersembunyi di balik keindahan lukisan tersebut"
Reo memang agak lama terdiam karena dibawa oleh arus perasaannya. Karenanya kemudian Surip bertanya,
"Bagaimana. Tuan Muda" Lukisan itu lebih baik kita pindahkan saja ke tempatnya yang semula."
Suara lirih membuat Reo tersentak dari ge
jolak perasaannya. Ia mencoba mempertimbangkan usulan Surip itu matang-matang. Memang tidak ada salahnya kalau lukisan itu dipindahkan dulu ke dalam gudang tua yang ada di belakang rumah. Hal ini dapat dilakukan sebagai langkah untuk membuktikan kebenaran keyakinan yang timbul di dalam dadanya. Apakah benar lukisan itu yang telah menjadi sumber keanehan-keanehan"
Sebelum lukisan gadis bule itu diketemukan oleh Surip dan Marto, rumah Reo memang tidak pernah mengalami kejadian yang irasional. Anggapan itulah yang kemudian membuat Reo semakin yakin kalau memang lukisan gadis bule itulah yang telah menyebabkannya. Yah! Lukisan itulah yang menjadi penyebab terjadinya keanehan-keanehan di dalam rumahnya. Tapi ada satu hal yang membuat Reo merasa bingung. Ternyata ia sendiri harus berpikir secara irasional! Ternyata ia harus percaya pada umpan Surip kalau lukisan itu telah menyimpan sebuah kekuatan magis. Ah, persetan! Yang jelas aku ingin membuktikan kebenaran kata-kata itu, pikir pelukis muda yang komersil itu dalam hatinya.
"Kau mungkin benar, Mang! Lukisan itu memang harus dikembalikan ke dalam gudang. Dia mungkin tidak senang karena dipindahkan dari tempatnya," katanya kemudian setelah benar-benar matang dengan pertimbangannya.
Hati Surip merasa lega. Ia segera melangkah menghampiri lukisan. Reo masih berdiri terpaku. Ia benar-benar merasa bingung dengan pola pikirnya yang sudah berubah menjadi irasional. Tapi kemudian ia mencoba menekan perasaan. Yang jelas, saat ini ia hanya ingin membuktikan kebenaran dari keyakinan yang timbul di dalam hatinya itu.
*** Kematian Monica benar-benar sangat mengganggu pikirannya. Hal itulah yang agaknya telah membuat lupa janjinya kepada Regina, gadis bermata teduh itu. Reo baru sadar akan janjinya ketika sore itu Regina datang ke rumahnya.
"Selamat sore, Mas Reo!" ucap gadis bermata teduh itu saat Reo baru membukakan pintu untuknya.
Reo benar-benar tersentak. la benar-benar tidak menduga kalau hari itu Regina bakal datang ke tempatnya. Dan ketika itu ia baru ingat akan janji Karena gugup ia jadi lupa menyahut salam yang terlontar dari dalam mulut yang indah itu.
"Silakan masuk, Gin!" hanya itu kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya kemudian.
"Terima kasih!" sahut Regina dengan kening yang tampak berkerut-kerut. Ia merasa
kan kelainan sikap Reo sore itu.
"Duduk, Gin!" Regina tidak menyahut lagi. Ia segera menghenyakkan pantatnya. Matanya yang tajam itu menjadi redup, melihat sikap Reo yang tampak tidak luwes seperti biasanya.
Kerut wajah Reo memang tampak dengan jelas diliputi oleh kegundahan. Sikapnya kelihatan serba cangung. Beberapa kali ia menghempaskan napas berat. Lantas mengeluarkan bungkus rokok dari dalam sakunya, dan mengeluarkan isinya sebatang. Tapi kemudian tidak dinyalakan. la hanya menimang-nimangnya saja.
Dari rumah Regina telah membawa setumpuk kemarahan di dalam hatinya. Ia ingin bertanya, mengapa Reo sampai ingkar dari janji .Tapi karena melihat sikap Reo yang demikian, kemarahan itu tiba-tiba jadi lumer. Bahkan Regina merasa iba melihat sikap dan keadaan Reo yang demikian.
"Ada apa sih, Mas Reo?" akhirnya Regina memberanikan diri untuk bertanya. Ia merasa tidak enak terlalu lama berdiam diri sementara Reo pun melakukan hal yang sama.
Reo bagai tersentak .la memandang bola mata yang bening itu dengan teduh. Hatinya benar-benar merasa tidak enak karena janji itu. Ia tahu kedatangan Regina pasti karena janjinya. Gadis itu pasti ingin menagih janji .Tapi ia tidak mungkin dapat memenuhi janjinya itu
sekarang. Dan sebenarnya dalam hati kecil, ia merasa bersyukur karena janji itu telah diingkarinya. Kalau tidak! Mungkin Regina pun telah mengalami nasib yang sama dengan Sisca dan Monica.
Entah mengapa hingga keyakinannya itu timbul dalam hatinya" Tapi agaknya mimpi mimpi yang telah dialaminya selama ini cukup memberikan alasan. Ya! Reo memang berturut-turut bermimpi hal yang sama. Sebelum melukis Sisca dan Monica ia memang telah bermimpi berjumpa dengan seorang gadis yang memberikan sebuah kuas untuk melukis kepadanya. Sama seperti halnya mimpi yang dialami oleh Sisca dan Monica. ia juga sangat sulit untuk mengenali gadis itu. Dia benar-benar tampak sangat misterius sekali.
Semula Reo menganggap mimpinya itu sebagai suatu hal yang wajar. Bahkan ia tidak menggubrisnya sama sekali. Tapi sebelum kedatangan Regina tadi, ia juga telah mengalami mimpi yang sama ketika tidur siang. Hal itulah yang membuat Reo merasa benar-benar cemas, takut kalau-kalau Regina akan menuntut janjinya dua hari yang lalu. Sebenarnya ia sendiri belum terlalu yakin kalau mimpi aneh yang dialami itu merupakan pertanda bagi kematian orang-orang yang dilukisnya.
"Ada apa sih sebenarnya, Mas Reo" Kau sakit" Atau mungkin habis bertengkar dengan pacarmu " tanya Regina lagi setelah agak lama
menunggu Reo membuka mulutnya. Pelukis muda itu tampak muram wajahnya.
Reo tersenyum tawar. Bola matanya kembali bertemu dengan bola mata milik Regina yang bening itu. Ah, ada kedamaian yang tersembunyi dalam telaga mata yang indah itu. Reo merasa yakin kalau gadis itu pasti akan dapat mengerti dengan keadaan yang tengah dialaminya.
"Aku nggak apa-apa, Gin! Aku nggak sakit," sahutnya kemudian.
"Kau pasti habis bertengkar dengan pacarmu. ya?" Regina cemburu.
Reo tersenyum. Kali ini tidak tawar lagi .Senyum simpulnya benar-benar mengembang "Aku nggak punya pacar! Aku tidak bertengkar dengan siapa-siapa!"
"Kok wajahmu muram begitu" Kayak monyet belum diberi makan!"
. "Aku memang pantas jadi monyet! Monyet yang mau mengajak kau jalan-jalan."
Regina tersentak. Mata elangnya memandang Reo dengan tajam. Reo merasa tidak enak menerima tatapan yang demikian. Tanpa sadar ia menundukkan wajahnya. Ia tahu kalau Regina merasa tersinggung pada ucapannya tadi. Dia pasti merasa dirinya telah dianggap sebagai gadis yang gampangan.
"Kau marah karena kata-kataku tadi, Gin?" tanya Reo masih menyembunyikan wajahnya.
"Aku datang kemari bukan untuk itu, Mas! Aku ingin menagih janji."
Wajah Reo terangkat. Matanya memandang paras Regina dengan teduh. Gadis itu membalasnya dengan teduh pula. Beberapa saat lamanya mereka menikmati kesyahduan itu. Hati mereka sama-sama merasakan debaran-debaran yang sangat aneh.
"Untuk itu pula aku ingin mengajakmu jalan-jalan, Gin!"
"Apa kaitannya" Dan apa pula maksudmu?"
"Aku tidak bermaksud apa-apa! Kau mau membantuku. bukan."
Regina mengerutkan keningnya. "Apa yang bisa aku bantu buatmu, Mas Reo?" suaranya melunak.
"Aku tidak mungkin mengatakannya di sini, Gin! A.. a... aku...," Reo ragu-ragu untuk melanjutkan ucapannya. Sinar matanya yang mulai berbicara, memohon kesudiaan Regina untuk memenuhi permintaannya.
Regina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Biar bagaimanapun ia tidak boleh kelihatan gampangan di mata Reo. Ia memang sudah kagum kepada pelukis itu sejak pertama kali berjumpa. Tapi untuk hal yang satu ini, ia harus berpura-pura merasa keberatan. lni demi menjaga prestisenya.
"Bagaimana, Gin" Kau tidak merasa kebe
ratan, bukan?" Reo membuka suaranya. "Aku benar-benar tidak bermaksud apa-apa kepadamu. Aku..., aku butuh tempat mengadu, Gin! Aku yakin, kaulah satu-satunya orang yang akan dapat mengerti perasaanku... mengerti keadaanku saat ini," suara Reo terdengar sangat lirih, penuh permohonan.
Regina merasa tersentuh hatinya. Ia mulai merasa yakin kalau Reo memang telah menghadapi sebuah persoalan yang sangat berat. Alangkah bahagia hatinya bila ia benar-benar dapat membantu menyelesaikan persoalan itu. Karena itu artinya ia telah berkorban untuk seseorang yang dikaguminya.
Regina mengangkat wajahnya, seraya memandang teduh. "Aku bersedia, Mas! Tapi aku mohon, jangan kau anggap aku sebagai gadis yang gampangan."
"Demi Tuhan! Aku tidak akan pernah menjatuhkan vonis sekejam itu pada gadis yang sebaik kau.
Reo tersenyum. Regina juga.
"Tunggu aku sebentar ya, Gin! Aku mau ganti baju dulu," kata Reo kemudian dengan dada yang diliputi oleh kegembiraan. Tanpa menunggu jawaban lagi, ia segera beranjak pergi menuju kamarnya. Tapi begitu tiba di sana ia benar-benar terkejut karena melihat sesuatu. Dalam seketika jantungnya jadi berdebar-debar aneh, meskipun debaran itu tidak seperti ketika ia berada dengan Regina tadi.
Matanya benar-benar harus membeliak lebar. la melihat lukisan yang berobyek gambar dirinya itu telah berubah. Pada tangannya memegang sebuah kuas yang bercucuran darah. Padahal semula dalam lukisan itu tangannya memegang sebatang rokok yang menyala. Reo sengaja membuat lukisan dirinya itu kira-kira satu tahun yang lalu. la masih ingat benar kalau dalam lukisan itu tangannya memegang sebatang rokok. bukan kuas yang berlumuran darah. Aneh! Mengapa tiba-tiba saja sekarang ia melihat perubahan pada lukisan itu. Dan siapa yang telah merubah batang rokok itu menjadi sebatang kuas yang mencucurkan darah itu"
Lukisan itu sudah benar-benar berubah! Padahal kemarin aku tidak melihat perubahan itu. Aneh! Siapa yang telah melakukannya. Bingkai lukisan itu memang tidak aku beri kaca, jadi mungkin memang ada seseorang yang telah merubahnya. Tapi siapa orang yang telah berani masuk ke dalam kamarku itu" Gumam Reo dengan jantung yang terus berdebar-debar dalam degupan yang sangat tidak teratur.
Meskipun bulu kuduknya meremang karena ingatannya mulai tertuju kepada lukisan itu, tapi Reo segera melangkah mendekati lemari pakaian. Ia tidak ingin diganggu oleh bayangan gadis bule itu. meskipun hati kecilnya sudah kembali dihinggapi oleh sebuah dugaan .Bukan tidak mungkin lukisan misterius itulah yang
kembali membuat keanehan.
Sementara itu di lantai bawah. Tepatnya di ruang tamu Regina baru menyadari kalau lukisan gadis cantik itu sudah tidak lagi terdapat di sana. Dalam hati ia merasa senang karena
tidak lagi perlu merasa takut .Bukankah pada saat pertama kali ia datang ke rumah itu, ia
sempat menyaksikan keanehan yang terjadi pada lukisan gadis bule yang sangat indah itu. Ketika itu ia benar-benar merasa takut hingga tanpa sadar bulu kuduknya merinding.
"Kita segera berangkat, Gin!" kata Reo yang muncul dari dalam. Suaranya yang datar membuat Regina tersentak dari lamunan. Hal demikian membuat Reo merasa heran.
"Hai! Ada apa denganmu?"
"Ah, tidak!" Reo menyunggingkan senyumnya yang lembut. "Aku sedang membayangkan sesuatu."
"Tentang?" "Tentang kau!" "Aku! Reo melongo, "Ada apa lagi kiranya denganku?"
"Aku takut vonis itu akan tetap kau jatuhkan."
"Ah, kau! Masih ragu" Perlu aku memberikan jaminan lagi?"
Regina kembali tersenyum lembut, "Tidak perlu! Yang penting aku bersungguh-sungguh, bukan?"
Reo mengangkat tangannya, seperti orang yang tengah mengucapkan sumpah. Dan katanya, "Aku berjanji!"
"Aku pegang janjimu, Mas Reo!" Regina segera melangkah. Reo mengikuti di belakang. Begitu tiba di luar gadis bermata elang itu bertanya,
"Kita kemana, Mas?"
"Bagaimana kalau ke Pantai Binana. Kau setuju, bukan?"
Regina mengangguk, seraya tersenyum simpul. Reo membalasnya. la bermaksud akan segera menuju ke garasi untuk mengambil mobil.
"Pakai mobilku saja, Mas!" Regina menahan kepergian Reo.
Reo mengangkat bahunya yang bidang "Okelah! Kalau kau tidak keberatan."
*** Pantai Binana di kala senja memang tampak indah. Air laut bagai berkilat-kilat diterpa cahaya matahari yang berwarna merah. Angin bertiup semilir, seirama dengan riak air yang memecah di bibir pantai Bahkan orang yang tidak romantis sekalipun akan berubah menjadi sangat romantis bila berada di tempat yang demikian.
Reo dan Regina yang baru saja tiba di tem
pat itu segera mencari tempat yang sekiranya dapat digunakan untuk berbincang-bincang secara tenang. Mereka memutuskan untuk duduk di bawah sebatang pohon kelapa dengan menghadap ke laut
"Kau pasti marah karena aku tidak dapat memenuhi janji untuk melukismu itu ya, Gin?" tanya Reo saat membuka pembicaraan. Suaranya yang datar membuat Regina harus berpaling dan menatap wajahnya. Kesunyian yang telah berlangsung beberapa saat bagai terpecahkan.
"Mulanya ya! Tapi ketika aku melihat kemurungan wajahmu, kemarahanku itu jadi melumer. Aku merasa iba untuk mencaci maki orang yang sedang dilanda kesedihan...." kata gadis bermata elang itu dengan suara yang lirih.
"Kau memang terlalu baik padaku, karena itu aku tidak merasa ragu untuk mengadukan persoalan yang tengah aku hadapi ini"
"Tampaknya sangat berat, Mas Reo?"
"Entahlah! Mungkin memang demikian," Reo memandang lepas. Seperti ingin mendapatkan ketabahan lewat riak gelombang yang memecah bibir pantai.
"Masalah apa sebenarnya yang tengah kau hadapi itu" Wanita" Atau mungkin ada seseorang yang ingin merusak karirmu?" Regina mencoba membuat dugaan, karena melihat Reo merasa ragu untuk menceritakan masalah
yang tengah dihadapinya. "Mungkin dua-duanya "
"Maksudmu?" "Lukisan itu. Gin! Kau tentunya pernah melihat lukisan yang aku pampang di ruang tamu di rumahku itu, bukan?" Reo berpaling memandang Regina dengan teduh.
"Iya, kenapa?" Regina balas memandang, seraya mengerutkan keningnya. "Itu lukisan pacarmu yah?"
"Ah. aku sudah bilang! Aku tidak punya pacar. Lukisan itu saja bukan aku yang buat," desah Reo sambil terus menggerutu.
"Lalu ada apa dengan lukisan itu, Mas' Mustahil benda mati itu dapat menimbulkan persoalan yang sangat berat buat kamu."
Reo menghempaskan napas berat, bagai mencoba mengusir keraguan di dalam hatinya. Setelah itu, barulah ia mau menceritakan keganjilan-keganjilan yang selama ini dialaminya. Juga tentang kematian Sisca dan Monica yang sangat aneh dan misterius itu. Regina mendengar cerita itu dengan penuh keseriusan. Keningnya tampak berkerut-kerut.
"Kau benar-benar yakin kalau lukisan aneh itu yang menjadi penyebabnya, Mas Reo?" tanya Regina begitu Reo mengakhiri ceritanya.
"Sebelum lukisan itu diketemukan, aku tidak pernah rasakan hal-hal yang ganjil"
"Lalu bagaimana dengan kematian kedua
orang gadis yang kau lukis itu?"
"Seperti yang aku katakan tadi... mereka selalu bermimpi hal yang sangat aneh. Mimpi tentang kedatangan seorang gadis yang memuntir kepala mereka hingga putus. Mimpi itu benar-benar persis sama. Dan aku sendiri juga bermimpi sebelum melukis mereka. Meskipun mimpi yang aku alami itu tidak sama. Aku benar-benar merasa yakin lukisan itulah yang telah menjadi penyebabnya. Ya! Pasti lukisan itu, " papar Reo dengan suara yang kedengaran berapi-api.
"Mengapa kau seyakin itu, Mas Reo?"
"Gadis yang muncul dalam mimpi-mimpi itu pastilah gadis yang terdapat dalam lukisan. Meskipun wajahnya tidak tampak jelas, tapi aku dapat meyakinkannya lewat gaun yang dipakai. Gaun itu putih bersih dan benar-benar persis sama. "
"Hanya itu sajakah?" Regina masih merasa ragu.
'Tidak! Bukan hanya itu," Reo memandang tajam. "Aku juga merasakan hal yang sangat aneh saat melukis mereka. Aku melihat wujud Sisca dan Monica berubah menjadi wujud gadis yang terdapat dalam lukisan itu. Yah' Selalu berganti-ganti. Dan malamnya aku melihat lukisan mereka penuh dengan percikan percikan darah."
Kerutan wajah Regina mulai tampak diliputi oleh rasa heran. Memang benar-benar sa
ngat aneh kalau sebuah lukisan saja dapat membuat peristiwa seperti itu. Tapi memang agaknya demikianlah kenyataannya.
Kelembutan sinar matahari senja bagai telah menghadirkan sinar kecemasan buat Regina. Hatinya mulai merasa semakin iba kepada Reo. Kalau saja ada seseorang yang tahu perihal kematian Sisca dan Monica, pastilah dia akan menuduh Reo yang telah menjadi penyebabnya. Dan bukan tidak mungkin hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kelanjutan karir Reo. Ah, ada apa sebenarnya dengan lukisan gadis cantik itu" Aku sendiri sudah menyaksikan keganjilan yang terjadi pada lukisan itu. Agaknya benda seni itu memang telah menyimpan sebuah kekuatan yang sangat aneh. Kekuatan yang benar-benar irasional, pikir Regina dalam hatinya yang tengah berdebar-debar aneh.
"Karena itu aku harus mengundurkan niat untuk melukismu. Gin!" ucap Reo memecah keheningan. Suaranya yang lirih membuat Regina tersentak dari lamunan. Dia memandang Reo dengan teduh.
"Aku tidak ingin kau harus mati seperti mereka. Aku... aku mencintaimu, Regina!"
Gadis bermata elang itu bagai tidak percaya mendengar bisik lembut itu. Hatinya begitu bahagia. Tanpa sadar ia menjatuhkan kepalanya di atas bahu Reo. Pelukis komersil itu membelai rambutnya dengan lembut. Lalu me
lumat bibirnya yang ranum itu. Riak ombak yang memecah bibir pantai bagai telah menjadi saksi bersatunya hati kedua insan itu.
*** suara deru mesin mobil di luar pagar halaman membuat Gustap tersentak. Ia segera bangkit dan melongokkan wajahnya di balik pintu. Lantas ia pun tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dari mana kau, Re?" tanyanya begitu Reo sudah tiba di hadapannya.
"Mesti aku dulu yang bertanya kepada kau. Sudah lama kau di sini, Bung?" bantah Reo sambil kemudian balas bertanya.
"Lama juga! Aku lihat tadi kau diantar sama gadis. Siapa dia, Re?"
"Kali ini kau nggak perlu tahu!"
"Istimewa rupanya."
"Lebih dari itu. Hai! Ada perlu apa kau datang sore-sore begini?"
"Ada rejeki buat kamu!"
"Ah, rejeki macam mana lagi. "
"Aku bawa kenalanku kemari. Dia mau dilukis sama kau. "
Reo bagai tersentak. Seketika kerut wajahnya berubah menjadi keruh. Bagaimana mungkin ia dapat memenuhi permintaan kenalan Gustap itu. Hatinya merasa was-was kalau-kalau peristiwa yang telah menimpa diri
127 Monica dan Sisca itu akan kembali terjadi.
"Cepatlah, Re! Dia minta lukisan itu dapat diselesaikan sore ini juga," Gustap memegang pundak Reo, karuan saja hal demikian membuat pelukis muda itu tersentak.
"Sejak kapan aku menunjuk kamu jadi makelar, Gus!" Reo ingin melangkah ke dalam. Dengan cepat Gustap mencegahnya.
"Kau jangan bikin malu aku!" Gustap bagai berbisik. Matanya melirik ke ruang tamu, kalau-kalau suaranya akan dapat didengar oleh kenalannya yang mau dilukis itu.
"Aku sedang malas, Gus! Lain hari saja deh," bantah Reo sambil menyipitkan matanya.
"Kali ini saja, Re! Mereka benar-benar menginginkan dilukis sekarang. Besok pagi seorang kemenakannya dari Amerika akan pulang. Mereka ingin memberikan lukisan itu sebagai bingkisan."
"Tapi...!" "Ah, sudahlah, Re! Yang ini sudah benarbenar telanjur. Aku nggak bakalan lagi-lagi jadi makelar lukisan. Aku kapok! Tapi kali Ini aku benar benar minta tolong padamu."
Kebimbangan menyergap relung hati Rao. la benar benar merasa bingung untuk memenuhi permintaan kawannya itu. ia sudah merasa yakin kalau lukisan misterius itu memang telah membawa sial buat dirinya. Kalau saja la
memenuhi permintaan Gustap itu, bukan tidak mungkin keadaannya menjadi serupa dengan Sisca dan Monica.
"Ayolah, Reo! Tunggu apa lagi" Jangan kau bikin malu aku di hadapan eksekutif itu!" Gustap kembali memegang bahu Reo. Kali ini mengajak dia masuk. Dan dengan berat hati Reo menurutinya.
Di ruang tamu itu ada seorang laki-laki berusia setengah baya dengan pakaian yang cukup perlente. Di sampingnya duduk seorang perempuan cantik dengan potongan wajah yang kebarat-buatan. Agaknya mereka itu adalah suami-istri.
"Perkenalkan! lni Reo, pelukis yang saya ceritakan itu, Tuan Burhan," kata Gustap begitu tiba di hadapan kedua orang tamu itu. Reo terpaksa tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. Tuan Burhan menjabatnya dengan erat.
"Anda seorang pelukis yang hebat, karena itulah saya datang kemari," katanya sambil tersenyum simpul.
"Ah, Tuan terlalu memuji."
"Tidak! Yang jelas, kami ingin Bung lukis sore ini juga. Besok seorang kemenakan kami akan pulang ke Amerika. Kami ingin memberikan lukisan itu sebagai bingkisan," papar Tuan Burhan dengan suara yang kedengaran cukup berwibawa.
"Kemenakan kami itu akan pulang pukul
tujuh pagi. Ikut penerbangan Garuda yang pertama," sela istri Tuan Burhan dengan suara yang sangat lembut.
Reo benar-benar merasa sangat bingung Agaknya sangat sulit baginya untuk menolak permintaan sepasang suami-istri itu. Alasan mereka nampaknya benar-benar cukup kuat.
"Bagaimana, Bung Reo" Bisa segera kita mulai?" tanya Tuan Burhan. Suaranya yang berat itu membuat Reo tersentak dari lamunan.
"Oh, maaf!" Reo tersenyum tawar, "Hari ini sebenarnya saya tidak ada hasrat untuk melukis. Jadi... apakah tidak ada cara atau benda lain yang lebih berharga untuk dijadikan bingkisan buat kemenakan Anda itu... maksud saya selain dari lukisan itu?"
"Oh, banyak! Tapi kali ini saya benar-benar ingin membuat kejutan buat kemenakan kami sepulangnya nanti ke negeri Paman Sam itu." Tuan Burhan menandaskan. "Kami benar-benar menginginkan lukisan Anda... maksud saya kesudian Bung untuk membuat lukisah kami sore ini juga!"
Permohonan Tuan Burhan kedengaran cukup meyakinkan. Dan entah mengapa tiba tiba saja kebimbangan dalam hati Reo jadi lenyap bagai tertiup oleh hembusan angin. Apalagi kalau ia ingat pada kata-kata Gustap yang tidak ingin dipermalukan di hadapan elsekutif itu. Ditambah lagi dengan ingatannya yang mulai tergugah pada lukisan gadis bermata biru. Bu
kankah lukisan itu sudah kembali disimpan di dalam gudang belakang" Ah, rasanya tidak mungkin benda itu akan kembali membuat keganiilan. Bukankah selama tersimpan di dalam gudang benda itu tidak pernah membuat keganjilan" Agaknya lukisan itu mungkin memang lebih suka tinggal bersama barang barang rongsokan itu, pikir Reo dalam hati.
Keyakinan Rao bahwa peristiwa yang telah menimpa diri Monica dan Sisca tidak akan terulang pada diri Tuan Burhan dengan istrinya semakin kuat saja, tatkala ia sudah mulai menggoreskan kuasnya. Reo tidak lagi merasakan keanehan seperti pada saat melukis Sisca dan Monica. Wajah gadis bule yang berada dalam lukisan itu tidak lagi mengganggunya. Reo benar-benar merasakan kewajaran dalam melukis. Kurang dari satu jam kemudian ia sudah berhasil menyelasaikan lukisan itu.
"Bung Reo memang benar-benar mahir dalam mengekspresikan obyek. Lukisanmu benar-benar tampak hidup!" kata Tuan Burhan sebelum pamitan pulang. Agaknya ia benar benar merasa puas melihat hasil lukisannya.
"Terima kasih, Tuan! Mudah-mudahan dilain hari Tuan akan kembali datang untuk membuat lukisan yang baru."
"Oh, tentu... tentu, Bung Reo !" Tuan Burhan tersenyum lebar. Ia segera memeluk bahu istrinya. "Kami harus segera pulang. Kami harap pagi esok sekali lukisan itu sudah diantar
ke rumah." "Pasti, Tuan!" Reo tersenyum simpul.
"Mari, Bung Reo!" kata Nyonya Burhan sebelum benar-benar pergi meninggalkan rumah itu.
"Kau tidak ikut pulang, Gus?" tanya Reo begitu sepasang suami-istri itu benar-benar sudah pergi dari rumahnya.
"Ngusir rupanya kau?"
"Nggak sih! Tapi kamu kan yang antar mereka kemari... harusnya kamu juga antar mereka pulang dong!"
"Mereka toh nggak bakalan kesasar! Adaada saja kau ini. Ngomong-ngomong, rupanya kau sudah merasa bosan pada lukisan itu?" bantah Gustap, kemudian melontarkan pertanyaan.
"Lukisan yang mana?"
"Lukisan gadis bule itu!"
"Oh... sudah kujual!" bohong Reo. Ia tidak ingin Gustap tahu kalau lukisan itu saat ini sudah disimpan kembali di dalam gudang.
"Jangan bohong kau. Re!" kata Mang Surip lukisan itu kau suruh disimpan di tempatnya yang semula. Dalam gudang yang pengap itu," bantah Gustap yang agaknya sudah tahu perihal lukisan itu.
"Kalau kau sudah tahu kenapa musti bertanya?" sahut Reo setelah lebih dulu tersentak oleh kata-kata Gustap tadi.
sayang sekali, Re! Lebih baik kau jual saja lukisan itu padaku .Aku benar-benar menyukai lukisan itu. "
"Terserah apa katamu! Aku tidak ingin memajang lukisan itu di dalam rumah ini. dan aku juga tidak ingin menjualnya kepada siapa pun. Tidak terkecuali kau!" tandas Reo. Ia benar-benar tidak menginginkan Gustap tahu perihal lukisan misterius itu. Ia tidak ingin menceritakan keanehan-keanehan yang telah dialaminya.
Mendengar kata-kata Reo yang berapi api itu Gustap terpaksa harus angkat bahu. ' Okelah kalau memang kau telah mengambil keputusan yang demikian. Tapi aku harap keputusanmu itu segera kau rubah. Re! Sayang sekali kalau lukisan yang indah itu kau biarkan Jadi barang rongsokan."
Sepulang Gustap, Reo langsung menuju kamarnya. Barusan tadi ia sudah menyuruh Surip dan Marto untuk memindahkan lukisan yang dibuatnya ke dalam ruang Penyimpanan.
Begitu membuka pintu kamarnya, pandangan Reo langsung tertuju pada lukisan yang berobyek dirinya itu. Ia benar-benar terperangah. Lukisan itu ternyata tidak tampak seperti tadi sebelum ia pergi jalan-jalan bersama Re
gina. Lukisan itu kembali tampak seperti semula. Tangan Reo yang memegang kuas berlumur darah itu kembali tampak memegang sebatang rokok Aneh! Padahal tadi dengan jelas Reo melihat lukisan Itu memegang sebatang kuas yang berlumuran darah.
"Nampaknya tadi mataku sudah berbalik. Tadi aku dengan jelas melihat lukisan itu berubah. Tapi sekarang. aku melihatnya seperti sediakala. Benar-benar sangat aneh! Atau mungkin memang mataku saja yang salah melihatnya," gumam Reo seraya menggelengkan kepalanya sampai tiga kali. ia segera masuk dan merebahkan tubuh di atas tempat tidur.
Meskipun malam itu hatinya sempat gelisah karena memikirkan perihal lukisannya, tapi Reo benar-benar tidak merasakan keanehan apa-apa. Telinganya tidak lagi mendengar suara-suara yang mendesis. juga suara-suara langkah kaki yang sangat lembut itu. Sampai jauh malam Reo juga tidak mendengar suara lukisan yang jatuh. Malam itu suasana rumah benarbenar sangat hening.
Beberapa kali Reo membuka lubang telinganya lebar lebar. mencoba meyakinkan kalau suara-suara aneh itu memang tidak lagi didengarnya. Yang ada hanyalah keheningan .Dalam hati kecilnya, Reo merasa sangat lega. Peristiwa ganjil yang telah menimpa Sisca dan Monica agaknya tidak akan terulang lagi. Pertanda dari kematian itu tidak lagi tampak ada.
Tetapi dalam keadaan demikian, ternyata ada sesuatu yang berlangsung di luar dugaan Reo. Di luar rumah, tepatnya di bagian belakang, ada sesosok tubuh yang tengah berjalan mengendap-endap. Sosok tubuh itu berjalan menghampiri gudang tua di mana lukisan itu tersimpan, lalu membuka pintunya yang tidak terkunci itu. Ia mulai menyalakan lampu baterai yang dipegangnya. Dan ternyata pemilik sosok tubuh itu adalah Marto.
Entah apa sebenarnya yang ingin dilakukan oleh laki-laki berkumis tebal itu. Tapi dari sikapnya, cukup jelas kalau dia berminat kepada lukisan itu. Marto memang mulai mengarahkan baterainya ke setiap sudut ruangan untuk mencari lukisan itu. Ia memang telah tahu kalau Surip telah disuruh menyimpan lukisan itu di sana.
"Nah ! ltu dia lukisan itu," gumam Marto begitu lampu senternya jatuh pada benda yang tengah dicarinya. Aku harus segera mengambilnya. Malam ini juga, aku harus mengantarkan lukisan itu kepada Tuan Gustap. Dan aku akan menerima sejumlah uang yang telah dijanjikannya. Dan aku harus menutup mulut. Tuan Muda Reo tidak akan merasa curiga kalau lukisan itu telah hilang. Begitu pun halnya dengan Surip. Mereka akan tetap menganggap kalau aku selalu setia."
Dengan mengendap-endap, Marto segera melangkah menghampiri lukisan itu. Sore tadi
sebelum Reo tiba ia memang telah merencanakan pekerjaan itu bersama Gustap. Ia yang akan mencuri lukisan itu lalu memberikannya kepada Gustap. Dan Gustap akan memberikan sejumlah uang sebagai imbalannya. Agaknya dia benar-benar berminat kepada lukisan itu .
Dada Marto tampak turun naik. Sebentar lagi ia akan dapat mencapai lukisan itu. Sebelum sempat ia mencapainya, tiba-tiba saja ia terperangah. Hampir saja lampu senter itu jatuh dari dalam genggamannya. ia melihat kaca bingkai lukisan itu tiba-tiba berubah menjadi hitam pekat. Dan ujung bingkainya mengeluarkan gumpalan asap putih.
Sebelum sempat Marto menyadari keadaan yang tengah terjadi. Ia kembali dikejutkan dengan keanehan berikutnya. Gumpalan-gumpalan asap putih itu tiba-tiba berubah menjadi wujud seorang gadis cantik. Dan gadis cantik itu adalah gadis yang terdapat dalam lukisan Aneh sekali!
Tubuh Marto mulai bergetar dengan hebat. Debaran-debaran jantungnya tidak dapat dikendalikan lagi. Rasa takut sudah benar-benar menyergap. la bermaksud akan lari keluar. Tapi tanpa sadar tubuhnya menubruk meja tua yang berada di belakangnya. ia jatuh tersungkur.
Gadis bergaun serba putih itu tersenyum sinis. Marto dapat melihatnya dengan jelas. Bibir gadis itu menyunggingkan sepasang
taring yang sangat tajam dan runcing, meskipun lampu senter itu sudah tidak berada dalam genggamannya. Benda itu terjatuh bersamaan dengan tersungkurnya tubuh Marto tadi.
"Siapa kau?" tanya Marto dengan suara yang bergetar. Bulu kuduknya sudah benarbenar berdiri tegak. la berusaha untuk bangkit berdiri, tapi sosok gadis misterius itu segera saja menahannya. Dia berdiri persis di atas tubuhnya yang masih telentang.
"Siapa kau?" tanya Marto lagi, seraya mengingsut tubuhnya. Berusaha menjauh. Beberapa kali ia sempat menabrak bendabenda rongsokan, hingga menimbulkan suara yang berderak-derak. Tapi sosok misterius itu kembali mengikutinya.
Laki-laki berkumis itu benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bangkit dan berdiri. Sementara pintu gudang maSih jauh untuk dicapainya. Ia semakin ketakutan saja.
"Tolong! Tolong! Tolooong...!" teriaknya dengan suara yang lantang .Kesunyian di tempat yang pengap itu bagai pecah dalam seketika. Tapi tidak mungkin ada orang yang dapat mendengar teriakannya itu. Gudang tua itu seluruhnya tertutup. Tempat itu benapbenar tidak berventilasi. Apalagi tadi pintunya telah ditutup dengan rapat, ditambah dengan malam yang sudah sedemikian larut. Surip dan tuan mudanya pasti sudah tertidur pulas. Para tetangga juga tidak mungkin mendengarnya.
Lukisan Penyebar Maut Karya Maria Oktaviani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa kali Marto berteriak, tapi tidak juga ada orang yang datang menolongnya. Sementara itu, sosok gadis misterius itu tetap saja memburunya. Ia semakin panik. Beberapa kali ia melemparkan benda yang dapat diraihnya ke arah perempuan setan itu. Tapi lemparannya selalu saja menerpa ruang kosong. Gadis misterius itu selalu saja dapat menghindar.
Tindakan yang dilakukan oleh Marto, agaknya membuat gadis setan itu merasa jengkel. Setelah menyeringai dengan tajam, ia segera merenggut tubuh laki-laki berkumis tebal itu. Karuan saja hal demikian membuat Marto semakin bergetar hebat tubuhnya.
"Jangan-jangan! Jangan kau bunuh aku!" Marto menggeragap dalam ekSpresi yang benar-benar ketakutan. Matanya sudah berubah menjadi nanar.
Tangan gadis berwajah dingin itu meraih sebatang kayu tua bekas potongan kaki meja. la mengangkat benda itu tinggi-tinggi. Marto terperangah. Sebelum sempat ia berkata, secepat kilat gadis itu menghantamkan potongan kayu tua tepat di atas batok kepalanya.
"Aaa...!" pekik laki-laki berkumis itu menahan rasa sakit akibat pukulan. Kepalanya retak, menyemburkan darah bercampur dengan otaknya yang memburai.
Hanya sesaat saja Marto dapat menjerit Matanya terbeliak lebar, sebelum kemudian nyawanya melayang .Ia telah mati di tangan
gadis misterius itu. Gadis yang tidak lain merupakan Wanita jelmaan yang bersemayam di dalam lukisan misterius itu. Sebenarnya kejadian yang menimpa diri Marto hampir sama persis dengan kejadian yang menimpa Sisca dan Monica. Mereka juga telah mati di tangan jelmaan arwah itu. Siapakah sesungguhnya gadis yang berada dalam lukisan itu..."
Tuan Burhan dan istrinya memang tidak menemui nasib yang sama dengan Monica dan Sisca. Mereka tidak menemui kematian seperti kedua orang gadis itu. Hal ini dapat dibuktikan setelah kepulangan Surip mengantar lukisan dari rumah jutawan tersebut"
Sepagi itu hati Reo merasa lega. Ia merasa yakin kalau keganjilan-keganjilan itu sudah tidak menerornya. Dan kenyakinan itulah yang kemudian membuatnya berhasrat untuk melukis Regina siang harinya. la sengaja menghubungi gadis bermata elang itu lewat telepon.
"Hallo!" kata Reo setelah memutar nomor telepon rumah Regina yang diperolehnya kemarin sore sebelum pulang dari Pantai Binaria.
"Ya, Hallo. Mas Reo ya?" sahut suara dari balik corong. Agaknya Regina sendiri yang
mengangkat telepon itu. "Oh, kamu, Gin!"
"Ada apa, Mas" ada yang penting atau cuma ngecek nomor teleponku saja."
Reo tertawa renyah. Regina jadi ikut-ikutan.
"Kamu ada waktu nggak, Gin?" tanya Reo begitu selesai tertawa.
"Memangnya Mas mau ngajak ke mna?"
"Tidak! Kamu bisa datang ke rumahku kan?"
"Ada yang penting?"
"Aku ingin melukis kamu hari ini."
"Lho! Aku takut, Mas," desah Regina dari seberang sana.
"Sekarang sudah tidak ada apa-apa! Percayalah, Gin!" tandas Reo.
"Tapi, Mas"!"
"Pokoknya kau datang saja! Nanti aku ceritakan. Cepat ya. Gin! Daaag...!" Reo segera meletakkan gagang telepon di atas baknya. Setelah itu ia segera pergi untuk menyiapkan peralatan melukis. Di ruang dalam ia berpapasan dengan Surip yang tampak sedang gelisah.
"Ada apa, Mang?" tanya Reo sambil memandang wajah pembatunya itu dengan tajam, seakan-akan ia ingin mendalami perasaan lakilaki ceking itu.
"Sejak pagi tadi saya tidak melihat Marto, Tuan Muda!" keluh Surip sambil menyipitkan matanya. "Saya sedang bingung memikirkan ke mana perginya. Apakah Tuan Muda tengah memberikan tugas kepadanya?"
"Tidak!" sahut Reo, seraya mengerutkan keningnya. "Ah, sudahlah! Mungkin dia sedang mengurus kepentingan pribadinya. "
Reo segera beranjak pergi meninggalkan Surip yang tengah dilanda kebingungan itu. Ia
mencoba untuk tidak menaruh kepedulian atas kepergian Marto yang tanpa berpamitan itu.
*** Kurang dari setengah jam menunggu, Regina pun datang. Reo menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Sepasang kekasih yang masih relatif baru itu berpelukan dengan mesra. lalu Reo mengecup kening Regina dengan lembut. Gadis itu membalasnya dengan sunggingan senyum yang lembut pula.
"Ada perkembangan baru rupanya, Mas?" tanya Regina begitu duduk di ruang tamu.
"Aku sudah tidak lagi diteror oleh keanehan-keanehan itu, Gin," sahut Reo datar.
"Secepat itukah, Mas?"
"Iya! Semalam aku tidak lagi merasa terganggu," tandas Reo.
"Kau benar-benar yakin, Mas?" Regina tampak ragu-ragu.
Reo menarik napas dalam-dalam. Dipandangnya paras Regina dengan teduh. Setelah itu barulah ia bercerita tentang Tuan Burhan dan istrinya yang telah dilukisnya kemarin sore. Ternyata sepasang suami-istri itu tidak mengalami nasib seperti Sisca dan Monica. Regina mendengarkan cerita itu dengan penuh kesedusan. Dan ia sendiri tiba-tiba saja merasa yakin kalau keanehan-keanehan itu memang tidak
akan terjadi lagi. "Gadis bule itu tampaknya memang lebih senang tinggal di dalam gudang, Gin'" kata Reo beberapa saat setelah selesai bercerita.
"Kau tidak berniat untuk menyelidiki lukisan itu, Mas!" Regina memandang teduh.
"Maksudmu?" "Rasanya tidak masuk akal kalau sebuah benda mati dapat menimbulkan peristiwa-peristiwa ganjil. Mungkin ada seseorang yang berperan di balik layar, Mas!"
Reo mengerutkan keningnya, "Perkiraanmu itu memang mungkin saja benar. Tapi untuk sementara, biarlah kita lupakan dulu. Sekarang hamba sudah siap untuk melukis sang Putri nan cantik jelita ini. "
"Ah, kau!" Regina tersenyum, seraya mencubit paha Reo dengan manja. Yang dicubit mengaduh dengan manja pula.
"tidak pernah aku dapat langganan seperti kau, Gin!" goda Reo setelah mengaduh kesakitan. Regina tampak tersentak kaget.
"Jadi aku kau anggap langganan juga?" protesnya kemudian. .
,iya!" "Jadi aku mesti bayar... ng... maksudku memberi upah padamu?"
"Oh, nggak mesti! Buatku kau langganan yang sangat istimewa!"
"Maksudmu?" "Kau bukan hanya langganan buat aku lukis! Tapi juga buat aku peluk dan aku cium," tandas Reo menggoda.
"Kalau aku tidak mau?" bantah Regina sambil melotot tajam.
"Aku paksa!" "Kalau begitu aku pulang sekarang," Regina bangkit dan siap-siap untuk beranjak pergi. Secepat itu pula Reo menarik lengannya.
"Tuan Putri rupanya tersinggung. Hamba cuma bergurau saja kok!" katanya dengan suara yang lembut. la menarik Regina ke dalam pelukannya. Gadis itu memukuli dadanya dengan manja.
"Mas Reo jahat!"
"Tapi kamu senang dijahatin, kan?" sahut Reo lagi menggoda. Regina hanya mendesah manja.
Hari itu Reo memang melukis Regina. Selama melakukan pekerjaannya. ia tidak merasakan keganjilan apa-apa. Perwujudan gadis bule itu benar-benar tidak mengganggunya lagi. Agaknya lukisan itu sudah merasa tenteram tersimpan di dalam gudang tua di belakang rumah.
Sebelum hari menjadi sore Regina sudah berpamitan pulang dari rumahnya. Hatinya be
nar-benar merasa lega karena sudah dapat membuat kekasihnya bahagia Regina benarbenar merasa puas melihat hasil lukisannya .
Tapi. kelegaan hati Reo itu hanya berlangsung beberapa saat saja. Ia mulai merasa gusar dengan kepergian Marto yang belum luga kembali sampai hari sesore itu. Ke mana gerangan dia pergi. pikir Reo dalam hati. Demi meredam kegelisahan hatinya ia segera pergi menjumpai Surip. Barangkali saja laki laki ceking itu sudah mendapat kabar tentang Marto.
"Marto belum juga kembali. Tuan Muda?" tanya Surip sebelum Reo sempat menanyainya. Dan tentu saja Reo harus menghempaskan nafas berat
"Saya justru ingin bertanya sama Mamang!" sahutnya kemudian. seraya mengerutkan keningnya.
"Saya benar benar merasa bingung. Tidak seperti biasanya Marto seperti ini. Dia selalu bilang kalau akan pergi ke mana mana. " keluh Surip bagai bergumam pada diri sendiri.
Reo memang tidak tahu dengan nasib yang telah menimpa Marto. Begitu pun halnya dengan Surip. la sama sekali tidak menaruh perasaan curiga kalau kawannya itu telah terbunuh. Mayatnya sekarang masih ada di dalam gudang. Padahal hari itu sudah berkali-kali ia melewati gudang. Tapi memang tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan di sekitar tempat itu. Dan agaknya mayat Marto pun belum me
nyebarkan bau busuk "Barangkali dia sedang pergi ke rumah kenalannya, Mang?" tanya Reo setelah beberapa saat lamanya suasana berubah menjadi hening.
'Tidak mungkin, Tuan Muda! Setahu saya Marto tidak mempunyai seorang kenalan pun di kota ini. Dan lagi, dia selalu berpamitan kalau akan pergi ke mana-mana," papar Surip bagai ingin menandaskan.
Reo mengerutkan keningnya dengan tajam. Hatinya benar-benar merasa cemas kepada Mang Marto. Dan kecemasan itu agaknya dapat dirasakan oleh Gustap ketika datang pada saat hari sebelum malam.
"Kulihat hari ini wajahmu keruh sekali, Re! Apa yang telah membuatmu gelisah?" tanya Gustap dengan sikap yang ingin tahu.
"Pembantuku, Gus!" sahut Reo parau.
"Ada apa dengan pembantu itu, hah?" desak Gustap mulai digayuti oleh kegelisahan.
"Mang Marto menghilang sejak tadi pagi!"
Suara Reo yang parau itu benar-benar membuat Gustap tersentak. Pantaslah kalau laki laki berkumis itu tidak datang menjumpaiku. Rupanya dia telah pergi" Tapi ke mana perginya" Mungkin dia telah membawa kabur lukisan itu. Punya otak bisnis juga rupanya dia! Marto pasti ingin menjual lukisan itu kepada orang lain, Gustap membatin.
Diam-diam hati Gustap merasa kesal pada ulah Mario. ia benar-benar mengira kalau laki-laki berkumis tebal itu telah membawa kabur lukisan yang dipesannya. Dan perkiraan itu sirna begitu pulang dari rumah Reo. la mendapatkan lukisan gadis bule itu sudah terpajang di ruang tamu dalam rumahnya.
"Aneh sekali! Mengapa lukisan ini sudah berada di dalam rumahku" Mungkin Mang Marto yang telah meletakkannya di sini. Tapi bukankah aku belum memberi upah kepadanya. Ah, lebih baik aku tanyakan kepada Dewi istriku. Barangkali laki-laki kumisan itu memang sudah datang kemari," gumam Gustap sambil berdiri terpaku.
Sebenarnya ia ingin sekali menjumpai Dewi, istrinya. Tapi Gustap lupa, kalau sebelum kepergiannya ke rumah Reo tadi, Dewi telah berpamitan untuk pergi ke salon. Agaknya dia belum juga kembali. Gustap tidak menemukannya di dalam rumah itu. Dan sebenarnya ia tidak perlu lagi mencarinya. Toh, pada saat ia datang pintu depan rumah masih terkunci. itu artinya belum ada yang masuk ke dalam rumah.
Malam sudah mulai turun. Gustap masih dibuat bingung oleh kehadiran lukisan yang sangat digandrunginya itu. Setelah merasa yakin kalau istrinya belum pulang, ia kembali berjalan menuju ruang tamu di mana lukisan gadis bule itu berada. hatinya benar-benar
takjub pada keindahan lukisan itu. Dalam hati kecilnya ia mulai berkata,
Ah, untuk apa aku harus berpikir tentang Mang Marto. Aku toh sudah mendapatkan lukisan yang aku idam-idamkan ini. Kapan lakilaki berkumis itu mengantarkannya, itu tidak perlu aku pikirkan. Yang jelas, laki-laki itu sudah menolak rejekinya. Bukankah itu suatu keberuntungan buatku. Mendapatkan lukisan yang bernilai tinggi ini secara gratis.
Baru saja hatinya selesai berkata demikian, secara mendadak wajahnya menjadi menegang. la melihat kaca bingkai lukisan itu berubah menjadi hitam pekat. Lalu dari bagian atas bingkainya mengeluarkan asap putih yang bergumpal gumpal. Dan gumpalan asap itu kemudian berubah menjadi sesosok tubuh gadis yang sangat cantik. Gadis yang menjadi obyek lukisan misterius itu.
Gustap benar-benar terperangah heran. Ia masih tidak percaya pada kenyataan yang tengah disaksikannya. Dengan cepat ia menggosok gosok kelopak matanya. Tapi begitu selesai, ternyata perwujudan gaib itu masih tetap tampak berdiri di hadapannya.
"Siapa kau...?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Matanya memandang nanar dengan mulut yang melongo.
Tidak ada jawaban yang tercetus dari mulut gadis bule itu. Hanya matanya saja yang memandang hampa dengan ekspresi wajah
yang sangat datar. Melihat kenyataan yang demikian Gustap mulai ketakutan. Meskipun begitu, ia sempat melihat ke arah bingkai lukisan itu. Kacanya sudah benar-benar berubah menjadi hitam pekat. Lukisan itu sudah tidak mumpunyai obyek lagi.
"Siapa kau?" Gustap masih memandang nanar. Tubuhnya mulai ikut bergetar dengan hebat
Gadis misterius itu tetap membisu seribu bahasa. Dengan lembut ia mulai melangkah maju. Menyaksikan kenyataan yang demikian, tanpa sadar Gustap pun mulai pula melangkah mundur. Hatinya ikut merasa kecut.
"Siapa sebenarnya kau" Katakan padaku!" Gustap terus melangkah mundur, tapi gadis bule itu terus pula mendesaknya. Sampai akhirnya tubuh Gustap menyentuh dinding tem
bok. Kepanikan bagai merejam hati Gustap. Ia mulai jelalatan ke sana kemari, mencoba membunuhnya. Tatap matanya yang nanar itu mulai jelalatan ke sana kemari, mencoba mencari celah untuk meloloskan diri. Tapi tatkala ia akan lari, getaran tubuhnya semakin menghebat. Seluruh tulang-tulangnya terasa copot dari persendian.
Gustap benar-benar panik. Tapi dalam kepanikan itu ia masih sempat mendengar suara deru mesin mobil di luar rumah. Hatinya sedikit merasa lega. ltu pasti Dewi yang datang,
pikirnya dalam hati. Gadis misterius itu sudah semakin dekat dengannya. Gustap melihat sebelah tangan gadis itu memegang sebuah vas bunga yang terbuat dari keramik. Hatinya benar-benar merasa kecut. la tahu vas bunga itu pasti akan digunakan untuk menghabisi nyawanya. Karena itu ia segera berteriak dengan lantang,
"Dewi...! Tolong a...."
Brakkk ! Gadis perwujudan gaib itu menghantam kepala Gustap dengan vas bunga keramik. Laki-laki itu tidak dapat melanjutkan teriakannya. Suaranya berganti menjadi jerit kesakitan.
"Aaa..."! "
Dari luar terdengar langkah kaki yang memakai sepatu berhak tinggi. Yang datang agaknya benar-benar Dewi, istri Gustap. Untung saja dia membawa kunci serep, hingga dia dapat membuka pintu dan tanpa harus berteriakteriak memanggil suaminya.
Seketika hati Dewi dijejali oleh kecemasan. Situasi di dalam benar-benar terdengar panik. Suara jeritan Gustap terdengar melengking dan panjang. Kesunyian dalam ruangan itu menjadi pecah dalam seketika. Begitu pintu berhasil dibukanya, dengan cepat Dewi memburu ke dalam.
Begitu tiba di dalam, ia melihat tubuh suaminya yang tergolek dengan kepala berlumur
an darah. Pecahan-pecahan vas bunga keramik berserakan di sekitarnya. Tapi anehnya. ia tidak melihat gadis penjelmaan lukisan itu. Tubuh gadis misterius itu seperti dihembus angin, hilang bersamaan dengan Dewi masuk tadi.
"Maaas...!" pekik Dewi bagai tidak percaya melihat kenyataan yang menimpa diri suaminya. la segera menubruknya, tanpa peduli pada cairan darah yang menggenang. "Apa yang telah terjadi denganmu. Mas" Siapa yang telah melakukan ini semua?"
Dewi tak dapat lagi membendung air matanya. la mulai menangis sambil mengguncang guncang tubuh suaminya yang tengah sekarat itu. Napas Gustap hanya tinggal satu-satu. Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya. Hantaman vas bunga keramik itu agaknya sudah berhasil meretakkan kepalanya. Otaknya tampak memburai keluar bercampur dengan darah. Dan, hanya beberapa detik setelah kehadiran istrinya ia pun menghembuskan napas yang terakhir.
"Mas Gus...?" tangis Dewi membahana di dalam ruangan yang penuh dengan cipratan darah itu. Nyawa Gustap sudah benar-benar melayang dari dalam raganya.
Kematian Gustap merupakan satu pukulan buat Reo Turangga. Ia menerima berita duka itu dari Dewi beberapa saat setelah kematian suaminya. Bagi Reo sendiri kematian Gustap itu benar-benar sangat aneh, meskipun pihak kepolisian mengatakan Gustap mati akibat dibunuh orang. Memang ada hal yang meyakinkan keterangan pihak kepolisian itu. Pada saat penyelidikan dilakukan, pintu belakang rumah Gustap masih dalam keadaan terbuka. Jadi mungkin si pembunuh lari lewat jalan pintu belakang.
Tapi ada satu hal yang membuat Reo merasa sangat aneh. Menurut penuturan Dewi yang menyaksikan kejadian itu beberapa saat sesudahnya. Dewi mengatakan kalau dia sempat melihat ada seorang gadis yang berkelebat. Gadis itu memakai gaun panjang serba putih. Dia sempat memburu gadis itu. Tapi begitu tiba di ruang dalam, ternyata dia tidak melihatnya lagi. Gadis itu seperti raib begitu saja.
Memang, tidak ada seorang pun yang tahu perihal kematian Gustap yang sesungguhnya. Gustap telah dibunuh oleh arwah gadis yang bersemayam dalam lukisan itu. Tapi anehnya. begitu orang-orang datang untuk memberikan pertolongan pada Gustap. tidak ada satu pun di antara mereka yang melihat bingkai lulusan misterius itu. Termasuk pula Reo dan Dewi yang datang lebih dulu. Bingkai itu pun agaknya telah raib begitu saja
Bagi Reo, keterangan yang diberikan oleh Dewi tentang gadis bergaun putih itu benar benar sangat mengganggunya. Agaknya penampllan gadis itu identik dengan penampilan gadis yang muncul di dalam mimpinya selama ini. Juga mimpi yang dialami oleh Sisca dan Monica sebelum menemui ajalnya .
Aneh sekali! Ada hal apa sebenarnya dengan diriku ini. Mengapa akhir-akhir ini aku selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan yang tidak masuk akal" Dan itu aku alami sejak Mang Marto dan Mang Surip menemukan lukisan itu Ada apa sebenarnya" Lukisan siapakah ltu" Benarkah benda itu yang telah menjadi sebab semua kejadian aneh ini" Ah. rasanya tidak masuk akal. Atau mungkin ada seseorang yang benar-benar ingin merusak karirku. Tapi siapa orang itu" Dan mengapa ia harus berbuat sekeji ini., Reo membatin. Hatinya masih dicekam oleh rasa gelisah di siang yang terik ini.
Reo baru saya akan bangkit dari tempat duduknya ketika telinganya yang tajam itu mendengar bunyi bel yang berdering. Setelah menghempaskan napas berat, ia pun melangkah untuk membukakan pintu. Mudah-mudah
an Regina yang datang, pikirnya dalam hati yang sedang gundah. Tapi ternyata bukan gadis pujaannya itu yang datang. Melainkan Tante Lies, tetangga sebelah rumah.
"Selamat siang, Nak Reo!" ucap perempuan setengah baya itu sebelum Reo sempat menyapanya.
"Oh, Tante! Selamat siang," Reo tersenyum simpuL. Tangannya masih memegang handel, "Tumben Tante mau datang kemari. Apa keperluan penting rupanya?"
"Ah. Nggak, Nak Reo! Tante cuma mau nyari si Gerry. "
"Pudel kesayangan Tante itu?"
"iya! Tadi saya lihat dia masuk pekarangan rumah Nak Reo. Sejak dua hari belakangan ini anjing itu berubah menjadi nakal. Maunya main kemari terus. Untung saya memancangnya. Tapi tadi saya kelupaan. lkatannya tante lepas" dan akhirnya ia lari' melompat lewat pagar samping," perempuan bertubuh gendut itu memaparkan kenakalan anjing pudel kesayangannya. Tante Lies memang tidak mempunyai anak semata wayang pun. la perempuan yang mandul. Jadi wajar kalau ia sangat sayang kepada pudelnya itu.
"Dari pada tante harus kehilangan si Gerry. lebih baik tante kehilangan oom. Nak Reo !" Tante Lies menambahkan dengan bersemangat
Reo tersenyum. Ucapan Tante Lies mem
buat hatinya yang gundah tergelitik "Kalau begitu silakan masuk dulu, Tante!" katanya kemudian dengan sopan.
"Terima kasih! Nggak usah, Nak Reo. Tante mau buru-buru mencari si Gerry. "
"Nampaknya dia ada di halaman belakang. Tante dengar kan suara gonggongannya!"
"Iya! Tante akan segera ke sana," Tante Lies akan beranjak pergi. Tapi dengan cepat Reo menahannya.
"Lewat dalam saja, Tante! Kan lebih dekat Biar saya ikut membantu menangkap pudel itu. ',
"Ah, tante jadi ngerepotin," Tante Lies memutar tubuhnya. la berjalan memasuki rumah megah itu. Reo menguntit di belakangnya. Tapi begitu tiba di ruangan yang paling belakang, Tante Lies sempat mengeluh.
"Sepertinya kok bau bangkai, Nak Reo!" Tante Lies bersungut-sungut, mencoba mempertajam indera penciumannya. "Iya, Nak Reo! Apakah Nak Reo juga merasakannya?"
"Iya, Tante!" Reo ikut bersungut-sungut. "Tapi bangkai apa yah" Saya tidak punya binatang piaraan."
"Mungkin ada tikus yang mati tertimpa papan di atas loteng, Nak Reo!" kata perempuan gendut itu lagi membuat dugaan.
"Mungkin! Biar nanti saya suruh pembantu saya untuk menyelidikinya," sahut Reo datar.
155 "Ayo, Tante' Si Gerry pudel Tante itu masih terus menggonggong. Kita harus segera menjinakkannya sebelum dia pergi terlalu jauh," Reo segera melangkah. Kali ini Tante Lies yang menguntit di belakangnya.
Sebentar kemudian mereka tiba di depan pintu bagian belakang. Dan ketika Reo sudah membuka pintu itu, ternyata bau busuk semakin menyengat hidung. la terpaksa harus menyumbat lubang indera penciumannya itu. Tante Lies juga ikut latah.
"Bukan, Nak Rea! Bau busuk ini bukan bersumber dari atas loteng," kata perempuan gendut itu seperti bergumam pada diri sendiri. Suaranya terdengar bindeng karena lubang hidungnya disumbat.
"He, em! Mungkin tetangga belakang ada yang membuang bangkai kemari. Ayo, Tante! Kita ambil pudel itu. Nampaknya dia ada di dekat gedung tua itu," sahut Reo sambil kembali melangkah.
"Tente hampir tidak tahan, Nak Reo. ingin muntah!"
Reo tidak dapat menyahuti kata-kata Tante Lies. ia sendiri sebenarnya sama. Ingin muntah! Tapi ia harus membantu perempuan gendut itu menangkap pudel kesayangannya. Ia memang sudah mengenal Tante Lies dengan baik .Bahkan di lingkungan tempat tinggalnya, Tante Lies-lah yang paling akrab dengannya
"Baunya semakin menyengat saja, Nak
Reo!" Tante Lies agaknya semakin tidak tahan, padahal lubang hidungnya sudah disumbat dengan rapat. Tapi bau busuk itu masih tetap saja tercium.
Langkah Reo sudah semakin dekat dengan gudang tua itu. Meskipun dari jarak yang agak jauh, Tante Lies masih tetap menguntit di belakangnya. Bau busuk itu semakin menyengat Dan agaknya bau itu bersumber dari dalam gudang tua di mana mayat Mang Marto berada. Mayat itu agaknya sudah membusuk karena dua hari tidak dikuburkan.
"Hoek...! " Tante Lies benar-benar tidak tahan. Sisa-sisa makanan di dalam perutnya keluar lewat mulut. Matanya tampak merah dan berair karena menahan rasa mual. "Hoek... hoek! Cepat tangkap si Gerry, Nak Reo! Tante sudah benar-benar tidak tahan."
Reo tidak menyahut, tapi juga tidak melanjutkan langkahnya untuk menangkap si Gerry. Pudel itu masih terus menggonggong di depan pintu gudang yang tertutup rapat .Agaknya indera penciuman anjing itu memang lebih tajam dari manusia.
"Cepat. Nak Reo! Tangkap pudel itu!" kata Tante Lies menahan rasa mual pada perutnya.
"Saya tidak Sanggup mendekat lagi, Tante! Saya juga benar benar tidak tahan pada bau busuk itu," Reo megap-megap karena napasnya terasa sesak. Ia mencoba untuk bertahan tidak muntah. meskipun akhirnya itu gagal.
"Hoek' Hoek! Hoek..!" sisa-sisa makanan dari dalam perut mulai keluar lewat rongga mulutnya. "Kita harus segera meninggalkan tempat ini, Tante! Biar nanti saya akan menyuruh pembantu saya untuk mengambil pudel Tante itu. "
Reo segera memutar tubuhnya dan berlari meninggalkan tempat itu. Tante Lies mengikutinya dengan terbirit-birit. Hidung mereka masih tetap ditekan kuat-kuat, meskipun bau busuk itu masih tetap saja tercium.
Sebentar kemudian mereka sudah sampai di ruang tengah. Secara kebetulan mereka berpapasan dengan Surip yang baru saja pulang dari toko untuk membeli bahan-bahan melukis. Karuan saja laki-laki ceking itu merasa heran melihat tuannya yang lari tergopohgopoh seperti dikejar anjing, dan sambil memijit hidungnya pula. ,
"Ada apa, Tuan Muda" Apa yang sedang terjadi?" tanyanya dengan wajah serius.
Reo tidak segera menjawab. Ia masih berusaha mengatur napasnya yang masih terasa sesak. Di ruangan itu bau busuk bangkai itu memang tidak menyengat. Mungkin karena dinding rumah yang tinggi ditambah dengan ventilasinya yang jarang. Anginnya juga agaknya berhembus dengan berlawanan arah. Seperti halnya Reo, Tante Lies juga masih tampak ngos-ngosan. Persis seperti seekor kerbau yang kehausan.
Surip semakin heran melihat keadaan tuan mudanya dan perempuan gembrot itu. Sebelum ia sempat melontarkan pertanyaan lagi, ternyata Reo lebih dulu bertanya kepadanya,
"Apakah Mamang yang membuang bangkai di dalam gudang tua di belakang itu?"
Karuan saja Surip menjadi bengong, sebab ia tidak pernah merasa membuang bangkai di dalam gudang itu. "Tidak, Tuan Muda!" katanya sambil melongo.
"Aneh sekali!" gumam Reo, seraya mengerutkan keningnya berpikir keras.
"Ada apa sebenarnya, Tuan Muda?" Surip penasaran.
"Di dalam gudang itu rupanya ada bangkainya, Mang!" sela Tante Lies ikut nimbrung.
"Bangkai" Masa' iya sih, Tante!" Surip kembali melongo, seperti tidak percaya pada keterangan Tante Lies tadi.
"Benar! Kalau kau tidak percaya, coba saja kau periksa! Sekalian tolong ambilkan si Gerry, pudel kesayanganku itu. "
Surip membungkam. Hatinya mulai bertanya-tanya perihal bangkai itu. Benarkah di dalam gudang tua itu memang ada bangkainya" Lalu bangkai apa" Dan siapa yang meletakkannya di sana" Benar-benar aneh sekali!
"Biar saya akan memeriksa gudang itu, Tuan Muda!" katanya kemudian setelah berhasil menekan perasaannya. Ia segera beranjak per
gi. Reo dan Tante Lies mengikutinya di belakang.
Sebelum pergi menuju gudang tua itu, terlebih dulu Surip mengambil lampu senter dari kamarnya. Sementara itu Reo dan Tante Lies menunggu di depan pintu belakang. Mereka memencet hidungnya kuat-kuat. Ternyata begitu tiba di sana, Surip juga mencium bau busuk yang menyengat itu. Ia bersungut-sungut seperti seekor kucing yang mencari jejek mangsanya
"Mang Surip juga merasakan bau itu kan?" tanya Reo dengan suara yang berat karena harus menahan napas.
"Benar, Tuan! Bau busuk itu menyengat sekali!" sahut Surip ikut menekan hidungnya.
Dari halaman belakang tcpatnya di depan gudang tua itu, si Gerry masih terus menyalak. Anjing itu agaknya ingin menikmati daging Marto yang sudah membusuk. Hanya saja sayang dia tidak dapat membuka pintu gudang yang masih tertutup dengn rapat.
Masih agak jauh dari gudang di mana mayat Marto berada. bau busuk itu semakin menyengat. Reo dan Tante Lies tidak sanggup untuk lebih dekat lagi. Untung saja sebelum keluar tadi Surip berinisiatif mengambil selembar kain. Kain itulah yang kemudian digunakan untuk menyumbat indera penciumnya, hingga dia tidak perlu terus-menerus menekan lubang hidungnya itu. Kendatipun Reo dan Tante Lies .
berhenti beberapa langkah di ambang pintu belakang, tapi Surip terus melangkah sampai mencapai gudang tua itu.
"Tangkap si Gerry dulu, Mang!" pinta Tante Lies setengah berteriak Rupanya ia benarbenar sayang pada pudelnya itu, hingga ia tidak peduli pada napasnya yang ngos-ngosan.
Surip tidak menyahut. Tapi ia menuruti permintaan tante gembrot itu. Ia berhasil menangkap si Gerry dan segera menyerahkan kepada yang empunya.
"Terima kasih ya, Mang!" Tante Lies menerima pudel itu. Ia segera menciuminya dengan penuh kemanjaan.
Laki-laki ceking itu tidak menyahut. Dengan tergopoh-gopoh ia kembali mendekati gudang tua. Sambil menahan napas ia berusaha membuka pintu gudang yang terbuat dari papan. Dan begitu pintu berhasil dibuka, ternyata bau busuk itu semakin menyengat hidung. Surip kembali menahan napasnya. ia segera menyalakan lampu senter, dan mengarahkannya ke dalam gudang yang gelap itu. Hampir saia jantungnya copot dalam seketika, tatkala sinar lampu itu jatuh pada sosok tubuh yang tergolek di atas lantai gudang yang kotor. Dan ia merasa benar-benar yakin kalau itu adalah sosok tubuh rekannya. Marto!
*** Empat orang polisi datang untuk mengangkat mayat Marto dari dalam gudang. Kondisi mayat itu benar benar sangat menyedihkan. Tubuh Marto yang gendut dan cebol itu sudah dikerumuni oleh ribuan ekor semut merah. Darahnya sudah tampak mengering, terutama pada bagian kepalanya yang retak.
Memang, tidak ada seorang pun yang tahu penyebab kematian laki-laki berkumis itu secara pasti. Seperti halnya yang terjadi pada diri Gustap, kali ini pun pihak kepolisian menduga kalau kematian Marto juga karena dibunuh orang. Dan si pembunuh sengaja menyimpan mayat itu di dalam gudang.
Karena di rumah itu yang tinggal hanya mereka bertiga. Yaitu: Reo Turangga, Surip dan almarhum Marto, maka pihak kepolisian otomatis menaruh kecurigaan kepada mereka yang masih hidup. Dalam hal ini Reo dan Surip. Para polisi tidak ingin bertindak ceroboh. Mereka tidak mungkin menangkap tertuduh tanpa bukti-bukti yang autentik. Terlebih dalam menghadapi kasus pembunuhan. Jadi untuk sementara waktu mereka hanya meminta data-data pribadi kedua orang tertuduh itu beserta sidik jari mereka.
Hari itu juga mayat Marto dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi. Dan untuk sementara waktu penyelidikan dihentikan sebelum hasil Visum diperoleh.
Kematian Marto yang tragis itu ternyata cu
kup membuat gempar di lingkungan tempat tinggal Reo Turangga. Berbagai macam dugaan pun muncul dari mulut mereka. Tapi bagi Reo dan Surip kematian itu terjadi secara tidak wajar. Pastilah yang menjadi penyebabnya adalah lukisan gadis bule itu. Mereka memang sama-sama merasakan keanehan-keanehan setelah lukisan itu diketemukan di dalam gudang.
Siapa sebenarnya gadis yang berada dalam lukisan itu" Dan masih adakah sekarang lukisan itu di dalam gudang" Ah, Surip dan Reo memang lupa kepada lukisan itu. Mereka sama-sama lupa untuk melihat apakah lukisan ltu masih berada di dalam gudang. Dan agaknya pihak kepolisian yang tidak tahu-menahu tidak menaruh kepedulian terhadap benda itu.
Setelah team polisi itu membawa jasad Marto ke rumah sakit, para tetangga pun segera hengkang dari rumah itu. Selama mereka menyaksikan pengurusan mayat Marto, tentu saja ketika itu Tante Lies-lah yang paling banyak bicara. Perempuan gembrot itu memang paling banyak tahu.
Hanya beberapa saat saja setelah kerumunan itu bubar, Regina datang. la maSih sempat melihat para tetangga yang berbondong-bondong keluar dari halaman rumah Reo. Hal itu tentu saja membuat hatinya merasa heran.
"Ada apa. Mas Reo" Apa yang telah terjadi kenapa banyak di rumah ini?" tanya gadis bermata elang itu begitu tiba di hadapan kekasihnya yang tengah duduk termenung. Agaknya hati Reo cukup rikuh dengan kematian pembantunya itu.
"Oh, kau, Gin! Kapan kau datang?" tanya Reo dengan suara yang parau. Wajahnya tampak muram sekali. Haii Regina merasa iba melihatnya.
"Apa yang telah terjadi, Mas! Mengapa para tetangga itu pada berdatangan kemari?" Regina semakin penasaran. la sengaja menekan suaranya agar Reo mau menceritakan perihal kejadian yang telah menimpa rumah itu. Dan agaknya usahanya itu berhasil juga.
"Mang Marto pembantuku tewas. Gin! Barusan mayatnya ditemukan dalam gudang," suara Reo masih parau. la memandang Regina dengan sendu.
Gadis bermata bening itu terlongong. Seakan-akan tidak percaya pada keterangan yang disampaikan oleh kekasihnya. "Apa penyebab kematiannya, Mas?" tanyanya kemudian dengan suara yang parau pula.
"Entahlah! Tapi naluriku mengatakan, kematian Mang Marto pasti juga karena disebabkan oleh lukisan misterius itu. "
Bulu kuduk Regina terasa merinding. Degup jantungnya mulai berubah menjadi lebih kencang dari biasanya. Sebenarnya, kedatangannya siang itu adalah untuk menceritakan perihal mimpi yang dialaminya. Ia juga telah
mengalami mimpi yang sama seperti Sisca dan Monica sebelum kematian merenggutnya. Mungkinkah ia pun akan mengalami nasib yang sama karena Reo telah melukis figur dirinya...."
Reo begitu terkejut tatkala membuka pintu kamarnya. Ia melihat lukisan itu sudah terpampang di sana, persis di atas dinding yang menghadap ke arah pintu. Entah siapa yang memindahkan lukisan itu. Tapi memang, agaknya lukisan itu dapat berpindah-pindah tempat dengan sendirinya.
Seketika detak jantungnya berubah lebih kencang. la menyesal mengapa tadi tidak menahan kepergian Regina. Padahal tadi gadis itu ingin mengajaknya jalan-jalan. Tapi ia telah menolaknya dengan alasan lelah dan ingin beristirahat dengan segera. Untung saja Regina dapat menerima alasannya itu.
Begitu Regina sudah pergi, ia memang langsung menuju kamarnya. Kepalanya memang terasa berat karena memikirkan keanehan-keanehan yang menerornya. la bermaksud ingin segera istirahat. Tapi sekarang, agaknya ia tidak mungkin dapat melaksanakan niatnya itu. Lukisan sialan itu sudah kembali mengganggunya.
Meskipun hatinya sudah diselipi oleh perasaan takut, tapi Reo masih berusaha untuk tabah. Ia mencoba menekan perasaannya itu ku
at kuat. Setelah beberapa saat lamanya berdiri terpaku, ia pun melangkah mendekati lukisan yang hampir-hampir membuatnya senewen itu. Dipandanginya lukisan itu tajam tajam. Ternyata tidak ada keanehan yang dirasakannya. Lukisan itu tidak lebih dari sebuah benda seni yang mempunyai nilai estetis yang sangat tinggi.
Tapi manakala Reo memandang lukisan itu lebih lama lagi, secara tiba-tiba ia melihat gadis yang berada dalam lukisan itu dapat bergerak-gerak. Begitu terkejutnya Reo hingga tanpa sadar ia melangkah mundur. Bulu kuduknya benar-benar berdiri tegak. Karena terus mundur akhirnya punggungnya menyentuh dinding. la tersentak.
Reo masih tidak percaya dengan keanehan yang tengah disaksikannya. Tanpa sadar ia pun menggosok-gosok kelopak mata. Dan begitu selesai, ternyata keanehan itu tidak kembali disaksikannya. Karenanya kemudian Reo bergumam,
"Aneh sekali! Hanya penglihatanku sajakah yang salah" Atau memang lukisan itu yang menyimpan keanehan. Sialan benar. Aku tidak pernah merasakan hal-hal yang seperti ini. Agaknya lukisan ini memang harus disingkirkan !,
Begitu selesai menggumam demikian, Reo segera keluar dari dalam kamar. Sebenarnya hatinya masih merasa takut, tapi ia sudah ber
hasil menekan sekuat mungkin. ia benar-benar ingin menyingkirkan lukisan pembawa bencana itu.
Dalam waktu yang relatif singkat., ia sudah tiba di sisi pilar tangga yang menghubungkan lantai atas dengan lantai bawah. Dari sana ia memanggil pembantu setianya.
"Mang Sarip! Cepat kemari, Mang !?" suara Reo terdengar agak lantang. Dan suaranya itu bagai memecah kesunyian ruangan.
Dalam waktu yang relatif singkat pula Surip datang dengan setengah berlari. Tidak seperti biasa tuan mudanya memanggil seperti itu. Dengan tergopoh-gopoh laki-laki bertubuh ceking itu mulai menaiki anak tangga.
"Ada apa, Tuan Muda?" tanyanya begitu sudah tiba di hadapan tuan mudanya. Hatinya mulai diselipi oleh rasa heran karena melihat wajah tuan mudanya yang tampak tegang itu.
"Mamang coba lihat kemari! Lukisan itu sudah berada dalam kamar saya," kata Reo. Sambil berkata begitu ia kembali melangkah ke arah kamar. Meskipun hatinya merasa heran, Surip segera menguntit di belakang. Begitu tiba di dalam kamar itu, dia benar-benar terkejut. Lukisan itu memang benar-benar sudah berada di sana.
"Apakah Mamang yang menyimpan di sini?" tanya Reo. Suaranya datar tapi cukup membuat Surip tersentak kaget.
"Sungguh, Tuan Muda! Saya tidak mela
kukannya," katanya kemudian dengan suara yang masih bergetar.
Reo memandang Surip dengan mulut yang terkatup rapat. Ia merasa yakin pada pengakuan pembantunya itu. "Kita memang harus segera menyingkirkan lukisan itu, Mang !" katanya setelah itu dengan mantap.
"Maksud Tuan Muda bagaimana?"
"Kita harus mengubur lukisan itu!"
Surip mengerutkan keningnya. Hatinya merasa ragu kalau harus menuruti kemauan majikannya itu. Ia takut kalau-kalau lukisan itu justru akan kembali meminta korban.
"Tapi, Tuan Muda," Surip mencoba memberi pengertian yang berupa pertimbangan. "Apakah Tuan Muda tidak merasa takut kalau lukisan itu justru akan meminta korban lagi?"
Reo tersentak kaget. Apa yang dikatakan oleh Surip memang mungkin saja terjadi. Tapi bagaimana ia harus menyingkirkan benda keparat itu selain dari menguburnya di dalam tanah" Apakah ia harus membakarnya! Oh, tidak! Ia tidak mungkin melakukannya. Biar bagaimanapun ia juga maSih seorang pecinta karya seni. Meskipun ia merasa yakin kalau lukisan yang indah itu menyimpan keanehan, tapi ia tidak mungkin merasa tega untuk membakarnya. Jalan satu satunya, lukisan itu memang harus dikubur di dalam tanah.
Setelah matang dengan pertimbangannya, maka sore itu juga ia mengajak Surip pergi
dengan membawa lukisan itu. Mereka mengubur lukisan itu di sebuah tanah lapang yang terletak di tepi sebuah pantai. Jaraknya cukup jauh juga dari tempat tinggal Reo.
Tapi, malamnya setelah melakukan pekerjaan itu, Reo kembali merasakan keanehan di dalam rumahnya. Peristiwa ganjil seperti yang dialaminya beberapa malam yang lalu. Tepatnya sebelum kematian Sisca dan Monica. Yah, malam ini Reo kembali mendengar suara berdesis-desis itu, juga suara langkah kaki yang sangat lembut .
Demi mendengar suara-suara itu, ia bangkit dari berbaring. Seraya membuka lubang telinganya lebih lebar lagi. Suara-suara itu memang agaknya bersumber dari luar kamarnya. Ah, ada apa lagi ini" Pikirnya dalam hati.
Reo mulai merasakan debaran-debaran yang sangat aneh di dalam hatinya. Perasaan takut bagai menyergap dengan begitu saja. Untung ia masih mempunyai Sedikit ketabahan. la bangkit berdiri lalu melangkah mendekati pintu. Dengan lembut dibukanya ' pintu itu. Hampir bersamaan, suara desisan yang hampir menyerupai suara desahan napas itu pun lenyap dari pendengaran. Yang tersisa hanya suara langkah kaki yang sangat lembut itu.
"Aneh sekali! Alamat apa lagi ini" Mungkinkah ada jatuh korban lagi" Tapi siapa korban kali ini" Mungkin mereka yang sudah aku lukis" Ah, tidak! Tidak mungkin. Lukisan mere
ka sudah tidak ada di rumah ini Ya, itu tidak mungkin! Lagi pula kejadiannya sudah lama berlalu, " gumam Reo dalam kesendirian yang sangat mencekam. Meskipun berkata begitu secara diam-diam hatinya merasa Cemas juga.
Suara langkah kaki yang sangat lembut itu masih tetap terdengar di telinga Reo. Ia sendiri tidak dapat memastikan secara tepat dari mana datangnya suara itu. Sepertinya hampir di setiap ruangan. Benar-benar sangat aneh sekali. Dan yang lebih mengherankan lagi, meskipun suara itu sangat lembut tapi tetap terdengar dengan jelas oleh telinganya.
Di lantai atas di mana kamar Reo berada hanya terdapat tiga buah ruangan. Satu pavilyun besar dan dua buah kamar tidur. Salah satunya adalah yang ditempati oleh Reo. Ia sudah memeriksa dua buah ruangan kosong itu, tapi tidak ada siapa-siapa yang ditemuinya. Karenanya kemudian ia memutuskan untuk turun ke lantai bawah.
Dengan sangat hati-hati ia mulai menapaki anak tangga yang berbentuk melingkar itu. Begitu tiba di bawah, jantungnya semakin berdegup dengan kencang. Suara aneh itu semakin jelas terdengar oleh gendang telinganya. Benar-benar nyata, itu adalah suara langkah kaki manusia.
Reo menelan ludahnya yang terasa getir. Sebentar kemudian ia pun melanjutkan langkahnya ke arah yang lain. Kali ini menuju ru
ang tengah. Belum sempat ia mencapai ke sana, tiba-tiba ada suara berat yang memanggilnya.
"Tuan Muda...!"
Hampir saja jantung Reo berhenti berdetak. Suara itu begitu mengejutkannya. Untung saja tadi ia sempat menekan sakelar, hingga dapat dengan segera mengenali orang yang memanggilnya itu.
"Ah. kau rupanya, Mang!" katanya dengan jantung yang tetap berdegup kencang.
"Maaf, Tuan Muda! Saya tidak bermaksud untuk membuat Tuan Muda terkejut" sahut laki laki ceking yang tidak lain adalah Surip itu. "Sedang apa Tuan Muda di sini" Ma" maksud saya" apakah Tuan Muda tengah mencari sesuatu?" lanjutnya kemudian dengan suara yang agak gugup.
"Kau sendiri sedang apa?" Reo balik berta
nya. "Saya sedang mengejar seseorang, Tuan Muda!"
"Seseorang?" Reo terperangah.
"Benar! Beberapa saat yang lalu saya melihat ada seorang gadis yang berkelebat dari ruang tengah. Kemudian saya mengejarnya sampai kemari. Tapi gadis itu seperti menghilang dengan begitu saja, Tuan Muda!" Surip memaparkan pengalamannya. Ekspresi wajahnya kelihatan bersungguh-sungguh.
Reo mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, "Kau benar-benar merasa yakin, Mang?"
"Sungguh, Tuan Muda! Gadis itu memakai gaun panjang dengan warna yang serba putih. Dan... dan, ya! Wajah gadis itu kelihatannya benar-benar sama persis dengan wajah gadis yang berada dalam lukisan itu. Warna rambutnya seperti bulu-bulu jagung. Maksud saya berwama pirang... dan... dan lagi. Ah, pokoknya benar-benar sama persis, Tuan Muda," Surip berkata dengan ekspresi seperti semula.
Bulu kuduk Reo kembali meremang. Hatinya semakin terasa rikuh. Diam-diam ia mulai membuat dugaan. Suara-suara aneh yang didengarnya tadi adalah pasti milik gadis misterius itu. Ah, siapa Sesungguhnya gadis bule itu..."
"Rumah ini benar-benar tidak beres lagi, Tuan Muda!" ucap Surip bagai memecah keheningan yang sudah belangsung beberapa saat itu. '
Reo tidak menyahut. la cukup tersiksa oleh gejolak perasaannya. Lukisan gadis bule itu benar-benar telah menjadi sumber keganjilan-keganjilan yang terjadi. Tapi lukisan siapakah sebenarnya itu"
*** "Gila...!" hardik Reo sambil mencampakkan lembaran koran. Surat kabar yang terbit pagi itu benar-benar memuat berita tentang kematian Tuan Burhan dengan istrinya. Bahkan berita itu sempat mengisi headline beberapa surat kabar ibukota. Judul berita menyebutkan demikian:
"Seorang Pengusaha Kaya Bersama Istrinya Diketemukan Tewas di Atas Ranjang. Masing-masing Dalam Keadaan Bugil, Dengan Luka Bacok pada Perutnya. Diduga Kematiannya Akibat Tindakan Balas Dendam."
Rupanya peristiwa tadi malam itu merupakan wangsit dari kematian mereka. Benar-benar sangat aneh. Ada apa sebenarnya dengan lukisan keparat itu?" gumam Rea mencoba menekan perasaannya yang sudah mulai kacau.
Hampir semalaman tadi ia tidak dapat tidur. Hatinya begitu gelisah karena peristiwa itu. Lalu sekarang, kegelisahan itu justru semakin bertambah karena membaca berita kematian Tuan Burhan dengan istrinya. Mereka telah dilukis oleh Reo beberapa hari yang lalu.
ingat akan Regina, leher Reo bagai tercekik
Oleh perasaan takut. Tentu saja ia tidak akan rela membiarkan gadis pujaannya itu mati karena diteror oleh arwah yang bersemayam di dalam lukisan keparat itu. Dengan segera ia bangkit dari tempat duduknya bermaksud akan segera beranjak ke dalam. Tapi sebelum sempat ia melaksanakan maksudnya itu, tiba-tiba telinganya mendengar bunyi bel yang berdering. Ia pun berhenti melangkah.
"Siapa pula yang datang?" gumam Reo agak kesal. Meskipun demikian ia segera memutar langkahnya ke arah pintu. Dan ia begitu terkejut ketika melihat siapa yang datang. Dia adalah Regina, gadis pujaannya.
"Oh kau, Gin! Ayolah masuk!" katanya dengan lembut. la melangkah kembali ke dalam. Regina mengikuti di belakangnya. Wajah gadis itu tampak sangat muram sekali.
"Barusan aku akan pergi ke rumahmu. Untung kau segera datang," tambah Reo begitu sudah sampai dan duduk di hadapan Regina. Ketika itulah ia melihat wajah Regina yang muram itu. "Ada apa, Gin" Kau sakit?" tanyanya kemudian dengan kening yang tampak berkerut-kerut.
Regina tidak menyahut, hanya kepalanya saja yang menggeleng dengan lesu. Hal demikian membuat hati Reo merasa cemas dan penasaran.
"Ada sesuatu yang tengah mengganggu ketenanganmu, Gin?" tanyanya lagi.
Regina mengangkat wajahnya, "Aku merasakan mimpi-mimpi itu, Mas!" katanya kemudian parau.
"Maksudmu?" Reo tersentak
Lukisan Penyebar Maut Karya Maria Oktaviani di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku mengalami mimpi seperti Sisca dan Monica. Gadis bergaun putih itu benar-benar hadir di dalam mimpiku. Dia telah memuntir kepalaku hingga putus. Aku benar-benar takut, Mas Reo!"
"Kau bersungguh-sungguh, Gin?" Reo bagai tidak percaya.
"Sungguh, Mas Reo! Bahkan tadi malam aku tengah mengalami kejadian yang sangat aneh di dalam kamarku. Aku melihat lukisan yang kau buat itu jatuh dengan sendirinya, lalu aku melihat lukisan itu telah berubah. Aku melihat leherku mengucurkan darah pada lukisan yang kau buat itu, Mas! Kejadiannya benar-benar aneh sekali, dan persis seperti yang kau ceritakan itu?"
Bulu-bulu pada tengkuk kepala Reo bagai berdiri dalam seketika. Kecemasan benar-benar membeliti seluruh ruang hatinya. Agaknya arwah gadis bule itu juga akan meneror Regina, kekasihnya.
"Ini benar-benar gila. Gin! Tuan Burhan dan istrinya juga telah mati tadi malam," katanya kemudian, seraya berusaha menekan pera saannya.
Regina tersentak, "Dari mana kau tahu berita itu. Mas Reo"!"
"Kau baca berita ini!" Reo menyerahkan koran yang tadi dibacanya. ia menunjukkan berita tentang kematian Tuan Burhan, pengusaha kaya itu. Reo segera membaca headline berita yang sangat menyeramkan itu. Wajahnya yang ayu berubah menjadi tegang.
"Kau benar-benar yakin kalau kematiannya benar-benar disebabkan oleh lukisan itu?" tanya Regina kemudian. ia memandang dengan tajam.
"Aku telah menyaksikan wangsit kematian itu tadi malam. Keanehan-keanehan itu kembali terjadi, setelah beberapa malam tidak aku alami."
"Lalu bagaimana denganku, Mas?" suara Regina parau. Hatinya benar-benar merasa takut pada kematian yang sangat menyeramkan itu.
Reo menengadahkan wajahnya, seraya memandang teduh. Hatinya begitu waswas pada nasib yang akan menimpa diri kekasihnya. Biar bagaimanapun, Regina pasti akan mengalami hal yang serupa. Lukisan itu benarbenar akan menerornya. Bukankah Regina sendiri sudah menyaksikan pertanda dari kematiannya"
"Bagaimana, Mas?" suara Regina berubah menjadi lirih, tapi cukup untuk menyentakkan Reo dari lamunan.
"Entahlah, Gin!" kata pelukis muda itu" "Aku sendiri belum dapat memastikannya.
Tapi aku tidak akan membiarkan kau mati karena lukisan keparat itu. "
'Tapi bagaimana caranya, Mas?"
"Kita pergi ke tempat yang jauh."
"itu aku pikir percuma! Arwah yang bersemayam di dalam lukisan itu pasti akan tetap tahu di mana kita berada. Dia pasti akan terus mengikuti ldta," papar Regina merasa putus asa.
Reo terdiam. Apa yang dikatakan oleh Regina memang ada benarnya. Arwah yang bersemayam dalam lukisan itu pasti akan tetap tahu di mana mereka berada. Bukankah arwah itu pun tahu di mana tempat tinggal Sisca, Monica, Tuan Burhan, Dan Gustap. Jadi percuma saya kalaupun mereka harus mengungsi jauhjauh.
"Bagaimana usaha kita yang terbaik, Mas?" tanya Regina karena melihat Reo berdiam diri. Pelukis muda itu menghempaskan napas berat .Dan katanya kemudian,
"Bagaimana kalau kita menghadapi bahaya itu secara bersama-sama?"
"Maksudmu" potong Regina, seraya memandang sendu
"Malam nanti kita harus berada di tempat yang sama. Maksudku di rumahku atau di rumahmu. Aku yakin arwah gadis bule itu pasti akan datang. Saat itulah kita menghadapinya bersama-sama. Kalaupun kita harus mati. tentunya kita akan mati dengan bersama sama Pula. Bagaimana. apakah kau setuju dengan saranku ini, Gin?"
Regina mengerutkan keningnya dengan tajam. Hatinya benar-benar merasa baru pada kata-kata Reo tadi. la menganggukkan kepalanya dengan lembut. "Aku setuju, Mas" Tapi di mana kau simpan lukisan itu?" katanya kemudian melontarkan pertanyaan.
"Lukisan itu sudah aku kubur di tepi pantai sana." jawab Reo datar.
"Kau kubur?" "Iya! Kalaupun harus aku biarkan atau aku bakar sekalipun, lukisan itu pasti akan tetap meneror kita. "
Regina tetap memandang sendu. Dalam hati ia membenarkan juga pendapat Reo itu. Lukisan itu agaknya memang ingin membuat Reo menjadi gila.
Malam itu temyata Regina yang memutuskan untuk menginap di rumah Reo. Sebelum malam tiba, ia sempat menyarankan kapada Reo untuk lapor polisi saja. Tapi Reo tidak mau. la takut kalau tindakan Itu justru akan berakibat fatal bagi dirinya. Bukan tidak mungkin pihak kepolisian akan dapat menyingkapkan kasus-kasus yang telah terjadi. Dan ia sen
diri yang dituduh sebagai pembunuh Sisca, Monica, dan yang lainnya.
Mereka merasakan kalau malam itu memang agak lain. Udara di dalam rumah sepertinya lebih dingin dari biasanya. Bahkan keheningan pun dirasakan sangat mencekam.
"Kau kedinginan, Gin?" tanya Reo setelah berbisik. Sebenarnya ia sendiri merasakan hal yang serupa. Dengan lembut ia mendekap tubuh Regina yang tampak kedinginan itu.
"He, em! Mungkin hujan sebentar lagi akan turun," sahut Regina yang duduk di sisi Reo. Mereka sama-sama duduk di kursi panjang yang ada di ruang tamu. Entah sudah berapa lama mereka berada di sana.
"Biar aku buatkan kopi panas untukmu," Reo melepaskan dekapannya. Ia segera bangkit guna membuatkan kopi untuk Regina.
"Pembantumu mana" Maksudku Mang Surip?" Regina mencoba menahan kepergian kekasihnya.
"Mungkin dia sudah tidur pulas di dalam kamarnya. Biar aku saja yang membuat kopi itu. Aku juga bisa kok"
Regina tersenyum lembut, "Tapi jangan terlalu manis, ya!" katanya kemudian dengan manja.
"Siiiplah!" "Jangan terlalu lama, Mas ya! Aku takut sendirian di sini," pinta Regina sebelum Reo
_benar-benar pergi. "He, em! Nggak lebih dari lima menit. Cerewet amat sih! ' Reo segera berlalu dari ruangan itu. Ia tidak peduli pada Regina yang merasa takut .Tapi salahnya sendiri, mengapa ia tidak ikut saja bersama Reo untuk membuat kopi.
Gelisah di hati Regina menunggu Reo yang lagi membuatkan kopi. la khawatir kalau justru saat dirinya sedang sendiri gadis yang ada dalam lukisan itu datang. Ketika itulah ia akan membunuhnya. Kek! Ah, ngeri juga kalau Regina harus membayangkan hal itu. Tanpa terasa bulu kuduknya berdiri meremang. Untung saja Reo segera datang dengan membawa dua cangkir kopi panas.
"Nggak lama kan, Sayang!" katanya begitu meletakkan kopi itu di atas meja. Regina merasa lega.
"Kopinya pasti tidak enak!" goda Regina yang rupanya telah berhasil mengendalikan perasaannya kembali.
"Dicoba saja! Mudah-mudahan enak dan sesuai dengan pesananmu."
Regina segera meraih cangkir yang berisi kopi itu. Lalu menghirupnya. Setelah itu barulah ia memberikan komentar. "Rasanya terlalu manis, Mas!"
"Tapi enak, kan?"
"Iya deh! Daripada benjol"
Reo tertawa renyah. Regina jadi terpancing juga. Dengan demikian mereka dapat sedikit mengusir kegundahan.
Malam bagai bergulir dengan cepat Se
cangkir kopi sudah mereka habiskan. Udara dingin terasa semakin menusuk tulang. Tapi mereka tidak juga menyaksikan keanehan-keanehan. Padahal rasa kantuk sudah mulai menyerang mereka. . "Sudah malam, Mas! Aku ngantuk sekali. Lebih baik kita tidur saja," kata Regina bagai memecah kesunyian. Sudah sejak tadi ia terus menguap. Agaknya ia sudah benar-benar tidak tahan menahan serangan rasa kantuk.
"Jangan. Gin! Aku yakin arwah gadis itu akan datang malam ini" Wangsit itu sudah kau alami, bukan?"
"Tapi, aku ngantuk sekali. Mas! Aku benarbenar tidak tahan. Aku ingin tidur sebentar saja," desah Regina sambil meringis-ringis.
"Tahan, Gin! Sebentar, aku akan buatkan kopi lagi untukmu," Reo akan beranjak pergi untuk membuatkan kopi. Tapi baru saja ia berdiri, tiba-tiba di dalam ruangan itu berhembus angin yang sangat kencang.
"Mas... ada apa ini?" Regina segera menubruk tubuh Reo. la bagai ingin memperoleh perlindungan dari sana.
"Mungkin gadis itu akan datang, Gin!" desah Reo sambil mendekap tubuh Regina. Angin masih berhembus dengan kencang. Gor
den jendela dan pintu tampak berkibar lebar. Sementara taplak dan vas bunga berserakan ke sana kemari. Reo sendiri harus berpegangan pada sisi sandaran kursi demi menahan hembusan angin itu.
Beberapa saat lamanya suasana menegangkan itu berlangsung. Lalu angin itu pun menjadi surut, dan hilang sama sekali Regina masih tetap memeluk Reo dengan erat.
"Angin itu hilang dengan begitu saja. Mas!" katanya dengan suara yang berdesah.
"Tapi ruangan ini sudah jadi berantakan!"
Baru saja Reo selesai berkata begitu. Secara lamat-lamat telinganya mendengar suara desisan menyeramkan itu. Suara yang selama ini selalu didengarnya.
"Kau mendengar suara-suara itu, Gin?" tanyanya kemudian, seraya terus memasang telinganya baik-baik
"He, em! Seperti suara napas orang kena penyakit asma." sahut Reo setengah berbisik Bulu kuduknya sudah berdiri sejak tadi.
"Aku sudah sering mendengarnya. "
"Suara apa sebenarnya itu, Mas?"
"Entahlah! Aku sendiri tidak tahu. Aku tidak pernah melihat apa yang jadi sumbernya. "
"Mungkin lukisan itu. Mas!" bisik Regina, dan tiba-tiba matanya terbelalak lebar. la melihat sebuah benda yang tengah melayang layang. Benda yang berupa bingkai lukisan itu
muncul dari ruang bagian dalam rumah.
". i... itu. Lu... lu... lukisan itu, Mas!" suara Regina bergetar. Tangannya yang juga ikut bergetar itu menunjuk ke arah lukisan yang sudah berhenti melayang itu.
Reo mempererat dekapannya. la juga melihat lukisan itu sudah berada di pojok ruangan. Aneh sekali! Padahal lukisan itu sudah benarbenar dikuburnya sore kemarin di tepi pantai itu. Tapi mengapa sekarang benda itu sudah tiba kembali di dalam rumahnya. Ah, benarbenar lukisan setan. pikir Reo dalam hati.
"Kau bilang lukisan itu sudah kau kubur di tepi pantai. Ah, mengapa sekarang dia berada di rumah ini" Benar-benar membingungkan. Lukisan itu benar-benar telah dikuasai oleh setan!" keluh Regina menggeragap.
"Entahlah! Aku sendiri benar-benar tidak mengerti. Rupanya benda sialan itu memang dapat berpindah-pindah tempat dengan sendirinya," sahut Reo. Napasnya mulai berdesah secara tidak beraturan. Dan kali ini Regina hanya diam saja.
Suasana benar-benar mencekam. Meskipun demikian, mata mereka sempat terbelalak ketika menyaksikan perwujudan gadis itu keluar dari dalam lukisan. Peristiwa itu juga didahului oleh buramnya kaca bingkai lukisan dan keluarnya asap tebal. Mereka benar-benar terperangah. Degup jantung mereka semakin sulit untuk dapat dikendalikan. Demi mengu
rangi deraan rasa takut, mereka mengeratkan dekapannya masing masing.
"Gadis itu, Mas! Gadis itulah yang mungkin muncul dalam mimpiku itu. Dia benar benar ingin membunuhku. Aku takut sekali, Mas Reo!" rintih Regina dengan suara bergetar pilu.
"Bersiaplah sedikit tenang, Gm! Cepatlah kau lari meninggalkan rumah ini!"
"Bagaimana caranya, Mas?"
"Kau dapat keluar lewat pintu depan itu. Kau tarik selot kuncinya. Cepatlah, Gin!"
"Tapi... tapi!" Regina ragu-ragu.
"Jangan kau peduhkan aku! Biarkan aku menyelamatkan diriku sendiri!"
Regina masih tetap diam. Hatinya benarbenar tidak tega membiarkan Reo harus menempuh bahaya seorang diri. Karena biar bagaimanapun ia sangat mencintai pemuda itu. Ia tidak akan rela membiarkan pemuda pujaannya mati di tangan gadis arwah itu.
"Cepat, Gin! Jangan biarkan gadis itu menjamah tubuhmu!"
"Tapi, Mas...!" Regina tidak sempat lagl melanjutkan kata-katanya. Reo sudah mendorong tubuhnya dengan kasar. Agaknya ia benar-benar tidak ingin melihat Regina celaka. Tapi, ternyata tindakannya itu di luar dugaan. Akibat dorongannya yang kuat itu, tubuh Regina menghantam kursi.
"Aduh...!" pekik gadis itu. Tubuhnya yang
ramping jatuh tersungkur ke atas lantai.
Reo benar benar iba melihat keadaan Regina, tapi ia tidak mungkin lagi dapat menolongnya. Gadis misterius itu sudah berdiri menghadangnya.
"Cepat kau lari, Gin"!" teriaknya dalam keadaan yang panik itu.
"Tidak bisa, Mas! Kakiku terkilir," sahut Regina sambil memegangi pergelangan kaki kanannya yang agaknya terkilir itu.
Reo tidak lagi menimpali. Ia harus meladeni dulu arwah gadis bule itu. Celaka! Gadis itu sudah mulai menyerangnya dengan buas. Ia berusaha menerkam tubuh Reo yang tegap itu. Suara yang keluar dari dalam mulutnya benar-benar sangat mengerikan sekali .Persis suara erangan serigala yang terluka. Tapi masih untung Reo dapat menghindari serangannya.
"Gr!" gadis bermata biru itu memandang Reo. Sinar matanya tampak sangat hampa. Bahkan tidak ada gambaran kehidupan sama sekali.
"Awas, Mas Reo! " pekik Regina sesaat sebelum gadis misterius itu kembali menyerang kekasihnya. Dan suaranya itu justru membuat Reo lengah. Gadis perwujudan arwah itu berhasil menerkam tubuhnya. Bahkan kemudian membantingnya hingga menabrak dinding.
"Aaakh...!" pekik Reo. Gadis itu benar-benar kuat membantingkan tubuhnya. Reo be
nar-benar kesakitan. Tapi aneh, gadis itu tidak lagi memburunya. Ia justru berbalik ingin menyerang Regina.
"Celaka!" gumam Regina. Dengan susahpayah ia bangkit berdiri. Sementara itu, dengan terpincang-pincang Regina juga sedang berusaha menghindar. Gadis bermata elang itu tampak sangat ketakutan.
"Jangan! Jangan bunuh aku." rintih Regina dengan wajah yang pucat ia terus melangkah mundur dengan terpincang-pincang. Sinar matanya sudah berubah meniadi redup.
Reo benar-benar merasa iba melihat keadaan gadis pujaannya. Tapi masih untung. Sebelum gadis misterius itu berhasil menjamah tubuh Regina, ia sudah berhasil menyergapnya dari belakang. Sebelah tangannya berhasil mencekik leher gadis itu, dan sebelah tangannya mencengkeram ke arah perut.
Semula niat Reo ingin membanting tubuh ramping itu. Tapi kemudian ia terperangah kaget. Tangannya yang mencengkeram ke arah perut ternyata dapat amblas, masuk ke dalam perut gadis itu.
"Hai...!" dengan segera ia melepaskan tubuh gadis itu. Seketika bau busuk menyengat hidungnya. Agaknya tubuh gadis itu sudah membusuk. Bahkan di atas jemari Reo yang tadi mencengkeram perut, terdapat beberapa ekor ulat belatung. Menjijikkan sekali!
"Puih! Hoek! Hoek!" Reo benar-benar ti
dak tahan merasakan bau busuk yang menusuk hidungnya. Dari dalam mulutnya mulai mengeluarkan sisa-sisa makanan yang berasal dari lambung. Dan agaknya Regina mengalami hal yang sama. Tapi gadis itu benar-benar panik, karena sosok jelmaan arwah itu masih terus berjalan ke arahnya.
"Tidaaak ! Jangan bunuh aku!" Regina benar-benar ketakutan, ia melihat wajah gadis bule yang cantik itu mulai berubah wujudnya. Kulit mukanya kelihatan membusuk, dan dari dalam mulutnya tersungging sepasang gigi taring yang sangat tajam. Sementara dari dalam mulutnya masih tetap mengeluarkan suara yang menyerupai erangan serigala yang terluka.
Reo Turangga tersiksa oleh rasa mual pada perutnya. Tapi biar bagaimanapun ia harus menolong Regina. ia mulai celingukan ke sana kemari, mencari benda yang sekiranya dapat digunakan untuk senjata. Tapi usahanya nihil. Di ruangan itu tidak ada sebuah benda tumpul pun. Yang ada hanyalah meja dan kursi.
"Biar kursi ini saja yang akan aku hantam. kan ke tubuhnya," gumam Reo begitu sudah mengangkat sebuah kursi. Kursi itu memang ukurannya tidak terlalu besar.
Dengan sempoyongan Reo berjalan ke arah sosok arwah yang tengah meneror Regina. Tapi begitu kursi itu dihantamkan tepat pada punggungnya, ternyata sosok gaib itu tidak
bergeming sama sekali. Reo mengulanginya sampai beberapa kali Keadaannya tetap seperti semula. Agaknya gadis arwah itu tidak memiliki rasa sakit lagi.
Demi menyelamatkan Regina, Reo kembali membokong gadis misterius itu dari belakang. Ia berusaha tidak peduli pada bau busuk yang terus menyengat hidungnya.
"Cepat, Gin! Kau buka pintu itu dan lari," pekik Reo sambil terus memegangi tubuh busuk itu. Gadis misterius itu mengerang-erang, berusaha melepaskan diri.
Regina Segera menuruti saran Reo. la segera memburu ke arah pintu. Begitu dibuka. ternyata keras sekali. Padahal ia sudah menarik selotnya lebih dahulu. Pintu itu sepertinya telah terkunci dari luar.
"Cepat kau buka pintunya, Gin! Selamatkan dirimu!"
"Tidak bisa. Mas! Pintu ini sudah benar-benar terkunci."
Reo tersentak kaget Tapi ia tidak percaya pada kata-kata Regina. Sekuat tenaga ia membanting tubuh busuk itu. Kemudian ia segera berlari ke arah Regina. Begitu tiba di sana. ia pun mulai menekan-nekan handel pintu dengan kasar. Tapi pintu itu benar-benar sudah ada yang menguncinya. Agaknya gadis jelmaan arwah itulah yang telah melakukannya.
"Setan! Gadis itu benar-benar ingin membunuh kita rupanya," maki Reo dengan napas
189 yang terengah engah Sekujur tubuhnya sudah basah oleh peluh.
"Bagaimana ini, Mas' Aku belum Ingin mati," jerit Regina. la memeluk tubuh Reo eraterat. seolah ingin memperoleh perlindungan.
Reo membungkam. Dia benar-benar bingung. tidak tahu cara apa lagi yang harus dilakukannya. Ah, lebih bark aku pecahkan kaca besar itu. Dari sana aku dapat membawa Regina keluar. Tapi gadis itu pasti akan tetap memburu. Persetan! Pikir Reo mencari undakan penyelamatan yang selanjutnya.
Tetapi, baru saja ia akan melaksanakan niatnya itu, tiba tiba ia mendengar gadis misterius itu menjerit histeris
"Aaa...!" Prang' Prang' Prang' Dan, sesaat kemudian suara itu disusul dengan suara benda-benda pecah.
Rupanya Surip telah datang dan menghancurkan bingkai lukisan itu. Sebenarnya laki-laki ceking itu tidak sengaja melakukan perbuatan yang demikian. Itu hanya karena didorong oleh emosinya yang meluap luap. Tapi justru tindakannya itu ternyata dapat membuat arwah gadis itu kesakitan. Agaknya sukmanya sudah menyatu di dalam lukisan itu.
"aa...!" suara jeritan sosok arwah itu bagai menambah kepanikan di dalam ruangan. Reo dan Regina benar-benar merasa heran se
mentara Surip semakin bersemangat menghancurkan bingkai dengan sebilah besi tua yang dibawanya. Bahkan kemudian laki-laki ceking itu menyalakan korek api gasnya. la membakar lukisan yang terbuat dari cat minyak itu. Bersamaan dengan terbakarnya lukisan itu, maka tubuh gadis misterius itu pun terbakar pula dengan sendirinya.
"Aaa...!" jerit tubuh jelmaan arwah itu, bagai ingin memecah kesunyian malam.
Reo dan Regina benar-benar terpana. Mereka baru sadar kalau Surip telah menyelamatkannya. Tubuh jelmaan arwah itu sudah benar-benar terbakar oleh api. Dan beberapa saat kemudian tubuh itu berubah menjadi abu, kemudian raib dengan begitu saja.
Tidak ada seorang pun tahu siapa sesungguhnya gadis itu. Dia adalah Virginia Van Koeman, putri Van Koeman, pemilik rumah itu sebelumnya. Kematian gadis itu memang terjadi secara tidak wajar. la mati karena dianiaya sekelompok pemuda yang memperkosanya. Van Koeman yang juga adalah seorang pelukis, telah melukis anaknya itu sebelum satu minggu kematiannya. Setelah peristiwa tragis itu terjadi, ia sengaja menyimpan lukisannya di dalam gudang. Ia tidak ingin lagi mengenang putrinya yang telah mati penasaran itu. Dan, agaknya tindakan yang dilakukan oleh Marto dan Surip telah kembali mengusik ketenangan arwah Virginia Van Koeman. Arwahnya kem
bali gentayangan. Agaknya ia ingin membuat lelucon khusus untuk Reo Turangga. Kedengarannya memang mustahil, tapi demikianlah keadaannya.
Kini, arwah gadis itu sudah benar-benar kembali ke alamnya. Suasana mencekam sudah berlalu. Regina memeluk tubuh Reo dengan erat
"Kita tidak mati, Sayang! Kita masih dapat menikmati hari-hari kita," bisiknya dengan lembut.
"Dan laki-laki itulah yang telah menyelamatkan kita, Sayang!"
Mereka sama-sama memandang ke arah Surip yang berdiri di samping sisa-sisa lukisan itu. Laki-laki ceking itu tersenyum lembut. Mereka membalasnya. Kemudian mereka pun berciuman dengan mesra.
catatan : Buat pembaca ebook ini .yuk gabung di Group Fb Kolektor E-Book untuk mendapatkan Ebook terbaru.. dan yang suka baca cerita silat dan novel secara online bisa juga kunjungi http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain cerita ya !!
Terimakasih. Selesai Kemelut Blambangan 10 Pendekar Mata Keranjang 9 Neraka Asmara Kiamat Di Pangandaran 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama