Hulubalang Raja Karya Nur St. Iskandar Bagian 1
Hulubalang Raja Hulubalang Raja Kejadian di Pesisir Minangkabau Tahun 1662-1667
Nur St. Iskandar PENJELASAN UNDANG UNDANG EPUB ini dibuat oleh untuk memfasilitasi akses bagi tunanetra dan mereka yang memiliki keterbatasan membaca buku dalam cetak tinta.
Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf br
HULUBALANG RAJA Penulis: Nur St. Iskandar
Penyunting: Tim Editor Balai Pustaka
Penyelaras Bahasa: Olin & Mirza
Penata Letak: Gatot Santoso
Perancang Sampul: Dimas Nurcahyo
Cetakan Pertama, 1934 Cetakan Kedua puluh empat, 2010
Diterbitkan oleh Penerbitan dan Percetakan
PT Balai Pustaka(Persero)
Jalan Pulokambing Kav. J. 15
Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur
Tel. 021-4613519, 4613520
website: www.balaipustaka.co.id
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin
tertulis dari penerbit Kata Pengantar Sastra tidak dibawa malaikat dari langit. Sastra tidak datang begitu saja. Ia lahir melalui proses pergulatan sastrawan dengan kondisi sosial"budaya zamannya. Maka, membaca karya sastra hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya itu. Jadi, sastra menyimpan pemikiran sastrawannya juga.
Perjalanan sejarah sastra Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari peranan Balai Pustaka. Khazanah kesusastraan yang diterbitkan Balai Pustaka ibarat harta kebudayaan bangsa. Maka, membaca seri sastra adiluhung yang diterbitkan Balai Pustaka ini, tidak hanya sebagai usaha menelusuri kembali jejak masa lalu tentang kondisi sosial budaya zamannya, tetapi juga coba menelisik pemikiran pengarangnya sekaligus. Dengan begitu, kita akan menemukan banyak hal yang sekarang ini mungkin hanya ada dalam catatan sejarah.
Dengan pemahaman itu, pembelajaran sastra di sekolah dengan memanfaatkan seri sastra adiluhung ini, penting artinya. Kita akan mengetahui jejak sastra Indonesia ke belakang dan perjalanannya sampai ke masa sekarang. Kita juga dapat menyentuh bidang lain: bahasa, sejarah, sosiologi, antropologi, geografi, bahkan juga politik yang berlaku pada waktu itu. Memang, dalam karya sastra"bidang itu"disinggung untuk kepentingan jalinan cerita. Tetapi justru di situlah, sisi lain makna karya sastra menjelma dokumen sosiologis, historis, dan bidang-bidang yang disebutkan tadi.
Sekadar menyebut beberapa contoh, simaklah kegelisahan Sitti Nurbaya mengenai statusnya sebagai perempuan pribumi. Bukankah harapannya untuk dapat bersekolah seperti ada benang merahnya dengan semangat Kartini atau Dewi Sartika di Bandung; bukankah pada masa itu perempuan-perempuan lainnya juga menyuarakan pentingnya sekolah bagi kaum perempuan" Perhatikan juga kisah percintaan Hanafi dan Corrie du Busse dalam Salah Asuhan. Untuk dapat menikah dengan Corrie, seorang Indo (Prancis), sebagai pribumi, Hanafi harus memperoleh status persamaan hak. Bukankah persoalan itu berkaitan dengan politik kolonial Belanda" Bagaimana pula dengan DariAve Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus yang banyak berkisah tentang keadaan zaman Jepang" Penderitaan dan semangat revolusi yang terungkap di sana seperti memberi inspirasi kepada kita tentang pentingnya nasionalisme.
Jelaslah, banyak aspek lain yang terkandung dalam sastra. Oleh karena itu, membaca seri sastra adiluhung laksana memandang panorama kekayaan budaya masa lalu kita. Ia dapat digunakan pula sebagai cermin tentang perjalanan budaya dan pemikiran bangsa Indonesia.
Kehadiran kembali seri sastra adiluhung, sungguh menawarkan banyak hal bagi pembaca sekarang. Balai Pustaka sengaja menampilkannya dengan wajah baru, agar pembaca dapat menikmatinya dengan semangat baru, perspektif atau sudut pandang baru, dan pemaknaan yang juga baru. Dengan demikian, seri sastra adiluhung ini dapat menjadi saksi bicara tentang masa lalu sejarah bangsa Indonesia untuk menatap masa depan yang lebih cemerlang. Selamat menikmati!
Maman S. Mahayana SEJARAH DALAM HULUBALANG RAJA
Sastra dan sejarah memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama merekam peristiwa. Sastra sering disebut sebagai dunia dalam kata. Dunia yang dibangun berdasarkan tiruan atas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (imatitation or reality). Dalam pandangan Historisisme Baru, sastra dan sejarah merupakan dua teks yang saling berkaitan dan saling mengisi. Karya sastra memang tidak mencerminkan sejarah, tetapi ia merupakan pemain sejarah yang ikut membentuk dan memengaruhi sejarah (Mahayana, 2005: 369).
Masalah penting yang juga diusung oleh Historisisme Baru adalah intertekstualitas atau hubungan antarteks. Karya sastra tidak mungkin lepas dari pengaruh teks lain yang lahir atau terbit sebelumnya, baik itu teks sastra maupun teks nonsastra. Hubungan antarteks itu bisa kita temukan dalam roman Hulubalang Raja karya Nur Sutan Iskandar.
Hulu b alang Raja merupakan roman sejarah yang terjadi di pesisir Minangkabau antara tahun 1665-1668, berdasarkan penelitian H. Kroeskamp yang terhimpun dalam buku De Westkunst en Minangkabau (1965-1968) sebagai "academisch proefschrift", yang dicetak oleh Drukkerij Fa. Schottanus & Jens di Utrecht, tahun 1931. Fakta sejarah yang terjadi pada tahun 1665-1668 adalah konflik antara Minangkabau dengan Aceh yang kemudian melibatkan pasukan Belanda. Konflik itulah yang diangkat sebagai setting cerita dalam novel Hulubalang Raja.
Namun, sejauh mana fakta itu dihadirkan dalam novel ini" Nur Sutan sendiri mengatakan dalam Sepatah Kata pada cetakan kedua (1948) dan cetakan-cetakan setelahnya bahwa ia telah menyesuaikan isinya dengan perasaan yang tersembunyi atau disembunyikan adanya. Sejauh manakah Nur Sutan Iskandar melakukan penyesuaian"
Meskipun sastra dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan sejarah, karya sastra tak bisa dijadikan sebagai dokumen sejarah. Hal ini disebabkan oleh realitas yang hadir dalam sastra merupakan hasil pengamatan, perenungan, serta penghayatan pengarangnya. Realitas yang telah mengalami pengolahan imajinatif dan dihadirkan sebagai rekaman gagasan pengarangnya. Itu sebabnya, realitas di dalam sastra tak bisa dianggap sebagai realitas faktual. Meskipun karya itu ditulis berdasarkan fakta sejarah. Realitas di dalam sastra harus diperlakukan sebagai realitas fiksional.
Namun begitu, pendekatan ilmu sejarah dalam menganalisis novel Hulubalang Raja bisa mengurai fakta sejarah dan mengungkap sikap serta amanat pengarangnya. Menurut Maman S. Mahayana (dalam artikelnya Unsur Ekstrinsikalitas dalam Novel, 2008), "Nur Sutan Iskandar yang menulis novelnya dari sumber disertasi Kroeskamp, ternyata cenderung menekankan akibat-akibat konflik etnik yang kerap dimanfaatkan Belanda. Konflik antarsuku itu jelas merugikan perjuangan bangsa sendiri. Dalam hal itu, pengarang tampak hendak mengisyaratkan pentingnya arti persatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana yang dapat kita tangkap dari akhir cerita novel itu. Permusuhan Hulubalang Raja dan Raja Adil, akhirnya diselesaikan lewat perjanjian damai. Setelah itu, Minangkabau hidup dalam kedamaian."
Demikianlah realitas fiksional yang disampaikan Nur Sutan Iskandar melalui novel Hulubalang Raja. Prof. Dr. A. Teeuw (1978: 80-81) mengatakan, "Hulubalang Raja oleh Nur Sutan Iskandar merupakan roman sejarah yang jauh lebih menarik ditinjau dari segi sastra." Meski begitu, unsur sejarah di dalam novel ini sedikit banyak dapat menjadi pintu masuk pembacaan peristiwa yang terjadi di pesisir Minangkabau di masa lalu. Oleh sebab itu, Balai Pustaka menerbitkan kembali salah satu roman penting yang dihasilkan oleh pengarang paling produktif di zamannya, Nur St. Iskandar.
Penyunting Prakata Cerita ini dikarangkan dan diterbitkan pada tahun 1934.
Dalam beberapa waktu saja sudah habis terjual!
Banyak permintaan datang kepada Balai Pustaka supaya buku ini dicetak terus. Sungguhpun permintaan itu disambut dengan besar hati serta terima kasih, tetapi sekarang baru dapat diperkenankan, yaitu sesudah saya beroleh kesempatan akan agak menyesuaikan isinya dengan perasaan yang tersembunyi atau disembunyikan adanya.
Lukisan pro dan kontra Kompeni masa itu diperjelas.
Jakarta, Juli 1948 Penulis Berburu ke padang datar, mendapat rusa belang kaki.
Berguru kepalang ajar bak bunga kembang tak jadi
GELANGGANG Hari Kamis pagi.... Pagi! Bahwasanya ketika itu tidak boleh dikatakan demikian lagi sebab matahari sudah lama memancarkan sinar yang seperti warna gewang, terang, dan kilau-kilauan. Hawa dingin lembap sudah bertukar dengan panas sengangar, tetapi di dalam sebuah rumah besar di Kampung Hulu dalam daerah Inderapura orang baru selesai makan, yaitu makan pagi....
Seorang sudah mulai mengisap rokok, seorang lagi makan sirih dengan senang. Sekali-sekali keduanya berpandang-pandangan yakni sesudah melayangkan mata berganti-ganti kepada anak muda yang duduk agak jauh dari mereka itu, di muka sebuah jendela, sambil memandang ke halaman tenang-tenang.
Di anjung peranginan sudah kedengaran bunyi suri memukul benang, alamat di situ putri telah mulai bertenun.
"Heran," kata Raja di Hulu kepada istrinya, "dalam sepekan ini hamba lihat Ali Akbar bermenung berdiam diri saja, sepatah pun ia tiada berkata-kata."
"Tanyakan kepada si Selamat," sahut Putri Reno Gading, seraya berpaling kepada seorang bujang yang duduk bersandar ke tiang dekat kepala tangga, "tentu ia tahu apa yang kurang pada tuannya."
"Oh," sahut Raja di Hulu, lalu memanggil bujang itu agar datang ke dekatnya. Setelah ia duduk di hadapannya, tanyanya, "Hai Selamat! Mengapa tuanmu bermenung" Sudah gilakah dia, atau sakitkah dia maka selalu demikian?"
"Ampun! Hamba tidak tahu, Tuanku," sembah bujang itu.
"Dan engkau pun duduk seperti tadi itu apa artinya" Hari pagi dibuang-buang! Lebih baik engkau cari ayam aduan, Selamat, dan adu di hadapan tuanmu itu!"
Dengan segera bujang itu bangkit berdiri dan pergi mencekau dua ekor ayam pingitan; setelah dapat, lalu ayam itu diadunya dekat tuannya. Akan tetapi, jangankan Sutan Ali Akbar akan terganyih atau tergerak hatinya, mengangkatkan kepala dan menoleh pun ia tidak. Ayah bundanya bertitah pula, supaya si Selamat berbuat ragam lain, yaitu mengadu puyuh. Apabila dilihat Sutan Ali Akbar puyuh berlaga, berjujut-jujutan, barulah ia gelak tersenyum.
Raja di Hulu pun tersenyum pula, terbuka kira-kiranya.
"O, Buyung," katanya dengan riang, "kemari engkau duduk, kita berunding berhadap-hadapan."
Setelah Ali Akbar duduk bersila dengan tertib sopan di dekat ayah bundanya, Raja di Hulu menyambung perkataannya, "Mengapa berubah fiil pekertimu, apa yang kurang padamu?"
Diam, Sutan Ali Akbar belum menjawab lagi. Ia menundukkan kepalanya.
"Coba katakan kepada kami dengan sebenar-benarnya apa maksud hatimu, supaya dapat kami pikirkan!" ujar bundanya dengan lemah lembut.
Ali Akbar mengangkatkan kepalanya, lalu berkata dengan perlahan-lahan, "Ampun, Ayah dan Bunda! Sesungguhnya suatu apa pun tak ada yang kurang pada diri hamba, cukup lengkap pemberian Ayah dan Bunda kepada hamba. Segala kehendak hamba berlaku selama ini! Akan tetapi, ya, sungguh ada juga yang terasa dan terpikir di hati hamba, Ayah! Hamba hendak bertanya kepada Ayah, betapakah gerangan adat orang dalam kampung?"
"Kalau hanya perkara itu yang kautanyakan, senanglah jua rasa hatiku; dapat kujawab dengan segera. Dengarlah! Adapun adat berkorong kampung, adat beranak kemenakan, kalau beranak laki-laki, dari kedi dinanti besar; setelah besar, dipanggil gelar. Jika beranak perempuan, maka dari kecil anak itu dinanti besar; setelah besar, diajar tahu. Dan jika ia sudah tahu, artinya sudah pandai menjaga kesopanan diri dan aturan rumah tangga dan lain-lain, lalu dicarikan suami."
Sutan Ali Akbar tersenyum. Bunyi gerak suri pada pertenunan menggetarkan lidahnya, akan mengeluarkan perasaan yang terkandung di dalam hatinya. Ia pun memandang kepada bundanya, yang masih mengunyah-ngunyah sirih jua dengan sedapnya, seraya katanya, "Dari sabda Ayah itu, Bunda, nyata kepada hamba bahwa Bunda sudah berutang kepada Adinda Putri Ambun Suri. Ia sudah besar; pada pemandangan hamba, sudah patut dia dicarikan suami."
"Sudah adakah tampak olehmu yang patut akan jodohnya?" tanya Putri Reno Gading dengan gelak senyum, suka hatinya mendengar buah pikiran anaknya itu.
"Banyak, tetapi..."
"Sukar memilih, bukan?" kata ayahnya dengan cepat, sambil berpaling kepada istrinya.
"Selamat," seru Putri Reno Gading dengan agak nyaring, "kemari engkau dekat kepadaku, supaya jelas apa yang hendak kukatakan " Ambil semambu perak, tingkat gulang-gulang tabuh dan palulah tabuh larangan."
Sebentar antaranya tabuh larangan itu pun gegap gempita bunyinya. Tabuh yang banyak membalas bersahut-sahutan dan disudahi oleh tabuh di masjid"tabuh Jumat. Sekalian penduduk Kampung Hulu terkejut, lalu turun dari rumahnya masing-masing. Mereka itu berkumpul ke balai, bertanya-tanya apakah arti bunyi tabuh riuh rendah itu.
"Hamba sendiri pun tidak tahu apa artinya," kata pengetua kampung, yang dikerumuni dan dihujani pertanyaan oleh orang banyak itu, "lebih baik hal itu kita tanyakan bersama-sama kepada raja kita."
Sekaliannya berjalan berduyun-duyun arah ke rumah Raja di Hulu. Sesampai ke sana, pengetua menyembah dengan takzim, "Ampun, Tuanku raja kami, apa sebabnya tabuh berbunyi" Kami harap supaya kami diberi keterangan. Segala titah kami junjung."
Raja di Hulu tersenyum manis. "Jangan kamu sekalian cemas," katanya, "tak ada parit yang runtuh, tak ada besar yang melanda atau panjang yang melindih. Tak ada bingung yang teraniaya dan tak ada pula cerdik yang mengena. Tidak! Hanya maksud sengaja kami menghimpunkan kamu sekalian: hendak mengabarkan bahwa kami hendak memancangkan gelanggang. Kami hendak mencarikan suami anak kami, Putri Ambun Suri, karena ia telah muda remaja."
Pada air muka orang banyak itu kelihatanlah sukacita hatinya.
"Sebab itu," kata Raja di Hulu pula, "kami minta, supaya pengetua sudi berjerih payah mengajak rakyat sekalian mendirikan gelanggang itu."
"Ampun, Tuanku, segala titah kami junjung di atas batu kepala patik sekalian."
"Terima kasih...."
Pada hari itu juga anak negeri bekerja dengan riang mencukup- lengkapkanalat perkakas gelanggang. Dalam sekejap saja Kampung Hulu seakan-akan sudah bertukar warna bersemarak dan permai. Balairung sari dihiasi dengan bunga-bungaan puspa ragam; di pintu gerbang didirikan gaba-gaba yang amat indah; kiri kanannya disambung dengan lengkungan bermacam-macam daun-daunan, akan jadi pagar gelanggang yang amat luas itu.
Utusan sudah berjalan ke sana kemari, surat panggilan sudah melayang ke segenap tempat dan negeri.
Nan dekat panggilan tiba, nan jauh kulansing lepas!
Pada waktu yang baik dan saat yang sempurna gelanggang itu pun dibuka, sabung dimulai. Dari mana-mana orang besar-besar sudah datang ke sana, penghulu dari setiap kota dan dusun rapat pepat semuanya. Raja Lunang, Raja Air Haji, Raja Lakitan, bahkan Raja Batang Kapas pun hadir juga di situ dengan segala pengiringnya, akan meramaikan gelanggang Putri Ambun Suri yang terbilang cantik itu.
Memang elok dan molek adik Sutan Ali Akbar itu. Badan tinggi lampai, berisi penuh, pinggang sering ramping, raut muka bagai bundar telur, mata tajam memanah hati, kulit licin kuning langsat, bibir merah lagi halus, dan tutur kata sedap manis. Meskipun ia kaya raya, anak orang besar pula dalam negeri, tetapi ia tak pernah meninggikan diri. Tiada heran, jika sekalian orang berduyun-duyun hendak menghadiri gelanggangnya. Siapa tahu, barangkali ada untung bahagia badan.... Dan lain daripada tertarik oleh besi berani si cantik manis itu, sekalian orang terpandang pula kepada kakaknya. Sebagai seorang anak muda yang manja dan dimanjakan, gemar bersukaria dan beramai-ramai, suka berlayar kian kemari, Ali Akbar pun amat banyak empunya sahabat kenalan.
Beberapa hari gelanggang ramai tidak terbilang lagi ayam yang mati, bertimbun-timbun bulirnya, dan tiada ternilai banyak taruh orang. Oleh karena banyak orang pergi datang, sudah terbit debu di gelanggang. Sirih sudah menyarap balai, pinang dan gambir bertaburan. Pohon kemuning sudah tiga batang yang genting di hadapan rumah putri jelita itu, oleh pautan kura raja-raja; sudah selumbung padi habis untuk makanan jamu petang pagi; segudang kain lusuh menyalin pakaian helat; telah tiga buah peti berkupak akan pembayar utang di gelanggang. Ya, bukan buatan banyak emas habis, bukan sedikit harta tandas. Akan tetapi, belum juga bersua yang setuju pada hati putri itu. Orang mau, dia enggan; dia mau, orang pun enggan pula sebagai kena santung pelalai!
Ayah bundanya sudah gelisah, Sutan Ali Akbar sudah cemas memikirkan nasib gadis itu. Siapa gerangan yang disukainya, siapa konon yang dinantinya, maka demikian laku perangainya"
Pada suatu hari, sepenggallah matahari naik, sedang ramai orang di gelanggang, kedengaranlah bunyi genta kuda igau-igauan. Laksana orang memanggil, kadang-kadang jauh dan kadang-kadang dekat bunyinya. Tiada selang berapa lamanya kelihatanlah seorang anak muda masuk ke gelanggang dengan menunggang seekor kuda hitam, yang putih keningnya dan keempat pergelangan kakinya, serta berpakaian kebesaran yang amat indah-indah. Ia diiringkan oleh tiga orang menteri dalam yang berkuda dan berpakaian serba elok pula.
Sekalian orang tercengang! Menyabung terhenti sebentar sebab orang yang datang dengan pengiring itu tiada lain daripada Sultan Muhammad Syah, yang bertakhta kerajaan di Kota Hilir Inderapura yang kenamaan.
Dengan segera Baginda dielu-elukan oleh orang besar-besar dan disilakan naik ke balai; dari sana Baginda pun dijemput oleh Raja di Hulu dengan upacara kebesaran, lalu diiringkannya naik ke rumahnya dengan hormat dan takzim.
Lain daripada juara-juara dan orang kebanyakan, sejak kedatangan Muhammad Syah itu hampir tak ada lagi raja-raja yang memegang ayam. Setengahnya naik ke atas rumah bersama-sama dengan Baginda, setengahnya duduk bercakap-cakap di balairung sari. Di antara orang besar-besar itu banyaklah yang tiada bersenang hati lagi. Sudah diterkanya, apa maksud sultan datang itu. Sungguh! Sebentar antaranya pecah kabar bahwa Muhammad Syah datang meminang tuan Putri Ambun Suri yang molek dan kaya itu.
"Celaka," kata seorang kepada temannya.
"Apa sebabnya" Hamba pikir: untung, berbahagia Ambun Suri mendapat jodoh sultan, yang masih muda pula."
"Tetapi telah beristri."
"Apa salahnya" Siapa tahu, barangkali Putri Ambun Suri dijadikan permaisuri kelak?"
"Barangkali, kalau sultan boleh dan dapat mempergunakan pikiran dan kehendaknya sendiri! Orang Kaya tahu, bukan, namanya saja baru ia sultan" Tak salah saya katakan: karena ia masih terlalu muda dan kurang cerdik, ia tak kuasa memerintah sendiri. Tali kendali pemerintahan negeri sekarang masih tergenggam dalam tangan sultan tua, yaitu di tangan Malafar Syah yang ... itu, bukan?"
"Sssst,"terdorong lidah emas padahannya!"
"Betul! Apa pula yang akan saya takutkan menyebut kebenaran" Memang sultan tua tamak, loba, ganas, dan bengis. Sekaliannya hendak dipunyainya, hendak dirampasnya."
"Tentang hal itu tak dapat dibantah perkataan Sutan," kata Orang Kaya di Hilir dengan perlahan-lahan, "sebab benar belaka. Rakyat di Hilir boleh dikatakan tiada berhak sedikit jua atas miliknya. Ada bersawah, tapi padinya sebagian besar untuk sultan; ada berladang, berkebun lada, dan lain-lain, tapi hasilnya bagian Malafar Syah. Mana rakyat yang kaya di daerah Inderapura ini" Kalau masih berbulu, masih dapat dicukur, selalu dicukur juga oleh sultan tua itu."
"Ada malah tampak dan terasa oleh Orang Kaya kezaliman itu" kata Sutan Kadirun dengan darah mendidih, "dan sekarang niscaya akan tampak dan terasa pula oleh Orang Kaya apa maksud Muhammad Syah meminang Putri Ambun Suri, anak tuanku Raja di Hulu yang kaya itu! Halus akalnya ...."
"Tetapi yang meminang itu Sultan Muhammad Syah, bukan Malafar Syah."
"Tentu dengan kehendak, dengan suruhannya! Sultan muda tiada berdaya, lemah, dan tak bijaksana! Kecewa sangat negeri menobatkan dia jadi raja lekas-lekas! Maksud, supaya terlepas dari kezaliman sultan tua itu, tetapi masih setali tiga uang. Tidak, bahkan karena telah beraja, 'dua orang' dalam negeri bertambah berat lagi beban rakyat! Kasihan! Putri Ambun yang juita itu akan lepas ke tangan orang semacam itu."
Demikian pikiran dan timbangan orang di luar, dan begitu pula pendapat kaum keluarga Putri Ambun Suri sendiri! Baru mendengar niat Sultan Muhammad Syah hendak meminang putri itu, mereka itu pun segera mengadakan permusyawaratan. Tak seorang jua yang berbesar hati akan bersangkut paut dengan isi istana di Kota Hilir, tak seorang jua yang suka mendudukkan Ambun Suri dengan Muhammad Syah itu. Sekaliannya semufakat hendak menolak permintaan itu.
Namun bagaimana jalan, bagaimana cara akan menolak dia" Kehendak sultan hendak ditolak, padahal Raja di Hulu di bawah perintahnya"
Diam sejurus, majelis kehilangan akal. Akhirnya, Sultan Ali Akbar berkata dengan sabar dan tenang.
"Oleh karena kita tiada dapat memutuskan perkara ini, tiada lebih baikkah kita pulangkan timbangan kepada si Ambun sendiri, Ayah" Kalau kusut di ujung, patut kita lari ke pangkal, bukan?"
"Benar pikiranmu itu," kata Raja di Hulu dengan berasa lapang dadanya, "Adinda Reno, cobalah berunding dengan si Upik; benar dia, terangkan kesusahan kita kepadanya dan minta timbangannya yang sempurna betul."
Pada ketika itu Putri Ambun Suri duduk bermenung di atas anjung " tenun terentang dibelakanginya. Ia sudah tahu bahwa Sultan Muhammad Syah datang ke gelanggangnya. Genta kuda yang merdu igau-igauan tadi itu menggerakkan matanya yang tajam akan menoleh ke halaman. Niat sengaja sultan itu pun sudah dibisikkan si Kembang Manis ke telinganya. Itu sebabnya maka ia tafakur, itu sebabnya tenun tidak dipedulikan, sedang hatinya selalu berdebar- debar dengan keras. Dalam pada itu datanglah bundanya ....
"Anakku, Ambun," kata orang tua itu setelah memperhatikan keadaan anaknya sepintas lalu dan duduk bersimpuh di sisinya, "tak terganyih sedikit jua engkau rupanya melihat peristiwa di gelanggang. Orang sudah lengang, pasar telah usai, dan sabung telah terhenti."
"Hamba rintang dengan kerja saja, Bunda, dan benang hamba kusut masai. Mana sempat hamba akan menghiraukan hal itu."
"Gelanggang itu gelanggang engkau sendiri, Ambun, patut sekali engkau hiraukan. Apalagi sekarang ada orang ... tak tahu engkau?"
"Di mana hamba akan tahu hal ihwal orang lain, Bunda, sedang hal diri hamba sendiri pun menyesakkan dada hamba."
"Tak baik orang perusuh, Nak, hati rusuh bawa bergurau, supaya lapang kira-kira. Dan kuterangkan kepadamu apa sebabnya gelanggang tiba-tiba sunyi sepi, apa sebabnya orang mengurai bulang, lain tidak karena nan dimaksud hampir sampai dan nan diamal hampir pecah."
Putri Ambun Suri menatap muka bundanya. Sekonyong-konyong wajahnya pun berubah, pucat lesu, dan kedua belah bibirnya yang halus itu bergerak-gerak, tetapi tiada dapat mengeluarkan perkataan barang sepatah jua pun.
Sementara itu bundanya meneruskan percakapannya dengan hati-hati sekali, sambil memindah-mindahkan suginya ke kiri dan ke kanan; dipilihnya benar kata-kata yang akan dikeluarkannya, mana-mana yang dapat melunakkan hati anaknya yang keras sehingga gadis itu dapat mengaji elok buruk segala perbuatan serta menimbang melarat manfaat yang akan timbul pada diri ayah bunda dan keluarganya, jika permintaan Sultan Muhammad Syah yang berkuasa itu sampai ditolaknya. "Sungguhpun demikian, Anakku," katanya dengan lemah lembut, "terserah kepadamu akan mengucapkan kata putus."
Lama Putri Ambun Suri termenung dan tafakur. Rasakan putus rangkai hatinya.
"Hamba insaf, Bunda," katanya kemudian dengan tangisnya, sesudah mendengar rundingan bundanya itu, "bahwa keluarga hamba takkan menjalankan paksaan atas diri hamba. Bagaimana perasaan hamba, betapa pikiran hamba tentang itu" Tak guna hamba uraikan, tak usah hamba paparkan sebab kilat cermin sudah ke muka dan kilat beliung sudah ke kaki, bukan" Tambahan pula hamba pun tahu sungguh, betapa sulitnya kedudukan kita sebagai rakyat yang hina leta berhadapan dengan orang yang bersultan di matanya dan beraja di hatinya. Ya, kata putus dari ... dari mulut hamba sendiri, Bunda" Ah, ampun, Bunda ... tidak, tidak mungkin, " melainkan cukup sudah jika hamba katakan bahwa hamba tiada berniat sekali-kali, tiada sampai hati hendak merusakkan derajat Ayah dan Bunda! Sekalipun hamba tidak kuasa akan menyinggung perasaan sesama perempuan .... Sampaikan demikian kepada Ayah dan Kaktua, Bunda. Hamba sedia akan mengorbankan cita-cita dan perasaan kalbu hamba untuk keselamatan rumah tangga kita sekalian.
Sangat terharu bundanya mendengar kepatuhan anaknya yang disayanginya itu.
"Aku minta terima kasih banyak-banyak dan berdoa, moga- moga engkau berbahagia kelak," katanya, sambil berdiri dari kedudukannya.
Rundingan sampai, mufakat putus dan selesai! Pada hari itu juga disebarkanlah kabar di gelanggang bahwa Putri Ambun Suri telah bertunangan dengan Sultan Inderapura yang masih muda itu.
HANYUT Gelanggang akan diteruskan sampai tiba waktu kawin.... Akan tetapi, sorak-sorai orang tiada riuh rendah benar lagi. Sabung karena bersukaria karena pelesir dan beriang-riang, makin lama makin berkurang-kurang. Yang di gelanggang lagi hanyalah juara main saja, "orang berjudi berhabis-habisan. Raja-raja dan orang besar-besar sudah banyak yang mohon diri akan pulang ke negerinya masing- masing. Yang kecewa, yang ditolak permintaannya, berjalan dengan hati tak senang. Yang berasa disukai oleh Putri Ambun Suri, tetapi enggan membalas suka atau dnta itu, berlaku kurang peduli saja. Enggan"sesungguhnya takut karena ia telah mendengar kabar angin lebih dahulu bahwa Sultan Tua sudah menyuruh Muhammad Syah meminang putri yang kaya itu.
Hawa nafsu! Demi didengar Putri Kemala Sari, istri Muhammad Syah, kabar pertunangan itu, bukan buatan sakit hatinya. Ia sangat kasih kepada suaminya. Tiba-tiba ia"suami itu"direbut perempuan lain.
Pada pikirannya, tiada patut sekali-kali Putri Ambun Suri berbuat demikian. Baik karena terpaksa karena keras kehendak laki- laki, baik karena apa jua pun, pada perasaan dan pemandangannya Ambun Suri bersalah dalam hal ini, merebut suami orang! Apalagi Putri Ambun Suri bukanlah tidak kenal kepadanya. Semasa kecil mereka itu sepermainan. Sudah sehina semalu tiba-tiba Ambun Suri berlaku bagai menggunting dalam lipatan akan dia! Jika ia tahu akan terjadi serupa itu, niscaya ia tiada mau kawin dengan Sultan dahulu, walaupun ia takkan bersuami selama-lamanya!
"Sekarang apa dayaku?" pikir Kemala Sari dengan masygul bercampur geram. "Akan bermadu dengan dia" Tak mungkin! Ia lebih kaya daripadaku dan lebih berkuasa; ayahnya raja dalam negeri. Tentu ia dilebihkan Sultan daripadaku, meskipun aku, istri tua! Lama-kelamaan tentu aku dibuangkan, dicampakkan oleh Sultan. Wahai, apa dayaku, karena orang tuaku tiada berada dan tiada berkuasa seperti ayah bundanya?"
Ia termenung sebentar. "Aku akan bercerai dengan junjunganku?" katanya pula dengan terperanjat dan berang, "tidak, tak ada malu sebesar ini"suami direbut orang! Takkan terderita olehku. Akan tetapi, apa akalku akan menghapuskan malu itu" "
Sekonyong-konyong ia tersenyum, tetapi amat buruk kerenyut bibirnya dan masam mukanya. Rupanya ada timbul suatu pikiran yang tak baik di dalam kalbunya. Dengan segera ia tegak berdiri, pergi membuka lemari besar, akan mengambil pakaian dan perhiasannya yang indah-indah. Ia berpakai-pakai dan berhias. Setelah selesai semuanya, ia pun turun dengan sembunyi-sembunyi ke halaman dan berjalan menuju ke Kampung Hulu beserta seorang dayang kepercayaan.
Ia pergi ke rumah Putri Ambun Suri, akan memperlihatkan hati yang suci dan muka yang jernih. Seakan-akan sukarela ia bermadu dengan sahabat lama itu. Maka ia pun diterima oleh Ambun Suri, dengan sukacita dan manis. Dan karena baik tutur kata Kemala Sari karena ia amat pandai berminyak air dan menyimpan rahasia hatinya, sedikit pun Ambun Suri tiada menaruh syak wasangka kepadanya, sedikit pun tiada berubah rasa persahabatannya. Ajakan Kemala Sari akan pergi mandi berlangir ke tepian diterimanya dengan besar hati dan riang.
Sepeninggal jamu itu, dengan segera Putri Ambun Suri menyuruh Kembang Manis memanggil dayang-dayang empat puluh orang, akan mengiringkan dia ke tepian pada keesokan harinya.
Semalain-malaman sekalian dayang itu asyik dengan kerjanya masing-masing. Ada yang mengerat limau, ada yang memipis kasai. Setengah bersuka-suka dengan ramainya, bunyi gelaknya berderai- derai; setengah berpantun berbalas-balas, sedang bunyi celempung Jawa beragam-ragam dan bunyi gung berdenyut-denyut. Tengah malam Putri Ambun Suri memberi ingat kepada Kembang Manis akan menjagakan dia pagi-pagi benar, supaya ia jangan mungkirkan janji dengan Putri Kemala Sari, hendak berlangir dan berlimau ke tepian Ulak Damar.
Tiada berapa lama antaranya ayam pun berkokok bersahut- sahutan, makin lama makin ramai. Fajar telah menyingsing di sebelah timur. Baru sekali murai berkicau, berserulah Kembang Manis kepada tuannya, yang tengah tidur nyenyak di atas anjung kemuliaan.
"O, Mak Acik hamba, jagalah; hari telah siang."
Seketika Ambun Suri bangkit dari peraduannya, lalu dibukanya pintu anjung. Ia memandang ke halaman. Atap lumbung kaca kilau-kilauan kena sinar bintang timur yang telah mulai pudar. Hawa pagi yang sejuk segar bertiup ke badan lampai, yang berdiri laksana bidadari kayangan di muka pintu itu. Lapang dada Ambun Suri rasanya, hilang sama sekali kantuk yang masih bergantung di kelopak matanya. Dengan cepat sehingga terdayuk pinggang yang lemah, putri jelita itu pun berpaling kepada dayangnya.
"Kembang, o, Adikku," katanya dengan senyumnya, "ambil pakaian, sediakan kain baju dan cincin gelangku. Kita berjalan sekarang ini, sebelum orang banyak datang. Kita akan lalu ke gelanggang, terus ke tengah balai."
Sementara Ambun Suri mengenakan kain dan bajunya, maka manik dan cincin, gelang dan subang pun sudah diletakkan oleh dayang yang cekatan itu di hadapannya. Setelah sempurna lekat pula perhiasan yang indah-indah itu, turunlah ia ke tengah rumah. Dayang-dayang yang empat puluh mengiring semuanya. Langkah dianjur ke pangkal, lalu dimulai perjalanan. Melenggang ia ke kiri dan ke kanan, menderinglah cincin di jari, tingkah bertingkah genta gelang dan menyambar elang di cucuran. Panas antara ada dengan tiada, hawa masih sejuk rasanya, maka putri jelita itu pun terus berjalan dalam lingkungan gadis-gadis yang bersuka-sukaan dengan tiada berkeputusan. Makin lama makin jauh perjalanannya, hampir sampai pada suatu tempat berhenti yang aman. Ketika tiba di Ara Ketunggalan, bertanya-tanyalah dayang-dayang sama sendirinya, "Siapakah yang duduk di situ" Belum patut ia duduk seorang diri, berdua pun belum layak juga; salah roman dipandang orang."
Sesungguhnya ketika itu adalah kelihatan seorang perempuan muda yang indah parasnya duduk di bawah sebatang pohon ara, seakan-akan bermenung rupanya.
Kata Putri Ambun Suri, "Para, Dayang-dayang, jangan kalian banyak ribut; itulah Putri Kemala Sari, dengan dialah kita akan berjalan."
Sesaat antaranya sampailah mereka itu ke dekat putri yang menanti itu. Ambun Suri bersalam dengan dia, sedang dayang- dayangnya menyembah takzim. Mereka itu pun duduk bersama- sama dan makan sirih sekapur seorang, akan obat haus kelaparan. Setelah itu berkatalah Putri Kemala Sari, ujarnya, "Wahai, Putri Ambun Suri, dengarkan pantun dengan ibarat:
mengapa matahari tak kunjung petang,
mengapa kita berjanji, Adik tak kunjung datang?"
Jawab Putri Ambun Suri, "Bukannya hari tiada petang,
penggalan tiada kunjung pantai.
Bukannya berjanji tiada datang,
berjalan tidak kunjung sampai."
Dengarkan sebuah lagi. Kak Sari, supaya dua pantun seiring:
"Ara nan empat puluh batang,
balarn di atas telang danta.
Hamba dinanti telah datang,
elok berjalan pula kita."
Sahut Kemala Sari dengan cerdiknya.
"Kalau begitu kata Adik, dengarkanlah hamba katakan. Ada sebuah yang merasa dalam hati hamba: salah angkuh dan salah periksa, salah roman dipandang orang: Adik berjalan dengan pengiring, lengkap dengan dayang-dayang, tetapi hamba seorang diri saja. Oleh sebab itu, nantikanlah hamba di sini; hamba pulang dahulu sebentar dan menjemput si Kembang pula."
Kata Ambun Suri, "Tak usah Kak Sari berbalik pulang. Tentang pengiring itu, ambillah pengiring hamba ini seperdua."
Putri Kemala Sari berdiam diri sejurus. Ia mencari daya upaya rupanya. "Adat di laut yang seperti itu: hidup perdu-memerdui. Akan tetapi, kita ini orang daratan, tiada berpakai adat sedemikian," katanya dengan agak tajam.
Ambun Suri berpaling kepada dayang-dayangnya, seraya berkata, "Wahai, dayangku sekalian, pulanglah; hingga ini sajalah aku diiringkan."
Dayang-dayang berbalik pulang dengan patuhnya, kecuali si Kembang Manis. Maka kata Ambun Suri, "Hari bertambah tinggi jua, Kak Sari, marilah kita berangkat."
"Pikir pendapat hamba, Ambun Suri," kata Kemala Sari seraya melayangkan pandang kepada Kembang Manis, yang tinggal tak berteman lagi, "si Kembang pun tak guna mengikut. Baik juga dia berbalik pulang: dia penanti helat datang. Jika ia pergi juga, datang jamu jauh dan dekat, siapakah yang akan membelahkan pinang, siapakah yang akan membawakan sirih?"
Dayang yang setia itu terkejut, lalu memandang kepada tuannya dengan mata yang membayangkan perasaan kalbunya. Berat hatinya akan membiarkan Ambun Suri pergi berdua saja dengan putri itu, sebabnya ia tak lurus. Akan tetapi, Ambun Suri berbuat seolah-olah tiada mengetahui perasaan dan kekhawatiran hati dayang yang arif itu, sebab ia berkata dengan pendek, "Ya, lebih baik engkau pulang juga."
"Ampun hamba, Acik," sembah Kembang Manis, "tak senang hati hamba berbalik, hamba hendak mengikut jua dengan Acik. "
"Kembang," kata Ambun Suri dengan berang, "sekali aku berkata, elok kauturutkan saja. Jangan engkau berpanjang bicara, melambatkan kami akan berjalan."
"Ampun, Acik," ujar si Kembang pula dengan sesungguh- sungguh hatinya, "hamba bermimpi malam tadi, mimpi hamba buruk benar. Rasa anjung kemuliaan tenggelam, junjungan sirih rebah, lumbung tengkurap, dan kerbau besar mati."
Ambun Suri tersenyum. "Pencemas benar engkau ini, Kembang," katanya. "Mimpi baik kaukatakan buruk. Padahal mimpimu itu lur us benar, baik takbirnya: anjung kemuliaan bak rasa tenggelam, alamat tingkat anak buah kita akan naik, rakyat akan kembang biak; junjungan sirih rebah dan lumbung tertangkup tandanya padi akan menjadi; kerbau besar mati, alamat kebesaran ada pada kita. Sebab itu pulanglah engkau; tak usah merintang aku berangkat."
"Wahai, Acik, dengarkan juga kata hamba,
Selindit mati tertatal, mati terpulut dalam padi.
Sedikit Tuan akan menyesal,
jika tak di mulut dalam hati.
Hilir orang ke gedung madat,
padi bermanik-manik jua. Oranglah nyata beriktikad,
Acik berbaik budi jua. Berbaur berputing tidak, berpepat ujung penggalan.
Awal ditentang akhir tidak,
mudarat jua pekerjaan. Dari Rum ke benua Cina, ke barat jalan ke bandar Padang.
Seakur mata dengan telinga,
mudarat tidak Acik kenang."
Putri AmbunSuri merentak dan berkata dengan berang, "Jangan meragu engkau di sini, ayo, pulanglah dengan segera!"
"Jika begitu titah Acik, masa hamba akan ingkar! Apa boleh buat," maka ia pun menyembah, lalu berbalik pulang dengan hati khawatir dan cemas.
"Sekarang," kata Ambun Suri kepada temannya, "marilah kita berangkat, Kak Sari."
Kedua putri yang indah molek itu pun berjalan dari Ara Ketunggalan, sambil bercakap-cakap dengan suka dan riang. Bagaimana perasaan yang sebenar-benarnya terkandung di dalam hatinya masing-masing, sedikit pun tiada terbayang pada air mukanya yang tenang dan jernih itu. Mula-mula dilaluinya kayu yang besar, sudah itu aur yang kuning dan setelah terlampau pula dari gelapung condong, mereka itu pun sampailah ke tempat yang ditujunya, tepian Ulak Damar sudah terbentang di hadapannya. Di pinggirnya kelihatan batu karang menonjol, di tengahnya karang melintang. Airnya keruh bagaikan air kerak, warnanya senam alamat dalam. Keduanya berjalan agak ke hulu ke pemandian putri-putri yang jernih airnya, aman dan indah. Setiba di situ, mereka itu pun mulai meramas limau, lalu berlimau, sambil bergurau dengan riang. Puji memuji rambut yang panjang tergerai, yang telah licin bersih kena gosokan air limau yang harum baunya. Setelah bersanggul kembali baik-baik, berkatalah Putri Kemala Sari kepada temannya, "Nah, kini mari kita mandi, Ambun Suri .... Tetapi lebih baik berganti-ganti. Gelanggang sedang ramai, bangsat banyak sekarang ini. Supaya kita jangan binasa di sini, biarlah hamba mandi dahulu; pandangi oleh Tuan bangsat lalu."
Ia pun masuk ke dalam air, mandi, serta berkecimpung ke hilir dan ke hulu dengan kaki tangannya. Amat deras dan ramai bunyinya sehingga kedengaran sampai ke gelanggang. Memang, juara dan jenang pun berbisik-bisik dengan senyumnya, "Hm, kalau si Congkak sedang mandi, kedengaran kedmpung di tepian." Dan setelah puas Kemala Sari mandi, ia pun keluar dan berkata kepada Ambun Suri dengan manisnya,
"Taruhlah padi dalam puan,
sedang hamba berkain muri.
Mandilah pula malah Tuan,
supaya hamba bermain budi."
Sahut Putri Ambun Suri, "Orang menyirat di tepian,
sirat terletak dalam padi.
Ingat-ingat merintang ikan,
sementara hamba bersiram mandi."
Dengan segera dilurutnya cincin dari jarinya, dilipatnya kain dan baju, lalu disusunnya di dalam mundam semuanya. Maka ia pun turun ke tepian, mandi berkecimpung pula. Lebih hebat bunyinya dan lebih banyak ragamnya daripada kecimpung Putri Kemala Sari tadi itu. Ia berkecimpung cara Bangkinang, yang disela-sela dengan kecimpung Batanghari. Ada dua macamnya, dua ragam turun naiknya, ke hilir kecimpung kaki, terkejut lari ikan belanak; ke hulu kecimpung tangan, berkeliaran lari garing besar, tertegun renang ikan kulari, mendudu-dudu anak pantau, hanyut dibawa alun ke seberang.
Sedang Ambun Suri mandi sedemikian, sedang ia lalai lengah diayunbuaikan bunyi kedmpungnya yang beragam-ragam itu, Putri Kemala Sari menjalankan akal budi dan tipu muslihatnya. Ia hendak membinasakan bakal madunya. Lambat 1 aun ia berjalan ke tepi pasir ke dekat mundam Ambun Suri terletak itu. Sekonyong-konyong ia pun berbuat seakan-akan tersandung: disepakkannya mundam itu sekuat-kuat tulangnya, lalu terlayang ke dalam air. Hanyut dibawa arus! Setelah itu ia pun segera beralih tegak ke tempat lain, ke atas batu karang yang terjojol.
Tiba-tiba darah Ambun Suri tersirap, berdebar-debar hatinya. Dengan cepat ia berlari keluar; maka dilihatnya mundamnya tidak ada lagi. Ia pucat, sendi tulangnya gemetar, lalu berkata kepada kawannya atau lebih baik dikatakan: musuh dalam selimut itu.
"Hai, Kak Sari! Kita sekampung sehalaman, kita sama besar sepermainan, mengapa Kakak berlaku seperti itu" Ke mana mundam hamba tadi" Kalau tidak karena olah perangai Kakak, tak mungkin mundam hamba hilang lenyap. Kita hanya berdua di sini."
"Ha, ha," gelak Kemala Sari dengan kerenyut bibirnya sehingga hilang rupa kecantikannya.
"Lurus-lurus gunting celana,
bukan bak gunting sibar baju.
Lurus-lurus mata dakwa, hamba menjawab boleh tentu
Jawab Ambun Suri dengan geram,
"Tak tali ketaya lagi,
bakau di ladang rebah tegak.
Tak kami percaya lagi, Kakak bersumpah sambil gelak."
Kemala Sari: "Anak buaya di dalam paya,
mandi ke lubuk batang air.
Kalau Adik tidak percaya,
mari ke lubuk berselam air."
Ambun Suri: "Betung serumpun di halaman,
titian anak orang Judah. Kita sekampung sehalaman,
menaruh dendam tidak sudah."
"Tepat benar," ujar Kemala Sari menyeringai, "menaruh dendam, ya, hm, tetapi siapakah yang salah, Adik?"
"Putih pinangnya orang Lumpa,
sabit di rumah raja tua. Putih tulang hamba tak lupa,
sakit di dunia telah bersua.
"Sungguh! Hendak mengapa engkau sekarang?" katanya pula seraya menempuh selangkah ke muka, "Engkau pandai aku cerdik. Engkau mengail dalam belanga, menohok kawan seiring"tak bermalu! Tetapi takkan lalu jarum engkau:
Menjala ke Bukit Putus, kenalah udang di jala rapat.
Dicencang air takkan putus,
dijaring angin takkan dapat."
"Kak Sari, mengapa Kakak begitu benar" Mundam hamba Kak Sari, kembalikan mundam hamba, sudah dingin hamba rasanya," kata Ambun Suri selaku hendak menangis karena menahan sakit hati.
"Sudah gila engkau gerangan, mendakwa orang tak keruan."
"Mundam hamba," kata Ambun Suri pula, "tak usah lama berandai-andai, Kak Sari:
Dicencang daging tiga cencang,
ditingkat tangga tiga tingkat.
Direntang runding akan panjang,
elok dipuntal supaya singkat.
"Wahai, Kak Sari, malang celaka badan hamba .... Tunjukkan, di mana mundam hamba tadi" Hamba sembah tapak kaki Kak Sari, tolong tunjukkan dengan segera."
"Hanyut," kata Kemala Sari dengan tenang.
"Hanyut?" ujar Ambun Suri dengan sangat terkejut dan terperanjat sehingga pucat pasi warna mukanya, "Mengapa tidak sejak tadi Kakak katakan ...?" Ia pun bergerak hendak ke hilir.
"Dengarkan kataku dahulu," kata Kemala Sari dengan tenang juga, "bukan aku tak mau mengatakan! Tatkala engkau berkecimpung tadi, aku meningkah dengan nyanyian. Tiba-tiba turun angin puncabeliung, angin bertepuk kiri kanan, maka mundam itu pun melayang masuk air. Aku berseru tidak sampai."
"Apa daya hamba sekarang?"
Kemala Sari menggelengkan kepala serta mengejek dengan seringainya.
"Biar hamba cari ke hilir kata Ambun Suri pula dengan suara tetap, "hanya sebuah permintaan hamba kepada Kak Sari: sampaikan pesan hamba kepada Kaktua Sutan Ali Akbar, suruh turuti hamba ke hilir."
Sambil berkata demikian ia pun berlari cepat-cepat ke sebelah barat menepi sungai, sebagai orang gila lakunya: berkain basahan sehelai saja, sedang rambutnya yang panjang tergerai sampai ke tumitnya.
Hulubalang Raja Karya Nur St. Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rasakan!" kata Kemala Sari dengan besar hatinya, "buaya boleh engkau persuami, tetapi Tuan Muhammad Syah takkan dapat olehmu." Ketika Ambun Suri sudah jauh ke hilir, ia pun berbalik pulang dengan rasa kemenangan.
MATI TAK TENTU KUBURNYA Makin tinggi hari, makin susut embun pagi yang lekat gilang-gemilang di daun-daunan"habis tak ketahuan ke mana perginya, membawa diri karena digagahi sinar syamsu yang bertambah terik itu. Kabut pun jadi tipis, ya, lama-kelamaan hilang lenyap pula"hari telah terang cuaca.
Di gelanggang Putri Ambun Suri orang telah mulai ramai pula. Sorak-sorai telah gemuruh, nyawa ayam tak berharga lagi, sedang uang dan harta berpindah-pindah dari tangan seorang kepada seorang. Pada itu orang besar-besar, menteri dan penghulu, dari segala suku serta orang cerdik pandai dalam negeri sudah datang dan duduk bersusun-susun di balairung sari. Maka Ali Akbar pun bertitah kepada bujangnya, "Selamat! Jemput sirih selengkapnya, akan penyirihi helat muliawan itu."
Dengan cepat bujang itu berlari ke rumah gedang. Sesampai ke halaman, ia pun berseru kepada Kembang Manis, "Hamba disuruh oleh Tuanku di balairung, Kembang menjemput sirih dengan cerana. Helat sudah banyak datang. Lekas ambilkan, Kembang, dan isi langguai Cina supaya hamba bawa ke gelanggang."
"Bagaimana hamba akan mengambil cerana, Selamat" Mak Cik tidak di rumah, dia pergi berlimau ke tepian. Hamba menurut ditegahnya."
"Jadi, bagaimana?"
Maka diceritakanlah kepada si Selamat apa-apa yang terjadi pada pagi itu sampai dia disuruh pulang oleh Ambun Suri dengan berang, sesudah itu, betapa Tuan Putri berjalan terus berdua dengan Putri
Kemala Sari. Kekhawatiran dan syak wasangka hatinya terhadap Putri Kemala Sari itu pun tiada disembunyi-sembunyikannya.
"Sampai sekarang belum pulang?" tanya Selamat dengan cemas.
"Belum. Rusuh benar hati hamba"hari sudah tinggi."
"Mengapa tidak lekas engkau kabarkan hal itu?" kata Selamat pula, sambil berjalan balik ke gelanggang dengan suram.
Sekalian cerita si Kembang itu disampaikannya kepada tuannya. Sutan Ali Akbar terkejut, berdebar-debar hatinya.
"Suruh si Kembang menuruti dia ke tepian," katanya, "cepat dan kalau tak ada dia di sana lagi, cari terus ke istana di Kota Hilir."
Selamat berbalik mendapatkan Kembang Manis, akan menyampaikan titah itu.
Dengan tidak berlalai-lalai sedikit jua pergilah Kembang Manis ke Ara Ketunggalan, tempat ia bercerai dengan tuannya. Dari situ ia terus ke Ulak Damar. Demi dilihatnya tiada seorang jua lagi di tepian itu, ia pun berlari-lari dengan cemas ke istana Putri Kemala Sari sebab sudah syak benar hatinya bahwa Putri Ambun Suri sudah kena tipu daya bakal madunya yang cerdik itu. Besar umpatnya, amat sedih hatinya mengingat nasib tuannya karena ia tiada mau mendengarkan buah pikirannya.
Di Kota Hilir ia disambut oleh Kemala Sari dengan cerita demikian:
"Mujur benar engkau datang kemari, Kembang. Aku sudah bermaksud juga hendak memesankan engkau.... Tumbuh malang di atas badan kami. Sedang kami bergosok dan berkasai, sedang melagu-lagukan kedmpung, dengan takdir Allah angin puncabeliung bertiup seketika dengan keras sehingga mundam makcikmu melayang masuk air. Ya, mundam yang tak boleh hilang .... Ambun Suri hilir ke muara menurutkan mundamnya yang hanyut itu. Ia berpesan kepadaku, menyuruh menyampaikan hal itu kepada kaktuanya, supaya dituruti dia dengan segera."
Si Kembang berbalik pulang ... berlari-lari.
Bukan kepalang terperanjat Ali Akbar, ketika berita itu dipersembahkan si Kembang kepadanya. Ayam berbulang dihamburkannya, taruh bertampin diserakkannya. Sambil menyisipkan keris pada pinggangnya, ia pun berjalan dengan cepat, tergesa-gesa dan cemas, ke tepian Ulak Damar itu; dari situ ia hilir menepi sungai, seraya memperhatikan jejak dan sekali-sekali ia memandang ke dalam air. Akan tetapi, suatu pun tiada kelihatan olehnya. Bertambah kelam kabut pikirannya! Ia tiada berjalan lagi, melainkan berlari secepat-cepatnya. Akan tetapi, ia lekas tertahan oleh semak belukar.
Penduduk berumpun-rumpun, lalang bertumpuk-tumpuk, pokok capa berbatang-batang dan lintabung bagai anak bayam di tepi sungai itu. Agak jauh di hilir ada kelihatan batang melintang bagai bukit. Ia pergi ke sana, sambil mengambil jalan ke dalam rimba. Dengan susah payah akhirnya ia pun sampai jua ke tempat itu"tempat kayu besar rebah. Urat kayu itu jauh di atas tebing, tetapi dahan-dahannya menjulur sampai ke tengah-tengah sungai. Batang itu pun dipanjatinya. Dari dahan yang landai ia memandang ke kiri dan ke kanan, ke muka dan ke belakang serta ke dalam air yang berpusar-pusar di bawah kakinya. Jauh di seberang tampaklah olehnya seorang anak gembala. Ia berseru kuat-kuat, melambai-lambai dengan destarnya, agar anak itu datang ke dekatnya.
Dari anak gembala itu Ali Akbar mendapat kabar, yang sangat sedih dan menghancurluluhkan hatinya serta memutuskan segala pengharapan dan cita-citanya akan hidup agak lama di atas dunia ini; dengan matanya sendiri anak itu melihat Ambun Suri terjatuh masuk air dari dahan melintang itu, ketika ia hendak menjemba mundamnya yang tersekat agak jauh di tengah.
"Terjatuh masuk air?"
"Saya, Tuan, dan terbenam, sedang mundamnya itu terus hanyut ke hilir. Saya kejar, saya turutkan, tetapi mundam itu hilang di lubuk yang dalam."
Entah ada terdengar oleh Ali Akbar keterangan yang akhir itu, entah tidak, sebab kata "terbenam" itu sudah menggerakkan dia akan melompat masuk air. Ia menyelam ke dasar sungai sampai ke limau tebal, ke rongga-rongga batu, ke urat-urat kayu yang berjalaran dalam air itu. Akan tetapi, jangankan bertemu yang dicarinya, bekasnya pun tiada kelihatan. Ia berenang ke hilir pula, sambil memeriksa lekuk dan teluk dengan tiada berkeputusan. Sia-sia juga! Ambun Suri atau mayatnya pun tiada bersua.
Ketika badannya sudah letih dan lesu benar, hampir tak berdaya sedikit jua lagi, ia pun meraba-raba ke tepi air dan bergantung pada sebuah batu karang. Dengan susah payah dapatlah Ali Akbar memanjat batu itu.
Sementara itu, Raja di Hulu dan Putri Reno Gading sudah resah gelisah. Bahwa Ambun Suri hilang dan Sutan Ali Akbar sudah pergi mencari dia, telah dikabarkan si Kembang kepadanya. Sesaat, dua saat, tiga saat, bahkan sudah lama benar ditunggu-tunggunya kedua ananda itu, tetapi tiada datang juga. Sudah putih mata memandang ke halaman, telah buncah pikirannya, sedang hari telah rembang petang"maka kata Raja di Hulu kepada istrinya, "Ajaib! Yang dikait tiada jatuh, pengait tinggal di atas. Atau barangkali ...."
Ia bangkit berdiri dari kedudukannya.
"Lebih baik kita turuti mereka itu," kata Putri Reno Gading dengan duka cita, "mustahil si Buyung akan berlalai-lalai, kalau tidak ada mara bahaya...."
Kedua orang tua itu pun bersiap, lalu berjalan ke arah ke muara dengan beberapa orang pengiringnya. Hari telah petang benar, ketika mereka itu menampak seseorang menjemur-jemur diri dalam sinar matahari yang hampir terbenam itu di atas sebuah batu besar. Hampir seperti orang berubah akal rupanya, rambutnya kusut masai, pakaiannya berkarut-marut dan basah, sedang ia sementara asyik menangis dan meratap kadang-kadang gelak tiada keruan. Orang tua itu pun mendekati dia, sambil berkata dengan cemas, "Anakku! Mengapa engkau berlaku seperti ini, Ali Akbar" Mana adikmu?"
Sutan Ali Akbar mengangkatkan kepala dan memandang kepada ayah bundanya dengan mata liar. Mula-mula ia tertawa menyeringai, tetapi hampir sekejap itu juga pun menangis dan berkata dengan terisak-isak, "Ayah, wahai... Bunda!"
"Mana adikmu, Akbar" Katakan, di mana engkau tinggalkan?"
Orang muda itu menarik napas panjang, akan melapangkan dadanya yang sangat sempit sesak rasanya. Dengan perlahan-lahan diceritakannyalah segala yang didengarnya dari anak gembala dan perilaku dia mencari sampai ke tempat itu.
"Aduh, telah hilang anakku," kata kedua orang tua itu dengan sedih hatinya.
Ketiga-tiganya bertangis-tangisan, sedang sekalian pengiringnya tak dapat pula menahan sedih lagi: bengkak batang lehernya dan menggerabak air matanya.
"Jangan meratap jua, tak ada gunanya," kata Raja di Hulu sejurus kemudian, seraya mengeringkan air matanya, "ayo, kamu sekalian! Kuatkan hatimu, mari kita cari dia ke hilir."
Segala lubuk, segala sela-sela batu dan celah-celah tubir dimasuki dan diperiksai oleh mereka itu dengan saksama. Serarah diterjuni, air dalam direnangi dan diarungi menurutkan aliran sungai. Akhirnya mereka itu pun sampai ke tepi laut. Akan tetapi, yang dicari tiada bertemu juga! Apabila hari telah malam, suluh pun dipasang beberapa buah sebesar-besarnya. Jatuh ke tengah laut, ke kiri dan ke kanan sepanjang pantai terang benderang cahayanya. Sebagai laku orang menyigi ikan, demikianlah mereka itu menggerak-gerakkan suluh itu, sambil melayangkan mata ke dalam dan ke atas muka air.
Sia-sia, kerja itu tiada berhasil juga! Lain daripada air semata-mata air asin, yang berbuih, beralun, bergelombang bergulung-gulung, dan cemerlang kena sinar api"suatu pun tiada kelihatan.
Putri Ambun Suri hilang lenyap"mayatnya, kainnya, atau mundamnya pun tiada bertemu, tiada tampak.
Raja di Hulu laki istri putus asa sudah, "tiada terperikan dukacita hatinya.
"Sekarang bagaimana pikiranmu?" katanya kepada anaknya yang tegak memandang ke tengah laut tenang-tenang, "hari sudah larut malam."
"Dicari sampai dapat," jawab Ali Akbar dengan pendek, "sepanjang pantai sudah kita jalani, sudah kita selidiki. Tak ada kelihatan apa-apa .... Lebih baik kita pulang dahulu."
"Ayah, wahai, Ayah...!"
"Anakku, ya, Allah! Buaya, ya, ikan cucut banyak di lautan. Ya, laut sakti rantau bertuan. Siapa tahu ...."
"Jangan disebut dua kali demikian, Ayah. Hancur luluh rasa hati hamba. Akan tetapi, ya, siapa tahu, barangkali ada pencalang atau perahu atau kapal lalu di sini tadi dan adik hamba.... Wahai, daripada berputih mata lebih baik berputih tulang. Tak berguna hamba hidup lagi: relakan jerih payah Bunda, maafkan kata terdorong, hamba hendak...."
"Apa yang kausebut itu, Buyung?" kata bundanya memutuskan perkataannya dengan tangisnya, "engkau hendak meninggalkan kami pula, sedang adikmu tiada lagi?"
"Kami berdua bagai anak balam, Bunda. Seekor jantan seekor betina. Hilang satu, hilang keduanya. Beri izin hamba berjalan, pergi mencari Ambun Suri sampai dapat atau sampai ketahuan: hilang berimba, mati berkubur."
Kedua orang tua itu termenung, terharu benar hatinya, akan pengakuan anaknya itu: betapa kasihnya kepada adiknya. Kini kedua-dua anak tambatan hatinya itu akan hilang sekaligus"
"Tak usah Ayah Bunda rusuhkan badan diri hamba. Asal batu tenggelam, asal sabut timbul! Dan, biar hamba turuti adik hamba itu
Ia pun melangkah masuk air, ke dalam laut.
"Ali Akbar," kata ayahnya, seraya memegang tangan orang muda itu dengan cepat sigap, "hendak ke mana engkau" Rupanya engkau tidak sedikit jua sayang kepada kami. Jangan diperturutkan daya iblis. Ingat bundamu! Atau barangkali engkau suka, kami kehilangan akal dan meluluskan diri pula" Kalau begitu kehendakmu, mari kita masuk laut keempat-empatnya."
Sekalian pengiring kecemasan; mereka itu berusaha menyabarkan hati kedua beranak itu. Dalam pada itu Putri Reno Gading sudah bangkit ketam, kejang badannya sehingga mesti dipegang disandarkan oleh setengah hambanya.
"Begitu maka senang hatimu," kata Raja di Hulu kepada anaknya, "bundamu... "
Ali Akbar mengucap istigfar dan kalimat syahadat beberapa kali. Ia pun ingat akan dirinya lalu berlari-lari memeluk bundanya yang tengah pingsan itu.
Beberapa saat kemudian, ketika ketiga beranak itu sudah dapat melawan daya iblis dan menahan hati sedih, mereka itu pun berbalik pulang dengan tiada berkata-kata barang sepatah jua, diiringkan dan dilintasi dan didahului oleh bayang-bayang mereka sendiri yang timbul dari api suluh yang digerak-gerakkan. Makin lama makin jauh mereka itu dari tepi pantai yang sunyi sepi it u, sedang bunyi ombak yang mengempaskan diri ke atas batu karang semakin sayup-sayup sampai kedengaran dan kadang-kadang sudah sebagai bunyi suara orang berseru memanggil-manggil sehingga langkah mereka yang tengah dirundung malang itu tertegun-tegun.
BERONTAK Sesampai ke rumah gedang pula, mereka itu pun disambut oleh putri-putri dan dayang-dayang dengan ratap tangis yang riuh rendah bunyinya. Oleh karena itu, pada malam itu jua tahulah sudah segala isi Kampung Hulu akan kehilangan Putri Ambun Suri yang tercinta itu. Semalam-malaman orang tiada tidur sekejap jua, gempar terkejut dan turun naik rumah gedang dengan pikiran kacau: sedih, termangu, gugup, dan heran akan peristiwa yang tiada disangka-sangka itu.
Pada keesokan harinya gelanggang lengang selengang-lengangnya. Tak seorang jua yang ingat dan ingin hendak menyabung lagi. Laki-laki dan perempuan berduyun-duyun menghiliri sungai sampai ke muara dan ke tepi laut pula, akan mengulang mencari mayat sekali lagi. Beberapa nelayan yang tengah asyik menangkap ikan ditanyai oleh mereka itu, tetapi seorang pun tak ada yang dapat memberi keterangan yang agak jelas. Hanya dalam percakapan dan bertanya-tanya apa sebab maka Tuan Putri sampai hanyut itu, sekonyong-konyong mereka itu terkejut danberpandang-pandangan. Pada air muka dan cahaya mata masing-masing terbayanglah perasaan hatinya.
"Tak syak lagi," kata seorang kepada temannya denganberbisik-bisik. "Apa?" kata teman itu dengan tercengang, "fitnah?"
"Bukan, ya, ulah cemburuan."
"Siapa yang cemburu kepadanya?"
"Tentu saja Putri... Kemala Sari! Siapa lagi?"
"Kita lihat kelak, kalau perkara itu tidak diusut dan diperiksa oleh sultan..."
"Ia sudah tahu?"
"Tentu saja! Niscaya hal itu sudah dipersembahkan Sutan Ali Akbar kepadanya. Ingin hatiku hendak mendengar, bagaimana timbangan dan pendapat sultan."
Memang pagi-pagi benar Sutan Ali Akbar sudah pergi menghadap Sultan Muhammad Syah di Istana Kota Hilir. Dan baginda pun sangat terperanjat mula-mula mendengar kabar kecelakaan itu. Seketika itu juga baginda bertitah kepada perdana menteri akan mengerahkan rakyat menyertai orang Kampung Hulu mencari tunangannya. Akan tetapi, ketika nyata Ambun Suri tiada bersua lagi, sedikit pun baginda tiada berusaha hendak menyiasat lebih lanjut. Tidak, perkara itu didiamkan saja sebagai tak berharga dan tak patut disebut-sebut menjadi rundingan.
Kampung Hulu sudah sunyi, laksana negeri dialahkan garuda. Rakyat yang selama ini bersuka ria dan riang, kebanyakan termangu-mangu dan bermenungan. Gelanggang yang berakhir sesedih itu menjadi buah keluh dan sikap sultan yang bagai acuh tak acuh itu pun menjadi buah sungut dan berungut bagi mereka itu.
Rumah Raja di Hulu tiada berseri, tiada bersemarak sedikit jua lagi. Bunga-bungaan dalam taman laksana layu, kemuning pautan kuda di halaman sebagai tumbang dan rumah gedang seperti tak berhuni lagi. Anjung kemuliaan sudah menjadi tempat sakti bagi Raja di Hulu dan Putri Reno Gading, tiada pernah dijejak dan ditempuhnya, tiada sekali jua dibukanya pintu dan jendelanya.
Ayam penaik sudah hilang, bendul tiada berbuluk lagi!
Sutan Ali Akbar sudah berubah benar sifat dan tabiatnya. Siang hari tak pernah ia kelihatan, tiada pernah bersua dengan sahabat kenalannya, tetapi malam hari ia mengembara ke mana-mana dengan bersenjata sebelit pinggang. Malam ini ia datang ke rumah si anu, malam lain ke rumah si polan, akan bercakap-cakap dengan mereka itu. Asyik cakapnya, sungguh rundingnya, tetapi sekaliannya itu selalu dilakukannya dengan berbisik-bisik dan ingat-ingat benar.
Ada kira-kira tiga pekan ia berlaku sedemikian. Hampir sekalian rumah orang besar-besar dan ternama dalam daerah Inderapura sudah dinaikinya, hampir sekalian mereka itu sudah dilawannya berunding dengan rahasia. Pada suatu malam, ketika sesudah makan malam ia telah siap hendak berangkat pula, berkatalah Raja di Hulu kepadanya, "Hendak ke mana pula engkau, Buyung?"
Ali Akbar tertegun, tertegak seperti patung.
"Duduk dahulu, kembali, Buyung; ada yang hendak kukatakan," katanya pula dengan lemah lembut. Dan ketika permintaannya itu sudah diperkenankan oleh anaknya dengan berdiam diri saja, disambungnyalah perkataannya, "heran aku melihat tingkah lakumu dalam beberapa pekan ini. Dan rupamu pun sudah berubah benar, sudah jauh bertambah tua. Apa yang engkau kerjakan, apa yang engkau risaukan?"
Tiada juga Ali Akbar membuka mulut, melainkan ia memandang kepada ayahnya dengan mata yang agak liar.
"Coba katakan kepadaku terus terang, apa yang tersimpan dalam hatimu sekarang?"
"Ayah," kata Sutan Ali Akbar dengan menarik napas panjang, "banyak yang hamba pikirkan dan kerjakan; bukan sedikit yang hamba risaukan. Siapa takkan risau dan susah, Ayah, adiknya hilang tak bercari dan lulus tak berselami?"
Raja di Hulu termenung sejurus. "Kan sudah kita cari dan sudah kita selami?" katanya kemudian dengan sayu, "tidak bertemu, apa daya kita?"
"Dituntut belanya," kata Ali Akbar dengan pendek dan bulat bunyi suaranya.
"Apa maksudmu?" tanya ayahnya dengan terkejut.
"Perlu jua hamba terangkan kepada Ayah lagi" Baik! Dituntutkan belanya, kata hamba, sebab Ambun Suri bukan hanyut dengan tidak bersebab, Ayah! Ia pergi mandi berdua saja dengan Kemala Sari, dengan bakal madunya; maka syak hati hamba bahwa ia celaka kena fitnah, bahkan karena dicelakakan si Khianat
"Akbar! Ingat-ingat mengeluarkan perkataan!"
"Bukan hamba saja bersangka semacam itu, sekalian orang pun berpendapat begitu juga: tetap mengatakan bahwa Kemala Sari berdosa kepada adik hamba .... Jangan Ayah sela perkataan hamba dahulu, bahkan ada yang telah menerangkan kepada hamba bahwa mundam si Upik bukan hanyut, melainkan sengaja dihanyutkan oleh si Khianat itu."
"Benar?" kata Raja di Hulu dengan naik darah, dengan berang tiba-tiba sehingga bersinar-sinar matanya.
"Benar! Dan perkara ini sudah hamba sampaikan kepada Muhammad Syah; hamba minta kepadanya supaya Kemala Sari disiasat dan diperiksa."
"Apa jawabnya?"
"Mula-mula ia terperanjat, seakan-akan percaya akan keterangan hamba itu. Ia berjanji akan menyiasat istrinya. Tetapi keesokan harinya, ketika hamba datang menghadap pula, berubah benar pendiriannya dari kemarin dahulu itu. Hamba diusirnya seperti anjing... di hadapan Sultan Tua. Katanya, hamba mengada-ada saja, berbuat fitnah kepada istrinya yang lurus' dan 'baik hati' itu. Dan Sultan Malafar Syah pun mengancam hamba akan dibinasakannya, kalau hamba berani menyebut-nyebut perkara itu jua."
"Hem, begitu?" "Dan bukan hamba saja, Ayah, sekalian kaum keluarga hamba, Ayah dan Bunda hendak dienyahkannya dari sini, dan harta benda kita akan dirampasnya."
"Betul begitu katanya?" ujar Raja di Hulu dengan keras, meradang ia rupanya, "Begitu kata si tua bangka itu" Terlalu! Boleh dicobanya! Akan tetapi, jangan disangkakan aku seperti orang lain, seperti rakyat lain, yang suka saja dikutak-katikkannya, di cucutnya darah dan benak kepalanya!"
Entah besar, entah terharu hati Ali Akbar melihat hal ayahnya berang sedemikian, tak dapat ditentukan dengan pasti sebab ia berkata dengan tenang.
"Perlahan-lahan sedikit, Ayah. Hari malam .... Tak usah Ayah campur pula dalam perkara itu; biar hamba saja menyelesaikan dia, dan biar hamba saja menuntut bela adik hamba."
"Hendak engkau pengapakan Putri Kemala Sari itu?"
"Sekarang kita tidak berhadapan terus dengan perempuan itu lagi, melainkan dengan suaminya dan mentuanya."
"Habis?" Orang muda itu mendekatkan mulutnya ke telinga ayahnya, lalu berbisik, "Sebelum hamba putar negeri ini, belum senang hati hamba. Dengan sendirinya, kalau kehidupan sultan sudah terancam, Kemala Sari takkan senang diam lagi. Dosanya akan menghukum jiwa raganya, Ayah!"
Raja di Hulu tercengang. Pada lakunya menegakkan kepalanya memandang kepada anaknya nyata kelihatan bahwa ia ragu bimbang dan khawatir sangat akan maksud orang muda itu. Dalam pada itu Ali Akbar berkata pula dengan perlahan-lahan dan lambat-lambat, "Jangan Ayah cemas. Sudah selesai belaka! Sekalian orang besar-besar, yang berkuasa benar kepada rakyat dan rasa-rasa patut campur serta dapat berpihak kepada kita, sudah hamba jelang dengan diam-diam dan sudah hamba tanyai nafsunya. Bagai mengayuh biduk hilir, sekaliannya mengeras supaya hamba segera memulai pekerjaan itu."
"Ali Akbar, anakku," kata Raja di Hulu dengan suara agak gemetar, serta memperhatikan air muka anaknya, "sampai ke situ tiada terpikir olehku! Ingat, apa dan betapa akibat perbuatanmu itu kelak kepada negeri dan rakyat. Tiada ada sesuatu putar negeri, pemberontakan atau peperangan yang tidak menelan dan memusnahkan nyawa dan harta benda rakyat, Buyung!"
"Barangkali. Tetapi, hamba membela adik hamba, dan rakyat hendak melepaskan diri dari kezaliman dan tindihan. Sekarang beri izin hamba pergi ke rumah Mamanda Raja Mulana, Ayah," kata Sutan Ali Akbar sambil bangkit berdiri, "ada suatu mufakat penting yang belum putus dengan dia."
"Akbar! Sabar, tenangkan pikiranmu!"
"Apa guna hamba hidup lagi, jika malu yang sebesar ini tak dapat hamba pupus?"
"Dasar pikiranmu hanya balas dendam."
"Mungkin begitu mulanya. Akan tetapi sekarang, sebagai anak muda hamba tak dapat membiarkan kezaliman terus-menerus. Hamba harus pula membela rakyat, bagi masa yang akan datang. Sebab itu izinkan hamba pergi, Ayah."
Raja di Hulu termenung sejurus, sambil mengernyitkan alis matanya. Tiba-tiba ia pun berkata dengan tegas," Sudah kaupikirkan benar-benar bahwa pihak sultan adalah mempunyai tulang punggung yang kuat?"
"Siapa" Rakyat sudah berpihak kepada kita sekaliannya."
"Orang asing"kompeni!"
Merah padam air muka orang muda itu dan bertambah cepat jalan darahnya.
"Oh, kalau sultan mau menjual negeri, semakin keraslah hasrat hati hamba hendak menumbangkan dia dari atas singgasananya. Hal itu akan hamba bicarakan dengan Mamanda Raja Mulana dan kawan yang lain-lain kelak."
"Baik. Dan sekali-kali jangan diabaikan perkara itu."
"Nasihat Ayah itu akan hamba pegang teguh-teguh."
Setelah itu ia pun turun ke halaman dengan hati-hati, lalu hilang di dalam gelap gulita.
Sungguh rakyat Inderapura sudah lama merasai, menanggung, dan menderitakan kezaliman serta keganasan Sultan Tua yang loba tamak itu. Sungguh sudah lama terasa di hati rakyat hendak meluputkan diri dari tindihan, tetapi selama ini mereka itu tiada berani mengeluarkan perasaan itu. Sakit hati rakyat tersimpan, tertanam saja di dalam dada masing-masing. Seperti api dalam sekam menghanguskan dan membakar jantung hati dengan tiada berasap sedikit jua! Hanya bahwa perasaan sedemikian lambat laun akan menyembur juga keluar dengan hebat, mereka itu pun yakin dan percaya semuanya.
Sakit hati! Bukan kepada Malafar Syah saja, tetapi kepada Sultan Muda juga, karena ia tiada memperhatikan dan mempertahankan hak rakyatnya. Cuma-cuma saja ia jadi sultan! Dan perkara kehilangan Putri Ambun Suri yang didiamkan itu pun menambah besar dendam kesumat rakyat kepada Muhammad Syah yang lemah itu.
Dalam keadaan sedemikian, sedang hati rakyat mengkal semacam itu, tiba-tiba Sutan Ali Akbar bergerak hendak merebut kekuasaan. Orang muda, yang dikasihi rakyat karena baik hatinya dan nyata ketangkasan dan keberaniannya! Terbuka lubang kepundan gunung berapi .... Dengan tidak berpikir panjang lagi orang besar-besar berjanji erat hendak menyokong dan menunjang dta-dta orang muda itu. Dengan segera mereka itu pun bersiap akan melengkapkan alat senjata: parang, pedang, lembing, dan tombak diasah tajam-tajam.
Inderapura akan menjadi medan perang ....
Ketika Sutan Ali Akbar sampai pada malam itu ke rumah Raja Mulana, yang menaruh dendam tak sudah kepada Sultan Tua karena harta bendanya dirampas baginda dengan semena-mena, ia pun mendengar kabar bahwa sebagian besar rakyat hanya menanti-nantikan alamat pemberontakan saja lagi.
"Jadi sudah siap semuanya?" tanya Sutan Ali Akbar dengan gembira, "Sudah, bila akan dimulai?"
Orang muda itu berpikir sejurus. Kemudian ia bertutur berbisik-bisik dengan orang tua itu. Lama keduanya bercakap-cakap, bentang membentangkan pikiran dan pendapatnya masing-masing; lama akan selesai perhitungan mereka itu. Hampir tengah malam barulah Sutan Ali Akbar turun dari atas rumah itu dengan senang dan suka hati, yaitu sesudah kecurigaan ayah Ali Akbar itu dibenarkan pula oleh orang tua itu. Dibenarkan bahwa di balik ketamakan Sultan Tua dan kelemahan Sultan Muda sungguh ada kekuasaan asing, yang berusaha hendak mengail dalam air keruh!
Tiga-empat hari telah lalu pula. Tapi, belum ada lagi terjadi apa-apa yang sangat mengerikan!
Hanya di Kampung Hulu orang selaku bisu rupanya, tiada sapa-menyapa berselisih jalan. Mereka itu berpandang-pandangan saja, sambil jalan dengan cepat dan tergesa-gesa. Pukul enam petang pintu dan jendela rumah telah tertutup belaka, seorang pun tiada kelihatan turun tanah lagi.
Pada suatu senja, ketika hari telah mulai gelap, dalam hening dan sunyi kedengaranlah bunyi canang di sebelah hulu dengan beraturan, sebagai semboyan. Ganjil dan menggetarkan rasa hati! Sekali, dua kali, dan pada bunyi yang ketiga kali kedengaran pula sedemikian di sebelah hilir. Sesudah itu membalas canang di sebelah kiri dan di sebelah kanan. Dan dalam sebentar saja canang dari keempat penjuru itu pun berbunyi riuh rendah dan gegap gempita. Sibuk! Orang laki-laki berlompatan turun dari atas rumahnya masing-masing, lalu berlarian ke tanah lapang di bawah beringin besar. Dalam seketika saja tempat yang luas itu telah penuh sesak dengan manusia yang berpakaian serba putih dan cukup lengkap dengan alat senjatanya.
"Siap?" seru seorang dengan suara nyaring dan tangkas.
"Sudah, Sutan," kata seorang orang tua yang tegap badannya dan bulat berketak-ketak lengannya, seraya mendekati Sutan Ali Akbar yang memegang pedang terhunus, "tak ada yang dinanti lagi."
"Ayo, mari kita berangkat! Hamba di muka, Mamanda Raja Mulana mengerahkan di belakang."
Pasukan putih itu berjalan ke hilir bersaf-saf; gemuruh bunyi langkahnya dan berkilatan mata tombak dan lembingnya kena sinar cemeti malaikat sebentar-sebentar. Tiada lama antaranya mereka itu pun sampailah ke watas Kota Hilir, lalu berhenti akan mendengarkan perintah penghabisan dari panglimanya.
Dengan sesungguh-sungguh hati Sutan Ali Akbar mengingatkan kepada mereka itu bahwa mereka semata-mata hanyalah akan bertentangan dengan sultan dan bala tentaranya. Oleh sebab itu, sekali-kali mereka tidak boleh mengganggu isi negeri, tidak boleh merebut merampas harta bendanya. Dan jika dapat, istana pun tidak boleh dirusakkan. Melainkan sultan dua beranak itu mesti ditangkap hidup-hidup, jangan bercacat cela hendaknya ...."
"Moga-moga Sutan Ali Akbar panjang usia!" seru Raja Mulana dari belakang, "dan awas... musuh dari luar!"
"Camkan benar nasihat itu, kawan-kawan!" kata Ali Akbar, "Musuh dari luar...."
"Selamat, berbahagia Panglima kita!" seru orang banyak pula dengan serempak dan sederum. Setelah itu mereka itu pun bergerak dan terus maju dengan tangkas dan gagah perkasa ke istana sultan. Pada pikirannya, dalam sekejap mata saja niscaya pekerjaan mereka itu akan berhasil, niscaya Sultan Malafar Syah dan Muhammad Syah dapat ditangkap dengan mudah sebab datang menyergap dengan sekonyong-konyong!
Akan tetapi, gerak-gerik orang Kampung Hulu itu sudah diketahui oleh sultan, bahkan telah dituturkannya karena baginda banyak mempunyai mata-mata di mana-mana. Oleh sebab itu, disiapkannyalah bala tentaranya akan menjaga keamanan dirinya. Ketika pasukan Ali Akbar sampai ke muka pintu gerbang, mereka itu pun disongsong oleh pasukan bala tentara sultan yang gagah berani dengan tembakan bedil.
Mereka itu tertegun. Tapi, seketika itu juga kedengaranlah seru yang nyaring, "Ayo, maju!"
Dengan tiada memedulikan bedil itu pasukan putih itu pun menyerbukan diri bagai gelora ke dalam pasukan musuh, lalu berperang dengan hebat. Bedil tak dapat ditembakkan lagi. Kedua belah pihak hanya tetak-menetak, tangkis-menangkis dengan dahsyat, sedang tempik sorak riuh rendah dan gegap gempita bunyinya.
Baru sejurus berjuang sedemikian pecahlah perang bala tentara sultan. Pintu gerbang terbuka dan pasukan putih berduyun-duyun masuk ke dalam kota istana. Besar hati dan harapan mereka itu bukan kepalang sebab tak ada alangan lagi akan menyampaikan dta-dtanya. Sultan dua beranak yang zalim dan ganas itu akan dapat diturunkan dari atas takhta kerajaannya dengan mudah.
Akan tetapi, seketika itu jua kebesaran hati dan pengharapan itu hilang lenyap belaka. Baru mendekat ke tangga istana itu, mereka itu pun disongsong orang pula dengan bedil dan meriam, yaitu oleh bala tentara orang Belanda, yang telah siap berbaris di kiri dan kanan istana itu dengan alat senjatanya.
Pasukan putih tertahan, tak dapat maju lagi.
Bermula Ali Akbar hendak menjalankan siasat seperti kepada laskar sultan jua, yakni mengerahkan pasukan menyerbu secepat-cepatnya sehingga musuh tidak sempat lagi menembakkan bedilnya. Akan tetapi, tembakan meriam tiada tertentang oleh pasukannya. Dan mereka itu pun seolah-olah terpesona oleh bunyinya yang hebat dahsyat dan oleh apinya yang menerangi tempat yang gelap gulita sekelilingnya.
Bukan buatan geram hati Ali Akbar melihat kenyataan itu, yakni sultan sungguh-sungguh telah sekongkol dengan bangsa asing sehingga ia tak segan-segan minta tolong kepadanya. Dengan sakit hati tak terhingga ia pun segera memberi perintah kepada pasukannya, supaya mereka berpaling ke belakang dan undur ke luar kota kembali dengan teratur.
Sementara itu bala tentara sultan sudah berkumpul dan berbaris dengan rapi pula, timbul keberaniannya sebab bantuan orang
Belanda itu tiada cuma-cuma adanya. Mereka itu memburu dengan cepatnya. Dan segenap pihak kedengaran tempik soraknya, dari segenap penjuru mereka datang mengepung pasukan putih yang undur itu dengan tangkas dan gembira.
Setelah dekat ke watas Kota Hilir dengan Kampung Hulu, barulah Sutan Ali Akbar memberi perintah akan bertahan sekuat-kuatnya. Perintah itu dipatuhi oleh laskarnya. Mereka itu berbalik melawan dengan gagah berani, akan membela kamp ung halamannya. Dengan demikian, kepungan itu pun dapatlah ditembusnya dan dipecahkannya. Amat banyak tentara sultan yang mati diparangnya dan ditombaknya. Yang masih hidup sudah mulai ketakutan, lalu mundur dan lari pontang-panting ....
Akan tetapi, ketika laskar putih bergerak hendak mengejar mereka itu, bala bantuan dari pihak Belanda datang pula. Meriam menyemburkan peluru beberapa kali. Tentu saja hal itu menimbulkan keberanian pasukan sultan kembali. Mereka itu bertempik sorak pula, berbalik .... Sampai ke Kampung Hulu mereka itu mengejar pula, sambil membunuh, merampas, dan membakar rumah orang sehingga barisan tentara putih jadi kocar-kadr ....
Malam yang gelap gulita menjadi terang benderang oleh nyala api; udara yang hening sunyi menjadi bergetar oleh jeritan dan pekik orang yang kehilangan harta benda dan mati terbunuh dengan semena-mena.
Adapun pasukan putih tiada kuasa berbuat apa-apa lagi. Bagaimana jua pun mereka itu memarang dan menangkis dengan sekuat-kuat tenaganya, tetapi cuma-cuma saja. Sungguh perang bala tentara sultan dan bantuan orang Belanda dengan meriam itu amat keras dan hebat. Ya, akhirnya mereka itu terpaksa lari berserak-serak. Sutan Ali Akbar terlalu marah dan berang. Ia tak mau mundur. Dengan nekat hidup atau mati ia pun menyerbukan dirinya, demi dilihatnya keganasan yang tak mengenal peri kemanusiaan itu. Ia memarang ke kiri dan ke kanan, berlari ke sana kemari dengan tak mengindahkan bahaya lagi. Akan tetapi, untung ia dapat dipelihara
dan dilarikan oleh Raja Mulana dan kawan-kawannya yang setia ke sebelah selatan, arah ke negeri Manyuto. Kalau tidak, niscaya ia mati kena peluru meriam Belanda atau ditangkap oleh bala tentara sultan, ketika ia mempertahankan ayah bunda dan rumahnya.
Pada keesokan harinya kelihatan Kampung Hulu sudah musnah, lapang hana, sedang mayat manusia bergelimpangan di sana sini dan dekat api yang masih memakan sisa-sisa mangsanya. Lain daripada laskar bala tentara sultan yang mengemasi ketinggalan mata benda, hampir tak seorang jua lagi umat manusia tampak di situ. Anak negeri yang masih hidup sudah lari membawa diri dan nyawa masing-masing ke dalam rimba dan ke tempat lain-lain.
KE TIKU Bukan dalam kota Inderapura saja anak negeri telah berontak terhadap kepada sultan, tetapi di seluruh daerah kerajaan itu pun orang tiada bersenang hati lagi kepadanya.
Bahkan dalam daerah Manyuto pun rakyat dan tentara telah berkira-kira hendak melepaskan kongkongan pula dari pemerintahan sultan yang ganas itu. Tengah mereka itu menantikan dan mencari-cari seseorang yang patut didahulukan selangkah, akan dikepalakan, tiba-tiba datanglah Sutan Ali Akbar ke sana dengan sisa barisannya.
Pucuk didnta ulam tiba! Tentu saja ia diterima orang dengan sukacita, dengan tempik sorak kegembiraan. Kebijaksanaan Raja Mulana yang terkenal baik di daerah itu menjadi jaminan bagi kejujuran, kebaikan, dan keberanian orang muda itu. "Ini pahlawan muda, musuh kezaliman dan ketamakan Sultan," katanya. Sebentar itu jua Sutan Ali Akbar disilakan masuk benteng. Ia dikerumuni oleh orang besar-besar dan panglima-panglima gagah berani, dilingkungi oleh pasukan tentara beserta barisan orang muda-muda, yang telah dibentuk oleh kawan-kawannya. Y a, sisa-sisa pasukan pemberontak, yang lebih dahulu meninggalkan Inderapura, setiba di situ segeralah menyusun pasukan baru. Mereka itu telah menceritakan hal ihwal perjuangan Sutan Ali Akbar di mana-mana. Anak negeri Manyuto lekas percaya akan kebenaran cerita itu, lebih-lebih setelah mendengar keterangan Raja Mulana itu. Dengan tak ragu-ragu sedikit jua pun mereka itu bersumpah akan setia kepada pahlawan muda itu.
Bagi Sutan Ali Akbar sambutan sedemikian berharga sekali; dapat melipur sedih dan dukadtanya karena maksudnya tiada sampai dan lebih-lebih lagi karena ayah bundanya yang sangat dikasihinya telah menjadi korban kezaliman pada malam pemberontakan yang pertama itu. Raja di Hulu dan Putri Reno Gading telah mati dibunuh laskar sultan; rumahnya dibakar dan harta bendanya dirampas, bersama-sama dengan kepunyaan isi Kampung Hulu sekalian.
Akhirnya sedih dan dukacita itu berubah menjadi panas dan sakit hati yang tiada terperikan.
"Kalau tidak karena orang putih, kalau tiada karena pertolongan kompeni Belanda2 pertuan sultan itu, takkan sampai kita menderita kekalahan yang seaib ini," katanya dengan geram pada suatu hari kepada Raja Mulana di dalam Benteng Manyuto yang kuat, "aku jadi tinggal sebatang kara karena dia, terusir sebagai orang miskin karena dia juga."
"Jadi memang tentara kompeni sudah ada di situ," jawab orang tua itu dengan marah, "ganas. Pemberontakan dijadikan sebab oleh mereka itu akan membakar, merampas, dan membunuh orang yang tak bersalah!"
"Rupanya penyelidikan kita tak sempurna," sahut Ali Akbar, "dan cara berperang serupa itu betul-betul di luar hukum peri kemanusiaan."
"Betul, tetapi jangan putus asa. Kalah menuntut menang. Susun dan latih tentara baik-baik, gembirakan semangat prajurit muda-muda itu sehingga mereka itu insaf dan tahu benar akan nikmat bernegeri, bertanah air. Hulubalang Manyuto yang mengucapkan sumpah setia tentara itu boleh Sutan percayai untuk melatih dan memimpin pasukan berani mati, ya, untuk menjaga pertahanan dan keamanan."
"Terima kasih, Mamanda. Dari sini kita tuntutkanbalas.... Akan tetapi, dari mana kompeni datang?"
"Niscaya dari Pulau Cingkuk. Rupanya kapal kompeni sedang bermuat lada di pelabuhan. Dan karena takut akan serangan kita, tentu sultan segera minta tolong kepada orang putih itu"sahabatnya! Dalam hal itu memang mata-mata sultan lebih cerdik daripada penyelidik kita sendiri
"Sayang, alamat persengketaan akan berpanjang-panjang dan berlama-lama. Tiap-tiap perselisihan antara kita dengan kita, bagaimana jua pun kecilnya, tetap sudah dicampuri oleh orang lain, niscaya merugikan kita sekaliannya."
"Sungguh, sebab persengketaan atau perselisihan kita dengan kita itu hanya bersifat sebagai cabik-cabik bulu ayam. Akan tetapi, kalau orang lain atau bangsa asing telah campur tangan, niscaya ia akan mengambil keuntungan darinya."
"Tepat sekali kata Mamanda itu. Peristiwa itulah yang sangat menyakitkan hati hamba. Pembalasan dendam yang menggerakkan semangat hamba akan menumpaskan Sultan Muhammad Syah sudah bertambah berat dengan perihal campur tangan orang asing itu. Hal itu pun tidak bersangkut dengan diri hamba saja lagi, melainkan telah menyangkut kita sekalian, bahkan telah mengenai jiwa bangsa kita seluruhnya."
"Ya, Muhammad Syah tetap membuat sejarah buruk, yang akan menodai anak cucu kita pada hari kemudian. Untuk kepentingan dirinya, negeri telah dijualnya kepada kompeni, kepada bangsa asing itu. Kalau tidak, masakan kompeni mau mengorbankan tentaranya! Jadi kompeni menyertai perang Muhammad Syah, bukan karena persahabatan saja, tetapi terutama karena mempertahankan harta bendanya dan keuntungan yang akan dikautnya. Atau lebih hebat lagi akan meluluskan jarumnya, melaksanakan cita-citanya, hendak menjajah, sebagaimana telah kelihatan di Pulau Jawa dan di tempat lain-lain."
"Ya, Allah! Akan tetapi, siapa gerangan kepala laskar kompeni itu maka teratur benar barisannya?"
"Tentu kepala perang yang cakap dan banyak tahunya. Barangkali Groenewegen, yang datang dari Aceh dalam musim dahulu. Sesudah menjajah Pulau Jawa, kompeni hendak menjadi yang dipertuan pula di seluruh pantai. Memang Groenewegen telah berpengalaman di Aceh tentang tipu daya merebut keuntungan."
"Bagus!" kata Ali Akbar dengan mata berapi-api, "Akan tetapi tak apa, alamat perang akan menjadi dengan hebat."
"Bagaimana?" "Mula-mula kita selesaikan perkara dengan Muhammad Syah dan ayahnya. Sesudah itu "atau kalau perlu sementara itu"kita adu kompeni dengan Aceh, yang telah puas dengan tipu muslihat jahat itu. Supaya dirasainya akibat perbuatannya suka mencampuri perkara orang lain."
"Pikiranku begitu juga," kata Raja Mulana dengan gembira, "seluruh pesisir kita kacau, kita harus bagai gelamai! Salah seorang kita, Sutan atau aku, mesti pergi dengan diam-diam ke Tiku, ke Pariaman, atau ke Pauh kelak, ke sarang orang Aceh, yang memang tak bersenang hati kepada orang putih."
"Tetapi lebih dahulu Inderapura kita rebut. Sudah lengkap alat senjata sekalian?"
"Menanti perintah saja lagi, bala tentara siap sedia sudah."
Dengan bala tentara yang lebih banyak bilangannya dan lebih teratur barisannya daripada dahulu maka tiada lama sesudah ia berkedudukan di negeri itu, Sutan Ali Akbar mulai bergerak pula. Bala tentara Muhammad Syah segera dipukulnya, digasaknya dengan keras. Tak dapat maju barang setapak pun, hanya cakap bertahan sekeliling istana saja.
Berhari-hari, bahkan berpekan-pekan demikian! Sutan Ali Akbar besar hatinya. Meskip un takhta kerajaan Inderapura belum lagi jatuh ke tangannya, tetapi ia boleh dikatakan telah beroleh kemenangan besar. Anak negeri berpihak kepadanya. Lama-kelamaan Inderapura menjadi lengang dan lemah. Pertama sebab bala tentara Sultan banyak mati. Kedua sebab anak negeri yang kuat dan berani sudah banyak berpindah ke Manyuto dengan kehendak sendiri, ke tempat dia"Ali Akbar"yang sudah dipercayai rakyat dan sudah disahkan jadi panglima dengan gelar Raja Adil, karena sungguh adil perbuatannya dan hukumannya serta lurus hatinya. Dalam pada itu, baik dengan berterang-terang, baik pun dengan sembunyi-sembunyi hampir sekalian rakyat Inderapura sudah membenarkan dan menunjang cita-citanya.
Jadi, walau tidak dengan perang sekalipun, lambat laun niscaya Inderapura akan dapat juga dikuasainya.
Muhammad Syah ketakutan. Kedudukannya telah goyang tiada tetap lagi. Ia telah merasa bahwa sewaktu-waktu ia akan kehilangan derajat. Dengan cemas ia bergesa-gesa minta tolong pula kepada Groenewegen akan melindungi kerajaannya yang terancam itu.
Sekali lagi laskar kompeni datang pula dan sekali lagi Groenewegen berusaha hendak mengenyahkan Raja Adil dengan laskarnya itu. Akan tetapi, sekali itu tiada berhasil. Usahanya sia-sia saja. Raja Adil tiada dapat digerakkannya dari Manyuto lagi! Malah banyak mendatangkan kerugian kepada kompeni sendiri. Negeri Inderapura bertambah kacau, belum lada di sana telah musnah dimakan api. Oleh sebab itu, perniagaan kompeni banyak menanggung rugi. Walau ada juga lada tinggal sedikit-sedikit, hasil kebun di hulu-hulu, tetapi orang tak mau lagi berniaga dengan kompeni. Sekalian lada itu tidak dibawa orang ke Inderapura lagi, hanya ke Silebar, jajahan Banten.
Oleh karena itu, maksud Groenewegen hendak mendirikan loji di negeri itu tiada jadi dilangsungkan. Apa jua yang akan diperlojikan" Sedangkan tambang emas, yang telah dijanjikan Muhammad Syah akan dibuka dengan selekas-lekasnya pun tiada pula dikerjakan
orang, sebab negeri selalu dalam huru-hara.
Raja Adil tertawa di dalam hati.
"Sudah senang hati, Tuanku?" kata Raja Mulana kepadanya, tengah makan malam di dalam benteng.
"Ha, ha, ha, Tuanku! Mengapa Mamanda panggilkan hamba demikian?"
"Mamak tinggal mamak, tetapi hingga ini ke atas mesti hamba memanggilkan Kemenakanda begitu. Karena usaha Tuanku, sekarang rakyat sudah insyaf akan kewajibannya terhadap kepada negerinya, yaitu tanah airnya. Tak mau lagi dipermainkan orang zalim, sebagai sultan penjual negeri itu. Dalam pada itu meskipun istana masih di Inderapura, tetapi takhta kerajaan"pemerintah" sudah ada di sini ... di bawah pimpinan Tuanku. Demikian kehendak anak negeri. Sudah senangkah hati Tuanku?"
"Ya, asal Mamanda selalu mendampingi hamba."
"Insya Allah. Dan sekarang?"
"Rasanya hamba sudah boleh Mamanda tinggalkan."
"Benar, dalam sebulan dua ini tak ada yang akan dikhawatirkan. Apalagi penjagaan kita amat kuat. Jadi, sudah boleh hamba berangkat?"
"Dengan kapal kita."
"Kapal...?" "Hem, ya. Kapal kerajaan Inderapura sendiri, yang berlabuh di sini; sewaktu-waktu dipergunakan untuk keperluan lalu lintas di laut negeri ini. Sekarang kapal itu telah dinamai Songsong Barat dan disamarkan jadi sebuah kapal dagang. Hamba pun hendak menyamar sebagai penumpang kapal dagang itu, dilayarkan oleh juru mudi yang sudah dikenal baik oleh kompeni."
"Jadi, sebagai kapal siapa?"
"Kapal Raja Gandam di Painan. Ia bersahabat baik dengan kompeni, tetapi dalam waktu yang akhir ini...."
"Baik," kata Raja Adil dengan sukacita, "bila ia hendak berlayar?"
"Malam ini juga. Makin cepat, makin baik. Siapa tahu, kalau-kalau ada pula mara bahaya kelak."
Setelah putus mufakat dengan panglima muda Manyuto itu, berangkatlah Raja Mulana ke muara dengan sembunyi-sembunyi, menyelinap-nyelinap dalam gelap gulita, lalu masuk ke dalam "kapal dagang" itu. Segala layarnya sudah terkembang dengan megahnya.
Angin selatan berembus dengan selesai, sauh dibongkar, maka kapal dagang itu pun berlayar dengan lajunya. Baik ditentang Inderapura, baik pun sepanjang Pantai Bandar Sepuluh kapal itu tiada mendapat halangan sedikit jua. Pulau Cingkuk pun dapat dilalui dengan selamat.
Selang beberapa lamaberlabuhlah kapal itu di Muara Kotatengah. Mula-mula maksud Raja Mulana hendak naik ke darat di situ, supaya boleh terus berjalan kaki ke Pauh. Akan tetapi, sekonyong-konyong berubah pikirannya. Kabar yang didengarnya dari nakhoda sebuah perahu dagang, yang tengah sibuk bermuat, menimbulkan suatu maksud lain di dalam hatinya.
Apabila telah selesai dari membuang sauh, pergilah Raja Mulana bertandang ke dandang itu.
"Dandang siapa ini?" tanyanya kepada seseorang, yang berdiri di atas geladak menjaga kelasi bekerja.
" Dandang Nakhoda Encik Marah," jawab seorang dengan acuh tak acuh.
"Mana dia?" Serang memandang kepada Raja Mulana dengan mata yang bersinar-sinar. Rupanya pertanyaan itu agak kasar terdengar di telinganya. Akan tetapi ketika dilihatnya Raja Mulana yang benar tegap itu, ia pun menjawab dengan perlahan-lahan, "Ada dikurung. Nakhoda hendak bertemu dengan dia?"
"Benar, Serang," jawab Raja Mulana dengan senyumnya. Sementara itu, seorang yang tegap tubuhnya, kehitaman warna mukanya dan berkilat-kilat matanya, datanglah ke dekat mereka itu. "Oh, ini gerangan Nakhoda Encik Marah?" katanya, seraya mengulurkan tangan kepada orang itu dengan hormatnya.
"Ya jawab nakhoda itu sambil menyambut tangan Raja Mulana dengan senyum manis, "Tuan siapa?"
"Hamba nakhoda kapal yang baru datang itu. Sengaja hendak berkenalan dengan Tuan."
"Alhamdulillah. Mari duduk ke dalam kurung, Nakhoda. Panas di sini. Tuan datang dari mana?" kata Encik Marah seraya menyilakan tamu itu ke dalam kurungnya.
Sambil duduk bersirih-sirihan rokok, Raja Mulana berkata pula, "Hamba datang dari sebelah selatan."
"Dari Bandar Sepuluh?"
"Dari Painan." "Dekat ke Pulau Cingkuk! Tentu sudah lama berniaga dengan kompeni, bukan?"
"Belum lama benar lagi, tetapi sudah bersahabat baik!"
"Sekarang apa muatan Tuan, eh, siapa gelar Tuan Nakhoda gerangan?"
"Gempa Alam," jawab Raja Mulana dengan senyum geli hati.
"Apa muatan kapal tuan Gempa Alam" Indah benar kapal Tuan rupanya," kata Encik Marah, sambil melayangkan mata keluar dari tingkap.
"Lada sedikit, untuk kompeni," kata Raja Mulana dengan senyum yang banyak artinya.
"Eh, mengapa tidak dibongkar di Pulau Cingkuk saja?" tanya Encik Marah dengan agak heran, "dan Padang pun sudah Tuan lampaui pula."
Nakhoda Gempa Alam agak bimbang sedikit. Akan tetapi, sambil mendehem ia pun dapat memperbaiki sikapnya dan berkata dengan selesai.
"Benar, hamba perlu ke Padang; jadi supaya perahu jangan kosong, lebih baik muatan lada itu dibawa ke sana. Demikian pikiran hamba.... Sebab sama saja: di Padang loji kompeni, di Pulau Cingkuk loji kompeni juga, bukan" Akan tetapi, apa hendak dikata" Di Padang harga tidak berdapat, tidak sesuai."
"Hal itu tidakkah dibicarakan dengan Orang Kaya Kedi, sahabat kompeni itu?"
"Dibicarakan atau tidak sama saja. Pertolongan orang atau jerih payah si pengantara harus dihargai pula, bukan?"
"Oh, sekarang ke mana lagi?"
"Terus ke utara lagi. Siapa tahu, barangkali di tempat lain...."
"Benar pula itu," kata Nakhoda Encik Marah seraya mengembuskan asap rokoknya, "danbagaimana tambang emas kompeni di Salido?"
"Maju! Orang bekerja bertambah banyak juga. Akan tetapi, mengapa Tuan Nakhoda bertanyakan tambang itu?"
"Lain daripada berniaga lada, terutama hamba pun berniaga emas dengan kompeni. Barangkali sudah ada sepuluh tahun lamanya. Kerap kali hamba berlayar dengan kompeni Belanda ke Pulau Nias, akan membeli budak di sana untuk tambang Salido itu. Kerap kali hamba melihat kompeni bermain senjata dengan orang Aceh, jika terjadi perselisihan karena berebut-rebut budak dan muatan lain-lain."
"Apa gunanya budak pada orang Aceh?" tanya Nakhoda Gempa Alam pura-pura berlaku bodoh.
"Akan jadi kuli tambang emas pula. Tetapi dalam waktu yang akhir ini kompeni selalu menang. Hampir sekalian budak sudah jatuh ke tangannya."
"Memang kompeni gagah berani dan amat cerdik .... Sekarang Tuan hendak ke mana?"
"Hendak pulang ke Barus. Sebenarnya hamba orang darat, berasal dari Sungaitarap, tetapi sudah lama tinggal di Barus. Ke sana hamba bawa barang-barang makanan sebab orang di situ selalu kekurangan. Biasanya beras, ayam, dan lain-lain didatangkan dari
Pulau Babi atau Maros dan minyak dari negeri lain-lain di Pantai Barat Pulau Andalas ini. Itu, perahu yang baru berlayar itu"ia menunjuk keluar dari tingkap"perahu Nakhoda Sempurna Setia di Kotatengah, hendak ke Pulau Nias. Dari sana, ia ke Singkil dan pulang ke Barus juga. Kami sudah bertahun-tahun sama berniaga di pesisir, sampai-sampai ke India, Parsi, Patani, Arab, dan Jepun."
"Kalau begitu, sudah jauh benar perjalanan Nakhoda! Apa barang perniagaan yang terutama dibawa ke sana?"
"Kemenyan dan kapur barus. Orang Jepun dan Cina suka akan kapur barus, akan dijadikan obat-obatan. Bangsa yang lain-lain itu gemar kepada kemenyan, ditukarnya dengan pakaian yang bagus dan halus, dengan garam dan besi. Barang-barang itu kami jual pula kepada anak negeri di sana: di Barus, di Sibolga, dan Singkil dengan harga mahal."
"Tetapi sekarang boleh dikatakan hamba mengelakkan laba besar."
"Apa?" tanyanya Gempa Alam dengan minatnya.
"O, ya,"hampir hamba lupa .... Tuan hendak terus ke sebelah utara, bukan" Di Padang hamba mendengar kabar dari wakil kompeni bahwa tiada lama lagi akan datang kapal dari Jakarta bermuatan barang pakaian."
"Dari mana, Tuan?"
"Dari Betawi, yaitu Jakarta dahulu! Tuan tahu, sejak kompeni merajalela di Pantai Utara Jawa, sejak Jakarta dialahkannya, dibakarnya, maka di atas abu kota lama itu didirikanlah negeri baru itu."
"O, jadi negeri kita dijadikan tanah airnya dengan kekuatan senjatanya" Gagah betul!"
"Dan cerdik, lebih-lebih dalam hal perniagaan. Hamba banyak beroleh keuntungan daripadanya. Dan barang pakaian itu niscaya akan mendapatkan keuntungan juga, pun kepada Nakhoda."
"Ah, kepada hamba" Keuntungan apa yang hamba peroleh?" tanya Raja Mulana alias Gempa Alam dengan heran, "padahal kapal itu niscaya berlabuh di Padang."
"Tidak, terus ke Tiku
Air muka Gempa Alam berubah sedikit, matanya bersinar-sinar. Akan tetapi, perubahan itu tiada diperhatikan oleh Nakhoda Encik Marah yang ceramah itu sebab ia meneruskan perkataannya dengan tenang, "Langkah baik bagi Nakhoda. Dengan segera Tuan jual lada Tuan di sana! Perahu kosong, muatan baru yang akan menimbulkan keuntungan besar, datang! Jadi, kapal kompeni itu Nakhoda nantikan di Tiku dengan senang."
"Apa maksud kompeni pergi ke sana?"
"Hendak mendirikan loji. Niscaya kapal itu lama berlabuh di situ. Jadi banyak waktu bagi Nakhoda untuk tawar-menawar, berjual beli dengan dia...."
"Terima kasih," jawab Nakhoda Gempa Alam dengan besar hati rupanya. Tetapi dalam hatinya, "Nafsu orang ini lain tidak harta saja!"
Mereka itu bercakap-cakap sejurus lagi dengan riang, sebagai dua orang yang telah berkenalan lama. Kemudian Nakhoda Gempa Alam mohon diri hendak kembali ke kapalnya.
Dengan segera ia pergi mendapatkan juru mudi Raja Gandam, yang tengah mengamat-amati kelasi-kelasi membersihkan kapal. Mereka itu berunding dengan hati-hati benar, seakan-akan berbisik-bisik saja. Tiada selang berapa lama kapal Songsong Barat itu pun membongkar sauh, lalu meneruskan pelayaran ke sebelah utara dengan laju sebab angin sorong buritan kebetulan berembus dengan selesai.
TIPU ACEH Januari 1665. Meskipun matahari telah lama terbit, hari sudah agak tinggi, tetapi hawa di negeri Tiku masih lembap dan dingin rasanya. Ya, semalam-malaman hujan turun sebagai dicurahkan dari langit, amat lebat, dan pada pagi hari itu hujan itu pun masih rintik-rintik juga. Di sana sini kabut amat tebal, membatasi pemandangan mata sehingga rumah-rumah yang tiada terlalu berjauh-jauhan benar letaknya tiada kelihatan sebuah dari sebuah. Sekaliannya sebagai ditutupi oleh tabir putih. Dan laut pun bagai kapas dibusur semata-mata, tak ada hingga penglihatan, setali saja dengan langit. Hanya kabur dan gerawan, terberumbun pada beberapa tempat laksana hantu kapan, tampaklah kapal dan perahu, sampan dan pencalang bersauh di pelabuhan. Hebat dan perkasa rupanya. Semuanya terangguk-angguk dan oleng sedikit-sedikit, karena dibawa gerak alun ombak. Angin tidak berembus, pohon kelapa yang berbaris-baris bagai laskar di tepi pantai tiada bergerak sedikit jua; tetapi sekali-sekali kedengaran juga debur ombak memecah di pasir yang landai.
Bunyi air berdesau dan berdesir, makin lama makin senyap, sampai tiba pula ombak sebuah lagi mengempaskan diri dekat kaki barisan laskar jaga yang bermenungan itu. Udara hening dan sunyi.
Dengan tidak mengindahkan peri keadaan angkasa sedemikian di jalan raya kelihatan orang berjalan beriring-iringan. Ada yang berselimut kain sarung karena kedinginan, ada yang menjunjung beban di kepala, dan ada pula yang melenggang saja. Sekaliannya searah tujuannya: ke pasar yang ramai di bandar itu.
Sementara itu hari makin lama makin tinggi juga, kabut berangsur-angsur mengembang naik dan tipis sehingga sudah dapat ditembusi sinar syamsu. Sungguh, hari sudah mulai cerah dan terang cuaca, pemandangan ke laut sudah lalu landang.
Ketika itu barulah nyata warna dan corak bendera kapal-kapal yang bersauh di pelabuhan itu. Ada perahu anak negeri yang bermuat lada, akan berlayar ke sebelah utara dan selatan. Ada perahu dagang dari Barus, kapal barang-barang pakaian dari Hindustan, dan jauh di tengah laut ada pula sebuah kapal orang putih yang besar lagi anggun.
Beberapa orang berdiri di tepi pantai. Mereka itu memandang ke laut tenang-tenang, seraya melindungi matanya dengan tangan kirinya. Tiba-tiba seorang berkata dengan agak gembira dan besar hati, ujarnya, "Hai, itu kapal Belanda agaknya."
Hulubalang Raja Karya Nur St. Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menunjuk dengan tangan kanan arah ke kapal besar yang terkatung-katung di tengah laut itu.
"Benar," kata orang yang berdiri di sisinya dengan perlahan-lahan dan tertahan-tahan, "benar, kapal Belanda itu!"
"Alamat lada akan naik harganya," kata yang pertama dengan tiba-tiba agak bimbang.
"Engkau berani berniaga dengan kompeni?" tanya kawannya dengan berbisik-bisik ketakutan.
"Apa salahnya?" kata yang pertama itu seraya memandang kepada kawannya dengan bertambah bimbang, "Dengan siapa saja aku berani dan suka berjual beli, asal akan mendapat laba."
"Tetapi, panglima-panglima Aceh?" kata kawannya seraya menoleh ke kiri dan ke kanan.
"Panglima Aceh" Apa gunanya dia dihiraukan jua" Kabarnya, orang besar-besar dalam negeri sudah membuat perjanjian dengan kompeni bahwa kita tidak boleh berhubungan dengan Aceh3 lagi."
"Ssst," kata yang lain dengan cemas, "agak-agak berunding sedikit. Orang Aceh banyak di sini sekarang, mata-matanya berkeliaran. Kalau kedengaran kepada mereka perkataanmu itu, barangkali nyawamu..."
Sekonyong-konyong warna muka orang itu pun jadi pucat pasi seperti cendawan dibasuh! Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Dengan tiada berkata sepatah jua lagi ia pun menyelinap di dalam orang banyak, lalu hilang. Sebentar antaranya seorang-orang lain datang ke dekat kawannya, yang masih tegak termangu-mangu, seraya berkata dengan senyum masam. "Siapa tadi itu, Datuk?"
Yang dipanggilkan datuk itu mengangkatkan kepala dan berkata dengan gugup, "Yang mana?"
"Yang bercakap-cakap dengan Datuk tadi itu; kawan kompeni, bukan?"
"Tidak, tidak..."
"Hum, ingat-ingat, Datuk! Barang siapa berniaga dengan kompeni sekarang ini ..."
Dengan tiada mendengarkan ancaman itu datuk itu segera mengayunkan langkah, berjalan dari pantai cepat-cepat. Pada air mukanya terbayang ketakutannya.
Banyak cakap orang tentang kapal Belanda itu, tetapi percakapan itu tiada leluasa, kebanyakan dengan berbisik-bisik saja sebab sekalian orang merasa khawatir rupanya.
Hal itu menyatakan dengan terang bahwa penduduk Tiku sudah terbagi dua: sebagian masih berpihak kepada Aceh yang berkuasa di situ dan sebagian lagi sudah mulai tertarik kepada saudagar-saudagar Belanda yang cendekia.
Dan saudagar lada di pasar pun bergalau pikiran dan pendapatnya. Sebanyak yang bersukadta dan girang, sebanyak itu pula yang berasa khawatir akan kedatangan kapal kompeni itu. Seolah-olah akan timbul peristiwa yang tiada baik dan ngeri.
Bahwasanya bukan baru sekali itu kapal asing singgah di Bandar Tiku yang ramai itu. Sejak permulaan abad yang keenam belas, sedang dahulu dari itu tanah Malaka sudah menjadi pusat perniagaan antara Timur dan Barat, antara Maluku, Jawa, dan Cina, antara Sumatra Utara, India, dan Arab, ya, sejak itu pun sudah ada jua beberapa kapal Portugis, Prands, Inggris, dan Belanda mengarungi lautan sepanjang pantai sebelah barat Pulau Sumatra yang indah itu. Dewasa itu, Sumatra sudah masyhur dengan nama Suwarnadwipa, nama yang diberikan oleh orang India, artinya Pulau Emas. Kapal-kapal asing itu datang ke sana akan mencari lada, kapur barus, dan emas. Akan tetapi, perhubungan mereka itu dengan penduduk pantai tiada kekal, kadang-kadang tiada selamat. Dalam pada itu, mereka itu pun bersaing-saingan pula amat keras sama sendirinya. Inggris dengan Belanda dan kebalikannya, sedang rintangan dan ancaman dari pihak Aceh tiada sedikit dideritanya. Ada kapal yang karam, banyak nyawa yang hilang .... Pada masa itu yang berkuasa di seluruh Pantai Sumatra, baik di sebelah timur baik pun di sebelah barat, ialah Raja Aceh yang gagah berani. Segala macam perniagaan di pantai ada di dalam tangannya sebab ia sangat berkuasa di lautan. Kapal perangnya banyak dan besar-besar, bala tentaranya tangkas dan perkasa.
Kabarnya konon dalam abad ke-14 dan ke-15 kerajaan Minangkabau amat luas, seluruh Sumatra Tengah, yaitu tepi sebelah timur antara kerajaan Palembang dengan Siak, tepi sebelah barat antara negeri Manyuto dengan Singkil. Akan tetapi, jajahan di pantai boleh dikatakan tiada diacuhkan oleh raja. Bahwa Pantai Barat lama-kelamaan sudah dipengaruhi Aceh, tiada diketahuinya. Atau tidak dihiraukannya karena baginda hanya mementingkan pusat Minangkabau saja. Aceh yang makin lama makin berkuasa itu, sudah menjajah seluruh Pantai Sumatra sampai-sampai ke Silebar, ke watas kerajaan Banten. Pada tiap-tiap pelabuhan didudukkannya seorang wakilnya, panglima namanya, yang akan memelihara kekuasaan dan hak-hak Aceh dengan bala tentara bersenjata. Kecuali orang Jawa, bangsa apa jua pun terlarang membeli hasil Pantai Barat ke tempat itu. Yang boleh membeli lada dan emas di situ hanyalah Raja Aceh sendiri. Sekalian barang itu dikumpulkan dan disuruh angkut oleh baginda ke Aceh dengan jalan laut atau darat. Di sana baru boleh dijual ke mana-mana, atau kepada bangsa mana jua pun. Harga ditetapkan oleh baginda sendiri, tiada sama pada tiap-tiap bangsa. Biasanya orang Hindu dapat membeli dengan harga yang patut sebab perhubungan dengan mereka itu amat perlu bagi Aceh. Orang Hindu banyak mendatangkan barang pakaian. Akan tetapi, orang Inggris dan Belanda selalu dipaksakan membeli mahal; kadang-kadang sampai tiga kali lipat harga yang sepatutnya.
Tentu saja bangsa Eropa itu tiada bersenang hati. Sebagaimana akal dicarinya perhubungan diam-diam dengan penduduk pantai sendiri. Kebetulan orang Aceh hanya memerlukan hasil saja. Kepentingan rakyat dan pemerintahan negeri tiada dipedulikannya. Dengan menunjuk-nunjuk cacat cela, kebusukan, dan ketamakan Aceh itu, akhirnya dapatlah orang Belanda menarik hati anak negeri pada beberapa pelabuhan. Tentu saja pengaruh uang suap tidak kurang dalam hal serupa itu. Bahkan amat besar jasanya! Memang penduduk pantai itu pun, mula-mula dengan rahasia, sudah mau pula berhubungan terus dengan orang putih itu.
Berganti-ganti orang Belanda dan Inggris menguasai perniagaan lada di Tiku dan Pariaman. Akan tetapi dalam tahun 1663, orang Belanda dapat membuat perjanjian dengan orang besar-besar dalam negeri Inderapura, Tiku, Padang, dan Painan. Dalam perjanjian itu ditentukan dan ditetapkan bahwa kompeni akan berniaga dengan negeri-negeri itu, dengan bangsa Eropa dan India lain-lain tidak boleh, bahwa penduduk Pantai Barat wajib melepaskan diri dari kongkongan Aceh, wajib mengenyahkan orang Aceh dan melarang mereka itu masuk ke dalam negeri dan harus berlindung kepada kompeni selama-lamanya. Kebalikannya kompeni pun berjanji akan melindungi mereka itu dari segala musuh di lautan dan sepanjang pantai. Akan tetapi, di daratan hanya beberapa dipandang perlu oleh kompeni saja.
Sungguhpun demikian, kepala-kepala di pesisir itu tiada semufakat sekaliannya. Setengah mau menurut perjanjian itu, setengah enggan. Banyak pula yang tiada berani mengusir Panglima Aceh serta anak buahnya. Oleh sebab itu, dalam tahun 1664 datanglah seorang wakil kompeni dengan pasukan bala tentara dari Betawi. Ia membawa perintah akan mengajak negeri-negeri serikat itu berontak kepada Aceh. Jika perang telah menjadi, kompeni akan meminjami mereka itu senjata. Demikian kehendak Pemerintah Tinggi di Betawi sebab dengan cara begitu dapatlah dielakkan perang berterang-terang dengan Aceh yang "ganas" itu.
Maksudnya itu pun sampai juga. Padang, Tiku, dan Pariaman terlepas dari tangan Aceh. Negeri Bayang pun menekan kontrak, berjanji akan bersahabat dengan kompeni yang cerdik itu.
Walaupun demikian negeri sekali-kali belum boleh dikatakan aman lagi, perniagaan tak dapat disebut maju. Malah kebalikannya. Tiku telah menjadi sarang pemberontak. Orang Aceh yang diusir dari situ, lari dan bersembunyi masuk rimba. Apabila didengarnya pasukan Belanda telah berangkat, dengan segera mereka itu berhubungan pula dengan anak negeri. Di antara anak negeri itu pun banyak kaum keluarganya. Mereka itu dapat menggerakkan hati anak negeri, supaya suka memutuskan perjanjian dengan Kompeni"orang asing, yang amat jauh tanah airnya, lain warna kulitnya dan lain pula agamanya. Di mana-mana pecah kabar bahwa angkatan laut kerajaan Aceh sudah dekat, akan datang melindungi mereka itu dari serangan musuh yang tamak dan loba itu.
Tentu saja rakyat jadi rusuh, berguncang hatinya. Setengahnya sungguh-sungguh percaya akan kabar itu, setengah pula jadi bingung tak keruan.
Dalam bulan Januari 1665 itu, ketika Tiku masih dalam kacau-balau sedemikian, ketika itu kapal Kompeni itu bersauh di muka pelabuhan negeri itu. Sedikit pun tiada diketahuinya bahwa ada bahaya yang tengah mengancam keselamatannya.
Telah tiga hari kapal itu berlabuh di sana dan telah beberapa kali sekoci pulang balik ke daratan, tetapi tak ada dipedulikan orang. Tak seorang jua rupanya yang hendak bersapaan dengan awak kapal itu. Berselisih jalan, mereka itu dielakkan oleh anak negeri. Seiring, didahulukannya atau dikudiankannya. Akan tetapi jika mereka itu telah agak jauh sedikit, anak negeri menoleh kepadanya dengan seringai dan cemeeh.
Heran awak kapal memikirkan perangai penduduk Tiku itu. Apa gerangan sebab karenanya" Pertanyaan mereka itu kerap kali tiada dijawab orang dengan lurus. Orang besar-besar dalam negeri tiada pernah menampakkan diri. Pasar pun tiada seperti biasa. Orang berjual beli tiada gembira.
Hanya pada hari yang ketiga barulah ada kelihatan bendera putih di tepi pantai. Jelas tampak dari kapal. Hati awak kapal menjadi besar " alamat damai! Dengan segera sekoci diturunkan ke air, didayung ke arah daratan. Di tepi pasir banyak orang menanti. Seorang di antaranya bertanya kepada orang Belanda yang naik ke darat.
"Siapa Tuan?" "Jacob Cornelisz Noortwijck."
"Apa maksud Tuan datang kemari?"
"Hendak mendirikan loji; saya akan jadi asisten loji itu."
"Siapa yang ada di kapal?"
"Tuan Samuel Loth, yang telah diangkat jadi residen loji."
"Oh, Tuan Groenewegen tidak ada di situ?"
"Tidak, dia ada di Padang sekarang."
"Jadi, siapa orang besar di kapal itu?" tanya orang itu sambil berpikir-pikir.
"Hanya Tuan Loth itu."
"Kami minta supaya ia naik ke darat. Kami hendak bercakap dengan dia sebentar sebab orang besar-besar Tiku hendak bermusyawarah dengan segera."
"Tentang perkara apa?" tanya Noortwijck dengan tenang,
"Tentu saja tentang maksud Tuan-tuan datang kemari ini."
"Hendak mendirikan loji, bukan?"
"Benar. T etapi di mana tempatnya, harus kami permusy aw aratkan, kami tentukan lebih dahulu."
"Akan tetapi, kalau saya tidak salah, kompeni sudah membuat perjanjian dengan...."
"Ya, ya, kami tahu, tapi perkara mendirikan loji itu harus dipermusyawaratkan lagi."
"Oh, baik." Noortwijck menyuruh sekoci berbalik ke kapal, akan menyampaikan permintaan anak negeri itu kepada tuannya. Ia tinggal di daratan dengan tak menaruh syak wasangka atau waswas sedikit jua. Apa yang akan dikhawatirkannya" Orang Tiku sudah kenal kepada Groenewegen, wakil kompeni di Pantai Barat Pulau Sumatra: Tiku sudah menjadi negeri serikat kompeni.... Akan tetapi belum jauh benar lagi sekoci dari daratan, tiba-tiba Noortwijck ditangkap orang bersama-sama.
Ia melawan dan serdadu yang ada dekatnya pun melindungi
dia. Terjadi perkelahian sebentar.
Akhirnya, Noortwijck dan dua orang serdadu jadi korban perkelahian yang tak disangka-sangka itu, mati di hadapan beberapa awak kapal Belanda lain-lain.
Gempar! Orang berlarian ke sana kemari karena kebingungan dan ketakutan. Tak tentu yang akan diperbuatnya! Tetapi ada pula yang datang mengerumuni mayat itu, walaupun mereka itu ngeri melihat darah tertumpah.
Dalam pada itu seorang yang berpakaian serba hitam menyelinap masuk ke dalam sebuah kapal, yang telah siap hendak berlayar ke sebelah selatan.
"Berangkat, kembangkan layar semuanya katanya, seraya masuk ke dalam kurung akan menukar pakaian.
Ketika kapal itu telah jauh dari pantai dan telah kencang jalannya, barulah ia menampakkan diri di buritan dan berkata kepada juru mudi dengan sabar.
"Sekarang baru senang hatiku. Langkah baik, lebih daripada yang diharap-harapkan, Raja Gandam! Niscaya karena itu timbul huru-hara"Aceh dan kompeni berjuang di sini."
"Berapa orang yang mati, Raja Mulana?"
"Tiga, seorang kepalanya."
"Siapa yang membunuh?"
"Tidak tahu. Tipu Aceh...! Akan tetapi, usahaku berhasil sudah. Kompeni boleh insyaf."
"Pauh, bagaimana?"
"Itu kudian pula. Tidak, tak perlu aku pergi ke sana sekarang. Aku sudah bertemu dengan beberapa Panglima Aceh yang kenamaan. Sudah putus mufakat kami tentang apa yang harus dikerjakan di sana."
"Oh, baik betul."
Mereka itu bersukacita belaka akan cita-cita kita. Habis di sini, di Pauh pula."
"Moga-moga Raja Adil panjang umurnya!"
"Dan kekal kerajaan Manyuto baru!" kata Raja Mulana dengan gembira, "Sekarang jalankan Songsong Barat sekencang-kencangnya, Sahabat, supaya kita lekas tiba di rumah. Kalau tidak terjadi apa-apa di negeri kita, siapa tahu, barangkali Tiku berhajatkan bantuan kita pula, tentu kita harus balik lagi kemari."
"Ya, siapa tahu!" kata Raja Gandam dengan perlahan-lahan, sambil melakukan kehendak nakhoda dengan sedapat-dapatnya.
Sekalian orang pesisir harus insaf bahwa gerak-gerik Serikat Dagang Belanda (kompeni) itu harus diamati-amati benar sebab di balik niatnya berniaga itu sudah ada tersembunyi maksud yang istimewa, yang hendak menjajah negeri kita dengan jalan memperadu-adukan kita sama kita
"Akan tetapi, orang Bandar Padang tak mungkin insaf."
"Apa sebab tidak, kalau kekuasaan Orang Kaya Kedi budak kompeni itu dihancurkan oleh orang Pauh serta sekutunya?"
"Oh, sudah lama engkau mengaji dengan Tuanku kita, Raja Gandam?" tanya Raja Mulana dengan senang hatinya.
"Mengapa begitu, Nakhoda?"
"Sesurau kita rupanya. Ya, Tuanku Raja Adil harapan bangsa; harus kita sokong beliau dengan sebaik-baiknya."
MERAJUK Di ruang tengah sebuah rumah besar di Kotagedang, di kaki Gunung Talang, adalah duduk seorang anak muda yang elok parasnya. Ia bersandar pada tiang tua sambil memandang kepada bujangnya, yang bersila dekat kepala tangga.
"Tak guna kita bermenunganbegini, Berkat," kata orang muda itu kepada bujang itu, seraya menarik napas panjang, "benar kata adikku Putri Andam Dewi: carikan penuntut balas. Sabung masih ramai di Pintu raya. Pergi engkau sekarang juga! Ini uang sekupang genap, beli ayam tiga ekor."
"Plamba, Engku Muda," ujar si Berkat, sambil menyembah menyusun jari.
"Dengarkan dahulu kataku. Seekor ayam bangkeh4 elang laut, seekor nan jalak5 belah rotan, seekor kelabu pipit pinang; demikian ayam yang mesti engkau cari. Ingat! Kalau tidak dapat kaucari itu, jangan engkau berbalik pulang. Kalau engkau pulang juga, pedang berasah engkau dapati. Engkau tiba, kapan bercahik, kubur bergali hingga pinggang."
Bujang Berkat tegak berdiri, lalu berpaling ke halaman. Ia tertegun sebentar, ragu bimbang hatinya. Tidak akan pergi, ia takut kepada tuannya. Kalau ia pergi juga, jangan-jangan badan binasa! Akan tetapi, tiba-tiba dipereratnya serong kain bugisnya, lekat destarnya dan sisip rencong bertatah intan pada pinggangnya. Dengan segera, ia pun berjalan ke hilir lebuh panjang. Setelah selang berapa lamanya,
ketika kakinya sudah berasa agak penat dan badannya sudah mulai letih dan payah, sampailah ia ke padang penjemuran.
Matahari telah condong ke barat, tetapi panas masih terik rasanya. Berkat duduk berlindung di bawah sebatang pohon rampak rindang, yang ada di tepi padang itu. Ia makan sirih sekapur, merokok sebatang, sambil berpikir-pikir jua. Kebetulan ketika itu jemur sudah berbangkit; ayam orang dusun berkumpul di situ, mencocok dan memakan padi yang terserak-serak di tanah. Berkat menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu kelihatan olehnya di antara ayam yang banyak itu ketiga ekor ayam yang dikehendaki tuannya itu.
Dengan akal budi ayam itu pun dapat dijeratnya. Sedang ia memilit-milit kakinya, tiba-tiba datanglah orang yang punya. Ia berkata kepada si Berkat dengan marah, "Sudah tua kami di sini, belum ada orang lalu lalang saja. Berjalan tidak meminta tabik, berkata tidak malu-malu. Orang mana awak, maka ayam orang dicekau saja?"
Suramnya Bayang Bayang 35 Goresan Di Sehelai Daun Lanjutan Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Panji Wulung 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama