Manekin Karya Abdullah Harahap Bagian 3
"Mengenai apa, Komandan?" Hadi Saputra memberanikan diri untuk bertanya.
"Entahlah...!" gumam Bursok. Murung. "Yang masih kuingat hanya ucapan perempuan itu saja. Kata demi kata," gumam Bursok murung. lalu me
nirukan, "Kami selalu dan selamanya akan tetap dekat. Tak terpisahkan!"
Mau tidak mau Hadi Saputra dipaksa untuk ikut berpikir, tanpa mengetahui apa yang harus dipikirkan. Sampai akhirnya sang komandan menggeleng-geleng. Dan akhirnya turun juga dari mobil. Seraya mengulang gumamannya tadi.
'Apa ya kira-kira"!"
Padahal begitu sederhana. Ajun Komisaris!
Selalu dekat, kata Rinda. Namun jangankan Bursok. Rinda sendiri tidak tahu bahkan tidak berpikir sedikit pun bahwa kata-kata yang meluncur dari mulutnya ternyata punya makna. Tetapi bukan untuk Rinda.
Melainkan kembarannya. Sang manekin!
Boneka pop bergaun merah hati itu memang dekat sekali dengan "kami"-nya yang sama. Siapa lagi jika bukan Rendi. Bukan cuma secara psikis tetapi juga fisik. Buktinya, pada malam yang larut itu, ia masih tetap duduk seperti semula menghadapi gundukan kubur, di dalam mana siang harinya telah dimakamkan jenazah Rendi.
Duduk diam. Bergeming sebagaimana halnya benda mati.
Tetapi... Oh, nanti dulu!
Ada sesuatu yang perlahan-lahan mulai berubah dari benda mati tersebut.
Berawal dari kedua tangan di haribaannva. Pung
gung sepasang telapak tangan itu tampak seperti melar di sana sini. untuk kemudian membentuk pori-pori pada buku-buku jari. Disusul oleh bentuk urat-urat darah yang muncul secara bertahap dan merambat ke sekujur tubuh sampai ke leher, meski bagian yang terakhir ini tampak samar-samar saja. Seakan rambatan urat darah itu kuatir merusak keindahan kulit mulus halus yang menutupinya.
Dua gerakan lain segera menyusul terlihat. Yakni kelopak mata yang mengerjap serta jemari tangan yang mengejar. hidup. Lalu dari lubang-lubang hidungnya terdengarlah suara tarikan keras dan panjang, untuk menghirup sebanyak-banyaknya udara malam di pekuburan yang dingin serta berkabut itu.
Leher mulusnya kemudian menggeliat. juga hidup, sehingga wajahnya dapat ia arahkan menghadap kepala nisan bertuliskan nama si penghuni kubur. Menatap sejenak dengan sepasang mata bulatnya yang indah, bibir mungilnya kemudian menggeremet membuka. Lalu mendesah. lirih dan terdengar jauh.
"Akan kupenuhi keinginanmu, Rendi-ku kekasih!"
Menggeliarkan punggung sejenak dengan gerakan lemah dan gemulai, ia kemudian bangkit dari duduknya. Saat berikut ia sudah berjalan dengan langkah-langkah tenang tetapi pasti di antara batu atau kayu-kayu nisan yang pada tegak membeku.
Sebentar kemudian. tubuh molek bergaun merah hari itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam ber
kabut. Santun kuburan yang ia tinggalkan segera pula kembali pada kesunyiannya semula. Sunyi mencekam.
*** AGUS SODIKIN sebenarnya malas berdinas malam ini. Tetapi sopir pengganti mendadak sakit dan Agus tidak berani memercayakan taksinya pada sopir lain. Taksi itu sudah ia pegang semenjak didatangkan dari pabrik, dan setelah menyetor plus mengangsur ke koperasi selama tiga tahun, akan resmi menjadi miliknya. Setoran untuk hari ini sudah tertutupi. Tetapi angsuran bulanan yang harus dibayar minggu depan masih jauh dari cukup.
Gara-gara kondom sialan itu!
Kondom yang biasa dipakai Agus rupanya ada yang bocor. Dan hamillah si Lilis. pacar gelapnya. Kalau Lilis misalnya janda bahkan gadis sekali pun, okelah. Tinggal kawin diam-diam. Toh suka sama suka. Lilis juga tak punya pacar lain kecuali Agus. begitu pula sebaliknya.
Yang jadi masalah, Lilis sudah punya suami dan suaminya lelaki mandul. Lebih celaka lagi, sudah mandul tentara, pula!
Tak ada jalan lain. Sebelum ketahuan dan boleh jadi mereka dibunuh, kandungan Lilis cepat-cepat digugurkan. Dan uang yang ditabung Agus untuk membayar angsuran bulanan, habislah terpakai untuk menutup mulut dukun beranak yang membantu pengguguran itu. Maka, apa boleh buat, meski sepanjang subuh sampai sore hari tadi Agus sudah jungkir balik, malam ini ia terpaksa kembali harus mengukur jalan. Dan jika si sopir pengganti masih sakit....
Lamunan Agus buyar seketika manakala di depan persimpangan lampu mobilnya menangkap sesosok tubuh berdiri di trotoar dan melambai ke arah taksinya. Sosok seorang wanita bertubuh semampai bergaun merah hati, tegak sendirian. Tanpa pendamping. Mungkin pelacur atau boleh jadi waria yang akan pergi beroperasi cari mangsa.
Tetapi apa peduli Agus" Yang penting uang ma
suk! Agus pun menepikan taksi.
Dan tangan Agus sudah terjulur untuk membuka pintu belakang ketika si wanita atau si waria sudah lebih dulu menarik terbuka pintu depan lantas melenggang masuk dan duduk di sebelahnya. Saat pintu terbuka dan lampu kabin menyala, mata Agus sempat menangkap seraut wajah cantik dengan rambut dipotong sebatas tengkuk. Bermata lebar dan benar-benar bulat. dengan bibir mungil yang merah segar.
Hanya dengan sekilas mencuri lihat ke lekukan payudara yang setengah mencuat kencang pada bagian atas gaun merah hati itu, Agus langsung tahu bahwa penumpangnya seorang wanita tulen. Le
kukan itu khas. Tak bisa dipalsukan, walau dengan busa pengencang sekali pun. Boleh saja ada suntikan silikon. tetapi...
"Kok belum jalan juga, Kang?" penumpangnya bertanya. Lirih dan terdengar sayup. Sambil bibir mungilnya tersenyum. Tipis, tetapi aduhai manis. Dan wajah itu. Lilis memang cantik, namun jelas akan terpuruk jika disandingkan dengan wanita bergaun merah hati ini!
Agus batuk-batuk kecil. "Maaf?" katanya seraya menjalankan taksi. Saking gugup, Agus salah memasukkan gigi. Mobil sempat terlompat sesaat sebelum lajunya memulus. Sang penumpang tidak memprotes. Agus pun lega.
"Non mau diantar ke mana?"
"Kantor polisi," jawab suara lirih itu. "Dari sini arah ke utara!"
"Utara!" desah Agus, agak heran dengan cara penumpangnya menjelaskan alamat yang dituju. "Maksud Non pasti Polresta ya?"
Tak ada sahutan. Dan Agus pun berbelok ke kanan setiba di persimpangan. Samhil berkata menduga-duga.
"Non ini seorang Polwan ya?"
Diam juga. "Atau istri polisi yang akan menjemput suami?" Agus terus mendesak. Ia perlu berbicara dengan seseorang, tak peduli siapa atau apa yang dibicarakan. Yang penting sakit kepalanya memikirkan uang angsuran... dan terutama Lilis. harus ia kendorkan.
Sia-sia saja. Si cantik menawan hanya menatap lurus ke de
pan. Menatap diam dan kaku. Jelas tak mau diganggu. Atau. barangkali sedang memikirkan orang yang ia tuju. Larut malam begini, sendirian... malah sampai lupa bawa tas tangan, pasti ada masalah.
Jadi bukan hanya aku seorang yang bermasalah. pikir Agus menghibur diri. Ada pun masalah yang dihadapi Agus sendiri benar-benar memusingkan kepala.
"Pakailah kondom lain. Tetapi pada wanita lain!" dua hari yang lalu Lilis berkata seraya mencucurkan air mata.
"Maksudmu... kita putus?" tanya Agus. Terkejut.
"Hanya untuk sementara. Kang Agus. Aku masih ingin terus denganmu. Tetapi Akang pasti tahu sendiri. Aku kuatir hal yang mengerikan itu bisa terulang lagi...."
"Buang saja kekuatiranmu, Lies." jawab Agus membujuk. "Aku sudah berencana ganti kondom. Memang dari merek yang mahal. tetapi?"
Tangisan Lilis kian menjadi. "Ini bukan urusan kondom, Kang!"
"lantas?" "Aku tak mau lagi disuruh menggugurkan kandungan!" jawab Lilis. Tegas, namun penuh duka cita. "Karena bagaimanapun aku ini wanita biasa juga. Yang menginginkan keturunan. Dari orang yang dicintainya!"
"Aku mengerti. Tetapi. Lies, jangan lupa kau punya suami. Dan..."
"ltulah. Kang Agus. Aku sudah lama berpikir untuk... minta cerai!"
Agus pun pucat seketika. "Astaga!"
"Sungguh mati, Kang. Aku mencintaimu. dan aku tak berani berdusta padamu!"
"Tetapi..." "Diam-diam, aku sudah mendatangi komandan suamiku," Lilis terus saja berbicara. "Dan dia bilang aku memang punya alasan yang kuat untuk minta cerai. Dia sebenarnya keberatan untuk menjadi perantara. Akan tetapi karena dia juga punya anak perempuan yang masalahnya persis sama denganku. dia berjanji akan mendukung. Katanya, tak sampai hati bila nanti aku menderita... sampai TBC-an. seperti anak perempuannya!"
"Wah..." "ltulah, Kang Agus. Sebelum ketahuan hasil negosiasi Pak Komandan dengan suamiku, untuk sementara kita berpisah dulu. Tetapi percayalah. tekadku sudah bulat. Bila negosiasi mereka gagal, aku akan nekat meneruskannya. jika perlu, ke Pengadilan Militer pun jadi!"
Tetapi masalahnya bukan itu. Masalahnya. Agus sendiri punya istri. Dengan dua anak pula. Lilis tahu itu, dan pasti tidak lupa. Hanya saja, ada beberapa kali setelah mereka habis bersanggama Agus selalu tergoda untuk berkata, "Andaikata kau tidak punya suami, Lies. Maulah rasanya aku meninggalkan isrri dan anak-anakku!"
Pemanis bibir, sebenarnya. Semata-mata dengan maksud menyenangkan hari Lilis. Tetapi menceraikan istri... plus berpisah dengan anak-anaknya pula. nanti dulu. Agus masih mencintai mereka dan mungkin selamanya akan tetap begitu. Ada pun
Lilis yang pernah menjadi pelanggan tetap taksinya...
"Stop di sini!"
Agus tersentak clan buru-buru menginjak rem. Untungnya kaki serta tangan Agus masih terkendali. sehingga ketika akhirnya berhenti, taksinya bisa menepi dengan mulus. Tanpa ban mobil harus ribut menjerit-jerit, menggigiti aspal.
Menoleh ke samping, tampaklah penumpangnya yang bergaun merah hati itu tengah mengawasi ke luar jendela. yakni ke arah bagian dalam jejeran pagar memanjang dari gedung kantor polisi yang mereka tuju. jadi, mereka telah sampai. Dan Agus sudah berniat memundurkan mobil karena telah melewati pintu gerbang keluar-masuk, manakala tangan si perempuan memberi tanda agar Agus diam menunggu.
Agus pun menurut. Sambil telinganya mendengar si perempuan berbisik sambil terus menatap ke luar jendela.
"Hai!" Demikian bunyi bisikan tajam yang ditangkap oleh telinga Agus. "Akan kukirimkan satu untukmu. Komandan. Malam ini!"
Oh, oh. Apa maksudnya" Dan mengapa tidak turun saja, masuk lalu mengatakan itu langsung pada yang bersangkutan"
Agus masih terheran-heran waktu penumpangnya menoleh ke arah dirinya, lalu berkata disertai senyuman manis.
"Ayo, jalan lagi!"
"iya, Non?" gumam Agus. Terbingung-bingung.
Senyuman di bibir merah segar itu melenyap.
'Kubilang. jalan!" Secara naluriah, Agus segera menjalankan taksinya. Namun tetap terdorong untuk bertanya, sambil... entah mengapa. mulai dirambati perasaan takut. Takut yang aneh.
"Ke-ke" mana, Non?"
"Nanti juga kau akan tahu." jawab suara lirih dan terdengar sayup itu. "Ikuti saja jalan pikiranku!"
Jalan pikiran" Bukan Jalan Ahmad Yani, atau...
Mobil terus meluncur, bersama munculnya keanehan yang lain. Kepala Agus perlahan-lahan terasa dingin. Sangat dingin, Begitu pula otaknya. Dan di otaknya yang berubah sedingin es itu, Agus kemudian tahu. Tahu ke daerah mana taksinya harus menuju!
Di sebelahnya, si gaun merah hati kembali meluruskan punggung. Diam dan kaku. Menatap lurus ke depan. Sambil bibir mungilnya yang merah segar itu tersenyum.
Misterius. *** "ADA apa, Komandan?"
Mereka berdua sedang membahas berkas-berkas laporan yang masuk sampai malam itu-termasuk catatan terakhir di notes Hadi Saputra-ketika Bursok secara tiba-tiba duduk membeku di kursi kerjanya. Dengan punggung tegak dan wajah mengeras. Seakan ada moncong pistol ditempelkan seseorang ke punggungnya yang tertegak mendadak itu. Ia diam membeku beberapa saat lamanya. tampak seperti tidak mendengar pertanyaan Hadi Saputra.
"Komandan?" Sang lptu mengulang.
Kelopak mata Bursok akhirnya mengerjap. Tersadar.
Punggungnya sedikit dikendorkan, lalu dengan wajah tampak masih kaku ia menatap liar ke sekitar ruang kerjanya. Meski tak tahu apa yang dicari. Hadi Saputra ikut memutarkan pandang. Sampai akhirnya mata sang komandan berhenti pada layar beberapa pesawat monitor dengan sirkuit lokal yang tersusun rapi di dekat rak arsip. Tidak ada sesuatu
yang istimewa untuk dilihat, karena yang tampak hanyalah visualisasi kegiatan atau pemandangan sehari-hari yang selain menjemukan juga tampak sepi. Bahkan salah seorang petugas piket tampak duduk terkantuk-kantuk di posnya.
Lensa kamera yang terpasang di berbagai sudut vital kantor satuan serse agaknya tidak mengirim gambar yang dicari oleh Bursok. karena Hadi Saputra kemudian melihat kekecewaan di wajah komandannya. Tetapi hanya sesaat. Karena pada saat berikutnya sang Ajun Komisaris dengan cepat menyambar satu dari dua pesawat telepon di atas meja kerjanya sambil bertanya pada ajudannya.
"Hotel tempat mereka menginap, Hadi. Nomor berapa?"
Tahu siapa yang dimaksud, Hadi Saputra segera melembari' halaman notesnya. Dan setelah menemukan apa yang dicari. ia memberitahukannya pada sang komandan yang dengan bersemangat menekan nomor-nomor dimaksud. Begitu ada kontak. Bursok langsung minta disambungkan ke pesawat telepon kamar 27.
Menunggu sejenak, terdengarlah sahutan suara lembut di seberang sana telepon.
"Halo?" Rinda. Dan wajah Bursok kembali mengeras. Lebih dulu memberitahukan siapa dirinya serta dengan sopan meminta maaf karena telah mengganggu, Bursok langsung mengutarakan maksudnya menelepon.
"Satu pertanyaan sepele saja. Bu Rinda. Apakah Anda punya kemampuan telepati?"
Sementara Hadi Saputra menatap heran pada komandannya, telepon di seberang sana diam sejenak. Lalu terdengarlah jawaban yang juga bernada heran.
"Tadi. supranatural. Sekarang telepati. Katakanlah sejujurnya. Komandan. Ada apa sebenarnya?"
"Cuma ingin tahu," jawab Bursok datar. "Ya atau tidak?"
"Bidang saya adalah perancang busana, Komandan. Di butik milik saya sendiri. Saya tak pernah dan sedikit pun tak berminat menekuni psikologi. Apakah jawaban itu cukup memuaskan Anda?"
"Sebenarnya sih tidak?" jawab Bursok. Tampak berpikir-pikir sesaat dua, ia meneruskan. "Lupakan saja pertanyaanku tadi. Tetapi omong-omong, Bu Rinda tak usah repot-repot datang ke kantor kami sebagaimana yang tadi kita sepakati. Pagi besok akan kuutus dua orang anggota kami menemui Bu Rinda, termasuk juru gambar. Katakanlah, sekitar pukul delapan. Tidak ada rencana pergi. bukan?"
itu bukan pertanyaan. Tetapi perintah tersembunyi. Di seberang sana Rinda agaknya memaklumi. karena ia langsung menjawab.
"Saya tunggu, Komandan."
"Oke. Terima kasih!"
Pembicaraan selesai. Dan ganti Hadi Saputra yang menunggu. Menungu penjelasan dari sang komandan mengenai maksud pertanyaan yang tadi diajukan pada saksi utama mereka. Tetapi setelah duduk diam sejenak. yang keluar dari mulut Bursok bukan penjelasan, melainkan pertanyaan.
"Sampai di mana kita tadi, Hadi?"
Hadi Saputra terpalsa harus menelan kekecewaannya. lantas menyahuti,
"liga-empat-kosong, Komandan. Bukan tigatiga-sembilan." katanya. "Tigaempat-kosong, dengan kamuflase tiga-enam-lima. Pencurian."
"Ah ya. tiga-empat-kosong!" Bursok menghela napas panjang. "Mengapa?"
Jelas dia sudah tahu tetapi masih bertanya juga. pikir Hadi Saputra sambil menjawab.
"Dari sejumlah petunjuk kuat di TKP Misalnya, tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan baik pada pintu maupun jendela. Juga ada dugaan tersangka pelaku dikenal oleh korban. Dugaan ini diperkuat oleh keterangan dua dari sekian orang saksi tambahan..."
Dua saksi dimaksud-demikian Hadi Saputra memberitahu-adalah petugas ronda yang pada malam kejadian kebetulan lewat dan melihat Rendi sedang membuka lebar pintu gerbangnya. Ketika ditanya apakah ia akan bepergian. Rendi menggeleng lalu mengatakan ia sedang menunggu tamu. Rendi lalu masuk ke dalam rumah, tanpa berkata apa-apa lagi, kecuali meminta maaf dengan sopan.
Berkeliling sebentar, dua petugas ronda dimaksud bermain kartu dengan rekan lainnya di pos jaga mereka. Tak betapa lama kemudian mereka melihat dua mobil melaju dengan kecepatan sedang. Di depan, van berwarna gelap. Diikuti mobil sedan yang dikenali para petugas ronda itu sebagai milik Rendi. Namun karena jendela-jendela mobil tertutup rapat. mereka tidak dapat memastikan apakah Rendi yang duduk di belakang kemudi sedan dan siapa yang
mengemudi mobil van. Atau juga, apakah di masing-masing mobil itu ada penumpang.
"Dapat kita pastikan," Hadi Saputra menjelaskan, "selain barang dari dalam rumah, mobil korban juga ikut dicuri. Boleh jadi malah dipakai mengangkut hasil curian..."
Selagi berbicara. ekor mata sang Inspektur Satu beberapa kali mencuri lihat wajah komandannya yang duduk diam mendengarkan tanpa sekalipun menyela. Wajah itu tampak masih mengeras. Dan meski sepasang mata sang komandan terus tertuju pada dirinya, mata itu tampak menerawang. Sehingga Hadi Saputra dengan mudah bisa menebak bahwa pikiran komandannya saat itu berada di tempat lain. Tetapi di mana dan apa gerangan yang ia pikirkan"
Hanya Bursok seorang yang tahu.
Karena hanya telinganya sendiri pulalah yang mendengar bisikan yang tiba-tiba menerpa selagi ia serta bawahannnya itu tadi sedang serius-seriusnya mendiskusikan kasus rumit yang tengah mereka hadapi. Bisikan tajam serta menusuk, yang membuat punggung Bursok langsung tertegak oleh perasaan dingin yang membekukan tulang. Padahal apa yang ditangkap oleh telinganya, adalah bisikan lemhut seorang perempuan. Bisikan itu juga lirih, bahkan terdengar sayup.
"Hai." Bisikan tersebut diawali dengan sapaan lembut. baru disusul oleh bisikan yang menusuk. "Akan kukirim satu untukmu. Malam ini!"
Begitu ia disadarkan oleh ajudannya. mata Bursok lantas mencari-ari dari mana datangnya bisikan
itu. Kecuali Hadi Saputra, tak ada orang lain di ruang kerjanya. Layar-layar monitor sama saja. Kecuali para anggota yang sedang lalu lalang atau asyik membicarakan sesuatu. yang tampak hanyalah lorong-lorong yang sunyi sepi. Dan tak seorang pun dari petugas itu yang sedang melihat ke arah lensa kamera, di mana pun mereka berada.
Lebih rinci lagi, para petugas yang terlihat di layar monitor kebetulan pula semunya lelaki. Tak ada perempuan. Lebih khusus lagi, seorang tamu cantik bernama Rinda Suhandinata.
Aneh memang, tetapi itulah nyatanya.
Meski lirih dan terdengar sayup, entah mengapa feeling Bursok langsung berkata itu Strata Rinda!
Hanya saja, orangnya tidak ada di dekat Bursok. Sementara lensa kamera hanya menangkap gambar, bukan suara. Dan lensa pun tidak mengirimkan gambar Rinda sedang berbicara padanya.
'Telepati" Di telepon tadi, Rinda tegas membantah. Malah Rinda berbalik curiga pada Bursok. Seperti halnya ketika mereka berbincang bincang. Rinda tampaknya berkata jujur. Tetapi jangankan orang lain, seorang polisi terkadang bisa saja mencurigai dirinya sendiri. Lalu, misalkan Rinda berbohong di telepon, apa maksudnya berkata "akan kukirim satu untukmu?"
ltu jika Rinda yang berbicara melalui kekuatan telepati. Terlepas apakah maksudnya memberi isyarat mengenai sesuatu atau hanya ingin menggoda dan mempermainkan Bursok.
Tetapi. jika bukan Rinda.
lantas siapa" *** Si penumpang bergaun merah hari hanya menatap. Tidak berbicara. Tetapi sel-sel otak Agus merefleksikan sendiri bunyi perintah itu, lalu mengalirkannya ke jaringan-jaringan saraf sampai ke ujung kaki. Pedal gas dikendorkan Agus sampai akhirnya taksi yang ia kemudikan menepi di suatu jalanan sunyi lengang bersuasana pinggiran kota.
Antara sadar dan tidak, Agus menoleh ke samping dan melihat penumpangnya menarik keluar sesuatu dari celah payudara di balik leher gaunnya. Sesuatu kemudian dijejalkan ke telapak tangan kiri Agus yang diraih oleh sang penumpang dari lingkaran kemudi. Tampaklah samar-samar lipatan uang kertas dua puluh ribuan serta beberapa lembar ribuan.
"Tadinya aku punya lima puluh ribu," si cantik bergaun merah hati berkata dengan senyuman. "Pemberian dari seseorang. Terapi sudah dikurangi ongkos angkot sebelum kau tadi mengambilku!"
"Kekurangannya akan kubayar dengan ciuman." si gaun merah hati dengan rambut dipotong sebatas tengkuk itu berkata lagi. "Dan jika masih kurang juga dan kau mau, kau boleh meraba paha atau payudaraku!"
Jika situasinya berbeda. pasti Agus sudah main terkam.
Akan tetapi otak maupun otot-otot tubuhnya entah mengapa lebih suka mengambil sikap menunggu. Dan perempuan itulah yang mencondongkan
wajah ke depan, lalu mencercahkan bibir mungilnya yang merah segar ke mulut Agus. Mengulum sesaat lantas cepat-cepat menjauh lagi. Justru pada saat saraf berahi Agus mulai bergejolak.
"Kantongi uangmu dan pergilah." berlangsung lagi pembicaraan satu arah. "Kau harus mengumpulkan lebih banyak untuk menutupi angsuran bulanan, bukan?"
Dari mana dia tahu" Namun pertanyaan itu hanya ada di kepala Agus. Dan tanpa daya ia biarkan penumpangnya turun lalu menutupkan pintu mobil. Juga tanpa daya, ia menghidupkan mesin lalu memutar taksinya kembali ke arah semula. Sambil otaknya ribut berkicau.
"Angsuran bulanan! Angsuran bulanan!"
Dan di tempat yang ia tinggalkan. si gaun merah hati berdiri diam di trotoar. Mengawasi taksi yang terus meluncur semakin jauh. Lantas bergumam kaku.
"Bagus. Pikirkanlah itu. Dan lupakan saat ini juga" segala sesuatu yang menyangkut diriku!"
Tersenyum puas, ia kemudian memutar tubuh. Bergerak kaku namun dengan langkah-langkah teratur serta arah yang pasti.
Menembus kegelapan malam yang hitam berkabut.
*** "APA tadi, Hadi?"
Ah, mendengar juga dia! Hadi Saputra membatin. dan di mulut ia memberitahu.
"Alibi mereka, Komandan. Saksi dan kemungkinan juga, tersangka utama kita. Rekan-rekan sejawat kita baik di Jakarta maupun di Cikampek dengan senang hati ikut membantu pelacakan..."
"Dan?" "Selain oleh pembantu rumah tangga mereka yang bernama lnah. alibi kedua saksi juga diperkuat oleh pemilik maupun pelayan restoran yang mereka sebut-sebut. Bahkan nomor plat mobil mereka masih ada dalam catatan petugas parkir restoran!"
"Serajin itu dia?"
"Keranjingan judi. Nomor buntut pacuan kuda Singapura," Hadi Saputra menjelaskan sambil tersenyum. "Petugas parkir itu percaya, mobil yang singgah tetapi penumpangnya tidak jadi turun untuk makan, pasti punya makna. Yakni nomor Plat mobil
dimaksud. Yang uniknya, memang pernah ia coba dan ternyata buntutnya kena!"
"Suatu kebetulan belaka!" Bursok menggeleng tanpa minat. "Tetapi kedua orang saksi kita itu... khususnya sang suami, bisa saja meminjam tangan orang lain. Dengan upah tinggi, tentunya!"
"Motivasinya. Komandan?"
"Cinta..." jawab Bursok dengan sepasang mata kembali menerawang. "Persisnya, cemburu. Dari seorang suami yang merasa dinomorduakan. Oleh saudara iparnya pula!"
Hadi Saputra cepat mencatat di notesnya. Sambil menggumamkan apa yang ia tulis, "Cinta. Saudara kembar, oh"!" Hadi Saputra mencoret lalu meralat sendiri. "Saudara ipar. Dan..."
Bursok tersentak. Bahkan sampai terlompat bangkit dari kursinya. Seraya mendengus. bersemangat.
"Benar! Itu dia! Kembarannya!"
Hadi Saputra berhenti menulis lalu menatap tak mengerti. "Komandan?"
Kelesuan di wajah Bursok sudah melenyap. Yang tampak kini adalah gairah yang meluap luap. Terutama pada sinar matanya.
"Boneka popnya, Hadi!" ia berkata. terkejut. "Mereka bilang boneka itu tahu-tahu hidup. Boneka itu berjalan, berbicara. Dan?"
Tanpa meneruskan kalimatnya, Bursok bergegas keluar dan bergegas pula menuruni tangga ke lantai bawah, diiringi oleh ajudannya yang terbingung-bingung namun tak berani bertanya. Petugas piket yang tadi di layar monitor terlihat duduk terkantukkantuk. saat itu sudah terjaga dan sedang merokok
dengan nikmat. Petugas berpangkat Bharada itu langsung berdiri tegak ketika melihat kedua orang atasannya mendatangi dengan sikap serta wajah serius.
Akan ditegur atau dihukum indisipliner-kah dia"
Agaknya tidak. atau belum. Karena begitu mereka berhadapan, sang Ajun Komisaris langsung mendesakkan tanya.
"Apakah tadi kau melihat seorang wanita masuk ke dalam sini" Orangnya berambut pendek sebatas tengkuk. Dan kemungkinan memakai gaun warna merah hati?"
Bingung bercampur cemas, sang Bharada menyahuti dengan gugup.
"Siap. Komandan! Tidak, Komandan! Karena saya tadi...'
"Bagaimana di luar sana" Lihat apa tidak?" Bursok menunjuk ke pintu gerbang keluar-masuk kantor mereka.
"Tidak, Komandan. Karena saya tadi, maaf..."
Mengantuk! Bursok sudah akan marah manakala salah seorang dari tiga anggota lainnya yang sedang duduk mengobrol sambil menikmati rokok mereka, bangkit seraya berkata segan.
"Mungkin yang berada di dalam taksi itu..."
Bursok seketika berbalik pada si pembicara. "Taksi?"
"Hanya menduga, Komandan..." jawab yang ditanya. Ragu-ragu. "Saya memang tidak melihat dia memakai gaun atau apa. Tetapi perempuan yang
duduk di sebelah pengemudi taksi itu rambutnya jelas sebatas tengkuk!"
"Dari mana kau tahu?"
"Saya kehabisan rokok. Komandan. Dan kebetulan sedang membelinya di kiOs dekat gerbang ketika taksi itu berhenti tak jauh di depan saya. Saya tertarik untuk mengamat-amati setelah saya lihat tidak ada penumpang yang turun. Hanya berhenti begitu saja selama beberapa saat, sebelum taksi itu kemudian meluncur pergi...."
Taksi! Makin canggih saja boneka pop itu, pikir Bursok sebelum kemudian bertanya. "Kau ingat ciri-ciri taksi tersebut, Subandi?"
Bharada Polisi Subandi menyahuti disertai anggukan mantap,
"Bahkan juga nomor pengenal taksinya, Komandan!"
Dan kesibukan pun berlangsung saat itu juga.
Semua mobil serta motor patroli baik yang sedang mangkal di pelataran parkir maupun yang berkeliaran di seantero jalanan kota diperintahkan untuk mengejar. mencegat dan menahan taksi dimaksud. Dengan catatan dari Bursok: begitu taksi ditemukan, tunggu perintah lebih lanjut dari markas Komando.
Perusahaan taksi dimaksud juga dihubungi dan langsung ikut sibuk setelah tahu siapa yang menelepon. juga Bursok memberi catatan: perusahaan taksi hanya diminta untuk melacak keberadaan taksi mereka nomor sekian, tanpa si pengemudi tahu taksinya sedang dilacak. Karena sekali nama polisi di
sebut-sebut. boleh jadi si pengemudi panik atau penumpangnya buru-buru turun lantas kabur tak tentu rimba!
Sayang, semua kesibukan itu sia-sia belaka. Atau lebih tepat dikatakan, si orang Sibolangit sudah terlambat!
Taksi dimaksud akhirnya memang ditemukan oleh salah satu mobil patroli. Dan pengemudinya pun sedang diajak mengobrol dengan santai di warung kopi terdekat, ditraktir oleh petugas yang mencegat lalu menahan taksinya. Namun ketika Bursok yang mengebut mobilnya secara gila-gilaan dan akhirnya tiba di tempat yang dituju lantas ribut bertanya. yang ia dapat tak lebih dari wajah serta jawaban yang sungguh menyedihkan hati.
Dan membuat Bursok nyaris dilanda frustrasi.
"Dalam satu jam terakhir?" si pengemudi yang bernama Agus itu balik bertanya disertai gelengan kepala yang meyakinkan. "Jangan lagi kata wanita cantik seperti yang Anda kimukan. Bahkan nyamuk pun mendadak pada enggan menaiki taksi saya!"
"lni serius, Bung! Jadi..."
"Saya juga serius. Pak!" sela Agus sama tegasnya, kesal karena telah ditahan lalu ditanyai urusan yang serba membingungkan dirinya. "Beberapa anak buah Anda yang menahan saya juga sudah saya bilangi beberapa kali. Semenjak keluar magrib tadi, saya apes terus. Cuma mutar-mutar melulu kian kemari. Menghabiskan bensin saja. Padahal angsuran taksi saya..."
Dan entah apa lagi yang tampaknya diceritakan Agus dengan lugu namun disertai omelan-omelan
panjang. Kecewa berat, Bursok berpikir mungkin Bharada Subandi salah lihat. Atau memang dirinya yang salah, karena pesan telepati itu boleh jadi disampaikan oleh pemesannya dari tempat lain bahkan jauh entah di mana.
Nyaris frustrasi. Bursok mendekati taksi Agus lalu membuka pintu depan sebelah kiri. Sekadar iseng, untuk menghibur hati yang kecewa. Sambil berharap, siapa tahu Subandi benar dan si pengirim telepati meninggalkan sesuatu untuk membuat permainan semakin asyik. Seperti halnya jejak tumit sepatu di jalur berdarah rumah Rendi, yang semula mereka duga sebagai permainan dari tersangka pelaku pembunuh Rendi, tetapi nyatanya...
Bursok tertegun. Hidungnya mengendus-endus beberapa kali lalu menarik mundur kepalanya yang sebelumnya ia condongkan untuk melihat lihat kabin terutama kursi depan taksi.
Disaksikan dengan heran oleh pengemudi taksi maupun Hadi Saputra serta anak buahnya yang lain, Bursok meluruskan tegaknya di trotoar. Wajah Bursok tampak membeku, namun sepasang matanya bersinar-sinar hidup. Tidak lagi frustrasi.
Hanya dia yang tahu. Karena hanya hidungnya pula yang barusan membaui sesuatu di bagian dalam taksi, yakni aroma parfum. Memang cuma tercium samar-samar, namun ingatan Bursok yang kuat langsung memberitahu. Itu adalah aroma serupa yang tercium hidung Bursok ketika membuka pintu lemari di kamar Rendi. Pintu di balik mana
mendekam kembaran dari saudara kembar Rendi: sesosok boneka pop.
Antara sadar dan tidak, Bursok menengadah. Dan menatap diam ke arah langit malam sambil berbisik dalam hati.
"Di mana kau gerangan sekarang ini... makhluk cantik?"
Tanpa setahu Bursok. sosok kembar si antik Rinda Suhandinata yakni si gaun merah hati alias sang manekin, terhenti menegun. Diam mendengarkan sesaat. ia kemudian juga menatap ke arah rembulan di langit malam.
Tersenyum manis, ia bergumam. Lirih dan terdengar sayup. "Paketnya sudah dekat. Komandan. Bersabarlah!"
Habis bergumam, si gaun merah hati kembali meneruskan langkah. Lebih cepat dari sebelumnya.
Bagaimana tidak. Karena paket yang akan diambil, boleh dibilang sudah di depan mata!
*** DARI segi pemasukan, hari itu Markus benarbenar dapat rejeki nomplok. Jalal penadah langganannya di masa lalu-bersedia terima borongan sehingga Markus tak perlu repot-repot mencari penadah sampingan. yang keamanannya belum tentu bisa dipercaya. Memang Jalal sempat ngomel bahwa spesialisasinya adalah mobil.
"Tetapi demi seorang teman lama, tak apalah!"
Dan Jalal pun menerima selain mobil. juga barang jarahan Markus lainnya: seperangkat barang elektronik, benda-benda keramik, dua jam dinding plus arloji. Yang terakhir itu sebenarnya ingin dipakai sendiri oleh Markus. Tetapi risikonya terlalu tinggi.
jadi tak ada masalah dengan hasil rampokan sebagai kamuFlase pembunuhan Rendi Suhandinata. kecuali pembayarannya karena Markus tidak mau menerima cek apalagi giro.
"Sebelum kau, ada dua mobil yang masuk dalam minggu ini, sehingga pengeluaranku lumayan ba
nyak." Jalal memberitahu. "Terima lima juta saja dulu. Sisanya akan kulunasi malam nanti. Oke?"
Oke, mengenai rejeki. Tetapi tidak menyangkut kebutuhan seorang lelaki yang masih diliputi ketegangan setelah menerobos bahaya yang sudah lama ia hindari. Ranjang tidur di rumah Markus sudah tiga hari tersenyum mengejek. lstri bersama anak mereka pulang ke Ambon untuk menjenguk mertua Markus yang sakit keras. Ningrum-janda yang jadi kekasihnya selama satu tahun terakhir-tegas'tegas menolak. Bahkan cium bibir saja pun tak mau.
"Aku sedang merah!" kata Ningrum memberi alasan. "Tunggulah beberapa hari lagi!"
Markus percaya Ningrum tidak berbohong. Karena bukankah janda berwajah hitam manis itu sudah ia bawakan seuntai kalung emas yang ia copot dari leher mayat Rendi, plus lima potong gaun mahal yang ia sambar dari lemari" Sedemikian gembiranya Ningrum sampai lupa bertanya dari mana Markus memperoleh hadiah-hadiah menakjubkan itu. Ningrum malah sibuk berbicara tentang Memed, sopir angkot yang belakangan ini mulai memasuki kehidupan sang janda.
"Biar dia lebih muda dari Akang, percayalah. dia itu memble! Mulai besok, kalau Memed datang lagi. dia akan kukentuti!"
Itu sudah pasti. Bukan karena Markus tahan lama menggoyang tempat tidur. Melainkan karena Markus hari-hari ini punya uang berlimpah-limpah. Bahkan ke depan, nasib baik sudah menunggunya pula. Naik pangkat
dari satpam menjadi pegawai tetap di bagian administrasi. Markus akan menikahi Ningrum supaya janda beranak satu itu tidak minggat lagi ke pelukan Memed. Mendengar janjinya itu. Ningrum bersorak bahagia. Namun tetap saja tidak mau dicium. apalagi naik ranjang.
"Sudah penyakitku dari dulu. " katanya dengan wajah menyesal. "Kalau lagi merah. suka kehilangan selera. Terkadang malah sampai jijik tak keruan!"
Ke rumah petak di Grobogan"
Juga tak bisa, atau tepatnya tidak berani. Benar, Markus punya uang lebih dari cukup untuk memilih perempuan mana saja yang ia sukai. Bila mau. dua orang sekaligus pun tak apa dan ia mampu untuk itu. Akan tetapi, bulan lalu terjadi heboh ketika seorang penghuni rumah petak di Linggarjati ketahuan menderita HIV. Besar kemungkinan penghuni Grobogan atau rumah petak sejenis di tempat lainnya sudah ada pula yang terjangkit. Markus pun ngeper sendiri. Dan terpaksa menahan nafsunya... yang celakanya. semakin ditahan semakin kuat menuntut pelampiasan!
"Tambah lagi kopinya. Den?"
Markus tersentak dan tersadar dari lamunannya. Menatap wanita pemilik warung kopi tempat ia duduk-duduk menunggu sudah hampir satu jam. Markus kemudian bergumam tanpa gairah.
"Tidak. Bu. Terima kasih...."
Si pemilik warung tersenyum. Manis memang.
tetapi usianya paling tidak sudah kepala lima. Tubuhnya kerempeng pula. Jika pun misalnya perempuan itu mau. Markus yang tak punya selera. Lihat saja pipinya yang kempot itu. Belum lagi dada yang kempes di balik kebaya lusuhnya. Dan...
"jangan menatapku seperti itu, Den," pemilik warung menegur, sopan. Sambil masih tersenyum. "Ibu jadi malu!"
"Oh, maaf!" Markus kembali tersadar dan buruburu mereguk sisa isi gelasnya. Lantas pura-pura mengawasi jalanan yang sunyi lengang di bagian luar warung. "Sepi amat ya, Bu?"
"Maklum. Den. bulan tua. Barangkali juga orang masih pada takut. Siapa tahu hujan badai muncul lagi tiba-tiba. Seperti kemarin malam. Tanpa ba tanpa bu, eh tahu-tahu byuur! Langsung tumpah dari langit!"
"Iya juga...." Markus manggut-manggut setuju.
"Dari tiga orang yang ngopi sejak tadi. cuma Aden yang masih bertahan. Menunggu seseorang, ya?"
"Benar. Bu. Tetapi bukan di sini!"
"Oh?" "Salahku sendiri." Markus menggeleng-geleng murung. "Saking tak sabar. datang lebih cepat dari waktu yang disepakati. Maka sambil menunggu, aku berkeliling tak menentu. Sampai akhirnya singgah di sini!"
"Pacar ya"' Markus menyeringai. Kecut. Lantas menggeleng.
"Rekan bisnis. Bu!"
"Memangnya Aden ini bisnis apa?"
"Mobil!" jawab Markus, tak sadar. Tetapi cepat diperbaiki. "Maksudku, mobil bekas. Aku ini perantara....'
Manekin Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Calo?" "He-eh!" "Berhati-hatilah, Den!" si pemilik warung berkata menasehati. Sambil tangannya memutar-mutar tombol radio di depannya, mencari-cari gelombang yang diinginkan. "jangan sampai terjebak menjual mobil curian!"
Markus mengangkat muka. Tersentak.
"Ini dari pengalaman seorang tetangga Ibu...." Pemilik warung meneruskan tanpa melihat apalagi mengetahui perubahan di wajah pengunjung warungnya. "Dia rugi besar karena membeli lalu menjual mobil yang ternyata hasil curian. Sudah rugi. dipenjara lagi!"
Gelombang radio ketemu. Terdengar siaran wayang.
"Ah. Asep Sunarya! Dalang ngetop itu siaran juga akhirnya," cetus si pemilik warung. Gembira. lalu menoleh ke arah Markus, sambil bertanya sendiri, "Tahu mobil itu dicuri dari mana, Den?"
Markus angkat bahu. Pemilik warung memberitahu. "Dari halaman parkir sekolahan. Di daerah kami sendiri!" Si perempuan menggeleng-geleng. lalu diam mendengarkan. "Oh, oh. Pasti Raden Abimanyu dihadang lagi oleh para buta ijo itu!"
Dan si pemilik warung pun duduk tegang, mengawasi radio di hadapannya. Asyik mendengar
kan, sehingga tak melihat seringai mengejek sungging di bibir tamu warungnya.
Dari halaman parkir! Atau yang diparkir di tepi jalan, buat Markus sama saja. Pencuri-pencuri jalanan. yang tahunya cuma main sambar. Dan cuma bermodalkan kunci palsu model huruf T, sedikit keahlian memutus lalu menyambung lagi kabel kontak, kabur dengan mobil curiannya. dan selesai sampai di situ.
Sungguh tidak berseni! "Mereka itu bukan cuma tidak tahu seninya mencuri." begitu ayah angkat sekaligus "guru" Markus dulu selalu berkata. "Lebih malang lagi. mereka juga tidak pernah bisa menikmati asyiknya ketegangan mencuri mobil dari dalam rumah pemiliknya sendiri!"
Dan memang itulah yang dulu dialami dan dinikmati oleh Markus.
Beraksi dengan penampilan model ninja. Topi kupluk sebagai penutup wajah. plus sarung tangan untuk tidak meninggalkan sidik jari. Bekal Markus serta komplotannya bukan cuma kunci T untuk membuka pintu. Tetapi juga serangkaian kunci pembuka garasi. pintu. atau jendela. Sebelumnya, mengintai rumah sasaran saja sudah asyik. Setelah masuk dan penghuninya terbangun apalagi.
Adalah keasyikan tersendiri melihat wajah-wajah yang ketakutan di bawah todongan senjata tajam konon pula senjata api. Ada yang cantik lagi seksi"
Makin asyik, tentunya. Tinggal bilang, "Siapa yang suruh bangun!" Lalu giring si cantik atau si selai ke kamar, kalau perlu ke dapur. Puaskan berahimu, lalu minggat dengan mobil mereka. Tak perlu pakai kunci T, karena toh kunci itu bisa diminta dari si pemilik!
Malangnya, suatu ketika mereka keasyikan main perkosa-bergiliran pula. Anak salah seorang penghuni entah bagaimana caranya berhasil lolos dari kamar tempat mereka disekap, lantas minggat sambil menjerit-jerit minta tolong. Kemudian mereka dikepung oleh penduduk-itu biasa dan merupakan ketegangan tersendiri pula. Yang bikin sial, pas saat itu ada patroli polisi lewat. Terjadilah pengejaran lalu tembak-menembak.
Darius-ayah angkat sekaligus "guru" Markusterkena di jantung. la jatuh dalam pelukan Markus dan mati sebagai tumbal. Karena sasaran tembakan polisi sesungguhnya adalah Markus yang kakinya sudah terluka oleh sambaran golok salah seorang penduduk. Tetapi Darius keburu melompat ke depan untuk melindungi Markus. Peluru yang sama bukan hanya menembus jantung Darius, karena masih berpacu keluar sebelum akhirnya mendekam di tulang iga Markus.
Markus akhirnya tertangkap lalu mendekam sekian tahun di penjara. Tetapi bukan itu yang ia sesali. Apa yang sangat ia sesali. adalah tidak bisa mengemban amanat ayah angkatnya sebelum mengembuskan napas terakhir di pelukannya.
"lari dan selamatkan adikmu si Ronald. Bilangi dia. aku sangat mencintai kalian berdua!"
Jaringan komplotan mereka terbongkar dan hampir semuanya masuk penjara. kecuali Reinaldi atau Ronald. Tidak seorang pun yang tahu keberadaan anak yang waktu itu usianya baru meningkat remaja. Bahkan sampai Markus keluar dari penjara, keberadaan Ronald tetap tidak ia ketahui. Yang lebih menghantui pikiran Markus terutama adalah pertanyaan yang terus menggerogoti: apakah Ronald masih hidup atau sudah mati!
Merekrut anggota baru lalu memindahkan daerah operasinya dari Botabek ke daerah Priangan Timur. Markus terus mengerahkan semua tenaga serta dana yang ada untuk melacak keberadaan Ronald. Semuanya berakhir sia-sia. Uniknya, adalah setelah Markus tertangkap lagi dan mendekam di LP. Cirebon lalu istrinya datang berkunjung.
Pembicaraan mereka singkat saja.
Sambil menangis istrinya bilang. "Hentikanlah sepak terjangmu yang mengerikan itu. Atau anakanak akan kubawa pulang ke Ambon. Dan jangan sekali-kali mengingat apalagi mengunjungi kami!"
Bercerai dengan istri, tak apalah. Tetapi dengan anak-anaknya tercinta"
"Baiklah..." Akhirnya ia mengalah. "Tetapi bagaimana aku nanti harus menghidupi kalian" Jangankan punya keahlian selain mencuri. ijazah saja cuma SD. Memang sempat masuk SMP. Tetapi cuma sampai kelas dua!"
"Tak usah ijazah. kau punya tenaga," istrinya menegaskan. "juallah tenagamu yang masih kuat itu. Ke mana saja. untuk apa saja. Yang penting
halal. Dan anak-anak kita tidak lagi menanggung malu disebut anak penjahat!"
Istrinya sudah berdiri untuk pamit ketika Markus bertanya sambil lalu. "Sudah ada kabar mengenai Ronald?"
Istrinya menggeleng. lalu kemudian berkata yakin. "Kalau kita bertobat, percayalah. Kabar gembira akan datang dengan sendirinya!"
Tidak menjanjikan, memang. Tetapi apa salahnya mencoba"
Perubahan diri Markus membuahkan hasil nyata yang menakjubkan. Selesai menjalani hukuman. kepala penjara berkata padanya, "Kudengar-dengar. pelataran parkir Pemda kotamadya belakangan ini beberapa kali dibobol pencuri. Kau sanggup mengamankannya?"
Markus menyatakan sanggup, dan jadilah ia-dengan rekomendasi kepala penjara-diterima sebagai satpam di kantor Pemda. Mulanya honorer. Tetapi setelah dengan kejelian mata masa lalunya ia berhasil menangkap pencuri yang ternyata melibatkan salah seorang petugas parkir, Markus pun diterima sebagai pegawai tetap.
Lalu. yang mengejutkan muncullah Reinaldi. Bukan cuma kabarnya saja. tetapi langsung orangnya!
Hanya saja. Ronald tidak sendirian. Ia datang bersama setan masa lalu, yang tersenyum menggoda.
Dan setan itu.... 'Birnya dua. Bu Esih!"
Markus berpaling terkejut dan melihat dua orang anak muda melangkah masuk ke dalam warung. Salah seorang dari mereka menyapa ke arah dirinya disertai senyuman sopan.
"lamunannya terganggu ya, Om?"
"Ah. enggak!" Markus balas tersenyum lalu melirik ke arlojinya. Tiba waktu berangkat dan ia pun bangkit dari bangku panjang yang ia duduki. Selembar uang dua puluh ribuan ia serahkan pada pemilik warung.
"Kopi dua. rokok tiga batang!" ia memberitahu. Dan karena uangnya lagi berlimpah. dengan gembira ia menambahkan. "Kembaliannya untuk lbu!'
Si pemilik warung menatap terbelalak ke lembaran uang di tangannya. "Wah. Den. Tetapi,..."
Tetapi Markus sudah melangkah keluar tenda warung, sambil di belakangnya terdengar salah seorang pemuda itu bergumam. "Sekalian untuk membayar bir untuk kami. ya Bu Esih?"
Diikuti sahutan tenang si pemilik warung. "Boleh saja. Tetapi kalian berdua kan tahu bagaimana bapaknya si Dudung kalau sudah naik darah...."
"Iya deh. iya deh. Cuma bergurau ini!"
Setan-setan kecil itu. pikir Markus seraya memacu sepeda motor tuanya menembus kegelapan malam. Pemilik warung yang perempuan lanjut usia itu agaknya dapat mengatasi mereka dengan mudah. Lain halnya dengan Markus. Kemauan setan masa lalu yang muncul bersama kembalinya Ronald dalam kehidupannya tak kuasa ditolak Markus.
Mulanya. setan masa lalu itu tidak menampakkan
Yang ada hanya kejutan. kegembiraan, serta kebahagiaan yang tiada duanya. Bayangkan rasa terkejutnya! Mobil Pak Wali yang menggantikan wali kota lama, lewat di hadapan pos jaga di depan mana Markus tegak memberi hormat. Sopir Pak Wali yang baru itu terus saja melihati Markus sehingga nyaris menabrak bagian belakang mobil patroli kawal yang berhenti di dekat pintu masuk utama kantor Pemda. Beruntung seseorang memperingatkan, sehingga sang sopir keburu sadar dan insiden pun terhindari.
Sewaktu membukakan pintu untuk majikannya, yakni Pak Wali. si sopir tentu saja ditegur. Namun ia sama sekali tidak memperhatikan. Dan begitu sang majikan masuk ke dalam gedung. si sopir langsung berlari-lari ke arah Markus seraya berseru suka cita.
"Bang Markus! Abang. aduh!"
"Ya ampun, Reinaldi!" Markus membelalak. "Kaukah itu?"
Dan hari demi hari dihabiskan Markus bernostalgia dengan Reinaldi yang sudah lebih matang dan lebih dewasa itu. Terutama cerita "hilang rimba"-nya Reinaldi yang misterius itu.
"Setelah lolos dari kepungan penduduk," adik angkatnya itu beberapa kali harus mengulangi kisah yang tak bosan-bosannya didengarkan Markus, "aku lari sejauh mungkin dan tahu-tahu sudah bersembunyi di dalam kapal yang akan berlayar ke Surabaya!"
Di tengah laut-begitu kisah Reinaldi-ia ketahuan sebagai penumpang gelap. Sempat digebuki awak kapal dan diancam akan diserahkan ke polisi pelabuhan setiba nanti di Surabaya. Seorang penumpang yang kebetulan melihat pengeroyokan itu buru-buru muncul menengahi sebelum Ronald di buat babak belur. Ongkos tiketnya plus denda dibayarkan oleh sang dewa penyelamat. Diobati dan dilayani dengan baik sepanjang sisa perjalanan, tiba di Surabaya Ronald pun tak jadi menghuni sel tahanan polisi.
"Aku akan mengurus dan mendidiknya supaya jadi anak yang baik!" sang dewa penyelamat berkata menjamin. Dan Ronald pun dibebaskan begitu saja. Karena si penjamin adalah seorang perwira militer berpangkat Letnan Kolonel, dengan kedudukan yang patut dihormati pula.
"Waktu itu, beliau masih jadi Kasdim di Lombok," cerita Ronald. mengenang masa lalunya. "Dan sedang dalam perjalanan pulang dari Jakarta ketika kami bertemu di kapal...."
"Lalu, diapakan kau olehnya?"
"Dijadikan anak asuh. Disuruh menamatkan sekolahku yang tanggung sampai akhirnya punya ijazah SMA. Tetapi tak diteruskan lagi...."
"Kenapa?" "Abang kan tahu sendiri. Aku sudah terbiasa pegang uang. sehingga dari dulunya juga paling emoh buka-buka buku pelajaran, apalagi disuruh menghafal. Beliau mengerti. karena sewaktu di kapal aku sudah menceritakannya dengan jujur siapa diriku sebenarnya. Dan...."
"Dan." "Aku lantas dikasih pekerjaan sesuai dengan keahlianku dulu sewaktu masih ikut komplotan ayah. Jadi sopir pribadi yang harus terus ikut ke mana pun beliau bertugas. Begitu pula ketika beliau naik pangkat dan dipindahtugaskan ke Palangkaraya sebagai komandan Kodim setempat!"
"lalu, kau meninggalkannya!" Markus bergumam. Kecewa.
Renald menggeleng, gembira. "Terkutuklah bila itu kulakukan!" katanya. "Aku kan masih tetap jadi sopir beliau. Sampai sekarang!"
Markus pun tercengang. "Maksudmu...'
"Benar, Bang Markus." Ronald tersenyum. Lebar dan bangga. "Yang masuk tadi itulah dewa penyelamatku dulu. Wali kota kalian yang baru!"
Masih banyak kejutan dan kabar gembira lainnya. Lalu setan masa lalu itu pun menampakkan diri. Begitu tampak. giginya langsung menghunjam. Tak terelakkan. Dan juga tanpa ampun.
Diawali dengan kunjungan Ronald ke rumah Markus. Membawa oleh-oleh ekstra berupa tas tangan impor untuk istri Markus dan masing-masing satu celana jeans untuk kedua anak lelakinya. Selesai makan malam yang penuh kegembiraan, Ronald mengajak Markus ngobrol berdua saja di belakang rumah. Lebih dulu mencicipi kopi dari gelas di tangannya. Ronald kemudian batuk-batuk kecil lalu berkata dengan suara serak, "Bersediakah Abang membunuhkan seseorang untukku?"
Markus langsung terenyak.
Melukai orang ia sudah sering bahkan dulu
menganggapnya sebagai hiburan di kala masih aktif beroperasi.
Akan tetapi membunuh! Saat itu juga ia teringat pada masa bocahnya yang suram dan menyedihkan. Tak tahu siapa kedua orangtua dan hanya tahu bagaimana pahitnya tumbuh dan bekerja keras siang malam di sebuah panti asuhan. Tak tahan oleh hinaan serta pukulan rotan setiap kali berbuat salah atau malas belajar, ia minggat lantas berkeliaran jadi anak jalanan. Seseorang membantunya untuk bekerja sebagai penjaja makanan, naik turun bis antarkota jurusan TangerangSerang atau sebaliknya, sambil di mana ada kesempatan. mencopet uang atau dompet penumpang yang lengah.
Berpengalaman hampir sama dengan cerita Ronald, dahulunya juga ia sering dipergoki, dipukuli. bahkan sempat dua kali mendekam di penjara anak-anak Tangerang. Lalu suatu hari ia tertangkap tangan sendiri oleh orang yang jadi korban copetnya. Sebelum sempat dipukuli penumpang lain, orang tersebut menyuruh sopir bus untuk menghentikan kendaraan.
Lalu Markus diseret turun.
Anehnya, Markus bukannya diseret terus ke kantor polisi, tetapi dibawa ke rumah orang tersebut, diberi makan, diberi kamar untuk tinggal menetap. "Kelak akan kuajari kau bagaimana memperolah uang dalam jumlah besar hanya dengan sekali pukul," katanya. "Untuk sementara, kau kutugaskan menjaga bayiku satu-satunya yang belum lama ini
ditinggal mati oleh ibunya. Usahakan dan jadilah abang yang baik. Oke?"
Dan sekarang. sang adik-meski tidak bermaksud demikian-menuntut balas budi atas kemurahan hati Darius, ayahnya. Dan atas pengorbanan orang yang sama ketika menyelamatkan Markus dari tcrjangan peluru.
Setan masa lalu itu pun tertawa. menang.
Rendi Suhandinata memang atasan yang dihormati Markus. Tetapi Rendi orangnya tertutup, tidak begitu suka bergaul. Ngobrol dengan Markus pun cuma sebatas ada perlu saja. Mereka berdua tidak begitu akrab. Sehingga ketika pisau lipat Markus menghunjam di tubuh atasannya itu, Markus tidak merasa kehilangan sama sekali. Penyesalan memang ada. Tetapi untuk membalas budi. seseorang harus berkorban bukan" Ada pun apa atau siapa yang dikorbankan. itu nomor dua. Tak perlu dirisaukan.
Apalagi seperti kata Ronald malam itu. "Hasil jamban yang kita jadikan sebagai kamuflase. semuanya untuk Abang seorang." Dan yang lebih menarik lagi. "Akan kuusahakan Abang pindah kerja ke bagian administrasi!"
Dan gaji Markus nanti pasti cukup untuk menghidupi juga seorang istri muda" si janda hitam manisnya, Ningrum.
Adapun istri tua serta kedua anak lelaki mereka....
Ah, pintu gerbang terbuka!
Memang cuma sedikit, tetapi itu tetap terbuka namanya. Tidak seperti satu jam sebelumnya, terkunci dari luar oleh dua gembok besar. Bel yang ditekan berkali-kali oleh Markus juga tidak mendapat sambutan.
Gerbang terbuka. Berarti Jalal sudah siap menepati janji.
Dengan gembira Markus membunyikan klakson motornya sebagai tanda kedatangannya. Karena tak juga ada yang keluar untuk menyambut, Markus pun membuka gerbang besar itu sedikit lebih lebar agar sepeda motornya bisa masuk. Sambil sedikit heran, mengapa Jalal membiarkan gerbang terbuka. Bahkan gembok rangkap yang besar-besar itu dibiarkan pula tetap tergantung pada tempatnya.
Ah, barangkali akan segera pergi lagi selesai berurusan denganku, pikir Markus menduga-duga seraya menyetandar motornya di halaman bangunan besar yang bagian depannya tertutup rapat oleh pintu-pintu lebar dan tinggi, serta pasti terkunci dari dalam. Halaman bangunan itu seluruhnya tertutup oleh awning, di bawah mana terlihat beberapa mobil tua dan rongsokan yang dalam proses perbaikan. Mobil-mobil yang lebih baik atau termasuk baru yang juga dalam proses perbaikan atau pengecatan ulang. biasanya terkunci di dalam.
Yang dimasuki Markus adalah bengkel yang terdaftar resmi, namun sebenarnya cuma usaha sampingan jalal. Sebagai kamuflase usaha sesungguhnya yang jauh lebih menghasilkan, yakni di suatu gudang tertutup dengan pintu keluar sendiri bila ter
jadi keadaan darurat. Di ruang tertutup itulah mungkin mobil curian Markus sedang dalam proses penggantian warna. perubahan nomor mesin serta sasis. Atau barangkali juga sudah dibedah habis. Dipreteli. untuk dijual komponen demi komponen.
Tak juga ada yang membuka pintu kecil di sudut kanan. Markus pun memencet bel untuk pintu keluar-masuk tambahan itu. Menunggu satu dua saat dengan perasaan mulai waswas bahkan curiga, pintu kecil yang terbuat dari lempengan baja itu pun terdengar berderit lalu membuka perlahanlahan.
Dan di hadapan Markus, berdirilah seorang perempuan cantik dengan tubuh molek menawan. Mengenakan gaun merah hati, perempuan itu berambut ikal tebal sebatas tengkuk. Mata lebarnya yang bulat menatap ceria. Dan, bibir mungilnya merah segar!
Bibir mungil itu tampak mengulas senyum. Tipis. memang.
Tetapi, sungguh mengundang berahi!
SILAKAN masuk. Bung Markus!"
Markus mengerjap. Tersadar dari pesona yang selama beberapa detik memukau dirinya dengan hebat. Padahal ia belum mengenal orangnya dan hanya dengan sekali melihat pula. Tetapi sinar mata" terutama senyuman bibir mungil itu, seakan punya kekuatan sihir luar biasa yang dengan seketika dan tanpa ampun langsung membangkitkan kejantanan Markus. Selangkangan celananya bahkan sampai mengejang. Keras.
"...Terima kasih!" Markus menyahuti seraya melangkah masuk. Dengan bingung sekaligus gugup.
Di belakangnya. si gaun merah hati menutupkan pintu dengan tenang. Bersamaan dengan itu, pintu gerbang di luar ikut pula menutup, tanpa ada tangan yang menggerakkan. Kepala gembok tampak terangkat lalu mengatup sendiri ke lubangnya. Langsung mengunci.
Sementara itu. di dalam bangunan.
Meski sudah hafal, untuk menutupi kegugupan
220 nya Markus pura-pura memperhatikan seantero ruangan tunggal menyerupai gudang besar yang ia masuki. Ruangan tertutup tanpa langit-langit sehingga seluruh atap asbesnya terlihat nyata, termasuk balok serta plat-plat besi penyangganya. Juga terlihat bentangan kabel-kabel listrik, baik yang tertutup oleh pipa maupun yang dibiarkan telanjang.
Dan sebagaimana telah ia duga. Jalal memang hanya menampung order sah yang terbatas. Karena di dalam ruangan berukuran 20 kali 30 meter itu hanya ada tiga kendaraan. Satu mobil van yang bagian depannya ringsek bekas tabrakan, dua lainnya sedan yang sedang dalam proses pengecatan.
Meringis sejenak untuk membiasakan hidungnya terhadap bau dempul serta tiner yang terasa menyengat. Markus kemudian berkata sambil berpaling. "Aku..."
Dan Markus pun kembali terpana begitu melihat pada siapa ia berbicara. Si gaun merah hati tengah mengawasi dirinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sambil perempuan itu setengah menyandarkan tubuh ke moncong mobil sedan terdekat. Dengan kedua tangan bersiku pada kap sehingga payudaranya tampak semakin menonjol, membusung ke depan. seakan ingin merobek bagian gaun yang menutupinya. Sungguh pemandangan yang mendebarkan jantung!
"Ya?" Si perempuan tersenyum. Manis.
Markus berusaha keras menutupi kegugupannya dengan mengepalkan tangan yang diam-diam mulai terasa gatal ingin meraba dan meremas sajian mengasyikan di hadapan matanya.
"Eh. maksudku... eh, aku... tak melihat Jalal!"
"Oh. Dia ada urusan mendadak. Dan mungkin memakan sedikit waktu." perempuan itu memberitahu. "ltu maka aku disuruh datang lebih dulu ke sini. Untuk menemanimu!"
"Menemaniku?" tanya Markus tercengang.
"Dia bilang. untuk menghormati kembalinya seorang teman lama yang kembali bergabung dengan keluarga besarnya..." si cantik menjelaskan. "Dan perintahnya adalah... aku harus melayani bung Markus sebaik mungkin. Apa pun permintaanmu, harus kupenuhi!"
Markus tambah tercengang, benar-benar tak percaya pada apa yang barusan ia dengar.
"Melayaniku! Apa pun permintaan..." ia menggagap. terkejut. Lantas dengan cepat tapi ragu-ragu. ia meneruskan. "Maksudnya. pasti... menghidangkan minuman ya?"
Si gaun merah hati cemberut, membuat bibir mungilnya justru tampak semakin sensual. "Aku tidak berbicara mengenai isi perut, Bung Markus!" katanya. "Melainkan yang ada di bawahnya!"
"Di..." Markus tak mampu meneruskan, saking takjub dengan apa yang telah ia dengar. Perempuan di hadapannya berpenampilan kelas tinggi. Masa iya Jalal sehebat dan sebaik itu pada dirinya yang cuma seorang satpam di kantor Pemda"
"Aku lihat...." Lawan bicaranya yang cantik lagi molek itu melirik ke bagian bawah pinggang Markus. lalu mengerling nakal, ia melanjutkan dengan senyuman penuh arti. "Itu-mu jauh lebih memahami apa yang kumaksud!"
Secara naluriah. Markus merapatkan kedua pahanya. Namun sia-sia belaka. Selangkangan celananya malah semakin menggembung ke depan. "Tetapi...."
Senyuman di bibir mungil itu melenyap. Pada waktu bersamaan, si gaun merah meluruskan tegaknya dengan sekali sentak.
"Bukan salahku kalau kau tak mau!" katanya tersinggung. sambil mulai melangkah ke depan. "Aku malah senang pergi, karena..."
"Hei. tunggu!" Markus cepat menangkap lengan si perempuan yang mau tak mau berhenti melangkah namun dengan wajah setengah merajuk. Menatap wajah serta potongan rambut sebatas tengkuk yang begitu dekat dengan wajahnya sendiri, sebenarnya Markus sudah tak sabar untuk mencium. Tetapi ada sesuatu yang tiba-tiba menahan dirinya, yang kemudian ia utarakan dalam pertanyaan bernada ragu.
"Apakah kita... pernah bertemu?"
Sepasang mata bulat di hadapan Markus seketika menatap tajam. Kemudian, bibir mungilnya bergumam acuh tak acuh. "Mungkin. Di suatu tempat. Tetapi apa peduliku?"
"Aku hanya ingin tahu. Karena..."
"Dan aku tak punya waktu untuk obrolan yang tak ada gunanya!" si gaun merah hati cepat menyela. "Hanya akan membuatku bosan!"
"Hmm.' Markus masih ragu.
Tetapi begitu terasa ada gerak memberontak pada lengan yang dicengkeramnya, keraguan Markus seketika dibuang jauh-jauh. Terima kasih pada ke
jutanmu Jalal, ia membatin lalu cepat merangkul. Sedemikian tiba-tiba sehingga tubuh molek itu terdorong mundur, sampai akhirnya terhenti oleh moncong depan mobil di mana ia sebelumnya menyandar.
"Hei!" Si gaun merah hati memprotes.
Tetapi kekuatan sihir itu telah menguasai Markus sepenuhnya. Tanpa peduli ia menciumi wajah serta bibir mungil si perempuan dengan membabibuta. Secara membabibuta pula, dengan sangat tidak sabar tangannya bergerak liar. Menanggalkan gaun merah hati yang ia anggap menghalangi, lalu kemeja dan celananya sendiri. Sambil terus menciumi.
Saat berikutnya, Markus sudah akan memasuki tubuh telanjang si perempuan yang tertekuk di bagian atas kap depan mobil. Tetapi dengan cepat perempuan itu menggeliatkan pinggul. Dan sambil balas merangkul, tubuh telanjang Markus ia seret ke lantai yang di sana-sini dikotori dan nyaris dihitami oleh bekas dempul bercampur tumpahan oli.
Sambil bibir mungilnya menggumam penuh berahi, "Lebih enak di sini...!"
Konyolnya, Markus masih juga mengomentari, "Tetapi. lantainya kotor...!"
"Biar saja!" bisik si perempuan. Seraya rebah. menunggu. "Toh nanti?"
'... kita mandi!" Bisikan tajam yang disertai napas yang tersengalsengal itu, terlontar dari bibir mungil Rinda. Yang
dengan kelopak mata terpejam, menggeliat-geliat resah di atas ranjang tidur kamar hotel yang mereka tempati.
Sebelumnya. Prasetyo sudah terjaga dari tidur oleh sepakan tak sengaja sebelah kaki Rinda yang ribut menggelinjang seakan tengah dilanda lonjakan berahi yang hebat. Prasetyo sudah akan membangunkan istrinya. ketika kalimat yang mengherankan itu ia dengar dan membuat Prasetyo tertegun sendiri. Apa maksud igauan Rinda: Biar saja. toh nanti kita bisa mandi"
Selagi Prasetyo masih terbingung-hingung, sepasang tangan Rinda tampak terangkat. menggapaigapai. Dan tahu-tahu saja, tangan Prasetyo sudah terpegang lalu dengan mata masih terpejam. Rinda meraih cepat dan kuat. Tubuh Prasetyo seketika ter seret. jatuh menindih tubuh sang istri yang terus saja menggelinjang.
"Masuki aku sekarang! Ayo, masukilah!" bibir mungil Rinda mengerang. menuntut.
"Eh, Ririn. Apa..."
Protes sang suami terlambat. Karena Rinda sudah merangkul dengan ketat, lalu menciumi dengan liar. Terkejut. Prasetyo meronta dan kembali memprotes sekaligus memperingatkan.
"Sadar, Ririn. Bangunlah. Kita..."
Tangan sang istri sudah keburu menjulur, dan dengan liar mencengkeram selangkangan piama tidur Prasetyo. Sambil bibir mungilnya merintih. tak sabar, "Oh, oh. Mengapa..."
Lalu tangan yang semula mencengkeram itu ganti meraba. Begitu menemukan apa yang dicari, ta
ngan itu pun lantas mengelus-elus. Penuh tuntutan.
Mau tidak mau, berahi Prasetyo terbangkit juga akhirnya. Maksud untuk membangunkan jika perlu dengan menampar pipi sang istri, ia abaikan seketika itu juga. Ikut-ikutan tak sabar. Prasetyo pun mendesah.
"jika itu maumu. baiklah!"
Lalu dengan cepat Prasetyo menelanjangi dirinya lalu sang istri. Dan sebentar kemudian, Prasetyo sudah memasuki tubuh Rinda yang seketika menyambut dengan menggebu-gebu". Bagaikan seekor kucing betina yang sudah kelaparan.
Kemudian, terjadilah kejutan berikutnya.
Prasetyo tengah sibuk menggoyang pinggulnya, sewaktu tiba-tiba dari bibir mungil Rinda terdengar rintihan tak terduga. "Terus. Markus! Aduh. Markus. aduh... lebih cepat lagi!"
Tertegun untuk kedua kalinya. Prasetyo lantas berhenti. Dengan berahi yang langsung terbunuh mati.
Markus! Siapa itu Markus"!
Namun seakan tak menyadari-bahkan seperti tak peduli--Rinda terus saja merintih, terus saja bergoyang, menggelinjang. Tampak asyik sendiri. Menikmati lonjakan berahinya yang aneh dan lambat laun terasa menakutkan.
Dari mulanya marah karena cemburu dan merasa telah dikhianati, secara perlahan tetapi pasti Prasetyo kemudian memahami apa yang tengah berlangsung di hadapan matanya. Tak tahu harus berbuat apa, ia hanya diam, membeku. Dan membiar
kan bagian bawah tubuhnya dengan liat terus diserbu dan dinikmati oleh istrinya. Sambil menatap, ngeri.
MARKUS apalagi! Perasaan ngeri yang melanda dirinya jauh lebih hebat dibanding dengan apa yang dialami oleh Prasetyo.
Markus sudah mendekati puncak berahi manakala sebagian pipi dan juga pelipis perempuan yang ditindihnya tiba-tiba tampak mengelupas... oh, tidak, bukan mengelupas. Tetapi retak lalu pecah sendiri. Pecahan itu kemudian jatuh menggelinding ke permukaan lantai dengan bunyi bendetak lembut beradunya ubin dengan kepingan tebal fiberglass.
Dan dari lubang terbuka di tempat mana kepingan-kepingan itu melekat. tidak tampak adanya tulang tengkorak atau urat-urat darah. Yang sematamata terlihat hanyalah rongga yang tampak kosong dan hampa!
Setelah itu, kejutan ngeri berikutnya pun datanglah. Susul-menyusul. Juga serba mencekam.
Tak terelakkan. Karena selagi Markus menatap terpana dengan
jantung yang seakan berhenti berdenyut, kepala si perempuan dengan Wajah yang sudah tidak keruan bentuk itu tahu-tahu tanggal sendiri dari batang lehernya. Sambil bibir mungil itu tersenyum lalu berkata mengejek.
"Ingat sekarang siapa aku, Markus?"
Markus membelalak ngeri. Lidahnya kelu. Dan otaknyalah yang ribut menjerit-jerit. Perempuan bergaun merah hati, di ruang makan Rendi Suhandinata! Secangkir teh! Ciuman bibir! Dan"
"Bo... bo-boneka... pop!" Lepas juga suara Markus. Parau, menggagap.
Reaksi tali suara Markus seketika langsung diikuti oleh lecutan saraf serta otot-otot di sekujur tubuhnya yang ikut bereaksi. Meronta dan meronta. berjuang melepaskan diri.
"Tidak mungkin! Lepaskan aku. Oh, oh, aduh... lepaskan!"
Bagaimanapun kuat serta kekar. dan bagaimanapun juga kerasnya Markus meronta. ternyata ia hanya membuang-buang energi dengan sia-sia. Karena sepasang lengan si perempuan yang sudah berubah licin, keras dan kaku, sudah lebih dulu menjepit tengkuk dan bahu Markus. Menjepit bagaikan capit besi yang berat, besar dan kokoh. Markus hanya mampu menggerak-gerakkan kepala kian kemari tanpa bisa melolOskannya dari jepitan tersebut.
"Tidaaak! Tidak! Jangaaaan...!' Markus terus menjerit-jerit. Meronta dan meronta. Dengan tangan mcmukul-mukul, dan kaki menendang-nendang yang hanya membuat tangan serta kakinya
menderita, kesakitan sendiri, karena berulang kali hanya berhasil meninju atau menendang lantai ubin. Sampai tangan maupun kakinya berdarah-darah.
Lebih mengejutkan lagi. pinggulnya.
Ketika Markus berusaha meloloskan diri dengan melengkungkan pinggang dan mengangkat pinggul ke atas. ia malah terpekik sendiri. Menjerit tersiksa. Karena kejantanannya bukannya terlepas tetapi malah terjepit oleh vagina yang sebelumnya ia masuki dengan bernafsu. Dan kini, vagina itu mendadak telah berubah keras. bagai membatu. Maka. semakin kuat Markus membetotkan pinggul. kejantanannya justru terjepit semakin kuat pula.
Dan itu jelas siksaan yang tiada terperi!
Tak heran. bila kemudian tubuh Markus lantas terjerembap dalam rangkulan ketat batang tubuh perempuan yang kini tanpa kepala itu. Bukan terjerembap diam, tetapi menggelepar hebat oleh kemauan keras untuk menyelamatkan diri. namun terkalahkan oleh perasaan frustrasi yang datang merambat dengan cepat dan pasti.
Dan di tengah cekaman ngeri serta perasaan frustrasinya, Markus melihat seringai mengejek pada bibir mungil di kepala yang tanggal sendiri itu. melenyap perlahan. Bibir itu kemudian menggerimit kaku dan memperdengarkan suara yang mengandung iba namun tetap berbau kebencian.
"Tiba saatnya untuk mengakhiri... penderitaanmu!"
Gelepar tubuh Markus sedikit mereda. Namun mulutnya masih saja gemetar. Jangankan untuk ber
bicara atau bertanya, untuk bernapas pun Markus nyaris tak mampu.
Sementara alam bawah sadarnya diam menunggu. Tegang.
Dan bergetarlah kepala dengan wajah tak keruan bentuk di hadapan Markus. Sesaat cuma. Lalu kepala itu tahu-tahu sudah terangkat naik dari permukaan lantai. Begitu terangkat. kepala tersebut langsung melesat ke atas sedemikian cepat dan tampak seperti akan membentur atap.
Oh, tidak. Kepala yang mengerikan itu tidak sampai membentur apalagi menembus keluar atap. Sang kepala dengan rambut ikalnya yang tebal hanya berkeliaran di sekitar balok-balok serta plat-plat besi penyangga atap. Tampak seperti mencari-cari. sebelum kemudian kepala tersebut bergerak mendekati salah satu bentangan kabel listrik. Bentangan panjang. dan sepenuhnya telanjang. Tidak terbungkus pipa.
Mulut mungil kepala itu kemudian bergerak membuka, lalu menggigit. Dan dengan suatu sentakan kuat serta cepat, bentangan kabel panjang itu pun terenggut putus. Dengan mulut tetap menggigit salah satu ujung potongan kabel panjang itu, sang kepala perlahan lahan bergerak turun mendekati batang tubuhnya yang masih terus menjepit tubuh Markus.
Namun bukan untuk menyatukan kedua anggota tubuhnya yang terpisah itu.
Diam mengawasi Markus sejenak, sang kepala kemudian menyentak-nyentakkan bagian ujung kabel di luar mulutnya ke permukaan lantai yang
dibasahi tumpahan oli bekas, dan percikan-percikan keringat Markus sewaktu menyenggamai lalu meronta ronta untuk lepas dari dekapan batang tubuh yang ditindihnya. Sentakan sentakan yang seperti cambuk itu dengan seketika menimbulkan percikanpercikan api berwarna kebiru-biruan.
Puas dengan percobaannya, sang kepala bergerak lebih dekat... sangat dekat, ke batang tubuhnya yang menyatu dengan batang tubuh Markus. Dan alam bawah sadar Markus pun seketika terlompat kaget bercampur ngeri, melalui mulutnya.
"Apa"." Markus menggagap.
Lalu mulut Markus tiba-tiba diam mengatup.
Ada sesuatu yang mendorong naluri Markus untuk Iebih baik melihat ke bawah saja. Yakni suara berderak samar-samar. Seperti suara benda keras namun kenyal. sedang memaksa untuk retak.
Dan Markus pun melihatnya.
Diterangi lampu-lampu ruangan yang terang benderang-dan jelas sambungan kabelnya bukanlah yang tadi terputus-terlihatlah adanya proses retakan demi retakan yang nyaris lurus, memanjang. Dimulai dari batang leher si perempuan yang sudah berubah licin dan keras. bergerak meretak ke arah bagian dada. terus ke arah lambung.
Markus hanya bisa menatap. Pucat dan terpana, manakala retakan memanjang tersebut kemudian membelah dan tampak bergerak merenggang dan merenggang. Lalu tiba-tiba semua proses gerakan itu diam, berhenti.
Seakan untuk memberi kesempatan pada Markus supaya dapat melihat lebih jelas, dekapan sepasang
lengan yang menjepit tengkuk serta bahu Markus terasa sedikit mengendor. Benar saja. Markus secara refleks langsung mempergunakan kesempatan itu untuk mengangkat naik dada serta perutnya. Supaya dapat melihat lebih jelas, itu benar. Namun diamdiam disertai dorongan naluri menyelamatkan diri. Satu pemberontakan keras serta tiba-tiba. dengan mengerahkan seluruh tenaganya yang masih tersisa. Dan, kali ini ia harus lolos. Apa pun juga risikonya!
Akal bulus yang bagus. Namun sayang, tidak terlaksana. Bahkan kemudian malah terlupakan begitu saja!
Tak lain tak bukan, setelah ia menyaksikan apa yang ada di bagian dalam belahan yang terbuka selebar telapak tangan itu. Di dalam mana bias lampu menerangi dengan nyata sejumlah benda-benda aneh yang sangat tidak lazim berada di dalam batang rubuh seorang perempuan, tak peduli bahwa perempuan itu hanya boneka pop. Tampak beberapa komponen listrik, campur aduk dengan batanganbatangan besi. lempengan baja tipis, sejumlah roda gigi dari bahan plastik dan entah apa lagi, yang seketika membuat Markus langsung dihantui oleh dugaan yang luar biasa mengerikan.
Bahwa. batang tubuh yang ditindihnya. adalah batang tubuh makhluk luar angkasa!
"Ya Tuhan!" ia berbisik. Seram.
Sayang, Markus sudah sangat lama melupakan dan juga sudah sangat terlambat menyebut nama Yang Maha Pencipta.
Karena begitu Markus mengangkat muka dengan
kejutan luar biasa pada wajahnya, sepasang lengan sosok yang ditindihnya sudah bergerak sangat cepat. Nyaris tak terlihat oleh mata biasa, konon lagi oleh mata Markus yang sudah nanar digelapi teror. Dan pergelangan tangan kanan Markus tahu-tahu sudah diringkus oleh sepasang telapak tangan yang licin dan keras membatu.
lalu. sebelum Markus menyadari apa yang terjadi, tangan kanannya sudah didorong masuk ke dalam belahan yang membuka di lambung sang sosok. Dan secepat tangan Markus sudah berada di dalam, secepat itu pula belahan pada lambung sang sosok merapat. Sehingga pergelangan tangan kanan Markus langsung terjepit. Dengan telapak serta jemarinya berada di sebelah dalam.
"Apa!" Markus tersentak.
Semata-mata karena refleks. ia berusaha menarik keluar telapak tangannya. dibantu oleh tangan kiri yang membetot lantas memukul-mukul dengan panik. Seraya memohon-mohon putus asa.
"Lepaskan! Lepaskan! Oh, tolonglah!"
Terlambat sudah. Ekor mata Markus secara tak sengaja keburu melihat sesuatu bergerak. Dan ketika ia berpaling. tampaklah sang kepala yang masih menggigit kuat ujung bentangan kabel panjang di belakangnya, .sudah terangkat dari permuan lantai. Kepala dengan wajah yang tidak lagi cantik karena sudah pecah berlubang-lubang itu melayang ringan ke samping kanan Markus. Lalu dengan cepat menukik ke depan, sedikit ke bawah. yakni ke arah pinggang kiri batang tubuh si kepala itu sendiri. langsung me
masukkan belahan ujung kabel rangkap ke lubanglubang stop kontak. yang muncul dengan sendirinya di pinggang kiri sang sosok.
Dalam cekaman teror dan panik. Markus cuma menatap. Tak mengerti. karena memang tidak mengetahui apalagi melihat munculnya stop kontak dimaksud.
Sepersekian detik. tak terjadi apa-apa.
lalu di sepersekian detik berikutnya, jemari serta telapak tangan kanan Markus yang terkunci di sebelah dalam rongga lambung tubuh yang ditindihnya, tahu-tahu sudah tersengat dengan hebat. Sedemikian hebatnya. sehingga ketika arus listrik tegangan tinggi itu merambat naik ke atas. Markus langsung terdongak tanpa suara. Hanya tubuhnya saja yang menggelepar dan menggelepar. Untuk kemudian berhenti, diam dengan satu sentakan kuat dan tampak mengejut.
Ruangan yang luas dan menyerupai gudang besar itu pun seketika berubah sunyi. Sesunyi kuburan tua.
Cuma dua tiga saat. tapi.
Karena pada saat berikutnya. sang kepala dengan wajah yang rusak berat itu tampak bergerak mundur. Berpaling ke samping, mulut mungilnya kemudian menyembur dengan keras. Dan ujung kabel yang digigitnya pun terlempar beberapa meter. Lantas menyangkut tergantung-gantung di atas kap mobil van yang ringsek bekas tabrakan. Sambil sesekali memercikkan bias api kebiru-biruan, setiap ujung kabel yang mengandung arus positif bersentuhan dengan bodi mobil van dimaksud.
Pada waktu bersamaan, di permukaan lantai.
Diawasi oleh sosok sang kepala, sosok batang tubuh pop yang menyerupai batang tubuh manusia perempuan itu tampak bergetar samar-samar. Getaran itu menimbulkan dampak langsung. yakni terbukanya lagi belahan lambung yang menjepit pergelangan tangan Markus. Secepat belahan membuka, secepat itu pula sosok sang batang tubuh bergerak. Hanya satu gerakan menyentak saja. Dan tubuh Markus pun seketika jatuh terguling ke samping.
Untuk kemudian terjerembap diam. Menelentang.
Dengan rambut serta seluruh kulitnya tampak sudah menghitam. Gosong.
"Tidak"!" Rinda-lah yang merintih dan terdengar sakit itu. Rinda yang sepenuhnya bugil. dan saat itu meringkuk ketakutan di sudut ranjang kamar hotel. Dengan wajah seputih kertas. dan sepasang mata bulatnya melotot lebar. Dilanda teror.
Dan yang diam mengawasi dari sudut berhadapan di ranjang yang sama. adalah Prasetyo-sang suami-yang belum semenit lalu nyaris terlempar dari atas ranjang, ketika sang istri tiba-tiba memberontak hebat. Dan begitu tubuh mereka berdua terpisah, sang istri langsung bangkit bagai terlompat. Lantas duduk meringkuk dengan sekujur tubuh gemetar hebat.
"Tidak...!" Rinda kembali merintih. Sambil me
narap ngeri. Bukan ke arah Prasetyo. melainkan ke permukaan kasur tempat sebelumnya sanggama aneh itu berlangsung. "Aku tidak membunuhnya!"
Untuk pertama kali semenjak berahinya tadi mati terbunuh, Prasetyo menegur dengan gumaman lembut. "ririn..."
Rinda seketika mengangkat muka. Menatap pucat, kali ini benar-benar ke arah sang suami. lalu merintih lagi, setengah memohon.
"Katakanlah, Mas. Bahwa aku tidak sebiadab itu! Aku cuma bermimpi! Dan...!"
Dan. di pinggir kota. Di bagian dalam bangunan besar menyerupai gudang itu. dua keping pecahan fiberglass yang semula terkapar di lantai tampak sedang bergerak menyatu ke lubang menganga di pipi serta pelipis sosok sang kepala. Yang mengambang diam, namun bergetar, sosok sang kepala itu kemudian menyatukan diri ke leher batang tubuhnya. Disusul belahan di sepanjang tubuh. belahan yang seperti bekas digergaji. Merapat dan terus merapat. Sampai akhirnya benar-benar menyatu. Tanpa meninggalkan bekas. Walau hanya satu goresan saja.
Lalu, sosok bugil bertubuh licih serta tampak keras itu diam membeku beberapa saat lamanya. Diamnya suatu benda. yang memang hanya sebuah benda mati. Sediam dan semati satu benda lain di dekatnya: tubuh bugil Markus yang hitam segosong arang.
Ruangan itu pun kembali sunyi dan mati.
Sampai suatu saat, di tubuh molek menawan yang semula licin serta keras membatu itu bermunculan poriopori. bulu-bulu halus, urat-urat darah dan, garis-garis kehidupan.
Kemudian, terdengarlah helaan napas. Lembut dan samar. Tubuh molek yang rebah diam itu pun secara perlahan tetapi pasti mulai memperlihatkan tanda-tanda adanya pergerakan.
Sang manekin, alias si boneka pop sudah berubah kembali jadi manusia. yang kemudian tampak menggeliat.
Lemah gemulai. *** WAJAH gundah Busrok melenyap setiba ia di rumah dan menemukan istri serta ketiga anak lelaki dan dua perempuan-antre menunggu di depan pintu. Benar-benar antre, dengan putri bungsunya yang baru masuk sekolah dasar, berdiri paling depan. Sambil keempat orang manusia tercintanya itu sama tersenyum. Misterius.
"Apa-apaan ini?" Bursok menatap heran. "Kok seperti mau beli tiket..."!"
Sebagai jawaban, Melati-si bungsu-menghambur ke depan dengan kedua lengan terkembang. Bursok pun membungkuk, mengangkat lalu memangku. Ia sudah mau bertanya lagi sewaktu Melati dengan cepat mengecup kedua pipinya seraya berkata, ceria.
"Selamat ulang tahun, Papa!"
Bursok mengerjap. tersadar. Jadi itulah jawaban mengapa manusia-manusia tercintanya antre menunggu. Tersenyum bahagia sekaligus terkejut. Bursok pun menyahuti. "Terima kasih, manisku!"
"Sebagai hadiah," si bungsu tidak memberi kesempatan, "malam ini Papa boleh tidur di kamar imel!"
Itu bukan boleh. tetapi harus. Dan Bursok sudah akan menyanggupi ketika ekor matanya menangkap kerlingan Miranda, istrinya, yang antre paling belakang.
Diam-diam mencabut kesanggupannya. Bursok lalu berkata membujuk, "Jangan malam ini, Melatiku yang indah!"
"Besok?"
Manekin Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oke kalau besok!"
"Sumpah?" "Jangan pakai sumpah-sumpahan. ah. Nanti kualat," Bursok tertawa. "Janji saja deh!"
"Demi apa, dulu...!"
Berpikir sesaat. Bursok menyahuti. "Demi cintaku padamu, pada kakakmu, abangmu. dan tentu saja wanita yang paling cantik di dunia ini...." Menggantung kalimatnya. Bursok melirik ke arah Miranda, yang malam itu tampak berdandan lebih aduhai dari malam-malam lainnya. "lbu kalian!"
Miranda memonyongkan bibir, MB alias malu malu bangga. Sementara Melati menyatakan persetujuannya. "Beres kalau begitu!"
"Jangan berlama-lama Imel," Mawar si anak tengah, memprotes. "Beri dong kami kesempatan!"
Melati pun turun, namun sambil tetap merangkulkan sebelah lengannya pada paha sang ayah, seakan tak mau dipisahkan. Rangkulan dan kecupan pipi lagi, dan si anak tengah bergumam lembut dan sederhana, "Semoga panjang umur, Papa!"
Cuma itu. Karena Mawar memang bersifat pendiam. Namun nilai rapornya selama lima tahun terakhir, sampai kini duduk di kelas satu SMP, selalu ranking pertama. Bursok pun balas merangkul dan mengecup penuh kasih.
"Pertahankan terus prestasimu, Mawar-ku yang cantik. Papa bangga padamu!"
"Terima kasih, Papa!"
Rudi Angkasa atau panggilan tetapnya Rudi-si anak sulung-tidak merangkul apalagi mengecup. Anak lelaki Bursok satu-satunya, yang akhir tahun ini menamatkan SMP-nya, hanya mengulurkan tangan untuk bersalaman. Namun jabatan tangannya kuat dan hangat. Begitu pula kalimat yang mengikuti ucapan selamatnya. "Doaku selalu mengikuti kapan dan di mana pun Papa bertugas!"
"Terima kasih. Nak," jawab Bursok. terharu. "Aku tahu kau selalu dapat diandalkan. ltu membuat hati Papa selalu tenang. Dan yakin jika Papa sedang tidak di rumah... ada lelaki tangguh yang siap melindungi adik-adik serta ibumu!"
Dengan sinar mata yang bangga, Rudi mengundurkan diri untuk memberi tempat pada ibunya. Miranda cuma merangkul. lembut. Tidak menge_ Cup.
"Kecupannya nanti!" ia berkata, yang membuat ketiga anak mereka tertawa gembira. Tetapi yang selebihnya. tidak mereka dengar. Karena Miranda cuma berbisik di telinga Bursok. Itu pun pelan. dan terdengar bergetar.
"Malam ini, Kekasih. Kau diam saja. Biar aku yang aktif!"
Jantung Bursok langsung berdetak. Hangat.
lstri serta anak-anak Bursok silakan berpesta ria pada ulang tahun mereka masing-masing. Tetapi untuk Bursok yang memang tidak menyukai ritual semacam itu, tidak ada pesta, tidak ada kue ulang tahun, tidak ada musik apalagi tamu.
Kado" "Hanya ibu kalian seorang yang kuperkenankan memberi kado!" Begitu Bursok selalu memperingatkan pada anak-anaknya.
Aneh, memang. Tetapi Tuhan sungguh Maha Pemurah.
Setelah berumah tangga dan setiap kali berulang tahun-yang sering kali dilupakannya Bursok pas selalu ada di rumah. Yang tak kurang aneh, Miranda. Selalu pula istrinya itu tidak sedang menstruasi. Tidak pula sedang bertengkar karena satu atau lain hal. Dengan sendirinya. kado rutin yang tak pernah berubah tapi juga tak pernah membosankan itu selalu siap menunggu untuk dipersembahkan oleh Miranda.
Dan sang istri, malam itu, memang memenuhi janjinya.
Bursok disuruh atau lebih tepat dikatakan setengah dipaksa untuk tetap rebah. Diam.
"Abang rilek sajalah!" protes Miranda ketika Bursok mencoba untuk mengimbangi.
Dan hasilnya. Bursok sudah mengalami orgasme dua kali namun Miranda tahu betul bagaimana membuat sang suami supaya kembali tegak dengan kokoh. Lalu ketika Bursok mengalami orgasme untuk yang ketiga kalinya, barulah Miranda ikut menycrtai. Dengan simfoni penutup yaitu rintihan Miranda. Yang lembut. bergetar. "
Kemudian, gangguan itu pun datang.
Untungnya, setelah orkestra berakhir dan Miranda sudah tertidur pulas. saking kelelahan. Bursok sendiri pun sudah mulai mengantuk. Tetapi entah mengapa perasaan gundah itu menampakkan diri kembali. Dalam wujud sebuah boneka pop: tegak di balik pintu lemari, tergeletak di meja bedah dengan kepala terpenggal serta batang tubuh yang sudah digergaji, dan-yang ini samar-samar karena cuma berupa bayangan tak pasti sang manekin alias si boneka pop mencegat taksi!
Gangguan yang dimaksud bukanlah dari si boneka pop yang keberadaannya masih misterius, melainkan dari telepon genggam Bursok yang tersimpan di samping tempat tidur. Ada kontak, dan dengan malas karena kelopak mata yang sudah mulai memberat, Bursok pun menyahuti.
"Halo?" "Komandan?" Terdengar suara penuh semangat di seberang sana telepon.
"Oh, kau Hadi. Ada apa?"
Dengan suara bergairah orang kepercayaannya itu memberitahu, "Maaf mengganggu. Komandan. Tetapi mobilnya sudah kita temukan!"
Seketika Bursok mengernyitkan dahi. "Mobil?"
"Milik korban Rendi, Komandan!"
Bursok melirik ke arlojinya, lantas mengomentari dengan suara khasnya yang kalau tidak menaruh respek. datar. "Hanya untuk itukah kau membangunkan aku, Inspektur" Dini hari pula"!"
Tak ada pernyataan menyesal, pertanda Hadi Saputra saat itu jelas sangat percaya diri. "Ada hal lainnya yang mereka temukan, Komandan. Tak jauh dari mobil Rendi!"
Hadi Saputra lantas diam, tidak merinci lebih jauh. Jelas, maksudnya ingin bermain teka-teki.
Bursok meluruskan tegaknya. Sambil menebak. "Mayat lagi?"
Bursok tersenyum, dapat membayangkan bagaimana kecewanya wajah Hadi Saputra. Masih tersenyum, ia mengecup pipi istrinya yang sedikit pun tidak terusik.
Tak ubahnya seorang pencuri, dengan ekstra hati-hati Bursok bersijingkat turun dari tempat tidur. Bersijingkat pula ia pergi ke lemari. Sialnya, meski sudah berusaha sehati-hati mungkin toh ketika ditarik membuka, pintu lemari itu bcrdcrit. Bursok terkejut sendiri, lantas cepat berpaling ke tempat tidur dengan pandangan cemas.
Miranda malah semakin pulas!
*** KECUALI dalam keadaan darurat, Jalal selalu tepat janji dan tepat waktu.
Situasi darurat itulah yang terjadi ketika Jalal membuat kesepakatan dengan Markus. Persediaan dananya di bank kebetulan tidak mencukupi sehingga. demi janji. Jalal terpaksa harus meminjam dari donatur sekaligus pelindung usaha gelapnya. Hanya saja, sang donator sedang ke Jakarta dan direncanakan baru tiba kembali di Cirebon sekitar pukul sembilan malam. lalu Jalal pun membuat janji temu pukul sepuluh dengan Markus.
Tetapi sang donatur justru baru tiba pukul sepuluh lewat lima belas. Dan begitu mengantongi dana yang ia perlukan. Jalal langsung terbang ke bengkel miliknya di Lasari.
Tak ada tanda-tanda kehadiran Markus, dan Jalal dengan senang hati menduga Markus pun agaknya tidak tepat waktu. Mungkin sedang menghambur hamburkan uang mukanya di rumah petak Grobogan, pikir Jalal yang memutuskan untuk me
nunggu. Lagi pula ada yang harus ia kerjakan malam itu di bengkel rahasianya. yakni mengetok dan mengganti nomor mesin serta sasis mobil curian Markus. setelah malam kemarin dan sepanjang hari tadi warna asli mobil tersebut sudah diubah oleh orang-orang kepercayaan Jalal.
Gembira dan tidak berprasangka apa-apa. Jalal pun membuka pintu gerbang yang gemboknya terkunci dengan aman dari sebelah luar. Sewaktu memasukkan mobilnya ke halaman depan bengkel, barulah Jalal terkejut. Sepeda motor tua Markus ada di situ!
Bagaimana mungkin" Lebih terkejut lagi Jalal setelah membuka pintu tambahan yang juga terbuka dari luar lalu masuk ke sebelah dalam bengkel. Markus ada di sana, tergeletak di lantai. Sudah bugil. sekujur tubuhnya pun pucat membiru. Nyaris hitam seperti hangus. Dan di mobil van yang ringsek, tampak adanya percikan-percikan api biru. dari ujung seutas kabel listrik. Kabel yang terjulur panjang dari balok besi penyangga atap di atasnya, serta terayun-ayun oleh sapuan angin yang bcrcmbus masuk melalui pintu.
Arus listrik. mayat bugil...!
Dan Jalal pun langsung syok saat itu juga.
Dengan kedua pergelangan tangan terkunci borgol, Jalal yang masih tampak syok berjalan keluar dari ruangan bengkel rahasianya tempat ia telah menjalani interogasi selama lebih dari satu jam. Di bela
kangnya ikut keluar Kapolsek Losari Ajun Komisaris Polisi Raharjo yang didampingi oleh Bursok.
Melangkah tersuruk-suruk melintasi bengkel utama, jalal berhenti sejenak dan memandang pucat ke sosok mayat Markus yang tengah diperiksa oleh Faisal. Si dokter tua tetapi tampak masih energik itu telah ditelepon Bursok sewaktu akan meninggalkan rumah.
"Mengapa, Markus?" Jalal berbisik. Lirih dan gemetar. "Mengapa kau tidak memilih mati di tempat lain saja"!"
Jalal tampaknya akan mengeluhkan penyesalan lainnya. tetapi punggungnya keburu didorong oleh satu dari dua petugas bersenjata yang mengawal dan kemudian menggiringnya keluar. Dan sebentar kemudian ia sudah dinaikkan ke mobil tahanan yang menunggu di luar garis polisi. yakni pita lebar berwarna kuning yang terbentang di sebelah luar pintu gerbang.
Tetap tinggal di ruangan bengkel. Raharjo mengawasi sampai mobil tahanan itu meraung pergi. Lalu bergumam disertai gelengan kepala. "Agaknya si penadah itu terlambat sadar!"
"Maksudmu, Pak Harjo?" Bursok menggumamkan tanya. Mereka berdua memang saling menyebut nama. Selain karena satu kepangkatan, mereka juga seumur dan saling mengundang main kartu pada malam Minggu.
"Semisal aku berdiri di tempatnya..." Raharjo menjelaskan. seraya mengawasi mayat yang bukubuku jari tangannya sedang diteliti Dokter Faisal dengan mempergunakan sebuah kaca pembesar, "rongsokan ini pasti langsung kukuburkan. Atau, yah. dibuang ke mana saja. Eh, ini Jalal malah lari terbitit-birit keluar bengkel. Sambil menjerit-jerit lagi. Histeris. Jadilah usaha gelapnya ketahuan!"
"Wajar!" Bursok mengomentari. Sementara di depan mereka. Faisal terus saja sibuk dengan kaca pembesar dan kini beralih memeriksa kaki mayat. "Juga. manusiawi. Mungkin aku pun akan berbuat sama, bila di tengah malam buta menemukan mayat semengerikan ini di tempatku. Sudah matinya disengat listrik, berbugil ria pula!" Diam sesaat. Bursok kemudian bertanya. Ingin tahu. "Oh ya. kabel listriknya. Putus sendiri atau ada yang memutuskan?"
"Digigit putus!"
Tak percaya pada telinganya, Bursok menoleh. "Di...?"
Rekan sejawatnya yang Kapolsek Losari iru menyeringai. Keeut.
"Entah manusia apa kiranya si pembunuh, Pak Bursok. Tetapi di situlah letak misterinya..." ujar Raharjo. tampak tidak begitu yakin pada dirinya sendiri. "Kami menemukan tanda-tanda bekas gigitan gigi manusia pada sobekan-sobekan selang pembungkus kabel. Baik di ujung yang itu?" Raharjo menunjuk ke bentangan kabel listrik yang masih terjulur ke van dan sedang dipotret oleh salah seorang petugas identifikasi, "Maupun yang di atas sana!"
Bursok ikut melihat dan memperhatikan sisa potongan kabel yang terentang telanjang di samping balok besi penyangga atap. Kabel dimaksud kemu
248 dian tampak melenyap di mulut pipa yang memanjang turun ke sebuah sepit, mesin dongkrak bertenaga angin. Bursok tampak berpikir-pikir.
"Padahal." Raharjo meneruskan, "dia tak harus repot-repot memanjat ke atas sana. Toh di bawah ini tersedia cukup banyak alat untuk membunuh. Kalau pun harus main setrum juga. ada kabel gulung dan beberapa stop kontak yang masih aktip."
Masih tampak berpikir-pikir, Bursok kembali melihat ke arah mayat di depan mereka. "Pembunuh.?" ia bergumam. "Apa yang membuat kalian yakin bahwa si malang ini bukan bunuh diri?"
"Baru dugaan sementara memang!" kata Raharjo mengakui. "ltu bila kita ikuti jalan pikiran Jalal yang bingung alang kepalang. Dia sendiri yang pegang dan menyimpan kunci gerbang maupun pintupintu bengkel miliknya. Jadi tak heran jika dia menuduh ada yang berkhianat dan memalsukan kuncikuncinya!"
"Lalu memasukkan Markus ke dalam sini, membunuhnya. lantas pergi dengan melenggang kangkung..." Bursok menimpali. "Motivasinya, Pak Harjo?"
"Itu yang masih kita telusuri!"
"Atau, Jalal sendirilah pelakunya?" Bursok cepat berkata. Namun terdengar tidak yakin. "Dia lebih punya motivasi. Tidak mau membayar. ingin menutup mulut Markus. dan..."
Rekan sejawatnya memotong dengan gelengan kepala. "Sulit diterima. Misalkan benar jalal berpura-pura histeris ketakutan. Tetapi mbok ya masa
dia mau mengambil risiko usaha gelapnya diketahui dan pasti akan mengirimnya ke penjara?"
"Ah. Kok aku bisa sebodoh itu!" Bursok menepuk jidat sendiri. Mcnggeleng geleng murung, ia meneruskan. "Mungkin karena pikiranku masih diganggu oleh pertanyaanmu tadi..."
"Mengenai?" "Si pembunuh!" jawab Bursok sambil melihat bergantian dari permukaan lantai ke balok-balok penyangga atap di atas mereka. "Entah mengapa. aku punya firasat," katanya. "Dia bukannya memanjat ke atas sana. Melainkan terbang!"
'Maksudmu melompat!" jawab Raharjo. Tersenyum. "Seperti jagoan dalam film silat. Tenaga dalam!"
Bursok menggeleng-geleng.
"Aku bilang terbang!" katanya. Bersikukuh.
"Tetapi...." "Bila si pembunuh punya ilmu seperti yang kau bilang, " Bursok cepat memotong. "Dia cukup memutuskan kabel dengan tenaga dalamnya. Tetapi menggigit kabel listrik tegangan tinggi" Seberapa hebat pun ilmunya, Pak Harjo, pasti dia lebih dulu harus berpikir seribu kali!"
"Hm, iya juga." Raharjo manggut-manggut. Namun sambil tampak ragu. "Cuma itu, tuh. Setahuku, manusia semacam itu cuma ada dalam film atau dongeng fiksi. Superman, misalnya!"
"Atau, yang satunya lagi." Bursok berkata yakin, "yang wanitanya. Supergirl!"
Tersenyumlah Raharjo. Geli. 'Jangan bercanda
"Aku serius. Dan?"
'Dan," suara lainnya memotong tiba-tiba. "Superman atau Supergirl. Aku dapat menangkap maksudmu. Komandan!"
Bursok dan Raharjo sama berpaling.
Mcmegangi kaca pembesarnya di satu tangan, si dokter tua Faisal tampak sudah duduk seenaknya di permukaan lantai yang kotor. Menatap lelah pada kedua orang perwira polisi yang berdiri di seberang mayat Markus.
"Tetapi pertama-tama, kita bicarakan yang fakta nyata saja dulu," ia berkata. Tenang Lalu dengan telunjuk jari tangan lainnya ia menunjuk-nunjuk ke noda darah yang sudah mengering di bagian lantai lainnya dan sudah diberi garis kapur oleh petugas identifikasi. "Aku berani bertaruh. Noda-noda darah itu bukan dari tubuh si pembunuh. Konon lagi jika dia...." Diam sesaat memandangi Bursok. sang dokter melanjutkan dengan hati-hati. "Seperti yang ada dalam pikiranmu!"
Ikut-ikutan menatap Bursok dengan pandangan tak mengerti. Raharjo kemudian bertanya pada si tua berjubah rumah sakit yang duduk setengah berpeluk lutut itu.
'Maksud Anda, Dokter" Darah korban?"
"Benar!" Angguk dokter Faisal. Yang meneruskan sambil mengangkat lalu menjatuhkan lagi sebelah kaki Markus. "Dari tumit kakinya ini. Juga bukubuku jari serta telapak tangan. Memang sudah hangus oleh sengatan listrik. tetapi jelas ada tanda-tanda lecet yang menurutku masih terhitung baru. Dan
aku yakin. pemeriksaan lab nanti akan menguatkan dugaanku!"
"Malcud Anda, dia sempat melakukan perlawanan. Begitu?"
"Persis!" Lagi Dokter Faisal manggut-manggut. Dan lagi. dia mengawasi wajah Bursok ketika menambahkan. "Yang sayang. tentu saja sia-sia. Karena si pembunuh bukanlah tandingannya. Bahkan boleh jadi. bukan tandingan kalian pula. Biar kata kalian bersenjata!"
Sementara Raharjo menatap tak mengerti, Bursok bergumam serak ke arah sang dokter. "Dan?"
Mendahului jawabannya. Dokter Faisal menunjuk ke alat kelamin Markus yang setengah tegak telanjang, serta tentu saja sudah menghitam semu biru oleh sengatan arus listrik. "Terkecuali dia... atau si pembunuh atau katakanlah dua-duanya homoseks!" ia memberitahu. "Orang malang ini bisa dibilang masih beruntung. Karena pada saat kematian datang menjelang. masih sempat menikmati kehidupan seksnya yang terakhir. Mau lihat?"
Tetap duduk di tempatnya, si tua menyodorkan kaca pembesar yang ia pegang ke arah kedua orang lawan bicaranya. melewati bagian atas mayat Markus. Bursok cepat menyambar lalu membungkuk dan memeriksa alat kelamin Markus dengan kaca pembesar Dokter Faisal.
Raharjo cepat mengambil kaca pembesar dari tangan Bursok. lalu ganti memeriksa. dengan cermat. Dan terdengarlah gumaman lirihnya.
"Tampaknya lendir. Sudah mengering."
"Karena sengatan listriknya, Pak Harjo." Bursok mendesah. Murung. "Tetapi lendirnya... Sperma!"
Dokter Faisal manggut-manggut, sependapat. "Pertanda... dengan perkecualian yang tadi kubilang. dia sempat bersetubuh dengan pembunuhnya. Seorang perempuan. Atau tepatnya..."
Sang dokter tidak meneruskan. Tetapi diam menatap ke mata Bursok. Yang balas menatap, lalu bergumam, kaku.
"Setuju!" Orang ketiga sang Kapolsek-tentu saja dibuat terbingung-bingung. Menatap bergantian, ia kemudian bertanya menuntut pada Dokter Faisal, "Apanya yang atau?"
Tak ada sahutan. Raharjo cepat berpaling pada Bursok. Kembali menuntut. "Dan, apanya yang setuju, eh?"
ldem dito. Raharjo pun bangkit berdiri. "Perlu kuingatkan, Tuan-tuan!" la mendengus tersinggung, membuat beberapa orang anak buahnya yang sedang sibuk bertugas di sudut lain ruangan bengkel sama-sama berpaling. "Kalian berdua ada di wilayah kewenanganku. Jadi..."
Bip, bip. bip Bursok cepat bangkit sambil mengeluarkan telepon genggam yang berbunyi di balik jaketnya dan langsung menyahuti.
"Halo?" Mau tak mau, Raharjo terpaksa mengatupkan mulut. Sementara dari alat pemancar telepon Bursok, terdengar suara seorang perempuan. Bernada histeris. "Anda-kah itu, Komandan"!"
Sang pembunuh. Si boneka pop!
Pikiran mengejutkan itu sempat melintas di benak Bursok. Akan tetapi, histeris" Jelas bukan tipe makhluk cantiknya Hadi Saputra. Berarti. kembarannya. Yang memang sudah ditinggali kartu nama berisi catatan nomor handphone Bursok, bila sewaktu-waktu teringat sesuatu yang mungkin dapat membantu penyelidikan polisi.
Bursok pun cepat menyahuti. "Ada apa, Bu Rinda?"
"Saya melihatnya lagi. Komandan!" jawab Rinda, masih bernada histeris. "Kali ini, lebih jelas. Sangat jelas!"
Sampai saat itu, Bursok masih tenang. Dan dengan tenang pula, kembali bertanya. "Orang yang Anda lihat, atau Anda pikir telah Anda lihat, mendatangi lalu berbicara dengan Anda" Di kamar makan Rendi?"
"Benar. Dan sungguh sangat mengerikan! Dia muncul lagi, dan..." suara Rinda berhenti sesaat dua. Dan ketika terdengar lagi, suara itu jelas bernada ketakutan. Dan, setengah mengisak. "Dan dia... akhirnya... mati terbunuh!"
Barulah jantung Bursok berdetak. Kuat, dan sangat tidak menyenangkan. Dorongan naluri menggerakkan Bursok untuk mengawasi mayat Markus di depan kakinya. Berpikir keras, lantas kembali bertanya, tegang dan kaku.
"Apakah orangnya... berpostur pendek kekar. Bu Rinda?"
"Persis. Dan...." Berhenti lagi, lalu terdengar nada yang mengandung harapan. "Syukurlah. Jadi kalian telah berhasil menangkapnya?"
Dengan wajah tanpa emosi, Bursok balik bertanya seraya mengamati kepala dan wajah mayat di depan kakinya. "Dia berambut pendek. Model arweut. Dan ada codet bekas luka pada dagu sebelah kiri?"
"Persis lagi. Tetapi..."
"Dan dia mati di suatu ruangan bengkel!" Bursok tidak memberi kesempatan. "Untuk jelasnya. bengkel mobil?"
"Kalau tak salah lihat. ya. Tetapi nanti dulu. Komandan. Tadi Anda bilang kalian sudah menangkapnya. Lalu kok sekarang..."
"Aku tidak pernah berkata kami telah menangkapnya," potong Bur-sok, cepat. Dan cepat pula ia meneruskan, "Satu pertanyaan lagi. Bu Rinda. Serta tolong Anda jawab dengan pikiran dan hati yang tenang!"
Bursok diam sejenak. Memberi kesempatan suara napas tersengal di seberang sana perlahan-lahan melemah lantas reda. Diam. Dan Bursok menembak. Namun tidak langsung ke sasaran, karena akan terdengar kasar dan menyakitkan. Jadi, Bursok hanya menembak sasaran antara saja.
"Apakah Bu Rinda yang menggigit putus kabel listrik di bawah atap bengkel?"
Diam yang cukup lama. Napas tersengal, lalu
suara yang kembali histeris. "Ya Allah, Tuhanku. Bukan aku. Komandan. Tetapi..."
"Aku mengerti," Bursok memotong. Tenang. "Teleponmu sangat membantu. Terima kasih dan selamat malam, Bu Rinda!"
Berkata demikian, Bursok memutuskan kontak. Telepon ia masukkan kembali ke saku jaket. lalu diam merenung. dengan wajah yang kian murung. Tanpa memedulikan suasana yang berubah sunyi senyap di seantero ruangan bengkel maupun berpasang-pasang mata yang memperhatikan dengan tegang, dengan dirinya sebagai pusat perhatian para anggota polisi sektor Losari. yang bagai dikomando. sama tertegun dan menghentikan pekerjaan masingmasing. Pandangan tegang yang sama juga terlihat di mata komandan mereka. Ajun Komisaris Polisi Raharjo.
Hanya Dokter Faisal seorang yang wajahnya nampak tenang. Padahal lelaki tua itu diam-diam juga ikut tegang. Tetapi ia menyembunyikannya dengan berpura-pura sibuk memeriksa "pasien" yang tergeletak di dekatnya. Lantas ia tiba-tiba menjauhkan wajah dari kaca pembesarnya, sambil memaki sendiri.
"Jadah! Kukira apa!"
Semua yang berada di dalam ruangan, termasuk Bursok, sama berpaling. Lalu melihat dan mengetahui begitu tadi dokter memutar tubuh lalu berpura-pura memeriksa, rupanya kaca pembesar sang dokter tanpa sadar ia dekatkan-malah nyaris menempel-pada buah zakar di selangkangan mayat Markus.
Namun tak seorang pun yang tersenyum. apalagi tertawa. Semuanya, terutama Raharjo, masih diam menunggu. Dengan sabar, dan wajah diliputi tanda tanya.
Bursok cepat menyadari situasi lalu memaksakan diri untuk tersenyum, dengan geraham terasa ngilu. Berpaling enggan ke arah Raharjo, ia menghela napas berat dan panjang. lantas memberitahu. "ltulah jawaban pertanyaanmu tadi, Pak Harjo. Yang maaf, sempat membuatmu tersinggung...."
Sang Kapolsek tetap diam. Menunggu.
Bursok kembali menghela napas. Ganti mengawasi mayat Markus di depan kakinya, ia meneruskan, "Baru dugaanku saja. Tetapi kemungkinan besar motivasi terbunuhnya orang malang ini. adalah... balas dendam!'
Terpengaruh. Raharjo ikut-ikutan menghela napas. Lalu bertanya, hati-hati, "Oleh?"
"Sang manekin!" jawab Bursok. Datar.
Dahi rekan sejawatnya seketika lengsung mengernyit.Tidak mengerti. "Manekin?"
"Boneka, Pak Harjo," jelas Bursok disertai senyuman kaku. "Boneka Doo!"
*** Bursok menggeliat bangun dan membuka kelopak matanya dengan malas. Untuk sesaat. matanya dibuat silau oleh terpaan cahaya terang dari jendela kamar yang sebagian tirainya barusan disingkapkan. Dan samar-samar. matanya menangkap gambaran sosok tubuh semampai bergaun merah hati sedang bergerak menyingkapkan bagian tirai selebihnya. Smek!
Gaun merah hati! Si boneka pop!
Bursok terlompat duduk sambil berseru kaget. "Kau!"
Lalu, bersama hilangnya silau dan matanya pun lantas terbiasa dengan sinar terang yang masuk dari jendela. otot-otot Bursok yang sempat menegang perlahan-lahan terasa melemas. Warna gaunnya benar. tetapi orangnya tidak.
Karena sosok semampai yang kemudian berdiri mengawasi dirinya berambut panjang, bukan sebatas tengkuk. Rambut itu terurai melewati sisi kedua
bahu lalu menutupi dada sampai ke batas pinggang. Rambut yang tampak masih basah. Jelas habis keramas.
Berdiri membelakangi jendela kamar tidur mcreka, Miranda menatap heran. "Apa?"
"Ah, tidak!" jawab Bursok. Kecut. Menguap sesaat, ia menambahkan. "Hanya saja, warna gaun yang kau pakai mengingatkan aku pada seseorang!"
Tampak serius, Miranda bergerak maju lalu duduk dengan punggung kaku di tepi ranjang.
"Yang kau temui dini hari tadi ya?"
Ganti Bursok yang bertanya terkejut, "Apa?"
"Mudah saja," jawab Miranda. Tersenyum. kaku. 'Bercerminlah.?"
Sempat bingung. Bursok mematuhi perintah istrinya. Cukup dengan sedikit menggeser duduknya. pesisi Bursok pun sudah sejajar dengan cermin lebar yang terpasang pada tembok di sebelah ranjang tidur mereka. Dan apa yang kemudian ia saksikan membuat Bursok terpaksa harus menggeleng-geleng sendiri. ia tidak mengenakan kimono tidur. Melainkan celana panjang. baju kaus tebal. dilengkapi dengan jaket. Jaket dinas pula. lagi!
Sedcmikian lelahnya ia tadi malam. luar dalam. Tak heran setiba di rumah, satu-satunya yang terpikirkan adalah langsung tidur. Persetan dengan mayat bugil Markus di bengkel Jalal. Persetan juga bahwa Markus seorang Satpam di Pemda Kotamadya. seinstansi dengan orang yang dibunuhnya: Rendi. Ada pun si boneka pop...
Di situlah seingat Bursok ia terlelap. Pulas. Lupa
mengganti pakaian, dan kini dituduh yang bukanbukan!
Menatap ke wajah istrinya yang tampak masih tetap serius, Bursok pun mendengus, setengah membela diri.
"Begini saja, Mira. Mengingat yang kau lakukan padaku tadi malam, apakah mungkin masih ada wanita yang lebih menakjubkan di luar sana?"
Siasat yang jitu! Tuh, lihat hidung Miranda sempat mengembang. walau cuma sekejap. Lalu diam sejenak untuk menikmati pujian sang suami. Miranda kemudian berkata dengan senyuman yang lebih lunak.
"Sudah lima belas tahun kita ber-rumahtangga. Ditambah lima tahun masa pacaran, berarti dua puluh tahun sudah aku mengenal Abang. Luar-dalam!"
"Lantas?" "Aku tahu, Abang bukan tipe suami yang suka mencari jajanan tambahan!"
Bukan jawaban itu yang dikehendaki Bursok. Maka, ia mengulagi tuntutannya. "lantas"!"
"Aku hanya tak senang dengan cara Abang menyelinap pergi tadi malam!" jawab Miranda, kembali serius.
Bunok sudah akan membela diri, ketika Miranda meneruskan.
"Coba Abang bayangkan... tetapi ini hanya berandai-andai!" katanya. Lirih, dan terdengar sakit. "Seandainya waktu pergi. musibah menimpa dirimu. Lalu aku dibangunkan oleh kabar yang mengerikan di telepon. Aku, istrimu. Yang tahu betul... sebelum
tertidur. masih sempat melihat sang suami rebah di sampingnya!" Diam sejenak, Miranda meneruskan dengan suara gemetar. "Dapat Abang bayangkan bagaimana jadinya perasaanku?"
Bursok diam. menegun. Syukurlah. ia tak jadi mengeluarkan pembelaan diri, karena itu pasti terdengar akan sangat konyol. Dan sebagai gantinya, Bursok beringsut mendekat lalu mengecup kening, bahkan juga ubun-ubun istrinya.
"Semoga yang kau takutkan itu tidak akan pernah terjadi..." ujarnya. lembut. "Karena kelakuan burukku malam tadi tidak akan pernah kuulangi lagi!"
Tak ada permintaan maaf dari Bursok. Juga tidak ucapan terima kasih Miranda atas janji sang suami. Karena mereka-seperti yang lalu-lalu-sudah saling mengerti. Dan untuk membuatnya lebih terbuka serta lebih dapat diterima. Bursok pun memberitahu.
"Menjawab pertanyaanmu tadi, Miranda. Sesungguhnya, aku memang sangat ingin bertemu dengan... si gaun merah hati itu!"
Miranda diam menatap. Dan seperti biasa bila sang suami ingin berbagi cerita atau isi hati, Miranda juga siap menjadi seorang pendengar yang baik.
"Kasusnya sedikit rumit," Bursok memulai dengan kata-kata sederhana, serta mudah dicerna. "Selain fakta nyata. kali ini aku agaknya terpaksa harus lebih mengandalkan firasat!" Diam berpikir sejenak, Bursok melanjutkan. "Dia. Maksudku, si gaun merah hati...."
Dan, pada waktu bersamaan. di tempat yang jauh terpisah.
Walau tak ada angin berembus, taburan bunga rampai yang masih tersisa di atas gundukan kubur Rendi Suhandinata tampak seperti bergerak-gerak. Atau mungkin, tanah kubur di bawahnyalah yang bergerak. Cuma sesaat dua, lalu gerakan itu berhenti. Dan di tengah kesunyian kubur. terdengarlah suara bisikan. Lirih dan sayup.
"Kau tahu, Rendi" Tetapi jangan cemburu ya?"
Sepi sejenak, suara berbisik itu kembali terdengar.
"Orang Sibolangit itu, Rendi-ku. Dipikir-pikir, aku mulai menaruh hormat padanya!'
*** "MENARUH hormat?"
Didampingi sang suami yang duduk diam mendengarkan, Rinda kembali bertanya pada tamu kejutan mereka di pagi hari itu.
"Apakah saya tidak salah dengar. Pak Wali?"
Heri Herlambang-sang wali kota yang kedatangannya sempat membuat sibuk para karyawan bahkan juga tamu-tamu hotel-tersenyum. Simpatik.
"Memang harus kuakui. bahwa aku hanya bertemu selewat-selewat dengan saudara kembar Anda, Bu Rinda!" katanya. Lembut. "Tetapi dari apa yang sudah kudengar atau kuketahui, kota ini... khususnya aku pribadi. sudah sepatutnya menaruh hormat pada almarhum!"
"Kota ini!" Rinda menggeleng. Tak mengerti. "Rendi cuma pegawai rendahan. Kepala Biro, memang. Tetapi bukan orang nomor satu seperti Pak Wali, yang mampu berbuat banyak untuk..."
"Kedudukan!" sang wali kota memotong dengan
nada prihatin. 'Dan reputasi. ltulah yang selalu dilihat orang. bukan" Sehingga kita sering lupa. Bahwa seseorang patut dihormati bukan saja untuk apa yang telah dia perbuat. Tetapi ada kalanya. juga unruk apa yang justru tidak dia perbuat!"
Bingung sejenak, Rinda kemudian membuka mulut. "Dan... apakah itu. Pak Wali" Yang justru tidak diperbuat Rendi?"
Pertanyaan sederhana dan wajar. Namun sempat membuat Heri Herlambang terkejut sendiri. Telanjur membuka mulut. ia meneruskan dengan hatihati.
"Sulit untuk mengatakannya. Terapi. mari kita ambil contoh kakek sepupu kalian di Turen. yang belakangan kudengar sudah meninggal. Namanya kalau tak salah. Parmo. Eh, Kusno..."
"Kusparmono!" Rinda membetulkan. sambil diam-diam terkejut. "Agaknya Bapak banyak tahu tentang keluarga kami...."
"Hampir semua warga tepatnya!" Heri Herlambang tersenyum lebar. "Aku pernah menjabat sebagai Dan Ramil di sana. Karena bidang yang kusukai adalah pembinaan teritorial, dengan sendirinya aku harus rajin mendatangi dan berbicara dengan warga setempat. Termasuk almarhum kakek sepupumu itu!"
Sementara tulang punggung Rinda diam-diam terasa menegak kaku, sang tamu istimewa melanjutkan dengan gembira dan terkesan kagum.
"Seorang pejuang! Yang tidak hanya mempertaruhkan nyawa, melainkan juga seluruh harta benda yang dia miliki. Tetapi setelah Republik tercinta
ini merdeka, dia tidak menuntut apa-apa dari pemerintah. Bahkan ketika kutawarkan padanya untuk mengambil status veteran plus tunjangannya. kakek sepupumu itu cuma tertawa. Tahu apa katanya. Bu Rinda?"
Pedang Angin Berbisik 21 Pertemuan Di Sebuah Motel Karya V. Lestari Gondoruwo Patah Hati 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama