Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear Bagian 1
Novel M.T.H. Perelaer DESERSI Menembus Rimba Raya Kalimantan
PENJELASAN UNDANG UNDANG EPUB ini dibuat oleh Yayasan Mitra Netra untuk memfasilitasi akses bagi tunanetra dan mereka yang memiliki keterbatasan membaca buku dalam cetak tinta.
Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.
Cuplikan UU No.28 Tahun 2014 Pasal 44 Ayat 2 tentang Hak Cipta
Pasal 44 (1) Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
Desersi: Menembus Rimba Raya Kalimantan
M.T.H. Perelaer ? Hak terjemahan bahasa Indonesia pada KPG (Kepustakaan Populer Gramedia
KPG 149-2006-82-S Cetakan Pertama, Oktober 2006
Judul Asli Borneo van Zuid naar Noord, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Maurice Blok dan disadur oleh A.P Mendes dengan judul Ran Away from the Dutch or Borneo from South to North
Penerjemah Helius Sjamsuddin Penyunting Candra Gautama Perancang Sampul Wendie Artswenda Penata Letak Wendie Artswenda PERELAER, M.T.H. Desersi: Menembus Rimba Raya Kalimantan
Jakarta; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),
2006 xiv + 286 hlm.; 14 cm x 21 cm
ISBN: 979-91-0052-6 Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta.
Isi di luar tanggungjawab percetakan.
PENGANTAR PENERJEMAH SECARA kebetulan saya mendapatkan novel Borneo van Zuid naar Noord (Rotterdam, 1861, 2 jilid) karya Michael Theophile Hubert (M.T.H.) Perelaer di National Library, Canberra, Australia, pada 1986. Waktu itu saya sedang menggunakan buku M.T.H. Perelaer yang lain, Etnographische Beschrijving der Dajaks (1870), sebagai salah satu sumber untuk menyusun disertasi saya, "Fighting Dutch Rule in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries. The Social, Political, Ethnic, and Dynastic Roots of Resistance in South and Central Kalimantan, 1859-1906" (1990), di Monash University, Australia. Disertasi itu diterjemahkan dan diterbitkan oleh Balai Pustaka (2001) dengan judul Pegustian dan Temenggung. Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (Jakarta: 2001). Ke?mudian pada 1987 saya dapatkan lagi di Perpustakaan KITLV, Leiden, Negeri Belanda, beberapa karya M.T.H. Perelaer yang lebih lengkap, termasuk artikelnya, "Eene wandeling door de benting te Kwala-Kapoeas", dalam De Militaire Spectator. Tijdschrift voor het Nederlandsche Leger (1864).
Novel Borneo van Zuid naar Noord ini diterjemahkan dan di?sadur ke dalam bahasa Inggris oleh Maurice Blok dan A.P. Mendes (1887) dengan judul RanAway from the Dutch or Borneo from South to North. Karya ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Comte Meyners d"Estrey dengan judul Aventures de quatre deserteurs a travers Borneo (1896). Karena isinya cukup menarik dan menyinggung beberapa tokoh dan tempat yang acapkali saya sebut dalam disertasi saya, pada 2003 karya itu saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Desersi.
M.T.H Perelaer (1831-1901) lahir pada 4 Agustus 1831 di Maas- tricht, Negeri Belanda, anak pertama dari enam bersaudara hasil
perkawinan kedua ayahnya, Norbert Perelaer, dengan Anna Maria Du Moulin. Semula Perelaer menempuh pendidikan di seminari Rolduc untuk menjadi pendeta, tetapi dropout tahun 1854 dan masuk dinas militer di Koloniaal Werfdepot, Harderwijk, yang terkenal sebagai "got Eropa" (het riool van Europe). Pada 1855 ia berangkat ke Hindia- Belanda. Karir militernya menanjak empat tahun kemudian dengan pangkat letnan dua. Ketika pecah Perang Banjarmasin pada 1859, ia ikut ambil bagian sebagai opsir Belanda. Masih sebagai tentara, pada 1860 ia diangkat sebagai Civiel Gezaghebber (pejabat sipil) di daerah Groote en Kleine Dajak (sekarang Kalimantan Tengah, yang dialiri Sungai Kahayan/Dayak Besar dan Sungai Kapuas-Murung/ Dayak Kecil), bertempat di Kuala Kapuas. Ia juga menjadi komandan benteng Kuala Kapuas dengan pangkat letnan satu. Di tempat ini ia bertugas dari 1860 hingga 1864. Setelah berdinas di beberapa tempat, termasuk di Aceh dan ikut Perang Aceh, Perelaer pensiun dari tentara Belanda dengan pangkat mayor pada 1879. Pada 1901 ia meninggal di Den Haag.
Perelaer seorang tokoh yang menarik, karena selain tentara ia juga penulis yang cukup produktif semasa hidupnya, terutama tentang Hindia-Belanda. Ia menghasilkan dua novel, yakni Borneo van Zuid naar Noord, yang disebutnya sebagai ethnographischeroman, dan Baboe Dalima, suatu opiumroman.
Sebagian latarbelakang novel Borneo van Zuid naar Noord adalah Perang Banjarmasin, ketika orang-orang Dayak, selain orang Banjar, mengangkat senjata melawan Belanda. Sebagai pejabat mi?liter dan sipil Belanda di tengah-tengah Tanah Dayak (Dajaklanden), pengetahuan Perelaer tentang adat-istiadat Dayak cukup luas dan mendalam. Pengetahuan itu banyak ditimba dari sahabat dan informannya, Temenggung Nikodemus Jaya Negara, Temenggung Kuala Kapuas. Dalam novel ini Perelaer melibatkan Temenggung ini sebagai salah seorang pelakunya. Tokoh Kolonel dalam novel ini, komandan benteng Kuala Kapuas, barangkali juga merupakan personifikasi dirinya.
Semua pengetahuannya tentang adat-istiadat Dayak dituang?kan dalam bukunya yang telah menjadi klasik, Etnographische Beschrijving der Dajaks (1870). Buku ini sangat memberi warna pada novel ini, yang berbicara tentang adat-istiadat Dayak.
Desersi bercerita tentang empat serdadu Belanda yang minggat dari benteng Kuala Kapuas (sekarang Kalimantan Tengah) dan menembus rimba raya pedalaman Kalimantan dari selatan (Kuala Kapuas) ke utara (Sarawak). Pelarian untuk memperoleh kemerdekaan ini penuh dengan petualangan yang mendebarkan dan mengerikan. Perelaer, melalui dialog-dialog para dramatis personaenya amat kritis terhadap sistem rekrutmen serdadu Belanda dan Pemerintah Hindia-Belanda; ia juga kritis terhadap adat pengayauan dan mencoba menyelipkan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya.
Memang novel ini tidak persis menggambarkan budaya maupun kehidupan sosial-politik masyarakat Dayak masa itu, karena tidak dimaksudkan sebagai tulisan sejarah, namun lukisannya tentang alam dan rimba raya Kalimantan beserta isinya benar-benar prima. Dalam hal ini patut dicatat pula bahwa masyarakat Dayak sekarang juga sudah jauh berbeda daripada gambaran dalam novel ini. Walaupun demikian buku ini kiranya dapat menjadi salah satu sumber yang me?narik tentang Kalimantan abad ke-19.
Akhirnya, untuk membantu pembaca memahami istilah-istilah bahasa asing dalam novel ini, saya sertakan terjemahannya dalam catatan kaki. Untuk istilah-istilah bahasa Dayak, pembaca bisa melihatnya dalam daftar istilah bahasa Dayak yang disusun oleh Perelaer. Selamat membaca.
Helius Sjamsuddin Bab 1 "LAPOR, Kolonel, empat orang tidak ada ketika apel!"
"Siapa mereka?"
"Schlickeisen, Wienersdorf, La Cueille, dan Yohanes."
"Dua Swiss, satu Belgia, dan satu pribumi," gumam Kolonel. "Apakah sudah diperiksa kapan terakhir mereka terlihat di kampung tentara?"
"Mustahil, Kolonel. Gerbang-gerbang ditutup jam enam dan sete?lah itu tidak dapat dibuka tanpa izin Kolonel."
"Perintahkan kopral dan tiga serdadu segera mencari mereka. Tutup gerbang-gerbang dan gandakan penjaga agar jika diperlukan dapat segera memberikan bantuan."
"Siap, Kolonel."
"Kasih juga laporan lengkap pencarian di kampung-kampung dan hasilnya."
"Siap, Kolonel! Ada perintah lain?"
Jawaban tidak ada diberikan dengan gelengan kepala, maka ser?san itu pun memberikan hormat dan meninggalkan tempat.
Kolonel bangkit dari kursi goyangnya. Rasa cemas tiba-tiba me?nyergap dirinya, meskipun beberapa saat sebelumnya wajahnya tam?pak seperti perunggu. Tidak satupun otot-ototnya bergerak. Kini, bagaimanapun, ia menjadi cemas dan gelisah. Ia perbesar nyala lampu dan melangkah ke suatu laci untuk mengeluarkan satu buku berukuran besar. Diletakkannya buku itu di atas meja dan mulai dibaca dengan cermat. Buku itu berisi ringkasan data-data tentara, deskripsi yang mengagumkan tentang seluruh angkatan perang Hindia-Belanda yang senantiasa diperbarui dengan ketepatan yang patut dipuji di markas Batavia.
"Schlickeisen," baca Kolonel; "orang Swiss, lahir di Steinbach, wi?layah bagian Glarus, usia 21 tahun. Anak seorang pendeta." Ia mem?balik lembaran lain.
"Wienersdorf, juga orang Swiss; lahir di Winterthur, wilayah bagian Zurich, usia 23 tahun. Anak seorang gurubesar ilmu alam.
"La Cueille, orang Belgia, lahir di Cheratte, Provinsi Liege, usia 26 tahun. Anak seorang buruh tambang batubara di Jupille.
"Yohanes, lahir di Padang, Pulau Sumatra; usia sekitar 30 tahun. Ayahnya tidak diketahui. Ibunya seorang perempuan Nias, Mak Truni."
Kolonel menutup buku; ia tidak memperoleh keterangan lebih jauh dari buku itu.
"Urusan yang bikin penasaran saja," gumamnya, "dan akan menimbulkan kesulitan yang tak ada habisnya, kecuali bila terbukti karena mabuk."
Mengambil buku berukuran besar lainnya dari koleksi bukunya, ia membalik-balik beberapa halaman dan membacanya:
"Schlickeisen dan Wienersdorf pernah direkomendasikan di ba?gian pendaftaran untuk dididik menjadi opsir. Mereka akhirnya di?keluarkan dari pendidikan karena terlibat dalam pemberontakan orang-orang Swiss di Semarang. Yang satu calon pengacara, sedang?kan yang lain telah menyelesaikan pendidikannya dan memperoleh diploma sebagai guru ilmu alam dan kimia. Keduanya belajar di Zurich. Tampaknya tidak ada yang diketahui tentang La Cueille. Ia mengatakan pernah menjadi pembantu pembuat senjata di Meester Cornelis (Jatinegara), tapi kemudian dipecat karena mabuk. Dan Yohanes, satu lagu orang Hindia hasil nafsu binatang, yang keberadaannya di dunia hampir merupakan malapetaka bagi dirinya."
Masih sejauh itu Kolonel membaca dan berkomentar ketika terdengar ketukan dan sersan muncul lagi. Dalam sikap militer yang sempurna ia menunggu sampai perwira atasannya bertanya.
"Bagaimana, apa mereka ditemukan?"
"Tidak, Kolonel, kami telah memeriksa seluruh kampung ten?tara. Sepi sekali. Satu-satunya yang kami temukan hanyalah surat ini, yang ditujukan kepada Anda oleh Yohanes dan ditinggalkan di pondokannya."
Kolonel menerima surat itu dengan muka tak acuh, membukanya, dan sepintas melihat tandatangan yang tertera di dalamnya. Kemu?dian, sambil melemparkan surat itu begitu saja di atas meja, ia ber?tanya:
"Apakah kamu temukan petunjuk bahwa mereka yang menghilang itu dalam keadaan mabuk?"
"Tidak, Kolonel."
"Siapa yang jadi komandan jaga?"
"Kopral Greenwood."
"Aha; juga seorang pemabuk tua. Pastikan dari dia dan dari para serdadu jaga apakah Baba Pucieng berada di batang (Dermaga)." Sersan itu undur diri.
Baba dan Kee adalah istilah untuk menyebut orang-orang Cina di Hindia-Belanda. Yang pertama lebih hormat. Kee adalah sebutan mengejek dan hampir menjadi nama panggilan.
Baba Pucieng ialah seorang Cina licik yang telah membuat diri?nya amat sangat dibutuhkan di garnisun dengan berjualan barang dagangan seperti tembakau, jarum, bir, daging dan sayur kaleng, kertas, pena, tinta, dsb., semuanya berkualitas nomor satu dan tentu saja sangat murah. Dengan harga-harga yang ditawarkannya, dibandingkan dengan harga-haraga yang ditawarkan oleh para pedagang Eropa di Banjarmasin dan bahkan di Jawa, jelas hanya memberinya keuntungan amat kecil. Bahkan seolah-olah ia betul- betul buntung dalam transaksi-transaksi. Mengenai kerugian ini, dengan bersumpah atas nama keranda bapak dan kakeknya, dia mengatakan apa adanya; mengaku merupakan kebahagiaan besar bagi dia bisa melayani sahabat-sahabat baiknya orang Belanda. Suatu hari, secara kebetulan, Kolonel memungut di luar benteng satu kotak sarden kosong, dan setelah mengamati sarden itu ia terperanjat dengan mereknya yang aneh dan bau yang melekat. Menemukan lagi kotak kedua pada kesempatan lain, ia kembali mencium bau yang sama, dan kecurigaannya timbul bahwa kotak-kotak itu berisi opium. Ia juga memerhatikan bahwa di antara serdadu pribumi dan Eropa garnisun itu berubah menjadi gembira tiap kali Baba Pucieng berada di dermaga membawa barang-barang dagangannya. Tetapi semua usaha untuk menjebak orang Cina licik itu selalu gagal. Kaleng- kalengnya, tiap kali dibuka untuk diperiksa, selalu berisi sarden- sarden terbaik atau buah-buahan California, dan dengan menyeringai puas Baba Pucieng selalu menanyakan apakah Kolonel puas dengan barang dagangan yang dibelinya. Ia telah "memilih dengan amat hati- hati barang-barangnya untuk Tuan Kolonel." Pembaca kini dapat menduga mengapa Kolonel menyatakan keingintahuannya apakah Baba Pucieng terlihat berada di dermaga.
Sersan kembali dengan laporan bahwa tidak seorangpun melihat orang Cina itu pada hari itu.
Perintah yang kemudian diberikan adalah agar sersan dan enam serdadu pergi ke kampung dan meminta Temenggung untuk segera menemui Komandan. "Berangkatlah dengan hati-hati," kata Kolonel. "Gerbang-gerbang akan dijaga sampai kalian kembali. Para prajurit jaga harus meningkatkan kewaspadaan, dan pengamatan seksama terus dilakukan. Saya sendiri yang akan berkeliling untuk memeriksa semua pekerjaan."
Setelah sersan itu pergi, Kolonel memungut surat yang telah dicampakkannya di atas meja, dan membaca:
"Kolonel yang mulia dan terhormat. Kami kiranya sudah berada jauh sekali ketika surat ini Anda baca. Tidak sangsi lagi, Anda akan mengerahkan segala upaya untuk menangkap kami kembali, tetapi itu semua akan sia-sia. Kami telah memperhitungkan masak-masak dan Anda tidak akan pernah melihat kami kembali dalam keadaan hidup. Kami telah jemu di dinas Belanda.
"Kami sangat berterimakasih, Kolonel terhormat, atas per?lakuan baik yang telah kami peroleh selama berada di bawah kepe?mimpinan Anda. Jika ada orang yang dapat mendamaikan kami dengan kondisi kami dan mencegah kami melakukan upaya ber?bahaya seperti sekarang ini, itu adalah Anda. Tetapi siapa yang dapat menjamin bahwa Anda akan tetap menjadi komandan kami! Masa dinas kami masih lama dan watak manusia tidak sama. Kami, orang-orang Swiss, telah ditipu mentah-mentah oleh para petugas rekrutmen tentara Belanda. Kami tidak mau mengatakan di mana letak penipuan itu. Anda dapat membayangkan semua penderitaan kami. Kami telah dibujuk untuk meninggalkan lembah-lembah kami tercinta dengan berbagai rayuan yang amat manis; kami dijanjikan
berbagai keuntungan besar, tetapi tidak satupun janji-janji itu yang menjadi kenyataan.
"Tetapi mengapa kami harus menuliskan semua ini kepada Anda-Anda yang samasekali tidak dapat disalahkan atas semua kesengsaraan yang kami derita" Kami tahu Anda telah mela?kukan segala upaya untuk menolong nasib kami, dan karena pertimbangan itulah kami berharap tidak ingin tampak bersalah di hadapan Anda. Kami akan disebut, dan memang demikian kenyataannya, para desertir; tetapi kami tak malu atas sebutan itu, yang menempel pada nama-nama kami. Anda, paling tidak, kiranya tidak dapat menyalahkan kami. Kami semestinya merasa terikat pada Pemerintah Belanda, akan tetapi ketika sadar bahwa kami adalah korban penipuan yang licik, maka kontrak tidak lagi mengikat kami. Dalam perjanjian semacam itu betapa tidak adil satu pihak harus memenuhi kewajiban-kewajibannya, sedangkan pihak lain bebas menjalankan ikatan itu sesuka hatinya ."
"Manusia-manusia malang," kata Kolonel.
"Walaupun demikian," Kolonel melanjutkan membaca, "Berba?gai pembenaran kiranya dapat kami ajukan atas tindakan desersi kami, dan untuk pembenaran itu hati nurani adalah yang pa?ling mudah. Kebutuhan memaksa kami bertindak seperti yang sedang kami lakukan. Dugalah sendiri. Anda telah berbaik hati meminjamkan kepada kami teodolit Anda, teropong, sekstan, dan kompas sehingga kami tidak akan tersesat dalam menentukan arah. Beberapa peralatan itu telah kami putuskan untuk kami bawa serta. Dua yang terakhir sangat penting bagi kami, sebab tanpa alat-alat itu kami mudah tersesat dalam petualangan yang kami tuju. Teodolit akan kami tinggalkan di pondok Yohanes. Maajkan kami atas ketidakjujuran ini. Tetapi percayalah, kami akan mengembalikan peralatan-peralatan pinjaman itu atau mengirimkan uang penggantinya segera setelah kami berada kembali di antara orang-orang beradab. Dan kini, Kolonel ter?hormat, semoga Tuhan memberikan balasan kepada Anda atas perlakuan baik yang pernah kami terima dari Anda. Kami rasa pengejaran sungguh-sungguh atas diri kami segera dimulai. Tuhan melindungi kami. Selamat tinggal.
Schlickeisen, Wienersdorf. N.B.: Seandainya kami binasa dalam usaha kami memperoleh kembali kebebasan, nasib kami tidaklah akan lama bersembunyi dari diri Anda. Kami mohon dengan sangat, dengan mengingat semua hal yang Anda hargai, dengan mengenang ratapan ibu Anda, untuk memberitahu orangtua kami mengenai kematian kami. Anda bisa temukan alamat lengkap mereka dalam buku tanda keanggotaan militer kami. Sekali lagi, selamat tinggal
"Setan-setan malang," Kolonel mengulang sambil mengusap air mata seolah-olah ia merasa diejek oleh perasaannya. "Betapa seng?saranya nasib yang harus dihadapi oleh orang-orang ini." Ia kemudian meletakkan surat itu di atas meja, menarik napas dalam-dalam dan hanyut dalam lamunan. Ia terjaga dengan datangnya dokter garnisun, yang buru-buru masuk ke ruangan dengan wajah marah dan gusar.
Dokter itu orang bertubuh tinggi, kurus, berambut merah kasar dan berkumis warna kuning yang ujung-ujungnya dibiarkan kaku seakan-akan hendak menggapai belakang telinganya. Ia juga telah menerima sepucuk surat, yang ada di tangannya.
"Himmelskreuz!(BahasaJerman:Ya Tuhan) Orang jahat itu telah melarikan diri."
Jelas ia orang Prusia atau Jerman Selatan.
"Apa" Siapa?" tanya Kolonel.
"Der Wallon,(si Walloon. Orang Walloon merupakan salah satu elemen bangsa Belgia yang berdiam di sebelah timur dan tenggara Belgia, berbatasan dengan Prancis, dan umumnya menggunakan bahasa Perancis)
das Vieh!,(binatang) dan ia telah mengambil peralatan-per?alatan dan pistolku."
La Cueille juga meninggalkan sepucuk surat untuk menjelaskan pencurian peralatan dan senjata milik dokter, yang telah dipercaya?kan kepada dia untuk diperbaiki karena La Cueille seorang pembuat senjata. La Cueille juga mohon dimintakan maaf kepada Kolonel karena dua senapan Remingtonnya ikut dibawa.
"Orang tidak dapat mengambil risiko menempuh perjalanan yang berbahaya tanpa bersenjata samasekali," demikian alasan orang Walloon itu. "Kolonel tentu tahu bahaya-bahaya yang menghadang."
Kolonel menunjukkan kepada dokter surat yang barusan diteri?manya.
"Jadi mereka telah melarikan diri bersama-sama."
"Sangat mungkin sekali."
"Orang-orang malang! Tapi apa yang akan Anda lakukan seka?rang?"
"Saya telah memberitahu Temenggung. Barangkali dia punya beberapa informasi. Atas informasinya itu saya akan mengambil tindakan tertentu."
"Anda bermaksud mengejar mereka?"
"Tentu saja," jawab Kolonel.
"Tapi keselamatan pos ini dipercayakan kepada Anda?"
"Oh, Tuan yang terhormat, saya tidak akan bertindak sembrono." "Bagaimana bisa" Garnisun tidak kuat. Anda tidak dapat menge?rahkan serdadu garnisun ini tanpa bahaya."
"Oh, garnisun tetap saya biarkan lengkap. Saya akan mengejar mereka dengan satu detasemen pribumi."
"Itu keji sekali. Diburu oleh orang-orang Dayak!"
"Harus saya akui bahwa para desertir itu sangat ceroboh; tapi apa lagi yang dapat saya perbuat" Seperti kata Anda, saya tidak mungkin mengerahkan garnisun dan saya tidak dapat tinggal diam saja. Bagai?manapun, mustahil memutuskan langkah-langkah apa yang perlu diambil sampai saya bertemu Temenggung. Barangkali para desertir itu telah ditangkap oleh para penjaga kampung, dan kekhawatiran kita terlalu prematur. Sekarang saya akan menginspeksi pos-pos, maukah Anda ikut saya?"
"Donnerwetter!(Astaga!) Ini kan bukan pekerjaan seperti meraba-raba dalam kegelapan."
"Baiklah, Anda tinggal saja dan tunggu saya. Temenggung mung?kin langsung kemari dan saya ingin Anda hadir dalam pembicaraan kita. Saya tidak akan lama."
Kolonel pergi ke luar. Ia pergi tidak jauh karena benteng itu sangat kecil.
Para serdadu pengintai tampak berada di pos-pos sebagaimana mestinya dan mengawasi dengan cermat ke arah kegelapan yang melingkupi. Jembatan yang berada di atas parit keliling diturunkan dan pintu-pintu benteng terbuka lebar; tetapi di luar, di bagian paling ujung jembatan derek, ditempatkan sekelompok piket yang terdiri atas enam orang serdadu, sementara di belakang gerbang seluruh garnisun disiapkan dengan senapan di pundak. Kolonel, puas dengan inspeksinya, bermaksud kembali ke markas untuk menemui tamunya lagi ketika ia dicegat oleh seorang kopral.
"Ada apa?" tanya Kolonel.
"Senapan Yohanes, Schlickeisen, Wienersdorf, dan La Cueille lenyap dari rak senjata, dan sebagian besar kotak peluru orang-orang itu telah kosong."
"Ha! Periksa berapa kotak peluru yang lenyap dan suruh sersan artileri segera menggantinya dari gudang."
Kolonel belum selesai bicara ketika kopral dari mes menghampiri untuk melaporkan bahwa empat kantong beras dan sekantong kopi lenyap. Kolonel juga memerintahkan semua yang lenyap itu diganti dan kemudian berlalu, kembali pikirannya diganggu tindakan desersi itu beserta akibat-akibatnya. Orang-orang yang melakukan desersi itu, menurut dia, tidak punya persediaan makanan yang cukup, baik jumlah maupun ragamnya. Namun mereka adalah orang-orang be?rani yang kiranya dapat menarik upeti di semua kampung yang dilalui dan mendapatkan makanan di semua sungai yang disusuri. Mereka punya senjata dan amunisi dan bisa menghadapi semua bahaya; mereka juga punya peralatan yang dapat menuntun perjalanan mereka. Karena itu kecil kemungkinan mereka binasa dalam hutan belantara Kalimantan.
"Ya," kata Kolonel dalam hati, "kami di sini punya tugas yang memaksa kaki dan pena bergerak, dan saya takut. Dengan kebiasaan menulis yang telah ada di Hindia ini, pena akan mengalahkan kaki. Tapi setan-setan malang itu!"
Sementara itu dokter meregangkan tubuhnya di atas kursi go?yang dan segera hanyut dalam lamunan. Ia menyesal orang-orang itu telah mengambil langkah putusasa; walaupun demikian ia tidak dapat sepenuhnya menyalahkan mereka. Ia amat mencemaskan alasan tindakan mereka, namun jika ia sendiri tidak terikat sumpah, kiranya ia akan memilih bergabung dan menjadi pembimbing serta penasihat mereka. Akan tetapi"ia termasuk anggota Klub Opsir Hindia-Belanda"ia telah bersumpah setia pada Raja Belanda dan tunduk pada rezim militer tentara Belanda.
Ia merasa dirinya terikat, benar-benar terikat dan tidak dapat melepaskan diri lagi, namun bagaimana ia telah diperlakukan"
Orang-orang Belanda itu mengatakan kepada dia bahwa ia dapat hidup dan menyisihkan gajinya dalam jumlah yang pantas; bahwa dalam lima tahun ia akan mengantongi tigaribu dollar, sehingga ia telah berharap dapat pulang dan mengawini kekasihnya yang ter?cinta, Clara. Sekarang" Penghasilannya, termasuk semuanya, tidak lebih daripada enampuluh dollar sebulan, jumlah yang hampir- hampir tidak cukup untuk menunjang hidupnya, sehingga keuntung?an tiga ribu dollar tinggal angin surga"hanya dalam khayalan. Ia ambil dari buku-sakunya potret seorang gadis muda dan menatapnya sampai airmatanya jatuh di pipi. Itulah potret Clara.
"Kamu letih menanti," dokter menghela napas. Langkah-langkah berat terdengar mendekat dari luar, dan dokter menyimpan kembali potret itu ke dalam buku-sakunya ketika Kolonel masuk ditemani oleh Temenggung"seorang Dayak yang berwajah dan berpenampilan menarik, dikenal sebagai Temenggung Nikodemus Jaya Negara.
"Silakan duduk, Temenggung," kata Kolonel, menunjuk satu kursi, "saya mau ambil cerutu dulu."
Tetapi Temenggung mendekati dokter, menundukkan kepalanya, mengulurkan tangan, dan menyatakan rasa hormatnya.
"Tabik, Tuan, saya harap Tuan ada baik."
Dokter bangkit dari posisinya yang nyaman, melangkah ke depan untuk mengulurkan tangan dan menjabat tangan Temenggung de?ngan bersahabat. Memanfaatkan waktu ketidakhadiran Kolonel, dokter berbisik kepada Temenggung, "Mereka harus diselamatkan, mereka tidak boleh jatuh ke tangan Belanda."
Temenggung menatap tajam dokter. Tetapi, terbiasa dengan pengkhianatan dan kepalsuan, kesan pertama orang Hindia Timur, bagaimanapun jujurnya dia, adalah tidak percaya. Ia curiga suatu jebakan sedang dipasang.
Karena itu Temenggung terkejut ketika mendengar kata-kata dokter itu.
"Kiranya itu sulit, Tuan. Kolonel bertekad mengambil tindakan keras dan saya,?"setelah ragu sejenak, ia melanjutkan?"saya harus patuh."
"Demi Mahatara! (Sebutan untuk dewa atau Tuhan bagi orang Dayak) Temenggung, selamatkan mereka, selamatkan mereka, saya mohon kepada Anda. Jika Anda merasa berutang budi kepada saya, jangan tolak permohonan saya. Mereka adalah teman- teman sebangsaku."
Dokter berdiri di hadapan orang Dayak itu dengan dua telapak tangan ditangkupkan dalam sikap memohon-mohon. Dokter men- daku Temenggung punya utang budi kepada dia, dan itu bukannya tidak disadari oleh Temenggung. Kembang, putri tertua dan kesayangan Temenggung, beberapa tahun silam digigit seekor ular yang amat berbisa. Si ayah mengirim orang-orangnya untuk mencari obat penawar ke seantero negeri, tetapi sewaktu mereka sedang mencari tanaman obat, dokter mengisap bisa itu dari luka, dan kemudian membakar luka itu dengan bara arang untuk mencegah infeksi. Perhatian dan kecepatannya bertindak telah menyelamatkan nyawa anak itu.
Ayah yang tahu berterimakasih itu kini ingat semua itu dan me?nyingkirkan kecurigaannya dengan menggenggam tangan dokter dan membisikkan sesuatu yang tak terdengar ketika Kolonel kembali dari ruangannya. Ia membawa sekotak penuh cerutu Manila yang masih harum dan diberikan kepada masing-masing tamunya. Ia kemudian menyalakan satu untuk dirinya sendiri dan kembali duduk di kursi sambil menyuruh Temenggung melanjutkan pembicaraan mengenai masalah para desertir itu.
"Dan tidak seorangpun di kampung mengetahui sesuatu tentang pelarian mereka?"
"Tidak, Tuan." "Aneh, sangat aneh. Tapi, Temenggung, mereka pasti telah memperoleh alat angkut, karena melarikan diri lewat jalan darat mustahil."
"Jika ada orang kehilangan jukung, (Sampan dari batang kayu utuh yang bisa memuat 3-4 orang. Dalam terjemahan ini kata jukung disebut berganti-ganti dengan sampan sebagaimana teks aslinya.
tak sangsi lagi pasti ia melaporkannya kepada saya. Selain itu, orang-orang kulit putih yang minggat dari garnisun akan menimbulkan keributan, sehingga pasti saya dengar."
Kolonel diam sejenak. Ia tampak sangsi. Akhirnya ia menerus?kan, "Temenggung, saya harus menangkap kembali orang-orang ini melulu agar menjadi peringatan agar tidak merembet di antara pasu?kan kami. Jika orang-orang celaka itu berada di tengah-tengah orang pribumi di pedalaman, mereka pasti akan diserang dan barangkali dibunuh."
"Benar, Tuan, itu pasti. Para pengayau tidak akan menyisakan mereka. Tapi apakah menurut Anda mereka telah mengambil risiko pergi ke pedalaman?"
"Pelarian mereka ke arah laut hampir mustahil," jawab Kolonel. "Dua kapal penjelajah ditempatkan di muara sungai, dan seluruh pan?tai selatan diblokade kapal-uap-kapal-uap. Seandainya saja mereka berhasil menembus kepungan itu, setelah itu mau apa" Apa mereka berani mengambil risiko berlayar di laut bebas dengan sampan yang tak memadai, lebih-lebih lagi pada musim sekarang ini, ketika angin barat berembus ganas" Itu sama saja dengan bunuhdiri. Dan setelah itu ke arah mana mereka pergi. Ke Jawa" Jika seandainya mereka berhasil mencapai pulau itu, mereka akan jatuh ke tangan polisi yang sangat awas. Tidak. Menurut teoriku, mereka telah pergi ke pedalaman. Mereka akan menghindari semua daerah yang ber- penduduk dan mencoba mencapai Sarawak."
"Apakah ke Sarawak juga tidak dapat menggunakan jalur laut?" "Ya, bisa saja, tapi mereka harus menghindari kapal-kapal pen?jelajah dan kapal-uap-kapal-uap yang memblokade. Jika benar mere?ka berhasil, segera setelah sampai di Tanjung Batu Titi mereka akan jatuh ke lintasan kapal-kapal kami yang berlayar antara Jawa Timur dan Singapura. Kemudian seandainya juga mereka mencapai Laut Cina Selatan yang terbuka, pada musim begini, ribuan bahaya masih tetap menghadang. Kesempatannya satu berbanding seratus: binasa atau ditangkap. Ya, mereka akan berusaha menuju ke Sarawak"tapi hanya dengan melewati jalan darat."
"Tapi itu adalah jalan yang panjang, Tuan," kata Temenggung, "dan ancaman bahaya tidak sedikit seperti Anda ketahui sendiri." "Saya tahu itu semua, Temenggung, tapi itu adalah bahaya-bahaya yang mereka harap dapat diatasi; percayalah padaku, mereka adalah orang-orang yang akan menghadapi apa saja dengan gagah-berani. Ayolah, jangan kita tunda-tunda lagi. Tiap detik sangat berharga. Kembali ke daerahmu dan panggil segera para kepala kampung terdekat. Suruh mereka mengumpulkan sekitar 50 orang, yang diberi bekal untuk beberapa hari. Mereka harus bersenjata lengkap dan siap berangkat dalam waktu dua jam. Saya akan datang untuk memeriksa
dan memberikan perintah lebih lanjut."
"Tapi, Tuan, apakah mereka akan mudah ditangkap?"
"Saya sangsi, dan karena itulah saya perintahkan senjata dibawa. Saya ingin mereka ditangkap hidup-hidup dan tanpa cedera. Tapi jika mereka mempertahankan diri dan menggunakan senjata, maka?" Kolonel ragu, ia tahu ke arah mana tekanan kata-kata itu.
Dokter berdiri pucat dan tangannya mengepal. Setelah beberapa saat terdiam Kolonel melanjutkan dengan suara keras:
"Jika mereka menggunakan senjata, Anda diperbolehkan meng?gunakan senjata pula. Suruh salah seorang kepala Anda yang amat berpengaruh, seperti Dambung Papundeh, memimpin ekspedisi ini. Suruh ia segera kemari untuk menerima perintah."
Kolonel berbicara tegas seperti lazimnya seorang komandan. Semangatnya tampak memengaruhi Temenggung, yang segera bangkit untuk pergi. Tetapi melihat dokter yang wajahnya pucat dan kecewa, ia berhenti. Ia betulkan sarungnya, seakan-akan ikatan kain itu menyakiti dia, dan kembali duduk.
"Atas perkenan Anda, Tuan," ia berkata dengan tenang tetapi tegas, "pengejaran itu tidak dapat dilakukan, sudah sangat terlambat, dan perintah-perintah Anda akan menimbulkan keresahan besar di dalam kampung."
"Wah! Memangnya apa yang bakal terjadi?"
"Para perempuan dan anak-anak akan ketakutan, dan tujuan ekspedisi ini mungkin disalahartikan. Anda tahu, Tuan, kendati Anda berupaya mendamaikan penduduk, kita tidak dapat memercayai sebagian besar mereka. Selain itu sedang beredar kabar burung. Saya katakan kemarin bahwa rangkan-rangkan(Sampan dari batang pohon besar utuh) yang penuh dengan para pengayau dari Dusun(Nama lama daerah yang termasuk Kabupaten Barito Hulu sekarang) telah terlihat di sekitar kami. Saya tidak bilang bahwa saya memercayai laporan-laporan ini, tetapi berita-berita itu boleh jadi benar adanya, karena beberapa keluarga telah meninggalkan rumah mereka tadi malam dan berlindung di hutan- hutan."
"Tapi, Temenggung," sela Kolonel.
"Percayalah kepada saya, Tuan," kata Temenggung meyakinkan. "Percayalah kepada saya. Anda tahu bahwa saya adalah seorang hamba Belanda yang setia. Tujuan ekspedisi malam ini akan disalahartikan oleh penduduk. Mereka akan ketakutan, terutama bagi keluarga- keluarga yang anggotanya dikirim untuk tugas ini. Selain itu, ke mana mereka harus pergi" Anda bilang para buronan tidak lari ke arah laut. Maafkan saya, maaf beribu maaf jika saya katakan saya tidak sependapat dengan Anda. Tapi seandainya dapat dibuktikan bahwa mereka telah pergi ke pedalaman, saya tetap mengulangi pertanyaan saya, Ke arah mana orang-orang Dayakku akan pergi?" Pulau Kalimantan ini amat luas. Siapa yang akan memimpin mereka ke jalur yang benar dalam kegelapan ini?"
"Lalu apa yang harus dilakukan?" tanya Kolonel tidak sabar.
"Menunggu," jawaban yang dingin. "Besok pagi saya akan tahu bagaimana serdadu-serdadu Anda itu melarikan diri, dan saya jamin saya akan segera dapat mengejar mereka. Mereka tidak dapat keluar distrik ini tanpa pengawasan. Sebaliknya, jika sekarang, dalam ma?lam gelap dan adanya laporan-laporan jahat dari luar, Anda hanya akan menimbulkan ketakutan dengan mengambil tindakan apapun. Besok, ketika matahari menerangi langit, saya lebih leluasa ber?tindak. Penduduk akan lebih jelas memahami tujuan ekspedisi kita, dan semua kecemasan akan sirna. Dengan demikian saya akan lebih mudah mendapatkan sejumlah sukarelawan untuk menjalankan tugas ini. Saya juga akan memimpin sendiri ekspedisi ini, jika Anda mengizinkan, dan kiranya saya tidak dapat mulai bertindak malam ini."
Kolonel merenung beberapa saat. Ruangan membisu, hanya suara napas kelegaan dokter yang terdengar. Sejurus kemudian Kolonel sampai pada satu keputusan.
"Anda benar, Temenggung, benar sekali, dan saya berterimakasih atas saran Anda. Kendati demikian, saya tentunya lebih suka mulai melakukan pencarian malam ini, karena semakin cepat orang-orang malang itu jatuh ke tanganku, semakin berkurang penderitaan me?reka. Mereka harus membayar cukup mahal ekskursi ini; barangkali
mereka harus menebusnya dengan nyawa."
"Benar, Tuan. Hanya Hatallah11 yang tahu seberapa mahalnya," kata Temenggung takzim.
"Baiklah," kata Kolonel, "kalau begitu sampai besok. Saya me?nunggu berita pagi-pagi sekali. Tapi tunggu, lebih baik saya datang sendiri menemui Anda untuk menghemat waktu. Saya akan menemui Anda sebelum fajar, Temenggung. Sekarang saya perintahkan Anda untuk kembali," sambil mengatakan demikian Kolonel meninggalkan ruangan.
Dokter, ditinggalkan bersama Temenggung, buru-buru meng?hampiri dan memegang tangan Temenggung. "Mereka baru berangkat enam jam lagi," katanya dengan emosi.
"Tidak terlalu banyak," kata orang Dayak itu.
"Cukup, kita harap. Wah, bagaimana saya harus berterima- kasih"!"
Kolonel masuk kembali saat itu dan percakapan rahasia mereka tersela.
Setelah Temenggung pergi, dua sahabat itu tinggal bersama untuk menghabiskan botol yang telah dibuka.
"Urusan yang samasekali tidak menyenangkan," Kolonel berucap, "sangat tidak menyenangkan bagi orang-orang malang itu, tapi juga tidak kurang-kurangnya buat saya sendiri. Selain berbagai bahaya yang muncul dalam pengejaran terhadap mereka, saya harus menanggung teguran keras dari markas besar. Anda tahu, para atasan kita selalu memojokkan kita dalam urusan semacam ini. Tiap kali Pemerintah Belanda mendapat kesulitan, naluri dasar mereka yang berkuasa adalah mencari kambing-hitam."
"Tetapi Panglima Perang kita bukan orang semacam itu."
"Oh, saya tidak takut kepada dia. Yang menakutkan datang dari sumber-sumber yang lebih tinggi lagi. Dari Batavia akan dikirimkan laporan kepada kementerian peperangan di Den Haag, bahwa karena kecerobohan seorang kolonel empat serdadu Eropa telah melarikan diri"dalam masa perang. Mereka akan menambahkan dengan hati-hati, "Kolonel ditegur keras". Kemudian para petinggi di Den Haag akan puas karena tak seorangpun dari mereka yang memikul tanggungjawab. "
"Tidak bertanggungjawab," kata dokter penuh perasaan, "tidak bertanggungjawab. Lalu mengapa seluruh kesalahan Den Haag dalam...."
"Sst, sst; jangan bicara politik, saya mohon," kata Kolonel. "Bah?kan seandainyapun Anda benar, Anda salah; itulah pengalaman saya dalam hidup ini. Ayolah, sudah larut; mari kita istirahat, hari akan mulai awal sekali untuk kita besok."
Mereka bersalaman dan dokter meninggalkan ruangan untuk pergi tidur, tetapi Kolonel, sebelum tidur, sekali lagi berkeliling untuk mastikan bahwa semuanya aman-aman saja.
Untuk beberapa saat ia berhenti di benteng bagian selatan. Benteng ini membawahi seluruh perairan yang terbentuk dari pertemuan Sungai Pulau Petak dan Sungai Kapuas-Murung, kira-kira seribu duaratus yard lebarnya dari benteng itu. Malam sangat indah; bintang-bintang memancar di langit biru gelap dan terpantul indah di air. Pepohonan yang membatasi tepi-tepi sungai berdiri tegak perkasa melatari cakrawala yang gelap. Di tepi timur Sungai Pulau Petak bentuk rumah-rumah orang Dayak dapat terlihat di antara tanaman perdu, dan di sana-sini sinar lampu memancar di antara pepohonan dan semak-belukar.
Kesunyian menguasai sekitar, hanya dipecahkan gonggongan anjing di kejauhan dan desir air sungai yang mengalir.
Ketika Kolonel berdiri sambil bersandar di dinding benteng dan memandang panorama yang indah ini, tiba-tiba suara titih ter?dengar. Titih adalah lonceng kematian bagi orang Dayak. Suara itu ditimbulkan oleh serangkaian pukulan pada empat baskom logam dengan ukuran berbeda. Pukulan lonceng pertama dilakukan jika ada yang meninggal; pukulan kedua ketika mayat dimasukkan ke dalam keranda; pukulan ketiga ketika mayat dibawa ke kuburan, dan pukulan perpisahan dilakukan ketika kuburan ditutup. Titih dipukul bertalu-talu selama upacara penguburan berlangsung, tetapi kadang- kadang ada jeda empat atau lima menit di antara suara-suara itu, seperti bunyi lonceng kematian pada umumnya. Pukulan lonceng kematian itu mula-mula lembut tetapi kemudian diselingi suara keras tiap dua menit, dan gema suara ting, ting, tong sepanjang sungai-sungai besar Kalimantan terdengar sangat memilukan dan menimbulkan rasa duka.
Kolonel memasang kedua telinganya baik-baik ke arah suara lon?
ceng pertama dan mencoba mengingat apakah ada seseorang yang telah mati di kampung; tetapi pikirannya segera kembali teruju pada para desertir. Ketika suara titih ditabuh bertalu-talu tanpa ada jeda, ia tahu pemakaman sedang berlangsung, dan ini menimbulkan rasa penasaran. Bukan karena orang Dayak jarang menguburkan mayat pada malam hari, tetapi karena Kolonel baru-baru ini meminta penduduk pribumi untuk tidak melakukan pemakaman pada malam hari selama masa perang, kecuali jika memang tidak dapat dihin?darkan. Permintaan itu, atau lebih tepat perintah, selama ini dipatuhi, tetapi sekarang, sekarang"ini sangat aneh!
"Aha! Saya tahu," katanya dalam hati, "saya tahu. Temenggung memberitahu saya kemarin ada dua korban kolera. Salah seorang korban barangkali sudah meninggal; mereka benar untuk segera menyingkirkan mayat tanpa ditunda-tunda."
Tidak berapa lama kemudian dua sampan terlihat turun mudik dari arah kampung, berhiaskan kain kasar dan diterangi obor. Ketika sampan-sampan itu mendekat, nyanyian pujian para bilian(Pendeta atau penari perempuan Dayak) dapat dibeda-bedakan, diiringi genderang-genderang kecil yang suaranya tertahan. Nyanyian duka mereka terdengar melintas sungai.
"Terbanglah jiwa yang terpisah, melayang di atas awan. Ter?banglah jiwa yang meninggal, mengambang di atas air."
Semua sesuai aturan yang lazim. Nyanyian dan pukulan gen?derang berasal dari sampan pertama. Segera diikuti dengan sampan lain di belakang yang berisi keranda. Untuk menjaga keadaan darurat, Kolonel memanggil para penjaga dan menempatkan mereka di kubu di mana ia berada. Ia juga memerintahkan seorang bintara untuk mengawasi sampan-sampan yang mendekat dan menggandakan penjagaan. Seruannya, "Siapa itu?" dijawab dan perintahnya untuk mendarat dipatuhi. Kolonel memeriksa sampan pertama, menyapa para bilian, dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Ia juga tidak menemukan sesuatu yang aneh di sampan kedua. Bau khas korban kolera memaksa dia mempersingkat pemeriksaan. Sampan- sampan meninggalkan dermaga dan segera benteng itu berada di belakang. Kolonel mengikuti sampan-sampan itu dengan matanya selama beberapa lama dan hanyut dalam lamunan ketika tiba-tiba satu kepala terlihat nongol dari bawah atap sampan kedua dan terdengar teriakan:
"Enfoncez les Hollandes"les tetes de fromage!"(Tenggelamkan Belanda Goblok)
Kolonel tersentak sadar atas peristiwa yang terjadi"para desertir itu bersembunyi di dalam iringan pemakaman. Ia berteriak keras ke arah para pengayuh.
"Berhenti! Kembali! Kembali cepat!"
Terdengar lagi ejekan menghina; kali ini diikuti dengan satu tembakan yang melukai seorang serdadu Jawa. Kolonel memerin?tahkan meriam empat inci diarahkan ke sampan-sampan itu, mem?bidiknya sendiri pada elevasi yang tepat dan menembak; tetapi malam terlalu gelap dan tidak ada sasaran yang tepat. Tembakan itu menghantam air di bagian belakang sampan kedua, memantul dan menembus atap sampan pertama, dan ketika jatuh ke air timbul riak besar sehingga hampir membalikkan kedua sampan itu. Tembakan meriam itu diikuti dengan tembakan senapan dari arah benteng dan menewaskan dua orang pengayuh sampan. Akan tetapi arus menyeret kedua sampan itu dengan cepat, dan sebelum para serdadu sempat mengisi kembali peluru mereka, kedua sampan itu lenyap dalam gulita malam.
"Tembakan itu telah mengenai mereka," kata dokter, yang telah meninggalkan tempat tidurnya untuk melihat penyebab kegaduhan. "Saya mendengar jeritan khas dari sampan-sampan itu."
"Ya," jawab Kolonel, "tembakan itu telah mengenai mereka, tapi itu hanya bagian awal permainan. Saya seharusnya tidak membiarkan diri berlama-lama berbicara dengan Temenggung dan menunda pengejaran sampai besok. Apa yang baru saja terjadi seharusnya bisa dicegah. Sudahkah Anda memeriksa luka Truno Semito?"
"Sudah, hanya lecet saja."
"Baiklah, mari kita istirahat. Saya tahu persis ke arah mana para desertir itu pergi. Pagi-pagi sekali kita akan mulai mengadakan pengejaran." Kedua orang itu bersalaman dan segera kesunyian menguasai benteng itu diselingi langkah-langkah penjaga seperti biasanya.
Bab 2 SEKARANG perlu dijelaskan bagaimana para desertir itu berada da?lam iringan pemakaman itu dan juga bagaimana rencana pelarian mereka dirancang dan disempurnakan. Untuk itu kita harus mundur beberapa hari sebelumnya dan mengambil tempat di barak benteng Kuala Kapuas. Menjelang tengah malam sebagian besar serdadu telah terlelap dan keheningan menyelimuti. Tidak, tidak betul-betul hening; di salah satu pojok yang jauh terdengar percakapan lirih sehingga opsir jaga menegur.
"Diam yang di pojok itu! Apa yang kalian cakapkan larut malam begini! Apa hari tidak cukup panjang untuk bergosip?"
Teguran tajam itu merupakan peringatan supaya yang berbisik- bisik diam, tetapi itu tidak lama. Ketika keheningan kembali menyelimuti, diselingi suara dengkur mereka yang tidur, bisik-bisik itu terdengar lagi dari pojokan gelap yang sama, yang tadi ditegur oleh kopral penjaga.
Schlickeisen dan Wienersdorf melanjutkan lagi percakapan me?reka yang terhenti dengan napas tertahan.
"Aku ulangi," kata yang pertama, "Aku sudah tak kuat lagi me?nanggung hidup ini!"
"Hush!" bisik kawannya. "Jangan kemrungsung. Kita tidak boleh tergesa-gesa, jadi harus sabar."
"Hanya itu yang dapat kamu katakan. Sabar! Sudah dua bulan kita di sini, tapi apa yang sudah kita dapat?"
"Lalu kamu mau apa" Orang tidak dapat memutuskan besi dengan tangan kosong. Kamu tahu, rencana kita ini taruhannya leher kita."
"Memang betul. Tetapi jika keadaan masih seperti ini, aku berniat terjun ke sungai saja."
"Itu berarti menjadi mangsa buaya; namun jika akhirnya sama- sama mati, itu merupakan cara yang buruk untuk memperoleh ke?merdekaan, kecuali jika kamu menganggap kematian sebagai satu- satunya pembebas yang ada."
"Ya, aku lebih baik mati daripada terpenjara seperti ini."
"Tapi "mati adalah mati". Harus kuakui bahwa aku lebih suka...." Schlickeisen tidak sempat melanjutkan kalimatnya. Seseorang me?rayap di antara kolong tempat tidur mereka tanpa diketahui. Dua tangan ditekankan di bahu mereka, seolah memaksa mereka untuk diam. Lalu suara dalam nada yang paling lembut dibisikkan:
"Jangan bicara keras-keras; kalian tidak tahu bahwa Kopral Dun- kelhof telah memasang kupingnya selama seperempat jam terakhir ini. Jika ia kebetulan mencuri dengar apa yang kalian bicarakan, tentu kalian dilaporkan esok pagi."
"Untukku," gumam Wienersdorf, "ia boleh mendengarkan semua yang telah kukatakan."
"Kamu boleh katakan itu pada adik perempuanmu, tapi jangan padaku," kata si pengunjung, masih berbisik. "Seandainya Kolonel mendengar sepersepuluh saja apa yang kamu katakan, tentu kalian berdua sudah dibui sebelum matahari terbit. Kolonel kita tidak pernah main-main."
"Oho! Jangan terlalu cepat. Siapa kamu" Orang yang mencuri de?ngar tidak pernah dapat dipercaya," kata Schlickeisen mengancam, meskipun dengan suara direndahkan.
"Jangan khawatir. Aku tidak akan mengkhianati kalian. Tidak penting siapa aku. Tapi lihat bagaimana kopral itu membuka lebar- lebar kedua kupingnya."
Dan benar saja, muncul suara bernada perintah, "Diam yang di pojok itu. Aku tidak akan bicara lagi. Mereka yang tidak mau dengar akan tahu rasa."
Wienersdorf dan Schlickeisen menahan napas dan mengunci mulut beberapa saat. Tiba-tiba pengunjung mereka yang misterius itu membungkuk ke arah mereka dan berbisik nyaris tak terdengar: "Datanglah ke pondok Yohanes besok pagi setelah sarapan." Tubuhnya menghilang di kolong tempat-tempat tidur dan segera lenyap dalam kegelapan.
Kedua orang Swiss itu bungkam cukup lama. Ketika mereka yakin kopral itu telah terlelap, Wienersdorf bertanya kepada temannya
dengan berbisik: "Siapa orang itu?"
"Barangkali Yohanes sendiri."
"Kulitnya coklat dan bagian atas tubuhnya telanjang."
"Bisa kita memercayainya?"
"Siapa yang tahu" Sebaiknya kita menemuinya besok pagi dan mendengarkan apa yang hendak dikatakannya."
"Hush, hati-hati!; Dunkelhof itu seorang mata-mata."
Mereka menyuruk ke dalam selimut masing-masing dan segera mendengkur.
Esok paginya, setelah mengambil sop dari dapur, mereka pergi ke pondok Yohanes. Mereka lihat orang itu sedang berdiri di depan pintu. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Yohanes bergerak dari pintu seakan-akan mengundang mereka masuk. Mereka pun masuk, meletakkan mangkuk sop di lantai, dan duduk di bangku.
Di atas meja di hadapan mereka telah terhidang beragam ma?kanan yang disajikan oleh Yohanes. Selain ransum sop dari dapur barak, ada nasi putih yang ditanak baik, piring-piring berisi sambal ikan dan sayuran, dikitari beberapa lepek berisi oseng-oseng lombok campur udang yang digerus. Juga ada piring-piring berisi dendeng rusa dan telur ikan campur daging bakar. Daging bebek utuh, yang berenang di atas sambal yang mengundang selera, menyempurnakan semua hidangan yang ramai itu.
"Kamu itu Lucullus," Schlickeisen memulai.
"Binatang macam apa itu," tuntut Yohanes.
"Samasekali bukan binatang, melainkan jago makan enak bangsa Romawi, orang yang bagaimanapun juga tidak dapat dibandingkan dengan kamu."
"Udah, ledek saja aku jika kamu suka, tapi duduk dan makanlah. Kita bisa bicara sesudah itu. Aku selalu merasa pikiranku lebih terang jika aku puas melayani hasrat perutku."
Orang-orang Swiss itu tidak perlu lagi menunggu undangan kedua. Mereka sudah terbenam dan menikmati hidangan sepuas hati. Tidak sepatah katapun keluar selama mereka bersantap. Tidak ada yang terdengar kecuali bunyi decap bibir dan denting pisau dan garpu.
Ketika tulang terakhir habis dan peserta pesta itu melap jari- jemari mereka yang berlemak, Yohanes menyodorkan sebungkus
tembakau. Setelah semua mengisi pipa masing-masing, Yohanes memulai:
"Sekarang katakan rencana kalian; kalian bermaksud minggat, bukan?"
Schlickeisen dan Wienersdorf saling pandang penuh tanda tanya.
"Kita sangat aman di sini," lanjut Yohanes. "Tak seorangpun bisa menguping kita. Bilang saja kalian mau minggat. Ke mana" Barangkali aku dapat membantu."
Kedua orang Swiss itu saling pandang bergantian menyelidik. Setelah beberapa saat Wienersdorf berkata:
"Ya, benar; kami telah membicarakan rencana untuk minggat, tapi jauh panggang dari api antara omongan dan tindakan."
"Aku rasa juga begitu. Tapi katakan rencana kalian."
"Oh, kamu belum bisa menyebut pembicaraan itu sebagai ren?cana. Kami belum cukup lama tinggal di sini untuk mengetahui ne?geri ini, dan tanpa pengetahuan itu tidak ada upaya yang mungkin dilakukan."
"Kamu bicara," kata Yohanes, "seperti orang terpelajar. Tapi jika kamu menunggu mendapatkan informasi yang dibutuhkan, mungkin kamu sudah terlalu tua untuk minggat. Bukankah semalam aku mendengar kamu menyebutkan perahu orang Cina?"
"Ya; kami diberi tahu bahwa perahu semacam itu berkunjung kemari tiap tahun dan kami berencana menyuap kaptennya untuk menyembunyikan kami di perahu dan membawa kami ke Cina." "Hebat! Kalian punya uang?"
"Kami punya kira-kira 400 florin."(Florin = Gulden)
"O ya"! Kalian tahu apa yang akan terjadi" Orang Cina itu dengan enteng mengantongi 400 florin kalian. Ia tentu saja akan menerima dan menyembunyikan kalian di perahunya. Tapi sebelum meninggalkan Kuala Kapuas ia akan menyurati Kolonel, yang dengan segera akan mengirim kapal penjelajah untuk mengejar kalian. Perahu kalian akan diseret, kalian ditangkap, dan permainan pun berakhir." "Tapi mengapa kapten berbuat seperti itu."
"Untuk mengantongi 400 florin kalian. Barangkali juga untuk mencari muka di hadapan Kolonel, sehingga ia bisa menjual lebih banyak lagi barang dagangannya. Tidak, tidak, kalian jangan bermim?pi melarikan diri dengan cara demikian. Dengarkan aku. Aku juga telah memutuskan untuk lari dan telah memikirkannya lama sekali, sehingga boleh kubilang rencanaku lebih matang. Hanya saja aku tidak mau melakukannya sendiri. La Cueille akan ikut, tapi ia sendiri tidak cukup. Bantuan sejumlah kekuatan bersenjata, itu yang sangat kuperlukan. Sekarang apa pendapat kalian?"
"La Cueille pemabuk berat. Apakah dia orang yang layak di?percaya?"
"Tak ada gading yang tak retak. Ia punya kemauan keras dan tidak ada yang ditakutinya. Selain itu, kami bermaksud membawa sedikit saja minuman keras dan akan kuawasi sendiri. Aku yakin ia teman terbaik di dunia selama ia tidak mabuk."
"Tapi," kata Wienersdorf, "apakah kami tidak perlu tahu renca?namu" Apa alasannya kamu memperhitungkan kami?"
"Itu sangat mudah dimengerti. Aku perhatikan kalian berdua suka menyendiri. Kalian berdua selalu berbisik-bisik di pojok dan mulut kalian tidak pernah diam, bahkan pada malam hari sekalipun. Aku putuskan untuk mengetahui apa yang tengah terjadi dan aku berhasil. Aku dengar kalian bicara soal melarikan diri dan aku amat gembira, karena aku mendapatkan apa yang kuharapkan"sepasang teman perkasa yang seperti aku sendiri sudah tak tahan untuk minggat. Sekarang apa kalian puas dengan penjelasanku?"
"Sangat; sekarang ceritakan apa rencanamu."
Tiga komplotan itu mengisi kembali pipa masing-masing dan saling mendekat. Yohanes kemudian membeberkan cerita secara lengkap, bukan hanya rencananya tetapi juga alat-alat yang telah dia siapkan untuk menjamin suksesnya desersi itu.
Pada suatu malam, ketika Yohanes bertugas jaga di luar benteng, Baba Pucieng datang menjumpainya dan menyodorkan sebungkus cerutu. Orang Cina itu memulai percakapan dengan menceritakan kepada Yohanes bahwa di anaksungai terdekat tertambat secara tersembunyi rangkannya, yang memuat sejumlah besar opium yang hendak diselundupkan. Ia berhasil menghindari kapal-kapal pen?jelajah dan para penjaga pantai serta membawa rangkannya itu ke hulu sungai. Kini sampailah dia pada bagian tersulit percobaan penyelundupan itu"melewati benteng; dan untuk itulah Baba Pucieng berharap sobatnya Yohanes sudi membantu dia. Orang Cina
yang licik itu dengan sangat hati-hati menyembunyikan fakta bahwa rangkannya itu sebenarnya bermuatan amunisi dan garam, dua kebu?tuhan pokok pemberontak Banjar. Ia menyodorkan beberapa dollar Spanyol (rix dollar) ke tangan Yohanes, yang akan mengatur bersama Baba Pucieng bahwa Yohanes akan berada di pos yang sama lagi pada malam berikutnya dan membiarkan Baba Pucieng lewat. Yohanes meminta dan memperoleh sejumlah opium, yang akan digunakan di kemudian hari dalam melaksanakan rencanannya. Dengan opium itu ia akan membuat mabuk teman-temannya penjaga, sehingga me?mungkinkan orang Cina itu menyelundupkan barang-barangnya. Dengan utang budi ini, orang Cina itu berada di bawah kekuasaan Yohanes, dan Yohanes tidak ragu-ragu lagi membeberkan rencananya untuk minggat dan menuntut bantuan dan kerjasama orang Cina itu. Baba Pucieng setuju menyiapkan satu sampan yang baik, yang akan diawaki oleh tiga orang Dayak. Yohanes kemudian menyiapkan beberapa bungkus barang kepunyaannya dan pakaian La Cueille, yang diberikan kepada Baba Pucieng untuk dibawa ke sampan. Waktu yang ditetapkan untuk melarikan diri adalah pergantian bulan, ketika gelap dibutuhkan untuk menjamin keberhasilan. Karena sekarang bulan purnama, mereka punya waktu empatbelas hari lagi untuk membuat berbagai persiapan terakhir.
"Nah," kata Yohanes, "apa pendapat kalian?"
"Kami pikir itu rencana yang amat bagus," kata Schlickeisen.
"Kamu pantas mendapat penghargaan," tambah Wienersdorf. "Tapi aku khawatir masih banyak kesulitan yang harus diatasi. Tidak sangsi lagi kita akan berhasil minggat; benteng ini bukanlah puri magis"tapi seandainya kita berhasil minggat, pertanyaannya adalah ke mana kita pergi?"
"Ke mana" Menghilir sungai"ke arah laut"itulah jalannya. Sekali di laut, kita arahkan perjalanan ke barat, berlayar menyusuri pantai untuk menghindari kapal-kapal penjelajah. Pada siang hari kita sembunyikan sampan di anaksungai-anaksungai yang bertebaran di pantai selatan, tapi pada malam hari kita mendayung secepat mungkin. Ketika kita sampai di Tanjung Batu Titi, bagian baratdaya Kalimantan, arah kita akan ditentukan oleh keadaan cuaca. Jika semuanya berjalan lancar, kita mengarah ke Pulau Biliton di seberang Selat Gaspar, dan menyusuri jalur utara Bangka hingga akhirnya mencapai Pantai Sumatra. Begitu kita sampai di sana, usaha kita
Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terberat sudah selesai. Kita akan menjelajah di bawah naungan hutan-hutan lebat sampai kita tiba di Tanjung Baso. Dari sana, dengan keberuntungan, kita lari dengan aman di antara pulau-pulau Kepulauan Riau dan sampailah di Singapura."
"Harus kuakui tampaknya kamu banyak tahu. Dari mana kamu tahu semua hal sekecil ini; dari Baba Pucieng?"
"Tidak, tidak. Pengetahuanku tentang geografi dan topografi berasal dari sekolah militer di Kedung Kebo, tempat aku menempuh pendidikan."
"Tapi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai di Singapura?"
"Paling sedikit tiga atau empat minggu; tapi ingat, peristiwa sial kecil saja dapat menggagalkan seluruh perhitungan."
Gemetar seperti kedinginan menyerang kedua orang Swiss itu, dan mereka berseru serempak, "Empat minggu di samudra dalam kulit kacang!"
"Maaf; berada di Laut Jawa di musim seperti sekarang ini tidak begitu menakutkan. Tetapi terserah kalian, bergabung atau tetap tinggal di sini."
"Oh, tidak!" adalah jawaban ketika kedua orang Swiss itu meng?ulurkan tangan mereka. "Tentu saja kami bergabung dengan kamu, meskipun perjalanan ini akan menuju ke neraka."
Setelah meneguhkan ikrar atas persekutuan mereka, ketiga saha?bat itu berpisah, dan untuk mencegah kecurigaan mereka kembali ke benteng dengan menempuh rute yang berbeda.
Kini serangkaian persiapan mulai dilakukan secara terpisah, te?tapi semua ditujukan demi menyempurnakan rencana mereka. Apa saja yang diperoleh, yang sekiranya berguna dalam pelayaran mereka, dibawa ke pondok Yohanes dan disembunyikan di situ. Demikianlah, mereka bersama-sama berusaha memperoleh bekal makanan dan serbuk mesiu tanpa banyak kesulitan. Walaupun demikian, apa yang menuntut kecerdikan adalah memperoleh persediaan peluru sena?pan. Ini dilakukan dalam latihan menembak dengan cara menyelun?dupkan selongsong peluru. Tentu saja sewaktu tembakan mereka dinyatakan luncas, rekan-rekan mereka tertawa dan mengejek, tetapi mereka sedapat mungkin pura-pura bego dan segera menyimpan peluru aslinya. Persediaan makanan hewani juga mendapat tambahan penting yang tidak terduga. Garnisun menyelenggarakan pesta
menangkap ikan menurut cara orang Dayak. Mereka membendung anaksungai-anaksungai dengan semacam tikar bambu selama ber?langsung pasang naik, yang mengikuti bulan purnama. Ketika pasang surut terjadi, dasar anaksungai yang dangkal penuh dengan ikan, yang mereka ciduk dengan bakul. Yohanes membeli sebagian besar tangkapan ini dengan harga cukup tinggi sehingga menarik per?hatian Kolonel. Ketika ditanya oleh Kolonel, Yohanes menjelaskan bahwa ia bermaksud mengeringkan ikan-ikan itu untuk dijual, dan ia telah menawarkannya kepada Baba Pucieng dengan keuntungan yang lumayan. Spekulasi pura-pura ini juga punya tujuan lain, yakni memungkinkan Baba Pucieng mendatangi pondok Yohanes dan membawa semua ikan tanpa menimbulkan kecurigaan. Pembersih?an dan pengeringan ikan dikerjakan oleh Yohanes dengan bantuan La Cueille, yang telah diakui sepenuhnya sebagai salah seorang seku?tu oleh Wienersdorf dan Schlickeisen. Mereka dengan sangat hati- hati mengingatkan orang Walloon itu, yang penaik darah, terhadap bahaya mabuk, dan mereka memaksa La Cueille berjanji untuk tidak mencicipi jenewer sampai paling tidak ketika mereka telah memulai perjalanan.
"Aku berjanji dengan teguh," kata La Cueille, "tidak menyentuh minuman itu setetespun."
"Amin," jawab Yohanes.
"Kamu berniat tetap menepati janji ini?" Wienersdorf bertanya.
"Atas nama Lady of Scherpenheuvel(Bunda Maria) yang suci," jawab si Walloon.
"Sekarang kami bisa menyambutmu dalam ikatan persauda?raan kita. Tiap orang dari kita harus berbuat sebaik-baiknya demi menjamin keberhasilan pelarian kita. Moto kita harus tiap orang untuk semua orang. Oh, ya, Yohanes, bagaimana dengan keadaan persediaan bahan makanan kita?"
Yohanes menjelaskan kepada Wienersdorf bahwa telah tersedia pada Baba Pucieng lima karung beras, masing-masing beratnya 125 pon.
"Tapi tentu saja kita tidak hanya hidup dengan beras, kan?" tanya Schlickeisen.
"Tentu saja tidak," jawab Yohanes. "Untuk apa aku keringkan ikan" Orang Cina itu menyiapkan untuk kita garam, lada, dan bumbu kari. Kita juga akan punya sebarel daging sapi dan babi asin. Tapi jangan sekali-kali membayangkan kita akan berpesta seperti di meja makan ibumu. Itu sekadar cukup agar kita tidak mati kelaparan. Apa yang paling mengkhawatirkan aku adalah air minum. Misalkan saja tiap orang butuh tiga pint (Pint: Ukuran sekitar 0,568 liter di Inggris; di Amerika Serikat sekitar 0,473 liter) air tiap hari, berarti untuk pelayaran sebulan butuh delapanpuluh galon atau delapan barel per 10 galon. Ini memakan banyak tempat dan membuat kita sangat tidak nyaman." "Maksudmu kita mengangkut air untuk seluruh pelayaran?"
"Ya, itu rencana terbaik, tapi aku khawatir itu tidak praktis. Karena itu aku usulkan membawa hanya dua barel saja."
"Itu terlalu sedikit," kata Schlickeisen; "itu hanya setengah pint per hari."
"Dengar. Selama masih di Sungai Dayak Kecil (Sungai Dayak Kecil disebut juga Sungai Kapuas-Murung (sekarang termasuk wi?layah Provinsi Kalimantan Tengah). kita tidak perlu menyentuh persediaan air kita. Juga tidak kita perlukan ketika kita masih berada di pantai Kalimantan. Kita harus mencari perlindungan pada siang hari untuk menghindari kapal penjelajah. Tidak ada satu negeri di dunia ini yang punya begitu banyak sungai terbuka menuju ke laut seperti yang akan kalian saksikan di bagian selatan Kalimantan. Beberapa sungai itu sanggup menyediakan bekal air untuk kita. Kita harus berhati-hati menyeberang Biliton, karena di sana laut terbuka. Yang sedikit lebih baik adalah pantai utara Bangka, tapi tempat kita mendapatkan air yang berlimpah adalah di pantai timur Sumatra. Aliran Sungai Reteh dan Sungai Indragiri akan memuaskan dahaga kita."
"Kamu dilahirkan sebagai ahli geografi," kata Wienersdorf, "dan aku angkat topi untuk menghormati pengetahuanmu."
"Apa maksudmu dengan mengangkat topi" Aku hanya melihat topi tentara serdadu yang lusuh."
"Baiklah, kita bilang angkat tutup kepala kita; tapi sungguh, pen?jelasanmu sangat bagus sehingga aku ingin kamu meneruskannya." "Baiklah," kata Yohanes, "Aku tahu kamu suka sekali bertanya seperti monyet. Tapi apa yang kamu ingin tahu?"
"Berapa lama pelayaran dari Kalimantan ke Sumatra?"
"Jika angin muson tenggara berlanjut terus sampai kita di Bangka, dapat dihitung kecepatan kita adalah duapuluh mil per hari; tapi itu harapan yang terlalu muluk. Maka kita bilang saja limabelas mil per hari. Jadi pelayaran, kecuali ada musibah, makan waktu tujuh hari." Dalam percakapan semacam itu, hari-hari penantian yang menjemukan berlalu. Pada hari kedua bulan baru Baba Pucieng tiba di benteng. Ia berpura-pura bahwa kunjungannya itu untuk mengam?bil ikan kering terakhir sesuai perjanjiannya dengan Yohanes, tetapi tujuan sebenarnya adalah mengurus persiapan pelarian untuk ter?akhir kalinya dan menetapkan saat bertolak. Waktunya tepat sekali. Seorang pribumi meninggal karena kolera dan tidak seorangpun be?rani menguburkannya kecuali tiga orang Dayak yang akan menemani para desertir. Air pasang akan terus naik sampai setengah sebelas malam, dan dengan segera akan disusul dengan air surut. Karena itu, semua kesempatan menguntungkan mereka. Ketika malam turun keempat sekutu itu merangkak ke dalam pondok Yohanes, tempat mereka bersembunyi sampai hari cukup gelap. Kemudian mereka mengendap-endap seorang demi seorang sambil berlindung di be?lakang semak-semak yang tumbuh di sepanjang tepi sungai, dan me?reka sampai di kampung tanpa diketahui, mengambil tempat dalam sampan yang akan mengangkut mayat ke peristirahatannya terakhir. Sekitar pukul sepuluh malam keranda diangkut ke sampan, dan pada pukul sebelas datang para bilian yang akan menyanyikan lagu-lagu pujian bagi si mati.
Air pasang mulai surut ketika mereka tiba; karena itu kedua sampan itu cepat terseret dari dermaga dan melewati benteng dengan hasil yang telah kita ketahui.
Bab 3 KEDUA orang Swiss itu marah mendengar pekikan konyol La Cueille, dan bahkan Yohanes sangat murka. Tetapi dengan sekali pandang ke arah si Walloon, penyebabnya sudah jelas. Selama me?reka merencanakan pelarian, si Walloon menepati janjinya untuk tidak mencicipi minuman keras setetespun. Ia tidak menyentuh jatah minuman itu, yang menurut aturan resmi memang menjadi haknya. Tapi merasa sayang pada minuman keras yang berharga itu, ia meminta izin kepada Kolonel untuk mengambil semua jatah harian jenewernya untuk disimpan guna sebagai obat gosok kakinya yang bengkak. Izin ini perlu, karena peraturan mengharuskan semua serdadu langsung menenggak jenewernya dari pemasok resmi dalam ketentaraan. Tahu betapa kecanduannya La Cueille pada minuman keras, Kolonel curiga si Walloon bermaksud menumpuk jenewernya dalam jumlah yang cukup untuk pesta mabuk-mabukan, dan berharap bisa menyingkap kebohongannya, Kolonel memerintahkan si Walloon memperlihatkan kakinya untuk diperiksa. Kedua kaki si Walloon memang terlihat merah dan bengkak akibat bagian atas lututnya sengaja dibebat. Maka permohonannya dikabulkan dan ia berhasil menyelamatkan seluruh jenewernya, yang pada waktu dibawa ke atas sampan telah terkumpul sekitar dua pint. Pada malam pelarian itu, selagi berbaring di atas sampan, ia mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya sepenuh mulut. Oh, alangkah nikmatnya! Betapa minuman itu menghangatkan tubuhnya! Tenggakan kedua menyusul yang pertama. "Train de plaisir de ma bouche a mon estomac," (Aliran kenikmatan dari mulut ke perut) gumamnya ketika ia mulai merasakan dirinya dalam keadaan amat bahagia. Betapa membosankan menunggu datangnya keranda di atas sampan! Ia harus menghibur diri selama menunggu. Maka dihabiskannya botol pertama.
Akhirnya keranda datang. "Puah, bau apa itu. Orang bisa pingsan dibuatnya! Perlu minum banyak sampanye supaya tahan; jenewer barangkali punya pengaruh yang sama." Maka si Walloon pun terus menenggak jenewer sampai menghabiskan botol kedua.
Ketika para bilian tiba, iringan pemakaman bergerak. La Cueille duduk menonton, bergeming, dan benar-benar bungkam. Pepohonan dan semak-belukar yang dilalui di tengah malam kelabu terlihat seperti hantu-hantu. Di sana tegak berdiri sosok gelap benteng. Suara penjaga terdengar jelas, seruan biasa "Spada?"Siapa itu?" Segera ada perintah untuk mendekat. Ketika iringan itu berhenti mengikuti perintah, seorang sersan mendekat untuk memeriksa kedua sampan, tetapi begitu ia mengetahui salah satu sampan membawa peti korban kolera, ia mundur ketakutan dan memerintahkan sampan itu terus berlalu. Beberapa kayuhan lagi sampan-sampan itu akan melewati dermaga. Pada saat itulah si pemabuk tidak dapat menahan diri lagi, menongolkan diri dan memekik,
"Enfonces les Hollandes, les tetes de fromage!"
"Dayung cepat," teriak Yohanes sambil meloncat ke depan untuk menutup mulut si Walloon. Ketika perintah untuk kembali dari ben?teng terdengar kedua kalinya, La Cueille, yang kini sudah mabuk berat, mengulangi makiannya, dan sebelum seseorang dapat mencegah, ia merebut senapan dan menembak ke arah benteng. Kemudian terlihat seleret cahaya, diikuti tembakan kanon yang memecah udara seperti petir. Kedua sampan itu terguncang dan terseret ke depan, ditarik arus air surut yang deras ke tengah-tengah sungai yang luas. Dalam sampan yang ditumpangi para bilian, dua lelaki tewas dan seorang terluka, tetapi para desertir selamat. Para pengayuh yang ketakutan mendayung sekuat tenaga, buih putih melayang dari lunas sampan, dan kecepatan mereka tetap bertahan sampai pagi merekah, ketika para buronan itu melihat laut terbuka di hadapan mereka!
Ketika langit di timur berhiaskan warna ungu Wienersdorf meng?ambil teropongnya dan mengamati cakrawala. Dua kapal penjelajah tampak di kejauhan, berlayar dari arah baratlaut, seperti menuju ke muara Sungai Barito. Agak jauh lagi ia melihat kepulan asap kapal-api,
tetapi ia tidak dapat menentukan arahnya. Di sebelah baratdaya, satu sampan dagang besar sebesar sampan mereka sedang menuju ke arah Sungai Dayak Kecil. Segera setelah melewati muara sungai mereka membelokkan ke arah barat. Salah seorang pendayung menyarankan untuk mendarat guna menguburkan mayat dan menutupi sampan dengan daun nyiur untuk mengelabui pengawasan kapal-kapal penjelajah. Orang-orang Eropa itu berpikir lebih sederhana. Ketimbang menguburkannya, mayat-mayat itu dibuang saja tanpa menghiraukan protes orang-orang Dayak itu. Walaupun demikian mereka mendarat dan memotong daun nyiur secukupnya untuk menutupi sampan sampai tidak dapat dibedakan lagi dengan tumbuhan pantai. Mereka melanjutkan pelayaran, dan berharap tidak teramati dengan tetap menyisir pantai, para pendayung dengan trampil memegang kayuh sedemikian rupa untuk mencegah pantulan di permukaan air. Mereka putuskan memasuki muara Sungai Kahayan (Sungai Kahayan disebut juga Sungai Dayak Besar)untuk bersembunyi di anaksungai pertama yang dapat dicapai dan menunggu sampai malam turun sebelum mereka melanjutkan pelayaran ke arah barat. Segala sesuatunya berjalan lancar sebagaimana diharapkan. Kapal-kapal penjelajah berlayar menjauh ke arah muara Sungai Dayak Kecil, di mana mereka bersauh. Sampan lain yang diamati di sebelah tenggara ternyata sampan dagang. Karena itu para buronan itu merasa lega, dan mereka terus mendayung sekuat tenaga dan mencapai muara Sungai Kahayan pada tengah hari. Mereka segera menemukan satu anaksungai yang baik untuk menyembunyikan sampan di bawah semak-belukar yang rebah; dan karena benar-benar letih mereka istirahat untuk mengembalikan tenaga guna menghadapi tugas yang menghadang.
Mereka telah terlelap selama beberapa jam ketika terjaga karena bunyi tembakan meriam. Mereka semua meloncat, dan Yohanes, dengan kesigapan seperti seekor kucing, memanjat sebatang pohon cedar terdekat sehingga dapat melihat ke arah laut sampai jauh. Apa yang dilihatnya jauh daripada meyakinkan. Sejumlah sampan mencoba keluar dari Sungai Dayak Kecil dan menarik perhatian kapal-kapal penjelajah. Kapal-kapal ini segera mengangkat sauh dan berlayar untuk mendekati sampan-sampan itu. Satu sampan dagang memutar haluan, menaikkan layar tambahan untuk mencari angin. Sampan itu juga mulai menggunakan dayungnya, berupaya mengayuh sekuat tenaga agar lolos dari penggeledahan. Pengejaran keras kini mulai dilakukan; tetapi meskipun kapal-kapal penjelajah itu menggunakan layar sebanyak yang dapat dipasang, sampan yang dikejar tampak masih tetap beruntung. Dua tembakan melayang di atas puncak-puncak ombak, dan meriam-meriam kecil kapal-kapal penjelajah Hindia-Belanda tidak dapat menjangkau jauh. Akhirnya Yohanes tidak dapat membedakan keduanya, karena kapal-kapal penjelajah dan sampan dagang itu telah berubah menjadi tidak lebih daripada noktah-noktah hitam di cakrawala. Karena itu ia tu?run, dan dengan omelan ia menyerang La Cueille, menyalahkan ke- sembronoannya yang tidak bertanggungjawab.
"Lihat itu," katanya, "akibat makian mabukmu. Bangsat! Mereka telah melacak kita."
"Tapi apa yang kamu lihat?" tanya Wienersdorf.
Yohanes menceritakan apa yang telah dilihatnya. "Sampan yang mereka kejar," tambahnya, "adalah sampan penyelundup Baba Pucieng. Apa yang bakal terjadi jika mereka berhasil mengejarnya" Sebelum 24 jam berlalu, akan ada duaratus kapal pemburu ber?keliaran di sepanjang pantai. Aku ingin sekali si pemabuk Walloon itu...."
Wienersdorf menahan Yohanes, mengingatkan, "Apa gunanya marah-marah dan menyalahkan" Kita harus bertindak. Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Seluruh rencana telah berantakan. Kita tidak dapat meneruskan perjalanan menempuh pantai selatan;-bagaimana, Dalim?" lanjut Yohanes, ditujukan kepada salah seorang Dayak.
"Tidak salah lagi; jalan ke sana telah dihadang."
Dalim berbicara dengan temannya beberapa menit, dan kemudian sambil menunjuk ke arah utara, ia berkata, "Ke sana!"
"Ke Sungai Kahayan?" tanya Yohanes.
"Tidak; kita tidak dapat lewat ke situ. Mereka pasti akan meme?riksa Sungai Kahayan."
"Lantas bagaimana?"
"Lewat Terusan."
"Apakah mereka tidak akan memeriksa Terusan?"
"Tentu saja; tapi kita harus cepat. Sungai Dahasan punya aliran ke Terusan dan menghubungkan dengan Sungai Basarang, yang
bergabung dengan Sungai Kapuas di sebelah utara benteng. Tidak seorangpun tahu daerah itu, tapi aku mengenal daerah itu ketika aku ke sana mencari rotan beberapa waktu yang lalu. Ayo kita bergegas: begitu sampai di Sungai Kapuas kita selamat; mereka tidak akan mencari kita ke arah itu."
Mereka semua yakin saran ini masuk akal. Tidak boleh sedetik- pun berlalu; bahkan seandainya jalur yang direncanakan ini pun mus?tahil dilewati tiap waktu. Dengan demikian tidak ada pilihan lain bagi mereka, selamat dengan cara sangat berbahaya atau menyerahkan diri ke tangan para pengejar. Mereka mengambil sampan dari tempat persembunyiannya, mendorongnya ke dalam arus yang mengalir deras dan dengan segera meluncur dengan cepat.
Tiba-tiba orang-orang Eropa itu meletakkan dayung mereka dan orang-orang Dayak mengikutinya, berhenti mengayuh. Ada apa" Terdengar suara mengalun bagai suara harpa; kini menjauh, lembut dan merdu, namun jelas; kemudian amat dekat lagi sehingga suara musik itu seolah bergelantungan di atas sampan, mengalun bagai per?paduan antara bisikan angin lembut dan deru badai semacam alat musik berdawai raksasa. Orang-orang Eropa itu terpana, tidak mam?pu memahami nada-nada misterius ini. La Cueille membuat tanda salib di dadanya dan berbisik "Etoile de la mer, priez pour nous."(Bintang laut, doakan kami) Ketika orang-orang Dayak itu menyadari keterpanaan dan ketakutan rekan-rekan kulit putih seperjalanan mereka, meledaklah tawa me?reka. Bagi mereka, suara itu gejala biasa yang mereka sebut riung, ribut, atau kadang-kadang riwut harusan, napas arus sungai.
Dalim menceritakan legenda yang mengaitkan suara-suara itu dengan musik khayangan yang dimainkan oleh beberapa orang gadis yang tenggelam di sungai itu karena kemurkaan Jata, Dewa Buaya. Ia juga menambahkan keterangan bahwa para misionaris memberikan penjelasan lain atas fenomena itu. Mereka berpendapat, gejala itu di?timbulkan oleh pecahnya dua arus"satu, air laut yang sedang pasang, dan yang lain, air sungai yang mengalir ke bawah. Tentu saja ada kondisi-kondisi setempat yang memengaruhi jumlah pecahan. Kete?patan teori ini terbukti, karena suara itu hanya terdengar pada titik- titik tertentu di mana laut bertemu dengan air sungai yang mengalir deras.
Musik ini menemani para buronan ke muara Terusan, yang me?reka capai menjelang malam ketika harpa alam tidak terdengar lagi.
"Uf!" seru La Cueille, "aku merasa agak lega sekarang. Tampak seperti hantu-hantu yang sedang memainkan musik di sekitar sam?pan. Itu bisa membuatku gila jika harus bertahan semalam suntuk
lagi." "Apa yang kamu omelkan?" gumam salah seorang Dayak; dan sambil mencondong ke arah Yohanes ia berbisik ke telinga Yohanes.
Yohanes kini menyuruh mereka diam. Dengan suara lirih ia menjelaskan bahwa mereka berada di sungai sempit di mana mere?ka mungkin bersua dengan sampan-sampan lain. Jika percakapan mereka, yang dilakukan dalam bahasa asing, terdengar, itu akan membuka kedok mereka dan menyebabkan mereka diburu.
Mereka terus mendayung dengan mulut bungkam, mengerahkan seluruh tenaga, sehingga pada jam delapan malam mereka sampai di muara Sungai Dahasan. Mereka terus mendayung selama beberapa waktu sampai Dalim memerintahkan berhenti. Ia menyarankan untuk menunggu sampai hari terang, karena mereka mudah tersesat di antara banyak anaksungai yang ada di situ. Akan tetapi ia juga punya alasan lain untuk menghentikan perjalanan. Mereka semua telah letih dan perlu istirahat. Mereka tidak makan sesuatu selama berjam-jam, juga tidak tidur.
"Tapi," kata Wienersdorf, "apa kita aman tidur di sini?"
"Kita benar-benar aman," jawab Dalim, "tidak ada orang Dayak yang akan bertualang kemari, dan Kolonel tidak akan mencari kita di sini. Ia sibuk mengejar sampan Baba Pucieng dan barangkali gem?bira mendapatkan orang Cina itu di muara Sungai Dayak Kecil besok malam. Seperti aku bilang sebelumnya, mustahil mereka menduga kita berada di sini, karena tidak seorangpun yang tahu jalur ini."
"Kamu bilang tidak ada orang Dayak yang akan bertualang ke?mari" Mengapa demikian?"
"Pada 1859 Pembekel Sulil tewas di sini karena tembakan me?riam ketika mempertahankan bentengnya dari Belanda. Untuk me?nyelamatkan mayat Pembekel Sulil dari tangan Belanda, rakyatnya menguburkan Pembekel Sulil di Sungai Dahasan, di dekat tempat yang baru saja kita lewati. Sejak itu sungai ini dijaga oleh pampahilep dan terkutuklah siapa saja yang memasuki daerah terlarang ini."
"Wah, apa itu pampahilep?"
"Hantu hutan mengerikan yang membunuh semua orang yang ditemuinya. Tapi pampahilep ini perempuan, dan tiap kali ia mene?mui seorang laki-laki, ia memaksa lelaki itu untuk mengawininya dan mencekiknya sesudah itu."
"Brr! Quelle Canaille!"(Alangkah jahatnya!) gumam si Walloon.
"Tapi kamu tidak takut?" tanya Schlickeisen kepada orang Dayak itu.
"Ah!" katanya, "saya karang sendiri cerita itu untuk menutupi ja?lur rahasia ini guna menyelundupkan garam, mesiu, dan timah. Se?karang semua orang menjauh dari pampahilep perempuanku karena hormat terhadap dia."
"Apakah semua orang Dayak percaya begitu saja?"
"Mereka sangat percaya takhayul. Ada beberapa tempat di negeri ini yang dipercaya angker dan orang Dayak tidak akan berkeliaran di dekatnya meskipun diberi uang seisi dunia."
"Tapi," kata Schlickeisen, "baru saja kamu katakan kepada kami bahwa untuk mencegah mayat Sulil jatuh ke tangan Belanda, mayat itu dikuburkan di sini. Apakah orang-orang Belanda mencincang mayat-mayat?"
"Mereka melarang orang Dayak mengayau kepala, tapi mereka tidak keberatan memenggal kepala orang Dayak."
"Pernah kamu melihat mereka melakukan itu?"
"Tidak, tapi kami semua mengetahui itu. Bahkan aku pernah men?dengar mereka memasukkan kepala-kepala itu ke dalam asinan!" "Omongkosong!" teriak Yohanes. "Memang benar pernah terjadi sekali atau dua kali kepala beberapa penjahat terkenal dibawa ke Banjarmasin untuk diidentifikasi, tapi sesudah itu dikuburkan juga." "Aku ingin kalian sudahi pembicaraan tentang semua hantu dan kepala orang-orang mati itu," seru La Cueille. "Bisa-bisa aku akan memimpikannya sepanjang malam."
Setelah menambatkan sampan dengan aman, urusan pertama adalah menyediakan makanan, karena mereka hampir tidak menge?cap apapun selama 24 jam. Sejumlah dahan kering dikumpulkan dan mereka segera membuat api untuk memasak makanan. Berkat Baba Pucieng, mereka temukan beberapa batang bambu dalam sampan. Orang-orang Dayak memotongnya menjadi ruas-ruas kecil, yang
setelah diisi dengan beras yang dibasahi dan ditutup dengan bebe?rapa potong kayu kemudian disorongkan ke dalam api. Limabelas atau duapuluh menit kemudian bumbung-bumbung itu meletus dengan suara keras. Orang-orang Dayak itu menariknya dari api, membukanya, dan menebarkan nasi masak ke atas daun-daun yang lebar.
"Wah!" kata Wienersdorf, "ini mudah sekali. Kita tidak takut me?mecahkan belanga atau kuali karena pasokan selalu tersedia."
"Ya," kata Yohanes tertawa, "dan jumlahnya cukup banyak." "Aku tidak tahu itu," kata Schlickeisen, "karena selama perjalanan, aku belum pernah melihat sebatang bambupun."
"Juga tidak akan kamu temukan di seluruh dataran rendah. Pohon bambu butuh tanah kering. Tapi nanti kita akan melihatnya berlimpah."
Sementara itu seorang Dayak lain menggerus lombok dengan garam di atas mangkuk tembikar dan Yohanes memanggang beberapa ikan kering. Makanan sekarang siap, penyajiannya mudah meskipun pilihannya tidak banyak, tetapi lapar setelah seharian puasa mem?buat semua yang terhidang menjadi sedap.
Selesai makan mereka merebahkan diri untuk tidur. Orang-orang pribumi segera mendengkur, sedangkan orang-orang Eropa tidak dapat menutup mata karena dikerubungi nyamuk. Pantai selatan Kalimantan letaknya rendah sehingga wilayah ini tergenang air tiap kali banjir. Salah satu akibat banjir periodik ini, terbentuklah rawa- rawa yang permanen dan luas, tempat ribuan nyamuk menetas. Para buronan itu sekarang merasakan perkenalan dengan serangga- serangga ini. Di benteng mereka tidak terlalu diganggu nyamuk; di sana, berlindung dalam bangunan dengan tambahan kelambu, mereka dapat menghindari serangan ganas nyamuk dan menikmati tidur. Di sini, di dalam hutan-hutan perawan, tidak ada perlindungan yang dapat ditemukan. Dengan menanggung risiko serbuk mesiu mereka meledak, para buronan itu menyalakan api besar dalam sampan, berharap dapat mengusir serangga-serangga agresif itu karena kepulan asap. Tetapi semuanya sia-sia. Ribuan penghisap darah itu datang dan pergi, dan dengan cepat muka, leher, dan tangan orang-orang Eropa itu penuh dengan gigitan nyamuk yang gatalnya mengusir kantuk dari mata mereka. Akhirnya mereka bangun dengan putusasa, mendekatkan diri di sekitar api dan mencoba mengibasngibaskan dahan dan daun-daun untuk mengusir musuh-musuh mereka.
"Ah, serangga-serangga jahanam!" kata La Cueille, "seandainya saja kita mencoba jaket nyamuk."
Di Hindia-Belanda "jaket nyamuk" berarti mabuk berat sehingga orang menjadi kebal terhadap dengungan dan sengatan. Inilah asal-muasal kecanduan minum yang umum ditemukan di kalangan serdadu.
"Apa kamu lupa pelajaran yang telah kamu dapat?" tanya Wieners- dorf dengan suara keras. "Tidak setetes minumanpun akan kamu peroleh."
"Aku lebih baik membuangnya ke sungai," tambah Yohanes.
La Cueille terdiam, tetapi kibasan keras dahan yang dipegangnya menunjukkan bahwa ia tidak suka dengan teguran itu.
"Karena mustahil lagi tidur," kata Schlickeisen, "sebaiknya kita meninjau ulang situasi kita yang samasekali berubah setelah kita tidak dapat lagi lari melalui laut. Pertanyaannya sekarang, apa yang harus kita lakukan selanjutnya."
"Dalim tadi menunjuk ke arah utara," Yohanes memberi tahu. "Itulah jalan kita, tapi bagaimana kita bisa ke sana" Sedikit saja kita tidak berhati-hati akibatnya fatal."
"Katakan. Kamu telah tinggal lebih lama di negeri ini daripada kami semua, dan harus menjadi penunjuk jalan."
"Kalian pasti telah memerhatikan aku berbicara dengan Dalim tadi," lanjut Yohanes. "Baiklah, ini hasil percakapn kami. Kita akan mencoba memasuki Sungai Kapuas melalui Sungai Basarang. Kemu?dian kita berlayar ke hulu sejauh mungkin, melintasi pegunungan Kaminting dan menuju ke pantai utara. Tapi jangan sekali-kali mem?bayangkan kita akan pergi dengan mulus seperti yang kurencana?kan."
"Tidak, tidak, kami mengerti itu," Wienersdorf berkata sambil tersenyum; "namun kita ingin tahu gambaran kasarnya, apa yang akan kita hadapi."
"Aku benar-benar tidak dapat mengatakannya padamu," lan?jut Yohanes. "Tapi kita harus sangat hati-hati. Ketika di dataran rendah kita sepenuhnya takut pada Belanda. Biar saja mereka menduga bahwa kita di sini dan kita dikejar seperti binatang liar. Memasuki pedalaman, itu lebih berbahaya, karena bila penduduk
pribumi menduga kita adalah orang-orang Eropa maka habislah ki?ta. Tengkorak orang Eropa harganya 4.000 florin."
"Apa katamu?" teriak La Cueille ketakutan sambil mengangkat tangan ke kepalanya. "Apa taruhannya begitu mahal" Aku tidak tahu itu. Kalau begitu harus dijaga."
"Kamu bergurau, bukan?" Schlickeisen bertanya dengan tidak sabar.
"Tidak. Tengkorak Kolonel George Muller yang terbunuh pada 1825 ketika bepergian melintas Kalimantan benar-benar dijual de?ngan harga sebesar itu dan masih disimpan sebagai barang peninggal?an berharga oleh orang Olo Ot Pangan. Tengkorak orang-orang Eropa dari kapal Onrust yang ditangkap oleh orang-orang Dayak pada 1859 semuanya dijual dengan harga yang sama. Tengkorak komandan merupakan tambang emas. Setelah membuang dagingnya, mereka mengisi tengkorak itu dengan biji-biji kacang kering dan direndam di dalam air. Kacang-kacang itu mengembang hingga tengkorak itu pecah menjadi kepingan-kepingan, yang terkecil saja harganya 200 real."
"Apa yang mereka perbuat dengan tengkorak-tengkorak itu?"
"Kamu bisa menyebutnya sebagai articles de luxe.(Barang-barang mewah) Kamu akan banyak melihatnya di pedalaman. Semua benteng dihiasi dengan tengkorak-tengkorak menyeringai yang ditempatkan di atas tiang- tiang benteng. Tidak ada rumah yang tidak kamu temukan tanpa tengkorak yang diuntai sebagai rosario dan ditempatkan sebagai hiasan di dinding rumah. Jika seorang pemuda meminang seorang gadis, teman-temannya tidak akan bertanya berapa banyak uang yang dimilikinya, melainkan berapa banyak kepala yang dapat disediakannya. Mengerti kamu sekarang?"
"Tentu saja aku tahu itu artinya "jaga kepalamu.?"
"Betul; itu akan menjadi semboyan kita, "jaga kepalamu!" Negeri ini punya banyak sekali pengayau. Aku berani berkata kalian sudah pernah mendengarnya."
"Tentu saja; tapi aku selalu berpendapat itu adalah laporan yang sangat dibesar-besarkan."
"Sebaliknya, penduduk pribumi tidak memperlihatkan sepersepu?luh kenyataan yang ada." Lanjut Yohanes, "Karena alasan sederhana, penduduk bermaksud mempertahankan pengayauan sebagai sesuatu yang sangat dirahasiakan dari Belanda."
"Baiklah, sebagai langkah pertama ke arah keselamatan, kita ha?rus mencopot seragam militer kita. Itu saja sudah cukup untuk penya?maran kita. Baba Pucieng, yang sudah menduga adanya bahaya, menyediakan kita seperangkat pakaian. Kita periksa ini nanti setelah hari terang. Kita harus memakai pakaian baru kita sesuai dengan tujuannya dan semakin cepat semakin baik."
"Alangkah lucunya tampangku nanti," kata La Cueille, "berpakaian ewah."(Kain kasar atau kulit kayu yang dililitkan beberapa kali ke pinggang, dan ujungnya bergantung di depan dan di belakang. Fungsinya terutama untuk melindungi perut terhadap udara dingin yang menusuk)
"Harus kuakui itu tidak sesuai dengan kulitmu yang putih."
"Itu lebih serasi dengan warna-kopi bangkaimu," balas si Walloon.
"Aku-aku jadi ingat. Kalian tidak mungkin mempertahankan warna kulit kalian yang putih itu. Warna itu akan segera mengkhia- nati kalian. Sebenarnya aku ingin kalian semua punya kulit warna- kopi seperti aku. Aku harus bicara pada Dalim, aku yakin ia punya akal."
"Kamu akan lihat," kata si Walloon sambil tertawa. "Kita semua harus mengenakan jas hitam."
"Sangat mungkin," kata Yohanes kecut, "dan jasmu akan membuat kamu cakep. Jadi kirim segera tukang jahitmu dan pesan stelan jas hitam untuk tiga orang."
Bab 4 SETELAH hari terang orang-orang Eropa itu membangunkan orang- orang Dayak dari tidur mereka yang lelap. Yohanes menarik Dalim ke sampingnya dan mereka bercakap-cakap dengan serius, sementara yang lain bersiap-bersiap memasak nasi dan ikan untuk sarapan. Setelah selesai bercakap-cakap Dalim pergi ke dalam hutan yang lebat dan dalam beberapa saat saja telah lenyap dari pandangan. Yohanes mengeluarkan pakaian-pakaian yang disediakan oleh Baba Pucieng, memilih yang cocok untuk dipakainya sendiri dan kemudian melompat ke sungai untuk mandi pagi. Setelah merasa cukup menyegarkan diri, ia keluar, mengambil buntalannya, dan berlindung di balik tetumbuhan. Segera ia muncul lagi dengan pa?kaian seperti seorang Dayak, mandau di tangan, dan melompat ke tengah-tengah mereka yang mandi hingga membuat mereka ketakutan. Akan tetapi mereka segera sadar setelah mendengar suara yang sudah dikenal berseru, "Jangan takut, Muka-muka Pucat!"(Yohanes agaknya menirukan orang-orang Indian-Amerika yang menyebut orang kulit putih dengan "Polefoce", Muka Pucat) Orang Dayak asing itu ialah Yohanes, yang berpakaian ewah atau cawat dari kulit kayu yang dililitkan di pinggang dan ikat kepala dekil di kepalanya, berdiri di hadapan mereka dengan penyamaran yang berhasil. Sebelum mereka puas mengamati dan mengagumi pribumi dadakan itu, Dalim kembali dari hutan. Ia lalu mengambil panci dan memasukkan dedaunan yang dibawanya dari hutan, menambahkan sedikit air dan beberapa tetes pigmen hitam dari botol yang menggelantung di pinggangnya. Kemudian panci itu diletakkan di atas api, dan Dalim bergabung dengan yang lain untuk sarapan. Ketika mereka selesai makan, rebusan itu sudah mendidih. Dalim kemudian mengangkatnya dari api dan meminta Schlickeisen yang duduk di dekatnya mengulurkan kedua tangan?nya. Dalim membalur kedua tangan Schlickeisen beberapa saat dengan kain perca yang sudah dicelupkan ke dalam rebusan tadi, dan hampir secepat itu pula muncul warna coklat gelap. Ketika ta?ngan-tangan telah diwarnai dengan baik, ia memegang leher orang Swiss itu dan memoles muka, lengan, dan pundak Schlickeisen dengan cara yang sama. Setelah operasi selesai, Schlickeisen tidak lagi dikenal. Yohanes berpendapat bahwa seluruh tubuh orang- orang kulit putih itu harus dibalur guna menjamin keselamatan dengan sempurna. Karena semua setuju dengan pendapat Yohanes, Dalim pun kembali ke dalam hutan untuk mengumpulkan dedaunan semacam tadi sehingga ia dapat membalur semuanya. Dedaunan ini diambil dari kalampuit, satu pohon dari jenis Rhododendron, yang juga digunakan oleh orang Dayak untuk upas anaksumpit mereka. Rebusan dedaunan itu hanya digunakan sebagai pemantap zat warna, yakni pigmen yang ada di dalam botol Dalim yang berupa jus katiting, pohon dari jenis Rhizophora.
Sejam kemudian kulit semua orang Eropa itu telah berwarna perunggu yang indah, dan mereka berjalan bertelanjang dada dengan mengenakan ewah sebagai tiruan penduduk pribumi yang kuning langsat. Hanya La Cueille yang gagal menghasilkan tipe Dayak asli. Perawakannya yang langsing, matanya yang cemerlang, janggut dan kumisnya yang indah, dan rambutnya yang ikal menjadikan dia ber?penampilan mirip orang Arab. Maka dengan suara bulat ia dipilih sebagai Syekh dan diberi julukan Mohamad al Mansur. Pengang?katannya ini memberi dia keuntungan untuk mengenakan jubah. Di seputar kepalanya dililitkan serban, kakinya bersandal, dan ia di?minta membawa tasbih yang biji-bijinya diputar di jari-jemarinya de?ngan cara yang sudah amat lazim.
Ia mendapat kesulitan besar dengan sandalnya dan hampir tidak dapat menyeret kakinya karena tapak sandalnya rata, terkunci di kakinya dengan sematan di antara dua jari kakinya. Tetapi setelah berlatih tekun, kesulitan itu dapat diatasi dan ia melangkah dengan gagah sambil mengeja bahasa Arab yang buruk, "Tiada Tuhan selain Allah," persis layaknya ia dilahirkan di Jazirah Arab.
Kini diatur supaya ketika berjumpa dengan penduduk pribumi hanya Yohanes dan orang-orang Dayak yang boleh berbicara. Kedua orang Swiss itu berlaku sebagai orang-orang upahan, dan karena itu disuruh diam saja. Sang Syekh hanya boleh mengucapkan beberapa kata Melayu, bercampur dengan satu-dua kata-kata Arab dan ayat Al-Quran yang diajarkan oleh Yohanes. Operasi terakhir yang perlu dilakukan oleh ketiga orang itu adalah mewarnai gigi mereka. Ini juga dapat dilakukan dengan zat yang ada di dalam botol Dalim, yang sege?ra mengubah gigi gading mereka menjadi eboni yang mengkilap.
"Kalian benar-benar terlalu gagah untuk menjadi orang-orang Dayak," kata Dalim; ia tidak salah berpikir demikian, karena meski?pun orang-orang Eropa itu berdada lebar dengan lengan dan bahu yang pas dengan tubuh orang Dayak, mereka tidak punya kaki beng?kok, sehingga penduduk Kalimantan diberi nama demikian. Dayak adalah singkatan dadayak"berjalan sempoyongan. Dengan bebe?rapa perkecualian, kebanyakan penduduk asli berkaki bengkok, dan lingkunganlah yang membuat gaya berjalan mereka sempoyong?an. Cacat jasmani ini adalah akibat posisi yang terpaksa dilakukan ketika mereka duduk di dalam sampan. Walaupun kecintaan alamiah mereka pada sungai melemahkan dan menghambat pertumbuhan badan bagian bawah, bagian atas badan mereka begitu berkembang sehingga mereka pantas menjadi model bagi pemahat patung.
Begitu samaran para buronan itu berhasil, mereka mengikat seragam tentara mereka dalam satu buntalan, membebaninya dengan sebongkah batu besar, dan menenggelamkannya di bagian sungai terdalam. Kemudian mereka meneruskan perjalanan dan mencoba bergerak lebih lanjut ke hulu sungai; tetapi ternyata pekerjaan ini sulit dilakukan. Sungai Dahasan ternyata tidak lain adalah satu dari banyak kanal suatu rawa luas yang dipenuhi hutan lebat. Tumbuhan merambat yang besar menjalar ke mana-mana, melintasi sejumlah besar sungai kecil, menjalari pohon-pohon besar dan menutupi puncak-puncak pohon dengan tanaman benalu sehingga bentuknya seolah-olah menyerupai dataran tinggi tanaman yang diangkat.
Tumbuhan merambat yang umumnya banyak ditemukan di antara pohon-pohon hutan perawan ini adalah rotan, yang disebut uai oleh penduduk asli. Tanaman ini menjalar di permukaan tanah, menyelimuti apa saja yang ditemuinya dengan jejaring cabang yang hanya dapat dibersihkan dengan parang yang kuat dan tajam. Rotanrotan itu ditutupi duri-duri tajam, yang menjadi penghalang paling mengerikan bagi semua orang yang berjalan menembus belantara ini.
Ketujuh orang itu segera melintasi air seperti di atas kasur sungai. Lima orang di antara mereka, dengan parang di tangan, mencoba membersihkan tanaman rambat itu, yang amat menyita tenaga dan menimbulkan lecet-lecet yang menyakitkan. Dua orang yang lain berjalan di tepi kanal, mendorong sampan melalui lintasan yang berliku-liku, yang sebenarnya hanyalah jalur yang terbentuk di bagian lumpur lunak karena sampan yang lewat. Pekerjaan itu hampir di luar kekuatan manusia, dan penyatuan seluruh tenaga semua orang acapkali merupakan keharusan untuk membebaskan atap sampan dari belitan cabang-cabang yang bergelantungan.
Sampai tengah hari mereka hanya dapat bergerak beberapa mil saja, tetapi mereka merasa sudah sangat letih sehingga terpaksa istirahat. Air juga terlalu dangkal karena pasang surut, sehingga sampan seolah terperangkap di dalam lumpur. Tidak ada yang dapat menggerakkan sampan, sehingga mereka terpaksa menunggu pasang naik berikutnya.
Menggunakan kesempatan istirahat yang terpaksa itu, mereka menyiapkan makan malam. Dalam masakan ini orang-orang Dayak membawa sumbangan yang disambut gembira dengan menangkap beberapa ekor ikan bapuyu yang berasal dari dasar sungai setengah kering itu. Bentuk dan ukuran bapuyu mirip perch, hanya bedanya ikan ini tidak punya sirip punggung. Ikan ini punya kebiasaan be?renang bergerombol dalam jumlah besar di sepanjang daerah banjir. Jika terperangkap dalam pasang surut, mereka masih, seakan-akan dituntun oleh naluri, mencari jalan melalui lumpur ke genangan air terdekat. Dengan demikian acapkali mereka bersama-sama berada di luar air selama berhari-hari, dan merupakan pemandangan yang menarik menyaksikan ratusan ikan bergulat dalam lumpur ke arah tertentu dan tetap menempuh perjalanan meskipun kesulitan meng?hadang.
Selesai makan, orang-orang Dayak itu pergi mengumpulkan rotan untuk berjaga-jaga seandainya diperlukan dalam perjalanan. Mereka potong satu jenis rotan beberapa dengan panjang tigapuluh atau empatpuluh yard, menggulungnya dengan hati-hati, dan menyimpannya di antara perbekalan untuk digunakan sebagai tali.
Dari jenis rotan yang lain, yang di Eropa digunakan untuk kursi dan mebel, mereka potong dengan panjang seperti umumnya, membuang kelopak durinya, dan mengikatnya dalam ikatan-ikatan berisi seratus potong tiap ikat. Rotan ini harus direndam di sungai agar tidak cepat busuk; tetapi karena waktu begitu berharga, mereka harus puas de?ngan rotan kasar yang lentur dan menunggu waktu untuk memoles perbekalan mereka itu jika diperlukan. Selagi orang-orang Dayak itu sibuk dengan rotannya, yang lain istirahat untuk melepaskan lelah dan mengumpulkan tenaga untuk memulai perjalanan lagi. Akan tetapi, biarpun tubuh mereka istirahat, mulut mereka tidak pernah diam, terus saja membicarakan dan mengatur rencana. Yohanes te?rus-menerus mengingatkan rekan-rekan sepetualangannya akan pen?tingnya kewaspadaan.
"Ingat," katanya, "jika Kolonel mendapatkan informasi menge?nai kehadiran kita di sekitar sini, ia akan memburu kita. Ya, biar saja ia menemukan jejak kita dan dialah satu-satunya orang yang akan menyusul. Tidak ada kekuatan di dunia ini yang sanggup men?cegahnya berbuat demikian. Perlu kuceritakan pada kalian beberapa kelicikannya. Pernah kalian dengar tentang penangkapan Daso dan Duta" Itu adalah bagian sejarah Kuala Kapuas."
"Aku pernah dengar itu," kata Schlickeisen, "tapi aku tidak tahu ceritanya. Siapa mereka?"
"Dengarkan," lanjut Yohanes, "akan aku ceritakan pada kalian." "Daso dan Duta adalah orang-orang Dayak dari Pulau Petak dan punya keluarga di sana dan di Kuala Kapuas. Aku yakin Dalim kita ini adalah saudara tiri Daso. Kedua orang itu, dan tiga orang Dayak yang menemani kita sekarang, bekerja di tambang batubara Kalangan sewaktu waktu pecah pemberontakan,2 dan kelima-limanya punya andil dalam pembantaian orang-orang Eropa."
"Kamu telah memperkenalkan kami kepada teman-teman yang bernar-benar pilihan," sela Schlickeisen. "Bisakah kita memercayai orang-orang ini?"
"Aku yakin kalian dapat memercayai mereka lebih daripada yang bisa kalian harapkan dari pribumi lain. Mereka ingin sekali sampai di Singapura dan memerlukan bantuan kita untuk ke sana. Mereka akan berguna sekali bagi kita dan akan melayani kita dengan baik. Kehadiran mereka di di antara kita akan menjamin keamanan kita dari pengkhianatan Dayak manapun terhadap muka-muka pucat." "Sejauh ini baik-baik saja; tapi seandainya mereka sendiri yang mengkhianati kita?"
"Itu tidak mungkin terjadi, berdasarkan catatan masa lalu me?reka dan rencana mereka sekarang."
"Namun sebaiknya kita tetap waspada dan siap atas segala se?suatunya. Sekarang lanjutkan ceritamu."
"Daso dan Duta dilaporkan telah melakukan kekejaman yang mengerikan selama berlangsung pembunuhan terhadap orang-orang Eropa. Setelah beberapa waktu, kedua bangsat itu kembali ke tempat tinggal mereka di dekat benteng. Kolonel tahu mengenai fakta ini dan ingin sekali menjebak mereka. Selain kejahatan mengerikan yang membuat mereka bersalah, diamati pula bahwa sejak keda?tangan mereka ke distrik muncul semangat pembangkangan yang mengkhawatirkan, yang dapat menimbulkan kerusuhan di masa mendatang. Kalian sulit membayangkan perjalanan jauh yang telah kami lakukan untuk menangkap orang-orang ini. Dua kali, dan ka?dang-kadang tiga kali, sehari detasemen dikirim; tapi semuanya sia- sia. Mati-kelelahan, tenaga terkuras karena lapar dan dahaga, basah dan berlumuran lumpur akibat perjalanan berjam-jam menempuh sungai-sungai dan rawa-rawa, kami pulang dari perburuan angsa liar kami. Semua usaha gagal. Ketika tiba di tempat di mana mereka dilaporkan bersembunyi, kami dapatkan kedua angsa itu telah terbang, meskipun nasi mereka telah masak di atas api yang masih menyala dan tempat tidur mereka masih hangat."
"Tapi menurutku," komentar Schlickeisen, "dengan bantuan penduduk pribumi penangkapan kedua penjahat itu jadi mudah dilakukan."
"Ya, begitu yang kami pikir; tapi penduduk yang justru mem?bantu mereka lolos dari kami. Hampir seluruh penduduk di distrik ini punya hubungan keluarga dengan mereka. Segera satu deta?semen pergi mengejar, teman-teman mereka memberi tanda kepada mereka, sehingga kami hanya menempuh perjalanan dan kembali menunggu perintah lebih lanjut. Tapi pada suatu sore hari, aku lihat Komandan sedang duduk bermalas-malasan di kursi goyangnya di
beranda rumahnya. Ia sedang berpikir keras. Ia manatap tajam ke arah tanah, kuku-kukunya mencengkeram, dan ia memelintir-lintir kumisnya seolah hendak dicabut dari akarnya. Aku pikir sesuatu sedang menggelegak. Tiba-tiba ia panggil seorang opsir pesuruh dan diperintahkannya memanggil seorang kelasi kapal-uap yang berlabuh di sungai. Kelasi itu datang dan kemudian pergi. Lalu aku dipanggil dan diperintahkan membawa dua botol jenewer, membuka bungkusnya dan menarik penutup botolnya tanpa boleh merusak lilin pelindungnya. Aku pikir Kolonel mau minum; namun dia bu?kannya meminum jenewer itu, melainkan pergi ke kotak obatnya dan mengeluarkan bubuk morfin. Bubuk itu dia masukkan ke dalam botol-botol itu, dikocoknya baik-baik, dan diperintahkannya aku untuk menutup kembali kedua botol itu. Ia kemudian menaruh kem?bali kedua botol di dalam bungkusnya dan aku jamin tidak ada pe?minum yang dapat melakukan itu dengan lebih baik.
"Pada malam hari kelasi itu datang lagi dan kali ini dia memba?wa pergi kedua botol itu. Ia masuk ke satu jukung dan mendayung ke hulu Sungai Kapuas.3 Beberapa jam sesudah itu, Sersan Greefkes dan delapan orang serdadu menempuh arah yang sama. Sekitar jam dua pagi, karena sedang bertugas di benteng barat, aku melihat satu sampan mendekat. "Aku meneriakkan seruan, "Siapa itu?" dan dijawab "Teman baik". Pada waktu yang sama seleret cahaya merah ditembakkan dari sampan sebagai tanda. Ketika sampan bersandar, tiga orang yang sedang tidur pulas diangkut ke luar, karena tidak seorangpun yang dapat menyadarkan mereka. Dua orang dengan cepat dipasung; mereka adalah Daso dan Duta. Kalian semestinya melihat wajah mereka keesokan harinya ketika terjaga dalam keadaan tidak berdaya.
Sekarang kamu harus tahu bahwa si kelasi, orang kelahiran Ban?jar, dulunya adalah seorang penambang di Kalangan dan karena itu ia mengenal Daso dan Duta dengan baik. Untuk sedikit dollar yang tidak berarti, ia mencari Daso dan Duta dan mengkhianati mereka dengan botol minuman. Orang-orang Dayak, seperti beberapa teman kita tertentu, sangat suka minuman keras, dan jenewer bercampur morfin yang dibawa kelasi itu diminum sepuas-puasnya sehingga ketika sersan tiba ia tinggal mengikat tangan dan kaki para pembunuh itu dan mengangkut mereka dengan sampan."
"Apa hukuman mereka?"
"Mereka diadili oleh pengadilan militer; tapi sebelum ada ke- putusan akhir, amnesti yang terkenal itu mengumumkan bebasnya semua yang terlibat pemberontakan dengan sedikit perkecualian. Mereka yang dikecualikan adalah orang-orang baik dan terhormat yang hanya mempertahankan diri dari penindasan, dan mereka yang ditolak pengampunannya diperluas pada para perampok dan pembunuh! Para desperados itu dibebaskan dengan satu syarat harus wajib lapor sekali seminggu ke markas militer terdekat. Aku tidak pernah mendengar Kolonel kita itu mengutuk dan menyumpah- nyumpah seperti yang diucapkannya ketika kedua orang itu datang melaporkan diri kepada dia untuk pertama kalinya. "Oh!" teriaknya, setelah mereka berbalik menampakkan punggungnya, "jika bisa kuduga sebelumnya pertunjukan busuk ini, bangsat-bangsat itu tidak akan pernah kubiarkan masuk benteng hidup-hidup." Dan semua orang baik akan sependapat dengan dia."
Bab 5 PETUALANGAN dilanjutkan segera setelah orang-orang Dayak me?nyimpan rotan yang telah dikumpulkan di dalam sampan dan pasang naik telah cukup tinggi untuk mengapungkan sampan dari dasar lumpur. Mereka mula-mula harus berjuang menghadapi penghalang sama seperti yang dihadapi pagi harinya, tetapi akhirnya mereka sampai di satu cabang Sungai Basarang; dan meskipun penghalang perjalanan masih banyak, orang-orang itu kini dapat kembali ke tempat masing-masing di dalam sampan dan melanjutkan perja?lanan. Mereka mendayung sepanjang malam, dan ketika esok pagi?nya matahari terbit di atas cakrawala, mereka memasuki Sungai Basarang.
Dalim mengusulkan untuk berhenti di Sungai Basarang sampai malam turun lagi sepenuhnya, karena mereka bisa sampai di Sungai Kapuas dalam beberapa jam saja. Semua setuju, dan para desertir menyembunyikan sampan di balik semak-belukar di tepi sungai serta menyiapkan dan menyantap makanan mereka.
Selesai makan orang-orang Dayak merebus sesuatu di teko teh, dan isinya kemudian digunakan untuk membalur tubuh mereka. Di antara mereka ada juga yang minum beberapa teguk air rebusan itu sebelum tidur. Yohanes menanyakan cairan apa itu dan menga?pa mereka menggunakan cairan itu. Ia diberi tahu bahwa itu adalah rebusan brotoali, sejenis kaktus pencegah gigitan nyamuk. Tidak se- orangpun yang meminum beberapa mangkuk rebusan itu diganggu serangga-serangga ganas itu. Bebas dari gangguan nyamuk juga da?pat diperoleh dengan membalur bagian tubuh yang terbuka dengan rebusan itu. Orang-orang Eropa itu mengeluh soal tidur mereka yang terganggu pada malam sebelumnya, dan orang-orang Dayak dengan
senang hati menyilakan mereka mencoba ramuan penduduk asli tersebut. Hasilnya, tidur nyenyak dinikmati oleh semua orang.
Sekitar tengah malam, Dalim yang berjaga membangunkan me?reka; sampan didorong ke tengah sungai dan dengan hati-hati dike?mudikan di sepanjang sungai. Dekat muara sungai para desertir mengamati ada daerah terbuka di dalam hutan yang dikelilingi dahan-dahan pohon yang menghitam bekas terbakar. Tempat itu adalah sisa-sisa benteng Dayak, yang didirikan di sepanjang tepi sungai itu, tempat mengawasi anaksungai dan sungai. Ini adalah benteng pertama yang dibangun setelah pecah pemberontakan di pantai selatan Kalimantan.
Selama mendayung ke luar Sungai Basarang para buronan itu dengan hati-hati mengamati permukaan air sungai yang luas. Hanya tampak beberapa cahaya di sebelah tenggara dan sosok gelap benteng di muara Sungai Kapuas. Tidak ada hal lain yang dapat ditangkap dengan mata telanjang. Sungai itu aman, dan dengan usaha keras mereka meneruskan perjalanan.
Tetapi sial! Setelah dua hari menempuh perjalanan, ternyata mereka hanya berputar-putar saja. Jika di sana tampak cahaya- cahaya bersinar demikian benderang, maka dapatlah diterka beta?pa dekat meriam-meriam benteng itu dengan lokasi para buronan itu sekarang berada! Semua bergeming; ketenangan tengah malam hanya terganggu oleh pukulan gong dua kali, yang menunjukkan pukul dua dini hari, dan suara seruan rendah para penjaga yang memperlihatkan bahwa betapapun segala sesuatunya terlihat sepi, kewaspadaan tidak ditinggalkan.
Hanya beberapa kayuhan lagi benteng akan lenyap di balik Tanjung Kumpai, belokan pertama di Sungai Kapuas. La Cueille, yang menatap nyalang bekas tempat tinggalnya itu, kini meletakkan dayungnya dan menarik napas panjang. Yohanes mendengarnya dan berkata:
"Kamu menyesal" Katakan, belum lagi terlambat. Kami dapat mendaratkan kamu di pojok sungai ini. Pura-pura mabuk sudah cukup untuk menjelaskan ketidakhadiranmu. Kamu bebas menge?mukakan alasan itu atau alasan apapun asal kamu tidak mengkhia- nati kami. Katakan, apa perlu kami mendaratkan kamu?"
Penghuni Goa Kramat 1 Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu Api Di Bukit Menoreh 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama