Ceritasilat Novel Online

Sebatang Kara 5

Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot Bagian 5


"Sebentar, Sir. Apakah aku punya ayah?" tanyaku, nyaris tak sanggup mengucapkan kata "ayah".
"Ya, dan bukan hanya ayah, tapi juga ibu, saudara- saudara lelaki dan perempuan," sahutnya.
"Oh...." Dia memencet bel dan seorang juru tulis muncul. Mr. Greth menyuruh orang itu mengurus kami.
"Oh, aku hampir lupa," kata Mr. Greth, "nama keluarga?mu Driscoll. Nama ayahmu Mr. John Driscoll."
Meski Mr. Greth berwajah jelek, ingin rasanya aku me?lompat dan memeluknya andai dia memberiku kesem?patan. Namun dia menunjuk ke pintu dan kami pun meng?ikuti juru tulis itu.
Bab Dua Puluh Enam Kekecewaan Besar Sesampainya kami di jalan, si juru tulis memanggil taksi dan menyuruh kami masuk ke dalamnya. Kendaraan itu bentuknya aneh, pengemudinya duduk di atas kotak, di bagian belakang atap kereta yang menutupi kami. Kelak aku baru tahu bahwa kendaraan itu namanya kereta sewaan. Mattia dan aku duduk di sudut, dengan Capi di antara kaki-kaki kami. Si juru tulis mengisi tempat duduk selebihnya. Mattia mendengar dia menyuruh pengemudi kereta membawa kami ke Bethnal-Green. Si pengemudi kelihatannya tidak begitu senang disuruh pergi ke sana. Mattia dan aku mengira dia tidak senang karena barang?kali jaraknya jauh. Kami berdua tahu arti kata "Green" dalam bahasa Inggris, dan Bethnal-Green ini sudah pasti nama taman tempat kaum kerabatku tinggal. Lama sekali kereta itu melaju di jalanan-jalanan kota London yang si?buk. Perjalanannya jauh sekali, sehingga kupikir barangkali tanah keluargaku ini letaknya di pinggiran kota. Kata "Green" itu membuat kami mengira tempat tersebut mung?kin berada di pedesaan. Tetapi pemandangan sekitar kami bukanlah pemandangan daerah pedesaan. Kami berada di bagian kota yang berpenduduk sangat padat. Lumpur hi?tam menciprati kereta kami yang masih terus melaju. Lalu kami berbelok ke bagian kota yang jauh lebih miskin, dan sesekali si pengemudi kereta berhenti, seperti tidak tahu arah. Akhirnya dia benar-benar berhenti, dan melalui jen?dela kecil di dalam kereta terjadi percakapan antara si juru tulis Greth & Galley dengan pengemudi kereta yang ke?bingungan. Dari apa yang didengar Mattia, si pengemudi kereta berkata percuma saja, dia tidak tahu jalannya, dan dia bertanya pada si juru tulis, arah mana yang mesti di?ambilnya. Si juru tulis menjawab bahwa dia juga tidak tahu, sebab dia belum pernah pergi ke daerah tempat ting?gal para pencuri ini. Kami berdua sempat mendengar kata "pencuri" yang diucapkannya.
Kemudian si juru tulis mem?berikan sejumlah uang pada si pengemudi kereta dan me?nyuruh kami turun. Orang itu menggerutu tidak puas de?ngan jumlah uang yang diterimanya, kemudian kereta itu berputar balik dan pergi. Sekarang kami berdiri di jalanan berlumpur, di depan tempat yang oleh orang Inggris di?sebut istana gin. Penunjuk jalan kami memandang sekeli?lingnya dengan muak, lalu masuk melalui pintu ayun istana gin itu. Kami mengikutinya. Meskipun ini daerah miskin, belum pernah kami melihat tempat semewah itu. Di mana-mana ada cermin-cermin berbingkai keemasan, kandelar-kandelar dari kaca, dan konter megah mengilap seperti perak.
Tetapi para pengunjung tempat ini semuanya kotor dan berpakaian compang-camping. Si juru tulis me?nenggak minuman sambil berdiri di depan konter indah itu, lalu menanyakan arah kepada orang yang tadi me?nuangkan minuman untuknya. Rupanya dia berhasil men?dapatkan informasi, sebab dia cepat-cepat keluar lagi me?lalui pintu ayun itu dan kami membuntuti di belakangnya. Sekarang jalanan-jalanan yang kami lalui malah lebih sem?pit lagi, dan dari satu rumah ke rumah lain di seberangnya terbentang tali-tali jemuran dengan jemuran-jemuran kotor bergantungan. Perempuan-perempuan yang duduk di ambang pintu rumah mereka berwajah pucat, rambut me?reka yang pirang kusut tergerai lemas di bahu. Anak-anak di situ berpakaian compang-camping, nyaris telanjang. Di gang beberapa ekor babi berkubang di kubangan air ber?bau busuk. Si juru tulis berhenti.
Rupanya dia kehilangan arah. Tapi tepat pada saat itu muncullah seorang polisi. Si juru tulis berbicara dengan Pak Polisi, dan Pak Polisi me?ngatakan akan mengantar kami... Kami mengikuti polisi itu melewati jalanan-jalanan yang lebih sempit lagi. Akhirnya kami berhenti di sebuah pekarangan yang di tengah-tengah?nya ada kolam kecil.
"Ini Red Lion Court," kata Pak Polisi.
Kenapa kami berhenti di sini" Mungkinkah kedua orang- tuaku tinggal di tempat ini" Pak Polisi mengetuk pintu sebuah gubuk kayu, dan si juru tulis mengucapkan terima kasih padanya. Jadi, kami sudah sampai di tempat tujuan. Mattia meraih tanganku dan meremasnya pelan. Aku balas meremas tangannya. Kami saling mengerti. Aku serasa ber?ada dalam mimpi ketika pintu gubuk itu dibuka dan kami masuk ke sebuah ruangan dengan api besar menyala di perapian.
Di depan api, di sebuah kursi rotan besar, duduk se?orang laki-laki tua berjenggot putih, kepalanya tertutup topi berwarna hitam. Di depan meja duduk lelaki berumur empat puluhan dan perempuan yang umurnya sekitar enam tahun lebih muda. Dulu perempuan itu pasti sangat cantik, tapi sekarang kedua matanya hanya menatap ko?song dan gerak-geriknya tidak bersemangat. Selain itu ada empat orang anak "dua anak laki-laki dan dua anak perem?puan. Semuanya sangat pirang seperti ibu mereka. Anak laki-laki tertua umurnya sekitar sebelas tahun, anak perem?puan yang paling muda belum lagi tiga tahun. Aku tidak tahu apa yang dibicarakan si juru tulis dengan laki-laki itu. Aku hanya sempat menangkap nama "Driscoll" disebutkan, yaitu namaku, menurut kata si pengacara. Semua mata ter?tuju pada Mattia dan aku, hanya si anak perempuan kecil yang perhatiannya tertuju pada Capi.
"Yang mana Remi?" tanya laki-laki itu dalam bahasa Prancis.
"Aku," sahutku seraya maju ke muka.
"Kalau begitu, kemarilah dan cium ayahmu, anakku."
Selama ini kupikir aku akan langsung diliputi ke?bahagiaan pada saat bertemu ayahku dan akan langsung melompat ke dalam pelukannya. Tapi ternyata aku tidak merasa demikian. Aku mendekat dan mencium ayahku.
"Nah," katanya, "itu kakekmu, ibumu, saudara-saudari- mu."
Pertama-tama aku mendekati ibuku dan merangkulnya. Dia membiarkan aku menciumnya, tetapi tidak membalas pelukanku. Dia hanya mengucapkan dua-tiga patah kata yang tidak kupahami.
"Jabat tangan dengan kakekmu," kata ayahku, "dan pelan-pelan. Dia lumpuh."
Aku juga berjabat tangan dengan saudara-saudariku. Aku ingin menggendong adik yang paling kecil, tetapi dia sedang asyik bermain dengan Capi dan aku didorongnya jauh-jauh. Sambil bergantian menyalami keluargaku, aku merasa marah sendiri. Kenapa aku tidak merasa senang setelah akhirnya menemukan keluargaku" Aku punya ayah, ibu, saudara-saudari, dan seorang kakek. Aku sudah lama merindukan saat-saat ini, aku sudah begitu ber?semangat membayangkan diriku sama seperti anak-anak lainnya, mempunyai keluarga yang menyayangiku dan juga kusayangi... Tapi sekarang aku malah memandangi keluargaku dengan perasaan ingin tahu, dan aku tidak tahu mesti mengatakan apa pada mereka, tak ada sepatah pun kata-kata penuh sayang untuk diucapkan. Apakah aku begitu keterlaluan" Andai orangtuaku tinggal di istana dan bukan di pondok sederhana, akankah aku lebih merasa sayang pada mereka" Pikiran ini membuatku malu. Maka kuhampiri lagi ibuku, kupeluk dan kucium. Dia jelas tam?pak tidak mengerti kenapa aku berbuat begitu, sebab dia bukannya balas menciumku, tetapi malah menatapku tanpa minat, lalu dia menoleh pada suaminya "ayahku "sambil angkat bahu dan mengucapkan sesuatu yang tidak ku?pahami, tapi membuat ayahku tertawa. Sikap tak acuh ibuku dan tawa ayahku terasa menusuk hatiku. Menurut?ku, sikap sayang yang kutunjukkan padanya tidak seharus?nya ditanggapi demikian.
"Siapa dia?" tanya ayahku, menunjuk Mattia. Mattia sa?habat karibku, kataku, dan aku banyak berutang budi padanya.
"Bagus," kata ayahku. "Apa dia mau tinggal di sini dan melihat-lihat pedesaan ini?" Aku hendak menjawab me?wakili Mattia, tetapi Mattia sudah mendahului.
"Memang itu yang aku inginkan," serunya.
Lalu ayahku bertanya mengapa Pak Barberin tidak da?tang bersamaku. Kukatakan padanya Pak Barberin sudah meninggal. Kelihatannya dia senang mendengarnya dan diberitahukannya kabar ini kepada ibuku yang juga tam?pak senang. Kenapa mereka senang sekali Pak Barberin sudah meninggal"
"Kau pasti heran sekali, kenapa kami tidak pernah men- cari-carimu selama tiga belas tahun," kata ayahku, "dan tiba-tiba aku berusaha menemukan orang yang menemu?kanmu waktu kau masih bayi."
Kujawab bahwa aku memang sangat heran, dan ingin tahu sebabnya.
"Mari mendekat ke perapian, nanti kuceritakan semua?nya."
Kulemparkan tas yang kusampirkan di bahu, lalu aku duduk di kursi yang ditawarkan ayahku. Sewaktu aku melunjurkan kaki-kakiku yang basah dan berlepotan lumpur, kakekku meludah ke perapian, seperti kucing tua yang merasa kesal.
"Tidak usah diambil hati," kata ayahku. "Pak tua itu ti?dak suka kalau ada orang duduk di depan perapiannya, tapi lunjurkan saja kakimu kalau kau kedinginan."
Aku kaget mendengar ucapan ayahku tentang Kakek. Kedua kakiku kutarik ke bawah kursi, sebab menurut pendapatku perasaan Kakek harus dipertimbangkan juga.
"Sekarang kau anak sulungku," kata ayahku. "Kau lahir setahun setelah aku menikah dengan ibumu. Waktu aku menikah, ada seorang gadis yang mengira aku akan me?ngawininya, lalu untuk membalas dendam dia mencurimu dari kami waktu kau berumur enam bulan. Kami sudah mencarimu ke mana-mana, tapi tidak sampai ke Paris. Kami pikir kau sudah mati. Tapi tiga bulan yang lalu pe?rempuan yang mencurimu itu mengakui perbuatannya, sebelum meninggal. Aku langsung berangkat ke Prancis, dan polisi di daerah tempat kau dulu ditinggalkan mem?beritahuku bahwa kau sudah diadopsi tukang batu ber?nama Barberin yang tinggal di Chavanon. Aku berhasil menemukan orang itu, dan dia bilang padaku dia telah menyewakanmu pada pemusik bernama Vitalis dan seka?rang kau bepergian ke mana-mana menjelajah Prancis. Aku tidak bisa tinggal lama-lama di sana, tapi aku meninggal?kan sedikit uang pada Barberin dan kusuruh dia mencari?mu. Kalau sudah mendapat kabar, kuminta dia menulis surat pada Greth and Galley. Aku tidak memberikan alamatku di sini, sebab kami tinggal di London hanya se?lama musim dingin. Selebihnya kami bepergian ke seluruh penjuru Inggris dan Skotlandia. Kami ini pedagang keliling dan aku punya karavan-karavan sendiri. Nah, Nak, begitu?lah ceritanya kau kembali pada kami setelah tiga belas ta?hun. Mungkin mula-mula kau akan merasa agak bingung karena kau tidak memahami ucapan kami. Tapi kau akan cepat belajar berbahasa Inggris dan bisa bercakap-cakap dengan saudara-saudarimu. Tak lama lagi pasti kau akan terbiasa dengan kami."
Ya, tentu saja aku akan terbiasa dengan mereka. Bukan?kah mereka keluargaku sendiri" Selimut bayi yang halus dan pakaian-pakaian indah itu ternyata bukan cerminan keadaan sebenarnya, tapi apalah artinya itu. Kasih sayang lebih berharga daripada kekayaan. Bukan uang yang se?lama ini kurindukan, melainkan kasih sayang, keluarga, dan rumah yang hangat. Sementara ayahku mengajak bi?cara, meja makan disiapkan untuk makan malam. Se?bongkah besar daging panggang dan kentang dihidangkan di tengah meja.
"Kalian lapar, anak-anak?" tanya ayahku pada Mattia dan aku. Mattia nyengir memamerkan gigi-giginya yang putih.
"Nah, duduklah."
Tapi sebelum duduk ayahku mendorong kursi rotan kakekku ke depan meja makan. Setelah itu dia sendiri du?duk memunggungi perapian dan mulai memotong bong?kahan daging panggang itu. Setiap orang mendapat se?potong besar daging lezat dan sedikit kentang.
Walaupun aku tidak secara khusus diajari sopan santun di meja makan, kulihat kelakuan saudara-saudariku sangat buruk. Mereka lebih sering makan menggunakan tangan, memasukkan tangan langsung ke dalam kuah dan menjilati jari-jari mereka, tetapi ayah dan ibuku membiarkan saja. Sementara itu, perhatian kakekku hanya tertuju pada ma?kanan di hadapannya. Satu tangannya yang masih bisa digunakan tak henti-henti mengambil makanan dari piring?nya dan disuapkan ke mulutnya. Ketika ada makanan yang jatuh dari jari-jarinya yang gemetar, saudara-saudari?ku menertawakannya.
Kupikir sesudahnya kami akan duduk berkumpul di se?keliling perapian, tapi kata ayahku dia sedang menunggu kedatangan teman-temannya, dan kami semua disuruhnya pergi tidur. Dia mengambil sebatang lilin, lalu mengajak aku dan Mattia keluar ke lumbung yang bersambung de?ngan ruangan tempat kami makan tadi. Di lumbung itu ada dua karavan besar. Dia membuka pintu salah satu ka?ravan dan di dalamnya kami melihat dua ranjang susun kecil.
"Nah, itu tempat tidur kalian, anak-anak," katanya. "Ti?durlah yang nyenyak."
Demikianlah penyambutan atas diriku di tengah ke?luargaku.
Bab Dua Puluh Tujuh Penemuan Mengecewakan Ayahku meninggalkan lilinnya untuk kami, tetapi karavan itu dikunci dari luar. Kami naik ke tempat tidur secepat mungkin, tanpa mengobrol seperti biasanya. Mattia ke?lihatannya sedang malas mengobrol, aku juga demikian, dan aku senang dia diam saja. Lilin kami padamkan, tapi aku tidak bisa tidur. Aku memikirkan kembali semua yang telah terjadi sambil bergulak-gulik gelisah di tempat tidur?ku yang sempit. Di atasku bisa kudengar Mattia juga ber?gulak-gulik gelisah. Rupanya dia juga tidak bisa tidur.
Jam demi jam berlalu. Semakin larut malam, samar-samar aku mulai merasa takut. Aku gelisah, tapi tidak mengerti kenapa demikian. Apa yang kutakutkan" Jelas bukan karena tidur di dalam karavan di daerah kumuh kota London ini. Sudah berapa kali dalam pengembaraanku aku menghabiskan malam di tempat yang lebih tidak aman dibanding tempat ini. Aku tahu aku terlindung dari mara-bahaya, tetapi rasa takut yang menekanku itu hampir-ham?pir meningkat menjadi rasa ngeri.
Waktu terus berlalu. Tiba-tiba aku mendengar suara di
pintu lumbung yang membuka ke jalanan lain. Lalu se?sekali terdengar beberapa ketukan. Kemudian seberkas ca?haya menerobos masuk ke dalam karavan kami. Cepat-cepat aku memandang sekelilingku dengan heran. Capi, yang berbaring di samping tempat tidurku, terbangun dan menggeram. Lalu kulihat berkas cahaya tadi berasal dari sebuah jendela kecil karavan, tempat ranjang-ranjang kami disandarkan. Tadi aku tidak memperhatikan jendela itu, karena tertutup tirai. Bagian atas jendela menyentuh tem?pat tidur Mattia dan bagian bawahnya menyentuh tempat tidurku. Karena takut gonggongan Capi akan membangun?kan seisi rumah, kututupi moncongnya dengan tangan, kemudian aku melongok ke luar.
Ayahku masuk ke dalam lumbung dan pelan-pelan mem?buka pintu di sisi satunya. Dua laki-laki masuk memanggul buntelan-buntelan berat. Lalu ayahku menutup pintu de?ngan hati-hati, seperti tadi, satu jarinya ditempelkan di bi?bir, dan dengan tangan satunya yang membawa lentera, dia menunjuk ke karavan tempat kami tidur. Aku baru saja hendak berseru bahwa mereka tidak usah memusingkan kami, tapi aku takut Mattia terbangun. Ayahku membantu kedua orang itu menurunkan buntelan-buntelan mereka, lalu dia pergi, dan tak lama kemudian dia kembali ber?sama ibuku. Selama dia pergi tadi, orang-orang itu sudah membongkar bawaan mereka. Ada topi-topi, pakaian da?lam, stoking, sarung tangan, dan lain-lain. Rupanya orang-orang itu pedagang yang datang untuk menjual barang-barang dagangan mereka pada kedua orangtuaku. Ayahku memeriksa setiap barang dalam cahaya lentera, lalu me?nyerahkannya pada ibuku, yang kemudian menggunting label harganya dengan gunting kecil dan memasukkannya ke dalam saku. Kuanggap ini aneh sekali, begitu pula ke?datangan mereka pada jam-jam begini untuk berjualan.
Sementara ibuku memeriksa barang-barang tersebut, ayahku berbicara pada orang-orang itu dengan berbisik. Andai bahasa Inggris-ku lebih bagus, barangkali aku bisa menangkap ucapannya, tetapi waktu itu yang kudengar hanyalah kata "polisi" yang diucapkan beberapa kali, se?hingga tertangkap telingaku.
Setelah semua barang diperiksa dengan teliti, kedua orangtuaku dan orang-orang tadi masuk ke dalam rumah dan karavan kami kembali diliputi kegelapan. Rupanya mereka masuk ke rumah untuk membereskan urusan pem?bayaran. Aku ingin meyakinkan diri bahwa yang kulihat tadi adalah pemandangan wajar, tapi biar bagaimanapun aku tak bisa memercayainya. Kenapa orang-orang itu tidak masuk lewat pintu satunya" Kenapa mereka bicara tentang polisi dengan berbisik-bisik, seolah-olah takut terdengar dari luar" Kenapa ibuku menggunting label-label harga itu setelah membeli barang-barang tersebut" Aku tak bisa mengenyahkan pikiran-pikiran itu dari dalam benakku. Beberapa waktu kemudian, cahaya kembali menyinari ka?ravan kami. Kali ini aku tidak tahan untuk tidak mengin?tip, meski sudah kukatakan pada diriku untuk tidak me?lakukannya. Kupikir lebih baik kalau aku tidak tahu, tapi toh aku tidak tahan ingin melihat.
Ayah dan ibuku hanya berdua. Sementara ibuku cepat-cepat membungkus barang-barang itu, ayahku menyapu salah satu sudut lumbung. Di bawah pasir kering yang ditumpuknya ada pintu jebak. Dia mengangkatnya. Ibuku sudah selesai mengikat buntelan-buntelan barang tadi dan ayahku memindahkannya lewat pintu jebak ke ruang ba?wah tanah, dalam penerangan cahaya lentera yang dipe?gang ibuku. Lalu pintu jebak itu ditutupnya dan pasir kembali disapukan di atasnya. Mereka menebarkan jerami di atas pasir, begitu pula di bagian lumbung yang lain. Lalu mereka pergi.
Sewaktu mereka menutup pintu perlahan-lahan, rasanya Mattia bergerak di tempat tidurnya dan berbaring telentang di bantalnya. Apakah dia melihat juga" Aku tidak berani bertanya. Sepanjang malam sekujur tubuhku berkeringat dingin. Menjelang subuh, ayam jantan berkokok. Barulah aku bisa tidur.
Keesokan paginya aku terbangun karena mendengar bu?nyi kunci diputar di pintu karavan kami. Kupikir itu pasti ayahku, yang datang untuk menyuruh kami bangun. Maka kupejamkan mataku supaya tidak melihatnya.
"Itu adikmu," ujar Mattia. "Dia membuka kunci pintu, tapi dia sudah pergi lagi."
Kami berpakaian. Mattia tidak bertanya apakah tidurku nyenyak. Aku juga tidak bertanya padanya. Sekali aku me?lihat dia menatapku, dan kupalingkan wajahku.
Kami harus ke dapur, tapi ayah dan ibuku tidak ada di sana. Kakekku duduk di depan perapian di kursi besarnya, persis seperti kemarin malam. Kakak perempuanku yang sulung, Annie, sedang mengelap meja. Allen, kakak lelaki?ku yang sulung, sedang menyapu ruangan. Aku meng?hampiri mereka untuk mengucapkan selamat pagi, tetapi mereka terus saja sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan tidak mengacuhkan aku. Aku menghampiri kakekku, tapi dia tidak mau aku dekat-dekat dengannya, dan seperti kemarin malam, dia meludah ke arahku, membuat langkah?ku terhenti.
"Tanya pada mereka, jam berapa aku akan bertemu ibu dan ayahku," kataku pada Mattia.
Mattia menanyakannya. Begitu mendengar salah satu dari kami bisa berbicara bahasa Inggris, kakekku kelihatan?nya jadi lebih ramah.
"Apa katanya?" "Katanya ayahmu sudah pergi dan ibumu sedang tidur. Kita boleh pergi ke luar kalau mau."
"Dia hanya bilang begitu?" tanyaku. Aku merasa ter?jemahan itu terlalu singkat.
Mattia kelihatan bingung.
"Aku tidak yakin memahami selebihnya," katanya.
"Coba katakan, apa yang kira-kira kaupahami."
"Rasanya dia bilang kalau kita menemukan barang-barang murah di kota, jangan sampai ketinggalan tidak membeli. Katanya kita hidup dari orang-orang tolol."
Kakekku pasti bisa menebak bahwa Mattia sedang men?jelaskan perkataannya tadi padaku, sebab dengan tangan?nya yang tidak lumpuh dia membuat gerakan seperti menyelipkan sesuatu ke dalam sakunya, lalu dia me?ngedipkan satu matanya.
"Ayo kita keluar saja," kataku cepat-cepat.
Selama dua atau tiga jam kami berjalan-jalan saja, tapi tidak berani pergi jauh-jauh, karena takut tersesat. Bethnal-Green ternyata malah lebih seram pada siang hari daripada pada malam hari. Mattia dan aku hampir-hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sesekali dia meremas tanganku.
Ketika kami pulang ke rumah, ibuku belum juga keluar dari kamar. Melalui pintu yang terbuka, bisa kulihat dia menyandarkan kepalanya di meja. Kupikir dia sakit, jadi aku lari menghampirinya untuk memberinya ciuman, ber?hubung aku tidak bisa bicara dengannya. Dia mengangkat kepalanya yang lalu bergoyang-goyang. Dia melihatku tapi tidak tahu siapa aku. Dari napasnya yang panas tercium bau gin. Aku langsung mundur. Kepalanya terkulai lagi pada kedua lengannya yang bertumpu di meja.
"Gin," kakekku berkata sambil nyengir lebar.
Aku tertegun. Tubuhku serasa berubah jadi batu. Entah berapa lama aku berdiri saja seperti itu. Lalu dengan men?dadak aku berbalik pada Mattia. Dia sedang menatapku dengan mata penuh air mata. Aku memberi isyarat kepada?nya dan kami kembali keluar dari rumah. Untuk waktu lama kami berjalan-jalan saja berdampingan, sambil ber?gandeng tangan, tidak berbicara sepatah pun, berjalan lu?rus tanpa tahu arah yang dituju.
"Kau mau ke mana, Remi?" akhirnya Mattia bertanya cemas.
"Tidak tahu. Mencari tempat yang enak buat bicara. Aku ingin bicara denganmu, Mattia. Kita tidak bisa bicara di tempat ramai begini."
Waktu itu kami sudah tiba di jalanan yang jauh lebih lebar, dan di ujung jalan itu ada taman untuk umum. Kami cepat-cepat menuju ke sana dan duduk di salah satu bang?ku.
"Kau tahu aku sayang sekali padamu, Mattia," aku me?mulai, "dan kau juga tahu alasanku mengajakmu ikut denganku untuk bertemu keluargaku. Itu karena aku meng?anggapmu sahabatku. Kau tidak akan meragukan rasa persahabatanku padamu, apa pun yang kuminta kaulaku?kan?"
"Jangan konyol begitu," sahutnya, memaksakan se?nyum.
"Kau ingin tertawa supaya aku tidak sampai menangis," sahutku. "Kalau aku tidak bisa menangis di depanmu,
Mattia, kapan lagi aku bisa menangis" Tapi... oh... oh, Mattia, Mattia!"
Kupeluk leher Mattia dengan kedua lenganku dan aku pun menangis tersedu-sedu. Belum pernah aku merasa se?sedih itu. Waktu aku masih sebatang kara di dunia luas ini, belum pernah aku merasa setidak bahagia saat ini. Se?telah puas menangis, kupaksakan diriku untuk tenang. Bukan karena ingin dikasihani Mattia aku mengajaknya ke taman ini, dan bukan juga untuk kepentinganku sendiri. Semua ini demi Mattia.
"Mattia," aku berkata dengan mantap, "kau harus pu?lang ke Prancis."
"Meninggalkanmu" Tidak bakal."
"Aku sudah tahu kau akan menjawab begitu, dan aku senang mendengarnya, senang sekali karena kau ingin ber?samaku. Tapi, Mattia, kau harus pulang ke Prancis, saat ini juga."
"Kenapa" Beritahu dulu alasannya."
"Sebab... terus terang saja, Mattia. Tidak usah takut. Apa?kah semalam kau tidur" Apakah kau melihat?"
"Aku tidak tidur," sahutnya.
"Dan kau melihat..."
"Semuanya." "Dan kau mengerti?"
"Bahwa barang-barang itu hasil curian. Ayahmu marah pada orang-orang itu karena mereka mengetuk pintu lum?bung, bukannya pintu rumah. Mereka bilang padanya po?lisi sedang mengawasi mereka."
"Banyak sekali yang kaulihat. Kalau begitu, kau harus pergi," kataku.
"Kalau aku pergi, kau mesti ikut. Keadaan ini sama buruknya buatku dan buatmu."
"Andai kau bertemu Garofoli di Paris dan dia memaksa?mu pulang bersamanya, aku yakin kau tidak akan me?mintaku ikut denganmu. Aku sekadar melakukan hal yang pasti akan kaulakukan juga terhadapku."
Mattia tidak menjawab. "Kau harus pulang ke Prancis," aku bersikeras. "Pergilah menemui Lise dan bilang padanya aku tidak bisa me?menuhi janjiku pada ayahnya. Aku pernah berjanji pada?nya, yang pertama akan kulakukan adalah melunasi utang-utang ayahnya. Kau mesti beritahukan situasiku padanya, lalu pergilah menemui Ibu Barberin juga. Bilang saja pada?nya ternyata keluargaku tidak kaya seperti yang kukira. Tidak punya uang bukanlah hal yang hina. Tapi jangan katakan lebih dari itu."
"Kau menyuruhku pergi bukan karena keluargamu mis?kin, jadi aku tidak mau pergi," Mattia menyahut keras ke?pala. "Aku tahu alasan sebenarnya, setelah apa yang kita lihat semalam. Kau khawatir aku akan celaka."
"Mattia, jangan bicara begitu!"
"Kau takut suatu hari nanti aku memotong label-label harga barang-barang yang belum dibayar."
"Mattia, Mattia, jangan!"
"Nah, kalau kau takut aku jadi seperti itu, aku juga ta?kut kau jadi seperti itu. Ayo kita sama-sama pergi saja."
"Tidak mungkin. Ayah-ibuku bukan apa-apa bagimu, tapi mereka orangtuaku. Aku harus bersama mereka. Me?reka keluargaku."
"Keluargamu! Laki-laki pencuri itu ayahmu! Perempuan pemabuk itu ibumu!"
"Jangan berani-berani bicara begitu, Mattia," seruku sam?bil melompat bangkit dari bangku. "Kau bicara tentang
ayah dan ibuku. Aku mesti menghormati dan menyayangi mereka."
"Ya, memang, seandainya mereka memang orangtuamu. Tapi apa benar begitu?"
"Kau lupa mereka punya banyak bukti."
"Kau tidak mirip ayahmu atau ibumu. Anak-anak me?reka semuanya putih, sedangkan kulitmu gelap. Lagi pula, dari mana mereka punya uang begitu banyak untuk me?nemukan anak yang hilang" Coba pikirkan baik-baik, lalu simpulkan. Menurut pendapatku, kau bukan anak keluarga Driscoll. Tulislah surat pada Ibu Barberin dan minta dia memberitahumu, apa saja pakaian yang kaukenakan waktu kau ditemukan. Lalu tanya pada orang yang kaukira ayah?mu itu untuk menggambarkan pakaian yang dipakai bayi?nya sewaktu diculik. Sebelum memastikan itu, aku tidak akan pergi meninggalkanmu."
"Tapi bagaimana kalau suatu hari nanti kau dipukuli?"
"Tidak apa-apa, kalau dipukuli demi seorang teman," Mattia menjawab dengan tersenyum.
Kami baru pulang ke Red Lion Court sesudah malam. Ayah dan ibuku sama sekali tidak berkomentar. Sesudah makan, ayahku menarik dua kursi ke dekat perapian, dan ini membuat kakekku menggeram kesal. Ayahku meminta kami menceritakan bagaimana kami bisa menyambung hi?dup selama berada di Prancis. Kuceritakan seluruh kisah?nya.
"Kami bukan sekadar mendapat uang untuk hidup, tapi juga untuk membeli sapi," Mattia berkata dengan yakin. Lalu dia menceritakan bagaimana kami membeli sapi itu.
"Kalian pasti anak-anak pintar," kata ayahku. "Coba tun?jukkan, kalian bisa apa saja." Kuambil harpaku dan kumainkan sepotong lagu, tetapi bukan lagu Neapolitan-ku. Mattia memainkan sepotong lagu juga dengan biolanya, lalu dengan trompetnya. Per?mainan trompet solo itulah yang mendapat tepukan paling meriah dari anak-anak yang berkumpul melingkar me?nonton kami.
"Dan Capi, dia bisa apa saja?" tanya ayahku. "Dia juga mesti menyumbang untuk makanannya."
Aku sangat bangga akan bakat-bakat Capi. Kusuruh dia melakukan semua trik-nya, dan seperti biasa dia sukses besar.
"Wah, anjing itu hebat sekali," seru ayahku.
Aku senang sekali mendengar pujiannya. Kukatakan padanya Capi bisa belajar apa pun yang diajarkan pada?nya. Ayahku menerjemahkan ucapanku ke dalam bahasa Inggris, dan sepertinya dia menambahkan sesuatu yang membuat orang-orang tertawa, sebab si kakek tua menge?dipkan matanya beberapa kali dan berkata, "Anjing he?bat!"
"Aku punya usul," kata ayahku, "tapi itu kalau Mattia mau tinggal bersama kita."
"Aku ingin tetap bersama Remi," sahut Mattia.
"Nah, begini usulku," ayahku melanjutkan. "Kami bukan orang kaya dan kami semua bekerja. Pada musim panas, kami berkelana ke seluruh penjuru negeri, dan anak-anak menjual barang-barang pada orang-orang yang malas men?datangi kami. Tetapi di musim dingin kami tidak banyak pekerjaan. Nah, kau dan Remi bisa bermain musik di ja?lanan. Kalian akan mendapat cukup banyak uang men?jelang Natal, tapi Ned dan Allen mesti membawa Capi bersama mereka dan Capi akan membuat orang-orang ter?tawa dengan ulahnya. Dengan begitu, kita bagi-bagi tu?gas."
"Capi hanya bisa bekerja sama denganku," aku cepat-cepat berkata. Aku tidak mau dipisahkan dari anjingku.
"Dia akan belajar bekerja sama dengan Allen dan Ned," kata ayahku. "Dengan begitu, kita akan dapat uang lebih banyak."
"Oh, tapi bersama Capi kami bisa dapat uang jauh lebih banyak lagi," aku bersikeras.
"Cukup," sahut ayahku tegas, "kalau aku bilang begitu, berarti harus begitu. Tidak boleh membantah."
Aku tidak berkata apa-apa lagi. Malam itu, saat aku ber?baring di tempat tidurku, Mattia berbisik ke telingaku, "Besok tulislah surat pada Ibu Barberin." Setelah itu dia melompat naik ke tempat tidurnya.
Tapi keesokan paginya aku harus melatih Capi. Ku?gendong dia dan sambil mencium hidungnya yang dingin dengan lembut, kujelaskan padanya apa yang harus dia lakukan. Anjing malang! Dia menatapku dan mendengar?kan baik-baik. Lalu kuserahkan tali lehernya pada Allen dan Capi mengikuti kedua anak lelaki itu dengan patuh, meski dia tampak sangat sedih.
Ayahku membawa Mattia dan aku melintasi London, ke tempat rumah-rumah indah berdiri, jalanan-jalanan bagus dengan trotoar-trotoar lebar, dan kereta-kereta kuda yang bersinar seperti kaca, ditarik kuda-kuda gagah dengan kusir-kusir berbadan besar dan gemuk, dengan rambut palsu bertabur bedak. Sudah malam ketika kami pulang ke Red Lion Court, sebab jarak dari West End ke Bethnal-Green jauh sekali. Betapa senangnya aku bertemu Capi lagi. Badan Capi kotor oleh lumpur, tetapi dia tampak gem?bira. Aku senang sekali melihatnya, sehingga setelah mem?bersihkan bulunya dengan jerami kering, kuselimuti dia dengan selimut kulit dombaku dan kubawa dia tidur di ranjangku.
Rutinitas ini berlangsung selama beberapa hari. Mattia dan aku pergi bersama, sedangkan Capi ikut dengan Ned dan Allen. Lalu suatu sore ayahku berkata besok kami bo?leh mengajak Capi, sebab dia ingin menyuruh kedua anak lelaki lainnya mengerjakan sesuatu di dalam rumah. Mattia dan aku senang sekali, dan kami berniat berusaha sebaik mungkin untuk membawa pulang uang banyak, supaya kami boleh mengajak Capi untuk seterusnya. Kami harus memperoleh Capi kembali, dan kami akan berbuat se?mampunya. Pagi-pagi sekali Capi sudah dimandikan dan disisir bulunya, lalu kami pun berangkat.
Sayangnya rencana kami terhalang kabut tebal yang su?dah dua hari penuh menggelayuti langit kota London. Kabut itu begitu tebal sehingga kami hanya bisa melihat beberapa langkah di depan kami, dan orang-orang yang mendengarkan kami bermain musik di balik tirai kabut ini tidak bisa melihat Capi. Ini sangat memengaruhi "per-olehan" kami. Mana aku tahu bahwa beberapa menit kemu?dian, kabut itu ternyata sangat berjasa bagi kami. Kami sedang berjalan di salah satu jalanan yang paling populer ketika mendadak kulihat Capi tidak bersama kami lagi. Ini sungguh aneh, sebab biasanya dia selalu dekat-dekat kami. Aku menunggu dia menyusul kami. Aku berdiri di mulut sebuah lorong gelap dan bersiul pelan, sebab kami hanya bisa melihat dalam jarak sangat dekat. Aku mulai takut Capi dicuri, tapi tahu-tahu anjing itu datang berlari-lari sambil menggondol sepasang stoking wol di mulutnya. Dia menaruh kedua kaki depannya di tubuhku, lalu sambil menggonggong diserahkannya stoking itu padaku. Dia ke?lihatannya bangga sekali, seperti kalau dia berhasil me?laksanakan trik-trik-nya yang paling sulit, dan dia meng?inginkan pujianku. Semua itu hanya berlangsung beberapa detik. Aku berdiri tertegun. Lalu Mattia merenggutkan sto-king itu dan menarikku ke dalam gang.
"Jalan cepat, tapi jangan lari," bisiknya.
Sesudahnya dia memberitahuku bahwa tadi seorang laki-laki berjalan bergegas-gegas di trotoar dan terdengar berkata, "Mana pencuri itu" Akan kutangkap dia!" Kami pergi lewat ujung gang satunya.
"Kalau bukan karena kabut ini, kita bakal ditangkap se?bagai pencuri," kata Mattia.
Sejenak aku berdiri saja, nyaris tersedak. Capi, anjingku yang manis dan jujur, telah mereka jadikan pencuri.
"Pegang dia erat-erat," kataku, "dan kita pulang."
Kami berjalan cepat-cepat.
Ayah dan ibuku sedang duduk di depan meja, melipat bahan. Kulemparkan stoking itu ke lantai. Allen dan Ned tertawa.
"Lihat stoking ini," kataku, "kalian mengajari anjingku mencuri. Kupikir kalian mengajaknya untuk menghibur orang-orang."
Aku gemetar begitu hebat sampai nyaris tidak bisa bi?cara, tapi aku sudah menguatkan tekad.
"Dan kalau bukan untuk menghibur orang-orang, kau mau apakan dia, coba" Aku ingin tahu," tuntut ayahku.
"Akan kulilitkan tali di lehernya dan meskipun aku sa?yang sekali padanya, akan kutenggelamkan dia. Aku tidak mau Capi menjadi pencuri, sama seperti aku juga tidak mau jadi pencuri, dan kalau kupikir ada kemungkinan aku jadi pencuri, lebih baik aku langsung menenggelamkan diri bersama anjingku."
Ayahku menatap wajahku lekat-lekat. Kupikir dia akan memukulku. Kedua matanya berkilat-kilat. Tapi aku tidak takut.
"Oh, baiklah kalau begitu," katanya setelah berhasil me?ngendalikan diri. "Supaya itu tidak terjadi lagi, untuk se?lanjutnya kau boleh bawa Capi bersamamu."
Kuacungkan tinjuku pada kedua anak laki-laki itu. Aku tidak bisa bicara pada mereka, tetapi dari sikapku mereka tahu bahwa mereka mesti berhadapan denganku kalau me?reka berani macam-macam lagi dengan anjingku. Aku rela berkelahi melawan mereka berdua, demi untuk melindungi Capi.
Sejak hari itu, semua anggota keluargaku terang-terangan menunjukkan rasa tak suka mereka terhadapku. Kakekku masih terus meludah dengan marah kalau ku-dekati. Kedua anak laki-laki dan saudariku yang sulung selalu berusaha mempermainkan aku kalau ada kesem?patan. Ayah dan ibuku tidak mengacuhkan aku, mereka hanya menuntut setoran uang setiap hari. Dari seluruh ke?luarga itu, yang semula begitu kusayangi sewaktu aku baru tiba di Inggris, hanya si bayi Kate yang mau ku-dekati, tetapi kalau aku tidak membawa permen atau jeruk di sakuku untuknya, dia juga membalikkan badan menolak?ku dengan dingin.
Meski mulanya aku tidak mau mendengarkan perkataan Mattia, lambat laun aku mulai bertanya-tanya, benarkah aku bagian dari keluarga ini" Mereka begitu tidak ber?sahabat padaku, padahal aku tidak pernah menyusahkan mereka. Mattia, yang melihatku sangat cemas, suka berkata begini, seperti orang bicara sendiri, "Aku penasaran, Ibu Barberin akan bilang apa tentang pakaian yang dulu kau-kenakan..."
*** Akhirnya surat itu datang juga. Pastor yang menuliskannya untuk Ibu Barberin. Begini bunyinya:
Remi kecilku: aku terkejut dan sedih mendengar isi surat?mu. Dari apa yang diceritakan Pak Barberin padaku, dan juga dari pakaian yang kaukenakan sewaktu ditemukan, kupikir kau berasal dari keluarga yang sangat kaya. Aku bisa mengatakan dengan mudah, apa saja yang kaukenakan, sebab aku masih menyimpan semuanya. Kau tidak ter?bungkus selimut seperti bayi-bayi Prancis umumnya, kau memakai baju panjang dan rok dalam seperti bayi-bayi Inggris. Kau mengenakan baju luar putih dari bahan flanel, dan baju luar dari linen yang sangat halus, juga jubah besar dari kasmir putih dengan pinggiran sutra putih ber?hiaskan sulaman indah dari benang putih. Kau memakai topi kerudung dari bahan renda yang sangat cantik, berikut kaus kaki wol putih dengan hiasan mawar-mawar kecil dari sutra. Dari semua pakaiantnu, tidak ada yang ditandai, te?tapi jaket flanel kecil yang kaupakai, serta baju flanelmu, dua-duanya ditandai, tetapi tandanya sudah digunting de?ngan hati-hati. Nah, Remi, anakku, hanya itu yang bisa kuberitahukan padamu, jangan khawatir, anakku tersayang, bahwa kau tidak bisa memberikan hadiah-hadiah indah yang telah kaujanjikan. Sapi yang kaubeli dengan tabunganmu sama nilainya dengan seluruh hadiah di dunia bagiku. Sapi itu sangat sehat dan menghasilkan susu sangat banyak, jadi sekarang aku bisa hidup nyaman, dan setiap kali melihat sapi itu aku teringat dirimu dan teman kecilmu Mattia. Berkabarlah sekali-sekali, kau sangat manis dan penyayang, dan berhubung kau telah menemukan keluargamu, kuharap mereka menyayangimu seperti yang layak kauterima. Cium sayang.
Ibu angkatmu, Ibu janda Barberin.
*** Ibu Barberin tersayang! Dia membayangkan semua orang mesti menyayangiku seperti dia menyayangiku.
"Dia orang baik kata Mattia, "sangat baik, dia ingat padaku! Nah, sekarang kita lihat, Mr. DriscoII akan bilang apa."
"Mungkin saja dia sudah lupa tentang pakaianku dulu."
"Apa orang bisa lupa pakaian yang dipakai anaknya se?waktu diculik" Wah, padahal pakaian itu satu-satunya jalan untuk menemukan si anak."
"Sebelum berpikir macam-macam, kita dengar dulu apa katanya."
Tidak mudah bagiku untuk menanyakan kepada ayahku tentang pakaian yang kupakai pada hari aku diculik. Se?andainya aku berani bertanya tanpa banyak pikir, tentu akan cukup mudah. Tapi aku takut. Lalu suatu hari, ketika hujan es dingin membuatku terpaksa pulang lebih awal, kukumpulkan keberanianku dan kutanyakan urusan yang telah membuatku sangat penasaran ini. Mendengar per?tanyaanku, ayahku menatap wajahku lekat-lekat. Tetapi aku balas menatapnya dengan lebih berani daripada yang sebelumnya kubayangkan. Lalu dia tersenyum. Ada kesan keras dan kejam dalam senyumnya, tapi toh dia terse?nyum.
"Pada hari kau diculik dari kami/' katanya pelan-pelan, "kau memakai baju dari kain flanel, baju dari linen, topi kerudung dari bahan berenda, sepatu putih dari wol, dan jubah putih bersulam. Dua pakaianmu diberi tanda F.D., Francis Driscoll, nama aslimu, tetapi tanda itu dipotong oleh perempuan yang menculikmu, sebab dia berharap de?ngan begitu kau tidak akan pernah ditemukan. Akan ku?tunjukkan padamu surat baptismu yang, tentunya, masih kusimpan."
Dia mencari-cari di dalam laci dan mengeluarkan sehelai kertas besar yang disodorkannya padaku.
"Kalau boleh, Mattia akan menerjemahkan isinya untuk?ku," aku berkata dengan sisa-sisa keberanianku.
"Tentu." Mattia menerjemahkannya sebaik mungkin. Ternyata aku lahir pada hari Kamis, tanggal 2 Agustus, dan aku anak laki-laki John Driscoll dan Margaret Grange, istrinya.
Bukti apa lagi yang bisa kuminta"
"Boleh saja dia bilang begitu," Mattia berkata malam itu, setelah kami berada di karavan kami, "tapi bagaimana mungkin pedagang keliling bisa punya uang untuk mem?berikan topi kerudung dari renda dan jubah bersulam pada anaknya" Pedagang keliling kan tidak sekaya itu."
"Justru karena mereka pedagang keliling, maka mereka bisa mendapatkan barang-barang itu dengan harga lebih murah."
Mattia bersiul, tapi dia menggeleng, lalu dia berbisik lagi, "Kau bukan si bayi Driscoll itu, tapi kau bayi yang dicuri Driscoll!"
Aku hendak menjawab, tetapi Mattia sudah naik ke tem?pat tidurnya.
Bab Dua Puluh Delapan Orang Asing Misterius Andai aku jadi Mattia, mungkin aku juga akan mem?bayangkan yang tidak-tidak, tetapi dalam posisiku ini aku merasa tidak baik memiliki pikiran-pikiran semacam itu. Sudah terbukti dan tak bisa diragukan lagi bahwa Mr. Driscoll adalah ayahku. Aku tidak bisa memandang urusan ini dari sudut pandang Mattia. Mattia boleh saja ragu... tapi aku tidak boleh. Ketika Mattia mencoba membuatku mengikuti pendapatnya, kusuruh dia diam. Tetapi dia ke?ras kepala dan aku tidak selalu bisa melawan kekeras-kepalaannya itu.
"Kenapa kulitmu gelap sedangkan semua anggota ke?luargamu berkulit terang?" dia berkali-kali menanyakan ini.
"Bagaimana bisa orang-orang miskin mendandani bayi mereka dengan pakaian-pakaian indah berenda dan ber?sulam?" Ini juga sering kali ditanyakannya berulang-ulang. Dan aku hanya bisa menjawab dengan balik bertanya.
"Kenapa mereka mencari-cari aku kalau aku bukan anak
mereka" Kenapa mereka memberi uang pada Pak Barberin, dan pada Greth and Galley?"
Mattia tidak bisa menemukan jawabannya, tetapi dia te?tap tidak mau diyakinkan.
"Kurasa sebaiknya kita sama-sama pulang ke Prancis," desaknya.
"Itu mustahil."
"Karena kau merasa kewajibanmu adalah bersama ke?luargamu, eh" Tapi apa benar mereka keluargamu?"
Percakapan ini membuatku semakin tidak bahagia. Rasa?nya sangat tidak pantas kalau aku meragukan. Tetapi, mes?ki aku mati-matian berusaha tidak meragukan, keraguan itu tetap ada. Dulu aku menangis sangat sedih karena me?ngira diriku sebatang kara. Mana kusangka sekarang aku justru begitu tidak bahagia setelah menemukan keluargaku. Bagaimana supaya aku bisa tahu kebenarannya" Sementara itu, aku harus tetap menyanyi, menari, tertawa, dan me?nunjukkan ekspresi-ekspresi lucu, padahal hatiku begitu kalut.
Pada suatu hari Minggu, ayahku menyuruhku tetap di rumah, sebab dia ada perlu denganku. Dia menyuruh Mattia berangkat sendirian. Orang-orang lain juga sudah pergi. Hanya kakekku yang ada di ruang atas. Kira-kira satu jam kemudian, terdengar ketukan di pintu. Ada tamu. Seorang laki-laki yang bukan seperti orang-orang yang biasa mengunjungi ayahku. Umurnya sekitar lima puluh tahun dan pakaiannya gaya sekali, sesuai mode. Gigi-gigi?nya putih tajam seperti anjing, dan waktu tersenyum dia menyeringai seperti hendak menggigit. Dia bicara dengan ayahku dalam bahasa Inggris, sambil sering kali menoleh kepadaku. Kemudian dia mulai bicara dalam bahasa Prancis yang nyaris tanpa aksen.
"Ini anak laki-laki yang kauceritakan padaku?" tanyanya. "Kelihatannya dia sehat sekali."
"Jawab bapak itu," kata ayahku padaku.
"Ya, saya sehat," sahutku, terkejut.
"Kau belum pernah sakit?"
"Saya pernah kena radang paru-paru."
"Ah, kapan itu?"
"Tiga tahun yang lalu. Saya tidur dalam hawa dingin semalaman. Majikan saya, yang bepergian bersama saya, mati beku sedangkan saya kena radang paru-paru."
"Apakah sejak itu kau belum merasakan akibat penyakit-mu itu?"
"Belum." "Tidak pernah merasa lelah dan berkeringat kalau ma?lam?"
"Tidak. Kalaupun saya merasa lelah, itu karena saya ba?nyak berjalan kaki, tapi saya tidak menjadi sakit."
Orang itu menghampiriku dan merasa-rasakan kedua lenganku, lalu dia mendekatkan kepalanya ke jantungku, ke punggungku, dan ke dadaku, sambil menyuruhku me?narik napas dalam-dalam. Dia juga menyuruhku batuk. Setelah itu dia memandangiku lama sekali. Saat itulah ku?pikir dia ingin menggigitku, sebab gigi-giginya berkilau-kilau sewaktu dia tersenyum mengerikan. Beberapa waktu kemudian, dia dan ayahku pergi bersama-sama.
Apa maksudnya semua itu" Apakah dia ingin mem?pekerjakan aku" Berarti aku harus meninggalkan Mattia dan Capi. Tidak, aku tidak mau menjadi pelayan siapa pun, apalagi menjadi pelayan orang itu, yang belum apa-apa sudah tidak kusukai.
Lalu ayahku pulang dan berkata aku boleh pergi ke luar kalau mau. Aku masuk ke dalam karavanku, dan kaget
mendapati Mattia ada di situ. Dia menaruh satu jari di bibirnya.
"Pergilah dan buka pintu kandang," bisiknya. "Nanti aku menyusulmu pelan-pelan. Mereka tidak boleh tahu aku ada di sini."
Aku terheran-heran, tapi melakukan yang disuruhnya.
"Kau tahu siapa orang yang tadi menemui ayahmu?" dia bertanya tak sabar setelah kami keluar ke jalan. "Itu Mr. James Milligan, paman temanmu."
Aku melongo menatapnya di tengah-tengah trotoar. Dia menggamit lenganku dan menarikku jalan.
"Aku tidak mau berangkat sendirian," katanya, "jadi aku masuk ke karavan untuk tidur, tapi aku tidak tidur. Ayahmu dan seorang laki-laki masuk ke kandang dan aku mendengar semua omongan mereka. Mulanya aku tidak berusaha menguping, tapi lalu aku memasang telinga."
"'Kesehatannya bagus sekali kata orang itu. 'Sembilan dari sepuluh orang pasti mati, tapi dia berhasil lolos dari radang paru-paru.'
"'Bagaimana kabar keponakanmu"' ayahmu bertanya.
'"Sudah membaik. Tiga bulan lalu dokter-dokter lagi-lagi menyerah, tapi ibunya sekali lagi berhasil menyelamatkan?nya. Oh, dia memang ibu yang luar biasa, Mrs. Milligan itu.'
"Bisa kaubayangkan kenapa aku langsung menempelkan kupingku ke jendela begitu mendengar nama itu."
"'Lalu, kalau kondisi keponakanmu membaik, berarti semua yang kaulakukan selama ini sia-sia kata ayahmu.
"'Untuk saat ini barangkali begitu sahut orang satunya, tapi aku tidak bilang Arthur akan bertahan hidup. Suatu keajaiban kalau dia bertahan, dan aku tidak takut pada keajaiban. Kalau dia meninggal nanti, berarti akulah satu-satunya pewaris seluruh harta itu.
"'Jangan khawatir, akan kubereskan kata Driscoll.
"'Ya, aku mengandalkanmu sahut Mr. Milligan."
Mulanya yang langsung terpikir olehku adalah menanyai ayahku, tapi tidak bijaksana kalau kubiarkan mereka tahu percakapan mereka sudah didengar. Berhubung Mr. Milligan punya urusan dengan ayahku, kemungkinan dia akan datang lagi ke rumah, dan kali berikutnya dia datang, Mattia bisa membuntutinya. Toh dia tidak mengenal Mattia.
Beberapa hari kemudian, Mattia menemui temannya, Bob, orang Inggris yang dikenalnya di Gasset Circus. Dari cara Bob menyalami Mattia, bisa kulihat dia sangat me?nyukai Mattia. Dia juga langsung menyukai Capi dan aku. Mulai hari itu kami pun memiliki teman yang kuat, yang sangat banyak membantu kami dalam masa-masa ke?susahan, dengan membagi pengalaman serta nasihatnya.
Bab Dua Puluh Sembilan Di Penjara Musim semi datang begitu lambat, namun akhirnya tiba juga saatnya bagi keluarga Driscoll untuk meninggalkan London. Karavan-karavan sudah dicat kembali dan dimuati berbagai barang. Ada bahan-bahan pakaian, topi-topi, syal, saputangan, baju-baju hangat, pakaian dalam, anting-anting, pisau cukur, sabun, bedak, krim, segala macam barang.
Karavan-karavan itu penuh sesak. Kuda-kuda sudah di?beli. Di mana dan bagaimana" Aku tidak tahu, tetapi po?koknya kami melihat kuda-kuda itu datang dan semuanya siap berangkat. Mattia dan aku tidak tahu apakah kami harus tetap bersama si kakek atau ikut berangkat bersama yang lainnya, tetapi berhubung kami menghasilkan cukup banyak uang, kemarin malam ayahku berkata kami harus ikut dengannya dan memainkan musik kami.
"Ayo kita pulang ke Prancis," desak Mattia. "Sekarang inilah kesempatan kita."
"Kenapa tidak melintasi Inggris saja?"
"Dengar ya, kalau kita tetap di sini, sesuatu bakal ter?jadi. Selain itu, kita lebih mungkin menemukan Mrs. Milligan dan Arthur di Prancis. Kalau Arthur sakit, Mrs. Milligan pasti akan membawanya naik perahu, sebab mu?sim panas sebentar lagi datang."
Kukatakan padanya aku mesti tetap bersama keluarga?ku.
Hari itu juga kami berangkat. Siang harinya kulihat ke?luargaku menjual barang-barang dengan harga sangat mu?rah. Kami tiba di sebuah desa besar dan karavan-karavan diparkir di lapangan umum. Satu sisinya diturunkan dan barang-barang yang akan dijual pun dipajang dengan me?mikat, untuk dilihat-lihat para pembeli.
"Lihat harganya! Lihat harganya!" ayahku berseru-seru. "Di mana-mana tidak ada barang semurah ini! Aku tidak menjualnya, bisa dibilang aku membagi-baginya gratis. Coba lihat ini!"
"Barang-barang itu pasti curian," kudengar orang-orang berkata setelah melihat harga-harga barang-barang jualan kami. Andai mereka menoleh dan melihat ekspresi malu di wajahku, pasti mereka tahu bahwa dugaan mereka be?nar sekali.
Tetapi Mattia memperhatikanku. "Berapa lama lagi kau bisa menahankan ini?" tanyanya.
Aku terdiam. "Ayolah kita pulang ke Prancis," lagi-lagi dia mendesak. "Aku merasa bakal ada yang terjadi, tidak lama lagi. Apa kau tidak pikir, cepat atau lambat polisi akan mencium je?jak Driscoll, apalagi melihat betapa murahnya dia menjual barang-barang itu" Lalu apa yang akan terjadi?"
"Oh, Mattia...."
"Kalau kau mau tetap tutup mata, aku harus tetap buka mata lebar-lebar. Kita berdua akan ditangkap, padahal kita tidak berbuat salah, lapi bagaimana kita bisa membuktikan?nya" Bukankah kita makan makanan yang dibayar dengan uang yang dia peroleh dari menjual barang-barang ini?"
Itu tidak terpikir olehku. Sekarang ucapan itu terasa se?perti tamparan di wajahku.
"Tapi kita ikut mencari uang," kataku terbata-bata, men?coba membela diri kami.
"Memang benar, tapi kita tinggal bersama para pencuri," sahut Mattia, yang sekarang bicara lebih terus terang dari?pada sebelumnya. "Dan kalau kita dimasukkan ke penjara, kita tidak bakal bisa mencari keluargamu. Dan aku juga ingin sekali menemui Mrs. Milligan untuk memperingatkan dia tentang James Milligan itu. Kau tidak tahu apa yang akan dilakukan orang itu terhadap Arthur. Ayolah kita pergi selagi bisa."
"Beri aku waktu beberapa hari lagi untuk pikir-pikir, Mattia," kataku.
"Kalau begitu cepatlah. Aku mencium bahaya."
Ternyata akhirnya situasilah yang memutuskan. Beberapa minggu telah berlalu sejak kami meninggalkan London. Ayahku telah memarkir karavan-karavannya di sebuah kota tempat pacuan akan diadakan. Berhubung Mattia dan aku tidak ikut berjualan, kami pergi melihat-lihat arena pacuan yang letaknya agak jauh di luar kota. Di luar arena-arena pacuan Inggris biasanya ada pasar malam. Orang-orang dari berbagai kalangan, para pemusik, para pemilik kios, semuanya berkumpul di sana dua atau tiga hari sebelum acara dimulai.
Kami melewati sebuah perkemahan dengan api unggun dinyalakan. Sebuah ketel digantungkan di atas api. Ketika itulah kami mengenali teman kami Bob, yang pernah ber?sama Mattia di sirkus. Dia senang sekali bertemu kami lagi. Dia datang ke pacuan ini bersama dua temannya dan akan mengadakan pertunjukan pamer kekuatan. Dia sudah menyewa beberapa pemain musik, tetapi mereka tidak muncul pada saat-saat terakhir, dan dia khawatir pertun?jukan besok akan gagal. Dia membutuhkan pemusik untuk menarik penonton. Maukah kami mebantunya" Nanti ke?untungannya akan dibagi rata berlima. Bahkan Capi juga akan diberi bagian, sebab Bob ingin Capi mempertunjukkan trik-trik-nya selama jeda waktu. Kami setuju membantunya dan berjanji akan datang ke sana besok, pada jam yang telah dia tentukan.
Ketika hal ini kusampaikan kepada ayahku, dia berkata kami tidak boleh mengajak Capi, sebab dia membutuhkan anjing itu. Aku takut mereka akan menyuruh anjingku ber?buat jahat lagi. Dari ekspresi mukaku, ayahku bisa me?nebak pikiranku.
"Oh, tidak usah khawatir," katanya. "Capi anjing pen?jaga yang baik. Dia mesti berdiri di dekat karavan-karavan. Dengan begitu banyaknya pengunjung, kami bisa dirampok dengan gampang. Kalian berdua pergilah bermain-main dengan teman kalian si Bob, dan kalau kalian baru selesai sesudah malam, kalian bisa menyusul kami di Old Oak Tavern. Besok kita melanjutkan perjalanan."
Malam sebelumnya kami lewatkan di Old Oak Tavern yang berjarak satu mil jauhnya, dan berlokasi di jalanan sepi. Tempat itu dikelola sepasang suami-istri yang penam?pilannya mencurigakan. Tidak sulit menemukan tempat ini, karena berada di jalanan lurus saja. Satu-satunya faktor yang menjengkelkan adalah kami harus berjalan kaki jauh setelah menjalani hari yang melelahkan.
Tetapi kalau ayahku sudah menyuruh sesuatu, aku harus patuh. Aku sudah berjanji akan menyusulnya di tempat itu. Keesokan harinya, setelah mengikat Capi ke karavan untuk bertugas sebagai anjing penjaga, aku cepat-cepat berangkat ke arena pacuan bersama Mattia.
Kami mulai bermain musik begitu tiba di sana, dan te?rus bermain musik sampai malam. Jemariku sakit seperti habis ditusuk-tusuk ribuan jarum dan Mattia yang malang sudah begitu lama meniup trompetnya, sehingga dia nyaris tidak bisa bernapas. Waktu itu sudah lewat tengah malam. Persis ketika mereka sedang mengadakan pertunjukan ter?akhir, sepotong besi besar yang digunakan dalam per?tunjukan itu jatuh menimpa kaki Mattia. Kupikir kakinya patah, tapi ternyata hanya lebam-lebam parah. Tidak ada tulang yang patah, tetapi tetap saja dia tidak bisa ber?jalan.
Maka diputuskan Mattia akan tinggal bersama Bob ma?lam itu, dan aku akan berangkat sendirian ke Old Oak Tavern, sebab aku harus tahu ke mana keluarga Driscoll akan pergi keesokan harinya. Suasana sudah gelap waktu aku tiba di tempat tersebut. Aku melihat-lihat sekelilingku, mencari-cari karavan-karavan itu. Tapi tidak terlihat satu pun. Yang terlihat olehku hanyalah sebuah kandang besar di sebelah satu atau dua gerobak reyot. Dan ketika aku semakin dekat, dari kandang itu terdengar rintihan seekor binatang liar. Karavan-karavan indah berwarna-warni cerah milik keluarga Driscoll sudah tidak ada.
Aku mengetuk pintu tempat penginapan itu. Pemiliknya membukakan pintu dan mengarahkan cahaya lenteranya ke wajahku. Dia mengenali aku, tapi bukannya menyuruh?ku masuk, dia malah menyuruhku cepat-cepat menyusul keluargaku yang sudah berangkat ke Lewes. Katanya se?baiknya aku tidak buang-buang waktu lagi. Lalu dia mem?banting pintu di mukaku.
Sejak tinggal di Inggris, aku sudah lumayan fasih ber?bahasa Inggris. Aku mengerti dengan jelas apa yang di?katakan si pemilik penginapan, tetapi aku sama sekali ti?dak tahu di mana letak Levves ini. Selain itu, kalaupun tahu arah yang mesti kuambil, aku tidak mungkin pergi begitu saja dan meninggalkan Mattia. Maka aku pun me?mulai perjalanan pulangku yang melelahkan ke arena pacuan. Satu jam kemudian aku sudah tidur di samping Mattia di gerobak milik Bob.
Keesokan paginya Bob memberitahukan arah menuju Lewes dan aku siap berangkat. Ketika sedang memandangi Bob merebus air untuk sarapan, aku mengalihkan pandang dari api dan melihat Capi dituntun ke arah kami oleh se?orang polisi. Apa maksudnya ini" Begitu mengenaliku, Capi menarik-narik tali lehernya dan melepaskan diri dari si polisi. Dia berlari ke arahku dan melompat ke dalam pelukanku.
"Ini anjingmu?" tanya si polisi.
"Ya." "Kalau begitu, kau harus ikut denganku. Kau ditang?kap."
Dia mencengkeram kerah bajuku.
"Apa maksudmu menangkap anak itu?" teriak Bob se?raya bangkit berdiri dari dekat api.
"Kau kakaknya?"
"Bukan, temannya."
"Nah, semalam Gereja St. George dirampok seorang laki- laki dan anak lelaki. Mereka menggunakan tangga untuk naik ke jendela. Anjing ini ada di sana untuk memberi tanda. Mereka tertangkap basah, dan karena terburu-buru keluar lewat jendela, anjing ini tertinggal di dalam gereja. Aku tahu anjing ini pasti bisa menuntunku kepada maling-maling itu. Sekarang sudah dapat satu, tapi di mana ayah?nya?"
Aku tidak sanggup berkata-kata sepatah pun. Mattia, yang mendengar semuanya, keluar dari karavan dan ter- pincang-pincang menghampiriku. Bob sedang mengatakan kepada polisi itu bahwa aku tidak mungkin terlibat, sebab aku ada bersamanya sampai jam satu, lalu aku pergi ke Old Oak Tavern dan berbicara dengan si pemiliknya, dan kemudian langsung kembali ke sini.


Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gereja itu dimasuki pencuri pada jam satu lewat seper?empat," kata si polisi, "dan anak ini pergi dari sini jam satu, jadi bisa saja dia menemui rekannya dan pergi ke gereja itu."
"Dari sini ke kota perlu waktu lebih dari seperempat jam," ujar Bob.
"Kalau dengan berlari, tidak," sahut si polisi. "Dan apa buktinya dia pergi dari sini pada jam satu?"
"Aku bisa membuktikannya. Aku berani sumpah," seru Bob.
Si polisi hanya angkat bahu. "Anak ini bisa menjelaskan nanti kepada hakim," katanya.
Ketika aku hendak dibawa pergi, Mattia merangkul leherku, seperti hendak memelukku, tetapi sebenarnya dia hendak mengatakan sesuatu.
"Tetap tabah ya," bisiknya, "kami tidak akan menelantar- kanmu."
"Jaga Capi," kataku dalam bahasa Prancis, tetapi polisi itu mengerti.
"Oh, tidak," katanya. "Anjing itu tetap bersamaku. Dia membantuku menemukanmu. Dia pasti bisa membantuku menemukan yang satunya lagi."
Dengan diborgol ke tangan si polisi, aku harus melewati
tatapan sejumlah besar orang, tetapi mereka tidak men?cemoohku seperti yang dilakukan para petani di Prancis sewaktu aku mula-mula ditangkap dulu itu. Orang-orang ini hampir semuanya tidak menyukai polisi. Mereka adalah kaum gipsi, para pengembara, singkatnya para petualang bohemian.
Kali ini di penjara tempat aku ditahan tidak ada tebaran bawang putih. Ini penjara sungguhan, dengan jeruji-jeruji besi di jendela-jendelanya. Melihat jeruji-jeruji itu, pikiran untuk kabur langsung sirna dari benakku. Di dalam sel ini hanya ada bangku dan tempat tidur gantung. Aku meng?empaskan tubuh ke bangku dan duduk di situ untuk waktu lama, memegangi kepalaku dengan dua tangan. Mattia dan Bob, walaupun dibantu teman-teman lainnya, tidak akan pernah bisa membebaskan aku dari sini. Aku bangkit berdiri dan beranjak ke jendela. Jeruji-jerujinya kokoh dan rapat. Tembok-temboknya setebal sembilan pu?luh senti. Tanah di bawahnya dilapis batu-batu besar. Pintu?nya ditutup pelat besi... Tidak, aku tidak akan bisa kabur dari sini.
Aku mulai bertanya-tanya, bisakah aku membuktikan bahwa aku tidak bersalah, meskipun Capi ditemukan ber?ada di dalam gereja itu. Mattia dan Bob bisa membantuku dengan membuktikan alibiku. Kalau ini berhasil, aku selamat, walaupun bertentangan dengan kesaksian bisu anjingku yang malang. Ketika petugas penjara datang mem?bawakan makanan, kutanyakan padanya kapan aku akan dihadapkan ke muka hakim. Waktu itu aku tidak tahu bahwa di Inggris terdakwa dibawa ke pengadilan sehari setelah ditangkap. Si petugas penjara, yang kelihatannya baik hati, berkata bahwa besok aku pasti sudah dihadap?kan kepada hakim.
Aku sudah mendengar cerita-cerita tentang para tahanan yang menemukan pesan-pesan dari teman-teman mereka di dalam makanan yang dibawakan untuk mereka. Aku tak sanggup menyentuh makananku, tetapi aku langsung mulai memecah-mecah rotiku. Tidak ada apa-apa di dalam?nya. Ada beberapa butir kentang juga. Kulumat habis, tapi tidak ada pesan sekecil apa pun. Malam itu aku sama se?kali tidak tidur.
Keesokan paginya petugas penjara datang ke sel-ku de?ngan membawa sewadah air dan baskom. Dia menyuruhku mencuci badan kalau mau, sebab aku akan dihadapkan kepada hakim dan akan lebih baik kalau aku berpenam?pilan bersih. Beberapa waktu kemudian dia datang lagi dan menyuruhku mengikutinya. Kami menyusuri sejumlah lorong dan akhirnya sampai ke sebuah pintu kecil. Dia membukanya.
"Masuklah," katanya.
Ruangan yang kumasuki sangat pengap. Terdengar gu?maman bingung suara-suara. Meskipun kedua pelipisku berdenyut-denyut dan aku nyaris tak bisa berdiri, aku masih bisa mengamat-amati keadaan sekelilingku. Ruangan itu berukuran sedang, dengan jendela-jendela besar dan langit-langit tinggi. Hakim duduk di panggung yang di?tinggikan. Di bawahnya, di bagian depan, duduk tiga pe?tugas pengadilan lain. Di dekat tempatku berdiri ada se?orang bapak yang memakai jubah dan rambut palsu. Aku terkejut ketika mengetahui orang itu pengacaraku. Bagai?mana aku bisa punya pengacara" Dari mana datangnya orang itu"
Di antara para saksi, aku melihat Bob dan kedua teman?nya, juga pemilik Old Oak Tavern dan beberapa orang lain yang tidak kukenal. Di sisi seberang, di antara beberapa orang lain lagi, aku melihat polisi yang kemarin me?nangkapku. Jaksa secara singkat menyampaikan kejahatan yang dituduhkan padaku. Perampokan di Gereja St. George. Para pencuri, seorang laki-laki dewasa dan seorang anak kecil, memanjat naik tangga dan memecahkan kaca jendela untuk masuk ke dalam. Mereka membawa anjing yang ditugasi memberi peringatan kalau ada orang. Pada jam satu lewat seperempat, seorang pejalan kaki yang pu?lang malam melihat cahaya di dalam gereja, dan dia lang?sung membangunkan penjaga gereja. Beberapa pria lari ke dalam gereja. Si anjing menggonggong dan para pencuri kabur lewat jendela, meninggalkan anjing itu di dalam sana. Kecerdasan anjing itu luar biasa. Keesokan paginya anjing itu menuntun si polisi ke arena pacuan, dan di sana dia mengenali majikannya yang sekarang menjadi tertuduh dan berdiri sebagai terdakwa. Mengenai pencuri satunya, mereka sedang melacak jejaknya dan berharap akan me?nangkapnya tidak lama lagi.
Tak banyak yang bisa diucapkan bagiku. Teman-temanku mencoba membuktikan alibiku, tetapi jaksa mengatakan aku punya cukup banyak waktu untuk menemui rekanku di gereja, lalu lari ke Old Oak Tavern sesudahnya. Kemu?dian aku ditanya, bagaimana aku akan menjelaskan ke?beradaan anjingku di dalam gereja pada jam satu lewat seperempat. Kujawab bahwa aku tidak bisa mengatakan apa-apa, sebab anjing itu tidak bersamaku seharian. Tetapi kunyatakan diriku tidak bersalah. Pengacaraku mencoba membuktikan bahwa anjingku masuk begitu saja ke dalam gereja pada siang harinya, dan terkunci di dalam ketika petugas gereja mengunci pintu. Pengacaraku sudah ber?usaha membantuku sebisanya, tetapi pembelaan yang di?ajukannya lemah. Kemudian hakim berkata aku harus dibawa ke penjara daerah, menunggu Dewan Juri memutus?kan apakah aku perlu atau tidak perlu ditahan untuk men?jalani sidang di hadapan Dewan Juri.
Dewan Juri! Aku terenyak di bangkuku. Oh, kenapa aku tidak men?dengarkan perkataan Mattia.
Bab Tiga Puluh Kabur Aku tidak dibebaskan karena hakim masih menunggu ter?tangkapnya orang yang telah memasuki gereja bersama si anak kecil. Setelah orang itu ditangkap, barulah mereka bisa mengetahui apakah aku memang rekan kejahatan orang tersebut. Mereka sedang melacak jejaknya, demikian kata jaksa. Jadi, dalam sidang pengadilan nanti aku harus muncul di bangku terdakwa di sampingnya.
Sore itu, menjelang magrib, aku mendengar nada-nada bening trompet. Mattia ada di luar sana! Mattia sobatku tersayang! Dia ingin memberitahukan bahwa dia ada di dekat-dekat sini dan dia tidak lupa padaku. Dia jelas-jelas berada di jalanan seberang tembok sana, persis berhadap- hadapan dengan jendelaku. Aku mendengar langkah- langkah kaki dan gumam suara orang banyak. Barangkali Mattia dan Bob sedang mengadakan pertunjukan.
Tiba-tiba saja kudengar suara berseru keras dalam ba?hasa Prancis, "Besok menjelang subuh!" Kemudian Mattia langsung memainkan trompetnya dengan suara sangat keras.
Jelas bagiku bahwa kata-kata dalam bahasa Prancis yang tadi diucapkan Mattia bukan ditujukan kepada penonton yang berbahasa Inggris. Aku tidak begitu yakin maksud kata-kata itu, tapi sepertinya aku harus siap siaga men?jelang subuh besok. Begitu hari sudah gelap, aku naik ke tempat tidur gantungku, tetapi baru beberapa waktu kemu?dian aku bisa tidur, meskipun aku sangat lelah. Akhirnya mataku terpejam juga. Waktu aku terbangun, hari sudah malam. Bintang-bintang bersinar di langit gelap dan ke?heningan menyelimuti alam semesta. Terdengar jam ber?dentang tiga kali. Aku menghitung jam demi jam yang berlalu. Sambil bersandar di dinding, kedua mataku tertuju ke jendela. Kupandangi bintang-bintang padam satu per satu. Di kejauhan kudengar ayam-ayam jantan berkokok. Fajar sebentar lagi tiba.
Kubuka jendela dengan sangat pelan. Apa yang ku?harapkan" Jeruji-jeruji besi itu masih ada, begitu pula tem?bok tinggi di seberang sana. Aku tidak bisa keluar, tetapi aku tetap berharap mendapatkan kebebasan, walaupun pi?kiran ini kedengarannya bodoh. Udara subuh membuatku menggigil, tapi aku tetap berdiri di dekat jendela, meman?dang ke luar pada entah apa, mendengarkan meski tidak tahu apa yang mesti didengarkan. Segumpal awan putih besar melayang di langit. Fajar telah tiba. Jantungku ber?debar kencang. Kemudian sepertinya aku mendengar bunyi menggaruk di tembok, tapi tidak terdengar suara langkah- langkah kaki. Aku memasang telinga. Bunyi menggaruk itu masih terus terdengar. Lalu sebuah kepala muncul di atas tembok. Dalam cahaya remang-remang itu aku me?ngenali wajah Bob.
Dia melihat aku menempelkan wajah dari balik jeruji.
"Jangan berisik!" katanya pelan.
Dia memberi isyarat supaya aku menjauhi jendela. Meski bertanya-tanya, aku mematuhinya. Dia mengeluarkan sum?pitnya dan meniupkan sesuatu. Sebuah bola kecil melayang dan jatuh di kakiku. Lalu kepala Bob lenyap.
Kuambil bola itu. Terbuat dari kertas tisu yang diremas- remas sampai sekecil kacang polong. Aku tidak bisa mem?baca apa yang tertulis di kertas itu, karena cahaya terlalu redup. Aku mesti menunggu sampai hari terang. Maka ku?tutup jendelaku dengan hati-hati, lalu aku berbaring kem?bali di tempat tidur gantungku, gulungan kertas itu ku?genggam. Betapa lama rasanya menunggu hari terang. Tetapi akhirnya aku bisa membaca apa yang tertulis di ker?tas itu. Begini bunyinya:
"Besok kau akan dibawa naik kereta api ke penjara. Seorang polisi akan ikut mendampingimu di gerbong. Tetaplah ber?ada dekat pintu masuk. Setelah empat puluh menit (hitung baik-baik), kereta akan mengurangi kecepatan sewaktu men?dekati persimpangan. Bukalah pintu dan melompatlah ke luar. Kau harus mendaki bukit kecil di sebelah kiri. Kami akan ada di sana. Tetaplah tabah. Dan terutama melompat?lah dengan penuh perhitungan dan mendaratlah dengan baik."
Selamat! Berarti aku tidak perlu muncul di hadapan si?dang pengadilan! Mattia yang baik, Bob yang baik! Betapa baiknya Bob yang bersedia membantu Mattia, sebab Mattia tidak mungkin melakukan ini sendirian.
Kubaca kembali catatan itu. Empat puluh menit setelah kereta berangkat... Bukit di sebelah kiri... sangat riskan me?lompat dari kereta, tapi kalaupun aku mati saat melompat,
aku tetap akan melakukannya. Lebih baik mati daripada dituduh sebagai pencuri.
Apakah mereka memikirkan Capi"
Setelah membaca kembali surat itu, kukunyah-kunyah kertasnya sampai hancur.
Keesokan siangnya seorang polisi masuk ke dalam selku dan menyuruhku mengikutinya. Polisi itu umurnya sudah lebih dari lima puluh tahun dan kelihatannya tidak terlalu gesit.
Segalanya berlangsung persis seperti yang telah dikata?kan Bob. Kereta mulai melaju. Aku duduk di dekat pintu masuk. Si polisi duduk berseberangan denganku. Kami hanya berdua di dalam gerbong itu.
"Kau bisa berbahasa Inggris?" tanya si polisi.
"Aku mengerti bahasa Inggris, asal Bapak tidak bicara terlalu cepat," sahutku.
"Baiklah, kalau begitu aku ingin memberimu sedikit nasihat, Nak," katanya. "Jangan coba-coba membodohi hu?kum. Ceritakan saja kejadian sebenarnya, dan kau akan kuberi lima shilling. Keadaanmu akan lebih ringan kalau kau punya sedikit uang di penjara."
Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak punya apa pun untuk diakui, tapi kupikir itu akan membuat kesal si po?lisi, jadi aku diam saja.
"Pikirkanlah lagi," polisi itu meneruskan, "dan begitu kau di penjara, jangan langsung bercerita pada orang yang pertama mendatangimu. Mintalah bertemu denganku. Le?bih baik berurusan dengan orang yang tertarik pada kasus?mu, dan aku sangat bersedia membantumu."
Aku mengangguk saja. "Minta bertemu Dolphin. Kau akan ingat namaku?"
"Ya, Sir." Aku bersandar di pintu. Jendela dibuka dan udara meng?alir masuk. Si polisi merasa terlalu banyak angin, jadi dia pindah ke tengah tempat duduk. Diam-diam kujulurkan tangan kiriku ke luar dan kuputar gagang pintu. Dengan tangan kananku pintu itu kutahan.
Menit-menit berlalu. Mesin kereta bersiul dan me?ngurangi kecepatan. Saatnya sudah tiba. Dengan cepat kudorong buka pintunya dan melompat keluar sejauh mungkin. Untungnya kedua tanganku yang terulur ke de?pan menyentuh tanah. Tapi kekagetannya begitu besar sampai-sampai aku terguling-guling tak sadarkan diri di tanah. Setelah siuman, kupikir aku masih berada di kereta, sebab tubuhku seperti digotong orang. Kulayangkan pan?dang ke sekitarku dan kusadari aku tergeletak di dasar sebuah gerobak. Aneh sekali! Pipi-pipiku basah. Ada lidah hangat dan lembut menjilat-jilatku. Aku menoleh sedikit. Seekor anjing kuning yang jelek menjulurkan badan di atasku. Dan ada Mattia yang berlutut di dekatku.
"Kau selamat," katanya, dan anjing itu didorongnya pergi.
"Aku di mana?" "Kau ada di gerobak. Bob yang mengemudikan."
"Bagaimana keadaanmu?" Bob berseru dari tempat du?duknya. "Kau bisa menggerakkan kedua lengan dan kaki?mu?"
Aku meregangkan tubuh dan melakukan yang diminta?nya.
"Bagus," ujar Mattia. "Tidak ada yang patah."
"Apa yang terjadi?"
"Kau melompat dari kereta, seperti kami suruh, tapi kau shock dan terguling-guling ke dalam selokan. Karena kau tidak datang juga, Bob turun dari kereta, menyelinap ke
bukit, dan menggendongmu kemari. Kami pikir kau sudah mati. Oh, Remi, aku cemas sekali."
Kubelai tangan Mattia. "Dan polisi itu bagaimana?" tanyaku.
"Kereta apinya jalan terus. Tidak berhenti."
Mataku kembali beralih pada anjing kuning jelek yang memandangiku dengan tatapan mirip Capi. Tapi Capi kan bulunya putih....
"Anjing apa itu?" tanyaku.
Sebelum Mattia sempat menjawab, anjing kecil itu sudah melompat menubrukku, menjilatiku dengan kalap sambil mendengking-dengking.
"Itu kan Capi. Kami mengecat bulunya," seru Mattia sambil tertawa.
"Dicat" Kenapa dicat?"
"Supaya dia tidak dikenali. Sekarang Bob ingin mem?bantumu supaya lebih nyaman."
Sementara Bob dan Matia membantuku, kutanya pada mereka, ke mana kami akan pergi.
"Ke Little Hampton," sahut Mattia. "Di sana kakak Bob punya perahu yang menyeberang ke Prancis untuk menjem?put kiriman mentega dan telur dari Normandy. Kita ba?nyak berutang budi pada Bob. Aku tidak mungkin ber?tindak sendirian. Aku hanya anak kecil malang. Bob yang punya ide menyuruhmu melompat dari kereta."
"Dan Capi" Siapa yang punya ide untuk mengambil?nya?"
"Aku. Tapi Bob yang punya ide mengecatnya jadi ku?ning supaya tidak dikenali setelah kami mencurinya dari Pak Polisi Jerry. Hakim bilang Jerry 'cerdas'. Ternyata tidak terlalu cerdas. Buktinya kami bisa mencuri Capi. Memang sih Capi mengendus bauku dan hampir berhasil kabur sen?diri. Bob tahu seluk-beluk mencuri anjing."
"Kakimu bagaimana?"
"Sudah lebih baik, atau hampir membaik. Belum sempat kupikirkan."
Malam mulai turun. Masih jauh jarak yang harus kami tempuh.
"Apa kau takut?" tanya Mattia saat aku berbaring dalam keheningan.
"Tidak, tidak takut," sahutku. "Sebab aku cukup yakin tidak akan tertangkap, lapi aku merasa dengan melarikan diri begini seolah-olah aku jadi mengaku bersalah. Itu yang membuatku khawatir."
"Aku dan Bob berpendapat lebih baik mengambil risiko apa pun daripada kau terpaksa muncul di hadapan sidang pengadilan. Kalaupun kau ternyata dibebaskan, tetap saja itu bukan pengalaman menyenangkan."
Kami yakin setelah kereta api berhenti si polisi akan segera mencariku tanpa buang-buang waktu lagi. Desa-desa yang kami lewati sangat sunyi. Hanya beberapa jen?dela yang tampak terang oleh cahaya lampu di baliknya. Mattia dan aku bersembunyi. Angin dingin sudah bertiup sejak tadi dan ketika kami menjilat bibir, yang kami rasa?kan adalah garam. Kami sudah semakin dekat dengan laut. Tak lama kemudian kami melihat cahaya yang nyala-mati bergantian. Rupanya itu cahaya lampu mercu suar. Tiba- tiba Bob menghentikan kudanya. Dia melompat turun dari gerobak dan menyuruh kami menunggu di situ. Dia akan menemui saudaranya untuk menanyakan apakah aman membawa kami di perahunya.
Rasanya Bob pergi lama sekali. Kami tidak berbicara. Bisa kami dengar ombak-ombak memecah di pantai yang tidak jauh dari tempat kami berada. Mattia gemetaran, begitu pula aku.
"Dingin," bisiknya.
Benarkah hawa dingin ini yang membuat kami meng?gigil" Kalau seekor sapi atau domba di padang menyentuh?kan diri ke pagar, gemetar kami semakin hebat. Terdengar bunyi langkah-langkah kaki di jalan. Bob sudah kembali. Nasibku telah diputuskan. Seorang pelaut yang tampak kasar, mengenakan topi lebar dan topi kain minyak di ba?wahnya, datang bersama Bob.
"Ini saudaraku," kata Bob. "Dia akan membawa kalian ke perahunya. Nah, kita mesti berpisah di sini. Jangan sam?pai ada yang tahu aku yang membawa kalian kemari."
Aku ingin mengucapkan terima kasih pada Bob, tapi dia menyela ucapanku. Kuraih tangannya.
"Tidak usah berterima kasih," ujarnya ringan saja, "ka?lian berdua sudah menolongku waktu itu. Aku sekadar membalas budi. Dan aku senang sekali bisa menolong teman Mattia."
Kami mengikuti saudara Bob menapaki jalanan-jalanan sepi yang berkelok-kelok. Akhirnya kami tiba di dermaga. Saudara Bob menunjuk sebuah perahu, tanpa mengatakan apa-apa. Beberapa saat kemudian kami sudah naik ke dalamnya. Dia menyuruh kami turun ke ruang bawah, ke sebuah kabin kecil.
"Kita berangkat dua jam lagi," katanya. "Tetaplah di sana dan jangan bersuara."
Tapi sekarang kami sudah tidak gemetaran lagi. Kami duduk berdampingan dalam gelap.
Bab Tiga Puluh Satu Mencari The Swan Setelah saudara Bob pergi, selama beberapa waktu kami hanya mendengar bunyi tiupan angin dan laut yang me?nerpa lunas perahu, kemudian ada bunyi langkah-langkah kaki di geladak di atas, dan derit katrol-katrol. Salah satu layar dipasang, dan sekonyong-konyong perahu miring ke satu sisi dan mulai berguncang-guncang. Dalam beberapa saat saja perahu sudah terangguk-angguk berat di laut yang berombak besar.
"Kasihan kau, Mattia," kataku seraya meraih tangan?nya.
"Tidak apa-apa. Kita sudah aman," sahutnya. "Aku tidak keberatan mabuk laut."
Keesokan harinya aku membagi waktuku antara kabin dan dermaga. Mattia ingin dibiarkan sendirian saja. Ketika akhirnya nakhoda menunjuk ke arah Harfleur, aku ber?gegas turun ke kabin untuk menyampaikan kabar baik ini pada Mattia. Kami tiba di Harfleur menjelang sore, jadi saudara Bob mengatakan kami boleh tidur di perahu ma?lam itu, kalau mau.
"Kalau kalian ingin kembali ke Inggris, ingat-ingat saja The Eclipse berlayar dari sini setiap hari Selasa," dia memberitahu kami keesokan paginya, ketika kami mengucapkan selamat tinggal dan berterima kasih atas pertolongannya.
Dia baik sekali telah mengundang kami, tetapi Mattia dan aku sama-sama punya alasan sendiri untuk tidak mau berlayar lagi... untuk sementara ini.
Untunglah kami masih mempunyai uang hasil pertun?jukan dengan Bob. Seluruhnya kami memiliki dua puluh tujuh franc dan lima puluh sen. Mattia ingin memberikan yang dua puluh tujuh franc kepada Bob, sebagai pem?bayaran atas berbagai pengeluaran untuk membebaskan aku dari penjara, tetapi Bob tidak mau menerima satu sen pun.
"Nah, kita akan ke arah mana?" tanyaku setelah kami mendarat di Prancis.
"Menyusuri kanal," sahut Mattia tanpa ragu. "Sebab aku punya gagasan. Aku yakin The Swan melayari kanal pada musim panas ini, berhubung Arthur sedang sakit parah, dan kurasa kita harus menemukannya."
"Tapi bagaimana dengan Lise dan yang lainnya?" tanya?ku.
"Kita akan menjenguk mereka sambil mencari Mrs. Milligan. Sambil menyusuri kanal, kita bisa mampir me?lihat Lise."
Dengan peta yang telah kami beli, kami mencari sungai terdekat. Sungai Scine.
"Kita susuri Sungai Seine dan kita tanya para nelayan di sepanjang tepiannya, apakah mereka pernah melihat The Swan. Katamu kapal itu sangat berbeda dari kapal-kapal lainnya, jadi mereka pasti ingat kalau pernah melihatSebelum memulai perjalanan panjang yang barangkali telah menanti di depan, aku membeli sabun lunak untuk membersihkan Capi. Di mataku, Capi yang berbulu kuning bukanlah Capi. Kami memandikannya bersih-bersih, ber?gantian sampai capek. Tetapi zat pewarna yang digunakan Bob rupanya berkualitas bagus, sehingga susah sekali di?hilangkan. Setelah dimandikan pun bulu Capi tetap ke?lihatan kuning, hanya memudar sedikit. Perlu banyak se?kali sampo untuk mengembalikan bulunya ke warna aslinya. Untunglah di Normandy banyak sekali anak su?ngai, jadi setiap hari kami memandikan Capi.
Suatu pagi kami tiba di puncak sebuah bukit dan Mattia melayangkan pandang ke Sungai Seine di depan sana. Su?ngai itu berkelok-kelok dalam sebuah lekukan besar. Mulai saat itu kami mulai bertanya pada orang-orang. Apakah mereka pernah melihat The Swnn, kapal cantik yang me?miliki beranda" Tapi tak seorang pun melihatnya. Kapal itu pasti berlalu di waktu malam. Kami meneruskan per?jalanan ke Rouen, dan di sana lagi-lagi kami bertanya sana-sini, tetapi tidak juga membawa hasil. Kami tidak pa?tah semangat. Kami masih terus menanyai setiap orang. Sesekali kami harus berhenti sejenak, mencari uang untuk membeli makanan, sehingga baru lima minggu kemudian kami tiba di pinggiran kota Paris.
Untunglah, setibanya di Charenton kami segera tahu arah mana yang mesti diambil. Ketika kami bertanya ten?tang The Sioan, untuk pertama kalinya kami memperoleh jawaban yang sudah begitu lama kami tunggu-tunggu. Se?buah kapal yang mirip The Swcm, kapal besar dan nyaman, pernah lewat di situ. Kapal itu belok kiri dan berlayar me?nyusuri Sungai Seine.
Kami berada di dermaga waktu itu. Mattia begitu gem?
bira sehingga dia mulai menari-nari di antara para nelayan. Tiba-tiba dia berhenti menari, lalu mengeluarkan biolanya dan dengan heboh memainkan nada-nada mars penuh se?mangat. Sementara Mattia bermain biola, aku menanyai orang yang telah melihat kapal itu. Tidak diragukan lagi, itu memang The Swan, dan kapal itu lewat di Charenton sekitar dua bulan yang lalu.
Dua bulan! Lama sekali! Tapi biarlah! Kami toh punya kaki, dan kapal itu juga ditarik oleh kaki-kaki sepasang kuda yang bagus. Suatu hari nanti kami pasti berpapasan dengan mereka. Waktu bukan masalah. Yang paling pen?ting, yang paling membahagiakan, adalah The Swan telah ditemukan.
"Nah, benar, kan?" seru Mattia.
Andai aku berani, tentu aku sudah mengakui pada Mattia bahwa aku mempunyai harapan-harapan sangat besar, tetapi aku merasa tidak sanggup menganalisis pikiran-pikiranku sendiri. Sekarang kami tidak perlu ber?henti dan menanyai orang-orang. The Swan ada di depan sana. Kami tinggal mengikuti aliran Sungai Seine. Kami pun meneruskan perjalanan dan sekarang semakin dekat dengan tempat tinggal Lise. Aku penasaran apakah dia te?lah melihat kapal itu lewat di pintu-pintu air dekat rumah?nya. Di malam hari kami tidak pernah mengeluh ke?capekan, dan kami selalu siap berangkat pagi-pagi sekali keesokan harinya.
"Bangunkan aku," kata Mattia yang doyan tidur. Tapi kalau kubangunkan dia selalu cepat-cepat bangun dan bangkit berdiri.
Supaya hemat, kami makan telur-telur rebus yang kami beli dari para pedagang, juga roti. Tetapi Mattia suka sekali makanan enak.
"Mudah-mudahan Mrs. Milligan masih mempekerjakan juru masak yang membuat kue-kue tar itu," katanya. "Tar aprikot pasti enak sekali!"
"Kau belum pernah mencicipi tar aprikot?"
"Aku pernah makan tar apel, tapi belum pernah makan tar aprikot. Aku pernah melihatnya. Ada butir-butir putih kecil ditebarkan di buahnya. Apa sih itu?"
"Kenari." "Oh...." Dan Mattia membuka mulutnya seperti sedang menelan sepotong kue tar.
Di setiap pintu air kami mendapat kabar tentang The Sivan. Semua orang pernah melihat kapal indah itu, dan mereka menceritakan tentang wanita Inggris yang baik hati serta anak laki-lakinya yang berbaring di sofa di beranda.
Kami semakin dekat ke rumah Lise. Dua hari lagi. Satu hari lagi. Dan kemudian beberapa jam lagi. Rumah itu su?dah kelihatan di depan mata. Sekarang kami tidak berjalan lagi, kami berlari. Capi sepertinya tahu ke mana kami me?nuju, sebab dia langsung lari mendahului. Dia ingin mem?beritahukan kedatangan kami pada Lise. Lise akan keluar menyambut kami. Tetapi ketika kami sampai di rumah itu, ada seorang perempuan berdiri di depan pintu. Kami tidak mengenalinya.
"Di mana Madame Suriot?" kami bertanya padanya.
Sejenak perempuan itu hanya menatap kami, seolah-olah kami menanyakan hal yang bodoh sekali.
"Dia tidak tinggal di sini lagi," akhirnya dia menyahut. "Dia ada di Mesir."
"Di Mesir!" Mattia dan aku berpandangan dengan takjub. Mesir! Kami tidak tahu di mana persisnya letak Mesir, tetapi
samar-samar kami tahu itu tempat yang jauh, sangat jauh, di seberang lautan.
"Dan Lise" Ibu kenal Lise?"
"Gadis kecil bisu itu" Ya, aku kenal dia! Dia pergi ber?sama seorang wanita Inggris yang naik kapal."
Lise berada di The Swan Apakah kami bermimpi" Mattia dan aku saling pandang dengan bingung.
"Apakah kau Remi?" tanya perempuan itu tiba-tiba.
"Ya." "Nah, Suriot tenggelam...."
"Tenggelam!" "Ya, dia jatuh ke pintu air dan tersangkut paku di ba?wah. Istrinya yang malang tidak tahu mesti bagaimana, lalu seorang perempuan yang pernah tinggal bersamanya sebelum dia menikah akan berangkat ke Mesir. Perempuan itu bilang dia akan membawa Madame Suriot sebagai pe?rawat untuk mengurus anak-anaknya. Madame Suriot ti?dak tahu mesti bagaimana dengan si kecil Lise. Waktu dia sedang kebingungan, seorang perempuan Inggris dan anak laki-lakinya yang sakit datang naik kapal di kanal. Mereka berbicara. Perempuan Inggris itu sedang mencari seseorang untuk teman bermain anak laki-lakinya, sebab anak itu su?dah bosan selalu sendirian. Perempuan Inggris itu bilang dia akan membawa Lise dan memberikan pendidikan pada gadis kecil itu. Dia juga mempunyai dokter-dokter yang akan menyembuhkan Lise, dan suatu hari nanti Lise akan bisa berbicara. Sebelum pergi, Lise meminta bibinya men?jelaskan padaku apa yang mesti kukatakan padamu kalau kau datang untuk menjenguknya. Itu saja."
Aku sangat takjub sampai tidak bisa menemukan kata- kata. Tetapi Mattia tidak pernah kehilangan akal seperti aku.
"Ke mana perempuan Inggris itu pergi?" tanyanya.
"Ke Swiss. Lise akan menulis surat padaku supaya aku bisa memberitahukan alamatnya padamu. Tapi aku belum menerima suratnya."
Bab Tiga Puluh Dua Menemukan Ibu Kandung "Maju jalan! Anak-anak!" seru Mattia setelah kami meng?ucapkan terima kasih kepada perempuan itu. "Sekarang bukan hanya Arthur dan Mrs. Milligan yang kita cari, tapi Lise juga. Kebetulan sekali! Siapa tahu apa lagi yang me?nunggu kita di depan sana!"
Kami meneruskan perjalanan mencari The Swan, hanya berhenti untuk tidur dan bekerja mengumpulkan sedikit uang.
"Dari Swiss kita pergi ke Itali," Mattia berkata pelan. "Kalau, sambil mengejar Mrs. Milligan, kita sampai ke Lucca, adik kecilku Christina pasti senang sekali."
Mattia tersayang! Dia sudah banyak membantuku men?cari orang-orang yang kusayangi, tetapi aku sendiri belum berbuat apa-apa untuk membantunya bertemu adik kecil?nya.
Di Lyons kami sudah semakin dekat dengan The Swan. Kapal itu tinggal enam minggu di depan kami. Aku tidak yakin bisa menyusulnya sebelum kapal itu mencapai Swiss. Dan waktu itu aku tidak tahu bahwa Sungai Rhone tidak bisa dilayari sampai kc Danau Jenewa. Kami pikir Mrs. Milligan akan langsung berangkat ke Swiss naik kapalnya. Betapa terkejutnya kami ketika tiba di kota berikutnya dan melihat The Swan di kejauhan. Kami mulai berlari sepan?jang tepian sungai. Ada apakah ini" Kapal itu ditutup se?luruhnya. Tidak ada bunga-bunga di beranda. Apa yang terjadi pada Arthur" Kami berhenti, saling pandang dengan pikiran sedih yang sama.
Seorang laki-laki yang ditugasi mengurus kapal itu mem- beritahu kami bahwa nyonya Inggris itu sudah pergi ke Swiss bersama seorang anak laki-laki yang sakit dan se?orang anak perempuan kecil yang bisu. Mereka pergi naik kereta kuda bersama seorang gadis pelayan; pelayan-pe?layan lainnya menyusul dengan membawa barang-barang. Barulah kami bisa bernapas lega kembali.
"Di mana nyonya itu sekarang?" tanya Mattia.
"Dia menyewa vila di Vevy, tapi aku tidak tahu persis tempatnya. Dia akan menghabiskan musim panas di sana."
Kami pun berangkat ke Vevy. Sekarang orang-orang yang kami cari tidak bepergian lagi. Mereka sudah berhenti di satu tempat dan kami pasti menemukan mereka di Vevy kalau kami mencari. Kami tiba di sana dengan hanya mem?bawa uang tiga soii di kantong dan sol sepatu bot kami sudah terkelupas lepas. Tetapi Vevy bukanlah desa kecil, melainkan sebuah kota. Akan sia-sia saja kalau kami me?nanyakan tentang Mrs. Milligan, atau seorang nyonya Inggris bersama anak laki-laki yang sakit dan anak perem?puan yang bisu. Begitu banyak orang Inggris di Vevy; kota itu nyaris seperti tempat liburan mewah di Inggris. Kami pikir cara terbaik adalah pergi ke rumah-rumah yang mungkin mereka tinggali. Itu tidak akan sulit. Kami tinggal memainkan musik kami di setiap jalanan. Kami mencoba di mana-mana, namun belum juga melihat tanda-tanda ke?beradaan Mrs. Milligan.
Dari danau kami pergi ke pegunungan, dari pegunungan ke danau, mencari ke sana kemari, sesekali bertanya ke?pada orang-orang yang kira-kira bersedia mendengarkan dan memberikan jawaban. Salah seorang dari mereka me?nyuruh kami pergi ke desa nun jauh di gunung sana; ada juga orang yang meyakinkan kami bahwa Mrs. Milligan tinggal di dekat danau. Memang ada perempuan-perem?puan Inggris yang tinggal di desa atas gunung dan di vila dekat danau; tetapi mereka bukan Mrs. Milligan kami.
Suatu siang kami bermain-main di tengah jalan. Rumah di hadapan kami memiliki gerbang besi yang besar. Rumah di belakangnya berdiri agak jauh di sebuah kebun. Di de?pannya ada dinding batu. Aku sedang menyanyi keras- keras. Aku menyanyikan bait pertama lagu Neapolitan-ku, dan sewaktu hampir mencapai bait kedua, kami men?dengar suara asing menyanyi dengan lemah. Siapa itu" Aneh sekali suaranya!
"Arthur?" tanya Mattia.
"Tidak, tidak, bukan Arthur. Aku belum pernah men?dengar suara itu."
Tetapi Capi mulai mendengking dan menunjukkan tanda-tanda sangat gembira, sambil melompat-lompat me?nerjang dinding.
"Siapa yang menyanyi itu?" aku berseru, tak bisa me?nahan rasa ingin tahuku.
"Remi!" sebuah suara lemah berseru.
Namaku diteriakkan! Mattia dan aku saling pandang, seperti disambar petir. Sementara kami memandangi wajah satu sama lain dengan bodohnya, kulihat sehelai sapu? tangan dilambai-lambaikan di ujung dinding. Kami berlari ke sana. Sesampainya di pagar tanaman yang mengelilingi sisi kebun satunya, barulah kami melihat siapa yang me?lambai-lambaikan saputangan itu.
Lise! Akhirnya kami berhasil menemukannya, dan tidak jauh dari situ tampak Mrs. Milligan dan Arthur!
Tapi siapa yang menyanyi tadi" Itu yang kami tanyakan begitu berhasil membuka suara.
"Aku sahut Lise. Lise menyanyi! Lise bisa bicara!
Dokter-dokter sudah mengatakan suatu hari nanti Lise akan bisa berbicara lagi, dan kemungkinan besar penyebab?nya adalah luapan emosi yang sangat besar. Tetapi aku menganggap itu mustahil terjadi. Namun toh keajaiban itu terjadi juga. Pada saat mengetahui aku datang menjumpai?nya dan mendengar aku menyanyikan lagu Neapolitan yang dulu sering kunyanyikan untuknya, Lise merasakan luapan emosi yang luar biasa dan menemukan kembali suaranya. Aku sangat terharu membayangkannya, sampai- sampai aku harus mengulurkan tanganku supaya tubuhku tidak limbung.
"Di mana Mrs. Milligan?" tanyaku. "Dan Arthur?"
Lise menggerakkan bibirnya, tetapi hanya bisa mengeluar?kan suara-suara tak bermakna, maka dengan tidak sabar dia menggunakan kedua tangannya dalam bahasa isyarat, sebab lidahnya masih canggung membentuk kata-kata. Dia menunjuk ke kebun dan kami melihat Arthur berbaring di kursi sakitnya. Di samping Arthur ada ibunya, dan di sisi satunya ada... Mr. James Milligan. Aku ketakutan, sangat takut malah. Aku merunduk di belakang pagar tanaman. Lise pasti heran kenapa aku berbuat begitu. Aku memberi isyarat padanya supaya dia pergi dari sini.
"Pergilah, Lise. Kalau tidak, aku akan ketahuan," kataku. "Datanglah lagi besok ke sini, jam sembilan pagi, sendirian saja, supaya aku bisa bicara denganmu."
Sejenak Lise ragu-ragu, tetapi kemudian dia pergi ke ujung kebun.
"Seharusnya kita tidak usah menunggu sampai besok untuk bicara dengan Mrs. Milligan," ujar Mattia. "Semen?tara kita menunggu, mungkin saja pamannya sudah mem?bunuh Arthur. Dia belum pernah melihatku, jadi aku akan menemui Mrs. Milligan sekarang juga dan memberitahu?nya."
Benar juga ucapan Mattia, maka kubiarkan dia pergi. Kubilang padanya aku akan menunggunya tidak jauh dari sini, di bawah sebatang pohon kenari besar. Lama sekali aku menunggu Mattia. Lebih dari selusin kali aku ber?tanya-tanya apakah aku telah salah langkah dengan mem?biarkan dia pergi. Akhirnya kulihat dia berjalan mendekat bersama Mrs. Milligan. Aku berlari menghampiri dan ku?raih tangan Mrs. Milligan yang terulur padaku. Aku mem?bungkuk, tetapi dia memelukku, kemudian menunduk dan mengecup keningku dengan lembut. "Anak tersayang. Anak malang," gumamnya.
Dengan jari-jarinya yang putih dan indah dia menyi?bakkan rambut di keningku dan menatapku lama sekali.
"Ya, ya," bisiknya pelan.
Aku begitu bahagia hingga tak sanggup berkata-kata.
"Mattia dan aku sudah berbicara panjang-lebar," kata?nya. "Tapi aku ingin mendengar langsung darimu, bagai?mana kau bisa berada di tengah keluarga Driscoll."
Kuceritakan padanya keseluruhan kisahnya, dan dia ha?nya menyela sesekali untuk menyuruhku memaparkan le?bih jelas tentang hal-hal tertentu. Belum pernah aku di?dengarkan dengan begitu penuh perhatian. Kedua mata Mrs. Milligan tak pernah lepas dari mataku.
Setelah aku selesai bercerita, dia terdiam beberapa waktu lamanya, masih menatapku. Akhirnya dia berkata, "Ini ma?salah yang sangat serius dan kita harus hati-hati dalam bertindak. Tetapi mulai saat ini kau harus menganggap dirimu sahabat...," dia ragu-ragu sejenak, "... saudara laki- laki Arthur. Dua jam dari sekarang, pergilah ke Hotel des Alpes. Kau akan tinggal di sana untuk sementara. Aku akan mengirim orang ke hotel itu untuk menemuimu. Se?karang aku harus pergi."
Kemudian dia kembali mengecupku, dan setelah ber?salaman dengan Mattia, dia cepat-cepat pergi.
"Kau bilang apa pada Mrs. Milligan?" desakku pada Mattia.
"Semua yang sudah kukatakan padamu, dan banyak lagi lainnya," sahut Mattia. "Ah, dia orang yang baik, nyonya yang cantik!"
"Kau melihat Arthur?"
"Hanya dari kejauhan, tapi cukup dekat, dan bisa ku?lihat dia anak yang menyenangkan."
Aku masih terus menanyai Mattia, tetapi dia hanya men?jawab samar-samar.
Walaupun kami memakai pakaian jalanan kami yang compang-camping itu, di hotel kami disambut seorang pe?layan bersetelan hitam dan berdasi putih. Dia membawa kami ke apartemen. Betapa indahnya kamar tidur kami. Ada dua tempat tidur putih bersisian. Jendela-jendelanya membuka ke balkon yang menghadap ke danau. Pelayan itu bertanya, apa yang kami inginkan untuk makan malam, dan dia akan melayani kami di balkon, kalau itu yang kami inginkan.
"Apakah ada kue tar?" tanya Mattia.
"Ya, tar rhubarb, tar stroberi, dan tar gooseberry."
"Bagus. Kalau begitu, aku ingin makan kue-kue tar itu."
"Ketiga-tiganya?"
"Ya." "Dan makanan pembukanya" Daging apa" Sayur-sa?yuran?"
Setiap ditawari sesuatu, Mattia terbelalak, tetapi dia ti?dak mau tampak kebingungan.
"Apa saja, terserah yang kausuka," sahutnya tenang.
Si pelayan pergi dengan khidmat.
Keesokan harinya Mrs. Milligan datang menemui kami. Dia membawa seorang penjahit dan pembuat kemeja. Kami diukur untuk dibuatkan setelan dan kemeja. Kata Mrs. Milligan, Lise masih mencoba berbicara dan dokter sudah menyatakan tidak lama lagi dia akan sembuh. Setelah satu jam bersama kami, Mrs. Milligan pergi lagi. Sebelum pergi, lagi-lagi dia mengecupku lembut dan berjabat tangan ha?ngat dengan Mattia.
Selama empat hari berturut-turut Mrs. Milligan datang, dan setiap kali datang, sikapnya padaku menjadi lebih lem?but dan penuh kasih sayang, namun masih agak menjaga jarak. Pada hari kelima, yang datang hanyalah si gadis pe?layan yang sudah kukenal di The Szvan. Dia mengatakan Mrs. Milligan sudah menunggu kami dan kami akan di?bawa dengan kereta kuda yang sudah menunggu di depan hotel. Mattia masuk ke kereta dengan gaya seperti sudah biasa naik kereta kuda seumur hidupnya. Capi juga me?lompat masuk tanpa malu-malu dan duduk di bantalan- bantalan beledu.
Perjalanan itu singkat saja, bagiku malah sangat singkat, sebab aku merasa seperti dalam mimpi, kepalaku penuh dengan berbagai pikiran konyol, atau setidaknya begitulah menurut pendapatku. Kami diantar ke sebuah ruang du?duk. Mrs. Milligan, Arthur, dan Lise ada di sana. Arthur mengulurkan kedua lengannya padaku. Aku bergegas menghampirinya, lalu aku mengecup Lise. Mrs. Milligan mengecupku juga.
"Akhirnya," katanya, "sudah tiba saatnya bagimu untuk mengambil tempat yang memang milikmu."
Aku bertanya apa maksudnya. Mrs. Milligan beranjak ke pintu dan membukanya. Muncullah kejutan yang sungguh luar biasa! Ibu Barberin masuk. Di kedua tangannya dia membawa beberapa pakaian bayi, sehelai jubah kasmir, topi berenda, sepatu-sepatu wol. Baru saja dia meletakkan barang-barang itu di meja, aku sudah memeluknya erat- erat. Sementara itu, Mrs. Milligan memberi perintah pada pelayan. Aku hanya mendengar nama Milligan disebut- sebut, tetapi aku menoleh cepat. Aku tahu wajahku ber?ubah pucat.
"Kau tidak usah takut," Mrs. Milligan berkata lembut. "Kemarilah, ke sinikan tanganmu."
James Milligan masuk ke dalam ruang duduk, terse?nyum memperlihatkan gigi-giginya yang putih tajam itu. Ketika melihatku, senyumannya berubah menjadi seringai mengerikan. Mrs. Milligan tidak memberinya kesempatan berbicara.
"Aku memintamu datang kemari," kata Mrs. Milligan dengan suara bergetar, "untuk kuperkenalkan dengan putra sulungku, yang akhirnya kutemukan." Dia menekan tanganku. "Tapi kau sudah kenal dia. Kau melihatnya di rumah orang yang menculiknya, waktu kau pergi ke sana untuk menanyakan kesehatannya."
"Apa maksudnya ini?" tuntut Mr. Milligan.
"Orang yang dihukum karena merampok gereja telah membuat pengakuan lengkap. Dia menyatakan bahwa dia menculik bayiku dan membawanya ke Paris, lalu me?ninggalkannya di sana. Inilah pakaian-pakaian yang dikena?kan anakku. Perempuan baik inilah yang telah membesar?kan putraku. Apakah kau ingin membaca pengakuan itu" Apakah kau hendak memeriksa pakaian-pakaian itu?"
James Milligan memandang kami seperti hendak men?cekik kami berdua. Kemudian dia membalikkan badan hendak pergi. Di ambang pintu dia menoleh lagi dan ber?kata, "Kita lihat saja apa kata pengadilan tentang kisah anak ini."
Ibuku "sekarang aku bisa menyebutnya ibuku "men?jawab pelan, "Silakan kauajukan urusan ini ke pengadilan. Aku belum menyeretmu ke pengadilan karena kau saudara suamiku."
Pintu ditutup. Kemudian, untuk pertama kali dalam hi?dupku, aku mencium ibuku dan dia balas menciumku.
"Apakah kau akan bilang pada ibumu bahwa aku me?rahasiakan semua ini?" tanya Mattia sambil menghampiri kami.
"Kalau begitu, kau sudah tahu semuanya?"
"Aku meminta Mattia untuk tidak mengatakan apa-apa dulu padamu," kata ibuku. "Sebab walaupun aku percaya kau anakku, aku harus melihat bukti-buktinya yang pasti. Maka kuminta Madame Barberin datang kemari membawa pakaian-pakaian itu. Betapa sedihnya kita semua andaikan dugaan kita ternyata salah. Sekarang kita sudah melihat bukti-bukti ini dan kita tidak akan pernah dipisahkan lagi. Kau akan tinggal bersama ibu dan adikmu." Lalu ibuku menunjuk Mattia dan Lise, "Dan bersama dua anak ini, yang sudah kausayangi saat kau masih seorang anak mis?kin," katanya menunjuk Mattia dan Lise, "Dan bersama dua anak ini, yang sudah kausayangi saat kau masih seorang anak mis?kin," katanya.
Bab Tiga Puluh Tiga Mimpi yang Menjadi Kenyataan
Tahun-tahun berlalu. Sekarang aku tinggal di rumah para leluhurku, Milligan Park. Pengembara cilik miskin papa yang sering kali tidur di lumbung sekarang menjadi pe?waris sebuah kastil tua bersejarah. Kastil tua yang indah, sekitar dua puluh mil sebelah barat tempat aku melompat dari kereta api untuk melarikan diri dari polisi. Aku ting?gal di sini bersama ibuku, adik laki-lakiku, dan istriku.
Kami akan membaptis anak pertama kami, Mattia kecil. Malam ini semua orang yang telah menjadi sahabat-sa?habatku pada masa-masa sengsaraku akan bertemu di ba?wah atap rumahku untuk merayakan hari bahagia ini. Dan sebagai tanda mata kecil aku akan membagikan buku "Memoar"-ku yang telah kutulis selama enam bulan bela?kangan ini. Hari ini buku itu dikirimkan dari percetakan.
Reuni ini akan menjadi kejutan bagi istriku. Dia akan bertemu ayahnya, saudara perempuannya, saudara-saudara lelakinya, dan bibinya. Hanya ibu dan adik laki-lakiku yang mengetahui rahasia ini. Sayangnya ada satu orang yang tidak akan bisa hadir dalam perayaan ini. Signor
Vitalis yang malang. Tidak banyak yang bisa kulakukan untukmu semasa hidupmu, tetapi atas permintaanku, ibu?ku telah mendirikan makam dari pualam dan memasang patung dadamu di sana. Patung dada Carlo Balzini. Duplikat patung dada itu ada di hadapanku saat aku me?nuliskan semua ini. Dan sering kali pada saat-saat me?nuliskan "Memoar"-ku ini, aku mengangkat wajah dan mataku bertemu pandang dengan matamu. Aku tidak me?lupakanmu. Aku tidak akan pernah melupakanmu, Signor Vitalis tersayang.
Ibuku datang dengan bertopang di lengan adikku, sebab sekarang sang anaklah yang menopang ibunya. Ya, Arthur telah tumbuh besar dan kuat. Beberapa langkah di bela?kang ibuku, muncul seorang wanita berumur dalam pa?kaian petani Prancis, sambil menggendong bayi kecil yang mengenakan jubah putih. Dialah Ibu Barberin tersayang, dan bayi kecil itu anakku Mattia.
Arthur membawakan koran Times untukku dan menun?jukkan berita dari Vienna. Berita tentang Mattia, musisi hebat yang telah menyelesaikan rangkaian konsernya. Dan meski memperoleh sukses luar biasa di Vienna, dia akan kembali ke Inggris untuk memenuhi janji yang tidak akan diingkarinya. Aku tak perlu membaca artikel tersebut. Sebab, meski seluruh dunia kini menyebut Mattia Chopin- nya biola, aku telah melihatnya berkembang dan bertum?buh. Ketika kami masih sama-sama belajar di bawah bim?bingan guru-guru kami, Mattia tidak banyak mengalami kemajuan dalam bahasa Latin dan Yunani, namun dia de?ngan cepat melampaui para profesornya dalam bidang musik. Ucapan Espinassous, si pemusik-merangkap-tukang- cukur dari Mendes, ternyata benar.
Seorang pelayan laki-laki membawakan telegram untuk?ku.
"Lautnya berombak besar! Sungguh sial! Sakit keras, tapi berhasil mampir menjumpai Christina di Paris. Akan tiba di rumahmu jam 4. Kirim kereta untuk kami. MATTIA."
Saat menyebutkan Christina, kutoleh Arthur sekilas, tetapi dia memalingkan muka. Aku tahu Arthur mencintai adik perempuan Mattia, dan aku tahu pada waktunya nanti " meski bukan sekarang "ibuku akan menerima pilihan hati putra bungsunya ini. Latar belakang keluarga bukanlah yang paling penting. Dia tidak menentang pernikahanku, dan nanti, kalau dia menyadari bahwa semua ini demi ke?bahagiaan Arthur, dia tidak akan menentang pilihan Arthur juga.
Lise muncul di aula. Istriku yang cantik. Dia merangkul- kan lengannya kepada ibuku.
"Ibu tersayang," katanya, "kelihatannya ada sesuatu yang dirahasiakan, dan aku tahu kau terlibat di dalamnya. Aku juga tahu ini kejutan dan semua ini untuk ke?bahagiaan kami, tapi tetap saja aku penasaran."
"Kemarilah, Lise, kau akan mendapatkan kejutan mu sekarang," kataku, sebab kudengar suara roda-roda kereta kuda di bebatuan di luar sana.
Satu demi satu tamu-tamu kami berdatangan. Lise dan aku berdiri di aula untuk menyambut mereka. Ada Mr. Acquin, Bibi Catherine dan Etiennette, dan seorang pe?muda berkulit cokelat keemasan yang baru saja pulang dari ekspedisi botani dan telah menjadi ahli botani ter?kenal " Benjamin Acquin. Kemudian datang seorang pe?muda dan laki-laki tua. Perjalanan ini menjadi dua kali lipat menariknya bagi mereka, sebab ketika meninggalkan kami mereka akan menuju tambang-tambang di Wales. Pe?muda itu akan melakukan berbagai observasi yang kelak akan dibawanya pulang ke negerinya sendiri untuk me?ngukuhkan posisi tinggi yang dipegangnya di tambang Truyere, dan juga untuk menambah koleksi mineral-mi?neral yang disumbangkannya pada kota Varses. Mereka adalah sang profesor dan Alexix. Ketika Lise dan aku se?dang menyalami tamu-tamu kami, sebuah kereta tertutup melaju dari arah berlawanan, membawa Arthur, Christina, dan Mattia. Di belakangnya menyusul kereta kecil yang dikemudikan seorang laki-laki berpenampilan keren, dan di sampingnya duduk seorang pelaut bertampang keras. Orang yang mengemudikan kereta itu adalah Bob yang sekarang hidup sangat makmur, dan laki-laki di samping?nya adalah saudaranya yang telah membantuku melolos?kan diri ke luar Inggris.
Setelah perayaan baptis selesai, Mattia menarikku ke de?kat jendela.
"Dulu kita sering sekali bermain musik untuk orang- orang yang tidak peduli," katanya. "Sekarang, pada ke?sempatan bersejarah ini, bagaimana kalau kita memainkan musik untuk orang-orang yang kita sayangi?"
"Bagimu belum lengkap kalau tidak ada musik, eh, Mattia," kataku sambil tertawa. "Kau masih ingat, dulu kau membuat takut sapi kita?"
Mattia nyengir lebar. Dari sebuah kotak indah berlapis beledu dia mengeluar?kan biola tua yang andai dijual pun tidak akan laku dua franc. Aku sendiri mengambil harpaku, kayunya sudah begitu sering tersiram hujan, sehingga warnanya sudah kembali seperti kayu aslinya.
"Kau mau menyanyikan lagu Neapolitan-mu?" tanya Mattia.
"Ya, sebab lagu itulah yang membuat Lise bisa berbicara lagi," kataku, tersenyum pada istriku yang berdiri di se?belahku.
Tamu-tamu kami mendekat dan berdiri membentuk ling?karan. Tiba-tiba seekor anjing melangkah maju. Capi ter?sayang, dia sudah sangat tua dan tuli, tetapi penglihatan?nya masih bagus. Dari bantalan tempat berbaringnya dia mengenali harpaku, maka dia pun datang terpincang-pin- cang untuk memberi "Pertunjukan". Di mulutnya dia menggigit piring kecil. Dia ingin mengedarkan piring itu kepada "para penonton yang terhormat". Dia mencoba ber?jalan pada kedua kaki belakangnya, namun tenaganya ti?dak kuat lagi, jadi dia duduk dengan khidmat, lalu mem?bungkuk hormat sambil menempelkan satu kaki depan ke dadanya.
Lagu kami selesai, Capi berusaha bangkit sebisa mung?kin, untuk "mengedarkan piring". Setiap orang mem?berikan sumbangan ke piring itu dan Capi membawanya dengan gembira kepadaku. Ini pemasukannya yang paling besar. Hanya ada keping-keping emas dan perak di piring itu "semuanya 170 f'ranc.
Ku kecup hidung Capi yang dingin, seperti di masa-masa lalu, dan sebuah gagasan muncul di benakku saat teringat kesengsaraan masa kecilku. Kukatakan kepada para tamu bahwa uang ini akan menjadi sumbangan pertama untuk mendirikan Rumah bagi anak-anak yang menjadi pemusik jalanan. Ibuku dan aku akan menyumbangkan selebih?nya.
"Nyonya tersayang," kata Mattia seraya membungkuk di atas tangan ibuku, "izinkan aku menyumbang sedikit untuk karya mulia ini. Hasil konser pertamaku di London akan ditambahkan pada uang yang telah dikumpulkan Capi."
Dan Capi pun menggonggong setuju.
TAMAT Tentang Pengarang Hector Malot dilahirkan pada tanggal 20 Mei 1830. Dia adalah pengarang Prancis yang lahir di La Bouille, Seine- Maritime. Dia belajar hukum di Rouen dan Paris, sebelum beralih menjadi penulis. Karya-karya Hector Malot men?capai lebih dari 70 buku, tetapi yang paling terkenal ada?lah Sans Familie (Nobody's Boy) yang menceritakan per?jalanan hidup Remi yang dijual kepada pengamen jalanan Signor Vitalis pada usia sepuluh tahun. Buku ini menjadi sangat terkenal sebagai buku anak-anak, meski awalnya tidak dimaksudkan demikian.
Hector Malot meninggal pada tanggal 17 Juli 1907.
Sengatan Satu Titik 2 Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru Meet Sennas 1

Cari Blog Ini