Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear Bagian 4
"Dan kalau memang benar itu dilakukannya, memangnya ke?napa?" kata Wienersdorf menantang.
"Artinya jelas, semua bantuan untuk kita dari kota Jangkan ini dicabut. Tampaknya kamu lupa kita harus berterimakasih pada Harimau Bukit atas perlindungan sementara yang diberikan pada kita. Segera setelah orang-orang Punan itu meninggalkan kita, ber?langsunglah perdamaian antara kota dan para pengepung kita, dan persyaratan pertama perdamaian itu adalah menyerahkan kita, para desertir. Itulah nasib kita jika kamu berkeras menolak kawin."
"Stop!" Wienersdorf berteriak, "kamu membuat aku gila. Sejauh mana kamu membawa aku ini?"
"Sejauh kamu mengawini seorang gadis yang cantik, anjing yang beruntung!" kata si Walloon dengan tersenyum.
"Dengarkan lagi," Yohanes melanjutkan, dengan keyakinan te?guh, "pertimbangkan pula konsekuensi-konsekuensi perkawinan ini jika dilaksanakan sebagaimana mestinya. Penghargaan Harimau Bukit terhadap penyelamatnya tak diragukan lagi akan semakin ber?tambah. Kamu akan menjadi anggota keluarganya, dan kita akan mendapatkan sekutu yang setia. Kolonel akan menarik kepungan- nya terhadap kota Jangkan karena tak berhasil merebutnya dengan kekuatan kecil yang dimilikinya. Lalu kita akan pergi ditemani Kepala Suku Punan ke daerah Sungai Miri di mana kita benar-benar aman sampai kita mendapatkan cara-cara untuk melarikan diri."
Wienersdorf menarik napas dengan berat; kemudian mengulurkan tangannya kepada teman-temannya sambil berkata dengan airmata menggenang:
"Teman-teman, aku pasrah dan setuju dengan perkawinan itu."
"Ia luluh," teriak La Cueille. "Alhamdulilah, ia setuju mengawini gadis muda yang paling cantik."
Selagi para desertir sibuk dengan keputusan itu, Amai Kotong dan Harimau Bukit menghampiri dengan membawa berita bahwa seorang Dayak Kuala Kapuas muncul di gerbang kota membawa sepucuk surat dari Komandan. Kedua kepala suku itu ingin meminta pendapat teman-teman mereka. Mereka sendiri mengusulkan menolak masuk utusan itu, karena tidak seorangpun dari mereka yang dapat membaca dan juga takut kalau-kalau ia seorang mata- mata. Yohanes mengajak Dalim untuk mengikutinya dan keduanya keluar gerbang untuk mengetahui pesan yang dibawa oleh utusan. Ia seorang Dayak sederhana, pengikut Temenggung Nikodemus yang ditugaskan untuk menyerahkan surat ke tangan Amai Kotong sendiri. Mula-mula ia menolak menyerahkan surat itu, tetapi setelah Dalim memberitahu bahwa ia lebih baik pulang saja dan tidak dapat bertemu dengan kepala kota, ia mengubah suaranya dan menyerahkan surat itu kepada Yohanes. Setelah membaca selintas isinya, utusan itu disuruh menunggu di luar dan jawaban akan diberikan kepadanya.
Isi surat itu berupa permohonan agar Kolonel diizinkan masuk ke dalam kota tanpa senjata, ditemani oleh Temenggung Jaya Negara dan lain-lain untuk berbicara dengan Amai Kotong. Yohanes tersenyum membaca surat itu. Tetapi begitu ia berada di dalam benteng lagi, ia menyerukan agar seluruh isi benteng berkumpul di lapangan. Dia lalu naik ke anak-tangga dan membaca isi surat dengan suara keras menusuk sambil menatap lekat-lekat surat itu, bahwa Komandan Kuala Kapuas, atas nama Residen Banjarmasin, memerintahkan Harimau Bukit dengan suku Punannya dibawa ke tiang gantungan sebagai pembunuh. Mendengar isi surat rekaan itu, terdengar jerit kemarahan semua pribumi yang berkumpul. Kepala Suku Punan menaiki tangga untuk meyakinkan diri dengan melihat sendiri kata- kata yang mengerikan itu, yang menuntut hukuman baginya. Yohanes, setelah membiarkan mereka melepaskan rasa amarah beberapa lama, memerintahkan mereka untuk diam karena masih ada beberapa hal yang perlu disampaikan lebih lanjut.
"Aku belum membaca seluruhnya," katanya dengan suara keras. "Dengar, saudara-saudara, selanjutnya: Jika orang-orang Punan ini, pembunuh-pembunuh yang mengerikan itu, tidak diserahkan sebelum matahari terbenam, kota Jangkan akan merasakan pembalasan tangan
besi Pemerintah Belanda. Kota akan direbut dan diratakan dengan tanah. Tanah yang ada sekarang akan ditimbun dan para bilian akan menabur garam pada alur tanah sebagai tanda bahwa tempat ini akan dikutuk selama-lamanya oleh Mahatara."
Kini teriakan bertubi-tubi yang memekakkan telinga terdengar.
Segera setelah Yohanes melihat kesempatan lain untuk didengar?kan, ia melanjutkan: "Perhatian! Semua laki-laki akan dibunuh dan di?gantung seperti binatang; perempuan-perempuan tua dan anak-anak akan dijual sebagai budak, dan gadis-gadis serta perempuan-perem?puan yang baru kawin akan dibagi-bagikan pada para penyerang."
Kemurkaan mereka sudah tidak terkendalikan, dan gerombolan liar itu sudah akan bertemperasan ke luar dan membuat si pembawa surat yang naas itu menjadi martir yang mengerikan, tetapi segera dicegah oleh Yohanes dan teman-temannya. Mereka menghadang di depan gerbang kota, dan setelah bersusah-payah akhirnya mereka berhasil meyakinkan orang-orang yang marah itu bahwa utusan itu samasekali tidak bersalah dan tidak tahu-menahu isi surat itu.
"Tidak, teman-teman!" teriak Yohanes, "kita tidak harus menja?wab tantangan ini dengan pembunuhan. Tapi bijaksana menunjukkan bahwa kita bukan pengecut."
"Saya akan menemui sendiri Komandan itu!" teriak Amai Kotong, "dan menjelaskan bahwa mustahil bagiku menyerahkan salah seorang anggota keluargaku; cara itu samasekali bertentangan dengan ajaran moral kami."
"Tidak," jawab Yohanes, "Anda tidak perlu menanggapi surat orang pucat itu. Selain itu, mereka akan menangkap Anda jika tidak mau tunduk."
"Lalu apa yang harus kulakukan?"
"Lihat ini." Pada waktu yang bersamaan Yohanes menyobek-nyobek surat itu menjadi ribuan potongan kecil, mengumpulkannya ke dalam sehelai daun pisang dan mengikatnya menjadi satu bungkusan.
"Begitulah caranya mengembalikan surat pada Komandan!" serunya penuh kemenangan.
Teriakan keras kepuasan adalah jawabannya, membuktikan lagi bahwa siapa yang cerdik dapat memimpin pertemuan sesuai dengan keinginannya.
Beberapa saat kemudian Yohanes menyerahkan bungkusan itu ke tangan utusan dengan perintah untuk memberikannya kepada Komandan, dan bersamaan dengan itu menasihati dia untuk tidak lagi kembali ke kota dengan pesan yang sama kecuali jika ia mau diris-iris. Pribumi yang ketakutan itu menerima bungkusan dan segera pergi dari tempat yang amat berbahaya itu secepat kakinya dapat membawa dia.
Sementara itu kedua kepala suku Dayak duduk bersama Kolonel di atas sebatang pohon di bawah naungan cabang-cabang dan deda?unan dan sedang menunggu utusan mereka kembali. Kolonel tampak tidak sabar; ia menghentakkan kaki-kakinya, mengetuk-ngetuk sa?rung pedangnya dengan jari-jarinya, jelas menunjukkan bahwa ia belum memiliki kesabaran orang Timur seperti yang ditunjukkan oleh rekan-rekannya. Akhirnya ia berkata:
"Ia lama sekali, kan?"
"Tempatnya tidak jauh dari sini," Temenggung Nikodemus men?jawab, "tapi Tuan yang terhormat tak boleh lupa betapa utusan kita itu harus berhati-hati."
"Apakah Anda yakin surat saya akan berhasil seperti Anda ha?rapkan?"
"Ya, Tuan! Penduduk kota itu tidak akan melihat adanya bahaya mengizinkan tiga orang tak bersenjata masuk ke dalam benteng me?reka, dan begitu berada di situ, tidak sulit bagi kita membujuk Amai Kotong untuk menyerahkan orang-orang Eropa itu kepada kita. Kepala suku itu tidak akan mengorbankan nyawa dan harta-benda seluruh suku untuk melindungi empat orang desertir."
"Namun pengaruh mereka tampaknya cukup besar, itu tampak dari cara dia menyambut kita," jawaban pahit perwira itu.
"Harus saya akui tampaknya sangat mencurigakan; tapi siapa yang tahu apa yang telah mereka ceritakan pada orang-orang pehuluan yang dungu itu?"
"Tapi apakah Amai Kotong dapat membaca surat itu?"
"Tidak, Tuan, ia tidak dapat membaca; tapi tidak dapat diragukan lagi ada seorang dalam kota itu yang sanggup membaca."
"Apakah Anda tahu bahwa kota itu dilengkapi persenjataan berat?"
"Persenjataan berat?" Temenggung bertanya heran.
"Tentu saja; saya barusan mengamati melalui teropong sederetan enam meriam, sedangkan ketika saya kemari setahun yang lalu, masih Anda ingat, tak ada tanda-tanda adanya meriam."
"Tentu saja saya ingat; tapi tampaknya Tuan lupa akan meriam- meriam Kuala Hiang, yang tentunya telah diangkut oleh para desertir itu bersama mereka."
"Tapi di Kuala Hiang hanya ada dua meriam, sedangkan di sini saya hitung paling sedikit ada enam."
"Jika memang demikian, saya tak dapat memberikan penjelasan?nya," jawab Nikodemus sambil menghela napas. "Namun saya tidak percaya tujuan kota Jangkan dipersenjatai sedemikian rupa untuk memusuhi Pemerintah Belanda, kecuali kita sudah mendengar sebe?lumnya. Laporan semacam itu bukan merupakan rahasia di negeri orang Dayak. Meriam-meriam itu hanya ada dalam pikiran, jika bukannya Kolonel salah lihat."
"Anda meragukan apakah benar saya melihatnya," jawab Kolonel bernafsu. "Bahkan saya tidak sekadar melihat meriam-meriam itu. Jalan-jalan utama menuju ke kota ditanami ranjau-ranjau dan dibuat lubang-lubang yang tak dapat dilewati, sehingga serangan sangat sulit dilakukan. Semua ini memerlukan waktu untuk menyiapkannya, dan saya sangat khawatir saya tidak punya alasan untuk puas terhadap beberapa saudara mudaku. Dalam bahasa yang paling lunak, mereka telah melawan saudara tua mereka."
Kedua Temenggung terdiam beberapa saat, emosi mereka tam?pak jelas. Wajah Nikodemus tua menunjukkan perasaan sedih dan terluka, sedangkan yang satu lagi terseret dalam amarah, bola-bola matanya berputar liar dan menyingkapkan kemarahan menakutkan yang bergejolak di dadanya.
"Itu samasekali tidak benar!" teriaknya, meloncat seakan-akan tersengat. Tetapi Nikodemus memegang tangannya, memaksanya kembali duduk.
Kolonel menyaksikan adegan ini, yang hanya berlangsung bebe?rapa detik, dengan tercengang. Ia merasa telah bertindak terlalu jauh dengan ucapan-ucapannya. Kemudian menyusul keheningan yang menyakitkan"keheningan itu lebih menyiksa bagi kalangan suku- suku Timur daripada ucapan-ucapan yang paling keras. Akhirnya Nikodemus berkata:
"Kata-kata yang diucapkan tadi," katanya, dengan suara haru,
"sangat menyakitkan, tapi saya yakin tidak keluar dari lubuk hati. Tapi Kolonel lupa pada para desertir itu. Saya tidak ragu mereka telah mendapatkan perlindungan di kota Jangkan. Bagaimana mereka berhasil memperoleh kepercayaan rakyat itu, masih menjadi misteri bagi saya. Namun segala sesuatu yang telah terjadi adalah karena pengaruh mereka, dan merekalah yang memimpin perlawanan- perlawanan ini."
Kolonel berpikir sejenak.
"Ya, mereka anak-anak yang berani," ia bergumam lirih, "sang?gup berbuat apa saja. Ah! Saya masih belum menangkap mereka." Dan sambil menoleh pada kedua kepala suku itu, dengan bersahabat ia mengulurkan tangannya, "Saudara-saudara mudaku, Anda semua mungkin benar. Maafkan saya atas kemarahan yang saya tunjukkan tadi; tapi hati saya merasa getir. Saat itu saya berpikir darah telah tumpah dan akan tumpah lagi akibat perselisihan dengan kota Jangkan."
Kedua Temenggung itu menundukkan kepala, dan dengan bersahabat menjabat erat tangan yang diulurkan. Orang Dayak tidak pernah mendendam dan segera melupakan serta memaafkan jika memang kata maaf itu dinyatakan dengan tulus.
Mereka masih berbincang-bincang ketika dilaporkan utusan telah kembali. Mereka semua bangkit, menunjukkan rasa penasaran. Dengan hormat utusan itu menyampaikan berita kepada Kolonel: "Ini untuk Tuan."
Kolonel menyambut bungkusan, dan dengan rasa penasaran melepaskan ikatan, membuka daun pisang, dan wajahnya berubah menjadi pucat-pasi ketika melihat sobekan-sobekan kecil kertas surat yang benar-benar dikenalnya.
"Dan apa pesan yang kamu bawa?" tanyanya.
"Tidak ada kecuali ini: jika saya masih berani membawa surat semacam ini, mereka akan memotong saya kecil-kecil. Mendengar itu saya lari tunggang-langgang."
"Siapa yang bicara dengan kamu?"
"Seorang Dayak tinggi yang tidak saya kenal."
"Apa kamu tidak melihat muka-muka pucat?"
"Tidak seorangpun, Tuan."
"Apa kamu bicara dengan Amai Kotong" " T emenggung N ikodemus bertanya.
"Tidak, saya tidak diizinkan masuk ke dalam kota."
"Dan kepada siapa kamu serahkan surat itu?"
"Kepada Dalim, yang ditemani seorang Dayak. Dia ke luar untuk mendengarkan maksud kedatangan saya."
Mendengar itu Temenggung dan Kolonel saling pandang.
"Jadi kamu melihat Dalim?"
"Ya, Tuan!" "Dan bicara dengannya?"
"Ya, Tuan!" "Mengapa kamu menyerahkan surat itu kepada dia," Nikodemus bertanya, "setelah aku perintahkan kamu untuk tidak memberikan kepada orang lain selain kepada Amai Kotong?"
"Saya tak ingin melawan perintah Anda, tapi Dalim meminta saya pulang saja, dan saya tak diizinkan masuk ke dalam kota, juga tak dapat menemui Amai Kotong. Karena itu saya serahkan surat itu kepada dia dengan harapan kepala kota itu akan menemui saya sete?lah membacanya. Selain itu seorang pengawal tinggi hitam muncul dan sangat menakutkan saya."
"Jadi kamu tak melihat apa-apa?"
"Tidak, Tuan, tak satupun; tapi setelah saya berikan surat Anda itu saya mendengar seseorang membacanya dengan suara keras. Kemudian terdengar suara teriakan keras dan mengerikan dari dalam kota. Saya juga mendengar ancaman terhadap Anda, terhadap Residen, terhadap Pemerintah, juga terhadap saya sendiri, dan saya sudah mau lari saja. Tapi setelah suara teriakan berhenti, orang tinggi itu menyerahkan bungkusan ini kepada saya dengan perintah untuk memberikannya kepada Anda."
Kolonel saling memandang kecewa dengan kedua Temenggung. Utusan itu, setelah diberi isyarat, lalu beranjak pergi.
"Keadaan belum membaik," Kolonel berkata. "Apakah Anda berdua sependapat?"
Kedua Temenggung itu mengangguk setuju.
"Apa Dalim bisa membaca?"
"Tidak, Tuan!" jawab Nikodemus.
"Jelas Amai Kotong tidak diberi tahu isi surat sebenarnya, dan mereka telah membacakan yang lain kepada dia dan penduduk kota. Meskipun demikian, kita tidak boleh gentar. Situasi setiap saat semakin berbahaya. Apakah pendapat Anda juga begitu?"
"Ya, Tuan!" jawab kedua Temenggung itu.
"Saya usulkan untuk melakukan serangan mendadak malam ini.
"Namun dengarkan saya sekali lagi, Tuan!" Temenggung Nikodemus berkata dengan tenang. "Setelah pertempuran siang ini, kita tak mungkin bermimpi meminta orang-orang Dayak kita melawan kota. Memerlukan waktu beberapa hari untuk menghilangkan kesan kalah, dan karena itu saya mohon dengan sangat kepada Anda untuk menunda serangan ini. Selain itu, kesempatan untuk berhasil sangat tipis, apalagi di bawah bulan terang begini akan banyak nyawa melayang."
"Lantas bagaimana, Temenggung?" tanya Kolonel.
Kepala suku yang tua itu tidak segera menjawab. Ia berpikir, menarik napas, dan meletakkan tangannya ke bahu Kolonel, sambil berkata:
"Dengar! Saya akan pergi!"
Bab 12 "TAPI, Temenggung!" Kolonel menyela, "setelah semua yang terjadi, semua pendekatan dari pihak kita adalah mustahil. Selain itu, nyawa Anda tidak akan selamat."
"Anda tidak akan sakit hati pada satu ras yang tolol karena telah bersalah melawan adat-istiadat orang kulit putih. Saya kenal betul Anda percaya itu. Mengenai diri saya sendiri, tak sehelai rambutpun di kepala saya akan cedera. Saya adalah saudara sedarah Amai Kotong; kita telah acapkali saling mereguk air kehidupan dan bersumpah untuk saling membantu. Saya dikenal oleh semua penduduk kota, bahkan oleh anak-anak; saya adalah sahabat mereka semua. Siapa yang akan menganiaya orang tua seperti saya?"
"Mungkin semua ini benar, Temenggung, tapi apa dan bagaimana jika salah seorang desertir yang sedang bertugas jaga yang melihat Anda pertama kali" Sebutir peluru yang akan menyambut kedatangan Anda."
"Saya akan mengambil risiko itu; saya tidak yakin orang-orang kulit putih itu, yang belum pernah saya sakiti, akan langsung membidik nyawa saya. Tapi saya bermaksud menyelinap ke dalam kota sebelum hari terang, ketika orang-orang Eropa itu masih tertidur. Orang-orang senegerimu itu, Tuan, seperti biasa, bukanlah orang-orang yang cepat bangun pagi."
"Semoga Hatallah membimbing dan melindungi Anda, Temeng?gung!" kata Kolonel setelah merenung sejenak. "Saya percaya rencana Anda adalah yang terbaik dalam keadaan seperti sekarang ini."
Malam berlalu tanpa gangguan, tidak ada tindakan permusuhan yang dicoba oleh pihak manapun.
Tetapi di dalam benteng, setelah para pengawal ditempatkan, pesta Dayak benar-benar dilangsungkan. Pesta blakoontong dirayakan untuk mohon restu menjelang perkawinan si cantik Hamadu dengan Dohong alias Wienersdorf. Harimau Bukit, yang amat mencintai adik perempuannya, menetapkan bahwa perayaan peristiwa itu akan diingat sepanjang masa di kalangan penduduk kota Jangkan.
Segera setelah bulan memandikan bumi dengan cahaya keperakan yang lembut, calon pengantin perempuan diantar dari kediamannya oleh pengiring kehormatan yang terdiri atas tujuh orang gadis muda, yang seperti calon pengantin perempuan hanya berpakaian saloi atau sarung pendek. Tujuh orang prajurit Punan berpakaian lengkap juga mengiringkan Wienersdorf dari tempatnya. Pasangan calon pengantin lalu dituntun ke dalam satu bangsal luas yang dibuat sedemikian rupa sehingga mereka masuk bersamaan dari arah pintu yang berlawanan. Segera setelah mereka tampil di bawah atap bangsal itu, para bilian mulai memukul gendang dan menyanyikan himne untuk menghormati calon pengantin perempuan dan laki-laki yang tengah dituntun ke tengah-tengah ruangan. Hamadu kini menyerahkan kepada calon suaminya sebilah mandau sebagai tanda tuntutan perlindungan lewat keberanian calon sang suami. Kemudian mereka duduk, masing-masing di atas selembar tikar rotan yang dihias indah. Tempat duduk mereka diatur sedemikian rupa sehingga ada ruang yang luas di tengah-tengah bangsal di mana para bilian mengambil tempat dan memulai upacara.
Dua himne dinyanyikan, yang dimaksudkan untuk mengusir segala malapetaka. Setelah nyanyian selesai, semua yang hadir, termasuk calon pengantin perempuan, mengambil tongkat besar, dan dengan dipimpin oleh para bilian mereka memukul keras-keras tonggak- tonggak, tiang-tiang, dinding-dinding, dan atap bangsal. Semua rumah dan bangunan lain di dalam kota mendapat giliran didatangi dan upacara yang sama diulangi untuk mengusir hantu-hantu dan roh-roh. Suaranya, bisa dibayangkan, sangat memekakkan.
Peran yang dimainkan oleh si Walloon, La Cueille, penyamar Syekh, sangat lucu. Ia memegang cabang satu pohon dan memukul- mukul seperti orang gila, membuat kegaduhan lebih daripada yang dilakukan oleh 25 orang yang lain. Tingkahnya itu menggelikan orang- orang Dayak, yang melihat bagaimana seorang suci begitu sibuk, tetapi
pengamat yang teliti akan melihat betapa La Cueille bertingkah khusus di samping seorang gadis pengiring kehormatan, dan bagaimana dia, sambil memukul-mukul cabang pohon itu, memainkan peran sopan dan mencoba menarik perhatian gadis itu. Ia begitu sibuk ketika tiba-tiba meriam-meriam di dalam kota meletuskan tembakan yang dahsyat. Syekh itu hampir mati ketakutan, berjungkir-balik, meloncat lagi diikuti derai tawa orang-orang Dayak dan lari ke arah tempat pengintaian. Sebagai seorang artileris utama benteng itu, pikirnya, kehadirannya barangkah diperlukan. Di situ baru ia tahu apa yang telah terjadi. Itu hanya ulah Dalim, yang menembakkan peluru kosong untuk turut mengusir roh-roh jahat. Menurut kepercayaan takhayul yang kuat, roh-roh jahat tidak tahan terhadap suara dan sangat membenci bau mesiu, dan akan mencari tempat yang aman untuk berlindung segera setelah mereka menciumnya.
Kegembiraan belum reda ketika Syekh muncul kembali di dalam bangsal, di mana kedua calon pengantin telah menempati kembali tempat duduk mereka masing-masing, dikelilingi oleh para pengawal kehormatan masing-masing.
Kini para bilian menempatkan di atas selembar tikar yang ada di tengah-tengah bangsal semua sesaji yang dipersembahkan untuk para dewata, yang terdiri atas tujuh ekor ayam dewasa, sebutir telur, tujuh bungkus daun pisang penuh berisi nasi, tujuh ruas bambu yang diisi beras, tujuh batang tebu masing-masing satu depa, di samping bubur, gula, dan buah-buahan. Para bilian menyalakan api di dua kayu damar yang masih hijau sehingga mengeluarkan asap tebal. Setelah selesai dengan semua persiapan ini, mereka mengucapkan mantra, yang isi pokoknya mendorong Raja Antang (Enggang) membawa jiwa sesaji-sesaji itu, karena orang Dayak percaya semua benda punya jiwa, kepada Raja Ontong.
Selama pembacaan mantra ini berlangsung, anak-anak muda berkumpul di sekeliling api, dan di situ mereka sibuk meniupkan anaksumpit-anaksumpit beripuh dengan sumpit-sumpit mereka ke tengah-tengah kepulan asap yang membubung untuk mencegah roh-roh kotor dan jahat kembali. Tamu-tamu lain, laki-laki maupun perempuan, membentuk lingkaran besar di sekeliling satu tonggak yang dipancangkan di bagian utara bangsal di mana seekor kerbau ditambatkan. Di sini, sambil saling berpegangan pada ujung-ujung
jari, mereka bergerak maju-mundur beberapa langkah bergantian, kemudian menunduk serendah lutut mereka, dan kemudian melon?cat lagi sambil mengeluarkan pekikan yang menakutkan.
Ini merupakan tarian adat yang disebut bigal. Ketika tarian ini sudah berlangsung sekitar sejam, kerbau itu akhirnya dibunuh dengan tikaman-tikaman tombak. Daging yang masih berdenyut- denyut dikuliti oleh beberapa perempuan tua, segera dipanggang dan disajikan kepada tamu-tamu di sekitar, yang langsung melahapnya dengan tangan telanjang.
Sisa-sisa darah kerbau dibalurkan ke dahi, dada, dan tangan calon pengantin perempuan dan laki-laki. Selanjutnya para bilian menempatkan di depan masing-masing calon pengantin pengikat perkawinan berupa sepotong rotan dengan panjang sekitar delapan inci, ditutup dengan lapisan tepung beras campur serbuk emas. Kemudian mereka mengambil setempurung penuh tuak, lalu direguk dan digilirkan kepada calon pengantin, dan kedua calon pengantin mereguknya, lalu digilirkan ke sekeliling di antara mereka yang hadir untuk kegembiraan bersama.
Orang Dayak, laki-laki maupun perempuan, sebagaimana biasa, adalah peminum yang kuat. Karena semangkok besar tuak telah dihabiskan dan minuman yang enak itu disediakan secara berlimpah, kegembiraan mereka yang gaduh pun segera mencapai puncaknya. Tetapi Yohanes, bersama Schlickeisen, Amai Kotong, dan Dalim, tetap menahan diri untuk tidak larut dalam kegembiraan pesta itu. Demikianlah, setelah minum untuk keselamatan pasangan muda itu mereka berhenti mengambil cairan yang menggoda itu.
Syekh Mohamad Al Mansur duduk bersila di atas tikar kecilnya sambil menonton acara riang itu dengan wajah sedih. Bau tuak benar- benar mengganggu saraf penciumannya dan dengan pandangan sinis dia mengamati adegan hiruk-pikuk itu. Ia bertahan dengan peran alimnya, meskipun itu bertolak belakang dengan watak asli Walloonnya; ia telah berjanji untuk tidak mengotori penyamaran keturunan Nabi dan janjinya itu akan dia tepati. Akan dia tunjukkan kepada teman-temannya bahwa dia juga dapat berkorban jika diperlukan demi kemaslahatan bersama. Ketika sedang duduk putusasa demikian tiba-tiba sebentuk wajah kecil manis membungkuk dari arah punggungnya dan mengiming-imingi semangkuk tuak di bawah hidungnya.
Dia meloncat dan mencoba menangkap penggodanya, tetapi secepat kilat wajah kecil manis menghindar.
"Orang Islam tidak boleh minum tuak," teriak orang itu meledek dari kejauhan.
"Persetan dengan akibat-akibatnya," teriak si Walloon, seraya me?lepaskan sorban dari kepalanya dan membuangnya ke bangsal.
Si Walloon mengejar gadis itu dan dalam beberapa saat telah memeluknya dengan lemah-lembut. Ia mengambil mangkuk dari tangan si gadis dan mengosongkannya dalam sekali tengggak.
Sorakan gembira pun pecah, dan ketika orang "Arab" tidak bersorban itu melihat ke sekitar, dia sadar sedang dikelilingi oleh tamu-tamu yang dengan gembira dan wajah tersenyum memberikan ucapan selamat atas pilihannya.
Tengah malam telah tiba dan segera setelah bulan mencapai zenitnya, para bilian mengambil potongan-potongan rotan yang di?letakkan untuk Dohong dan Hamadu, menyingkirkan tepung, meng?ukur tongkat-tongkat rotan dan menyatakan bahwa kedua tongkat itu telah memanjang, suatu pertanda baik. Tepung itu sekarang diamati. Serbuk emas dipisahkan dari tepung dengan cara mencucinya, dan dengan hati-hati ditimbang. Ternyata bobot serbuk emas itu lebih berat daripada sebelumnya. Karena itu kegembiraan tak lagi berbatas. Bertambahnya bobot serbuk emas itu membuktikan bahwa pem?bacaan mantra oleh para bilian telah diterima dengan senang hati. Yang mahakuasa Raja Balawang Bulau telah menjanjikan bantuannya, dan pasangan tunangan itu dapat tenang karena perkawinan mereka akan bahagia dan makmur. Keduanya disuruh menyimpan rotan masing-masing, karena dengan rotan itu nasib mereka di bumi telah terungkap. Kepala Suku Punan membayar jasa para bilian dengan jumlah yang pantas, dan upacara blako ontong pun usai sudah.
Tetapi pesta sebenarnya terus berlanjut; tuak dan manisan disu?guhkan ke sekeliling dengan berlimpah setelah upacara keagamaan, dan kegembiraan berlangsung sepanjang malam.
Fajar baru saja terbit ketika Yohanes dan Schlickeisen dari pos jaga melihat gerak mencurigakan di perbatasan hutan. Mereka melihat dua orang, dan salah satunya, dilihat dari seragamnya, pasti Kolonel, berjabatan tangan dan kemudian berpisah. Yang seorang berjalan ke arah kota sedangkan yang lain balik ke dalam hutan. Untuk mencegah kepanikan, Yohanes turun menemui Amai Kotong,
yang segera mengenal orang itu sebagai Temenggung Kuala Kapuas.
"Itu salah seorang teman lamaku," katanya, "dan Anda jangan mencederainya."
"Tentu saja tidak," Yohanes menjawab. "Ia seorang tua yang sangat jujur. Tapi saya menolaknya masuk ke dalam kota. Anda pergi dan bicaralah padanya, Harimau, dan saya kira tiang gantungan yang telah dijanjikan orang-orang kulit putih itu untuk Anda."
Orang Punan itu tersenyum dengan perasaan terhina. Nikodemus tua, sementara itu, datang mendekat, tangan kanan?nya membawa bendera Belanda kecil yang diikatkan di sebatang tong?kat pendek, sementara tangan kirinya memegang tongkat rotan yang bagus dengan kepala berwarna keemasan yang berat, diukir lambang Belanda. Ketika sampai kira-kira seratus langkah dari benteng, tiba- tiba ia melihat satu kepala nongol dari benteng dan mendengar suara ditujukan kepadanya:
"Hormat, Bapa Temenggung! Mau apa gerangan Anda kemari?" Takut pada suara itu, yang tampaknya tidak asing baginya, ia memerhatikan dengan sungguh-sungguh dan terkejut ketika me?ngenal wajah yang terkenal itu, wajah sumeh Harimau Bukit, Kepala Suku Punan, macan pegunungan. Apa yang sedang dia kerjakan di sini" Apakah dugaan Kolonel itu benar, bahwa suatu pemberontakan sedang disiapkan di hulu negeri" Temenggung sangat ketakutan sehingga ia lupa menjawab pertanyaan dan terpaku bagai patung. Tiba-tiba dua tembakan dilepaskan dengan sangat jitu sampai bendera dan tongkat terlempar dari kedua tangan Temenggung. Yohanes dan Schlickeisen telah memberikan contoh keahlian menembak dengan tujuan menakut-nakuti, bukan untuk melukai orang tua itu. Mereka berhasil menembak dengan sangat mengagumkan, karena orang tua itu berdiri terpaku sambil memandang pecahan-pecahan tongkatnya, yang karena merupakan hadiah Pemerintah Belanda sangat dihargainya lebih daripada semua miliknya yang lain. Tetapi ketika ia mendengar suara Harimau Bukit berkata lagi:
"Bapa, pergilah cepat," ia segera mengambil langkah seribu, larinya semakin kencang karena beberapa tembakan peluru kosong dilepaskan oleh orang-orang Eropa itu.
"Itu untuk melepaskan boneka-boneka pergi!" kata Kolonel ketika mendengar suara tembakan-tembakan.
Kolonel tidak mengeluarkan ucapan ini ketika Temenggung muncul dengan sangat ketakutan dan kehabisan napas karena ber?lari demikian kencang. Kepala suku tua itu duduk tepekur di dahan pohon, dan selama beberapa waktu tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Akhirnya, setelah menenggak brendi dari botol yang disodorkan oleh Kolonel, ia berkata:
"Kepala Suku Punan ada di situ."
Ketakutan dan kengerian tampak di wajah Temenggung dari Kuala Hiang mendengar kata-kata ini, meskipun Kolonel tidak me?ngerti laporan yang membuatnya gelisah. Kini Nikodemus mulai sedikit tenang dan menceritakan pengalamannya dan menyimpulkan bahwa kedudukan mereka sekarang sangat berbahaya.
"Mengapa Temenggung?"
"Orang-orang Punan adalah pemberani, dan saya hanya bisa menyatakan keheranan bahwa malam berlalu dengan tenang. Mere?ka tidak tertandingi dalam melancarkan serangan malam hari."
"Oh, Temenggung! Samasekali tidaklah seburuk itu," tegur Kolo?nel. "Saya samasekali tidak takut."
"Tapi saya takut, Tuan!" adalah jawaban yang sungguh-sungguh. "Saya kaitkan sebagian keselamatan kita dari petaka besar dengan cahaya bulan yang terang dan sebagian lagi dengan pesta yang dirayakan tadi malam di dalam kota. Apa kita tidak mendengar ledakan meriam mereka pada jam sembilan, dan teriakan-teriakan para bilian sepanjang malam?"
"Benar, Temenggung, orang-orang senegerimu tidak pernah sama dalam menyelenggarakan pesta. Tidak diragukan lagi, dengan berkumpul bersama mereka akan menyelenggarakan pesta malam kedua. Karena itu kita punya kesempatan yang sangat baik sekarang untuk melakukan serangan terpimpin ke dalam kota."
Temenggung tua itu menggelengkan kepalanya dengan prihatin. "Mustahil, Tuan; besok bulan purnama, malam akan seperti siang; kita hanya akan menumpahkan darah dengan sia-sia."
"Kita tidak akan bertindak ceroboh, Temenggung. Kita hanya akan menyiapkan orang-orang dalam keadaan darurat."
"Jika sekali saja orang-orang kita tahu bahwa Harimau Bukit dan orang-orang Punannya ada di dalam kota, tak ada yang bisa membuat mereka mau menyerang; bahkan jujur saja saya katakan mereka akan lari."
"Saya juga," kata Temenggung Kuala Hiang.
"Tapi apa urusannya Kepala Suku Punan itu di kota Jangkan?" Kolonel bertanya.
"Saya tidak tahu, Tuan; itu di luar pemahaman saya. Saya hanya dapat bicara dengan Amai Kotong."
"Tapi apa Anda melihat seorang Eropa ketika mengunjungi kota?"
"Tak seorangpun, Tuan. Saya hanya melihat wajah Harimau Bukit yang sumeh."
"Lalu siapa yang menembakmu?"
"Saya tidak tahu; karena tembakan itu berasal dari belakang pa?gar benteng dan melalui lubang pengintaian. Bidikan mereka buruk sekali. Jika tidak, mereka mestinya berhasil membunuh saya dalam jarak yang begitu dekat."
Kolonel itu tersenyum. "Percayalah, Temenggung, mereka membidik dengan tepat. Hanya saja kedua orang Swiss yang menembak itu tidak bermaksud membunuh Anda."
"Semoga Hatallah memberkati mereka!"
"Amin," Kolonel berkata dengan tersenyum.
Mereka kini memutuskan untuk tetap merahasiakan betul ke?beradaan para pengayau di dalam kota dan mengepung benteng seketat mungkin. Barangkali persediaan makanan di dalam kota tidak banyak dan kelaparan akan memaksa mereka menyerah.
Dua hari dua malam berlalu tanpa ada gangguan setelah per?cobaan Temenggung Nikodemus berbicara dengan Amai Kotong. Tiap malam bulan terbit dengan benderang di atas tepi hutan dan menyinari segala sesuatu dengan cahayanya yang lembut dan putih terang, sehingga tidak ada satupun yang terjadi dalam jarak 200 yard yang tidak diketahui oleh para pengepung. Percobaan menyerang dalam keadaan semacam itu juga benar-benar merupa?kan kegilaan. Tetapi cahaya bulan juga melindungi para pengepung dari serangan orang-orang Punan, karena Harimau Bukit tidak se?gan-segan melampiaskan niatnya melancarkan serangan malam hari untuk melunasi utang-utangnya kepada orang-orang yang menurut perkiraannya bermaksud menangkapnya.
Tidak lama setelah malam turun pada hari ketiga, malam men?jadi gelap, karena bulan baru muncul di atas cakrawala pada jam sete?
ngah delapan malam. Yohanes sedang duduk bercakap-cakap dengan Amai Kotong, Dalim, dan Harimau Bukit ketika salah seorang penga?wal melaporkan bahwa satu benda besar tidak berbentuk tampak dari arah hulu sungai dan diam-diam bergerak ke hilir bersama arus. Mereka semua segera bersiap-siap, mengambil senjata, dan segera menuju ke arah tepi sungai untuk melihat apa yang sedang terjadi. Dan benar saja, pada jarak sekitar 300 yard mereka melihat suatu benda, yang amat berat dan lambat untuk ukuran sampan dan terlalu tidak beraturan untuk sebuah rakit, pelan-pelan maju ke arah mereka. Benda itu mirip pulau terapung. Orang-orang disuruh mengangkat senjata dan bersiap-siap dalam keadaan darurat.
Selagi mereka sibuk mengamati benda yang melaju itu dan me?ngira-ngira apa gerangan sebenarnya, tiba-tiba muncul dari belakang kota jeritan tanda bahaya, yang segera diikuti oleh beberapa tembakan senapan. Mengambil keuntungan dari kegelapan, Kolonel berhasil mendekati pagar benteng bersama orang-orang Dayaknya, dan selagi seluruh perhatian orang-orang dalam benteng tertuju ke arah sungai, tangga coba dipanjat oleh orang-orang Kolonel dan hampir saja berhasil. Tetapi salah seorang perempuan melihat sesosok bayangan melompat dari kubu benteng ke arah kegelapan di bawah. Ia sedang memegang sebilah parang dan sibuk memotong-motong kayu. Sebelum penyusup itu sadar akibat loncatannya, perempuan itu menebas kepala dan lengan orang itu dengan kuat, yang segera membuatnya terkapar tak berdaya dan bersimbah darah. Beberapa orang dalam benteng mendekat begitu mendengar jeritan perempuan itu, dan pada waktu bersamaan menyambut para penyerbu yang kini muncul di atas pagar. Kini para penyerbu segera berkenalan dengan mandau orang-orang Punan dan terjatuh dengan luka-luka parah di atas ranjau-ranjau tajam yang dipasang di kaki dinding benteng. Kedua orang Swiss dan La Cueille, ditemani oleh orang-orang Punan, kini muncul di atas kubu dan serempak melepaskan tembakan gencar meskipun tidak melihat sesuatu dalam kegelapan yang merajai sekitar.
Mereka terus menembak selama beberapa waktu sampai teriak?an dan jeritan menghilang di kejauhan, yang membuat mereka sa?dar bahwa bahaya yang menghadang telah berlalu. Sambil menuju ke tempat di mana tangga disandarkan, mereka temukan satu mayat di dalam dan empat orang terluka parah di luar benteng. Mustahil
mencegah orang-orang Punan memenggal kepala orang-orang malang itu. Sebenarnya, selama kegelapan menyelimuti dan suasana umum menjadi kacau, orang-orang Eropa tidak berpikir tentang kekejaman orang-orang Punan. Tetapi ketika ketenangan menyusul dan mereka melihat api dinyalakan di tengah-tengah lapangan kota, mereka baru tahu apa makna api itu. Segera setelah lidah api membubung ke atas, mereka melihat orang-orang liar itu menari dengan kepala-kepala hasil kayauan mereka dan darah yang masih menetes bepercikan di sekitar mereka. Terutama Harimau Bukit yang tampaknya sangat gembira; ialah orang pertama yang keluar dari benteng untuk membunuh penyerang yang terluka. Ia kini lari meloncat-loncat seperti orang gila sambil menyerukan teriakannya "leeeeh, lelelelele, ouiiit", dan berkali-kali menggigit kepala hasil kayauannya agar darah segar dapat mengalir turun ke tenggorokannya.
"Mereka belum bisa menaklukkan pengayau!" teriaknya penuh kemenangan.
Dalam waktu singkat seluruh penduduk kota Jangkan benar- benar ikut dalam tarian setan, dan kepala-kepala hasil kayauan itu berpindah dari satu tangan ke tangan lain agar semua mendapat kesempatan menelan beberapa tetes cairan merah yang lezat. Setelah darah berhenti mengalir, mereka menempelkan lidah mereka ke leher-leher yang berdarah dan menyeruputnya.
Muak melihat adegan ini, kedua orang Eropa segera menjauh dari tragedi yang mengerikan itu dan mencari Yohanes. Yohanes, setelah mendengar bunyi tembakan, juga telah pergi ke bagian benteng tempat kejadian; tetapi melihat semua orang berada di posnya, dan seluruh penduduk laki-laki bersenjata, ia dan Dalim kembali ke tepi sungai.
Benda tidak berbentuk itu mengapung semakin dekat sam?pai mereka dapat melihat dengan jelas bahwa benda itu dibangun dari cabang-cabang pohon yang dipotong dan dijalin dengan rerumputan panjang. Meskipun arus pasang membawa ke seberang, benda menyerupai pulau itu tampak seperti dikemudikan orang. Ketika masuk ke dalam wilayah yang dibiarkan kosong di sekeliling perbentengan, benda itu terlihat semakin jelas di bawah cahaya bulan. Yohanes seperti melihat sesuatu bergerak di belakang benda yang mengambang itu dan ia telah siap dengan senapannya ketika mendengar suara dari permukaan air.
"Ohoi! Amai Kotong."
"Siapa kamu?" teriak Dalim keras.
"Orang dari Sungai Mawat. Saya membawa pesan dari penduduk di sana."
Sementara benda menyerupai pulau itu bergerak ke depan kota, ke suatu tempat sempit yang memisahkan benda itu dengan tepian. Yohanes dan orang-orangnya merebahkan diri di tepi sungai, senapan di tangan, siap menghadapi keadaan darurat. Seorang pribumi kini muncul di atas pulau itu, meloncat ke air, dan berenang ke tepian ketika tiba-tiba terdengar tembakan, disusul jeritan keras si perenang. Kolonel juga telah mengamati pulau yang mengapung itu, dan ketika melihat seorang pribumi teijun ke air ia menembaknya. Sebelum kolonel sempat mengisi kembali pelurunya, Dalim meloncat ke dalam sungai dan memegang pribumi itu, yang kalau tidak segera ditolong pasti tenggelam. Ia berjuang ke tepian sambil memapah orang yang terluka itu dan berhasil membawanya masuk ke dalam benteng.
Sayang! Utusan malang itu mendapat luka mematikan di dadanya. Ia membawa pesan bahwa prajurit dari Sungai Mawat, berjumlah sekitar 50 orang, telah tiba dan ditempatkan di sebelah utara kota untuk menyerang para pengepung malam itu.
Setelah memberikan informasi ini, orang malang itu meninggal.
Tindakan pertama orang-orang Dayak dari kota Jangkan adalah menyemayamkan mayat saudara mereka. Mayat dikenakan pakaian baru dan dibaringkan di lantai salah satu bangunan di dalam kota, di atas selembar tikar bermotif kembang-kembang yang bagus. Satu lampu yang menyala ditempatkan di dekat kepalanya, dan tubuh mayat-mayat musuh yang tewas dibaringkan di sekitarnya, dan kepala-kepala mereka yang telah dipenggal diletakkan di atas dada-dada pemiliknya. Semua mayat memegang talawang atau perisai di satu tangan dan mandau di tangan lainnya. Orang Dayak percaya, dengan pengaturan semacam ini jiwa musuh-musuh yang dipenggal kepalanya dapat dipaksa mengakui mayat orang Mawat itu sebagai tuannya di surga orang Dayak, dan di sana mereka menjadi budak-budaknya. Bunyi titih yang menyuarakan tanda pemakaman didengungkan sepanjang malam itu.
Ketika siang mulai menampakkan diri, tunding pun dimulai. Upacara ini dilakukan dengan mengecat kuku tangan dan kaki si
mayat dan membubuhkan tujuh titik merah di dahinya. Kemudian ia ditempatkan di dalam peti mati, dan karena ia dikenal sebagai seorang yang gagah-berani dan telah tewas sebagai seorang pejuang, mereka juga menempatkan senjata-senjata di sampingnya.
Sementara itu orang-orang yang dikepung telah mengamati beberapa tanda bahwa pengepung akan menarik diri. Mereka juga mendengar suara kayuh dan ingin sekali mengetahui apa yang telah terjadi.
Pada dini hari para pengintai melihat ke sekeliling, tetapi tidak melihat tanda-tanda adanya musuh; bahkan juga tidak ada asap mengepul yang menandakan mereka sedang menyiapkan sarapan. Beberapa orang dari dalam benteng merayap ke luar, menjelajahi sekitar dan kembali dengan laporan bahwa musuh telah pergi. Sorakan keras menyambut berita gembira ini, dan orang-orang Eropa itu saling mengucapkan selamat. Seorang utusan dikirim menemui para prajurit Sungai Mawat untuk memberitahukan bahwa para pengepung telah mengundurkan diri. Akan tetapi karena penarikan diri yang tidak jelas itu mungkin merupakan tipu-muslihat, sikap- hati-hati tidak boleh diabaikan dan pengintai terus ditempatkan di tiap sudut sungai di hilir kota. Pertanyaan penting sekarang adalah: Apa yang telah mendorong para pengepung itu meninggalkan pertempuran secara mendadak"
Pemecahan misteri itu adalah sebagai berikut:
Setelah penyerbuan terakhir itu, seluruh kubu tampaknya putus- asa. Kolonel adalah salah seorang di antara para penyerang yang memanjat pagar benteng, tetapi beruntunglah dia karena belum punya ketrampilan memanjat seperti monyet. Karena itu ia dilampaui di tangga oleh para pribumi yang lebih tangkas. Selagi mencoba naik lagi dia terhalang salah satu prajuritnya yang jatuh menimpanya karena terluka, sehingga dia jatuh ke tanah. Pakaiannya, terutama sepatu larsnya, melindungi dia dari ujung-ujung ranjau yang tajam, sehingga ia hanya sedikit lecet di lengannya. Kejadian ini disaksikan oleh kedua Temenggung, yang segera membantunya bangkit dan memapahnya ke tempat yang aman. Terlambat beberapa detik saja, tidak satupun yang dapat menyelamatkan kepala Kolonel dari mandau Harimau Bukit.
Tidak lama sesudah dipukul mundur ini, kedatangan pulau terapung menarik perhatian Kolonel, dan kedua abdinya melihat
dengan sangat curiga dan takut. Mereka duduk bersama di atas sebatang cabang pohon sambil mengamati benda itu mendekat. Kemuraman sangat tergambar di wajah mereka. Mereka berbicara, te?tapi pokok pembicaraannya jauh daripada menggembirakan. Kedua Temenggung mendesak untuk mundur dengan alasan kondisi mere?ka telah menjadi begitu mencemaskan, apalagi sekarang beberapa utusan telah tiba di kota dengan pulau terapung ini. Siapa dia dan dari mana asalnya tidak bisa diterka, tetapi yang jelas kedatangannya membawa berita buruk bagi mereka.
Kolonel berpendapat, kota harus dikepung lebih rapat lagi. Dalam pada itu ia mengusulkan untuk segera ke Banjarmasin, melaporkan kejadian-kejadian itu dan kembali lagi dengan kapal-api bersama bala bantuan serdadu guna menghukum kota yang keras kepala ini.
Kedua kepala suku Dayak itu mendengarkan Kolonel dengan sangat ketakutan. Bahwa Kolonel hendak meninggalkan mereka adalah di luar pemahaman mereka, dan mereka hampir kehilangan kata-kata untuk membantahnya. Temenggung Nikodemus bertanya, dengan suara terbata-bata: "Dan berapa lama Anda akan pergi?" "Anda dapat mengharapkan saya kembali lagi dalam waktu sembilan atau paling lama sepuluh hari."
"Samasekali tak terbayangkan, Tuan!" jawab Nikodemus dengan sungguh-sungguh. "Ketika kembali, Anda akan temukan kami semua telah mati terbunuh."
"Tapi, Temenggung!"
"Saya bersungguh-sungguh, Tuan! Tak satupun malam berlalu tanpa kita diserang, dan dalam serbuan terus-menerus itu kita akan menderita kerugian yang tak terbayangkan. Dan ketika kita akhirnya letih karena serangan-serangan kecil tiap hari, dan karena harus berjaga di malam hari, pertempuran besar pun berlangsung dan memusnahkan kita semua."
"Tapi Anda tidak tiga berbanding satu, Temenggung?" tegur Ko?lonel dengan pahit.
"Itu tak ada artinya melawan tentara yang punya pertahanan tang?guh. Tapi berapa lama jumlah kita yang berlebih ini dapat bertahan setelah suku-suku dari hulu sungai bergabung dengan mereka?" "Tapi Anda lupa bahwa dalam waktu sepuluh hari saya akan berada di sini dengan pasukan yang cukup besar untuk menghadapi semua suku-suku Kalimantan."
"Ketika hari itu datang, semua sudah sangat terlambat, Tuan!"
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Temenggung?" Kolonel ber?kata tidak sabar.
"Tak ada jalan lain selain membiarkan kami pergi bersama Anda dan kembali bersama Anda jika perlu."
"Dan sementara itu kita biarkan para desertir itu melarikan diri," jawaban yang pahit.
"Sangat mungkin, Tuan! Tapi percayalah bahwa mereka akan tetap melarikan diri, sama seperti ketika Anda pergi dan meninggalkan kami di sini."
"Tapi mereka terperangkap seperti tikus."
"Betul, Tuan! Tapi kita tak sanggup menangkap tikus dalam sarang mereka; mereka bisa meninggalkan sarangnya kapan saja mereka mau."
Meskipun yakin atas kebenaran argumentasi Temenggung, Kolonel tidak mau kalah. Untuk beberapa saat ia berpikir untuk tetap tinggal dan mengirimkan salah seorang kepala suku itu ke Banjarmasin. Tetapi sadar sifat peragu penduduk asli akan berakibat hilangnya cukup banyak waktu, dan bahwa di markas besar para penguasa akan menuntut dan menghendaki informasi lengkap, maka ia buang gagasan itu. Ia sudah bermaksud mencoba membujuk lagi Temenggung untuk tetap tinggal ketika tiba-tiba salah seorang anakbuah Kepala Kuala Kapuas mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga orang tua terhormat itu.
"Seperti sudah saya duga," seru yang terakhir, "orang-orang Kuala Kapuas telah mengenali Harimau Bukit dan orang-orang Punannya selama berlangsung pertempuran terakhir. Mereka sangat ketakutan dan ingin pergi. Sebagian dari mereka sudah menyiapkan sampan- sampan. Saya harus pergi dan melihat apa arti semua ini."
"Kami ikut," kata Kolonel dan Temenggung Pati Singa Jaya.
Setiba di perkemahan mereka melihat prajurit dalam keadaan ketakutan. Beredar cerita-cerita mengerikan tentang keganasan dan kekejaman orang Punan. Sebagian besar prajurit dari kota Baru telah pergi, sementara yang lain-lain sedang menyiapkan sampan- sampan mereka. Kolonel memohon, bukan, bahkan memerintahkan, mereka untuk tetap tinggal; tetapi pasukan kecil itu sudah tersengat kepanikan. Dalam beberapa saat saja Kolonel telah tinggal sendiri
bersama dua orang Temenggung; sampan-sampan itu menghilang satu per satu di balik kelokan pertama sungai. Kedua kepala suku Dayak itu saling pandang dan mengucapkan beberapa kata, setelah itu mereka memegang kedua lengan Kolonel yang meronta-ronta, memaksa membawa Kolonel ke sampannya, dan begitu mereka naik, sampan pun melesat pergi. Itu benar-benar merupakan pelarian yang memalukan, tetapi keadaan memaksa sehingga mau tak mau mereka harus pergi.
Ketika sampan sampai di kelokan sungai, Kolonel melepaskan pandangan terakhir ke arah benteng dan mengacungkan tinjunya sambil berseru:
"Aku akan kembali dan membalas!"
Pengepungan berlangsung hanya empat hari.
Kegembiraan penduduk kota tak terkira. Mereka semua segera ke luar untuk menikmati kembali kemerdekaan, dan kebutuhan pertama yang meminta segera dipenuhi adalah mandi. Tampaknya mereka tiba-tiba seperti mengalami metamorfosis menjadi binatang amfibi. Seluruh penduduk, laki-laki, perempuan, anak-anak, terjun ke air yang bening, memperlihatkan kemahiran berenang dengan penuh kegembiraan. Tetapi kegembiraan mereka terganggu oleh teriakan ketakutan yang tiba-tiba, "Bajai! Bajai hai!"Buaya! Buaya raksasa." Maka orang-orang yang mandi pun bergegas keluar dari air, tetapi makhluk itu telah memangsa salah seorang dari mereka. Binatang itu meluncur secepat kilat sampai mendekati pinggir sungai, menggigit kaki salah seorang perempuan dan mencoba menyeretnya ke dalam air. Korban yang malang itu menjerit sangat memilukan. Pergulatan sengit dan menakutkan kini terjadi. Buaya itu telah menggigit otot- otot paha, yang kemudian direnggut dan disentakkan dengan maksud melepaskan korban dari pegangannya. Perempuan itu berteriak menakutkan, badannya memperlihatkan perubahan bentuk yang mengerikan ketika dagingnya sobek tercabik-cabik. Ia masih tetap berpegangan tanpa daya pada satu cabang pohon, yang meskipun telah bengkok masih dapat menahan kekuatan buaya itu.
Akan tetapi perempuan malang itu, meskipun telah berjuang mati-matian, dengan cepat kehabisan tenaga karena kehilangan da?rah dan menahan rasa sakit. Dia pasti segera menyerah, tetapi pada saat yang tepat bantuan tiba.
Dalim telah meninggalkan sungai sebelum buaya muncul, tetapi begitu jeritan bajai yang menakutkan sampai ke telinganya, ia segera kembali, dan dari sejumlah ranjau yang ditanam di kaki dinding benteng ia pilih sepotong yang kuat dan berujung runcing dengan panjang sekitar dua kaki. Ranjau itu dipegangnya kuat-kuat di tangan kiri dan kemudian membalut seluruh lengannya dengan saloi basah. Tangan kanannya memegang belati yang terselip di ikat pinggangnya. Dengan bersenjatakan itu Dalim mendekati buaya, yang membuka rahangnya yang kuat untuk menggigit korbannya yang berani. Dalim dengan cepat menyodorkan lengannya yang terlindung ke tengah- tengah mulut buaya, menahannya dalam posisi sedemikian rupa sehingga ketika binatang itu mencoba menutup rahangnya, ujung ranjau menusuk bagian langit-langit buaya yang lunak, yang secara efektif mencegah buaya itu mengatupkan mulutnya.
Pergulatan seru pun terjadi sampai Dalim hampir kehabisan tenaga ketika La Cueille, bersenjatakan senapan, menyerbu di antara kerumunan penonton yang panik. Pada kesempatan yang tepat ia membidik dan melepaskan tembakan. Buaya itu tertembak di bagian yang lemah. Binatang itu meloncat sia-sia, menampakkan badannya lima atau enam kaki di atas permukaan air. Gerakan ini juga memaksa buaya melepaskan Dalim dan kemudian menghilang ke dalam sungai, dan tak seberapa lama kemudian binatang itu sudah mengambang di permukaan air.
Dalim segera muncul, mengambang di samping musuhnya yang sudah mati. Dia pingsan dan tidak bergerak, tetapi masih memegang ranjau. Satu jukung dengan cepat datang menolong, mengikat buaya di buritan dan keduanya dibawa ke pinggir sungai.
Wienersdorf menggosok Dalim dengan jenewer kuat-kuat dan orang Dayak itu pun segera siuman. Ia pingsan akibat kehabisan tenaga. Kecuali beberapa goresan, ia tidak mendapat luka serius.
Kepala buaya itu dengan cermat dikuliti dan dilepaskan dari dagingnya. Jika perempuan itu meninggal, maka kepala itu akan dipasang sebagai kenangan di atas kuburannya. Sayang, pada sore itu juga perempuan itu meninggal akibat kehabisan darah. Mereka telah mencoba menghentikan perdarahan tetapi tidak berhasil. Titih untuk korban Mawat belum lagi berhenti ketika harus disuarakan lagi untuk korban yang baru ini.
Segera setelah drama di sungai itu berakhir, para tokoh terkemuka kota itu berunding untuk membahas tindakan apa yang harus diambil selanjutnya. Mereka jelas telah melawan otoritas Belanda secara terbuka; mereka telah mempertahankan diri dengan senjata, dan dalam pertempuran itu beberapa warga jajahan Belanda tewas. Bagaimana menghadapi ini semua" Sangat mungkin hukuman segera ditimpakan kepada mereka. Satu-satunya cara untuk menghindari pembalasan adalah membubarkan seluruh penduduk kota Jangkan dan mengundurkan diri jauh ke pedalaman di sebelah atas air terjun, di mana orang-orang kulit putih tidak mudah mengejar mereka. Rencana inilah yang sekarang disarankan; akan tetapi meskipun disetujui mayoritas, tidak berarti semua sepakat dengan rencana itu. Benar mereka adalah keturunan suku Bajankan, tetapi mereka kawin- mawin dengan suku-suku tetangga dan lambat-laun telah menyatu dengan mereka. Kuburan-kuburan orangtua mereka berada di sini. Di sini pula mereka dilahirkan dan melahirkan anak-anak; ladang- ladang dan rumah-rumah mereka ada di sini. Karena itu, pindah merupakan suatu hal yang menyakitkan bagi semua.
Ketika diskusi berjalan seperti itu dan ketidaksepakatan meng?ancam, Yohanes bangkit. Ia sebelumnya telah berbicara dengan Amai Kotong, kepala kota, dan Harimau Bukit, orang Punan. Karena itu ia berbicara kepada orang banyak:
"Betapa sangat bodoh bertengkar untuk masalah yang sebe?narnya dapat diselesaikan dengan baik. Satu kelompok ingin pergi, kelompok yang lain menuntut tetap tinggal. Percayalah, mereka yang ingin tetap tinggal adalah yang benar. Apa yang menyebabkan per?selisihan dengan Belanda" Pemimpin kalian Amai Kotong menolak menyerahkan Harimau Bukit, tamunya dan anak abangnya. Atas perintah Amai Kotong, kalian telah mempertahankan kota dan tetap memelihara dengan teguh aturan ramah-tamah menerima tamu. Dia, hanya dia sendiri yang telah melakukan kesalahan, dan dia sendiri pula yang bertanggungjawab. Belanda tidak akan pernah menyusahkan orang lain kecuali mereka yang telah memerintahkan perlawanan. Ketika Belanda kembali, mereka akan menuntut untuk menyerahkan Harimau Bukit dan kepala kalian yang telah berani menentang mereka."
Teriakan marah bersama meledak seperti petir sebagai jawaban atas kata-kata ini.
"Apa kamu kira kami semua ini gila" Tidak! Tidak!"
"Diam! Biarkan saya selesai bicara dulu. Belanda, saya ulangi, hanya akan menuntut penyerahan Harimau Bukit dan Amai Kotong dan...."
"Tapi justru itulah yang tidak kami setujui," teriak seluruh tuan rumah.
"Saya tahu itu; saya tahu orang Dayak tidak akan menyerahkan pemimpinnya. Meskipun tiap hari bayaran yang ditawarkan oleh Belanda untuk menangkap para pemberontak tinggi, tak seorang Dayakpun sudi memperoleh bayaran itu, karena tak seorangpun di antara kalian akan menukar nyawa dengan uang semacam itu."
"Tidak! Tidak!" teriak mereka bersemangat.
"Baiklah, itulah yang ingin saya dengar dari kalian semua. Selain itu, menyerahkan diri tak ada gunanya. Harimau Bukit akan pergi bersama orang-orang Punannya sebelum Belanda balik lagi. Amai Kotong akan menyertainya, karena ia telah memastikan maksudnya untuk kembali ke Miri, negeri asalnya."
Semua diam. Mereka semua memandang ke arah kepala kota seperti ingin mendengar sendiri pengakuannya. Ia hanya mengangguk dan berkata:
"Saya akan pergi bersama seluruh keluargaku."
"Setelah keputusan ini," Yohanes melanjutkan, "pemecahan masalah menjadi lebih sederhana. Kalian pilih pemimpin baru, yang akan mengirim utusan ke Banjarmasin guna menyampaikan pada Belanda penyesalan atas peristiwa yang telah terjadi di masa lalu, menjelaskan semua keadaannya, dan menyatakan tunduknya dia beserta seluruh kota Jangkan. Utusan itu akan menceritakan bahwa setelah orang-orang Kuala Kapuas pergi, penduduk kota Jangkan, dibantu orang-orang dari Sungai Mawat, telah memecat kepala mereka Amai Kotong, dan dia, karena takut dihukum, menyelamat?kan diri dengan lari."
"Tapi itu bohong," teriak suara yang sama seperti sebelumnya.
"Apakah kalian akan mengatakan yang sebenarnya" Apakah kalian akan menceritakan bahwa kalian sengaja menembak serdadu Belanda, dan kalian menyesal tidak terus menembaknya" Terserah kalian," Yohanes tersenyum menantang, "tapi," ia melanjutkan dengan sungguh-sungguh, "ingat, jika kalian tidak melakukan saran saya, kalian akan didatangi armada kapal-api dalam waktu beberapa
minggu saja, yang dalam waktu setengah jam akan membuat kota kalian ini rata dengan tanah. Tidak, percayalah, dan lakukan apa yang saya katakan. Nasihat yang saya berikan itu baik. Kebohongan lugu seperti ini tidak akan membuat marah Mahatara. Ini tidak merugikan orang lain dan mencegah timbulnya banyak kerusakan. Jiwa kalian, sewaktu dibimbing oleh Tempon Telon melalui api pembakaran ke negeri arwah, akan merasa bahagia; derita pembakaran yang terasa terlalu sepele untuk dikeluhkan."
Yohanes bicara dengan penuh lagak tetapi tajam, dan kiranya ia bisa meneruskan orasinya tanpa diinterupsi. Mereka semua ber?kumpul di sekeliling Amai Kotong, yang menyatakan dirinya sudah lama ingin mengakhiri hari tuanya di negeri leluhurnya, dan kini dia gembira memperoleh kesempatan dengan memanfaatkan ke- pergiannya demi kesejahteraan kota Jangkan.
Semua setuju tanpa bergumam lagi.
Beberapa jam kemudian, setelah orang-orang Sungai Mawat memasuki benteng, mereka diberitahu rencana yang telah disepakti dan pemilihan seorang kepala baru pun segera dilaksanakan. Suara terbanyak diberikan kepada seorang anak muda bernama Nyawong, yang setuju menerima gelar dan kedudukan Amai. Di bawah bimbing?an Yohanes, kepala baru itu memilih utusan yang terdiri atas dua orang dari Jangkan dan dua orang dari Sungai Mawat, semuanya terkemuka. Mereka akan menyatakan menyerahnya kota Jangkan. Yohanes dan Amai Nyawong mendesak utusan itu untuk segera be?rangkat agar dapat menghentikan persiapan perang dengan datang dan menyerahnya mereka. Mereka diperintah tegas untuk tidak me?nyusul para pengepung kota Jangkan yang sedang mundur, melain?kan menjaga jarak guna mencegah Komandan Kuala Kapuas kembali ke kota Jangkan dan mendapat kesan bahwa kemenangan mudah sekarang tidaklah mustahil.
Yohanes, sebagai seorang jenderal yang piawai, telah memikirkan segala-galanya. Matahari belum terbenam di cakrawala barat sebelum perutusan memulai perjalanan mereka. Penduduk kota Jangkan, yang selama beberapa hari lewat ber?ada dalam pusaran yang menggemparkan, lambat-laun kembali pada kehidupan mereka yang normal. Tidak ada sesuatu yang ber?sisa, yang mengingatkan mereka pada pengepungan dan berbagai
insiden yang terjadi, kecuali mayat perempuan yang malang, korban buaya. Dalam kurun waktu itu, di dalam kota tetap terdengar suara titih yang menyayat. Hiruk-pikuk dan kegembiraan yang gaduh telah memberi tempat kepada keheningan dan ketenangan yang sempurna, dan kontras ini tampak memberi suasana terpencilnya tempat itu.
Bab 13 MENYUSUL kegemparan dan peristiwa beberapa hari yang lalu, masa istirahat benar-benar disambut baik oleh semua penghuni kota. Orang-orang Eropa terutama, melihat kesempatan istirahat itu sebagai sesuatu yang sangat dibutuhkan guna mengumpulkan lagi tenaga untuk memulai persiapan-persiapan perjalanan selanjutnya. Kini mereka ditemani oleh seluruh penduduk yang berjumlah 150 jiwa, termasuk perempuan dan anak-anak.
Jarak yang harus ditempuh tidak terlalu jauh. Kota Jangkan terpisah dengan kota Rangan Hanungoh sekitar 93 mil kalau diambil garis lurus. Tetapi karena di daerah negeri Dayak hulu terdapat sangat banyak kelokan, jaraknya menjadi hampir dua kali lipat.
Yohanes tetap menyegerakan keberangkatan utusan, meyakinkan pikiran orang Dayak yang sederhana bahwa waktu lebih berharga daripada emas, dan menjelaskan bahwa jika para utusan tidak berhasil menjalankan tugasnya, dan Belanda tetap memutuskan untuk kembali ke Sungai Kapuas hulu, Belanda akan datang lebih cepat daripada yang dikira.
Setelah berhasil meyakinkan mereka tentang perlunya berangkat cepat, hal pertama yang dipikirkan adalah alat transportasi. Sungai Kapuas, jika tidak sedang kemarau panjang, mudah dilayari sampai ke Kiham Huras, yang letaknya setengah hari perjalanan selepas kota Sambong. Tetapi pada pasang surut pertama, atau lebih tepatnya percepatan pasang surut pertama, akan timbul kesulitan-kesulitan besar dalam perjalanan ke daerah hulu. Maka hanya rangkan kecil yang dapat digunakan, yang harus dikemudikan dengan hati-hati.
Terdapat banyak rangkan dan jukung di kota Jangkan. Semua bekal makanan dan barang yang dapat dijinjing ditempatkan dalam
keranjang-keranjang anyaman rotan, berbentuk seperti kerucut terbalik, dengan tinggi sekitar 75 inci, lonjong 40 inci pada bagian penutup dan tinggal 25 inci pada bagian dasarnya. Keranjang ini dilapisi kulit kayu yang kedap air dan diberi penutup yang pas ketatnya.
Meriam-meriam diletakkan berjejer sekiranya musuh kembali; tetapi semua telah dilengkapi dengan ikatan-ikatan rotan yang kuat dan siap dipindahkan tiap kali diperlukan. Mereka punya persediaan makanan banyak, terutama beras, dan persediaan lombok dan makanan enak lainnya cukup. Daging sedikit, dendeng sapi dan babi asin yang dibawa oleh para desertir telah terkuras banyak selama perjalanan, ketika mereka diserang oleh orang-orang Dayak. Tetapi Amai Kotong dan Harimau Bukit memberitahu bahwa dalam perjalanan mereka tidak akan kekurangan hewan buruan, karena banyak kesempatan untuk menembak rusa.
Tetapi untuk menjamin cukup persediaan, mereka memutuskan untuk menangkap ikan secara besar-besaran.
Di antara persiapan-persiapan menangkap ikan itu, yang terpen?ting adalah mengumpulkan sejumlah besar akar tuba yang banyak sekali tumbuh di bukit-bukit sekitar. Akar-akar ini diletakkan di dalam jukung-jukung yang telah diisi air dan dibiarkan terendam. Kemudian akar-akar itu dipukul-pukul dengan kayu pipih sehingga air dalam jukung berubah warnanya menjadi putih susu. Serat-serat yang terendam lalu dibuang, cairan kemudian disaring sebagaimana mestinya dan dicampur dengan tembakau yang keras. Demikianlah ada enam jukung yang telah diisi dengan air tuba.
Esok harinya, ketika fajar tiba, sejumlah besar sampan ringan, di antaranya yang berisi campuran itu, berkayuh ke hulu Sungai Mawat. Awak-awaknya ditugaskan untuk menutup sungai dengan satu salambou, jaring besar persegi dengan mata-jala berukuran sedang. Ujung jaring yang satu dibenamkan di dasar sungai dengan pemberat batu besar, sedangkan ujung lainnya menonjol di permukaan air sekitar enam inci. Karena itu ikan yang lepas bisa dicegah secara efektif. Dua jukung, masing-masing diawaki oleh tiga orang pribumi, ditugaskan menjaga jaring untuk mencegah jangan sampai terlanggar sampan-sampan yang lewat atau terbawa arus.
Setelah memasang jaring, para lelaki mengelompokkan diri tiga orang di tiap jukung. Para perempuan"kebanyakan datang sebagai
penggembira"duduk di dalam dua sampan besar, sementara sampan ketiga memuat para bilian"peserta yang tidak dapat dielakkan dalam semua pesta ria penduduk asli.
Kini mereka mengayuh ke hulu sungai dengan cepat dan tenang kira-kira empat jam, dengan cermat mengamati muara beberapa anaksungai yang tidak penting yang menuju ke Sungai Mawat.
Setiba di tempat yang dipilih, air tuba ditumpahkan ke dalam sungai di berbagai titik. Sampan mengambang tanpa bersuara bersamaan dengan datangnya arus pasang, sementara air yang bertuba bercampur dengan arus sungai.
Sementara itu para penangkap ikan bersiap-siap mengumpulkan tangkapan. Dari tiga orang di dalam sampan, yang satu mengemu?dikan sampan di buritan sedangkan dua yang lain, dengan jala atau harpun di tangan, bersia-siap penuh harap di haluan dan di tengah sampan, semuanya siap bertindak.
Dalam waktu sekitar setengah jam, akibat cairan narkotik itu mulai tampak. Mula-mula ikan-ikan kecil muncul di permukaan, mengangkat kepala mereka, berenang berputar-putar dan tampaknya ingin ke luar dari air. Ikan-ikan ini diciduk begitu saja dengan jala atau keranjang dan dilemparkan ke dalam sampan-sampan.
Ukuran dan jumlah ikan-ikan itu sekarang bertambah, sehingga harpun mengambil alih tugas, karena sangat mustahil menangkap ikan-ikan itu dengan jaring besar yang panjangnya lebih dari satu yard. Suara riuh dan keceriaan menyebar, orang-orang Eropa dengan senang hati ikut serta. Sampan sebanyak 50 buah itu terus-menerus berseliweran di atas permukaan air yang sempit, mereka yang mengemudikan sampan hanya seanggukan saja dekatnya dengan para pemegang harpun, yang mengejar-ngejar ikan karena meloncat, dan akhirnya tertusuk harpun.
Orang-orang Eropa, yang tidak ingin ketinggalan dalam olah?raga penduduk itu, mencoba menangkap beberapa ekor ikan besar; dan setelah menyelam berulang-ulang, La Cueille akhirnya berhasil mendaratkan seekor ikan besar, meskipun sebenarnya ia lebih gem?bira sebagai penonton karena kecanggungannya.
Akhirnya jumlah tangkapan lambat-laun berkurang dan olahraga penangkapan ikan itu pun dianggap telah mencapai puncaknya. Semua sampan terbawa arus pasang, dan dengan masih juga mengharpun, tertawa, berteriak, dan bercanda, orang-orang itu sampai ke muara
Sungai Mawat dan salambou ditarik. Kemudian mereka mengayuh pulang, menghulu Sungai Kapuas, dan para penangkap ikan itu mendapat sambutan kehormatan dengan tembakan meriam-meriam kota Jangkan. Sepuluh jukung penuh dengan ikan.
Sebagian besar ikan tangkapan itu dibagi-bagikan kepada kelompok-kelompok peserta. Ikan-ikan yang mati karena racun tuba samasekali tidak berbahaya dan aman dimakan, tetapi tidak dapat langsung dikeringkan atau diawetkan karena cepat membusuk. Sebagian ikan yang besar dipotong-potong kecil, dibungkus daun, dan dipanggang setelah dibumbui garam dan lombok bubuk. Dengan pengolahan demikian ikan-ikan itu dapat disimpan selama beberapa waktu dan dapat menjadi tambahan yang berharga untuk persediaan bersama makanan hewani.
Pada hari ketika mengikuti acara penangkapan ikan itu, para desertir menyaksikan sendiri upacara yang samasekali berbeda. Tampaknya sudah menjadi takdir mereka mengalami semua cara hidup suku-suku pedalaman ini, di mana mereka sekarang berada di tengah-tengah mereka.
Di negeri Dayak sudah umum diselenggarakan acara pengadilan sekali seminggu. Kepala kota, didampingi oleh tiga sampai tujuh tetua, menyelenggarakan sidang pengadilan untuk menyelesaikan berbagai perselisihan yang terjadi seminggu lewat dan cukup penting sehingga memerlukan bantuan profesional mereka.
Orang Dayak pada dasarnya adalah orang-orang yang sangat sadar hukum, namun mereka tidak akan pernah merasa puas jika ada basara atau tindakan hukum yang belum dituntaskan. Mereka kiranya bisa menjadi sumber penghasilan yang tiada habis-habisnya bagi pengacara Eropa, jika mereka dapat dipindahkan ke belahan bumi Barat. Karena itu, hari basara berarti benar-benar hari libur bagi penduduk sebuah kota, karena mereka hadir dalam sidang pengadilan, yang merupakan tontonan yang sangat menarik. Orang yang sekarang bertugas dan telah dilantik dengan kedudukan penting, selaku kepala yang baru, Amai Nyowong, akan memimpin untuk pertama kalinya.
Mula-mula beberapa tuduhan sepele dilontarkan, yang tidak lepas dari perhatian orang-orang Eropa tentang kelihaian dan kecerdasan para pembela. Dengan penuh perhatian mereka mengamati praktek khas para praktisi hukum ini. Mereka dilengkapi dengan sejumlah
boneka rotan kecil sebagai bagian perlengkapan kerja. Bila satu perkara dimenangkan, dengan menunjukkan bukti yang tidak dapat dibantah, pembela penggugat menancapkan satu boneka ke tanah di depannya, sehingga pada akhir pembelaan sejumlah boneka ter?susun di sekitarnya. Bila dalam pembelaan tiap argumen atau fakta terbukti tidak benar, dan pembela terdakwa memperoleh satu angka dengan menancapkan satu boneka di depan tempat duduknya, satu boneka penggugat dipindahkan. Jadi boneka-boneka ini mewakili banyaknya bukti yang tidak dapat dipungkiri. Pada akhir pembelaan, kemenangan diberikan kepada orang yang punya boneka terbanyak. Dengan cara kerja yang ganjil seperti ini, sulapan tangan memain?kan peran yang bukannya tidak penting. Boneka kadang-kadang de?ngan licik ditancapkan atau dipisahkan, dan tuduh-menuduh yang kemudian menyusul mengharuskan dilakukannya tindakan baru pada hari pengadilan berikutnya, dengan mengulangi kembali cara kerja "de novo" (dari semula).
Di antara kasus-kasus terpenting, ada satu kasus di mana tiga orang menjadi tertuduh untuk pelanggaran yang sama. Dua di antara mereka termasuk orang-orang terkemuka, tetapi orang ketiga seorang gadaian (pandeling).
Setelah tuduhan resmi dibuat, pengadilan dilanjutkan dengan mengadakan manyapa atau upacara sumpah. Seekor ayam betina hitam disediakan dan dipotong oleh pendakwa"yang dengan sungguh- sungguh bersumpah bahwa dakwaannya benar. Terdakwa, dalam pembelaannya, melakukan formalitas yang sama dan bersumpah bahwa mereka tidak bersalah. Menghadapi dilema ini para hakim pula alat bantu, yakni ujian siksaan cara Dayak.
Para hakim memerintahkan untuk membawa tiga baskom, diisi dengan damar yang meleleh. Api besar dinyalakan, dan di atas baskom-baskom itu tiga ayam betina dipotong selama pengambilan sumpah dilakukan. Sementara itu ketiga tertuduh mengambil tempat di sekitar baskom. Setelah hakim memberikan tanda, ketiga tertuduh mencelupkan telunjuk kanan ke dalam damar yang meleleh dan mengaduk-aduknya dua atau tiga kali. Jari-jari mereka, sebagaimana aturannya, dicelupkan ke dalam baskom bersamaan sesuai aba-aba; teriak kesakitan disuarakan oleh orang gadaian, yang meskipun merasakan sakit sekali telah berani mengaduk damar yang meleleh beberapa kali sebagaimana diharuskan. Jari-jemari para tertuduh
dengan hati-hati dibalut sampai keesokan paginya, ketika akan dipe?riksa di pengadilan. Mereka yang kulit jarinya mengelupas atau rusak akan diputuskan sebagai orang yang melakukan kejahatan.
Kasus terakhir yang harus diputuskan adalah kasus yang telah lama diperiksa. Beberapa tahun sebelumnya, seorang laki-laki tua meninggal, diduga diracun. Putranya mengadukan seorang laki-laki yang didengarnya telah bersumpah akan membalas dendam terhadap lelaki yang telah meninggal itu karena menuduh laki-laki itu mencuri ikan dan memberikan bukti palsu. Tiap kali kasus itu disidangkan, hasilnya selalu sama saja. Jumlah boneka selalu sama di kedua belah pihak, karena itu mustahil memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Itulah yang terjadi sampai saat itu, ketika diusulkan untuk menggunakan hagalangang guna memperoleh kebenaran. Di te?ngah-tengah lapangan kota yang luas, penggugat dan tergugat di?masukkan ke dalam kurungan bambu yang sempit dan tertutup alasnya, sehingga melindungi bagian bawah badan mereka, dan membiarkan kepala, lengan, dan dada mereka terbuka. Kurungan itu dibuat sengaja sempit untuk mencegah mereka yang ada di dalamnya menyorong ke depan atau meloncat. Ditempatkan saling berhadapan dengan jarak sekitar 30 langkah, kepada kedua orang itu diberikan bambu-bambu runcing dengan panjang sekitar satu yard. Bambu- bambu itu akan saling dilontarkan begitu aba-aba diberikan. Orang pertama yang luka, betapapun kecilnya, dianggap bersalah. Jika yang luka itu penuduh, tuduhannya akan hilang dan ia dipaksa membayar tertuduh denda 1.000 real sebagai uang penebus malu. Ia juga harus menyerahkan sebilah mandau sebagai tanda menerima keputusan itu dan ia akan menghormati si tertuduh seperti sebelumnya. Tetapi jika si tertuduh yang luka, ia dipaksa untuk mengakui kesalahannya, diserahkan kepada penuduh, yang mendapatkan hak untuk menyiksa si tertuduh sampai mati.
Ketika para hakim telah mengambil tempat duduk masing- masing, beberapa pemuda diperintahkan mengambil bambu-bambu runcing dan diserahkan kepada kedua orang yang akan bertarung. Amai Nyawong kemudian memberikan aba-aba mulai. Lontaran pertama tidak membawa hasil karena jauh dari sasaran, sehingga disambut dengan teriak celaan. Lontaran kedua dan ketiga lebih baik, tetapi yang keempat hasilnya fatal, tembus sepenuhnya di
dada tertuduh, yang mati saat itu juga, sedangkan si penuduh pada waktu yang sama mendapatkan tusukan yang mematikan. Senjata lawannya telah mengenai sisi lehernya dan merobek urat lehernya. Ia hanya dapat bertahan hidup beberapa menit, kemudian mati karena perdarahan.
Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu ketua menyatakan bahwa para dewata telah meng?interupsi untuk mencegah pengambilan keputusan agar perkara itu tetap menjadi rahasia selama-lamanya. Ia perintahkan kedua mayat diserahkan kepada keluarga masing-masing, yang akan menye?lenggarakan upacara penguburan biasa, dan tidak lama setelah itu terdengar titih dari kedua belah pihak di kota itu.
Sangat pilu menyaksikan adegan-adegan ini, orang-orang Eropa kembali ke kamar mereka, di mana mereka selama beberapa waktu masih diselimuti kebisuan. Akhirnya La Cueille, seperti orang yang mencoba melepaskan diri dari mimpi buruk, berseru:
"Alangkah banyaknya keganjilan yang telah kita alami!" Ucapannya seperti memecahkan mantra sihir dan menyingkap selubung kemurungan teman-temannya yang lain.
"Begitulah," Yohanes menjawab, "dan kita selalu memperoleh kursi-kursi terbaik untuk menikmati sepenuhnya seluruh pertun?jukan. Dan kita tidak berani ikut campur."
"Aku pikir seharusnya memang tidak," tambah Schlickeisen. "Apa jadinya jika mereka menempatkan kita dalam kurungan-kurungan yang sama?"
"Atau menyuruh kita mencelupkan jari-jemari kita ke dalam damar yang mendidih?" kata Wienersdorf.
"Ya," Yohanes menambah sambil memperingatkan. "Bahkan Hamadu tak akan segan-segan mengadu karena pelanggaran janji." "Dan selamat jalan kepada jari-jemarimu," Schlickeisen tersenyum pada si Walloon, karena ia, seperti Wienersdorf, telah terikat janji karena bertunangan dengan seorang gadis Dayak.
Si Walloon melihat telunjuknya dengan prihatin seakan-akan telah merasakan sakit yang menyengat.
"Aneh," gumamnya, "seorang laki-laki kadang-kadang berubah pikirannya."
"Kamu boleh saja berbuat begitu, tapi ingat jarimu; baskom dengan damar itu samasekali tak enak."
"Aku berterimakasih atas nasihatmu," kata La Cueille; "aku akan
ingat jariku. Tapi masih banyak yang tak kumengerti dan aku ingin sekali mengetahuinya lebih jauh."
"Apa itu?" tanya Yohanes.
"Ketiganya, kan, mencelupkan jari-jemari mereka ke dalam damar. Bagaimana seandainya besok pagi para hakim melihat jari- jemari dua orang, bahkan semuanya, melepuh?"
"Oh, sederhana sekali!" seru Yohanes tiba-tiba. "Wah, ini menggelikan! Ketiga-tiganya"! Ha, ha, ha! Itu tentu menunjukkan kebijaksanaan Nabi Sulaiman. Ha, ha, ha!" Yohanes tertawa gelak- gelak.
"Apa yang kamu tertawakan?" si Wallooon bertanya sambil marah. "Aku tak mengerti. Tiga orang telah mencelupkan jari-jemari mereka ke dalam damar yang meleleh; nah apa yang lebih wajar daripada menemukan jari-jemari ketiganya melepuh" Karena itu ceritakan kepada kami apa yang membuat kamu tertawa; barangkali kami bisa ikut ketawa."
"Kamu keledai."
"Aku sudah tahu itu, tapi apa yang kamu tertawakan?"
"Oh, kamu bodoh! Apa kamu tidak mendengar jeritan tertuduh nomor tiga?"
"Ya, aku dengar."
"Baiklah, ia sendiri saja yang jarinya melepuh sedangkan yang lain tidak. Tapi lebih baik aku jelaskan padamu. Dua orang yang pertama adalah anak-anak muda yang kaya, yang hanya perlu mengedip dengan para hakim agar dinyatakan tak bersalah. Barangkali para hakimnya telah menerima suap sebelumnya; jika tidak demikian halnya, mereka tentu akan merasakan siksaan pula. Orang ketiga adalah anak muda miskin yang dari dia tidak bisa diharapkan apa-apa. Ia tidak punya sesuatu berharga yang dapat dipertukarkan."
"Aku paham semua ini andaikata tidak dengan mata-kepalaku sendiri melihat jari-jemari ketiga orang itu naik-turun ke dalam damar yang meleleh; aku lihat betul dengan cermat."
"Lantas, apa lagi yang kamu lihat?"
"Apa lagi yang dapat aku lihat?"
"Apa itu yang kamu sebut melihat dengan cermat?" kata Yohanes keheranan. "Dan tidakkah warna damar di tiap baskom tidak sama?"
"Dan andaikata tidak" Damar adalah damar."
"Tidak, bodoh! Damar bukanlah damar, atau yang satu ya tapi yang lain bukan. Tampaknya aku harus menjelaskan ini juga. Jenis damar yang terbaik, yang termurni, akan meleleh pada temperatur sangat rendah, sedangkan yang kurang baik, karena berpori dan kasar, memerlukan lebih banyak panas untuk melelehkannya."
"Aha!" "Kamu tahu itu sekarang" Karena itu ketika para hakim meme?rintahkan kamu mencelupkan jarimu ke dalam baskom yang berisi damar terbaik, yang hanya memerlukan sedikit panas untuk mele?lehkannya, kamu bisa menahannya sesukamu dengan sedikit rasa sakit karena luka bakar ringan. Tapi jika mereka menaruh jarimu ke dalam jenis yang murni, kamu akan berteriak seperti orang gadaian itu, dan besok pagi kamu akan lihat kulit jari-jemari terkelupas. Baiklah, selamat tidur."
Benar sekali ramalan Yohanes. Esok harinya, ketika balutan jari-jemari yang luka dilepas untuk diperiksa secara resmi, yang dua orang tampaknya samasekali tidak cedera. Tetapi jari orang gadaian terkelupas mengerikan, kulitnya menempel ke balutan. Yang tertuduh dengan sendirinya dihukum.
Sementara itu persiapan keberangkatan selanjutnya ke Sungai Miri tidak diabaikan. Semua persediaan makanan dan amunisi dipak, meriam-meriam dan senapan-senapan sudah siap dimuat, dan karena tidak ada lagi yang perlu dikerjakan kecuali beberapa persiapan kecil yang tidak begitu berarti, orang-orang Eropa punya waktu beberapa hari untuk melakukan sesuatu sesuai pilihan.
Wienersdorf mula-mula berpikir untuk sedikit mempelajari tumbuh-tumbuhan, tetapi ia tinggalkan maksud itu agar dapat men?curahkan perhatian pada tunangannya dan mengajari dia mengenal kehidupan dan masyarakat Eropa. Meskipun menurut adat orang Dayak sepasang kekasih tinggal terpisah sampai hari perkawinan, persiapan-persiapan untuk melanjutkan perjalanan membuat aturan itu tidak mungkin dijalankan dengan ketat. Lagi pula apakah Dohong akan tidak melindungi calon istrinya selama dalam perjalanan" Apakah Harimau Bukit kurang mengenal baik Dohong ketika mengatakan bahwa tidak seorangpun yang dapat melindungi adik perempuannya lebih baik daripada Dohong yang pemberani, penembak jitu yang tidak pernah gagal" Demikianlah, semua batasan di antara kedua tunangan itu untuk sementara dilonggarkan, dan oran itu
tidak menyia-nyiakan tiap detik untuk mengenal lebih baik sifat-sifat perempuan yang akan dikawininya. Hasilnya sangat memuaskan. Hamadu, yang secara lahiriah sangat cantik, ternyata punya hati dan sifat yang mulia. Bahwa dia sangat cerdas, Dohong segera melihatnya; kadang-kadang ia tidak menghiraukan masalah-masalah sepele, tetapi kecepatan dan mudahnya ia menerima pengetahuan sangat luarbiasa. Kebaikan hati dan keramahtamahannya telah berulang kali diamati oleh Wienersdorf. Hamadu membenci kekejaman dan mencegah semua penderitaan yang sia-sia selama masih berada dalam kemampuannya, sementara kepengecutan yang tidak pantas tidak dikenalnya. Ia merupakan kebanggaan anak alam. Karena terpencil dari pengetahuan dunia luar, ia tidak pernah melihat sesuatu di luar cakrawala belantara tanah asalnya, dan sifat kemanusiaannya tidak pernah jauh dari sukunya. Kapan saja kekejaman dan penyiksaan dilakukan oleh anggota sukunya, ia membalikkan wajah dan berontak terhadap ketidakberdayaannya untuk melawan pengaruh moral dan adat tanah kelahirannya. Namun ia tidak pernah mengulurkan tangan dan hatinya kepada seorang pengecut. Suami pilihannya harus mam?pu menggunakan pedangnya dengan tangan jantan yang kuat, harus tahu bagaimana mendukung dan dengan gagah-berani mempertahan?kan istrinya. Ia tidak pernah mengecap daging manusia, dan ketika pernah ditawarkan sepiring otak manusia, ia pingsan dan ditertawa?kan oleh teman-temannya. Ia merasa malu dengan kelemahannya, tetapi ia memohon dengan sangat kepada mereka untuk tidak mengulangi lagi lelucon semacam itu, sehingga yang paling tidak pedulipun di antara mereka berjanji untuk patuh.
Dia sangat rendah hati. Hidup dalam atmosfer yang tercemar, ia selalu mencoba mempertahankan sifatnya itu tanpa noda. Tiap kali ia mendengarkan ucapan-ucapan yang dikeluarkan di hadapannya, yang artinya tidak dapat ia abaikan, ia tahu bagaimana mendiamkan si pengucap dengan tatapan tajam. Demikianlah, hanya dengan hadir ia berhasil mengarahkan kesopanan, yang samasekali bertentangan dengan tingkah laku umum penduduk hutan ini.
Seperti semua anak perempuan Dayak, ia tidak berpakaian sampai saat dewasa, hanya mengenakan saping semacam tiruan daun ara para leluhur primitif umumnya. Kemudian ia mengenakan saloi seperti gadis-gadis muda sukunya, dan dalam kepolosannya ia tidak pernah merasa tidak pantas dalam pakaian itu. Ia tidak tahu
yang lebih baik. Tetapi ketika berlangsung upacara blako ontong ia merasakan tatapan tajam calon pengantin laki-laki, yang sampai saat itu belum dikenalnya, sehingga dirinya merasa malu, dan ia tam?paknya ingin bumi membelah untuk menyelamatkan diri dari tatapan mata semua orang yang berkumpul di sekelilingnya. Perasaan itu tidak tertahankan, dan karena itulah sejak saat itu ia selalu tampil dengan mengenakan baju, meskipun teman-teman gadisnya mencela dia karena mengenakan pakaian khusus untuk perempuan yang telah kawin dalam kelompoknya. Kesederhanaan manis yang sama menandai seluruh hubungannya dengan Wienersdorf. Meskipun boleh dikatakan lugu, ia mengerti semua yang diceritakan kepadanya dan menaruh perhatian khusus ketika Wienersdorf berbicara tentang dunia luar, dunia yang digambarkan begitu baik kepadanya, tetapi belum terbayang dalam benaknya. Saudara-saudaranya pernah ke Banjarmasin dan melihat begitu banyak hal di sana, yang membuat cerita mereka tidak habis-habisnya. Tetapi apalah artinya Banjar?masin dibandingkan dengan Singapura" Apalagi dibandingkan dengan kota-kota di negeri orang-orang kulit putih" "Apakah ia pernah ke sana?" tanyanya.
Untuk sesaat Winersdorf ragu. Ia masih ingin mempertahankan penyamarannya, dan hampir saja ia mengatakan bahwa ia pernah ke Jawa dan dari sana naik kapal besar menuju ke Negeri Belanda. Namun memandang kecantikan, keluguan, dan mata Hamadu yang jujur telah mengubah niat Winersdorf. Ia merangkulkan kedua lengannya ke arah Hamadu, menarik gadis itu, dan menyingkap salah satu bahunya, di mana obat yang digunakan sebagai pewarna kulitnya telah terhapus, dan ia tunjukkan kulitnya yang putih.
"Olo baputi!-Orang kulit putih!" Hamadu berseru dengan suara tertahan. Wienersdorf tetap memeluk Hamadu beberapa saat; dada Hamadu bergolak keras; kemudian ia menggerakkan tangannya yang cantik, memeluk leher Wienersdorf dan berbisik:
"Biarlah kamu apa adanya: kamu adalah kayu besi; aku adalah tumbuhan yang merambat; berdua kita kuat."
Dengan penuh gairah Wienersdorf pun memeluk Hamadu.
Ia kini menceritakan kepada Hamadu bagaimana ia meninggalkan orang Belanda untuk kembali ke negerinya. Hamadu tampak tidak memahaminya. Semua orang kulit putih adalah Belanda, pikirnya, dan dengan kesulitan yang sangat Wienersdorf menjelaskan kepada
Hamadu bahwa orang kulit putih masih lebih beragam daripada ras berwarna. Hamadu segera merasa bersimpati kepada lelaki itu, yang untuk melihat kembali tanahairnya harus menghadapi begitu banyak bahaya. Meskipun demikian ia tidak dapat memahami perasaan Wienersdorf dalam hal itu, karena menurut Hamadu apakah orang tidak bisa bahagia di mana saja" Hamadu tersenyum dengan ucapannya, dan menggunakan kesempatan itu Wienersdorf menggambarkan kepada dia masyarakat Eropa dan mendeskripsikan hak-hak istimewa yang tidak ternilai harganya, yang dijunjung dengan perlindungan oleh peradaban dan diperkuat oleh ikatan- ikatan saling mengasihi. Ia menjelaskan bagaimana di negerinya pertumpahan darah dilarang, dan bagaimana seorang kulit putih hidup di kalangan teman-temannya dengan bebas dalam keragaman bangsa. Ia ceritakan kepada Hamadu bahwa semua orang kulit putih merdeka; bahwa mereka tidak punya budak-budak yang senantiasa ketakutan dalam hidup dan menjadi sasaran pembunuhan dengan cara-cara sangat mengerikan. Ia menjelaskan status perempuan di kalangan orang kulit putih, peran perempuan dalam perjuangan hidup, nilai-nilai yang dipegangnya, berada di sisi suaminya sebagai seorang yang benar-benar teman, bukan sebagaimana mereka di sini, sebagai binatang beban, budak suaminya.
Sambil mendengarkan dengan penuh perhatian, suatu dunia baru menyingsing di depan mata Hamadu. Wienersdorf melanjutkan de?ngan menceritakan kepada dia tentang indahnya tempat-tempat ting?gal orang kulit putih, begitu berbeda dengan gubuk-gubuk yang dilihat oleh Hamadu sampai saat itu. Ia melukiskan kota-kota Eropa dengan alun-alunnya, jalan-jalannya, gereja-gerejanya, istana-istananya, teater-teaternya, pedestriannya, dan dalam memberikan deskripsi itu Wienersdorf melakukannya dengan semangat yang memesonakan sehingga ia menciptakan suatu revolusi yang utuh dalam pikiran Hamadu yang sederhana. Tanpa sengaja Hamadu memeluknya dengan lembut dan hampir tidak terdengar ia membisikkan ke telinga Wienersdorf bahwa ia ingin dan siap mengikuti Wienersdorf ke manapun Dohong akan membawanya. Wienersdorf hanya memohon kepada Hamadu untuk sementara tetap menjaga rahasia bahwa ia bukan orang Dayak. Ia akan memberitahu saudaranya, Harimau Bukit, tentang kenyataan itu pada kesempatan yang tepat. Selagi sepasang kekasih itu sedang menikmati saat-saat paling membahagiakan,
kedua orang Eropa yang lain mencoba menghabiskan waktu dengan cara mereka sendiri. La Cueille, yang juga dalam suasana jatuh cinta, ingin menghibur diri dengan bercumbu rayu, tetapi Mundut sedang dipercaya mengerjakan persiapan-persiapan memasak di dapur dan ia betul-betul sangat sibuk. Selain itu, Mundut sedang sangat beraroma bawang putih, dan bau ini memaksa pemujanya undur diri. La Cueille pergi menjauh dengan putusasa dan bermaksud menyepi ke daerah sekitar ketika ia bertemu dengan Schlickeisen, yang juga karena tidak punya kegiatan bergabung dengannya. Kedua orang itu naik ke satu jukung dan dengan perlahan terus mendayung sampai tiba-tiba La Cueille melihat sebongkah batubara di salah satu tepi sungai.
"Benar sekali," katanya. "Yohanes beberapa waktu yang lalu mem- beritahu aku bahwa ketika pasang berlangsung setengah, lapisan batubara dapat dilihat tepat selepas kota Jangkan. Sekarang pasang sedang surut; mari kita lihat."
"Aku setuju," orang Swiss itu menjawab. "Tapi apakah tak sebaik?nya kita mengambil senapan dulu" Di negeri seperti ini sebaiknya kita selalu membawa senjata."
"Kita punya mandau," si Walloon menjawab, "tapi aku akan guna?kan kesempatan untuk membawa linggis dan beliung."
Beberapa menit kemudian kedua orang itu, dengan senapan dan peralatan-peralatan, telah duduk kembali di sampan dan dengan tenang mendayung ke arah hulu sungai. Mereka telah mengayuh se?kitar setengah jam ketika melihat satu lapisan hitam di atas tanah lempung bersisik, bentuknya bagus dan warnanya abu-abu, yang membentuk tepi-tepi curam sungai.
Kedua penjelajah mengayuh ke arah bagian terluas lapisan hitam itu untuk mengamati lebih dekat lagi. La Cueille mengambil beberapa potong dan melihat bahwa ia telah tiba di suatu tambang batubara.
Warnanya hitam pudar keabuan dan begitu rapuh sehingga mudah remuk di tangan si Walloon yang kuat. Ketika remuk, tam?paklah struktur menyerupai daun yang bagus, berbentuk jajaran genjang. Dengan menggunakan beliung ia pecahkan lapisan-lapisan permukaan yang diterpa angin dan cuaca selama berabad-abad, dan segera ia puas menemukan batubara dari kualitas yang lain. Karena belum puas juga, si Walloon naik ke tepian, berjalan beberapa ratus yard ke dalam dan mulai menggali tanah dangkal tertentu. Galian tanah itu diperbesar dengan beliung dan linggis dan tanahnya
dipindahkan dengan tangan-tangan mereka. Beberapa jam kemu?dian mereka menembus di suatu lapisan lempung yang lunak, coklat keabuan, yang membuat si Walloon berteriak kegirangan. Ia terus menggali lapisan ini dan tampak lapisan itu tebalnya sekitar delapan inci. Ia amati puingnya dan melihat bijih besi berukuran bagus, yang membuat dia yakin arti penting temuannya. Tidak lama kemudian, dengan mengerahkan tenaga bersama, mata linggis dan beliung berhasil mendapatkan gumpalan batubara yang sesungguhnya.
"Ini benar-benar produk yang sangat berbeda dengan yang satu di sana," seru si Walloon.
Schlickeisen memerhatikan batubara itu dengan cermat, tetapi tidak dapat melihat perbedaannya.
"Tampaknya seperti batubara yang ditemukan di dekat sungai tadi," katanya.
"Hanya dengan perbedaan ini," tambah La Cueille, "bahwa semuanya hitam mengkilat"dan lihat betapa mengkilat pecahan- pecahannya. Tapi tempat apa ini" Kelihatannya seperti ambar! Ya Tuhan, ini tempat yang berdamar, bukti terbaik bahwa ini batubara berkualitas tinggi. Benar-benar harta karun!"
Orang Swiss itu tersenyum melihat temannya sangat gembira, dan meskipun tidak banyak tahu soal pertambangan, ia dapat merasakan kegembiraan si Walloon yang meluap dan sangat menikmatinya.
"Coba kita pecahkan contoh yang terbaik," seru La Cueille, "agar aku dapat menguji kualitasnya nanti."
Mereka melanjutkan pekerjaan dan segera berhasil mengum?pulkan sejumlah contoh yang cukup untuk eksperimen yang akan dilakukan oleh La Cueille. Sebagian besar gumpalan itu sangat besar sehingga mereka harus menyatukan tenaga untuk mengangkutnya ke jukung.
Segera setelah mereka mendaratkan harta temuan mereka di kota, si Walloon segera menyalakan api dan melakukan pengamatan. Tetapi Schlickeisen tidak tinggal menunggu si Walloon. Ia mencari jalannya sendiri, meninggalkan temannyayang asyik melakukan ekspe?rimen. Tiga jam kemudian, ketika orang-orang Eropa lain mencari si Walloon, mereka temukan ia masih sibuk dengan batubaranya.
"Tengok!" katanya, "kalian tidak akan menemukan batubara sebaik ini di tambang-tambang batubara, baik di Liege maupun di Hainault."
Si Walloon tampak seperti orang gila karena gembira, dan teman- temannya memandangnya dengan sangat tercengang.
"Tapi apa keuntungan praktis temuanmu ini?" Yohanes ber?tanya.
"Apakah orang-orang Dayak tidak menggunakan batubara?" tanya Wienersdorf.
"Tidak! Penggunaan batu kasintu, begitu mereka menyebut batubara, dianggap tidak suci. Di beberapa tempat dilarang menyen?tuh batubara atau mendekati api batubara. Dari mana datangnya ketakhayulan ini aku tidak tahu; tapi orang Dayak punya satu legenda yang mengaitkan bagaimana Mahatara pada saat ia murka dan membenamkan seluruh belantara ke dalam bumi dan mengubahnya menjadi batu. Mungkin cerita ini yang membuat mereka takut pada batubara."
"Apakah batubara terdapat di seluruh Kalimantan?"
"Dengan ketidakpedulian kita pada sumber-sumber alam pulau ini, pertanyaan semacam itu sulit dijawab. Tetapi sejauh yang kita ketahui, kita dapat katakan, ya; karena di mana saja Belanda berada, sejumlah besar liang batubara yang berharga telah dikembangkan."
Debat batubara berlangsung semalaman, tetapi Harimau Bukit kini datang untuk bergabung dengan sahabat-sahabatnya. Di tangan?nya ia memegang tarojok"dacin kecil yang menarik perhatian Yohanes.
"Bagaimana, Amai, sudah Anda timbang?"
"Ya," jawab orang Punan itu menyeringai... "beratnya hanya satu "bua kayu". "
"Dan berapa kira-kira nilainya?"
Pertanyaan ini amat sulit dijawab oleh orang Punan itu. Ia meng?garuk kepalanya dan memandang mereka satu per satu. Akhirnya, ditujukan kepada calon iparnya, ia tanya:
"Jika satu tahil berharga tigapuluh real, berapa nilai satu bua kayu?"
Winersdorf menatap bingung, wajahnya tampak pucat sehingga teman-temannya tidak dapat menahan diri untuk tidak tertawa me?ledak. Ia samasekali tidak mengerti apa yang ingin diketahui oleh si penanya. Harimau menunjukkan dacin, yang di atas salah satu pengimbangnya terdapat serbuk logam berwarna kuning gelap yang indah, mirip sekali dengan serbuk tembaga kotor, sementara di
sebelah alat pengimbang yang lain berisi satu lempeng kuningan yang menunjukkan berat. Bahkan sekarang pun Wienersdorf tidak tahu apa yang dimintakan kepada dia, sehingga ia mengangkat bahunya.
"Orang-orang yang datang dari Banjarmasin selalu menyom?bongkan diri lebih pintar daripada yang lain," kata orang Punan itu, "dan lihat orang tolol ini tidak dapat menyebutkan nilai satu bua kayu kalau satu tahil berharga tigapuluh real."
"Tapi apa yang berharga tigapuluh real" Apa" Yang mana?" tanya orang Swiss itu agak tersinggung.
"Apa"! Ini bulau urei-emas urai."
"Aha! Apa ini betul serbuk emas" Dan Anda ingin saya menye?butkan nilainya" Baiklah, saya tidak tahu."
"Anda tidak tahu! Oh, adik perempuanku yang malang, ia punya calon suami idiot." Pecahlah tawa Yohanes, yang diikuti oleh La Cueille dan Schlickeisen.
"Tapi, Amai," Yohanes berkata. "Dohong tidak mengerti alat tim?bangan Anda. Itu berbeda sekali dengan yang di Banjarmasin dan Kuala Kapuas. Dengar," lanjutnya ditujukan kepada Wienersdorf, "satu tahil berharga dua ringgit; satu ringgit dua sajampol; satu sajampol dua setengah sakobang, dan satu sakobang dua bua kayu. Kamu mengerti sekarang?"
"Ya, saya mengerti, Amai, jadi di situ ada tiga gulden serbuk emas. Tapi apa arti semua ini" Saya belum mengerti juga."
"Oh," kata Yohanes, "aku bermaksud memberimu kejutan de?ngan mengubahmu menjadi seorang pemburu emas"sebenarnya memberimu keberuntungan secara diam-diam. Kegembiraan telah diperoleh sekarang. Orang Punan itu dan aku telah mendulang emas hari ini. Aku telah mengambil pelajaran pertama, dan inilah hasil dua jam bekerja. Aku temukan emas ini sendiri. Guruku mendapat lebih banyak."
"Tiga gulden dalam dua jam"!" seru Wienersdorf, "itu bukan ba?yaran yang buruk. Aku menyesal kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama; kita barangkali dapat mengumpulkan sejumlah harta yang berharga untuk dibawa pulang."
"Namun kita belum lagi beruntung, bukankah begitu Amai?" Orang Punan itu tersenyum dan menjawab, "Ini karena kesalah?an Anda. Anda banyak sekali melanggar larangan yang menyebabkan sarok bulau terbang pergi. Tak heran bila Anda menemukan sedikit
emas. Tapi sarok bulau akan membalas dendamnya, dan yakinlah Anda akan dibuatnya demam."
Orang-orang Dayak percaya semua benda hidup atau mati punya jiwa; bahwa emas sampai kemudian bisa ditaklukkan oleh manusia disebut sarok bulau.
"Oh, Amai,"kata Yohanes, tersenyum, "demam tidak akan mampir padaku. Jika ia datang akan saya serahkan kepada Anda."
Orang Punan itu tidak begitu senang dengan kelakar itu, keingin?an untuk mengalihkan demam kepada dia dianggap sedikit keterla?luan. Akan tetapi ia terus menceritakan kepada teman-temannya bahwa di negerinya, Sungai Miri, emas jauh lebih banyak daripada di sini. Ia berjanji akan membantu mencari emas asal mereka sepakat hanya dengan menggunakan rakit.
Janji ini merupakan kesepakatan mereka tentang emas; mereka telah mulai diserang demam-demam emas.
Bab 14 KEEMPAT sahabat itu melanjutkan nongkrong sampai larut malam, pembicaraan mereka berpusar pada perburuan emas. La Cueille samasekali tidak merasa mengantuk. Maka Yohanes teringat pada janjinya untuk menceritakan pengalamannya tentang pengecoran besi orang Dayak.
"Aku bersedia menghabiskan beberapa waktu lagi dan senang berkesempatan menyeling pembicaraan kita tentang perburuan emas sebagai pokok pembicaraan yang hanya menyita perhatian yang sia- sia."
"Tapi kamu jangan berharap mendengar proses dan peralatan mesin seperti di Barat. Pengecoran besi orang Dayak sangat seder?hana. Inilah yang kulihat sendiri dalam salah satu ekspedisiku:
"Di dekat tempat bijih besi digali, di bawah atap yang tinggi, para pengecor Dayak membangun di atas busut asli atau buatan satu bak tanah liat berdiameter sekitar satu yard. Dinding-dinding bak ini...."
"Apa tidak sebaiknya kamu lebih dulu menceritakan pada kami tempat di mana bijih besi itu ditemukan?" tanya La Cueille.
"Baiklah. Bijih besi umumnya ditemukan di dekat formasi batu?bara. Dua produk mineral ini saling berdekatan, satu lapis menutupi yang lain. Jarang sekali yang satu tidak ditemukan sedangkan yang lain ada."
"Parbleu,"(So pasti) seru si Walloon, "itu benar-benar berkah!"
"Lapisan tanah yang mengandung bijih besi biasanya kelihatan ketika berlangsung pasang surut di tepi-tepi sungai yang rendah. Orang Dayak memilih musim kemarau untuk mengumpulkan sejumlah besar bijih besi yang dibutuhkan. Karena bijih besi umum?nya basah, wujudnya seperti adonan lembek. Pertama-tama bijih besi itu dijemur di bawah matahari, kemudian dipotong-potong menjadi bungkah-bungkah seukuran biji kenari dan disimpan untuk nantinya digunakan. Bijih-bijih itu tidak selalu serupa. Kadang-kadang terdiri atas campuran antara potongan besar atau kecil besi yang acapkali berwarna kusam atau coklat terang dan semacam besi oksihidrat bertekstur kristal coklat kekuningan. Kadang-kadang bentuknya seperti oker coklat karena timbulnya pembusukan pada sebagian besi, dan di waktu lain berbentuk pasir-batu yang sangat keras, di mana bijih itu mengendap. Satu pon bijih besi menghasilkan lima setengah ons besi murni. Itulah yang kuketahui tentang bijih besi, dan hanya itu laporan-laporan yang berhasil kuhimpun."
"Dinding-dinding bak," Yohanes melanjutkan, "tebalnya sekitar empat inci, tapi semakin ke bawah ketebalannya bertambah sampai akhirnya menyisakan ruang berdiameter tidak lebih daripada 35 inci di bagian alasnya. Bak ini, yang disebut laburang, merupakan tungku peleburan. Sebagaimana diceritakan kepadaku, bak itu dikeringkan di bawah matahari selama limabelas hari. Setelah itu satu lubang untuk moncong embusan angin dibuat kira-kira tujuh inci dari bagian alasnya dari bawah, sedangkan lubang lain, alir, dibuat di dinding seberangnya untuk memindahkan terak dan menarik ke luar besi yang telah lebur. Kelompok kami baru saja tiba ketika mereka mulai menjalankan perapian, dan tungku itu sebelumnya diikat mengeliling dengan tali rotan dan bambu untuk mencegah retak. Pada alas laburang mereka buat selapis tipis remukan arang kayu berkualitas baik, dan menyisakan satu ruang kosong berbentuk persegi, kakat, untuk mengumpulkan leburan besi.
"Di atas ruang persegi dan lewat lubang yang telah disediakan untuk itu, mereka menempatkan mulut pipa embusan. Mulut pipa ini mereka sebut butung, dibuat dari tanah liat bakar dan menjulur sampai separo pusat kakat. Kemudian mereka mengisi tungku de?ngan arang kayu sampai sekitar tiga perempat penuhnya, dan di atasnya mereka sebarkan bijih besi, yang sebelumnya dibakar di atas api unggun sampai berwarna merah. Arang kayu di atas kakat kini dinyalakan dan alir ditutup dengan tanah liat basah. Pipa bambu selanjutnya disambung dengan butung dan api diperbesar, mulamula ditiup pelan dan lambat-laun makin kencang sampai mencapai temperatur maksimal."
"Baru saja kamu menyebut pipa bambu; sudah pasti embusan itu buatan Eropa," kata La Cueille. "Tak seorangpun penduduk asli dapat membuat benda semacam itu."
"Bicaramu seperti orang Eropa," kata Yohanes agak sengit. "Peng?embus ini ternyata bukan buatan Eropa. Dengar, aku akan mencoba menjelaskan konstruksi mereka: Dalam suatu silinder kayu yang lurus, biasanya dibuat dari sepotong kayu berdiameter sekitar sepuluh inci yang dikrowaki dan panjangnya dua setengah yard, bergerak suatu piston, yakni suatu lempengan yang direkati bulu-bulu dan diminyaki dengan semacam minyak rengas yang terdiri atas minyak dan damar agar udara yang dihailkan sempurna. Pipa bambu itu, yang disebut pasiong, dipasang di bawah silinder dan udara diembuskan melalui pipa ini. Tangkai piston, yang panjangnya delapan sampai sepuluh yard, dipasang pada sepotong bambu panjang dan diletakkan horizontal agar mudah digerakkan. Embusan semacam ini disebut baputang, dan para pekerja melakukan 40 sampai 50 kali tarikan per menit untuk mendapatkan temperatur yang dikehendaki.
"Ketika tungku telah terisi, apinya dipertahankan, dan bijih besi yang masih baru dituangkan dari atas, bila isinya berkurang karena pembakaran. Tapi untuk menyuplai bahan bakar yang diperlukan pada waktu yang sama, mereka menambahkan sepuluh arang untuk satu bijih besi baru. Mereka membuka alir tiap jam untuk membuang ampas bijih, tetapi segera menutupnya kembali dengan tanah liat basah.
"Pada malam hari tungku didinginkan, alir dibuka dan besi yang diperoleh itu dipindahkan dengan menggunakan catut besar dari kayu yang ujung-ujung catutnya terbuat dari besi. Besi, yang sekarang berwujud bungkah keras tak berbentuk berwarna merah kecoklatan, kemudian diletakkan di tanah. Bungkah itu, yang masih terlapisi terak, ditumbuk lagi dengan palu-palu kayu menjadi kubus yang beratnya kira-kira 60 pon. Setelah itu, tiap kubus dipecah menjadi sepuluh bagian sama besar dan dipalu dan dibersihkan dari ampas sehingga siap ditempa. Itulah seluruh proses pembuatannya. Dapat aku tambahkan bahwa kualitas besi dari daerah Sungai Kapuas termasuk yang terbaik. Ini penting sekali, mengingat besi Kalimantan terkenal di seluruh Kepulauan Hindia ini. Senjata yang dibuat dengan
besi daerah ini sangat dihargai di mana-mana, dan aku pernah melihat sendiri-mandau dan pedang buatan Nagara, di mana semua senjata dibuat di situ, tujuh paku yang beratnya mencapai satu pon dapat terpotong tanpa merusak mata senjatanya. Aku telah menceritakan semua yang kuketahui dan aku yakin telah memuaskan keingintahuan si Walloon kita."
La Cueille tertawa dan menjawab dengan terimakasih:
"Akhirnya aku bisa tidur, selamat malam! Oh, ya, apa sebutan orang Dayak untuk besi?"
"Sanaman, bijih besi mereka sebut batu sanaman."
"Terimakasih banyak, selamat malam."
Tidak lama setelah tengah malam Wienersdorf dibangunkan oleh seorang Dayak yang memberi isyarat untuk ke luar sebentar di mana Hamadu sedang menunggu untuk berbicara padanya. Ia dapati Hamadu sedang menangis tersedu. Diam-diam Hamadu memegang tangannya dan membawanya ke tempat kediaman Harimau Bukit, abangnya; Wienersdorf melihat Harimau Bukit sedang mengigau karena serangan demam yang tinggi. Peluh-peluh besar menutupi dagu si sakit dan napasnya ngos-ngosan. Dalam igauannya ia bicara soal ancaman Yohanes yang akan mengirimkan demam kepada dia. Ancaman ini, yang berkali-kali diucapkan oleh si sakit, menyebar di kalangan orang Punan yang berkumpul di sekitar tempat tidurnya dan menggumamkan ketidakpuasan, bahkan terdengar pula ancaman. Mempermainkan ketakhayulan orang-orang primitif adalah suatu tindakan yang agak berbahaya.
Hamadu, karena sangat mencemaskan kondisi kakaknya, ber?pikir ada baiknya memanggil Dohongnya dengan kepercayaan penuh pada kemampuan luar biasa orang kulit putih dalam menyembuh?kan. Wienersdorf, yang menjadi dokter dadakan, memegang nadi pasiennya, memandang dengan airmuka yang bijak dan berwibawa dan meletakkan tangannya ke dahi, lengan, dan dada Harimau Bukit. Akhirnya ia memerintahkan badan orang Punan itu dibasuh cuka dan air dan kepalanya dikompres air dingin. Hasilnya memuaskan, sehingga temperatur Harimau Bukit turun dan dia pun segera sadar. Kemudian Wienersdorf memberi resep infusi akar pahit, akar ta?naman asli dan merupakan pengganti yang baik untuk kina, dengan menambahkan sedikit madu, dan memerintahkan Harimau Bukit meminumnya sesekali. Apakah karena efek obat atau reaksi alamiah,
si pasien segera tertidur lelap. Wienersdorf kemudian menjumpai Yohanes menceritakan apa yang telah terjadi dan Wienersdorf tercengang informasinya itu ditanggapi dengan ledakan tawa.
"Aku tidak melihat sesuatu yang patut ditertawakan," kata orang Swiss itu, "situasinya amat serius. Percayalah, aku telah mendengar ancaman-ancaman yang mengerikan ditujukan kepadamu karena kamu mengirimkan demam kepada Kepala Suku Punan, dan kamu tahu persis orang macam apa mereka itu."
"Jangan cemas, sahabat Swissku yang baik! Aku segera melu?ruskannya kembali. Jika lain waktu mereka memanggilmu sebagai dokter, panggil aku dan aku akan menemanimu."
Pagi-pagi sekali Dohong dipanggil lagi, dan dengan ditemani Yohanes ia masuk ke ruangan si sakit, di mana ia melihat persiapan mengusir penyakit dengan jampi-jampi lewat bantuan dukun sedang dilakukan.
"Demi Tuhan," seru Dohong, "hentikan keriuhan ini; itu mem?buatnya semakin parah."
Begitu melihat Yohanes, pasien menunjukkan wajah marah dan mencelanya tidak tahu berterimakasih.
"Saya maafkan Anda," katanya, "demi Dohong, tapi mereka telah mengajari Anda tidak tahu rasa berterimakasih ini di Banjarmasin. Apa yang telah kulakukan sampai Anda memperlakukan aku buruk sekali?"
"Hanya suatu kesalahan, temanku," jawab Yohanes. "Saya agak mabuk malam itu ketika demam menyerangku. Aku terlalu banyak minum tuak dan aku bermaksud mengirimkan demam itu kepa?da Komandan di Kuala Kapuas. Tampaknya aku telah membuat kesalahan besar dengan menyebut nama Anda. Tapi Anda akan lihat bahwa aku punya kekuatan untuk memindahkan demam itu seperti halnya mengirimkannya."
Yohanes mengambil segenggam beras dari dalam tempurung yang telah dibawanya dan menaburkan bulir-bulir beras di sekitar tempat tidur pasien sambil menyanyi dengan suara keras: "O bulir- bulir beras yang ditabur, masuklah secara bersama-sama ke rumah Sangiang-Sangiang; masuklah tanpa bersuara, kamu bulir-bulir beras keemasan, ke dalam rumah Sangiang-Sangiang!"
Kemudian Yohanes mengulurkan tangannya ke dahi pasien dan menggerak-gerakkan tangannya seakan-akan membuang sesuatu.
Kemudian ia berkata: "Akhirnya selesai sudah. Dalam waktu satu jam dari sekarang, Komandan Kuala Kapuas akan terkena demam yang luarbiasa seperti yang Anda alami. Tinggal tenang saja sekarang, minum obat yang akan diberikan oleh Dohong. Dalam waktu setengah jam, Anda akan merasakan denging di telinga Anda, tapi tak usah khawatir, itu pertanda menghilangnya demam ke Kuala Kapuas."
Dengan langkah-langkah khidmat ia meninggalkan kediaman sang pasien. Wienersdorf kini mengeluarkan cairan sulfat kina dan menyerahkan kepada orang Punan itu untuk diminum.
Tanpa menggerakkan otot, Harimau Bukit menelan tegukan pahit itu, melap mulut dengan punggung tangannya, dan meyakinkan dokternya bahwa ia percaya penuh pada penampilan magis Yohanes daripada semua obat buatan.
Sukma Pedang 1 Pendekar Mabuk 125. Siasat Berdarah Rahasia Rumah Kosong 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama