Ceritasilat Novel Online

Menembus Rimba Raya 5

Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear Bagian 5


Seperempat jam kemudian ia telah tertidur nyenyak.
Sebelum berangkat meninggalkan Kuala Kapuas, Yohanes, de?ngan tilikan yang jauh ke depan seperti biasanya, telah mengambil sejumlah kina dari dalam laci lemari dokter, dan obat itulah yang kini telah membantunya memberikan pelayanan dengan baik. Tetapi Dalim telah memperingatkan dia untuk tidak melakukan tindakan serupa pada penduduk pribumi.
"Ancaman-ancaman," katanya, "telah terdengar dan kecurigaan telah diucapkan. Beberapa penduduk mengatakan, berbahaya mene?rima orang-orang yang samasekali asing sepertimu di dalam kota. Sampai saat ini mereka masih membatasi diri dengan berbisik-bisik. Tapi coba bila mereka mulai bicara tentang kata antuen. Maka semua mandau akan dihunus dan kamu segera bersimbah darah. Kepalamu lepas berada di tangan-tangan orang-orang Punan itu."
"Apa artinya kata antuen itu?" Schlickeisen bertanya.
"Kekuatan untuk menyuruh roh jahat mencuri jiwa seseorang dan dengan demikian menyebabkan orang itu jatuh sakit," Dalim menjawab.
"Kurasa, mencuri jiwa seseorang berarti membunuhnya."
"Betul, tapi kematian hanyalah akibat bila jiwa terpisah terlalu lama. Bagi orang Dayak, sakit dianggap sebagai hilangnya jiwa untuk sementara dari badan seseorang dan cara menyembuhkannya adalah dengan segera mengembalikan jiwa yang telah dipisahkan itu. Bilian- bilian kami sangat ahli dalam urusan semacam itu."
Keempat orang Eropa itu mengisi kembali pipa-pipa mereka dan duduk di sekitar orang Dayak itu, yang memulai ceritanya:
"Pada zaman dahulu kala, tinggallah satu keluarga Dayak. Selagi menggali lubang tanah untuk memancangkan tiang di salah satu rumah mereka, ditemukan seekor ular air merah yang kemudian mereka bunuh dan kuliti untuk menjadi makan malam. Tapi ular ini, yang disebut Lendong dan termasuk keluarga Naga Galang Petak, merupakan kesayangan Mahatara. Menurut tradisi Dayak, makhluk pertama yang diciptakan oleh Mahatara adalah seekor ular air raksasa yang di atasnya lambat-laun ditimbuni lumpur dan pasir, dan dengan demikian membuat dia memanggul bumi. Dari sinilah asal nama Naga Galang Petak atau ular penyangga bumi. Tiap gerakannya akan menimbulkan gempa bumi. Bagian dunia ke mana kepalanya mengarah akan makmur"yang mengarah pada ekornya akan sial.
"Dewa, yang menjadi murka dengan penjagalan yang keji itu, mengubah semua anggota keluarga itu menjadi antuen, dan mendapat julukan yang mengerikan: raja antuen batulang dohong atau raja antuen dengan tulang-tulang seperti pedang prajurit. Sejak itulah seluruh anggota keluarga itu tetap menjadi antuen.
"Perlu saya tambahkan untuk kalian ketahui, sekali orang Dayak mencurigai seseorang adalah antuen, hidupnya tidak lagi berharga. Tidak hanya demi kepentingan keamanan umum wajib menghancurkan orang itu, tapi orang yang membunuhnya dianggap sebagai pahlawan, dan semua orang berutang budi dan berterimakasih kepada dia. Saya bermaksud baik menasihati kalian untuk tidak pura- pura sanggup membuat seseorang jatuh sakit."
"Tentu saja tidak, tidak akan pernah lagi," jawab Yohanes dengan khidmat. "Tapi apakah lelucon terhadap orang Punan itu dapat berakibat buruk?"
"Selama demam orang Punan itu hilang, tidak akan. Semua ba?haya akan lewat, karena satu-satunya keganjilan antuen-antuen ini adalah mereka tak pernah bisa menggagalkan kejahatan yang mereka lakukan."
"Demi Helvetia2 yang mulia!" seru Yohanes, tertuju kepada Wienersdorf, sambil menyodorkan kepada Wienersdorf sebuah bungkusan kecil, "ini sepuluh biji kina lagi, biarkan iparmu menelan se?muanya, karena kesembuhannya merupakan pertimbangan serius bagiku sekarang ini."
Tetapi dosis kedua tidak diperlukan. Setelah tidur nyenyak sam?pai senja hari, orang Punan itu bangun dan merasa sehat. Ia kemudian mengambil tikar dan menggelarnya di bawah naungan pohon besar di luar rumah.
Ia kini, sambil berbaring, menghirup dalam-dalam udara segar. Ketika ia melihat Yohanes dan Wienersdorf mendekat, ia bangun dan dengan bersahabat menjabat tangan keduanya; tetapi sikap?nya terhadap Yohanes menunjukkan ada semacam rasa segan kare?na Yohanes, atas kemauannya sendiri, dapat menciptakan dan me?nyembuhkan penyakit.
Harimau Bukit beruntung terbebas dari demam, sehingga wibawa Yohanes semakin bertambah. Sekarang tidak ada lagi gangguan untuk melanjutkan perjalanan. Karena itu para pelarian mendesak untuk segera berangkat. Orang-orang Eropa itu menjadi hampir putusasa ketika sesuatu yang tidak disangka-sangka terjadi dan mengakhiri kekikukan mereka.
Sebuah jukung yang dikendarai utusan tiba pada suatu pagi de?ngan membawa pesan bahwa meskipun Gubernemen Belanda telah menerima penyerahan kota Jangkan, komandan akan datang sendiri dengan kapal-api untuk menjemput kepala baru dan membawanya ke Banjarmasin guna diambil sumpah setianya. Kapal-api ini mungkin tiba dalam beberapa jam lagi. Harimau tahu bahwa jika Komandan tiba sebelum dia berangkat, maka Komandan dapat menggagalkan pindahnya suku. Karena itu jalan terbaik adalah berangkat lebih awal. Segala sesuatu disiapkan dengan cepat dan semua tangan sibuk dengan persiapan-persiapan akhir.
Malam terakhir yang berlalu di kota Jangkan merupakan kegiatan yang luarbiasa, dan ketika esok hari tiba, semua telah siap berangkat. Hanya meriam-meriam, yang demi keamanan dibiarkan terpasang di tempatnya semalaman, harus dinaikkan ke alat angkut. Pengangkutan senjata-senjata berat orang-orang Eropa ini segera diselesaikan, dan perpisahan itu seperti tiada habis-habisnya sampai kemudian Yohanes, sambil menunjuk ke arah selatan, tiba-tiba berteriak:
"Banama asep! Banama asep!-Kapal-api! Kapal-api!"
Benar saja, kepulan asap tampak di ujung hutan di arah selatan.
Semua serempak mengambil tempat di rangkan masing-masing dan dalam waktu singkat sepuluh rangkan, yang memuat 165 orang, seluruh emigran besar itu, meninggalkan daratan beserta seluruh barang milik mereka. Dayung membelah air dengan seru dan rangkan- rangkan meluncur dengan cepat. Suara "hura" diserukan oleh para pengelana itu, yang dijawab oleh teman-teman mereka yang ada di belakang, dan kota, yang dengan ramah telah menyambut kedatangan para petualang itu, tertinggal di belakang.
Daerah yang dilalui semakin liar dan tepi-tepi sungai semakin tinggi, kadang-kadang menggantung seperti mengancam dengan kematian dan kehancuran.
Permukaan sungai masih tetap belum beriak. Meskipun arus mengalir dengan kecepatan bertambah, rangkan-rangkan masih dapat berlayar dengan baik; di sana-sini pusaran air harus diamati dengan baik, ketika rangkan melalui bebatuan kapur yang bertebaran, tetapi itu dapat dihindari dengan hati-hati. Kapuas masih merupakan sungai dengan kedalaman enam kaki sehingga kapal-api kecil tidak begitu sulit bergerak. Setelah beberapa jam mendayung, mereka sampai di Batu Sambong. Di sini Amai Kotong turun ke darat beberapa menit untuk bersilaturahmi dengan kepala kampung itu, orang yang telah hidup berdampingan secara damai selama beberapa tahun dengan Amai Kotong. Penduduk kota itu, tertarik pada mereka yang sedang menempuh perjalanan, mendatangi mereka sambil membawakan juadah dan tuak, yang keduanya diterima dengan ucapan terimakasih tidak saja oleh La Cueille tetapi juga oleh para perempuan, yang meskipun tenaga mereka terbatas tetapi turut mengayuh.
Meskipun perjalanan mereka terhenti tidak sampai setengah jam, tetapi bagi Yohanes itu mencemaskan, karena ia merasa masih tidak aman sebelum mereka melewati perintang kapal-api, yaitu air terjun pertama. Begitu mereka melewati air terjun itu, berhenti sejam atau lebih tidak jadi masalah, karena mereka tidak mungkin lagi terkejar. Sampai saat itu semboyannya: "Maju terus! Maju terus!"
Tidak jauh dari kota Sambong mereka melewati suatu padas kapur terpencil yang tingginya 50 kaki. Padas kapur itu membuat Yohanes meminta perhatian teman-temannya. Dilihat dari jauh bentuknya seperti perempuan raksasa bersimpuh sedang melilitkan kain di kepalanya. Di kaki padas ini Sungai Kapuas menghantamkan airnya dengan keras, menebarkan di sekitarnya buih-buih yang menggunung
seakan-akan murka pada penghalang jalannya itu, yang memaksanya untuk mencari jalan lain. Yohanes memberitahu teman-temannya bahwa kota tetangga itu telah mengambil nama padas karang ini: Batu Sambalayong, disingkat menjadi Batu Sambong.
"Apa artinya Sambalayong?" Wienersdorf bertanya.
"Sambalayong adalah nama kain putih yang dililitkan ke kepala janda. Karena batu itu menyerupai seorang janda pribumi yang sedang meratap, maka disebut batu sambong, yang dapat diterjemahkan dengan "batu janda"."
Teriakan "berhenti" sekarang terdengar dari rangkan paling depan. Mereka telah tiba di Kiham Huras, air terjun pertama. Suara lirih yang terputus-putus itu, yang kemudian terdengar semakin keras seiring semakin mendekatnya mereka, selama beberapa waktu hampir tidak diperhatikan oleh orang-orang Eropa, karena mereka asyik mendengarkan legenda Batu Sambong. Si pencerita kini berhenti bicara, dan suara tik-tak yang disebabkan oleh gerak dayung pada pengunci-pengunci dayung pun juga terhenti. Suara deru air raksasa mulai memekakkan telinga mereka. Memandang ke atas mereka melihat sungai yang terjun dari ketinggian, suatu air terjun yang indah. Bagian bawah air terjun itu berupa cadas masif yang bentuknya sangat fantastis. Pada bagian yang lebih tinggi, formasi kapur ini dibelah batuan diorit plutonik yang warnanya biru tua. Batuan ini tampak di antara batuan kapur putih. Di sana- sini tersebar massa batu hitam besar yang tampaknya merupakan pecahan karang-karang dan telah ditempa cuaca sehingga bentuknya hampir bundar seperti sekarang ini. Seluruh bagian atas air terjun menyuguhkan pemandangan aglomerasi massa serupa, yang tersebar dengan cara paling liar. Impresi yang diciptakan oleh pemandangan alam dalam bentuknya yang mulia ini sangat luarbiasa. Orang-orang Eropa memandang dengan terpesona, sementara rangkan-rangkan mereka menari-nari di antara buih-buih air; mereka hampir tidak dapat menemukan kata-kata untuk mengutarakan kekagumannya.
"Luarbiasa," kata Wienersdorf yang sangat terkagum-kagum; "tengok di sana betapa indahnya lapisan batu hitam dan putih yang saling berpadu; lihat mosaik semacam itu di sana. Aku bantah jika ada seniman yang sanggup mengunggulinya.
"Perhatikan batu kapur di sebelahnya; apakah tidak tampak
seperti dipahat" Lihat betapa indah dan putihnya ia berdiri dengan latarbelakang hitam; itu seperti karya sulaman raksasa."
"Hanya sedikit lebih tipis daripada sulaman Brussel atau Mechlen- mu." Yohanes menambahkan.
"Tengok," kata Wienersdorf dengan bersemangat, "pada tepian sungai yang terjal itu, di mana batu kapur dan batu diorit seolah berjuang merebut keunggulan. Perhatikan bagaimana batu-batu itu didandani dengan tanaman pakis raksasa hijau lembut dan amat indah, dimahkotai dedaunan dengan warna lebih gelap hutan perawan yang anggun seperti lengkungan-lengkungan gotik katedral Abad Pertengahan yang angkuh. Lihat lebih ke atas lagi, tempat batang-batang pohon merundukkan dahan-dahannya, diselingi tanaman-tanaman menjalar dan membentuk suatu gua yang rendah, di mana buih-buih air yang putih seolah-olah melepaskan diri dari suatu bejana raksasa dewa air."
"Namun semua sangat tenang bukan" Tak ada, benar-benar tak ada hal lain kecuali suara armada air; bukan kicau burung atau suara binatang yang memecah kesunyian yang senyap ini. Kehidupan seperti lenyap di sini."
"Diam!" seru Yohanes riang. "Sungguh imajinasi yang melankolik, Kawan. Penyair kita benar-benar melihat keterasingan, di mana tak ada sesuatu yang dapat ditemukan. Suara gemuruh air terjun me?mekakkan segalanya, tapi kamu akan segera mendengar jeritan ke?ras segerombolan burung kesturi berwarna hijau keabu-abuan yang mendiami puncak-puncak pohon di sana. Kamu dapat mendengar lengkingan tajam sekelompok rusa yang sekarang sedang merumput di atas puncak karang-karang; kamu dapat mendengar bakai- bakai kecil atau monyet-monyet yang terayun-ayun dengan ekor panjangnya di dahan-dahan pohon, daun-daun pakis, dan tanaman menjalar yang bergayut di dasar jurang, menjeritkan suara mereka: "kirah, kirah". Demi Tuhan, tidak! Kehidupan jauh daripada sirna di sini. Sebaliknya, kehidupan menunjukkan dirinya dalam aspek-aspek yang paling kuat di sekitarmu, bahkan di dalam air sekalipun, di mana kamu dapat menyaksikan ikan-ikan salmon yang indah bergembira- ria. Sekarang ini, jika kita dapat mengatasi sungai yang dahsyat ini dan berjalan ke atas, semua kehidupan ini akan lenyap seperti disihir. Maka kamu akan melihat semuanya suwung dan senyap seperti yang
kamu gambarkan untuk dirimu sendiri. Tapi jangan salahkan alam karena perubahan itu, melainkan kepada manusia."
Ketika para desertir sedang berfilsafat, orang-orang Dayak telah bekerja untuk menyelesaikan pendakian kiham yang sulit dan berbahaya. Para perempuan dan anak-anak naik ke darat dan mulai mendaki karang-karang yang bentuknya seperti rangkaian trap-trap yang menuju ke wilayah tinggi dari mana Sungai Kapuas menurun. Keempat pelarian itu, bersenjatakan senapan, dan lima orang Dayak dengan tombak dan mandau, bertindak sebagai pelindung para perempuan yang lemah. Semua dengan cermat mengamati apa yang sedang terjadi di sungai itu.
Sulur-sulur rotan yang diperoleh di Sungai Dahasan dan Sungai Basarang dan rantai-rantai yang ditemukan di Sungai Naning kini di?keluarkan dan saling diikatkan. Sulur rotan yang panjang ini ditarik oleh delapan orang, setelah mereka berhasil bergayut dari satu karang ke karang yang lain, menyeberang dengan agak sulit di air dan berenang ke tepian suatu anaksungai. Setelah dua jam bekerja keras, ujung atas sulur diikatkan pada sebatang pohon yang kokoh yang tumbuh di tepi sungai, sedangkan ujung yang lain dilepaskan ke sungai, ke rangkan-rangkan. Kini dua orang Dayak menempatkan diri di pohon untuk menjaga sulur rotan, sementara enam orang meloncat ke sungai dan membiarkan diri terseret arus sungai yang deras, menggapai-gapai sulur rotan ketika mereka terseret arus de?ngan kecepatan yang luarbiasa. Berulang kali mereka timbul-teng- gelam di bawah buih pusaran-pusaran air, dan jantung orang-orang Eropa berdegup kencang tiap kali melihat orang-orang dayak itu tenggelam, tetapi mereka segera melihat kembali rambut panjang berombak para perenang itu, yang muncul lagi ke permukaan dengan gembira dan terus berenang ke depan.
Tujuan tindakan keenam orang Dayak itu adalah untuk memas?tikan apakah sulur rotan tersangkut di antara batang-batang pohon kayu atau cadas atau tidak, karena itu dapat menghambat penarikan rangkan ke daratan. Meskipun sulur rotan itu itu panjangnya 600 yard, para perenang trampil menggapai ujung terbawah rotan dalam beberapa detik saja, dan mereka mengusap muka mereka seperti tidak terjadi apa-apa. Lima orang kini mengambil tempat di tiap rangkan, seorang mengemudikan dan empat lainnya memegang
kuat-kuat sulur rotan dan menarik rangkan ke atas dengan melawan arus sungai yang deras. Tindakan menarik rangkan yang berbahaya itu dilakukan satu demi satu untuk mencegah kecelakaan yang timbul karena sulur rotan putus atau tersangkut.
Berkat ketrampilan orang-orang Dayak dan orang-orang Punan, semua rangkan dapat dinaikkan tanpa teijadi kecelakaan. Kini air terjun itu menjadi perintang utama antara orang Belanda dan mereka, dan pengejaran lebih lanjut hampir mustahil dilakukan.
Sulur rotan, karena masih diperlukan untuk kepentingan-kepen?tingan lain, kemudian ditarik dan digulung kembali, suatu pekeijaan yang memerlukan waktu dua jam untuk menyelesaikannya. Para perenang mempertontonkan kembali kemahiran mereka menyelam untuk melepaskan sulur rotan itu tiap kali tersangkut di antara batu- batu.
Para perempuan, karena sulitnya jalan setapak yang harus dila?lui ketika menaiki karang-karang, tidak bisa maju lebih jauh, mes?kipun bagi anak-anak alam ini berjalan seperti ini bukanlah hal yang luarbiasa. Mereka mencapai puncak dalam waktu setengah jam. Di tempat itu mereka duduk mengobrol tentang pohon di mana tali sulur rotan diikatkan. Yang muda-muda membuang waktu dengan bersenda-gurau, sedangkan yang tua-tua menyalakan api untuk memasak makan siang bagi seluruh anggota rombongan. Di tengah- tengah celoteh perempuan ini, tiba-tiba terdengar lengkingan suara La Cueille:
"Nom d"un chien! Apa yang di leherku ini, yang begitu gatal?" Dan sambil merenggut kain yang melindungi lehernya terhadap sinar matahari, ia lihat lehernya bersimbah darah.
"Aku pikir tadinya keringat," serunya, "menetes ke leherku. Apakah aku terluka?"
Teman-temannya dan beberapa orang Dayak mendekat, tetapi jahanam-jahanam itu malah tertawa terbahak-bahak. Sebelum si Walloon memperoleh jawaban atas permohonannya minta tolong, ia meletakkan tangan ke lehernya dan ia merasakan ada benda kecil dan licin sehingga ia terpaksa menarik dengan cepat jari-jemarinya.
"Apa ini?" tanyanya gugup.
"Halamantek," jawab salah seorang Dayak dengan malas.
"Halamantek! Apa maksudmu?"
"Jangan membuat dirimu kelihatan dungu," Yohanes mengerenyit. "Halamantek hanya lintah darat, dan binatang itu cuma mengisap darah Walloonmu yang berlebih."
Helaan napas lega diembuskan oleh si Walloon yang terluka. Setelah diperiksa, ternyata selama tergesa-gesa menempuh hutan belantara itu, tidak hanya si Walloon yang diserang reptil kecil ini, tetapi semua anggota rombongan. Tetapi dia, karena sebab yang tidak diketahui, mendapatkan gigitan lebih banyak.
"Lintah darat," Yohanes menjelaskan, "adalah reptil yang hampir menyerupai benang abu tebal dengan panjang sejari. Ia mendiami cabang-cabang rendah pohon-pohon, dan dari situ menyerang mangsanya, baik manusia maupun binatang. Ia menjalar di celah- celah kulit atau pakaian dan dengan tamak mengisap mangsanya. Gigitannya mula-mula tidak sakit, menyerupai gelitikan gatal, tapi segera setelah banyak mengisap, iritasi pun mulai terasa me?nyakitkan."
"Persis itulah yang kurasakan," bisik Si Walloon.
Sementara itu Mundut telah mengambil segenggam tembakau, mencelupkannya ke dalam air mendidih beberapa menit dan air celupan itu diteteskan ke leher kekasihnya. Lintah-lintah itu pun berjatuhan dan luka-luka si Walloon segera sembuh, yang membuat hati si Walloon merasa puas.
"Mulai sekarang kita akan sering dihinggapi binatang peng?isap darah itu," kata Yohanes, "dan aku pikir alangkah baiknya kita menyiapkan air tembakau dalam labu-labu untuk menghadapi kemungkinan darurat."
"Apakah kita masih harus melewati banyak air terjun?" tanya Wienersdorf.
"Masih banyak; barangkali besok empat buah. Tapi mengapa kau tanyakan ini?"
"Karena kita harus membasuh diri kita paling sedikit empat kali lagi dengan saus tembakau ini. Kita akan bau seperti gagang pipa orang Jerman."
"Sangat mirip," Yohanes tertawa, "tapi untung kita tidak hendak ke bar, atau barangkali kamu takut Hamadu akan jijik padamu" Jangan khawatir, dia sudah terbiasa dengan tembakau."
Ketika sulur rotan selesai ditarik, matahari juga telah selesai menjalani garis edarnya, dan tanpa upacara lenyap di barat, di belakang hutan. Rombongan itu, terutama orang-orang Dayak dan
Punan, telah menjalani hari yang amat meletihkan dan merindukan istirahat. Konsekuensinya, mereka mesti bermalam di tempat ter?dekat. Rangkan-rangkan diikatkan pada pohon yang menjorok ke sungai, membiarkan alat angkut itu mengambang agak ke tengah sungai. Perempuan dan anak-anak tidur di dalamnya, sepuluh laki-laki anggota rombongan menempati tiap ujung rangkan untuk berjaga-jaga. Masing-masing mereka di tiap rangkan ditugaskan sebagai penjaga, sementara awak rangkan lainnya, yang dibagi dua sama besar, ditempatkan di sepanjang tepi sungai di seberang rangkan dengan tugas mengamati.
Keempat orang desertir bergabung dengan mereka, dua dari mereka mendapat giliran jaga dan lainnya istirahat.
Kehati-hatian mereka sangat besar, dan itu menunjukkan kepe?dulian Yohanes yang sungguh-sungguh atas keselamatan bersama. Malam berlalu tanpa gangguan. Pagi-pagi sekali Schlickeisen mendengar suara gemeretak dari arah hutan yang berbatasan dengan tepi sungai. Ia mengamati dengan cermat dan melihat sekelompok rusa, kira-kira 50 ekor, dipimpin seekor rusa jantan dengan sepasang tanduk besar, turun dari lereng untuk minum air sungai yang jernih. Selagi anggota kelompoknya minum, pemimpin mereka tegak ber?jaga di ketinggian tepi sungai, sehingga ia leluasa mengamati wilayah sekitarnya. Di situ ia berdiri tegap sambil mengendus-endus udara dan menggerakkan kuping-kupingnya, memberikan kesempatan yang baik bagi Schlickeisen untuk membidik dengan jitu dan melepaskan tembakan. Tetapi gerak pertama orang Swiss ini telah mengagetkan rusa jantan itu; binatang besar itu tiba-tiba mendongakkan tanduknya ke ke bawah, mengeluarkan suara keras, dan meloncat untuk pertama dan terakhir kalinya karena tertembak. Terguling dari ketinggian yang curam, binatang itu menggelinding ke dalam air, dan tidak disangsikan lagi akan terbawa air jika tidak terantuk salah satu rangkan dan tersangkut di antara tali-tali.
Sisa gerombolan binatang itu tiba-tiba menghilang.
Kecemasan dan kekacauan yang ditimbulkan oleh tembakan dan gemanya yang memantul di tepi-tepi sungai yang curam begitu besar, tetapi berkat sikap tenang orang-orang Eropa itu, ketentraman pulih kembali. Rusa jantan itu diseret ke luar dari sungai, dikuliti dan dipotong-potong; makanan tambahan enak yang akan disajikan. Semua memberikan ucapan selamat kepada Schlickeisen. Tetapi ia
berjanji akan lebih berhati-hati di kemudian hari dan tidak akan menembak pada saat-saat yang tidak tepat.
Sejam setelah itu rombongan berangkat lagi, melawan arus sungai yang liar itu, yang semakin deras.
Hari itu mereka menghadapi kesulitan-kesulitan lagi. Tidak jauh dari Kiham Huras, dekat kota Hurakan, tanah diorit tiba-tiba berubah menjadi batu-batu pasir berwarna coklat kekuningan yang kasar. Batu yang gampang pecah ini dengan cepat hancur, mengisi dasar sungai dalam jumlah besar sehingga di beberapa tempat tidak ada rangkan yang dapat berlalu; rangkan harus dikemudikan dengan sangat hati-hati agar dapat bertahan dalam jalur sempit air yang merupakan kanal itu. Batu pasir ini mudah digelontor dengan kekuatan massa air yang besar dan deras, dan di sana-sini batu pasir ini membentuk tepi sungai di mana arus pasang terhambat dan sungai mendangkal. Kadang-kadang beting-beting ini membentuk pulau- pulau dan dikenal dengan sebutan karangan oleh penduduk asli. Harimau Bukit memberitahu teman-temannya bahwa semua batu pasir itu mengandung sangat banyak emas dan seringkali gumpalan- gumpalan kecil emas ditemukan dengan kualitas yang dinilai terbaik di daerah Sungai Kapuas.
"Kita harus mencoba peruntungan di sini," kata La Cueille.
"Tentu saja tidak," jawab Yohanes; "kita harus maju terus! Kita masih terlalu dekat dengan Belanda dan harus mengambil jarak beberapa air terjun lagi antara mereka dan kita."
"Dan," kata Amai Kotong, "kita tidak mudah mendulang emas. Kita akan segera menghadapi kesulitan dengan penduduk di daerah ini. Tiap kota punya tambang dan sungai sendiri. Mereka tidak akan membiarkan orang-orang asing berburu di tanah mereka tanpa dihukum."
"Kalau demikian halnya, atas nama Tuhan, maju terus!" si Walloon bersungut-sungut.
Selain bagian-bagian sungai yang berbahaya ini, mereka harus mendaki empat air terjun hari itu, beberapa di antaranya menimbulkan masalah yang lebih serius daripada yang telah mereka alami di Kiham Huras, sehingga baru pukul empat sore para musafir itu tiba di kota Karangan dalam keadaan letih dan kehabisan tenaga.
Kota ini, yang berada di tepi kanan Sungai Kapuas, adalah suatu perbentengan yang elok dan kokoh dengan penduduk lebih daripada
2.000 jiwa. Para petualang, yang tercengang dengan tengkorak- tengkorak yang menghiasi palisade-palisade kota Jangkan, merasa lebih ciut lagi nyalinya melihat jumlah trofi yang mengerikan itu, yang ada di situ. Berapa besar nyawa manusia yang harus dikorbankan untuk mendapatkan jumlah sebesar itu"
Amai Kotong juga punya teman-teman di dalam kota ini, dan karena itu diizinkan masuk ke kota itu. Akan tetapi kehadiran Harimau Bukit dengan orang-orang Punannya menimbulkan kecurigaan, dan hanya setelah beijuang keras mereka berhasil menenangkan penduduk dan mencegah timbulnya permusuhan terbuka. Yohanes mengulang kembali cerita lama yang pernah dituturkan di kota Baru, bahwa mereka ditugaskan oleh Pemerintah Belanda untuk membuka hubungan dengan Olo Ot dan mengetahui pandangan- pandangan mereka. Ia juga mengambil tindakan berjaga-jaga dengan memancangkan bendera Belanda di salah satu rangkan terbesar. Kini ia dengan khidmat mengeluarkan dokumen berstempel yang diambil dari Dambung Papundeh dan menyebutkan bahwa Kepala Suku Punan telah diperbantukan pada pihaknya oleh Tuan Besar Banjarmasin untuk bertemu dengan Olo Ot.
Diragukan apakah orang-orang Karangan begitu saja percaya pada cerita itu. Mereka tentu saja melihat dengan penuh hormat stempel itu, yang berupa lak warna merah yang mengesankan, dan menghentikan seluruh permusuhan. Walupun demikian, mereka tidak mengizinkan satupun anggota rombongan masuk ke dalam kota kecuali Amai Kotong; untuk yang lain mereka sediakan tomoi untuk ditempati. Ini sudah cukup memuaskan, karena konsesi semacam itu menunjukkan bahwa mereka dianggap sebagai teman, dan aturan- aturan menghormati tamu yang sangat dijunjung di negeri orang- orang Dayak tidak bisa dilanggar oleh orang-orangnya.
Karena itu para musafir dapat istirahat tanpa rasa takut. Walaupun demikian mereka berjaga-jaga terhadap bahaya-bahaya dari luar. Mereka merasa cukup salah satu orang Eropa saja yang berjaga, meskipun dua orang Dayak secara sukarela turut membantu bertugas.
Bab 15 TIDAK lama setelah pagi menjelang, para petualang telah siap melanjutkan perjalanan. Ketika berpisah Yohanes membagi-bagikan 20 bungkus tembakau kepada penduduk kota Karangan yang paling berpengaruh; kepada istri kepala suku ia hadiahkan seuntai kalung dengan meijan-meijan yang indah, sebagian barang-barang itu dibeli dari Baba Pucieng, satu hadiah yang sangat dihargai dan membuat seluruh sisa-sisa kecurigaan hilang. Sebagai balasan atas hadiah itu, tuan rumah memberikan kepada tiap kelompok beberapa bungkus nasi ketan yang dibungkus daun pisang beserta sejumlah besar kalambui, atau bakatak, dan minuman keras-tuak sulingan- dua kali lipat.
La Cueille sangat gembira dengan minuman itu; ia mengecap- ngecapkan bibirnya dan dengan penuh harap melap mulutnya sebelum memulai sarapan. Ia tahu nasi ketan dengan sedikit garam dan kelapa parut sangat enak. Tetapi ia memandang dengan curiga makanan-makanan lain yang dihadiahkan kepada mereka. Ia mencium makanan-makanan tersebut dan aromanya merangsang hidungnya. Ia mencoba segigit dan merasakan lebih enak daripada baunya. Ia mengenyahkan semua pikiran tentang cacing dan ular, dan bersiap melahap makanan lezat itu ketika Yohanes bertanya apakah dia tahu apa yang sedang dimakannya.
"Aku tidak peduli," si Walloon menjawab, "ini enak sekali!"
"Selama kamu suka aku puas. Aku rasakan itu juga enak meskipun agak kotor."
Dengan mulut masih setengah penuh si Walloon memandang Yohanes.
"Dan apa sebenarnya ini semua?" ia gagap.
"Kalambui adalah sebangsa siput sebesar tinjumu dengan kulit yang indah."
"Dan yang lain?" tanyanya dengan ucapan putusasa.
"Bakatak adalah kodok hijau yang banyak ditemukan di sepanjang sungai. Ini, minumlah dan cuci mulutmu."
Sambil berkata demikian Yohanes menyerahkan sepotong bambu kecil seukuran gelas minuman keras. Dengan sekali reguk si Walloon menelannya sambil berseru:
"Ah, ha! Ini lebih bagus. Aku bakal makan sepuluh ekor siput lagi untuk sereguk minuman keras."
"Aku percaya padamu, Teman," Yohanes tersenyum, "tapi sepuluh ekor siput ini akan merusak pencernaanmu. Selain itu, kamu sudah punya cukup nyali sekarang, dan karena itu lebih baik kamu habiskan saja nasimu."
Begitu selesai sarapan semua kembali ke tempat masing-masing di rangkan, dan dengan seruan "hura" armada rangkan itu kembali bergerak.
Sungai lambat-laun menjadi semakin ganas dan jalan yang dilalui semakin sulit. Hanya tiga kiham yang harus dilintasi, tetapi sungai itu semakin menyempit dan mendangkal. Maka kekuatan arus semakin berkurang tiap kali mereka melewati anaksungai.
Menjelang sore rombongan itu berlabuh di satu pulau kecil, atau lebih tepat disebut beting, yang permukaannya tampak hanya pada waktu air surut, terdiri atas pasir putih yang menyilaukan bercampur dengan kerikil-kerikil bulat. Beting itu dinaungi pohon-pohon yang rebah ke arah sungai, sehingga menjadi semakin sempit dan karena itu menjadi tempat istirahat yang menyenangkan. Para pengembara hampir tidak sempat mendarat dan meluruskan kaki mereka yang pegal ketika segerombolan besar buhi tampak bergelantungan di antara cabang-cabang pohon yang tinggi. Buhi adalah kera berwarna hitam dan abu-abu yang terkenal dengan ekornya yang panjang. Dengan naluri ingin tahu seperti semua makhluk berkaki empat, mereka mendekat ke tepi hutan dan melihat apa yang sedang dilakukan oleh para pengembara itu. Lambat-laun, setelah semakin yakin, mereka datang mendekat sambil melakukan gerakan salto yang amat mengagumkan, sementara beberapa yang masih muda lebih mengambil risiko di antara dahan-dahan yang lebih rendah, bergelantungan dengan ekor-ekor mereka dan begitu dekat dengan kepala orang, yang hampir-hampir dapat mereka sentuh. Ketika kepercayaan diri buhi-buhi bertambah, Harimau Bukit membisikkan sesuatu kepada orang-orang Eropa yang tetap memegang senapan siap tembak, sementara orang-orang Dayak memegang sumpit mereka. Koloni kera yang riang itu, yang mengabaikan marabahaya yang menanti, masih saja mempertontonkan gerak akrobatik di atas kepala orang-orang itu. Dengan aba-aba, tembakan-tembakan dilepaskan dan 12 ekor buhi jatuh terluka parah. Jerit binatang- binatang yang terluka ini menyayat hati. Kawanan binatang itu pun segera lenyap. Tetapi tidak semuanya; seekor induk mengamati anaknya yang terjatuh tertembus timah panas yang mematikan itu, dan ia segera menyambar ke bawah, mengambil anaknya yang seka?rat, mendekapnya, dan sebelum orang-orang dapat mencegahnya, ia melompat ke dalam sungai, menyelam sampai ke seberang sungai dan menghilang di antara rimbunan daun. Seekor lagi yang terluka tetapi tidak terjatuh, menggelantung di dahan dengan kaki belakangnya. Di dahan itulah belum lama berselang ia bergembira-ria. Untuk sementara ia bergelantungan di situ dan orang-orang hampir dapat menyentuhnya. Dengan airmata meleleh, binatang itu menekankan tangannya ke dada, dari mana darah mengucur di antara jari-jarinya. Ia menderita luka menganga; erangan-erangannya menunjukkan kesakitan yang sangat; pandangannya menggambarkan penyesalan yang dalam, seluruh penampilannya menimbulkan belas kasihan sehingga tidak seorangpun di antara orang-orang Dayak itu, termasuk suku Punan, berani menangkap binatang itu. Akhirnya binatang malang itu menghimpun seluruh kekuatannya, merenggut cabang dengan tangan-tangannya, menegakkan dirinya dan duduk. Ia kemudian memetik beberapa daun dan tangkai-tangkai muda, mengunyahnya dan menapalkan obat buatan sendiri itu ke lukanya. Kemudian ia berdiam diri sejenak seakan-akan mengambil napas. Setelah itu, dengan bantuan ekor dan ketiga tangannya, tangannya yang keempat menutupi lukanya, ia pelan-pelan mundur dan lenyap di antara kegelapan belantara.
Orang-orang Eropa, menyaksikan kedua adegan tersebut, merasa malu dan menyesal telah mengambil bagian dalam perburuan itu. Tetapi sebelum mereka sempat mengungkapkan perasaan, orang- orang Dayak mendekati kera-kera yang terluka, dan dengan mandau di tangan mereka membunuh semuanya tanpa menghiraukan jeritan
mereka yang mengibakan. Adegan mengerikan kini menyusul. Semua orang Dayak memegang seekor binatang, dan dengan cepat menyobek perut binantang itu sampai terbuka dan merogohkan kedua tangannya di antara jeroannya yang masih hangat seperti mencari sesuatu. Di dalam perut beberapa binatang, terutama dalam perut buhi, kerapkali ditemukan batu hijau berukuran kacang polong besar, yang dimanfaatkan oleh orang kulit putih dahulu karena dianggap memiliki kekuatan penyembuh yang luarbiasa. Batu-batu itu diimpor oleh orang-orang Eropa dengan sebutan batu bezoar, dan nilainya menyaingi semua permata yang paling berharga. Sekarang kepercayaan lama itu telah hilang samasekali di antara orang kulit putih, tetapi di antara penduduk asli Kepulauan Hindia-Belanda, batu itu masih punya nilai tertentu, dan bila ada permintaan besar harganya bisa mencapai $80 di Batavia dan Singapura.
Para petualang itu sangat beruntung dalam kesempatan itu. Kadang-kadang seorang pemburu dapat membunuh tiga bahkan lebih buhi tanpa mendapatkan satupun batu guliga, begitu pen?duduk asli menyebutnya. Kini mereka membunuh 12 ekor kera dan mendapatkan delapan butir batu guliga, yang meskipun tidak sama besar nilainya dapat mencapai $60 sebutir. Harimau Bukit dengan tersenyum mengumpulkannya, menaruhnya dalam sepotong bumbung dan menyerahkannya sebagai hadiah bagi penyelamat nyawanya dan sebagai pernyataan penghargaan kepada calon suami adik perempuannya.
"Itu seperti meminyaki roda!" sindir La Cueille bersungut. "Jika tiap tembakan dapat menghasilkan jumlah sebesar itu, sungguh mati, aku akan membidik dengan cermat dan tiap buhi yang kulihat bakal menjadi milikku."
"Itu akan susah sekali," jawab Yohanes, "spesis kera ini jumlahnya sedikit. Kadang-kadang sulit sekali melihat seekorpun. Sekarang, karena suara tembakan telah dilepaskan ke arah mereka, aku berani bertaruh kamu harus menunggu berbulan-bulan untuk melihatnya
lagi." "Aku punya banyak batu guliga di Sungai Miri," Harimau Bukit meyakinkan Yohanes. "Setiba kita di sana aku akan menukarnya dengan meriam-meriam yang kalian rebut dari kota Jangkan. Saya ingin memasangnya di kota saya."
"Kita akan bicarakan itu bila sudah sampai di sana, Amai," jawab
Yohanes. "Barangkali sebagai tambahan meriam, kita juga akan me?nukarkan senapan."
"Aku mulai yakin," sela si Walloon, "bahwa kita bakal sampai ke rumah tanpa tangan kosong."
"Barangkali, tapi sebelum itu semua terwujud, mari kita cari jalan pulang. Aku dapat meyakinkanmu bahwa kita masih sangat jauh ke arah itu."
Si Walloon menghela napas dalam-dalam.
Selama percakapan berlangsung, para perempuan sibuk me?nyiapkan makanan. Di semua penjuru api-api kecil menyala dan uda?ra pun dipenuhi aroma makanan, dan semua bergegas ingin mengisi perut mereka yang keroncongan. Akhirnya seluruh rombongan, yang dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, duduk atau rebahan di atas tikar-tikar yang di atasnya dihidangkan makanan. Di situ terdapat setumpuk nasi, dimasak hampir seputih salju dan kering. Sejumlah besar piring dan daun-daun diletakkan di dekatnya, diisi dengan berbagai makanan lezat. Daging rusa jantan yang ditembak oleh Schlickeisen pagi tadi tampak sudah berubah menjadi beragam jenis masakan dan seluruhnya dinikmati oleh rombongan. Di atas tikar yang diduduki oleh orang-orang Eropa terdapat satu panci kuningan dengan tutup dari kayu. Awalnya panci itu luput dari perhatian mereka, namun karena nafsu makan mereka sudah terpenuhi, rasa penasaran mereka mulai tergelitik.
"Apa gerangan isinya?" La Cueille bertanya.
"Hanya sop," Yohanes menjawab. "Mereka mendengar bahwa di Banjarmasin sop itu dimakan dan para perempuan telah memasaknya sebagai kejutan untuk kita."
"Sop?" Schlickeisen bertanya. "Wah, seharusnya kamu ceritakan kepada kita tadi, ketika kita mulai makan sepiring penuh. Tapi tak apa, itu kita terima saja sekarang," dan sambil menarik panci itu ke arah dia, Schlickeisen mengangkat tutupnya dan dengan tamak ia mencium aroma sedap masakan itu. Ia masukkan sendok ke dalam panci, dan pada saat ia akan menuangkan isinya ke dalam tempurung kelapa, ia menjatuhkan sendok, mengambil garpu kayu, dan dengan alat itu ia menyendoknya ke atas sesuatu yang ketika terlihat menyebabkan semua, kecuali Yohanes, mundur dengan rasa jijik. Tertancap di antara jari-jari garpu sesuatu seperti kepala anak kecil, yang ketika dikeluarkan lagi terlihat dua lengan dengan tangantangan yang masih berbentuk sempurna. Tercengang dan diserang rasa ngeri, Wienersdorf dan si Walloon terpaku menatap Schlickeisen yang hampir pingsan, bergeming dengan garpu di tangan.
"Ada apa lagi?" Yohanes bertanya.
"Apa kamu tidak lihat?" jawab La Cueille gelagapan.
"Apa" Sop ini" Tentu saja aku lihat, dan baunya sangat sedap."
"Mereka bermaksud menjadikan kita kanibal, kan!" seru si Walloon. "Tidak! Takkan pernah!"
"Kanibal?" Yohanes bertanya tanpa rasa bersalah. "Jangan mem?permainkan aku." Seraya mendorong Schlickeisen ke samping, Yoha?nes mengisi mangkoknya dengan sop yang sangat beraroma, menyen?dok dan mengosongkan isi mangkok.
"Ahhh!" kata Yohanes berhenti untuk bernapas. "Nikmat!"
"Tega benar kamu!" tegur Wienersdorf. "Apa manusia menjadi begitu liar di negeri ini?"
"Tega bagaimana?" Yohanes bertanya heran.
"Menelan sop manusia itu!"
"Sop manusia?" "Ya, sop manusia; apa kamu tidak lihat bayi yang diangkat oleh Schlickeisen?"
Yohanes berhasil; orang-orang Eropa yang goblok itu dengan mudah diperdaya. Tawanya meledak.
"Ha, ha, ha, sop manusia! Kalian tidak bakal pernah merasakan kenikmatan seperti itu di Eropa, bahkan di restoran terbaik di Paris sekalipun. Hebat!" ia terbahak-bahak. "Aku bisa mati ketawa."
Dan dengan merenggut garpu dari tangan Schlickeisen, Yohanes mengeluarkan seluruh isi daging dari dalam panci sambil menunjukkan selain yang sudah dilihat, dua kaki panjang dan satu ekor yang panjangnya satu yard.
"Seekor kera!" La Cueille tergagap.
"Salah seekor buhi yang terbunuh tadi. Para perempuan diam- diam telah menguliti binatang itu di dalam air mendidih dan mem?buang bulu-bulunya, dan kemudian dimasak menjadi sop yang enak."
Si Walloon dan kedua orang Swisss itu masih ragu, tetapi Yohanes mencoba menenangkan mereka dengan menjelaskan bahwa kera adalah binatang yang paling bersih dan elok dari semua binatang. Semua makanannya dari tumbuh-tumbuhan.
"Sekarang coba bandingkan dengan babi atau unggas," lanjutnya, "yang semuanya begitu kalian nilai tinggi. Aku tidak melihat alasan untuk tidak makan kera."
"Tapi kemiripannya itu, lo! Sepertinya menyantap saudara kan?dungmu sendiri."
"Terimakasih!" Yohanes melanjutkan sambil tersenyum, "itulah argumentasi yang diabaikan oleh Darwin ketika berusaha agar teori?nya yang terkenal itu diterima. Maksudku, orang ngeri memakan daging kera karena berkesan sedang menyantap daging saudara kan?dungnya sendiri. Aku senang mengatakan bahwa kami orang-orang Dayak tidak menganggap hina menjadikan kera sebagai makanan, meskipun kami tidak mengenal rasa daging manusia."
Tetapi, biarpun bicara sampai kiamat, Yohanes tidak dapat mengubah sikap teman-temannya. Sop itu tetap tidak disentuh oleh orang-orang Eropa itu. Namun dia menikmati gurauannya itu dan melanjutkan dengan salah satu kaki kera, yang dimakannya dengan sangat puas.
Makan selesai peijalanan pun dilanjutkan. Sejak keberangkatan mereka dari kota Jangkan, negeri itu menjadi semakin tidak datar dan mereka telah mendekati suatu rangkaian bukit, di antaranya tempat Sungai Kapuas mencari jalan. Kini mereka melihat gunung- gemunung menjulang di utara dan baratlaut, yang puncak-puncaknya terlihat dari kejauhan. Yohanes menunjukkan kepada teman- temannya bahwa mereka harus menembus gunung-gemunung itu untuk mencapai Laut Cina. Tetapi ia menambahkan: "Kita baru mulai melihat lereng-lerengnya bagian selatan saja. Hanya Tuhan yang tahu kapan kita bisa menuruni sisi lainnya."
Mereka mendayung dengan seluruh tenaga sampai sekitar jam tiga sore ketika Amai Kotong memberi tanda untuk berhenti. Kini mereka tiba di seberang muara Sungai Samuhing, yang mereka masuki setelah berdiskusi singkat. Yohanes bertanya kepada Harimau Bukit alasan untuk berhenti, karena mereka masih punya waktu tiga jam penuh, dan dengan tiga jam itu mereka kiranya sudah tiba di Tumbang Rungoi.
Tanpa menjawab, orang Punan itu menunjuk ke arah langit di utara yang dengan cepat berubah jadi gelap, tanda hujan akan turun disertai badai, petir, dan guruh. Dalim memberitahu orang-orang Eropa itu bahwa soho, atau banjir bandang menurut sebutan orang Melayu, kadang-kadang sangat berbahaya, karena air tiba-tiba naik dan mengalir dengan deras tanpa dapat ditahan. Rangkan yang terperangkap dalam soho akan hanyut dan menghadapi bahaya tenggelam dalam pusaran air, atau terbentur karang-karang kiham. Segera setelah memasuki muara Sungai Samuhing, mereka mendarat dan menarik rangkan-rangkan sejauh mungkin ke daratan agar berada di luar jangkauan banjir. Mereka masih sibuk melakukan pekeijaan ini ketika suara gemuruh di kejauhan terdengar semakin lama semakin dekat. Orang-orang Eropa sangat yakin bahwa itu adalah suara guruh, keyakinan yang diperkuat dengan semakin gelapnya langit dan mulai jatuhnya butir-butir hujan yang besar. Tetapi Dalim menggamit para desertir itu dan bersama-sama mereka mendaki bukit yang memisahkan Sungai Kapuas dengan Sungai Samuhing. Di situ mereka melihat pemandangan sungai yang luarbiasa secara menyeluruh. Ketenangan merajai di mana-mana; tidak ada selembar daunpun bergerak, tidak satu helai rumputpun bergoyang, tidak seekor burungpun berkicau, juga tidak seekor ngengatpun terbang. Awan seolah ditekan ke bumi kuat-kuat sehingga menimbulkan hawa panas yang tidak nyaman, suatu perasaan depresi hingga seluruh jagat seolah-olah tampak tegang. Tidak ada suara yang terdengar kecuali suara gemuruh dari kejauhan, yang semakin lama semakin dekat.
"Lihat! Lihat!" teriak Schlickeisen, seraya menunjuk bagian atas sungai dengan keheranan bercampur cemas. Dari tempat itu suara gemuruh bergerak maju beserta dinding air setinggi 12 sampai 15 kaki, seolah hendak menggulung segala sesuatu"bukit, hutan, dan para pengembara. Sambil menyapu dan menggulung semua yang menghalanginya, banjir itu bergerak cepat, berbuih, dan menggelegak seperti dilepaskan dari perut gunung berapi. Akibat air yang tidak dapat dibendung ini, karang-karang mengerang seperti direnggut dari dasarnya; pohon-pohon tercerabut dan dibawa hanyut; massa batu-batu besar di tepi-tepi sungai dilepaskan dari pelukan tanah dan jatuh ke sungai, mengambang sesaat oleh kekuatan air yang luarbiasa dan cepat.
Dinding air itu hanya tampak sesaat. Ketika melewati para pengembara, dinding air itu sudah tinggal bayangan, tetapi per?mukaan sungai telah naik sampai kira-kira 15 kaki dan terus saja naik, sehingga di tempat yang beberapa waktu sebelumnya air sungai yang jernih mengalir di atas pasir dan kerikil putih, kini tidak
satupun yang tersisa kecuali massa air keruh kuning yang menderu dan menggelegak.
Orang-orang Eropa menyaksikan fenomena ini dengan terpana, tetapi sebelum air yang bergerak cepat itu lenyap seluruhnya dari pandangan, perhatian mereka dialihkan oleh badai yang tiba-tiba menyembur dengan segala kebesarannya.
Mula-mula muncul kilasan kilat menyilaukan, yang dengan cepat disusul dengan gelegar guntur yang menjadi awal ledakan-ledakan petir yang sambung-menyambung dari segala penjuru cakrawala. Pada waktu yang sama angin berembus kencang, mencabut pohon-po?hon dan menimbulkan kerusakan di berbagai tempat. Suara gemuruh arus sungai yang deras, ledakan petir, derak cabang-cabang yang patah, debum pohon-pohon tumbang, deru angin, keciak burung- burung yang ketakutan, dan jerit ketakutan kera-kera, semua bersatu membentuk harmoni yang padu, yang dalam waktu sekejap membuat hati merasa ngeri sekaligus kagum pada alam.
Awan pun bertambah gulita dan jenuh, kemudian jatuh ke bumi seakan-akan tidak sanggup lagi menahan beban yang harus ditang?gungnya. Hujan turun lebat disertai angin kencang, membentuk tabir berombak-ombak yang menghalangi pandangan sepanjang cakrawala dan menyembunyikan benda-benda yang terjangkau tangan. Aliran air yang deras dari berbagai arah mengarah ke lereng-lereng daerah itu, dan akhirnya tercurah ke dalam sungai.
Dalim dan orang-orang Eropa dengan cepat turun dari bukit untuk bergabung dengan kawan-kawan mereka. Tiba di bawah, mereka lihat segala sesuatu dan semua orang dalam keadaan berantakan karena air naik begitu besar dan cepat, yang memaksa mereka menarik rangkan-rangkan ke tempat yang lebih tinggi lagi. Orang-orang Eropa ikut bergabung dalam tugas itu; dan dengan empat pasang tangan mereka yang kukuh, rangkan-rangkan itu segera dapat diseret ke tempat yang jauh dari bahaya.
Topan terus melanda tanpa henti selama beberapa waktu, dan setelah itu perlahan-lahan menghilang di arah baratdaya; kilatan cahaya meredup; petir perlahan-lahan berkurang jumlah maupun jarak antara kilat. Angin kencang lambat-laun juga mereda, hujan berkurang dan menjadi gerimis kecil, dan awan-awan mulai terpencar. Tampak langit biru sekali, disepuh matahari yang terbit, seolah menyatakan alam telah selesai dengan pertempurannya.
Hanya sungai saja yang masih tetap riuh dan ganas, tetapi sebelum matahari lenyap sepenuhnya di cakarawala barat, air surut. Ketika hari mulai malam, keempat pengembara itu yakin bahwa banjir telah surut, dan dijaga oleh para pengawal mereka semua istirahat dengan penuh kepercayaan.
Esok paginya seluruh anggota rombongan telah siap tepat waktu untuk melanjutkan perjalanan, dan mereka segera berada dalam perjalanan lagi. Mengitari kelokan pertama sungai, mereka melihat perbentengan kota Samuhing, dari mana suara teriakan peringatan dan pukulan gong yang keras terdengar segera setelah penduduk melihat armada rangkan mendekat. Yohanes mengibarkan ben?dera Belanda, sementara Amai Kotong mengirimkan pesan-pesan pernyataan hormat. Ketika orang-orang Samuhing mendengar suara kepala suku tua itu, kepanikan mereka mereda, teriakan kekhawatiran berhenti. Ketika kakinya menginjak daratan, Amai Kotong mende?ngar laporan kekalahan terakhir di negeri Sungai Kapuas oleh orang-orang Dusun pimpinan Temenggung Surapati.
Kepala suku Dayak terkemuka itu kini sedang melancarkan perang terhadap penduduk Sungai Sirat. Ia sendiri belum muncul di sekitar kota Samuhing, tetapi berita yang menakutkan tentang rencana tokoh bereputasi buruk ini untuk menghancurkan penduduk Sungai Kapuas dengan api dan pedang begitu menghantui. Dewan perang pun dibentuk, terdiri atas Amai Kotong, Harimau Bukit, Dalim, orang-orang Eropa, dan kepala kota Samuhing, Amai Pari. Mereka berkumpul di tomoi untuk mengatur tindakan-tindakan yang diperlukan.
"Anda harus kembali ke tempat awal kalian datang," kata Amai Pari.
"Ya," jawab Amai Kotong, "ke kota Jangkan."
"Menurut perkiraan Anda, berapa kekuatan orang Dusun itu?" Yohanes bertanya.
"Saya dengar sekitar 120 orang."
"Apa mereka punya senjata-api?"
"Hanya beberapa senjata-api, barangkali enam atau tujuh pucuk; tapi mereka punya empat meriam untuk membom kota."
"Berapa banyak orang kita?"
"Dihitung semua," kata Amai Kotong, "kita dapat menghimpun 84 orang yang sanggup memanggul senjata."
"Dan berapa banyak senapan kita?"
"Saya kira sekitar 46 pucuk."
"Dan," kata Yohanes dengan sangat marah, "Anda menyarankan kami kembali ke kota Jangkan untuk ditangkap Belanda" Apakah Anda menginginkan Harimau Bukit dirantai" Menyaksikan dia dihu?kum keija paksa sebagai seorang maniak pengayau" Katakan, Amai, apakah yang berdegup di dalam dada kita ini jantung perempuan tua atau jantan" Tidak, demi Mahatara dan semua Sangiangnya! Tak selangkahpun mundur. Dengan 46 senapan di tangan orang-orang seperti kita, kita dapat melintasi pulau ini dari ujung ke ujung. Saya pribadi ingin bertemu dengan Surapati ini apakah dia berani mela?wan kita."
Yohanes berdiri dengan gagah-berani seperti patung perunggu yang terhina. Harimau tergerak mendengar kata-kata yang berkobar- kobar ini, menghunus mandaunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menggenggam lengan Yohanes.
"Tidak!" teriaknya, "tak selangkahpun mundur. Sebaliknya, maju menghadapi para pengecut Dusun itu." Semangat Harimau tampaknya menular, sehingga Amai Kotong dan Amai Pari, juga seluruh yang hadir di situ, berteriak bersama: "Maju!"
Sejam setelah sarapan, armada itu kembali bergerak. Mereka terus bergerak, dan tidak ada kejadian yang menghalangi gerak mereka atau menimbulkan kecurigaan. Mereka tidak menemukan satu jukungpun di sungai, juga tidak satu manusiapun di pinggir sungai yang dapat dimintai keterangan. Tampaknya bagian sungai itu telah ditinggalkan oleh penduduk.
Pada jam empat sore, ketika armada yang kini diperkuat orang- orang Samuhing itu tiba di muara Sungai Sirat, tidak satupun keja?dian yang mencurigakan tampak. Beberapa orang Punan meloncat ke darat untuk melakukan pengintaian di daerah sekitar, karena mereka bermaksud bermalam di situ, tetapi mereka segera kembali dengan laporan bahwa di tepi utara sungai, sekitar 200 langkah dari tepian, satu jejak telah ditemukan pada rumput-rumput yang tinggi, menunjukkan bahwa sejumlah besar orang baru saja lewat. Harimau
Bukit dan Dalim, sebagai pengintai hutan yang piawai, segera meneliti jejak itu, sedangkan Yohanes, Schlickeisen, dan Wienersdorf dan beberapa orang Dayak menemani mereka sebagai pengawal, bersenjatakan senapan.
Para pengintai segera kembali; yakin bahwa jejak itu belum lama ditinggalkan oleh satu kelompok besar yang bergerak dari barat ke timur. Itu terlihat dari jejak-jejak kaki yang tampak di beberapa tempat yang berumput. Mereka mengikuti jejak itu sekitar seribu yard, sampai di daerah Sungai Kapuas dan membelok ke arah utara. Di tanah yang berpasir, jejak itu semakin jelas menunjukkan adanya sejumlah besar orang pada jarak yang tidakbegitu jauh. Harimau Bukit juga mengatakan bahwa ia mendengar suara manusia datang dari arah itu. Maka sikap hati-hati sangat diperlukan. Karena itu mereka memutuskan untuk menyembunyikan rangkan-rangkan di belakang kelokan tajam tepian sungai di bagian selatan, sementara empat orang Dayak bersenjatakan senapan ditempatkan di balik beberapa pohon untuk mengamati bagian hulu sungai. Sebagian laki-laki beijaga-jaga, senapan di tangan, dan siap bertindak cepat dalam keadaan gawat. Di tempat di mana mereka menyembunyikan rangkan, beberapa pohon besar yang ada di sepanjang tepi sungai ditebang, ditambah semak- belukar. Semua ini akan menjadikan penghalang yang sulit dilewati tanpa menarik perhatian. Para petualang itu akan segera menyadari betapa pentingnya kehati-hatian ini.
Kira-kira tengah malam, salah seorang pengawal mengamati sesuatu yang sangat mirip dengan sebatang pohon mengambang di sungai. Ia pikir itu seekor buaya, dan karena itu ia bersiul lembut untuk menarik perhatian orang-orang di dalam rangkan, khawatir kalau-kalau binatang itu menyergap diam-diam salah seorang awak yang malang dan kemudian lenyap bersama korban ke dalam sungai yang gelap. Setelah memberikan peringatan dengan siulan, pengawal itu memerhatikan bahwa pohon atau buaya itu sedang bergerak ke arah tepi sungai dan diikuti oleh sekitar 50 benda yang sama. Gerak- gerik mereka itu tidak menyerupai gerakan buaya tanpa suara, dan jumlahnya bertentangan dengan kebiasaan binatang ini. Karena itu ia yakin ada sesuatu yang tidak beres. Ia menembakkan senapan, dan teman-temannya yang mendengar peringatan itu juga melepaskan tembakan. Tembakan itu hampir tidak terdengar dalam ketenangan tengah malam ketika jeritan ganas terdengar dari arah penghalang.
Beberapa sosok manusia kini muncul mencoba menerobos pengha?lang itu, beberapa orang berhasil. Mujur, malam tidak begitu gelap, udara tenang, dan bintang-bintang bercahaya terang, sebagian menerangi tempat itu. Tidak dapat diamati apa yang sedang terjadi di belakang penghalang, tetapi semua sosok yang memanjat penghalang itu menjadi tampak jelas dengan latarbelakang yang samar-samar sehingga terbuka bagi peluru-peluru yang ditembakkan dengan tepat oleh keempat orang Eropa itu. Orang-orang Dayak yang dipercaya memegang senapan, karena pengaruh kerabat mereka yang tidak sabaran, mulai melepaskan tembakan-tembakan yang memekakkan telinga. Orang-orang Eropa lebih selektif, hanya menembak tiap kali melihat bayangan gelap yang menuju sungai dan jarang sekali tembakan mereka meleset dari sasaran. Kedua orang Swiss tidak ambil bagian menembak, tetapi dengan hati-hati mereka menghemat peluru untuk menghadapi bahaya yang mendadak. Kehatian-hatian mereka tidak sia-sia, karena sejumlah besar penyerang berhasil me?rayapi penghalang, dan dengan mandau di tangan mereka bergerak ke arah sungai dengan cepat, merangsak ke dalam rangkan-rangkan. Para perempuan mulai menjerit dan ketakutan setengah-mati, tetapi kedua orang Swiss kini sudah bergabung dalam pertempuran itu, dan dengan tenang melepaskan tembakan yang jitu sehingga beberapa penyerang tewas. Senapan mereka berbunyi teratur, mengeksekusi semua orang Dusun yang mendekati sungai dengan tepat. Tetapi beberapa orang di antara mereka berhasil lolos dari tembakan, terjun ke dalam sungai dan menggapai rangkan-rangkan yang dengan susah-payah coba mereka tenggelamkan. Kini tiba giliran orang- orang Dayak; mandau-mandau mereka memenggal beberapa kepala dan memotong beberapa tangan serta melemparkan beberapa jemari yang terpotong ke pangkuan para perempuan. Ada yang menjerit, ada yang merintih, ada yang berjuang mati-matian, dan semua pekerjaan pun usai. Para penyerbu itu dilemparkan ke sungai, dan mereka yang mati atau terluka menjadi mangsa buaya-buaya.
Sekarang semua kembali senyap di sepanjang sungai, begitu senyapnya sampai-sampai tidak seorangpun percaya bahwa beberapa waktu yang lalu suatu perjuangan hidup-mati telah berlangsung di tempat itu. Orang-orang Swiss dengan cepat mengisi kembali Reming- ton mereka dan siap menghadapi saat-saat darurat lebih lanjut.
Empat suara tembakan senapan tiba-tiba terdengar, diikuti
dengan suara-suara teriakan menyeramkan. Tembakan itu berasal dari empat penjaga pos yang masih mengintai di balik pohon-pohon dan kini sedang diserang. Para petualang itu dengan jelas dapat meli?hat sosok-sosok sedang memanjat pohon-pohon itu sehingga dapat membahayakan nyawa para penjaga, karena kepala mereka sedang diincar oleh para penyerang. Melihat ini Harimau Bukit bersama orang-orang Punannya menyeberangi sungai dengan diam-diam, dan ketika mereka sampai ke tepi, orang-orang Eropa menembak ke arah pohon-pohon itu, membidik mereka yang paling atas. Ini menyebabkan mereka lepas dari tempat mereka bertengger dan jatuh menimpa orang di bawahnya. Orang-orang Punan kini beraksi.
Dengan jeritan keras orang-orang Punan menyerbu musuh yang ketakutan sambil menebaskan mandau dengan bersemangat dan ti?dak mengenal ampun. Pekik parau putusasa, ngeri, marah, dan ke?cewa terdengar selama berlangsung pertempuran dengan senjata ta?jam ini. Setelah beberapa waktu berlalu, orang-orang Punan kembali ke rangkan-rangkan mereka, masing-masing membawa paling sedikit satu kepala manusia di tangan, sedangkan yang lain dua atau tiga. Teriakan "hura" yang keluar dari kerongkongan semua orang Dayak, baik perempuan maupun laki-laki, menyambut para penakluk. Tetapi tidak lama setelah ucapan selamat ini diberikan, suara jeritan baru tanda bahaya terdengar, dan para penjaga menunjuk ke arah sungai, ke arah asal bahaya itu kini datang mengancam. Empat rangkan penuh orang menghilir sungai, menuju ke rangkan-rangkan para pengembara. Mereka disambut oleh orang-orang Dayak dengan tembakan-tembakan senapan yang dibidik jitu, dan orang-orang Eropa ikut ambil bagian. Meskipun orang-orang Dusun itu gagah- berani, hujan peluru itu agaknya tidak bisa dibendung. Mereka meli?hat banyak yang mati dan terluka, dan mereka pun mencoba mundur. Segera setelah mereka mengundurkan diri, dan ternyata dihalangi air pasang yang deras, Yohanes mengumpulkan semua orang yang bersenjata dan menembak para penyerang. Tiga orang Eropa lainnya dengan tenang membidik, menembak dengan perhitungan cermat, dan tembakan mereka yang trampil menimbulkan kematian dan kerusakan pada rangkan-rangkan musuh. Tiga rangkan berhasil melarikan diri dengan selamat, tetapi yang keempat tampaknya sulit melawan arus. Walaupun bekerja keras dalam keadaan putusasa, rangkan itu tidak beranjak, hanya bergerak maju-mundur saja. Satu
demi satu pendayungnya ditembak mati, dan ketika kesempatan satu-satunya bagi mereka hanyalah melarikan diri, yang masih hidup terjun ke sungai untuk menyelamatkan diri, meninggalkan rangkan yang hanyut diseret air pasang yang deras. Melihat pemandangan ini orang-orang Punan tidak dapat menahan diri. Dalam sekejap mereka naik ke rangkan musuh, memenggal semua kepala yang sudah mati dan terluka yang ditemukan di dalamnya. Mayat-mayat itu kemudian dibuang ke air dan rangkan yang berhasil direbut ditambatkan ke tepi sungai sebagai tambahan bagi armada mereka.
Duapuluh delapan kepala berhasil dipenggal, dan sebagian besar laki-laki segera sibuk menguliti kepala-kepala itu. Pemandangan itu sangat mengerikan bagi orang-orang Eropa; sejenak mereka terkesima oleh pemandangan itu, tetapi kemudian mereka bergegas meninggalkan adegan yang mengerikan itu.
Malam berlalu tanpa gangguan, dan ketika fajar merekah seba?gian orang Dayak dan Punan pergi ke darat, memenggal musuh- musuh yang ditemukan mati atau terluka di dekat penghalang dan membuang mayatnya ke dalam sungai. Jumlah tengkorak yang kini dikumpulkan bertambah menjadi 39 butir. Setelah mengintai kedua tepi sungai, mereka menyimpulkan bahwa mereka telah diserang oleh dua kelompok musuh yang berbeda, salah satunya adalah kelom?pok yang jejak kakinya ditemukan beberapa hari sebelumnya. Jika kedua kelompok itu menyerang dalam waktu bersamaan, akibatnya lebih fatal.
Karena itulah penjagaan diperketat. Mereka telah berhadapan dengan musuh, dan kendati tidak mengalami kerugian, pengalaman itu mengajarkan bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang berani dan tangguh. Maka Yohanes pun mengatur agar rangkan yang memuat dirinya dan teman-temannya punya pengawal depan; orang- orang Eropa itu tidak lagi ambil bagian mendayung, tetapi bersama Dalim dan Amai Kotong mereka mengawasi dengan seksama agar sewaktu-waktu diperlukan siap melepaskan tembakan mereka yang jitu. Harimau Bukit dan orang-orang Punannya menjadi pengawal belakang dengan menambahkan beberapa orang lagi yang memanggul senapan. Mereka akan melepaskan tembakan peringatan jika diper?lukan. Tindakan berhati-hati ini segera menunjukkan hasilnya.
Jam sembilan pagi. Mereka telah mengayuh tanpa mengenal lelah, dan sampai saat itu mereka tidak melihat tanda-tanda adanya
musuh. Sekonyong-konyong Dalim mengeluarkan jeritan lemah dan menunjukkan ada seseorang bersembunyi di balik sebatang pohon sedang sibuk memotong tali rotan dengan mandaunya.
"Parabah!" Dalim berteriak ketakutan.
"Dayung cepat!" perintah Amai Kotong sebagai peringatan kepada rangkan-rangkan yang mengikutinya.
Orang yang ada di tepi sungai itu telah memotong seutas tali rotan. Ia kemudian mengamati rangkan-rangkan dengan cermat, dan ketika melihat rangkan-rangkan itu sudah cukup dekat, ia meng?angkat tangannya untuk memotong tali rotan kedua. Tetapi untuk melakukan itu ia harus menampakkan dirinya; bayangan tubuhnya hanya tampak sekilas, tetapi cukup lama bagi kedua orang Swiss itu untuk melepaskan tembakan dengan tepat. Tertembus dua peluru di bagian yang hampir sama, orang Dusun itu terjengkang dan roboh mati. Salah seorang temannya muncul dari balik pohon untuk menyelesaikan pekerjaan, tetapi belum lagi maju dua langkah ia mengalami nasib serupa. Hal yang sama terjadi dengan orang ketiga dan keempat. Orang kelima merangkak di tanah, dan karena itu lepas dari pengawasan para penembak. Ia menuju ke tali rotan yang dililitkan tiga atau empat kali di pohon dengan ketinggian sekitar lima kaki dari tanah, dan untuk mencapai tali itu ia harus menegakkan badannya dengan dua lututnya. Ia sedang menggapai tali dengan tangan kirinya dan mengangkat tangan kanan untuk memotong tali rotan itu, yang terikat kencang, ketika dua tembakan dilepaskan lagi. Kedua tembakan itu menghantam kepalan tangan kiri orang Dusun itu, tetapi pada waktu yang bersamaan salah satu peluru hampir melepaskan tali pengikat.
"Dayung, selamatkan nyawa kalian!" teriak Amai Kotong dan Dalim bersamaan.
Rangkan-rangkan melesat ke depan, membuat air sungai berbuih. Untuk sesaat mereka hanya melihat puncak salah satu pohon raksasa itu meliuk-liuk. Pohon besar itu merunduk, kemudian tegak lagi, kemudian merunduk lagi dan tumbang dengan mengeluarkan suara keras seperti guntur, menutupi sungai dengan dahan-dahan dan daun- daunnya, membelah air sampai ke udara dengan semburan ganas, dan menyelimuti segala sesuatunya dengan cadar kabut. Untunglah rangkan-rangkan telah melewati tempat pohon itu tumbang; hanya dalam beberapa detik saja mereka telah selamat dari kehancuran.
Jika tertimpa raksasa yang tumbang itu, mereka bakal remuk dan nyawa mereka terhempas ke dalam kuburan air.
"Benar-benar nyaris!" seru La Cueille.
"Kamu boleh bilang demikian," Yohanes tersenyum puas. "Tapi lihat, kamu sekarang tahu orang-orang nekat macam apa bangsat- bangsat itu. Ini adalah salah satu taktik perang biasa di antara orang- orang Dayak. Di mana saja mereka menduga musuh berada di sungai, mereka siapkan untuk musuhnya senjata dengan memotong batang- batang kayu terbesar yang ditemukan di sepanjang sungai. Mereka kemudian menahannya dalam posisi semula dengan tali rotan, yang akan dilepaskan ketika musuh berada tepat di atasnya. Pohon itu lalu tumbang dan menghancurkan rangkan-rangkan yang sedang lewat atau menjadi penghalang yang tidak bisa ditembus oleh musuh lebih lanjut. Umumnya enam orang ditempatkan untuk mengawasi tali-tali itu, dan biasanya mereka bersembunyi. Begitu tali-tali itu dipotong, mereka akan lari secepat kilat dan mengamati hasilnya dari jauh.
"Aku mendengar Dalim berteriak parabah! Apa artinya?" Schlic- keisen bertanya.
"Itu istilah untuk mengelak pohon yang tumbang."
"Harus kuakui itu merupakan taktik yang cerdik!" La Cueille me?nambahkan. "Jika kebetulan pohon semacam itu menimpa kepalamu, tak sangsi lagi kamu tak memerlukan topi baru. Tapi bagaimanapun juga kita harus tetap awas dan berhati-hati."
"Itu harus," jawab Yohanes, "tapi kita harus putuskan untuk me?ngirim belasan orang menyusuri semua tepi sungai yang akan kita lalui dengan perintah tetap berada pada jarak kira-kira 20 yard di depan kita dan memeriksa semua pohon. Ini akan membuat kecelakaan tidak terjadi, dan pada waktu yang sama, sebaliknya, pohon-pohon itu berguna bagi kita."
"Berguna bagaimana?"
"Pertama-tama, orang-orang kita akan mengusir atau menembak para pengintai yang bersembunyi. Kemudian mereka akan memeriksa semua pohon yang ditebang setengah, yang tidak sulit ditemukan jika kamu di darat; kemudian, menunggu sampai semua rangkan selamat melewati tempat itu, tali-tali rotan lalu dipotong dan membiarkan pohon tumbang. Dengan demikian kita terlindung dari belakang, baik dari orang-orang Dusun yang mungkin meminta bala bantuan di sepanjang sungai maupun terhadap Belanda jika mereka mengejar
jejak kita. Tidak sulit melaksanakan rencana ini, karena biasanya hanya sedikit orang yang ditempatkan untuk menjaga parabah dan mereka dapat segera diusir dengan tembakan-tembakan kita."
Kini mereka meneruskan perjalanan dengan hati-hati tetapi cepat. Dua pohon yang akan tumbang ditemukan, dan seperti diduga oleh Yohanes, beberapa tembakan sudah cukup untuk mengusir pergi para penjaga, dan penghalang ketiga yang ditumbangkan melintangi sungai sehingga menghalangi semua akses dari distrik-distrik hilir.
Tidak lama sesudah tengah hari, mereka melihat dari kejauhan kota Hamiak, tempat berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan sedang terjadi. Pertempuran sengit tengah berlangsung pada waktu itu. Penduduknya dalam keadaan terkepung. Mereka tampak sedang mengintai dari puncak palisade-palisade, yang seperti di semua negeri tanah Dayak dimahkotai dengan tengkorak manusia, dan melemparkan segala sesuatu yang ada ke arah kepala penyerang yang sedang mencoba melewati penghalang di berbagai sudut. Pada jarak yang tidak terlalu jauh, para pengepung menggunakan dua pucuk meriam kecil, yang dipasang di belakang suatu kubu pertahanan dari ranting-ranting, tetapi peluru-peluru mereka sedikit atau samasekali tidak berdampak pada palisade-palisade kayu besi yang kuat. Tampaknya artileri itu lebih dimaksudkan untuk mena?kut-nakuti penduduk dan mengusir mereka dari benteng pertahanan ketimbang membuat kerusakan material. Orang-orang Dusun juga mengumpulkan sejumlah besar kayu kering, menumpuknya pada palisade dan membakarnya. Api membara dalam waktu yang cukup lama, tetapi dinding tidak begitu rusak meskipun sudah tampak segera membahayakan mereka yang terkepung.
Para petualang tiba di suatu tepi kelokan tajam sungai yang terjal. Karena itu mereka tidak terlihat, dan dari semak-semak rimbun yang tumbuh di sepanjang tepi sungai mereka dapat mengamati gerak musuh. Setelah mempelajari posisi beberapa saat, Yohanes memberi isyarat kepada Harimau Bukit untuk mendekat seraya menunjuk ke arah semak-semak yang tumbuh rimbun di kejauhan, yang dekat sekali dengan bagian belakang para penyerang, dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Kepala Suku Punan itu menyeringai, mengumpulkan anakbuahnya, mendarat dengan mereka, dan kemudian menghilang di balik dedaunan yang menutupi tepi sungai. Yohanes kemudian mengumpulkan teman-temannya, memilih 30
orang Dayak bersenjata-api, termasuk Dalim, dan langsung bergerak ke arah orang-orang Dusun. Sementara itu serangan dari samping yang berpusat pada kelompok Kepala Suku Punan gencar dilakukan sehingga para pengepung kebingungan, dan gerombolan itu pun melarikan diri. Dalam waktu yang teramat singkat prajurit yang mengepung kota Hamiak diusir dan menghilang ke dalam hutan.
Ketika prajurit Dusun menghilang, para pejuang-petualang itu segera bersahabat dengan penduduk kota. Rangkan-rangkan dibawa ke depan kota dan para perempuan serta anak-anak diizinkan naik ke darat. Drama kuno yang mengerikan mulai dimainkan lagi. Orang- orang kota, begitu juga orang-orang Dayak yang turun dari rangkan serta orang-orang Punan-nya Harimau Bukit sibuk memenggal ke?pala musuh yang kalah, baik yang mati maupun yang terluka. Nyawa mereka yang tidak menderita luka berat selamat untuk sementara waktu; tetapi nasib yang lebih mengerikan sedang menanti mereka.
Sambil membuang mayat-mayat musuh dengan cukup melem?parkannya ke dalam sungai, diketahui bahwa lima orang Punan dan enam orang Dayak anggota rombongan telah tewas, sementara orang-orang dari Sungai Sirat kehilangan empat orang. Tetapi yang amat membuat mereka sedih adalah tewasnya Amai Mawong, kepala kota Hamiak. Ia adalah musuh pribadi Temenggung Surapati, dan serangan yang baru saja dipukul mundur itu merupakan akibat kebencian Temenggung Surapati terhadap Amai Mawong yang tak pernah padam.
Mayat kepala suku yang dicintai itu dibawa masuk ke dalam kota dan dibaringkan untuk diperlihatkan sampai pemakaman dapat dilangsungkan dengan upacara. Orang-orang Punan dan orang-orang Dayak dari kota Jangkan membuat persiapan-persiapan yang diper?lukan untuk membakar mayat kawan-kawan mereka esok harinya, suatu upacara yang dilakukan oleh beberapa suku bila waktu dan kesempatan tidak mengizinkan mereka meyelenggarakan upacara pemakaman biasa menurut adat. Delapan orang tawanan dibawa dan dimasukkan ke dalam kerangkeng-kerangkeng, dibelenggu dengan rantai besi sampai matahari muncul keesokan harinya untuk menyongsong nasib yang mengerikan.
Selama berlangsung pertempuran, Schlickeisen mendapat sabet?an tajam di lengan kirinya. Luka ini yang diperiksa oleh Wienersdorf sekarang. Wienersdorf melihat, meskipun luka Schlickeisen sangat
berat, sehingga dia banyak kehilangan darah, tetapi lukanya tidak dalam dan karena itu tidak berbahaya. Tapal diborehkan ke luka untuk mencegah peradangan. Selesai mengobati, Yohanes mengatur segala sesuatunya demi menjaga keamanan mereka di malam hari, dan semua tidur untuk istirahat.
Bab 16 KEESOKAN pagi semua penduduk kota, juga orang-orang Punan dan Kapuas, sibuk menyiapkan pembakaran mayat teman-teman mereka yang gugur yang tidak termasuk penduduk kota Hamiak. Satu sanggarang, atau tiang bendera yang penuh dengan ukiran, dipancangkan di tengah-tengah alun-alun benteng. Sebuah patung burung dari kayu dengan sayap-sayapnya yang membentang dipasang di puncak tiang, dan persis di bawahnya satu periuk tembikar yang dasarnya terpotong digantung. Di bawah periuk ini satu potongan kayu dipakukan pada sanggarang, panjangnya lima atau enam inci di tiap sisi, dan pada potongan kayu ini 11 tombak diikatkan, membentang seperti kipas. Semuanya mewakili 11 mayat, tidak termasuk Amai Mawong dan orang-orang Sungai Sirat, yang pemakamannya akan dilakukan kemudian. Orang-orang Dayak percaya bahwa roh-roh sanggarang, burung, periuk, tombak- tombak, ketika berada di alam roh berubah menjadi sejumlah besar perlengkapan yang dapat digunakan oleh yang mati.
Karena orang-orang yang mati itu gugur di tangan musuh, sebilah galah berbentuk segi tiga ditanamkan di sisi sanggarang, bertakhtakan salah satu tengkorak musuh mereka. Sisi-sisi galah ditakik miring sebagai penyangga tongkat-tongkat yang mencuat ke luar, tempat digantungkannya daun-daun palem yang dilipat aneh sebagai ornamen-ornamen.
Di depan tiang-tiang ini didirikan sapundu-sapundu, tonggak- tonggak kematian tempat para tawanan diikat, sementara di depan tonggak-tonggak ini segundukan besar tanah ditumpuk setinggi empat kaki, lebar delapan kaki, dan panjang 15 kaki. Setelah tanah itu seluruhnya dipadatkan, pamahei, onggokan kayu api pemakaman,
disusun di atasnya, dipasang berlapis antara kayu kering dan keranjang-keranjang kecil berisi damar.
Setelah semua persiapan selesai, penduduk kota berkumpul di sekeliling onggokan kayu bakar, dan mayat-mayat diatur di atasnya dengan mengenakan pakaian perang lengkap. Damar di lapisan paling dasar dinyalakan, dan asap tebal disusul nyala besar api pun membubung ke angkasa. Para tawanan perang dikeluarkan dari kerangkeng dan diikatkan ke sapundu-sapundu. Keadaan mereka menunjukkan kesengsaraan yang amat sangat. Rambut mereka yang kusut jatuh ke pundak-pundak mereka, dan ewah-ewah, yang merupakan satu-satunya pakaian, menggelantung koyak-moyak di pinggang mereka. Kendati demikian, wajah mereka tenang dan damai; tidak menantang, tetapi tidak juga putusasa. Segera setelah mereka diikatkan pada tonggak-tonggak, para bilian mulai mengucapkan mantra-mantra sebagai pertanda seluruh peserta siap memulai upacara yang merendahkan martabat manusia.
Beberapa laki-laki menempatkan diri di dekat onggokan kayu dan meniupkan sumpitan beripuh ke arah asap yang membubung untuk mengusir roh-roh jahat, tetapi sebagian besar mereka membuat lingkaran besar yang mengelilingi para korban yang malang. Jauh menjulang di atas pepohonan, sejumlah burung hering pemakan bangkai yang kelaparan telah berkumpul berkat dorongan naluri, mengetahui apa yang akan terjadi.
Amai Kotong kini melangkah ke depan; ia mengangkat tombaknya dan sedikit melukai tawanan pertama di bagian pundaknya. Ia diikuti oleh Harimau Bukit, orang-orang Punan, orang-orang Sungai Kapuas, dan orang-orang Sungai Sirat. Masing-masing menusuk sekali dan memberi kesempatan kepada yang lain secara bergiliran. Ketika semua mendapat giliran, upacara menusuk itu diulangi lagi dari awal sesuai urutan. Darah mengalir deras, dan setelah mengering menjadi gumpalan-gumpalan besar diganyang dengan lahap oleh burung- burung hering.
Siksaan mendalam yang dirasakan oleh martir itu tidak sampai mendatangkan jeritan sepatahpun, tetapi burung-burung yang turun menyantap darah korban membuat korban menderita sangat perih. Bahwa dia harus menyaksikan selagi hidup nasib yang menyongsong kematian adalah suatu kemartiran yang sangat mengerikan, amat tidak berperikemanusiaan, bahwa hanya imajinasi iblis saja yang sanggup
memahaminya. Nasib itu diikatkan cukup kuat pada sepotong kayu sula tanpa sanggup melawan kematian yang sudah pasti, walaupun si korban sepenuhnya memiliki daya hidup dan memegang erat- erat hidup yang indah kendati penuh cobaan dan kesengsaraan. Tiap tusukan tombak tidak dapat dielakkan, dan burung-burung hering yang meluncur ke bawah untuk menyantap darah segarnya yang menetes merupakan klimaks penderitaan yang menyayat hati si korban. Meskipun menunjukkan tanda-tanda kegalauan perasaan, ia menahan derita dengan pantang mengeluarkan suara demi menye?nangkan jiwa para penyiksanya. Akhirnya tiba akhir kemartirannya; mati karena kehabisan darah. Para penghukumnya pun menghen?tikan siksaan dan mengulangi tindakan yang sama terhadap korban- korban berikutnya, meninggalkan mayat korban pertama yang masih hangat tergolek terikat untuk selanjutnya menjadi kaku di kayu sula.
Kini datang burung-burung pemakan bangkai, dan adegan pun berulang, adegan yang sangat mengerikan untuk dilukiskan. Tujuh tubuh manusia lagi yang dikorbankan hari itu dengan siksaan dan kengerian yang sama.
Keempat orang Eropa, didorong keinginan kuat untuk melepas?kan diri dari adegan mengerikan itu, mula-mula mencari tempat mengungsi di satu sudut alun-alun yang jauh dari tempat eksekusi, tetapi angin membawa bau asap daging manusia yang menyesakkan ke arah mereka; mereka kemudian pindah ke sisi lain, tempat mereka mengalihkan perhatian dari kekejaman yang sedang berlangsung dengan membersihkan dan memperbaiki senapan mereka dan yang digunakan oleh orang-orang Dayak. Memprihatinkan sekali! Kekejaman yang tidak sanggup mereka cegah.
Yohanes dengan susah-payah berhasil memohon menyelamatkan nyawa salah seorang Dusun yang terluka, yang beruntung disetujui dan diserahkan kepada dia sebagai pelayan pribadi. Ia seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun, berpenampilan pendiam, tetapi menunjukkan keteguhan watak yang kuat. Ia hanya sedikit terluka di kulit kepalanya. Ia amat terkejut ketika melihat dirinya terikat sebagai tawanan perang. Ketika dibebaskan, mula-mula ia agak malu dan ketakutan. Ia tidak habis pikir bahwa seseorang berniat menolong dan menyelamatkan hidupnya semata-mata karena belas kasihan. Tetapi setelah keempat orang Eropa itu berbicara dengan dia dengan bersahabat dan memberikan semangat, dan ketika ia melihat
bagaimana mereka merawat lukanya dan membagi makanan mereka untuknya, sisa-sisa kekakuan yang dingin pun lumer, membuat dia penasaran dan komunikatif. Ia mengajukan beberapa pertanyaan, dan semuanya dijawab oleh Yohanes dengan jujur. Setelah mendapat kepercayaan penuh dari tawanan, mereka tahu dari pemuda itu bahwa Surapati dengan 1.200 prajurit telah berangkat dari Sungai Lahei, pertama untuk balas dendam terhadap Amai Mawong dan selanjutnya menjarah Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan dengan api dan pedang. Surapati meninggalkan putranya, Gusti Kornel, bersama 200 prajurit untuk menyerang kota Hamiak dengan perintah khusus menghancurkan benteng dan membawa untuk dia tengkorak Amai Mawong. Ia sendiri bersama bagian lain prajuritnya telah menuju Sungai Kahayan dengan sasaran pertama kota Upon, yang kepala sukunya Temenggung Tundan, salah seorang musuh besarnya. Tawanan itu lebih lanjut memberitahu Yohanes bahwa sejumlah prajurit Surapati dipersenjatai senapan, dan bahwa ia juga membawa tiga atau empat pucuk meriam yang direbut beberapa tahun sebelumnya dari Belanda.
Semua komunikasi penting ini tidak boleh diabaikan. Ketika malam telah turun dan sebagian besar penduduk laki-laki kota duduk bersama menguliti kepala para tawanan perang yang telah dipenggal, Yohanes menghadiahkan sebilah mandau kepada prajurit Dusun yang nyawanya diselamatkan itu, memberikan sekeranjang makanan, membawanya ke luar benteng, menunjukkan arah timur, menjabat tangannya dengan bersahabat, dan membebaskannya. Prajurit Dusun itu, yang tidak perlu diberi tahu dua kali bahwa ia merdeka, menarik tangan penyelamatnya dan meletakkan di kepalanya sendiri dan menunduk sebagai tanda hormat takzim tanpa kata. Lalu tanpa ragu- ragu ia bergegas menuju ke hutan lebat dan segera menghilang bagai hantu. Kini Yohanes kembali masuk ke dalam benteng dan segera memanggil Amai Kotong, Harimau Bukit, dan putra Amai Mawong untuk memberitahu apa yang telah dengarnya dan memikirkan rencana yang harus dilakukan sekarang. Laporannya menimbulkan kecemasan luarbiasa, karena rute yang diambil oleh para prajurit Dusun persis dengan jalan yang hendak ditempuh oleh Harimau Bukit sendiri. Karena itu mereka harus mengubah samasekali ren?cana semula.
"Jalan yang harus kita tempuh cukup jelas bagiku," kata Harimau Bukit. "Jika terus maju, kita akan bertemu dengan pasukan induk musuh-musuh kita atau salah satu anteknya. Kini kita terlalu lemah untuk berhadapan dengan mereka di medan perang."
"Apakah ada jalan keluar dari kesulitan ini?" Yohanes bertanya.
"Ya; mendahului orang-orang Dusun itu," jawab Harimau.
"Apa itu mungkin?"
"Ya; dengan segala kecepatan dan tenaga. Kalian tahu," lanjut orang Punan itu, seraya menunjuk ke arah barat, "Sungai Miri terletak di sana, tetapi kita harus pergi menuju arah itu," menunjuk barat- daya. "Kita harus menyusur Sungai Sirat sampai ke Sungai Mantarat, kemudian melayari sungai itu sampai ke kota yang menggunakan nama itu. Kita lalu mendarat, menarik rangkan-rangkan melalui da?rat sampai ke Sungai Minyangan, lalu kita berlayar menghilir sampai ke Sungai Kahayan."
"Rencana yang bagus," seru Yohanes. "Tapi pertama-tama berapa jarak dari Sungai Mantarat ke Sungai Minyangan?"
"Jika seorang mandi di sungai pertama, rambutnya belum kering ketika sampai di sungai kedua."
"Bagus, bagus," kata Yohanes tersenyum. "Saya tahu perhitungan waktu itu. Rambut panjangmu diikat dengan simpul yang kuat dan dilindungi tutup kepala supaya tidak kering cepat. Kita andaikan saja perlu lima atau enam jam. Bagaimana keadaan negeri yang harus kita lalui?"
" Sangat tidak rata dan terj al, tapi tidak sulit. Saya sering menj elaj ah berbagai penjuru. Begitu kita tiba di Bukit Riwut, perlahan-lahan kita akan turun."
"Tapi apakah kita akan tiba di Upon Batu sebelum Temenggung Surapati?"
"Tidak begitu yakin; mungkin saja jika kita berangkat lebih awal."
"Andaikata kita dapatkan Upon Batu telah dikepung?"
"Naughe, aku tidak peduli," jawab orang Punan itu enteng. "Aku akan menghimpun suku-suku di Sungai Kahayan Hulu dan kita akan lihat siapa yang menyebut dirinya raja."
"Jika begitu halnya, kita tak boleh kehilangan satu jampun," Yohanes memutuskan. "Besok pagi ketika terbit fajar kita sudah dalam perjalanan lagi."
Orang-orang Punan dan Kapuas selama berada di bawah penga?ruh orang-orang Eropa menjadi sangat tepat waktu.
Segera setelah fajar muncul di timur, kamp bersibuk diri, dan setengah jam kemudian rangkan-rangkan meninggalkan tepi sungai. Penduduk kota Hamiak, dengan airmata bercucuran, bersalaman de?ngan para musafir, para sahabat yang tiba tepat waktu untuk mem?bantu dan menyelamatkan mereka dari keadaan sangat terjepit.
Perjalanan ke muara Sungai Mantarat, yang mereka capai sekitar jam sepuluh siang, berlangsung tanpa kejadian berarti. Rangkan- rangkan menghulu sungai kecil itu dan tiba di kota tidak lama setelah tengah hari. Tidak ada satu beritapun tentang musuh.
Para petualang sibuk membuat enam kayu gelindingan yang akan digunakan untuk memindahkan rangkan-rangkan melewati bukit- bukit yang memisahkan Sungai Kapuas dengan Sungai Kahayan. Mereka kemudian memilih enam sampan yang paling kuat dan paling besar, sebagian muatannya diturunkan, menariknya ke darat dan menempatkannya di atas gelindingan. Setelah berhasil, muatan dinaikkan lagi, ditambah dengan sebanyak mungkin muatan dari sampan-sampan lainnya. Mereka juga menyiapkan rotan besar dan lain-lain akar rambat sebagai tali. Ketika semua persiapan ini selesai, malam turun. Karena letih, semua orang tidur di bawah perlindungan para pengawal.
Keesokan harinya perjalanan diteruskan; jumlah lelaki yang dapat menggunakan senjata kini bertambah menjadi 72 orang. Yohanes mengatur orang-orangnya, memimpin 10 orang di antara mereka yang memegang senapan sebagai pengawal depan. Kemudian menyusul enam rangkan, masing-masing didorong oleh sembilan pasang lengan yang kokoh. Di belakangnya menyusul para perem?puan dan anak-anak, dilindungi oleh delapan orang bersenjata-api sebagai pengawal belakang. Mula-mula perjalanan rombongan itu agak cepat. Tetapi ketika lereng-lereng semakin terjal dan berbukit- bukit, perjalanan pun semakin sulit, apalagi di bawah terik matahari yang menyengat. Ada saat-saat mereka terpaksa istirahat untuk mengambil napas. Lebih buruk lagi, muncul serangga-serangga seperti kumbang, semut, dan segala macam gangguan yang harus dilawan. Semua orang benar-benar kehabisan tenaga.
Pada tengah hari, setelah mendaki satu puncak bukit yang tinggi, yang karena kecuramannya telah menguras habis tenaga para pe?
tualang itu, Harimau memberitahu bahwa kesulitan terbesar telah berakhir. Tetapi tidak seorangpun terbujuk untuk bergerak lebih lanjut; mereka benar-benar memerlukan istirahat. Karena itu mereka putuskan untuk mencari tempat berlindung di suatu hutan kecil yang ada di atas bukit dan bermalam di situ. Tetapi sebelum mereka dapat istirahat, Yohanes memerintahkan enam rangkan disusun dalam formasi heksagonal, yang membentuk ruang cukup luas untuk seluruh rombongan. Ia juga menyuruh menebang kayu-kayu muda untuk menutupi sudut-sudut palisade buatan ini sebagai barikade yang akan sulit ditembus.
Para perempuan sibuk menyiapkan makan malam, dirangsang oleh nafsu makan para laki-laki dan tuan mereka. Tetapi ketika mereka mau mencuci dan memasak beras, bahan pokok makanan orang Dayak, air kurang. Tidak seorangpun memikirkan ini. Sejak mereka meninggalkan Sungai Mantarat, tidak satupun sungai kecil atau mataair yang dijumpai. Mereka sudah dalam keadaan putusasa ketika beberapa orang Dayak dan Punan, bertindak mengikuti naluri, menembus hutan dan keluar lagi dengan membawa sejumlah potong akar yang mengandung air murni.
Harta karun yang tidak ternilai ini disambut dengan sorakan gembira, karena semua orang kehausan dan ingin menyegarkan diri dengan seteguk air segar. Tetapi jumlahnya tidak cukup untuk mema?sak air. Mereka terpaksa puas dengan beberapa ikan kering, dan selebihnya mereka harus lebih mengencangkan ikat pinggang agar dapat mengendalikan rasa lapar. Hanya sedikit wajah cerah yang tampak. Anak-anak merengek-rengek minta makanan dan menye?rukan betapa mereka lapar.
Dalim, sebagai penggali batubara di Pengaron dan Kalangan yang lumayan berpengalaman, mengambil mandaunya dan menghilang ke dalam hutan terdekat. Beberapa saat kemudian dia kembali mem?bawa bingkisan besar yang dibungkus daun-daun.
Setelah kembali masuk ke dalam lingkaran ia duduk bersila, menggelar beberapa lembar daun di depannya, membuka bingkisan itu dan tampaklah benda berwarna abu-abu gelap kotor mirip tanah liat untuk pipa. Ketika Harimau Bukit melihat itu, ia berseru, "Ramon petak kinan-tanah yang dapat dimakan," dan duduk di dekat Dalim dia mulai memakan bagiannya. Keduanya tampak menikmati ma?kanan aneh itu dengan lauk ikan kering. Kemudian mereka memanggil anak-anak dan membagi-bagikan kepada mereka masing-masing seiris besar untuk meredakan rasa lapar. Orang-orang Punan, belajar dari Dalim bagaimana ia mendapatkan makanannya, cepat-cepat berangkat dan segera kembali membawa persediaan untuk seluruh rombongan. Kedua orang Swiss dan si Walloon melihat makanan aneh ini dengan rasa curiga, tetapi setelah mereka melihat Yohanes mengambilnya juga dan mendengar bahwa itu adalah jenis tanah yang dapat dimakan, rasa lapar mendorong mereka untuk mencoba. Meskipun samasekali tidak sedap dimakan, hambar, tetapi tidak bisa dianggap menjijikkan. Beberapa butir garam dan percikan merica membantu penelanan. Tetapi mereka tidak dapat memakan tanah itu banyak-banyak karena sukar dicerna. Selesai makanan dibersihkan, orang-orang Eropa itu mengobrol tentang keindahan pulau itu, yang tanahnya bisa dimakan. Wienersdorf yang terpelajar, sambil me?megang sepotong tanah itu, memecah obrolan dengan penjelasan: "Ramon petak kinan adalah substansi yang tak berbentuk, sangat rapuh dan mudah hancur. Lihat, substansi ini dapat dipotong dengan pisau dan permukaannya yang teriris menunjukkan suatu struktur bersisik yang warnanya seperti bunga karang coklat gelap. Ia sedikit berbau batu bara muda dan rasanya lengket di bibir. Rasanya...." "Kita sudah coba," sela La Cueille, "dan rasanya tidak begitu enak. Atas nama orang-orang suci, hentikan omong-kosong ini. Ini sudah cukup membuat orang mabuk-laut. Nom d"une pipe! (Apa-apaan nih) Betapa provokatifnya orang-orang terpelajar ini! Kamu lebih baik memberitahu kita apakah kita masih harus makan sampah ini lebih lama lagi."
"Tidak, tidak, sobatku Walloon," kata Yohanes, "kamu hanya akan makan sekali lagi sebagai sarapan. Kuharap besok, persis pada jam seperti sekarang ini, kita sudah berkemah di Sungai Minyangan, di mana para perempuan kita dapat memasak nasi seperti biasa." "Terimakasih Tuhan!" gumam La Cueille. "Hanya khayalan dipaksa memakan kotoran semacam ini untuk beberapa hari."
"Kamu tidak akan menjadi kurus, aku jamin. Sebaliknya, tanah ini akan membuat kulitmu tampak indah mengkilap. Di sini mereka acapkali mencampurnya untuk makanan kuda dan anjing."
Sementara itu hari mulai gelap. Matahari pelan-pelan mulai menghilang di belakang batas hutan ketika Hamadu memberi tanda Wienersdorf untuk mendekat padanya. Ia sangat kehausan dan memohon kekasihnya untuk mendapatkan air. Wienersdorf, ditemani La Cueille dan Dalim, memasuki hutan untuk mencari lebih banyak lagi akar tanaman berair. Untuk mendapatkan sebanyak mungkin, mereka berpencar dan mencari sendiri-sendiri. Sebagai alat komunikasi mereka harus memanggil dan menjawab satu sama lain dengan bunyi takakak. Pencarian mereka menghasilkan banyak air. Dalam waktu singkat masing-masing dapat memperoleh sep?uluh mangkok air. Wienersdorf telah memberikan tanda taaaaak kakakakak ketika sesuatu yang berat jatuh dari pohon persis di de?pannya. Ia membungkuk untuk melihat apa gerangan yang jatuh itu, dan dengan pandangan terkejut ia melihat, terbaring di rumput yang tinggi, sesuatu seperti anak bongsor ditutupi bulu-bulu merah. Ia tidak bergerak, tetapi tetap menggulung diri seperti bola besar: kaki- kakinya ditarik rapat-rapat, wajahnya memandang tajam di antara siku-sikunya, dan perutnya menjorok ke lututnya yang tertekuk. Wienersdorf segera menyimpulkan bahwa itu adalah seekor kera.
"Tapi itu agak besar," gumamnya.
Ketika membungkuk ke arah binatang itu ia merasa sesuatu meloncat di atas punggungnya dan menarik lehernya. Lalu datang pukulan bertubi-tubi, seperti pukulan seorang tukang pentung profesional.
"Himmelskreuz donnerwetter!" seru orang Swiss itu ngeri.
Ia mencoba bangkit tetapi tidak sanggup; beban di punggungnya sangat berat dan tangan yang mencekiknya seperti ragum. Semua usaha untuk melepaskan diri dari penyerangnya tidak berhasil. Pukulan seperti gada semakin menguat. Akhirnya kekuatannya habis. Tidak dapat bernapas dan hampir tercekik, ia hanya punya kekuatan untuk berteriak:


Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Demi Tuhan, tolong." Kemudian ia tumbang dan pingsan.
Ketika tersadar kembali ia melihat wajah teduh La Cueille yang membasahi dahi dan pipinya dengan semangkuk air. Ketika si Walloon melihat Wienersdorf membuka mata ia menjerit gembira.
Wienersdorf mengulurkan tangan padanya. Si Walloon menyam?butnya dan menariknya berdiri. Orang Swiss itu tidak terluka: anggota tubuhnya baik, meskipun memar karena pukulan. Tidak jauh dari dia tergeletak penyerangnya yang sedang sibuk diikat oleh Dalim. Orang
Dayak itu dan si Walloon, begitu mendengar teriakan Wienersdorf, segera datang membantunya, dan ketika melihat pergulatan sedang berlangsung ia berteriak dengan ketakutan:
"Kahio!" Ia segera memotong sebatang dahan besar dan membuatnya menjadi sebuah gada dan meminta La Cueille melakukan hal sama. Kemudian mereka mendekat secepat mungkin, dan Dalim mulai memukul penyerang Wienerdsdorf itu berkali-kali dengan sekuat tenaga. Kera itu sebelumnya tidak memerhatikan kedatangan mereka, tetapi kini ia meninggalkan Wienerdsdorf dan maju mende?kati musuh-musuh barunya dengan gada di tangan. Perkelahian tidak berlangsung lama, tetapi cukup lama untuk membuktikan, dilengkapi senjata paling asli, manusia tidak seimbang dengan binatang itu, yang seperti pegulat terlatih mengelakkan pukulan-pukulan lawannya dan berhasil memberi mereka pukulan bertubi-tubi yang akan lama dikenang. Akhirnya Dalim berhasil menangkap tongkat kera itu dan memegangnya erat-erat. La Cueille, yang sampai saat itu tidak berhasil bergabung dalam pertempuran karena gerakan gesit kedua petarung, kemudian mengayunkan satu pukulan keras di kepala kera, yang segera membuatnya pingsan.
"Kahio!" teriak Dalim lagi, menunjuk ke binatang itu.
"Orangutan!" kata La Cueille.
"Kahio!" ulang orang Dayak itu.
"Orangutan!" Pertengkaran itubaruberakhirsetelahWienersdorfmulaibergerak dan sedikit merintih. Kera itu juga mulai bergerak dan mencoba bangkit. Tetapi Dalim menjatuhkan badannya di atas binatang itu sambil melepaskan beberapa pukulan, dan akhirnya mengikat kedua tangan dan kedua kakinya. Sementara itu Wienersdorf telah tegak berdiri dibantu oleh La Cueille. Banyak mangkuk air mereka telah tumpah karena terinjak-injak, tetapi mereka berhasil menyelamatkan sepuluh mangkuk air yang berharga itu. Kini mereka kembali ke tempat sambil membawa binatang itu.
Mereka dapati binatang itu adalah induk kera muda yang jatuh dari pohon sebelum berlangsung perkelahian, karena segera setelah keduanya didekatkan, si kecil cepat-cepat mencari kesegaran alami pada puting ambing induknya yang terikat.
Ketika matahari terbit, perjalanan yang melelahkan dilanjutkan. Para petualang itu kini menarik rangkan-rangkan ke atas rangkaian bukit, dan itu tidak berlangsung lama. Setelah selesai, daerah berbukit-bukit berkurang, sehingga mereka bisa bergerak semakin cepat. Lereng-lereng semakin datar dan tumbuh-tumbuhan tidak lagi banyak merintangi perjalanan mereka. Karena perjalanan menjadi semakin mudah, rombongan itu berhasil mencapai daerah perbatas?an dengan Sungai Minyangan pada sore hari. Tetapi hari sudah ter?lalu larut untuk melanjutkan perjalanan. Berlayar di riam pada waktu gelap bisa berbahaya. Karena itu mereka putuskan untuk membuat persiapan keberangkatan pada keesokan paginya, dan mereka perlu istirahat.
Ketika perjalanan dilanjutkan pada hari berikutnya, rangkan- rangkan bergerak hampir seperti melesat. Ketika melalui jeram, kecepatan mereka luarbiasa, karena selain akibat derasnya arus, para jurumudi juga mendorong para pengayuh menggunakan segenap tenaga demi keamanan sampan-sampan di atas air yang bergolak. Di tengah jeritan, satu demi satu rangkan melesat bagai terbang ke bawah jeram-jeram, yang membuat orang-orang Eropa itu ketakutan setengah mati. Kekhawatiran berbenturan dengan batu-batu yang mencuat di hampir semua sudut membuat mereka gemetar. Akan tetapi kemudi berada di tangan-tangan yang trampil, para pendayung yang waspada dan setia, sehingga sampan-sampan itu pun selamat mencapai Sungai Kahayan.
Kini tengah hari, dan rangkan-rangkan segera berlayar menghulu ke arah utara sungai besar ini. Sekitar pukul tiga sore para musafir mencapai kota Dewa, di mana Amai Kotong dan Harimau Bukit mendarat. Mereka dapati penduduk dalam keadaan amat cemas, karena invasi Temenggung Surapati baru saja dilaporkan. Berita ini memaksa mereka memutuskan untuk berlayar sepanjang malam, karena purnama bersinar terang dan tidak berbahaya berlayar di malam hari di atas sungai yang lebar dan mengalir pelan.
Kira-kira sudah jam delapan pagi ketika para musafir itu melihat di kejauhan, di sisi kiri sebuah bukit, batu raksasa dengan puncaknya yang bundar muncul tegak lurus dari dasar sungai. Inilah akhir pelayaran malam mereka. Rangkan-rangkan, meskipun digerakkan dengan segenap tenaga oleh para pendayung, maju perlahan melintasi buih ombak yang menghantam sisi-sisi tegak lurus batu besar itu, yang
Ketika matahari terbit, perjalanan yang melelahkan dilanjutkan. Para petualang itu kini menarik rangkan-rangkan ke atas rangkaian bukit, dan itu tidak berlangsung lama. Setelah selesai, daerah berbukit-bukit berkurang, sehingga mereka bisa bergerak semakin cepat. Lereng-lereng semakin datar dan tumbuh-tumbuhan tidak lagi banyak merintangi perjalanan mereka. Karena perjalanan menjadi semakin mudah, rombongan itu berhasil mencapai daerah perbatas?an dengan Sungai Minyangan pada sore hari. Tetapi hari sudah ter?lalu larut untuk melanjutkan perjalanan. Berlayar di riam pada waktu gelap bisa berbahaya. Karena itu mereka putuskan untuk membuat persiapan keberangkatan pada keesokan paginya, dan mereka perlu istirahat.
Ketika perjalanan dilanjutkan pada hari berikutnya, rangkan- rangkan bergerak hampir seperti melesat. Ketika melalui jeram, kecepatan mereka luarbiasa, karena selain akibat derasnya arus, para jurumudi juga mendorong para pengayuh menggunakan segenap tenaga demi keamanan sampan-sampan di atas air yang bergolak. Di tengah jeritan, satu demi satu rangkan melesat bagai terbang ke bawah jeram-jeram, yang membuat orang-orang Eropa itu ketakutan setengah mati. Kekhawatiran berbenturan dengan batu-batu yang mencuat di hampir semua sudut membuat mereka gemetar. Akan tetapi kemudi berada di tangan-tangan yang trampil, para pendayung yang waspada dan setia, sehingga sampan-sampan itu pun selamat mencapai Sungai Kahayan.
Kini tengah hari, dan rangkan-rangkan segera berlayar menghulu ke arah utara sungai besar ini. Sekitar pukul tiga sore para musafir mencapai kota Dewa, di mana Amai Kotong dan Harimau Bukit mendarat. Mereka dapati penduduk dalam keadaan amat cemas, karena invasi Temenggung Surapati baru saja dilaporkan. Berita ini memaksa mereka memutuskan untuk berlayar sepanjang malam, karena purnama bersinar terang dan tidak berbahaya berlayar di malam hari di atas sungai yang lebar dan mengalir pelan.
Kira-kira sudah jam delapan pagi ketika para musafir itu melihat di kejauhan, di sisi kiri sebuah bukit, batu raksasa dengan puncaknya yang bundar muncul tegak lurus dari dasar sungai. Inilah akhir pelayaran malam mereka. Rangkan-rangkan, meskipun digerakkan dengan segenap tenaga oleh para pendayung, maju perlahan melintasi buih ombak yang menghantam sisi-sisi tegak lurus batu besar itu, yang tingginya 400 kaki. Segera setelah mereka melewati sisi barat sungai, tampaklah suatu lembah yang dihampari pasir putih, di mana sebuah tomoi didirikan sebagai tempat mendarat sampan. Ketika mendekat, para musafir itu melihat tiga rangkan besar berlabuh di dermaga ini. Rangkan-rangkan itu kosong; para penjaganya melarikan diri ketika melihat sampan-sampan asing. Tetapi keberadaan para pejaga itu cukup menimbulkan kepanikan di antara para pengembara.
"Olo Dusun, olo Dusun!" orang-orang Dusun, teriak mereka, sehingga timbul banyak kekacauan di kalangan perempuan dan anak- anak. Akan tetapi Harimau Bukit mengucapkan beberapa kata dan berhasil menenangkan ketakutan mereka. Para perempuan dan anak- anak semuanya dipindahkan ke dalam dua rangkan, dan tempat mereka semula diisi oleh anggota rombongan laki-laki. Dua rangkan yang berisi para perempuan, karena mereka dapat mendayung sama cakapnya dengan laki-laki, menyusuri sisi kiri sungai dan meluncur ke hilir sungai dalam jarak yang cukup. Dua rangkan yang lain, yang membawa laki-laki bersenjata, termasuk orang-orang Eropa, mendarat di tomoi. Tidak satupun nyawa ditemukan di situ. Mereka dengan hati-hati memeriksa bangunan-bangunan kecil, tetapi tidak menemukan sesuatu. Para laki-laki kini memasuki jalan setapak dengan waspada dan beijalan mendaki sebuah bukit tanah liat teijal di mana kadang-kadang terdapat bagian yang rendah. Akhirnya mereka melihat daerah bebatuan tempat kota berada. Kira-kira 50 langkah lagi mereka akan menyaksikan 60 orang Dusun dalam satu kelompok sedang berusaha mendaki dataran tinggi tempat kota dibangun. Terlihat beberapa batang pohon tinggi yang telah ditakik sebagai tangga sederhana, dan di puncaknya sekitar 20 orang sedang mendaki bagian atas bukit batu. Ketika Yohanes, sang pemimpin, melihat prajurit-prajurit Dusun ini, ia perintahkan orang-orangnya untuk berhenti dan memerintahkan satu peleton menembak para prajurit Dusun itu. Kedua orang Swiss mengikuti taktik lama mereka, menghemat amunisi sambil menunggu kesempatan yang lebih baik. La Cueille dan Yohanes memulai tembakan ke arah para pendaki. Dengan cermat mereka memilih sasaran yang paling atas. Hasilnya luarbiasa. Mereka jatuh sambil menimpa orang-orang yang berada di bawahnya. Ketakutan yang ditimbulkan karena tembakan itu semakin bertambah ketika peluru-peluru kedua penembak jitu itu diarahkan dengan tepat ke tengah-tengah gerombolan prajurit Dusun, sehingga korban yang jatuh lebih banyak daripada suara bising tembakan orang-orang Dayak, dan korban mati dan terluka pun segera bergelimpangan di tanah. Dalam detik-detik pertama serangan yang mengejutkan itu, di antara prajurit Dusun yang paling berani bermaksud menghamburkan diri ke tengah-tengah para penyerang, tetapi ketika mereka mendekat, tembakan senapan yang dahsyat menumbangkan mereka. Mereka kemudian melakukan serangan nekat, beberapa di antaranya berhasil mendarat di antara para pengepungnya, tetapi kedua orang Swiss segera menamatkan nasib mereka dengan tembakan bertubi-tubi. Malapetaka yang ditimbulkan oleh tembakan yang bertubi-tubi ini membuka jalan untuk menembus barisan para prajurit Dusun, memisahkan para pejuang utama dari induk pasukannya. Kepanikan pun sangat mencekam mereka. Bingung karena takut dan putusasa, mereka bergegas menuruni jalan setapak yang menuju ke pinggir sebuah tebing curam, bagian dari karang utama yang menjorok ke sungai. Di sini, mereka yang melarikan diri berhenti sejenak, tetapi ketika suara tembakan terdengar di belakang mereka, dengan segala kemarahan mereka terjun ke sungai, kemudian berenang ke tepian seberang. Banyak di antara mereka yang tenggelam, sedangkan yang berhasil menyelamatkan diri dari kuburan sungai itu disusul dan dikejar seperti binatang buruan.
Setelah drama ini terjadi, ketika orang-orang Punan dan Kapuas akan memenggal kepala orang-orang Dusun yang mati dan terluka, tiba-tiba teriakan mengerikan terdengar dari puncak batu. Meskipun tidak ada yang bisa dilihat, Harimau Bukit meyakinkan teman- temannya bahwa ia tahu betul apa yang sedang terjadi di atas. Para pejuang Dusun sedang mengadakan serangan besar-besaran di sisi timur dengan induk pasukannya, tetapi untuk menekan musuh, mereka membagi kekuatan. Mereka telah berencana mendaki gunung batu itu dari sisi utara dengan sejumlah kecil pemberani. Tindakan berani ini kiranya akan berhasil, tetapi timbul insiden yang menyebabkan para pejuang itu mati di tempat itu juga.
Yohanes memimpin orang-orangnya untuk segera melaksanakan rencana yang dibuatnya guna membantu mereka yang bertahan. Ia menyandang bedil dan mulai mendaki pohon bertakik yang menuju ke bagian atas bukit bebatuan itu. Orang-orang Sungai Kapuas dan Punan menyusulnya, mengeluarkan teriakan "hura" yang me?mekakkan telinga, dan dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka tampak bergelantungan di antara bukit dan langit, tinggi di atas dasar jurang. Setelah pendakian yang sulit ini, yang memakan waktu kira- kira setengah jam, para pendaki yang semuanya pemberani itu telah berada di puncak bukit batu. Schlickeisen, yang karena luka-lukanya telah menghalangi dia untuk mengerahkan seluruh tenaga, telah menukar Remingtonnya dengan senapan La Cueille dan bergabung dengan empat orang Dayak yang terluka parah. Kini ia kembali ke rangkan.
Segera setelah Yohanes berada di puncak ia mengumpulkan orang- orangnya, yang benar-benar dalam keadaan letih, dan mengucapkan beberapa kata untuk memberikan semangat. Palisade-palisade kayu yang mempertahankan kota dari sisi itu tidak begitu tinggi, karena serangan dari arah itu kiranya sangat tidak mungkin. Karena itu Yohanes melompati penghalang yang rendah itu diikuti oleh Harimau Bukit untuk memeriksa keadaan kota dan situasi yang terjadi. Pertempuran sengit sedang berlangsung di sisi timur benteng. Orang- orang yang terkepung nekat mempertahankan diri dari serangan sejumlah besar pejuang Dusun, dan semua sibuk bertempur sehingga Yohanes dan Harimau Bukit berhasil menyusup tanpa diketahui. Dalam waktu singkat ia melihat posisi kritis yang dihadapi oleh mereka yang bertahan. Tidak satupun tembakan dilepaskan di sini; semua perlawanan dilakukan dengan mandau telanjang. Para penyerang berhasil mendaki palisade-palisade pada beberapa titik tertentu dan merebut beberapa kubu. Usaha paling berani pun untuk memukul mundur orang-orang Dusun kiranya sia-sia belaka. Para penyerbu bermunculan tiap saat dan mereka akan segera menjadi cukup kuat untuk menyerbu bagian dalam kota, dan nasib seluruh orang yang bertahan sudah dipatri oleh jumlah musuh yang lebih besar. Yohanes segera kembali memanggil teman-temannya, sedangkan Kepala Suku Punan dengan gagah-berani maju menyerang para penyerbu, dan dengan demikian memberitahu penduduk kota bahwa bala bantuan sudah dekat. Tiba-tiba terdengar satu tembakan dan seorang Dusun yang baru saja muncul di atas palisade terjun ke dalam kota, jatuh terjengkang ke belakang dengan luka yang mematikan. Orang kedua dan ketiga bernasib sama. Orang-orang Eropa, seperti algojo-algojo berdarah dingin, menembak semua orang Dusun yang kepalanya nongol di atas palisade-palisade. Sementara itu orang-orang Kapuas memberi tanda kepada penduduk kota untuk menyediakan tempat tampak bergelantungan di antara bukit dan langit, tinggi di atas dasar jurang. Setelah pendakian yang sulit ini, yang memakan waktu kira- kira setengah jam, para pendaki yang semuanya pemberani itu telah berada di puncak bukit batu. Schlickeisen, yang karena luka-lukanya telah menghalangi dia untuk mengerahkan seluruh tenaga, telah menukar Remingtonnya dengan senapan La Cueille dan bergabung dengan empat orang Dayak yang terluka parah. Kini ia kembali ke rangkan.
Segera setelah Yohanes berada di puncak ia mengumpulkan orang- orangnya, yang benar-benar dalam keadaan letih, dan mengucapkan beberapa kata untuk memberikan semangat. Palisade-palisade kayu yang mempertahankan kota dari sisi itu tidak begitu tinggi, karena serangan dari arah itu kiranya sangat tidak mungkin. Karena itu Yohanes melompati penghalang yang rendah itu diikuti oleh Harimau Bukit untuk memeriksa keadaan kota dan situasi yang terjadi. Pertempuran sengit sedang berlangsung di sisi timur benteng. Orang- orang yang terkepung nekat mempertahankan diri dari serangan sejumlah besar pejuang Dusun, dan semua sibuk bertempur sehingga Yohanes dan Harimau Bukit berhasil menyusup tanpa diketahui. Dalam waktu singkat ia melihat posisi kritis yang dihadapi oleh mereka yang bertahan. Tidak satupun tembakan dilepaskan di sini; semua perlawanan dilakukan dengan mandau telanjang. Para penyerang berhasil mendaki palisade-palisade pada beberapa titik tertentu dan merebut beberapa kubu. Usaha paling berani pun untuk memukul mundur orang-orang Dusun kiranya sia-sia belaka. Para penyerbu bermunculan tiap saat dan mereka akan segera menjadi cukup kuat untuk menyerbu bagian dalam kota, dan nasib seluruh orang yang bertahan sudah dipatri oleh jumlah musuh yang lebih besar. Yohanes segera kembali memanggil teman-temannya, sedangkan Kepala Suku Punan dengan gagah-berani maju menyerang para penyerbu, dan dengan demikian memberitahu penduduk kota bahwa bala bantuan sudah dekat. Tiba-tiba terdengar satu tembakan dan seorang Dusun yang baru saja muncul di atas palisade terjun ke dalam kota, jatuh terjengkang ke belakang dengan luka yang mematikan. Orang kedua dan ketiga bernasib sama. Orang-orang Eropa, seperti algojo-algojo berdarah dingin, menembak semua orang Dusun yang kepalanya nongol di atas palisade-palisade. Sementara itu orang-orang Kapuas memberi tanda kepada penduduk kota untuk menyediakan tempat
Misteri Anak Selir 1 Embrace The Chord Karya Santhy Agatha Sindikat Pencuri Mobil 2

Cari Blog Ini