Ceritasilat Novel Online

Menembus Rimba Raya 6

Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear Bagian 6


bagi mereka melakukan operasi, dan tembakan-tembakan senapan berat tanpa henti dilepaskan ke arah pasukan penyerbu yang masih ulet bertahan di kubu-kubu. Tembakan demi tembakan dimuntahkan, dan satu serangan mendadak dilakukan oleh mereka yang bertahan untuk menyerang sayap musuh. Para penyerbu kelimpungan dan terpencar; tentara Surapati melesat ke kaki bukit untuk berkumpul dan bertahan di basisnya.
Pengunduran diri para pengepung itu memberi kesempatan kepada orang-orang Eropa untuk mempelajari posisi mereka. Kota Upon Batu boleh dibilang kuat, bukan, sangat kuat, terhadap musuh pribumi. Dengankewaspadaanbiasa,hampirmustahilkota ini diserang dari dua sisi. Dataran tinggi tempat kota itu dibangun dipisahkan secara alami oleh sebuah celah yang dalam. Mataair sebening kristal muncul dari celah ini, mengalir ke lembah, membentuk aliran deras berbuih dan bergolak. Seluruh dataran tinggi sisanya ditebari penghalang-penghalang berupa batu-batu besar. Dua di antara batu- batuan itu menarik perhatian La Cueille. Keduanya berbentuk seperti meja, datar, tetapi sangat besar, terpisah satu dengan lainnya sekitar beberapa yard. Masing-masing teronggok di atas batu-batu yang lebih kecil berbentuk bundar, ditopang sedemikian rupa sehingga seluruh massa raksasa itu mudah digoyangkan dengan sedikit tekanan tangan. Si Walloon berpikir ini sangat aneh, ditekan dan ditekan lagi, tetapi ia tidak dapat mencerna ringannya gerakan batu-batu besar itu. Ia membungkuk dan melihat kedua batu itu teronggok sekitar tiga kaki di atas tanah. Selanjutnya ia memerhatikan kedua batu itu berada di luar kubu pertahanan, persis di tebing dataran tinggi di atas lereng lembah yang tadi disebutkan. Ia membungkuk ke arah pinggir lereng yang menurun, tetapi ia hanya melihat terowongan berbentuk corong yang luas, melalui mana air deras mengalir ke bawah. Tiba- tiba idenya timbul: ia memanggil Yohanes, membisikkan beberapa kata dan keduanya bekerja menggelindingkan masing-masing satu batu yang menopang kedua batu besar yang dapat digerakkan itu. Dengan demikian dua massa besar yang bergoyang itu kini disangga dengan kokoh. Kemudian mereka menggali tanah yang ada di bawah batu-batu besar ini, mengisi lubang-lubang yang telah dibuat dengan 20 pon mesiu yang didapat dari kepala kota, dan setelah memasang sumbu mereka menutup lubang-lubang itu dengan sejumlah besar batu. Selesai mengerjakan ini, La Cueille mengulurkan sumbu
di antara palisade-palisade ke dalam kota dan menyembunyikan ujungnya di antara tumpukan kayu api.
Mereka baru saja menyelesaikan persiapan ini ketika suara yang memekakkan menandai serangan baru para pengepung yang berani, yang dengan cepat terlihat memanjat di ketinggian dari sisi timur. Tembakan senapan dengan cepat dilepaskan, tetapi musuh dilindungi dengan baik oleh tebing bukit sehingga hasilnya sia-sia. Dalam waktu singkat mereka telah muncul di atas dataran tinggi dan mulai menyerbu benteng, betul-betul menantang kematian. Mereka benar- benar pasukan pemberani. Akan tetapi semua keberanian mereka ini tidak dapat mematahkan pertahanan. Tiap kepala yang nongol di atas palisade terkena sasaran, dan jika seseorang lolos dari bidikan dan berhasil meloncati dinding benteng, ia disambut oleh tombak-tombak dan mandau-mandau dan mati tanpa ampun. Sementara itu peluru tidak henti-hentinya keluar dari moncong-moncong senapan hingga menimbulkan banyak kerugian di pihak penyerang. Penyerangan ini terus berlangsung, tetap pantang menyerah, memperlihatkan pengabdian yang setia demi suatu tujuan yang lebih mulia. Dengan saling memberi semangat dan melontarkan ejekan menghina pada mereka yang bertahan, mereka berulang kali memanjat dinding benteng, selalu dengan hasil fatal yang sama.
Selagi semua yang bertahan dalam kota memusatkan seluruh perhatian untuk mengusir serangan ini, La Cueille, yang tampaknya punya rencana sendiri, mengarahkan perhatiannya ke titik lain. Peluru-pelurunya masih tetap dimuntahkan, tetapi perhatiannya mengarah ke mana-mana. Akhirnya ia merasa mendengar suara- suara dari sisi utara. Ia dengan cepat pergi ke bagian luar kota, merayap seperti seekor ular, menyusur dataran tinggi ke arah pinggirnya dan melihat sejumlah besar orang diam-diam sedang mendaki bukit melalui celah. Dugaannya benar; bahaya sesungguhnya ada di sini. Serangan dari sisi lain hanyalah gerakan mengelabui, suatu pengorbanan gagah-berani para pahlawan untuk memberikan waktu dan kesempatan kepada teman-temannya guna menyelesaikan serangan utama mereka. Sebagaimana perginya, La Cueille merayap balik dengan hati-hati, memanggil Yohanes dan Wienersdorf, dan lari ke dapur untuk mengambil bara api, dengan bara itu ia menyulut ujung sumbu. Hanya dalam waktu sekejap, orang-orang Eropa itu melihat percikan api lari menyusur tanah dan menghilang melalui
palisade-palisade. Mereka menunggu dengan tidak sabar, tetapi ti?dak melihat apa-apa lagi. Musuh-musuh terdepan sudah tampak di tebing dataran tinggi. Mereka meloncat diikuti yang lain sampai terkumpul sekitar seratus orang di puncak. Tuhan Maha Pengasih! Apakah sumbu telah padam" Jika ya, celaka. Orang-orang Eropa itu melepaskan tembakan ke arah para pengepung, tetapi jumlah musuh semakin bertambah tiap saat dan mulai berpencar ke seluruh dataran tinggi. Situasi menjadi semakin gawat ketika terdengar suara ledakan begitu keras, begitu dahsyat, hingga untuk sesaat baik yang terkepung maupun yang mengepung terpaku dan kaget setengah mati. Suatu lidah api yang mengerikan menjulur ke luar dari dalam tanah bagai sebuah kawah menganga; asap tebal mengepul membubung ke angka?sa, dan satu dari dua batu goyang, seakan-akan diangkat oleh kekuatan gaib, tampak terpental, lepas dari penyangganya, jatuh, dan lenyap seperti guntur ke dasar jurang. Sebelum para penyerang menyadari fenomena apa ini, ledakan kedua terjadi dan melemparkan massa batu-batuan lain ke bawah. Ranjau-ranjau La Cueille, yang diletakkan dan dipasang dengan efisien, berhasil dengan sempurna. Tumpukan besar batu yang menggelinding ke lereng bukit menimbulkan ke?panikan luarbiasa di antara para pemanjat, membubarkan mereka seperti sekam ditiup angin. Mereka yang sudah berada di puncak lari ketakutan, dan kepanikan menjalar ke pasukan pemancing di sisi timur. Kehancuran mengerikan yang menimpa saudara-saudara se?perjuangan mereka membuat para penyerbu sangat ketakutan dan memaksa mereka menghentikan pengepungan.
Ketika penduduk yang dikepung sudah dapat memperkirakan kerugian, mereka lihat bahwa kerugian mereka cukup besar. Se?banyak 14 orang Sungai Kahayan ditemukan mati di antara sejumlah besar orang-orang Dusun, dan yang luka-luka dua kali lipat. Tidak seorangpun malu-malu mengakui bahwa jika para penolong mereka tidak datang tepat pada waktunya, jumlah korban pasti lebih ba?nyak lagi. La Cueille yang terutama memperoleh banyak pujian. Ia adalah orang yang dapat melepaskan guruh dan petir, membuat keduanya muncul dari dalam perut bumi untuk melemparkan batu- batu raksasa ke arah musuh mereka, tindakan yang hanya mungkin dilakukan oleh para Sangiang. Si Walloon, yang tidak lantas pongah, menerima pujian ini dengan rendah hati, meskipun ia samasekali tidak menampik diangkat sebagai seorang pahlawan.
Kepala Suku Punan kini mengirim beberapa prajuritnya untuk menjemput rangkan-rangkan yang memuat para perempuan, sedangkan Yohanes dan beberapa orang Dayak turun melalui tangga- tangga batang pohon yang ditakik untuk menjemput Schlickeisen dan empat orang Dayak yang terluka. Setiba di bawah, di pangkalan tomoi, mereka lihat rangkan-rangkan di mana mereka tinggalkan teman-teman mereka telah lenyap. Empat mayat orang Kapuas dengan kepala terpenggal tergeletak di pinggir sungai, separuhnya di air, dan senapan Schlickeisen di samping mereka, tetapi orang Swiss itu sendiri tidak meninggalkan jejak.
Bab 17 KEJADIAN itu tentu saja merupakan pukulan berat bagi Yohanes. Dengan tergesa-gesa dan gugup ia memeriksa tomoi dan seluruh isinya tanpa menemukan sesuatu. Karena itu dengan cepat ia naik ke Upon Batu dan menceritakan kepada teman-temannya mengenai malapetaka itu. Mereka semua menerima berita itu dengan terkejut dan rasa takut yang sangat, tetapi Wienersdorf terutama, dengan airmata berlinang, meratapi nasib malang yang menimpa teman dan kawan senegerinya. Tentu saja sangat mungkin Schlickeisen telah menyelamatkan diri dengan mengambil jalan air. Ia seorang perenang cekatan, kata Wienersdorf; tetapi Harimau Bukit menunjuk ke arah sungai yang ganas dan menggelegak, dan mengatakan bahwa tidak seorangpun sanggup menyeberangi arus deras itu tanpa terbentur karang-karang tajam dan bergerigi, yang bertebaran, ratusan kali dan menjadi serpihan. Pendapat ketiga yang dipegang oleh orang- orang Eropa itu adalah Schlickeisen telah ditangkap hidup-hidup. Yang terakhir ini akan membuat nasibnya mengerikan. Mereka tahu dari pengalaman bagaimana penduduk asli memperlakukan para tawanan perang. Dan begitu orang-orang Dusun ini, yang dapat digolongkan sebagai suku paling kejam di Kalimantan, tahu bahwa tawanan mereka seorang kulit putih, harapan apalagi yang tersisa padanya" Pikiran semacam itu saja telah membuat mereka ketakutan. Akan tetapi Wienersdorf dengan keras mempertahankan hipotesisnya. Paling tidak itu memberi dia dan teman-temannya harapan dapat menolong"atau mungkin menyelamatkan"teman?nya yang hilang. Karena itu ia mendesakkan pendapatnya ini dengan sungguh-sungguh. Yohanes juga cenderung memercayai itu. Schlickeisen telah ditawan, dan sesuai dengan wataknya yang setia, dengan cepat Yohanes bertindak untuk membebaskan Schlickeisen. Tindakan pertama yang harus diambil adalah mengetahui kelompok musuh mana yang telah menangkap Schlickeisen dan ke mana ia dibawa.
Harimau Bukit mengusulkan memulai dari Sungai Miri melalui jalan darat. Ia dan Amai Kotong mengumpulkan prajuritnya, mem?bekali mereka dengan beras sekadarnya dan segera setelah matahari lenyap di balik cakrawala, pasukan kecil orang Dayak dan Punan, ditemani oleh tiga orang Eropa, diam-diam menuruni bukit dan berjalan menuju ke utara. Sambil turun La Cueille berkesempatan menyaksikan akibat mengerikan strateginya. Badan-badan manusia gepeng tanpa ampun akibat kejatuhan blok-blok batu yang menggelinding. Di sini ada tengkorak pecah, di sana ada dada sobek atau perut terbelah, selanjutnya ada tangan dan kaki yang terpisah"di mana-mana darah. Itu merupakan pemandangan yang mengerikan. Bahkan indera orang Dayak yang biasanya kuat ikut tergerak, dan dengan pandangan ngeri orang-orang itu menoleh ke samping dan mempercepat langkah.
Jalan setapak di kaki bukit hampir sejajar dengan Sungai Kahayan. Malam itu dan sehari suntuk berikutnya mereka terus berjalan tanpa mengenal lelah, namun tidak ditemukan jejak musuh. Ketika matahari terbenam mereka berhenti di suatu tempat yang nyaman untuk istirahat beberapa jam, dan setelah itu perjalanan dilanjutkan kembali dengan tenaga baru.
Bulan bersinar terang, cukup mengurangi kesulitan berjalan me?nempuh hutan tropis pada malam hari. Akan tetapi jalan setapak begitu sempit sehingga hanya bisa dilewati oleh satu orang, dan karena itulah mereka terpaksa berjalan beriringan. Pohon-pohon tumbang bergeletakan di mana-mana. Di banyak tempat mereka terpaksa merambah jalan melalui tumbuhan berduri yang merambat, suatu perjalanan yang selain merusak pakaian juga menyebabkan mereka tertusuk-tusuk duri.
Kira-kira tengah malam, ketika mereka sedang berjalan di sepan?jang padang rumput yang ditumbuhi pohon-pohon rindang, salah seorang Punan memperingatkan mereka untuk diam. Dengan per?antaraan malam yang tenang ia mendengar pada jarak yang tidak begitu jauh suara-suara mencurigakan yang dipercayainya sebagai suara manusia. Harimau Bukit dengan perlahan membisikkan bebe?
rapa kata pada teman-temannya, kemudian ia dan enam orang pra?juritnya merebahkan diri dan dengan hati-hati merangkak di tanah. Selebihnya tetap tinggal selama kurang-lebih seperempat jam dengan harap-harap cemas. Tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan, marah, dan putusasa, disusul kesunyian yang membisu. Kemudian orang- orang Punan itu muncul kembali, dua di antara mereka menenteng dua kepala manusia dan empat orang lagi menyeret dua tawanan yang mulutnya disumpal. Orang-orang ini mula-mula menolak menjawab semua pertanyaan. Yohanes mengingatkan orang-orang itu bahwa mereka akan menggunakan segala cara untuk memaksanya bicara. Salah seorang dari mereka melontarkan cacian menantang kepada para penangkapnya, dan sebagai balasan, ia menerima pukulan di antara kedua matanya, yang membuat orang itu pusing dan hampir pingsan. Akhirnya mereka menjadi lebih jinak, dan sedikit demi sedikit mengungkapkan bahwa mereka termasuk salah satu kelom?pok penjarah dan tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi dengan teman-teman sesukunya di sekitar itu. Tetapi mereka mendapatkan keterangn bahwa banyak kawan-kawannya tewas dalam ledakan di Upon Batu, dan bahwa semua penduduk kota itu telah mati terbunuh pada waktu yang sama. Mereka mendengar bahwa orang-orang Dusun memperoleh banyak kepala dan menangkap seorang kulit putih. Yohanes dan teman-temannya mendengar keterangan yang terakhir ini sambil menahan napas, dan itu membuat Harimau Bukit memandang dengan keheranan. Kemudian Yohanes dengan tenang bertanya bagaimana orang kulit putih itu dapat sampai ke tempat itu, ke daerah yang begitu terpencil.
"Jaton tau-Saya tidak tahu," jawabnya, "tapi kami telah meli?hatnya. Ia terbaring di sebuah rangkan dengan tangan dan kaki terikat. Bajunya compang-camping. Muka dan tangannya coklat seperti kita, tapi dada dan punggungnya putih. Ia telah mengoles kulitnya dengan katiting."
"Dan apa yang mereka perbuat terhadap dia?" tanya Wienersdorf dengan ragu, seakan-akan takut menanyakan itu, "Apa mereka telah membunuhnya?"
"Tidak. Banyak yang mau membunuhnya, tapi diputuskan ia akan dibawa ke hadapan Temenggung Surapati, yang tanpa ragu-ragu akan menyerahkannya kepada orang-orang Belanda di Banjarmasin, dengan siapa ia ingin menyorong damai."
"Apakah tawanan tidak dilukai" Dan di mana dia sekarang?" tanya orang Swiss itu bertubi-tubi.
Kedua tawanan itu tampak ragu-ragu, saling pandang dan tetap diam meskipun Yohanes telah mengulang pertanyaannya. Tetapi La Cueille mencambukkan rotannya ke punggung mereka dengan keras sehingga pembangkangan mereka mengendur. Kemudian mereka mengatakan bahwa ketika matahari terbenam mereka melihat rangkan yang memuat orang kulit putih itu tertambat di tepi sungai, para pendayungnya tampaknya ingin istirahat malam itu di tempat itu.
Pengejaran segera dilanjutkan dengan harapan dapat menemu?kan rangkan itu. Seperempat jam kemudian, ketika mendekati tepi Sungai Kahayan, mereka dapat melihat rangkan itu. Ketika anakbuah rangkan mengetahui kehadiran mereka, dengan cepat mereka mendorong rangkan untuk menjauh dari tepi sungai dan mendayung ke arah tepi yang lain. Beberapa tembakan dilepaskan ke arah rangkan yang melarikan diri itu, tetapi sampan itu segera hilang dari pandangan di antara bayangan gelap hutan lebat. Akan tetapi segera setelah tembakan dilepaskan, dengan jelas mereka mendengar seruan, "Tolong! tolong!" Ini tidak saja menyakinkan bahwa mereka berada pada jejak yang tepat, tetapi juga meyakinkan bahwa teman mereka yang tertawan masih hidup. Kini mereka berunding. Kepala Suku Punan meyakinkan teman-temannya bahwa ia dapat menunjukkan jalan pintas yang dapat membuat mereka berjalan lebih cepat daripada mereka yang melarikan diri. Begitu sampai di tujuan mereka akan menunggu kedatangan rangkan itu dan bertindak sesuai rencana. Akan tetapi sebelum berangkat mereka harus patuh pada aturan kejam yang tak bisa ditawar. Kedua tawanan orang Dusun itu dibawa serta dalam rombongan mereka. Wienersdorf mengusulkan untuk membebaskan mereka, tetapi rapat menolaknya, karena mereka dengan sendirinya dapat mengajak seluruh temannya mengejar. Usul La Cueille, mereka diikat erat-erat di pohon dan membiarkan takdir membawanya. Ini juga ditolak karena dianggap sebagai kekejaman yang tidak perlu. Tidak seorangpun yang berniat membebaskan mereka atau membuat mereka mati dengan cara yang menyakitkan dan berlahan-lahan. Yohanes memecahkan persoalan itu dengan membisikkan sesuatu ke telinga La Cueille, dan si Walloon menjawab dengan mengangguk meyakinkan. Perjalanan dilanjutkan, dan La Cueille dipercaya menjaga para tawanan. Ia membiarkan teman-temannya berjalan lebih dulu, dipimpin oleh Wienersdorf dan Yohanes; ia dan kedua tawanannya berada di belakang. Demikianlah, mereka telah bergerak maju dalam jarak yang tidak terlalu jauh ketika dua tembakan beruntun terdengar dan si Walloon bergegas menyusul dengan membawa berita bahwa kedua tawanan, karena telah mencoba melarikan diri, terpaksa ditembak mati.
Kini mereka berjalan lebih cepat, dan pada dini hari mereka sudah mendekati suatu bukit yang letaknya seperti Upon Batu di tepi sungai, yang di bawahnya terdapat air terjun yang liar. Ini adalah Kiham Batu Naroi, air terjun tersulit dan terbesar di Sungai Kahayan, meskipun karena lebarnya sungai ini samasekali tidak berbahaya. Di sini Harimau Bukit memecah pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok yang lebih kecil mendaki di ketinggian dan tetap tinggal di situ dengan berlindung di balik dinding batu cadas sehingga dapat mengawasi kelokan sungai pada jarak yang cukup jauh. Kelompok lain ditempatkan di kaki bukit untuk memotong jalan balik orang-orang Dusun, dan kelompok itu diperintahkan bersembunyi di belakang batu-batu cadas dan semak-belukar sampai saat beraksi tiba.
Sebagaimana diperkirakan oleh Kepala Suku Punan itu, tak sebe?rapa lama rangkan yang ditunggu-tunggu itu pun terlihat. Mata-mata melaporkan bahwa rangkan itu diawaki oleh 20 orang pedayung, tetapi tawanan tidak tampak. Tetapi ketika rangkan mendekat, me?reka melihat Schlickeisen terbaring di dasar sampan dalam kondisi sangat menyedihkan, tangan dan kakinya terikat dan benar-benar telanjang bulat. Rangkan bergerak ke arah kiham. Di sini, di wilayah musuhnya, orang Dusun tidak dapat bergerak melalui darat dan menarik rangkan mereka dengan menggunakan tali rotan; mereka harus mendayung melalui arus deras, meskipun tindakan itu teramat sulit. Para pendayung menggunakan kayuh dengan luarbiasa bagus dan mengendalikan rangkan dengan sangat trampil, sehingga rangkan maju dengan tenang dan mantap, dan dengan cekatan mereka menjaga rangkan agar tetap mengapung di tengah amukan arus sungai sampai akhirnya semua kesulitan yang menghadang berhasil diatasi. Ketika tinggal satu lagi lompatan ke depan, dan rangkan akan mengapung di air yang tenang, tiba-tiba terdengar suara tembakan. Pendayung terdepan melepaskan dayungnya dan jatuh terjengkang menimpa teman-temannya dalam keadaan luka mematikan. Satu demi satu tembakan menyusul dengan hasil fatal yang sama. Wienersdorf telah menyingkirkan semua sifat-sifat kemanusiaannya: tujuan utamanya adalah membebaskan rekannya. Tidak satupun peluru yang boleh luncas, karena tembakan yang meleset dapat membahayakan keselamatan hidup temannya. Berlutut seperti patung perunggu, ia memegang gagang senapan dengan menyandarkannya ke bahu dan membidik seolah-olah seluruh eksistensinya, ya seluruh jiwanya, tergantung pada garis yang harus diikuti oleh pelurunya. Jari tangan kanannya bergerak mekanis menarik picu senapan, dan peluru demi peluru mematikan awak-awak rangkan. Empat pendayung telah tewas sebelum orang-orang itu sadar akan kedudukan mereka. Mereka tidak mendengar suara tembakan karena gemuruh air, tetapi setelah melihat beberapa awak rangkan menggeliat kesakitan melepaskan napas terakhir, mereka dengan ketakutan melihat ke sekeliling dan melihat asap tipis yang muncul di sepanjang dinding cadas yang gelap. Pemimpin rangkan berusaha mengeluarkan perintah kepada rekan-rekannya dengan berteriak, "Beseai bewei-Dayung cepat," dan rangkan melesat ke depan. Akan tetapi ketika tiga tembakan terdengar beruntun dan tiga temannya terjengkang ke belakang, nyali mereka mulai hilang.
Mereka mendayung balik. Hanyut oleh arus yang menakutkan, rangkan itu melesat kembali ke arah kiham. Inilah saatnya Yohanes dan La Cueille memainkan peran mereka dengan menembak secara bertubi-tubi. Beberapa bidikan mereka luput, tidak seperti orang Swiss, akan tetapi peluru-peluru mereka telah menelan korban di kalangan orang-orang Dusun, sehingga mereka yang masih hidup meloncat ke air, bahkan sebelum mencapai air terjun, dan mencoba menyelamatkan diri dengan berenang. Inilah saat yang ditunggu- tunggu dengan tidak sabar oleh Harimau Bukit. Sambil meme?rintahkan orang-orang yang bersenjatakan senapan tetap melepaskan tembakan terhadap mereka yang melarikan diri, ia dan orang-orang Punannya melompat ke dalam air, berenang ke arah rangkan yang telah ditinggalkan dan menariknya dengan aman ke tepi sungai, di mana Winersdorf telah berdiri menunggu mereka. Setelah me?nambatkan rangkan, buru-buru mereka mencari Schlickeisen dan menemukannya terbaring telanjang di dasar rangkan, tidak sadarkan diri, dan meracau tidak keruan. Leher dan dadanya penuh ratusan luka tusukan kecil, dan semuanya telah meradang dan ternoda semacam
pigmen biru. Wienersdorf melepaskan tutup kepala rekan-rekannya, yang setelah dibersihkan dengan cermat ia celupkan ke dalam air sungai yang dingin dan ditempelkan ke dahi dan dada Schlickeisen.
Mereka berunding untuk segera membawa temannya yang sakit itu. Rencana yang paling mungkin ialah segera berlayar ke Sungai Miri yang sudah dekat, tetapi rangkan yang telah direbut itu hanya dapat memuat 30 orang, sedangkan mereka berjumlah 50 orang. Setelah dipertimbangkan beberapa saat, disepakati Amai Kotong dan beberapa orang Kapuas dan Punan menempuh jalan darat, se?dangkan rangkan, khawatir ada kelompok musuh lainnya, harus berlayar menghilir Sungai Kahayan.
Kompresan dingin yang dilakukan oleh Wienersdorf pada luka- luka temannya yang meradang cukup membuahkan hasil. Yohanes dan La Cueille membuatkan peneduh dari cabang-cabang pohon guna melindungi si sakit dari sinar matahari yang terik. Tidak lama sesudah bertolak, Schlickeisen membuka matanya dan melihat ke sekeliling; tetapi ketika ia mencoba bergerak, keluhan sakit terlontar dari bibirnya. Rekan-rekannya berjongkok ke arahnya, mengompres kembali dengan air dingin, memberinya minum dan merawatnya sebaik mungkin untuk meringankan rasa sakitnya. Ketika mereka tahu demam Schlickeisen sudah hilang, mereka mandikan seluruh tubuhnya dengan air sungai yang sejuk. Proses ini menghilangkan warna biru zat yang dibalurkan di sekujur tubuh Schlickeisen yang putih, di mana ditemukan tusukan-tusukan kecil yang tidak terhitung jumlahnya. Harimau Bukit terbelalak keheranan ketika melihat war?na kulit orang Eropa itu. Ia berjongkok ke arah pasien dan memeriksa?nya dengan teliti, dan pada waktu yang sama menatap penuh tanda tanya ke arah Yohanes, La Cueille, dan Wienersdorf. Mereka semua tahu makna tatapan ini dan merasakan gelora yang sedang terjadi di benak orang Punan itu. Wienersdorf segera menyobek jaketnya hingga terbuka di tengah-tengah keempat orang ini, yang berjongkok mengerumuni pasien, memperlihatkan bahunya sendiri kepada Kepala Suku Punan itu. Ketika Harimau melihat kulit putih karena katiting yang dioleskan telah terhapus, ia bergumam:
"Olo baputi!-Orang kulit putih!"
Putra belantara itu terduduk seperti lumpuh, menutup matanya untuk menyembunyikan emosinya yang bergolak keras. Tetapi konflik batin itu hanya berlangsung sebentar. Petualangan di atas
rakit di Danau Ampang tampil kembali di depan matanya. Ia ingat bagaimana Wienersdorf dan Schlickeisen telah menyelamatkan dirinya di kota Jangkan, ketika ia diikat seperti seekor binatang buas dan diseret oleh musuh-musuhnya. Sambil menyeka dahi seolah- olah membuang pikiran-pikiran yang tidak diundang, ia mengangkat kepalanya, melemparkan pandangan ke arah Wienersdorf, memegang tangannya, berbisik dengan suara hampir tidak terdengar:
"Tak masalah, kamu adalah saudara tuaku."
"Dan mereka?" tanya orang Swiss itu seraya menunjuk orang- orang Eropa yang lain.
"Saudara-saudara mudaku," kata orang Punan itu sambil men?jabat tangan mereka satu demi satu.
Helaan napas lega terembus dari dada Yohanes, yang menyak?sikan adegan itu dengan jantung berdebar-debar. Kini segera diatur agar orang-orang Eropa itu tetap mempertahankan penyamaran dari anggota kelompok, menutupi sejarah mereka untuk beberapa waktu mendatang.
Semua kini mengalihkan perhatian pada kondisi Schlickeisen. Harimau Bukit memberitahu teman-temannya bahwa luka-luka Schlickeisen tidak berbahaya. Ia hanya ditato. Ini ternyata benar. Ketika radangnya telah reda, Schlickeisen menceritakan semua yang telah menimpanya. Setelah teman-temannya menghilang di atas bukit batu, ia dan empat orang Dayak yang luka-luka disusul oleh satu pasukan Dusun yang datang dari hilir sungai. Tiba-tiba saja mereka muncul dan serangan mereka samasekali tak terduga, bahwa sebelum orang-orang Dayak itu dapat mempertahankan diri, kepala mereka telah dipenggal. Schlickeisen selamat dari nasib serupa karena ketika ia bergumul jaketnya robek dan diketahui kulitnya putih. Para penyerangnya berteriak, "Olo baputi!" sambil meringkusnya, mengikatnya, dan menjadikannya tawanan. Ia mendengar para pe?nangkapnya berbicara untuk membawa dia kepada Surapati, yang akan menyerahkannya kepada gubernemen di Banjarmasin sebagai syarat perdamaian dengan Belanda. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa tawanan mereka itu seorang desertir tentara Belanda. Tetapi usul untuk menyelamatkan tawanan ini"seorang kulit putih; bahwa tengkorak yang begitu berharga akan lepas dari mereka, hampir membuat orang-orang liar yang ganas ini marah, sampai akhirnya dengan bercanda beberapa orang yang usil menyarankan agar mereka
menatonya dan menyerahkannya kepada pemerintah Belanda se?bagai seorang kulit putih yang ditato. Salah seorang kemudian me?ngeluarkan pantuk, atau jarum, dan dengan cepat menusuk-nusuk untuk membuat luka-luka kecil di kulit tawanan, menggambar bentuk-bentuk yang fantastis. Tato ini dibuat dengan menusuk- nusukkan ujung jarum ke kulit, menekan-nekannya dengan pelan- teratur. Luka kemudian dicuci dengan air panas guna mengeluarkan banyak darah, dan setelah itu dioles dengan air jeruk, yang membuat pasien berteriak kesakitan. Ketika luka membengkak dan meradang lantas dipoles dengan cairan indigo yang kental. Penderita lantas dibiarkan menanggung rasa sakit yang sangat, dijemur di bawah terik matahari tanpa penutup. Ia kehausan, tetapi tidak seorangpun yang memberinya air. Kondisi demam biasanya menyusul, yang mem?buat si tawanan samasekali tidak sadar. Demikianlah, ia terbaring semalam suntuk tanpa daya sampai tiba-tiba dikejutkan oleh bunyi tembakan senapan beruntun. Ia lalu berteriak minta tolong, tetapi tersiksa rasa sakit yang teramat sangat, ia pun tidak sadarkan diri lagi. Ketika siuman dari perasaan tidak keruan ini ia dapatkan dirinya telah dikerumuni oleh teman-temannya.
"Kamu telah lolos dari lubang jarum," kata La Cueille, "tapi sa?yang, orang-orang itu tidak menatomu sampai ke bawah. Kamu akan tampak seperti lukisan tembok; persis seperti orang-orang Punan itu. Alangkah gagahnya kamu jika demikian. Wah, apa gadis-gadis muda negeri Swiss tidak akan mengagumimu"!"
Si penderita tersenyum lemah mendengar gurauan ini. Teman- temannya mengganti lagi kompresnya, dan ia kemudian tertidur lelap dan baru terjaga ketika rangkan tiba di Upon Batu. Kini ia merasa lebih segar sehingga ia dapat melangkah ke tepi sungai tanpa dibantu. Tusukan jarum masih agak menyakitkan, tetapi radang telah hilang samasekali dan tidak ada lagi tanda-tanda demam. Walaupun demikian, lingkaran-lingkaran dan garis-garis masih tetap ada di badannya, suatu gambar yang akan terus membekas di sepanjang sisa hidupnya.
Setelah berbicara singkat dengan para perempuan dan anak-anak, rombongan itu bersiap-siap melanjutkan perjalanan, dan sebelum malam menjelang mereka sudah berada dalam perjalanan.
Setelah empatpuluh delapan jam, armada para pelarian itu ber?labuh di dermaga kota Rangan Hanungoh. Perjalanan itu kiranya
lebih cepat selesai jika di sepanjang Sungai Miri mereka tidak ter?hambat upacara kemenangan. Mereka sering dipaksa oleh pribumi setempat untuk menunda-nunda perjalanan. Di mana-mana mereka disambut dengan sangat meriah. Jumlah orang yang mengerubungi La Cueille untuk mengagumi orang yang telah membuat gunung- gunung menyemburkan api kadang-kadang berlebihan, dan itu dapat membuat si Walloon lupa diri.
Tidak lama setelah mereka sampai, Wienersdorf berbicara dengan Harimau Bukit untuk mengisahkan seluruh cerita; dijelaskan pula sebab-sebab yang mendorong dia dan teman-temannya me?ninggalkan Kuala Kapuas. Karena itu diputuskan agar orang-orang kulit putih itu tetap merahasiakan kebangsaan mereka, dan Kepala Suku Punan itu menyatakan bahwa harga tengkorak orang Eropa di daerah itu lebih tinggi dibandingkan dengan risiko jika mereka meng?ungkapkan jati diri mereka. Kemudian mereka membicarakan soal rencana perkawinan yang kini hendak diselesaikan oleh Harimau Bukit. Ia tahu bahwa orang itu berkulit putih! Namun apakah ia tidak akan mereguk darah orang itu" Bukankah mereka sekarang bersaudara" Ya, orang kulit putih itu telah menyelamatkan nyawanya lebih dari sekali, dan ia telah mengikatkan diri dalam suatu ikatan suci. Ia akhirnya memutuskan menyampaikan masalah itu kepada adik perempuannya dan menyerahkan kepada dia sendiri untuk memutuskan. Hamadu segera menyatakan bahwa ia mencintai orang Eropa itu dan siap mengikutinya ke manapun dia pergi, siap berbagi suka dan duka. Jawaban Harimau hanyalah dengan menarik adik perempuan yang amat disayanginya itu ke pelukannya dan menciumnya dengan hangat sebagai dukungan atas keputusannya.
Kini diatur agar perkawinan diselenggarakan sesegera mungkin agar orang-orang Eropa itu dapat melanjutkan perjalanan ke utara tanpa tertunda-tunda. Akan tetapi upacara itu baru dapat diseleng?garakan pada bulan baru, dan masa bulan itu baru saja berlalu. Dengan demikian upacara itu baru dapat diselenggarakan 25 hari lagi. Tetapi kurun waktu itu memberi mereka kesempatan penuh untuk mempersiapkan perhelatan berskala besar.
Rencana perkawinan La Cueille batal, karena gadisnya keberatan meninggalkan suku dan saudara-saudaranya untuk selama-lamanya mengikuti La Cueille ke negeri yang nun jauh di sana. Kepergian itu menuntut pengorbanan yang terlalu besar untuk dia, apalagi setelah
muncul pencinta lain. Seorang pengayau terkenal melamar perawan muda itu, yang cepat berubah pendirian. Selain tangan dan hatinya, ia menghadiahkan seuntai besar tengkorak, dan gadis itu dengan cepat menerimanya. La Cueille yang malang pun terdepak.
Ketika si Walloon mendengar dirinya tersingkir, ia teringat pada kata-kata seorang raja Prancis yang sudah sangat berpengalaman dengan perempuan yang tidak berpendirian, dan dengan itu ia ung?kapkan perasaannya: "Souvent femme varie, bien fou qui s"y fie."(Acapkali perempuan seperti air di daun talas, dan dia bangga dengan kegilaan itu)
Semua ini terjadi, dan Yohanes tidak sabar dengan penundaan perjalanan selama tiga minggu. Akan tetapi ketika ia menyadari bahwa penundaan itu tidak dapat dihindari, ia menggunakan waktu luangnya yang terpaksa ini dengan menghidupkan kembali renca?nanya memperbaiki kondisi keuangan kelompoknya, karena ia ma?sih menganggap dirinya sebagai ketua. Ia mengingatkan Harimau Bukit pada janjinya untuk berdagang batu guliga dengan mereka, dan setelah tawar-menawar singkat, ia memperoleh 200 batu guliga yang ditukar dengan meriam-meriam kecil yang dibawa oleh para desertir dari Kuala Hiang. Harimau Bukit juga mensyaratkan orang- orang Eropa itu untuk memasang meriam-meriam tersebut di dalam kotanya dan mengajarkan orang-orang Punan cara mengunakannya. Semua dengan senang hati berjanji membantu, dan La Cueille menjadi kepala instruktur sekolah artileri itu.
Batu-batu guliga yang ditukarkan dengan meriam benar- benar berharga sangat bagus. Beberapa di antaranya berukuran besar dan berharga cukup mahal di Singapura. Ketika orang-orang Eropa itu sampai pada perkiraan harga, dengan sukarela mereka percayakan hitungannya pada Yohanes untuk mengurus bisnis yang menguntungkan itu. Setumpuk kecil butiran berwarna abu-abu kehijauan yang ada di dalam tempurung kelapa di hadapan mereka berharga sekitar 20.000 gulden. Selanjutnya Yohanes memberitahu mereka bahwa ia telah menjual senapan-senapan yang direbut di Kuala Hiang senilai 100 tahil emas.
"Hura!" teriak si Walloon, "itu berarti 6.000 gulden. Aku punya gagasan baik untuk membuka pabrik senjata di sini. Sebanyak 6.000 tahil ditambah dengan harga batu guliga berjumlah 26.000 gulden. Kita akan kaya-raya sedunia".
"Ah," kata Yohanes sambil tersenyum, "itu belum semuanya. Aku telah bersepakat dengan Harimau Bukit dan Amai Kotong untuk mendulang emas besok pagi. Kita akan cukup sibuk selama tinggal di tempat ini, dan menurut apa yang kudengar, aku berharap itu akan menjadi pekerjaan yang sangat menguntungkan. Di samping itu, semua barang dagangan akan kita jual. Pokoknya, serahkan semua padaku dan lihatlah bagaimana aku mengurusnya dengan baik."
Esok harinya para petualang itu memulai pekerjaan men?dulang emas. Sebelum dimulai Harimau Bukit meminta mereka berjanji untuk mematuhi segala aturan yang lazim untuk mencegah kemurkaan sarok bulau, terutama karena ia tidak mau diserang demam untuk kedua kalinya. Adat-istiadat yang harus dipatuhi itu adalah sebagai berikut: Selama mendulang emas mereka tidak boleh mendekati bara api, dilarang keras duduk dengan menjuntaikan kaki, tetapi selalu menyilangkan kaki, tidak boleh menyentuh besi atau baja, dan akhirnya ketika mandi samasekali tidak boleh memantati sungai. Terhadap semua larangan itu para petualang berjanji akan mematuhinya, dan mereka memulai pekerjaan baru tersebut. Mereka menghiliri Sungai Miri dengan rakit pada jarak yang tidak terlalu jauh dan segera sampai ke tempat tujuan. Rakit dilabuhkan dengan menurunkan satu tangga ke dasar sungai yang dibebani batu-batu berat. Dilengkapi baskom-baskom kayu, mereka terjun ke sungai, turun sampai ke dasar sungai, dan mengisi baskom-baskom mereka dengan pasir yang mengandung emas, yang segera mereka angkut ke rakit untuk diperiksa. Baskom-baskom itu seukuran piring besar, kira-kira bergaris tengah 15 inci, berlekuk di tengahnya.
Pekerjaan itu, karena masih asing bagi orang-orang Eropa, mula- mula dilakukan dengan kaku. Banyak tawa dan lelucon terjadi, karena gerak mereka yang kikuk membuat arus sungai menyapu bersih seluruh isi baskom. Tetapi lambat-laun mereka menjadi lebih trampil, dan setelah sukses untuk pertama kalinya, mereka pun terserang demam emas. Karena itu mereka bekerja sepanjang hari tanpa kenal waktu, dan ketika malam mulai turun mereka terpaksa menghentikan kegiatannya. Harimau Bukit selanjutnya menimbang hasil mereka sehari itu. Ia menghitung bahwa mereka telah mengumpulkan setengah tahil, nilainya kira-kira 30 gulden.
"Ini tidak banyak," kata orang Punan itu, "tapi kalau saudara- saudaraku lebih trampil lagi mengerjakannya, hasilnya akan lebih memuaskan."
Hasilnya memang cukup menguntungkan. Lebih-lebih lagi La Cueille. Dia benar-benar sangat bergairah. Tidak ada hal lain yang dibicarakannya kecuali mendulang emas, bahkan dalam tidurnya pun terbayang mimpi-mimpi terliar tentang logam mulia itu.
Pekerjaan terus dilanjutkan beberapa hari berturut-turut, dan sebagaimana dikatakan oleh Harimau Bukit, hasilnya terus ber?tambah. Ada beberapa hari hasilnya sampai lima tahil. Emas itu umumnya ditemukan dalam bentuk serbuk yang halus dan lembut, tetapi seringkali dalam bentuk kerak-kerak, benang-benang, atau gumpalan-gumpalan kecil. Gumpalan emas yang besar tidak melebihi ukuran kacang tempolong terbesar dan jarang ditemukan, meskipun Harimau Bukit mengatakan bahwa beberapa waktu yang lalu pernah ditemukan gumpalan-gumpalan bergaris tengah satu inci.
La Cueille, sebagai seorang penambang profesional, tentu saja lebih jeli daripada teman-temannya. Ia amati bahwa serbuk emas selalu ditemukan di dekat pasir yang berkilau.
Pada suatu hari, ketika pribumi mendadak malas sehingga orang- orang Eropa terpaksa tidak bekerja, La Cueille menjelajahi daerah sekitar dan ia terperosok di suatu lubang yang tertutup dedaunan dan hampir membuat pergelangan kakinya terkilir. Lubang itu sebenarnya hanyalah celah tanah liat kuning suatu tepi anaksungai yang kecil. Ketika sedang berusaha menarik kakinya ia dapati kakinya terbalur pasir putih. Ia perbesar celah itu dengan tangannya, memindahkan dedaunan dan terus mengeruk sampai ke bawah. Pasir yang tergali memperlihatkan jejak-jejak emas yang luarbiasa kaya. Karena itu La Cueille cepat-cepat mengambil baskomnya, juga membawa sekop dan beliung, setelah memperkirakan bahwa ia akan mendapat hasil besar dengan bekerja sedikit ekstra. Hasilnya luarbiasa: semakin dalam ia mengeruk tanah, semakin banyak pasir yang mengandung emas, dan akhirnya ia sampai pada satu lapisan pasir putih yang menyilaukan, yang di tengah-tengahnya logam mulia itu memancar ke luar, seakan- akan semua kekayaan dunia tersimpan di situ. Ia isi baskomnya dan bergegas ke sungai kecil, dan setelah membasuhnya dengan tergesa- gesa, ia lihat terkumpul dalam cekungan baskomnya beberapa gumpalan emas berukuran kacang polong. Ia kembali melanjutkan operasinya, dan dengan segera ia tahu bahwa semakin dalam ia me?nembus, semakin jarang pasir putihnya, tetapi semakin besar dan semakin banyak jumlah gumpalannya, sampai akhirnya pada dasar lubang ia temukan beberapa bijih emas sebesar kacang dari kualitas yang paling murni. Akan tetapi di bawah lapisan ini hanya ada tanah liat abu-abu tanpa ada tanda-tanda emas. Kini si Walloon menjadi seperti orang gila karena gembira menyaksikan seluruh harta karun tergeletak di depannya dan memancarkan cahaya di bawah sinar terang matahari. Ia menari-nari mengelilingi hasilnya itu dengan cara yang fantastis, dan dalam kegembiraannya itu memperlihat?kan tingkah yang amat kekanak-kanakan. Dengan hati-hati ia tutup gundukan emas itu dengan dedaunan dan cabang-cabang pohon, dan cepat-cepat ia ke kota memberitahu Yohanes soal temuannya itu. Mereka bergegas pergi dengan menenteng satu kantong untuk membawa pulang harta temuan itu. Setelah aman dan ditimbang, temuan itu bernilai 400 tahil, atau kira-kira 40 pon emas murni.
"Aku tak pernah berharap seberuntung itu," seru La Cueille. "Biar kuhitung, 400 x 60 gulden".
"Tepatnya 24.000 gulden," kata Yohanes. "Itu merupakan te- muanmu yang luarbiasa. Aku benar-benar mengucapkan selamat padamu."
"Dan ditambah 26.000 gulden dari batu-batu guliga"semuanya jadi 50.000 gulden."
"Jumlah itu dapat kamu tambahkan lagi dengan 10.000 gulden dari hasil serbuk emas yang telah didapat dan masih akan didapat lagi di samping barter kecil yang sedang kupikirkan untuk dilakukan."
Si Walloon berjingkrak kegirangan dan berseru:
"Sebanyak 60.000 gulden lebih dibagi empat sama rata akan memberi tiap orang lebih daripada 16.000 gulden."
Yang lain-lain mengangguk setuju; kemudian menjabat si Walloon dengan hangat. La Cueille telah menunjukkan dirinya sebagi sahabat yang setia, karena ia tidak pernah berpikir mengangkangi sendiri emas itu meskipun ia yang menemukannya.
"Aku tahu," kata Yohanes, "bahwa aku tak salah memilihnya." Wienersdorf, yang selama ini diam, lalu berkata. "Baguslah La Cueille telah menemukan emas ini, tapi bagaimana kita memba?wanya?"
"Tolong jangan mempersulit dirimu tentang itu," jawab Yohanes.
"Tak usah sulit-sulit memikirkannya?" tanya Wienersdorf. "Barangkali kamu bermaksud mengirim lebih dulu dengan kereta- api atau kiriman ekspres"!"
"Ah, itu butuh beberapa waktu sebelum peluit lokomotif terde?ngar di daerah ini. Tapi dengar! Kita akan berhati-hati memisahkan gumpalan-gumpalan emas dari serbuk emas. Untuk yang pertama kita buat ikat pinggang kulit berlapis dua. Masing-masing kita mem?bawa ikat pinggang ini, yang berisi sekitar delapan pon emas. Untuk serbuk emas kita akan membuat empat tongkat-jalan atau tongkat- lompat, dan untuk itu kita menggunakan sumpit orang Dayak. Tapi kunasihatkan, jika kamu berhenti sejenak di jalan jangan sampai lupa membawa tongkat-jalanmu."
"Ya, ampun, tentu saja tidak," kata La Cueille, "apalagi kita tak bisa memasang iklan kehilangan barang di koran-koran pagi, menawar?kan hadiah kepada para penemunya yang jujur. Tapi ikat pinggang yang melilit beratnya delapan pon, dan tongkat-jalan beratnya dua pon di tiap tangan, apalagi ditambah beban lain yang harus kita bawa dalam perjalanan."
"Memang begitu. Selain senapan dan kotak peluru, kamu juga harus memanggul sekeranjang makanan dan cadangan mesiu. Jika kamu membayangkan perbekalanmu mudah diangkut, kamu sa?lah besar. Kereta-api yang diselorohkan Wienersdorf belum lagi siap, karena itu kamu terpaksa membawa sendiri harta berharga milikmu."
"Jadi kamu lihat lagi bahwa di dunia ini tidak ada yang sempur?na," kata si Walloon.
"Kini aku sudah kaya, tentu saja aku mengharapkan orang lain bekerja untukku."
Yohanes kini memikirkan cara lain untuk membuang barang- barang yang diperoleh dari Baba Pucieng, dari Bapa Andong, dan dari kota Baru dengan melakukan barter dengan suku Olo Ot. Kini me?reka sudah ditimbuni banyak kekayaan, sehingga barter tampaknya tidak diperlukan, tetapi Yohanes sangat ingin menyaksikan sendiri dan menunjukkan kepada teman-temannya cara orang Dayak ber?bisnis. Karena itu ia bicarakan masalah itu dengan Harimau, yang melihat rencana itu benar-benar bisa dilaksanakan. Karena itu segala sesuatunya disiapkan untuk ekspedisi dagang. Pada pagi yang indah,
keempat sahabat itu, ditemani oleh Dalim, Harimau Bukit, dan Amai Kotong, berlayar menghulu Sungai Miri dengan rangkan yang sengaja disewa untuk tujuan itu. Perjalanan itu cukup jauh. Pada hari ketiga para pelayar itu tiba di Sungai Danom Pari, di mana mereka menda?rat di bawah sebatang pohon raksasa dan rindang di dekat pinggir sungai. Di kaki pohon itu mereka menggelar tikar, dan di atasnya mereka letakkan setumpuk garam, merjan-merjan, bahan pakaian" seperti jaket dan cawat yang terbuat dari kain kasar dan kulit kayu; sekitar 20 bilah mandau, beberapa potong besi, beberapa lusin pisau yang kasar buatannya, dan sejumlah tembakau dalam bungkusan- bungkusan kecil. Semua barang itu diletakkan terpisah-pisah di atas kios dadakan itu. Beberapa makanan kecil yang terdiri atas kue-kue ditambahkan. Minuman diwakili sebuah guci tuak yang besar.
"Aku tidak keberatan menjaga guci itu," kata La Cueille.
"Karena takut kehabisan?" tanya Yohanes dengan tersenyum. "Lebih baik kamu tinggalkan guci itu sendirian, karena guci itu tidak dapat melindungimu, dan aku yakinkan kamu perlu dikawal di daerah ini. Kita berada di daerah orang-orang Ot yang akan kuceritakan nanti."
Ketika semua barang telah dipajang, Harimau Bukit mengambil gong yang digantung pada satu cabang pohon, dan dengan sebatang kayu ia memukulnya beberapa kali sehingga gemanya terdengar di seantero hutan. Mereka memasang telinga dengan seksama sekitar sepuluh menit. Mengetahui tidak ada jawaban, orang Punan itu memukul lagi gong beberapa kali. Kemudian dari kejauhan sejumlah suara yang bunyinya sama terdengar; suara-suara itu menggumam seakan-akan keluar dari satu lubang pohon. Kini Harimau Bukit mengajak teman-temannya naik kembali ke rangkan, memukul kembali gong, dan seluruh rombongan mengayuh ke hilir sungai satu setengah mil di mana mereka berhenti dan menunggu di tengah- tengah sungai.
"Aku bersyukur jika bisa melihat barang-barang kita itu kembali lagi," kata Schlickeisen.
"Jangan takut," jawab Yohanes, "tunggu saja".
Mereka tidak harus menunggu terlalu lama. Beberapa jam kemudian terdengar suara gong dan rangkan mematuhi tanda itu dengan berlayar lagi menghulu sungai ke posisi semula.
Mereka kembali ke kios mereka dan memeriksa kondisinya. La Cueille yang menemukan pertama kali; ia berteriak jengkel:
"Tengok kemari, guci tuak kita sudah melompong!"
Namun keheranan dia dan teman-temannya semakin bertambah ketika melihat barang-barang yang dipajang untuk para pembelinya yang tidak kelihatan masih ada. Selain barang-barang yang diperda?gangkan itu, telah diletakkan barang-barang lain sebagai harga yang ditawarkan. Sebutir atau berapa batu guliga, beberapa tumpuk serbuk emas, dan kulit macan, ditawarkan sebagai ganti sebilah mandau, pakaian, sebilah pisau, dan beberapa bungkus tembakau atau merjan kaca.
"Tapi bagaimana selanjutnya?" tanya Wienersdorf.
"Coba kita lihat baik-baik dan perkirakan nilai tiap barang," kata Harimau. Kemudian dengan cermat mereka mengamati barang-ba?rang tawaran mereka dan harga yang ditawarkan, dan mereka meng?hitung sebagian besar nilai barang penukarnya melebihi barang- barang yang hendak dijual. Terutama garam tampaknya merupakan kebutuhan terbesar Olo Ot, karena tumpukan-tumpukan besar emas ditawarkan sebagai barter untuk komoditas itu. Ketika semua pedagang dadakan itu puas dengan harga-harga itu, Harimau Bukit mengumpulkan semua barang yang ditinggalkan oleh Olo Ot dan membawanya ke rangkan. Kios yang berisi barang dagangan mereka sendiri ditinggalkan dan tidak disentuh. Harimau memukul gongnya keras-keras sebagai tanda, menurunkannya, dan membawanya ke rangkan ketika perjalanan pulang dengan segera dimulai. Ketika membuat perhitungan laba-rugi, Yohanes merasa bahwa untuk sampah yang ditawarkan oleh orang-orang Eropa dalam perdagang?an itu mereka mendapat 100 butir batu guliga, sekitar enam tahil serbuk emas, dan sejumlah besar kulit macan. Kulit-kulit ini diminta Yohanes untuk dijadikan jaket yang amat berguna bagi mereka dalam perjalanan yang direncanakan melalui hutan belantara.
"Luarbiasa," kata La Cueille, "ini bisnis yang sangat menguntung?kan. Ini samasekali mengalahkan pedagang borongan manapun".
"Tapi andaikata," tanya Wienersdorf, "orang-orang Ot itu tidak memberi nilai yang memadai untuk barang-barang kita, apa yang harus kita lakukan?"
"Dalam hal itu," kata Dalim, "kita hanya mengambil kembali barang-barang kita dan meninggalkan barang-barang mereka."
"Dan sebaliknya, jika mereka mengambil barang-barang kita tanpa menyisakan apapun?"
"Hal semacam itu tidak bakal terjadi," Yohanes menjelaskan. "Dalam cara barter semacam ini tersirat rasa saling percaya tanpa kedua belah pihak saling mengenal. Pernah terjadi beberapa pedagang Melayu, ketika memindahkan barang-barang mereka, mengambil beberapa barang yang ditawarkan sebagai alat tukar oleh orang- orang Ot. Tapi belum sampai setengah jalan ke hulu mereka terkejar dan membayar ketidakjujuran mereka dengan nyawa."
"Katamu, mereka adalah para pedagang yang tidak mau terlihat" Apa betul begitu?"
"Memang. Jika orang-orang Ot menampakkan diri, itu artinya perang dan salah satu pihak harus hancur."
"Orang-orang macam apa Olo Ot ini?"
"Ah! Kini kamu bertanya lebih daripada yang dapat kujawab. Aku sendiri belum pernah melihat mereka; tapi tanya orang-orang Punan itu, dan kamu akan mendengar bahwa mereka adalah orang-orang setengah monyet dan punya ekor."
"Ekor?" seru La Cueille, cukup kaget.
"Ya; ekor, Walloonku tercinta," kata Yohanes sambil tersenyum. "Jangan lupa, kamu juga pernah punya ekor; paling tidak nenek moyangmu; dan jika...."
"Nenekmoyangmu, barangkali, bukan moyangku," jawab si Walloon marah.
"Dan," lanjut Yohanes dengan tenang, "jika kamu amati ujung tulang punggungmu, akan kamu lihat bahwa tulang belakang yang terakhir terasa seakan-akan telah patah. Beberapa sarjana barangkali mencoba membuktikan bahwa itu hanya akibat kebiasaan kita duduk sehingga ekor yang asli menjadi aus. Keganjilan ini, menurut mereka, terus berlanjut dari generasi ke generasi. Bukankah begitu, Wienersdorf?"
"Begitulah: Adams, Schlegel, dan kemudian Darwin...."
"Stop, stop," teriak La Cueille, "kita tidak mengenal siapa tuan- tuan itu!"
"Namun itu benar-benar fakta positif," lanjut Yohanes, "yang telah diamini oleh banyak sarjana, bahwa di Kalimantan ini suku- suku itu benar-benar menikmati kemewahan ekor. Menurut mereka, ekor ini tidak lain hanyalah kepanjangan tulang punggung. Pemilik
ekor tambahan ini selalu membawa serta sepotong kecil papan ber?lubang dengan panjang sekitar delapan inci, di atas mana mereka duduk supaya yang menonjol itu tidak mengganggu kenyamanan mereka. Menyangkut Olo Ot, mereka dianggap sebagai penduduk pribumi Kalimantan yang lambat-laun terdesak ke dalam belantara oleh suku-suku lain. Mereka sangat pemalu, sangat berbahaya, dan pengayau, dan samasekali tidak menolak menikmati daging manu?sia dengan atau tanpa garam dan lombok. Mereka tidak punya kam?pung, juga tidak punya hubungan sosial. Mereka hidup bersama dalam keluarga-keluarga, akan tetapi cukup besar untuk membentuk satu kelompok yang terdiri atas 12 sampai 15 orang laki-laki. Kapan saja ada tanda bahaya dibunyikan pada lubang-lubang di atas pohon hutan-hutan ini, dengan cepat mereka berkumpul dari berbagai arah sampai mereka berhasil mengumpulkan beberapa ratus orang yang gagah-berani. Rumah dalam pengertian kita tidak mereka kenal. Mereka membuat semacam sarang di atas pohon besar dan tinggal di situ. Selanjutnya mereka bergerak di atas puncak-puncak pohon di hutan-hutan ini dengan begitu lincah yang tidak bisa kita bayangkan. Mereka hanya bisa dikalahkan oleh kahio, buhi, atau jenis-jenis monyet lain. Tapi kamu boleh tinggal tenang bahwa sejak kita menginjakkan kaki di wilayah mereka, tidak sedetikpun kita ti?dak diawasi. Bahkan sekarang, meski kita tidak melihat mereka, me?reka sebenarnya berada di sekitar kita."
"Setan mereka," gumam La Cueille, "sebaiknya kita pergi lebih cepat dan ke luar dari intaian mereka."
Mereka mengayuh dengan mantap dan rangkan meluncur ke hilir dengan cepat dan aman.
Bab 18 PADA hari berikutnya pekerjaan mendulang emas diteruskan. Para petualang bersemangat mengumpulkan logam mulia sebanyak mereka sanggup. Mereka tahu tidak ada kesulitan dalam soal pengangkutan, karena Harimau Bukit yang setia dengan sukarela akan memandu mereka dengan pengamanan 30 orang Punan ke daerah perbatasan Sarawak. Wienersdorf dan teman-temannya menerima bantuan itu dengan rasa terimakasih dan segera membuat persiapan-persiapan.
Suatu pagi, ketika Rangan Hanungoh sibuk mempersiapkan amunisi di kota, La Cueille berpikir ia akan membuat beberapa selongsong. Menurut pendapatnya, selongsong-selongsong itu lebih gampang digunakan oleh orang-orang Punan, selain tidak begitu berbahaya juga tidak mubazir. Akan tetapi untuk membuat selongsong ia harus punya kertas, barang mewah yang tidak mudah didapatkan di sebuah kota Dayak di tengah-tengah Kalimantan. Ia membicarakan hal ini dengan Harimau Bukit sambil menunjukkan salah satu selongsongnya. Segera setelah mengerti apa yang dibutuhkan, orang Punan itu masuk ke kamar dan kembali dengan membawa setumpuk buku tua. Kebanyakan ternyata adalah Injil, dicetak dalam bahasa Dayak, yang umumnya dibagi-bagikan ke seluruh pedalaman Kalimantan, meskipun tidak seorangpun penduduk pribumi itu melek huruf. Akan tetapi di antara buku-buku ini si Walloon menemukan satu manuskrip berukuran folio yang sebagian besar halamannya sudah koyak-moyak. Kebanyakan halamannya tinggal lembaran- lembaran kosong. Bagian-bagian yang ditulisi sudah koyak atau lusuh. Tidak ada halaman judul yang menunjukkan siapa pengarang atau pemiliknya. Selagi membuka-buka manuskrip itu, perhatiannya
tertumbuk pada satu halaman yang separuhnya sudah robek, yang memuat kata-kata ini:
"14 Oktober 1824. Saya telah menemukan emas di sini seperti halnya di distrik-distrik lain, di dalam lapisan-lapisan tanah" terpisah satu sama lain sesuai bentukan tanahnya, sehingga di satu tempat seorang benar-benar dapat menemukan harta, sedangkan di tempat lain yang berdekatan tidak ditemukan apa-apa. Pasir yang mengandung emas umumnya berada di lapisan tanah liat kuning dan tertutup tanah liat batubara muda yang lebih gelap. Bijih emas berasal dari gumpalan-gumpalan emas yang bergesekan dengan lapisan tipis tanah (laminae), atau dengan batu-batu, yakni ketika gumpalan- gumpalan itu dimunculkan oleh arus deras sungai. Tambang-tambang sesungguhnya, di mana lapisan-lapisan...."
Pada bagian ini halamannya sudah robek dan halaman berikutnya telah hilang.
"Sayang sekali," keluh si Walloon.
Ia membalik halaman dan tiba-tiba perhatiannya tersita lagi.
"Ya ampun, ini menarik sekali. Aku harus membacanya."
"16 Juli 1824. Saya melihat intan besar milik Sultan Matan ke?marin. Ditilik dari penjagaan yang amat ketat, saya rasa intan itu benar-benar asli; karena kapan saja Sultan tidak percaya pada se?orang asing, ia hanya menunjukkan sebuah jakut indah yang mirip de?ngan intan besar itu. Intan itu merupakan batu yang luarbiasa indah dan ditemukan di Kerajaan Landak. Beratnya 361 karat. Saya sendiri yang menimbangnya. Intan itu berbentuk piramida berpermukaan 12 atau heksagonal ganda (double hexagonal), kira-kira duapertiga dari seluruh bagian panjangnya patah, barangkali akibat dilepaskan dari penutupnya sebagaimana biasa terjadi. Bentuknya agak tidak teratur dan mencong. Intan itu sebening air paling murni; warna cahayanya condong ke warna bunga mawar karena pembiasan yang disebabkan oleh retakan daripada karena kurang murni. Bagian yang membujur panjangnya dua seperenam inci, ukuran yang menyamping satu seperempat inci. Sisi pendek piramidanya satu sepertiga inci, sisi panjangnya satu setengah inci. Dalam bahasa Dayak disebut sagima, bersiku-siku; dalam bahasa Melayu danau rejo, harganya diperkirakan limajuta duaratus duabelas gulden".
"Limajuta gulden," seru si Walloon tercengang. "Limajuta gulden!
Apa yang tak akan kukorbankan untuk mendapatkan batu seperti itu! Aku tanya, di mana itu Landak?"
"Ke arah itu," jawab Yohanes, menunjuk ke arah baratdaya.
"Apa kita akan melewatinya?" tanya si Walloon.
"Kau ini bicara apa?" Yohanes menjawab. "Bagaimana kita akan melewati daerah itu jika kita bepergian ke arah utara?"
"Lihat sini," kata si Walloon menunjuk buku yang robek. "Sebongkah intan telah ditemukan di Landak bernilai limajuta gulden. Andaikata kita dapat menemukan juga batu semacam itu?"
"Bah! Kamu mimpi mendapatkan intan berharga lebih daripada duajuta dollar! Ambisimu semakin bertambah. Coba kita lihat apa kata buku itu tentang permata itu."
Yohanes mengambil manuskrip itu dan mulai membacanya. Sete?lah membaca deskripsi permata itu, ia dengan agak malas membalik beberapa halaman, tetapi semakin tertarik ketika membaca lebih cermat isinya.
"Dari mana kamu dapatkan buku ini?" ia bertanya pada si Walloon.
La Cueille menceritakan Harimau Bukit telah memberikan kepa?da dia buku-buku untuk pembuatan selongsong. Orang Punan itu kini ditanya, dan setelah berpikir sejenak ia ingat bahwa buku-buku itu diperoleh ketika ia mengadakan ekspedisi pengayauan di antara suku Penheng. Ia juga memberikan informasi bahwa buku itu banyak ilustrasinya, tetapi anak-anak telah merobek-robek gambarnya.
Dengan mengamati lebih cermat lagi Yohanes memperkirakan bahwa di bagian dalam salah satu sampulnya, pada halaman kosong yang direkatkan, terdapat beberapa tulisan. Dengan hati-hati ia melonggarkan halaman itu dan memisahkannya dari sampulnya, lalu ia membaca sebagai berikut:
"Semua anggota rombonganku telah dijagai hari ini. Besok gilir?anku. Semoga Tuhan mengampuniku. G.M."
Yohanes mengamati inisial itu beberapa saat. "Ya, Tuhan!" serunya, "barangkali ini jurnal George Muller, sarjana yang mati terbunuh di negeri ini lebih daripada 35 tahun yang lalu! Ini benar- benar temuan yang amat berharga. Yah, tak diragukan lagi, ini buku harian Muller."
Harimau Bukit yang telah masuk ke bilik kini muncul lagi dengan untaian rosario tengkorak, salah satu butirannya diperlihatkan kepada
orang-orang Eropa itu. Persesuaian menunjukkan bahwa tengkorak itu berasal dari individu ras Kaukasus.
"Ditemukan bersama buku ini," kata orang Punan itu.
Baik Schlickeisen maupun Wienersdorf memohon dengan sangat kepada Harimau Bukit untuk memberikan tengkorak itu kepada mereka, tetapi semua usaha mereka gagal. Pemilikan tengkorak orang kulit putih sangat dihargai oleh orang Punan; jadi ia dengan hati-hati mengikat kembali rosario itu dan membawanya masuk, lalu diletakkan di tempat yang aman. Walaupun demikian Yohanes mendapat tugas menjaga buku itu dari kehancuran lebih lanjut.
Peristiwa ini berlangsung beberapa hari sebelum perkawinan Wienersdorf. Ia sudah ingin sekali mengawini Hamadu yang dicintainya, dan Yohanes juga sudah ingin sekali melihat perjalanan itu dilanjutkan.
Hari bulan purnama akhirnya tiba, dan pagi-pagi sekali Dalim dan Yohanes mulai menyiapkan calon pengantin laki-laki untuk upacara perkawinan. Menurut adat Dayak, Wienersdorf pertama- tama harus mandi di sungai. Kemudian ia dicat dengan katiting dan setelah itu dibalur dengan bungkang, lemak kucing hitam, sampai kulitnya mengkilat seperti daun pintu. Kuku-kuku jari tangan dan kakinya dibersihkan sampai mengkilat dan dahinya dicat dua strip merah lebar, yang terlihat seperti alis merah, mengatasi alis-alis asli yang telah diberikan alam kepadanya. Ia kini mengenakan karunkung atau pakaian zirah rotan, dan di atas kepalanya dipasang topi dari kulit kera, diberi ornamen dua helai bulu ekor burung enggang yang cantik. Ewah, yang melingkari pinggangnya, dibuat dari kulit kayu yang bagus dan dari kualitas yang langka. Dalim kemudian mengikatkan di perut Wienersdorf mandau kebesaran Harimau Bukit dan melengkapinya dengan telabang yang bergambar seekor buaya. Setelah itu dandanannya selesai.
"Kamu tampak gaya sekali," seru La Cueille. "Seharusnya aku bisa melihatmu seperti ini di pekan raya Jupille. Berapa banyak uang yang kudapat dengan memamerkan kamu seperti seorang suku Indian liar."
Wienersdorf baru saja selesai didandani ketika tiga orang wa?kil keluarga pengantin perempuan muncul dan dengan khidmat menanyakan apakah Wienersdorf telah siap melangsungkan acara perkawinan.
"Saya pikir begitu," jawab La Cueille, "ia sudah mendidih tak sabar."
Setelah jawaban diberikan secara resmi sebagai ketegasan, masing-masing wakil menerima hadiah serbuk emas dari pengantin laki-laki, yang segera menemani mereka ke tempat kediaman pe?ngantin perempuan. Orang-orang Eropa yang lainnya, ditemani beberapa orang Dayak selaku pengiring, ikut dalam upacara yang penuh khidmat.
Seluruh penduduk kota Rangan Hanungoh telah berkumpul di bawah peneduh yang menghadap ke rumah Harimau Bukit. Ter?gabung bersama mereka sejumlah penduduk dari kota-kota lain yang berdatangan untuk menyaksikan upacara. Pengantin perempuan mengenakan mantel panjang sutra dan saloi yang dibordir emas, dan dengan malu-malu duduk di tengah-tengah 20 gadis muda teman- temannya. Pengantin perempuan dan para pengiringnya menghiasi rambut mereka yang lebat dengan bunga-bunga.
Segera setelah pengantin laki-laki masuk, Amai Kotong selaku tetua rombongan itu, bangkit dan dengan khidmat memohon dengan sangat kepada Mahatara dan semua Sangiang, terutama Kajanka, penguasa bulan, untuk menjaga kedua pengantin muda dari segala macam kesulitan dan malapetaka. Kemudian ia, dengan suara lantang, menyatakan ikatan di antara kedua belah pihak, menggunakan kata- kata berbunga yang bagus sekali sebagai pengakuan orang Dayak bahwa Dewata, seperti makhluk bumi, lebih mengutamakan yang kaya daripada yang miskin. Ia kemudian mencampur darah kerbau, ayam, merpati hutan, dan babi dalam satu bejana tembikar dan memohon kepada para Sangiang untuk menyumbangkan di dalam campuran ini beberapa darah kerbau, ayam, dll., milik mereka. Agar upacara lebih mengesankan, mantra ini diulang-ulang oleh 48 orang bilian yang hadir dengan disertai teriakan-teriakan menakutkan dan pukulan-pukulan keras katambong-katambong.
Amai Kotong dengan demikian telah menj alankan bagian tugasnya dalam upacara itu. Enam tetua suku itu kemudian melangkah ke depan dengan mantra baru, yang diucapkan berulang-ulang, dan masing-masing dibayar oleh pengantin perempuan sebagai ongkos dengan serbuk emas senilai dua dollar.
Hamadu dan Wienersdorf kemudian disuruh duduk di atas garantong atau piring logam masing-masing. Setelah persiapan itu
selesai, Amai Kotong mendekat sambil membawa kendi berisi darah. Ia celupkan jari telunjuk, jari tengah, dan jempol tangan kanannya ke dalam darah kental dan memohon lagi restu para Sangiang untuk pengantin laki-laki dan perempuan sambil memoles dahi, bahu, pergelangan tangan mereka, dll. dengan isi kendi itu. Proses ini diulang oleh keenam tetua tadi secara bergantian.
Wienersdorf kemudian membagi-bagikan kepada keluarga pe?ngantin perempuan berbagai hadiah yang telah disiapkan untuk kesempatan itu. Harimau Bukit mendapat jaket mewah dari kain merah, dengan bagian lehernya lebar dan mengkilat. Amai Kotong dan yang lain-lain diberi hadiah ewah yang bagus-bagus.
Dengan pemberian hadiah-hadiah tersebut, upacara untuk sementara ditutup, dan dengan sendirinya para tamu menuju ke bagian konsumsi, yang telah disediakan melimpah oleh Kepala Suku Punan, dengan gaduh.
Menjelang malam, ketika para tamu masih menikmati hidangan, suami dan istri dipisahkan. Menurut adat Dayak, mereka tidak boleh saling bertemu pada hari perkawinan. Pengantin perempuan dibim?bing oleh para pengiringnya, dan pengantin laki-laki ditinggalkan dengan perintah keras untuk terus terjaga agar mimpi-mimpi tidak mendatanginya. Karena itu ia bergabung dengan teman-temannya dan ikut serta dalam pesta.
Akan tetapi segera setelah matahari terbit di cakrawala, pengantin perempuan dibawa ke luar oleh para pengiringnya. Ia dan suaminya naik ke satu jukung dan mendayung ke tengah sungai. Setiba di situ Hamadu membuat sentakan tiba-tiba pada rangkan ringan itu sehingga Wienersdorf tercebur ke dalam air. Selesai menceburkan suaminya, ia membantunya naik kembali ke rangkan dan mendayung balik ke tepian, dan mereka pun disambut jeritan para bilian. Para bilian kemudian menyawerkan beras ke atas kepala pengantin perem?puan dan laki-laki, disusul dengan melepaskan seekor ayam yang disiapkan untuk mematuk beras. Ini dimaksudkan sebagai lambang mengusir semua malapetaka dari kepala sepasang pengantin baru itu. Tuak diedarkan berkeliling, dan setelah mendapatkan gelas bagiannya, semua pulang ke rumah masing-masing, meninggalkan suami-istri baru itu menikmati kebahagiaan bersama.
Perkawinan telah diselenggarakan dan kini tidak ada lagi yang menghalangi para petualang itu untuk meneruskan perjalanan. Karena itu diputuskan untuk segera memulai perjalanan setelah berbagai persiapan dilakukan. Beberapa hari cukup untuk melengkapi semua keperluan, dan pada dini hari di hari ketiga setelah acara perkawinan, perjalanan dilanjutkan. Rombongan itu terdiri atas Tuan dan Nyonya Wienersdorf, ketiga orang Eropa lainnya, Dalim dan teman-temannya dari Kuala Kapuas, serta Harimau Bukit, yang memegang teguh janjinya, yang bersama dengan beberapa orang pengikutnya akan menemani rombongan itu sampai mereka lepas dari marabahaya. Untuk menampung mereka, sebuah rangkan besar disiapkan, diawaki oleh 40 orang Punan. Mereka pertama-tama akan bertindak sebagai pengayuh dan kemudian sebagai pengangkut barang. Didorong oleh begitu banyak pengayuh, rangkan itu, meskipun memuat banyak orang, melaju cepat ke arah utara. Selama kota masih terlihat para penumpang rangkan bergantian meneriakkan seruan "hura" dengan keras kepada teman-teman yang ditinggalkan, yang kemudian mele?paskan salvo dari enam pucuk meriam yang telah dipasang di kubu- kubu kota oleh La Cueille. Tembakan penghormatan itu dimaksud?kan sebagai kenangan pada masa lalu yang menyenangkan dan juga bukti kemahiran para artileris kepada instruktur mereka yang baru saja berpisah. Namun si Walloon tampaknya tidak puas.
"Yang terbaik meriam kedua," katanya, "orang itu tentu mengerti lebih baik. Yang nomor empat tidak hati-hati menutup moncongnya. Suatu saat pasti akan terjadi kecelakaan".
Sambil berdiri di rangkan si Walloon akan meneriaki orang-orang yang menembakkan meriam-meriam itu, tetapi tiba-tiba rangkan melesat di kelokan sungai sehingga kota lenyap dari pandangan.
Pelayaran dilanjutkan dengan menghulu Sungai Miri, yang akan dilayari selama dua hari lagi, dan setelah itu sungai akan berubah dangkal sehingga pelayaran harus ditinggalkan. Ketika malam tiba, pada hari kedua, mereka mendarat dan mendirikan kemah, me?nyiapkan segala sesuatu untuk melanjutkan perjalanan darat esok harinya.
"Apakah kita tidak akan bersua dengan orang-orang Ot?" tanya Schlickeisen. "Bukankah kita berada di wilayah mereka?"
"Mari kita berharap tidak menerima kunjungan mereka. Bersua dengan mereka berarti berkelahi untuk hidup," kata Harimau. "Tapi yakinlah," lanjutnya, "mereka telah melihat kita dan kita masih terus
diawasi; tapi mereka tahu siapa saya dan kita tidak pernah berselisih dengan mereka."
"Namun kita tetap harus berjaga-jaga," pikir Yohanes. Karena itu ia membagi rombongan menjadi dua kelompok untuk bergilir jaga sepanjang malam. Akan tetapi jam-jam berlalu tanpa gangguan, dan pada dini hari orang-orang Punan memikul keranjang-keranjang mereka yang berisi makanan dan amunisi. Keempat orang Eropa juga membawa keranjang, beban yang tidak asing bagi mereka karena terbiasa membawa ransel. Selain berisi peluru, keranjang-keranjang itu berisi serbuk emas dan batu guliga. Hamadu mengurus sendiri keranjangnya karena takut perhiasan-perhiasan kecilnya akan hilang, tetapi ketika diangkatnya ia dapati keranjang itu kosong. Wienersdorf telah mengeluarkan dan memasukkan isi keranjang Hamadu ke kekeranjangnya. Hamadu protes, tetapi segera terdiam dengan satu ciuman, dan setelah itu dengan sabar ia mengalah. Orang-orang Eropa dengan gembira memegang tongkat-jalan mereka yang berisi serbuk emas, menyandang senapan dan dengan gagah melangkah. Beberapa orang Punan melabuhkan rangkan pada satu anaksungai kecil dan meninggalkannya di situ tanpa khawatir atas keamanannya.
"Apa kamu akan menemukan lagi rangkan itu ketika kembali nanti?" Wienersdorf menanyakan iparnya.
"Tentu saja; pencurian tak dikenal di sini. Satu-satunya benda yang harus kujaga adalah kepalaku."
Orang Swiss segera mengetahui bahwa arah mereka adalah ham?paran gunung yang berdiri megah yang tampak di baratlaut. Mereka tahu, setelah bertanya, bahwa gunung itu adalah Bukit Dusun. Itu bukan rangkaian gunung, melainkan lebih sebagai dataran yang me?ninggi dan membentuk sejumlah puncak, dan menempatkan dataran tinggi tersebut sebagai pusat negeri. Jalan"jika jalan setapak yang dibentuk oleh kaki manusia di antara tumbuhan yang beragam itu dapat disebut jalan"tidak sulit. Jalan itu naik-turun di antara bukit- bukit yang menanjak dan mereka perlu mengerahkan tenaga jika jalan itu terpotong anaksungai yang mengalir deras melalui lembah-lembah kecil dengan tanah lempungnya. Di anaksungai-anaksungai umumnya mereka menggunakan kesempatan untuk mandi di air yang bening, suatu bentuk penyegaran yang tidak susah dan tidak menghambat peijalanan para pengembara yang berpakaian minim itu. Selama membersihkan diri, penjagaan cermat terus dilakukan; sebagian
orang mandi, sementara yang lain berjaga dengan senapan di tangan. Walaupun demikian tidak tampak sesuatu yang mencurigakan; tidak satu manusiapun yang tampak. Mereka hampir dapat membayangkan diri berada di sebuah pulau yang telah ditinggalkan penghuninya. Tetapi selama di salah satu tempat istirahat ini para pengembara punya alasan bahwa mereka diawasi. Sebatang kayu besi besar yang berdekatan dengan tempat istirahat mereka telah menarik perhatian Wienersdorf. Ia mendekati dan memandang pohon raksasa itu, yang menjulang dengan angkuh seperti tiang yang menegakkan mahkota dedaunan yang lebat setinggi 150 kaki ke angkasa. Sepasang persegi yang terbentuk dari garis vertikal dan horizontal yang ditakik pada batang pohon itu membuat ia berpendapat bahwa kulit kayu itu telah ditoreh oleh tangan manusia. Ia juga memerhatikan bahwa kulit kayu di bagian ini lebih muda daripada kulit kayu sekitarnya. Ia berdiri di situ sambil memandang agak lama, dan setelah mencabut pisaunya ia torehkan sepotong huruf W besar di tengah-tengah salah satu persegi itu sambil bermaksud menambahkan inisial nama Hamadu dan keduanya akan dilingkari dengan gambar hati. Selagi melakukan itu suara siulan yang terdengar telah menyebabkan ia melihat ke sekeliling, dan seketika itu pula ia melihat satu anaksumpit menancap di antara kepala dan tangannya. Dengan sigap ia membalik, memasang senapan, dan melepaskan tembakan ke arah semak-belukar di belakangnya, karena ia merasa ada sesuatu yang bergerak. Semua teman-temannya segera ke tempat Wienersdorf dengan ketakutan sambil menunjukkan anaksumpit kecil yang menancap di pohon. Orang-orang Eropa lainnya memberondongkan tembakan untuk membersihkan tempat itu. Akan tetapi Harimau Bukit menghalangi, menurunkan senapan-senapan mereka dan berteriak, diikuti dengan beberapa kata dalam bahasa yang tidak dipahami oleh orang-orang Eropa. Orang Punan itu kemudian terdiam beberapa saat dalam sikap menunggu, wajahnya menampakkan kecemasan yang sangat. Akhirnya beberapa suara parau terdengar menjawab, membuat wajah Harimau Bukit cerah kembali dan meyakinkan teman-temannya bahwa bahaya telah berlalu. Penduduk yang tinggal di sini ialah Ot Nyawong, satu suku yang bersahabat dengan suku Harimau Bukit, dan mereka memohon agar pohon di mana Wienersdorf hendak menorehkan namanya tidak dirusak lebih lanjut.
"Benar-benar gagasan gila," geram La Cueille, "menorehkan namanya sendiri di pohon di tengah-tengah hutan belantara."
"Ada apa dengan pohon itu?" tanya Wienersdorf.
"Orang-orang Ot telah menguburkan salah seorang warganya di dalam pohon itu," jelas Dalim. "Mereka membakar mayat-mayat orang mati, membungkus abu dan tulangnya yang setengah hancur dalam bungkusan kain kafan, membuat lubang besar dalam sebatang kayu besi dan meletakkan bungkusan itu di dalamnya. Kemudian mereka menutup mulut lubang itu dengan damar dan lilin-lebah dan melindunginya dengan lumut. Dalam waktu cepat alam akan merestorasi kulit kayu itu dan bekas-bekasnya lambat-laun akan hilang. Tak seorangpun tahu bahwa pohon raksasa itu, dengan batangnya yang ramping dan daun-daunnya yang membentuk kerudung yang lebar, adalah kuburan manusia."
"Satu model pemakaman yang baru," komentar si Walloon.
Pada akhir hari kedua, para pengembara tiba di kaki Bukit Dusun. Esok paginya Harimau Bukit bermaksud mendaki bukit itu untuk melihat beberapa petunjuk yang akan menjadi pedoman perjalanan selanjutnya.
Kedua orang Swiss, bekas pendaki fanatik pegunungan Alpen, tidak puas ditinggalkan di belakang dan mendesak untuk ikut men?daki. La Cueille dan Yohanes juga memohon diizinkan ikut dalam ke?lompok itu. Maka diputuskan seluruh rombongan ikut serta dalam perjalanan pendakian itu.
Perjalanan berlangsung pagi berikutnya. Mula-mula mereka berjalan melalui hutan bambu bercampur dengan rotan dan tumbuhan merambat lainnya, yang menutupi pohon-pohon yang tinggi dan membentuk jejaring tidak tertembus sehingga sangat menghambat perjalanan. Tetapi semakin tinggi mereka mendaki, semakin jarang tanaman-tanaman itu sampai akhirnya hilang samasekali.
Sekitar setengah sepuluh siang para petualang tiba di puncak bukit, yang memiliki lengkungan cukup lebar, puncak utama dataran tinggi di tengah-tengah Kalimantan. Mereka istirahat di sini beberapa jam. Sementara Harimau melakukan pengamatan, Hamadu, dibantu oleh beberapa orang Punan, menyiapkan makanan sederhana. Sisa rombongan terpencar di puncak mencari rayoh, sejenis lumut indah yang ditemukan di dataran tinggi dan amat dihargai oleh orang Dayak.
"Benar-benar gagasan gila," geram La Cueille, "menorehkan namanya sendiri di pohon di tengah-tengah hutan belantara."
"Ada apa dengan pohon itu?" tanya Wienersdorf.
"Orang-orang Ot telah menguburkan salah seorang warganya di dalam pohon itu," jelas Dalim. "Mereka membakar mayat-mayat orang mati, membungkus abu dan tulangnya yang setengah hancur dalam bungkusan kain kafan, membuat lubang besar dalam sebatang kayu besi dan meletakkan bungkusan itu di dalamnya. Kemudian mereka menutup mulut lubang itu dengan damar dan lilin-lebah dan melindunginya dengan lumut. Dalam waktu cepat alam akan merestorasi kulit kayu itu dan bekas-bekasnya lambat-laun akan hilang. Tak seorangpun tahu bahwa pohon raksasa itu, dengan batangnya yang ramping dan daun-daunnya yang membentuk kerudung yang lebar, adalah kuburan manusia."
"Satu model pemakaman yang baru," komentar si Walloon.
Pada akhir hari kedua, para pengembara tiba di kaki Bukit Dusun. Esok paginya Harimau Bukit bermaksud mendaki bukit itu untuk melihat beberapa petunjuk yang akan menjadi pedoman perjalanan selanjutnya.
Kedua orang Swiss, bekas pendaki fanatik pegunungan Alpen, tidak puas ditinggalkan di belakang dan mendesak untuk ikut men?daki. La Cueille dan Yohanes juga memohon diizinkan ikut dalam ke?lompok itu. Maka diputuskan seluruh rombongan ikut serta dalam perjalanan pendakian itu.
Perjalanan berlangsung pagi berikutnya. Mula-mula mereka berjalan melalui hutan bambu bercampur dengan rotan dan tumbuhan merambat lainnya, yang menutupi pohon-pohon yang tinggi dan membentuk jejaring tidak tertembus sehingga sangat menghambat perjalanan. Tetapi semakin tinggi mereka mendaki, semakin jarang tanaman-tanaman itu sampai akhirnya hilang samasekali.
Sekitar setengah sepuluh siang para petualang tiba di puncak bukit, yang memiliki lengkungan cukup lebar, puncak utama dataran tinggi di tengah-tengah Kalimantan. Mereka istirahat di sini beberapa jam. Sementara Harimau melakukan pengamatan, Hamadu, dibantu oleh beberapa orang Punan, menyiapkan makanan sederhana. Sisa rombongan terpencar di puncak mencari rayoh, sejenis lumut indah yang ditemukan di dataran tinggi dan amat dihargai oleh orang Dayak.
Orang-orang Eropa terkesima dengan pemandangan yang ter?bentang di hadapan mereka; mereka memandang panorama de?ngan terpesona dan mata mereka menikmati tumbuhan tropis yang menakjubkan dari tempat mereka berada. Selagi sebagian besar rombongan diselimuti kekaguman, Yohanes tampak membuat catat?an di buku-sakunya. "Sudah 70 hari sejak kita meninggalkan Kuala Kapuas," katanya.
"Apakah sudah selama itu?" La Cueille menimpali. "Coba kulihat; kita tinggalkan benteng tanggal 10 Januari, kan?"
"Ya, dan hari ini tanggal 21 Maret, tepat 70 hari."
"Tanggal 21 Maret!" kata Wienersdorf, kaget pada tanggal itu. "Jadi matahari memasuki Aries hari ini dan tepat di atas khatulistiwa. Tunggu, aku akan segera mengetahui pada garis lintang berapa kita sekarang ini."
Wienersdorf memotong sebatang pohon cedar yang lurus dengan panjang sekitar 10 yard, membersihkan semua rantingnya, dan menancapkannya tegak lurus di atas tanah lembut berumput. Ia kemu?dian mengambil kompasnya dan memeriksa bayangan pendek tongkat itu, yang akan menunjukkan arah timur dan barat.
"Kesalahan mustahil terjadi di garis lintang ini," kata orang Swiss itu sambil mengira-ngira. "Tapi... itu dapat terjadi secara kebetulan. Barangkali ada daya tarik lokal yang membuat jarumnya menyimpang. Akan segera kulihat."
"Apa yang sedang kamu gumamkan?"
"Diam!" jawab ketus orang Swiss itu sambil terus mengamati bayangan tongkat. Bayangan itu semakin berkurang dan akhirnya hilang samasekali. Untuk sementara tidak ada bayangan yang terlihat.
"Tengah hari!" teriak Wienersdorf. "Aku dengan senang hati mengucapkan selamat padamu, Tuan-tuan, kita berada di ekuator."
Schlickeisen mendekat untuk melihat, dan benar saja, tidak ada bayangan yang dapat dilihat. Dengan demikian Bukit Dusun berada tepat di garis ekuator."
"Jadi aku sekarang sedang duduk di atas ekuator?" tanya La Cueille.
"Ya, sobatku, kamu mendapatkan hak istimewa itu."
"Wah, alangkah senangnya jika kita di laut! Dewa Neptunus akan
datang berkunjung ke kapal untuk mengucapkan selamat pada kita, dan akan ada jamuan minum untuk semua."
"Dan begitu juga di sini. Kita akan mengucapkan selamat tinggal kepada bumi bagian selatan dengan hati gembira," kata Yohanes, yang sambil melompat mengeluarkan dari salah satu keranjang dua botol jenewer, yang kemudian ditawarkan kepada anggota rom?bongan. Orang-orang Punan sangat senang dengan tawaran itu dan menyerukan leeeeeh, lelelelele, ouiiiiit mereka, yang disambut "hura" oleh orang-orang Eropa. Mereka saling berjabat tangan dan saling mengucapkan selamat atas pelarian mereka yang sukses.
"Tapi kita masih belum keluar dari rimba," ucap Yohanes pe?simistis. "Yang terburuk akan datang."
Dari Bukit Dusun Harimau memandu para pengembara ke arah barat, tetap menjadikan puncak Bukit Lintang, yang menjulang tinggi di antara bukit-bukit sekeliling, sebagai rambunya. Mereka pun sam?pai di Sungai Melahui,1 yang mereka seberangi dengan rakit darurat dari bambu yang banyak tumbuh di situ. Setelah melewati sungai itu, mereka berjalan ke arah baratlaut, dan ketika malam turun mereka mendekati beberapa gubuk yang ada di dekat sebuah jeram, Kiham Tuak, di Sungai Nanga Bunut. Harimau Bukit sangat terkenal di sini dan mengenal semua penduduknya dengan akrab. Ia masuki salah satu gubuk, dan tanpa banyak kesulitan berhasil membeli dengan beberapa tahil serbuk emas satu rangkan yang sanggup mengangkut semua anggota rombongan.
Pada dini hari, 24 jam kemudian, para pengembara itu telah berada di muara Sungai Belitang, dan dari situ mereka mendayung menuju ke Danau Luwar, danau terbesar dalam gugusan danau yang berada di kaki rangkaian pegunungan Batang Lupar.
Ketika rangkan telah berlayar setengah jalan, para penumpang memandang sekilas ke deretan pegunungan yang berbatasan dengan cakrawala utara.
"Di sana!" teriak Yohanes, "Begitu kita di sana kita bebas." Orang-orang Eropa sangat terkesan, memandang rangkaian pegunungan itu, yang terlukis bagai pita biru tua pada langit biru yang cerah. Untuk beberapa saat tidak seorangpun yang mampu
1 Sungai Melahui: Sebutan lain untuk Sungai Melawi, yang mengalir melalui kerajaan Sintang.
bicara. Semua bahaya dan penderitaan yang dihadapi untuk menca?pai jarak sejauh ini tampaknya sudah berlalu, dan mereka duduk dengan khidmat dan terdiam. Akhirnya Schlickeisen bertanya:
"Apa nama pegunungan itu?"
"Batang Lupar," Yohanes menjawab.
"Berapa kira-kira tingginya?"
"Orang Inggris menghitung, puncak-puncaknya yang tertinggi di antara enam dan tujuh ribu kaki."
"Begitu kita tiba di sana apa masih jauh lagi perjalanan kita?" tanya La Cueille.
"Agar sampai ke Jupille" Ya, masih sangat jauh."
"Bukan, goblok," balas si Walloon, "maksudku sebelum kita sam?pai ke pantai?"
"Itu aku tak tahu; aku belum pernah kemari sebelumnya."
Pertanyaan ini, ketika diajukan kepada Harimau Bukit, tetap tidak terjawab.
Kepala Suku Punan itu hanya menggelengkan kepala dan terse?nyum. Ia tidak tahu menghitung jarak.
"Alangkah hitamnya air danau ini," ucap Schlickeisen, "kita seperti berlayar di atas tinta."
"Ya," jawab Wienersdorf, "aku juga perhatikan hal yang sama di Sungai Belitang. Tapi di atas danau ini, aku perhatikan betapa air yang berwarna gelap ini bagai cermin yang pas dengan bingkainya. Perha?tikan permukaannya yang tenang. Bahkan di bawah sinar matahari sekalipun warnanya hitam pekat, sedangkan di depan kita meman?car dengan kontras daun-daun hijau tua yang ada di lereng-lereng gunung. Perhatikan juga di kejauhan sana gradasi perubahan bagian hutan yang terbuka sampai ke bagian yang curam. Itu melengkapi paduan keindahan dan keagungan yang jarang ditemukan di mana- mana."
Itu benar-benar pemandangan yang indah. Cermin air yang indah itu membentang jauh ke selatan dan baratdaya. Puncak Tomodok tampak di barat; rangkaian pegunungan Batang Lupar perlahan- lahan menjulang di utara, dan puncak-puncak Gunung Seribu Seratus yang meruncing, diungguli puncak Yapoh Purau di latarbelakang kejauhan. Orang Inggris menyebutnya Bukit Tebong, yang mengkilat seperti perak di bawah sinar matahari tropis.
"Gletser! " seru orang-orang Swiss itu dalam bahasa mereka sambil menunjuk puncak yang berkilap. "Apakah kita harus mendaki itu?"
Harimau Bukit menggeleng untuk menyatakan tidak, dan me?nunjukkan arah utara. Mereka kecewa karena harus pergi tanpa mendatangi puncak bersalut salju itu, yang tampaknya sedikit meng?herankan anggota rombongannya.
Belum tengah hari para pengembara itu mencapai pantai utara danau. Mereka segera mengangkat beban-beban mereka dan terus berjalan kaki.
Setelah menyembunyikan rangkan dengan hati-hati di bawah pimpinan Harimau di sebuah tempat di mana alat angkut itu dapat ditemukan lagi, orang Punan itu bersama orang-orangnya dengan cepat bergabung lagi dengan rombongan melakukan mars.
Jalan setapak mula-mula menembus sebidang tanah berawa yang mengitari danau, dan setelah tertingal di belakang setengah jam ke?mudian, mereka mendekati lereng gunung pertama. Perjalanan kini cukup mudah. Mereka dapat menduga adanya lalu-lintas di sepanjang jalan ini meskipun mereka tidak menjumpai manusia lain dan tempat tinggal. Mereka terus melangkah dengan tegap dan segera membuat banyak kemajuan sehingga menjelang malam mereka telah mencapai puncak tertinggi di atas Batang Lupar. Di sini, di bawah rindangnya pepohonan, mereka mendirikan bivak, dan seluruh rombongan, ke?cuali para pengawal yang bertugas jaga, segera terlelap tidur.
Bab 19 KETIKA semua pengembara terbangun esok paginya, dan halimun telah diusir cahaya matahari pertama, pemandangan yang luarbiasa terpampang di hadapan mereka. Lereng gunung bagian selatan yang mereka daki sehari sebelumnya tertutup pohon-pohon yang menjulang. Puncak yang telah mereka daki terbungkus beraneka jenis tumbuhan tropis yang luarbiasa kaya di daerah ketinggian. Tetapi ketika mereka mendekati ujung lereng bagian utara, tampak semua tumbuhan yang beraneka jenis itu seolah mendadak dipi?sahkan dengan alam yang paling liar dan fantastis. Liar adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan negeri di mana mereka telah sampai. Di sekeliling, bertumpukan batu-batu raksasa yang berbahaya untuk ditembus. Walaupun demikian, melewati penghalang-penghalang ini, mereka menemukan lorong-lorong dan jalan-jalan sempit rendah yang hampir tidak memberikan tempat untuk berjalan tegak. Menganga lebar di sekitar mereka ngarai curam berbahaya dan jurang yang tidak terkira dalamnya, di mana aliran sungai dari gunung bergemuruh seperti guntur meskipun mata tidak dapat melihat karena dalamnya. Di tempat-tempat lain bebatuan menjulang hampir tegak lurus seakan-akan mengancam jiwa dan raga mereka yang lewat. Namun di tengah-tengah kekacau- balauan yang dibentuk oleh kekuatan alam yang luarbiasa ini para pengembara kadang-kadang bertemu dengan wahah-wahah hijau, lereng-lereng datar yang dimahkotai rerumputan pendek dan indah di mana tumbuh pohon-pohon cedar, membentuk gambaran indah yang mengingatkan orang-orang Swiss itu pada hutan di pegunungan Alpen dengan pohon cemara dan pinus.
Ketika memasuki salah satu wahah itu, para petualang melihat satu jeram kecil yang meluncur dari satu jurang terdekat. Dengan kegembiraan yang tak terkira orang-orang Swiss itu memandang biru-hitamnya batu diorit yang ujung-ujungnya berhadapan dengan birunya langit yang lembut. Mereka amati air deras yang terjun itu"jubah berkibar yang dialirkan oleh peri air di permukaan yang luas. Sungai Undup, nama sungai itu, ditahan alirannya oleh massa bebatuan, menerjunkan airnya dari ketinggian kira-kira 400 kaki. Dinaungi warna biru-kehijauan dengan indah, cabang utamanya mencapai dasar lembah melalui dinding gunung yang tegak lurus bak sungai kristal, tetapi di tengah jalan arusnya ditahan oleh massa batu yang menjorok sehingga meluncur dengan suara guntur; kemudian membentur dan menjadi buih, arus itu mengalir deras ke bawah, ke arah lembah"pita putih-susu, bersinar seperti perak. Cabang-cabang lain Sungai Undup dengan liar memisahkan diri dengan tebing ju?rang; air deras dengan cepat berhadapan dengan dininding-dinding batu yang curam dan puncak-puncak bebatuan di mana air itu berta?han sementara; kemudian mereka pecah menjadi jutaan gelembung yang bersinar seperti api di bawah sinar matahari tropis dan lenyap untuk selama-lamanya.
Keempat kawanan dan Hamadu berjalan sedekat mungkin de?ngan air terjun itu, seakan-akan dituntun oleh naluri untuk memilih titik pengamatan di mana mereka dapat melihat bianglala di sekitar, yang terbentuk dari hasil pantulan sinar matahari. Mereka semakin dekat dan masing-masing dikitari pelangi ganda, dan ketika mereka berada di tempat yang paling dekat, tampak pelangi itu seolah berge?rak maju-mundur bersama mereka dan mengikuti setiap pergantian posisi mereka. Rambut, kulit, dan pakaian mereka tertutup oleh ribuan partikel air, tiap butir seperti berlian, bersinar cemerlang dengan warna prismatik tiada bandingannya.
"Indah sekali! Luarbiasa!" seru si istri muda. "Apakah peman?dangan seperti ini ada di negerimu?"
"Ini tak diragukan lagi luarbiasa indah," jawab suaminya; "tapi Tanah Swiss dapat juga menyombongkan air-air terjunnya. Kami punya Rhinefel di Laufen, Staubbach di lembah Lauterbrunnen, dan Giesbach di dekat Danau Brienz."
"Tempat orang-orang kulit putih membanggakan diri dengan lukisan air terjun. Bukankah begitu?" ucap Yohanes bergurau.
"Apa maksudmu dengan lukisan?"
"Aku membaca entah di mana bahwa alam di negerimu sangat miskin dan memerlukan kembang api untuk membuat jeram- jerammu menarik."
"Ya, mereka memang menerangi Giesbach; dan kapan saja kamu datang ke Eropa, jika kamu berada di Tanah Swiss, pergilah ke jeram itu dan membayar enam frank untuk melihatnya pada malam hari."
"Aku beteul-betul prihatin," kata Yohanes agak menghina.
"Untuk apa?" "Karena alam, menurutku, terlalu agung untuk dinodai dengan penghinaan semacam itu. Tapi untuk mengubah topik pembicaraan, marilah kita, terkesan dengan kemegahan air terjun ini, saling berjabat tangan dan memohon berkah Tuhan."
"Dengan segala senang hati," jawab La Cueille, "aku selalu meng?harapkan keselamatan karena biasanya diikuti dengan minum- minum."
Yohanes mengambil dari salah satu keranjang dua botol persegi. Ia menuangkan minuman keras itu untuk semua orang. Kemudian sambil mengangkat tinggi-tinggi cangkir tempurung kelapanya, ia berkata:
"Sahabat-sahabat dan saudara-saudara, pagi ini kita telah menye?berangi pegunungan Batang Lupar. Rangkaian gunung itu menandai perbatasan antara wilayah Belanda dan Sarawak. Kita sekarang telah melewati perbatasan dan berada di wilayah Raja Sir James Brooke. Saudara-saudara, aku bersulang untuk Raja Sir James Brooke, yang telah mendirikan koloni di pantai Kalimantan yang paling tidak ber?sahabat ini, yang telah menyambut kita setelah menempuh perjalanan panjang dan ziarah yang meletihkan. Hip, hip, hura!"
"Hip, hip, Hurrah!" orang-orang Eropa lain bersulang.
"Leeeh, lelelelele, ouiiiiit," teriak orang-orang Punan.
Para pengembara itu kini melemparkan pandangan ke negeri yang akan mereka turuni. Betapapun liarnya lereng-lereng Batang Lupar, di sana, di bawah mereka, terhampar permadani tumbuh-tumbuhan hijau, yang di tengah-tengahnya seutas pita perak berkelok-kelok dari selatan ke utara. Harimau Bukit menjelaskan kepada teman- temannya bahwa sungai yang mereka lihat itu adalah Sungai Undup. Ia juga menunjukkan kepada mereka satu tempat di cakrawala yang
berdiri tegak putih indah dengan latar belakang hijau.
Wienersdorf mengambil teropongnya dan melihat.
"Itu adalah gedung-gedung orang kulit putih," serunya dengan suara gemetar karena emosi.
"Terimakasih Tuhan!" kata Schlickeisen.
"Benie soit la tres Sainte Vierge de Jupille,"1 tambah La Cueille, yang dengan segala ketulusan hati membuka tutup kepalanya.
"Ya!" Wienersdorf melanjutkan, masih terus melalui teropong. "Itu adalah tempat-tempat kediaman yang dicat dengan kapur. Ada juga sebuah benteng. Tampaknya seperti benteng pertahanan. Aku dapat melihat bendera di atas tiang bendera"dasarnya berwarna emas dengan satu salib yang membagi dasarnya menjadi empat persegi sama sisi. Garis tegak lurus salib berwarna merah dan hitam; yang horisontal separuh merah dan separuh hitam."
"Itu mungkin bendera Sarawak," kata Yohanes.
"Tempat itu disebut Simangang," Harimau menjelaskan.
Para petualang itu kini turun ke dataran dengan cepat dan sebe?lum malam tiba mereka tiba di benteng Sarawak. Garnisun ditutup; tetapi segera setelah rombongan itu mendekat dalam jarak teriak, Schlickeisen yang lancar berbahasa Inggris maju sendiri, mening?galkan yang lain di belakang. Ia meneriakkan permohonan untuk berbicara dengan pihak berwenang, dan karena itu ia dibawa meng?hadap Asisten Residen dan Komandan Militer. Ketika pejabat itu mengetahui bahwa di antara rombongan itu terdapat empat serdadu yang telah melakukan desersi dari Angkatan Darat Belanda, kedua bibirnya mencibir. Itu menggelitik fantasi Mr Spencer, bahwa orang-orang Belanda dungu itu telah diperdaya. Setelah mengamati para pendatang, ia dengan ramah mengizinkan orang-orang Eropa itu masuk ke dalam benteng, tetapi Harimau Bukit dan orang-orang Punannya diperintahkan tetap tinggal di luar.
"Kalian datang tepat waktu," tambahnya. "Besok pagi kapal Firefly akan berlayar ke Kuching dan kalian dapat meneruskan perjalanan dengan kapal itu. Di Kuching kalian pasti akan mendapatkan kapal yang dapat membawa kalian ke Singapura."
Orang-orang Eropa itu dengan bersahabat mengucapkan terima- kasih kepada Komandan atas sambutannya, tetapi menyatakan niat untuk tetap tinggal di luar benteng.
Itu menjadi malam terakhir yang akan mereka lalui bersama Kepala Suku Punan yang gagah-berani. Besok mereka telah berada di atas Firefly, dan orang Punan itu beserta rombongannya dengan segera berangkat kembali ke Sungai Miri.
Malam hari dilalui dengan obrolan yang menyenangkan penuh kenangan tentang berbagai cobaan yang sudah berlalu, ketika mereka berjuang bahu-membahu. Kadang-kadang mereka menjadi sedih ketika mengingat perpisahan yang sudah dekat, tetapi itu segera dapat diatasi ketika mereka tahu bahwa semua itu tidak dapat dielakkan. Ketika fajar merekah orang-orang Eropa itu membawa keranjang- keranjang yang berisi harta-benda mereka ke atas Firefly; Harimau Bukit menemani mereka ke atas kapal. Ketika jeritan peringatan peluit-uap berbunyi, orang Punan itu memeluk adik perempuannya dan menatap dengan kasih-sayang ke arah matanya seakan-akan ingin membaca pikirannya. Airmata hangat mengalir deras di pipi Hamadu ketika Harimau Bukit mendekapkan adiknya itu ke dadanya. Kemudian ia memegang tangan Wienersdorf dan mengangkatnya ke bibir.
"Paharingku Dohong. Saudaraku Dohong," isaknya. Hanya inilah kata-kata yang sanggup diucapkan oleh emosinya yang bergolak.
Bel berbunyi lagi, disusul peluit lagi. Ia melepaskan diri dari pelukan Hamadu, menjabat tangan keempat sahabatnya dan meloncat ke tepian. Papan ditarik dari dermaga, kincir-kincir kapal mulai berputar, dan antara kakak laki-laki dan adik perempuan itu terbentang satu celah yang semakin lebar tiap detik, sampai mereka masing-masing lenyap dalam kabut pagi. Kemudian Hamadu menyeka airmatanya dan berbisik ke telinga Wienersdorf. "Sekarang, engkaulah segala-galanya bagiku."
Firefly, kapal-uap cepat itu, melaju di sungai yang lebar. Ketika matahari terbenam, kapal itu sampai di muara sungai dan para pengembara dapat melihat pemandangan seluruh lautan. Haluan kapal kini berputar ke arah barat, dan sebelum dini hari kapal memasuki muara Sungai Moratabas, cabang Sungai Sarawak. Beberapa jam kemudian kapal itu melabuhkan sauhnya di Kuching, ibukota kerajaan Sarawak. Para petualang itu disambut dengan


Menembus Rimba Raya Kalimantan Karya M.t.h. Perelear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hormat oleh Raja Sir James Brooke, yang mendengarkan pengalam?an mereka dengan penuh perhatian. Ia menyatakan kekagumannya atas keberanian, kerasnya kemauan, dan dinginnya kepala mereka, namun di saat yang sama dengan terus-terang ia menyalahkan desersi mereka"menyebut tindakan itu sebagai "melanggar kontrak yang telah dibuat dengan pemerintah mereka." Walaupun demikian ia tidak sampai hati menyerahkan orang-orang yang telah menyele?saikan petualangan semacam itu, yang telah mengalami berbagai cobaan dan begitu banyak penderitaan, yang telah mempertaruhkan nyawa demi memperoleh kembali kemerdekaan mereka, kepada Belanda.
Dua hari kemudian Rainbow, kapal-uap baling-baling bertiang tiga yang bagus, berlayar ke Singapura dan para pengembara me?numpang kapal itu. Selama tinggal di Kuching orang-orang Eropa mencoba membersihkan kulit mereka dari katiting dengan cara menggosoknya keras-keras dengan sabun dan air. Akan tetapi pig?men mereka, setelah penyamaran begitu lama, tidak mudah dicuci, sehingga mereka masih tampil sebagai Indo-Eropa atau peranakan. Hanya waktu, penyembuh semua penyakit, yang sanggup memutih?kan kulit mereka lagi.
Di Kuching para pengembara mencoba berdandan dengan pa?kaian yang pantas. Meskipun toko pakaian di Kalimantan jarang, mereka berhasil menggantikan ewah-ewah mereka yang sudah sobek dengan pakaian hari Minggu pelaut yang nyaman, jika bukannya per?lente. Hamadu, dibantu oleh Yohanes dan suaminya, membeli bebe?rapa pakaian perempuan yang bagus. Mengenakan pakaian-pakaian itu ia tampak sangat menarik. Bahkan Dalim dan kawannya dari Kuala Kapuas telah mengubah diri mereka dan kini berpenampilan perlente seperti kelas kaya Melayu. Karena itu mereka semua, ketika berada di atas kapal Rainbow, tampak necis, bersih, dan rapi, sehingga tidak seorangpun bisa membayangkan bahwa tiga bulan yang lalu mereka adalah para pengembara di rimba raya Kalimantan.
Setelah meninggalkan pelabuhan, dalam cuaca tenang dan la?ngit cerah, kapal berlayar mendekati karang Tanjung Datu. Dengan demikian para petualang itu dapat melihat sekilas pulau itu, yang telah mereka jelajahi dari selatan ke utara, tempat mereka mengalami berbagai macam petualangan. Mereka semua memandang Tanjung itu dengan penuh perasaan"sang istri muda terutama, dengan airmata
tertahan, memandang untuk terakhir kalinya tanah kelahirannya dan pulau itu lambat-laun memudar dan kemudian lenyap samasekali dari pandangan untuk selama-lamanya.
"Tak apa; itu takdir Tuhan." ia mengalihkan perhatiannya dari cakrawala dan mencari sandaran hiburan pada suaminya.
Tiga hari kemudian Rainbow melabuhkan jangkarnya di der?maga Roads of Singapore dan segera membongkar muatan. Kun?jungan pertama yang dilakukan oleh para desertir itu adalah ke Konsulat Belanda. Teguran bersalah yang diberikan oleh Raja Brooke mengenai masalah desersi mereka telah memberikan kesan mendalam pada orang-orang Swiss itu. Mereka mencari keterangan mengenai pengeluaran Pemerintah Belanda untuk tiap serdadu yang mendaftarkan diri di dinas militer. Ketika diberi tahu jumlahnya, masing-masing mereka menyerahkan serbuk emas senilai seribu gulden kepada Konsul sebagai ganti rugi pengeluaran selama dinas militer mereka dan untuk masa dinas yang belum berjalan. Mereka juga menitipkan kepada Konsul satu teodolit yang masih bagus, teropong, sekstan, dan dua pucuk senapan yang masih baik untuk disampaikan kepada opsir Komandan Kuala Kapuas, yang namanya disebutkan dengan sepatutnya. Dengan terus-terang mereka juga mengaku bersalah karena telah mengambil peralatan dan senjata Sang Kolonel ketika melakukan desersi, dan berharap situasi itu dapat diterima dan kesalahan mereka diampuni.
Konsul, terkesan dengan kata-kata dan tindakan mereka, men?jadi semakin tertarik pada mereka dan dengan murah hati mem?berikan bantuan untuk mengatasi berbagai kesulitan pada saat itu. Berkat bantuannya, mereka berhasil menjual serbuk-serbuk emas dan batu-batu guliga dengan harga sangat baik di pasaran. Setelah menukarkan semua harta berharga itu dengan matauang, mereka lalu membaginya. Dalim dan temannya yang pertama-tama diberi imbalan dengan royal, dan mereka menyatakan puas. Jumlah yang diterima tiap orang dari empat sahabat itu adalah 25 ribu gulden. Dengan bantuan Konsul, bagian kedua orang Swiss dan si Walloon dikonversikan dalam wesel yang berlaku di Eropa atas nama mereka masing-masing. Yohanes, yang berniat menetap di Singapura, lebih suka menyimpan bagiannya sendiri.
Konsul, atas kemurahan hatinya, bertindak lebih lanjut. Setelah mendapatkan empat orang pengganti para desertir itu dalam keten?
taraan Belanda, ia menulis surat ke Batavia untuk nantinya menerima surat resmi penghentian mereka dari dinas militer. Ini memakan waktu, dan selama proses itu berlangsung tiga bulan, Winersdorf sibuk mengajari istrinya tata-cara kehidupan Barat. Langkah pertama menyangkut pakaian. Dengan bantuan seorang kepala toko pakaian, ia dengan cepat mengubah istrinya menjadi seorang yang benar-benar lady Eropa. Ia mengerjakannya dengan cita rasa tinggi, dan Hamadu tampak sangat cantik dalam riasan barunya. Untuk selanjutnya, dengan bakat alami dan kemampuan langka menyesuaikan diri dengan setiap keadaan, perubahan pada diri Hamadu tidak banyak mengalami kesulitan.
Akhirnya surat tiba dari Batavia, sehingga tidak ada lagi yang menghalangi orang-orang Eropa itu kembali ke tanahair mereka. Sebelum berangkat mereka mengunjungi untuk terakhir kalinya Konsul Belanda, yang telah bermurah hati membantu mereka. Mere?ka berkali-kali mengucapkan terimakasih kepadanya, dan sebagai hadiah perpisahan diserahkan kepada dia manuskrip yang didapat oleh Harimau Bukit di kota Rangan Hanungoh, yang rupanya milik George Muller, orang yang mati terbunuh pada 1825. Konsul dengan sangat berterimakasih menerima jurnal perjalanan itu dan menyatakan maksudnya untuk menyumbangkan jurnal itu kepada Museum voor land en volkenkunde, suatu lembaga yang mengkhususkan diri un?tuk mengkaji negeri-negeri asing dan penduduknya. Keesokan hari?nya keempat sahabat itu berdiri bersama untuk terakhir kalinya di salah satu dermaga New Harbor, Singapura"tempat bertolaknya kapal-kapal penumpang samudra. Kapal penumpang Hydaspe milik perusahaan pelayaran Prancis telah menghidupkan mesin dan siap berlayar.
Perpisahan Yohanes dengan sahabat-sahabatnya sangat meng?harukan. Dalam diam dan dengan airmata berlinang mereka saling bersalaman. Ketika kapal telah memasuki selat yang memisahkan Singapura dengan Pulau Panjang, ketiga sahabat itu masih melihat ke belakang, ke pantai, dan tampaklah sehelai saputangan dilambaikan di kejauhan. Lama Yohanes berdiri di dermaga menatap kapal yang bertolak, dan ketika hilang dari pandangan, dengan suara sesenggukan yang keras ia berseru, "Semoga Tuhan menuntun mereka! Mereka orang-orang yang gagah-berani."
DAFTAR ISTILAH BAHASA DAYAK
Akar pahit: Akar merambat yang ba?nyak ditemukan di daerah hilir berawa Kalimantan; digunak
Pendekar Bayangan Malaikat 1 Pendekar Rajawali Sakti 113 Pembalasan Iblis Sesat Lembah Tiga Malaikat 19

Cari Blog Ini