Misteri Gadis Bergaun Putih Karya Abdullah Harahap Bagian 1
Misteri Gadis Bergaun Putih
Karya Abdullah Harahap Pembuat Djvu : Zona Djadoel
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 22 Juli 2018,situbondo
Ebook di persembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
Selamat membaca ya !!! *** PEMBUKA CERITA Pertama kali aku melihat rumah itu. perhatianku sudah tertarik. Letaknya di pinggir kota. berbatasan dengan daerah kabupaten yang berhawa sejuk dan nyaman. Rumah-rumah di sana berjauhan satu sama lain. Tetapi setiap orang mengenal dan merasa dekat kepada tetangga-tetangganya. Karena bukan Jalur ekonomi, maka lalu lintas tidak begitu ramai sehingga tidak terasa mengganggu biar pun rumah itu berada di pinggir jalan.
Halaman depannya agak sempit. memang
Tetapi tidak menyesakkan. Karena di situ tumbuh sebuah pohon cemara, dikelilingi oleh rerumputan yang tumbuh Subur dan tanaman bunga yang segar serta teratur manis. Konon selain penghuni-penghuni sebelumnya masih ada tangan lain yang dengan penuh kasih sayang merawat taman kecil itu dengan telaten. Mungkin ada benarnya. Karena rumah mungil itu lebih sering kosong daripada diisi. Dalam keadaan kosong itu, hampir tidak ada orang yang berani mendekati rumah bahkan pekarangan. apalagi untuk memasukinya.
Rumah itu berhantu, kata orang.
Sayang sekali. Padahal halaman samping nya senantiasa bersiram matahari pagi yang hangat, dengan pemandangan sawah menghijau bagai beledru di bagian belakang, sebuah anak Sungai nun jauh di bawah serta pegunungan yang kelabu di tepi langit. Belum lagi rumah itu sendiri. Meski kecil namun di bangun menurut selera yang up to date. Tembok depan diberi ukiran. berkaca lembut. satu pandang yang lebar dengan plafon berlapis mozaik imitasi berwarna merah hati. kontras dengan dinding yang dicat dengan warna cream.
Semua itulah yang membuatku terkesan
Hawa yang sejuk. Suasana yang tenang sangat serasi untuk orang seperti aku yang mau bekerja tanpa diganggu oleh orang lain atau riuh rendahnya lalu lintas di jalan.
Tetapi. sungguhkah ketenteraman ada di rumah itu "
*** SATU Aku turun dari bus menjelang senja. dengan langit yang kemerah merahan. Barang bawaanku tidak banyak. Hanya sebuah koper pakaian, sebuah tas plastik besar berisi perlengkapan sehari hari. Dan tentu saja, sebuah mesm tik portable yang menunjang kehidupanku selama ini. Mesin tik yang tuts-nya hanya bersedia menari-nan apabila suasana sepi dan menyenangkan.
Beberapa orang tetangga telah melihat aku turun dan bus
Bawaanku yang tidak seberapa mereka angkat tanpa menghiraukan protesku sama sekali, karena jumlah yang tidak banyak itu toh dapat kuselesaikan sendiri. Setelah menumpukkan barang barang itu di salah satu pojok mereka meriungiku di ruang tamu. sementara seorang gadis kecil pergi ke dapur untuk menghidangkan teh.
Kami berbincang-bincang sampai bedug Magrib bertalu dari masjid.
Kebanyakan yang kami percakapkan adalah tentang pekerjaan atau tempat-tempat di
mana aku tinggal sebelumnya, sedangkan mereka menceritakan segala sesuatu yang perlu kuketahui di daerah tempat tinggalku yang baru. Ramah dan menyenangkan sekali sambutan mereka. Aku berani mengatakan begitu karena. tidak seorang pun di antara panitia penyambut itu yang mau menyinggung-nyinggung persoalan yang buruk mereka maupun aku sendiri. tidak suka untuk membicarakannya.
Padahal, sebelum ini, mereka begitu gencar menyerangku dengan pertanyaan yang bertubi-tubi:
'Apa" Rumah itu" Anda ingin menyewa nya?"
Pertanyaan-pertanyaan yang jelas tidak memerlukan jawab. Disertai geleng-geteng kepala.
"Sudahkah Anda dengar kisah-kisah aneh di seputar rumah itu" Bahwa ada penunggu nya" Bahwa orang tidak pernah betah berlama-lama menempatinya, bahkan ada yang jatuh sakit dan hilang ingatan ketika meninggalkannya"'
Pembeli rumah yang terakhir. telah menceritakan semua kisah-kisah yang mendirikan bulu roma itu kepadaku, ia sebenarnya mau menjual dengan harga yang cukup murah bahkan menurut dia bisa rugi. Akan tetapi ia cukup puas ketika kujelaskan bahwa aku hanya punya kesanggupan untuk mengontrak dua
tahun. "Biarlah." Ujarnya "Daripada dibiarkan kosong berlama-lama. Perabotan di dalamnya boleh Anda manfaatkan. Lengkap semua Cuma-cuma. Dan tentang rumah ini.... Yah! Siapa tahu. suatu ketika kelak, Anda bisa membelinya. Tentu saja dengan catatan. kalau Anda betah tinggal di sini'"
Yah. mudah-mudahan aku betah. Karena begitu aku melihat rumah ini, aku telah merasa terkesan. Mereka tentunya tidak bermaksud untuk menakut-nakuti aku. Semua itu didorong oleh itikad baik. agar aku tidak merasa tertipu atau menjadi korban seperti yang lain. Mereka adalah orang-orang yang ramah dan ingin bersahabat baik kepada setiap orang. Dan itu telah mereka buktikan hari ini. ketika mereka menyambutku dengan ramah tamah pada saat pertama kali kuinjakkan kaki di rumah ini sebagai penetap yang sah.
Alangkah baik hatinya tetangga-tetanggaku itu.
Senja ini. Karena setelah aku bersikeras untuk tinggal di sini dan kini barang barangku telah mereka bawa masuk. tetangga tetanggaku itu memperlihatkan wajah yang cerah selama bercakap cakap.
'Kami senang punya tetangga baru." kata mereka. "Semoga betah. Kalau perlu apa apa. beritahulah kami. Tidak usah segan-segan.
Anggap kami semua keluargamu sendiri "'
Tentu saja aku sangat berterimakasih
Dan tetap tersenyum manis. ketika mereka akhirnya pergi untuk kembali ke rumah masing masing. Meski waktu pamit, mereka tidak dapat menyembunyikan wajah wajah cemas dan mata menyinarkan kekhawatiran.
Sepi menyentak, setelah aku tinggal sendirian
Selama beberapa saat aku duduk tercenung. memandangi suasana di sekelilingku
Rumah itu bertingkat. Bagian bawah. di mana aku duduk sekarang. merupakan ruangan serba guna. Luas nya tiga kali empat meter, berlantai jubin warna cream. sama dengan warna cat dinding. Selain barang-barang bawaanku yang tertumpuk di pojok dekat tangga ke atas. terletak seperangkat kursi dan meja tamu tak jauh dari pintu keluar masuk. Di tengah tengah, meja makan ukuran sedang, tegak dengan diam dikelilingi oleh empat buah kursi yang diberi jok.
Sebuah lemari makan dengan perabotan lengkap diletakkan di pojok kanan. Di seberangnya. sebuah Sice keCil di atas mana ada sebuah jambangan yang ..
Aku terkesiap. Aneh. Siapa yang telah memetik bunga dari halaman depan dan menyusunnya dengan indah pada jambangan itu" Ketika kutinggalkan rumah ini setelah menandatangani surat kontrak, jambangan itu kosong. Hem. Mungkin anak gadis tanggung yang tadi menghidangkan teh ketika aku serta orangtua dan tetangganya yang lain bercakap cakap.
Tetapi, ah. Nanti dulu! Seingatku. anak itu hanya masuk dapur. Dan baru keluar rumah ketika yang lainnya juga pamit. Apakah telah ada seseorang yang memasuki rumah setelah aku pergi" Tidak. Tidak mungkin. Karena pintu keluar masuk satu-satunya ke rumah itu, kutinggalkan dalam keadaan terkunci. Lagipula menurut desas desus, jangankan untuk masuk. Untuk berkeliaran di sekitar rumah ini pun orang tidak berani,
Aku berprkir keras. Namun tak melihat gambaran yang jelas. Siapa yang telah menaruh bunga di jambangan itu. Bunga-bunga yang masih segar, enak dipandang. menambah seri ruang di mana aku duduk. tetapi yang perlahan-lahan membuatku sadar akan sesuatu.
Naluriku mengatakan. seseorang telah memetik kemudian menempatkan bunga-bunga itu di jambangan.
Dan orang itu. tengah mengawasiku diam diam!
Aku menarik nafas. Lalu bangkit perlahan lahan. Percuma saja aku memperhatikan kesana ke mari. karena tidak ada seorang manusia pun di dalam rumah kecuali aku sendiri. Dan tidak pula ada yang mengintip di balik kaca jendela. Waktu masih berada di dalam bus. selangkanganku sudah terasa menggigit. Tetapi ketika tetangga tetangga itu muncul lalu menyambutku dengan ramah tamah. hal itu telah kulupakan. Kini terasa kembali menyentak-nyentak.
Aku berjalan ke sebuah pintu tertutup yang bersebelahan dengan dapur. Entah mengapa, aku sempat tertegun di depan pintu selama beberapa detik. Tetapi ketika akhirnya pintu itu kubuka, aku tidak melihat ada orang di dalam. Yang ada hanyalah bak mandi yang penuh air, gantungan untuk handuk dan pakaian ganti, sebuah gayung, sebuah ember plastik dan kakus yang lubangnya menganga diam.
"Jadah!" aku memaki diri sendiri. "Dasar tukang mengkhayal!"
Lantas. aku membuka resluiting celana. Karena malas untuk melepaskannya aku tidak berminat untuk jongkok. Seraya berdiri aku mengangkangi lubang kakus dan. . seeeeerrrrrr! Air kencingku mengalir deras. setelah sekian lama terpaksa dibendung. Bunyinya keras dan mengejutkan. sehingga aku tersentak. kemudian tersenyum-senyum. Malu pada diri sendiri.
Aku masih tersenyum-senyum. ketika keluar dari kamar mandi.
Kubetulkan letak celana seraya berjalan ke arah tangga, dibawah mana tadi tetangga-tetangga meletakkan barang bawaanku. Tenang tenang saja aku melangkah, sambil bersenandung dengan suara di hidung. Lalu, mendadak, aku tertegun
Barang barang itu tidak ada di tempatnya'
Aku mengernyitkan dahi. Bingung! Bukankah tadi mereka meletakkannya di sini" Dan belum sempat memindahkan ketika pamit" Dengan heran, aku menatap ke seantero ruangan, Lalu kembali aku tertegun. Pintu depan terbuka. Lebar. Udara yang dingin menusuk tulang. merembes masuk ke dalam dengan leluasa. Aku menggigil.
Baik koper. tas, kotak mesin tik dan lain lainnya, sudah berpindah tempat ke teras
Terkejut aku segera bergegas ke pintu.
Kupandangi barang barang bawaanku itu dengan teliti. Tidak ada yang terbuka atau kurang salah satu bagiannya. Diletakkan di sana begitu saja, seolah bukan barang berharga apa apa. Dengan seksama aku memandang ke sekitar. Sepi Tidak ada siapa Siapa. baik yang bersembunyi maupun yang lewat di jalan. Cahaya temaram menyentuh bumi, membuat jalan raya tampak hitam legam. Malam sudah mulai merambat.
"Aneh." gumamku. sendirian. "Apakah mereka meletakkannya di sini, bukan di bawah tangga?"
Seraya berpikir-pikir dengan bingung, barang-barang itu kumasukkan kembali ke dalam rumah. Setelah itu pintu kututup. Lalu kukunci. Dan tertegun lagi. Waktu mereka pamit. apakah pintu dalam keadaan terbuka. atau tertutup"
Aku tegak dengan diam. Dan merasa. betapa aku diawasi seseorang. Orang yang tidak kuketahui siapa. di mana. mau apa, tetapi orang itu ada. Tidak di luar rumah. demikian aku membatin. Melainkan di dalam sini!
Kuawasi sekeliling ruangan bawah itu Meja dan kursi maSih tetap di tempatnya semula. Demikian pula lemari makan. Sice kecil. jambangan dengan bunga-bunga segar. Pintu dapur terbuka Tampak seperangkat perabotan terletak menurut susunannya. Di sebelahnya. pintu kamar mandi juga terbuka, Dan dari tempatku berdiri. hanya kelihatan sudut tepi bak air, lalu sedikit temboknya yang kelabu. Pintu ketiga, kamar pembantu. tertutup.
Mataku bergerak ke tangga. Memanjatinya satu persatu. sampai ke atas, dan berharap ada seseorang yang berdiri di salah satu anak tangga. Tidak ada siapasiapa. Kecuali anak anak tangga yang terbuat dari papan jati tebal dan tersikat berSih. Pegangannya yang coklat. tampak berkilat kilat dalam jilatan lampu.
Anak tangga itu berakhir di beranda atas. setelah menyiku di bagian tengah. Pagar beranda berdiri rapi dan rata. Tidak. tidak pula ada seseorang yang sedang berpegangan ke pagar itu seraya memandang ke bawah. Sedangkan dua buah pintu untuk kamar tidur. tampak tertutup rapat. Sepi. Dan lengang. Aku menahan napas.
Alangkah memalukan. kalau aku terpengaruh oleh semua itu.
"Bah!" rutukku. kering. Lalu kuangkat koper dan kotak mesin tik dan mulai menaiki anak tangga demi anak tangga. Berdetak detuk bunyi sepatuku, memecahkan kesepian dan kelengangan yang menegangkan itu. Suara langkah langkahku. Itu memberi ketenteraman tersendiri dalam diriku. dan mengatakan bahwa aku berada di rumahku sendiri.
Kubuka pintu yang pertama.
Gelap. Tanganku meraba ke tembok sebelah dalam. Setelah menemukan stop kontak. lampu kamar kunyalakan. Terkejap sebentar oleh cahaya terang benderang. aku mengawasi ruangan. Pemilik rumah yang lama tidak saja telah menyediakan tempat tidur besar dengan kasur yang tebal. tetapi juga sprei dan sarung bantal yang bersih. Ada sebuah toilet berkaca tunggal. dengan lacilaci yang aku tahu. dalam keadaan kosong. Kecuali sebuah sisir yang terletak di depan kaca. Lemari letaknya sejajar dengan tempat tidur. di antaranya
terdapat jendela. Ketika dua hari yang lalu aku melihat kamar ini, aku telah memutuskan bahwa kamar itu akan kusediakan untuk tamu atau teman teman yang suka berkunjung Barangkali. bila aku telah punya cukup uang untuk membeli rumah dan perabotannya aku akan menikah. Dan kamar ini akan kutempati bersama istriku. Dan untuk kamar kerja.. .
Aku berjalan ke pintu yang lain, membuka dan menyalakan lampu di dalam. Tempat kamar kecil itu lebih sesuai untuk seorang bujangan seperti aku. Tidak ada t0ilet yang mengganggu, dan pintu lemarinya diberi kaca. Sebuah meja keCil dapat ditempatkan dekat jendela, sebuah keranjang sampah di pojok, sebuah kursi atau kalau perlu dua, karena yang satunya lagi bisa dipergunakan melonjorkan kaki untuk mengendurkan otot otot yang kejang karena duduk terus menerus. Dengan perlengkapan itu, kamar toh maSih berasa lapang .
Merasa puas aku masuk ke dalam
Kotak mesin tik kusimpan di atas lemari. Pemilik rumah telah menjanjikan sebuah meja berlaci besok Siang untuk tempat mesin tik dan aku bisa bekerja segera. Seraya memuaskan diriku dengan rasa kagum serta terharu atas kebaikan pemilik rumah. aku membuka koper dan memindahkan semua isinya ke dalam lemari. Tempat di situ maSih cukup lapang, dan
untuk tidak membuat pemandangan yang pepak maka koper kusimpan saja di lemari.
Kemudian aku keluar dari kamar.
Selama dua tiga detik, aku tegak di beranda
Memandang ke bawah dan berharap masih ada barang barang yang telah berpindah tempat. 'Ternyata tas plastik beserta perlengkapan seharihari. kardus beriSi kertas kertas, map map dan perlengkapan mengetik lainnya maSih terletak dekat pintu. Kuturuni tangga dengan detak detuk sepatu yang memberi irama musik menyenangkan di tengah tengah kesepian rumah. Hem, tape deck plus cassette yang dipinjam si Parlan. harus kuambil pada waktunya. Aku memerlukan musik yanq sesungguhnya. untuk menemani kesendirian di rumah ini, terutama kalau aku sudah mulai bekerja.
Setelah menyimpan segala sesuatu pada tempatnya. aku memeriksa pintu dan jendela. Habis itu mandi. Setelah menghabiskan setengah gelas teh dan membaca selembar surat kabar yang sempat kubeli dalam perjalanan. aku kemudian terbang ke alam mimpi. Dan segera aku mendapatkan tidurku yang pulas tanpa ada yang mengganggu sama. sekali,
Dalam tidurku aku bermimpi melihat seorang gadis.
Aku tidak mengenalnya. tetapi aku menyukai gaun malamnya yang putih, rambut hitamnya yang terurai panjang, raut wajahnya yang menarik dengan senyum serta tatapan mata yang penuh rahasia. Rasanya ia beberapa kali berusaha mendekatiku, tetapi tiap kali aku bergerak untuk menyongsongnya. ia segera menjauh dengan wajah ketakutan, kemudian menghilang di balik tabir kabut yang putih seperti salju.
Tidak ada kesan yang kualami dari impian itu sehingga aku segera melupakannya begitu aku terbangun keesokan paginya. Toh hanya bunga bunga tidur, yang tumbuh. berkembang, layu, kemudian menyerap hilang ke dalam tanah untuk kemudian berpadu dan tumbuh dalam bentuk yang lain.
*** DUA Angin pegunungan yang segar menyeruak ke kamar ketika jendela kamar kubuka. Lembah hijau menyegarkan mata. Rumah rumah penduduk berserakan di sebelah sana, di antara pepohonan rimbun menghadap anak sungai. Kalau saja bagian bawah rumah ini tidak ada tembok batu yang kukuh. tentulah aku segan untuk tidur di kamar atas. Lumut hijau coklat serta tanaman rambat menyemaki tembok batu itu dan di sana sini sudah terlihat rekah rekah menganga. Pemilik rumah mengatakan tahun depan ia punya rencana melapisi tembok batu itu dengan yang lebih baru dan kuat.
"Tetapi percayalah. Penahanan itu masih sanggup berdiri untuk selama paling sedikit enam tahun.' katanya meyakinkan. Aku percaya Saja. karena ia adalah orang yang baik dengan menceritakan desas desus mengenai rumahnya. serta memberikan perabotan lengkap untuk kumanfaatkan secara cuma cuma
Selesai sarapan pagi aku mengunci rumah. Dengan sebuah map berisi berkas-berkas aku menemui er-te kemudian er-we untuk memenuhi formalitas sebagai pendatang baru. Mereka sangat ramah dan menyenangkan. Dan mereka punya pertanyaan yang sama. begitu kami bertemu:
"Tidur nyenyak tadi malam, Nak Doli'?"
"Sangat nyenyak." aku mengakui. 'Habis, letihnya enggak kepalang dalam perjalanan ke mari.'
"Syukurlah," ucap mereka dengan tulus. Namun jelas bisa kutangkap sinar mata mereka yang keheran-heranan. Aku tidak bertanya mengapa. Selain tidak pantas menanyakan sesuatu yang tidak terucap, juga karena aku sudah tahu apa kira-kira yang akan mereka utarakan. Tidur nyenyak! Tak mungkin! Tanpa terganggu! Aneh! Padahal orang orang sebelum ini"!
Setelah urusanku selesai di kedua pimpinan daerah itu aku kemudian naik bus ke pusat kota. Tidak banyak tempo yang kubutuhkan karena ini adalah sebuah kota kecil. Setelah menjatuhkan sepucuk surat untuk sebuah penerbit di ibukota. aku menemui Parlan untuk meminta kembali tape deck serta cassettenya. Bukannya membayar sewa pinjam barang, ia malah menawarkan sepasang speaker bekas karena ia bermaksud membeli speaker baru yang lebih bagus. Karena harganya sangat jauh di bawah harga pasaran. dengan senang hati aku membelinya.
Aku masih menyempatkan diri berbelanja kebutuhan sehari hari di sebuah toko. kemudian pulang ke rumah.
Aku tiba menjelang sore. dan menemukan sebuah meja berlaci yang meski bersih dan mengkilap namun jelas meja bekas, sudah ada di teras. Alangkah gembira hatiku karena aku tidak melihat satu melainkan dua buah kursi. Ah. jadi aku tak perlu memindahkan salah satu kursi meja makan ke kamar atas.
Barang berharga itu ditunggui oleh salah seorang pesuruh.
"Tuan meminta maaf.' kata pesuruh itu seraya setengah membungkuk memberi hormat. 'Beliau telah menunggu cukup lama, tetapi Oom belum pulang juga. Jadi, ia tinggalkan saya di sini untuk menanti Oom kembali."
Setelah berbasa basi sebentar kami berdua mengangkat meja itu ke kamar tidur merangkap kamar kerja yang kutempati dan menyuSunnya dengan rapih. Meja sice di ruang bawah ikut pindah ke kamar atas, untuk di pakai tempat tape deck. Pesuruh masih membantu memasangi kabel-kabel. Karena tidak mau membuat kamar itu jadi sesak sehingga pikiranku bisa tumpul nanti. maka kedua speaker untuk sementara diletakkan di beranda. Satu di pojok. satunya lagi di sisi tembok yang mengantarai kedua buah kamar. Meski pintu tertutup. Suaranya toh masih terdengar ke dalam. Malah lebih sejuk, lebih sayup sayup dan sangat renyah menyentuh telinga
'Kirim salam pada Pak Hadiman." aku berpesan pada si pesuruh ketika ia pamit untuk pulang. "Tolong sampaikan terimakasihku "
ia manggut manggut. dan kelihatan ragu ragu ketika aku memberikan tip. Tetapi ia tidak memprotes ketika uang itu kuselipkan langsung ke kantong kemejanya
Menjelang ISya. dua orang tetangga datang menjenguk
"Senang melihatmu sehat sejahtera " kata mereka tanpa mengapa mereka harus senang 'Tidak ada seSuatu yang bisa kami bantu?"
'Terimakasih, Pak. Hari ini tidak entah besok "
"Kalau begitu. baiklah Kami pergi dulu ya?"
'Eh. koq cepat cepat. Belum minum ..."
'Ah. tak usah repot repot. Lagi .kami nanti terlambat ke masjid '
Setelah mereka pergi. baru aku menyesal. Tetapi hanya sebentar. Tak mungkin rasanya mengharapkan seorang pembantu dari penduduk di sekitar rumah ini. Menurut yang kudengar, tidak ada pembantu yang tahan diam di Sini lebih dari dua tiga hari. Pernah ada seorang dua pembantu yang didatangkan dari kota atau kampung yang jauh. NaSibnya sama saja. Dengan muka getir. minta pamit buruburu. dan bersedia tidak diberi ongkos atau
dibayar untuk pekerjaan mereka sebelumnya. asal diperkenankan pergi.
"Ahhhh." keluhku "Apa boleh buat Mungkin dengan tinggal sendirian aku merasa lebih enak. Dan kesibukan sehari-hari bisa mengurangi rasa sepi .. "
Aku telah makan di sebuah restoran sehabis belanja di toko. Karena itu aku hanya membuatkan kopi kental di dapur. menghangatkan dua potong roti bakar lalu membawanya ke atas. Ketika akan menaiki tangga mataku terpaut kepada jambangan bunga. Karena Sice tempatnya semula Sudah direbut oleh tape deck, jambangan itu terpaksa berpindah tempat ke atas mega makan.
Trdak ada bunga bunga di dalamnya
Apakah aku atau pesuruh tadi telah membuangnya keluar. tanpa sadar" Seraya memikirkan hal itu dengan tak terlalu serius, aku masuk ke dalam kamar dengan maksud menyelesaikan ketikanku yang tertunda sebelum pindah ke rumah ini. Tetapi baru saja aku meletakkan mesin tik dan perlengkapannya di atas meja, ketika terdengar suara berdentam dentam di bawah. Suara benda-benda berjatuhan atau . dijatuh jatuhkan!
Kaget. aku menghambur keluar kamar.
Sepi menyentak. 'Tinggal suara gaung yang resah. Dalam sinar lampu utama tampak posisi meja sudah berubah. Keempat buah kursinya berhumbalangan tidak karuan.
tergeletak jauh satu sama lain dengan posisi yang berbeda-beda. Jambangan di atas meja, lenyap tak berbekas. Aku tidak melihatnya baik di atas meja, maupun di lantai atau di dekat dekat kursi
Aku maSih terpesona menyaksikan pemandangan yang ganjil itu pada saat terdengar suara berdesis disampingku. Angin dingin menerpa kudukku. Secara naluriah aku berpaling seraya menarik mundur tubuhku dari pagar beranda. Alhamdulillah, aku selamat. Jambangan yang kucari. melayang seperti meteor melewati tempat dimana aku berdiri sebelumnya. Setelah melesat dengan suara bersuit. jambangan gelas itu hinggap di tembok dengan suara ribut. kemudian jatuh ke lantai beranda Pecah berderai. Air yang ada di dalamnya. tumpah menggenangi lantai kayu. Menimbulkan warna lembab. merembes ke celah celah lantai.
Dalam kesepian yang mendadak. terdengar bunyi air menetes jatuh ke lantai bawah. Tes. . tesss... tes-tess... tessss!
Aku bergidik Dan memandang ke ujung beranda. ke arah tangga dari mana jambangan itu datang menyerang. Tidak. Tidak seorang makhluk pun ada di sana, kecuali kesepian yang mencengkeram. dan udara yang perlahan lahan berubah dari dingin menusuk menjadi hampa. kemudian hangat seperti biasa. Tetapi...
Kutajamkan telinga. Dan aku mendengarnya. Mendengar langkah-langkah kaki yang bergegas menuruni anak tangga demi anak tangga. Seperti langkah kaki orang berlari karena marah.
hei'" aku berseru. tanpa sadar.
Langkah langkah kaki itu lenyap seketika.
Sepi lagi Mencekam. Aku membasahi bibir yang kering.
Lalu: "Siapa di Situ?"
Tak ada sahutan. Juga tidak langkah langkah kaki. Aku berusaha lebih diam agar pendengaranku lebih tajam. Tetapi tidak ada helaan helaan napas lain, kecuali helaan napasku sendiri.
Mereka benar! Tetangga tetangga, pemilik rumah, atau siapa saja yang pernah menceritakan tentang rumah ini kepadaku. benar. Aku telah mendengar dan melihat buktinya. Tetapi sebaliknya. aku telah bertekad untuk menetap di sini, berarti, aku pun telah siap.
"Siapa pun kau..." aku bergumam. rendah namun cukup keras terdengar di rumah itu. Bergaung, panjang. "Aku tahu kau ada di sini. Aku tak tahu siapa kau, dan mengapa kau mengangguku....' '
Kutunggu sebentar. Tetapi tidak ada reaksi. Hanya sepi semata.
"Dengarlah " aku berkata lebih keras 'Kutahu. kau adalah manusia juga seperti halnya aku'" dan dalam hati aku mendengus tentu saja, karena kau akan marah kalau kukatakan kau ini hantu. setan. roh gentayangan, makhluk jahanam' Dengan mengutuk demikian dalam hati. aku mendapatkan keterangan dan kekuatan Semangatku yang sempat terbang menjadi pulih perlahan-lahan.
"Bedanya." aku lanjutkan dengan hati hati. 'Kau dapat melihatku. sedang aku tidak dapat melihatmu itulah kelebihanmu. Tetapi camkanlah. Aku juga punya kelebihan." Aku dapat bergaul dengan orang orang di sekitar sini, tanpa mereka merasa takut kepadaku. Sedang kau, tidak"
Sepi Lengang. Masihkah ia ada di sana, di salah satu tempat dalam rumah ini'"
Aku tak yakin. Tetapi aku melanjutkan juga:
"Aku sendirian di rumah ini. Kau juga. Atau kau punya teman lainnya" Kukira tidak, karena hanya langkahmu saja yang kudengar" Jadi kau juga sendirian seperti aku. Karena itu, tidakkah kita lebih baik menjalin hubungan sebagai dua orang bersahabat?"
Bungkam. Tak ada jawaban.
Mungkin ia telah pergi Atau, mungkin ia takjub akan diriku Kalau saja ia berterus terang menyatakannya. akan kuterangkan kepadanya. Bahwa aku pernah berguru kepada seorang lakilaki tua bangka yang hidup menyendiri di daerah pedalaman. Orang tua itu tidak saja tahu tentang akhirat, tetapi juga la tahu tentang dunia dan segala isinya, Yang berwujud. atau yang gaib
Aku juga sudah beberapa kali meneliti kebenaran dan ucapan guruku itu. Baik ketika aku melakukan perjalanan 'jauh untuk mencari ilham, atau menjaga kondisi pisik dengan menyepi ke gunung dan menyeruak hutan hutan belantara, bahkan di tengah kehiruk pikukan kota metropolitan. Namun sejauh itu, aku selalu mampu menghadapinya dengan selamat. Karena aku mempunyai patokan yang sudah diperingatkan guru
"Hindarilah roh-roh jahat. Tetapi kasihanilah roh roh yang baik "!"
Sayang, sepi sekali rumah ini.
Tidak terdengar lagi apa apa. kecuali langkah kakiku menuruni tangga. suara Suara kaki meja atau kursi yang bergeser ketika kubereskan ke tempatnya semula Dapur tidak berubah. Kamar mandi pengap. Tetapi segala sesuatunya tetap pada tempatnya. Hati-hati aku membuka pintu kamar pembantu. Berderit nyaring. dan membuat aku bergidik sesaat
Tak ada orang di dalam. Isinya pun, kelihatannya bukan untuk seorang pembantu. Meski ada tempat tidur tetapi Sudah terlipat, ada sebuah rak, tetapi berdebu. Di kamar itu juga ditumpukkan beberapa. perabotan yang tidak terpakai. Jadi, demikianlah. kamar ini telah berubah jadi gudang darurat. Sungguh lucu kalau mengingat. letaknya justru di ruangan bawah di mana tuan rumah atau tamu duduk untuk istirahat atau makan.
Aku kemudian naik ke atas kembali.
Setelah memandang ke bawah, berharap timbul reaksi dari tindakanku namun sia Sia. aku masuk ke kamar. Kuhidupkan tape dan memutar sebuah casette. Aku memilih musik Fausto Papeti yang lembut Volumenya sengaja kubuat rendah. Di samping karena aku maSih mengharapkan terjadinya sesuatu. juga karena aku teringat pesan guru
"Sebelum kau ketahUi roh bagaimana yang mengganggumu. pertama tama hormatilah dulu kehadirannya. Jangan berbuat sesuatu yang bisa membuatnya marah...."
Aku telah memutar lima buah casette. menghabiskan lebih dari sebungkus rokok sehingga kamarku pengap oleh asap tembakau. dan kel0pak mataku telah memberat. Toh siasia juga. Hasratku mengetik telah pula hilang dengan sendirinya. Dengan malas aku rebah di pembaringan dan segera tertidur
Ia muncul lagi Gadis bergaun putih itu
Tetapi hanya sebentar. Kemudian aku melihat pak er te. tertawa membahak. Lalu wajah guru yang kesal. Paling akhir aku lihat adalah wajah Pemimpin Redaksi sebuah majalah terkemuka di ibukota. Ia sedang marah marah pada bagian tata usaha sambil menyebut-nyebut namaku. Aku tidak tahu mengapa ia marah. Dan mengapa namaku dibawa-bawa.
Mungkin karena aku menunda lagi ketikanku. malam ini.
Padahal. aku sudah berjanji akan mengirimkannya segera. karena kata mereka naskah di Redaksi sudah habis.
"Bah" aku bersungut sungut dalam tidurku. "Honor yang kau bayarkan untuk naskah ini. toh sudah habis juga. Kupakai ngontrak rumah!"
Dan aku tersenyum. ketika melihat si Pemimpin Redaksi, mendelikkan mata dengan marahnya.
*** TIGA Hari berikutnya. boleh dikata tiada gangguan yang berarti. Mengikuti kebiasaan. aku bangun pagi-pagi benar. Selama beberapa saat kurasakan suasana asing di kamarku. Aku termangu-mangu. Bingung. Kemudian kusadari bahwa ini bukan kamar tidurku yang lama.
Kamar tidurku sebelumnya lumayan luas, berperabotan serba lengkap. Kamar mandinya bersatu pula. Kloset dan bak mandinya terbuat dari porselen. serta dilengkapi mesin listrik pemanas air. Sayang, paviliun yang kutempati berhadapan langsung dengan gang satu satunya yang memotong dua buah jalan raya satu jalur. Gang itu tidak pernah diam. sehingga aku baru dapat bekerja tekun setelah malam mulai larut
Begitu kudengar tentang rumah kecil di pinggir kota. maka kuputuskan untuk pindah. Karena tahu. uang sewa kontrak paviliun tahun berikutnya. seperti biasa akan melonjak kembali. Sang pemilik tahu benar kalau honorariumku dari tahun ke tahun makin melangit saja.
ia seorang pedagang tulen. Tidak memiliki jiwa seni sama sekali. Kecuali. seni menghitung ledakan penduduk yang mengakibatkan kebutuhan semakin meningkat. Sialnya. dia tahu pula mengimbanginya. Makanan yang dihidangkan tiga kali satu hari. selalu bervariasi dan tetap saja terasa enak di lidah. Boleh ke luar masuk paviliun kapan aku suka. Boleh bawa kawan satu rombongan untuk berpesta pora .. asal biaya keluar dari kantongku sendiri. Penghuni rumah induk tidak pula terusik bunyi mesin tikku yang ribut di tengah malam buta
Masih ada daya tarik lain.
Anak gadis tuan rumah. Mona yang lembut. Mona yang perasa. Ia merupakan salah seorang penggemarku yang paling setia. dan sekaligus beruntung. Kukatakan beruntung karena ia sudah membaca novel-novelku jauh sebelum novel itu dikirim ke percetakan. DI luar waktu sekolah atau belajar, ia sengaja mencari-cari alasan untuk membaca novelku. Alasan terbaik yang mustahil kutolak. tentu saja' Mona bersedia mengoreksi setiap lembar naskah yang keluar dari mesin tik.
Kudengar ayahnya pernah protes. Kepada anak gadisnya dia bilang: "Minta supaya kau ia angkat sebagai sekretaris pribadi."
Kalem, anaknya menjawab. "Memang itulah yang kulakukan '
"Dan?" tanya ayahnya bernafsu: "Berapa
kau dia bayar?" Tentu saja ayahnya mencak-mencak setelah mengetahui Mona tidak minta bayaran. Dibolehkan membaca naskahku yang "masih hangat" saja dia sudah merasa bahagia. Belum lagi kalau ia kubelikan sesuatu sebagai hadiah. tiap kali aku menerima honor. Semakin besar honorarium yang kuterima, semakin besar hadiah yang kubelikan untuk Mona.
Lalu ayahnya mulai curiga. "Jangan jangan kau dan dia sudah..
"Usah kuatir, Papa," potong Mona, sebagaimana kemudian ia ceritakan padaku selagi mengoreksi naskah. "Papa'kan sudah mendidikku begitu keras. Supaya jadi anak yang tahu menjaga diri. Mana aku mau membuat malu orangtua.?"
Sang ayah bangga Dan percaya. Tidak tahu, kalau anaknya sering naik ke tempat tidurku. kalau kepalaku lagi mumet. "Mari, biar kuringankan beban otak Abang," katanya penuh pengertian. Ia memang sudah tidak perawan ketika Mona kutiduri pertama kali, "Aku mudah jatuh cinta " katanya. Dan semudah itu pula. Mona melepaskan cintanya. Kalau tidak karena ditinggal pacarnya ya karena ia sendiri yang memutuskan angkat kaki. Anehnya ia mampu berbuat bagaimana caranya kalau putus cinta, ia atau bekas pacarnya tidak menyimpan sakit hati. Malah kebanyakan mereka, tetap ia gauli. tetapi cuma sebagai sahabat
Aku termasuk salah seorang yang ia anggap sahabat.
menikah dengan Abang?" jawabnya tergelak. ketika suatu hari kucoba mengusik isi hatinya.
"Kelak kalau aku harus menikah, suamiku mesti punya pekerjaan tetap. Punya hari tua. Ia juga kuharap seorang laki laki tampan. bertubuh kuat kekar. Tubuh yang akan menghancurkan aku sampai habis habisan sehingga tidak punya kesempatan berpikir kelaki-laki lain...".
Itulah Mona pikirku Lembut dan perasa, sehingga perpisahan yang terjadi selalu berlangSUng dengan baik. Satu satunya kekurangan Mona hanyalah' tidak pernah puas di atas ranjang. Aku telah berusaha semampuku untuk memberinya kepuasan yang ia dambakan .Tetapi kutahu. aku sering gagal. Karena ia pada waktu waktu tertentu. akan pergi menemui laki laki yang lain. Ia berterus terang mengatakannya padaku. Dengan suara wajar. dengan wajah polos tak berdosa. Suara dan wajah itu pulalah yang membuat orangtuanya tidak pernah menaruh curiga atas perilaku Mona.
Kecuali padaku. Sebab hanya aku seorang yang paling sering dan paling rapat dengan anak gadisnya. "Jangan kau mau dia rayu!' begitu selalu induk semangku menasehati Mona. "Ia itu tidak punya apa apa. Bukan tempat yang baik untuk menggantungkan diri."
Aku tidak marah dicap serupa itu.
Aku tahu siapa diriku. Tidak betah kerja kantoran. apalagi dengan gaji yang tidak memadai. Aku sudah terbiasa memegang uang banyak, hasil novel-novelku. Terbiasa pula menghabiskan sebanyak yang kuterima. Seorang suami yang punya hari tua, kata Mona. Itu bukan aku. Seorang pengarang. tidak punya pensiun.
Pensiun yang kuharapkan, paling-paling mesin tikku tetap berjalan. Tetapi sampai kapan" Harapan terakhir tinggal pada novel-novelku, yang semoga kelak maSih laku dicetak ulang. Sementara itu. pengarang-pengarang baru yang lebih berbakat, akan semakin banyak mengorbit. Dan pengarang pengarang tua. akan semakin tenggelam. Tidak punya gigi lagi untuk berlagak: "Bayar sekian. atau naskah tidak kukirim!"
Bunyi halus tetapi berisik, menggugah lamunanku seketika.
Aku memandangi kamar tidurku yang baru. Meja kerja dengan mesin tik menunggu dengan sabar di atasnya. Keranjang sampah di p0jok. Lemari berpintu satu, dan wajahku yang tampak kusut masai. Tidak ada sesuatu yang bergerak di sekitarku. Tidak ada bunyi apa
apa. keCUali keriut ranjang ketika aku beranjak turun.
Tetapi tadi aku telah mendengarnya.
Mendengar bunyi lembut. Seperti mengaum. Atau seperti mesin menderum yang terkedap. Apakah "dia' mulai bertingkah lagi" Bah! Rungutku malas. "Dia" itu cuma mimpi!
Kudekati pintu. membukanya
Tak ada siapa-Siapa. Beranda sempit di depan kamar, sepi menyentak. Begitu pula lantai bawah. Segala sesuatu terletak di tempatnya semula. Meja dan kursi kursi makan. perlengkapan untuk menerima tamu jambangan" Ah jambangan itu Sudah tidak ada lagi. Melayang tadi malam, dan jatu h berderai di tempat aku kini berdiri.
Pecahannya telah kubersihkan.
Namun satu dua serpihan kecil maSih terlihat berkilat di bawah kilauan lampu pada lantai beranda. Genangan air sudah mengering. Dari berharap semua itu cuma mimpi belaka, kini harapanku adalah: semoga "dia" "belum bangun. Atau kalau sudah bangun, sekarang sibuk bersolek. Tidak teringat untuk menterorku. Sementara!
Suara batuk tertahan. membuatku terkerut lagi.
Astaga, siapa itu" "Dia?" Batuk"
Menggigil karena dingin dan sedikit seram, aku mendesah: "Kau di situ..."' tanyaku seraya
mengawasi lantai bawah. Sepi. Lalu batuk tertahan itu terdengar lagi. Datangnya dari luar rumah. Aku lantas bergegas menuruni tangga. Siapa tahu ada tetangga menghendaki sesuatu. Barangkali juga. tamu jauh yang ingin berkunjung. Dia atau mereka mengetuk pintu, tetapi tidak kudengar...
Begitu pintu depan kubuka. udara dingin menyergapku seketika.
Aku sampai tersentak mundur karena kaget. Terbiasa dengan udara panas dan pengap di tengah kota. udara dingin itu membuat kulit mukaku bagai tergigit. Setelah membiasakan sejenak, kemudian aku melangkah keluar rumah. Tidak ada tamu.
Yang ada, sebuah mobil berwarna gelap di seberang jalan.
Kap depan mobil terbuka. Waktu aku ke luar, seorang laki-laki tampak sedang Sibuk membetulkan sesuatu pada mesin mobil. Rupanya bunyi mesin mobil itulah yang tadi kudengar. Tentunya tidak ada orang lain bersama dia, sehingga pengemudi mobil terpaksa bekerja sendirian. Cuaca subuh masih remang-remang. Bukan waktu yang baik untuk memperbaiki mesin. Apalagi, tampaknya ia tidak memakai senter.
Laki-laki itu menoleh ketika mendengar langkahku melalui pekarangan.
perlu bantuan?" aku bertanya.
Kap mobil ia hempaskan tertutup.
"Tidak. Terimakasih," katanya.
Aku telah menyeberangi jalan. Dan berdiri begitu dekat dengan si lelaki. sampai aku dapat mengukur tubuhnya kira kira sama tinggi dengan tubuhku. Hanya, ia lebih gemuk. Dan samar-samar tampak wajahnya berbeda usia sekitar sepuluh tahun dengan aku sendiri. Wajah itu gelisah. '
"Mau keluar kota?" tanyaku ingin tahu. Mobil itu mengarah ke daerah Kabupaten.
"He-eh." "Apanya yang rusak?"
"Salah satu kabel busi rupanya putus.?" katanya. seraya mengawasiku dengan seksama. "Tetapi sudah kuperbaiki barusan. Oh ya... apakah Bung penghuni baru di rumah itu?" ia menuding ke rumah yang kutempati.
"Benar." "Hem..." ia tampak berpikir-pikir.
'Kok tahu aku penghuni baru?"
Laki-laki itu terkejut. Kemudian tertawa. Parau Jawabnya: 'Tak usah berprasangka. Bung..."
"Oh tidak. Tidak. Mengapa harus berprasangka?" aku ikut tertawa. 'Pertanyaanku tadi...."
"Hem. ya. Ya. Begini Aku sering lewat di Jalan ini. Rutin. Sebagai perintang rasa bosan. kuperhatikan apa saja yang terlewat di kiri kananku. Jadi... begitulah. aku merasa heran
rumah yang satu ini kok lama sekali dibiarkan kosong tak berpenghuni.' Ia tersenyum sekarang. 'Boleh aku masuk?"
"Ke rumahku" Tentu saja. Aku sendirian. dan senang sekali kalau aku punya teman ngobrol...."
"Bukan. Bukan," ia menggelengkan kepala. "Bung menghalangi jalanku."
Mengikuti lirikan matanya. tahulah kalau aku telah berdiri tepat di sisi pintu mobil. Segera aku menyingkir. Membiarkan ia membuka pintu mobil. masuk ke dalam. kemudian menghidupkan mesin. Tak seperti umumnya mobil mogok, mesm hidup sekali starter. Mesin mulus. pikirku seraya menyimak mobil berwarna gelap itu. Dari merk dan bentuknya. tentu sebuah mobil mahal rakitan terbaru
"PermiSi," ia pamit dengan kaku.
"Benar benar tak ingin singgah" Minum kopi?"
"Terimakasih. Aku harus mengejar waktu."
Dan mobil melaju ke luar kota. Lenyap di belokan meninggalkan subuh yang menganga, lengang dan dingin sampai ke sumsum. Aku bergidik. Kembali masuk ke rumah. Belasan meter dari tempatku, tampak rumah tetangga terdekat baru saja hidup untuk menyambut datangnya pagi.
Bak mandi lebih sejuk lagi.
Air. bagaikan es. Karena itu aku pergi ke dapur. Menjerang
sepanci besar air untuk mandi. Setelah kumur kumur di wastafel. aku menyedu segelas kopi yang airnya kuambil dari termos. Di kota, isi termos tadi malam akan tetap panas sampai malam berikutnya. Di Sini. Sial betul. Isi termos tinggal hangat hangat kuku. Kopi yang kusedu, rasanya hambar. Tetapi lumayanlah untuk 'nengurangi kebekuan darah yang seolah berhenti mengalir dalam tubuh.
Sambil menunggu air mendidih, aku kembali ke kamar tidur.
Tidak ada yang menahan langkahku. Memang aku berpikir tentang "dia". tetapi aku "ga berpikir" bersikaplah wajar, dan acuh tak acuh. Jangan perlihatkan bahwa engkau merasa takut!
Kubereskan saja. mesin tik dan perlengkapan untuk bakerja. Map kubongkar dengan memperhatikan judul-judul pada sampulnya. Setelah menemukan judul yang kucari, map itu kubuka .Isi ceritanya masih lekat di kepala. Aku hanya membaca halaman-halaman terakhir. untuk dapat menyusun jalan cerita lanjutannya selagi nanti aku berendam di kamar mandi.
Turun ke bawah. air telah mendidih
Kuangkat panci ke kamar mandi. Kutuang kan ke sebuah ember besar Kemudian siap untuk mencampurnya dengar air dingin dari dalam bak. Saat itulah. gangguan pertama hari itu kuterima.
Gayung lenyap! Padahal belum seperempat jam tadi aku masuk ke kamar mandi. Kencing, dan menyiram bekas kencingku dengan air yang kusiuk pakai gayung di bak. Gayung itu tadi kucemplungkan begitu saja ke dalam bak, dan kini Sudah tak tampak lagi. Apakah telah kujatuhkan"
Tidak. Di lantai kamar mandi, tak tampak gayung yang kucari. Kusimak dasar bak. juga tak ada. Karena tidak puas, terpaksa tangan kujulurkan ke dalam air. siapa tahu mataku kurang awas. Aku sampai meringis menahan sejuk menuSuknya air itu pada lenganku. Toh. sia-Sia. Gayung itu tetap tidak kutemukan.
Hem. barangkali tadi aku membawanya ke dapur waktu mau menjerang air. Maka, aku menuju tempat itu. Semua ada di dapur. Perlengkapan, dan bahan untuk kebutuhan sehari hari. Termasuk bekas aku minum tadi malam. yang belum sempat kucuci. Kecuali. gayung.
Aku ke luar dari dapur dengan muka merah.
Mengawasi ruangan di depanku. mencari cari. Selain takut, aku juga marah. Tanpa berpikir panjang lagi. aku mendengus: "Baiklah. Apa yang kau inginkan?"
Tak ada sahutan. Tak ada gerak atau benda-benda bergeser
dari tempatnya! "Hem," aku mendengus saking kesal. "Kau pikir. tanpa gayung aku tak dapat mandi ya" Oke. Mari kita lihat..."
Misteri Gadis Bergaun Putih Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah pikiran sedang apa yang mempengaruhi otakku. Seketika itu juga aku telah berbuat kurang waras. Sembari jalan bergegas ke kamar mandi. kutanggalkan piyamaku satu persatu. dan kulemparkan sekenaku di mana saja. Tinggal celana dalam. Di bawah jilatan lampu lantai bawah yang terang benderang, celana dalam perlahan lahan pula kutanggalkan
Reaksi segera terdengar. Langkah-langkah kaki berlari lari kecil. sesekali tertegun, kemudian berlari lagi semakin jauh lalu hilang lenyap sama sekali. Pas ketika itu aku telah berada di ambang pintu kamar mandi. bugil macam bayi. Dan di bak, tampak gayung yang kucari terapung apung di permukaan air.
Hanya itu gangguan yang ia perlihatkan hari itu.
Tetapi akibatnya. konsentrasiku sudah keburu buyar. 'Dia" lebih memenuhi pikiranku, ketimbang lanjutan naskah yang harus kuketik. Entah sudah berapa puluh lembar kertas kurobek saking tak puas dengan cerita yang kubuat. Semuanya terbang ke tong sampah, sebagian tercecer di lantai. Campur aduk dengan abu dan puntung rokok. karena asbak
sudah penuh. tiga gelas kopi terbuang percuma ke perut yang rasanya jadi kembung. Dua butir telur rebus yang kumakan sebagai sarapan pagi, tidak dapat menolong.
Suntuk kepalaku baru tertolong waktu siang harinya dua orang tetangga datang berkunjung. Mereka ngobrol mengenai keadaanku setelah menghuni rumah itu. Semua kujawab. "Baik. tak kurang suatu apa." sambil tak berhenti mengunyah kueh dan pisang yang mereka bawa sebagai oleh oleh. Tertarik oleh caraku mengunyah dan menelan. kedua tamu kemudian ikut-ikutan menghabiskan oleh oleh yang mereka bawa. Sampai aku menyindir 'Awas. nanti ditanduk kerbau!"
Mereka cuma tertawa. Namun jelas tidak puas. karena jawabanku tetap sama: semuanya beres, tak ada terjadi apa apa. Dan sungguh sialan benar: "dia. tidak bertingkah sedikitpun sampai tamu tamuku pamit pulang. Setelah mengantar mereka ke pintu, aku menghirup udara segar beberapa lama di luar rumah. Menyambut tegur sapa atau anggukan tetangga yang lewat di jalan. Menikmati sejenak pemandangan sawah di belakang rumah. menikmati sungai yang mengalir tenang nun jauh di bawah.
Lalu kembali menghadapi mesin tik.
Dapat beberapa halaman. Dan lonjakan lonjakan kaki yang riuh rendah di lantai kayu beranda kamar tidur. menghentikannya. Aku
menghambur ke luar. dan lonjakan-lonjakan kaki itu berhenti dengan sendirinya. Bukan karena aku berhenti mengetik.
Melainkan. karena ada orang mengetuk pintu depan.
Aku turun. membuka pintu dan menyambut senyuman pengantar pos yang menyerahkan sepucuk surat kilat khusus yang dialamatkan padaku. Kutandatangani nota kirim. memberikan tip sekedarnya kemudian menutup pintu. Surat pertama yang kuterima setelah aku menempati rumah kecil di pinggir kota itu datang dari salah satu majalah yang memuat cerita bersambung karanganku. Bunyinya sudah dapat kutebak selamat menempati rumah baru," dan seperangkat kalimat yang menyenangkan. diakhiri dengan kalimat yang sangat pahit: "Lanjutan cerber kami tunggu. Paling lambat harus sudah ada di meja redaksi. akhir minggu ini!"
Dan. mereka telah membayar!
Aku termenung-menung. membaca surat itu sekali lagi di kamar. Berkecil hati, surat kurobek dan kusatukan dengan sampah di keranjang. Selama setengah jam kuhabiskan dengan duduk-duduk menunggu. Bukan menunggu datangnya inspirasi. Tetapi menunggu kehadiran "dia'. Menelaah, siapa kiranya "dia" Mengapa "dia" ada dan menghuni rumah ini. Rumah yang begitu manis. menyenangkan dan suasananya sangat serasi untuk orang
yang punya pekerjaan macam aku ini. Kepada pemilik terakhir malah aku sudah mengucapkan tekad: 'Kuingin membeli. bukan menyewa."
Masih kuingat apa jawab pemilik rumah: 'Sebaiknya tunda dulu pikiran untuk membeli. Nak. Bukan kami tak butuh uang. Melainkan, kami tak ingin diumpat orang di belakangan hari Nah. Sewa saja dulu. Mau sebulan dua boleh" Mau setahun. kami lebih gembira lagi."
Tanpa berpikir panjang. kubayar sewa untuk dua tahun.
Sebelum menerimanya. Pak Hadiman mengingatkan: "... salah seorang penghuni sebelum kami, Nak; diketemukan mati di kamar mandi. Kata dokter. akibat serangan jantung. Tetapi menurut banyak saksi mata, wajah si mati bukan memperlihatkan kesakitan. Wajahnya memperlihatkan ketakutan yang teramat sangat!"
Tetapi aku sudah jatuh cinta pada rumah ini. pada pandang pertama.
Dan soal-soal gaib. guru kebathinanku sudah banyak memberi petunjuk. Jadi aku tidak panik lagi, ketika suatu hari aku pernah ikut memandikan jenasah yang sekUjur tubuhnya ditumbuhi sisik ular. Atau ketika menyepi di sebuah desa, pernah ikut memburu seekor babi hutan yang berkeliaran masuk kampung. Babi hutan itu baru tertangkap setelah salah satu kakinya ditebas putus oleh seorang penduduk dan moncong babi itu. terdengar teriak kesakitan seorang manusia yang memintaminta ampun. Dan paginya, di bawah selimut kain hitam. babi hutan menjelma jadi manusia laki-laki setengah umur. yang bercucuran air mata saking tak kuat menanggung penderitaan.
Cuma, roh tanpa bentuk. baru sekarang ini kuhadapi
Ia bisa melihatku. dan dapat berbuat semau dia tanpa aku sempat melakukan seSUatu untuk menghindari. Karena, aku tak dapat melihat dia ataupun gerak gerik yang akan dia perbuat. Apa yang dapat kulakukan, hanya mengisi jiwa dengan getaran do'a do'a yang pernah diajarkan oleh guruku. Getaran yang dapat membuatku tabah dan tidak angkat kaki, menyerah begitu saja.
Sampai saat ini, aku berhasil.
Tetapi gagal meraih getaran'getaran itu untuk berkonsentrasi. Konsentrasi bathin. mungkin dapat. Celakanya. yang kubutuhkan adalah konsentrasi pada cerita. Aku tidak mungkin mengetik. selama ada gangguan berlangsung di sekelilingku.
*** EMPAT Selama beberapa hari berikutnya. aku terus saja diganggu.
Ada-ada saja yang "dia" (untuk seterusnya. tanda kutip kubuang saja') perbuat, untuk_ mengusik ketenanganku. Kembali sibuk kehilangan gayung. berlari-lari sekeliling rumah atau menggedor-gedor pintu. Kursi meja yang berpindah pindah bukan sekali dua kualami. Atau perabotan dapur yang centang perentang. Isi lemari makan dihambur-hamburkan ke lantai ruangan bawah. Kadang-kadang lantai itu sudah penuh air kotor dan ember terhumbalang kian kemari. Aku benar-benar dibuat sibuk membersihkan dan membereskan rumah
"Sabar. Usahakan tetap sabar," teringat pesan guru. aku selalu berusaha menahan diri. Percaya serta yakin apa yang guru katakan "Akan tiba waktunya. lawanmu yang kehabisan sabar. hilang akal dan putus asa. Barulah. kau mulai menembak...."
Aku maSih sabar. Hanya sekali aku menyenggak: "Kau membuat onar! Kalau tetangga pada tahu, apa kau tidak malu"!"
Tiba-tiba kusadari. rumah itu letaknya jauh dengan rumah tetangga. Mana ada yang mendengar dia bikin ribut" Dan kalau malam hari. tidak pula ada penduduk berani berkeliaran di dekat-dekat rumah yang kutempati.
Memang ada sekali dua tamu berkunjung, tetapi selama ada orang lain. dia membuatku dongkol. dengan berdiam diri tidak bertingkah apa apa. Padahal betapa aku ingin memperlihatkan pada orang-orang bahwa dia" tidak perlu dicemaskan. karena apa yang bisa ia perbuat, hanyalah keributan semata.
Tetapi ketika aku menerima lagi beberapa pucuk surat, kesabaranku mulai habis. Semua isi surat itu tidak ada yang manis. Semua menuntut naskah. Bahkan ada yang menghina. karena honor sudah kuterima jauh sebelumnya. aku tidak mau bertanggung jawab lagi.
"Sialan!" aku memaki. seraya kurobek robek surat itu. "Semua ini gara gara kau!" aku membentak. seraya memandang ke sekelilingku. Kepada meja, kepada kurSi, kepada jendela. kepada pintu, ke lantai. ke beranda. ke tangga. Tetapi tidak ada siapa-Siapa di sana, pada siapa amarah itu kutujukan.
Namun diam diam kusadari, makhluk bagaimana yang menunggui rumah itu.
Karena selain vas bunga. ia tidak merusak perabotan dapur pertanda ia sayang memecahkannya. Ia pun tidak pernah memindah mindahkan benda-benda berat seperti lemari atau tempat tidur. pertanda ia tidak kuat melakukannya. Bila kudengarkan dengan seksama, nyatalah langkah-langkah kakinya agak pendek pendek, serta halus iramanya bila ia berjalan tidak sedang berlari atau melonjak lonjak.
Teringat pada taman bunga yang selalu terawat baik di pekarangan. serta bunga segar dalam jambangan pada hari pertama aku menetap di rumah ini, maka aku menyimpulkan: tentulah ia seorang perempuan. Cantikkah dia" Masih muda" Atau buruk rupa. mengerikan. serta tua renta" Ataukah seperti" Ah. Gadis dalam impian. Sukar mengenalinya. karena munculnya selalu samar-samar. tidak lama dan cepat menghilang ke tabir kabut seputih salju. kalau aku berusaha biar pun hanya menggapai saja.
Perhatianku benar-benar tidak terpusat pada pekerjaan.
Siang hari. aku selalu sibuk akibat tingkahnya. juga letih. Mana tamu suka berkunjung. Meski jarang, tetapi toh kehadiran mereka menyita waktuku yang terSisa. Aku tak mungkin mengusir mereka. karena mereka adalah tetangga-tetanggaku yang baik. Terpaksa aku berbohong bahwa aku menyukai kesibukan tiap kali mereka melihatku sedang bekerja membereskan sesuatunya yang telah dicentang perentangkan oleh si dia. Mereka tidak menuduh lewat kata kata, tetapi lewat mata.
Paling-paling mereka hanya berani mengatakan ini:
"Kau kelihatan agak pucat. Sakit?"
Aku angkat bahu, seraya tersenyum. Kecut.
"Apakah benar tidak perlu kami bantu?"
"Terimakasih." Pada akhirnya. sang Pemimpin Redaksi yang pernah kulihat marah-marah dalam impianku itu, muncul dengan wajah ramah. tetapi mata yang dingin. Ia bertamu tak lebih dan lima menit. hanya untuk menanyakan keadaanku sekedarnya. dan menuntut:
"Mana lanjutan naskahnya?"
Kujanjikan. akan kukirim segera.
"Kapan?" Ia mendesak. tak sabar. bahkan tak percaya.
Aku memutuskan: "Besok. Kalau perlu. tunggui aku mengetik di .sini."
Ia tidak bersedia menungguiku, tentu. Tetapi untuk menjaga hubungan baik. kuputuskan pada malam ini aku harus menyelesaikan paling sedikit dua atau tiga kali penerbitan lanjutan cerita bersambungku yang dimuat oleh majalahnya
Dan. malam itu. pintu dibuka dan ditutup dengan suara berdentam dentam.
Aku mematikan tape dengan jengkel.
Dengan langkah langkah panjang. aku keluar dari kamar. Tegak di beranda. berkacak pinggang. seraya memandang ke ruangan bawah di mana kulihat daun pintu kamar mandi masih berayun ayun. Aku benar benar naik pitam.
"Cukup" aku berteriak. lantang.
Darahku naik ke kepala. Kukira. wajahku merah padam. mungkin sudah kehitam hitaman.
"Sekali lagi kau membuat ribut. aku akan turun tangan!"
Turun tangan" Bagaimana aku harus turun tangan kepada roh halus itu" Hem. bisa saja. Yakin bahwa ia seorang perempuan. tidak berteman, dan barangkali masih muda belia. aku menggeram.
"Tahukah kau. aku sedang mengetik naskah apa?"
Daun pintu kamar mandi masih terayunayun. Padahal. tidak ada angin bertiup. Dan tampak jelas. tidak ada tangan yang menggerakkannya. Daun pintu itu dibuka semakin lebar. dan tampaknya sudah siap dihantamkan sampai tertutup dengan keras.
Aku mendahului "Dengar! Aku lagi mengerjakan cerita horror! Tahu kau" Horror! Tentang mayat yang bangkit dari kubur! Mayat yang ketika hidupnya pernah ditabrak kereta api! Mayat yang rusak dan daging-dagingnya sudah busuk itu
kupaksa keluar dari liang kuburnya yang kotor. Kubiarkan tulang belulangnya bersembulan di antara daging-daging serta darahnya yang membusuk. Kupindahkan ia ke mesin tikku. Tetapi....' aku menarik napas. Dan mendengus:
"Mayat yang mengerikan itu. bisa kurubah arahnya, langsung ke tempatmu, untuk mengajak kau bercumbu!"
Entah berhasil entah tidak ancamanku itu. yang jelas. daun pintu kamar mandi terhenti tiba-tiba. Udara dingin bergantung di dalam rumah. Tak ada angin. Tak ada suara sama sekali. Kemudian. daun pintu tertutup. Perlehan sekali. Seolah takut menimbulkan suara. Aku tidak tahu, apakah ia bersembunyi di dalam kamar mandi, di belakang pintu tertutup itu. Atau di depannya. seraya memandangku dengan kecut.
Tetapi naluriku membisikkan sesuatu.
"la tidak berbuat jahat kepadamu. Ia hanya mengganggu. Kasuhanilah dia...!"
Napasku seolah bunyi lokomotip, ketika aku membuangnya sebebas mungkin.
Udara di dalam rumah semakin dingin. semakin hampa.
Kosong. Sepi. Aku merasa tegang. dan gemetar.
Lama aku menunggu. namun tidak ada suatu reaksi sama sekali. Dengan bimbang. aku berkata lagi. Tetapi volume suara kutekan
serendah mungkin: "Aku sudah pernah mengajakmu bersahabat.... Ajakanku itu masih berlaku. Kecuali. kau tidak sudi....'
Sepi Sepi sekali Aku tidak putus asa. Ujarku:
?"Mungkin aku salah.... Tidak memperkenalkan diri. ketika aku memasuki rumah yang.... Yang kau huni ini. Baik. Anggaplah aku sebagai tamu. Dan sebagai tamu, akan kuperkenalkan Siapa aku...."
Kutatap ke lantai bawah, rasa-rasa ada langkah-langkah kaki di sana.
Langkah-langkah kecil. yang tertegun.
Aku menelan ludah Dan dengan suara gemetar. memperkenalkan diri:
'Namaku Doli. Bukan Ooh-pet," aku tersenyum. 'Doli saja. Aku maSih bujangan. Tetapi sudah karatan. Umurku tigapuluh dua. Pekerjaanku" Mengarang. Tahu kau apa itu mengarang..."'"
Tentu saja. tidak ada sahutan.
Dan tentu saja. aku harus menerangkannya:
"Mengarang itu jual kecap. Nomor satu, tentu saja. Kecap itu kutuangkan ke mesin tik. mengalir pada helai demi helai kertas. Barangkali kau pernah melihat aku mengerjakannya.... Tentu saja kau ngintip. Kalau terang-terangan, aku bisa melihatmu. Nah.... Hasil ketikan itu kujual ke surat-kabar atau majalah. Uang hasil penjualan itulah kupakai untuk makan dan.... Dan untuk mengontrak rumah yang kau huni ini."
Kembali aku menghela napas. letih oleh penjelasan sepihak yang panjang lebar itu Terkutuk. Mengapa ia tidak mengawab. Masih adakah dia di sana" Atau sudah pergi" Ke mana" ~
"Kau pernah membaca cerita ceritaku?" 'aku bertanya, iseng.
Tak ada jawaban Tetapi tak ada salahnya sesekali beronani. Anggap saja promosi, pikirku, lalu memutuskan:
'Aku adalah pengarang terbaik di muka bumi. Dan tak usah malu-malu mengakuinya. Kau seorang penggemarku. bukan?"
Seraya menyeringai lebar, aku masuk ke kamar.
Pintu kututupkan rapat-rapat. Beberapa saat. aku masih diam Menunggu. Sepi di bawah. Sepi di atas Sepi di kamarku. Kuputar tape, dengan volume rendah. Kuambil sebatang rokok. Lalu. Siap dihadapan mesin tik ..
Beberapa kali. kertas kusentakkan dari mesin karena hasil ketikanku yang jelek. Biarpun sudah dibayar dan pasti dimuat. aku berprinsip harus tetap mempertahankan mutu cerita. Kureguk kopi yang sudah dingin. Lalu menghisap rokok dalam-dalam. Lewat asap
asapnya yang mengepul ke langit-langit, aku mencari cari lanjutan ceritaku yang sempat hilang.
Aku menemukannya tidak lama kemudian.
Ketak ketik bunyi mesin tik segera memenuhi kesepian rumah. Heran. Mesin tikku berjalan lancar. Seolah segala sesuatunya telah lekat di kesepuluh jari jemariku. tinggal ketukan ke huruf-huruf. Lembar demi lembar mengalir keluar dari ban mesin tik, hampir tidak berhenti henti.
Menjelang pagi, aku mendengar suara berisik di bawah.
Dan mencium bau yang khas. pasti dari arah dapur. Tentu dia lagi. Entah apa yang ia tengah lakukan. aku tidak tahu. Dan aku tidak ingin melihatnya. Karena, mesin tikku tidak mau ditinggalkan.
Waktu terus berjalan. Dan ketika pagi itu aku turun ke bawah. mataku terbelalak.
Sebuah jambangan baru sudah ada di atas meja. Bunga-bunga yang segar dan harum semerbak, disusun manis di dalamnya. Dan yang membuat aku semakin takjub. adalah ini: segelas kopi kental panas tersedia di meja yang sama. dengan piring berisi dua butir telur rebus yang sudah dikelupas.
Sarapan pagi kesenanganku!
*** LIMA Aku benar-benar tidak percaya dengan mataku. Tetapi aku telah mengerjap beberapa kali. Paha telah kucubit. Gigi sudah kugemeletukkan. Namun tetap saja apa yang kulihat sesungguh-sungguhnya ada di atas meja. Jembangan dengan bunga, baiklah. Tetapi kopi dengan telur rebus. .
Lama aku terpesona. Baru teringat. untuk memandang berkeliling. Perabotan di ruang bawah itu, tidak ada yang berpindah tempat. Lantai bersih dan licin. meski ketika ditinggalkan tamuku yang terakhir, keadaannya masih kotor. Pintu depan masih tertutup. Rapat. Tirai jendela telah terbuka gordenn Naco telah diangkat.
Gugup. aku memeriksa pintu.
Masih terkunci. Bahkan anak kuncinya melekat di lubang sebelah dalam. Aku mendekati meja kembali. Berharap. jambangan bunga, terutama kopi dan telur itu sudah tidak ada di sana. Harapan yang Sia sia, dan membuat aku semakin takjub oleh peristiwa ganjil yang baru pertama kali kualami seumur hidup itu.
Tidak ada gerakan atau suara apa pun di sekitarku.
Hawa segar menerobos lewat kaca naco. Apakah ia ada di dekatku. sekarang"
Dengan penuh kebimbangan aku masuk ke kamar mandi, untuk cuci muka. Kembali aku terpesona Dalam ember, terisi air yang berkepul kepul. Panas! Kugaruk kepala yang tidak gatal. Dan tanpa bisa kutahan. tubuhku gemetar. Aku dihinggapi perasaan takut .
Semula aku akan membiarkan ember berisi air panas itu. Tetapi setelah kutimbang-timbang, apa salahnya mencoba" Lantas seraya membaca jampi-jampi yang pernah didiktekan oleh guru kebathinanku, aku campur air di ember itu dengan air dingin dari bak. Maksudku membasuh muka. kurubah. Mandi saja sekalian karena air tersedia cukup banyak.
Pada guyuran air hangat yang pertama. aku masih gemetar
Namun kurasakan, air itu tidak memberi pengaruh asing. Biasa saja. seperti air hangat yang kau sediakan setiap pagi untuk kau pakai mandi. Mungkinkah karena do'a yang kubaca" Atau karena air itu memang tidak ada apaapanya"
Keluar dari kamar mandi. diam-diam aku mengintai ke atas meja.
Masih Masih di sana. KOPI dan telur rebus itu'
Dengan gelisah aku naik ke atas untuk
berganti pakaian. Jendela kamar kubuka, agar udara segar masuk ke dalam. Lembah hijau, atap atap rumah. pepohonan yang rimbun. anak surgai, gunung yang kelabu serta langit yang biru. Masih tetap pemandangan yang sama. Tetapi di lantai bawah, di atas meja... mungkinkah"
Lama aku tercenung di tempat tdur, setelah bersalin pakaian.
Tetapi kemudian aku berpikir. kalau air hangat itu tidak memberi pengaruh apa-apa. mengapa tidak pula dengan kopi serta telur rebus" Lagi pula, perutku ingin kehangatan. dan lidahku sudah gatal untuk menelan telur rebus. Kutetapkan hati. lalu turun ke lantai bawah
Duduk menghadapi meja makan, aku berdo'a sebagaimana biasa
Tentu saja. dengan mata terpejam. Ketika mata kubuka kembali. setengah mengintip rasanya. kulihat semuanya ada di sana Ah.... Aku menoleh ke samping kiri. ke samping kanan, ke seberang meja. Berharap ada salah sebuah kursi yang bergeser, atau suara suara asing namun sudah kukenal dengan baik. Tetapi tidak ada gerakan apa-apa. Tidak ada suara
Aku tidak yakin pada diriku sendiri.
Dan setelah batuk-batuk kecil untuk mengendurkan ketegangan yang menghantui diriku. aku berujar. kau baik sekali." Suaraku
gemetar. Dan kaku. Agak sumbang terdengar. Tetapi aku tidak perduli. Aku terus berbicara:
"Jadi. kita telah bersahabat, bukan?"
Aku tersenyum. Sukar juga untuk melakukannya. tetapi kukira aku memang seorang pemain sandiwara yang baik.
"Baiklah! Terimakasih untuk hidangan pagi ini. Tetapi ...' aku kembali memandang tanpa tujuan' 'Tidakkah lebih baik kalau kita makan bersama?"
Tidak ada sahutan. Aku sudah menduganya. Dan setelah berpikir bahwa hantu tidak makan sebagaimana manusia makan, aku memulai sarapan pagiku. Mula-mula kureguk kopi. Kental, okey. Hanya agak sedikit manis.
"Lain kali . jangan terlalu banyak gula." aku bergumam sendirian. "Tidak baik untuk kesehatanku.'
Aku menghabiskan kopi, dua butir telur rebus itu, tanpa reaksi apa-apa dalam tubuhku. kecuali perasaan senang dan puas. sebagaimana lazimnya setelah aku melakukan hal yang sama. Selesai sarapan. aku bermaksud membereskan perabotan bekas makan.
Tetapi... Sebuah tangan yang dingin, menyentuh lenganku.
Kontak kami yang pertama!
Aku dapat merasakan jari jemari yang halus, lembut tetapi dingin, memegang tanganku yang sudah siap membereskan meja. Aku tertegun. kaget, dan kukira sedikit pucat. Tibatiba timbul keinginanku untuk balas memegang tangan itu. dan kalau bisa menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang lain. Namun se telah didahului terpaan nafas yang dingin di tengkukku. tangan itu kemudian hilang rasa. Hampa.
Dengan jantung dak-dik-duk. kuperhatikan apa yang terjadi berikutnya. Perabotan bekas sarapan pagi, terangkat ke udara. melayang seperti kapas yang ringan. Gelas berdenting bunyinya ketika diletakkan ke atas piring demikian juga tatakannya. Dengan jarak kira kira setinggi perutku. benda benda nyata itu melayang layang secara gaib langsung menuju dapur. Sebentar kemudian terdengar Suara gelas dan piring menyentuh bak cuci, disusul suara air mengucur perlahan.
Dan, di balik bajuku. mengucurlah peluh yang dingin.
Hasrat untuk mengintip ke dapur, kutekan sekuat mungkin.
Aku justru berjalan ke arah yang sebaliknya. Mula mula pelan, kemudian makin cepat. Dan aku melompati anak tangga dua sampai tiga sekaligus. berlari sepanjang beranda merenggut pintu kamar dengan keras dan sekaligus menutupkannya setelah aku berada di
dalam. Kusandarkan tubuh ke daun pintu.
Napasku terengah engah. Lama aku dalam keadaan setengah sadar setengah tidak ingat diri, sampai kemudian mataku terpantul kepada amplop besar berisi naskah yang kuketik malam harinya. Wajah Pemimpin Redaksi yang kesal mendorongku untuk berpikir secara sehat.
Baiklah. Yang tidak mungkin. sudah terjadi.
Biarlah dia di bawah sana melakukan apa saja yang ia kehendaki. Yang penting. ia telah memperlihatkan tanda-tanda ingin bersahabat malah membantuku mengerjakan sesuatu yang akan menghabiskan waktu dan tenaga kalau aku sendiri yang melakukannya. Aku masih punya pekerjaan lain.
Kukenakan sepatu, memeriksa uang di dompet. mengambil map besar kemudian keluar dari kamar. Haruskah kukunci" Ah. lewat celah yang sebesar semut pun. toh roh itu bisa masuk. Mungkin juga ia bisa masuk langsung lewat dinding. tak ubahnya benda empat dimensi. Aku berdiri sebentar di depan pintu, mendengarkan.
Sepi di lantai bawah. Sepi di dapur. Aku menuruni tangga. Berjalan setengah berjingkat-jingkat ke pintu, dan hampir menjerit kaget.ketika pintu dapur dibantingkan. Aku
mengurut dada yang seakan mau pecah, terengah-engah sebentar seraya berpikir apa yang terjadi.
Lantas. tiba-tiba aku teringat.
Hem. Aku tersenyum. "Aku pergi dulu. okey" Nanti aku kembali," Ujarku. pamit.
Pintu dapur terbuka. Berhenti sampai setengahnya Dan tidak tampak sesuatu apa pun kecuali uap dingin yang menebar ke seluruh ruangan. Aku menggigil, kemudian bergegas ke pintu. membukanya. keluar, menutupkannya. lalu berusaha agar tampak biasa biasa selagi mengayun langkah ke jalan, meskipun betapa inginnya aku untuk berlari secepat cepatnya.
Dalam oplet. seseorang menegur
"Eh. Nak Doli. Mau ke mana?"
Aku melihat Pak Jayusman. salah seorang tetangga yang ikut mengangkat barang bawaanku ketika pertama kali tiba di daerah ini. Kucoba tersenyum, dan mengatakan tujuanku. Ia membalas senyumku dan bertanya apakah aku sakit. Tentu melihat wajahku pucat. Kukatakan aku sehat saja, hanya agak pusing karena bekerja sampai Subuh.
Kami berpisah di terminal.
Aku terus ke kantor pos, untuk memposkan naskah. Kubeli sebuah majalah dan duduk menghabiskan waktu di taman tak jauh letaknya di kantor pos. Tetapi perhatianku tidak
tertuju kepada majalah itu. Huruf-hurufnya menari-nari. berubah jadi telur rebus. kopi. air yang mengucur, piring melayang-layang di udara.
"Ya Tuhan." aku mengeluh.
Kemudian berkeliling tidak menentu, sampai akhirnya aku ketemu seorang kenalan lama. Kami bercakap-cakap dengan riang gembira dan ia mengajakku makan siang di sebuah restoran. Bekas teman sekolahku itu mengatakan ia kini sudah punya pekerjaan di sebuah perusahaan sebagai sales, dan sedang tugas memasarkan bahan bahan produksi perusahaannya ke kota ini. Ia kuajak Singgah. tetapi katanya harus segera kembali.
'Isteriku akan curiga. kalau aku terlambat pulang" katanya ketika kami berpisah dengan perasaan enggan.
Apakah dia yang dirumahku. curiga kalau aku terlambat pulang"
Tetapi. aku tidak ingin pulang sekarang. Pikiranku belum tetap. Pengalaman yang ganjil itu terus menggodaku. Telah kubuat ribuan analisa. tetapi tidak satu pun yang berhasil. Suara-suara gaib, lumrah. WUjud wujud menyeramkan, ada. tetapi hanya dalam cerita cerita yang kudengar. kubaca. atau kukarang karang sendiri. Sentuhan-sentuhan sepihak, bukan pula hal yang aneh.
Tetapi segelas kopi. telur rebus. air panas...
Untuk melenyapkan kegundahan itu aku masuk ke sebuah gedung bioskop. Kubeli karcis dan mencari kursi di pojok (bioskop di kota kecil itu tempat duduknya terbuat dari bangku memanjang, tak diberi nomor. Dan satu karcis bisa dipergunakan untuk dua pertunjukkan se kaligus). Filmnya tidak menarik. Bintang-bintangnya tidak kukenal. Warnanya pucat. Mungkin Itali.
Tetapi itu tidak penting Yang kuperlukan hanyalah sebuah tempat untuk membuang pikiran susah.
Kalau mengetik. aku membutuhkan suasana sepi dan tempat yang tenang. Kalau untuk tidur.... Dan aku segera jatuh pulas. begitu pertunjukan berjalan sekitar lima menit.
Malam sudah merangkak ketika aku tiba di rumah.
Suasana di dalam sepi. Segala seSUatu tampak bersih dan rapih. Kamar tidurku sudah disapu, selimut dan sprei sudah dibereskan. Dan sebagai sebuah surprise, di atas meja sudah terhidang santapan untuk makan malam!
*** ENAM Semula. aku tidak mengetahuinya.
Turun dari Oplet mataku berat karena masih mengantuk. Kubuka pintu depan dan menemui rumah yang sunyi lengang, berselimut kabut misteri. Ruang tamu tampak rapih bersinarkan lampu pojok yang temaram. Lantai utama gelap tetapi samar-samar dapat kulihat tangga ke lantai atas. Karena tidak ada suara atau gerakan yang kutemui maka kaki langsung saja kulangkahkan ke tangga itu
Lantai beranda atas yang terbuat dari papan jati itu, berkeriut begitu kuinjak. Aku tersentak sejenak. kaget. Kemudian meneruskan langkah menuru kamar tidur. Terlelap di bioskop dengan hiruk pikuk suara dari layar, tidak mencukupi kebutuhan phisikku untuk beristirahat. Demikian pula di oplet yang sering terguncang karena jalanan jelek. Saat ini. yang kupikirkan adalah langsung terbang ke alam mimpi.
Namun aku segera tertegun.
Kamar tidurku terang benderang
Seseorang telah menghidupkan lampu
yang telah kupadamkan sebelum pergi. Andaikata kamar itu acak acakan dan ada barang yang hilang pasti aku menduga itu perbuatan seorang tamu yang tidak diundang. Tetapi apa yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, tentulah perbuatan dia. Tempat tidur kecil kelihatan rapih dan resik. Sprei telah diganti. demikian pula sarung bantal, Selimut terlipat apik. masih bekas kupakai sebelumnya. Maklum. cuma satu satunya selimut yang kumiliki.
Lemari tertutup rapat. Dan di atas meja, tersusun rapih map map serta kertas-kertas yang ketika kutinggalkan maSih berserakan. Mesm tik bersih dan berkilat bekas dilap. Tak ada sampah dilantai. begitu pula di keranjang sampah. Memang ada yang hilang, atau tepatnya tidak ada di kamar itu. Pakaian-pakaian kotor tidak lagi tergantung di kapstok. Entah kemana perginya. Begitu pun aku yakin pakaian itu tidak di curi.
Lama aku termangu. Menyadari kamar itu Siap pakai. Untuk bekerja Atau langsung terbang ke alam mimpi.
Mataku mencari cari. Kalau aku menemukan dia atau melihat sesuatu yang menunjukan dia ada di situ. Setelah kusadari kamar tidurku hangat. maka aku tahu ia tidak ada di dalam. Penasaran aku keluar dan bertelekan pada tiang penyangga beranda. Kucari dia dalam kegelapan lantai bawah. Tetap sepi, lengang dan gelap karena cahaya lampu pojok
ruang tamu tidak sampai ke situ.
Suaraku bergetar. ketika aku menyeru: 'Hei...."
Tak ada sahutan. Tak ada benda-benda bergerak. Tak ada langkah kaki. konon pula helaan napas. Apakah dia telah pergi untuk tidur di kediamannya yang abadi" Aku tak percaya. Sifat nakalnya tentu berperan. Ia sedang bersembunyi di suatu tempat. Tegak diam. atau duduk santai sambil tersenyum-senyum... mungkin juga harap-harap cemas, menanti reakSiku.
Hati hati aku beringsut sepanjang beranda. Pas di mulut tangga, aku berhenti. Kuraba tembok dan begitu bertemu, shakelar lampu lantai utama segera kuputar. Didahului suara berdetak lembut, lampu antik yang tergantung ke langit-langit. seketika menyala terang benderang. Lantai utama bersiram cahaya yang sekejap membuat mataku Silau. Rasanya aku mendengar desah lembut. desah mengejut. Diakah" Atau desah yang keluar dari mulutku sendiri"
Yang pertama tama terpandang ketika mata kubuka, adalah tentu saja meja makan. Dan aku terkesiap. Bukan karena tiba-tiba melihat dia. Tetapi karena di atas meja makan, tampaklah hidangan itu. Nasi. lauk pauk, piring dan gelas yang tengkurap, mangkok cuci tangan dan lap. Teko teh letaknya agak berjauhan dari benda-benda tadi. Entah mengapa Yang jelas. lenyaplah kantukku seketika.
Kembali mataku mencari cari.
Kembali aku tak menemukan di mana dia gerangan.
Beberapa saat aku bimbang. Baru kemudian turun ke lantai bawah. Masih tak percaya dengan apa yang kusaksikan, hidangan di atas meja kusimak lebih seksama. Nasi masih mengepulkan uap di panci. Lauk pauk terdiri dari telur dadar, dendeng daging, sambal dan sayur asam. Hidangan sederhana namun menggugah selera. Aku lantas ingat. telah lupa singgah di restoran sekeluar dari bioskop
Aku tertegun, manakala terasa udara di sekitar mega makan mengalami perubahan. Perlahan-lahan terasa mulai dingin. Diam diam, aku dihinggapi kesan seram. Betapa tidak. Terperangkap sendirian di rumah kecil dan sunyi sepi di pinggir kota yang sama sunyi sepinya. Tidak ada orang di dalam. Dan kau tahu orang lain tidak pernah masuk ke rumah itu selama kau pergi. Dan ketika pulang. kau temukan makan malam terhidang di atas meja. Meski malam yang masih hangat, tetapi dengan udara dingin di sekitarmu. Udara dingin yang hanya punya satu arti: hantu itu hadir di dekatmu.
Kurapalkan do'a doa yang diajarkan guru. jauh di sanubari.
Perlahan-lahan. kesan seram itu menjauh. Kekuatan mentalku menebal. Aku mulai tenang. dan pasrah menghadapi keadaan.
'Luar biasa!' aku bergumam tulus. "Masih serba hangat."
Kemudian aku menggeser sebuah kursi. Duduk menghadapi hidangan makan malam yang ajaib itu. Ajaib: Karena dimasak oleh tangan-tangan dari alam gaib. Aku tidak berpaling ke kiri kanan. Karena aku tidak tahu. di mana ia sedang berdiri atau duduk memperhatikan. Di sebelah kiri" Sebelah kanan" Di seberang meja" Di belakangku" Tengkuk tergetar. tanpa kusadari. Beku. dingin.
jadi kau tak ikut bersantap." ujarku tersenyum. seraya membalikkan piring satu-satunya yang tersedia di meja itu. "Aku mengerti." lanjutku pula. Mengerti, dia tidak makan seperti aku makan. Tersirat tanya dalam hati: apa yang dia makan. bagaimana caranya dia makan"
Nasi kusendokkan ke piring, secukupnya. Menyusul sayur dan sekerat dendeng, Kebiasaan sebelum bersantap. aku harus minum walau seteguk. Gelas tengkurap itu kubalikkan. Dan aku sudah siap bergerak untuk menjangkau teko yang terletak di sudut meja, manakala teko itu sudah bergerak duluan. Melayang di udara dalam posisi tetap. kemudian turun sedikit dalam posisi miring begitu tiba di atas gelas. Cairan bening kuning kecoklatan mengalir dari mulut teko dengan suara yang berdesir, mengisi gelas. Dua pertiga terisi,
teko terhenti lalu melayang ke tempat semula. Diletakkan di pojok meja, tanpa suara
Kutatap teko itu. Sadar ia ada di sekitarnya, mata sedikit kunaikkan, menatapnya". Senyum sedikit lalu berkata: "Terimakasih'
Aku menghendaki jawaban. Sia sia. "Baiklah.' aku mengeluh. "Mengapa harus berdiri di situ" Duduklah di dekat ku....' Kursi di sebelahku kugeser, lalu tangan kujauhkan Menunggu. Tetapi kursi lain bergeser pula. Di seberang meja. Jadi, ia duduk langsung di mukaku.
"Kau mau memperhatikan aku makan, ya" Mau melihat berapa banyak aku menyuap. berapa kerat lauk yang kumakan. lalu kau akan menyodorkan rekening?" ujarku, berseloroh.
Kuharap dia tertawa. Sepi yang ada. Tidak ingin menyinggung perasaan dia dengan mengatakan kehadirannya di mukaku akan membuat aku makan segan. dengan halus aku memohon dia menjauh. aku tahu, kau tak mau dekat-dekat karena tubuhku kotor dan bau keringat. Baru sekali aku mandi. Pagi tadi. Aku lupa mandi ketika mengunjungi seorang teman di kota. Teman pria!" aku tersenyum, memperlihatkan wajah jujur. karena itu, baiklah. Nanti, sehabis, makan aku akan segera mandi. Kukira aku akan mandi pakai air
hangat lagi..." kulirik sebentar ke seberang meja. kemudian meneruskan: "Habis itu. kita ngobrol lebih akrab Oke?"
Sepi Diam. Sebentar cuma. Lalu kursi di seberang meja bergeser. Ada langkah langkah halus, tertegun tegun. kemudian bergerak makin cepat ke arah dapur. Jadi dia mengerti apa yang kumaksud. Hanya. dia agak ragu ragu pantaskah aku memberi perintah" Apa hakku" Dan mengapa dia harus"
Toh. selagi aku makan terdengar juga kesibukan di dapur.
Apalagi kalau bukan, ia sedang menjerang
Habis makan. aku mau beberes. Tetapi aku tersentak ketika seSUatu yang dingin menekan pergelanganku, pas aku mau mengangkat piring kotor.
Kontak kami yang kedua. Perabotan bekas makanku melayang di udara dan dalam susunan tertentu terbang ke dapur. Aku duduk terdiam. Bingung, mau berbuat apa" malah mau berkata apa. Sampai terdengar Suara berkretak nyaring Sebuah ember melayang keluar dari kamar mandi dan rupanya membentur tepi meja di depanku. Ah, ah, sebuah sindiran"
'Biar olehku," Ujarku, cepat cepat berdiri.
Ember itu terhenti diam di lantai. Ragu ragu, aku mengambilnya. Berharap ada sentuhan antara kami. tabrakan tak sengaja. Nihil, kecuali udara dingin yang terasa menjauh sedikit demi sedikit. Ember kuambil dan pergi menuju dapur. Air telah mendidih di atas kompor. Kupindahkan ke ember. Menatap sekitar dapur sejenak. kalau kalau dia ada. Segala sesuatunya diam tidak bergerak. Udara di dapur pengap, hangat dan berbau bekas masakan.
Kecewa. aku menghilang di kamar mandi
Tetapi sebelum membuka pakaian. aku mengawasi dengan kuatir sekitar kamar mandi yang tertutup itu. lantas berkata enggan: "Kau toh tidak ingin melihatku berbugil"'
Sebagai jawabannya. terdengar bunyi berklentang-klentong_ tanda ia sedang Sibuk bekerja di dapur. Ada ember besar untuk mencuci di kamar mandi itu Pakaianku yang kotor kubuang ke ember besar itu. Saat itulah kuketahui, kalau pakaian kotorku yang di kamar telah berpindah tempat ke kamar mandi ini. Sudah malam sekarang, biar besok saja kucuci, pikirku.
Air hangat membuat badanku segar bugar.
Berhanduk-handuk aku naik tangga, terus ke kamar tidur. Pintu kututup, dan tidak curiga kalau ia ada di dalam karena udara tetap hangat. Lekas-lekas aku berganti pakaian. Tengah aku menyisir rambut. ada geseran lembut di pintu.
Kubuka. Segelas kopi kental hangat melayang di depan dadaku. Udara di kamar sebaliknya berubah dingin. Reflek aku menyingkir memberi jalan dan membiarkan dia meletakkan minumanku di meja. Apakah dia melakukan segala sesuatu sebagai permintaan maaf akibat tingkah lakunya yang menjengkelkan sebelum ini"
Ia tahu, bahwa aku harus sudah siap bekerja.
Tak boleh diganggu. Hal itu kumaklumi. tatkala udara dingin menjauh ke pintu. Daun pintu perlahan lahan menutup. Sebelum tertutup seluruhnya, barulah kusadari bahwa aku telah berlaku kurang pantas.
"Dengan apa kubalas budi baikmu?" aku mendesah lirih.
Gerakan daun pintu terhenti.
Dia menatapku, aku yakin!
"Sudah berapa lama kau hidup sendirian di rumah ini?" aku balas menatap. "Kau tentunya kesepian. Dan... hem, kau kira, aku juga tidak kesepian bukan" Kau perlu teman. Aku. lebihlebih lagi. Kita sama-sama kesepian di rumah ini. Mengapa kita tidak ngobrol barang sedikit. sebelum masmg masing naik ke peraduan?"
Daun pintu tetap membeku.
MaSih di situkah dia" Atau telah pergi, tanpa pamit" Pamit, wah!
"Duduklah, dimana kau Suka." kataku, menguji kehadirannya, dan Sekaligus mengajak. '
Pintu terbuka semakin lebar.
Kemudian menutup, perlahan-lahan. Dia masuk, atau dia pergi" Udara dingin melewati tubuhku. Jadi. dia masuk. Dan duduk di tepi tempat tidurku. Terbukti sprei yang menutupi kasur tampak melekuk dalam di sudut tempat tidur. Sudut yang paling dekat ke pintu. Aku tersenyum. dia Siap untuk kabur. kalau aku berbuat sesuatu yang tidak ia sukai!
Setelah terpesona sesaat. aku duduk di belakang meja kerja.
Berpikir sebentar. lalu: "Sebenarnya aku ingin tahu mengenai dirimu. Siapa kiranya engkau ini, perasaan apa yang saat ini bergejolak di dalam hatimu. Apa yang kau sukai" apa yang tidak kau sukai. Apa yang kau ingini dan tidak ingini. Tetapi . kau tidak pernah berkata sepatah pun padaku. Aku tahu... tak mungkin. Atau... mengapa tidak kau tulis saja?"
Kuambil selembar kertas. sebuah ballpoint dan menyorongkannya ke pinggir meja. dekat tempat ia duduk. Karena tak disambut, benda benda itu kuletakkan saja di sana. Kemudian duduk menunggu: "Tulislah, apa yang ingin kau tulis." aku membujuk. sembari mengurai senyum.
Tempat tidur bergerit. Lekukan di sprei agak naik. Lalu ada tekanan pada kertas. Ballpoint bergerak-gerak. mengatur posisi untuk menulis. Ia ragu ragu sebentar. Kemudian ballpoint menari-nari di permukaan kertas. Sayang, tak lama. Baik ballpoint maupun kertas kemudian tergeletak diam. Aku menarik kertas itu. Dan membaca: "Panjang ceritanya. Lebih panjang dari novel-novelmu. Lain kali saja, ya?"
Titik sampai di situ.
Misteri Gadis Bergaun Putih Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak ada tanda tangan. Tak ada nama.
Betapa ingin aku bertanya. Namun sadar ia tidak mau memberitahu. maka hasrat itu kutekan jauh ke dalam hati. Tak baik memaksa dia. Lebih baik kuperhatikan bentuk tulisan tangannya. Tulisan yang teratur. apik dan indah. Itu hanya umum dimiliki oleh tangan seorang perempuan. Perempuan yang pernah bekerja sebagai seorang sekretaris, paling tidak seorang korespondensi.
Makin yakin aku: ia bukan laki-laki.
Tinggal masih mudakah dia" Atau"
Pertanyaan tolol, pikirku. Pertanyaan bodoh dan memalukan. Bukankah aku ingin berteman, seperti dia" Mengapa ribut soal usia" Seorang laki-laki yang menanyakan usia perempuan... atau sebaliknya, maka pertanyaan itu mengandung unsur seksuil. Biar cuma setitik debu. tetap saja tercium bau seksnya. Dan aku tidak mau, dia mentertawakan dan mencemoohku. berharap aku dapat kencan dengan dia Kencan di tempat tidur. wah....
Tetapi, mengapa tidak"
Tempat tidur berderit. Resah.
Aku tersadar. 'Maaf." kataku cepat-cepat, mencegah ia pergi saking dongkol aku bungkam dari tadi. Kemudian membela diri: "Soalnya, aku tidak tahu bagaimana aku harus memanggilmu." kuharap. berkau-kau cukup wajar. Supaya kau tahu. kau kuanggap seusia denganku. atau tegasnya: kau lebih muda dari aku"."
Bingung lagi. Tidak tahu. apa yang akan kujadikan bahan obrolan. Tanpa sadar, kumasukkan sebuah kaset ke tape deck. Volume kuputar sedikit rendah. begitu pula volume ampli. Musik lembut tanpa lagu segera memenuhi kamar tidur. Halus. mendayu dayu. Francis Goya dengan petikan gitarnya: O Sole MIO.
terpengaruh thema lagu itu, aku tersandar di tempat duduk dan berkata setengah terpejam: 'Sebenarnya aku bukan seorang perjaka tulen, seperti pernah kukatakan padamu.?" Kuperhatikan lekukan di sprei. ia masih belum beranjak. "Aku pernah kawin!' tambahku.
Lekukan itu berubah. Bukan hilang. Tetapi semakin dalam. dan melebar ke arah tembok. Ia juga menyandar. kukira dan aku menyimpulkan dia bermaksud menjelaskan: 'Teruskanlah. Aku sedia mendengarkan."'
"Namanya Rosnah.' kumulai ceritaku.
Rosnah masih saudara sepupuku. Rapat lagi. Ia anak gadis satu-satunya saudara lakilaki ibu. Rosnah tidak saja kesayangan orangtuanya, Rosnah juga merupakan cibiran tulang ibu, yang meski punya tiga orang anak tetapi tidak satu pun dikaruniai anak perempuan. Dua saudaraku yang lain, semua laki-laki. Tak heran. kalau kadang kadang ibu tampak lebih sayang pada Rosnah. ketimbang kami anak anaknya. Apalagi semenjak ditinggal mati oleh ayah, sedang dua saudaraku sudah menikah dan pindah rumah dan aku sendiri kemudian melanjutkan pendidikan ke ibukota, Rosnahlah yang senantiasa mendampingi ibu dan merawatnya penuh kaSih apabila ibu sedang sakit.
Ketika kuliahku gagal dan dunia karang mengarang baru saja kumasuki, ibu memanggilku pulang. "Kau kawinlah..." katanya. Dan tentu saja calon ibu tak lain Rosnah sendiri. Keinginan ibu didukung pula oleh orang tua Rosnah. "Kami akan memberimu modal berusaha." berkata ayah Rosnah, setelah tahu kalau aku malas kerja kantoran.
Tidak ingin menyinggung hati keluarga, aku kemudian setuju menikahi Rosnah. Lagi pula honorariumku sebagai novelis pemula, tidak memadai untuk hidupku. meski masih bujangan, Sudah jumlahnya kecil. sering dipermainkan pula. Kalau menagih ke kantor redaksi majalah atau surat kabar, redaksi bilang: tata usaha sedang pergi. Kalau tata usaha ada, maka: harus ditanda tangani Pemimpin Redaksi. tetapi beliau sedang rapat. Kadang-kadang dua-duanya kebetulan hadir. dan honorariumku dibayar. Namun seringkali tertunda. dengan dalih: pembayaran baru dilakukan akhir minggu, atau akhir bulan dan segala macam.
Setelah menikah aku dan Rosnah membuka sebuah toko kecil, tak jauh dari pusat pasar. Tetapi Rosnah lebih senang mempercantik diri. sedang aku bukan seorang manajer yang baik. Berhitung laba rugi saja aku tak berbakat. Lebih banyak menghabiskan waktu pada mesin tik dan lamunan yang aduhai mengenai pengarang-pengarang besar sebelum aku, membuat usaha kami bangkrut meski beberapa kali dibimbing bahkan ditambah modal oleh mertuaku. Omelan dan gunjingan mulai datang beruntun.
Karena tak tahan. kubawa Rosnah pindah ke ibukota.
Dengan demikian aku terlepas dari omelan keluarga dan lebih mudah melakukan hubungan dengan majalah atau surat kabar yang memuat novel-novelku, ibu tidak suka meninggalkan kampung halaman, jadi memilih tinggal dengan salah seorang abangku. Ia sangat marah kalau Rosnah mengabari kami sedang ribut, tetapi akan menangis bahagia kalau kami
sedang rukun. Tetapi rukunnya aku dengan Rosnah. baru terasa setelah namaku mulai menanjak dan tidak suka lagi menagih honorarium. Malah sudah sering dibayar di muka, itu pun dengan harga yang terus meningkat. sekedar menjaga agar aku tidak kabur mengisi majalah-majalah lain.
Sayang. peningkatan itu tidak merubah kami berdua.
Aku tetap menekuni mesin tik dan hobby yang mendarah daging menulis cerita, sementara Rosnah yang masih muda belia dan baru pertama kali jauh dari keluarga. makin sering pula bertingkah. Sifat manja dan serba ingin dilayani ketika masih tinggal dengan orang tuanya, makin lama makin kuat hadir menjembatani hubungan kita. Ia akan bermuka manis kalau aku menerima honorarium besar, karena itu berarti ia makin leluasa mempercantik diri. Keluar masuk kap salon dan butik. mengunjungi bekas-bekas teman sekolahnya dan kadang-kadang piknik bersama mereka ke luar kota, tanpa seijinku.
Hal itu masih kubiarkan. selama Rosnah tidak menodai kesucian dirinya sebagai seorang isteri yang setia. Yang tidak dapat kubiarkan, adalah ketidak-mengabdian Rosnah sebagai isteri. "Kau egoist," seringkali ia menuduh. Dan aku terpaksa harus bekerja. dengan membuat kopi sendiri, atau pagi-pagi sibuk di dapur. karena tidak kuat menahan lapar. sementara Rosnah masih tertidur nyenyak. Kalaulah tidak karena malamnya pulang terlampau larut. pastilah ia berdalih: "Suara mesin tikmu membuatku tak bisa tidur!"
Dalih inilah yang menjadi klimaks pertengkaran kami,
Gagal dibujuk semua keluarga, Rosnah kuantar pulang ke kampung. Langsung kucerai, sehingga Ibu pingsan. Aku dicaci maki. dan untuk menghindari perkelahian pisik aku buruburu kabur kembali ke ibukota. Belakangan baru kusadari tindakanku merupakan salah besar yang tidak mungkin diampuni.: Rosnah tengah mengandung empat bulan, waktu ia kucerai.
Aku tidak diberi ampun sama sekali.
Setelah mendengar Rosnah melahirkan anak kami. aku pulang ke kampung untuk menjenguk. Aku hanya menemui ibu yang sakit-sakitan, saudara-saudaraku yang marah marah. Sedang Rosnah, jauh-jauh hari sudah diungsikan keluarganya entah ke mana. Belakangan kudengar ia telah dilamar seorang lakilaki lain dan telah menikah syah satu minggu sebelum anak kami lahir. Hanya mereka tidak bercampur sebagai suami isteri. dan baru bercampur kelak setelah anak Rosnah lahir.
Usaha apapun yang kulakukan untuk melihat dan memomong anakku walau sebentar, selalu menemui jalan buntu. Sakit ibuku makin hari semakin parah. Ia kemudian meninggal.
disertai penyesalanku yang tak kunjung habis. Malu dan terhina, kampung halaman kutinggalkan. Jangankan dengan Rosnah dan anakku. Hubungan dengan kedua saudaraku, perlahan-lahan ikut pula putus seperti titian reot yang dilanda banjir.
Kerinduan pada anak, membuatku terpukul selama dua tiga tahun.
Untunglah ada seseorang yang memberi saran untuk meringankan bebanku. "Tulis kerinduanmu dalam novel," ia berkata. Dari kerinduan anak itu, melahirkan sejumlah buku-buku yang bervariasi dan mengangkat nama dan masa depanku kembali ke permukaan
Semenjak itu aku tidak berani berumah tangga.
Rosnah mungkin benar. Aku terlalu egoist. Mesin tik merupakan isteri pertamaku. Perempuan, baru yang kedua. Kalau sedang tekun dan keranjingan, aku melupakan kewajibanku sebagai suami. Sebaliknya aku menuntut terlalu banyak; agar isteriku menyediakan ini itu, agar dia senantiasa tersenyum ramah biar terganggu suara mesin tik di tengah malam buta... agar dia sabar kalau inspiraSiku sedang kosong sehingga aku terpaksa menandatangani surat hutang naskah di sana sini. dan tidak menghamburkan uang begitu saja kalau datang rejeki nomplok.
Semakin buntu keinginanku untuk menikah. tiap kali aku teringat pada anakku. Anak
itu tidak akan pernah kulihat walau sekejap mata. Ia meninggal semasih berusia empat tahun. terserang kolera. Biar ia meninggal karena kolera. sampai kapan pun aku beranggapan. anakku telah dibunuh oleh ibu kandung dan ayah tirinya. ia tidak akan sakit kolera, kalau mereka merawatnya dengan telaten. "Mereka membunuhmu. Dan aku membiarkannya," kukatakan itu di kuburan anakku. Kuburan yang lama sekali baru kuketahui lokasinya itu pun setelah mengancam akan bikin ribut di rumah salah seorang abangku. Kuburan itu ditumbuhi rumput liar, semak belukar dan nisannya yang satu tumbang, satunya lagi miring
Air mataku habis tertumpah ketika menyiangi rumput.
"Seperti siapa kau gerangan, Nak" Seperti ibumu" Atau seperti ayahmu" Aku bukan ayah yang baik, tahukah kau'" Bahkan kau tidak mau mengampuni aku. bukan?"
Sssst.... Desah halus dan tajam membuatku tersentak.
Aku tidak sedang menyiangi kuburan. Aku tengah terperangkap dalam kesendirianku, di sebuah kamar kecil berperabotan seadanya. Kaset telah habis. Kesunyian menganga di sekitar. Dan di tengah kesunyian yang menganga itu. sesuatu yang membeku dingin mengusap pergelangan tanganku yang tengah kutangkupkan ke wajah.
Aku tertegun. kaku. "Siapa?" kemudian kusadari lekukan di ranjang tidurku sudah tinggal sisa yang kian menipis. "Kaukah yang barusan berbiSik."' tanyaku. tersendat-sendat. 'Apa... apa yang kau... bisikkan?"
Desah lirih dan tajam. dingin menusuk itu menyapu telinga kembali. Lamat-lamat aku mendengar kata demi kata dalam susunan yang samar dan Sukar kutangkap.
"Tulislah!' aku hampir menjerit. "Tulislah apa yang kau ucapkan....!'
Ia tidak menulis. Ia berbisik semakin nyata: 'Mengapa menangis sayangku" Aku ada di dekatmu."
Sayangku' Ia menyebut: Sayangku! Sesuatu yang dingin pada pergelangan tangan kanan, kugenggam dengan tangan kiri. Lengan yang halus lembut dan terasa bergetar. Aku menarik lengan yang tak kelihatan itu ke bibirku, mengecup kebekuan yang dingin di udara dan berbiSik setengah menangis: "Ulangi lagi. Ulangi lagi."'
Lengan dingin tak berWUjud itu. mendadak membeku.
Diam. Kembali aku tersentak. Marah dan tersinggungkah dia" "Hei".." mulutku baru saja terbuka untuk mengatakan sesuatu. manakala jari yang dingin menyentuh bibir. Menyentuh. lalu menekan. Ia menyuruhku diam.
Reflek, aku merasakan ketegangan di sekitarku
Ada sesuatu, di rumah itu.
Sesuatu yang lain. Sesuatu yang bukan
dia. *** TUJUH Angin yang setajam sembilu merembes dari ventiLaSi jendela. menyertai suara hingar bingar air hujan yang turun entah sejak kapan. Sesuatu yang terdengar jatuh, jelas bukan bunyi genting pecah. Mengikuti gerak kacau tangan dingin dalam genggamanku. pelan pelan aku bersijingkat ke pintu. Lampu kamar kupadamkan.
Menempelkan telinga ke daun pintu. kucoba mendengarkan sesuatu yang tadi berisik di lantai bawah. Terpaan hujan di atas dan dinding luar masih mengganggu, sehingga aku tidak dapat mendengar apa apa. Pintu kubuka hati-hati. Dan tubuh dingin menempel dengan cara mengejutkan ke tubuhku. Lengan-lengan sebeku salju melingkari salah satu lenganku. disertai desis terengah engah ketakutan.
Kontak yang semakin nyata itu, tidak membuatku gembira.
Kutepuk halus apa yang kuperkirakan bahu milik dia. Lantas berbisik dekat dengan apa yang kuperkirakan telinga dia; 'Kau diamlah di sini. Jangan bersuara!"
Ia bersuara" Memekik'"
Aku hampir tertawa. Dan meninjau ke bawah. Lantai utama masih terang benderang. Namun aku belum melihat apa-apa, kecuali perabotan yang tidak berpindah tempat. apa lagi ada yang hilang. Kurang puas. aku bersijingkat ke tepi beranda.
Lalu aku melihatnya. Melihat sesosok tubuh hitam mengendap endap ke... aneh, ke pintu kamar mandi. ia baru saja memungut sesuatu yang tadi jatuh dan menimbulkan bunyi asing di rumah itu. Semacam besi pengungkit... ya, ya aku pasti itu besi pengungkit melihat bentuknya yang panjang dan tajam salah satu uiungnya. Tajam, melekuk.
Aku bertindak mundur, ketika tubuh hitam itu mendongak ke atas.
Wajahnya tak dapat kukenali, karena tertutup sehelai kain hitam. sehitam kemeja, celana maupun sepatunya. Ada bungkusan di tangannya yang lain. Bungkusan itu ia letakkan hatihati di lantai. lantas bersiap membuka pintu kamar mandi.
Sayang, aku punya sifat tak sabaran menghadapi orang orang asing yang tidak kukenal, apalagi yang punya maksud-maksud tak baik. Mestinya aku menunggu, untuk dapat mengetahui mau apa dia di kamar mandi. Toh tak ada barang-barang berharga di situ. kecuali pakaian-pakaianku yang kotor. Bak mandi dan kloset memang terbuat dari marmer dan kalau. dijual laku cukup berarti. Tetapi buat apa ia susah-Susah mencungkilnya. Mengapa tidak barang lain saja di rumah itu....
Tak sabar, aku membentak: "Bangsat!"
Terdengar seruan kaget. Tubuh hitam itu tak jadi membuka pintu kamar mandi. Tanpa berpaling ke beranda atas tempatku berdiri. ia sambar bungkusan kecil di lantai lantas ambil langkah seribu menuju pintu depan. Aku berlari-lari menuruni anak tangga. Mengejar.
'Berhenti!" aku berteriak.
Tetapi mana ada maling mau berhenti, tatkala dipergoki. Ia langsung kabur lewat pintu depan yang ia buka dengan mudah. Air hujan merembes masuk ke dalam, membuat lantai menjadi licin. Aku yang tidak mengenakan alas kaki, terpeleset ketika mencapai pintu. Beruntung, tanganku sempat menyambar daun pintu yang dapat menahan agar aku tak sampai terjerembab. Namun toh sempat aku sempoyongan dan susah payah untuk bangkit kembali.
Waktu aku mengejar ke halaman. sosok tubuh hitam itu sudah lenyap ditelan kegelapan subuh yang berselimut hUjan badai. Selagi aku mencari-cari bingung terdengar Suara mesin mobil dihidupkan. Aku mengejar ke jalan raya, bersiram hujan. Yang kuperoleh hanya bayangan samar lampu-lampu kecil merah bagian belakang sebuah mobil yang ngebut arah
ke luar kota, untuk kemudian sirna tinggal cucuran air hujan belaka.
"Sialan!" aku memaki. dan bergegas masuk rumah.
Berhenti di pintu, aku meneliti lubang kunci. Di situ menempel anak kunci. Buatannya kasar. tetapi itu tetap saja bernama anak kunci dan telah berhasil membuka pintu dari luar. Pintu kututup. Anak kunci palsu itu kutimang timang, setelah itu membuangnya dengan marah ke lubang kakus. "
Kuperhatikan kamar mandi.
Benar, tak ada apa-apa yang menarik untuk dicuri. Ataukah bangsat itu mendadak tak kuat menanggung hajat dan ingin santai sejenak di kamar mandi. sebelum mulai beroperasi" Atau ia telah beroperasi. Bukankah ia bawa bungkusan" Bergegas aku meneliti sekitar ruangan bawah. meski sadar aku belum sempat membeli atau membawa barang barang mahal setelah menetap di rumah ini.
Ia mungkin mengambil perabotan dapur.
Tetapi selain itu, tak ada sesuatu yang hilang
Aneh! Namun keanehan yang satu itu segera terlupa. ketika keanehan lain muncul tiba-tiba. Ada handuk melayang-layang mendekat. Handuk kering itu tentu dia sodorkan. Aku mau mengambilnya, tetapi dia rupanya tidak memaksudkan agar aku melap sekujur tubuhku
yang basah dengan tanganku sendiri.
Dia melap sekujur tubuhku.
Mengusap-usap di sana sini, terutama pada kaki dan lutut. Aku terpaksa berkata menghibur: "Tenanglah. Aku tidak cidera. kemudian memaki marah: "Sungguh sialan. Entah Siapa bangsat itu, dan mau apa dia. Coba kalau aku dapat membekuk..."
Sudahlah! Mungkin itu yang dia maksudkan, ketika menutup mulutku dengan jari telunjuknya yang dingin membeku. Pakaianku maSih lembab. melekat ke badan. Aku menggigil, dan selagi aku menggigil kedinginan... ia telah merangkulku. Erat dan kuat.
Kontak itu kurasakan dengan ta'jub.
Air hujan membuat pakaianku dingin. Tetapi aku percaya. tubuhku tetap hangat. Dia memelukku, sedang tubuhnya tentu saja terasa dingin. Namun semakin ia merapat. semakin terasa kehangatan di tubuhku berpindah ke tubuhnya.
Sudahlah! Mungkin itulah yang dia maksudkan.
Maka. aku balas memeluk. "Maafkan. sayang. Aku telah membuatmu panik. ya?" Lalu aku tertawa. Tertawa, mengingat akulah yang panik saat itu. sampai tak sadar mengucapkan kata "sayang'.
Tubuhnya tergetar, dalam pelukanku.
Ada hembusan napas di wajahku. la menatap, atau tengadah. Sebelah tanganku meraba ke atas. Menemukan lengan lembut yang halus. pundak yang sama lembut. leher yang halus dan kemudian pipi yang tergetar.
"Boleh aku menciummu?" aku mengeluh. Resah. takut ia menolak. "Kuingin berterimakasih untuk apa yang selama ini kau berikan padaku.
Demi Tuhan. Bukan karena dorongan nafsu seksuil, melainkan semata-mata karena sudah lama aku kebingungan mencari sesuatu yang paling tepat untuk mengucapkan terimakasih pada dia.
Hembusan napas itu lebih mendekat.
. Aku merunduk Dan mencium bibirnya. Dadanya memukul keras di dadaku Kemudian terasa hentakan-hentakan. lalu suara isak tangis yang sayup-sayup sampai. Aku menarik wajahku. menatapnya... menatap udara hampa di depanku, lantas bertanya gelisah: "Menga... mengapa menangis. sayangku'"
Pelukannya merenggang, sebelum aku sadar apa yang ia perbuat.
Kemudian terdengar langkah kaki kecil berlari-lari, menjauh. Kurasakan kehampaan beberapa detik dalam dada, kemudian perlahan-lahan kehampaan itu berubah jadi keharuan yang mendalam' telah berapa lama ia tidak dicium seorang laki-laki"
Lama aku mencari-cari. Kehilangan dia
Kucoba memanggil dengan 'he-hei' dan membujuk dengan suara memelas, bahwa kalau aku salah supaya ia memaafkan dan mau memegang tanganku sebagai pernyataan berdamai. Karena tak ada sahutan atau tanda-tanda. dengan pikiran maSygul aku menaiki tangga dan masuk ke kamar tidur.
Dia telah masuk ke situ. Karena pintu lemari terbuka. Dan pakaian ganti yang kering dan hangat, terhampar di tempat tidur untuk kupakai.
Tetapi dia tidak di situ, saat aku bersalin pakaian. Karena, dari kamar mandi kudengar suara keributan kecil. Ember, gayung dan air yang dicurah-curahkan, suara menggusruk gusruk. Aku baru tahu kalau ia sibuk mencuci pakaianku yang kotor, setelah matahari terbit dan kulihat di halaman samping terjemur pakaian-pakaian itu dalam keadaan sudah bersih berseri.
Keharuanku baru reda, setelah hari itu aku dikunjungi beberapa orang tamu. Pak Sulaeman dan isterinya yang ingin mengetahui apakah aku baik saia tak kurang suatu apa .. dan mengapa aku tidak sempat berkunjung ke rumah mereka. Kujanjikan akan menguniungi mereka, dan basa basi lain sampai mereka pamit. .
Siang hari sampai sore, tamu-tamu lain datang apa yang mestinya mereka bawa. karena kebetulan persediaanku sudah mulai menipis. Dua orang wartawan dari salah satu majalah membawa sebuah amplop berisi. "Bos minta kau kirimkan naskah cerita berikutnya. Bulan depan. naskah yang sedang diterbitkan akan habis pemuatannya,' kata Alex. wakil Pemimpin Redaksi dengan suara riang. Kemudian menambahkan malu-malu: 'Tak apa 'kan. isinya sudah tak utuh"'
Ia tidak memotong honorariumku begitu saja.
Ia dan Toni yang datang bersama-sama karena sekalian akan meliput peristiwa longsor besar tak jauh dari tempat tinggalku, telah membeli sekeranjang buah-buahan. sekeranjang kueh dan berbotol botol minuman keras untuk dihabiskan bersama sama beberapa rekan lain yang ikut datang bersama mereka. Ia juga memberitahu, bahwa cerita bersambungku yang hampir habis pemuatannya, akan dibukukan seperti yang sudah-sudah.
Pangeran Anggadipati 4 Detektif Stop - Pertarungan Mata Mata Jurus Tanpa Bentuk 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama