Never Let Me Go Karya Kazuao Ishiguro Bagian 4
Akhirnya, seperti kukatakan tadi, krisis mobil beres, dan keesokan harinya, pagi-pagi buta, kami naik ke Rover yang sudah penyok namun cukup memuaskan. Chrissie duduk di depan di samping Rodney, dan kami bertiga di belakang. Itu terasa wajar, dan kami duduk tanpa memikirkannya. Tapi baru beberapa menit, begitu Rodney membawa kami keluar dari jalan-jalan gelap yang berkelok-kelok menuju jalan raya, Ruth, yang duduk di tengah, bersandar ke depan, meletakkan tangannya di kursi depan, dan mulai berbicara kepada kedua veteran. Ia melakukannya begitu rupa sehingga Tommy dan aku, yang duduk di kedua sisinya, tak bisa mendengar apa pun yang dikatakannya, dan karena ia duduk di tengah, kami tidak bisa saling bicara atau bahkan saling memandang. Kadang-kadang, pada kesempatan yang jarang terjadi, ketika Ruth bersandar ke belakang, aku mencoba memancing percakapan di antara kami bertiga, tapi
Ruth tak mau terpancing, dan tak lama kemudian ia sudah membungkuk ke depan lagi, wajahnya menyelip di antara kedua kursi depan.
Sesudah kira-kira satu jam, ketika fajar mulai menyingsing, kami berhenti untuk meluruskan kaki dan membiarkan Rodney buang air kecil. Kami menepi di ladang luas yang kosong, jadi kami melompati paritnya dan melewatkan beberapa menit dengan menggosokkan tangan dan memperhatikan uap napas kami naik. Lalu aku memperhatikan Ruth sudah melenggang meninggalkan kami dan menerawang ke seberang ladang ke matahari terbit. Maka aku mendekatinya dan mengusulkan agar ia bertukar tempat duduk denganku, karena rupanya ia hanya ingin berbicara kepada para veteran. Dengan begitu ia bisa mengobrol setidaknya dengan Chrissie, dan Tommy dan aku bisa mengobrol untuk mengisi perjalanan. Aku nyaris belum selesai bicara ketika Ruth berkata dengan berbisik,
"Kenapa sih kau harus rewel" Justru sekarang ini, lagi! Aku tidak mengerti. Kenapa kau mencari gara-gara?" Lalu ia memutar tubuhku dengan kasar sehingga kami memunggungi yang lain, agar mereka tak bisa melihat bahwa kami bertengkar. Caranya melakukan itu, bukan kata-katanya, yang tiba-tiba membuatku melihat masalahnya sebagaimana ia melihatnya; aku melihat Ruth berupaya keras untuk menunjukkan bukan hanya dirinya sendiri, melainkan kami semua, dengan cara yang benar kepada Chrissie dan Rodney; dan aku justru mengancam usahanya dan memulai pertengkaran yang memalukan. Aku memahami itu semua, maka aku menyentuh pundaknya lalu menghampiri yang lain. Dan ketika kami kembali ke mobil, aku memastikan kami duduk persis seperti semula. Tapi kini, ketika kami meneruskan perjalanan, Ruth nyaris terdiam, duduk bersandar ke belakang, dan bahkan ketika Chrissie atau Rodney meneriakkan sesuatu kepada kami dari depan, ia hanya menjawab sebal dengan satu kata.
Suasana mulai cukup ceria ketika kami tiba di kota pinggir pantai itu. Kami sampai sekitar jam makan siang dan meninggalkan Rover di lapangan parkir di samping lapangan golf mini yang dipenuhi bendera-bendera berkibar. Hari itu segar dan cerah, dan aku teringat selama jam pertama kami merasa sangat gembira karena berada di luar, dan kami tidak terlalu memikirkan hal yang menjadi alasan kami ke sana. Suatu ketika Rodney bahkan berteriak liar, sambil melambaikan tangan ke sekitar kami ketika ia dengan mantap memimpin mendaki jalan yang menanjak melewati barisan rumah dan sesekali sebuah toko, dan kau bisa merasakan hanya dengan melihat langit yang luas, bahwa kau sedang berjalan menuju laut.
Sebenarnya, ketika akhirnya tiba di laut, kami mendapati bahwa kami berdiri di jalan yang dipahat pada pinggiran batu karang. Mula-mula kelihatannya ada tebing curam hingga ke pasir, tapi begitu bersandar ke pagar, kau bisa melihat jalan setapak berkelok-kelok menuruni tebing batu hingga ke laut.
Sekarang kami sudah sangat lapar, jadi kami memasuki kafe kecil yang berdiri di atas batu karang persis di tempat jalan-jalan setapak dimulai. Ketika kami masuk, hanya ada dua wanita gemuk bercelemek yang bekerja di sana. Mereka mengisap rokok di salah satu meja, tapi dengan cepat bangkit berdiri dan masuk ke dapur, sehingga tempat itu seluruhnya dikuasai kami.
Kami memilih meja di bagian belakang"berarti yang paling menonjol ke tepi batu karang"dan ketika duduk rasanya seakan-akan kami benar-benar melayang di atas laut. Waktu itu aku tidak punya perbandingan apa pun, tapi kini aku sadar kafe itu sangat kecil, dengan hanya tiga atau empat meja kecil. Mereka membiarkan satu jendela terbuka"mungkin agar tempat
itu tidak berbau gorengan"sehingga sesekali embusan angin masuk ke ruangan dan menyebabkan semua papan menu pilihan bergoyang ke sana kemari. Ada satu pengumuman pada karton yang dipasang di atas konter yang ditulisi dengan spidol berwarna, dan di bagian atasnya ada kata "look" dengan gambar mata yang menatap di dalam setiap huruf "o". Sekarang ini aku begitu sering melihat hal yang sama sehingga bahkan tidak memperhatikan, tapi waktu itu aku belum pernah melihatnya. Maka aku memandangnya dengan kagum, lalu menangkap tatapan Ruth, dan menyadari ia juga memandangnya dengan kagum, lalu kami meledak tertawa. Itu momen yang sangat akrab, ketika rasanya kami sudah melupakan perasaan jengkel yang berkembang di antara kami di dalam mobil. Tapi ternyata, itulah saat terakhir semacam itu antara Ruth dan aku selama sisa perjalanan tersebut.
KAMI sama sekali tidak menyebut-nyebut "kemungkinan" sejak tiba di kota itu, dan kusangka ketika duduk akhirnya hal itu akan kami bahas dengan serius. Tapi begitu kami makan sand-wich, Rodney mulai membahas sahabat lama mereka, Martin, yang sudah meninggalkan Cottage setahun sebelumnya dan sekarang tinggal di suatu tempat di kota itu. Dengan bersemangat Chrissie ikut membahas hal itu dan tak lama kemudian kedua veteran mengeluarkan anekdot tentang semua tingkah lucu yang pernah dilakukan Martin. Kami tidak bisa memahami sebagian besar, tapi Chrissie dan Rodney sangat menikmatinya. Mereka terus bertukar pandang dan tertawa, dan meskipun berpura-pura melakukannya demi kami, jelas mereka melakukannya demi mereka berdua. Ketika sekarang memikirkannya, terpikir olehku masalah tabu di Cottage yang meliputi orang-orang yang sudah pergi, mungkin membuat mereka tak pernah membicarakan teman mereka bahkan di antara mereka sendiri, dan baru setelah kami bepergian mereka merasa bisa memuaskan diri dengan cara ini.
Setiap kali mereka tertawa, aku juga tertawa hanya demi kesopanan. Tommy rupanya bahkan lebih sedikit memahami masalahnya daripada aku, dan tawanya terdengar ragu dan agak tertinggal. Namun Ruth tertawa dan tertawa, dan terus mengangguk-angguk mendengar semua yang dikatakan tentang Martin, seolah-olah ia juga sedang mengingat-ingatnya lagi. Lalu satu kali ketika Chrissie menyinggung sesuatu"seperti "Oh ya, itu lho, waktu dia menjemur jinsnya!?"Ruth tertawa terbahak-bahak dan memberi isyarat ke arah kami, seakan-akan mengatakan kepada Chrissie, "Ayo, jelaskan kepada mereka supaya mereka juga bisa menikmatinya." Aku membiarkan hal itu lewat, tapi ketika Chrissie dan Rodney mulai membahas apakah kami bisa mampir ke flat Martin, akhirnya aku berkata, mungkin agak dingin,
"Apa sebenarnya yang dia lakukan di sini" Kenapa dia punya flat?"
Hening sesaat, lalu aku mendengar Ruth mengeluh kesal. Chrissie bersandar ke depan di meja dan berkata tenang, seakan-akan sedang menjelaskan kepada anak kecil, "Dia menjadi perawat. Apa lagi menurutmu yang dia lakukan di sini" Dia sudah menjadi perawat penuh sekarang."
Masing-masing bergerak, kemudian aku berkata, "Itulah maksudku. Kita kan tidak bisa pergi begitu saja mengunjunginya."
Chrissie menarik napas dalam. "Baiklah. Kita tidak dibenarkan mengunjungi perawat. Jelas menurut aturan resmi. Jelas tidak disarankan."
Rodney tertawa dan menambahkan, "Sudah pasti tidak disarankan. Nakal kalau kita pergi menengok dia."
"Nakal sekali," kata Chrissie dan ia berdecak.
Lalu Ruth bergabung, dan berkata, "Kathy tidak suka berbuat nakal. Jadi lebih baik kita tidak pergi menjenguknya."
Tommy menatap Ruth, jelas heran kepada siapa sekarang Ruth berpihak, dan aku pun tak yakin. Terlintas dalam benakku ia tak ingin perjalanan kami teralihkan dan dengan enggan ia memihak aku, maka aku tersenyum kepadanya, tapi ia tidak balas menatapku. Lalu tiba-tiba Tommy bertanya,
"Di mana kau pernah melihat 'kemungkinan' Ruth, Rodney?"
"Oh...." Rodney sepertinya tidak begitu tertarik pada kemungkinan itu ketika sekarang kami sudah berada di kota tersebut, dan aku melihat kekhawatiran terlintas di wajah Ruth. Akhirnya Rodney berkata, "Di suatu belokan High Street, di tempat di ujung sana. Tentu saja, mungkin hari ini dia tidak masuk kerja." Lalu ketika tak ada yang mengatakan apa pun, ia menambahkan, "Mereka kan punya hari libur, tahu. Mereka tidak selalu masuk kerja."
Sesaat ketika ia mengatakan ini, aku takut bahwa kami sudah salah paham; bahwa sebenarnya, para veteran sering membahas "kemungkinan" hanya sebagai alasan untuk bisa bepergian, dan tidak benar-benar berharap akan mengusutnya lebih jauh. Mungkin Ruth juga memikirkan hal yang sama, karena sekarang ia kelihatan sangat cemas, tapi akhirnya ia tertawa kecil, seolah-olah Rodney hanya berkelakar.
Lalu Chrissie berkata dengan nada lain, "Kau tahu, Ruth, mungkin saja beberapa tahun dari sekarang kami akan datang ke sini untuk menjengukmu. Bekerja di kantor menyenangkan. Kupikir takkan ada yang bisa melarang kami menengokmu."
"Benar," kata Ruth cepat. "Kalian semua bisa datang dan menemuiku."
"Kupikir," kata Rodney, "tak ada aturan tentang mengunjungi orang bila mereka bekerja di kantor." Mendadak ia tertawa. "Kita tidak tahu. Ini belum pernah terjadi pada kita."
"Akan diizinkan," kata Ruth. "Mereka membolehkanmu melakukannya. Kalian bisa datang mengunjungiku. Kecuali Tommy, tentu."
Tommy kelihatan kaget. "Kenapa aku tidak bisa datang?"
"Karena kau sudah bersamaku, bodoh," kata Ruth. "Aku akan tetap memeliharamu."
Kami tertawa, Tommy tertinggal sekali lagi.
"Aku mendengar tentang gadis di Wales itu," kata Chrissie. "Dia dari Hailsham, mungkin beberapa tahun lebih senior daripada kalian. Rupanya dia bekerja di toko pakaian sekarang ini. Sangat pintar."
Terdengar gumaman kagum dan sejenak kami termenung memandang awan.
"Begitulah Hailsham," kata Rodney akhirnya, dan ia menggeleng seakan-akan sangat heran.
"Lalu ada orang lain lagi?"Chrissie menoleh kepada Ruth" "laki-laki yang kauceritakan pada kami waktu itu. Yang beberapa tahun di atasmu dan sekarang jadi pengelola taman."
Ruth mengangguk sambil merenung. Terlintas dalam pikiranku bahwa aku perlu melemparkan tatapan peringatan ke arah Tommy, tapi ketika aku menoleh kepadanya, ia sudah mulai berbicara.
"Siapa itu?" ia bertanya bingung.
"Kau tahu, Tommy," aku berkata cepat. Terlalu banyak risiko untuk menendangnya, atau bahkan untuk membuat suaraku bernada isyarat rahasia: Chrissie akan langsung tahu. Maka aku mengatakannya blakblakan, dengan sikap agak jemu, seakan-akan kami kesal karena sifat Tommy yang pelupa. Tapi ini hanya membuat Tommy semakin bingung.
"Seorang yang kita kenal?"
"Tommy, jangan bahas ini lagi," kataku. "Kau perlu memeriksa otakmu."
Akhirnya Tommy rupanya mengerti, dan ia terdiam.
Chrissie berkata, "Aku tahu betapa beruntungnya aku, berada di Cottage. Tapi kalian kelompok Hailsham, kalian benar-benar beruntung. Kau tahu..." ia merendahkan suaranya dan bersandar ke depan lagi. "Ada sesuatu yang sudah lama ingin kubicarakan dengan kalian. Hanya saja di Cottage, tidak mungkin. Semua orang selalu menguping."
Ia memandang ke sekeliling meja, lalu memusatkan tatapannya ke Ruth. Tiba-tiba Rodney tegang dan ia ikut bersandar ke depan. Dan aku merasa kami sampai ke hal yang bagi Chrissie dan Rodney menjadi alasan utama seluruh perjalanan ini.
"Waktu Rodney dan aku berada di Wales," katanya. "Kami mendengar tentang gadis yang bekerja di toko pakaian. Kami juga mendengar hal lain, tentang para siswa Hailsham. Konon katanya beberapa siswa Hailsham di masa lalu, dalam keadaan khusus, berhasil memperoleh penundaan. Bahwa ini sesuatu yang bisa kaulakukan kalau kau siswa Hailsham. Kau bisa meminta agar donasimu ditunda selama tiga, bahkan empat tahun. Tidak mudah, tapi kadang-kadang mereka membolehkanmu. Sepanjang kau bisa meyakinkan mereka. Asal kau memenuhi kualifikasi."
Chrissie berhenti dan memandang kami satu per satu, mungkin untuk efek dramatis, mungkin untuk melihat apakah ada tanda-tanda pengakuan pada wajah kami. Tommy dan aku mungkin kelihatan bingung, tapi Ruth memasang ekspresi tidak terbaca.
"Kata mereka," Chrissie melanjutkan, "jika kau pasangan laki-laki dan perempuan, dan kalian saling mencintai, benar-benar saling cinta, dan kau bisa membuktikan itu, para pengelola Hailsham akan mengurusnya untukmu. Mereka mengurus agar kau bisa mendapat beberapa tahun bersama sebelum memulai donasimu."
Suasana aneh menggantung di sekitar meja kami, semacam gelenyar beredar di antara kami.
"Ketika kami di Wales," Chrissie melanjutkan, "para siswa di White Mansion pernah mendengar tentang pasangan dari Hailsham ini, si laki-laki tinggal beberapa minggu lagi harus menjadi perawat. Lalu mereka menghadap seseorang dan semuanya ditunda selama tiga tahun. Mereka diizinkan tinggal bersama di sana, di White Mansion, tiga tahun penuh, tidak perlu melanjutkan pelatihan atau apa pun. Tiga tahun hanya untuk mereka sendiri, karena mereka bisa membuktikan mereka benar-benar saling mencintai."
Aku melihat Ruth mengangguk dengan sikap sok tahu. Chrissie dan Rodney melihat itu dan beberapa saat mereka memperhatikannya seakan-akan terhipnotis. Dan aku mendapat gambaran tentang Chrissie dan Rodney di Cottage, di bulan-bulan menuju momen ini, membahas dan mengupas topik ini berdua. Aku bisa melihat mereka membahasnya, mula-mula ragu, sambil mengangkat bahu, mendiamkannya, lalu membahasnya lagi, tidak pernah bisa benar-benar melupakannya. Aku bisa membayangkan bagaimana mereka bermain-main dengan gagasan untuk membicarakan hal ini dengan kami, membayangkan bagaimana mereka memoles cara mereka akan melakukannya, apa persisnya yang akan mereka katakan. Aku memandang Chrissie dan Rodney lagi di depanku, sementara mereka menatap Ruth, dan aku mencoba membaca ekspresi mereka. Chrissie kelihatan cemas dan penuh harap. Rodney kelihatan tegang, seolah-olah tak yakin ia tidak akan menyemburkan sesuatu yang tidak seharusnya ia ungkapkan.
Ini bukan kali pertama aku mendengar desas-desus penundaan ini. Selama minggu-minggu terakhir, aku semakin sering menangkap penggalan-penggalan bahasan tentang itu di Cottage. Selalu para veteran yang berbicara antara mereka sendiri, dan bila ada di antara kami muncul, mereka tampak canggung dan terdiam. Tapi aku sudah mendengar cukup banyak sehingga tahu intinya; dan aku tahu hal itu khusus berkaitan dengan kami para siswa Hailsham. Meski begitu, baru hari itu, di kafe pinggir laut itu, aku benar-benar menyadari betapa penting gagasan ini bagi beberapa veteran.
"Kukira," Chrissie melanjutkan, suaranya agak gemetar, "kalian pasti tahu tentang ini. Aturannya, semacam itu."
Ia dan Rodney memandangi kami bergantian, lalu tatapan mereka kembali ke Ruth.
Ruth menarik napas dalam dan berkata, "Nah, mereka mem-beritahu kami beberapa hal. Tapi?"ia mengangkat bahu?"kami tak tahu banyak tentang hal ini. Kami bahkan tidak pernah membicarakannya dengan serius. Pokoknya, kita harus segera mengurusnya."
"Kepada siapa kalian menghadap?" tiba-tiba Rodney bertanya. "Siapa katanya yang perlu ditemui kalau kau ingin, kau tahu kan, mengajukan permohonan?"
Ruth mengedikkan bahunya lagi. "Nah, sudah kukatakan. Ini bukan hal yang banyak kami bahas." Seperti terdorong insting, lakukannya, apa persisnya yang akan mereka katakan. Aku memandang Chrissie dan Rodney lagi di depanku, sementara mereka menatap Ruth, dan aku mencoba membaca ekspresi mereka. Chrissie kelihatan cemas dan penuh harap. Rodney kelihatan tegang, seolah-olah tak yakin ia tidak akan menyemburkan sesuatu yang tidak seharusnya ia ungkapkan.
Ini bukan kali pertama aku mendengar desas-desus penundaan ini. Selama minggu-minggu terakhir, aku semakin sering menangkap penggalan-penggalan bahasan tentang itu di Cottage. Selalu para veteran yang berbicara antara mereka sendiri, dan bila ada di antara kami muncul, mereka tampak canggung dan terdiam. Tapi aku sudah mendengar cukup banyak sehingga tahu intinya; dan aku tahu hal itu khusus berkaitan dengan kami para siswa Hailsham. Meski begitu, baru hari itu, di kafe pinggir laut itu, aku benar-benar menyadari betapa penting gagasan ini bagi beberapa veteran.
"Kukira," Chrissie melanjutkan, suaranya agak gemetar, "kalian pasti tahu tentang ini. Aturannya, semacam itu."
Ia dan Rodney memandangi kami bergantian, lalu tatapan mereka kembali ke Ruth.
Ruth menarik napas dalam dan berkata, "Nah, mereka mem-beritahu kami beberapa hal. Tapi?"ia mengangkat bahu?"kami tak tahu banyak tentang hal ini. Kami bahkan tidak pernah membicarakannya dengan serius. Pokoknya, kita harus segera mengurusnya."
"Kepada siapa kalian menghadap?" tiba-tiba Rodney bertanya. "Siapa katanya yang perlu ditemui kalau kau ingin, kau tahu kan, mengajukan permohonan?"
Ruth mengedikkan bahunya lagi. "Nah, sudah kukatakan. Ini bukan hal yang banyak kami bahas." Seperti terdorong insting, ia memandangku dan Tommy untuk mencari dukungan, tapi mungkin itu tindakan keliru, karena Tommy berkata,
'Terus terang, aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Aturan apa ini?"
Ruth memandangnya marah sekali, dan aku dengan cepat berkata, "Kau tahu, Tommy. Omongan yang biasa beredar di Hailsham."
Tommy menggeleng. "Aku tidak ingat," katanya datar. Dan kali ini aku bisa melihat"Ruth juga"bahwa ia tidak lamban. "Aku tidak ingat apa pun semacam itu di Hailsham."
Ruth berpaling dari Tommy. "Yang perlu kalian tahu," katanya kepada Chrissie, "bahwa meskipun Tommy di Hailsham, dia bukan seperti siswa Hailsham sejati. Dia selalu dikucilkan dalam segala hal dan orang-orang selalu menertawakannya. Jad tak ada gunanya menanyakan kepadanya tentang hal semacam ini. Nah, aku ingin pergi dan mencari orang yang Rodney lihat."
Suatu ekspresi muncul di mata Tommy yang membuatku menahan napas. Ekspresi yang sudah lama sekali tidak kulihat, dan yang pernah dimiliki Tommy yang dulu, yang perlu ditahan di mang kelas sementara ia menendang meja-meja hingga terbalik. Lalu ekspresi itu memudar, ia memandang langit di luar dan mengembuskan napas berat.
Para veteran tidak melihatnya karena saat itu Ruth sudah bangkit dan merogoh-rogoh mantelnya. Lalu ada sedikit kebingungan ketika kami memundurkan kursi bersamaan. Aku yang ditugasi mengurus pengeluaran uang, maka aku ke kasir untuk membayar. Yang lain berbaris keluar di belakangku, dan sementara aku menunggu kembalian, aku memperhatikan mereka lewat salah satu jendela besar berkabut, berjalan dengan menyeret kaki di bawah sinar matahari, membisu, memandang ke laut.
BAB 14 KETIKA aku keluar, jelas sekali gairah sewaktu kami tiba tadi sudah lenyap sama sekali. Kami berjalan sambil membisu, Rodney memimpin di depan, melewati lorong-lorong kecil yang nyaris tidak terkena sinar matahari. Trotoarnya sangat sempit sehingga sering kali kami terpaksa berjalan pelan dalam barisan satu-satu. Lega rasanya ketika kami keluar di High Street, bunyi berisik di sana menyamarkan kejengkelan kami. Ketika kami menyeberang ke sisi yang lebih terkena matahari, aku melihat Rodney dan Chrissie membahas sesuatu dan bertanya-tanya, seberapa banyak kejengkelan saat itu disebabkan oleh keyakinan mereka bahwa kami menyembunyikan rahasia besar Hailsham, dan seberapa banyak yang hanya berkaitan dengan masalah Ruth menghentikan omongan Tommy.
Begitu kami menyeberangi High Street, Chrissie menyatakan ia dan Rodney ingin membeli kartu ulang tahun. Ruth tercengang mendengarnya, tapi Chrissie melanjutkan,
"Kami suka membelinya dalam jumlah banyak. Harganya lebih murah. Dan kau selalu punya persediaan jika hari ulang tahun seseorang tiba." Ia menunjuk pintu masuk toko Wool-worth's. "Kau bisa membeli kartu-kartu bagus di sana dengan harga benar-benar murah."
Rodney mengangguk, dan aku menduga ada sedikit ekspresi mengejek di ujung senyumnya. "Tentu saja," katanya, "kau jadi punya banyak kartu yang sama, tapi kau bisa menambahkan gambarmu sendiri pada kartu-kartu itu. Kau tahu kan, menjadikannya lebih personal."
Kedua veteran itu berdiri di tengah trotoar, membuat orang-orang dengan kereta dorong mengitari mereka, menunggu kami menantang mereka. Aku tahu Ruth sangat marah, tapi tanpa Rodney, tak banyak yang bisa dilakukan.
Maka kami masuk ke Woolworth's, dan aku langsung merasa lebih ceria. Bahkan sekarang pun, aku menyukai tempat-tempat seperti itu: toko besar dengan banyak lorong yang memamerkan mainan plastik berwarna cerah, kartu-kartu ucapan, banyak kosmetik, bahkan kios foto. Sekarang ini, kalau aku sedang di kota dan punya waktu luang, aku masuk ke tempat sejenis, tempat kau bisa berlama-lama dan menikmatinya, tanpa membeli apa pun, dan para pramuniaga sama sekali tak peduli.
Bagaimanapun juga kami masuk dan tak lama kemudian sudah berpencar melihat-lihat lorong-lorong berlainan. Rodney tetap di dekat pintu masuk di samping rak besar berisi kartu, dan lebih jauh ke dalam, aku melihat Tommy di bawah poster besar kelompok musik pop, mencari-cari di antara kaset musik. Sesudah sekitar sepuluh menit, ketika aku berada dekat bagian belakang toko, kukira aku mendengar suara Ruth dan pergi menghampirinya. Aku sudah memasuki sebuah lorong"yang ada boneka binatang berbulu dan jigsaw puzzle dalam kotak"sebelum menyadari Ruth dan Chrissie berdiri bersama di ujungnya, membicarakan sesuatu yang rahasia. Aku tak tahu harus melakukan apa: aku tidak ingin menyela, tapi sudah waktunya pergi dan aku tak ingin berbalik dan berjalan pergi lagi. Maka aku berhenti saja di tempatku, berpura-pura mengamati sebuah jigsaw puzzle dan menunggu mereka melihatku.
Ketika itulah aku menyadari mereka kembali membahas desas-desus ini. Chrissie berkata pelan, sesuatu semacam,
'Tapi selama kau di sana, aku heran kau tidak lebih banyak memikirkan tentang bagaimana harus melakukannya. Tentang siapa yang harus kautemui, hal-hal seperti itu."
"Kau tidak mengerti," kata Ruth. "Kalau kau di Hailsham, kau bakal tahu. Hal ini tidak pernah penting sekali bagi kami. Kupikir kami selalu tahu jika ingin mengurusnya, kami cukup mengirim pesan ke Hailsham...."
Ruth melihatku dan berhenti bicara. Ketika aku menurunkan jigsaw puzzle itu dan menoleh ke arah mereka, mereka memandangku marah. Rasanya seakan-akan aku memergoki mereka sedang melakukan sesuatu yang tak seharusnya mereka lakukan, dan mereka saling menjauh dengan malu.
"Sudah waktunya pergi," kataku, pura-pura tidak mendengar apa pun.
Tapi Ruth tidak terkecoh. Ketika mereka berjalan melewatiku, ia melemparkan pandangan kesal kepadaku.
Maka ketika kami berangkat lagi, mengikuti Rodney mencari kantor tempat ia melihat kemungkinan Ruth sebulan yang lalu, suasana di antara kami semakin buruk. Keadaan juga diperparah karena Rodney berulang kali membawa kami ke jalan yang salah. Setidaknya empat kali dengan yakin ia memimpin kami masuk ke lorong samping High Street, dan ternyata toko-toko dan kantor habis, dan kami terpaksa berbalik dan kembali. Tak lama kemudian Rodney tampak bersikap defensif dan sudah nyaris menyerah. Tapi akhirnya kami menemukannya.
Sekali lagi kami berbalik dan sedang berjalan menuju High Street ketika tiba-tiba Rodney berhenti. Lalu sambil membisu ia menunjuk kantor di seberang jalan.
Itu dia, memang itu. Tidak persis seperti iklan di majalah yang kami temukan waktu itu, tapi juga tidak jauh berbeda. Ada dinding kaca depan yang besar di lantai yang sejajar dengan jalan, sehingga siapa pun yang lewat bisa memandang langsung ke dalam: ruangan luas tanpa sekat, dengan sekitar selusin meja yang ditata dalam susunan pola L yang tidak teratur. Ada palem dalam pot, mesin-mesin yang mengilap dan lampu meja yang menukik. Orang-orang berjalan di antara meja-meja, atau bersandar ke partisi, bercakap-cakap dan berkelakar, sementara yang lain menarik kursi putar mereka berdekatan dan menikmati kopi serta sandwich.
"Lihat," kata Tommy. "Sekarang sedang istirahat makan siang, tapi mereka tidak keluar. Tak bisa disalahkan juga."
Kami terus memandang, dan pemandangan itu tampak seperti dunia yang elite, nyaman, dan serbalengkap. Aku melirik Ruth dan melihat matanya bergerak cemas ke wajah-wajah di balik kaca.
"Oke, Rod," kata Chrissie. "Jadi yang mana dia?"
Ia mengatakannya dengan agak sinis, seakan-akan yakin nantinya semua itu ternyata hanya kekeliruan besar. Tapi dengan tenang Rodney berkata, dengan suara gemetar karena gairah,
"Itu. Di pojok sana. Yang mengenakan setelan biru. Yang sedang berbicara dengan wanita besar berpakaian merah."
Tidak begitu jelas, tapi semakin lama kami memandang, semakin terasa ada kemiripan. Wanita itu sekitar lima puluh tahunan, dan memelihara tubuhnya lumayan baik. Rambutnya lebih gelap daripada rambut Ruth"meski mungkin dicat"dan ia mengikatnya dalam buntut kuda sederhana seperti yang biasa dilakukan Ruth. Ia tertawa mendengar sesuatu yang dikatakan temannya yang berbaju merah, dan wajahnya, terutama kalau ia berhenti tertawa dan menggoyangkan kepala, cukup mirip dengan bahasa tubuh Ruth.
Kami terus memperhatikannya, tanpa mengatakan apa-apa. Lalu kami menyadari bahwa di bagian lain kantor itu, beberapa wanita sudah melihat kami. Salah satu mengangkat tangan dan melambai ragu ke arah kami. Sihirnya berakhir dan dengan tertawa panik pergi.
KAMI berhenti lagi lebih jauh di jalan itu, serentak berbicara dengan penuh semangat. Kecuali Ruth, yang tetap diam. Sulit membaca ekspresinya saat itu: yang jelas ia tidak kecewa, tapi juga tidak kelewat senang. Ia tersenyum lemah, seperti senyuman seorang ibu di keluarga biasa, menimbang-nimbang sementara anak-anaknya melompat dan berteriak di sekelilingnya, memohon agar ia mengatakan ya, mereka boleh melakukan apa pun. Di sanalah kami, mengajukan pendapat masing-masing, dan aku senang karena dengan jujur aku bisa mengatakan, bersama yang lain, bahwa wanita yang sudah kami lihat benar-benar sangat cocok sebagai kemungkinan. Sebenarnya, kami semua lega, sebab tanpa sepenuhnya menyadarinya, kami sudah bersiap-siap menghadapi kekecewaan. Tapi sekarang kami bisa kembali ke Cottage, Ruth bisa menggali semangat dari apa yang sudah dilihatnya, dan kami yang lain bisa mendukungnya. Dan kehidupan kantor yang rupanya dijalani si wanita, sudah cukup mirip dengan apa yang sering diuraikan Ruth bagi dirinya sendiri. Tak peduli apa yang terjadi di antara kami hari itu, jauh di dalam hati, tak satu pun dari kami ingin Ruth pulang dengan hati sedih, dan saat itu kami mengira keadaan sudah aman. Dan menurutku begitu, aku yakin, kalau saja kami mengakhiri masalah itu saat itu juga.
Tapi Ruth kemudian berkata, "Yuk kita duduk di sana, di tembok itu. Beberapa menit saja. Kalau mereka sudah lupa tentang kita, kita bisa ke sana dan melihat lagi."
Kami setuju, tapi ketika kami menuju tembok rendah di sekeliling tempat parkir kecil yang ditunjuk Ruth, Chrissie berkata, mungkin agak terlalu bersemangat,
"Biarpun kita tidak bisa melihatnya lagi, kita sepakat dia memang suatu kemungkinan. Dan kantornya benar-benar menyenangkan."
"Kita tunggu sebentar lagi," kata Ruth. "Lalu kita kembali."
Aku sendiri tidak duduk di tembok karena lembap dan sudah mulai hancur, dan karena aku berpikir sewaktu-waktu seseorang akan muncul dan meneriaki kami karena duduk di sana. Tapi Ruth duduk di atasnya, mengangkang seakan-akan duduk di kuda. Dan sekarang ini aku punya gambaran jelas tentang sepuluh, lima belas menit kami menunggu di sana. Tak ada yang membahas kemungkinan itu lagi. Sebaliknya kami berpura-pura sedang melewatkan waktu, mungkin sambil melihat pemandangan indah selama tamasya sehari yang santai. Rodney menari-nari untuk menunjukkan suasana hati yang gembira. Ia naik ke tembok, menyeimbangkan diri lalu sengaja jatuh. Tommy membuat lelucon tentang beberapa orang yang lewat, dan meskipun tidak terlalu lucu, kami semua tertawa. Hanya Ruth, di tengah, duduk mengangkang di tembok, tetap membisu. Ia tetap tersenyum, tapi hampir tidak bergerak. Embusan angin membuat rambutnya kusut, dan cahaya matahari musim dingin yang cerah membuatnya menyipitkan mata, sehingga kau tak yakin apakah ia tersenyum melihat perilaku lucu kami, atau hanya nyengir karena silau. Gambaran inilah yang kusimpan mengenai saat-saat kami menunggu di dekat tempat parkir. Kupikir kami menunggu Ruth memutuskan kapan waktunya untuk melihat kedua kali. Nah, ia tidak pernah mengambil ke-putusan itu karena sesuatu terjadi saat berikutnya.
Tommy, yang bertingkah konyol di tembok bersama Rodney, tiba-tiba melompat dan terdiam. Lalu ia berkata, "Itu dia. Dia yang tadi itu."
Kami menghentikan kesibukan kami dan memperhatikan sosok itu datang dari arah kantor. Sekarang ia memakai jas berwarna krem, dan berjuang untuk menutup tas kantornya sambil berjalan. Gesper tasnya sulit dikancingkan, jadi berulang kali ia memperlambat langkah lalu mulai lagi. Kami memperhatikannya seolah-olah sedang trans, sementara ia lewat di seberang jalan. Lalu ketika ia membelok masuk ke High Street, Ruth melompat dan berkata, "Ayo, kita lihat ke mana dia pergi."
Kami tersadar dari trans dan mengejarnya. Chrissie sampai perlu mengingatkan agar kami berjalan lebih lambat, karena jika tidak, seseorang bakal menyangka kami geng perampok yang mengejar si wanita. Kami mengikutinya sepanjang High Street pada jarak yang sopan, sambil cekikikan, menghindari pejalan kaki lain, berpencar, lalu bergabung kembali. Waktu itu sekitar jam dua siang, dan trotoar penuh sesak dengan pembelanja. Kadang-kadang kami hampir tak bisa melihatnya, tapi kami tetap mengejarnya, berlama-lama di depan etalase ketika ia masuk ke toko, menyelinap melewati kereta dorong dan orang-orang tua ketika keluar lagi.
Lalu si wanita keluar dari High Street dan menuju lorong-lorong kecil di dekat pantai. Chrissie khawatir ia akan melihat kami di tempat lengang seperti itu, tapi Ruth tetap melangkah, dan kami mengikuti di belakangnya.
Akhirnya kami masuk ke jalan sempit dengan beberapa toko, meskipun kebanyakan hanya rumah biasa. Kami terpaksa berjalan dalam barisan satu-satu lagi, dan ketika sebuah van datang dari arah berlawanan, kami harus menempel ke rumah-rumah, agar van bisa lewat. Tak lama kemudian tinggal si wanita dan kami di jalan itu, dan kalau menoleh ke belakang, pasti ia akan melihat kami. Tapi ia terus berjalan, beberapa langkah di depan kami, lalu masuk ke pintu"memasuki 'The Portway Studios".
Sejak itu sudah beberapa kali aku kembali ke Portway Studios. Beberapa tahun yang lalu pemiliknya ganti dan sekarang menjual segala macam benda seni: pot, piring, binatang dari tanah liat. Waktu itu hanya berupa dua ruangan bercat putih besar berisi lukisan"dipamerkan dengan indah dengan banyak mang kosong di antaranya. Namun papan nama kayu yang menggantung di atas pintu masih sama. Pokoknya kami memutuskan untuk masuk sesudah Rodney mengatakan kami kelihatan mencurigakan di jalan lengang itu. Di dalam toko, kami setidaknya bisa berpura-pura memandang lukisan-lukisannya.
Kami masuk dan mendapati si wanita yang kami kuntit sedang berbicara dengan wanita jauh lebih tua yang berambut perak, sepertinya pengelola toko. Mereka duduk berseberangan di meja kecil dekat pintu, dan selain mereka, galeri itu kosong. Keduanya tidak terlalu memperhatikan ketika kami melewati mereka, berpencar dan berusaha kelihatan terpesona oleh lukisan-lukisan itu.
Sebenarnya, meskipun sibuk memperhatikan kemungkinan Ruth, aku mulai menikmati lukisan-lukisan dan ketenteraman tempat itu. Rasanya seolah kami ratusan meter jauhnya dari High Street. Dinding-dinding dan langit-langit bernada hijau mint, dan di sana-sini kau bisa melihat secarik jala ikan, atau potongan kayu perahu yang sudah busuk diselipkan tinggi di dekat dekorasi langit-langit. Lukisan-lukisannya juga"kebanyakan dengan cat minyak biru tua dan hijau"bertema laut. Mungkin gara-gara keletihan yang mendadak menimpa kami" bagaimanapun kami sudah bepergian sejak sebelum fajar"tapi aku bukan satu-satunya yang bagaikan terbawa ke alam mimpi. Kami sudah berpencar ke sudut berbeda, dan sedang memandang lukisan satu per satu, hanya sesekali berkomentar dengan suara teredam semacam, "Coba lihat ini!" Selama itu kami bisa mendengar kemungkinan Ruth dan si wanita tua bercakap-cakap. Suara mereka tidak begitu keras, tapi di tempat itu suara mereka seakan memenuhi seluruh ruangan. Mereka membahas seorang laki-laki yang mereka kenal, bahwa ia sama sekali tidak memahami anak-anaknya. Dan ketika kami menguping pembicaraan mereka, sambil sesekali melirik ke arah mereka, sedikit demi sedikit, ada yang mulai berubah. Bagiku begitu, dan aku tahu bagi yang lain pun demikian. Kalau saja kami hanya memandang si wanita melalui kaca kantornya, bahkan jika kami menguntitnya di kota lalu kehilangan dia, kami masih bisa kembali ke Cottage dengan penuh semangat dan perasaan puas. Tapi kini, di galeri itu, si wanita terlalu dekat, jauh lebih dekat daripada yang sebenarnya kami inginkan. Dan semakin kami mendengar dan memandangnya, kemiripannya dengan Ruth semakin berkurang. Suatu perasaan tumbuh di antara kami, nyaris kasatmata, dan aku tahu bahwa Ruth, yang asyik menatap sebuah lukisan di sisi lain ruangan, juga merasakannya. Mungkin itulah sebabnya kami terus bergerak pelan di dalam galeri begitu lama; menunda-nunda saat ketika kami perlu berbicara.
Lalu tiba-tiba si wanita pergi, dan kami tetap berpencar, menghindari saling menatap. Tidak ada di antara kami terpikir untuk mengikuti si wanita, dan sementara detik-detik berlalu, rasanya seakan-akan kami sepakat, tanpa bicara, tentang bagaimana sekarang kami memandang situasi itu.
Akhirnya si wanita berambut perak keluar dari balik mejanya dan berkata kepada Tommy, yang berdiri paling dekat dengannya, "Itu karya yang sangat indah. Yang itu favoritku."
Tommy menoleh dan tertawa kecil. Lalu ketika aku bergegas menghampiri untuk menolongnya, si wanita bertanya, "Kalian siswa seni?"
"Bukan," kataku sebelum Tommy bisa menjawab. "Kami hanya, yah, sangat tertarik."
Si wanita berambut perak berseri-seri, lalu mulai memberitahu kami bahwa seniman yang karyanya sedang kami pandang, masih berhubungan keluarga dengannya, juga tentang kariernya hingga saat itu. Ini, setidaknya, membuyarkan keadaan trans kami, dan kami berkerumun di sekelilingnya untuk mendengarkan, seperti yang biasa kami lakukan di Hailsham bila seorang guardian mulai bicara. Si wanita berambut perak semakin bersemangat bercerita, dan kami mengangguk-angguk serta berseru sementara ia berbicara tentang di mana lukisan-lukisan itu dibuat, waktu yang disukai si pelukis untuk berkarya, bahwa beberapa dibuat tanpa sketsa. Lalu ceramahnya berakhir, dan kami menarik napas dalam-dalam, mengucapkan terima kasih, lalu keluar.
Jalan di luar sangat sempit, sehingga selama beberapa saat kami belum bisa berbicara dengan benar, dan kukira kami bersyukur atas hal itu. Ketika kami menjauhi galeri dalam barisan satu-satu, aku melihat Rodney, di depan, dengan sikap teatrikal merenggangkan tangan, seakan-akan ia gembira sekali seperti ketika kami tadi tiba di kota. Tapi gerakannya tidak meyakinkan, dan begitu kami keluar ke jalan yang lebih lebar, kami berhenti.
Sekali lagi kami berada di dekat tebing. Dan seperti sebelumnya, bila kau memandang dari atas birai pembatas, kau bisa melihat jalan-jalan di bawah berkelok-kelok turun hingga ke laut, hanya saja kali ini kau bisa melihat promenade di bawah dengan deretan kedai tertutup papan.
Kami melewatkan beberapa saat hanya memandang, membiarkan angin menerpa kami. Rodney masih berusaha bersikap ceria, seakan-akan ia sudah memutuskan untuk tidak membiarkan masalah ini merusak tamasya yang bagus. Ia menunjukkan sesuatu kepada Chrissie di laut, jauh di dekat cakrawala. Tapi Chrissie membuang muka dan berkata,
"Nah, kupikir kita sudah sepakat, kan" Itu bukan Ruth." Ia tertawa kecil dan meletakkan tangannya di bahu Ruth. "Aku menyesal. Kami semua menyesal. Tapi kita tak bisa menyalahkan Rodney. Toh sebetulnya tidak terlalu jauh meleset. Harus kauakui, waktu kita melihatnya dari jendela itu, memang kelihatannya..." Suaranya semakin pelan dan berhenti, kemudian ia menyentuh pundak Ruth lagi.
Ruth tidak mengatakan apa-apa, hanya mengedikkan bahu, nyaris seperti mau melepaskan sentuhan itu. Ia memicingkan mata memandang kejauhan, lebih ke arah langit daripada laut. Aku tahu ia sangat terguncang, tapi orang yang tidak terlalu mengenalnya mungkin menyangka ia sedang melamun.
"Maaf, Ruth," kata Rodney, ikut-ikutan menepuk bahu Ruth. Tapi senyuman di wajahnya menunjukkan ia tidak menganggap dirinya patut disalahkan. Seperti bila seseorang meminta maaf untuk menyenangkan hatimu, tapi ternyata tidak berhasil.
Ketika memperhatikan Chrissie dan Rodney saat itu, aku ingat berpikir, ya, mereka baik. Mereka boleh dibilang baik dan mencoba menyenangkan hati Ruth. Namun pada saat yang sama aku juga ingat merasa"meskipun mereka yang berbicara sementara Tommy dan aku diam saja"agak jengkel terhadap mereka demi Ruth. Karena meskipun sikap mereka penuh simpati, aku tahu jauh di dalam hati mereka lega. Mereka lega situasi berjalan seperti itu; bahwa mereka menghibur Ruth, dan bukannya tertinggal dalam desakan harapan Ruth yang hebat. Mereka lega tak perlu menghadapi gagasan yang memesona sekaligus menakutkan mereka: gagasan bahwa berbagai kemungkinan terbuka bagi siswa Hailsham, yang tidak terbuka bagi mereka. Aku ingat bahwa saat itu aku berpikir, betapa Chrissie dan Rodney sebenarnya sangat berbeda dari kami bertiga.
Lalu Tommy berkata, "Aku tidak mengerti apa perbedaannya. Kita kan hanya sedikit bersenang-senang."
"Bagimu mungkin hanya sekadar bersenang-senang, Tommy," kata Ruth dingin, sambil tetap memandang lurus ke depan. "Kau tidak akan berpikir begini seandainya kemungkinanraw yang kami cari tadi."
"Kukira aku akan bersenang-senang saja," kata Tommy. "Aku tidak melihat pentingnya. Meskipun kau menemukan kemungkinanmu, model sebenarnya yang merupakan sumbermu. Meski toh begitu, aku tidak melihat apa bedanya bagi apa pun."
"Terima kasih atas sumbanganmu yang hebat, Tommy," kata Ruth.
"Tetapi kupikir Tommy benar," kataku. "Bodoh sekali untuk menganggap kau akan menjalani hidup yang sama dengan modelmu. Aku setuju dengan Tommy. Ini hanya sekadar bersenang-senang saja. Kita jangan terlalu serius menanggapi ini."
Aku juga mengulurkan tanganku dan menyentuh pundak Ruth. Aku ingin ia merasakan kontras dibandingkan ketika
Chrissie dan Rodney menyetuhnya, dan dengan sengaja aku memilih tempat yang tepat sama. Aku mengharapkan sedikit reaksi, suatu tanda bahwa ia menerima pengertian dari aku dan Tommy, tidak seperti dari para veteran. Tetapi ia tidak memberikan reaksi apa pun, bahkan juga tidak mengedikkan bahu seperti yang dilakukannya terhadap Chrissie.
Di belakangku, aku mendengar Rodney berjalan mondar-mandir, bersuara berisik untuk menunjukkan bahwa ia kedinginan kena angin kencang. "Bagaimana kalau sekarang kita menjenguk Martin?" katanya. "Flatnya di sana, di belakang rumah-rumah itu."
Tiba-tiba Ruth mengeluh dan menoleh ke arah kami. "Sejujurnya," katanya, "aku sebenarnya tahu semua ini konyol."
"Iyaaa," kata Tommy penuh semangat. "Hanya bersenang-senang saja."
Ruth melemparkan pandangan jengkel ke arahnya. "Tommy, tolong hentikan omongan 'bersenang-senang' ini. Tidak ada yang mendengarkan." Lalu ia menoleh ke Chrissie dan Rodney dan melanjutkan: "Aku tidak mau mengatakannya waktu kalian pertama kali menceritakannya. Tetapi begini, memang dari dulu ini tidak cocok. Mereka tidak pernah, tidak pernah, memakai orang seperti wanita itu. Pikirkan saja. Untuk apa ia mau" Kita semuanya tahu itu, jadi mengapa tidak kita hadapi saja. Kita bukan dibentuk dari tipe semacam itu...."
"Ruth," aku menyela dengan tegas. "Ruth, jangan."
Tetapi ia tetap melanjutkan: "Kita semua tahu itu. Kita dibentuk dari sampah. Pecandu narkoba, pelacur, pemabuk, gelandangan. Tahanan, mungkin, selama mereka tidak sakit jiwa. Dari situ kita berasal. Kita semua tahu itu, jadi mengapa tidak menghadapinya saja" Wanita macam itu" Yang benar saja. Ya, benar, Tommy. Sedikit bersenang-senang. Mari bersenang-senang dengan berpura-pura. Wanita yang lainnya, temannya, yang tua yang ada di galeri. Dia kira kami ini siswa seni. Apa kau pikir ia akan bicara kepada kita kalau ia tahu kita ini sebenarnya apa" Menurut kalian apa yang akan dikatakannya kalau kita menanyakannya" 'Maaf, tetapi apakah menurutmu temanmu pernah jadi model klon"' Ia pasti akan mengusir kita. Kita tahu bagaimana sebenarnya, jadi biar saja kita mengatakannya. Kalau kau ingin mencari kemungkinan, kalau kau ingin melakukannya dengan benar, maka kau harus mencari di selokan. Kau mencari di tong sampah. Lihat di dalam toilet, karena di situlah kau akan menemukan sumber kita."
"Ruth?"suara Rodney mantap dan bernada peringatan" "lupakan saja semua itu dan mari kita tengok Martin. Ia tidak bertugas siang ini. Kau akan menyukainya, ia lucu sekali."
Chrissie melingkarkan lengannya ke Ruth. "Ayo, Ruth. Mari kita ikuti ajakan Rodney."
Ruth bangkit berdiri dan Rodney mulai berjalan.
"Nah, kalian pergi sajalah," kataku tenang. "Aku tidak ikut."
Ruth berputar dan memandangku dengan teliti. "Nah, bagaimana ini" Siapa yang resah sekarang?"
"Aku tidak resah. Tetapi kadang-kadang kau bicara omong kosong, Ruth."
"Oh, sekarang lihat siapa yang resah. Kasihan Kathy. Ia tidak suka omongan blakblakan."
"Tidak ada kaitannya dengan itu. Aku tidak ingin menjenguk perawat. Kita tidak dibenarkan melakukannya dan aku bahkan tidak kenal orang ini."
Ruth mengedikkan bahunya dan bertukar pandang dengan Chrissie. "Nah," katanya, "tidak ada alasan kita harus selalu ke mana-mana bersama-sama. Kalau Little Miss ini tidak ingin ikut kita, ia tidak harus. Biarkan ia pergi sendirian." Lalu ia mencondongkan tubuhnya ke Chrissie dan berkata dengan bisikan keras: "Itu selalu cara terbaik kalau Kathy sedang kesal. Biarkan ia sendirian dan ia akan menghilangkan kejengkelannya dengan berjalan-jalan."
"Kembali ke mobil jam empat kata Rodney kepadaku. "Kalau tidak kau harus mencari tumpangan." Lalu ia tertawa. "Ayolah, Kathy, jangan merajuk. Ikutlah dengan kami."
"Tidak. Kau pergi saja. Aku tidak ingin."
Rodney mengedikkan bahunya dan mulai berjalan. Ruth dan Chrissie mengikutinya, tetapi Tommy tidak bergerak. Baru ketika Ruth menatapnya ia berkata:
"Aku akan menemani Kath. Kalau kita berpisah, aku tetap bersama Kath."
Ruth memandangnya dengan marah, lalu membalikkan badannya dan melangkah pergi. Chrissie dan Rodney memandang Tommy dengan canggung, lalu mereka juga mulai melangkah lagi.
BAB 15 OMMY dan aku bersandar pada pagar dan menatap hingga yang lain lenyap dari pandangan.
"Itu hanya omongan," akhirnya Tommy berkata. Lalu setelah diam sejenak, "Itu hanya sesuatu yang dikatakan orang-orang bila merasa kasihan pada diri sendiri. Hanya omongan. Para guardian tidak pernah memberitahu kita sesuatu semacam itu."
Aku mulai melangkah"ke arah berlawanan dengan yang lain"dan membiarkan Tommy mengejarku.
"Tak ada gunanya marah tentang hal itu," lanjut Tommy. "Ruth selalu melakukan hal-hal semacam itu belakangan ini. Hanya untuk melampiaskan emosi. Pokoknya, seperti yang kita katakan padanya, meskipun itu benar, atau sedikit saja benar, aku tidak melihat bagaimana itu bisa membuat perbedaan. Model-model kita, bagaimana sifat-sifat mereka, itu tidak ada hu
bungannya dengan kita, Kath. Semua itu tak layak untuk membuat kita sedih."
"Baiklah," kataku, sengaja menabrakkan bahuku ke bahunya. "Baiklah, baiklah."
Aku mendapat kesan kami berjalan ke arah pusat kota, tapi tidak yakin. Aku mencoba memikirkan cara untuk mengalihkan pembicaraan, ketika Tommy lebih dulu berkata,
"Kau tahu waktu kita sedang di Woolworth tadi" Waktu kau di bagian belakang bersama yang lain" Aku mencoba mencari sesuatu. Sesuatu untukmu."
"Hadiah?" Aku menatapnya kaget. "Aku tidak tahu apakah Ruth bakal setuju. Kecuali kau memberinya yang lebih besar."
"Semacam hadiah. Tapi aku tak bisa menemukannya. Aku sebenarnya tidak mau menceritakannya padamu, tapi, yah, sekarang aku punya kesempatan untuk mencarinya. Hanya saja kau harus menolongku. Aku tidak begitu pandai berbelanja."
"Tommy, kau bicara apa sih" Kau ingin memberiku hadiah, tapi ingin aku membantumu memilihnya...."
"Bukan, aku sudah tahu barangnya apa. Hanya saja..." Ia tertawa dan mengedikkan bahu. "Ah, sebaiknya aku cerita saja kepadamu. Di toko yang tadi, ada rak berisi banyak sekali piringan hitam dan kaset. Jadi aku mencari kasetmu yang hilang dulu itu. Kau ingat, Kath" Hanya saja aku tidak ingat lagi namanya."
"Kasetku" Aku tidak tahu kau tahu tentang itu, Tommy."
"Oh ya. Ruth menyuruh orang-orang mencarinya dan mengatakan kau sangat sedih kehilangan kaset itu. Maka aku mencoba mencarinya. Aku tidak pernah cerita padamu waktu itu, tapi aku benar-benar berusaha keras. Kukira ada tempat-tempat yang bisa ku jelajahi untuk mencarinya, tempat-tempat yang tidak mungkin kaumasuki. Di mang tidur anak laki-laki, misalnya. Aku ingat lama sekali aku mencarinya, tapi tidak bisa menemukannya."
Aku menatapnya, merasakan kejengkelanku mulai menguap. "Aku tak pernah tahu itu, Tommy. Kau benar-benar baik."
"Yah, tapi tidak banyak membantu. Tapi aku sungguh ingin menemukannya untukmu. Dan ketika akhirnya kelihatannya kaset itu takkan ketemu, aku berkata kepada diriku sendiri, suatu hari nanti aku akan ke Norfolk dan menemukannya di sana untuknya."
"Sudut yang hilang di Inggris," kataku, lalu memandang sekeliling. "Dan di sinilah kita!"
Tommy juga melihat sekelilingnya, lalu kami terpaku. Kami berada di gang lain, tidak sesempit yang ada galeri. Sesaat kami memandang sekitar dengan sikap berlebihan, lalu tertawa.
"Jadi itu bukan gagasan bodoh," kata Tommy. "Toko Wool-worth tadi menjual banyak sekali kaset, jadi kupikir kasetmu pasti ada. Tapi kurasa tidak ada."
"Kaupikir tidak ada" Ah, Tommy, maksudmu kau bahkan belum mencari dengan benar."
"Sudah, Kath. Hanya saja, nah, ini benar-benar menyebalkan, aku tidak ingat judulnya. Sepanjang waktu itu di Hailsham, aku membuka peti koleksi anak-anak laki-laki dan segalanya, dan sekarang aku tidak ingat. Julie Bridges atau siapa..."
"Judy Bridgewater. Songs After Dark."
Tommy menggeleng pelan. "Mereka jelas tidak punya itu."
Aku tertawa dan meninju lengannya. Ia kelihatan heran maka aku berkata, "Tommy, mereka memang tidak punya kaset semacam itu di Woolworth. Mereka punya hit-hit terbaru. Judy Bridgewater penyanyi zaman dulu. Kebetulan saja muncul di salah satu Sale kita. Tidak mungkin sekarang ada di Woolworth, dasar bodoh!"
"Nah, seperti kukatakan, aku tidak mengerti hal-hal semacam itu. Tapi mereka punya sangat banyak kaset...."
"Mereka punya sedikit, Tommy. Ah, sudahlah. Itu gagasan yang manis. Aku sungguh terharu. Gagasan hebat. Bagaimanapun ini Norfolk."
Kami mulai melangkah dan Tommy berkata ragu, "Nah, itu sebabnya aku perlu menceritakannya padamu. Aku ingin memberimu kejutan, tapi rupanya tak ada gunanya. Aku tak tahu harus ke mana mencarinya, meskipun sudah mengetahui nama kasetnya. Sekarang sesudah aku memberitahumu, kau bisa menolongku. Kita bisa mencarinya bersama-sama."
"Tommy, kau bicara apa?" Aku mencoba terdengar seperti memarahinya, tapi aku ingin tertawa.
"Nah, kita masih punya waktu lebih dari satu jam. Ini kesempatan bagus."
"Tommy, kau tolol. Kau benar-benar percaya, ya kan" Semua tentang sudut barang-barang hilang ini."
"Aku tidak perlu memercayainya. Tapi sekalian saja mencarinya karena kita toh sudah di sini. Maksudku, kau ingin menemukannya lagi, kan" Kita tidak akan rugi apa-apa, kan?"
"Baiklah. Kau benar-benar tolol, tapi baiklah."
Ia merentangkan tangannya tak berdaya. "Nah, Kath, ke mana kita pergi" Seperti kubilang, aku tidak pandai berbelanja."
"Kita harus mencari di toko-toko barang bekas," kataku, sesudah berpikir sejenak. "Tempat yang penuh pakaian bekas, buku bekas. Kadang-kadang mereka punya sekotak kaset dan piringan hitam."
"Baiklah. Tapi di mana toko-toko seperti itu?"
Kalau sekarang aku memikirkan saat itu, berdiri bersama Tommy di gang kecil, bersiap memulai pencarian kami, aku merasa kehangatan memenuhi diriku. Tiba-tiba semua terasa sempurna: satu jam waktu luang membentang di depan kami, dan tak ada cara yang lebih baik untuk melewatkannya. Aku benar-benar harus menahan diri untuk tidak cekikikan dengan konyol, atau melompat-lompat di trotoar seperti anak kecil. Belum lama ini, waktu aku merawat Tommy, dan aku mengenang kembali tamasya kami ke Norfolk, ia mengatakan perasaannya juga sama. Saat itu ketika kami memutuskan untuk pergi mencari kasetku yang hilang, rasanya seolah sekonyong-konyong semua awan telah pergi, dan hanya ada kesenangan dan tawa di hadapan kami.
Mula-mula kami selalu masuk ke tempat-tempat yang salah: toko buku bekas, atau toko penuh pengisap debu, tapi sama sekali tidak ada musik. Sesudah beberapa lama Tommy memutuskan aku tidak lebih tahu daripada dirinya dan ia mengumumkan akan memimpin perjalanan. Kebetulan sekali, berkat keberuntungan semata, ia langsung menemukan jalan penuh jenis toko yang memang kami cari, berdiri berderet. Etalasenya penuh gaun-gaun, tas tangan, majalah anak-anak, dan bila kau masuk, ada bau apek yang menyenangkan. Bertumpuk-tumpuk buku yang sudah keriting, kotak-kotak berdebu berisi kartu pos atau perhiasan. Satu toko khusus barang-barang hippy, sementara yang lain punya medali perang dan foto-foto tentara di gurun pasir. Tapi semua toko itu mempunyai satu atau dua kotak besar piringan hitam dan kaset. Kami mengobrak-abrik toko-toko itu, dan sejujurnya, sesudah beberapa menit pertama, kupikir Judy Bridgewater sudah sedikit lenyap dari benak kami. Kami hanya menikmati memilah-milah semua barang itu bersama-sama; berpencar lalu mendapati diri kami berdampingan lagi, mungkin berebut kotak barang pecah belah di suatu sudut berdebu yang diterangi seberkas sinar matahari.
Lalu tentu saja aku menemukannya. Aku sedang membuka-buka sederet kotak kaset, sementara pikiranku terpusat pada hal-hal lain, ketika tiba-tiba kaset itu muncul, di bawah jemariku, persis sama seperti bertahun-tahun yang lalu: Judy, rokoknya, tatapan genit ke arah pelayan bar, pohon-pohon palem samar-samar di latar belakang.
Aku tidak berteriak, seperti yang kulakukan saat menemukan benda-benda lain yang membuatku cukup bergairah. Aku berdiri sangat diam, memandang kotak plastiknya, tak yakin apakah aku senang atau tidak. Sesaat rasanya keliru. Kaset itu sudah menjadi alasan sempurna untuk semua kegembiraan ini, dan sesudah benda itu ditemukan, kami harus berhenti. Mungkin itulah sebabnya, meski aku sendiri heran, mula-mula aku diam saja; terpikir olehku untuk berpura-pura tak pernah melihatnya. Dan sekarang kaset itu ada di depanku, seperti sesuatu yang semestinya sudah kutinggalkan jauh di masa kanak-kanak. Aku bahkan menjentikkan kaset itu dan membiarkan kaset di sampingnya jatuh menutupinya. Tapi punggung kaset itu memandangku, dan akhirnya aku memanggil Tommy.
"Itukah kasetnya?" Tommy kelihatan benar-benar skeptis, mungkin karena aku tidak terlalu heboh. Aku mengeluarkannya, memegangnya dengan kedua tanganku. Lalu mendadak aku merasakan luapan kebahagiaan"dan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih rumit yang mengancam akan membuatku menangis. Tapi aku berhasil menguasai emosi dan hanya menarik lengan Tommy.
"Ya, ini dia," kataku, untuk pertama kali tersenyum penuh semangat. "Kau percaya" Kita benar-benar sudah menemukannya!"
"Menurutmu apakah ini kaset yang sama" Maksudku, yang dulu punyamu. Yang hilang itu?"
Saat membalik-balikkannya dalam jemariku, aku mendapati bahwa aku ingat semua detailnya, judul-judul lagunya, semuanya.
"Mungkin saja," kataku. "Tapi harus kuberitahu, Tommy, mungkin ada ribuan kaset seperti ini bertebaran di mana-mana."
Lalu giliranku melihat Tommy tidak begitu puas seperti seharusnya. "Tommy, kau tidak kelihatan senang demi aku," kataku, meskipun nada suaraku jelas bergurau.
"Aku senang demi kau, Kath. Hanya saja, yah, kuharap akulah yang menemukannya." Lalu ia tertawa kecil dan melanjutkan, "Dulu, waktu kau kehilangan kaset itu, aku suka membayangkannya, dalam benakku, bagaimana rasanya kalau aku menemukannya dan memberikannya padamu. Apa yang akan kaukatakan, wajahmu, semuanya."
Suaranya lebih lembut dari biasanya dan ia menatap kotak plastik di tanganku. Dan tiba-tiba aku sangat menyadari bahwa hanya kami berdua di dalam toko, selain laki-laki tua di belakang konter di bagian depan, yang asyik menulis. Kami berada di belakang, di atas semacam panggung yang agak gelap dan lebih terpencil, seolah-olah si laki-laki tua tidak ingin memikirkan barang-barang di area kami dan menutupnya dengan tirai tak kasatmata. Selama beberapa detik, Tommy bagai tersihir, mungkin benaknya sedang memutar kembali rekaman khayalan masa lalu tentang mengembalikan kaset hilang itu padaku. Lalu tiba-tiba ia menyambar kaset itu dari tanganku.
"Nah, setidaknya aku bisa membelikannya untukmu," katanya nyengir, dan sebelum aku bisa menghentikannya, ia sudah berjalan ke depan.
Aku masih terus melihat-lihat di bagian belakang toko sementara si laki-laki tua mencari kaset yang seharusnya mengisi wadah itu. Aku masih merasakan tusukan penyesalan bahwa kami menemukannya begitu cepat, dan baru kemudian, ketika kami sudah di Cottage lagi dan aku sendirian di kamarku, aku benar-benar senang telah mendapatkan kaset itu"dan lagu itu"lagi. Bahkan waktu itu, hal itu hanyalah masalah nostalgia, dan sekarang, jika aku mengeluarkan kaset itu dan memandangnya, kenangan tentang siang di Norfolk itu pun muncul, sama kentalnya dengan kenangan tentang masa-masa kami di Hailsham.
KETIKA keluar dari toko, aku ingin sekali merasakan kembali suasana santai, bahkan nyaris konyol, yang tadi kami alami. Tapi ketika aku melontarkan beberapa lelucon kecil, Tommy melamun dan tidak bereaksi.
Kami mulai mendaki jalan yang menanjak tajam, dan bisa melihat"mungkin sekitar seratus meter di depan"semacam area pandang di atas batu karang dengan bangku-bangku menghadap ke laut. Di musim panas tempat itu pasti nyaman untuk keluarga normal duduk-duduk dan piknik. Sekarang, meskipun angin sangat dingin, kami toh menuju ke sana, tapi setelah dekat Tommy memperlambat langkah dan berkata kepadaku,
"Chrissie dan Rodney benar-benar terobsesi dengan gagasan ini. Kau tahu, tentang orang-orang bisa ditangguhkan donasinya kalau sungguh-sungguh saling mencintai. Mereka yakin kita tahu tentang itu, tapi tak ada yang membahas hal semacam itu di Hailsham. Setidaknya, aku belum pernah mendengar sesuatu seperti itu, kau juga kan, Kath" Tidak, ini hanya omongan yang baru-baru ini saja beredar di antara para veteran. Dan orang-orang seperti Ruth, mereka mengomporinya."
Aku memandangnya dengan saksama, tapi sulit untuk mengetahui apakah ia hanya berbicara dengan rasa sayang, atau semacam perasaan jijik. Tapi bisa kulihat ada sesuatu yang lain mengganggu pikirannya, tak ada hubungannya dengan Ruth, maka aku tidak mengatakan apa-apa dan menunggu. Akhirnya ia berhenti sama sekali dan kakinya mulai menyodok-nyodok cangkir kertas yang sudah remuk di tanah.
"Sebenarnya, Kath," katanya. "Aku sudah lama memikirkannya. Aku yakin kita benar, tak ada omongan seperti itu waktu kita masih di Hailsham. Tapi banyak hal yang waktu itu tidak masuk akal. Dan aku berpikir, kalau desas-desus ini benar, ini menjelaskan banyak hal. Hal-hal yang dulu membuat kita bertanya-tanya."
"Apa maksudmu" Hal-hal apa?"
"Galeri, misalnya." Tommy merendahkan suaranya dan aku melangkah lebih dekat, seakan-akan kami masih di Hailsham, mengobrol dalam antrean makan atau di dekat kolam. "Kita tidak pernah tahu persis fungsi Galeri itu. Mengapa Madame mengambil karya-karya kita yang paling bagus. Tapi sekarang rasanya aku tahu. Kath, ingat orang-orang selalu berdebat tentang kupon" Apakah mereka harus menerimanya atau tidak untuk menggantikan karya yang diambil Madame" Dan Roy J. pergi menemui Miss Emily tentang hal itu" Nah, waktu itu Miss Emily mengatakan sesuatu, sesuatu yang seperti salah ucap, dan itu yang membuatku berpikir."
Dua wanita lewat dengan anjing mereka, dan meskipun bodoh sekali, tapi kami berhenti bicara sampai mereka sudah jauh ke atas tebing dan di luar jangkauan pendengaran. Lalu aku berkata,
"Apa, Tommy" Apa yang dikatakan Miss Emily?"
"Waktu Roy J. menanyakan mengapa Madame mengambil karya-karya kita. Kau ingat apa yang dikatakan Miss Emily?"
"Aku ingat dia bilang itu semacam hak istimewa, dan kita harus bangga..."
"Tapi bukan hanya itu." Suara Tommy sekarang tinggal bisikan. "Yang dia katakan kepada Roy, yang telanjur diucapkannya, yang mungkin keceplosan, ingatkah kau, Kath" Katanya benda-benda seperti gambar, puisi, segala sesuatu seperti itu, katanya itulah yang menunjukkan isi hatimu. Katanya itu mengungkapkan jiwamu."
Ketika Tommy mengatakan ini, tiba-tiba teringat olehku sebuah sketsa yang dibuat Laura"sketsa itu menggambarkan ususnya, dan aku tertawa. Tapi aku mulai ingat sedikit.
"Itu benar," kataku. "Jadi apa maksudmu?"
"Kupikir," kata Tommy perlahan, "begini. Misalnya saja benar, apa yang dikatakan para veteran. Umpamakan saja ada aturan khusus yang dibuat untuk para siswa Hailsham. Misalnya dua orang mengatakan saling mencintai, dan ingin memperoleh waktu tambahan untuk bisa bersama-sama. Kalau begitu, Kath, harus ada cara untuk menilai apakah mereka mengatakan yang sebenarnya. Bahwa mereka bukan sekadar mengatakan saling mencintai hanya untuk menunda donasi mereka. Kau lihat kan, betapa sulit memutuskan hal ini" Atau suatu pasangan yakin mereka sungguh-sungguh saling mencintai, tapi ternyata itu nafsu belaka. Atau hanya tergila-gila. Kau mengerti maksudku, Kath" Akan sulit sekali untuk menilai, dan mungkin mustahil untuk bisa benar setiap saat. Masalahnya adalah, siapa pun yang memutuskan, Madame atau siapa, mereka membutuhkan sesuatu sebagai dasar."
Aku mengangguk pelan. "Jadi itulah sebabnya mereka mengambil karya-karya kita...."
"Mungkin saja. Madame mempunyai galeri di suatu tempat berisi karya-karya siswa semenjak mereka masih kecil. Misalkan dua orang datang dan mengatakan saling mencintai. Madame bisa menemukan karya mereka selama bertahun-tahun. Dia bisa melihat apakah mereka cocok. Apakah mereka serasi. Jangan lupa, Kath, apa yang dimilikinya bisa menunjukkan jiwa kita. Dia bisa memutuskan mana pasangan yang serasi dan mana yang hanya tergila-gila."
Aku mulai melangkah pelan, nyaris tanpa memandang ke depan. Tommy menyamakan langkah, menunggu reaksiku.
"Aku tak yakin," kataku akhirnya. "Yang kaukatakan memang bisa menjelaskan tentang Miss Emily, tentang apa yang dikatakannya kepada Roy. Dan kupikir itu juga menjelaskan mengapa para guardian selalu menganggap penting bahwa kita mampu melukis dan semacamnya."
"Persis. Dan karena itulah..." Tommy menarik napas dan meneruskan dengan susah payah. "Karena itulah Miss Lucy mengaku dia keliru waktu memberitahuku itu tidak penting. Dia bilang begitu karena waktu itu merasa kasihan padaku. Tapi jauh di dalam hati dia tahu itu penting. Keuntungannya kalau kau dari Hailsham adalah, kau punya kesempatan khusus ini. Dan bila karyamu tak sampai masuk ke galeri Madame, sama saja kau membuang kesempatan itu."
Sesudah ia berkata begitu, tiba-tiba aku tersadar, dengan ngeri, ke mana arah percakapan ini. Aku berhenti dan menoleh kepadanya, tapi sebelum aku bisa bicara, Tommy tertawa.
"Kalau ini benar, maka yah, kelihatannya aku sudah membuang kesempatanku."
"Tommy, apakah karyamu pernah masuk Galeri" Waktu kau masih kecil mungkin?"
Ia menggeleng. "Kau tahu, aku benar-benar tak berguna. Lalu ada insiden Miss Lucy. Aku tahu maksudnya baik. Dia kasihan padaku dan ingin menolongku. Aku yakin begitu. Tapi kalau teoriku benar, nah..."
"Itu kan hanya teori, Tommy," kataku. "Kau tahu sendiri teorimu seperti apa."
Aku ingin meringankan suasana, tapi tak bisa menemukan nada yang tepat, dan pasti kentara sekali aku masih memikirkan apa yang baru saja dikatakannya. "Mungkin mereka punya berbagai cara untuk menilai," aku berkata sesudah beberapa saat. "Mungkin seni hanya salah satu dari berbagai macam cara."
Tommy kembali menggeleng. "Misalnya apa" Madame tak pernah mengenal kita. Dia tidak ingat kita satu per satu. Lagi pula, mungkin bukan hanya Madame yang memutuskan. Mungkin ada orang-orang di atas dia, orang-orang yang tidak pernah menginjakkan kaki di Hailsham. Aku sudah banyak memikirkan hal ini, Kath. Semuanya cocok. Karena itulah Galeri penting, dan kenapa para guardian ingin kita bekerja keras untuk seni dan puisi kita. Kath, apa yang kaupikirkan?"
Memang, aku agak melamun. Sebenarnya, aku ingat siang itu ketika sendirian di ruang tidur kami, memutar kaset yang baru saja kami temukan; aku bergoyang-goyang, sambil memeluk bantal ke dada, dan Madame memperhatikan dari ambang pintu, air mata memenuhi matanya. Bahkan kejadian ini, meski aku tak pernah menemukan penjelasan meyakinkan, rasanya cocok dengan teori Tommy. Dalam benakku, aku membayangkan memeluk bayi, tapi tentu saja, tidak mungkin Madame mengetahuinya. Dia pasti menyangka aku memeluk seorang kekasih. Kalau teori Tommy benar, bila Madame terkait dengan kami untuk tujuan satu-satunya, yakni menangguhkan donasi kami jika di kemudian hari kami saling jatuh cinta, maka itu masuk akal"meskipun ia sangat dingin terhadap kami"ia pasti terharu memergoki adegan semacam itu. Semua ini terlintas di benakku, dan aku sudah akan mengatakannya kepada Tommy. Tapi aku menahan diri karena sekarang aku ingin mematahkan teorinya.
"Aku memikirkan ucapanmu, itu saja," kataku. "Kita harus kembali sekarang. Mungkin butuh waktu untuk menemukan kembali tempat parkir itu."
Kami mulai menuruni tebing, tapi kami tahu masih ada waktu dan kami tidak tergesa-gesa.
"Tommy," aku bertanya, sesudah berjalan beberapa saat. "Kau pernah mengatakan semua ini kepada Ruth?"
Ia menggeleng dan terus berjalan. Akhirnya ia berkata, "Masalahnya, Ruth percaya semua ini, semua yang dikatakan para veteran. Memang dia senang berpura-pura tahu lebih banyak daripada yang sebenarnya dia ketahui. Tapi dia percaya. Dan cepat atau lambat, dia pasti ingin melakukannya."
"Maksudmu, dia akan..."
"Ya. Dia akan kepingin mendaftar. Tapi dia belum memikirkannya dengan saksama. Tidak seperti yang baru saja kita lakukan."
"Kau belum menceritakan teorimu tentang Galeri?"
Ia menggeleng, tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Kalau kau menceritakan teorimu," kataku, "dan dia percaya... yah, dia bakal sangat marah."
Tommy tampak termenung, tapi masih belum mengatakan apa pun. Baru ketika kami kembali di gang yang sempit, ia bicara lagi, suaranya mendadak sedikit malu.
"Sebenarnya, Kath," katanya, "aku sudah membuat beberapa karya. Hanya untuk berjaga-jaga. Aku belum cerita pada siapa pun, bahkan kepada Ruth pun tidak. Ini baru permulaan."
Waktu itulah aku pertama kali mendengar tentang hewan-hewan khayalannya. Waktu ia mulai menguraikan apa yang sudah dilakukannya"aku tidak melihat sesuatu secara konkret hingga beberapa minggu kemudian"aku sulit menunjukkan ketertarikan. Bahkan, terpaksa kuakui, aku teringat gambar-gajah-di-rumput yang dulu memicu semua masalah Tommy di Hailsham. Idenya, ia menjelaskan, datang dari buku anak-anak lama yang sampul belakangnya hilang yang ditemukannya di belakang salah satu sofa di Cottage. Ia lalu membujuk Keffers untuk memberinya salah satu buku catatan hitam yang biasa dipakainya untuk menulis angka-angka, dan sejak itu Tommy sudah menyelesaikan setidaknya selusin makhluk fantastisnya.
"Masalahnya, aku membuatnya kecil sekali. Mungil. Aku belum pernah mendapat gagasan seperti ini waktu di Hailsham. Mungkin itulah salahku. Kalau kau membuatnya dalam ukuran kecil, dan memang harus karena halamannya hanya sebesar ini, maka segalanya berubah. Seolah-olah mereka jadi hidup. Maka kau harus menggambar segala macam detail untuk mereka. Kau harus memikirkan bagaimana mereka melindungi diri, bagaimana meraih barang-barang. Sungguh, Kath, ini tidak seperti apa pun yang kubuat di Hailsham."
Ia mulai menceritakan makhluk-makhluk favoritnya, tapi aku tidak bisa berkonsentrasi; semakin bersemangat dirinya menceritakan tentang hewan-hewannya, semakin aku merasa tidak nyaman. "Tommy," ingin aku berkata kepadanya, "kau akan membuat dirimu jadi bahan tertawaan lagi. Hewan khayalan" Ada apa sih denganmu?" Tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya memandangnya dengan hati-hati dan berkata, "Kedengarannya bagus, Tommy."
Lalu ia berkata, "Seperti kataku tadi, Kath, Ruth tidak tahu tentang hewan-hewan ini." Dan waktu mengatakan ini, ia rupanya teringat semua yang lain, dan mengapa kami membicarakan hewan-hewannya pada awalnya, dan wajahnya kehilangan semangat. Lalu kami berjalan sambil membisu, dan ketika keluar di High Street, aku berkata,
"Nah, meskipun teorimu ada benarnya, Tommy, masih banyak yang harus kita cari tahu. Misalnya, bagaimana cara suatu pasangan mengajukan permohonan" Apa yang harus mereka lakukan" Toh tidak ada formulir yang disebarkan."
"Aku juga bertanya-tanya tentang hal itu." Suaranya tenang dan serius. "Sejauh kulihat, hanya ada satu cara. Dan itu adalah menemukan Madame."
Aku memikirkannya, lalu berkata, "Itu mungkin tidak begitu mudah. Kita tidak tahu apa-apa tentang dia. Kita bahkan tidak tahu namanya. Dan kau ingat sikapnya" Dia bahkan tidak suka kalau kita menghampirinya. Meskipun kita bisa menemukannya, tak bisa kubayangkan dia akan banyak membantu."
Tommy menghela napas. "Aku tahu," katanya. "Nah, kelihatannya kita masih punya waktu. Tak seorang pun di antara kita yang terburu-buru."
KETIKA kami tiba di tempat parkir, siang itu telah berawan dan mulai cukup dingin. Yang lain belum tampak, maka Tommy dan aku bersandar ke mobil dan memandang lapangan mini golf. Tidak ada yang bermain dan bendera-benderanya berkibar tertiup angin. Aku tak ingin berbicara tentang Madame lagi, Galeri, atau hal-hal lainnya, maka aku mengeluarkan kaset Judy Bridgewater dari kantongnya dan memperhatikannya dengan cermat.
"Terima kasih sudah membelikan ini untukku," aku berkata.
Tommy tersenyum. "Kalau aku ada di kotak kaset dan kau memilah-milah piringan hitam, akulah yang akan menemukannya lebih dulu. Sungguh sial bagi Tommy yang malang."
"Tak ada bedanya. Kita bisa menemukannya karena kaulah yang mempunyai gagasan untuk mencarinya. Aku malah sudah lupa tentang semua perkara barang hilang ini. Sesudah Ruth berbicara seperti itu, aku jengkel sekali. Judy Bridgewater. Teman lamaku. Seakan-akan dia tak pernah pergi. Aku jadi ingin tahu siapa yang dulu mencurinya?"
Sesaat kami menoleh ke arah jalan, mencari yang lain.
"Kau tahu," kata Tommy, "waktu Ruth mengatakan apa yang dikatakannya tadi, dan aku melihat betapa marahnya kau..."
"Lupakan saja, Tommy. Aku sudah tidak apa-apa. Dan aku takkan mengungkitnya lagi kalau dia kembali nanti."
"Bukan, bukan itu maksudku." Tommy menegakkan tubuh, berbalik, dan menekan satu kaki ke ban seakan-akan mengujinya. "Yang kumaksud adalah, waktu itu aku jadi sadar, waktu Ruth melontarkan semua itu, aku sadar kenapa kau suka melihat-lihat majalah porno. Baiklah, aku bukan menyadarinya. Ini hanya teori. Salah satu dari sekian banyak teoriku. Tapi waktu Ruth mengatakan apa yang dikatakannya tadi, rasanya jadi cocok."
Never Let Me Go Karya Kazuao Ishiguro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tahu ia menatapku, tapi aku tetap memandang lurus ke depan dan tidak bereaksi.
"Tapi aku masih belum sepenuhnya mengerti, Kath," akhirnya ia berkata. "Bahkan kalaupun yang dikatakan Ruth benar, dan kurasa tidak, kenapa kau melihat-lihat majalah porno lama untuk mencari kemungkinanmu" Mengapa modelmu harus salah satu dari gadis-gadis itu?"
Aku mengedikkan bahu, masih tidak menatapnya. "Aku tidak mengatakan itu masuk akal. Itu hanya sesuatu yang kulakukan." Sekarang air mata menggenangi mataku dan aku berusaha menyembunyikannya dari Tommy. Tapi suaraku gemetaran ketika aku berkata, "Kalau itu membuatmu sangat jengkel, aku tidak akan melakukannya lagi."
Aku tak tahu apakah Tommy melihat air mataku. Bagaimanapun aku berhasil mengendalikannya ketika ia mendekat dan meremas bahuku. Ini sesuatu yang dilakukannya sekali-sekali, bukan sesuatu yang khusus atau baru. Tapi entah mengapa aku jadi merasa lebih baik dan aku tertawa kecil. Ia melepaskanku, tapi kami tetap nyaris saling menyentuh, kembali berdampingan, memunggungi mobil.
"Memang tidak masuk akal," kataku. "Tapi kita semua melakukannya, bukan" Kita semua bertanya-tanya tentang model kita. Bagaimanapun juga, untuk itulah kita datang ke sini hari ini. Kita semua melakukannya."
"Kath, kau tahu, kan, aku tidak bercerita kepada siapa pun. Tentang waktu di pondok mesin boiler. Tidak kepada Ruth, atau siapa pun. Tapi aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti apa yang kaulakukan."
"Baiklah, Tommy. Akan kuceritakan. Mungkin tidak lebih masuk akal sesudah kau mendengarnya, tapi kau boleh mendengarnya. Begini, kadang-kadang, sesekali, aku mendapat dorongan sangat kuat untuk melakukan hubungan seks. Kadang-kadang muncul begitu saja dan selama satu-dua jam rasanya sangat mengerikan. Bisa-bisa aku melakukannya dengan Keffers, separah itu rasanya. Itulah... itulah satu-satunya alasan aku melakukannya dengan Hughie. Dan Oliver. Tak ada artinya. Aku bahkan tidak begitu menyukai mereka. Aku tidak tahu apa itu, dan sesudahnya, dan setelah berlalu, rasanya menakutkan sekali. Itulah sebabnya aku mulai berpikir, pasti ada sumbernya. Pasti berhubungan dengan sifatku." Aku berhenti, tapi ketika Tommy tidak mengatakan apa-apa, aku melanjutkan, "Maka kupikir kalau aku menemukan fotonya di dalam salah satu majalah itu, setidaknya itu akan menjadi penjelasan. Aku tidak ingin pergi dan mencarinya atau semacamnya. Hanya untuk, kau tahu kan, menjelaskan mengapa aku seperti ini."
"Aku juga begitu kadang-kadang," kata Tommy. "Ketika aku benar-benar sedang ingin. Kupikir semua orang juga begitu, kalau mereka jujur. Kurasa tak ada yang aneh denganmu, Kath. Bahkan, aku cukup sering seperti itu..." Ia menghentikan kalimatnya dan tertawa, tapi aku tidak ikut tertawa.
"Yang kubicarakan itu berbeda," kataku. "Aku memperhatikan orang-orang lain. Mereka ingin, tapi itu tidak lantas membuat mereka melakukannya. Mereka tidak pernah melakukan hal-hal seperti yang kulakukan, bercinta dengan orang seperti Hughie..."
Aku mungkin mulai menangis lagi, karena kurasakan Tommy memeluk pundakku lagi. Meski aku sangat terguncang, aku tetap menyadari di mana kami berada, dan dalam benakku aku memastikan bahwa jika Ruth dan yang lain muncul di jalan, meskipun melihat kami saat itu, tidak akan terjadi salah paham. Kami masih berdiri berdampingan, bersandar ke mobil, dan mereka akan melihat bahwa aku gelisah tentang sesuatu dan Tommy hanya menghiburku. Lalu aku mendengarnya berkata,
"Kurasa ini bukan sesuatu yang buruk. Kalau kau sudah menemukan seseorang, Kath, seseorang yang benar-benar kaudam-bakan, maka bisa sangat menyenangkan. Ingat yang dikatakan para guardian kepada kita" Melakukannya dengan orang yang tepat akan membuatmu merasa sangat nyaman."
Aku menggerakkan bahu sedikit agar lengan Tommy terlepas, lalu menarik napas dalam-dalam. "Lupakan saja. Bagaimanapun sekarang aku sudah jauh lebih mampu mengendalikan gairah ini kalau muncul. Jadi lupakan saja."
"Sama saja, Kath, konyol sekali untuk melihat-lihat majalah itu."
"Baiklah, memang konyol. Tommy, kita lupakan saja. Aku sudah baikan sekarang."
Aku tidak ingat apa lagi yang kami bahas sampai yang lain muncul. Kami tidak membahas hal-hal serius, dan kalau yang lain merasakan ketegangan masih menggantung di udara, mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tampak gembira, Ruth khususnya kelihatan bertekad untuk memperbaiki keadaan gara-gara sikapnya yang buruk sebelumnya. Ia menghampiriku dan menyentuh pipiku, membuat lelucon, dan ketika kami sudah naik ke mobil, ia memastikan suasana tetap ceria. Ia dan Chrissie menganggap Martin lucu dan sangat menikmati kesempatan untuk menertawakannya sesudah mereka meninggalkan flatnya. Rodney kelihatan tidak suka, dan aku menyadari Ruth dan Chrissie sengaja melebih-lebihkan kelakar mereka untuk menggoda Rodney. Semua tampak cukup menyenangkan. Tapi aku memperhatikan bahwa kalau tadi Ruth membiarkan Tommy dan aku tidak mengerti semua lelucon dan referensi, maka selama perjalanan pulang, ia selalu menoleh padaku dan menjelaskan dengan cermat semua yang mereka bicarakan. Bahkan rasanya agak melelahkan sesudah beberapa saat, karena seakan-akan semua yang dikatakan di dalam mobil adalah demi kami" atau setidaknya demi aku khususnya. Tapi aku senang Ruth sampai bersusah payah. Aku mengerti"seperti juga Tommy" bahwa ia menyadari dirinya telah bersikap buruk sebelumnya, dan inilah caranya mengakuinya. Kami duduk dengan Ruth di tengah, persis seperti waktu berangkat, tapi kini ia menghabiskan waktunya dengan berbicara padaku, sesekali menoleh ke sisi lain untuk meremas Tommy atau menciumnya. Suasananya hangat, dan tidak ada yang membahas kemungkinan Ruth atau semacamnya. Dan aku tidak menyebut-nyebut tentang kaset Judy Bridgewater yang Tommy belikan untukku. Aku tahu cepat atau lambat Ruth akan tahu, tapi aku tak ingin ia tahu dulu. Dalam perjalanan pulang itu, ketika kegelapan mulai turun di atas jalan-jalan panjang yang lengang, rasanya kami bertiga kembali akrab dan aku tak ingin sesuatu muncul dan merusak suasana itu.
BAB 16 YANG aneh dari tamasya Norfolk kami adalah, begitu kembali, kami jarang membahasnya. Begitulah sehingga selama beberapa waktu berbagai desas-desus beredar tentang apa yang kami lakukan di sana. Meski begitu kami tetap membisu, sampai akhirnya orang-orang kehilangan minat.
Aku tak yakin mengapa ini terjadi. Mungkin kami merasa itu terserah Ruth, dialah yang memutuskan seberapa banyak yang akan diceritakan, dan kami menunggu petunjuknya. Dan Ruth, entah mengapa"mungkin ia malu mengenai kemungkinannya, mungkin juga ia menikmati kemisteriusannya"sama sekali tak bicara. Bahkan di antara kami sendiri, kami menghindari membahas tamasya itu.
Suasana penuh rahasia ini memudahkanku untuk tidak bercerita kepada Ruth tentang Tommy membelikanku kaset Judy Bridgewater. Aku tidak sampai menyembunyikan benda itu. Kaset itu selalu ada di antara koleksiku, di salah satu tumpukan kecil di sebelah panel kayu di dinding. Tapi aku selalu memastikan tidak meninggalkannya di bagian atas tumpukan. Kadang-kadang aku sangat ingin menceritakannya, ketika aku ingin kami mengenang Hailsham dengan memutar kaset itu sebagai latar belakang. Tapi semakin jauh kami dari tamasya Norfolk, dan aku masih belum juga memberitahunya, semakin itu terasa seperti rahasia kotor. Tentu saja, akhirnya ia melihat kaset itu, jauh di kemudian hari, dan mungkin itu justru saat yang jauh lebih buruk baginya untuk menemukannya, tapi begitulah kadang-kadang peruntunganmu.
Ketika musim semi tiba, semakin banyak veteran pergi untuk memulai pelatihan, dan meskipun kepergian mereka tanpa banyak ribut-ribut seperti biasanya, jumlah mereka yang semakin banyak membuatnya mustahil untuk tidak diperhatikan. Aku tak yakin bagaimana perasaan kami, menyaksikan kepergian-keper-gian itu. Kupikir dalam batas tertentu kami iri pada orang-orang yang pergi itu. Rasanya seolah mereka menuju dunia yang lebih luas dan lebih menggairahkan. Tapi tentu saja kepergian mereka membuat kami semakin gelisah.
Kemudian, seingatku sekitar bulan April, Alice F. menjadi yang pertama dari kelompok Hailsham untuk pergi, dan tak lama sesudah itu Gordon C. juga berangkat. Mereka sudah diminta untuk memulai pelatihan, dan mereka pergi dengan senyum riang, tapi setelah itu, setidaknya bagi kelompok kami, suasana di Cottage berubah untuk selamanya.
Banyak veteran rupanya terpengaruh oleh gelombang kepergian itu, dan sebagai akibatnya timbul desas-desus seperti yang dibicarakan Chrissie dan Rodney di Norfolk. Kabar angin beredar tentang siswa-siswa, di suatu tempat di negeri ini, mendapat penangguhan karena menunjukkan bahwa mereka saling mencintai"dan kini, kadang-kadang, desas-desus itu mengenai siswa yang tak ada hubungannya dengan Hailsham. Sekali lagi, kami berlima yang pergi ke Norfolk, menjauhkan diri dari topik ini: bahkan Chrissie dan Rodney, yang dulu pernah membicarakan hal semacam ini, sekarang dengan canggung membuang muka jika kabar angin itu mulai dibahas.
"Efek Norfolk" bahkan memengaruhi aku dan Tommy. Kusangka, begitu kembali kami akan mencuri kesempatan-kesempatan kecil, setiap kali sedang sendirian, untuk membahas teorinya mengenai Galeri. Tapi karena suatu hal"dan bukan lebih karena dia maupun aku"hal ini tak pernah terjadi. Satu-satunya perkecualian, kupikir, adalah saat di kandang angsa, pada pagi ketika ia menunjukkan gambar hewan-hewan khayalannya.
LUMBUNG yang kami sebut kandang angsa terletak di pinggiran luar Cottage, dan karena atapnya bocor serta pintunya terlepas dari engselnya, tempat itu tidak digunakan selain sebagai tempat pelarian bagi pasangan-pasangan pada bulan-bulan yang lebih hangat. Waktu itu aku terbiasa berjalan-jalan sendirian untuk waktu lama, dan aku ingat sedang memulai salah satu acara jalan-jalan ini, dan baru saja melewati kandang angsa, ketika mendengar Tommy memanggilku. Aku menoleh dan melihatnya bertelanjang kaki, bertengger kaku di atas sepetak tanah kering yang dikelilingi genangan-genangan besar air, satu tangan berpegangan pada sisi gudang, menjaga keseimbangan.
"Di mana Wellies-mu, Tommy?" aku bertanya. Selain bertelanjang kaki, ia mengenakan sweter tebal dan jins seperti biasa.
"Aku sedang, kau tahu, menggambar..." Ia tertawa, mengangkat buku catatan kecil hitam seperti yang biasa dibawa-bawa
Keffers. Waktu itu sudah dua bulan setelah tamasya Norfolk, tapi begitu melihat buku itu, aku langsung tahu apa yang dibicarakannya. Tapi aku menunggunya berkata,
"Kalau kau suka, Kath, akan kutunjukkan padamu."
Ia memimpin masuk ke kandang angsa, melompat-lompat melintasi tanah yang tidak rata. Kusangka di dalam gelap, tapi sinar matahari masuk melalui atap kaca. Pada salah satu dinding ada berbagai perabot yang diangkat kemari setahun lebih yang lalu"meja yang rusak, lemari es lama, benda-benda semacam itu. Rupanya Tommy sudah menyeret ke tengah sebuah sofa-dua-tempat-duduk yang busanya keluar dari plastik hitamnya, dan kuduga ia duduk di sana sambil menggambar waktu aku lewat. Sementara kaus kaki football-nya menyembul keluar dari atasnya.
Tommy melompat ke sofa, sambil memijat jempol kakinya. "Maaf kakiku agak bau. Aku melepas semuanya tanpa sadar. Sepertinya kakiku terluka. Kath, kau mau melihat ini" Ruth melihatnya minggu lalu, jadi aku sudah ingin menunjukkannya padamu sejak itu. Belum ada yang melihatnya kecuali Ruth. Cobalah lihat, Kath."
Itulah pertama kali aku melihat hewan-hewannya. Waktu ia menceritakannya di Norfolk, di benakku aku melihat versi kecil gambar-gambar yang kami buat ketika masih kecil. Karenanya betapa terkejutnya aku melihat bahwa setiap gambar penuh dengan detail. Bahkan, butuh sesaat untuk menyadari bahwa itu gambar hewan. Kesan pertama adalah seperti waktu kau membuka bagian belakang radio: saluran-saluran kecil, urat-urat saling terjalin, sekrup-sekrup dan roda kecil, semua digambar dengan ketelitian obsesif, dan baru ketika kau memegangnya agak jauh, kau bisa melihat bahwa itu semacam armadillo, misalnya, atau burung.
"Ini bukuku yang kedua kata Tommy. "Buku pertama tidak boleh dilihat siapa pun! Butuh waktu cukup lama untuk jadi seperti ini."
Sekarang ia bersandar di sofa, mengenakan kaus kaki dan mencoba untuk terdengar acuh tak acuh, tapi aku tahu ia gelisah menunggu komentarku. Meski begitu, selama beberapa saat, aku tidak melontarkan pujian yang tulus. Mungkin sebagian karena aku cemas bahwa karya seni apa pun akan membuatnya tertimpa masalah lagi. Tapi juga, yang kupandang ini sama sekali berbeda dengan apa yang diajarkan para guardian kepada kami di Hailsham, sehingga aku tidak tahu bagaimana menilainya. Aku mengatakan sesuatu seperti,
"Ya Tuhan, Tommy, ini pasti butuh konsentrasi luar biasa. Aku heran kau bisa melihat cukup jelas di sini dan menciptakan gambar-gambar kecil ini." Lalu, sementara membalik-balik halamannya, mungkin karena masih berjuang menemukan kata-kata yang tepat, aku mengatakan, "Aku ingin tahu apa yang akan dikatakan Madame kalau dia melihat ini."
Aku mengatakannya dengan nada berkelakar, dan Tommy tertawa sedikit, tapi kemudian sesuatu menggantung di udara yang tadi tidak ada. Aku tetap membalik-balik halaman buku itu"telah terisi kira-kira seperempatnya"tanpa memandangnya, menyesal sudah menyebut-nyebut Madame. Akhirnya aku mendengarnya berkata,
"Kupikir aku harus menggambar jauh lebih bagus sebelum dia melihatnya."
Aku tak yakin apakah ini isyarat bagiku untuk mengatakan betapa bagus gambar-gambarnya, tapi waktu itu, aku mulai ter-sihir oleh makhluk-makhluk fantastis di depanku itu. Terlepas dari sosok mereka yang ramai dan metalik, ada sesuatu yang manis, bahkan rapuh pada diri mereka. Aku ingat Tommy bercerita padaku, di Norfolk, bahwa ia khawatir, selagi menciptakan mereka, bagaimana mereka akan melindungi diri atau mampu meraih dan mengambil benda-benda, dan sekarang saat memandang mereka, aku bisa merasakan kepedulian yang sama. Meski begitu, dengan alasan yang tidak bisa kupahami, sesuatu menahanku untuk menyatakan pujian. Lalu Tommy berkata,
"Bukan hanya karena itu semua maka aku menggambar hewan-hewan itu. Aku suka saja mengerjakannya. Aku bertanya-tanya, Kath, apakah aku harus tetap merahasiakannya. Kupikir, mungkin tak ada salahnya orang-orang tahu aku membuat ini. Hannah masih membuat lukisan cat air, banyak veteran masih membuat karya-karya. Maksudku, aku tidak akan menunjukkannya kepada semua orang. Tapi aku berpikir, yah, tidak ada alasan mengapa aku harus terus merahasiakannya."
Akhirnya aku mampu menatapnya dan berkata dengan cukup yakin, "Tommy, tidak ada alasan, sama sekali tak ada alasan untuk merahasiakannya. Gambar-gambar ini bagus. Sangat bagus. Bahkan, kalau itu yang membuatmu sekarang bersembunyi di sini, itu bodoh sekali."
Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi semacam cengiran muncul di wajahnya, seakan-akan ia menikmati suatu lelucon sendirian, dan aku tahu aku telah membuatnya bahagia. Rasanya sesudah itu kami tidak banyak bicara. Rupanya tak lama kemudian ia sudah mengenakan sepatunya, dan kami meninggalkan kandang angsa. Seperti kukatakan, itu satu-satunya saat pada musim semi itu waktu Tommy dan aku menyinggung teorinya.
MUSIM panas tiba, dan sudah satu tahun kami tinggal di Cottage. Sekelompok siswa baru muncul dengan minibus, seperti kami dulu, tapi tidak ada yang dari Hailsham. Dalam beberapa hal ini malah terasa melegakan: kukira kami gelisah memikirkan bagaimana sekelompok siswa Hailsham yang baru mungkin akan membuat keadaan semakin rumit. Bagiku setidaknya, tak adanya siswa Hailsham hanya menambah perasaan bahwa kini Hailsham sudah jauh di masa lalu, dan bahwa ikatan yang mengikat kelompok lama kami mulai mengendur. Bukan hanya karena orang-orang seperti Hannah yang selalu bilang akan mengikuti teladan Alice dan memulai pelatihan; yang lain, seperti Laura, menemukan kekasih yang bukan dari Hailsham dan kau nyaris bisa melupakan bahwa mereka pernah dekat dengan kami.
Ruth juga selalu berpura-pura lupa pada hal-hal tentang Hailsham. Baiklah, kebanyakan memang sepele, tapi aku semakin jengkel terhadapnya. Misalnya saja, waktu kami duduk di sekeliling meja dapur sesudah sarapan yang panjang, Ruth, aku, dan beberapa veteran. Salah seorang veteran mengatakan makan keju larut malam selalu mengganggu tidurmu, dan aku menoleh kepada Ruth untuk mengatakan sesuatu semacam, "Kau ingat Miss Geraldine suka bilang begitu kepada kita?" Hanya komentar sambil lalu, dan Ruth hanya perlu tersenyum atau mengangguk. Tapi ia malah sengaja menatapku dengan pandangan kosong, seakan-akan ia sama sekali tidak tahu apa yang kubicarakan. Baru ketika aku berkata kepada para veteran, sebagai penjelasan, "Salah satu guardian kami," maka Ruth mengangguk sambil mengerutkan dahi, seolah-olah baru saat itu ia teringat.
Aku membiarkannya saja kali itu. Tapi ada kesempatan lain waktu aku tidak membiarkannya, yaitu pada suatu sore ketika kami duduk di luar di halte bus yang sudah hancur. Waktu itu aku marah. Berpura-pura tidak tahu di depan para veteran itu adalah satu hal; tapi lain halnya jika kami hanya berdua saja, di tengah percakapan serius. Waktu itu aku berkomentar, sambil lalu, tentang bagaimana jalan pintas ke kolam melalui semak rhubarb, dilarang di Hailsham. Ketika ia memasang ekspresi heran, aku melupakan apa pun yang tadinya ingin kusampaikan, dan berkata, "Ruth, tidak mungkin kau lupa. Jadi jangan pura-pura."
Barangkali kalau aku tidak menegurnya setajam itu"barangkali kalau aku menganggapnya gurauan dan terus bercerita"ia akan melihat betapa konyol hal itu dan tertawa. Tapi karena aku membentaknya, Ruth balas memandangku dengan marah dan berkata,
"Apa pentingnya sih" Apa hubungannya semak rhubarb dengan semua ini" Teruskan saja apa yang sedang kaubicarakan."
Hari sudah mulai gelap, sore musim panas mulai meredup, dan halte bus yang bobrok itu terasa pengap dan lembap sesudah badai yang baru saja lewat. Maka aku tidak berani mengungkapkan mengapa hal itu begitu penting. Dan meskipun aku tidak menyinggungnya lagi dan melanjutkan pembahasan sebelumnya, suasana berubah dingin, dan tak mungkin bisa membantu kami menyelesaikan masalah pelik yang dihadapi.
Tapi untuk menjelaskan apa yang kami bicarakan sore itu, aku harus mundur sedikit. Bahkan, aku harus mundur beberapa minggu, ke bagian awal musim panas. Aku sedang menjalin hubungan khusus dengan seorang veteran, laki-laki bernama Lenny, yang, jujur saja, hanya berkaitan dengan seks. Tapi mendadak ia memilih ikut pelatihan dan berangkat. Hal ini sedikit mengguncangku, dan Ruth baik sekali waktu itu, memperhatikan aku tanpa banyak ribut, selalu siap menghibur bila aku tampak murung. Ia juga selalu baik hati kepadaku, seperti membuatkan sandwich, atau mengambil alih sebagian tugas bersih-bersihku.
Lalu sekitar dua minggu sesudah kepergian Lenny, kami duduk di kamar lotengku beberapa saat setelah tengah malam sambil mengobrol dan minum teh, dan Ruth benar-benar membuatku tertawa tentang Lenny. Pemuda itu sebetulnya lumayan, tapi begitu aku menceritakan beberapa hal yang lebih intim tentang Lenny, memang jadi tampak seakan-akan semua tentang Lenny itu lucu, dan kami tertawa dan tertawa. Lalu Ruth menyapukan jarinya ke tumpukan kecil kaset-kaset sepanjang panel kayu di dinding. Ia melakukannya dengan setengah melamun sambil tertawa, tapi setelahnya, aku curiga bahwa sebenarnya itu bukan kebetulan sama sekali; bahwa ia mungkin sudah melihatnya beberapa hari sebelumnya, bahkan mungkin sudah memeriksa untuk memastikannya, lalu menunggu saat terbaik untuk "menemukannya". Bertahun-tahun kemudian, dengan halus aku menyindir Ruth tentang hal ini, dan rupanya ia tidak mengerti apa yang kubicarakan, jadi mungkin aku salah. Pokoknya, di sanalah kami, tertawa setiap kali aku melontarkan detail lain tentang Lenny yang malang, dan sekonyong-konyong seolah suatu sumbat telah dilepaskan. Ruth, berbaring miring di karpetku, memandang punggung kaset-kasetku dalam cahaya remang-remang, lalu kaset Judy Bridgewater sudah ada di tangannya. Sesudah waktu yang terasa sangat lama, ia berkata,
"Jadi sudah berapa lama kau punya ini lagi?"
Aku menceritakannya, dengan nada sekasual mungkin, bagaimana Tommy dan aku menemukannya hari itu ketika ia pergi bersama yang lainnya. Ia terus mengamati kaset itu, lalu berkata,
"Jadi Tommy yang menemukannya untukmu."
"Tidak. Aku yang melihatnya lebih dulu."
"Tak satu pun dari kalian memberitahuku." Ia mengedikkan bahu. "Kalaupun kau mengatakannya, aku belum pernah mendengarnya."
"Desas-desus soal Norfolk itu benar," kataku. "Kau tahu, bahwa tempat itu adalah sudut Inggris untuk barang-barang hilang."
Terlintas di benakku Ruth mungkin akan berpura-pura tidak ingat hal itu, tapi ia mengangguk sambil merenung. "Seharusnya aku ingat waktu itu," katanya. "Mungkin aku bisa menemukan selendang merahku di sana."
Kami tertawa dan rasa jengah tadi sepertinya telah lenyap. Tapi sesuatu pada cara Ruth meletakkan kembali kaset itu tanpa membahasnya lebih lanjut, membuatku berpikir itu belum selesai.
Aku tidak tahu apakah percakapan yang mengalir sesudahnya adalah sesuatu yang dikendalikan Ruth berkaitan dengan penemuannya, atau apakah kami memang sudah menuju ke sana, dan baru setelahnya Ruth menyadari ia bisa menyetirnya seperti yang dilakukannya. Kami kembali membahas Lenny, terutama tentang caranya bercinta, dan kami kembali tertawa. Waktu itu, kupikir aku cukup lega bahwa Ruth akhirnya menemukan kaset itu dan tidak terlalu mempermasalahkannya, dan karenanya mungkin aku jadi kurang berhati-hati seperti seharusnya. Karena tak lama kemudian kami sudah berhenti menertawakan Lenny dan ganti menertawakan Tommy. Awalnya rasanya baik-baik saja, seolah kami menertawakannya dengan penuh sayang. Tapi kemudian kami menertawakan hewan-hewannya.
Seperti kukatakan, aku tak pernah yakin apakah Ruth sengaja mengalihkan pembicaraan ke hal ini atau tidak. Sejujurnya, aku bahkan tak yakin apakah dia yang pertama menyebutkan tentang hewan-hewan itu. Dan begitu kami mulai, aku tertawa sama lebarnya dengan dia"tentang bagaimana salah satu hewannya seolah mengenakan celana dalam, bagaimana yang lain pasti terilhami landak yang hancur berantakan. Kupikir seharusnya aku mengatakan bahwa hewan-hewan itu bagus, bahwa Tommy benar-benar sudah berkarya dengan baik sehingga hasilnya seperti itu. Tapi aku tidak melakukannya. Mungkin sebagian karena kaset itu; dan mungkin, kalau mau jujur, karena aku senang Ruth tidak menganggap serius hewan-hewan itu, serta gagasan yang ada di baliknya. Kupikir waktu berpisah malam itu, kami merasa seakrab dulu. Ruth menyentuh pipiku sambil keluar, katanya, "Bagus sekali caramu selalu mempertahankan semangatmu, Kath."
Itu sebabnya aku sama sekali tidak siap untuk kejadian di kuburan belakang gereja beberapa hari kemudian. Pada musim panas itu Ruth menemukan sebuah gereja indah sekitar setengah kilometer dari Cottage. Di belakang gereja membentang lahan luas dengan batu-batu nisan kuno di antara rerumputan. Tempat itu tidak terurus, tapi suasananya benar-benar tenteram dan Ruth suka membaca di sana, di dekat pagar belakang, di bangku di bawah pohon willow besar. Mula-mula aku tidak begitu menyukai perkembangan ini, karena teringat bagaimana musim panas lalu kami duduk bersama-sama di rumput di luar Cottage. Meski begitu, bila aku berjalan ke arah sana dalam salah satu jalan-jalanku, dan tahu Ruth ada di situ, aku mendapati diriku menyelinap lewat gerbang kayu yang rendah dan menyusuri jalan setapak penuh ilalang, melewati batu-batu nisan. Siang itu cuaca panas dan hening, dan aku menyusuri jalan setapak sambil melamun, membaca nama-nama pada batu-batu nisan. Lalu aku melihat bukan hanya Ruth, tapi juga Tommy, di bangku di bawah pohon willow.
Ruth duduk di bangku, sementara Tommy berdiri, satu kaki-sama lebarnya dengan dia"tentang bagaimana salah satu hewannya seolah mengenakan celana dalam, bagaimana yang lain pasti terilhami landak yang hancur berantakan. Kupikir seharusnya aku mengatakan bahwa hewan-hewan itu bagus, bahwa Tommy benar-benar sudah berkarya dengan baik sehingga hasilnya seperti itu. Tapi aku tidak melakukannya. Mungkin sebagian karena kaset itu; dan mungkin, kalau mau jujur, karena aku senang Ruth tidak menganggap serius hewan-hewan itu, serta gagasan yang ada di baliknya. Kupikir waktu berpisah malam itu, kami merasa seakrab dulu. Ruth menyentuh pipiku sambil keluar, katanya, "Bagus sekali caramu selalu mempertahankan semangatmu, Kath."
Itu sebabnya aku sama sekali tidak siap untuk kejadian di kuburan belakang gereja beberapa hari kemudian. Pada musim panas itu Ruth menemukan sebuah gereja indah sekitar setengah kilometer dari Cottage. Di belakang gereja membentang lahan luas dengan batu-batu nisan kuno di antara rerumputan. Tempat itu tidak terurus, tapi suasananya benar-benar tenteram dan Ruth suka membaca di sana, di dekat pagar belakang, di bangku di bawah pohon willow besar. Mula-mula aku tidak begitu menyukai perkembangan ini, karena teringat bagaimana musim panas lalu kami duduk bersama-sama di rumput di luar Cottage. Meski begitu, bila aku berjalan ke arah sana dalam salah satu jalan-jalanku, dan tahu Ruth ada di situ, aku mendapati diriku menyelinap lewat gerbang kayu yang rendah dan menyusuri jalan setapak penuh ilalang, melewati batu-batu nisan. Siang itu cuaca panas dan hening, dan aku menyusuri jalan setapak sambil melamun, membaca nama-nama pada batu-batu nisan. Lalu aku melihat bukan hanya Ruth, tapi juga Tommy, di bangku di bawah pohon willow.
Ruth duduk di bangku, sementara Tommy berdiri, satu kakinya ditaruh pada lengan bangku yang berkarat, melakukan peregangan sambil mengobrol. Kelihatannya mereka tidak sedang membicarakan sesuatu yang penting dan tanpa ragu aku menghampiri mereka. Mungkin seharusnya aku menangkap sesuatu dari cara mereka menyambutku, tapi aku yakin tak ada sesuatu yang khusus. Aku sangat ingin menceritakan sesuatu kepada mereka"sesuatu tentang seorang pendatang bam"dan beberapa saat aku mencerocos terus sementara mereka mengangguk dan sesekali bertanya. Beberapa saat berlalu sebelum akhirnya aku menyadari ada yang tidak beres, dan bahkan pada saat itu, ketika aku berhenti dan bertanya, "Apakah aku menyela sesuatu?" aku mengatakannya dengan nada bergurau.
Menuntut Balas 23 Pendekar Mabuk 069 Siasat Dewi Kasmaran Pusaka Negeri Tayli 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama