Ceritasilat Novel Online

Panglima Gunung 4

Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Bagian 4


Lai Tek-hoa menghentikan kudanya karena mengenali tanda jari itu sebagai kode orang sekelompok dengannya. Ia membalas dengan tanda yang sama. Mo Giok-lin dan Un Tong-koan dengan sendirinya juga menghentikan kuda mereka.
Petani itu bertanya, "Apakah kalian adalah teman-teman seperjuangan yang tadi beristirahat diwarung simpang tiga?"
Lai Tek-hoa tidak heran bahwa si petani yang berada di depamya itu bisa mengetahui apa yang terjadi beberapa li di belakang Lai Tek-hoa tadi. "Pasti mendapat berita lewat burung merpati."
"Benar..." sahut Lai Tek-hoa. "Ada apa, sobat?" _
Petani itu menjawab. "Aku baru mendapat pesan lewat burung merpati dari salah seorang teman kita yang mengawasi simpang tiga itu, bahwa kalian bertiga dikuti oleh dua rombongan, entah mereka itu sekelompok, entah dari kelompok yang berbeda, yang terang kedudukan kalian sekarang jadi berbahaya. Pertama, karena kelompok-kelompok itu menggunakan kuda-kuda tunggangan yang lebih baik dari kuda-kuda kalian, dan kedua, kelompok-kelompok itu membawa senjata-senjata api."
"Terima kasih atas peringatanmu, dan agaknya mereka sudah" dekat," sahut Lai Tek-hoa sambil menoleh ke belakang dan menunjuk ke debu yang mengepul di kejauhan. "Kau punya usul, sobat?" _
Orang itu menunjuk ke jalanan di depan _sambil berkata, "Jalan di depan ini kurang baik bagi kalian. Kalian akan tersusul tanpa memperoleh bantuan. Kalian jalan saja melewati kampung itu, lalu belok kanan mengambil jalan pegunungan. Setelah lewat sebuah sumber air panas, akan ada sebuah kampung, nah, kampung itulah salah satu basis kekuatan kita di pegunungan. Pemimpinnya Lurah Hui."
"Baik. Kami ambil jalan itu."
Lai Tek-hoa lalu meneruskan perjalahannya dan orang itu minggir dari jalanan.
Sambil berkuda, Mo Giok-Iin bertanya kepada Lai Tek-hoa, "Paman, bagaimana kalau orang itu adalah kaki tangan muSUh yang menyesatkan kita?"
"Disesatkan atau tidak disesatkan, kita memang kemungkinan tersusul. Lebih baik kucoba nasehatnya. Lagi pula, di pegunungan ini memang sudah termasuk dalam wilayah pengaruh San-cu kita. Kode jari tadi juga patut dipercaya sebelum terbukti sebaliknya. Apa jadinya kalau sesama anggota gerakan saling mencurigai tanpa alasan?"
Mereka lewat sebuah kampung, lalu berbelok memasuki jalan pegunungan. Jalannya tidak terlalu lebar, hanya bisa untuk berkuda dua jajar, kalau berpapasan dengan orang pegunungan haruslah mengalah dengan mengubah formasi jadi satu-satu. Di kiri kanan ada ladang-ladang di tanah miring,_kadang ada jurang, kadang ada tebing-tebing, kadang mereka harus melewati lorong pepohonan berbatang besar. Beberapa kali mereka berpapasan dengan pencari kayu atau penggembala kambing.
"Kakak Lai peemah melewati tempat ini?" tanya Un Tong-koan.
"Belum." Sementara itu, si petani tadi setelah ditinggalkan oleh Lai Tek-hoa lalu bersama-sama teman-temannya mengambil ranting-ranting yang masih ada daunnya untuk menghapus jejak kuda-kuda Lai Tek-hoa bertiga. Sebaliknya beberapa teman si petani mengeluarkan kuda, menungganginya untuk membuat jejak palsu di jalan yang menyusuri kaki pegunungan.
Ketika Tong Jiu dan rombongannya tiba di situ, mereka sudah selesai. Kawan-kawan si petani menghilang semuanya, tinggal si petani yang berlagak sedang menyiangi tanamannya.
Tong Jiu menghentikan rombongannya, lalu berteriak ke arah si petani, "Hei, ke sini!"
Dengan sikap takut-takut seperti umumnya orang-orang desa kalau berjumpa orang-orang kota, apalagi yang berseragam lengkap, si petani mendekati Tong Jiu yang bertanya, "Kau sudah lama di sini?"
"Sejak matahariterbit, Tuan."
Kalau begitu, kau pasti melihat tiga orang berkuda lewat sini. Seorang lelaki setengah abad, gemuk pendek, bertampang juragan. Seorang lelaki sedikit lebih muda darinya dengan kulit agak hitam, seorang lagi gadis muda juga dengan kulit agak hitam. Lihat?"
Si petani mengangguk ketolol-tololan, "Lihat, Tuan. Jarang orang berkuda lewat di sini." .
"Jalan mana yang mereka ambil?"
"Mereka terus ke sana, Tuan," si petani menunjukkan arah palsu yang menyesatkan. .
Salah seorang 'anak buah Tong Jiu memeriksa jejak di tanah, dan membenarkan keterangan si petani, "Kakak Tong, memang ada jejak tiga ekor kuda ke arah sana." _
"Kejar!" Tong Jiu mengayunkan cambuk kudanya
kepada rombongannya. Tanpa mengucapkan terima kasih sepatah pun kepada petani, mereka langsung berderap ke_ depan mengikuti jejak palsu yang dibuat teman-teman si petani.
Si petani sendiri hilang sikap ketolol tololannya ketika melihat Tong Jiu dan orang-orangnya menjauh. Diusapnya wajahnya, dibersihkannya dari debu sambil menyeringai, "Terima kasih kembali...."
Dan ketika rombongan berkuda lainnya muncul, dalam jumlah lebih kecil namun bersikap tak kalah garangnya, si petani pun memberi keterangan yang sama.
Sementara itu, setelah memburu sekian jauh, Tong Jiu melihat tiga ekor kuda ditambatkan di sebuah pohon di pinggir hutan, dengan tiga penunggangnya sedang berbaring-hering santai di rerumputan. Tiga penunggang kuda yang sama sekali bukanlah Lai Tek-hoa dan kawan kawannya.
"He," teriak Tong Jiu kepada penunggang-penunggang kuda yang sedang beristirahat itu. "Kalian lihat tiga 'penunggang kUda lain?"
Ya, lihat," salah seorang menjawab cengengesan.
Ke arah mana mereka?"
Ya kemari, dan sekarang sedang ber." santai di depan hidung kalian."
Maksudku, seorang lelaki gemuk, seorang lelaki kehitaman dan seorang gadis muda."
Ketiga orang itu cuma cengengesan, sementara seorang anak buah Tong Jiu yang memeriksa jejak pun melapor, "Kakak Tong, jejak yang kita ikuti tadi ternyata berhenti di sini." '
Wajah Tong Jiu yang biasanya tersenyum, sehingga beroleh julukan Siau-binsat-jiu itu, kini memerah padam penuh kemarahan. ia merasa dipermainkan oleh orang-orang kampung ini, baik si petani yang memberi petunjuk palsu tadi maupun ketiga penunggang kuda ini.
"Kita tertipu..." geramnya. Dan dalam kemarahannya keluarlah perintahnya yang sesuai dengan kekejaman wataknya, "Bunuh mereka, pakai senjata api saja supaya tidak membuang banyak waktu."
Orang orangnyapun mengeluarkan senapan-senapan mereka dari pelana mereka dan dengan cekatan _menyalakan sumbu-sumbunya. tentara ketika moncong-moncong bedil itu meledak _hampir bersamaan memercikkan bunga api mendorong peluru besi bundar ke arah orang orang itu, ketiga orang itu dengan amat tangkas sudah berlompatan menyelinap masuk ke dalam hutan, tak satu pun peluru-peluru mengenai mereka.
Senapan-senapan itu butuh waktu untuk diisi kembali dan dipasangi sumbu lagi, tetapi ketika anak buah Tong Jiu hendak melakukannya, Tong Jiu berkata, "Tak perlu mengejar mereka. Yang penting ialah Lai Tek-hoa bertiga."
Lalu rombongan berkuda itu berbalik arah. "Dari simpang tiga di kaki bukit tadi sampai ke sini hanya ada satu jalan cabang yang bisa dilalui dengan berkuda," kata Tong Jiu pula. "Yaitu yang masuk ke pegunungan. Pasti si juragan rumah makan gadungan itu mengambil jalan ke sana."
Namun sebelum Tong Jiu dan rombongannya sampai ke persimpangan di kaki bukit tadi, mereka berpapasan dengan rombongan lain yang lebih kecil. Namun rombongan yang lebih kecil ini berdandan seperti orang-orang kota, Selain membawa senjata tajam, di kantong pelana mereka juga nampak senjata api.
Wajah Tong Jiu menjadi tegang, karena ia menebak untuk apa rombongan ini berada di kaki pegunungan ini' bersamaan waktunya dengan rombongannya" Apakah pertemuan ini hanya secara kebetulan, atau rombongan kecil ini juga punya maksud tertentu yang bersangkut-paut dengan urusan yang sedang Tong Jiu jalankan" Kalau bersangkut-paut, menguntungkan atau merugikan"
Kedua rombongan berkuda yang sama sama bersenjata dan sama-sama terdiri dari orang-orang dipenuhi kecurigaan itu pun berpapasan di jalan yang' tidak terlalu lebar itu. Ketegangan terbentuk secara otomatis, dan orang-orang kedua pihak digerakkan naluri untuk mendekatkan tangan-tangan mereka ke senjata senjata mereka.
'Namun lelaki tampan yang memimpin rombongan berkuda" yang lebih kecil, kemudian memberi isyarat kepada orang orangnya untuk minggir. Orang-orangnya pun minggir dan rombongan Tong Jiu menderap lewat. '
Setelah lewat agak jauh, Tong Jiu berkata heran, "Buat apa mereka di tempat terpencil ini" Ini bukanlah jalan yang menuju Siao-hin."
"Kakak Tong kenal mereka?"
"Ya. Mereka adalah orang-orangnya Pangeran Lou-ong di Siao-hin, Giat-kang. Berbulan-bulan mereka berada di Lamkhia, di gedung kediaman Penasehat Kerajaan Lam Peng-hi, entah kasak-kusuk macam apa yang mereka lakukan. Tetapi kami pernah bertemu di pestanya Bangsawan Dao. Pemimpin rombongan yang tampan tetapi matanya seperti kucing itu bernama Han San-ciek, permainan pedangnya lumayan juga."
"Aku heran mereka ada di pegunungan sunyi ini._ Apa maksudnya?"
"Entahlah. Seandainya kita punya waktu. akan kita selidiki. Tapi tugas kita sekarang ialah meringkus Lai Tek-hoa, jangan sampai menyeleweng mengurusi urusan lain."
_Ketika mereka tiba di persimpangan tadi, mereka mencari si petani yang menyesatkan jalan tadi. Namun si petani sudah tak kelihatan batang hidungnya. Dengan gusar Tong Jiu memerintahkan anak buahnya membakar beberapa petak ladang tanaman pangan, habis itu baru menyusul memasuki jalan pegunungan.
Beberapa waktu kemudian, mereka kembali melihat jejak tiga ekor kuda di tanah, mereka yakin kali ini tidak salah sasaran, mereka pun mempercepat kuda mereka meski jalan pegunungan tidak selebar jalan di tanah datar.
Perhitungan si petani di kaki bukit tadi, yang diberitahukan kepada Lai Tekhoa bertiga, agaknya tepat. Yaitu bahwa Tong Jiu dan rombongannya akan berhasil menyusul Lai Tek-hoa bertiga, karena mereka menunggangi kuda-kuda yang lebih unggul. Meski pengejarannya makan waktu lama, menjelang matahari terbenam akhirnya Tong Jiu dan rombongannya berhasil menyusul Lai Tek-hoa bertiga.
Lai Tek-hoa bertiga memacu kuda sekecangnya, sambil berharap segera memasuki kampung di pegunungan yang dipimpin Lurah Hui; Kata si petani tadi "tidak jauh dari sumber air panas", namun kata-kata "tidak jauh" di kota dan di pegunungan amat jauh pengertiannya. Di pegunungan, kalau ada rumah tetangga yang jaraknya setengah hari perjalanan itu masih dihitung "tidak jauh". Dengan demikian, Lai Tek-hoa belum juga melihat kampungnya Lurah Hui itu meski Tong Jiu sudah begitu dekat di belakangnya.
Sambil berpacu, Lai Tek-hoa berpikir, "Nampaknya pihak Jenderal Eng benar benar terpancing penasarannya. Mereka benar-benar menyangka kalau pihak kami benar-benar menawan hidup-hidup orang orang utara itu dan mengorek keterangan dari mereka."
Tong Jiu memang tidak sabar kejar kejaran di jalan pegunungan itu. Ketika ia memperkirakan bahwa Lai Tek-hoa SUdah berada dalam jangkauan peluru senapan, ia pun memerintahkan anak buahnya, "Tembak kudanya!"
Menembak sambil berkuda masih merupakan ketrampilan yang langka di masa itu, bahkan diantara orang-orang kulit putih sekalipun, namun dalam rombongan Tong Jiu justru terdapat penembak mahir macam itu, biarpun hanya satu orang.
Tanpa mengurangi kecepatan lari kudanya, si penembak mahir itu mengambil posisi di bagian depan rombongan dan mulai membidik. Sesaat kemudian terdengar ledakan senapannya menggema di lereng pegunungan, membuat burung burung yang bertengger di pepohonan beterbangan kaget.
Yang jadi korban ialah kuda tunggangannya Un Tong-koan. Kuda itu terlonjak sambil meringkik lalu terbanting, tentu saja Un Tong-koan juga terjungkal jatuh.
Di saat genting itu, Un Tong-koan membulatkan tekadnya. Dia menghunus pisau belatinya, sambil berteriak kepada Lai Tek-hoa, "Kakak Lai, teruskan perialanan. Mereka takkan dapat menangkapku hidup-hidup! Aku puas punya teman-teman sejati macam kalian!" '
Lalu tanpa bimbang sedikit pun ia hendak menikamkan pisaunya ke dadanya sendiri, tetapi Lai Tek-hoa sudah membidikkan salah satu biji suipoa bajanya menghantam pergelangan tangan Un Tongkoan sehingga pisau Un Tong-koan terpental. Un Tong-kaan jadi gagal membunuh diri.
Lai Tek-hoa sendiri memutar kudanya, hendak mengambil Un Tong-koen untuk berboncengan satu kuda dengannya. Kepada Mo Giok-Iin ia berteriak, "A-iin, lari terus!"
Ternyata Mo Giok-iin pun tidak sanggup melawan hati kecilnya. Ia tidak mau menyelamatkan diri sendiri sambil membiarkan kedua teman seperjalanannya menghadapi bahaya. Dia pun memutar kudanya sambil menghunus sepasang golok tipis liu-yap-tonya, katanya tanpa ragu, "Berangkat bersama, pulang bersama iuga. Satu tidak pulang, lainnya tidak pulang!"
Un Tong-kaan sampai membanting-banting kaki melihat "ketololan" Lai Tekhoa dan Mo Giok-Iin itu. "Ketololan" macam itu belum pernah dilihatnya selama Un Tong-koan menjadi tukang kepruknya Jenderal Eng dulu. "Ketololan" macam itu baru didengarnya dalam dongeng-dongeng kepahlawanan kuno semacam legenda seratus delapan pendekar Liong-san, tapi sekarang dilihatnya dalam praktek. Un Tong-kaan geregeten melihat Lai Tek-hoa dan Mo Giok-iin tidak melanjutkan perjalanan, malah berbalik. Namun selain geregeten, ia juga terharu.
Sekarang sudah terlambat untuk kabur, sebab Tong Jiu dan rombongannya sudah mengepung. Bukan saja senjata-senjata tajam sudah dihunus, senjata-senjata api yang beberapa pucuk pun sudah ditodongkan.
Dengan mata berapi-api Un Tongkoan menatap Tong Jiu dan teman-temannya yang juga bekas teman-teman Un Tong-kaan. Lalu ditatapnya Lai Tek-hoa, "Kakak Lai, harusnya tidak perlu kau lakukan pengorbanan ini hanya untuk seorang tak berarti semacam aku, apalagi
Nona Mo jadi ikut-ikutan mengalami hal tidak enak ini."
Lai Tek-hoa menjawab, "Bagi kelompok kami, tidak ada kawan-kawan yang tidak berarti. Semua berarti dan pantas dibela." '
"Kalau begitu, mari kita lawan mati matian. Mati pun asal bisa membunuh beberapa dari bajingan-bajingan ini."
Un Tong-koen sudah meraba gagang pedangnya, namun Lai Tek-hoa memegangi tangannya, menunjuk moncong-moncong senapan yang ditujukan ke arah mereka bertiga sambil berkata, "Begitu kita bergerak, moncong-moncong senapan itu akan mengirimkan peluru-pelurunya ke tubuh kita dan kita pun mampus. Sancu berpesan, kalau masih punya kesempatan hidup sedetik, kenapa disia-siakan dan ingin cepat-cepat mati?"
Tong Jiu duduk di atas kudanya dan tertawa, "Kata-kata yang bijaksana, Juragan Lai."
Kepada orang-orangnya, Tong Jiu berkata, "Ikat mereka."
Tanpa perlawanan, Lai Tek-hoa bertiga diikat kuat-kuat.
Ketika itu matahari sudah lenyap di balik pegunungan dan hanya meninggalkan Goresan-goresan cahaya merah di ufuk barat. Tong Jiu memutuskan rombongannya akan beristirahat di tempat itu. Mereka mencari tempat yang agak lapang dan ada rumputnya untuk kuda kuda mereka, kemudian giliran jaga ditetapkan diantara anak buah Tong Jiu dan api dinyalakan untuk penerang dan penghangat.
Tong Jiu memerintahkan orang-orangnya untuk memakan lebih dulu bekal bekal yang ada di pelana kuda Lai Tekhoa bertiga. Kurang aiarnya, sambil memakan bekal Lai Tek-hoa sambil tertawa tawa dan berkelakar, Lai Tek-hoa bertiga tidak diberi, dibiarkan terikat..
Kata Tong Jiu yang duduk dekat api unggun, "Juragan Lai, kami akan menyiksamu dengan kelaparan, orang gemuk seperti kau biasanya tidak tahan lapar. Tetapi kami akan memberimu makan asal kaukatakan di mana kau taruh teman teman kami yang dari utara itu."
"Buat apa kau tanyakan orang-orang yang sudah mati'?"_
Jawaban Lai Tek-hoa itu sesuai dengan kenyataan, namun bagi orang-orang macam Tong Jiu yang sudah terdidik untuk tidak mudah percaya dan agar selalu curiga, malah tidak mudah menerima jawaban macam itu. Tong Jiu marah, namun dalam kemarahannya dia malahan makin lebar senyumnya. itulah yang membuatnya beroleh julukan "Wajah Tersenyum, Tangannya Membunuh". Teman temannya maupun lawan-lawan yang tahu kebiasaannya lebih takut melihat dia tersenyum daripada kalau dia sedang cemberut.
Tong Jiu mengeluarkan sebilah pisau kecil berkilat-kilat, didekatkan ke hidung Lai Tek-hoa sambil berkata-kata dalam senyumnya yang menakutkan, "Pernah kaurasakan kulitmu digores tipis-tipis lalu diolesi cuka?"
Lai Tek-hoa pun tersenyum sambil geleng-geleng kepala sehingga pipi gembulnya berguncang-guncang, "Belum, belum pernah. Dalam buku resep masakan
di ceng-san-lau pun tidak tercatat. Apa nama masakannya?"
Senyum Tong Jiu melebar, tanda kemarahannya memuncak, "O, belum punya resepnya" Namanya asam-asam bebek cincang."
Ada ancaman dibalik "resep" itu, sebab Lai Tek-hoa kebetulan berjulukan Tiat-ap (Si Bebek Besi) dan mahir dalam Ap-heng-tui (Tendangan Gaya Bebek) aero ta Wan-yo-tui (Tendangan Belibis).
Lai Tek-hoa juga tahu kalau jawaban pertamanya tadi tidak akan dipercaya. Diam-diam ia membatin, "Orang hidup di lingkungan yang saling mencurigai, lama lama bisa sakit jiwa. Hilang rasa percayanya kepada yang benar, malahan ingin mendengar jawaban yang bohong. Untung aku punya teman-teman di mana kami saling mempercayai, membuat jiwa kami sampai kini tetap sehat, meski setiap hari bergelut dengan ketegangan-ketegangan dan tekanan-tekanan berat."
"He, Bebek Gemuk, ditanya kok malah melamun!" bentak Tong Jiu.
Lai Tek-hoa tersenyum, "Aku sedang mensyukuri keberuntunganku punya teman teman yang baik, yang kalau kubilang hijau mereka akan percaya Itu hiii". kalau kubilang merah, mereka pun percaya itu merah. Mereka mempercayaiku, aku mempercayai mereka. Alangkah beruntungnya kami, jadi jiwa kami tidak tersumbat, punya saluran-saluran untuk melegakan dengan mengeluarkan uneg uneg.' Dan alangkah malangnya orang orang macam kau, dipenjara oleh kecurigaan dan ketidakpercayaan."
Kata-kata Lai Tek-hoa ditutup dengan sebuah desisan, sebab pisau kecil Tong Jiu benar-benar mulai menggores kulitnya di bagian paha.
Tong Jiu tertawa melihat seringai kesakitan korbannya. "Pisauku sudah ingin menikmati 'asam-asam bebek cincang' lho, jadi jangan bicara bertele-tele kecuali jawaban yang kuingini. Nah, kutanyakan sekali lagi, di mana orang-orang utara itu" Dan apa yang sudah mereka katakan?"
Lai Tek-hoa tidak mendapatkan keterangan sepatah kata pun dari orang orang utara itu, sebab waktu membawa mereka pun mereka sudah jadi mayat. Namun dihadapan Tong Jiu kini, timbul akalnya untuk memancing keterangan dari mulut Tong Jiu, keterangan tentang seluk-beluk orang-orang utara itu.
Kata Lai Tek-hoa, "Orang-orang utara itu benar-benar... prajurit-prajurit pilihan yang tangguh, mereka tidak gentar siksaan, tak takut mati... demi mengemban perintah dari panglima mereka."
Padahal Lai Tek-hoa hanya menduga kalau mereka itu prajurit, apalagi "mengemban perintah panglima" segala. Kata katanya itu cuma untuk melihat bagaimana reaksi Tong Jiu. .
Ternyata Tong Jiu memang berubah hebat wajahnya, bentaknya, "Jadi prajurit prajurit itu sudah bicara kepadamu?"
Lai Tek-hoa tertawa, sudah didengarnya Tong Jiu sendiri menguatkan dugaannya bahwa orang-orang utara itu memang prajurit-prajurit. Dengan niat memancing lebih banyak, ia sengaja mengarang kisah sendiri, "Tidak mudah membuat mereka buka mulut. meskipun sempat kusodorkan
resep 'asam-asam orang utara cincang' tetapi...."
Kata-kata Lai Tek-hoa terputus .sebentar oleh suara ketawa cekikikan geli Mo Giok-lin. Biarpun tangan dan kakinya sedang diikat di pohon, gadis itu sempat geli juga mendengar kata-kata Lai Tekhoa.
Tertawa Mo Giok-iin baru berhenti ketika Tong Jiu memelototinya.. Kata Tong Jiu, "Nah, Bebek gemuk, lanjutkan kata-katamu. ingat, jangan sampai habis sabar dan membuatmu jadi bebek cincang."
Bersambung jilid VII. Panglima Gunung
Karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit Teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
**** Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada pada Pengarang di bawah Lindungan Undang-Undang. Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa Ijin tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA CV GEMA SOLO 1995
PANGLIMA GUNUNG Jilid 7 *** DENGAN lagak patuh Lai Tek-hoa melanjutkan,"...prajurit-prajurit itu Orang-orang yang teguh hatinya, tak mudah membuat mereka bicara. Tetapi, singkat kata, dengan cara-cara tertentu, akhirnya kami peroleh juga keterangan dari mereka, he-he-he.?"
Tong Jiu sudah panik bukan main mendengar bualan Lai Tek-hoa. Sudah terbayang bagaimana rencana rahasia Jenderal Eng serta Bangsawan Dao yang bersekutu dengan orang-orang utara itu akan terbongkar. Rencana jadi berantakan, Tong Jiu yang juga menaruh harapan keuntungan besar dari keberhasilan rencana itu, ikut cemas.
Lai Tek-hoa dapat merasakan Tong Jiu mulai kehilangan ketenangan, di saat itu malahan Lai Tek-hoa sengaja menjawab bertele-tele untuk makin mengacau konsentrasi Tong Jiu. "Salah seorang dari mereka yang bertubuh jangkung dan bersenjata sepasang bola besi bertangkai, nama dan pangkatnya, kalau tidak salah... kalau tidak salah... kalau tidak salah...."
Sengaja Lai Tek-hoa' mengerutkan jidat seperti berusaha mengingat-ingat tetapi sulit, sehingga Tong Jiu dengan tak sabar menukas, "Namanya Aishin Lung, berpangkat cam-ciang, dari pasukan kesebelasnya Jenderal Ni Kam!" , inilah keterangan amat penting bagi Lai Tek-hoa, sebab Jenderal Ni Kam adalah Panglima Tertinggi Mancu, yang menggantikan Pangeran Toh Sek-kun yang dipecat dari jabatan panglima tertinggi karena peristiwa pembunuhan di Yangciu dan Ke-teng. Jadi sekarang Lai Tekhoa memperoleh keterangan, bahwa orang-orang utara itu memang prajurit praiurit Manchu, bahkan prajurit-prajurit pilihan.
Salah seorang anak buah Tong Jiu cemas bahwa Tong Jiu akan terpancing banyak keterangan rahasia oleh Lai Tekhoa. Aneh juga, kelihatannya Tong Jiu yang berusaha mengorek keterangan Lai Tek-hoa, kenyataannya malah Tong Jiu yang tak sengaja banyak "memberi keterangan" kepada Lai Tek-hoa. Namun anak buah Tong Jiu itu tak berani mengingatkan Tong Jiu, sebab kalau Tong Jiu sampai tersinggung, ia mudah saja main bunuh, termasuk kepada anak buahnya sendiri.
"Di mana prajurit-prajurit itu sekarang?" Bentak Tong Jiu.
, "Di Lam-khia," sahut Lai Tek-hoa kalem.
"Di Lam-khianya di mana?"
"Sebelum aku pergi, kuserahkan mereka kepada teman-temanku agar dijaga baik-baik, lalu aku buru-buru berangkat. Nah, di mana sekarang teman-temanku menaruh mereka, aku tidak tahu...." _
Tong Jiu tertawa dingin, "ingin kulihat berapa lama kau sanggup tutup mulut...."
Ketika itulah terdengar letusan senapan, lalu anak buah Tong Jiu yang berjaga beberapa langkah dari api unggun itu tiba-tiba terkapar roboh. Ketika Tong Jiu dan teman-teman lainnya kaget dan -hendak meraih senapan-senapan mereka, kembali beberapa letusan terdengar dan orang-orang berjungkal roboh.
Dari balik pepohonan di sekitar tempat itu, bermunculanlah orang-orang yang tadi berpapasan dengan rombongan Tong Jiu. Orang-orang yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari jumlah rombongan Tong Jiu namun serangan mendadak mereka membuat mereka 'dapat menguasai keadaan. Mereka muncul dari sudut yang berbeda-beda, sudah sambil menodongkan senapan-senapan mereka yang sumbunya terpasang. 'Jaman itu, butuh waktu untuk mengisi kembali senapan yang sudah ditembakkan. Baru saja penyergap-penyergap itu menembak dan butuh waktu untuk mengisinya kembali, tetapi mereka tidak mengisi kembali, melainkan masing masing membawa dua pucuk senapan. Selesai menembak dengan yang satu, mereka muncul menodong dengan senapan lainnya dengan sumbu sudah menyala.
Pemimpin mereka adalah Si' Lelaki Tampan yang matanya seperti kucing, yang bernama Han San-ciok. Sambil tetap menodongkan senapannya, ia tertawa, "Selamat malam, Tuan Tong. Bukankah kau yang bersama Tuan ln dan Tuan Pui merupakan tiga serangkai pengawal-pengawal andalannya Jenderal Eng" Kenapa kedua temanmu itu tidak bersamamu?"
Ditodong macam itu, Tong Jiu dan juga teman-temannya tak berkutik, namun masih berani menjawab, "Sudah kuduga bahwa orang-orangnya Pangeran Lou-eng berada di pegunungan ini tidak sekedar untuk bertamasya, pasti ada maunya."
Lai Tek-hoa mendengar ini dan diam diam berpikir. "Hem, kami diikuti Tong Jiu, ternyata Tong Jiu juga dibuntuti oleh rombongan ini, yang ternyata adalah orang-orangnya Pangeran Lou-eng di Siao-hin. Entah apa pula maunya orang orangnya Pangeran Lou-ong ini keluyuran di pegunungan sunyi ini."
Jawab Han San-ciok, si tampan pimpinan regu pengawal-pengawalnya Pangeran Lou-eng itu, "Sejak di Lam-khia sudah kulihat banyak ketidak-beresan yang didiamkan saja oleh Kaisar. Antara lain tingkah laku Jenderal Eng dan kaki tangannya yang sewenang-_wenang menindas orang-orang tak berdaya, bertingkah laku seolah-olah tidak ada hukum. Di Lam-khia memang kami tidak bertindak apa-apa, karena kami sekedar tamu di sana. Namun setelah keluar kota dan melihat kalian menguber-uber ketiga sobat ini, hati nurani kami terusik dan kami merasa harus mencegah kesewanang-wenangan kalian."
Jawaban Han San-ciok begitu gagah, namun Tong Jiu malahan terbahak-bahak mendengarnya, "Waduh, ' sejak kapan orang-orangnya Pangeran Lou-eng berubah jadi malaikat-malaikat suci penegak keadilan dan membual tentang hati nurani segala" Terus terang saja, kalian pun di Lam-khia untuk berkasak-kusuk dengan Panasehat Kerajaan, si tua bangka Lam Peng-hi itu, bukan" Entah rencana busuk apa yang kalian bicarakan. Begitu pula kehadiran kalian di pegunungan lm pasti dalam rencana busuk kalian!"
"Kami tidak punya pamrih apa-apa, kami sekedar ingin mencegah kalian menambah kekejaman kalian dengan mencelakai tiga sobat yang tak bersalah ini."
Bukan saja Tong Jiu tak percaya akan penjelasan itu, bahkan perasaan Lai Tekhoa yang tajam pun sulit sekali mempercayai kata-kata Han San-ciok, biarpun mereka menolong Lai Tek-hoa bertiga. Apalagi setelah tahu mereka adalah orang-orangnya Pangeran Lou-Ong di Siao-hin. Lai Tek-hoa tahu bahwa Pangeran Lou-ong sebenarnya berambisi menjadi kaisar penerus dinasti Beng di wilayah selatan, ambisi yang sama dengan pangeran-pangeran lain, dan ambisi yang cukup beralasan karena lemahnya wibawa Kaisar Beng-te di Lam-khia. Kalau pangeran-pangeran itu belum sampai memberontak terang-terangan, adalah karena mereka jeri kepada para jenderal 'yang bertebaran di berbagai daerah dengan pasukannya masing-masing yang kuat. Jenderal-ienderal pecinta tanah air itu ibaratnya adalah perekat yang kepingan kepingan dinasti Beng itu. Perekat antara pusat dengan daerah-daerah, antara pangeran yang satu dengan pangeran yang lain. Tanpa jenderal-jenderal itu, pangeran-pangeran itu akan memberontak kepada Lam-khia, bersamaan itu di antara mereka sendiri akan adu kekuatan memperebutkan tahta dinasti. Kini di bawah pemerintahan Lam-khia yang biarpun lemah wibawanya namun ditopang para jenderal, para pangeran tak berani bikin onar. Namun kalau kasak-kusuk membina pengaruh, masih berani, antara lain dengan berusaha mengambil hati jenderal. Di antara orang-orang yang hendak diambil hatinya itu ialah Helian Kong, seorang bekas jenderal yang sudah kehilangan kedudukan resmi namun masih amat kuat pengaruhnya, masih didengar kata-katanya oleh jenderal-jenderal lainnya. Namun tak mudah menjumpai Helian Kong yang tak tentu di mana beradanya itu, para pangeran sudah menyebarkan orang-orangnya bagaikan anjing anjing pelacak untuk menemukan Helian Kong, namun sekian lama belum juga terungkap di mana Helian Kong sebenarnya. Yang lebih menggetarkan para pangeran itu ialah ketika mereka tahu bahwa Helian Kong ternyata telah berhasil membentuk suatu kekuatan besar, suatu "balatentara siluman", demikian istilah para pangeran. Punya kekuatan hebat tetapi tersembunyi, tak dapat diperhitungkan seberapa besar kekuatannya namun tak terlihat. lni menakutkan para pangeran. Bahkan ada kabar bahwa pihak Manchu di utara pun berusaha keras ingin tahu di mana posisi Helian Kong, berapa kekuatannya, dan bagaimana sikapnya dalam masalah-masalah yang muncul. Ada desas-desus, Jenderal PH Kam sebagai Panglima Tertinggi Manchu takkan berani menyerbu ke selatan tanpa lebih dulu mempunyai perhitungan yang pasti terhadap Helian Kong. Kini di pegunungan sunyi ini, Lai Tek-hoa bertanya-tanya dalam hati, adakah Han Sanciok sebagai kaki tangan Pangeran Louong ini keluyuran di pegunungan dalam rangka mencari kontak dengan Helian Kong yang "tak dapat dipegang ekornya" itu"
itulah sebabnya Lai Tek-hoa tidak berkesan akan omongan gagah Han Sanciok tentang "membela orang tak berdosa demi dorongan hati nurani" segala. Hanya saja, tindakan Han San-ciok kali ini memang menguntungkan Lai Tek-hoa bertiga, melepaskan mereka bertiga dari tawanan Tong Jiu dan kelompoknya.
Terdengar Han San-ciok berkata gagah kepada orang-orangnya, "Bebaskan sobat-sobat tak berdosa ini. Lucuti senjata kaki tangan Jenderal Eng, suruh mereka pergi secepatnya dari hidung kita!"
Segalanya dilangsungkan dengan cepat. Lai Tek-hoa bertiga dibebaskan, Tong Jiu diusir dari situ dengan membawa teman teman mereka yang tertembak tadi.
Lai Tek-hoa memberi hormat kepada Han San-ciok, "Kami bertiga mengucapkan terima kasih kepada Tuan-tuan. Bolehkah kami mengetahui nama Tuan?"
Han San-ciok agak membusungkan dada., merasa senang bahwa langkah pertamanya sudah berhasil, yaitu menimbulkan kesan baik di mata Lai Tek-hoa yang dicurigainya sebagai kaki tangan Helian Kong. Han San-ciok berharap perkenalannya dengan Lai Tek-hoa akan bisa menjadi untuk batu lompatan mendapat keterangan di mana beradanya Helian Kong itu. '
Jawabnya, "Sudah seharusnya kita saling menolong."
Mereka saling memperkenalkan diri, kemudian mengobrol di sekitar api unggun. Han San-ciok berusaha memancing keterangan beberapa kali dari Lai Tekhoa, namun gagaL Lai Tek-hoa juga balas memancing keterangan tentang gerak-gerik Pangeran Lou-eng di Siaohin, namun jawaban Han San-ciok berkesan propaganda belaka, tentang bagaimana "prihatin"nya Pangeran Lou-eng terhadap pemerintah pusat di Lam-khia yang "kurang berwibawa, korup, dengan para dorna merajalela" dan juga bagaimana "harapan tulus Pangeran Lou-eng melihat negerinya bersatu, kuat, aman, rakyat sejahtera dan diperlakukan adil" dan sebagainya.
Sambil bicara semuluk itu, mata Han San-ciok berulang kali melirik ke arah Mo Giok-iin yang cantik. Darah Han San-ciok mengalir kencang, tetapi ia harus menahan diri kuat-kuat terhadap kegemarannya akan perempuan cantik. Ia harus menahan diri demi menjaga citra baik Pangeran Lou-ong di mata Lai Tek-hoa.
ESOKnya, ketika Lai tek hoa bertiga hendak melanjutkan perjalanan, Han Sanciok menyatakan ingin mengantar Lai Tek-hoa sampai ke tujuan. Alasannya, siapa tahu Lai Tek-hoa bertiga masih bisa bertemu dengan kaki-tangan Jenderal Eng yang korup itu.
Lai Tek-hoa tahu bahwa alasan sebenarnya para anak buah Pangeran Louong itu ialah ingin mencari jejak Helian Kong, seperti usaha mereka selama bertahun-tahun belakangan ini. Namun Lai Tek-hoa tidak keberatan. Ia ingat perkataan Helian Kong, "Kalau ada yang ingin melihat sebagian kecil dari kekuatan kita yang berakar pada rakyat, biar saja. Itu akan memperkuat tekanan kita pada penguasa-penguasa di selatan ini, agar mereka lebih memperhatikan kepentingan negeri daripada kepentingan sendiri." .
Begitulah mereka melanjutkan perjalanan dalam rombongan yang sekarang terdiri dari delapan orang. Kuda tunggangan Un Tong-koan yang kemarin ter tembak, digantikan kuda lain yang dirampas dari kelompoknya Tong Jiu kemarin.
Sepanjang jalan pegunungan, Han Sanciok dan orang-orangnya menunjukkan sikap yang ramah berlebih-lebiban terhadap penduduk pegunungan yang berpapasan dengan mereka.
Setelah melewati sebuah sumber air hangat beberapa jam kemudian mereka pun tiba di sebuah kampung pegunungan. Rumah-rumahnya tidak terlalu rapat jaraknya, tersebar di lereng-lereng atas maupun bawah, di antara ladang-ladang tanaman pangan, kandang-kandang ternak parit-parit, empang-empang ikan. .Namun di tengah kampung ada jalan lebar yang mirip jalan di kota. Bedanya, jalannya tidak dilapis lempengan batu, dan jalan lebar itu merupakan satu-satunya jalan.
"Kita berhenti di sini," kata Lai Tekhoa kepada Han San-ciek. "Dari sini akan kita coba mencari kontak dengan Sancu." .
Terserahlah kepada Kakak Lai, aku dan teman-teman kan hanya mengantarkan dan mengamankan perjalanan kalian bertiga saja." sahut Han San-ciok dengan lagaknya sebagai "yang kuat melindungi yang lemah" dan tak lupa sambil melemparkan senyuman dan lirikannya kepada Mo Giok-lin.
Mo Giok-lin pura-pura tak melihat, dalam hati ia merasa jemu kepada orangnya Pangeran Lou-ong ini, biarpun Han San-ciok ini tampan dan perlente, dan_nampaknya berkantong tebal juga.
Lai Tek-hoa berkata, "Mari kita temui Lurah Hui."
"Nampaknya Kakak Lai sudah kenal kepada kampung di sini?"
"Kenal secara pribadi memang belum, belum pernah bertemu. Hanya tahu saja."
Han San-ciok berdebar karena menduga sesuatu dalam hatinya. "Agaknya kampung ini menjadi salah satu basis kekuatan Helian Kong yang 'susah dipegang ekornya' itu. Dari sini mungkin bisa dilacak di mana Helian Kong berada." '
Tetapi Han San-ciok merasa aneh juga bahwa Lai Tek-hoa tidak bersikap sembunyi-sembunyi dalam bicara soal kampung ini, tidak pula menyembunyikan hubungannya dengan kampung ini.
Lai Tek-hoa bertanya kepada seorang penduduk di pinggir jalan di mana rumah Lurah Hui. Setelah ditunjukkan, Lai Tekhoa ' berdelapan menuju ke rumah lurah, sebuah bangunan yang _hampir tak berbeda dengan bangunan-bangunan lainnya, baik ukurannya maupun kebagusannya. Lurah Hui rupanya seorang lurah yang merakyat.
Lai Tek-hoa mengetuk pintu, dan seorang tua berjubah kain kasar murahan membukakan pintu. "Siapa tuan-tuan ini?" tanyanya.
Lai Tek-hoa membuat isyarat jari "tiga gunung" di depan dada agar tak terlihat oleh Han San-ciek dan teman temannya, sambil berkata, "Aku Lai Tekhoa dari rumah makan Ceng-san-lau di Lam-khia, ingin menyumpai Lurah Hui. Apakah Bapak orangnya?"
Orang tua itu menggeleng kepala. "Bukan, aku cuma juru tulisnya. Silakan menunggu di dalam sebentar, Lurah Hui sedang di ladangnya dan akan kupanggilkan."
Lai Tek-hoa berdelapan dipersilakan duduk di sebuah ruangan yang sederhana namun rapi dan nyaman. Di dinding banyak dihiasi lukisan pegunungan hijau yang mirip dengan yang menghias _Cengsan-lau. Ceng-san-lau sendiri artinya Rumah Makan Gunung Hijau.
Melihat lukisan di dinding itu, Han San-ciok diam-diam membuat kesimpulan
dalam hati. "Teman-temanku yang mencari jejak Helian Kong di seluruh wilayah selatan, bahkan juga di wilayah utara yang dikuasai Manchu, sering menemukan bahwa di tempat-tempat di mana jejak Helian Hong nampak sering tempat-tempat itu dihiasi dengan lukisan gunung hijau seperti ini. Yang jadi masalah, bagaimana mengetahui kodenya untuk berhubungan lebih jauh dengan orang orang di tempat-tempat itu" Tanpa kode itu, entah perkataan entah gerakan tangan entah apa lagi, tabir yang menyelubungi Helian Kong tetap sulit disingkapkan."
Ada pelayan menyuguhkan teh hangat, terasa sangat enak di udara pegunungan yang dingin itu.
Tak lama kemudian, Si Juru Tulis tua tadi muncul kembali bersama dengan seorang lelaki setengah abad bertubuh keras, kulitnya agak hitam dan masih berlepotan tanah dan keringat, mukanya berewokan, telapak kakinya yang lebar itu. tidak bersepatu maupun bersandal. Pakaiannya sederhana dan dikenakan seenaknya, kurang rapi.
"Mana yang mencari aku?" suaranya pun kasar, dan ruangan itu seolah berguncang ketika dia bersuara.
Lai Tek hoa berdiri menghormat. "Akulah yang mencarimu, Saudara Hui. Perkenalkan dulu orang-orang ini. Yang ini Mo Giok-lin, yang ini Un Tong-koan, keduanya berangkat bersama aku dari Lam-khia. Di jalan kami diganggu oleh begundal-begundalnya Jendera Eng dan Bangsawan Dao, untunglah di tengah jalan kami juga bertemu dengan Sobat Han dan sobat-sobat lainnya ini. Mereka adalah pendekar-pendekar bawahannya Pangeran Lou-eng di Siao-hin yang bergerak hati nuraninya membela pihak yang lemah." *
Dalam kata-kata itu, kedengarannya Lai Tek-hoa menyanjung Han San-clok, namun sebenarnya dalam kata-katanya itu Lai Tek-hoa memperingatkan Lurah Hui bahwa Han San-ciok dan rombongannya "bukan orang sendiri" melainkan bertemu di tengah jalan. Ditambahkan lagi soal bahwa mereka adalah orang-orangnya Pangeran Lou-ong. _
Han San-ciok sebenarnya tidak senang diperkenalkan demikian oleh Lai Tek hoa. ia lebih senang kalau orang-orang di kampung itu tidak tahu siapa ia agar ia dapat lebih leluasa mendapat informasi sebanyak-banyaknya.
Dan Si Lurah Hui berkata, "Memang banyak pihak ingin mencari tahu di mana San-cu kita. Ada-ada saja caranya, ada yang pura-pura kesasar, ada yang pura pura mengajak kerjasama, ada yang pura pura menolong orang kita."
Kata-kata yang begitu blak-blakan itu membuat beberapa teman Han San-ciok gusar, tetapi Han San-ciok memberi isyarat kepada teman-temannya agar tenang, lalu ia sendiri pun berkata ramah, "Sejak menjumpai Kakak Lai bertiga, aku tidak tedeng aling-aling sebagai anak buah Pangeran Lou-ang, aku tidak sembunyi sembunyi. Aku tidak punya pamrih lain kecuali menolong."
Lai Tek-hoa mengingat, saat pertemuannya dengan Han San-ciok kemarin sebenarnya Han San-ciok tidak mengatakan bahwa dia anak buahnya Pangeran Louong. Lebih tepat kalau dikatakan bahwa Tong Jiulah yang mengenali Han Sanciok dan mengucapkannya. Lai Tek-hoa yakin, seandainya Tong Jiu tidak menyebutkan siapa Han San-ciok di depan Lai Tek-hoa, mungkin sekali Han Sanciok akan memperkenalkan diri dengan nama palsu dan tidak mengaku sebagai bawahannya Pangeran Lou-eng.
Namun bagaimanapun Han San-ciok sudah menolongnya, sekarang Lai Tekhoa juga "menolong"nya dari kekikukan menghadapi sikap Lurah Hui yang begitu biak-biakan.
Kata Lai Tek-hoa, "Saudara Hui, entah bagaimana pamrihnya, tetapi sobat Han ini sudah menolong kami-bertiga. Kalau tidak ditolong, kami bertiga saat ini sudah ditawan Tong Jiu dan dibawa kembali ke Lam-khia untuk diperas keterangannya."
Disambung oleh Han San-ciek, "Soal usaha beberapa pihak 'untuk mencari Jenderal Helian, aku tidak menyangkal bahwa pihak kami pun mencarinya. Pangeran Lou-eng sering menyesalkan fitnah yang ditimpakan oleh pemerintahan di Lam-khia kepada Jenderal Helian. Jenderal Helian yang begitu setia dan berbakti serta amat besar jasanya, malah dibuang, sedangkan manusia-manusia rakus macam Jenderal Eng dan Bangsawan Dao malah merajalela. Pangeran sungguh penasaran dalam hal ini. Itulah sebabnya Pangeran ingin bertemu Jenderal Helian, Pangeran merasa sayang bahwa seorang pahlawan agung seperti Jenderal Helian tersia-sia di pegunungan."
Han San-ciok ganti siasat. Sadar kalau berbelit-belit akan menimbulkan antipati orang-orangnya Helian Kong yang jujur jujur ini, Han San-ciok pun berbicara terang-terangan tentang usaha pihaknya menemukan Helian Kong, dengan harapan mendapat simpati dari kaum "gunung hijau" ini.
Lurah Hui tertawa terbahak, membuat ruangan serasa terguncang. "Kata-kata pangeranmu yang simpatik itu akan kusampaikan kepada San-cu kami. Tetapi katakan juga kepada Pangeranmu, memang benar San-cu ada di pegunungan, namun tidak tersia-sia seperti istilah Pangeranmu itu. San-cu punya kekuatan, dan ia dapat menggulung wilayah selatan ini dengan mudah, takkan ada pangeran mana pun yang bisa menghentikan Sancu, siapapun!"
' Wajah Han San-ciok memang berubah ubah, namun ia paksakan diri tertawa dan berkata, "Hebat, Pangeranku akan gembira sekali mendengarnya. Sungguh. Dia akan senang mendengar Jenderal Helian jadi makin kuat dan makin kuat. itu akan menguntungkan tanah air."
Lai Tek-hoa kemudian menyela, "Saudara Hui, boleh saya bicara empat mata denganmu?"
Demikian, meski Han San-ciok masih berusaha bersikap sebaik mungkin, bagi Lai Tek-hoa tetaplah tidak menginginkan Han San-ciok ikut mendengar pembicaraannya dengan Lurah Hui.
Lurah Hui mengajak Lai Tek-hoa ke ruang dalam.
Di situ barulah Lai Tek-hoa berkata, "Saudara Hui, aku ingin melaporkan sesuatu yang sangat penting kepada San
cu, dan mengharapkan petunjuknya." " '
"Apa posisimu dalam gerakan kita"
"Aku Hong-kun (Pemukul Merah) nomor satu di Lam-khia. Di sana ada empat hong-kun."
"Kalau ingin ketemu San-cu, kenapa tidak melalui Hu-san-cu (Wakil Penguasa Gunung) yang ditempatkan di Lam-khia" Kenapa berangkat sendiri ke pegunungan ini, bahkan lebih buruk lagi, kau dibuntuti beberapa cecunguk dari Lam-khi itu. Untung kampung ini bukanlah tempat yang perlu dirahasiakan, meski juga basis kekuatan San-cu."
Di Lam-khia, Lai Tek-hoa cukup ber wibawa, di sini ia dimarahi oleh Si Lurah yang berlepotan lumpur dan bertelanjang kaki ini. Namun Lai Tek-hoa pasrah saja dikata-katai Lurah Hui. Katanya, "Memang aku ingin melapor melalui jalur semestinya, yaitu melewati Hu-san-cu. Namun Hu-san-cu sedang pergi ke selatan, karena pentingnya urusan, aku bertekad menemui San-cu. Apakah Sancu bisa dihubungi dari sini?"
"Kalau memang urusannya penting, ya tidak apalah. Ada beberapa burung merpati pos yang kalau dilepaskan akan ke markas San-cu langsung. Nanti dikirim pesannya, tetapi untuk_ bertemu dengan San-cu sendiri masih butuh waktu. Bahkan, kalau San-cu tidak sedang di markas, pesanmu hanya jatuh di tempat kosong."
Lai Tek-hoa menarik napas. "Barangkali bisa dicoba mengirimkannya."
"Saudara Lai akan menunggu Sancu di mana?" _
"Mana yang lebih dekat dengan markas San-cu, di sini atau di Lam-khia?"
"Tentu saja tempat ini."
"Kalau begitu, tulis dalam pesannya, kutunggu San-cu di sini. Kalau Saudara Hui tidak keberatan."
"Jangan bilang begitu, Saudara boleh menunggu di sini bersama teman-temanmu, bahkan juga bersama orang-orang Siao-hin itu."
"Kehadiran mereka di sini apakah tidak membahayakan kerahasiaan gerakan kita?" .
"Gerakan kita ini bukan kekuatan resmi, tetapi juga tidak terlalu rahasia. Pada saat-saat tertentu San-cu justeru menunjukkan kekuatan dan _pengaruhnya. Kalau 'tidak begitu, mana bisa pangeran pangeran yang berambisi itu bisa ditekan dan digertak?" .
"Syukurlah. Aku sendiri sudah bertahun-tahun jadi anggota gerakan ini tetapi belum tahu di mana markas Sancu. Tetapi itu tidak penting bagiku. Yang penting, aku tahu tujuan gerakan ini benar, dan setiap saat ingin menghubungi San-cu aku tahu caranya."
"Nah, apa pesannya?"
"Begini : Jenderal Eng dan Bangsawan Dao di Lam-khia terbukti bersekongkol dengan orang-orang Manchu. Beberapa waktu yang lalu, mereka menerima kiriman berupa peti-peti yang nampak isinya berat. Kami menduga itu adalah meriam-meriam besar yang akan ditempatkan di dalam kota di posisi-posisi yang bakal merugikan pasukan kita."
"Jenderal Eng" Jenderal Eng Thianbok yang menguasai delapan belas dermaga penyeberangan Sungai Tiang-kang?"
"Benar." "Waduh, kalau pecah perang, berarti dermaga-dermaga penyeberangan itu dengan mudah jatuh ke tangan musuh karena pengkhianatan Jenderal Eng itu. Ini memang pantas kaulaporkan kepada Sancu."
Lurah Hui mengirim pesan itu melalui burung merpati, habis itu ia mempersilakan Lai Tek-hoa dan lain-lainnya beristirahat. Rombongan Lai Tek-hoa dipisahkan dengan rombongan Han San-ciek, dan ini sangat melegakan Mo Giok-Iin yang sudah risih terhadap Han San-ciok.
Karena hari masih siang, Han Sanciok tidak betah dalam kamar yang disediakan Lurah Hui. ia keluar dari kamarnya dan menuju ke bagian yang ditempati Lai Tek-hoa dan rombongannya. Di situ kebetulan Lai Tek-hoa sedang bicara serius dengan Lurah Hui, namun begitu melihat Han San-ciok mendekat, pembicaraan mereka pun terhenti.
"Kenapa" Sudah lapar?" Lurah Hui bertanya, seperti biasanya dengan sikap orang gunung yang serba ceplas-cepios dengan suaranya yang keras dan kasar.
Han San-ciek menjawab sambil tertawa, "Kampung ini nampak _sejahtera sekali, aku ingin berkeliling-keliling melihatnya. Apakah boleh?" _ "
Ternyata Lurah Hui tertawa.Mau lihat-lihat" Silakan. Saudara Lai, antar dia. Tunjukkan apa saja yang dia ingin tahu, tidak ada rahasia-rahasiaan disini.
Han San-ciok tertawa kikuk, "Ah; aku juga tidak cari-cari rahasia kok. Cuma tertarik melihat betapa tenteramnya penduduknya hidup. Seandainya saja seluruh negeri seperti ini."
Lai Tek-hoa bangkit dari duduknya dan berkata, "Saudara Han, mari kita kelilingi kampung ini bersama-sama. Aku juga ingin melihat-lihat kok."
Kedua orang itu kemudian berkeliling kampung, melihat-lihat pasarnya, kandang ternaknya, ladang-ladangnya, saluran saluran airnya dan sebagainya. Mereka bertegur sapa dengan penduduknya yang ramah-ramah.
Diam-diam Han San-ciek memperhatikan lebih cermat, mencari tanda-tanda kemiliteran di kampung itu. Tanda-tanda kemiliteran itu entah berupa orang-orang bersenjata yang mengawasi meskipun tidak harus berseragam, atau mungkin juga tempat-tempat tertentu yang di bangun atau dibentuk untuk keperluan militer. Han San-ciok berpikir, kalau kampung ini menjadi salah satu pijakan kekuatan Helian Hong, pastilah ada tanda-tanda kemiliteran di tempat itu. Ternyata Han San-ciok tidak melihatnya. Tidak ada orang-orang bersenjata yang garang, tidak ada tanggul-tanggul yang ditinggikan dijadikan tempat memanah. Kampung itu benar-benar tak berbeda sedikit pun dengan kampung-kampung pegunungan lainnya. Damai dan ramah. Melihat ini semua,' Han San-ciok diam-diam membatin, "Hem, boleh juga gertakan Si Lurah Dekil tadi, katanya Helian Kong dapat menggulung wilayah selatan dengan mudah. Kalau keadaan semua basis Helian Kong seperti ini, apa yang mau diandalkan. Dukungan untuk Helian Kong paling-paling dukungan moral dan simpati, tetapi bukan dukungan kekuatan militer yang nyata."
Baru saja Han San-ciok mulai meremehkan kemampuan militer kampung itu, terjadilah sesuatu peristiwa yang membukakan mata Han San-ciok.
Tiba-tiba di jalan besar satu-satunya di kampung itu terlihat seorang berpakaian peladang pegunungan, berlari-lari sambil berteriak, "Ada sebuah pasukan sedang menuju kemari! Pasukan kerajaan !"
Saat itulah Han San-'ciok, bahkan juga Lai Tek-hoa, baru melihat bedanya kampung ini dengan kampung-kampung lain. Kalau kampung lain, mendengar ada pasukan datang pastilah orang-orangnya akan berlarian dengan panik dan ketakutan. Namun kampungnya Lurah Hui ini menunjukkan situasi yang lain. Orang orang yang sedang di ladang memang bergegas meninggalkan ladang-ladang mereka memasuki kampung, bahkan berlari-lari kecil. Namun kesan panik atau ketakutan tidak ada di wajah mereka.
Han San-ciok melihat, ternyata bukan cuma kaum lelaki dewasa yang bersikap tenan namun tidak berlambat lambat melainkan juga orang-orang yang dianggap "kaum lemah", yaitu orang orang tua, wanita-wanita dan anak-anak di bawah umur.
Para orang tua nampak menggandeng anak-anak ke suatu tempat yang cukup terlindung, yaitu suatu bangunan luas di belakang rumah Lurah Hui. Jalan menuju ke bangunan itu adalah beberapa gang kecil. Tadinya gang-gang nampak tak ada artinya, sekarang baru Lai Tek-hoa dan Han San-ciok melihat bahwa mulut lorong itu mudah dipertahankan.
Sementara orang-orang tua bertugas menyingkirkan diri sendiri sekaligus menyingkirkan anak-anak kecil, maka perempuan-perempuannya yang masih punya tenaga pun melakukan seauatu yang agak mengherankan dan susah ditebak oleh Lai Tek-hoa" dan Han San-ciok. Wanita-wanita itu terlihat mengeluarkan tangga-tangga untuk disandarkan di belakang tembok tembok halaman-halaman rumah. Wanita yang kelihatannya terlalu berat membawa tangga sendiri, wanita tetangganya akan membantu.
Sementara Lai Tek-hoa dan Han SanCiok pun kembali ke rumah Lurah Hui, agar bisa mengikuti apa yang diputuskan Si Lurah, agar dapat menyesuaikan diri.
Nampak Lurah Hui sama tenangnya dengan penduduk kampungnya, ia bahkan tidak terlihat bersenjata. "ia nampak bicara dengan beberapa lelaki kampung, seperti memberi perintah-perintah, lalu orang-orang yang diberi perintah itu pun pergi dengan arah berpencaran.
Dalam pada itu, bumi pegunungan itu seolah bergetar hendak longsor ketika orang-orang berkuda yang jumlahnya dua ratus orang lebih berderap mendekati kampung di pegunungan itu. Karena jalan di pegunungan tidak selebar di daratan, maka kuda-kuda itu hanya bisa berderap dua-dua, dan dua penunggang terdepan adalah Tong Jiu dan seorang berseragam perwira menengah dengan kumis seperti buntut tikus. Di belakang mereka. dua prajurit masing-masmg .membawa satu bendera. Satu bendera adalah Jit-goatki (Bendera Rembulan dan Matahari) dari Kaisar yang berkuasa di Lam-khia, bendera satunya bertuliskan huruf "Ik". yaitu nama depan dari Si Komandan berkumis buntut tikus. '
Pasukan itu berderap masuk kampung dengan pongahnya, langsung menuju ke rumah Lurah Hui. Tong Jiu tersenyum angkuh melihat kampung itu jadi sepi karena tak terlihat seorang pun di luar rumah. Pikirnya, "Hem, orang-orang kampung ini mungkin sudah dipengaruhi Helian Kong sehingga mereka bersimpati kepada Lai Tek-hoa bertiga, tetapi sekarang mereka pasti sedang gemetar ketakutan di belakang pintu rumah-rumah mereka."
Rupanya Tong Jiu membawa petunjuk" jalan orang pegunungan tetapi dari kampung lain, yang dapat langsung menunjuktan rumah Lurah Hui tanpa mencari cari lagi.
Di depan pintu rumah yang tertutup, berteriaklah Tong Jiu dengan garang, "Lurah Hui, keluar!"
Beberapa saat kemudian, pintu depannya terbuka sedikit. lalu muncul Si Juru Tulis tua_itu melangkah tertatih. Tanyanya, Cari siapa, Tuan Tuan?"
He, apakah kau Lurah Hui?"
"Bukan, aku cuma juru tulisnya."
Kalau begitu, suruh lurahmu keluar!"
"Akan kulaporkan ke dalam, tetapi apa keperluan Tuan-tuan?"
Si Komandan she Ik yang biasa dihormati, tidak sabar lagi dan memajukan kudanya sambil mengangkat pecutnya. "He, tua bangka, kami mau masuk. Buka pintunya 'dan minggir!"
Si Juru Tulis menjawab. "Boleh masuk,. asal tinggalkan semua senjata di luar pintu. itu peraturannya."
"Waduh, ini kantor _kelurahan atau istana Kaisar" Kok pakai aturan macam ini?" ejek Si Komandan. "He, tua bangka, mau buka pintu dan minggir atau tidak?"
"Memangnya hanya kediaman Kaisar saja yang harus dijaga dan dihormati, sedang kediaman rakyat biasa boleh diinjak-injak dan diterjang semaunya sendiri ?" balas Si Juru Tulis tua. 'Tidak " usah tawar menawar. Peraturan tetap peraturan.
Komandan Ik habis sabarnya, majukan kudanya sambil menyabetkan cambuknya sekuat tenaga ke wajah Si Juru Tulis tua. Tetapi tidak kena, sebab Si Juru Tulis dengan tangkas menangkap lengan Komandan Ik. Berikutnya, Komandan ik melihat langit tiba-tiba berputar lalu bertukar posisi dengan bumi. Sebenarnya langit dan buminya ya tetap di tempatnya masing-masing, hanya Komandan ik yang sedang diputar di udara, makanya langit bumi kelihatan berputar. Ketika Komandan itu berhenti berputar ialah waktu punggungnya menabrak tanah begitu keras sehingga selama beberapa detik napasnya seakan berhenti. Setelah megap-megap beberapa waktu seperti ikan di permukaan kolam, baru pelan pelan napasnya pulih, tapi masih belum bisa bangkit sebab punggungnya masih amat sakit.
Tong Jiu terkejut, seluruh pasukan yang dibawanya pun terkejut. Tetapi Tong Jiu kemudian gusar. "Hebat juga jurus bantinganmu, Pak Tua."
Seperti biasa wajah Tong Jiu justeru tersenyum amat menawan saat nafsu membunuhnya berkobar. Dan tiba-tiba saja tubuhnya mencelat_ meninggalkan punggung kudanya untuk langsung mengcakar _wajah Juru Tulis tua itu dengan jari-jarinya yang ditekuk. Agaknya Tong Jiu mempelajari dua macam teknik cengkeraman, sebab tangan kanannya ber gaya Eng-jiau-kang (Cakaran Kuku Elang" di mana hanya tiga jari yaitu jempol, telunjuk dan jari tengah yang siap mencengkeram, dua jari lainnya dilipat rapat. Sedang yang kiri menunjukkan Hou-jiaukang (Cakar Kuku Macam) di mana ibu jari dilipat rapat dan empat jari lainnya merapat setengah ditekuk. Sambil melompat, cakar elangnya hendak merobek wajah Si Juru Tulis, cakar harimaunya' hendak menyodok rusuk Si Juru Tulis.
Si Juru Tulis tua paham kali ini ada bahaya yang tak bisa dilawannya, kemampuan silat Tong Jiu jauh di atas Si Komandan yang tadi bisa dibanting dengan mudah. Maka tubuh tuanya yang kurus itu menyelinap licin bagaikan belut, menghilang ke balik daun pintu yang terbuka sedikit tadi sambil tertawa terkekeh, "Sabarlah, akan kupanggilkan Lurah Hui. Kenapa mengamuk?" .
Daun pintu yang terbuat dari kayu jati yang keras itu pun tergurat memanjang oleh jari telunjuk dan jari tengah Tong Jiu. Luput mengenai korbannya dengan gusar Tong Jiu menendang daun pintu. Tapi daun pintunya rupanya cukup tebal, dengan palang pintu yang kuat serta engsel-engsel kuat pula, sehingga hanya tergetar saja.
Tiba-tiba pintu terbuka kembali, dan muncullah Lurah Hui yang didampingi Si Juru Tulis tua tadi, Lai Tek-hoa dan Han San-ciek. Di belakangnya ada Mo Gioklin, Un Tong-koan dan orang-orangnya Han San-ciok.
Lurah Hui langsung memperdengarkan suaranya yang kasar itu, "Siapa yang menendang-nendang pintu?" _
Melihat Lurah Hui dan lain-lainnya, sebenarnya Tong Jiu jeri juga, namun mengingat pasukan yang dibawanya, nyalinya jadi bangkit kembali. Rupanya kemarin setelah tawanannya direbut Han San-ciok, Tong Jiu yang masih penasaran tidak pulang ke Lam-khia, melainkan ke sebuah kota terdekat yang ada pasukannya. Dengan menggunakan "surat sakti" yang ditandatangani Jenderal Eng dan _Bangsawan Dao, Tong Jiu berusaha meminjam Pasukan prajurit dari kota itu untuk diajak kembali menguber Lai Tekhoa bertiga, bahkan komandan prajurit di kota itu tergiur pula untuk ikut "berjasa" kepada Jenderal Eng dan Bangsawan Dao dan ikut berangkat bersama Tong Jiu. ltulah Si Komandan. berkumis buntut tikus yang dibanting Si Juru Tulis tua tadi.
"Kau Lurah Hui?"
"Benar. Mau apa?"
"Tahukah kau bahwa kau melindungi buronan-buronan kerajaan, dan tindakanmu itu bisa membahayakanmu dan seluruh kampungmu ini" Kau bisa dianggap pemberontak."
"Siapa yang kauanggap buronan-buronan itu?"
Tong Jiu menunjuk Lai Tek-hua, Mo Giok-iin dan Un Tong-koan sambil berkata. "Mereka itulah buronan-buronannya .
Dengan membangun sarang yang berkedOK sebagai rumah makan, mereka melancarkan kegiatan tersembunyi yang sangat mengganggu keamanan negara."
Lurah Hui terbahak sampai perutnya yang besar itu terguncang-guncang, "Haha-ha..'.. mengganggu keamanan negara, atau mengganggu bisnis busuk Jenderal Eng dan Bangsawan Dao yang hendak menjual negara?"
Wajah Tong Jiu berubah, wajah Si Komandan yang baru saja bangkit dari tanah dengan punggung masih sakit itu juga ikut berubah. Si Komandan itu punya perhitungan sendiri. Kalau urusannya cuma menangkap orang yang diincar Jenderal Eng dan Bangsawan Dao demi menyenangkan hati kedua pembesar di Lam-khia itu, tak apalah ia ikut membantu demi cari muka, namun kalau urusannya sudah "menjual negara" segala, ini benar.. benar gawat. Kalau backingnya tidak cukup kuat, bisa-bisa kepala copot dari bahu. Maka mengalahkan rasa malu dan marahnya, komandan itu menahan diri dan pasang kuPing baik-baik untuk mendengarkan.
Sahut Tong Jiu gusar, "He, lurah Hui", bersihkan mulutmu! Mana mungkin Jenderal Eng mengkhianati negara" Darimana kau dengar fitnah busuk itu?"
Di depan Tong Jiu yang marah-marah, "! .Lurah tertawa cengengesan dan menjawab, "Eh, dengar-dengar malah Jenderal Eng yang menguasai delapan belas dermaga penyeberangan Sungai Tiangkang itu mendatangkan meriam-meriam untuk ditaruh di Lam-khia". Entah dihadapkan ke mana moncong meriam-meriam itu" Ke posisi lawan, atau ke posisi saudara setanah air?" '
Yang diucapkan Lurah Hui soal meriam itu sebenarnya hanya dugaan untung-untungan yang tanpa bukti, ternyata membuat Tong Jiu seolah disambar geledek saking kagetnya, karena yang dikatakan Lurah Hui itu memang benar. Mata Tong Jiu mencoreng gusar ke arah Un Tong-kaan, sambil menggeram, "Pengkhianat...."
Un Tong-koan sendiri heran Lurah Hui bisa menduga sejauh itu, Padahal tidak pernah memberi tahu begitu kepada Lai Tek-hoa atau siapapun. Namun tanpa gentar ia membalas pelototan Tong Jiu sambil menjawab, "Mengkhianati pengkhianat itu tidak apa-apa."
Sementara Han San-ciok merasa bahwa yang didengarnya itu berita besar, dan dalam rangka mencari simpati pihaknya Helian Kong, ia tertawa dan berkata, "He-he-he... kalau sampai ini tersebar luas, entah di mana Jenderal Eng hendak mengamankan batok kepalanya?"
Tong Jiu mengertakkan gigi dan mengancam Lurah Hui, "Serahkan semua orang-orang ini kepadaku, atau kampung ini kujadikan reruntuhan berasap."
"Dengan apa kau hendak mewujudkan ancamanmu?" tantang Lurah Hui.
"Tidak kaulihat pasukan yang kubawa.."
Tetapi Si Komandan yang tadinya memihak Tong Jiu, setelah mendengar bahwa urusannya agak gawat, mulai bimbang untuk meneruskan campur tangannya. Mendengar perkataan Tong Jiu, ia dengan ragu berkata, "Saudara Tong,kupikir pikir sebaiknya urusan ini dipertimbangkan."
Tong jiu tahu Si Komandan mulai ragu dengan gusar ia berkata, "Komandan Ik, apakah kau berani ambil resiko menghadapi kemarahan Jenderal Eng dan Bangsawan Dao dengan meremehkan surat yang mereka, tandatangani?"
Lai Tek-hoa berkata, "Komandan Ik, kau berani ambil resiko menghadapi seluruh bangsa Han yang gusar kalau tanah airnya sampai dijual oleh Jenderal Eng?"


Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Komandan Ik bingung mengambil keputusan. Namun mengingat pengaruh Jenderal Eng dan Bangsawan Dao, juga mengingat berlimpahnya hadiah harta benda bagi pembesar-pembesar sipil maupun militer yang mau jadi kaki tangan kedua pembesar Lam-khia itu, akhirnya komandan Ik menyatakan sikapnya, "Tuduhan Jenderal Eng menjual negara adalah fitnah yang tak terbukti. Kalian pengacau pengacau keamanan yang melimpahkan kesalahan kalian dengan memfitnah orang baik-baik seperti Jenderal Eng. Nah,
Lurah bangsat, mau kau serahkan buronan-buronan itu atau tidak?"
Lurah Hui pun tidak mau berdebat bertele-tele soal siapa benar siapa salah, jawabannya pun singkat lugas, 'Tidak!"
Komandan Ik mengangkat tangannya memberi isyarat kepada pasukannya, dan berkata, "Pasukan, siap-siaplah membumihanguskan dan menumpas kampung ini!"
Dua ratus perajurit ditambah beberapa gelintir anak buah Tong Jiu sudah menghunus senjata, siap beraksi. Bahkan ada yang sudah menyalakan api untuk membakari rumah-rumah.
Namun melihat semuanya itu, Lurah Hui nampaknya tidak gentar sedikit pun. Malah ia melangkah ke tengah jalan, diapit Lai Tek-hoa dan Si Juru Tulis tua, sambil tertawa-tawa seenaknya, "Coba lihat, apa yang bisa kalian lakukan."
_ Sementara Han San-ciok meskipun sejak tadi ikut mengejek Tong Jiu dan rombongannya demi menarik simpati "kekuatan dari pegunungan" ini, namun Han San-ciok belum berani membawa dirinya terjun sepenuhnya dalam pertentangan itu dengan memihak total salah satu pihak. Han San-ciok ingin "lihat-lihat arah angin" dulu untuk mengikutinya.
Para prajurit dan anak buah Tong Jiu sudah hampir bergerak, tapi Lurah Hui sudah mengangkat tangannya dan berteriak, "Rakyatku, tunjukkan diri kalian!"
Pintu rumah yang tadinya tertutup dan oleh Tong Jiu dikira ketakutan, kini terbuka serempak, dari dalamnya berbondong-bondong keluar dengan tertib para penduduk kampung yang tergolong pria dewasa dan sehat, yang berumur tujuh belas sampai empat puluh lima tahun. Jumlahnya ada ratusan. Semuanya bersenjata, dan dengan amat tertib, tenang, tidak menunjukkan kegentaran, mereka berkelompok mengambil posisi-posisi tertentu. Tatapan mereka tajam, mantap, percaya diri, cara menggenggam senjata mereka juga terlihat terlatih dan tidak amatiran.
Tong Jiu sebenarnya berdebar-debar melihat itu, suasana terasa mulai menekan. namun ia berusaha meremehkan orang-orang kampung itu. Katanya sambil tertawa kepada Lurah Hui,
"Apa-apaan ini" Kau coba-coba melawak, ya?"
Jawabal Lurah Hui pun santai, "Begini saja, suruh prajurit-prajuritmu untuk bertindak, dan nanti akan ketahuan kami sedang melawak atau tidak. Cobalah."
Tong Jiu menoleh kepada Komandan Ik. "Perintahkan anak buahmu untuk mulai turun tangan."
Biarpun sudah tidak sepenuh hati lagi, Komandan Ik masih memihak Tong Jiu, 'maka dia pun berteriak, "Hancurkan kampung ini!"
Beberapa prajurit sudah mengangkat lengan mereka, siap melemparkan obor yang mereka pegang ke atap rumah, namun tiba-tiba prajurit-prajurit itu mengaduh lalu terjungkal jatuh dari kuda. Tiba-tiba saja ada panah-panah pendek meluncur dari atap rumah-rumah penduduk yang menghunjam ke tubuh mereka.
Komandan lk, Tong Jiu dan pasukan mereka terkejut. Mereka melihat ke atas dan nampak di balik bubungan-bubungan
atap rumah kaum wanita bermunculan,
semuanya memegang busur-busur dengan anak Panah sudah terpasang di tali busur. Perempuan-perempuan desa itu tidak kelihatan gentar atau panik. Nampaknya dengan sekali aba-aba dari Lurah Hui, Pasukan yang dibawa Tong Jiu akan mendapat hujan panah. Biarpun busur yang dibawa para wanita itu busur khusus, disesuaikan dengan tenaga kaum wanita, busur yang lebih pendek dan lebih ringan meskipun daya lontar anak-anak 'panahnya juga tidak terlalu jauh. Namun bahwa panah-panah itu dapat membunuh, tak perlu diragukan lagi. Tubuh-tubuh dari prajurit-prajurit yang gagal melempar obor tadi adalah bukti di depan mata. .
"Cerdik sekali," kata Han San-ciok dalam hatinya ketika melihat itu. "Tadi ketika aku berkeliling kampung, tidak kulihat tanda-tanda persiapan militer sedikit pun di kampung ini. Semuanya nampak biasa, tak berbeda dengan kampung-kampung lain. Ternyata, setiap orang di sini adalah pejuang, termasuk wanita-wanitanya. Dan bangunan-bangunan untuk keperluan militer memang tidak
mencolok seperti benteng-benteng pertahanan maupun menara-menara pengintai, tetapi ternyata bubungan-bubungan rumah itu diperkuat sehingga bisa diinjak belasan orang dan dari situ panah-panah dilontarkan. Sungguh cerdik."
Lurah Hui menantang, "Lho, kenapa tidak jadi menghancurkan kampung kami" Ayo hancurkan, ingin kami lihat kegagahanmu."
Wajah Tong ' Jiu sebentar merah padam sebentar memucat, antara gentar untuk meneruskan ' dan merasa gengsi kalau mundur begitu saja. Namun otaknya masih cukup waras untuk menyadari bahwa kalau nekad meneruskan niatnya, hanya kehancuran yang menantikan.
Tetapi mundur begitu saja juga ia tidak suka, ia pun mencoba memainkan gertakan model lain. ia menunjuk bendera Jit-goat-ki yang dibawa oleh pasukan, tanyanya kepada Lurah Hui, "Lurah Hui, kau tahu apa artinya kalau kami membawa bendera itu?"
Jawaban Lurah Hui jauh dari yang diharapkan Tong Jiu, "Tentu saja tahu.
Bendera itu kalian bawa, supaya siapapun yang menantang niat kalian, bisa kalian tUduh menantang kerajaan, lalu kalian berbuat semau kalian. Begitu kan?"
'Kau benar-benar tidak menghargai keberadaan bendera itu!" lengking Tong Jiu gusar.
"Terserah anggapanmu. sudah lama kami muak melihat lambang-lambang resmi kerajaan yang mestinya diagungkan dan dihayati maknanya, hanya dijadikan sekedar alat untuk mensyahkan kepentingan diri sendiri atau golongan sendiri. Entah itu'bendera, entah itu cap jabatan, entah itu pakaian seragam. Jadi, sekarang meskipun kaukibarkan bendera kerajaan langit di depan hidungku kalau tidak cepat-cepat enyah dari depanku, kutumpas kalian!"
Tadi Tong Jiu yang mengancam akan menumpas, sekarang Lurah HUi yang ganti mengancam pengaman tadi. Ancaman Lurah Hui disertai siap siaga dari pasukan gunung yang berada di bawah maupun para wanita-wanita pemanah di atap atap rumah.
Akhirnya Tong Jiu menyerah. "Baiklah. Tetapi akan kulaporkan kampung ini sebagai kampung pemberontak yang tidak menghargai pemerintah pusat di Lamkhia. Kalian akan menerima akibat-akibat berat, jangan harap urusan selesai sampai di sini saja."
Kepada Lai Tek-hoa, Tong Jiu juga melontarkan ancamannya, "Dan kau, bebek gemuk, kau berani datang lagi ke Lam-khia, kau akan jadi bebek cincang. Seluruh teman-temanmu di Lam-khia pun terancam bahaya."
Jawab' Lai Tek-hoa, "Tentu saja aku akan kembali ke Lam-khia dan buka rumah makan lagi, he-he-he... mana aku rela melihat Jenderal Eng tidur pulas dan melanjutkan rencana pengkhianatannya" Dan kuberitahu juga satu hal, bukan hanya di pegunungan ini saja kami menyimpan kekuatan besar, tetapi di Lam khia juga. Kalau kekuatan kami muncul, Jenderal Eng akan cepot jantungnya saking kagetnya." Lai Tek-hoa mengikuti sikap Lurah Hui yaitu "sudah saatnya menunjukkan kekuatan" dan Lurah Hui pun hanya mengikuti sikap Heliang Kong sebagai San-cu.
Maka dengan membawa prajurit-prajurit yang terpanah tadi, Tong Jiu dan rombongannya pun meninggalkan kampung di pegunungan itu.
Lurah Hui tidak kehilangan kewaspadan, ia memasang pengawas-pengawas tersembunyi di luar kampung, kalau sampai Tong Jiu datang kembali untuk melampiaskan dendam dan kemarahan. Orang macam Tong Jiu pasti tidak bisa menerima kekalahan begitu saja.
sementara itu, timbul suatu gagasan di otak Han San-ciok. Sekarang ia tahu kampung itu ternyata berkekuatan militer, dan ia yakin kekuatan itu bukan hanya untuk bertahan melainkan setiap Waktu juga bisa untuk menyerang. Han San-ciok yakin, Helian Konglah yang
berada di belakang semuanya itu. Ia juga yakin pasti bukan kampung ini saja yang menyimpan kekuatan, pasti ada entah berapa banyak kampung di pegunungan yang serupa ini. Ternyata bukan gertak sambal kata-kata Lurah Hui tadi, Helian Kong memang seolah menghilang dari percaturan kekuasaan di wilayah selatan, namun tidak tersia-sla, di pegunungan ia membina sebuah kekuatan yang besar,. yang menurut Lurah Hui bisa untuk menggulung seluruh wilayah selatan. Maka di benak Han San-ciok muncul gagasan untuk merenggangkan "kekuatan gunung" ini dengan pusat pemerintahan di Lam-khia, sebaliknya merangkul "kekuatan gunung" ini ke Siao-hin, ke pihaknya Pangeran Lou-ang.
Dengan sabar Han San-ciok menunggu datangnya malam. Sambil menunggu gelap, Han San-ciok dan orang-orangnya tidak tinggal diam saja. Mereka berjalanjalan berkeliling kampung, membantu bantu orang-orang kampung yang sedang mempersiapkan pertahanan gara-gara ancaman Tong Jiu tadi.
Bukan hanya membantu-bantu, mereka pun berbicara kepada orang-orang kampung sambil menghasut tentang "betapa korupnya pemerintahan * di Lam-khia" sekaligus. memuji-muji Pangeran Louong di Siao-hin yang mereka katakan sebagai "sangat prihatin akan keadaan negeri dan masih membutuhkan banyak dukungan untuk membereskan negeri".
Ketika malam sudah tiba, di ruang yang ditempatinya di rumah Lurah Hui, Han San-ciok berunding berbisik-bisik dengan orang-orangnya. Kemudian Han San-ciek berganti pakaian ringkas berwarna gelap, yang biasa disebut ya-hingih (pakaian, pejalan malam). Diselipkannya sebuah pisau belati tajam di pinggang, dan tak lupa dibawanya sehelai bendera kecil bergambar matahari dan rembulan. ltulah Jit-goat-ki, bendera dinasti Beng.
Di malam hari, kampung itu bersuasana amat sepi, tetapi Han San-ciok tidak berani meremehkannya karena tahu bahwa seisi kampung sedang bersiaga. Dari kejadian tadi siang, Han San-ciek sadar bahwa kampung yang kelihatannya tenang, damai dan penduduknya ramah ramah itu tak boleh dipandang ringan. Yang berani memandang ringan akan kena batunya, seperti Tong Jiu dan rombongannya tadi.
Bayangan tubuh Han San-ciok hampir lenyap membaur dengan gelapnya malam, langkahnya ringan dan cepat seperti hantu. Beberapa kali ia harus berhenti melangkah dan mengendap bersembunyi agar tidak berpapasan dengan orang-orang kampung yang meronda. Kalau peronda peronda Sudah lewat; Han San-ciok melanjutkan langkahnya yang seringan burung.
Han San-ciok menuju ke luar kampung, ke ladang-ladang di lereng, lalu bersembunyilah ia di antara pepohonan untuk menunggu korbannya. Belatinya sudah tergenggam ditangannya. Yang ditunggunya ialah seorang penduduk kampung,siapa saja, yang akan dibunuhnya, lalu di dekat mayatnya akan ditaruh bendera Jit-goat-ki tadi. Harapan Han San-ciok, esoknya orang-orang kampung akan menemukan mayat itu dan menuduh kaki tangan pemerintahan di Lam-khia yang melakukannya lalu penduduk kampung gusar dan memberontak terang terangan ke Lam-khla.
_ Belum lama Han San-ciok menunggu, tiba-tiba nampak sesosok bayangan berjalan menyusuri tanggul. Orang ini berjalan sambil mendekapkan sepasang lengannya untuk menahan dingin, sambil bersiul-siul melagukan sebuah lagu yang populer di pedesaan-pedesaan. Han Sanciok menduga, inilah orang kampung yang mungkin baru saja menengok ladangnya di malam hari.
Han San-ciok mempererat genggaman belatinya dan memutuskan inilah sasarannya. '
Ketika orang itu lewat dekat persembunyiannya, Han San-ciok pun menerkam bagaikan srigala. Belatinya terhunjam dan orang" itu roboh terkapar, siulannya terhenti. Dalam gelap, Han San-ciok tak tahu di bagian mana dari tubuh orang itu yang tertikam, namun ia menyeringai dingin. Belatinya dibiarkan tertinggal di tubuh orang itu, dan setelah ia letakkan
bendera kecil Jit-goat-ki itu, dia pun berlalu dengan puas. .
Dengan mengendap-endap seperti keluarnya tadi, Han Sanciok kembali ke rumah Lurah Hui, menyelinap masuk ke kamarnya tanpa diketahui seorang pun lalu tidur sampai pagi
Namun pagi harinya, ketika ia bangun, ia kaget bukan main melihat di atas meja kamarnya dan... belatinya dan bendera kecil Jit-goat-ki itu, padahal ia ingat seingat-ingatnya bahwa semalam ia bawa kedua benda itu keluar dan ia tinggalkan benda-benda itu di tubuh korbannya.
Dengan bingung Han _San-ciok duduk termenung-menung. Keringat dinginnya keluar, pikirnya. "Apakah ada yang tahu perbuatanku semalam, dan sekarang ia sedang berolok-olok aku?"
Tanpa ganti pakaian, Han San-ciek pergi ke kamar tempat keempat anak buahnya tidur sekamar. Langsung didorongnya pintu dan ditanyainya anak buahnya yang sedang bergelimpangan setengah mengantuk itu, "Semalam ada yang masuk kamarku?"
Anak buahnya heran ditanyai begitu, dan mereka menggeleng serentak.
"Atau kalian mendengar sesuatu di kamarku?"
Kembali orang-orang itu menggeleng sambil menatap Han San-ciok terheran heran.
Dengan pikiran kacau, Han San-ciok kembali ke kamarnya. Disamping bingung, dia pun gentar. Kalau benar penduduk kampung ini sudah tahu' tindakannya semalam, maka saat ini kedudukan Han Sanciok dan teman-temannya ibarat ikan dalam jaring, entah bisa lolos dari kampung itu entah tidak.
Tetapi kalau melihat sikap beberapa pembantu Lurah Hui di rumah itu, nampaknya mereka tidak tahu-menahu peristiwa semalam.
Tiba-tiba suatu pikiran melintas di benaknya. Mungkin seisi kampung belum menemukan mayat orang yang semalam kubunuh di ladang. Mumpung mereka belum tahu, lebih baik kami pergi secepatnya dari kampung ini."
Bergegas ia kembali ke kamar anak buahnya dan berkata, "Kita tinggalkan kampung ini secepatnya. Tidak usah mandi, tidak usah sarapan. Ayo!"
Anak buahnya semakin heran. "Ada apa, Kakak Han?"
Bentak,Han San-ciek, "Jangan banyak tanya! Kampung ini sudah tidak aman bagi kita, kita harus kabur selagi semPat!"
Biarpun bingung, orang-orangnya berkemas cepat-cepat. Mereka tak mengerti, kemarin Han San-ciek bersikap begitu memihak kepada penduduk kampung ini ketika menghadapi" Tong Jiu dan pasukan yang dibawanya, kenapa sekarang bersikap seolah-olah di tengah musuh yang setiap saat bisa memangsa" Namun tanpa bertanya-tanya mereka ikuti saja perintah Han San-ciok.
Orang-orangnya Pangeran Lou-ang itu langsung saja ke kandang kuda di belakang, bahkan _tanpa pamit lebih dulu kepada Lurah Hui.
Seorang bujang Lurah Hui yang sedang asyik di kandang kuda merasa heran melihat tingkah tamu-tamunya yang ganteng" itu. "Lho, Tuan-tuan, kenapa tergesa gesa" Kami sedang memanaskan air dan sarapan pagi Tuan-tuan."
"Tidak usah...." sahut Han San-ciok sambil memasang pelana kudanya sendiri dengan tergesa-gesa. "Aku lupa kalau ada urusan penting di tempat lain."
"Kalau begitu, biar kulaporkan kepada Tuan Hui tentang keberangkatan Tuan tuan ini."
Si Bujang tidak punya maksud lain dalam kata-katanya itu kecuali ingin bertindak sebaik-baiknya sebagai tuan rumah, namun kata-katanya itu ditafsirkan sebagai ancaman bagi Han San-ciok dan teman-atemannya. Karena itu, baru beberapa langkah ia meninggalkan kandang kuda, Han San-ciek sudah melompat menyusulnya dan langsung menghantam tengkuk orang itu. Untung bagi Han Sanciok bahwa orang ini bukan seperti Si Juru Tulis yang mampu membanting Komandan ik kemarin. Begitu tengkuknya terhantam, orang itu langsung menggelesor pingsan.
Kelima orang anak buah Pangeran Lou-eng itu kemudian menuntun keluar kuda mereka lewat pintu belakang, tak lama kemudian mereka sudah berderap di jalan kampung. Mereka berpapasan dengan penduduk kampung yang bersiaga dengan senjata-senjata mereka, namun orang-orang kampung membiarkan mereka lewat karena kemarin mereka menunjukkan diri sebagai sekutu kampung ini. Meskipun orang-orang kampung itu heran juga, tamu-tamu dari Siao-hin ini kok cepat-cepat meninggalkan mereka, bahkan saat pagi masih berkabut"
Namun ketika' mereka sudah agak jauh dari kampung, mereka memperlambat kuda. Fajar belum menyentuh' badan pegunungan itu, dan kabut masih tebal, kalau berkuda cepat-cepat bisa-bisa kudanya terperosok ke _ ,tanah yang berlekuk-lekuk atau menabrak pohon-pohon besar.
Tiba-tiba, di tengah-tengah kabut pagi itu Han San-ciek dan teman-temannya mendengar suara orang bersiul-siul melagukan suatu lagu yang populer di pedesaan. Bagi teman-teman Han San-ciok, suara itu wajar saja, tetapi Han Sianciok tegak bulu kuduknya ketika mendengar siulan itu, sebab lagunya persis dengan lagu orang-orang kampung yang semalam ditikamnya.
"Ah, itu cuma kebetulan saja, sebab lagu itu memang populer di pegunungan." Han San-ciok menghibur dirinya sendiri di dalam hati. Namun kalau ingat belatinya dan bendera kecilnya yang secara misterius berada kembali di dalam kamarnya, ia berdebar-debar.
Apalagi, siulan di tengah kabut itu kemudian mulai terdengar tidak normal. Tidak normalnya ialah, siulan itu selalu mengikuti rombongan Han San-ciok berlima, dan arahnya juga tidak dapat ditentukan. Sebentar di depan, sebentar di belakang, sebentar jauh di lereng atas, sebentar jauh di lereng bawah. Bahkan kemudian suaranya seperti berputar-putar mengelilingi kepala mereka.
Wajah teman-teman Han San-ciok sudah menjadi tegang.' Bahkan salah seorang dari mereka yang percaya tahyul
mulai berkata, "Ini pasti hantu gunung; Tidak ada manusia yang bisa berbuat demikian." _ Han San-ciok tak tahan lagi dan berteriak sekerasnya, "Diam! Diam! Entah kau setan gunung atau dewa gunung tetapi suaramu membuatku sakit kepala!"
Dalam kalapnya, Han San-ciok mengambil senapan dari kantong pelananya, menyalakan sumbunya, lalu ditembakkan sekenanya ke tengah-tengah kabut. Suara ledakan bedil memantul berulang-ulang di ' dinding-dinding pegunungan.
Bersambung jilid VIII. Panglima Gunung
Karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
**** Panglima Gunung Jilid 8 Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada pada Pengarang di bawah lindungan Undang Undang. Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA CV GEMA SOLO-1995
PANGLIMA GUNUNG Karya : STEVANUS SP. Jilid VIII
TEMAN Han San-ciok yang percaya tahyul buru-buru berkata ketakutan, "Kakak Han, jangan sembarangan, kalau kualat."
Dari tengah-tengah kabut tiba-tiba terdengar suara yang berat, "Aku bukan hantu gunung, juga bukan dewa gunung, tetapi akulah penguasa tiga pegunungan di wilayah selatan ini!"
Mendengar kata-kata "penguasa tiga pegunungan", hati Han San-ciok bergetar karena teringat seorang tokoh. Rasanya, saat itu ia lebih suka ketemu hantu gunung atau dewa gunung sungguh-sungguh daripada ketemu manusia itu. Pertemuan dalam suasana tidak enak, karena Han San-ciok baru saja melakukan suatu pembunuhan yang mungkin takkan menyenangkann hati orang itu. Namun agaknya pertemuan dengan tokoh itu tak terhindarkan lagi.
Akhirnya, dengan suara gemetar Han San-ciok berkata, "Apakah... jenderal Helian?"
Teman-teman Han San-ciok pun berdesir jantungnya mendengar nama yang legendaris itu. Nama seorang yang terbuang dari pemerintahan resmi, namun akhirnya berhasil menyusun sebuah kekuatan besar di tiga pegunungan sehingga menggentarkan para pangeran di wilayah selatan, bahkan Kaisar Beng-te di Lamkhia. Malah ada kabar angin, bahwa Panglima Tertinggi Kerajaan Manchu, Jenderal Ni Kam, pernah berkata kepada jenderal-jenderalnya, bahwa_ pasukannya takkan menyeberangi Sungai Tiang-kang ke selatan sebelum tahu jelas di mana posisi Helian Kong dan berapa kekuatannya sehingga bisa diperhitungkan dalam rencana militernya. ini menunjukkan bobot Helian Kong. Tepat seperti kata Lurah Hui kepada Han San-ciok kemarin, Helian Kong memang terbuang di pegunungan, namun tidak tersia-sia. Pegunungan menjadi "kerajaan"nya.
Kini dengan berdebar-debar Han Sanciok menghadapi pertemuan dengan "raja gunung" itu.
Sorot mentari fajar sedikit-sedikit sudah menyentuh sisi pegunungan itu, membuat garis-garis tebal dan tipis yang menerobos daun-daunan, perlahan menyingkirkan kabut.
Ketika itulah Han San-ciek melihat sesosok tubuh dalam kabut tipis melangkah dari depan, melangkah perlahan sambil bersiul menyanyikan lagu yang tadi. Dalam hati Han San-ciok muncul juga godaan, bagaimana seandainya ia suruh teman-temannya menembak serempak dengan bedil" Sehebat-hebatnya Helian Kong, menurut cerita orang-orang, dapatkah menghindari empat peluru sekaligus"
Namun entah kenapa, nyali Han Sanciok tak sampai ke situ. Ada kebimbangan, ada perbawa yang menekan nyalinya. Akhirnya Han San-ciok malahan turun dari kudanya sebagai sikap jeri, dan keempat teman-temannya pun melakukan hal serupa.
Beberapa langkah di depannya muncullah tokoh yang nyaris mirip tokoh dongeng itu, Helian Kong. Han San-elok tercengang melihat Helian Kong ternyata lebih muda dari dirinya, baru sekitar tiga puluh dua atau tiga puluh tiga tahun, perawakannya 'juga tidak terlalu gagah, tampangnya juga biasa saja, apalagi pakaiannya yang tak berbeda sedikit pun dengan penduduk kampung-kampung pegunungan lain. inikah "penguasa tiga pegunungan" itu"
Secara lahiriah, tokoh ini "tidak ada apa-apanya", namun ada sesuatu dalam hati yang sukar dikatakan, yang membuat Han San ciok tahu pasti bahwa Helian Konglah yang berdiri di hadapannya sekarang. Di Lam-khia, Han San-ciok pernah berhadapan dengan Kaisar sendiri, dan ternyata Kaisar pun tak memiliki wibawa sepersepuluhnya wibawa Helian Kong, tak peduli Kaisar dalam jubah kekaisarannya dan dalam tatacara protokolernya.
Lelaki berwibawa yang muncul dari kabut itu ternyata tidak menunjukkan sikap dendam, meskipun ia berkata, "Han San-ciok, semalam yang kau serang di ladang itu adalah aku."
Sepasang dengkul Han San-elok sudah lemas mendengar itu. Terbayang olehnya, di balik kabut itu mungkin ada barisan pemanah dan penembak yang siap merajam pihaknya. Dengan tenggorokan serasa kering dan suara tergagap, Han San-ciek berkata, "Jenderal Helian, aku pantas mati, aku pantas mati."
Sambil bicara, tak terasa sepasang lututnya pun menjadi lemas dan ia pun berdiri di atas kedua lututnya. Keempat temannya benar-benar menyaksikan suatu kejadian langka bahwa Han San-ciok yang congkak dan penuh akal bulus itu kini begitu "rendah hati" serta "tulus".
Helian Kong cuma geleng-geleng kepala sambil menarik napas, katanya, "Aku tahu niatmu ingin mengadu domba antara pihakku dengan pemerintah yang resmi di Lam-khia. Begitu bukan" Supaya Pangeranmu di Siao-hin beroleh keuntungan, atau bahkan kesempatan emas untuk mengangkat dirinya menjadi Kaisar dinasti Beng, dan kau mendapat kedudukan tinggi juga?"
Han San-ciok cuma menunduk, dan Helian Kong meneruskan, "Kalau sampai terbit kekacauan di wilayah selatan ini, lalu Pangeran Lou-ong, Pangeran Tongong, Pangeran Kong-ong, Pangeran Kuiong serempak melepaskan diri dari Lamkhia mendirikan wilayah kerajaannya sendiri-sendiri, Manchu pasti takkan .melewatkan kesempatan dan menyeberangi Sungai Tiang-kang ke selatan. Ulahmu itu bisa membuat wilayah selatan ini pun dicaplok musuh seperti wilayah utara."
Mendengar suara Helian Kong yang lunak, Han San-ciok agak lega dan tidak lagi terbaca-bata, "Aku benar-benar picik waktu bertindak demikian, hanya memikirkan kepentingan pangeran junjunganku saja tanpa memikirkan keutuhan seluruh negeri. Untung usahaku itu gagal karena yang kuserang semalam adalah... jenderal Helian."
Nada Helian Kong masih saja kalem, namun kali ini Han San-ciok bergidik mendengarnya, "Negeri ini sudah penuh contoh orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri dan akhirnya mengorbankan tanah air. Beberapa tahun yang lalu, Bu Sam-kui, hanya gara-gara seorang perempuan bernama Tan Wan-wan, memboyong masuk pasukan asing lewat San-hai-koan, dan lihat_ akibatnya yang masih terasa sampai sekarang. Separuh wilayah negeri leluhur ini, di 'bagian utaranya, dikuasai orang asing dan entah kapan berhasil dibebaskan lagi. Apakah karena ulah segelintir orang, wilayah selatan pun akan bernasib serupa" Aku berSumpah kepada diriku sendiri, kalau sampai itu terjadi, orang yang menyecbabkannya akan kuburu dan kutumpas habis. entah sampai berapa tahun. Paham?"
Han San-ciok mengangguk-angguk dengan keringat dingin membuat tubuhnya kuyup. _
Kata Helian Kong .pula, "Bertahun tahun aku menjadi bagian dari pemerintah resmi, pemerintah dinasti Beng, sejak masih jaman Kaisar Cong-ceng almarhum yang beribu kota di Pak-khia. pemerintah yang kuharapkan akan mensejahterakan rakyat. Tetapi harapanku sia-sia. Aku melihat pembesar-pembesar korup merajalela, aku ingin membereskan tetapi tanganku seolah terbelenggu oleh peraturan' yang dipermainkan seenaknya. Di wilayah selatan, kulihat para pangeran sulit dipersatukan dengan ikhlas, harus ditekan dengan paksa. Aku senang sekarang aku di luar pemerintahan, aku jadi orang gunung yang bebas, aku bisa ber-tindak sesuai suara hatiku dan aku punya kekuatan. Untuk segala kebobrokan para pembesar di wilayah selatan ini, aku tidak perlu lagi merengek-rengek kepada mereka. Kalau kulihat yang tidak beres, kuperingatkan dulu, kalau peringatanku tidak digubris, .kugempur habis. Tidak peduli pangeran siapapun, tidak peduli jenderal siapapun, bahkan tidak peduli Kaisar di Lam-khia sekalipun. Katakan kepada Pangeranmu di Siao-hin, aku terus mengawasi gerak-geriknya, kalau membahayakan negeri, akan kuambil batok kepalanya. Bukan hanya Pangeran Lou-ong yang kuperingatkan, tetapi juga pangeran-pangeran lainnya. Paham?"
Han San-ciek mengangguk-angguk patuh.
"Han San-ciok, kumaafkan tindakanmu tadi malam, tetapi kalau kau ulangi, ha-ha... bahkan teman-teman akrabmu ini takkan dapat mengenali jasadmu lagi. Dan aku punya mata dan telinga di mana-mana, kaki dan tangan di mana-mana. termasuk di istana Pangeran Lou-ong sendiri, untuk dapat melaksanakan ancamanku ini. Mengerti?"
"Mengerti... mengerti..."
"Pulanglah ke Siao-hin. Sepanjang jalan ke Siao-hin, kalian akan melihat kata-kataku ini benar atau tidak," habis berkata demikian, Helian Kong melangkah tenang. Sebagaimana datangnya dari dalam kabut, begitu juga perginya.
Setelah Helian Kong tak terlihat, Han San-ciok menoleh kepada teman-temannya dan bertanya, "Apa yang dimaksud dengan 'sepanjang jalan ke Siao-hin kalian akan melihat kata-kataku benar atau tidak'?"
Teman-temannya cuma mengangkat bahu, dan ada yang menjawab, "Entahlah. Kita jalan saja, nanti kan tahu sendiri."
Sementara itu, Helian Kong sudah melangkah masuk kampungnya lurah Hui yang sedang menyongsong hari cerah berlimpah-limpah cahaya matahari itu. Helian Kong tersenyum melihat penduduk kampung menyambut hari dengan bergairah, namun berprihatin juga bahwa di antara rakyat negeri yang jutaan orang itu baru sedikit yang benar-benar menikmati hari-hari damai sejahtera, sebagian besar rakyat negeri kalau bukan sedang ketakutan menunggu meletusnya perang. ya sedang terengah-engah di bawah ketidak-adilan dari pembesar-pembesar bangsa sendiri yang korup. Dengan menyesal Helian Kong sering menerima laporan dari para mata-matanya di utara. di wilayah yang dikuasai Manchu, bahwa .bangsa Manchu ternyata lebih mampu menjamin keadilan di wilayah yang dikuasainya, dan rakyat Han banyak yang mulai merasa nyaman tinggal di bawah pemerintahan Manchu, bahkan banyak yang masuk jadi tentara Manchu. Sudah tentu Helian Kong sadar bahwa inilah taktik Manchu untuk menarik simpati bangsa Han. Bangsa Manchu sadar, jumlah mereka jauh lebih sedikit dari bangsa Han yang menjadi mayoritas di daratan Cina, bahkan banyak suku bangsa yang asal-usulnya bukan bangsa Han, setelah berabad-abad lalu lebur ke dalam bangsa Han. Seperti Helian Kong, sebenarnya nenek moyangnya adalah bangsa Liao, namun semenjak bangsa Liao dijajah berabad-abad oleh bangsa Mongol yang juga menjajah bangsa Han, maka Liao dan Han merasa senasib. Ketika bangsa Han bangkit membebaskan Cina. dengan mengusir Mongol, bangsa Liao ikut berjuang,. dan akhirnya melebur diri dan merasa sebagai bangsa Han. Kini bangsa Manchu yang sedikit itu agaknya berhasil mengambil hati bangsa Han di utara, di wilayah jajahannya. Sementara pemerintah di Lam-khia dan para pangeran didaerahnya masing-masing malah sering menyakitkan hati bangsa Han, orang sebangsa. Helian Kong kuatir, kalau berlarut-larut jangan-jangan seluruh bangsa Han akan lebih sering mendengar kesejahteraan hidup di wilayah Manchu lalu simpati kepada bangsa Manchu"
Memikirkan itu, Helian Kong hanya harus menyebarkan diri sendiri sambil berharap "kekuatan tiga pegunungan" yang dibinanya. dengan tekun selama bertahun-tahun ini akan dapat mengancam para penguasa di selatan agar mereka lebih memperhatikan rakyat kecil.
Sambil melangkah di jalanan kampung dan melihat kampung itu selain bekerja dengan sejahtera juga ada kewaspadaan. Tak_ ada orang kampung yang mengenali Helian Kong, tak 'ada yang tahu bahwa lelaki muda amat sederhana yang memakai sepatu jerami buatan sendiri itulah "raja" mereka, "raja" dari "kerajaan gunung".
Namun Helian Kong tak mendapatkan halangan, karena penduduk kampung menyangka Helian Kong sekedar penduduk
dari kampung lain yang sedang lewat, entah menuju ke mana. Orang-orang pegunungan yang hidup damai itu membiasakan diri untuk tidak gampang mencurigai orang.
Helian Kong langsung menuju ke rumah Lurah Hui dan mengetuk pintunya._ Yang membuka pintunya adalah Lurah Hui sendiri, dan begitu melihat siapa yang di depan pintu, Lurah Hui tercengang dan berlutut menghormat pemimpin tertingginya itu, "San-cu!"
Helian Kong membangunkan Lurah Hui, "Aku terima kabar lewat burung merpati, katanya ada seorang 'pemukul merah' dari Lam-khia ingin menemuiku di sini untuk melaporkan hal penting?"
"Benar, San-cu, aku _ yang mengirim berita lewat merpati. Silakan masuk, San-cu."
Helian Kong masuk ke dalam dan diikuti Lurah Hui dengan hormat. Setelah mempersilakan duduk, Lurah Hui lalu memanggil Lai Tek-hoa di ruangan lain.
Lai Tek-hoa, Mo Giok-Iin dan Un Tungkoan yang bertahun-tahun menjadi anggota gerakan "gunung hijau" tetapi belum pernah melihat wajah pemimpin mereka, ketika diberitahu Lurah Hui tentang ke datangan' Sang San-cu, buru-buru merapikan pakaiannya lalu menuju ke ruang tengah.
Lai Tek-hoa bertiga menyangka Sang San-cu itu pastilah berusia agak tua dan tampang maupun dandanannya lain dari yang lain. Tetapi mereka tercengang melihat Si "penguasa gunung" itu masih muda dan tampangnya benar-benar tak berbeda dengan rakyat kecil lainnya. Lai Tek-hoa membatin, "Kalau San-cu berjalan-lalan di Lam-khia dalam dandanan macam ini. pasti tak ada seorang pun yang menyangka, inilah orangnya yang membuat para pangeran di wilayah selatan ini menggigil gentar."
Namun merasakan wibawa Helian Kong, tanpa ragu Lai Tek-hoa berlutut menghormat, "Salam hormatku untuk San-cu. Pemukul Merah nomor satu untuk Wilayah Lam-khia dan sekitarnya, Lai Tek-hoa, menghadap San-cu."
"Bangun .dan duduklah, Saudara Lai. tidak usah banyak adat sebab kita bukan sedang di istana. Salam sejahteraku juga untuk kalian bertiga."
Lai Tek-hoa bertiga, namun sebelum duduk, Lai Tek-hoa memperkenalkan. "San-cu, Nona ini adalah Mo Giok-iin. anggota bawahan Pemukul Merah nomor dua, Saudara Tam Yo, dan sobat ini adalah Un Tong-koen, belum resmi Jadi anggota kita tetapi terketuk hati nuraninya dan sudah berjuang bersama kami."
Helian Kong mengangguk ramah. dan setelah mereka bertiga duduk, bertanyalah ia, "Saudara Lai, apa yang ingin Eau bicarakan denganku. bicarakanlah sekarang.
Dengan ringkas tapi jelas, Lai Tekhoa menceritakan bentrokan antara pihaknya dengan Jenderal Eng yang dicurigai berkomplot dengan orang-orang Mancu. .
Mendengar laporan itu, wajah Helian Kong nampak merah padam karena gusar. Selagi ia membanting tulang hendak menyatukan kekuatan-kekuatan di selatan tahu-tahu ada jenderal Eng yang siap menjual negara.
Helian kong tidak mengambil keputusan dengan emosional, "Jadi Si Pengkhianat she' Eng itu menyimpan suatu rencana yang disusunnya bersama orang orang utara itu, namun kau belum tahu pasti apa rencana itu, Saudara Lai?"
"Betul. San-cu."
"Sebelum kau ketahui pasti perincian rencana itu, jangan kau binasakan dia dulu. Susunlah suatu siasat dengan teman-temanmu di Lam-khia untuk memancing tahu rencananya itu. Susupkan orang-orang yang ,belum ia kenal ke 'lingkaran dalam' orang-orang terpercayanya. Aku amat memperhatikan urusan ini. Setelah kuselesaikan suatu urusan di Propinsi Hok-kian, aku akan segera menyusul ke Lam-khla."
Lai Tek-hoa menunduk, "Aku menyesal telah merepotkan San-cu dalam urusan ini karena ketidak-becusanku."
Helian Kong menggeleng. "Jangan berpikir begitu, Saudara Lai. Aku tidak bisa apa-apa tanpa kalian. Kita ini sekelompok orang yang bercita-cita sama,
kita ini sebuah persaudaraan."
Setelah memberikan beberapa katakata yang menguatkan semangat, Helian Kong kemudian berpamitan pergi. namun meninggalkan janji bahwa ia akan mengirim petunjuk lebih terperinci melalui Hu-san-cu (Wakil San-cu) untuk wilayah Lam-khia.
Setelah Helian Kong pergi, Lurah Hui berkata, "Saudara Lai, kau termasuk beruntung bisa ditemui oleh San-cu, secepat ini, kurang dari sehari setelah kulepaskan burung merpati pembawa pesan. Ada yang berhari-hari atau berbulan-bulan baru bisa ketemu San-cu. 'sebab San-cu itu berkeliling terus di wilayah selatan ini untuk mengontrol situasi. Istilah 'sulit dipegang ekornya' memang tepat diterapkan untuk San-eu. entah istilah itu dipakai oleh pihak lawan maupun kawan."
"Harusnya San-cu punya pembantu pembantu terdekat yang dapat dipercaya mutlak untuk membantunya mengawasi situasi seluruh negeri, jadi ia tidak sendirian berputar di seluruh negeri."
"Ia memang punya beberapa orang macam itu, namun ia 'sendiri memang bukan orang yang betah diam.'
Percakapan itu terhenti. karena seorang penduduk kampung bergegas menghadap Lurah Hui dan melapor, "Lurah. ada sebuah gerombolan orang-orang bersenjata sedang mendekati kampung kita."
Lurah Hui tenang saia menanggapinya. "Kau lihat mereka?"
"Ya, aku pengawas yang ditempatkan di dekat kelokan parit di utara."
"Kau kenal orang-orang itu?"
'Yang memimpin gerombolan adalah dua orang lelaki bertubuh raksasa yang pakaiannya dirangkapi kulit macan tutul. membawa kampak besar. wajah mereka serupa."
Lurah Hui langsung mengenali mereka, "Kakak beradik Pang Hou dan Pang Pa yang dijuluki Sepasang Macan Gunung. Dulu mereka merajai pegunungan ini dan menteror rakyat, tetapi lalu digebah pargi oleh San-cu. Sekarang entah apa yang membuat mereka bernyali datang kembali kemari."
Si Pelapor melanjutkan. "Mereka agaknya disewa oleh orangnya jenderal Eng dari Lam-khia yang kemarin kemari mengajak prajurit-prajurit. Sebab lewat teropong kulihat orang itu yang memimpin jalannya rombongan, sambil menunjuk nunjuk dengan jarinya."
Lai Tek-hoa berkomentar, 'Orang itu namanya Tong jiu."
"Pantas Si Sepasang Macan pecundang itu berani datang lagi. rupanya mereka mengandalkan Jenderal Eng dan Bangsawan" Dao karena terkena bujuk rayu Tong jiu.
Lurah Hui pun memerintahkan penyiagaan seluruh penduduk kampung. Para lelaki dewasa ada di garis paling apan, sementara para wanita pemanah di garis kedua dan sudah siap di atas atap-atap rumah.
"Meskipun menurut laporan. musuh datang dari utara, tetapi jangan semua orang kita ditaruh di utara. siapa tahu ada sergapan dari arah lain." usul Lai Tek-hoa.
Lurah Hui mengangguk setuju. "Dua pertiga orang kita menyongsong mereka langsung di luar kampung sebelah utara, sepertiga tetap dalam kampung untuk berjaga-jaga. Pengawas-pengawas tetap ditempatkan di arah selatan, barat dan timur, meski kecil sekali datangnya serangan dari timur karena terjalnya lereng di situ."
"Aku di bawah perintahmu, Kakak Hui, aku hendak kau taruh di mana?"
"Saudara Lai, kau bersama aku dan Juru Tulis Sian langsung menyongsong Tong Jiu dan teman-temannya. Orang orang macam Tong Jiu dan Pang bersaudara itu harus dihadapi oleh jago-jago yang bisa menahan mereka. Kalau tidak, amukan mereka bisa menciutkan nyali orang-orang kita. Biarlah Nona Mo dan Saudara Un Tong-koen memimpin pasukan cadangan."
Ketika Lurah Hui turun ke jalan, seluruh orang' kampung yang terlatih itu sudah siap, Mereka tidak berseragam, bahkan ada yang tidak pakai baju dan tidak bersepatu, namun sikap mereka sungguh menunjukkan sikap tentara yang baik.
"Hanya Jenderal Helian yang bisa menjadikan begini," pikir Lai Tek-hoa kagum.
Pembagian pasukan segera dilakukan, lalu pasukan yang hendak menyongsong musuh pun segera berangkat. Lurah Hui sendiri berjalan paling depan, ia memanggul tombak bergagang besi yang berat, tetapi penduduk kampungnya pernah melihat Sang Lurah mampu memainkan tombaknya yang berat itu seringan memainkan sepotong bambu kering saja.
Agak kontras dengan potongan Si Lurah yang tinggi besar dan gendut. di sebelah kanannya berjalan Si Juru Tulis Sian Liu-jin melangkah sambil sebentar sebentar terbatuk-batuk. Tubuh tuanya nampak kurus dan bungkuk, jubahnya kedodoran. Sekilas orang melihatnya pasti akan timbul rasa ibanya melihat juru tulis tua ini berangkat ke .palagan, apalagi melihat yang dibawanya ke medan laga hanyalah sepasang kang-pit (pena baja) yang diselipkan di ikat pinggangnya.
Orang dari lain kampung yang belum mengenalnya boleh merasa iba, tapi orang kampung itu sendiri sudah tahu bahwa sepasang kang-pit itu bahkan bisa digerakkan amat cepat sehingga dapat menotok runtuh sepuluh ekor lalat yang sedang terbang. Selain itu, kemarin sudah terbukti Si Juru Tulis yang "memelas" ini ternyata telah membanting komandan pasukan yang begitu garangnya.
Di sebelah lain Lurah Hui berjalanlah Lai Tek-hoa yang juga tak ada potongan prajurit sedikit pun. Yang dibawanya pun hanyalah sui-poe yang dicat seperti warna kayu, namun sebenarnya itulah suipoa baja.
Lai Tek-hoa memang belum dikenal oleh orang-orang kampung itu karena baru datang kemarin. Dan orang-orang kampung heran melihat Lai Tek-hoa berangkat ke palagan membawa sui-poe.
Seorang "prajurit gunung" berbisik kepada rekannya, "Buat apa teman gemuk kita itu membawa sui-poe ke medan perang" Buat menghitung mayat?"
"Hus, hormatlah sedikit kepadanya. Lurah saja menghormatinya."
*Lurah Hui membawa pasukan-gunungnya sejauh mungkin dari kampungnya, dan di suatu tempat yang tanahnya miring, berpapasanlah pasukan-gunung itu dengan gerombolan yang dibawa Tong jiu.
Tong jiu menghunus pedangnya dan berkata dengan sombong, "Nah, orang orang udik, aku datang memenuhi janjiku' untuk menumpas kalian!"
Lurah Hui menjawab tak kalah garang, "Dan kami juga akan memenuhi janji kami untuk membuktikan siapa kami sebeharnya."
Lurah Hui tidak ingin bertele-tele, langsung saja ia memerintahkan orang orangnya, "Lempar bandit-bandit ini ke kaki gunung!" .
' Orang-orangnya Lurah Hui sudah terlatih, mereka tidak langsung menyerbu menurut seleranya sendiri-sendiri, melainkan menebar dan maju sejajar seperti satu rantai manusia, dengan ujung-ujung Senjata merunduk. Si Juru Tulis menjauhkan diri dari Lurah Hui dan berada di bagian kanan barisan, Lai Tek-hoa pun menempatkan diri di sebelah kiri.
Sementara dua saudara Pang Hou dan Pang Pa yang mendendam kepada kelompok Helian Kong karena pernah diusir dari pegunungan yang menjadi "wilayah" mereka, mereka pun langsung memerintahkan anak buahnya menggempur. tanpa merasa perlu menunggu persetujuan Tong jiu.
Gerombolan bandit itu menyerbu benar-benar dengan gaya yang bisa menciutkan nyali orang. Mereka memekik buas, dengan wajah yang juga buas, dan senjata yang diayun-ayunkan dengan gaya seolah tidak sabar ingin segera meremuk lawan mereka.
Orang-orang Lurah Hui sudah banyak berlatih, tetapi belum pernah bertarung sungguh-sungguh. Kini menghadapi bandit-bandit bersikap beringas itu, mereka agak berdebar-debar juga, namun beberapa orang yang lebih berani mencoba membesarkan hati teman-teman mereka. "Asal kita tetap saling bantu seperti dalam latihan. kita akan dapat menahan kekuatan mereka."
"Kabarnya banyak bandit-bandit mengennakan jimat-jimat penambah kekuatan. .
"Pokoknya kita tidak gentar, kita takkan kalah."
Namun melihat dua bersaudara pemimpin gerombolan itu berulah. guncang juga nyali anak buah Lurah Hui. Terlihat Pang Hou tertawa terbahak-bahak sambil mengobat-abitkan kampak besarnya. Kampak itu terlihat begitu ringan, padahal kalau diangkat oleh orang biasa pastilah akan cepat menghabiskan tenaga. Meskipun kampak itu belum mengenai seorang pun, baru membelah-belah udara, namun deru angin yang ditimbulkannya sudah membuat giris orang-orangnya Lurah Hui.
Lurah Hui tak mau anak buahnya merosot semangatnya. Bagaikan seekor macan, ia melompat kehadapan Pang Hou dan tombak besinya yang juga berbobot berat itu pun menderu-deru di udara seolah ingin berkata, "Bukan kau saja yang punya kekuatan, aku juga."
Habis diputar-putar, tombak itu digerakkan dalam tipu Liong-leng-hong-bu (Naga Berputar Burung Hong Menari). Ujung tombak dan pangkal tombak berantian menggempur dahsyat bagai gelombang lautan.
Pang Hou menangkis dan membalas dengan kampaknya. maka dentang-dentang logam yang memekakkan telinga pun menggeletarkan udara tempat itu. Pertarungannya bagaikan pertarungan antara dua raksasa dalam dongeng.
Orang-orangnya Lurah Hui agak tenteram hatinya melihat bahwa lurah mereka dapat menandingi musuh yang, menakutkan itu. .
Kemudian Pang Pa juga masuk ke gelanggang sambil memutar-mutar kampaknya. hendak membantu kakaknya, namun anak buah Lurah Hui dengan terheran-heran melihat Lai Tek-hoa maju menyongsong dengan membawa sui-poanya sambil cengengesan tanpa kelihatan gentar sedikit pun.
Pang Pa mengayun kampaknya dengan gerak tipu Thai-aan-ap-ting (Gunung. Besar Menimpa Kepala), dari atas ke bawah ke arah ubun-ubun Lai Tek-hoa. Si juragan rumah makan dari Lam-khia ini hendak dibelah dua seperti kayu bakar . Gerakannya amat kuat dan cepat. Namun Lai Tek-hoa menyelinap cepat ke samping, lalu membuat sebuah gerak tubuh yang agak aneh, seperti bebek, sambil menendang rendah. Betis Pang Pa kena tendang sehingga sempoyongan. Pang Pa bukan jagoan lemah, cuma ia malas pakai otak. Gebrakan pertama Lai Tek-hoa dapat menghindar dan membalas, harusnya membuatnya sadar bahwa Si "bebek gemuk" ini bukan mangsa yang empuk. Tetapi Pang Pa cuma menuruti kemarahannya saja, marah bahwa betisnya kena tendang, sambil meraung hebat kampaknya menyambar mendatar setinggi perut, _Kalau tadi ingin membelah Lai Tek-hoa kiri kanan, sekarang Lai Tek hoa hendak dipotong tepat di perutnya.
Tubuh gemuk Lai Tek-hoa membal ke atas bagaikan .bola karet, tebasan kampak Pang Pa lewat 'dahsyat di bawah telapak kakinya dan menumbangkan sebatang pohon sebesar paha dengan sekali tebas. Lai Tek-hoa tak kurang suatu apa pun, bahkan tendangannya di udara menyampuk jatuh topi Pang Pa yang juga dari kulit macan.
Si Cantik Dari Tionggoan 1 Ayat Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Suling Emas 3

Cari Blog Ini