Ceritasilat Novel Online

Panglima Gunung 7

Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Bagian 7


kandang-kandang kuda, keledai dan unta.
Ada yang buka rumah makan. Ada yang
menawarkan jasa membersihkan hewan hewan perjalanan, meminyaki roda-roda
kereta dan sebagainya. Begitu juga tokotoko kecil yang berjualan topi jerami
untuk melawan hujan, payung jerami,pakaian-pakaian, sepatu
dan sebagainya. Bahkan ada juga jasa
mengawal perjalanan, tidak ketinggalan
ada ahli nujum buka praktek meramalkan
nasib sambil menjual jimat-jimat keberuntungan untuk mengamankan perjalanan.
Kampung seperti ini belum pernah
dilihat Ang Siok-sim. Tadinya ia pikir
kalau yang namanya kampung itu ya seperti kampung kelahirannya yang jenis
pekerjaan penghuni-penghuninya hanya beternak dan berladang saja.
kini ia melihat penghuni kampung dengan seribu satu macam pekerjaan.
Ang Siok-sim merasa diperkaya dengan perjalanannya ini.
Jun lip membawa rombongannya ke sebuah penginapan luas yang tak ada tembok kelilingnya. Agaknya jun lip sudah beberapa kali membawa ronbongan menginap di sini, sebab si majikan penginapan nampak menyambutnya seperti menyambut kenalan lama. sambil saling mengingatkan beberapa kejadian di masa lalu.
"Ke mana sekarang, Kak jun" Ke Makao lagi?"
"Betul, mau titip apa lagi" Pulangnya aku lewat sini lagi kok."
"Besok sajalah kuberitahu kalau Kakak Jun mau berangkat, aku harus bicara dengan isteriku dulu."
Untuk para pian-su, para kuli. kusir, bahkan untuk Jun Lip sendiri, mereka rela tidur di ruangan "kelas ekonomi" demi menghemat kas Kim-sai Pian-hang,
yaitu disebuah ruangan lebar yang cukup dialasi tikar dan mereka pun tidur ceperti ikan asin dilamar. tetapi giliran jaga tak dilupakan, menjaga barang-barang maupun orang-orang.
Sementara. orang-orang yang dikawal udah tentu tak bisa disuruh ikut beristirahat di "kelas ekonomi", apalagi di antara mereka ada wanita-wanitanya dan juga ada aeorang pejabat macam Ong Sek-thai. Mereka menempati kamar-kamar yang layak. namun yang mudah pengawasannya bersama pengawasan barang-barang. .
Orang-orang itu tidak segera tidur, mereka masih mengobrol. kecuali Ong Sek-thai yang beralasan "ingin jalan-jalan "sebentar".
Ketika bertambah malam sedikit. rumah penginapan itu bertambah ramai karena ketambahan penghuni yang tak sedikit jumlahnya. yaitu rombongan dari perusahaan pengawalan pula. Bedanya, yang baru datang ini bermerek Kim-to Pian-hang (Perusahan Pengawalan Golok Emas), bisa terlihat dari bendera-bendera kecil yang tertancap di atas kereta kereta barang mereka.
Berbeda dengan orang-orang Kim-sai Piau-hang yang diajar bersikap sopan di mana pun demi nama baik perusahaan, maka orang-orang Kim-to Piau-bang ini agaknya tidak demikian. Mereka kasar kasar, dan alangkah ributnya suara mereka ketika membongkari barang-barang, mereka tidak menahan suara dalam saling mencaci sesama teman tanpa peduli banyak tamu-tamu lain di rumah penginapan itu yang sudah tidur.
Dari sumpah-serapah orang-orang Kim-to Plan-hang itu, dapat disimpulkan bahwa mereka agaknya juga mengalami pemeriksaan oleh kaum "gunung hijau" dan dalam pemeriksaan itu agaknya ada beberapa barang antaran yang ditahan oleh kaum gunung hijau.
"ini tidak bisa dibiarkan terus' kata seorang pengawal Kim-to Piau-hang kesal sambil menendang sebuah peti barang.! "Pemerintah harus mengambil tindakan. kalau tidak, kita sendiri yang akan bertindak!"
Dan banyak kata-kata kasar. bahkan kotor lainnya. _
Banyak pian-su Kim-sai Pian-hang yang sebenarnya hampir tertidur, jadi batal tidur karena suara ribut itu. jun Lip juga terbangun untuk menenangkan beberapa anak buahnya yang menggerutu kesal. "Mereka memang orang-orang kasar. Tetapi dengan sikap yang seperti itu. perusahaan pengawalan mereka takkan bisa berkembang, orang-orang akan lebih suka mempercayakan barangnya atau dirinya untuk diantar pengawal pengawal yang sopan, seperti Kim-sai pian-hang kita." _
Kata-kata yang mengandung pujian tak langsung itu agak meredakan kekesalan para anak buah Jun Lip. ._
"Siapa sih orang-orang itu?" tanya Ang Siok-sim yang terbangun sambil garuk-garuk kepala. setelah ia sempat tertidur pulas biarpun hanya sekejap.
Seorang pian-su yang tidurnya dekat pintu. melongokkan kepala ke luar. Dengan bantuan cahaya obor di luar, ia mengenali bendera Kimgto Piau-hang.
lalu memberi tahu teman-temannya yang di dalam, "Mereka dari Kim-to Piau-hang yang berkantor pusat di Siao-hin."
Jun Lip mengangguk-angguk, "Sebuah perusahaan pengawalan yang sudah berdiri lebih lama dari Kim sai Pian-hang kita, namun perkembangannya jauh tertinggal dari kita, karena tingkah laku orang-orangnya yang kasar dan sulit mendapat simpati dari para pengguna jasa."
Beberapa orang pian-su dan kuil kemudian bangkit dari tidurnya, sehingga Jun Lip bertanya, "Mau ke mana?" ,
Ang Siok-sim menjawab mewakili rekan-rekannya, "Jalan-jalan sebentar, 'biar kantuk datang lagi dan bisa melanjutkan tidur. Kalau tidur sekarang tidak bisa, kepala sakit."
jun Lip memakluminya, "Tapi jangan sampai terlibat keributan dengan orang orang kasar itu."
Begitulah. sebagian dari para pengawal dan kuli Kim-sai Pian-hang keluar dulu, tetapi sebagian lagi agaknya adalah jago-jago tidur yang mudah saja meneruskan tidur biarpun ada orang orang ribut.
Orang-orang Kim-sai Piau-hang segera
berpencaran. Biarpun kampung itu Cuma
kampung pegunungan yang terpencil, namun karena letaknya yang di titik persimpangan antara beberapa arah kota.
susananya ramai juga. Bukan cuma orang berjualan makanan, bahkan juga beberapa hiburan, ada wanitawanita nakal yang menjajakan diri pula,
agaknya wanita-wanita yang pintar melihat "peluang bisnis".
Ang Siok-sim sendiri tidak kemana-mana
kecuali hilir-mudik di halaman
rumah penginapan yang tak berdinding
itu, merasakan sejuknya angin malam
pegunungan. Ia tidak ke mana-mana sebab kantongnya sedang kosong. Gajinya
bulan itu sudah diberikannya semua kepada kakak iparnya yang membutuhkan
banyak biaya untuk menyelamatkan dirinya sehubungan dengan kejatuhan Jenderal Eng dan Bangsawan Dao.
Ketika ia tengah hilir-mudik tanpa
kerja, sekedar menjauhi kebisingan di
rumah penginapan, tiba-tiba di belakangnya terdengar suara Ma Wan-san, "Kakak Sim!"
Ang Siok-sim menoleh dan tersenyum
melihat Ma Wan-san dan kakaknya, Ma
Wan-yok tengah melangkah mendekatinya.
"Kalian juga tidak bisa tidur?" tanya Ang Siok-sim.
"Benar, kalau dipaksakan tidur sakit
kepala ini," gerutu Ma Wan-yok. "Entah
siapa orang-orang itu, punya mulut tetapi tidak bisa mengendalikan."
"BibiMa mana" "Bibi Ma kalau sudah tidur mendengkur seperti babi, biar kau pasang mercon
renteng di kupingnya, tak bakal bisa
membangunkan dia," sahut Ma Wan-san yang membuat Ang Siok-sim tertawa.
Sedang Ma Wan-yok buru-buru menarik
kupingnya Si Adik, A-san bicara tentang orang tua kok tidak menghargai
sedikitpun" Kau jadi mirip dengan orangorang yang ribut itu."
Sekarang Nona-nona ini mau apa?"
"Lihat-lihat ke dalam kampung, yuk." ajak Ma Wan-yok. Gadis berdarah setengah Portugis itu memang lebih "berani"
dibanding gadis-gadis bangsa Han asli
yang umumnya malu-malu. Ang Siok-sim pun tidak menolak keberuntungan itu, kebetulan ia tidak punya uang dan sekarang dapat yang tebal kantongnya, ya ia terima saja.
Selain Itu, ia selama dua hari perjalanan
menilai kedua gadis kakak beradik itu
ramah dan menyenangkan untuk dijadikan teman.
Bahkan sesekali pikiran Ang Siok-sim
sempat melantur juga, bagaimana kalau
ia disuruh memilih Ma Wan-yok dan Mo
Giok-lin" Tetapi Ang Siok-sim kemudian
mentertawakan sendiri angan-angannya
yang dianggapnya keterlaluan itu., "Ma
-yok ini anak seorang pembesar di
Makao, derajatnya terlalu tinggi bagiku
yang cuma kuli Piau-hang. Lain dengan
Mo Giok-lin yang hanya anaknya Bibi Mo, derajatnya agak sama denganku."
Meski berpikiran demikian, ia tidak
merasa rendah hati berjalan bersama
kakak beradik she Ma itu. Apalagi karena kakak beradik itu pun bersikap menganggap Ang Siok-sim sederajat dan tidak sedikit pun menyinggung derajat
Ang Siok-sim. Dalam menikmati suasana malam di kampung persimpangan
tak tercegah Ma Wan san menghamburkan uangnya membeli ini itu yang menarik hatinya.
Kebanyakan yang dibeli adalah makanan makanan kecil
terang saja Siok-sim jadi ikut kekenyangan.
Ma Wan-yok yang lebih dewasa dan lebih sadar untuk menjaga kelangsingan
tubuhnya, banyak menggerutui adiknya,
"Kau ini gadis kok makan terus, tidak
kuatir tubuhmu kelak jadi seperti labu "
"Biar, sahut Ma Wan san sambil terus mengganyang kacang
gorengnya dibantu" oleh Ang Siok-sim.
Mereka memutari kampung itu, melihat banyak hal. Namun ketika
mereka lewat di sebuah jalan kecil yang gelap dengan semak belukar di kiri kanannya.
tiba-tiba dari semak-semak melompat
keluar beberapa orang yang tak jelas
wajahnya. Salah seorang dari mereka
menggunakan semacam pipa bambu kecil untuk ditiup, menimbulkan asap harum memabukkan ke wajah Ma Wan-yok dan Ma Wan-san. Asap berdaya bius kuat itu langsung terhisap hidung dan langsung membuat kakak beradik itu terkulai, dan dari belakang sudah ada orang-orang yang menyambut tubuh mereka.
Semuanya berlangsung begitu cepat dan mengejutkan, sehingga Ang Siok-sim yang berada di dekat mereka pun tak sempat berbuat apa-apa kecuali berteriak, "He, apa-apaan ini."
Hanya itu yang sempat keluar dari mulut Ang Siok-sim, sebab tengkuknya dihantam keras sehingga dia pun pingsan.
Ada empat orang berdiri di sekitar tubuh-tubuh pingsan itu. .Salah seorang dari mereka bukan lain adalah Ong Sekthai, sedang tiga orang temannya rata rata bertubuh tegap dan bergerak-gerik tangkas.
"Sekarang bagaimana?" tanya salah seorang kepada Ong Sek-thai.
"Masukkan karung dan bawa pergi."
Kuli Kim-sai Pian-hang ini bagaimana"
Ong Sek-thai berpikir sebentar, lalu memutuskan, "Bawa sekalian. la memang
di luar rencana kita, tetapi kita tidak
ambil resiko. Kalau ia ditinggal, siapa tahu ia bisa bercerita tentang potongan tubuhku sehingga aku dicurigai."
Ketiga orang itu memasukkan tubuh Ma Wan-yok, Ma Wan-san serta Ang siok sim kedalam karung besar lalu dibawa
pergi menghilang dalam kegelapan,
Ong Sek-thai sendir" setelah celingukan ke sana ke mar" dan yakin tak ada orang yang melihat perbuatannya dan perbuatan
teman-temannya, lalu melangkah santai
menuju kembali ke rumah penginapan.
Sementara itu, Si Bibi Ma yang oleh
Ma Wan-san dikatakan "kalau sudah tidur
tak akan bangun biarpun kupingnya dipasang petasan
renteng", ternyata tidak sepulas yang dikatakan Ma Wan-san.
Dia terbangun oleh suara ribut ribut kedatangan rombongan kim to piau hong.
Mula mula dia tenang saja ketika tidak menjumpai kedua keponakannya di dalam kamar,dianggapnya mereka
tentu berjalan jalan pergi melihat lihat
kampung. Tetapi ketika malam makin larut,
para piau-su Kim-sai Piau-hang yang
keluyuran pun sudah pulang semua dan
yang belum pulang hanya kakak beradik
she Ma serta Ang Siok-sim, Bibi Ma
mulai gelisah. Ia laporkan kepada Jun
Lip, lalu Jun Lip dengan rasa tanggungJawab menyebar anak buahnya ke kampung yang tidak terlalu besar itu untuk
bertanya-tanya tentang Ang Siok-sim bertiga.
Beberapa penjual makanan kampung itu dapat memberi keterangan,
namun tak membantu menemukan.
Sampai akhirnya dengan sedih Jun Lip
harus melapor kepada Bibi Ma bahwa dua keponakan
Bibi Ma itu hilang bersama seorang kuli
seorang kuli kim sai piau hong
Tangis Bibi Ma meledak bersama serangkaian kata bernada menuntut tanggung jawab
Kim-sai Piau-hang, menyalah-nyalahkan Kim-sai Piau-hang bahkan menuduh Kim-sai Piau-hang sebagai
penculik. Juna Lip tidak membalas caci maki itu sebab ia sendiri merasa
bersalah. la sendiri bingung. mau meneruskan perjalanan ke Makao. ataukah berhenti dulu sampai menemukan Ang Siok-sim bertiga" Bagaimana kalau pencariannya memakan waktu lama. padahal barang-barang antaran maupun orang orang yang diantar itu harus segera tiba di Makao"
Setelah berunding dengan pembantu pembantu dekatnya. juga dengan para orang antaran, Jun Lip memutuskan untuk tinggal tiga hari lagi di kampung itu, dan selama tiga hari akan diadakan upaya maksimal untuk mnemukan orang orang yang hilang itu. Kalau dalam tiga hari tak menemukan mereka, maka sepuluh pian-su akan ditinggalkan di kampung itu untuk meneruskan pelacakan, kalau perlu minta bantuan tambahan dari Lamkhia. Sementara rombongan selebihnya akan melanjutkan perjalanan ke Makao.
*** Ang Siok-sim begitu terjaga dari pingsannya. ia mendapati matanya tertutup kain. mulutnya tersumpal kain juga yang untungnya adalah kain yang tidak bau. tangan dan kakinya terikat erat dengan tali. Tubuhnya tergeletak di lantai papan yang berguncang-gunung dan berdetak-detak. agaknya itulah lantai sebuah gerobak kuda yang kadang dijalankan cukup cepat, karena terdengar gemuruhnya derak-derik roda gerobak dan derap kuda-kuda penariknya. Dan sebentar sebentar terdengar suara Si Kusir membentak kuda-kudanya dan bunyi cemetinya.
Ang Siok-sim juga sadar bahwa ia tidak sendirian dalam keadaan seperti itu.sebab sementara tubuhnya terguncang-guncang kereta, ia menyenggol nyenggol tubuh lunak aaorang gadis di dekatnya.
"Pasti Ma Wan-yok dan Ma Wan-san! tebak Ang Sick-sim sambil mencoba mengingat-ingat peristiwa " yang bisa diingatnya. 'Agaknya kami bertiga diculik. Entah siapa yang menculik kami. dan apa maksudnya?"
Ang Siok-sim tidak tahu ia sudah berapa lama dibawa para penculik itu, karena itu ia juga tidak tahu sudah berapa jauh ia terpisah dengan rombongan Kimsai Pian-hang. la sedih mengingat Jun Lip yang pasti kebingungan dan bakal memikul tanggung jawab besar dari perusahaannya maupun dari keluarga Ma di Makao. la sedih juga bahwa kakak beradik she Ma harus mengalami kejadian tidak enak yang bisa mengancam keselamatannya. Berdasar pikiran Ang Siok-sim, pasti sasaran utama penculikan adalah kedua nona she Ma, sebab mereka adalah anak-anak orang kaya dan orang berkedudukan di Makao, mereka berasal dari keluarga yang bisa diperas oleh para penculik. Sedang Ang Siok-sim menganggap dirinya tak ada artinya, siapa sudi susah-susah menculiknya" Memangnya untuk memeras siapa"
Selagi Ang Siok-sim melantur pikirannya, tiba-tiba dirasakannya tubuh Si Gadis yang di dekatnya itu bergerak, Harumnya Pupur dan minyak wanginya membuat Ang Siok-sim berdegup kenca. Lalu dirasakannya lengannya dirambati jari-jari berkulit halus. Jari jari itu merambat sampai ke bagian pergelangan tangan Ang Siok-sim yang diikat tali. Lalu jari-jari itu meraba-raba mencari-cari simpul talinya, dan mulai berusaha mengendorkan simpul ikatan Ang Siok-sim.
Ang Siok-sim segera paham niat gadis di sebelahnya yang diduganya Ma Wanyok itu. yaitu berniat saling menolong melepaskan ikatan. Si Gadis sendiri agaknya masih terikat tangannya, jari jarinya tak dapat menggapai ikatan di pergelangan tangannya sendiri tetapi dapat menggapai simpul ikatan di pergelangan tangannya Ang Siok-sim. Setelah paham niat Ma Wan-yok, diam-diam Ang siok-sim mentertawakan dirinya sendiri dalam hati, karena tadi sempat menduga Ma Wan-yok "berkelakar' atau "bermaksud lain" dengan geremetan jari-jarinya !
Setelah tahu niat Ma Wan-yok. Ang Sioksim berusaha agar tidak mempersulit upaya Si Gadis melepaskan simpul
ikatannya itu. Dengan cara .membuat tangannya tidak bergerak, meski kadang terpaksa bergerak juga karena guncangan kereta. Pelan-pelan simpul-simpul itu makin kendor oleh jari-jari Ma Wan-yok, sambil Ang Siok-sim membayangkan betapa sakitnya jari-jari Ma Wan-yok yang halus sebab tali-tali yang digunakan para penculik amat kasar dan simpulnya pun kuat. .
Setelah tangan Ang Siok-sim terlepas, Ang Siok-sim balas melepaskan simpul ikatan yang .membelenggu Ma Wan-yok. Lalu ikatan tangan Ma Wan-san juga dilepaskan. Habis itu tutup mata dan sumpal mulut dapat dibuang pula meski dengan gerakan yang susah payah karena sempitnya ruang. , '
Tutup mata sudah terbuka, namun percuma, sebab ruang dalam kereta itu benar-benar amat gelap, ,tak setitik cahaya pun masuk, jadi mata mereka tetap tak bisa melihat apa-apa. Namun terbukanya sumpal mulut setidaknya bisa membuat mereka saling berkomunikasi meskipun harus berbisik-bisik.
"Nona Ma Wan-yok?" Ang Siok-sim coba memastikan orang di sebelahnya.
., "Benar, ini aku, Kakak Sim. Bagaimana keadaanmu" Ada yang luka?"
Hati Ang Siok-sim merasa nyaman juga mendapat perhatian dari seorang gadis; Jawabnya, "Aku tidak apa-apa. Nona sendiri bagaimana?"
"Aku juga tidak apa-apa."
"Nona Wan-san bagaimana?"
"Juga tidak apa-apa," terdengar jawaban Ma Wan-san dari sisi lain tubuh Ma Wan-yok. Suaranya tak terdengar takut sedikitpun, namun malahan menggerutu kesal, "Sekantong kuaci gurih yang kubeli agaknya diambil penculik penculik itu."
Ma Wan-yok segera menegur adiknya, namun Ang Siok-sim hampir tak dapat menahan tertawanya. Selain geli. ia juga kagum melihat ketabAhan gadis-gadis itu. Pikirnya, "Anak-anak orang kaya biasanya manja dan cengeng, tak tahan kesulitan sedikit pun juga. Tetapi gadis-gadis she Ma ini tenang dan bernyali besar."
Terdengar bisik Ma Wan-yok kemudian.
"Kakak Sim, kaki kita masih terikat."
"Biar aku lepaskan... aduh!" rupanya sambil berkata demikian. Ang Sick-sim juga hendak bangkit agar tangannya bisa menjangkau ke bagian kaki. Namun kepalanya baru terangkat sejengkal dan jidatnya sudah membentur papan yang keras. Agaknya mereka bertiga bukan cuma dibawa dengan kereta, melainkan dimasukkan di suatu ruangan rahasia di lantai kereta yang berlangit-langit rendah, mungkin untuk menghindari pemeriksaan kalau kereta itu melewati pos pemeriksaan. Baik pos resmi kerajaan maupun pemeriksaan oleh "kaum gunung hijau" seperti yang mereka alami dulu.
"Pantas gelapnya bukan main," desis Ang Sick-sim sambil meraba-raba papan di atas wajahnya.
"Kepalamu sakit, Kakak Sim?" tanya Ma Wan-yok penuh perhatian.
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa," sahut Ang Sick-sim. "Hati-hati, Nona berdua, jangan mengangkat kepala, bisa benjol."
Baru selesai Ang Sick-sim berkata demikian, terdengar suara "duk" disertai Ma Wan-san mengaduh tertahan.
"Adik San, kepalamu terbentur?" tanya Ma Wan-yok.
"Ya... aku sedang mencari kuaciku."
"Kuaci saja yang kau pikirkan."
"Tak ada pekerjaan semacam ini, kalau makan kuaci kan enak?"
"Kau tidak menyadari betapa besar kesulitan yang bakal menimpa Ayah Ibu kita di Makao, kalau para penculik mulai memeras mereka?"
"Kakak sudah tahu permintaan para penculik itu?"
"Belum. Tapi bisa kuduga pastilah permintaan para penculik itu sesuatu yang berharga. Para penculik pasti sudah "memperhitungkan, tanpa mengancam keselamatan kita maka Ayah atau Ibu takkan mengabulkan permintaan para penculik, makanya mereka culik kita." '
"Jadi kita ini sedang diculik, Kak?"
"Kau pikir sedang diapakan" Diajak tamasya?"
"Ssst," Ang Siak-sim melerai pembicaraan kakak beradik itu. "Coba rasakan, kereta ini melambat jalannya, mungkin hampir sampai ke tujuan."
"Entah sedang di mana ya kita ini?"
"Itu urusan belakangan. Nona. Tapi kalau tiba di tujuan dan para penculik menemukan kita sudah bisa melepaskan ikatan pastilah para penculik akan lebih ketat menahan kita dan makin sulit kita kabur." .
"Padahal ikatan di kaki kita belum terlepas. Enaknya bagaimana. Kakak Sim?"
"Meri kita coba geser papan di atas wajah kita ini."
Mereka bertiga menaruh keenam telapak tangan mereka di bawah lempengan papan yang tepat di ataa hidung mereka, setelah Ang siok sim memberi aba-aba "satu dua tiga" lalu mereka mengerahkan tenaga mendorong papan itu. Ternyata tak bergeming sedikitpun. meski tenaga mereka bertiga sudah dikerahkan dan bahkan mereka masing-masing sampai terkentut satu kali. Maka ruang yang sudah sempit dan pengab itu jadi tambah menyengsarakan karena bau kentut ketiga orang itu.
'Ruang sempit ini banar-benar dibuat kokoh." keluh Ang Siok-aim. "Di atas papan ini mungkin ditindih dengan benda berat."
"Kereta yang ada ruang rahasianya seperti ini barangkali adalah kereta milik komplotan penyelundup. Ruang ini untuk menyembunyikan barang-barang selundupan." Ma Wan-yok menduga-duga. "Apakah Ayah punya permusuhan dengan komplotan penyelundup?"
Setelah usaha menggeser papan tidak berhasil, akhirnya ketiga tawanan itu menyerah, tidak berbuat apa-apa lagi. Apalagi karena mereka merasakan kereta sudah berhenti. berarti mereka tidak punya waktu lagi.
Terdengar suara Si Kusir kereta masuk ke bagian dalam kereta dan terdengar suara kunci. Lalu Ang Siok-sim bertiga merasa udara segar mengusap wajah mereka. ketika lantai kereta di atas mereka dibuka. Ternyata lantai itu tebal, kuat dan diberi engsel seperti pintu serta dipasangi gembok pula. Tak heran dorongan Ang Siok-sim bertiga tadi tak menghasilkan apa-apa.
Namun kusir kereta itu pun kaget melihat ketiga tawanannya sudah terlepas ikatan tangan, tutup mata dan sum-pal mulutnya, hanya ikatan kaki yang belum sempat dilepaskan karena posisi tubuh yang tak memungkinkan.
Kusir itu seorang lelaki empat puluhan, berkulit bersih dan berwajah cukup cerdas dengan tubuh tegap, tampangnya sungguh tidak cocok untuk jadi kusir kereta. Ia tertawa melihat Ang_Siok-sim bertiga, katanya, "Ternyata kami terlalu meremehkan kalian. Kalian berhasil melepaskan semua ikatan kecuali kaki kalian. Tetapi mulai sekarang, jangan harap kalian bisa lepas, kalian berada di tengah-tengah sarang kami yang terkuat penjagaannya."
"Di mana kami sekarang?" tanya Ma Wan-yok.
"Di suatu tempat," sahut orang itu.
Orang itu membuka ikatan kaki mereka bertiga, lalu memerintah tanpa membentak, "Keluarlah." '
Ang Siok-sim bertiga melihat di luar kereta sudah ada beberapa orang berdiri menunggu. Sikap mereka ternyata tidak mirip sedikit pun dengan sikap kawanan penculik yang dibayangkan Ang Siok-sim bertiga. Orang-orang itu memang tidak ramah, namun sikap mereka tidak kasar, bahkan bisa dibilang berdisiplin mirip tentara meskipun tidak berseragam.
Ang Siok-sim bertiga keluar dari kereta, dan setelah di luar kereta baru mereka lihat ujud kereta yang disebut "kereta penyelundup" oleh Ma Wan-yok itu memang tidak terlalu indah namun kelihatan kokoh. Jendela-jendelanya yang kecil-kecil lebih mengesankan sebagai lubang untuk memanah atau menembakkan bedil daripada untuk kenyamanan penumpang.
Kemudian tempat yang mereka datangi, Ang Sick-sim melihat itu seperti sebuah perkemahan yang tersembunyi di tengah hutan, dengan hanya satu jalan masuk keluar yang terjaga. Bangunan bangunannya mirip barak-barak memanjang, satu barak bisa ditempati ratusan orang. Dan dengan menghitung baraknya,
Ang Siok-sim menaksir kalau perkemahan tersembunyi itu bisa dimuati lima ribu orang. Ang Siok-sim heran, kalau namanya kampung, kenapa tidak ada wanita, anak-anak dan orang-orang tua" Yang ada lelaki semuanya, dan usianya antara dua puluh sampai empat puluh tahun. Di antara barak-barak terlihat ada petak petak tanah yang digarap untuk tanaman pangan, dan di tengah-tengah kampung ganjil itu nampak ada ratusan lelaki sedang berlatih perang-perangan.
Orang yang tadi menjadi kusir kuda dan sekarang sedang menggiring Ang Sick-sim bertiga, bertanya kepada Ang Siok-sim. "Apa yang kau lihat?"
Biarpun Ang Siok-sim ini cukup cerdas, namun ia terlalu polos. Ditanya seperti itu, tanpa ragu sedikit pun ia menceritakan kesan-kesan yang didapatnya, kepada penanyanya. Sehingga orang itu berkata, "Kau terlalu cerdas untuk sekedar jadi tukang angkut barang di Kim-sai Piau-hang, orang muda."
Namun justru sikap polos itu juga melegakan penanyanya tadi, sebab orang polos begini tidak mungkin terlibat men-jadi anggota gerakan rahasia yang manapun juga, atau memikul tugas rahasia apapun juga. Sebab kalau tugas-tugas rahasia dibebankan orang sepolos ini, bisa bocor semua rahasia. jadi Ang Siok-sim dianggap sekedar sebagai seorang pemuda lugu yang memiliki kecerdasan namun belum menemui nasib baik sehingga baru mendapat pekerjaan sebagai kuli Kim-sai Piau-hang.
Ang Siok-sim bertiga digiring oleh beberapa orang, tidak diikat, kesebuah barak yang agaknya akan menjadi tempat penyekapan mereka. Melihat orang-orang itu ternyata tidak galak, meskipun juga tidak ramah, Ang Siok-sim jadi berani bertanya kepada Si Kusir kereta tadi, "Apakah kalian ini yang disebut... kelompok 'gunung hijau' yang suka menggeledah rombongan-rombongan perjalanan?"
Pertanyaan Ang Siok-sim itu tidak dijawab atau digubris sedikit pun.
Ang Siok-sim berusaha mencari sesuatu yang bisa mencirikan dari golongan mana orang-orang itu, seperti bendera
atau tanda di pakaian mereka. namun tak didapatinya. Hanya dugaan Ang Sioksim bahwa inilah sebuah kekuatan tempur yang tersembunyi. Ang SiOK-sim yang tidak tahu-menahu urusan kekuasaan di negeri itu, akhirnya memutuskan dalam hati untuk lebih mengutamakan keselamatan kakak beradik she Ma daripada urusan yang tak ia ketahui ujung pangkalnya.
Mereka bertiga dimasukkan sebuah rumah berdinding kayu tebal yang tergolong nyaman, tetapi jelas takkan mungkin kabur dari situ, karena jendela jendelanya berterali besi. Ada kamar kamar, ada ruang makan, dapur_ dan sebagainya.
Si Kusir kereta berkata, "Ini tempat kalian. Kalian kuperlakukan sebaik mungkin, sebab kami bukan kelompok orang yang suka menyusahkan orang tanpa alasan." '
"Kalian sudah menyusahkan kami."
"Itu karena ada alasannya. Dan kami usahakan sekecil mungkin penderitaan yang kalian alami. Makan, minum. pakaian, air mandi, akan kami cukupi."
Habis berkata demikian, orang itu menutup pintunya, menguncinya dari luar. Penjaga-penjaga ditempatkan di sekeliling rumah itu, bergantian mengawasi selama dua puluh empat jam terus menerus.
"Penculik-penculik yang ramah," kata Ma Wan-yok kesal. "Entah sampai kapan kita harus'di sini."
Ma Wan-san menyambung. "Tadi katanya, minta apa saja boleh."
"Hus, siapa bilang minta apa saja boleh?"
"Orang tadi." "Dia tidak bilang begitu kok."
"Ya... kira-kiranya begitu."
"Kalau betul minta apa saja boleh, mau minta apa?"
"Minta diantarkan pulang ke Makao."
Ang Siok-sim dan 'Ma Wan-yok mau tak mau tertawa mendengarnya. Kata Ang Siok-sim, "Minta apa saja boleh, kecuali yang satu itu. Buat apa mereka susah-susah menculik kita kalau lalu dilepaskan lagi?"
"Kalau begitu, minta kuaci gurih saja"
"Cobalah minta, nanti kalau penjaganya datang." Sementara itu, Si Kusir Kereta lalu
melangkah menuju bangunan kayu yang paling besar dan paling bagus di bagian tengah perkemahan tersembunyi itu. Langsung ia menghadap seorang lelaki berusia empat puluh lima tahun, berwajah keras dengan jenggot pendek berwarna kelabu. . Tanpa banyak basa-basi, Si Kusir Kereta melapor, "Lapor, Komandan Phui, penculikan kedua puteri Ma Bian berhasil. Meski tak sengaja terculik juga seorang lainnya yang kurang berguna, seorang kuli Kim-sai Pian-hang bernama Ang Siok-sim."
Orang yang dipanggil Komandan Phui itu duduk santai sambil berkipas-kipas. "Baik. Simpan mereka baik-baik. Si Kuli Kim-sai Pion-hang itu pun mungkin kelak akan kita temukan gunanya."
"Sekarang, apakah aku harus ke Makao untuk mulai menekan Ma Bian?"
"Ya. Hanya ada pergantian siasat."
'Pergantian siasat" Boleh aku tahu, Komandan?" _
"Baru saja ada utusan dari Panglima, menyampaikan perintah agar Rencana Nomor Dua dikesampingkan dulu, jalankan Rencana Nomor Tiga. Ingat Rencana Nomor Tiga?"
"ingat, Komandan."
"Nah, pemanfaatan puteri-puteri Ma Bian di tangan kita itu pun kita sesuaikan dengan Rencana Nomor Tiga."
"Baik, sekarang aku akan berangkat ke Makao."
"Sudah sore. lstirahatlah dulu, besok fajar berangkat rasanya takkan terlambat.
Si Kusir Kereta itu pun berlalu dari hadapan Komandan Phui.
Tahun 1516 Makao diserahkan oleh Kaisar dinasti Beng ke pihak Portugis yang berjasa mengamankan jalur perdagangan laut timur dari para bajak laut. Tempat itu kemudian berkembang menjadi salah satu dari empat pangkalan penting Portugis di Asia. yaitu Goa (India). Malaka, Makao dan Nagasaki Tahun 1557 Makao mulai didiami orang orang Portugis dalam jumlah besar, dan berkembang menjadi kota yang ramai. Kota yang berpenghuni dua macam bang-sa, maka bangunan-bangunan. gaya hidup. bahasa sehari-hari, agama dan kebiasaan kebiasaannya juga campuran dua bangsa.
*** iring-iringan Kim-sai Pim-hang memasuki wilayah Pertugis itu dengan semangat yang merosot pada pengawal pengawalnya. Jun Lip yang diharapkan memberi semangat kepada anak buahnya pun kini melangkah loyo.
Di perbatasan kota, mereka melewati sebuah bendera salip putih hijau. bendera Portugis, dan berpapasan dengan beberapa bendi terbuka yang dinaiki orang orang Portugis.
Jun Lip membawa rombongannya ke kantor cabang Kim-sai Piau-hang. Di situ dengan lesu ia melaporkan perjalanannya, sambil menyatakan ia sanggup bertanggung jawab atas diculiknya puteri-puteri
Ma Bian. Kapala cabang Kim-sai Pian-hang di Makao pun masygul mendengar laporan itu. Ma Bian memang bukan orang yang selalu berpengaruh di Makao, namun juga bukan tokoh yang bisa dipandang enteng. Sedikit banyak kepercayaan orang kepada Kim-sai Pian-hong akan luntur.


Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ia tidak mau menekan jun Lip yang tanpa ditekan pun sudah nampak kusut dan loyo. "Sudahlah, Saudara Jun. kau sudah berusaha sekuat tenagamu namun kadang-kadang memang ada sesuatu di luar kemampuan kita. Kau istirahatlah. Urusan berbicara dengan Tuan Ma, serahkan kepadaku, aku kenal baik dengannya. Begitu juga pengiriman barang-barang dan orang-orang ke alamat masing-masing, biar dilakukan orang orangku."
"Kalau Tuan Ma gusar dan ingin menuntut sesuatu kepada Kim-sai Piau-hang, jangan luputkan aku dari pertanggungjawaban, Kakak Sui. Akulah yang paling bertanggung-jawab."
"Hal itu kita bicarakan nanti saja. Sekarang istirahatlah."
Kepala cabang Kim-sai Piau-liang itu sendiri kemudian mengunjungi Ma Bian. menyampaikan permintaan maaf sebesar-besarnya disertai janji bahwa Kim-sai Piau-hang akan tetap menyelidiki dan mencari puteri-puteri Ma Bian itu sampai bisa dipastikan nasibnya.
Ma Bian yang sebelumnya sudah mendengar kabar itu dari Bibi Ma. adiknya yang dari Lam-kia menemani anak anaknya, tidak kaget lagi mendengar dari Kepala cabang Kim-sai Piau-hang. Sedangkan wanita Portugis yang menjadi isteri Ma Bian, agak meluap emosinya dan dengan bahasa Han yang lumayan lancar tak terhindar menyalahkan Kimsai Piau-hang dan menuntut tanggung jawabnya. ia "dibantu" Bibi Ma yang sepanjang jalan sudah menyalah-nyalahkan Jun Lip terus, dan sekarang bersama kakak iparnya ikut menyalah-nyalahkan kepala cabang Kim-sai Piau-hang itu.
Sampai Ma Bian merasa tidak enak sendiri dan mencoba meredakan isterinya
dan adik perempuannya, "sudahlah. kalian berdua Sikap kalian ini tidak membantu apa-apa. Hilangnya anak-anak kita, sedikit banyak aku juga ikut bersalah. Aku lupa posisiku yang penting di Makao ini, dan masuk akal kalau ada pihak yang ingin memanfaatkan posisiku dengan menculik anak-anakku. Aku gegabah sekali membiarkan mereka menempuh perjalanan darat melewati tempat-tempat yang banyak banditnya. Harusnya kubawa anak-anak bersamaku lewat perjalanan air."
"Tuan menduga ada pihak yang merencanakan memeras Tuan?" tanya kepala cabang Kim-sai Pian-hang di Makao.
"Dugaanku begitu, Saudara Sui." sahut Ma Bian sambil menarik napas. 'Bagaimanapun, aku tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Kim-sai Piau-hang untuk segala usahanya."
Setelah sekali lagi berjanji akan melakukan penyelidikan, kepala cabang Kim-sai Plan-hang di Makao itu pun berpamitan meninggalkan rumah Ma Bian yang megah. Rumah dekat dermaga itu bergaya bangunan campuran Cina Portugis, menghadap ke lautan luas.
Dugaan Ma Bian menjadi kenyataan. ketika beberapa hari kemudian ia didatangi seorang tamu. Seorang lelaki berusia empat puluh tahun, berkulit bersih memelihara berewok halus, tegap. sikapnya halus dan sopan, memakai jubah panjang berwarna biru laut dengan ikat pinggang merah kuning. Ia datang tanpa senjata.
Setelah duduk dengan Ma Bian di ruang tamu, dengan halus tamu yang tanpa menyebutkan nama itu mulai mengaku terus terang bahwa pihaknyalah yang menculik anak-anak Ma Bian. Gayanya yang sopan dan halus itu membuat Ma Bian tak menduga, namun berkobar juga kemarahannya.
"Jadi pihakmulah yang menculik anak anakku?" tanya Ma Bian sambil menahan diri sekuatnya, sampai tangannya mencengkeram kuat-kuat pegangan kursinya. "Kau tak sadar akibatnya berhadapan denganku" Dengan pengaruhku di mana mana?"
Orang itu menjawab kalem. "Entahlah di kemudian hari barangkali kami akan menyadari akibat tindakan kami dan di kemudian hari kami bakal menyesal. tetapi itu urusan besok. Yang kami sadari sekarang, Tuan harus tunduk kepada kami kalau ingin puteri-puteri Tuan selamat. itu saja."
Ma Bian benar-benar gusar melihat sikap orang itu yang agaknya benar-benar tidak kena gertakannya sedikit pun. Tetapi kenyataannya memang sekarang Ma Bian sedang berada di pihak yang tertekan dan harus memenuhi syarat syarat yang bakal diajukan orang itu. Angin dari arah laut yang berhembus masuk ruangan lewat jendela-jendela rumah gaya setengah Portugisnya, rasanya susah mendinginkan panas hati Ma Bien.
"Apa yang kalian mau" Uang?"
"keterangan." Keterangan" Keterangan tentang apa ?"
"Kami tahu Tuan Ma bekerja pada pemerintah koloni Portugis ini sebagai salah seorang terpercaya di gudang senjata. Tuan pastilah mengetahui setiap kali ada senjata yang dikeluarkan dari gudang. dan senjata-senjata itu dikirim kepada pihak mana. He-he-he, kami tahu betapa liciknya Portugis, yang diinginkan hanya keuntungan besar dari pihak-pihak yang bertikai. Di Cina, di Jepang, di Malaka, Portugis menjual senjata kepada pihak mana saja asal beruntung. Nah. kami hanya ingin tahu lewat Tuan, siapa siapa yang Portugis kirimi senjata dan tanggal pengirimannya. itu saja."
Ma Bian menarik napas. "Tuan setuju?" orang itu menekan.
"Aku setuju kalau sudah yakin bahwa kedua puteriku tak kurang suatu apapun."
"Kedua puteri Tuan kami perlakukan dengan baik, tetapi kalau Tuan ingin meyakinkannya, Tuan boleh kirim seorang kepercayaan Tuan untuk kuajak bersama aku melihat puteri-puteri Tuan. Nanti orang itu akan bisa melapor kepada Tuan apakah kata-kataku benar atau tidak."
Mendengar itu, di benak Ma Bian melintas sebuah gagasan, "ini sebuah Peluang Kalau orang yang kukirim itu
bisa tahu di mana puteri-puteriku disekap bisa kukirim jagoan-jagoan tangguh untuk membebaskan puteri-puteriku."
Seolah dapat menebak pikiran Ma Bian, orang itu tiba-tiba tersenyum sambll berkata, "Kami bukan golongan yang suka menyusahkan orang tanpa alasan. Tetapi kalau ada alasannya, kami tak ragu untuk bertindak sekeras apa pun."
Ma Bian menelan ludahnya, menenangkan debar jantungnya. lalu berkata. "Ehm... akan kucari orang yang bisa dipercaya untuk memastikan keselamatan anak-anakku. Boleh aku minta waktu satu hari?"
"Kami tidak berkeberatan. Besok aku kemari pada waktu seperti ini dan orang itu harus sudah ada di sini untuk bisa kuajak melihat keadaan puteri-puterimu... Eh, kenapa tidak Wan sendiri yang pergi?"
"Tugas-tugasku di sini banyak. tak bisa kutinggalkan."
"Baiklah, dan pesan kami jangan macam-macam agar tidak memberi alasan bagi kami untuk bersikap buruk kepada puterimu."
Lalu orang itu berdiri memberi hormat dengan sopannya dan pergi dari rumah Ma Bian.
Singkatnya. Ma Bian menemukan seorang yang dapat dan mau diutusnya untuk melihat keselamatan anak-anaknya. dan orang itu pun berangkat bersama utusan kelompok penculik. Dan belasan hari kemudian orang itu kembali kepada Ma Bian untuk melaporkan bahwa Ma Wan-yok dan Ma Wan-san tak kurang suatu apapun. meski dikurung. Bahkan Ma Wan-san katanya sedikit lebih gemuk.
Ma Bian yang mendengar itu tak tertahan tersenyum juga, 'Ah. anak itu. kebiasaan makannya tak berkurang meskipun sedang berada dalam masalah besar.'
Namun ia menarik napas mengingat kedua puterinya itu masih di tangan penculik "Rupanya para penculik itu memang agak berbeda. Mereka tidak minta uang. tetapi..."
Ma Bian menghentikan kata-katanya karena sadar "perjanjiannya"
dengan pihak penculik itu harus dirahasiakan serapat-rapatnya. ia lalu beralih ke pertanyaan. "Kau tahu mereka itu dari kelompok apa?"
"Berhari-hari aku bersama mereka. namun tak dapat kutebak sedikit pun mereka dari golongan mana."
"Kau ingat jalannya ke tempat anak anakku disekap?"
"Hanya ingat setengahnya. Setelah itu mataku ditutup selama berhari-hari dan aku tidak tahu arah lagi. Ketika dibuka lagi, tahu-tahu sudah berhadapan dengan kedua puteri Tuan. Ketika hendak meninggalkan tempat itu. kembali mataku ditutup dan aku dibawa ke suatu tempat yang tak jauh lagi dari kota ini. baru tutup mataku dibuka."
"Harusnya udah kuduga hal itu." Ma Bian menarik napas. "Tempat disekapnya puteri-puteriku itu kira-kira seperti apa?"
"Menurut pengamatanku... seperti sebuah markas tentara tetapi tersembunyi di sebuah hutan yang amat luas dan lebar."
"Markas tentara?"
"Tentara tanpa seragam, tanpa bendera. sehingga aku tidak tahu mereka dari pihak mana. Tetapi orang-orangnya kelihatan tangkas dan berdisiplin."
"Mungkinkah mereka ini... seperti yang kudengar beritanya di utara sana tentang... yang disebut 'laskar gunung hijau' yang kabarnya ditakuti para pangeran dan jenderal dinasti Beng. bahkan oleh Kaisar sendiri. sehingga pengaruhnya dapat menyatukan kekuatan-kekuatan di selatan yang sering terpecah-belah."
"Entahlah." Setelah orang itu pergi. utusan pihak penculik itu pun muncul kembali di rumah Ma Bian. Datang-datang ia langsung bertanya, "Nah, kata-kataku benar kan" Puteri-puteri Tuan tak kurang suatu apa ?"
"Sampai kapan pihakmu akan menahan mereka" Apakah selamanya?"
"Tentu saja tidak selamanya. Hanya sampai... situasi berkembang tepat seperti yang kami kehendaki."
"Kalau perkembangan situasinya ternyata lain?"
"Aku sulit menjawabnya. Tuan Ma,
tetapi aku bisa menjamin bahwa pihak kami tidak keterlaluan kok. Nah, sekarang, dalam waktu dekat ini ada kiriman senjata ke pihak siapa?"
"Lusa besok, ada lima ratus senjata api Portugis akan dikirimkan ke Siao-hin. Dua hari kemudian, dua ratus pucuk dikirim ke Hok-kian."
"Lewat jalan mana?"
'Yang ke Siao-hin mungkin akan dinaikkan kapal dulu sampai Lam-koen, dari Lam-koan baru menempuh jalan darat ke Siao-hin. Yang ke Propinsi Hokkian juga dikapalkan dari sini langsung dititahkan di pelabuhan Hok-ciu."
Orang itu tersenyum, "Suatu awal kerjasama yang baik, Tuan Ma. Terima kasih untuk keterangan-keterangannya. mudah-mudahan rencana kami cepat berhasil dan kami cepat membebaskan puteri-puteri Tuan."
Lalu orang itu pun pergi. Meninggalkan Ma Bian yang duduk memegangi kepalanya yang seolah-olah hendak copot, sambil berdoa dalam hati, "Ya Tuhan, semoga yang kulakukan ini tidak menimbulkan bencana besar. Aku tidak tahu apa yang direncanakan oleh para penculik itu."
Sementara Si Utusan penculik itu meninggalkan Makao dan kembali ke "markas tersembunyi'nya di tengah-tengah hutan. Hutan yang tak jelas siapa pemiliknya karena letaknya di antara propinsi Hok-kian yang dikuasai Pangeran Tong-eng, dengan Propinsi Kui-sai yang dikuasai Pangeran bati-ong. Kedua pangeran yang bertikai memperluas daerah bawahan. namun yang mereka incar adalah daerah-daerah yang "sudah jadi" alias yang sudah digarap orang dan menghasilkan sesuatu yang menguntungkan seperti hasil bumi atau pajak atau "uang lewat". Itu yang mereka perebutkan. bukan hutan itu. Sehingga kedua pihak yang bertikai tak tahu kalau di tengah-tengah hutan itu tahu-tahu sudah bersarang sebuah kekuatan tersembunyi.
Setelah meyakinkan bahwa dirinya tidak sedang dibuntuti, utusan penculik yang dari Makao itu pun menyelinap ke hutan dan setelah lewat jalan setapak
yang berliku-liku serta tak terkena matahari, ia sampai ke markas tersembunyi itu.
Hari sudah senja, obor-obor sudah dipasang, namun ia langsung menghadap Komandan Phui untuk menyampaikan keterangan yang didapatnya dari Ma Bian tentang pengiriman senjata-senjata itu.
Mendengar itu, Komandan Phui yang bernama Phui Tat-liong itu tertawa. "Ha-ha-ha... kedua pangeran tolol itu rupanya belum bisa melupakan pertikaian mereka. Dulu mereka berhenti bertikai setelah Helian Kong masuk ke istana kedua pangeran itu dan mengancam kedua pangeran itu. Sekarang ketika Lam-khia terancam dan mereka disuruh membantu dengan sepertiga pasukan masing-masing, mereka menggunakan kesempatan untuk memborong senjata dari Portugis. Pastilah mereka punya alasan yang baik untuk memperkuat diri."
"Asal kita jangan melupakan Helian Kong, dia bisa membuat segalanya berantakan," orang yang baru kembali dari Makao itu mengingatkan. "Kita dan Helian Kong seperti dua petarung yang berada dalam sebuah ruangan gelap pekat, saling tidak mengetahui posisi pihak lain. Gerakan kita kali ini harus sangat rapi, jangan sampai Helian Kong yang punya sejuta mata dan sejuta telinga itu lalu bisa menebak posisi kita."
Phui Tat-hong mengangguk. "Kita akan bergerak sehalus-halusnya, lagi pula saat ini Helian Kong pasti sedang mencurahkan perhatian di sepanjang tepian selatan Tiang-kang yang ia perhitungkan akan menjadi garis perlindungan untuk mengamankan Lam-khia. Ia sudah termakan oleh rencana palsu kita yang sengaja kita bocorkan lewat Si Tua Goblok Eng Thian-bok itu. ha-ha-ha... bahkan Eng Thian-bok sendiri tak tahu kalau ia hanya sekedar kita peralat untuk membocorkan rencana palsu itu."
"Namun meski rencana palsu itu sudah menyebar luas, Helian Kong belum sepenuhnya menampakkan diri. Ia masih terlalu samar dan terlalu kabur untuk dimasukkan perhitungan. Yang bermunculan terang-terangan baru beberapa
punggawa bawahannya. begitu laporan yang ku terima"
"Karena Helian Kong belum muncul itulah Panglima menyuruh kita menjalankan Rencana Nomor Tiga. Rencana itu akan membakar wilayah tenggara ini begitu hebat, dan mudah-mudahan Helian Kong akan muncul dan dapat kita kenali posisinya dan kekuatannya."
Malam itu. meskipun langit gelap. separuh dari penghuni markas tersembunyi itu bergerak meninggalkan markas. mengendap-endap dalam kegelapan hutan. tanpa obor, sebab mereka sudah berlatih berjalan malam dan menentukan arah hanya berpedoman bintang-bintang di langit. Phui Tat-hong sendiri memimpin pasukan, didampingi seorang cam-ciang (letnan kolonel) keturunan Mongol bernama Tamtai Jin.
*** Sungai Mutiara yang bermuara di dekat bandar Makao, bukanlah sungai selebar dan sepanjang Hong-ho maupun Tiang-kang di utara. namun tetap berguna sebagai jalan air untuk mencapai Pedalaman karena sungai itu melewati beberapa propinsi.
Siang hari yang udaranya gerah itu. tiga buah kapal berukuran sedang tengah berlayar beriring-iringan ke arah pedalaman. jalannya agak lambat karena menentang arus. layar digelar setangah penuh. Bendera-bendera di atas kapal itu adalah benderanya Pangeran Lou-ong.
Satu di antara kapal itu. yang di tengah, bentuknya tidak menyerupai jung Cina melainkan lebih mirip galiun Portugis yang sering dijuluki "benteng berjalan atau "benteng terapung". Dijuluki demikian. sebab di lambung kapal ada jendela-jendela persegi berderet, dan moncong-moncong meriam nampak mengancam di belakang jendelajendela itu. Ada dua belas meriam di lambung kanan dan dua belas lagi di lambung kiri. Kapal itu adalah hadiah Gubernur Jenderal Portugis untuk Pangeran Lou-eng. karena Pangeran Lou-ong menolak permohonan pihak Belanda untuk ikut "berdagang hasil bumi" di pedalaman Kui-ciu dengan
melayari Sungai Mutiara. Belanda adalah saingan berat Portugis dalam perdagangan di timur jauh.
Ketiga kapal itu memasuki sebuah
jalur yang sepi, tak ada perahu-perahu
nelayan karena tempat itu jauh dari
kampung-kampung nelayan. Sungai di bagian itu juga menyempit sehingga
arusnya deras, dan perahu-perahu nelayan
yang kecil-kecil serta ringan-ringan itu
bisa terbalik. Di kiri-kanan sungai adalah
tebing-tebing yang terjal, hanya bisa
dipanjat oleh monyet. Oleh derasnya arus yang menentang,
ketiga kapal itu jadi melambat jalannya,
sehingga pemimpin pasukan memerintahkan agar menambah layar agar bisa laju.
Tetapi setelah layar dikembangkan
sepenuhnya, kapal-kapal itu tetap tertahan
lajunya, bahkan ada bahaya kapal bisa
terbalik karena di bagian atasnya angin mendorong ke arah pedalaman, sedang
di bagian bawah ada dorongan arus air
yang menghambat laju kapal di bawah
ke arah muara, ditambah adanya sesuatu yang menghambat dibawah air.
Jurumudi kapal terdepan melapor
kepada pemimpin perwira gendut bawahan Pangeran Louong, yang bernama San Kin-mo, Perwira
San, bagian bawah perahu agaknya ter
sangkut sesuatu di bawah air"
Ketika itu kapal memang sudah g0yang-goyang agak keras hingga orangorang harus pasang kuda kuda dan pegangan apa-apa kalau tidak ingin jatuh.
Setelah layarnya dikurangi, barulah kapal-kapal itu agak tenang namun agak
mundur terbawa arus. Perintah San Kin-mo, Terjunkan penyelam-penyelam untuk memeriksa dan
membereskan apa yang menyangkut dibawah kapal"
Perintah itu pun dilakukan, beberapa penyelam terjun ke air hanya dengan bercelana pendek
sambil membawa pisau pisau tajam yang mereka gigit di mulut mereka.
San Kin-mo berdiri di pinggir geladak sambil melihat ke air
sambil menunggu laporan penyelam penyelamnya.
Tak lama kemudian seorang penyelam menongolkan kepalanya
di atas air dan berteriak, "Kapten, yang
menyangkut adalah jala-jala rotan yang
dibanduli batu dan dipasang beberapa
jengkal di bawah permukaan air! Sekarang teman-teman sedang memutuskan
jala-jala itu!" Nampak beberapa penyelam muncul
ke permukaan air untuk mengambil napas
habis itu lalu menyelam lagi untuk bekerja di bawah air.
San Kin-mo mengepalkan tinjunya
yang menghitam buku-buku jarinya, sambil menggeram"Jala-jala rotan yang
sengaja dipasang beberapa jengkal di bawah air, ini jelas perbuatan tangan manusia. Entah ditujukan
kepada kita atau ke pihak lain, kalau
pemasang rintangan itu berani muncul,dia akan merasakan tinju geledekku!"
Sebelum menjadi perwiranya Pangeran
Lou-ong, San Kin-mo yang peranakan
Birma itu memang pernah menjadi begal
yang ditakuti para pedagang di perbatasan Kui-ciu dan Birma. Julukannya Siansan Lui-kun (Dewa Gunung Bertinju Petir)
Meski dia bicara dengan garang, tak
urung jidatnya agak berkeringat juga.
Maklum, perjalanannya kali ini bukan perjalanan biasa melainkan dalam rangka mengawal lima ratus pucuk senapan yang
dibeli Pangeran Lou-ong dari Portugis.
Senapan-senapan itu harus tiba di Siao-hin dalam keadaan utuh. Pasukan yang
dibawanya pun cukup tangguh, seribu
prajurit terbaik yang ada di jajarannya
Pangeran Lou-ong, lengkap dengan
penembak-penembak meriam yang berpengalaman, beberapa di antaranya pernah
ikut kapal-kapal Portugis menjelajah
sampai ke kepulauan selatan dan bentrok
di laut dengan kapal-kapal Belanda,
Inggris dan Spanyol, kalau Cuma bajak sungai biasa yang coba-coba menghadang perjalananku ini, mereka pastilah ibarat 'ular cari gebukan" pikir San Kin-mo. Tetapi kalau bukan..
Baru saja ia berpikir demikian, tiba-tiba jurumudi yang berdiri di sebelahnya
menunjuk ke tebing-tebing di tepi sungai,
"Kapten San, lihat!" .
Tebing-tebing itu ratusan meter tingginya, sampai bagian atasnya tak terlihat karena berselimut kabut. Namun dari atas tebing itu mendadak berjuluranlah tali-tali panjang, ratusan utas tali. Lalu pada tali-tali itu meluncur turun dengan tangkasnya orang-orang bersenjata, dalam jumlah amat banyak.
Hal .serupa terjadi di tebing yang satu lagi.
San Kin-mo mendengus dingin, "Itu dia, bandit-banditnya sudah muncul. Cukup banyak juga. Siapkan pasukan, terutama para pemanah dan penembak agar mengambil posisinya."
Bersambung jilid XIII Panglima Gunung Karya : STEVANUS SP. Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Panglima Gunung Jilid 13 PERINTAHNYA diteruskan keseluruh kapal. Para pemanah dan penembak segera berderet di tepi geladak seperti burung-burung pipit berderet di wuwungan atap." Penembak-penembak meriam pun disiagakan.
Melihat orang-orang yang meluncur turun dari tebing itu bertambah banyak, San Kin-mo memerintahkan menembak. Maka gelegar senapan-senapan dan meriam-meriam di kedua lambung kapal pun memekakkan telinga. panah-panah belum dilepaskan sebab jaraknya belum terjangkau oleh panah. Beberapa puluh orang bersenjata yang
sedang merambat turun di tebing itu pun berjatuhan bagaikan lalat, tercebur ke air Sungai Mutiara dan terhanyut, namun yang jatuh itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan mereka. Peluru-peluru meriam tidak sekedar menghantam orang tetapi juga merontokkan tanah tebing itu segumpal besar demi segumpal besar tercebur. ke sungai bersama tubuh-tubuh yang' berjungkalan.
Ternyata pihak lawan punya kejutan.
Tebing-tebing itu terselimut tetumbuhan rambat yang bersulur-sulur. adalah tak terduga bahwa di dinding tebing yang letaknya tak terlalu tinggi dari permukaan sungai, tumbuh-tumbuhan merambat yang menutupi tebing itu tersibak di beberapa tempat dan... muncullah moncong moncong meriam pula ke arah kapak kapal Pangeran Lou-ong.
Ternyata tebing-tebing yang dikira tak ada apa-apanya itu sudah lama digarap diam-diam oleh pihak tertentu menjadi sebuah benteng tersembunyi yang bila digunakan tak bisa ditembus, menyumbat total lalu lintas air Sungai Mutiara.
Gelegar meriam kini bersahutan dari kedua pihak.
" San Kin-mo yang semula tertawa menyaksikan berjatuhannya tubuh-tubuh lawan. kini berubah wajahnya. Sementara penyelam-penyelamnya agaknya belum juga berhasil membereskan rintangan di bawah air yang berupa jala-jala rotan. Dan ketika San Kin-mo melihat ada darah naik dari dalam air disusul terapungnya mayat seorang penyelam di pihaknya, sadarlah ia bahwa pertarungan tidak hanya terjadi di atas permukaan air, melainkan juga di bawahnya.
Peluru meriam musuh yang beterbangan pun makin membahayakan. Ketika sebutir peluru musuh jatuh di geladak, San Kin-mo pun meneriakkan perintah mundur. Layar-layar diturunkan agar jangan didorong angin ke arah pedalaman, sementara para jurumudi bergulat mati matian dengan kemudi kapal-kapal mereka yang bergerak mundur terbawa arus. Kapal tidak bisa diputar balik begitu saja sebab bisa terbalik di air, harus bergerak perlahan sambil memperhitungkan
arus. bagian pinggiran sungai yang penuh ditumbuhi gelagah air yang tinggi. Ketika tiga kapal Pangeran Lou-eng mundur, dari gelagah-gelagah air itu pun tersibak dan muncullah puluhan perahu panjang berbadan sempit, tiap perahunya bisa memuat kira-kira tiga puluh orang yang berderet ke belakang. itulah yang disebut "perahu naga" yang biasa dipakai orang orang suku Biao di pedalaman. Orang orang suku Biao juga sering menyelenggarakan perayaan dengan memperlombakan perahu model ini, dalam upacara memanggil hujan apabila mereka anggap kemaraunya terlalu panjang, menurut kepercayaan mereka.
Kini puluhan perahu naga muncul dari tepian. padahal. tadinya mereka tak terlihat sedikit pun. Orang-orang yang meluncur turun dengan tali dari atas tebing itu ditampung langsung oleh perahu-perahu naga itu lalu mengejar ketiga perahu Pangeran Lou-ong.
San Kin-mo mengertak gigi. Kapal kapalnya yang besar-besar jadi dalam posisi yang tak menguntungkan dibanding lawan. Meriam-meriam di lambung kapal yang menghadap ke tepian, jadi tak bisa menembak siapa-siapa karena lawan datang darl depan dengan kapal-kapal naganya yang melaju mengiris air dengan keseimbangan yang tinggi. Kapal meriam tak bisa begitu saja berputar menghadapkan lambung ke arah lawan, sebab San Kin-mo pun tahu serba sedikit tentang pelayaran bahwa hal itu tak bisa dilakukan. Yang diharapkan bisa sedikit mengurangi laju penghadang-penghadang di sungai itu hanyalah para pemanah dan penembak senjata api. .
Namun di pihak penghadang pun ada pemanah-pemanah dan penembak-penembak terlatih yang tidak asal melepaskan panah atau peluru saja. namun benar benar membidik.
San Kin-mo melihat sudah ada belasan musuh terjungkal dan perahu naga mereka kena panah atau peluru, jumlah yang kira-kira sama juga tumbang di antara prajurit-prajuritnya San Kin-mo.
Perintah San Kin-mo, "Kalau perlu gunakan senapan-senapan baru yang sedang kita bawa! Habisi bandit-bandit sungai ini!"
Peti senjata yang ditaruh di bawah geladak pun dibongkar, senapan-senapan dan amunisinya dibagikan kepada prajurit prajurit yang belum bersenjata bedil.
"Aku belum pernah belajar menembak." keluh seorang prajurit, keluhan yang sama dengan banyak prajurit lainnya sebab memang baru sedikit prajurit Pangeran Lou-ong yang sudah belajar menembakkan senapan, yaitu prajurit prajurit yang dekat dengan Sang Pangeran.
"Sekarang belajar dan langsung praktek."
Namun demikian, perahu-perahu naga itu terlanjur merapat ke kapal-kapalnya Pangeran Lou-ong. Dengan perlindungan teman-teman mereka yang terus menembak dan memanah, puluhan penghadang memanjat lambung perahu dengan talitali yang ujungnya diberi kaitan dan lebih_dulu dilemparkan mengait tepi geladak. Setangkas ketika mereka meluncur turun dari tebing-tebing tadi. begitu pula tangkasnya mereka memanjat. Tak terhindar, di atas geladak-geladak kapal pun terjadi pertarungan jarak dekat yang hebat. Senjata-senjata api jadi sedikit gunanya, dan senjata-senjata kuno macam pedang dan tombak lebih praktis. Sekali dua kali terdengar juga letusan di antara gemerincingnya senjata-senjata beradu dan teriakan-teriakan buas orang yang bertarung.
San Kin-mo yang gendut, biarpun terkenal sebagai "dewa gunung dengan tinju petir" namun dalam keadaan berbahaya seperti itu tidak hanya mengandalkan tinjunya saja, melainkan menghunus goloknya dan bertempurlah dia dengan hebat. Meski sudah "pensiun" dari kedudukannya sebagai "dewa gunung" yang ditakuti di perbatasan Kui-ciu dan Birma, namun sebagai salah seorang andalan Pangeran Lou-ong ia masih terus berlatih sebab banyak saingannya. Yang merosot kemampuannya akan mudah disingkirkan oleh yang lainnya. Dan kali ini San Kinmo dipercaya mengawal benda yang begitu penting, menandakan bahwa posisinya di sisi Pangeran Lou-ong sedang kuat.
San Kin-mo membentak dua kali dan goloknya pun membacok dua kali ke kiri kanan. dua lawan terjungkal masuk sungai dan darah mereka mewarnai air sungai.
Namun ketika San Kin-mo hendak mencabut nyawa korban berikutnya, sebuah toya perunggu yang bersinar kuning kemilau tahu-tahu mengancam hendak menyodok ulu hatinya. San Kin-mo melangkah mundur sambil menangkis, lalu ia memperhatikan penyerangnya, seorang lelaki berkulit bersih dan bertubuh ramping, biarpun mencoba berdandan seperti pembajak di sungai, namun tampangnya agak kurang cocok dengan dandanannya dan San Kin-mo langsung dapat melihat kejanggalan itu.
"Siapa kau?" bentak San Kin-mo. "Bertahun-tahun aku melayari sungai ini bolak-balik, kukenal kaum liok-lim (rimba hijau) maupun hek-to (jalan hitam) sepanjang sungai, tetapi belum pernah kulihat tampangmu."
"Anggap saja orang baru yang cari makan di ramainya lalu lintas di sungai ini." sahut Si Pembawa Toya Perunggu yang sebenarnya adalah Phui Tat-hong, komandan pasukan yang bersembunyi rapi dalam hutan. Waktu menjawab, sengaja ia memperdengarkan logat Hok-kian yang sudah dilatihnya.
San Kin-mo tidak percaya begitu saja jawaban itu. Logat Propinsi Hok-kian dari lawannya itu menimbulkan dugaan akan suatu pihak yang sudah lama bersaing dengan Pangeran Lou-ong, yaitu Pangeran Tong-ong di Hok-kian. Selain logat orang itu, San Kin-mo juga memikir, mana ada gerombolan bandit sungai yang mengaku "sekedar cari makan" punya meriam-meriam yang disembunyikan di tebing sungai segala"
Soalnya beberapa tahun yang lalu, Pangeran Lou-ong pernah menyerbu wilayah Pangeran Tong-ong hendak merebut sebuah wilayah yang menguntungkan. Pangeran Tong-ong dan kekuatan militernya
jauh lebih lemah, tetapi Laksamana The Seng-kong yang berpangkalan di Hok-kian tidak senang akan sikap Pangeran Louong yang mengandalkan kekuatan menganiaya yang lemah. Laksamana The Sengkang biarpun pangkalan armada perangnya' ada di wilayahnya Pangeran Tong, ong. namun dia bukan bawahannya pangeran Tong-ong, melainkan tunduk kepada pemerintah pusat di Lam-khia meskipun pemerintah Lam-khia amat tidak berwibawa. Sikap Laksamana The Sengkong itu sejalan dengan sikap jenderal jenderal patriotik di berbagai propinsi dalam mendukung dan tetap setia kepada Lam-khia biarpun Lam-khia kurang wibawa, sikap yang dipengaruhi oleh Helian Kong demi menjaga keutuhan negeri yang tinggal separoh di wilayah selatan itu. sementara yang separoh di utara sudah dicaplok Manchu. Berlandasan sikap itu, Laksamana The Seng-kong membela Pangeran Tong-eng yang lebih lemah yang dalam ancaman Pangeran Lou-ang. Di darat, pasukan Pangeran Lou-ong yang dikomandani Lim Kui-teng berhasil di
pukul mundur. Di perairan Sungai Mutiara, kapal-kapal perang Laksamana The Seng-kong berlayar jauh ke pedalaman dan mengancam akan menghancurkan semua dermaga perdagangan yang ada di wilayahnya Pangeran Lou-ang. Gertakan Laksamana The Seng-kong belum membuat Pangeran Lou-ong jeri, ia malah kembali menyusun kekuatan hendak melanjutkan pertempuran. Namun pada suatu hari, tiba-tiba sikap Pangeran Louong yang garang itu berubah drastis menjadi begitu "jinak" dan ia menarik pasukan-pasukannya dari posisi-posisi yang mengancam Pangeran Tong-eng. Tak ada yang tahu jelas alasan perubahan sikapnya. Tetapi ada desas-desus orang orang istananya Pangeran Lou-ong di Siao-hin maupun Pangeran Tong-ong di Hok-ciu, bahwa kedua Pangeran itu "mendapat kunjungan mendadak" dari Helian Kong, Si Jenderal tanpa kedudukan yang sudah beberapa tahun menghilang tak tentu rimbanya. Entah apa yang terjadi dengan "kunjungan mendadak" itu, tahu-tahu Pangeran Lou_ong dan Tong
ong berubah serempak jadi "anak-anak manis" dan tidak mau berperang lagi. Ternyata sikap "anak manis" itu bukan hanya menjangkiti kedua pangeran yang bertikai itu, melainkan menjangkiti juga pangeran-pangeran lainnya seperti Pangeran 'Kui-ong yang menguasai dua propinsi, Kui-sai dan Hun-lam. ltulah awalnya desas-desus tentang "Helian Kong kembali muncul di arena perebutan kekuasaan dengan 'kekuatan gunung' yang besar", kekuatan yang tak dapat diperkirakan berapa besarnya karena tersembunyi, tersebar di mana-mana. Sejak saat itu pula, para pangeran giat menyebar orang-orang mereka untuk mencari di mana Helian Kong, kalau sudah diketemukan akan dirangkul ke pihak mereka. Namun sekian lama usaha mereka sia-sia. Kemudian ketika para pangeran menerima perintah dari Kaisar di Lam-khia agar mengirim sepertiga pasukan masing-masing untuk menjaga Lam-khia dari _serbuan Manchu, para pangeran patuh bukan karena wibawa Kaisar, melainkan karena tahu bahwa Helian Konglah yang "punya kerja" di
belakang semuanya itu, demikian laporan rahasia dari kaki tangan mereka di Lamkhia. Bahwa Helian Kong diduga di belakang semua perubahan di Lam-khia, bisa ditebak dari terjungkalnya Bangsawan Dao yang semula begitu berpengaruh, dan juga digusurnya Jenderal .Eng Thian-bok dari jabatan Panglima Delapan Belas Dermaga Penyeberangan digantikan An Bwe yang semula tidak begitu terkenal. namun adalah orang yang tidak tedeng aling-aling menunjukkan simpatinya kepada Helian Kong. Perintah Kaisar kepada para pangeran agar mengirim pasukan membantu Lam-khia itu ternyata dijadikan alasan bagi para pangeran untuk memperkuat diri masing-masing. Tanpa alasan yang kuat, mereka tidak berani berbuat demikian karena takut "dikunjungi mendadak" oleh Helian Kong, kini dengan alasan "menghadapi ancaman Manchu" para pangeran memperkuat diri masing-masing dan mereka sudah siapkan jawabannya kalau-kalau Helian Kong "berkunjung".
Kini, di tengah-tengah Sungai Mutiara
berhadapan dengan lawannya yang bertoya perunggu itu, san Kin-mo ingat kejadian-kejadian' masa lalu dan menduga penghadang-penghadangnya ini adalah orang-orangnya Pangeran Tong-ong. Meski penghadang-penghadang itu tidak memakai tanda-tanda seragam pihaknya Tong-ong, melainkan berpakaian umumnya kaum bandit, itu tidak mengurangi prasangka San Kin-mo. "Pangeran Tong-ong tidak bodoh, ia tak mungkin menyuruh orang-orangnya berbuat 'begini dengan memakai seragam yang menunjukkan identitas mereka. Tentu takut kepada Helian Kong. Namun logat Ho-kian orang ini susah disembunyikan, he-he-he, jadi mereka tak dapat mengelabuhi aku." Mendengar jawaban orang bertoya perunggu itu, San Kin-mo tertawa, katanya berlagak pintar, "He-he-he, sobat, biarpun kau berdalih dan bersembunyi di balik seribu lapis kedok penyamaran, tetapi aku tahu siapa yang menyuruhmu bertindak begini. Tak ada bandit sungai biasa yang bernyali sebesar ini, berani menghadang kapal-kapal Pangeran Lou eng, apalagi yang kami bawa bukannya harta benda biasa kesukaan para bandit."
Phui Tat-liang girang" dalam hatinya bahwa umpannya mengena. Penyamarannya "sebagai bandit sungai" yang sengaja dibuat tidak sempurna di sana-sini itu telah berhasil mengobarkan prasangka San Kin-mo. itu jauh lebih ampuh dari pada terang-terangan berteriak-teriak mengaku sebagai prajurit-prajuritnya Tong-ong.
Girang dalam hatinya, namun Phui Tat-Hong justru pura-pura kaget, "Kau... tahu siapa kami?".
Merasa dirinya pintar sehingga "berhasil melucuti kedok" musuh, San Kinmo tertawa dingin, "Tentu saja aku tahu. Kau adalah utusan dari orang yang tidak senang Pangeranku menjadi kuat, karena takut dihajar lagi bukan?"
Phui Tat-liong pura-pura ingkar dengan keras, "Tebakanmu salah, babi gendut. Kami benar-benar bandit sungai!"
Phui Tat-liong tahu kata-kata sangkalannya itu amat mustahil dipercayai San Kin-mo, namun itu tidak penting.
Yang penting adalah mengobarkan kembali kecurigaan antara Lou-ang dan Tong-ong yang "udah padam" dua tahun namun masih membara di bawah permukaan. untuk mangobarkannya kembali tinggal meniupnya saja.
San Kin-mo yakin benar bahwa "bandit-bandit sungai" ini sebetulnya adalah samaran prajurit-prajurit Tong-eng. karena itu dengan gusar ia membentak. "Akan kutumpas kalian, siapa pun kalian. Kalian bertingkah bagai kaum hek-to (jalan hitam dunia kriminal). dan akan kuperlakukan sebagaimana kaum hek-to pula"
Lalu sambil membentak dan maju serempak goloknya melakukan tiga bacokan bervariasi yang disebut Lian-cuaam-to (bacokan tiga kali berantai).
Phui Tat-liang tidak mau didikte lawan dengan menyiapkan tangkisan-tangkisan sambil menebak-nebak ke mana arah serangan lawan selanjutnya, melainkan menyadari bahwa toya perunggunya yang lebih panjang dari golok lawan itu bisa menguntungkan. Maka ia tidak menangkis melainkan mundur seringkali sambil toyanya dijulurkan sejauh jauhnya ke depan hendak menyodok tubuh lawan. lalu diputar dalam lingkaran lebar untuk membentur dan mengacaukan gerak golok lawan dan kalau bisa hendak membuat golok lepas dari tangan pemiliknya. ltulah teknik Ce-thian-lo-liai (Dewa Monyet Kau Ce-thian Mengaduk-aduk Lautan).
San Kin-mo merasa goloknya ikut berputar namun ia pererat genggamannya sambil memperkokoh pijakan kakinya dan pinggangnya, lalu goloknya menyusuri toya lawan untuk membabat putus jari jari Phui Tat-hong yang memegangi toya. ltulah Sun-cui-tui-ciu (Mendorong Perahu Seturut Arah Air). teknik yang biasanya menggunakan pedang. namun kini menggunakan golok.
"Boleh juga kau. ndut' Phui Tat-hong menggeser kesamping dan toyanya menggebrak dari samping ke pelipis lawan dengan tipu Sian-ko-siang-cu (Bidadari Mengirim Anak) yang biasanya juga menggunakan pedang tetapi Phui Tat
liong dengan toya. Toya dan golok adalah senjata-senjata yang teknik permainannya oleh umum dipandang kalah halus dengan teknik-teknik pedang. Tetapi San Kin-mo dan Phui Tat-liong baru saja bergantian "menterjemahkan" teknik pedang dengan golok _dan toya mereka, dengan demikian keduanya saling pamer bahwa mereka memiliki teknik-teknik tempur tingkat tinggi.
Seterusnya keduanya saling serang dengan hebat di atas geladak kapal itu.
Waktu itu, di atas geladak ketiga kapal Pangeran Lou-ong itu sudah terjadi pertempuran hebat. Karena tempatnya terbatas, sedang yang bertempur banyak, maka gelanggang pertempuran jadi padat. Itu membuat orang-orang yang terlibat pertempuran harus bertindak serba keras, kejam. tak ragu-ragu., tak ada tempat buat pertimbangan panjang lebar. Kawan dan lawan bercampur-aduk, dan lawan bisa menyerang dari arah mana saja. Karena itu. ketangkasan masing masing -orang tanpa menunggu pertolongan teman, adalah menentukan mati hidup tiap orang. Dalam pertarungan macam itu, korban di kedua pihak berjatuhan cepat sekali.
Di ketiga kapal ada seribu prajurit, semuanya pilihan, andalan Pangeran Loubng 'untuk tugas-tugas penting. Namun prajurit-prajurit pilihan itu sekarang ketemu tandingan, sebab kawanan yang mengaku "bandit sungai" itu ternyata menunjukkan ketangguhan yang melebihi orang-orangnya Pangeran Lou-ong. Ketangguhan yang merupakan hasil suatu latihan yang keras dan makan waktu lama. dan ketangguhan macam itu mustahil dipunyai kawanan bandit sungai yang hidup sembrono dan seenaknya.
Nampaknya pihak Pangeran Lou-ang 'kewalahan menghadapi orang-orang itu. Kalau tidak segera meninggalkan gelanggang, San Kin-mo dan orang-orangnya bakal tertumpas habis di tengah sungai itu dan takkan tersisa seorang pun.
San Kin-mo yang sedang bertarung dengan Phui Tat-liang, kurang sempat memperhatikan anak buahnya. Tetapi
Phui Tat-liong tiba-tiba mundur merenggangkan diri sambil mengendorkan gerakan-gerakan toyanya, katanya, "He, gendut, kuberi kesempatan kau melihat anak buahmu."
San Kin-mo membuang pandangan ke kapalnya sendiri dan juga .ke kedua kapal lainnya, dan semangatnya pun menurun melihat keadaan prajurit prajuritnya. Prajurit-prajuritnya melawan dengan gigih dan tak kenal takut, namun hasil akhir dari pertempuran itu sudah bisa diramalkan. Prajurit-prajurit Lou-ong akan tertumpas, dan senapan-senapan yang dibawa dari Makao itu takkan terselamatkan. '
San Kin-mo mengertakkan gigi dengan geram. Kegagalan ini akan membuat kedudukannya jadi merosot dan lemah di matanya Pangeran Lou-ong, sebab di antara pembantu-pembantu dekat Pangeran Lou-ong sendiri ada persaingan sengit. Namun kalau nekad bertahan di situ mempertahankan barang bawaan dari Makao, bukan cuma susah bertahan jadi orang dekatnya Pangeran Lou-om!. bahkan juga akan susah bertahan jadi orang hidup.
Karena "itu, betapapun geramnya San Kin-mo tak terhindar bahwa ia akan pulang ke Siao-hin dan menghadap Pangeran Lou-eng dengan tangan kosong, sebagai pecundang.
Dengan mata menyala oleh amarah, ia menatap Phui Tat-liong dan berkata sengit, "Pangeran Tong-ong akan membayar mahaL untuk ini semua. Kami takkan tinggal diam. Dan' jangan anggap ini sebagai kemenangan, ini hanya keberuntungan."
Phui Tat-liong pura-pura menyangkal, "Siapa itu Pangeran Tong-ong" Kami tidak kenal yang namanya Tong-ong segala."
Phui Tat-liong benar-benar menerapkan resep : makin menyangkal, makin curigalah San Kin-mo ke pihaknya Pangeran Tong-ong. Dan memang itulah tujuan operasinya kali ini. Mengadu domba, ,.
"Sangkal semaumu, tetapi aku bukan orang tolol yang bisa kau akali seenakmu," geram San Kin-mo. Lalu teriaknya. "Mundur!" ;
. Anak buahnya pun mulai berusaha melepaskan diri dari gelanggang;_
Ternyata Phui Tat-liong juga memerintahkan agar anak buahnya melepaskan 'musuh, maka kaburlah San Kin-mo dan anak buahnya yang tinggal separoh.
*** Letnan kolonel berdarah Mongol. Tamtai Jin, mendekati Phui Tat-liong dan bertanya, "Apakah mereka benarbenar menyangka kita orang-orangnya Tong-ong?"
Phui Tat-liong menjawab sambil tersenyum-senyum, "Pasti, dan aku pun berlagak mengingkarinya mati-matian, tetapi itu pasti malah mengobarkan prasangkanya. He-he-he, lucunya, Si Gendut tolol itu pergi dengan meninggalkan kata-kata 'aku bukan orang tolol'... hehe-he."
"Ketiga kapal dan isinya sudah kita kuasai, enaknya kita apakan?"
"Ambil senjata-senjata apinya dan meriam-meriam kapalnya, lalu bakar
musnah kapalnya. Habis itu kita pulang dan menunggu_ perkembangan."
Pangeran Lou-ong Cu Yu-long di Siao-hin sedang menerima kunjungan seorang pembesar dari Lam-khia. yaitu Menteri Lim, membawa titah Kaisar di Lam-khia agar sepertiga pasukan yang sudah disanggupi oleh Lou-ons supaya segera dikirimkan ke Lam-khia untuk diatur posisinya.
Kepada Kaisar di Lam-khia yang adalah pamannya itu, Pangeran Lou-ong sebetulnya tak gentar sedikit pun, kalau ia menyatakan patuh dan sanggup, itu hanya basa-basi belaka. Yang ditakutinya adalah Helian Kong. '
Apalagi bersamaan atau menjelang kedatangan utusan dari Lam-khia itu, orang-orangnya Lou-ong melaporkan bahWa di Siao-hin dan sekitarnya secara mendadak banyak tempat-tempat dipajangi lukisan gunung hijau. Di rumahrumah makan besar, di warung-warung
arak kecil. di penginapan-penginapan dan sebagainya. Menurut tafsiran Han Sanciok yang pernah diutus menemukan jejak Helian Kong. lukisan gunung hijau macam itu bisa jadi tanda dari Helian Kong yang mengisyaratkan "aku di dekatmu". Itu yang tidak berani diremehkan Pangeran Lou-ong. Karena itu, Lou-ong menyambut Menteri Lim sebaik-baiknya, mengadakan jamuan kehormatan dan sebagainya, sambil dengan gagah menyatakan "siap ikut serta mempertahankan garis depan."
Namun diam-diam Pangeran Lou-ong juga mengkisiki Jenderal Lim Kui-teng, panglima militernya, agar pasukan yang dikirim ke Lam-khia itu dipilihkan pasukan yang jelek-jelek saja. Prajurit-prajurit yang belum berpengalaman, panglima-panglima atau perwira-perwira yang tak dapat diharapkan untuk lebih menguntungkan lagi, itulah yang akan dikirimkan ke Lam-khia.
Selain mengunjungi Pangeran Lou-ong, Menteri Lim sekaligus juga mengunjungi Jenderal Thio Hong-Koan dan Jenderal Thio Beng-cin, yang meskipun bermarkas di Propinsi Giat-kang, wilayah kekuasaan Lou-one. namun tunduk langsung kepada pemerintah di Lam-khia. Berbeda dengan Pangeran Lou-ang yang hanya mengirim sepertiga dan itu pun pasukan asal-asalan maka kedua Jenderal itu Justru masing masing mengirim dua pertiga, itu pun dipilihkan yang baik-baik, yang paling terlatih dan berpengalaman.
Selagi suasana Siao-hin dibakar semangat "membela tanah air" demikian, pulanglah San Kin-mo dan pasukannya yang compang-camping, melaporkan kegagalannya mengawal lima ratus pucuk senapan dari Makao.
Hampir meledak dada Pangeran Louong mendengar itu. Di ruang dalam istananya. ia sampai bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di depan San Kin-mo yang dibiarkannya tetap berlutut dengan_wajah kusut.
"Kau yakin mereka orang-orangnya Adinda Tong-ong?" tanya Pangeran Louong geram.
"Hamba tidak bisa memastikan. sebab orang-orang itu agaknya sudah membersihkan diri dari identitas aslinya. Bahkan ukiran burung camar yang biasa terdapat di gagang pedang prajurit-prajuritnya Pangeran Tong-ong, tak terdapat pada orang-orang itu. Tetapi, penyamar mana yang menyamar sambil membawa ciriciri asli kelompoknya" Namun hamba menangkap logat Propinsi Hok-kian dalam suara mereka, .dan sederet kecurigaan lain."
"Masuk akal. Dulu kalau Adinda Tong-ong tidak dibantu Laksamana The Seng-kong' pasti sudah kuhancurkan. dia. Dia pasti ketakutan mendengar aku memperkuat pasukanku dengan senapan, maka dia lakukan ini. Bagaimana dengan kapal-kapal kita?"
"Setelah isinya dikuras habis, kapal kapal kita dibakar."
"Keparat. Dua kapal lainnya aku tidak begitu sayang, tetapi kapal meriam Portugis itu benar-benar milikku yang berharga. Entah kapan aku bisa mendapatkan lagi yang seperti itu."
"Pangeran, hamba bersalah besar kepada Pangeran. Berilah hamba kesempatan untuk menebus kesalahan ini. Biar hamba pimpin pasukan untuk menggempur Hok-kian."
'Jangan." . "Ampun Pangeran, kenapa jangan?"_
"Helian Kong takkan suka melihat para pangeran saling gempur. Entah alasan apa yang membuat manusia berderajat rendah itu berani mengangkat dirinya menjadi pengatur para pangeran. Tetapi kita harus memperhitungkan dia."
"Jadi, Pangeran?"
"Harus kupancing Helian Kong sampai menemui aku. Kalau sudah berhadapan muka, aku akan bicara kepadanya tentang kelakuan buruk Adinda Tong-ong. Mungkin aku bisa memanfaatkan kekuatan Helian Kong untuk menghancurkan Tong-ong."
"Bagaimana kalau Helian Kong tanya buat apa Pangeran membeli senapan sebanyak itu dari Portugis?"
"Aku bisa pakai alasan, senapan-senapan itu untuk membekali prajurit-prajurit yang akan bertempur di Lam-kia. Mudah-mudahan Si Bedebah Helian Kong itu percaya." .
"Bagaimana cara menghubungi Helian Kong" Dia bagaikan hantu yang tak keruan datangnya dan perginya."
"Han San-ciok tahu caranya, meskipun masih kuragukan hasilnya, namun bisa dicoba."
*** Setelah sekian hari berada dalam tahanannya di tengah-tengah markas tersembunyi, Ang Siok-sim bukannya merasa tertekan atau bertambah kurus, malahan ia tetap segar dan sifat ramahnya yang sudah mendarah daging itu membuatnya malah berhasil berteman dengan beberapa pengawalnya. '
Pengawal-pengawal yang bergantian mengawasi "ketiga sandera itu memang dipesan untuk mengawasi baik-baik agar para sandera tidak kabur, namun tidak ada larangan untuk bersikap ramah. Banyak pengawal sudah saling kenal dengan Ang Siok-sim, saling mengetahui nama
masing-masing, dan para pengawal yang biasanya hidup serba disiplin dan nyaris tegang itu lama-lama merasakan juga alangkah nyaman di hati kalau sesama manusia bisa hidup dengan saling ramah. Apalagi Ang Siok-sim yang diketahui jelas tak bisa silat dan amat polos itu ternyata juga tidak menunjukkan tanda tanda ingin kabur. .
lni mengherankan beberapa pengawal, sehingga suatu kali seorang pengawal berajah .berewokan kaku seperti sikat kakus, bertanya kepada Ang Sick-sim, "A-sim, kuperhatikan kau ini kok makin betah di sini. Makanmu banyak dan lahap tidurmu nyenyak. Kau bahkan lebih lahap dan lebih nyenyak dari 'orang-orang di sini."


Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika percakapan terjadi, Ang Sioksim sedang duduk-duduk di bawah sebuah pohon yang rindang di luar rumah tempatnya dikurung bersama Ma Wan-yok dan Ma Wan-san. Pengawal yang menanyainya juga duduk di bawah pohon lain, beberapa langkah dari Ang Siok-sim. Namun ada beberapa pengawal lain yang
tetap berpencaran mengawasi Ang Sioksim. Udara memang panas siang itu, enak rasanya duduk-duduk di bawah pohon.
Jawab Ang Siok-sim; "Kenapa tidak betah" Aku kan masih di tengah-tengah manusia, dan bukannya di tengah-tengah ular berbisa" Soal tidur nyenyak dan makan lahap, asal kau gunakan waktumu untuk mengerjakan sesuatu yang memakan tenaga, kau akan bisa tidur nyenyak dan merasa enak makan."
Tetapi Si Pengawal berberewok kaku yang kepada Ang Sick-sim mengaku bernama An Lung itu tidak puas dengan jawaban Ang Siok-sim yang dianggapnya terlalu sepele. "A-sim, kau lihat sendiri kegiatan kami sehari-hari, kami berlatih dan itu berarti memeras tenaga. Habis latihan, kami merasa lelah dan lapar. Toh tidak banyak di antara kami yang bisa tidur senyenyak kau dan makan seenak" kau."
Ang Siok-sim garuk-garuk kepala, namun pikirannya yang cukup encer itu menuntunnya untuk menjawab, "Kakak
Lung. mungkin karena kegiatan kalian berbeda dengan kegiatanku. meskipun sama-sama melelahkan."
"Apa bedanya?" "Aku... menggarap tanah, membuat tanah menumbuhkan sesuatu yang bermanfaat dan menguntungkan aku dan manusia lain, sedangkan kalian"." Ang Siok-sim agak ragu meneruskannya. Selama hampir sebulan disekap di situ, Ang Siok-sim memang diijinkan ikut menggarap beberapa petak-petak tanaman pangan di situ dengan alasan tidak betah kalau diam saja.
"Kami juga mencangkul, menyiangi ladang," bantah Ang Lung, "Apa bedanya denganmu?"
"Bedanya... jangan marah ya?"
"Tidak. Tidak akan marah. Katakan pendapatmu." . '
"Kalian bukan cuma menggarap tanah untuk menghasilkan sesuatu, kalian juga berlatih berperang-perangan. berarti kalian menyiapkan diri kalian untuk... membunuh atau mencelakai orang lain. Pikiran itu mungkin yang membuat kalian
merasa sedikit tidak tenteram di hati. Kalian seperti menunggu dengan tegang sesuatu yang bakal terjadi."
An Lung menarik napas. Tanpa sepatah katapun ia mengakui dalam hati bahwa kata-kata Ang Sick-sim itu ada benarnya. Terutama soal "menunggu sesuatu dengan tegang" itu.
Melihat wajah An Lung yang agak murung, Ang Siak-sim berkata, "Maafkan kata-kataku, kalau ada yang salah."
"'Tidak, tidak. Kata-katamu ada benarnya. Pikiran kami memang dibebani sesuatu yang bakal terjadi di masa mendatang. Sesuatu yang entah bisa kami lalui hidup-hidup atau tidak. Kalau kami mati, kami tidak bertemu lagi dengan keluarga kami di utara."
"Perang?" tebak Ang Sick-sim.
"Bagaimana kau menebak begitu?"
Ang Siak-sim mengalihkan pandangan matanya ke bagian tengah tempat pemukiman tersembunyi itu. yang berupa sebuah lapangan luas, dan di bawah matahari ada ratusan orang sedang bermandi keringat melakukan latihan-latihan keprajuritan yang Berat di bawah aba-aba para perwira yang keras.
Sambil menatap latihan itu, Ang Siok-sim menjawab, "Mudah menebak bahwa kalian ini sedang disiapkan untuk berperang. Pertama, tak terlihat adanya wanita, anak-anak atau orang tua di sini, semua adalah lelaki-lelaki dewasa yang sehat dan berbadan utuh yang berguna di medan laga. Kedua, latihan perang perangan tiap hari itu sudah menunjukkan maksud tujuan kalian ada_di sini." .
"Kami memang prajurit..." An Lung tiba-tiba menghentikan kata-katanya, sadar telah mengucapkan sesuatu yang semestinya disembunyikan. Namun kemudian ia merasa tenang sendiri. Pertama, karena Ang Siok-sim dianggapnya cuma kuli angkut sebuah perusahaan pengawalan perjalanan yang tidak berbahaya. Kedua, tanpa diberi tahu pun. agaknya Ang Siok-sim memang sudah'bisa menebak siapa penghuni-penghuni tempat tersembunyi itu. Ketiga, buat apa kuatir terhadap seorang yang terkurung di situ dan nasibnya. di tangan penghuni
tempat itu macam Ang Siok-sim"
Ang Siok-sim pun tidak kaget kelihatannya, "Nah, Kakak Lung rasanya Kakak sudah menemukan resepnya banyak sobat di sini tidak tidur senyenyak aku dan tidak makan seenak aku. Yaitu menantikan sebuah perang, dengan taruhan kalau kalah takkan bertemu lagi dengan keluarga yang ditinggalkan di utara. Kedua. mungkin karena kalian terkenang keluarga yang ditinggalkan."
An lung mengangguk-angguk.
"Kakak Lung, sudah kira-kira sepuluh hari ini kulihat. kok jumlah orang-orang di sini tidak sebanyak biasanya. Rasanya.._. kira-kira separohnya tak terlihat. Termasuk Kakak Giang. adik Kakak Lung."
"Mereka sedang tidak di sini, tugas di luar,", kata An Lung sambil matanya menerawang jauh. "Dalam beberapa hari lagi juga akan pulang, tetapi pasti takkan sama jumlahnya. Pasti berkurang."
Ang Siok-sim paham. "Sebagian takkan ketemu lagi sanak keluarganya.
"tidur tak senyenyak Ang Siok-sim dan makan tak seenak Ang Siok-sim" seperti yang terwakili dari ucapan An Lung siang tadi. Ang Siok-sim juga paham, bahwa banyak sekali orang yang digolongkan sebagai "prajurit musuh" atau "prajurit' penjajah" pun memiliki kepedihan hati yang sama dengan yang menamakan diri "pembela negeri" atau "patriot". Banyak di antara orang yang disebut "prajurit musuh" itu sebenarnya tidak suka disuruh maju ke medan perang, tidak suka disuruh menyerbu dan merebut tanah orang lain, namun mereka harus melakukannya juga karena perintah dari atasan mereka, seperti An Lung yang siang tadi mengaku lebih senang tinggal di kampungnya di Liao-tong sana dan mencari jinsom sebagai penghidupan sehari-hari.
"Masih bisa diterima akal kalau orang baik berperang melawan orang jahat, tetapi sungguh sulit dipahami bahwa orang orang baik saling berbunuhan di medan lega karena perintah atasan," renung Ang Sick-sim. "Kalau para penguasa itu ingin .menambah wilayah, kenapa tidak mereka sendiri saja yang maju ke peperangan" Kenapa menyuruh orang-orang yang tadinya hidup tenteram untuk saling bunuh di medan laga demi kepentingan Si Penguasa?"
Ketika Ang Siok-sim bisa tidur juga beberapa jam kemudian, ia tak terlalu pulas lagi. Meski demikian, ia bangun terlambat juga. la tergagap bangun ketika sinar matahari pagi sudah menerobos jendela dan "memandikan" Ang Sick-sim dengan cahayanya yang bersahabat karena dipan tidur Ang Siok-sim memang terletak bertentangan dengan jendela yang menghadap ke timur. Jendela tak berdaun jendela namun berterali cukup uat.
Ketika Ang Siok-sim terbangun degan perut lapar, ia melihat Ma Wan-yok dan Ma Wan-san sudah mandi, sudah bersih dan duduk di dekat meja, namun . belum ada hidangan di atas meja itu.
"Lho, hidangannya belum datang?" tanya Ang Siok-sim.
Ma Wan-san meniawab. "Pagi ini ada yang agak berbeda. Bersihkan dulu dirimu Kakak Sim. Mungkin sebentar lagi makan pagi kita datang."
Ang Siok-sim pun menuju ke belakang untuk "keperluan-keperluan di belakang" seperti cuci-cuci, membersihkan diri, buang hajat dan sebagainya. ia nampak dua orang pengawal yang mengawasi di halaman belakang kelihatan berwajah murung.
Makan pagi benar-benar terlambat sampai Ma Wan-san sudah menggerutu. Namun akhirnya Paman Boan Si Juru Masak muncul juga dengan keranjang bersusun tiganya. "Maaf, kalian -tentu sudah kelaparan. Kami di dapur harus menyiapkan makanan jauh lebih banyak untuk sembahyang. Kami hampir-hampir tidak tidur," kata Paman Boan.
Ma Wan-san hampir saja memprotes tetapi Ang Siok-sim malah sudah mendahuluinya berterima kasih, "Kami berterima kasih kepada Paman Boan, di saat serepot ini pun kalian tetap memperhatikan makan minum kami."
"Ah. tidak apa-apa. Kata komandan
Phui kalian adalah tamu yang harus diperlakukan pantas." tetapi Paman Boan lalu merasa istilah "tamu" itu agak ganjil, lalu ditambahkannya, "... ya meskipun tamu dengan beberapa pembatasan."
Sementara kemarahan Ma Wan-san sudah luntur begitu hidungnya mencium beberapa jenis masakan yang baunya lolos keluar dari sela-sela keranjang bambu bersusun tiga itu. Di antaranya ada masakan kesukaannya yang kemarin ia pesankan kepada Paman Boan, dan Paman Boan menyanggupinya setelah sedikit dirayu.
Ang Siok-sim kemudian bertanya. "Paman, sembahyang untuk siapa?"
"Untuk teman-teman kami yang tak dapat kembali lagi kemari karena gugur dalam tugas."
"Berapa yang gugur?"
"Sekitar... seratus lima puluh orang."
Ang Siok-sim tak bertanya lagi menghitung dan membayangkan berapa banyak orang di utara sana yang bersedih karena kehilangan" Dan masih akan bertambah -berapa lagi dalam pertikaian-pertikaian ini.
*** Ang Siok-sim tertawa, ia memang beberapa kali mengobrol dengan Paman Boan ini dan pernah juga cerita tentang Bibi Mo, tukang masak di Ceng-san-lau di Lam-khia. "Kurang bumbu juga sudah lezat kok, Paman."
Paman Boan sudah melangkah balik ke dapur. namun baru beberapa langkah ia sudah berhenti dan berpaling ke arah An Lung yang sedang duduk melamun di bawah pohon. Hiburnya, "Sudahlah, firasat bisa keliru."
An Lung menyeringai. "Mudah-mudahan flrasatku kali ini keliru, Paman."
Sementara Ang Siok-sim membawa makanannya ke dalam rumah tempat ia bertiga ditahan. Ia ajak Ma Wan-yok dan Ma Wan-san makan.
Sebenarnya Phui Tat-Hong juga mengijinkan kedua gadis itu keluar berjalan jalan di seluruh pemukiman asal tidak keluar batas pemukiman, namun kedua gadis itu jarang menggunakan ijin itu. Begitu pula ruang itu mereka hanya mengobrol dalam ruangan. .
Hari itu berlalu tanpa kejadian luar biasa sampai matahari terbenam. Namun ketika hari sudah gelap, terdengar suara keributan di pemukiman itu.
Ang Siok-sim bertiga yang sedang mengobrol sambil menunggu makan malam, tertarik lalu menghentikan obrolan mereka lalu menjenguk keluar jendela berterali. Mereka melihat banyak orang datang sambil membawa obor-obor, dan hampir seluruh penghuni tempat itu keluar dari tidurnya untuk menyambut.
"Ada apa itu?" tanya Ma Wan-yok yang mengintip di samping Ang Siok-sim.
jawab Ang Sick-sim, "Mungkin mereka yang tugas di luar sudah kembali."
"Tugas luar" Tugas luar apa?"
"Mereka ini prajurit."
"Prajurit dari pihak mana?"
Hampir mulut Ang Sick-sim menyebut "dari Liao-tong" tetapi ditahannya, bisa membahayakan diri sendiri maupun kedua Nona Ma. M_aka hanya dijawabnya, "Entah."
Kerumunan orang-orang itu, baik yang baru datang maupun yang menyongsong itu terdengar bicara simpang-siur. lalu terdengar ada yang menangis sedih pula tanpa malu-malu, meskipun mereka adalah lelaki-lelaki gagah yang setiap hari berlatih perang.
Hati Ang Siok-sim terpengaruh suara tangisan itu, ingat percakapan dengan An Lung siang tadi, "... mereka akan pulang, tetapi jumlahnya pasti berkurang, sebagian takkan ketemu lagi dengan sanak keluarga yang tinggal di utara."
Malamnya Ang Siok-sim tak lagi dapat _tidur nyenyak. Tidurnya sekejap-sekejap, dan yang sekejap-sekejap itu senantiasa dihantui mimpi buruk. Salah satu mimpinya malam itu ialah ia mimpi kakak iparnya, Kapten Eng Liong. gugur di peperangan lalu kakak perempuan Ang Siok-sim serta kedua anaknya pun menderita seumur hidupnya.
"Tidak!" Ang Siok-sim geragapan hangun dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya.
Ketika ia merenung-renang karena sulit memejamkan mata kembali, Ang Siok-sim bisa ikut merasakan kenapa penghuni-penghuni tempat ini mengaku
"tidur tak senyenyak Ang Siok-sim dan makan tak seenak Ang Siok-sim" seperti yang terwakili dari ucapan An Lung siang tadi. Ang Siok-sim juga paham, bahwa banyak sekali orang yang digolongkan sebagai "prajurit musuh" atau "prajurit' penjajah" pun memiliki kepedihan hati yang sama dengan yang menamakan diri "pembela negeri" atau "patriot". Banyak di antara orang yang disebut "prajurit musuh" itu sebenarnya tidak suka disuruh maju ke medan perang, tidak suka disuruh menyerbu dan merebut tanah orang lain, namun mereka harus melakukannya juga karena perintah dari atasan mereka, seperti An Lung yang siang tadi mengaku lebih senang tinggal di kampungnya di Liao-tong sana dan mencari jinsom sebagai penghidupan sehari-hari.
"Masih bisa diterima akal kalau orang baik berperang melawan orang jahat, tetapi "sungguh sulit dipahami bahwa orang orang baik saling berbunuhan di medan laga karena perintah atasan," renung Ang Sick-sim. "Kalau para penguasa itu ingin .menambah wilayah, kenapa tidak _mereka sendiri saja yang maju ke peperangan" Kenapa menyuruh orang-orang yang tadinya hidup tenteram untuk saling bunuh di medan laga demi kepentingan Si Penguasa?"
Ketika Ang Sick-sim bisa tidur juga beberapa jam kemudian, ia tak terlalu pulas lagi. Meski demikian, ia bangun terlambat juga. ia tergagap bangun ketika sinar matahari pagi sudah menerobos jendela dan "memandikan" Ang Siok-sim dengan cahayanya yang bersahabat karena dipan tidur Ang Sick-sim memang terletak bertentangan dengan jendela yang menghadap ke timur. Jendela tak berdaun jendela namun berterali cukup kuat.
Ketika Ang Siok-sim terbangun degan perut lapar, ia melihat Ma Wan-yok dan Ma Wan-san sudah mandi, sudah bersih dan duduk di dekat meja, namun belum ada hidangan di atas meja itu.
"Lho, hidangannya belum datang?" tanya Ang Siok-sim.
Ma Wan-san menjawab, "Pagi ini ada yang agak berbeda. Bersihkan dulu dirimu Kakak Sim. Mungkin sebentar lagi makan pagi kita datang."
Ang Siok-sim pun menuju ke belakang untuk "keperluan-keperluan di belakang" seperti cuci-cuci, membersihkan diri, buang hajat dan sebagainya. la nampak dua orang pengawal yang mengawasi di halaman belakang kelihatan berwajah murung.
Makan pagi benar-benar terlambat sampai Ma Wan-san sudah menggerutu. Namun akhirnya Paman Boan Si Juru Masak muncul juga dengan keranjang bersusun tiganya. "Maaf. kalian -tentu sudah kelaparan. Kami di dapur harus menyiapkan makanan jauh lebih banyak untuk sembahyang. Kami hampir-hampir tidak tidur," kata Paman Boan.
Ma Wan-san hampir saja memprotes tetapi Ang Sick-sim malah sudah mendahuluinya berterima kasih, "Kami berterima kasih kepada Paman Boan, di saat serepot ini pun kalian tetap memperhatikan makan minum kami."
"Ah. tidak apa-apa. Kata komandan
Phui kalian adalah tamu yang harus diperlakukan pantas.." tetapi Paman Boan lalu merasa istilah "tamu" itu agak ganjil. lalu ditambahkannya, ?" ya meskipun tamu dengan beberapa pembatasan."
Sementara kemarahan Ma Wan-san sudah luntur begitu hidungnya mencium beberapa jenis masakan yang baunya lolos keluar dari sela-sela keranjang bambu bersusun tiga itu. Di antaranya ada masakan kesukaannya yang kemarin ia pesankan kepada Paman Boan, dan Paman Boan menyanggupinya setelah sedikit dirayu.
Ang Siok-sim kemudian bertanya, "Paman, sembahyang untuk siapa?"
"Untuk teman-teman kami yang tak dapat kembali lagi kemari karena gugur dalam tugas."
"Berapa yang gugur?"
"Sekitar... seratus lima puluh orang."
Ang Siok-sim tak bertanya lagi menyinggung dan membayangkan berapa banyak -orang di utara sana yang bersedih karena kehilangan" Dan masih akan bertambah berapa lagi dalam pertikaian-pertikaian
berikut" Paman Boan berlalu, Ang Siok-sim makan namun tidak terlalu berselera meskipun tadinya ia lapar. Ang Sick-sim jadi ketularan tidur tak terlalu nyenyak dan makan tak terlalu lahap, karena suasana hatinya. '
Hari itu, suasana di pemukiman tersembunyi itu agak lain dari hari-hari biasanya. Tak ada yang menggarap kebun-kebun pangan atau kandang-kandang ternak, tak ada yang berlatih, yang tetap di tempat biasanya hanyalah para penjaga yang mengawasi sekitar kamp. Dan
para penghuni yang biasanya berpakaian seadanya, bahkan bila hari sedang panas banyak yang berkeliaran hanya dengan celana setinggi lutut dan baju buntung atau bahkan tak berbaju sama sekali. kali ini semuanya berseragam dan berdandan rapi. Celana biru tua, sepatu setinggi betis warna hitam, baju juga biru tua dengan pinggiran merah dan kerah tutup juga warna merah, ikat pinggang hitam. Topinya bukan topi besi seperti yang biasa dilihat Ang Sick-sim, melainkan topi caping dari rotan yang di puncak capingnya dihiasi benang-benang merah. Pada beberapa orang yang berpangkat perwira, capingnya juga dihiasi bulu burung merak. Suasana kelakar dan santai, kini jauh lebih bersungguh-sungguh, bahkan... murung.
Ang Siok-sim bisa melihat semua itu. sebab sehabis sarapan pagi ia diminta membantu mengatur meja-meja di tengah lapangan. Belasan meja disambung-sambung lalu diberi alas kain merah untuk ditaruhi makanan-makanan sesajian yang ratusan jenisnya. Dupa-dupa dikeluarkan dan dibakar, begitu pula kertas-kertas kuning, sehingga udara jadi terasa seperti di dalam sebuah kuil.
Kalau selama ini Ang Sick-sim baru meraba-raba atau menebak-nebak pasukan yang bersembunyi di hutan ini pasukan mana, sekarang semuanya jadi jelas dan terang benderang ketika melihat sehelai bendera besar dikeluarkan dari ruang tempat tinggal Komandan Phui sendiri, lalu dikibarkan di tiang utama. Bendera segitiga hitam dengan gambar seekor
naga emas berkuku lima. itulah bendera kerajaan Manchu. Ngo-jiau Kim-liong-ki. Ang Siok-sim bukanlah seorang yang memihak sana-sini dalam pertikaian berkepanjangan di daratan Cina, pertikaian yang membingungkan orang-orang kecil, : namun sedikit banyak Ang Siok-sim terpengaruh juga oleh percakapan-percakapan yang didengarnya di Lam-khia, di ceng-san-lau, dengan jantung berdebardebar Ang Siok-sim melihat betapa sebuah pasukan Manchu bersembunyi rapat rapat jauh di belakang garis pertahanan pasukan dinasti Beng. "Pasukan dinasti Beng bersiaga menghadapi utara, tetapi mereka belum tentu tahu ada pasukan musuh di sebelah selatan mereka," pikir Ang Siok-sim. Biarpun bukan ahli militer. Ang Sick-sim sadar juga gawatnya keadaan macam itu. '
Yang membuat Ang Siok-sim sedikit, menguatirkan _ pasukan dinasti Beng bukanlah pertimbangan yang muluk-muluk atau istilah ruwet-ruwet kaum militer atau politik. melainkan sederhana : karena kakak iparnya anggota pasukan Kerajan Beng. Kalau kakak iparnya mengalami nasib buruk, kakak perempuan Ang Siok-sim dan anak-anaknya pun akan mengalami banyak penderitaan seperti yang diimpikannya semalam. Itu saja. Namun Ang Siok-sim juga tak menyangkal bahwa di antara prajurit-prajurit Manchu ini ia sudah punya beberapa teman erat, seperti An Lung misalnya. Dan beberapa orang lagi.
Sementara sedang mengatur sesaji sesaji di meja sembahyang di bawah petunjuk Paman Boan, Ang Siok-sim melihat An Lung dalam seragam prajuritnya lewat di dekatnya, matanya merah bengkak, mungkin ia menangis semalaman.
"Kakak Lung," sapa Ang Siok-sim.
An Lung berhenti melangkah dan menatap Ang Siok-sim dengan sorot mata penuh kebencian yang membuat Ang Siok
sim kaget. Inikah An Lung yang kemarin
' siang mengobrol akrab dengannya di bawah rindangnya pohon" Berbeda benar dengan yang kemarin.
An Lung menatap Ang Siok-sim lalu berdesis pelan, "Kalian babi-babi bangsa Han. kalian membunuh adikku!"
"Jadi... Kakak Giong... telah?" Ang Siok-sim kaget. tenggorokannya seolah tersumbat oleh rasa haru yang menggumpal naik dari dasar hatinya. An Giong dikenalnya belum lama. baru mulai semenjak Ang Sioksim di situ, namun sudah agak akrab juga dengan Ang Sioksim.
Hanya saja, sikap Ang Siok-sim itu tak mempengaruhi sikap benci An Lung. "Aku segera berharap dikirim ke medan laga, akan kubunuh orang Han sebanyak banyaknya agar tenteramlah arwah adikku." kata An Lung sambil melangkah pergi. .
Ang Siok-sim berdiri termangu. Cepat benar perubahan An Lung. kemarin dan hari ini sudah seperti langit dan bumi jauhnya. Apakah begini sifat semua orang-orang dalam peperangan" Mudah terpengaruh _kematian orang dekatnya" Kalau yang mudah terpengaruh dendam itu kebetulan berkedudukan tinggi untuk bisa menggerakkan ribuan prajurit, bukankah bisa menimbulkan gelombang bencana yang menimbulkan penderitaan lebih besar" Orang begitu dendam akan kematian orang-orang dekatnya, -tetapl tidakkah mereka berpikir bahwa orang-orang dekatnya itu juga sudah membunuh pihak lain dan menimbulkan dendam pula"
"Orang-orang sudah menjadi gila karena dendam," pikir Ang Siok-sim sedih. "Siapa bisa menghentikan ini?"
Setelah selesai membantu Paman Boan mengatur tempat itu, tiba-tiba Ang Siok-sim ingin ikut bersembahyang. ia lalu menghadap Komandan Phui untuk menyampaikan maksudnya.
Phui Tat-liong sedang duduk di ruangn rapatnya sambil menunggu selesainya . persiapan. Dan ia tercengang ketika Ang siok-sim menghadapnya diantar seorang -prajurit penjaga, menyatakan maksudnya.
"Kenapa kau ingin melakukannya?"
"Karena beberapa orang yang gugur itu sudah kenal cukup baik denganku, meski belum lama."
Phui Tat-liong menatap Ang Siok-sim gak lama, lalu mengangguk mengijinkan.
Ang Siok-sim pun cepat-cepat kembali ke bangunan tempatnya dikurung untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian yang paling pantas yang dibawanya dari Lam-khia, sehingga mengherankan
kakak beradik she Mo yang melihatnya.
"Eh, Kakak Sim, kok berdandan rapi' kenapa" Ada cewek ?" goda Ma Wan-san
Jawaban Ang Siok-sim bersungguh sungguh, "Mau ikut menyembahyangkan arwah orang-orang yang gugur itu."
"Kau disuruh ikut?"
"Tidak. Keinginanku sendiri. Aku minta ijin dan diperbolehkan."
"Menyembahyangkan arwah orang orang yang... menculik kita?"
"Tetapi Juga yang kita kenal baik. Bukankah selama ini kita diperlakukan baik ?" ,
Ma Wan-yok dan Ma Wan-san merenungkan jawaban Ang Siok-sim itu. Sementara Ang Siok-sim juga berkata pula, "Aku Juga akan menyembahyangkan arwah orang-orang yang sempat dibunuh
oleh orang-orang yang gugur itu semasa kali hidupnya, agar jangan lagi penasaran dan sampai menuntut pembalasan lewat orang-orang yang masih hidup."
Ma Wan-yok tersentuh oleh sikap Ang Siok-sim, "Kami berdua juga akan bersembahyang di ruang ini menurut cara kami."
Ang Siok-sim mengangguk, lalu melangkah keluar.
Upacara sembahyang berlangsung khidmat. Nama prajurit-prajurit yang gugur sudah dituliskan masing-masing di atas sehelai hun-pai (papan arwah) yang ditaruh berderet-deret di altar yang amat lebar itu. Di antara hampir lima ribu prajurit yang berseragam sama, Ang Siok sim yang dandanannya lain sendiri itu jadi cukup menarik perhatian lain-lainnya namun karena ia sudah diijinkan oleh Phui Tat-liang sendiri,. tak ada yang mengusiknya.
Bahkan setelah upacara selesai dan para prajurit sudah bubar, Ang Siok-sim masih sujud khusyuk dengan dupa di tangannya, sehingga Paman Boan mendekatinya dan berkata, "Sudah selesai, Asim."
Si Juru Masak tua itu pun memakai
seragam prajuritnya, biarpun rambutnya ada putih dan giginya sudah ompong.
Ang Siok-sim menyelesaikan doanya sampai menancapkan dupa di altar. baru menjawab Paman Boen, "Aku bukan cuma mendoakan yang gugur, tetapi juga mendoakan yang terbunuh oleh mereka."
"Tapi yang terbunuh oleh orang-orang kita itu kan musuh?"
"Tapi kan manusia juga?"
"Betul juga." _
Hari itu Ang Siok-sim menghabiskan waktu hanya di dalam ruang penyekapannya, merenungkan banyak hal. Yang keluyuran keluar malahan kakak beradik Ma Wan-yok dan Ma Wan-san. Seperti Ang Siok-sim. kedua gadis itu pun sudah mendapat teman-teman baru di pemukiman itu, bahkan lebih banyak dari yang diperoleh' Ang Siok-sim karena alasan yang sederhana saja, kaum lelaki di situ tentu senang berkawan dengan gadis secantik Ma Wan-yok. Mulanya Ang Sioksim agak cemas juga, menyangka bahwa orang-orang di tempat itu "buas-buas", namun ternyata mereka sopan-sopan karena terikat disiplin yang tinggi. Ang Siok-sim jadi luntur pula anggapan yang selama ini terbentuk di kepalanya bahwa "Manchu itu biadab dan Han itu beradab". Ma Wan-san malah sempat bertukar pengetahuan tentang catur dengan seorang perwira di situ. Ma Wan-san mengajarkan catur india. yang ia pelajari dari seorang perwira Portugis di Makao yang pernah bertugas lama di koloni Portugis di Goa, india. Sedangkan dari perWIra itu Ma Wan-san belajar catur ala Cina yang disebut siang-ji (catur gajah).
Dengan demikian, Ang Siok-sim bertiga lama-lama tidak terlalu merasa bahwa mereka itu orang culikan.
Tapi hari itu, sikap An Lung yang tiba-tiba menunjukkan kebencian, membuat Ang Siok-sim amat enggan keluar dari bangunan kayu itu. ia tidur-tiduran saja di dipan, ketika makan siang diantar datang maka ia pun makan siang. Ketika sore tiba, dia pun memasang lilin dalam rumah maupun di luar rumah dengan kerudung lampionnya.
Namun sore itu. ketika Ma Wan-yok dan Ma Wan-san sudah berkumpul kembali di ruangan kayu itu sambil mengobrol dan menunggu makan malam, tiba tiba pintu diketuk dari luar. Suara ketukannya terdengar ragu.
Tanpa mempedulikan suara ketukan itu dengan seksama, Ma Wan-san bangkit dari duduknya dan dengan gembira melangkah ke pintu sambil berkata kegirangan, "Masak apa malam ini, Paman Bobn?"
Ketika pintu dibuka, .ternyata yang mengetuk itu bukan Paman Boan melainkan An Lung.
"Aku mau ketemu Ang Siok-sim," kata An Lung kepada Ma Wan-san yang berdiri di ambang pintu.
Ang Siok-sim yang mendengarnya pun berdebar-debar mengenali suara An Lung. Mau apa An Lung mendatanginya malam malam begini" Namun Ang Siok-sim melangkah juga ke pintu dan menyambut, "Silakan masuk, Kakak Lung."
Tanpa kata-kata An Lung melangkah masuk, wajahnya masih nampak sedih dan matanya juga masih agak merah. Dengan langkah lunglai ia menduduki salah satu bangku di ruangan itu. dan untuk beberapa saat suasana jadi canggung karena sikap An Lung itu.
"Kakak Lung... ada keperluan apa?" Ang Siok-sim coba "mengalirkan" suasana yang membeku.
An Lung menarik napas lalu berkata, "Aku ingin minta maaf kepadamu, A-sim. Sikap dan kata-kataku kepadamu tadi "siang di lapangan sembahyang, benar benar sikap yang buruk."
Ang Siok-sim lega. "Aku bisa paham, Kakak Lung. Kakak baru saja kehilangan seorang yang Kakak sayangi. jiwa Kakak pasti amat goncang dan sikap Kakak itu normal. Semua orang mungkin juga begitu." "Aku juga ingin minta maaf kepada seluruh bangsa Han, karena sikapku yang mengungkit-ungkit soal suku bangsa dan asal-usul keturunan. Kau kuanggap mewakili bangsa Han, A-sim."
"Semua manusia sama sebenarnya. Kalau mendapat sesuatu yang diharapkan.
mereka senang. Kalau kehilangan sesuatu yang disayangi, mereka sedih."
"itu pelajaran berharga buatku, A-sim. Pikiran sempat tersesat karena mengikuti perasaan sedih yang berlarut, kuanggap semua bangsa Han jahat karena mereka membunuh adikku. Tetapi. kalau bangsa Han jahat karena membunuh An Giong, entah berapa juta kali jahatnya bangsaku. bangsa Manchu, yang membantai penduduk Yang-ciu dan Ke-teng" Betapa jahatnya kami yang datang ke selatan dan merampas negeri orang Han?"
Komplotan Pemuja Vodoo 2 Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar Badai Awan Angin 32

Cari Blog Ini