Panglima Gunung Karya Stefanus Sp Bagian 9
Ngo Tat mengarang cerita, katanya ia dan Yin Mo menghadapi Helian Kong bersama-sama namun Yin Mo terbunuh, sedang Helian Kong keracunan. Tak peduli cerita bikinannya itu banyak kejanggalan, Phui Tat-liong dan perwira-perwira lain tak berani mempertanyakan. Walau ada keraguan, harus disembunyikan jauh-jauh di hati, mereka berlagak percaya.
Ngo Tat kemudian berkata, "Tak kusangka Helian Kong muncul secepat ini di wilayah kemelut ini*. Sekarang bawa dia, Panglima Tertinggi akan gembira sekali mendengar berita ini."
Para perwira itu pun menggotong
tubuh Helian Kong, juga tubuh prajurit manchu yang menyamar sebagai pemburu
yang ditugaskan mengawasi tempat itu.
Dalam waktu singkat, Ngo Tat mengabarkan perihal tertangkapnya Helian
Kong kepada Panglima Tertingginya yaitu
Jenderal Ni Kam. Namun Ngo Tat juga
mengirim berita kepada orang-orangnya
di kota-kota Siao-hin, Hok-ciu dan Kui-lim , yaitu kota-kota tempat
para pangeran yang berambisi sekaligus
punyaa kekuatan militer dan penuh nafsu
bersaing pula, yaitu Pangeran Lou-ong,
Pangeran Tong-ong dan Pangeran Kui-ong.
"Mereka pun patut mendengar berita
ini, " kata Ngo Tat di depan Phui Tatliong, Cek Sun-yan dan Yehlu Long,
" supaya kalau para pangeran itu ingin cakar-cakaran atau memberontak kepada Lam-khia, silakan, sekaranglah saatnya,
Helian Kong yang selama ini mengekang mereka, sudah tidak berdaya... he-he-he."
Phui Tat-liong dan lain-lainnya pun
ikut menunjukkan kegembiraan mereka.
Rasanya sudah terbayang akhir dari masa
menjemukan selama ini yaitu menunggu kekuatan kekuatan di wilayah selatan terpecah belah sebelum jenderal Ni Kam menggerakkan bala tentara besarnya menyeberangi sungai besar menduduki wilayah selatan.
Namun hanya perwira yang berjiwa militer itu tidak tahu bahwa dalam laporan Ngo tat terhadap jenderal Ni Kam terdapat tulisan Ngo tat yang seperti ini "Harap panglima ketahui bahwa apa yang kita selama ini kita curigai bahwa Bu sam kui berusaha mendahului kita menguasai se-cuan sebagai lumbung beras yang melimpah agar ia memiliki posisi yang kuat terhadap kita.ternyata terbukti.Bu sam kui mengirim Yin mo sebagai utusan rahasianya.untuk membujuk komandan komandan kita di selatan agar membantu mempercepat Bu san kui menguasai Se-cuan ,aku tidak tahu rencana terperincinya tetapi mungkin Yim mo disuruh membujuk komandan komandan selatan kita agar lebih menekan kekuatan kekuatan dinasti Beng di Se-cuan,menekan dari sebelah timur.
Tentunya, kalau itu benar, akan bertentangan dengan rencana Anda bahwa komandan-komandan selatan harus mengacaukan garis belakang musuh agar pasukan Anda mudah menyeberang. Tetapl jangan kuatir. Yim Mo sudah aku hentikan. Aku menyarankan kepada Panglima agar mengambil suatu tindakan yang halus untuk mengurangi kekuatan Bu Sam-kui. Kemenangan Bu Sam-kui di sayap barat memang menguntungkan kita di sayap timur, namun kemenangan Bu Sam-kui itu tidak boleh terlalu cepat atau terlalu besar, sebab kalau dia berhasil lebih dulu menguasai Se-cuan, jangan-jangan timbul niatnya untuk mendirikan kerajaan sendiri dan memisahkan diri dari kita" Harap Panglima tidak lupa bahwa bagaimanapun Bu Sam-kui bukan orang satu suku dengan kita. Hal lain yang ingin kuberitahukan kepada Panglima ialah : mulai sekarang semua komandan-komandan selatan kita seperti PhuiTat-liong, Cek Sun-yan, Goh Tiok-lip dan lain-lainnya agar diwaspadai, tetapi jangan sampai mereka sadar kalau diwaspadai. Aku hanya kuatir beberapa di antara mereka sudah agak terbujuk Bu Sam-kul melalui Yim Mo. Aku belum berani memastikan seberapa jauh mereka terpengaruhi oleh Bu Sam-kui, aku berjanji akan menyelidiki mereka tanpa mereka sadari. Mudah-mudahan mereka tidak terpengaruh dan tetap setia kepada Panglima, sebab kesetiaan mereka amat kita butuhkan dalam rencana penyerbuan kita ke selatan. Titip salam buat guruku.'
Laporan rahasia ini dijamin sampai langsung ke tangan Jenderal Ni Kam sendiri, tanpa melewati orang-orang di sekitar Jenderal Ni Kam yang siapa tahu memendam berbagai kepentingan. Dijamin seperti itu, sebab Ngo Tat menggunakan orang yang sangat khusus pula, tidak lewat burung merpati.
Berita tertangkapnya Helian Kong segera menyebar ke pihak-pihak yang berkepentingan di wilayah selatan itu.
Yang paling terpukul adalah kekuatan
yang mendukung Helian Kong sendiri. Kekuatan beaar yang menyebar di manamana dan dijuluki "laskar gunung hijau" atau "laskar tiga pegunungan" itu ibarat ular tak berkepala.
Di saat kebingungan itulah ji-aan-cu (Pemimpin Gunung Kedua). Yo Kian-lii, seorang bekas tokoh gerakan pemberontak Pelangi Kuning yang bersama teman temannya bergabung dengan Helian Kong, mencoba menenteramkan kekuatan besar yang gelisah itu. Cepat disebarnya undangan kepada semua tokoh "gunung hijau" agar secepatnya berkumpul di gunung Pek-hong-aan, untuk merundingkan dan menyatukan langkah berikut, supaya kekuatan besar yang sudah dibina bertahun-tahun itu tidak berantakan karena mengambil langkah sendiri-sendiri.
Dalam pertemuan itu. Yo Kian-hi disepakati menjadi pemimpin sementara menggantikan Helian Kong. Yo Kian-hi berasal dari golongan yang bertentangan dengan Helian Kong dulunya, kalau Helian Kong dulu adalah panglima dinasti Beng. Yo Kian-hi adalah hulubalang kaum'Pelangi Kuning yang menumbangkan dinasti Beng yang waktu itu beribu kota di Pak-khia. Ketika Manchu berhasil mencaplok separuh daratan Cina dan bagian utara, Helian Kong dan Yo Kian-hi sama sama sadar bahwa mereka harus melupakan permusuhan dan bersatu membendung Manchu. Demikianlah Yo Kianhi dan banyak bekas jago'jago Pelangi Kuning lainnya bergabung dengan Helian Kong dan memperkuat "laskar gunung" Helian Kong. Sekian tahun bersama Helian Kong. Yo Kian-hi menunjukkan kesetiaan dan kerjasama yang tak meragukan. ia dihormati sama seperti orang menghormati Helian Kong. Maka ketika ia dipilih mengetuai sementara "kaum gunung hijau" itu, tak ada yang keberatan.
Hasil pertemuan lainnya. kaum "gunung hijau" di berbagai tempat akan tetap melanjutkan apa yang sudah dilakukan selama ini. Yang di tepian Sungai Besar untuk membina penduduk menjadi kekuatan membendung Manchu, ya tetap melakukan itu. Yang di perbatasan wilayah Giat-kang dan Hok-kian untuk menengahi pertikaian Pangeran lou-ong dan Tong-ong, ya melanjutkan tugasnya di situ. Begitu pula yang di tempat-tempat lain. Selain itu, Yo Kian-hi bersama banyak jagoan "gunung hijau" akan menyebar mencari jejak Helian Kong. Yo Kianhi sendiri dan beberapa jagoan kaumnya akan mengawali penyelidikan dari wilayah tenggara, tempat Helian Kong terakhir kali menampakkan diri di depan anak buahnya di tempat itu.
Sementara itu, di istananya di Siaohin, Pangeran Lou-ong bagaikan keledai liar yang lepas kekangnya ketika mendengar kabar hilangnya Helian Kong itu. Selama ini Pangeran Lou-ong merasa gerak-geriknya terkekang oleh Helian Kong. Ia merasa punya kekuatan, bahkan ia merasa mampu menumbangkan pemerintahan Kaisar di Lam-khia, dan orang macam Pangeran Tong-ang bukan tandingannya kalau tidak dibantu Laksamana The Seng-kong. Yang dianggap saingan berbobot hanya Pangeran Kui-ong, namun terhadap saingan kuat itu kalau perlu dibuat kesepakatan pembagian Wilayah atau apa. Pendeknya. nafsu Pangeran Lou-eng untuk menjadi penerus tahta dinasti Beng sudah melonjak begitu mendengar hilangnya Helian Kong.
Namun Pangeran Lou-ang tidak ingin bertindak gegabah. Memang Helian Kong sudah hilang tak tentu rimbanya, namun pengikut-pengikutnya yang disebut "kaum gunung hijau" masih bertebaran di manamana dan tetap merupakan kekuatan yang harus "dirangkul' agar menguntungkan pihaknya. Demikian juga para jenderal dan laksamana yang bertebaran _di berbagai propinsi dan resminya hanya tunduk kepada perintah pusat di Lamkhia itu.
Karena itu, demi mengambil hati kekuatan-kekuatan itu, biarpun dalam hatinya Pangeran Lou-ong amat gembira, ia justru mengumumkan hari berkabung di seluruh wilayah kepangerannya untuk menyembahyangkan "arwah" Helian Kong. Helian Kong belum pasti mati, Pangeran Lou-ang sudah mendahului "mendoakan arwahnya".
Pangeran Lou-ang dan seluruh pembantu terdekatnya mengadakan upacara sembahyang besar di aula istananya, dan memerintahkan orang-orangnya untuk berbaju putih setahun penuh demi "mengantar berpulangnya seorang pahlawan besar dinasti Beng".
Tetapi, di balik lagak berkabungnya itu, Pangeran Lou-eng melayangkan perintah-perintah rahasia kepada komandan komandan militernya di berbagai tempat. Han San-ciok juga diperintah menggerakkan jago-jago silat bayarannya untuk membuat tercapainya tujuan Pangeran Lou-ang.
Han San-ceng, adik kandung Han-sanciok, yang memimpin sepertiga pasukan Pangeran Lou-ang menuju Lam-khia untuk membantu ibu kota kerajaan itu karena tekanan Helian Kong, menerima perintah rahasia Pangeran Lou-ong. Perintahnya : pasukan hendaknya tetap menuju ke arah Lam-khia namun berjalanlah selambat mungkin, kalau perlu, tidak usah sampai ke Lam-khia! Pangeran Louong membutuhkan setiap kekuatan di
pihaknya untuk tetap berada dekat-dekat dengannya, pangeran itu tidak rela sepertiga kekuatan militernya mendukung mempertahankan Lam-khia.
Sementara itu, di wilayah tenggara. di perbatasan Ciat-kang dan Hok-kian. di mana ketegangan antara Pangeran Lou-ong dan Tong-ong meningkat, perang terbuka belum terjadi.
Yang membuat pertempuran belum meletus, ialah karena hadirnya kekuatan pihak ke tiga di kancah itu, yaitu "laskar gunung"nya Helian Kong.
lk jin-hoa, hulubalang. kaum "gunung hijau" yang diberi tanggung-jawab untuk wilayah itu, memerintahkan hulubalang hulubalang bawahannya yang disebut "hong-kun" (pentung merah) agar mulai menampakkan kekuatan secara terang terangan, yang di kota, di desa bahkan yang di gunung-gunung pun mengalir datang ke kancah ketegangan itu dan mengambil posisi di berbagai tempat strategis. ik Jin-hoa menjalankan perintah Helian Kong. sebab hanya dengan unjuk gigi terang-terangan inilah pasukan-pasukan Lou-eng dan Tong-eng yang berhadap-hadapan di kedua batas perbatasan dapat ditahan agar tidak saling gebrak.
ltulah sebabnya di desa-desa dekat perbatasan. tiba-tiba banyak lelaki menyandang senjata dengan memakai ikat kepala putih bertuliskan "tiga gunung" atau berlukisan tiga puncak gunung. sebagai tanda untuk mengenali sesama anggota.
Banyak penduduk desa yang tiba-tiba saja mengenakan tanda-tanda itu membawa senjata. sambil mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Misalnya Han Hoat aliaa Han Hwe-bin Si Tukang Warung, Jiu Kotian Si Pengurus Penginapan. juga banyak. yang lainnya. ,
Prajurit-prajuritnya Lou-eng di desa itu. yang biasanya galak dan sewenang wenang, kini berubah sikap jadi alim semuanya. Mereka tidak lagi makan minum di warung dengan seenaknya. Kalau mereka makan di warung. mereka harus membayarnya, kalau tidak punya uang, mereka bawa pulang dengan makanan jatah di tangsi yang dananya sering dikurangi
tukang masaknya. Berita "hilangnya" Helian Kong sempat membuat kaum "laskar gunung" agak kehilangan pegangan sebentar. Namun ik Jin-hoa segera berangkat ke Pekhong-aan menghadiri pertemuan, dan cepat-cepat kembali memberitahu orang orangnya tentang hasil pertemuan itu, membuat kaumnya tetap teguh dalam sikapnya menengahi pertikaian Pangeran Lou-eng dan Tong-eng.
Tak lama kemudian, Yo Kian-hi sebagai Ji-san-cu tiba diam-diam di kawasan itu, disertai empat orang "hong-kun" dari Lam-khia untuk menjejaki Helian Kong. Keempat "hong-kun" itu adalah Tiat-ap (Si Bebek Besi) Lai Tek-hoa yang suka bawa-bawa sui-poa. Hui-yo (Si Kambing Terbang) Tam Yo yang kurus dan pintar mencopet serta punya jurus serudukan kambing yang ampuh, Cui-gu (Kerbau Mabuk) Yong Sek-Hong yang tinggi besar dan berotot. Bu-wan (Si Lutung Menari) Joa Kian-pin yang tam-_ pangnya benar-benar mirip lutung itu..
Menjumpai rekan-rekannya dari Lam khia dengan julukan yang ganjil-ganjil itu, ik Jin-hoa agak geli juga. tetapi ia sudah mendengar prestasi gemilang dari rekan-rekannya itu di Lam-khia, yang berhasil membongkar rencana dan komplotan Jenderal 'Eng serta Bangsawan Dao.
"Kami hendak mulai menyelidiki dari sini, sebab dari sinilah Kakak Helian mulai menghilang dan tak menghubungi kita lagi," kata Yo Kian-hi, yang seusia Helian Kong dengan sepasang pedang tebal serta berat tergendong menyilang di punggungnya.
Bersambung lilid XVI Panglima Gunung
Karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Panglima Gunung Jilid 16 BEBERAPA hari kemudian, _Yo Kianhi berhasil menyimpulkan, bahwa sebuah peternakan kuda yang cukup besar, tidak Jauh dari perbatasan kedua wilayah kepangeranan, adalah tempat yang amat mencurigakan. Hanya di tempat itu ada kuda yang tersedia cukup banyak untuk melakukan suatu serbuan kilat dan cepat menghilang kembali, seperti serbuan yang dialami sebuah desanya pasukan Tong-ong malam itu. Baik pasukan Lou-ong maupun Tong-ang di wilayah itu, tak punya kuda sebanyak itu. Kemudian berdasar katerangan orang, antara lain Si Pencari ikan yang melihat pasukan berkuda di tengah sungai itu, agaknya ada jalan rahasia yang keluar dari peternakan itu. Sebuah jalan rahasia yang membuat pasukan berkuda itu muncul dan menghilang dengan cepat, membuat pasukan Lou-ang dan Tong-ang saling menuduh.
"Aku yakin mereka itu pasukan Manchu yang disusupkan jauh sampai ke garis belakang kita." Yo Kian-hi mengepalkan tinjunya dengan geram. "Para pangeran sibuk bertikai saja sampai lupa mengawasi wilayahnya. Sungguh keterlaluan bahwa sekian tahun mereka sama sekali tidak tahu ada musuh yang bersembunyi begitu dekat dengan mereka."
"Sekarang apa tindakan kita, .li-sancu?" tanya ik jin-hoa.
"Hancurkan musuh. selamatkan Kakak Helian."
Maka kekuatan "gunung hijau" yang sekian lama hanya sekedar jadi "bemper antara pasukan Lou-ong dan Tong-ong, kini menyiapkan suatu tindakan. Laskar akan dibagi untuk menyerang peternakan kuda itu dari beberapa jurusan, dengan keyakinan bahwa dalam peternakan kuda ada kekuatan bersenjata yang tak dapat diremehkan, maka rencana penyerangan dibuat cermat-cermatnya. Bukan hanya
serbuan terbuka, tapi juga dibentuk regu penyusup yang terdiri dari empat hongkun dari Lam-khia ditambah empat hongkun lagi dari wilayah setempat. Tugas mereka ialah menyusup diam-diam ke peternakan kuda itu untuk menemukan dan mengeluarkan Helian Kong yang diduga ada di peternakan itu.
Persiapan dilakukan secara cepat, dan ketika matahari tenggelam, di bawah langit yang gelap pun laskar bergerak menuju sasaran. Selain laskar yang bergerak terang-terangan, juga ada orang-orang yang bergerak rahasia untuk mengawasi orang-orang yang diduga merupakan mata-mata pihak peternakan, ' yaitu orang yang sehari-harinya nampak erat hubungannya dengan peternakan.
Sambil memimpin langsung orang orangnya, Yo Kian-hi berkata, "Gerakan kita ini ada dua manfaatnya. Pertama akan menunjukkan kekuatan kita. Kedua, akan menunjukkan kepada pihak Pangeran Lou-ang maupun Tong-ong, bahwa mereka diadu domba oleh kekuatan asing yang
'bersembunyi di kawasan ini."
Laskar yang dipimpin Yo Kian-hi mendatangi langsung pintu gerbang depan dari peternakan itu. Selain itu, ada laskar-laskar lain yang mendatangi peternakan dari arah hutan dan bukit-bukit.
Ketika pintu gerbang perkemahan sudah nampak di depan mata. Yo Kianhi mengubah bentuk pasukannya menjadi menebar, dengan pembawa-pembawa perisai lebar berada di deret paling depan. Deret berikutnya adalah campuran antara para pemanah, pembawa balok-balok pendobrak dan pembawa tangga-tangga untuk memanjat.
Melihat dinding atas peternakan itu, Yo Kian-hi berkata, "Harusnya sejak dulu peternakan ini dicurigai. Mana ada peternakan biasa yang bangunannya dibangun sekokoh benteng begini?"
Peternakan itu memang berdinding mirip benteng sebuah kota, hanya dalam ukuran lebih kecil. Namun cukup kokoh, dan sudah terbayang sengitnya pertempuran untuk menaklukkannya.
"Kita akan menggempurnya dengan
bersungguh-sungguh," sahut seorang hongkun setempat yang mendampingi Yo Kian-hi, namanya Lam-kiong Po, bertubuh tegap dengan senjata sebuah golok bertangkai panjang. Sebelum bergabung dengan kaum "gunung hijau" ia adalah "raja gunung" alias kepala begal di wilayah dekat-dekat situ, dan setelah bergabung dengan Helian Kong ia turun pangkat bukan lagi "raja gunung" melainkan hanya "pangeran gunung" namun ia tunduk dengan ikhlas sebab Helian Kong membuat tindak-tanduknya lebih terarah untuk kepentingan tanah air. "... yang hendak kita selamatkan bukan sekedar pribadi seorang Helian Kong, melainkan tokoh yang merupakan tali pengikat kekuatan-kekuatan di selatan ini. Tanpa San-cu Helian Kong, kekuatan-kekuatan di selatan ini seperti sapu lidi hilang pengikatnya, semua akan bergerak sendiri-sendiri terdorong keserakahan masing masing dan kita akan jadi makanan empuk Manchu."
Seorang hong-kun lain yang bekas "raia danau" kemudian Juga jadi "Pangeran danau" setelah takluk kepada Helian Kong, mengomentari kata-kata Lam-kiong Po itu agak bercanda, "Eh, Kakak Lamkiong, terbit juga kesadaranmu untuk membela negeri, ya" Dulu yang kau pikir cuma cari duiiit saja."
Lam-kiong Po menyahut, "Saudara Tong-hong, kita ini dicap sebagai kaum 'sungai telaga' atau kaum 'rimba hijau' segala, tetapi rasa cinta tanah air dalam diri kita jauh melebihi para pangeran di istana-istana mereka yang megah itu."
Tong-hong Kian, yang perawakannya sama dengan Lam-kiong Po dan senjatanya sepasang kampak bolak-balik (bermata. ganda) bertangkai pendek, mengangguk-angguk.
Sementara itu, Yo Kian-hi berkata "Perintahkan semua laskar untuk bersiaga. Orang-orang di peternakan itu agaknya sudah siap menyambut kita."
Yo Klan-hi berkata demikian, karena di atas benteng peternakan itu nampak obor-obor dinyalakan berderet-deret, dan orang-orang bermunculan. Sesuai dugaan, peternakan itu dipertahankan dengan
jumlah orang yang cukup banyak.
"Maju terus tapi hati-hati," perintah Yo Kian-hi. "Mungkin di pihak lawan ada senjata-senjata api."
Baru saja selesai kata-kata itu, dari atas tembok peternakan sudah berhamburan panah-panah ke arah laskar gunung hijau. Laskar yang memang sudah siap itu mengangkat tameng-tameng mereka. Dari balik tameng, para pemanah membalas memanah, banyak yang melepaskan panah api untuk ditembakkan melalui tembok ke bagian dalam peternakan dengan harapan menimbulkan kebakaran di bagian dalam peternakan.
Begitulah, pertempuran dimulai. Hujan panah dari kedua pihak tidak menimbulkan banyak korban. sebab pihak laskar gunung berlindung di balik tameng-tameng mereka dan pihak pengawal peternakan berlindung di balik tonjolan-tonjolan di atas tembok yang berselang-seling dengan celah-celah untuk memanah. Toh beberapa orang terpanah juga, dari kedua belah pihak. Korban-korban awal.
Sementara itu. pendobrak-pendobrak
pintu dan pemanjat-pemanjat dari pihak laskar gunung mulai berusaha menjalankan peranannya, sebisa-bisanya di bawah perlindungan tameng-tameng mereka. Beberapa buah tangga sudah berhasil disandarkan ke dinding, dan beberapa pemanjat yang tangkas memanjatnya, dengan satu tangan memegang perisai di atas kepala seperti payung, untuk menangkis panah-panah dari atas, satu tangan membantu memanjat, sedang pedang atau golok mereka' gigit di mulut. Yo Kian-hi sudah mencabut sepasang pedangnya yang tebal dan dua kali lebih berat dari pedang biasa, cocok dengan tubuhnya yang tinggi tegap, sepasang pedang itu diputar kencang menghalau setiap panah dan tubuhnya pun melompat tinggi hinggap di atas tembok peternakan tanpa memerlukan tangga lagi. Di antara semua laskar gunung saat itu, hanya Yo kaeian-hi seorang dirilah yang mampu melompati dan hinggap di tembok setinggi itu. Laskarnya bersorak membanggakan Si Pemimpin Kedua mereka itu. .' Namun Yo Kian-hi menunjukkan kehebatannya bukan 'untuk mendapat tepuk tangan atau sorak pujian, melainkan untuk mempercepat jatuhnya benteng berkedok peternakan kuda itu demi menyelamatkan pemimpinnya sekaligus sahabat karibnya sekaligus bekas musuhnya dulu, Helian Kong. Ketika sudah di atas tembok, sepasang pedangnya berkelebat ganas dan meruntuhkan beberapa pengawal benteng. Beberapa saat para pengawal benteng di situ jadi kacau karena Yo Kian-hi.
Tapi kegarangan Yo Kian-hi terhenti ketika di depannya muncul seorang berkulit pucat seperti dari padang salju di utara, memegang sepasang pedang pendek yang bentuknya melengkung, yang langsung menerkam bagaikan serigala dengan dua pedang lengkungnya sejajar di depan tubuh.
Yo Kian-hi segera tahu bahwa yang ini bukan pengawal benteng biasa. maka dia pun berkelit sambil membalas menebas dengan pedang kirinya, tetapi lawannya menghindar dengan bersalto di atas tembok selebar dua meter itu.
"Boleh juga," puji Yo Kian-hi. "Siapa kau?"
"Yehlu Long." "Sudah .kuduga."
"Apa yang sudah kau duga?"
"Namamu bukan nama lazim untuk orang selatan ini. Makin jelas bahwa peternakan kuda gadungan ini menjadi sarang penjajah-penjajah dari utara macam kau. Dan pasti kau juga yang sudah menyamar sebagai pasukan Lou-ong untuk menyerang sebuah desa di wilayahnya Tong-ong."
"Siapa kami siapa kalian sudah bukan soal lagi kalau sudah ketemu di palagan seperti sekarang ini," tukas Yehlu Long congkak, sambil menerkam maju, sepasang pedang lengkungnya bergerak dalam tebasan silang. Gaya berkelahinya memang lain dengan gaya tempur umumnya aliran-aliran silat di Tiong-goen.
Tetapi Yehlu Long terlalu mengandalkan diri, tanpa berusaha lebih dulu mengetahui siapa Yo Kian-hi. la anggap Yo Klan-hi mungkin hanya salah satu hulubalang laskar gunung yang kepandaiannya tak seberapa. Soalnya Yehlu Long tadi kebetulan tidak melihat ketika Yo Kianhi melompat ke atas benteng yang tingginya hampir lima meter itu.
Yehlu Long baru menyadari kenyataan setelah beberapa gebrak dan ia rasakan tekanan Yo Kian-hi sudah begitu hebat. Bahkan pedang kiri Yehlu Long sudah terpental lepas, dengan pedang tinggal sebelah, Yehlu Long pontang-panting menyelamatkan nyawanya dari cecaran sepasang pedang Yo Kian-hi yang bersambung tanpa jarak waktu lebih dari setengah detik. .
Untung Cek Sun-yan, komandan Manchu yang bersarang dalam samaran di peternakan gadungan itu. segera muncul membantu Yehlu Long. Dengan permainan hong-thian-kek (tombak berpisau)-nya yang mantap, Cek Sun-yan dapat sedikit meringankan beban Yehlu Long, namun keduanya tetap jatuh di bawah tekanan sambaran sepasang pedang Yo Kian-hi yang bergerak amat cepat, amat bertenaga dan terarah. sehingga dua jagoan lagi harus membantu mereka. Dilawan empat orang jago tangguh di atas tembok yang sempit itu, barulah Yo Kianhi dapat dibatasi gerak-geriknya.
Sementara itu. laskar gunung baru berusaha mendobrak pintu dan memanjat dinding. tanpa mengurangi kesibukan pemanah-pemanah di kedua belah pihak.
Dua hulubalang laskar gunung. Lamkiong Po dan Tong-hong Kiao bagaikan raksasa kembar yang menerjang maju di depan laskar mereka. Mereka bukan hanya gembur-gembor menyuruh orang orangnya melakukan ini itu. namun memo peloporinya.
Di bawah kawalan Lam-kiong Po yang memegangi tameng lebar di atas kepala untuk melindungi diri sendiri dan juga melindungi temannya dari hujan panah dari atas tembok, Tong-hong Kiao menggunakan sepasang kampak bolak-baliknya yang bertangkai pendek untuk menggempur bertubi-tubi ke daun pintu peternakan. Gayanya tidak pakai jurus apapun kecuali seperti orang sedang mencincang sayuran. Kampaknya memang tebal dan kuat. maka daun pintu dari kayu hitam itu pun jadi seempuk sayuran . Serpihan-serpihan kayu berhamburan sementara ia mencincang. Tak lama kemudian daun pintu itu sudah remuk. ketika ditendang sekali saja oleh Lam-kiong Po. pintu itu berubah jadi reruntuk kayu yang hanya pantas dimasukkan tungku untuk memasak air.
Lam-kiong Po membuang tameng lebarnya dan melangkah masuk sambil menjinjing golok bertangkai panjangnya, katanya, "Kalau tahu kau bisa menghancurkan pintu seperti terhadap sehelai papan tipis saja, kan tidak perlu membawa-bawa alat pendobrak segala."
Dipeiopori kedua hulubalang itu, laskar gunung membanjir masuk peternakan itu sambil bersorak-sorai. Di dalam peternakan, mereka disambut penghuni penghuni peternakan yang bukan lain adalah serdadu-serdadu Manchu yang 'menyamar. Ternyata jumlah mereka 'cukup banyak, selain anak buah Cek Sun yan sendiri di situ. juga anak buah Phui Tat-liong masih di situ. Maka laskar gunung pun memperoleh perlawanan yang
cukup berat. Kalau di antara laskar gunung ada petarung-petarung tangguh macam Lam-kiong Po dan Tong-hong Kiao. maka di pihak lawan pun tak kurang jumlahnya.
Tak lama kemudian. Ik jin-hoa dan laskar yang dipimpinnya ikut "meramaikan" gelanggang dengan menyerbu dari arah hutan ke sebelah samping peternakan. Lalu bagian laskar lainnya yang clpimpin han Hoat alias Han Hwe-bin juga menyerbu dari arah bukit. Meski laskar gunung itu juga mendapat perlawanan ketat, mereka pun dapat masuk ke sebelah dalam tembok dengan memanjat. Pertempuran sengit dan campur-aduk terjadi di sebelah dalam tembok. dan bangunan-bangunan yang terbakar menjadi obornya.
Ribuan kuda yang lepas dari kandang dan panik karena takut api, ikut menambah ributnya suasana. Banyak orang terluka yang sebenarnya masih bisa tertolong. jadinya tidak tertolong karena terinjak-injak oleh kuda-kuda yang kebingungan.
Di tengah-tengah keributan yang hampir merata di peternakan yang luas itu. ada sekelompok kecil orang yang mengendap di antara bayang-bayang bangunan-bangunan. Kelompok yang terdiri dari delapan orang itu adalah regu khusus yang ditugaskan Yo Kian-hi agar memusatkan perhatian hanya untuk menemukan dan menyelamatkan Helian Kong dan tidak usah menggubris urusan-urusan lain.
Keempat hong-kun dari Lam-khia ditambah empat orang hong-kun dari wilayah setempat. Kalau keempat hong-kun dari Lam-khia memiliki julukan-julukan yang menggelikan seperti bebek besi, kambing terbang, kerbau mabuk dan monyet menari, ternyata mereka mendapat tangan dari keempat hong-kun itu dalam soal ganjilnya julukan-julukan. Keempat hong-kun setempat itu ternyata adalah empat sekawan bekas kaum rimba hijau, yang pertama Ang Yu-han yang berjulukan Ang-pi-cu (Si Hidung Merah), lalu Bun San-mi yang berjulukan Kim-ge-cu (Si Gigi Emas) karena ia memang memakai
gigi emas, lalu Cu Thian-beng yang ber-i julukan Siau-ku (Kura-kura Tertawa) dan yang ke empat ialah Diam Kong si Tiat bi-koh (Si Pantat Besi).
Dengan demikian, bergabung dengan keempat hong-kun dari Lam-khia, ke delapan orang itu jadi regu orang-orang aneh. Aneh tapi berbahaya.
Tanpa menggubris jalannya pertempuran, mereka menyelinap kian kemari, memeriksa bangunan-bangunan, namun tidak menemukan Helian Kong. Di suatu tempat tersembunyi, mereka berbisik bisik berunding, "Aku kuatir, jangan-jangan San-cu berada di bangunan-bangunan yang terbakar itu?"
"Kita belum memeriksa semua bangunan." Lai Tek-hoa coba membesarkan hati teman-temannya, juga hatinya sendiri. "Bagaimana kalau kita berpencar?"
"Kakak Lai, peternakan ini demikian luas, kalau kita periksa setiap bangunannya satu persatu, sampai besok malam pun belum tentu kita selesai," sanggah Diam Kong si "pantat besi". "Lebih baik kita tangkap salah seorang penghuni
tempat ini, kita peras keterangannya agar menunjukkan tempat San-cu disekap ."
"bagus aku setuju." dukung Tam _Yo si "kambing terbang" dari Lam-khia ini. "Saudara Lai, kalau kita berpencar, kita jadi lemah sekali. Ingatkah kau pengalaman kita ketika hendak merampas kiriman untuk Jenderal Eng' di rumah .seorang kepala desa di luar kota Lamkhia?"
Lai Tek-hoa menarik napas mengingat pengalaman itu. Pengalaman ketika ia dan Tam Yo begitu yakin akan dapat memancing dan menyibukkan seluruh kekuatan lawan hanya berdua saja, ternyata mereka malahan hampir celaka di tangan seorang lelaki bertubuh kurus dan pendek berdandan orang utara, dan kalau pun mereka akhirnya lolos, ibarat lolos dari lubang jarum. '
Akhirnya iapun setuju: bahwa mereka berdelapan harus tetap berkumpul agar dapat menanggulangi bahaya apa pun. Peternakan yang dicurigai sarang Manchu itu bukan mustahil di dalamnya terdapat
tokoh-tokoh berilmu tinggi.
Mereka kemudian bersembunyi di suatu tempat gelap, menanti orang yang bisa mereka sergap. Mereka bersembunyi berpencaran, namun tidak berjauhan satu sama lain dan bisa saling memperhatikan tempat persembunyian teman-teman lain.
Beberapa kali ada orang-orang peternakan berlarian lewat tempat persembunyian mereka, namun karena orang-orang peternakan itu berjumlah terlalu banyak mereka tak berani menyergap. Penyergapan hanya akan menimbulkan pertempuran baru, dan mereka ingat pesan Yo Kian-hi bahwa mereka harus memusatkan perhatian hanya untuk menyelamatkan helian Kong dan tidak boleh bertujuan lain. .
Sampai suatu ketika mereka melihat ada lima orang berlari-lari dalam kegelapan sambil membawa senjata. Sebagian besar dari para hong-kun itu berpendapat sama dalam hati mereka, bahwa inilah sasaran yang harus disergap. Selain jumlahnya sedikit, para hong-kun juga yakin bahwa kemampuan tempur orang-orang yang hendak disergap itu rata-ratanya pasti jauh di bawah kedelapan hong-kun yang merupakan jago-jago tangguh itu.
Namun selagi keenam rekannya sudah mantap untuk bertindak, Lai Tek-hoa dan Tam Yo berdua justru merasa kurang enak hatinya ketika melihat salah seorang dari lima orang yang hendak disergap itu.
Tetapi mereka tidak sempat memberitahu teman-teman mereka agar berhati-hati, sebab teman-temannya sudah berlompatan keluar dari persembunyian, menyergap ganas.
Empat dari lima orang yang disergap itu memang dengan mudah ditumbangkan oleh para hong-kun laskar gunung, kalau ada perlawanannya paling satu-dua gebrak. Merka bukan tandingan para hongkun. . .
Hanya orang ke lima, orang yang hendak ditangkap oleh para hong-kun untuk dikorek keterangannya, ternyata mengejutkan para hong-kun. Padahal ia hanya seorang lelaki bertubuh pendek, kurus, bahkan agak bungkuk, dan tidak kelihatan membawa senjata.
Yang pertama kali kena batunya adalah Yong Sek-tiong si "kerbau mabuk". Hong-kun bertubuh tinggi besar dan berotot ini sebetulnya bersenjata sepasang martil baja yang berat, tetapi karena ingin "menangkap hidup-hidup" maka sepasang martilnya itu diselipkan di ikat pinggangnya, lalu dengan sepasang tangan kosong ia hendak mencengkeram sepasang pundak orang pendek kurus yang dianggap penghuni peternakan biasa seperti lainnya itu. '
Tak terduga sasaran yang satu ini lain dari yang lain.
Yong Sek-tiong memang mendengar Lai Tek-hoa dan Tam Yo berseru serempak dari posisi mereka masing-masing, "Saudara Yong! Hati-hati!"
Yong Sek-tiong mendengar tetapi tak sempat menghentikan gerakannya, ia hanya merasa sergapannya cuma kena udara kosong. Malah pantatnya ditendang keras dari belakang searah dengan gerakannya, hingga ia terjerumus ke depan dan mencium tanah.
itu mengejutkan rekan-rekannya, kecuali Lai Tek-hoa dan Tam Yo yang sudah lebih dulu mengenali Si Pendek Kurus sebagai orang yang pernah menyulitkan mereka berdua ketika hendak merampas kirimannya Jenderal Eng di luar kota Lam-khia dulu.
Setelah Yong Sek-tiong, hong-kun yang lain yaitu Si Gigi Emas Bun Santui menyusul menelan pil pahit. Ia yang juga tidak menggunakan senjatanya karena menyangka akan meringkus "orang peternakan" ini dengan gampang, tahu tahu lengannya berhasil ditangkap dan dibanting. .
Cukup dua "contoh" itu membuat para hong-kun lainnya tidak berani gegabah lagi. Jika tadinya mereka menyimpan senjata, kini mereka menghunus senjata masing-masing untuk mengeroyok Si Pendek Kurus_ yang bukan lain adalah Ngo Tat, orang yang dipercayai oleh Panglima Tertinggi Manchu untuk mengepalai jaringan mata-matanya.
_NgO Tat agaknya juga masih mengenali Lai Tek-hoa dan Tam Yo yang pernah dihadapinya dulu, sehingga ia tertawa dan berkata, "Ha, lagi-lagi di sini aku ketemu Si Juragan Rumah Makan dan Si Tukang Copet."
Di Lam-khia, sehari-harinya Lai Tekhoa memang menyamar sebagai juragan rumah makan Ceng-san-Iau, ndang Tam Yo adalah "sesepuh" perkumpulan tukang copet di Lam-khia.
Seandainya masih bisa memilih, Lai Tek-hoa rasanya lebih suka memilih sasaran yang lain daripada Si Pendek Kurus ini, namun sekarang ia sudah berhadapan dengannya. Kemudian Lai Tek-hoa sadar bahwa ia tidak perlu kuatir, bukankah sekarang ia didampingi tujuh teman yang rata-rata ketangguhannya sama dengan dirinya" Keseimbangannya jelas jauh berbeda dengan beberapa bulan yang lalu di luar kota Lam-khia.
Karena itu, dengan teguh hati LaiTek-hoa menyahut, "Makin jelas sekarang bahwa tempat ini menjadi sarang serigala-serigala Manchu yang siap menjajah negeri kami. Komplotanmu di utara. yang bersama Jenderal Eng Si Dorna Tua. sudah tergulung. Sekarang kau pindah ke wilayah tenggara ini, dan akan kami gulung pula."
"He-he-he, sungguh besar cakapmu, padahal kalian ini tak ubahnya .ular tanpa kepala, karena Helian Kong sudah tidak memimpin kalian lagi. Jujurlah melihat kenyataan, belahan selatan ini sudah pasti akan bersatu dengan belahan utara di bawah bendera kami."
Para hong-kun lainnya berhenti menyerang dulu, mendengarkan percakapan Lai Tek-hoa dan Ngo Tat. Biarpun mereka gusar mendengar kata-kata Ngo Tat yang terakhir tadi, namun mereka menahan diri, ingin mendengar lebih banyak dari mulut Ngo Tat. Sikap lebih dulu mengkesampingkan amarah dan mendahulukan untuk mendengar sebanyak-banyaknya keterangan dari mana pun sumbernya adalah sikap hasil gemblengan Helian Kong selama bertahun-tahun. Tadinya, banyak di antara hong-kun itu kalau emosinya bangkit, mereka akan mengamuk dulu dan urusan apapun diurus belakangan.
Namun kali ini Lai Tek-hoa langsung menutup pembicaraan dengan peringatan kepada teman-temannya, "Teman-teman, orang ini bernama Ngo Tat, kepala mata-mata Panglima Tertinggi Manchu. Aku dan Kakak Tam Yo pernah menghadapinya bersama dan hampir-hampir tak bisa lelos." '
Demi keselamatan teman-temannya. Lai Tek-hoa tidak malu-malu mengakui ketidak mampuannya dulu, agar teman temannya berhati-hati. Namun lanjutan dari kata-katanya yang merendah itu ialah, "... tetapi kalau tidak bisa menemukan San-cu, setidaknya kita bisa menangkapnya, agar tidak kembali dengan tangan kosong sama sekali." ,
Demikianlah, dalam kata-kata Lai Tek hoa terdapat campuran antara peringatan agar teman-temannya berhati-hati, dengan kata-kata keyakinan akan berhasil menangkap Ngo Tat.
Sebaliknya Ngo Tat malah sedang merasa unggul diri, ia masih teringat kemenangannya di Lam-khia dulu dan ia merasa pasti akan mengulangi kemenangannya karena selama ini ia sudah meningkatkan kemampuannya. ia pun menganggap, di antara delapan orang itu; paling-paling yang "sedikit berbobot hanya Lai Tek-hoa dan Tam Yo yang pernah dihadapinya, enam orang lainnya mungkin hanyalah anggota kelompok yang bermodal keberanian belaka. Namun untuk mempercepat "selesainya pekerjaan" Ngo Tat menghunus juga sepasang pedang pendeknya.
Lai Tek-hoa mempelopori teman-temannya, "Saudara-saudara, mari kita tangkap dia."
Lalu tubuh yang pendek gemuk dan berkaki pendek-pendek. dengan cara berjalan yang mirip bebek, Lai Tek-hoa menyerbu dengan cepat memperpendek jarak. Sui-poe bajanya menderu menyibakkan udara menggempur pelipis Ngo Tat yang sama pendeknya dengan dirinya.
Berbareng dengan itu, juga rantai sabit Tam Yo menyambar deras ke arah Ngo Tat. '
Ngo Tat tertawa bernada meremehkan gerak tubuhnya memang secepat angin
puyuh ketika ia berputar dan berkelebat menghindari serangan dua lawannya. ia enghindar sambil melejit menyambar kearah salah satu dari enam orang yang dikiranya sekedar bermodal keberaniannya itu. Niat Ngo Tat ialah menghabisi dulu keenam orang itu satu persatu "dengan cepat" agar tidak merepotkan. Sasarannya yang pertama ialah seorang lelaki berperawakan sedang yang memegang sebatang toya. Dalam kegelapan, Ngo Tat tak bisa melihat hidung orang itu berwarna merah seperti tomat masak. Ngo Tat menebaskan pedangnya ke arah orang itu. dan berharap sekali tebas cukuplah mengirim orang itu ke pangkuan nenek moyangnya. Namun Ngo Tat merasa agak diluar dugaan ketika orang itu dengan gesit merendah miring sambil menyodokkan toya sejauh-jauhnya ke depan hendak "menjangkau" tenggorokan Ngo Tat. Toya jauh lebih panjang dari padang pendek Ngo Tat. kalau sama sama diulurkan sudah tentu toya akan menyodok leher Ngo Tat sebelum pedang Ngo Tat kena kulit lawannya.
Ngo Tat cepat menangkis dengan padang lainnya sambil coba mendesakkan jarak pendek dengan lawan. Tetapi lawan melangkah berputar dengan gaya Boanliong-jiau-po (Naga Melingkar Berputar), toyanya' dipegang dengan satu tangan menyapu berputar ke arah Ngo Tat.
Sambil menghindar, Ngo Tat membentak, "He, permainan toyamu boleh juga. Siapa kau?"
"Ah, keroco macam aku mana pernah menarik perhatian pendekar kelas satu macam kau," sahut Ang Yu-han si Angpi-cu (Si Hidung Merah).
Sementara Yong Sek-tiong sudah menyerbu dengan sepasang martilnya, tadi memang Yong Sek-tiong dapat dibanting oleh Ngo Tat karena bertindak gegabah. Sekarang setelah ia bersungguh-sungguh, nyata terlihat kualitasnya sebagai salah seorang hong-kun di Lam-khia.
Demikianlah, Ngo Tat menghadapi delapan orang hong-kun. Dalam waktu singkat, Ngo Tat sadar bahwa ia terlalu memandang rendah mereka berdelapan. Sekarang terasa betapa beratnya menghadapi delapan 'orang hong-kun itu. Delapan macam senjata mereka seolah mengurung Ngo Tat dari segala arah. Mereka tidak maju serempak dan menyerang serabutan, melainkan menyerang bergantian, paling banyak tiga orang sekaligus sementara yang lain menjaga titik-titik ke mana Ngo Tat diperhitungkan menghindar.
Dalam hati Ngo Tat mengeluh juga, "Helian Kong benar-benar punya kekuatan yang tak terduga. Kedelapan orang ini saja, kalau mereka bergabung terus. mereka bisa melakukan banyak pekerjaan yang takkan tertanggulangi oleh kekuatan yang tanggung-tanggung saja. Pantas Jenderal Ni Kam tidak berani memandangnya enteng."
Di hatinya ia berpikir demikian, namun mulutnya juatru mengejek, "Kudengar Helian Kong itu seorang lelaki sejati, tak kuaangka anak buahnya berwatak serendah ini, main keroyok."
" Lai Tek-hoalah yang menjawab, Urusannya adalah keselamatan tanah air, kami tidak peduli nama baik pribadi kami, yang lebih licik dan lebih memalukan dari ini pun kami sanggup melakukannya. Sebagaimana pihakmu pun melakukan siasat-siasat licrk seperti adu domba antara Pangeran Lou-ong dan Pangeran Tong-ong."
Dengan jawaban itu, kedelapan hongkun bertekad "menebalkan muka" untuk terus mengeroyok Ngo Tat.
Sementara itu, laskar gunung anak buah Helian Kong yang sudah berhasil menerobos masuk ke dalam peternakan itu, bertarung dengan amat ganas,_ dan sekali-sekali terdengar teriakan, "Kembalikan San-cu kami!"
Dalam memperjuangkan keselamatan San-cu mereka, bisa dikatakan kalau mereka sudah tidak takut mati. ini menandakan bahwa selama bertahun-tahun Helian Kong bukan hanya berhasil menghimpun kekuatan, melainkan juga membentuk mental prajurit pilihan di antara anak buahnya.
Ternyata, laskar gunung yang berani mati itu menemukan tandingan setimpal dari penghuni-penghuni peternakan itu.
Para penghuni peternakan itu, baik anak buah Cek Sun-yan maupun anak buah Phui Tat-hong adalah prajurit-prajurit pilihan pula. Pihak Manchu tidak mengirim prajurit asal-asalan ke garis belakang musuh .
Dengan pertemuan dua kelompok yang sama-sama ganas itu, pertempuran jadi menakutkan. Tiap orang yang sudah di tengah kancah seolah tidak ingin keluar hidup-hidup dari gelanggang, namun masing-masing tidak ingin mati sendirian melainkan hendak "mengajak" sebanyak banyaknya dari pihak lawan. Dengan demikian, pihak mana pun dalam gelanggang itu, seolah sudah berubah dari mahluk yang namanya manusia, yang masih berperasaan, menjadi hantu-hantu haus darah yang tak berjantung sama sekali. Keganasan dan kebencian diluapkan sepuas-puasnya.
Pihak peternakan dikomando oleh Cek Sun-yan, namun dalam kancah kacau balau macam itu, sungguh Cek Sun-yan sendiri tidak tahu bagaimana harus mengatur barisannya yang sudah tidak berbentuk. barisan lagi itu. Terpaksa setiap prajurit bertanggung-jawab untuk nasibnya sendiri-sendiri.
Biarpun prajurit-prajurit Manchu yang menyamar itu bertarung gigih, namun faktor jumlah mempengaruhi juga. Laskar gunung yang menyerbu berjumlah satu setengah kali lipat, maka pihak Manchu terasa makin berat juga.
Cek Sun-yan dapat merasakan kesulitan pihaknya, dan ia ingin menarik mundur orang-orangnya, karena merasa tak ada gunanya membuang-buang nyawa mempertahankan sesuatu yang sudah tidak ada di peternakan itu. Cek Sun-yan tahu laskar gunung itu menyerbu untuk membebaskan Helian Kong, padahal Helian Kong sudah diangkut oleh Phui Tatliong, dibawa ke sarang tersembunyi Phui Tat-liang. Namun Cek Sun-yan ingin minta pertimbangan Ngo Tat dulu sebelum menarik pasukan. Ngo Tat adalah orang kepercayaan Jenderal Ni Kam, segala omongan Ngo Tat diperhatikan benar-benar oleh Jenderal Ni Kam, maka
Cek Sun-yan tidak ingin Ngo tat kelak bicara buruk tentang dirinya di depan Jenderal Ni Kam. Namun Ngo Tat yang ditunggu-tunggu sekian lama belum juga kelihatan batang hidungnya di segala sudut medan pertempuran yang terjangkau oleh pandangan mata Cek Sun-yan. Cek Sun-yan tidak tahu bahwa orang yang diharap-harapkannya itu kini sedang digojlok" oleh delapan hong-kun laskar gunung yang agaknya benar-benar bertekad menangkap komandan mata-mata Manchu ini.
Karena sekian lama tak melihat Ngo Tat, akhirnya Cek Sun-yan' memutuskan untuk tidak menunggu lagi, kuatir orang orangnya keburu tertumpas habis. Karena itulah kemudian meneriakkan perintahnya dalam bahasa rahasia. Perintah itu diteruskan bersambung dari mulut ke mulut oleh yang mendengarnya langsung atau tidak langsung.
akibat dari meratanya perintah cek sun yan itu, segera terjadi perubahan pula perlawanan prajurit prajurit Manchu di tengah kancah itu .
Ketika itu seluruh gelanggang seolah olah beralaskan mayat mayat bergelimpangan rapat yang terinjak injak kedua belah pihak yang bertempur.Diatas mayat mayat itu orang orang mabuk darah berlaga dan tidak terpisah lagi oleh garis pertempuran,melainkan bercampur aduk dan lawan bisa berada di sebelah mana saja dari dirinya.
Dalam situasi kacau-balau itulah prajurit-prajurit Manchu mendengar isyarat pemimpin mereka. Maka para prajurit yang semula bertempur sendiri-sendiri itu pun mulai mencari teman-teman yang berada di dekat mereka,,lalu dengan menerjang lawan mulai berusaha bergabung dengan teman-teman. Ada yang berhasil membentuk kelompok agak besar, sekitar belasan orang, adayang hanya empat-lima orang. ada yang tak berhasil sama sekali karena terbunuh lebih dulu. Ada yang sudah berhasil membentuk kelompok yang lumayan banyak, namun lalu bubar lagi karena mendapat gempuran hebat.
Kelompok-kelompok yang terbentuk lalu bergerak ke suatu arah dalam rangka
mengundurkan diri. Kelompok kelompok yang di atas tembok juga berusaha mencari jalan turun untuk bergerak searah dengan teman-teman yang di bawah. _ Medan itu seolah terseret dan ikut bergerak oleh gerakan searah dari_ kelompok-kelompok itu. Arah yang dituju oleh kelompok-kelompok itu adalah sebuah bangunan besar di sayap kiri peternakan itu, bangunan yang belum kena api. Makin dekat ke bangunan itu, beberapa kelompok kecil lebur menjadi kelompok yang lebih besar. Lalu kelompok kelompok yang lebih besar ,itu mencoba membantu teman-teman mereka yang masih dalam gerakan mundur di tengah tengah kancah yang bergejolak hebat itu. Caranya membantu ialah dengan melepas-lepaskan panah ke arah lawan. Namun karena lawan dan kawan bercampur aduk dalam suasana kacau, selalu bergerak dan susah dibidik, kadang-kadang panah itu 'mengenai teman sendiri. TetaPi Pemanahan terus dilakukan meski harus lebih hati-hati. pun Tidak sedikit kelompok-kelompok yang
belum mencapai bangunan itu karena "habis" berguguran di tengah perjalanan pendek namun padat musuh ganas itu. Gugurnyapun tidak cuma-cuma, melainkan juga "mengajak" banyak orang dari laskar gunung.
Cek Sun-yan merasa jumlah yang terkumpul sudah cukup banyak di sekitar bangunan itu, namun ia masih menunggu beberapa saat, memberi kesempatan beberapa kelompok yang hampir bergabung. Tetapi ada kelompok-kelompok yang mustahil bergabung karena rintangannya terlalu kuat. Terhadap kelompok-kelompok yang mustahil bergabung itu, apa boleh buat, Cek Sun-yan harus tega meninggalkan mereka, keputusan yang memberatkan hati namun sudah lama hatinya menyiapkan itu.
Dengan suatu aba-aba. pasukan Cek Sun-yan mundur ke dalam bangunan besar itu. Tergesa-gesa namun tidak kacau, terlihat kalau mereka memang cukup terlatih.
Melihat lawan menghilang ke dalam bangunan besar itu, banyak laskar gunung
berteriak-teriak. "Mereka yang masuk bangunan itu mereka terkurung!"
"Bakar saja bangunan itu!" teriak seseorang. _
Namun ada yang mencegahnya," jangan !" Kita belum tahu nasib San-cu. bagaimana kalau San-cu di dalam ruangan itu?"
Di dalam ruangan besar itu, Cek Sunyan dan prajurit-prajuritnya bukan mengurung diri menunggu kematian, melainkan membuka suatu lorong rahasia yang menembus ke kaki bukit di luar peternakan itu. Lorong yang sudah lama disiapkan untuk keperluan darurat.
. Lorong itu sempit, namun pasukan Cek Sun-yan yang tersisa tinggal seperempatnya itu pun melewatinya dengan tertib seperti semut yang beriring-iring di terowongannya.
Laskar gunung menunggu sampai fajar, takut kalau menyerbu dengan gegabah akan "menyetor" banyak korban di pihak mereka. Namun ketika fajar menyingsing dan tidak ada tanda-tanda lawan akan keluar dari ruangan itu, Yo Kian-hi memerintahkan untuk mendobrak masuk, dan mereka hanya menjumpai sebuah bangunan kosong.
"Mereka kabur," lapor seorang hulubalang kepada Yo Kian-hi. "Ada sebuah lorong rahasia, agaknya lewat situlah mereka kabur tanpa kita ketahui."
"Tunjukkan lorongnya kepadaku."
Diiringi para hong-kun, Yo Kian-hi masuk ke lorong itu, namun di tengah tengah lorong itu mereka menemui kebuntuan. Ada reruntuhan batu-batu besar menyumbat lorong. .
"Hem, ini pasti sudah direncanakan. Begitu mereka selesai menggunakannya, mereka tinggal menggerakkan suatu alat yang bisa meruntuhkan batu-batu dan menyumbat lorong. Berjaga-jaga kalau dikejar musuh."
Yo Kian-hi sangat kecewa bahwa Helian Kong tidak diketemukan, ia bertambah kecewa mendengar laporan delapan hong-kun yang tadi gagal menangkap Ngo Tat. Ngo Tat sempat kabur meski membawa luka-luka.
"Kami telah gagal," kata Lai Tek
hoa sambil menundukkan kepala. 'Seandainya kami dapat menangkap komandan mata-mata Manchu Itu. mungkin kita dapat memaksa mereka menukarnya dengan San-cu."
Yo Kian-hi juga amat kecewa, tetapi ia Ingin membesarkan hari orang-orangnya, "Sudahlah. Kita memang tak mencapai yang kita ingini, namun setidaknya kita sudah melumpuhkan salah satu pertahanan Manchu di garis belakang "
"Entah berapa banyak pangkalan pasukan tersembunyi Manchu di wilayah selatan ini?" ik Jin-hoa bertanya sendiri tanpa mengharapkan Jawaban. Ungkapan itu menunjukkan kekuatirannya.
Seorang hong-kun lainnya melaporkan bahwa mereka menemukan ruang untuk menyimpan ribuan pasang seragam prajurit. Ada seragam prajuritnya Lou-png. ada seragam prajuritnya Tong-ong, ada seragam prajuritnya Kui-ang. Juga bendera-bendera dari ketiga pangeran itu.
"Pasti untuk mengadu domba," geram Yo Kian-hi. "Komandan-komandan paskan Pangeran Lou-eng dan Pangeran Tong-eng akan kuundang kemari untuk melihatnya. supaya mereka sadar sudah diadu domba."
Ternyata undangan Yo Kian-hi hanya ditanggapi dengan pengiriman perwira perwira, rendahan oleh pihak Lou-eng maupun Tong-eng. Yo Kian-hi amat tidak puas akan sedikitnya perhatian dari pihak-pihak yang bertikai itu, namun ia sadar bahwa berita hilangnya Helian Kong sedikit banyak mengurangi kewibawaan laskar gunung.
Helian Kong sendiri dalam keadaan lemah dan sakit karena keracunan sudah terkurung di pangkalan tersembunyi pasukannya Phui Tat-liang. Helian Kong sampai ke' tempat itu dengan digotong, dan ketika tiba di pangkalan tersembunyi serta menaksir kekuatan militer di tempat itu, Helian Kong menarik napas serta berpikir dengan masygul, "Benar-benar tak tersangka di wilayah selatan ini bertebaran ' pangkalan-pangkalan tersembunyi pasukan Manchu. entah berapa banyak pangkalan macam ini di berbagai tempat" Para pangeran hanya sibuk untuk saling menjatuhkan, tidak sadar di wilayah sendiri malah kesusupan musuh sebanyak ini
Selain kemasygulannya, Helian Kong pun harus bertahan terhadap racun di tangan kanannya. Setiap hari ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk bersemedi, menjalankan tenaga dalamnya untuk menahan menjalarnya racun. Namun racun yang dibubuhkan Ngo Tat ke cambuk Yim Mo kemudian mengenai Helian Kong ketika bertempur dengan Yim Mo itu, sungguh racun yang lihai. Memang dapat tertahan oleh usaha Helian Kong, namun tidak sepenuhnya. Racun itu terus menjalar ke atas. Helian Kong makin merasakan lengan kanannya beku, membiru, amat sulit digerakkan. Bahkan luka di telapak tangan kanan Helian Kong, luka bekas tarik menarik cambuk dengan Yim Mo, mulai mengeluarkan bau busuk yang menyengat.
Ketika Helian Kong tiba di pangkalan tersembunyinya Phui Tat-hong dan dijebloskan ke sebuah ruangan kayu yang dijaga ketat, Helian Kong "sudah dalam keadaan lemah, bahkan lebih lemah dari orang yang tidak pernah belajar silat. Racun juga sudah mencapai bagian atas sikunya, dan sebagai orang berpengalaman, Helian Kong tahu bahwa kalau ingin melanjutkan umurnya ada dua pilihan. Pertama, memperoleh obat penawar yang tepat. Ke dua, memotong lengan kanannya sendiri sehingga ia akan menjadi orang buntung sebelah.
Memohon obat penawar kepada pihak Manchu rasanya mustahil dikabulkan. Pihak Manchu pasti takkan _membiarkan si "macan sakit" ini kembali sembuh, kuat, memimpin laskar gunungnya dan membahayakan pihak Manchu. Maka pilihan kedualah yang terbentang di depan Helian Kong sekarang. Membuntungi lengan kanannya sendiri.
"Tak kusingka'aku akan "senasib" dengan Puteri Tiang-ping." Teringat akan teman karibnya, yaitu
Puteri Tiang-ping, puteri mendiang Kaisar Cong-neng. yang juga menjadi orang buntung. (dalam "Kembang Jelita Peruntuh Tahta" bag. 1). "..; tetapi lebih baik menjadi orang buntung yang tetap hidup dan dapat tetap melakukan perlawanan, walau cuma dengan satu tangan saja, daripada mati pelan-pelan dalam kesakitan.
Maka Helian Kong sekarang hanya ingin menunggu suatu kesempatan untuk menceraikan lengan kanannya sendiri dari tubuhnya. Tetapi ia sendirian di tengah-tengah musuh. dengan tubuh yang makin lemah. dan kadang-kala merasakan kesakitan yang hampir tak tertahan, dengan racun yang hari demi hari makin menjalar ke atas.
Helian Kong amat jarang mencucurkan air mata karena sedih. ia tak ingat lagi kapan terakhir kalinya ia menangis, sebab sudah bertahun-tahun. Namun kini. dalam ruangan penyekapannya, meskipun tiap hari ia diberi makan. dalam keputus-asaan sering Helian Kong menangis sendirian malam-malam dan meratap.
"Oh. Langit, kalau kau tidak sayangkan nyawa Helian Kong. setidaknya sayangkanlah tanah air kami yang sedang terancam. Aku harus keluar dari sini untuk membongkar jaringan kekuatan musuh yang tersembunyi ini."
Malam itu, entah malam keberapa Helian Kong terkurung di pangkalan tersembunyi itu, karena ia tak sempat menghitung lagi, Helian Kong sedang berjuang hebat melawan rasa sakitnya yang hebat. tak tertahan ia merintih.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka dari luar, lalu seorang penjaga menjenguk ke dalam dan bertanya, "Anda kesakitan, Jenderal Helian?"
Helian Kong agak heran mendapatkan sikap seperti itu. Siang malam memang tempat itu dijaga, dan Helian Kong bisa mendengar suara mereka di luar, berkelakar, bercakap-cakap, tak pernah ada yang menjenguk ke dalam ruangan kecuali yang mengantarkan makanan. Tibatiba malam ini ada penjaga Ya"! menanyakan keadaannya. bukan dengan pertanyaan mengejek melainkan dengan penuh pengertian.
tetapi yang bangkit dalam diri Helian Kong kemudian ialah sikap permusuhannya terhadap orang Manchu dan "harga diri"nya sebagai bangsa Han. Sambil mengertakkan gigi menahan sakit. ia menyahut segagah dan sedingin mungkin, "Tidak."
Namun penjaga itu melihat di bawah cahaya lilin di ruangan itu, wajah Helian Kong penuh keringat dan kerut-kerut kesakitan. Terdorong rasa iba yang tulus, penjaga itu berkata, "Jenderal kelihatan tidak sehat." .
Jawaban Helian Kong tetap dingin, "Kalau aku sehat, mana mungkin aku terkurung di sarang tikus-tikus kecil ini" Bisa-bisa malah aku menghabiskan kalian semua. Enyahlah, mati hidupku bukan urusanmu. Doakan saja aku cepat mati supaya pasukan besar kalian punya nyali menyeberangi Sungai Besar ke selatan."
Penjaga itu mengerutkan alis lalu menutup kembali pintunya dari luar, sambil menggerutu, "Dasar tak tahu membalas keramahan orang."
Lalu penjaga itu melangkah pergi. namun sambil melangkah ia juga merenung, "Kalau aku menderita seperti dia, barangkali sikapku akan seperti dia juga. Lukanya sudah parah, ruangan tadi sampai penuh bau busuk lukanya."
Sedangkan Helian Kong yang kembali sendirian kecuali berteman penderitaannya, jauh di dasar hatinya diam-diam merasa sikapnya tadi agak keterlaluan juga. Si -Penjaga baik-baik memperhatikannya kok ditanggapi dengan sikap dingin"
Pada saat yang sama, An Lung, panjaga yang bertanya kepada Helian Kong itu melangkah ke sebuah pondok tawanan lain. Pondok tawanan yang' juga dijaga namun tak seketat penjagaan terhadap Helian Kong. . Tawanan-tawanan penghuni pondok tawanan. yang sedang didatangi An Lung itu bahkan sudah menjadi teman baik beberapa penjaga, meski tetap dalam keterbatasan.
Ketika penjaga tempat itu melihat sesosok bayangan mendekat, mereka bersiaga, namun kesiagaan kendor begitu melihat An Lung.
"kak An. kenapa kemari" Bukankah Kakak menjaga Helian Kong malam ini"
"Aku ingin ketemu Ang Siok-sim.
"Untuk apa?" _ "ingin kubicarakan sesuatu dengannya.
Penjaga-penjaga di situ maklum. Mereka melihat belakangan An Lung sering bercakap-cakap dengan tawanan yang bernama Ang Siok-sim itu. Sebelum maupun sesudah An Lung ikut bertugas keluar bersama Phui Tat-liang, dan rekan rekannya juga melihat perubahan sikap An Lung yang tidak seganas dulu, sebagai prajurit. Apakah itu pengaruh Ang Siok-sim" Dan apakah yang hendak dibicarakan dengan Ang Siok-aim malam malam begini"
An Lung mengetuk pintu agak lama sebelum dibukakan oleh Ang Siak-sim dengan mata yang setengah terkatup karena kantuk.
"Oh. Kakak An... ada apa?"
"nona Ma berdua sudah tidur?"
"benar. Kakak hendak menemui mereka?"
'Tidak. Aku ingin menjumpaimu. Maaf aku sudah mengganggu tidurmu, soalnya ada orang yang sangat menderita dan mungkin hanya kau yang bisa menolongnya, Adik Ang."
Urusan menolong orang. membuat kantuk Ang Sick-sim lenyap. "Siapa?"
Secara singkat An Lung menceritakan tentang Helian Kong yang amat menderita, namun menolak pertolongan An Lung karena An Lun prajurit Manchu. "Kakak An, kenapa Kakak pikir orang yang namanya Helian Kong itu atau mau menerima pertolongan lewat aku. padahal dia sudah menolak pertolongan Kakak?"
"Karena kau orang Han, dan kau juga tawanan di sini. Mungkin kau bisa lebih mendekatinya."
"Dan kenapa Kakak ingin menolong Helian Kong" Bukankah dia itu tokoh yang amat memusuhi pemerintahan bangsa Kakak?"
An Lung garuk-garuk kepala, "Yah... karena... sebagai sesama manusia... merasa tidak tega saja. Rlntihannya memelas. dan luka di telapak tangannya sudah berbau busuk."
Ang Siok-sim tersenyum amat lega sambil menatap An Lung, sehingga An Lung risih dan bertanya, "Eh, kenaPa kau menatapku seperti ini?"
"Kau berbelas kasihan kepadanya tanpa memandang bangsanya bukan?" tanya Ang Siok-sim. "Kakak An, kudengar berita bahwa Helian Kong ini orang hebat, sampai Kaisar dan para pangeran di selatan ini takut kepadanya, juga Panglima Manchu di utara pun segan dan amat memperhitungkannya. Namun, dalam pandanganku, Kakak An, kau lebih besar dari dia karena sikap belas kasihanmu itu."
"Ah, kau ada-ada saja. Aku kan hanya prajurit kecil yang tak berarti. Sudah jangan bicarakan ini. Sekarang mari kita secepatnya menjumpai dia."
"Apakah penjaga-penjaga mengijinkan aku keluar malam-malam?"
"Pasti. Mereka 'kenal baik kepadaku, juga kepadamu."
Ternyata kata-kata itu benar, penjaga penjaga itu tidak melihat alasan untuk mencurigai Ang Siok-sim kabur. Maka An Lung dan Ang Siok-sim diijinkan meninggalkan pondok penyekapan. Begitu Pula sikap penjaga-penjaga Helian Kong, mengijinkan Ang Siok-sim masuk untuk menjumpai Helian Kong.
Ang Siok-sim masuk sendirian dan An Lung_menunggu di luar untuk tidak memancing emosi Helian Kong sehingga mempersulit niat baik An Lung.
Ang Siok-sim tiba di dalam ruangan ketika Helian Kong sedang bergulat dengan penderitaannya, namun masih tetap sadar. Bau luka yang membusuk memenuhi ruangan, tetapi Ang Siok-sim menahannya dan ia berjongkok di sebelah Helian Kong yang sedang mengerahkan tenaga dalam melawan rasa sakit. Melihat Helian Kong, jantung Ang Siok-sim berdegup kencang juga. Selama Ang Siok-sim bekerja sebagai kacung di rumah makan Ceng-san-lau dulu,serapat rapatnya orang-orang Ceng-san-lau menjaga organisasi mereka, namun kadang tak sadar bocor juga kalau membicarakan tentang orang yang namanya Helian KOng
pemimpin mereka. Orang-orang macam Lai Tek-hoa. Bibi Mo, Mo Giok-lin dan sebagainya, membicarakan Helian Kong dengan nada kagum dan memuja. Dalam angan-angan Ang Siok-sim jadi tergambar sosok Helian Kong itu pastilah manusia luar biasa. Sekarang setelah begitu dekat dengan tokoh yang bak tokoh dongeng itu. Ang Siok-sim diam-diam membatin, "Seperti inikah tampang orang besar itu'.Dandanannya sesederhana orang kecil, usianya belum melebihi tiga puluh lima tahun, bentuk fisiknya malahan nampak lebih lemah dari Ang Siok-sim. Ang Siok-sim maklum, karena sudah beberapa hari didera kesakitan.
"Tuan Helian." sapa Ang Siok-sim agak takut-takut.
Mata Helian Kong. agak terbuka, menatap tajam, dan tanyanya dingin, "Ada apa lagi?"
Agaknya Helian Kong menganggap Ang SioK-sim juga prajurit Manchu dan tujuan kedatangannya tak berbeda dengan yang tadi. Menawarkan "hutang budi" agar selanjutnya Manchu dapat mengikat dirinya, demikian prasangka Helian Kong.
"Tuan sebutkan obat, aku bisa mengusahakan obatnya."
Kata "obat" saat itu benar-benar menggiurkan Helian Kong. Selain kesakitannya, ia juga disiksa kekuatirannya bahwa seluruh negeri tidak tahu ada pangkalan-pangkalan tersembunyi Manchu di berbagai tempat, dan Helian Kong ingin bisa lolos dari situ untuk mengabari para panglima dinasti Beng di selatan Tetapi bagaimana bisa kabur, kalau untuk berjalan pun ia sudah hampir tidak kuat"
Beberapa saat Helian Kong ragu menatap Ang Sick-sim, menangkap ketulusan di mata pemuda gunung itu. Tetapi Helian Kong tetap bersikap hati-hati, "Kalau aku mendapatkan obat, imbalan apa yang diminta oleh pihakmu?"
Ang Siok-sim berusaha menepis prasangka itu dengan menjelaskan siapa dirinya, "Tuan Helian, aku ini tawanan juga di sini, seperti dirimu."
"Tawanan kok tidak dikurung dan boleh keluyuran semaumu?"
"Karena aku tawanan yang kurang penting." Lalu Ang Siok-sim menceritakan penculikan dirinya dan dua nona dari Makao, yang tadinya ikut rombonsan Kim-sai Pian-hang. "... jadi kedua Nona Ma itulah yang merupakan tawanan penting bagi pasukan yang bersembunyi di sini. Sedangkan aku hanya kuli _angkut barang, pegawai rendahan Kim-sai _Piauhang yang tidak tahu apa-apa tetapi ikut terculik. Aku 'agak bebas di sini, dan aku bisa mencarikan obat buat Tuan."
Helian Kong menangkap kejujuran Ang Siok-sim, dan mulai tertarik akan tawaran simpatik itu. "Siapa namamu?"
"Ang Siok-sim."
"Begini, Saudara Ang, racun yang memasuki lengan kananku ini bukan racun sembarang racun yang bisa dipunahkan dengan obat biasa, melainkan hanya oleh obat khusus dari Si Pembuat Racun. Saudara Ang bisa memperoleh obat itu?"
Ana Siok-sim garuk-garuk kepala. "Tadinya kukira racun biasa."
Cukup dari sikap ini, Helian Kong tahu Ang Stok-sim tidak bisa diharapkan untuk mendapatkan obat pemunah_ itu.
Namun Helian Kong berkata pula,"Saudara Ang, masih ada satu jalan kalau kau benar-benar ingin menolongku. Tolong ambilkan pisau yang amat tajam dan bersih"
Panglima Gunung Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
_ Ang Siok-sim kaget, "Tuan Helian, hidup masih panjang, jangan berputus asa."
Mau tak mau Helian Kong tertawa juga, hatinya agak tersentuh oleh perhatian Ang Siok-sim dan inilah tertawa pertamanya sejak ia ditawan oleh Ngo Tat. Seutas benang batin halus yang namanya "persahabatan" tiba-tiba terentang antara dirinya dengan Ang Siok-sim.
"Saudara Ang, jangan salah paham. Aku bukannya mau bunuh diri karena putus asa, justru malah ingin memperpanjang umur. Ketahuilah, racun ini kalau tidak diobati secara tepat akan menjalar terus dan akhirnya membusukkan seluruh tubuhku dan aku mati. Karena kita tidak punya obat yang tepat, untuk menyelamatkan hidupku, tak ada jalan lain kecuali memotong sebelah lenganku, itu sebabnya aku minta pisau yang tajam
dan bersih." Penjelasan ini pun tetap membuatAng Sick-sim berwajah tegang. Soalnya Helian Kong bicara soal memotong lengannya sendiri dengan sikap dan mimik yang begitu tenang seolah yang dipotong itu bukan bagian dari tubuhnya sendiri.
Padahal Helian Kong sendiri bukannya tidak berat hatinya. Mana ada orang waras yang tidak merasa berat hati harus berpisah selamanya dengan anggota tubuhnya yang penting" Helian Kong mengalami pergumulan batin berhari-hari sebelum memutuskan itu. Sekarang ia bisa mengucapkannya dengan tenang di depan Ang Siok-aim karena ia sudah ber-' hasil membuang semua keraguannya.
"Tuan Helian yakinkan tak ada jalan lain?"
"Seandainya ada jalan lain, siapa yang rela kehilang" " tangan" Kau mau menolong atau tidak?"
"Baiklah. pisau tajam dan bersih. Pisau dapur tidak apa-apa ya?"
"'Yang agak besar sedikit. Juga obat luka sebanyak-banyaknya dan kain pembalut sebanyak-banyaknya"
"Bisa, bisa." Mendengar Ang Siok-sim begitu mudah mengiyakan. kecurigaan Helian Kong timbul kembali. Tanyanya sambil menatap tajam, "Kau sanggupi begitu mudah, seolah kau bagian dari orang-orang di tempat ini. Benarkah kau tawanan disini?"
"Memang aku tawanan, tetapi aku punya hubungan baik dengan prajurit-prajurit di sini. Bagaimanapun, mereka manusia dan aku manusia, kenapa tidak dapat saling menolong di luar urusan masing masing?"
Helian Kong merasa agak disindir akan sikapnya kepada penjaga tadi. Katanya kemudian," "Baiklah, kalau kau bisa menyediakan itu semua, aku sangat berterima kasih. Kapan bisa kudapatkan itu"
"Kuusahakan secepatnya."
Lalu Ang Siok-sim meninggalkan Helian Kong untuk menyampaikannya kepada An Lung. An Lung menyatakan sanggup menyediakan semua yang diminta. An Lung tidak merasa bahwa dengan menolong Helian Kong ia berkhianat kepada negerinya. Ia beranggapan, Helien Kong yang dianggap membahayakan rencana militer Manchu itu toh udah terkurung dan tak berdaya, tidak ada salahnya sedikit meringankan penderitaan Helian Kong, atas nama kemanusiaan.
Singkatnya, sebelum fajar menyingsing "operasi" sudah berlangsung. Helian Kong sudah terlalu lemah untuk memotong lengannya sendiri, Ang Stok-sim ingin membantu namun tidak tega, akhirnya Helian Kong tak menolak bantuan An Lung Si Prajurit Manchu.
Helian Kong jatuh pingsan setelah lengan kanannya tercerai dari tubuhnya. An Lung dan Ang Siok-simlah yang sibuk mengikat pundak agar darah.tidak mengalir terlalu deras, menaburkan obat luka dan sebagainya.
Helian Kong tidak tahu berapa lama ia pingsan, namun ketika ia siuman, ia merasa amat lemah dan sakit di pundak kanannya yang tanpa lengan lagi. Tubuhnya terbaring di pembaringan kayu. diselimuti.
Pandangannya yang kabur menampakkan bayangan di tepi pembaringannya yang tidak jelas wajahnya. hingga Ia bertanya, "Siapa kau?" _
"Aku Ang Siok-sim, Tuan Helian. Bagaimana rasanya?" _
"Sakit, tetapi jauh lebih baik daripada dulu. Lamakah aku pingsan?" '
"Dari dini hari tadi sampai sekarang, matahari baru saja masuk."
"Terima kasih."
"Kami senang bisa mengurangi penderitaan sesama manusia." _
"Sampaikan juga terima kasihku untuk prajurit Manchu itu."
"Dia juga senang bisa menolong sesama, tanpa menghiraukan suku bangsa."
"lenganku yang dipotong itu... di mana?"
"Maaf, Tuan Helian, kami tidak menunggu Tuan siuman dan segera menguburkan lengan itu. Karena baunya yang amat busuk."
Helian Kong menarik napas dengan masygul. Biarpun hatinya sudah bulat kehilangan sebelah lengan demi mempertahankan hiduvnya. namun teringat juga bagaimanapun juga lengan itu sudah berada pada dirinya sejak ia dalam kandungan ibunya.
"Tuan lapar" Orang di dapur sudah membuatkan bubur dengan hati ayam untuk menguatkan darah dan memulihkan darah yang tadi banyak keluar."
Hidung Helian Kong memang mencium bau masakan itu dan rasa laparnya pun terbangkitkan. "Saudara Ang, bantu aku duduk," pintanya. " Ang Siok-sim membantu Helian Kong duduk di atas pembaringannya, lalu.menyeret meja ke dekat pembaringan. Di atas meja ada semangkuk besar bubur dengan dua potong hati ayam. Yang untuk makan bukan sumpit, sebab sumpit hanya bisa digunakan oleh orang bertangan lengkap, melainkan sendok kayu kecil. '
Helian Kong lebih dulu menatap pundak kanannya yang terbalut amat rapi namun berbercak-bercak darah, lalu melihat ruangan tempatnya dikurung masih tempat yang dulu juga. Namun tempat itu sudah amat. bersih, tidak ada bekas darah berceceran di lantai, Dan tampak ruangan harum menyegarkan karena beberapa kuntum bunga segar yang dltarUh di jambangan. Bukan hanya ruangan saja, bahkan Helian Kong juga merasa tubuhnya segar dan pakaiannya bersih. "kalian berbuat terlalu banyak," desis Helian Kong.
"Tidak ada yang terlalu banyak kalau manusia melakukan untuk manusia." _
"Tetapi terlalu banyak kalau manusia Manchu melakukannya untuk manusia Han."
"Kakak An Lung tidak berpikir demikian."
"Aku juga tidak ingin membeda-bedakan manusia menurut sukunya, tetapi bagaimana kalau negeriku, kampung kampung halamanku, tiba-tiba diserbu dan dijajah?"
bersambung jilid XVII Panglima Gunung Karya Stefanus SP Sumber Ebook : Awie Dermawan
Edit teks : Saiful Bahri Ebook persembahan group fb Kolektor E-Book untuk pecinta ceritasilat Indonesia
*** Panglima Gunung Jilid 17 ANG SIOK-SIM termenung sejenak.
Ia tak ingin berdebat. tetapi merasa penasaran juga melihat sikap Helian Kong, dan akhirnya meluncur iuga dari mulutnya, "Tuan Helian, aku berasal dari sebuah desa kecil yang sehari perjalanan jauhnya dari kota raja Lam-khia. Di desaku tak ada orang Manchu segelintir pun. tetapi kesewenang-wenangan. penjajahan dan perampasan tetap ada."
Helian Kong tak dapat menyangkal itu. Bahkan bukan hanya di satu kampung melainkan ratusan kampung lainnya yang pernah Helian Kong lihat. Ternyata yang namanya penjajahan dan perampasan hak tidak selalu harus oleh bangsa lain, bangsa yang diberi cap "orang-orang biadab dari luar perbatasan."
"Tuan Helian, maukah kusuapkan buburmu" Nanti keburu dingin."
Helian Kong tercabut dari lamunannya dan menjawab sambil menggeleng, "Tidak usah. Terima kasih."
Lalu dengan tangan kirinya, dengan gerakan yang masih canggung karena belum terbiasa, Helian Kong mulai menyendoki buburnya dan menyuapkannya ke mulutnya. Karena canggung. sebagian buburnya berceceran jatuh di meja dan pakaiannya sendiri.
Ang Siok-sim kembali menawarkan bantuan, tetapi Helian Kong menjawab, "Tidak. Aku harus membiasakannya."
Hari demi hari, Ang Sick-sim sering mengunjungi Helian Kong tanpa dihalang halangi oleh para penjaga, keduanya sering berbicara banyak dan tak terhindarkan terjadi saling mempengaruhi antara keduanya.
Meski Ang Siok-sim tidak suka membeda-bedakan suku bangsa. namun Helian Kong membuka matanya bahwa bangsa Manchu telah menyerbu kampung halaman bangsa Han. Pengaruh tidak hanya berjalan searah, Helian Kong pun tersentuh hatinya ketika mendengar cerita Ang Siok-sim bahwa banyak prajurit-prajurit Manchu pun sebetulnya tidak menyukai perang.Bagaimana mereka diambil dari desa-desa dilatih, diberi" seragam dan senjata diterjunkan ke medan hidup mati. Juga benteng prajurit di pangkalan tersembunyi itu, bagaimana mereka pun sebenarnya didera kerinduan untuk berkumpul kembali dengan sanak keluarga dan hidup damai di desa-desa mereka. "Semua orang sebenarnya senang hidup aman dan damai, hanya para pembesarlah yang berambisi tercantum dalam sejarah hingga tak segan-segan mengobarkan perang," lewat kata-kata itu Ang Sick-sim berniat "menyadarkan" Helian Kong sebagai seorang tokoh yang besar pengaruhnya, agar menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan perang. Tetapi Helian Kong malah berkata, "Katakan semua itu kepada penguasa penguasa Manchu."
Dengan demikian, meski terjadi saling mempengaruhi, baik Helian Kong maupun Ang Siok sim masih juga berdiri di atas sikap dasarnya masing-masing.
Suatu malam yang larut dan dingin, ketika Ang Siok-sim sedang tidur pulas di bawah selimutnya, tiba-tiba ia dibangunkan dengan tepukan-tepukan dan guncangan-guncangan di pundaknya. Ketika Ang Siok-sim siuman, ia tercengang melihat Helian Kong berdiri di samping dipan tidurnya dalam pakaian siap bepergian jauh. Lengan bajunya yang sebelah kanan kosong melambai karena sudah tak ada lengannya lagi.
Yang lebih mengherankan Ang Siok sim ialah ketika melihat di samping Helian Kong ada orang buntung satu lagi. Namun orang itu ialah seorang bhikuni, pendeta wanita agama Buddha, yang berjubah putih, cantik, usianya seusia Helian Kong, kepalanya gundul, dan sebelah tangannya juga buntung.
"Saudara Ang, aku hendak pergi malam ini. Apakah kau mau ikut?"
"Pergi?" "Ya. Kabur. Bukankah aku tawanan" Tawanan mana yang tak ingin kabur kalau ada kesempatan" Kutawari juga kau sekarang untuk ikut kabur."
Pelan-pelan kantuk Ang Siok-sim menyingkir pergi, katanya kemudian, "Orang di sini baik-baik kepadaku, tetapi bagaimanapun aku punya keluarga dan punya teman-teman yang tentu mencemaskan aku kalau aku menghilang sekian lama, jadi aku pun harus pergi dari sini. Begitu juga Nona Ma berdua."
"Kalau begitu. bangunkan mereka."
Ang Siok-sim membangunkan kedua gadis itu dan memberi tahu rencananya, kedua gadis itu pun kegirangan mendengarnya. Mereka berkemas cepat, lalu siap kabur bersama Helian Kong dan Si Bikhuni Buntung.
Karena Helian Kong belum mengenal kedua gadis itu, Ang Siok-sim merasa pantas memperkenalkan kedua pihak, _"Tuan Helian, kedua nona ini adalah puteri-puteri Tuan Ma di Makao, Nona Ma Wan-yok dan Ma Wan-san. Nona Ma, inilah Tuan Helian yang terkenal itu."
Kedua gadis itu memberi hormat, namun mereka menatap penuh tanda tanya ke arah Si Bhikuni Buntung. Helian Kong pun terpaksa memperkenalkan, "Bhikuni ini nama agamanya kebetulan sama dengan nama Saudara Ang. Namanya Bhikuni Siok-sim, kalangan pendekar menyebutnya Tok-pi Sin-ni (Bhikuni Sakti Berlengan Tunggal), dulunya dia adalah..."
Bhikuni Siok-sim cepat mencegah, "Jenderal Helian, sudahlah, masa lalu adalah masa lalu."
Tak terduga malahan Ma Wan-san yang berkata, "... aku tahu! Dulunya Bhikuni ini adalah Puteri Tiang-ping dari dinasti Beng! Aku pernah mendengar riwayatnya yang mengharukan!"
Bhikuni Siok-sim menarik napas, agaknya susah menyembunyikan identitasnya. Akhirnya ia berkata, "Baiklah, jadi ini semua yang hendak pergi dari sini" tidak ada yang lain lagi?"
"Tidak ada lagi."
Mereka berlima pun melangkah keluar Ketika melihat penjaga-penjaga di luar roboh bergelimpangan, dengan cemas Ang
Siok-sim bertanya kepada Helian Kong, "Tuan Helian, mereka... mati?"
"Tidak. Bhikuni Siok-sim hanya memberi mereka... kelumpuhan sementara..." Helian Kong menjawab dengan istilah umum, karena tahu Ang Sick-aim tidak bisa bersilat dan tidak paham istilah istilah silat.
Mereka melangkah dalam kegelapan sampai keluar pangkalan tentara rahasia itu, di pinggir sebuah hutan lebat yang bersambung dengan ladang-ladang pangan untuk memasok bahan pangan ke pangkalan itu. Tak ada pagar di sekitar pangkalan, agaknya penghuni-penghuninya benar-benar yakin takkan pernah ada musuh yang bisa menemukan tempat itu.
Tiba di situ, Bhikuni Siok-sim berhenti dan berkata kepada Helian Kong, "Jenderal Helian, pimpin teman-teman ini ke arah yang kutunjukkan tadi."
"Tuan Puteri hendak ke mana?" tanya Helian Kong. Biarpun sudah lama Bhikuni Siok-sim bukan lagi Puteri Tiang-ping, namun Helian Kong masih saja secara tak sengaja memanggilnya demikian. Sama juga dengan Bhikuni Siok-sim yang masih memanggil Helian Kong dengan "jenderal".
"Aku hendak membakar gudang senjata di pangkalan tersembunyi ini. Kalau senjata mereka rusak, setidaknya kegiatan mereka akan banyak berkurang." Bersamaan dengan selesainya kata-katanya, tubuhnya sudah melompat pergi dengan cepat.
"Wah, dia bisa terbang!" komentar Ma Wan-yok kagum. '
Helian Kong cuma tersenyum kemudian mengajak orang-orang itu menjauhi pangkalan tersembunyi itu.
Ang Siok-sim sempat menoleh, memandang pangkalan itu dalam kegelapan dan kelap-kelipnya beberapa obor di sana sambil mendesiskan harapannya, "Mudah mudahan kepergianku tidak memadamkan semangat perdamaian yang mulai menyala di hati Kakak An Lung dan beberapa teman." 4
Helian Kong yang menghilang sekian lama, muncul mengejutkan di pusat markas "kerajaan gunung"nya, semua orang menyambutnya gembira, meski prihatin melihat satu lengannya yang buntung. Yang paling gembira tentunya adalah isteri Helian Kong, Siangkoan Yan, serta dua anaknya yang berusia enam dan tiga tahun. '
Helian Kong sadar bahwa "hilang"nya dirinya selama hampir dua bulan pasti dibarengi dengan banyak perubahan situasi di seluruh wilayah selatan. Karena itu, Helian Kong tetap di "istana gunung'nya agar mudah dihubungi anak buahnya, sekaligus menyebar suruhan yang membawa perintah agar pencarian terhadap dirinya dihentikan, dan ia Juga ingin mendengar laporan dari semua wilayah.
Beberapa bulan kemudian, setelah melewati hari-hari yang menggelisahkan, Helian Kong mulai menerima laporan dari berbagai daerah melalui kurir-kurir. Laporan yang membuat kegelisahannya lenyap, digantikan kemarahan hebat.
Dari medan perang wilayah barat ada
berita bahwa pasukan Kerajaan Beng di bawah pimpinan Jenderal Li Teng-kok, sudah semakin mundur ke selatan karena didesak pasukan Manchu di bawah Bu Sam-kui yang jumlahnya jauh lebih besar, lebih terlatih, bersemangat tinggi. Berita lain, setelah unggul di wilayah barat, Jenderal Ni Kam memerintahkan pasukan besar Bu Sam-kui dibagi dua. Separuh tetap dipimpin Bu Sam-kui dengan sasaran akhir menguasai Se-cuan sebagai lumbung pangan. Separuh lagi dibelokkan ke timur, mengincar Lam-khia tanpa sembunyi-sembunyi lagi. Dengan demikian Lam-khia seakan diancam dari tiga jurusan, dari utara oleh pasukan induknya jenderal Ni Kam yang tinggal tunggu waktu menyeberang Sungai Besar. dari barat oleh pecahan pasukan Bu Sam-kui, dari selatan oleh pasukan-pasukan Manchu yang bertebaran di pangkalan-pangkalan tersembunyi, yang entah berapa besar kekuatannya kalau muncul semua. sesuatu yang sulit dihitung. Di mana mana para jenderal yang'masih setia kepada dinasti Beng menyusun perlawanan
sebisa-bisanya dengan kekuatan yang amat terbatas. Dalam keadaan serba sulit itu, ulah para pangeran dinasti Beng ternyata malah bukannya meringankan melainkan mempersulit, semuanya mengambil tindakan hanya demi keuntungan diri sendiri-sendiri. Pangeran Kui-eng yang menguasai Hun-lam dan Kui-ciu dan punya cukup tentara untuk menolong kesulitan Jenderal Li Teng-kok di secuan, mengajukan kerjasama bersyarat bagi Li Teng-kok, yaitu Li Teng-kok harus mendukungnya menjadi Kaisar penerus dinasti Beng. Li Teng-kok yang sedang senin kemis digencet pasukan Manchu, menerima uluran tangan bersyarat Pangeran Kui-ong itu dan sejak itu Li Teng-kok jadi bawahannya Pangeran Kui-eng. bukan bawahannya pemerintah di Lam-khia. Laporan lain yang diterima Helian Kong ialah tentang Pangeran Louong dan Pangeran Tong-ong yang menghentikan pengiriman pasukan mereka untuk membantu mempertahankan Lamkhia. Mereka malah sibuk memperkuat diri masing-masmg. mengikuti jejak Pangeran Kui-ong. Lam-khia jadi seperti sebutir telur di ujung tanduk, terancam tapi ditinggalkan pendukung-pendukungnya di propinsi-propinsi, yang malah siap-siap "berbagi warisan" yaitu seluruh wilayah selatan itu.
Helian Kong mengepal tinjunya kuatkuat, "Kalau keadaan sudah tenang, aku benar-benar akan menghajar para pangeran itu."
"Tetapi saat ini, yang paling penting ialah menghentikan serbuan Manchu. Baik yang dari barat, yang bersembunyi di selatan, maupun yang siap-siap menyeberang! Sungai Besar dari utara. Kekuatan di Lam-khia terlalu minim dengan tidak datangnya bantuan dari ketiga pangeran."
Helian Kong membayangkan, di Lamkhia dan sekitarnya ada hanya kira-kira dua puluh ribu prajurit kerajaan Beng yang mutunya di bawah pasukan Manchu yang amat terlatih. Tetapi selain itu, Helian Kong juga tahu di sepanjang tepian selatan Sungai Besar itu sedang giat melatih rakyat menjadi kekuatan militer yang diharapkan bisa memperkuat perlawanan bila Manchu datang. dari mana pun arahnya.
Helian Kong pun mengeluarkan perintah, "Panggil seluruh kekuatan kita agar bergerak ke medan. Kecuali kekuatan kekuatan kita yang memang sedang terikat di suatu tempat."
Yang dimaksud dengan "yang terikat di suatu tempat" misalnya Yo Kian-hi dan pasukannya yang harus berjaga-jaga di wilayah tenggara sebagai "pasukan perdamaian" jangan sampai Pangeran Lou-ong dan Pangeran Tong-eng bertempur dan menguras tenaga bangsa Han secara sia-sia. juga yang berjaga di tempat lain untuk berbagi tugas.
Selain menggerakkan kekuatannya sendiri, Helian Kong juga menyebar orang-orangnya yang pintar membujuk, untuk mendekati pemimpin-pemimpin perguruan-perguruan silat atau organisasi-organisasi dunia persilatan, agar kaum pendekar tergerak hatinya untuk membela tanah air yang terancam. Namun mendengar jawaban pemimpin-pemimpin perguruan-perguruan dan organisasi itu,
Helian Kong kecewa namun sudah tidak kaget, bahwa hanya sebagian kecil pemimpin kelompok-kelompok silat itu yang menanggapi dengan positif ajakan Helian Kong. Bahkan ada satu dua kelompok yang sudah mengirim orang-orangnya membela negeri sebelum datangnya seruan Helian Kong. Tetapi sebagian besar pemimpin kelompok sudah "dibeli" oleh pangeran-pangeran yang bersaing, yang juga sedang memupuk kekuatan untuk cita-cita masing-masing;
Kampung-kampung nelayan sepanjang tepian Sungai Besar itu suasananya tidak berbeda dengan beberapa bulan sebelumnya, ketika Lai Tek-hoa melewatinya dalam perjalanan pulang dari pegunungan. menjumpai Helian Kong. Waktu itu Lai Tek-hoa bersama-sama dengan Mo Gioklin dan Un Tong-koan.
Kali ini Lai Tek-hoa meninggalkan Lam-khia menuju kampung Hi-sian-tin Timur, kampung nelayan terbesar di antara rangkaian kampung-kampung nelayan di tepian sungai itu. Ia ditemani rekannya, sama-sama hong-kun di Lam-khia yaitu Bu-wan (Si "Lutung Menari") Joa Kian-pin. Empat orang hong-kun kaum "gunung hijau" di Lam-khia dibawahi oleh hu-san-cu (wakil San-cu untuk wilayah tertentu) bernama An Bwe, seorang anggota kelompok gunung hijau, namun juga menjadi panglima kerajaan. Ketika komplotan Bangsawan Dao dan Jenderal Eng tergulung, An Bwe menggantikan Jenderal Eng menjadi Panglima Delapan Belas Dermaga. Karena Hu-san-cu Lam-khia dan Panglima Delapan Belaa Dermaga itu orangnya sama, maka kaum gunung hijau bawahan An Bwe jadi rukun dengan prajurit-prajurit kerajaan yang menjaga delapan belas dermaga penyeberangan sepanjang Sungai Besar.
Kaum gunung hijau di kampung-kampung nelayan itu dipimpin Hu-san-cu yang lain. seorang "pensiunan" bajak sungai yang bernama Wan Keng-bin dan berjulukan Ku-sin (Si "Malaikat Kurakura") karena bentuk tubuhnya yang mirip kura-kura. ditambah punggungnya yang amat keras seperti batok kura-kura ditambah lagi punya ilmu Ku-aiok-kang (kura-kura mengeram) yang membuat ia dapat tahan lama berada dalam air. Wan Keng-hiu membawahi delapan belaa orang hong-kun di sepanjang tepi selatan Sungai Betar. Anak buahnya ada sepuluh ribu orang, rukun dengan prajurit kerajaan sejak prajurit kerajaan dipimpin Jenderal An Bwe yang juga orang kaum gunung hijau.
Di tengah desas-desus tentang meningkatnya kegiatan pasukan Manchu sejak kabar "hilang"nya Helian Kong. maka kaum gunung hijau dan prajurit kerajaan di sepanjang tepian bekerja sama melatih penduduk.
Penduduk dahulunya tidak senang kepada para prajurit Lam-khia, yang mereka anggap tukang bikin susah rakyat. tetapi sejak para prajurit itu dipimpin Jenderal An Bare dan disiplin, penduduk di kampung nelayan itu pelan-pelan berubah sikapnya kepada para prajurit. Ketika kaum gunung hijau mulai melatih
penduduk, penduduk dengan girang menerimanya, tetapi tokoh-tokoh gunung hijau tak henti-hentinya mengingatkan penduduk bahwa mereka berlatih untuk mempertahankan tanah air dari serangan Manchu, bahu-membahu dengan praiurit kerajaan. bukan berlatih untuk membalas dendam kepada para prajurit.
Suasana kampung macam itulah yang kini dilihat Lai Tek-hoa . Penduduk nampak bekerja dengan tenang, tidak ketakutan lagi kepada para prajurit, di mana-mana terlihat kelompok-kelompok penduduk yang sedang berlatih perang-perang" di bawah bimbingan orang-orang kaum "gunung hijau".
Melihat itu semua, Lai Tek-hoa berdesis lega, "Syukurlah, kalau seluruh bangsa Han bersatu, Manchu takkan dapat merebut Wilayah selatan ini. Dulu ketika kulewati daerah ini. yang kulihat adalah penduduk yang dianiaya dan diuber-uber oleh prajurit-prajurit yang saat itu tak lebih dari begundal-begundalnya Juragan Thio yang memiliki semua perahu di seluruh tepian ini."
Namun Joa Kian-pin yang mukanya
berbulu mirip lutung itu tetap murung,
"Kakak Lai, tahukah Kakak betapa besar
kekuatan Manchu yang datang dari barat
itu" Pecahan dari pasukan Bu Sam-kui
yang sedang merebut Se-cuan?"
Lai Tek-hoa membungkam, dan Joa
Kian-pin merasa perlu mengulangi laporan mata-mata beberapa hari yang lalu
"Pasukan Manchu yang datang dari barat
itu dipimpin Jenderal Kim Sun-oh, orang
peternakan Manchu-Korea, dengan dua
ratuS ribu prajurit yang terlatih, bersemangat tinggi dan bersenjata lengkap.
Mampukah kita yang di sini menahannya"
Meskipun gabungan seluruh prajurit, seluruh kaum kita ditambah rakyat yang
sudah kita latih dan bersedia menjadi
Sukarelawan?" Lai Tek-hoa menarik napas pula,
"Memang, bicara soal jumlah, semangat
dan mutu pasukan, pihak kita kalah jauh.
Para prajurit dan para sukarelawan itu
mungkin akan mengalami tekanan berat
dari musuh. Bukannya sombong, mungkin
hanya kaum gunung hijau' kitalah yang
bisa dibilang agak memadai untuk mengimbangi musuh. Dan jumlah kita inipun; yang di tepian maupun di Lam-khia, kalau dijumlah tidak akan lebih dari tiga belas ribu orang. Tiga belas ribu lawan dua ratus ribu. Tapi jangan melihat buruknya saja, itu akan menciutkan nyali. kita dan orang-orang kita sendiri. Tidakkah kau dengar kabar terakhir bahwa San-cu Helian Kong sudah lolos dan sudah berada di Pek-hong-san kembali untuk memimpin seluruh gerakan kita. Dan saat ini, ratusan ribu laskar kaum kita dari berbagai penjuru sedang bergerak serempak menuju ke tepian ini. Kalau mereka sudah bergerak kembali, apa artinya Kim Sun-oh dangan dua ratua ribu prajuritnya" jangan kecil hati, tetap ada harapan."
"Kabar ini yang akan kita sampaikan kepada Kakak Wan di Hi-sian-tin Timur?"
"Ya, agar teman-teman kita yang di sini juga bangkit harapannya." . Mereka memasuki kampung Hi-siantin Timur yang seolah jadi "ibu kota" Wilayah kampung-kampung nelayan "
langsing ke rumah "malaikat kura-kura" Wan Keng-bin. "Pensiunan" bajak tunggal yang cukup ganjil sikapnya ini punya rumah tidak di tengah kampung yang berdekatan dengan rumah orang, melainkan malah di kaki bukit. Rumahnya terjepit di antara pohon-pohon besar dan lantainya beberapa meter dari tanah, untuk mencapai pintunya harus melalui tangga. Wan Keng-lun sendiri tak pernah membutuhkan tangga, tinggal melompat saja, tangga itu untuk tamu-tamunya yang tidak bisa melompat setinggi itu.
Tiba di depan rumah pohon itu. Lai Tek-hoa berdua melihat ada dua ekor kuda ditambatkan. agaknya Wan Kenghin sedang ada tamu juga. Lai Tek-hoa dan joa Kian-pin juga menambatkan kuda-kuda mereka. lalu mereka berteriak begitu saja dan tanpa basa-basi, "Kakak Wan. kami datang!"
Dari dalam rumah pohon terdengar teriakan kasar, "Kalian tahu di mana pintunya, langsung masuk!"
Agaknya Wan Keng-bin sebagai pensiunan bajak sungai memang tidak biasa
berbasa-baai. dan agaknya tuan rumah itu pun sudah kenal suara Lai Tek-hoa sehingga langsung mempersilakan masuk.
Lai Tek-hoa dan Joa Kian-pin pun tak butuh tangga, mereka melompat dan tiba di dalam ruangan rumah pohon berlantai papan tebal yang tidak rapi pemasangannya itu. Sebuah tempat tinggal yang cuma terdiri dari satu ruangan. tak ada perabotan, barang-barangnya acak-acakan. Di dinding papan yang berlapis kulit binatang. tergantung sepasang senjata andalan Wan Keng-hin yaitu sepasang tombak pendek yang masing-masing ujungnya bercabang dua.
Wan Keng-bin sendiri yang bertubuh gendut dan kekar mirip Lai Tek-hoa, sedang duduk di lantai papan menghadapi dua tamu sebelum Lai Tek-hoa, yang juga duduk tanpa alas di lantai. Potongan tubuh Wan Keng-hiu memang mirip Lai Tek-hoa, namun dandanannya berbeda jauh. Lai Tek-hoa berjubah rapi dan selalu membawa sui-poe, bertampang orang dagang yang sukses. Sedang Wan Kengkin ini bahkan rambutnya pun awut
awutan dan setengah gembel. begitu juga kumis dan jenggotnya. sudah tiga perempat ubanan. Usianya kurang lebih lima puluh tahun. Bajunya adalah kain tebal yang mungkin dicuci setahun sekali, bertelanjang kaki.
Dua tamunya yang terdahulu ternyata ialah dua orang komandan prajurit di kawasan itu. Dengan amat terpaksa kedua komandan itu duduk bersila di ruangan berantakan itu dan "menghadap" manusia yang juga berantakan ini untuk memperbincangkan situasi, karena kedua komandan itu dipesan oleh atasan mereka Jenderal An Bwe, agar saling menyesuaikan langkah dengan kaum gunung hijau di situ.
Ketika Lai Tek-hoa dan joa Kian-pin tiba dalam ruangan, kedua orang komandan itu pun punya alasan untuk berpamitan pergi. Kata yang lebih tua, "Tuan Wan, dengan hadirnya kedua Tuan ini, mungkin Tuan-tuan bertiga akan lebih leluasa membicarakannya tanpa kami, karena itu kami mohon diri. Kami ucapkan terima kasih atas waktu yang sudah
diberikan Tuan Wan kepada kami."
Lalu pergilah mereka. Begitu mereka menghilang, Wan Keng hin meludah seenaknya di lantai rumahnya, sambil menggerutu, "Huh, buang buang waktu saja bicara dengan kantong kantong nasi bernyali tikus itu. Baru mendengar sedikit tentang gerakan orang Manchu. semangat mereka sudah terbang entah ke mana. Kalau tidak ingat harus menjaga persatuan, sudah dari tadi kutendang mereka keluar dari sini."
"Apa yang mereka bicarakan dengan Kakak, Kakak Wan?"
"Entahlah, bahkan aku tidak ingat lagi tadi mereka omong apa. Kalian datang ingin bicara apa?"
"Berita baik." "Duduk!" Lai Tek-hoa dan Joa Kian-pin menghormati pihak tuan rumahnya dan mereka pun mencari tempat duduk di lantai papan itu. Harus hati-hati, sebab Si Tuan Rumah seenaknya saja meludah di sanasini, kalau tidak hati-hati, bisa-bisa menduduki tempat yang ada ludahnya. Demikianlah. mencari tempat dudukpun ternyata bisa begitu "menegangkan ' _
Lai Tek-hoa dan Joa Kian pin berharap diam-diam dalam hat: agar Tuan Rumah tidak usah menyuguhkan minuman. Mereka tahu betapa jorokny Si Tuan Rumah, kalau menyuguhkan minuman maka suguhannya itu amat diragukan kebersihannya. Kalau tidak diminum juga sungkan karena bisa menyinggung Si Tuan Rumah, Dan untunglah bahwa Si Tuan Rumah benar-benar tidak menyuguhi apa-apa.
"Nah, apa berita baiknya?"
"San-cu Helian Kong selamat, sekarang dia sudah di Pek-hong-san kembali."
Baru mendengar sampai di situ, Wan Keng-hin sudah bersorak gembira lalu berguling-guling seperti anak kecil, dipapan yang ada ludahnya sendiri tu.
Lai Tek-hoa berdua sudah paham tabiat si "malaikat kura-kura" ini, jadi membiarkannya saja. Setelah Wan Kenghin reda gembiranya dan duduk kembali. Lai Tek-hoa melanjutkan, "... berita baik
kedua, hampir seluruh kekuatan kaum kita sedang menuju kemari untuk menghadang Manchu, kecuali kekuatan yang diperlukan di tempat-tempat rawan."
Bagus. He, bukankah sebulan yang lalu kalian bercerita bahwa kalian dan beberapa teman-teman dari tenggara menyelusup ke peternakan palsu yang menjadi pangkalan tersembunyi pasukan Manchu itu" Dan waktu itu, kalian bercerita bahwa kalian tidak menemukan San-cu."
"Memang. Kami berdelapan malah mengeroyok Ngo Tat, kepala jaringan mata-matanya Manchu. Hebat orang itu."
"Ya. julukannya Tiat-jiau-soat-ho (Musang Salju Berkuku Besi)." _
Berita yang dibawa Lai Tek-hoa itu membesarkan hati kaum gunung hijau di pesisir selatan. Mereka tidak tahu berapa besar kekuatan yang akan datang itu, tetapi mereka tidak lagi merasa kecil di depan pasukan musuh yang sedang mendekat.
"Seandainya para pangeran itu berpikir waras dan mendahulukan kepentingan tanah air, kekuatan kita" di selatan ?" akan memberi pelajaran tak terlupakan buat garong-garong Manchu itu."
Habis menyampaikan berita yang membesarkan hati itu, Lai Tek-hoa dan _loa Kian-pin kembali ke Lam-khia.
Beberapa hari kemudian, kelompok pertama dari laskar gunungnya Helian Kong itu mulai tiba di tepian selatan Sungai Besar. Laskar itu datang dari basis yang paling dekat dengan tempat itu. Kelompok pertama itu terdiri dari beberapa ribu orang yang bertampang orang gunung karena mereka memang orang gunung. Ada yang hanya bercelana pendek dan tidak bersepatu, dan senjata senjata mereka pun banyak yang "tidak standard" seperti garpu jerami, bahkan ada yang sekedar membawa kayu panjang berujung runcing yang ujudnya seperti milik para peladang untuk melubangi tanah sebelum ditaburi benih. Namun kayu runcing itu agaknya sudah direndam dulu dengan ramuan tertentu. yang membuat kayu itu keras dan berani menahan bacokan golok.
Laskar dari gunung itu membawa beberapa hulubalang, namun yang memimPin adalah Lurah Hui yang seusia dengan Wan Keng-hin, kekar berewokan, hitam, bertelanjang kaki. jadi mirip Wan Kenghin, bedanya Lurah Hui ini agaknya suka mandi dan suka berpakaian bersih biarpun sederhana. Senjatanya ialah tombak besi yang berat bobotnya. '
Yang membuat suatu pandangan kontras dengan Lurah Hui yang bagaikan raksasa, ialah pendampingnya yang sehari-hari bekerja sebagai juru tulis di kantor kelurahan di kampung gunungnya. ltulah Sian Lu-jin yang kurus, bungkuk. berjubah kedodoran, dan di pinggangnya ia membawa senjata "hanya" sepasang kang-pit (pena baja) untuk menotok urat.
Kaum "gunung hijau" di kampung kampung nelayan itu bersama-sama penduduk, menyambut kedatangan mereka. Malamnya sempat diadakan perjamuan besar meskipun sederhana. Para komandan prajurit diundang juga. namun para komandan itu nampaknya _memandang remeh "laskar gunung" itu. Bisa apa laskar yang sebagian besar bahkan tak bersepatu ini"
Dalam perjamuan itu. Lai Tek-hoa datang pula. Pertemuan dengan Lurah Hui membuat kedua pihak bergembira, teringat pengalaman bersama mereka ketika menghadapi kawanan perampok yang menyerbu kampungnya Lurah Hui di pegunungan, dulu.
Begitu bertemu Lai Tek-hoa, Lurah Hui berkata, "Nah, dulu aku bilang apa, Saudara Lai" Firasatku mengatakan bahwa segenap kaum kita dalam waktu tidak lama akan segera bergabung dalam suatu perjuangan. Nah, sekarang buktinya. Saudara-saudara kita dari berbagai tempat sedang berdatangan ke wilayah ini."
Lai Tek-hoa tertawa, "Senang bertemu kembali denganmu, Kakak Hui. Semoga perjuangan kita berhasil."
Namun sebenarnya Lai Tek-hoa menyembunyikan _keprihatinan dalam hati. Selagi kaum gunung hijau dan rakyat menggelora semangatnya untuk memberikan jiwa raga bagi tanah air, para prajurit dan kalangan atas pemerintah di Lam-khia malahan. sedang merosot semangatnya. Kata kata bernada putus asa, menganggap Lam-khia tak ada harapan untuk dipertahankan, muncul dalam setiap _perbincangan resmi maupun tidak resmi. _Banyak pejabat tinggi, sipil maupun militer, meski tidak terang-terangan sudah siap-siap kabur dari Lam-khia untuk berlindung kepada para pangeran yang mereka anggap "lebih punya harapan". Namun Lai Tek-hoa tidak mengutarakan itu dalam perayaan di kampung Hi-sian-tin Timur itu. ia cuma bisa menggerutu dalam hati.
Orang orang di Lam-khia itu, yang paling menuntut agar dihormati oleh rakyat kecil, orang orang yang hidupnya mewah_ karena digaji banyak oleh rakyat lewat pajaknya yang berat, ternyata di saat negara dalam bahaya, malah berpikir untuk kabur'. Tak tersisa sedikit pun kecintaan mereka kepada tanah air, "tak seperti yang sering mereka pidatokan.
Keesokan harinya. Lurah hui dan laskarnya pergi ke posisi mereka. yaitu sebuah bukit yang
terletak kira-kira sepuluh li di sebelah barat kampung Hi-sian-tin Timur. Mereka tidak tinggal di kampung karena akan membebani kampung nelayan yang tidak kaya itu. kalau mereka harus memberi makan sekian ribu mulut laskar gunung itu.
Bukit itu memang sudah disiapkan sebagai pangkalan, sejak lama. Maka ketika Lurah Hui dan anak buahnya tiba di bukit itu. sudah banyak yang ditanami tanaman pangan yang tumbuhnya cepat, yaitu sejenis kentang hitam. Untuk kebutuhan akan daging. juga sudah ada ternak ternak yang cepat berkembang seperti kelinci. Selain bukit itu, masih banyak tempat-tempat lain yang sudah digarap lebih dulu. disiapkan untuk ditempati kaum gunung hijau yang bakal berdatangan dalam jumlah besar.
Soal ransum, laskar gunung itu tidak
membebani penduduk setempat, begitu
masih kelompok-kelompok akan berdatangan. Mereka berikut punya yang
cara untuk memecahkan soal ransum
Beberapa hari kemudian, datang kelompok kedua yang jumlahnya tak terlalu
banyak, hanya beberapa ratus orang.
kali ini yang datang bukan kaum peladang
atau pemburu di pegunungan seperti ke
lompoknya Lurah Hui. melainkan kaum
yang biasa disebut "tukang pajak SWasta
alias gerombolan yang sering meminta
uang Jalan kepada rombongan-rombongen
dagang, atau rombongan piau-hang (pengawal perjalanan), bahkan tak jarang
juga rombongan pemerintah, kalau pengawalannya lemah. Namun mereka sudah
ditundukkan Helian Kong dan menjadi
bagian dari laskar gunung hijau. Mereka
tetap diijinkan melakukan pekerjaan mereka untuk mengutip "uang jalan" asalkan
tidak memberatkan pedagang-pedagang
kecil, mereka hanya diijinkan mengambil
dari rombongan-rombongan dagang yang
kaya, itu pun harus dengan sopan. Ketika
Helian Kong hilang, kelompok ini ambil
bagian dalam menyerbu dan menghancurkan peternakan kuda yang menjadi kedok
pasukan Manchu. Mereka dipimpin Niao
Beng, yang pernah menghadang rombongan Kim-sai Piau-hang (usaha pengawalan,
perjalanan "Singa Emas") Yang dipimpin Jiu Pin dulu. Kehadiran mereka amat menarik, karena di antara mereka ada puluhan laskar wanita yang nampak Cukup tangkas, dan belasan pucuk senapan dalam laskar gunung itu.
Begitulah, di tepian sungai itu bermunculan "kampung-kampung tiban" yang dihuni kelompok demi kelompok -kaum gunung hijau yang terus berdatangan. Kampung-kampung tiban yang bertebaran di bukit, di lembah, di "hutan, di tanah tanah belukar yang kosong, yang mencukupi sendiri kebutuhan pangan mereka. Di mana-mana bertebaran bendera "tiga gunung" yang sederhana. Hanya sehelai kain putih polos ditulisi' secara kasar dengan cat hijau dua huruf '"tiga gunung". Cara pemasangan bendera juga khas. Helian Kong sebagai pemimpin mengajari orang-orangnya untuk memasang bendera itu satu tiang dengan Jit-goat-ki (bendera Rembulan dan Matahari, bendera dinasti Beng) dan di bawah bendera Jitgoat-ki, bukan pada tiang yang terpisah. Suatu isyarat bahwa Helian Kong dan
kekuatannya tetap mengabdi dinasti Beng walau" di luar jalur resmi.
_Semangat para pejuang itu meningkat, ketika beberapa hari kemudian di perairan Sungai Besar nampak kapal-kapal Perang' Laksamana The Seng-kong dari Hok-kian hilir-mudik. Moncong-moncong meriam yang berderet di _lambung kapal seakan jaminan bahwa pihak Manchu akan mengalami perlawanan hebat bila berani menyerang ke selatan. Beberapa kelompok bersenjata di perairan Sungai Besar. yang sudah ditaklukkan Helian Kong, serta-merta menyatakan bekerja sama dengan armada Laksamana The Seng-kong itu.
Saat kekuatan-kekuatan yang siap membela dinasti Beng itu makin padat di kawasan itu, pecahlah kabar bahwa pasukan besar Manchu di bawah jenderal Kim Sun-oh sudah mendirikan perkemahannya di sebelah barat dari gugusan kampung-kampung nelayan yang kini bercampur-aduk dengan pemukiman-pemukiman kelompok-kelompok laskar gunungnya Helian Kong itu. Pasukan Manchu
yang dari barat itu tidak perlu menyeberangi Sungai Besar. sebab mereka adalah pecahan dari pasukan yang lebih besar yang sudah berjaya mendesak pasukan dinasti Beng di Propinsi Se-cuan.
Para hulubalang kaum gunung di tempat itu pun segera berkumpul untuk merundingkan langkah-langkah penanggulangan. Yang bertindak sebagai tuan rumah ialah si "malaikat kura-kura" Wan Kenghin, namun pertemuannya bukan di tempatnya yang jorok melainkan di rumah Toan Ai-liong, salah seorang hong-kun bawahannya. di kampung Hi-sian-tin Timur. Di rumah yang besar dan bersih itu pun Wan Keng-hin sulit membuang kebiasaannya meludah sembarangan di lantai, untungnya Toan Ai-liong menyediakan kursi-kursi sehingga tamu-tamu tak harus duduk di lantai.
Hadir dalam pertemuan itu Hu-san-cu untuk kota Lam-khia, An Bwe, yang tidak memakai seragam militernya, bersama empat orang hong-kun bawahannya, Hu-san-cu untuk Wilayah kampung-kammmg nelayan itu yaitu Wan Keng-hiu
dengan delapan belas hong-kun bawahannya, termasuk Toan Ai-Iiong, lalu Lurah Hui dengan beberapa punggawanya, Niao Beng dengan beberapa "perwira gunung"nya dan beberapa kepala kelompok perairan. Ruangan itu cukup besar, tetapi jadi penuh setelah semuanya hadir.
Wan Keng-hin yang tak suka berteletele langsung membuka pertemuan dengan suaranya yang kasar, "Nah, musuh sudah di depan hidung kita, apa yang akan kita lakukan?" '
"Umpan" perbincangan yang tidak bertele-tele itu langsung ditanggapi tanpa bertele-tele pula oleh Lai Tek-hoa, "Cara pertama yang perlu dicoba, mengacaukan musuh dengan membunuh pemimpinnya, Jenderal Kim Sun-oh. Kita bentuk regu yang terdiri dari dua puluh dua hongkun."
Gagasan Lai Tek-hoa itu muncul karena ia teringat ketika empat hong-kun dari Lam-khia termasuk dirinya bergabung dengan empat hong-kun wilayah perbatasan Propinsi Ciat-kang dan Hokkian ketika menyusup ke peternakan hendak mencari Helian Kong dulu.
Dua puluh satu hong-kun lainnya bersuara penuh semangat menyambut gagasan itu. Namun salah seorang pemimpin kelompok perairan berdiri dan bersuara keras mengatasi suara para hong-kun, "He. kalian mau bersenang-senang sendiri tanpa mengikut sertakan aku?"
Begitu pula suara beberapa kepala kelompok perairan yang tidak termasuk dua puluh dua hong-kun itu, mereka -rupanya gatal tangan dan ingin mengikuti petualangan menegangkan upaya membunuh Jenderal Manchu itu.
Tetapi Wan Keng-bin mengatasi keributan itu, "He, kalian jangan ribut dulu! Aku dan Saudara An sebagai wakil-wakil San-cu di kawasan ini kan belum memutuskan boleh atau tidaknya?"
Hong-kun nomor satu wilayah kampung-kampung nelayan, berkata, "Kakak Wan. usul Saudara Lai tadi bagus. Semangat musuh akan merosot kalau jenderalnya terbunuh."
"Aku setuju. asal aku ikut," akhirnya ketahuan juga niat si "malaikat kura-kura"
Munculnya Jit Cu Kiong 1 Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu Pusaka Negeri Tayli 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama