Ceritasilat Novel Online

Perawan Disarang Penyamun 1

Anak Perawan Disarang Penyamun Karya Sutan Takdir Alisyahbana Bagian 1


Anak Perawan Di Sarang Penyamun Oleh: S. Takdir Alisjahbana DIAN RAKYAT BAB 1 MATAHARI bersinar di hutan.
Onggokan cahaya lulus di celah-celah daun yang rapat danbermain-main di tanah yang lembab kehitam-hitaman amat gelisah.
Binatang-binatang hutan rupanya melepaskan lelahnya pada tengah hari tepat. Angin berdesir-desir berhembus di pohon dan di sana-sini gugur selara yang kering, setelah beberapa lamanya melayang di udara ditiup angin.
Jauh hampir-hampir tiada kedengaran berbunyi kokok ayam beroga, nyaring dan merdu di tengah kesunyian rimba belantara. Selainnya aman dan hening.
Di tengah rimba yang lebat itu mengalir sebuah anak air, jernih dan deras di antara batu yang besar-besar. Sebelah hilir. sungai kecil itu melintas tebing dan di sana ia jatuh berderai-derai sebagai pecahan kaca, sambil menyerakkan bunyi yang gemuruh.
Sebelah hulu, pohon amat rapat dan disitulah berdiri sebuah pondok. Dari jauh ia tiada kelihatan, karena tersembunyi di tengah pohon yang rimbun. Atapnya tersembunyi di antara dahan kayu dan dindingnya yang kelabu kehijau-hijauan, yang hampir tiada tampak di tengah pohon-pohon rimba itu, terbuat dari pada susunan kayu sebesar lengan yang lurus-lurus. Ramuannya sekaliannya kukuh, seolah-olah ia tempat orang mempertahankan diri; tiangnya yang kasar-kasar itu setinggi manusia.
Di dalam pondok itu tidur terlintang lima orang laki-laki, sekalian?nya kukuh-besar, lebih dari manusia biasa. Kelima-limanya tiada berbaju, hanya memakai secamping kain samping hingga pinggang. Dari badan mereka mengalir peluh amat banyak, sebab hari itu tiada terkata-kata panasnya.
Sekonyong-konyong jatuh sepotong ranting ke atas atap rumah itu. Ranting itu berguling-guling dan jatuh ke tanah.
Seolah-olah berpesawat laki-laki berlima itu serempak melompat bangun, masing-masing memandang kepada temannya: mereka terkejut mendengar ranting jatuh itu. Rupanya dalam kehidupan mereka tiap hari, tiap-tiap bunyi, tiap-tiap derak atau derik ada artinya dan harus diperhatikan
Sesungguhnya mereka itu sekawan penyamun. Tiap-tiap saudagar dan orang berharta yang lalu di antara Lahat dan tanah Pasemah, tidak pernah mereka dibiarkan berjalan dengan sentosa. Orang perjalanan itu diperiksa dan yang sekalian berharga padanya dirampas mereka.
Sering pula terjadi perkelahian yang hebat antara penyamun dan yang disamun demikian acap kali terjadi pembunuhan yang ngeri, sebabnya dalam perjuangan itu tiada kasihan-mengasihani. Kalau terlampau banyak musuh itu dan lengkap pula senjatanya, maka undurlah kawan penyamun itu, lari sedapat-dapatnya ke hutan memperlin-dungkan dtri Bukan sekak dua mereka luka dan ada kalanya seakan-akan remuklah mereka rasanya kena tikam dan pukul. Tetapi senantiasa mereka mencoba melarikan dirinya. sebab dari pada tertangkap, lebih sukalah raja-raja kesunyian itu mati di hutan. tiada dilihat seorang juapun.
Dahulu mereka itu bukan berlima, tetapi bertujuh sekawan.
Dalam pertempuran yang hebat dengan serdadu di kaki pegunungan, tewas dua orang teman mereka kena peluru senapang.
'"Apakah yang berbunyi itu. Medasing?" bisik suara keparau-parauan Laki-laki yang kukuh sekali diantara orang berlima itu menoleh kejurusan suara itu. seraya betkara: "Tak tahu aku!"
Kelima-limanya berdiri dengan cermat dan seorang dari pada mereka mengambil tombaknya yang tertetak bersusun dengan tombak yang lain di tepi pondok itu
Seorang pun tiada bercakap sepatah jua.
Mata penyamun beriima itu bersinar-sinar. Perlahan-lahan seorang dari pada mereka mengeluarkan kepalanya dari pondok memandang ke pohon-pohon yang berdiri sekeliling. Mata dan telinganya awas seka-liannya. seakan-akan tiap-tiap saat ia akan menangkis serangan yang hebat.
"Apakah itu tadi?" ketuar dari mulut Medasing pula, kesal dan sebal bunyi ia mengadu gerahamnya menyatakan bagaimana panas hatinya terganggu dan tidurnya.
"Baiklah kita lihat jahanam mana bermaksud mengganggu kita," ujarnya lagi. "Amat, pergilah engkau sebentar turun kebawah melihat apa yang mengejutkan kita tadi."
Lelaki yang memegang tombak itu muda dan sigap, turun dengan tiada membantah sedikit jua pun. Dan sebenarnyalah dalam pergaulan penyamun-penyamun itu tak pernah timbul perbantahan. Apa yang dikatakan oleh kepalanya, diturut seperti sesuatu yang harus. yang tiada mungkin dielakkan.
Amat pergi memeriksa hutan yang berkeliling itu, tiada gentar sedikit jua pun. Tidak, mereka tak tahu akan takut dan cemas!
Beberapa lama antaranya ia naik kembali dan berkata: "Tak ada sesuatu apa! Boleh jadi yang mengejutkan kita tadi berbunyi ranting."
la pun meletakkan tombaknya sambil mengeluh, masing-masing merebahkan dirinya pula.
"Jahanam benar," kata Medasing dengan geramnya.
Medasing ialah kepala penyamun berlima itu" kata orang ia kebal, tahan besi dan ada padanya ilmu halimun untuk melenyapkan diri.
la berasal dari sebuah dusun yang kecil, jauh sebelah selatan tanah Pasemah, Dahulu dusun itu ternama kayanya dan pada suatu ketika ia diserang oleh sekawan penyamun gagah-perkasa. Sekalian penduduk itu melarikan dirinya, masing-masing melindungkan diri sendiri supaya jangan dimusnahkan oleh kumpulan perampok yang kejam itu.
Maka amat mudahlah manusia yang buas-buas itu mengambil harta dusun yang kaya itu, karena sekalian penduduknya telah lari berhembalang, tak tentu kemana perginya. Sekalian rumah habis mereka bakar, seakan-akan hendak memuaskan keganasan hati mereka.
Tetapi ketika mereka berhenti seketika melihat ke lidah api yang dahsyat itu berdentam-dentam dan berdetus-detus menjilat rumah berbunyilah sekonyong-konyong suara seorang anak berteriak.
Tiada berapa lama antaranya keluar di antara rumah yang nyala itu seorang budak, berlari-lari karena ketakutan. Rupanya ketika sekalian isi dusun melarikan dirinya ia tertinggal seorang diri dan karena takut dibinasakan, bersembunyilah ia di suatu tempat yang terlindung.
Karena api yang tiada tahu iba-kasihan itu telah menjalar pula ke sana, terpaksalah ia keluar
Dengan segera ia ditangkap oleh seorang dari pada penyamun itu dan melihat matanya yang kemerah-merahan penuh kebuasan dan badannya yang sigap, kukuh dan kuat ia pun diamlah, tak berani membuka mulut karena takutnya tiada terkata-kata. Ketika itu sangkanya akan sudahlah hidupnya.
Ia dibawa oleh penyamun itu ke hutan, ke tempat kediaman mereka. Berhari-hari ia beijalan mengikutkan kawan penyamun yang baru merampok itu; badannya letih dan lesu tetapi kalau ia memperlihatkan kepayahannya, maka ia pun dihela, diseret oleh penyamun yang buas itu, sehingga badannya gores-gores dan luka-luka.
Kesudaharmya, setelah beberapa hari di jalan tibalah ia ditengah hutan yang lebat, tak ia tahu di mana.
Ketika itu umurnya tujuh tahun dan sejak masa itu ia pun menjadi sebagian dan kawan perampok yang angkara-murka itu. Penyamun yang membawanya itu senantiasa menjaganya dengan keras dan kejam dan kesalahannya yang kecil sekalipun sering menyebabkan ia disiksa, seakan-akan hendak dibunuh lakunya.
Dengan hal yang sedemikian besarlah ia di dalam hutan yang sunyi di tengah perampok itu. Penghidupannya yang berat menyebabkan ia biasa akan sengsara dan kuat bekerja. Udara hutan yang segar seakan-akan menyuburkan badannya. Lambat-laun ia menjadi seorang bujang yang kukuh dan bidang dan masa itulah ia mulai pula menurut pergi me-nyamun sekali ini dusun anu diserang, sudah itu dusun yang lain pula, jauh dari sana. Sering ia mengikut mengadang orang dalam perjalanan hendak merampas uang dan harta-bendanya.
Lama-kelamaan, oieh karena tak lain yang dilihat dan didengarnya, tak lain pula kerjanya, maka ia pun menjadi seorang penyamun sejati pula. Pekerjaan menyamun yang mula-mula amat ngeri pada matanya, kesudahannya menjadi biasa dan matilah perlahan-lahan hasrat di dalam hatinya untuk meninggalkan penghidupan yang tiada halal itu. Lambat laun ia pun menjadi kejam dan ganas, seperti sekalian penunggu hutan yang dahsyat-dahsyat itu.
Ketika itulah ia makin lama makin dihormati kawan-kawannya, karena badannya teguh. pikirannya tajam dan ia pandai berjuang dan berani, seakan-akan badan dan nyawanya tiada berharga sedikit juapun baginya.
Sekaii peristiwa mereka dapat menyamun harta amat banyak. Emas, intan-permata dan uang tiada terhitung-hitung mereka peroleh. Ketika hendak membagi perbendaharaan yang banyak itu, timbullah perselisihan yang hebat. Kawan penyamun itu pun berpecah-dualah dan dalam perkelahian antara kedua belah pihaknya menanglah pihak Medasing dan penyamun yang melarikannya dahulu dan yang lambat-laun telah dianggapnya seperti ayahnya. Pihak yang lain lari tak tentu arahnya.
Maka harta yang banyak itu tinggaliah pada mereka bertujuh dan dibaginya sesamanya Beberapa tahun lamanya berpencarlah kawan penyamun itu. Masing-masing pergi ke negeri akan menghabiskan perolehannya yang banyak itu.
Ketika itu Medasing dengan bapak angkatnya pergi mengembara dari sebuah dusun ke dusun yang lain. Sekali dalam perjalanan mereka yang tak tentu arah itu mereka tiba di Palembang dan disanalah orang berdua itu tinggal beberapa lamanya.
Uang mereka yang banyak itu pun lambat-laun habis dan ketika itu seakan-akan berdebar kembali darah penyamun yang selama itu berhenti mengalir, hilang rupanya. Orang berdua beranak itu pun meninggalkan Palembang, pulang kembali ke hutan yang sunyi-senyap dan tiada didiami manusia.
Tetapi apakah dapat dikerjakan mereka berdua"
Maka bermaksudlah mereka pergi menuntut ilmu yang gaib-gaib. Di Dusun Endikat mereka bersua dengan seorang tua yang termashur karena sihirnya. Di sana mereka belajar beberapa bulan dan ketika masaklah perguruan mereka. maka orang tua itu memberi nasehat pergi bertarak ke gunung Dempo. Di sanalah kabarnya konon tempat jin dan iblis yang dapat memberi manusia kesaktian yang luar biasa.
Orang berdua beranak itu pun pergi ke Sana. Berhari-hari mereka berjalan, kadang-kadang bermalam di dusun, kadang-kadang di hutan belantara yang sunyi-senyap. Mendaki gunung Dempo, gunung hantu-iblis itu pun berapa banyak memakan waktu. Hutan dan padang tebing dan ngarai mereka lalui, tetapi tiada sekecap juapun mereka berputus asa.
Kesudahannya tibalah mereka di puncak gunung sakti itu. Ke segenap penjuru pemandangan ditutup oleh kabut yang tebal dan di bawah, amat dalamnya, tiada putus-putus berkepul-kepul uap belerang, alamat gunung berapi yang keramat itu belum reda adanya
Di puncak, di tepi kepundan yang ngeri itu, bercerailah orang berdua beranak itu; sebabnya masing-masing harus mencahari tempat bertarak sendiri.
Medasing masuk kedalam kepundan. Tiba seperdua ia bertemu dengan gua yang terlindung; disanalah ia bertapa.
Tujuh hari tujuh malam ia tak meninggalkan tempat itu. Kabarnya konon bermacam hantu, setan, raksasa dan makhluk yang ngeri yang lain, datang menguji keberanian dan keyakinan hatinya. Pada hari yang penghabisan ia dikunjungi oleh seorang peri, yang amat cantik, yang memberinya bermacam-macam kesaktian.
Bapak angkatnya rupanya sia-sia bertarak itu, sebab ia tak bersua suatu makhluk apapun.
Dari gunung yang bertuah itu mereka pergi ke negeri Bandar; disi tulah mereka bertemu dengan teman-temannya yang berlima. Temannya itu pun rupanya telah habis uangnya dan dengan hal yang demikian bermaksudlah mereka bersama-sama menyamun pula.
Kini telah setahun lamanya mereka itu menjadi orang hutan kembali. Sejak ayah angkatnya dan seorang teman yang lain mati di dalam perjuangan di kaki pegunungan, Medasing menjadi kepala perampok berlima itu dan menilik pada ilmu yang diperolehnya. seperti yang diceritakannya kepada teman-temannya, dan kekukuhan badannya, telah patutlah ia menjadi kepala jabal-jabalan itu.
"Sungguh jahanam benar," kata Sohan, seorang dari penyamun yang berbaring di tepi sebelah kiri. Yang dua orang lagi, Sanip dan Tusin, telah tertidur pula. Semalam-malaman mereka berlima betjaga-jaga di tengah hutan, di lembah Endikat, hendak merampok saudagar Haji Sahak yang baru pulang dari Palembang menjual lima puluh ekor kerbau, tetapi sia-sia belaka, karena rupanya ia bermalam di dusun Bandar
Mata-mata Mereka di Lahat rupanya salah mendengar berita perjalanan Haji Sahak itu dan oleh sebab itulah jerih mereka semalam-malaman itu tiada berjasa sedikit juapun. Malam ini saudagar yang kaya raya itu tentu akan bermalam di hutan dekat lembah sungai Lematang, sebab tak ada dusun yang dekat di Sana. Sekali ini tentu takkan lepas ia dari tangan mereka, sebabnya di rimba yang lebat itu tak akan ada orang yang dapat menolongnya.
Tengah malam kelak mereka akan pergi ke sana dan sebab itulah sekarang mereka terus tertidur.
"Mengapakah mataku tak hendak terpicing lagi," kata Amat,
"Jangan-jangan ada benar sesuatu bahaya yang mengancam kita."
"Ah, bahaya apa pula," ujar Medasing. "Lihatlah Sanip dan Tusin, telah hilang-lenyap ke langit yang ketujuh. Bunyi mereka mendengkur tak bedanya dengan bunyi babi yang kelaparan."
Sunyi-senyap pula beberapa lamanya di pondok yang tersembunyi di tengah hutan itu. Masing-masing rupanya mencoba memicingkan matanya.
Di luar angin berdesir-desir di pohon kayu, seakan-akan lagu yang ganjil untuk menidurkan raja rimba berlima sekawan itu.
Tetapi orang tiga itu tak juga hendak tidur.
Sekonyong-konyong Medasing bangun kembali sambil berkata dengan sebalnya: "Akupun tak hendak tidur, mengapakah ini?"
"Ya, barangkali karena telah teringat-ingat saja akan kekayaan saudagar Haji Sahak," sahut Sohan sekonyong-konyong dengan lucu. la pun tak pula hendak tertidur rupanya dan ketika itu pun ia duduk.
Medasing dan Sohan berdiri, turun ke bawah, diturut oleh Amat dan belakang. Sebentar berderak-derak pondok yang tegap itu karena langkah mereka.
Ketiga-tiganya berembuk akan pergi menangkap ikan; Amat mengambil sebuah bakul yang hitam kena asap dari bawah pondok dan mereka pun pergi ke hilir menurut anak air. Pada suatu tempat turunlah ketiga-tiganya ke air.
Di sana sungai kecil itu bercabang dua dan di hilir sedikit lagi kedua cabangnya yang kecil itu bertemu pula menjadi satu.
Orang bertiga itu mulailah membendung sebuah cabang anak itu dengan batu dan kayu, sehingga kesudahannya sekalian air sungai kecil itu mengalir menurut cabang yang tiada berbendung; cabang yang berbendung itu perlahan-lahan menjadi kering, hanya di tengah-tengah tinggal sebuah paluh yang besar.
Maka direncah merekalah paluh itu, sehingga airnya menjadi keruh. Sekalian kayu, ranting dan sarap dibuangkan ke tepi. Beberapa lama antaranya, kelihatanlah beberapa ekor ikan menyembulkan kepalanya di muka air dan bertambah lama bertambah banyaklah tampak yang serupa itu: ikan di paluh itu mabuk karena direncah oleh penyamun bertiga itu.
Bakul yang dibawa mereka makin lama makin banyaklah berisi ikan, putih berkilat-kilat dan tiada berhenti melenting-lenting.Setelah setengah penuh bakul itu, maka keluarlah mereka dari paluh itu. Bendung cabang air itu dirusakkan kembali dan air pun mengalirlah sebagai biasa. Mereka pergilah mandi membersihkan dirinya di tempat air yang dalam dan jemih.
Tiba di pondok. mereka menghidupkan api untuk menjerangkan nasi dan membakar ikan yang baru ditangkap. Asap berkepul-kepul membubung ke atas melalui celah daun kayu yang rapat. Dikeliling api itu duduklah ketiga penyamun itu bercakap-cakap, bersenda-gurau.
Di dekat pondok dan terutama sekali dekat mereka menghidupkan api amat banyak tulang dan bekas kulit binatang. Untuk makan sehari-hari penyamun-penyamun itu sering pergi berburu rusa, napuh dan binatang hutan yang lain Waktu perburuan itu bagi mereka seolah-olah waktu men-cobakan kekuatan dan senjata. Sering mereka bertemu dengan harimau dan dalam perketahian dengan binatang buas itu, senantiasalah mereka beroleh kemenangan dengan mudahnya.
Tetapi tiada sclalu mereka dapat lauk dari hutan yang besar itu. Ada pula masanya mereka pergi ke tepi dusun menangkap ayam, kambing, bahkan sekali-kali sapi atau kerbau untuk dibawa ke pondok akan dimakan bersama-sama.
Tengah nasi terjerang, Medasing naik ke atas pondok dan tiada berapa lama antaranya turun kembali membawa tombak dan sebuah pestol tua. Amat dan Sohan segera mengambil senjatanya pula dan mereka pun mulailah membersihkan senjatanya masing-masing.
Tiada berapa lama antaranya turun pula Sanip dan Tusin sambil menguap, menggeliat dan menggosok mata.
Maka sekonyong-konyong berkata Sanip: "Sial benar kita malam tadi, menunggu selama itu, tetapi tiada juga sampai. Jangan-jangan malam ini kita tiada pula bertemu dengan mereka."
"Kalau malam ini sia-sia juga pekerjaan kita," kata Medasing sambil membesarkan matanya. "Samad akan aku ajar, supaya kita jangan di-permainkan saja. Kalau ia tak sanggup memberi kabar yang benar, lebih baiklah kita jangan bersangkut-paut dengan dia."
Samad ialah mata-mata mereka di Lahat yang senantiasa memberi kabar kepada mereka apabila ada orang yang banyak membawa uang dan harta akan lalu. Dan ia jugalah yang menjualkan sekalian perolehan mereka serta membelikan makanan dan keperluan yang lain.
"Ah, tidak!" kata Sanip mencampuri percakapan itu. "Kita tidak boleh amat lekas marah padanya, sebenarnya amat payah mengetahui sekaliannya itu!"
"Lagi pula," ujar Tusin, "kalau kita marah padanya pastilah ia menjadi musuh kita. Dan kalau diberitahukannya tempat kita ini kepada kompeni, maka kita akan binasa."
Medasing mengangkat tangannya seketika dan senjatanya disusun-nya di tanah; maka berkatalah ia sambil memandang berganti-ganti kepada sekalian temannya itu: "Takutkah kita dibuat serupa itu" Boleh kubakar rumahnya di Pulau Pinang dan kubunuh sekalian anak-isterinya."
Ketika itu kepala jabalan itu memukulkan tangannya ke tanah dan matanya mengejap-ngejap, seakan-akan marah ia mendengar kata temannya yang tiada disetujuinya itu.... "Pada kompeni"!" Apa yang kita takutkan kepadanya" Ia takkan dapat mencahari tempat kita, selama masih Medasing namaku. Pagi lusa dapat kita pindah dari sini ke tempat yang lebih tersembunyi, lebih sulit dicari."
Sekalian penyamun yang Iain melihat kepadanya. Teman-temannya sekaliannya tahu, bahwa kadang-kadang agak sombong bunyi cakap kepalanya itu. Tetapi hal itu tiada terasa benar kepada mereka, sebab menilik kepada badannya. kepada ilmunya. Medasing sebenarnya bukan manusia biasa.
Sekonyong-konyong kedengaran di antara pohon-pohon kayu di sekeliling mereka bunyi orang melangkah dan tiada berapa lama antara-nya.tampillah kemuka seorang laki-laki memikul keruntung di belakangnya Laki-laki itu besar kukuh pula seperti penyamun-penyamun berlima itu dan di bahunya disandangnya sebuah senapang lantak yang tua.
"Ah. Samad.'' kata jabalan-jabalan itu serempak dan sekaliannya melihat kepada yang baru datang itu dengan berseri-seri karena kegirangan.
"Lekas engkau datang sekali ini," kata Tusin.
"Aku berangkatpun masih pagi-pagi benar tadi!" keluar dari mulut Samad berat dan parau dan matanya melihat berganti-ganti kepada kawan penyamun itu. liar loba. Ketika itu juga ia menunduk akan duduk di muka temannya-temannya. Amat dan Sohan bergesa-gesa mendekat kepadanya menyambut keruntung yang berat itu.
"Aduh'" keluh laki-laki yang baru tiba itu dan ia pun berguling di tanah. Dari badannya mengalir peluh amat banyak seakan-akan badannya itu penuh mata air yang kecil-kecil.
Penyamun yang berlima itu mengelilingi keruntung yang dibawa Samad dan Tusin pun mulailah mengeluarkan isinya sambil diamat-amati oieh yang lain dengan teliti.
Berturut-turut keluar tembakau dan daun nipah. ikan kering dan sekarung kecil beras. Tusin segera membagikan daun nipah dan tem?bakau dan sesudah itu sekaliannya dibawa Sohan dan Tusin naik ke atas pondok
"Payah saja kami malam tadi menanti!" kata Medasing. sebagai orang yang kesal. karena pekerjaannya tiada berhasil.
"Ah, mengapa begitu" Jadi salah sangkaku?" tanya Samad dengan kecewa. sebab dari rumah telah diharap-harapkannya akan mendapat bagiannya dari barang samunan. "Menurut perhitunganku ia sampai dilembah Endikat waktu senja tetapi rupanya masih siang, sehingga dapat berjalan terus ke Bandar, Kalau begitu malam ini tentu ia bermalam di lembah Lematang."
"Adakah engkau lihat berapa orang yang mengiringkan-nya"
Samad mengangkat bahunya yang basah oleh peluh itu dan ia pun duduklah sambil berkata: "Itu tak tahu benar aku, tetapi tentu sekurang-kurangnya lima orang. laki-laki dan perempuan."
"Mereka tentu banyak membawa senjata?" ujar Sohan setengah bertanya.
"Pada pikiranku tak mungkin tiada," kata Samad, "orang yang baru puiang dari menjual kerbau berpuluh-puluh tentu tiada sia-sia."
Medasing mengangguk-anggukkan kepalanya seakan-akan dimukanya terbayang perjuangan malam kelak. Sekonyong-konyong ia pun menunduk dan diraihnya tombaknya : berapa lamanya diamat-amatinya senjata itu dari ujung sampai ke ujung. seperti ketika itu ia bertanya ke-padanya, cakapkah ia berlawanan dengan Haji Sahak dan pengiringnya itu. Sesudah itu beberapa lama ia tiada bergerak-gerak dan tiba-tiba ia pun berdirilah menuju ke pondok membawa tombak dan pestolnya akan disimpan.
Tiada berapa lama antaranya makanlah mereka berenam tiada berapa jauh dari api.
Setelah makan-minum, maka masing-masing mengeluarkan daun nipah dengan tembakaunya. Asap tiada berhenti-hentilah berkepul dari mulut masing-masing dan percakapan mereka pun bertambah lama bertambah riuh.
BAB 2 DI HUTAN yang lebat itu bertambah lama bertambah gelap. Sekalian bayang-bayang menjadi satu, mula-mula kekabur kaburan dan kesudahannya hitam-legam.
Dalam malam gelap-gulita tampaklah sekalian pohon sebagai suatu pergumulan raksasa yang mahahebat. Masing-masing menolak hendak merobohkan yang lain, mencekau ke kin ke kanan seperti hendak mencekik dan membunuh.
Tetapi meskipun bagaimana hebatnya mereka berseragam dan bersetumpu, meskipun bagaimana ngeri rupanya yang satu hendak memusnahkan yang lain, tak suatu sorak, bahkan suatu keluh pun yang kedengaran, seolah-olah kegemuruhan peperangan itu hilang-lenyap menjadi satu dengan gelap-gulita yang penuh rahasia.
Dari tanah membubung uap yang lembab dan kehangat-hangatan, amat bersepadanan dengan perjuangan pohon-pohon yang sunyi itu.
Kelima penyamun itu turun perlahan-iahan dari pondok mereka, masing-masing membawa senjata. Lembing di tangan dan parang di ptnggang. Lain daripada itu Medasing membawa pestol tuanya.
Hanya Samad tinggal tiada mengikut.
Di muka sekali berjalan Amat dengan sebuah suluh daun lalang yang diikat, di tangan kanan. Cahaya merah yang bergerak-gerak itu menyinari muka mereka. amat ganjil rupanya.
Sebentar-bentar berdetar bunyi kaki memijak ranting yang kering dan sering pula kedengaran desir-desir ular atau binatang kecil yang lain menjauhkan din melihat cahaya suluh masuk semak yang gelap.
Orang kelima itu sesungguhnyalah raja belukar, tak suatu apa juapun dari segala penduduk hutan yang luas ini berani menghalangi; sekalian-nya lari, takut melihat mereka seperti gelap-gulita rimba itu lenyap sejurus oleh cahaya suluh.
Jalan yang ditempuh penyamun berlima itu amat sempit; daun pohon dan perdu bertemu dan sebentar-bentar berdesau-desau bunyinya dilanggar mereka. Sekali-kali mereka menyuruk, berjaJan membungkuk di bawah semak yang rapat yang bertemu di atas kepala mereka sebagai atap yang rendah dan lengkung.
Demikianlah beberapa lamanya mereka berjalan, berbelok-belok, membungkuk di bawah dahan dan daun yang sela-menyela, meretas ranting yang bertemu, dan akhirnya sampailah mereka pada suatu tempat yang lapang, suatu padang lalang.
Seketika raja-raja rimba itu berhenti melihat ke kiri dan ke kanan. Amat dan Tusin meraba-raba kaki dan tangannya yang digaris-garis oleh ranting.
Medasing memandang ke langit yang penuh bertaburkan bintang. Seketika pula ia memandang ke rimba yang baru ditinggalkan. Sekalian pohon yang besar dan rimbun itu rupanya menjadi satu, sekelompok hitam, tiada bergaris dan tiada berwarna.
Mereka pun terus pula berjalan di padang lalang yang setinggi lutut: daun yang tajam-tajam itu berkuak dan berdesir-desir bunyinya.
Tiada berapa lamanya habis pula padang lalang itu dan kelima penyamun itu masuk hutan gelap yang lain. Di kepala mereka lenyap pula langit yang bertaburkan bintang, bergantikan susunan dahan dan daun yang rapat.
Tetapi tiba di balik sebuah pohon yang besar mereka berhenti mendengar ngaum harimau dan pada saat itu juga berderak-derak bunyi ranting, tiada berapa jauh dari mereka; kelima-limanya mengangkat lembing menantikan binatang yang buas itu.
Berapa lamanya tak suatu apa pun yang kedengaran, rupanya penghuni rimba itu menjauhkan diri, ngeri bertentangan dengan kawan penyamun itu.
Mereka pun berjalan pula, tiada bercakap-cakap. Cahaya suluh bertambah lama bertambah kabur, sehingga sinarnya yang merah kekuning-kuningan itu hampir hilang di tengah kelam hutan. Amat pun melonggarkan ikatan suluh daun lalangnya dan setelah ditunggitkannya sejurus, maka teranglah kembali hutan sekeliling mereka
Pada suatu tempat batang kayu itu bertambah jarang pula. Dari jauh kedengaran menderau-derau air mengalir, alamat mereka sudah sampai dekat sebuah anak air. Tiada berapa lama antaranya hilanglah kembali lapisan daun, dahan dan batang di rimba yang rapat dan hitam itu diganti oleh langit yang lengkung sebagai tudung dan penuh dengan bintang yang berkelip-kelipan amat permainya. Hanya jauh di sebelah timur kelihatan tumpukan awan yang gelap.
Mereka sejurus melalui semak yang rendah, lembab karena uap anak sungai yang tiada berapa jauh mengalir dari sana. Sudah itu mereka pun merencah air yang dangkal dan berbatu-batu. sampai sehingga lutut.
Sesungguhnya amat jauh perjalanan mereka. Di tengah-tengah hutan sengaja mereka berbelok dan berputar-putar, supaya payah orang mengetahui tempat yang mereka lalui. Tadi sengaja mereka meninggalkan rimba, menempuh padang lalang, dan sekarang pun sengaja mereka merencah anak air yang dangkal dan deras; semata-mata hendak melenyapkan jejak kaki, supaya tiada seorang juapun dapat menyusul ke pondok di tengah rimba yang lebat itu.
Setelah beberapa lamanya berjalan di anak air, mereka menepi ke seberangnya dan ketika itu mereka pun lenyap pula ke hutan yang rapat dan gelap dengan suluh mereka.
Tiap-tiap ranting, tiap-tiap cabang yang kecil dielakkan dengan saksama, sekaliannya terang tampak kepada mereka. Malam itu bertambah pula sunyinya. Segera akan turun hujan topan yang lebat yang akan menggulung seluruh rimba itu dalam kesibukan dan kegemuruhan yang tiada berhingga.
Lambat-laun tiadalah berapa jauh lagi mereka dari pondok yang ditujui Atapnya yang tinggi telah tampak kekabur-kaburan dalam kelam itu.
Mereka terus ke muka, bertambah lama bertambah dekat dan langkah mereka pun bertambah teliti, seakan-akan belum cukup lagi teliti awas mereka berjalan itu.
Sekarang hanya beberapa langkah lagi jaraknya mereka dari tebing di atas jalan. Medasing menegakkan dirinya sambil mengawasi ke muka dan ia pun berdiri tiada bergerak-gerak sebagai pohon di antara pohon-pohon yang lain. Oleh isyarat yang lebih terang dari perkataan itu maju sekalian temannya sejajar dengan dia.
Segera mereka mengubah pegangan tombaknya, sebaik-baiknya untuk memakainya. Tak berapa lama lagi akan berlangsung perjuangan yang hebat, darah akan tumpah mengalir...sejurus gemetar penyamun-penyamun itu, meskipun itulah pekerjaan mereka : merampok, membunuh, kejam dan ganas
Di antara daun kayu tampak kepada mereka tebing itu turun ke bawah Di kakinya tegak pondok. sunyi-mati, tak sedikit juapun kentara. bahwa ia melindungi manusia yang hidup, pandai bergerak dan bersuara. Dibawahnya kedengaran sebentar-sebentar sapi mendengus dan binatang itu pun kelihatan kekabur-kaburan dalam sinar bara yang kusam Dari celah-celah dinding pondok keiuar cahaya yanq kuning-merah, tetapi tiada berapa jauh sinar yang halus itu hilang-lenyap dibalut oleh kelam yang mahakuasa.
Dikeliling pondok itu tertegak tiga buah pedati, ketiganya sunyi dan sepi pula. Medasing menembusi gelap malam itu dengan matanya yang tajam dan seketika sesudah itu ia memberi isyarat kepada teman-temannya yang menyerupai hantu hitam dalam gulita yang tebal itu. Keempatnya segera mengerti maksud kepalanya : Amat dan Sohan akan menyelesaikan yang di bawah dan Medasing dengan Tusin dan Sanip akan menyerbu ke atas, menyudahkan segala yang ada di sana.
Pekerjaan telah dibagi dan sekarang hanya ditunggu waktu melangsungkannya. Itupun segera akan tiba. Mereka berlima berdiri sejurus tiada bergerak-gerak memasang telinga dan mata sejelas-jelasnya menantikan saat yang baik.
Maka majulah pula mereka beberapa langkah, dan sekarang mereka berdiri di tepi tebing, seluruh pikiran mereka terarah kepada pekerjaan yang akan dilangsungkan kepada orang yang tidur lelap tiada berapa jauh dari mereka.
Perlahan-lahan mereka duduk dan sudah itu beringsut sejengkal-sejengkal ke bawah, ke dekat pondok di bawah tebing.
Sapi berdengus-dengus pula oleh kepanasan, entah oleh menerima gerak.
Kesudahannya, setelah beberapa saat lamanya, sampailah mereka di bawah. Sekarang tak ada yang dinanti lagi, telah tibalah saatnya melenyapkan segala teliti dan awas akan menyerang.
Tiap-tiap detik tiada ternilai harganya, pada saat yang kecil itu sekarang bergantung perjuangan itu hebat atau tiada berbahaya atau mudah.
Lekas dan hampir tiada berbunyi masing-masing pergi ke tempat yang telah ditetapkan baginya dan sekejap sesudah itu kedengaran rentak, pukulan, teriak.
Medasing telah tiba di atas pondok, diiringkan oleh temannya berdua; ketika ia masuk, Haji Sahak terkejut mendengar bunyi orang melangkah di tangga yang berbuai-buai dan di lantai bambu yang berderak-derak. Segera ia melompat terduduk, dan pada saat itu juga tiba di tangan ki-rinya mata tombak yang tajam, berderis menembusi bajunya, mengupasi daging sampai ke tulang. Ia pun berteriak karena terperanjat, tak tahu apa yang terjadi atas dirinya. Tangan kirinya yang luka itu meraba ke bawah bantal mengambil keris, tetapi saat itu juga tangan yang kena tombak itu pedih, tiada dapat digerakkan. Bertambah kuat ia berteriak sambil mencapaikan tangan kanannya ke tempat senjata itu. Tetapi pada saat itu juga tiba pukulan yang kedua, lebih tepat, lebih dalam dari yang mula, yang rupanya terlangsung dalam kegopohan. Lembing yang tajam, yang tak tahu iba-kasihan itu masuk di rusuk, terus mendalam dan sekonyong-konyong ia ditarik, diikuti oleh darah yang laksana disemburkan.
Laki-laki yang telah duduk itu berguling kembali, tiada berdaya. Suaranya berteriak membelah telinga, diiringi oleh seru dan pekik dua orang perempuan minta pertolongan,
Pondok itu beroyak, berguncang-guncang seakan-akan hendak rubuh pada ketika itu juga oleh langkah, pukulan dan rentak. Pelita damar telah padam, terbalik oleh gerak Medasing membuai tombaknya dan di dalam itu pun gelap-gulita.
Bunyi teriak dari atas ditambahi pula oleh suara yang kuat dan putus-putus dari bawah, dan dalam gelap-gulita dan kesunyian hutan segala teriak manusia yang dahsyat itu seolah-olah suara hantu-iblis yang tiada kelihatan, yang dari jauh dibalas dan dijawab oleh suara lain, gaung kembali dari pohon yang rapat.
Di atas teratak segera Medasing dengan teman-temannya berdua berkuasa, sebab di sana hanya tidur Haji Sahak dengan isterinya dan seorang anaknya yang perawan. Haji Sahak tiada berdaya lagi kena lem?bing. sehingga tak adalah lagi yang berbahaya di atas itu bagi mereka.
Perempuan dua beranak yang terus berteriak itu sekonyong-konyong dihardik oleh Medasing dengan suaranya yang besar dan kasar; ketakutan, terdiamlah mereka; kini di pondok itu hanya kedengaran sedu-sedu orang menangis, disela oleh keluh kesakitan yang putus-putus.
Sejurus terang pula di pondok itu, karena Medasing mengukis api mencahari pelita akan dipasang. Pada ketika itu jua kedengaran pula perempuan berdua itu berteriak, halus dan tajam membelah kesunyian malam.
Ketika kepala penyamun itu menegakkan pelita yang terbalik hendak memasangnya, ketika itu berdiri perempuan isteri Haji Sahak mendekati suaminya.
la pun melolong sekuat-kuatnya karena dalam cahaya api itu tampak kepadanya darah mengalir, berdesus-desus, dari rusuk dan lengan suaminya, amat ngeri rupanya. Hampir ia jatuh, tiada berdaya melihat darah sebanyak itu, tetapi tiba-tiba terlonjak badannya yang telah lemah, condong akan terdohok itu, seakan-akan pada saat itu masuk sesuatu tenaga yang maha dahsyat ke dalamnya: ia akan membalas perbuatan yang kejam itu.
Mukanya berkerut, menjadi buas, matanya bercahaya-cahaya penuh benci dan dendam dan sebagai harimau yang berhari-hari tiada makan menerpalah perempuan yang setengah umur itu kepada Medasing, kepada ketiga penyamun yang lengkap dengan senjatanya itu, dengan tiada berkeris, tiada bersenjata.
Sejurus yang amat pendek..laki-laki yang besar bidang itu terperanjat, tertegun seakan-akan sekonyong-konyong terpaku ke lantai, meilahat kebuasan perempuan dihadapannya.
Hilang terperanjatnya, ia maju ke muka dan dengan sekejap perem?puan yang kemasukan sehingga lupa akan dirinya itupun tertangkap, meski bagaimana sekalipun ia melawan, membanting-banting, menerjang-nerjang dan menangkis. Lawannya terlalu kuat, terlalu kuasa dan kesudahannya hilang sekalian tenaganya dan ia pun jatuh lemah, tiada ingatkan diri.
Di sudut pondok bergelung seorang gadis, seperti ulat yang hina yang ketakutan, tiada bergerak, tiada tergerakkan diri oleh cemas yang tiada terkata-kata. Suaranya tiada terkeluarkan lagi meilihat penyamun yang buas, yang tiada sedikit jua pun menaruh iba-kasihan itu.
Perjuangan di atas pondok telah selesai, kawan penyamun telah berkuasa sebenar-benarnya atas segalanya.
Sesungguhnya mudah dan lekas sekalian pekerjaan mereka, tetapi dibawah perkelahian lebih berat, perlawanan lebih kuat dan di sana pun lebih banyak darah mengalir.
Sohan tersadai di tanah pada tiang pondok, tiada bergerak-gerak dan di dadanya tertanam sebilah keris yang tajam. sampai ke hulunya. Dan pada tempat keris itu masuk ke daging mengalir darah, tiada berhenti-henti, seakan-akan air yang keluar dari mata air yang hidup.
la ditujah oleh seorang anak pedati. Karena ia tiba di muka gerobak melihat ke dalam, rupanya orang di dalamnya telah bangun, telah mencapai kerisnya mendengar bunyi tangga berbuai-buai. Dan dari dalam tempat yang kelam di bawah kajang itu, dapatlah ia menikam penyamun yang sedang mencari-cari, mengamat-amati itu dengan mudahnya. Sesudah itu ia keluar berteriak-teriak dalam kelam malam itu.
Di pedati yang lain Amat dapat mendahului musuhnya dengan lembingnya yang tajam, karena anak pedati itu tidur lelap sehingga ia tiada dapat membalas sedikit juapun. Sejurus terdengar bunyi orang terpekik dituruti oleh bunyi pelahak yang makin lama makin lemah dan kesudahannya hilang tiada terdenyar Sunyi kembali dalam pedati itu tak ada yang terjadi. seperti sekaliannya tiada berubah sebagai sebelum datang penyamun itu.
Di gerobak yang ketiga menggelompar seorang laki-laki membawa kerisnya keluar. tak tahu kain baju. karna terperanjat mendengar bunyi orang berteriak. la pun terlepas dari bahaya maut sebab lekas terbangun Mula-mula ia tak tahu apa yang terjadi. Karena musuh dan teman sekaliannya kabur-hitam belaka. Tetapi mendengar teriak. sedu dan keluh yang sampai ketelinganya nyatalah kepadanya, bahwa mereka diserang oleh sekawan penyamun. Segera dapat la mengatur pikirannya. pun pemandangan dan pendengarannya bertambah terang dan dapatlah ia membedakan teman dengan musuh.
Ketika itulah mulai hebat perjuangan di bawah pondok Amat yang bersenjata Lembing melawan dua orang tukang pedati bersenjata keris penyamun itu mengangkat tangannya mengayun tombak dan sedikit berdesau bunyi benda yang tajam itu menuju seorang dari pada anak pedati. Kain berderis-deris dan berdetar bunyi senjata pembunuh yang buas itu beradu dengan benda yang keras... Di telinga sampai bunyi orang mengeluh, mengaduh karena tombak yang tajam itu telah mengerjakan pekerjaannya yang ngeri.
Tangan kiri anak pedati yang mencoba menangkisnya terkeloyak, terkupas dagingnya sampai ke tulang dan benda yang tajam itu terus pula menyisi rusuknya menembusi baju menarik daging sekerat.
Pedih dan silu sampai ke jantung, dan dalam gelap-gulita itu tiada kelihatan, hanya terasa darah mengalir.
Tetapi pada saat Amat dengan segala tenaganya menusukkan tombaknya kepada musuhnya, ia merasa silu di belakangnya. tak tentu apa konon menyebabkan Ia pun berbalik dan ketika itu kaku-ganjil terasa kepadanya di belakang dekat pangkal lengannya. Dari belakang ia ditikam oleh anak pedati yang lain dengan kerisnya, bertubi-tubi, tetapi tak satu juapun yang berbahaya, yang dapat menewaskan dirinya ketika itu.
Demikianlah perkelahian antara penyamun dengan orang yang disamun, ketika sekonyong-konyong turun hujan yang lebat sebagai dicurahkan dari langit. Kilat serang-menyerang membelah gelap-gulita, sehingga beberapa kali terang cuaca seluruh hutan, seluruh medan perjuangan di tepi jalan itu. Halilintar menderu-deru, dahsyat dan ngeri, seakan-akan hendak memusnahkan bumi, menghancur-remukkan sekalian manusia yang hidup dan tiada tahu akan harga hidupnya itu.
Dari bawah Amat berteriak minta bantu kepada temannya di atas pondok; tak berapa lama antaranya turunlah Tusin dan Sanip. Anak pedati berdua itu melarikan dirinya di tengah hutan lebat, tak tentu ke mana arahnya dalam gelap-gulita. sebab sekarang musuh mereka telah terlampau kuat...
BAB 3 SOHAN terlentang di tanah dekat sebuah tiang, berlumur dengan darah yang keluar dari luka di dadanya, ditikam anak pedati. Hujan tiada berhenti-henti menimpanya, tetapi ia tiada bergerak-gerak. sebab tiada bernyawa lagi.
Tak seorang juapun diantara kawan penyamun itu yang mengindahkannya. Setelah kedua anak pedati lenyap ke dalam hujan dan gelap-gulita, Tusin dan Sanip naik pula ke atas akan memeriksa kekayaan saudagar Haji Sahak.
Amat pergi melindungkan dirinya dari pada hujan di bawah pondok, dekat sapi tertambat; di belakangnya tak berhenti-henti darah mengalir dan sekarang barulah ia insaf sebenar-benarnya akan apa yang terjadi atas dirinya: lukanya mulai sakit dan pedih rasanya.
Sementara itu Medasing, Tusin dan Sanip mengerjakan pekerjaan mereka di atas pondok. Beberapa kali mereka mencoba memasang pelita, tetapi senantiasa sia-sia belaka. Angin mengembusnya pula, seolah-olah ia pun turut dalam pertempuran itu menyebelah ke pihak saudagar Haji Sahak yang tiada berdaya lagi. Diluar berciut-ciut dan berdesut-desut ia membuai pohon yang besar-besar dan berabad-abad usianya, seperti tak dapat menahan amarahnya atas perbuatan kawan penyamun yang kejam itu. Sekali-kali teratak kecil dan ringan itupun dioyak dan diguncangnya serupa hendak roboh
Akhirnya terpasang jualah pelita damar di tempat yang terlindung dan pada angin dalam pondok itu, Dalam cahayanya yang bertambah lama bertambah besar, tampaklah Haji Sahak mandi darah; isterinya tiada bergerak-gerak dan anaknya yang perawan bergelung di sudut dekat pertemuan dinding menyembunyikan muka, menanti apa yang akan terjadi atas dirinya.
Segera penyamun bertiga itu mulai memeriksa, mengacau tempat tidur dan beberapa bungkusan. Saku dan pinggang Haji Sahak mereka raba dengan saksama, demikian juga leher dan lengan isterinya akan mengambil gelang dan kalung. Maka banyaklah yang mereka peroleh dan mereka pun mulai pula memecahkan peti kayu yang tiga buah di dalam pondok itu. Di sana pun mereka dapat beberapa perhiasan yang mahal-mahal harganya. Dari salah sebuah peti itu mereka mengeluarkan sebuah peti kecil dari pada besi. Benda itu pun mereka ambil dan akan dibuka kelak di pondok, di tempat kediaman mereka
Dalam memeriksa saudagar Haji Sahak laki-isteri dan barang-barangnya, lupa mereka, bahwa di sudut pondok itu ada bergelung seorang manusia perawan muda-remaja yang sedang cemas dan ketakutan. Setelah selesai sekaliannya, seketika penyamun bertiga itu mengamat-amati Haji Sahak laki-isteri. Kedua-duanya tiada bergerak-gerak: seorang berlumur darah dan seorang lagi pucat seperti mayat pingsan tiada kabarkan diri.
Mereka pun turun ke bawah memeriksa pedati. Di tangga sekonyong-konyong datang sepotong kayu sebesar lengan, tiba mengenai lengan kiri Tusin dengan kuatnya. Laki-laki itu berteriak karena kesakitan dan sesaat sesudah itu ia terjatuh ke bawah, karena rupanya tiada dapat menderita kesakitan tangan kirinya yang patah itu. Beberapa kali lagi kayu serupa itu datang berulang, ada yang mengenai pondok sehingga rumah kecil itu berguncang dan ada pula yang terus mengenai sapi yang berguling dengan tenaganya.
Medasing menggertakkan giginya, menyumpah-memaki karena ia tiada dapat membalas, menghancur-remukkan orang yang berani mengusiknya itu, karena mereka disembunyikan dan dilindungi oleh hujan dan gelap gulita.
Sementara itu penyamun berdua itu tiba di bawah dan segera memasang suluh yang dibawanya. Sekarang mulailah mereka memeriksa segala gerobak, tetapi diantara tiga itu hanya sebuah yang berisi barang. yang boleh jadi ada harganya, ialah sebuah peti kayu yang besar dan berat. Segera benda itu dikeluarkan mereka.
Dari luar, dari gelap-gulita tiada juga putus-putusnya datang batu dan kayu mengunjungi mereka dengan kuatnya, sehingga sekali-kali pondok atau gerobak hendak roboh lakunya; tetapi mereka tak pernah kena lagi, sebab terlindung oleh gerobak.
Peti itupun segera diungkit dengan lembing dan di dalamnya hanya didapati baju dan beberapa helai kain yang baru. Bagi penyamun yang senantiasa tinggal di hutan, sekaliannya itu tak ada gunanya, tetapi meskipun demikian Medasing mengambil beberapa helai dan disuruhnya pegang oleh Sanip yang membawa segala barang berharga yang mereka dapat di atas.
Sekarang telah selesailah sekaliannya dan mereka akan kembali selekas-lekasnya ke tempat mereka dalam hujan lebat. Sementara itu lantai pondok telah nyata dimakan api pelita yang mereka tinggalkan, bertambah lama bertambah besar; tetapi penyamun-penyamun itu tiada mengindahkannya.
Mereka pergi mendapatkan temannya satu persatu. Sohan dilihat mereka telah mati terhantar di tanah. Amat terduduk dibawah pondok; ia masih kuat dan dapat berjalan rupanya. Setelah dikebat Medasing belakang temannya yang malang itu dengan kain, pergilah mereka mendapatkan Tusin yang patah tangan kirinya kena lempar. Ia pun telah segar kembali, rupanya cacatnya tiada hebat benar. sehingga telah dapat berjalan pula.
Sekarang mereka akan pulang.
Tetapi sekonyong-konyong terdapat kepada mereka bunyi manusia berteriak. halus dan nyaring, dari dalam pondok yang terus juga nyala itu.
"Bukankah mereka tadi bertiga dalam pondok itu?" kata Sanip.
"Rasanya ada lagi seorang perempuan," jawab raksasa penyamun yang kuat dan sigap itu; "Lupa kita tadi memeriksanya, boleh jadi banyak juga barang-barang yang berharga padanya."
Sebagai kilat naiklah ia ke atas pondok. Api telah menjalar mendekati Haji Sahak laki-isteri. Melihat api itu rupanya perempuan muda itu sangat cemas. sehingga ia berdiri dan berteriak minta tolong.
Memandang perawan remaja itu, Medasing raja penyamun yang tak tahu iba-kasihan usahakan kasih-sayang itu, terhenti sejurus tak dapat maju melangkah, laksana orang yang kena pesona. Sinar kemerah-merahan jatuh ke muka gadis yang kuning jelita itu, sehingga hampir menyerupai loyang yang baharu digosok. Rambutnya yang lebat, sebagai terurai kemuka melampaui bahunya dan sebahagian kebelakang sampai kebalik lututnya Oleh cemas hatinya meiihat api itu menjalar hendak membakar ayahnya yang diantara hidup dan mati dan bundanya yang tiada kabarkan diri, keraslah rupa pandangan matanya. Alisnya menjadi regang dan bulu matanya lurus menghadap ke bawah sebagai bulu landak yang keras dan tajam.
Gadis muda itu terkejut mendengar bunyi orang naik tangga; ma?tanya yang indah seakan-akan terbelalak meiihat penyamun yang kejam yang telah membinasakan ayah-bundanya. la pun berteriak menjatuhkan dirinya, tiada berdaya karena ketakutan yang amat sangat.
Medasing, perampok yang telah masak dalam pekerjaannya, yang telah berpuluh kali berhadapan dengan musuh sama-sama lengkap bersenjata dengan gagah beraninya, sekali ini entah apa sebabnya, sekejab tak tahu apa yang hendak dikerjakannya. Lena dan lalai langkahnya, seakan-akan hilang pikirannya....laki-laki yang seribu satu akalnya itu. Tetapi.... sekonyong-konyong dapat kehilangan akal, dalam go-pohnya itu, bersinar sesuatu di kepalanya: ia akan melarikan gadis itu.
Ketika itu tiba-tiba langkahnya yang lemah berubah menjadi pasti dan kukuh. la pun mendekati perawan itu dan dipegangnya tangannya yang bergelung di lantai pelupuh di kaki ayah-bundanya bukan hendak merampas kalungnya, bukan hendak mematahkan gelangnya....tetapi hendak membawa ia turun. lari
Perawan itu berteriak sekuat-kuatnya dan memberatkan badannya, tetapi laki-laki yang berurat kawat dan bertulang besi itu dengan mudah menghelanya ke arah pintu.
Tiba di tangga laki-laki yang kukuh-kuasa itu berhenti sebentar, seakan-akan tiba-tiba ketika itu masuk ke kalbunya sesuatu yang selama ini tiada ada padanya. Ia pun berputar menghampiri api yang makin malam makin dekat menjalar hendak memusnahkan orang dua laki-isteri yang tiada berdaya itu.
Api itu dipadamkannya, bukan karena kasihan, tetapi oleh sesuatu yang gaib, tak tentu asalnya. Gelaplah kembali dalam pondok itu, lebih gelap dari di luar di tengah rimba.
Hujan dan topan telah berkurang dan langit yang telah mencurahkan segala air yang dikandungnya itu membentanglah di atas segala pohon yang tinggi-tinggi jernih kekabur-kaburan.
Penyamun yang berempat itupun berjalan kembali, membawa sekalian perolehannya. Di belakang mereka tertinggal tempat keganasan itu, sunyi-senyap.
Medasing berjalan di belakang sekali menarik perawan yang sebentar-bentar berteriak mengeraskan diri, memukul dan bersetumpu hendak melawan. Akhirnya laki-laki yang besar bidang itu mengangkat badan yang ramping, yang tak hendak menurut itu dan didukungnya seperti ia memikul sesuatu yang ringan, tiada bernyawa.
Sekalian penyamun itu terus berjalan melalui hutan dan semak yang basah, tiada teringat sedikit juapun akan teman dan musuhnya yang tinggal.
Tiba di anak air mereka berhenti seketika melepaskan penat dan sudah itu mereka meneruskan perjalanan melalui rimba belantara yang gelap. Perawan itu senantiasa jua menangis tersedu-sedu, kadang-kadang meratap. berteriak dengan segala tenaganya Tetapi sekaliannya itu tiada berhasil. lagipun dihadapan maut tak lemah hati jabal-jabalan itu. apa pula mendengar tangis dan ratap!
Kesudahannya penat sendiri perempuan itu berteriak dan membantah dan ia pun menurutlah berjalan ditarik oleh penyamun itu, sebagai benda yang tiada berperasaan, tiada berpikiran dan tiadanya berkemauan Lenyap dari kenangannya ayah-bundanya. air matanya tak dapat keluar lagi seakan-akan kering lakunya.
Parak siang. ketika di sebelah timur mulai keungu-unguan tibalah mereka di pondoknya, Medasing mengangkat perempuan yang dibawanya itu ke atas dan direbahkannya di lantai, perempuan yang sejak beberapa lamanya tiada insaf akan dirinya, yang seolah-olah berjalan dalam tidur itu, segera terlelap, karena letih-lesu lahir dan batin.
Pun penyamun-penyamun itu segera merebahkan dirinya, sebab masing-masing pun penat oleh perjuangan dan perjalanan yang jauh.
BAB 4 LANGIT di sebelah timur bertambah terang. Cahaya ungu-suram bertambah lama bertambah kuning rupanya dan kesudahanya timbul dibalik awan emas yang bersusun matahari, mula-mula sepotong. sebelah dan kesudahannya bulat sebagai bulan digambar-gambaran, berseri-seri laksana orang tersenyum memandang ke dunia.
Di rimba yang lebat itu mula-mula ramai bunyi unggas yang baru bangun dari tidur, sekali-kali kedengaran bunyi ngaum harimau atau teriak kijang sayup-sayup, dari tempat yang amat jauhnya.
Tetapi makin tinggi matahari di tepi langit. makin berkuranglah gemuruh itu.
Sinar surya yang mula-mula menyepuh puncak-puncak pohon, kini mulai-lah perlahan-lahan turun bertambah lama bertambah rendah, sehingga di sana-sini sampai ke tanah, ke sudut yang tersembunyi di balik daun yang rapat, bertelau-telau rupanya.
Pada pagi yang permai itu pondok penyamun-penyamun itu sunyi, aman dan sentosa, seakan-akan ia sebagian dari pada rimba yang indah, aman dan sentosa itu.
Keempat penyamun itu tidur lelap semalam-malam mereka memeras tenaga dan pada waktu mengumpulkan kekuatan yang baru, mereka selaku mati. tiada insaf akan sesuatu apa jua-pun. Dari belakang Amat yang luka keluar darah mengalir ke lantai, tetapi kini darah di lantai itu telah hampir kering. Tangan Tusin yang kena lempar telah bengkak dan terletak terpapar di lantai.
Di sudut, jauh sedikit dari laki-laki berempat itu, tertidur seorang perawan, berbaju kurung biru dan memakai kain tenun yang kasar; ia pun amat letih rupanya. Di sudut yang lain tidur Samad yang semalam-malaman tinggal di pondok.
Lambat-laun hari pun menjelang tengah hari dan di rimba itu bertiup angin perlahan-lahan. Dua ekor cecak berkejar-kejaran di dinding, rupanya ada sesuatu yang direbutkannya. Yang seekor lari ke atap diturut oleh yang lain dan sekonyong-konyong berderai daun lalang tua tempat ia bergantung dan ia pun jatuh ke bawah,...menimpa perawan yang tidur lelap itu pada mukanya.
Badan yang bergelung menghadap ke dinding itu sejurus bergerak terlonjak, kaki dan tangannya mengais-ngais. Perawan itu terbangun. membuka matanya mencahari apa yang terasa berjaian di pipinya. Tetapi cecak yang jenaka itu telah lenyap, tiada tentu lagi di mana tempatnya.
Dibelalakkannya matanya sebesar-besarnya, karena heran ia melihat sekelilingnya. Tiba-tiba lemah seluruh badannya, karena tiada terkira-kira sedih hatinya : teringatlah kepadanya. bahwa ia sekarang telah menjadi orang tawanan dan dimukanya pun terbayang-bayang kejadian malam tadi. Tampaknya kepadanya darah mengalir dari badan ayahnya dan bagaimana bundanya yang dikasihinya itu dipegang ditolakkan oleh penyamun yang ganas itu. Ia pun teringat pula apa yang terjadi atas dirinya sendiri. Bagaimana ganas dan kasarnya ia ditarik-tarik, dipaksa mengikut!
Maka tersedu-sedulah ia; kalau diturutkannya hatinya hendak ia meraung sekuat-kuatnya, tetapi ia takut jabalan yang tidur itu terbangun. datang memaksa ia menutup mulut.
Gemetar dan menggigil pula badannya memikirkan tangan mereka yang kasar dan rupa mereka yang buas. Sekarang ia terserah kepada mereka, tiada dapat berbuat suatu apa pun. Beberapa lamanya ia menangis, tiba-tiba bangkit di hatinya hasrat hendak keluar, akan melepaskan dirinya dari lingkungannya yang kecil itu.
Perlahan-Iahan ia pun duduklah, melihat ke kiri ke kanan. Tampak kepadanya penyamun yang berempat itu tidur lelap; di hatinya bangkit suatu perasaan benci dan jijik. Ketika itu hendak ia rasanya menyerang mereka, membunuh sekaliannya akan membalaskan perbuatan mereka atas ayah-bundanya Tiada beberapa jauh dari padanya terletak sebuah lembing dan ia pun mengulurkan tangan akan mengambilnya. Tetapi saat tu juga ditariknya kembali tangannya itu; meremang bulu kuduknya melihat darah berlumur pada tangkai dan mata lembing itu. Selangkah-langkah, amat hati-hati, penuh jijik dan benci pada manusia binatang itu. berjalanlah ia ke arah tangga.
Tetapi meskipun bagaimana perlahannya ia berjalan, lantai teratak itu berderik-derik juga dan ketika ia tiba dekat pintu akan turun ke tangga, ketika itu Samad terjaga, sebab telah puas ia tidur semalam-malaman.
Mula-mula ia tiada percaya akan matanya melihat bayang-bayang perempuan itu bergerak berjalan, kabur, tiada berapa jauh dari padanya; ketika keempat penyamun itu kembali parak siang tadi, ia tiada terbangun. Digosoknya matanya dan diamatinya benar-benar, maka nyatalah kepadanya. bahwa tak salah lagi pandangannya itu. Didalam hatinya bangkit heran yang tiada terkata-kata.
Perempuan ttu dibiarkannya dahulu turun, tetapi ketika telah tiba di bawah bangunlah ia dengan segera dan dari balik pintu tampaknya kepadanya perempuan itu bertambah lama bertambah jauh. Sekali dua kali ia memaling ke belakang, dan sudah itu ia terus berjalan masuk hutan, diantara batang kayu, sehingga tiada kelihatan.
Gadis itu sampailah di tepi anak air. Maka lapanglah kembali rasa hatinya Setelah habis ia membersihkan dirinya pada air yang bening itu, pergilah ia duduk di atas sebuah batu yang besar.
Sinar matahari, yang jatuh lulus di antara celah-celah daun bermain di kepalanya, di rambulnya yang lebat terurai. Air yang tinggal melekat dr ujung rambut. di kening dan dibalik telinganya. bersinar-sinar laksana permata yang banj diasah.
Pada waktu ia duduk di atas batu, disinari oleh cahaya matahari yang gilang-gemilang dan ia memandang ke air dengan mukanya yang jernih dan matanya yang sayu-layu. tak bedanya ia dengan seorang peri penunggu hutan yang tiada terkira cantiknya, dikelilingi oleh daun-daun yang hijau, sinar syamsu yang berkilau-kilauan, dilagukan de?ngan tagu yang merdu oleh anak air yang mengalir berpendar-pendar.
Ketika itu teringat pula ia akan kemalangannya : Apakah kesudahannya kelak" Jauh dari ayah-bundanya, jauh dari kaum-kerabatnya, di tengah penyamun, tiada berteman, seorang diri" Ngeri ia memikirkan jabalan yang kasar dan kejam-kejam itu!
Apakah gerangan maksud mereka melarikannya" Sekonyong-konyong ia pun berdiri dan dengan air mata berlinang-liang teruslah ia berjalan. tak tentu arahnya, menurutkan kakinya. Baginya lebih baiklah lagi ia mati.
Bertambah lama bertambah jauhlah ia masuk hutan. Tiap-tiap sudut di rimba yang besar itu lebih baik baginya dari pondok tempat penyamun, algojo dirinya, algojo ayah-bundanya itu.
Sekonyong-konyong ia terhenti berjalan karena dimukanya terdengar kepadanya bunyi daun kering berdesir-desir. Tiada terkata-kata terperanjatnya dan saat itu jua insaflah ia akan dirinya. Dimukanya, tiada berapa jauh dari padanya menjalar seekor ular yang besar, perlahan-lahan. seakan-akan tak ada yang dicemaskannya. Badannya yang berkilat berwarna-warna dan sangat panjang itu pada suatu tempat gembung, sebab rupanya penunggu belukar yang ngeri itu baru menelan mangsanya
Perawan yang terkejut itu surut beberapa langkah dan binatang yang berat-kenyang itu menjalar periahan-lahan terus ke dalam belukar.
Sekalian keberaniannya hilang lenyap, ia tak hendak terus berjalan lagi: apa yang terjadi atas dirinya akan ditahannya. Ia pun melihat ke kiri ke kanan dan kesudahannya pulang kembali sepuluh dua puluh langkah ke bawah pohon yang besar, di tempat yang lapang dan bersih. Di sanalah ia duduk di akar kayu dan dalam hatinya akan tinggallah ia di sana menantikan putus jiwanya oleh kelaparan atau dimakan binatang buas.
Tawakkalnya itu sejurus rupanya mengamankan perasaan dikalbu-nya tetapi setelah beberapa lamanya di duduk itu teringat pula ia akan nasib yang menimpa dirinya dan ayah-bundanya.
Seteiah perawan itu hilang dari pandangan matanya, berbaliklah Samad melihat kepada temannya yang masih tidur nyenyak. Ketika itu kelihatan kepadanya, bahwa kawan penyamun itu hanya berempat.
Kemanakah pergi Sohan"
Tetapi ia tiada dapat terus menurutkan pikirannya, sebab ketika itu juga matanya tertarik oleh belakang Amat yang merah berlumur darah. Maka ia pun datang mendekat dan luka yang besar dekat tulang belikat Amat itu diamat-amatinya. Sungguh tak kecil luka itu dan menilik kepada tempatnya takkan mudah sembuhnya. Pastilah bukan sedikit kesakitan yang dideritanya dan hanyalah oleh keletihan badannya yang amat sangat, maka ia dapat tertidur.
Sudah itu dilihatnya pula penyamun yang lain berganti-ganti, tangan kiri Tusin yang bengkak dan kebiru-biruan rupanya disiasatinya beberapa lamanya.
Ketika itu tahulah ia, bahwa hebat perjuangan malam tadi dan ia pun yakin dalam hatinya, bahwa Sohan tidak boleh tidak tewas dalam pertempuran itu.
Dari penyamun berempat yang tidur lelap itu ia mengamat-amati barang rampasan yang terserak di kaki mereka: beberapa bungkusan dan sebuah peti kecil. Tetapi ketika ia membungkuk membalik-balik bungkusan akan melihat isinya, tiba-tiba ia teringat pula akan perawan yang nampak kepadanya tadi. Lalu ditinggalkannya sekalian bungkusan itu menuju ke pintu terus ke bawah.
Di tanah segera ia melihat ke sekelilingnya mencahari anak gadis itu. Tetapi taklah seorang juga yang nampak kepadanya dan ia pun melangkah ke arah anak air menurut jalan yang ditempuh oieh orang yang dicaharinya.
Di tepi anak air tak seorang juapun yang ditemuinya; sekelilingnya aman dan sentosa, seperti tak pernah seorang juapun datang sampai ke sana. Hanya beberapa buah batu basah alamat ada sesuatu, entah makhiuk apa, yang belum selang beberapa lama merencah air. Tetapi lain dari pada itu taklah ada suatu tanda juapun yang dapat menunjukkan kepadanya jalan yang ditempuh oleh perempuan itu.
"Kemanakah perginya dan alangkah beraninya seorang diri masuk ke dalam rimba yang lebat ini?" pikimya.
Maka sekejap bangkitlah pula sangkaan dalam hatinya, bahwa yang dilihatnya tadi itu tak benar, bahwa ia telah diperdayakan matanya : Dari mana pulakah yang datang seorang perempuan dalam pondok penyamun itu"
Ketika itu bangktlah takutnya, sebab teringat akan setan iblis, penunggu hutan yang sering didengar ceritanya, tetapi belum pernah ditemuinya selama selalu berulang-ulang masuk rimba seorang diri.
Tetapi perasaan takut segera pula dienyahkannya, oleh kepercayaan yang pasti, bahwa ia tak mungkin terkecoh oleh matanya, bahwa perem?puan yang dilihatnya tadi itu sesungguh-sungguhnya ada.
Dan oleh karena itu berjalanlah ia masuk rimba melalui antara pohon dan semak, tak berhenti-henti mencahari perempuan yang telah dilihatnya itu.
Lamalah ia berjalan tiada jua bersua. Tetapi ketika ia hendak pulang ke pondok melalui pohon yang besar, lapang tidak ditumbuhi semak dibawahnya, nampaklah kepadanya perempuan itu sedang duduk termenung, mencungkil-cungkil kulit pohon itu dengan jarinya.
Samad berhenti mengamat-amatinya dari jauh, seakan-akan ia masih belum juga dapat percaya benar akan apa yang dilihatnya itu. Tetapi setelah beberapa lamanya datanglah ia mendekat seraya berkata:
"Hai gadis, apakah kerjamu di sini?"
Perawan itu terlonjak terperanjat seraya menoleh kepadanya; tetapi setelah nyata kepadanya, bahwa yang berdiri dihadapannya itu manusia dan bukan pula penyamun yang ditakutinya, maka bangkitlah berani hatinya dan ia pun memandang kepada laki-laki itu. Tetapi dalam pada itu ia tiada juga menjawab.
Samad pun beberapa lamanya terdiam, seperti ada sesuatu yang datang diingatannya. Melihat kepada muka gadis yang putih kemerah-merahan itu dan menilik kepada perawakan badannya, rasa-rasa ia telah pernah bersua dengan dia dan seketika dicobanya mengingatkan di mana dan apabila ia bersua itu. Tetapi usahanya itu sia-sia beiaka, sebab ingatannya terlampau jauh terpendam, sehingga tak dapat ditimbulkan-nya waktu itu.
Lalu ia pun bertanya pula : "Dari manakah engkau datang kemari?"....
Setelah nyata kepadanya, bahwa pertanyaannya itu tiada juga berjawab, berkatalah pula ia : "Anak siapakah engkau dan apakah sebabnya maka datang kemari?"
Sekonyong-konyong, laksana pertanyaan itu membangkitkan sekalian ingatannya yang pilu, gadis itupun tersedu-sedu, tak dapat ditahan-nya dan air matanya bercucuran melalui pipinya, jatuh menghitamkan bajunya yang biru.


Anak Perawan Disarang Penyamun Karya Sutan Takdir Alisyahbana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bertambah heran Samad melihat gadis itu dan ia pun mendekat beberapa langkah lagi sambil mengamat-amatinya. Dalam hatinya diakuinya, jarang ia bertemu dengan perempuan yang secantik itu. Pada mukanya yang kusam kemerah-merahan, terlukis alis yang hitam lebat. Bulu matanya yang lentik mengelilingi matanya yang besar dan pudar, laksana pagar yang indah yang mengelilingi tasik yang jernih dan dalam. Dari tepi kedua mata itu membukit hidungnya yang tak terlampau tinggi dan tak pula terlampau rendah. Di atas bibirnya yang tipis terkatup melembah orangnya, nyata kelihatan, tetapi tiada mengusik mata. Dan dagu yang melengkung dibawah bibirnya agak berkerut membayangkan kesedihan hatinya, memudahkan potongan muka yang panjang tetapi berisi itu dengan sempurna.
"Dari manakah engkau dan siapakah namamu?" ujar Samad pula mengulang pertanyaannya sambil mendesak. Sebagai kilat, amat cepatnya perawan itu meniarap di kakinya seraya berkata tersedu-sedu:
"Tolonglah aku, lepaskan aku dari sarang penyamun ini. Bawalah aku kepada ayah-bundaku!"
Dan mendengar itu timbullah sekali di hati Samad ingatan akan anak Haji Sahak yang termashur indahnya di seluruh Pagar Alam.
Lalu berkatalah ia dengan takjubnya : "Engkau Sayu, anak Haji Sahak. Mengapa engkau sampai kemari?"
Putus-putus, sepatah-sepatah, disilih oleh sedu dan tangis didengarlah oleh Samad kisah perjuangan yang hebat semalam. Sementara ia membiarkan Sayu bercerita, pikirannya tiada berhenti barang sekejap juapun dan matanya tiada dipisah-pisahkannya dari gadis yang cantik itu.
Ketika selesailah cerita Sayu, keyakinannya telah pasti : Perawan yang secantik itu takkan dibiarkannya di tengah kawan penyamun. Dengan segala usahanya akan dicobanya membawanya ke tempat yang lain.
Sambil menunduk membelai-belai rambut gadis itu. berkatalah ia dengan suara yang lemah-lembut, penuh kasih mesra :
"Diamlah Sayu, aku akan menolongmu." Sejurus antaranya berdirilah ia, seraya berkata pula; "Tunggulah seketika di sini!"
la pun menuju ke pondok tempat kawan penyamun yang pada sangkanya masih tidur lelap.
BAB 5 SAMBIL berjalan menuju ke pondok, Samad tidak berhenti-henti memikirkan maksud yang timbul dihatinya, sejak mendengar cerita Sayu dan permintaannya akan pertolongan.
Di dusun Pulau Pinang ia telah beristeri dan mempunyai dua orang anak. Tetapi hal itu tidaklah dapat menahan timbul cinta-birahinya kepada Sayu yang amat cantik terpandang kepada matanya.
Dalam hatinya telah direka-rekanya akan membawanya ke daerah Kikim, supaya ia tidak dapat bersua kembali dengan orang tuanya dan di sana ia akan menjadi isterinya. Maksudnya itu rupanya tidak sedikit juapun menyalahkan perasaannya. Dari pada gadis itu terserah kepada kawan penyamun, pada pikirnya, baiklah ia sendiri melarikannya ke tempat yang lain.
Dan sekarang ia kembali ke pondok akan menjemput keruntungnya; apabila temannya berempat itu masih tidur akan diambilnya barang-barang rampasan yang terserak di kaki mereka. Pastilah akan besar hati Sayu melihat hak milik orang tuanya itu kembali.
Hari itu juga maksudnya akan meninggalkan rimba itu. Sesungguhnya ada juga teringat kepadanya, bahwa oleh perbuatannya itu ia akan bermusuhan dengan kawan penyamun yang ditakuti orang di seluruh tanah Pasemah. Tetapi perasaan takut itu segera dilenyapkannya : untuk memperoleh gadis yang semolek itu, apa sekalipun hendak ditentangnya.
Dari bawah tidak kedengaran suatu suara juapun dalam pondok. Besarlah hati Samad, sebab pada sangkanya pastilah akan sampai maksudnya sekali ini. Perlahan-lahan ia naik tangga kayu bulat yang kukuh itu; tiba di atas perlahan-lahan pula ia mendekati keruntungannya, tetapi meskipun bagaimana hemat dan cermatnya ia berjalan, ketika itu Medasing membuka matanya. menggeliat sambil mengeluh.
Oleh karena telah pasti keyakinannya, bahwa sekalian yang direka-rekanya itu akan terlangsung dengan mudahnya. sejurus terperanjat juga ia melihat Medasing bangun. Tetapi pikirannya yang tajam segera dapat mencahari jalan dan seperti tak ada sedikit juapun yang tersimpan di dalam hatinya berkatalah ia : "banyak juga rupanya yang diperoleh malam tadi. Medasing?"
Medasing duduk perlahan-lahan dan seraya melihat kepada bungkusan yang terserak di kakinya, keluarlah dan mulutnya parau-bergumam: "Entahlah. inilah sekaliannya'"
Sambil menggaruk lehernya dengan tangan kanannya ia pun beringsut mendekati bungkusan itu. Kaki Sanip ditariknya beberapa kali, sehingga ia terbangun. Sementara itu pun Amat dan Tusin telah membuka matanya. tetapi mereka tiadalah berdaya duduk oleh dihadapannya masing-masing.
Maka mereka bertigapun membuka bungkusan satu per satu, macam-macamlah keluar dari dalamnya : kalung, cincin, gelang dari pada emas dan perhiasan lain. Pundi-pundi yang diambil Medasing dari saku Haji Sahak semalam banyak berisi uang. Akhir sekali dibukalah peti kecil dengan sebuah parang. Samad dan Sanip datang mengerumuni, tak seorang juapun dari pada mereka hendak terkemudian melihat isinya.
Medasing melunjurkan kakinya di lantai; dengan tangan kirinya dipegangnya peti yang terletak di atas pahanya itu sekuat-kuatnya seraya berkata, tak mengharapkan jawab: "Apa pula isinya ini?"
Sambil menggigit bibir dan meregangkan leher diangkatnya parang dengan tangan kanan dan ia mulailah mengungkit peti yang terkunci dengan kura-kura itu, Kaleng peti itu berdentang-dentang dipaksa oleh tenaga Medasing yang tak dapat dilawan, sekonyong-konyong terdengar bunyi berdetar dan benda itu pun terbukalah. Di dalamnya terdapat beberapa uang mas, seperangkat kalung dan lima buah cincin mas yang baru. Rupanya sekaliannya baru dibeli di Palembang.
Beberapa lamanya mereka bertiga melihat perhiasan yang berharga dan berkilau-kilauan rupanya itu. Maka Medasing memberikan sebagian dari pada uang dan perhiasan kepada Samad, sebab sebagaimana biasa ia akan pulang ke Lahat hari itu juga.
Tiada berapa lama antaranya duduklah mereka bertiga di bawah pondok berdekat-dekatan di atas sepotong kayu menghadapi api, sambil bercakap-cakap : mereka masak nasi dan membakar ikan kering. Asap yang tebal membubung. berpencar melanggar lantai pondok dan sebagian dari padanya masuk ke dalam, terus naik ke atap melalui celah-celah daun yang rimbun Dalam pondok kabut rupanya dan Amat dan Tusin taklah bedanya dengan ikan disalai. Tetapi ketika itu tak ada tempat yang lain untuk menghidupkan api, sekeliling pondok basah belaka oleh hujan semalam.
Sekonyong-konyong dalam percakapan mereka bertiga itu berkatalah Sanip: "Rasanya Medasing, engkau ada membawa seorang perempuan. Kemanakah ia sekarang" Sejak tadi aku tiada melihatnya."
Mendengar itu sekejap heran rupanya raja penyamun itu: telah lupa selupa-lupanyalah ia akan perbuatan semalam. Maka dikerutkannya sejurus keningnya, seakan-akan mengenangkan sesuatu yang sayup-sayup teringat kepadanya, lalu katanya: "Ya sebenarnya ada, tetapi kemanakah ia sekarang?"
la pun diam memandang kesekelilingnya keantara pohon-pohon dmba itu.
"Ah, ia telah lari," kata Sanip pula.
"Rasanya tidak mungkin," jawabnya perlahan-lahan.
"Betapakah ia dapat mencari jalan dari rimba ini" Tetapi baik jugalah aku lihat sebentar!"
la pun tegak sambil melihat dengan siasat ke arah anak sungai; sejurus antaranya ia pun menuju ke sana. Sambil berjalan tidak sesaat juapun pikirannya berpisah dari perawan itu, tetapi meski demikian tiada sedikit juapun ia insaf akan yang menggerakkannya mencari gadis itu.
Terjauh dari pergaulan manusia, hidup di udara hutan yang bersih dan sehat, dan senantiasa terlengah oleh penghidupan yang dahsyat dan berbahaya, seolah-olah tertidur di kalbunya perasaan alam asli yang teruntuk bagi segala yang hidup untuk mempertahankan kehidupan jenisnya. Segala kodrat dan sifatnya terarah pada pekerjaan yang sejak muda dilangsungkannya dan yang dalam bertahun-tahun itu telah tumbuh teranyam dengan segala syarat hidupnya.
Dalam penghidupannya sebagai raja rimba seakan-akan tak adalah lagi di dunia ini pekerjaan yang lain yang mungkin dilangsungkannya.
Segala tenaga dan kecakapannya lahir dan batin terpakai untuk pekerjaan yang sesungguhnya menghendaki seluruh kekuatan dan piki?rannya. Dan oleh karena itulah segala dasar sifat yang lain, yang terbawa oleh segala manusia sejak lahirnya dalam penghidupannya yang ganas itu, bertambah lama bertambah lenyap, seolah-olah tak pernah terbawa olehnya turun ke dunia.
Hukum alam, kelebihan sesuatu biasanya berarti berkurangnya yang lain!
Sebagai penyamun sejati yang tak pernah bergaul dengan manusia. tak pemah timbul di Hatinya keinginan segala manusia menetapkan keturunan penyambung hidupnya.
Ketika ia melihat perawan dalam pondok itu, cantik disinari api yang bernyalah-nyaiah, masuk ke hatinya suatu gerak. menjelma sayup-sayup dan tempat yang amat jauhnya. sebagai sesuatu kenangan tiba-tiba kepada dengungan suara yang telah lama lenyap dan ingatan.
Dan sekarang pun ia mengangkat kakinya mencari perempuan itu didorong oleh sesuatu gerak yang tiada nyata, menurut perasaan yang tlada diketahuinya
Demikianlah ia berjalan diantara pohon-pohon, bertambah lama bertambah dekat ke tempat anak air. Sementara itu ia tiada berhenti-henti melihat ke kiri ke kanan, kalau-kalau tampak orang yang dicarinya itu. Tiba di tepi sungai kecil yang mengalir menderu berbuih-buih diantara batu, ia memandang ke hilir dan ke hulu. Tetapi sejauh-jauh memandang tak suatu apa juapun kelihatan kepadanya.
Dibukanya. dibalik batu tempat air berpusar-pusar seakan-akan hendak terbenam ke bawah, bermain berenang-renang beberapa ekor anak ikan. tiada cemas dan takut sedikit juapun Matahari yang mulai condong bersinar ke air, lembut tiada menyilaukan mata. sehingga anak ikan ttu amat terang tampaknya. Sejurus yang pendek tertanam matanya pada makhluk yang riang jelita itu, seakan-akan hati penyamun yang besar dan buas ttu ketika itu tertarik dan tertambat pada permainan makhluk yang kecil, yang tak sampai seperempat besar kelingkingnya.
Tetapi segera la berbalik dan melayangkan matanya ke hutan yang rimbun.
"Kemanakah perginya.?" pikirnya. Ia tak percaya, bahwa perempuan yang serapuh itu berani melarikan dirinya di tengah rimba yang sunyi dan jauh dan dunia itu
la terns jua berjaian diantara pohon-pohon, tiada berpikir, tetapi terang mengingatkan orang yang dicarinya. Maka dengan tiada di?ketahuinya lambat-laun masuk ke kalbunya suatu perasaan yang hampir menyerupai cemas, kalau-kaiau perawan itu hilang tak dltemuinya lagi.
Bertambah lama bertambah jauhlah ia dari tepi anak air, berjalan berputar-putar diantara pohon yang besar-besar. Sebentar ia menyuruk di bawah seroak yang rapat. di tempat lain ia melintasi tanah yang kuning-hitam tiada ditumbuhi suatu apa pun, penuh oleh daun yang kering.
Kesudahannya telah Jauh benar ia dari pondoknya; jarang ia menempuh bahagian hutan itu Ketika itu tergerak hatinya akan pulang kembali, karena ada sesuatu perasaan yang mengatakan kepadanya, bahwa orang yang dicarinya itu tak ada di sana, la pun herbalik terus memintas ke arah pondoknya yang tersembunyi. Tetapi perempuan itu tiada jua lenyap dari ingatannya dan makin lama seakan-akan makin pasti di hatinya. bahwa ia tak boleh tidak, mesti mendapat perempuan itu kembali.
Sekarang ia berjalan melalui semak-semak pula diantara pohon yang besar-besar. Kadang-kadang ia harus menundukkan kepalanya melalui belukar kecil yang bertemu dan bertaup daun dan rantingnya, sehingga menjadi suatu lubang tembusan yang panjang di tengah-tengah hutan itu; kadang-kadang pula ia harus berpirau. karena di mukanya melintang semak yang rapat. kacau balau dan penuh dililiti oleh rotan dan tumbuh-tumbuhan menjalar yang berduri.
Seketika ia tiba pada suatu tempat yang lapang yang dilindungi oleh sebatang pohon yang besar. Semak dan belukar rupanya tak dapat tumbuh di sana, karena raksasa rimba itu tidak membiarkan tumbuhan yang lain mendekatinya : cahaya matahari tak lulus ke bawah, ditahannya dengan payung daun-daun yang rapat.
Medasing melihat kemukanya, ke bawah pohon yang lindap itu dan dari balik pokok kayu yang besar dan kelabu itu tampak kepadanya kaki menjulur.
Seketika itu juga mukanya menjadi terang karena pasti keyakinannya bahwa yang dicarinya itu telah bersua. Perlahan-lahan ia maju berpirau, supaya dapat mendekati perempuan itu dari muka. Tetapi ketika telah nyata kelihatan kepadanya orang yang dicarinya itu terhentilah ia sesaat seolah-olah kakinya sekonyong-konyong tertahan, terpaku di tanah yang jarang ditumbuhi rumput itu.
Di mukanya tampaklah kepadanya perempuan itu....bukan seperti malam tadi ketika ia melarikannya, waktu itu ia berdiri di muka manusia yang bukan manusia.
Seperti perempuan itu bersandar di pokok kayu yang berlumut dilin?dungi oleh daun yang rapat, yang lemah-lembut berdesir-desir, ia sebagian dari kesunyian hutan, aman-sentosa, tak diusik dan tak terusik.
Kelopak matanya bertemu, lembut tiada terpaksa sedikit juapun, sehingga matanya yang tertutup itu menjadi suatu garis hitam yang sem-purna, di muka yang seperti batu pualam yang kuning kemerah-merahan. Rambutnya yang hitam, bajunya yang biru dan kainnya yang putih ke kelabu-labuan, tiada sedikit juapun berlawanan dengan warna kelabu kulit kayu yang berlumut tempat ia bersandar dan warna hijau-jernih rumput dan daun di rimba sekelilingnya.
Sebenamya tak janggal sedikit juapun ia tidur, tiada insaf akan suatu apajuapun di tengah hutan yang sunyi-senyap itu, malahan waktu itu lak-sana ada sesuatu yang gaib menyelubunginya; membangkitkan perasaan, bahwa segala yang tumbuh dan hidup dalam lingkungan semak-semak yang hijau itu, semata-mata bagi kehormatannya belaka: bunga perbagai warna yang menyembulkan dirinya dari susunan daun, burung sekawan yang bernyanyi dimuka sarangnya pada suatu dahan, riang melagukan suaranya dalam kesunyian hutan. dan angin timur yang menerbangkan bau-bauan dari tempat yang jauh-jauh.
Sesungguhnyalah ketika itu ia dewi penghuni dan pelindung hutan dalam balutan jasad manusia yang rapuh dan lemah.
Medasing masih juga berdiri, tepekur melihat dewi hutan itu dan semangat kebaktian dan kehormatan yang bersimaharajalela, tiada terlihat, tiada terdengar dan tiada teraba ketika itu, masuk ke kalbu laki-laki raja hutan yang gagah dan buas itu.
Penyamun yang ganas, yang tak tahu iba-kasihan itu sekali ini tiada membantah, tiada melawan mengakui kelebihan makhluk yang lemah dimukanya, meskipun seumur hidupnya belum pernah ia takluk, belum pemah gentar sekalipun menghadapi musuh apa sekalipun. Dalam kekuatannya itu lemah dirinya, dalam kekuasaannya ia takluk dari hati kecilnya....oleh sesuatu yang gaib yang telah menyelami kalbu nya dengan tiada diketahuinya.
Oleh sebab itulah ia terhenti. tiada dapat maju kemuka, seolah-olah takut ia mengganggu kesenangan makhluk yang tidur di mukanya itu.
Tetapi semuanya itu hanya sejurus belaka. Hanya seketika saja Me?dasing dapat dikuasai oleh hatinya, yang telah takluk pada sesuatu yang gaib, yang lebih kuasa dari padanya itu.
Perlahan-lahan bangkit keinsyafannya sebagai penyamun, sebagai seseorang yang tahu. bahwa daging dan tulangnya kuat dan kuasa dan perasaan hormat yang sejurus menjelma di hati nuraninya itu lenyap pula rupanya.
Rupanya, sebabnya tiap-tiap gerak disanubari itu, yang membayang-kan tenaga asasi alam yang dahsyat, lama tertahan dan tertekan, sekali ia mendapat kemungkinan bergerak, senantiasa akan menggelombang kembati sampai pantai tercapai.
Ringan kembali rasa kakmya dan didorong oleh keinsafan, bahwa ia kuai-kuasa. melangkahlah ia ke muka mendekati perempuan yang tidur, yang sedikit pun tiada insaf akan dirinya itu. Bunyi rumput berdesir-desir dipijak oleh kaki Medasmg yang besar-kasar dan dewi yang tidur itu membuka matanya perlahan-lahan. laksana bunga mawar kembang dicium sinar pagi kuning-jelita.... Tetapi sekonyong-konyong badan yang lena-tersandar itu bergelung, laksana ulat yang ketakutah dan muka yang jernih itu mengeruh-memucat. Ketika itu tiba-tiba lenyap dewi hutan yang cantik dan sunyi, berubah menjadi manusia, perempuan biasa kembali, yang membangkitkan pilu dan sedih, sangat cemas rupanya. Dan saat itu juga serempak, seolah-oiah oleh sesuatu mentera yang sakit, hutan permai yang teduh itu berubah pula menjadi rimba biasa, rimba yang terjadi dari pohon, rumput dan tumbuh-tumbuhan yang lain.
Lenyap, lenyap pemandangan yang asyik itu dan seluruh rimba itu menjadi rimba sebagai tiap-tiap rimba yang lain.
"Engkau hendak lari?" keluar dari mulut Medasing dan suaranya gemetar, seakan-akan ada sesuatu yang membantah suaranya keluar sekasar itu, Ketika itu menyeringai mulutnya dan matanya yang tajam dan kemerah-merahan rupanya itu berganti-ganti memandang dari tubuhnya yang kuat ke badan perawan yang lemah itu, laksana hendak berkata: tiada insafkah engkau, bahwa engkau takkan dapat melepaskan dirimu dari genggamanku"
Perawan itu menggelungkan badannya bertambah kecil dan mu-kanya ditutupnya dengan kedua belah tangannya, karena takut ia melihat muka penyamun yang buas itu. la pun mulailah menangis tersedu-sedu.
Sekonyong-konyong terasa kepadanya tangan kanannya dipegang dengan kasar oleh tangan yang besar dan kuat dan ia pun berteriaklah sekuat-kuatnya. "Aduh! Tolong!" seperti seseorang yang dipalu.
Dari jauh berbaik bunyi gema mendengung-dengung, laksana suara rimba yang sama-sama berteriak dengan perawan yang malang itu.
Tetapi bagi Medasing teriak serupa itu tak ada gunanya, sebabnya ketika itu ia telah penyamun kembali, penyamun yang hanya tahu akan tenaga dan kekuatan badannya. Perempuan yang ringan itu ditariknya sehingga tertegak dan terus diseretnya terjajar-jajar melalui semak-semak, ke arah pondoknya.
Bab 6 SAMAD berjalan seorang diri di tengah hutan. Tali keruntung yang lebar terletak pada keningnya, longgar bergerak-gerak, sebab keruntung yang besar itu hampir tak ada isinya. Mukanya menunduk ke tanah, tiada menoleh ke kiri ke kanan dan matanya yang besar terbuka itu memandang, tetapi tak melihat. Hutan besar yang dilaluinya seperti tak ada baginya, sebab pikirannya tak berpisah-ptsah dari Sayu yang tak dapat dilarikannya.
Sejak ia melihat Medasing terbangun dari tidurnya, sangatlah ke?cewa hatinya. Selama membuka bungkusan dan peti, selama memasak makanan, perasaan itu tak sekejap juapun meninggalkannya lagi, la tak banyak bercakap-cakap dengan Medasing dan Sanip dan selalu dicarinya kerja, supaya perubahan pekertinya itu jangan kentara kepada mereka.
Mula-mula belumlah putus benar harapannya akan dapat melarikan Sayu hari itu juga, sebab sangkanya Medasing takkan dapat mencari per?awan itu Tetapi ketika dari jauh kedengaran kepadanya Sayu berteriak minta tolong, segera diambilnya keruntung dengan barang perhiasan dan uang yang telah diuntukkan baginya, lalu ia pun bertolaklah. Sanip yang tak mengerti melihat perbuatannya itu, menahannya mengajak ia makan dahulu, sebab nasi telah masak. Tetapi Samad menjawab mengatakan hari telah hampir petang, ia harus lekas sampai di rumah, sebab dinantikan orang, ia harus entah apa lagi, karena suaranya digumamnya, tidak terang kedengaran. Dan sebelum Sanip dapat berkata lagi, ia telah lenyap diantara pohon-pohon.
Oleh karena gagal maksudnya, ia tak hendak menghadapi Sayu. Apakah kata perempuan itu kelak kepadanya, tak menepati janji dan membiarkan ia ditarik dan diseret oleh penyamun itu" Hatinya yang serong, yang hendak dibayangkannya lurus itu, cemas akan terbukti keserongannya dan sebab itu ia tiada berani bertemu muka dengan gadis itu. ia takut dikatakan sekongkol dengan kawan penyamun.
Demikianlah sepanjang jalan Samad tak berhenti-henti mencari akal, bagaimana nanti ia akan menerangkan kepada Sayu, apa sebabnya maka ia tiada kembali menemuinya di bawah pohon akan memulangkannya kepada orang tuanya, la belum putus asa, perawan cantik yang telah percaya kepadanya itu, tiada akan mudah dilepaskan. Sekarang ia harus berusaha, supaya gadis itu tetap percaya kepadanya.
Senja hari ia tiba di dusun Pulau Pinang. Dari jauh kelihatan ke?padanya anaknya yang berdua itu bermain-main dihadapan rumah. Yang bungsu Minam, seorang perempuan kecil, mencuil kakaknya menunjukkan laki-laki yang datang menuju mereka. Aming melihat sebentar, tetapi segera mereka berdua terus bermain, tak memedulikan orang itu. Bukankah laki-laki itu sering datang ke rumah mereka" Apakah bedanya datangnya sekali ini dengan datangnya senantiasa"
Anak-anak sering amat dalam perasaanya, sangat lekas merasa, ia dihargai orang atau tidak.
Dan di rumah yang ditujui oleh Samad itu, kanak-kanak itu hanya tahu akan bundanya yang bersama-sama hidup dengan mereka setiap hari, kadang-kadang di sawah, tak berapa jauh dari sungai Lematang dan apabila habis pekerjaan menuai, di rumah mereka yang kecil. Bunda itulah bagi mereka ibu dan ayah, yang mengasuh, menjaga dan memberi makan, tempat mereka mencurahkan sedih dan riang.
Laki-laki yang sering datang berulang itu bagi mereka sesuatu yang kebetulan, yang tak tentu tempatnya dalam lingkungan pikiran dan pe?rasaan mereka.
Mengapa ia datang dan mengapa pula ia pergi, betapa penghidupan?nya dan apa perhubungannya, sekaliannya amat kabur tergambar di hati mereka. Tetapi dalam pada itu adalah sesuatu perasaan yang melindungi kalbu mereka yang bersih, dan itulah menyebabkan mereka menjauhi laki-laki yang tidak menarik minat mereka itu.
Samad tak pernah beramah-ramahan dengan anaknya. Dalam pemandangannyapun mereka kebetulan dilahirkan oleh perempuan yang kebetulan menjadi isterinya.
Dalam penghidupannya sebagai mata-mata penyamun yang bere?dar dari suatu tempat ke tempat yang lain, ia perlu sekali-kali berhenti melepaskan lelahnya. Dalam berhenti melepaskan lelahnya ia hendak melepaskan suatu hasrat dan demikianlah ia beristeri.
Ketika Samad naik tangga menjengukkan kepalanya ke dalam rumah kecil itu, perempuan yang sedang duduk bertenun di dalamnya, mengangkat kepala melihat kepadanya.
"Baru datangkah engkau?" keluar dari mulutnya, seperti air menitik. Tak tentu gembira atau kecewa.
Samad menggumam beberapa perkataan dan ia pegi ke sudut meletakkan keruntungnya. Perempuan it uterus juga bekerja menyudahi tenunan kain, sebab baginya. Kedua anaknya harus cukup pakaiannya.
Bab 7 DI TENGAH negeri Pagar Alam ada sebuah rumah yang lebih indah dan kukuh dari rumah sekelilingnya. Dari jalan rumah itu disembunyikan oleh pohon puding merah-kekuningan dan be?berapa pohon sauh yang lebat buahnya. Tiba dipekarangannya barulah dapat melihat ke serambinya : Tangga yang lebar-lebar anaknya itu agak terlampau curam naik dari bawah. Kiri-kanannya ada terali tempat ber?pegang, yang berukir dan terbuat dari pada kayu yang indah. Demikian juga terali serambi rumah yang lapang itu.
Pada pagi itu duduk di sudut serambi itu bersandar pada dinding seorang perempuan, bertelekung memegang sebuah tasbih. Mulutnya tidak berhenti-henti bergerak membaca-baca dan pada waktu yang tetap antaranya bergerak jarinya memisahkan buah tasbih yang hitam itu. Tetapi pada matanya yang tiada berpisah-pisah memandang ke suatu tujuan, nyatalah, bahwa ia tiada berapa insaf akan perbuatannya.
Sesungguhnya Nyi Haji Andun, isteri mendiang saudagar Haji Sahak sedang memikirkan sesuatu yang sulit.
Telah genaplah sebulan lamanya, sejak suaminya mati dibunuh pe?nyamun di lembah Lematang pada malam hujan ribut. Keesokan harinya ia meneruskan perjalanan ke Pagar Alam bersama-sama kedua anak pedati yang dapat melepaskan dirinya dari bahaya maut, membawa jenazah suaminya. Sehari sesudah itu dapatlah suaminya itu dikuburkan dengan sepertinya di makam kaum-kerabat di negeri tempat lahirnya itu.
Sejak hari itu berhari-hari tak tentu perasaan dan pikiran Nyi Haji Andun oleh kedukaan mengenangkan kehilangan suami dan anak tung?galnya yang dicintainya.
Tiap-tiap hari ia melihat-lihat dan mendengar-dengar menantikan Sayu, seolah-olah ia belum dapat percaya, bahwa anaknya itu sesung?guhnya telah hilang. Suara orang lalu-lintas di jalan sering disangkanya suara anaknya itu dan bergesa-gesa ia pergi keluar hendak menyambutnya. Tak terkata-katalah kecewanya apabila ternyata kepadanya, bahwa salah pendengarannya.
Oleh karena sangat sungguh ia berharap, sekaliannya terubah menurut kehendak angan-angannya. Perempuan yang datang menuju dari jauh dikatakannya Sayu; kadang-kadang ia telah berdiri dan turun ke bawah akan menyongsongnya.
Tiap-tiap malam kalau sekalian rumah telah tertutup dan dusun Pagar Alam yang kecil itu telah menjadi sunyi-senyap, barulah ia masuk ke dalam akar, merebahkan diri. Di tempat tidur ia amat gelisah membalik-balik, matanya tak hendak terpicing Tiap-tiap bunyi yang sampai kepadanya didengarnya baik-baik. Seringkih ia duduk di tempat pembaringannya mendengar bunyi orang berjalan di tengah jalan dalam sepi malam itu. Diusahakannya menangkap bunyi langkah yang terdengar kepadanya itu satu per satu. Makin dekat bunyi makin besarlah minatnya dan telinganya pun ditekatkannya kepada dinding, supaya lebih nyata lagi terdengar kepadanya. Kalau bunyi itu dekat benar, berdebar-debarlah hatinya kadang-kadang ia hendak berdiri menuju ke pintu. Tetapi segera datang pula kecewanya, sebab langkah yang mendekat itu menjauh pula sampai hilang-lenyap dalam kesunyian malam. Dan badannya dibantingkannyalah ke atas kasur, tersedu-sedu beberapa lamanya sampai terdengar pula kepadanya bunyi yang lain yang menarik minatnya.
Demikianlah berulang-ulang sampai badannya menjadi letih dan ia tak dapat berpikir dan mengharap lagi; maka tertidurlah ia tiada kabarkan diri sampai waktu subuh. Oleh sebab telah biasa sejak dari mudanya, ter?bangunlah ia akan sembahyang, meski bagaimana sekalipun lesu badannya. Dan sejak sembahyang subuh itu ia tak dapat memicingkan matanya lagi sampai hari siang. Doa yang dibaca-bacanya untuk menanti pagi biasanya hanyalah tinggal di bibir, tak meresap ke dalam kalbunya.
Demikian jugalah pagi-pagi ini. Tetapi hanyalah bedanya sekarang ini kekacauan hatinya menantikan anaknya kembali itu telah ditambahi pula oleh payahnya ia memikirkan suatu soal yang sulit, yang baru kemarin datang menambah sesak dadanya.
Waktu ia bersama-sama dengan suami dan anaknya pergi ke Palem?bang menjual kerbau dahulu, mereka membawa lebih dari tiga puluh ekor kerbau kepunyaan orang lain di negeri pagar Alam dan beberapa dusun sekitarnya Kerbau itu dititipkan kepada mereka menjualkannya dan sepertiga dari pada harganya ialah untuk mereka.
Ketika mereka disamun orang di lembah Lematang, hilanglah seka?lian uang, bahkan barang berharga yang mereka bawa dari rumah dan dibeli di Palembang pun jatuh ke tangan kawan penyamun itu.
Sebulan lamanya tak seorang juapun datang meminta harga kerbau?nya, sebab segala orang tahu, bahwa Nyi Haji Andun sedang berduka cita. Tetapi kemarin ia dikunjungi dua tiga orang yang mulai mengangin-an?ginkan uang yang harus mereka terima. Dikatakannya terus-terang kepada mereka, bahwa uang itu habis dirampas penyamun dan bahwa ia tiada beruang lagi. Mereka disuruhnya datang waktu yang lain, sebab katanya hatinya masih kacau-balau oleh kehilangan suami dan anaknya.
Tetapi sejak mereka itu pulang, hati Nyi Haji Andun bertambah kacau. Sekarang ia harus pula memikirkan betapa jalannya mencari uang pengganti harga kerbau orang sebanyak itu : sebab lambat-laun tentu harus juga dibayar. Itulah yang dimenungkannya sambil menggerak-gerakkan bibir, tak insaf apa yang dibaca dan menghitung buah tasbih, tak tentu jumlah yang dihitung.
Hari makin tinggi jua. Dari dalam datang Sima, seorang perawan kecil, anak angkatnya, mengajak ia makan, sebab sajian telah selesai. Terperanjatlah nyi Andun melihat matahari telah tinggi dan telekung di badannya belum ditukar, lalu ia masuk berpakaian. Waktu makan bersama-sama dengan anak angkatnya itu tidak banyak katanya; Sima pun yang tahu, bahwa Nyi Haji Andun masih bersedih hati, tak membuka mulutnya bila tak perlu.
Dalam waktu kesusahan ini sesungguhnya ia menjadi tangan kanan di rumah, sekaliannya boleh dikatakan terserah kepadanya. Dan dengan tiada setahunya lambat-laun perawan kecil yang ramping, panjang mu?kanya dan agak hitam warnanya itu telah mengisi sebahagian besar tempat yang terluang dalam hati Nyi Haji Andun, sejak suaminya dan Sayu tak ada lagi. Meskipun tak banyak katanya, karena tak ada yang terkatakan olehnya, sebab hatinya sendiri sedih oleh kehilangan ayah dan saudara angkatnya yang seolah-olah telah menjadi ayah dan saudara kandungnya, tetapi perbuatannya dan tingkah-lakunya dapatlah sekadarnya menjadi hiburan bagi Nyi Haji Andun dalam kedukaannya yang payah terhibur itu.
Betapakah keadaannya agaknya bila gadis kecil itu tak ada, atau lebih lagi, bila ia mengikut ke Palembang dahulu, sehingga dirampas pula oleh penyamun dari padanya pada malam yang ngeri itu"
Masih kecil benar, belum cukup enam tahun usianya, ketika bun?danya yang tak banyak mempunyai kaum-kerabat meninggal. Besarlah hati ayahnya, yang hilang akal memikirkan apa yang hendak dibuatnya dengan anaknya itu, ketika Nyi Haji Andun yang berharap beroleh anakseorang lagi, datang kepadanya meminta anak itu. Ketika itu Sayu telah tujuh tahun usianya; samalah mereka berdua besar seperti dua orang bersaudara yang kasih-mengasihi. Dan di mata Nyi Haji Andun suami-isteri pun akhirnya tak berapa banyaknya lagi bedanya Sima dengan Sayu, anak kandungnya itu.
Setelah habis makan Nyi Haji Andun berkata kepada Sima, bahwa ia hendak ke rumah Bedul, kakaknya, sebab ada suatu yang perlu. Maka turunlah ia melangkah kecil-kecil, bergesa-gesa di tangga yang curam itu. Sepanjang jalan ia tiada melihat ke kiri ke kanan, tiada menyapa-nyapa orang, sebab pikirannya tenggelam memikirkan betapa ia akan membayar uang harga kerbau orang yang lebih dari tiga puluh ekor itu.
Tetapi hampir dihadapan tiap-tiap rumah ia disapa orang, sebab di negeri kecil itu, siapakah yang tiada kenal kepadanya" Ada yang mena?nyakan kemana ia hendak pergi pagi-pagi itu, ada yang mengajak ia singgah di rumahnya sebentar, Sekaliannya lemah-lembut dan baik hati, kadang-kadang terbayang perasaan kasihan yang tulus dalam suara mereka.
Bagi Nyi Haji Andun perkataan yang diucapkan dengan ikhlas itu sebagai pisau yang diiriskan pada kalbunya, la tak kuasa menjawab! Ada yang pura-pura tak didengarnya, berjalan terus tiada menoleh-noleh. Dan dibelakangnya kedengaran kepadanya orang itu berkata perlahan-lahan: "Kasihan melihatnya!"
Ucapan yang perlahan-lahan yang bukan teruntuk bagi telinganya itu, menusuk jiwanya, menginsafkan akan kemalangannya yang tiada berhingga. Ada pula kalanya dipaksanya dirinya menoleh kepada orang yang menyapanya itu dan ia pun tersenyum menyeringai melihat kepada orang itu untuk menyembunyikan kesedihan hati yang tak dapat disem?bunyikan.
Mak Jenariah, sahabat karibnya yang agak tua dari padanya, datang menemuinya di jalan besar.
"Adik dari mana" Marilah singgah di rumah sebentar!"
Sambil berkata itu ia datang mendekati Nyi Haji Andun dan lemah-lembut dipegangnya tangan kiri perempuan itu dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya perlahan-lahan menepuk-membelai belakang sahabatnya itu, iba melihat kemalangannya.
"Ah, jangan dahulu," jawab Nyi Haji Andun, mendesak suaranya yang parau keluar dah kerongkongannya yang merasa tersumbat. "Aku hendak lekas," dan ucapan yang hampir tak kedengaran itu menyerupai permohonan yang sangat.
Maka Jenariah melepaskan tangannya dan membiarkan sahabatnya itu berjalan terus. Beberapa lama ia melihat dari belakang kepada badan yang ramping, yang menunduk tergesa-gesa berjalan dalam bungkusan baju biru tua.
"Tak bersuami, tak beranak lagi," kata hatinya mengerti dan iba-kasihan.
Sepuluh lima belas buah rumah lagi antaranya Nyi Haji Andun berbelok ke kiri, sebab di situlah tinggal saudaranya yang hanya seorang itu.
Bedul bukan orang berada, rumahnya kecil dan buruk, tidak beruang-beruang: bertangga kayu yang tidak bertarah, beratap daun lalang, berlantai bambu dibelah.
Kepada adiknya itu sejak dari dahulu ia sangat kasihan dan khidmat, bukan semata-mata oleh karena ia adiknya yang tunggal, tetapi, terutama sekali oleh karena adiknya yang perempuan itu amat besar pengaruhnya atas dirinya, sebab akalnya lebih panjang, kecakapannya lebih besar. Dan meskipun Bedul telah berumah sendiri, dalam beberapa hal hidupnya masih bergantung kepada adiknya yang terhitung orang berada itu.
Sesungguhnya ia mempunyai ladang, tetapi oleh karena tenaganya tak seberapa, hasilnya tak cukup untuk penghidupan-nya, meskipun ia hanya berdua dengan isterinya, tiada beranak seorang juapun.
Ketika Nyi Haji Andun tiba di rumah kakaknya itu, Bedul baru hen?dak pergi ke ladang benar. Badannya yang kecil, yang ditutupi pakaian koyak-koyak, telah menyandang keruntung yang berisi makanan tengah hari dan beberapa keperluan yang lain.
"Kakak sudah hendak pergi ke ladang" Tunggulah sebentar dahulu!" kata Nyi Haji Andun, sambil naik tangga yang amat bersahaya.
Melihat adiknya itu Bedul meletakkan keruntung dan duduk pula. Sementara itu Nyi Haji Andun telah tiba di atas.
"Petang kemarin beberapa orang datang kepadaku meminta uang harga kerbaunya yang kami jualkan di Palembang dahulu," katanya ter?gopoh-gopoh, tetapi terhenti seketika, seakan-akan ada sesuatu yang menyekang di kerongkongannya. Mulutnya bergerak terus ke leher meneguk dan sudah itu katanya pula, amat cepat: "Bagaimanakah aku akan meng?gantinya, dimanakah aku harus mencari uang sebanyak itu, apakah yang ada padaku sekarang betapakah jadiku kesudahannya kelak?"
Dan sambil menangis tersedu-sedu menutup mukanya dengan kedua tangannya, mengeluh ia: "Aduh, alangkah malang nasibku ini! Kakak, tolonglah aku, apa yang harus kuperbuat?"....
Bedul tak berhenti-henti mengamat-amati adiknya itu, tak tentu pikirannya dan tak tentu apa yang hendak dikatakannnya. Melihat adiknya tiba-tiba seperti orang putus harapan itu, hilang sekali akalnya; gelisah tak tentu apa yang hendak dikerjakannya, dipegang-pegangnya dagunya dengan tangannya yang kasar, yang mulai lisut sedikit-sedikit. Hatinya keras hendak mengatakan sesuatu, tetapi makin dikeraskan dan dipaksanya dirinya makin kacau-balau pikirannya.
Akhirnya dapat jugalah ia mengeluarkan; "Siapakah yang datang kepadamu meminta harga kerbaunya itu?"
Di antara sedu dan tangis yang tertahan-tahan Nyi Haji Andun men?jawab, putus-putus menyebut beberapa nama orang. Bedul mendengar hati-hati, seolah-olah nama orang itu akan memberi akal kepadanya me?nyelesaikan soal yang sulit itu. Tetapi sampai adiknya itu diam dan hanya kedengaran sedu-sedunya, pikirannya masih tersumbat juga.
"Cobalah pikirkan bagaimana aku dapat mengganti sekaliannya itu. Dimanakah aku harus mencari uang" Apakah yang ada padaku lagi sekarang ini?"'
Setelah habis perkataannya itu, tiba-tiba bertambah kuat sedunya, laksana datang pula membadai sedih hatinya dari dalam kalbunya.
Dari dapur masuk isteri Bedul, seorang perempuan kurus, berpakaian kumal lebih tua rupanya dari suaminya. Langkahnya perlahan benar di atas lantai yang berderik-derik itu dan ketika dilihatnya iparnya, duduk menangis dihadapan suaminya, lebih perlahan lagi ia surut lenyap ke dapur, sebab segan mengusik iparnya yang senantiasa dihormatinya itu.
"Apakah yang ada padaku sekarang yang dapat kupakai untuk pengganti uang mereka" Apakah dayaku perempuan yang lemah, yang tiada dapat berbuat suatu apa?" ...
la tak dapat lagi menahan sedunya dan mulai menangis terisak-isak, menunduk menyembunyikan mukanya pada tepi bajunya yang basah deh air mata.
"Tiga puluh ekor kerbau."., kata Bedul, tak tentu makna dan maksudnya.
Sejurus sudah itu diulangnya pula perkataan itu. seolah-olah dico?banya menginsafkan beberapa banyaknya harga tiga puluh ekor kerbau. Tetapi perbuatan itu tidaklah sedikit juga membantunya menyelesaikan soal yang muskil itu. Ia pun diam pula melihat kepada Nyi Haji Andun yang tak kunjung-kunjung reda menangis. Maka makin gelisah duduknya dan makin hilanglah akalnya, deh karena ia memaksa dirinya berpikir dan mengatakan sesuatu untuk penghibur hati adiknya yang minta per?tolongan kepadanya.
Tiba-tiba dengan tiada setahunya terlompat dari mulutnya; "Tetapi rumahmu bukankah. ..?"
Belum lagi habis perkataannya terperanjatlah ia melihat Nyi Haji Andun sekonyong-konyong pucat dan menggigil mendengar perkataan "rumah" itu.
"Rumahku, rumahku!...." katanya beberapa kali dan seraya me?ngangkat mukanya yang basah oleh air mata itu, lebih kuatlah ia mena?ngis.
Sesungguhnya telah lama terbayang-bayang kepadanya, bahwa kesukaran yang mengharu-birukan pikiran dan hatinya itu hanya akan dapat dilenyapkan dengan kesukaran yang lain pula.
Dan mendengar perkataan rumah itu seakan-akan sekonyong-ko?nyong timbul dengan senyata-nyatanya dan seganas-ganasnya di mata hatinya, yang selama ini hanya terasa kepadanya dengan tiada tentu bentuk dan rupanya.
Rumahnya yang didiaminya sejak mulai bersuami! Tempat lahir Sayu, anaknya yang hanya seorang itu! Sudahlah suaminya mati dibunuh orang, tidak berdosa! Sudahlah anaknya, darah-dagingnya, lenyap dilari?kan orang, tak tentu kemana perginya dan betapa keadaannya!
Seumur hidupnya seterusnya ia akan hidup sebatang kara, tercerai dari sekalian yang rapat kepadanya dan yang dicintainya dengan seluruh jiwanya!
Besarlah percobaan yang menimpa dirinya! la takkan dapat hidup berbahagia lagi dan sekarang tempat kenang-kenangan kepada masa yang berbahagia dalam hidupnya itu pun tak dapat dipertahankannya.
"Rumahku, rumahku!" katanya pula, menangis hampir-hampir berte?riak, seakan-akan ia hendak mempertahankan, menggenggam rumahnya itu dengan segala tenaganya, tak hendak menyerahkannya kepada siapa sekalipun. Sebab dalam hati kecilnya ia insaf seinsaf-insafnya, bahwa lepas rumahnya dari tangannya akan berarti hilang sekalian kesenangan hidupnya di dunia ini, sampai ke sisanya dan bekasnya yang penghabisan. Dan dari dasar kalbunya datang nafsu hendak melawan seperti seorang yang lemas terbenam dalam air mengais-ngaiskan tangannya berpegang pada sepotong kayu kecil yang takkan dapat merampungkannya kem?bali.
"Apakah lagi yang akan tinggal padaku, baiklah sekali orang men?gambil nyawaku, supaya habis terhenti sekaliannya," ratap-tangisnya selaku orang yang putus asa melawan sesuatu yang bukan lawannya.
"Kemanakah aku akan pergi" Kakak katakanlah kepadaku! Apakah gunanya aku hidup lagi?"
Melihat adiknya bertambah hebat menangis oleh perkataannya itu, makin hilanglah akal Bedul. Sesak napasnya memikirkan betapa jalan meredakannya.
Beberapa lamanya ia termangu-mangu melihat Nyi Haji Andun yang mengangkat dan menundukkan kepalanya sambil menangis tiada terhenti-henti.
Tiba-tiba tak tentu sebab dan maksudnya berdirilah Bedul dan pergi ke dapur. Maka lapanglah sejurus hatinya. Di dapur ia berjalan hilir-mudik, tak melihat "isterinya yang sedang menjerang air panas; perempuan yang pendiam itu pun tak berkata-kata apa-apa, seolah-olah tiada kelihatan kepadanya suaminya itu.
Setelah beberapa lama antaranya didekatinya isterinya dan diceritakan?nya berbisik-bisik kesukaran adiknya itu kepadanya. Isterinya mengangkat air panas yang dijerangkannya itu dan sudah itu pergilah mereka bersama-sama mendekati Nyi Haji Andun yang belum juga berhenti menangis.
Isteri Bedul membelai-belai belakang iparnya yang muda dari padanya itu dan perlahan-lahan kalanya; "Apakah yang adik tangiskan" Jika telah demikian tertulis apa yang hendak kita katakan. Sabarlah, siapa tahu, barangkali ada karunia yang teruntuk bagimu dibalik itu. Adik jagalah iman."
"Pikirlah oleh kakak, apa lagi yang tinggal padaku," keluh Nyi Haji Andun. tiada memedulikan perkataan yang diucapkan kepadanya itu.
"Sebenarnya kita malang benar, tetapi apakah yang hendak kita katakan. Baiklah kita menyerah saja kepada yang lebih kuasa dari kita."
"Kemanakah aku harus pergi, kemanakah aku dapat membawa diriku...?"
Isteri Bedul diam pula sejurus. Hampir ia menjawab mengajak iparnya itu tinggal bersama-sama dengan dia, tetapi segera timbul pikiran?nya yang mengatakan, bahwa tak patut ia mengucapkan yang demikian. Masakan Nyi Haji Andun yang terhitung orang berada itu akan mungkin datang hidup pada mereka. Bukankah mereka suami-isteri senantiasa bergantung kepadanya, hidup atas kasihannya dengan suaminya" Mung?kinkah ia sekarang akan bergantung kepada mereka" Sesungguhnya telah banyak percobaan yang datang menimpa iparnya yang malang itu, tetapi meskipun demikian belum dapat ia memikirkan, bahwa iparnya itu telah jatuh benar, sehingga sekaiiannya telah terbalik.
Lamalah Nyi Haji Andun menangis tersedan-sedan, dihadapi oleh orang dua laki-isteri itu. Tetapi mereka tak jua dapat jalan yang lain untuk mengganti harga kerbau orang itu.
Demikianlah tengah hari Nyi Haji Andun pulang ke rumahnya, tak tentu perasaan, putus asa. Mukanya bakup dan badannya lemah tiada terkata-kata.
Setiba di rumah ia masuk ke tempat tidur, la pun hanyut pula ditarik arus perasaan dan pikirannya. Terasa lagi kepadanya perceraian yang akan datang, yang tak dapat dielakkan lagi dengan rumah yang telah bertahun-tahun, lebih seumur anaknya tempat kediamannya dengan orang yang dicintainya. Datang pulalah perasaan keinsafan akan kelemahan, tak dapat berbuat suatu apa, menyayat hatinya yang dalam waktu sebulan saja banyak, terlampau banyak lukanya.
Dengan tiada setahunya mujurlah ia tertidur oleh karena amat letih lahir dan batin. Dalam tidur yang nyenyak, yang telah berhari-hari tak ditemuinya itu, ia serasa-rasa jatuh ke dalam jurang yang amat dalam dan gelap.
Dan sia-sialah tangannya yang lemah itu menggapai-gapai hendak bergantug.
Bab 8 TANGAN Tusin yang patah dilempar anak pada pertempuran di lembah sungai Lematang lebih dari dua bulan yang telah lalu telah sembuh dan sekarang ia telah dapat hidup seperti biasa bersama-sama dengan temannya yang lain.
Sebaliknya Amat yang luka beberapa liang di belakangnya kena tikam, bertambah hebat penyakitnya. Telah bermacam-macam obat yang dapat dicari di hutan itu. dicobakan untuk menyembuhkannya, tetapi sia-sia belaka. Lukanya bertambah membusuk dan mendalam.
Demikianlah pada suatu hari ketika penyamun-penyamun itu bangun didapatinya temannya itu tiada bernyawa lagi. Tak seorang juapun melihat ia memutuskan nyawa, tetapi tak seorang juapun diantara mereka yang heran atau sedih melihat ia telah mati itu. Bahkan dalam hal ini bagi mereka sesungguhnya lebih baik lagi temannya itu mati daripada lebih lama menjadi beban mereka.
Mayatnya diangkat mereka bersama-sama ke suatu jurang, jauh di hilir air mancur; di sana diletakkan mereka sarang jiwa manusia itu dengan tiada memakai upacara sedikit juapun. Kepada binatang rimba, kecil dan besar, terserah sekarang menyelesaikan pekerjaan itu.
Maka habislah perhubungan penyamun-penyamun itu dengan Amat. Tetapi dengan mengantarkan mayatnya ke tempat yang jauh itu, belumlah habis segala pekerjaan yang berhubungan dengan kejadian itu.
Amat telah mati, sarang jiwanya tak berguna lagi dan tak usah dipedulikan. Tiap-tiap yang tampak itu tak ada yang dapat mengusik mereka. Atas dunia yang dapat dipegang, dilihat dan didengar mereka raja, raja seluas-luasnya, karena mereka percaya, bahwa tak adalah yang dapat mengalahkan mereka. Tetapi dibalik dunia yang dapat dipegang, dilihat dan didengar itu ada dunia yang lain, yang tak dapat dipegang, tak dapat dilihat dan tak dapat pula didengar. Dunia itu hidup di kepala dan di hati mereka. Dan sebaliknya dari dunia yang pertama, mereka takut, tak dapat bertentangan dengan makhluk dunia yang kedua, yang hidup dalam pikiran dan kepercayaan.
Dan oleh karena itulah mereka tidak berani lagi tinggal di pondok itu.
Demikianlah pagi-pagi, sehari sesudah itu ketiga berteman itu berjalan mencari tempat yang baik untuk mendirikan pondok yang baru.
Ketika itu tinggallah Sayu seorang dirinya di pondok, termenung sambil menjuntaikan kaki di tangga.
Dalam waktu yang akhir ini agak tenang sedikit hatinya. Perasaan duka dan putus asa yang selama ini memenuhi kalbunya telah berkurang dan sebagai gantinya telah tiba tawakal, sehingga berkuranglah penderitaannya.
Asal ia tak diusik oleh penyamun-penyamun itu. untuk sementara ia takkan berusaha melarikan dirinya, sebab ia tahu, bahwa hal itu akan sia-sia belaka di tengah hutan yang tak tentu berapa jauhnya dari dunia yang didiami manusia.
Dan menilik kepada kelakuan mereka sejak hari yang pertama ia tiba di hutan itu, tiada usahlah ia takut. Medasing yang melarikannya dahulu jarang mendekatinya, usahkan menegurnya. Rupanya ada sesuatu yang senantiasa memenuhi hatinya dengan perasaan hormat terhadap kepada makhluk yang lemah itu
Sesungguhnya ada sesuatu pada perawan itu yang menyebabkan ia terpelihara dari marabahaya. Ketika ia tertidur di pangkal kayu dahulu telah terbukti, bahwa ada kelebihannya atas Medasing, sehingga sesaat raja penyamun itu tertegun melihatnya, tak tentu apa yang hendak diperbuatnya. Demikian jugalah dengan Sanip dan Tusin. Hanya Samad yang telah dua kali datang berulang mengunjungi penyamun-penyamun di tengah rimba itu agak lain rupanya terhadap perawan itu Oleh karena hidupnya setiap hari di tengah manusia di tempat yang lain, oleh karena lebih tahu tentang seluk-beluk penghidupan manusia dari penyamun rimba yang boleh dikatakan besar di tengah pohon-pohon itu, tak dapatlah tumbuh perasaan khidmat dalam hatinya, meski bagaimana sekalipun tinggi gengsi perempuan itu.
Dan di antara mereka sekalian Samad-lah yang ditakuti Sayu.
Mula-mula ia bertemu dengan dia di bawah pohon yang rindang dahulu sesungguhnya dialah yang diharapkannya akan melepaskan dirinya dari sarang penyamun itu. Untung dan nasibnya hendak diserahkannya kepadanya, sebab waktu itu tiadalah sedikit tersangka kepadanya, bahwa ia pun sebahagian dari kawan penyamun itu.
Tak putus-putus harapannya menantikan ia datang kembali akan melarikannya dari genggaman penyamun itu ke rumah ayah-bundanya. Tetapi letihlah ia berharap-harap, sehingga akhirnya ia tertidur, tiada kabarkan diri di bawah pohon yang besar itu. Dan ketika ia terbangun, melihat Medasing dekatnya menghela dan menyeretnya dengan tiada menaruh iba-kasihan, bangkitlah dari dalam kalbunya perasan benci dan dendam yang tak ada bandingannya, Tetapi entah apa sebabnya tiada terhadap kepada Medasing. Hatinya yang kecewa memberontak hendak membalas dan dalam kegusarannya yang bercampur putus asa itu, tertujulah dendam dan bencinya kepada orang yang membangkitkan, tetapi tiada memenuhi harapan dalam kalbunya.
Dan berhari-hari sesudah itu insaflah akan kelemahan hatinya, waktu ia meminta pertolongan, sehingga dibiarkannya ia membelai-belai rambutnya Senantiasa apabila ia teringat kepadanya masih terasalah olehnya
tangannya yang keji, ngeri melekap pada rambutnya.
Pasti keyakinan di dalam hatinya, bahwa Samad telah menipunya dan menunjukkan tempatnya di tengah rimba kepada kepala penyamun itu.
Keyakinan itu bertambah pasti ketika beberapa minggu sesudah itu Samad datang ke pondok beberapa hari lamanya membawa makanan yang lezat-lezat: ia sebahagian dari kawan penyamun dan tak boleh dipercayai sedikit juapun.
Waktu itu pulalah bangkit di sisi benci dan dendam di dalam hatinya perasaan takut. Samad senantiasa melihat kepadanya, lagi pula nyata benar ia selalu mencari-cari jalan akan bercakap, akan beramah-ramahan dengan dia. Senyumnya yang ganjil dan pandangan matanya yang tajam, sejak dari semula tak dipercayainya dan kalau Medasing dengan Sanip dan Tusin pergi, sehingga kebetulan tinggal mereka berdua saja di pondok, amatlah kecut hatinya.
Sesungguhnyalah benar sangkaannya itu. Pada suatu hari waktu ia sedang membersihkan badannya datanglah sekonyong-konyong laki-laki yang menakutkannya itu dari belukar di tepi anak air menuju kepadanya. Saat itu tak terkata-kata terperanjatnya dan dengan sengaja berteriaklah ia. Tetapi suaranya hilang di tengah rimba sunyi seperti suara burung kuau, tiada berbalas, lenyap menjadi satu dengan kesunyian. Dengan segala tenaganya dikeraskannya hatinya dan dicobanya menentangnya, tetapi ia terpaksa menundukkan mukanya.
Mulut laki-laki itu mengerenyot-tersenyum, seraya berkata dengan suara lemah-lembut "Mengapakah engkau terkejut" Aku takkan mengusikmu. Engkau tak usah takut kepadaku, sebab aku tiada seperti orang yang lain itu."
la terus mencuci muka sambil menunduk ke air, pucat tiada berdarah oleh ketakutan. Sementara itu laki-laki itu memandang kepadanya dengan tiada memisah-misahkan mata sekejap juapun.
Giring Giring Perak 2 Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Paket Bergambar Tengkorak 1

Cari Blog Ini