Kawan Bergelut Karya Suman Hs Bagian 1
KATA PENGANTAR Sastra tidak dibawa malaikat dari langit. Sastra tidak datang begitu saja. Ia lahir melalui proses pergulatan sastrawan dengan kondisi sosial"budaya zamannya. Maka, membaca karya sastra hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya itu. Jadi, sastra menyimpan pemikiran sastrawannya juga.
Perjalanan sejarah sastra Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari peranan Balai Pustaka. Khazanah kesusastraan yang diterbitkan Balai Pustaka ibarat harta kebudayaan bangsa. Maka, membaca seri sastra adiluhung yang diterbitkan Balai Pustaka ini, tidak hanya sebagai usaha menelusuri kembali jejak masa lalu tentang kondisi sosial budaya zamannya, tetapi juga coba menelisik pemikiran pengarangnya sekaligus. Dengan begitu, kita akan menemukan banyak hal yang sekarang ini mungkin hanya ada dalam catatan sejarah.
Dengan pemahaman itu, pembelajaran sastra di sekolah dengan memanfaatkan seri sastra adiluhung ini, penting artinya. Kita akan mengetahui jejak sastra Indonesia ke belakang dan perjalanannya sampai ke masa sekarang. Kita juga dapat menyentuh bidang lain: bahasa, sejarah, sosiologi, antropologi, geografi, bahkan juga politik yang berlaku pada waktu itu. Memang, dalam karya sastra"bidang itu"disinggung untuk kepentingan jalinan cerita. Tetapi justru di situlah, sisi lain makna karya sastra menjelma dokumen sosiologis, historis, dan bidang-bidang yang disebutkan tadi.
Sekadar menyebut beberapa contoh, simaklah kegelisahan Siti Nurbaya mengenai statusnya sebagai perempuan pribumi. Bukankah harapannya untuk dapat bersekolah seperti ada benang merahnya dengan semangat Kartini atau Dewi Sartika di Bandung; bukankah pada masa itu perempuan-perempuan lainnya juga menyuarakan pentingnya sekolah bagi kaum perempuan" Perhatikan juga kisah percintaan Hanafi dan Corrie de Busse dalam Salah Asuhan. Untuk dapat menikah dengan Corrie, seorang Indo (Prancis), sebagai pribumi, Hanafi harus memperoleh status persamaan hak. Bukankah persoalan itu berkaitan dengan politik kolonial Belanda" Bagaimana pula dengan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus yang banyak berkisah tentang keadaan zaman Jepang" Penderitaan dan semangat revolusi yang terungkap di sana seperti memberi inspirasi kepada kita tentang pentingnya nasionalisme.
Jelaslah, banyak aspek lain yang terkandung dalam sastra. Oleh karena itu, membaca seri sastra adiluhung laksana memandang panorama kekayaan budaya masa lalu kita. Ia dapat digunakan pula sebagai cermin tentang perjalanan budaya dan pemikiran bangsa Indonesia.
Kehadiran kembali seri sastra adiluhung, sungguh menawarkan banyak hal bagi pembaca sekarang. Balai Pustaka sengaja menampilkannya dengan wajah baru, agar pembaca dapat menikmatinya dengan semangat baru, perspektif atau sudut pandang baru, dan pemaknaan yang juga baru. Dengan demikian, seri sastra adiluhung ini dapat menjadi saksi bicara tentang masa lalu sejarah bangsa Indonesia untuk menatap m asa depan yang lebih cemerlang. Selamat menikmati!
Maman S. Mahayana SUMAN HS. DAN KARYANYA Sutan Takdir Alisjahbana Di antara pengarang-pengarang prosa zaman baru Suman Hs mempunyai kedudukan yang luar biasa. Sedangkan tentang pilihan katanya ia tiada berapa jauh meninggalkan bahasa Melayu yang lama berhubung dengan pergaulannya di Sumatra Timur dan didikannya sebagai guru, tetapi tentang gaya bahasanya dan tentang pemandangannya dan perasaannya tentang bahasa, ia terang masuk golongan pengarang baru.
Dalam tangan Suman bahasa Melayu lama yang telah kaku dan beku oleh karena telah tetap susunan dan acuannya, menjadi cair kembali, lemas mengalir berliku-liku, ringan beriak beralun-alun.
Sesungguhnya di antara pengarang-pengarang prosa baru tak banyak yang seperti Suman dapat memakai bahasanya, bermain kata dan susunan seperti pandunan bermain tanah liat memberi bentuk kepada kelik perasaannya yang sehalus-halusnya. Perkataan yang mati itu bersinar-sinar mendapat hajat : perasaan pengarangnya yang girang-gemerlapan.
Persaksikan betapa ringan dan lemasnya kata-kata diliuk-dilengkungkannya dan diregang-dilejangkannya berganti-ganti, sekehendak hatinya, seperti anak kucing yang jenaka bermain-main dengan ranting muda yang segar :
Dalam dua puluh hari ini, tak lain yang dipercakapkan dan disebut-sebut orang, selain daripada Sir Joon, sekali lagi Sir Joon, hingga nama anak muda itu jadi masyhur. Ah, tetapi silap agaknya,...jadi masyhur kata saja, sekali lagi jadi masyhur, bukan karena ia mendapat gelaran doktor, tidak karena memperoleh Nobelprijs, jauh dari mendapat kepandaian baru, tidak orang hartawan, bukan ahli politik, orang berilmu pun tidak, bahkan ia hanya keluaran sekolah rendah, konon kabarnya tidak pula sampai mendapat surat ijazah.
Jadi...! Tetap baiklah! Jika sekiranya kata masyhur itu belum boleh diuntukkan baginya, sudahlah, kita katakan saja jadi sebut-sebutan orang dan kalau masih terlampau hormat juga., kita ubah pula, kita sebutkan jadi, "buah mulut" orang. Itu perkara kecil. (Mencari Pencuri Anak Perawan).
Dan rasakan pula betapa ia dapat memasukkan perasaan bahagia dalam tiap-tiap kata yang dipakainya dalam lukisan bahagia Haji Syamsuddin yang baru kawin dengan Haji Salwah, setelah menanti penuh harap dan cemas beberapa lamanya :
"Pada suatu hari, tatkala inai di jariku maih merah, adalah aku duduk bersanding dua dengan istriku, Haji Salwiah, di atas loteng di beranda muka rumah kami. Mata kami belum mengantuk, apalagi hari cerah amat, bulan sedatang terang temarang, langit bersih bagai dibasuh, angin berembus lemah gemulai, laksana angin dari jannah, waktu itu berkatalah aku : "Menyesalkah engkau bersuamikan aku, Salwiah?"
"jika Tuhan masih satu dan surga masih tempat orang yang beramal, niscaya aku takkan menyesal bersuamikan Abang," katanya sambil merebahkan dirinya ke atas ribaanku.
Tatkala tangannya yang halus itu memeluk leherku, terpikirlah olehku: "Beginikah agaknya kesenangan surga!" (Percobaan Setia).
Tetapi meskipun demikian perasaan bahagia yang dilukiskannya itu bukanlah perasaan bahagia yang berat sungguh-sungguh, yang meninggalkan perasaan jauh sendu pada yang membacanya. Sampai-sampai kepada bagian karangannya yang sungguh-sungguh sekalipun Suman tinggal Suman dalam arti yang sebaik-baiknya. Sebabnya yang terutama dan penting sekali Suman ialah seorang yang melihat dunia dengan matanya yang girang dan hatinya yang jenaka.
Penuh kejenakaan ia menggambarkan si Taram (Kasih Tak Terlarai) mempermain-mainkan Haji Abas, saudagar kaya yang menolak ia meminang anaknya, sebab ia berasal anak pungut. Bagaimana si Taram melarikan Nurhaidah, kekasihnya itu, pada parak siang, menipu orang banyak yang mencari mereka : berpakaian serba hitam sebagai orang Tionghoa, berbicara bahasa Tionghoa dan di dekat mereka seekor babi yang berteriak-teriak. Bagaimana akhirnya orang banyak yang menyangka pasti akan dapat menangkap kedua sejoli itu undur meludah-ludah, mendaifkan orang Tionghoa yang membawa babi itu....
Kemudian, ketika istrinya sudah dilarikan orang kembali ke kampungnya! Ia pulang ke negerinya menyamar sebagai Tuan Syeh Wahab yang bermisai dan berjanggut panjang. Pinangannya sebagai alim besar bangsa Arab diterima oleh Haji Abas dan ia kawin untuk kedua kalnya ... dengan istrinya.
Dan lukisan bagaimana ia melepaskan samarannya!
Dalam Percobaan Setia kejenakaan itu antara lain dapat kita rasa dalam lukisan Syamsuddin mendapat ayah baru, dalam akal Syamsuddin mengambil hati kapitan kapal waktu ia pulang dari tanah suci. Dalam Mencari Pencuri Anak Perawan Suman memperolok-olokkan tukang ransum yang mata duitan dan si Tairoo yang menyangka dengan duitnya yang berdering-dering akan dapat memperoleh si Nona yang manis, kekasih Sir Joon. Sejak dari pertandingan bola hebat, ketika Sir Jon terkilir kakinya sampai kepada Sir Joon bersua dengan kekasihnya yang dicurinya sendiri itu, Suman dapat mempermain-mainkan orang berdua itu dengan kejenakaannya yang halus.
Dengan kejenakaannya yang halus! Hal ini teristimewa harus dikemukakan. Sebab sampai-sampai kepada ejekannya atas kegilaan Haji Abas akan keturunannya dan kelobaan tukang ransum itu akan uang, Suman tetap dapat menguasai dirinya, ia tetap memakai kejenakaannya sekadar hendak bermain-main, bersenda gurau.
Haji Abas akhirnya menerima si Taram menjadi suami anaknya, setelah nyata kepadanya, bahwa ia layak dan patut menjadi menantunya. Ia sendiri menjadi ketua pekerjaan mendirikan rumah bagi menantunya alim benar itu dan nyata benar bangga hatinya akan si Taram yang dahulu diejekkannya itu dalam ucapannya:
"Jika tetap kita bekerja sebanyak ini, tak dapat tiada dalam sebulan ini dapatlah anakku si Taram itu diam di sini." (Kasih Tak Terlarai).
Resapkan betapa dalam maknanya perkataan "anakku" yang bersahaja itu.
Dalam Mencari Pencuri Anak Perawan si Tairoo mendapat uangnya kembali, tukang ransum insaf akan baik hati Sir Joon dan menyesal akan perbuatannya, tetapi semangat perdamaian yang akhirnya terdapat antara kedua pihak yang bertentangan dalam cerita itu seterang-terangnyalah terlukis dalam ucapan perempuan tua mencumbu cucunya, anak Sir Joon dengan Nona :
"Kuharap engkau upik, jika sudah remaja kelak, janganlah senasib dengan ibumu pula, dicuri dan dilarikan orang."
Dalam ucapan perempuan tua yang penuh kasih sayang itu tiadalah terbayang sedikit jua pun panas hati Sir Joon kepada tukang ransum yang hendak menceraikannya dari kekasihnya semata-mata gara-gara uang, dan bersih terhapuslah perasaan tiada senang suami istri, orang tua Nona, akan olok-olok Sir Joon yang ternyata jauh lebih cerdik dari mereka.
Dan hati Suman yang tiada sampai menyakiti dan mengazab orang yang tiada layak perbuatannya, meskipun dosa orang itu sebesar dosa bangsat Abdul Fattah yang menipu dan hampir menewaskan jiwa Syamsuddin sekalipun, teristimewa ternyata pada ucapan Syamsuddin, ketika ia mendengar, bahwa musuhnya itu mendapat hukuman enam tahun penjara:
"Bahwasanya ia itu musuhku, musuh yang sebesar-besar musuh, akan tetapi sedih jua hatiku mengenangkan nasibnya itu. Ia dihukum enam tahun karena melakukan empat rupa penipuan dan satu penganiayaan. Ya, enam tahun, alangkah lamanya. Ia akan dibaurkan dengan orang perantaian, disuruh bekerja berat, disuruh memecah batu, menimbun jalan di panas matahari, jadi tontonan orang yang lalu lintas; biasa gentlemen jadi perantaian...adakah aib di dunia ini yang terlebih daripada itu?".... (Percobaan Setia).
Tetapi meskipun demikian karangan Suman tiada dapat dikatakan tidak bertendens. Malahan dalam Kasih Tak Terlarai dan Mencari Pencuri Anak Perawan tendens itu kentara benar. Tetapi sebaliknya dari dalam cerita bertendens yang biasa, Suman tidak sekali-kali membangunkan susunan pikiran yang kukuh serta lengkap dan langsung menuju kepada yang dikehendakinya : memuji dan mempertahankan yang terasa kepadanya baik dan indah dan menghancur-meremukkan yang menurut keyakinan tidak patut dan layak. Malahan sesudah mereka yang berbuat tiada patut dan layak itu dipukulnya-tidak, bukan perkataan dipukul harus dipakai di sini diinsafkannya akan kesalahannya sambil berolok-olok, mereka itu dibelai-belainya pula dengan kasih sayang.
Sesungguhnya dalam pendirian Suman yang mengakui sendiri tendens cerita-ceritanya itu, ada terselip sesuatu yang tidak konsekuen, tidak logis, tidak lurus menurut akal. Tetapi dalam hal ini harus kita ingatkan, bahwa Suman bukan teristimewa seorang pengarang cerita bertendens, tetapi ialah seorang yang jenaka. Dan perasaan kejenakaan tidak berkarib, malahan selalu berlawanan dengan logika, dengan otak yang semata-mata mengemukakan perhitungan.
Sebab itu, siapa yang membaca karangan Suman, janganlah membacanya dengan otak yang menimbang tiap-tiap hal, tiap-tiap kejadian dan tiap-tiap ucapan. Bagi mereka yang demikian segala cerita Suman akan ternyata dibuat-buat.
Siapa yang hendak merasakan kenikmatan karangan Suman ia harus melepaskan pertimbangan dan perhitungannya dan menghanyutkan dirinya dalam aliran kejenakaannya yang tergubah dalam bahasa yang hidup berirama dengan penyerahan yang sepenuh-penuhnya. Dalam aliran kejenakaannya itu lenyapnya pertentangan, malahan timbulnya perdamaian antara kepala lakon dengan "musuhnya" bukan terasa sebagai sesuatu yang tiada logis, tetapi sering sebagai penambah cemerlang kejenakaan.
Di sini kejenakaannya Suman mempunyai suatu sifat yang lain lagi yang menyebabkan nikmat kita membaca karangannya. Ia pandai mengikat minat dan hati pembaca. Cara Suman bercerita adalah seperti kanak-kanak" yang mengilatkan sekejap mata permainannya, tetapi segera menyembunyikannya pula untuk membangkitkan keinginan hendak tahu pada temannya. Dikuakkannya sedikit tabir rahasia, tetapi segera ditutupkannya pula.
Betapa pandainya Suman menyingkapkan dan menyembunyikan rahasia itu, dapat kita lihat pada contoh di bawah ini:
Siapa bapaku, demikian pula di mana aku diperanakkan oleh bundaku, tidak kuketahui dengan benar; tetapi antara ada dengan tiada, masih terbayang-bayang dalam ingatanku, wajah seorang laki-laki yang selalu menjulang aku, semasa aku mulai fasih berkata-kata. Jika sungguh orang itu bapaku, tiadalah lain yang kuketahui tentang perawakan badannya, lain daripada tinggi dan lampai. Karena jika kuingat ketika aku merecak tengkuknya, riang rasa semangatku memandang ke bumi. (Percobaan Setia).
Pada tiap-tiap kata yang ditulisnya ditimbunkannya pengharapan, bahwa masih banyak lagi yang akan diceritakannya yang untuk sementara masih harus dirahasiakan. Lukisan-lukisan yang membangkitkan keinginan hendak tahu lebih lanjut tentang yang akan diceritakan itu terdapat dalam segala karangan Suman. Dalam Kasih Tak Terlarai misalnya waktu si Taram dan Nurhaidah menyamar sebagai orang Tionghoa, dalam Percobaan Setia waktu Haji Jamin berdaya upaya hendak menangkap perbuatan Abdul fattah, dalam Mencari Pencuri Anak Perawan, waktu bujang Sir Joon melihat bayang-bayang manusia malam hari dan waktu Sir Joon berusaha bersama-sama dengan tukang ransum dan si Tairoo mencari Nona.
Tentang kepandaiannya membangkitkan minat pembaca dengan jalan melingkungi ceritanya dengan rahasia, Suman tak tersamai oleh pengarang prosa modern yang mana sekalipun. Di sana sesungguhnya terdapat tenaga Suman. Tetapi, sebaliknya dalam tenaganya ini pulalah tersembunyi kelemahannya. Sebabnya kepandaian menyelimuti sesuatu dengan rahasia dan sesudah itu perlahan-lahan mengorak selimut rahasia itu, pada hakikatnya tiada bedanya dengan kepandaian pengarang cerita detektif Barat menyusun cerita detektifnya. Antara karangan-karangan Suman, Kasih Tak Terlarai dan Mencari Pencuri Anak Perawan dengan karangan detektif Barat, hanya ada perbedaan tentang tempat cerita bermain dan orang-orang yang turut bermain. Cerita detektif Barat, hanya ada perbedaan tentang tempat cerita bermain dan orang-orang yang turut bermain. Cerita detektif Barat ialah hasil masyarakat Barat yang banyak seluk beluknya, sedangkan cerita Suman ialah cerita desa dan kota kecil dan masyarakat orang yang bersahaja.
Dan oleh karena Suman sendiri berhubung dengan didikan, pergaulan dan bacaannya bukan saja mengenali masyarakat orang bersahaja sekelilingnya, tetapi tak kurang juga masyarakat Barat atau kota besar kebaratan yang lebih banyak, jauh lebih banyak mengandung rahasia tipu dan akal yang berbelit-belit, yang mudah dijadikan pokok cerita yang menarik hati, mudahlah kita mengerti apa sebabnya maka dalam karangan-karangannya Suman selalu condong kepada cerita detektif Barat.
Dalam Kasih Tak Terlarai dan teristimewa dalam cerita-cerita pendeknya Suman terjelma seasli-aslinya. Di sana paling sedikit terdapat kedetektifan dan yang bersimaharaja lela ialah kejenakaan. Tetapi dalam Percobaan Setia misalnya ia telah tidak dapat menahan dirinya lagi dan dengan tidak insafnya ia sudah melangkah ke lapangan pengarang detektif Barat Jalan cerita di bawanya menyeberang dari sebuah dusun kecil di tepi Sungai Kampar, ke kota besar Singapura dan Penang. Haji Jamin ialah seorang mata-mata yang harus menangkap penipu licin kota besar Abdul fattah. Pun dalam Mencari Pencuri Anak Perawan telah terasa-rasa semangat cerita detektif Barat. Tidak kebetulan Sir Joon (perhatikan namanya) bukan seorang anak negeri asli, tetapi keturunan bangsa Portugis. Tetapi oleh karena cerita itu dimainkannya dalam lingkungan penduduk kota kecil di negeri kita ini, semangat detektif itu belum lah berkuasa benar, seperti dalam karangan Suman yang terakhir : Kasih Tersesat. Di sana Suman mendiamkan suara jiwanya sendiri akan meniru suara jiwa pengarang cerita detektif Barat. Jauh benarlah ia terpelanting dari suasana masyarakatnya sendiri. Cerita itu disusunnya sebagai cerita Marie, seorang gadis Yunani yang bekerja sebagai juru surat pada Siemon, seorang detektif di Singapura. Dan meskipun dalam cerita itu dipakai nama-nama anak negeri, tetapi perbuatan dan peristiwa mereka tidak bedanya dengan perbuatan dan peristiwa orang-orang Barat dalam cerita detektif Conan Doyle : Sherlock Holmes. Demikianlah walaupun susunan ceritanya misalnya lebih baik, lebih logis dari susunan cerita Kasih Tak Terlarai, tetapi Kasih Tersesat tidak dapat membangkitkan kegembiraan hati kita, sebab di dalamnya terlampau nyata berbau barang tiruan.
Di sini Suman Hs, sudah melampaui kecakapan sendiri dan haruslah ia mundur kembali ke lingkungan masyarakatnya sendiri, jika ia tiada hendak semata-mata menjadi pak turut. Sebabnya kecakapan Suman yang seindah-indahnya ialah kepandaiannya memainkan kata dan irama, kejenakaannya yang halus serta ketangkasannya bercerita mengikat minat orang. Puncak keseniannya hanya akan dapat dicapainya dalam susunan ketiga sifat-sifat yang indah itu dalam gubahan kejadian dalam masyarakat sekitarnya yang sesungguh-sungguhnya dikenalnya dan dirasakannya.
Cik Mat Di tepi sungai yang jernih bening, berliku ke barat, berkelok ke timur, Cik Mat, duduk mencangkung lurus, memegang pancing berjoran aur kuning tua, berkelar ukir lingkaran hitam, halus melentur-lentur.
'Tuah! Sambut bujang perambut, air pasang bawa ke insang, air surut bawa ke perut biar putus jangan rabut."
Tiga yang sudah, empat dengan ini Cik Mat menyembat joran, menyentak tali, tetapi yang tergail naik ke atas, hanya umpan, umpan jua. "Cih, sekali lagi... sambut bujang perambut...!"
Nun di seberang, berenang mengigal-igal, berkecimpung menepuk air Dang Zainab, janda Cik Saleh, sudah ditaLak tiga, tapi ingin ber-cina-buta.
Telah empat kali Cik Mat melabuhkan pancing, ngelamun mantera nelayan, sudah sekian kali pula mata dikejap dilayangkan, digedang dipicingkan, tetapi Tang seberang cimpung-berkecimpung juga.
Lagi sekali Cik Mat menyentak pancing, maka tergaillah terumban-umban di awang-awang seekor ikan, putih berkilat kilat, setempap kurang sejari.
"A, terkait insang." Cik Mat batuk mendeham, Pandang melayang ke tepian rang seberang; tetapi kecimpung tak bergema lagi. Di bawah pohon rambutan, bersela manggis, tampak Dang Zainab berjalan membelakang tidak melenggok-lenggok, tidak berpaling, tidak melengos.
''A, terkait insang." Cik Mat batuk mendeham, Pandang tak lurus, di mana orang mengenal awak... nasib, nasib.
Pilu "Tak usahlah Mak Jam mandi lagi... karena hari masih pagi... ayam baru berkokok,... murai baru berkicau,... unggas baru mengimbau-imbau. " Ah, dinginnya ini "menggigil lututku"gemeletuk daguku"romaku tegak, takutkan air."
"Kalau badanmu rasa menyalah, dek hari sedingin ini, sudahlah, bersuap sajalah! Cuci mukamu bersih-bersih! Basuh kaki sekerat! Rambutmu usah biakkan lagi!"
"Ndak ke mana awak, Mak"
"Jangan menyanyah jua, Pik; bukan sudah kukatakan semalam, pagi ini kita ke Belawan " akan menyongsong ayahmu datang."
"O, ayahku " ayahku sayang! Kan datang hari ini, datang dari Mekah. Kalau begitu, Mak, biarlah Jam mandi, Jam tak dingin lagi."
"Elok-elok duduk, Nak! Jangan lasak gelisah! Jangan julurkan tangan keluar! Nanti tersandung tiang, remuk tulangmu. " A, diam-diamlah!"
"Mak! Apa dibawanya untuk Jam. Ah, rinduku sangat ayahku sayang."
"Diam sajalah dulu, Jam! Kita masih dalam kereta, bukankah nanti boleh kaulihat sendiri?"
Lihatlah, Nak! Nun... kapal lah masuk, kita bernanti dulu di sini, sampai kapal bertambat."
"Amboi banyak penumpangnya, memutih belaka. Tengoklah Mak, bersesak-sesak. Mak, di manakah... ayahku?"
"Dalam kelimun manusia itu, di mana kita menampak ayahmu. Sabarlah dulu, Nak!
"Ulurkan setangan itu, Mak! Jam hendak menyeka pipi, untuk dikuncupi ayahku nanti. Bukankah yang melambai-lambaikan kain itu... dia... ayahku?"
"Encikkah istri Haji Saleh?"
"Sebenarnya, Tuan Haji."
"Jangan Encik terkejut! Jangan menyesali untung! Jangan berusak hati! Pegangkan iman! Ingat kodrat Ilahi! Janjinya tak mungkir. Yang secupak takkan jadi segantang. Sudah demikian suratannya. Suami Encik... itu... sudah... berpulang ke Rahmatullah... tiga hari menjelang Sabang."
"Mak! Apa katanya, Mak?"
"Mak! Sudah turunkah ayahku?"
"Mak! Mengapa Emak menangis?"
"Mengapa Emak rebah! Amboooo ooi Makku sakit, Makku pingsan. Ayaaaah! Manakah Ayah" Lekaslah Ayah... ah, manatah dia..." Lambatnya Ayah... Tolong! Tolong imbaukan ayahku!"
Salah Paham Bulan Desember 1927. Kari Bungsu, seorang saudagar gambir, yang senantiasa tempatnya terpencil di pusat Pulau Sumatera, dalam tahun itu, boleh beruntung yang lumayan juga, berkat diseret oleh rega getah yang naik membumbung tinggi. Karena tiap-tiap hari ia mendengar bual orang tentang keadaan negeri yang ramai-ramai, maka inginlah pula ia hendak meninjau negeri besar itu... kok, bagaimana benarlah rupanya.
Dengan pertolongan seorang handainya, selamatlah ia sampai ke negeri Singapura. Betapa heran ia dan takjub hatinya melihat motor yang berkeliaran di daratan dan memandang kapal yang bertaburan di lautan, tak dapat dikata lagi.
Sesudah lepas sembahyang Magrib handainya itu pergi menguruskan keperluannya, sedang si Kari itu ditinggalkannya di rumah penumpangan. Sudah lama terniat di dalam hatinya hendak makan di kedai Keling, karena sepanjang cerita yang lauk-pauk di situ masyhur enaknya.
Ia pun pergilah ke kedai Keling, yang kebetulan berantara empat pintu dari tempat penumpangannya itu.
la masuk lalu duduk. "Tuan mau makan?" bertanya yang empunya kedai.
"Ya," sahut si Kari sambil menghirup-hirup udara membaui bau makanan yang mengamuk hidung itu.
"Kari apa?" bertanya tukang jaga gulai.
"Mau makan," jawab si Kari dengan heran, karena tidak disangka-sangkanya, orang kedai itu mengetahui namanya.
"Kari apa...?" bertanya tukang lepau sekali lagi.
"Mau makan...!" jawab si Kari bungsu.
"Ya... kari apa?" ujar orang Keling itu agak marah, karena ia merasa dipermain-mainkan.
"Mau... makan," memberongsang si Kari, "bukan sudah saya katakan berkali-kali?"
Orang lepau itu meradang, lalu berkata: "Ya, saya tahu, tapi, kari apa" " kari kambing..." Kari lembu..." Kari ayam...?"
Mendengar itu, Kari Bungsu menyentak tumbuk. Dia sangat malu dikatakan, kambing... lembu... dan ayam itu.
Polisi masuk. Sengketa disusul. Akhirnya, polisi tertawa terbahak-bahak. Dengan terkekeh-kekeh jua diterangkannya kepada orang kedai itu, bahasa lawannya itu bernama si Kari dan kepada si Kari dikatakannya,bahwa kari itu artinya...gulai. Jadi kari kambing, kari lembu, kari ayam, bukanlah maksudnya si Kari kambing, lembu, atau ayam, melainkan gulai kambing " gulai lembu dan gulai ayam.
Polisi pergi. "Tuan minum apakah" Kopikah" Susukah" Air batukah?" bertanya orang lepau itu memperagakan jagalnya.
"Air batu," jawab si Kari, karena ia sangat ingin hendak mengecap minuman yang belum pernah dilihatnya.
Orang lepau itu mengeluarkan sebongkah es dari dalam kantong, lalu dibasuhkan hendak membuangkan sampahnya.
Si Kari mengerling perbuatan orang lepau itu, karena hatinya masih waham kepada musuhnya tadi.
Oleh orang Keling itu, es itu diparutnya, Lalu dimasukkannya ke dalam gelas.
Amat heran si Kari melihat keberanian orang Keling itu hingga ia terhenti menyuap nasinya.
Sesudah gelas tadi dituangi seterup dan air biasa, lalu disuguhkannya kepada si Kari.
Sebelum gelas itu sampai ke atas meja, si Kari melompat mengimbau polisi tadi.
Polisi tadi datang pula. "Abang lihatlah...!" kata si Kari. "Orang ini hendak meracun saya, ...Abang lihatlah!... Kaca diparutnya... Abang lihatlah!.. Serbuknya dimasukkannya ke dalam gelas ini... Abang lihatlah.... Itu masih tinggal sisanya di atas parutan itu." Si Kari menunjuk kepada bongkah es yang atas parutan tadi.
Polisi itu tertegun sebentar dan... akhirnya kedengaranlah gelak gemuruh dalam kedai itu....
Salah Sangka Dasun Limbayung, letaknya agak ke udik, jadi terasinglah dari dunia megah. Dusun itu tidak berapa besar, jumlah rumahnya tak lebih dari tiga puluh buah, tetapi penduduknya rukun dan damai, menyebabkan penghidupan mereka itu makmur jua.
Tersebut seorang guru mengaji, bernama Malim Bungsu, konon ilmunya tak berapa dalam, akan tetapi kajinya baik. Dia kuat beribadah, selalu merendahkan diri dan pada waktu yang terluang ia selalu tafakur dan zikir, oleh karena itu ia amat disegani oleh isi kampung itu, maka ia pun mendapat panggilan "tuan guru".
Adalah tuan guru itu beranak empat orang, keempat-empatnya adalah perempuan. Sebagai kebiasaan manusia, apabila anaknya perempuan saja, maka inginlah hatinya hendak beranak laki- laki, karena anak laki-laki itu konon akan penuntut malu, pemupus arang yang tercoret di kening. Bak di orang, bak itulah pula di hati tuan guru itu, inginlah sangat hendak beranak laki-laki. Tiap-tiap ia lepas sembahyang, tiadalah ia khali daripada berdoa ke hadirat Habiburrahman, mudah-mudahan Yang Maha Pengasih itu mengurniakan dia anak laki- laki.
Dengan kodrat Ilahi, istrinya pun hamillah.
Mulai dari saat itu makin kuatlah tuan guru tadi beribadah. Kadang-kadang berjam-jam lamanya ia khalwat, seorang diri berdoa dengan khusuknya, senantiasa dipohonkannya supaya ia beroleh anak laki-laki.
Sebulan lepas, sebulan datang, maka saat istrinya itu pun sampailah. Petang harinya istrinya itu pun mulai merasa sakit-sakit. Sebagai orang yang disegani, tak usahlah tuan guru itu berpayah-payah menjemput bidan. Demikianlah pada malam itu, orang tua-tua dan bidan-bidan, sudah banyak di rumah itu. Sakit perempuan itu makin terasa, jangkanya tak menjelang besok, lahirlah anaknya.
Sesudah sembahyang Isya, Malim Bungsu, asyik mendoa memuji Tuhan, memohonkan rahmatnya. Ia khusyuk benar, sedikit pun tak beranjak dari tikar sembahyangnya.
Hari sudah jauh malam, setengah perempuan-perempuan tua itu sudah tidur, tetapi Malim Bungsu masih mengaji mendoa jua.
Tersebut pula seorang, orang hukuman, lari dari tutupan. Sudah beberapa hari ia mengembara di dalam hutan hendak menyembunyikan dirinya. Akan tetapi perutnya memaksa ia keluar, mencuri ke rumah orang. Pada malam itu ia pun sampai ke dusun itu. Entah karena rumah tuan guru itu disangkanya rumah orang berada, entah karena berketepatan saja-wallahua"lam, tetapi pada malam itu mulailah ia mencungkil jendela rumah itu, berkebetulan benar bilik perempuan yang hendak bersalin itu.
Jendela itu terbuka.Pencuri itu meninjau ke dalam, sedang tuan guru masih mendoa jua di ruang luar.
Perempuan-perempuan yang ada di dalam kamar itu, tersentak bangun, lalu memekik minta tolong kepada tuan guru itu:
"Laki-laki Tuan! Laki-laki Tuan!" teriak mereka itu.
"Alhamdulilah " alhamdulilah! " jawab tuan guru itu mengeraskan doanya.
"Laki-laki Tuan! Laki-laki Tuan!" teriak perempuan-perempuan itu sekali lagi.
"Alhamdulilah, syukur," ujar tuan guru itu, "ya Allah, Engkau perkenankan kiranya pintaku!"
Pencuri itu meluncur lari.
Di ruang tengah kedengaran "bunyi langkah tuan guru, mulutnya komat-kamit menyerukan "Alhamdulilah, syukur... syukur... syukur."
Ia masuk ke bilik itu hendak melihat anaknya yang laki-laki itu. Betapa takjubnya memandang istrinya... masih macam biasa jua dan anaknya yang disangkanya... laki-laki itu tak tampak, sedang istrinya menyumpah-nyumpah.
"Mana, anak kita ?" tanyanya.
"Sudah Lari," jawab istrinya bersungut-sungut.
Pandai Jatuh Dalam suatu perhelatan nikah kawin duduklah beberapa tamu-tamu; orang berpangkat, orang tua-tua, lebai-lebai dan banyak yang lain lagi. Kebetulan adalah tiga orang duduk di dekat pintu berdekat-dekatan. Ketiganya hampir sebaya dan usianya pun sudah lanjut benar. Giginya tak berapa lagi yang tinggal. Ketiga-tiganya tidak merokok, tetapi kuat memakan sirih.
Orang tua yang duduk di kanan sekali, orang hartawan, sebab itu dapatlah ia membeli gobek suasa berpahat.
Si tua yang di tengah-tengah termasuk berada jua. Sebab itu, dapat pulalah ia memakai gobek perak, bersimpai suasa.
Adapun si tua yang di kiri sekali itu, orang miskin. Sebab itu, gobeknya pun kayulah.
Sebagai yang dilazimkan orang dusun, bila berjalan gobek itu disisipkan di pinggang, selaku membawa keris, hanya hulunya tidak disembunyikan keluar.
Setelah hadirin selesai makan, rokok dan sirih pun diedarkan oranglah. Inilah paksa yang baik, pikir si tua hartawan itu, hendak menunjukkan kelebihan awak. Dengan batuk mendehem, dikeluarkannyalah gobek suasanya itu, lalu ia menumbuk sirih. Dalam pada itu ia berseru memperagakan bendanya itu, lalu katanya: ''Hanya satulah salahnya gobek suasa ini,.... ya, sirih yang ditumbuk di sini, agak masam rasanya...." Hatinya senang karena mata orang tertarik ke gobeknya itu.
Mendengar itu si tua yang bergobek perak itu, tertarik pula hatinya, hendak memperagakan bendanya itu, karena sepanjang pikirnya, perak dan suasa itu tak berapa lebih kurangnya. Sambil batuk-batuk kambing, gobeknya itu dikeluarkannyalah. Dengan cara halus ia pun berkata memperagakan miliknya itu: "Saya pun begitu jua,... gobek perak ini sebuah salahnya, ya... jika isinya kurang lekas dikeluarkan,... agak masam sedikit rasanya; kata orang kalau disimpai dengan suasa, akan berubah rasanya. Akan tetapi itu rupanya bohong saja, membuang duit saja empat lima...." Dadanya lega karena mata orang beranjak pula ke gobeknya itu.
Kasihan! Si Tua yang bergobek kayu itu, tunduk malu-malu. Ia malu mengeluarkan gobeknya itu, karena miliknya itu... hanyalah kayu, sedang harganya pun tak lebih dari seketip. Tetapi seleranya hendak memakan sirih yang sudah tersaji, tak tertahan, la pun berpikir-pikir akan melepaskan sesaknya itu. Tiba-tiba ia mengangkat kepala dan mengeluarkan gobek kayunya itu. Saya pun begitu juga, katanya menarik perhatian majelis itu, "sudah saya coba bergobek suasa... tetapi betul-betul rasanya... hanjir, gobek perak pun sudah saya pakai, tetapi yang dikatakan Encik ini tadi, kalau terlambat mengeluarkan isinya, agak...masam rasanya, dan...itulah mulanya maka saya terpaksa kembali memakai gobek kayu ini, karena sirih yang ditumbuk di sini, sedap sekali rasanya...."
Ia tunduk dan bertekun menumbuk sirih, karena menahan geli hatinya.
Karena Hati Dia menjadi manteri cacar.
Masih muda. Baru tiga tahun dalam dinas. Kemudian pindah pada sebuah negeri kecil di pesisir Tapanuli, yang sudah terkenal lenggang-lenggok nya dan tegur sapanya... kepada anak dagang.
"Potongan lampai, badan pun sering, budak lampau tua tidak," pikir induk semang. "Baiklah dia kurayu-rayu, moga-moga terbuka hatinya, jadi junjungan anak kandungku."
Sehari demi sehari, kasih dititikkan kepada Engku Manteri, dimanjakan bagai anak kandung, dilepas kehendak hati sekali-sekali dipersuakan dengan si Dia anak kandung.
"Minah! Sediakan malah makanan, Manteri lah dagang. Lekaslah Nak," begitu selalu perintah perempuan itu kepada anak perempuannya, sebaik terdengar ke telinga Engku Manteri.
Dengan lenggang tangan, diiringi oleh liuk pinggang, Siti Aminah pun menyajikan makanan dengan serba alatnya ke hadapan Engku Manteri.
Nasi terletak senyum digumam, air dituang mata bermain, haram tak canggung, sedikit tak kaku....
Masak ajaran" Barangkali! Berhenti sejenak, ini tambonya.
Siti Aminah masih muda, umur baru mencapai 20 tahun, tetapi umurnya dipakainya benar. Usia 15 ia kawin, umur 16 menjadi janda. Umur 17 kawin kembali, 6 bulan kemudian lah janda pula. Habis idahnya kawin lagi. Dan 2 bulan kemudian sebelum Engku Manteri datang, beliau... lah janda pula.
Tiga suaminya, tiga pula pangkatnya, tetapi ketiga-tiganya tidak sebintang dengan dia. Patut tak canggung.
Kendatipun kewalitet kurang, tetapi reklame baik, biasanya barang buruk kan laku juga. Sudah tersurat, manteri kita rupanya akan menjadi junjungan keempat. Malam Jumat 14 Rajab, Engku Manteri mengucap, "Aku terima nikah Aminah dengan maharnya R 14,-."
Kini induk semang lah menjadi mentua dan tukang hidanglah kawan berunding. Hem!
Aduh berbahagianya kelamin mempelai itu, ke mudik sama bergalah, ke hilir sama bergayut.
Tetapi, amboi! Pada 25 Ramadan waktu orang hampir berbuka, saat perut kan mendapat upah, di rumah Engku Manteri orang bergaduh.
Sejam antaranya, Engku Manteri turun dari rumah mentuanya itu dengan menjinjing sebuah koper kulit. Mukanya merah padam. "Perempuan mendeham," berungutnya, "awak pula diadukannya...."
Keesokan harinya Siti Aminah lah janda kembali. Di mukanya tidak terbayang sesal hatinya, lenggangnya begitu juga, gelaknya tidak berubah. "Telah empat lakiku," katanya kepada kawan sebayanya, menyanjung dirinya, karena ia barang laku.
Tujuh likur sudah lepas. Para amtenar dan orang patut-patut bermufakat hendak mengadakan pertemuan dan perayaan pada malam Lebaran nanti. Kebetulan bicara pada malam itu akan berkumpul semuanya di kelab. Di sana akan disajikan makanan dan minuman dan dihiburkan dengan gendang dan biola.
Tukang tari pun sudah dicari pula. Supaya pertemuan itu makin semarak, maka hadirin diharuskan berpakaian hitam. Engku Manteri kita sebagai juru surat pada kelab itu, bekerja keras menguruskan persediaan. Dua hari menjelang Lebaran, kopor dibuka, akan memeriksa setelan hitam, kalau-kalau masih baik setrikanya.
Astaga! Pakaian itu tak tampak di dalam kopor, rupanya tertinggal di rumah janda, lupa kiranya mengemaskannya baru-baru ini.
Hendak disuruh menjemputkah" Mustahil; isi rumah itu tak mungkin dapa tdibawa berunding lagi. Hendak ditempahkan yang baru" Waktu tak ada lagi. Lagi pula sepasang pakaian itu dengan rompinya, meminta sekurang-kurangnya 20 buah rupiah. Di mana dicekau duit sebanyak itu.
Manteri kita renyang, gelisah ke sana, gelisah kemari...
Pada malamnya kira-kira pukul 9 kebetulan hujan renyai, hari pun gelap. Dalam gelap itu kelihatan samar-samar, seorang manusia menghela seekor kuda tunggang kecil, menuju rumah Sitti Aminah, janda muda itu. Antara 100 meter dari rumah itu pada tempat yang terlindung kuda tadi ditambatkannya. Karung tadi diselubungkannya dan kepalanya dibelitnya dengan handuk. Bagai kelasi mabuk tersaruk-saruk ia berjalan ke rumah janda itu. Pintu rumah diketuknya. Tak lama pintu pun terbuka dan dengan terhuyung-huyung tamu itu masuk ke dalam.
"Ampun Mak!" ujarnya dengan gemetar suaranya, ampunilah kesilapan saya, Mak! O, Dik, maafkan kesalahan Abang, sekalian dorong langsung Abang!"
Mulanya penunggu rumah itu tercengang, tetapi setelah diamat-amatinya orang yang berselubung itu ialah Engku...Manteri, pahamlah keduanya apa yang akan terjadi. Hendak berbalik surat malah kiranya. Cahaya girang bersinar di mata Aminah.
"Mengapa Uda?" tanya Sitti Aminah
"Demam, Dik," sahut Engku Manteri sambil menggigil kedinginan. "Allah dinginnya, rasa beku darah jantungku." Engku Manteri merebahkan diri di atas balai-balai.
Siti Aminah segera mengambil selimut, menyelubungi bekas suaminya itu. Dua kain panjang dan satu selimut tebal sudah menutup badannya, tetapi itu belum menolong, ia masih kedinginan.
"Tidakkah ada lagi selimut?" tanya yang sakit itu.
"Tidak, Uda, jawab Aminah.
"Aduh, sarungkan, sarungkan baju dan celana hitamku itu, lekaslah Dik, tak tahan dinginnya ini."
Sitti Aminah berlari membuka lemari dengan tergesa-gesa disarungkannya kepada bekas suaminya itu. Sudah itu diselubunginya kembali. Balai-balai itu menggeletar, bagai terangkat-angkat oleh demam kepialu"demam kura"demam malaria... entah demam apa lagi namanya.
"Aduh, aduh, dinginnya," erang manteri yang sakit itu, "tolong marakkan api, Dik, aku hendak berdiang," perintah manteri itu.
Perempuan muda itu segera ke dapur akan melaksanakan perintah abangnya itu. Tatapi sebelum ia sampai ke dapur, terpanggil kembali. Engku Manteri minta pasangkan lentera, ia hendak kada hajat.
Setelah lentera itu terpasang, Sitti Aminah segera ke dapur dan Engku Manteri tersaruk-saruk turun ke tanah. Di dekat kakus lentera itu padam... maka tampaklah seorang laki-laki memacu kuda dalam gelap gulita itu. Sekali-kali senter memancar dari punggung kuda itu menerangi jalan mereka itu.
Tak lama, setengah jam kemudian bergemalah bunyi sumpah dan maki perempuan janda itu.
"Jantan penipu, jantan penipu," teriaknya berulang-ulang.
Pada malam Lebaran, setelah setelan terkena ke badannya sesaat sebelum ia melangkah turun, lebih dahulu manteri cacar itu berdiri di hadapan cermin besar, mematut dirinya.... Dalam mematut itu ia tertawa dengan sendirinya....
Fatwa Membawa Kecewa Tahun 1900. Konon kabarnya tatkala ia mula-mula menjejak bumi perantauan, ia menjadi kuli arit, menggergaji papan. Akan perintang-rintang hati di dalam hutan yang lengang itu, dicobanyalah melagu-lagu selagu dua. Dua tiga kawan, menguji menganjung akan kemerduan suaranya. Entah puji karena Allah, entah puji karena olah, wallahualam. Tetapi nyata karena itu ia mengusahakan dirinya menghafal lagu. Akhirnya lagu Melayu, berganti dengan kasidah Arab. Hatinya makin gembira, pikirannya makin terbuka; ia pun mengaji Quran. Dalam pada itu disambilkannya pula mempelajari hukum-hukum Islam sedikit-sedikit Karena dua tiga macam masalah dapat dibereskannya dengan jalan bersoal-jawab, dapatlah ia gelaran lebai dari kawan-kawannya sekampung itu. Kendati pun namanya Badui, tetapi dengan tidak segan-segannya dimintanya kepada mereka itu supaya memanggilkan dia Lebai Saleh. Karena kawan-kawannya rasa tak rugi mengabulkan permintaan itu, maka sejak waktu itu dapat ia memakai nama baru itu.
Sudah nasib baginya, pelajaran-pelajaran agama yang muluk-muluk itu, selalu berlawanan dengan perbuatannya. Salah satu tabiatnya yang menjadi gamit-gamitan orang, yaitu : suka meminta, segan memberi. Baginya tak ada yang sedang, malah senantiasa kurang, sekali lagi kurang. Tidak salah amat agaknya kalau beliau itu dikatakan loba; seringan-ringannyalah kikir.
Sekali dicobanya meminang anak perawan orang. Tatkala orang tua gadis itu meminta uang antaran anaknya itu R 40.-, maka kabarnya Lebai Saleh menggeleng-gelengkan kepalanya dan... uang antaran itu ditawarnya di bawah sepuluh. Tentu saja orang tua gadis itu merasa terhina dan dengan sendirinya pengharapan lebai itu putus.
Mulai dari waktu itu, namanya luntur, malah beberapa orang membencinya.
Dia tahu akan susahlah akhirnya jika bertahan juga di tempat itu. Oleh sebab itu dengan diam-diam dengan diakal-akalinya menjual barangnya sepotong-sepotong. Agaknya payah juga baru barangnya itu habis terjual, karena sedapat mungkin diikhtiarkannyalah melakukannya di atas pokok. Akhirnya dengan tidak setahu kawan sejiran, Lebai Saleh telah menghilang.
Nun jauh di hulu sungai R... pada tempat yang datar rendah di pertemuan anak dengan induk, terdiri sebuah kampung kecil, terpencil dari dunia megah. Rumah-rumah di situ tiadalah ada yang besar-besar, serta sangat sederhana buatannya dan jumlahnya pun dua tiga lusin saja.
Entah apa sebab karenanya, tiba-tiba Lebai Saleh sudah terpaculke sana. Dengan cerdik cendekianya membungkus-bungkus perangainya yang berbau itu, tiada beberapa hari selang antaranya, ia telah dipilih orang jadi pegawai surau dan jadi guru mengaji. Berkat suaranya yang merdu dan pandai nya membual-bual, hati orang kampung itu tertambat juga kepadanya.
Sudah agak senang hidupnya di sana dan harapan akan lebih baik mungkin tercapai. Walakin begitu, nafsu loba dan tamak itu masih tertanam di dalam hatinya.
Tiap-tiap ia memberi kursus, kepada murid- muridnya tak pernah dilupakannya menyisipkan fatwa, supaya pendengar-pendengar senantiasa suka memberi, artinya jadi dermawan. Tentu saja dalam kaji itu dibayang-bayangkannya, supaya sedekah itu lebih afdol diperuntukkan kepada guru- guru mengaji....
Sungguh jebaknya bingkas dan mengena. Bertalu-talu datang sedekah kepada tuan guru itu, aneka warna : ada ayam yang elok dipanggang, ada ikan yang baru dijala, ada betik yang masak ranum, ada beras baru ditumbuk, ya serba-serbilah. Ini pun rupanya belum memuaskan lautan nafsu.
Bintangnya terang, untungnya baik, ia kawin dengan seorang gadis kampung, yang baik parasnya dan elok lakunya, lagi penurut.
Syahdan ibu bapa si gadis, serta sanak saudaranya pun bukan kepalang besar hatinya dapat bermenantukan guru mengaji yang pandai melagu itu. Maka tidaklah jemu-jemunya mereka menunjuk menasihati perempuan muda itu, agar ia senantiasa menurut perintah dan merendahkan diri kepada junjungannya itu. Sekali-kali janganlah terniat di hatinya hendak menyangkal, Lebih-lebih melanggar perintah suaminya itu. Konon termasuklah ia salah satu perempuan "bertuah dalam dusun itu, karena dapat bersuamikan orang alim.
Pada sesuatu hari tuan lebai itu memberi beberapa ekor ayam dan bermacam-macam lauk-pauk yang Lain-lain. Ia hendak berkenduri, hendak bersedekah kepada orang banyak. Boleh jadi hendak memberi teladan kepada isi kampung itu supaya suka menuruti jejaknya itu.
Lahirnya begitu, tetapi batinnya tidak.
Kenduri itu diadakannya kadar jalan mengumpulkan orang. Apabila nanti orang sudah berkumpul dan sudah makan minum di rumahnya, ia akan berlesing memberi fatwa supaya orang kuat bersedekah memberi apa yang ada.
Hal itu terjadilah. Sesudah jamu-jamu laki-laki dan perempuan selesai makan minum, dimulailah oleh Lebai Saleh membuka cerita kebaikan bersedekah dan pahala-pahala yang akan diterima kelak pada hari kemudian.
Sekalian parapendengarlaki-laki dan perempuan tunduk tafakur mendengar fatwa itu. Agak larut malam baru tamu-tamu itu bermohon diri pulang ke tempat masing-masing.
Satu per satu kaum ibu itu turun melangkah jenjang dapur ketanah. Dan adalah tiap-tiap mereka itu membawa jinjingan kepitan, laksana anak sekolah pulang belajar.
Tatkala sekalian jamu-jamu telah jauh, Lebai Saleh memasang rokoknya, lalu melangkah ke ambang pintu, melepaskan pandang. Mukanya berseri-seri alamat girang hatinya. Tak boleh tidak sekalian fatwanya itu akan meresap ke dalam hati tamu-tamu tadi, dan... tampak-tampak kepadanya orang akan berdedai-dedai mempersembahkan sedekah, mempergemuknya. Dengan lega ia pun masuk ke dalam mendapatkan istrinya."
"Baik agaknya sekarang juga angsur-angsur membasuh piring-piring dan mangkuk-mangkuk itu," perintahnya kepada istrinya itu, "besok pagi- pagi dapat segera kita pulangkan kepada yang punya."
"Piring yang mana?" bertanya istrinya.
"Piring yang mana Lagi," jawab lebai itu, "yang kubawa siang tadi, dua lusin piring, dua lusin mangkuk."
"Tidakkah itu sudah Abang beli?" tanya yang perempuan.
"Tidak, tidak," jawab lebai itu dengan suara yang cemas, karena sekali ini luar biasa banyak soal istrinya itu. "Apakah yang sudah terjadi" Adakah yang pecah! Adakah yang pecah?"
"Pecah, tidak Bang...," istri muda itu bimbang hatinya.
Lebai Saleh melangkah ke dapur ia menoleh ke kiri-ke kanan mencari-cari. "Di mana kauletakkan?" tanyanya.
"Sudah habis semuanya," jawab istrinya. "Habis ke mana?" menghardik lebai kampung itu dengan suara petir.
"Tat-tat-kala... tat-ka-la, jawab istri dengan gagap, "tatkala Abang berfatwa tadi menasihatkan, amat besar pahalanya bagi orang yang bersedekah, maka Dinda bungkusilah piring dan mangkuk itu sebuah-sebuah dan Dinda sedekahkan kepada perempuan-perempuan yang datang tadi sebuah seorang...."
Mendegar itu Lebai Saleh tak ingat kaji. Istrinya itu diterpanya dan diganyahnya. Karena gempar itu, orang berlarian ke sana. Maka dengan sendirinya terbukalah rahasia lebai pelahap itu.
Sebagai yang sudah teradatbagi kampung yang kecil tiap-tiap yang harum dan yang berbau itu lekas sekali kembangnya. Hal ini pun demikianlah. Penghuni desa itu telah dapat membaca yang tersirat dalam hati lebai itu.
Dahulu ia disegani, sekarang dibenci. Sekali lagi lebai itu lari malam, dan ... seorang pula bertambah janda lebai.
Itulah Asalku Tobat Haji Malik sudah tua besar. Sudah beratap seng; artinya kepalanya sudah habis ditutupi uban, tidak berjerejak lagi, maknanya giginya sudah habis. Dalam beberapa tahun yang akhir ini, taatnya berkhidmad kepada Tuhannya, bukan alang-kepalang. Tingkah lakunya memalukan hati orang banyak, terutama ialah, suka memberi tak mau meminta; kerap bernasihat dan rela dinasihati; gemar memuji kebaikan orang, sebaliknya tak mau mengaku kesalahan.
Hati berlian. Jika bermuka-muka ia dipanggilkan orang Haji Malik, akan tetapi di belakangnya diimbaukan orang Haji "Balik".
Mengapa begitu" Dahulu sepuluh tahun yang silam, ah, 15 tahun yang lalu, semasa ia masih bernama Malik, selagi badan sedang gagah, ia disegani orang. Asal disebutkan Malik, orang Tah teringat kepadanya. Sekali-kali tampak ia berjalan diiringi oleh dua tiga orang yang berpakaian necis, pergi menghadap tuan kemendur dengan tak usah membayar sewa, barang sepeser merah. Dan tidak pula dusta, kadang-kadang tiga kali dalam sehari ia dijamu makan dan minum dengan tidak mengeluarkan sepitis garis. Pendek kata segala-galanya perai.
Apakah pangkatnya" Jadi apakah dia" Mengapa ia disegani dan mendapat kehormatan yang luar biasa itu"
Dengarlah! Ia disegani orang karena jadi samseng, penggangu keamanan orang. Suka berkelahi, tak segan mempergunakan sejata tajam. Mau mencuri; sedikit jadi, banyak apatah lagi. Karena itu tentulah ia selalu digiring oleh orang yang berpakaian necis, yaitu polisi, ke kantor tuan kemendur. Karena salahnya terang bagai bersuluh matahari, segera juga ia disuruh mendiami rumah perai alias tutupan. Pasti saja di situ ia tak usah membayar, akan sekalian yang termakan dan terminum olehnya.
Itulah pula sebab karenanya, maka sekarang itu digelar orang Haji Balik, artinya balik dari jalan yang sesat ke jalan yang baik.
Siapa kata Tuhan tak kuasa"
Pada suatu malam sedang bulan terang-temarang, Haji Malik duduk di halaman rumahnya di atas bangku bambu berangin-angin. Sudah lazim dalam waktu yang begitu, berdatanganlah beberapa handai tolannya kawan sejiran ke tempat itu menumpang meneduhkan badan dalam cahaya bulan yang merindukan hati itu. Entah karena kebetulan saja, entah karena supaya jadi kenang-kenangan bagi isi kampung itu tahun itu Malik meninggal, Tuhan menakdirkan pertemuan sekali itu jauh ramai dari biasa.
"Kapankah lagi Bapak meninggalkan kami?" bertanya salah seorang dari yang hadir berseloroh.
Haji Malik tersenyum: "Tanyakanlah kepada Tuhanmu!" jawabnya.
"Pak!" berseloroh pula orang lain, "sumur kering karena panas, air besar karena hujan, jadi segala sesuatu bersebab. Saya hendak bertanya, Pak, tetapi Bapak jangan marah." Orang itu diam sebentar. Ketika dilihatnya orang tua itu tersenyum saja, maka katanya: "Apakah mulanya, maka Bapak tiba- tiba berbalik surut dari gelap kepada terang, dari bengkok ke jalan lurus?"
"Karena barangkali pun umurku tak lama lagi, baiklah kuceritakan kepada Tuan-Tuan peristiwa yang sudah mencubit hatiku itu, maka aku bertobat dari perbuatan yang jahat itu," Jawab Haji Malik sambil bers edia-sedia.
Sesudah hadirin tenang, ia pun bercerita:
"Lebih kurang 15 tahun yang lampau, sebagai Tuan-Tuan barangkali masih ingat, aku terbilang jadi pencuri dan penjahat. Sekali pada suatu hari, aku berdua dengan serikatku, telah mengintip beberapa orang kuli mengusung sebuah petibarang yang diiringkan oleh beberapa orang yang lain. Karena waktu itu sudah sore, tahuLah kami bahwa mereka itu mesti bermalam di rumah perhentian yang di lereng bukit, sebab mulai dari situ, mesti berjalan sehari suntuk baru sampai ke kampung lain. Orang itu tidak kami ikutkan lagi, karena pasti sudah bermalam di tempat itu. Ganti iseng-iseng kami bertaruh. Aku mengatakan isi peti itu duit sen, karena aku tahu harga kemenyan membubung naik dan dalam negeri yang terpencil sebagai tempat mereka itu, saudagar-saudagaryang datang kekurangan mata uang kecil, hingga uang kertas R 10 direlakannya ditukar dengan 950 sen, kadang-kadang 900 sen, karena orang kampung kurang gemar kepada uang kertas. Kawanku itu mengatakan peti itu berisi sains u gelap. Walau itu sains u gelap memangbanyak pula diperniagakan orang di dapur- dapur sembunyi-sembunyi. Kalau aku kalah, aku mesti menanggung makan minumnya tiga hari lamanya; sebaliknya kalau ia kalah, ia mesti pula menanggung belanjaku tiga hari.
Lebih kurang pukul 11 malam, kami sudah ada di bawah rumah permalaman itu. Sungguhpun sudah sunyi benar, kami nantikan juga sejam lagi, supaya mereka yang letih itu nyenyak benar; kebetulan benar hujan pun rinyai. Itulah langkah yang dicari-cari. Takdir tidak pun karena hujan itu, pekerjaan kami itu mudah juga langsungnya, karena beberapa hari kami tukangi baik-baik rumah itu sudah hingga dengan tidak bersembunyi dapat dibukakan ke bawah. Kami pun mulai bekerja. Tak sampai suku jam peti itu sudah kami usung. Pada awalnya kusangka peti berat amat, tetapi persangkaan itu saLah. Karena ada kebatannya sangguplah aku memikul seorang diri, meski agak berpayah-payah. Aku berjalan dahulu, sedang kawanku mengiringkan dari belakang. Setengah jam kemudian aku digantikannya, membawa beban itu. Pada suatu penurunan di tepi sungai, kami berhenti sebentar. Aku turun ke sungai itu membasuh tangan, kawanku menunggu peti curian itu. Tiba-tiba kawanku memekik.
''Orang!'' teriaknya. "Kalau orang, berlari!" kataku kecemasan, lalu aku menghambur ke dalam sungai itu dan mengarung ke seberang, langsung berlari sekencang-kencangnya. Entah berapa kali aku jatuh terserandung, hingga lututku berkelukuran. Allah! buruk benar terkejut takut. Hampir sejam aku nanti-nanti, tidak juga kedengaran langkah kawanku itu.
Tertangkapkah dia" Kubiarkan sajakah kawan itu diperbagai-bagaikan orang"
Tidak! tidak! Itu bukan pekerti jantan. Kubaiki emban pinggangku, kusentak pisau belatiku, lalu aku menyusur lereng bukit itu. Cemas hatiku akan nasib kawanku itu tak dapat kuperikan lagi. Menjelang tempat perhentian kami itu, kulihat orang duduk bersandar ke batang kayu, sedang peti curian itu tiada jauh di hadapannya. Demi dia kuamat-amati benar, nyata kepadaku orang itu, kawanku yang tadi. Dia kuhampiri lalu kupanggil-panggil. Mendengar suaraku itu ia mengucap-ucap.
"Dipengapakan orang engkau?" tanyaku.
Dia mengucap-ucap kecil juga.
"Apamukah yang sakit?" tanyaku mulai khawatir. Iaberbangkit Tanganku dipimpinnya lalu dihelanya ke peti curian itu. Macam orang malu-malu dipantiknya api-api. Apakah yang kulihat" Napas sesak, jantungku berhenti berdenyut. Dalam peti itu terbujur mayat kanak-kanak umur 6 tahun. Selesai bersoal jawab, peti itu kami ikat kembali dan... sejam kemudian ia ada di tempatnya semula, di rumah permalaman itu.
Dua hari kemudian baru kami tahu, bahwa mayat itu anak seorang desa yang tiba-tiba mati dalam perjalanan pulang ke kampung. Karena orang itu tidak mau membawa mayat itu menempuh hutan malam hari, itulah maka mereka bermalam di sana menjelang parak siang.
Dan... karena kawanku hendak lekas tahu apakah isi peti itu yang sebenarnya, maka sepeninggal aku pergi ke tepi sungai itu, diungkainya kebatan peti itu, lalu dim asukkan tangannya meraba-raba isinya. Kebetulan benar terabalah kaki mayat itu, lalu ia memekik mengatakan "orang".
Kusangka ia melihat orang datang, lalu kuperintahkan supaya ia berlari. Sebagai Tuan-Tuan maklum, bukannya melihat orang, tetapi meraba kaki orang. Mulai dari waktu itulah aku memutar bahtera hayatku. Itulah asalku... tobat." Haji Malik menyudahi ceritanya.
Selimut Bertuah Cik Dang. Katanya ia orang Malaka, lahir di sana, besar pun di sana. Kata setengah orang, ia orang Serawak, besar di Malaka.
Mana yang benar, payah menentukannya. Dan bagi kita pun hal itu, tak penting. Itu perkara dia.
Kawan Bergelut Karya Suman Hs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah tujuh tahun ia menetap di negeri P... di tanah Deli. Istrinya yang pertama orang Jawa, sebaya umur dengan dia. Kendatipun begitu pertalian mereka tidak serasi, tidak sebintang. Hanya tiga tahun mereka bercampur, sudah itubercerai-berai. Lebih setahun ia membujang dan sudah setahun pula beralih kerjanya, dari tukang pedati ke sais sado. Suatu kemajuan sukses kata orang kini.
Setahun yang silam ia kawin pula dengan seorang janda beranak satu. Biarpun perempuan itu sudah bertitel janda dan beranak satu, lamun rupanya belumlah luntur; bahwa kata setengah orang, makin bertambah jelitanya. Batik Semarang, makin dicuci makin terang.
Cik Dang orang beruntung. Ia dapat mengawini perempuan itu, sedang terdahulu dari itu dua tiga yang melamar, tertolak balik; karena itu kasih sayang Cik Dang kepada perempuan itu, mengatasi segala yang ada.
Perempuan itu yang arif. Kasih sayang suaminya itu, dipergunakannya mempengaruhi suaminya itu. Sehingga sehari demi sehari, makin kentaralah Cik Dang itu berhaluan ke buritan diperintah istrinya.
Tuah betina, celaka jantan.
Bukan sekali dua istri yang manis itu, merentak memberonsang, bila barang pembelian suaminya, diketujuinya atau tidak memuaskan hatinya.
Dalam hal yang begitu, kusir yang sial itu, tidak berbuat apa-apa selain mengamin saja. Sungguh termakan....
Pada suatu hari bulan puasa istrinya itu menyuruh membelikan selimut sehelai. Sesudah habis mencari sewa, Cik Dang pun pergilah membeli selimut itu. Tentu saja dipilihnya selimut yang agak baik, yang takkan menimbulkan berungut istrinya. Selimut dapat, ia pun memutar sadonya pulang. Di tengah jalan ia beroleh tambang pula. Seorang tuan yang separuh mabuk, minta diantar pulang. Langkah kanan bagi Cik Dang; sewa sesuku, jadi serupiah dari tuan itu. Tetapi mujur itu tak mau lama. Ia tercium kain terbakar. Sebuah puntung serutu yang masih berasap terletak di atas selimut yang baru dibeli itu. Buru-buru dicampakkannya puntung rokok itu, tetapi selimut itu sudah berlobang sebesar sen.
Cik Dang termenung panjang. Wajah istrinya terbayang di hadapannya. Muka masam yang akan memberonsangnya dan barangkali lebih hebat dari itu; karena bagaimana juga nanti ia membela diri, takkan dapat air dari perempuan yang bergengsi itu.
Pikir punya pikir, diputarnya sado ke kota kembali. Sehelai selimut baru dibelinya pula.
Tiba di rumah pembeliannya itu diperagakannya kepada istrinya. Rupanya istrinya berkenan akan barang itu. Hanyalah ia tak senang, mengapa suaminya beroyal-royal membeli selimut itu sampai dua helai. Tetapi Cik Dang sudah sedia akan obatnya.
'"Yang sehelai ini, persen toke itu kepadaku, katanya untuk reklame, karena sudah rusak sedikit."
Mendengar itu awan mendung yang di muka perempuan itu terbang melayang dan berganti dengan senyum puji. Senyum menjatuhkan Cik Dang dari tuan kepada budak.
Biarlah kita berikan kepada si Buyung!" ujar Cik Dang mengambil hati istrinya itu. Anak tirinya berumur 7 tahun itu diimbaunya, lalu selimut yang tembuk itu diberikannya kepada budak itu. Dengan hati gembira, selimut itu diambil oleh anak itu.
Seminggu selang antaranya, kebetulan sehari itu hujan lebat. Sejak dari subuh hujan turun, berganti dengan renyai. Perasaan badan dingin saja. Waktu itu Cik Dang tidak keluar mengambil sewa.
Orang banyak tentu seperasaan, berpuasa di waktu hujan hausnya kurang, tetapi perutnya keroncongan. Sebaliknya di waktu panas lapar kurang, tetapi tekak bagai dibakar. Bagi Cik Dang orang yang kurang beriman itu hal itu terasa benar laparnya. Sungguh kalau ia tak malu... eh... kalau ia tak takut kepada istrinya itu, maulah rasanya ia mencari-cari nasi sejuk ke dapur. Apalagi waktu itu hari pukul 3. Tetapi sayang sang istri sedang di dapur, leka menyediakan ini itu,yang akan dimakan nanti.
Lapar Cik Dang tak tertahan-tahan lagi, tetapi ke mana ia hendak pergi" Untung ia teringat, semalam istrinya memasak kue, dua setopLes penuh, persediaan malam 27.
Lambat-lambat menjingkat-jingkat, masuklah ia ke dalam bilik lemari kue itu.
Langkah kiri. Kiranya si Buyung anaktirinya itu, ada berbaring, berselimut dalam bilik itu, memperagakan hadiah bapa tirinya itu. Rupanya ia pun kedinginan.
Cik Dang tertegun. Hajatnya gagal. Ia tahu anak tirinya itu gatal mulut, suka mengadu mengada-ada.
Apa akal" Jika tersesak seribu akal.
"Buyung!" berkata Cik Dang, "engkau kedinginan tampakku."
"Ya, Pak," menjawab anak itu dengan kelesanya.
"Berselubung malah!" nasihat bapa tiri itu, "selimuti kepalamu rapat-rapat! nanti badanmu panas kembali."
Anak itu menarik selimutnya lalu berselubung. Paksa yang baik ini, tidak dibiarkan lalu oleh Cik Dang. Bergegas-gegas tetapi hati-hati dikeruknya setoples kue itu. Dua kali keruk saja, sudah mengembol saku bajunya, laLu ia masuk ke kamar tidur. Sebentar saja kue itu telah berpindah dari saku ke dalam perutnya.
"Selimut bertuah," katanya sesudah laparnya berobat.
Dua jam kemudian Cik Dang duduk-duduk seorang dirinya di beranda rumahnya menunggu-nunggu waktu berbuka....
Dengan berselimut-selimut anak tirinya itu datang mendekatinya.
"Pak, minta uang setali," katanya. Mendengar permintaan itu Cik Dang terperanjat, karena tak pernah anak tirinya itu meminta uang sebanyak itu.
"Kalau tidak kusebutkan...," kata anak yang nakal itu.
"Apa yang akan kausebutkan?"
"Yang tadi." "Apa yang tadi?"
"Tingkah Bapak yang yang kuintai dari lubang selimut ini kata anak itu sambiL menunjukkan lubang selimut bekas terbakar tempo hari.
Mulai dari waktu itu, belanja anak tiri nya itu naik dari 5 sen ke seketip, alias seratus persen.
Sungguh selimut bertuah. Salah Mengerti Setahun yang lalu, Tambi Hanif, tukang roti yang tua itu, pulang ke kampungnya, ke Madras. Baru-baru ini ia kembali pula kemari. Banyak orang menyangka bahwa ia takkan kembali lagi kemari. Pertama karena uangnya sudah banyak, kedua karena umurnya telah lanjut. Menurut yang lazim, kebanyakan orang, kalau sudah tua, inginlah menetap di kampungnya. Ia ingin berkubur di tanah tempat lahirnya, dalam ribaan kaum kerabat.
Tetapi bagi Tambi Hanif, bumi ini datar, serupa saja. ''Di sini bumi Allah, di sana pun bumi Allah," katanya.
Kecuali anak semangnya yang lama, ia membawa lagi seorang anak semang yang baru, seorang anak Madras, berumur kira-kira 15 tahun. Bagi anak itu tentulah dunia di sini masih kelam; pertama ia masih muda mentah, kedua sepatah kata sini pun belum diketahuinya. Tetap itu tidaklah jadi rintangan amat baginya. Sebulan dua bulan lagi, berkat pergaulan dan ramah-tamahnya orang di sini, pasti ia dapat bercakap-cakap cara sini sepatah dua.
Itu pun terjadilah. Tiap-tiap hari ia menjajakan kacang kedelai, masuk kampung keluar kampung. Meskipun ia belum mahir amat berbahasa Melayu, akan tetapi dengan pertolongan gerak-geriknya tambah pula dengan beberapa macam isyarat, mudahlah jua ia menjuaL dagangannya itu. Sehari ke sehari tampak jagalnya bertambah maju dan tuannya pun bersenang hati kepadanya, karena sedikit keluar, banyak masuknya.
Pak Godok, tukang lepau yang berseberangan rumah dengan Tambi Hanif itu, tertarik hatinya melihat cara tukang roti itu mencari duit, sebab itu diikhtiarkannya pula mencari anak semang seorang, ke kampungnya di Batusangkar. Tentu saja anak orang baik-baik yang terpelajar tak mungkin didapatnya; biarpun begitu anak semangnya itu terpakai juga, kadar berjaja-jaja barang makanan.
Karena betis anak itu melengkung ke dalam maka digelar orang dia si Pengkar. Gelar itu melekat Tiap-tiap hari ia pergi pula masuk kampung keluar kampung menjunjung sebuah tampah, berisi pisang salai. Sungguh Pak Godok tak kecewa meniru meneladani perbuatan tukang roti itu. Tiap-tiap hari lega pula dadanya menerima uang jualan dari anak semangnya itu.
Pada suatu hari, kebetulan kedua anak semang yang tersebut, berjalan-jalan beriring-iring, kira-kira seratus langkah antaranya. Si Tambi yang berjalan dahulu, menyandang kacang kedelai dan si Pengkar yang di belakang, menjunjung pisang salai. Bila bersua dengan rumah orang, maka Tambi itu berteriak: acang edel-lee! acang edel-lee!
Sesaat antaranya kedengaran pula pekik si Pengkar: pisang sa-lee! pisang sa-lee!
Mereka beriring juga. Sebentar lagi berteriak pula Tambi itu: acang edel-lee! acang edel-lee!
Teriak itu dibalas oleh si Pengkar: pisang salee! pisang salee!
Tiba-tiba anak keling itu menoleh ke belakang, dengan mata yang berkisar-kisar dan geraham yang berderik-derik. Kentara sekali marahnya. Karena pada sangkanya, anak yang di belakangnya itu mengejek-ejek jualannya. Tetapi karena ia merasa anak dagang, anak di rantau orang, maka berang hatinya itu direda-redakannya. Pada waktu kelok pendakian, anak Keling itu duduk menghentikan penat. Tak lama antaranya si Pengkar pun sampai kesitu. Tampah yang di kepalanya itu diturunkannya, lalu ia pun berhenti pula, tiada jauh dari tambi itu. Dari mulut keduanya tak ada keluar sepatah kata jua pun, tetapi dari riak mata anak Keling itu, kentara berang hatinya belum sempurna reda. Kebetulan di dekat si Pengkar duduk itu tumbuh dua tiga batang pohon ruku-ruku, tumbuh-tumbuhan yang berdaun harum itu. Oleh anak itu diambilnya daun ruku-ruku itu setangkai, lalu dikebas-kebaskannya ke kakinya, menghalau lalat yang mengerumuni kudis kakinya. Memandang itu anak Keling itu hilang sabarnya, ia merentang lalu berkata,
"Barua! Aun abi, syurga ra datang; aun abi, syurga ra datang!" Daun ruku-ruku yang di tangan si Pengkar itu dirampasnya, lalu ditanamkannya kembali ke dekat asalnya, dalam pada itu tukang pisang itu diamang-amangnya dengan tinjunya.
Si Pengkar yang kecil itu termenung panjang. Apakah dosanya maka ia diperlakukan sedemikian itu dikatakan beruk" Sejurus antaranya baru ia teringat akan maksud kawannya itu. "Aun abi syurga ra datang" itu maksudnya tak boleh tidak, "jangan ambil itu jelatang."
Mengenang-ngenang itu, si Pengkar tersenyum geli. Setelah geli hatinya hilang ia berkata: "Tambi!
Tambi salah sangka, "itu daun ruku-ruku bukan daun jelatang."
"Haa!" berungut anak Keling itu.
Si Pengkar menggeleng-gelengkan kepalanya:
"Bukan, bukan jelatang," katanya.
Tambi itu mengangkat tinjunya. Untung si Pengkar lekas mundur, kalau tidak barangkali kena terpa.
"Aun abi, syurga ra datang, aun abi, syurga ra datang," katanya bertubi-tubi.
Akan melawan orang itu, tak mungkin, karena ia jauh lebih besar dari si Pengkar. Kalau tak hendak mengerti, sudahlah, pikir si Pengkar. Ia pun diam.
Karena tak mungkin bertepuk sebelah tangan, perbantahan itu berakhir di situ saja. Keduanya lalu meneruskan perjalanan pula, beriring-iringan. Sejenak berjalan menjelang masuk kota, kedua anak semang itu berhenti pula di bawah teduh pohon- pohonan. Tambi muda itu meminggir sedikit, buang air kecil.
Sangat kebetulan dekat tempatnya buang air itu tumbuh rumput jelatang.
Si Pengkar datang-datang perlahan-lahan mendekat Tambi itu. Dengan tulus ikhlas berkata: "Tambi, itu daun jelatang."
Anak Keling itu berpaling lalu membelalakkan matanya. "Apa?" tanyanya dengan tak sabar.
"Itu daun jelatang!' kata si Pengkar sekali lagi.
Tambi itu berontak: "Aun syurga ra da-tang" syurga ra datang" has bodo." Karena panas hatinya daun jelatang itu dibubutnya dan digosokkannya ke tandan ekornya, tanda jengkel hatinya.
Satu jam kemudian tampak Tambi itu, berlari-lari anjing sambil mengaduh-aduh, menggaruk- garuk selaku orang gila, menuju rumahnya. Orang gempar dan bertanya-tanya mengapa ia jadi begitu. Ia belum menjawab, masih garuk-kegaruk jua. Hal itu diusul-usul. Akhirnya ia beriring-iring dengan si Pengkar, maka si Pengkar pun kena panggillah. Sepuas-puas tanya-bertanya ketahuanlah rahasia itu.
"Pisang salee," kata si Pengkar, sangka si Tambi mengejek-ejek jualannya,
karena diartikannya "kacang kedelee." Sebab itu ia marah. Kemarahan nya bertambah-tambah karena si Pengkar berani mengotorkan dan menghina-hinakan "aun abi syurga ra datang" artinya daun nabi yang datang dari surga. Sepanjang pahamnya daun ruku-ruku itu asalnya bawaan nabi dari surga, sebab itu tak boleh dicemar-cemarkan dengan najis.
"Daun surga ra datang" disangka si Pengkar daun "jelatang", sebab itu ia hendak membetulkan kesalahan si Tambi itu. Tetapi, makin dibetulkan makin menyalah, sebab itu ia menyalah saja. Kebetulan mereka itu bersua dengan daun jelatang. Si pengkar mengatakan itulah daun jelatang. Tetapi si Tambi salah terima, disangkanya si Pengkar. mengatakan daun itu "daun abi syurga ra datang". Pada ijtihatnya tak patut si Pengkar itu mengatakan daun yang buruk, daun suci. Karena sakit hatinya dan hendak menunjukkan kehinaan daun yang tak dikenalnya, lalu digosokkannya ke ekornya, sebagai protes, dan kesudahannya... selama hidupnya peristiwa itu tak mungkin dilupakannya.
Papan Reklame Orang banyak masih ingat, pada beberapa tahun yang silam, negeri yang banyak berkebun karet, sudah pernah dilanggar duit Di mana-mana dewasa itu si punya getah bersiram duit sekali lagi duit. Waktu itu perniagaan maju, pelayaran ramai. Tentang harga barang-barang orang kurang tawar- menawar, maklum getah di pohon sudah duit.
Pada suatu hari datanglah Wan Saleh, seorang saudagar, ke negeri P.... dalam daerah Sumatera Timur. Iabanyak membawa barang jualan, kain-kain, barang pecahan, barang kumango dan yang lain. Ia pun berkedailah. Di hadapan kedai itu tergantung papan merek yang besar "Toko Murah".
Saudagar baru, orang baru, barang pun baru, jadilah kedainya maju dan selalu ramai.
Sebulan selang kemudian, terbuka pula sebuah kedai baru, berhadapan betul dengan toko Wan Saleh itu. Yang empunya toko itu seorang perempuan, agak lincah pembawaan badannya dan lancar berkata- kata. Esok harinya tergantunglah pula merek yang besar di toko perempuan itu: "Toko Murah Sekali".
Sesungguhnya orang bebas menamai tokonya, dengan sebarang nama yang digemarinya. Kendatipun begitu merek toko perempuan itu, mengecewakan hati Wan Saleh. Terasa-rasa benar kepadanya, perempuan itu sengaja hendak mencari-cari helah lawan berkongkuren. Tetapi bagaimana sekalipun jijiknya melihat merek toko perempuan itu, tiadalah dayanya apalagi kuasanya akan menurunkan merek lawannya itu.
Mendengar sungut-sungut Wan Saleh itu, tahulah orang banyak bahwa hatinya sakit kepada perempuan yang baru datang itu. Kesempatan itu tidaklah disia-siakan oleh orang banyak itu. Paksa itu untuk melaga-laga kedua saudagar itu, sebagai balam dalam pikatan, terbukalah.
Jika mereka pergi ke toko Wan Saleh, mereka katakan toko perempuan itu, murah sekali. Dengan demikian, Wan Saleh bertambah sakit hatinya dan ia pun memurahkan barangnya sedikit. Tokonya jadi ramai pula, sedang kedai perempuan itu agak lengang.
"Macam dia pula hendak melawan," kata Wan Saleh menggembirakan hati pembeli, "tak tahu di perempuannya."
Sorenya segala ocehan Wan Saleh itu, telah sampai pula ke telinga perempuan itu. Rupanya ia bangsa pemakan bawang, bertelinga tipis. Ia pun meradang-radang. "Biar dia laki-laki biar dia jantan, aku tak segan melawannya," beronsang perempuan itu, "bukan baru sehari ini aku berniaga." Keesokan harinya terbentang sebuah lagi merek di toko perempuan itu, bunyinya: "Jual Murah".
Orang banyak pergi pula ke sana dan memanglah harga barang di situ kendor sedikit dari toko Wan Saleh itu. Mereka terkekeh-kekeh, puas hatinya melaga-laga ayam sabungan itu.
Tulisan "jual murah" yang terpampang di hadapan toko perempuan dan segala kata-kata sombong yang disampaikan orang kepadanya itu, menyebabkan Wan Saleh menjadi harimau kelepasan tangkap. Radang hatinya tidak terbada-bada. Dengan melompat-lompat sebagai kijang, ia berlari ke toko perempuan itu. "Keluarlah berdebah!" perintahnya kepada perempuan itu, "berlawan ini pun aku mau," teriaknya sambil mengacu-acukan tinjunya.
Perempuan itu gemetar"
Tidak! Dengan sigap disambarnya kayu ela, pengukur kain yang terletak di atas meja. Bagai kucing mengejar tikus, ia menghambur keluar mendapatkan laki-laki yang merentang-rentang itu. Mujurlah sebelum keduanya bertemu, orang banyak sudah berkerumun melerainya. Si laki-laki bersungut- sungut dan perempuan itu mencarut-carut. Mulai dari hari kedua tuan toko itu tidak berbaik lagi. Sindir-menyindir tak putus-putus, ereng-gendeng jangan disebut.
Pada suatu hari sedang orang pulang Jumat, kedengaran pula perempuan itu menyumpah- nyumpah. Rupanya merek reklame asal-usul sengketa mereka itu, telah hilang lenyap, tinggal paku penggantungan saja.
"Siapa lagi punya ulah, kalau tidak Wan Saleh, laki-lakiyang mengharu-biru itu," rintih perempuan itu.
Entah sebenarnya perbuatan Wan Saleh, entah olah orang lain, wallahualam, tetapi tiba-tiba papan merek itu didapatnya orang tiada jauh dari dapur Wan Saleh. Melihat itu penyakit itu membangkit. "Laki-laki tidak bermalu, tidak beraib!" teriaknya.
"Mari sini Tuan-Tuan!" katanya kepada orang banyak itu, "di sini harga melawan, harga turun, dijual pokok."
Yang diteriakkannya itu sungguh, harga barang di tokonya, terasa turunnya. Wan Saleh tegak terpaku, mukanya merah padam, malu bercampur dengan marah. "Jahanam," katanya, "aku tak pernah menjamah mereknya, mengapa aku dituduhnya?" Tiba-tiba ia masuk ke dalam. Kemudian ia keluar mengepit sebuah tas kulit. Dengan terengah-engah ia pergi berlari-lari ke kedai perempuan itu.
Orang berkerumun, kepingin tahu, apa hal yang akan terjadi.
"Mana barangmu yang murah itu" mana" mana dia?" katanya sambil mengempaskan tas kulit yang dikepitnya itu, hingga dua tiga keping uang perak berpelantingan keluar.
"Apa perlu kautahu?" bertanya perempuan itu dengan gagah.
"Hendak kuborong semuanya," kata Wan Saleh dengan tak sabar.
"Omong kosong, gerontang Keling," sahut perempuan itu, "berapa ribukah uangmu?"
"Lebih seharga harta bendamu ini," jawab Wan Saleh, "jangan-jangan pun engkau dapat kubeli."
"Kujual pokok, kepadamu, kalau kauberani membeli," kata perempuan itu. "Ini sekian, itu sekian," kata perempuan itu pula.
Wan Saleh mengeruk uang kertas dari dalam tasnya itu, lalu diempaskannya di atas meja. Semua barang-barang itu diborong oleh Wan Saleh, hingga toko perempuan itu hampir kosong. Barang itu ditimbunnya ke dalam tokonya.
Dengan sendirinya kongkuren habis.
Orang banyak tak dapat melaga ayam lagi.
Wan Saleh terbeli murah dan kini bebaslah ia menjual barang seharga biasa, sebab tak ada berlawanan lagi. Tetapi Wan Saleh orang hidup, yang mengenang mati. Dunia diusahakan tetapi maut dikenangnya juga. Orang banyak sudah tahu pokok barangnya. Takdir dinaikkannya pun 10% mesti dibeli orang juga, karena masih di bawah harga biasa. Dalam sebulan taklah sampai hatinya berbuat demikian, ia tak mau menyolok mata orang banyak. Telah diputuskannya dan sudah pula dikabar- kabarkannya, bahwa barang yang baru diborongnya itu akan dijualnya habis-habisan asal diberi untung 5% saja. Tetapi dalam sebulan ini saja, lewat itu naik kembali.
"Mengena jebak kita," kata orang banyak, "jangan dibuang tempo."
Berduyun-duyun mereka itu berbelanja ke toko murah itu, hingga dalam tempo sepuluh hari, sekalian barang borongan itu tidak tersisa lagi. Pada wajah mukanya dan kecek-ke ceknya kentara benar ia menyesal menjual barangnya semurah itu. Tetapi hendak dikata; kata sudah tersebutkan, janji sudah terbuat. Lagi sekali-sekali, apalah salahnya: bukankah hidup menentang mati. Apalagi hatinya puas dadanya lega, karena musuh besarnya itu sudah kalah dalam gelanggang.
Pada suatu hari perempuan itu berkemas- kemas. Katanya ia hendak membeli barang ke Singapura, ia hendak membuka toko kembali. Kabar itu disampaikan orang pula kepada Wan Saleh. Mendengar itu Wan Saleh gelak terkekeh-kekeh. "Belum jera rupanya putri itu," katanya, "ia hendak melagak aku." Ia tertawa besar.
"Baiklah," katanya pula, "aku pun hendak ke Singapura juga, hendak kulagak ia di kapal. Kelas berapa ia menumpang" Kelas tiga" Aku ke kelas dua. Jika ia di kelas dua, kusewa kamar kelas satu."
Keesokan harinya pukul 4, kelihatan perempuan yang kehabisan jagal itu diringkan oleh anak-anak semangnya menuju kapal yang sedang rapat dibom. Suku jam kemudian tam pak pula Wan Saleh, berbaju tuit berdasi panjang, menjinjing tas. Tampak benar disengajanya, memutar-mutar tongkatnya, tatkala tampak perempuan itu berdiri di kandang kapal. Melihat itu, perempuan itu meludah. Orang banyak tersenyum. "Jangan-jangan peperangan berulang," kata mereka itu sambil mengundurkan diri, karena kapal hampir membuka tali. Ketika kapal itu mulai renggang, Wan Saleh melambai-lambaikan tangannya memberi selamat tinggal kepada orang banyak dan melagak musuhnya yang tiada berapa jauh dari tempatnya itu.
Setelah sang surya masuk ke dalam peraduannya, adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan dudukbergurau-gurau di dalam kamar kelas dua di kapal itu. Di hadapan mereka di atas meja terhidang pelbagai macam enak-enakan.
"Sesudah delapan tahun kita kawin, barulah aku percaya, engkau ahli reklame," kata laki-laki itu kepada istrinya yang duduk di sisinya itu.
"Berkat percampuran kita, jawab perempuan itu dengan suka hati, karena beroleh pujian dari suaminya itu.
Adapun kedua manusia itu, yaitu Wan Saleh dan perempuan toko dahulu. Keduanya bukan orang lain, tetapi suami istri.
"Waktu aku memborong barang-barangmu itu, dengan harga yang kauturunkan itu, bulatlah kepercayaan orang, bahasa sebegitulah pokok barang kita itu. Padahal 15% di atas pokok. Mereka yang merasa dirinya mujur karena dapat melaga-laga kita itu, tak mau menahan hatinya lagi. Disangkanya 5% yang kunaikkan itu, betul-betullah 5% dari pokok yang asal.
"Aku heran," kata perempuan itu, "mengapa mereka tak mau bertanya-tanya ke tempat lain?"
"O," jawab Wan Saleh, "mereka tertarik kepada kita dan lupa ke orang lain, karena kita tampak mereka selalu hendak beramuk saja. Dalam saat begitu kepercayaan biasanya bulat 100%."
"Kupandang kau bertambah cantik, bertambah manis," kata Wan Saleh berseloroh.
"Bukan aku," jawab perempuan itu, "tetapi keuntungan yang kita peroleh itu."
Bagai-bagailah akal manusia itu menernakkan duit....
Kelakar si Bogor Si Bogor sahabat saya. Bukan saja karena kami kerja sekantor, tetapi memang hati saya sangat tertarik kepadanya. Ia lucu benar dan gemar berseloroh, lagi perajin. Ia menjadi mandor dan saya menjadi kerani pada toko barang-barang besi kepunyaan saudagar Inggris di Singapura. Tuan toko itu sangat sayang kepadanya, boleh dikatakan amat kasih. Kasih sayang itu bukan tidak bersebab. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, salah seorang dari anak tuan itu tercampak dari motor bot ke dalam laut. Hampir sejalan dengan anak yang terjatuh itu si Bogor melompat ke dalam laut. Keduanya hilang, tetapi sejurus kemudian, anak sudah di atas tengkuknya, lalu direnangkannya ke motor bot yang berputar-putar di situ. Anak itu selamat dari bahaya maut dan si Bogor... menjadi kesayangan.
Baru-baru ini saya diajaknya makan-makan angin ke Tanjung pagar, melihat-lihat kapal datang benua jauh. Kami naik ke atas sebuah kapal yang baru tiba dari Aden. Di atas dek ada beberapa orang Arab, hendak pergi ke Surabaya. Karena sepatah bahasa Melayu pun mereka tak paham, lekas juga si Bogor tahu, orang itu orang baru.
Berbahasa Cina si Bogor itu mahir sekali. Itu tak ganjil, karena siapakah Melayu Singapura itu, yang tak mengerti bahasa itu" Tetapi lain daripada itu ia lancar pula berbahasa Keling dan mengerti bahasa Arab, walaupun bahasa pasaran. Itulah pula sebuah, yang menambah kesayangan tuan itu kepadanya. Andaikata ia bijak tulis baca, saya rasa pangkatnya tentu di atas saya. Sayang dalam hal ini ia malang. Menulis tak pandai, membaca mengeja-eja, karena tak sungguh-sungguh dipelajarinya.
"Syam!" katanya kepada saya, ''saya hendak berkenalan dengan orang Arab itu."
''Apa perlunya kauberitahukan kepadaku?" tanya saya.
''Berkenalan cara baru," katanya senyum simpul, ''tetapi engkau mesti jauh sedikit." Perintahnya saya turut, saya ingin hendak melihat perangai tukang kelakar itu. Sebagai biasanya kalau kapal rapat ke born, sesudah pemeriksaan selesai, tukang jual makan-makanan dan buah-buahan berduyun-duyun naik ke kapal.
Si Bogor duduk dekat orang Arab musafir itu. Seorang anak menjunjung manggis dipanggil-panggilnya. Manggis itu dibelinya 3 jaras (3 x sepuluh buah). Sebentar lagi saya lihat mereka itu pun makan manggis sambil berkabar-kabar. Nyata sekali buah manggis bagi orang Arab itu barang ganjil, karena pahit di luar manis di dalam. Separuh makan bual si Bogor makin jadi-jadi. Apa-apa yang diperbincangkan mereka itu, tak tahulah saya, karena saya tak boleh mendekat dan tak pula faham bahasa atas angin itu.
Tiba-tiba si Bogor mengeluarkan uang dari sakunya, demikian juga orang Arab itu. Rupanya mereka itu mengadu untung bertaruh manggis. Saya ingin hendak mengetahui kesudahan permainan itu, lalu saya mendekati sedikit bagai melanggar perintah tadi. Kali yang pertama si Bogor kalah; demikian juga yang kedua. Yang ketiga kalinya taruh dilipat dan si Bogor menang. Sejak itu ia terus sajalah menang, delapan kali berturut-turut. Empat setengah dolar kawan saya itu menarik kemenangan dan... orang Arab itu tak mau lagi bercekah manggis.
"Tuan melekat," katanya cara Arab.
Saya pun heran memikirkan kepandaian kawan saya itu. Sebelum itu saya tanyakan kepadanya, kemenangannya yang 4 1/2 dolar itu, diunjukkannya kembali kepada orang Arab musafir itu.
"Ini tak halal bagi saya," katanya sambil tertawa. Sekalian kulit manggis yang dipertaruhkannya tadi, dikumpulkannya kembali, lalu diterangkannya kepada orang yang kalah bertaruh itu, bahasa isi manggis itu mesti sesuai dengan tapak lawangnya. Lima di luar, lima di dalam. Sesudah orang Arab itu uji-menguji, mereka itu pun terbahak-bahaklah tertawa-geli dan girang hatinya dapat mengetahui rahasia buah yang ganjil itu. Mula-mula mereka enggan mengambil taruh itu kembali, tetapi mereka dipaksa oleh si Bogor, diambilnya juga.
"Tuan iblis!" kata mereka itu sambil bersalam- salaman.
"Perkenalan yang begitu, amat lama baru luntur," kata si Bogor kepada saya setelah kami naik becak.
Dua bulan menjelang pertukaran tahun, anak tuan toko yang ditolong oleh si Bogor dahulu, tiba di Singapura. Selama beberapa tahun ini, ia menetap ditanah Inggris, menyelesaikan pelajarannya dalam ilmu berniaga. Si Bogor dan orang itu karib sekali. Akan sebabnya tak usah ditanya lagi.
Pada waktu petang si Bogor memanggil saya dengan orang muda itu ke tempat diamnya, yaitu salah sebuah dari kamar gudang itu, yang diubah jadi tempat tinggalnya. Di atas meja kami lihat tiga botol bir dan tiga piring martabak. Lain tidak. Baunya menimbulkan selera dan mengharumkan kamar itu.
"Tuan-Tuan yang terhormat!" kata si Bogor berseloroh, "pesta ini saya adakan akan memperingati ..." Ia mengerling orang muda itu.
"Akan memperingati bahasa sudah sepuluh tahun Tuan ini berkenalan dengan laut."
Apakah makna pidatonya itu, saya ragu-ragu. Orang muda itu pun tercengang-cengang. Tetapi tak lama, ia langsung berdiri; tangannya diulurkannya kepada si Bogor: "Terima kasih," katanya dengan suara terharu, "mudah-mudahan Tuhan membalas kebaikan dan kesetiaanmu itu."
Kini saya baru teringat, akan maksud pidato dan perjamuan itu. Rupanya sampai saat itu, genaplah sudah sepuluh tahun orang muda itu tertolong dari bahaya maut yang dahulu. Suatu perjamuan yang sangat bersahaja, tetapi meninggalkan kesan yang tak mungkin lapuk.
Sebelum kami pulang, lebih dahulu si Bogor membawa kami ke dapur. Di situ ia memperagakan seekor induk ayam yang sedang mengeram. Induk ayam itu ditatingnya, maka tampaklah 30 butir telur terhampar. "Ini ayam bertuah," katanya kepada kami, ''saya jamin telur yang 30 itu mesti ditetasnya semuanya."
Orang muda itu menggeleng-geleng dan saya haram tak percaya akan dongengnya itu. Akhirnya ia mengajak orang muda itu bertaruh 10 dolar. Jika semua menetas ia menerima 10 dolar dan jika ia kalah akan terjadi kebalikannya. Sesdah bersalam-salam seloroh, kami pun pulang.
Lima belas hari kemudian kami telah ada pula di gedung si Bogor. Tadi sudah diberitahukannya, bahasa ayam piaraannya yang sekian itu telah menetas. Jadi kedatangan kami itu, akan mempersaksikan itulah dan memutusi taruh.
Masya Allah! sungguh ajaib. Selama hidup saya, belum pernah saya melihat induk ayam menetas semua telurnya. Maksud saya ayam yang bertelur banyak seperti ayam si Bogor itu. Saya yakin baru-baru ini, sekurang-kurangnya tiga empat buah tentu ada jadi tembelang, karena saya lihat sendiri baru-baru ini dua butir telurnya keluar dari kepak ayam itu, karena tak tertudunginya lagi.
Orang muda itu terpaksa membuka dompetnya dan si Bogor mendapat duit 10 dollar.
Malamnya kami berdua dengan si Bogor menonton bioskop. Ketika pulang, si Bogor mengajak singgah ke restoran. Ia hendak menjamu saya dengan uang kemenangannya itu. Permintaannya itu mustahil saya tolak. Sedang makan si Bogor berkata, "Sebenarnya hanya 20 butir saja telur itu yang menetas, selebihnya busuk."
"Jadi?" tanya saya.
"Jadi yang sepuluh lagi kutambahi dengan anak ayam yang kubeli," katanya terkekeh-kekeh, "engkau tahu jika dimasukkan pun agak selusin ke bawah kepak induk ayam itu, lamun ia menyangka anaknya jua. Besok pagi, kemenangan ini hendak kujamukan pula kepada orang muda itu, hendak kukatakan kepadanya, tidak dalam segala hal orang yang tak bersekolah itu lebih bodoh dari orang yang menuntut ke tanah Inggris sekalipun."
"Patut," kata saya, "sepuluh tahun umurnya kautambah, hanya membayar sepuluh dolar."
Si Bogor terkekeh-kekeh. Tentang Pengarang Suman Hasibuan, begitu nama lengkap sastrawan yang terlahir di Bengkalis pada tahun 1904 ini. Ia mengenyam pendidikan Sekolah Melayu di Bengkalis tahun 1912-1918. Kemudian bersekolah di Sekolah Normal di Medan dan Langsa hingga tamat tahun 1923.
Selain menjadi pengarang, Suman Hs. pernah menjadi guru bahasa Indonesia di HIS Siak Sri Indrapura dari tahun 1923 sampai dengan 1930. Selain itu, ia juga menjadi Kepala Sekolah Bumi Melayu di Pasir Pengairan pada tahun 1930. Pada masa penjajahan Jepang, ia menjadi Penilik Sekolah, anggota Sagikai Giin (DPR model Jepang), anggota Komite Nasional Indonesia do Rokan Kanan/Kiri. Sastrawan ini juga turut aktif bergerilya dan sempat menjadi Komandan Pangkalan Gerilya Rokan serta anggota Staf Gubernur Militer Riau. Saat menjadi Kepala Jawatan dinas P & K Pekan Baru, Kampar, ia juga tercatat sebagai penilik sekolah. Tahun 1960 hingga 1966 menjadi anggota Badan Pemerintahan
Tingkat I Riau. Tahun 1966 sampai dengan 1968 tercatat sebagai angota DPRD Provinsi Riau. Jabatan terakhirnya adalah Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Riau.
Suman Hs. meninggal di Pekanbaru, Riau, pada 8 Mei 1999. Ia meninggalkan warisan berupa karya- karyanya seperti Kasih tak Terlerai (novel, Balai Pustaka, 1929), Percobaan Setia (novel, Balai Pustaka, 1931), Mencari Pencuri Anak Perawan (novel, Balai Pustaka, 1932), Kawan Bergelut (kumpulan cerpen, Balai Pustaka, 1938), dan beberapa karya lainnya.
Bencana Tanah Kutukan 2 Pendekar Rajawali Sakti 191 Kelelawar Hijau Hijaunya Lembah Hijaunya 30
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama