Pewaris Iblis Karya Abdullah Harahap Bagian 3
Agaknya Dudung sudah sedemikian marahnya Sehingga terlupakan olehnya, bahwa ada yang tertinggal di jok belakang mobil. Demikian pula halnya dengan Jamila. la masih shock dengan penemuan mengejutkan di bagasi kendaraannya. Ditambah pikiran mengenai kehilangan sang suami, yang semakin misterius saja. Sebelum tiba di puri, Jamila memang sempat teringat bahwa ada yang terlupakan olehnya. Lagi lagi, tertinggal di mobil tas kosmetiknya.
Di jok belakang mobil, tidak berapa lama ke mudian, sesosok tubuh menggeliat bangun Berkeluh kesah sebentar, kemudian memandang sekeliling.
Nina terkejut ketika tahu dirinya tenggelam dalam kesendirian. la mengintai ke luar lewat bayang-bayang kaca, yang ternyata jendela sebuah mobil. Astaga, mengapa ia sudah ada di sini" Siapa yang memindahkan dirinya mengapa ia ditinggalkan begitu saja"
Nina.menggeliat lagi. Ia kemudian beringsut ke pintu, yang menganga terbuka. Nina pun langsung bersiram hujan dan bermain badai. Pintu mobil ia tutupkan,.hanya sebagai refleksi saja. Ingatannya pelanpelan kembali bekeria; Apakah tadi itu memang Rita" Mengapa hanya kepala sebatas leher --Kuduk Nina membeku sedingin es.
Sepasang matanya membelalak terbuka. Bunyi apa yang ia dengar barusan" Suara badai, jelas bukan. Suara itu seperti nafas keras, berat, tersedak. Suara yang Suatu saat, diselang bunyi mendesing . . . .
*** 14 WHISKY, memang, dapat menjernihkan pikiran. Juga meredam perasaan takut.
Tetapi sekali kau mencicipi enaknya whisky, maka akan sulit bagimu menghindari tegukan berikutnya. Pada tegukan kesekian, makin muncul keberanianmu. Demikian pula kepercayaan diri. Lain halnya dengan pikiran jernih. Perlahan tetapi pasti, pikiran jernih akan larut bersama whisky. Untuk kemudian terbenam di lambung. Bersama akal sehatmu.
Sama halnya dengan Eddi. Suara perempuan menjerit yang sayup sayup sampai ke telinganya, membuat Eddi bangkit menggerutu. "Sialan kau, Nina! Mengapa pula harus menjerit jerit sehisteris itu" Kau mengganggu konsentrasi orang saja . . .!"
Eddi pergi ke jendela. Mengintip ke luar.
Yang tampak hanya tabir hujan yang tebal dan bayang-bayang pepohonan tegak dengan pasrah. "Hem. Nina pasti sudah melihatnya juga. Melihat kepala Rita gerutunya lagi sambil menjauhi jendela. Kemudian tertawa geli. "He bukankah aku pun sempat panik karenanya" Padahal hanya halusinasi belaka. Mana mungkin kepala yang sudah mati, hidup kembali -lantas mengejarku
pula!" Ia duduk lagi di depan tungku pemanas.
Isi botol di tangan, pindah pula beberapa teguk ke dalam perutnya. Terus bergumam gumam sendiri. "apa tadi yang terpikir ya" Oh, itu Tokoh filmku mendatang. Ia harus kokoh seperti Arnold, tetapi sekaligus iuga beringas seperti Sly. Dan uh. Guntur Sialan!"
Memang guntur bergemuruh di langit. Panjang dan monoton. Bunyinya, "seperti puluhan tong aspal jatuh menggelinding dari atas truk", cetus Eddi, tertawa. "Di pikir-pikir hebat juga adegan yang kubuat dulu itu. Berpuluh puluh tong aspal menggelinding ke mobil di belakangnya, lantas Hey, apa yang barusan melintas di pikiranku" Mobil terjungkir" Atau terprosok" Astaga, benturan itu. Bagasinya dan mayat di dalamnya --"
Eddi menoleh. Suara apa pula lagi barusan yang ia dengar" Bunyi mengetuk..Ah. Bukan. Bukan! Coba kudengar sekali lagi, pikirnya seraya di telengkan kepalanya. Searah pintu ruang duduk. Benar, bunyi itu terdengar lagi. Bunyi menggaruk garuk. Dan nafas tersengalsengal. Apakah Rita --"Tolol'", ia memaki diri sendiri. "Mengapa tidak kubuktikan saja. Jika Rita nekad menyusulku ke sini, akan kuremas remas dia ----"
Eddi pun berjalan ke pintu.
Bunyi menggaruk itu berhenti. Sejenak Eddi bimbang. Halusinasi jugakah" Di luar pintu, terdengar nafas ditahan. Eddi pun marah sekali.
Pintu direnggut terbuka. Dan benar, ada sesuatu di situ. Sesuatu yang seperti terlipat. Lalu setelah terayun-ayun sebentar, sesuatu itu terjerembab jatuh ke arah kaki Eddi. Tak pelak lagi, Eddi melompat mundur. Melihat ke sesuatu yang kini tergeletak di lantai dekat pintu. Rebah, namun tetap dalam keadaan terlipat. Kaku. Dan mati.
Eddi seketika mengenalinya.
Wajahnya pun memerah padam. Karena pengaruh whisky. Karena marah. Dan, terkejut. "Hei", mulutnya nyeletuk. "Mengapa kau ada di sini .Aku 'kan tidak menyuruhmu ke luar dari dalam bagasi mobil itu ----"!"
"Barangkali ia tidak kuat menahan pengap, Eddi!"
Eddi mengangkat muka. Melihat ke luar pintu. Dudung masuk dengan sikap tenang, wajah tanpa emosi seperti biasa. Mantel hujannya ia lempar sembarangan ke sebuah kursi. Jamila menguntit ketat di belakangnya. Sambil sedapat mungkin matanya menghindari apa yang tersuruk di lantai dekat pintu. Tiba di dalam ruangan, Jamila lantas menjauhi pintu. Lalu memusatkan perhatiannya pada yang lebih menyenangkan untuk dilihat. Eddi.
Eddi balas menatap. Lalu ia menangkap sesuatu di balik sinar mata Jamila. Pandangan perempuan itu, dingin. Mem
buat jantung Eddi berdetak. Eddi mulai merasakan adanya tanda-tanda, bahwa ide cemerlangnya sudah tiba pada titik kulminasi. Dan titik kulminasi itu, agaknya berantakan sudah.
"Kau apakan suamiku, Ed?", Jamila berbisik. Sama dingin dengan sorot matanya.
Sesaat Eddi gugup. Tetapi cepat ia kuasai diri nya. Menunjuk dengan botol whisky.ke lantai dekat pintu, ia mencoba tertawa. Seraya berkata dengan bujukan : "Ayo dong, Jamila. Itu 'kan mertuamu. Bukan ---"
"Mayatnya, benar. Pakaiannya, tidak!"
Eddi melihat ke arah apa yang mereka percakapkan. Pura-pura meneliti. Ia sudah melupakan isi botol di tangannya. Yang ada dalam pikiran Eddi hanyalah, bagaimana menyelamatkan nama baiknya, dan bagaimana pula ia harus menampilkan diri di depan Jamila seperti posisi sebelumnya. Namun otaknya tidak mau diajak bekerjasama. Apa yang dapat ia perbuat, hanyalah bersungutsungut tak menentu. "Iya ya. Benar juga. Kok lucu. Mayat mertuamu memakai baju suamimu ___..
Muak lah Jamila dibuatnya. la ulangi pertanyaannya: "Kau apakan suamiku"!"
Dudung yang sudah menangkap gelagat Eddi akan terus menghindar, menjawabkan untuk Jamila : "Sederhana saja, Non. Sudah semenjak tadi aku memikirkannya. Sederhana. Sangat sederhana ---"
Jamila pun bertanya dengan bernafsu : "Jadi di mana sekarang suamiku, Pak Dudung?"
Tanpa berani melihat ke wajah Jamila, Dudung berujar kering : "Dalam peti mati, Non. Yang
dikuburkan tadi pagi ---"
Jamila tersentak. Pucat. "Ya Allah, Tuhanku! Tidak mungkin .Aku tidak percaya ---"
"Itulah kenyataannya, Non"
Beberapa saat lamanya, Jamila hilang pegangan. Tubuhnya mulai limbung. Cepat cepat Dudung memegang tangan Jamila dan menuntunnya ke sebuah kursi. Di situ Jamila duduk terhenyak, sedetik dua. Detik berikutnya, kepalanya kembali tegak. Ia memandang ngeri ke arah Dudung : "dan kalian mengubur suamiku hidup hidup ___"
Dudung menggeleng. Ujarnya, lirih : "Firasatku sudah merasakan itu, tak begitu lama setelah kalian tiba di puri ini tengah malam tadi. Maafkan saya, Non. Saya tak tahu bagaimana terjadinya saya hanya merasakan. Saya pun sudah berusaha mencari barangkali ada yang masih tersisa seperti biasa ---"
Jamila mengerang. Merintih. Telinganya tidak menangkap bunyi kalimat terakhir yang diucapkan Dudung. Lain halnya Eddi. Eddi menangkapnya dengan jelas. Dan Eddi pun teringat ketika ia melihat dari pintu istal, ke dalam ke genangan dan percikan darah betis putus sebatas lutut serpihan serpihan daging segar -Eddi tambah gugup. Kini ia teringat pada botol di tangannya. Dan tanpa membuang tempo sia sia, botol diangkat cepat. Isinya di tenggak. Tanpa berhenti. Geleguk! Geleguk! Geleguk ---!
Dudung pun berpaling. Dan ternyata, wajah itu juga dapat memperlihatkan emosi. Mata tuanya membara. Mulut mengatup, garang. Sementara Jamila mulai mengisak di kursi, Dudung pun meninggalkannya. Ia melangkah panjang dan pasti. Mendekati Eddi, yang seketika menarik mulut botol dari mulut sendiri. '
Dudung pun menggeram. "Kau, manusia tak tahu diuntung ---!"
Eddi pun mundur. Tetapi Dudung terus maju.
"Mau apa kau, tua bangka"!", dengus Eddi, tak senang.
"Kau harus menebus perbuatanmu, terkutuk", seru Dudung sembari menyerbu ke depan. Eddi terdorong ke belakang. Punggungnya membentur tembok. Dan tahu-tahu ia sudah merasa lehernya bagai tercekik. Jari jemari orangtua itu, ternyata mampu juga menjepit sekuat besi --Refleksi menggerakkan tangan Eddi yang memegang botol. Benda itu ia hentakkan ke sudut bufet terdekat. Suara pecahnya berderai mengejutkan. Jamila mengangkat muka, dan melihat botol di tangan Eddi tinggal sepotong. Ujung ujung potongannya runcing berkilat-kilat. Jamila terpekik. Dudung masih terus membenamkan telapak tangan di leher Eddi. Akan halnya Eddi, dengan sisa sisa tenaga akibat tercekik, dibantu pengaruh minuman keras, akhirnya memperoleh kekuatan yang cukup untuk membenamkan ujung pecahan botol ke arah lambung Dudung.
Jamila memejamkan kedua kelopak matanya. Ngeri.
ia tidak tahu bahwa Dudung sedikitpun tidak terpengaruh oleh serangan gelap Eddi. Justru si pemudalah yang tampak terpengaruh. Matanya membelalak heran. ia memang mendengar bunyi tembus meretas mantel hujan lalu baju di sebalik mantel itu. Namun hanya sampai di situ. Ia telah berusaha mendorong botol yang tergenggam di telapak tangan, sekuat kuatnya. Tetap saja tanpa hasil.
Kemudian, perlahan lahan kelopak mata Eddi meredup tertutup.
Dari mulutnya, keluar suara tercekik : "begini cepatkah datangnya kematian ---"
Agaknya, dalam keadaan sedemikian kritis, imajinasi Eddi tetap bekerja dengan baik. Dan itu berakibat lain pada Dudung .Dudung mendadak sontak mundur tersentak. "tidak!", bisiknya, getir. "Aku tidak boleh melakukannya lagi!"
la biarkan tubuh Eddi melorot.
Jatuh tersungkur ke lantai. '
Dudung memandangi dengan ngeri bagaimana tubuh yang tersungkur itu, terkulai diam. Apakah dia sudah mati" Dudung tegak kaku, takut sendiri. Tetapi lambat laun ia mendengar bunyi bernafas. Dudung dapat membeda-bedakan. Mana bunyi nafasnya sendiri. Yang mana bunyi nafas ditahan Jamila. Lalu nafas Eddi, yang terdengar begitu pelan, tersendat sendat. Tetapi paling tidak, pemuda yang tersungkur di lantai itu, masuh ber
nafas' Duuung menghembuskan nafas lega.
Ia kemudian berjalan mendekati Jamila, yang maSih duduk di kursi tanpa bergerak gerak, tanpa berani membuka matanya. Ia dengar suara tubuh jatuh ke lantai. Makin tak berani Jamila menyaksikan. Lalu ia dengar langkah langkah mendekat. Terhuyung huyung. Terbayang Eddi lah yang melangkah itu. Dengan senjata pecahan botol terhunus di tangannya. Menuju dirinya.
Jamila membuka kelopak matanya, serempak.
Serempak pula ia menjerit : "Eddi, jangan!"
Lalu ia pun bangkit untuk melarikan diri. Tetapi sepasang lengan menahannya. Jamila merontaronta melepaskan diri sambil terus memohon mohon, sampai akhirnya ia mendengar bujukan samar samar, tetapi lembut menyejukkan. Kata kata bujukan itu tidak tertangkap jelas, kecuali satu : " Non!"
Hanya satu orang di dunia ini yang menyebut Jamila, Non.
Dia membalikkan tubuh, berhenti merontaronta, kemudian menghempaskan tubuhnya ke dalam rangkulan orangtua itu. Lalu di dada yang kering dan renta itu, tumpahlah seketika air mata Jamila.
"Mari, Non. Kuantar kau ke kamarmu ---"
Jamila hanya menurut. Antara sadar dan tidak - Tidur, mungkin yang terbaik buat Jamila saat itu.
Tetapi tidak untuk Jaka. Mimpi mimpi buruk serta gambaran gambaran menakutkan, mendorong alam bawah sadar Jaka untuk terjaga.
"Bangun, Jaka. Bangunlah segera!", seakan ia melihat ayahnya berteriak teriak panik. "Ayo, Nak. Selamatkan dia selamatkan dia ----"'
Jaka akan bertanya, tetapi bayangan ayahnya sudah lenyap entah ke mana. Tahu tahu ia melihat sebuah peti mati. Melompat lompat ribut, seakan penghuni di dalamnya memaksa ingin ke luar. Tiba-tiba peti mati itu pecah berantakan. Serpihannya berserakan ke mana mana. Tetapi bukan serpihan kayu. Melainkan serpihan serpihan daging segar. Darah tampak menggenang di mana-mana. Kalau tak salah, di lantai kandang kuda dan ada sepotong betis telanjang lalu seraut wajah.
Dan, itu adalah wajah Nina!
Jaka mengerang dalam tidurnya : mengapa Nina?"
Terdengar suara jawaban, tanpa orangnya ke lihatan. Itu suara ayahnya, pasti. Sayup-sayup sampai. Tetapi jelas panik : "Cepat bangun, Jaka! Jika kau memang mencintai dia ---'"
Jaka menggeliat. Kelopak matanya sempat terbuka. Bahkan tubuhnya pun sudah terangkat sedikit dari kasur. "Aku harus menyelamatkan -Ninaku !", ia mengigau. Lalu kelopak matanya memaksa tertutup. Tubuhnya bagai ditarik kuat ke dasar bumi.
Jaka seakan dipaksa rebah kembali.
Lantas tertidur. Pulas. Jika pun ia mampu untuk bangun, kondisinya yang sedemikian payah toh tidak akan sanggup menolong Nina. Nina sendiri pun saat itu, tidak terpikir untuk mencari pertolongan. Ia memang ketakutan waktu ia dengar lagi nafas berat yang mendesing itu. Namun timbul suatu dorongan gaib untuk melihat dan mengetahui apa gerangan yang mengeluarkan bunyi aneh itu.
Setelah melirik ke kiri kanan, Nina pun melihatnya.
Melihat cahaya berpendar pendar di permukaan rerumputan basah. Cahaya itu Sinarnya redup dan lemah. Namun seperti menusuk mata. Menimbulkan perasaan perih. Apakah Nina pernah melihat cahaya semacam itu. sebelumnya" Oh, tidak. Tidak.
Ia hanya pernah mendengar. Dari omongan penduduk atau buruh setempat. Bahwa mobil yang dikendarai pamannya ketika membawa kabur guci antik dari puri, bukanlah dilempar ke jurang oleh angin topan. Melainkan oleh sesuatu yang mengeluarkan Sinar redup tapi menusuk mata. Dongeng yang sama juga menebar sekitar kematian kakek Nina yang berpenyakit jiwa itu.
Kakeknya percaya, penyakit yang ia derita disebabkan oleh roh roh jahat penghuni jurang-jurang di sekitar puri. Lalu suatu hari ia nekad mendinamit salah satu dinding jurang. Ayah Nina kemudian
bercerita : "dasar orang sakit jiwa. Setelah sumbu dinamit menyala, bukannya dilemparkan. Malah dia asyik sendiri. Dan, bum ! Hancurlah tubuh kakekmu. Berkeping keping'"
Tetapi Abah Dudung pernah mendongeng. Kakek Nina akan mendinamit dinding jurang sebelah Timur. ltu dapat berakibat fatal. Seluruh permukaan bukit di atasnya akan runtuh, termasuk puri dan seisinya. Abah maSih sempat mengejar. tetapi ia terlambat. Dikejauhan ia lihat kakek Nina sudah menyalakan sumbu dinamit. Pas mau di lemparkan, kakek Nina tampak seperti diserang lalu dikurung oleh semacam cahaya redup tapi menusuk mata. Terdengar bunyi ledakan dinamit, tetapi bunyi yang teredam. Dinding jurang tetap utuh. Sinar ganjil itu lenyap. Dan di bekas kakek Nina berdiri, berserakan kepingan kepingan tulang dan serpihan daging manusia . .
Nina menelan ludah. Itukah dia, yang mendekam di rerumputan basah, sinar legendaris yang selama ini dianggapnya sebagai cerita tahayul belaka, untuk menakut nakuti Nina yang membandel setiap kali disuruh naik ke tempat tidur" Dan apa gerangan, yang mengeluarkan Sinar itu "
Nina pun bersijingkat maju Untuk dapat melihat lebih jelas.
Baru dua tiga langkah, Nina sudah berhenti tertegun.
Pendaran sinar itu bergerak. Bukan, bukan sinarnya sendiri. Melainkan sosok sesuatu yang
menebarkan pendaran sinar. Sosok lebar, panjang, dengan gerakan meliuk maju ke arah Nina. Di atas kaki yang luar biasa banyak jumlahnya.
Tak ayal lagi, Nina terloncat mundur.
Barulah teringat untuk menjerit minta tolong. Tetapi jangankan lidah. Lututnya pun terasa bagaikan lumpuh. Nina lantas merasa beruntung, sewaktu ia rasakan punggungnya tertahan sesuatu, dan sesuatu itu adalah mobil. Mobil dari mana Nina barusan turun.
Nina pun merayap seketika.
Masuk ke dalam mobil. Pintu pintu ditutupkan. Dikunci sekalian. Ingat lampu depan masih menyala, Nina pun buru-buru memadamkannya. Seketika ia berada dalam kegelapan total. Meringkuk di jok belakang mobil. Tanpa berani mengeluarkan nafas. Meski, sekujur tubuhnya bergemetar hebat, dan keringat dingin dengan cepat sudah menguyupi kulit tubuhnya yang terasa membeku.
Pendaran sinar itu, sesaat mengabur, menghilang.
Sudah pergikah dia" Nina baru saja akan mengangkat muka, ketika bukan hanya sinar, tetapi juga banyak sekali kaki kaki yang tak karuan bentuknya, tahu tahu sudah merayapi kaca jendela pintu di depannya. Merayap tanpa suara, naik terus ke bagian atas mobil, namun yang masih tersisa di belakangnya seakan tak habis habis. Nina menggerakkan leher untuk melihat ke jendela kaca yang berseberangan. Kakikaki yang.naik paling dahulu, kini sudah turun merayap di sebelah sana.
Lantas, tiba-tiba sekali, gerakan kaki-kaki itu berhenti.
Terdengar bunyi nafas lagi. Berat. Tersendat sendat. Didahului suatu desingan panjang yang seketika menulikan telinga Nina, kaki kaki yang luar biasa banyak serta menutupi samping kiri maupun samping kanan mobil, tahu tahu bergerak seperti menekan. Jendela jendela kaca retak, kemudian pecah berantakan.
Barulah Nina terpekik, kemudian menjerit, kemudian lagi meronta-ronta histeris. Tetapi suaranya habis ditelan oleh bunyi baja berkeriut lalu pecah di beberapa tempat, begitu hingar bingar. Peristiwanya berlangsung hanya dalam beberapa helaan nafas saja. Dan ketika bunyi pecahan kaca maupun baja.menghilang, sinar redup tapi menusuk itu pun ikut menghilang entah ke mana.
Apa yang tertinggal, hanyalah mobil, ah, sisa sebuah mobil.
Teronggok gepeng dalam bentuk menyedihkan.
Curah hujan membasahi onggokan mobil itu. Dan dari celah-celah pecahan baja, darah merembes ke luar. Terus mengalir, memerahi air hujan, lalu menggenang di aspal yang menghitam kelam.
Di kamar tidurnya, Jaka menggeliat resah.
Kelopak matanya masih terpejam. Namun dari sudut sudutnya menetes ke luar, butir-butir air
bening. *** *** Perdana mandul. Rita tak keburu punya anak ketika ia dari suaminya -Nina, apalagi. Nina tak mengharapkan anak dari Eddi. Dan Jaka ----"
Jamila menyentuh tangan lelaki tua dan renta itu. Tanpa mengucapkan sepatah mata. Kecuali memandang dengan sinar mata tersimpathi. Dudung mengangkat mukanya. Balas menatap. Dan untuk.pertama kali semenjak mereka bertemu, Dudung tampak punya keberanian untuk menatap berlama-lama. Seakan ia kuatir Jamila tibatiba menghilang tanpa sepengetahuannya. Sinar mata tulus dan senyuman lembut di bibir Jamila, menyejukkan hati Dudung. Ia sedikit terhibur. Lantas ikut ikutan memaksakan senyuman di bibir tuanya. "Apakah kau sudah mengantuk, Non?"
Terkulailah tangan Jamila yang tadi mengelus. Seperti juga kepalanya. Terkulai di bantal. Lemas "Mengantuk", ia bergumam, lirih. "Dan suamiku terkubur di luar sana! "Belum lagi mertuaku. Dan Rita -----"
Juga Nina, Dudung membathin, dan lebih banyak lagi orang orang lain sebelum mereka! Namun di bibir, Dudung berujar lain: "Setidak tidaknya, Non masih hidup ----"
"Benar-", Jamila mengangguk, patah. Kelopak matanya dipejamkan. "Benar. Aku masih hidup. Untuk -jadi janda dua kali!"
"Non . . Kelopak mata Jamila tetap terpejam. Rapat. "Aku tidak percaya Suamiku sudah mati. Ia hanya pergi jogging. Ke barak. Dan aku hanya -sedang bermimpi. Aku akan segera bangun Dibangunkan oleh suamiku. Dengan kecupan mesra di bibirku. Dan ---"
"Non mencintainya?", Dudung berujar, dengan suara agak dikeraskan.
Jamila membuka matanya. Terkejut. "Apa?"
"Barusan aku tanya. Apakah kau mencintai suamimu"
"Cinta?". mata Jamila terbuka, memang. Tetapi mata itu menerawang. Jauh. Berusaha melihat dan mengingat ingat. Kapan pertamakali ia bertemu Perdana. Apa saja yang mereka bicarakan. Dan bagaimana kiranya, tahun-tahun yang mereka lalui bersama
"Cinta !", desah Jamila, sendu." kami tidak pernah membicarakannya! Suamiku sudah terlalu tua untuk mengatakan omong kosong semacam itu. Mana duda pula. Ketemu janda", Jamila tersenyum sendiri. Senyuman mengambang. "kami bertemu, merasa cocok satu sama lain. Lalu suatu malam, ada serombongan orang tak kukenal menerobos masuk ke kamarku. Sibuk sekali mereka Dan ketika mereka sudah pergi, kamarku sudah penuh sesak dengan buket-buket bunga. Tidak ada kartu nama si pengirim. Kecuali sepotong kertas warna merah jambu. Di buket bunga anggrek putih beledru. Di situ tertulis : Bersediakah kau jadi isteriku?"
Wajah Jamila yang pucat, sesaat tampak memerah. Senyuman di bibirnya sempat tampak bahagia. Seperti juga suaranya: "Duda yang tolol!
Masih juga ia bertanya"
"Indah sekali, Non"
"Sangat indah. Sampai ketika itu, aku ---"
Jamila segera tersadar. Indah sekali' Dan suara itu dekat di telinganya. Suara Dudung. Lalu ia dengar suara-suara lain. Hujan badai dan topan angin. Terus mengepung dari segala penjuru. Menerjang. Menghimpit.
Jamila berpaling. Dari kursinya, Dudung tersenyum misterius. "Indah sekali . . .", Dudung mengulangi kata katanya. "Dan pasti akan selamanya indah, jika semuanya didasari hati yang tulus. Bukan dikarenakan nafsu birahi semata. Atau dikarenakan sifat tamak ---"
Terkejutlah Jamila. "Pak Dudung! Aku tidak ---"
Dudung menundukkan kepala. Dengan sopan. "Maaf. Aku tidak membicarakan tentang Non. Tetapi beberapa orang orang lainnya ----"
*** "Mau mendengar dongeng, Non?"
"Apa?" "Yaah. Katakan saja, sambil kita menunggu badai reda. Mudah-mudahan Non pun akhirnya tertidur pulas. . ."
"Umurku sudah 28, Pak Dudung!"
"Apakah umur membatasi seseorang untuk boleh tidaknya mengetahui hidup dan kehidupan manusia lain, di luar dirinya sendiri Non?"
"Oh, tentu saja tidak ---"
"Non suka mendengar dongeng!"
"Terkadang, ya. Tetapi ----"
"Nah. Akan kuceritakan sebuah dongeng menarik untuk Non seorang", tukas Dudung tanpa memberi kesempatan pada Jamila untuk menahan maksudnya. Dan, wajah Dudung memperlihatkan, ia memang tidak mau dicegah! Matanya pun Sudah menerawang. "Dari mana aku harus memulai dengan apa Atau, konon menurut sahibul hikayat ----"
LEMBAH KARANG, dahulunya tidak dihuni manusia. Karena sejauh mana pun mata memandang, yang tampak hanyalah batu dan batu karang semata. Menghampiri lembah, bukit bukit, sampai ke lereng lereng gunung. Sungguh tidak menarik untuk dijadikan tempat berkeliaran, konon pula untuk menetap. Namun demikian, ada juga yang nekad menginjakkan kaki di sana. Umumnya bermaksud menjalankan tapabrata; memperdalam ilmu gaib. Ada pula yang sekedar untuk gagah gagahan saja; dengan taruhan beberapa keping emas sebagai bukti keberaniannya.
Banyak di antara mereka tiada kabar beritanya lagi. Lenyap begitu saja. Tanpa meninggalkan jejak. Yang berhasil lolos dari Lembah Karang, tidak pula dapat dikatakan bernasub mujur. Karena ia muncul kembali dalam keadaan sudah hilang ingatan, bahkan gila. Yang mentalnya lebih kuat, Pun kembalinya dalam keadaan sekarat; tersiksa
oleh luka luka mengerikan di sekujur tubuh.
Kemudian, muncullah kabar yang semakin santer dan menggemparkan. Roh roh gaib yang haus darah itu, akan merambah wilayah-wilayah sekitar. Lembah Karang sudah kehabisan mahluk hidup untuk dimangsa!
Bupati tidak tinggal diam. Soeryadi Ajilaksana, putera salah seorang selir kesayangan diperintahkan untuk menggempur Lembah Karang. Dan jika mungkin, menjadikan Lembah Karang sebagai lahan yang bisa dihuni dan ditanami. Tantangan Soeryadi Ajilaksana beserta pengikut pengikut setianya, disambut oleh penghuni Lembah Karang dengan gegap gempita. Mereka balas menggempur dengan menggunakan hujan badai dan angin topan sebagai kendaraan perang; sekaligus sebagai senjata pemusnah musuh musuhnya.
Ternyata Soeryadi Ajilaksana terlalu sakti untuk dimusuhi. Sebagian terbesar pasukan roh roh gaib musnah. Sisanya lari menyingkir ke tempat tempat jauh. Pemimpin mereka, ditawan; dan baru akan dilepaskan setelah dengan kekuatan gaibnya ia ikut membantu merubah Lembah Karang dalam kondisi siap pakai. Sang Pemimpin taklukan itu memperlihatkan pengabdiannya secara sungguh-sungguh sebagai hamba yang dapat dipercaya. Ia buka lahan lahan yang dengan cepat sudah menjadi subur. la ikut pula membantu membangun puri untuk kediaman Soeryadi Ajilaksana beserta keluarga. Tetapi setelah tugasnya selesai, ia pun datang menghadap penakluknya.
"Sisasisa rakyatku sudah terpecah pecah. Terpisah pisah pula di tempat yang sangat berjauhan satu sama lain. Dengan pemimpin-pemimpin mereka yang baru ----"
"Lantas, apa rencanamu?", tanya sang.penakluk.
"Aku akan terus mengabdi di sini. Selain sudah terlanjur betah, juga untuk mencegah jika ada di antara rakyatku yang coba mengkhianati Paduka. Terserah, apapun tugas yang Paduka embankan di atas pundakku, akan kuterima dengan senang hati . . ."
Soeryadi dapat memahami alasan itu. Dan si bekas pemimpin pun diserahi tugas menjaga lahan dan puri, termasuk kaum pengikut yang telah berjasa membuka dan bersedia menetap di Lembah Karang. "Siapapun yang merajah tanpa hak, harus kau singkirkan. Jika perlu, musnahkan".
"Paduka dapat memegang janji saya'", sahut bekas penguasa roh gaib yang wujudnya masih tetap gaib itu. Wujud berupa cahaya cemerlang berwarna warni pula. Wujud kebanggaannya, dan kebanggaan rakyatnya. Yang pasti akan dikagumi siapapun, jika tidak mengingat perbuatan perbuatan jahat mereka sebelumnya.
"_ kau pernah melihat pelangi, Non?"
Jamila tersentak oleh potongan kisah Dudung. "Ya. Mengapa?"
"Seperti itulah wujud mereka. Sampai detik ini
pun aku masih tetap percaya, bahwa pelangi yang sering kita lihat muncul di banyak tempat, adalah jelmaan roh roh itu. Mereka sesekali menampakkan diri, untuk melihat Sisa sisa kejayaan mereka di masa lalu. Dan, melihat kemungkinan, apakah mereka dapat merebut kekuasaannya kembali ke tangan mereka!" '
"Ah. Yang benar!"
"Tetapi itulah yang dikatakan oleh si pemimpin taklukan Soeryadi Ajilaksana"
"Astaga. Kepada si penakluk sendiri?"
"Oh. Tentu saja ia tidak berani. Ia mengatakannya pada orang lain!"
Dia seorang pemuda yang sudah tumbuh dewasa dan ingin membuktikan keberadaannya di hadapan orang lain. Ia masih bocah tanggung, ketika ia dan seorang bocah perempuan sebayanya, dibawa serta ke Lembah Karang sewaktu Soeryadi memboyong istri dan anaknya ke sana. Anak satu-satunya Seorang putri rupawan bernama Sekar Soesilawati. Karena usianya juga hampir sebaya, jadilah si anak lakilaki menjadi pelayan pribadi sekaligus penjaganya selama berada di puri. Dan si anak perempuan, sebagai dayang. Putri Sekar tidak memperlakukan mereka sebagai hamba sahaya. Lebih banyak sebagai sahabat, bahkan terkadang seperti saudara kandung sendiri. Apalagi setelah ibundanya meninggal sebagai korban pemberontakan sekelompok kecil pengikut Soeryadi Ajilaksana, tanpa diketahui
jelas sebabsebab mereka mencoba melakukan makar. Karena begitu pemberontakan mereka dipadamkan, mereka semua pun lenyap sirna. Tentu saja si pemimpin taklukan dipanggil. Dan ia memberi penjelasan yang memang masuk akal dan mau tidak mau harus diterima oleh sang penakluk. "Bukankah Paduka sendiri yang bertitah. Siapapun yang merajah tanpa hak ----"
Baru di belakang hari, diketahui ada apa di balik semua itu.
Oleh si pelayan pribadi Putri Sekar, yang kedudukannya sudah naik menjadi pelayan kepala di puri.
Bermula, ketika dayang sang putri setelah tumbuh dewasa, diamdiam menarik perhatian Soeryadi Ajilaksana yang sudah lama hidup menduda. Lalu tahu tahu saja. suatu hari ia telah mengeluarkan keputusan. Si dayang, akan dijadikan selir. Bukan sebagai istri, karena ia hanya mengenal satu orang istri, yakni ibunya Putri Sekar, yang teramat sangat dicmtainya. Sebagaimana ia juga teramat sangat mencintai sang putri, yang keturunan satu satunya itu.
"Aku mengambilmu, semata mata karena aku tertarik secara seksuil belaka'", ia berkata terus terang, pada dayang kesayangan putrinya.
Bencana pun dimulai: dayang itu tidak keberatan.
Yang teramat sangat keberatan, adalah pelayan kepala. Dengan siapa ia diam diam menjalin hubungan cinta, yang hanya diketahui Putri Sekar
Seorang. Mereka mengadakan janji temu rahasia, di mana si perempuan menegaskan: "Apakah aku mampu melanggar titah beliau" Dan kau, beranikah?"
"Siapa yang berani," rungut si pencinta yang malang, marah. "Dia terlalu sakti untuk dilawan!"
"Jadi, apa boleh buat bukan" Berharap saja ia cepat mati. Sehingga kita bisa berkumpul lagi. Dan sementara itu, aku akan membujuknya. Agar mengangkat dirimu sebagai anak laki-lakinya!"
Si pemuda tergiur mendengarnya. Dia akhirnya merelakan sang kekasih dijadikan selir majikan mereka. Agaknya mereka berdua, memang pasangan yang serasi. Yang satu tamak, yang satu gila martabat. Tetapi cinta, tidak akan padam karenanya. Malah semakin berkobar, dan akhirnya sulit dikendalikan. "Si tua itu masih perkasa di tempat tidur. Tetapi mana aku bisa dipuaskannya. Karena yang kuinginkan bukan dia, tetapi kau
Tantangan sang kekasih tentu saja dilayani dengan baik oleh si pemuda. Di tempat tempat pertemuan rahasia, mereka lampiaskan kerinduan yang terpendam. Berpuas-puas, lupa diri. Sampai suatu ketika, perempuan itu pun hamil. Dan Soeryadi Ajilaksana, tahu-tahu marah besar. Berteriak murka pada selirnya: "Katakan terus terang, siapa yang membuntingimu. Akan kubunuh dia!"
Selirnya menjawab ketakutan: "Bukankah Paduka sendiri, yang ---"
"Dasar perempuan kotor dan hina! Ketamakan membutakan mata dan pikiranmu. Kau lupa, kenapa kau kujadikan selir. Berlagak tak tahu, bahwa aku tidak pernah bermimpi memperoleh keturunan darimu! Tidak ingatkah kau, setiap kali sebelum aku naik ke atas tubuhmu, _ aku bertapa semedi lebih dulu. Untuk membunuh benih benihku yang kemudian mengalir ke dalam rahimmu, perempuan tolol"
Selir sial itu pun habis dipukuli. Mujur, ia keburu pingsan. Dan ketika siuman lagi, Soeryadi sudah tidak ada di kamar. Sang kekasih diberi isyarat. Mereka pun bertemulah di tempat rahasia vang biasa. "Dia akan membunuhmu. Cepat cepatlah lari!"
"Lari" Ke mana?"
Sekali lagi mereka beruntung. Soeryadi Ajilak sana dipanggil mendadak untuk menghadap Bupati. ia harus segera berangkat bersama utusan yang menjemputnya. Tak boleh membuang buang tempo. Dan Soeryadi memang tidak membuang tempo, walau hanya satu helaan nafas saja. Karena kabar yang ia terima dari utusan itu, sangat mengejutkan: Putri Sekar menghilang!
Cukup lama juga Soeryadi meninggalkan Lembah Karang. Dan cukup lama dua kekaSih gelap itu kalang kabut mencari jalan selamat .Mereka sadar, kemanapun mereka pergi, mereka tidak akan lolos dari kejaran dan pembalasan dendam Soeryadi yang sakti mandraguna. Tiba tiba, muncullah dewa penolong.
Kebetulan, si anak muda menangis berkeluh kesah sewaktu roh qaib taklukan itu, lewat di dekat
nya. 'Terjadi tanya jawab, sedang Si pemuda berusaha mengelak karena tahu apa akibatnya pada dirinya jika roh gaib itu dengan setia mengemban tugas dan memberlakukan pula atas diri anak muda itu.
"Aku sudah tahu Aku sudah tahu," si taklukan berkata menenangkan. "Tetapi mengapa harus putus asa begitu" Sungguh memalukan"
"Tetapi ---" "Sudahlah! Kita ini sahabat, bukan" Kita punya majikan yang sama. Yang pernah berusaha ingin membunuh kita!"
Dan menyerahlah si anak muda. Ia menceritakan semuanya, pasrah.
"Seperti kubilang tadi," kata roh gaib yang bertugas sebagai penjaga gaib itu. "Aku sudah tahu. Hanya ingin saja agar kau mau berterus terang dan mau mempercayaiku sebagai sahabat. Yang siap untuk menolong sahabatnya pula."
"Dengan.apa?" "Memanfaatkan kelemahan musuh kita bersama'"
Tahulah si anak muda, apa yang tersembunyi di balik pengabdian roh gaib taklukan itu, dan apa pula yang terjadi di balik pemberontakan sebelumnya, disusul musnah tanpa bekas para pemberontak itu. Tetapi apa bedanya, sekarang ini"
"Apa yang kau ketahui?", ia pun bertanya. penuh harap.
"Majikan kita punya titik lemah. Di ubun ubunnya", jawab roh gaib yang bercahaya itu, semakin
mencemerlangkan penampilannya. Warnawarninya pun dibentuk berbunga-bunga, membuat si anak muda yang melihat menjadi terkagum kagum. Lalu kemudian mengeluh: "Sayang sekali!"
"Lho. Ada apa?" pemuda itu tersentak, cemas
Roh gaib itu tertawa. Dan mencemooh dengan manis: "Sahabatku yang butek pikiran! Kau lihat sendiri bukan" Aku kini tak lebih dari hamba sahaya belaka. Karena kekuatan gaibku tidak mampu menembus ubun ubun musuhku. Apakah jelas?"
"sangat jelas!", si anak muda mulai lagi menangis. Putus asa.
*** "Duh. Duh Air matamu tak habis-habis. Tanpa kau tahu, betapa teramat besar manfaat air matamu itu buat menyelamatkan diri!"
"Air matamu, sahabatku. Air mata mahluk hidup. Bukan air mata mahluk gaib. Hanya air mata mahluk hidup yang dapat melumpuhkan penangkal gaib dan kemudian melumpuhkan kesaktian majikanmu"
"Air mataku" Bisa?", si pemuda terlonjak gembira. Lalu, terduduk lagi. Ketakutan "Tetapi membunuh junjunganku ----"
"Ia bukan junjunganmu lagi sekarang. la calon pembunuhmu sudah!"
"Memang. Jadi -----"
"Coba kita analisa sebentar. Kekasihmu dirampas. Sudah dirampas, hanya dijadikan selir. Kaupun memang diangkat anak. Tetapi dengan pembatasan pembatasan menyedihkan. Benar toh?"
Anak muda itu membenarkan. Terlalu, dia! Memang aku diangkat anak olehnya. Tetapi dengan syarat menyakitkan. Aku belum akan memperoleh apapun, sampai kelak mendapat persetujuan dari ahli warisnya yang syah. Padahal, Juragan Kecil Ini ___"
"_ Juragan Kecil!", Jamila membuka matanya lebar-lebar. "Hei, Pak Dudung. Kau pernah memanggilku dengan sebutan itu. Salah nama pula. Non Lola"
"Juragan Kecil, panggilan akrab saja, Non ___", sahut Dudung, terjengah. "Adapun Non Lola, itu nama lain dari Putri Sekar. Nama pemberian Asisten Residen Belanda, sahabat baik Raden Soeryadi Ajilaksana. Si bule itu sayang banget pada Putri Sekar. Sering ia bawa _berlibur ke tempat tempat jauh, dengan kapalnya. Seperti hari itu. Putri Sekar diboyong ke kapal. Untuk dijauhkan dari ayahnya ---"
"Kok?" "Ya jelas, dong. Pada hari itu, ayahnya kawin lagi. Putri Sekar marah besar. Benar ia menyayangi dayang pribadinya. Tetapi bukan untuk dijadikan istri ayahnya. Agar tidak terjadi keributan di puri, maka ia pun diajak Asisten Residen pergi berlibur. Tetapi rupanya ia tak juga gembira. Ia kemudian minta diantar pulang. Bukan ke Lembah Karang. Tetapi ke rumah neneknya di Kabupaten. Dari
sanalah, ia kemudian minggat. Ke mana, tak ada yang tahu. Setelah lewat bertahun tahun yang membingungkan dan tanpa harapan, barulah kabar beritanya muncul. Tetapi sudah terlambat!"
"Terlambat bagaimana?"
"Ayahnya sudah meninggal. Dan di puri, sudah ada penguasa baru!"
"Oh. Oh. Bagaimana itu terjadinya?", tanya Jamila penasaran, sambil merungkut di tempat tidur, begitu di luar terdengar bunyi gelegar guntur dan petir yang menyambar nyambar galak, seakan mau menerobos jendela kamar tidurnya.
Terjadinya, terutama bukan karena dorongan sakit hati. Tetapi ketakutan akan pembalasan dendam. Roh gaib, mantan penguasa alam gaib di Lembah Karang itu telah menjelaskan segala sesuatunya. Dan diakhiri dengan sebuah peringatan keras "Ingat. Jangan tinggalkan senjatamu dari ubun ubunnya. Cabut seketika itu juga. Jika kau biarkan tertinggal, akan celakalah kita. Dan aku, tentu saja, tak akan membiarkanmu begitu saja. Sekali kau melakukan kesalahan dan aku ikut terkena getahnya; maka aku tidak akan membiarkan kau maupun keturunanmu hidup bahagia. Kematianmu maupun keturunanmu, pun akan kubuat sesengsara sengsaranya!"
Lawan bicaranya, tentu saja ketakutan setengah mati. Sampai ia terkencing di celana Betapa tidak.
Gagal membunuh majikannya, celaka besar akan menimpa diri. Jika tidak dilaksanakan, celakanya tak berkurang pula. Tiada jalan lain. Ia harus melakukannya. Karena ia didukung oleh bekas penguasa alam gaib itu. Dan juga didukung oleh gagasan, sebagai anak angkat ia akan menjadi penguasa sementara di puri. Sebelum ada ketentuan dari si ahli waris yang syah. Tetapi bukankah si ahli waris yang syah itu sudah hilang rimba" Tak tentu apa kah akan kembali atau tidak" Dan jangan lupa: sang kekaSih menunggu. Di tempat tidur yang hangat. Bukan lagi secara sembunyi sembunyi. Tetapi sebagai istrinya yang syah. Tentu saja, setelah nantinya anak itu lahir -Sebagaimana dijelaskan oleh si roh gaib: "Jauhi dulu kekaSihmu. Biarkan kandungannya tumbuh dan kemudian lahir. Agar semua orang yakin, bahwa itu memang keturunan majikan kita. Bukan keturunanmu ---"
"Tetapi ada beberapa orang yang tahu tentang kemandulan musuhku itu _---"
"Ah. Jangan pikirkan mereka. Nanti kita atur belakangan!"
Dan jadilah si calon algojo hanya memusatkan perhatian dan pikirannya pada satu sasaran saja. Mengoleskan titik titik air mata ke keris milik Soeryadi Ajilaksana sendiri. Keris yang terlupa dibawa pemiliknya, saking panik memikirkan hilangnya sang putri. Setelah selesai dan diberi jampi-iampi gaib oleh si roh gaib sendiri, keris kembali disimpan di tempatnya semula.
"Kau harus berhasil," katanya. "Karena, jika kau berhasil bukan saja kau akan selamat. Kau juga akan memperoleh kekuatan baru. Yang akan mengalir ke tubuhmu, dari ubun-ubun musuh besar kita, begitu kau hunjamkan keris ini di ubun ubunnya!"
"Kek uatan apa itu?"
"Hidup panjang. Dan kebal senjata tajam"
Dan, pulanglah Soeryadi Ajilaksana, tak berapa lama kemudian. Dengan tubuh letih lesu, dan jiwa yang patah. Ia sudah melupakan selirnya. Bahkan tak perduli pada siapa ia berbicara. Pendeknya apa yang ia perbuat hanya menangis dan berkeluh kesah. Putrinya, yang sangat dicinta, hilang dan minggatnya karena kelakuan Soeryadinata sendiri.
"Pasti ia terseret arus perang", katanya pada suatu hari pada si pelayan kepala. "Habis" Yang diikutinya, menurut saksi saksi mata, adalah paman sepupunya yang selama ini diam-diam berjuang melawan pemerintahan bangsanya Asisten Residen kita ---!"
"Sebaiknya Paduka tidur saja. Semoga ketika bangun, sudah ada kabar berita tentangnya sampai pada kita ----", bujuk si pelayan, lembut. Padahal di dalam hati, takut tiada terperi.
"Ah. Tidur. Kau benar. Itulah yang terbaik dilakukan sekarang ini. Sementara Asisten Residen yang merasa ikut bertanggung jawab, mengerahkan banyak pasukannya untuk mencari putriku. Aku memang perlu istirahat. Dan jika belum juga ada kabar, aku akan ikut mencari sampai putriku kutemukan, dan mau memaafkan kesalahan ayahnya
yang dungu ini --" Dan tertidurlah Soeryadi Ajilaksana.
Kelelahan. Dan hanya dengan bantuan gaib dari si penguasa gaib, si pelayan berani iuga mengambil keris, menghunusnya, bersijingkat ke tempat tidur. Tetapi pas ketika ujung pisau akan menembus ubun-ubunnya, Soeryadi Ajilaksana menggelit bangun dengan resah. Dan bangunnya itu, justru menyongsong datangnya keris. Tak pelak lagi, keris itu terhunjam dalam di batok kepalanya. sulit untuk dikeluarkan.
Panik, pelayan kepala itu pun melompat mundur.
la ketakutan setengah mati, melihat majikannya tidak segera mati. Soeryadi Ajilaksana memang tangguh. Ia melihat ke arah pelayannya. Bertanya heran: "Mengapa kau lakukan ini?"
Si pelayan jatuh berlutut di lantai. Menangis putus asa, mengemis ampunan dari majikannya. Seraya berusaha cuci tangan: "Duh, Gusti. Duh, Paduka semua ini bukan karena kemauan saya. Saya termakan bujukan jahatnya ---"
Soeryadi Aiilaksana tidak dapat dibodohi. "Entah apa alasannya, kau pasti menaruh dendam padaku. Lalu kau berkomplot dengan si penjaga. Benar?"
"Tolonglah saya, Paduka. Saya tidak bermakSud ---"
Kelopak mata Soeryadi pelan-pelan menutup. Tetapi tiba-tiba ia buka lagi. Dan terlontarlah kutukannya: ' Budak hina. Sekali budak, tetaplah kau
jadi budak sepanjang sisa hidupmu! Sampai darahku mengampuni dan mengakhiri penderitaanmu!
Nafas Soeryadi Ajilaksana mulai tersentak sentak, menjelang putus. Ia masih sempat menambahkan: "adapun temanmu berkomplot itu jadilah dia mahluk yang rakyatnya sendiri pun akan jijik dan ketakutan!"
Soeryadi Ajilaksana kemudian terkulai. Jatuh di bantalnya. Mati. Sejenak, si pelayan masih bimbang. Baru agak lama kemudian ia beranikan diri mendekati tempat tidur. Yakin majikannya sudah mati, tangan si pelayan menggapai untuk mencabut keris dari ubun-ubun si mati.
Dan, pelayan itu pun membelalak sendiri.
Sebelum sempat ia sentuh, gagang keris bergerak sendiri. Turun, membenamkan diri di kepala pemiliknya. Tanpa meninggalkan bekas luka segores pun juga. TUbuh Soeryadi Ajilaksana, aneh sekali, sudah berubah dingin seketika itu pula Langsung membeku!
***
Pewaris Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
JAMlLA TERSENGAL. SESAK NAFAS.
Tersentak Dudung dibuatnya. "Ada apa, Non?"
Jamila menggeleng pelan. "Dongengmu, Pak Dudung. Memang agak menghibur tetapi dengan akhir yang begitu mengerikan'"
"Faktanya memang begitu, Non."
"Fakta. Hem Tadi pun diam diam aku mencocok cocokkan. Kesimpulanku, tak bisa lain. Kau,
Pak Dudung, bukan mendongeng. Tetapi mengungkapkan riwayat hidupmu sendiri"
Dudung tetap tenang. Tidak memperlihatkan emosi apaapa di wajahnya. "Bagus. Non sudah mulai paham!"
Jamila pun lantas bingung sendiri. "Memahami apa, Pak Dudung" Dongeng masa lalumu" Baiklah. Mungkin ada beberapa yang benar. Selebihnya, fantastis. Roh roh gaib mengendarai hujan badai dan angin topan! Tetes air mata dioleskan ke keris yang terbenam menghilang di kepala seseorang. Bukan main!"
"Kenyataannya memang demikian, Non!", Dudung berupaya hati-hati. "Aku tak lebih dari seorang pembunuh. Dan orang yang kubunuh adalah -----"
"Pak Dudung," Jamila berkata sabar. "Lupakan sajalah. Semua itu sudah lama berlalu. Mungkin lima puluh, tuiuh puluh tahun ---"
"Lebih dari seratus tahun, Non!", Dudung membetulkan.
"Oh, oh. Lebih dari seratus tahun!", Jamila tertawa parau. "Apa lagi. Sudah tidak ada manfaatnya diungkit ungkit. Dan, maaf. Bukan bermaksud mengecilkan arti kehidupanmu di masa lampau. Tetapi, yah. Aku tidak melihat apa perlunya semua itu kau ceritakan padaku!"
"Ada, Non. Dan Non terkait di dalamnya," sela Dudung, dingin.
"-apa" Aku"!"
"Kau, Non. Serta kematian beruntun yang menyertai kehadiranmu di puri ini. Sesuatu, ,yang belum pernah terjadi sebelumnya!"
"Astaga ---" "Sebelum kujelaskan lebih jauh, Non, aku akan mengajukan satu pertanyaan.'Hanya satu, dan yang selebihnya Non kelak akan memahami sepenuhnya .Dudung menatap tajam ke mata Jamila. "Kau ingat siapa nama leluhurmu, Non?"
"Apa hubungannya -----"
"Siapa?" Pertanyaan yang semakin ditegaskan itu membuat Jamila tidak berdaya. Ia pun lantas memberitahu: "Yang kuingat, hanya sebatas almarhum kakekku saja. Beliau lebih dikenal nama belakangnya, Samalanga. Adapun nama lengkap kakekku itu ...."
Jamila pun mendadak tertegun. Jelas ia terperanjat sendiri. "Mustahil. Pasti tak ada hubungannya!"
"Nanti akan Non lihat hubungannya. Siapa nama lengkap kakekmu, Non?", Dudung mendorong.
"Soeryadi Samalanga. Soeryadi ----", Jamila berujar dengan suara takjub.
Wajah Dudung mengeras. "Kakekmu itu, Non. Adalah buyut dari Juragan Kecilku. Buyut Putri Sekar Soesilawati"
"Dan, aku adalah ---", semula Jamila ingin menanamkan.
Namun, lidah dan mulutnya tahu-tahu serasa terkunci.
Mimpikah dia" Badai hujan di luar sana. terus menggedor dan
menggedor. Garang. Semakin garang. Terasa seperti ada yang menunggu di balik jendela. Dan, sudah mulai hilang kesabarannya!
*** 16 DUDUNG bangkit dengan wajah gelisah. la Derjalan ke jendela. Mengintai ke luar, setelah lebih dahulu mengusap embun yang menempeli kaca. Di kejauhan, samar samar ia dapat melihat bangunan istal yang sedang menuju kehancurannya. Salah satu sudut istal malah sudah roboh berantakan. Dan justru di situ Dudung menyimpan ember kayu, bekas tempat makanan kuda. Dengan kepala dan sisa tubuh Rita di dalamnya. Ember itu pasti sudah tertimpa reruntuhan.
"Rita yang malang", Dudung membatin. Nina pun tidak kurang malang dan menderita. Seperti juga Parja, ayah mereka. Lalu, Perdana. Dudung belum tahu bagaimana caranya Perdana menemui ajal. Tetapi apa bedanya" Mereka semua telah pergi. Kini hanya tinggal dirinya, dan Jaka. Sungguh ironis. Mengingat yang satu adalah generasi awal, yang satunya lagi generasi akhir. Dan Jaka bukan mustahil adalah yang paling akhir. Tidak akan ada lagi penerus setelah dia.
Kecuali, jika Dudung dapat melakukan sesuatu.
Dengan darah. Darah Raden Soeryadi Ajilaksana. Lebih dari seratus tahun Dudung kalang kabut memikirkan teka-teki majikannya yang misterius itu. Tetapi ia tidak pernah menemukan jawab
nya. Yang ternyata, alangkah sederhana. Soeryadi Ajilaksana memang sudah mati. Namun darahnya masih tetap segar. Masih tetap hidup. Mengalir di dalam tubuh lain. Tubuh perempuan yang saat ini berbaring patah semangat di atas tempat tidur. Jamila!
Tetapi kini muncul teka teki baru.
Sampai detik ini Jamila masih belum menyadari apa yang mereka hadapi. Namun pada akhirnya, Jamila akan menangkapnya juga. Pertanyaannya sekarang, adalah: bersediakah Jamila melakukannya"!
Di lain pihak, Jamila ternyata belum siap menerima kenyataan. Beberapa saat berlalu, dia masih tetap berdiam diri. Dalam kebingungan, yang seakan tak ada akhir semenjak ia menginjakkan kaki di puri keluarga suaminya ini. Batinnya memperingatkan. Tenang, Jamila, tenanglah. Jernihkan pikiranmu. Dan jangan sekali kali tinggalkan akal sehat!
Jamila menggeliat bangun. Dada diusap, nafas ditarik sedalam dalamnya. Kemudian dibuang, lepas-lepas. Ketika ia berpaling melihat ke arah Dudung yang saat itu memunggunginya, Jamila tidak tahu bagaimana kiranya perasaannya pada orangtua itu. Seorang pembunuh. Sungguh aneh mendengarnya. Lebih aneh lagi, dia bilang yang ia bunuh leluhur Jamila pula. Padahal selama ini Jamila selalu tak dapat menahan kerinduan pada tanah kelahirannya; tiap kali ada yang menegur: "Hai, Putri Aceh!"
Pasti telah terjadi kekeliruan identitas, pikir Jamila. Dan kekeliruan itu pasti bukan pula pada pihaknya!
Berpikir sampai di situ, Jamila pun tidak dapat menahan diri untuk membenarkan pendiriannya. Maka ia pun berkata. "Agaknya telah terjadi ke salahpahaman, Pak Dudung. Hanya karena nama yang kebetulan bersamaan ---"
Dudung membalikkan tubuh. Bertanya: "Apakah suatu kebetulan pula, Non. wajahmu dan wajah Putri Sekar, bagai pinang dibelah dua?"
"Oh. Jadi itu sebabnya Bapak terkadang salah menyebut panggilanku. Non Lola, Si Juragan Kecil!", Jamila tersenyum mengerti. "Namun, kemiripan wajah belum membuktikan apa apa"
"Masih ada beberapa bukti lainnya, Non," jawab Dudung, datar. "Ayah pengganti, jika tak salah dengar. Ia membawa titipan kalian dari Medan. Untuk mertuamu. Dari mertuamulah aku mendengar tentang dia ..."
Jamila terperanjat mendengar keterangan itu. "Dia heran. Tak pernah sekalipun ia menceritakannya padaku!"
"Barangkali ada alasannya, Non. Kelak, kau toh dapat menanyakan. Yang pasti, dia salah seorang sakSi hidup yang dapat menjelaskan bahwa apa
yang kau dengar dari aku, bukan sekedar kebetulan atau isapan jempol belaka. Dan masih ada bukti bukti lainnya. Koleksi pribadiku setumpuk suratsurat. Yang kemudian diminta mertuamu, lalu oleh Jaka yang katanya akan diperlihatkan pula pada suamimu; begitu kalian tiba tadi malam!
Tadi malam, astaga. Rasanya sudah bertahun-tahun waktu berlalu. Serasa masih terngiang di telinga ucapan berseloroh Perdana: "Supirku sayang tuntutanmu ditolak!" Lalu Jaka menarik suaminya ke perpustakaan. Jadi itulah yang mereka bicarakan. Koleksi surat surat lama. Bukan mustahil, di situ pula letak masalah mengapa Jaka sudah seperti saudara kandung sendiri sewaktu menetap di Medan, mendadak mengambil iarak. Disusul oleh Nina, yang semula akrab tetapi tibatiba memperlihatkan sikap memusuhi.
Jamila jadi penasaran. "Bolehkah aku ikut melihat koleksimu itu, Pak Dudung?"
Dudung menggeleng. "Sudah lenyap, Non. Bersama lenyapnya suamimu dinihari itu"
"Oh ----", Jamila merasa lemas lagi. Lemas, mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Dudung.
"Surat surat itu, Non," Dudung memberitahu. "Dikirimkan oleh Putri Sekar untuk ayahnya. Yang paling akhir kuterima melalui pos. Sebelumnya, melalui kurir. Kurirnya tentu saja berganti-ganti, mengingat kurun waktu yang terus berlalu. Dan selama kurun waktu itu, mereka tidak pernah tahu bahwa surat yang mereka antarkan, selalu diterima oleh tangan yang salah ----"
"Mengapa?" "Raden Soeryadi sudah meninggal, bukan?", Dudung menyeringai, kecut. "Mereka tidak pernah tahu itu. Siapapun yang mereka temui di puri ini, Sudah diperingatkan untuk tidak membocorkan
rahasia. Kebetulan aku sendiri yang menerima kedatangan kurir pertama. Aku tentu saja terkejut setelah mengetahui siapa orang yang menyuruhnya. ia kusuruh menunggu sebentar. Aku pergi ke kamarku sendiri, membaca surat dari Putri Sekar, menenangkan diri, lalu kembali menemui si kurir. Seraya bergegasgegas dan berwajah panik. Kukatakan padanya, Raden Soeryadi marah besar. Surat kirimannya dirobekrobek. Dan ia harus segera menyingkir, jika ingin menyelamatkan nyawanya!" Dudung duduk terhenyak di kursinya semula. Dengan wajah kaku. "Sangat memalukan, bukan?" Bahkan menjijikkan, desah Jamila dalam hati.
Ia diam saja, tidak memberi komentar.
Dudung pun meneruskan sendiri: "Rupanya Putri Sekar tidak sudi menyerah begitu saja. Pada waktu waktu tertentu, ia tetap nekad mengirim kurir. Satu dua dialamatkan untukku sendiri. Putri Sekar meminta bantuanku mendinginkan hati ayahnya. Lalu suratnya kujawab. Tahu kau apa yang kutulis, Non?"
Jamila angkat bahu. Tetapi betapa ia ingin tahu.
"Aku tulis dalam suratku, Non ---", kata Dudung, getir dan malu. "Bahwa aku telah mencoba berkali-kali. Kubilangi dia, usahaku sia-sua. Ayahnya sudah keburu terluka hati, akibat ditinggal minggat oleh Putri Sekar, hanya dikarenakan persoalan sepele. Khawatir Putri Sekar suatu ketika nekad datang sendiri ke puri ini, maka kutambah tambah isi suratku dengan hal-hal yang menakutkan. Antara lain kutulis, ayahnya tidak akan pernah memaafkan Putri Sekar. Apalagi setelah sang putri menikah tanpa senijinnya, dengan orang lain daerah yang tidak dikenalnya, pemberontak pula. Kelakuan Putri Sekar yang tidak pantas itu, membuat kedudukan ayahnya terjepit di depan mata Pemerintah Kolonial. Bahkan Asusten Residen sendiri, yang dulunya menyayangi Putri Sekar sebagai "Lola cantik" nya, konon mendapat malu besar!"
Dudung tersengal sengal menahan perasaan yang bergolak di kalbunya sendiri. "Pendeknya apa saja kutulis. Selama itu dapat menahan Putri Sekar tetap terjauh dari Puri. Kusebarkan pula kabar burung yang menyatakan ia Sudah mati dalam suatu peperangan laut. Sehingga aku, sebagai anak angkat Raden Soeryadi, dengan leluasa dapat mengangkangi apa yang sesungguhnya menjadi hak Putri Sekar. Terlebih lagi, anak yang dikandung selir Raden Soeryadi sebelum kuperistri, meninggal pula sewaktu dilahirkan .."
Dudung terpejam. Sakit, dan tampak sangat menderita.
Namun entah mengapa, Jamila tidak menjadi iba melihatnya. Darah Jamila seakan pada naik ke kePala. Panas. "Tahukah kau, Pak Dudung?"
"Apa?", Dudung membuka matanya.
"Bukan karena aku kini percaya bahwa aku masih keturunan Raden Soeryadi, yang kau bunuh secara kejam pula itu. Bukan pula karena Putri Sekar itu masih nenek buyutku. Apa yang akan kukatakan, adalah karena diam diam aku merasakan apa yang dirasakan oleh Putri Sekar, dalam
menjalani sisa hidupnya. Yang pasti teramat sangat menyedihkan!"
Dudung merundukkan muka. Menyerah pasrah. Lalu Jamila pun berujar dingin, menghunjam: "Maaf, Pak Dudung. Tetapi aku tibatiba sangat membenci dan muak melihat dirimu!"
Perlahanlahan, Dudung mengangkat muka.
Dan di luar dugaan Jamila, tampak sinar puas di balik sorot mata tuanya yang layu itu. Ucapannya, pun tak kurang mengejutkan: "Aku senang mendengarnya, Non. Memang itulah yang kuharapkan!"
"apa"!" Dudung bangkit tenangtenang dari kursinya. Berjalan ke pintu. "Akan kuambilkan sebilah pedang yang paling tajam untukmu, Non. Makin cepat kita selesaikan, makin baik buat kita semua!"
Sebelum Jamila sempat berkata sesuatu. Dudung pun lantas berlalu.
*** EDDI membuka kelopak matanya.
Pandangan Eddi mulamula nanar. Lantai seperti naik bergelombang, tetapi setelah Eddi menggoyangkan kepala keras-keras, lambat laun lantai di ujung kakinya yang terkulai, kembali ke bentuk semestinya. Ia pun mengusap lehernya yang terasa masih perih. Sentuhan jari jemari pada bekas cekikan, membuat Eddi mengernyit keras. Menahan sakit.
Ia menarik nafas berulang ulang, untuk mengisi paru parunya yang terasa gersang. Kemudian mengintai kian kemari. Dudung sudah tak ada di ruang duduk itu. Demikian pula Jamila. Yang masih tetap tinggal, adalah orang satunya lagi. Tergeletak di lantai. Dalam keadaan kaku terlipat. Semula Eddi akan menggumamkan nama Perdana, lantas menyeringai sendiri. Bukankah itu mayat sialan orang yang dengan keras kepala tetap belum mau mengakui Eddi sebagai menantu"
Eddi bangkit. Sempoyongan.
Ia coba-coba mengingat apa saja yang terjadi sebelum ia semaput akibat jepitan tangan besi si Abah yang luar biasa itu. Oh ya. Idenya yang cemerlang, Sudah berantakan begitu Saja dalam tempo sekejap mata. Bahkan ia baru dalam tahap pendekatan, Jamila tiba tiba sudah terbang. Menjauh ketakutan, dan bukan mustahil dengan kebenCian yang tidak akan pernah terpadamkan lagi oleh Eddi.
Tetapi, Eddi masih memiliki kesempatan.
Meski kondisi dan situasinya sudah berbeda, tetap saja itu kesempatan namanya. Dan Eddi akan memanfaatkan apa yang mati" mungkin dimanfaatkan. Seperti kata si mati yang teronggok di lantai dekat pintu itu: "Selamatkan apa yang masih dapat diselamatkan'"
Terlebih dahulu, Eddi harus mencari jalan bagaimana caranya ia menyingkirkan si tua renta misterius itu. Oh, oh, Dudung agaknya kebal senjata tajam. Bukan main. Dudung pun maSih memiliki
banyak ilmu-ilmu hebat lainnya, yang ingin dipelajari Eddi, sebenarnya. Sebagai contoh, mayat yang terOnggok di lantai dekat pintu ruang duduk. Mayat itu masih tidak membusuk. Bahkan tidak me engeluarkan bau sebagaimana mestinya. Entah ramu-ramuan apa yang dibuat Dudung untuk mengawetkan mayat, sebelum semua anggota keluarga hadir untuk melayat dan kemudian dikuburkan pada hari yang sudah ditetapkan.
Lalu ah, nanti saja semua itu dipikirkan.
Yang penting dan pertama tama harus dilakukan Eddi sekarang, adalah: minum. Ia begitu haus. Dan begitu banyak botol-botol minuman di rak bar. Eddi tersenyum lebar. Ia ambil salah satu botol yang terisi penuh. Ia sudah akan membuka tutup botol dengan menggunakan gigi, sewaktu terdengar langkah-langkah kaki menuruni tangga yang menuju ke ruang makan dan ruang duduk di mana Eddi berada.
Imajinasi Eddi mendadak bekerjasama lagi.
la mengenali langkah-langkah itu. Dudung, siapa lagi!
Eddi pun menyeringai: "Apa salahnya kucoba sekali lagi?"
Sewaktu menuruni tangga, yang ada dalam benak orangtua itu hanyalah bayangan Raden Soerjadi Ajilaksana, serta kutukannya sebelum menghembuskan nafas: "Sampai darahku -mengampuni dan mengakhiri penderitaanmu!" Dan akhir yang ditunggu tunggu Dudung, kini sudah terba yang di depan mata. Adapun mengenai mahluk
terkutuk diluar sana, silahkan saja menunggu. Dan si terkutuk itu, pasti akan kecewa!
Ketika melangkah ke ambang pintu ruang duduk, Dudung pun bahkan tidak sempat berpikir ia meninggalkan dua hal di dalamnya. Eddi yang hampir saja ia bunuh. Dan Parja. yang sudah lebih dulu .terbunuh. Pikiran dan perhatian Dudung langsung saja tertuju serta terpusat ke tembok di atas tungku pemanas ruangan. Ada sepasang pedang tua di sana. Pedang milik Dudung sendiri. Hadiah dari Raden Soeryadi Ajilaksana. Disertai amanat: "Jaga Putri Sekar baik baik!"
Pada kenyataannya kemudian -Dudung menarik nafas panjang. Ia telah melihat pedang itu. Lalu melangkah masuk, menuju ke tungku pemanas. Baru satu dua langkah, ia sudah mendengar ada suara sesuatu di belakangnya. Dudung baru akan berpaling, kepalanya sudah berdetuk. Disusul pecah berderainya beling, dan tumpahnya cairan membasahi lantai karpet di mana kemudian tubuh Dudung jatuh terjerembab. Tidak sadarkan diri.
*** Eddi memandangi sisa mulut botol di telapak tangannya. Seakan memarahi apa yang ia pegang, Eddi bersungut-sungut: "Kenapa tidak sejak taditadi, eh"
Ingin tahu, Eddi membungkuk. Meraba belakang kepala Dudung, searah otak besar. Dibalik rambut Orangtua itu, Eddi tidak merasakan adanya beniolan. Apalagi luka akibat hantaman pantat botol, yang selain terisi penuh, juga dipukulkan sekuat tenaga oleh Eddi.
"Bukan main!", Eddi berdecak kagum. "Fisik luar si tua ini memang tangguh. Tetapi yang di dalam. toh masih dapat dilumpuhkan!"
Eddi tidak tahu apakah Dudung sudah mati.
Ia pun tak perduli. Ia pergi lagi ke bar, mengambil botol yang lain, membuka tutupnya, lalu menenggak isinya sebanyak nafasnya masih sanggup bertahan.
Baru setelah itu Eddi meninggalkan ruang duduk.
Menaiki tangga ke lantai atas. Dengan langkah setengah melayang layang.
Di kamar tidur Jamila, pikiran perempuan itu pun melayang tak menentu. Lalu tiba-tiba ia meluncur turun dari tempat tidur. Koper ditarik ke luar dari kolong. Kemudian ia berjalan ke arah lemari. Apa yang terjadi dan ia dengar, masih tak dapat diterima Jamila. Dan ia tidak mau tenggelam dalam kebingungan dan kegelisahan, serta kejutan kejutan yang terus melecut jantung. Ia harus segera meninggalkan puri ini. Hujan badai dan angin topan bukan halangan. Dengan mobil, ia akan tiba di kota terdekat. Paling tidak di desa terdekat" Mencari kantor polisi, berbicara dengan mereka, lalu menegaskan bahwa yang pertama-tama harus dilakukan adalah membongkar kuburan baru di luar benteng puri. Urusan lain harus mereka tunda dulu. Sampai Jamila melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa di dalam peti mati itu, terbaring jenasah ---Jamila setengah melepas kancing gaun untuk
diganti dengan yang lebih pantas, setelah pintu lemari terbuka. Pada saat itulah ia mendengar langkah kaki memasuki kamar tidurnya. Ia membalikkan tubuh, siap untuk menolak apapun yang dikehendaki Dudung untuk ia lakukan, lalu -"Hai", Eddi menyeringai padanya.
Dengan pipi merah. Telinga merah. Mata yang tak kurang merahnya. Mata yang menunjukkan Eddi sudah dilanda mabuk berat. Seorang pemabuk, dapat berbuat apa saja meski sangat tidak diharapkan orang lain. Dan Jamila telah melihatnya di mata Eddi. Karena saat itu mata Eddi tengah memperhatikan sesuatu di bawah dagu Jamila. Tentu saja. Leher gaun Jamila yang sudah setengah terbuka. Payudaranya.
Tersentak kaget, Jamila merapatkan penutup dadanya.
Jelas sudah apa yang kini tengah mengancamnya. Nafsu birahi. Lonjakan seksual dari orang, yang sebelumnya telah membunuh suami Jamila! Perbuatan lebih busuk, tak perlu diragukan lagi, pasti akan dilakukan Eddi.
Jamila mencoba menguasai diri.
Tetapi keburu dikejutkan oleh hentakan guntur menggelegar. Membuat lantai di bawah kakinya kembali bergetar. Dan ketika lidah petir menjilat ke dalam lewat kaca jendela, Jamila pun tak kuasa menahan pekik ngeri.
Eddi hanya tertawa. Ngakak. *** 17 DI ujung tawanya, Eddi melontarkan ucapan menghibur: "Itu hanya petir, Jamila. Tidak perlu gempar"
Jamila menguasai dirinya kembali. Ia seorang putri Aceh. Dan seorang putri Aceh pantang memperlihatkan perasaan takut di hadapan orang lain. Konon pula, orang yang telah membunuh suaminya. "Mau apa kau, Eddi?", tanya Jamila, suaranya diusahakan setenang mungkin.
Eddi menyeringai. "Masa iya. kau tidak tahu ----" .
Nina benar, pikir Jamila, ketika melihat Eddi menyeringai. Daya tarik khas Eddi memang terletak pada seringainya. Tetapi seperti kata Jamila, pada waktu waktu tertentu, seringai Eddi justru terasa memuakkan. Dan itulah yang kini dirasakan Jamila. Ia muak, dengan sangat!
Sadar api pantang disiram bensin, Jamila memaksakan diri tersenyum. la berujar lembut, mem bujuk: "Kau mabuk, Ed. Kau tak tahu apa yang kau lakukan. Pergilah ---"
Seperti orang tolol, Eddi memandangi botol di genggaman tangannya. "Ah. Masih ada beberapa teguk lagi, ini. Mengapa pula aku harus bersusahsusah pergi mengambil sebotol lainnya?"
Dalam hati, Jamila mengeluh. Haram jadah. Masih tetap urakan, dia!
Jamila juga bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Dudung belum muncul juga" la mengawasi Eddi, yang tetap bercokol diambang pintu. Mustahil Jamila dibiarkan lewat seenaknya saja. Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan diri. Seorang pemabuk, suka ngomong berkepanjangan. Manfaatkanlah itu, sambil berharap semoga Dudung kembali secepatnya.
"Ed?" "Ya, Sayangku?", Eddi menyeringai lebar.
"Untuk apa semua ini kau lakukan?"
"Hei. Aku tak melakukan apa apa, kok!", Eddi menggerakkan pundak, memperlihatkan wajah tak berdosa apa-apa.
"Tetapi suamiku ---"
"Oh. Itu hanya kecelakaan, Jamila. Percayalah ---", ujar Eddi, dengan suara terbata bata, dan setengah minta dibelas kasuhani. Ia menyandar di bingkai pintu, seakan tak berdaya. "Rita memaksa Nina menemaninya. Aku kesepian di perpustakaan banyak yang bisa kubaca sebagai perintang waktu --Heran ya. Mereka semua di lantai atas itu, kok ya bisa tidur pulas. Padahal di dekat mereka, ada mayat dalam peti mati ---"
Eddi menggeleng. Kemudian tertawa mencemooh: "Tetapi benar juga. Mereka memang sudah lama tak akrab lagi dengan ayah mereka. Tahukah kau, Jamila?"
"Apa?", tanya Jamila, lembut, sembari matanya
mencari-cari. Barangkali ada sesuatu yang dapat diambilnya diam diam. Untuk dijadikan senjata mempertahankan diri, seandainya Dudung tak muncul muncul.
"Itu tuh --Aduh apa ya, kok mendadak lupa ----", Eddi tertawa sendiri. Botolnya disodorkan ke arah Jamila. "Mau?"
Jamila menggeleng. Tak ada apa-apa di kamar ini, pikirnya. Ataukah ia harus melompat ke luar lewat jendela"
"_ kita membicarakan apa tadi ya?", Eddi menceracau lagi.
"Peti mati -----", Jamila melayani, gelisah. Dan patah semangat, memikirkan resiko kabur lewat jendela. Kalau tidak kaki, bisa-bisa batang lehernya yang patah. Orangtua itu, aduh, kenapa belum tampak jua batang hidungnya"!
Eddi terbatuk. "Peti mati Oh ya. Peti mati. Tempat yang aman untuk menyimpan orang yang sudah bosan hidup. Hehe ---", Eddi terkekeh. "Juga surat-surat berharga. Tak usah khawatir, Jamila. Segera setelah kita nanti menikah, surat-surat itu akan kuambilkan untukmu --Mungkin juga sekalian besi pencungkil bara. Yang tersangkut di rusuk suamimu. Sebagai kenang-kenangan -Hei, Jamila. Wajahmu kok pucat begitu. Petir tak akan menyambarmu, percayalah ! Dan -oh, makin lebar matamu terbuka, justru tampak makin indah ---"
Betapa ingin Jamila menjeritkan kemarahannya. Seraya menerjang Eddi. Mencakar tampangnya
yang menjijikkan itu. Mencekik batang lehernya! Tetapi Jamila tetap diam, tak bergerak di tempatnya. Bukan ia tak mau. Hanya, serasa lumpuh sekuJur persendian tubuhnya setelah mendengar pengakuan Eddi. Dan mulai jelas terbuka gambaran bagaimana suaminya menemui ajal.
"mengapa, Ed?", akhirnya, lepas juga suara jamila. Sesak.
"Ya, itu ternyata aku tak sehebat yang kubayangkan semula", jawab Eddi, ngaco. "Makanya aku berpikir untuk memakai Arnold ---" Dengan besi -.?", Eddi menggoyang-goyangkan kepala. "Sial bukan, Jamila ---" Dengan besi pencungkil bara itu tetap nyangkut di tubuhnya mana mungkin kuteruskan rencana semula. Padahal itu sebuah rencana yang bagus. Buang tubuhnya di jurang paling dalam paling sulit dituruni ---Tubuhnya lantas sudah membusuk ketika ditemukan --Lalu orang bilang, oh, dia tergelincir. Pasti jatuh terbanting banting di batu karang ---Dan, mereka pun tidak teringat lagi untuk menyelidiki ah. Kalaupun teringat, sudah sangat terlambat bukan?"
Jamila merinding. Menjerit jauh di sanubari. "Kau, pembunuh keiam. Biadab ---" Saking tak tahan, air mata Jamila menetes tanpa ia sadari.
Tetapi Eddi tak memperhatikan. Eddi sedang asyik sendiri. "Apa boleh buat -", katanya. "Ayo, Eddi, kau harus rubah renCanamu -, aku berkata pada diriku sendiri. Imajinasiku selalu cemerlang, Ed. Pergunakanlah sekarang! Dan ah, ternyata
begitu sederhana. Bantu saja anak beranak itu bertukar tempat. Juga bertukar pakaian, hehehe --Si anak, dan surat-surat itu, pasti berterimakasih padaku karena ia kutempatkan di tempat yang lebih nyaman. Peti mati. Ayahnya" Ah, biarlah. Sudah tua bangkotan ini! Biarlah ia bertapa sementara di bagasi mobil .barangkali juga sambil tersenyum senyum memikirkan baju barunya. Tak tahu itu adalah baju anaknya hehehe. Lalu pada waktunya nanti, setelah aku menemukan tempat yang cocok untuk membuang tubuhnya ---"
Eddi meneguk lagi minumannya. Lantas berujar kesal. "Sialan Si Rita. Ia mati sehingga aku tak keburu menCari cari lokasi yang baik untuk tempat istirahat ayahnya --Eh, nanti dulu. Aku lihat ada garpu besi. Ada sekop -kulihat lagi sisa tubuh Rita yang tercabik cabik. Ah, mengapa tidak" Itu sebuah ide yang bagus diterapkan pada si malang di bagasi mobil secara fisik, dia akan semakin sulit dikenali. Kecuali robekan pakaian atau sepatunya, tentu ---Lantas ketika ia ditemukan, semua orang akan bilang; kasihan Perdana! Tanpa mereka ketahui mereka mengasihani orang yang salah!"
Eddi tertawa pelan. Dengan mata menerawang.
Jelas, ia samasekali tak sadar ia sedang berbicara dengan seseorang. Dan lawan bicaranya, adalah istri dari lelaki yang telah dibunuhnya. Ia pun tidak melihat Jamila bergerak mundur, lalu membiarkan dirinya tertahan oleh meja. Dengan demikian, Jamila tidak sampai jatuh terjerembab. Meski,
pingsan bahkan mati sekali pun, adalah jalan yang paling baik saat itu untuk melenyapkan kengerian dan keterkejutan, belum lagi kemarahan yang menggila namun tak berdaya ia lampiaskan.
"lantas, jandanya kunikahi. Seorang pewaris kaya raya --Eh, bukankah engkaulah si pewaris itu, Jamila?", Eddi berkata puas, kemudian disusul keheranan. "Aku akan memberimu selusin anak tidak seperti suamimu yang mandul itu --Lho, kok malah menitikkan air mata. Apakah selusin anak, kelewat merepotkanmu nanti?"
Jawabannya, adalah sebuah. pekik histeris
Jamila sudah tak tahan lagi. Jerit histeris itulah sebagai letupannya. Disusul tangannya yang menyambar apa saja yang ada di meja. Tas kerja suaminya. Melayang ke tembok di seberang ruangan, karena Eddi keburu menghindar. Menyusul pot bunga. Hanya menghantam Ujung pintu. Lalu poci, gelas, bahkan baki. Semua dapat dielakkan Eddi. Termasuk senjata Jamila yang paling akhir. Asbak.
Asbak itu memang hampir mengenai wajah Eddi, yang saat itu sudah menyerbu maju seraya menggeram marah karena tahu dirinya sedang diserang. Eddi cepat merunduk, dan reflek tangannya melindungi kepala. Dan botol di tangannya itulah yang terkena sasaran asbak. Dengan akibat yang diluar dugaan.
Botol minuman karas itu pecah berhamburan.
Yang tertinggal di genggaman Eddi hanyalah
leher botol. Tetapi dengan Sisa tambahan, bagian perut botol yang sedikit panjang, runcing berkilauan. Eddi meluruskan tegaknya, memandangi ujung pecahan botol itu dengan mata liar. Jamila yang sudah berniat menyerbu, pun melihatnya. Dan Jamila tersentak sendiri. Dalam kemarahannya, ia mengerang: "Ayo. Bunuh sajalah aku sekarang! Bunuhlah!"
Eddi menyeringai. Beringas. Buas. "Memang akan," katanya. "Tetapi sebelum itu ---"
"Kau, haram jadah terkutuk", jerit Jamila, marah tiada terperi. "Majulah, jika kau berani!"
Eddi pun maju. Dengan sangat berani.
*** Kelopak mata Jaka terbuka sedikit. Mulutnya melepas igauan: "Ninakah itu?", lalu matanya terpejam lagi.
Tetapi alam bawah sadar Jaka menolak. Apalagi setelah kembali telinganya menangkap jerit pekik sayup-sayup sampai. Jerit pekik seorang wanita mengutuk seorang laki laki. Bahkan ia dengar nama laki-laki itu disebut jelas: Eddi.
Jaka berjuang keras melawan kantuknya.
Pelan pelan ia mampu duduk, seraya mengeluh: "Mau diapakan Nina oleh si Eddi sialan itu?"
Ia turun dari tempat tidur.
Pandangan Jaka nanar, tetapi ia mampu juga sampai ke pintu. Setelah dibuka, lewat ambang pintu itu ia dengar lagi suara suara yang semakin jelas.
"manusia biadab. Kejam' Jangan kira aku akan membiarkanmu menodai kesucianku'"
"Kau, perempuan tolol! Kau mencakar mukaku!"
Jaka terus bergerak meninggalkan kamarnya Mula-mula ia mempergunakan dinding dinding yang ia lalui untuk penahan tubuh yang terasa limbung. Tetapi bayangan Nina sedang dikangkangi Eddi, padahal Nina sudah tidak sudi, memberi Jaka kekuatan baru. Ia menggeram, melepaskan tangannya dari dinding lalu sekuat tenaga ia berlari ke arah datangnya suara ribut ribut itu. Ia tiba di sebuah pintu yang terbuka. Di dalam. ia memang melihat Eddi. Eddi tengah mengangkangi seorang perempuan di lantai. Pakaian perempuan itu sudah robek di sana sini. Tetapi ia terus berontak melepaskan diri dari jepitan lutut lutut Eddi, dengan kedua telapak tangan mencengkeram pergelangan tangan Eddi. Di tangan Eddi, terlihatlah ujung sesuatu yang tajam dan runcing. Dan tangan Eddi yang lain, seperti kesurupan, tampak gagal dan gagal lagi melepaskan ikat pinggang celananya.
Jaka menggoyangkan kepalanya yang pening.
Pandangannya maSih nanar. Tetapi ia sudah dapat mengenali perempuan yang dalam keadaan setengah telanjang itu. Ia bukan Nina, pikir Jaka, tetapi apa bedanya"
"Terkutuk ", Jaka menggeram. "Lepaskan kakak iparku!"
Sambil berteriak demikian, Jaka menerjang ke depan. Kakinya menerpa sisi kepala Eddi yang tidak menduga serangan mendadak itu. Ia terjungkal namun masih tetap di atas tubuh Jamila. Jamila yang boleh dikata sudah kehabisan tenaga, melepaskan diri dari himpitan tubuh Eddi. Begitu lolos, ia langsung berdiri sempoyongan. _
"Jaka -tolong ---"
"Menyingkirlah, Kak Mila!", Jaka berkata gagah. "Biar kutangani manusia kotor ini!"
Jamila beringsut menjauh. Dengan nafas hampir putus.
Belum terlalu jauh ia menyingkir, tampak olehnya Eddi sudah melompat bangkit. Gerakannya tangkas. Leher botol berujung runcing itu sudah jatuh entah di mana. Tetapi dengan tangan kosong, Eddi menghadapi Jaka tanpa terlihat lelah, malah makin bernafsu. Masih dalam pengaruh minuman keras, ia tersenyum mengejek, lantas bersungutsungut: "Ah matamu masih mengantuk begitu mana bisa menjatuhkan aku"
Jamila terkejut. Ia memperhatikan Jaka.
Benar saja. Meskipun Jaka sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi pengaruh pil tidur itu belum lenyap samasekali. la bergerak lebih banyak karena dorongan nalurinya saja. Tegaknya tidak tetap. matanya pun tampak layu. Dan tentu saja serangannya kurang perhitungan ketika ia melancarkan sebuah tinju ke arah Eddi. Eddi memang mabuk.
Tetapi, Eddi yang juga lagi kerasukan nafsu membunuh!
Mestinya Eddi terbanting melayang oleh tinju Jaka yang menerpa dadanya. Nyatanya, Eddi hanya terdorong mundur sedikit, kemudian ia merangkul tubuh Jaka, menjepit pemuda yang tubuhnya lebih kecil itu dengan mempergunakan otot
otot lengannya yang menyembul kokoh.
Jaka mengerang. Sekejap cuma. Karena Eddi sudah menyusulkan hentakan kepala sendiri ke kepala Jaka. Tak pelak lagi, begitu Eddi melepaskan lengan lengannya, tubuh Jaka pun melorot jatuh ke lantai. Tanpa membuang tempo, Eddi berpaling ke arah Jamila.
"Hanya pahlawan pemenang yang berhak menikmati sang putri, bukan?", bisiknya liar.
Jamila habis harap sudah.
la beringsut ke pintu, diawasi Eddi. Dan ketika Jamila mulai lari, barulah Eddi melompat mengejar seraya tertawa mengejek. "Jangan berlagak ti dak mau, Jamila --Kau tahu, aku akan memuaskan dirimu ---"
Secara naluriah Jamila berlari ke tangga terdekat. Karena tangga itulah yang juga terdekat menuju Dudung, yang entah mengapa belum muncul setelah keributan itu terjadi. Namun belum juga menuruni tangga, Jamila sudah melihat orangtua itu. Agaknya. bantuan Dudung tak bisa diharapkan lagi. Jamila melihat Dudung tergeletak di lantai ruang duduk. Hanya sayang, Jamila sudah keburu panik. Ia ternyata tidak melihat, salah satu kaki Dudung sedang mulai bergerak.
Dalam paniknya, Jamila nekad melarikan diri ke pintu balkon. Ia renggut terbuka, lantas menyelinap ke sana. Langsung disambut oleh tiupan angin keras yang bersiut siut tak kurang buas dengan pengejarnya. Hujan pun menerpa. Dan lantai yang basah. terlalu licin untuk diiadikan tempat berlari.
Jamila tergelincir. Dan jatuh setengah terjungkir, setengah terseret di lantai balkon terbuka itu. Eddi sudah muncul pula. Dan melihat Jamila tidak akan lari jauh jauh darinya, sekarang. Eddi tertawa ngakak. Sementara Jamila beringsut dan merayap mundur ke arah pilar, Eddi melangkah tenang tenang saja. Sambil membuka tali pinggang celananya.
"Mau lihat punyaku lebih dulu, ya?", Eddi berteriak mengatasi suara riuhnya hujan dan angin yang menyerbu balkon. "Oke. Tetapi jangan bertingkah seperti tadi lagi ---"
Dan tahu tahu saja, Eddi sudah tegak mengangkangi tubuh Jamila. Dan Jamila sudah tertahan gerak mundurnya oleh dinding pilar yang memisahkan bidang balkon dengan halaman yang terletak beberapa meter di bawah.
"Kau ternyata juga punya imajinasi cemerlang," Eddi menyeringai. "Bercumbu di tengah hujan badai! Boleh juga", dengus Eddi, gembira. Celananya sudah dilepas. la sudah pula akan menurunkan tubuh ke tubuh Jamila di bawahnya saat mana, gerakan Eddi tertahan begitu saja. Terheran-heran, Eddi melihat apa yang menahan tubuhnya. Ada sepasang benda, semacam kaki entah tangan, mencengkeram pundak Eddi. Lalu mengangkat tubuhnya ke atas. Sehingga Eddi dapat melihat lebih banyak lagi benda benda serupa. Banyak, teramat banyak. Semua menggapai-gapai ke arahnya. Muncul dari sesuatu berwarna merah darah, dan tampak
berdenyut denyut, hidup. Perutkah itu, Kok begitu lebar panjang pula. Dan Sinar apa yang begitu redup, tetapi sangat menusuk mata"
Eddi tiba tiba mengeluh. Rasanya ada tulangnya yang patah. Atau remuk!
Dan tak sampai dua meter di bawahnya, Eddi sempat melihat gerakan seseorang. Itu adalah Jamila, yang beringsut menjauhi pilar. Jamila pun melihat Eddi. Dan melihat apa yang telah mengangkat Eddi. Dengan mata membelalak Seram, Jamila menggeliat bangkit, dan mundur sempoyongan menuju pintu balkon yang terhempas-hempas membuka menutup oleh serbuan angin.
Suatu ketika, petir menyambar.
"Jamila melihat liukan aneh pada sosok mahluk yang mas h terus mencengkeram tubuh Eddi. Ada sepasang titik cahaya kuning kemerahan. Sepertinya mata. Lalu celah di bawahnya. Celah selebar bahu Eddi, di mana tampak dua baris gigi yang mirip mata gergaji.
Petir lenyap. Tinggal sosok hitam samar-samar, dengan cahaya redupnya yang tajam. Di antara riuh rendahnya bunyi hujan dan angin, Jamila menangkap jeritan Eddi. Jeritan sengsara.
Lalu terpekik ngeri, manakala di hadapannya sudah tegak sesosok tubuh lain. Dengan tangan menggapai ke depan, menangkap tubuh Jamila lalu menyeretnya masuk ke lorong di sebelah dalam pintu balkon. Pintu ditendang tertutup, sehingga suara lolongan sengsara di luar sana, tinggal
sayup sayup sampai. Digantikan oleh suara lembut membujuk: "Ayo, Non. Kita harus melakukan sesuatu sebelum terlambat!"
Jamila tak perduli apa yang akan mereka lakukan.
Jamila langsung merangkul, kemudian menangis di dada tua dan kerempeng itu. Dudung menarik Jamila menjauhi pintu balkon. Setengah berlarilari memasuki lorong menuju ke arah tangga lainnya yang turun ke lantai utama puri.
"Apa itu tadi Pak Dudung?", tanya Jamila di antara isak tangisnya.
"Si penjaga puri," jawab Dudung dengan suara tertekan. "Ayo. Kita bangunkan Jaka lebih dulu ---"
"Ia ada di kamarku."
"Apa?" Tiba di depan pintu kamar dimaksud, Dudung langsung masuk. Tanpa memperdulikan pecahan beling yang terinjak kakinya, dan toh memang tidak melukai Dudung, orangtua itu langsung memanggul tubuh Jaka yang agaknya sudah tertidur pulas lagi. Baru ketika itulah, Jamila melihat Dudung memegang sesuatu di tangannya. Sebilah pedang terhunus.
Jamila tidak lagi terkejut.
Apa yang barusan ia lihat di luar sana. sudah lebih dari mengejutkan! Terdengar lagi lolong sayup-sayup. Jamila memutar tubuh seketika. Berlari lari kecil menyusul Dudung, menjauhi suara lolonqan kesengsaraan itu. Tiba di lantai bawah,
Dudung berhenti. Tepat di bawah lampu-lampu kristal. Di lantai mana, malam sebelumnya terletak sebuah pati mati.
Dudung menurunkan tubuh Jaka. Membiarkan pemuda itu meneruskan tidurnya di lantai. Dengan cepat ia membalikkan tubuh, melihat ke arah Jamila, dengan wajah keras dan mata tua yang tampak tegang. Pedang di tangannya, kemudian diacungkan. .
"Sekaranglah waktunya. Non -", ia berujar, dingin.
*** 18 TERTEGUN Jamila mendengarnya. Perasaan takut yang dibawanya semenjak dari balkon tadi, bahkan terlecut hilang. la amati mata pedang yang teracung di tangan Dudung. BerbiSik, cemas: "Waktu untuk apa, Pak Dudung?"
"Aku. Terutama, dia!", jawab Dudung seraya melihat ke arah lorong di lantai atas. Jamila tidak berani melihat ke arah yang sama. Bulu kuduknya meremang. Jangan jangan "lebih dari seratus tahun ia menghilang, Non. Karena malu !", Dudung melanjutkan dengan cepat, seakan dia diburu waktu. "Sinar pelanginya lenyap terkena kutukan Raden Soeryadi. Wujudnya pun ikut berubah. Seperti yah. Seperti Sudah kau lihat sendiri tadi. Sungguh tidak pantas dipertontonkan, bukan?" '
Dudung kembali menatap Jamila. Pertanda mahluk yang ditakuti Jamila itu tidak muncul dari lorong lantai atas di belakang punggung Jamila. Suara Dudung pun kini lebih tenang dan teratur. "Sewaktu-waktu, Non. Dia datang dan selalu datang lagi. Tanpa kuketahui kapan. Dan sebelum aku sempat menyadari kedatangannya, dia sudah lenyap menghilang. Anak cucuku pun hilang, atau mati mengerikan. Diambil olehnya, Non. Satu persatu Tetapi belum pernah beruntun seperti sekarang ini -----" '
Menyertai kehadiranmu di puri ini, pikir Jamila kecut sekaligus bingung. Mengapa" Tetapi ia tidak berani bertanya ia hanya diam, menunggu.
Dudung pun menjelaskan: "_ tidak dapat diragukan lagi, Non. Si penjaga gaib taklukan leluhurmu itu, kali ini datang bukan sekedar akan menuntaskan kutukannya atas kecerobohanku dulu. Jelas, dia punya maksud lain. Sebuah tujuan akhir'"
Terbuka juga mulut Jamila. Gagap. "apakah -itu?"
"Menyudahi dendam, Non. Sekaligus mengembalikan pamor dan sinar pelanginya. Hanya dengan itu ia berani pulang ke tengah rakyatnya, dengan kepala tegak. Membawa darah musuh besarnya Musuh besar rakyatnya ..."
"Raden Soeryadi mu itu sudah lama mati, bukan?", desah Jamila, tidak mengerti.
"Betul, Non. Tetapi darahnya masih hidup. Mengalir segar bugar dalam tubuhmu!"
"Oh, tidak. Itu tidak benar'", Jamila sampai tersentak mundur. Dengan mata tak lepas dan pedang di tangan Dudung. "Kau tidak akan ---"
Sadar arti pandangan mata Jamila, Dudung menurunkan pedang. "Maaf," katanya, sopan. "Memang salah seorang dari kita harus mati, Non. Tetapi yang mati itu bukan Non. Melainkan, aku!"
Susah payah Jamila berusaha menguasai diri. "Mengapa?"
"Lantas siapa lagi" Lihatlah Jaka ----", ujar
Dudung hambar, menuding pemuda yang tergeletak di lantai. Entah pingsan, entah pulas tertidur. "Jaka sungguh tak dapat diandalkan. Lain dengan kau, Non. Kau sangat berbeda dari banyak wanita lain yang pernah kukenal ----Kau lebih berani. Lebih tangguh!"
"Aku seorang Putri ---", Jamila tak meneruskan kata-katanya. Bukan saat yang tepat untuk membanggakan dirinya sebagai seorang putri Aceh. Namun toh, ucapan Jamila memberi pengaruh lain dalam diri Dudung. Orangtua itu menekuk dagu, pertanda hormat.
"Aku tahu, Juragan Kecilku," Dudung berkata, lunak dan bersahabat. "Justru karena kau adalah putri Raden Soeryadi Ajilaksana, aku berani mengandalkan dirimu. Hanya engkau yang dapat melawan lalu memusnahkan roh jahat yang mengerikan itu!"
Tidak. Tidak ada lagi waktu untuk bersenda gurau, pikir Jamila. Ia harus pergi sekarang juga. Apapun yang diutarakan Dudung, itu adalah urusannya. Berharap saja yang tadi ia lihat di balkon, cuma sebuah ilusi akibat diteror oleh Eddi, di tengah hujan badai dan angin topan yang menggila pula. Jamila ingat mobilnya ditinggalkan Eddi di luar sana. ia akan aman di dalam mobil, asal tidak ngebut saja, Lalu --Seakan menyadari jalan pikiran perempuan di depannya, Dudung batuk kecil. Katanya; "Boleh percaya boleh tidak, Non. Mobilmu kini tinggal onggokan besi tua. Dengan tubuh Nina yang ikut
lumat di dalamnya!" Jamila terkejut. "Nina ---"
"Sumpah mati, Non. Itulah yang kutemukan di luar sana, setelah kita mendengar suara-suara aneh tadi dan aku pergi sebentar untuk melihat apa gerangan yang terjadi.," Dudung menghela nafas panjang. Pedang di tangan ia gerakkan sedemikian rupa. Ujungnya yang runcing dipegang, gagang pedang disodorkan ke tangan Jamila. "Ambillah ini, Non."
"Aku tak membutuhkannya ----", bisik Jamila dengan sekujur tubuh terasa lemas. Nina sudah mati. Mobilnya tinggal besi tua _ dan Eddi, bukankah tadi ia telah melihat sendiri" Berarti semua ini bukan ilusi. Mahluk itu, ada!
"Cepatlah, Non," Dudung mendesak. tak sabar. "Ia bisa muncul sesewaktu. Firasatku mengatakan, bahkan kini ia tengah menuju ke arah kita. Entah dari arah mana datangnya ----Jangan berpikir untuk lari, Non. Kita tak mungkin lari darinya ----Satu-satunya harapan yang tersisa, adalah melawannya!"
"dengan apa?", Jamila kini tidak dapat lagi menyembunyikan ketakutannya. Oh. Jangan sampai tubuhku ambruk secara memalukan, jiwa tanah kelahirannya menjerit jauh di sanubari.
"Pedang ini, Non ----"
"Melawan mahluk sebesar itu?"
"Tidak, Non." "Aduh ---" "Berhentilah membingungkan dirimu sendiri, perempuan'", tahu tahu Dudung meledak dalam
kemarahan. Jamila sampai tercengang. la lihat wajah Dudung mengerut saking gusar, mata tuanya berkilat tajam. "Waktu kita banyak, mengertikah kau"!"
Dalam pesona, Jamila bertanya tergagap. "Apa
Pewaris Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang harus kulakukan, Pak Dudung?"
"Kau gugup!" "tidak." "Bohong" "Aduh. Jangan membentakku seperti itu. Atau aku pergi", Jamila berkata hanya sekedar berkata, karena panik dan bingung tidak menentu. Lalu tibatiba ia tertegak diam, mendengarkan. Begitu pula Dudung.
Aneh sekali. Suara suara hujan badai serta angin topan, seakan menjauh hilang. Tinggal kesunyian yang terdengar di luar sana. Kesunyian yang merayap sampai ke ruangan di mana mereka berada. Sunyi sekali. Yang terdengar hanyalah bunyi nafas mereka berdua.
Nafas ditahan. Jamila, karena tegang. Dudung, karena waspada. "apakah dia sudah pergi?", akhirnya Jamila mendesah, pelan namun terdengar mengejutkan.
"Terus terang, aku pun tak tahu," jawab Dudung, sama pelannya.
Lalu sunyi kembali. Menyentak. Dudung berpikir keras. Kemudian "Aku tidak yakin dia pergi begitu saja, Non. Menurutku, dia
hanya mempermainkan kita sebentar. Dia ingin berpuas puas diri sebelum melakukan gempuran terakhir. Yang menentukan hidup kita. Bahkan -hidup mati dirinya sendiri."
"Maksud Pak Dudung ---"
"Benar. Dia masih ragu. Seperti juga aku sendiri. Apakah pada darah yang mengalir di tubuhmu, kau mewarisi kesaktian yang pernah dimiliki Raden Soeryadi Ajilaksana. Satu satunya orang, yang dalam pertempuran mereka dahulu, paling sulit didekati. Karena dari balik tubuh Raden Soeryadi, konon memancar uap panas membakar .Jika tahu dirinya terancam bahaya"."
"Uap panas itukah yang menghancurkan roh roh gaib penghuni Lembah Karang dahulu?", Jamila bertanya ingin tahu. Juga karena tidak tahan oleh munculnya kesunyian yang tiba tiba itu. Membuat dirinya tertekan tanpa tahu apakah dia harus pergi saat itu juga. Atau tetap tinggal sampai yakin bahwa dia aman untuk berlaku.
Dudung menggeleng. "Roh roh gaib itu hanya jeri mendekat. Tetapi masih banyak musuh musuh lain yang bisa dihancurkan, bukan" Jadi mereka, menurut yang kudengar dari orang orang yang pernah ikut bertempur --, menggempur dan menggempur lagi. Roh-roh gaib itu sudah berada di ambang kemenangan, sewaktu Raden Soeryadi menyadari perilaku aneh musuh musuhnya ---"
Dudung mengawasi jendela demi jendela .Meyakinkan pintu masuk tertutup rapat. Melihat ke lorong di lantai atas. ke lorong di lantai bawah. bahkan ke tungku pemanas di belakang mereka. Jelas ia berwaspada ke setiap celah yang mungkin mengancam. Matanya awas dan berkilat tajam. Kecuali sewaktu melihat ke tubuh Jaka di lantai. Mata itu tampak luruh. "Tinggal dia seorang yang masih tersisa -", biSiknya, samar samar.
Orangtua itu sejenak tenggelam dalam keluruhan jiwanya. Dan saat melihat kembali wajah Jamila, kekerasan hati Dudung muncul perlahan-lahan. Di matanya terpancar sinar dendam tersembunyi. Jamila tak dapat memastikan, pada siapa dendam itu ditujukan. Atau mungkin, pada diri Jamila sendiri"
"Kita harap saja dia sudah pergi -", ujar Dudung lagi. "Meski aku lebih suka ia muncul di depan kita ----"
Jamila tersentak. "Oh?"
"Pertempuran di jaman lampau itu, Non," Dudung berujar tak perduli. "Itulah yang memenuhi pikiranku setelah Rita, kemudian Nina, kutemukan mati dalam keadaan menyedihkan. Aku tahu, dia akan mengambil Jaka pula. Dan terakhir, akulah yang akan diambilnya. Yang dia tidak tahu, adalah, dia boleh saja mengambilku. Tetapi tidak satu satunya keturunanku, selagi aku masih dapat menyelamatkannya. Karena kedatangan si terkutuk itu kali ini, sudah terang terangan. Jadi aku pun bisa bersiap diri ---"
"Bagaimana kau dapat menyelamatkan Jaka, Pak Dudung?"
"Dengan menyimak kembali hasil akhir pertempuran itu. Setelah Raden Soeryadi diam-diam
memperhatikan, roh-roh gaib itu senantiasa menghindari medan tempur; di mana tampak tergeletak mayat atau bagian dari mayat korban mereka. Hanya mayat-mayat segar. Raden Soeryadi menceritakan sendiri padaku, bagaimana ketika ia dan sisa pasukannya sudah terpojok. Tinggal ditiup saja, mereka pasti sudah hancur berantakan. "Tetapi sinar pelangi yang mengurung mereka, tetap bersikap menunggu. Saking marahnya, tanpa sadar Raden Soeryadi memungut sepotong tangan yang masih meneteskan darah. Tangan anggota pasukannya itu ia lemparkan ke arah roh gaib terdekat. Terdengar bunyi ledakan. Sinar pelangi itu pecah, hancur, kemudian menghilang. Yang lain-lainnya. muncul terkejut,
Seketika itu juga Raden Soeryadi sadar apa yang harus diperbuat. Ia memerintahkan sisa pasukannya untuk memungut apa saja dari sisa-Sisa tubun rekan mereka yang baru terbunuh. Lalu dilemparkan beramai ramai ke sinar pelangi yang mengurung mereka. Mayat mayat yang masih utuh, dijadikan tameng.
Keadaan pun seketika berubah.
Roh roh gaib yang tadinya mengepung, mendadak saia berpencar kucar kacir. Terkena lemparan senjata-senjata baru musuh-musuh mereka. Potongan tangan, kaki, jari-jemari yang putus, serpihan serpihan daging, sampai percikanpercikan darah. Kemana pun mereka lari, benda-benda itu tetap mereka temui karena dibawa serta oleh badai hujan dan angin topan yang justru mereka kendarai.
Sinar pelangi yang paling besar dan paling cemerlang kemudian meluncur lantas bersujud di depan kaki Raden Soeryadi Ajilaksana. la menyerah dengan syarat, sisa Sisa rakyatnya dibiarkan berlalu. Untuk kemudian menyingkir ke tempat tempatjauh.
Setelah itu --" Kesunyian di sekitar mereka, terganggu oleh sesuatu.
Desah nafas. Nafas berat, tersedak-sedak. Jamila dan Dudung bertukar pandang. Meyakinkan, bukan satu dari mereka yang mengeluarkan nafas sedemikian ganjil. Desah desah nafas, yang terdengar mendekat, semakin mendekat. Datangnya tak jelas. Seolah, malah dari semua penjuru.
"dia sudah datang!", bisik Dudung, kelu.
Jamila pucat pasi seketika.
Tanpa sadar ia mendekat ke Dudung, mencari perlindungan. Dudung malah menahannya dengan gagang pedang. "Cepat. Pegang ini!"
Tanpa tahu bagaimana harus menggunakannya, Jamila menerima gagang pedang. Ujungnya tetap dipegang Dudung. Bahkan kemudian, diarahkan ke lambung kirinya.
"Tusukkan dengan kuat, Non. Cepatlah"
"Apa ---", Jamila membelalak ngeri.
"Aku akan mati begitu jantungku tertembus. Setelah tu rapatkan punggungmu ke tubuhku. Seolah olah kau melindungku aku"
"Aku tak mengerti ----"
Desah desah nafas itu makin jelas.
Kini, malah mendesing tajam. "Jangan berbantah lagi, Non. Tusukkan ke jantungku. Lindungi aku dari pandangannya -sementara aku merangkulmu dari belakang agar tidak sampai terjatuh. Semoga saja ketika ia menyerbu, aku sudah mati. Dan segeralah kau jatuhkan dirimu ke lantai. Sehingga hanya mayatku yang tertangkap olehnya. Mayatku yang masih segar, Non!"
"Tidak. Aku tak dapat ---", Jamila menarik mundur tangannya.
"Lakukanlah sekarang juga, Nonl", Dudung mulai gusar kembali. "Ingat. Aku yang membunuh nenek moyangmu. Kuhunjamkan keris ke ubun' ubunnya. Kau dengar itu" Balaskan dendam leluhurmu sekarang juga! Karena hanya keturunannya saja yang mampu melukai tubuhku ---"
Saking takut, panik. dan bingung, Jamila akhirnya terbawa gusar. "Itu hanya dongeng belaka", ia mendesis. "Jika pun semuanya benar, semua itu sudah lama berlalu. Biarlah kau kuampuni, dan
Dan, seketika itu pula Dudung melepaskan pegangannya di ujung pedang. Tangannya tahu-tahu saja sudah mencengkeram punggung telapak tangan Jamila yang masih menggenggam gagang pedang. Jamila tersentak. Tangannya yang memegang pedang, Ikut tersentak.
Tetapi tubuh Jamtla sudah terseret ke depan.
Mengikuti tarikan kuat Dudung pada punggung telapak tangan Jamila yang gagal melepaskan gagang pedang. Terdengar bunyi sesuatu tembus di
ujung pedang, disusul muncratnya darah dari lambung Dudung. Di mana, pedang menembus sampai ke gagangnya!
Jamila terpekik ngeri. Tangannya terkulai, seperti juga tubuhnya. Jatuh terjerembab di atas tubuh Jaka yang masih terlelap. Pandangan mata Jamila nanar berkunang kunang, kemudian yang terlihat hanyalah kegelapan yang menghitam. Dirinyakah yang tertusuk pedang" Pertanyaan itu masih sempat bermain di benak Jamila, sebelum ia jatuh pingsan.
Dudung, tertegak bingung.
"Celaka", ia bergumam parau. "Hanya menyerempet sedikit -----".
Dan itulah memang yang terjadi. Sentakan kaget pada tangan Jamila, menyebabkan arah pedang sedikit bergeser, dan gagal menembus iantung Dudung.
Dudung tetap hidup! Dan, Jamila, lebih sial lagi, malah terkapar pingsan.
Sementara desah desah nafas berat tersedak itu mendesing semakin keras. Disertai suara-suara lain yang bergerak serempak. Seperti ratusan atau ribuan kaki kaki berbaris teratur membawa beban berat di atasnya.
Dudung melihat ke arah datangnya suara riuh rendah itu. ' '
Dan dari mulut lorong di lantai atas, muncullah pancaran sinar redup yang menusuk mata, disusul sepasang titik cahaya kuning kemerahan, lalu tanduk atau sungut yang meliuk-liuk.
Dudung pun mengerang. putus asa.
Ia yakin masih dapat menggeser, bahkan mengorekkan pedang di dalam lambungnya, sampai menembus jantung. Lalu ia pun mati. Tetapi apa gunanya" Mahluk di atas tangga sana akan diam menunggu sampai mayat Dudung membeku dingin, mungkin juga sampai membusuk. Setelah itu, habislah Jaka. Habislah keturunannya. Lebih mengerikan lagi, Juragan Kecilnya pun gagal ia selamatkan sebagai tebusan dosanya di masa lalu.
Roh jahat itu mulai menuruni tangga.
Merayap di atas entah tangan entah kakinya yang banyak itu. Menyeret perutnya yang merah, berdenyut denyut, menampakkan punggungnya yang berlipat lipat, coklat kehitaman. Punggung yang juga berdenyut-denyut hidup. Sementara dari celah mulutnya yang bergigi bagai mata gergaji itu, terdengar bunyi mendesing yang makin keras saja.
Dudung melangkah maju menyongsong datangnya roh jahat yang panjangnya bermeter-meter, dan lebar tubuhnya hampir mengisi semua sisi tangga itu. Dudung nekad mencabut pedang dari lambung. Akibatnya, darah muncrat semakin banyak. Dan Dudung tak kuat lagi menahan lututnya yang goyah. Ia pun ambruk, berlutut tanpa daya.
Gerakan roh jahat itu pun terhenti.
Matanya mengawasi sosok kecil dan kerdil di depan kepala sang mahluk yang jauh lebih besar. Sepasang mata kuning kemerahan itu, berkilauan gembira. Mengintip lewat pundak Dudung, ke arah
tubuh Jamila. Nafasnya pun seketika menderu. Hoss, bosss, hoss tak ubahnya desas desus lokomotif kereta api. Pelan tetapi pasti, bagian depan tubuh roh itu meliuk terangkat bagai liukan ulat atau lintah maha raksasa, melewati tubuh Dudung yang gagal mengayunkan pedang. Sesaat, moncong roh itu mengendus endus tubuh Jamila. Agaknya, tidak terpancar uap panas membakar Roh itu pun mengangakan mulut
Siap merajah tubuh Jamila.
Lalu sekonyong konyong, bagian tubuh yang meliuk.naik lalu menyulur ke arah tubuh Jamila itu, tahu tahu saja melesat mundur ke tempat semula. Dudung kembali terlihat, maSih berlutut di lantai. Sepasang matanya maSih terpentang, masih bersinar hidup. Tubuh Dudung pun maSih bergetar, bahkan kini terdengar orangtua itu mulai menangis sesenggukan.
Jelas, bukan Dudunglah penyebabnya.
Tetapi bunyi berderit samar samar. Derit pintu kayu yang tinggi, berat dan kokoh, menganga terbuka sendiri. Angn dingin menusuk, berhembus pelan ke dalam ruangan. Roh memalingkan kepala ke arah datangnya angin sepoi sep0i itu. Demikian pula Dudung, menggerakkan kepala karena merasa ada tarikan gaib pada lehernya.
Pintu berhenti berderit. Tinggal nganga pintu yang lebar. Dan kesunyian yang menekan. Serta gumpalan kabut di luar sana, yang tampak bergerak monoton semakin mendekati ambang pintu. Lalu dari balik kabut itu. terdengarlah bunyi domprak kakikaki kuda. Disusul munculnya sosok kuda itu sendiri. Seekor kuda putih kelabu, bermata hitam tetapi cemerlang.
Di punggung kuda, duduklah seorang lelaki setengah baya. Bersosok kokoh, di balik pakaian megah seorang bangsawan dari masa pemerintahan kolonial Belanda.
Bangsawan itu menghentikan kudanya diambang pintu.
la mengawasi sekitar ruangan, dan pandangannya berhenti cukup lama di tubuh Jamila yang terkulai pingsan. Sepasang mata lelaki parlente itu tampak berkilat marah seketika, ketika sasaran pandangnya beralih ke sosok roh gaib yang tidak mampu lagi menyembunyikan wujudnya itu. Sang roh, seketika merintih, kemudian melolong panjang mengerikan. Lalu berusaha menggulung dirinya cepat sekali, sudah berubah bundar pipih. Lalu secepat itu pula wujud bundar pipih menyerupai roda mobil lapis baja itu melesat dengan gelindingan cepat ke arah tangga yang menuju ke lantai atas. Disertai suara nafas memburu dari mendesing hiruk pikuk.
Terdengar ringkikan marah.
Dan kuda di ambang pintu, beserta penunggang nya tahu tahu menjompak keras lalu menghilang dari pandangan mata Dudung. Ketika ringkik keras kuda itu terdengar lagi, Dudung berpaling ke arah lain. Ternyata kuda itu sudah berpindah tempat. tegak kokoh dengan keempat kakinya di mulut lorong masuk lantai atas puri.
Sang roh, menyadari gerak lajunya dihambat.
Roh itu pun berhenti menggelinding. Persis di anak tangga paling atas. Tubuhnya tampak goyah karena pijakan yang kurang pas dengan besar dan bobotnya dirinya sendiri. -_Tetapi mahluk itu nekad bertahan. Kepala atau moncongnya yang bertanduk diangkat, siap untuk menerjang ke depan. Entah mengapa sinar redup tubuhnya, tidak lagi memerihkan mata Dudung. Sehingga Dudung dapat melihat jelas, bagaimana sang bangsawan di atas punggung kuda bertindak pada waktu yang tepat.
Cepat sekali gerakan si bangsawan.
Tangan kanan diangkat ke atas kepala, sejajar ubun ubunnya. Tangan itu kemudian seperti menarik sesuatu keluar dari ubun ubun kepalanya sendiri. Tahu-tahu sebilah keris sudah tergenggam di tangannya. Dan persis ketika moncong sang roh menyerbu ke depan, keris di tangan si bangsawan pun melesat, menyambut.
Sehelaan nafas, tak terjadi apa apa.
Pada helaan nafas Dudung berikutnya, barulah terdengar bunyi yang diharapkannya. Bunyi ledakan membahana, sehingga seluruh puri seketika terguncang. Pancaran sinar redup dari tubuh sang roh, pecah berhamburan. Seperti bermaksud menerangi seluruh ruangan lantai utama puri, tetapi dengan sia sia.
Kemudian, 'pecahan sinar berhamburan itu pun, lenyap.
Yang tertinggal di lantai atas, adalah si bangsawan dengan kudanya. Tak ada keris di tangannya. Keris itu, entah lenyap ke mana pula. Dengan tenang, kaki si bangsawan menekan sedikit perut kudanya. Kuda putih kelabu itu mendengus samar, kemudian menggerakkan keempat kakinya secara teratur. Menuruni anak tangga demi anak tangga.
Lalu berhenti di depan tubuh Dudung, yang seketika bersimpuh mencium lantai, seraya merintihkan kata: "Raden Soeryadi Ajilaksana, Paduka"
... Bangsawan parlente itu mengurangi senyum di bibirnya yang tipis. Ketika ia berkata, suaranya terdengar lembut menyejukkan hati. "Yang tadi itu, Dudung. Sesungguhnyalah, tak perlu kau lakukan. Bukankah dia telah berkata, bahwa dia mengampunimu?"
Dudung menganggukkan kepalanya di lantai. "Hamba tahu, Paduka. Hamba tahu -----", Dudung mengisak pelan. Lalu: "tetapi, roh jahat taklukan Paduka, membuat hamba sangat khawatlr ---"
"Kau pikir, aku akan membiarkannya, eh?"
"Ampunilah hambamu yang bodoh ini, Paduka --", Dudung memohon.
Tak ada sahutan. Yang ada hanya kesunyian belaka.
Tetapi Dudung tidak juga mengangkat mukanya. Meski ia sudah tahu, bahwa kuda serta penunggangnya sudah menghilang dari dekatnya. Terdengar
lagi bunyi pintu kayu berderit menutup. Kemudian, sepi. Teramat sepi -*** 19 "STARTER LAGI!", Jaka berteriak dari bawah kap depan mobil.
Di belakang kemudi, Jamila memutar kunci kontak. Mesin pun bergerung, garang. Jaka mengeluarkan kepala dari bawah kap, lalu menutupkan kap itu dengan hempasan keras. Secepat itu pula ia sudah berlari masuk, lalu menyelinap di sebelah jok yang ditempati Jamila. "Sekarang ---", katanya, bergetar.
Mobil pun meluncur keluar dari dalam garasi.
Disambut oleh kabut tebal yang bergulung-gulung di seantero permukaan halaman puri. Jamila menyalakan lampu depan, kemudian lampu kabut. Mobil ia putar hati-hati, kemudian diluncurkan perlahan menuju pintu gerbang jauh di bawah sana.
Mulut mereka sama terkunci, kini.
Jamila mengawasi jalan yang ditelan kabut. Jaka, dengan muka tegang mengawasi ke kiri kanan, melihat samar sama bayang-bayang pepohonan mengintip dari balik kabut. Tak ada suara apa-apa di luar mobil. Terlalu sunyi. Terlalu sepi menekan.
"Awas!", Jaka memperingatkan tiba tiba.
Jamila terkejut. Namun kemudi dapat ia kendalikan. Ia berhasil menghindari tubrukan ke seonggok
benda di tepi jalan, tak jauh dari istal yang tinggal reruntuhan menyedihkan. Onggokan itu, pikir Jamila, bergidik. Onggokan besi tua Mantan mobil Jamila Dengan ah, tahukah Jaka, Nina ada di dalam onggokan besi tua itu"
Jamila terus meluncurkan mobil mendekati pintu gerbang .Ia sendiri tidak melihat, tetapi yakin bahwa di dalam onggokan itu pasti terdapat lumatan tubuh Nina. Jamila yakin. karena Dudung yang mengatakan begitu.
Orangtua yang malang. Ketika tadi Jamila siuman, ia melihat Dudung tak jauh darinya. Tengah berlutut mencium lantai. Tanpa bergerak gerak. Sewaktu Jamila mendekatinya, orangtua yang sudah renta itu masih juga tak memperlihatkan reaksi. Seketika Jamila tertegun, sadar bahwa tubuh itu sudah kaku. Mati.
Jamila menggoyangkan kepala.
Membuang bayangan buruk dan menyedihkan dari akhir hidup si tua renta yang berasal dari masa silam itu. Tanpa sengaja, ekor mata Jamila menangkap sesuatu ketika mobil yang dikemudikannya meluncur ke pintu gerbang yang tinggal dua tiga meter di depan.
Ada sosok samar samar berdiri di sebelah dalam ambang pintu gerbang. Sosok yang diam tak bergerak gerak di tepi jalan yang tertutup kabut. Terlihat samar-samar saja. Tetapi karena Jamila merasa pernah melihat sosok yang sama, maka dengan cepat ia mengenali apa gerangan yang berdiri di tepi jalan itu. Menghadap ke arah datangnya mobil.
Itu adalah seekor kuda putih -, atau kelabu"
Ada seseorang duduk di atasnya. Berpakaian aneh. Pakaian bangsawan model pemerintahan kolonial. Duduknya gagah, tampangnya parlente. Ketika di antara kabut, mata mereka sama bertemu, Jamila melihat si bangsawan tersenyum ke arahnya.
Lalu terdengar suara memperingatkan: "Kak Mila ! Awas pintu ---'"
Seketika Jamila mengerem.
Mobil terhentak diam, tetapi mesin masih tetap bergerung teratur. Jaka benar. Moncong mobil hanya beberapa senti jaraknya dari ujung pintu besi gerbang yang menganga terbuka itu.
Jamila berbisik pelan: "apakah kau melihatnya, Jaka?"
"Jelas dong. Pintu besi sebesar dan setinggi itu ----"
"Maksudku ----", Jamila tidak melanjutkan kata katanya.
Karena ketika ia melirik lagi ke samping kanan, kuda beserta penunggangnya sudah lenyap. Tinggal kabut yang tebal, semakin tebal. Jamila menghela nafas panjang. Mobil ia mundurkan sedikit, kemudian meluncur lagi ke depan, melewati pintu gerbang.
Di sebelahnya, Jaka bertanya tegang: "Apakah yang kakak maksud, kakak melihat hantu si penjaga puri?"
Si penjaga puri" Jamila mengeluh, bingung sendiri.
Yang manakah sesungguhnya, Si penjaga puri! Di depan sana, semakin banyak pepohonan. Semakin kabut menipis. Jalan aspal tampak jelas dan nyata. Jamila menekan pedal gas.
Catatan : Buat pembaca novel misteri ini, yuk gabung di Group Fb Kolektor E-Book untuk mendapatkan ebook terbaru novel novel misteri lainnya yang tak kalah serunya..
yang suka baca cerita silat dan novel secara online bisa juga kunjungi http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai Jumpa di lain kisah ya !!!
14 Juli 2018,Situbondo Terimakasih. TAMAT Pedang Ular Mas 9 Pendekar Gila 8 Pedang Penyebar Maut Pengadilan Perut Bumi 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama