Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Mustika 3

Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana Bagian 3


menghadang di hadapan perahu yang ditumpangi
Baskara dan Tunggul Wulung.
"Akh... itu mereka datang...!" seru tukang perahu itu
dengan cemas. Tubuh orang tua itu semakin menggigil.
Wajah yang pucat itu menjadi semakin pucat setelah
mendengar teriakan dari salah seorang penunggang perahu yang berada di hadapannya.
"Berhenti...!" Dengan tanpa sesadarnya tukang perahu tua itu lalu
menghentikan gerakan dayungnya, dan tubuhnya makin menggigil, hingga Baskara menjadi kasihan melihatnya.
"Paman, kau mundurlah, biar aku yang menghadapi
mereka." Tanpa menanti perintah yang kedua kalinya, tukang
perahu tua itu terus menggeserkan duduknya ke arah
belakang dan seakan-akan minta perlindungan kepada
kedua pendekar yang berada di dalam perahunya itu.
Hanya kadang-kadang saja ia berani mencuri pandang
ke arah para bajak yang mencegat perahu itu.
"Ki Sanak, siapakah kau ini" Mengapa kau mencegat
jalan kami" Berilah kami sedikit jalan supaya kami dapat meneruskan perjalanan kami," seru Baskara dengan
hormat. "Huahaaaaa... huahaaaaa... huahaaaaa... kau lucu,
anak muda. Berani lewat Kali Serayu akan tetapi kalian
belum mengetahui siapa adanya aku ini. Heh... dengarlah, anak muda, namaku Tirto Menggolo atau Dayang
Serayu," jawab orang tinggi besar dan penuh dengan berewok dan di pinggangnya tergantunglah sebuah golok
besar dan kelihatan tajam.
"Baiklah, Ki Tirto Menggolo, aku minta ijin untuk lewat daerahmu ini. Dan biarlah lain kali aku akan datang lagi kemari untuk mengucapkan terima kasihku
kepadamu." "Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... anak muda,
mudah saja kau dapat melewati daerahku ini. Akan tetapi tentunya kau tahu, bukan, kalau setiap daerah itu
tentunya mempunyai peraturan sendiri-sendiri"!" seru
Tirto Menggolo dengan tersenyum-senyum.
"Tentu... tentu, aku tahu akan hal itu. Di setiap daerah tentu mempunyai peraturan sendiri-sendiri, dan
lain daerah lain pula aturannya," jawab Baskara menyabarkan diri.
"Akh... ternyata kaupun mempunyai pandangan
luas, anak muda. Nah, ketahuilah peraturan di daerah
kami ini ialah...," Tirto Menggolo tak meneruskan perkataannya dan ia menanti reaksi dari orang yang sedang
dicegatnya itu. "Katakanlah terus terang saja," seru Tunggul Wulung
mengguntur. "Huahaaa... huahaaaa... huahaaa... ternyata kau
adalah orang berdarah panas, anak muda. Baiklah aku
akan mengatakan syarat-syarat atau peraturan-peraturan yang berlaku di sini," jawab Tirto Menggolo sambil
menatap ke arah Tunggul Wulung, dan setelah ia menarik napas panjang-panjang terdengarlah perkataannya, "Pertama-tama, orang yang mengenalku saja
yang boleh lewat daerah ini dengan bebas. Atau kalau
kalian mengenal salah seorang dari anak buah kami
maka kalian dapat berlalu dengan bebas. Ke dua, kalau
kalian suka memberi sedikit sumbangan kepada kami
maka kalian akan dapat berlalu dengan bebas dan diiringi oleh perasaan terima kasih kami. Sumbangan itu
tak banyak, hanya seratus keping saja cukuplah. Ke tiga, kalau kalian dapat melayani permainan golokku lebih dari lima puluh jurus, barulah dapat berlalu dengan
tenang! Terserah kepadamu, akan kaupilih yang mana
salah satu dari ketiga syarat itu."
Mendengar syarat ini Tunggul Wulung telah menjadi
panas perutnya, akan tetapi murid ke dua dari Mliwis
Putih itu tak berani lancang membuka mulut sebelum
mendapat perkenan dari kakak seperguruannya. Untuk
melampiaskan perasaan gemasnya ia hanya meremasremas tangannya saja.
Setelah ditimbang dengan baik-baik maka tersenyumlah Baskara dan ia lalu menjawab dengan penuh
kesopanan, "Syarat pertama tentu saja tak dapat kulakukan, karena aku tak mengenalmu dan juga tak ada
yang kenal dengan anak buahmu. Satu-satunya orang
yang kukenal adalah paman tukang perahu ini."
"Sayang sekali, aku tak kenal dengan orang tua itu,"
jawab Tirto Menggolo dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Syarat ke dua juga tak mungkin, karena kamipun
tak mempunyai uang sebanyak itu. Andaikan ada, maka kami akan menyerahkan dengan rela kepadamu Ki
Sanak. Akan tetapi kalau sekiranya hanya sepuluh keping saja kami mempunyai, bagaimana kalau sepuluh
keping saja?" "Bangsat, kau menghina kami! Kaukira kami ini
bangsa pengemis rendahan, hehh..."!" bentak mereka
dengan serempak. "Jangan salah sangka, Ki Sanak sekalian, kami memang benar-benar tak punya. Ini kalau mau, kalau tidak yah terserah. Dan terpaksa kami ingin mencoba dengan syarat yang terakhir...!"
"Bagus..., beritahulah siapa namamu! Biar kalau kau
mampus nanti aku tak usah repot-repot berpikir andaikan ada orang yang hendak menuntut balas atas kematianmu."
"Ketahuilah Tirto Menggolo, kami datang dari Perguruan Jati Tunggal, Namaku Tunggul Wulung dan ini
kakakku yang bernama Baskara," seru Tunggul Wulung
yang mewakili kakaknya untuk menjawab pertanyaan
kepala bajak sungai itu. Begitu mendengar nama Tunggul Wulung dan Baskara, maka tertawalah Ki Tirto Menggolo. Memang ia telah pernah mendengar nama kedua orang pendekar
muda yang baru saja muncul itu. Dan kebetulan sekali
sekarang ia bertemu dan dapat mencoba kepandaian
orang yang telah dapat menggegerkan kaum perampok
dan khususnya golongan hitam.
"Bagus, tak tahunya aku akan kedatangan pendekarpendekar muda. Tapi jangan kaukira kalau Tirto Menggolo dapat disamakan dengan lain-lain orang yang tak
berguna itu." Setelah berkata demikian maka terdengarlah suara... Syaaarrrtttt...! Bersama dengan itu, berkelebatlah cahaya putih dan ternyata suara serta cahaya
itu timbul karena Tirto Menggolo telah mencabut goloknya.
"Kakang, biarlah aku yang menghadapinya dahulu!"
seru Tunggul Wulung yang juga telah mencabut pedangnya.
Melihat kalau adik seperguruannya telah siap untuk
menghadapi Tirto Menggolo maka Baskara lalu menyingkir dan memberi peringatan kepada adik seperguruannya, "Hati-hatilah kau, Adi."
"Baik, Kakang."
Kini kedua orang jago itu telah sama-sama berhadapan dan satu sama lain telah mengetrapkan kudakudanya pada landasan perahunya. Akan tetapi tibatiba saja terdengarlah teriakan Tunggul Wulung yang
keras sekali, "Hiaaaaatttttttt...!"
Bersama dengan terdengarnya teriakan itu, tubuh
Tunggul Wulung telah mencelat ke atas dan di udara ia
lalu bergulingan, setelah kepalanya menghadap ke bawah terus meluncur dan menusukkan pedangnya ke
arah leher lawan. Inilah gerakan Elang Menyambar Ikan
yang dipakai oleh Tunggul Wulung untuk membuka serangannya.
Melihat serangan ini Tirto Menggolopun tak kurang
akal. Ia telah mempunyai pengalaman yang banyak sekali. Bahkan hampir dapat dikatakan kalau setiap hari
Tirto Menggolo selalu bercanda dengan maut. Karena
itulah ketika ia melihat serangan yang dilancarkan oleh
Tunggul Wulung ia tak demikian kaget. Segera Tirto
Menggolo memutar goloknya yang besar itu untuk menangkis pedang Tunggul Wulung.
Trangg...! Begitu pedang dan golok bertemu, tubuh
Tunggul Wulung kembali mencelat ke udara lagi dan dengan gerakan yang indah sekali ia kembali mendarat di
perahunya. Sedangkan Tirto Menggolo menjadi sibuk menahan
keseimbangan badannya yang menjadi oleng karena perahunya yang tergetar oleh peraduan tangan dan tenaga
kedua orang tadi. Melihat ini diam-diam Baskara mengakui dan mengagumi kecerdikan adik seperguruannya itu. Memanglah untuk menghadapi lawan terlebih dahulu harus
mengetahui seberapa besar tenaga lawannya itu.
Begitu pedangnya bertemu dengan golok lawan maka
tahulah Tunggul Wulung kalau tenaganya masih menang setingkat kalau dibandingkan dengan lawannya.
Akan tetapi iapun maklum kalau lawannya ini masih
lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuhnya. Hingga dengan demikian keadaan dapat dikatakan seimbang.
Begitupun dengan Tirto Menggolo. Ia menjadi terkejut sekali setelah mengetahui akan kehebatan tenaga
lawannya. Hal ini diketahui setelah goloknya bertemu
dengan pedang sang lawan maka telapak tangannya
menjadi tergetar panas, kulitnya hampir lecet.
Setelah kedua orang jago itu kembali berhadapan
maka masing-masing telah mengetahui akan kelemahan
dan kehebatan lawannya. Tirto Menggolo yang telah biasa bertempur di dalam air maka lebih mendapat keuntungan daripada lawannya.
"Ki Lurah, mengapa tak lekas diringkus saja pemuda
sombong itu?" seru salah seorang anak buahnya.
"Heh... hehhhh... hehhhh... lihat sajalah nanti!" Bersama dengan lenyapnya suara itu maka melayanglah
tubuh Tirto Menggolo menerjang ke arah Tunggul Wulung yang masih berdiri tegak di atas perahunya.
Melihat kalau kedua orang itu telah terlibat dalam
perkelahian maka Baskara mundur ke buritan. Matanya memandang ke arah jalannya pertempuran dengan
penuh perhatian. Menghadapi Tirto Menggolo yang biasa memainkan
senjata di atas perahu yang oleng agak bingunglah hati
Tunggul Wulung. Sebab setiap kali ia bergerak sedikit
saja maka perahu itu akan bertambah oleng dan merepotkan keseimbangannya, hingga dengan demikian ia
harus membagi dua perhatiannya. Setengah untuk
menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan oleh
lawannya, dan setengahnya lagi dipakai untuk memperhitungkan gerakannya di tempat yang sempit itu.
Westttt...! Golok besar dan mengkilap itu terus menyambar dengan cepat menuju ke ulu hati dan siap untuk merobek perut Tunggul Wulung. Akan tetapi tak
percuma pemuda itu menjadi murid dari Ki Mliwis Putih, karena begitu ia melihat sinar golok lawan maka cepat-cepat memutar pedangnya untuk menangkis.
Tranggg...! Kembali pedang dan golok itu beradu.
Akibatnya bunga api berpijar dengan diiringi suara gemerontang. Tirto Menggolo meringis menahan perasaan
sakitnya, sedangkan Tunggul Wulung harus memperhitungkan gerakannya yang tak leluasa ini. Sedikit saja
adik seperguruan Baskara itu salah perhitungan maka
ia akan jatuh ke dalam kali.
"Tirto Menggolo, kalau kau laki-laki sungguh, kutantang kau bertempur di daratan!" seru Tunggul Wulung
dengan lantang. "Huahaaaa... huahaaaa... huahaaa... kita bertemu di
air, mengapa kau menantangku di darat" Andaikan aku
bertemu denganmu di daratan maka akupun akan
menghadapimu di darat pula." Bersama dengan perkataannya itu Tirto Menggolo menusukkan goloknya ke
arah dada. Akan tetapi dengan gesit sekali Tunggul Wulung meliukkan tubuhnya ke samping dan melangkah
mundur selangkah. Namun rupa-rupanya serangan ini adalah serangan
tipuan belaka, karena belum sampai di dada golok itu
telah berubah arahnya dan miring membabat perut dengan kecepatan yang luar biasa sekali.
Akan tetapi sayang sekali yang dihadapi kali ini bukanlah seorang pemuda murahan saja. Pemuda yang
menjadi lawannya ini telah digembleng oleh Mliwis Putih
dalam waktu yang cukup lama. Ia tak menjadi kaget ketika melihat jurus tipuan ini. Dengan sigap lalu membuang diri ke belakang dan mencelat ke atas. Di atas ia
berjumpalitan beberapa kali sambil menusukkan pedangnya ke arah leher lawannya. Inilah gerakan jurus
Burung Elang Menyambar Ikan.
Tirto Menggolo tak mau tinggal diam begitu saja. Ia
tahu kalau tenaganya kalah kuat oleh lawannya itu
hingga dengan demikian ia tak berani lagi mengadu senjatanya. Dengan tangan kiri lalu memukul ke arah kepala yang sedang meluncur ke bawah dan mengelakkan
serangan pedang lawannya.
Sungguh mencemaskan keadaan Tunggul Wulung
itu. Tubuhnya masih terapung-apung di udara dan kepalanya yang meluncur ke bawah terancam bahaya pukulan jarak jauh yang dilontarkan oleh tangan kiri Tirto
Menggolo. Sedangkan kalau serangannya itu tak ditangkis oleh lawan, banyak kemungkinan ia akan tercebur ke dalam air.
Melihat keadaan ini Baskara telah menjadi cemas.
Akan tetapi sebagai orang yang selalu menjunjung tinggi
kegagahan dan keadilan ia tak mau membantu adik seperguruannya. Baskara lebih rela melihat adik seperguruannya mati di dalam pertarungan adil, daripada adiknya mendapat kemenangan di dalam pertarungan yang
curang. (Bersambung jilid IV) SEPASANG PEDANG MUSTIKA Karya: Wahyu Mulyana Penerbit: CV Gema " Solo, 1979
Scan/Edit: Clickers PDF: Abu Keisel JILID IV MUNGKIN Yang Maha Esa masih belum menghendaki nyawa Tunggul Wulung pulang menghadapNya, karena di saat yang kritis itu tiba-tiba saja Tunggul Wulung mendapatkan akal yang baik sekali, yaitu membuat gerakan membuang diri ke belakang dan tangan
kirinya terus menyambut pukulan Tirto Menggolo dengan pukulan pula, hingga dengan demikian ia dapat
meminjam tenaga lawannya untuk kembali melontarkan
dirinya terapung ke atas udara.
"Bagus...!" seru Baskara memuji dan menarik napas
lega, setelah melihat kalau adik seperguruannya dapat
melepaskan diri dari ancaman bahaya maut.
Tirto Menggolo biarpun tak mengeluarkan perkataan
apa-apa akan tetapi diam-diam hatinya menjadi kagum
sekali, setelah melihat ketrampilan Tunggul Wulung.
Akan tetapi ia tak mau menghabisi serangannya hanya
sampai di situ saja. Dengan tanpa diduga-duga tangan
kiri Tirto Menggolo kembali terayun dan bersama dengan berkelebatnya tangan itu, meluncurlah beberapa
batang paku-paku senjata rahasia yang menuju ke
tempat-tempat yang mematikan.
"Akhh...!" desah Baskara dengan tertahan.
Akan tetapi untung bagi Tunggul Wulung, ia masih
berada di udara dan masih sempat memutar pedangnya
untuk memukul jatuh senjata-senjata rahasia yang menyerang ke arahnya. Namun tetap saja ada sebuah paku yang berhasil mengenai kakinya hingga ia jatuh terguling di atas sungai... Byur....
"Horreeeeeeeee... horrreeeeeee... horrreeeeeeee...!" seru anak buah bajak sungai itu dengan gembira.
"Curang...!" teriak Baskara dengan marah.
"Huahaaaaa... huahaaaaa... huahaaaaa... kalau kau
mempunyai kepandaian boleh menggantikan kedudukan adikmu itu!" tantang Tirto Menggolo dengan tertawa
puas. Sementara Tunggul Wulung berenang ke tepi, Baskara telah menyambar tukang perahu yang tua itu dan dibawa melesat ke daratan. Tukang perahu yang telah ketakutan itu makin menjadi takut setelah melihat Tunggul Wulung dikalahkan oleh Tirto Menggolo.
"Kalau kau tak berani bermain-main di atas perahu
di daratan pun jadilah, biar orang tahu kalau aku Tirto
Menggolo sanggup mengalahkan Baskara dan Tunggul
Wulung yang dikabarkan menjadi pendekar muda."
"Sombong, aku belum kalah! Kau curang!" teriak
Tunggul Wulung dengan terpincang-pincang.
"Huahaa... huahaaaa... huahaaa... yang kalah harap
diam, tak mampus itu saja telah untung!" seru Tirto
Menggolo yang terus melompat ke darat, begitu kakinya
menginjak tanah maka goloknya lalu disilangkan di depan dada dan mengambil sikap siap sedia.
Melihat kalau lawannya telah siap maka Baskara lalu mencabut pedangnya dan memasang kuda-kudanya.
Kedua orang itu tak saling bergerak, mereka hanya berpandangan bagaikan dua ayam jago aduan yang hendak
melihat dan menaksir kekuatan lawannya masing-masing.
Tirto Menggolo melintangkan goloknya di depan dada
dan menekuk kaki kanannya rendah-rendah serta menyerongkan kaki kirinya ke belakang. Tangan kirinya
menelapak menghadap ke muka. Matanya tajam-tajam
memandang ke arah Baskara.
Sedangkan sikap Baskara tetap tenang-tenang saja.
Pedang yang telah dipegang itu masih tetap condong ke
bawah dan kedudukan kakinya lurus merenggang
membentuk segi tiga dengan selakangnya. Mukanya
menunduk dan matanya memandang ke arah tanah,
akan tetapi pendengarannya telah dipasang dengan
baik-baik. Kedua orang jago ini saling berhati-hati dan satu
sama lain tak ada yang gegabah berani menyerang terlebih dahulu. Mereka berpendapat kalau siapa yang menyerang terlebih dahulu maka akan membuka kesempatan kepada lawannya untuk memukul ke tempat
yang kosong. Sebab menyerang sama saja dengan
membuka dan memberi lowongan.
Karena itulah keduanya hanya sama-sama diam saja. Kejadian ini berjalan sampai sepeminuman teh lamanya. Di lain saat para anak buah bajak itu telah bersorak ramai-ramai memberi semangat kepada pemimpinnya.
"Ganyang saja, Ki Lurah! Ringkus tikus kecil yang
gemede (berlagak besar) itu... Pegang, lempar ke kali...!"
Teriak mereka dengan ramai.
Akan tetapi keadaan ini benar-benar tak mempengaruhi keadaan kedua orang yang akan bertempur itu.
Mereka tidak tahu kalau kedua orang itu telah bertempur dengan hebatnya. Yah, bertempur menguji kesabaran untuk tidak mendahului menyerang lawannya.
Namun sikap kasar dan kesombongan Tirto Menggolo itu tak dapat mendiamkan keadaan dengan begitu saja. Tiba-tiba saja ia telah mencelat dan menusukkan goloknya ke arah perut Baskara. Akan tetapi dengan tenang murid Mliwis Putih yang pertama ini melangkah
mundur dan miringkan tubuhnya hingga golok itu hanya lewat sejengkal dengan perut.
Tentu saja Baskara tak mau kalau hanya mengelak
saja, iapun segera membalas serangan itu dengan serangan pula. Kini pedang yang dipegang dengan tangan
kanannya mulai digerakkan membabat ke depan mengarah pergelangan tangan kanan Tirto Menggolo yang
memegang golok. Mengetahui kalau serangannya gagal dan bahkan
mendapat serangan balasan yang dahsyat, maka cepatlah kepala bajak sungai itu menarik goloknya dan memutar ke kiri untuk menangkis pedang lawannya.
Tranggg...! Kali ini Tirto Menggolo benar-benar terkejut sekali,
ternyata tenaga dalam Baskara jauh lebih kuat dan lebih hebat daripada tenaga dalam Tunggul Wulung.
Hampir saja golok itu terlepas dari tangannya kalau ia
tak segera memperkuat pegangannya.


Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hebat...!" seru Tirto Menggolo tanpa sesadarnya.
"Kau memuji terlalu pagi, kawan. Kau belum tahu
akan kepandaianku mengapa telah memuji"! Nah, nikmatilah serangan-seranganku ini." Berkata demikian
maka Baskara lalu melompat maju menerjang ke arah
lawan yang sedang memainkan goloknya.
Pedang Baskara berkelebat bagaikan seekor ular
yang bernyawa mengejar ke mana gerakan lawan menghindar. Apalagi setelah ia memainkan Ilmu Pedang Kartika Jengkar. Tirto Menggolo benar-benar dibuat bingung dan kelabakan.
Berkali-kali pemimpin bajak itu kehilangan musuh,
goloknya hanya menyambar-nyambar angin saja. Jangan lagi mengenai sasaran, sedangkan menyerempet
bajunya saja tak dapat. Bahkan lama-lama Tirto Menggolo yang berbadan
besar itu menjadi pening setelah Baskara makin memperhebat gerakannya. Tubuhnya lenyap dan hanya gulungan sinar pedangnya saja yang tampak bergulungan
bagaikan badai yang hendak menelan tubuh kepala bajak itu.
Trang...! Tiba-tiba saja golok lawan telah terpental
jauh sekali dan terlepas dari tangannya. Melihat ini bukan main pucatnya wajah Tirto Menggolo. Peluh dingin
membasahi tubuhnya! "Ambillah senjatamu, Ki Sanak! Selain itu hitunglah
telah berapa jurus aku menghadapimu!" seru Baskara
sambil tersenyum. Senyum sejuk penuh perdamaian.
Akan tetapi kepala bajak yang telah kalap dan menderita malu itu menganggap bahwa senyum itu adalah
senyum sinis penuh dengan ejekan. Hingga dengan demikian ia menggerung keras dan menubruk maju sambil memukulkan tangan kanannya ke arah dada.
Wessttttt.... Pukulan keras itu sengaja tak dihindarkan oleh Baskara, hanya saja pemuda itu menghimpun
seluruh tenaga dalamnya untuk melindungi dadanya.
Daaarrrrrrr...! Begitu pukulan Tirto Menggolo bersarang di dada Baskara maka terdengarlah jeritan kepala
bajak itu. "Aduhhh...!" Ternyata pukulannya tadi itu telah
membalik mengenai dirinya sendiri. Hingga tanpa ampun lagi tergulinglah tubuh Tirto Menggolo sambil meringis-ringis kesakitan.
"Belum cukupkah ini, Ki Sanak"!" tanya Baskara dengan tenang,
"Heehhhh... hehhhh... hehhhh... kepandaianmu boleh juga, jebeng (jabang/ anak bayi)! Pantas kalau namamu telah dapat menggetarkan kaum rimba hijau dan
bajak-bajak air!" Mendengar perkataan yang serak dan kaku ini Baskara cepat berpaling, dan ternyata di bawah sebatang
pohon beringin berdirilah seorang tua kurus dan badannya telah bongkok. Ia berdiri dibantu oleh sebatang
tongkat. Kepala orang itu gundul, jenggotnya panjang
dan berkibaran kalau tertiup angin lalu.
Melihat orang tua ini tiba-tiba saja terdengarlah perkataan Danyang Sungai Serayu, "Bapa, tolonglah bereskan tikus-tikus kecil yang berani berlagak di daerahku
ini." (Di jilid III tertulis "Dayang" Sungai Serayu, bukan
"Danyang".) Mendengar perkataan kepala bajak ini saja Baskara
telah maklum kalau orang tua yang kelihatan lemah itu
sebetulnya adalah Iblis Tua Bertangan Seribu. Hingga
dengan demikian Baskara telah mempertebal kewaspadaannya.
"Heeee... hehhhhhh... heeehhhh... dasar kau murid
goblok! Minggir biar kuhadapi dia!" Bersama dengan lenyapnya suara itu tahu-tahu tubuh tua yang telah
bongkok tadi sudah berada di hadapan Baskara.
Bukan main kagetnya hati Baskara melihat kegesitan
ini. Hampir-hampir gerakan kakek yang kelihatan lemah itu tak dapat dilihat oleh matanya. Tanpa disadarinya pemuda itu terus melangkah mundur selangkah.
Begitu melihat gerakan Iblis Tua Bertangan Seribu ini
Baskara tak berani memandang rendah lagi kepada
orang tua yang kelihatan hampir loyo itu.
"Hehhhh... hehhhh... hehhhhhh... mengapa kau
mundur, anak manis" Takutkah kau menghadapiku"!"
tanyanya dengan tersenyum-senyum.
"Untuk memberantas kejahatan, Baskara pantang
mundur barang setapak, orang tua! Aku rela mengorbankan nyawa demi tegaknya kebajikan dan kebenaran.
Lebih baik hidup sehari bagaikan macan daripada hidup setahun bagai anjing."
"Hieeehhh... hehhhhh... hehhhhh... kau berkeberanian bagai singa, akan tetapi kau belum tahu kalau
yang kauhadapi ini adalah neneknya singa. Segala macam macan dan singa takut kepadaku... takut kepada
Iblis Tua Bertangan Seribu."
"Jangan banyak mulut, orang tua, kalau kau tak dapat melihat kebaikan, maka aku yang muda sanggup
menuntunmu untuk melihat kebaikan dan kebajikan.
Bukalah matamu lebar-lebar, lihatlah kalau muridmu
itu telah tersesat sampai menjadi kepala perampok sungai dan menjadi momok Sungai Serayu. Bukalah matamu yang rabun itu, buka telingamu... buka pintu hatimu!" seru Baskara dengan lantang.
Mendengar perkataan Baskara yang dianggapnya kurang ajar ini maka menggerunglah Iblis Tua Bertangan
Seribu itu, tubuhnya gemetar dan tongkatnya telah diangkat dilintangkan di depan dada.
"Mampuslah kau, binatang!" Bersama dengan itu
berkelebatlah tubuh tua dan bongkok tadi menerjang ke
arah Baskara. Untung saja murid pertama dari Ki Mliwis Putih telah
bersedia sedari tadi, hingga begitu melihat tubuh lawannya berkelebat menyerang maka dengan cepat ia
membuang diri ke samping dan melangkah mundur selangkah, hingga dengan demikian ia berhasil menghindarkan pukulan tongkat lawan.
Akan tetapi tetap saja ia dapat merasakan betapa
dinginnya angin pukulan yang menyambar tubuhnya
tadi. Hingga kalau pukulan tadi tepat mengenai batok
kepalanya niscaya akan hancur berantakan otak yang
terdapat di dalamnya. Namun rupa-rupanya kakek tua renta itu tak mau
sudah sampai di situ saja, ia begitu mengetahui kalau
serangannya telah gagal lalu menggerakkan kakinya
untuk menendang lambung Baskara yang sedang miring.
Weessttt... bagaikan tatit (kilat/ petir) saja cepatnya
kaki kakek itu menendang lambung, namun Baskara
adalah pemuda gemblengan dari Ki Mliwis Putih, tokoh
besar di sebelah selatan. Mengetahui kalau dirinya terancam bahaya maut cepat ia memapaki tendangan lawannya itu dengan pedang.
Hal ini benar-benar tak pernah disangka oleh Iblis
Tua Bertangan Seribu. Tendangan kakinya ini telah dilancarkan dengan pengerahan tenaga yang cukup besar
hingga untuk menarik kembali amatlah sukar. Akan tetapi sebagai seorang tokoh kawakan yang telah mempunyai pengalaman banyak, Iblis Tua Bertangan Seribu
itu tak menjadi gugup ataupun takut, otaknya segera
berjalan dengan segera dan tahu-tahu tangan kanannya
telah bergerak dengan cepat sekali hingga mendahului
gerakan kakinya. Trangg...! Tongkat dan pedang itu beradu. Sesaat
mereka berpandangan serta memeriksa senjatanya masing-masing. Diam-diam pendekar tua itu mengagumi
akan kekuatan tenaga dalam lawannya yang masih muda itu. Padahal tadi dia telah mengerahkan tenaganya
sembilan bagian, akan tetapi tetap saja tak dapat membuat pedang lawan menjadi kontal (mencelat/ terpental)
lepas dari tangannya. Namun di lain saat Baskara benar-benar mengetahui
akan kekuatan lawannya ini. Biarpun tua akan tetapi
tenaganya benar-benar mengagumkan sekali. Di dalam
tulang-belulang yang telah keropos itu tersimpanlah tenaga dalam yang dahsyat, hingga begitu pedangnya bertemu dengan tongkat lawan, tangannya menjadi panas
bagaikan terbakar, bahkan kulit luar tangan itu telah
pecah dan mengeluarkan darah. Darah merah menetes
dari celah-celah genggaman tangannya yang memegang
pedang. "Hebat...!" desis Baskara sambil memindahkan pedangnya ke tangan kiri.
"Hehhhh... hehhhh... hehhhh... kaupun mengagumkan sekali, anak muda. Akan tetapi sayang sekali begitu
aku melihat kesaktianmu maka timbullah niat di dalam
hatiku untuk membunuhmu. Yah... kau akan kubunuh
karena aku paling tak suka kalau melihat adanya orang
yang berani menyaingi kepandaianku. Hayo kauterimalah seranganku ini, anak muda."
Bersama dengan lenyapnya perkataan Iblis Tua Bertangan Seribu ini maka hilang pula tubuhnya dan berkelebat ke sana-ke mari bagaikan bayangan iblis yang
siap sedia mencabut nyawa Baskara.
Pendekar muda ini benar-benar menjadi sibuk sekali
menghadapi amukan dari Iblis Tua Bertangan Seribu.
Perkelahian ini benar-benar tak seimbang, bahkan lama-kelamaan Baskara menjadi semakin terdesak dengan hebat. Sedikitpun ia tak diberi kesempatan untuk
membalas serangan-serangan lawan, paling-paling pedang di tangan kirinya itu hanya digerakkan untuk menangkis setiap serangan tongkat kakek bongkok itu.
Karena kedua orang ini bertempur dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya maka lenyaplah
tubuh mereka dan yang tampak hanya bayanganbayangan dan sinar senjatanya.
Di lain saat Tunggul Wulung terus memegang pedangnya sambil meringis-ringis menahan perasaan sakitnya. Hatinya menjadi bertambah panas setelah melihat keadaan kakak seperguruannya terdesak dengan
hebat oleh guru Tirto Menggolo.
Biarpun Tunggul Wulung telah terkena serangan
senjata rahasia Tirto Menggolo yang mengandung racun
dan keadaannya telah lemah, akan tetapi kepala bajak
air ini masih tak berani main gila dengan Tunggul Wulung, karena ia maklum kalau pemuda yang telah lumpuh itu masih dapat menyerangnya andaikata ia berani
mendekat. Sedangkan tukang perahu tua itupun menjadi bertambah ketakutan sekali, ia duduk di belakang Tunggul
Wulung yang telah lumpuh itu. Karena perasaan takutnya yang menjadi-jadi itu maka dengan tanpa sesadarnya orang tua ini telah ngompol. Tentu saja hal ini
menggelikan anak buah para bajak sungai itu. Mereka
berteriak-teriak dengan keras dan malah menakutnakuti orang tua tadi. Sungguh kasihan nasibnya.
Murid pertama dari perguruan Jati Tunggal itu ingin
sekali mendapat kesempatan untuk mengetrapkan ajinya yang bernama Mega Malang, akan tetapi tetap saja
tak sempat. Gerakan tongkat Iblis Tua Bertangan Seribu
ini selalu mengikuti ke mana saja gerakannya. Benarbenar nama Iblis Tua Bertangan Seribu ini tak kosong
saja. Tangannya benar-benar bagaikan seribu kalau ia
menyerang lawannya. Karena kecepatan gerakan kedua orang ini peninglah
kepala Tunggul Wulung yang sejak tadi berusaha mengikuti gerakan atau jalannya pertandingan ini. Terlebihlebih Tirto Menggolo dan anak buahnya. Mereka telah
tak berani memandang ke arah medan pertempuran.
Tiba-tiba terdengarlah suara bentakan keras sekali.
"Lepas pedang...!" Bersama dengan itu terdengar pula suara... Tranggg...! Dan tahu-tahu pedang Baskara
telah melayang ke udara dan terlepas dari tangannya.
Akan tetapi Baskara sendiri dengan gerakan yang
amat manis berjumpalitan di udara dan turun dalam
keadaan siap sedia di atas kuda-kudanya. Begitu turun,
lalu mengerahkan tenaganya menyiapkan aji pukulan
Mega Malang. Rupa-rupanya Iblis Tua Bertangan Seribu itu tak
memandang sebelah mata kepada lawannya yang masih
muda ini. Akan tetapi sebagai tokoh kawakan iapun
maklum bahwa pemuda ini sedang mengetrapkan ajinya, tentu saja ia tak berani lagi main-main dengan aji
pemuda sakti itu. Segera ia mementang kedua kakinya
dan makin berjongkok hingga kelihatan makin bongkok
dan kini tongkatnya telah terlepas dan menggeletak di
tanah. Tangan kurus yang hanya terbungkus oleh kulit itu
tampak memerah, merah semerah bara api. Memang
kakek tua bongkok ini sedang mengetrapkan ajinya
yang disebut Wiso Abang. Aji Wiso Abang ini adalah sebuah aji yang sering sekali dipelajari oleh tokoh-tokoh
sakti golongan hitam, karena sekali pukul saja aji ini
dapat menghanguskan tubuh lawannya. Sedangkan kakek tua bongkok ini telah meyakinkan Ilmu Wiso Abang
ini selama puluhan tahun hingga dapatlah dikatakan
kalau ia telah mahir dalam ilmu tersebut.
Akan tetapi Baskara yang tahu akan sangkan paraning bilahi (asal mula celaka/ akan mendapat maut/
apes. Terjemahnya mirip seperti itu ") tetap saja mengetrapkan ajinya untuk melambari pukulan mautnya
nanti. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya terguncang
dengan hebat dan... akhirnya jatuh terpelanting oleh
samplokan yang amat kuat hingga pemusatan tenaganya menjadi buyar.
Tak lama kemudian terdengarlah bunyi ledakan keras sekali, bahkan sangat keras hingga memekakkan telinga. Ternyata bunyi ini adalah bunyi bertemunya dua
buah tenaga raksasa di udara. Bertemunya pukulan iblis Tua Bertangan Seribu yang tengah mengerahkan ilmu Wiso Abang dengan pukulan seorang kakek gendut
pendek. Belum hilang rasa penasaran dan kaget Baskara karena perlakuan kakek pendek gendut itu, tiba-tiba saja
terdengarlah gumamannya. "Sungguh tak mempunyai takut, sampai menjelang
mautpun dihadapinya. Tak sia-sialah Mliwis Putih
menggemblengnya. Aku tua bangka Gajah Limbung
menjadi iri atas kebaikan dan keberuntungan Sentika
dalam mendapatkan murid."
Mendengar gerutuan kakek gemuk ini barulah Baskara sadar bahwa tadi ia menghadapi maut tanpa perhitungan, dan kakek gendut itulah yang datang menolongnya. Akan tetapi ia tak dapat berpikir panjang lagi
karena tiba-tiba saja kakek bongkok itu telah memakimaki dengan tak karuan sekali.
"Bangsat anjing gemuk, kau selalu usilan sekali.
Apakah kau akan menghalang-halangi aku dalam hal
ini"!" "Sungguh tak tahu malu kau ini, biarlah yang muda
dengan yang muda dan yang tua dengan yang tua. Kalau kau memang laki-laki tulen kaucarilah guru anak
ini. Carilah Sentika atau yang terkenal dengan nama julukannya si Mliwis Putih itu dan ajaklah untuk mengadu ilmu."
"Huahaaaa... huahaaaaa... huahaaaaa... kaukira aku
takut dengan si tua Sentika" Telah lama aku ingin mencarinya dan mengukur tinggi rendah kepandaiannya,
akan tetapi ia tetap mengeram diri, mungkin takut untuk menemuiku."
"Buahhhh... kentut apakah yang kauobral di sini"
Kau berani membuka mulut demikian besar karena
orangnya tak ada di sini. Nah, biarlah kini aku yang
mewakili sahabatku itu."
"Bagus...!" Bersama dengan lenyapnya perkataan Iblis Tua Bertangan Seribu ini maka menyambarlah sebuah hawa pukulan yang mengandung hawa panas
menuju ke perut Suronggongkoro (atau si Gajah Limbung) yang gemuk itu.
Akan tetapi tak percuma ia malang-melintang di daerah barat, biarpun Gajah Limbung hanya berdiri biasa
saja, akan tetapi begitu mendapat serangan tubuhnya
lalu mencelat mumbul (naik ke atas) dan bergulingan di
udara dengan gerakan yang amat manis sekali. Tubuhnya yang gemuk itu sedikitpun tak menjadi halangan.
Bahkan dari udara ia membalas pukulan lawan dengan
pukulan pula. Wessttt... inilah sari-sari pukulan Mayangseto yang
dipusatkan dalam tenaga dalam dan dilontarkan sebagai pukulan. Begitu tangan Gajah Limbung bergerak
maka menyambarlah suatu angin besar yang menyerupai prahara. Dessstttt...! Dengan seketika itu juga hawa pukulan
Iblis Tua Bertangan Seribu terpental kembali. Bahkan
guru Tirto Menggolo itu terhuyung-huyung mundur beberapa langkah.
Dengan ini saja maka orang tua itu tahu kalau tenaga dalam lawannya masih berada di atas tingkatannya.
Sedangkan bagi Suronggongkoro sendiri juga maklum
kalau tenaga dalamnya masih menang seurat lebih
tinggi daripada adik seperguruan Brajalaga.
Akan tetapi bersama dengan itu Iblis Tua Bertangan
Seribu melihat kalau muridnya yang tertua sedang duduk dan memeriksa tubuh Baskara. Sedangkan di lain
saat ada juga seorang pemuda yang memeriksa dan
mengobati luka Tunggul Wulung.
Melihat ini bukan main marahnya hati Iblis Tua Bertangan Seribu ini, segera ia meninggalkan lawannya dan
terus mengayunkan pukulan ke arah muridnya sambil
berteriak. "Bagus... bagus sekali perbuatanmu, Aswo Tunggal."
Akan tetapi kakek sakti dari barat itu telah waspada
dan segera menangkis pukulan lawannya. Kembali dua
tenaga raksasa bertemu di udara. Akan tetapi akibatnya
Aswo Tunggal terbebas dari cengkeraman maut.
"Huahaaa... huahaaaa... huahaaaa... kau ini guru
macam apakah" Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa...!"
seru Gajah Limbung dengan bergelak-gelak.
Kemarahan Iblis Tua Bertangan Seribu itu makin
memuncak. Akan tetapi sebagai seorang tokoh sakti
tentu ia tak kehilangan keseimbangan dan tahu akan
tingginya kesaktian lawan. Dengan geram ia lalu berkata, "Kali ini aku kalah, akan tetapi lain kali kalau kita
bertemu lagi maka aku akan mencoba kepandaianmu
sekali lagi." Setelah berkata demikian ia lalu berpaling
ke arah Aswo Tunggal dan berkata dengan gemas, "Mulai saat ini juga aku tak menganggapmu sebagai muridku lagi dan ingat-ingat kalau kau adalah musuh besarku." Setelah berkata demikian maka berkelebatlah Iblis
Tua Bertangan Seribu masuk ke dalam hutan.
Melihat bahwa guru Tirto Menggolo telah lari maka
kawanan perampok itupun lari tunggang-langgang.
Adapun Aswo Tunggal tetap merawat Baskara.
"Hehh... bocah, mulai sekarang pergilah jauh-jauh
dari gurumu. Aku orang tua sangat kagum melihatmu
berani menentang kehendak guru, Memang biarpun
guru, kalau nyasar perlu ditentang."
"Baik, Paman." "Ki Aswo Tunggal, aku mengucapkan banyak-banyak
terima kasih atas rawatanmu tadi," seru Baskara.
"Manusia memang diwajibkan untuk tolong-menolong, karena itulah maka tak ada yang harus mengucapkan terima kasih." Setelah berkata demikian Aswo
Tunggal lalu berkelebat pergi.
Sedangkan di lain saat Tunggul Wulung masih tetap


Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirawat oleh seorang pemuda yang berbadan gemuk bulat. Berkali-kali Gajah Limbung berseru heran melihat
cara pemuda itu mengobati murid ke dua dari Mliwis
Putih. Sungguh mengherankan, tak lama kemudian luka
yang diderita oleh Tunggul Wulung telah dapat disembuhkan. Sedangkan pemuda itu hanya berkomat-kamit
sambil berseru, "Sembuh... sembuh... sembuh...!"
"Hai bocah, siapakah kau ini?" tanya Gajah Limbung
kepada si pemuda. "Untuk menolong orang tak perlu menyebutkan nama," jawab pemuda gemuk itu yang terus berjalan pergi.
Akan tetapi hal ini membuat perasaan Gajah Limbung menjadi bertambah nafsu untuk mengetahui siapa
adanya pemuda yang pandai dalam hal ilmu pengobatan.
"Kau mengakulah siapa namamu!" bentak Gajah
Limbung sambil mencengkeram dan mengangkat tubuh
si pemuda. "Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... kaubunuhpun
aku tak takut! Lekas kau banting biar kepalaku remuk!"
Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya Gajah Limbung lalu menurunkan tubuh si perjaka dan dengan
halus ia lalu bertanya lagi, "Baiklah, sahabat kecil, rupa-rupanya kau ini adalah orang aneh. Nah, katakanlah
siapa namamu, sahabat?"
"Kau bernafsu untuk mengetahui namaku" Akulah
Bleduk Mambang." "Bleduk Mambang?" ulang Gajah Limbung.
"Ya!" jawabnya dengan singkat.
"Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... kau cocok dan
berjodoh untuk menjadi murid Gajah Limbung." Setelah
berkata demikian maka Gajah Limbung lalu menyambar
tubuh Bleduk Mambang dan dibawa lari menuju ke barat.
Baskara dan Tunggul Wulung hanya menggelengkan
kepalanya melihat kelakuan kedua orang aneh itu.
Akan tetapi mereka terus segera meneruskan perjalanannya dan mengambil jalan darat dengan tak lupa
membayar sewa perahunya. *** Baskara dan Tunggul Wulung terus meneruskan perjalanannya. Kedua kakak-beradik seperguruan ini namanya makin terkenal setelah mereka banyak mengalahkan para perampok dan membasmi kejahatan. Lama-lama perjalanan mereka yang tak tentu itu sampai
juga di Desa Mantingan. Di desa ini Tunggul Wulung
dan Baskara tertarik dengan adanya sebuah panggung
yang menurut perkataan penduduk setempat didirikan
oleh Ki Sardulo Seto. Karena tertarik maka kedua orang pendekar muda
itupun memerlukan datang ke alun-alun untuk melihat
pertunjukan silat itu. Akan tetapi Baskara yang masih
mempunyai keperluan penting di desa ini tak ikut adiknya melihat adu silat di atas panggung.
Benarlah, di malam itu panggung yang berada di
tengah-tengah alun-alun menjadi semakin ramai. Kebanyakan dikunjungi oleh para pemuda.
Setelah banyak tamu yang datang maka melompatlah seorang tua dan menganggukkan kepala ke seluruh
penjuru terus berkata, "Dari kesekian banyaknya tamu
siapakah yang akan memulai memasuki sayembara
ini?" "Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... Paman Sardulo Seto, biarlah aku mencoba-coba masuk dan ikut
memperebutkannya." Bersama dengan lenyapnya suara
itu berkelebatlah sesosok tubuh dan tahu-tahu di atas
panggung telah berdiri seorang pemuda yang berwajah
menyeramkan. "Bajang Lampit!" seru orang-orang dengan terkejut.
Memang yang datang itu adalah Bajang Lampit, kepala tujuh perkumpulan rampok dan copet.
Melihat kalau yang datang adalah Bajang lampit maka Sardulo Seto lalu menganggukkan kepalanya dan
berkata dengan ramah, "Ahh... tak tahunya Ki Bajang
Lampit berkenan mengikuti sayembara yang kuadakan.
Silahkan... silahkan, Angger." Setelah berkata demikian
maka Ki Sardulo Seto lalu merentangkan kedua kakinya
dan tangannya bersiap sedia di depan dada.
"Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... Paman, apakah Paman juga akan menggunakan senjata pula?"
"Aku tuan rumah hanya menurut saja kepada kehendak tamuku. Dengan tangan kosong dan bersenjata
aku pun telah siap, Angger."
Kembali Bajang Lampit tertawa dengan keras dan tak
lama kemudian iapun telah mengeluarkan sebuah
penggada besar yang di ujungnya bulat runcing bagaikan mata tombak.
"Mari... mari, Paman, kita mulai."
"Marilah, Angger." Bersama dengan itu tahu-tahu
orang tua tadi telah mengeluarkan sebatang pedang tipis yang agaknya tadi dibuat cambuk. Mengetahui kalau lawannya telah memegang senjata maka dengan tak
membuang waktu lagi Bajang Lampit melompat dan
menerjang ke arah Ki Sardulo Seto.
Akan tetapi sejak tadi Ki Sardulo Seto telah bersiap
siaga. Begitu melihat gerakan lawan maka cepatlah
orang tua itu menarik kakinya mundur ke belakang setindak dan miringkan tubuhnya serta dibarengi dengan
gerakan tangannya yang menusuk ke arah lengan tangan lawan.
Namun rupa-rupanya serangan pembukaan dari Bajang Lampit itu adalah sebuah tipuan belaka. Begitu
mengetahui kalau serangannya dapat dielakkan bahkan
dapat ditangkis oleh Ki Sardulo Seto dengan disertai
pembalasan cepat, ia melompat ke atas serta menarik
tangannya ke dalam, menghindarkan serangan pedang
lawan. "Bagus!" seru pemimpin tujuh perkumpulan rampok
dan copet itu. Akan tetapi ia segera menyerang lawannya lagi. Serang-menyerang kembali berjalan dengan
lancar. Trang... tangg... trangg...! Berkali-kali bunga api berpijar setelah penggada runcing Bajang Lampit itu bertemu dengan pedang tipis Ki Sardulo Seto.
Setiap kali kedua senjata itu bertemu maka tangan
kepala rampok dan copet itu tergetar dan telapak tangannya merasa panas bagaikan terbakar. Sedangkan
Ki Sardulo Seto hanya merasa tangannya tergetar saja.
Dari pertemuan pedang ini saja Ki Sardulo Seto maklum dan tahu kalau tenaga dalamnya masih lebih menang setingkat daripada lawan. Karena itulah serangannya makin lama diperhebat.
Jurus demi jurus mereka lewatkan dengan amat cepat, ditambah lagi Ki Sardulo Seto masih lebih lincah.
Hingga dengan demikian pertarungan benar-benar tak
seimbang lagi. Ki Bajang Lampit hanya diberi kesempatan untuk mengelak dan menghindarkan serangan-serangan pedangnya tanpa diberi ketika untuk membalas.
Di dalam jurus yang ke tujuh puluh, Bajang Lampit
telah kelihatan mandi keringat. Pengamatannyapun
mulai mengurang, dan setiap serangan yang dilancarkan akan selalu asal bergerak saja.
Akan tetapi Bajang Lampit tak mau menyerah begitu
saja, dia terus mengerahkan seluruh kepandaiannya
dan berlaku nekad untuk balas menempur sang lawan.
Segala ilmu kepandaian simpanannya telah dikeluarkan
semuanya. Mula-mula Ki Sardulo Seto menjadi terkejut sekali
setelah melihat perubahan permainan lawannya. Sampai delapan jurus orang tua itu terdesak dengan hebat,
akan tetapi setelah menenangkan hatinya dan mengetahui akan sifat-sifat serangan lawannya, kembali ia
dapat menguasai diri. Pedangnya terus diputar dengan
amat cepat hingga sinar pedang itu telah berhasil menggulung seluruh tubuhnya. Kini yang tampak hanyalah
segulungan sinar yang bergerak-gerak dengan cepat dan
hendak menelan sinar yang dikeluarkan oleh penggada
lawannya. Penonton mulai menjadi pusing. Mereka telah tak
dapat membedakan lagi mana Bajang Lampit dan mana
yang Ki Sardulo Seto. Mereka hanya melihat kalau dua
buah sinar yang saling serang itu seakan-akan satu
sama lain sedang berusaha untuk menelan yang lain.
Bahkan banyak penonton yang mengalihkan pandangannya karena merasa pening sekali, mereka tak lagi melihat ke arah jalannya pertempuran.
Akan tetapi bagi mereka yang mempunyai kepandaian silat terus memandang pertempuran yang makin
bertambah pincang itu. Bajang Lampit makin lama makin terdesak dengan hebat. Bahkan tampak pula kalau
tangan kiri pemimpin copet dan rampok itu telah tergores oleh pedang Ki Sardulo Seto.
Makin lama Bajang Lampit makin kepepet ke pinggiran panggung dan di suatu ketika tangan kiri Ki Sardulo Seto telah melancarkan serangan berupa pukulan
dan dibarengi dengan sebuah tendangan kaki kiri yang
mengarah ke lambung. Melihat datangnya serangan berantai ini Bajang
Lampit menjadi gugup. Penggadanya diputar untuk menangkis serangan pukulan akan tetapi kaki kiri lawan
tetap bersarang di tubuhnya.
Duggg...! Akibatnya tubuhnya terpental jatuh melayang di bawah panggung. Bersama dengan jatuhnya
tubuh Ki Bajang Lampit ini terdengarlah sorak-sorai para penonton.
"Horreeee... hidup Ki Sardulo Seto...! Hidup Ki Sardulo Seto." Dan memanglah telah menjadi peraturan sejak
tadi kalau siapa yang terjatuh atau kalah harus mengakui dengan secara jantan kekalahannya.
Akan tetapi kepala perampok dan pencopet yang kalah ini malu untuk mengakui kekalahannya, ia terus lari meninggalkan panggung dan menghilang di balik para
penonton. Para penonton masih terus bersorak-sorai dan memuji kesaktian Ki Sardulo Seto yang sakti itu. Mereka
benar-benar puas melihat pertarungan yang berjalan di
atas panggung tadi. Akan tetapi Ki Sardulo Seto adalah
seorang yang rendah hati, kemenangannya tadi tak
membuatnya menjadi sombong. Bahkan ia harus lebih
berhati-hati lagi dalam menghadapi lawan-lawan berikutnya.
Setelah keadaan menjadi tenang kembali maka Ki
Sardulo Seto lalu membungkukkan badannya dan berkata dengan lantang, "Siapa lagi yang akan memberi pelajaran kepadaku?"
Bersama dengan habisnya perkataan Ki Sardulo Seto
ini terdengarlah sebuah perkataan yang antep (berat)
dan tenang. "Aku akan mencoba-coba kepandaianku, Ki Sardulo."
Akan tetapi penonton menjadi semakin bingung.
Orang yang mengeluarkan perkataan ini tak segera naik
ke panggung. Hingga dengan demikian banyaklah penonton yang berpalingan untuk mencari siapakah si
pembicara tadi. Namun tidak demikian dengan Ki Sardulo Seto,
orang tua ini telah mengetahui kalau ada seorang yang
memang sedang mempermainkannya. Orang itu telah
menggunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh.
Orangnya belum sampai ke situ akan tetapi telah dapat
mengirimkan suara. Dan benarlah. Kira-kira sepeminum teh kemudian
berkelebat seorang lelaki setengah baya yang terus
menganggukkan kepala dalam-dalam ke arah Ki Sardulo Seto.
Bukan main terkejutnya hati Ki Sardulo Seto setelah
melihat lelaki berewok yang baru datang ini. Punggungnya bongkok, giginya mrongos dan matanya... buta sebelah. Tahulah orang tua itu kalau sayembara yang diadakan oleh anaknya ini telah menarik perhatian Ki
Kunarpo Ludiro. Bahkan Niken Sulastri yang mengadakan sayembara
inipun hatinya menjadi ngeri. Sebagai seorang wanita
tentu saja ia mengharapkan seorang jodoh yang cakap
dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi orang seperti
Kunarpo Ludiro" Sungguh mengerikan! Ia telah mendengar nama besar Kunarpo Ludiro sebagai seorang tokoh
sakti dari golongan hitam yang selalu dikutuk oleh
orang-orang. Kunarpo Ludiro adalah seorang sakti liar di Hutan
Banakeling daerah Madiun. Orang liar ini dapat dikatakan menjadi raja dari sekian banyak begal, rampok, juga para warok yang berjalan nasar (nyasar). Kepandaiannya hanya kalah setingkat saja dengan tokohtokoh besar seperti Anggraeni, Gajah Limbung, Mliwis
Putih, Brajalaga. Hingga dengan demikian namanya terus menanjak. Terlebih-lebih setelah ia berani membakar sebuah desa berikut para penduduknya. Desa itu
dibakar karena ada salah seorang penduduk yang berani mengatakan bahwa dirinya itu adalah seorang yang
paling jelek di dunia ini.
"Tak tahunya Ki Kunarpo Ludiro (Mayat Berdarah)
yang datang. Sungguh beruntung aku mendapat kehormatan bertemu dengan Ki Sanak, selamat datang...
selamat datang...!" "Huahaaa... huahaaaa... huahaaaa... Ki Sardulo Seto,
biarpun telah tua kau masih tetap awas. Huahaaa...
huahaaa... huahaaa... tak percuma kau mengambilku
sebagai menantu. Aku adalah seorang yang masih perjaka dan mempunyai kepandaian tinggi."
"Memang..., memang, Ki Kunarpo Ludiro, akan tetapi
untuk lebih adilnya Ki Sanak harus melalui syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh anakku itu."
"Huahaaaa... huahaaa... huahaaaa... tentu aku akan
melalui syarat-syarat itu dengan baik, Ki Sanak! Nah,
bersiaplah kau menghadapi serangan-serangan yang
akan kulancarkan." Setelah berkata demikian maka
orang bongkok itu makin membungkukkan badannya
dan tangan kirinya diangkat tinggi-tinggi sedangkan tangan kanannya dikepalkan di muka dada.
Melihat kalau lawannya telah menyiapkan kudakudanya, maka Ki Sardulo Seto lalu merentangkan kedua kakinya dan diam-diam menyiapkan seluruh kepandaiannya untuk bersiap-siap menghadapi seranganserangan yang dilancarkan oleh Kunarpo Ludiro.
Akan tetapi sampai lama kedua orang itu tetap berdiri dengan tenang-tenang saja. Memanglah satu sama
lain tak ada yang mau menyerang terlebih dahulu. Keduanya sama-sama maklum kalau siapa yang berani
membuka serangan terlebih dahulu berarti membuka
kelemahan dan memberi kesempatan kepada lawannya
untuk memukul tempat yang kosong.
Namun tak lama kemudian Kunarpo Ludiro yang telah yakin akan kepandaiannya terus membuka serangan dengan memukulkan tangan kanannya ke arah dada, akan tetapi dengan sigap Ki Sardulo Seto lalu melangkah mundur ke belakang dan memiringkan tubuhnya. Dengan jalan inilah maka ia berhasil menghindarkan diri dari serangan lawan. Akan tetapi tetap saja bajunya berkibaran setelah kena tiupan angin tenaga lawan.
Melihat dahsyatnya pukulan Ki Kunarpo Ludiro ini
maka Ki Sardulo Seto tak berani berlaku ayal lagi. Seluruh perhatiannya dipusatkan dan juga memeras habis
seluruh kepandaiannya. "Awas serangan!" Tiba-tiba terdengarlah teriakan Ki
Sardulo Seto dan bersama dengan itu tubuhnya melayang ke atas sambil mementang kakinya untuk mendupak dada lawan.
Sungguh boleh dipuji ketenangan Ki Kunarpo Ludiro.
Orang bongkok dan buta sebelah itu tetap tenangtenang sebelum kaki Ki Sardulo Seto mengenai dadanya. Begitu kaki lawan telah dekat barulah ia menggeserkan kedudukannya dan mengayunkan tangan kirinya dengan gerakan mendorong lawan.
Wesstttt.... Angin pukulan ini amatlah dahsyat hingga tubuh Ki Sardulo Seto terapung-apung di udara.
Bahkan telah mengapung di atas tanah di luar panggung. Melihat kejadian ini Ki Kunarpo Ludiro telah
mengeluarkan suara gelak tawanya. Sedangkan Ki Sardulo Seto juga amat terkejut sekali. Akan tetapi orang
tua itu tak kehabisan akal, tangannya segera diayunkan
memukul ke arah tanah dan bersama debu mengepul
dan kemudian melayang turun lagi di atas panggung.
Melihat ini para penonton terus bersorak-sorak dengan amat ramainya. Bahkan tepuk tangan terdengar
riuh rendah. Tunggul Wulung sendiri menganggukanggukkan kepalanya dan di dalam hatinya memuji
akan kecerdikan orang tua itu.
Namun tidak demikian dengan Ki Kunarpo Ludiro!
Orang buta sebelah itu mengerutkan keningnya dan
tanpa sesadarnya ia berdesis, "Kau curang, orang tua!"
"Tak ada yang curang, Ki Kunarpo Ludiro. Aku belum jatuh di tanah dan kini aku masih bisa hinggap
kembali di atas panggung ini, maka dengan demikian
berarti aku belumlah kalah."
"Huahaaaaa... huahaaaa... huahaaaa... baiklah kalau
demikian." Bersama dengan ucapannya ini kembali tangan Ki Kunarpo Ludiro diulurkan ke muka. Kali ini
bukannya bersifat mendorong lagi, akan tetapi menghantam ke arah ulu hati.
"Ayaaaa...!" Teriak Ki Sardulo Seto dengan terkejut.
Tak disangkanya sama sekali kalau lawannya ini menghendaki kematiannya. Dengan demikian maka Ki Sardulo Seto berlaku tambah hati-hati.
Namun Ki Kunarpo Ludiro tak akan dapat mengangkat namanya tinggi-tinggi kalau tidak mempunyai kepandaian silat tinggi. Dengan cepat lalu melancarkan
serangan-serangan ke arah tempat-tempat yang mematikan. Hingga dengan demikian Ki Sardulo Seto hanya
dapat mengelak dan menangkis saja. Tak sebuah pukulanpun yang sempat dilontarkan untuk membalas hujan serangan yang dilancarkan oleh Kunarpo Ludiro.
Setelah mengetahui kalau Ki Sardulo Seto makin kepepet maka berkatalah Ki Kunarpo Ludiro, "Huahaaa...
huahaaa... huahaaaa... kau menyerahlah, Ki Sanak.
Percuma kau melawanku. Kalau aku mau, dengan sekali mengayunkan tangan batuku maka nyawamu akan
melayang, akan tetapi aku tak mau kalau harus mencelakakan calon mertuaku. Menyerahlah...!"
Akan tetapi Ki Sardulo Seto mana mau menyerah"
Kalau saja yang melawannya ini adalah pemuda cakap
dan berbudi pekerti baik maka orang tua ini akan rela
menyerahkan anaknya kepada orang itu, akan tetapi Ki
Kunarpo Ludiro" Lain, lebih baik ia mati daripada melihat anaknya dikawin dengan manusia liar yang keganasannya melebihi iblis. Karena itulah dengan tenang beliau lalu menjawab perkataan Ki Kunarpo Ludiro.
"Jangan keburu nafsu, Ki Kunarpo Ludiro. Aku masih belum kalah. Silahkan Andika mengalahkanku dahulu."
Namun tiba-tiba saja dari bawah panggung terdengarlah perkataan yang keluar dari mulut seorang gadis
cantik, "Bapa, kau turunlah, biar aku yang menghadapi
manusia liar itu!" Ternyata orang yang berteriak ini adalah Niken Sulastri yang sangat mengkhawatirkan keadaan ayahnya.
Betapapun juga anak ini sangat menyayangi ayahnya.
Perasaan bangga terus merayap di hati Ki Sardulo
Seto, hatinya menjadi lebih tenang lagi setelah mengetahui kalau anaknyapun tak sudi menikah dengan Kunarpo Ludiro. Dengan tanpa disadarinya semangatnya
yang tadinya telah mulai menyurut itu kembali menyala
dengan berkobar-kobar bagaikan bara api di dalam sekam yang tertiup angin lalu.
Serangan-serangan Ki Kunarpo Ludiro makin gencar,
akan tetapi makin gesitlah tubuh Ki Sardulo Seto dalam
mengelakkan serangan-serangan itu. Bahkan kini sekali-kali masih dapat menangkis dan membalas serangan
lawan.

Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun sayang sekali Ki Kunarpo Ludiro adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi dan kepandaiannya ini masih berada jauh di atas kepandaian Ki
Sardulo Seto, hingga dengan demikian tetap saja orang
bongkok dan buta sebelah itu masih dapat menindih
krida lawannya. Di suatu kesempatan yang baik maka tendangan Ki
Kunarpo Ludiro tepat mengenai pantat Ki Sardulo Seto
dan tak ampun lagi tubuh orang tua itu terpental jauh
sekali dan jatuh di antara penonton. Bersama dengan
jatuhnya Ki Sardulo Seto ini berkelebatlah bayangan
seorang dara cantik dan tahu-tahu di depan orang
bongkok dan buta sebelah itu telah berdiri seorang gadis yang amat cantik dan memegang sebilah pedang
yang telah dihunus dari sarungnya.
"Jangan kau bergirang hati, orang buta! Biarpun kau
telah dapat mengalahkan ayahku akan tetapi masih harus dapat mengalahkan pedangku ini juga kalau ingin
memetik bunga yang disayembarakan."
"Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... wong ayu,
mengapa kau mencari kelelahan sendiri" Bukankah lebih baik kau segera ikut aku pulang ke Banakeling dan
menikmati keindahan hidup" Marilah kita pulang, Nimas Ayu... marilah...!" seru Ki Kunarpo Ludiro sambil
merentangkan tangannya untuk memeluk pinggang gadis yang ramping dan padat berisi itu.
Akan tetapi sebelum tangan itu berhasil memegang
pinggang ramping itu, Kunarpo Ludiro telah harus menarik kembali tangannya, karena tahu-tahu pedang
yang dipegang oleh Niken Sulastri telah berkelebat dan
siap menebas putus tangan kurang ajar itu.
"Aduh galaknya!" desahnya sambil menarik tangannya, akan tetapi tangan kirinya terus menyusul bergerak untuk menyamplok jatuh pedang yang masih dipegang oleh dara ayu itu.
Akan tetapi Niken Sulastri yang memang tak senang
dengan Ki Kunarpo Ludiro itu makin memperhebat serangannya. Pedangnya terus bergerak memainkan Ilmu
Pedang Badai Mengamuk. Inilah ilmu pedang yang diturunkan oleh gurunya kepada Niken Sulastri. Sinar pedangnya terus bergulung-gulung bagaikan angin ribut
yang hendak menerjang dan melontarkan tubuh Ki Kunarpo Ludiro.
Melihat cara menyerangnya ini saja tokoh dari Hutan
Banakeling itu tahu kalau kepandaian Niken Sulastri
ternyata masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian
yang dipunyai oleh ayahnya. Setiap serangannya selalu
menimbulkan angin kencang dan meyakinkan sekali.
Karena hal inilah maka Ki Kunarpo Ludiro tak berani
memandang rendah lagi, iapun segera menyiapkan diri
untuk menyambut dan menghadapi serangan-serangan
gadis itu untuk selanjutnya.
"Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... marilah kita
main-main, bocah manis! Kalau tanpa pertandingan
maka kau tak akan mengetahui seberapa kesaktian calon suamimu ini."
Mendengar perkataan ini makin merahlah muka Niken Sulastri. Bibirnya terus digigit untuk mengeraskan
hatinya dan langsung menerjang maju sambil menusukkan pedangnya. Tusukan ini dilakukan dengan cepat dan ditujukan ke arah tempat yang mematikan.
Akan tetapi sejak tadipun Kunarpo Ludiro telah siap
sedia dan memandang enteng kepandaian gadis yang
telah menjatuhkan hatinya itu. Untuk menghindarkan
tusukan pedang ini orang buta sebelah dan bertubuh
bongkok itu lalu melompat mundur dan tahu-tahu ketika tangannya bergerak telah memegang sebuah tulang
tangan yang sudah dikeringkan. Inilah senjata istimewa
dari Kunarpo Ludiro atau Mayat Berdarah ini.
"Hehhh... hehhh... hehhhh... dengan ini kita akan
sama-sama dapat bermain-main. Majulah, anak manis.
Memang kau sebagai gadis sudah selayaknya kalau malu-malu kucing untuk menerima pinanganku ini."
Bagaikan orang kalap Niken Sulastri terus menyerang dengan mati-matian. Ia tak sudi menerima pinangan orang liar ini, daripada harus kawin dengan Kunarpo
Ludiro lebih baik mati. Kembali pertempuran berjalan dengan amat ramainya. Desak-mendesak dan dorong-mendorong terus
bergantian. Niken Sulastri yang cantik jelita itu benarbenar bagaikan seorang bidadari yang sedang menari
ketika memainkan Ilmu Pedang Badai Mengamuk. Gerakannya indah gemulai sedap dipandang akan tetapi
mengandung hawa-hawa dahsyat yang mematikan lawan.
Sedangkan Kunarpo Ludiro memainkan senjata "istimewanya" itu dengan jurus-jurus Ilmu Silat Iblis Merenggut Sukma. Cepat, ganas, kasar, dan liar. Puluhan
jurus mereka lewatkan dengan amat cepatnya.
Tulang tangan yang menjadi senjata Kunarpo Ludiro
ini tiba-tiba berobah bagaikan puluhan saja banyaknya
ketika orang liar dari Banakeling itu mempercepat gerakannya. Selain tangan kirinya yang memukul-mukul juga cengkerong tangan itu selalu menahan serangan-serangan yang dilancarkan oleh Niken Sulastri.
Para penonton menjadi ngeri setelah melihat adanya
senjata yang demikian dahsyatnya. Mulut mereka terbungkam tak mengeluarkan suara barang sedikitpun
juga. Semenjak Kunarpo Ludiro muncul telah banyak
penonton yang meninggalkan tempat. Sebab mereka
kebanyakan tahu kalau setiap kali Kunarpo Ludiro
muncul bakal banyak nyawa melayang.
Tunggul Wulung yang semenjak tadi telah melihat jalannya pertempuran itupun menjadi cemas. Entah apa
yang menyebabkan pemuda ini merasa kasihan dan tak
sampai hati kalau melihat gadis ayu itu dapat dikalahkan oleh Kunarpo Ludiro.
Sedangkan pertempuran di atas panggung makin
lama makin kalut. Permainan pedang Niken Sulastri telah mulai mengacau. Jurus-jurus yang dimainkan kelihatan kaku dan lemah, kehebatan ilmu pedangnya tadi
telah hilang karena ditelan kelelahan badan. Di lain pihak orang bertubuh bongkok dan buta sebelah matanya
itu masih tersenyum-senyum saja. Bahkan permainannya makin lama makin hebat.
Bahkan kini medan pertempuran yang sebagian besar telah dikuasai oleh senjata aneh yang berada di tangan kanan orang buta sebelah itu. Tak henti-hentinya
Ki Kunarpo Ludiro tertawa haha-hehe-haha dan merasa
puas sekali dapat mempermainkan Niken Sulastri wanita cantik yang dicintainya itu.
Tiba-tiba terdengarlah perkataan Ki Kunarpo Ludiro.
"Menyerahlah saja, Nimas ayu! Menyerahlah. Bukankah sudah terang kalau kepandaianku masih jauh di
atas kepandaianmu?" Sambil berkata demikian tangan
kirinya terus berusaha memeluk pinggang yang ramping
itu. Mulutnya menyeringai hingga giginya yang mrongos
tadi kelihatan makin bertambah maju. Yang paling memuakkan perut Niken Sulastri ini ialah kalau orang
mrongos itu bercakap-cakap maka banyak ludahnya
yang menyembur keluar. Namun gadis itu telah bertekad untuk membunuh
atau dibunuh orang yang menjijikkan itu, hingga dengan nekad masih terus menyerang lawan dengan tak
menghiraukan perkataan Kunarpo Ludiro.
Akan tetapi lain halnya dengan Kunarpo Ludiro. Ia
telah merasa puas sekali mempermainkan Ni Ayu Niken
Sulastri, segera ia mengeluarkan kepandaiannya dan
dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, senjata
istimewa yang berada di tangannya itu bergerak dan
menggempur pedang yang dipegang oleh Niken Sulastri
hingga tanpa dapat dicegah lagi pedang itu jatuh tersampok ke bawah.
"Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... kau sudah kalah, wong ayu! Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa...
aku menang dan berhak atas anak manis ini!" serunya
dengan gembira sekali. Akan tetapi belum habis ia mengeluarkan perkataannya itu tiba-tiba saja berkelebat sesosok bayangan,
dan ternyata yang datang itu adalah seorang pemuda
yang tampan dan selalu tersenyum-senyum. Senyum
penuh ejekan. "Hehh... siapa kau yang berani mati datang kemari"!"
tanya Ki Kunarpo Ludiro dengan geram.
"Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... juga seperti
kau, karena kau telah dapat mengalahkan Ki Sardulo
Seto dan anaknya maka aku akan melawanmu untuk
menimbang apakah kau patut menjadi suaminya atau
aku yang lebih patut lagi."
"Bangsat jelek, lekas minggir!"
"Huahaaaa... Baurekso mau minggir kalau bersamasama dengan Niken Sulastri."
"Hem... kau mencari penyakit, dan kalau demikian
mampuslah!" Setelah berkata demikian Ki Kunarpo Ludiro lalu menggerakkan senjatanya yang berupa tulang
tangan yang telah dikeringkan. Akan tetapi cepat Baurekso menangkis dengan senjatanya yang berupa sebuah tongkat ular.
Dua senjata bertemu dan kedua-duanya merasa tangannya tergetar, akan tetapi Baurekso harus segera
mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan perasaan sakit dan panas yang menyerang telapak tangannya.
Tunggul Wulung juga menjadi terkejut sekali setelah
mengetahui kalau yang melompat tadi adalah Baurekso,
karena kedua nama itu telah lama didengarnya. Namanama tokoh golongan hitam! Hingga diam-diam ia merasa kasihan sekali kepada Niken Sulastri yang dikerumuni oleh tokoh-tokoh hitam ini.
Biarpun Baurekso mengetahui kalau tenaga dalamnya masih kalah dengan tenaga dalam Kunarpo Ludiro
akan tetapi ia tak mau mengaku kalah dengan begitu
saja. Segera ia memutar tangan kanannya dan tongkat
ular itu mulai sambar-menyambar. Berkali-kali Kunarpo Ludiro terpaksa melompat ke belakang dan menggerakkan senjata istimewanya untuk menangkis serangan
lawan. Dengan bermain mundur dan hanya menangkis saja
memanglah Kunarpo Ludiro sedang berusaha mempelajari ilmu silat lawannya dan mencari di mana kelemahan Baurekso ini. Hal ini disangka lain oleh Baurekso.
Tokoh muda ini mengira kalau kepandaian Kunarpo
Ludiro hanya sekian saja dan tak dapat menandingi kepandaiannya.
Namun biarpun hanya main mundur dan mengelak
saja tetaplah Ki Baurekso tak dapat merobohkan lawannya yang benar-benar menyeramkan itu. Limapuluh
jurus berlalu dengan cepat, akan tetapi tetap saja orang
yang bersenjatakan ular kering itu tak dapat merobohkan lawan. Mengetahui akan hal ini Baurekso bertambah marah, segala kepandaiannya terus dikerahkan
dan dikeluarkan untuk merobohkan lawannya.
Kalau terus-menerus tak membalas serangan dan
membiarkan saja tubuhnya diserang dengan tanpa
membalas maka lama-kelamaan Ki Kunarpo Ludiro
yang sakti itu akan dapat juga dirobohkan. Dan setelah
menginjak jurus ke tujuh puluh barulah Ki Kunarpo
Ludiro membalas serangan-serangan yang dilancarkan
oleh Baurekso. "Orang sombong, terimalah pembalasanku!" Setelah
berkata demikian maka tangan kering yang menyeramkan itu lalu bergerak dengan cepat dan menjangkaujangkau muka Baurekso yang tampan. Seketika itu juga
berubahlah jalannya pertempuran. Kalau tadi Baurekso
selalu dapat mendesak dan melancarkan pukulan-pukulannya yang hebat, kini ia ganti terjepit dengan tanpa
dapat bergerak barang sedikitpun juga. Tubuhnya terus
berkelebat-kelebat ke sana-ke mari menghindarkan pukulan tangan kering yang amat antep dan berbahaya
itu. Klabangsongo yang datang bersama dengan Baurekso menjadi cemas sekali setelah melihat kawannya
terdesak dengan hebat. Wajahnya terus berkerut-kerut
mengkhawatirkan keselamatan sang sahabat. Akan tetapi ia tak dapat berbuat. Pertandingan yang dilakukan
oleh Baurekso dan Ki Kunarpo Ludiro memang berjalan
di atas kejujuran. Memanglah keadaan Baurekso sangat kritis. Tangan
kering yang dipakai sebagai senjata oleh Ki Kunarpo
Ludiro lenyap dan gantinya muncullah bayangan hitam
yang selalu mengikuti ke mana saja dirinya bergerak.
Keringat dingin Baurekso mengalir dengan deras. Kini Baurekso yang suka mengumbar adat telah menemui
batunya! Sedangkan di sela-sela bayangan hitam itu
terdengarlah teriakan atau tepatnya suara tawa riang
yang kedengaran melengking-lengking dari Ki Kunarpo
Ludiro. Suara tawa ini memang benar-benar menyakitkan telinga, karena di dalam tawa ini dikerahkan pula tenaga dalam yang disalurkan melalui suara tawanya.
Hati Baurekso menjadi tergetar sekali ketika mendengar suara tawa yang mirip dengan lengkingan iblis
atau setan dari neraka jahanam itu. Akan tetapi ia tak
berani berlaku lambat. Sedikit saja ia terlambat menghindar tubuhnya akan hancur kena hantaman tangan
kering yang menjadi senjata istimewa Ki Kunarpo Ludiro.
Kini Klabangsongo bukan hanya gelisah dan khawatir saja. Ia bahkan menjadi terkejut sekali karena baru
kini ia maklum kalau nama besar Ki Kunarpo Ludiro ini
benar-benar bukan hanya nama kosong melompong saja. Mungkin tingkat kepandaiannya baru sejajar dengan
pamannya yaitu Tengkorak Hitam.
Klabangsongo terus menahan napas dan selalu berdoa kepada Yang Maha Agung supaya sahabatnya ini
terhindar dari bahaya maut. Kadang-kadang tampak
pula kalau orang tua itu gagal dalam penyerangannya
maka Klabangsongo menarik napas lega. Begitupun sebaliknya.
Baurekso benar-benar kehabisan akal. Tongkat ularnya bagaikan benda mati yang tak ada gunanya. Sedangkan tangan kering itu seakan-akan hidup dan bernyawa selalu mengejar-ngejar dirinya. Ia benar-benar
bingung setelah dikurung oleh serangan-serangan.
Makin lama makin peninglah kepala Baurekso menghadapi serangan-serangan yang datangnya cepat dan
ganas ini. Tiba-tiba saja tangan kiri Ki Kunarpo Ludiro
menghantam dengan keras ke arah dada.
Untung Baurekso masih dapat melihat dan segera
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya melayang ke
atas dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Namun
sebelum ia berhasil mendarat lagi di atas panggung sebuah pukulan tangan kering itu telah menyambar ke
arah lambungnya. Melihat serangan hebat yang mematikan ini Baurekso cepat menggerakkan tongkatnya dan akibatnya
tubuhnya terpental jauh sekali dan terlempar jatuh di
bawah panggung. "Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... kau masih untung, Baurekso. Sayang aku tak berhasil menewaskanmu. Huahaaa... huahaaa... huahaaaa... siapa lagikah
yang akan menghalang-halangi perkawinanku" Lekas
maju sebelum aku membawa pulang calon pengantin
putri." "Kau terlalu sombong. Orang macammu ini patut dibasmi!" teriak Tunggul Wulung yang terus menghampiri
panggung dan setelah sampai di bawah panggung lalu
merayap melalui tiang-tiang panggung.
Melihat ini bukan main kerasnya suara tawa para
penonton. Mereka terus menyoraki dan menyangka kalau yang naik itu adalah seorang pemuda tolol dan
mencari penyakit. Akan tetapi tidak demikian dengan para jago-jago silat yang berada di situ. Mereka merasa terkejut sekali
melihat cara Tunggul Wulung naik ke atas panggung.
Ini menandakan kalau yang naik itu adalah seorang
yang selalu menekuni ilmu tenaga dalam. Hal ini mudahlah dilihat karena sewaktu naik ke atas panggung
tadi Tunggul Wulung telah mempergunakan ilmu "cecak
merayap", jadi naiknya ke atas panggung persis cecak
yang merayap, dan ilmu ini hanya dapat dilakukan oleh
mereka yang telah mempunyai tenaga dalam saja.
Ki Kunarpo Ludiropun tak berani memandang rendah pemuda yang telah berdiri di hadapannya itu. Dengan menenangkan hatinya ia lalu bertanya kepada si
pemuda tadi. "Siapa kau?" "Tunggul Wulung."
"Hem... anak muda, namamu belum pernah kudengar karena memang aku selalu mengeram diri di dalam
sarang. Akan tetapi siapakah nama gurumu?" Kembali
Kunarpo Ludiro bertanya. Memanglah perkataan Kunarpo Ludiro ini benar belaka. Ia belum mengenal nama
Tunggul Wulung biarpun nama ini telah menanjak dengan tinggi. Karena itulah ia menanyakan nama gurunya.
"Aku takut kau lari terkencing-kencing setelah mendengar nama guruku."
"Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... kau terlalu
sombong, anak muda. Kunarpo Ludiro tak akan takut
kepada siapapun juga, biarpun mereka itu iblis, setan
atau demit yang datang dari neraka jahanam."
"Bagus, bukalah telingamu lebar-lebar, orang liar.
Guruku adalah Ki Mliwis Putih atau Sentika. Nah, sekarang bersiaplah menerima hajaran dari murid Karang
Jati!" (Sepertinya ini salah tulis. Pada jilid I s/d III bukan disebutkan Karang Jati, tapi Jati Tunggal.)
Mendengar kalau pemuda ini murid Ki Mliwis Putih,
Ki Kunarpo Ludiro makin tak berani memandang enteng. Nama guru pemuda ini saja telah cukup untuk
menjamin kesaktian si pemuda itu. Akan tetapi untuk
menutupi kegugupannya ia lalu tertawa dan berkata,
"Bagus, anak muda, marilah kita mulai. Hitung-hitung
aku mencoba kepandaian Mliwis Putih yang telah terkenal sakti itu." Bersama lenyapnya suara itu maka tangan kering yang menjadi senjata istimewa Ki Kunarpo
Ludiro telah berkelebat mendahului menyerang.
Tentu saja Tunggul Wulung tak mau menerima serangan dengan begitu saja, ia segera melompat mundur
dan mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan
Tunggul Wulung menjadi lebih yakin lagi dalam menghadapi Ki Kunarpo Ludiro si manusia liar.
Akan tetapi rupa-rupanya pukulan tangan kering itu
adalah semacam tipuan belaka. Begitu mengetahui kalau musuhnya dapat mengelakkan serangannya maka
cepatlah Ki Kunarpo Ludiro menendangkan kaki kirinya
ke arah lambung. Akan tetapi dengan enak saja Tunggul Wulung mengelak dan memasangkan pedangnya di dekat lambung,
hingga dengan demikian tendangan kaki Kunarpo Ludiro dapat dielakkan dengan sendirinya. Sudah terang
kalau Ki Kunarpo Ludiro tak mau mengadu kakinya dengan pedang lawan. Segera ia membanting dirinya ke
kiri dan menelungkupkan tubuh serta menarik tendangannya hingga tokoh dari Hutan Banakeling itu bergulingan di tanah. Inilah ilmu trenggiling masuk ke dalam
lubang. "Huahaaaa... huahaaaa... huahaaaa... mengapa kau
main komidi di depanku" Lekas bangun, Ki Sanak!" Setelah berkata demikian maka kaki Tunggul Wulung lalu
menendang pantat Ki Kunarpo Ludiro. Akan tetapi dengan sigap orang bermata buta sebelah dan bergigi
mrongos itu menggulingkan badannya menjauhi lawan.
Hingga dengan demikian tendangan murid Mliwis Putih
itu hanya mengenai udara kosong.
Setelah ia berada di kejauhan maka cepat melenting


Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kembali berdiri serta bersiap-siap menghadapi lawannya. Setelah keduanya berpandangan sejenak maka
mulailah dua orang jago itu bertempur kembali.
Pedang di tangan Tunggul Wulung terus berkelebatkelebat mengejar bayangan Kunarpo Ludiro. Hingga dengan demikian tokoh besar dari Hutan Banakeling itu
menjadi amat sibuk sekali.
Sedangkan Ki Sardulo Seto dan Niken Sulastri ketika
mengetahui kalau orang yang sedang menghajar Ki Kunarpo Ludiro ini adalah Tunggul Wulung murid dari Ki
Mliwis Putih yang terkenal sebagai tokoh besar dari selatan dan dari aliran baik maka hati mereka menjadi girang. Terlebih-lebih Niken Sulastri.
"Hem... pemuda ini tampan dan gagah, selain itu
masih mempunyai suatu yang sangat kuidam-idamkan,
yaitu kepandaian tinggi. Sungguh bahagia sekali kalau
aku dapat berdampingan dengan pemuda ini," pikir Niken Sulastri sambil tetap memandang ke arah panggung.
Hati gadis cantik ini makin menjadi lapang dan lega
serta kagum sekali setelah mengetahui kalau sampai
lama Ki Kunarpo Ludiro masih tetap tak dapat membalas serangan-serangan dari si pemuda tampan itu. Bahkan tokoh hitam yang liar ini tampak terdesak dengan
hebat dan tak berdaya sama sekali.
Trang... tang... trang...! Berkali-kali tulang tangan
kering itu beradu dengan pedang Tunggul Wulung.
Akan tetapi setiap kali pedang dan tangan kering itu beradu maka tangan Ki Kunarpo Ludiro serasa terbakar.
Bahkan sering sekali Ki Kunarpo Ludiro terpaksa memindahkan senjata istimewanya ke tangan kiri dan meniup-niup tangan kanannya yang serasa terbakar.
Akan tetapi rupa-rupanya Tunggul Wulung telah tak
mau memberi ketika lagi kepada lawannya. Segera ia
memainkan Ilmu Pedang Kartika Jengkar dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Hingga dengan
demikian setiap serangan ujung pedangnya merupakan
intaian maut yang setiap saat akan dapat mencengkeram nyawanya.
Kini keringat dingin telah membasahi pakaian dan
seluruh tubuhnya. Akan tetapi Ki Kunarpo Ludiro tetap
tak dapat berkutik barang sedetikpun juga.
Wesst...! Pedang Tunggul Wulung menyambar dengan dahsyat sekali ke arah tulang tangan kering itu.
Dan karena kurang cepat menarik pulang senjatanya,
maka terdengarlah bunyi... "tak...!" Ternyata senjata istimewa Ki Kunarpo Ludiro telah putus menjadi dua.
Melihat hal ini bukan main marahnya hati tokoh hitam dari Hutan Banakeling itu. Segera ia menggerakkan
tangan kirinya, dan melontarkan beberapa buah pakupaku beracun yang menjadi senjata rahasianya ke seluruh tubuh Tunggul Wulung.
"Ayaaa...!" teriak Tunggul Wulung sambil mengenjot
tubuhnya melayang tinggi-tinggi ke udara dan kemudian berjumpalitan sambil memutar pedangnya untuk
melindungi seluruh tubuhnya.
Trang... ting... ting...! Paku-paku beracun itu dapat
dipukul kembali oleh pemuda gagah ini, bahkan salah
satu dari paku-paku yang dipukul pulang oleh Tunggul
Wulung itu telah memental dan tepat mengenai tenggorokan Ki Kunarpo Ludiro.
"Akhh...!" teriak Kunarpo Ludiro yang terus memegang tenggorokannya dan dengan cepat berusaha mencabut senjata rahasianya sendiri yang telah menancap
di tenggorokan itu. Namun bisa racun yang berada di ujung paku itu telah ikut beredar ke seluruh tubuhnya bersama dengan
peredaran darahnya. Sungguh hebat sekali cara kerja
racun yang dipoleskan paku-paku Ki Kunarpo Ludiro
itu. Dalam beberapa saat saja orang buta sebelah dan
bergigi mrongos tadi telah kelihatan pucat biru, dan kira-kira sepeminuman teh kemudian menghembuskan
napas terakhir akibat termakan senjata rahasianya
sendiri. Dengan sikap gagah maka Tunggul Wulung lalu melintangkan pedangnya di depan dada dan menatap ke
arah para penonton sambil berkata, "Orang jahat telah
mati karena senjatanya sendiri, sekarang kalau masih
ada orang jahat yang akan mengacau jalannya sayembara ini harap maju. Aku Tunggul Wulung akan selalu
membantu fihak yang benar."
Akan tetapi sampai lama tak ada jawaban dari bawah panggung. Bahkan tak lama kemudian berkelebatlah dua sosok tubuh yang naik ke atas panggung, dan
ternyata mereka itu adalah Ki Sardulo Seto dan anaknya, Niken Sulastri.
Niken Sulastri segera menjatuhkan diri dan berlutut
di hadapan Tunggul Wulung sedangkan Ki Sardulo Seto
menepuk-nepuk pundak Tunggul Wulung sambil berseru, "Bapa sangat bangga, bahkan bangga sekali bermenantukan Angger Tunggul Wulung."
Bersama dengan itu terdengar pula perkataan Niken
Sulastri yang bercampur isak tangis kegirangan, "Hamba akan mengabdikan diri kepada Kakang Mas Tunggul
Wulung, dan akan menjadi isteri yang setia."
Bukan main bingungnya hati Tunggul Wulung melihat kenyataan ini, segera ia memandang ke arah kedua
orang itu dengan berganti-ganti. Sesaat memandang ke
arah Ki Sardulo Seto yang menepuk-nepuk pundaknya
dan tak lama kemudian memandang kepada perempuan yang bersembah kepadanya.
"Apa" Apakah artinya semua ini?" tanya Tunggul
Wulung dengan tak mengerti.
"Kakang Mas, kau telah memenangkan syarat-syarat
yang telah kami ajukan dan kini kau berhak atas diriku,
Kakang Mas. Aku akan tetap setia kepadamu," seru Niken Sulastri menerangkan.
"Benar, benar Angger, kau telah memenangkan
sayembara ini dan kini kau telah terpilih untuk menjadi
jodoh Niken Sulastri anakku ini," sambung orang tua
itu memperkuat penuturan anaknya.
"Aku... aku... akh, lekas kau berdiri dan jangan bicara yang tidak-tidak. Apakah kalian tak malu berbicara
di hadapan umum"!"
Mendengar perkataan Tunggul Wulung itu barulah
mereka sadar dan cepat-cepat Ki Sardulo Seto lalu menarik tangan Niken Sulastri dan Tunggu Wulung sambil
berseru, "Mari kita pulang dan kita bicarakan lagi di
rumah." Setelah berkata demikian terus kabur meninggalkan panggung yang masih banyak dikerumuni orang.
Sedangkan Tunggul Wulung tak mempunyai kesempatan baik lainnya selain terus mengikuti orang tua dan
gadis itu. Ia akan berusaha menerangkan persoalannya.
Di lain saat, orang-orang terus menggeloyor pergi, selain orang-orang yang telah dipesan oleh Ki Sardulo Seto untuk mengurus mayat Ki Kunarpo Ludiro. Di antara
orang-orang yang pergi itu terdapat pula Klabangsongo
dan Baurekso. "Hem... aku belum menyerah dengan begitu saja,
Klabangsongo," seru Baurekso dengan geram.
"Baiklah, besok kita akan dapat membuat perhitungan dengan mereka. Aku pun sangat menyayangkan kalau anak secantik itu tak dapat kita petik," jawab Klabangsongo dengan tersenyum-senyum.
Di lain saat Ki Sardulo Seto terus berlari dengan kencang dan hatinya diliputi oleh awan kegembiraan. Mulutnya tersenyum-senyum penuh kepuasan. Tak antara
lama ketiga orang itu telah sampai di depan sebuah rumah.
"Mari... mari, Angger, masuk!"
Dengan tanpa sungkan-sungkan lagi maka masuklah Tunggul Wulung ke dalam. Dan setelah mereka
mengambil tempat duduk barulah membicarakan halhal yang tadi diributkan di atas panggung.
"Paman, aku benar-benar belum mengetahui apakah
maksudmu ini," tanya Tunggul Wulung dengan perasaan tak mengerti.
"Begini, Angger! Karena anakku yang keras kepala
itulah maka aku mengadakan sayembara adu kepandaian untuk memenuhi permintaannya. Anakku itu tak
mau menikah dengan orang yang tak mempunyai kepandaian silat. Sebagai orang tua aku menjadi sedih sekali, maka aku lalu memutuskan kalau akan mengadakan sayembara, dan hadiahnya yang dapat mengalahkan aku dan anakku adalah anakku itu sendiri.
Ternyata banyak sekali peminatnya dan sampai-sampai
orang seperti Baurekso dan Kunarpo Ludiropun memerlukan datang. Untung yang memenangkan pertandingan dalam sayembara itu adalah Angger, seorang murid
yang telah kukenal kebersihannya, hingga dengan demikian aku menyerahkan anak itu kepadamu dengan
perasaan tenteram dan lega. Nah kaulah yang berjodoh
untuk menjadi suami anakku, Angger."
"Tapi, Paman...!" seru Tunggul Wulung terus tak dapat melanjutkan perkataannya.
"Tapi apa, Angger?"
"Aku tadi tak bermaksud mengikuti sayembara. Aku
hanya merasa muak dan kasihan kalau melihat anakmu diambil isteri oleh orang-orang seperti mereka. Aku
hanya menolong." "Hee... mengapa begitu" Apakah anakku kurang cantik untuk menjadi isterimu" Apakah sebabnya, Angger?"
tanya orang tua itu dengan kaget.
"Tidak... tidak, Paman. Aku akan merasa senang sekali kalau dapat menjadi suami orang yang mempunyai
kecantikan dan kepandaian seperti anakmu itu. Akan
tetapi ketahuilah, Paman, kalau aku masih terlalu muda dan belum memikirkan akan hal itu."
"Tapi mengapa kau memasuki sayembara?"
"Telah kukatakan kepadamu kalau aku memasuki
hanya karena kasihan kepada anakmu. Apakah kau senang bermenantukan Baurekso atau Ki Kunarpo Ludiro, Paman?"
"Tidak, Angger! Memang aku tak senang dan akan
mengadu jiwa kalau sampai kedua orang itu yang memenangkan pertandingan. Akan tetapi benarkah kau
tak mencintainya, Angger?"
Sampai lama Tunggul Wulung tak dapat menjawab
pertanyaan Ki Sardulo Seto itu. Berat rasanya ia menjawab pertanyaan yang langsung diberikan kepadanya,
bahkan ketika ia melirik tampaklah kalau Niken Sulastri telah menundukkan muka dan menangis dengan
tersedu-sedu. Tunggul Wulung makin tak sampai hati
untuk menjawab pertanyaan itu dengan sejujurnya.
Akan tetapi tak lama kemudian terdengarlah jawabannya yang pelan dan hampir-hampir tak terdengar.
"Aku hanya kasihan sekali kepada anakmu, Paman!"
Mendengar jawaban ini Ki Sardulo Seto hanya menarik napas panjang. Wajahnya berubah menjadi muram, akan tetapi tak lama kemudian terdengarlah perkataannya.
"Ketahuilah, Angger, kalau rasa kasihan itu adalah
pertanda kalau kau mencintai anakku. Lelaki akan
mengatakan kasihan terlebih dahulu sebelum mengatakan cinta kepada anak perempuan."
"Cukup... cukup, Bapa, orang telah tak mau mengapa harus memaksa" Aku malu, Bapa! Aku malu kepada
mereka yang tadi menonton. Biarlah aku bunuh diri saja, Bapa...!" Setelah berkata demikian maka cepatlah
gadis itu melolos pedangnya dan mengayunkan ke arah
lehernya sendiri. Akan tetapi dengan sigap Tunggul Wulung lalu menangkis pedang itu sehingga jatuh ke tanah.
"Me... mengapa kau menghalang-halangiku?" tanya
Niken Sulastri dengan pandangan mata marah.
"Sabar... sabar. Tak baik melakukan bunuh diri. Pikirlah dahulu masak-masak akan keterangan-keteranganku ini. Janganlah kau mengambil keputusan di
waktu marah atau kecewa."
"Putusanku telah tetap. Aku ingin bunuh diri daripada mendapat malu," jawab gadis itu dengan tegas.
"Aku juga! Kehormatanku telah kau injak-injak,
anak muda. Kalau kau tak mau kawin dengan anakku
maka selamanya aku akan mengutukmu dan sampai
matipun aku akan tetap mengutukmu."
Bingunglah hati Tunggul Wulung ketika mendengar
perkataan kedua orang itu. Pikirannya melayang jauh
sekali. Teringatlah ia kepada kakak seperguruannya,
akan tetapi sayang kini kakak seperguruannya itu tak
berada di dekatnya. Tiba-tiba saja terdengarlah perkataan Ki Sardulo Seto.
"Kalau kau mau menikah dengan anakku bukan saja
kau telah menolong jiwa kami berdua, juga kami anggap
sebagai bintang penolong. Biarpun hanya sehari saja ia
kau kawini dan kemudian kau cerai lagi."
Makin perihlah hati Tunggul Wulung ketika mendengar hal ini. Karena perasaan kasihannya ia lalu menjawab.
"Baiklah, Paman."
Mendengar jawaban ini bukan main girangnya hati
kedua orang itu. Dan benarlah beberapa hari kemudian
Tunggul Wulung menikah dengan Niken Sulastri di luar
pengetahuan Baskara. *** Ke manakah Baskara tadi" Mengapa ia tak mencari
adik seperguruannya dan mendatangi pernikahan
Tunggul Wulung yang telah dianggap sebagai adik kandungnya itu" Seperti telah dituturkan di atas kalau
Baskara mendengar kabar bahwa ada seorang gadis
yang sedang mengejar-ngejar Tengkorak Hitam. Dan setelah ia berhasil mengobrak-abrik sarang Tengkorak Hitam bersama dengan Ambarsari. Baskara lalu melanjutkan perjalanannya mencari pedang-pedang mustika
setelah mendengar kabar kalau adiknya menikah, bahkan sebelumnya ia sempat bertemu dengan Tunggul
Wulung dan mengatakan kalau akan segera pergi. Akan
tetapi sayang sekali ia belum mengenal istri adiknya itu.
Begitupun dengan Klabangsongo dan Baurekso, setelah ia dikalahkan oleh Ambarsari lalu lari dan akhirnya
sampai ke panggung itu dan ikut-ikutan merebutkan
Niken Sulastri. Akan tetapi maksudnya ini gagal.
Di waktu yang sama Tengkorak Hitam terus mencari
pedang-pedang mustika itu dengan jalan melihat peta
aslinya yang tadi telah diturun oleh Birowo. Tengkorak
Hitam selalu melakukan perjalanan dengan cepat karena takut didahului oleh Ambarsari.
Segera ia menuju ke Pulau Kembang Dewa di mana
pedang pusaka itu disimpan. Akan tetapi setelah ia berhasil sampai di tempat yang dituju hatinya bingung karena di situ terdapat puluhan gua. Di salah satu gua inilah pedang Besi Merah dan Naga Biru disimpan oleh
Pendekar Sakti Bayu Sekti.
Berbulan-bulan Tengkorak Hitam mencari-cari pedang-pedang mustika itu. Akan tetapi ia belum juga
berhasil mendapatkannya. Di lain saat Ambarsaripun
telah mencarinya di pulau yang sama. Akan tetapi pendekar wanita ini mencari dari arah yang berlawanan dengan Tengkorak Hitam.
Satu demi satu gua-gua itu dimasukinya. Akan tetapi
betapa terkejutnya hati Ambarsari ketika melihat kalau
gua yang dimasukinya ini penuh dengan ular-ular berbisa. Segera ia mencabut pedangnya dan mulai membasmi ular-ular itu. Akan tetapi semakin banyak ularular yang dibasminya makin banyak yang keluar setelah
mencium bau darah. Untung Ambarsari ingat kalau ular-ular ini takut dengan api, segera ia membuat obor dan mulai merayap
masuk ke dalam gua. Gua itu makin lama menjadi semakin gelap dan mengecil, namun tokoh wanita yang
berhati baja ini makin merambat maju. Akhirnya di sebuah sudut ia melihat sinar yang terang sekali. Setelah
didekatinya ternyata sinar itu adalah sinar pedang yang
memancarkan hawa dingin yang berwarna biru.
"Naga Biru!" Desisnya sambil mengambil
pedang itu. Dan... alangkah girangnya hati Ambarsari setelah berhasil mendapatkan pedang itu. Hingga
tanpa sesadarnya ia bersorak dengan keras, dan hal ini
telah membuat Tengkorak Hitam menjadi kaget dan
mencari arah suara. Akan tetapi sayang sekali Tengkorak Hitam salah
masuk di dalam gua yang berlawanan arah dengan Ambarsari. Namun hal ini malah menguntungkan bagi si
Tengkorak Hitam, karena di sinilah tersimpannya Pedang Besi Merah.
Setelah kedua-duanya keluar maka satu sama lain
menjadi sama-sama terkejut sekali karena masing-masing telah memegang sebuah pedang mustika. Sebuah
pertempuran hebat terjadi, akan tetapi kesudahannya
tak ada yang menang maupun yang kalah karena kedua
orang jago itu sama-sama memegang sebilah pedang
mustika. Semenjak itulah dunia persilatan digemparkan oleh
munculnya pedang-pedang mustika yang dijadikan rebutan. Ambarsari selalu memakai Pedang Naga Biru untuk membasmi kejahatan, akan tetapi Tengkorak Hitam
memakai Pedang Besi Merah untuk berbuat jahat. Bahkan ia telah mengubah julukannya menjadi Iblis Merah.
Makin lama Iblis Merah makin mengganas di dunia
kependekaran. Namanya makin dikenal orang karena
kegilaannya. Pernah ia mendatangi sebuah kuil Budha
dan membunuh seluruh penghuni rumah suci itu. Namun ketika ia membuat keonaran di Desa Jati Wangi,
perbuatannya yang menculik gadis itu telah diketahui
oleh Baskara. Kembali kedua orang musuh besar ini bertempur lagi, dan memang Baskara telah lama mencari-cari Tengkorak Hitam atau si Iblis Merah untuk merebut pedangnya. Pertempuran hebat terjadi.
Akan tetapi Baskara yang telah mempunyai kepandaian tinggi itu dengan mudah saja telah dapat mengalahkan lawannya, bahkan berhasil pula merebut pedangnya. Semenjak itulah Pedang Besi Merah dipegang
oleh pendekar yang selalu membela keadilan dan kebajikan.
Namun nasib manusia itu tak selalu mujur. Begitupun dengan Baskara. Ia telah difitnah oleh Klabangsongo sehingga harus bertempur dengan adik seperguruannya bahkan harus menghadapi gurunya sendiri.
Semenjak ditinggal oleh Baskara, Tunggul Wulung
telah hidup rukun dengan Niken Sulastri dan bahkan
kini istri Tunggul Wulung itu telah mengandung.
Sewaktu Tunggul Wulung pergi, datanglah Klabangsongo yang mengaku bernama Baskara, dan dengan
kepandaiannya ia berhasil mencemarkan istri adiknya.
Tentu saja Niken Sulastri mengadukan perbuatan Baskara palsu ini kepada suaminya. Mendengar ini bukan
main marahnya hati Tunggul Wulung. Segera ia berkeliaran di dunia kependekaran untuk mencari Baskara
dan minta pertanggungan jawab.
Niken Sulastri sendiri merasa sedih ketika ditinggal
suaminya, dengan keputusan bulat lalu menyusul sang
suami. Akan tetapi ia tak tahu ke mana Tunggul Wulung pergi. Akhirnya keduanya mengambil jalan yang
bersimpangan. Tunggul Wulung langsung menuju ke Padepokan Jati Tunggal dan melaporkan hal ini kepada gurunya. Bukan main marahnya Ki Mliwis Putih setelah mendengar
penuturan ini. Segera mereka berdua berangkat untuk
mencari Baskara yang dianggapnya durhaka.
Sedangkan Niken Sulastri terus merantau dengan
tak tentu arah tujuannya. Setibanya wanita itu di dalam
hutan ia bertemu dengan Klabangsongo yang dianggapnya sebagai Baskara. Maka tanpa banyak cakap lagi ia
bertempur dengan pemuda itu, akan tetapi mana ia dapat menang" Untung saja Baskara segera datang dan
menolongnya. Akan tetapi sayang sekali Baskara tak
dapat membunuh Klabangsongo yang telah keburu melarikan diri.
"Terima kasih, Kakang," seru Niken Sulastri kepada
penolongnya itu. Namun tak antara lama Tunggul Wulung dan Mliwis Putih yang mencari Baskara sampai
pula di tempat itu. Dan hati kedua orang itu menjadi
mendidih sekali setelah melihat Baskara duduk berduaan dengan Niken Sulastri.
Tanpa banyak tanya-tanya lagi Tunggul Wulung segera menerjang, akan tetapi dengan enak Baskara dapat
mengelak sambil berteriak, "Gilakah kau, Adi?"


Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi Baskara tak meladeni tingkah laku adik
seperguruannya ini. Ia terus mendapatkan Ki Mliwis Putih dan bersembah kepada orang tua itu.
Namun orang tua yang gusar ini segera menendangkan kakinya dengan sekuat tenaga sambil berseru,
"Murid jahanam... tak tahu malu." Akibatnya terpentallah tubuh Baskara ke arah semak-semak yang ditumbuhi oleh pohon-pohon pacar yang sedang berbunga biru.
Sampai lama Baskara pingsan, dan sambil merawat
Baskara, Niken Sulastri menceriterakan hal sebenarnya.
"Kakang, mengapa kau menyakiti orang yang telah
menolongku?" serunya dengan tak puas.
"Menolong" Apakah maksudnya" Inilah orang yang
bernama Baskara dan yang telah mencemarkan dirimu!" seru Tunggul Wulung dengan marah.
"Ooh... kalau demikian kau salah duga, Kakang.
Bahkan orang inilah yang barusan menghajar Baskara
yang telah... telah...."
"Mencemarkan dirimu!" sambung Tunggul Wulung.
"Ya!" jawabnya sambil mengangguk pelan.
"Akh... mengapa aku terburu nafsu" Kasihan Angger
Baskara kalau sampai aku kesalahan tangan."
Karena rawatan Ki Mliwis Putih, maka sebentar saja
Baskara telah siuman dari pingsannya. Dan hatinya benar-benar merasa heran sekali mengapa gurunya menjadi gusar kepadanya.
"Bapa, apakah kesalahanku?"
"Maafkan aku, Kakang," seru Tunggul Wulung dan
terus menceritakan kejadian yang menimpa diri isterinya.
Mendengar ini bukan main sedihnya hati Baskara.
Sampai lama ia diam terpekur, tak menjawab permintaan maaf adik dan gurunya itu. Hatinya benar-benar
diliputi oleh perasaan kecewa.
"Angger Baskara, siapakah yang telah mencemarkan
namamu itu?" "Klabangsongo."
"Klabangsongo?" ulang Tunggul Wulung.
Baskara hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Maafkan aku, Angger, aku terlalu tergesa-gesa hingga menjatuhkan tendangan kepadamu."
"Bapa, saksikanlah ucapanku ini. Ucapan seorang
murid durhaka. Mulai detik ini juga Baskara telah meninggal di tangan Mliwis Putih, akan tetapi yang ada kini hanyalah Pacar Biru. Karena Pacar Biru inilah yang
menolongku." Setelah berkata demikian maka Pacar Biru melompat pergi meninggalkan orang-orang itu.
Sampai lama Tunggul Wulung dan gurunya mencari
ke mana perginya Pacar Biru, dan tiga tahun lamanya
baru bertemu. Tunggul Wulung dan gurunya akhirnya
dapat melunakkan hatinya. Bahkan atas persetujuan
tokoh-tokoh besar seperti Mliwis Putih, Anggraeni, dan
Suronggongkoro, maka Pacar Biru pewaris Pedang Besi
Merah dikawinkan dengan Ambarsari pewaris dari Pedang Besi Biru. "Nah, itulah, Angger, cerita Pedang Besi Merah dan
Naga Biru yang disebut Sepasang Pedang Mustika," seru Ki Topeng Merah mengakhiri ceritanya.
"Lalu, siapakah Tunggul Wulung itu, Ki Sanak?"
tanya Pendeta Kalinggapati.
"Tunggul Wulung adalah Jayasengara. Memang setelah tuanya Tunggul Wulung lalu bergelar Jayasengara,"
jawab orang tua itu. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala dan
merasa puas sekali mendengar cerita Ki Topeng Merah
tadi tentang asal-usul Pedang Naga Biru dan Pedang
Besi Merah yang disebut SEPASANG PEDANG MUSTIKA. Dan sampai di sinilah cerita Sepasang Pedang
Mustika berakhir, dengan harapan mudah-mudahan di
samping merupakan bacaan penghibur hati di waktu
senggang, cerita inipun mampu menyajikan sesuatu
yang berguna bagi Anda semua. Sampai jumpa di lain
cerita. TAMAT Sanggar Gempal 70 SEPASANG PEDANG MUSTIKA Karya: Wahyu Mulyana Penerbit: CV Gema " Solo, 1979
Scan/Edit: Clickers PDF: Abu Keisel Wanita Sahabat Dan Musik 2 Wiro Sableng 026 Iblis-iblis Kota Hantu Misteri Dewi Maut 1

Cari Blog Ini