Ceritasilat Novel Online

Si Tangan Halilintar 8

Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


"Dan mereka adalah keluarga atau orang-orang yang dekat dengan si jahanam Lauw Beng Si Tangan Halilintar. Sungguh berbahaya sekali keluarga itu. Akan tetapi mengapa mereka tidak mau membunuh kita, bahkan melukaipun tidak, padahal kalau melihat kesaktian mereka, tentu dengan mudah mereka akan dapat membunuh atau melukai kita, paman"." Lu Kiat menggeleng-gelengkan kepala. "Memang aneh sekali mereka itu. Melihat sikap mereka, apalagi ucapan nenek itu, mereka adalah orang-orang yang liar, akan tetapi nyatanya mereka tidak mau membuktikan bahwa mereka berdua bukanlah orang jahat, Lu Siong." "Akan tetapi, paman. Lauw Beng yang jahat, Si Tangan Halilintar yang kejam itu, adalah cucu si nenek dan sahabat baik Puteri Mancu tadi!." "Inilah yang membuat aku berpikir, Lu Siong. Seorang yang begitu kejam dan jahat tidak mungkin mempunyai keluarga yang demikian baik hati dan pemaaf, bukan"
Dan dua orang wanita sakti yang memaafkan kita tadi rasanya tidak mungkin mempunyai anggota keluarga begitu jahat sepelilintar, bukan"." "Mengaku" Maksud paman"." "Ya, ku rasa ada benarnya kata-kata Puteri Mancu yang jelita tadi. Siapa saja dapat mengaku bahwa dia Si Tangan Halilintar. pembunuh dan pemerkosa itu. bahkan aku yang sudah bertanding melawannya, juga tidak melihat jelas bagaimana bentuk wajahnya." "Ah, apakah paman bermaksud menghentikan usaha kita untuk melaporkan kepada Lam-liong Ma Giok tentang anak angkatnya yang jahat itu" Apakah kematian Paman Gui Liang dan anak isterinya tidak perlu di balas"." "Bukan begitu, Lu Siong. Kurasa tantangan puteri Mancu tadi ada benarnya. Mari kita sambut tantangannya tadi. Kita cari bukti bahwa penjahat pembunuh yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar itu betul Lauw Beng adanya. Sementara ini dalam laporan kita nanti kepada Lam-liong Ma Giok, kita hanya melapor bahwa ada penjahat berlengan kiri buntung yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar dan pandai bersilat aliran Siauw-lim-pai.
Kita tidak perlu mengatakan dengan pasti ng, anak angkat Lam-liong." "Akan".." "Diapun hanya mengira-ngira saja, Lu Siong. Semua itu belum merupakan bukti nyata, tepat seperti yang dikatakan puteri Mancu tadi. Bukan tidak mungkin ada seorang yang juga buntung lengan kirinya dan lihai sekali, melakukan semua kejahatan itu dengan menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar untuk menjatuhkan fitnah kepada Lauw Beng itu. Tentu saja bukan mustahil bahwa penjahat itu benar-benar Lauw Beng. Bagaimana pun juga, kita perlu melaporkan kepada Lam-liong Ma Giok karena ini merupakan kewajibannya untuk menghukum kalau benar anak angkatnya itu yang menjadi penjahat dan untuk membersihkan nama anak angkatnya kalau memang Lauw Beng tidak melakukan kejahatan itu. Bagaimanapun juga, Lu Siong, kita adalah orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu menentang kejahatan.
Engkau tidak ingin kalau kita melakukan balas dendam kematian su "Tentu saja tidak, Paman! Setelah ku pertimbangkan, pendapat Paman itu benar sekali. Baiklah, Paman, mari kita melanjutkan perjalanan dan selain melapor kepada Lam-liong Ma Giok, kita menyelidiki siapa sebenarnya pelaku kejahatan itu, siapa yang menggunakan julukan Si Tangan Halilintar itu, Lauw Beng ataukah orang lain". Paman dan keponakan itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju Thai-san.
Di lereng dekat puncak pegunungan Liong-san terdapat sebuah perkampungan para petani. Jumlah penduduk dusun itu tidak banyak, hanya sekitar lima puluh kepala keluarga. Diantara rumah-rumah di dusun dekat puncak ini terdapat sebuah rumah besar, paling besar di antara rumah-rumah di situ. Inilah rumah Lee Bun Si Muka Tengkorak, orang yang termuda dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang berusia sekitar lima puluh dua tahun akan tetapi dia tidak pernah menikah dan hidup sebagai seorang pertapa di dusun dekat puncak itu. Seperti kita ketahui, orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap (Lima Pendekar Besar Ciong-yang) telah tewas bersama isteri mereka di Souw-ciu diserbu pasukan. Tiga orang anggota Ciong-yang Ngo-taihiap yang lain, yaitu orang ketiga Ciang Hok Sen berusia lima puluh tujuh tahun juga tidak berkeluarga, dan orang ke empat Bhe Kam berusia lima puluh lima tahun bersama isterinya dan puterinya Bhe Siu Cen berusia dua puluh tahun, dan orang kelima Lee Bun, dapat lolos dari sergapan pasukan pemerintah.
Mereka semua lalu melarikan diri ke Liong-san dan kini tinggal bersama di rumah Si Muka Tengkorak Lee Bun. Mereka pergi dan bersembunyi di tempat ini karena mereka menjadi orang buruan pemerintah. Bersama mereka ikut pula Song Cin, pemuda berusia dua puluh dua tahun putera mendiang Kiam-sian Song-kui. Seperti kita ketahui, Bhe Siu Cen yang berusia dua puluh tahun, tadinya sudah di tunangkan dengan Song Cun, kakak Song Cin. Akan tetapi kita ketika melihat Song Cin membuntungi lengan Siauw Beng, hati Bhe Siu Cen memberontak dan ia menjadi benci kepada Song Cun yang di anggapnya curang, pengecut dan kejam dan ia menyatakan putus hubungan dengan Song Cun yang kemudian lari meninggalkan rombongan yang mengungsi ke Liong-san itu. Tiga orang kakak beradik seperguruan ini hidup tenang di dekat puncak Liong-san itu. Mereka hidup sebagai petani, setiap hari bekerja di lading, mandi sinar matahari dan menghirup udara sejuk dan jernih.
Menikmati kehidupan yang serba tenang, tentram, dimana tidak terdapat masalah, tidak terdapat kekerasan dan permusuhan seperti yang pernah mereka alami ketika mereka hidup di dunia kang-ouw. Akan tetapi karena mereka pendekar-pendekar yang tangguh, mereka tidak pernah dapat meninggalkan latihan ilmu silat yang sudah mendarah daging dalam diri mereka. Juga di tempat yang indah ini, Song Cin dan Bhe Siu Cen setiap hari berlatih silat di bawah bimbingan tiga orang pendekar itu. Tidak keliru pendapat orang-orang tua bahwa cinta kasih tumbuh dari pergaulan yang erat. Demikian pula dengan Vhe Siu Cen dan Song Cin. Bagi Song Cin memang sejak dulu ia menaruh hati kepada Siu Cen. Akan tetapi tadinya Siu Cen telah di tunangkan kepada Song Cun sehingga baik Song Cin maupun Siu Cen, tidak memiliki keinginan yang bukan-bukan. Song Cin berusaha menghilangkan rasa cintanya kepada gadis yang sudah menjadi tunangan kakaknya itu. Sebaliknya Siu Cen juga tidak pernah memperhatikan Song Cin karena dia merasa bahwa ia akan menjadi jodoh Song Cun, hal yang telah disepakati keluarga kedua pihak. Akan tetapi, Siu Cen memutuskan hubungannya dengan Song Cun karena ia benci melihat watak tunangannya yang di anggapnya curang, pengecut dan kejam itu. Kini ia tinggal di tempat sunyi dekat puncak Liong-san dan setiap hari ia bergaul dengan Song Cin.
Mulai tampaklah olehnya betapa watak Song Cin jauh lebih berbeda dibandingkan watak Song Cun. Song Cin adalah seorang yang lembut, bijaksana, baik budi dan biarpun dia tidak segagah Song Cun, namun pemuda ini juga tampan dan ilmu silatnya juga cukup tangguh. Mulai tumbuh rasa cinta di hati gadis berusia dua puluh tahun itu. Bhe Kim yang berjuluk Sin-touw (Copek Sakti), orang ke empat dari Ciong-yang Ngo-taihiap bersama isterinya melihat gejala ini. Mereka bersepakat untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Song Cin karena Siu Cen sudah menyatakan putus dengan Song Cun dan berkeras tidak mau dijodohkan dengan bekas tunangannya itu. Bhe Kam mengajak suhengnya, Ciang Hu Seng dan sutenya, Lee Bun untuk berunding mengenai keinginannya menjodohkan puterinya dengan Song Cin. Dua orang pendekar itu pun menyatakan persetujuan mereka mengingat bahwa pertalian jodoh antara Siu Cen dan Song Cun telah putus.
Demikianlah, pada suatu hari di adakan upacara pertunangan antara Siu Cen dan Song Cin. Perjodohan antara mereka di tunda, menanti dua hal. Pertama, perkabungan Song Cin sudah lewat, dan kedua Song Cun belum di bertahu lebih dulu tentang perjodohan bekas tunangannya dengan adiknya itu. Setelah mereka bertunangan, hubungan antara Song Cin dan Siu Cen menjadi semakin akrab. Namun, keduanya saling menjaga sehingga betapa rindunya hati mereka namun tetap menjaga jarak sehingga tidak akan melanggar tata susila. Dengan kasih sayang yang suci murni terhadap satu sama lain, mereka berdua dapat saling menjaga keutuhan kehormatan masing-masing dan kasih murni itu dapat mencegah mereka terseret oleh nafsu birahi. Sebelum menikah, hubungan mereka harus merupakan hubungan antara sahabat, atau antara saudara, tidak di kotori cinta nafsu berahi. Pada suatu sore, Song Cin dan Siu Cen seperti biasa berlatih silat didalam taman bunga yang mereka pelihara bersama sehingga merupakan taman bunga yang indah.
Tiga orang pendekar itu bercakap-cakap di ruangan depan. Ciang Hu Sen yang berusia lima puluh tujuh tahun, kehilangan wataknya yang selalu gembira. Bhe Kam yang berusia lima puluh, jubahnya masih kedodoran seperti dulu, dan Lee Bun yang berusia lima puluh tiga tahun bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak, maka ia di juluki Si Muka Tengkorak. "Melihat keakraban antara anakku dan Song Cin, aku berpendapat sebaiknya mereka segera dinikahkan"kata Bhe Kam Si Copet Sakti kepada dua orang saudara seperguruan itu. "Ciang-suheng, kuanggap dapat menjadi wali mewakili suheng Song Kui yang sudah meninggal. Bagaimana pendapatmu, Suheng"." Ciang Hu Seng yang gemuk pendek itu tertawa senang. "He-he-he-he, pendapatmu itu baik sekali. Aku akan dapat menikmati arak pengantin sebagai wali pengantin pria tentu aku mendapatkan kehormatan pertama, ha-ha-ha!."
"Aku setuju sekali, Bhe-suheng. Puterimu itu sudah berusia dua puluh tahun dan Song Cin sudah berusia dua puluh dua tahun. Sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berumah tangga dan yang penting lagi, kasihan kalau orang-orang muda seperti mereka harus melewatkan masa mudanya di tempat sunyi ini. Setelah menikah mereka dapat turun gunung, kembali ke Souw-Cin dan membentuk keluarga bahagia. Tentu masih ada peninggalan keluarga Song di Souw-ciu, setidaknya para sahabat kedua suheng Song tentu siap membantu Song Cin ", kata Lee Bun. "Akan tetapi bagaimanapun juga, perkabungan yang dilakukan Song Cin atas kematian ayahnya haruslah penuh lebih dulu yang ku kira hanya tinggal dua bulan lagi." "Tentu saja hal itu sama sekali tidak boleh di langgar ", kata Bhe Kam dan tiga orang itu selanjutnya bercakap-cakap sambil minum arak untuk mengusir hawa dingin yang mulai menyelimuti dusun di dekat puncak itu.
Sementara itu, Song Cin dan Siu Cen selesai berlatih silat. Mereka lalu duduk mengaso di atas bangku panjang dalam rumah itu, menghapus keringat yang membasahi leher dan muka. Wajah Siu Cen tampak segar kemerahan dan rambutnya agak kusut, namun semua itu menambah kecantikannya sehingga Song Cin yang duduk di sebelahnya memandang dengan terpesona. "Ih, Cin-ko ( Kakak Cin ), mengapa sengkau memandangku seperti itu?" "Seperti apa?" Song Cin tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah gadis itu, terutama kea rah mulutnya yang manis. "Seperti.... Seperti.... Mata kucingku memandang aku sewaktu aku makan!." "Wah, memangnya aku ini kucing dan engkau.... Engkau.... "keduanya tertawa geli dan gembira. "Katakan terus terang, Cin-ko. Apa saja yang kau lihat kalau engkau memandang aku seperti itu" Di antara kita harus jujur terbuka dan tidak ada yang menyimpan rahasia, bukan"."
"Cen-moi ( Adik Cen ), kalau aku berterus terang, engkau tentu tidak akan marah, bukan" Dan engkau mau memaafkan aku kalau keterus-teranganku menyinggungmu dan membuatmu tidak senang"." "Cin-ko, aku tidak percaya bahwa engkau akan begitu tega untuk menyinggung dan membuat aku tidak senang. Katakanlah!." "Aku memandangmu dan melihat betapa engkau cantik jelita seperti seorang dewi, Cen-moi dan semakin mendalam rasa cinta di dalam hatiku yang telah tumbuh sejak dulu, sejak engkau dan aku masih remaja. Diam-diam aku mencintaimu, Cen-moi, hanya tentu saja hal itu ku rasakan secara diam-diam. Engkau cantik jelita dan di dunia ini tidak mungkin ada keduanya!." Wajah Siu Cen menjadi kemerahan, bibirnya terbuka dalam senyum dan matanya bersinar-sinar, wanita mana yang tidak akan merasa bahagia sekali mendapatkan pujian seperti itu" Apalagi kalau yang memuji itu tunangannya sendiri, pemuda yang juga di cintainya.
"Aihh... koko, engkau terlalu memuji, jangan merayu.....!." "Sungguh mati, moi-moi, pujianku itu bukan sekedar merayu, bukan hanya di mulut, melainkan timbul dari lubuk hatiku. Aku sudah jatuh kepadamu semenjak engkau remaja dulu." "Hemm, kalau benar demikian, mengapa sejak dulu engkau diam-diam saja, Cin-ko"." "Tentu saja, Cen-moi. Aku takut menyatakan perasaan hatiku padamu. Bagiku, engkau seperti bidadari kahyangan, bagaimana aku berani menyatakan cinta ku" Apalagi orang tuaku memutuskan untuk menjodohkan kakak Song Cun denganmu yang di setujui orang tuamu dan engkau bertunangan dengan Cun-ko, aku hanya berani memandang dan mengagumimu dari jauh." "Aduh, kasihan engkau, Cin-ko ", kata Siu Cen sambil memegang tangan pemuda itu. jari-jari tangan mereka saling menggenggam dan meremas selama ini mereka hanya berani menyatakan cinta dan kemesraan dengan saling mempertemukan jari-jari tangan mereka, tidak berani berbuat lebih dari itu karena mereka tetap menjaga harga diri masing-masing dan membatasi kesopanan.
"Maka, biarpun aku merasa kasihan kepada Cun-ko dan timbul harapanku ketika engkau memutuskan hubunganmu dengan Cun-ko dan ternyata sekarang engkau menjadi calon isteriku. Ceng-moi, apakah sebelum ini engkau tidak sedikitpun pernah memandang dan memikirkan diriku?" Siu Cen tersenyum. "Jangan kecewa kalau aku bicara terus terang, Cin-ko." "Tidak, aku bahkan akan merasa senang kalau engkau bicara terus terang, Cen-moi." "Begini, ketika remaja dulu, aku menganggap engkau dan Cun-ko hanya sebagai saudara-saudara seperguruan, sama-sama keturunan anggota Ciong-yang Ngo-taihiap. Terus terang saja aku merasa kagum kepadamu dan juga kepada Cun-ko. Sama sekali belum ada perasaan cinta dalam hatiku, bahkan aku tidak mengerti dan apa dan bagaimana perasaan cinta itu. Kemudian, engkau tahu bahwa orang tuamu dan orang tuaku menyetujui untuk menjodohkan aku dengan Cun-ko.
Aku tidak berani menolak dan setuju saja, apalagi aku melihat bahwa Cun-ko adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa. Dan tentu saja sebagai tunangan, aku mencoba untuk menumbuhkan cinta kepada calon suamiku itu dan aku tidak berani memandang pria lain, termasuk engkau yang ku anggap sebagai calon adikku. Akan tetapi.... Lalu terjadi peristiwa yang menjijikkan itu. Ketika melihat Cun-ko bertindak begitu curang dan kejam terhadap Lauw Beng, aku menjadi muak dan timbul kebencian di hatiku. Aku tidak sudi menjadi isteri seorang laki-laki securing dan sekejam itu, maka kau langsung memutuskan hubungan. nah, setelah kita tinggal di sini dan aku mengenalmu lebih baik..... "Siu Cen tidak melanjutkan ucapannya, menundukkan muka dengan malu-malu. "Lalu bagaimana, moi-moi" lanjutkanlah dan katakana saja terus terang." "Lalu orang tuaku menjodohkan denganmu dan aku..." aku setuju...?""
"Hemmm, kalau begitu engkau menjadi calon isteriku karena hendak mentaati orang tua saja" Sebetulnya tidak ada perasaan apapun dalam hatimu terhadap diriku" Tidak ada cinta seperti aku mencintaimu"." "Hushhh.... "Siu Cen menggerakkan tangan dan jari-jari tangannya menutup mulut Song Cin. "Jangan berkata begitu, Cin-ko." "Katakanlah bahwa engkau juga mencintaku, Cen-moi." "aih, mengapa engkau belum juga percaya kepadaku" Apakah sikapku selama ini masih kurang menyakinkan" Baiklah kalau engkau menghendaki, Cin-ko. Aku.... Cinta kepadamu. nah, puaskah engkau" Kalau aku tidak mencintaimu apa kau kira aku mau di jodohkan dengamu"." "Cen-moi....! "saking girang hatinya, Song Cin merangkul. Akan tetapi Siu Cen menghindar dan menggeser duduknya, menangkap kedua tangan pemuda itu sehingga tentu saja Song Cin tidak dapat merangkulnya. "Eh, Cen-moi" Mengapa engkau menolak" Kita saling mencinta, bahkan kita sudah bertunangan, mengapa engkau selalu menghindar apabila aku hendak memelukmu"
Bukankah hal itu hanya merupakan pelepasan rasa rindu dan cinta kita"." "Engkau benar, Cin-ko. Akan tetapi bagaimanapun juga, kita ini terkurung oleh tata susila yang sudah diterima masyarakat sehingga tidak dapat bebas begitu saja melakukan apa yang kita rasakan. Biarpun kita menganggap hal itu tidak apa-apa dan pantas, namun karena telah menjadi hokum yang diterima masyarakat bahwa itu tidak benar, terpaksa kita juga harus menyesuaikan diri. Maka, kita harus mampu menahan dorongan hati kita sendiri, Cin-ko." Song Cin menghela napas panjang dan dia menggunakan jari-jari tangannya untuk membelai tangan tunangannya. "Aku tahu mengapa cumbu dan belaian antara dua orang yang belum menikah di anggap tidak pantas, Cen-moi. Memang harus diakui bahwa perbuatan itu mendatangkan rangsangan birahi dan kalau batin tidak kuat dapat menjurus kea rah hal-hal yang melanggar kesusilaan.
Baiklah, aku tidak kecewa, bahkan bangga sekali bahwa engkau dapat mengendalikan diri, dan maafkan aku tadi yang menuntut lebih daripada apa yang sepantasnya kau lakukan." "Aku girang engkau dapat mengerti, Cin-ko. Mari, kita pergi mandi, sebentar lagi aku harus membantu di dapur menyiapkan makan malam." Dua orang ini bergandeng tangan meninggalkan taman dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada sepasang mata yang memandang mereka dengan sinar mata berkilat penuh cemburu dan kemarahan. Malam itu gelap sekali. Hujan yang turun membuat udara menjadi sangat dingin sehingga semua orang yang tinggal di dusun-dusun di sekitar Pegunungan Liong-san lebih suka mengeram dalam kamar yang lebih hangat. Juga semua penghuni rumah Lee Bun lebih suka berada dalam kamar masing-masing setelah mereka makan malam.
Mereka semua merasa tenang dan tentram karena mereka yakin bahwa tidak ada seorangpun yang akan berani mengganggu rumah tempat tinggal mereka, rumah yang cukup besar dengan pekarangan dan taman yang luas. Pemilik rumah itu adalah lee Bun, orang kelima dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang terkenal sebagai pendekar-pendekar lihai dan juga sebagai patriot-patriot yang penuh semangat. Lee Bun terkenal dengan pedang hitamnya dan ia tidak pernah berkeluarga, hidup sebatang kara sebagai seorang pertapa perantauan. Pada waktu itu, setelah perjuangan mereka menentang pemerintah Mancu gagal dan dan dua orang yang pertama dan kedua, kakak beradik Song, tewas oleh pasukan pemerintah penjajah Mancu, tiga orang sisa dari Ciong-yang Ngo-taihiap berkumpul dan tinggal di dusun dekat puncak Liong-san untuk menghindarkan pengejaran pasukan Kerajaan Mancu. Mereka semua tinggal mondok di rumah Lee Bun yang besar.
Selain tuan rumah Lee Bun yang lihai, di situ tinggal pula Bhe Kam, orang ke empat dari Ngo-taihiap (Lima Pendekar Besar) yang dikenal sebagai Sin-touw (Malaikat Copet), juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia tinggal mondok bersama isteri dan seorang puterinya, yaitu Bhe Siu Cen yang juga merupakan seorang gadis pendekar yang lihai. Terdapat pula di rumah itu Ciang Hu Seng, orang ke tiga dari Ngo-taihiap yang mempunyai tingkat kepandaian lebih tinggi daripada Bhe Kam atau Lee Bun. Selain empat orang lihai ini, disitu terdapat pula Song Cin, putera mendiang Song Kwan yang berjuluk Kiam-sian (Dewa Pedang), orang kedua dari Lima Pendekar itu. Pemuda ini juga cukup lihai. Lima orang yang lihai ilmu silatnya tinggal di rumah besar itu. Siapa yang akan berani mengganggu" Mengganggu rumah itu sama dengan mengusik sarang harimau.! Akan tetapi, ketika semua orang penghuni rumah itu tertidur pulas karena malam telah larut, sudah lewat tengah malam, ada bayangan berkelebat di atas genteng tidak menimbulkan suara.
Ini menunjukkan bahwa gin-kang (ilmu meringankan tubuh) orang itu memang sudah tinggi tingkatnya. Tak lama kemudian, bayangan hitam itu telah bergerak menyelinap di dalam rumah itu dan berhenti di luar jendela kamar tidur Bhe Siu Cen. Dia mengeluarkan sebatang hio-swa (dupa lidi) dan membakar ujungnya. Tercium bau harum setelah ujung hio-swa terbakar. Cepat dia memasukkan benda itu melalui celah-celah jendela sehingga asap hio-swa itu mengepul dalam kamar. Bayangan itu mendekam di bawah jendela. Setelah menanti beberapa lama sampai hio-swa yang ujungnya membara mengeluarkan asap itu terbakar habis, dia lalu mengeluarkan dua buah butir pil dan memasukkannya ke mulut. Lalu dengan sedikit pengerahan tenaga, dia sudah dapat membuka paksa daun jendela, melompat masuk dan menutupkan lagi daun jendela. Bau harum memenuhi kamar itu. Dengan tenangnya, bayangan hitam itu menyalakan sebatang lilin kecil di atas meja sehingga kamar itu tidak gelap sekali, di terangi nyala lilin yang remang-remang.
Lalu dihampirinya pembaringan yang tertutup kelambu. Ketika ia menyingkap kelambu, tampak Siu Cen tidur telentang dalam keadaan pulas. Bayangan itu tersenyum. Dupa lidi yang asapnya mengandung racun pembius yang amat kuat itu ternyata telah bekerja dengan baik. Untuk mendapat keyakinan, dia menguncang-guncang pundak gadis itu, namun Siu Cen tidak terbangun seperti dalam keadaan pingsan. Bayangan hitam itu tersenyum senang dan melanjutkan perbuatannya yang telah di rencanakannya sejak sore tadi, tanpa gangguan karena selain seisi rumah telah tidur nyenyak, juga Siu Cen sendiri dalam keadaan tidur pulas oleh pembius itu. Menjelang pagi, setelah Siu Cen mengeluh dan menggerakkan tubuhnya, barulah si bayangan hitam itu turun dari pembaringan. Siu Cen terkejut sekali. Nalurinya yang tajam tidak terpengaruh pembius lagi yang sudah mulai meninggalkannya. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar terjadi.
Ia cepat menyingkap kelambu dan melompat turun dari atas pembaringan. Akan tetapi ia menjerit ketika mendapat kenyataan bahwa dirinya tidak berpakaian! Cepat ia menyambar selimut untuk menyelimuti tubuhnya dan pada saat itu, ia melihat bayangan hitam melompat ke atas kosen jendela. Lilin kecil di atas meja masih menyala dan dalam cuaca yang remang-remang itu Siu Cen melihat seorang laki-laki yang masih muda dan yang mendatangkan kesan adalah bahwa laki-laki itu buntung lengan kirinya! Lengan baju kiri itu menggelantung kosong, jelas nampak bahwa lengan kirinya telah buntung. "kau... kau.... Siauw Beng....!" seru Siu Cen. Laki-laki itu tertawa dan sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari situ. "Siu Cen hendak mengejar, akan tetapi teringat bahwa ia telanjang. Maka cepat ditanggalkannya selimutnya dan ia memakai pakaiannya yang berserakan di atas tempat tidur. Pada saat itu baru ia mendapat kenyataan yang membuat ia terkejut dan iapun menangis tersedu-sedu, menelungkup di atas pembaringannya.
Ia telah diperkosa orang! Ia menjerit dan menangis oleh kenyataan yang amat mengguncang batinnya itu. Jerit tangis Siu Cen membangunkan semua penghuni rumah. Empat orang laki-laki yang kesemuanya ahli-ahli silat yang tangguh, segera berlompatan keluar dari kamarnya dan dengan cepat mereka berdatangan ke depan kamar Siu Cen karena dari kamar itulah keluarnya jerit tangis itu. "Siu Cen, apa yang terjadi?" teriak Bhe Kam sambil mengetuk-ngetuk daun pintu kamar puterinya. Tidak ada jawaban, hanya tangis mengguguk yang terdengar. "Cen-moi.... Bukalah pintunya....!!!" Song Cin juga mengetuk dan dia merasa khawatir sekali. "Siu Cen, kalau tidak segera kau buka, akan ku jebol daun pintu ini!" kata Lee Bun. Akan tetapi tetap saja pintu tidak buka bahkan tangis itu semakin mengguguk. "Kita buka pintu ini dengan paksa!" kata Lee Bun dan mendengar ini, Bhe Kam dan Song Cin yang sudah tidak sabar lagi lalu mendorong daun pintu.
"Brakkk...!" Daun pintu terbuka dan semua orang menyerbu masuk. "Siu Cen, apakah yang terjadi?" Bhe Kam menghampiri pembaringan dimana gadis itu rebah menelungkup sambil membenamkan mukanya di bantal dan menangis. Lee Bun lalu menyalakan sebatang lilin besar sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi terang. Kini semua orang melihat daun jendela yang terbuka dan hidung mereka mencium bau harus yang di tinggalkan asap pembius yang sudah meninggalkan kamar itu. "Ceng-moi, mengapa engkau menangis....?" Song Cin menghampiri pembaringan dan hendak menyentuh pundak gadis itu. Akan tetapi ia melihat bercak darah pada tilam pembaringan yang awut-awutan itu. Tiba-tiba Bhe Kam memegang lengan Song Cin dan menariknya menjauh dari pembaringan. Pada saat itu, Nyonya Bhe berlari memasuki kamar. "Siu Cen, ada apakah, anakku.....?" Nyonya itu segera menubruk anaknya.
Akan tetapi, Ciang Hu Seng yang gemuk pendek itu tiba-tiba sudah melompat ke arah jendela dan keluar diikuti oleh Lee Bun. Dua orang pendekar tua ini sudah dapat menduga apa yang terjadi dan mereka berusaha untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah tiba di atas, mereka tidak melihat bayangan orang, maka mereka turun dan kembali ke kamar Siu Cen. Siu Cen sudah duduk di atas tempat tidur, di rangkul ibunya. Song Cin terduduk di atas kursi, kepalanya menunduk sampai dagunya menempel leher. Bhe Kam mengerutkan alis dan ketika Ciang Hu Seng dan Lee Bun memasuki kamar, dia sedang bertanya. "Siu Cen, hayo katakana apa yang terjadi! Kamar ini bau keharuman aneh, mungkin obat bius dan engkau..... hayo katakan apa yang terjadi semalam"." Siu Cen menahan isaknya, mengangkat muka dan memandang kea rah Song Cin yang duduk di atas kursi di sudut kamar..."." Cin-ko..... maafkan... aku..... "dan iapun menangis lagi, terkulai lemas dalam rangkulan ibunya.
"Siu Cen, beginikah sikap seorang yang gagah" Hayo, katakana, siapa yang telah melakukan kekejian terkutuk ini!" bentak Bhe Kam lagi, mukanya merah sekali karena marah. Gadis itu kembali memandang kepada Song Cin. Pemuda itu pun memandangnya. Dia tahu bahwa gadis itu merasa berat untuk bercerita karena kehadirannya, maka ia lalu bangkit berdiri dan melangkah hendak keluar dari kamar itu..."." Cin-ko.... Jangan pergi....! Engkau berhak mengetahui.... Engkau harus mendengar.... "tiba-tiba Siu Cen berkata dan seolah timbul tenaga baru dalam dirinya. Isaknya terhenti dan biarpun air matanya masih berderai, ia dapat bicara dengan jelas. "Ayah, Ibu, Paman Ciang dan Paman Lee, juga Cin-ko, ketahuilah bahwa ada seseorang semalam telah... menodaiku! Dia memperkosaku selagi aku dalam keadaan terbius dan tidak ingat apa-apa..... "Semua orang tidak merasa kaget karena semua sudah menduga akan kejadian itu.
"Kami tahu, akan tetapi siapa yang melakukan ini" Hayo ceritakan!" Bhe Kam yang marah sekali membentak lagi. "Baru saja, ketika aku terbangun, aku melihat bayangan melompat dan berdiri di kosen jendela itu. Dia tidak bicara, juga wajahnya tidak dapat kulihat jelas karena cuaca hanya remang-remang dan gelap, akan tetapi yang jelas sekali dia.... Lengannya.... Lengan kirinya buntung......" "Lauw Beng.....!" teriak Song Cin. "Keparat, jahanam! Dia itu Lauw Beng, bukan?" Tanya Bhe Kam kepada puterinya. "Aku pun mengira demikian dan kuteriaki nama Siauw Beng. Akan tetapi dia tidak menjawab dan melompat pergi. Aku tidak dapat mengejar karena aku..... aku... harus berpakaian dulu.... ?"Jahanam! Kurang ajar anak itu. Agaknya dia membalas dendam karena kita menghajarnya dulu ", kata Lee Bun. "Ya, sudah jelas dia orangnya. Selain bukti bahwa pelakunya berlengan kiri buntung, juga besar alasannya yang mendorong dia melakukan perbuatan terkutuk itu.
Tentu dia membalas dendam karena lengannya juga dibuntungi ", kata Ciang Hu Seng. Song Cin juga marah, akan tetapi pemuda itu diam-diam merasa sangsi. "akan tetapi para susiok (paman guru), kalau benar Siauw Beng yang melakukan, mengapa ia membalas dendam kepada Cen-moi" Cen-moi tidak bersalah apapun terhadap dia." "Hemm, orang yang sudah bergaul akrab dengan seorang Puteri Penjajah Mancu, mana mungkin pantang melakukan segala kejahatan" Tentu dia telah menjadi penjahat cabul pula dan dia hendak menghancurkan perasaan kita dengan perbuatannya terhadap Siu Cen!." Sementara itu, Siu Cen sudah menangis lagi dalam rangkulan ibunya yang juga menangis. "Kita harus bertindak! Kita harus cari jahanam itu dan membunuhnya!" kata Bhe Kam sambil mengepal kedua tangannya. "Tenanglah, Sute (adik seperguruan), kita harus membicarakan hal ini dengan kepala dingin agar dapat diambil tindakan yang tepat.
Mari kita biarkan Siu Cen bersama ibunya dan kita bicarakan soal ini ", kata Song Cin keluar dari kamar Siu Cen yang masih menangis dalam rangkulan ibunya. "Sudah, hentikan tangismu, anakku. ayahmu pasti akan membalaskan sakit hati ini!." "Ibu, bagaimana aku dapat berhadapan dengan Sin-ko" Setelah terjadi peristiwa dengan diriku ini, apakah Sin-ko masih mau melanjutkan perjodohan ini" Ah, ibu dia tentu akan memandangku dengan hina, menganggap aku kotor.... Ah lebih baik mati saja daripada begini, ibu......" Nyonya Bhe menguatkan hatinya. Sebagai seorang wanita, iapun tahu benar bahwa pada umumnya, seorang wanita yang sudah bukan perawan lagi akan dicemooh dan di anggap rendah oleh laki-laki! Akan tetapi demi membesarkan hati puterinya ia berkata, "aku kira Song Cin bukan laki-laki seperti itu, anakku. Biarpun masih muda, dia bersikap bijaksana. Aku yang akan bicara dengannya, Siu Cen dan aku yang akan menjelaskan bahwa engkau tidak melakukan kesalahan apapun.
Peristiwa ini merupakan kecelakaan, suatu perkosaan, sama sekali tidakmencemarkan kehormatanmu sebagai wanita!." Nyonya Bhe maklum bahwa apa yang dikatakannya itu sebetulnya berlawanan dengan isi hatinya. ia tahu benar bahwa pada umumnya, kaum pria memandang keperawanan seorang wanita sebagai sesuatu yang suci, sesuatu yang amat berharga, sesuatu yang menjadi syarat mutlak bagi seorang calon isteri. Ucapan ibunya itu setidaknya menghibur hati Siu Cen. "Ibu" Benar" benarkah itu..."." "Tentu saja ibu benar, Nak. Sekarang mandilah, bertukarlah pakaian dan keluarlah dari kamar seperti biasa. Urusan ini hanya di ketahui oleh anggota keluarga saja, jangan sampai diketahui orang lain." Siu Cen merasa terhibur dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ia lalu pergi mandi dan Nyonya Bhe menyusul suaminya yang sedang berunding dengan Ciang Hu Seng, Lee Bun dan Song Cin.
Tiga orang sisa anggota Lima Pendekar Besar itu merasa yakin bahwa pelaku jahanam itu pastilah Lauw Beng, putera mendiang Lauw Heng San yang pernah menjadi antek penjajah Mancu. Apalagi Lauw Beng mendatangkan perasaan benci dalam hati mereka karena pemuda itu bergaul akrab dengan Puteri Mayani, puteri seorang Pangeran Mancu dari kota raja! Dan lebih dari itu, Lauw Beng ini yang menjadi biang keladi sehingga dua orang rekan mereka yang tertua, yaitu Song Kwan dan Song Kui tewas dikeroyok perajurit Mancu. Kini, Siu Cen diperkosa orang dan sungguhpun Siu Cen tidak dapat melihat wajah pemerkosanya karena gelap, namun bukti lengan kiri yang buntung, membuat mereka yakin bahwa pemerkosanya tentu Lauw Beng yang buntung lengan kirinya.! Setelah merundingkan dan mempertimbangkan dari segala sudut pandangan, Ciang Hu Seng berkata, "Tak dapat diragukan lagi, Lauw Beng yang melakukan perbuatan biadab ini!
Persoalannya sekarang apa yang harus kita lakukan"." "Apalagi yang harus kita lakukan kecuali mencari dan membunuh keparat itu?" kata Bhe Kam yang marah dan merasa sakit hati sekali mengingat apa yang menimpa diri anak tunggalnya. "Bhe-sute, kita harus ingat bahwa Lauw Beng memiliki ilmu kepandaian yang tinggi ", bantah Ciang Hu Seng. "Kami tidak takut!" seru Lee Bun. "Kami akan maju berempat dan tentu akan dapat membunuhnya!." Ciang Hu Seng tertawa. Hanya sebentar dia tadi terpengaruh peristiwa yang menimpa diri murid keponakannya, akan tetapi sekarang dia sudah pulih dan tenang kembali sehingga muncul tawanya yang memang selalu berada di mulutnya. "Ha-ha, aku juga tidak takut Lee-sute. Aku hanya memperhitungkan dan bersikap hati-hati. Apa artinya kalau kita maju bersama kemudian gagal" Kita tidak boleh hanya mengandalkan keberanian, akan tetapi harus memakai perhitungan.
Ingat, perjuangan kita menentang penjajah Mancu juga mengalami kegagalan karena kita hanya mengandalkan keberanian tanpa perhitungan matang. Keberanian tanpa perhitungan hanya merupakan kenekatan yang ngawur. Selain itu, harus diingat bahwa disana ada Lam-liong (Naga Selatan ) Ma Tai-hiap yang menjadi ayah angkat dan guru Lauw Beng. Juga ada Siuw lim pai karena Lauw Beng sudah di anggap sebagai murid Siauw lim pai. Kalian tentu tidak suka kalau sampai terjadi kesalah-pahaman dan bentrok dengan Ma Tai-hiap dan Siauw-lim-pai." "Hemmm, Ciang-suheng, kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?" Tanya Bhe Kam penasaran karena tentu saja dia tidak mau menghentikan keinginannya untuk membalas dendam kepada pemerkosa puterinya. "Itulah yang harus kita pikirkan sekarang, yakni mengambil cara yang terbaik. "Song Cin, mengapa engkau diam saja sejak tadi" Bagaimana menurut pendapatmu?"
Ciang Hu Seng bertanya kepada pemuda yang sejak tadi hanya diam saja seperti orang bingung. "Saya hanya menurut saja apa yang sam-wi Su-siok ( Paman guru bertiga ) putuskan ", katanya. "Sekarang begini saja. Agar tidak salah paham dengan Lam-liong Ma Giok dan Siauw-lim-pai, juga agar kedudukan kita lebih kuat sehingga tidak akan gagal menghukum si jahat Lauw Beng, sebaiknya kita bersama pergi melapor ke Siauw-lim-pai dan kepada Ma Taihiap untuk minta pertanggung jawabnya. Bagaimana pendapat kalian"." Semua menyatakan setuju dan demikianlah, pada keesokan harinya, empat orang itu berangkat meninggalkan puncak Liong-San. Song Cin merasa agak gelisah karena sejak malam tadi, Siu Cen tidak pernah menampakan diri. Bahkan Bhe Kam dan isterinya memasuki kamarnya dan minta agar ia keluar karena semua orang akan pergi, gadis itu menolak. Ia hanya menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya.
Ia tidak menangis lagi, akan tetapi wajahnya membayangkan kesedihan luar biasa. Melihat keadaan anaknya ini, Bhe Kam hanya menghela napas panjang dan memesan kepada isterinya agar dapat menghibur anak mereka dan menjaga agar anak mereka tidak melakukan hal yang bukan-bukan, misalnya membunuh diri. Setelah mereka semua pergi, Siu Cen didekati ibunya dan dihibur, dengan suara gemetar ibunya berkata, "Siu Cen, jangan engkau terlalu tenggelam kedalam kesedihan. Ayahmu tadi khawatir kalau-kalau engkau mengambil keputusan pendek untuk membunuh diri. jangan, anakku?". "Tidak, Ibu. Aku tidak ingin mati sebelum melihat jahanam itu dihukum berat atas kekejiannya terhadap diriku. Kalau semua orang gagal menghukumnya, aku sendiri yang akan pergi mencari dan membalas dendam ini. Aku hanya bersedih membayangkan bagaimana sikap Cin-ko sekarang terhadap diriku?".
"Tidak perlu disedihkan, Siu Cen. Kalau dia mengubah sikapnya, di dunia ini bukan selebar telapak tangan. Kita anggap saja dia bukan jodohmu! Sebagai puteri pendekar yang gagah perkasa, engkau sama sekali tidak patut kalau berputus asa dan berkecil hati, kehilangan semangat. Nah, minumlah obat ini. Sengaja kubuatkan untukmu." Melihat semangkok obat rebusan berwarna kehitaman itu, Siu Cen memandang ibunya dengan heran. "Ibu, obat apakah itu" Kesehatanku baik-baik saja, tidak perlu minum obat." "Untuk pencegahan, Siu Cen. Jahanam keparat itu telah menodaimu, obat ini untuk mencegah akibatnya." "Maksud ibu.... Aku... aku akan hamil...."." "Kalau tidak diberi obat pencegah ini, ada kemungkinannya, Siu Cen, walaupun kemungkinan itu kecil sekali. Akan tetapi obat ini akan membersihkan semua kekotoran ini." Mendengar ucapan ini, cepat-cepat Siu Cen mengambil cawan dan meminumnya sampai habis.
Barulah tenang rasa hatinya ketika ia merasa betapa perutnya terasa panas disebelah dalam. "baiklah ibu. Aku akan menenangkan hatiku. Ibu benar. Kalau Cin-ko mengubah sikapnya berarti diapun picik seperti semua laki-laki yang selalu merendahkan kaum perempuan." Mulai saat itu, Siu Cen benar-benar telah pulih kembali hatinya, mulai dapat membebaskan diri dari tekanan. Iapun semakin tekun berlatih silat.
Lauw Beng bersembahyang di depan makam mendiang Lauw Heng San, ayah kandungnya. Makam itu berada di kota Keng-koan, di tanah kuburan umum yang keadaannya menyedihkan, tidak terawatt. Masih untung bagi Lauw Beng, makam itu mempunyai batu nisan yang ada ukiran nama ayahnya itu sehingga dia dapat menemukannya. Tadi bersama Ai Yin, dia membeli perabot sembahyang di kota Keng-koan dan kini dia bersembahyang memasang hio-swa ( dupa lidi ), ditemani Ai Yin yang juga bersembahyang. Setelah bersembahyang dan membersihkan makam itu, mencabuti rumput liar, Lauw Beng duduk di depan makam, bersila dan termenung. Ai Yin duduk didekatnya dan menatap wajah pemuda itu yang menunduk. Semilir angina mendatangkan udara sejuk dipagi itu. "Hai, Siauw Beng, melamun, ya" Diam saja sejak tadi! Apakah kau bersedih mengingat ayahmu?" Lauw Beng yang biasa disebut Siauw Beng ( Beng kecil ) itu, memandang kepada Ai Yin dan tersenyum.
"Tidak, Ai Yin. Aku tidak sedih memikirkan ayahku. Aku belum pernah melihat ayahku, belum pernah melihat ibuku." "Engkau sudah berkunjung ke makam ibumu"." "Sudah pernah satu kali. Makam ibuku terletak disebuah dusun di kaki bukit." "Lalu mengapa kau termenung sejak tadi seakan-akan lupa bahwa aku berada di sini"." "Kalau aku duduk di depan makam ini aku teringat betapa ayah dan ibuku, juga semua manusia lain di dunia ini, yang selagi hidupnya melakukan bermacam-macam perbuatan, pada akhirnya hanya menjadi gundukan tanah yang sunyi dan ditinggalkan sendiri. Apa artinya menjadi kaya atau miskin, berkuasa atau tidak, gagah perkasa atau lemah" Akhirnya sama juga, menjadi tanah dan tidak diperhatikan lagi, mungkin hanya setahun sekali atau dua kali di kunjungi sanak keluarga, lalu di tinggalkan lagi sepi sendiri..... ahh, apa gunanya semuanya dalam hidup ini kalau akhirnya hanya menjadi timbunan tanah terlantar seperti ini"."
"Aih, Siauw Beng, jangan teruskan! Jangan bicara tentang kematian dan dikuburkan, ditinggalkan sendiri. Aku menjadi ngeri!." "Hemmm, ini masih belum, Ai Yin. badan ini di kubur, di injak-injak, menjadi busuk dan hancur. Dan jiwa ini diseret ke dalam neraka yang katanya penuh dengan siksaan, penuh derita....." "Aih, sudahlah, Siauw Beng! Aku menjadi takut! Takut mati....!" Gadis itu berteriak. "Yang penting bukan memikirkan sesudah mati, akan tetapi memikirkan selagi masih hidup ini kita harus bagaimana" Apa sih sebenarnya tujuan hidup ini"." Lauw Beng tersenyum memandang wajah yang cantik dan manja kekanak-kanankan itu ketika memandang dan tampak begitu ingin memperoleh jawaban. "Kalau ditanyakan kepada kita, tentu saja kita dilahirkan ini tanpa tujuan pribadi masing-masing. Berpikirpun kita in belum mampu ketika di lahirkan, bagaimana kita dapat mempunyai tujuan"
Yang mempunyai tujuan akan kehidupan kita tentu saja yang menciptakan kita, yang membuat kita hidup dan terlahir di dunia ini sebagai manusia. kalau kehendak Thian ( Tuhan ) itu dapat kita namakan tujuan, sungguhpun semua rencana Thian merupakan rahasia bagi kita, namun Thian itu Maha Baik, karena itu tujuannya terhadap kita tentu saja juga baik! Thian membuat kita terlahir di dunia dengan segala perlengkapan yang ada pada kita. Kiranya tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa tujuan Thian tentu saja agar kita melaksanakan tugas kita membantu pekerjaan-Nya, agar kita menjadi Alat-Nya. Thian mengatur dan memelihara segala sesuatu di alam maya pada ini agar baik dan benar, memberkati seluruh dunia seisinya melalui angina, air, sinar matahari, tanah dan tumbuh-tumbuhan. Juga melalui kita manusia. Tugas kitalah untuk melaksanakan atau menyalurkan berkat Thian itu kepada seluruh isi alam, terutama kepada manusia, kepada semua mahluk hidup, kepada alam.
Kalau kita merusak segalanya itu dengan perbuatan yang jahat demi memenuhi keinginan kita sendiri, demi kesenangan kita sendiri yang dikendalikan nafsu, berarti kita menentang rencana, tujuan, atau kehendak-Nya." "Hemm, jadi kesimpulannya, tujuan kita dihidupkan sebagai manusia di dunia ini, agar kita hidup melaksanakan kebaikan, kebenaran dan keadilan, begitu" Dan kalau kita melakukan yang sebaliknya, yaitu melakukan kejahatan berarti kita merusak rencana Thian"." "Kurang lebih begitulah. Thian itu Maha Kuasa, akan tetapi juga Maha Kasih sehingga Dia memberi kebebasan kepada kita untuk memilih. Menjadi manusia bajik yang menjadi alat Thian ataukah menjadi manusia jahat yang menjadi alat Setan." Ai Yin menghela napas panjang. "Ayahku seringkali bicara seperti engkau ini. Agaknya semua orang juga tahu akan kebajikan dan kejahatan. Akan tetapi mengapa di dunia ini lebih banyak orang yang jahat daripada yang baik.
Jarang aku bertemu orang yang baik budi, akan tetapi terlalu sering aku bertemu orang-orang yang jahat." "Memang patut disayangkan, akan tetapi sesungguhnya memang demikian, Ai Yin. Akan tetapi hal itu tidak aneh. Setan memang menggunakan umpan yang serba enak dan nikmat sehingga lebih banyak manusia yang terpancing melakukan kejahatan demi memperoleh kenikmatan, kesenangan yang serba enak." Karena asyik bicara, dua orang ini sama sekali tidak tahu bahwa ada tujuh orang laki-laki yang mengintai mereka dari luar tanah kuburan. Kemudian, tujuh orang itu saling berbisik-bisik dan ketika mereka memasuki tanah kuburan menghampiri dua orang muda yang duduk di bagian tengah tanah kuburan, barulah Siauw Beng dan Ai Yin mengetahui bahwa ada orang-orang datang menuju ke tempat mereka. Akan tetapi tempat itu merupakan kuburan umum. Mereka mengira bahwa tujuh orang itu tentu akan mengunjungi makam sanak keluarga mereka masing-masing.
Siauw Beng dan Ai Yin hanya tertarik karena melihat betapa tujuh orang itu membawa pedang yang tergantung di punggung masing-masing. Pada waktu itu, Pemerintah Mancu melarang rakyat membawa senjata dan akan merampas senjata yang dibawa orang, maka pada umumnya orang tidak berani membawa pedang. Yang berani membawa senjata adalah mereka yang menentang penjajah itu, dan inipun sebagian besar menyembunyikan senjata mereka, tidak dibawa terang-terangan. Maka, mereka berdua dapat menduga bahwa tujuh orang yang memasuki tanah kuburan itu pastilah para pendekar yang menentang Kerajaan Ceng, yaitu nama Kerajaan yang didirikan Bangsa Mancu sejak mereka menguasai Cina dalam tahun 1645. Maka, ketika tujuh orang itu ternyata menghampiri mereka, Siauw Beng dan Ai Yin merasa heran dan mereka segera bangkit berdiri. Tujuh orang itu kini berdiri berhadapan dengan Siuw Beng dan Ai Yin, mata mereka ditujukan kepada Siauw Beng, terutama pada lengan kirinya yang buntung.
Siauw Beng dan Ai Yin mengamati tujuh orang itu. Mereka berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun dan dari pakaian mereka yang ringkas itu mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai dalam ilmu silat atau orang-orang kang-ouw ( sungai telaga, dunia persilatan ). Seorang diantara mereka, yang matanya sipit wajahnya pucat dan jenggotnya panjang beruban, agaknya yang paling tua dan berusia sekitar lima puluh dua tahun, berkata dengan suara penuh wibawa. "Orang muda, apakah engkau yang dijuluki Si Tangan Halilintar"." Siauw Beng tidak segera menjawab karena sebetulnya dia merasa sungkan untuk mengakui sendiri bahwa dia adalah Si Tangan Halilintar, julukan yang mengandung sikap pamer. Akan tetapi melihat Siauw Beng tidak segera menjawab, Ai Yin sudah mendahuluinya. "Tepat sekali! Dia inilah yang berjuluk Si Tangan Halilintar yang terkenal sakti, bijaksana dan budiman!."
"Ai Yin..."!" Siauw Beng menegur temannya karena dia tidak ingin namanya dipuji-puji seperti itu. Akan tetapi tujuh orang itu mengerutkan alis dan mengira bahwa pemuda yang buntung lengan kirinya itu mencegah nama julukannya di perkenalkan karena takut dan merasa bersalah.! "Hemmm, bagus sekali, akhirnya kami dapat menemukan engkau, penjahat muda yang kejam dan seperti iblis! Menyerahlah untuk kami tangkap dan kami hadapkan ke pengadilan untuk memberi hukuman setimpal dengan kejahatan-kejahatan yang kau lakukan!." "Wah-wah-wah, sejak kapan Kang-lam Jit-hiap ( Tujuh Pendekar Selatan Sungai ) menjadi antek Mancu?" tiba-tiba Ai Yin berkata dengan nada mengejek. Tujuh orang itu terkejut dan di jenggot panjang memandang kepada Ai Yin penuh selidik. "Engkau mengenal kami, Nona" Siapakah engkau"." "Dengar baik-baik, Kang-lam Jit-hiap. Aku bernama Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam Wong Tat dan selamanya kami adalah pendekar penentang kejahatan dan tak sudi menjadi antek Mancu!."
Sikap tujuh orang itu berubah dan pembicara yang mewakili kawan-kawannya itu berkata. "Ah, kiranya Nona adalah puteri Pendekar patriot Buk-tek Sin-kiam ( Pedang Sakti Tanpa Tanding ).! Kami sama sekali bukan antek pemerintah Mancu, Nona. Kami hendak menangkap si jahat ini untuk dihadapkan pengadilan para orang gagah." "Eh, jangan ngawur! Kalian ini orang-orang tua seenaknya saja menuduh temanku ini jahat. Si Tangan Halilintar Lauw Beng ini sama sekali bukan penjahat, sebaiknya dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan yang selalu menentang kejahatan!." "Nona Wong, agaknya engkau yang masih amat muda dan belum berpengalaman mudah saja terbujuk oleh iblis ini. Ketahuilah, Si Tangan Halilintar ini melakukan banyak kejajatan yang menggegerkan dunia kang-ouw. Dia membunuh banyak orang kangouw, dan yang lebih jahat lagi, dia memperkosa wanita lalu membunuh mereka.!
Sadarlah, Nona, engkau telah tertipu oleh penjahat ini." Ai Yin hendak membantah, akan tetapi Siauw Beng memegang lengannya. "Ai Yin, biar aku yang menghadapi mereka." Lalu dia memberi hormat kepada tujuh orang itu lalu berkata, "Jit-wi Lo-cian-pwe ( Tujuh Orang Tua Gagah ), terus terang saja, saya sungguh tidak mengerti akan tuduhan jit-wi ( kalian bertujuh ) ini. Saya tidak pernah melakukan kejahatan seperti yang kalian tuduhkan itu." "Hemmm, mana ada penjahat mengakui kejahatannya" Si Tangan Halilintar, selama beberapa bulan ini entah berapa banyak yang kau bunuh, harta engkau curi dan wanita engkau perkosa lalu kau bunuh! Semua orang mengetahui bahwa Si Tangan Halilintar yang buntung lengan kirinya adalah seorang penjahat yang teramat keji. Sekali lagi, menyerahlah dengan baik, atau terpaksa kami akan menggunakan kekerasan untuk menangkapmu, hidup atau mati!." "Heiii, Kam-lam Jit-hiap!
Kalian ini benar-benar pendekar atau siauw-jin ( orang rendah ) yang bicara ngawur dan menyebar fitnah! Akulah yang selama ini melakukan perjalanan bersama Siauw Beng dan bersama-sama menentang kejahatan dan menolong orang-orang yang tertindas. bagaimana kalian dapat menuduhkan semua kejahatan itu" Akulah saksinya, dan aku berani bersaksi dan bersumpah di depan siapapun juga!." Tujuh orang itu saling pandang. Nama besar Bu-tek Sin-kiam membuat mereka meragu. Kalau gadis ini benar puteri Bu-tek Sin-kiam kiranya tidak mungkin ia berdusta. Akan tetapi siapa tahu" Jangan-jangan gadis ini sudah terpikat dan jatuh cinta kepada Si Tangan Halilintar. Kalau perempuan sudah jatuh cinta, bisa saja dia berusaha melindungi pria yang dicintainya.! Nona Wong, dengarlah baik-baik. Kami adalah orang-orang sepaham dan segolongan dengan ayahmu, Bu-tek Sin-kiam dan tentu saja kami tidak ingin berselisih apalagi bermusuhan dengan puteri Bu-tek Sin-kiam.
Akan tetapi mungkin saja engkau tidak tahu bahwa engkau berteman dengan seorang penjahat yang amat keji! Kalau engkau hendak menjadi saksi yang mengatakan bahwa dia tidak bersalah, di sana ada puluhan orang sakti yang menyatakan bahwa Si Tangan Halilintar ini telah membunuh dan memperkosa banyak orang! Bagaimana kesaksian satu orang dapat melawan kesaksian puluhan orang"." "Aku tidak peduli! Yang jelas, Siuaw Beng ini tidak bersalah dan aku akan membelanya terhadap tuduhan siapapun juga!." "Nanti dulu, Ai Yin, biarkan aku yang mengambil keputusan ", kata Siauw Beng lalu dia menghadapi tujuh orang itu. "Lo-cian-pwe, aku siap untuk dihadapkan di pengadilan manapun karena memang aku sama sekali tidak pernah melakukan semua kejahatan yang dituduhkan tadi. Aku tidak takut menghadapi fitnah ini."
"Bagus, kalau begitu tugas kami menjadi ringan dan kami tidak harus mempergunakan kekerasan!" kata si jenggot panjang. "Tidak.....!" Dengan suara melengking Ai Yin melompat ke depan Siauw Beng seolah hendak melindunginya. "Ai Yin..."!" Gadis itu membalik dan menghadapi Siauw Beng. Matanya mengkilat mukanya merah karena marah. "Siauw Beng, jangan bodoh! Semua yang dituduhkan padamu itu hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin hanya fitnah yang disebarkan orang-orang yang tidak suka kepadamu. Kedua, mungkin saja ada orang yang menyamar sebagai engkau dan melakukan semua kejahatan itu semata-mata untuk merusak namamu agar engkau dimusuhi semua orang! Kalau engkau menyerah, berarti engkau menyerahkan nyawa karena orang-orang yang sudah termakan fitnah seperti tujuh orang tua bodoh itu pasti akan membunuhmu. Sebaiknya kita menyelidiki sendiri siapa yang menyebar fitnah ini dan menangkap pelakunya untuk membersihkan namamu!."
Mendengar ucapan Ai Yin yang keras ini Siauw Beng tertegun. Benar juga, pikirnya, dan ia mengangguk. "Kurasa engkau benar, Ai Yin." Lalu dia menghadapi tujuh orang itu. "Jit-wi Lo-cian-pwe, maafkan aku. Aku akan pergi sendiri melakukan penyelidikan dan aku akan menyerat orang yang menyebar fitnah itu ke hadapan Lo-cian-pwe!" "Si Tangan Halilintar! Seperti yang kami katakana tadi, engkau harus ikut kepada kami untuk menghadap pengadilan. Kami tidak dapat melepas engkau begitu saja setelah engkau memperkosa dan membunuh seorang murid wanita kami! Menyerahlah, atau terpaksa kami akan menyerangmu!" "Seranglah kalau kalian berani, kalian orang-orang tua yang mengaku pendekar akan tetapi bodoh dan ngawur!" Ai Yin berdiri menghalang seolah hendak melindungi Siauw Beng. Tujuh orang itu mencabut pedang mereka dan dengan muka membayangkan kemarahan mereka mengepung.
Ai Yin juga marah dan ia mencabut Liong-cu-kiam, melintangkan pedang itu depan dada dan siap melawan Kang-lam Jit-hiap.! Siauw Beng memperhatikan gerakan tujuh orang yang mengepung itu dan diam-diam terkejut. Mereka itu membentuk kiam-tin ( barisan pedang ) dan melihat kedudukan mereka, tujuh orang pendekar pedang itu membentuk Jit-seng Kiam-tin ( Barisan Pedang Tujuh Bintang ).! Agaknya Ai Yin, yang menjadi puteri tunggal Si Pedang Sakti Tanpa Tanding, juga mengenal barisan pedang yang tangguh itu, maka sambil berteriak melengking ia sudah mendahului mereka dan menerjang sambil berseru, "Lihat pedang!." Sinar pedang bergulung-gulung menyambar kea rah tujuh orang itu. Tujuh orang itu terkejut sekali. Mereka maklum bahwa puteri Bu-tek Sin-kiam, biarpun masih begitu muda, tentu memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat, maka mereka membentuk barisan bintang dan mereka bergerak secara sambung menyambung dan saling melindungi.
Ke manapun sinar pedang Ai Yin menyambar, selalu pedangnya bertemu dengan tangkisan-tangkisan tujuh buah pedang. Memang tujuh orang itu merasa betapa tangan mereka yang memegang gagang pedang tergetar hebat, akan tetapi bagaimanapun juga, sebatang pedang Ai Yin tentu saja kewalahan menghadapi pengeroyokan tujuh pedang lawan. Tiba-tiba Siauw Beng menangkap lengan kiri Ai Yin dan menarik gadis itu untuk melarikan diri. "Ai Yin, kita pergi!" katanya sambil menerjang ke kiri. Dua orang yang berada di kiri cepat menggerakkan pedang mereka untuk mencegah larinya Siauw Beng akan tetapi dua kali kaki kiri Siauw Beng menyambar dan dua orang itu terpelanting roboh. Kesempatan itu dipergunakan Siauw Beng untuk menarik Ai Yin lari dengan cepat meninggalkan para pengeroyok itu. Setelah berlari jauh dan tidak dapat di kejar Kang-lam Jit-hiap, Ai Yin meronta, melepaskan lengan kirinya yang dipegang tangan kanan Siauw Beng.
"Eh, Siauw Beng! Engkau ini bagaimana sih" Aku membelamu dari mereka, malah engkau memaksa dan mengajak aku lari! Memalukan benar! Kau kira aku takut melawan Jit-seng Kiam-tin mereka"." "Bukan begitu, Ai Yin. Aku bahkan yakin engkau akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi kalu kita kesalahan tangan melukai atau membunuh mereka, namaku menjadi semakin terkenal sebagai seorang penjahat yang memusuhi para pendekar!." "Akan tetapi mereka keras kepala, hendak menangkapmu!." "Untuk itu, mereka tidak dapat disalahkan, Ai Yin. Coba bayangkan, andaikata kita yang mengalami hal seperti itu, anaknya diperkosa lalu di bunuh orang, bagaimana rasanya" Tentu saja mereka menjadi mata gelap, pikirannya tidak begitu jernih lagi, adanya hanya luapan nafsu amarah dan dendam. Apalagi tanda-tandanya sudah begitu jelas! Penjahat itu lengan kirinya buntung dan berjuluk Si Tangan Halilintar!
Keadaan dan julukan penjahat itu sama benar denganku, maka dapat dimaafkan kalau mereka menjadi marah sekali, setiap bantahan dan alasan kita dianggap bohong." Ai Yin mengangguk-angguk. "Setelah aku mendengar omonganmu, memang benar demikian, Siauw Beng. Mata mereka di butakan nafsu amarah, pikiran mereka di gelapkan dendam sakit hati. Akan tetapi yang terkutuk adalah penjahat itu. Bukan saja dia kejam dan jahat dengan pembunuhan-pembunuhan dan perkosaan-perkosaan itu, akan tetapi dia juga licik dan curang sekali menggunakan namamu sehingga engkau yang makan getahnya." Mendengar suara gadis itu penuh gelora amarah Siauw Beng berkata. "Tenangkan hatimu dan usir kemarahan itu, Ai Yin. Dengan pikiran jernih dan hati tenang, kita dapat berpikir lebih terang. Mendengar pengakuan Kang-lam Jit-hiap tadi bahwa seorang murid perempuan mereka di perkosa dan dibunuh penjahat itu, maka jelas bahwa ini bukan sekedar fitnah bohong.
Jelas memang ada orang yang menyamar sebagai aku dan melakukan semua kejahatan itu, tentu dengan maksud agar aku yang menjadi bulan-bulan kemarahan orang. Hal ini mengingatkan aku akan pengalamanku dahulu ketika aku di musuhi Ciong-yang Ngo-taihiap dan ayah angkatku sendiri, Ma Giok. Akan tetapi hal itu terjadi karena salah paham. Mereka mengira aku menjadi pengkhianat dengan membela Puteri Mancu yang mereka sangka mengerahkan pasukan membunuh kakak beradik Song yang menjadi orang pertama dan kedua dari Lima Pendekar Besar itu. Akan tetapi sekarang jelas ada orang yang agaknya teramat membenci aku dan dengan caranya yang licik itu dia hendak mencelakai aku." "Tapi dia juga berlengan kiri buntung. Apakah engkau tahu, siapa orang yang buntung lengan kirinya dan membencimu, Siauw Beng"." Siauw Beng menggeleng kepalanya. "Bahkan seorang yang berlengan kirinya buntung saja belum pernah aku melihatnya, apalagi yang mengenal dan membenciku."
Siauw Beng, apakah ada orang yang membencimu, amat membencimu?" Tanya Ai Yin pula, alisnya berkerut dan matanya memandang tajam seperti seorang penyelidik kelas berat sedang menyelidiki sebuah kasus rumit.! "Entahlah, mungkin saja banyak sekali walaupun, puji sukur kepada Thian, aku sendiri tidak mempunyai perasaan benci kepada siapapun." "Siauw Beng, jalan satu-satunya adalah menyelidiki tentang penjahat itu. Kita mencari berita tentang dirinya dan dimana ada berita penjahat itu beraksi, kita harus cepat mengejar ke sana." Demikianlah, Siauw Beng dan Ai Yin mulai mendengar-dengarkan dan mencari berita tentang sepak terjang penjahat yang memakai nama Si Tangan Halilintar yang buntung lengan kirinya itu. Akan tetapi sejak bertemu dengan Jit-hiap ( Tujuh Pendekar ) Siauw Beng terpaksa harus menyembunyikan diri dari orang banyak. Apalagi dia pernah dikejar dan di serang pasukan Pemerintah Mancu, dan sekali lagi oleh serombongan pendekar.
Si Tangan Hlilintar berlengan kiri buntung yang membunuhi banyak orang, baik orang itu pembesar Mancu ataukah pendekar. Juga dimana-mana dia melakukan perkosaan dan pembunuhan terhadap wanita.! Yang terkadang hampir tak dapat menahan rasa penasaran dan kemarahannya adalah Ai Yin. Ketika mereka berdua mendengar bahwa Si Tangan Halilintar itu melakukan perkosaan dan pembunuhan di sebuah dusun, mereka cepat masuk dusun itu. Akan tetapi begitu orang melihat Siauw Beng, mereka berduyun-duyun datang dengan segala macam senjata di tangan, di pimpin oleh kepala dusun dan beberapa orang yang tampaknya ahli silat.! "Bunuh Si Tangan Halilintar! Bunuh si lengan buntung!" Demikian mereka berteriak-teriak dan hendak menyerbu. "Tahaaannnn...?".!" Tiba-tiba Ai Yin berteriak melengking, mengejutkan semua orang yang menahan langkahnya dan memandang gadis yang sudah melayang naik ke atas sebuah atap rumah bersama seorang pemuda berlengan kiri buntung.
Yang mereka yakini sebagai penjahat yang sedang tersohor itu, yang semalam memperkosa dan membunuh seorang gadis dusun itu. "Kalian semua dengarlah baik-baik.! Penjahat yang melakukan pembunuhan dan perkosaan, yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar itu adalah palsu! Si Tangan Halilintar yang asli adalah pendekar ini, seorang pendekar bernama Lauw Beng yang tidak pernah melakukan kejahatan bahkan selalu menentang kejahatan! Aku, Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam, menjadi saksinya! Aku selalu bersamanya dan tidak pernah melihat dia melakukan kejahatan. Penjahat itu adalah Si Tangan Halilintar palsu.! Akan tetapi, dengan suara penuh gemuruh penduduk itu menyatakan tidak percaya dan mereka lalu memungut batu dan menyambitkan batu-batu itu kea rah Siauw Beng dan Ai Yin! Ai Yin jengkel sekali dan membanting kakinya, tidak ingat bahwa ia berdiri di atas genteng sehingga ada genteng yang remuk.
"Menyebalkan! Monyet-monyet bodoh itu!." Siauw Beng yang juga repot menangkis batu-batu itu seperti halnya Ai Yin berkata, "Percuma saja, Ai Yin. Hayo pergi dari sini!." Dia menggandeng tangan gadis itu dan mereka melayang turun ke belakang rumah itu dan melarikan diri. Sambil berteriak-teriak penduduk mengejar dan berteriak-teriak penduduk mengejar dan mencari mereka, akan tetapi dua orang muda itu telah pergi jauh. Setelah tiba di tempat yang jauh dari dusun itu, Ai Yin berhenti dan ia membanting-banting kaki kanannya saking jengkel. "Sialan dangkalan! Masa kita dilempari batu dan di kejar-kejar seperti anjing!." "Sudahlah, Ai Yin. Bukan kesalahan mereka. Kita harus mencari penjahat itu dan mulai sekarang aku tidak akan memperlihatkan diri kepada umum sebelum penjahat itu tertangkap." Mereka melanjutkan perjalanan, tetap mengikuti jejak si penjahat yang berpindah-pindah dan meninggalkan jejaknya berupa pembunuhan dan perkosaan.
Ketika pada suatu siang Siauw Beng dan Ai Yin tiba diluar sebuah hutan, tiba-tiba bermunculan orang-orang berpakaian sebagai pendekar. Ada belasan orang jumlahnya dan dari lain jurusan muncul pula sekitar dua puluh orang pasukan pemerintah Ceng, dipimpin seorang perwira Mancu yang tinggi besar.! "Bunuh penjahat Si Tangan Halilintar!." "Tangkap pemberontak!" Siauw Beng dan Ai Yin terkejut sekali. Setiap kali mengejar jejak yang ditinggalkan penjahat itu, selalu saja mereka di hadang orang-orang kang-ouw atau pasukan pemerintah, seakan-akan gerakan mereka telah diketahui orang! Mereka tidak tahu bahwa memang pasukan dan para orang kang-ouw itu mendapatkan berita entah dari siapa datangnya, akan adanya Si Tangan Halilintar di suatu tempat dan ketika mereka mendatangi tempat itu, benar saja mereka bertemu Siauw Beng dan Ai Yin. Tanpa banyak cakap lagi, puluhan orang yang berteriak-teriak itu sudah menyerbu dan menyerang Siauw Beng.
Siauw Beng merasa percuma saja kalau dia membela diri menyangkal. Orang-orang itu tidak mau mendengarkan dan mereka semua itu sudah yakin bahwa dialah penjahat Si Tangan Halilintar itu! Ai Yin yang membela Siauw Beng tentu saja juga ikut dikeroyok. Siauw Beng dan Ai Yin merobohkan para pengeroyok terdekat dengan tamparan atau tendangan. Mereka mencabut pedang, akan tetapi pedang itu hanya untuk menangkis saja. Mereka merobohkan pengeroyok akan tetapi tidak mau melukai dengan senjata tajam. "Ai Yin, lari.....!" ketika mendapat kesempatan, Siauw Beng mengajak gadis itu meloloskan diri dari kepungan dan lari. Akan tetapi, baru berlari belasan langkah, tiba-tiba mereka di hadang tiga orang. Ketika melihat bahwa satu di antara tiga orang itu adalah Can Ok, Ai Yin marah sekali. "Can-susiok ( paman guru Can ), berani engkau hendak menyerang aku"." Can Ok berkata kepada seorang laki-laki Mongol yang bertubuh tinggi kurus.
"Tangkap nona ini!." Kemudian Can Ok dan orang Mongol kedua yang bertubuh besar pendek menerjang Siauw Beng. Can Ok sudah mencabut sepasang pedangnya, sedangkan orang Mongol pendek besar itu menyerang Siauw Beng dengan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah rantai baja yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya. Rantai itu tebal dan berat, menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. "Tranggg..."!" Ketika pedang Lui-kong Sin-kiam yang tipis di tangan Siauw Beng bertemu dengan ujung rantai, bunga api berpijar dan Siauw Beng terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga sakti Orang Mongol itu kuat sekali, jauh lebih kuat daripada tenaga sakti Can Ok. Siauw Beng menghadapi pengeroyokan dua orang ini dengan memutar pedangnya sehingga tampak sinar pedang bergulung-gulung dengan dahsyatnya, membuat Can Ok dan orang Mongol itu melangkah mundur dengan kaget.
Akan tetapi, para orang kangouw yang tadi di tinggal lari, sudah mengejar dan merekapun ikut mengeroyok sehingga Siauw Beng dikeroyok banyak sekali orang. Demikian pula dengan Ai Yin. Orang Mongol tinggi kurus itu juga menyerangnya dengan senjata rantai baja yang panjang. Namun, dengan Liong-cu-kiam, pedang pusaka yang ampuh itu, Ai Yin dapat melindungi dirinya dengan baik. Ia bukan hanya dapat menangkis, akan tetapi juga dapat membalas dengan serangan pedang yang tidak kalah dahsyatnya. Akan tetapi segera pengeroyok yang amat banyak jumlahnya membuat Ai Yin terkepung rapat dan kewalahan sekali. Untung bahwa para pengeroyok itu tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hanya ingin menangkapnya tidak seperti pengeroyokan mereka terhadap Siauw Beng yang merupakan serangan maut. Betapa pun lihainya, menghadapi pengeroyokan belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
Setelah merobohkan empat orang pengeroyok akhirnya rantai baja yang panjang di tangan orang Mongol itu digerakkan sedemikian rupa sehingga melibat tubuh termasuk kedua lengan Ai Yin dan (Lanjut ke Jilid 13)
Si Tangan Halilintar (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13 sebuah tendangan seorang pengeroyok dari belakang mengenai belakang lututnya membuat ia roboh terpelanting. Sebelum ia dapat menguasai dirinya, orang Mongol itu telah menubruk dan menotoknya sehingga tubuhnya menjadi lemas tak mampu meronta. Di lain saat orang Mongol yang tinggi kurus itu sudah memanggul tubuhnya dan membawanya lari dari situ. Para orang kangouw yang tadi ikut mengeroyok Ai Yin tidak menghalangi dan tidak perduli melihat gadis itu dilarikan orang Mongol dan mereka kini mencurahkan perhatian mereka kepada Siauw Beng, lalu beramai-ramai ikut mengeroyok. Memang penjahat pembunuh dan pemerkosa itulah yang menjadi sasaran mereka. Repot juga Siauw Beng menghadapi pengeroyokan puluhan orang itu.
Apalagi di situ ada Can Ok dan terutama orang Mongol gemuk pendek yang amat lihai itu. Tidak ada kesempatan lagi untuk mengajak Ai Yin melarikan diri. Maka diapun mengamuk dan merobohkan sebanyak mungkin pengeroyok, tentu saja membatasi tenaganya sehingga tidak ada yang tewas. Ketika ia melihat Ai Yin roboh dan dibawa pergi orang Mongol tinggi kurus, dia terkejut dan hendak mengejar dan menolong Ai Yin. Akan tetapi, orang Mongol gemuk pendek dan Can Ok menghalanginya. Can Ok menggerakkan sepasang pedangnya. "Trangg-tranggg".!" Can Ok terkejut sekali karena sepasang pedangnya itu sudah terpental lepas dari pegangan tangannya. Pada saat itu, secepat kilat rantai baja di tangan orang Mongol pendek gemuk menyambar dan melibat pinggang Siauw Beng. Orang Mongol itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot agar tubuh Siauw Beng terguling roboh. Akan tetapi Siauw Beng mempertahankan dan tiba-tiba, pedang Siauw Beng berkelebat.
"Cringgg".!" Rantai itu telah terbabat putus dank arena orang Mongol itu membetot sekuat tenaga, begitu rantai itu putus, rantai itu terbetot dan menghantam muka pemiliknya. "Syuuttt". Praakkkk!" Orang Mongol pendek gemuk itu roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Melihat ini, Can Ok melompat ke belakang. Siauw Beng berloncatan dan merobohkan setiap orang yang berani menghalanginya. Akhirnya dia berhasil keluar dari kepungan dan melakukan pengejaran ke dalam hutan karena tadi dia melihat orang Mongol tinggi kurus itu membawa lari Ai Yin ke dalam hutan. Akan tetapi hutan itu lebat sekali dan Siauw Beng kehilangan jejak. Dia mencari-cari dengan hati gelisah. Satu hal menghiburnya. Gadis itu di culik dan tidak dibunuh, maka besar harapan Ai Yin tidak akan mati. Pula, ayah gadis itu adalah Bu-tek Sin-kiam, tokoh yang amat terkenal di dunia kangouw, maka kalau orang hendak mengganggu atau membunuhnya, harus berpikir dulu seratus kali!
Betapa pun juga, hatinya gelisah dan Siauw Beng melanjutkan pencariannya. Bagaimana Can Ok dapat muncul di situ bersama dua orang jagoan Mongol yang lihai" Seperti kita ketahui, Can Ok mengadakan persekutuan dengan Cun Song, yaitu nama baru yang digunakan Song Cun. Setelah bersepakat, Can Ok lalu pergi mencari Galdan, Pangeran Mongol yang memimpin bangsa Mongol yang sudah lama runtuh. Tentu saja Galdan menyambut baik uluran tangan Can Ok yang menjanjikan bahwa dia dapat mengumpulkan banyak pejuang bangsa pribumi Han untuk bersama pasukan Mongol meruntuhkan Kerajaan Ceng, bersekutu pula dengan Pangeran Dorbai yang juga ingin merebut tahta Kerajaan. Can Ok diterima baik dan Pangeran Galdan lalu membuat surat untuk Pangeran Dorbai, mengutus dua orang jagoannya yang paling lihai untuk pergi ke kota raja Ceng bersama Can Ok dan mewakili dia mengadakan perundingan dengan Pangeran Dorbai sambil menyerahkan suratnya.
Demikianlah, ketika tiba di tempat itu, Can Ok melihat Siauw Beng dan Ai Yin dikeroyok pasukan dan belasan orang kangouw. Karena dia amat membenci Siauw Beng maka dia lalu minta kepada dua orang jagoan Mongol itu untuk membantu mereka yang mengeroyok Siauw Beng dan Ai Yin. Ketika Siauw Beng dapat meloloskan diri dari kepungan dan lari menghilang, Can Ok juga cepat mengejar ke arah larinya jagoan Mongol yang tinggi kurus dan yang menculik Ai Yin tadi. Dia mengenal Kabilai, jagoan tinggi kurus itu, sebagai seorang yang mata keranjang. Bagaimanapun juga, dia tidak rela kalau sampai Ai Yin, puteri suhengnya ( kakak seperguruan ) itu dinodai Kabilai, maka dia mengejar. Akan tetapi, seperti halnya Siauw Beng, dia kehilangan jejak orang Mongol itu dan akhirnya dia terpaksa melanjtukan perjalanannya seorang diri ke kota raja untuk menemui Pangeran Dorbai dan menyampaikan pesan Pangeran Galdan, apalagi surat dari Galdan memang ada padanya.
Setelah beberapa lamanya Ai Yin di panggul dan dilarikan Kabilai, jagoan Mongol itu, pengaruh totokan mulai melemah. Akhirnya gadis itu dapat menggerakkan tubuhnya. Sedikit gerakan ini terasa oleh Kabilai. Dengan kaget dia lalu melepaskan tubuh Ai Yin ke atas tanah karena gadis itu menyerangnya selagi berada di atas pundaknya, hal itu dapat membahayakan nyawanya. Ai Yin terbanting jatuh, akan tetapi hal ini menguntungkannya karena mempercepat pulihnya jalan darahnya. Cepat ia bergulingan untuk menjauhkan diri agar tidak mudah disergap orang Mongol itu sedangkan tenaganya belum pulih benar. Kemudian ia melompat bangkit dan ia melihat pula pedangnya, Liong-cu-kiam, terselip di pinggang orang itu. Bukan main marahnya Wong Ai Yin. Sebagai seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, walaupun pedangnya sudah dirampas lawan, ia tidak merasa gentar. "He-he, manis! Engkau sudah dapat bergerak"
Bagus sekali! Aku tidak suka mendapatkan seorang kekasih yang tidak mampu bergerak seperti mayat. Mari, marilah, manis, kita bersenang-senang!" kata Kabilai dengan bahasa campuran Han dan Mongol namun cukup dapat dimengerti oleh Ai Yin. "Jahanam busuk! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan! Aku adalah puteri Bu-tek Sin-kiam dan aku pantang menyerah! Bersiaplah untuk mampus ditanganku, orang Mongol busuk!." Akan tetapi Kabilai belum pernah mendengar nama Bu-tek Sin-kiam, maka tentu saja nama itu tidak ada artinya baginya. Dia tertawa semakin keras. Dia tahu bahwa gadis ini lihai sekali. Akan tetapi kini dia yakin akan dapat mengalahkannya dengan tidak terlalu sukar. Sambil menyerengai Kabilai menghampiri Ai Yin dan kedua lengannya yang kurus panjang dengan otot melingkar-lingkar itu dikembangkan seperti orang hendak menangkap seekor ayam.! Ai Yin tadi sudah merasakan kelihaian orang ini, maka ia berhati-hati.
Ia berdiri dengan sikap siap menghadapi serangan, tak bergerak namun seluruh urat syarafnya menegang, menanti datangnya serangan karena pada saat lawan menyerang itulah ia berkesempatan untuk membalas serangan secara langsung. "Mari, mari manis, mari datang kepadaku....!" Kabilai meloncat ke depan, menubruk seperti seekor harimau, kedua lengannya yang panjang itu menyambar dari kanan kiri. "Wuuuttt.... Wirrr.... Desss!" dengan lincah sekali Ai Yin mengelak, menyusup dibawah lengan kanan lawan, kemudian setelah tiba dibelakang tubuh Kabilai, ia membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat yang mengenai pinggul orang Mongol itu. Kabilai menggereng dan membalik, tangannya menyambar untuk menangkap gadis itu. Namun Ai Yin sudah melompat ke belakang dan ia merasa penasaran sekali karena tendangannya tadi seolah tidak terasa oleh Kabilai yang ternyata melindungi tubuhnya dengan kekebalan.
Biarpun tidak terluka oleh tendangan itu, namun Kabilai mulai merasa penasaran. Kini mulailah dia menyerang dengan pukulan, tendangan dan cengkraman, terutama sekali sambaran tangan itu untuk mencengkram karena dia menggunakan ilmu gulat yang merupakan ilmu berkelahi yang popular dan menjadi andalan rakyat Mongol. Ai Yin mengimbangi cengkraman-cengkraman itu dengan kelincahan tubuhnya mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan tamparan dan tendangan kilat. Beberapa kali tendangan atau tamparannya mengenai sasaran, akan tetapi semua itu seolah tidak dirasakan oleh orang Mongol itu. Karena semua cengkramannya tidak pernah berhasil, Kabilai mulai marah. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang, lalu melolos senjatanya, yaitu rantai baja yang panjang itu. Mulailah dia memutar-mutar senjata itu diatas kepalanya sambil berkata. "Nah, sekarang jawab! Engkau mau menyerah baik-baik atau ingin mampus dan pecah kepalamu oleh rantai ini"."
Dengan gagah Ai Yin berseru, "Lebih baik mati daripada menyerah kepada seekor anjing srigala macam kamu!." Muka anjing Mongol itu menjadi merah sekali karena marah mendengar ucapan yang menghina ini. Putaran rantai baja itu semakin cepat sehingga terdengar suara bersiutan dan rantai itu berubah menjadi gulungan sinar yang lebar. "Kalau begitu, mampuslah!" Dia mulai menyerang dan sinar senjata rantai itu menyambar-nyambar kea rah kepala Ai Yin. Gadis ini menggunakan ginkang ( ilmu meringankan tubuh ) untuk mengelak. Akan tetapi karena rantai itu panjang dan sambarannya cepat sekali sehingga bertubi-tubi datangnya, Ai Yin sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mendekati lawannya dan balas menyerang. Maka iapun hanya dapat berloncatan cepat kesana sini untuk menghindarkan diri dari sambaran ujung rantai yang merupakan tangan maut itu. Mulai terpikirlah oleh Ai Yin untuk melarikan diri karena kalau pertandingan ini dilanjutkan, ia pasti akan celaka.
Kalau ia memegang pedang tentu ia akan mampu mengadakan perlawanan lebih seimbanh dan bukan mustahil ia akan mampu merobohkan lawan ini. Akan tetapi agaknya Kabilai dapat menduga akan kemungkinan ini maka dia memutar rantainya lebih cepat lagi sehingga semua jalan keluar gadis itu tertutup. Untuk menyelamatkan diri, Wong Ai Yin sudah bergerak dengan ilmu silat Pat-hong Sin-kun ( Silat Sakti Delapan Penjuru Angin ) yang membuat tubuhnya berkelebatan cepat ke segala penjuru. Tiba-tiba, ketika rantai menyambar dahsyat dan ia bergerak ke kanan, lengan kiri Kabilai memukul dan menyambut elakan tubuh Ai Yin itu. Gadis itu terkejut dan tidak mungkin mengelak lagi. Maka ia pun cepat menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. "Plaakkk!" Kedua lengan beradu dan tiba-tiba saja jari-jari tangan kiri Kabilai yang panjang itu telah mencengkram pergelangan tangan Ai Yin.
Memang telah menjadi kebiasaan keistimewaan ilmu gulat Mongol untuk mengubah pukulan menjadi cengkraman yang cepat tak terduga lawan. Kemudian dengan gerakan ilmu gulat, sekali tekuk, lengan Ai Yin sudah dipelintir ke belakang tubuhnya dan di lain saat kedua lengan gadis itu sudah ditangkap oleh kedua tangan Kabilai sehingga ia tidak mampu bergerak lagi. "Ha-ha-ha, engkau mau lari kemana sekarang, manis" Engkau harus menjadi milikku sekarang!" Orang yang jangkung kurus itu menunduk dan berusaha untuk mencium Ai Yin yang meronta-ronta. Pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan sinar hitam menyambar. "Craakkk!! Aduuuhhh.....!" Kabilai melepaskan Ai Yin dan ia terpelanting roboh, merintih-rintih dan tangan kirinya memegang pundak kanan yang terluka parah oleh bacokan pedang sehingga darahnya bercucuran. Ai Yin yang sudah terlepas dari cengkraman Kabilai, cepat mengambil sebongkah batu sebesar kepala kerbau, lalu sekali lompat ia mendekati tubuh Kabilai dan ia menghantamkan batu itu ke kepala Kabilai sekuat tenaganya.
"Prookkk.....!" Karena Kabilai sedang tersiksa rasa nyeri pada pundaknya yang terbabat pedang sampai terluka parah itu, dia tidak sempat menghindarkan diri, bahkan tidak sempat melindungi kepalanya maka pecahlah kepala itu dan diapun tewas seketika. Ai Yin cepat mencabut pedangnya yang terselip di pinggang Kabilai lalu dengan pedang ditangan ia memutar tubuh menghadapi orang yang telah menolongnya. Didepannya berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang hitam, seorang pemuda yang tampan gagah, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tubuhnya tegap. Pemuda itu tersenyum memandang kepadanya. Ai Yin menghampiri dan ia menyimpan pedangnya dalam sarung pedang yang masih tergantung di punggungnya, lalu memandang pemuda didepannya yang juga sudah menyimpan pedang hitamnya. "Kalau aku boleh bertanya, siapakah engkau, Nona, dan mengapa pula engkau berkelahi dengan orang Mongol ini?"
Pemuda ini bertanya dengan sikap lembut dan senyum memikat. Ai Yin yang berterima kasih karena merasa diselamatkan dari bahaya maut dalam tangan orang Mongol yang lihai itu, berkata dengan wajah berseri. "namaku Wong Ai Yin, anak tunggal Bu-tek Sin-kiam Wong Tat. Terima kasih atas pertolonganmu tadi, sobat. Siapakah engkau"." Pemuda itu kembali tersenyum. "Ah, apa yang ku lakukan sudah semestinya antara kita saling bantu, apalagi menghadapi seorang Mongol yang jahat" Sudah lama aku mendengar dan menganggumi nama besar lo-cian-pwe Bu-tek Sin-kiam. Sungguh beruntung hari ini dapat bertemu dengan puterinya. Nona, namaku Cun Song dan seperti juga ayahmu, aku adalah seorang pejuang yang menentang penjajah Mancu yang menguasai tanah air kita." Ai Yin memandang kagum kepada pemuda itu. Tentu saja ia tidak tahu nama pemuda itu sesungguhnya Song Cun. Seperti kita ketahui, Song Cun kini menggunakan nama Cun Song.
Tadi ia melihat perkelahian antara Ai Yin dan seorang Mongol yang tidak dikenalnya. Ketika mendengar Ai Yin memperkenalkan diri sebagai puteri Bu-tek Sin-kiam kepada orang Mongol itu, tentu saja dia segera turun tangan membantunya. Dia sedang mengantur rencana bersama Can Ok untuk bersekutu dengan Pangeran Galdan dari Mongol dan Pangeran Dorbai untuk merampas tahta Kerajaan Ceng dan untuk itu dia perlu mendapat dukungan dari pendekar yang membenci Pemerintah Mancu. Bu-tek Sin-kiam terkenal sebagai seorang bekas pejuang yang gagah perkasa. Juga, pendekar ini adalah suheng dari Can Ok, maka perlu sekali ia dekati. Apalagi, gadis itu demikian cantik jelita dan lihai pula. "Waah, kalau begitu kita ini masih segolongan! Aku juga ingin sekali melihat penjajah Mancu pergi meninggalkan tanah air kita!." "Bagus, Ai Yin-moi ( adik Ai Yin ), mari kita bekerja sama membasmi orang-orang Mancu!" kata Cun Song penuh semangat.
"Tak jauh disebelah selatan ini terdapat sebuah dusun dan di situ tinggal sebuah keluarga Mancu. Mari kita serbu rumahnya di dusun itu dan membunuh seluruh keluarganya!." Ai Yin mengerutkan alisnya. "Ah, maksudku bukan seperti itu, toako ( kakak ). Aku tidak setuju kalau kita membunuhi setiap orang mancu. Yang kita musuhi adalah Kerajaannya, bukan orang-orangnya. Kita musuhi semua orang yang jahat, tidak peduli dia bangsa Mancu atau bangsa Han sendiri. Akan tetapi, biarpun dia Mancu, kalau baik budinya dan tidak jahat, tidak semestinya dibunuh, bahkan kalau dia di ganggu orang jahat, wajib pula kita bela." "Aih, sungguh aneh pendirianmu ini, Yin-moi ( adik Yin )!" seru Cun Song yang membenci segala yang "berbau" Mancu. Kalau dia setuju ketika Can Ok menyatakan hendak bersekutu dengan Pangeran Dorbai, seorang bangsawan Mancu, hal itu adalah merupakan siasat. Kalau gerakan itu berhasil, kelak dia sendiri yang akan membunuh Pangeran Dorbai.
Yang dia anggap sebagai musuh besarnya karena pangeran itu yang datang bersama pasukan dan menyerbu rumah paman dan ayahnya, beserta isteri mereka, tewas dibantai pasukan. "Sama sekali tidak aneh, Song-ko ( kakak Song ). Bukankah seperti pula pendirian setiap orang pendekar" Menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan menentang kejahatan"." "Akan tetapi seorang patriot harus membela tanah air dan menentang mereka yang menjajah tanah air kita ", kata Cun Song penasaran. "Benar sekali, Song-ko. Ayahku dulu juga berjuang mati-matian menentang bangsa Mancu yang datang menjajah tanah air kita. Akan tetapi perang telah usai maka ayahku lebih suka mengasingkan diri, walaupun hatinya kecewa dan bersedih sekali. Kalau sekarang terjadi perang antara bangsa kita dan penjajah Mancu, percayalah, aku akan membantu bangsa kita dengan taruhan nyawa! Itu sudah menjadi kewajiban setiap warga Negara yang baik.
Perjuangan dalam perang bukan merupakan urusan pribadi lagi, jadi tidak ada permusuhan perorangan, yang ada hanya bangsa melawan bangsa. Akan tetapi sekarang tidak ada perang lagi, maka aku tidak lagi berjuang seperti juga ayah, melainkan bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang semua kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Biarpun bangsa sendiri, kalau dia jahat, akan ku tentang dan biarpun orang Mancu atau Mongol atau suku manapun juga, kalau dia baik dan benar pasti akan kubela." Cun Song membelalakan matanya dan mukanya berubah kemerahan. "Aih, darimanakah engkau mendapatkan pendapat seperti itu, Yin-moi"." "Dari ayah, dari aku sendiri dan diperkuat ketika aku bertemu dan bersahabat dengan Siauw Beng." Sepasang mata pemuda itu semakin terbelalak. "Siauw Beng" Siapa dia.....?" "Namanya Lauw Beng akan tetapi biasa disebut Siauw Beng. Dia seorang pendekar besar dengan julukan Si Tangan Halilintar."
Cun Song tampak terkejut sekali. Tentu saja ini hanya pura-pura karena dia tentu sudah tahu ketika gadis itu menyebut nama Siauw Beng tadi. "Si Tangan Halilintar" Akan tetapi..... aku mendengar..... penjahat keji...".. dan dia di cari dan dimusuhi semua orang kang-ouw! Diakah yang kau maksudkan"." Ai Yin tersenyum tersenyum dan memandang wajah pemuda itu. "Tidak salah, twako. Memang dia orangnya yang menjadi sahabatku." "Akan tetapi, mengapa engkau dapat bersahabat dengan seorang.... Pemerkosa dan pembunuh yang amat jahat dan keji.....?" "Itu hanya fitnah belaka, Song-ko. Siauw Beng sama sekali bukan seorang penjahat." "Akan tetapi, aku mendengar bahwa selain jahat, diapun seorang pengkhianat, Yin-moi. Dia itu putera seorang pengkhianat pula! Ayahnya pernah menjadi antek pembesar Mancu, bahkan menikah dengan puteri pembesar itu. Dan ayahnya itu dahulu membantu pemerintah Mancu, memimpin pasukan dan membantai para pejuang.
Kemudian, penjahat bernama Lauw Beng itu malah bergaul rapat dengan seorang puteri Mancu!." Ai Yin mengangguk-angguk. "Semua itu aku sudah tahu, Song-ko." Ia memandang kea rah mayat orang Mongol itu. "Mari kita tinggalkan tempat ini, tidak enak bicara di dekat mayat itu." Mereka lalu berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. "Song-ko, Siauw Beng sudah menceritakan semua keadaannya kepadaku. Memang ayahnya pernah tertipu orang Mancu, akan tetapi akhirnya ayahnya tewas sebagai seorang patriot. Ibunya bukan keturunan Mancu, hanya menjadi anak tiri pembesar Mancu. Dan tentang pergaulannya dengan puteri Mancu itu, hemmm... menurut keterangannya, puteri itu adalah seorang gadis gagah perkasa dan berjiwa pendekar." "Hemmm, gadis Mancu gagah perkasa yang telah menyebabkan kematian banyak pejuang bangsa kita yang menentang pemerintah penjajah Mancu. Yin-moi, agaknya engkau percaya benar kepada Lauw Beng itu.
Lalu, apakah dia juga menceritakan bagaimana lengan kirinya sampai buntung"." Ai Yin menghela napas panjang. "Aih, memang itu gara-gara die membela Puteri Mancu itu. Dia membela Puteri itu hendak dibunuh para pendekar pejuang karena dia merasa bahwa puteri itu tidak bersalah, dan ketika dia membelanya itulah lengan kirinya buntung, terbabat pedang." "Hemmm, siapa yang membuntungi lengannya"." "Dia tidak mengatakan siapa, mungkin seorang diantara mereka yang hendak membunuh Puteri Mancu itu. Akan tetapi aku berani menanggung dan menjadi saksi bahwa bukan Siauw Beng yang melakukan semua perkosaan dan pembunuhan itu, Song-ko. Hal ini aku yakin benar karena selama terjadi kejahatan itu, aku selalu bersama dia!." "Yakin benarkah engkau, Yin-moi" Bagaimana kalau dia melakukan hal itu di waktu malam" Aku yakin engkau tentu berada dikamar terpisah......" "Tentu saja! "Ai Yin berseru lantang.
"Akan tetapi dari sikapnya, sepak terjangnya. Aku yakin bukan dia penjahat itu. Tentu ada orang lain yang melakukan hal itu dan mempergunakan namanya untuk melempar fitnah kepada Siauw Beng." "Kalau begitu tentu ada seorang penjahat yang lengan kirinya juga buntung ", kata Cun Song sambil mengerutkan alisnya. "Aku kira juga begitu. Engkau yang banyak mengenal orang kangouw, tahukah engkah apakah di dunia kangouw ada seorang lihai yang lengan kirinya buntung"." Setelah berpikir sejenak Cun Song berkata, Ah, aku ingat sekarang. Ada seorang perampok tunggal di daerah Kwi-cu yang lengan kirinya buntung. Diapun lihai sekali, akan tetapi".. usianya sudah setengah tua, mungkin sekarang sudah mendekati lima puluh tahun". "Hemmm, mungkin saja dia! Menurut desas-desus, orang yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar seperti julukan Siauw Beng itu hanya di ketahui bahwa dia seorang laki-laki berlengan kiri buntung.
Tidak ada yang melihat jelas wajahnya sehingga tidak ada yang dapat mengatakan apakah dia muda atau tua, Song-ko, katakan, dimana adanya perampok itu dan siapa namanya"." "Dia tinggal di Kwi-cu dan namanya Tung Ci". "Terima kasih, Song-ko. Sekarang aku mau pergi ketempat dimana aku dan Siauw Beng tadi dikeroyok banyak orang dan kalau dapat bertemu dengannya akan kuberitahu dia. Kami akan menemui Tung Ci itu di Kwi-cu!." "Aku akan membantumu, Yin-moi. Aku juga merasa penasaran sekali mendengar bahwa sahabatmu yang tidak berdosa itu difitnah orang!." Ai Yin menjadi girang sekali. "Terima kasih, Song-ko, aku girang sekali!." Mereka berdua lalu meninggalkan tempat itu dan menuju ke jalan dekat hutan dimana tadi Ai Yin dan Siauw Beng dikeroyok banyak perajurit Mancu dan orang-orang kangouw. Akan tetapi setelah mereka tiba di tempat itu, disitu sepi saja, tidak tampak ada seorangpun. Hanya di atas tanah terdapat tanda-tanda bahwa di situ baru saja di injak-injak banyak kaki orang dan ada ceceran darah di sana-sini.
"Hemmm, agaknya mereka semua telah pergi", kata Ai Yin. "Apakah tadi mereka mengeroyok engkau dan Lauw Beng itu di sini" Siapa saja yang mengeroyok kalian?" Tanya Cun Song. "Ah, sungguh menyebalkan!" Ai Yin membanting kaki dengan gemas. "Ada puluhan orang. Mereka terdiri dari perajurit-perajurit Mancu, dan ada pula orang-orang kang-ouw dan yang membuat aku gemas, paman guruku Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) Can Ok juga datang bersama dua orang Mongol itu. Seorang di antaranya setelah mengeroyokku dengan banyak sekali orang dapat menangkap aku dan membawaku lari ke hutan dimana engkau datang membantuku tadi, Song-ko". Diam-diam Cun Song terkejut bukan main, tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Kiranya Can Ok yang muncul bersama dua orang Mongol yang lihai itu! Kalau begitu, dua orang Mongol itu tentu orang-orangnya Pangeran Galdan yang di utus bersama Can Ok mengunjungi Pangeran Dorbai di kota raja.
Dan dia telah membunuh seorang diantaranya! Akan tetapi, peristiwa itu tidak diketahui siapapun kecuali dia sendiri dan Ai Yin. Can Ok tidak akan mengetahuinya dan dia tidak akan dipersalahkan. "Lalu, kemana perginya Lauw Beng?" dia bertanya sambil memandang ke sekeliling karena bagaimanapun juga, dia khawatir kalau-kalau Lauw Beng masih berada di tempat itu. Dia sendiri tidak takut kepada Lauw Beng karena sekarang kepandaiannya telah meningkat tinggi setelah dia digembleng oleh Jit Kong Lama. Dia bahkan merasa yakin akan mampu mengalahkan dan membunuh Lauw Beng. Akan tetapi gadis ini sahabat baik Lauw Beng. Kalau mereka maju berdua mengeroyoknya, tentu akan berbahaya baginya karena juga memiliki ilmu silat tinggi. Ai Yin lalu berteriak memanggil dengan suara melengking tinggi karena ia menggunakan tenaga saktinya. "Siauw Beng?"! Siauw Beng?".!!! "Beberapa kali ia mengulang panggilannya, akan tetapi hanya gema suaranya yang menyambut.
\Tentu saja Siauw Beng tidak dapat mendengarnya sama sekali karena pemuda itu telah pergi amat jauh dalam usaha pemuda itu mencari jejak Ai Yin yang dilarikan orang Mongol. "Dia tidak berada di sini, Yin-moi", kata Cun Song dengan hati lega. "Ya, agaknya dia sudah pergi dari sini". "Atau mungkin dia tertangkap oleh banyak orang itu". "Tidak mungkin! Tidak mungkin Siauw Beng dapat tertawan oleh mereka!." "Lalu kemana dia pergi?" "Mungkin dia pergi mencari aku atau melanjutkan pencariannya terhadap orang yang menyamar sebagai dia itu. Kami berdua memang sedang mencari orang itu untuk membuktikan bahwa Siauw Beng bukan pelakunya". "Hemm, kalau begitu mari kubantu engkau, Yin-moi. Aku juga merasa penasaran sekali mendengar nama baik Si Tangan Halilintar dinodai oleh penjahat itu. Kita juga cari Lauw Beng". Wajah Ai Yin berseri. "Ah, engkau sungguh baik sekali, Song-ko! Engkau telah menyelamatkan aku dan kini membantuku mencari Siauw Beng dan penjahat yang memalsukan namanya itu!."
"Ah, bukankah kita harus saling menolong, Yin-moi"." Kedua orang itu lalu melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari Siauw Beng dan juga mencari penjahat itu. Sikap Cun Song yang amat sopan dan baik membuat Ai Yin semakin percaya pada pemuda itu.
"Braakkk?"!" Meja yang terbuat dari batu marmar tebal dan kokoh kuat itu hancur berantakan ketika Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok memukulkan tangan kanannya yang terbuka ke atasnya. Enam orang tamu laki-laki yang duduk dalam ruangan itu memandang dengan alis berkerut dan khawatir. Mereka itu adalah Ciang Hu Seng, Bhe Kam, Lee Bun dan Song Cin yang datang dari Liong-san, adapun yang dua orang lagi adalah Lu Kiat dan keponakannya Lu Siong, dua orang murid Siauw-lim-pai yang terkenal. Seperti kita ketahui, dua rombongan tamu yang kebetulan datang pada saat yang sama itu hendak melapor kepada Si Naga Selatan Ma Giok tentang anak angkat dan juga murid pendekar itu, Lauw Beng yang berjuluk Si Tangan Halilintar. "Sukar aku mempercayai pendengaranku!" kata Ma Giok dan wajahnya yang masih gagah walaupun usianya sudah enam puluh tujuh tahun itu merah sekali, matanya mencorong.
"Harap saudara Ciang Hu Seng mewakili rombongan dari Liong-san untuk sekali lagi menceritakan apa yang telah dilakukan Lauw Beng di sana". Ciang Hu Seng, orang ketiga dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang pendek gemuk dan biasanya tertawa-tawa lucu itu kini berwajah tegang serius walaupun mulutnya masih membentuk senyum. "Ma-taihiap, sesungguhnya kami juga merasa tidak enak sekali melaporkan hal ini kepadamu, akan tetapi kami tidak berani bertindak lancing terhadap putera angkat dan murid taihiap itu sebelum kami melapor. Seperti taihiap ketahui, kami semua tinggal di Liong-san, mondok di rumah sute (adik seperguruan) Lee Bun. Kurang lebih sebulan yang lalu, pada suatu malam, ada orang menggunakan asap pembius memasuki kamar Bhe Siu Cen, puteri sute Bhe Kam dan memperkosanya! Menurut Siu Cen, pelaku kejahatan itu adalah seorang yang lengan kirinya buntung. Kami tadinya baru menyangka saja bahwa pelakunya adalah Lauw Beng.
Akan tetapi setelah melakukan perjalanan ke sini, kami menjadi yakin karena di sepanjang perjalanan itu kami mendengar bahwa seorang penjahat lengan kiri buntung yang berjuluk Si Tangan Halilintar melakukan banyak pembunuhan dan perkosaan. Maka kami menghadap taihiap dan mohon pertimbangan". Jelas tampak betapa dada pendekar tua itu terengah-engah. Agaknya dia masih dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi dia masih dapat menekan perasaannya dan kini dia memandang kepada Lu Kiat dan Lu Siong. Dia juga mengenal Lu KIat sebagai seorang murid Siauw lim yang dulu pernah berjuang bersamanya menentang penjajah Mancu. "Saudara Lu Kiat ceritakanlah apa yang engkau ketahui"." Lu kiat menghela napas. "Saya dan keponakan saya Lu Siong ini juga merasa tidak enak hati sekali, Lo-cianpwe. Akan tetapi kami hendak menceritakan apa adanya, apa yang sebenarnya terjadi. Pada suatu malam, kebetulan saya berkunjung ke rumah suheng Gui Liang yang tentu Lo-cian-pwe juga sudah mengenalnya?"".
"Yang menjadi piauw-cu di Ceng-jun itu"." "Benar, Lo-cian-pwe. Dulu kami juga pernah berjuang dibawah pimpinan Lo-cian-pwe. Nah, malam itu terjadi malapetaka yang mengerikan menimpa keluarga Gui-suheng. Seorang penjahat memperkosa lalu membunuh Gui Cin, puteri suheng, bahkan Gui-suheng juga dibunuhnya ketika melawan. Isteri Gui-suheng juga tewas dibunuh penjahat berlengan kiri buntung itu. Saya sempat melawannya dan saya mengenal gerakan silat Lo-han-kun dari Siauw-lim ketika dia berkelahi melawan saya. Akan tetapi gerakannya itu luar biasa hebatnya sehingga saya roboh. Untung saya tidak sampai terbunuh dan dia melarikan diri karena keributan itu memancing datangnya banyak orang". Wajah yang tadinya agak merah itu berubah menjadi pucat. "Kau".. kau mengenal wajahnya"." "Itulah sayangnya, Lo-cian-pwe. Cuaca amat gelap dan saya tidak dapat melihat wajahnya. Hanya saya tahu bahwa dia seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya dan amat lihai.
Gui Cin itu adalah tunangan keponakan saya Lu Siong ini. Kami lalu pergi menghadap suheng Lauw Han Hwesio, ketua kuil Thian-li-tang di lereng Bukit Ayam dan melaporkan kejadian itu. Setelah berunding dengan suheng Lauw Han Hwesio, kami lalu membagi tugas. Suheng Lauw Han Hwesio pergi ke Sung San kepada para pimpinan Siauw-lim-pai sedangkan kami berdua pergi ke sini untuk menghadap lo-cian-pwe. Seperti juga saudara-saudara dari Liong-san ini, di sepanjang jalan kami juga mendengar tentang Si Tangan Halilintar yang membunuh dan memperkosa wanita". Setelah Lu Kiat berhenti bercerita, keadaan menjadi sunyi. Ma Giok mengerutkan sepasang alisnya dan memejamkan mata, lalu tanpa membuka mata dia bertanya "Apakah diantara kalian ada yang melihat sendiri peristiwa bahwa penjahat itu adalah Lauw Beng"." Orang-orang itu saling pandang dan Ciang Hu Seng berkata, "Di antara kami berempat tidak ada yang melihatnya, taihiap.
Akan tetapi semua tanda menunjukkan bahwa dia pelaku kejahatan itu. Siapa lagi yang lengan kirinya buntung, lihai dan berjuluk Si Tangan Halilintar kalau bukan Lauw Beng. Juga kejahatannya terhadap kami ada alasannya, yaitu agaknya dia hendak membalas dendam karena kami membuat lengan kirinya buntung". Ma Giok masih memejamkan matanya dan mengerutkan matanya dan mengerutkan alisnya, agaknya belum puas dengan keterangan Ciang Hu Sen yang di anggapnya tidak meyakinkan itu. "Lo-cian-pwe, dalam perjalan, kami berdua bertemu dengan Puteri Mayani dan seorang nenek yang mengaku sebagai nenek Si Tangan Halilintar!" kata Lu Kiat. Ma Giok membuka matanya dan memandang Lu Kiat dengan mata heran. Juga empat orang dari Liong-san memandang heran. "Saudara Lu Kiat, harap segera ceritakan pertemuan itu!" kata Ma Giok. "Ketika itu, kami tiba di kota Teng-cun dan mendengar kabar bahwa di situ terdapat seorang nenek yang mengaku sebagai nenek Si Tangan Halilintar.
Kami segera mencarinya karena mungkin dari nenek itu kami dapat menemukan cucunya. Kami bertemu dengan nenek itu yang bersama Puteri Mayani. Mereka berdua marah mendengar berita tentang Si Tangan Halilintar dan mengatakan bahwa itu hanya fitnah. Kami berkelahi dan ternyata, baik nenek maupun puteri itu luar biasa lihainya. Terus terang saja, kami berdua sama sekali bukan lawan mereka. Bahkan pedang kami di rampas dan dipatah-patahkan. Akan tetapi kami sama sekali tidak dilukai. Puteri itu lalu menantang kami berlomba. Kami di suruh mencari bukti-bukti nyata bahwa penjahat yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar itu benar Lauw Beng orangnya, sementara mereka juga akan mencari dan menangkap orang yang menggunakan nama Si Tangan Halilintar untuk memburukkan nama Lauw Beng. Demikian ceritanya, lo-cian-pwe". "Sungguh aneh!" kata Bhe Kam yang pernah bertemu dan bertanding melawan Puteri Mayani.
"Kami tahu bahwa puteri itu lihai, akan tetapi kalau dengan tangan kosong mampu mengalahkan ji-wi ( kalian berdua) tanpa melukai dan mematah-matahkan pedang, hal ini sungguh luar biasa!" Bhe Kam juga mengenal dua orang itu sebagai murid-murid Siauw-lim-pai yang tangguh. "Saudara Bhe Kam, apakah engkau tidak ingat akan nenek yang menyebut Puteri Mayani sebagai Bu Kui Siang" Nenek itu adalah Nyonya Bu, ibunya mendiang Bu Kui Siang yang entah bagaimana telah menjadi seorang yang luar biasa lihainya dan juga agaknya pikirannya kacau. Tentu Puteri Mayani telah menerima pelajaran silat yang aneh darinya". "Sekarang bagaimana, Taihiap" Kami mohon pertimbangan taihiap tentang Si Tangan Halilintar", kata Ciang Hu Seng. "Kami juga mohon petunjuk, lo-cian-pwe", kata pula Lu Kiat. Wajah pendekar tua itu menjadi merah kembali dan sejenak dia tidak mampu menjawab, agaknya mempertimbangkan dalam hatinya karena apa yang didengarnya itu betul-betul mendatangkan guncangan dan pertentangan dalam batinnya.
Kemudian, dia memandang kepada semua orang itu dan berkata dengan suara tegas. "Cu-wi (saudara sekalian), terus terang saja hatiku belum yakin benar bahwa anak angkatku itu melakukan semua perbuatan keji itu. Bukan sekali-kali aku menganggap keterangan kalian bohong. Akan tetapi karena di antara kalian tidak ada seorangpun yang menyaksikan sendiri bahwa Lauw Beng yang melakukan kejahatan itu, juga tidak ada yang dapat mengajukan bukti-bukti kuat, melainkan hanya mendengar atau melihat bayangan laki-laki buntung lengan kirinya yang mengaku Si Tangan Halilintar. Karena itu, benar seperti yang dikatakan Puteri Mayani. Kita harus menangkap orang yang menggunakan namanya. Kalau kemudian ternyata bahwa benar Lauw Beng yang melakukan kejahatan itu, aku sendiri yang akan membinasakannya! Nah, sekarang kalian pergi dan carilah Lauw Beng aku sendiri akan menyelidiki peristiwa ini dan andaikata benar dugaan Puteri Mayani bahwa ada orang yang memalsukan Lauw Beng, aku akan berusaha menangkapnya".
Enam orang itu lalu berpamit dan meninggalkan Thai-san. Lu Kiat dan Lu Siong mengambil jalan sendiri, berpisah dari rombongan Ciong-yang Ngo-taihiap. Setelah para tamunya pergi dan berkemas, Ma Giok terpaksa juga turun gunung karena dia merasa bertanggung jawab kalau benar anak angkatnya itu melakukan kejahatan seperti yang dilaporkan para tamunya tadi. Akan tetapi biarpun mereka mengambil jalan sendiri, tetap saja tujuan perjalanan mereka itu sama. Untuk mencari kepastian apakah pelaku kejahatan itu Lauw Beng atau bukan, satu-satunya cara adalah menangkap basah penjahat itu. Maka tentu saja mereka ke tempat-tempat dimana penjahat itu meninggalkan jejaknya, yaitu dimana terjadinya pembunuhan dan perkosaan itu. Dalam perjalanannya, Ma Giok juga mendengar tentang kejahatan dan kekejian yang dilakukan penjahat yang mengaku Si Tangan Halilintar. Tentu saja hal ini membuat perasaannya terpukul sekali. Benarkah Lauw Beng yang melakukan semua ini"
Sambil melangkah perlahan dia termenung mengenangkan keadaan pemuda yang telah di anggap sebagai anaknya sendiri dan yang sebetulnya amat disayangnya itu. Biarpun ayah Lauw Beng, yaitu mendiang Lauw Heng San pernah menjadi kaki tangan penjajah yang menumpas para pejuang, akan tetapi Lauw Heng San berbuat demikian karena tertipu. Dia mengira bahwa yang di tumpas itu adalah gerombolan penjahat. Akhirnya dia menyadari bahkan membunuh Pangeran Abagan yang menjadi mertua tirinya sendiri. Jelas bahwa Lauw Heng San bukan orang jahat. Juga isteri Lauw Heng San, Bu Kui Siang, adalah seorang wanita yang baik budi, wanita yang amat dicintainya. Maka, Lauw Beng bukan keturunan orang jahat. Lauw Beng pernah di tuduh menjadi pengkhianat bangsa, akan tetapi dia tahu bahwa pembelaan Lauw Beng terhadap Puteri Mancu itu bukan merupakan pengkhianatan. Dia membela karena menganggap Mayani tidak bersalah. Akan tetapi pembelaannya itu menyebabkan dia kehilangan lengan kirinya, dibuntungi oleh Song Cun. Apakah peristiwa itu kemudian membuat dia mendendam dan dalam sakit hatinya dia menjadi berubah kejam" Ma Giok hampir tidak percaya. Akan tetapi dia bertekat untuk dapat menangkap pelaku kejahatan itu, baik pelaku itu Lauw Beng atau orang lain.!
Cun Song dan Ai Yin melakukan perjalanan menuji Kwi-cu. Mereka hendak mencari perampok lengan kiri buntung bernama Tung Ci seperti yang diceritakan Cun Song kepada Ai Yin. Selama beberapa hari dalam perjalanan, Cun Song bersikap ramah dan sopan sehingga Ai Yin semakin percaya dan suka kepada pemuda yang di anggapnya seorang pemuda pejuang yang gagah perkasa, segolongan dengan ayahnya yang dulu juga merupakan seorang pejuang yang gigih. Pada suatu pagi mereka tiba di sebuah daerah pertanian yang sepi. Hanya ada beberapa orang petani yang menunggu sawah mereka dari serbuan burung-burung yang mencari makan. "Hei, Cun Song"..!" tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang mereka. Cun Song dan Ai Yin membalikkan tubuh mereka dan Cun Song berseru girang. "Can-toako (Kakak Can)"..!." Ai Yin mengerutkan alisnya ketika mengenal siapa yang datang berlari kearah mereka itu. Orang itu adalah Can ok yang berjuluk Toat-beng Siang-kiam, paman gurunya.!
Setelah mereka berhadapan, Can Ok juga terkejut bukan main mengenal siapa gadis yang melakukan perjalanan bersama Cun Song dan tampak akrab itu. "Eh,".. engkau". Ai Yin"."." Ai Yin cemberut dan cepat ia mencabut pedangnya. Melihat ini, Cun Song terkejut dan memegang lengan gadis itu. "Yin-moi, Can-toako ini sahabat baikku, bukan musuh!." "Ai Yin, aku adalah susiok-mu (paman gurumu) kata pula Can Ok. "Susiok macam apa engkau" Engkau yang menyerang aku dan Siauw Beng, bahkan menyuruh jahanam Mongol itu menangkap aku! Hayo cabut pedangmu!" Ai Yin berseru marah. "Jangan marah dulu, Ai Yin. Aku menyuruh tangkap engkau karena hendak menyelamatkan engkau dari bahaya pengeroyokan semua orang itu. Mari ku jelaskan?"" kata Can Ok. "Benar, Yin-moi. Dengarkan dulu penjelasan Can-toako", bujuk Cun Song. Akhirnya Ai Yin mereda kemarahannya. "Baik, coba jelaskan semua perbuatanmu yang busuk itu."
"Perbuatan yang mana, Ai Yin?" Tanya Can Ok, diam-diam otaknya diputar untuk mencari akal meredakan kemarahan gadis yang dia tahu lihai, galak, namun di anggapnya kurang pengalaman itu. "Dahulu, engkau bersama kakek guru Hui-kiam Lo-mo dan teman-temanmu telah menyerang Lo-cian-pwe Ma Giok pemimpin pejuang besar itu sehingga mengakibatkan ibu kandung Siauw Beng yang di lindunginya meninggal dunia ketika melahirkan Siauw Beng. Perbuatanmu itu sungguh jahat dan kejam!." Can Ok membelalakkan matanya. "Ai Yin, bagaimana engkau bisa tahu akan peristiwa yang terjadi dua puluh tahun lebih itu" Ketika itu engkau belum lahir!." "Tidak peduli dari mana aku tahu. Akan tetapi benar hal itu engkau lakukan, bukan"." "Tidak kusangkal, Ai Yin. Akan tetapi hal itu kami lakukan bukan tanpa alasan. Pertama, Ma Giok telah berubah, mengkhianati bangsa kita. Kedua, dia menolong putera pembesar Mancu yang di tangkap para pejuang dan ketiga, dia melindungi puteri Abagan yang menjadi istri Lauw Heng San.
Pengkhianat yang banyak membasmi para pejuang kita ketika dia menjadi mantu Pangeran Mancu itu. Sikapnya yang berkhianat itulah yang membuat aku dan mendiang suhu menyerangnya." Can Ok berhenti sebentar, menatap tajam wajah gadis itu dan melanjutkan," Suheng Bu-tek Sin-kiam Wong Tat, ayahmu sendiri, tidak menyalahkan perbuatanku itu karena aku memusuhi orang yang membela pembesar Mancu." "Hemm, baiklah kalau engkau mempunyai alasan untuk itu. Sekarang, mengapa engkau menyerang kami ketika aku dan Siauw Beng melakukan perjalanan dan di keroyok banyak orang itu. Kalau engkau ini mengaku paman guruku, mengapa melihat aku dikeroyok banyak orang tidak membelaku, bahkan menyruh orang Mongol itu menangkap aku"." "Jangan salah mengerti, Ai Yin. Sejak dulu aku memang telah menduga bahwa Lauw Beng itu bukan orang baik-baik. Kemudian aku mendengar kabar bahwa dia yang berjuluk Si Tangan Halilintar melakukan banyak perkosaan dan pembunuhan sehingga dimusuhi para pendekar kangouw dan juga pasukan pemerintah.
Nah, ketika melihat engkau dikeroyok, aku tahu bahwa engkau telah terbujuk oleh Lauw Beng sehingga engkau tersangkut. Karena tidak ingin engkau celaka dikeroyok, maka aku menyuruh Kabilai, orang Mongol itu, untuk menangkapmu dan menyelamatkanmu. Sedangkan aku sendiri sibuk mengeroyok Lauw Beng yang sayang sekali dapat melarikan diri." Diam-diam Ai Yin merasa girang mendengar bahwa Siauw Beng dapat menyelamatkan diri dari pengeroyokan demikian banyak orang. Rasa lega dan girang ini setidaknya telah mengurangi kemarahannya terhadap paman gurunya. Juga paman gurunya itu dapat memberi alasan yang masuk akal. Akan tetapi dia masih cemberut ketika berkata. "Huh, susiok mengira telah berlaku benar ketika menyuruh setan Mongol itu membawa aku keluar dari pengeroyokkan banyak orang itu" Dia itu seorang jahanam keparat busuk, hampir saja mencelakai aku!." "Eh, aku yang terjadi?" Can Ok bertanya kaget karena dia sama sekali tidak mengira bahwa Kabilai akan berbuat jahat terhadap murid keponakannya itu.
Kasus Kasus Perdana Poirot 5 Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu Pendekar Wanita Penyebar Bunga 10

Cari Blog Ini