Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu Karya Mira W Bagian 2
"Ibu kan dulu sudah janji tidak mau beranak lagi " gerutu Nurdin kepada salah seorang pasien yang dikenalnya. "Kok sekarang balik lagi"!"
"Suami saya yang kepingin punya anak, dok," sahut ibu itu kemalu maluan.
"Lho, kalau tidak salah. Suami ibu dulu sudah divasektomi?"
"Itu suami yang dulu, dok," tambah merah paras si Ibu.
"Lha, suami yang dulu ke mana?"
"Kecelakaan, dok. Waktu mengemudikan truknya di Pulo Gadung."
"Meninggal maksud Ibu?"
"Cacat, dok." "Sekarang di mana?"
"Pulang ke kampung, dok. Ke rumah orangtuanya."
"Lantas anak anak Ibu yang tiga belas orang itu?"
"Ya ikut saya, dok."
"Dan suami Ibu masih ingin punya anak lagi" Masya Allah!"
Yang begini ini yang bikin aku repot, geram Nurdin dalam hati. Bolak balik melahirkan terus tiap tahun.
"Rasain!" tersenyum Fani. "Siapa Suruh mau jaga sama cewek!"
"Sadis kamu, Fan!" menyeringai Riri sambil makan kacang.
Buku suci bagian kebidanan yang tebal dan sampulnya berwarna merah itu masih terbuka di atas pangkuannya. Tetapi halamannya sudah sepuluh menit tidak pernah dibalik. Dia mengangkat kakinya dengan santai dan tidak menurunkannya. Walaupun Nurdin sudah muncul lagi di ambang
pintu. . _ "Ada pasien baru," katanya tidak jelas kepada siapa. Tetapi matanya menatap Fani dengan 'kesal.
"Kamu tolong kerjakan dulu kenapa Sih?" pinta Riri sambil memasukkan sebutir kacang lagi ke dalam mulutnya. "Kami lagi sibUk nih. Besok ada phantom. Giliran Fani.'
"Nyonya Pandi sudah hampir partus!"
"Yang kembar itu?"
"Yang mana lagi?"
"Biar kami yang tolong dia nanti. Kamu urus saja pasien barumu itu. Oke?"
"Bagus, Ri," menyeringai Fani waktu Nurdin sudah pergi. "Melihat gemelli kan lebih berguna daripada _mencatat berapa anaknya, anak keberapa, kawin berapa tahun dan tetek bengek lain yang itu-itu juga! Paling tidak kita dapat ilmu!"
"Dan kamu tidak usah lagi menusuk jari pasien!"
Mereka tertawa geli. Dan sama-sama menoleh ke pintu ketika Bidan Aida muncul.
"Ada tamu," katanya kepada Riri.
"Buat saya?" desis Riri bingung.
Tamu siapa malam-malam begini" Bertamu waktu dia sedang tugas jaga" Keterlaluan!
Begitu Bidan Aida mengundurkan diri, muncullah Haris di ambang pintu.
"Hai,"_ sapanya sambil membagi senyum kepada Riri dan Fani. "Repot?"
"Ah, tidak." Fani balas tersenyum.
. Dia sudah hendak bangkit menghampiri Haris ketika Riri mencolek lengannya.
"Lihat Nyonya Pandi dulu, Fan! Nanti si Nurdin ngomel Iagi,"
Sambil menggerutu Fani terPaksa meninggalkan kamar jaga.
"Boleh masuk?" tanya Haris yang masih tegak di ambang pintu.
Riri bangkit dari kursi satu satunya di kamar itu dan pindah ke ranjang.
"Boleh duduk asal jangan di ranjang."
"Celanaku bersih."
"Itu bukan jaminan."
"Mesti dibuka?"
"Itu lebih melanggar peraturan lagi."
"Waduh, galaknya!" sambil tersenyum Haris menyodorkan sebuah kantong plastik. "Untuk makan malammu. Pasti lebih enak daripada makanan pasien."
Sekejap Riri tertegun menatap kantong itu. Kemudian tatapannya berpindah ke wajah Haris. Ditatap demikian, Haris langsung mengangkat bahu.
"Tidak melanggar peraturan kan?"
"Aku heran bagaimana kau bisa masuk ke sini" kata Riri untuk menyembunyikan debar aneh di dadanya.
"Aku bisa masuk ke mana saja kecuali ke rumahmu."
"Bidan di sini galak-galak."
"Ibumu lebih galak lagi."
Riri tersenyum pahit. Sekilas terbayang kembali peristiwa dua tahun yang lalu. Ketika Haris dihajar habis habisan di depan rumahnya.
Ditaruhnya kantong itu di atas meja. Lalu dikeluarkannya bungkusan demi bungkusan dari dalam kantong plastik itu.
"Kok banyak amat?"
"Kau toh tidak bisa makan sendirian Kau agak tega menyuruh teman-temanmu cuma nonton ?"
"Wah boleh sering sering! " .
Barangkali Riri hanya bergurau. Tetapi barang. kali juga Haris telah membaca undangan itu dalam mata Riri. Yang jelas, sejak saat itu hampir setiap kali Riri jaga, dia datang membawa makanan. Dan keakraban mereka memancing kecemburuan Nurdin.
"Siapa sih dia?" dengan sudut matanya Nurdin melirik Haris yang baru muncul di pintu bangsal kebidanan. "Bolak balik ke mari melulu. Ini kan rumah sakit bukan hotel!"
"Tukang makanan rantang," sahut Riri seenaknya.
Dia tidak merasa perlu memberi keterangan Siapa pun laki-laki itu bukan urusan Nurdin. Dan bukan haknya pula untuk bertanya!
"Jangan main main," geram Nurdin mengkal, "aku tanya serius!"
"Lha kata siapa aku main-main" Dia cuma mengantarkan makanan kok!"
"Halo, " sapa Haris setibanya di dekat mereka. "Sudah lapar?"
"Lumayan," sahut Riri sambil menerima bungkusan yang diulurkan Haris. "Ke mana dulu" Ada langganan baru?"
Haris cuma tersenyum. "Ayo deh dimakan. Mana Fani?"
"Di lab. Dari tadi dia sudah ribut menunggumu "
"Menunggu aku atau makanannya?"
"Bung," Nurdin duduk berjuntai di pinggir meja. Ditatapnya Haris yang tegak di mukanya dengan berang. "Lain kali tidak usah repot-repo" bawa makanan lagi ke mari. Makanan di sini cukup bergizi. Kalau kurang, di belakang juga ada kantin."
Riri sudah hendak membuka mulutnya untuk menegur Nurdin ketika dia melihat Haris tersenyum tipis. Dan melihat Senyum pemuda itu, mulut Riri terkatup lagi dengan sendirinya.
"Silakan makan di kantin jika saudara mau," sahut Haris tenang tapi dingin. "Saya tidak membawa makanan untuk saudara."
"Di sini ada peraturan, Bung. Dilarang masuk kalau bukan waktu berkunjung."
"Kalau dia tidak boleh masuk, aku yang tunggu di luar!" potong Riri tidak sabar. "Usil amat sih!" '
*** "SIAPA lelaki itu?" tanya Haris ketika dia mengantarkan Riri pulang dengan mobilnya keesokan harinya. Sudah berapa hari ini dia selalu memerlukan mampir di rumah sakit untuk menjemput Riri sepulangnya dari kantor.
"Hhh" Siapa?" Riri menoleh ke samping.
"Siapa lagi. Calon dokter yang selalu bersamamu itu."
"Yang mana?" "Yang cemburu kalau melihat aku datang."
"Nurdin maksudmu?"
"Oh, jadi namanya Nurdin." gumam Haris tanpa menoleh. Matanya menatap lurus ke depan. Wajahnya mengeras tanpa emosi. "Punya hubungan apa dia dengan kamu?"
"Cuma teman." "Sampai sebatas mana?"
"Hah!" Riri menoleh lagi dengan mengkal. "Aku paling benci diinterogasi!"
"Kau mesti ingat Bandi!"
"Tidak perlu kau ajari!"
"Dia tidak sama dengan teman-temanmu yang lain!" geram Haris dengan muka merah padam. Rahangnya terkatup menahan marah.
"Aku tahu," sahut Riri dingin.
"Dari dulu aku sudah bilang, kalau kau tidak bisa setia, lebih baik jangan pilih Bandi! Kalau kau tidak cukup dengan satu lelaki saja, carilah lelaki lain!"
"Aku tidak memilih Bandi! Dia yang memilihku!"
"Tapi kau terima juga cintanya!"
"Karena tidak mungkin lagi menolaknya! Dia begitu mencintai diriku!"
"Jadi kau terpaksa mencintainya?"
"Mula-mula memang cuma kasihan. Tidak sampai hati mengecewakannya. Tapi lama lama aku yakin, aku bisa mencintai Bandi. Dan aku memang harus memilih dia kalau mau mencari suami yang setia!"
"Dan bisa kau bohongi?"
"Kapan dia kubohongi?"
"Hubunganmu dengan lelaki itu" Dia bukan kenalan baru 'kan?"
"Aku tidak merasa perlu membela diri di hadapanmu! Kau tidak punya hak untuk bertanya!"
"Tapi aku kakak Bandi! Dan aku tidak rela adikku dipermainkan!"
"Kapan aku mempermainkan Bandi" Belum pernah aku begini serius dengan seorang laki-laki saja!"
Haris tidak menjawab. Dia memang tidak tahu mesti berkata apa lagi. Ketika melihat Riri selalu dekat dengan Nurdin, ada perasaan tidak enak membakar hatinya.
Mula-mula dikiranya karena Bandi. Karena
dia tidak mau ada seorang laki-laki pun, apalagi lelaki yang lebih prima daripada adiknya mendekati Riri.
Tetapi ketika Riri mengucapkan kata katanya yang terakhir tadi, Haris bukannya lega. Dia malah tambah sakit hati. Padahal seharusnya dia lega mendengar pengakuan Riri itu.
Belum pernah dia begini serius dengan seorang lakilaki saja. Dan laki-laki itu adalah Bandi! Mengapa ada selintas perasaan tidak enak waktu Riri mengucapkan kata-kata itu tadi" Mengapa Haris malah merasa . . . cemburu"
"Aku akan menjaga Riri baik-baik untukmu, Di." Haris terkenang kepada kata katanya yang terakhir kepada Bandi waktu di Halim dulu. "Aku akan menjaganya seperti menjaga adik perempuanku sendiri."
Tapi itu dulu. Waktu Haris sudah merasa puas dengan hanya mengajak Riri nonton atau jalan jalan seminggu sekali. Waktu dia Sudah merasa senang dengan hanya membawakan makanan dan mengunjungi Riri waktu dia tugas jaga di rumah sakit. Waktu dia sudah merasa bahagia dengan hanya menggandeng tangannya saja.
Belakangan Haris sendiri insaf. Riri terlalu cantik untuk sekedar menjadi adiknya. Terlalu berbahaya untuk selalu berada berduaan dengan gadis itu.
Tetapi keinsafan itu datang terlambat. Karena semakin hari mereka semakin menyadari, ada perasaan lain yang sedang bertumbuh dengan suburnya di hati mereka.
Mula-mula Haris sendiri tidak tahu mengapa dia semakin betah ngobrol dengan Riri. Mengapa semakin lama dia semakin segan meninggalkan gadis
itu. Dan mengapa ada secercah perasaan tidak enak di hatinya setiap kali Riri menunggu nunggu surat dari Bandi.
"Sudah hampir tiga minggu, Har," desah Riri cemas, "padahal biasanya Bandi paling rajin tulis surat."
Ada seleret kecewa mengiris hati Haris. Dia baru kembali dari tugasnya di Medan. Hampir sepuluh hari mereka tidak bersua. Tapi sedikit pun Riri tidak menunjukkan perhatiannya.
Jangankan menyatakan perasaan rindunya, menanyakan kesehatannya saja tidak! Datang datang cuma Bandi yang diributkan. Surat Bandi. Bandi. Bandi melulu!
Dan Riri terlambat membaca perubahan di wajah Haris.
"Barangkali dia sakit lagi, Har. Kirim telegram ya?" desaknya sebelum Haris sempat menjawab.
"Kirimlah!" sahut Haris pendek. Gairahnya yang meluap-luap tadi untuk menjumpai Riri langsung surut dengan sendirinya. Tangannya yang telah dimasukkannya ke dalam saku celananya untuk mengambil oleh-oleh buat Riri meluncur lagi ke luar.
Dan mendengar dinginnya suara Haris, Riri baru tertegun.
"Har," panggiinya hati-hati, "ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," sahut Haris dingin, "aku cuma datang untuk melihatmu. Selamat siang."
Tanpa berkata apa-apa lagi Haris memutar tubuhnya. Dia sudah melangkah ke luar ketika Riri menghambur menghalangi langkahnya.
"Haris," tegur Riri keheran-heranan, "kau marah?"
"Aku mau pulang dulu," sahut Haris sambil melangkah ke samping melewati Riri. "Belum ketemu Ibu."
'Kau langSung kemari dari Airport?"
"Ya." Haris menatapnya dengan marah. "Karena aku kangen padamu!"
Sekejap Riri terperangah di tempatnya. Tetapi Haris tidak menunggu sampai Riri menyadari kesalahannya. Dia sudah melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
Sia sia Riri mengejar dan memanggilnya. Haris sudah membuang bungkusan kecil di sakunya itu ke tempat sampah.
*** MALAM itu Haris tidak muncul. Keesokannya pun dia menghilang entah ke mana. Percuma Riri menunggu-nunggu di rumahnya. Laki-laki itu betul betul tidak pernah datang lagi.
Akhirnya Riri menelpon ke rumah Haris Tiga kali menelepon, tiga kali pembantunya mengatakan tuan tidak ada di rumah. Tetapi keempat kalinya, ibunyalah yang menerima telepon.
"Haris ke mana, Bu?" desak Riri cemas. Tanpa basa-basi lagi. Dia sampai lupa menanyakan surat Bandi.
Hening seketika di ujung sana. Ketika Riri mendesak lagi, perempuan tua itu baru menghela napas panjang.
"Dia ada di kamar," katanya separuh berbisik, "tapi entah kenapa, Haris tidak mau menerima telepon dari Nak Riri. Apa kalian bertengkar?"
Jadi dia benar-benar marah padaku, pikir Riri di dalam taksi yang melarikannya ke rumah Haris. Mengapa" Karena aku pura-pura tidak rindu kepadanya" Karena aku cuma menanyakan Bandi"
*** Riri melihat bungkusan kecil yang diambil Haris dari sakunya itu. Dia juga melihat bagaimana Haris melemparkan bungkusan itu dengan gemas ke tempat sampah. itukah oleh-oleh untuknya" Yang khuSus dibawanya dari Medan"
Tapi aku harus bagaimana, pikir Riri bingung. Dia abang Bandi. Abang kekasihku. Bagaimana aku harus menyambutnya"
Haris begitu menarik. Terlalu menarik malah. Kalau Riri tidak bisa mengekang dirinya, dia kuatir Suatu hari dia lupa siapa pemuda itu!
Riri bukannya tidak menyadari kalau jantungnya berdebar lebih cepat setiap kali pemuda itu berada di dekatnya. Dan dia tahu apa sebabnya. Dia tahu mengapa dia begitu ingin meremas tangan Haris setiap kali Haris menggenggam jari-jemarinya.
Dia kenal sekali dirinya. Dia juga kenal perasaan apa yang tengah menggoda kesetiaannya kepada Bandi ini. Dia tahu mengapa dia belum mengirim surat juga kepada Bandi padahal sudah tiga minggu tidak ada surat untuknya.
Dia tahu mengapa dalam sepuluh hari ini dia malas melakukan apa-apa. Menulis surat kepada Bandi sekalipun! Semuanya gara-gara Haris. Gara gara dia ada di Medan!
Riri mencemaskan Bandi hanya untuk menutupi getar hati yang sesungguhnya di depan Haris. Dia begitu rindu kepadanya. Dia demikian ingin memeluknya. Tapi dia tahu, itu dosa.
Mengkhianati Bandi tidak sama dengan mengkhianati bekas pacar-pacarnya dulu. Kali ini, harga pengkhianatannya adalah jiwa seorang manusia!
KETIKA Riri tiba di rumah Haris, hanya Mbok Siti yang menyambutnya. Ibu Haris tidak ada di rumah. Barangkali dia sengaja menyingkir. Barangkali juga tidak.
Peduli apa, pikir Riri jemu. Aku sudah bosan bersandiWara di depannya! Seharusnya dia tahu, anaknya yang sulung itu terlalu menarik untuk dibiarkan berduaan saja dengan seorang gadis, siapa pun gadis itu!
"Tuan muda tidak mau keluar, Non," lapor Mbok Siti bingung, "katanya bilang saja sakit . . ."
"Kalau dia tidak mau keluar. biar aku yang masuk!" geram Riri jengkel.
Tanpa menghiraukan Mbok Siti yang tertegun bengong di ruang tamu, Riri melangkah ke kamar Haris.
Begitu pintu terbuka, Haris sudah tahu siapa yang masuk. Tetapi dia tidak mau memutar kepalanya. Dia tetap duduk membaca buku sambil membelakangi pintu.
"Haris!" dengan kesal Riri menutup pintu kamar separuh membantingnya. "Bukan begini caranya kalau kau tidak mau menemui aku!"
Dihampirinya kursi pemuda itu. Dirampasnya buku yang sedang pura pura dibacanya itu. Dan dilemparkannya ke atas tempat tidur.
"Kalau marah, bukan begini caranya! Mengapa mesti bersembunyi seperti tikus di kamar"!"
Tanpa berkata apa-apa Haris bangkit dari kursinya. Dan tanpa menoleh lagi ditinggalkannya kamar itu. Tetapi sebelum sempat ia menjangkau pintu, Riri telah menyambar lengannya dengan sengit.
Pengaruh persentuhan tangan mereka membuyarkan kemarahan Haris. Tatapan berapi-api
yang membakar matanya ketika menoleh dengan marah tadi surut dengan sendirinya begitu matanya bertemu dengan mata Riri. _
Sekejap mereka Sama sama kebingungan. Dan sama sama tidak tahu mesti berbuat apa. Tak ada lagi kemarahan. Yang ada cuma gelepar-gelepar kerinduan yang menggeluti tatapan mereka
Suasana yang sepi . . . udara yang sejuk . . . musik yang mengalun lembut melalui desah napas sang penyanyi . . dan seorang gadis cantik . . . dengan bibir separuh terbuka . . . basah menantang . . . lalu tahu tahu Riri telah berada dalam dekapan Haris.
Semuanya berlalu dengan cepat. Kerinduan yang berbulan-bulan dibendung dengan kejam itu kini menemukan pelampiasannya. Tak ada lagi kekuatan yang dapat menahan mereka untuk menyatukan gairah yang sedang meluap-luap di sana.
Bandi menghilang bersama desah napas yang membawa mereka ke Puncak kenikmatan. Tak ada lagi Bandi. Tak ada lagi pengkhianatan. Yang ada cuma cinta!
*** SEMAKIN dekat saat kepulangan Bandi dari luar negeri, semakin gelisah juga mereka berdua. Dan puncak keCemasan itu tiba bulan ini. Hanya sebulan sebelum Bandi kembali ke tanah air.
Riri tidak mendapat haid. Tentu saja mereka tidak usah kuatir kalau tidak ada sebabnya. Tapi justru itulah. Bayangan siang yang mesra di rumah Haris selalu kembali dan kembali lagi menghantui mereka.
Dengan hadirnya siang itu dalam hidup mereka, lengkaplah dosa yang mereka perbuat terhadap Bandi. Tidak sengaja memang. Tetapi juga bukan suatu kebetulan. Lagipula apa bedanya untuk Bandi sekarang"
Gadisnya digagahi oleh abangnya sendiri. Orang yang paling dipercayainya. Dan bukan itu saja. Ada satu hal lagi. Lebih dahsyat dari semuanya. Riri hamil.
*** "BELUM juga, Ri?"
Pagi-pagi sekali Haris sudah muncul di depan rumah Riri. Seperti kemarin. Dan seperti kemarinnya juga. Dengan pertanyaan yang sama. Penanyaan yang itu-itu juga.
Dan seperti kemarin, pagi ini pun Riri hanya mampu menggeleng lemah. Sambil menunduk,
tanpa berkata sepatah pun, Riri menyilakan Haris masuk.
Parjo yang buru-buru membukakan pintu menatap mereka dengan heran. Sudah beberapa hari ini. Haris datang pagi pagi sekali. Dan seolah olah sudah menunggu, Riri selalu datang menyambutnya di depan pintu pagar. Mereka saling menyapa dengan murung. Lalu berjalan bersama-sama ke taman. Entah apa saja yang mereka bicarakan. Parjo tidak mengerti sama sekali.
"Hari ini sudah hari keempat belas ya?" gumam Haris hampir-hampir tidak terdengar. Entah kepada siapa
'Riri tidak menjawab. Karena memang dia tidak merasa perlu untuk menjawab. Seperti dirinya juga, Haris tahu sekali apa jawaban pertanyaannya tadi.
Sudah empat belas hari haidnya terlambat datang. Padahal biasanya tidak pernah terlambat lebih dari seminggu.
"Hari ini kita periksa ya?" usul Haris sambil melangkah di samping Riri, menyusuri jalan setapak yang melintasi taman di samping rumah Riri.
"Buat apa?" "Siapa tahu positif."
"Kalau positif?"
Haris tersentak kaget. Seolah-olah dia tidak menyangka Riri akan bertanya demikian
"Kalau positif" Ya, bagaimana kalau positif" Apa yang harus dikatakannya kepada Bandi" Bagaimana ia harus menceritakan hal itu kepada adiknya"
Dan yang ditakuti itu akhirnya terjadi juga. Tidak ada keraguan lagi. Hasil tes kehamilan Riri benar-benar positif. Dia benar-benar hamil! Dan
anak yang dikandungnya itu anak Haris!
"Kau menyesal, Ri?" dengan lembut Haris menyentuh lengan Riri setelah hampir sepuluh menit mereka sama-sama terdiam dibuai pikiran masing masing. "Aku tidak memaksamu, bukan" Kita melakukannya atas kemauan kita sendiri . .
"Aku tidak menyalahkanmu, Har," desis Riri bingung. "Tapi . sekarang aku takut . . ,"
"Kau tidak sendirian Ri. Aku juga takut. Aku tidak tahu bagaimana harus menyampaikan kabar ini pada Bandi."
Ada air mengalir di sudut mata Riri. Dan melihat airmata Riri yang pertama itu, tiba-tiba saja Haris merasa benci kepada dirinya sendiri. Dia mengingini perempuan ini, bukan" Nah, mengapa mesti berpurapura"
Sekarang dia lebih berhak daripada adiknya. Ada benih dalam rahim Riri. Dan benih itu miliknya. Anaknya.
Dia akan berterus terang pada Bandi. Dia mencintai gadis ini. Haris telah bertekad untuk mengawininya. Bandi pasti dapat mengerti. Dia harus mengerti. Harus!
Setelah sekian lama berada di luar negeri, Siapa tahu Bandi pun sudah berubah. Siapa tahu dia sendiri sudah mempunyai Seorang gadis lain. Gadis baru yang ditemuinya di sana. Yang setiap hari dilihatnya. Yang mulai dicintainya. Seorang perawat barangkali. Atau seorang dokter yang selalu merawatnya dengan penuh perhatian.
Siapa tahu Bandi sendiri juga punya problem yang sama. Siapa tahu dia sendiri sedang kebingungan bagaimana menceritakan tentang gadis itu pada Riri.
". Dia ingin mengawini pacarnya yang baru.
Tapi tidak sampai hati menyakiti hati Riri. Tidak mau mengecewakan gadis yang telah menunggunya dengan setia Itu.
Tetapi tentu saja ini semua cuma khayalan Haris. Khayalan dan harapan. Dia tahu bagaimana setianya Bandi. Apalagi waktu Riri memperlihatkan surat Bandi yang terakhir. Dia sudah memesan sebuah gaun pengantin buat Riri. Akan dibawanya gaun itu pulang bersamanya.
"Kau tahu, Ri," tulis Bandi dalam suratnya yang terakhir. "Aku sudah melihat gaun pengantin itu dua bulan yang lalu. Sejak itu, setiap malam aku tidak bisa tidur. Membayangkan kaulah yang memakainya. Memimpikan saat saat aku dan engkau berjalan menuju altar "
Riri begitu merasa terpukul membaca surat itu. Bandi maSih memimpikan perkawinan mereka! Bandi maSih mengira gadisnya masih cukup suci untuk mendampinginya ke gereja, bersumpah setia di depan altar Tuhan! Padahal siapa bilang dia masih pantas mengenakan gaun pengantin yang putih bersih itu"
"Aku melihat gaun itu dipamerkan dalam etalase sebuah toko," tulis Bandi pula, "ketika aku check up ke rumah sakit. Hari itu napasku mendadak sesak. Dan jantungku berdebar-debar tidak karuan. Tapi begitu melihat gaun itu, sesakku langsung hilang! Tahu kenapa, sayang" Karena kau! Karena setiap kali teringat padamu, sesakku langsung hilang! Kaulah satu satunya alasan mengapa aku maSih ingin melihat matahari esok pagi!"
Dua bulan yang lalu pikir Riri getir. Pada suatu siang yang panas, di suatu tempat di Jakarta, kuserahkan keperawananku kepada seorang lelaki lain! Dan lelaki itu abangmu sendiri! '
Ya, Tuhan! Mudah mudahan bukan siang itulah Bandi melihat gaun pengantin itu!
"DOKTER sudah memperbolehkan aku pulang Ri," tulis Bandi dalam surat yang berikutnya, "kemarin aku menjalani general check up yang terakhir. Kata dokter, semuanya baik. Dan aku pun pulang. Tadinya Paman minta agar aku mau tinggal beberapa bulan lagi. Paman ingin membawaku jalan-jalan. Tapi aku sudah rindu kepadamu, Ri. Aku ingin buru buru pulang. Lagipula gadis-gadis di sini cantik cantik sekali. Dan terlalu agresif. Aku takut lupa padamu, Ri . . . takut lupa ada seorang gadis manis sedang menantiku dengan setia di Jakarta . . ."
Canda Bandi itu malah disambut Riri dengan sedih. Bandi begitu setia! Begitu merindukannya! Sebaliknya, dia malah mengharapkan Bandi tidak usah kembali saja! Karena dia telah berkhianat, dia takut!
"Aku akan berterus-terang padanya," kata Haris ketika Riri menceritakan surat Bandi yang terakhir, "aku yakin Bandi bisa mengerti."
"Itu sama saja dengan membunuhnya, Har!"
"Tapi kita pun tidak mungkin membunuh bayi kita, Ri! Sudah terlambat!"
"Tentu saja tidak! Lebih baik aku mati daripada membunuh anakku sendiri!"
"Dan kita juga tidak mungkin menyembunyikannya terus. Suatu hari, Bandi pasti tahu juga."
"Oh, Har! Jantungnya pasti tidak kuat menerima pengkhianatanku ini!"
"Tapi tidak ada jalan lain, Ri. Aku harus bicara padanya-"
"Lebih baik kita berterus-terang pada ibumu dulu, Har. Siapa tahu ibu bisa membantu kita . . .!!"
IBU Bandi bukan hanya terkejut mendengar pengakuan mereka. Dia shock. Benar-benar tidak menyangka mereka sampai hati mengkhianati Bandi. Hanya sekiankah harga sebuah kesetiaan"
Tiba-tiba saja dia merasa benci pada Riri. Pada Haris. Pada mereka berdua.
Tetapi setelah kemarahannya reda, dia mulai berpikir. Dia mesti menyelamatkan Bandi. Dan
untuk menyelamatkan anaknya, dia mesti mencari jalan ke luar. Bukan cuma marah-marah saja.
"Biar Ibu yang tulis surat pada Bandi," katanya menahan marah. "Tapi ada syaratnya."
"Sya . . . syarat . . .?" Riri menatap ibu Haris dengan bingung.
Sejak tadi dia menunduk saja. Tidak enak membalas tatapan ibu Haris yang demikian berapiapi. Tetapi mendengar kata syarat, tidak sadar dia mengangkat mukanya. Syarat" Syarat apa"
"Nak Riri harus tetap menikah dengan Bandi."
Kata-kata perempuan tua itu begitu tegas. Matanya menusuk tajam, langsung ke ulu hati Riri. Membuat yang ditatap ternganga tanpa mampu mencetuskan sepatah kata pun. Harislah yang meledak lebih dulu.
"Ibu!" suaranya penuh emosi. Antara marah dan kecewa.
Sekarang ibunya menoleh kepada Haris. Tatapannya begitu dingin. Mulutnya terkatup rapat, Membentuk garis yang amat tidak enak dilihat.
"Kau punya usul lain?"
Duh, tawarnya suara perempuan itu! Seakanakan dia bukan bicara kepada anaknya sendiri! Seakan-akan dia sedang berbicara dengan Seorang asing!
"Tidak mungkin Riri kawin dengan Bandi, Bu! Dia sedang mengandung anak saya!"
"Jadi kau benar-benar ingin membunuh Bandi!"
"Tidak pernah terlintas dalam pikiran kami, Bu!" Sela Riri tersinggung.
"Tapi apa bedanya" Permainan kalian ini bisa membunuh Bandi!"
"Ini bukan permainan1" geram Haris menahan marah. "Saya benar-benar mencintai Riri!"
"Bandi juga mencintai Riri!"
"Tidak adil memberikan Riri pada Bandi! Saya toh anak Ibu juga!"
"Ini bukan soal anak lbu atau bukan!" gerutu ibunya jengkel. "Ini soal pengkhianatan. Kau mengkhianati kepercayaan Bandi padamu. Kau merampas miliknya!"
"Tapi sekarang Riri milik saya, Bu! Sayalah ayah anak di dalam perut Riri! Saya lebih berhak daripada Bandi!"
"Ini bukan soal hak!" geram ibunya makin Sengit. "Kau mengerti tidak" Bandi menitipkan kekasihnya kepadamu. Kau merampasnya untuk dirimu sendiri! Kau nodai milik adikmu sendiri! Ibu cuma ingin mengembalikan apa yang kau rampas itu!"
"Tapi Riri mencintai saya, Bu!"
Sekarang ibu Haris menoleh dengan marah kepada Riri.
"Jadi selama ini kau juga cuma mempermainkannya! Kenapa kau begitu kejam memilih Bandi
untuk korbanmu" Dia tidak sama dengan korban korbanmu yang lain! Dia lemah! Dia bisa mati!"
"Kata siapa saya mempermainkannya?" protes Riri nanar. "Saya benar-benar sayang padanya!"
"Lalu mengapa kau lakukan ini pada Bandi" Mengapa?" mengalir airmata ibu Bandi di pipinya. Suaranya getir. Penuh emosi. "Mengapa kau sampai hati menyiksanya" Sejak kecil dia menderita. Mengapa kau tega menambah lagi penderitaannya" Dia begitu mencintaimu! Mengapa penderitaan seberat ini justru datang dari perempuan yang paling dicintainya?"
"Berikan saya kesempatan sekali lagi, Bu!" sahut Riri mantap. Airmata menetes satu-satu dari matanya. "Saya berjanji akan merawatnya seumur hidUp. Saya rela kawin dengan Bandi . . ."
Sekarang Harislah yang berteriak.
*** "TAPI itu gila, Ri!" geram Haris sengit. Saat itu mereka sedang duduk berdua di tepi Telaga Warna. "Kau mengandung anakku, bagaimana kau bisa kawin dengan Bandi?"
"Tidak ada jalan lain, Har . . ." Riri menunduk. Mengambil sebuah kerikil dan melemparkannya ke tengah telaga. Perlahan-lahan kerikil itu tenggelam ke dasar telaga dan tidak pernah muncul kembali. Seperti itulah dirinya sekarang. Tenggelam dalam kedukaan yang pekat. "Dengan begini, barangkali kita bisa menebus dosa kita pada Bandi."
"Riri!" Haris merenggut tangan gadis itu dengan penuh emosi. "Aku betul-betul mencintaimu! Tahukah kau" Aku belum pernah melamar seorang wanita kecuali engkau!"
"Har . . ." Riri mengangkat wajahnya dan
menatap Haris dengan sendu. "Kau tahu, kalau
boleh memilih, aku pasti memilihmu. Aku mencintaimu. Dan kau bapak anakku. Tapi kita berhutang pada Bandi, Har. Barangkali dengan pengorbanan ini, kita bisa membayar hutang kita . . ."
*** ORANGTUA Riri tidak dapat menerima kenyataan itu. Puteri mereka hamil. Dan pemuda yang menjadi ayah anaknya tidak mau mengakui anak itu.
Mereka tidak mengerti mengapa Riri harus kawin dengan Bandi kalau Harislah yang menghamili Riri. Itu betul betul tidak logis! Apa pun alasannya.
Sia-sia ibu Bandi mencoba menjelaskan segalanya. Ayah Riri tetap menghendaki Riri menikah dengan Haris. Bagaimanapun berandalnya dia, pasti Haris masih lebih baik daripada pemuda yang sakit jantung itu.
Pekerjaan tidak punya. Kedudukan tidak ada. Penyakitan pula. Orang begitu kok mau kawin. Hidup saja belum tentu lama.
Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mengapa puterinya mesti berkorban untuk anak orang lain" Kalau Bandi ingin menikah, mengapa mesti dengan Riri" Mengapa tidak mencari orang lain saja"
Ketika Riri berkeras hendak menikah dengan Bandi juga, ayahnya memberikan ultimatum. Mereka harus menikah sekarang. Di mana harus ditaruh mukanya kalau Riri baru menikah sesudah melahirkan"!
"Jangan terlalu minta yang bukan-bukan pada ayahmu!" geram ayah Riri gusar. "Kau mau kawin dengan lelaki penyakitan itu, oke! Kau memilih jadi perawat daripada nyonya besar, silakan! Ayah
kurang apa lagi" Tapi jangan keterlaluan! Masa kau mau beranak dulu baru kawin" Apa apaan itu"! Di mana ada aturan seperti itu?"
"Ayah tidak mengerti juga," keluh Riri putus asa. "Kalau Bandi tahu saya hamil, dia bisa sakit lagi!"
"Kau sudah berkorban begitu banyak untuknya masa dia tidak mau mengampuni kesalahanmu?"
"Ini bukan soal kesalahan, Ayah! Ini pengkhianatan!"
"Apa bedanya" Apa pun namanya peduli amat' Lebih baik kau berterus-terang daripada main sandiwara begini! Kalau dia betul-betul cinta padamu, dia harus mau menerimamu seperti apa adanya!"
"Tapi dia bisa mati, Ayah! Dia sakit jantung! Jantungnya sudah berhenti berdenyut Sebelum dia sempat memaafkan saya! Sebelum saya sempat minta maaf malah!"
"Aku tidak bisa mengerti logika perempuan!" dengus ayahnya sengit. "Kau mencintai Haris. Kau mengandung anaknya. Kau bisa kawin dengan dia. Tapi kenapa kau mesti kawin dengan Bandi, hanya karena dia sakit jantung"! Kenapa kau tidak kerja saja jadi perawat di rumah sakit" Di sana banyak orang sakit jantung!"
"Saya sudah kepalang janji pada Bandi, Ayah . , . saya tidak mau membunuhnya . . . tidak sampai hati . . dia begitu baik . . begitu lembut . . begitu rapuh . .
"Baik!" Ayah Riri menghentakkan kakinya dengan marah. "Kalau ini pilihanmu, kalau kau mau berlagak jadi pahlawan, terserah! Tapi tinggalkan rumah ini Sebelum tetangga tetangga kita
melihat perutmu! Aku malu! Malu!"
Sia sia ibunya mencoba membela Riri. Sia sia dia berusaha menahan Riri di sana. Ayah Riri tak dapat dilunakkan lagi.
Baginya, kehormatan lebih penting daripada seorang anak perempuan yang tidak mau mematuhi kata-katanya. Buat apa dikasihani. Anak itu toh tidak mengasihani dirinya sendiri! Berkorban untuk seorang penderita penyakit jantung sampai mengorbankan cintanya sendiri! Bah, pengorbanan apa itu!
Riri sendiri pun sama kerasnya. Kalau dia sudah mau, tidak seorang pun mampu menggoyahkan tekadnya. Tidak juga ancaman ayahnya. Dia keluar dari rumah orangtuanya hari itu juga.
Harislah yang kemudian mencarikan rumah kontrakan untuk Riri. Dia juga yang membiayai hidup gadis itu selama dalam pengasingan. Dan dari hari ke hari, kandungan Riri kian membesar juga. Janin yang tidak dikehendaki itu tumbuh semakin subur, tanpa mengacuhkan kebimbangan hati kedua orangtuanya.
*** "IBU sudah mengirim surat kepada Paman," kata ibu Bandi dengan suara datar. "Bandi harus tinggal di sana Setahun lagi."
"Setahun?" desah Riri kaget. "Sebulan pun pasti Bandi keberatan! Dia sudah begitu ingin pulang_. . ."
"Dan menemukan perutmu sudah gendut"!" sindir ibu Bandi pedas.
"Kalau perlu, biarlah saya yang menyingkir "
"Ke mana" Ke mana kau pikir kau bisa
menyembunyikan dirimu?"
"Saya bisa pulang ke rumah Nenek "
"Bandi pasti mencarimu!"
"Minggu depan saya cuti," potong Haris tak sabar. "Biar saya yang menyelesaikan soal ini. Saya bisa pergi ke Amsterdam dan bicara dengan Bandi."
"Dan membiarkan penyakit jantungnya kumat lagi"!" desis ibu Bandi geram. "Tidak, Haris! Kau sudah terlalu banyak menyusahkan adikmu!"
"Tapi ini urusan saya dengan Bandi, Bu!"
"Urusan Ibu juga! Kalau dia sakit lagi, Ibu yang sedih!"
Tapi jangan kira cuma Ibu yang sedih, pekik Riri dalam hati. Kalau Bandi sakit lagi, saya pun ikut tersiksa!
"Ibu sudah mengatur semuanya. Demi kebaikan Bandi. Ibu sudah minta kepada Paman agar menahan Bandi setahun lagi di sana. Sementara itu kau bisa melahirkan bayimu dengan tenang di sini, Riri."
"Tapi Bandi mana bisa ditahan, Bu" Kita tidak punya alasan . . ."
"Ala, alasan gampang dicari!" potong ibu Bandi ketus. "Ibu katakan saja tahun depan kau akan menyusul ke sana."
"saya?" belalak Riri kaget. Dia ternganga keheranan. Dan dia sampai lupa menutup mulutnya kembali.
"Carilah alasan apa saja," potong ibu Bandi dengan suara datar "kau sudah biasa membohongi lelaki 'kan" Kau pasti lebih tahu!"
"Tapi . . "Katakan saja kau akan melanjutkan pelajaranmu di sana." '
"Tapi . ." menggagap Riri. "Bagaimana dengan anak saya?"
"Serahkan saja pada Ibu."
"Tidak mungkin saya berpisah dengan anak saya. Bu!" pekik' Riri panik.
"Tapi Bandi pun tidak mungkin bisa melihat anak itu! Mengertikah kau" Dia tidak boleh melihat anak kalian!"
Riri menelungkup ke atas meja dan menangis tersedu'sedu. Dia benar benar putus asa. Semua jalan terasa buntu. Semua pintu seakan-akan menjebloskannya ke Neraka!
"Ibu sudah mengatur semuanya untuk kalian." keluh ibu Bandi berat. "Yang terbaik buat kita semua. Nak Riri bisa menikah dengan Bandi. Dan Bandi tidak mengetahui pengkhianatan kalian."
"Tapi bagaimana dengan saya, Bu?" protes Haris jengkel. "Sayalah ayah anak itu!"
"Anak itu tetap anakmu," sahut ibunya tegas, "kau boleh tetap menjadi ayahnya."
"Dan ibunya?" Sekarang ibunya menatap Haris dengan tatapan kosong.
"Kau boleh mencari seorang ibu baginya." Suaranya sehampa tatapannya. "Ibu percaya kau dapat."
"Tidak!" geram Haris sambil mengatupkan rahangnya dengan marah. "Saya tidak mau!"
"Kau lebih suka melihat Bandi sakit lagi?"
"Tapi tidak dengan jalan ini, Bu!"
"Lalu dengan jalan apa" Kau punya jalan yang lebih baik?"
"Ibu sampai hati memisahkan anak saya dari ibunya?"
"Kalian sampai hati Mengecewakan Bandi"
Dia mempercayaimu, Haris! Dan dia begitu menyayangi Riri! Mengapa kalian tega mengkhianati Bandi?"
*** TENTU saja Bandi terkejut mendengar kabar itu. Terkejut campur gembira. Telegram itu diterimanya justru pada saat-saat terakhir di Amsterdam. Ketika dia sudah bersiap-siap hendak kembali ke indonesia. '
Riri akan ke mari" Bukan main! Sudah dibayangkannya tempat-tempat romantis di sini. Ke sanalah dia akan membawa Riri. Tapi setahun lagi! Duh, alangkah lamanya!
"Tidak dapatkah kau datang lebih cepat, Ri?" tulis Bandi dalam suratnya. "Aku sudah begitu rindu padamu. Rasanya tidak tahan lagi kalau harus menunggu satu tahun! Datanglah, Ri. Sekarang aku sudah kuat menggendongmu ke tempat tidur . . ."
Surat Bandi penuh dengan luapan perasaan rindu. Cinta. Kemesraan. Membakar kecemburuan di hati Haris. Diremasnya surat itu dengan gemas.
Tetapi ketika Haris hendak melemparkan surat Bandi ke tempat sampah, Riri yang sedang bersandar ke bahu Haris meraihnya.
"Jangan, Har," pintanya sambil mencoba merapikan kembali kertas yang sudah kumal itu. "Jangan dibuang."
"Mau kau apakan" Kau simpan di bawah bantalmu" Atau mau kau baca lagi nanti malam?"
"Har . . Riri menoleh dan membelai pipi Haris dengan lembut. "Kau tidak membenci Bandi 'kan" Dia tidak bersalah. Dia tidak tahu apa apa, Har."
Haris menghela napas. Digenggamnya tangan Riri yang sedang membelai belai pipinya. Musik lembut mengalun syahdu dari piringan hitam di sudut ruangan. Memekatkan kesenduan yang menghimpit di antara mereka.
"Aku cemburu," desah Haris bersamaan dengan helaan napasnya, "aku tidak bisa membayangkan dia akan memilikimu. Kau, Riri . . ." Haris menatap gadis itu dengan getir. "Ibu anakku! Aku tidak bisa . . tidak rela . . . tidak sanggup melihat kau jadi isteri Bandi!"
"Har . Riri menyelusupkan kepalanya ke dada Haris. Dan Haris mendekapkan gadis itu erat-erat ke dadanya. Rasanya dia tidak ingin melepaskan Riri lagi. Tidak kepada Bandi sekalipun! Persetan dengan jantung yang rapuh itu! Persetan!
"Aku cinta padamu, Ri . . rintih Haris di sela-sela desah napasnya. "Mengapa kita tidak kawin saja?"
"Aku tidak sanggup mengatakannya kepada Bandi, Har . . ." rintih Riri sambil menahan tangis.
*** SEMAKIN dekat saat Riri melahirkan, ibu Bandi semakin gelisah melihat sikap Haris. Dia bukannya pergi mencari gadis yang cocok untuk menjadi ibu anaknya. Dia malah makin sering pergi dengan Riri.
Tiap tiap hari ada ada saja alasannya. Mengantar Riri ke dokter. Menemani Riri membeli pakaian bayi. Dan masih sejuta satu alasan' lagi.
Memang hampir Setiap malam Haris pulang sampai larut. Tapi ibunya bukan tidak tahu ke mana dia pergi. Ke mana lagi kalau bukan ke rumah Riri!
Padahal dia justru harus sudah mulai menjauhkan diri dari gadis itu. Kalau tiap saat mereka bertemu, tiap hari memadu cinta, sampai kapan mereka bisa berpisah" Mereka malah bertambah lengket!
Ibunya sudah harus mulai memasang jerat baru. Kalau Haris tidak mau mencari pengganti Riri, dialah yang sudah harus mulai mencari calon isteri bagi pemuda itu. Dan hanya beberapa bulan sebelum Riri melahirkan, dia baru menemukan calon yang tepat untuk Haris.
*** TANTI tidak cantik. Tidak pandai memikat hati laki-laki. Dan umurnya tidak muda lagi. DI ambang tiga puluh, orangtuanya sudah bingung ke mana harus mencari jodoh untuk anaknya. Tidak heran begitu ada lamaran mereka langsung berminat.
Pendidikan Tanti tidak terlalu tinggi. Cuma lulusan SMP. Tapi apalah artinya pendidikan! Bagi ibu Haris, asal bisa menghitung uang belanja saja sudah cukup!
Mencari uang itu toh tugas suami. Kalau isteri terlalu' pintar cari uang, nanti suaminya malah jadi 'minder'. Dan isterinya jadi semakin sulit diatur. Semakin jarang di rumah. Anak anak jadi terlantar.
Satu hal lagi. Kalau dia terlalu pintar, mana
dia mau jadi isteri seorang laki laki seperti Haris, hanya Supaya dia bisa menikah!
Tanti berasal dari keluarga yang sederhana. Sejak kecil dia sudah dididik untuk menelan Saja apa yang dikatakan orangtuanya. Nah, perempuan seperti ini yang dicari ibu Haris!
Terus terang, dia memang lebih suka kalau Tantilah yang jadi isteri Bandi. Perempuan ini lebih cocok untuk seorang penderita penyakit jantung.
Tidak bertingkah. Tidak banyak tuntutan. Debu debu kota metropolitan seakan-akan tidak pernah menyentuh keluguannya.
Jangan yang seperti Riri. Wah! Sejak dulu pun sebenarnya ibu Haris sudah kuatir. Mana bisa domba beristeri ular!
Tetapi apa boleh buat. Bandi sudah kepalang jatuh cinta. Cinta pertama pula. Dan ibunya tahu. sekali Bandi jatuh cinta, dia akan membawa cintanya sampai mati!
Kalau dia sudah memilih Riri, lebih baik jangan coba coba mengalihkan cintanya kepada perempuan lain. Apalagi perempuan yang seperti Tanti. Jangankan disuruh merayu. Membalas tatapan laki-Iaki saja dia tidak berani. Nah, bagaimana dia bisa mengalihkan cinta Bandi pada Riri!
Kesulitan yang sama timbul ketika ibu Bandi berniat menjodohkan Tanti dengan Haris. Tanpa inisiatif dari pihak Haris, sampai kapan Tanti mampu mencuri hati Haris" Menarik perhatiannya saja sudah sulit!
Tapi justru di sinilah susahnya! Biasanya si Haris ini agak mata keranjang. Tidak boleh melihat perempuan mulus. Selalu ingin mencoba. Tapi entah mengapa sekarang dia jadi alim.
Jangankan tertarik kepada Tanti. Menoleh pun dia enggan! Padahal Tanti kurang apa lagi" Biar tidak cantik, dia toh tidak jelek.
Makin lama dilihat, kecantikannya yang tersembunyi semakin memperlihatkan keasliannya. Dia baik hati. Sopan. Alim. Dan masih seribu satu macam alasan lagi yang pantas mengangkatnya sebagai calon isteri teladan. Nah, mengapa sekarang seakan-akan dia tidak punya aliran listrik lagi untuk menyengat perhatian Haris"
Sudah dua kali Tanti diundang makan malam di rumah mereka. Ketika Haris belum pulang juga walaupun makan malam sudah lama berakhir, Tanti masih diminta untuk menemani ibu Bandi nonton TV. Padahal apa yang mau ditonton di sana" Semuanya pakai sponsor!
Ketika Haris pulang, dan dia terus saja nyelonong masuk kamar, bukan cuma ibunya yang tersinggung. Tanti juga. Kalau dia bukan Tanti, pasti dia sudah pulang sejak tadi. Tapi karena dia Tanti, dia masih sabar menunggu ibu Bandi yang sedang menyusul Haris ke kamarnya.
Dia masih bisa berpurapura nonton televisi. Dan dia masih mampu tersenyum dengan senyum yang semanis tadi tatkala ibu Bandi keluar menemuinya.
"Sebentar ya, Nak Tanti," kata ibu Bandi sambil duduk kembali di samping Tanti. "Haris sedang tukar pakaian sebentar. Rapatnya sampai malam."
Tanti masih tetap tersenyum meskipun dia tidak yakin ada rapat malam Minggu. Dia pun masih bisa tersenyum walaupun sekilas tadi ketika Haris lewat, dia sudah mencium betapa harumnya sisa-sisa parfum yang melekat di badan pemuda itu.
Senyumnya baru tersipu ketika Haris sudah duduk di dekatnya menawarkan minuman Dan makin tersipu lagi setelah ibu Bandi memaksa Haris mengantarkannya pulang. Padahal sikap Haris begitu wajar. Ramah. Walaupun tidak hangat.
*** "APA kurangnya Tanti?" desak ibu Haris penaSaran ketika Haris tidak memberi komentar aia-apa tentang gadis pilihannya.
"Tidak ada," sahut Haris acuh tak acuh. "Dia sempurna."
"Lalu?" "Dia terlalu baik untuk saya."
"Ah, itu cuma alasan! Kau tidak tertarik padanya!"
"Semua lelaki normal pasti tertarik pada gadis seperti dia."
"Kau tidak?" "Ibu tidak mengerti juga. Saya mencintai Riri, Bu."
"Tapi Riri milik Bandi, Har!"
"Lantas apa yang Ibu kehendaki lagi dari saya?" geram Haris sengit. "Sejak kecil Ibu selalu memihak Bandi!"
"Carilah pengganti Riri, Har. Kau bisa memperoleh sepuluh perempuan lagi yang lebih cantik daripada Riri. Tapi Bandi tidak. Kau tidak mau mengalah pada adikmu" Tidak mau berkorban untuk Bandi?"
"Apalagi yang mesti saya korbankan?" desis Haris kesal. "Saya toh sudah rela tidak mengawini ibu dari anak saya sendiri! Cuma untuk Bandi! Ibu minta apa lagi?"
"Anakmu butuh seorang ibu, Har."
"Nah, carikanlah dia seorang ibu!"
*** HARIS tidak melawan ketika ibunya memilih Tanti sebagai isterinya. Dia seakan akan sudah kehilangan seluruh gairahnya untuk berumahtangga. Dia tidak peduli siapa pun yang dipilih ibunya. Masa bodoh amat.
"Apa bedanya lagi bagi saya?" tanyanya jemu. "Siapa pun sama saja. Saya toh sudah tidak mungkin lagi memperoleh perempuan yang saya cintai."
Tetapi di balik semua penderitaan mereka, sebenarnya Ririlah yang paling menderita. Dia harus menyaksikan kekasihnya menikah dengan perempuan lain. Dan dia harus menyerahkan anaknya kepada perempuan itu.
"Rasanya tidak tahan lagi, Har . . ." tangis Riri ketika mereka duduk berdua di beranda rumah Riri malam itu. "Aku tidak kuat menyaksikannya . . . Aku bisa gila, Har! Perempuan itu merampas dua orang yang paling kukasihi! Aku cemburu padanya, Har! Aku iri!"
Haris membelai-belai perut Riri yang telah membukit. Merasakan sentakan-sentakan halus dari makhluk kecil yang sedang berlindung di dalam sana. Menunggu saatnya keluar.
Dan kalau dia keluar nanti, seorang ibulain telah menunggu. Ibu yang tak pernah merasakan tendangan-tendangan kecil di perutnya. ibu yang tak pernah memberinya makan dengan tetesan darahnya sendiri. Ibu yang tidak pernah merasakan beratnya mengandung. Atau sakitnya melahirkan.
Tapi ibu itulah yang kini sedang menunggunya di luar sana. Ibu yang lebih berhak. Berhak atas
dirinya. Dan berhak atas ayahnya
"Aku tidak mencintainya, Ri."
"Aku tahu, Har. Tapi sebentar lagi dia akan menjadi isterimu. ibu anakmu."
"Anak kita." "Anak kalian!" Riri memejamkan matanya rapat-rapat. Dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Tetapi dua tetes airmata mengalirjuga dari celah-celah bulu matanya.
"Sampai kapan pun dia tetap anak kita." Haris meraih Riri ke dalam pelukannya. "Hanya darahku dan darahmu yang mengalir di tubuhnya! Dengarlah sayang, hanya kau yang kucintai. Sampai kapan pun. Suatu hari nanti, percayalah Ri, kita akan berkumpul kembali. Seperti ini."
"Oh, Har! Masih b0lehkah aku punya pikiran Seperti itu" Masih bolehkah aku punya harapan demikian" Aku tidak mau mengkhianati Bandi lagi, Har! Cukup sudah sekali saja kita menikamnya!"
"Aku akan tetap menunggumu, Ri. Sampai kapan pun!"
"Tapi kau mesti menikah, Har! Kau mesti punya seseorang yang akan mengurusmu. Mencintaimu. Seseorang yang akan merawat anak kita. Kalau tidak, aku tidak relameninggalkan kalian!"
Haris menghela napas berat. Alangkah sulitnya berpura-pura mencintai seseorang kalau hatinya telah diberikannya kepada perempuan lain! Alangkah sakitnya mencoba memupuk cinta kalau benih cinta itu tak pernah tumbuh di dadanya!
"Terus terang aku percaya perempuan itu mampu mengurusmu, Har," biSik Riri sedih. "Dia punya segalanya yang dibutuhkan oleh seorang perempuan untuk membahagiakan suaminya. Ibumu pandai memilih."
"Dia hanya bisa memiliki namaku. Diriku sudah sepenuhnya milikmu, Ri!"
"Har," Riri menengadahkan wajahnya. Menatap Haris dengan penuh kaSih sayang. "Aku cemburu kalau kau mencintainya, Har. Tapi kalau kau tidak bahagia, aku sedih."
"Itulah perempuan." Haris mengecup bibir Fliri sambil tersenyum pahit. "Selalu penuh dengan dualisma."
"Cobalah membahagiakan perkawinanmu, Har. Aku mohon padamu. Demi anak kita. Anak kalian."
"Kau sendiri bisa bahagia?"
"Akan kucoba. Kau juga, Har" Kau mau berjanji akan mencoba membahagiakan anak-isterimu" Kalau kau menderita, anak kita ikut sengsara! Aku tidak mau dia ikut merasakan hukuman akibat dosa kita, Har!"
*** TETAPI selama sesudah Haris menikah dengan Tanti, dia tidak pernah memperlakukan perempuan itu sebagai isterinya.
Haris lebih banyak berada di rumah Riri daripada di rumahnya sendiri. Dia selalu sampai di rumah larut malam. Dan masuk ke kamar tidurnya dengan sisa-sisa kelelahannya.
Tidak ada waktu yang tersisa untuk Tanti. Apalagi kemesraan. Hanya ibu Haris yang mengerti penderitaan Tanti. Meskipun Tanti sendiri selalu menyembunyikannya.
Dia tidak pernah mengeluh. Apalagi mengadu. Dia tidak pernah menceritakan ulah suaminya. Tidak pernah menuntut apa-apa. Dengan sabar, dengan tabah, dijalaninya hidup perkawinannya
yang gersang itu. Dia tetap menyediakan makanan untuk Haris sungguhpun suaminya hampir-hampir tak pernah makan di rumah. Dia tetap berdandan untuk suaminya meskipun Haris tidak pernah menghiraukannya.
Ibu Harislah yang akhirnya tidak tahan lagi. Dia harus menegur Haris. Anak itu benar-benar sudah keterlaluan. Memperlakukan isteri seperti itu!
"Jangan mentang-mentang Tanti baik, kau injak-injak dia seenaknya! Mana tanggungjawab mu sebagai suaminya" Dia 'kan isterimu! Bukan koki! Bukan perawat bayi! Kau tidak menggaji dia untuk merawat anakmu! Atau untuk menjaga rumahmu!"
Haris menghela napas. Dia tahu, berdosa memperlakukan isterinya seperti itu. Tapi dia harus bagaimana" Dia mencintai Riri. Dia merasa mengkhianati Riri kalau memperlakukan Tanti sebagai isterinya. Lagipula, apa istimewanya Tanti" Apa menariknya perempuan itu"
Dengan dandanan yang demikian sederhana, rambut panjang yang dijalin begitu saja ke punggungnya, sikap yang kaku dan malu-malu, dia lebih mirip pelayan daripada iSteri!
Dia tidak pernah berani mengajak suaminya bicara, apalagi bercanda. Dia tidak pernah berani menanyakan ke mana saja Haris pergi kalau malam. Bahkan dia tidak pernah bertanya kenapa Haris tidak pernah menyentuhnya!
Dia cuma melayani, melayani dan melayani! Lama-lama Haris jadi jengkel juga. Lebih lebih setelah ditegur ibunya. ibu selalu menyalahkan dirinya. Nah. mengapa Ibu tidak melihat perempuan apa yang dipilihnya ini"
Duduk makan pagi bersama suaminya pun dia canggung. Sementara Haris minum kopi sambil membaca koran, Tanti sibuk menyiapkan roti. Itu pun dilakukannya dengan sangat hati hati, seolah olah takut mengganggu keasyikan Haris membaca!
"Mengapa kau takut sekali padaku?" geram Haris gemas sambil meletakkan korannya di meja. "Mengapa kau tidak duduk di sini menemani suamimu minum kopi?" _
Ditanya demikian mendadak, Tanti jadi gelagapan. Pisau yang sedang dipegangnya untuk mengolesi roti terlepas dan jatuh menimpa piring, menerbitkan suara berisik yang membuat mukanya tambah pucat. Seakan-akan suara gaduh yang terdengar di rumah yang selalu sepi itu membuatnya shock.
Sejenak dia tidak bisa menjawab apa apa. Hanya tertegun mengawasi Haris dengan tatapan bingung bercampur takut"
Melihat sikapnya, Haris jadi tambah kesal.
"Apa aku begitu menakutkanmu?"
"Saya . . . saya" menggagap Tanti dengan bibir gemetar. Semakin ingin dia menyahut, semakin sulit dia bicara. Semakin panik sikapnya, semakin salah tingkah juga. Dan sampai bosan Haris menunggu, tidak sepatah-kata pun bisa terlepas dari geletar bibirnya.
Sambil menghela napas, Haris mengatupkan rahangnya menahan marah.
"Berapa sebenarnya umurmu?"
Ada selintas rasa kaget di mata Tanti yang membuat tatapannya jadi semakin tidak enak dilihat.
"Mengapa sifatmu masih seperti anak kecil" Aku suamimu. Dan aku toh tidak pernah memarahimu. Kenapa kau tidak pernah menanyakan mengapa aku selalu pulang malam, mengapa aku tak pernah menyentuhmu, apa pekerjaanku di kantor, enak atau tidaknya masakanmu, atau persetan, tanyalah apa saja! Itu hakmu! Kau isteriku, bukan pelayan! Dan aku kepingin punya isteri! Bukan patung!"
Tanti sudah membuka mulutnya untuk menjawab. Tetapi sampai pegal Haris menunggu apa yang hendak dikatakannya, Tanti belum mampu juga mencetuskan isi hatinya. Mulutnya yang masih ternganga itu lambat-lambat menutup lagi dengan sendirinya. Dan perlahan-lahan kepalanya terkulai tunduk mengawaSi lantai bisu di bawah kakinya.
Ada air meleleh ke pipinya. Ketika dirasanya dia tak dapat menahan airmatanya lagi, Tanti cepat-cepat memutar tubuhnya dan melangkah ke kamar.
Haris membanting cangkir kopinya dengan sengit. Diikutinya isterinya ke kamar. Ditendangnya pintu sampai terbuka. Dan dia tegak di ambang pintu. Diam sejenak mengawasi Tanti yang sedang menangis di tempat tidur.
"Dengar," geram Haris tak sabar, "kalau kau tidak mau bertanya, biar aku yang menjelaskan!"
"Saya tidak minta penjelasan apaapa . . rintih Tanti getir. "Saya menerima Mas Har seperti apa adanya . . . saya tidak pernah meminta lebih!"
"Tapi itu hakmu! Kau berhak mengetahui manusia macam apa yang jadi suamimu! Aku menikah dengan engkau supaya perempuan yang kucintai bisa menikah dengan adikku!"
Haris membanting pintu dengan jengkel. Ditinggalkannya kamar itu cepat cepat. Dia bisa gila menghadapi perempuan model begini!
Apalagi setelah ternyata Tanti tidak berubah sedikit pun. Dia bukannya minta cerai. Dia malah melayani Haris seperti biasa. Seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa.
Dia tetap menunggu Haris pulang sampai pukul berapa pun tiap malam. Dia tetap menyediakan makanan walaupun Haris tak pernah menyentUhnya. Dan dia tetap tak pernah menanyakan apaapa!
"Saya tidak sampai hati menyiksanya terus, Bu," kata Haris kepada ibunya beberapa hari kemudian, "Tanti terlalu baik untuk saya. Lebih baik kami bercerai."
"Tanti lebih merasa terhina kalau kauceraikan, Har," bujuk ibunya. "Kalau kau kasihan padanya, berilah apa yang menjadi haknya. Jangan malah menceraikannya! DI keluarganya, perempuan yang diceraikan suami tidak dihargai sama sekali."
*** MALAM itu Haris pulang sampai larut sekali. Dan entah karena terlalu lelah, entah karena mengantuk, Tanti ketiduran di kursi waktu menunggu Haris pulang. Padahal biasanya dialah yang selalu membukakan pintu buat Haris.
Haris terpaksa masuk dari pintu belakang dengan menggunakan sebuah kawat bengkok. Lama dia tegak di depan kursi Tanti tanpa berniat untuk membangunkannya. Dan melihat wanita yangsedang tidur nyenyak itu, tiba-tiba saja Haris merasa iba.
Ketika masuk dari belakang tadi, dia harus melewati ruang makan. Dia melihat makanan yang disediakan Tanti untuknya di meja makan. Makanan yang sudah dingin itu masih terhidang dengan dengan rapi, ditutup dengan sebuah tudung saji.
Haris juga melihat majalah-majalah yang berserakan di meja yang mungkin dibaca Tanti sebelum dia jatuh tertidur tadi.
Entah sudah berapa jam dia menunggu Haris di sana. Dan ketika sedang terpekur mengawasi Tanti, tiba-tiba Haris terSentak lagi.
Tanti memakai lipstick yang sewarna dengan yang sering dipakai Riri. Bahkan malam ini, dia memakai minyak wangi yang selalu dipakai Riri. Untuk memikat suaminyakah" Sudah tiga bulan mereka menikah, tapi satu kali pun Haris belum pernah menyentuh isterinya!
Barangkali hanya rasa haru atas kesetiaan yang demikian besar yang diperlihatkan isterinya yang membangkitkan kembali tenaga Haris di atas sisa sisa keletihannya. Dia menggendong Tanti ke kamar tidur. Meletakkannya dengan hati-hati di ranjang pengantin mereka.
Sebenarnya Tanti telah terjaga pada saat pertama tangan Haris menyentuh kulitnya. Seluruh tubuhnya mengejang seperti dijalari aliran listrik.
Dadanya berguncang hebat. Jantungnya berdebar dua kali lebih Cepat. Tetapi dia tidak berani membuka matanya. Tidak berani memalingkan mukanya meskipun bau alkohol di sela-sela desah napas suaminya hampir membuatnya muntah. Sampai-sampai bernapas pun dia tidak berani!
Tanti baru membuka matanya ketika Haris meletakkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kamar yang gelap tidak memungkinkan Haris untuk melihat air yang menggenangi mata isterinya. Tanti merasa amat terharu mendapat perlakuan semanis ini dari suaminya.
Tetapi tatkala Haris tidak hanya berhenti sampai di sana, tatkala tangannya mulai menggerayangi tubuhnya untuk melepaskan pakaiannya satu persatu, Tanti terpaksa memejamkan matanya kembali. Kali ini dua kali lebih rapat daripada tadi.
Tanti merasa wajahnya panas menahan malu. Seluruh rambut kulitnya meremang. Tubuhnya tegang dan dingin sampai ke ujung'ujung jari.
Dia mesti menggigit bibirnya kuat-kuat supaya jangan menjerit. Dia ingin melayani suaminya dengan sebaik baiknya. Dan dia harus membuktikan bahwa di tempat tidur, pelayanannya tidak senorak penampilannya sehari hari. Biarpun dia belum berpengalaman, dia mesti bisa memuaskan suaminya.
Tanti menyerahkan miliknya dengan pasrah ketika Haris mengambilnya. Dia tidak marah meskipun di tengah tengah kenikmatannya, barangkali dalam keadaan separuh mabuk, Haris malah merintih memanggil nama Riri.
Baru setelah Haris terlelap kecapaian, Tanti menumpahkan tangis yang ditahan-tahannya sejak tadi. Dan dering telepon dari ruang tengah menyentakkan tangisnya.
Telepon! Di tengah malam buta begini! Untuk Hariskah" Beringsut-ingsut Tanti bangkit dari tempat tidur sambil menahan tangisnya. Kuatir membangunkan Haris.
Begitu menggapai tangkai telepon, suara seorang perempuan terdengar di ujung sana. Getir menahan sakit, "Panggilkan Haris."
Tanpa bertanya lagi, Tanti sudah tahu siapa perempuan itu. Sekilas ada rasa jengkel di hatinya. Haris baru saja kembali dari sana. Mau apa dia mencari Haris lagi"
Ingin sekali-sekali dia membanting telepon itu. Atau mendampratnya sekali. Dia toh isteri Haris Yang sah. Perempuan itu mesti menghargai haknya.
Malam-malam begini memanggil suami orang. Tanpa permisi sama sekali kepada isterinya. Tetapi Tanti hanya menyimpan kemengkalan itu dalam benaknya sendiri.
Di telepon dia cuma menyahut lirih.
"Tunggu sebentar."
Lama Tanti tegak di muka pembaringan Haris. Dia sudah menyalakan lampu. Tapi Haris belum terjaga juga.
Tanti jadi ragu-ragu. Tidak marahkah Haris nanti kalau dibangunkan" Dia begitu letih. Tidurnya demikian lelap. Matanya tetap terpejam meskipun Tanti sudah dua kali menyentuh kakinya.
Tiba tiba saja Tanti merasa kasihan kepada Haris. Mengapa perempuan itu begitu egois" Tidak tahukah dia betapa lelahnya Haris" Mengapa dia cuma memikirkan dirinya sendiri kalau benar dia mencintai Haris" "
Entah berapa lama Tanti termangu-mangu di sana sebelum dia dapat memutuskan akan membangunkan Haris atau tidak. Ketika akhirnya dia mengguncang guncang kaki Haris untuk membangunkannya, Riri sudah membanting teleponnya.
"Ada apa?" desis Haris antara kesal dan mengantuk.
"Ada telepon . . ." sahut Tanti takut-takut.
"Darimana?" "Perempuan . . ."
Belum habis Tanti bicara, Haris telah melompat bangun dari tempat tidurnya dan berlari-lari ke kamar tengah. Telepon! Dari perempuan. Di tengah malam buta begini. Pasti Riri! Dan dia tidak akan menelepon kalau belum sakit perut sekali!
Tergesa-gesa Haris meraih teleponnya. Tetapi
tidak ada sahutan apa apa dari ujung sana.
"Kenapa aku tidak dibangunkan dari tad"!" gerutu Hans kesal ketika dia sedang buru buru mengenakan pakaiannya. "Barangkali dia hendak melahirkan!"
*** KETIKA Haris tiba di rumah Riri, wanita itu telah berangkat. Seorang diri. Malam malam pula.
Haris menjadi panik. Bergegas dia melarikan mobilnya ke klinik bersalin. Dia tahu di klinik mana Riri telah pesan tempat. Tetapi dalam keadaan mabuk, malam-malam pula, agak sulit bagi Haris menemukan jalan ke sana.
Waktu dia tiba di klinik itu, Riri sudah masuk ke dalam. Dan bidan yang sedang duduk separuh mengantuk di kantornya melarang Haris masuk.
"Sedang diperiksa!" katanya datar. "Bapak tunggu di luar saja."
Haris juga tidak ingin masuk. Dia ngeri melihat wanita melahirkan. Apalagi kalau yang melahirkan isterinya sendiri. Tetapi Riri harus tahu, dia sudah ada di sini.
"Bilang padanya saya ada di luar, Mbak," pinta Haris sungguh-sungguh.
"Lho memangnya Bapak tadi di mana"Tidak ada di rumah?"
"Saya terlambat pulang," sahut Haris asal saja. Heran, mau tahu saja urusan orang. "Perlu panggil dokter, Mbak?"
Bidan itu mengawasi Haris dengan ngeri. Dengan penampilan seperti ini, rambut acakacakan dan mulut berbau alkohol, pintu rumah dokter Winnie bisa jebol!
"Tidak usah," sahutnya pendek, "biar kami periksa dulu."
"Tolong beritahu isteri saya dulu, Mbak."
"Jangan kuatir. Bapak diamdiam saja di situ. Tenang tenang saja."
"Tapi isteri saya juga perlu ketenangan, Mbak. Dia pasti lebih tenang kalau tahu suaminya ada di sini."
Terpaksa bidan itu masuk ke dalam. Hanya supaya Haris jangan ribut lagi.
Dan bersamaan dengan datangnya fajar pagi itu, lahirlah seorang anak laki-laki yang sehat. Dengan tangisnya yang melengking keras. Seakanakan dia hendak mengabarkan kehadirannya. Dan tidak peduli pada wajah wajah muram yang menyambut kedatangannya.
"Lelaki, Pak!" kata-kata bidan itu menyentakkan lamunan Haris yang sudah tiga jam duduk di sana antara sadar dan tidak. "Tiga kilo dua ratus gram."
Sejenak Haris terhenyak di kursinya. Seorang anak laki-lakil Anaknya! Anaknya dengan Riri. Dia sudah jadi bapak!
Termangu-mangu Haris mengawasi bayi merah yang diperlihatkan kepadanya itu. Ah, dia tidak mirip siapa-siapa. Barangkali karena masih terlalu kecil. Mukanya masih kotor. Belum dibersihkan. Mulutnya lebar sekali. Lebih lebih kalau dia sedang menangis seperti sekarang.
Diam-diam Haris tersenyum masam. Jelek benar bayi ini. Sama sekali tidak mirip ibunya.
"Anak kita laki-laki, Ri," bisik Haris ketika Riri didorong ke luar dari kamar bersalin. Digenggamnya lengan Riri eraterat. "Jelek betul mukanya. Tidak mirip bapaknya sama sekali."
Tentu saja Haris cuma bergurau. Tetapi Riri tidak menanggapi guraunya. Dia malah mengeluh
sambil memalingkan wajahnya ke tempat lain.
Bidan yang mendorong brankaslah yang tersenyum menanggapi.
"Namanya juga bayi baru lahir, Pak. Masih orok merah! Besok juga sudah berubah. Sudah cakep. Apalagi kalau sudah mengisap air susu ibunya. Wah, montok deh!"
Ada rasa nyeri menikam jantung Riri. Ibunya. Dia memang ibu anaknya. Dia yang mengandung. Dia juga yang melahirkan. Tetapi berapa lama anak itu boleh meniadi anaknya"
Heran. Dia sudah jatuh cinta pada saat pertama dia merasakan ada makhluk hidup di perutnya. Dan kasih sayangnya tambah menggelora ketika mendengar tangis bayinya yang pertama. LebihIebih melihat bayi yang sedang menangis dalam gendongan bidan itu.
Itulah anaknya. Sebagian dari darah dagingnya!
*** SEJAK semula ibu Haris menginginkan anak itu langsung diadopsi oleh Haris dan Tanti. Jangan dibawa pulang lagi. Kalau Riri sudah Sempat menyusuinya, menyaksikan senyumnya, mendengar tangisnya kalau lapar, mengganti popoknya kalau dia ngompol, kapan dia bisa berpisah dari bayi itu" Salah-salah semua rencana yang telah disusunnya berantakan lagi!
Tetapi Riri tidak mengacuhkan perintah mertuanya lagi. Sudah terlalu lama perempuan tua itu dibiarkan mengatur semuanya. Kali ini dia tidak mau tunduk.
Dia membawa bayinya pulang ketika mereka sudah diperbolehkan pulang. Dia menyusui sendiri bayinya. Dia tidak memerlukan pengasuh bayi
untuk membantunya memandikan atau mengganti p0pok.
Sampai sampai Haris sendiri pun heran bagaimana seorang gadis berandal seperti Riri bisa menjadi ibu yang begitu rajin.
Selama hamil dan selama menyusui, Riri menghentikan sama sekali kebiasaannya merokok. Padahal mengurangi satu-dua batang rokok sehari saja sudah berat bagi Riri.
Bukan cuma Haris yang heran. Ibu Riri sendiri pun hampir tidak percaya, ketika dia datang menjenguk anaknya dan melihat Riri sedang memandikan bayinya sendiri.
Anak yang manja itu, yang dulu masak untuk dirinya sendiri pun tidak pernah! Kini dia bukan hanya merawat bayi. Dia mesti masak untuk Haris. Karena setelah Riri melahirkan, Haris sudah praktis tinggal di sana. Cuma semalam dua malam dalam seminggu dia pulang ke rumah Tanti.
"Apa enaknya hidup begini, Ri?" keluh ibunya sambil membantu memegangi bayi yang sedang dimandikan Riri itu. "Dengan suami sendiri mesti hidup bergerilya karena di atas kertas dia suami perempuan lain."
"Sudah begini nasib saya," sahut Riri acuh tak acuh.
"Jangan pernah menyerah pada nasib! " potong ibunya bersemangat. "Nasib bisa diubah kalau kita berani!"
Tanpa menjawab sepatah pun Riri mengangkat bayinya dan memindahkannya ke bak pembilas.
Tak Kupersembahkan Keranda Bagimu Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayahmu bisa menerima kalau kau mau kawin dengan Haris. Tentu saja setelah dia bercerai."
Riri membasuh badan bayinya beberapa kali dan menyeka wajahnya sebelum memindahkannya ,
Ke tempat tidur. "Tolong betulkan karetnya, Bu," katanya tanpa menghiraukan usul ibunya.
"Kau bisa pindah ke rumah kita kembali." sambung ibunya pula. "Atau kalau kau mau tetap di sini terserah. Ibu bisa mencarikan seorang perawat untuk mengurus bayimu. Dan kau bisa sekolah lagi."
Tentu saja, pikir Riri sambil mengeringkan tubuh bayinya. itu yang paling penting buat Ibu. Sekolah lagi.
"Sayangkan studimu tidak diteruskan. Orang lain begitu kepingin jadi dokter. Kau yang punya kesempatan . . ."
"Saya sudah malas sekolah," potong Riri ketus.
"Lantas buat apa kau capek-capek masuk Fakultas kedokteran Selama ini . .
"Ibu yang mau saya masuk FK!"
"ibu mau kau jadi dokter!"
Sambil termenung Riri mengawasi anaknya yang sedang mengajaknya tertawa. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah bagaimana supaya tidak berpisah dengan anak yang lucu ini! Persetan dengan segala macam studi!
"Renny sudah gagal," keluh ibunya sedih, "dikeluarkan dari fakultasnya."
Renny. Sekilas bayangan adiknya melintas di depan matanya. Gadis yang selalu riang itu. Yang punya bakat jadi penyanyi. Ah, sudah lama sekali Riri tidak menulis surat. Sejak dia pergi dari rumah ayahnya, seakan-akan ikatan batinnya dengan saudara saudaranya pun ikut terputus.
"Dia pulang?" "Dia kawin dengan orang bule."
Riri tertegun lagi. Kawin" Tanpa restu orangtua" Dan ibunya sudah menyambung dengan kabar yang lebih mengejutkan:
"Irwan masuk sanatorium lagi "
"Arman?" "Tinggal dia harapan ibu satu-satunya. Tapi tahun ini pun dia tidak naik tingkat. Terlalu banyak ikut show ke daerah sama anak anak band. Kepada Ibu dia bilang ikut survey . . ."
Riri menghela napas. "Ibu tahu apa sebabnya?" tanyanya sambil menggendong anaknya setelah selesai mengenakan bajunya.
"Tentu saja. Dia malas belajar. Lebih suka ngeluyur dengan teman-temannya."
"Bukan, Bu." sahut Riri sabar. "Bukan karena itu. Bukan karena malas kami semua gagal."
Sekarang ibunya menatap Riri setengah membelalak.
"Jadi kau mau menyalahkan ibu lagi" Orangtua kurang apa lagi coba" Kalian anak-anak yang beruntung! Dapat kesempatan melanjutkan pelajaran . . . '
"Kami justru anak'anak yang malang!" potong Riri tegas. "Tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat kami."
"Bakat?" geram ibunya sengit. "Apa bakatmu" Bikin anak"!"
"Henny bisa jadi penyanyi.Tapi ibu memaksanya ke Australia. Arman lebih suka jadi gitaris. Ibu menyuruhnya masuk Fakultas Ekonomi. Irwan ingin jadi sehebat Ayah. Tetapi ibu menyuruhnya jadi arsitek. Karena arsitek bukan bakatnya, dia gagal. Frustrasi menyeretnya ke rumah sakit jiwa." Dengan sedih Riri menatap ibunya. Perlahan-lahan
tatapannya pun melunak. "Kami bangga jadi anakanak Ayah dan Ibu yang hebat. Ayah seorang pejuang revolusi yang gagah perkasa. Ibu seorang pengusaha yang sukses. Tapi kami tidak bisa mengikuti keberhasilan Ayah dan Ibu. Karena kami tidak diberi kesempatan untuk memilih jalan kami sendiri."
Sejak itu ibunya memang tak pernah muncul kembali. Barangkali dia sedang merenungi kebenaran kata-kata anaknya. Atau sebaliknya. Dia malu untuk mengakui kebenaran kata-kata Riri.
Yang datang terus-menerus ke rumahnya justru ibu Haris.
"Sebulan lagi kau tidak berangkat, Bandi yang pulang." katanya putus asa. Dilemparkannya surat Bandi ke dekat Riri. "Dia heran mengapa engkau belum datang juga. Dan dia sudah memutuskan untuk menjemputmu."
"Biar dia pulang," sahut Haris tawar, "kebetulan. Aku mau bicara."
"Apa-apaan kau ini"!" geram ibunya sengit. "Kau mau merusakkan kembali rencana kita?"
"Aku tidak bisa berpisah dengan Riri, Bu! Dan Riri tidak mungkin bisa dipisahkan dari anaknya!"
"Tapi Bandi . . ."
"Mengapa semua orang selalu mesti berkorban untuk dia?"
"Haris!" "Biarlah dia belajar melihat kenyataan Bu! Hidup ini memang pahit! Tidak bisa selamanya manis!"
"Haris!" "Kita tidak bisa melindunginya terus dalam tabung kaca, Bu! Dia sudah dewasa!"
"Haris!" "Percayalah," suara Haris melunak sedikit. "Bandi tidak selemah yang ibu sangka. Mula-mula dia mungkin shock. Tapi lama lama dia akan terbiasa. Biar saya yang menjelaskan padanya."
"Cobalah," desis ibunya tawar. Air mukanya amat suram. "Ibu tidak mau melihatnya. Ibu tak pernah mau melihat Bandi kecewa!"
, Tanpa berkata apa-apa lagi ibu Bandi memutar tubuhnya dan keluar. Sia sia Haris mengejarnya untuk mengantarkannya pulang. Dia sudah naik opelet yang kebetulan lewat. Telepon Tantilah yang sejam kemudian menyentakkan Haris dari sisi Riri.
"Mas!" teriak Tanti panik. Belum pernah Haris mendengar suara Tanti sekeras ini. "Ibu bunuh diri!"
*** LUKA ibu Haris memang tidak begitu parah. Dia mencoba mengerat nadinya dengan pisau dapur. Dan karena dia mengiris lengannya di depan Tanti yang sedang sibuk masak, Tanti masih keburu menyelamatkan nyawanya dengan melarikannya ke rumah sakit.
Tetapi percobaan itu sendiri sudah merupakan peringatan kalau bukan ancaman bagi Haris. Kalau dia tidak mau mengikuti rencana yang telah mereka susun setahun yang lalu, percobaan bunuh diri itu bisa terulang kembali. Mungkin dengan hasil yang lebih parah.
Sekarang Haris harus memilih. Dengan pilihan yang sama sulitnya. Seperti makan buah simalakama.
Ririlah yang akhirnya mengalah.
"Kita sudah janji pada Ibu, Har," katanya tawar. "Bagaimanapun, janji harus ditepati. Aku tidak mau kau mendurhakai ibumu."
"Tapi aku juga tidak mau kehilangan engkau, Ri! Aku tidak rela kau berpisah dengan anakmu! Anak kita! Mengapa kita harus mengorbankan kebahagiaan kita untuk orang lain?"
"Bandi bukan orang lain, Har. Dia adikmu!"
"Tapi kami sama sama laki-laki, Ri. Mengapa aku yang mesti mengalah terus?"
"Anggaplah ini sebagai baktimu pada Ibu dan adikmu, Har. Mudah-mudahan pengorbanan kita ini bisa menebus dosa kita pada Bandi."
*** RIRI memang mencintai Haris. Ketika dia melihat kekasihnya menikah dengan perempuan lain, dia sedih. Sakit hati. Kecewa. Tetapi ketika harus berpisah dengan Doni, Riri merasa kesedihannya waktu kehilangan Haris dulu belum ada separuhnya.
Berpisah dengan bayinya, dengan darah dagingnya sendiri, terasa lebih menyakitkan. Apalagi melihat kenyataan anaknya akan diambil oleh isteri Haris.
Oh, perempuan yang beruntung itu! Kadangkadang Riri gemas ingin mencekiknya! Tapi dia salah apa" Dia cuma wayang yang dimainkan oleh dalang!
Malam itu, malam terakhir Riri tidur dengan Doni. Esok pagi dia sudah harus berangkat ke Amsterdam. Sengaja malam itu Haris tidak pulang. Dia memilih tinggal bersama Riri pada saat-saat terakhir dia masih dapat memiliki kekasihnya. Esok dia sudah pergi. Esok dia sudah milik Bandi! Milik laki-laki yang lebih berhak!
Doni belum bisa diajak bicara. Dia masih terlalu kecil untuk memilih dengan siapa dia mau
tinggal. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti. Dia tidak tahu inilah malam terakhir dia bisa menyelusupkan kepalanya di kehangatan pelukan ibunya.
Tetapi dia sudah bisa merasakan siapa yang kini sedang mendekapnya sambil menangis. Barangkali dia juga sudah merasakan saat perpisahan dengan ibunya sudah dekat.
Tiba'tiba dia terjaga dari tidurnya. Dia menjerit sekuat-kuatnya. Dan tetap menangis sekalipun Riri sudah menggendongnya. Sekalipun botol susu sudah melekat di bibirnya.
Riri membelai pipi bayinya dan menciumi seluruh wajahnya dengan penuh kasih sayang.
"Jangan nangis ya, Sayang . . bisiknya lembut. "Supaya besok malam . . suara Riri mulai basah menahan tangis. "Supaya besok malam Mama tidak kangen mendengar tangismu . .
Ketika tangis Doni telah mereda, ketika perutnya sudah kenyang minum susu, ketika dia sudah mau bermain-main dan mengoceh dengan ibunya seperti biasa, Ririlah yang tidak dapat lagi menahan tangisnya.
Empat bulan dia mengajak Doni bergurau tiap hari. Mengajaknya bicara. Tertawa. Bermain. Bagaimana dia bisa melewatkan satu hari saja tanpa tertawa dengan Doni, tanpa mendengar tangisnya, tanpa mengajaknya bicara, mengoceh dengan suaranya yang lucu itu"
Dia sudah biasa terjaga tiap malam kalau Doni menangis karena lapar atau mengompol. Lama sesudah dia berpisah dengan anaknya, dia masih melompat ke sudut kamar tiap kali dia terjaga karena mimpi Doni menangis, dan menemukan tak ada lagi ranjang kecrl di sana. Tak ada lagi
Doninya yang menggapai gapai sambil menangis manja minta digendong.
Riri.merasa hari harinya terasa amat hampa. Sepi. "Tak ada lagi kerepotan yang mengasyikan itu. Apalagi yang mesti dikerjakannya kalau tidak mengurus Doni"
Rasanya Riri sudah hampir mengubah keputusannya sendiri. Dia akan berterus terang pada Bandi. Dia akan berlutut, menyembah bahkan mencium kaki Bandi pun dia rela! Dia ingin mohon ampun. Dihukum apa pun dia mau, asal tidak usah berpisah dengan anaknya! Asal dia boleh membawa serta Doni!
Tetapi ketika dia tiba di depan Bandi, ketika laki-laki yang lemah itu dengan sisa sisa tenaganya dan segenap cintanya merangkulnya, Riri kehilangan keberaniannya lagi.
Dia tidak tega menyampaikannya kepada Bandi. Dia tidak sampai hati merusak kebahagiaan pemuda itu. Dia tidak kuat melihat wajah yang sedang tenggelam dalam lautan kebahagiaan itu mengerut sedih. Dan jantungnya, ya Tuhan! Akan tahankah jantungnya yang lemah itu" Masih kuatkah dia mendengar sampai selesai"
Bandi Sudah begitu lama menunggunya. Dengan penuh harapan. Sekarang kekasihnya yang dirindukan itu datang. Bukan membawa madu melainkan empedu. Racun. Dia datang membawa keranda, bu kan ranjang pengantin!
Oh, Riri tidak akan melakukannya! Dia tidak berani. Tidak tega.
Bandi demikian mencintainya. Luapan cintanya begitu menggelora. Bahkan Haris pun belum pernah memperlihatkan kemesraan yang demikian menggebu gebu.
Bandi begitu hangat. Begitu bersemangat. Begitu bergairah. Sampai Riri kuatir jantungnya tidak kuat menahan gairah yang demikian meledak ledak.
"Mari kita kawin, Ri," ajak Bandi setiap kali mereka habis bercumbu. "Aku Sudah tidak tahan lagi ingin memilikimu."
"Mengapa mesti terburu buru, Di?" Riri menyembunyikan gemuruh di dadanya dalam sepotong senyum yang dipaksakan. "Aku toh sudah di sini. Tiap hari di dekatmu."
"Justru karena kau sudah di sini. Karena kau tiap saat berada di dekatku aku tidak tahan lagi, Ri. Aku begitu ingin memilikimu. Rasanya aku sudah berabad-abad menunggu untuk menikmati saat ini, saat menjadi seorang laki-laki. Aku kuatir suatu saat aku tak mampu lagi menahan gairahku, Ri. Aku tak mau menodai kesucianmu sebelum malam pengantin kita."
Kesucian. Bergetar hati Riri mendengarnya. Masih adakah kesucian itu dalam dirinya" Dia sudah kotor. Sudah diberikannya kesucian yang diagung agungkan Bandi itu kepada lelaki lain!
"Kita mesti berkonsultasi dengan dokter dulu," sahut Riri sedih. "Kalau kita harus menunda perkawinan ini, aku bersedia menunggu sampai kapan pun."
"Untuk inilah aku dibiarkan Tuhan hidup sampai hari ini, Ri. Untuk memilikimu. Berilah aku kesempatan untuk mencicipi kebahagiaan itu, Ri. Sekali saja. Kalau tidak, buat apa Tuhan mengirimkan gadis sebaik engkau kepadaku?"
Bandi begitu tulus. Permintaannya begitu sederhana. Tetapi begitu mengharukan. Bagaimana Riri harus menolaknya"
Sekarang dia memang sudah sehat. Tapi dokter pun tidak berani menjamin sampai berapa tahun jantungnya kuat bertahan. Kalau dia kehilangan kesempatan ini, kapan dia memperoleh kesempatan yang lain"
Riri sudah begitu banyak berkorban untuk Bandi. Mengapa tidak mau merelakan satu pengorbanan lagi untuk menyempurnakan kebahagiaan laki-laki itu" Siapa tahu . . . ini pengorbanan yang terakhir"
SEKALI lagi Riri mengecup foto itu. Foto Doni. Pada hari ulang tahunnya yang keempat. Alangkah lucunya. Berdiri di samping sepeda kecilnya memegang sebuah pistol-pistolan.
Tidak sadar Riri tersenyum. Dan bersama merekahnya senyum itu, dua tetes air mata mengalir ke pipinya. Sudah lama dia minta foto Doni kepada Haris. Kepada ibunya.
Tetapi mereka belum pernah mengirimkannya. Barangkali mereka punya pertimbangan tertentu untuk menolak permintaan Riri itu. Buat apa kirim foto kalau cuma menambah rindu. Tetapi pada hari ulang tahun Doni yang keempat, entah mengapa Haris mengirimkan foto anaknya.
Dan ketika menerima foto itu, Riri girang setengah mati. Empat tahun tidak melihat Doni. Tahu-tahu dia sudah begini besar! Duh, gagahnya Doni dalam kaosnya yang merah menyala!
Tidak bosan-bosannya Riri memandangi foto itu. Tidak jemu-jemunya dia mencari bagian mana dari wajah koboi kecil itu yang mirip dengan wajahnya.
Hidungnya" Oi, itu pasti hidung Haris! Mulutnya" Persis Haris kalau sedang marah. Ah, rasanya Doni memang lebih mirip Haris. Ya hidungnya. Ya mulutnya.
Tapi matanya . . . mata Ririkah yang melekat
di sana" Mata yang bening dan bulat . . mata yang penuh gairah . . . O, pernahkah mata yang tulus itu bertanya kepada ibunya . . kepada Tanti . . . siapakah ibunya yang sebenarnya"
Betapa inginnya Riri memeluk Doni. Membelai-belai kepalanya. Menciumi pipinya sepuas puasnya. Empat tahun dia harus mengekang kerinduan . . . menahan gejolak naluri keibuan yang merontaronta di dadanya . . . kini rasanya hampir tidak tertahankan lagi. Dia harus melihat Doni! Menyentuhnya. Membelainya. Memeluknya. Menciumnya.
*** "MAS BANDI tidak kangen sama Ibu?" pancing Riri berkali-kali.
Tetapi Bandi yang sudah hampir tiga tahun menjadi suaminya itu cuma tersenyum. Penasaran melihat senyum Bandi, Riri mendesak lagi.
"Bagaimana kalau kita pulang, Mas" Dokter sudah mengijinkan toh?"
Lambat-lambat Bandi mengangkat mukanya dari buku yang sedang dibacanya. Ditatapnya isterinya sambil tersenyum.
"Kenapa" Bosan di sini?"
"Tidak ada yang kita kerjakan di sini. Cuma jadi beban bagi Paman."
"Bagaimana studimu?"
"Aku bisa melanjutkannya di Jakarta," sahut Riri asal saja. Padahal siapa yang peduli lagi pada studi" Di Jakarta saja studinya sudah berantakan. Apalagi di sini!
"Aneh," gurau Bandi. "Dulu kau ngotot mau ke mari."
"Itu kan karena aku rindu padamu . . ."
SeSUdah mengucapkan kata kata itu Riri
Baru menyesal. Mengapa mesti mendustai Bandi lagi" Dia ke sini untuk melarikan diri dari dosa yang diperbuatnya!
Tetapi kalau dusta itu bisa membahagiakan Suaminya, apa salahnya" Lihatlah betapa cerahnya wajah Bandi. Betapa bahagia senyum yang tersungging di bibirnya!
"Mengapa tidak kita tunggu saja beberapa tahun lagi" Siapa tahu kau bisa menyelesaikan studimu disini. Mumpung belum punya anak, apa salahnya sekolah terus?"
Riri menyembunyikan wajahnya di balik cangkir kopinya. Dia tidak ingin Bandi membaca perasaan yang tersirat di sana. Dihirupnya kopinya cepat-cepat.
"Aku sudah kepingin kerja, Mas," kata Riri sambil meletakkan kembali cangkirnya. "Tidak mau jadi beban terus-menerus."
Senyum Bandi langsung memudar. Dan melihat laki-laki yang sedang menunduk sedih di hadapannya itu, Riri menyesal telah mengucapkan katakatanya.
"Karena aku tidak dapat memberimu nafkah seperti suami suami yang lain?"
"Mas!" Riri menghambur merangkul suaminya. "Kau masih meragukan diriku?"
Dengan sedih Bandi memeluk isterinya.
"Aku kasihan padamu, Ri."
"Aku tidak mau dikasihani, Mas'"
"Kau berhak punya suami yang bisa kau banggakan seperti perempuan lain . .
"Aku bangga padamu, Mas!"
"Aku tidak pantas jadi suamimu, Ri " keluh Bandi pahit. "Seharusnya sejak dulu aku sadar. . ."
"Mas!" Riri mengangkat wajah suaminya dan
menatap langsung ke dalam matanya. Sekejap mereka bertatapan. Tetapi di detik lain Bandi telah menunduk kembali.
"Aku tidak bisa memberimu apa apa, Ri . ."
"Kau sudah memberi yang terpenting kepadaku, Mas! Cinta!"
"Aku ingin bekerja, Ri. Seperti suami suami yang lain . . ."
"Aku tidak setuju, Mas. Itu tidak penting. Aku juga bisa membiayai rumah tangga kita tanpa mengemis dari pihak lain!"
"Tapi itu tugasku, Ri! Tugas seorang suami."
"Kenapa mesti meributkan soal ini, Mas" Dari dulu pun aku tahu jantungmu lemah. Kau tidak bisa bekerja seperti laki-laki lain. Tapi aku toh memilihmu. Aku rela jadi isterimu!"
"Sekarang baru kusadari, Ri . . bisik Bandi lemah. "Cinta saja tidak cukup untuk membahagiakan seorang wanita . .
"Ah, itu cuma pikiranmu sendiri, Mas! Kata siapa aku tidak bahagia?"
"Kau membohongi dirimu sendiri karena kau mencintaiku, Ri." Bandi mencium leher isterinya dengan penuh kasih sayang. "Tapi kau tidak bisa membohongi aku. Apalah artinya mengawini seorang laki-laki yang tak dapat bekerja, yang tak dapat memberi anak, yang tak dapat kau ajak bercumbu kapan saja kau suka . .
"Mas!" protes Riri sengit. "Ini sudah keterlaluan!"
"Jangan dustai aku lagi, Ri . . ." Bandi melepaskan pelukannya. Membuang mukanya ke samping_ Dan mengatupkan rahangnya erat-erat menahan perasaannya. "Aku tahu penderitaanmu . . ." suaranya tambah getir. Amat getir. "Bagaimana aku bisa membahagiakanmu kalau setiap kali mulai mencumbumu jantung Sialan ini sudah minta berhenti"!"
"Mas! itu tidak penting!" desah Riri separuh menangis. Dia sendiri tidak tahu untuk siapa tangis itu. Untuk Bandi" Atau . . . untuk dirinya sendiri"
Berapa kali dalam tiga tahun perkawinannya ini dia mesti terkapar putus asa dalam kekosongan dan kekecewaan" Dia seorang perempuan yang sehat. Yang normal. Dia membutuhkan pelepasan itu. Penyelesaian yang didambakan setiap wanita.
Tetapi setiap kali mereka mulai, setiap kali cawan kenikmatan itu telah melekat di bibirnya, dia harus melepaskannya kembali! Gairah yang meronta-ronta di dalam sini terpenjara kembali dalam kehampaan dan kesepian.
Sering dalam keadaan seperti ini Riri teringat kepada Haris. Kepada kenikmatan yang mereka cicipi beberapa tahun yang lalu. Tetapi setiap kali Riri mulai mengenangnya, setiap kali itu pula cepat cepat ditindasnya kembali kenangan itu.
Dia merasa berdosa kepada Bandi. Dan dia tidak mau menghianatinya lagi. Meskipun cuma dalam kenangan. Hanya kadang-kadang dia iri kepada Tanti. Dan perasaan iri itu tidak dapat ditindas kalau sudah muncul
Alangkah bahagianya perempuan itu. Punya suami seperti Haris. Dan punya seorang anak laki-laki yang lucu seperti Doni!
Riri tidak pernah tahu, Tanti hanya sedikit lebih beruntung daripada dirinya sendiri. Haris memang selalu memberinya nafkah lahir batin yang cukup. Tetapi dia tidak pernah dapat memberi cinta yang tulus kepada isterinya.
Bertahun-tahun Tanti menunggu. Mengharap
kalau-kalau suatu hari nanti Haris mau bersikap lebih hangat. Lebih mesra.
Haris memang tidak suka marah-marah. Dia baik. Terlalu baik malah. Rumahtangga mereka selalu tenteram. Haris tidak pernah menuntut apa-apa kalau di rumah.
Sebaliknya dia pun tidak mau ditegur kalau berada lebih banyak di luar. Dan karena Tanti tidak berani menegur, mereka tidak pernah bertengkar.
Dari luar, rumahtangga mereka tampak amat rukun. Damai. Tidak ada percekcokan. Tidak ada perselisihan pendapat. Karena mereka memang tidak pernah bertukar pendapat.
Kalau kebetulan Haris ada di rumah, mereka cuma ngobrol ngobrol sedikit tentang hal-hal yang ringan. Selebihnya, mereka masing masing sibuk sendiri. Haris sibuk dengan kertas-kertasnya di kamar kerja. Tanti Sibuk mengurus Doni.
Kadang-kadang Tanti sendiri jengkel. Haris sama sekali tidak menaruh perhatian kepada Doni. Kalau Tanti menceritakan tentang anak itu, Haris seakan-akan cuma mendengarnya dengan sebelah telinga.
Dia tidak pernah mencium anak itu kalau pergi ke kantor, tidak pernah menanyakan kesehatannya, apalagi mengantarnya ke dokter. Padahal sebagai ayah, dia seharusnya menaruh perhatian lebih besar kepada Doni.
Kadang-kadang Tanti merasa beruntung Tuhan masih berkenan memberikan kesempatan kepadanya untuk mempunyai seorang Doni. Kalau tidak ada Doni. entah bagaimana sepinya hidup ini!
Donilah yang masih membuatnya betah di rumah. Doni pulalah yang dengan segala kelucuan kelucuannya mampu membuat Tanti tertawa. .
Tidak heran ketika mendengar Riri akan kembali ke tanah air, Tanti dihinggapi perasaan cemas. Dari ibu Haris dia mendengar mereka belum juga punya anak. Dari ibu pula Tanti mengetahui tentang penyakit jantung Bandi. Kalau mereka tidak bisa punya anak, bukannya tidak mungkin Riri akan mengambil anaknya kembali!
Tidak mungkin, bantah Tanti dalam hati. Riri toh tidak mau Bandi sampai mengetahui penghianatannya! Tapi . . . kalau dia melihat Doni nanti . . . tidak mungkinkah naluri keibuannya mengalahkan rasa malunya"
Riri bisa minta ampun kepada Bandi. Dia bisa berterus terang . . . siapa tahu itu sudah dilakukannya" Untuk itukah mereka pulang sekarang"
Oh, rasanya Tanti tidak sanggup berpisah lagi dengan Doni! Empat tahun dia telah merawat anak itu seperti anaknya sendiri. Dia tidak mau, tidak rela menyerahkan Doni kepada siapa pun, kepada ibu kandungnya sekalipun!
*** "ITU Mas Haris!" teriak Bandi di tengah tengah kerumunan orang yang menyambut ke datangan mereka di ruang tunggu lapangan udara Halim.
Di antara orang Sebanyak itu memang tidak mudah menemukan seseorang. Tetapi tubuh Haris yang tinggi menjulang melebihi tinggi orang-orang yang sedang berkerumun itu.
"Mas!" teriak Bandi sambil mencoba menguakkan kerumunan orang yang menghalangi jalannya.
Haris menoleh. Dia melihat Bandi. Tetapi sekejap kemudian matanya telah mencari-cari Iagi.
Mencari seorang yang lain. Orang yang telah empat tahun lebih dirindukannya Dia hanya bertemu dengan mata Riri, yang tegak beberapa langkah di belakang Bandi.
Haris begitu ingin merangkulnya. Memeluknya. Tetapi yang sampai lebih dulu di dekatnya cuma Bandi.
"Mas Haris! Apa kabar"!"
Dengan hangat Bandi menjabat tangan abangnya erat-erat. Senyumnya langsung mengembang.
"Baik!" sahut Haris sambil menepuk-nepuk bahu Bandi. Dia berusaha agar tidak menatap ke belakang melewati bahu Bandi. "Bagaimana jantungmu?"
"Beres!" Bandi menyeringai lebar. "Kalau belum, masa mereka biarkan aku naik pesawat terbang" Mana Ibu?"
"Itu di belakang." Haris melemparkan tatapannya kembali melewati bahu Bandi.
Riri masih tegak di sana. Beberapa langkah di belakang Bandi. Menatapnya dengan perasaan yang sukar diungkapkan.
Begitu Bandi menghambur mendapatkan ibunya, Haris melangkah menghampiri Riri. Sekejap mereka cuma mampu saling tatap tanpa bisa berkata sepatah pun.
Harislah yang lebih dulu membuyarkan pesona yang memukau itu.
"Riri, kau baik?" tegurnya gugup.
Riri hanya dapat mengangguk sedikit. Haris tidak banyak berubah. Dia masih tetap setampan beberapa tahun yang laIu. Ketika Riri pertama kali melihatnya di kamar Bandi di rumah sakit.
Tubuhnya masih segagah dulu. Tatapannya pun tidak berubah. Tatapan jalang tapi jujur dari
seorang jantan. Barangkali cuma kerapian dan keangkuhannya yang kini tak terlihat lagi. Keangkuhan itu telah runtuh digantikan gejolak kerinduan.
Bagaimanapun, inilah lelaki yang dicintainya. Ayah anaknya. Betapa lama Riri telah merindukan dirinya. Pelukannya. Ciumannya.
"Ri," sapa Haris kaku, membuyarkan sama sekali lamunan Riri, "aku rindu padamu. Rindu sekali."
Riri terpaksa menunduk. Menghindari tatapan Haris. Tatapan itu begitu hangat. Merangsang gairah yang sedang memporak porandakan pertahanan moralnya.
Dia tidak mau matanya mengkhianati dirinya. Membuka rahasianya. Dia tidak rela kalau Haris bisa membaca gejolak kerinduan yang mewarnai tatapannya.
Dia tahu, Haris terlalu berpengalaman. Sekali lihat saja, dia pasti sudah dapat mengenali perasaan apa yang sedang membakar dada Riri. Dan itu berarti menyakiti Bandi! Menghina suaminya sendiri!
Tetapi ketika Riri menunduk, Haris langsung meraihnya. Riri tidak mampu menolak, meskipun nuraninya sudah menjerit untuk melepaskan diri. Di luar kemauannya, lengan-lengannya malah naik merangkul punggung Haris.
Dan sekejap mereka saling rangkul. Bagai berbunga kembali mawar-mawar cinta di taman hati yang telah empat tahun gersang tak kunjung mekar. Kuncupnya merekah indah, menggapai sentuhan cinta yang lebih mesra lagi.
Tetapi di detik lain, Bandi sudah kembali bersama ibunya dan Tanti. Haris terpaksa melepaskan pelukannya dan membiarkan punai-punai cintanya terbang mengawang tinggi untuk terhempas mati ke bumi kembali.
Lekas-lekas Riri memeluk ibu Bandi, hanya untuk menutupi getar yang tak karuan di hatinya. Getar yang menjalar ke sekujur tubuhnya, dan membuat kedua lengannya gemetar tak tertahankan lagi.
Astaga! Alangkah gilanya! Sudah jadi apa dia sekarang" Dipeluk sekali saja oleh Haris, dia sudah kalangkabut begini! 0, ada apanya pemuda itu" Mengapa daya tariknya masih demikian hebat"
Riri kenal sekali dirinya. Dia tahu, kalau dia tidak lekas lekas menjauhkan diri mulai sekarang, suatu hari dia bisa lupa siapa pemuda itu! Suatu hari dia bisa terjebak kembali dalam perangkap cinta Haris!
CUMA Tanti seorang yang terkucilkan dari pertemuan keempat orang yang masih saling rangkul itu. Sejak tadi dia yang berdiri agak jauh ke belakang hanya mampu menunduk, Berpura-pura tidak melihat.
Misteri Rumah Berdarah 1 Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat Keris Pusaka Nogopasung 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama