Ceritasilat Novel Online

Cerita Cinta Enricho 3

Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami Bagian 3


dengan manis. Cuma, mereka selalu punya harapan lebih.
Tidur betulan bersama-sama juga akan menjalin rasa in?tim
dan rasa aman. Rasa intim dan aman itu bisa disalah?artikan
oleh perempuan sebagai kesediaan untuk berumahtangga.
Kecuali Nina sahabatku, rasanya semua perempuan ingin
berumahtangga. Yang mereka inginkan sesungguhnya adalah
menimang anak. Dan dengan kata-kata manja mereka bilang
Enrico_koreksi2.indd 168 Cerita Cinta Enrico pada kita bahwa mereka ingin agar kita menjadi ayah bagi
anak-anaknya, seolah-olah itu adalah sebuah kehormatan
bagi kita. Sebaliknya, aku jadi sangat takut dan segera ingin
se?ce??patnya membebaskan diri jika cewekku mulai mengigau
begitu. Lagipula, aku tidak disunat. Kalau aku tidur nyenyak, bisa
saja cewekku menemukan fakta itu dan jadi terkejut. Kau
tahu, banyak perempuan Indonesia, meskipun mereka suka
juga tidur dengan lelaki yang bukan suami, tapi mereka jadi
salah tingkah bahkan ill feel kalau tahu bahwa seling?kuhan
atau gebetannya tidak bersunat. Mereka membicarakan ku?lup
seperti membicarakan daging babi. Jadi, untuk amannya, aku
tidak membiarkan mereka tahu. Itu artinya aku tidak boleh
berada dalam keadaan tidur. Pendek kata, sebisa mungkin
aku tidak tidur betulan bersama perempuanku. Atau, jika
ia menginap, aku akan tidur dengan tetap pakai celana. Aku
selalu dalam keadaan waspada.
Tapi kini... Sepulangku dari makam Ayah, Ibu, dan Sanda,
dalam demam dan mimpi-mimpi sakit panas ini, aku meng?
inginkan seseorang yang tak perlu kuwaspadai. Seseorang
yang mengisi kekosongan mengerikan yang kini meruyak
dalam diriku. Aku tidak pernah mengalami perasaan ini sebelum?nya:
kerinduan pada perempuan tanpa membayangkan wujud?nya.
Semacam kerinduan spiritual, tapi tak tepat betul. Apalagi aku
tidak suka segala yang spiritual. Kerinduanku kali ini sa?ngat
berbeda dari yang sebelumnya. Dulu, setiap kali aku meng?
inginkan perempuan, aku punya bayangan visual tentang me?
reka. Wajah mereka tak perlu eksplisit betul. Tapi tubuh liat
dan posisi mereka sangat nyata dalam khayalanku.
Enrico_koreksi2.indd 169 169 Ayu Utami Tapi, kali ini, bukan bayangan seperti itu yang kurindukan.
Aku tak mengkhayalkan gambaran apapun tentang kekasih
yang kubutuhkan. Tak ada pinggang kecil, buah dada dan bo?
kong kenyal, kaki yang hangat, rambut pendek atau panjang.
Semua itu tak tampak lagi. Aku membutuhkan sesuatu yang
tak bisa dipenuhi sahabatku, tak juga pacar-pacarku. Aku
mem?butuhkan seseorang yang mengisi kekosonganku. Dan
bentuknya yang paling sederhana adalah seseorang yang
bisa mengeloni aku dengan kasih sayang. Seorang pacar
yang dengannya aku bisa tidur lelap tanpa harus waspada.
Seseorang yang tidak menuntutku untuk menjadi ayah bagi
anak-anaknya. Seseorang yang menyayangi aku karena ia
menyayangi aku... Tapi tidak. Pada momen-momen demam itu aku tidak
merumuskan ini atau itu seperti yang kuceritakan barusan.
Aku hanya merasakan, begitu kuat, kekosongan besar dalam
diriku, dalam dadaku. Kekosongan yang tak berwujud, yang
rasanya akan dapat terisi oleh seorang kekasih, yang anehnya
tak berwujud pula. 170 Enrico_koreksi2.indd 170 Bulan Januari, ayahku meninggal. Bulan Februari, aku
berulang tahun. Sejak aku pergi ke Jawa, aku selalu ingin merayakan ulang
tahun. Kupikir ini lantaran Ibu melarang aku memperingati?
nya, seperti dalam ajaran Saksi Yehuwa. Hal-hal yang dilarang
Ibu, itu yang aku senang lakukan. Tapi tahun ini aku sudah
bersumpah untuk berhenti merokok. Demamku, yang secara
misterius menyerang seusai acara pemakaman Ayah, mulai
reda setelah nyaris sebulan. Sayangnya, aku tampaknya se?dang
tidak beruntung. Pada hari ulang tahunku, sahabatku sedang
ada kerjaan di luar kota. Pacarku yang satu sedang liburan
dengan suaminya. Pacarku yang lain sudah ngambek karena
Enrico_koreksi2.indd 171 Ayu Utami hubungan kami tidak berkembang seperti yang ia harapkan.
Ia bahkan sama sekali tidak menjengukku waktu sakit. Aku
betul-betul jomblo pada hari istimewaku.
Tapi sudah sebulan aku mendekam di rumah karena
meriang yang tak jelas alasannya. Lebih lama lagi aku akan
mati bosan. Aku harus cari angin. Kuputuskan untuk ke dok?
ter gigi langgananku, sebab ia cantik. Aku telah menyikat dan
membenangi gigiku bersih-bersih agar ia terkesan. Tapi ia
sedang terburu-buru. Kuputuskan untuk jajan mi goreng?ma?
kanan yang dianggap istimewa oleh ayah dan ibuku se???hing?ga
selalu ada dalam perayaan (ah, kami selalu makan mi goreng
di malam tahun baru, dan kami selalu merayakan tahun baru
sebab itulah satu-satunya yang bisa dirayakan jika kau tidak
memperingati ulang tahun atau hari Natal). Tapi kedai yang
kukunjungi, sial betul, sudah mengganti jurumasak?nya. Mi
itu begitu anyep, ayamnya pasti dicemplungkan sebe?lum air
mendidih sehingga berbau, seolah makanan ini dimasak oleh
koki yang paling bodoh sedunia. Betapa sial diriku malam itu.
Ada satu harapan. Ada sebuah tempat asyik?dengan
galeri, kedai, dan teater?yang dibuka sekitar tiga tahun lalu.
Nama???nya Teater Utan Kayu, TUK, terletak di salah satu sudut
jalan Utan Kayu. Kawan-kawanku para pelukis sudah bebe?
rapa pameran di sana. Teaternya juga kecil, dengan lantai kayu
yang bagus, dan menyediakan pementasan serta diskusi yang
alternatif dan menarik. Jika tak ada pertunjukan pun, biasanya
ada beberapa wartawan, aktivis, dan seniman yang nongkrong
di kedainya, sehingga orang yang sedang kesepian seperti aku
bisa mampir dan nimbrung begitu saja. Lagi pula, di sana ada
satu cewek yang menyenangkan untuk dilihat; syukur-syukur,
172 Enrico_koreksi2.indd 172 Cerita Cinta Enrico kalau dia tidak sedang sibuk, untuk diajak ngobrol. Namanya
Suatu siang aku pernah melihatnya menggotong-gotong
sebentang kanvas sambil tersenyum lebar. Lukisannya sen?
diri. Dengan cat akrilik. Katanya, ini pertama kalinya ia
melukis dengan akrilik. Biasanya dengan cat minyak. Aku
punya ketertarikan laten kepada seniman. Aku suka mem?
bayangkan punya pacar seorang seniman. Orang yang bekerja
di bidang seni punya nilai tinggi di mataku. Juga orang yang
suka binatang. A juga menyenangkan sebagai teman ngobrol.
Aku pernah meneleponnya, mencoba mengajaknya makan
bersama. Waktu itu aku baru mendapat anjing, dan aku me?
rasa A jenis yang bisa ikut berbagi kegembiraanku. Aku ingin
menamai anjing itu dengan nama es campur yang khas Dapur
Sunda, tapi aku lupa nama itu dan kukira ia tahu. Dan ia
memang tahu. Jadilah, nama anjingku Es Goyobod. Setelah itu
aku mencoba mengajaknya kencan. Tapi, meskipun ia ramah
aku tahu ia tidak tertarik untuk jalan denganku. Sebetulnya,
sebagai freelancer, aku tak boleh mengatakan ia tidak tertarik.
Ia BELUM tertarik. Ah, itu pun sudah dua tahun lalu aku men?
coba mendapatkan perhatiannya. Tapi, orang seperti aku
harus punya harapan. Aku biasa menebar benih-benih pesona
dan tenang-tenang menunggu yang bisa dipanen pada waktu
yang cocok. Aku tak pernah mengejar-ngejar perempuan.
Sejauh ini aku jarang kesepian, karena hampir selalu ada
panenan yang datang?meski tak selalu panen baik. Toh aku
tidak mengharapkan hubungan panjang. Hubungan panjang
malah menakutkan aku karena akan berubah menjadi sekadar
kewajiban. Jadi, aku suka ke Teater Utan Kayu, berharap bisa
173 Enrico_koreksi2.indd 173 Ayu Utami tak sengaja bertemu si A ini.
Kubelokkan motor besarku ke arah jalan Utan Kayu.
Dengan harapan berbinar-binar aku masuk ke gerbang kom?
pleks kesenian itu. Tapi, dasar buntung betul aku hari ini,
tempat itu gelap senyap. Entah kenapa kedainya tutup lebih
cepat. Tak ada satu orang pun nongkrong di sana, kecuali
barangkali satpam tua yang ompong dan ngantuk. Hanya ada
lampu yang menyala redup di balik pohon mangga. Kukitari
pohon yang malam itu tampak sialan untuk memutar dan
meninggalkan tempat. Kukutuki hari itu. Sudah lama aku tidak
semalang ini: tak ada panen sama sekali di hari ulang tahunku.
Dan ini adalah ulang tahun pertamaku sebagai sebatang kara.
Tanpa perempuan. Tanpa rokok. Rasa sepi menyergapku lagi.
Kekosongan yang merindu kekasih.
174 Hari baik itu akhirnya datang juga, secara tidak terduga
sama sekali. Bulan pertama, ayahku meninggal. Bulan kedua, aku
ulang tahun sebagai jomblo sebatang kara. Bulan ketiga, aku
mendapat telepon yang tak akan kulupakan seumur hidupku.
Aku tidak langsung mengenali suara itu, sebab suara itu
tak pernah mengalir dalam teleponku. A menghubungi aku. Ia
mendapatkan kontakku dari seorang perupa yang baru-baru
ini berkolaborasi denganku (jadi, ia tidak menyimpan nomer?
ku dulu). Telepon itu segera menunjukkan bahwa ia sesosok
makhluk yang aneh?maksudku, aneh secara menyenangkan.
Aku segera tahu ia punya tujuan tertentu yang cukup isti?mewa,
sebab ia membuka percakapan dengan dongeng binatang. Aku
dulu juga memulai dengan bicara tentang anjing, padahal aku
memang pingin mengajaknya kencan. Kini ia bicara tentang
Enrico_koreksi2.indd 174 Cerita Cinta Enrico kucing. Kucing di TUK belum lama melahirkan. Tapi, anakanaknya diadopsi semua oleh si X. Akibat kehilangan bayibayi untuk disusui, si induk gelisah dan teteknya bengkak ke?
penuhan air susu. Apa yang bisa dilakukan? Kuusulkan agar
dia memijat-mijat tetek si kucing agar air susunya keluar dan
ia tidak tegang lagi. Aku senang karena aku bisa menjawab
pertanyaannya dengan bagus, seperti ia dulu menjawab aku.
Begitulah percakapan pembuka kami.
Sekarang adalah tujuan sebenarnya.
"Aku perlu bikin foto nude," katanya. "Bisakah kamu mem?
bantu?" Kupikir mukaku merona ketika itu. Untunglah ini per?ca?
kapan telepon sehingga ia tidak bisa melihat wajahku. Mem???
bikin foto telanjang si A, yang sudah dua tahun ini hanya ku?
pandang-pandangi dari jauh...
"Tapi bukan foto sensual atau erotis," katanya lagi.
Aku mencoba menekan rasa senangku dan menghadir?kan
diriku yang fotografer profesional dan pekerja seni.
Esoknya kami bertemu di kedai di TUK. Ia hendak mene?
rangkan apa yang dia maksud sambil menunjukkan sketsasketsanya kepadaku. Aku berdebar-debar sesungguhnya. Tapi
aku pernah mendengar dari seorang jurufoto fauna, guru?ku
yang tinggal di Bogor itu, bahwa hal yang paling harus di?
hindari seorang fotografer adalah debar-debar kesenangan
jika harimau atau kuda liar yang kau incar bakal memasuki
lensa. Detak jantungmu akan terasa oleh calon mangsa se?
hingga mereka mengendus energi pemburu lalu melarikan
diri. Seorang fotografer harus bisa mengendalikan detak
jan?tungnya?padahal konon aku punya kelainan jantung
bawaan. Enrico_koreksi2.indd 175 175 Ayu Utami 176 "Aku sedang tidak yakin pada diriku sendiri," kata A mem?
buka penjelasan. "Tak yakin tentang apa?"
"Ada jebakan pada perempuan," jawabnya. "Semua pe?
rempuan, kalau melukis potret-diri, akan melukis lebih cantik
dari aslinya." Ia menyebutkan sederet nama pelukis wanita,
yang memang?aku setuju?melukis dirinya sepuluh kali
lebih mempesona dari kenyataan. Pertanyaannya, bisakah
perempuan terbebas dari pencitraan dan sungguh menggali
kejujuran. "Aku sedang membikin karya yang membutuhkan
potret diri. Tapi aku khawatir terperangkap pada jebakan
yang sama. Karena itu aku butuh foto."
A menunjukkan sketsa-sketsa tinta dan arangnya padaku.
Ia menggambar torso perempuan, juga menggambar dirinya,
hampir selalu dalam pose frontal, dan membubuhi darah
menstruasi di sana. Aku selalu tahu bahwa dalam hal-hal ke?
dalaman, foto secara kodratiah lebih lemah daripada gam?
baran tangan seniman. Foto hanya bisa merekam. Gambar me?
wujudkan, kalau bukan menciptakan, yang tak tampak.
"Aku minta tolong kamu sebab kamu punya kamar gelap
sendiri, jadi bisa memproses cuci-cetaknya tanpa melibatkan
orang lain. Dan, kamu pasti sudah biasa bikin foto nude. Jadi
tidak girang-girang atau heran-heran lagi."
Ia tampaknya penuh perhitungan dan sudah melakukan
penyelidikan atas aku. Jadi, sudah beberapa lama ini dia men?
cari info tentang diriku. Aku agak gemas juga karena ia tak
mau mengaku bahwa ia memilihku karena tampangku pan?
tas dipercaya. Tapi, untuk apa juga aku menuntut pernyata?an
kepercayaan itu darinya. Bukankah selama ini aku juga pa?ling
jengkel jika ada perempuan menuntut pernyataan cinta. Kalau
Enrico_koreksi2.indd 176 Cerita Cinta Enrico seluruh sikap kita sudah menunjukkan itu, kenapa pula kita
harus mengatakannya. Jadi, kali ini aku terima alasannya yang
tampak dingin dan penuh kalkulasi. Perasaanku berhadap?
an dengannya beralih-alih. Kesenanganku membayangkan
akan memotret A telanjang berganti-ganti dengan tantangan
ke?mam?puan fotografiku. Sebagai lelaki aku berdebar karena
akan melihat tubuhnya utuh. Sebagai fotografer aku berde?
bar karena harus menghadirkan kembali kedalaman yang ada
dalam sektsa-sketsanya. Padahal seorang jurufoto, seperti
seorang pemburu, tidak boleh berdebar-debar...
177 Enrico_koreksi2.indd 177 Foto Aku biasa membuat foto nude. Tapi, biasanya si cewek ada?lah


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

model dan aku fotografer. Meskipun aku sopan pada mo?delku,
model bisa disuruh ini itu. Dalam hubungan demikian, si model
adalah obyek foto. A, meskipun dia pernah jadi model di majalah
Femina, dia berdiri di depanku bukan sebagai model. Siapakah
dia dan siapakah aku? Dia yang punya skenario. Dia yang tahu
apa yang dia mau. Aku hanya alatnya. Dan, tentu saja, aku
mau menjadi alatnya yang baik. Untuk menghadirkan kembali
tekstur dan kedalaman dalam sketsanya, aku menggunakan
ASA 3200 yang diproses sebagai 1600. Butir-butir yang kasar
ASA tinggi kuharap bisa menggantikan tekstur arang dan
kapur pada sketsa. Pemrosesan dengan level lebih rendah
Enrico_koreksi2.indd 178 Cerita Cinta Enrico akan mengembalikan ketajaman dan kontras yang bisa hilang
karena ASA tinggi. Lalu A menanggalkan terusan bunga-bunga yang dikena?
kannya. Baju itu meluncur ke bawah, jatuh berkelung di bawah
kakinya yang kokoh. Pemandangan itu menyenangkan, tetapi
aku harus segera konsentrasi pada pekerjaanku.
Aku biasa membuat foto nude. Yang paling sering adalah
model berbaring menyamping, menonjolkan lekuk tubuh yang
membuat mereka tampak menggiurkan seperti kasur. Itu yang
paling klise. Yang kedua klise di Indonesia adalah foto telanjang
tampak punggung dan bokong dengan wajah model tak
kentara. Dengan menjadi anonim, sosok itu menjelma tubuh,
bukan individu. Inilah cara membuat perempuan menjadi
obyek hasrat. Mereka tak perlu punya mata yang menatap atau
mulut yang berbicara. Mereka adalah tubuh belaka. Lantas,
yang juga mulai disenangi para fotografer adalah memotret
bagian-bagian tubuh. Buah dada saja. Bokong saja. Perut saja.
Siku saja. Jempol saja. Semacam mutilasi fotografis. Meskipun
sebagai seni rupa itu bisa estetik, tapi kita jadi semakin tidak
melihat perempuan sebagai manusia lagi.
Kini A hadir seutuhnya di hadapanku. Ia bukan tubuh tanpa
wajah. Ia tidak anonim. Ia tidak menyembunyikan apapun,
tidak melebihkan apapun. Ia berdiri frontal, menyatakan keha?
dirannya. Ia bukan obyek. Sebaliknya, ialah subyek.
Ia ingin menyatakan dirinya, dan membutuhkan aku untuk
menyampaikan pernyataan itu.
Aku baru akan mengizinkan diriku bersenang-senang
de?ngan apa yang kulihat siang ini pada malam hari nanti,
sete?lah ia pergi. Sesudah aku yakin bahwa hasil pemotretan
Enrico_koreksi2.indd 179 179 Ayu Utami memuaskan, barulah aku boleh memanjakan diriku dengan
bayangan-bayangan. Dalam hatiku, sesungguhnya aku tidak
selalu ingin bercinta betulan dengan perempuan. Sejujurnya,
sering kali persetubuhan itu lebih bagus dalam khayalannya
saja. Kenyataan kerap malah mengecewakan. Tak hanya
itu, konsekuensinya menjengkelkan juga. Kita lalu dituntut
menyatakan cinta, bertanggung jawab, atau segala macam.
Kenapa banyak perempuan tidak bisa senang dengan per?
setubuhan saja? Kalau boleh memilih, sering-sering aku lebih
senang percintaan khayalan. Sialnya, hormon-hormonku
membutuhkan perbuatan nyata?sekalipun aku tahu itu kerap
juga berakhir dengan penyesalan.
Aku senang tatkala A bilang bahwa ia harus segera pergi
setelah pemotretan itu selesai. "Ya. Pergilah cepat-cepat," sa?
hutku gembira, sebab tadi aku sudah bekerja keras dan seka?
rang waktuku bersenang-senang. Tadi ia sudah meng?gunakan
aku sebagai alat. Kini saatnya aku menggunakan dia dalam
fantasiku. 180 A mengisi fantasiku sepanjang malam-malam berikut??nya.
Dan semakin sering aku bertemu dia, semakin aku senang pa?
danya. Pada suatu titik, aku tahu ia juga senang padaku. Arti?
nya, hubungan akan berlanjut ke atas ranjang. Tapi peristiwa
itu baru terjadi di bulan keempat. Tepatnya dalam perayaan
April Mop. Sekali lagi kuulang: Bulan pertama, ayahku meninggal se?
te?lah tunai melihat tahun baru. Bulan kedua, aku berulang
tahun sebagai jomblo sejati. Bulan ketiga, A datang padaku.
Bulan keempat, kami bercinta. Semuanya terjadi berturutan,
seolah yang satu menyiapkan yang lain.
Enrico_koreksi2.indd 180 Cerita Cinta Enrico Di hari April Mop itu tak ada lelucon yang istimewa. Tapi,
"adik"-ku memberiku lelucon yang tidak menyenangkan. Ia
malah berlagak malu-malu dan tak mau menunjukkan kega?
gahannya yang biasa. Aku sudah mengidam-idam A selama
dua tahun. Dan selama sebulan ini ia menjadi fantasiku setiap
hari setiap malam, dalam pemainan beringas maupun lembut.
Oleh sebab yang sampai sekarang masih misterius adikku
malah tidak bekerja dengan sepenuh tenaga pada hari-H.
Persisnya, ia bekerja sambil agak ngantuk, jika bukan malumalu.
Tapi A adalah perempuan yang luar biasa. Entah apa dia
sudah berpengalaman menghadapi yang begini, tapi ia baik
sekali. Tak sedikitpun ia melakukan gerakan yang bisa meng?
han?curkan rasa percaya diriku. Matanya, suaranya, semua
me?nunjukkan bahwa segalanya baik-baik saja. Akhirnya, pe?
ris??tiwa itu selesai juga?sama sekali tidak sedramatis yang
ku?ba?yang-bayangkan selama ini. Bukan karena ceweknya
menjengkelkan, tetapi justru gara-gara adikku kok seperti
ketakutan. Sebelumnya, satu dua kali pernah juga aku mengalami
gang?guan. Tapi selalu ada penyebab yang jelas. Misalnya, calon
suami pacarku menelepon terus-terusan. Sialnya, cewek itu
juga tidak mau mematikan teleponnya. Atau, hu?bung?an sudah
memburuk sehingga aku jengkel pada si perem?puan. Yang
kualami bersama A ini baru pertama kali terjadi. Performaku
jadi buruk justru pada perempuan yang telah lama kuidamidamkan.
Dan kau tahu sialnya jadi lelaki. Sekali performamu tidak
prima di soal yang itu, kau pun panik. Pertemuan-pertemuanku
dengan A jadi aneh. Di satu sisi aku sangat menginginkan dia,
Enrico_koreksi2.indd 181 181 Ayu Utami di sisi lain aku stres. Aku stres, tapi aku menginginkannya.
Aku ingin, tapi aku stres. Aku stres, tapi aku ingin. Di situlah
aku tahu bahwa A ini perempuan baik hati. Tak sekalipun ia
mempersoalkan itu. Ia bersikap seperti tak ada masalah pada
diriku dan semua ini wajar saja.
Jadi, kuulangi lagi: Bulan kesatu ayahku, makhluk terakhir
dalam keluarga kami yang bukan diriku sendiri, meninggalkan
aku untuk selamanya. Bulan kedua aku ulang tahun sebagai
sebatang kara yang sangat menginginkan kekasih. Bulan ketiga
A datang dalam hidupku. Bulan keempat kami bercinta, dengan
buruk. Dan bulan kelima aku, akhirnya, bisa menunjukkan
bahwa aku gagah juga. Perihal adikku yang malu-malu selama sebulan, itu masih
misterius sampai hari ini. Tapi, suatu kali aku mendapat mimpi
yang barangkali bisa menjawabnya...
182 Enrico_koreksi2.indd 182 Mimpi Beginilah mimpiku: Aku menjelang bercinta dengan seorang perempuan
dengan gairah yang tak tertahankan. Ia memakai terusan
bunga-bunga dan kakinya kokoh. Perempuan itu ternyata
adalah ibuku. Aku merasa agak bersalah. Aku menduga ayahku
tahu dan dia ada di ruang sebelah. Aku jadi tidak enak hati,
tapi keinginanku tak terbendung juga. Kami bercinta sambil
ia mengelus-elus kepalaku. Di tengah peristiwa, Ayah masuk
kamar. Ia hanya hendak mengambil kemeja dan celana kok.
Tapi apa betul ia hanya mau berganti pakaian. Apa bukan itu
hanya dalih sebab ia sesungguhnya mau mengecek aku dan
istrinya? Dan aku terbangun.
Enrico_koreksi2.indd 183 Ayu Utami 184 Sepasang mata sedang memandangi aku. Sebuah tangan
memang mengelus-elus kepalaku.
"Kamu mengigau lagi," kata A lembut.
"Aku mimpi." "Ya, tentu saja."
Agak malu-malu kuceritakan mimpi itu padanya. Ini per??
tama kalinya aku berani mengungkapkan mimpi yang demi?
kian tak senonoh pada orang lain. Sesungguhnya aku kerap
dapat mimpi seperti itu, sejak remaja: bercinta dengan ibuku,
dan selalu saja Ayah membayangi. Ayah tidak, atau tidak bisa,
menghalangi. A tertawa. "Untung aku tidak pernah mimpi tidur dengan
bapakku." Meskipun ia santai, aku jadi merasa tidak normal karena
ia tak pernah mengalami mimpi yang sebanding. Seperti men?
jawab kegelisahanku A berkata lagi, "Tapi aku pernah mimpi
erotis dengan kakakku. Aku juga pernah mimpi begitu dengan
orang yang tidak kukenal tapi sering papasan di jalan. Aku juga
mimpi sama si Z, teman kantorku, padahal aku sama sekali
tidak tertarik, malahan agak sebal, padanya. Terus, aku juga
pernah mimpi dengan teman perempuanku."
A tidak mendapat beban dengan mimpi-mimpi yang de?
ngan ringan hati disebutnya konyol itu. Ia membayangkan otak
manusia seperti kabel-kabel listrik yang kulitnya terkelupas di
sana sini. Jika kita tidur korsleting bisa terjadi di antara titiktitik yang sedang memercik. Maka bercampurlah hal-hal yang
tidak berhubungan itu dalam mimpi. Kau pun bisa bercumbu
dengan orang yang tidak masuk akal sama sekali. Tapi, hmm,
jika kau punya mimpi yang terus berulang sepanjang hidupmu,
tentulah itu bukan sekadar korsleting otak.
Enrico_koreksi2.indd 184 Cerita Cinta Enrico Ada suatu kelegaan bahwa akhirnya aku bisa mencerita?
kan hal ini pada seseorang. Dan orang itu tidak menghakimi.
A mengelus-elus kepalaku seperti terhadap anak tersayang,
membuatku tenang. Toh matanya memancarkan keingin?
tahuan yang kupikir tulus.
"Apa kamu selalu mengigau?" tanyanya.
Aku baru sadar bahwa A mendapati aku mengigau terus
setiap kali ia menginap di tempatku. Ia kira itu kebiasaanku
seumur hidup. Kupikir ini adalah periode yang aneh dalam
hidupku. Sejak ayahku meninggal, aku didatangi mimpi-mimpi
dari masa kecil. Mimpi-mimpi yang berhubungan dengan
rumah masa kanakku, seluk-beluk kota masa silam yang telah
begitu jauh. Mimpi-mimpi yang membuatku meracau lalu
terjaga dengan suatu rasa sedih masa lampau. Aku senang
bahwa aku terjaga dengan sebuah tangan yang mengelus-elus
kepalaku. Membuatku ingin menyusu. Aku teringat puting
ibuku. Sebelah yang tercuil karena kugigit di medan gerilya...
Potongan-potongan memori dari masa kecil pun ber?mun?
culan. A menjadi pencatat mimpi-mimpiku, yang membuat?
nya terbangun di tengah malam oleh igauku. A mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang membuat mimpi itu menjadi
le?bih jelas asal-usulnya. Cuplikan masa laluku datang melalui
mimpi-mimpi. Seolah-olah selama ini mereka tersimpan dalam
sebuah luweng di dasar danau. Atau dalam sebuah bunker
rahasia reruntuhan sebuah benteng. Bersama kematian Ayah,
sumbat bunker itu terbuka. Maka, keping-keping masa kanakku
mulai terangkat, lolos dari celah yang semula tersumbat, dan
mengapung ke dalam perairan mimpiku.
Aku mendengar anak-anak perempuan menyanyikan
lagu Saputangan. Saputangan, dikipaskan, terbuat dari kain,
Enrico_koreksi2.indd 185 185 Ayu Utami 186 bagusnya bukan main, siapa belum punya, harus mengejar
saya. Mereka berlari-lari membentuk lingkaran. Selembar
saputangan melambai-lambai di tangan seorang anak, lalu
berpindah ke tangan anak lain. Ibu yang mengajari lagu itu.
Ibu mengajari anak-anak tangsi banyak lagu dan permainan,
yang dikenalnya dari Pulau Jawa yang ia tinggalkan, dan lagu
serta permainan tadi segera menjadi tren bagi anak-anak
asrama militer yang miskin itu. Slepdur, slepdur, lima lima
andebo, yopa yopa yopa... Andebo, andebo, kakapiting...
A tertawa geli. "Masa begitu?" katanya. "Di tempatku
begini: slepdur, slepdur, lima lima ondedur, de lav de van de
dur... Ondedur, ondedur, di kapiten, isi isi isi, kosong kosong
kosong..." Pastilah aku masih sangat kecil.
"Kalau yang ini kamu tahu tidak?" tanyaku pada A. "Mama
se domi se varge. Mama se hali halo. In der land is te verlande.
In der land hali halo. Si dompret mari. Banyak one two three.
Do re mi..." Ia menggeleng dengan wajah tak mengenali. "Ibumu juga
yang mengajari?" Aku menggeleng. "Anak-anak asrama mendapatkannya
dari seorang pastor."
"Nadanya kedengaran seperti lagu Portugis."
"Rasanya kebanyakan pastor di daerahku dulu orang
Italia." "Pastorku pernah mengajari lagu anak-anak Italia,"
katanya. "Santa Lucia?" "Itu juga. Tapi ada lagi." Ia berpikir sebentar, lalu bernyanyi:
"Come si pianta la bella polenta la bella polenta si pianta cossi.
Enrico_koreksi2.indd 186 Cerita Cinta Enrico A-a-a... bella polenta cosi..."
"Lagu apaan itu?"
"Haha. Itu lagu tentang jagung yang ditanam, dipanen, lalu
diolah, lalu dimakan, lalu jadi taik."
"Kalau lagu Santa Lucia, kamu tahu syairnya?"
"Tentu. Sul mare luccica. L?astro d?argento. Placida ? l?onda,
prospero ? il vento..." A menyanyikannya sampai selesai dan
aku teringat malam-malam di sebuah tangsi militer yang
kumuh, di mana suara akordeon mengudarakan lagu itu.
Aku bisa memainkan lagu itu dengan akordeon. Ibu
yang mengajari. Ke mana akordeon itu sekarang? Ibuku mau
menamai aku Enrico. Dari Enrico Caruso, penyani tenor Italia


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mempopulerkan lagu Santa Lucia ke seluruh dunia.
Sebab Enrico Caruso mencintai ibunya sehingga setiap kali ia
menyanyi adalah ibunya yang ia bayang-bayangkan...
Ketika A meloncat dari tempat tidur, lalu memakai
kembali terusannya yang bermotif bunga, tiba-tiba aku
melihat sepasang kaki kokoh ibuku menjulur dari balik rok
itu. Jantungku berdebar. A menyadari sikap ganjil pada diriku yang memandangi
dia berpakaian. "Kenapa kamu melihat aku seperti begitu?"
Aku terdiam. Aku melihat kakinya menelusup ke dalam
sepatu dengan hak yang gagah, nyaris pantovel. Sepasang
tungkai dengan betis penuh itu kini terangkat lebih tinggi
dari lantai, menjulang ke balik rok kembang-kembang yang
lebar di bagian bawah dan menciut di pinggang. Di sebelah
atas pinggang yang kecil itu sepasang tangan mengancingkan
bukaan baju. Tangan itu tidak lembut, melainkan keras
bagai biasa bekerja. Dan kancing-kancing itu bukan manik,
Enrico_koreksi2.indd 187 187 Ayu Utami melainkan tali-tali yang diikatkan serupa pita, atau renda.
Matahari pucat. Aku melihat sebuah tanah lapang. Tanah
lapang itu dikelilingi hutan. Hutan yang sebelah sini penuh
dengan buah-buahan. Hutan yang sebelah sana didiami
binatang buas. Perempuan itu berdiri, dengan sepatu berhak
gagah, serta rok kembang-kembang yang melebar di bagian
bawah dan menciut di pinggang. Ia memandang ke tengah
lapangan, kepada suaminya yang sedang dipreteli dari segala
tanda pangkatnya. Perempuan itulah satu-satunya kebanggaan
si lelaki yang malang. Perempuan di hadapanku ini kini balas memandangi aku.
Ia memiringkan kepalanya dan dengan matanya ia seperti
masuk ke dalam mataku. Samar-samar aku mulai tahu kenapa
ia sangat kurindukan tetapi juga ia memiliki sesuatu yang
menakutkanku. 188 Enrico_koreksi2.indd 188 Ingatan Ibuku. Jika aku menoleh ke belakang sejauh yang bisa ku?
lihat, dorongan utamaku dalam hidup ini adalah menjadi
manusia merdeka. Tapi, agaknya itu berarti terbebas dari
ibuku. Cita-cita untuk merdeka, betapapun mulianya, hanya
bisa ada karena ada penindasan. Manusia yang tak pernah
merasa tertekan tak akan bisa menginginkan kemerdekaan.
Ibuku memang tidak bermaksud menindasku. Tapi, sekarang
aku mulai melihat bahwa hal besar yang kuinginkan sejak
remaja adalah terbebas dari dia.
Orang yang mengenalku di masa aku dewasa tidak akan
pernah menyangka bahwa aku sebelumnya adalah anak kecil
yang tampak ringkih. Enggik-enggiken, kata ibuku. Kaki cekerayamku membuat aku kelihatan tidak bisa menopang tubuhku
Enrico_koreksi2.indd 189 Ayu Utami 190 sendiri. Mata kananku yang agak juling membuat aku tampak
seperti bocah yang tidak bisa konsentrasi. Nafasku sebetulnya
lumayan normal, tetapi kakakku punya penyakit asma. Dan,
kau tahu, itu jenis penyakit turunan. Artinya, yang ada pada
kakakku bisa juga ada padaku.
Terjadilah liburan yang tragis itu. Ayah membawa kami
berdua dengan sepeda untuk melihat tepi laut. Di sana ada
benteng Jepang dan jenazah Malin Kundang yang telah men?
jadi batu. Malamnya Sanda, kakakku, kambuh asmanya. Ia
meninggal dunia. Sejak kematian kakakku, ibuku mulai curiga bahwa ba?
nyak kelemahan dan bakal penyakit bersarang di tubuhku
juga. Yang pertama adalah juling mataku. Atas anjuran dokter
ia melatih mataku setiap hari. Aku harus berkonsentrasi
pada sebuah titik pada sebatang kertas yang didekatkan lalu
dijauhkan lalu didekatkan, begitu berulang-ulang. Tapi, atas
tafsirnya sendiri, ia melarang aku berkedip dalam terapi itu.
Setelah sepuluh menit tidak berkedip biasanya airmataku
akan berlinang. Barulah Ibu menghentikan terapinya.
Ibu percaya bahwa aku gampang terserang demam dan
batuk, dan memang kemudian aku terserang penyakit kuning
yang membuatku harus bolos sekolah selama sebulan. Ibu
membawaku ke dokter agar kecurigaannya terbukti. Dan me?
mang dokter jahanam itu berkomplot dengan Ibu. Ia menge?
luarkan sertifikat kelainan jantung. Ia menyebutkan nama
sulit yang hanya bisa diucapkan oleh dokter itu sendiri dan
ibuku, serta memberi beberapa salinan surat. Ibu membawa
salinan surat itu kepada kepala sekolah dan wali kelasku. Se?
te?lah itu di sekolah aku menjadi anak yang aneh tanpa bisa
kumengerti. Enrico_koreksi2.indd 190 Cerita Cinta Enrico Di Taman Kanak-kanak, ketika teman-temanku berangkat
ke Taman Melati, yaitu taman tempat mereka berlari-lari,
guruku menyuruhku berdiam di kelas. Pintu kelas ditutup
dan aku ditinggalkan di dalam, bersama hantu-hantu yang
mendekam dalam gaung ruang kosong. Di SD, aku tidak
diizinkan ikut pelajaran olahraga. Pintu kelas ditutup dan
aku ditinggalkan di dalam. Tapi, kali ini aku bisa memandang
dari jendela ke lapangan. Di sana teman-temanku bermain
kasti, bersenam-senam, dan melakukan hal-hal yang seru
lain, sementara aku duduk bersama hantu-hantu gaung ruang
kosong. Di kelas tiga, ada kegiatan baru. Ada sejenis guru-guru
yang datang dengan pakaian khusus. Baju dan topi baret kremcoklat mirip warna seragam polisi. Ada saputangan besar
merah putih yang dilipat berbentuk segitiga dan diikatkan
di bawah kerah. Ikatannya dieratkan pakai cincin rotan. Ada
se?macam lencana dan tanda pangkat yang gagah. Kelompok
me?reka itu namanya Pramuka. Mereka mencari anggota baru.
Aku ingin bergabung tentu saja. Tapi, ketika aku mendaftarkan
diri, guruku segera berbisik-bisik pada pemuda berseragam
itu sambil memperlihatkan selembar salinan surat. Dan si
pemuda menoleh padaku lalu berkata bahwa aku tidak boleh
ikut karena aku tidak cukup sehat. Segera kutahu, semua ini
adalah rencana ibuku. Semua orang bersekongkol dengan Ibu
untuk membikin kakiku semakin kecil.
Suatu hari aku kedatangan seorang sepupu yang usia?
nya mungkin lebih tua sepuluh tahun dariku. Umurnya
kira-kira tujuh belas tahun. Ia seorang pemain bulutangkis
jagoan. Tangan dan otot punggungnya besar sebelah, yang
sisi kanan, sebab bagian itu yang dipakai memukul dan
Enrico_koreksi2.indd 191 191 Ayu Utami 192 menangkis bola bulu. Aku sangat kagum padanya. Ia pun
senang padaku dan mengajari aku bagaimana menjadi se?
orang pemain badminton. Setiap siang ia bermain melawan
orang lain. Tetangga-tetanggaku semua disikatnya habis. Lalu,
setiap malam ia melakukan "permainan bayangan"?yaitu
bermain sendiri, tanpa kok, sambil membayangkan lawan. Ia
melompat, menyemes, menangkis, dengan teriakan-teriakan
gawat, seperti melawan setan yang tak bisa kulihat tapi bisa
dilihatnya. Tentu saja aku menirukan dia. Ia punya dua raket
dan memberikan satu padaku. Dengan segera aku juga mulai
bertanding melawan setan di malam hari.
Ibuku sangat cemas melihat permainanku melawan se?tan
malam-malam itu. Ia pun berbicara pada sepupuku. Tak lama
kemudian sepupuku pulang ke Jawa dengan membawa kem?
bali raket yang diberikannya kepadaku. Tamatlah potensiku
sebagai satria pelawan setan. Tapi, untunglah Ayahku sangat
tahu bahwa aku harus jadi anak laki-laki. Pada ulang tahunku
kelak, ia memberiku Trexando, pegas untuk untuk membangun
otot tangan, dan sejak itu aku tergila-gila membentuk otototot tubuh. Aku mau gagah dan ibuku salah.
Ibuku berhasil menghubungi kelompok Pramuka untuk
menolakku. Tapi Ibu tidak bisa melarang anak-anak tangsi
menerima aku sebagai anggota geng. Bahkan sekalipun aku
tidak lulus satu ujian mereka; yaitu ujian menerobos saluran
air?kegagalan yang terus menjadi mimpi burukku. Tapi, me?
ngetahui bahwa ia tak punya pengaruh terhadap geng anak
asrama, Ibu punya senjata lain. Ia terus-menerus berdoa agar
kami mendapat rumah baru di mana aku bisa naik pohon
dan memakan buah-buahnya?dan tentunya terjauhkan dari
gerombolan anak tangsi borok kaki. Doanya dikabulkan! Aku
Enrico_koreksi2.indd 192 Cerita Cinta Enrico memang sangat senang dengan rumah baru kami, pohon ram??
butan dan jambunya, serta anjing-anjing yang bisa kami peli?
hara di sana. Itulah taman firdaus kami.
Tanpa kusadari, itulah periode aku menjadi ayam broiler,
persis bersamaan dengan datangnya ayam-ayam jenis be?
gini. Kerjaku hanya belajar dan membantu Ibu merawat
te?man-temanku, yaitu ayam-ayamnya. Aku tidak lagi jadi
ayam kampung yang belang-belang. Di masa-masa itu pula
aku dipaksa untuk berhimpun?wajib di hari Minggu, dan
tambahan di hari Selasa atau Kamis jika bukan di kedua hari
tersebut. Seperti sudah kukisahkan di awal, kita tidak perlu
mengerjakan PR untuk ke gereja, tapi ada pekerjaan rumah
yang akan menghabiskan satu dua bahkan tiga jam sebelum
kau bisa pergi berhimpun. Dan semua itu hanya agar kami
bisa dibangkitkan kembali di Hari Kiamat yang akan tiba pada
ulang tahunku yang ketujuhbelas!
Lalu, seperti telah kuceritakan di muka, semenjak kami
mengunjungi Jawa aku pun melihat cara untuk melepaskan
diri dari ibuku. Begitu menjadi mahasiswa di Bandung, merdeka dari Ibu,
aku melakukan segala hal yang ia tidak ingin aku lakukan.
Merokok. Bercinta. Berjudi. Berolahraga. Lari sepuasku, me?
ngejar lari yang tak kudapatkan di Taman Melati dulu. Melu?
pakan agama. Merayakan hari lahirku setiap tahun. Terbebas
dari ibuku sama artinya bagiku dengan terbebas dari Hari
Kiamat. Aku masih sempat ke dokter jantung di Jakarta sam?
bil membawa surat dari dokter jantung di Padang sekutu Ibu.
Hasilnya sama: aku tak dianjurkan untuk beraktivitas fisik
keras. Persetan, kataku dalam hati. Dokter itu sendiri gemuk,
merokok, dan tersengal-sengal. Seperti kubilang aku mencoba
Enrico_koreksi2.indd 193 193 Ayu Utami 194 pelbagai tantangan fisik. Tapi yang paling kusukai adalah
panjat tebing. Aku sudah berhenti panjat tebing sekarang. Tapi kepada A
aku masih bisa memamerkan kebolehanku memasuki ru?mah
dengan memanjat tembok dan menyusup dari atap rumah
seperti maling di film detektif ketika kunci rumah keting?galan
di dalam. A mengagumi ketrampilan dan kekuatanku. Ia suka
cowok berbadan atletis dan berambut cepak. A juga se?nang
mendengarkan cerita-cerita ekspedisiku, selain men?catat
mimpi-mimpiku serta menggalinya.
"Jadi, hampir semua olahraga petualangan kamu suka?"
tanyanya. "Ya. Kecuali potholing. Itu olahraga petualangan menyusur
terowongan dan celah-celah sempit bumi." Olahraga petua?
langan jenis ini mengingatkan aku pada kegagalanku menye?
lesaikan ujian kedua anak tangsi: melewati saluran air.
"Kalau menyelam?"
"Nah, itu aku juga tidak suka."
"Kenapa?" Aku terdiam sebentar. Sekeping pemandangan muncul
lagi ke permukaan. Melayang melewati mulut bunker rahasia
ke perairan ingatan. Aku mengajak Ayah berenang ke tepi laut, di mana ada
reruntuhan benteng Jepang dan jenazah Malin Kundang yang
telah jadi fosil. Kubilang pada Ayah, aku mau tunjukkan bah?
wa aku bisa menyelam. Tanpa Ayah tahu, aku sudah kerap
berenang di sana bersama geng anak tangsi. Dari mereka aku
tahu bahwa ada satu bunker Jepang yang bisa jadi tempat
persembunyian. Kami bisa menyelam dan masuk lewat
Enrico_koreksi2.indd 194 Cerita Cinta Enrico celahnya yang terletak di dalam air. Di sebelah dalam bunker
itu ada ruangan yang berudara. Ayahku yang penuh cinta dan
mengira aku polos itu pun kutinggalkan. Aku menyelam dan
masuk ke dalam bunker. Memang bermaksud untuk menakutnakuti dia, aku berdiam lama di dalam bunker itu. Setelah
waktunya cukup, aku pun menyelam lagi dan menyembul ke
permukaan air. Kulihat di sebuah jarak ayahku sedang me?
nyelam dan timbul dan menyelam dan timbul, mencari aku.
Kupanggil ia sambil tertawa-tawa. Tapi, setelah dekat, kulihat
di matanya ada ketakutan yang luar biasa?yang tak bisa
kugambarkan?seperti air mata darah, sebelum berubah jadi
marah. Aku pun tahu bahwa leluconku sama sekali tidak lucu.
Aku sedih membayangkan bahwa aku sempat memberi Ayah
sepuluh menit yang sangat menakutkan dalam hidupnya.
195 Enrico_koreksi2.indd 195 Too Good to be True Aku selalu senang memandangi A ketika ia berpakaian
kembali di pagi hari. Sinar matahari masuk dari jendela
kecil dan ia duduk di depannya. Sudut itu satu-satunya yang
mendapat cahaya, seperti dalam lukisan. Aku berselonjor di
tempat tidur yang gelap, diam-diam mengagumi kehadirannya
dalam hidupku. Kerap, tanpa kusadari, aku bersenandung. You
are too good to be true. Pelan-pelan aku sadar bahwa aku telah kedatangan se?
orang kekasih. Ia datang persis ketika aku membutuhkan?nya.
Kese??dihanku yang aneh dan mencekat sejak kematian Ayah
ti?dak berlangsung lama. A hadir persis sebulan setelah aku
me?nyadari kerinduanku, seolah ia dikirim oleh siapapun yang
me?ngetahui penderitaanku.
Enrico_koreksi2.indd 196 Cerita Cinta Enrico Padaku kini ada perempuan yang mengizinkan aku terle?
lap sampai mengigau. Ia tidak hanya membuatku dapat mem?
buka diri apa adanya, tetapi ia juga membuka lapisan-lapisan
bawah sadarku, yang sedikit-sedikit muncul dalam mimpi.


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di hadapannya aku bisa telanjang sebagai bayi. Boleh
mengigau ataupun ngompol. Tak harus menyembunyikan
kulup. Bahkan tak harus sembunyi-sembunyi untuk ber?
mas?turbasi. Ibumu memang menerimamu telanjang bagai
bayi. Tapi tak ada Ibu yang membuat anaknya bisa beronani
tanpa rasa berdosa. Untuk yang ini, tak cukup kekasih yang
menggantikan ibumu. Dibutuhkan kekasih yang adalah cer?min
dirimu sendiri. A adalah ibuku sebelum Ibu kena virus Hari
Kiamat. Tapi A juga berkata dengan ringan, "Persetu?buhan itu
adalah perluasan dari masturbasi. Perluasannya, kamu juga
menggunakan tubuh orang lain. Jadi, jangan takut kalau mau
masturbasi. Aku gak akan marah."
Setiap kali memandanginya di sudut terang pagi hari itu
aku takjub bahwa betapa mirip ia denganku. Ia satu-satunya
perempuan yang pernah kukenal yang tidak mengatakan
bahwa seks adalah sakral. Sebaliknya, pandangannya tentang
perkara itu sangatlah dingin dan teknis, melebihi diriku. Aku
belum pernah bertemu perempuan yang begitu dingin me?
mandang seks. Seks tidak sama dengan cinta, meskipun sering
ada irisan antara keduanya. Seks tidak sakral; tetapi kadang
ada juga irisan antara seksualitas dan sesuatu yang sakral.
Seks memang memberi kenikmatan, tapi rasanya manusia bisa
lebih tenang dan bahagia jika mereka bebas dari nafsu seks.
Aneh sekali, ia pun berpendapat bahwa hubungan seks itu
seperti judi. Cuma, tampaknya ia biasa melakukan perjudian
jangka panjang. Enrico_koreksi2.indd 197 197 Ayu Utami 198 Ia juga satu-satunya pacar yang secara tegas mengatakan
bahwa ia tidak mau menikah dan tidak ingin punya anak.
Kenapa ia tidak mau menikah? Katanya karena selama ini
perempuan terlalu ditekan oleh nilai, keluarga, dan masyarakat
untuk menikah. Harus ada pembebasan dari itu. Lagi pula,
tambahnya, ia tidak setuju bahwa suami adalah dengan
sendirinya pemimpin istri. Hukum perkawinan Indonesia
menjadikan suami kepala keluarga, dan ia tidak mau itu. Itu
bukan urusan negara, katanya. Soal siapa yang memimpin,
atau apakah perlu ada pemimpin dan pengikut, itu urusan
pasangan yang kawin. Kenapa tak ingin punya anak? Katanya,
kalau ia warga Australia, Norwegia, atau Eskimo, atau negeri
yang liberal dan penduduknya sedikit, barangkali ia masih mau
punya anak. Tapi Indonesia sudah kebanyakan anak. Konon,
hampir sepuluh ribu bayi lahir tiap harinya di Indonesia.
Jawaban-jawabannya membuat aku berpikir. Aku sendiri
tidak pernah terlalu menjawab kenapa aku tidak ingin menikah
atau punya anak. Kalau ditanya, jawaban spontanku hanya
satu: aku tak ingin kemerdekaanku terampas. Ya, aku merasa
telah menjadi manusia bebas sejak terlepas dari Ibu dan Hari
Kiamat-nya. Aku tak mau terpenjara lagi. Kalau dipikir-pikir,
alasanku egois. Sedangkan alasan A lebih sosial dan ideologis.
Apapun, hasilnya kami sama-sama tidak ingin berkeluarga.
Itu menakjubkan, bahwa akhirnya aku menemukan juga pe?
rempuan yang tidak ingin menjeratku sebagai suami dan ayah
bagi anak-anaknya. Betapa ajaib, aku mendapatkan pasangan
dari jenisku sendiri. Meskipun ia tidak mengagung-agungkan seks?misalnya,
tidak menganggapnya sakral, tidak juga menganggapnya satusatunya kenikmatan di muka bumi ini?tapi ia adalah orang
Enrico_koreksi2.indd 198 Cerita Cinta Enrico yang menikmati seks tanpa sedikitpun inhibisi. Tampaknya ia
tak punya rasa bersalah, perasaan yang biasanya lekat pada
orang beragama. Tentu saja kukira ia juga tidak beragama
seperti diriku. Tapi, ternyata aku mulai mengetahui perbedaan
kami. Suatu hari kami melayat saudaraku yang meninggal du?nia.
Di rumah duka St. Carolus itu kulihat ia memejamkan mata
dan berdoa. Orang biasa mengheningkan cipta di depan jena?
zah, paling tidak untuk basa-basi. Jadi, semula kupikir dia juga
begitu. Tapi aku tahu juga dia, seperti ibuku, sulit berbasabasi. Apalagi yang meninggal bukan orang yang ia kenal. Dia
bisa berdiri di belakang saja kalau mau.
Di jalan pulang, aku tanya dia. "Emang kamu percaya bah?
wa ada hidup setelah mati?"
"Entahlah," katanya sambil menyetir mobil. "Tapi kuharap
begitu." Lalu ia mengutip ayat yang aku tahu betul: Pada
akhirnya adalah tiga hal ini: iman, harapan, dan kasih. Dan
yang paling besar di antaranya adalah kasih. "Aku tak terlalu
punya iman. Tapi aku punya harapan."
"Kalau harapan itu ternyata kosong?" tanyaku.
"Kalau memang tidak ada hidup setelah mati, kan nanti
kita sudah mati. Jadi tidak tahu juga," sahutnya enteng. "Tapi
aku percaya ada kehidupan setelah mati."
Aku sedikit mencemooh. Tapi aku suka caranya yang ri?
ngan hati, tak seperti ibuku. "Aku lebih suka kepercayaan
Asmat. Setelah mati roh kita bisa bercampur dengan rohroh lain dan lahir kembali sebagai makhluk baru. Bukan re?
inkarnasi juga. Kalau reinkarnasi kan satu jiwa lahir kembali
seba?gai satu makhluk. Ini, tepatnya, lebih mirip dengan teori
bahwa energi tidak pernah berkurang atau bertambah, hanya
Enrico_koreksi2.indd 199 199 Ayu Utami 200 berubah bentuk. Dan dalam perubahan bentuk itu energi bisa
bergabung atau berpisah. Jiwa kita adalah energi itu."
Ia tampak kurang cocok. "Hmm. Boleh juga sih. Tapi aku
tetap percaya bahwa kita tetap bisa dikenali dalam kehidupan
setelah mati." Aku jadi teringat ibuku. Aku khawatir bahwa ia ternyata
sama dengan ibuku dalam hal yang satu itu.
"Kamu percaya Hari Kiamat?"
"Nah, yang itu aku tidak tahu, dan tidak berharap," jawab?
nya?yang membuatku agak lega. "Tapi, kupikir hari kiamat
itu individual. Atau, itu sebuah metafor untuk sesuatu yang tak
bisa kita mengerti sama sekali sekaligus konsekuen dengan
rasa keadilan yang ditanamkan juga. Gambaran hari kiamat
itu pastilah sama metaforisnya dengan gambaran penciptaan
dunia. Kebun Raya Eden bla bla bla. Emangnya kamu pikir
cerita Adam dan Hawa itu benar secara harfiah?"
"Aku tak percaya pada Kitab Suci," sahutku. Aku lalu
menambahkan, "Aku membaca Alkitab. Tapi tidak percaya."
"Tapi itu kitab sastra yang bagus bukan?" tanyanya.
"Oh iya. Cerita-ceritanya seru. Beberapa malah seksi ba?
nget." "Iya. Aku sekarang juga lebih membaca Alkitab sebagai
kitab sastra." "Tapi kamu masih berdoa? Setahuku kamu tidak ke
gereja." "Aku tidak ke gereja karena beberapa hal. Sebal pada khot?
bah pastor yang patriarkal dan menggurui, misalnya. Juga
karena aku tidak komuni?itu, makan roti yang sudah di?ber??
kati dan dianggap sebagai Tubuh Kristus?karena aku berzinah
melulu dan tidak merasa itu sebagai dosa." Ia diam sebentar,
Enrico_koreksi2.indd 200 Cerita Cinta Enrico seperti mengecek apakah aku mengerti apa yang ia katakan
sebab untuk memahaminya dibutuhkan pengertian tentang
sistem Katolik. Sesungguhnya samar-samar aku mengerti,
ber??dasarkan pengalamanku sekolah di lembaga Katolik. Ia
tampaknya putus asa. "Hmm. Tapi aku tetap berdoa."
Aku terdiam. Sudah lama sekali aku tak bisa berdoa.
Aku tak tahu apakah aku bisa berdoa ketika ibu dan ayahku
mening????gal dunia. Aku juga tak bisa berdoa pada saat-saat
ketakutan. Aku ingat, di sebuah penerbangan dengan pesawat
Tetuko di Papua cuaca begitu buruk. Pesawat berguncang
di antara kabut dan celah-celah gunung. Kutitipkan saja
ketakutanku pada dua orang biarawati yang kulihat berdoa
dengan khusyuk. Doa mereka pasti didengar. Doaku tak akan
didengar. Aku toh tak punya kepercayaan.
Malamnya, seusai bercinta, kulanjutkan pertanyaanku.
"Apa kamu tidak merasa berdosa dengan perbuatan
begini?" "Perbuatan apa?"
"Ya begini. Ini kan berzinah."
"Aku kan tidak mengkhianati dan membohongi siapapun,"
jawabnya. "Iya. Tapi seks tanpa perkawinan kan zinah."
"Kalau menurut Sepuluh Perintah Allah memang. Tapi
emang?nya itu satu-satunya hukum? Kamu sendiri tidak
merasa dosa?" "Aku kan memang tidak beragama. Kamu yang masih
ber??agama." Aku sebetulnya agak sebal dengan orang yang
standar-ganda. Meskipun, reaksi orang agamis yang berzi?nah
itu kadang seru dan merangsang juga. Aku pernah ber?cinta
dengan perempuan yang sepanjang peristiwa membacakan
Enrico_koreksi2.indd 201 201 Ayu Utami 202 ayat-ayat entah apa. Yang aku tidak suka pada banyak orangorang beriman, mulut mereka mengutuk tapi mereka mela?
ku?kannya juga diam-diam. Munafik. "Kamu tidak merasa ber?
dosa?" Ia diam sebentar. "Tidak," jawabnya tanpa ragu.
"Bagaimana mungkin?" cecarku.
Wajahnya berubah lebih serius. "Aku sudah melewati itu."
"Melewati bagaimana?"
"Sepuluh Perintah Allah adalah satu bagian dari Alkitab.
Ya. Tapi, kalau kita baca keseluruhan Alkitab, kita tahu bahwa
praktik seksual selalu berubah dari zaman ke zaman. Dan
umat Tuhan hidup di dalam praktik zamannya. Contoh paling
gampang, di Perjanjian Lama poligami adalah praktik wajar.
Di Perjanjian Baru itu tidak diterima lagi. Tapi, ada yang lebih
radikal daripada itu. Kamu pikir Abraham tidak menyerahkan
Sarai istrinya tidur dengan Firaun agar nyawanya selamat?
Maksudku begini. Itu praktik zaman, yang di era kesadaran
akan hak asasi manusia ini kita tidak bisa terima sama sekali:
Firaun berhak meniduri semua perempuan pendatang yang
ia mau dan membunuh suaminya. Kekuasaanya tak terbatas.
Karena itu ketika tiba di Mesir Abraham tidak mengaku bahwa
ia suami Sarai. Ia tahu Firaun suka pada istrinya. Ia biarkan
itu agar mereka bisa tetap hidup. Apakah Abraham atau Sarai
dihukum Tuhan karena perbuatan itu? Tidak. Ketika ia mau
mengulanginya lagi di tanah asing lain, mereka diselamat?
kan. Kali ini, si raja yang hendak meniduri Sarai mendapat
mimpi peringatan. Maka raja kedua ini tak jadi menghampiri
Sarai, malah memberi mereka harta dan bekal. Moral cerita?
nya: Praktik zaman berubah, tapi yang penting adalah ini:
bukan bagaimana Tuhan menghukum, tapi bagaimana Tuhan
Enrico_koreksi2.indd 202 Cerita Cinta Enrico menyelamatkan." A adalah satu-satunya perempuanku yang membaca Al?
kitab sebanyak aku. Tapi aku tidak pernah menafsirkan ce?rita
itu demikian. Barangkali karena aku membacanya ber?sama
Ibu dan ia membacanya sendirian. Ia juga masih mem?baca?nya
sampai sekarang, sementara aku sudah berhenti membaca?
nya semenjak terbebas dari Ibu dan Hari Kiamat. Ia membaca
dengan kebebasan penuh. "Ada lagi yang lebih radikal. Kalau kita baca Alkitab, secara
agamis maupun sekuler, kita tahu bahwa terdapat beberapa
kelahiran sosok penting yang justru terjadi dengan pe?lang?
garan hukum. Hukum masyarakat maupun hukum alam.
Orang sekuler bisa membaca bahwa Musa dan Yesus adalah
anak-anak yang tak jelas asal-usul atau ayahnya. Anak haram
jadah. Orang beriman tentu boleh percaya bahwa Yesus ada?
lah bayi supranatural, dikandung dari Roh Kudus, sementara
Musa punya ayah-ibu yang jelas tetapi dilarung di sungai dan
dipelihara musuh, kaum yang hidup dalam kenajisan.
"Ishak juga. Ia lahir justru setelah Sarai, istri Abraham
yang kini telah ganti nama menjadi Sarah, sudah menopause.
Sebuah pelanggaran hukum alam juga.
"Raja Salomo adalah anak Daud dengan Batsyeba. Kita
tahu bagaimana Raja Daud merebut Batsyeba dari suaminya.
Ia mengirim Uriel, suami yang malang itu, ke medan perang
memang supaya mati di sana. Dan Alkitab tidak menyem?
bunyikan bahwa perbuatan Daud itu jahat di mata Tuhan.
Nabi Natan memperingatkan itu pada Raja Daud.
"Daud sendiri adalah keturunan Isai. Nah, Isai lahir dari
persetubuhan menantu dan mertua?sebuah pelanggaran
hukum masyarakat! Tapi pelanggaran hukum ini terjadi
Enrico_koreksi2.indd 203 203 Ayu Utami karena hukum yang ada pun tidak adil pada yang lemah.
Yang le?mah dalam hal ini adalah Tamar, menantu perempuan
Yehuda. Yehuda seharusnya memberikan anak bungsunya
menggantikan suami Tamar yang mati?sesuai adat yang
berlaku waktu itu. Tapi, Yehuda tidak mau melakukannya.
Aki?batnya, Tamar tidak bisa mendapatkan keturunan. Maka,
Tamar menjebak mertuanya sendiri, mertua yang curang itu,
untuk menghamili dirinya.
"Kesimpulanku: kita tidak bisa melihat seks secara hitam
putih dan berdasarkan rumusan hukum saja. Paling tidak, da?
lam Alkitab ada dua jalur: hukum dan kisah. Hukumnya boleh
hitam putih. Tapi kisahnya tidak pernah begitu. Pengalaman
manusia jauh lebih rumit daripada hukum."
Kami diam sebentar. Tapi aku sering sebal dengan orang-orang beragama yang
suka cari pembenaran untuk dirinya sendiri dengan memakai
ayat-ayat juga. "Jadi kamu tidak merasa berdosa?"
"Ah. Kamu menyederhanakan lagi," jawabnya. Ia mungkin
agak kesal. "Kalau pertanyaannya tertutup begitu, dosa apa
tidak dosa... ya, tentu saja aku berdosa. Tapi bukan karena
ber?zinah. Melainkan, karena melepaskan seks dari fungsi
reproduksi. Hahaha!"
Aku tak tahu apakah aku harus ikut tertawa. Jawabannya
terlalu maju dibanding yang kuduga.
A melanjutkan, "Kamu ini ngakunya tidak beragama. Tapi
sikapmu persis dengan orang beragama yang terobsesi pada


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dosa atau tidak dosa."
Jangan-jangan karena kamu takut melihat dirimu penuh
dosa maka kamu menolak agama.
204 Enrico_koreksi2.indd 204 Cerita Cinta Enrico "Tentu saja semua manusia berdosa." Lalu ia mengutip:
Barang?siapa yang tidak memiliki dosa, silakan menjadi
pelempar pertama batu perajam. "Justru karena kita semua
berdosa, seharusnya kita tidak lagi terobsesi pada dosa dan
tidak dosa, dan lebih menggunakan energi untuk berbuat baik
bagi orang lain." Aku teringat ayahku. Ah, ia tidak pernah peduli pada
agama, tetapi ia selalu peduli untuk berbuat baik dan ia
selalu peduli pada orang lain. Suatu hari ketika remaja aku
me?lihat seorang anak kecelakaan karena kebut-kebutan
di jalan. Aku melenggang saja dengan motor bebekku. Aku
tak mau menolong anak yang menggelepar itu. Untuk apa?
Salahnya sendiri balapan di jalan umum. Biar teman kebutkebutannya saja yang menolong. Ketika kuceritakan itu pada
Ayah, ia tampak prihatin bahwa aku tak punya solidaritas dan
belaskasih sama sekali. "Betapapun menjengkelkan dan kontroversialnya Agus?
tinus, aku mengagumi ketajaman dan kejujuran?nya," kata
A tiba-tiba, memecahkan lamunanku tentang Ayah. "Kamu
tidak tahu siapa Agustinus ya? Dia itu hidup di abad ke??empat.
Dia diang?gap santo, orang suci, dalam Gereja Katolik. Santo
Agustinus. St. Augustine..."
St. Augustine seperti dalam lagu Bob Dylan: I dream I saw
St. Augustine... "Dialah yang merumuskan konsep dosa asal, yang ke?mu?
dian menjadi doktrin Gereja di abad pertengahan. Kon??sep?nya
memang sangat kontroversial: Manusia lahir dengan dosa
asal. Dan dosa asal itu ?ditularkan? atau tepatnya diterus?kan
dari orangtua ke keturunannya melalui hubungan seks.
"Ketika remaja beranjak dewasa aku mulai memprotes
Enrico_koreksi2.indd 205 205 Ayu Utami 206 konsep ini. Dan Agustinus itu juga ampun patriarkalnya.
Tidak adil betul jika manusia lahir sudah berdosa asal. Dosa
kan seharusnya perbuatan kita sendiri, berada dalam wilayah
tanggung jawab kita. "Setelah dewasa beranjak tua aku sadar bahwa kita lahir
pun bukan karena keputusan kita. Artinya, ada banyak hal
dalam diri kita yang bukan tanggung jawab kita. Kita tidak bisa
memilih lahir sebagai anak kaya atau miskin, dari orangtua
yang harmonis atau yang berkelahi melulu. Kita tidak bisa
memilih talenta kita. Kita lahir tidak sempurna, melainkan
membawa cacat dan kelemahan genetik orangtua kita. Kita
bukan selembar kertas kosong.
"Hidup ini memang tidak adil, karenanya. Toh kita harus
mem?perjuangkan keadilan. Tapi, dari perbandingan ini, se?
sung?guhnya tak sulit memahami konsep dosa asal. Yaitu
bahwa kita lahir sudah membawa sejenis ?cacat bawaan?.
"Menarik dan kontroversialnya Agustinus adalah ketika
ia menggambarkan bahwa dosa asal itu berhubungan dengan
seks. Dosa asal diteruskan melalui hubungan seks. Ciri-ciri?
nya ada pada hadirnya rasa malu sekaligus syahwat. Dalam
Alkitab, kedua hal itu memang baru terjadi setelah manusia
me?mutuskan untuk memakan buah terlarang. Rasa malu
karena telanjang baru ada setelah Adam dan Hawa makan
buah Pohon Pengetahuan yang terlarang itu. Birahi baru ada
sete?lah mereka diusir dari Taman Eden.
"Agustinus berspekulasi bahwa sebelum manusia pertama
jatuh ke dalam dosa makan Buah Pengetahuan, mereka secara
potensial bisa berhubungan seks untuk bereproduksi. Tetapi
tidak dengan birahi. Jadi, katanya, Adam bisa ereksi bukan
karena nafsu, melainkan karena ia memerintahkan penisnya
Enrico_koreksi2.indd 206 Cerita Cinta Enrico untuk berdiri seperti ia memerintahkan jari untuk menunjuk.
Semua dengan kesadaran. "Dosa asal datang bersama rasa malu dan syahwat. Tapi,
menurut kamu syahwat itu apa sih?"
Aku tak siap menanggapi, maka ia menjawab sendiri:
"Menurut aku, syahwat itu adalah menjadikan orang obyek
ke??senangan kita. Dalam syahwat, manusia tidak berhubung?an
dengan yang lain sebagai subyek dengan subyek, melain?kan
dalam relasi kekuasaan. Manusia melihat yang lainnya seba?
gai obyek. Atau, dalam kasus masokisme, ia melihat dirinya
sebagai obyek bagi yang lain. Jadi, hubungannya selalu tidak
pernah setara. Selalu ada obyektivikasi. Selalu ada keinginan
menguasai. "Dalam hal hubungan seks kita," lanjut A, "kita tampaknya
setara, tapi sesungguhnya hanya karena ada pergantian
momen dalam diri kita masing-masing antara momen sadis
dan momen masokis. Maksudku, kita senang menjadikan yang
lain obyek, tapi kita juga senang menjadikan diri kita obyek
bagi yang lain. Hanya karena perbandingannya setara kita
jadi tampak seimbang. Tapi, struktur relasi kekuasaan dan
obyektivikasinya tetap ada."
Ah. Sekarang dia menganalisa permainan cinta kami de?
ngan sangat dingin belaka. Seolah-olah yang bercinta adalah
orang lain. "Jangan dikira kita tidak menjadikan yang lain
obyek," ia memperingatkan.
"Nah, rasa malu berhubungan dengan kesadaran bahwa
kita menempatkan diri dan orang lain dalam relasi yang tidak
pantas. Relasi obyektivikasi. Bayangkan, kita kok doyan sama
kelamin orang lain. Kan memalukan."
Terus terang, pendapatnya mengenai Alkitab, hal-hal
Enrico_koreksi2.indd 207 207 Ayu Utami 208 agama, dan seks di luar yang aku bayangkan sehingga aku
lebih banyak terdiam. "Aku suka Agustinus seperti aku suka Freud," kata A. "Ke?
duanya menjengkelkan karena patriarkalnya. Tapi keduanya
sangat berani dan jujur untuk mencoba memahami sisi gelap
bawah-sadar manusia. Keduanya juga sangat tajam dan ima?
jinatif dalam menggambarkan struktur jiwa manusia, pada
kon?teksnya masing-masing. Agustinus merumuskan dosa asal,
Freud merumuskan libido. Dua-duanya menyentak.
"Freud dan psikoanalisa adalah kritik atas rasionalisme.
Kri?tik terhadap kepercayaan bahwa manusia selalu bisa meng?
ambil keputusan jernih dan sadar. Psikoanalisa me?nunjuk?kan
adanya sisi gelap bawah sadar manusia yang sangat mem?
pengaruhi tindakan manusia. Begitu juga, Agustinus dan dosa
asal adalah kritik terhadap kepercayaan bahwa manusia bisa
mencapai keselamatan hanya dengan keputusan sadarnya dan
usahanya sendiri. Manusia membutuhkan belaskasih Tuhan
dan juru selamat. "Maka, kembali ke pertanyaanmu tadi: dosa apa tidak?
Hmm... Tentu saja berdosa. Tapi itu non-isu. Sebab, manusia
memang berdosa. Sejak lahir ia bukan tak bernoda. Buat saya,
kegunaan agama adalah membuat kita memahami adanya dosa
dan struktur dosa. Sehingga, kita lebih rendah hati meng??akui
bahwa kita tak pernah bersih dari cela dan kekurangan. Agar
kita sadar diri bahwa kita tidak akan pernah sempurna. Bu??kan
agar kita terobsesi untuk bersih dari dosa. Obsesi demikian itu
malah egoistis sifatnya. Jadi, sekali lagi, energi bisa diarahkan
untuk berbuat baik pada orang lain. Sebab Tuhan telah baik
pada kita. Titik." "Tidak. Tidak titik tetapi koma," wajahnya berubah nakal
Enrico_koreksi2.indd 208 Cerita Cinta Enrico kembali. "Ya. Saya berdosa dong. Tapi bukan dengan konsep
dosa yang kamu bayangkan dalam pertanyaanmu tadi."
Tak lama kemudian aku mendapati kami berdua telah
berpeluk-pelukan lagi. "Seks itu selalu problematis, Sayang," bisiknya. "Lebih baik
kita mengakuinya." Ia mencium dan berkata nakal, "Sejujurnya,
menurutku seks itu tidak pernah sakral. Hanya pastor zaman
ini yang bilang begitu. Sebab, mereka tidak punya kemewahan
untuk berkata jujur dan mereka harus menjaga perasaan
umat..." Pelan-pelan aku mengerti, A adalah anak bungsu. Ia me?
miliki kemewahan yang tidak dimiliki kakak-kakaknya atau
seorang anak tunggal untuk mengatakan banyak hal yang tak
boleh dikatakan. Bulan berganti bulan. Ketakutanku pada kehadiran ibuku
dan Hari Kiamatnya dalam diri A perlahan-lahan pupus. Ia
me?mang percaya Tuhan, tetapi dengan cara yang sama sekali
lain dari ibuku. A menjelma seorang perempuan berkaki
kokoh yang dulu dicintai oleh aku dan ayahku. Kepalaku bisa
rebah di pangkuannya ketika ia berdoa, seperti dulu ketika
ibuku berdoa. Bersama luruhnya ketakutanku, performaku
sebagai lelaki semakin baik juga. Percintaan kami semakin
bermutu. Tapi ia adalah makhluk aneh yang bisa sangat panas
di ranjang lalu sangat dingin membicarakan yang barusan
terjadi. Ia memang anak bungsu yang memiliki kemewahan
untuk mengatakan apa yang tak boleh dikatakan.
"Lihat," katanya seusai bercinta. "Setiap kali kita bercinta
sung?guhan dengan pasangan baru, rasanya begitu indah
seolah-olah kita tidak pernah merasakannya sebelumnya.
Pada?hal kita tahu, sebelumnya juga selalu begitu..."
Enrico_koreksi2.indd 209 209 Ayu Utami Aku tertawa karena sesungguhnya ia betul belaka. Cuma
selama ini aku ataupun pacar-pacarku tak pernah berani me?
ngatakannya. Takut dianggap tidak menghargai pasangan.
"Tapi aku merasa persetubuhan kita semakin hari sema?
kin asyik," kataku. "Kamu merasa begitu juga tidak?"
"Iya. Tapi selalu begitu juga bukan?" sahutnya polos. "Da?
lam pengalamanku, persetubuhan itu akan terus membaik
dan men?capai puncak mutunya pada tahun kedua hubungan.
Tahun kedua adalah periode ketika semua kekhawa???tiran, ke?
cu?ri?gaan, dan rasa malu selesai, rasa percaya tumbuh, se????hing?
ga kita mampu membuka diri sepenuhnya buat pa?sangan."
"Dua tahun? Lama amat?" sahutku.
"Kamu tidak pernah punya hubungan panjang ya?" ia men?
jawab sambil tertawa. Aku mengalami percintaan yang tidak biasa. Sebab tidak
ditutup dengan adegan merokok. Aku sudah berhenti mero?
kok, sementara ia tak pernah jadi perokok. Tanpa sadar aku
suka bersenandung: You are too good to be true.
Tapi samar-samar dari masa laluku berdengung pula se?
buah lagu yang menakutkan: Nothing is so good that lasts
eternally. Perfect situation must go wrong...
210 Enrico_koreksi2.indd 210 Ancaman Kehilangan Yang tidak ia katakan adalah kapan sebuah hubungan
meng???alami titik balik. Terbiasa dengan "selepetan" atau afair
singkat, aku takjub bahwa hubungan kami memasuki tahun
kedua. Seperti ia bilang, di tahun kedua percintaan men??jadi
sangat asyik. Tapi akibatnya, teman-temanku yang sebe?lum?
nya sering muncul ke rumah begitu saja kini jadi malas da?
tang lagi. Apalagi aku juga sudah berhenti merokok. Aku tidak
bisa diajak begadang sambil mengepul-ngepulkan asap. Dari?
pada nongkrong tak juntrung, aku lebih suka bobo dengan
kekasihku, tak siang tak malam.
Tahun kedua lewat. Tahun ketiga berjalan. Persis ketika ta?
hun ketiga berakhir, A mengajakku makan malam di luar. Wa?
jahnya tampak agak gelisah. Beberapa kali ia memandangiku
Enrico_koreksi2.indd 211 Ayu Utami 212 seperti mengatakan sesuatu dengan matanya. Beberapa kali
lain ia mengalihkan tatapannya ke ruang kosong. Akhirnya ia
berkata, "Aku mau bilang sesuatu."
"Ya?" Aku mulai merasa tidak enak.
"Aku bersetubuh dengan orang lain," ujarnya.
Aku terdiam sebentar saja. Lalu sebuah jawaban meluncur
dari mulutku. "Oh ya? Tidak apa."
Apa lagi yang harus kukatakan? Sebelum ini kerjaku
juga tidur dengan kekasih orang. Aku menerima datangnya
pe?rempuan-perempuan menarik yang sedang jenuh pada
pasangan mereka. Jadi, bahwa sekarang kekasihku hinggap
di pelukan lelaki lain, aku tak bisa selain menganggapnya
karma atas perbuatan-perbuatanku sebelumnya. Meskipun
ba?yangan bahwa ia jenuh padaku ternyata menyakitkan juga.
Aku juga tidak bisa marah padanya sebab, demi kebebasan
yang kupuja-puja itu, aku bersumpah tidak akan melarang
pacarku tidur dengan pria lain. Sebab begitu pula aku tidak
mau dilarang tidur dengan perempuan lain. Hubungan harus
berdasarkan suka sama suka, bukan ikatan dan batasan. Bah?
wa selama tiga tahun ini tidak ada orang ketiga, itu karena
kami belum membutuhkannya. Tapi kini ia menclok ke dahan
lain. Sesungguhnya itu sangat tidak menyenangkan. Se?kali?pun
aku tahu itu konsekuensi dari model hubungan yang kupilih.
"Persoalannya," sambungnya pahit, "Aku jatuh cinta pada
lelaki itu." Tanganku mendingin. Keringat mulai merembesi tela?pak?
ku, seperti ketika aku memanjat tebing dan merasa bahwa aku
tak akan berhasil bertahan hingga titik berikutnya. Seperti jika
tubuhku tahu bahwa tantangan di depan terlalu berat. Tibatiba aku sangat cemas dan sedih. Jika selama ini perempuanEnrico_koreksi2.indd 212 Cerita Cinta Enrico perempuan berpetualang denganku dan menjadi yakin bah?wa
pasangannya adalah yang terbaik untuk mengarungi hi?dup
yang sesungguhnya, kini akankah kekasihku kembali pada?ku
dari petualangannya? Atau ia meninggalkan aku karena aku
bukan lelaki yang cocok untuk hidup yang sesung?guhnya,
yaitu hidup yang bukan petualangan? Setelah tiga tahun yang
bahagia ini? Aku bagaikan seorang Jaka Tarub. Dulu perempuan ini
datang, peri yang telanjang, menyihirku dengan kebebasan?


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. Kini ia menemukan lagi sayapnya dan mengenakannya
kembali, siap untuk terbang ke tempat lain. Setelah tahuntahun yang membuatku sangat bahagia.
A memanggil namaku. "Aku mau memperbaiki hubungan
kita," katanya. "Kalau kamu mau."
Aku terlalu sedih untuk bilang tidak. Tiga tahun ini aku
ter?lalu bahagia. Kami bercinta tanpa beban sama sekali. Yang
ada padanya hanya menyenangkan. Tak ada sedikit pun per?
soalan atau kejengkelan. Tapi tiba-tiba ia menjadi orang yang
berbeda. "Kamu bosan dengan hubungan ini?" tanyaku sedih dan
tak mengerti. Ia menggeleng. "Bukan. Bukan bosan," jawabnya dengan agak berat. "Tapi,
ka?lau ada orang lain itu berarti ada masalah dalam hubung?an
kita." Selama ini aku tidak pernah merasa ada masalah. Tapi
rupa?nya tidak begitu di pihaknya.
"Apa... soal seks?"
"Masalahnya," ia terdiam sejenak, "kamu... kamu terlalu
kekanak-kanakan." Enrico_koreksi2.indd 213 213 Ayu Utami 214 Lalu ia mencoba menyatakan apa yang ia rasakan selama
tiga tahun ini. Ia merasa, pelan-pelan ia menjadi ibu dalam
hubungan kami. Ia merasa ialah yang memikirkan apa-apa
tentang diriku, sementara aku terlalu senang padanya sehingga
tidak memikirkan hal-hal lain.
"Aku tidak mau jadi ibumu," katanya.
Kata-katanya menyentakku. Ia tak mau jadi ibuku? Apa
yang kulakukan selama ini sehingga ia merasa menjadi ibu?
ku? Di saat yang sama aku juga tidak bisa menyangkal bahwa
padanya aku menemukan perwujudan ibuku dalam masamasa terindahnya. Kehadirannya membuat aku melihat lu?
ruhnya bukit kapur Hari Kiamat dan di dalamnya kutemukan
kembali ibuku yang asli, yang berkaki kokoh dan memberikan
padaku keajaiban-keajaiban yang ia buat sendiri. Ibuku yang
hilang sejak aku kecil dan Sanda meninggal...
"Lihatlah dirimu, Sayang. Kamu menjadi anak-anak."
Ia bilang ketika hubungan baru mulai baginya aku tampak
seperti seorang petualang sejati. Dengan motor besarku, aku
tampak gagah dan merdeka?padahal ia tidak tertarik motor
besar sama sekali. Cerita-cerita ekspedisi dan petualangan
seksku (meskipun aku pantang menyebut identitas cewek
yang kuceritakan) menggairahkannya. Tapi lama-kelamaan,
katanya dengan prihatin, aku menjelma anak mama. Melekat
terus padanya. Menyusu. Tidak suka keluyuran. Tidak punya
dunia sendiri. Menolak kerjaan karena pekerjaan itu akan
menjauhkan aku dari dirinya. Teman-temanku satu per satu
tak muncul lagi ke rumah.
Apa yang diungkapkannya sungguh membuatku terhe?
nyak. Aku seperti melihat makhluk yang diharapkan Ibu.
Betulkah aku telah menjelma seorang anak sebagaimana yang
Enrico_koreksi2.indd 214 Cerita Cinta Enrico diinginkan ibuku? Celakanya, itu keinginan ibuku setelah
terkena virus Hari Kiamat, bukan ibuku ketika ia perempuan
yang bahagia. Betulkah aku ini sekarang seekor ayam broiler
yang tidak ingin berlari-lari ke luar kandang sama sekali? Yang
akan mematuk-matuk dengan bahagia sampai Hari Kiamat
memotong kepalanya? Ke mana diriku yang ayam kampung
berandal itu? Terkena kutuk apa aku? Bagaimana mungkin
aku, yang hanya punya satu cita-cita, yaitu merdeka dari
ibuku, kini menjelma persis seperti yang ia harapkan? Tapi,
betapa menyedihkan pula, justru di titik ini, pengganti ibuku
tidak ingin ia menjadi ibuku.
215 Enrico_koreksi2.indd 215 Kesalahan Ontologis A punya reputasi memiliki hubungan yang panjang. Sela?ma
percintaan itu ia menjadi perempuan yang sangat menye?nang?
kan, tidak rewel, tidak penuntut... sampai tiba-tiba ia ter?libat
dengan pria lain. Ketika itulah ia akan bilang bahwa itu bisa
terjadi karena ternyata ada masalah dalam hubungan. Lalu
ia akan meninggalkan lelaki yang kelimpungan itu perlahanlahan, seperti seorang ibu yang menyapih anak-anaknya.
"Ini kali pertama aku mau memperbaiki hubungan," kata?
nya padaku. "Kenapa?" Betapa ingin aku mendengar dari mulutnya bahwa itu ka?
rena aku ini berharga, lebih dari yang sudah-sudah. Ter?utama
Enrico_koreksi2.indd 216 Cerita Cinta Enrico lebih dari lelaki yang baru datang itu. Tapi bukan itu jawaban
yang ia berikan. "Karena kamu tidak punya kesalahan ontologis," jawab?
nya. "Maksudnya?" "Maksudku... Kamu bukan suami orang. Kamu tidak me?
nyu??ruh aku pindah agama. Seperti pacar-pacarku yang sebe?
lumnya." Bajing luncat! Kenapa ia tidak mau menyenangkan ego?
ku dengan bilang bahwa ia sangat mencintaiku dan aku ini
istimewa. "Tolonglah mengerti aku," katanya. "Aku mau memper?
baiki diri." Tapi ia bukan mau memperbaiki diri seperti yang aku ha?
rapkan. Aku ingin ia menyesal dan kembali padaku. Yang ia
maksud memperbaiki diri adalah bersikap sesuai dengan rasa
keadilannya sendiri. Sebelum ini, katanya, ia sesungguhnya
tidak adil pada pacar-pacarnya. Ia tidak pernah terbuka me?
ngenai masalah yang ada sehingga si cowok buta sama se?
kali. Si cowok tetap terbuai, mengira semua baik-baik saja.
Persis seperti yang aku alami juga. Lalu, ketika datang lelaki
baru, hatinya yang telah disusupi lelaki lain itu sudah sulit di?
kembalikan seperti semula. Ia merasa bersalah, demi Tuhan,
bukan padaku, melainkan pada pacar-pacar lamanya yang
tak pernah diberinya peringatan. Ia ingin memperbaiki diri,
bukan untuk aku, melainkan untuk dirinya sendiri.
Dan sekarang, katanya dengan egois, ia mau mencoba mem??
perbaiki hubungan karena aku tak punya kesalahan ontologis
yang memberatkan. Sungguh mati itu pertama kalinya kata
"ontologis" ada relevansinya dengan hidupku. Se?bagai lajang
Enrico_koreksi2.indd 217 217 Ayu Utami 218 dan tidak pernah menyuruh dia pindah agama, aku tak pu?
nya kesalahan keberadaan. Kesalahan sontoloyo itu. Pacarpacar sebelumnya, karena punya kesalahan ontoloyo tadi, tak
perlu diperjuangkan saat cinta telah retak. "Tapi, kalau aku
meninggalkan kamu untuk lelaki yang, katakanlah, lebih baru
dan lebih menjanjikan, perbuatan itu sama sekali tidak etis.
Aku tidak bisa melakukannya. Moralku tidak mengizinkan aku
melakukan itu." Jadi, di persimpangan jalan ini dia memilih aku bukan ka?
rena aku ini lebih baik daripada orang itu, melainkan karena
standar moralnya sendiri. Ia tidak bisa melakukan perbuatan
yang menurut dia tidak etis. Betapa benci aku padanya. Masa
dia tidak bisa mengakui kebaikan-kebaikanku selain tak
adanya kesalahan sontoloyo itu? Betapa angkuh perempuan
ini dengan nilai-nilainya. Betapa ia sesungguhnya lebih peduli
pada nilai-nilai itu daripada manusia lain. Dan tak sekalipun
ia meminta maaf. Tapi aku juga tak punya pilihan lain. Aku tahu sisi baik
dirinya yang membuatku sangat bahagia, meskipun kini aku
berhadapan dengan sisi lainnya yang membuatku sangat men?
derita. Dalam sebulan setelah peristiwa itu, rambutku mulai
kelabu. Mimpi-mimpi sedih kembali mendominasi tidurku. Tapi
aku tak mendapati ia mengelus-ngelus kepalaku lagi. Seba?
liknya, ia tidak bisa tersentuh olehku jika sedang tidur. Jika
tanganku menyentuhnya ia akan menjerit. Bahkan jika aku
tak sengaja sekalipun. Katanya, bukan karena ia mau marah.
Tapi tubuhnya tidak mau. Tubuhnya seperti mau meledak jika
tersentuh tanpa persiapan. Ia harus menyiapkan mental untuk
bisa bersentuhan denganku.
Enrico_koreksi2.indd 218 Cerita Cinta Enrico Aku pun terkadang menangis. Aku merasa seperti seorang
istri yang pernah cantik tetapi sekarang tubuhku telah melar
dan rombong, dan suamiku tak bergairah lagi padaku karena
ia sudah mendapatkan perempuan baru yang masih sintal.
Suamiku tak bisa lagi kusentuh. Ia telah jijik padaku.
Sepotong memori terlepas lagi dari bunker di bawah laut,
muncul ke perairan mimpi. Aku jatuh cinta untuk pertama
kali. Dengan seorang gadis teman sekelasku di SMP. Ah, cinta
per?tamaku. Ia begitu bersih dan berani menggodaku. Ia meng?
ubahku menjadi bukan anak-anak lagi. Ia putri orang kaya.
Berangkat dan pulang diantar mobil merk Impala. Itulah kali
pertama aku sadar bahwa ayahku miskin. Sebelumnya aku tak
sadar bahwa ayahku miskin. Sebelumnya, aku tak pernah tahu
arti kata miskin. Sebelumnya, ayahku adalah lelaki terhebat
di seluruh dunia. Aku suka naik vespa bersamanya. Aku hapal
bau hangat punggungnya. Bau itu membuatku bahagia.
Suatu hari, pada jadwal tamasya kami, Ayah sudah men?
jemputku dengan vespa tuanya di depan gerbang seko?lah.
Tapi aku tidak lagi bersemangat seperti dulu. Lalu, vespa tua
itu mogok, sehingga kami terpaksa mendorong-dorongnya
ke tepi jalan. Saat itu, cinta-pertamaku lewat dengan mobil
Impalanya. Ia melambai dari balik jendela. Aku merasa malu.
Aku sedih bahwa ayahku tidak punya mobil. Dan aku semakin
sedih karena aku sekarang sedih untuk alasan itu.
Aku tak ingin punya anak sebab aku tahu aku tak akan jadi
orang kaya. Dan aku tak mau anakku sedih karenanya. Tidak.
Itu hanya satu dari sekian banyak alasan. Tapi alasan itu
menghantuiku belakangan ini. Sehubungan dengan tuntutan
A agar aku tidak lagi menjadi anaknya. Ia menuntut haknya
untuk juga menjadi anak-anak dalam hubungan ini. Tapi, aku
Enrico_koreksi2.indd 219 219 Ayu Utami 220 juga tidak sanggup menjadi ayahnya. A datang dari keluarga
yang ayahnya mempersembahkan beberapa rumah dan bebe?
rapa mobil bagi keluarga. Aku tak bisa menjadi ayah yang
membuat anaknya bangga dan nyaman dalam mobil mewah.
Aku telah memilih jalan hidupku dan tak bisa mengubahnya
seperti membalik telapak tangan di usia empat puluh.
Tahun keempat adalah masa yang berat bagi hubungan
ka?mi. Sekalipun A tampak sungguh-sungguh untuk memper?
baiki?nya, tapi keseriusan itu berdiri di atas sikap dasarnya
yang tidak berubah: soal tidak adanya kesalahan ontologis itu,
dan tak sekali pun ia pernah meminta maaf. Setiap kali sikap
dasar itu terungkap lagi, harga diriku tercabik-cabik seperti
babi hutan yang diserbu anjing pemburu.
Bulan madu telah berakhir. Kini, hatiku dan tubuhnya se???
lalu bisa meledak setiap kali ada pergesekan yang salah. Jika
le???dakan itu terlalu besar, seluruh bangunan akan runtuh.
Ledakan-ledakan kecil sudah terjadi dan akan terus terjadi
dalam waktu panjang. Yang bisa kami lakukan adalah me?
num?buh?kan penopang-penopang baru untuk menyelamatkan
hu?bungan, se??mentara luka-luka membutuhkan waktu lama
untuk sembuh. Karena A senang pada cerita-cerita ekspedisiku, dan me?
nurut dia aku menggairahkan sebagai seorang petualang, aku
pun memanjat tebing lagi. Kali ini bersama dia. Anehnya, ia
ternyata memanjat lebih baik dari aku. Untuk mendapatkan
dukungan fisik yang prima, kami joging di kelas sepuluh
kilometer. Anehnya, ia juga lebih kuat berlari dari aku. Ia ma?
lah pernah, dalam keadaan sakit maag, menjadi peme?nang
kesepuluh lomba lari amatir lima kilometer, dan pemenang
lainnya adalah mantan atau atlit cabang olah raga lain. Kami
Enrico_koreksi2.indd 220 Cerita Cinta Enrico mendaki Gunung Gede sepuluh hari sekali. Sekali lagi, ia lebih
cepat daripada aku. Jadi, aku merasa A ini perempuan yang
aneh sekali, yang belum pernah kutemukan dalam hidupku.
Ia suka membikin aku terheran-heran. Jika kau pikir ia jadi
sombong atau aku jadi minder karena itu, tidak sama sekali.
Sebaliknya, ia sangat senang dan berterima kasih karena men?
dapatkan banyak kemampuan baru. Dan aku merasa men?
jadi seorang pelatih yang sukses. Semua itu menjadi tulang
punggung baru bagi percintaan kami. Aku menga?gumi naf?
su makan dan kemampuannya mengunyah. Segala yang ku?
berikan padanya dia lahap dengan rakus dan rasa syukur. Aku
merasa memiliki seekor anjing betina yang ganas dan me?
nye?nangkan. Aku jadi ingat anjingku si Ireng, yang ternyata
melahirkan bayi-bayinya pada tanggal 21 November 1968,
yaitu hari kelahiran A. Dulu ayahku suka menyebut ibuku
Bogawati, yang menurut dia adalah dewi raksasa. Diam-diam
aku juga menyebut A Bogawati.
Dalam periode yang sulit itu A memperkenalkan aku pada
ibunya. Ibunya seorang perempuan paruh baya yang masih
tampak sisa kecantikannya, ramping, sederhana dan bermata
teduh. A sangat senang padanya dan bilang bahwa ibunya se?
orang malaikat sementara keluarga ayahnya memiliki darah
monster?darah yang mengalir juga di tubuhnya. Tak heran
aku melihat raksasa Bogawati pada diri A. "Dulu aku juga
pernah agak-agak ateis kayak kamu, tapi cinta ibukulah yang
membuat aku tetap percaya bahwa Tuhan itu ada."
Aku mudah dekat dengan ibunya. Sebab aku tahu masakmemasak (hey, aku sudah biasa menanak nasi dan menyiap?
kan lauk di usia tujuh tahun). Aku juga tahu merawat ayam
(ibunya merawat banyak ayam kate klangenan ayah A). Aku
Enrico_koreksi2.indd 221 221 Ayu Utami tahu segala macam tentang anjing, kucing, bebek, dan rumah
tangga. Maka akulah sejenis menantu yang bisa bercakapcakap tentang hal-hal domestik yang ia tahu. Ia lain dari ibuku
yang keras kepala, tetapi ia sama dalam hal tidak suka lelaki
yang gondrong atau mengenakan perhiasan. Pada waktu itu
aku masih mengenakan kalung, yang bandulnya adalah cin?cin


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemberian salah satu bekas pacarku. Aneh bin ajaib, tak lama
setelah pertemuanku dengan ibunda A, aku pergi berenang
dan kalung serta bandul cincin itu lenyap ditelan air kolam.
Hampir lima tahun benda itu dulu menempel di leherku.
Ketika itulah sebuah kesa?daran tiba-tiba terbukakan be?
gitu saja padaku. Mendadak aku tahu, bahwa yang diingin??kan
A terhadap aku bukan meng?gantikan ayahnya. Tetapi meng?
gantikan ibunya! Dulu A frustasi, ia tidak ingin jadi ibuku.
Sebab, ia juga ingin jadi anak-anak terus. Kanak-kanak dalam
dirinya tidak membutuhkan ayah?sebab, kata dia, darah
monster ayahnya sudah mengalir dalam dirinya. Bayi mon??ster
ini membutuhkan ibu. Aku pun tahu apa yang harus kulaku?
kan untuk memperbaiki hubungan.
222 Enrico_koreksi2.indd 222 Tahun Angka Delapan Tahun 2008 aku memasuki tahun kelimapuluh usiaku. De?
ngan bahagia. A dan aku berhasil menyelamatkan hubung?an
kami dengan satu resep yang kami namakan Resep Ibu. Kami
berdua sebetulnya adalah kanak-kanak yang mengingin?kan
kembalinya ibu. Bagiku A tetap merupakan perwujudan ibu??ku
(sebelum terkena virus Hari Kiamat), tapi aku juga me?nye?dia?
kan diri sebagai ibu bagi monster kecil itu. Meski?pun, harus
kuakui, kami punya pemahaman yang berbeda. Ibu??ku ada?
lah sosok yang kupuja, kusanjung, yang membuat aku ingin
me??nyemir sepatunya dan membawakan tas belanjaannya.
Se??dang bagi A, hmm, ibu adalah rahim yang membuat ia ten?
tram. Ah, rumusan ini terlalu sublim. Persisnya, sosok yang ia
ingin selalu ada di dekatnya, terutama pada tidur malam dan
Enrico_koreksi2.indd 223 Ayu Utami 224 sarapan pagi. Ibu bagi A adalah makhluk yang hadir untuk
membahagiakan dirinya. Cintaku pada Ibu penuh devosi.
Cintanya pada ibunya egoistis. Di dalam dirinya, ia bukan
anak kecil yang baik, sebetulnya. Tapi ia orang dewasa yang
baik. Sedangkan aku, sebaliknya. Aku ini anak kecil yang baik,
tapi mungkin bukan orang dewasa yang baik. Tapi, begitulah,
perimbangannya membuat segala jadi baik buat kami berdua.
Kami kini tinggal di sebuah rumah impian. A yang meng?
atur segala-galanya sehingga rumah itu terwujud. Aku tinggal
memandori. Ia merancang sebuah kebun di tengah rumah
yang mataharinya melimpah, dengan tebing panjat buatan
setinggi sepuluh meter untuk kami bermain-main. Ia bikin
jendela di kamar tidur kami begitu tinggi dan menghadap ke
Timur, sehingga kami bisa menggolek sambil melihat bulan
atau terkena cipratan hujan. Katanya, ini diilhami pengalam?an
kuajak tidur di Gunung Parang pada suatu malam purnama.
Menjelang perayaan tanggal lahirku, aku telah menanak
ketan dan membeli durian. Kami sudah sepakat untuk makan
durian, dan durian lokal, hanya sekali dalam setahun. Yaitu,
pada ulang tahunku yang jatuh di musim durian. Pesta durian
ini akan berlangsung pada malam di hari Valentine 14 Fe?bruari
sampai lewat jam 00:00 permulaan 15 Februari, disela tidur,
lalu dilanjutkan sampai hari ulang tahunku habis. Aku suka
makan ketan dengan durian, seperti orang Sumatra, sambil
minum kopi pahit. Kucing-kucingku, seperti harimau, juga
suka makan durian. Agar tidak mengganggu pesta, mereka
harus kubikin kenyang dulu.
"Tahun yang berakhir dengan angka delapan selalu isti?
mewa buatku. Setiap kalinya terjadi sesuatu yang penting
dalam hidupku dan suatu peristiwa sejarah," kataku sambil
Enrico_koreksi2.indd 224 Cerita Cinta Enrico kami berselonjor pada tikar terbentang di bawah tebing,
menjilati biji-biji durian. A berbinar, seperti biasa, ia selalu
siap mendengarkan ceritaku.
"Pada zaman dahulu kala, ada satu anak yang lahir ke
dunia ini. Namanya Enrico, dari Enrico Caruso... Sebelumnya,
marilah kamera kita angkat tinggi-tinggi, untuk menyorot
situasi bumi. Dunia memasuki Perang Dingin. Perang antara
Blok Barat, yang dipimpin Amerika Serikat, dan Blok Timur,
dipimpin Uni Soviet. Yang pertama dijuluki kapitalis, yang
kedua menjuluki dirinya komunis. Kedua pihak itu mencipta?
kan senjata-senjata dan berebut untuk menguasai negerinegeri lain, termasuk Indonesia, tanah air si Enrico yang bakal
lahir ini. Karena negeri itu pernah dijajah dan para penjajah???nya
tergabung dalam Blok Barat, Presiden Sukarno pun rupa?nya
lebih senang pada Blok Timur. Sekalipun Sukarno mengga??lang
Gerakan Non Blok, geopolitik tetap geopolitik.
"Sekarang kamera kita turunkan, menyorot kota Padang.
1958 Februari 15. Aku lahir. Bersamaan dengan kelahiran
saudara kembarku, Pemberontakan PRRI yang berkaki kecil.
Aku dan dia adalah anak pemberontakan. Suara-suara yang
meng?inginkan kemerdekaan. Suara-suara yang membawa?kan
ketidakpuasan pada penguasa. Tapi, Sukarno menuduh bah??wa
saudara kembarku dibiayai oleh Amerika Serikat. Begitu??lah,
suara kami yang murni jadi tidak terdengar karena simpangsiur teori konspirasi. Dan kaki kami kecil. 1958 adalah tahun
yang rusuh. Nah, tahun angka delapan berikutnya adalah per?
mulaan suatu pertumbuhan dan keajegan."
"Tahunku!" jeritnya.
"1968 adalah tahun kebahagiaanku. Aku pindah ke rumah
baru yang bagus. Anjingku Ireng melahirkan bayi-bayi pada
Enrico_koreksi2.indd 225 225 Ayu Utami 226 hari yang sama dengan kelahiran seorang bayi yang merasa
di dalam dirinya mengalir darah monster dan yang untungnya
punya ibu seorang malaikat. Bayangkan, bayi yang lahir
ribuan kilometer dari tempatku itu akan kelak akan menjadi
kekasihku." "Peristiwa sejarahnya apa?"
"Tahun 1968 lahir benih angin pembaruan. Di Blok Timur
ada peristiwa Musim Semi di Praha. Alexander Dub?ek, pe?
mimpin Partai Komunis Chekoslovakia, memberikan lebih
banyak kebebasan bagi warganya. Kamu tahu, di negeri
komunis tak ada kebebasan individu. Musim Semi Praha
adalah kritik terhadap komunisme yang kehilangan wajah
manusianya. "Di Blok Barat terjadi peristiwa Paris 1968. Ada de?mon?
strasi mahasiswa dan buruh besar-besaran yang nyaris
men?????jatuhkan pemerintahan de Gaulle. Yang dikritik di sini
ada??lah kapitalisme yang menyebabkan konservatisme, kon?
sumerisme, dan militerisme. Di tahun ini komunisme mau??pun
kapitalisme mendapat kritik dari dalam darah daging?nya sen?
diri. Jadi, 1968 adalah kelahiran bayi-bayi perubahan. Yang
kakinya lebih kokoh."
"Tahunku! Tahunku!"
"Ya, ya." "Sayangnya penguasa-penguasa otoriter masih terlalu
kuat. Uni Soviet menyerbu Chekoslovakia karena pembaruan
Alexander Dub?ek. Dan di Indonesia, tahun 1968 Jenderal
Soeharto menjadi presiden setelah mengambil alih kekuasaan
dari tangan Sukarno. Di bawah Soeharto, Indonesia menjadi
anak manis Blok Barat. Duit dari Amerika pun masuk, untuk
memperkuat rezim sekaligus memodali bisnis yang mengeruk
Enrico_koreksi2.indd 226 Cerita Cinta Enrico kekayaan alam." "Kamu anak haram rezim Sukarno. Aku anak sulung rezim
Soeharto. Tapi kelak aku memberontak juga," kata A. "Lanjut.
Tahun 1978?" "Tahun 1978 aku telah minggat ke Bandung dan bebas
dari ibuku. Tapi itu tahun yang agak menyedihkan. Itulah era
ketika suara-suara kebebasan yang masih muda ini dibung?
kam dengan kekerasan. Di tahun itu, setelah kami berdemon?
strasi menolak Soeharto jadi presiden lagi dan aku hampir
saja digiling panser, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
mengeluarkan aturan NKK/BKK. Intinya, mahasiswa tidak
boleh berkegiatan politik lagi. Ternyata mahasiswa gampang
dibikin bingung dan jinak dengan meliburkan seluruh kampus
dan sekolah selama satu semester. Awal tahun ajaran diubah
dari Desember jadi Juli. "
"Aku ingat," kata A dengan semangat. "Aku kelas 4 SD wak?
tu itu, dan tiba-tiba periode sekolah kali itu tidak lagi satu
tahun melainkan satu setengah tahun. Oh! Itu gara-gara kamu
demonstrasi rupanya!"
"Diberi libur enam bulan, mahasiswa jadi tak punya ke?
giatan, lalu masing-masing sibuk dengan urusan pribadi. Ada
yang pulang kampung. Ada yang kawin. Ada yang liburan. Kami
sudah disorientasi dan kehilangan momentum ketika masuk
kuliah lagi. Tahun 1978 itu adalah tahun ketika aku dikebiri
oleh rezim. Aku kehilangan semangat untuk memperjuangkan
cita-cita humanisme. Aku pun mencari kebebasanku sendiri
saja. Itulah era ketika manusia-manusia idealis dibungkam
dan dibikin jadi patuh. Yang tidak patuh menjadi terkucil,
atau mengucilkan diri dari cita-cita besar, seperti aku. Lalu
masturbasi sendiri. Enrico_koreksi2.indd 227 227 Ayu Utami 228 "Ah, setelah 1978 juga Jenderal Soeharto mulai mene?
rap?kan sistem monopoli di mana-mana. Termasuk dalam
bisnis ternak ayam. Peternak rumahan seperti ibuku tak bisa
lagi bersaing dengan perusahaan besar yang dimiliki kroni
jenderal jahanam itu."
Ia tampak agak sedih membayangkan diriku. Tapi segera
ia minta dilanjutkan. "Tahun angka delapan berikutnya!"
"Tahun 1988. Ada kehidupan baru. Aku memanjat jalur
The Nose di El Capitan. Setelah tidak bisa lagi jadi aktivis, aku
pun jadi pemanjat tebing. Tahun itu juga aku dapat penugasan
fotografi pertama untuk memotret ke Asmat. Aku mulai
menemukan jalur hidupku. Itulah tahun manakala aku sah
jadi pemanjat dan fotografer.
"Tahun itu Mikhail Gorbachev dipilih sebagai pemimpin
tertinggi di Uni Soviet. Kemudian ia membuat pembaruan
gila-gilaan, yang dinamainya glasnost dan perestroika, yang
ber?akhir runtuhnya Uni Soviet. Dengan bubarnya Uni Soviet,
berakhirlah Perang Dingin. Bayangkan, Perang Dingin yang
melingkupi dunia di awal cerita ini, kini tamat."
"Tahun angka delapan berikutnya!"
"Sepuluh tahun berikutnya, 1998, rezim otoriter Soeharto
juga runtuh, setelah 32 tahun. Soeharto lengser keprabon
setelah demontrasi mahasiswa besar-besaran di Gedung MPR/
DPR. Itulah goodyear bagiku. Peristiwa yang sudah kunan?ti?kan
kuimpikan sejak gerakan mahasiswa dikalahkan, ya sejak dua
puluh tahun sebelumnya, adalah Soeharto tumbang. Bayang?an!
Jenderal jahanam yang menghancurkan peternakan ibuku."
"Ya, ya. Tapi peristiwa pribadinya apa?"
1998 adalah tahun gonjang-ganjing yang rupanya me?
nandai perubahan besar dalam sejarah negeri ini dan sejarah
Enrico_koreksi2.indd 228 Cerita Cinta Enrico pribadiku. Tahun reformasi bagi negeri ini dan bagiku. Tahun
itu aku melihat A. Aku bertemu dengannya meskipun dia
tidak ingat. Dia terlalu penuh untuk menyadari kehadiranku.
Baru dua tahun kemudian malaikat mengirimnya datang ke
rumahku, menunjukkan dirinya utuh, padahal tak ada angin
atau?pun hujan. Aku pun telah dipersiapkan oleh malaikat yang
sama, dibersihkan dari rokok. Seperti dulu, ayahku dibersihkan
dari rokok dan kumis sebelum bertemu ibuku. Sejak itu, sama
anehnya, ia tak pernah pergi dariku. Sejak itu, semakin aneh
lagi, pelan-pelan aku menjelma anak sebagaimana diinginkan
ibuku, tanpa ada yang menyuruh.
Ia membawaku kembali pada ibuku. Ibu ingin aku jadi
anak yang religius. Tapi baru sekarang aku mau percaya bah?
wa Tuhan itu relevan, meski tak harus disembah-sembah. Dan
bahwa agama itu tidak mesti menjengkelkan. Bahwa agama
itu bisa berseni. A terlibat gerakan lingkungan hidup di gereja
dan, suatu kali, sepulang menemani dia kampanye gaya hidup
hijau di gereja Santo Yakobus, aku melihat suatu ruko kecil
di belakang gereja itu. Kios yang sungguh membosankan. Di
atas pintunya tertulis: Balai Kerajaan Saksi Yehuwa. Hei, sudah
berapa abad aku tidak melihat tempat perhimpunan ibuku.
Betapa tempat itu pun masih demikian fungsional dan tanpa
keindahan sama sekali. Sepetak kios yang sungguh tidak
berselera. Tiba-tiba aku merasa trenyuh. Aku teringat ruang
berhimpun kami dulu, yang kusebut "gereja kandang ayam",
yang menumpang pada sekolah Katolik kejar paket Conforti.
Padahal ajaran Saksi Yehuwa bertentangan dengan teologi
Katolik di beberapa titik penting. Aku teringat rumah petak
kami yang kumuh di asrama Belakang Tangsi, di sebelah gereja
Katolik yang marmernya kucuri sebab aku ingin memiliki
Enrico_koreksi2.indd 229 229 Ayu Utami 230 kebanggaan menjadi anggota korps. Padahal pastornya mem?
beri rekomendasi agar aku bisa masuk sekolah mereka yang
bermutu dengan bayar murah. Pantas ibuku marah sekali.
"Kasihan sebetulnya ibuku," aku menggumam. Itulah un?
tuk pertama kalinya aku melihat ibuku dengan cara lain.
Kesedihannya akan kematian Sanda begitu tak tertahankan.
Bahkan Gereja dengan cahaya cantik, lukisan yang indah, dan
lagu-lagu merdu pun telah menjadi terlalu berjarak untuk
menyentuh penderitaannya yang sendiri. Manusia mem?
butuhkan sapaan yang lebih intim...
...seperti ketukan Pemuda Khasiar pada pintu yang tepat.
Ah, tak ada yang salah pada pemuda necis itu. Kesedihanlah
yang tak bisa diukur. "Selamat ulang tahun, Sayang!"
Jam telah menunjukkan pukul 00.00.
"Lantas, apa yang istimewa di tahun 2008 ini?" ia ber?
tanya. Aku sedang sendu, teringat Ibu.
Karena aku tak menyahut juga, ia menjawab sendiri.
"Bagaimana kalau ini... Pada tahun ini aku bertanya kepada
kamu: bagaimana kalau suatu hari kita menikah? Maksudku
me?nikah Gereja saja. Tak usah menikah dalam catatan negara.


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tak setuju dengan hukum perkawinan Indonesia."
"Untuk apa? Kita sudah hidup bahagia. Dan kamu mau
memperjuangkan pembebasan bagi perempuan dari tekanan
untuk menikah." "Memang. Memang tidak perlu sesungguhnya."
"Lagi pula, apa itu tidak mengkhianati cita-citamu sen?
diri?" "Kalau dilihat sepintas akan tampak begitu. Tapi kalau
Enrico_koreksi2.indd 230 Cerita Cinta Enrico dilihat lebih dalam sebetulnya tidak." Ia menerawang ke atas
sebentar, seperti biasa kalau ia mau mengatakan sesuatu yang
dianggapnya serius. "Semua yang kukritik mengenai per?
kawinan bersumber dari satu hal. Yaitu, tidak setaranya relasi
antara perempuan dan lelaki. Di luar perkawinan, pe?rempuan
mendapat tekanan sangat besar untuk menikah. Tapi, di dalam
perkawinan, ia ditempatkan dalam posisi subordinat. Lelaki
menjadi pemimpin. "Nah, kalau relasi seperti itu diubah, maka sesungguhnya
aku tak punya keberatan lagi pada perkawinan. Pertama,
perkawinan harus merupakan pilihan bebas, bukan tekanan
masyarakat apalagi kewajiban. Hanya dengan itu perkawinan
menjadi murni dan sesungguhnya. Kedua, bentuk relasi di
antara suami dan istri harus merupakan pilihan suami dan
istri itu sendiri. Tak boleh ada institusi di luar kedua pribadi
itu yang menentukan bentuk hubungan. Kalau yang menikah
ingin lelaki jadi kepala keluarga, silakan. Tapi kalau mereka
menginginkan lain, itu harus dimungkinkan. Dan itu harus
keputusan kedua pihak itu sendiri."
"Setuju. Jadi, kenapa kita harus menikah? Kan kita sudah
menjalani semua itu dengan pilihan bebas?"
"Memang. Tapi aku ternyata baru tahu bahwa dalam
hukum perkawinan Katolik tidak ada itu ayat yang me?nya??
ta?kan suami menjadi kepala keluarga atau pemimpin ke?
luar?ga. Aku baru beli Kitab Kanonik-nya. Di sana hanya ditu?
lis bahwa perkawinan adalah perikatan di antara lelaki dan
perempuan dengan perjanjian yang tidak dapat ditarik kem?
ba?li. Keduanya mendapatkan tanggung jawab yang sama. Titik.
Bentuk tanggung jawabnya silakan putuskan sendiri-sendiri
berdasarkan talenta masing-masing."
Enrico_koreksi2.indd 231 231 Ayu Utami 232 "Jadi?" "Jadi, aku tak menemukan kesalahan ontologis pada
konsep perkawinan Katolik."
Ya ampun. Istilah itu lagi. Kesalahan ontologis!
Jika dulu, karena tak menemukan kesalahan onto?logis pa?
da diriku, ia memperjuangkan hubungan denganku meskipun
ia sedang frustasi padaku. Kini, karena tak menemukan kesa?
lahan ontologis pada perkawinan Katolik, ia mau menikah
Gereja meskipun ia tidak menganggap itu penting.
Aku menggaruk-garuk kepala. "Kupikir-pikirlah. Tapi,
kupikir, yang bagus buatmu bagus buatku juga."
Ia memanggil namaku. "Aku mau bilang sesuatu," katanya.
"Aku menyesal telah membuat kamu menderita dan ram?but?
mu jadi kelabu dulu."
Ya ampun. Baru sekarang dia bilang menyesal.
"Kamu adalah jenis manusia yang aku respek. Dan makhluk
yang jarang," katanya, membuat aku heran. "Pertama, kamu
sa?ngat menghormati perempuan."
Aku tidur dengan banyak perempuan dan tak mau meni?
kahi mereka dan perempuan ini bilang aku sangat meng?
hor?mati perempuan? Kalau saja dia bertanya dari mana aku
belajar bersikap gentel pada perempuan, aku akan bilang
bahwa aku belajar dari ayam-ayamku.
"Kamu tidak pernah mengumbar cerita tentang pacarpacarmu seolah itu prestasi. Dan kamu selalu memberikan
pe??tualangan yang baik. Seks denganmu selalu aman. Aku tahu
banyak orang, bahkan yang menyebut diri mereka pejuang hak
asasi manusia, yang tidak mau pakai kondom dan mem?biar??kan
perempuannya menanggung kontrasepsinya sendiri. Me?reka
menyebut diri mereka pendukung emansipasi, tetapi mereka
Enrico_koreksi2.indd 232 Cerita Cinta Enrico menggampangkan aborsi. Kamu bukan manusia macam itu."
Aku terharu. Akhirnya ada juga yang mengakui bahwa aku
pria baik-baik. "Kedua. Kamu bukan fotografer pemakan bangkai. Aku
tahu. Aku lihat kamu. Dulu, dalam satu demontrasi di era
reformasi, aktivis PRD Dhyta Caturani dipukul dan diinjakinjak polisi sampai babak belur. Ia tergolek tak berdaya di jalan.
Seorang aktivis lain, yang wajahnya mirip Lexy Rambadeta,
mencoba menolongnya tapi susah payah. Ketika fotografer
lain terus memotreti dia seperti obyek yang menggiurkan,
kamu memandang seputarmu dengan ganjil. Seperti gelisah.
Lalu kamu melepaskan kameramu, dan membantu aktivis itu
membopong Dhyta dan mencari kendaraan ke rumah sakit. Di
titik kritis, kamu memilih menjadi manusia dan bukan burung
pemakan bangkai." Peristiwa itu sudah sepuluh tahun silam. Bagaimana dia
bisa melihatnya. Malaikatkah dia? Bidadari bersayap yang
mengamat-amati peristiwa di bumi?
"Ada videonya tahu."
Ah. Jadi, untung juga ada jurukamera "pemakan bangkai"
sehingga ia bisa melihat potongan peristiwa itu dan meng?
hargaiku. "Buatku, kamulah manusia yang punya moral. Kamu ma?
nusia yang baik." Aku terharu. Akhirnya kudapatkan juga pujian dari Ibu,
hmm, maksudku pengganti ibuku. Kau tak tahu betapa rindu
aku sesungguhnya akan pengakuan dari ibuku bahwa aku ini
anak baik... 233 Enrico_koreksi2.indd 233 Kejutan 17 Agustus 2011. Di seluruh Indonesia berkibar bendera
merah putih. Di kapel Regina Pacis yang mungil manis, di
kota hujan Bogor, Joakhim Prasetya Riksa menikahi pengganti
ibunya. Begitu juga Justina A menikahi pengganti ibunya. Di
bawah cahaya matahari pagi yang masuk lewat kaca patri
warna-warni, di antara bunga merah putih, mereka meng?
ucapkan janji yang, betapa mengerikan sesungguhnya, tidak
dapat ditarik kembali. Mereka tetap tidak percaya bahwa per?
nikahan itu penting atau harus. Tapi hari itu mereka merasa
ada berkah yang turun berlimpah-limpah dari langit.
Di luar gereja kecil itu serat-serat kapuk turun perlahan,
mendarat pada rumput dan pepohonan, seperti salju, seperti
serbuk roti manna. Hari itu Joakhim Prasetya Riksa melihat
Enrico_koreksi2.indd 234 Cerita Cinta Enrico sebuah tanah lapang dikelilingi pepohonan. Tapi ia tidak
melihat seorang perempuan dengan pantovel gagah pada
kaki?nya yang kokoh dan menyembul di balik rok bunga-bunga.
Ia melihat seorang anak yang berlarian mengejar-ngejar
gumpalan kapuk yang turun dari langit.
A memutuskan untuk menuliskan kisahku ini, wahai
pem?baca yang budiman. Sebuah proses yang membantuku
menerima mengapa ibuku tidak sanggup melihat kebaikan
yang ada padaku. Sebuah proses yang membantuku berdamai.
Perumpamaan Yesus tentang domba yang hilang menolong
menjelaskan itu. Tak tepat betul memang, tapi membantu. Kau
tahu itu... Ada seorang gembala yang punya seratus domba.
Satu di antara dombanya terperosok ke jurang. Maka ia me?
ninggalkan yang sembilan puluh sembilan untuk mencari yang
satu. Ibuku mencari Sanda, putrinya yang hilang. Dan ia lupa
padaku. Tapi begitulah cinta. Begitulah kepedihan. Kesedihan
tak bisa diukur. Aku tak marah lagi padanya. Aku tak melarikan
diri lagi darinya. Suatu hari, ketika A sedang menulis kisah ini, pada bagian
ketika Khasiar sang Pengkhabar mengetuk pintu saat Ibu
sedang menjahit dengan mesin Pfaff-nya yang berjasa itu...
Teleponku berdering. Kudengar suara A dari kantornya:
"Sayang! Kamu pasti tidak percaya!"
"Apa?" "Di mejaku ada buletin Menara Pengawal."
Nama itu langsung mengembalikan aku ke ruang tamu
di mana Ibu berhenti menjahit, kain-kain masih berserakan,
Enrico_koreksi2.indd 235 235 Ayu Utami untuk membaca dengan seksama terbitan berkala Saksi
Yehuwa itu. "Coba tebak, halaman pertamanya bercerita tentang apa?"
A menjawab sendiri, "Tentang seorang ibu yang kehilangan
anak perempuan." Aku terdiam. "Coba tebak, halaman terakhirnya bercerita tentang apa?"
Lagi-lagi ia menjawab sendiri, "Tentang Mordekhai!"
Ayam jantan ayahku. "Siapa yang mengirim majalah itu?"
Menara Pengawal tidak pernah dibagikan percuma. Harus
dibeli seharga ongkos cetak.
"Aku sudah tanya semua office girl, office boy, dan temanteman. Tidak ada yang tahu. Hmm. Misteri!"
Siapa punya kerjaan? Aku membayangkan ibuku, yang tak
kapok-kapok menyiar, bahkan dari tempat penantiannya. Atau
ayahku, dengan ayam jantannya kesayangannya si Mordekhai
yang dulu tewas tertindih tetapi kini mungkin sudah bersa?
manya lagi. Ia memberi tanda agar aku jangan terlalu terobsesi
pada ibuku saja dan melupakan dia. Sebab namanya tidak
disebut lagi sejak bab lalu.
"Iya Pay. Iya May."
Aku menutup telepon sambil tersenyum.
Aku, Enrico, seperti Enrico Caruso, mencintai ibunya
habis-habisan. Sampai kiamat datang nanti.
236 Enrico_koreksi2.indd 236 Enrico_koreksi2.indd 237 Cung dan Cang (Enrico dan Sanda) ketika baru
kembali dari gerilya. Bukittinggi, 1961.
Enrico_koreksi2.indd 238 Catatan Akhir Ingatan seorang anak tentulah otentik tetapi tidak ber?arti
akurat. Menurut catatan sejarah, penyerangan Jawa terhadap
PRRI terjadi baru pada bulan Mei, bukan Februari 1958; se?
mentara bocah Enrico selalu percaya bahwa ia dibawa ma?suk
hutan ketika berumur sehari. Saya sengaja tidak melaku?kan
pe?nyesuaian terhadap data sejarah. Dalam penulisan ini bagi
saya kemurnian persepsi anak-anak lebih utama daripada
fakta-fakta obyektif. Ini juga kesempatan bagi kita untuk tidak
mem?baca teks melulu secara harfiah. Umur "satu hari" bagi
seorang anak bisa berarti apapun (dua minggu, sebulan, tiga
bulan) yang menandakan usia sangat dini. Hal yang sebangun
juga terjadi pada lagu. Yang dimuat di sini bukan versi asli
penciptanya, melainkan sebagaimana diingat Enrico.
Enrico_koreksi2.indd 239 Ayu Utami 240 Meski demikian, saya juga tidak selalu setia hanya pada
versi asli yang diceritakan Enrico. Sebagai penulis kreatif, saya
menambah-nambahkan di sana-sini?terutama untuk mengisi
bagian yang ia tak mungkin ketahui. "Operasi Bayi Gerilya",
misalnya, kita tak tahu apakah operasi itu bernama, sekali?pun
sebuah operasi untuk menjemput Syrnie Masmirah dari hu?tan
dengan pertukaran tertentu antara pasukan Ahmad Yani dan
pasukan PRRI diceritakan oleh yang bersangkutan.
Demi kelancaran dan kerapihan struktur cerita, saya
bisa me?mindahkan percakapan?misalnya: yang sebetulnya
ter??jadi di tempat tidur pindah ke dalam gereja (contoh:
ajakan Ibu Enrico untuk berdoa). Diskusi dan peristiwa yang
terpencar dalam banyak waktu dan tempat pun kerap saya
gabungkan. Sua??sana hati dan kegelisahan yang panjang
saya carikan dialog atau adegan yang barangkali tak persis
betul terjadinya?tapi, sekali lagi, menghantarkan makna
di baliknya. Efek ana?kronisme, atau pertukaran waktu, yang
disengaja juga saya lakukan di beberapa tempat.
Saya juga melakukan pemaknaan dan penafsiran saya sen???
diri. Sebagian improvisasi itu saya diskusikan dan konfir?ma?
sikan dalam proses penulisan, sebagian lagi saya biarkan se?
bagai kejutan bagi Enrico. Beberapa nama dan almanak saya
ganti untuk kepentingan simbolis. Tak diketahui sebetul?nya
tanggal persis ketika anjing hitam Ireng melahirkan di tahun
1968. Nama nenek dari pihak ayah bukan Kunti. Gandari dan
Laksmana bukan nama sebenarnya. Nama nenek dari pihak
Ibu juga bukan Sarah. Demikian pula Ibrahim dan Hagar ada?
lah nama simbolis. Mengenai nenek pihak Ibu ini versi aslinya
lebih rumit. Sepupu Enrico punya versi lain yang mengatakan
bahwa "Sarah" adalah ibu angkat. Jadi, mereka punya dua ibu:
Enrico_koreksi2.indd 240 Cerita Cinta Enrico angkat dan kandung. Saya memilih memakai versi Enrico saja.
Tanggal kelahiran dan kematian yang secara resmi tercantum
pada nisan, meskipun juga bukan berarti akurat (Enrico, mi?
sal?nya, curiga bahwa sesungguhnya ibunya lebih tua dari??pada
ayahnya): Sanda (28 November 1956 ? 1 Oktober 1962),
Syrnie Masmirah (4 Juli 1926 ?26 Oktober 1987), Muhamad
Irsad (25 Mei 1925 ? 17 Januari 2000).
Saya mengucapkan terima kasih pada Nina Masjhur, sa?ha?
bat istimewa Enrico, yang masih menengok makam si Cang,
Cing, dan Chat setiap kali ke Sumatra Barat; serta Rama Surya,
yang tak sengaja mampir ke rumah almarhum Ahmad Husein
ketika kami memintanya ke sana. Juga pada para editor KPG
yang sudah menjadi teman saya (Andya Primanda, Christina
M. Udiani, Pax Benedanto). Mereka yang "me?maksa" saya me?
masukkan periode yang kemudian menjadi bab ke-23 dan
ke-26, yaitu sedikit kisah petualangan Enrico di masa muda,
yang pada awalnya tak kami masukkan untuk menghin?darkan
kesan macho yang tidak tepat.
Buku ini lebih merupakan usaha penceritaan dan pe?
maknaan atas perasaan dan gambaran jiwa seorang manu?
sia da?lam sejarah. Yang menyenangkan bagi saya di sini ada??


Cerita Cinta Enricho Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lah un?tuk memahami bahwa ada sesuatu yang otentik, dan
ada sesuatu yang akurat-obyektif, dan keduanya adalah hal
yang ber??beda; tapi kadar akurasi terhadap fakta-fakta obyek?
tif tidak per??nah mengurangi otentisitas pengalaman manu?
sia. Sebab keju?juran pengalaman manusia selalu bisa dibaca
dengan konsistensi internalnya sendiri.
241 Enrico_koreksi2.indd 241 Enrico_koreksi2.indd 242 Karya-karya Ayu Utami yang lain terbitan KPG:
Saman, bercerita tentang empat sahabat pe?
rempuan dan seorang lelaki yang semula adalah
imam Katolik dan menjadi aktivis. Kisah ini
ber?latar ketidakadilan di era Orde Baru. Saman
adalah pemenang pertama Roman Terbaik
Dewan Kesenian Jakarta 1998, dan telah terbit
dalam delapan bahasa asing.
Larung, lanjutan novel Saman. Petualangan
Saman dan empat perem?puan itu ditambah de?
ngan satu sosok baru bernama Larung. Mereka
men?coba membebaskan aktivis demokrasi yang
diburu-buru militer. Larung telah diterjemah?kan
ke dalam bahasa Belanda. Bilangan Fu, kisah cinta segitiga antara dua
pe?manjat tebing (Pa?rang Jati dan Sandi Yuda)
de?ngan satu gadis (Marja). Berlatar masa?lah
ter??ancamnya lingkungan dan kepercayan tradi?
sio??nal karena mo??dernitas, fundamentalisme
agama, dan militerisme. Bilangan Fu men?da?pat?
kan penghargaan Khatulistiwa Literary Award
2008 dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda. Bilangan Fu di?rencanakan ditu?runkan
sebagai serial dua belas petualangan.
Enrico_koreksi2.indd 243 Ayu Utami Manjali dan Cakrabirawa. Cerita pertama seri
Bilangan Fu. Marja jatuh cinta pada sahabatnya,
Parang Jati. Mereka melakukan per?jalanan me?
lihat candi-candi Jawa Tengah dan Timur, dan
me?nemukan misteri tentang Candi Calwanarang,
yang ternyata berhubungan de?ngan pembunuhan
seorang perwira Cakrabirawa dalam rangkaian
Peristiwa ?65. Eks Parasit Lajang. Pada awal 2000-an Ayu me???
nu?lis Si Parasit Lajang dan 10+1 Alasan Tidak
Menikah. Tapi pada tahun 2011 ia me?ni?kah de?
ngan "Enrico". Sebagian pendukung Ayu ke?ce?
wa karena menganggap ia tidak kon?sis?ten soal
hidup lajang. Buku ini men?ceritakan kisah-kisah
sederhana masa kecilnya sebagai anak su?lung
re??zim Soeharto, gugatannya pada kekuasa?an
(ayah?nya, pemerin?tah, tuhan, dan lembaga per?
ka??winan), cinta pertamanya dalam per?bedaan
aga?ma, cinta-cintanya yang lain, dalam benang
me?rah pemikiran feminisnya yang konsisten.
244 Enrico_koreksi2.indd 244 "Indonesia harus bersyukur, punya perempuan yang dengan segenap
kesopanannya menelanjangi lelaki sampai ke akarnya."
Butet Kartaredjasa "Kejujuran cinta yang manis... tentang kekasih, ibunda, dan Indonesia."
Olga Lydia Ayu Utami mendapat penghargaan
dari dalam dan luar negeri untuk
karya sastranya, antara lain Prince
Claus Award dari Belanda dan
Majelis Sastra Asia Tenggara. Novel
pertamanya, Saman, telah diterbitkan
dalam delapan bahasa asing. Ia
pernah menjadi wartawan, aktivis
prodemokrasi, dan kini bekerja untuk
kesenian di Komunitas Salihara.
www.ayuutami.com twitter:@BilanganFu Cover CCE Pilihan2.indd 4
AY U U TA M I CERITA CINTA ENRICO Cerita Cinta Enrico adalah kisah cinta dalam
bentangan sejarah Indonesia sejak era
pemberontakan daerah hingga Reformasi.
AY U U TA M I Cerita Cinta Enrico adalah kisah nyata seorang anak
yang lahir bersamaan dengan Pemberontakan PRRI.
Ia menjadi bayi gerilya sejak usia satu hari. Kerabatnya
tak lepas dari Peristiwa 65. Ia menjadi aktivis di ITB
pada era Orde Baru, sebelum gerakan mahasiswa
dipatahkan. Merasa dikebiri rezim, ia merindukan
tumbangnya Soeharto. Akhirnya ia melihat peristiwa
itu bersamaan dengan ia melihat perempuan yang
menghadirkan kembali sosok yang ia cintai sekaligus
hindari: ibunya. NOVEL ISBN: 978-979-91-0413-7 9 789799 104137 KPG: 901 12 0507 KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA)
Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53650110, 53650111 ext. 3362-3364
Fax. 53698044, www.penerbitkpg.com
Misteri Kain Kafan Jesus 4 Renjana Pendekar Karya Khulung Pedang Asmara 2

Cari Blog Ini