Ceritasilat Novel Online

Kidung Malam Mahabarata 2

Kidung Malam Mahabarata Karya Herjaka Hs Bagian 2


Para Kurawa kesulitan untuk mendekat, apalagi untuk balas menyerang. Duryudana dan Dursasana orang yang dianggap mempunyai kelebihan dibanding dengan para Kurawa yang lain, tidak mampu membendung amukan Gandamana. Bahkan sebelum keringat mereka jatuh ke tanah, Duryudana dan Dursasana telah meninggalkan halaman pintu gerbang diikuti oleh para Kurawa dengan menyisakan debu dan umpatan kotor.
Gandamanan menghela napas lega, Pancalaradya terhindar dari bahaya. Ia tidak gentar jika para Kurawa akan datang kembali dengan membawa kekuatan yang jauh lebih besar.
Belum beranjak dari tempat ia berdiri, Pandawa Lima datang menghampiri Gandamana untuk menyembah. Menerima sembahnya Puntadewa, Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa, Gandamana melepaskan keperkasaan yang ditunjukkan sewaktu mengetrapkan aji Bandung Bandawasa.
"Ngger, cucu-cucuku Pandawa, berdirilah dan katakan apa yang kau inginkan atas diriku."
"Eyang Gandamana sungguh berat dan tidak mungkin kami haturkan maksud kedatangan kami, tentunya Eyang Gandamana dapat membaca apa yang berkecamuk di dalam hati kami."
Sebagai orang yang berpengalaman, Gandamana dapat membaca bahwa kedatangan para Pandawa yang adalah murid-murid Soka Lima, tentunya mempunyai tujuan yang sama dengan Kurawa. Artinya bahwa Gandamana harus menghadapi Pandawa seperti ketika ia menghadapi Kurawa.
Apakah kejadian ini merupakan gambaran nyata dari mimpiku? Ketika aku bermimpi, Prabu Pandu datang untuk menjajagi kesetiaanku dan mengajakku ke medan perang sendirian. Tetapi Gandamana tidak sampai hati berperang melawan Pandawa, apalagi sampai melukainya? Mengingat mereka adalah anak-anak Prabu Pandu Dewanata, raja yang dijunjung tinggi, dihormati, dicintai dan dirindukan. Sehingga kedatangan para Pandawa tidak dipandang sebagai musuh seperti Kurawa, namun justru menjadi pelepas rindunya kepada Prabu Pandu yang telah tiada. Dengan mata berkaca-kaca, dipandangnya Puntadewa, Bimasena, Harjuna, Nakula dan Sadewa bergantian.
"Siapa yang mewakili kalian untuk melaksanakan perintah gurumu Resi Durna?"
"Aku Eyang!" Bimasena menyahut mantap.
"Bagus! Majulah, ikat kedua tanganku dan bawalah kepada Resi Durna."
"Tunggu Raden Gandamana! Sebagai kepala prajurit jaga, kami tidak mebiarkan Bimasena menawan Raden tanpa perlawanan. Jika Raden tidak mau berperang kepada Pandawa, biarlah kami yang akan berperang sampai kami tidak mampu lagi berperang demi menjaga Negara Pancalaradya, Prabu Durpada dan juga Raden Gandamana."
Gandamana tertawa. Ia membenarkan apa yang dikatakan Kepala Prajurit Jaga. Jika ia menyerah tanpa syarat, bukankah artinya ia telah mengingkari sumpahnya sebagai panglima perang tertinggi dibawah raja, dan membiarkan Prabu Durpada dengan mudah dijadikan tawanan.
"Terimakasih Kepala Prajurit, engkau telah mengingatkan aku yang lemah ini. Bimasena ayo majulah ikatlah kedua tanganku ini."
Sembari mengulurkan kedua tangannya, diam-diam Gandamana mengetrapkan mantra aji Wungkal Bener. Ajian tersebut merupakan salah satu kesaktian Gandamana yang istimewa. Karena aji Wungkal Bener seakan-akan mempunyai mata hati, ia akan memilih untuk menghancurkan lawan yang bersalah, sedangkan lawan yang benar akan luput dari aji Wungkal Bener. Karena alasan tersebut Gandamana sengaja mengetrapkan aji Wungkal Bener karena percaya bahwa Pandawa berada dalam kebenaran, sehingga tidak terluka karenanya.
Bima waspada, melihat ke dua tangan Gandamana yang dijulurkan untuk diikat mengeluarkan asap putih. Eyang Gandamana telah mengetrapkan ajian sakti. Maka Bimasena pun tidak mau membuang waktu, ia segera mempersiapkan diri menghadapi Gandamana Namun sebelum bentrokan terjadi, Prabu Durpada yang tiba-tiba berada di tempat itu telah mencegahnya.
Seperti Gandamana, Prabu Durpada merasakan hal yang sama saat bertemu dengan Pandawa Lima. Gambaran sosok Pandu yang luhur budi muncul dari ingatannya. Ia telah membantunya memenangkan sayembara. di Pancalaradya dengan mengalahkan Gandamana sehingga mendapatkan Gandawati, anak Prabu Gandabayu Raja Pancalaradya. Setelah Gandabayu surud, Sucitra menggantikan mertuanya menjadi raja dengan gelar Prabu Durpada. Sedangkan Gandamana diangkat Pandudewanata menjadi patihnya di Hastinapura. Maka sebagai upaya balas budi kepada Pandu Dewanata yang sudah meninggal, mikul dhuwur memdhem jero, Prabu Durpada dan Gandamana sepakat menyerahkan diri kepada Bimasena tanpa perlawanan, untuk di bawa menghadap Resi Durna sebagai tawanan.
Kidung Malam (20) Dua Sahabat Mata Bimasena berkaca-kaca, orang nomor dua dari lima bersaudara yang biasanya keras, tegar itu luluh oleh sikap Prabu Durpada dan Gandamana yang telah merelakan dirinya dan negaranya demi tugas ksatria yang diemban oleh Bima dan saudaranya sebagai pemenuhan janji baktinya kepada sang guru Pandita Durna. Sebelum meninggalkan Pancalaradya, Gandamana berpesan kepada kepala prajurit jaga agar mengamankan negara sebelum kekuasaan diambil alih oleh Pandita Durna yang telah menaklukannya melalui Bimasena, Harjunan dan saudara-saudaranya.
Sementara itu di Padepokan Sokalima, Resi Durna kecewa menyambut kedatangan Duryudana, Dursasana serta saudara-saudaranya. Tidak sesuai dengan sesumbarnya bahwa mereka akan dengan mudah menundukkan Durpada dan Gandamana serta membawanya sebagai tawanan dihadapannya. Namun pada kenyataannya mereka kembali di Sokalima tanpa membawa hasil. Beberapa alasan kegagalan dikemukakan oleh Patih Sengkuni yang sejak semula mengiring para Kurawa. Namun Resi Durna enggan menanggapinya, bahkan sebelum Sengkuni selesai berbicara, ia meninggalkan pendapa induk dan masuk di sanggar pamujan.
Di ruang pemujaan Durna didampingi Aswatama, melakukan SembahHyang dengan membakar dupa-ratus sehingga asapnya dapat membawa permohonannya kepada Hyang Maha Tunggal agar tugas baktinya para Pandhawa membawa Gandamana dan Durpada di Soka Lima berhasil.
Ujung malam yang masih tersisa merupakan kidung-kidung pengharapan menyongsong hari baru yang mampu menyembuhkan sakit hatinya, dan kuasa menghancurkan dendamnya yang telah mengkristal selama bertahun-tahun, kepada sahabatnya, Sucitra.
Saatnya pun tiba, waktu akhirnya berpihak pada Resi Durna. Sebelum matahari bertahta dipuncak langit, Bimasena dan para Pandhawa tiba di Sokalima, dengan membawa tawanan yang diimpi-impikan. Sebentar kemudian orang banyak yang mengikuti iring-iringan telah berkumpul di halaman pendapa.membaur dengan para Cantrik Padepokan dan para Kurawa. Gejolak perasaan Durna gembira luar biasa, melihat kedatangan para murid kepercayaan yang membawa serta Gandamana dan Durpada dalam keadaan terikat. Jika tidak menyadari bahwa dirinya seorang guru besar yang dikelilingi para cantrik-cantriknya, pandita Durna akan melepaskan emosinya dengan meloncat-loncat kegirangan. Namun karena ia menyadari kedudukkannya, maka ia dapat mengendalikan diri. Dengan kata-kata yang arif penuh persahabatan, disuruhnya Bimasena untuk melepaskan tali yang mengikat Prabu Durpada dan Gandamana serta mempersilakan duduk di kursi yang telah disediakan.
Walaupun gejolak perasaannya telah dikendalikan, dendamnya meledak pula, melihat wajah Gandamana yang telah menyiksa dirinya sehingga menderita cacad seumur hidup. Durna membuang emosinya lewat puluhan kali tamparan tangannya ke muka Gandamana, sembari mulutnya mengumpat-umpat sepuasnya. Gandamana diam dalam duduknya. Sesungguhnya hatinya menyesal telah mencelakai Resi Durnya yang ternyata adalah sahabatnya Prabu Durpada. Maka sebagai tebusannya ia membiarkan Resi Durna menyakiti sepuasnya.
Setelah puas menghajar Gandamana, Resi Durna duduk di kursi berhadapan sangat dekat dengan Prabu Durpada.
"Sucitra sahabatku, aku tidak menginginkan persahabatan kita terputus. Maka aku cari engkau di tanah Jawa Namun setelah ketemu engkau yang sudah menjadi raja malu menerimaku sebagai sahabat, karena penampilanku yang miskin dan sudra. Bahkan engkau membiarkan aku di hajar oleh Gandamana. Yah itu masa lalu, yang pasti peristiwa itu masih kita ingat. Peristiwa yang sangat menyakitkan dan menghancurkan hidupku. Tetapi rupanya Hyang Maha Tunggal masih mengasihi aku. Terbukti aku diberi kesempatan hidup dan bangkit menyongsong masa depan yang ternyata lebih indah dan cerah dari pada yang aku banyangkan sebelumnya. Coba lihatlah sekarang aku dapat duduk sejajar dengan raja agung Pancalaradya. Bahkan aku lebih berkuasa, karena engkau sudah aku taklukkan, negara seisinya dan daerah kekuasaanmu menjadi milikku. Namun sebagai sahabat aku akan memenuhi apa yang kau inginkan. Katakanlah Prabu Durpada?"
Dapat dibayangkan, perasaan Durpada saat itu. Sebagai raja besar ia telah direndahkan martabatnya di depan banyak orang. Namun jiwa ksatrianya masih kental di hatinya, maka dengan tak kalah lantang ia menjawab
"Hai Durna! Aku telah kau taklukkan. Negara dan seisinya serta daerah jajahannya menjadi milikmu, termasuk diriku berada dalam kekuasaanmu. Sesuai dengan keadaanku, sebagai seorang taklukan aku tidak akan pernah merengek meminta sesuatu. Apapun yang akan kau perbuat atasku aku terima dengan jiwa ksatria."
"Ha ha ha, engkau mengakui bahwa aku dapat berbuat apapun atasmu? Termasuk juga mengampuni dan membebaskanmu, jika engkau minta?"
"Sekali lagi Durna, apapun yang kau kehendaki atasku, aku tidak peduli!"
"Baiklah Sang Prabu! aku ingin menunjukkan kepada orang-orang yang menjadi saksi di pendapa ini, bahwa Durna tidak ingin menguasai dan merusak Negara Cempalaradya yang telah kau bangun dengan kebaikan. Seperti halnya Padepokan Sokalima yang telah aku bangun dengan susah payah. Walaupu semula bumi Sokalima termasuk wilayah Cempalaradya, ketika masih berupa hutan sudah aku beli dengan mahal, dengan darah dan dengan sebagian besar dari semangat hidupku. Oleh karenanya bumi Sokalima sekarang menjadi kekuasaanku, engkau tidak boleh menguasainya."
Durna mendekati Durpada, kedua pasang mata dua orang sahabat itu beradu pandang. Di bola mata sahabatnya, mereka dapat saling melihat kehidupan masa lalu, waktu masih remaja di Hargajembangan. Di bawah asuhan Prabu Baratwaja Sucitra dan Kumbayana disatukan menjadi saudara. Namun sayang gambaran masa remaja yang indah tersebut tidak berlangsung lama, karena bola mata mereka keburu basah oleh air mata sehingga pandangan mereka menjadi kabur.
"Sucitra!" "Kakang Kumbayana!"
Keduanya berangkulan sangat erat. Ketegangan yang memenuhi tempat itu berubah menjadi keharuan. Para Cantrik dan para murid Sokalima mendapat pelajaran yang sangat berharga, bahwa seorang Raja Agung dan seorang Maha Guru adalah tetap merupakan manusia yang lemah, tak berdaya, setiap waktu dapat jatuh karena sebuah kesalahan. Salah memahami misteri kehidupan yang menjadi kehendakNya.
?Kidung Malam (21) Dendam Baru Telah Tumbuh Lama kedua sahabat itu berpelukan, rasa sesal Sucitra semakin dalam masuk di hatinya. Mengapa ia menempatkan jabatan berada jauh di atas sebuah perasahabatan. Baru sekarang ia menyadari dan merasakan bahwa ketulusan persahabatan lebih indah dan mulia dibandingkan dengan sebuah jabatan. Sedangkan bagi Kumbayana, ada perasaan kecewa yang amat membekas, mengapa waktu menemui Sucitra yang sudah menjadi raja, ia memperlakukannya sebagai sahabat lama. Padahal sebagai anak raja, ia tahu bagaimana subasitanya menghadap raja yang sedang bertahta.
"Kakang Kumbayana engkau pasti tidak dapat menggambarkan seberapa besar dan dalam rasa sesalku. Karena jika pun aku harus memohon ribuan maaf, badanmu tidak dapat pulih. Engkau tetap menderita seumur hidup. Jika karena pertemuan ini, aku sebagai tawanan telah engkau bebaskan dan negara seisinya engkau kembalikan kepadaku, sesal itu akan semakin menindih sepanjang hidupku. Jika semula aku tidak mengajukan permintaan apapun, memang aku berharap engkau akan menguasai negara Pancalaradya beserta isinya yang telah kau taklukan dan kemudian menyingkirkan atau membunuh aku dan Gandamana. Hanya dengan cara itulah aku telah membayar lunas hutangku."
"Sucitra, apakah kamu sudah tidak lagi mengenalku? Pernahkah muncul di dalam benakku ambisi untuk berkuasa? Bukankah engkau tahu kedatanganku ke tanah Jawa ini karena menolak jabatan raja di Negara Hargajembangan yang diberikan ayahanda Prabu Baratwaja? Apakah engkau juga pernah melihat aku haus darah, membunuh saudara ataupun sahabat?
"Kakang Kumbayana, dalam perjalanan hidup setiap orang akan berubah. Bukankah engkau telah merasakan perubahan pada diriku? Demikian pula yang aku rasakan bahwa kaupun telah berubah. Kita telah berubah! Kita bukan lagi sahabat. Pertemuan kita kali ini untuk menagih dan membayar hutang."
Nada bicara Durpada meninggi. Rasa sakit hati atas perlakuan Durna di depan orang banyak telah menyingkirkan kembali rasa persahabatan yang sempat hinggap sejenak di hati.
"Baiklah! Bayarlah hutangmu dengan Bumi Sokalima."
"Drona! Bumi Sokalima tidak akan ku berikan. Kecuali jika engkau membunuh aku dan Gandamana dan kemudian menguasai Negara Pancalaradaya.
"Engkau ini aneh Durpada, sebagai raja yang kalah perang engkau rela menyerahkan Negara Cempalaradya beserta isinya, tetapi tidak mau menyerahkan Bumi Sokalima yang merupakan bagian kecil dari Negara Pancalaradya"
"Engkau pun aneh Durna, jika engkau mau menerima Negara Cempalaradya, bukankah Bumi Sokalima menjadi milikmu?"
"Sucitra aku tidak ingin berbantahan dan bersengketa denganmu di hadapan para cantrik dan murid-muridku karena engkau adalah sahabatku. Cukup dengan merelakan Bumi Sokalima, hutangmu aku anggap lunas, dan diantara kita tidak ada masalah lagi.
"Durna! apakah kau kira aku tidak tahu kedengkian yang berada di balik jalan pikiranmu. Karena sesungguhnya engkau akan lebih berkuasa dengan mengembalikan Negara Pancalaradya kepadaku. Demikian pula ketika kami kau biarkan hidup, orang akan menilaimu sebagai seorang Guru yang penuh belas kasih. Dan itu semuanya akan semakin dikuatkan dengan keberadaanmu di Bumi Sokalima sebagai maha guru yang mempunyai pengaruh tak terbatas. Oo Durna, Durna"
Durna tidak lagi mempedulikan omongan Durpada, Guru besar Sokalima tersebut melangkah meninggalkan Pendapa sembari memberi isyarat kepada Bimasena untuk mengantar kembali Durpada dan Gandamana ke Negara Pancalaradya.
Napas Sucitra mulai tidak teratur, ada gejolak emosi yang sengaja diredam. Pertemuannya dengan Kumbayana selain membawa pikiran dan perasaannya mengembara ke masa lalu sebagai sahabat, tetapi juga menyadarkan bahwa mereka sekarang bukan lagi sahabat. Mereka adalah dua orang musuh yang seorang menagih hutang, sedangkan yang lain membayar hutang. Sucitra ingin membayarnya lunas hutangnya, Sedangkan Kumbayana belum mau menerima pelunasan. Ia ingin mempermainkan Sucitra sepuas-puasnya dihadapan murid-muridnya.
"Baik Durna!" Jika sekarang engkau tidak membunuhku dan Gandamana, jangan menyesal jika suatu hari nanti akulah yang akan membunuhmu!"
Pada saat kemarahannya merambat sampai ke ubun-ubun, Puntadewa, Bimasena dan Harjuna menghampirinya dengan penuh hormat. Keuali Bimasena, mereka menyembah Prabu Durpada dan Gandamana sembari bersimpuh di hadapannya. Gejolak amarah yang memuncak berangsur turun. Mereka sungkan untuk mengumbar amarahnya di hadapan anak-anak Pandudewanata.
Sepeninggal Pandita Durna ke ruang dalam, suasana menjadi lengang, para murid dan penduduk Sokalima berangsur-angsur meninggalkan halaman pendapa induk padepokan. Prabu Durpada dan Raden Gandamana tidak menolak ketika dibimbing Puntadewa dan Harjuna serta Bimasena untuk meninggalkan pendapa padepokan menuju gledhekan (jalan besar di depan pendapa induk). Dua ekor kuda tunggangan telah disiapkan bagi kedua orang pepundhen tersebut. Dengan senyum keramahan beberapa orang cantrik mempersilakan Prabu Durpada dan Gandamana naik ke punggung kuda. Sebelum masing-masing memacu kudanya, mereka menoleh ke arah anak-anak Pandudewanata dengan tatapan mata yang sulit diterjemahkan. Mungkin Durpada dan Gandamana bangga mempunyai cucu-cucu seperti para Pandawa. Mungkin juga orang nomor satu dan nomor dua dari Pancalaradya tersebut menganggap para Pandawalah yang menjadi penyebab Durna dapat mempermainkan mereka seenaknya di depan umum. Tetapi mungkin juga Raja dan Patih Pancalaradya tersebut mengucapkan terimakasih, karena atas jasa cucu-cucu Pandawa mereka telah terbebas dari belenggu rantai karma.. Tetapi yang pasti, di dalam hati Prabu Durpada telah tumbuh dendam baru dan tentunya dendam itu akan dihidupi di dalam hidupnya.
Suara keteprak kaki kuda yang membawa Durpada dan Gandamana meninggalkan luka di tanah. Luka itu semakin panjang, sepanjang perjalanan hidup Prabu Durpada dan Gandamana.
Kidung Malam (22) Lahirnya "Anak-Anak Pujan"
Dengan hadirnya dua bayi tersebut, maka anak Prabu Durpada menjadi tiga, karena sebelumnya sang Permaisuri Dewi Gandawati telah mempunyai satu anak yang bernama Dewi Durpadi.
Diceritakan kembali para Kurawa dan Pandhawa yang telah menuntaskan pelajaraannya di Sokalima semakin jarang datang menghadap Pandhita Durna. Sesungguhnya sang guru sendiri menginginkan agar murid-muridnya tidak henti-hentinya belajar mengembangkan ilmu-ilmu yang telah diajarkan. Karena tanpa usaha untuk memperdalam dan mengembangkan secara pribadi, ilmu-ilmu yang telah tuntas diterima tersebut akan berhenti sebagai ilmu tanpa menghasilkan buah seperti yang diharapkan.
Diantara para murid Sokalima, dua diantaranya sangat menonjol. Baik dalam hal penguasaan terhadap ilmu yang diajarkan maupun dalam hal sikap bakti dan kesetiaan seorang murid kepada guru. Bagi Durna, dua murid yang adalah Bima dan Harjuna tersebut, sudah cukup untuk mengobati kekecewaan Durna terhadap murid-murid yang lain. Ia sangat bangga kepada Bima dan Harjuna. Jika murid lain menganggap Durna pilih kasih maka Durna selalu mengatakan: "Salahkan aku, sebagai guru menaruh perhatian khusus kepada murid-murid berprestasi? Dosakah aku, sebagai seorang guru mencintai murid-murid yang patuh berbakti, dan setia menjunjung tinggi nama sang guru? Jika kalian ingin mendapat perhatian dan rasa cintaku seperti yang aku berikan kepada Bimasena dan Harjuna, berusahalah patuh, setia dan berprestasi seperti mereka."
Durna memang selalu memberi ukuran yang sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan setiap pribadi murid-muridnya. Sehingga masing-masing murid menjadi berbeda-beda dalam menerima perhatian dari Guru Durna. Cara tersebut sengaja dilakukan Durna untuk dapat mengenali murid-muridnya satu-persatu secara khusus. Dari apa yang ditangkap secara lahir dan dirasakan secara batin, Durna tahu bahwa murid-muridnya terpecah menjadi dua kekuatan yang saling berhadapan dan bermusuhan. Satu dipihak Kurawa dan yang lain dipihak Pandhawa. Dari kejadian-kejadian yang disaksikan Selama bertahun-tahun, Durna mendapat firasat bahwasannya, sesama darah Barata ini kelak akan terjadi perang dahsyat. Oleh karennya Sang mahaguru Durna akan menempatkan perhatian dan kasihnya sesuai dengan yang dibutuhkan murid-muridnya.
Sehubungan dengan hal yang sangat penting dan rahasia tersebut, pada menjelang tabuh 11 malam, Durna memanggil Harjuna murid kesayangannya untuk datang menghadap di Sokalima.
? ? ? ? ? ? Rate This Kidung Malam 23 Mewariskan Pusaka Menjelang tengah malam, Harjuna memasuki halaman padepokan Sokalima. Temaramnya cahaya lampu minyak menyambut wajah halus nan tampan di pintu gerbang padepokan. Wajah tersebut sudah sangat dikenal oleh para cantrik yang jaga, sehingga dengan serta-merta mereka menyambutnya dengan penuh hormat, dan mengantarnya sampai di depan pintu, tempat sang guru menanti.
Sang Guru Durna sudah cukup lama duduk bersila di ruang dalam menghadap meja dengan lampu minyak yang diletakkan di tengah-tengahnya. Di meja pendek itulah Guru Durna meletakan pusaka andalan yang berujud busur panah pemberian Batara Indra, namanya Gandewa. Kedahsyatan pusaka ini adalah, jika busur tersebut ditarik di medan perang, akan mengeluarkan anak panah dengan jumlah tak terbatas, dapat mencapai ratusan ribu, tergantung dari pemakainya. Sesungguhnya busur ini akan diwariskan kepada Aswatama, anak laki-laki satu-satunya. Namun rupanya sang guru Durna tidak cukup puas dengan kemampuan Aswatama. Dibandingkan dengan murid-murid yang lain, Aswatama tidak memiliki keistimewaan, sehingga jika pusaka Gandewa dipercayakan kepada Aswatama, ia akan mengalami kesulitan untuk menggunakannya, apalagi jika harus menarik busur Gandewa di medan perang.
Dengan mempertimbangkan kemampuan yang ada, terlebih pada penguasaan berolah senjata panah, maka Harjunalah yang mempunyai kemampuan memanah jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Maka tidak dapat disalahkan jika Harjuna lebih diistimewakan dibanding murid-murid yang lain, termasuk juga Aswatama, karena Harjuna memang istimewa.
Suara gemerit menandakan pintu ruang tengah dibuka.
"Saya datang menghadap di tengah malam ini bapa guru, maafkan saya"
"Masuklah Harjuna, aku telah lama menunggumu."
Dengan langkah hati-hati Harjuna memasuki ruangan, menyembah, untuk kemudian laku dhodhok dan duduk menunduk di hadapan sang guru Durna. Mata Harjuna menatap sebuah busur yang pernah diperlihatkan kepadanya. Ada getar yang kuat di hati Harjuna melihat busur Gandewa yang sengaja diletakan dan disiapkan di meja. Sebagai murid yang lantip dan cerdas Harjuna dapat membaca bahwa ada hubungannya antara pemanggilan dirinya dengan pusaka Gandewa.
Suasana menjadi hening dan khidmat ketika Durna mengawali pembicaraan yang wigati dan serius.
"Harjuna murid yang aku kasihi, engkau tahu pusaka ini adalah pemberian Batara Indra pemimpin para Dewa. Diberikan padaku karena ketekunanku menjalani laku belajar ilmu memanah, baik secara lahir dan juga secara batin. Sehingga bagiku busur Gandewa ini merupakan tanda puncak prestasiku dalam hal ilmu memanah.
Namun sekarang aku tidak muda lagi, apalagi fisikku cacat sehingga tidak mungkin berprestasi seperti dulu lagi. Oleh karenanya, busur Gandewa ini sebaiknya aku wariskan kepada murid yang dapat mencecap ilmu memanahku dengan tuntas.
Pada mulanya aku memang berharap banyak kepada anakku Aswatama, namun dengan jujur aku mengakui bahwa ia tidak mampu mewarisi pusaka dahsyat ini, dikarenakan ilmu memanahnya tidak sempurna. Harjuna tentunya engkau dapat membaca arah pembicaraanku ini. namun pasti engkau tidak akan pernah menduga rencanaku atas pusaka ini."
"Ampun Bapa Guru, saya tidak akan pernah mengungkapkan isi hatiku, sebelum Bapa Guru mengatakan kepadaku. Karena sesungguhnya, bapa guru dapat membaca isi hatiku."
"He he he, Harjuna engkau memang murid yang selalu bisa membuat aku bangga. Kepatuhan, ketekunan, kemampuan dan kesetiaan yang telah engkau baktikan kepadaku selama ini adalah dasar pertimbanganku untuk memberikan semua ilmu yang ada padaku, khususnya ilmu memanah. Sehingga dengan demikian kemampuan memanah yang telah engkau kuasai sejajar dengan dengan kemampuanku. Jika aku lebih unggul dalam pengalaman, engkaupun lebih unggul dalam hal tenaga.
Harjuna bocah bagus, seorang guru sejati akan sangat berbahagia jika dapat menghasilkan murid yang mempunyai kemampuan melebihi gurunya. Maka untuk itulah aku memanggilmu secara khusus di tengah malam ini untuk menyempurnakan ilmu memanah yang telah aku ajarkan padamu."
Tangan Durna yang mulai menampakan keriputnya tersebut bergetar, dengan perlahan dan hati-hati ia mengambil pusaka Gandewa.
"Terimalah pusaka ini, Harjuna"
"Bapa Guru" "Seperti ketika aku menerima pusaka ini dari Batara Indra, demikian pula aku memberikan pusaka ini kepadamu sebagai tanda penghargaan atas prestasimu dalam ilmu memanah."
"Adhuh Bapa Guru, apakah aku cukup pantas menerima penghargaan yang demikian tinggi? Tidakkah Aswatama yang lebih berhak menerima warisan pusaka dari Bapa Guru Durna?"
"Harjuna, purbawasesa ada padaku, aku masih percaya bahwa engkau tidak akan pernah mencoba untuk tidak taat kepada perintahku."
"Ampun bapa guru Durna, dengan penuh rasa bakti dan hormat pusaka Gandewa aku terima. terimakasih bapa guru atas penghargaan ini."
Dengan perlahan tangan Harjuna dijulurkan menerima pusaka Gandewa.
Di sisi gelap, jauh dari jangkauan cahaya lampu minyak, ada sepasang mata yang sejak awal memperhatikan dialog antara guru dan murid tersebut. Pada saat pusaka Gandewa telah berpindah ke tangan Harjuna, dari ke dua sudut mata tersebut menyembul airmata bening berkilau. Walau hanya beberapa tetes, namun telah mampu membasahi ke dua pipinya.
Kidung Malam 24 Aswatama Aswatama sakit hati melihat haknya direbut oleh orang lain. Bagaimana tidak? Bukankah ia adalah anak semata wayang, satu-satunya pewaris dari sang Guru Durna, tetapi mengapa dengan enaknya, tanpa pembicaraan dan pemberitahuan lebih dulu, bapanya telah mewariskan mustikaning pusaka Gandewa pemberian Dewa Indra itu kepada Harjuna. Siapakah Harjuna itu? Bukankah ia hanyalah salah satu murid Sokalima? Tidak ada hubungan darah sama sekali dengan Sang Guru Durna?
"Dhuh Dewa!!!" Aswatama merebahkan diri di lantai, air matanya akan menetes, namun tiba-tiba ditahannya, ketika ia mendengar langkah kaki yang tidak asing di telinga mendekati dirinya. Dengan segera ia bangkit. Panas hatinya telah mengeringkan air di matanya. Sebelum suara langkah kaki tersebut sampai ditempat itu, ia lari menembus kegelapan malam. Langkah Durna dipercepat agar dapat mengetahui kemana Aswatama mengarahkan larinya.
Di tanah lapang ujung dusun Aswatama menghentikan larinya. Ia berbaring terlentang dirumput yang mulai dibasahi embun malam. Walaupun malam itu bulan sedang tidak bertahta, langit tidak menjadi gelap-pekat karena bertaburnya berjuta bintang. Aswatama membiarkan rasa dingin mulai menyentuh kulit, merambat ke aliran darah menuju ke jantung dan meyebar ke hati, ke otak dan ke seluruh tubuh.
Proses pendinginan itulah yang kemudian membuat Aswatama tidak mampu lagi membendung air matanya. Ia menagis tersedu-sedu bukan karena pusaka Gandewa, tetapi lebih kepada bahwa keberuntungan tidak pernah berpihak padanya. Dhuh Sang Hyang Tunggal, tidakah Engkau cabut saja nyawaku, dari pada hidupku hanya akan menambah cacatan buruk bagi sejarah manusia.
Dalam keadaan seperti itu biasanya Aswatama mulai berimajinasi tentang ibunya yang adalah seorang bidadari bernama Wilutama. Dengan cara demikian maka semua persoalan hidup akan terlupakan. Yang ada adalah sebuah kerinduan untuk berjumpa dengan seorang ibu yang pernah melahirkannya.
Dicarinya wajah ibunya diantara bintang-bintang yang berserakan, namun tidak pernah ditemukan. Bahkan senyumnyapun tidak.
Malam mulai merambat pagi. Matanya mulai lelah, dan selanjutnya tertidurlah ia. Ketika hari telah berganti pagi, sebelum fajar merekah, Aswatama dikejutkan oleh datangnya sepasang manusia, yang sungguh sempurna sebagai manusia. Dengan ramah mereka datang menghampiri Aswatama untuk menanyakan letaknya padepokan Sokalima. Aswatama tidak segera menjawab. Dipandanginya ke dua orang tersebut secara bergantian, ia sangat terpana dengan wanita yang berada di depannya. Cantik sekali! Seperti inikah Batari Wilutama.
"Maaf kisanak, dimanakah padepokan Sokalima berada?" Aswatama tersadar. Untuk menutupi rasa malu, ia segera mengantarkan keduanya ke Padepokan Sokalima.
"Aku bernama Ekalaya seorang raja dari Paranggelung, dan ini adalah isteriku bernama Dewi Anggraeni. Kami berdua datang ke Sokalima untuk berguru kepada Begawan Durna."
Berdesir hati Aswatama mendengar bahwa wanita yang cantik jelita bak bidadari tersebut akan berguru kepada bapa Durna. Itu artinya bahwa ia akan sering ketemu. Ah betapa bahagianya. Wajahnya berseri penuh keceriaan. Rasa sakit hati atas sikap bapanya karena telah mewariskan pusaka Gandewa kepada Harjuna untuk sesaat terlupakan.
Di Padepokan Sokalima Ekalaya dan Anggraeni diterima Pandhita Durna. Sebagai seorang yang berilmu tinggi Pandita Durna dapat menangkap dan merasakan bahwa Ekalaya mempunyai kemampuan yang luar biasa, seperti kemampuan yang dimiliki para dewa. Oleh karenanya jika Durna mau memerima murid istimewa tersebut maka tentunya Durna dapat berharap banyak kepadanya. Namun tidaklah sesederhana itu untuk mengangkat murid baru. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Maka dalam menunggu keputusan Pandita Durna, Ekalaya dan Dewi Anggraeni dipersilakan untuk tinggal sementara di Sokalima.
Itulah kesempatan yang paling diharapkan Aswatama. Karena dengan demikian ia dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Dewi Anggraeni. Bagi Aswatama kehadiran mereka berdua terlebih Dewi Anggraeni, merupakan magnet yang sangat kuat sehingga mampu menyedot seluruh budi, pikiran yang ada dalam pribadi Aswatama.
Anggraeni, Anggraeni, mengapa aku menjadi tak berdaya karenamu? Sungguh kecantikanmu melebihi semua wanita yang pernah aku jumpai. Selayaknya engkau tidak hidup di bumi yang kotor dan jelek ini, tetapi hidup di kahyangan yang indah mulia.
Seperti itukah wajah seorang bidadari?
Seperti itukah ibuku Bidadari Wilutama?
Jika benar, beruntunglah aku.mempunyai ibu secantik Anggraeni.
Sepekan berlalu Durna belum memutuskan apakah Ekalaya diangkat murid atau ditolak. Memang pada umumnya seorang Pandita mempunyai kebebasan penuh dalam hal mengangkat murid. Namun apakah kebebasan tersebut masih di perolehnya setelah Durna resmi menjadi guru istana.
Memang ketika aku diangkat menjadi guru istana, Resi Bisma dan Begawan Abiyasa mengatakan bahwa selama mengajar Para Kurawa dan Pandawa, aku tidak diperkenankan mengangkat murid baru. Tetapi itu dulu. Sekarang secara resmi tugasku telah selesai. Semua ilmu telah aku ajarkan kepada Pandawa dan Kurawa. Walaupun begitu aku masih memberi kesempatan kepada mereka untuk sewaktu-waktu datang di padepokan guna menuntaskan, mematangkan dan mengembangkan ilmu yang telah aku berikan. Dan aku pikir sekarang aku boleh mengangkat murid baru
Kehadiran Ekalaya dan Anggraeni membuat padepokan Sokalima semarak. Banyak orang datang ingin menghaturkan sembah kepada Raja Paranggelung beserta prameswarinya yang sangat cantik jelita. kepada
Disore yang indah, ketika matahari segera berangkat ke peraduan, Durna memanggil Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama.
Herjaka HS Sumber : http://www.tembi.org
Kidung Malam?25 gambar ini pernah di muat di majalah Jaya Baya
Ekalaya didampingi Dewi Anggraeni karya Herjaka HS 2007.
Sungguh ajaib, perjumpaannya dengan Ekalaya dan Anggraeni yang rendah hati
dan penuh kasih, hidup Aswatama menjadi indah berseri bagai pelangi.
Hidup menjadi Indah Ada perasaan menyesal menggelayut di dada Durna, ketika di pagi buta, pusaka Gandewa telah dibawa pergi oleh Harjuna. Walaupun langkah itu sudah digelar-digulung sebelumnya, toh kekecewaan masih juga menghampiri perasaannya. Ia membenarkan kata Aswatama, bahwa Harjuna tidak berhak atas pusaka Gandewa itu. Tetapi bagaimana lagi keputusan sudah dijalankan, dan pusaka telah dibawa Harjuna ke Panggombakan.
Perasaan bersalah kepada Aswatama itulah yang kemudian ingin ditebus dengan keinginannya untuk membahagiakan anak semata wayang. Melalui ketajaman naluri, Resi Durna mampu melihat bahwasanya semenjak kedatangan Ekalaya dan Anggraeni, Aswatama senantiasa memperlihatkan keceriaannya. Ekalaya, raja besar yang mewarisi kerajaan ayahnya, Prabu Hiranyadanu dari negeri Nisada, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Paranggelung. Melihat sikap Astatama, Sang Resi harus berpikir seribu kali untuk menolak Ekalaya. Karena jika hal itu dilakukan, tentunya Ekalaya dan Anggraeni segera angkat kaki dari bumi Sokalima. Akibatnya, Aswatama akan bersedih dan kecewa. Maka mau tidak mau, demi kebahagiaan anaknya, Durna harus menahan Ekalaya, khususnya Anggraeni, agar Aswatama tidak terpukul hatinya untuk yang ke dua kali.
Sang Resi sendiri mengakui bahwa Raja Paranggelung serta prameswarinya itu merupakan pasangan yang sempurna. Keduanya tampan dan cantik jelita, ramah, santun, rendah hati dan sangat menghormati sesamanya. Sehingga setiap orang yang berjumpa dan berbincang-bincang dengan mereka akan merasa berharga sebagai manusia.
Malam itu Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama memenuhi panggilan Sang Resi datang di pendapa induk padepokan. Sembah yang diberikan Ekalaya membuat Durna layak untuk berbesar hati. Lebih-lebih prameswarinya, Anggraeni, yang santun dan selalu memperlihatkan senyumnya, akan membuat siapa saja enggan meninggalkan sapaan lembut yang menyejukkan sanubari.
"Ekalaya, walaupun dalam pengamatanku engkau sudah menampakan kesungguhan berguru kepadaku, untuk saat ini aku belum akan mengangkatmu sebagai murid. Namun jangan berkecil hati, engkau aku beri kesempatan belajar pengetahuan tentang ilmu yang aku ajarkan kepada murid-muridku di Sokalima."
Bagi Ekalaya, kesempatan yang diberikan oleh Pandita Durna sudah lebih dari cukup. Oleh karenanya Ekalaya berjanji ingin menggunakan kesempatan berharga tersebut dengan sebaik-baiknya.
Sejak awal, Ekalaya yang juga bernama Palgunadi, datang ke Sokalima untuk memperdalam ilmu memanah. Karena bagi Ekalaya, raja Nisada atau Paranggelung, ilmu dan ketrampilan memanah merupakan pelajaran wajib bagi seluruh rakyat di negeri itu. Maka ketika mendengar bahwa di Sokalima diajarkan ilmu memanah tingkat tinggi, Ekalaya berkeinginan memperdalam ilmu memanah kepada Resi Durna, Guru Besar di padepokan Sokalima.
Waktu berjalan cepat, tak terasa sudah hampir setahun Ekalaya belajar kepada Pandita Durna. Tidak peduli dengan predikat murid yang belum didapat, Ekalaya telah menyerap pengetahuan ilmu-ilmu Sokalima, termasuk ilmu memanah. Namun ilmu saja belum cukup, oleh karenanya Ekalaya ingin mempraktekkan ilmu yang didapat dari Pandita Durna, terutama ilmu memanah.
Suatu malam Ekalaya bermimpi sedang belajar memanah di sebuah taman asri di tengah hutan. Di sudut taman terdapat patung Pandita Durna yang sedang tersenyum, seakan-akan bangga melihat kemampuan muridnya. Bagi Ekalaya, belajar memanah di depan patung Pandita Durna tersebut terasa mendapat energi yang luar biasa sehingga dapat menggugah jiwa dan mengobarkan semangat dalam belajar.
Sejak mimpi itu, Ekalaya berkeinginan membuat tempat latihan seperti pada gambaran mimpinya tersebut. Dewi Anggraeni, sebagai isteri setia, menyetujui niat suaminya. Aswatama dengan penuh kebaikan melayani segala sesuatu yang dibutuhkan demi kelancaran Ekalaya dalam menuntut ilmu. Sehingga bagi Ekalaya dan Anggraeni, Aswatama mendapat tempat khusus di hati keduanya karena jasa-jasanya.
Pernah terlintas dibenak Ekalaya dan Anggraeni, kelak jika tugasnya di Sokalima telah selesai, mereka berkeinginan memboyong Aswatama ke Paranggelung untuk diberi kedudukan tinggi sebagai sahabat raja.
Waktu satu tahun selama perjumpaannya dengan Ekalaya dan Anggraeni khususnya, telah mampu menggeser semua sejarah hidup Aswatama yang sudah hampir mendekati 30 tahun. Hidup lama telah diganti hidup baru. Bagi Aswatama, pasangan Ekalaya dan Anggraeni telah mampu mengubah hidupnya secara luar biasa. Aswatama yang semula merasa lebih rendah atau tidak lebih berharga dibandingkan dengan para ksatria Pandhawa, ternyata ia sangat berharga di mata raja besar Paranggelung beserta prameswarinya. Jika selama ini Aswatama tidak percaya diri akan kemampuannya di hadapan orang tuanya, kini mulai menemukan banyak kelebihan dihadapan sang Raja sakti dari negara Nisada. Sungguh ajaib, perjumpaannya dengan Ekalaya dan Anggraeni yang penuh kasih dan rendah hati, membuat hidup Aswatama indah berseri bagai pelangi.
Keindahan malam itu, malam bulan purnama, menjadi semakin indah ketika dari bibir nan lembut indah, mengalun suara kidungan yang merdu menyusup kalbu.
"Anggraeni-Anggraeni, engkau manusia nan sempurna Karena kesempurnaanmu sebagai manusia, engkau bak bidadari yang turun ke dunia. Seperti ia kah ibuku Bidadari Wilutama?
Ibu, ibu, aku rindu padamu."
Kidung Malam?(26) Bertepuk Sebelah Tangan pernah dimuat di majalah Jaya Baya
Aswatama membantu Ekalaya dan Anggraeni membuat sanggar untuk belajar memanah (karya herjaka HS 2007)
Ekalaya membuktikan tekadnya untuk belajar tuntas ilmu memanah dari Pandita Durna. Walaupun setahun lebih keberadaannya di Sokalima ia secara resmi belum diangkat menjadi murid, ia telah memanfaatkan pertemuannya dengan Pandita Durna untuk menyerap berbagai ilmu yang diajarkan di Sokalima. Bahkan mulai menginjak tahun kedua, Ekalaya dengan dibantu Anggraeni dan Aswatama dan beberapa cantrik padepokan telah membuat sanggar di tengah hutan kecil di pinggiran wilayah Sokalima. Di sanggar yang suasana dan penataannya disesuaikan dengan gambaran mimpinya, Ekalaya dengan tekun belajar praktek memanah.
Patung pandita Durna yang diletakkan di altar sanggar mampu memberikan energi yang luar biasa bagi Ekalaya untuk belajar dan terus belajar. Mata patung yang dipahat cekung ke dalam seakan-akan menatap penuh waspada manakala Ekalaya mulai menarik busurnya. Sudut bibir patung yang dipahat sedikit naik ke atas, sepertinya sang Guru tersenyum bangga menyaksikan anak panah si murid satu-persatu melesat cepat, tepat mengenai sasaran. Tangan patung sebelah kiri kelihatan seperti mempersilakan apa pun yang akan dicoba dan dilatih oleh sang murid. Sementara tangan patung sebelah kanan memegang tasbih, dapat diartikan bahwa sang guru senantiasa berdoa bagi muridnya agar dapat berhasil menuntaskan ilmu yang telah dipelajarinya.
Anggraeni tidak berani mengganggu suaminya yang sedang berkonsentrasi tinggi dalam usahanya menyempurnakan ilmu memanah. Namun sebagai seorang isteri ia tidak pernah melepaskan pendampingannya. Siang malam Anggraeni, sang prameswari paranggelung, berada di sanggar, selalu siap sedia sewaktu-waktu suaminya membutuhkan bantuan yang perlu segera dipenuhi. Kelancaran Ekalaya dalam proses penyerapan ilmu-ilmu Sokalima, khususnya ilmu berolah senjata panah serta segala fasilitasnya, tidak lepas dari peran Aswatama.
Sesungguhnya di balik kebaikan Aswatama terhadap keduanya, terkandung maksud yang hingga saat ini masih tersimpan rapat di hatinya. Sejak awal pertemuannya dengan Anggraeni khususnya, Aswatama telah jatuh hati. Ia ingin selalu bertemu dan berdampingan dengannya, bahkan lebih dari itu. Oleh karenanya Aswatama memakai berbagai cara dan straregi untuk dapat selalu bersama dengan Anggraeni.
Aswatama tidak menyadari bahwa kesempatan yang selalu memungkinkan untuk dapat bersama-sama dengan Anggraeni dan Ekalaya tidak lepas dari peran Pandita Durna. Keberadaan Ekalaya yang bertahan hingga tahun kedua di Sokalima, memang disengaja oleh Durna. Sebenarnya status Ekalaya di Sokalima masih menggantung. Dikatakan sebagai murid Sokalima, Durna belum mengangkatnya secara resmi. Namun jika tidak dianggap murid Sokalima, nyatanya ia telah menyerap sebagian besar ilmu-ilmu Sokalima. Hal tersebut memang tidak penting bagi Pandhita Durna, karena yang diutamakan adalah supaya Aswatama bergaul semakin akrab dengan Anggraeni. Karena ia tahu bahwa anaknya telah jatuh hati dengan prameswari Paranggelung tersebut.
Namun setelah menginjak tahun kedua, benih cinta Aswatama semakin mengakar kuat, dan rupanya hal tersebut justru menjadi semakin sulit dilepaskan. Ada penyesalan yang kemudian datang terlambat, mengapa Durna tidak menolak Ekalaya dan Anggraeni lebih awal.
Oh ngger anakku, mengapa kamu jatuh cinta kepada seseorang yang sudah bersuami?
Sebenarnya bukan hanya Aswatama, siapapun orangnya akan jatuh hati melihat keelokan paras Anggraeni. Terlebih lagi jika sudah bertatap muka, saling menyapa, bergaul akrab dengannya, dapat dipastikan akan menumpuk rasa kagum yang menggunung dan rasa terpana yang tak berkesudahan. Oleh karenanya Aswatama tidak bersalah jika di hatinya telah tumbuh pohon cinta yang semakin lebat, karena tanpa disadari, Anggraeni telah menyiraminya setiap hari.
Sesungguhnya Anggraeni tahu bahwasanya Aswatama jatuh hati kepada dirinya. Namun bagi Anggraeni itu adalah urusan Aswatama. Sedangkan urusan Anggraeni adalah menjaga kemurnian perkawinannya dengan Ekalaya, tanpa harus menyakiti orang lain. Itulah yang selama ini dilakukan oleh Anggraeni ketika harus bergaul dengan orang lain, tak terkecuali Aswatama. Maka jika rasa hormatnya karena Aswatama adalah anak dari guru suaminya, dan rasa terimakasihnya karena Aswatama telah banyak membantu usahanya diartikan lain, sekali lagi itu adalah urusan Aswatama.
Aswatama pun tahu bahwa wanita seperti Anggraeni tidak mungkin akan menodai perkawinannya dengan Ekalaya, ia lebih baik mati daripada mengingkari kesetiaannya. Keramahan, kebaikan, sendau-gurau dan rasa hormat yang diberikan Anggraeni sangat terukur, tidak pernah melebihi batas-batas yang telah dibuatnya. Kejelasan dan ketegasan Anggraeni yang menandai hubungannya dengan Aswatama seharusnya sudah cukup bagi Aswatama untuk menarik diri dan perlahan-lahan membiarkan pohon cinta di hatinya kering dan kemudian mati. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sikap Anggraeni yang tegas, suci dan mulia itu justru membuat Aswatama semakin jatuh cinta. Memang berat rasanya bertepuk sebelah tangan. Namun tetap mengasyikkan untuk diteruskan.
? Ki Sugino Siswocarito : Wahyu Windu?Wulan
Kidung Malam?28 ? Kidung Malam?27 Panah Misterius "Bapa Pandita aku datang."
Durna mempersilakan anaknya masuk ke ruang dalam dan duduk mendekat, dan sangat dekat. Matanya yang sudah sipit semakin disipitkan. Di balik pelupuk matanya, Durna memandangi anaknya tajam sekali.
"Aswatama dapatkah aku membantumu?"
"Tentu Bapa Pandita, aku sangat membutuhkannya."
"Katakan anakku."
Pada malam yang hening, Aswatama menemui bapanya di sebuah ruangan yang terletak di depan ?Sanggar Pamujan? (karya herjaka HS ke-1843 tahun 2008)
Aswatama tidak segera mengatakan maksudnya. Mulutnya terasa berat untuk membuka, mengucapkan kata-kata yang sesuai dengan hatinya. Durna sengaja membiarkan Aswatama mengatasi gejolak hatinya sehingga mulutnya dapat menyampaikan maksud hati yang sesungguhnya.
Berat rasanya beban itu disimpan sendirian. Ia ingin berbagi kepada orang yang paling dekat dengan dirinya, yaitu Bapa Pandita Durna.
"Bapa Pandita, maafkan anakmu ini, karena aku telah jatuh cinta kepada Anggraeni."
Pernyataan Aswatama tersebut tidak mengejutkan Durna. Namun keberanian Aswatama mengatakan ya
Semenjak ia bergaul akrab dengan Ekalaya dan Anggraeni, Aswatama mengalami kemajuan yang sangat pesat di dalam pengelolaan terhadap diri sendiri dan pandangan-pandangannya mengenai hidup dan kehidupan.
Pernyataannya bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada Dewi Anggraeni, isteri Prabu Ekalaya, adalah bukti bahwa Aswatama berani berkata dari kejujurann hatinya. Walaupun ia menyadari bahwa Aswatama tidak mungkin meminang Aggraeni, kata hatinya harus diungkapkan bahwa ia telah jatuh cinta kepada Anggraeni.
"Aswatama anakku, apa yang engkau katakan kepadaku ini juga telah engkau katakan kepada Anggraeni?"
"Tidak Bapa, tidak ada gunanya aku mengatakan kepada Dinda Anggraeni, karena aku berkeyakinan bahwa sesungguhnya Dinda Anggraeni sudah tahu bahwa aku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Bahkan bisa jadi pernyataanku akan menjauhkan persahabatanku dengan mereka."
"Bagus anakku, artinya engkau menyadari bahwa cinta antara pria dan wanita yang bergelora di hatimu tidak mendapatkan tempat di hati Anggraeni?"
"Benar Bapa, demikian adanya."
"Oh ngger anakku Aswatama, aku tidak menyesalkan nasibmu yang kurang beruntung, tetapi aku mensyukurinya bahwa engkau mampu berpikir jernih. Sebagai titah yang lemah, engkau tidak kuasa menolak dorongan cinta yang kuat. Tetapi sebagai titah yang dicintai dewa, engkau diberi kekuatan untuk menghadapi semuanya itu. Aswatama anakku, mataku terbuka, engkau benar-benar telah dewasa."
Aswatama mendekap lutut Pandita Durna erat-erat, dan Pandita Durna mengelus-elus kepalanya dengan penuh haru dan kasih sayang. Tanpa sengaja benak dan pikiran mereka mengingat pada sosok yang sama bernama Batari Wilutama. Durna dahaga akan kasih sayang isteri yang dengan kesejukannya mendampingi dalam membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera. Sedangkan Aswatama lebih membayangkan jika ia sejak kecil mendapatkan kasih sayang seorang ibu tentunya akan lain jadinya.
Beberapa saat kemudian, Durna dan Aswatama menuju sanggar pamujan. Mereka sepakat ingin mendapatkan kekuatan dan jalan keluar dari segala permasalahan yang membelenggu hidupnya.
Siang itu langit biru bersih tanpa awan. Sang surya bersinar dengan sempurna. Namun walaupun begitu panasnya tidak mampu menembus lebatnya pepohonan di hutan kecil yang berada di sekitar Padepokan Sokalima. Di ujung jalan setapak yang diapit oleh rimbunnya semak belukar, ada serombongan bangsawan sedang berburu binatang hutan. Salah satu di antaranya adalah Harjuna dengan membawa anjing pelacak. Tanpa seorang pun mengetahui apa yang terjadi, tiba-tiba si anjing menyalak dengan keras dan berlari menuju arah tertentu. Tanpa diberi aba-aba Harjuna dan saudara-saudaranya mengikuti anjing pelacak tersebut.
Cep! Langkah mereka terhenti, demikian juga nyalak anjing pelacak diam seketika. Perlahan-lahan Harjuna mendekati anjing kesayangannya yang sudah tidak bergerak. Hatinya berdesir, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Kesatria luar biasa, murid andalan Sokalima tersebut tak kuasa menahan gejolak hatinya. Kemarahan besar meledak-ledak di dadanya. Selama hidupnya belum pernah ia mendapat malu seperti saat ini. Sebagai satu-satunya murid Sokalima yang ahli berolah senjata panah telah dihadapkan kenyataan bahwa tingkat kemampuan menggunakan senjata panah yang dikuasai Harjuna masih berada di bawah seorang yang melepaskan anak panahnya ke kepala anjing pelacak tersebut. Dengan seksama Harjuna dan saudara-saudaranya meneliti panah yang tepat menancap di antara kedua mata anjingnya dengan sempurna. Ada tujuh anak panah yang menancap hampir bersamaan pada satu titik yang sama. Sehingga cukup menyisakan satu anak panah rangkap tujuh. Sangat luar biasa.
"Kurang ajar, siapa orang yang telah memanah anjing kesayanganku!?"
Bima, Puntadewa, Sadewa dan Nakula, lebih heran lagi dibandingkan dengan Harjuna. Mata mereka tidak melihat ketika ada tujuh panah yang hampir bersamaan menghujam otak si anjing pelacak yang hanya berjarak beberapa jengkal di depannya.
Kidung Malam?28 Ilmu Sapta Tunggal Harjuna adalah seorang ksatria yang gemar ?tapa ngrame?, selalu siap sedia menolong sesamanya yang membutuhkan, melindungi yang lemah, membela yang teraniaya. Ia senantiasa memperjuangkan kebenaran dan menentang yang durhaka. Maka tidak mengherankan, jika pada saat Sang Harjuna menyusuri jalan-jalan pedesaan, mereka berebut untuk menawarkan agar Harjuna berkenan singgah di rumahnya, untuk memberikan cunduk bunga melati, lambang dari cinta dan kasih sayang. Oleh karenanya bagi keluarga yang dikunjungi Harjuna menjadi berkah akan berkelimpahan.
"Hore! Hore! Hore! Sang Pekik datang, kita sambut dia, kita taburkan bunga mawar warna-warni. Ayo jongkok, ayo jongkok, jongkok. Beri sembah hormat kepadanya. Sang Pekik mampirlah di gubuk kami, mangga pinarak Raden, Raden Harjuna. Horeee!"
Tampak dari kejauhan, Harjuna membopong anjing kesayangannya yang mati ditembus tujuh anak panah (karya herjaka HS, pernah dimuat di majalah Jaya Baya)
Cep klakep! Suara suka-cita para kawula pedesaan yang terngiang di telinga berhenti seketika. Demikian pula suasana penuh kasih yang pernah singgah di sanubari lenyap tak berbekas. Ketika sang Harjuna melihat anjing kesayangannya tergeletak mati ditembus tujuh anak panah sekaligus. Yang ditinggal adalah sebuah kemarahan, yang semakin menjadi besar.
"Kurang ajar! Siapa yang berani menghina Harjuna, ayo keluarlah! Perang tanding melawan panengah Pandawa."
Suasana hening sepi, tidak ada suara yang menanggapi tantangan Harjuna. Puntadewa cemas akan keadaan adiknya.
"Dinda Harjuna, mengapa jiwamu menjadi ringkih, engkau tidak dapat mengendalikan amarahmu ketika melihat panah luar biasa."
"Karena anjing kesayanganku dibunuh."
"Bukan Dinda Harjuna, bukan karena anjing kesayanganmu yang telah mati, tetapi karena pembunuhnya adalah orang yang sangat luar biasa dalam menggunakan senjata panah, melebihi kemampuanmu. Bukankah begitu Harjuna. Seharusnya engkau menjadari, bahwa di atas langit masih ada langit."
"Kakanda Punta, bukankah langit di atasku adalah Bapa Guru Durna? Mungkinkah yang melakukan ini adalah Bapa Guru Durna? Karena hanya Bapa Guru yang mempunyai ilmu panah Sapta Tunggal yaitu melepaskan tujuh anak panah pada satu titik sasaran. Namun selama aku menjadi muridnya, Bapa Guru Durna belum pernah memberi contoh ilmu panah Sapta Tunggal sesempurna kali ini. Bapa Durna! Aku datang menghadap."
Sembari membopong anjingnya yang telah mati, Harjuna diiring oleh Puntadewa, Bimasena, Nakula dan Sadewa menuju ke Padepokan Sokalima. Di balik rimbunnya pepohonan yang dilaluinya, ada dua pasang mata memandang tajam rombongan Pandawa. Mereka adalah Aswatama dan Anggraeni. Sejak Anggraeni dan Ekalaya tinggal di Sokalima, Aswatama menyarankan kepada mereka berdua agar selalu berusaha untuk tidak bertemu dengan murid-murid lain, baik itu para Pandawa atau para Kurawa. Dan saran Aswatama tersebut dipatuhi oleh Ekalaya dan Anggraeni. Demikian juga para cantrik padepokan selalu patuh kepada Aswatama, ikut merahasiakan kehadiran Ekalaya dan Anggraeni. Sehingga sampai memasuki tahun ketiga tidak ada seorang pun tahu bahwa di padepokan Sokalima ada seorang murid luar biasa yang melebihi murid-murid yang lain.
Kedahsyatan murid Sokalima yang tersembunyi ini, telah dirasakan oleh Harjuna. Diawali dari lolongan anjing pelacak yang sangat mengganggu laku semedi yang sedang dijalani, sehingga Ekalaya terpaksa melepaskan panahnya untuk menghentikan lolongan anjing yang ternyata adalah milik Harjuna.
Kedatangan Harjuna dan saudara-saudaranya disambut Pandita Durna dengan wajah berseri-seri. Maklumlah, Harjuna dan Bimasena adalah murid-murid kesayangan yang menjadi andalan Sokalima. Namun rupanya keceriaan wajah sang guru terhenti. Dahinya yang memang sudah keriput semakin keriput ketika ditatapnya Harjuna membawa anjing yang mati tertancap panah di dahinya dengan ilmu Sapta Tunggal.
Hatinya berdesir. Ia tahu siapa yang melakukannya, siapa lagi kalau bukan Ekalaya. Tetapi bagaimana jika Harjuna tahu tentang Ekalaya?
"Apakah Bapa Guru yang telah melakukan ini?"
Durna menggelengkan kepalanya
"Lalu siapa yang telah menguasai ilmu Sapta Tunggal, salah satu ilmu panah andalan Sokalima dengan sempurna?"
Durna berusaha untuk menyembunyikan nama Ekalaya terutama di hadapan Harjuna. Karena ia tahu jika Harjuna mengetahui bahwa ada murid Sokalima yang lebih pandai dibandingkan dirinya, akan fatal jadinya.
"Harjuna, akhir-akhir ini hutan di sekitar Sokalima sering didatangi pemburu asing, mungkin salah satu di antaranya yang telah melepaskan panah itu."
"Ampun Bapa Guru, apakah ilmu Sapta Tunggal juga diajarkan di luar Sokalima?"
"Tidak Harjuna, tetapi ada ribuan ilmu memanah yang diajarkan di luar Sokalima. Dan bisa saja beberapa di antaranya mirip dengan ilmu Sapta Tunggal."
Kidung Malam?29 PATUNG DURNA Maha Guru Durna Karya herjaka HS 2000 Lolongan anjing yang terus-menerus dirasa dapat mengganggu semedinya, maka Ekalaya melepaskan anak panah dari jarak jauh dan diarahkan ke suara anjing. Namun ternyata tindakan yang dilakukan Ekalaya tersebut berbuntut panjang. Pasalnya anjing yang terkena panah bukan anjing hutan, dan bukan pula anjing milik penduduk sekitar, seperti yang diduga oleh Ekalaya. Namun anjing tersebut ternyata anjing pelacak milik Harjuna.
Ketika Harjuna membawa bangkai anjingnya kepada Pandita Durna, dan menanyakan perihal panah yang menancap, Harjuna belum sepenuhnya lega atas keterangan Sang Guru Durna. Ia akan mencari sampai ketemu, siapa sesungguhnya orang berilmu tinggi yang telah membunuh anjingnya. Maka Harjuna segera mohon pamit untuk kembali ke hutan kecil di pinggiran Sokalima.
Melihat kegelisahan Harjuna, Aswatama yang sejak awal mengamati dari kejauhan, diam-diam mendahului Harjuna masuk ke tengah hutan untuk mengabarkan kepada Ekalaya dan Anggraeni. Demi keselamatan dua sahabatnya Aswatama menyarankan agar keduanya pergi ke tempat yang aman untuk sementara.
Sejatinya Ekalaya tidak gentar sedikit pun berhadapan dengan Harjuna, namun jika ia dan Anggraeni mau menyingkir ke tempat yang aman, tindakan itu merupakan penghargaannya kepda Aswatama sahabatnya. Tidak beberapa lama sejak kepergian Ekalaya dan Anggraeni, Harjuna sampai di sanggar Ekalaya.
Mata Harjuna teperanjat melihat ada patung Pandita Durna di tengah. Siapa yang membuat patung ini? Patung yang diletakkan sedemikian rupa itu sangat hidup. Mata dan senyum bibirnya akan membuat getar siapa pun yang memandangnya. Pandangan Harjuna ditebarkan mengamati tempat di sekitarnya. Dilihat dari kebersihan dan perlengkapan yang ada, tempat ini masih aktif digunakan untuk latihan memanah. Lalu siapa orangnya? Apakah ia yang memanah anjingku? Sembunyi di mana ia?
Harjuna, satria berbudi halus dan suka menolong tersebut, perlahan-lahan dirambati perasaan marah. Darahnya menghangat dan mulai mendidih.
"Kurang ajar! Jika engkau satria keluarlah! Hadapi aku, satria Madukara Raden Harjuna."
Tantangan itu dilontarkan dengan menggunakan getar jarak jauh, sehingga mampu menyusup sampai ke tempat di mana Ekalaya berada. Ekalaya tidak terpancing oleh tantangan itu. Ia bersama Anggraeni dan Aswatama justru semakin menjauh dari tempat Harjuna berada.
Hari menjelang sore, Harjuna tidak menemukan orang yang membunuh anjing kesayangannya. Namun ada satu hal yang dicatat Harjuna tentang patung Pandita Durna dan sesorang yang belajar memanah. Dan hal tersebut sudah cukup bagi Harjuna untuk menarik kesimpulan bahwa ada saling keterkaitan antara panah di kepala anjingnya dan orang yang belajar memanah di depan patung Pandita Durna. Dan tentunya pula keberadaan Patung Pandita Durna menunjukan bahwa orang yang belajar memanah itu mempunyai hubungan dengan Pandita Durna.
"Ampun Bapa Guru, dengan kenyataan yang ada, lepas dari apakah ia yang membunuh anjingku atau bukan, tentunya Bapa Guru mengetahui siapakah orang yang telah mematungkan Bapa Guru di sanggar di tengah hutan itu."
Durna tidak mungkin serta merta mengatakan bahwa orang yang dimaksud Harjuna adalah Ekalaya. Namun sebagai maha guru ia pun tidak mungkin berbohong. Oleh karenanya ia lebih memilih menyampaikan jawaban atas pertanyaan Harjuna itu dalam bentuk cerita.
Di sebuah negara besar bertahtalah raja muda yang tampan rupawan. Ia sangat dicintai rakyatnya karena berhasil memerintah dengan adil dan bijaksana. Di negara Paranggelung itulah semua kawula dewasa, baik laki-laki maupun perempuan diajari berolah senjata panah. Maka dapat dipastikan bahwa sang raja muda itu pandai berolah senjata panah. Namun dikarenakan kerendahan hatinya sang raja merasa bahwa ilmu panahnya belumlah apa-apa. Maka ia berusaha mencari guru panah yang sakti. Dan tibalah raja muda itu di sebuah padepokan tempat sang guru sakti mengajarkan ilmu memanah.
Kidung Malam?30 Dua Murid Berseteru Harjuna adalah murid Pandhita Durna yang masuk kategori lantip, cerdas dan cepat tanggap akan sasmita perlambang yang diberikan gurunya. Oleh karenanya sebelum sang Guru Durna menyelesaikan ceritanya, Harjuna sudah mampu menangkap bahwa Gurunya secara tidak langsung telah mengangkat raja muda Paranggelung sebagai muridnya.
Kedekatan Guru Durna dengan Ekalaya menjadi kecemburuan Harjuna (karya herjaka HS)
"Bapa Guru yang aku hormati, jika berkenan sebaiknya cerita mengenai raja muda yang rupawan, sakti dan rendah hati dicukupkan. Kami sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk melarang sang Guru mengangkat murid baru. Demikian pula kiranya seorang Guru tidak berhak melarang muridnya berguru kepada guru yang lain. Tetapi bukankah selama ini pengangkatan murid-murid Sokalima selalu melibatkan saudara tua perguruan? Adakah kekhususan untuk murid yang satu ini? Adakah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh murid-murid yang lain?"
"Herjuna jangan terlalu jauh berprasangka. Jika engkau mau dengan sabar mendengarkan ceritaku sampai selesai, tentunya akan menjadi jelas bahwa prasangkamu mengenai diriku keliru. Berhubung engkau telah memotong ceritaku, maka aku tegaskan bahwa Raja muda itu telah tiba di Sokalima dan belajar ilmu-ilmu Sokalima, tetapi aku tidak mengangkatnya sebagai murid."
"Ampun Bapa Guru, maafkan saya yang khilaf ini."
Harjuna menyesal. Karena merasa dirinya diremehkan oleh orang lain, hatinya panas terbakar, sehingga tanpa sadar ia telah berani memotong cerita Sang Guru. Nampaknya Durna kecewa atas tindakan murid yang dikasihi tersebut. Ia tidak ingin memperpanjang suasana yang tidak mengenakkan ini. Maka segeralah ia masuk ke ruang dalam, meninggalkan Harjuna dan empat saudaranya.
Karena kedudukannya sebagai murid papan atas di Sokalima telah tergeser oleh murid lain, padahal keberadan murid tersebut tidak diketahui sebelumnya, dan tiba-tiba menjadi orang istimewa di Sokalima, Harjuna merasa kesulitan untuk mengendalikan emosinya, menjernihkan pikirannya dan mendinginkan hatinya. Oleh karenanya ia ingin segera bertemu dengan raja muda Paranggelung untuk membuktikan sejauh mana ketampanannya dan menakar seberapa tinggi ilmunya.
Jika pada awalnya Ekalaya atau juga sering disebut Palgunadi ingin menghindari Harjuna atas saran Aswatama, namun setelah mendengarkan cerita dari para cantrik ia tidak sampai hati membiarkan Sang Guru Durna dipojokkan oleh desakan Harjuna. Maka atas pertimbangan dan kesepakatan Ekalaya, Aswatama dan Anggraeni, mereka berniat menemui Pandita Durna untuk memohon agar sang Guru memperkenankan Palgunadi meladeni tantangan Harjuna.
Pada teriknya siang, mereka bertiga tiba di halaman padepokan Sokalima. Sebelum kaki-kaki mereka menapaki lantai pendapa induk untuk menemui Guru Durna, ada lima orang datang menghampiri. Sebelum mereka saling menyapa, Aswatama memperkenalkan Ekalaya dan Anggraeni kepada Harjuna, Puntadewa, Bimasena, Nakula dan Sadewa. Pada kesempatan tersebut, Ekalaya memohon maaf terutama kepada Harjuna, karena khilaf ia telah membunuh anjing pelacak milik Harjuna. Namun permintaan maaf yang tulus tersebut tidak menyelesaikan masalah. Karena sesungguhnya bukan itu permasalahannya. Nampaknya Harjuna gagal dalam mencoba mengendalikan gejolak hatinya yang sangat luar biasa.
Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa Ekalaya secara penampilan mampu mengimbangi dirinya yang selama ini mendapat julukan lelananing jagad dan lancuring bawana yang berarti laki-laki tampan yang mampu memberi warna keindahan bagi dunia. Apalagi ketika dilihatnya Anggreni, wanita yang mendampingi Ekalaya, darah Harjuna mengalir lebih cepat. Kecantikan dan kemolekan Anggraeni tidak kalah dibandingkan dengan isteri-isteri Harjuna. Bahkan pendamping Ekalaya ini mempunyai daya tarik sangat luar biasa yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain, termasuk isteri-isteri Harjuna. Keempat saudara Harjuna pun merasakan bahwa pasangan Ekalaya dan Anggraeni merupakan pasangan ideal yang mempunyai daya magnet kuat. Siapa saja akan merasa bangga mengenal dan mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan pasangan raja dan ratu dari Negara Paranggelung tersebut.
Tentunya dapat dimaklumi jika Harjuna tak kuasa menyiram bara api cemburu yang menyala di hatinya. Bahkan kesempurnaan Anggraeni sebagai isteri setia Ekalaya bak minyak yang memercik, maka sekejap kemudian bara api di hati Harjuna mulai menyala tak terkendali.
"Bocah Bagus aku ingin mengajakmu bertanding, seperti kebiasaan di Padepokan Sokalima yang belum pernah engkau jalani."
"Maaf Kisanak, aku perlu mendapat ijin dari Bapa Guru Durna."
"Jangan mengaku guru kepada seseorang yang tidak pernah mengangkatmu sebagai murid."
"Aku tidak peduli! Siapa pun yang telah membantuku menuju kesempurnaan hidup, beliau adalah guruku. Demikian juga jika engkau dapat membantuku menerapkan ilmu-ilmu Sokalima dalam arena pertandingan, engkau pun menjadi guruku."
"Baiklah, aku ajari engkau cara menarik panah dengan baik!"
Reeeet!! Dengan gerakan halus namun mengandung daya luar biasa Harjuna menarik busurnya dan diarahkan ke dada Palgunadi. Semua orang tegang melihatnya. Mereka dapat merasakan ada kemarahan besar di balik gemeretnya suara busur Harjuna. "Jangan Adinda, jangan lakukan itu." pinta Puntadewa, saudara sulung Harjuna.
"Maaf Kakanda Punta, bukankah Kakanda juga pernah mengalami jiwa Ksatria yang terkoyak?"
Kata-kata Harjuna mengingatkan ketika Puntadewa menjelma menjadi raksasa putih sebesar gunung karena tak kuasa menahan amarahnya. Maka dibiarkannya adiknya memilih cara untuk mengatasi kemarahannya yang tidak mudah dikendalikan.
Busur Harjuna semakin melengkung tajam. Anak panahnya siap menembus dada Ekalaya yang dibiarkannya terbuka wajar. Tidak lebih dari lima hitungan maka panah Harjuna akan meninggalkan busurnya menembus dada Ekalaya tanpa perlawanan. Anggraeni memejamkam matanya dan menggigit bibirnya, tidak tega melihat suaminya ditembus anak panah Harjuna. Namun ia tidak berbuat apa pun, karena percaya bahwa suaminya akan mampu menyelamatkan diri.
Satu dua tiga Wuuuss, tiba-tiba Sang Guru Durna berdiri di antara Ekalaya dan Harjuna.
Kidung Malam?31 Karya ini pernah dimuat di majalah Jaya Baya
Suatu malam Durna sedang menjawab pertanyaan Ekalaya yang duduk diapit
oleh Anggraeni dan Aswatama( karya Herjaka HS 2007)
Kidung Malam 31 Antara Hidup dan Mati Kedatangan Durna di tengah-tengah mereka memaksa pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya berhenti sementara.


Kidung Malam Mahabarata Karya Herjaka Hs di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku dapat merasakan apa yang kalian rasakan. Sebagai seorang ksatria, perang tanding merupakan cara penyelesaian pamungkas yang terbaik. Kecuali jika salah satu di antara kalian mau mengalah atau mengaku kalah sebelum bertanding. Itu pun tidak mungkin kalian lakukan. Pasti! Karena aku tahu watak keduanya. Maka jangan salah sangka jika aku melarang kalian ber perang tanding. Silakan berperang tanding, asalkan jelas alasannya."
"Ampun Bapa Guru, orang ini telah membunuh anjing pelacakku."
"Ampun Sang Maha Resi, aku telah meminta maaf."
"Bagus! Sisi lain dari seorang ksatria adalah mau mengakui kesalahannya."
"Bagaimana dengan pihak yang tidak melakukan kesalahan, tetapi pihak yang dirugikan?"
"Itu tergantung orangnya. Jika yang dirugikan seorang Brahmana tentunya ia akan memaafkan, karena yang bersangkutan telah mengakui kesalahannya. Jika yang dirugikan seorang raja, ia akan memberi ampun tetapi bersyarat. Syaratnya bisa hukuman, denda atau yang lain. Jika yang dirugikan adalah seorang Ksatria, ia dapat memilih di antara keduanya, seperti raja atau seperti brahmana."
"Ampun Bapa Guru, bolehkah saya tidak memilih di antara keduanya?"
"Boleh! Boleh! Apa yang kau pilih Harjuna?"
"Cara Ksatria sejati. Perang tanding!"
"Bagaimana Ekalaya?"
"Perang tanding untuk apa? jika untuk anjing yang mati aku tidak mau. Lebih baik aku mengaku kalah dan minta maaf."
Harjuna terdiam. Ia kebingungan. Sesungguhnya untuk apa perang tanding? Yang pasti tidak untuk seekor anjing, melainkan untuk sebuah martabat dan harga diri.
"Bagaimana jawabmu Harjuna?"
Durna melemparkan pertanyaan Ekalaya.
"Sebagai saudara tua seperguruan aku ingin menjajal ilmu Ekalaya."
"Bagus Harjuna! Sesungguhnya aku pun ingin menjajal seberapa tinggi tingkat ilmu seorang lelananging jagad."
Darah muda Ekalaya mulai panas. Ia mulai tidak senang, bahkan cenderung muak melihat sikap ksatria besar seperti Harjuna bersifat arogan, meremehkan sesamanya. Maka ia sengaja membakar hati Harjuna yang sudah membara. Seperti dikomando, keduanya melakukan sembah kepada Sang Guru Durna dan memberi hormat kepada Aswatama, Anggraeni, Puntadewa, Bimasena, Nakula, Sadewa dan para cantrik-mentrik.
Maka mulailah mereka bertempur. Keduanya sama-sama sakti dan mempunyai bekal ilmu yang cukup. Jurus demi jurus mereka keluarkan. Ilmu demi ilmu mereka benturkan, namun keadaan masih berimbang. Mereka yang menyaksikan tegang berdebar menyaksikan kedua orang sakti beradu ilmu. Beberapa di antaranya menjadi pusing menyaksikan gerakan-gerakan Harjuna dan Ekalaya. Maka mereka lebih memilih menjauhi arena pertempuran dan duduk di bibir pendapa.
Hari menjelang sore, pertempuran belum berakhir. Keduanya sama-sama muda, sama-sama sakti, sama-sama tampan-rupawan, dan sama-sama menggunakan ilmu-ilmu Sokalima.
"Luar biasa, ternyata ilmu-ilmu Sokalima sangat dahsyat. Tetapi mengapa aku yang sudah belasan tahun menjadi cantriknya tidak dapat seperti mereka ya?" celetuk seorang cantrik.
"Lha iya jelas, wong kamu kalau diajari malah tidur," timpal cantrik yang lain.
Karena hari mulai gelap dan keduanya sudah kehabisan tenaga maka Durna menghentikan pertempuran. Dengan wajah cemas Anggraeni memapah suaminya, diajak masuk ke bilik untuk kemudian dirawat dengan penuh kasih dan kesetiaan. Sedangkan di pihak Harjuna, Nakula dan Sadewa yang cemas sejak awal pertempuran berlari mendapati Harjuna untuk diajak berjalan memasuki salah satu bilik yang biasa ditempati Harjuna. Sementara Aswatama dan para cantrik-mentrik meninggalkan arena pertempuran untuk menceritakan kepada sanak saudara tentang pengalaman luar biasa yang baru sekali disaksikan sepanjang hidup mereka.
Suasana memang menjadi sangat sepi. Durna masih duduk sendirian, tidak ada satu cantrik pun yang berani mendekat. Tampaklah garis-garis wajahnya semakin dalam, sedalam kesenduan hatinya, menyaksikan kedua murid pilihan bertaruh antara hidup dan mati. Jika saat ini keduanya masih hidup, tentunya pada saatnya nanti hanya ada satu yang hidup. Ekalaya atau Harjuna.
Kidung Malam?32 Antara Hidup dan Mati Sejatinya yang menjadi harapan Durna, pertikaian antara Ekalaya dan Harjuna tidak usah dilanjutkan. Keduanya sama-sama sakti, ibarat dua sayap Sokalima yang perkasa. Mereka dapat membawa terbang nama Sokalima tinggi-tinggi, ke segala penjuru dunia. Sangat disayangkan jika satu di antaranya gugur pada medan harga diri. Namun itu tidaklah mungkin, karena di antara keduanya masih menyisakan bara api didadanya. Dinginnya malam di Sokalima tak kuasa mendinginkan hati mereka yang bertikai.
Dari masing-masing bilik yang ditempati Harjuna dan Ekalaya memancar energi yang saling bertemu sehingga bagi para cantrik yang kebetulan lewat di antara kedua bilik tersebut, pasti akan terkejut, dikarenakan ada sengatan hawa panas yang tidak mengenakkan.
Dengan merdunya Cantrik tua yang sedang jaga melantunkan tembang Dhandhanggula (karya Herjaka HS 2008)
Walau di dalam komplek padepokan Sokalima ada perbawa hawa panas, di depan pintu gerbang padepokan menebar energi lembut penuh kedamaian lewat kidungan cantrik jaga yang terbawa angin. Jika yang sedang bertikai mau membuka jendela hati dan membiarkan kidungan malam itu menyusup ke relung-relungnya, niscaya tidak mustahil pertempuran lanjutan yang tentunya lebih dahsyat tidak akan pernah terjadi.
Tidak peduli didengar atau pun tidak didengar, dirasakan maupun diabaikan, kidung malam tetap mengalun dari bibir cantrik tua yang berkulit kehitam-hitaman.
Ana kidung rumeksa ing wengi
ngreksa jiwa nala ingkang papa
ingkang ringkih sakabehe saking rasa kumingsun ngongasake diri pribadi ngegungake priyangga kebak watak umuk tan gadhah ambeg welas marang sapada-padhaning dumadi
tan purun angalaha. Tidak beberapa lama kemudian, cantrik tua yang menjadi sumber suara kidungan tak kuasa menahan kantuknya, ia berbaring di gardu jaga. Akhirnya kidung malam yang mengingatkankan bahwa manusia ini lemah tak berdaya tetapi congkak dan tinggi hati, tak mau mengakui kelemahannya, hilang tak berbekas, tertutup suara burung hantu kutu-kutu walang ataga atau serangga-serangga malam yang saling bersahutan. Dengan demikian daya kidungan tersebut tak pernah menembus bilik mereka yang bertikai. Bilik hati Harjuna dan Ekalaya
Malam kian larut, tidak ada lagi senda gurau di antara para cantrik yang jaga, tidak terdengar lagi kidung malam. Hari menjelang dini hari, tidak seperti biasanya Guru Durna duduk sendirian di ruang tengah. Disorot lampu temaram, tampaklah bahwa ia sedang berduka, duka yang sangat dalam. Baru kali ini sebagai guru besar ia tak kuasa menghentikan pertikaian kedua muridnya. Yah walaupun secara resmi Ekalaya tidak diangkat menjadi muridnya, tetapi jujur saja secara batin Durna telah mengangkat Ekalaya sebagai muridnya. Apalagi diperkuat dengan adanya patung Durna di Sanggar Ekalaya yang dijadikan pusat konsentrasi dalam mempelajari ilmu-ilmu Sokalima.
Selagi masih ada kesempatan, Durna berusaha mencegah kemungkinan yang paling buruk yaitu kematian salah satu di antara keduanya. Namun usaha Durna hanya mampu menunda saatnya. Karena permasalahannya sudah merambah pada harga diri, hal yang paling berharga bagi seorang kesatria. Dan penyelesaiannya hanya satu yaitu perang tanding. Dua hari lagi di saat bulan purnama mereka akan berperang tanding antara hidup dan mati.
Kabar tentang perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya telah tersebar tidak hanya di wilayah padepokan Sokalima, tetapi jauh di luar Sokalima. Di tanah lapang yang biasanya menjadi tempat pendadaran murid-murid Sokalima, malam itu menjadi istimewa. Sejak sore hari ribuan orang mulai berdatangan. Mereka ingin meyaksikan lanjutan pertandingan maha dahsyat di abad ini.
Di tengah kerumunan orang yang jumlahnya mencapai ribuan, Durna berdiri tegar di antara keduanya, Harjuna dan Ekalaya. Detik-detik purnama telah muncul di ufuk timur. Harjuna dan Ekalaya telah mempersiapkan diri. Demi sebuah harga diri, mereka telah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk, yaitu kematian.
Sebentar kemudian perang tanding dimulai. Bayangan keduanya tidak dikenali lagi yang mana Ekalaya dan yang mana Harjuna. Seperti pertandingan pertamanya, sebagian besar dari mereka pandangannya kabur dan kepalanya menjadi pusing.
Sebelum menyadari apa yang terjadi tiba-tiba Harjuna terlempar ke luar arena. Sorak membahana dari penonton menambah bara api di dada Harjuna menjadi semakin menyala. Ia mulai tak sabar, tangannya manyambar busur yang telah disiapkan di pinggir arena. Bruull! Ribuan anak panah keluar dari busurnya. Dengan tenang Ekalaya menyambut hujan panah yang diluncurkan Harjuna. Hanya hitungan detik patahan anak panah jatuh berserakan di antara Harjuna dan Ekalaya.
Perang adu kesaktian ilmu memanah berlangsung lama. Pada akhirnya Harjuna mengeluarkan pusaka andalan Sokalima yang diwariskan Guru Durna kepadanya yaitu pusaka Gandewa. Pusaka tersebut memancarkan cahaya berkilau yang menyilaukan mata.
Reketek!! Pusaka gandewa ditarik oleh Harjuna. Durna sangat terkejut, ia ingin mencegahnya namun terlambat. Dari pusaka gandewa telah meluncur ribuan anak panah yang tak habis-habisnya, mengarah pada Ekalaya. Semua penonton tercengang memandangnya. Sungguh luar biasa.
Kidung Malam?33 Keduanya Tidak Berdaya Aswatama yang pernah kecewa karena Rama Durna telah mewariskan pusaka dahsyat kyai Gandewa kepada Harjuna, mencemaskan keselamatan Ekalaya sahabatnya yang dihujani ribuan anak panah yang muntah dari busur Gandewa. Wah gawat!! Namun setelah menyaksikan bagaimana Ekalaya menyambut hujan panah yang dilontarkan Harjuna, dengan busur pusaka yang tak kalah dahsyatnya dengan pusaka Gandewa, kecemasan Aswatama berkurang. Namun ketegangan justru semakin bertambah. Tidak saja bagi Aswatama, tetapi juga dirasakan oleh mereka yang menyaksikan ribuan anak panah saling beradu dan meledak-ledak di angkasa Sokalima.
Para Dewa-Dewi menyaksikan Harjuna dan Ekalaya tergeletak tak berdaya
(karya Herjaka HS 2008) Malam bulan purnama semakin bercahaya karena dihiasai oleh percikan-percikan api warna-warni akibat beradunya ribuan anak panah yang dilontarkan Harjuna dan Ekalaya. Kejadian yang luar biasa tersebut membuat Kahyangan Jonggring Saloka gonjang-ganjing. Ada hawa panas menebar di seluruh wilayah para dewa tersebut, di tempat Batara Guru bertahta. Karena terusik kenyamanannya diutuslah Patih Narada untuk melerai pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya. Dalam perjalanan menuju ke Marcapada, Hyang Narada tertegun melihat pemandangan di depannya, tepat di atas langit Soka Lima. Ada percikan cahaya api warna-warni silih berganti. Sampai sehebat inikah kesaktian keduanya? Layak jika pengaruhnya sampai ke Kahyangan Jonggring Saloka. Maka tanpa membuang waktu, Dewa nomor dua di Kahyangan Jonggring Saloka tersebut segera turun ke arah yang sedang bertikai. Namun niat Patih Narada terhalangi oleh asap hitam pekat yang muncul tiba-tiba menyusul suara ledakan menggelegar. Awan hitam tersebut semakin tebal bergulung-gulung menyelimuti langit Soka Lima. Bersamaan dengan suara ledakan dahsyat, Batara Guru diiringi para Dewa dan Dewi turun dari Kahyangan ingin menyaksikan apa yang terjadi di Marcapada.
Suasana menjadi sangat mencekam. Malam bulan purnama yang sebelumnya semakin mempesona dengan adanya percikan-percikan api warna-warni kini menjadi gelap gulita dan sepi mencekam. Tidak ada lagi sorak sorai dan tepuk tangan dari para penonton yang menyaksikan perang-tanding antara Ekalaya dan Harjuna. Melihat keadaan yang semakin tidak nyaman, Batara Guru memerintahkan agar para Dewa-Dewi menaburkan bunga-bunga dengan aroma nan wangi untuk menyingkirkan asap hitam yang menyelimuti Soka Lima. Sekejap kemudian hujan bunga telah mengguyur Soka Lima. Daya dan aromanya mampu menyibak asap hitam yang menutupi kejadian besar yang ada di Soka Lima. Pelan tapi pasti, asap hitam pekat yang menutupi padepokan Soka Lima berangsur-angsur menghilang. Malam bulan purnama menjadi sempurna kembali. Malam menjadi mempesona. Ribuan penonton perang tanding yang sejak sore berdatangan di Soka Lima belum beranjak dari tempatnya. Mereka yang telah menumpahkan perhatiannya dengan segenap rasa-perasaan dan emosinya di dalam perang tanding tersebut semakin dibuat terheran-heran dengan kejadian berikutnya.
Tanah lapang di Soka Lima, tempat Harjuna dan Ekalaya bertanding, kini penuh bertaburan bunga warna-warni dengan aroma keharumannya masing-masing. Asap tebal yang muncul akibat ledakan yang ditimbulkan karena beradunya kedua busur pusaka milik Harjuna dan Ekalaya kini telah berganti dengan para Dewa-Dewi yang mengiringi Batara Guru yang menyusul Batara Narada untuk menghentikan yang sedang bertikai.
"Kang! Bermimpikah aku?"
"Coba aku cubit lenganmu"
"Aduh! Sakit kang."
"Itu namanya kamu tidak sedang bermimpi. Kau dan aku berada di dalam alam sadar."
"Tetapi lihatlah itu kang, langit di sekeliling kita penuh dengan gambar para dewa yang sangat mempesona dan para dewi yang amat jelita."
"Ssst! Jangan keras-keras dan gumunan isteriku, itu adalah para Dewa dan para Dewi yang mengiringi Batara Guru dan Batara Narada, ingin melerai perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya."
Sepasang suami isteri tersebut tidak memperpanjang pembicaraannya. Mereka bersama-sama ribuan penonton yang lain lebih memilih memusatkan perhatiannya dengan apa yang akan dilakukan Batara Guru dan Batara Narada terhadap Harjuna dan Ekalaya yang tergeletak tak berdaya. Dikarenakan mereka berdua telah menguras tenaga dan ilmunya untuk memuntahkan puluhan ribu anak panah melalui busur pusakanya masing masing. Pada puncaknya Busur Gandewa milik Harjuna dan busur pusaka milik Ekalaya saling menyedot dan beradu. Maka terjadilah ledakan amat dahsyat disertai asap hitam pekat yang bergulung-gulung, menggulung kedua busur pusaka hingga hilang tak berbekas.
Durna tergopoh-gopoh menyembah rajanya dewa serta pengiring yang menginjakkan kakinya di Soka Lima. Setelah menanggapi sembah Durna dan juga sembah dari ribuan orang yang hadir, Batara Guru didampingi Batara Narada mendekati Ekalaya dan Harjuna untuk kemudian memercikkan air kehidupan kepada mereka. Setelah itu didekatinya orang nomor satu di Soka Lima sembari bersabda:
"Durna selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil."
Sekejap kemudian Batara Guru dan seluruh pengiringnya meninggalkan Soka Lima. Malam pun pulih seperti malam purnama sebelumnya, sebelum ada pertikaian yang menimbulkan hawa panas ke seluruh alam semesta dan mengusik kenyamanan alamnya para Dewa-Dewi. Soka Lima berangsur-angsur pulih seperti hari-hari biasa yang tenang dan damai jauh dari mereka yang bertikai.
Orang-orang mulai melangkah pulang dengan perasaan yang sulit digambarkan dan terlalu banyak untuk diceritakan. Namun di masing-masing hati masih tersisa pertanyaan bagaimanakah akhir dari pertikaian antara hidup dan mati. Dan kalau boleh mereka berharap bahwa pertikaian akan berubah menjadi perdamaian dan persahabatan.
Memang benar, di sisa malam itu Soka Lima boleh menikmati ketenangan dan ketentraman, dikarenakan yang bertikai terbaring tak berdaya. Bahkan mungkin jika Sang Hyang Guru tidak memercikkan air kehidupannya di raga mereka yang lemah, tidak ada kehidupan lagi. Dengan demikian tentunya akan tamatlah pertikaian mereka bersama kerapuhan raganya.
Kidung Malam?34 Cincin Mustika Ampal Sepekan telah berlalu sejak perang tanding yang belum menampakkan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Keadaan Ekalaya dan Harjuna semakin membaik. Itu artinya bahwa tidak lama lagi perang tanding untuk yang ketiga kali akan dilanjutkan, sampai ada satu di antaranya yang kalah.
Seiring dengan pulihnya kekuatan mereka, bara di hati keduanya mulai membara kembali. Malam bergeser sangat lambat. Durna berjalan modar-mandir di antara bilik Harjuna dan bilik Ekalaya yang letaknya kurang lebih berjarak 300 meter. Masih terngiang di telinga sang guru Sokalima sabda Sang Hyang Guru
"Durna selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil."
Sang Guru Durna melangkahkan kaikinya menuju bilik Ekalaya
(karya : Herjaka HS 2008)
Memang seharusnya Durna dapat menghentikan pertikaian mereka. Karena jika pertikaian terjadi lagi, kahyangan akan gonjang-ganjing. Para Dewa-Dewi akan pada lari kepanasan.
Tidaklah salah jika diperlukan tindakan tegas dan sedikit memaksa bagi seorang guru dalam menghadapi muridnya yang tidak mengindahkan perintah sang Guru. Bahkan bagi murid yang melanggar aturan perguruan pantas diberi sanksi atau pun hukuman yang setimpal. Tetapi siapa yang pantas mendapat teguran dan sanksi selaras dengan pelanggarannya? Apakah Ekalaya? Tidak! Bukankah Ekalaya belum secara resmi menjadi muridnya? Tetapi jika bukan kepada Ekalaya, mungkinkah Harjuna yang dihukum? Wah sungguh amat berat. Kayaknya tidak mungkin. Karena Harjuna adalah orang yang pertama kali melakukan sembah dan mohon menjadi muridnya sebelum disusul oleh saudara-saudaranya Pendawa dan warga Kurawa. Dan oleh karena daya tariknya kepada Harjuna dan juga Bimasena Durna berkenan mengajarkan ilmu-ilmunya, maka kemudian berdirilah Padepokan yang semakin hari semakin besar, Sokalima namanya. Belasan tahun berlalu, Sokalima masih megah bertahan. Ratusan murid telah dihasilkan. Mereka menyebar di seluruh penjuru negeri. Dengan kenyataan yang ada, tidaklah mudah untuk menjatuhkan sanksi atau pun menghukum kepada Harjuna, murid berprestasi, murid kesayangan, murid yang amat patuh dan sekaligus murid cikal-bakal padepokan Sokalima.
Maka ketika sang guru Durna bersikeras bahwa pertikaian harus dihentikan, dan bagi yang tidak tunduk dengan perintahnya akan diberi sanksi, maka secara tidak sadar Durna melangkah kakinya ke bilik Ekalaya.
"Ekalaya, tahukah engkau apa yang sedang menggelisahkan pikiranku?"
"Ampun Bapa Resi, maafkan saya, sesungguhnya yang membuat Bapa Resi gelisah karena pertikaianku dengan Harjuna."
"Bagus Ekalaya! Engkau anak yang cerdas. Jika demikian tentunya hanya satu jalan untuk dapat menghilangkan rasa gelisahku yang berlebihan, yaitu pertikaian dihentikan. Sanggupkah engkau Ekalaya?"
"Sejak awal aku memang berniat untuk berdamai dengan Harjuna dengan meminta maaf atas kelancangannku membunuh anjing kesayangan. Namun Harjuna menginginkan penyeselsaian perkara tersebut dengan cara kesatria. Jika sekarang aku menyerah dan mengaku kalah artinya saya mengulangi tawaran awal yang tidak dimaui Harjuna."
"Ekalaya, sebagai seorang guru, tentunya aku tidak pernah menginginkan kehilangan salah satu murid-murid terbaik Soka Lima. Aku tahu apa yang diinginkan Harjuna dan apa yang kau inginkan. Harjuna menginginkan kemenangan dan itu mutlak. Jika tidak, lebih memilih mati. Sedangkan engkau masih bisa ditawar antara menang dan mengalah. Oleh karenanya supaya pertikaian segera berakhir dan keduanya selamat, pada pertempuran yang ketiga nanti engkau berpura-puralah kalah di hadapan banyak orang yang menyaksikan. Ekalaya, aku percaya kepadamu bahwa kamu akan dapat menyelesaikannya dengan baik dan selamat."
"Maafkan aku Bapa Resi, hal itu tidak mungkin dapat aku lakukan. Aku tidak dapat berpura-pura untuk kalah. Karena ketika tangganku telah menarik busur dan memegang anak panah, ada daya luar biasa yang terhimpun dengan sendirinya di seluruh budi, pikiran dan sekujur tubuhku serta otot bebayuku, guna menghadang serangan musuh."
"Oo lole, lole blegudhug monyor-monyor prit gantil buntute bedhug. Lalu ilmu apa yang engkau gunakan?"
"Maafkan aku Bapa Resi Durna, pada tataran luar aku menggunakan ilmu Sapta Tunggal, ilmu andalan Soka Lima, tetapi tenaga dalamnya berasal dari pusaka Mustika Ampal."
"Mustika Ampal?"
"Bapa Resi, Mustika Ampal adalah pusaka pemberian Sang Hyang Wenang, wujudnya adalah cincin. Menurut Ramanda Prabu Hiranyandanu, cincin Mustika Ampal dianugerahkan ketika Ramanda sedang melakukan tapa guna memohon agar anak yang ada dalam kandungan sang prameswari kelak dapat memimpin Negara Nisada dengan adil dan bijaksana. Ramanda juga mengisahkan bahwa cincin Mustika Ampal mempunyai daya sangat luar biasa dan ketepatan yang akurat pada saat digunakan untuk menarik busur dan melepaskan anak panah. Sehingga sudah menjadi kehendakNyalah Mustika Ampal dianugerahkan kepada calon raja di Negara Nisada, di mana seluruh rakyatnya terampil menggunakan panah.
Bapa Resi, dikarenakan Cincin Mustika Ampal dikenakan di ibu jariku sejak bayi, hingga sekarang setelah aku menjadi raja di Negara Nisada atau Paranggelung menggantikan Ramanda Prabu yang telah wafat, cincin tersebut telah berada di bawah kulit dan di luar daging, menyatu dengan ibu jari tanganku. Oleh karena Cincin Mustika Ampal itulah aku tidak mungkin untuk berpura-pura kalah. Kecuali jika serangan musuh lebih dahsyat daripada kekuatan Cincin Mustika Ampal."
Pantas, pusaka Gandewa dapat dihadang dengan kekuatan Mustika Ampal. Bahkan pusaka pemberian Dewa Indra yang baru saja diwariskan kepada Harjuna tersebut hancur lebur musnah tak berbekas.
Tiba-tiba hati Pandita Durna terusik. Ilmu-ilmu yang digunakan Ekalaya tidak murni ilmu Sokalima, tetapi telah dipadukan dengan sipat kandel pribadi yang didapat sejak masih bayi. Walaupun Harjuna juga menimba ilmu di banyak tempat, ilmu-ilmu yang digunakan dalam perang tanding adalah ilmu-ilmu yang diajarkan di Sokalima.
Membandingkan di antara keduanya sang Guru besar tersebut tak kuasa lagi berdiri di tengah secara adil. Ia mulai berpihak kepada Harjuna, murid mula pertama yang patuh berbakti dan telah mengangkat nama Sokalima melambung tinggi berkat ilmu-ilmu yang selalu digunakannya. Tak terkecuali ketika berperang tanding melawan Ekalaya.
"Ekalaya, jika niatmu tidak berubah, mau mengalah dengan cara berpura-pura kalah dalam perang tanding, ada cara yang dapat ditempuh, yaitu jika Cincin Mustika Ampal tersebut dilepas untuk sementara."
"Ampun Bapa Resi Durna, bagaimana bisa dilepas, Mustika Ampal telah jadi satu dengan ibu jari tangan kananku."
"Ekalaya, apakah engkau tidak percaya bahwa aku dapat melakukannya?"
"Ampun Bapa Resi, maafkan aku yang bodoh ini, maafkan aku."
Dengan tergopoh-gopoh Ekalaya menyembah Sang Resi Durna, beringsut mendekat, sembari mengulurkan ibu jari tangan kanannya, tempat Cincin Mustika Ampal berada.
Kidung Malam 35 : Tangis?Anggraeni
Anggraeni mensyukuri atas hidup yang masih dianugerahkan kepada mereka berdua (karya Herjaka HS, 2008)
Sang Guru bertanya kepada muridnya,
"Tidak percayakah engkau padaku Ekalaya?"
"Ampun Bapa Resi, bukan maksudku untuk tidak mempercayai kemampuan Bapa Resi Durna. Aku percaya, Bapa Resi mampu melakukannya. Silakan Bapa Resi, ambilah cincin Mustika Ampal ini dari ibu jari tanganku."
Pandita Durna ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah guru yang mumpuni dan menguasai berbagai ilmu tingkat tinggi. Sehingga tidak akan kesulitan dalam melepas Cincin Mustika Ampal, walaupun sudah manjing menjadi satu dengan ibu jari tangan kanan Ekalaya.
Ekalaya memberikan tangan kanannya kepada seorang yang sangat ia hormati. Tangan itu bergetar tanpa dapat dicegahnya. Dengan amat perlahan Durna mencoba mengeluarkan cincin Mustika Ampal itu.
Satu kali, dua kali usaha Durna belum berhasil. Cincin tersebut masih terpendam rapat di antara kulit dan daging. Walaupun tidak kelihatan mencolok, Durna telah mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, sehingga keringatnya susul menyusul meninggalkan dahinya yang semakin berkerut. Dikarenakan tangan Ekalaya bergetar, Durna menganggap bahwa Ekalaya telah menghimpun energi untuk menghalangi pengambilan Mustika Ampal
"Ekalaya, jangan berusaha menahan cincin Mustika Ampal."
"Ampun Bapa Resi, aku tidak menahannya. Tangan ini bergetar dengan sendirinya."
Durna mencoba lagi. Kali ini ia mengerahkan seluruh kemampuannya. Tangan Ekalaya dan tangan Pandita Durna bergetar semakin cepat dan semakin kuat. Pusaran hawa panas memancar dari kedua tangan tersebut.
Panas, panas dan semakin panas.
"Aduh! " Tiba-tiba Ekalaya mengeluh pendek. Kemudian terkulai di lantai bilik.
Mendengar bahwa suaminya dalam bahaya, Anggraeni segera masuk ke biliknya,
"Kangmaaass!" Anggraeni menubruk Ekalaya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sungguh amat mengejutkan, ibu jari Ekalaya telah tiada. dan meninggalkan luka memilukan. Anggraeni tahu bahwa di ibu jari itulah pangkal kesaktian suaminya. Jika sekarang ibu jari tersebut telah tiada, artinya bahwa kesaktiannya telah lenyap.
Cincin Mustika Ampal yang diambil paksa oleh Durna merupakan tragedi seorang murid yang memilukan. Sosok guru yang jauh-jauh dicari dan diharapkan dapat menambah keilmuannya ternyata malah tega merampas harta ilmu yang telah dimiliki si murid. Ekalaya telah terhempas dari harapannya. Ia menjadi tumbal ambisi Durna yang tidak menginginkan ilmu-ilmu Sokalima berada setingkat lebih rendah dibandingkan dengan ilmu-ilmu dari luar Sokalima.
Dengan kejadian tersebut, Durna dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa pusaka Gandewa yang diandalkan dan ilmu-ilmu Sokalima tingkat tinggi yang dikuasai Harjuna belumlah cukup untuk menandingi Cincin Mustika Ampal.
Namun sekarang Cincin Mustika Ampal yang telah mempecundangi nama besar Sokalima di hadapan orang banyak berada dalam genggamannya. Apa yang dapat kau lakukan, Ekalaya, menghadapi Harjuna tanpa Cincin Mustika Ampal. Tiba-tiba hati Durna telah dibakar oleh sakit hatinya, karena ilmu-ilmu Sokalima yang diperagakan dengan sempurna oleh Harjuna, murid kesayangannya, tak mampu mengalahkan Ekalaya.
Durna menimang-nimang Cincin Mustika Ampal, menuju bilik Harjuna. Namun sebelum tangan Durna mengetuk pintu, Harjuna telah membukakannya.
"Silakan masuk Bapa Guru Durna."
"Harjuna, aku membawa pusaka dahsyat, namanya Cincin Mustika Ampal. Dengan pusaka ini engkau dapat mengalahkan Ekalaya dengan mudah. Kenakanlah pusaka ini pada ibu jari tangan kananmu, serta tunjukkan kepadanya dan kepada banyak orang bahwa ilmu Sokalima tak terkalahkan."
Harjuna menyembah, kemudian memberikan tangan kanannya. Pandita Durna segera mengenakan Cincin Mustika Ampal di ibu jari Harjuna sebelah kanan.
Sungguh ajaib! Dengan masih menyisakan rasa herannya, Durna dan Harjuna mengamati keajaiban itu. Jari tangan Harjuna bertambah satu, sehingga jumlahnya menjadi enam.
"Dimanakah Cincin Mustika Ampal yang disebut-sebut Bapa Guru?"
"Ada di dalam ibu jari yang baru itu Harjuna."
Harjuna juga ingin membuktikan daya kekuatan dari Cincin Mustika Ampal. Maka segeralah satria Panengah Pandawa tersebut menyahut busur serta anak panahnya, lalu pergi keluar dari biliknya. Di tengah gulita malam, Harjuna melepaskan anak panahnya ke arah pohon beringin yang berdiri angker di sudut halaman komplek bilik-bilik siswa Sokalima. Jari tangan yang berjumlah enam menjadi sangat pas untuk membidikan anak panah. Bagai suara ribuan kumbang, anak panah itu telah melesat meninggalkan busurnya. Sekejap kemudian, luar biasa akibatnya, ribuan sulur pohon beringin putus berserakan menumpuk di tanah. Sehingga pohon yang semula dinamakan beringin wok, pohon beringin yang mempunyai brewok itu, menjadi bersih tanpa brewok lagi.
Harjuna tertegun atas daya luar biasa yang ditimbulkan oleh pusaka Cincin Mustika Ampal pemberian Bapa Guru Durna. Segera setelahnya, Harjuna memberi sembah dan mengucap terimakasih yang tak terhingga atas pusaka dahsyat pemberian sang guru besar Sokalima itu. Kemudian Harjuna berjanji akan mengalahkan Ekalaya pada pertemuan yang ke tiga kalinya nanti, dengan ilmu-ilmu Sokalima yang dilambari Cincin Mustika Ampal.
Waktu belum bergeser jauh dari tengah malam, di biliknya Ekalaya mulai pulih kesadarannya. Aswatama yang sejak tadi membantu Anggraeni merawat Ekalaya merasa iba terhadap tragedi yang menimpa sahabatnya.
"Kakang Mbok Anggraeni sudahlah, janganlah kau habiskan air matamu di bilik yang sempit ini. Bukankah dengan demikian hatimu akan bertambah sesak?"
"Dhimas Aswatama, sesungguhnya tangisku bukanlah tangis yang menyesakkan dada, tetapi tangis yang membebaskan. Bebas dari kekhawatiran setelah tidak mempunyai Cincin Mustika Ampal. Aku terharu karena masih diperkenankan mendampingi Kakangmas Ekalaya yang saat ini sudah mulai sadar. Batinku mengatakan bahwa hidup suamiku jauh lebih berharga dibandingkan dengan Cincin Mustika Ampal. Bagiku peristiwa ini bukan tragedi nasib kami berdua, melainkan wujud dari belas kasihNya."
Kidung Malam 36 : Selamat Tinggal?Sokalima
Seoarang cantrik menemukan tulisan Ekalaya
Aswatama bermaksud membesarkan hati Anggraeni dan Ekalaya yang sedang berada dalam keterpurukan. Ia menggarisbawahi pendapat Anggraeni, bahwa hidup yang dianugerahkan jauh lebih berharga dibandingkan dengan pusaka andalan Paranggelung yang dimiliki Ekalaya sejak bayi. Walaupun kini pusaka yang diandalkan itu telah lepas dari dirinya dan Ekalaya menjadi orang biasa yang tidak berilmu dahsyat, Anggraeni mengalami suka cita ketika didapati suaminya mulai sadar dan lukanya berangsur-angsur pulih.
Ekalaya bangkit untuk duduk. Ia memandangi tangannya yang luka. Dan mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Ia melihat Anggraeni yang berada sangat dekat dengan dirinya. Juga Aswatama yang berada tidak jauh dari dirinya. Ya, di bilik inilah ia telah mempersembahkan pusaka andalannya kepada Sang Guru Durna.
"Terima kasih Anggraeni, terima kasih Aswatama. Kalian telah merawat aku. Mungkin saat ini adalah saat akhir kita saling bertemu. Karena apa yang berharga dalam hidupku telah hilang, aku persembahkan kepada Guru Durna."
"Jangan berkata begitu Kangmas, bukankah yang paling berharga dalam hidup ini adalah hidup itu sendiri? Dan Kangmas Ekalaya masih memilikinya?"
"Engkau benar isteriku. Namun hidup tanpa ilmu dan kesaktian tidak lebih berharga dibandingkan dengan daun jati kering."
"Tidak demikian Kangmas Ekalaya, engkau sangat berharga bagiku, karena cinta dan.kebijaksanaan masih ada padamu."
"Anggraeni, engkau tahu ketika kita pergi berguru, rakyat Paranggelung berjubel mengantar kita hingga tapal batas negaragung Paranggelung. Harapannya adalah, kelak ketika Sang Raja pulang kembali tentu kesaktiannya akan semakin dahsyat. Tetapi apa yang terjadi? Yang terjadi adalah sebaliknya.. Bukan raja berilmu dahsyat yang didapat, tetapi raja yang lemah tak berdaya tidak mempunyai kesaktian apa-apa. Tentu saja rakyat akan kecewa."
"Menurutku tidak demikian Kangmas, karena kejadian ini bukan kehendak kita dan bukan salah kita. Jika kita ceritakan dengan jujur, rakyat tentu akan menerimanya, dan bahkan bangga mempunyai raja bijaksana dan penuh cinta. Karena sesungguhnya dua hal itulah yang paling dibutuhkan rakyat."
Mata Ekalaya berkaca-kaca. Dari kata-kata yang telah diungkapkan isterinya, ia mampu melihat cahaya harapan di tengah tragedi hidup yang gelap pekat.
Walaupun berat, Ekalaya berusaha membangunkan sikap batin untuk bangkit menyongsong masa depan dengan penuh semangat.
"Yah! Memang benarlah, aku masih mempunyai kebijaksanaan serta masih mencintai rakyatku. Anggreni, aku mau pulang ke Paranggelung. Ingin segera mengabarkan kepada rakyatku bahwasanya aku telah terperdaya oleh sosok guru yang aku hormati dan aku kagumi."
"Baik Kangmas, aku siapkan segala sesuatunya. Namun sebaiknya, di sisa malam ini Kangmas beristirahat sejenak, nanti sebelum wajar menyingsing kita akan mengucapkan selamat tinggal kepada bumi Sokalima."
Ekalaya mengangguk perlahan. Matanya mulai dipejamkan. Sebelum benar-benar terlelap, sayup-sayup terdengar kidung malam yang lembut menusuk kalbu.
Nalikanira ing dalu wong agung mangsah semedi
sirep kang bala wanara sadaya wus sami guling nadyan ari sudarsana wus dangu nggenira guling.
Kukusing dupa kumelun ngeningken tyas sang apekik
kawengku sagung jajahan nanging sanget angikipi sang Resi Kanekaputra anjog saking wiyati Kidung Kinanthi yang dikumandangkan dari samping Pendopo Agung Sokalima oleh Bekele Gandok tersebut menceritakan kebiasaan Prabu Rama Wijaya, Raja Pancawatidenda ketika malam mulai tiba. Pada saat balatentara kera telah lama terlelap dalam tidur, termasuk juga Lesmana Widagda adiknya, sang raja melakuan meditasi, untuk kemudian membakar dupa dan berdoa, memohon kepada Sang Hyang Wenang, agar seluruh balatentara dan rakyat yang termasuk dalam wilayah kekuasaannya mendapatkan berkah ketenteraman, keselamatan, serta terhindar dari segala marabahaya. Dari syair kidung yang ditulis, doa Prabu Ramawijaya dikabulkan, yang ditandai dengan turunnya Resi Kanekaputra untuk memberikan anugerah. Oleh karena sikap Prabu Ramawijaya, rakyat Pancawatidenda merasa tenteram dan bahagia mempunyai sosok raja yang memperhatikan dan mencintai rakyatnya. Bahkan dalam suasana perang pun, yaitu ketika balatentara kera yang dipimpin Prabu Ramawijaya sedang mendirikan perkemahan di Swelagiri untuk menyerang Alengkadiraja, rasa tenteram dan bahagia tidak lepas dari hati mereka.
Benar juga kata Anggraeni. Sesungguhnya hal utama yang dibutuhkan rakyat adalah dicintai dan diperlakukan dengan adil. Prabu Rama telah memilih yang terbaik untuk diberikan kepada balatentara dan kawulanya di seluruh wilayah jajahannya.
Ekalaya merasa bangga mempunyai isteri Anggraeni, yang mampu membesarkan hatinya dalam ketidakberdayaan. Memberikan cahaya ketika gelap gulita melanda jiwanya. Oleh karenannya Sang Ekalaya masih mampu menggenggam ketenteraman dan menumbuhkan semangatnya dalam keadaan yang paling terpuruk. Buktinya, ia segera terlelap tidur, sesaat setelah kidung malam dikidungkan.
Pagi-pagi benar, seorang cantrik yang bertugas membersihkan bilik Ekalaya mendapati ruangan bilik telah kosong. Di atas meja bambu ditemukan selembar daun lontar yang bertuliskan:
Bapa Resi Durna aku mohon pamit, walaupun Bapa Resi tidak akan pernqh menyesalkan kepergian kami, Bapa Resi akan terkejut karena putranda Aswatama ikut bersama kami. Maafkan kami, seperti kami pun juga memaafkan Bapa Resi.
Selamat tinggal. Ekalaya "Adhuh Ngger Aswatama anakku, jangan tinggalkan bapamu ya Ngger!"
Sokalima menjadi geger. Durna kebingungan. Ia berjalan ke sana-kemari, memasuki bilik yang satu ganti bilik yang lain, untuk mendapatkan Aswatama. Guru Besar Sokalima tersebut berperilaku seperti anak kecil, ia tidak percaya bahwa Aswatama benar-benar telah meninggalkan Sokalima.
Aswatama, Aswatamaa! Cantriiik! Cekeeel! Geluntunggg! Ulu-guntunggg! Indung-indunggg! Dimana Aswatamaaa! "Oh Ngger anakku, mengapa engkau sungguh tega meninggalkan Bapamu sebatang kara ini?"
Resi Durna teramat takut kehilangan putranya. Karena sejak isteri tercinta Batari Wilutama meninggalkan dirinya, kasih dan perhatiannya tercurah kepada Aswatama, satu-satunya anak hasil hubungannya dengan sang Batari Wilutama.
herjaka HS Catatan: Sebutan yang berkaitan dengan tugas pekerjaan di lingkungan Padepokan
Cantrik : pembantu umum Cekel : petugas yang mengurusi tanaman
Geluntung : petugas yang mencari kayu dan air
Ulu-guntung :petugas yang membagi tugas sesuai dengan pekerjaannya
Indung-indung : magang atau calon
Kidung Malam 37 : Kembali ke?Paranggelung
Ekalaya telah meneladani rakyatnya untuk senantiasa membasuh hatinya dengan air kejujuran (karya Herjaka HS 2008)
Adakah yang mengecewakanmu Ngger anakku si Aswatama? Hingga tanpa pamit tanpa berita engkau tinggalkan begitu saja bapakmu ini dan bumi Sokalima. Tidakkah engkau menyayangiku Ngger? Apa salahku Tole?
Dalam kebingungan Durna menemui Harjuna, untuk memasrahkan anak semata wayang si Aswatama yang tanpa pamit telah meninggalkan Sokalima bersamaan dengan Ekalaya dan Anggraeni sahabatnya.
"Harjuna, Harjuna, tolonglah aku, susullah Aswatama, dan ajak kembali, jangan perbolehkan ia pergi meninggalkan aku sendirian."
Melihat kecemasan dan kebinggungan sang guru, Harjuna merasa iba. Maka dengan serta-merta Harjuna menyanggupi untuk mencari Aswatama.dan segera berangkat meninggalkan Sokalima. Durna sedikit lega. Ia memandangi Harjuna hingga hilang dari pandangan, kemudian masuk ke ruang dalam untuk menenangkan hati. Jika sudah demikian tak ada cantrik yang berani mengganggu.
Matahari baru sepenggalah. Walaupun Harjuna sudah meningkatkan kemampuannya untuk memacu kudanya dengan cepat, ketiga orang yang dimaksud belumlah tersusul. Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama seakan hilang ditelan bumi.
Syahdan, perjalanan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama telah memasuki pintu gerbang tapal batas Negara Paranggelung. Kabar segera tersiar bahwa Raja yang telah pergi lebih dari tiga tahun kini telah datang. Kawula Paranggelung mulai berdatangan di sepanjang jalan yang dilalui Sang Raja. Di hadapan kawula yang mengelu-elukannya Ekalaya yang berada di punggung kuda, dibarengi oleh Anggraeni dan Aswatama, mencoba menutupi deritanya dengan senyum dan keramahan.
"Raja datang!" "Raja jaya!" "Hidup Sang Raja"
"Hidup!!!" Mata Rakyat adalah kejujuran. Hati rakyat adalah ketulusan. Oleh karenanya ketika sang Raja membalas sambutan rakyat dengan senyuman dan lambaian tangan, mereka telah menangkap, ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Terlebih lagi ketika dilihatnya tangan kanan sang raja sudah tidak utuh lagi, tanpa ibu jari. Tentunya ada derita dalam di balik lukanya. Bagaimana tidak! Bagi kawula Paranggelung, yang sebagian besar rakyatnya pandai berolah senjata panah, tentunya akan sangat kehilangan jika tangan kanannya tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Oh alangkah menderitanya rajaku. Sang Prabu apa yang terjadi? Siapakah yang telah menganiaya paduka?
Teriakan gegap gempita dari rakyat Paranggelung itu pun akhirnya berangsur-angsur surut, hambar dan kemudian berubah menjadi isak tangis kesedihan.
Jangan cemas rakyatku yang setia, akan kujelaskan dengan sejujurnya apa yang telah menimpa diriku. Yang pasti tidak ada derita. Jika pun ada derita pasti ringan jadinya karena kesetiaan rakyatku yang rela ikut memikulnya.
Memang sejak Ekalaya menjadi raja menggantikan ayahnya, hubungan antara raja dan rakyatnya itu terjalin dengan harmonis, penuh ketulusan. Rakyat sungguh mencintai rajanya, karena sang raja lebih dahulu mencintai rakyatnya. Antara raja dan kawulanya saling berbagi, saling melengkapi.
Lepas dari perhatian orang banyak, ternyata Harjuna sudah berada di antara Rakyat Paranggelung. Perkiraannya tepat bahwa Aswatama akan mengikuti pasangan Ekalaya ke Paranggelung. Maka ketika ia mencari tahu letak Negara Paranggelung, bergegaslah sang Harjuna dengan ilmu cepatnya memacu kudanya menuju Paranggelung. Bahkan Harjuna lebih dahulu memasuki wilayah Paranggelung, dibandingkan dengan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama. Oleh karenanya Harjuna boleh menyaksikan, mengalami dan merasakan, betapa besar cinta rakyat kepada rajanya, dan cinta raja kepada rakyatnya. Ada perasaan menyesal mengapa dirinya bermusuhan dengan Ekalaya. Sebab sama pula artinya bahwa dirinya telah memusuhi semua kawula Paranggelung. Lalu bagaimana caranya menyelesaikan persoalan pribadinya dengan Ekalaya tanpa harus melibatkan kawula Paranggelung, dan sekaligus mengajak Aswatama pulang dengan cara damai, atau jika perlu dengan cara kekerasan.
Saat yang ditunggu oleh pembesar negeri dan rakyat Paranggelung telah tiba. Sang Prabu Ekalaya duduk di singgasana ?didampingi Dewi Anggraeni dan Aswatama, yang diperkenalkan sebagai sahabatnya? lalu menceritakan kisah perjalanannya dalam upaya mencari guru ilmu berolah senjata panah yang mumpuni.
Bapa Dorna adalah guru yang pilih tanding. Cacat pada fisiknya tidak mengurangi kesaktian yang dikuasainya. Namun entah mengapa ia melakukan tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya. Atas tragedi getir yang menimpa Ekalaya, seluruh rakyat Paranggelung merasakan kegetirannya
Malam panglong, malam gelap tanpa bulan. Ekalaya dan Anggraeni belum tidur Menurut perasaannya, malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya. Entah mengapa malam ini begitu sepi, gelap mencekam. Kegetiran yang telah dibeberkan kepada rakyatnya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri. Ia semakin menderita melihat rakyatnya menderita. Ia semakin bersedih merasakan rakyatnya bersedih. Dalam ketermanguan itu Ekalaya mengatakan sesuatu kepada Anggraeni.
Sayembara Angkin Pembawa 2 Dewa Linglung 17 Munculnya Keris Kiyai Jaran Goyang Hitler Bangkit Lagi 3

Cari Blog Ini